Top Banner
325 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan IX HUKUM DAN KEBIJAKAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN 9.1 Definisi Ada tiga terminologi penting yang sering digunakan dalam pembahasan pada bab ini, ialah: hukum, peraturan, dan kebijakan. Definisi dari ketiga istilah ini agak sulit dirumuskan karena masing- masing ahli hukum mempunyai pandangan yang berbeda. Definisi istilah tersebut pada bahasan ini dibuat melalui sintesis berbagai definisi yang berbeda dan disesuaikan dengan kepentingan konservasi. Hukum didefinisikan sebagai suatu sistem aturan atau adat dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan, ditetapkan oleh lembaga atau instansi yang berwenang, sebagai pedoman tindakan seluruh masyarakat Indonesia, mengikat dan dikenakan sanksi jika terjadi pelanggaran – sistem aturan ialah berbagai komponen peraturan yang terkait satu sama lain menjadi satu kesatuan. Peraturan didefinisikan sebagai tatanan, petunjuk, kaidah atau ketentuan yang dibuat untuk mencapai sasaran ( goal ) dari pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Dengan demikian, hukum tentang Kawasan Konservasi Perairan bisa dikatakan sebagai himpunan seluruh peraturan yang saling terkait satu sama lain dan mengatur tentang pengelolaan kawasan. Kebijakan ialah rangkaian konsep dan asas terkait dengan kawasan konservasi yang menjadi pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi untuk mencapai tujuan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan berbeda dari prosedur atau protokol – dia menentukan apa dan mengapa suatu tindakan konservasi diperlukan. Sedangkan prosedur atau protokol mencakup keseluruhan tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan kegiatan dilakukan untuk mencapai sasaran (tujuan) Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan juga bisa dikatakan sebagai pernyataan kehendak, statement of intent, atau komitmen Tujuan pembelajaran: Memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Juga, menelusuri kebijakan operasional pemerintah dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi kawasan konservasi. Ketentuan hukum dianalisis dari prinsip-prinsip global dalam bentuk konvensi maupun kode etik bersama. Ketentuan konvensi biasanya memerlukan peraturan ratifikasi pada tingkat nasional. Sedangkan ketentuan kode etik langsung dijabarkan dalam bentuk program aksi, tanpa ketentuan hukum yang mengikat ( soft law).
16

9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

Mar 03, 2019

Download

Documents

hoangcong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

325 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

IX

HUKUM DAN KEBIJAKAN KAWASAN

KONSERVASI PERAIRAN

9.1 Definisi

Ada tiga terminologi penting yang sering digunakan dalam pembahasan pada bab ini, ialah:

hukum, peraturan, dan kebijakan. Definisi dari ketiga istilah ini agak sulit dirumuskan karena masing-

masing ahli hukum mempunyai pandangan yang berbeda. Definisi istilah tersebut pada bahasan ini

dibuat melalui sintesis berbagai definisi yang berbeda dan disesuaikan dengan kepentingan

konservasi. Hukum didefinisikan sebagai suatu sistem aturan atau adat dalam bidang Kawasan

Konservasi Perairan, ditetapkan oleh lembaga atau instansi yang berwenang, sebagai pedoman

tindakan seluruh masyarakat Indonesia, mengikat dan dikenakan sanksi jika terjadi pelanggaran –

sistem aturan ialah berbagai komponen peraturan yang terkait satu sama lain menjadi satu

kesatuan. Peraturan didefinisikan sebagai tatanan, petunjuk, kaidah atau ketentuan yang dibuat

untuk mencapai sasaran (goal) dari pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Dengan

demikian, hukum tentang Kawasan Konservasi Perairan bisa dikatakan sebagai himpunan seluruh

peraturan yang saling terkait satu sama lain dan mengatur tentang pengelolaan kawasan.

Kebijakan ialah rangkaian konsep dan asas terkait dengan kawasan konservasi yang menjadi

pedoman dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi untuk mencapai tujuan

pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kebijakan berbeda dari prosedur atau

protokol – dia menentukan apa dan mengapa suatu tindakan konservasi diperlukan. Sedangkan

prosedur atau protokol mencakup keseluruhan tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, dan kapan

kegiatan dilakukan untuk mencapai sasaran (tujuan) Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.

Kebijakan juga bisa dikatakan sebagai pernyataan kehendak, statement of intent, atau komitmen

Tujuan pembelajaran:

Memahami ketentuan-ketentuan

hukum yang berlaku terkait dengan

pengelolaan Kawasan Konservasi

Perairan. Juga, menelusuri

kebijakan operasional pemerintah

dalam perencanaan, implementasi

dan evaluasi kawasan konservasi.

Ketentuan hukum dianalisis dari

prinsip-prinsip global dalam bentuk

konvensi maupun kode etik

bersama. Ketentuan konvensi

biasanya memerlukan peraturan

ratifikasi pada tingkat nasional.

Sedangkan ketentuan kode etik

langsung dijabarkan dalam bentuk

program aksi, tanpa ketentuan

hukum yang mengikat (soft law).

Page 2: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

326 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

untuk melakukan tidakan yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian sasaran pengelolaan Kawasan

Konservasi Perairan di Indonesia.

9.2 Peraturan dan Kebijakan Dibidang Kawasan Konservasi Perairan

Perkembangan hukum dan kebijakan dalam bidang Kawasan Konservasi Perairan di

Indonesia sangat terkait dengan keharusan atau komitmen bangsa untuk mengadopsi ketentuan

hukum internasional tentang konservasi kawasan. Selain itu, pemerintah juga mengadopsi beberapa

prinsip Standar Tingkah Laku Internasional (global) tanpa mengesampingkan identitas bangsa dan

ketentuan hukum dan kebijakan di Indonesia. Dengan demikian, penyerasian proses hukum dan

kebijakan secara internasional dilakukan karena kewajiban dan tanggung jawab negara kepada dunia

global serta adopsi kode etik yang sesuai dan memungkinkan untuk dilakukan di wilayah perairan

Indonesia.

9.3 Peraturan dan Kebijakan Internasional dan Regional

Pada tanggal 13 Desember tahun 1957, Indonesia menyatakan secara sepihak Wilayah

Perairan Nusantara yang disebut dengan Deklarasi Djuanda. Pada saat yang hampir sama, dunia

membahas kepentingan usaha penangkapan ikan dan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai.

Hak Indonesia sebagai negara berdaulat atas wilayah perairan akhirnya diterima pada tahun 1982.

Namun pada saat yang sama, kita juga harus bertanggung jawab untuk menyusun langkah-langkah

nyata terkait dengan konservasi sumber daya ikan di lepas pantai melalui konservasi di dalam

Wilayah Perairan Nasional. Secara berurutan ketentuan hukum, peraturan dan kebijakan global yang

mendorong berkembangnya Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, ialah sebagai berikut:

1) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas 1958

2) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982;

3) Agenda 21 UNCED (United Nations Convention on Environment and Development);

4) United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992;

5) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), 1992;

6) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995;

Sedangkan beberapa ketentuan regional yang terkait, antara lain ialah:

1) Coral Triangle Initiative (CTI) on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, 2007;

2) Arafura Timor Seas Expert Forum (ATSEF).

9.3.1 Konvensi Jenewa, 1958

Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi

internasional tentang hukum laut (Conference on the Law of the Sea) di Jenewa Swiss. Indonesia

berhasil mengirim delegasi untuk ikut dalam koferensi. Pertemuan memutuskan 3 (tiga) konvensi

sebagai berikut:

a) Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas,

b) Convention on the Continental Shelf, dan

Page 3: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

327 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

c) Convention of the High Seas.

Ketiga konvensi ditanda tangani pada tanggal 29 April 1958 dan mulai berlaku efektif pada

tanggal 20 Maret 1966. Indonesia, secara formal menyetujui (ratifikasi) ketiga konvensi Jenewa

melalui Undang-Undang No. 19 tahun 1961. Ketentuan tentang Kawasan Konservasi Perairan

terutama tercantum pada konvensi pertama, Convention on Fishing and Conservation of the Living

Resources of the High Seas, antara lain ialah:

• Setiap negara pantai (coastal state) mempunyai hak untuk menangkap ikan di wilayah

perairan nasionalnya. Namun pada saat yang sama, setiap negara pantai berkewajiban

mengadopsi atau bekerja sama dengan negara lain dalam melakukan langkah-langkah nyata

terkait dengan konservasi di wilayah perairan nasionalnya untuk kepentingan konservasi

sumber daya hayati di lepas pantai (high seas);

• Ekspresi dari konservasi sumber daya hayati lepas pantai merupakan ukuran agregat dari

hasil tangkap optimal yang diperbolehkan bagi masing-masing negara pantai;

• Setiap negara pantai harus melaksanakan program konservasi dengan mengutamakan

ketahanan pangan dan penyediaan ikan bagi konsumsi masyarakat global.

Teks pada konvensi, menyebutkan kata konservasi sampai 20 kali dalam 22 pasal di dalam

konvensi. Konservasi dinyatakan sebagai salah satu alat pemanfaatan sumber daya hayati laut secara

berkelanjutan. Kata konservasi, di Indonesia didefinisikan melalui tiga kata kunci, ialah perlindungan,

pengawetan dan pemanfaatan secara berkelanjutan dari sumber daya atau keanekaragaman hayati.

Sedangkan tingkatan konservasi dibedakan menjadi kategori: konservasi kawasan (in-situ),

konservasi spesies dan konservasi genetik.

9.3.2 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982

Draft final United Nations Convention on the Law of the Sea diselesaikan pada sidang

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-tiga di New York, tertanggal 30 April 1982. UNCLOS ditanda

tangani oleh 118 negara (termasuk Indonesia) pada tanggal 9 Desember 1982 di Montego Bay,

Jamaica. Mulai saat itu, UNCLOS dinyatakan mulai berlaku dan mengikat semua negara anggota PBB.

Selain ikut menjadi pelaku dalam menanda tangani perjanjian tersebut, secara resmi Pemerintah

Indonesia meratifikasi konvensi melalui Undang-Undang No. 17 tahun 1985. Beberapa ketentuan

yang mengatur konservasi di wilayah laut negara pantai ialah sebagai berikut:

• Setiap negara pantai (coastal state), berdasarkan informasi terbaik yang tersedia, harus

melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam konservasi dan perlindungan sumber

daya hayati untuk mencegah penangkapan (pengambilan) berlebih dari sumber daya di

wilayah Zona Ekonomi Eksklusif masing-masing negara pantai;

• Setiap negara pantai diharuskan bekerja sama dengan organisasi internasional, baik pada

tingkat subregional, regional maupun pada tingkat global dalam menjamin kelangsungan

atau konservasi sumber daya hayati laut di wilayah negaranya;

• Setiap negara pantai yang menangkap ikan di wilayah perairannya harus mengikuti

ketentuan konservasi yang berkalu. Setiap negara pantai harus menyampaikan tata waktu

terkait dengan penyelesaian peraturan konservasi dan pengelolaan sumber daya di wilayah

nasionalnya;

Teks pada UNCLOS menyebutkan kata konservasi sampai 34 kali, sebagai alat untuk

mempertahakan perikanan secara berkelanjutan.

Page 4: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

328 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

9.3.3 United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD), 1992

UNCBD ialah salah satu hasil konvensi pada Agenda 21 yang dicetuskan oleh PBB di Rio de

Jeneiro Brasil, pada tanggal 13 Juni tahun 1992. Agenda 21 menghasilkan 40 konvensi yang tersusun

dalam 4 (empat) bagian besar. Salah satu konvensi yang dihasilkan ialah UNCBD, terkait dengan

kawasan konservasi (in-situ conservation). Tujuan utama dari aturan dalam teks UNCBD ialah:

mencapai konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman

hayati, dan pembagian secara adil terhadap keuntungan yang timbul dari pemanfaatan sumber daya

hayati. Secara keseluruhan, tujuan konvensi ialah untuk mendorong kegiatan aksi yang mengarah

pada usaha pemanfaatan berkelanjutan. Beberapa ketentuan dalam konvensi tersebut ialah:

• Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan azas-azas hukum internasional,

setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber dayanya

sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional negara tersebut. Namun setiap negara juga

harus mengemban tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang

dilakukan di dalam yurisdiksi-nya atau kendalinya tidak akan menimbulkan kerusakan

terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasionalnya;

• Setiap negara, dengan kondisi dan kemampuan khususnya, wajib mengembangkan strategi,

rencana atau program nasional untuk konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan

keanekaragaman hayati atau menyesuaikan strategi, rencana atau program yang sudah ada

untuk maksud tersebut, yang harus mencerminkan, diantaranya, upaya yang dirumuskan

dalam konvensi ini yang berkaitan dengan kepentingan negara masing-masing;

• Setiap negara wajib memadukan konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan

keanekaragaman hayati ke dalam rencana, program dan kebijakan sektoral atau lintas

sektoral yang berkaitan, sejauh yang mungkin dilakukan;

• Setiap negara wajib mengembangkan sistem kawasan konservasi atau kawasan yang

memerlukan penanganan khusus untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati;

• Setiap negara wajib mengembangkan pedoman untuk penyelesaian, pendirian dan

pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan-kawasan yang memerlukan upaya-upaya

khusus untuk konservasi keanekaragaman hayati;

• Setiap negara wajib mengusahakan terciptanya kondisi yang diperlukan untuk keselarasan

antara pemanfaatan kini dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan

secara berkelanjutan komponen komponennya;

9.3.4 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)

UNFCCC juga merupakan bagian dari Agenda 21, termasuk dalam 40 konvensi yang

dihasilkan dari pertemuan tersebut. Konvensi ditanda tangani di Rio de Jeneiro pada tanggal 16 Juni

1992, oleh 178 negara, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia memandang perlu dan

meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994.

Teks yang tertuang dalam konvensi tidak secara khusus membahas kepentingan kawasan

konservasi. Hal ini disebabkan karena materi pembahasan utama terkait dengan perubahan iklim

global. Namun peran Kawasan Konservasi Perairan (MPA) selalu dibahas pada setiap pertemuan IPCC

(Inter-Governmental Parties on Climate Change).

Page 5: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

329 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

9.3.5 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), 1995

Untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebih, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah

menetapkan suatu kode etik perikanan yang bertanggung jawab, Code of Conduct for Responsible

Fisheries (CCRF). Dalam kode etik, ditentukan prinsip-prinsip standar tingkah laku internasional

tentang praktek-praktek yang bertanggung jawab terkait dengan (termasuk) usaha penangkapan

ikan. Walaupun bersifat sukarela, ketentuan dalam kode etik bersifat global, ditujukan bagi negara,

pemerintah maupun non-pemerintah dan seluruh pihak swasta perikanan baik yang menjadi

anggota maupun bukan anggota PBB. CCRF diadopsi sejak tanggal 31 Oktober 1995, dan termasuk

kategori soft law. Dengan demikian Pemerintah Indonesia tidak merasa perlu untuk menetapkan

peraturan khusus dalam meratifikasi CCRF.

Seluruh aturan dalam CCRF ditujukan untuk membantu negara-negara pantai di dunia dalam

membangun dan mengembangkan perikanan, dengan dasar pemanfaatan berkelanjutan dari

sumber daya perikanan. CCRF menjelaskan bagaimana perikanan harus diatur secara

bertanggungjawab, dan bagaimana kegiatan perikanan harus diterapkan sesuai dengan peraturan

nasional masing-masing negara. Walaupun tidak menyebutkan Kawasan Konservasi Perairan secara

khusus, CCRF memandang konservasi sebagai salah satu pendekatan yang sangat penting dalam

pengelolaan perikanan. CCRF menyebutkan kata konservasi sampai 70 kali, dalam pendekatan

pemanfaatan sumber daya perikanan berkelanjutan. Beberapa ketentuan konservasi tersebut antara

lain, ialah:

• Para pihak dan pengguna sumber daya ikan harus melakukan tindakan konservasi terhadap

ekosistem perairan (laut). Hak menangkap ikan harus diikuti dengan kewajiban untuk

melakukan konservasi dan pengelolaan sumber daya perairan secara efektif

• Pengelolaan perikanan harus mampu mempertahankan kualitas, diversitas dan ketersediaan

sumber daya ikan bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Langkah-langkah

pengelolaan tidak hanya ditujukan pada konservasi ikan-ikan yang menjadi target

penangkapan, tapi juga spesies lain yang menempati ekosistem yang sama dan ikan lain

yang tergantung dari keberadaan ikan target;

• Setiap negara yang terlibat dalam penangkapan ikan di laut harus melakukan prinsip atau

pendekatan kehati-hatian dalam konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan berkelanjutan

sumber daya ikan sesuai dengan informasi terbaik yang tersedia saat itu. Namun kurangnya

informasi ilmiah ini tidak dijadikan alasan untuk menunda langkah-langkah konservasi

terhadap spesies target.

• Semua jenis habitat penting untuk perikanan, seperti lahan basah, bakau, terumbu karang,

tempat pembesaran dan pemijahan ikan harus dilindungi dan direhabilitasi. Pengelola

perikanan harus mengambil langkah-langkah yang penting untuk melindungi habitat

tersebut dari perusakan, degradasi, polusi dan dampak lain yang disebabkan oleh aktifitas

manusia, yang bisa menurunkan kesehatan (viabilitas) sumber daya ikan.

• Setiap negara, harus mengintegrasikan kepentingan perikanan tangkap, termasuk

kebutuhan untuk konservasi sumber daya perikanan, dalam rencana pengelolaan wilayah

pesisir terpadu;

• Keragaman hayati pada habitat dan ekosistem perairan harus dikonservasi, ikan yang

terancam punah harus dilindungi;

Page 6: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

330 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

9.3.6 Coral Triangle Initiative (CTI), 2007

Pada sidang Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) tahun 2007 di Australia, Presiden

Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen untuk melindungi terumbu karang di

Indonesia bagi kepentingan perikanan dan ketahanan pangan. Presiden menyatakan komitmen

untuk mencapai pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan secara efektif, seluas 20 juta ha pada

tahun 2020. Pada saat yang sama, Presiden meminta 5 (lima) negara tetangga untuk mendukung

komitmen tersebut. Gagasan ini selanjutnya dikenal dengan istilah Coral Triangle Initiative (CTI),

suatu gagasan yang secara formal dicetuskan bersama oleh 6 (enam) negara, ialah: Indonesia,

Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan kepulauan Solomon. Tujuan dan sasaran dari

CTI ialah: pengelolaan wilayah bentang laut (sea scape) secara efektif, pengelolaan perikanan

melalui pendekatan ekosistem, pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan atau Marine Protected

Areas (MPA) secara efektif, langkah-langkah adaptasi terhadap perubahan iklim, dan peningkatan

status dari spesies yang terancam mengalami kepunahan.

9.4 Analisis Hukum dan Kebijakan Internasional Tentang Kawasan Konservasi

Sejak tahun 1958, Indonesia mempunyai kewajiban dan mengemban tanggung jawab untuk

menerapkan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dalam usaha penangkapan

ikan di wilayah perairan nasional Indonesia. Hal ini dimulai dari peran serta pemerintah dalam

konvensi Jenewa yang dilanjutkan dengan penanda tanganan 3 (tiga) naskah konvensi ketika itu.

Salah satu naskah konvensi ialah tentang Convention on Fishing and Conservation of the Living

Resources of the High Seas. Selain itu, pemerintah juga melakukan ratifikasi terhadap ketiga naskah

melalui UU No. 19 tahun 1961. Naskah konvensi mengharuskan setiap negara pantai (coastal state)

untuk melakukan langkah konservasi dan pengelolaan berkelanjutan dalam operasi penangkapan

ikan di wilayah perairan nasional masing-masing negara. Namun pendekatan kawasan sebagai salah

satu alat ukur (tool) tidak disebutkan secara tertulis di dalam naskah konvensi – Naskah konvensi

Jenewa bisa dikatakan sebagai peraturan yang bersifat tidak langsung dalam perkembangan

Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.

Indonesia meratifikasi naskah UNCLOS melalui UU No. 17 tahun 1985. Secara strategis

UNCLOS merupakan pengakuan terhadap wilayah perairan laut dari setiap negara berdaulat,

termasuk Indonesia. Dengan demikian, Deklarasi Djuanda yang diumumkan sepihak oleh Pemerintah

Indonesia pada tahun 1957 mendapat pengakuan formal setelah UNCLOS disetujui oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa di dunia. Namun pada saat yang sama, Indonesia juga dikenakan tanggung jawab

untuk bekerja sama dengan negara lain terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap secara

berkelanjutan. Konservasi ialah pendekatan penting yang harus dilakukan oleh setiap negara pantai

(kata konservasi disebut 34 kali pada naskah konvensi). Namun kawasan konservasi tidak disebutkan

secara tertulis sehingga UNCLOS bisa dikatakan sebagai peraturan global yang tidak langsung

mempengaruhi kebijakan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia.

Indonesia ialah peserta konperensi UNCED (United Nations Conference on Environment and

Development) yang diadakan di Rio de Jeneiro Brasil pada tahun 1992. Konperensi menghasilkan 40

konvensi, salah satu diantaranya ialah tentang keanekaragaman hayati, United Nations Convention

on Biological Diversity (UNCBD). Peraturan global ini diratifikasi oleh pemerintah melalui UU No. 5

tahun 1994 (Indonesia ialah negara ke-delapan yang menyatakan mengadopsi UNCBD dan menanda

tangani naskah tersebut di Brasil pada tahun 1992). Naskah ini menyebutkan secara jelas tentang

kawasan konservasi. Naskah konvensi menyatakan bahwa konservasi keanekaragaman hayati harus

dilakukan dalam 3 (tiga) pendekatan, ialah: konservasi kawasan, konservasi spesies dan konservasi

genetik. Konservasi kawasan termasuk dalam kategori konservasi in-situ.

Page 7: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

331 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dan Coral Triangle Initiative (CTI) ialah dua

jenis kebijakan yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan Kawasan Konservasi

Perairan. Indonesia tidak mempunyai kewajiban hukum untuk memenuhi semua ketentuan yang

tertuang dalam naskah CCRF dan CTI. Naskah CCRF menyarankan setiap negara pantai untuk

mengitegrasikan perencanaan pengelolaan perikanan dengan rencana pengelolaan Wilayah Pesisir.

Walaupun tidak disebutkan secara tertulis, naskah CCRF mengandung inisiatif tentang Kawasan

Konservasi Perairan yang terintegrasi didalam pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI sudah

secara tegas menyebutkan (tiga dari lima sasaran CTI) pendekatan Kawasan Konservasi Perairan.

Sebagai ringkasan, Indonesia paling tidak telah mengadopsi 5 (lima) ketentuan internasional

terkait dengan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia, baik ketentuan yang bersifat

langsung maupun tidak langsung. Dari jumlah tersebut, 3 (tiga) diantaranya ialah dalam bentuk

hukum internasional yang mengikat Indonesia – Convention on Fishing and Conservation of the

Living Resources of the High Seas (1958), UNCLOS (1985) dan UNCBD (1992). UNCBD ialah satu-

satunya ketentuan internasional yang mengatur tentang kawasan konservasi (termasuk Kawasan

Konservasi Perairan) dengan tujuan untuk perlindungan keanekaragaman hayati (biological

diversity). CCRF dan CTI ialah dua bentuk kebijakan yang tidak mengikat terkait dengan pengelolaan

kawasan konservasi. CCRF menyebutkan integrasi rencana pengelolaan perikanan ke dalam rencana

pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan CTI secara tegas menyebutkan tentang pengelolaan

Kawasan Konservasi Perairan.

9.5 Kebijakan dan Hukum Tentang Kawasan Konservasi di Indonesia

Tata urutan (hierarchical structure) dari peraturan yang berlaku di Indonesia sudah sangat

jelas, dimulai dari:

• Undang-Undang Dasar 1945;

• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

• Undang-Undang;

• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

• Peraturan Pemerintah;

• Peraturan/Keputusan Presiden; dan

• Peraturan Daerah.

Sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan maka setiap aturan hukum yang

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. Jenis Peraturan

Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan yang lebih tinggi

Tata urutan peraturan terkait dengan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia ialah

sebagai berikut:

• Konstitusi/UUD 1945;

• Ketetapan MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN 1993 – 1998;

• Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN 1998 – 2003;

• UU No. 19 tahun 1961 tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa tahun 1958;

• UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (diganti dengan UU

No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan);

Page 8: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

332 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

• UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

(diganti dengan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup);

• UU No. 5 tahun 1985 tentang Perikanan;

• UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS;

• UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya;

• UU No. 24 tahun 1992 Penataan Ruang;

• UU No. 5 tahun 1994 tentang pengesahan UNCBD (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengenai keanekaragaman hayati);

• UU No. 6 tahun 1994 tentang UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa

mengenai Perubahan Iklim);

• UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;

• UU No. 23 tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup (diganti dengan UU No. 32 tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup);

• UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;

• UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan;

• UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

• UU No. 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Protocol Cartagena;

• UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

• UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ;

• UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

• PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;

• PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan;

• Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;

• PerMen Kelautan dan Perikanan No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ;

9.5.1 Undang-Undang Dasar 1945

Sampai tahun 2002, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah mengalami beberapa kali

peninjauan dan/atau perubahan. Pada perubahan ke-empat (2002), ketentuan pada Pasal 33 (4)

menjadi sebagai berikut: “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas Demokrasi

Ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Ketentuan pada Pasal 33(4), terutama pada frase “Berwawasan Lingkungan”, merupakan

ketentuan peraturan tertinggi dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. istilah konservasi

kawasan tidak disebutkan karena naskah konstitusi pada umumnya hanya mengatur ketentuan

pokok, sementara ketentuan lebih detail dibuat pada peraturan pelaksana yang lebih rendah.

Page 9: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

333 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

9.5.2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR)

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993

tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1993 - 1998), menyinggung aspek konservasi

kawasan melalui peran lingkungan hidup sebagai berikut:

• Pembangunan lingkungan hidup yang merupakan bagian penting dari ekosistem yang

berfungsi sebagai penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi diarahkan pada

terwujudnya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pembangunan lingkungan hidup bertujuan

meningkatkan mutu, memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, merehabilitasi

kerusakan lingkungan, mengendalikan pencemaran dan meningkatkan kualitas lingkungan

hidup.

• Sumber daya alam di darat, di laut maupun di udara dikelola dan dimanfaatkan dengan

memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup agar dapat mengembangkan daya dukung

dan daya tampung lingkungan yang memadai untuk memberikan manfaat bagi sebesar-

besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi masa kini maupun bagi generasi masa depan;

• Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam terus

ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies, dan

ekosistem;

• Konservasi hutan tanah kering, hutan rawa, dan hutan perairan serta kekhasan alam,

termasuk flora dan faunanya, ditingkatkan untuk melindungi plasma nutfah,

keanekaragaman hayati, dan ekosistem beserta unsur-unsur, juga untuk mengembangkan

cagar alam wisata.

• Konservasi kawasan hutan nasional termasuk flora dan faunanya serta keunikan alam terus

ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman plasma nutfah, jenis spesies, dan ekosistem

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993

tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN 1998 – 2003), juga menyinggung aspek konservasi

kawasan melalui perannya dalam lingkungan hidup melalui beberapa pernyataan, sebagai berikut:

• Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk menjaga dan meningkatkan kelestarian

fungsi dan mutu lingkungan hidup agar kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan

pembangunan nasional serta usaha pemanfaatan sumber daya alam termasuk air, tanah,

dan udara berlangsung secara berkelanjutan;

• Pembangunan lingkungan hidup dilakukan melalui penataan ruang serta keterpaduan

kegiatan pembangunan dalam wilayah, didukung oleh peran serta aktif masyarakat dan

dunia usaha serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat;

• Fungsi hutan lindung, hutan cadangan pangan, hutan suaka, cagar alam, taman nasional,

taman hutan raya, hutan wisata, kawasan pelindung, sempadan sungai dan danau, terumbu

karang, dan kawasan konservasi alam terus dilestarikan dan ditingkatkan pengelolaannya

agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi, ekonomi dan budaya;

• Rehabilitasi hutan dan lahan kritis; konservasi hutan, sungai, danau, rawa, dan hutan bakau;

pelestarian gua-gua alam, karang laut, flora, dan fauna langka; dan pengembangan fungsi

daerah aliran sungai terus ditingkatkan dan makin disempurnakan untuk memulihkan

kesuburan tanah, tata air dan kelestarian daya dukung lingkungan;

• Konservasi ekosistem darat, laut, dan udara terus ditingkatkan untuk melindungi fungsi

ekosistem sebagai pendukung dan penyangga sistem kehidupan

Page 10: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

334 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

GBHN 1998 – 2003 secara jelas dan tegas menyebutkan tentang kawasan konservasi dalam

berbagai kategori, seperti hutan lindung, hutan cadangan pangan, hutan suaka, cagar alam, taman

nasional, taman hutan raya, hutan wisata, kawasan pelindung, sempadan sungai, sempadan danau

dan terumbu karang. Namun ketentuan ini belum sampai pada tingkat implementasi karena

perubahan kepemimpinan nasional sebagai dampak dari reformasi.

9.5.3 UU No. 5 tahun 1967, Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan

Ketentuan Pasal 3 pada UU No. 5 tahun 1967 menyebutkan pembagian Hutan Negara ke

dalam bentuk:

• Hutan Lindung;

• Hutan Produksi;

• Hutan Suaka Alam; dan

• Hutan Wisata; dan

• Hutan Suaka Alam.

Hutan Suaka Alam dibedakan berdasarkan kategori Suaka Alam dan Suaka Margasatwa.

Sedangkan Hutan Wisata dibedakan berdasarkan kategori Taman Wisata dan Taman Buru. Sistem

penamaan kategori hutan ini tidak konsisten dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Keanekaragaman Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (dibahas kemudian).

9.5.4 UU No. 5 tahun 1990, Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Sebelum UU No. 5 tahun 1990, Pemerintah menetapkan UU No. 4 tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Pasal 12 dari Undang-Undang ini menyebutkan

bahwa ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan

undang-undang tersendiri. Ketentuan pada Pasal 12 inilah yang mendorong Pemerintah untuk

menetapkan UU No. 5 tahun 1990.

UU No. 5 tahun 1990 terintegrasi dengan Peraturan Pelaksana yang ditetapkan 8 (delapan)

tahun berikutnya, ialah PP No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan

Pelestarian Alam (KPA). Pasal 5 dari UU No. 5 tahun 1990 menyatakan: Konservasi sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan;

(b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c)

pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk tujuan perlindungan,

Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga

kehidupan (Pasal 8(1.a)). Ketentuan dalam pasal inilah yang menentukan adanya kawasan konservasi

yang selanjutnya diatur pada PP No. 68 tahun 1998.

Pada Pasal 11 dinyatakan bahwa: pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

beserta ekosistemnya, dilaksanakan melalui kegiatan: (a) pengawetan keanekaragaman tumbuhan

dan satwa beserta ekosistemnya; dan (b) pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Selanjutnya, Pasal

12 menyebutkan bahwa: pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,

dilaksanakan dengan menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli. PP No.

68 tahun 1998 membagi kawasan suaka alam menjadi 2 (dua) kategori, ialah: Cagar Alam (CA) dan

Suaka Margasatwa (SM).

Pasal 26 dari UU No. 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa: pemanfaatan secara lestari sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (a) pemanfaatan kondisi lingkungan

Page 11: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

335 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

kawasan pelestarian alam; (b) pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar. Pasal ini melahirkan

istilah kawasan pelestarian alam (KPA) yang selanjutnya dibahas pada PP No. 68 tahun 1998.

Selanjutnya, Pasal 29 menyebutkan bahwa: Kawasan pelestarian alam terdiri darikategori: (a) Taman

Nasional; (b) Taman Hutan Raya; dan (c) Taman Wisata Alam.

Dari uraian di atas, UU No. 5 tahun 1990 ialah peraturan pertama di Indonesia tentang

kawasan konservasi, dibedakan berdasarkan fungsinya melalui kegiatan yang boleh dilakukan di

dalamnya, ialah: Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Selanjutnya, KSA

dibedakan dalam bentuk Cagar Alam dan Suaka Margasatwa (SM). Sedangkan KPA dibedakan

menjadi: Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (TAHURA) dan Taman Wisata Alam (TWA). Semua

kategori kawasan konservasi tersebut mencakup wilayah darat maupun laut. Hal ini sesuai dengan

definisi kawasan suaka alam (Pasal 1(1)) ialah ialah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat

maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga

kehidupan. Sedangkan kawasan pelestarian alam (Pasal 1(13)) didefinisikan sebagai kawasan dengan

ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan

secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

9.5.5 UU No. 31 tahun 2004, Perikanan

UU No. 31 tahun 2004 harus dikaitkan dengan peraturan pelaksananya yang ditetapkan 3

(tiga) tahun kemudian, PP No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Artinya, kedua

ketentuan ini ditetapkan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan, ialah pemanfaatan secara

berkelanjutan atau lestari. Pasal 13(1) dari UU No. 31 tahun 2004 menyatakan sebagai berikut:

Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis

ikan, dan konservasi genetika ikan. Pasal 13 ini diterjemahkan sebagai konservasi sumber daya ikan

pada PP No. 60 tahun 2007. Konservasi sumber daya ikan didefinisikan sebagai upaya perlindungan,

pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk

menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas nilai dankeanekaragaman sumber daya ikan. Sedangkan konservasi ekosistem

adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat

penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang.

Pasal 8(1) dari PP No. 60 tahun 2007 menyatakan bahwa terkait dengan konservasi

ekosistem, satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan dapat

ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan

sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan

pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Selanjutnya, Pasal 8(2)

menyatakan bahwa Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman

Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan. Undang-Undang No. 31 tahun 2004

membuat nomenklatur baru tentang kawasan konservasi yang dibuat khusus berlaku pada wilayah

perairan.

9.5.6 UU No. 27 tahun 2007, Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 memperkenalkan istilah baru kawasan konservasi

yang berlaku untuk Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil didefinisikan sebagai upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan

Page 12: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

336 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

kesinambungan sumber daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Pasal 1(19)). Sedangkan Kawasan Konservasi di

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan ciri khas

tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

secara berkelanjutan (Pasal 1(20)).

Pasal 28(4) menyatakan bahwa kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Setahun kemudian, Menteri Kelautan dan Perikanan

menetapkan Peraturan Menteri No. 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 4(1) dari Peraturan Menteri ini menyatakan bahwa Kategori Kawasan

Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , terdiri dari:

• Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , yang selanjutnya disebut KKP3K;

• Kawasan Konservasi Maritim, yang selanjutnya disebut KKM;

• Kawasan Konservasi Perairan, yang selanjutnya disebut KKP; dan

• Sempadan Pantai.

Selanjutnya, Pasal 5 menyatakan bahwa jenis KKP3K terdiri dari kategori:

• Suaka pesisir;

• Suaka pulau kecil;

• Taman pesisir; dan

• Taman pulau kecil.

9.5.7 UU No. 32 tahun 2004, Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal

18(1) menyatakan bahwa: daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk

mengelola sumber daya di wilayah laut. Selanjutnya, Pasal 18(3) menyatakan bahwa: Kewenangan

daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Selain satu pasal ini, UU No. 32

tahun 2004 tidak mempunyai ketentuan khusus tentang konservasi.

Arti kata pengelolaan tidak disebutkan dengan jelas. Dalam tata peraturan dan kebijakan, UU

No. 32 tahun 2004 mempunyai kedudukan yang sama dengan tiga undang-undang lainnya: UU No. 5

tahun 1990; UU No. 31 tahun 2004 dan UU No. 27 tahun 2007. Ketentuan pada Pasal 18 telah

menimbulkan preseden dua Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia yang ditetapkan dengan

menggunakan Peraturan Bupati: Peraturan Bupati Berau No. 31 tahun 2005 tentang Kawasan

Konservasi Laut Kabupaten Berau; Peraturan Bupati Raja Ampat No. 66 tahun 2007 tentang Kawasan

Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat; Peraturan Bupati Klungkung No. 12 tahun 209 tentang

Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida.

9.6 Analisis Hukum dan Kebijakan Nasional Tentang Kawasan Konservasi

Istilah konservasi secara tersirat terdapat pada semua tata urutan peraturan di Indonesia,

dari konstitusi atau UUD 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Undang-Undang dan

Peraturan Pemerintah. Undang-Undang yang pertama kali secara tegas membahas tentang kawasan

konservasi ialah UU No. 5 tahun 1990. Kawasan konservasi dibedakan berdasarkan fungsinya, ialah:

perlindungan keanekaragaman hayati, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan dari sumber

Page 13: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

337 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

daya hayati. Kawasan konservasi dibedakan dalam 5 (lima) kategori, ialah: Cagar Alam (CA), Suaka

Margasatwa (SM), Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya

(TAHURA). Kawasan konservasi pada aturan ini mencakup wilayah darat maupun wilayah perairan,

termasuk di laut.

Pada tahun 1999, Pemerintah menetapkan UUU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

(sebagai pengganti dari UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan). Pada

Undang-Undang ini, pemerintah menetapkan tiga jenis hutan, ialah: Hutan Konservasi, Hutan

Lindung, dan Hutan Produksi). Selanjutnya, hutan konservasi dibedakan atas kategori: Kawasan

Hutan Suaka Alam, Kawasan Hutan Pelestarian Alam dan Taman Buru. Kedua istilah kawasan

tersebut (Suaka Alam dan Pelestarian Alam) telah digunakan pada UU No. 5 tahun 1990 yang

dilengkapi dengan PP No. 68 tahun 1998. Perbedaan antara Kawasan Suaka Alam, KSA (pada UU No.

5 tahun 1990) dengan Kawasan Hutan Suaka Alam (pada UU No. 41 tahun 1999) agak sulit untuk

dijelaskan, selain kata tambahan, hutan.

Pada tahun 2004, Pemerintah menetapkan UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Salah

satu pendekatan dalam pengelolaan perikanan ialah melalui Kawasan Konservasi Perairan, KKP.

Pengelolaan Kawasan Konservasi (perairan) pada UU No. 31 tahun 2004 lebih difokuskan pada

perikanan yang berkelanjutan. Sementara pengelolaan kawasan konservasi pada UU No. 5 tahun

1990 juga mempunyai tujuan yang hampir sama: perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan

berkelanjutan dari sumber daya hayati. Namun masing-masing peraturan menggunakan istilah yang

berbeda tentang kawasan konservasi. Kategori Kawasan Konservasi Perairan terdiri dari: Suaka Alam

Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan dan Suaka Perikanan. Untuk kepentingan

pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , Pemerintah juga menetapkan UU No. 27 tahun

2007. Undang-Undang ini mengadopsi istilah baru tentang kawasan konservasi, terdiri dari: Kawasan

Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan

Konservasi Perairan (KKP) dan Sempadan Pantai.

Melalui UU No. 32 tahun 2004, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk

mengelola wilayah perairan laut di dalam wilayah yang menjadi jurisdiksi daerah. Pada Undang-

Undang ini, konservasi tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun kewenangan ini telah dipergunakan

untuk penunjukan atau penetapan kawasan konservasi dengan sebutan Kawasan Konservasi Laut

(KKL) Atau Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Undang-Undang No. 2004 juga telah

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan dengan sebutan

Daerah Perlindungan Laut (DPL). Mereka menggunakan dasar hukum Peraturan Desa.

Dari tinjauan hukum dan peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia,

ada beberapa pembelajaran yang bisa diambil, ialah sebagai berikut:

Pengelolaan kawasan konservasi menggunakan beberapa Undang-Undang yang berbeda,

namun istilah yang berbeda. UU No. 5 tahun 1990 menggunakan istilah Kawasan Suaka Alam (KSA)

dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Sedangkan UU No. 41 tahun 1999 menggunakan istilah

Kawasan Hutan Suaka Alam (KHSA) dan Kawasan Hutan Pelestarian Alam (KHPA). Kedua jenis

kawasan bisa berada pada wilayah yang sama;

Kawasan konservasi di wilayah perairan juga menggunakan istilah yang berbeda. UU No. 31

tahun 2004 menggunakan istilah Kawasan Konservasi Perairan (KKP). Sedangkan UU No. 27 tahun

2007 menggunakan istilah Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil . Kategori kawasan dari

kedua Undang-Undang ini juga berbeda, sementara sangat memungkinkan keduanya berada pada

wilayah yang saling tumpang tindih;

Kewenangan daerah dalam mengelola kawasan konservasi (khusus perairan) ditetapkan

melalui Undang-Undang yang berbeda dengan peraturan konservasi. Hal ini bisa dilihat sebagai

suatu kesempatan dan tanggung jawab, sehingga muncul beberapa Kawasan Konservasi Perairan

baru dengan sistem penamaan yang berbeda dengan peraturan lainnya.

Page 14: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

338 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

Gambar 9.1 Sistem penamaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Indonesia dengan

menggunakan peraturan yang berbeda (Sumber: dianalisis dari UU No. 5 tahun

1990; UU No. 41 tahun 1999; UU No. 31 tahun 2004; UU No. 32 tahun 2004; dan

UU No. 27 tahun 2007).

Bahan Bacaan Utama:

FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Rome, Italy. Food and Agriculture

Organization of the United Nations (FAO). 41p

FAO, 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy. FAO: 41p

Jepson, P., & R.J. Whittaker (2002). Histories of Protected Areas: Internationalisation of

Conservationist Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia).

Environment and History 8(129-172).

PP. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998. Tentang Kawasan Suaka

Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998

Nomor 132.

PP. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2007. Tentang Konservasi

Sumber daya Ikan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134.

Santosa, A. (Ed) 2008 Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengeloaan & Kebijakan. Bogor. POKJA

kebijakan Konservasi. 14x21 cm; xi+ 50 hal

UN, 1958. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Geneva,

Switzerland. UN Treaty Series, vol. 559, p. 285;

Page 15: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

339 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

UN, 1958. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas. Geneva,

Switzerland. UN Treaty Series, vol. 559, p. 285;

UNCBD, 1992. United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). New York, US. UN. 28p

UNCLOS, 1982. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Geneva, Switzerland.

UN. 208p

UNFCCC, 1992. United Nations Framework Convention on Climate Change. New York, US. UN. 24p

UU, 1961. Undang Undang No. 19 Tahun 1961. Tentang : Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa

Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO. 2318

UU, 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan

Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68.

UU. 1961. Undang Undang No. 19 Tahun 1961 Tentang Persetujuan Atas Tiga Konvensi Jenewa

Tahun 1958 Mengenai Hukum Laut. LN 1961/276; TLN NO. 2318.

UU. 1967. Undang-undang 5 Tahun 1967. Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. LN

1967/8; TLN NO. 2823.

UU. 1982. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 . Tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982

Nomor 12.

UU. 1985. Undang Undang No. 17 Tahun 1985. Tentang : Pengesahan United Nations Convention On

The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut). LN

1985/76; TLN NO. 3319.

UU. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumber

daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990

Nomor 49.

UU. 1992. Undang Undang No. 24 Tahun 1992. Tentang Penataan Ruang. LN 1992/115; TLN NO.

3501.

UU. 1994. Undang Undang No. 6 Tahun 1994. Tentang Pengesahan United Nations Framework

Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa

Mengenai Perubahan Iklim). LN 1994/42; TLN NO. 3557.

UU. 1994. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994. Tentang Pengesahan United

Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Mengenai Keanekaragaman Hayati). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994

Nomor 41.

UU. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996. Tentang Perairan Indonesia.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647.

UU. 1997. Undang Undang No. 23 Tahun 1997.Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. LN 1997/68;

TLN NO.3699.

UU. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Tentang Kehutanan.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167.

UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004. Tentang Pengesahan

Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity (Protokol

Cartagena TentangKeamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati).

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4414.

Page 16: 9 Hukum & Kebijakan KKP Indonesia - Wiadnya DGRwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/9-Hukum...Pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelenggarakan konferensi internasional

340 Hukum dan kebijakan kawasan konservasi perairan

UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004. Tentang Perikanan. Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4433.

UU. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan

Daerah. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437.

UU. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil . Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor

84.

UU. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan Dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009

Nomor 140.

Ringkasan:

1. Dokumen Kode Etik Perikanan bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries)

memberikan indikasi atau langkah awal konservasi dan pengelolaan perikanan tangkap melalui

Kawasan Konservasi Perairan. Sebutkan pernyataan di dalam teks yang mendukung hal ini;

2. Sebutkan peraturan global yang secara tegas menyatakan pendekatan konservasi kawasan

dalam pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati, dan Indonesia meratifikasi

peraturan global tersebut.

3. Sebutkan peraturan formal di Indonesia yang pertama kali secara jelas menunjukkan pendekatan

Kawasan Konservasi Perairan sebagai alat perlindungan keanekaragaman hayati, bersama

peraturan pelaksananya;

4. Zona perikanan berkelanjutan dimungkinkan untuk dibuat secara formal dalam suatu Kawasan

Konservasi Perairan. Sebutkan peraturan formal yang mendukung pernyataan ini;

5. Buktikan bahwa peraturan tentang Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia saat ini mengalami

tumpang tindih, terutama dalam pengelolaan kawasan;

6. Buatlah nomenklatur atau kategori kawasan konservasi di Indonesia dengan menggunakan

kombinasi dasar hukum UU No. 5 tahun 1990 dengan UU No. 41 tahun 1999;

7. Buatlah nomenklatur atau kategori Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia dengan

menggunakan kombinasi dasar hukum UU No. 31 tahun 2004, UU No. 27 tahun 2007 dan UU No.

32 tahun 2004;

8. Jelaskan, bagaimana pengaruh Deklarasi Djuanda terhadap perkembangan Kawasan Konservasi

Perairan di Indonesia;

9. Buktikan bahwa secara nasional Indonesia sudah lebih dulu mengadopsi prinsip-prinsip

perlindungan keanekaragaman hayati, sebelum penetapan UNCBD pada tahun 1992;

10. Hukum dan peraturan tentang kawasan konservasi di Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Hal

ini bisa menyebabkan saling tumpang tindih dalam kewenangan. Bagaimana menyatakan atau

harmonisasi semua peraturan tersebut sehingga menjadi kekuatan yang optimal dalam

mencapai tujuan konservasi kedepan?