DESAIN KONTROLER MENGGUNAKAN METODE LINEAR QUADRATIC REGULATOR (LQR) UNTUK PENGONTROLAN SUHU UAP PADA SOLAR BOILER ONCE TROUGH MODE S K R I P S I Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik Disusun oleh : NOVI ANGGRAINI NIM. 0001060355 – 63 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK ELEKTRO M A L A N G 2005
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DESAIN KONTROLER
MENGGUNAKAN METODE LINEAR QUADRATIC REGULATOR (LQR)
UNTUK PENGONTROLAN SUHU UAP PADA
SOLAR BOILER ONCE TROUGH MODE
S K R I P S I
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik
Disusun oleh :
NOVI ANGGRAINI NIM. 0001060355 – 63
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO M A L A N G
2005
DESAIN KONTROLER
MENGGUNAKAN METODE LINEAR QUADRATIC REGULATOR (LQR)
UNTUK PENGONTROLAN SUHU UAP PADA
SOLAR BOILER ONCE TROUGH MODE
S K R I P S I
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Teknik
Disusun oleh :
NOVI ANGGRAINI NIM. 0001060355 – 63
DOSEN PEMBIMBING :
Ir.Retnowati NIP. 131 124 656
Ir.Erni Yudaningtyas, MTNIP. 131 879 035
DESAIN KONTROLER
MENGGUNAKAN METODE LINEAR QUADRATIC REGULATOR (LQR)
UNTUK PENGONTROLAN SUHU UAP PADA
SOLAR BOILER ONCE TROUGH MODE
Disusun oleh :
NOVI ANGGRAINI NIM. 0001060355 – 63
Skripsi ini telah diuji dan dinyatakan lulus pada Tanggal 11 Juli 2005
MAJELIS PENGUJI
Ir. Chairuzzaini NIP. 130 682 589
Ir. Soeprapto, MT NIP. 132 837 968
Ir. Bambang Siswojo NIP. 132 759 588
Ir. Purwanto, MT NIP. 131 574 847
Mengetahui Ketua Jurusan Teknik Elektro
Ir. Purwanto, MT NIP. 131 574 847
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala petunjuk dan
pertolonganNya sehingga skipsi yang berjudul “Desain Kontroller Menggunakan
Metode Linear Quadratic Regulator (LQR) untuk Pengontrolan Suhu Uap pada Solar
Boiler Once Trough Mode”ini bisa terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Ir. Purwanto, MT selaku Ketua Jurusan Teknik Elektro dan Bapak Ir.
2. Heri Purnomo selaku Sekretaris Jurusan Teknik Elektro atas semua sarana dan
prasarananya.
3. Bapak Dipl. Ing. Ir. M. Rusli selaku Ketua kelompok Pengajar Keahlian Teknik
Kontrol.
4. Ibu Ir. Retnowati selaku dosen pembimbing atas arahan, bimbingan, dan nasehat
yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Ir. Erni Yudaningtyas,MT selaku dosen pembimbing atas arahan,
bimbingan, dan nasehat yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya serta
segenap staf dan karyawan atas segala yang telah diberikan kepada penulis.
7. Ibu tercinta, mbak, dan mas, serta adik-adikku, atas semua dukungan dan
do’anya pada penulis.
8. Teman-teman Elektro ’00, khususnya Mbak Yana, Rizqa, serta teman-teman
paket D serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis
berbesar hati menerima kritik dan saran sehingga bisa menyempurnakan skripsi ini.
Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat dan bisa memberikan masukan yang
berarti bagi yang membaca.
Malang, Juni 2005
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI ...............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR...................................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................viii
Tabel 5.1. Hasil Optimasi Sistem Untuk Berbagai Matriks Bobot Q dan R ............37
Tabel 6.1. Perbandingan Waktu Pencapaian Keadaan Mantap
(time Settling) dan Error Steady State ...................................................48
Tabel 4 Specific enthalpy of the fluid....................................................................52
Tabel 5 Thermal loss factor Ul in LS-3 collectors................................................53
Tabel 6 Average temperature values used in the FFfv controller
for three operating points of the DISS test loop .....................................53
Tabel 7 Design of the FFfv ...................................................................................53
Tabel 8 Outlet steam temperature control with injector valve .............................53
vi
DAFTAR GAMBAR
No.
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 2.6
Gambar 2.7
Gambar 2.8
Gambar 4.1
Gambar 4.2
Gambar 4.3
Gambar 4.4
Gambar 4.5
Gambar 4.6
Gambar 4.7
Gambar 5.1
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
Gambar 5.6
Gambar 5.7
Gambar 5.8
Gambar 5.9
Gambar 5.10
Gambar 5.11
Gambar 5.12
Judul
Jenis-jenis solar boiler
Konsentrasi sunlight menggunakan parabolic trough collector
Proses pada solar boiler mode once trough mode
Respon system kurang teredam (underdamped)
Sistem dinamika
Representasi sistem dalam bentuk persamaan ruang keadaan
Luasan control area untuk sistem diredam lebih
Sistem kontrol optimal dengan umpan balik keadaan (state
feedback)
Skema loop tertutup solar boiler
Diagram blok sensor-transmitter
Diagram blok control valve
Diagram blok dead time
Diagram blok keseluruhan sistem
Respon solar boiler tanpa gangguan
Respon solar boiler dengan gangguan
Respon solar boiler untuk q =0,9x10-4 dan r = 90
Respon solar boiler untuk q =0,925x10-4 dan r = 90
Respon solar boiler untuk q =0,935x10-4 dan r = 90
Respon solar boiler untuk q =0,945x10-4 dan r = 90
Respon solar boiler untuk q =0,95x10-4 dan r = 90
Respon solar boiler untuk q =0,9x10-4 dan r = 100
Respon solar boiler untuk q =0,925x10-4 dan r = 100
Respon solar boiler untuk q =0,935x10-4 dan r = 100
Respon solar boiler untuk q =0,94x10-4 dan r = 100
Respon solar boiler untuk q =0,945x10-4 dan r = 100
Respon solar boiler untuk q =0,95x10-4 dan r = 100
Respon solar boiler untuk q =0,9x10-4 dan r = 110
Hal
6
7
8
11
11
15
15
18
22
23
24
25
31
33
33
39
39
40
40
41
41
42
42
43
43
44 44
vii
Gambar 5.13
Gambar 5.14
Gambar 5.15
Gambar 5.16
Gambar 5.17
Respon solar boiler untuk q =0,925x10-4 dan r = 110
Respon solar boiler untuk q =0,94x10-4 dan r = 110
Respon solar boiler untuk q =0,945x10-4 dan r = 110
Blok diagram sistem dengan gangguan
Respon solar boiler terhadap gangguan untuk q =0,945x10-4
dan r = 100
45
45
46
46
47
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Nomenclature
Lampiran B. Blok diagram Solar Boiler
Lampiran C. Grafik Perhitungan dead time
ix
ABSTRAK
NOVI ANGGRAINI, 2005. Desain Kontroler Menggunakan Metode Linear Quadratic Regulator (LQR) untuk Pengontrolan Suhu Uap Pada Solar Boiler Once Trough Mode. Skripsi Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Dosen Pembimbing : Ir. Retnowati dan Ir. Erni Yudaningtyas, MT.
Solar boiler adalah suatu suatu peralatan yang dapat dimanfaatkan untuk menyerap energi panas matahari dan energi panas tersebut diteruskan ke pipa-pipa yang berisi air sehingga terjadi peningkatan suhu dari air yang berada di dalam pipa tersebut. Pada solar boiler once trough mode, air dari preheater dipanaskan, dievaporasi, dan diubah menjadi uap melalui proses sirkulasi. Pada mode ini injektor air diletakkan di depan kolektor terakhir (last collector). Feed preheater bekerja menghasilkan air dengan suhu 1800-2100C. Air ini kemudian dipanaskan di dalam kolektor melalui feed line dan injector line sehingga dihasilkan uap dengan suhu 3000C.
Pengontrolan suhu uap pada solar boiler once trough mode bertujuan untuk
mengontrol kerja solar boiler once trough mode agar dapat menghasilkan uap dengan suhu mendekati nilai setting, sehingga suhu uap yang sesuai dapat diperoleh dalam waktu singkat dan dengan mempergunakan energi yang sedikit serta menghemat biaya produksi.
Respon sistem mencapai keadaan mantap ts (error 0%) sebesar 2216.5 detik.
Sedangkan respon sistem dengan adanya gangguan, mencapai keadaan mantap ts(error 0%) sebesar 2223 detik. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengendalian optimal agar respon sistem menjadi lebih baik.
Dari hasil analisis dan simulasi diperoleh kesimpulan hasil yang paling optimal
pada nilai matrik bobot Q = 0.945x10-4 dan matrik bobot R = 100. Respon sistem optimal tanpa gangguan mencapai keadaan mantap ts(error 0%) sebesar 1582 detik. Respon sistem optimal dengan adanya gangguan mencapai keadaan mantap ts (error 0%) sebesar 1511.2 detik. Jadi penerapan pengendalian optimal terhadap solar boiler once trough mode dapat dilakukan dengan baik, ditandai dengan respon sistem yang lebih baik.
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Energi fosil khususnya minyak bumi, merupakan sumber energi utama dan sumber
devisa negara. Kenyataan menunjukkan bahwa cadangan energi fosil jumlahnya terbatas.
Sementara itu, konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi
dan pertambahan penduduk. Oleh karena itu diperlukan pengembangan dalam pemanfaatan
dan penerapan sistem energi surya.
Sumber energi matahari adalah energi radiasi yang dipancarkan secara langsung
dari matahari ke bumi, berupa energi thermal akibat temperatur permukaan matahari yang
sangat tinggi. Energi matahari mempunyai beberapa keuntungan, yaitu bebas polusi (bersih
dan ramah lingkungan), terdapat dimana saja, tersedia dengan cuma-cuma, intensitas
ketersediaannya cukup besar dan bersifat terbarukan.
Efektifitas pemanfaatan energi matahari secara langsung dapat ditingkatkan dengan
menggunakan pengumpul-pengumpul energi, yang biasa disebut kolektor. Dengan konversi
fotothermal, maka energi panas matahari dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air.
Sebuah kolektor surya, yaitu suatu peralatan yang dapat dimanfaatkan untuk menyerap
energi panas matahari dan energi panas tersebut diteruskan ke pipa-pipa yang berisi air
sehingga terjadi peningkatan suhu dari air yang berada di dalam pipa tersebut. Dengan
menggunakan alat semacam ini diharapkan penyerapan panas dari matahari semakin besar
dan efektif sehingga dapat digunakan untuk pemanfaatan yang lebih besar.
Kolektor surya yang paling banyak dikembangkan untuk proses direct steam
generation ini adalah jenis “parabolic trough collector”. Kolektor surya ini merupakan
jenis kolektor yang bisa beroperasi pada suhu sampai dengan lebih kurang C dengan
konsentrasi radiasi matahari langsung ke pipa melalui fluida yang dipompa dan dipanaskan.
Saat ini teknologi “parabolic trough collector” yang bekerja dalam range suhu antara 200-
C menggunakan air sebagai fluida yang bekerja dalam pipa penyerap. Fluida yang
dipanaskan dan melewati pipa penyerap dari kolektor surya lalu mengkonversi radiasi
langsung matahari menjadi energi panas..
0400
0400
2
Sistem kontrol merupakan sebuah sistem yang terdiri atas satu atau beberapa
peralatan yang berfungsi untuk mengendalikan sistem lain yang berhubungan dengan
sebuah proses. Pada sistem kontrol dasar, telah dikenal sistem kontrol proporsional,
integral, dan diferensial. Dalam perkembangannya, ketiga sistem kontrol tersebut digabung
menjadi satu, yaitu menjadi sistem kontrol Proporsional-Integral-Differensial (PID).
Untuk mengendalikan sistem proses yang kompleks, seperti solar boiler ini, sistem
kontrol PID mempunyai banyak kelemahan. Sistem kontrol PID hanya dapat digunakan
untuk sistem proses yang linier, dengan satu masukan dan satu keluaran. Untuk mengatasi
masalah tersebut, maka dikembangkan sistem kontrol yang lebih canggih, yaitu sistem
kontrol optimal.
Sistem kontrol optimal dapat digunakan baik untuk sistem linier, maupun sistem
non linier, dengan satu atau banyak masukan dan keluaran. Selain itu, pada sistem kontrol
optimal, kondisi dan gangguan pada sistem sangat diperhatikan untuk dapat mencapai hasil
yang paling baik.
Oleh sebab itulah, dalam penulisan skripsi ini, sistem kontrol optimal dipilih
sebagai metode yang digunakan untuk mengendalikan suhu uap pada solar boiler.
Dengan harapan, dengan digunakannya metode ini, akan dihasilkan kinerja sistem yang
paling baik
I. 2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah ditekankan pada:
1. Bagaimana merancang dan menentukan parameter kontroler pada pengontrolan suhu
uap yang keluar dari solar boiler, dengan menggunakan metode Linier Quadratic
Regulator (LQR) sehingga sistem dapat bekerja secara optimal untuk menghasilkan
suhu uap sesuai dengan nilai setting yang diinginkan.
2. Bagaimana respon solar boiler sebelum dan sesudah diterapkannya sistem
pengendalian optimal ini.
I. 3. Tujuan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mendesain kontroler dengan metode
Linear Quadratic Regulator dalam penalaan kontroler sehingga sistem kontrol suhu uap
pada solar boiler dapat bekerja secara optimal.
3
I. 4. Batasan Masalah
Pada penyusunan skripsi ini, dilakukan pembatasan-pembatasan masalah sebagai
berikut:
1. Parameter sistem yang digunakan berdasarkan data-data sekunder yang diperoleh dari
jurnal Platforma Solar de Almeria (PSA).
2. Pembahasan hanya mengenai penerapan sistem kontrol optimal pada solar boiler model
Once Through.
3. Model matematika plant bersifat linier dan time invariant.
4. Pengujian sistem menggunakan simulasi dengan memakai software matlab
5. Tidak membahas proses konversi energi yang terjadi selama proses produksi uap.
6. Hanya membahas perancangan sistem kontrol optimal dengan menggunakan metode
Linear Quadratic Regulator (LQR).
7. Gangguan (disturbance) pada sistem hanya berupa gangguan deterministik yang terjadi
akibat adanya kecepatan aliran masukan (feed) yang melalui feed valve, suhu air pada
feed valve, dan suhu air pada injector.
9. Analisis hasil perancangan hanya berdasarkan hasil simulasi sistem.
I. 5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang dipakai pada pembuatan skripsi ini adalah:
Bab I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, batasan
masalah, dan sistematika penulisan.
Bab II DASAR TEORI
Pada bab ini dijelaskan mengenai dasar-dasar teori sistem kontrol optimal,
diantaranya mengenai sistem kontrol loop tertutup, keterkendalian dan
keteramatan, konsep sistem kontrol optimal, dan penyajian ruang-keadaan
sistem.
Bab III METODOLOGI
Bab ini berisi penjelasan mengenai metode yang digunakan dalam
menyelesaikan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
4
Bab IV PEMODELAN DAN OPTIMASI SISTEM
Bab ini berisi pembahasan mengenai penurunan rumus untuk komponen-
komponen penyusun solar boiler berikut bentuk persamaan ruang-
keadaan, serta analisis optimalnya.
Bab V PENGUJIAN DAN SIMULASI SISTEM
Bab ini berisi pengujian dan simulasi sistem.
Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari keseluruhan penyusunan skripsi
ini.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Solar Boiler
2.1.1 Definisi Solar Boiler
Solar boiler adalah suatu suatu peralatan yang dapat dimanfaatkan untuk menyerap
energi panas matahari dan energi panas tersebut diteruskan ke pipa-pipa yang berisi air
sehingga terjadi peningkatan suhu dari air yang berada di dalam pipa tersebut. Untuk
memanfaatkan energi matahari secara efektif dan maksimal maka digunakan pengumpul
panas yang disebut kolektor. Prinsip dasar dari kolektor adalah jika terdapat energi
gelombang pendek yang dipancarkan oleh sinar matahari diserap oleh suatu benda
berwarna hitam, maka sebagian besar energi radiasi diserap dan diubah menjadi energi
panas (Kreider,1982).
2.1.2 Macam-macam Solar Boiler
Berdasarkan cara kerjanya solar boiler dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
(L.Valenzuela,2004) :
2.1.2.1 Once Trough mode
Pada tipe ini, cairan yang akan diproses berupa liquid disebut feedwater. Feedwater
ini dipanaskan di dalam preheater, kemudian dievaporasi sehingga menjadi superheated
steam melalui proses di dalam kolektor surya. Keuntungan dari sistem ini adalah sistem
yang paling sederhana, tetapi parameter-parameter dari uap kering yang merupakan outlet
dari kolektor sulit untuk dikontrol. Pada mode ini injector airnya diletakkan di depan
kolektor terakhir bertujuan untuk mengontrol suhu uap outletnya.
2.1.2.2 Injection mode
Pada mode ini air diinjeksi pada beberapa tempat di sepanjang kolektor. Sistem
pengukuran yang diperlukan untuk proses kontrol pada mode ini tidak bekerja dengan baik
selama eksperimen.
2.1.2.3 Recirculation mode
6
Merupakan mode paling konservatif dari ketiganya, separator antara uap dan air
ditempatkan diakhir bagian penguapan dari kolektor surya. Jumlah air yang masuk ke
separator lebih besar daripada jumlah air yang bisa dievaporasi. Pada intermediate
separator, luapan air disirkulasi ke dalam loop kolektor dan dicampur dengan air di
preheater. Ketiga mode tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. jenis-jenis solar boiler
Sumber : IEEE Control System Magazine, 2004
Ketiga mode tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Biaya operasional dan
kompleksitas dari Once Trough mode adalah yang paling rendah. Mode ini mempunyai
performansi yang terbaik, tetapi sulit untuk dikontrol (memerlukan sistem kontrol yang
lebih kompleks).
2.1.3 Komponen Dasar Solar Boiler
Bagian-bagian utama pada solar boiler :
2.1.3.1. Feed pump (pompa fluida)
Pompa yang digunakan adalah jenis pompa sentrifugal. Pompa sentrifugal
mempunyai sebuah impeller (baling-baling) untuk mengangkat zat cair dari tempat yang
lebih rendah ke tempat yang lebih tinggi. Impeller pompa berfungsi memberikan kerja
kepada zat cair sehingga energi yang dikandungnya menjadi bertambah besar. Jadi pompa
sentrifugal dapat mengubah energi mekanik dalam bentuk kerja poros menjadi energi
fluida. Energi inilah yang mengakibatkan pertambahan head tekanan, head kecepatan, dan
head potensial pada zat cair yang mengalir secara kontinyu.
7
2.1.3.2 Solar Collector
Parabolic trough collector terdiri dari luasan kaca lengkung dengan konsentarasi
sinar matahari ke titik api. Parallel collector dibangun antara 300-600 meter sepanjang
collector row.Pada sistem ini, aliran fluida panas melewati absorber tube (tabung
penyerap). Tabung ini kemudian memanaskan fluida hingga 3000C sehingga dihasilkan
uap air untuk diteruskan ke steam separator. Gambar permukaan kolektor surya bisa dilihat
pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Konsentrasi sunlight menggunakan parabolic trough collector
Sumber : IEEE Control System Magazine, 2004
2.1.4 Proses Pada Solar Boiler
Cairan yang akan diproses berupa liquid disebut feedwater. Awalnya feedwater ini
dipompa menju pipa-pipa pembawa. Kemudia air dalam pipa akan dialirkan ke kolektor
surya untuk dipanaskan sehingga menjadi uap..
Proses Pada Parabolic Trough Collector merupakan proses pemanasan fluida secara
radiasi untuk menghasilkan uap panas. Uap yang dihasilkan sebagai hasil proses dari
kolektor surya tersebut masih merupakan uap basah dan ditampung di dalam steam
separator. Untuk memperoleh uap yang kering, uap basah tersebut dipanaskan kembali di
8
dalam Super Heater untuk menghasilkan uap kering dengan tekanan dan suhu tertentu. Uap
tersebut digunakan untuk memutar turbin. Uap bekas memutar turbin kemudian dialirkan
ke kondensor yang dikondensasikan agar menjadi air kembali. Proses ini ditunjukkan pada
gambar 2.3.
Gambar 2.3 proses pada solar boiler mode once trough
Sumber : IEEE Control System Magazine, 2004
2.1.4.1 Cara Kerja Solar Boiler Once Trough mode
Pada solar boiler once trough mode, air dari preheater dipanaskan, dievaporasi,
dan diubah menjadi uap kering melalui proses sirkulasi dari inlet sampai outlet kolektor.
Pada mode ini injektor air diletakkan di depan kolektor terakhir (last collector).
Feed preheater bekerja menghasilkan air dengan suhu 1800-2100C. Air ini
kemudian dipanaskan di dalam kolektor melalui feed valve dan injector sehingga
menghasilkan uap basah dengan suhu 3000C.
Keseimbangan energi pada kolektor menggunakan kaidah:
dengan : minj = aliran air melalui injektor (kg/s)
h = enthalpy (kJ/kg)
ηcol = efisiensi kolektor
Acol = celah kolektor (m)
Lcol = panjang kolektor (m)
E = intensitas radiasi matahari (W/m2)
2.2 Sistem Kontrol Loop Tertutup
Sistem merupakan kombinasi dari beberapa komponen yang bekerja bersama-sama
dan mempunyai suatu tujuan tertentu (Ogata, 1997:4). Sistem kontrol merupakan suatu
sistem yang terdiri dari beberapa sub sistem yang berfungsi mengendalikan suatu
plant/proses. Sistem kontrol sudah berkembang sejak awal abad ke-20, yaitu dengan
diketemukannya kontroler proporsional, integral dan differensial. Dalam
perkembangannya, ketiga sistem tersebut digabung menjadi kontroler PID. Dalam
prakteknya, sistem kontrol itu sendiri mengalami gangguan. Gangguan (disturbance) adalah
sinyal yang tidak diinginkan tetapi mempunyai pengaruh keluaran yang merugikan pada
keluaran sistem (Ogata, 1997:4).
Untuk mengendalikan proses yang kompleks, seperti proses pada industri semen,
industri kimia, dan lain-lain maka kontroler PID mempunyai banyak kelemahan.
Sistem kontrol PID hanya dapat digunakan untuk proses yang berbentuk linier dengan satu
masukan dan satu keluaran (SISO). Untuk mengembangkan hal ini dikembangkan sistem
kontrol yang lebih baik, yaitu sistem kontrol optimal.
Teori kontrol modern berbeda dengan teori kontrol konvensional. Teori kontrol
modern dapat diterapkan pada sistem multi masukan multi keluaran, yang kondisinya linier
ataupun tak linier, dengan parameter sistem konstan atau berubah terhadap waktu.
Sedangkan teori kontrol konvensional hanya dapat diterapkan pada sistem satu masukan
satu keluaran dengan parameter konstan.
Teori kontrol konvensional menggunakan metode desain coba-coba yang pada
umumnya tidak menghasilkan solusi yang optimal. Sebaliknya teori kontrol modern
memungkinkan sistem yang mempunyai beberapa masukan dan keluaran, yang dapat saling
10
berkaitan. Berdasarkan pandangan ini maka pendekatan yang paling sesuai untuk analisis
sistem adalah pendekatan ruang keadaan (state space).
Teori kontrol konvensional berdasarkan pada hubungan masukan-keluaran
(fungsi alih), sedangkan teori kontrol modern berdasarkan pada deskripsi persamaan sistem.
Persamaan sistem yang dimaksud adalah persamaan differensial orde n yang telah tereduksi
menjadi n buah persamaan differensial berorde satu.
2.3 Respon Dinamis Sistem
Dalam berbicara mengenai sistem kontrol, masalah yang menjadi pokok perhatian
adalah :
a. Kestabilan dan kemampuan sistem meredam gangguan. Sistem yang stabil
mempunyai akar-akar persamaan karakteristik di sebelah kiri bidang s.
b. Delay time (td) : waktu yang dibutuhkan oleh respon untuk mencapai ½ harga akhir
pada saat lonjakan pertama.
c. Rise time (tr): waktu yang dibutuhkan oleh respon untuk naik dari 10% menjadi
90%, 5% menjadi 95%, atau 0% menjadi 100% dari nilai akhir. Untuk sistem orde
dua redaman kurang (underdamped), biasanya digunakan waktu naik 0-100%,
sedangkan untuk sistem redaman lebih (overdamped), biasanya digunakan waktu
naik 10-90%.
d. Settling time (ts) : waktu yang dibutuhkan oleh respon untuk mencapai harga
tertentu dan tetap dalam nilai akhir (biasanya 5% atau 2%).
e. Maximum overshoot (Mp) : harga puncak maksimum dari kurva respon yang
diukur dari satu. Jika harga keadaan mantap respon tidak sama dengan satu, maka
dapat digunakan persen maximum overshoot.
f. Peak time (tp) : waktu yang diperlukan sistem untuk mencapai lonjakan maksimum.
g. Steady – state error : sinyal kesalahan yang merupakan selisih dari nilai reference
dengan nilai sebenarnya pada waktu tak terhingga.
Contoh ini bisa dilihat secara jelas pada gambar 2.4.
11
Gambar 2.4. Respon Sistem Kurang Teredam (Underdamped) ---------------------------------------------------------------------------
Sumber : Ogata K, 1997:286
Mp = overshoot maximum tp = peak time td = delay time ts = settling time tr = rise time
2.4 Konsep State dalam Sistem Kontrol
Untuk menganalisa sistem pengendalian optimal, terlebih dahulu harus didapatkan
persamaan (model matematika) dari sistem yang akan mewakili unjuk kerja dari sistem
tersebut. Dari persamaan ini kemudian direpresentasikan ke dalam persamaan ruang
keadaan (state space).
Gambar 2.5 Sistem dinamika
--------------------------------------- Sumber : Ogata K., 1997:66
Sistem
y(t) u(t)
12
Pada sistem dinamika yang ditunjukkan Gambar 2.5., keluaran y(t) untuk t > t1
tergantung pada nilai y(t1) dan masukan u(t) untuk t > t1. Sistem dinamika harus melibatkan
elemen-elemen yang mengingat nilai masukan untuk t > t1. Karena integrator dalam sistem
kontrol waktu kontinyu bekerja sebagai alat pengingat (memory device), maka keluaran dari
integrator demikian dianggap sebagai variabel yang menentukan kedudukan internal dari
sistem dinamika. Jadi, keluaran dari integrator bekerja sebagai variabel keadaan. Jumlah
variabel keadaan untuk menentukan dinamika sistem secara lengkap adalah sama dengan
jumlah integrator yang terlibat dalam sistem (Ogata, 1997:67).
Anggap sistem dengan banyak masukan, banyak keluaran melibatkan n integrator.
Anggap juga bahwa terdapat r masukan u1(t),u2(t),…,ur(t) dan m keluaran
y1(t),yx2(t),…,ym(t). Tetapkan n keluaran integrator sebagai variabel keadaan
x1(t), x2(t),…,xn(t). Sehingga sistem dapat dinyatakan dalam persamaan (2.1).
)tuuuxxxftx rn ;,,,;,,,()( 212111 ΚΚ=•
(2.1)
)tuuuxxxftx rn ;,,,;,,,()( 212122 ΚΚ=•
ΜΜ
)tuuuxxxftx rnnn ;,,,;,,,()( 2121 ΚΚ=•
Keluaran y1(t), y2(t),…,ym(t) diberikan oleh persamaan (2.2).
)tuuuxxxgty rn ;,,,;,,,()( 212111 ΚΚ=
(2.2)
)tuuuxxxgty rn ;,,,;,,,()( 212122 ΚΚ=
ΜΜ
)tuuuxxxgty rnmm ;,,,;,,,()( 2121 ΚΚ=
jika didefinisikan
13
x(t) = ; f(x,u,t) = ; u(t) =
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
)(
)()(
2
1
tx
txtx
n
Μ
))
)⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
tuuuxxxf
tuuuxxxftuuuxxxf
rnn
rn
rn
;,,,;,,,(
;,,,;,,,(;,,,;,,,(
2121
21212
21211
ΚΚΜ
ΚΚΚΚ
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
)(
)()(
2
1
tu
tutu
r
Μ
y(t) = dan g(x,u,t) =
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
)(
)()(
2
1
ty
tyty
m
Μ
))
)⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
tuuuxxxg
tuuuxxxgtuuuxxxg
rnm
rn
rn
;,,,;,,,(
;,,,;,,,(;,,,;,,,(
2121
21212
21211
ΚΚΜ
ΚΚΚΚ
maka persamaan (2.1) dan (2.2) menjadi persamaan (2.3).
),,()(),,()(
tuxgtytuxftx
==
•
(2.3)
dengan Persamaan (2.3) adalah persamaan keadaan dan persamaan keluaran. Bila fungsi
vektor f dan/atau g eksplisit terhadap waktu t, maka sistem disebut sistem yang bervariasi
terhadap waktu.
Bila Persamaan (2.3) dilinearkan terhadap keadaan operasi, maka diperoleh
persamaan keadaan terlinearkan dan persamaan keluaran menjadi persamaan (2.4).
)()()()()()()()()()(tutDtxtCtytutBtxtAtx
+=+=
•
(2.4)
dengan A(t) disebut matriks keadaan, B(t) matriks masukan, C(t) matriks keluaran, dan
D(t) matriks transmisi langsung.
Bila fungsi vektor f dan g tidak eksplisit terhadap waktu t, maka sistem disebut sistem invarian waktu. Dalam hal ini, Persamaan (2.3) dapat disederhanakan menjadi permaan (2.5).
),()(),()(
uxgtyuxftx
==
•
(2.5)
Persamaan (2.4) dapat dilinearkan di sekitar kedudukan operasi menjadi persamaan (2.6).
)(.)(.)()(.)(.)(tuDtxCtytuBtxAtx
+=+=
•
(2.6)
14
2.5 Keterkendalian dan Keteramatan 2.5.1 Keterkendalian (Controllability)
Suatu sistem dikatakan dapat dikendalikan jika dimungkinkan untuk mendapatkan suatu vektor kendali (u) yang dalam waktu berhingga dapat membawa sistem tersebut dari suatu kondisi awal x(0) ke kondisi lain x(f).
Matriks keterkendalian: [ B | AB | …..A(n-1)B ] (2.7) Agar sistem dapat dikendalikan maka : 1. Tidak ada kolom yang merupakan kelipatan kolom lainnya. 2. Nilai determinan tidak sama dengan nol.
2.5.2 Keteramatan (Observability)
Suatu sistem dikatakan dapat teramati apabila setiap keadaan awal x(0) dapat
ditentukan oleh pengamatan y(kT) selama periode waktu terhingga.
1. Tidak ada kolom yang merupakan kelipatan kolom lainnya.
2. Nilai determinan tidak sama dengan nol.
2.6 Konsep Sistem Kontrol Optimal Menggunakan Metode Linear Quadratic
Regulator (LQR)
Sistem optimal adalah sistem yang mempunyai unjuk kerja terbaik (best
performance) terhadap suatu acuan tertentu. Sistem kontrol optimal memerlukan adanya
suatu kriteria optimasi yang dapat meminimumkan hasil pengukuran dengan deviasi
perilaku sistem terhadap perilaku idealnya (Sumber: Frank L.Lewis, 1996).
Pengukuran tersebut dilakukan dengan menentukan indeks performansi, yang
merupakan suatu fungsi dari suatu harga yang dapat dianggap menunjukkan seberapa besar
kinerja sistem yang sesungguhnya sesuai dengan kinerja yang diinginkan. Indeks
performansi merupakan tolak ukur suatu sistem kontrol optimal. Sistem akan optimal bila
nilai indeks performansinya adalah minimum.
∫=tf
ti
dttuxLJ ),,( bila J minimum, maka sistem optimal. (2.9)
Supaya sistem tersebut dapat dikontrol, maka perlu dibuat model matematis yang
menghubungkan antar masukan (input) dan keluaran (output). Pada sistem kontrol optimal
15
model yang banyak digunakan adalah persamaan keadaan. Representasi system dalam
bentuk persamaan ruang keadaanbisa dilihat pada gambar 2.6. Dalam persamaan keadaan
persamaan diferensial berorde satu secara simultan, dan ditulis dalam notasi vektor matriks:
[X]’ = [A][X] + [B][U] (2.10)
[Y] = [C][X] + [D][U]
Gambar 2.6. Representasi sistem dalam bentuk persamaan ruang keadaan. ------------------------------------------------------------------------------------------- Sumber : Ogata, 1997 :68
Hubungan persamaan keadaan dengan fungsi alih sistem :
T (s) = C(SI – A) -1B + D (2.11)
Dengan menggunakan model persamaan keadaan maka sistem kontrol optimal dapat
diterapkan pada sistem atau proses yang lebih kompleks.
Cara untuk mengukur kualitas respon transien pada sistem kontrol yang diberi input
unit step yaitu dengan control area. Performansi sistem terbaik ditandai apabila harga
keluaran y(t) mendekati nilai setting r(t), sehingga luasan error E = Y – C (mendekati nol).
Pengendali deterministik membutuhkan variabel keadaan secara lengkap untuk
membangkitkan sinyal kontrol optimal dengan jalan meminimumkan suatu fungsi yang
disebut cost function. Cost function ini mewakili indeks performasi yang berfungsi sebagai
tolak ukur untuk meminimumkan luasan error. Contoh luasan control area bisa dilihat pada
gambar 2.7.
Gambar 2.7. Luasan control area untuk sistem diredam lebih.
----------------------------------------------------------------------------- Sumber : D’Azzo Houpis, 1988:546
16
2.6.1 Teori Regulator Optimal
Dalam beberapa proses, variabel yang dikontrol akan mengalami deviasi karena
adanya gangguan. Regulator kontrol dirancang untuk melakukan kompensasi terhadap
gangguan.
Linear Quadratic Control merupakan salah satu metode dalam perancangan sistem
kontrol optimal. Plant diasumsikan bersifat sistem linier, dalam bentuk persamaan keadaan,
dan fungsi obyektif adalah fungsi kuadratik dari keadaan plant dan sinyal input kendali.
Permasalahan dapat dirumuskan dan dipecahkan pada kawasan frekuensi menggunakan
fungsi alih.
Kelebihan penggunaan formula Linear Quadratic adalah pada kemudahan analisa
dan pengimplementasiannya. Beberapa masalah yang biasa diselesaikan dengan metode ini
adalah masalah minimisasi waktu, minimisasi bahan bakar, dan lain-lain.
Dengan menggunakan program Matlab matriks keteramatan diperoleh dengan cara sebagai berikut:
O = obsv (A,C); Rank (O) Ans = 4 Det O = 5.7948x10-8
Nilai determinan tidak sama dengan nol karena matriks keteramatan memiliki full rank yaitu sebesar 4. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem dapat diamati (observable).
5.2.3. Penentuan Matriks Bobot Matriks bobot adalah matriks Q dan R. Pemilihan matriks Q dan R dilakukan
dengan cara coba-coba (trial and error). Dengan syarat, matriks Q adalah matriks simetris, semidefinit positif dan real (Q > 0). Matriks Q merupakan matriks berordo4×4 yang ditulis sebagai persamaan (5.7).
Q = (5.7)
⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
qq
qq
000000000000
Matriks Q adalah matriks diagonal dengan komponen-komponennya q, dan bila diadakan pemisahan akan diperoleh matriks identitas yang dikalikan dengan konstanta q.
Sedangkan matriks R adalah matriks simetris, definit positif dan real (R > 0). Matriks R merupakan matriks berordo 1×1 yang ditulis sebagai persamaan (5.8).
R = [ (5.8) ]r
Matriks R adalah matriks diagonal dengan komponen-komponennya r, dan bila diadakan pemisahan akan diperoleh matriks identitas yang dikalikan dengan konstanta r.
Untuk menghitung besarnya nilai penguatan (gain) optimal K digunakan bantuan
program Matlab. Untuk mendapatkan gain K terlebih dulu harus memilih matriks bobot
Q dan R. Pemilihan matriks bobot Q dan R ini berdasarkan nilai sisa relatif yang paling
kecil. Perhitungan nilai sisa relatif tersebut dapat dilakukan dengan cara coba-coba (trial
and error). Yaitu dengan mengubah-ubah nilai matriks Q, sedangkan matriks R tetap
bernilai 90. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai sisa relatif terkecil dihasilkan oleh
matriks Q=0.945x10-4. Proses selanjutnya, nilai matriks R yang diubah-ubah dengan
37
nilai matriks Q tetap. Dan nilai sisa relatif terkecil dihasilkan oleh matriks R=100.
Sehingga dapat ditetapkan bahwa kombinasi matriks bobot Q dan R yang menghasilkan
nilai sisa relatif terkecil adalah
⎥⎥⎥⎥⎥
⎦
⎤
⎢⎢⎢⎢⎢
⎣
⎡
=
−
−
−
−
4
4
4
4
10945.0000010945.0000010945.0000010945.0
xx
xx
Q ; dan R=[100].
Dengan melakukan pemilihan nilai sisa relatif paling kecil, diharapkan akan
memperoleh perbaikan karakteristik sistem.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan nilai sisa relatif untuk berbagai nilai
Tabel 5.1. Nilai sisa relatif untuk berbagai matriks bobot Q dan R.
--------------------------- Sumber: Hasil Perhitungan
5.2.4. Hasil Perhitungan Nilai Umpan Balik Optimal Tujuan dari optimasi dengan menggunakan metode LQR adalah mendapatkan
nilai umpan balik (K) optimal, yang mampu meminimumkan cost function J. Perhitungan ini dilakukan dengan jalan memasukkan persamaan Riccati yang telah diturunkan pada bab sebelumnya. Sedangkan matrik pembobotan Q dan R ditentukan secara sembarang, dengan syarat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dari persamaan Riccati tersebut, akan dapat diketahui matrik P.
Matrik P adalah matrik solusi dari persamaan Ricccati. Jika nilai-nilai matrik P telah diketahui, kemudian disubstitusikan ke persamaan K=R -1BTP. Sehingga dapat diketahui nilai matrik umpan balik optimal (K) yang meminimumkan cost function J.
Dikarenakan banyaknya data yang ada, pada perhitungan nilai vektor kontrol optimal K, dibutuhkan bantuan program komputer, dalam hal ini digunakan paket program MATLAB versi R-12. Perhitungan dengan menggunakan paket program MATLAB ini dapat diketahui nilai umpan balik optimal K sistem yang optimal berdasarkan model sistem.
38
Dari perhitungan tersebut diperoleh nilai matriks penguatan (gain) umpan balik optimal untuk sistem tersebut seperti pada tabel (5.1).
Tabel 5.1 Hasil optimasi system untuk berbagai matriks bobot Q dan R
No q r [K] ts (kriteria 2%) (detik)
ts(kriteria 0%) (detik)
Error steady state(ess)(0C)
1. 0.9x10-4 90 0.0066 0.0165 0.0101 0.0007
1451.8 1796.5 2.7
2. 0.925x10-4 90 0.0067 0.0168 0.0103 0.0007
1492 2162.8 4.1
3. 0.935x10-4 90 0.0068 0.0169 0.0104 0.0008
1481.5 2101.2 5
4. 0.945x10-4 90 0.0068 0.0170 0.0104 0.0008
1454.2 1867.6 5.3
5. 0.95x10-4 90 0.0068 0.0171 0.0105 0.0008
1403 1672.8 5.8
6. 0.9x10-4 100 0.0062 0.0154 0.0095 0.0007
1449.2 1986.2 2.4
7. 0.925x10-4 100 0.0063 0.0157 0.0096 0.0007
1430 1896.5 1.19
8. 0.935x10-4 100 0.0063 0.0158 0.0097 0.0007
1353.6 2037.2 0.6
39
9. 0.94x10-4 100 0.0064 0.0159 0.0097 0.0007
1362 1621.8 0.2
10. 0.945x10-4 100 0.0064 0.0159 0.0098 0.0007
1410.8 1816 0.02
11. 0.95x10-4 100 0.0064 0.0160 0.0098 0.0007
1371 1656.4 0.3
12. 0.9x10-4 110 0.0058 0.0145 0.0089 0.0006
1500 2263.2 7.3
13. 0.925x10-4 110 0.0059 0.0148 0.0091 0.0007
1402.8 1692.4 5.5
14. 0.935x10-4 110 0.0060 0.0149 0.0091 0.0007
1417 1747.2 5.1
15. 0.945x10-4 110 0.0060 0.0150 0.0092 0.0007
1432.5 1815.8 3.3
5.3 Simulasi Sistem Kontrol Optimal dengan Paket Program MATLAB Simulasi sistem dilakukan pada berbagai nilai bobot Q dan R, dengan
menggunakan paket program MATLAB. Menurut data yang ada, sinyal uji berupa sinyal step sebesar 3000C. Sehingga diperoleh grafik respon sistem terhadap sinyal uji step seperti pada gambar (5.1).
40
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.1. Respon solar boiler untuk q=0.9x10-4 dan r =90. Pada Gambar 5.1 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.9x10-4 dan R =
90 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error 2%))
sebesar 1451.8 detik dan ts ( kriteria error 0%) sebesar 1796.5 detik.
Suhu(0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.2. Respon solar boiler untuk q=0.925x10-4 dan r =90. Pada Gambar 5.2 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.925x10-4 dan R
= 90 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error 2%)) sebesar 1492 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 2162.5 detik.
41
Suhu (0C)
Waktu (detik) Gambar 5.3. Respon solar boiler untuk q=0.935x10-4 dan r =90 Pada Gambar 5.3 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.935x10-4 dan R
= 90 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error 2%))
sebesar 1481.5 detik dan ts ( kriteria error 0%) sebesar 2101.2 detik.
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.4. Respon solar boiler untuk q=0.945x10-4 dan r =90. Pada Gambar 5.4 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.945x10-4 dan R
= 90 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error2%))
sebesar 1454.2 detik dan ts ( kriteria error 0%) sebesar 1867.6 detik.
42
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.5. Respon solar boiler untuk q=0.95x10-4 dan r =90. Pada Gambar 5.5 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.95x10-4 dan R
= 90 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error 2%))
sebesar 1403 detik dan ts (kriteria error0%) sebesar 1672.8 detik.
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.6. Respon solar boiler untuk q=0.9x10-4 dan r =100. Pada Gambar 5.6 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.9x10-4 dan R =
100 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error2%))
sebesar 1449.2 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 1986.2 detik.
43
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.7. Respon solar boiler untuk q=0.925x10-4 dan r =100. Pada Gambar 5.7 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.925x10-4 dan R
= 100 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error 2%))
sebesar 1430 detik dan ts (kriteria 0%) sebesar 1896.5 detik.
Suhu (0C)
Waktu (detik) Gambar 5.8. Respon solar boiler untuk q=0.935x10-4 dan r =100. Pada Gambar 5.8 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.935x10-4 dan R
= 100 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error 2%))
sebesar 1353.6 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 2037.2 detik.
44
= 1
sebe
= 1
sebe
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.9. Respon solar boiler untuk q=0.94x10-4 dan r =100. Pada Gambar 5.9 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.94x10-4 dan R
00 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error2%))
sar 1362 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 1621.8 detik.
Suhu (0C)
waktu (detik)
Gambar 5.10. Respon solar boiler untuk q=0.945x10-4 dan r =100 Pada Gambar 5.10 dapat diamati dengan nilai matrik bobot Q = 0.94x10-4 dan R
00 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error 2%)
sar 1410.8 detik dan ts ( kriteria error 0%) sebesar 1816 detik.
45
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.11. Respon solar boiler untuk q=0.95x10-4 dan r =100. Pada Gambar 5.11 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.95x10-4 dan R
= 100 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error2%))
sebesar 1371 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 1656.4 detik.
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.12. Respon solar boiler untuk q=0.9x10-4 dan r =110. Pada Gambar 5.12 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.9x10-4 dan R
= 110 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error2%))
sebesar 1500 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 2263.2 detik..
46
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.13. Respon solar boiler untuk q=0.925x10-4 dan r =110. Pada Gambar 5.13 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.925x10-4 dan
R = 110 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error2%)) sebesar 1402.8 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 1692.4 detik..
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.14. Respon solar boiler untuk q=0.935x10-4 dan r =110. Pada Gambar 5.14 dapat diamati, dengan nilai matrik bobot Q = 0.935x10-4 dan
R = 110 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error2%))
sebesar 1417 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 1747.2 detik..
47
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.15. Respon solar boiler untuk q=0.945x10-4 dan r =110. Pada Gambar 5.15 dapat diamati dengan nilai matrik bobot Q = 0.945x10-4 dan
R = 110 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error2%))
sebesar 1432.5 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 1815.8 detik..
5.3.1. Simulasi Sistem Optimal dengan Gangguan
Menurut data yang ada, gangguan (disturbance) yang masuk ke dalam solar
boiler berupa aliran masukan (feed) sebesar 0.35 kg/s dan suhu pada preheater sebesar
1500C. Blok diagram sistem secara keseluruhan adalah seperti pada gambar (5.16).
Gambar 5.16. Blok diagram sistem dengan gangguan
Sumber : perancangan
48
Dari keseluruhan hasil simulasi, hanya diambil respon sistem optimal terhadap
gangguan yang memiliki performansi terbaik, yaitu dengan nilai matrik bobot Q =
0.945x10-4 dan R = 100 dan responnya ditunjukkan pada gambar 5.17.
Suhu (0C)
Waktu (detik)
Gambar 5.17 Respon solar boiler terhadap gangguan untuk q = 0.945x10-4 dan
r = 100 Pada Gambar 5.17 dapat diamati dengan nilai matrik bobot Q = 0.945x10-4 dan
R =100 sistem akan memiliki waktu keadaan mantap (time settling (kriteria error 2%))
sebesar 1353.6 detik dan ts (kriteria error 0%) sebesar 1705 detik.
49
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari hasil keseluruhan hasil analisa yang telah dilakukan pada skripsi ini, maka
dapat disimpulkan bahwa penerapan pengendalian optimal terhadap solar boiler,
khususnya pada penguapan air melalui once trough mode dapat dilakukan dengan baik.
Dengan melihat hasil simulasi yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1.Hasil optimasi dengan menggunakan metode LQR memiliki respon solar
boiler yang paling optimal pada nilai matrik bobot Q = 0.945x10-4 dan R = 100
2.Pengaruh pengendalian optimal dengan metode LQR pada pengontrolan suhu
uap solar boiler menghasilkan respon waktu yang lebih cepat dan error steady state
yang lebih kecil. Perbandingan waktu pencapaian keadaan mantap (time settling) dan
error steady state sistem sebelum dan sesudah menggunakan umpan balik LQR, dapat
dilihat pada tabel 6.1.
Tabel 6.1. Perbandingan waktu pencapaian keadaan mantap (time settling) dan error steady state sistem.
ts (error 2%) (detik)
ts (error 0%) (detik)
ess (0C)
Tanpa umpan balik
1901.6 2284.5 106.55
Menggunakan umpan balik LQR
1410.8 1816 0.02
Tanpa umpan balik dengan gangguan
1802.4 2222.5 139
Menggunakan umpan balik LQR dengan gangguan
1353.6 1705 23.45
6.2 Saran
1. Pemilihan matrik bobot Q dan R pada skripsi ini dilakukan dengan cara
coba-coba (trial and error), yang membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk mendapatkan hasilnya. Oleh sebab itu perlu dikembangkan metode
yang lebih baik untuk mendapatkan nilai matrik bobot Q dan R tersebut.
50
2. Metode optimasi LQR memiliki kekurangan tidak dapat mengatasi gangguan
acak (noise) pada sistem. Untuk mengatasi hal tersebut digunakan metode
optimasi LQG yang memperhitungkan gangguan acak.
3. Perhitungan sistem dalam skripsi ini diperoleh dengan asumsi bahwa valve
bersifat linier dan dalam pengembangan selanjutnya perlu dipertimbangkan
karakteristik riilnya.
51
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Smith, Carlos dan B. Corripio, Armando. 1985. Principles and Practice of Automatic Process Control. Kanada: John Wiley & Sons, Inc.
2. Gopal, M. 1987. Modern Control System Theory. Singapura: John Wiley & Sons
(SEA) Pte.Ltd. 3. Gunterus, Frans. 1994. Falsafah Dasar : Sistem Pengendalian Proses. Jakarta: PT
Elex Media Komputindo. 4. Houpis, D’Azzo. 1988. Linier Control Systems Analysis and Design. USA:
McGraw-Hill,Inc. 5. Lewis, F.L. 1996. Optimal Control. Kanada: John Wiley & Sons, Inc.
6. Ogata, Katsuhiko. 1997. Teknik Kontrol Automatik (Sistem Pengaturan) Jilid 1
Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. 7. Tor A. Johansen.2000. Gain Scheduled Control of a Solar Power Plant.Scotland 8. Valenzuela Loreto.2004 Direct Steam Generation in Solar Boilers.IEEE Control
System Magazine 9. Wahyu, Thomas dan Agung, Wahyu. 2003. Analisis dan Desain Sistem Kontrol
dengan MATLAB. Yogyakarta : Penerbit ANDI.
52
Nomenclature Acol Collector aperture [m] E Solar irradiance [W/m2] K Proportional gain (PID) Lcol Collector length [m] Lloop Collector loop length [m] P Pressure [bar] T Temperature [.C] Tamb Ambient temperature [.C] Tav Average fluid temperature in the collector loop [.C] Ti Integral time constant (PID) [s] Tin Water temperature at collector loop inlet [.C] Tin c Water/steam temperature at collector inlet [.C] Tinj Injection water temperature [.C] Tout Steam temperature at collector row outlet outlet [.C] Tref Steam temperature reference [.C] Sabs Absorber pipe area of the collector loop [m2] afv Feed valve aperture demanded [%] aiv Injector valve aperture demanded [%] apv Steam pressure valve aperture [%] em in Inlet mass flow error [kg/s] eT Temperature error [.C] hin Specific enthalpy of water at collector row inlet [kJ/kg] hin c Specific enthalpy of water at collector inlet [kJ/kg] hinj Specific enthalpy of injection water at collector inlet [kJ/kg] hout Specific enthalpy of steam at collector row outlet [kJ/kg] href Specific enthalpy reference of steam at collector row outlet [kJ/kg] min Mass water flow at collector row inlet [kg/s] min c Mass water/steam flow at collector inlet [kg/s] minj dem Injection water flow demanded at collector inlet [kg/s] minj set Injection water flow reference at collector inlet [kg/s] minj Injection water flow at collector inlet [kg/s] w Feed pump power [%] _ Increment Parameter Value Collector row length 500 m Collector type Modified LS-3 Collector aperture 5.76 m Number of collectors 9 50-m-long collectors 2 25-m-long collectors Orientation of the solar collectors North-South Absorber pipe outer diameter 70 mm Absorber pipe inner diameter 50 mm Optical efficiency of solar collectors 73% Total mirror surface 2760 m2 Maximum pressure at the field outlet 100 bar Maximum outlet temperature 400 .C Maximum steam production 0.85 kg/s Table 2. Operating points studied in the DISS solar field. Solar Field Inlet Conditions Temperature Outlet Conditions Temperature Conditions Pressure [bar] [.C] Pressure [bar] [.C] Mode 1 40 210 30 300
53
54
Grafik perhitungan dead time: Dari grafik dapat diketahui bahwa untuk panjang pipa = 50 meter, maka dead time = 0.4 dan lag time =0.64