8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep Matematika, Perubahan Konsep dan Pemahaman Konsep 1. Prakonsepsi Banyak para ahli mengungkapkan bahwa siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri terhadap fenomena yang terjadi di sekitar mereka sebelum mereka memulai suatu proses pelajaran formal di bawah bimbingan guru di dalam kelas yang disebut dengan pengetahuan awal atau prakonsepsi (Kutluay, 2005). Menurut Suparno (2013), pengetahuan awal yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari terkadang tidak sesuai dengan kenyataan secara ilmiah yang disebut sebagai miskonsepsi atau kesalahan konsep. Kesalahan konsep awal yang terjadi pada siswa, jelas akan menyebabkan miskonsepsi pada saat mengikuti pelajaran formal di dalam kelas sampai kesalahan itu dapat diperbaiki oleh guru. Prakonsepsi yang terjadi pada siswa juga biasanya diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman dilingkungan siswa sendiri. Siswa yang memiliki prakonsepsi menunjukkan bahwa pikiran anak sejak lahir tidak diam. Akan tetapi, terus aktif untuk memahami berbagai hal. Prakonsepsi merupakan suatu dasar utama yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran. Untuk itu, dengan memperhatikan pengetahuan yang telah mereka peroleh sebelumnya, kita akan jauh lebih mudah dalam mengetahui sejauh mana pemahaman konsep yang dimiliki siswa dan mengubah gagasan yang mungkin salah berdasarkan pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari (Sagala, 2013). Prakonsepsi yang dimiliki siswa yang didapat dari pengalaman hidup mereka dalam kehidupan sehari-hari banyak mengandung objek pengamatan matematika yang disebut dengan konsep matematika.
25
Embed
8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
BAB II
KAJIAN TEORITIK
2.1. Prakonsepi, Konsep Matematika, Perubahan Konsep dan Pemahaman Konsep
1. Prakonsepsi
Banyak para ahli mengungkapkan bahwa siswa membentuk pengetahuan
mereka sendiri terhadap fenomena yang terjadi di sekitar mereka sebelum
mereka memulai suatu proses pelajaran formal di bawah bimbingan guru di
dalam kelas yang disebut dengan pengetahuan awal atau prakonsepsi (Kutluay,
2005).
Menurut Suparno (2013), pengetahuan awal yang mereka peroleh dalam
kehidupan sehari-hari terkadang tidak sesuai dengan kenyataan secara ilmiah
yang disebut sebagai miskonsepsi atau kesalahan konsep. Kesalahan konsep
awal yang terjadi pada siswa, jelas akan menyebabkan miskonsepsi pada saat
mengikuti pelajaran formal di dalam kelas sampai kesalahan itu dapat
diperbaiki oleh guru. Prakonsepsi yang terjadi pada siswa juga biasanya
diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman dilingkungan
siswa sendiri. Siswa yang memiliki prakonsepsi menunjukkan bahwa pikiran
anak sejak lahir tidak diam. Akan tetapi, terus aktif untuk memahami berbagai
hal.
Prakonsepsi merupakan suatu dasar utama yang dijadikan sebagai tolak
ukur dalam mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran. Untuk itu,
dengan memperhatikan pengetahuan yang telah mereka peroleh sebelumnya,
kita akan jauh lebih mudah dalam mengetahui sejauh mana pemahaman konsep
yang dimiliki siswa dan mengubah gagasan yang mungkin salah berdasarkan
pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari (Sagala, 2013).
Prakonsepsi yang dimiliki siswa yang didapat dari pengalaman hidup mereka
dalam kehidupan sehari-hari banyak mengandung objek pengamatan
matematika yang disebut dengan konsep matematika.
9
2. Konsep Matematika
Konsep merupakan suatu hal yang sangat penting dan menjadi dasar
dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Tanpa konsep, siswa akan
mengalami kesulitan dalam memecahkan berbagai masalah. Adapun kesulitan-
kesulitan tersebut biasanya karena peserta didik tidak mengerti ataupun tidak
paham dalam mengkaitkan konsep satu dengan konsep lainnya yang saling
berkaitan. Dalam konteks ini, guru dapat mengikuti tiga aturan yang
dikemukakan oleh Tennyson, Woolley dan Merrill (1972), ketiga aturan
tersebut antara lain: ketika dalam proses pembelajaran guru memberikan
contoh dari yang mudah hingga sulit; contoh yang diberikan haruslah berbeda
dengan yang lainnya dan dapat membandingkan serta membedakan masing-
masing dari contoh. Dengan mengikuti ketiga aturan tersebut, diharapkan
peserta didik dapat memperoleh konsep yang sesuai dengan konsep ilmiah.
Menurut Dahar (2011), konsep adalah suatu batu pembangun berpikir
yang menjadi dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk memecahkan
sebuah masalah. Sementara itu, Sagala (Sagala, 2013) mengemukakan bahwa
konsep merupakan sebuah ide ataupun pikiran seseorang maupun sekelompok
orang pada suatu hal kejadian ataupun suatu peristiwa yang dinyatakan dalam
sebuah bentuk definisi yang akan melahirkan sebuah produk pengetahuan baru
yang meliputi atas dasar prinsip, hukum ataupun teori pada suatu hal. Berbeda
dengan sebelumnya, Zacks dan Tversky (2001) menyatakan bahwa konsep
adalah sebuah kategori-kategori ataupun rangkaian yang dapat dikelompokkan
atas suatu objek, kejadian, dan karakteristik berdasarkan properti umum yang
dimilikinya yang saling berkaitan satu sama lain dalam suatu sistem dinamik
yang disebut dengan sistem konseptual. Contohnya, konsep geometri bidang
datar yang terdiri atas konsep-konsep kesimetrian, sudut, dalil pada segitiga
dan dalil segmen garis yang digunakan dalam penelitian ini.
Jadi, dari pengertian-pengertian sebelumnya dapat dikatakan bahwa
konsep matematika adalah suatu pemahaman tentang suatu objek matematika
yang diperoleh dari suatu pengalaman hidup yang kemudian akan melahirkan
sebuah produk pengetahuan baru.
10
3. Perubahan Konsep
Banyak konsep yang sudah siswa peroleh semasa mereka kecil yang
kemudian berkembang dengan mengalami modifikasi atau perubahan
dikarenakan pengalaman-pengalaman hidup mereka sendiri. Konsep yang
mereka bawa melalui pengalaman hidup mereka dapat sesuai dengan konsep
ilmiah, tetapi juga dapat tidak sesuai dengan konsep ilmiah dan biasanya
konsep tersebut kurang lengkap atau kurang sempurna. Oleh karena itu, perlu
dilengkapi dan disempurnakan dalam proses pembelajaran formal di bawah
bimbingan guru.
Dalam proses pembelajaran yang benar, guru hendaknya dapat
mengembangkan perubahan konsep yang siswa miliki sebelumnya. Perubahan
yang pertama, yaitu dengan memperluas pemahaman konsep siswa dengan
melengkapi dan menyempurnakan konsep yang sudah ada dalam diri siswa.
Akan tetapi, dengan perluasan konsep dengan cara menambahkan konsep baru
dapat mengakibatkan bertambahnya miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Oleh
karenanya, guru harus jeli dalam mengamati dan memeriksa kembali apakah
dengan menambahkan konsep baru akan bertambah pula miskonsepsi yang
terjadi pada siswa. Perubahan yang kedua, yaitu dengan cara mengubah konsep
yang salah yang siswa dapatkan dari pengalaman hidup mereka agar menjadi
benar dan sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para pakar. Untuk proses
ini, guru bukan hanya menambahkan informasi dalam proses pembelajaran
saja, melainkan harus memikirkan strategi yang tepat untuk membetulkan
miskonsepsi yang siswa miliki (Suparno, 2013).
Menurut Posner, Strike, Hewson, dan Gertzogm (1982) dalam jurnanya
menjelaskan bahwa dalam pembelajaran terdapat dua proses yang analog
dengan dua fase perubahan konsep, diantaranya proses asimilasi dan
akomodasi. Pada proses asimilasi, peserta didik menggunakan konsep-konsep
yang dimiliki untuk dapat mempelajari fenomena baru dengan suatu perubahan
kecil yang berupa penyesuaian. Sebaliknya, pada proses akomodasi peserta
didik harus mengganti atau mengubah konsep-konsep pokok yang mereka
pahami selama ini karena tidak cocok lagi dengan persoalan baru. Dalam
kondisi ini, ada perubahan yang sangat drastis karena dalam proses ini siswa
sungguh-sungguh mengubah konsep yang selama ini mereka miliki dan
11
biasanya hal ini terjadi disebabkan karena konsep yang dimiliki siswa berbeda
dengan konsep ilmiah. Lebih lanjut lagi, Posner, Strike, Hewson dan Gertzog
(1982) menjelaskan bahwa agar terjadi proses akomodasi, dibutuhkan beberapa
keadaan dan syarat tertentu. Adapun keadaan dan syaratnya adalah sebagai
berikut.
a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Peserta didik
harus yakin bahwa konsep lama mereka sudah tidak dapat lagi digunakan
untuk mempelajari fenomena.
b. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan memecahkan
masalah atau fenomena baru.
c. Konsep yang baru harus masuk akal, artinya konsep tersebut dapat
memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan konsisten
dengan teori yang telah disusun.
d. Konsep yang baru harus berguna untuk program riset dan mempunyai
kemampuan untuk dikembangkan dan membuka penemuan-penemuan
baru.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prakonsepsi siswa yang kurang
lengkap haruslah dilengkapi dengan cara memberikan konsep baru untuk
menambahkan konsep siswa melalui proses pembelajaran di bawah bimbingan
guru. Di samping itu, guru juga harus memikirkan strategi yang tepat dalam
membetulkan ataupun menyempurnakan konsep yang dibawa siswa.
4. Pemahaman Konsep
Dalam proses pembelajaran, pemahaman adalah suatu hal yang sangat
penting. Pemahaman diartikan oleh Syah (2013) sebagai bagian struktur
kognitif kita yang berpusat pada otak yang berhubungan dengan keinginan
(konasi) dan perasaan (afeksi) yang berkaitan dengan ranah rasa. Di pihak lain,
Duffin dan Simpson (2000) mengartikan bahwa pemahaman sebagai
kemampuan siswa untuk:
a. menjelaskan kembali konsep yang telah dikomunikasikan kepada
mereka,
b. menggunakan konsep pada berbagai situasi yang berbeda dan
c. mengembangkan suatu konsep yang mereka miliki dalam menyelesaikan
setiap permasalahan dengan benar.
12
Berkaitan dengan hal itu, Kilpatrick dan Swafford (2002)
mengungkapkan bahwa pemahaman konsep sebagai kemampuan dalam
memahami sebuah konsep dalam suatu mata pelajaran. Dalam memahami
konsep, mereka mengemukakan lima indikator pemahaman konsep. Adapun
kelima indikator tersebut antara lain.
1) Menyatakan ulang secara verbal konsep yang telah dipelajari.
2) Mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya
persyaratan untuk membentuk konsep tersebut.
3) Menerapkan konsep.
4) Menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi.
5) Mengaitkan berbagai konsep.
Pemahaman konsep bukan hanya bertujuan untuk mengetahui bagaimana
pola pikir seseorang dan sejauh mana orang tersebut mendapatkan
pengetahuannya. Akan tetapi, dengan melihat kemampuan siswa dalam
memahami konsep, kita dapat mengetahui informasi tentang bagaimana pola
pikir siswa dibangun, terorganisir, disimpan, diambil dan dimanipulasi. Siswa
dikatakan paham konsep jika mereka dapat menangkap ataupun mengevaluasi
gambaran dari setiap individu (Mintzes, Wandersee, & Novak, 2005).
Siswa yang memahami konsep dengan baik, mereka akan lebih mudah
dalam memahami konsep lainnya yang berkaitan dengan konsep yang
diajarkan. Siswa yang telah memahami konsep juga dapat terukur dari hasil
belajar yang baik sedangkan siswa yang mengalami kesulitan dalam
memahami konsep mengindikasikan adanya kesulitan dalam proses belajar,
sehingga akan mempengaruhi tingkat pemahaman mereka (Baharuddin, 2009).
Selanjutnya, Marek (2016) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa ada beberapa
kriteria pengelompokan tingkatan pemahaman siswa terhadap suatu konsep
yang terbagi dalam tiga kriteria pemahaman dalam enam derajat pemahaman.
Adapun kriteria pemahaman tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
13
Tabel 2.1
Kriteria Pengelompokan Tingkat Pemahaman Siswa
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa siswa mengerti atau paham
konsep ketika mereka dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sesuai
dengan konsep yang dimiliki oleh para pakar yang terbagi kedalam beberapa
tingkatan berdasarkan pada tingkatan pemahaman konsep.
2.2. Miskonsepsi
1. Definisi Miskonsepsi
Dalam proses pembelajaran secara formal di sekolah, siswa diarahkan
gurunya untuk bisa memahami materi pelajaran dengan sebaik-baiknya. Akan
tetapi, faktanya selama proses pembelajaran tidak selalu siswa dapat menyerap
informasi yang diberikan guru secara utuh, terlebih lagi pada mata pelajaran
matematika yang memuat banyak konsep yang bersifat kompleks dan abstrak.
Oleh karena itu, adakalanya apa yang dipahami siswa berbeda dengan konsep
yang dianut oleh para ahli matematika pada umumnya yang disebut dengan
miskonsepsi atau salah konsep (Suparno, 2013).
Menurut Suparno (2013) dalam bukunya menjelaskan bahwa
miskonsepsi terbagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya dapat berupa
konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep,
gagasan intuitif atau pandangan yang naif. Sementara itu, Brown (1992)
No Kriteria Derajat
Pemahaman Kriteria
1 Tidak
Memahami
Tidak ada respon Tidak ada jawaban / kosong
Tidak memahami
Menjawab "saya tidak tahu"
Mengulang pertanyaan
2 Miskonsepsi
Miskonsepsi Menjawab dengan penjelasan
yang tidak logis
Memahami sebagian
dengan miskonsepsi
Jawaban menunjukan adanya
konsep yang dikuasai tetapi ada
pertanyaan dalam jawaban yang
menunjukan miskonsepsi
3 Memahami
Memahami sebagian
Jawaban menunjukan hanya
sebagian konsep dikuasai tanpa
adanya miskonsepsi
Memahami konsep
Jawaban menunjukan konsep
dipahami dengan semua
penjelasan benar
14
menjelaskan miskonsepsi adalah suatu pandangan yang naif dan
mendefinisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian
yang sekarang diterima.
Menurut Maulana (2010), miskonsepsi sebagai kesalahpahaman yang
mungkin terjadi selama atau sebagai hasil dari proses pembelajaran yang baru
saja diberikan yang berlawanan dengan konsepsi-konsepsi ilmiah yang
berkembang dalam waktu lama. Sementara itu, Cataloglu (2002) menjelaskan
miskonsepsi adalah pemahaman atas sebuah konsep yang berbeda dengan
konsep ilmiah baik secara sebagian ataupun keseluruhan dari penjelasan secara
ilmiah pada saat sekarang ini. Di lain pihak, Hammer (1996) menyebutkan
miskonsepsi adalah struktur kognitif yang dapat berubah mempengaruhi
pemahaman siswa terhadap konsep-konsep ilmiah dan harus segera diatasi
sehingga siswa dapat belajar konsep ilmiah secara efektif.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan sebelumnya,
dapat diartikan bahwa miskonsepsi adalah sebuah pengertian yang dimiliki
siswa yang tidak sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para pakar yang
harus segera diatasi, sehingga siswa dapat belajar konsep ilmiah dengan benar.
Siswa yang mengalami miskonsepsi akan terus menanamkan konsep yang
keliru kedalam struktur kognitifnya, sehingga diperlukannya suatu penulusuran
lebih lanjut lagi mengenai sumber dan penyebab miskonsepsi siswa.
2. Sumber dan Penyebab Miskonsepsi
Salah satu alasan siswa memiliki miskonsepsi adalah karena prakonsepsi
salah yang dimiliki siswa yang didapat dari pengalaman sehari-hari yang
kemudian dibawa oleh mereka ke sekolah sehingga hal tersebut mengakibatkan
siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran di dalam kelas yang
ditandai dengan rendahnya nilai yang mereka peroleh. Oleh karenanya, guru
harus tahu apa saja yang menjadi sumber dan penyebab dari terjadinya
miskonsepsi tersebut.
Suparno (2013) dalam bukunya menjelaskan bahwa secara garis besar
penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok yang dapat dilihat
pada Tabel 2.2.
15
Tabel 2.2
Penyebab Miskonsepsi
Sebab Utama Sebab Khusus
Siswa
Prakonsepsi
Pemikiran Asosiatif
Pemikiran Humanistik
Reasoning yang tidak lengkap/salah
Intuisi yang salah
Tahap perkembangan kognitif siswa
Kemampuan siswa
Minat belajar siswa
Guru/pengajar
Tidak menguasai bahan, tidak kompeten
Bukan lulusan dari bidangnya
Tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide
Relasi guru-siswa tidak baik
Buku Teks Penjelasan keliru
Salah tulis, terutama dalam rumus
Tingkat kesulitan penulis buku terlalu tinggi bagi siswa
Siswa tidak tahu membaca buku teks
Buku fiksi yang kadang-kadang konsepnya
menyimpang demi menarik pembaca
Kartun sering memuat miskonsepsi
Konteks Pengalaman siswa
Bahasa sehari-hari berbeda
Teman diskusi yang salah
Keyakinan dan agama
Penjelasan orang tua/orang lain yang keliru
Konteks hidup siswa (TV, radio, film yang keliru)
Perasaan senang/tidak senang; bebas atau tertekan
Metode
mengajar Hanya berisi ceramah dan menulis
Langsung kedalam bentuk matematika
Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa
Tidak mengoreksi PR yang salah
Model analogi
Model praktikum
Model diskusi
Model demonstrasi yang sempit
Non-multiple inteligences
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan awal siswa yang
salah bukan hanya satu-satunya penyebab dari adanya miskonsepsi yang terjadi
pada siswa. Akan tetapi, banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya
miskonsepsi.
16
3. Cara Mendeteksi Mikonsepsi
Ada banyak cara untuk membantu siswa dalam mengatasi miskonsepsi
yang terjadi pada mereka. Akan tetapi, sebelum mengatasi miskonsepsi kiranya
perlu diketahui terlebih dahulu miskonsepsi apa saja yang terjadi pada siswa
dan dari mana mereka mendapatkannya, baru dengan demikian kita dapat
memikirkan bagaimana cara untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam mengatasi miskonsepsi, perlu adanya sebuah alat yang efektik dan
tepat dalam menentukan atau menetapkan miskonsepsi apa saja yang terjadi
pada siswa. Menurut Suparno (2013), beberapa alat yang digunakan oleh para
pakar dan guru dalam mendeteksi miskonsepsi antara lain sebagai berikut.
a. Peta Konsep (Concept Maps)
Peta konsep dapat mengungkapkan hubungan berarti antara konsep satu
dengan konsep lainnya dan menekankan gagasan-gagasan pokok yang
disusun secara hirarki dengan jelas dalam mengungkap miskonsepsi
siswa yang digambarakan dalam peta konsep dan dengan melihat apakah
hubungan antara konsep-konsep itu benar atau salah.
b. Tes Multiple Choice dengan Reasoning terbuka
Penggunan tes pilihan berganda dengan pertanyaan terbuka dan siswa
harus menjawab atau menulis alasan mereka. Dengan demikian, satu
jawaban yang di pilihan salah maka dapat diartikan miskonsepsi yang
terjadi.
c. Tes Esai Tertulis
Dari tes ini, akan diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa. Setelah itu,
dapat dilakukan wawancara untuk mengetahui miskonsepsi tersebut.
d. Wawancara Diagnosis
Dengan melakukan wawancara diagnosis seorang guru akan mengetahui
miskonsepsi siswa sekaligus penyebabnya. Melalui wawancara juga kita
dapat secara sistematis bertanya dan memahami pola pikir siswa.
e. Diskusi dalam Kelas
Melalui diskusi dalam kelas, siswa akan mengungkapkan gagasan-
gagasannya tentang konsep yang telah diajarkan ataupun yang hendak
diajarkan. Dari diskusi juga dapat dideteksi apakah gagasan mereka itu
sesuai atau tidak.
17
f. Praktikum dengan Tanya Jawab
Melalui praktikum dengan tanya jawab, guru akan memberikan
pertanyaan tentang suatu konsep yang dimiliki siswa dan menjelaskan
praktikum tersebut dengan tanya jawab antara guru dan siswa. Dengan
demikian, tes ini dapat mendeteksi siswa memiliki konsepsi atau tidak.
Pada penelitian ini, digunakan tes multiple choice dengan reasoning
terbuka berupa three-tier test (tes pilihan ganda tiga tingkat) yang didapat dari
hasil wawancara dan tes pilihan ganda open ended untuk mengetahui sebab
permasalahan yang dialami siswa terutama mengenai konsep geometri bidang.
4. Cara Mengatasi Miskonsepsi
Banyak para ahli menjelaskan bahwa miskonsepsi adalah sebuah konsep
yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang dimiliki siswa. Miskonsepsi yang
terjadi pada siswa dapat terjadi karena sebab utama yang berasal dari siswa,
guru, buku teks, konteks dan cara mengajar. Siswa yang mengalami
miskonsepsi akan merasa kesulitan dalam proses pembelajaran. Oleh karena
itu, diperlukannya sebuah penanganan yang tepat dalam memecahkan
persoalan tersebut. Adapun penanganan yang tepat dalam kasus tersebut
menurut Suparno (2013) telah dirangkum dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3
Cara Mengatasi Miskonsepsi
Sebab
Utama
Sebab Khusus Kiat Mengatasi
Siswa
Prakonsepsi Dihadapkan pada kenyataan
Pemikiran asosiatif
Dihadapkan pada kenyataan dan
peristiwa anomali
Pemikiran humanistik Dihadapkan pada kenyataan dan
anomali
Reasoning tidak lengkap Dilengkapi; dihadapkan pada
kenyataan
Intuisi yang salah Dihadapkan pada kenyataan;
anomali, rasionalitas.
Perkembangan kognitif
siswa
Diajar sesuai level perkembangan;
mulai dengan yang konkret, baru
kemudian yang abstrak
Kemampuan siswa Dibantu pelan-pelan, proses
Minat belajar siswa Motivasi, kegunaan matematika,
variasi pembelajaran.
18
Sebab
Utama
Sebab Khusus Kiat Mengatasi
Guru/peng
ajar
Tidak menguasai bahan Belajar lagi, lulusan dalam
bidangnya
Tidak memberi waktu
siswa untuk
mengungkapkan gagasan
Memberi waktu siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara
lisan dan tertulis
Relasi guru-siswa jelek Relasi yang enak, akrab, humor
Buku Teks Penjelasan keliru Dikoreksi dan dibenarkan
Salah tulis Dikoreksi secara teliti
Level kesulitan tulisan Disesuaikan dengan level siswa
Siswa tidak tahu
menggunakan buku teks
Dilatih oleh guru cara
menggunakan teks
Buku fiksi keliru konsep Dibenarkan
Kartun salah konsep Dibenarkan
Konteks
Pengalaman siswa keliru Dihadapkan pada pengalaman baru
sesuai konsep matematika
Bahasa sehari-hari
berbeda
Dijelaskan perbedaannya dengan
contoh
Teman diskusi keliru Mengungkapkan hasil dan dikritisi
guru
Keyakinan Agama Dijelaskan perbedaannya
Cara
mengajar
Hanya ceramah dan
menulis
Variasi, dirangsang dengan
pertanyaan
Langsung kebentuk
matematika
Mulai dengan gejala nyata baru
rumus
Tidak mengungkapkan
miskonsepsi siswa
Guru memberi kesempatan siswa
mengungkapkan gagasan
PR tidak dikoreksi Dikoreksi cepat dan ditunjukkan
salahnya
Model analogi Ditunjukkan kemungkinan salah
konsep
Model pratikum Diungkapkan hasilnya dan
dikomentari
Model diskusi Diungkapkan hasilnya dan
dikomentari
Non-Multiple
Inteligences
Multiple Inteligences
Jadi, dapat kita katakan bahwa berdasarkan kiat-kiat diatas diharapkan
sangat penting bagi pendidik untuk tahu lebih lanjut lagi penyebab dari
miskonsepsi yang dialami siswa dan menemukan sendiri pemecahan masalah
yang lebih sesuai dengan berbagai persoalan dan situasi siswa.
19
2.3. Three-tier Test
1. Menganalisis Miskonsepsi dengan Tes Diagnosa Three-tier Test
Seorang guru yang baik, tentu akan merasa bahagia apabila dapat
membantu siswanya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang salah
satunya disebabkan oleh kesalahpahaman atau miskonsepsi sehingga dapat
mencapai kemajuan secara maksimal sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Dalam membantu siswanya, alangkah baiknya terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan diagnostik melalui sebuah tes diagnostik yang berfungsi untuk
menggali kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa.
Menurut Arikunto (2013) dalam bukunya menjelaskan bahwa tes
diagnostik adalah tes yang digunakan guru dalam mengetahui kesulitan-
kesulitan yang dialami siswa sehingga kesulitan-kesulitan tersebut akan segera
ditindak lanjuti melalui penanganan yang tepat. Dengan adanya tes diagnostik,
diharapkan dapat menentukan bagian-bagian pada suatu pelajaran yang
menjadi kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh kesalahpahaman atau
miskonsepsi pada siswa sehingga guru dapat menentukan pengajaran yang
perlu dilakukan dimasa mendatang (Suwarto, 2013).
Menurut Kirbulut (2014), berbagai jenis penilaian tes diagnostik yang
populer yang digunakan dalam pendidikan sains untuk menganalisis
miskonsepsi siswa antara lain: wawancara (Osborne, 1980), peta konsep (Kaya,
2008), dan multiple choice test (Amir, Frankl, & Tamir, 1987). Beberapa
peneliti telah berhasil mengembangkan instrumen diagnostik miskonsepsi yang
hasilnya dapat diketahui dengan cepat dan akurat, diantaranya certainty of
response index (Hasan, Bagayoko, & Kelley, 1999), pilihan ganda bertingkat
dua (two-tier) (Treagust, 1988), dan pilihan ganda bertingkat tiga (three-tier)
(Eryilmaz & Surmeli, 2002). Instrumen diagnostik three tier test, dapat
mengungkapkan kesalahpahaman atau miskonsepsi pada siswa lebih baik
dibanding dengan tes diagnostik one tier atau two tier (Arslan, Cigdemoglu, &
Moseley, 2012).
Dalam jurnalnya, Kaltakci dan Eryilmaz (2010) menjelaskan bahwa
Three-tier Test adalah tes diagnostik berbentuk pilihan ganda tiga tingkat. Pada
pembentukan tingkat pertama, dilakukan wawancara klinikal. Hasil wawancara
dijadikan acuan pembuatan pertanyaan tingkat pertama berbentuk pilihan
20
ganda berfungsi untuk menilai deskriptif siswa. Selanjutnya, pada pembuatan
pertanyaan tingkat kedua, diujikan tes dengan pertanyaan berbentuk pilihan
ganda open ended berdasarkan hasil pilihan ganda pada tingkat pertama.
Adapun yang dimaksud pilihan ganda open ended pada tingkat kedua ini,
terdiri dari lima opsi jawaban, empat opsi berupa pertanyaan tertulis dan satu
opsi lainnya dalam bentuk isian kosong. Penggunaan opsi dalam bentuk isian
kosong ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsepsi siswa yang tidak sesuai
dengan opsi-opsi yang dicantumkan dan untuk menghindari jawaban ragu-ragu
dari siswa agar siswa benar-benar mengungkapkan konsep yang dipahaminya.
Tingkat terakhir, tes masih berupa pilihan ganda. Namun demikian, pilihan
ganda pada tingkat ini sudah dilengkapi dengan tingkat keyakinan (confident
level) terhadap soal tingkat pertama dan tingkat kedua.
Di sisi lain, Pesman & Eryilmaz (2010) menjelaskan bahwa three-tier
test adalah tes perpaduan antara two-tier dan CRI yang meneliti tentang tingkat
keyakinan siswa dari jawaban yang telah diberikan sebelumnya. Tes ini dapat
membedakan antara siswa yang mengalami miskonsepsi dengan siswa yang
tidak tahu konsep (lack of knowlwdge) dan miskonsepsi pada kondisi false
positive dan false negative.
Miskonsepsi pada kondisi false positive adalah ketika siswa menjawab
benar pada tier pertama dan salah pada tier kedua atau dapat diartikan siswa
kurang paham (deficiency understanding) dengan suatu konsep, kurang
pahamnya siswa yang mengindikasikan terjadinya miskonsepsi pada kondisi
ini sangat sulit untuk dihilangkan bahkan tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Sebaliknya, miskonsepsi pada kondisi false negative adalah ketika siswa
menjawab salah pada tier pertama dan menjawab benar pada tier kedua atau
dapat diartikan bahwa dalam kondisi ini sedikitnya informasi (less informasi)
yang diperoleh siswa, miskonsepsi pada kondisi ini dianggap tidak bermasalah
karena hal itu disebabkan oleh kecerobohan siswa dalam memberikan jawaban
(Hestenes & Halloun, 1995).
Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi dan mengadaptasi teknik
menganalisis kombinasi jawaban untuk menganalisis miskonsepsi siswa yang
digunakan oleh Arslan, Cigdemoglu dan Moseley (2012). Mereka
21
menggunakan three-tier test dengan dua opsi tingkat keyakinan, yakni yakin
dan tidak yakin yang telah dirangkum sebelumnya dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Analisis Kombinasi Jawaban pada One-tier, Two-tier dan Three-Tier
First
tier
Second
tier
Third
tier Categories
Benar Benar Yakin Paham
Benar Salah Yakin Miskonsepsi (False Positive)
Salah Benar Yakin Miskonsepsi (False Negative)
Salah Salah Yakin Miskonsepsi
Benar Benar Tidak Yakin Menebak, Tidak ada keyakinan diri
Benar Salah Tidak Yakin Tidak Paham
Salah Benar Tidak Yakin Tidak Paham
Salah Salah Tidak Yakin Tidak Paham
Jadi, dapat dikatakan dengan menggunakan Three-tier Test kita dapat
membedakan antara siswa yang paham konsep, tidak paham konsep,
miskonsepsi dan menebak atau tidak yakin atas jawaban yang diberikan dalam
menjawab soal.
2. Pembuatan soal Three-tier Test
Banyak peneliti mengembangkan three-tier test sebagai alat untuk
mengungkapkan miskonsepsi yang terjadi pada siswa, diantaranya sebagai
berikut.
a. Berdasarkan penelitian Kaltakci dan Eryimaz (2010), tahapan
pengembangan three-tier test yang dikembangkannya diantaranya, yaitu:
1) melakukan wawancara, wawancara dilakukan dan disesuaikan
berdasarkan peserta yang akan diteliti. Pada tahapan ini,
miskonsepsi secara umum pada topik yang akan diteliti dapat
ditemukan karena dengan wawancara peserta diberikan waktu
untuk berpikir untuk menguraikan jawaban mereka dan alasannya
sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh mereka. Dengan
dilakukannya wawancara dapat memberikan kesempatan kepada
peneliti untuk mendapatkan informasi secara mendalam;
2) tes open-ended atau tes terbuka, digunakan untuk mengetahui
kemampuan peserta secara umum. Pada tahapan ini, jawaban yang
22
diberikan siswa digunakan dalam membuat pengecoh pada tahapan
kedua pada soal bentuk three-tier test dan
3) Instrumen three-tier test kemudian diukur validitas dan
reabilitasnya oleh peneliti, dan kemudian tes tersebut diberikan
kira-kira selama 30-35 menit pada hari yang berbeda.
b. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dindar dan Geban (2011),
tahapan pengembangan three-tier test yang dikembangkannya
diantaranya, yaitu:
1) melakukan wawancara terhadap 12 murid SMA yang terdiri dari
enam wanita dan enam laki-laki dengan memiliki tingkat
pemahaman tiinggi, sedang dan rendah;
2) menggunakan tes open ended berupa 10 pertanyaan berdasarkan
hasil wawancara yang sebelumnya telah dilakukan tentang konsep
asam dan basa. Sampel yang digunakan dalam penelitiannya
sebanyak 111 siswa SMA dan
3) Langkah terakhir, menggunakan hasil pertanyaan open ended
question untuk membuat instrumen Three-tier Test.
c. Berdasarkan penelitian Budiningsih, Muhardjito dan Asim (2013),
pengembangan instrumen ini merupakan penyederhanaan penelitian dan
pengembangan yang dikemukakan oleh Borg dan Gall. Tahapan
pengembangan three-tier test yang dikembangkannya diantaranya, yaitu:
1) melakukan studi pendahuluan, pada tahap ini studi pendahuluan
berisis tentang kegiatan studi kepustakaan dan survei lapangan;
2) pengembangan produk, pada tahap pengembangan produk meliputi
lima kegiatan yaitu: identifikasi tujuan tes dan ruang lingkup
materi, penyusunan kisi-kisi tes, penulisan butir soal, validasi oleh
ahli dan revisi pada tahap pertama dan
3) Uji coba produk, pada tahap ini terdiri dari tiga kegiatan pertama
diantaranya uji coba butir soal, analisis butir soal dan revisi pada
tahapan kedua.
d. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kutluay (2005), instrumen
Three-tier Test yang digunakan mengadopsi dari prosedur yang
dilakukan oleh Haslam dan Treagust. Adapun prosedur dalam
23
pengembangan three-tier test yang dikembangkan dalam penelitiannya
yaitu:
1) wawancara, sebelum melaksanakan wawancara kepada siswa,
peneliti terlebih dahulu menentukan konten dan meninjau berbagai
literatul tentang konsep yang sering dimiskonsepsikan oleh siswa.
Setelah itu, melakukan wawancara kepada siswa untuk menemukan
sebanyak-banyaknya informasi tentang miskonsepsi siswa terkait konten
yang akan diujikan;
2) Open ended question atau pertanyaan terbuka, dibuat berdasarkan
hasil dari wawancara yang sebelumnya telah dilakukan dan
3) Langkah terakhir, menggunakan hasil pertanyaan open ended
question untuk membuat instrumen three-tier test.
e. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pesman dan Eryilmaz
(2010), tahapan pembuatan instrumen three-tier test yang digunakan
dalam penelitian ini diantaranya, yaitu:
1) wawancara, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara
klinikal yang terdiri dari 15 pertanyaan;
2) Open ended, yaitu tes pilihan ganda beralasan dibuat berdasarkan
hasil wawancara yang sebelumnya telah dilakukan. Beberapa
pertanyaan yang diajukan pada pertanyaan tes ini diambil dari
beberapa pertanyaan yang diajukan dalam wawancara dan
3) Pembuatan instrumen three-tier test dengan menggunakan hasil
dari wawancara dan pertanyaan terbuka.
3. Kelebihan Tes Diagnostik Three-tier Test
Kelebihan penggunaan instrumen tes diagnostik three-tier test dalam
mengungkap miskonsepsi siswa, diantaranya sebagai berikut.
a. Dengan menggunakan instrumen diagnostik three-tier test pada awal
(pretest) atau pada saat akhir (post test) dari materi tertentu, guru dapat
memahami dengan lebih baik tentang pemahaman siswa dan setiap
konsepsi atau miskonsepsi yang terjadi pada materi tertentu yang sedang
dipelajari, sehingga guru dapat merencanakan langkah-langkah yang
tepat untuk mengurangi timbulnya miskonsepsi pada siswa. Miskonsepsi
24
yang terungkap menunjukkan bahwa three-tier test dapat berfungsi
sebagai alat diagnostik yang efektif (Treagust, 1988).
b. Menurut Dindar dan Geban (2011), soal dalam bentuk three-tier test
sangat efektif dalam menilai pemahaman siswa dibandingkan dengan tes
pilihan ganda konvensional, hal itu karena three-tier test dapat
membedakan konsepsi alternatif dari kurangnya pengetahuan siswa
melalui analisis tingkatan. Tes ini juga lebih mudah dan cepat dalam
menilai pemahaman siswa jika dibandingkan dengan two tier.
c. Menurut Pesman dan Eryilmaz (2010), three-tier test merupakan
kombinasi antara two tier dan CRI. Dengan menggunakan three-tier test,
peneliti dapat membedakan antara siswa yang mengalami miskonsepsi
pada kondisi false positive dan false negative. Selain itu, dengan adanya
penambahan tier ketiga dapat membedakan antara siswa yang mengalami
miskonsepsi dan tidak paham konsep (lack of knowledge).
d. Dapat dilaksanakan serempak untuk sekelompok siswa sehingga dapat
menghemat waktu.
4. Kekurangan Tes Diagnostik Three-Tier Test
Selain memiliki berbagai kelebihan, penggunaan instrumen ini juga
memiliki beberapa kekurangan, diantaranya sebagai berikut.
a. Masih terdapat kemungkinan siswa menebak jawaban, baik pada
pertanyaan tingkat pertama, kedua dan ketiga.
b. Konsepsi siswa tidak secara keseluruhan dapat terungkap karena terdapat
kemungkinan siswa malas menuliskan alasan mereka sendiri, apabila
alasan yang telah disediakan tidak sesuai dengan pendapat mereka
(Septiana, 2014).
c. Waktu pengerjaan lebih lama dibandingkan dengan tes pilihan ganda
biasa karena setiap soalnya memiliki tiga tingkatan soal.
2.4. Tinjauan Konsep Materi Geometri Bidang
1. KI, KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Geometri adalah cabang dari ilmu matematika yang menempati posisi
khusus dalam kurikulum matematika sekolah karena banyaknya konsep yang
termuat didalamnya dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Materi
geometri adalah materi peminatan yang diajarkan dikelas X tingkat Sekolah
25
Menengah Atas semester genap kurikulum 2013 di SMAN I Babakan. Adapun
KI, KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi untuk konsep Geometri Bidang
adalah sebagai berikut.
Tabel 2.5
KI, KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi konsep Geometri Bidang
Kompetensi
Inti
1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnya.
2
Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,