PENYAKIT-PENYAKIT TELINGA TENGAH 1. ANATOMI Telinga tengah berbentuk kubus dengan: a. Batas luar : membran timpani b. Batas depan : tuba eustakius c. Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis) d. Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak) e. Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontalis, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium. 2. PENYAKIT MEMBRAN TIMPANI Penyakit membran timpani biasanya menyertai perubahan patologi telinga tengah dan mastoid, akan tetapi adakalanya penyakit secara primer berasal dari membran timpani. Penyakit membran timpani dengan suatu proses patologik primer dapat menimbulkan gambaran: a. Membran timpani dapat menebal akibat peradangan. b. Berbercak-bercak putih tebal atau menjadi putih tebal seluruhnya akibat timbunan kolagen terhialinisasi pada lapisan tengahnya sebagai akibat peradangan terdahulu (timpanosklerosis). c. Membran timpani dapat menjadi lebih tipis akibat hilangnya lapisan membrana propria yang hampir selalu disebabkan disfungsi tuba eustakius. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENYAKIT-PENYAKIT TELINGA TENGAH
1. ANATOMI
Telinga tengah berbentuk kubus dengan:
a. Batas luar : membran timpani
b. Batas depan : tuba eustakius
c. Batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
d. Batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
e. Batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontalis, kanalis fasialis,
tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium.
2. PENYAKIT MEMBRAN TIMPANI
Penyakit membran timpani biasanya menyertai perubahan patologi telinga tengah dan mastoid,
akan tetapi adakalanya penyakit secara primer berasal dari membran timpani. Penyakit membran timpani
dengan suatu proses patologik primer dapat menimbulkan gambaran:
a. Membran timpani dapat menebal akibat peradangan.
b. Berbercak-bercak putih tebal atau menjadi putih tebal seluruhnya akibat timbunan kolagen
terhialinisasi pada lapisan tengahnya sebagai akibat peradangan terdahulu (timpanosklerosis).
c. Membran timpani dapat menjadi lebih tipis akibat hilangnya lapisan membrana propria yang hampir
selalu disebabkan disfungsi tuba eustakius.
d. Membran timpani dapat mengalami retraksi bila terdapat suatu vakum dalam telinga tengah, atau
dapat menonjol bila terdapat cairan, infeksi atau massa jaringan dalam telinga tengah.
e. Membran timpani dapat pula mengalami perforasi akibat trauma dengan atau tidak dapat disertai
putusnya rantai osikula. Perforasi membran timpani dapat digolongkan menjadi 4 (empat) tipe
berdasarkan lokasinya: tuba, sentral, marginal dan pars flaksida.
Miringitis merupakan peradangan pada membran timpani. Peradangan ini dapat menyertai radang
telingan tengah atau suatu otitis eksterna. Akan tetapi, miringitis secara khas menjelaskan suatu
peradangan dimana membran timpani terlibat secara primer. Pada miringitis hemoragik atau bulosa,
temuan yang paling nyata adalah pembentukan bleb (bula) pada membran timpani dan dinding kanalis di 1
dekatnya. Bula-bula ini mengandung cairan serosa, darah atau keduanya dan tampak merah atau ungu
sehingga didiagnosis banding dengan otitis eksterna dan herpes zoster otikus (sindrom Ramsay-Hunt).
Penyebab miringitis pada anak-anak adalah bakteri yang lazim menyebabkan otitis media supurativa akut,
sedangkan pada dewasa sering disebabkan Mycoplasma pneumoniae. Miringitis pada dewasa dapat
sembuh sendiri, akan tetapi bila telah melibatkan sistemik maka eritromisin merupakan obat pilihan.
Miringotomi dapat dilakukan untuk memecahkan bula yang terbentuk.
3. GANGGUAN FUNGSI TUBA EUSTAKIUS
Tuba eustakius menghubungkan rongga tekinga tengah dengan nasofaring dan erat sekali
kaitannya dengan penyakit-penyakit kedua struktur tersebut. Sepertiga bagian lateral tuba eustakius yang
berhubungan dengan telinga tengah berupa tulang, sedangkan duapertiga medial adalah fibrokartilaginosa.
Tuba eustakius bayi berbeda dengan dewasa. Tuba bayi pendek, lebar dan terletak horizontal dan ini
merupakan alasan mengapa radang tuba eustakius lazim terjadi pada bayi. Dengan perkembangan anak,
tuba bertambah panjang dan sempit serta mengarah ke bawah di sebelah medial.
Tuba biasanya tertutup dan akan terbuka melalui kontraksi aktif otot velli palatini pada saat
menelan, atau saat menguap, atau membuka rahang. Fungsi tuba eustakius adalah ventilasi, drainase, dan
proteksi telinga tengah dari kontaminasi sekret nasofaring. Tuba akan membuka melalui kerja otot jika
terdapat perbedaan tekanan sebesar 20-40 mmHg. Sekresi telinga tengah akan dialirkan k nasofaring
melalui tuba eustakius yang berfungsi normal. Jika tuba eustakius tersumbat, akan tercipta keadaan vakum
dalam telinga tengah, yang mengarah pada peningkatan produksi cairan yang semakin memperberat
masalah sehingga perlu dilakukan miringotomi. Karena selalu tertutup, tuba eustakius dapat melindungi
telinga tengah dari kontaminasi sekret nasofaring dan organisme piogenik.
Gangguan pada tuba eustakius antara lain:
a. Tuba eustakius paten abnormal
Suatu tuba eustakius yang paten abnormal selalu terbuka sehingga udara dapat masuk ke dalam telinga
tengah selam inspirasi. Riwayat penderita biasanya kehilangan berat badan yang nyata, dimana
jaringan adiposa di sekitar muara tuba eustakius ikut menghilang. Dapat terjadi pada wanita yang
menggunakan pil KB maupun pria yang mendapat estrogen. Gejala yang muncul berupa otofoni,
fullness atau rasa tersumbat dalam telinga. Membran timpani tampak atrofik dan tipis, serta bergerak
keluar masuk selama respirasi. Prosedur yang efektif dilakukan pada kelainan ini adalah dengan
memasang tuba ventilasi melalui membran timpani untuk mengurangi efek-efek yang mengganggu.
b. Mioklonus palatum
Mioklonus palatum merupakan suatu kondisi yang jarang dijumpai, dimana otot-otot palatum
mengalami kontraksi ritmik secara berkala sehingga dapat didengan bunyi “klik” dalam telinga pasien
yang dapat didengar oleh pemeriksa. Penyebab pasti mioklonus palatum tidak diketahui. Pengobatan
biasanya tidak diperlukan, namun kadangkala dapat dipertimbangkan insisi otot tensor timpani elinga
tengah.
2
c. Palatoskisis
Palatoskisis dapat menyebabkan disfungsi tuba eustakius akibat hilangnya penambat otot tensor velli
palatini sehingga kontraksi otot untuk membuka tuba eustakius pada saat menelan menjadi terhambat.
Ktidakmampuan untuk membuka tuba ini menyebabkan ventilasi telinga tengah tidak memadai,
selanjutnya terjadi peradangan. Dengan demikian, insiden penyakit telinga tengah pada anak dengan
palatoskisis menjadi sangat tinggi. Penanganan otologik memerlukan pengobatan penyakit telinga
secara dini. Koreksi bedah pada palatoskisis dilakukan sesegera mungkin untuk tujuan fungsional.
Banyak anak memerlukan pemasangan tuba ventilasi.
d. Barotrauma
Barotrauma adalah kerusakan jaringan telinga akibat perbedaan tekanan antara bagian dalam
dan luar membran timpani yang dapat terjadi pada saat menyelam atau terbang. Hukum Boyle
menyatakan bahwa suatu penurunan/peningkatan tekanan lingkungan akan memperbesar/menekan
(secara berurutan) suatu volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas dalam struktur yang lentur, maka
strruktur tersebut dapat rusak karena ekspansi atau kompresi.
Tekanan udara pada telinga tengah biasanya sama dengan tekanan udara lingkungan. Dengan
menurunnya tekanan udara lingkungan, udara dalam telinga tengah akan mengembang dan secara
pasif akan keluar melalui tuba eustakius. Dengan meningkatnya tekanan udara lingkungan, udara
dalam telinga tengah dalam telinga tengah dan tuba eustakius menjadi tertekan dan cenderung
menyebabkan penciutan tuba eustakius. Jika perbedaan tekanan udara antara rongga telinga tengah dan
lingkungan menjadi terlalu besar (90-100 mmHg), bagian kartilaginosa tuba eustakius akan sangat
menciut. Semakin bertmbahnya perbedaan tekanan menyebabkan berlanjutnya keadaan vakum relatif
dalam ronga telinga tengah. Selanjutnya akan terjadi rangkaian kerusakan, mula-mula membran
timpani tertarik ke dalam menyebabkan membran teregang dan pecahnya pembuluh-pembuluh darah
kecil sehingga tampak gambaran injeksi dan bula hemoragik pada membran timpani. Dengan makin
meningkatnya tekanan, pembuluh-pembuluh darah pada mukosa telinga tengah juga akan berdilatasi
dan pecah, menimbulkan hemotimpanikum, kadang-kadang dapat menyebabkan ruptur membran
timpani.
3
Gejala barotrauma pada telinga tengah termasuk nyeri, rasa tidak nyaman dan penuh serta
berkurangnya pendengaran, dizziness, bahkan hidung berdarah. Untuk mengurangi rasa tidak nyaman
maupun nyeri pada telinga, perlu dilakukan usaha untuk membuka tuba eustakius yang menciut dan
mengurangi tekanan dengan mengunyah permen karet, mengambil napas, melakukan perasat Valsava
maupun Toynbee, makan permen atau menguap. Pengobatan yang dapat diberikan antara lain anti
histamin, dekongestan atau spray hidung, dan steroid. Jika tuba eustakius tidak membuka, perlu
dilakukan miringotomi.
4. GANGGUAN PADA RANTAI OSIKULA
Rantai osikula yang utuh mempunyai peran penting untuk transmisi suara dari membran timpani
ke fenestra ovalis. Rangkaian osikula ini dapat terputus atau menjadi terfiksasi baik karena kelainan
kongenital ataupun karena penyakit.
a. Kelainan kongenital
Osikula dapat mengalami kelainan bentuk, terputus atau terfiksasi secara kongenital. Karena berasal
dari arkus brankialis pertama dan kedua, maka kelainan osikula seringkali disertai anomali
perkembangan dari kedua arkus ini, misalnya pada sindrom Treacher-Collins, yaitu stenosis telinga
kongenital dengan disostosis maksilofasial. Deformitas osikula dapat pula terjadi secara tersendiri,
bentuk yang paling umum adalah hilangnya sebagian inkus dan fiksasi stapes. Aspek fungsional
kelainan ini (ketulian) perlu dikoreksi sebelum mempertimbangkan perbaikan kosmetik. Deformitas
osikula secara terpisah biasanya dapat diperbaiki dengan pembedahan. Bila stapes terfiksasi, maka
tindakan stapedektomi dengan penggantian protesis dapat memulihkan pendengaran. Osikula juga
dapat terfiksasi akibat timpanosklerosis pada pasien-pasien dengan riwayat otitis media.
b. Otosklerosis
Otosklerosis merupakan gangguan autosomal dominan yang terjadi pada awal masa dewasa, pada usia
belasan atau awal 20-an. Meskipun biasanya bilateral, otosklerosis dapat pula unilateral. Kelainan ini
merupakan penyakit labirin tulang dimana terbentuk suatu daerah otospongiosis terutama di depan dan
di dekat kaki stapes, sehingga stapes menjadi terfikasi. Pasien biasanya mengeluh kehilangan
4
pendengaran bila mencapai tingkat 40 dB atau lebih. Uji diagnostik tes Rinne menunjukkan hasil
negatif. Membran timpani tampak normal, namun kadang berwarna merah muda atau oranye akibat
otospongiosis vaskular dalam telinga tengah yang terlihat melalui membran timpani (Scwartze positif).
Manajemen terapi kelainan ini adalah pembedahan, namun sangat tergantung pada fungsi koklea.
c. Trauma telinga tengah
Perforasi membran timpani dapat disebabkan perubahan tekanan yang mendadak (barotrauma, trauma
ledakan), atau karena benda asing dalam telinga. Gejalanya antara lain nyeri, sekret berdarah dan
gangguan pendengaran (suara terdengar seperti dalam “tong”). Perforasi traumatik yang bersih dirawat
dengan melindungi telinga dari air dan pemberian antibiotik sistemik bila ada nyeri atau peradangan.
Umumnya perforasi bersih tanpa komplikasi akan sembuh dengan sendirinya. Yang perlu benar-benar
diperhatikan adalah perforasi yang menyebabkan cedera rantai osikula. Cedera ini perlu dicurigai bila
didapatkan kehilangan pendengaran (> 25 dB) dan vertigo (bukan sensasi nyeri dan bunyi
menggaung). Pada cedera ini, dapat ditemukan stapes yang bergeser atau mengalami subluksasi
sehingga perlu dilakukan stapedektomi. Trauma ledakan jarak dekat cenderung menimbulkan skuele
jangka panjang. Ruptur tidak hanya terbatas pada membran timpani, namun partikel-partikel epitel
skuamosa menjadi tersebar dalam telinga tengah. Osikula dapat terdorong cukup jauh.
5. OTITIS MEDIA SUPURATIF AKUT
Otitis media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustakius,
antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan
gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat
terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,muntah, diare, serta
othorrhea, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai
efusi telinga tengah.Terjadinyaefusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan
membengkak padamembran timpani atau bulging pada membran timpani, terdapatcairan di belakang
membran timpani, dan othorrhea.
Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis
otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah
otitis media adhesiva.
Skema Pembagian Otitis Media
5
Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala
Etiologi
a. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA
dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga
tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae
(40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira
5%kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic),
Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif
banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa
juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak.
b. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan bakteri
patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus
(RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza
virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba
eustakius,menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya.Dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus
dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus.
Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status
sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak
6
dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di
saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustakius, inmatur tuba Eustakius dan lain-lain. Faktor umur juga
berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insiden OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan
disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustakius. Selain itu, sistem pertahanan
tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih
tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Amerika asli, Inuit, dan Indigenous Australian
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status
sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas,
status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-
anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yangkurangnya asupan ASI
banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih
signifikan dibanding dengan anak-anak lain.Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak
lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas
kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustakius turut terganggu, anak mudah
menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi
saluran napas atas, baik bakteri atau virus.
Gejala Klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat
berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya
terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa
nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi
dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi),
anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang
anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang
telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang. Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat
atau ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien
tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan
membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) skor OMA adalah seperti berikut:
7
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3, berarti OMA
ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat. Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat
otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau 39,5°C rektal. OMA ringan bila
nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rektal.
Fisiologi, Patologi dan Patogenesis
Patogenesis OMA
Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)
atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan
tuba Eustakius. Tuba Eustakius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga
tengah. Bila keadaandemikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri
dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustakius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba
Eustakius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat
obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah.
Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustakius tersumbat,
drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah,
kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas,
sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustakius. Virus
respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum
pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak
bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani
akibat tekanannya yang meninggi.
Obstruksi tuba Eustakius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor intraluminal
adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta
akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan
riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustakius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor
ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid.
8
Perbedaan Antara Tuba Eustakius pada Anak-anak dan Orang Dewasa
Stadium OMA
a. Stadium Oklusi Tuba Eustakius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustakius yang ditandai oleh retraksi membran timpani
akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara.
Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga
berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustakius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi,
membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari
otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini.
b. Stadium Hiperemis atau Stadium Presupurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh
membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit
terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh
mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi
kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia,
telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,
tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat
di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari.
c. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga
tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan
sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan
membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu
gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi
demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani
dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan
submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan
akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu
menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
9
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan
dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju
liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi
ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup
kembali.
d. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang
jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran
sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik
dan tingginya virulensi kuman.Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh
menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau
nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut.
Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka
keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.
e. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya
othorrhea. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran
timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali
normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya
tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan
berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media supuratif akut
dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap
di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani.
MT Normal MT Hiperemis MT Bulging MT Perforasi
Diagnosis
Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi 3 hal berikut:
a. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
b. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan
dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau
10
bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.
c. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah satu di
antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia
yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan
berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani
yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada membran
timpani, dan othorrhea yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah,
seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap
berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0°C, dan disertai
dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.
Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi
Penatalaksanaan
a. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau
sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi
intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustakius,
menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik. Pada stadium
oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustakius sehingga tekanan negatif di
telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak
kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12
tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik.Pada stadium 11
hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik
golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai
gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap
penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam
empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi
bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur. Pada stadium
perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci
telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10
hari.Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan,
mungkin telah terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi dapat
dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada
perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari
tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang
resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004),
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan ant ibiotik sebagai
berikut.
Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA
Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga tengah,
dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan
demam kurang dari 39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat
atau demam 39°C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan
sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di
atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen
12
tetap diberikan pada masa observasi. Menurut The American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin
merupakan terapi lini pertama dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama
lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap
amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Terapi lini kedua seperti amoksisilin-
klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzaedan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus
penumoniae. Pneumococcal 7-valent conjugate vaccinedapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi
otitis media (American Academic of Pediatric, 2004).
b. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supa ya terjadi drainase
sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat
langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi
ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu
dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA
adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirintitis, dan
infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi lini ketiga pada pasien yang mengalami
kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi
atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi lini
kedua, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.
c. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya
mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh
rendah. Pipa timpanostomi dapat menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah,
gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif,
randomized trial yang telah dijalankan.
d. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA
rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil
masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan
insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis
rekuren.
Komplikasi
Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses subperiosteal
sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada ot it is
media supuratif kronik. Komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran