Top Banner
8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep Matematika, Perubahan Konsep dan Pemahaman Konsep 1. Prakonsepsi Banyak para ahli mengungkapkan bahwa siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri terhadap fenomena yang terjadi di sekitar mereka sebelum mereka memulai suatu proses pelajaran formal di bawah bimbingan guru di dalam kelas yang disebut dengan pengetahuan awal atau prakonsepsi (Kutluay, 2005). Menurut Suparno (2013), pengetahuan awal yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari terkadang tidak sesuai dengan kenyataan secara ilmiah yang disebut sebagai miskonsepsi atau kesalahan konsep. Kesalahan konsep awal yang terjadi pada siswa, jelas akan menyebabkan miskonsepsi pada saat mengikuti pelajaran formal di dalam kelas sampai kesalahan itu dapat diperbaiki oleh guru. Prakonsepsi yang terjadi pada siswa juga biasanya diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman dilingkungan siswa sendiri. Siswa yang memiliki prakonsepsi menunjukkan bahwa pikiran anak sejak lahir tidak diam. Akan tetapi, terus aktif untuk memahami berbagai hal. Prakonsepsi merupakan suatu dasar utama yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran. Untuk itu, dengan memperhatikan pengetahuan yang telah mereka peroleh sebelumnya, kita akan jauh lebih mudah dalam mengetahui sejauh mana pemahaman konsep yang dimiliki siswa dan mengubah gagasan yang mungkin salah berdasarkan pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari (Sagala, 2013). Prakonsepsi yang dimiliki siswa yang didapat dari pengalaman hidup mereka dalam kehidupan sehari-hari banyak mengandung objek pengamatan matematika yang disebut dengan konsep matematika.
25

8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

Jan 28, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

8

BAB II

KAJIAN TEORITIK

2.1. Prakonsepi, Konsep Matematika, Perubahan Konsep dan Pemahaman Konsep

1. Prakonsepsi

Banyak para ahli mengungkapkan bahwa siswa membentuk pengetahuan

mereka sendiri terhadap fenomena yang terjadi di sekitar mereka sebelum

mereka memulai suatu proses pelajaran formal di bawah bimbingan guru di

dalam kelas yang disebut dengan pengetahuan awal atau prakonsepsi (Kutluay,

2005).

Menurut Suparno (2013), pengetahuan awal yang mereka peroleh dalam

kehidupan sehari-hari terkadang tidak sesuai dengan kenyataan secara ilmiah

yang disebut sebagai miskonsepsi atau kesalahan konsep. Kesalahan konsep

awal yang terjadi pada siswa, jelas akan menyebabkan miskonsepsi pada saat

mengikuti pelajaran formal di dalam kelas sampai kesalahan itu dapat

diperbaiki oleh guru. Prakonsepsi yang terjadi pada siswa juga biasanya

diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman dilingkungan

siswa sendiri. Siswa yang memiliki prakonsepsi menunjukkan bahwa pikiran

anak sejak lahir tidak diam. Akan tetapi, terus aktif untuk memahami berbagai

hal.

Prakonsepsi merupakan suatu dasar utama yang dijadikan sebagai tolak

ukur dalam mengukur kemampuan siswa dalam pembelajaran. Untuk itu,

dengan memperhatikan pengetahuan yang telah mereka peroleh sebelumnya,

kita akan jauh lebih mudah dalam mengetahui sejauh mana pemahaman konsep

yang dimiliki siswa dan mengubah gagasan yang mungkin salah berdasarkan

pengalaman yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari (Sagala, 2013).

Prakonsepsi yang dimiliki siswa yang didapat dari pengalaman hidup mereka

dalam kehidupan sehari-hari banyak mengandung objek pengamatan

matematika yang disebut dengan konsep matematika.

Page 2: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

9

2. Konsep Matematika

Konsep merupakan suatu hal yang sangat penting dan menjadi dasar

dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Tanpa konsep, siswa akan

mengalami kesulitan dalam memecahkan berbagai masalah. Adapun kesulitan-

kesulitan tersebut biasanya karena peserta didik tidak mengerti ataupun tidak

paham dalam mengkaitkan konsep satu dengan konsep lainnya yang saling

berkaitan. Dalam konteks ini, guru dapat mengikuti tiga aturan yang

dikemukakan oleh Tennyson, Woolley dan Merrill (1972), ketiga aturan

tersebut antara lain: ketika dalam proses pembelajaran guru memberikan

contoh dari yang mudah hingga sulit; contoh yang diberikan haruslah berbeda

dengan yang lainnya dan dapat membandingkan serta membedakan masing-

masing dari contoh. Dengan mengikuti ketiga aturan tersebut, diharapkan

peserta didik dapat memperoleh konsep yang sesuai dengan konsep ilmiah.

Menurut Dahar (2011), konsep adalah suatu batu pembangun berpikir

yang menjadi dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk memecahkan

sebuah masalah. Sementara itu, Sagala (Sagala, 2013) mengemukakan bahwa

konsep merupakan sebuah ide ataupun pikiran seseorang maupun sekelompok

orang pada suatu hal kejadian ataupun suatu peristiwa yang dinyatakan dalam

sebuah bentuk definisi yang akan melahirkan sebuah produk pengetahuan baru

yang meliputi atas dasar prinsip, hukum ataupun teori pada suatu hal. Berbeda

dengan sebelumnya, Zacks dan Tversky (2001) menyatakan bahwa konsep

adalah sebuah kategori-kategori ataupun rangkaian yang dapat dikelompokkan

atas suatu objek, kejadian, dan karakteristik berdasarkan properti umum yang

dimilikinya yang saling berkaitan satu sama lain dalam suatu sistem dinamik

yang disebut dengan sistem konseptual. Contohnya, konsep geometri bidang

datar yang terdiri atas konsep-konsep kesimetrian, sudut, dalil pada segitiga

dan dalil segmen garis yang digunakan dalam penelitian ini.

Jadi, dari pengertian-pengertian sebelumnya dapat dikatakan bahwa

konsep matematika adalah suatu pemahaman tentang suatu objek matematika

yang diperoleh dari suatu pengalaman hidup yang kemudian akan melahirkan

sebuah produk pengetahuan baru.

Page 3: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

10

3. Perubahan Konsep

Banyak konsep yang sudah siswa peroleh semasa mereka kecil yang

kemudian berkembang dengan mengalami modifikasi atau perubahan

dikarenakan pengalaman-pengalaman hidup mereka sendiri. Konsep yang

mereka bawa melalui pengalaman hidup mereka dapat sesuai dengan konsep

ilmiah, tetapi juga dapat tidak sesuai dengan konsep ilmiah dan biasanya

konsep tersebut kurang lengkap atau kurang sempurna. Oleh karena itu, perlu

dilengkapi dan disempurnakan dalam proses pembelajaran formal di bawah

bimbingan guru.

Dalam proses pembelajaran yang benar, guru hendaknya dapat

mengembangkan perubahan konsep yang siswa miliki sebelumnya. Perubahan

yang pertama, yaitu dengan memperluas pemahaman konsep siswa dengan

melengkapi dan menyempurnakan konsep yang sudah ada dalam diri siswa.

Akan tetapi, dengan perluasan konsep dengan cara menambahkan konsep baru

dapat mengakibatkan bertambahnya miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Oleh

karenanya, guru harus jeli dalam mengamati dan memeriksa kembali apakah

dengan menambahkan konsep baru akan bertambah pula miskonsepsi yang

terjadi pada siswa. Perubahan yang kedua, yaitu dengan cara mengubah konsep

yang salah yang siswa dapatkan dari pengalaman hidup mereka agar menjadi

benar dan sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para pakar. Untuk proses

ini, guru bukan hanya menambahkan informasi dalam proses pembelajaran

saja, melainkan harus memikirkan strategi yang tepat untuk membetulkan

miskonsepsi yang siswa miliki (Suparno, 2013).

Menurut Posner, Strike, Hewson, dan Gertzogm (1982) dalam jurnanya

menjelaskan bahwa dalam pembelajaran terdapat dua proses yang analog

dengan dua fase perubahan konsep, diantaranya proses asimilasi dan

akomodasi. Pada proses asimilasi, peserta didik menggunakan konsep-konsep

yang dimiliki untuk dapat mempelajari fenomena baru dengan suatu perubahan

kecil yang berupa penyesuaian. Sebaliknya, pada proses akomodasi peserta

didik harus mengganti atau mengubah konsep-konsep pokok yang mereka

pahami selama ini karena tidak cocok lagi dengan persoalan baru. Dalam

kondisi ini, ada perubahan yang sangat drastis karena dalam proses ini siswa

sungguh-sungguh mengubah konsep yang selama ini mereka miliki dan

Page 4: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

11

biasanya hal ini terjadi disebabkan karena konsep yang dimiliki siswa berbeda

dengan konsep ilmiah. Lebih lanjut lagi, Posner, Strike, Hewson dan Gertzog

(1982) menjelaskan bahwa agar terjadi proses akomodasi, dibutuhkan beberapa

keadaan dan syarat tertentu. Adapun keadaan dan syaratnya adalah sebagai

berikut.

a. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Peserta didik

harus yakin bahwa konsep lama mereka sudah tidak dapat lagi digunakan

untuk mempelajari fenomena.

b. Konsep yang baru harus dapat dimengerti, rasional, dan memecahkan

masalah atau fenomena baru.

c. Konsep yang baru harus masuk akal, artinya konsep tersebut dapat

memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan konsisten

dengan teori yang telah disusun.

d. Konsep yang baru harus berguna untuk program riset dan mempunyai

kemampuan untuk dikembangkan dan membuka penemuan-penemuan

baru.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prakonsepsi siswa yang kurang

lengkap haruslah dilengkapi dengan cara memberikan konsep baru untuk

menambahkan konsep siswa melalui proses pembelajaran di bawah bimbingan

guru. Di samping itu, guru juga harus memikirkan strategi yang tepat dalam

membetulkan ataupun menyempurnakan konsep yang dibawa siswa.

4. Pemahaman Konsep

Dalam proses pembelajaran, pemahaman adalah suatu hal yang sangat

penting. Pemahaman diartikan oleh Syah (2013) sebagai bagian struktur

kognitif kita yang berpusat pada otak yang berhubungan dengan keinginan

(konasi) dan perasaan (afeksi) yang berkaitan dengan ranah rasa. Di pihak lain,

Duffin dan Simpson (2000) mengartikan bahwa pemahaman sebagai

kemampuan siswa untuk:

a. menjelaskan kembali konsep yang telah dikomunikasikan kepada

mereka,

b. menggunakan konsep pada berbagai situasi yang berbeda dan

c. mengembangkan suatu konsep yang mereka miliki dalam menyelesaikan

setiap permasalahan dengan benar.

Page 5: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

12

Berkaitan dengan hal itu, Kilpatrick dan Swafford (2002)

mengungkapkan bahwa pemahaman konsep sebagai kemampuan dalam

memahami sebuah konsep dalam suatu mata pelajaran. Dalam memahami

konsep, mereka mengemukakan lima indikator pemahaman konsep. Adapun

kelima indikator tersebut antara lain.

1) Menyatakan ulang secara verbal konsep yang telah dipelajari.

2) Mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya

persyaratan untuk membentuk konsep tersebut.

3) Menerapkan konsep.

4) Menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi.

5) Mengaitkan berbagai konsep.

Pemahaman konsep bukan hanya bertujuan untuk mengetahui bagaimana

pola pikir seseorang dan sejauh mana orang tersebut mendapatkan

pengetahuannya. Akan tetapi, dengan melihat kemampuan siswa dalam

memahami konsep, kita dapat mengetahui informasi tentang bagaimana pola

pikir siswa dibangun, terorganisir, disimpan, diambil dan dimanipulasi. Siswa

dikatakan paham konsep jika mereka dapat menangkap ataupun mengevaluasi

gambaran dari setiap individu (Mintzes, Wandersee, & Novak, 2005).

Siswa yang memahami konsep dengan baik, mereka akan lebih mudah

dalam memahami konsep lainnya yang berkaitan dengan konsep yang

diajarkan. Siswa yang telah memahami konsep juga dapat terukur dari hasil

belajar yang baik sedangkan siswa yang mengalami kesulitan dalam

memahami konsep mengindikasikan adanya kesulitan dalam proses belajar,

sehingga akan mempengaruhi tingkat pemahaman mereka (Baharuddin, 2009).

Selanjutnya, Marek (2016) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa ada beberapa

kriteria pengelompokan tingkatan pemahaman siswa terhadap suatu konsep

yang terbagi dalam tiga kriteria pemahaman dalam enam derajat pemahaman.

Adapun kriteria pemahaman tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Page 6: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

13

Tabel 2.1

Kriteria Pengelompokan Tingkat Pemahaman Siswa

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa siswa mengerti atau paham

konsep ketika mereka dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sesuai

dengan konsep yang dimiliki oleh para pakar yang terbagi kedalam beberapa

tingkatan berdasarkan pada tingkatan pemahaman konsep.

2.2. Miskonsepsi

1. Definisi Miskonsepsi

Dalam proses pembelajaran secara formal di sekolah, siswa diarahkan

gurunya untuk bisa memahami materi pelajaran dengan sebaik-baiknya. Akan

tetapi, faktanya selama proses pembelajaran tidak selalu siswa dapat menyerap

informasi yang diberikan guru secara utuh, terlebih lagi pada mata pelajaran

matematika yang memuat banyak konsep yang bersifat kompleks dan abstrak.

Oleh karena itu, adakalanya apa yang dipahami siswa berbeda dengan konsep

yang dianut oleh para ahli matematika pada umumnya yang disebut dengan

miskonsepsi atau salah konsep (Suparno, 2013).

Menurut Suparno (2013) dalam bukunya menjelaskan bahwa

miskonsepsi terbagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya dapat berupa

konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep,

gagasan intuitif atau pandangan yang naif. Sementara itu, Brown (1992)

No Kriteria Derajat

Pemahaman Kriteria

1 Tidak

Memahami

Tidak ada respon Tidak ada jawaban / kosong

Tidak memahami

Menjawab "saya tidak tahu"

Mengulang pertanyaan

2 Miskonsepsi

Miskonsepsi Menjawab dengan penjelasan

yang tidak logis

Memahami sebagian

dengan miskonsepsi

Jawaban menunjukan adanya

konsep yang dikuasai tetapi ada

pertanyaan dalam jawaban yang

menunjukan miskonsepsi

3 Memahami

Memahami sebagian

Jawaban menunjukan hanya

sebagian konsep dikuasai tanpa

adanya miskonsepsi

Memahami konsep

Jawaban menunjukan konsep

dipahami dengan semua

penjelasan benar

Page 7: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

14

menjelaskan miskonsepsi adalah suatu pandangan yang naif dan

mendefinisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian

yang sekarang diterima.

Menurut Maulana (2010), miskonsepsi sebagai kesalahpahaman yang

mungkin terjadi selama atau sebagai hasil dari proses pembelajaran yang baru

saja diberikan yang berlawanan dengan konsepsi-konsepsi ilmiah yang

berkembang dalam waktu lama. Sementara itu, Cataloglu (2002) menjelaskan

miskonsepsi adalah pemahaman atas sebuah konsep yang berbeda dengan

konsep ilmiah baik secara sebagian ataupun keseluruhan dari penjelasan secara

ilmiah pada saat sekarang ini. Di lain pihak, Hammer (1996) menyebutkan

miskonsepsi adalah struktur kognitif yang dapat berubah mempengaruhi

pemahaman siswa terhadap konsep-konsep ilmiah dan harus segera diatasi

sehingga siswa dapat belajar konsep ilmiah secara efektif.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan sebelumnya,

dapat diartikan bahwa miskonsepsi adalah sebuah pengertian yang dimiliki

siswa yang tidak sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para pakar yang

harus segera diatasi, sehingga siswa dapat belajar konsep ilmiah dengan benar.

Siswa yang mengalami miskonsepsi akan terus menanamkan konsep yang

keliru kedalam struktur kognitifnya, sehingga diperlukannya suatu penulusuran

lebih lanjut lagi mengenai sumber dan penyebab miskonsepsi siswa.

2. Sumber dan Penyebab Miskonsepsi

Salah satu alasan siswa memiliki miskonsepsi adalah karena prakonsepsi

salah yang dimiliki siswa yang didapat dari pengalaman sehari-hari yang

kemudian dibawa oleh mereka ke sekolah sehingga hal tersebut mengakibatkan

siswa mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran di dalam kelas yang

ditandai dengan rendahnya nilai yang mereka peroleh. Oleh karenanya, guru

harus tahu apa saja yang menjadi sumber dan penyebab dari terjadinya

miskonsepsi tersebut.

Suparno (2013) dalam bukunya menjelaskan bahwa secara garis besar

penyebab miskonsepsi dapat diringkas dalam lima kelompok yang dapat dilihat

pada Tabel 2.2.

Page 8: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

15

Tabel 2.2

Penyebab Miskonsepsi

Sebab Utama Sebab Khusus

Siswa

Prakonsepsi

Pemikiran Asosiatif

Pemikiran Humanistik

Reasoning yang tidak lengkap/salah

Intuisi yang salah

Tahap perkembangan kognitif siswa

Kemampuan siswa

Minat belajar siswa

Guru/pengajar

Tidak menguasai bahan, tidak kompeten

Bukan lulusan dari bidangnya

Tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide

Relasi guru-siswa tidak baik

Buku Teks Penjelasan keliru

Salah tulis, terutama dalam rumus

Tingkat kesulitan penulis buku terlalu tinggi bagi siswa

Siswa tidak tahu membaca buku teks

Buku fiksi yang kadang-kadang konsepnya

menyimpang demi menarik pembaca

Kartun sering memuat miskonsepsi

Konteks Pengalaman siswa

Bahasa sehari-hari berbeda

Teman diskusi yang salah

Keyakinan dan agama

Penjelasan orang tua/orang lain yang keliru

Konteks hidup siswa (TV, radio, film yang keliru)

Perasaan senang/tidak senang; bebas atau tertekan

Metode

mengajar Hanya berisi ceramah dan menulis

Langsung kedalam bentuk matematika

Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa

Tidak mengoreksi PR yang salah

Model analogi

Model praktikum

Model diskusi

Model demonstrasi yang sempit

Non-multiple inteligences

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan awal siswa yang

salah bukan hanya satu-satunya penyebab dari adanya miskonsepsi yang terjadi

pada siswa. Akan tetapi, banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya

miskonsepsi.

Page 9: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

16

3. Cara Mendeteksi Mikonsepsi

Ada banyak cara untuk membantu siswa dalam mengatasi miskonsepsi

yang terjadi pada mereka. Akan tetapi, sebelum mengatasi miskonsepsi kiranya

perlu diketahui terlebih dahulu miskonsepsi apa saja yang terjadi pada siswa

dan dari mana mereka mendapatkannya, baru dengan demikian kita dapat

memikirkan bagaimana cara untuk mengatasi hal tersebut.

Dalam mengatasi miskonsepsi, perlu adanya sebuah alat yang efektik dan

tepat dalam menentukan atau menetapkan miskonsepsi apa saja yang terjadi

pada siswa. Menurut Suparno (2013), beberapa alat yang digunakan oleh para

pakar dan guru dalam mendeteksi miskonsepsi antara lain sebagai berikut.

a. Peta Konsep (Concept Maps)

Peta konsep dapat mengungkapkan hubungan berarti antara konsep satu

dengan konsep lainnya dan menekankan gagasan-gagasan pokok yang

disusun secara hirarki dengan jelas dalam mengungkap miskonsepsi

siswa yang digambarakan dalam peta konsep dan dengan melihat apakah

hubungan antara konsep-konsep itu benar atau salah.

b. Tes Multiple Choice dengan Reasoning terbuka

Penggunan tes pilihan berganda dengan pertanyaan terbuka dan siswa

harus menjawab atau menulis alasan mereka. Dengan demikian, satu

jawaban yang di pilihan salah maka dapat diartikan miskonsepsi yang

terjadi.

c. Tes Esai Tertulis

Dari tes ini, akan diketahui miskonsepsi yang dibawa siswa. Setelah itu,

dapat dilakukan wawancara untuk mengetahui miskonsepsi tersebut.

d. Wawancara Diagnosis

Dengan melakukan wawancara diagnosis seorang guru akan mengetahui

miskonsepsi siswa sekaligus penyebabnya. Melalui wawancara juga kita

dapat secara sistematis bertanya dan memahami pola pikir siswa.

e. Diskusi dalam Kelas

Melalui diskusi dalam kelas, siswa akan mengungkapkan gagasan-

gagasannya tentang konsep yang telah diajarkan ataupun yang hendak

diajarkan. Dari diskusi juga dapat dideteksi apakah gagasan mereka itu

sesuai atau tidak.

Page 10: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

17

f. Praktikum dengan Tanya Jawab

Melalui praktikum dengan tanya jawab, guru akan memberikan

pertanyaan tentang suatu konsep yang dimiliki siswa dan menjelaskan

praktikum tersebut dengan tanya jawab antara guru dan siswa. Dengan

demikian, tes ini dapat mendeteksi siswa memiliki konsepsi atau tidak.

Pada penelitian ini, digunakan tes multiple choice dengan reasoning

terbuka berupa three-tier test (tes pilihan ganda tiga tingkat) yang didapat dari

hasil wawancara dan tes pilihan ganda open ended untuk mengetahui sebab

permasalahan yang dialami siswa terutama mengenai konsep geometri bidang.

4. Cara Mengatasi Miskonsepsi

Banyak para ahli menjelaskan bahwa miskonsepsi adalah sebuah konsep

yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah yang dimiliki siswa. Miskonsepsi yang

terjadi pada siswa dapat terjadi karena sebab utama yang berasal dari siswa,

guru, buku teks, konteks dan cara mengajar. Siswa yang mengalami

miskonsepsi akan merasa kesulitan dalam proses pembelajaran. Oleh karena

itu, diperlukannya sebuah penanganan yang tepat dalam memecahkan

persoalan tersebut. Adapun penanganan yang tepat dalam kasus tersebut

menurut Suparno (2013) telah dirangkum dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3

Cara Mengatasi Miskonsepsi

Sebab

Utama

Sebab Khusus Kiat Mengatasi

Siswa

Prakonsepsi Dihadapkan pada kenyataan

Pemikiran asosiatif

Dihadapkan pada kenyataan dan

peristiwa anomali

Pemikiran humanistik Dihadapkan pada kenyataan dan

anomali

Reasoning tidak lengkap Dilengkapi; dihadapkan pada

kenyataan

Intuisi yang salah Dihadapkan pada kenyataan;

anomali, rasionalitas.

Perkembangan kognitif

siswa

Diajar sesuai level perkembangan;

mulai dengan yang konkret, baru

kemudian yang abstrak

Kemampuan siswa Dibantu pelan-pelan, proses

Minat belajar siswa Motivasi, kegunaan matematika,

variasi pembelajaran.

Page 11: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

18

Sebab

Utama

Sebab Khusus Kiat Mengatasi

Guru/peng

ajar

Tidak menguasai bahan Belajar lagi, lulusan dalam

bidangnya

Tidak memberi waktu

siswa untuk

mengungkapkan gagasan

Memberi waktu siswa untuk

mengungkapkan gagasan secara

lisan dan tertulis

Relasi guru-siswa jelek Relasi yang enak, akrab, humor

Buku Teks Penjelasan keliru Dikoreksi dan dibenarkan

Salah tulis Dikoreksi secara teliti

Level kesulitan tulisan Disesuaikan dengan level siswa

Siswa tidak tahu

menggunakan buku teks

Dilatih oleh guru cara

menggunakan teks

Buku fiksi keliru konsep Dibenarkan

Kartun salah konsep Dibenarkan

Konteks

Pengalaman siswa keliru Dihadapkan pada pengalaman baru

sesuai konsep matematika

Bahasa sehari-hari

berbeda

Dijelaskan perbedaannya dengan

contoh

Teman diskusi keliru Mengungkapkan hasil dan dikritisi

guru

Keyakinan Agama Dijelaskan perbedaannya

Cara

mengajar

Hanya ceramah dan

menulis

Variasi, dirangsang dengan

pertanyaan

Langsung kebentuk

matematika

Mulai dengan gejala nyata baru

rumus

Tidak mengungkapkan

miskonsepsi siswa

Guru memberi kesempatan siswa

mengungkapkan gagasan

PR tidak dikoreksi Dikoreksi cepat dan ditunjukkan

salahnya

Model analogi Ditunjukkan kemungkinan salah

konsep

Model pratikum Diungkapkan hasilnya dan

dikomentari

Model diskusi Diungkapkan hasilnya dan

dikomentari

Non-Multiple

Inteligences

Multiple Inteligences

Jadi, dapat kita katakan bahwa berdasarkan kiat-kiat diatas diharapkan

sangat penting bagi pendidik untuk tahu lebih lanjut lagi penyebab dari

miskonsepsi yang dialami siswa dan menemukan sendiri pemecahan masalah

yang lebih sesuai dengan berbagai persoalan dan situasi siswa.

Page 12: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

19

2.3. Three-tier Test

1. Menganalisis Miskonsepsi dengan Tes Diagnosa Three-tier Test

Seorang guru yang baik, tentu akan merasa bahagia apabila dapat

membantu siswanya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang salah

satunya disebabkan oleh kesalahpahaman atau miskonsepsi sehingga dapat

mencapai kemajuan secara maksimal sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Dalam membantu siswanya, alangkah baiknya terlebih dahulu melakukan

pemeriksaan diagnostik melalui sebuah tes diagnostik yang berfungsi untuk

menggali kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa.

Menurut Arikunto (2013) dalam bukunya menjelaskan bahwa tes

diagnostik adalah tes yang digunakan guru dalam mengetahui kesulitan-

kesulitan yang dialami siswa sehingga kesulitan-kesulitan tersebut akan segera

ditindak lanjuti melalui penanganan yang tepat. Dengan adanya tes diagnostik,

diharapkan dapat menentukan bagian-bagian pada suatu pelajaran yang

menjadi kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh kesalahpahaman atau

miskonsepsi pada siswa sehingga guru dapat menentukan pengajaran yang

perlu dilakukan dimasa mendatang (Suwarto, 2013).

Menurut Kirbulut (2014), berbagai jenis penilaian tes diagnostik yang

populer yang digunakan dalam pendidikan sains untuk menganalisis

miskonsepsi siswa antara lain: wawancara (Osborne, 1980), peta konsep (Kaya,

2008), dan multiple choice test (Amir, Frankl, & Tamir, 1987). Beberapa

peneliti telah berhasil mengembangkan instrumen diagnostik miskonsepsi yang

hasilnya dapat diketahui dengan cepat dan akurat, diantaranya certainty of

response index (Hasan, Bagayoko, & Kelley, 1999), pilihan ganda bertingkat

dua (two-tier) (Treagust, 1988), dan pilihan ganda bertingkat tiga (three-tier)

(Eryilmaz & Surmeli, 2002). Instrumen diagnostik three tier test, dapat

mengungkapkan kesalahpahaman atau miskonsepsi pada siswa lebih baik

dibanding dengan tes diagnostik one tier atau two tier (Arslan, Cigdemoglu, &

Moseley, 2012).

Dalam jurnalnya, Kaltakci dan Eryilmaz (2010) menjelaskan bahwa

Three-tier Test adalah tes diagnostik berbentuk pilihan ganda tiga tingkat. Pada

pembentukan tingkat pertama, dilakukan wawancara klinikal. Hasil wawancara

dijadikan acuan pembuatan pertanyaan tingkat pertama berbentuk pilihan

Page 13: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

20

ganda berfungsi untuk menilai deskriptif siswa. Selanjutnya, pada pembuatan

pertanyaan tingkat kedua, diujikan tes dengan pertanyaan berbentuk pilihan

ganda open ended berdasarkan hasil pilihan ganda pada tingkat pertama.

Adapun yang dimaksud pilihan ganda open ended pada tingkat kedua ini,

terdiri dari lima opsi jawaban, empat opsi berupa pertanyaan tertulis dan satu

opsi lainnya dalam bentuk isian kosong. Penggunaan opsi dalam bentuk isian

kosong ini bertujuan untuk mengidentifikasi konsepsi siswa yang tidak sesuai

dengan opsi-opsi yang dicantumkan dan untuk menghindari jawaban ragu-ragu

dari siswa agar siswa benar-benar mengungkapkan konsep yang dipahaminya.

Tingkat terakhir, tes masih berupa pilihan ganda. Namun demikian, pilihan

ganda pada tingkat ini sudah dilengkapi dengan tingkat keyakinan (confident

level) terhadap soal tingkat pertama dan tingkat kedua.

Di sisi lain, Pesman & Eryilmaz (2010) menjelaskan bahwa three-tier

test adalah tes perpaduan antara two-tier dan CRI yang meneliti tentang tingkat

keyakinan siswa dari jawaban yang telah diberikan sebelumnya. Tes ini dapat

membedakan antara siswa yang mengalami miskonsepsi dengan siswa yang

tidak tahu konsep (lack of knowlwdge) dan miskonsepsi pada kondisi false

positive dan false negative.

Miskonsepsi pada kondisi false positive adalah ketika siswa menjawab

benar pada tier pertama dan salah pada tier kedua atau dapat diartikan siswa

kurang paham (deficiency understanding) dengan suatu konsep, kurang

pahamnya siswa yang mengindikasikan terjadinya miskonsepsi pada kondisi

ini sangat sulit untuk dihilangkan bahkan tidak dapat dihilangkan sama sekali.

Sebaliknya, miskonsepsi pada kondisi false negative adalah ketika siswa

menjawab salah pada tier pertama dan menjawab benar pada tier kedua atau

dapat diartikan bahwa dalam kondisi ini sedikitnya informasi (less informasi)

yang diperoleh siswa, miskonsepsi pada kondisi ini dianggap tidak bermasalah

karena hal itu disebabkan oleh kecerobohan siswa dalam memberikan jawaban

(Hestenes & Halloun, 1995).

Dalam penelitian ini, peneliti mengadopsi dan mengadaptasi teknik

menganalisis kombinasi jawaban untuk menganalisis miskonsepsi siswa yang

digunakan oleh Arslan, Cigdemoglu dan Moseley (2012). Mereka

Page 14: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

21

menggunakan three-tier test dengan dua opsi tingkat keyakinan, yakni yakin

dan tidak yakin yang telah dirangkum sebelumnya dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4

Analisis Kombinasi Jawaban pada One-tier, Two-tier dan Three-Tier

First

tier

Second

tier

Third

tier Categories

Benar Benar Yakin Paham

Benar Salah Yakin Miskonsepsi (False Positive)

Salah Benar Yakin Miskonsepsi (False Negative)

Salah Salah Yakin Miskonsepsi

Benar Benar Tidak Yakin Menebak, Tidak ada keyakinan diri

Benar Salah Tidak Yakin Tidak Paham

Salah Benar Tidak Yakin Tidak Paham

Salah Salah Tidak Yakin Tidak Paham

Jadi, dapat dikatakan dengan menggunakan Three-tier Test kita dapat

membedakan antara siswa yang paham konsep, tidak paham konsep,

miskonsepsi dan menebak atau tidak yakin atas jawaban yang diberikan dalam

menjawab soal.

2. Pembuatan soal Three-tier Test

Banyak peneliti mengembangkan three-tier test sebagai alat untuk

mengungkapkan miskonsepsi yang terjadi pada siswa, diantaranya sebagai

berikut.

a. Berdasarkan penelitian Kaltakci dan Eryimaz (2010), tahapan

pengembangan three-tier test yang dikembangkannya diantaranya, yaitu:

1) melakukan wawancara, wawancara dilakukan dan disesuaikan

berdasarkan peserta yang akan diteliti. Pada tahapan ini,

miskonsepsi secara umum pada topik yang akan diteliti dapat

ditemukan karena dengan wawancara peserta diberikan waktu

untuk berpikir untuk menguraikan jawaban mereka dan alasannya

sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh mereka. Dengan

dilakukannya wawancara dapat memberikan kesempatan kepada

peneliti untuk mendapatkan informasi secara mendalam;

2) tes open-ended atau tes terbuka, digunakan untuk mengetahui

kemampuan peserta secara umum. Pada tahapan ini, jawaban yang

Page 15: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

22

diberikan siswa digunakan dalam membuat pengecoh pada tahapan

kedua pada soal bentuk three-tier test dan

3) Instrumen three-tier test kemudian diukur validitas dan

reabilitasnya oleh peneliti, dan kemudian tes tersebut diberikan

kira-kira selama 30-35 menit pada hari yang berbeda.

b. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dindar dan Geban (2011),

tahapan pengembangan three-tier test yang dikembangkannya

diantaranya, yaitu:

1) melakukan wawancara terhadap 12 murid SMA yang terdiri dari

enam wanita dan enam laki-laki dengan memiliki tingkat

pemahaman tiinggi, sedang dan rendah;

2) menggunakan tes open ended berupa 10 pertanyaan berdasarkan

hasil wawancara yang sebelumnya telah dilakukan tentang konsep

asam dan basa. Sampel yang digunakan dalam penelitiannya

sebanyak 111 siswa SMA dan

3) Langkah terakhir, menggunakan hasil pertanyaan open ended

question untuk membuat instrumen Three-tier Test.

c. Berdasarkan penelitian Budiningsih, Muhardjito dan Asim (2013),

pengembangan instrumen ini merupakan penyederhanaan penelitian dan

pengembangan yang dikemukakan oleh Borg dan Gall. Tahapan

pengembangan three-tier test yang dikembangkannya diantaranya, yaitu:

1) melakukan studi pendahuluan, pada tahap ini studi pendahuluan

berisis tentang kegiatan studi kepustakaan dan survei lapangan;

2) pengembangan produk, pada tahap pengembangan produk meliputi

lima kegiatan yaitu: identifikasi tujuan tes dan ruang lingkup

materi, penyusunan kisi-kisi tes, penulisan butir soal, validasi oleh

ahli dan revisi pada tahap pertama dan

3) Uji coba produk, pada tahap ini terdiri dari tiga kegiatan pertama

diantaranya uji coba butir soal, analisis butir soal dan revisi pada

tahapan kedua.

d. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kutluay (2005), instrumen

Three-tier Test yang digunakan mengadopsi dari prosedur yang

dilakukan oleh Haslam dan Treagust. Adapun prosedur dalam

Page 16: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

23

pengembangan three-tier test yang dikembangkan dalam penelitiannya

yaitu:

1) wawancara, sebelum melaksanakan wawancara kepada siswa,

peneliti terlebih dahulu menentukan konten dan meninjau berbagai

literatul tentang konsep yang sering dimiskonsepsikan oleh siswa.

Setelah itu, melakukan wawancara kepada siswa untuk menemukan

sebanyak-banyaknya informasi tentang miskonsepsi siswa terkait konten

yang akan diujikan;

2) Open ended question atau pertanyaan terbuka, dibuat berdasarkan

hasil dari wawancara yang sebelumnya telah dilakukan dan

3) Langkah terakhir, menggunakan hasil pertanyaan open ended

question untuk membuat instrumen three-tier test.

e. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pesman dan Eryilmaz

(2010), tahapan pembuatan instrumen three-tier test yang digunakan

dalam penelitian ini diantaranya, yaitu:

1) wawancara, jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara

klinikal yang terdiri dari 15 pertanyaan;

2) Open ended, yaitu tes pilihan ganda beralasan dibuat berdasarkan

hasil wawancara yang sebelumnya telah dilakukan. Beberapa

pertanyaan yang diajukan pada pertanyaan tes ini diambil dari

beberapa pertanyaan yang diajukan dalam wawancara dan

3) Pembuatan instrumen three-tier test dengan menggunakan hasil

dari wawancara dan pertanyaan terbuka.

3. Kelebihan Tes Diagnostik Three-tier Test

Kelebihan penggunaan instrumen tes diagnostik three-tier test dalam

mengungkap miskonsepsi siswa, diantaranya sebagai berikut.

a. Dengan menggunakan instrumen diagnostik three-tier test pada awal

(pretest) atau pada saat akhir (post test) dari materi tertentu, guru dapat

memahami dengan lebih baik tentang pemahaman siswa dan setiap

konsepsi atau miskonsepsi yang terjadi pada materi tertentu yang sedang

dipelajari, sehingga guru dapat merencanakan langkah-langkah yang

tepat untuk mengurangi timbulnya miskonsepsi pada siswa. Miskonsepsi

Page 17: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

24

yang terungkap menunjukkan bahwa three-tier test dapat berfungsi

sebagai alat diagnostik yang efektif (Treagust, 1988).

b. Menurut Dindar dan Geban (2011), soal dalam bentuk three-tier test

sangat efektif dalam menilai pemahaman siswa dibandingkan dengan tes

pilihan ganda konvensional, hal itu karena three-tier test dapat

membedakan konsepsi alternatif dari kurangnya pengetahuan siswa

melalui analisis tingkatan. Tes ini juga lebih mudah dan cepat dalam

menilai pemahaman siswa jika dibandingkan dengan two tier.

c. Menurut Pesman dan Eryilmaz (2010), three-tier test merupakan

kombinasi antara two tier dan CRI. Dengan menggunakan three-tier test,

peneliti dapat membedakan antara siswa yang mengalami miskonsepsi

pada kondisi false positive dan false negative. Selain itu, dengan adanya

penambahan tier ketiga dapat membedakan antara siswa yang mengalami

miskonsepsi dan tidak paham konsep (lack of knowledge).

d. Dapat dilaksanakan serempak untuk sekelompok siswa sehingga dapat

menghemat waktu.

4. Kekurangan Tes Diagnostik Three-Tier Test

Selain memiliki berbagai kelebihan, penggunaan instrumen ini juga

memiliki beberapa kekurangan, diantaranya sebagai berikut.

a. Masih terdapat kemungkinan siswa menebak jawaban, baik pada

pertanyaan tingkat pertama, kedua dan ketiga.

b. Konsepsi siswa tidak secara keseluruhan dapat terungkap karena terdapat

kemungkinan siswa malas menuliskan alasan mereka sendiri, apabila

alasan yang telah disediakan tidak sesuai dengan pendapat mereka

(Septiana, 2014).

c. Waktu pengerjaan lebih lama dibandingkan dengan tes pilihan ganda

biasa karena setiap soalnya memiliki tiga tingkatan soal.

2.4. Tinjauan Konsep Materi Geometri Bidang

1. KI, KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi

Geometri adalah cabang dari ilmu matematika yang menempati posisi

khusus dalam kurikulum matematika sekolah karena banyaknya konsep yang

termuat didalamnya dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Materi

geometri adalah materi peminatan yang diajarkan dikelas X tingkat Sekolah

Page 18: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

25

Menengah Atas semester genap kurikulum 2013 di SMAN I Babakan. Adapun

KI, KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi untuk konsep Geometri Bidang

adalah sebagai berikut.

Tabel 2.5

KI, KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi konsep Geometri Bidang

Kompetensi

Inti

1 Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang

dianutnya.

2

Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,

peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun,

responsif, dan pro-aktif sebagai bagian dari solusi atas

berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan

lingkungan sosial dan alam serta menempatkan diri sebagai

cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

3

Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan

faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa

ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,

budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,

kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab

fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan

prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan

bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

4

Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan

ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang

dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu

menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

Kompetensi

Dasar 2.1.

Menunjukkan sikap senang, percaya diri, motivasi

internal, sikap kritis, bekerjasama, jujur dan percaya diri

serta responsif dalam menyelesaikan berbagai

permasalahan nyata.

2.2.

Memiliki rasa ingin tahu yang terbentuk dari

pengalaman belajar dalam berinteraksi dengan

lingkungan sosial dan alam

Page 19: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

26

3.11

.

Mendekripsikan konsep dan aturan pada bidang datar

serta menerapkannya dalam pembuktian sifat-sifat

(simetris, sudut, dalil titik tengah segitiga, dalil intersep,

dalil segmen garis, dll) dalam geometri bidang

Indikator

Pencapaian

Kompetensi

1 Menjelaskan masalah kesimetrian dan sudut;

2 Memahami teknik penyelesaian masalah kesimetrian dan

sudut

3 Memecahkan masalah kesimetrian dan sudut

4 Siswa mampu menjelaskan dalil titik tengah, dalil

intersep segitiga dan dalil segmen garis

5 Siswa mampu memecahkan masalah dalil titik tengah,

dalil intersep segitiga dan dalil segmen garis

2. Kajian Materi Geometri Bidang

Materi geometri bidang meliputi konsep dasar simetri pada bidang,

konsep tentang sifat-sifat sudut pada bidang, dalil titik tengah segitiga, dalil

intersep, dan dalil segmen garis.

a. Simetri

Konsep simetri merupakan lanjutan dari refleksi atau rotasi. Simetri

dibagi menjadi dua macam, yaitu simetri lipat dan simetri putar.

b. Sudut

Sudut adalah suatu bangun geometri yang dibentuk oleh dua sinar

yang titik pangkalnya berimpit.

Sudut dilambangkan dengan ∠, dan untuk menentukan

besar sudut ditentukan oleh ukuran derajat (αo)

Perhatikan gambar tersebut!

Sisi BE dan BD berpangkal dititik B yang membentuk

sudut ∠EBD dan memiliki besar sudut sebesar αo.

Sisi BE dan sisi BD disebut kaki sudut B.

Berdasarkan hubungan antar sudut, sudut mempunyai hubungan

saling berpelurus, berpenyiku, bertolak belakang. Sedangkan hubungan

antar sudut pada dua garis sejajar yang dipotong oleh sebuah garis antara

Page 20: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

27

lain: sudut sehadap, sudut luar sepihak, sudut dalam sepihak, sudut luar

berseberangan, dan sudut dalam berseberangan.

c. Dalil titik tengah dan dalil intersep segitiga

1) Dalil titik tengah segitiga

Ruas garis yang menghubungkan titik-titik tengah

dari dua sisi segitiga adalah sejajar dengan sisi

ketiga dan panjangnya setengah dari panjang sisi

ketiga pada segitiga.

2) Dalil intersep segitiga

Jika dua atau lebih garis sejajar dipotong oleh dua

garis yang saling berpotongan, maka rasio dari ruas

garis perpotongan pertama adalah sama dengan

rasio dari ruas garis yang serupa dari garis

perpotongan kedua. Misalkan pada ∆ ADC, jika BE//CD maka:

𝐴𝐵

𝐵𝐶=

𝐴𝐸

𝐸𝐷 dan

𝐴𝐵

𝐴𝐶= 𝐴𝐷 =

𝐵𝐸

𝐶𝐷

3) Dalil segmen garis

Tabel 2.6

Dalil Segmen Garis

Dalil Keterangan

Dalil 1

Sifat kongruen

segmen garis

Sifat kongruen segmen garis adalah refleksi,

simetri, dan transitif

Refleksi : untuk setiap segmen 𝐴𝐵, 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ =̃ 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ . Simetri : jika 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ =̃ 𝐶𝐷̅̅ ̅̅ , maka 𝐶𝐷̅̅ ̅̅ =̃ 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ .

Transitif : jika 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ =̃ 𝐶𝐷̅̅ ̅̅ , dan 𝐶𝐷̅̅ ̅̅ =̃ 𝐸𝐹̅̅ ̅̅ ,

maka 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ =̃ 𝐸𝐹̅̅ ̅̅

Kita dapat membuktikan

sifat simetri dari

kongruensi segmen garis,

sebagai berikut.

Diketahui 𝑃𝑄̅̅ ̅̅ =̃ 𝑋𝑌̅̅ ̅̅

Buktikan bahwa 𝑋𝑌̅̅ ̅̅ =̃ 𝑃𝑄̅̅ ̅̅

Pernyataan Alasan

𝑃𝑄̅̅ ̅̅ =̃ 𝑋𝑌̅̅ ̅̅ Diketahui

𝑃𝑄̅̅ ̅̅ = 𝑋𝑌̅̅ ̅̅ Definisi segmen kongruen

𝑋𝑌 = 𝑃𝑄 Sifat simetris

𝑋𝑌̅̅ ̅̅ =̃ 𝑃𝑄̅̅ ̅̅ Definisi segmen kongruen

Page 21: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

28

Dalil Keterangan

Dalil 2

Sebuah segmen

garis dapat

diperpanjang di

kedua arah

Misalkan kita pilih 𝐷 pada 𝐴𝐵̅̅ ̅̅

demikian sehingga 𝐵adalah titik

tengan dari 𝐴𝐷̅̅ ̅̅ . Dapat dikatakan

bahwa 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ diperpanjang, tetapi

𝐴𝐷̅̅ ̅̅ bukan segmen garis yang

asli 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ . Pada kasus ini kita

dapat memilih 𝐷 sedemikian hingga 𝐴𝐵 =𝐵𝐷 dan 𝐴𝐷 = 2𝐵.

Dalil 3

Melalui dua titik

yang diberikan,

hanya dapat dibuat

satu garis.

Diberikan titik C dan

D, hanya satu garis

dapat dibuat melalui

dua titik.

Dalil 4

Dua garis tidak

berpotongan pada

lebih dari satu titik.

𝐴𝐸𝐵̅̅ ̅̅ ̅̅ dan 𝐶𝐸𝐷̅̅ ̅̅ ̅̅

berpotongan di titik 𝐸 dan

tidak berpotongan di titik

lain.

Dalil 5

Jika terdapat

sebuah titik pada

suatu garis, hanya

dapat dibuat satu

garis tegaklurus

melalui garis

tersebut.

Dalil 6

Untuk setiap dua

titik berbeda, hanya

ada satu bilangan

realp positif, yaitu

panjang segmen

garis yang

menghubungkan

dua titik

Untuk titik yang

berbeda 𝐴 dan 𝐵,

hanya ada satu

bilangan real

positif, diwakili

oleh 𝐴𝐵, yang merupakan panjang 𝐴𝐵̅̅ ̅̅ .

Karena 𝐴𝐵 juga disebut jarak dari 𝐴 ke 𝐵.

Kita lihat dalil 6 sebagai dalil jarak

Dalil 7

Jarak terpendek

antara dua titik

adalah panjang ruas

garis yang

menghubungkan

dua titik itu.

Perhatikan gambar berikut!

Ada tiga jalur dari 𝐴 menuju

𝐵. Jarak jalur melalui 𝐶,

yang segaris dengan 𝐴 dan

𝐵, lebih pendek dari jarak

jalur melalui 𝐷 atau jalur

melalui 𝐸. Jadi ukuran jalur terpendek dari 𝐴

ke 𝐵 adalah jarak 𝐴𝐵.

Dalil 8 : Segmen

baris memiliki satu

dan hanya satu titik

tengah

𝐴𝐵̅̅ ̅̅ memiliki titik tengah

M, dan tidak ada titik

tengah lain dari 𝐴𝐵̅̅ ̅̅

Page 22: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

29

2.5. Hasil Penelitian yang Relevan

Setelah penulis menelusuri penulisan-penulisan yang telah dilakukan,

ditemukan beberapa hasil penulisan tentang miskonsepsi matematika siswa yang

sudah banyak dilakukan, diantaranya sebagai berikut.

1. Lestari (2015) melakukan penelitian “Identifikasi Miskonsepsi pada Konsep

Virus dengan menggunakan Three-tier Test”. Penelitian ini dapat disimpulkan

bahwa hasil analisis menunjukan 25,9% siswa paham konsep, 52,78%

mengalami miskonsepsi dengan false positive sebesar 27,7% dan false negative

sebesar 25%. Sisanya, 21,2% siswa tidak paham konsep. Siswa mengalami

miskonsepsi false positive mengenai sejarah penemuan virus, identifikasi ciri,

ukuran dan bentuk virus serta menjelaskan reproduksi virus. Sebaliknya, siswa

mengalami miskonsepsi false negative mengenai cara mengetahui ukuran

tubuh virus dan menafsirkan kasus berdasarkan fakta. Siswa tidak paham

mengenai cara pencegahan infeksi virus dengan vaksin polio dan cara

pembiakan virus. Berdasarkan analisis data yang diperoleh menunjukkan

bahwa three-tier test efektif digunakan untuk mengetahui dan membedakan

siswa paham, miskonsepsi dan tidak paham melalui tier ketiga berupa tingkat

keyakinan.

2. Syahrul dan Setyarsih (2015) telah meneliti tentang “Identifikasi Miskonsepsi

dan Penyebab Miskonsepsi Siswa dengan Three-tier Diagnostic Test pada

Materi Dinamika Rotasi” dapat disimpulkan bahwa Identifikasi miskonsepsi

yang terjadi pada siswa menunjukkan bahwa miskonsepsi paling rendah

dialami siswa adalah pada konsep teorema sumbu paralel sebesar 53,90%

dengan penyebab utama terjadinya miskonsepsi disebabkan karena false

negative yang berupa kecerobohan siswa sebesar 48,68%. Sebaliknya,

miskonsepsi tertinggi dialami siswa pada konsep gerak menggelinding sebagai

rotasi murni sebesar 86,52% yang disebabkan oleh pemikiran humanistik

sebesar 54,10%.

3. Taslider (2016) melakukan penelitian “Develpment and use of a three

diagnostic test to assess high school students’ misconceptions about the

photoelectric effect” penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan

miskonsepsi siswa SMA kelas 11 di Turki. Penelitian dilakukan dengan

memberikan three diagnostic test kepada 243 siswa yang terdiri dari 86 laki-

Page 23: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

30

laki dan 137 perempuan yang menjadi objek penelitian. Berdasarkan

perhitungan realibilitas dengan menggunakan conbrach alfa diperoleh angka

sebesar .83 artinya bahwa tes bersifat valid dan reliabel. Hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa three-tier test adalah tes yang handal dan valid dalam

menyelidiki pemahaman dan miskonsepsi siswa SMA.

4. Silung, Kusairi dan Zulaikah (2016) melakukan penelitian “Diagnosis

Miskonsepsi Siswa SMA di Kota Malang pada Konsep Suhu dan Kalor

Menggunakan Three Tier Test”. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki

apakah instrumen diagnosik three tier test yang dikembangkan benar-benar

mampu mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Penelitian ini dapat disimpulkan

bahwa dari 136 siswa yang menjadi objek penelitian, 47% siswa menguasai

konsep, sedangkan sisanya 38% mengalami miskonsepsi, 10% tidak tahu

konsep dan 5% menebak atau tidak percaya diri atas jawaban. Persentase

miskonsepsi tertinggi siswa pada subkonsep perubahan wujud (35,0%) dan

diikuti subkonsep pemuaian (27,0%), subkonsep kalor (11%), perpindahan

kalor (10,0%), pengaruh kalor terhadap suhu benda (8,9%) dan terakhir

subkonsep suhu (7,4%). Hal ini dapat dikatakan bahwa instrumen diagnosik

three tier test yang dikembangkan benar-benar mampu mengidentifikasi

miskonsepsi siswa secara cepat dan akurat.

5. Dindar dan Geban (2011) melakukan penelitian “Development Of A Three-Tier

Test To Assess High School Students’ Understanding Of Acids And Bases”

penelitian ini dilakukan pada tahun 2011 hasil penelitian dapat disimpulkan

bahwa Three-tier Test adalah instrumen yang baik dalam mengatahui letak

konsepsi alternatif siswa pada tingkat SMA terkait dengan materi Asam-Basa.

Penggunaan Three-tier Test lebih efektif dalam menilai pemahaman siswa dari

pada menggunakan tes konvensional pilihan ganda biasa. Dengan

menggunakan Three-tier Test juga dapat membedakan konsep alternatif siswa

dari kurangnya pemahaman siswa terhadap materi melalui menganalisis

tingkatan. Hasil masing-masing reabilitas untuk one-tier test, two-tier test dan

three-tier test adalah 0,58 , 0,59 , dan 0, 72. Dari hasil tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa three-tier test sangat nyaman, cepat dan mudah digunakan

dalam menilai pemahaman siswa.

Page 24: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

31

6. Pesman dan Eryilmaz (2010) melakukan penelitian “Development of a three-

Tier Test to Assess Misconceptions About Simple Electric Ciccuits”. penelitian

ini dilakukan dengan memberikan 12 soal yang terdiri dari tiga tingkatan

pertanyaan, tingkatan pertama pilihan ganda biasa, tingkatan kedua alasan atas

jawaban yang dipilih pada tingkatan pertama dan tingkatan ketiga keyakinan

atas jawaban pada tingkatan pertama dan kedua. Tes ini dikembangkan dan

diberikan kepada 124 siswa SMA. Teknik yang digunakan adalah teknik

kualitatif untuk menetapkan validitas dan beberapa teknik kuantitatif.

Berdasarkan perhitungan realibilitas dengan menggunakan conbrach alfa

diperoleh angka sebesar .69 artinya bahwa tes bersifat valid dan reliabel.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat perbedaan antara hasil penelitian skripsi

dan jurnal yang telah ada dengan hasil penyusunan peneliti. Dapat dikatakan bahwa

dari kelima penelitian yang sudah ada terdapat perbedaan mengenai materi dan hasil

penelitiannya.

2.5. Kerangka Berpikir

Sebelum memulai suatu proses pembelajaran di dalam kelas secara formal,

siswa sebelumnya telah memiliki pengetahuan tentang suatu konsep yang mereka

pahami melalui pengalaman hidup mereka sendiri. Pengetahuan tersebut ada yang

sesuai dan ada yang tidak sesuai dengan konsep yang dipakai oleh para pakar. Siswa

yang memiliki konsep yang sesuai dengan para pakar tidak sepenuhnya konsep

tersebut sama dengan yang digunakan oleh para pakar. Oleh karena itu, guru harus

dapat mengintegrasi pemahaman siswa yang sudah ada dalam pikiran mereka dengan

memberikan pengalaman atau pengetahuan baru (asimilasi). Di sisi lain, siswa yang

memiliki konsep yang tidak sesuai dengan para pakar (miskonsepsi), perlu dibentuk

konsep baru dan menghilangkan konsep yang salah (akomodasi).

Dari kedua proses tersebut dapat terjadi melalui proses pembelajaran di dalam

kelas. Dalam keberhasilan proses pembelajaran, ada banyak faktor penentu dalam

memberikan suatu pemahaman tentang konsep kepada peserta didik. Salah satu

diantara faktor tersebut adalah guru dan peserta didik. Guru yang menggunakan

buku, media, dan metode yang kurang tepat dapat mempengaruhi pemahaman siswa

pada suatu konsep yang diajarkan, begitu juga dengan pengetahuan awal dan

perkembangan kognitif siswa akan mempengaruhi tingkat pemahaman konsep

siswa.

Page 25: 8 BAB II KAJIAN TEORITIK 2.1. Prakonsepi, Konsep ...

32

Siswa yang memahami konsep dengan baik, mereka akan dapat memahami

materi dengan baik pula sedangkan siswa yang tidak paham akan mengalami

miskonsepsi yang akan menghambat siswa dalam memahami pelajaran baru dan

akan menemui masalah-masalah dalam proses pembelajaran. Siswa yang mengalami

miskonsepsi kemudian dianalisis untuk mengetahui apa saja penyebab dari terjadinya

miskonsepsi tersebut. Adapun cara yang digunakan untuk menganalisa siswa yang

mengalami miskonsepsi ataupun sudah paham konsep pada penelitian ini

menggunakan instrumen Three-tier test yang digunakan untuk menganalisis

pemahaman, ketidakpahaman, menebak dan miskonsepsi siswa.