Top Banner
70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m Paradigma, Metode dan Masalah Soetandyo Wignjosoebroto ELSAM dan HUMA
316

70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Jan 31, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto

H u k u m Paradigma, Metode dan Masalah

Soetandyo Wignjosoebroto

ELSAM dan HUMA

Page 2: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

@ Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Masalah Tim Editor Ifdhal Kasim (Editor Utama) Winarno Yudho Sandra Moniaga Noer Fauzi Ricardo Simarmata Eddie Sius RL. Desain Sampul Tata Letak Cetakan Pertama, November 2002 Hak penerbitan ada pada ELSAM dan HUMA Penerbit 1. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510 Tlp. (021) 797 2662, 7919 2564. Faks (021) 7919 2519 Email: [email protected], [email protected] Website: http://www.elsam.or.id

2. Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA)

Page 3: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

DAFTAR ISI

Pengantar Penerbit Daftar Isi Pendahuluan Bagian Pertama Menyemai Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Mempelajari dan Memahami Hukum

1. Optik Sosiologi Hukum dalam Mempelajari Hukum 2. Para Perintis Sosiologi Hukum dari Masa Belahan Akhir Abad

19 dan Awal Abad 20: Dari Alam Pemikiran Eropa Barat ke Amerika Serikat A. Alam Pemikiran Eropa Barat B. Alam Pemikiran Amerika Serikat

3. Topik-Topik Terpilih Sosiologi Hukum: Suatu Tawaran untuk

Perbincangan 4. Perkembangan Pemikiran dalam Sosiologi Hukum sebagai

Respon atas Perkembangan Sosial-Politik Bagian Kedua Paradigma, Ancangan Konsep, Teori dan Metodologi dalam Kajian Hukum 5. Perubahan Paradigma dalam Ilmu Hukum pada Masa Peralihan

Milenium 6. Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial tentang Hukum: Perbedaan

Konsepsi dan Konsekuensi Metodenya 7. Penggunaan Metodologi Penelitian Menurut Tradisi Sains dalam

Ilmu Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial: Perbincangan tentang Masalah Teknis-Operasionalnya

Page 4: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

8. Mempelajari dan Memahami Hukum sebagai Realitas Sosial: Metode Penelitian

9. Konsep dan Teori yang Disebut “Hukum”: Pendekatan Makro

(Struktural) dan Pendekatan Mikro (Simbolis-Interaksional) 10. Paradigma Penelitian Kualitatif dan Konsekuensinya dalam

Strategi Pelaksanaannya (Sebagaimana Dicontohkan dalam Grounded Theory)

11. Hukum dan Pemaknaannya Menurut Pengalaman Kebahasaan

Para Penggunanya: Pengantar ke Arah Kajian Hukum dengan Pendekatan Semiotika

Bagian Ketiga Hukum dan Perkembangannya yang Seiring dengan Dinamika Perkembangan Sosial-Politik 12. Transplantasi Hukum ke Negara-Negara yang Tengah

Berkembang, Khususnya Indonesia 13. Pembangungan Hukum Nasional: Tantangan bagi Pemimpin

Lokal 14. Perkembangan Hukum dan Perkembangan Bisnis 15. Masalah Pluralisme dalam Sistem Hukum Nasional 16. Perkembangan Profesi Hukum di Indonesia 17. Fungsi Paralegal dalam Tinjauan Sosio-Historis 18. Pembaruan Hukum untuk Menggalang Kehidupan Masyarakat

Indonesia Baru yang Berperikemanusiaan dan Berkeadilan 19. Membangun Budaya Hukum dalam Pembangunan Hukum Bagian Keempat

Page 5: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Aspek-Aspek Sosio-Legal Konstitusionalisme, Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia 20. Konstitusi dan Konstitusionalisme 21. Hak-Hak Asasi Manusia Konstitusionalisme: Hubungan antara

Masyarakat dan Negara

22. Hak-Hak Asasi Manusia dan Persoalan Hak-Hak Kebebasan Warga Negara

23. Doktrin Supremasi Hukum: Sebuah Tinjauan Kritis dari

Perspektif Historis Mengenai Perkembangan Hukum Barat 24. Hukum di Bawah “Kuasa” Paradigma Liberalisme 25. Doktrin Apakah Sesungguhnya yang Terkandung dalam Istilah

Negara Hukum? Bagian Kelima Masyarakat Warga, Kebangsaan, Demokrasi dan Penegasan Kembali Reformasi 26. Dari Masyarakat Kawula-Gusti dalam Old Society ke Masyarakat

Warga dalam New State 27. Konsep Kewarganegaraan dalam Kehidupan Bernegara Bangsa:

Sebuah Penjelasan Ringkas 28. Aspirasi Warga Masyarakat dalam Kehidupan Bernegara 29. Wawasan Kebangsaan dalam Kehidupan Bernegara: Sebuah

Kerangka Pemikiran Teoretis 30. Demokrasi, Demokratisasi, dan Usaha Memberdayakan

Masyarakat di Hadapan Kekuasaan Negara 31. Perkembangan Demokrasi dalam Kehidupan Berbangsa di

Tengah Perkembagan Kehidupan Global

Page 6: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

32. Paham Kebangsaan dalam Suatu Masyarakat yang Majemuk

dan Perannya sebagai Kekuatan Pengintegrasi 33. Dilema Nasionalisme pada Peralihan Milenium: Reaktualisasi

Nilai-Nilai Budaya demi Integritas Bangsa, Kasus Indonesia 34. Reformasi Kehidupan Berbangsa demi Terselenggaranya

Pembangungan yang Lebih Berwawasan Kerakyatan dan Kemanusiaan

35. Reformasi sebagai Proses Pemaknaan Ulang Konstitusi (DAri

Fungsi Pelegitimasi Kekuasaan Negara ke Fungsi Pelegitimasi Hak-Hak Asasi Manusia Warga Negara)

Page 7: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Pengantar Penerbit Serva ordinem et ordo servabit te. Ini adalah pepatah Latin kuno yang secara harfiah berarti “layanilah peraturan maka peraturan pun akan melayanimu”. Itu berarti ada internalisasi nilai-nilai yang termaktub dalam peraturan dalam berbagai bentuknya. Persoalannya, dari manakah asalnya nilai-nilai itu? Dari alam ide atau dari realitas empiris? Yang mana yang diakui sebagai benar, yang berasal dari dunia ide entah berentah ataukah yang berasal dari dunia real-empiris? Mengapa sebuah nilai diakui sebagai norma yang “mengikat” dan mengapa yang lain tidak? Itulah beberapa di antara berbagai masalah yang menggelisahkan ilmu hukum yang anehnya tak bisa dicarikan jawabannya oleh ilmu hukum itu sendiri. Ia membutuhkan ilmu dan perspektif lain untuk mendapatkan jawabannya, semisal sosiologi dan filsafat bahkan logika dan psikologi yang kemudian melahirkan ilmu-ilmu baru semisal sosiologi hukum, filsafat hukum dan psikologi hukum. Kecenderungan ini kemudian melahirkan kegelisahan bagi ilmuwan hukum yang “mapan” alias positivis serta penganut paham legisme dan formalisme. Profesor Soetandyo Wignjosoebroto adalah satu di antara sedikit ilmuwan hukum beraliran kritis dan non-positivis di Indonesia. Pemikiran-pemikirannya di satu sisi sangat menantang dan mencerahkan, tetapi di sisi lain sangat sulit didapatkan karena profesor yang satu ini jarang menuliskan pemikirannya dalam bentuk sebuah buku utuh; pemikiran-pemikiran briliannya tersebar dalam bentuk hand out kuliah, esai untuk bahan seminar, training, lokakarya pertemuan para pakar, dsb. Beruntung bagi yang memiliki akses langsung pada beliau. Bagi yang tidak, sangat susah mendapatkan beberapa tulisannya. Perlulah kiranya kami mengetengahkan sebuah kisah tentang hal itu. Ketika kami sedang berupaya memilah-milah naskah beliau yang jumlahnya ratusan untuk diterbitkan, seorang kandidat doktor dari Universitas Indonesia menghubungi kami untuk meminta beberapa tulisan beliau yang menurut kandidat doktor tadi dianjurkan promotornya sebagai “pustaka utama”. Bayangkan! Selama ini kata “pustaka utama” melekat dalam pikiran kita sebagai buku utuh yang sudah menjadi pegangan resmi dan bacaan wajib para pakar dan mahasiswa. Ini tidak! “Pustaka utama”-nya adalah sekumpulan naskah lepas yang barangkali akan segera dilupakan. Sungguh kisah ini menjadi energy drink bagi kami yang memang sedang dalam proses menggarap buku ini. Kekaguman yang bertambah ini mempertegas motivasi awal kami menerbitkan buku ini. Memang, rencana menerbitkan buku ini sebagai sebentuk “kado ulang tahun untuk Bapak” sudah sejak lama direncanakan oleh teman-teman ELSAM terutama dari bagian Program Hukum dan Masyarakat (yang sekarang kemudian menjadi lembaga tersendiri dengan nama HuMa). Waktu itu, motivasinya barangkali murni kado diimbuhi sedikit ambisi untuk mendiseminasikan berbagai gagasan segar dan pemikiran tajam dari profesor kita ini. Seiring perjalan waktu, terutama selama proses penggarapannya, terbersit dan terlontar decak atas daya intelektualitas beliau serta penyesalan tak kunjung

Page 8: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

habis yang mungkin muncul jika berbagai pemikiran beliau ini tidak dipublikasikan untuk kalangan yang lebih luas dari daya jangkaunya selama ini yang hanya terbatas pada lingkungan akademis tertentu, kesempatan olah-intelektual tertentu, dan lingkungan pemikir-pemikir kritis muda yang kebanyakan tersebar di lembaga-lembaga ornop dan kampus tertentu. Jadilah, kerja menjadikan beberapa di antara begitu banyak tuangan pemikiran beliau sebagai sebuah buku penuh dengan kegembiraan dan letupan-letupan nikmat intelektual terutama karena kedahagaan kami akan karya intelektual yang berbobot – yang sayangnya masih sangat minim di negeri ini. Nah, berbagai kumpulan tulisan dalam buku ini – yang kemudian terkesan bukan lagi sebuah antologi, karena dijalin dengan begitu apik oleh tim editor termasuk penulisnya sendiri – mencoba menawarkan bukan jawaban final atas berbagai permasalahan hukum dan masyarakat di mana dan untuk apa hukum itu ada, melainkan terutama sebuah cara menjawab. Kita toh mengerti betul – mengikuti Plato yang mementingkan cara bertanya yang baik dan benar untuk melahirkan pengetahuan yang sejati – bahwa cara menjawab yang salah dengan sendirinya akan melahirkan jawaban yang salah pula. Artinya, di sini yang berperan adalah soal perspektif, metode, paradigma, dan logikanya. Sebagai seorang intelektual “kritis” tanpa harus “kiri”, Profesor Soetandyo Wignjosoebroto mengajak Anda untuk “bertamasya” ke alam rasio yang serius tetapi mengasyikkan karena dari sana Anda bisa menyaksikan “dunia” dengan lebih cerah dan penuh optimis. Lectori salutem! Jakarta, 19 November 2002

Page 9: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

PENGANTAR: CATATAN PEMBUKA DARI PENYUNTING

Sebuah Awalan PENGGALAN kisah yang disadur oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto dari novel terkenal Les Moserables yang ditulis pengarang terkenal di masanya, Victor Hugo, yang disajikan di bawah ini, barangkali bisa menjadi semacam pengantar untuk memahami untaian pemikiran Prof. Soetandyo yang terhimpun di dalam buku ini. Marilah kita ikuti sejenak kisahnya:

Alkisah ada seorang ayah, seorang pengangguran korban PHK yang malang dan melarat, yang -karena mendengar tangis anak bayinya semalam suntuk- tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak pergi keluar dengan niat untuk mencuri roti. Anak bayi itu sungguh lapar karena air susu ibunya sudah tidak bisa keluar lagi. Betapa tidak? Si ibu itu sendiri sudah tiga hari ini tidak makan. Tidak ada kecuali rotipun -remah-remahnya saja juga tidak- yang tersisa di rumah.

Ayah yang nekat itu menuju ke sebuah toko roti di pojok jalan. Terlihat beberapa bongkah roti teronggok di belakang kaca estalase. Dipecahnya kaca itu, dan diambil sebongkah roti, dan segera saja ia larikan pulang. Untuk isteri! Ya, demi anak!

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Bunyi kaca estalase yang pecah mengundang dengan segera datang seorang polisi ke tempat kejadian. Segera saja polisi itu mengejar si ayah yang tengah melarikan roti itu. Roti memang sempat diterima si ibu. Akan tetapi belum sempat si ibu itu memasukkan roti ke mulutnya yang telah terlanjur menganga, keburu datanglah polisi itu. Polisi merenggut dan merebut roti itu dari tangan si ibu.

Sekalipun si ibu dan si ayah itu mengiba-iba, dan jerit tangis si anak tidak ada kunjung redanya, polisi itu tetap saja dengan tegar “mengamankan” roti itu sebagai barang bukti telah terjadinya pencurian, dengan si ayah itu sebagai terdakwanya. Bukankah hukum itu harus ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh? Lagi pula, bukankah pernah ada perintah Allah 'janganlah kamu mencuri'?

Arkian, polisi meneruskan tugas kewajibannya untuk memproses perkara pencurian itu, dan menyeret sang ayah ke meja hijau. Hakim pun secara konsekuen menjatuhkan pidana sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Pidana yang berlaku, yang berbunyi “barang siapa mengambil barang milik orang lain, akan dipidana penjara dengan kerja paksa karena suatu perbuatan pencurian, setinggi-tingginya enam tahun. Apabila barang yang diambil itu merupakan barang produksi atau barang dagangan, maka pidana penjara itu akan diperberat dengan tambahan sepertiganya”. Maka si ayah pun terpisah dengan paksa dari anak-istrinya, karena harus menjalani hukum selama delapan tahun lamanya.

Dibaca sekilas memang tidak ada yang istimewa dari penggalan kisah di atas: bukankah sudah seharusnya seorang pencuri ditangkap dan diajukan ke meja hijau? Lalu mengapa begitu istimewa bagi Prof. Soetandyo? Hal inilah yang ingin diungkapkannya melalui tulisan-tulisannya yang sudah mulai dikenal oleh komunitas akademis di Indonesia pada tahun 1970-an, yaitu

Page 10: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

memperkenalkan pendekatan ilmu-ilmu sosial (sosiologi) dalam mempelajari dan memahami hukum. Kisah tentang pencuri dalam novel Les Moserables di atas, apabila dilihat dari kacamata Jurisprudence (ilmu hukum) semata, terutama mazhab yang lebih menitikberatkan pada seni menemukan dan menerapkan aturan-aturan dalam suatu kasus (in concreto) -yang dikenal dengan mazhab positivisme, si ayah jelas bersalah telah melakukan pencurian walaupun dilakukannya secara terpaksa demi menyelamatkan hidup anak-istrinya. Tetapi bila dilihat dari kacamata sosiologi hukum, maka kisah tersebut bisa bermakna lain. Sosiologi hukum tidak berurusan dengan law as what ought to be, tetapi berurusan dengan pertanyaan law as what it is (functioning) in society. Kisah Les Moserables itu sekaligus dapat menggambarkan pula orientasi intelektual Prof. Soetandyo. Seperti diketahui, dalam karir akademisnya ia tidak hanya sibuk bekerja di “menara gading” universitasnya, tetapi juga berusaha terlibat dengan persoalan-persoalan riel masyarakatnya. Disinilah terlihat concern-nya yang besar pada kaum marginal yang terpinggirkan itu. Apakah itu kaum miskin kota, kaum buruh, atau bahkan masyarakat adat yang terpencil di pelosok-pelosok nusantara. Ketika ia menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), keprihatinannya terhadap masalah-masalah yang dihadapi kaum marginal tersebut menjadi lebih mudah disuarakannya. Begitu pula dengan keterlibatannya di dalam berbagai kegiatan seminar atau lokakarya yang diadakan oleh berbagai Organisasi Nonpemerintah (Ornop). Sensitivitas terhadap keadilan kaum marginal itu pula yang ingin ia kembangkan kepada calon-calon akademisi atau peneliti. Makanya ia menganjurkan kepada mereka untuk lebih menitikberatkan pada penelitian-penelitian nondoktrinal-kualitatif, ketimbang penelitian-penelitian doktrinal. Tujuannya adalah agar kaum akademisi dapat merespon terpenuhinya rasa keadilan massa awam. Dikatakannya: “dalam alam kehidupan yang kian demokratik dan people centered dewasa ini, yang amat mengharapkan terwujudnya signifikansi sosial setiap produk perundang-undangan, kiranya kajian-kajian yang kualitatif tentang berbagai permasalahan dan kebijakan sosial di dalam kehidupan manusia --agar dapat lebih merespon setiap kebutuhan hukum dan terpenuhinya rasa keadilan massa awam-- pantaslah kalau lebih banyak dianjurkan dan lebih banyak dicoba. Penelitian-penelitian nondoktrinal-kualitatif dengan ancangan paradigmatiknya yang mikro dan bertendensi pro populus itu dapat kiranya banyak memberikan sumbangan yang berarti.” Isu Pokok Buku Ini Seperti sudah disinggung di muka, buku ini memang ingin menyajikan kajian-kajian ilmu sosial tentang hukum (social science on law), khususnya sosiologi hukum (sociology of law). Bukannya hendak menyajikan kajian-kajian hukum dari sudut Jurisprudence atau Rechtsleer --yang mempelajari hukum sebagai perangkat norma atau sejumlah kaidah (“rules and logic”). Tetapi ingin menyajikan kajian-kajian tentang hukum sebagai fakta sosial yang empirik, dan ihwalnya sebagaimana terwujud sebagai bagian dari pengalaman sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat dengan menggunakan metode yang lazim dikenal dalam ilmu-ilmu sosial. Inilah yang menjadi isu pokok buku ini. Sementara dari sisi yang lain, melalui buku ini kita sekaligus

Page 11: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

dapat menyaksikan rentang pergumulan pemikiran Prof. Soetandyo selama karir akademisnya di bidang pengkajian sosiologi hukum, yang telah dimulainya sejak tahun 1970-an. Kajian-kajian ilmu sosial tentang hukum tersebut -yang melihat hukum sebagai fakta empirik, berbeda dengan kajian mazhab Sociological Jurisprudence yang tumbuh di dalam lingkungan kajian-kajian ilmu hukum (Jurisprudence). Mazhab Sociological Jurisprudence yang diprakarsai oleh Roscoe Pound pada tahun 1930-an di Amerika Serikat, yang muncul sebagai bentuk pembangkangan terhadap kajian ilmu hukum murni yang posivistis, sebenarnya hanyalah menggambil pendekatan sosiologis ke dalam kajian-kajian ilmu hukum. Karena itu aliran Sociological Jurisprudence tersebut tetaplah berada dalam ranah Jurisprudence, bukan berada dalam ranah kajian-kajian ilmu sosial tentang hukum, khususnya sociology of law. Kajian yang terakhir ini tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan kajian ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang tipis ini seringkali mengaburkan, sehingga orang seringkali pula menyamakan keduanya. Karena itu pula orang tidak membedakan kajian-kajian sosiologi hukumnya Prof. Satjipto Rahardjo, guru besar sosiologi hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, dengan kajian-kajian hukum yang diprakarsai oleh Prof. Soetandyo. Untuk menampilkan secara koheren dan sistematik apa yang ditandaskan di atas, kami (para penyunting buku ini) menyeleksi dengan sungguh-sungguh seluruh karya tulis Prof. Soetandyo yang berhasil kami kumpulkan -yang jumlahnya hampir mencapai 200 tulisan. Akhirnya kami menyeleksi tulisan-tulisan yang kini terhimpun di dalam buku ini, yang kami anggap tepat menggambarkan tema pokok yang ingin kami tampilkan. Dan, untuk memudahkan pembaca mengikuti buku ini, kami memilah-milah tulisan tersebut ke dalam lima bagian. Kelima bagian itu masing-masing kami beri sub-judul, sebagai berikut: pertama “Menyemai Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Mempelajari Hukum”; kedua “Paradigma, Ancangan Konsep, Teori dan Metodologi dalam Kajian Ilmu Sosial tentang Hukum”; ketiga “Hukum dan Perkembangannya Seiring dengan Dinamika Perkembangan Sosial Politik”; keempat “Aspek-aspek Socio-Legal Konstitusionalisme, Supremasi Hukum dan Hak Asasi Manusia”; dan terakhir kami beri judul “Masyarakat Warga, Kebangsaan, Demokrasi dan Penegasan Kembali Reformasi”. Pembahasan mengenai sosiologi hukum ditempatkan pada bagian pertama, karena dari perspektif inilah penulisnya menganalisis berbagai aspek hukum, konstitusionalisme, hak asasi manusia, dan demokrasi sebagaimana yang berkembang di Indonesia. Pembahasan pada bagian pertama ini dengan demikian lebih merupakan uraian deskritif tentang apa itu sosiologi hukum, tokoh-tokoh pemikirnya baik yang datang dari Eropa Barat maupun yang berasal dari Amerika Serikat, topik-topik yang penting dikaji dalam sosiologi hukum, dan perkembangan pemikiran kontemporer yang terjadi di lingkungan sosiologi hukum itu sendiri. Secara singkat diuraikan disini tentang kemunculan Critical Legal Studies --sebuah aliran pemikiran post-realist. Selain itu, penulisnya juga berusaha menunjukkan perbedaan antara sosiologi hukum dengan aliran Sociological Jurisprudence yang berkembang dalam kajian-kajian ilmu hukum (jurisprudence) di Amerika Serikat pada tahun 1930-an, yang di sini seringkali dicampur-baurkan sebagai sesuatu yang sama. Pada bagian yang kedua masuk ke isu-isu yang lebih spesifik, yaitu menyangkut soal paradigma, ancangan konsep, teori dan metodologi. Disini penulisnya membahas mengenai perubahan-perubahan paradigma di dalam ilmu hukum, dimulai dari paradigma positivisme, pasca

Page 12: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

positivisme sampai kepada paradigma hermeneutik. Perubahan-perubahan paradigma tersebut sangat terkait erat dengan perubahan-perubahan di dalam masyarakat karena kemajuan-kemajuan di bidang pasar, tehnologi, dan sebagainya. Dari masalah perubahan paradigma itu, penulisnya kemudian masuk ke isu yang lebih spesifik lagi, yaitu menyangkut peralatan analisa dalam memahami hukum sebagai fakta empirik. Disinilah kita bicara mengenai metodologi. Disini penulis memperkenalkan metodologi ilmu sosial dalam mempelajari hukum yang disebutnya dengan “metode non-doktrinal”. Sehubungan dengan metode ini pula, ia kemudian menganjurkan digunakannya pendekatan mikro dan metode kualitatif atau grounded dalam mempelajari realitas hukum yang hidup dalam masyarakat. Isu-isu ini memang isu yang langka dibahas oleh kalangan hukum, khususnya di kalangan academic jurists-nya. Inilah sumbangan terpenting Prof. Soetandyo terhadap jurisprudence di Indonesia. Kalau pada bagian pertama dan kedua isu-isu yang dibahas lebih terfokus pada perspektif teoritik dari kajian sosiologi hukum dan metodologinya, maka pada bagian-bagian selanjutnya ini akan ditampilkan pembahasan terhadap berbagai aspek hukum dalam kaitannya dengan dinamika perubahahan sosial politik di lingkungannya dengan menggunakan perspektif sosiologis. Tetapi tidak terbatas pada aspek hukum yang disungguhkan dalam buku ini, melainkan mencakup pula isu-isu seperti konstitusionalisme, hak asasi manusia, masyarakat warga, dan demokrasi. Pembahasan mengenai hukum dalam kaitannya dengan perubahan dinamika sosial politik itu, secara spesifik, ditempatkan pada bagian ketiga. Pada bagian ini penulisnya menunjukkan bagaimana proses “hukum kolonial” menjadi “hukum nasional”, melalui proses yang disebutnya sebagai “transplantasi” hukum. Hukum nasional yang kita pahami sekarang, yang mengikat dan mengatur kita, dihasilkan oleh suatu perkembangan sejarah yang panjang di Eropa Barat. Pembahasan ini membuat kita memahami historisitas dari proses pembentukan hukum di Indonesia. Di dalam bab ini juga dibahas isu-isu menyangkut pembangunan hukum nasional, soal pluralitas hukum, kesadaran hukum masyarakat, masalah legal gap, dan pertumbuhan profesi hukum di Indonesia. Selanjutnya pada bagian empat dan lima, gilirannya dibahas isu-isu menyangkut konstitusionalisme, supremasi hukum atau negara hukum, dan hak asasi manusia. Sementara pada bagian lima, pembahasan difokuskan pada isu-isu masyarakat warga (civil society), kebangsaan, demokrasi dan reformasi -yang kini menjadi agenda politik nasional. Oleh penulisnya, semua isu-isu itu dibahas dengan menggunakan perspektif sosiologis. Yang menarik dari setiap pembahasan terhadap isu-isu tersebut adalah, penulisnya senantiasa menjelaskan terlebih dahulu asal-muasal atau historisitas setiap konsep yang dibahas (misalnya seperti konstitusionalisme), sehingga diperoleh pemahaman yang luas tentang topik yang dibahas. Begitu juga ketika membahas isu civil society (masyarakat warga), penulisnya mencoba melihatnya dari persoalan old society menjadi masyarakat warga dalam the new state. Aspek-aspek kesejarahan masyarakat lama Indonesia coba disingkap untuk kemudian dilihat kemungkinan transformasinya ke dalam new state, dimana masyarakat disini bukan lagi kawula tetapi merupakan masyarakart warga yang mempunyai hak yang sama dengan semua warga. Penutup Kata

Page 13: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Rangkaian tulisan-tulisan tersebut kami harapkan bisa menampilkan secara koheren isu pokok buku ini -sekaligus menampilkan secara koheren pemikiran Prof. Soetandyo di bidang sosiologi hukum. Tentu saja tidak semua tulisan yang ditampil disini merupakan suatu perbincangan dalam perspektif sosiologi hukum, tetapi secara keseluruhan itulah yang menjadi isu pokok rangkai tulisan di dalam buku ini. Bukan berarti tidak ada kelemahan dalam penyuntingan buku ini. Tidak bisa kami pungkiri, bahwa terkadang terjadi pengulangan pembahasan atas beberapa isu yang termuat di dalam rangkaian masing-masing bab. Selain itu, kami juga menyadari adanya perbedaan konteks lahirnya tulisan-tulisan itu. Tulisan-tulisan yang ditulis pada kurun waktu 1970-an, tentulah mencerminkan suasana dan isu yang menjadi concern intelektual saat itu, yang tentu saja berbeda dengan kurun waktu 1990-an. Apalagi dalam kurun waktu saat ini. Karena itu mengintegrasikan masing-masing tulisan tersebut, tentu akan menghilangkan suasana intelektual ketika tulisan itu ditulis. Namun demikian, apabila konteks “jaman” tulisan-tulisan itu dipahami, justru kita akan melihat perjalanan intelektual yang menarik dari penulisnya. Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca! ***

Page 14: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

BAGIAN PERTAMA MENYEMAI PENDEKATAN ILMU-ILMU SOSIAL DALAM MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI HUKUM Ilmu hukum telah lama menjadi body of knowledge yang diiringi oleh mapannya profesi hukum (juris atau lawyer) yang mempraktikkan disiplin pengetahuan itu, serta kehadiran perguruan tinggi hukum yang merawat, mereproduksi pengetahuan dan memperbanyak para penganutnya. Gejala inilah yang kemudian dikaji oleh ilmu sosial tentang hukum, khususnya sosiologi hukum. Dengan mempergunakan ilmu sosial untuk mempelajari dan memahami hukum sebagai kenyataan sosial, perhatian diarahkan pada pengetahuan hukum, para profesional hukum dan perguruan tinggi hukum dalam konteks sosialnya.

Bagian pertama ini, dimulai dengan sajian ringkas tentang pendekatan ilmu sosial dalam mempelajari hukum. Lantas dilanjutkan dengan sajian tentang pemikiran para perintis sosiologi hukum di Eropa maupun Amerika, topik-topik terpilih dalam perbincangan sosiologi hukum dan perkembangan pemikiran sosiologi hukum sebagai respon atas perkembangan sosial-politik.

Page 15: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

1 OPTIK SOSIOLOGI HUKUM

DALAM MEMPELAJARI HUKUM Pendahuluan

SOSIOLOGI hukum adalah cabang kajian sosiologi. Sebagai bagian dari cabang kajian sosiologi, sosiologi hukum tentu saja akan banyak memusatkan perhatiannya kepada ihwal hukum sebagaimana terwujud sebagai bagian dari pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Berbeda dari kajian-kajian ilmu hukum (yang murni), yang disebut jurisprudence dalam bahasa Inggris atau reine Rechtslehre dalam bahasa Jerman, sosiologi hukum tidaklah hendak membatasi kajian-kajiannya pada ihwal kandungan normatif peraturan perundang-undangan berikut sistematika dan doktrin-doktrin yang mendasarinya belaka. Dengan perkataan lain, sosiologi hukum akan mempelajari dan memerikan hidup hukum sebagaimana ada dan terwujudkannya di tengah-tengah masyarakat, dan tidak akan puas kalau hanya mempelajari hukum sebagai aturan-aturan yang tertulis dalam keadaannya yang abstrak di dalam kitab-kitab undang-undang.

Objek Kajian Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum tidak pertama-tama hendak mempelajari hukum sebagai perangkat norma atau sejumlah kaidah khusus yang berlaku. Itu adalah bagian dari kajian-kajian ilmu hukum yang dikonsepkan dan dibataskan sebagai jurisprudence. Sosiologi hukum adalah cabang kajian khusus dalam keluarga besar ilmu-ilmu sosial yang disebut sosiologi. Kalaupun sosiologi hukum juga mempelajari hukum sebagai seperangkat kaidah khusus, maka yang dikaji bukanlah kaidah-kaidah itu sendiri melainkan kaidah-kaidah positif dalam fungsinya yang diperlukan untuk menegakkan ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat dengan segala keberhasilan dan kegagalanya. Di sini, yang dimaksudkan dengan “hukum” sebagai kaidah atau norma positif ialah sebagai kaidah atau norma sosial yang telah ditegaskan sebagai hukum dalam bentuk perundang-undangan. Artinya, hukum yang demikian itu hanya akan dilihat sebagai dasar pembenar yang dibenarkan untuk dirujuk oleh para penguasa pemerintahan ketika penguasa ini bekerja mengendalikan perilaku-perilaku masyarakat (dengan tujuan agar keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat dapat terwujud). Tak ayal lagi, di dalam kajian-kajian sosiologi hukum ini hukum akan selalu dibicarakan dalam hubunganya yang amat erat dengan persoalan kontrol sosial dan sanksi (yang dilaksanakan oleh pemerintah). Maka tidaklah salah kalau Donald Black, dalam buku The Behavior of Law, mendefinisikan hukum dari sudut pandang sosiologis, atau mungkin juga dari sudut pandang ilmu politik sebagai government social control.

Page 16: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

2

Dalam kajian-kajian sosiologis, perbincangan mengenai kontrol sosial itu amat erat bersangkut-paut dengan persoalan sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu proses untuk menjadikan insan-insan sosial menjadi sadar akan adanya kaidah-kaidah, dan sehubungan dengan itu juga untuk menjadikan insan-insan ini menjadi insan-insan yang sanggup menaati sepenuh hati (to obey) atau setidak-tidaknya menyesuaikan perilakunya (to conform) dengan ketentuan-ketentuan kaidah-kaidah itu; dan bahwa melanggari kaidah-kaidah hukum itu adalah perbuatan yang salah. Maka, pengertian sosialisasi dalam sosiologi telah terlihat sebagai suatu proses yang mendahului, dan menjadi prakondisi, bagi kemungkinan kontrol sosial untuk dilaksanakan dengan efektif. Itulah penjelasanya mengapa dalam kajian-kajian sosiologi hukum ihwal sosialisasi hukum juga menempati pembicaraan yang sentral. Kemudahan dan kesulitan mensosialisasikan hukum, dengan segala faktor penyebabnya, akan banyak diulas dalam studi-studi sosiologi hukum.

Topik pokok yang ketika yang juga banyak diperbincangkan dalam sosiologi hukum setelah topik tentang kontrol sosial dan sosialisasi hukum adalah hal stratifikasi. Adapun yang disebut “stratifikasi” (stratum = lapisan) adalah proses dari hasil terjadinya pelapisan-pelapisan dalam kehidupan bermasyarakat, yang menyebabkan warga-warga masyarakat memiliki kedudukan yang tidak selalu setara, melainkan acap dalam hubungan superordinasi-subordinasi. Yang diulas di sini nanti adalah ihwal akibat kuatnya stratifikasi sosial terhadap pelaksanaan hukum. Beroperasi di tengah-tengah masyarakat yang terstratifikasi yang dalam kenyataannya memang mengenal perbedaan dan perbedaan perlakuan antara yang berstatus tinggi bagaikan Gusti-Gusti dan mereka yang berstatus rendah bagai kawula-kawula, hukum sekalipun secara normatif diidealkan “tak pernah memandang bulu” dan selalu bersikap adil. Akan tetapi, acap kali hukum itu toh tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya pada sejumlah tindakan yang diskriminatif. Masalah kesenjangan antara apa yang diidealkan dan diharuskan ini dengan apa yang dinyatakan ada di tengah pengalaman kenyataan ini lalu banyak dijadikan sasaran kajian sosiologi hukum.

Sebenarnya harus diakui bahwa tindakan-tindakan diskriminatif di dalam penerapan hukum itu tidak berawal mula dari karakteristik alami hukum itu sendiri. Hukum (sebagai kaidah) sejak awal mula selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa hendak bersengaja membeda-bedakan. Pengecualian-pengecualian, kalaupun ada, akan dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. Maka yang sesungguhnya hendak berlaku diskriminatif itu bukanlah hukumnya itu sendiri, melainkan aparat atau organisasi penegaknya, atau pula punggawa-punggawa-nya yang perorangan (yang di dalam perbincangan sehari-hari disebut “oknum”). Karena apa yang disebutkan dalam kalimat terakhir ini adalah suatu kenyataan sosial yang mudah ditemukan dan diamati dalam kehidupan sehari-hari, maka seluk-beluk perilaku aparat yang dikenali sebagai aspek struktural hukum telah dimasukkan pula sebagai bagian dari kajian-kajian sosiologi hukum. Perbincangan tentang organisasi, birokrasi serta birokratisasi, dan profesi serta profesionalisasi hukum dan peradilan lalu ikut dimasukkan ke dalam topik perbincangan sosiologi hukum.

Setelah tuntas berbincang tentang persoalan struktur hukum dan fungsinya, sosiologi hukum itu pun sejak tahun 1980-an akan berbincang tentang perubahan-perubahan. Konsentrasi studi banyak ditujukan ke arah persoalan hubungan antara

Page 17: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

3

perubahan masyarakat dan perubahan hukum sebagai salah satu institusi sosial. Sebaliknya studi juga akan berarah ke persoalan hubungan antara upaya pendayagunaan hukum dan perubahan-perubahan sosial yang dapat direalisasikan secara efektif. Sejajar dengan kesadaran dan keyakinan bahwa perubahan sosial itu dapat dikendalikan dan direncanakan, orang banyak mempelajari kemungkinan-kemungkinan pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat. Maka dikatakanlah bahwa hukum di dalam kajian-kajian sosiologi hukum itu tidak hanya dapat dikonsepkan sebagai sarana kontrol sosial untuk mempertahankan tertib-tertib status quo yang telah ada, melainkan juga sebagai a tool of social engineering. Apabila dalam perbincangan tentang hukum sebagai sarana kontrol sosial, sosiologi hukum itu akan ikut banyak merujuk ke kajian-kajian antropologik maka dalam perbicaraan-pembicaraan tentang hukum sebagai sarana rekayasa sosial, sosiologi hukum itu justru akan banyak merujuk ke kajian-kajian ilmu politik dan pemerintah negara.

Topik-topik tersebut berturut-turut di muka itu adalah kajian-kajian yang terbilang dalam kajian sosiologi hukum yang memperhatikan aspek struktural kehidupan hukum dalam masyarakat. Kajian-kajian yang menekankan aspek struktural ini dahulu, (pada tahun 1960-1970-an), dikenal dengan nama studi law in society. Sementara itu, kini, (sejak tahun 1980-an), sosiologi hukum juga meminati aspek lain dalam kehidupan hukum di dalam masyarakat, yaitu aspek makna dan pemberian makna kepada hukum (hukum sebagai simbol) oleh para pelaku hukum (yang disebut aktor) dalam hubungan antar-mereka dalam masyarakat. Berbeda dengan kajian sosiologi hukum yang lebih menekankan aspek struktur, yang lebih suka mempelajari pola-pola perilaku sosial sebagai hasil penstrukturan oleh kaidah-kaidah hukum yang berlaku, sosiologi hukum yang lebih menekankan aspek makna ini akan lebih banyak mengkonsentrasikan kajian-kajianya pada proses-proses terjadinya makna bersama di dalam interaksi antar-pelaku hukum yang berlangsung relatif bebas, dengan hasil yang tidak selamanya terbukti sama dan sebangun dengan apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh pembuat undang-undang. Pada saatnya soal makna dan pemaknaan hukum ini juga akan diangkat sebagai salah satu topik dalam kajian sosiologi hukum ini.

Sosiologi Hukum Aliran Sosiologis dalam Ilmu Hukum

Siapapun yang pernah mempelajari ilmu hukum, ia akan mengetahui bahwa ada berbagai aliran di dalam ilmu hukum, salah satu di antaranya adalah aliran sosiologis. Sosiologi hukum di lingkungan pengaji ilmu hukum acap kali disamakan begitu saja secara keliru dengan paham aliran sosiologis dalam ilmu hukum. Sebenarnya tidak betul apabila disamakan demikian itu. Aliran sosiologis dalam ilmu hukum – yang karena berasal dari pemikiran orang Amerika bernama Roscoe Pound yang dalam bahasa asalnya disebut The Sociological Jurisprudence – adalah suatu aliran pemikiran dalam jurisprudence yang berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an. Aliran dalam ilmu hukum ini disebut sociological karena dikembangkan dari pemikiran dasar seorang hakim bernama Oliver Wendel Holmes – perintis pemikiran realisme dalam ilmu hukum – yang mengatakan bahwa “sekalipun hukum itu memang benar merupakan sesuatu yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat dipertanggungjawabkan menurut imperativa-imperativa logika, namun the life of law has not been logic, it is experience”. Adapun

Page 18: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

4

yang dimaksudkan dengan experience oleh Holmes di sini tak lain adalah the social atau mungkin pula the socio-psychological experience. Maka dapatlah dimengerti mengapa dalam sociological jurisprudence ini – sekalipun fokus kajian tetap dalam persoalan kaidah positif (berikut doktrin-doktrinnya yang logis untuk mengembangkan sistem normatif hukum berikut prosedur-prosedur aplikasinya guna kepentingan praktik profesional) – faktor-faktor sosiologis lalu secara realistis (dan tak selalu harus secara normatif-positvistik) mesti senantiasa ikut diperhatikan di dalam setiap kajian.

Bertolak dari doktrin sistem Common Law sebagaimana diikuti di Amerika yang mengajarkan suatu asas bahwa hakim harus proaktif dalam setiap penyelesaian perkara dengan cara menciptakan hukum apabila perlu, dan tidak berlaku cuma bagaikan “mulut yang membunyikan bunyi undang-undang” sebagaimana yang di doktrinkan dalam sistem civil law aliran sosiologis yang dirintis Pound ini mengajarkan pula bahwa hakim tatkala bekerja proaktif membuat keputusan guna menyelesaikan perkara harus pula ikut memperhatikan kenyataan-kenyataan sosial. Lain tidak! Itu semua dimaksudkan agar keputusan-keputsan hakim selalu “membumi”, dan oleh sebab itu juga relevan dengan kebutuhan hukum di dalam masyarakat yang selalu berubah, dan seterusnya juga akan selalu fungsional di tengah perkembangan masyarakat. Dari kebijakan pendayagunaan fungsi kehakiman seperti inilah datangnya doktrin yang terbilang baru dalam sociological jurisprudence, yaitu bahwa law is a tool of social engineering. Sementara itu, karena menekankan pentingnya fungsi hukum sebagai tool itu, sociological jurisprudence ini pada saatnya kemudian juga diperkenalkan dan dikenal dengan nama baru yaitu the functional jurisprudence.

Dari penjelasan-penjelasan di muka ini dapatlah dimengerti dengan mudah mengapa kajian-kajian hukum di Amerika Serikat tak hanya dalam program-program akademik akan tetapi juga dalam praktik-praktik peradilan terbilang cukup sensitif dalam persoalan-persoalan sosiologis. Dalam kajian maupun dalam praktiknya, peradilan cenderung mempertimbangkan tuntutan dan kenyataan yang terdapat dalam konteks-kontek sosialnya. Konsekuensinya ialah bahwa hukum positif – baik yang berupa status maupun yang berupa preseden – lalu menjadi cenderung dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah yang constituendum daripada yang constitutum. Proses transformasinya dari yang constituendum ke yang constitutum itu lalu tak lagi cuma merupakan “permainan logika” yang deduktif melulu, melainkan lalu ikut pula harus mempertimbangkan pengaruh faktor-faktor dan proses-proses sosial yang ada (yang tak selamanya dapat dijelaskan berdasarkan silogisme logika deduktif itu semata). Sentimen rasial dan ideologi jender, misalnya, sering dipertimbangkan dalam persoalan apakah warna kulit dan atau jenis kelamin sang hakim (atau para juri) diprakirakan akan bias memperikan pengaruh – dan kalau “ya” seberapa besar kemungkinannya itu – dalam ihwal produk-produk keputusannya. Adalah kesadaran dan ajaran di sini bahwa dalam realitas dan demi realistisnya keputusan-keputusan hukum itu kini bagaimanapun juga mesti diupayakan agar keputusan hukum itu signifikan atau fungsional secara sosial.

Namun demikian, bagaimanapn juga sociological jurisprudence itu bukanlah sociology of law. Ilmu hukum pada awal mulanya adalah bagian dari ajaran filsafat moral (prudential), yang karenanya pada dasarnya hendak berseluk-beluk dengan soal nilai kebaikan dan keadilan. Tak salah kalau dikatakan bahwa ilmu hukum itu sejak awalnya adalah ilmu tentang dan/atau kiat yang dimaksudkan sebagai etika terapan. Bahkan

Page 19: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

5

menurut alirannya yang klasik – sebagaimana dikembangkan pada mulanya di Perancis dengan nama “aliran positivisme dalam ilmu hukum”, atau yang dikembangkan lebih lanjut dalam pemikiran Hans Kelsen sebagai “ajaran hukum murni” – menolak perbincangan tentang soal keadilan dan etika, apalagi yang sosiologis, dalam masalah pengambilan keputusan hukum atau tentang apa yang harus disebut hukum. Aliran ini menghendaki agar pengertian hukum ditegaskan dan dibataskan semata pada pengertian hukum sebagai “kaidah sosial yang telah dipositifkan” (artinya kaidah-kaidah sosial yang oleh penguasa yang berdaulat telah diperintahkan secara tersurat dengan memenuhi prosedur-prosedurnya yang formal untuk ditaati warga masyarakat) tanpa perlu mempersoalkan apakah itu kaidah-kaidah yang diperintahkan itu bernilai benar dan adil ataukah tidak.

Maka, kalaupun apa yang disebut positive jurisprudence ini pada suatu ketika dikritik oleh Holmes dan para pengikutnya yang dikenal sebagai kaum legal realist, dan pula oleh Pound dan para pengikutnya yang mengajarkan pentingnya memperhatikan dan mempertimbangkan faktor-faktor yang tak selamanya murni yuridis, namun bagaimanapun juga sociological jurisprudence yang dikembangkan sebagai alternatif itu tetaplah harus dibilangkan sebagai jurisprudence, dan bukan sosiologi. Hanya saja, apa yang dinamakan sociological jurisprudence ini (dengan mengkritik aliran positivisme itu) tidak menghendaki diperlakukannya hukum dalam praktik sebagai suatu proses yang murni hukum. Bagi sociological jurisprudence, hukum bukanlah sesuatu yang berproses secara asosial dan akultural, dan karena itu lalu juga steril. Ajaran aliran sosiologis ini muncul untuk mengkritik dan mengkoreksinya, dan sekaligus mendorong kajian-kajian hukum dan praktik pelaksanaan hukum untuk membuka diri dan bersedia menyerap hasil kajian-kajian lain yang melibatkan variabel-variabel sosio-kultural. Sekalipun demikian, harus dikatakan sekali lagi di sini bahwa bagaimanapun juga sociological jurisprudence adalah jurisprudence. Aliran sosiologis dalam ilmu hukum ini tak serta-merta mengubah diri atau meleburkan diri ke dalam kajian sosilogi. Namun harus diakui bahwa aliran sosiologis kaum realis inilah yang menyebabkan diakuinya arti penting studi-studi sosiologi hukum (dan ilmu-ilmu sosial yang lain tentang masalah hukum) bagi perkembangan jurisprudence dan praktik pelaksanaan hukum baik yang litigasi maupun yang bukan litigasi.

Berbeda dengan sociological jurisprudence yang telah diuraikan di muka, sosiologi hukum – yang terbilang salah satu cabang khusus sosiologi ini sejak awal mula – memang hanya memfokuskan perhatiannya secara khsusus kepada ihwal ketertiban sosial. Kalaupun ketertiban sosial ini bersangkut-paut erat sekali dengan persoalan kaidah-kaidah sosial (termasuk di dalamnya kaidah hukum) namun bukanlah kaidah-kaidahnya itu sendiri yang akan diterus sebagai prioritas studi, melainkan aktualisasinya berikut variable-variabel kondisional dan/atau penyebabnya. Maka dalam hubungan ini sosiologi hukum tidaklah berkenaan dan tidak pula berkenan dengan kaidah-kaidah hukum perundang-undangan ataupun dengan keputusan-keputusan hakim (berikut teknik-teknik untuk mensitematiskan serta menginterpretasikannya sebagaimana selama ini didoktrinkan dalam ilmu hukum). Sekalipun demikian, mengikuti perkembangan mutakhir, kajian-kajian sosiologi hukum mampu memberikan kontribusi cukup besar bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya juga berkat advokasi sociological jurisprudence yang risau dengan persoalan upaya memfungsionalkan peran hukum dalam masyarakat.

Page 20: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

6

Kini, di masyarakat-masyarakat industri yang amat cepat berubah, dan juga di negara-negara dunia ketiga yang tengah berkembang lewat berbagai upaya pembangunan, pengaruh ajaran sosiologis dalam ilmu hukum, dan dengan demikian juga sosiologi hukum dengan cepat telah menjadi mengedepan. Pengaruh ini kian besar tak lain karena di dalam suatu kehidupan yang amat cepat berubah, dan menjadi kian majemuk dan heterogen, hukum tak hanya akan berfungsi sebagai sarana pengontrol yang koservatif serta berorientasi normatif-tekstual, melainkan juga akan kian berfungsi sebagai sarana merancang kehidupan masa depan, dengan visi-misinya yang futuristis dan berorientasi faktual-kontekstual. Dalam hal ini, sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lain yang berkenaan dengan permasalahan hukum (hukum sebagai realitas sosial) menjadi kian bermakna. Metode Kajian Karena sosiologi hukum adalah cabang khusus sosiologi, maka metode kajian yang dikembangkan adalah metode yang telah dilazimkan dalam sosiologi itu. Sebagaimana diketahui, sosiologi mencoba melihat objek-objek kajiannya dengan kacamata penglihatan deskriptif. Artinya, ia pertama-tama hanya hendak mengetahui dan memahami ihwal nyata objeknya itu, tanpa memberikan penilaian apa-apa tentang baik buruknya. Dari kacamata itu Sosiologi dan Sosiologi Hukum “hanya” akan memberikan keadaan kualitas dan/atau kuantitas objeknya sebagaimana “apa adanya”. Sosiologi hanya akan mempertanyakan apakah kualitas tertentu ada atau tak ada dalam objek yang tengah diteliti itu; dan kalau ada, berapa besarnya kuantitasnya itu?

Penggunaan metode peninjauan dalam Sosiologi Hukum seperti yang dipaparkan di

muka itu bukanya tanpa kesulitan atau hambatan. Ada dua hal yang menjadi biang penyebabnya. Pertama, objek kajian Sosiologi Hukum yang dikenali dengan nama hukum itu dalam kenyataan sehari-hari-sebagaimana digeluti oleh orang-orang awam hampir selalu di mengerti oleh orang-orang awam itu sebagai manifestasi nilai keadilan. Dengan perkataan lain, orang-orang awam dalam kehidupan sehari-hari yang nyata ini boleh dibilang tidak pernah melihat hukum sebagai “objeknya” yang lepas atau dapat dilepaskan dari manusia peninjaunya melainkan sebagai bagian juga dari penghayatan sang subjek. Maka, penelitian-penelitian hukum dari kalangan sosiologi hukum acap kali harus berusaha secara khusus mengembangkan metode dan cara studinya itu tanpa bisa mengharapkan “pengertian” dan “bantuan” para awam yang kehidupan hukumnya tengah dijadikan objek kajian itu. Bahkan, apabila para awam itu terlalu dilibatkan di dalam kajian-kajian penelitian, para awam ini salah-salah malah bisa bersalah pengertian atau bersalah paham yang pada akhirnya akan mempersulit upaya untuk memperolah informasi atau data yang akurat, handal dan sahih.

Tidak hanya orang-orang awam yang “beroptik preskriptip” ini saja yang bisa

mempersulit kerja para peneliti Sosiologi Hukum yang “beroptik deskriptif”. Sang peneliti sendiri acap kali bisa meragukan apakah betul suatu objek seperti hukum (yang dalam kenyataan berupa paduan antara fakta dan nilai itu) dalam konsep-konsep penelitian memang dapat diperlakukan begitu saja sebagai fakta belaka. Lagi pula apakah betul bahwa ia, sebagai manusia yang tak hanya berakal tetapi juga berperasaan itu, bisa

Page 21: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

7

selalu meninjau objeknya dengan hanya mendayagunakan indra dan akalnya semata, tanpa sedikit pun dipengaruhi oleh perasaan dan keyakinannya. Dengan perkataan lain, dapatkah ia secara sempurna hanya bekerja secara deskriptif saja tanpa membangunkan keyakinan-keyakinan preskriptif yang mestinya ada juga di dalam dirinya. Betapa tidak? Karena, bagaimanapun juga, ia itu adalah manusia jualah adanya; manusia seutuhnya yang tak hanya bermata fisik melainkan juga bermata hati. Inilah masalah metodologis kedua yang harus dihadapi oleh para peneliti atau ilmuwan Sosiologi Hukum.

Namun, apa pun juga kesulitannya, hingga kini metode penelitian dan kajian

sosiologi (yang hendak mencoba menggali pengetahuan tentang objek dengan cara menempatkan sang subjek peneliti sebagai pengamat “di luar” objeknya) masih tetap mengedepan dalam penelitian-penelitian dan kajian-kajian Sosiologi Hukum itu. Ahli-ahli hendak membicarakan baik-buruknya kaidah-kaidah dalam sistem hukum. Sosiologi Hukum tetaplah hendak membicarakan hukum dengan sikap yang “buta-nilai” saja; yang hendak dibicarakan tetaplah terbatas pada ihwal eksistensi dan fungsi (atau disfungsi) hukum dalam masyarakat, berikut seluk-beluk mekanisme bekerjanya. Oleh sebab itulah metode penelitian dikembangkan untuk mengontrol subjektivitas yang berasal dari para subjek yang ditaruh sebagai objek studi. Metode dikembangkan untuk mencegah “terpolusinya” dan terdistorsinya objektivitas objek oleh subjektivitas subjek (para sumber informasi dan tentu saja si peneliti sendiri). Pertama-tama upaya itu dilakukan dengan merumuskan masalah penelitiannya secara jelas dan tegas, lalu segera mengidentifikasi unsur-unsur yang akan diuji ada-tidaknya, kemudian menetapkan cara bagaimana mengujinya itu dengan instrumen apa saja dalam jumlah berapa, dan pada akhirnya juga menentukan cara bagaimana pula prosedur menganalisis serta menyimpulkan hasil-hasilnya.

Dalam kajian-kajian sosiologi hukum tentang struktur – yang sebagaimana kita

ketahui lebih mengkonsentrasikan diri pada pola-pola perilaku sosial yang lahiriah sebagai objeknya – metode yang dikembangkan memang dimaksudkan dan dilaksanakan untuk mencegah dan mengontrol subjektivitas yang sering mengedepan. Pandayagunaan metode seperti itu dimaksudkan agar hasil-hasil kajian dan penelitian tetap terjaga objektivitasnya, artinya, agar hasil-hasil itu benar-benar “berbicara” tentang hal-ihwal objek, dan bukan hal-ihwal subjek peneliti atau pemberi informasinya. Akan tetapi, di dalam kajian-kajian dan penelitian-penelitian Sosiologi Hukum yang berkonsentrasi pada makna-makna yang banyak bekerja untuk menangkap ungkapan-ungkapan interpretatif para subjek (yang tengah dijadikan objek studi) sepanjang proses interaksi antar-mereka atas berbagai realitas-realitas simbolis justru subjektivitas itulah yang akan dijadikan sasaran kajian-kajian dan penelitian-penelitian. Hanya saja, harus tetap diingat bahwa subjektivitas yang dimaksud di sini adalah subjektivitas para subjek yang tengah dikaji. Bagaimanapun juga subjektivitas sang peneliti tetaplah harus dikontrol dengan berbagai metode dan teknik. Memang itulah kegunaan metode dan teknik.

Page 22: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

2

PARA PERINTIS SOSIOLOGI HUKUM DARI MASA BELAHAN AKHIR ABAD 19 DAN AWAL ABAD 20

Dari Eropa Barat ke Amerika Serikat A. Alam Pemikiran Eropa Barat (Marx, Maine, Durkheim dan Weber) PERBINCANGAN mengenai teori-teori sosial tentang hukum yang dipulangkan balik ke buah pikiran Marx, Maine, Durkheim, dan Weber sesungguhnya adalah perbincangan tentang apa yang disebut oleh Luhman (Rechtsoziologie, 1972) sebagai awal perkembangan sosiologi hukum yang klasik. Teori-teori sosial tentang hukum yang dikemukakan oleh para pakar pada belahan akhir abad 20 ini yaitu seabad atau hampir seabad setelah masa hidup keempat tokoh perintis tersebut di muka tentu saja sudah kian lanjut lagi, dan tak mudah untuk masih dibilangkan sebagai awal yang klasik. Namun begitu, asas-asas teori sosial yang mutakhir tentang hukum ini umumnya memang bisa pula kita pulangkan balik ke buah pikiran keempat pakar (atau lima kalau saja Eugen Ehrlich juga ikut dimasukkan ke dalam barisan) yang dibilangkan sebagai perintis-perintis dengan pemikiran-pemikirannya yang klasik itu. Maka tak salahlah kiranya kalau untuk mengetahui teori-teori yang telah tumbuh-kembang hingga stadiumnya yang mutakhir kini orang bersedia menengok dan mengkaji ulang apa yang pernah dirintiskan oleh para peletak dasar Sosiologi Hukum yang modern itu.

Hukum dalam konsepnya sebagai hukum positif sesungguhnya telah dikaji para pakar teoretisi hukum, cukup lama sebelum Marx, Maine, Durkheim dan Weber itu mencoba mengkajinya dalam konsepnya yang baru sebagai bagian dari kompleks variable sosial yang empiris. Dalam konsepnya sebagai hukum positif, hukum pada waktu itu telah diartikan sebagai norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam bentuk perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan Austin “the command of the sovereign”, dan bukan lagi sebagai asas-asas moral dan keadilan yang implisit dan diklaim berlaku secara universal oleh para penganut aliran filsafat tentang hukum alam. Kajian-kajian tentang hukum dari perspektif sosial memang baru mungkin bermula dan berkembang tatkala para pemikir sosial (seperti Marx dan lain-lainnya itu) telah terbebaskan dari konsep monisme lama yang bertahan bahwa “hukum adalah tertib kehidupan” dan bahwa “tertib kehidupan itu sesungguhnya adalah tertib moral”. Tak adalah pemisahan analitis antara apa yang normatif dan apa yang positif dan/atau yang empiris di sini.

Tatkala para teoritisi hukum menelaah dan memikirkan ulang konsep monisme masyarakat sebagai tertib moral yang kodrati (yang selama itu dikukuhi para penganut aliran hukum alam), maka apa yang telah dihasilkan barulah sampai pada konsep masyarakat sebagai tertib moral positif yaitu tertib yang manifestasinya yang nyata tampak dalam wujud sistem kaidah perundang-undangan nasional yang bulat, utuh dan tuntas. Maka, masyarakat pun dengan begitu sebenarnya masih saja tetap terkonsepkan

Page 23: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

9

sebagai model yang normatif. Tetap terkonsepkan sebagai model normatif, sekalipun telah digambarkan sebagai suatu yang tertib yang positif yang tak hendak lagi mempersoalkan masalah buruk baik atau adil-lalim akan tetapi sifat masyarakat sebagai tatanan yang preskriptif dalam konsep ini tetap saja bertahan. Dalam konsep ini, konsistensi alias ketaatan perilaku sosial kepada model-model normatif yang telah ditetapkan oleh “the sovereign” dan dimaklumatkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tetap saja merupakan suatu yang secara moral bersifat “harus”.

Di tengah-tengah dominasi konsep yang baru berubah dari konsep lama yang etis-falsafati (bahwa law ought to be society) ke konsep baru yang yuridis-positivistis (bahwa law is society) seperti itu, pemikiran-pemikiran teoretis yang lebih lanjut untuk mengintroduksi simpulan pemikiran sosilogis (bahwa law is not society) rupanya belum dapat begitu saja mudah berkembang dan tampil ke depan. Dalam tahap pemikiran itu, pemikiran yang optimal baru mencapai dan sampai pada pemahaman bahwa hukum adalah suatu kompleks preskripsi positif yang sama dan sebangun dengan deskripsi sosialnya yang empiris; dan bahwa kalau sampai terjadi kesalahan yang menyebabkan terdistorsinya gambaran yang deskriptif sehingga tak lagi sama dan sebangun dengan gambaran yang preskriptif maka yang diskriptif itulah yang harus dikoreksi dengan berbagai kebijakan, kalau perlu secara koersif.

Barulah pada peralihan abad (dari abad 18 ke abad 19), ketika masyarakat sudah mulai dikonsepkan oleh para teoretisi seperti Saint Simont dan August Comte sebagai kompleks hubungan sosial yang lebih bersifat kontingen dari pada sebagai hubungan hukum yang laten orang dapat mengkaji masyarakat sebagai objek dan variabel tersendiri, dan kemudian daripada itu juga dapat mengkaji hukum tidak lagi dalam konsep law is society melainkan dalam konsep law is not society, dan bahwa law is in society. Dalam ujung-ujung masa perkembangan pemikiran konseptual-analitis seperti itulah pemikiran-pemikiran dari sudut telaah ilmu sosial yang empiris-deskriptif dan eksplanatif bersaranakan metode induktif, dan tak cuma akan berhenti pada penggunaan sarana metode deduktif (yang sesungguhnya “cuma” bisa dipakai untuk memberikan pembenaran-pembenaran logis atau legitimasi-legitimasi saja itu) mulai berkesempatan untuk marak.

Perbedaan dan pemilahan konseptual yang dualistis antara apa yang harus disebut hukum dan apa yang harus disebut masyarakat itu sebenarnya bukannya terjadi karena proses-proses yang tanpa sebab. Ide untuk membedakan secara analitis antara hukum dan masyarakat berkoinsidensi dengan pembedaan antara “negara” dan “masyarakat sipil” itu erat berhubungan dengan perubahan-perubahan kondisi-kondisi sosial-politik yang terjadi di Eropa Barat. Tumbuh-kembangnya negara-negara nasional terteritori di bagian benua ini tempat para pakar yang nama-namanya disebut-sebut di muka itu berefleksi dan mengembangkan konsep beserta teori-teorinya berseiring dengan terasanya kebutuhan akan suatu tertib hukum baru yang dasar legitimasinya tak lagi dipandang cukup kalau cuma ditumpukan pada asas-asas moral-religius yang implisit atau institusi-institusi sosial yang informal.

Page 24: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

10

Maka terjadilah di sini nasionalisasi, positivisasi, formalisasi, dan (pendek kata) politisasi sistem hukum, yang secara analitis lalu bisa dibedakan dari tertib masyarakat. Sejalan dengan terjadinya pemisahan dan pemilahan konseptual antara law state yang supra dan civil society yang infra telah memungkinkan kajian tentang hubungan antara hukum dan masyarakat; dan juga tentang kemungkinan menggarap hukum dan masyarakat masing-masing sebagai variabel empiris yang berfungsi di dalam suatu konteks atau ajang-ajang tempat bekerjanya berbagai kekuatan sosial yang makro.

Dengan rujukan pemahaman hukum dan masyarakat sebagai variable-variabel yang tak lagi bersifat moral normatif melainkan sekular, relatif dan temporal seperti itulah kajian-kajian sosiologi hukum yang mengungkap dan menggarap hukum dan masyarakat masing-masing sebagai entitas yang dependen dan interdependen mulai marak. Diemansipasikan dan dilepas dari tambatan imperativa moralnya, hukum dan masyarakat dapatlah dikaji bersaranakan metode-metode saintifis guna menemukan simpulan-simpulan yang logis tentang ada-tidaknya hubungan-hubungan yang kausal atau korelatif antar-komponen, dan tak lagi sebatas kajian-kajin doktrinal untuk menemukan simpulan-simpulan tentang benar-salahnya (legal) judgements.

Di atas dasar konseptual dan metodologis seperti itulah perintis-perintis kajian hukum dalam konsepnya sebagai variable sosial (pada tataran analisisnya yang makro) mulai dirintiskan orang. Empat di antaranya yang namanya amat tenar dan dikenal sampai kini adalah Karl Marx, Henry S. Maine, Emile Durkheim, dan Max Weber. Variasi pemikiran mereka berempat itu, berikut kekhususan-kekhususan sumbangan pemikiran mereka dalam persoalan hukum dan masyarakat dapatlah dipaparkan berturut-turut di bawah ini. Karl Marx (1818-1883): Masyarakat sebagai Satuan Tertib Ekonomi, dan Fungsi Hukum di dalamnya

Pemikiran-pemikiran teoretis mengenai hukum dan/dalam masyarakat di tengah-tengah pengalaman perubahan peradaban Eropa Barat pada abad 19 adalah pemikiran-pemikiran yang amat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi evolusionisme. Marx pun terbilang salah satu dari pemikir evolusionis yang mengasumsikan selalu adanya dinamika perubahan dalam masyarakat. Diasumsikan bahwa perubahan itu adalah selalu berupa suatu perubahan transisional yang tak terelakkan sehubungan dengan adanya keniscayaan dialektika yang kodrati, dan termanifestasi dalam sejarah dari suatu model kehidupan tertentu ke suatu model kehidupan tertentu yang lain. Sejalan dengan perubahan itu, hukum pun sebagai komponen sistem kehidupan akan ikut pula berubah secara fungsional.

Melepaskan diri tak hanya dari keterikatannya pada paradigma moral, akan tetapi juga dari keterikatannya pada paradigma politik, dalam kerangka teoretis Marx itu perubahan dialektis tersebut tidaklah berpangkal pertama-tama dari sebab-sebab yang ideal politik sifatnya, melainkan yang ekonomis. Yang dianggap menjadi pemicu perubahan dalam seluruh tatanan masyarakat dan hukum adalah kontradiksi-kontradiksi

Page 25: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

11

yang terakumulasi dalam hubungan-hubungan produksi, yang berkait secara timbal-balik dengan kesenjangan distribusi dan konsumsi produk-produknya. Kesenjangan dalam ihwal kemampuan berproduksi dan berkonsumsi telah menyebabkan terjadinya kesenjangan milik, dan kesenjangan milik akan menyebabkan sebagian orang akan menguasai modal, sedangkan yang lain tak akan memiliki sisa apa pun kecuali tenaganya saja. Tak pelak lagi yang menguasai harta milik dan/atau modal akan selalu memperoleh kesempatan yang lebih luas dan kemampuan yang lebih besar untuk mengendalikan produksi daripada mereka yang tak menguasai apa pun kecuali tenaga. Pemilik-pemilik modal yang disebut para kapitalis akan menjadi penguasa-penguasa pembuat keputusan yang berposisi menentukan dalam setiap proses produksi, dan dengan begitu juga dalam penentuan pola konsumsi.

Para kapitalis ini akan selalu memperoleh keuntungan, dalam arti selalu memperoleh nilai lebih yang tertambahkan ke dalam nilai produk atas jasa faktor produksi yang disebut tenaga (bukan modal). Maka tak ayal lagi para kapitalis ini selalu berupaya agar struktur produksi dan distribusi seperti itu tetap dapat dipertahankan dan dilanggengkan. Di sinilah hukum akan dimanfaatkan oleh para kapitalis sebagai instrumen untuk maksud itu, serta pula untuk membenarkan eksistensi lembaga pemilikan modal, dan kemudian juga untuk mengamankannya. Dengan demikian, jelas sudah bahwa dalam pandangan Marx, hukum (dan kekuasaan politik) itu adalah sarana para kapitalis yang penguasa di bidang ekonomi untuk dengan sikapnya yang konservatif melanggengkan kegunaan harta kekayaan sebagai sarana produksi yang (sehubungan dengan klaim-klaimnya atas nilai lebih) juga sekaligus berfungsi sebagai sarana eksploitasi. Karena kuatnya vested interest seperti itulah maka menurut Marx perubahan-perubahan tatanan sosial dan ekonomi hanya mungkin dilakukan bukan melalui perubahan hukum, melainkan melalui revolusi. Dalam proses inilah harta milik dan modal akan secepatnya disita oleh negara (atas nama kelas proletar yang cuma punya tenaga itu,) dan disosialisasi atau disosialisasi untuk dijadikan milik kolektif masyarakat.

Dari kajian Marx ini bolehlah disimpulkan bahwa hukum bukan sekali-kali model idealisasi moral masyarakat, atau setidak-tidaknya bahwa masyarakat adalah manifestasi normatif apa yang telah dihukumkan, sejalan dengan cita-cita yang ideal. Dalam pandangan Marx, hukum adalah pengemban amanat kepentingan ekonomi para kapitalis yang tak segan memarakkan hidupnya lewat eksploitasi-eksploitasi yang lugas. Dalam konsep Marxian ini, hukum tidaklah cuma sebagai fungsi politik belaka, melainkan benar-benar merupakan fungsi ekonomi. Dapat dimengerti, Marx memang hidup dalam suatu era awal industrialisasi yang penuh dengan proses-proses transisional, di mana makna-makna ekonomi mulai marak, mengatasi makna-makna moral dan politik dalam kehidupan bermasyarakat. Pada akhirnya, Marx tidak sekadar hendak membuat deskripsi- deskripsi dan eksplanasi-eksplanasi saja mengenai fungsi hukum di dalam masyarakat, melainkan juga memprotes dan mengecamnya. Pada akhirnya, ia pun percaya bahwa dalam masyarakat yang akan datang, di mana sosialisme dapat ditegakkan menggantikan kapitalisme, hukum akan layu dan luruh, serta tidak akan diperlukan lagi.

Page 26: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

12

Henry S. Maine (1882-1888): dari Hubungan Hukum Kuno yang Bersifat Antar-Status ke Hubungan Hukum Progresif yang Bersifat Kontraktual

Henry S. Maine walaupun berumur sedikit lebih muda dan mengemukakan buah gagasannya sedikit lebih kemudian daripada Karl Marx boleh dibilang hidup dan bekerja sezaman dengan Marx ini. Hanya saja, apabila Marx amat reaktif terhadap perkembangan transisional yang dialami dan diamatinya, Maine tampaknya “cuma” hendak mencoba mengerti dan menjelaskan perkembangan-perkembangan yang terjadi, dan dengan demikian juga mengesankan kalau ia cenderung hendak membenarkan keadaan. Maka, apabila pada tahap perkembangan pemikiran yang kemudian Marx dianggap sebagai tokoh kontroversial yang meletakkan dasar teori-teori konflik, Maine tetap terpandang sebagai pengukuh teori evolusi klasik yang melihat proses-proses perubahan sebagai suatu yang alami, dengan arahnya yang selalu menuju ke situasi-situasi yang serba adaptif dan meningkatkan mutu survival bagi siapa pun.

Namun, seperti halnya dengan Marx, tentu saja Maine ini juga melihat masyarakat bukan sebagai sesuatu model atau tipe ideal yang permanen, melainkan sebagai suatu sistem variable yang tak pernah bisa terbebas dari berlakunya dinamika proses. Masyarakat bukanlah suatu yang serba laten, melainkan suatu yang serba kontingen. Dalam alam yang serba kontingen yang karena itu serba berkepastian untuk terjadi namun serba tak berketentuan dalam hal wujudnya itu, masyarakat akan berkambang secara progresif dari yang awal dan kuno ke yang kompleks dan modern. Seiring dengan progresif seperti itu, hukum pun berubah dari fungsinya untuk mengukuhkan hubungan-hubungan lama dalam masyarakat yang bersifat antar-status ke hubungan-hubungan baru yang bersifat kontraktual.

Maine mengungkapkan bahwa di dalam masyarakat-masyakat tradisional yang beruang-lingkup sempit dan lokal – di mana asas-asas kekerabatan (dan kemudian feodal) yang tradisional dengan ketatnya menstratifikasi masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang serba berjenjang – ragam dan batasan luar sempitnya hak dan kewajiban warga masyarakat akan sangat ditentukan oleh posisi masing-masing warga tersebut di dalam struktur sosial yang terstratifikasi itu. Karena posisi-posisi sosial itu sifatnya askriptif, yang karena itu pada asasnya bukan diperoleh sebagai hasil upaya dan usaha, maka hak dan kewajiban yang nanti akan menentukan ragam dan luas-sempitnya pastisipasi para warga ini di dalam kehidupan bermasyarakat itu pada dasarnya juga akan didistribusikan kepada masing-masing warga berdasarkan askripsi-askripsi pula.

Karena apa yang disebut askripsi itu sesungguhnya berhakikat penganugerahan atribut dan kapasitas kepada warga masyarakat bersangkutan dengan posisi masing-masing warga di dalam tatanan status yang telah ditradisikan di dalam masyarakat, maka di sini nyata kalau penganugerahan posisi atau status secara askriptif kepada para warga di dalam masyarakat akan menentukan pula kapasitas hukum yang akan dianugerahkan kepada mereka. Di sini hak dan kewajiban dibagi-bagikan secara diskriminatif menurut kriteria sosial, yaitu menurut diferensiasi posisi dan status warga di dalam masyarakat, dan tidak menurut kriteria lain yang lebih individual sifatnya (misalnya kehendak dan/atau rasionalitas kepentingan yang dipertimbangkan secara pribadi). Maka,

Page 27: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

13

tergantung dari status askriptif si subjek yang konkret itulah hukum akan mempreskripsikan (misalnya saja!) siapa yang boleh kawin dengan siapa, siapa yang berhak memiliki kuda dan mengenakan pakaian kebesaran tertentu, siapa yang berhak membuka usaha dan mengepalai suatu organisasi, siapa yang harus mendahulu dalam hal perbuatan hukum tertentu dan siapa pula yang harus tidak boleh mendahulu, siapa yang boleh diangkat dalam jabatan yang ini atau yang itu dan siapa pula yang tidak, dan demikian seterusnya.

Kenyataan menjadi berubah tatkala masyarakat bertransisi ke situasi-situasi baru sehubungan dengan telah kian membesarnya agregasi kehidupan dan kian meningkatnya interdependensi antara segmen-segmen sosial dalam kehidupan ekonomi. Di tengah-tengah kenyataan yang telah amat berubah ini, hubungan-hubungan sosial dan hubungan-hubungan hukum yang lebih luwes dan adaptif demi dimudahkannya upaya memobilisasi sumberdaya guna memenuhi berbagai kepentingan dan tuntutan yang sudah mulai lebih banyak bersifat situasional itu sangatlah dirasakan perlunya. Maka, kebutuhan akan kebebasan dan mobilitas (dalam ihwal melaksanakan hubungan-hubungan hukum guna merespons perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang telah kian ekstensif namun juga kian kompleks) seperti itu telah memaksakan tekanan-tekanan ke arah terjadinya pembubaran bentuk-bentuk organisasi kehidupan lama yang kompak, dan yang terlalu amat terstruktur di dalam wujud jaringan-jaringan hubungan antar-status.

Dengan luruh dan runtuhnya struktur-struktur kekerabatan dan/dalam masyarakat feodal yang sangat berorientasi pada pentingnya keciscayaan atas dasar hubungan-hubungan antar-status yang dibangun atas dasar askripsi-askripsi itu bermulalah tatanan baru di mana berlaku adagium ius connubii ac commercii. Di sini, warga-warga masyarakat tak lagi diapresiasi terutama berkat status-status atau atribut-atribut sosialnya yang lain, melainkan karena mereka itu telah terakui sepenuhnya sebagai sosok-sosok manusia bebas yang berkehendak bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri ke dalam hubungan-hubungan hukum (guna mendukung atau menolak mendukung hak dan kewajiban). Di sini hubungan-hubungan hukum yang merefleksikan distribusi hak dan kewajiban tidak lagi terpola secara tetap dan pasti dalam wujud struktur-struktur sosial yang membakukan hubungan antar-status itu. Lembaga baru yang berfungsi sebagai pendistribusi hak dan kewajiban kini muncul dan amat dikenal dengan penamaan “kontrak”.

Gambaran perkembangan dari model hubungan-hubungan hukum lama yang terlalu dibakukan secara struktural ke modelnya yang baru sebagai hubungan-hubungan yang secara struktural bisa lebih bervariasi dan bersifat kontingen sebagaimana dipaparkan di atas itu oleh Maine dinyatakan secara ringkas dengan formula “movement from status to contract”. Dari perkembangan itu dapat ditengarai dengan nyata-nyata bagaimana hukum tak lagi disamakan begitu saja dengan realitas diferensiasi serta diskriminasi sosial yang oleh legitimasi tradidisi telah dibekukan dan dibakukan ke dalam struktur-struktur sosial yang terlalu stabil. Lembaga kontrak yang ditumbuhkan di atas konsep tradisi baru telah amat memungkinkan terjadinya elastisitas dan dinamika kegiatan sosial-ekonomi. Elastisitas seperti itu memang amat diperlukan, karena masyarakat yang tengah berubah kian kompleks pada waktu itu memang telah amat

Page 28: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

14

menuntut kemungkinan terwujudnya hubungan-hubungan antar-warga yang bisa sangat adaptif, nota bene adaptif ke berbagai situasi baru, berdasarkan disposisi-disposisi dan keputusan-keputusan yang lebih terdesentralisasi di tangan para subjek hukum sendiri. Emile Durkheim (1858-1917): Hukum sebagai Ekspresi Solidaritas Sosial Ketika buah pikiran Marx dan Maine tentang Sosilogi Hukum telah banyak dibaca dan dikaji orang, nama Durkheim sama sekali belum dikenal dan tentu saja juga belum diperhitungkan orang. Ketika itu Durkheim tengah menikmati masa kanak-kanaknya. Pikiran-pikiran Durkheim baru marak di lingkungan para pengkaji sosiologi hukum setelah terbitnya buku karangannya berjudul De la Division du Travaille (1983), 32 tahun setelah terbitnya buku Ancient Law (1861) oleh Maine.

Agak mengagetkan juga bahwa di tangan Durkheim itu hukum memperoleh warna moralnya lagi, sekalipun moral yang dimaksud di sini bukanlah moral dalam artinya yang normatif melainkan dalam menifestasinya sebagai realitas sosial. Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas sosial yang berkembang di dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan solidaritas. Tak ada masyarakat di mana pun yang dapat tegak dan eksis secara berterusan tanpa adanya solidaritas ini, sekalipun bentuk solidaritas tersebut bisa bervariasi, berbeda-beda dari suatu tahap perkembangan ke suatu tahap perkembangan berikutnya.

Tentang bentuk soldaritas ini, Durkheim mengajukan tipologi yang hendak membedakan secara dikotomis dua tipe solidaritas: yang mekanis dan yang organis. Masyarakat berkembang dari yang lama dengan tipenya yang mekanis ke yang baru dengan tipenya yang organis. Perkembangan itu bersejalan dan berseiring dengan kian terdiferensiasinya pembagian kerja di dalam masyarakat itu, yaitu diferensiasi dari yamg segmental ke yang fungsional. Dalam konsep Durkheim, diferensiasi pembagian kerja ini tanpa dapat diabaikan lagi merupakan tema sentral yang akan menjelaskan terjadinya berbagai macam perubahan dalam ihwal struktur dan restrukturasi masyarakat, tipe solidaritasnya, dan pula fungsi hukumnya.

Diteorikan oleh Durkheim bahwa ketika masyarakat masih berada pada tahap berdiferensiasi secara segmental, masyarakat tampak semisal himpunan sekian banyak satuan pilahan yang masing-masing berformat kecil dan antara yang satu dengan yang lain amat berkesamaan. Solidaritas yang dominan (sebagai penyatu pilahan-pilahan menjadi suatu kesatuan himpunan) dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara segmental ini dikategorikan sebagai solidaritas yang bersifat mekanis. Alasannya ialah karena dalam masyarakat yang segmental seperti ini satuan pilahan yang satu itu akan dapat dilepas dari dan untuk tak lagi berhubungan dengan yang lain tanpa akan mengganggu fungsi keseluruhan sistem. Halnya berubah tatkala masyarakat telah berubah dan beralih ke tahap berikutnya yang mengesankan telah adanya diferensiasi secara fungsional. Pada tahap ini masyarakat sudah bertumbuh-kembang menjadi suatu kesatuan sistem yang tunggal dan lebih koheren, berformat besar dan berkeadaan kompleks, degan satuan-satuan komponen yang heterogen, masing-masing dengan

Page 29: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

15

fungsinya sendiri yang spesifik namun yang terintegrasi menjadi satu kesatuan agregasi yang bersifat amat organis. Disebut demikian kerena di masyarakat yang telah terintegrasi secara fungsional ini satuan-satuan pembangun struktur di dalamnya tak akan dapat dilepaskan dari ikatan fungsionalnya dengan yang lain tanpa mengganggu kelestarian seluruh sistem kehidupan.

Dikatakan oleh Durkheim lebih lanjut bahwa sesungguhnya apa yang dinamakannya solidaritas organik itu berfungsi sebagai fasilitas untuk melicinkan jalan berkembangnya koherensi dan kohesi antara berbagai bagian atau sektor kehidupan yang (mulai) tumbuh heterogen di masyarakat. Maka, di sini hukum yang (seperti dikatakan di muka ) dalam hakikat moralnya merupakan ekspresi solidaritas sosial tak akan mungkin lagi ditopang oleh kekuatan-kekuatan sanksi yang bersifat represif, yang tujuan utamanya adalah untuk melampiaskan dendam pembalasan. Alih-alih begitu, hukum dan sanksi-sanksinya akan kian dituntut untuk lebih bersifat restitutif. Hukum yang represif yang konkretnya tampak dalam wujud hukum delik atau hukum pidana amat dominan dalam kehidupan masyarakat dengan solidaritas mekanis untuk menanggulangi ancaman-ancaman dan pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang disebut kesadaran nurani kolektif. Dalam kehidupan masyarakat lokal yang homogen dan belum mengenal diferensisasi yang lanjut itu setiap perbuatan jahat dianggap mencederai nurani kolektif masyarakat, dan untuk mereaksi perbuatan semacam itu pemidanaan diperlukan, karena hanya dengan reaksi pembalasan yang spontan demikian itu sajalah solidaritas sosial akan dapat dilindungi dan dilestarikan. Tentang rehabilitasi si pelaku kejahatan, hukum tidaklah usah merisaukannya.

Dalam masyarakat yang telah berkembang menjadi modern, heterogen dan penuh diferensiasi di mana solidaritas organik mengatasi solidaritas lama yang mekanis, hukum represif tak lagi berfungsi secara dominan. Perannya akan digusur dan banyak digantikan oleh hukum restitutif, yang menekankan arti pentingnya restitusi, pemulihan, atau kompensasi untuk menjaga kelestarian masyarakat. Penjelasannya yang logis ialah, karena sesungguhnya hanya lewat proses-proses penyelesain restitutif secara individual, dari kasus ke kasus yang demikian itu sajalah kerugian dan kerusakan yang terlanjur terjadi sebagai akibat pelanggaran-pelanggaran akan dapat dipulihkan, dan dengan begitu juga kan berefek terus terpeliharanya fungsi-fungsi di dalam masyarakat yang kini telah terlanjur berkoherensi tinggi, bagaikan organisme yang harus tetap hidup itu. Tak pelak, dalam perkembangan yang demikian itu hukum perjanjian dan praktik-praktik kontrak akan lebih marak.

Dengan mengajukan konstruksi pemikiran tentang hal bagaimana pelanggaran-pelanggaran yang mengganggu integritas solidaritas sosial diproses dan diselesaikan (secara represif ataukah secara restitutif?), Durkheim serta merta diakui sebagai pembuka pemula lembaran baru dalam kajian-kajian sosiologi hukum yang makro. Di tangan Durkheim itulah hukum sebagai norma sosial berhasil dikonsepkan sebagai suatu realitas yang objektif. Durkheim ini pulalah yang terbilang sebagai orang pertama yang berani berkata bahwa dengan norma-norma yang telah diobjektivisasikan itu hukum akan dapat diuji secara empiris untuk mengungkap ada tidaknya hubungan ko-variasi (yang kuantitatif) antara gejala diferensiasi dalam struktur sosial dan sifat-sifat hukumnya.

Page 30: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

16

Dengan pernyataannya yang demikian itu, boleh dikatakan bahwa Durhkeim telah menyiratkan klaim terwujudnya kajian hukum sebagai kajian sosiologi yang empiris, pada tataran analisisnya yang makro. Max Weber (1864-1920): Telaah tentang Rasionalisasi Hukum Modern

Sebagaimana Durkheim yang hidup sezaman dengannya, Weber adalah juga seorang teoretisi klasik dalam kajian sosiologi hukum yang mencoba menegaskan dan menerangkan liku-liku sistem sosial dari esensinya yang dikonsepkan sebagai sebuah struktur normatif. Dalam pandangan Weber, hukum adalah suatu tatanan yang koersif. Dikatakan demikian karena tegaknya tatanan hukum itu berbeda dengan tatanan-tatanan dan norma-norma sosial lain yang bukan hukum ditopang sepenuhnya oleh kekuatan pemaksa yang dipunyai negara.

Hidup di Eropa, di tengah-tengah suatu transisi peradaban di mana pemikiran-pemikiran evolusionisme belum kehilangan posisi dominasinya, Weber juga mencoba membuat deskripsi-deskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan hukum, dijelaskan sehubungan dengan perkembangan masyarakatnya. Dalam amatan Weber itu, hukum tampak berkembang dari wujudnya sebagai fatwa-fatwa normatif para kyai atau pendeta yang karismatis ke wujudnya yang baru sebagai hasil penggarapan yang sistematis, dengan cara-cara pengelolaanya yang profesional oleh personil-personil yang dilatih secara khusus untuk berkemampuan menerapkan hukum secara formal berdasarkan asas-asas logika. Dalam hubungan ini Weber membedakan berbagai sistem hukum atas dasar rasionalitasnya: yang substantif dan yang formal.

Oleh Weber hukum dikatakan memiliki rasionalitasnya yang substantif tatkala substansi hukum itu memang terdiri dari aturan-aturan umum in abstracto yang siap dideduksikan guna menghukumi berbagai kasus-kasus yang konkret. Sebaliknya, hukum dikatakan tak memiliki rasionalitasnya yang substantif tatkala dalam tatanannya setiap perkara diselesaikan atas dasar kebijaksanaan-kebijaksanaan politik atau etika yang unik, bahkan mungkin juga emosional, tanpa bisa merujuk sekalipun dan sedikit pun ke aturan-aturan umum yang secara objektif ada. Sementara itu, hukum dikatakan memiliki rasionalitasnya yang formal apa bila aturan-aturannya disistematisasikan dan prosedur pendayagunaanya untuk menyelesaikan berbagai perkara telah dipolakan demikian rupa demi terjaminnya kepastian dan ke-panggah-an dalam hal penggunaannya. Hukum yang memiliki rasionalitas yang formal tentulah akan memungkinkan optimalisasi penggunaannya oleh para praktisi, dan memungkinkan pula optimalisasi kontrol-kontrolnya sebagaimana akan diefektifkan secara intelektual oleh para ahli. Sebaliknya hukum tak sekali-kali boleh dikatakan memiliki rasionalitas yang formal melainkan yang irasional saja – tatkala hukum itu cuma diperoleh lewat ilham-ilham saja, atau lewat bisikan-bisikan wangsit yang konon diterima oleh para pemuka karismatis, yang karena itu juga tak bisa diuji secara objektif dalam hal kebenaran dan kelaikannya.

Seraya merujuk kembali ke konsepnya tentang rasionalitas hukum itu, baik yang formal maupun yang substantif, Weber menengarai adanya tiga tipe penyelenggaraan

Page 31: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

17

peradilan di dalam masyarakat. Yang pertama adalah peradilan Kadi atau peradilan dengan fungsi pendamaian atas dasar kearifan dan kebijaksanaan sang pengadil; yang kedua adalah peradilan empiris; dan yang ketiga adalah peradilan rasional. Menurut Weber, peradilan Kadi adalah peradilan yang sangat arbitrer dan karena itu juga dinilai sebagai peradilan yang paling tidak rasional. Keputusan-keputusan peradilan Kadi ini sepenuhnya dipercayakan kepada kearifan sang pengadil. Tanpa dirasakan perlunya untuk dikontrol oleh keniscayaan sistem. Tentang peradilan tipe kedua, yaitu peradilan empiris, Weber mengatakan bahwa peradilan ini terbilang peradilan yang lebih rasional, sekalipun belum sepenuhnya. Dalam peradilan empiris ini sang hakim memutusi perkara-perkara dengan cara beranalogi; keputusan-keputusan terdahulu dalam perkara-perkara serupa dicoba-cari dan dirujuk, untuk kemudian ditafsir guna menemukan relevansinya dengan perkara-perkara yang tengah ditangani.

Dalam tipologi Weber, peradilan dalam hukum modern sebagaimana dapat

disimak dalam pegalaman dan perkembangan di Dunia Barat adalah peradilan yang harus dinilai paling rasional. Dalam definisi Weber, peradilan rasional adalah peradilan yang bekerja atas asas-asas kerja sebuah organisasi birokrasi, yang hasilnya pada galibnya memiliki daya berlaku yang universal; tidak seperti halnya peradilan Kadi dan peradilan yang sifatnya lebih partikularistis-kasuistis. Menurut Weber pula, hukum Barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional, ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional di bidang kehakiman dan kepengacaraan. Pengorganisasian dan penegakannya amat mengandalkan kesahihan analisis-analisis yang logis (menurut silogisme deduksi) guna menggali makna-makna dari konsep-konsep dan aturan-aturan umum yang berlaku. Dalam perkembangannya, hukum Barat yang modern itu akan kian terlembagakan melalui proses-proses birokratisasi yang berlangsung di tubuh aparat-aparat negara, dan dengan begitu juga kian rasional sifatnya, dengan isi keputusan-keputusan yang boleh didugakan kelugasan dan kepastiannya.

Lebih lanjut lagi dari Durkheim yang konon tak berhasil membuat konstruksi-

konstruksi teoretis yang lebih jauh, melampaui konsep-konsepnya tentang imperativa normatif yang berfungsi sebagai pengintegrasi tatanan sosial Weber ternyata menjadi tenar karena pemikiran inovatifnya yang berbalik secara radikal tentang tindakan (aksi) manusia di dalam masyarakat, yang tentunya juga meliputi tindakan-tindakan hukumnya. Adalah tesis Weber bahwa tindakan-tindakan atau aksi-aksi manusia itu hanya bisa dipahami dengan baik kalau dijelaskan tidak cuma secara terbatas atas dasar karakteristik-karakteristiknya yang alami saja, akan tetapi juga terutama dari makna-maknanya sebagaimana dipahami oleh para subjek pelakunya itu sendiri. Karena apa yang disebut aksi itu selalu dikerjakan orang berdasarkan rasionalitas para subjek pelakunya sendiri, maka sifat aksi itu kontingen; tentu saja dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh tatanan sosial yang ada, antara lain tatkala sang subjek pelaku “terpaksa” harus mempertimbangkan secara rasional makna-makna yang mendasari aksi-aksi subjek lain dengan siapa ia berhubungan dan berinteraksi dalam situasi-situasi tertentu yang konkret. Dari konstruksi pemikiran Weber yang “berbalik secara radikal” demikian itu tampak bahwa aksi-aksi para subjek antar-subjek itulah yang melalui proses produksi dan reproduksinya akan mewujudkan terjadinya tatanan sosial, dan bukan sebaliknya.

Page 32: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

18

Teori Weber mengenai “kontingensi aksi subjektif” inilah yang kemudian

dielaborasi lebih lanjut oleh Talcott Parsons dalam teori tentang aksi sosial (Toward a General Theory of Action, 1951) dan oleh para teoretisi angkatan berikutnya yang mencoba mengkaji masyarakat (dan hukum) pada peringkat analisisnya yang mikro. Maka, apabila Durkheim dengan konsepnya tentang objektivitas struktur normatif yang sosial boleh dianggap sebagai peletak dasar kajian-kajian tentang “law in society” (dengan pendekatannya yang makro-struktural, dan dengan metodenya yang pada galibnya kuantitatif), Weber degan demikian boleh dianggap sebagai peletak dasar bagi kemungkinan-kemungkinan kajian-kajian tentang “law in action” (dengan pendekatannya yang mikro, dan dengan metodenya yang pada galibnya kualitatif). Di Indonesia, kajian-kajian “law in society”, yang umumnya dikembangkan dengan merujuk ke teori-teori tentang sistem sosial melengkapi ajaran hukumam murni yang dikenali juga sebagai kajian “law in books” mulai berkembang pada tahun 1970-an, sedangkan kajian-kajian tentang “law in (human) action” baru dicoba dimulai dalam beberapa tahun terakhir ini. B. Alam Pemikiran Amerika Serikat (Holmes, Cardozo, dan Pound) Latar Belakang Teoretisi Eropa yang buah-buah gagasannya telah kita kaji secara berturut-turut pada acara perbincangan yang lalu (yaitu Marx, Maine, Durkheim, dan Weber) adalah pengkaji-pengkaji hukum yang mencoba mengamat dan menganalisis hukum (sebagai institusi) dari perspektif sosial, as what it is. Dengan begitu tanpa ayal mereka semua itu tepat-tepat saja kalau digolongkan ke dalam bilangan perintis-perintis sosiologi hukum yang tak lagi bekerja dan berpikir dalam alur ilmu hukum yang bertradisi reine Rechtslehre. Mereka semua itu memang selama itu dan selama ini terbilang sebagai sosiolog-sosiolog, sekalipun ada di antara mereka – yaitu Weber – pernah juga belajar hukum.

Sementara itu, sezaman dengan Durkheim dan Weber yang boleh dikatakan mengedepan sebagai representasi alam pemikiran Eropa, di Amerika Serikat muncul pula pemikiran-pemikiran baru tentang hukum dan fungsi hukum di tengah masyarakat yang sedang berubah cepat. Pemikiran-pemikiran baru ini juga mencoba mengedepankan tesis bahwa hukum itu tidaklah akan dapat dipahami dengan cukup sempurna apabila tidak dikaji dalam hubungannya dengan realitas-realitas sosial. Tiga dari pakar pemikir pembaru Amerika ini ialah Oliver W. Holmes, Benjamin N. Cardozo, dan Roscoe Pound.

Sekalipun para pemikir pembaru dari Amerika ini juga mencoba mengintroduksi analisis-analisis sosial ke dalam kajian-kajian mengenai permasalahan hukum, akan tetapi – berbeda dengan rekan-rekan sezamannya yang dari Eropa – mereka semua itu sesungguhnya bukanlah akademisi murni yang mencoba menteorikan model-model sistem sosial (dan hukum!) yang transisional. Mereka itu adalah konseptor-konseptor yang mencoba secara normatif memberikan citra baru kepada hukum, dan nafas stamina

Page 33: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

19

baru kepada fungsinya, dengan bertolak secara sadar dari kebutuhan-kebutuhan praktik (praktik hukum tentu saja!), atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang pragmatis. Maka, agak berbeda dengan apa yang telah berkembang di Eropa dalam alur tradisi ilmu-ilmu sosial sebagai sosiologi hukum, apa yang berkembang di Amerika ini tetaplah berada di dalam ruang lingkup jurisprudence, dan karena itu lebih tepat kiranya kalau buah gagasan yang berkembang ini disebut seterusnya sebagai sociological jurisprudence daripada sebagai sebagai sosiologi hukum.

Pendekatan Eropa yang sosiologis dan struktural dan terfokus pada societal level itu dapat mudah dimengerti apabila diingat bahwa perkembangan hukum di Eropa (Daratan) itu sejak semula memang berlangsung dalam kerangka dominasi peran hukum perundang-undangan yang berformat nasional (civil law system), yang terintegrasi ke dalam suatu institusi politik yang supra, yang dikenali dalam identitasnya sebagai negara. Dengan demikian, di Eropa ini konsep-konsep tentang hukum lalu serta merta cenderung lebih gampang berasosiasi dengan analisis-analisisnya yang serba makro dan struktural pada societal/institutional level itu. Analisis-analisis seperti ini, setidak-tidaknya pada tahap-tahap awalnya, terbukti cenderung pula bersifat eksplanatif, teoretis dan akademis.

Sementara itu, berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa Daratan itu, perkembangan praktik dan konsep-konsep hukum di Amerika Serikat – mengikuti tradisi Anglo-Saxon – pada galibnya berlangsung dalam kerangka dominasi berlakunya sistem common law. Sebagaimana diketahui, di dalam sistem ini hakim diakui berperan aktif sebagai pembuat hukum lewat keputusan-keputusannya, dari kasus ke kasus, dan tidak cuma sebagai penemu hukum, atau bahkan tidak cuma sebagai “mulut yang membunyikan bunyi undang-undang” sebagaimana didoktrinkan dalam sistem civil law Eropa Daratan. Maka, di sini, masalah perlunya analisis-analisis sosial dalam dan untuk kajian hukum sangat lebih dirasakan oleh para praktisi hukum – khususnya para hakim – yang terlibat di dalam dan/atau harus membuat keputusan-keputusan yang bermutu, guna memenuhi tuntutan masyarakat yang terus berubah dan berkembang.

Tak pelak lagi, pemikiran-pemikiran inovatif para pemerhati masalah-masalah hukum di Amerika Serikat pada masa yang penuh transisi sosial waktu itu – dan juga di Inggris, seperti yang diwakili oleh pemikiran Albert V. Dicey di sekitar tahun 1905an – adalah pemikiran-pemikiran yang berkecambah terutama di lingkungan para ahli dan praktisi hukum itu sendiri. Mereka adalah para hakim atau pengacara, atau mantan-mantannya, yang tak kunjung putus berupaya mengerjakan rekonseptualisasi hukum, khususnya hukum yang dibuat dalam proses-proses peradilan sebagai judge-made law, dengan cita-cita utama agar hukum dapat dicipta (tidak cuma sebatas ditemukan) sebagai hukum yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, ditangani oleh ahli-ahlinya yang tetap bersetia di lingkungan profesi hukum yang eksklusif itu, aliran pemikiran di Amerika Serikat di bidang permasalahan hukum dan masyarakat ini tetaplah kental berwarna jurisprudence (dikenali dengan nama sociological jurisprudence yang analitis-evaluatif) daripada berupa sosiologi (dikenali sebagai sosiologi hukum yang lebih analitis-deskriptif) sebagaimana yang terjadi dalam perkembangan di Eropa. Tiga tokoh perintisnya – yaitu Holmes, Cardozo, dan Pound –

Page 34: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

20

berikut ide-ide gagasannya, akan diketengahkan berturut-turut dalam paragraf-paragraf berikut ini.

Kajian-kajian hukum di Amerika Serikat – yang menyertakan telaah telaah sosial demi terciptanya hukum yang fungsional dan termutakhirkan ini – di kemudian hari berkembang pula menjadi kajian-kajian yang berfokus pada masalah-masalah perilaku manusia yang terlibat dalam proses terciptanya keputusan-keputusan peradilan. Kajian-kajian tentang dinamika kelompok juri dan apa yang disebut court atau judicial behavior terlihat berkembang dan marak antara lain di Universitas Chicago, di tangan Hans Zeisel, pada tahun 1950-an. Dalam perkembangan yang lebih kemudian lagi, bermula di Amerika Serikat dan Inggris, seluruh kajian hukum yang mengikutkan analisis-analisis sosial sebagai bagian dari metodenya – entah yang sosiologi hukum, entah pula yang sociological jurisprudence dan the study of judicial behavior – dicakup dalam satu satuan nama genus, yaitu apa yang hingga kini dikenal dan terkenal dengan nama the study of law and/in society. Oliver Wendell Holmes (1841-1935) Semasa hidupnya, Holmes bekerja sebagai editor majalah hukum, penulis, dan akhirnya hakim, mula-mula pada Massachusetts Supreme Judicial Court dan kemudian juga pada Mahkamah Agung Amerika Serikat. Pada akhir hayatnya ia sudah sangat terkenal dan terpandang hormat di negerinya. Buah gagasannya terbilang ganjil pada zamannya, dan karena itu pada masa jabatannya sebagai hakim Mahkamah Agung itu ia juga terkenal sebagai seorang hakim yang acap bertindak sebagai dissenter. Namun dari gagasan-gagasannya yang ia tulis dalam berbagai publikasi itu pulalah ia dianggap dan diakui sebagai perambah aliran baru dalam ilmu hukum di Amerika Serikat. Aliran baru inilah yang kemudian dikenal dengan nama mazhab legal realism, sebuah aliran yang menolak penerapan logika hukum yang terlalu kaku. Mazhab ini dengan tegas menolak pencampuradukan moral dan hukum, dengan menyadari realitas adanya proses-proses psikologis yang mengawali setiap proses pembuatan keputusan hukum di lembaga peradilan.

Adalah pokok pikiran dan pendirian Holmes bahwa setiap hakim – yang bertanggung jawab memformulasi hukum lewat keputusan-keputusannya – itu harus selalu sadar dan yakin benar akan kebenaran pernyataan bahwa hukum itu sesungguhnya bukan sesuatu yang "omnipresent in the sky", melainkan sesuatu yang senantiasa hadir dalam situasi-situasi konkret "to meet the social need". Dalam bukunya Common Law (1881) tentang pendirian itu, ia juga menuliskan lebih lanjut dengan ungkapannya yang terkenal bahwa "the life of law is not logic; it has been experience". Juga bahwa

the felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, intuitions of public policy, ... even the prejudices which judges share with their fellow-men have had a good deal more to do than the syllogism in determining the rules by which men should be governed. The law ... cannot be dealt with as if it contained only the axioms and corrolaries of a book of mathematics.

Page 35: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

21

Maka, bukan logika hakim – yang digunakan untuk berlogika secara deduktif-matematis dari pangkal-pangkal premis yang dinamakan preseden hukum formal – yang harus mengedepan di sini demi kepastiannya. Kemampuan sang hakim menangkap makna yang ia artikan sebagai kebenaran – sebagaimana dipengaruhi antara lain oleh nilai-nilai yang ia kukuhi, latar belakang pengalaman pribadinya, serta pula kecenderungan pilihannya – itulah sesungguhnya yang harus mengedepan dan dominan di dalam setiap proses pembuatan keputusan dan penciptaan hukum. Hanya hakim yang mengenal secara benar aspek-aspek sosial, sejarah, dan ekonomi dalam permasalahan hukum sajalah yang akan mampu memenuhi fungsinya dengan semestinya. Semua itu berkesan dan berarah ke soal kegunaan atau kemanfaatan hukum.

Dengan menekankan arti pentingnya sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya sebagai faktor pemengaruh yang tak dapat diabaikan di dalam kehidupan hukum, dan sementara itu tak hendak terlalu mementingkan unsur-unsur etis atau apa pun lainnya yang ideal, Holmes sesungguhnya tengah memandang hukum sebagai sejumlah keputusan dan maklumat yang pada hakikatnya merupakan cerminan kepentingan mereka yang mampu berdominasi di dalam masyarakat, yang seterusnya – untuk menjamin realisasinya – akan ditegakkan dengan bantuan sarana-sarana pemaksa. Sekalipun di dalam penciptaan hukum nanti asas-asas moral toh bisa saja ikut dipertimbangkan, akan tetapi moralitas yang sesungguhnya mengedepan di sini adalah moralitas yang menjadi pilihan kelompok-kelompok berkekuatan dan berkekuasaan, yang di tengah masyarakat tanpa hentinya saling menggusur untuk memperebutkan posisi-posisi yang memungkinkan dominasi.

Dengan lebih mendahulukan arti pentingnya variabel-variabel sosial yang bermain secara lugas di dalam masyarakat – daripada menekankan pentingnya peran etika dan pengaruh moral – seperti itu, Holmes secara jelas-jelas ditengarai oleh banyak orang sebagai seorang penganut Darwinisme sosial yang tegas. Sebagai seorang Darwinis, Holmes yakin bahwa seluruh upaya dalam peradaban manusia itu tidak akan lain daripada serangkaian perjuangan untuk menegakkan eksistensi dan kelestarian bangsa atau ras, dan bukan setakat hendak merealisasi tujuan-tujuan yang sifatnya cuma etis. Pendekatan Holmes dalam permasalahan ini memang benar-benar merupakan pendekatan yang pragmatis. Dalam hubungan ini ia mengajak kita menyimak kenyataan dalam kehidupan yang nyata sehari-hari.

Menghadapi permasalahan atau perkara hukum – demikian dikatakan oleh Holmes di dalam artikelnya, “The Path of Law” (1897) – setiap pihak yang terlibat dalam realitasnya yang lugas tak akan banyak peduli mengenai apa sesungguhnya bunyi asas-asas moral atau bunyi doktrin-doktrin hukumnya yang secara abstrak mengkaidahi penyelesaian perkara itu. Yang nyatanya nanti akan paling dipandang penting serta menentukan oleh pihak-pihak yang berperkara tidaklah akan lain daripada apa yang akan diputuskan oleh hakim di pengadilan. Maka, dengan mempertimbangkan kebenaran realitas yang lugas seperti inilah Holmes mengulang kembali pokok pendapatnya bahwa hakim itu harus benar-benar memperhatikan dan mempertimbangkan tujuan dibuatnya keputusan hukum, alasan dan nalar yang akan diberikan sebagai dasar pembenar hukum

Page 36: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

22

yang telah diputuskannya itu, seberapa besar keuntungan yang akan diperoleh dan sepadankah itu dengan besar bea atau tebusan yang harus dikorbankan. Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)

Sebagaimana Holmes, Cardozo adalah juga hakim; mula-mula pada New York Supreme Judicial Court, dan baru sesudah itu pada Mahkamah Agung Amerika Serikat, menggantikan Oliver Holmes. Ikut berpartisipasi di dalam – dan sekaligus juga dipengaruhi oleh – teori-teori sociological jurisprudence – Cardozo juga menekankan perlunya ditumbuhkembangkan kepekaan peradilan dan lembaga legislatif pada realitas-realitas sosial yang ada berikut segala perubahannya. Sebagaimana halnya dengan pendukung-pendukung sociological jurisprudence yang lain pada umumnya, Cardozo juga selalu bersiteguh pada pendapat bahwa berbagai kekuatan sosial yang ada dalam kehidupan – seperti logika rakyat, sejarah, adat kebiasaan, pertimbangan kemanfaatan, dan standar moralitas yang disepakati dalam kehidupan – berfungsi secara riil sebagai faktor-faktor instrumental ke arah terciptanya hukum.

Bagi Cardozo, perkembangan hukum tak pelak lagi adalah suatu proses kejadian sejarah yang berlangsung di bawah kondisi perubahan-perubahan sosial dan pengaruh pendapat-pendapat masyarakat tentang apa yang harus diadatkan dan apa pula yang dipandang sebagai moral. Oleh sebab itu, hakim dan pembuat undang-undang – yang tak dapat mengingkari kewajibannya untuk berperan serta dalam perkembangan ini (lewat penciptaan-penciptaan hukum) – haruslah dengan sungguh-sungguh dan secara terus-menerus memperhatikan kondisi-kondisi sosial dan kondisi-kondisi eksternal lainnya, berikut segala permasalahannya yang terkait.

Hukum haruslah tetap sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial dan apa yang diidealkan di dalam tatanan sosial yang kontemporer. Maka hukum pun secara luwes harus bisa mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tak ayal para penciptanya harus juga paham betul mengenai liku-liku perubahan itu, dan mempelajarinya dari pengalaman serta renungannya yang mendalam; atau, pendek kata, dari kehidupan yang dialaminya itu sendiri. Menurut Cardozo, membuat hukum untuk memutusi suatu perkara bukanlah suatu proses mekanis untuk sebatas menemukan apa yang telah menjadi preseden, dan kemudian sekadar "mencocokkan warna". Acap kali terbukti bahwa apa yang telah dihukumkan sebelumnya itu tidak jelas bisa menjawab permasalahan yang tengah dihadapi hakim yang sedang harus memutusi perkara, sehingga dengan begitu hakim harus berani menciptakan asas-asas baru atau memodifikasi asas yang lama untuk menjawab permasalahan yang baru.

Konsekuen dengan pendapatnya yang demikian itu, ketika masih menjabat hakim pada Supreme Court of New York, Cardozo pernah menolak dalih seorang pengacara yang membela Buick Motor Company, yang menjadi tergugat dalam perkara tuntutan ganti rugi akibat cacatnya mobil buatannya. Pengacara itu berdalih – dengan merujuk ke preseden lama – bahwa karena kontrak pembelian itu dilakukan oleh penggugat dengan

Page 37: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

23

toko penyalurnya, maka tuntutan ganti rugi itu harus ditujukan kepada penyalur, dan tidak kepada pabrik. Cardozo menolak dalih itu dengan menyatakan dalam amar keputusannya bahwa

Precedents drawn from the days of travel by stage-coach do not fit the conditions of travel today. The principle that danger must be imminent does not change, but the things subject to the principle do change. They are whatever the needs of life in a developing civilization require them to be.

Menurut Cardozo, hakim sebagai seorang pencipta hukum memang harus terus

berupaya mengarahkan hukum ke tujuan utamanya, yaitu memenuhi kebutuhan banyak orang yang harus hidup di tengah masyarakat yang sedang mengalami transformasi (sebagai akibat perubahan-perubahan teknologi dan proses industrialisasi). Hakim – sebagaimana ahli-ahli hukum modern lain pada umumnya – harus tanpa ragu dan tanpa kunjung putus menilai kegunaan sosial setiap ayat hukum yang berlaku dan yang akan diberlakukan. "The final cause of it is the welfare of the society", demikian katanya dalam The Nature of The Judicial Process (1921).

Sekalipun telah demikian nyata sikap Cardozo yang luwes menangani proses perkembangan hukum di tengah masyarakat yang sedang bertransisi, namun menuruti sikapnya yang agak lebih moderat apabila dibandingkan sikap Holmes yang menjadi pendahulunya, Cardozo toh tetap juga mencoba menggarisbawahi kembali pendapat bahwa (sampai kapan pun!) apa yang dinamakan hukum itu tak akan mungkin membebaskan diri dari keniscayaan berlakunya kaidah-kaidah umum yang mendasarinya. Dalam hubungan ini, keputusan-keputusan hukum terdahulu yang berstatus sebagai preseden pada asasnya haruslah tetap dihormati dan diikuti dalam penyelenggaraan peradilan dari masa ke masa, dan hanya akan boleh diingkari dalam kasus-kasus tertentu yang sifat perkecualiannya memang ada dan dengan alasan yang kuat bisa dibenarkan. Apa yang disebut preseden ini barulah boleh serta merta diabaikan tatkala kepatuhan untuk mengikutinya akan dinilai berlawanan dengan perasaan keadilan dan/atau bertentangan dengan upaya-upaya memajukan kesejahteraan masyarakat.

Cardozo menyangkal pendapat bahwa hukum itu bisa saja eksis tanpa mempunyai koherensi dan konsistensi, dan cuma berupa sehimpunan keputusan-keputusan dari kasus ke kasus yang tak perlu bersambungan atau berhubungan satu sama lain. Menurut Cardozo, bagaimanapun juga, dalam setiap tubuh hukum itu selalu bisa ditemukan asas-asas baku yang bersifat dasar dan telah diterima oleh masyarakat, atau pula pola-pola nilai yang objektif, yang bekerja untuk (sampai batas-batas tertentu) menjaga integrasi dan konsistensi hukum, sekalipun sesekali keputusan-keputusan subjektif oleh hakim tak selamanya bisa dihalangi.

Adalah keyakinan Cardozo yang kuat bahwa kepastian hukum itu tetap diperlukan untuk kelestarian hidup hukum, asal saja kepastian itu tidak terlalu dikukuhi sebagai sesuatu kebenaran yang mutlak, sampai-sampai boleh menghalangi dinamika-dinamika perubahan menuju ke kemajuan. Sekalipun moderat, dan sedikit banyak mengesankan sikap kompromistis, pendapat Cardozo ini sudah amat berbeda dengan pendapat Holmes, yang pernah menyatakan bahwa kepastian hukum itu sesungguhnya merupakan suatu ilusi belaka.

Page 38: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

24

Roscoe Pound (1870-1964)

Setara dengan Holmes, Pound adalah juga seorang tokoh sociological jurisprudence – bahkan ia juga sering dipandang sebagai perintis dan pendirinya – yang hingga kini tenar dengan ajarannya bahwa proses hukum pada hakikatnya adalah suatu proses rekayasa sosial. Maka, dengan demikian, hukum itu pada hakikatnya adalah juga sarana yang dapat didayagunakan untuk mengontrol dan merekayasa masyarakat. Banyak karya yang ditulis Pound, yang ternyata tak hanya terbatas pada persoalan sociological jurisprudence saja, akan tetapi juga yang berkaitan dengan – serta yang juga sekaligus telah memperkenalkan dan memopulerkan – sosiologi hukum di kalangan para pengkaji dan pengguna hukum di Amerika Serikat.

Pound menempuh awal kariernya sebagai pengacara dan sebagai auxilliary judge pada Nebraska Supreme Judicial Court, dan kemudian sampai akhir hayatnya mengajar, menjadi dekan, dan akhirnya menduduki jabatan guru besar hukum pada Universitas Harvard. Karena di Amerika Serikat Fakultas Hukum itu terbilang sebagai apa yang disebut professional school, maka perhatian Pound kepada kajian hukum sebagai bagian dari aktivitas profesi (lebih daripada sebagai upaya kegiatan akademis semata) tetaplah saja besar. Tentu saja, sebagaimana telah dikatakan di muka, wawasan-wawasan akademisnya yang memasuki ranah sosiologi hukum tak pula dapat diabaikan begitu saja.

Bagi Pound hukum itu diselenggarakan dengan tujuan untuk memaksimumkan pemuasan kebutuhan dan kepentingan (interest). Juga seperti halnya Holmes yang bersikap membelakangkan etika dan membelakangi moral dalam konstruksi-konstruksi konseptualnya tentang hukum, Pound pun cenderung melihat kepentingan (dan bukan etika atau moral itu) sebagai unsur paling hakiki di dalam percaturan hukum, dan yang karena itu pantas dijadikan konsep dasar untuk membangun seluruh teori sociological jurisprudence. Dikatakan bahwa pada hakikatnya, hukum itu diperlukan karena dalam kehidupan ini banyak terdapat kepentingan yang minta dilindungi. Pada hakikatnya, hak itu pun tak lain daripada kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Lebih lanjut Pound mendefinisikan kepentingan (dalam buku Social Control Through Law, 1942) dengan kalimat “a demand or desire which human beings, either individual or through groups or associations or in relations seek to satisfy”.

Ada tiga macam kepentingan yang perlu diketahui, yaitu kepentingan individu,

kepentingan umum (yaitu kepentingan badan-badan pemerintah sebagai pemilik harta kekayaan), dan kepentingan sosial (yaitu kepentingan untuk melindungi dan menegakkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat, seperti misalnya keamanan umum, perlindungan sumber daya alam, kemajuan dalam kehidupan politik dan budaya, dan sebagainya). Kalau pada abad 19 hukum boleh ditengarai terlalu banyak mengakui hak-hak individu (yang malah acap kali malah dinilai sebagai sesuatu yang bersifat asasi dan kodrati) untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu, maka – demikian Pound – pada abad 20 ini seyogianya hukum ditelaah ulang untuk lebih mendahulukan kebutuhan,

Page 39: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

25

tuntutan dan kepentingan sosial. Di sini pembatasan hak atas harta kekayaan dan pengurangan ruang gerak kebebasan berkontrak, serta diganda-gandakannya produk perundang-undangan sosial, dinilai sebagai langkah kebijakan yang amat diseyogiakan. Kalau kebijakan yang demikian ini dapat diwujudkan, menurut Pound perkembangan hukum dalam sejarah bolehlah dibilang sudah memasuki tahapnya yang kelima, yaitu tahap terakhir – dalam teori Pound tentang tahap-tahap perkembangan hukum dalam sejarah – yang mengisyaratkan adanya proses menuju ke kesempurnaan.

Sehubungan dengan apa yang diketengahkan sebagai kepentingan sosial itu, Pound menunjukkan bahwa hukum dapat difungsikan sebagai alat rekayasa sosial untuk melindungi kepentingan-kepentingan sosial. Yang harus diangkat sebagai persoalan di sini ialah bagaimana usaha-usaha bersama manusia dapat lebih diefektifkan dengan jalan merealisasi apa yang menjadi tujuan hukum (dikemukakan dalam Outlines of Lectures on Jurisprudence, 1903). Pembuat hukum haruslah mempelajari apa efek sosial yang mungkin ditimbulkan oleh institusi dan doktrin hukum, berbanding dengan efek yang mungkin ditimbulkan oleh sarana kontrol atau sarana rekayasa lain yang bukan hukum. Dengan anjurannya yang demikian ini sesungguhnya Pound telah mengajak khalayak ramai pemerhati kajian-kajian hukum di Amerika Serikat untuk juga memperhatikan sosiologi hukum.

Di lain kesempatan, Pound juga mengetengahkan pikirannya bahwa penyelesaian-penyelesaian perkara yang adil itu dapat diselenggarakan menurut hukum, akan tetapi dapat pula tidak. Apabila diselesaikan menurut hukum, maka penyelesaian itu akan berlangsung dalam forum pengadilan, sifatnya sangat lugas, kecenderungannya menuntut perlakuan yang sama, dan cara capainya dilakukan dengan upaya menerapkan kaidah-kaidah umum yang baku (ditulis di dalam Jurisprudence, 1959). Sementara itu, apabila penyelesaian perkara dilakukan tidak menurut hukum akan tetapi menurut intuisi bebas seseorang pengadil yang tak merasa terikat pada kaidah-kaidah umum macam apa pun, maka penyelesaian itu akan bercorak administratif. Menurut Pound, kedua corak itu – yang yudisial maupun yang administratif – selalu sama-sama ditemukan dalam sistem hukum mana pun juga. Mana dari keduanya yang akan lebih banyak dipraktikkan, itu tidaklah dapat dikatakan. Sesekali corak yang yudisial itulah yang mengedepan, dan sesekali lagi justru yang administratif itulah yang lebih populer. Keseimbangan yang diterima khalayak itulah yang tentunya harus dinilai sebagai cara dan corak yang terbaik.

Page 40: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

3

TOPIK-TOPIK TERPILIH SOSIOLOGI HUKUM Suatu Tawaran untuk Perbincangan

SOSIOLOGI HUKUM – jangan dikacaukan begitu saja dengan Sociological Jurisprudence – adalah studi sosiologi, dan tidak sekali-kali seranah dengan studi rechtsleer atau jurisprudence. Oleh sebab itu, tatkala studi-studi rechtsleer lebih merupakan ajaran kaum positivis (seperti Kelsen) tentang how law as it is written in the books lebih merupakan ajaran yang diprakarsai oleh Roscoe Pound tentang how law as it by taking social progress into considerations should be decided in courts, maka sosiologi hukum adalah suatu anak cabang ilmu-ilmu sosial yang berkenaan dengan kajian tentang law as it is observed in society. Karena merupakan bagian dari studi sosiologi, maka tak pelak lagi sosiologi hukum itu dikembangkan dengan atau atas dasar paradigma-paradigma serta teori-teori sosial yang telah teruji atau yang akan bisa diakui bersaranakan metode-metode yang telah dilazimkan dalam sains pada umumnya dan dalam sains sosial pada khususnya. Paradigma-paradigma, teori-teori dan metode-metode itu umumnya tak banyak dikenal oleh para mahasiswa dan para sarjana hukum, karena jarang sekali ketiga tiang pokok yang penting dalam sains sosial (dan dengan demikian penting pula dalam sosiologi hukum) itu pernah diajarkan secara lengkap dan tuntas di Fakultas-Fakultas Hukum.

Keterasingan para mahasiswa dan para sarjana hukum dari paradigma, teori dan metode sosiologi (hukum) itu lebih diperkuat lagi tatkala pendidikan hukum di Indonesia hingga kini masih saja dimaksudkan secara kurang realistis sebagai studi profesi yang monolitik semata, yang meyakini bahwa kehidupan bermasyarakat yang kompleks ini dapat begitu saja diatur secara apriori menurut model-modelnya yang normatif-positif, yang ditegakkan berdasarkan prosedur-prosedur bersanksi. Bermaksud begitu, pendidikan hukum di Indonesia menganut tradisi Civil Law dari Eropa Kontinental lalu cenderung memperlakukan hukum sebagai kaidah-kaidah positif (yang terumus secara eksplisit dan terinterpretasi secara konsisten) yang terorganisasi di dalam suatu sistem normatif yang tertutup, dengan metodenya yang monismus yang ternyata dimaksudkan untuk hanya bisa mengenali prosedur-prosedur penalaran yang formal-deduktif saja. Karena metode deduksi ini hanya bermanfaat untuk menemukan dasar pembenaran atau dasar legitimasi (itu pun hanya yang formal saja), dan tidak sekali-kali mampu menemukan hubungan antarvariabel di alam amatan sebagaimana halnya metode induksi, maka tak pelak lagi “ilmu hukum” ini sulit digolongkan ke dalam bilangan ilmu; yaitu ilmu dalam artinya yang khusus sebagai (empirical) science.

Maka, siapa pun dari kalangan mahasiswa atau sarjana hukum yang ingin mempelajari sosiologi hukum, pertama-tama haruslah ia sadar bahwa yang akan dimasuki itu adalah suatu olah kecerdasan pikir yang tak (lagi) dimaksudkan untuk bersifat serba judgemental, sebagaimana yang semula dianut dalam rechtsleer atau jurisprudence.

Page 41: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

20

Sosiologi, dan dengan demikian juga sosiologi hukum, adalah suatu intelectual exercise yang akan (lebih) bersifat eksplanatif, berawal dari suatu upaya pengamatan yang bermetode, yang karena itu juga terkontrol, untuk menghindarkan para pengkajinya dari segala bentuk interupsi subjektivitas. Kalaupun tidak mengarah ke pembuatan eksplanasi-eksplanasi mengenai hubungan antargejala kehidupan, sosiologi itu akan beraktivitas membuat diskripsi-diskripsi; namun jelas tidak akan sekali-kali membuat preskripsi-preskripsi.

Memang benar, sebagaimana halnya dengan rechtsleer yang berkembang di

kalangan para legal professionals di Eropa Kontinental itu sosiologi dan sosiologi hukum juga berkembang dari pemikiran filsafati kaum positivis (atau yang juga disebut kaum empiris kalau di Inggris); yaitu paham kefilsafatan yang amat meyakini suatu prinsip ontologis bahwa persepsi indrawi atas alam pengalaman itu sajalah yang paling laik untuk dipakai sebagai dasar pengetahuan dan gagasan manusia yang kebenarannya paling berkepastian atau berkeniscayaan. Positivisme inilah yang menolak kebenaran-kebenaran yang bersifat metafisik atau teologis, hanya saja, kalau sosiologi (dan karena itu juga sosiologi hukum) penolakan itu mendorong para pengkajinya untuk segera mengkonstruksikan realitas sosial dan hubungan antara realitas itu sebagai suatu objektiva di alam amatan (yang ada tidaknya hanya dapat disimpulkan lewat metode logika induksi), dalam rechtsleer yang positivistis itu apa yang disebut rechtsfeiten dan hubungannya dengan rechtsgevolgens-nya adalah suatu konstruksi-konstruksi normatif, hasil political judgements yang dipositifkan dalam wujud hukum perundang-undangan (yaitu lex atau lege yang menggantikan peran jus).

Dengan perspektif positivisme atau empirisme yang berlanjut seperti terpapar di

atas ini, dengan berbagai dan sejumlah kegiatan kerja yang banyak mengandalkan dan mendahulukan pengamatan serta pengukuran dunia eksternal yang diperlakukan sebagai alam objektiv (guna mendapatkan data yang dapat dianalisis dan disimpulkan untuk mengkonstruksi teori-teori, yang pada gilirannya dapat difungsikan sebagai sumber hipotesis), sosiologi dan sosiologi hukum seperti ini telah berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang tak hanya relatif lengkap akan tetapi yang juga masih berpotensi untuk terus bertumbuh-kembang. Sebagaimana studi-studi sosiologis yang klasik pada umumnya, sosiologi hukum sebagai studi tentang institusi sosial yang khusus telah juga pertama-tama meminati dan kemudian membuat eksplanasi-eksplanasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan yang mendominasi realitas kehidupan di Eropa pada masa itu, nota bene perubahan-perubahan transformatif sosial dari situasi kehidupan yang semula agraris-feodal-tradisional ke yang modern-nasional-industrial.

Itulah perubahan-perubahan yang diabstrakkan dalam konsep teoretis oleh Maine

sebagai perubahan dari kehidupan “serba status” ke kehidupan baru yang “serba kontrak”. Atau yang dikatakan oleh Durkheim sebagai perubahan yang menurut modelnya bergerak dinamis – secara evolusioner ataupun revolusioner – dari kehidupan yang bersolidaritas mekanis ke yang bersolidaritas organik. Begitu pula yang dijelaskan oleh Weber sebagai perubahan yang nyata-nyata mengubah tatanan (yang ekonomi maupun yang hukum) yaitu yang modern-rasional. Perubahan-perubahan seperti ini,

Page 42: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

21

lewat kajian-kajian yang lebih mutakhir juga kemudian yang tak hanya termanifestasi sebagai transformasi-transformasi sosial yang berhakikatkan persoalan struktur dan fungsi, melainkan juga sebagai perubahan-perubahan yang relevan dengan persoalan hubungan transaksional antara penguasa negara (state) dan warga masyarakat (Society) dalam kapasitasnya sebagai warga negara, yang sesungguhnya berhakikatkan persoalan transaksi penuh konflik.

Perkembangan yang patut dicatat pula dalam kajian-kajian sosiologi hukum

adalah mulai ditinggalkannya kemudian sikap dan wawasan yang Eropa-sentris atau Amerika sentris yang semula mendominasi kegiatan para pengkajinya. Seusai Perang Dunia ke II, para pengkaji sosiologi hukum mulai memperhatikan pula apa yang terjadi dalam konteks cultural encounters antara “sistem hukum Eropa yang eksis dan terteruskan sebagai struktur supra yang modern dan nasional di negeri-negeri berkembang” dan “basis-basis kultural yang dikukuhi oleh masyarakat bumi-puteranya sebagai bagian dari kekayaan tradisionalnya”. Perhatian ini telah mengalahkan kajian-kajian baru yang mendekatkan kajian-kajian bergaya sosiologis ke kajian-kajian yang lebih bergaya antropologis. Inilah kajian-kajian yang harus lebih dikenali sebagai kajian-kajian tentang transplantasi kultural daripada sebagai kajian-kajian tentang transformasi sosial.

Sesungguhnya perkembangan yang terjadi tidaklah hanya berhenti di situ. Selewat

dasawarsa 1980-an abad 20 ini, tatkala proses globalisasi berlangsung sebagai peristiwa yang tak lagi gampang ditahan dan diingkari, dan pula tatkala modernisme yang memberikan dasar legitimasi pada peran negara dan hukum nasional mulai dicabar oleh paham-paham posmo (postmodernism) yang dalam paradigmanya hendak lebih mendahulukan arti pentingnya eksistensi manusia daripada strukturnya dengan pengakuannya bahwa manusia itulah yang sesungguhnya aktor yang memproduksi dan mereproduksi masyarakat, dan bukan sebaliknya, sosiologi (dan tentu saja sosiologi hukum) mengalami masa krisis dalam teori-teorinya. Terjadilah dekonstruksi-dekonstruksi dan/atau rekonstruksi-rekonstruksi baru dalam teori-teori dan metodologi sosiologi dan sosiologi hukum, bertolak dari paradigma baru yang dikenali sebagai paradigma sosiologi mikro (dengan teori-teori aksi dan interaksi simbolisnya). Sosiologi dan sosiologi hukum dengan paradigma baru ini menuntut pengakuan akan eksistensinya, di samping teori-teori klasik yang kini dikenali juga sebagai sosiologi makro (dengan teori-teori strukturalnya, baik yang fungsional maupun yang konfliktual).

Bagi para mahasiswa dan sarjana hukum yang baru memulakan minat dan niatnya

untuk mempelajari sosiologi hukum, lebih-lebih mereka yang pernah mempunyai pengalaman dalam studi-studi tentang keefektifan hukum nasional di dalam kerangka studi law and society, memilih atau mendahulukan kajian sosiologi hukum yang makro sangatlah lebih dianjurkan. Kajian sosiologi yang makro ini berparadigma kajian yang labih positif-empiris daripada yang simbolis. Maka kajian yang makro ini pun akan lebih nyata bertolak dari pemahaman tentang hukum sebagai sistem dan struktur yang memprioritaskan norma baku (normologis ataupun nomologis) daripada yang bertolak dari pemahaman fenomenologis tentang kebebasan otonomi perilaku individu (sebagai

Page 43: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

22

komponen sistem) yang sangat kreatif dan variatif. Pengorganisasian topik-topik perbincanganya dapatlah diusulkan sebagai berikut:

I. Studi tentang Hukum sebagai Suatu Model Institusi

a. Kaidah Sosial, Kaidah Hukum, dan Kaidah Hukum Negara b. Sosialisasi Hukum sebagai Proses Kontrol Sosial I c. Ancaman dan Penerapan Sanksi sebagai Proses Kontrol Sosial II d. Lembaga Pengada, Penegak, dan Penerap Hukum dan Tempat serta

Perannya dalam Sistem Politik e. Profesi Hukum dan Pendidikan Hukum

II. Studi tentang Hukum sebagai Proses Konflik yang Dinamis

a. Ketaatan dan Keefektifan Hukum b. Stratifikasi dan Keefektifan Sanksi Hukum c. Proses Legislasi: Antara Regulasi dan Deregulasi d. Proses Peradilan dan Perilaku Yudisial dalam Kerangka Upaya

Penyelesaian Konflik e. Hukum dan Revolusi f. Hak-Hak Asasi Manusia dan Konstitusionalisme dalam Kehidupan

Hukum dan Politik

III. Studi tentang Hukum di Tengah-Tengah Konteks Perubahan a. Hukum sebagai Realitas dalam Proses Transformasi sosial: Dari

Hukum Rakyat ke Hukum Nasional yang Positif b. Hukum Sebagai Realitas dalam Proses Transaksi Politik dalam

Kehidupan Nasional: Modernisasi Hukum c. Hukum sebagai Realitas dalam Proses Transplantasi Kultural d. Hukum Sebagai Realitas dalam Proses Transformasi Ekonomi-Bisnis:

Menuju Global Market

IV. Metode-Metode dalam Kajian Sosiologi Hukum Kontemporer a. Teori-Teori Struktur dalam Sosiologi Hukum dan Metodenya yang

Klasik-Kuantitatif b. Teori-Teori Aksi dalam Sosiologi Hukum dan Metodenya yang

Kualitatif c. Variasi Metode Kualitatif dari Teori Agency dalam Sosiologi Hukum.

Untuk keperluan perbincangan dalam topik-topik tersebut di muka, buku bacaan

tersebut berikut ini dapatlah dianjurkan dengan sangat: Cottrell, Reger. The Sociology of Law: An Introduction, (London: Butterworths, 1984); Vago, Steven. Law and Society, Edisi Ketiga (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1991). Sesungguhnya kedua buku bacaan ini sekalipun boleh dinilai bagus untuk bacaan para pemula harus dinilai sudah agak outdated. Maka, kecuali masih akan dicek ulang apakah ada edisinya yang lebih mutakhir, dosen juga akan meng-update bahan dan persoalan yang akan dijadikan objek perbincangan dengan menuliskan dan membagikan handouts pada (kalau perlu!) pada setiap awal perkuliahan.

Page 44: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

4

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM SOSIOLOGI HUKUM SEBAGAI RESPON ATAS PERKEMBANGAN SOSIAL-POLITIK

Perkembangan ke arah masyarakat industri telah menumbuhkan kebutuhan akan berlakunya tatanan hukum baru yang lebih memberikan kepastian-kepastian yang memungkinkan prediksi dan perencanaan usaha. Lebih tergerak untuk berorientasi ke masa depan daripada hendak berpaling dan bertahan saja secara konservatif ke keselamatan masa lampau, masyarakat industrial amat mengharapkan terciptanya norma-norma hukum yang tertulis dan berkepastian, tidak hanya dalam hal rumusan-rumusannya belaka akan tetapi juga dalam hal pemaknaan interpretatifnya. Masyarakat industrial modern yang dikelola secara rasional memang tidak akan dapat bertahan tanpa konsistensi-konsistensi yang mantap. Di tengah kenyataan seperti itulah tampil mendesaknya kebutuhan dan tuntutan akan dikembangkannya sistem hukum yang dibangun di atas landasan paradigma paham legisme yang mementingkan formalisme sebagaimana dianut kaum positivis.

Sementara itu, tumbuh-kembangnya berbagai organisasi kerja yang terspesialisasi

di dalam masyarakat industrial akan serta merta meningkatkan heterogenitas kehidupan di dalamnya. Tumbuhnya berbagai aktivitas di dalam masyarakat industrial ini tak akan mungkin dilangsungkan tanpa kemampuan pengelolaan sentral yang terorganisasi dengan bersaranakan rujukan normatif yang berotoritas sentral pula. Kemampuan mengorganisasi kehidupan yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan masyarakat industri mampu mengembangkan – atau setidak-tidaknya menenggang hadirnya – heterogenitas pada tataran unsur yang heterogen itu ke dalam suatu sistem yang berformat besar. Multiplikasi organisasi ini pulalah yang menyebabkan masyarakat industrial kian bersifat struktural, dan berseiring dengan itu juga kian memerlukan pengendalian oleh hukum yang telah dipositifkan. Hanya hukum yang telah dipositifkan dalam bentuk-bentuknya yang formal-tekstual (dalam arti tidak hanya terumus jelas akan tetapi juga berlaku dan diberlakukan baku) ini sajalah keniscayaan-keniscayaan perilaku manusia (yang kini telah terpaksa hidup dalam situasi yang heterogen dan berkemajemukan) akan dapat diprakirakan.

Kebutuhan akan kontrol oleh hukum yang baku dan menurut doktrinnya menjamin

kepastian ini pada gilirannya berbalik mengharuskan terkembangnya organisasi-organisasi dalam institusi hukum, yaitu berbagai badan yang secara klasik dibedakan atas badan legistalif, badan eksekutif dan badan yudisial. Kompeksitas kehidupan dari yang lokal praindustrial ke yang nasional industrial telah menyebabkan pula hadirnya kompleksitas dalam konfigurasi institusional hukum. Maka benarlah kiranya apa yang

Page 45: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

25

dikatakan oleh Black1 sebagai salah satu tesisnya, bahwa law varies directly with organization. Ini berarti bahwa kian berganda-ganda jumlah dan ragam organisasi di dalam suatu kehidupan akan semakin tinggi pula fungsi hukum sebagai rujukan resmi dalam setiap penyelesaian perkara, baik yang rekonsiliatif maupun yang edukatif. Semakin kecil ragam organisasi dalam suatu kehidupan lokal yang sedenter dan tradisional (seperti misalnya yang terjumpai di dalam komunitas-komunitas praindustrial yang tak kompleks) akan kian kecil pula jumlah ragam hukum yang ada dan digunakan di dalamnya. Maka dalam kenyataan seperti itu, komunitas-komunitas tradisional akan lebih banyak dikuasai oleh norma-norma sosial yang tidak terlalu banyak diformalkan dan dibakukan.

Berbeda dengan apa yang tersimak dalam kehidupan masyarakat pra-industrial yang

tradisional dan berkeadaan lebih sedenter (tidak banyak bergerak pindah), kehidupan bermasyarakat industrial dalam tatanan kehidupan bernegara nasional yang modern itu terbilang bermobilitas tinggi. Hidup di tengah kehidupan bermasyarakat industrial memungkinkan (atau bahkan mengharuskan) setiap orang untuk selalu bergerak dan berpindah sepanjang waktu, tidak hanya dalam maknanya yang geografis untuk melintasi perbatasan negeri, akan tetapi juga acap kali dalam maknanya yang sosial dan okupasional. Orang-orang kini tidak hanya akan mudah berpindah tempat tinggal, akan tetapi juga kian berambisi dan berobsesi untuk selalu berpindah kegiatan atau pekerjaan, diiringi oleh perubahan posisi serta status sosial yang melekat pada jenis kegiatan dan pekerjaan itu.

Maka, berbeda dengan kehidupan dalam komunikasi lokal yang praindustrial yang

condong “memaku” orang di suatu tempat dan di suatu posisi atau status tertentu, kehidupan yang telah berubah itu akan serta merta mencenderungkan terjadinya pola hubungan antar-manusia di situ ke sifatnya yang kini menjadi serba kontraktual. Inilah perkembangan yang oleh Maine dikatakan sebagai a movement from status to contract yang menggambarkan bagaimana hak dan kewajiban yang semula melekat pada orang sehubungan dengan status keluarganya dalam stratifikasi kelas sosial, dan/atau sehubungan dengan status dirinya dalam keluarga, kini beralih melekat ke kapasitasnya sebagai individu yang bebas namun yang juga demi kebebesannya itu dan berdasarkan pilihannya sendiri telah memasuki dan berada di dalam hubungan-hubungan kontraktual dengan sesamanya.2

Menyimak kenyataan mengenai tipe kehidupan yang berbeda seperti yang terpapar

di muka itu dapatlah dengan segera dimengerti mengapa nyata pula perbedaan asal-muasal dan fungsi hukum di kedua tipe kehidupan itu. Sebagaimana dikatakan untuk pertama kalinya oleh Henry Maine, hukum dalam masyarakat tradisional itu berorientasi pada status, karena selalu memandang dan memperlakukan seseorang pada posisi atau status tertentu yang telah dipastikan untuknya, dengan segala hak dan kewajiban yang telah ditetapkan untuk dan melekat pada masing-masing status itu. Sementara itu, hukum dalam masyarakat industrial yang modern itu boleh dipastikan akan selalu berorientasi pada terwujudnya kontrak, karena hukum di sini seperti bersengaja hendak memberikan 1 Donald Black, The Behavior of Law (New York: Academic Press, 1976) hlm. 86ff. 2 Sir Henry S. Maine, The Ancient Law (London: Dent & Sons, 1861), hlm 175ff.

Page 46: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

26

keleluasaan kepada masing-masing pelaku hukum untuk secara dinamis menetapkan sendiri posisi hak dan kewajiban mereka masing-masing, sesuai dengan pilihan mereka masing-masing atas dasar kesepakatan yang suka dan rela. Maka tidak salahlah apabila dikatakan di sini secara kategorikal bahwa berbeda dengan hukum dalam komunitas lokal yang cenderung berkekuatan internal sifatnya yang hendak memaksakan, hukum modern akan cenderung lebih berkekuatan internal (karena berasal dari para pihak sendiri). Doktrin Hukum Modern Kaum Legis-Positivis Perkembangan hukum yang secara fungsional memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan masyarakat bernegara nasional yang modern dalam suatu rentang waktu tertentu ternyata mengundang pemikiran-pemikiran penjelas dan pelegitimasinya, yang pada gilirannya tertranformasi sebagai doktrin. Sesungguhnya, tertransformasikannya praktik dan pemikiran yang mendasari hukum modern ini yang semula “cuma” dimaksudkan untuk merespon kebutuhan hukum yang berkembang seiring dengan perubahan zaman menjadikan doktrin itu tak pernah pula lepas dari kenyataan berikut ini. Bahwasanya model hukum yang hendak difungsikan untuk kepentingan kehidupan bernegara nasional yang modern itu adalah juga hasil realisasi cita-cita. Tak ayal lagi, sehubungan dengan hal itu, dapatlah dikatakan bahwa hukum modern itu adalah sesungguhnya suatu konstruksi konseptual. Sebagai suatu konstruksi di alam konsep, hukum modern tidaklah hanya bernilai dan bermakna sebagai tradisi semata. Hukum, dalamper kembangannya untuk merespon kebutuhan kehidupan nasional yang modern, ternyata tidak terwujud sebagai hasil pengalaman dan perkembangan realitas kehidupan semata. Alih-alih, hukum yang tersujud itu adalah juga merupakan hasil aktualisasi pemikiran dominan yang tengah merefleksikan suatu cita-cita mengenai suatu model kehidupan baru yang diidealkan.

Sangat mencita-citakan terwujudnya jaminan akan kepastian, mengatasi kesemena-

menaan para penguasa otokratis di masa lalu dalam ihwal penciptaan dan pelaksanaan hukum, para pemikir filsafat dan ilmu hukum mengetengahkan dan memperjuangkan ide hukum yang harus berstatus positif. Dikatakan “berstatus positif” karena setiap norma hukum itu kini harus dirumuskan jelas-jelas dan tegas-tegas, yang karena sifatnya yang eksplisit seperti itu, norma-norma hukum lalu tak akan terdefinisikan secara beragam yang pada akhirnya hanya akan mencerminkan subjektivitas dan perselisihan dalam hal mengartikan. Positivisasi hukum yang amat dianjurkan oleh kaum positivis ini diyakini akan menghindarkan terjadinya debat-debat berkepanjangan mengenai apa yang telah harus dihukumkan dan dibentuk secara resmi sebagai hukum (ius constitutum) dan apa pula yang tidak atau belum (ius constituendum), yang karena itu masih harus dibilangkan sebagai norma-norma sosial yang berstatus informal biasa (ius). Kaum positivis ini sering pula disebut sebagai kaum legis (lege = undang-undang) karena kuatnya pendirian mereka untuk menolak berlakunya norma-norma sosial yang materinya belum dipositifkan alias belum “dibentuk” ke dalam produk perundang-undangan.

Demikian itulah pemikiran positivisme yang amat marak pada belahan kedua abad

18 yang berambisi untuk terus dipraktikkan dalam kehidupan nasional sepanjang abad 19

Page 47: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

27

pasca-revolusi Perancis. Itulah pemikiran yang berangkat dari penolakan segala pemikiran yang serba metafisik dan dalam alam pemikiran dan praktik hukum yang serba metayuridis. Itulah era tatkala orang dalam teori maupun dalam praktik hukum tak lagi mau bicara mengenai hukum sebagai ius, melainkan hukum sebagai lege atau lex (alias ius yang constitutum). Inilah konstruksi dasar hukum modern yang liberal, yang disiapkan untuk menata kehidupan bernegara nasional dengan membukakan peluang luas bagi individu-individu warga negara untuk secara bebas berdasarkan hak-hak mereka yang asasi berperanserta dalam setiap aktivitas politik yang berefek pada pengembangan hukum, baik di ranahnya yang publik maupun di ranahnya yang privat. Itulah pula konstruksi dasar yang membawa konsekuensi pada tumbuh kembangnya hukum modern dalam hal substansi maupun dalam hal struktur institusionalnya.

Dalam hal substansinya, hukum modern tak cuma mengalami positivasinya

melainkan juga sistematisnya sebagai suatu yang corpus juris yang berkoherensi tinggi sebagaimana dirasionalisasikan lewat pengembang teori atau (tepatnya) doktrin-doktrinnya. Mengalami positivisasi dan sistematisasi, hukum modern yang berlaku dalam tataran nasional ini pun serta merta menuntut pengelolaan dan perawatannya untuk kepentingan ajudikasi dalam proses-proses yudisial yang tidak asal-asalan. Hukum modern memerlukan pengelolaan oleh para ahlinya yang profesional. Inilah ahli-ahli yang disebut jurists di Eropa Kontinental atau lawyers di Amerika. Pada gilirannya, pengadaan ahli-ahli hukum ini menuntut didirikannya pusat-pusat pelatihan dan pendidikan pada tatanannya yang paling tinggi, yaitu tatanan universitas. Jaminan akan berlakunya kepastian hukum dengan langkah-langkah positivisasi dan sistematisasi sebagaimana diutarakan di muka pada akhirnya memerlukan pengukuhan dan penegakannya pada ranahnya yang politik, dan tidak cukup kalau cuma disokong oleh legitimasi-legitimasinya dari dunia akademis dan/atau profesi.

Dari sinilah awal mula lahirnya ide atau dimulainya upaya untuk menghidupkan

kembali ide negara hukum.3 Inilah ide bahwa hukum yang diwujudkan yang kemudian berlanjut dengan positivasinya dalam kosep Kelsenian mengenai hierarki perundang-undangan, dengan suatu norma dasar (Grundnorm) yang ditegaskan dalam konstitusi-konstitusi. Inilah pemikiran yang mampu mengubah konfigurasi tatanan sosial-politik pada dasawarsa-dasawarsa peralihan abad 18-19, namun yang (sayang!) kemudian selewat suatu rentang waktu tertentu tumbuh kukuh untuk menghegemoni banyak alam pikiran para praktisi hukum. Menghegemoni alam pikiran banyak praktisi dan pengguna hukum, pemikiran-pemikiran di seputas permasalahan hukum dan fungsi hukum ini pun selalu tertahbiskan tidak lagi cuma sebagai teori yang progresif mengenai kedudukan hukum yang terunggul dalam tatanan sosial-politik. Lebih lanjut dari itu, gagasan-gagasan itu menjadi terangkat dan tidak lagi cuma sebatas sebagai ajaran (atau Lehre dalam bahasanya Kelsen), akan tetapi sudah menjelma sebagai ideologi atau bahkan juga 3 Istilah "negara hukum" yang dikenal umum di Indonesia ini sebenarnya adalah terjemahan dari istilah

bahasa Belanda, Rechtstaat, atau yang juga dikenal di dalam kosa kata bahasa Inggris: lawstate. Boleh diduga kata staat dalam bahwa Belanda atau state dalam bahasa Inggris bermula dari kata status yang berarti “kedudukan” dan cukup jauh dari pengertian staat/state sebagai "negara". Seyogianya diperhatikan dalam hubungan ini dikenalnya ungkapan supremacy state of law atau supremacy law state dalam bahasa Inggris yang memaknakan kedudukan hukum yang lebih tingi daripada kedudukan (kebijakan) politik.

Page 48: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

28

sudah sebagai dogma (yang oleh sebab itu lalu gampang terdegradasi ke dalam suatu konservatisme yang tak ilmiah).

Masalah Perubahan Sosial dan Terjadinya Legal Gap, dan Lahirnya Doktrin-Doktrin Pemikiran baru yang Non-positivisme

Akan tetapi, baik sebagai konsep mau paun sebagai doktrin, apa yang selama ini diketengahkan oleh kaum legis profesional yang liberal dengan aliran positivismenya itu bukannya bisa berlangsung begitu saja tanpa cabaran. Perkembangan kehidupan yang riil sepanjang abad 19 ternyata telah berubah pesat, menjauhi kenyataan dan model kehidupan yang diidealkan pada awal abad. Dalam perkembangan seperti ini pemikiran filsafati dalam ilmu hukum yang dikonstruksi oleh kaum liberal dengan mengakui paradigma legisme yang positivistis itu menjadi kurang realistis lagi dan terkesan gagal menjawab berbagai permasalahan yang timbul di tengah perubahan. Kesahihan doktrin positivisme dalam pemikiran ilmu hukum mulailah dipertanyakan. Paradigma everybody is equal before the law, atau bahwa everybody is born free to pursuit its happiness, atau pula bahwa hukum dan hakim itu adalah sesungguhnya suatu institusi yang netral dan independen, kian nyata kalau hanya merupakan keinginan kosong yang karena itu terlalu idiil dan hanya benar dalam semboyan dan retorika belaka, dan tidak sekali-kali pernah menjadi kenyataan. Perubahan-perubahan dalam tertib kehidupan sosial tak tersimak dari kacamata ilmu hukum. Bersikukuh pada doktrin positivismenya, mendekati akhir abad 19 hukum nyata kalau secara berangsur mulai kehilangan kemampuannya yang fungsional sebagai alat kotrol sosial guna mengawal dan/atau merealisasi apa yang telah dicita-citakannya itu.

Maka terjadilah selisih yang melebar antara apa yang dimodelkan di alam ide

normatif suatu kebijakan hukum dan realitas yang sesungguhnya di alam kehidupan yang nyata. Ide equal before the law, misalnya, alih-alih terealisasi malah harus tercabar oleh maraknya inequality. Ide freedom dalam kehidupan kontraktual, sebagai misal yang lain, ternyata tidak kunjung melestarikan berlakunya nilai-nilai kebebasan itu sendiri, alih-alih demikian, yang terjadi malah lahirnya subordinasi-subordinasi dan hegemoni-hegemoni baru, yang pada gilirannya berkembang mantap ke dalam wujud struktur-struktur kelas sosial-ekonomi yang nyatanya tak lagi bisa digambarkan secara normatif-idiil seperti itu telah mulai mengundang berbagai kritik terhadap kemapanan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum yang sudah bertahan secara konservatif dalam paradigmanya yang positivistis dan legistis itu. Kritik-kritik itu sekali pun sering diilhami dari kajian-kajian ilmu pengetahuan sosial yang empiris tak kurang-kurangnya berkembang di alam pemikiran para pengkaji ilmu hukum dan praktisi hukum itu sendiri. Terbangunkanlah kesadaran bahwa tertib hukum yang normatif dan tertib sosial yang aktual tidak lagi sama dan sebangun. Akibat perubahan kehidupan dapatlah disimak telah terjadinya selisih yang melebar antara apa yang dituntut secara normatif demi tegaknya hukum formal dan apa yang senyatanya terjadi dalam faktanya yang aktual dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini.

Page 49: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

29

Ruang selisih yang memisahkan ide normatif yang terdapat dalam doktrin dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dari kenyataan kehidupan yang sesungguhnya telah berubah itu yang dengan begitu sekaligus menggambarkan betapa besar perbedaan antara yang ideal dan yang riil (dalam istilah bahasa Inggris the legal gap). Tuntutan untuk meniadakan the legal gap inilah yang untuk seterusnya menjadi bahan polemik yang tak kunjung henti dalam arena politik hukum. Secara ekstrem, pikiran-pikiran koservatif di lingkungan kaum positivis mengisyaratkan perlunya hukum itu (bagaimanapun juga) dihormati dan ditegakkan, sekalipun langit akan runtuh. Kekuatan sanksi akan banyak didayagunakan di sini, yang pada akhirnya akan menjadikan hukum terkesan berkarakter represif. Sementara itu, pikiran-pikiran yang lebih pragmatis namun juga progresif di lingkungan para pengkaji dan praktisi hukum (khususnya di Amerika Serikat) lebih memilih kebijakan legal reform untuk meniadakan atau mengurangi the gaps itu. Pembaruan hukum dipercaya akan menjadikan substansi hukum akan selalu dapat dimutakhirkan mengikuti perubahan dan perkembangan kehidupan yang ada. Dengan demikian, hukum pun serta merta akan lebih terkesan berkarakter responsif.4 Sementara itu, lebih lanjut dari sekadar menengarai ihwal karakteristiknya, kebijakan pembaruan hukum juga boleh diharapkan akan bisa berfungsi dalam kemampuan yang jauh lebih efektif daripada yang sudah-sudah.

Dalam perkembangan pemikiran ilmu hukum yang pragmatis di Amerika Serikat

mengenai keefektifan bekerjanya hukum dalam fungsinya sebagai sarana pengontrol dan pengelola tertib kehidupan bermasyarakat ada tercatat sekurang-kurangnya tiga arus pemikiran utama. Yang pertama adalah aliran pemikiran yang disebut the sociological jurisprudence sebagaimana dirintis sejak tahun-tahun 1910-an oleh Roscoe Pound dari Universitas Harvard, dan masih terus pengaruhnya sampai tahun-tahun 1920-1930-an. Yang kedua adalah apa yang disebut legal realism atau the realist jurisprudence sebagaimana yang masih terasakan pada dasawarsa 1960-an. Surutnya pemikiran realisme pada akhir pemikiran paham baru berikutnya yang menyebut dirinya the critical legal study movement dengan sokongan para teoretisinya yang menahbiskan lahirnya the critical jurisprudence pada awal tahun 1980-an. Apa yang kemudian dikenali sebagai the feminist jurisprudence seakan hilang dari percaturan hukum. Maka hukum seperti ini sudah harus boleh dituduh sebagai seperangkat norma kontrol yang sudah sangat dicenderungkan untuk kepentingan kaum lelaki. The Sociological Jurisprudence The Sociological Jurisprudence dengan Roscoe Pound yang diakui banyak kalangan sebagai bapak pendirinya tumbuh-kembang pada dasawarsa-dasararsa awal abad 20. The Sociological Jurisprudence ini dirintis oleh Pound sebagai reaksi atas apa yang sejak tahun 1870-an diajarkan oleh C. Langdell dari Universitas Harvard. Pound, yang juga dari Universitas Harvard, menyerang keras apa yang diajarkan Langdell selama itu. Merujuk ke paham formalisme klasik dalam ilmu hukum, Langdell berpendapat bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang terbilang ke dalam golongan ilmu eksakta, tak ada beda 4 Philippe Nonet dan Philip Selzneck, Toward Responsive Law, Law & Society in Transition, New

Brunswick, Transaction Publisher, 2001.

Page 50: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

30

dengan ilmu fisika yang bekerja atas dasar temuan hubungan sebab-akibat. Menurut Langdell, para yuris itu harus mendayagunakan perpustakaan hukum sebagaimana para ilmuwan fisika menggunakan laboratoriumnya, sebagaimana para ilmuwan fisika dapat menemukan hubungan sebab-akibat di laboratoriumnya itu demikian pulalah para yuris itu dengan melakukan analisis-analisis kasus di perpustakaannya idealnya akan dapat dengan mudah menemukan hubungan antara suatu perbuatan hukum yang berfungsi sebagai penyebab dan apa yang akan menjadi akibat hukumnya.5

Mereaksi keras atas ajaran Langdell yang diwacanakan seperti itu, Pound6 bangkit

untuk mengedepankan pendapat bahwa sesungguhnya ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat. Bersetuju pada alur pemikiran seorang sosiolog Amerika bernama Edward Ross yang amat berpengaruh pada masa itu, Pound mengatakan bahwa pada hakikatnya hukum itu adalah sarana kontrol sosial. Hukum adalah suatu bentuk sarana kontrol sosial yang khusus, yang harus diefektifkan berdasarkan seperangkat norma kewenangan sebagaimana didayagunakan dalam proses-proses yudisial dan/atau administratif.7 Berfungsi sebagai sarana kontrol sosial, hukum akan dapat menjaga stabilitas dan keseimbangan-keseimbangan dalam masyarakat. Bukan proses terjadinya putusan-putusan hukum lewat proses deduksi yang dikatakan mekanika, menurut irasionalitas formal itu yang harus dipandang penting. Bagi Pound yang lebih penting untuk dicermati adalah hasil kerja hukum itu. Seberapa jauh putusan-putusan hukum itu berpengaruh positif pada kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dari argumen yang berkembang seperti inilah lahir pendapat Pound yang terkenal bahwa law is a tool of social engineering.

Di sini Pound berpendapat bahwa hakim haruslah diberi ruang cukup luas dalam

setiap penyelesaian kasus untuk menetapkan apa yang adil dan apa yang kurang adil dalam setiap penciptaan amar putusan hukum. Aturan-aturan hukum haruslah dipandang “hanya” sebagai pedoman dan pengarah saja bagi hakim dalam membuat amar putusan. Lebih-lebih tatkala perkara yang tengah ditangani itu bukan perkara yang “itu-itu saja” (seperti antara lain dalam kasus-kasus transaksi harta kekayaan dalam hubungan perniagaan), melainkan perkara yang menyangkuti persoalan moralitas dan yang oleh sebab itu amat diharapkan dapat diakhiri dengan suatu penyelesaian yang ternilai paut dan adil. Dikatakan oleh Pound bahwa seseorang alim yang memutuskan untuk hidup terkucil di tengah-talam kehidupan hukum yang murni, di mana dunia kehidupan manusia yang sesungguhnya tak lagi tertengok dan tersapa olehnya, tidaklah ia itu akan mungkin menemukan prinsip-prinsip yang secara praktis akan dapat didayagunakan olehnya guna mengatasi keresahan dunia yang sesungguhnya terbangun dari darah dan daging8.

5 C. Langdell, “Harvard Celebration Speeches”, dalam Law Quaterly Review, Th. 1887 No. 3, hlm 123-

125. 6 Roscoe Pound, “Mechanical Jurisprudence”, dalam Colombia Law Review, Th 1908 no 8, hlm 605-

623. 7 Roscoe Pound, Social Control Through law (New York: Archon Books, 1968), hlm 41-49. 8 Roscoe Pound, “The Need of a Sociological Jurisprudence”, dalam Green Bag, Th 1907 no 19.

Page 51: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

31

Dapatlah disimpulkan di sini bahwasanya Pound memang benar-benar harus diakui sebagai kekuatan pemikiran baru yang mencoba menngkonsepsikan ulang bagaimana hukum dan fungsi hukum harus dipahami. Dialah ilmuwan hukum yang terbilang orang pertama yang berani menganjurkan agar ilmu pengetahuan sosial didayagunakan demi kemajuan teori-teori yang harus diperbarui dan dibangun dalam ilmu hukum. Sociological Jurisprudence memang tak bisa dipisahkan dengan nama Roscoe Pound, Sekalipun baru selewat tahun 1930 pemikiran-pemikiran Pound yang merintiskan aliran sosiologi di dalam ilmu hukum itu mulai dperbincangkan dan diperdebatkan dalam forum-forum yang lebih terbuka. Pada saat itu suatu gerakan baru dalam perkembangan ilmu hukum di Amerika yang kemudian dikenali dengan nama The Realistic Jurisprudence mulai tersimak berkecambah dan marak untuk mengundang perhatian. Kesamaan dan perbedaan cara pandang mengenai hukum dan fungsi hukum antara para ahli yang sociologist dan yang realist mulai banyak diperbedakan dan dipertanyakan.

The Realistic Jurisprudence The Realistic Jurisprudence yang juga sering disebut aliran Legal Realism dalam ilmu hukum tumbuh-kembang sebagai penerus alam pemikiran yang telah dibuka dan dirintis oleh Pound, dan yang sepanjang tiga dasawarsa pertama abad 20- telah berhasil dibela oleh para penganutnya. Kalaupun ada perbedaan di sana sini antara the realist dan the sociologist, perbedaan itu cumalah perbedaan yang tak menyentuh prinsip-prinsip dasarnya. Barangkali benar apa yang dikatakan oleh Milovanovic9 bahwa sesungguhnya apa yang dikenali sebagai the Realistic Jurisprudence ini lebih merupakan gerakan sosial menuju ke pembaharuan hukum daripada merupakan suatu rintisan baru yang akan dan terbukti telah meahirkan suatu mazhab baru. Karl Llewellyn yang menganut aliran politik garis tengah yang terbilang moderat, dan Jerome Frank yang terkesan lebih kekiri-kirian, adalah nama-nama yang dapat disebut sebagai eksponen-eksponen utama dalam gerakan legal realism yang tersimak amat marak antara tahun-tahun 1920-1940 di Amerika Serikat.10 Agenda utama kaum realis ini ialah upaya penyadaran akan perlunya memperhatikan fakta kemajemukan masyarakat dalam setiap proses pelaksanaan hukum.

Kaum realis adalah kaum pembaru yang amat berkesungguhan dalam ihwal

memfokuskan perhatian pada perubahan masyarakat. Masyarakat berubah dan berkembang secara progresif menuju wujudnya yang kian kompleks dan kian banyak diintervensi oleh kebijakan negara. Menjunjung tinggi ide pluralisme, kaum realis mengasumsikan kehidupan bermasyarakat ini sebagai suatu realitas kolektif dinamis yang terdiri dari jutaan individu, yang masing-masing memiliki beragam kepentingan. Itulah individu-individu yang terpaksa harus memasuki dunia persaingan guna memperebutkan 9 Dragan Milovanovic, A Primer in The Sociology of Law (New York: Harrow and Heston, 1994) hlm.

89-90. 10 Buah pikiran Llewellyin yang awal dapatlah disimak antara lain dalam karya-karyanya: “A Realistic

Jurisprudence: The Next Step”, dalam Colombia Law Review, Th XXX (1931), hlm 431ff, dan “Some Realism About Realism”, dalam Harvard Law Review, Th, XLIV (1931) No hlm. 1222ff. Sementara itu buah gagasan Frank dapat ditemukan antara lain dalam karyanya “Are Judges Human?”, Th LXXX (1931) hlm. 17-53 yang berlanjut di halaman 233-267; dan Courts on Trial: Myth and Reality in American Justice (Princeton:Princeton University Press, 1949).

Page 52: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

32

sumber daya yang tak sekali-kali berjumlah melimpah. Kerja hukum yang dibangun berdasarkan rasionalitas formal yang deduktif boleh saja dikehendaki oleh paham-paham kaum liberal yang mendahulukan kapitalisme, individualisme dan konstitusionalisme. Akan tetapi itu tidaklah berarti bahwa tuntutan untuk lebih mendahulukan rasionalitas yang lebih substantif guna menemukan kebenaran materiil yang lebih riil dalam suatu perkara boleh diabaikan. Dengan pernyataan seperti itu, terungkapkanlah sudah posisi kaum realis yang tak berbeda dengan para penganut doktrin sociological jurisprudence untuk menentang gaya pemikiran formalisme. Mendahulukan rasionalitas yang substantif, kaum realis pun menolak cara kerja para hakim dan administrator yang mementingkan abstraksi-abstraksi dan yang secara eksklusif juga begitu mementingkan jalan proses bernalar yang sepenuhnya berlangsung lewat keniscayaan silogisme deduksi. Kepastian menuntut bunyi norma hukum yang formal lalu lebih dipentingkan daripada kemaslahatan yang didambakan secara riil oleh mereka yang harus hidup di dunia yang nyata ini.

Kaum realis, khususnya Llewellyn dan Frank, mengedepankan kritik-kritiknya yang

keras terhadap kaum positivis-formalis dan cara bekerjanya yang mekanis-deduktif itu pada dua tataran, yang keduanya mengandung skeptisisme yang kuat. Pertama-tama rasa skeptis ditujukan pada kebenaran premis mayor dalam silogisme deduksi, yang oleh kaum ini diperkenalkan dengan apa yang disebut rule-skepticism dan berikutnya rasa skeptis itu ditujukan ke kebenaran premis minornya yng diistilahi fact-skepticism. Berkenaan dengan skeptisisme yang pertama, kaum realis dengan tegas mengatakan bahwa ada perbedaan yang nyata antara norma aturan resminya sebagaimana yang ditulis di atas kerja dengan norma aturan sebagaimana dalam realitasnya yang diartikan oleh sang pengambil keputusan. Aturan yang dirujuk boleh saja satu dan sama, akan tetapi arah putusan bisa saja bermuara ke hasil yang berbeda dari hakim ke hakim. Demikian juga halnya dengan fakta yang terumus sebagai “duduk perkaranya” dan menjadi “pengisi” premis minornya. Kejadian yang dirujuk sebagai perkara bisa saja sama, akan tetapi pengungkapannya sebagai fakta hukum yang relevan bagi pengambilan keputusan bisa berlainan dari apa yang semula disangkakan oleh pihak yang berperkara.

Dalam perkembangan berikutnya di sekitar tahun 1940, kaum realis terbelah ke

dalam dua puak dengan posisi yang berbeda dalam soal kebijakan hukum, sekalipun keduanya tetap tanpa dapat ditawar merupakan penentang paham legal mechanism yang mendasarkan kerjanya pada rasionalitas formal. Llewellyin dan para realis pada umumnya menganggap perlu tetap terjaganya prediktibilitas dalam proses-proses hukum. Setiap orang pencari keadilan harus tetap memperoleh jaminan bahwa hasil akhir suatu proses peradilan, apa pun kesulitannya, harus tetap bisa diprakirakan. Kesulitan memprakirakan hasil akhir suatu putusan hukum memang akan lebih banyak terjadi tatkala perkara sudah berlanjut di tingkat banding atau di tingkat mahkamah, yaitu tatkala fakta-fakta tentang duduk perkaranya tak lagi terkaji dan tak mungkin ditinjau kembali pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi itu. Padahal, justru pada peradilan tingkat pertama itulah keraguan mengenai tuntasnya fakta sebagai dasar menetapkan ihwal duduk perkaranya terjadi. Di tingkat peradilan yang lebih tinggi “permainan formalisme hukum” justru akan lebih banyak berlangsung dengan melupakan atau mengabaikan peran

Page 53: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

33

pentingnya apa yang disebut the frozen record untuk dibuka kembali guna meninjau ulang kebenaran fakta yang menjadi dasar konfigurasi “duduk perkaranya”.

Namun demikian, apa pun permasalahannya, kaum realis ini dengan mengecualikan

Frank tetap percaya bahwa prediktibilitas itu sungguh perlu dalam setiap proses hukum. Dengan mengikuti kembali (namun dengan kecermatan dan kehati-hatian yang lebih baik) metode sains yang mendasarkan diri pada rasionalitas formal, tuntutan prediktibilitas itu menseleksi dan melatih lebih sungguh-sungguh mereka yang akan berkhidmat sebagai hakim pada tingkat banding. Ada 14 faktor pencegah kegoyahan proses di pengadilan pada tingkat pertama harus bisa dibuka dan dicairkan kembali. Profesionalisme hakim harus lebih ditingkatkan, sedangkan pengembangan jabatan karier hakim sebagai jabatan seumur hidup harus dimungkinkan.11

Sementara itu, Frank secara oposisional tetap berpendirian bahwa, apa pun langkah

yang diambil, hakim itu tetap saja harus diprasangkakan sebagai seorang yang berperilaku seperti pengguna perkakas meknis saja laiknya, dan apa yang diidentifikasi sebagai perkakas mekanis itu tak lain ya hakim itu. Maka, setiap hakim haruslah mampu melakukan otokritis untuk memahami prasangka-prasangkanya sendiri demikian rupa sehingga ia tidak lagi berulah laku sebagai pengguna mesin mekanis dan memandang sistem hukum sebagai suatu sistem yang bekerja menurut keniscayaan-keniscayan yang mekanis pula. Setiap hakim harus menyadari bahwa tidaklah ada apa yang namanya hukum dengan aturan-aturan abstrak yang berlaku umum untuk siapa pun dan kapan pun. Hukum adalah aturan-aturan umum yang dalam penerapannya harus bisa disosokkan dan disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan kasusnya dan keperluan-keperluannya yang konkret, sekalipun untuk maksud itu prediktibilitas hukum lalu menjadi tak selalu dimungkinkan.12

The Critical Jurisprudence Selama kurang lebih 30 tahun, terhitung sejak tahun 1920-an, The Realistic Jurisprudence tampil merajai perbincangan-perbincangan untuk menyuarakan pendapat yang berseberangan dengan paham formalisme sebagaimana dianut para lawyers profesional Amerika. Setelah itu hampir 30 tahun pula lamanya, suara-suara keras anti-formalisme terdengar kian lirih dan hampir-hampir seperti tak akan terdengar lagi. Akan tetapi, seperti tiba-tiba saja, gerakan-gerakan sosial politik yang sebagian dipicu oleh memuncaknya Perang Vietnam meningkat garang pada tahun 1970-an untuk mengekspresikan perlawanan kepada kebijakan pemerintah, yang pada waktu itu serasa aman-aman saja di bawah naungan hukum yang tetap tegak kukuh di atas landasan ajaran formalisme. Kebijakan-kebijakan yang sekalipun dibenarkan secara formal oleh hukum namun ternyata tidak berselaras dengan tuntutan realitas yang ada pada waktu itu dengan segera saja mengundang tampilnya sejumlah ahli hukum yang kritis untuk mempertanyakan kebenaran dan dasar legitimasi kebijakan-kebijakan itu. Mereka yang

11 Karl Lewellyn, Jurisprudence: Realism ini Theory and Practice (Chicago: University of Chicago

Press, 1962), hlm. 19-51. 12 Jerome Frank, op. cit. 1949, hlm. 129 dan 143-144.

Page 54: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

34

tampil kritis itu, sekalipun boleh dikesan sebagai penerus ajaran kaum realis, ternyata kemudian bisa bergerak lebih lanjut dalam pemikiran-pemikiran untuk memberikan perlawanan yang lebih keras di ranah praktik maupun di ranah teori kepada kaum formalis yang berkubu di jajaran birokrasi dan militer, yang dalam bahwa populer pada waktu itu dinamakan the establishment.

Milovanovic menyebutkan adanya tiga tahap perkembangan pemikiran kritis di

bidang praktik dan teori hukum13 (yang sejak pertengahan dasawarsa 1980-an kian dikenal dengan nama The Critical Legal Studies Movement) yang dikenali juga dalam inisialnya CLS). Dikatakan olehnya bahwa pada awalnya, sepanjang belahan pertama dasawarsa 1970-an, gerakan CLS ini barulah merupakan suatu seri serangan awal yang penuh kritik pada praktik dan ajaran klasik kaum formalis. Pada tahapnya yang kedua, yaitu sepanjang belahan kedua dasawarsa 1970-an itu, gerakan CLS sudah mulai berprakarsa mengkritiki kasus-kasus lewat berbagai analisis, yang hasilnya pada tahap berikutnya telah diinterasikan untuk menghasilkan konsep, teori dan metodi baru dalam kajian hukum CLS tidak lagi hanya sebatas suatu gerakan akan tetapi juga tumbuh-kembang sebagai suatu aliran baru dalam ilmu hukum. Apabila dalam tahap awalnya nama Kennedy14 yang disebut-sebut sebagai tokoh eksponennya, dan pada tahap kedua nama Kairys15 yang dikedepankan, pada tahap ketiga nama Ungerlah16 yang sering disebut-sebut sebagai nama penting.

Sekalipun tidak dapat dikatakan bahwa pemikiran para eksponen CLS itu

merupakan pemikiran yang solid dan monolitis, namun demikian sejumlah kesamaan atau kesejajaran tesis mereka dapatlah dikemukakan di sini. Pertama-tama para eksponen CLS ini tidak percaya akan paradigma kaum positivis-formalis yang mengidealkan hukum sebagai suatu institusi yang dapat dikonstruksi dan dikelola sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak netral. Idealisasi hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah disepakati, yang dengan demikian akan memiliki kekuatan internal guna mengikat siapa pun dan dari pihak mana pun (termasuk yang menciptakan hukum itu sendiri), tidaklah bisa diterima begitu saja. Amat dipertanyakan apakah hukum formal seperti itu, sekalipun merupakan hasil kesepakatan (baik sebagaimana terjadi di ruang publik sebagai undang-undang maupun di ruang privat sebagai kontrak) akan benar-benar bersifat netral dan akan dapat ditegakkan lewat suatu silogisme yang objektif oleh badan yudisial yang konon diidealkan sebagai institusi yang juga berposisi independen dan tidak akan memihak. Semua itu demikian menurut para eksponen CLS tidak hanya merupakan mitos yang bukan realitas, melainkan juga suatu kebohongan besar.

13 Jerome Frank, op. cit., hlm. 94-95. 14 Tulisan Kennedy terdapat dalam karya-karyanya: "How The Law School Fails: A Polemic” dalam

Yale Review of Law and Social Action, Th. 1970 No.1 hlm.71-90; “Legal Formaly”, dalam The Journal of Legal Studies, Th. 1973 no. 2 hlm 351-398, “Legal Education as Training for Hierachy”, dalam D. Kierys (ed.), The Politics of Law, (New York: Pantheon Books, 1992).

15 Kairys menyunting hasil analisis-analisis kritis atas berbagai kasus dalam bukunya The Politics of Law yang telah disebutkan dalam catatan kaki di atas.

16 Unger menulis berbagai karya, antara lain: Law in Modern Society (New York: The Free Press, 1976); The Ctirical Legal Studies Movement (Cambridge, Mass, Harvard University Press, 1987); dan What Should Legal Analysis Become? (London: Verso, 1996).

Page 55: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

35

Adalah mereka yang mengembangkan kajian secara kritis ini yang secara kritis menyoroti kenyataan bahwa formalisasi hukum itu sesungguhnya hanya akan banyak berdaya guna untuk melegitimasi dominasi para elite yang tengah berkekuasaan. Rakyat banyak terkecoh oleh formalisasi pemikiran bahwa mereka itu tengah hidup di bawah prinsip Rule of Law dan bukan Rule of Men. Eksponen CLS mencoba mengkaji sungguh-sungguh bagaimana institusi hukum bisa didayagunakan untuk mempengaruhi kesadaran rakyat banyak agar selalu berketaatan penuh pada suatu rezim kekuasaan. Tak ayal, sejauh ini hukum dengan teori-teori klasiknya lalu demikian dinyatakan antara lain oleh Kreuish17 terubah menjadi terhakikat sebagai suatu ideologi dengan fungsinya sebagai pelegitimasi. Adapun pelegitimasian ini berlangsung melalui proses-proses reifikasi dan proses hegemoni. Dalam proses reifikasi yang direncanakan dan diusahakan, para subjek hukum dibikin percaya bahwa berbagai prinsip yang dikenal dalam ajaran hukum (seperti misalnya asas "supremasi hukum") itu sesungguhnya bukan hanya berada di dunia konsep dan teori, melinkan benar-benar sudah merupakan kenyataan yang terwujud di dalam praktik-praktik hukum. Sementara itu, dalam dan melalui proses hegemoni, ajaran-ajaran hukum terdayagunakan untuk membentuk terciptanya suatu rezim kekuasaan yang sesungguhnya otokratis bisa memerintah dengan leluasa, justru atas dasar kesetujuan rakyat yang tengah dizalimi namun yang tidak sekali-kali pernah merasa dizalimi.

Kajian para eksponen CLS mencatat bahwa dengan arah kerja yang demikian itu

batas pemisah antara hukum dan politik itu sebenarnya tak pernah ada. Hukum bekerja sebagai agenda politik atau setidak-tidaknya bekerja dengan menyembunyikan banyak agenda politik. Adalah kenyataan bahwasanya hukum dalam praktik itu, baik tatkala masih dalam tahap penerapannya sebagai hukum in concreto, selalu saja merupakan hasil proses yang amat sarat dengan muatan motif-motif politik yang tersembunyi. Di sini para lawyers yang baik adalah segolongan dari mereka yang sanggup bekerja dalam suatu hierarki kekuasan namun dengan syarat akan memperoleh sejumlah imbalan yang menarik. Betapapun juga taraf ketenaran dan tingginya posisi mereka dalam suatu hierarki, sesungguhnya mereka itu tak lebih tak kurang hanyalah beridentitas sebagai robot-robot yang tetap saja dengan gembiranya dan tanpa mengenal rasa lelah terus saja bekerja pada suatu sistem normatif yang mekanis, suatu sistem kerja yang dipenuhi rambu-rambu norma prosedural yang disebut "juklak-juklak" dan "juknik-juknik".

Berapapun kerasnya kritik dan perlawanan para eksponen CLS terhadap praktik

hukum yang selama ini dikuasai oleh para formalis yang tak terlalu mementingkan rasionalitas substantif, tidaklah itu berarti bahwa para eksponen ini hendak bertindak memporak porandakan sistem hukum nasional yang selama ini telah berhasil dibangun. Alih-alih demikin, mereka hanya bermaksud memangkasi “cabang-cabang praktik” yang kurang menguntungkan. Dekonstruksi dilanjutkan untuk dilanjutkan dengan18 suatu upaya untuk mengkonstruksikannya kembali. Pada arah kerja seperti ini, para eksponen CLS (antara lain yang paling mengemuka tak lain adalah Roberto Unger) mulai mencoba mengetengahkan visi-visi mereka mengenai tatanan masyarakat dan tatanan hukum di masa mendatang. Tak ketinggalan dalam upaya dekonstruksi dan rekonstruksi ini adalah mereka yang berfokus pada masalah perempuan dalam percaturan hukum, yaitu 17 V. Kreuish, Jurisprudence as Ideology ( New York: Rotledge, 1991). 18 R. M. Unger. False Necessity (New York: Cambridge University Press 1987).

Page 56: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

36

kelompok yang hendak mencoba mengembangkan teori-teori kritik yang secara lebih khusus membahas masalah perempuan, dengan konsep-konsep dan teori-teorinya tersendiri yang kemudian diperkenalkan sebagai teori-teori The Feminist Jurisprudence.

Dekonstruksi yang dianjurkan dan dikerjakan di sini berlangsung berdasarkan

kebijakan “pembalikan hierarki” dan upaya penemuan metode baru untuk menafsir ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum. Mengenai kebijakan yang disebut the reversal of hierarchies dalam bahasa aslinya itu, Balkin19 mengetengahkan terlebih dahulu kenyataan bahwa setiap norma hukum itu selalu mengoposisikan dua nilai kepentingan, di mana nyatanya yang satu didudukkan sebagai suatu yang dominan untuk lebih dihadirkan dan untuk lebih diutamakan, sedangkan yang lain disusulkan sebagai suatu yang tidak diutamakan dan oleh sebab itu juga tidak tertampilkan. Dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak tertampilkan dan karena itu juga tidak terbicarakan. Dicontohkan, apabila hukum perkawinan hendak ditegakkan, maka tidak hanya hak-hak suami saja yang seperti yang selama ini terus lebih ditampakkan di depan. Hak-hak perempuan mestilah mulai ikut banyak dibicarakan dan tidak bisa secara terus-menerus ditahan di posisi yang tersembunyi untuk tidak hendak dihadirkan di tengah wacana. Dalam proses dekonstruksi, hak dan kepentingan para pihak harus dikonstruksi ulang sebagai dua entitas yang interdependen. Tidaklah konstruksi itu bertahan pada norma-norma bahwa hak dan kepentingan pihak yang satu berkedudukan dominan, sedangkan kepentingan pihak yang lain terpandang sebagai wujud yang dependen.

Dekonstruksi melalui penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum yang

ada dilakukan berdasarkan ide the free play of the text. Dikatakan bahwa suatu teks undang-undang atau teks amar putusan hakim itu begitu selesai dirumuskn akan begitu terbebas dari maksud perumusannya yang semula. Setiap teks akan mempunyai riwayat hidupnya sendiri. Setiap generasi akan mengubah isi teks itu kembali lesat berbagai kesempatan berijtihad, sedangkan generasi terdahulu penciptanya tidaklah lagi ada dayanya untuk mencegahnya. Bagaimanapun juga makna setiap teks itu selalu menemukan dirinya dalam suatu situasi kesejarahan, yang sesungguhnya menjadikan setiap isi teks itu berhakikat sebagai norma-norma yang nisbi. Maka kerja mendekonstruksikan teks haruslah bermodal kesediaan untuk memaknakan isi teks secara berbeda menurut konteks yang nyatanya telah berbeda pula. Mengartikan suatu isi teks berdasarkan makna aslinya dalam suatu pekerjaan tak hanya akan sia-sia akan tetapi juga tak perlu. Kerja dekonstruksi tentu saja harus dicegah agak tidak terus berlanjut ke sikap dan tindakan yang terbilang tindakan kaum nihilis. Kerja-kerja rekonstruksi haruslah tetap menjadi bagian dari strategi kerja-kerja dekonstruksi.

Berbicara mengenai soal rekonstruksi, nama Roberto Unger amatlah mengemuka

sebagai penulis yang sungguh visioner. Dalam buku-buku yang ditulisnya dan terbit pada tahun 1986 dan 1987;20 Unger menuliskan agenda rekonstruksinya dalam bentuk ajakan untuk melakukan gerakan menuju ke apa yang ia namakan empowered democracy dan

19 J.M. Balkin, “Deconstrutive Practice and Legal Theory”, Yale Law Journal Th 1987 no. 4 hlm. 743-

786. 20 R. M. Unger, loc. cit.

Page 57: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

37

keterkembangkannya transformative politics. Unger berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu bangunan hierarkis yang amat kaku dan tak gampang responsif pada tuntutan publik. Suatu gerakan harus dilancarkan untuk membikin struktur itu dapat berubah lebih responsif, demokratis, peka pada permasalahan manusia, dan kemudian daripada itu lalu juga bersedia untuk dimintai pertanggungjawaban. Gerakan akan dikembangkan melalui apa yang ia sebut aktivitas transformatif; yaitu aktivitas untuk secara berencana dilakukan atas dasar "hak-hak individu yang dilindungi hukum untuk melakukan destabilisasi dari waktu ke waktu". Inilah aktivitas yang berdasarkan hak-hak yang mestinya boleh diakui itu boleh diduga kuat akan menggugah dan membangunkan birokrasi kekuasaan dari kelelapannya, yang kemudian dari pada itu boleh diharapkan akan segera menyadarkan birokrasi kekuasaan itu untuk segera mulai bekerja, sesuai dengan tanggung jawabnya.

Apakah yang bisa dibilangkan sebagai "hak-hak untuk melakukan destabilisasi

yang menggugah" itu? Unger menyebutnya dalam suatu senarai beberapa darinya, sekalipun ia tidak sempat menguraikan secara terinci bagaimana hak-hak seperti itu bisa direalisasi.21 Dua di antara hak-hak yang disebut itu ialah "hak imunitas" dan "hak melakukan destabilisasi". Hak imunitas adalah hak yang akan menjamin seseorang individu memperoleh suatu kekebalan, yang memungkinkan ia tetap menikmati suatu ruang kebebasannya sekalipun ia telah melakukan kerja-kerja “penggoyangan-penggoyahan”. "Hak untuk melakukan destabilisasi" adalah hak yang memungkinkan individu dengan dengan gerakan dekonstruktif-rekonstruktifnya mencabar struktur kaku hierarki yang tengah bertahan. Bagaimanapun juga, bukanlah maksud Unger untuk memporakperandakan birokrasi kekuasaan yang ada. Dalam keadaan apa pun juga birokrasi dan/atau sistem kekuasaan pemerintahan itu memang perlu dan diperlukan dalam kehidupan. Namun, yang lebih diperlukan lagi adalah adanya suatu sistem yang peka dan responsif pada tuntutan sekitar. Maka untuk itulah destabilisasi yang diprakarsai itu harus dimaknakan tidak hanya sebagai bagian dari proses dekostruksi yang murni melainkan juga termaknakan sebagai bagian dari upaya rekonstruksi yang positif.

21 Dalam Milovanovic, op. cit., hlm 103-104.

Page 58: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

BAGIAN KEDUA

PARADIGMA, ANCANGAN KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI DALAM KAJIAN ILMU SOSIAL TENTANG HUKUM

Ilmu apa pun, termasuk ilmu hukum dan ilmu sosial tentang hukum, tidak hanya ada satu aliran atau mazhab. Masing-masing aliran atau mazhab itu mempunyai paradigma, konsepsi, teori dan metodologi yang berbeda satu sama lainnya. Bagian ini akan menyajikan perubahan-perubahan paradigma ilmu hukum, perbedaan antara ilmu hukum dengan ilmu sosial tentang hukum, metode-metode penelitian hukum, dan keragaman konsepsi tentang hukum.

Para pengkaji hukum, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya memilih paradigma, konsep hingga teori yang dianut dan kemudian dipergunakan seseorang/sekelompok orang untuk berpikir dan menghasilkan judgement, maupun untuk menjelaskan eksistensi hukum sebagai suatu kenyataan sosial. Pilihan paradigma, konsep dan teorinya itu memiliki konsekuensi pada metode dan praktik dari penggunanya. Pembaca yang berlatar belakang akademis tentunya akan mendapat keuntungan dengan membaca tulisan-tulisan pada bagian ini.

Page 59: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

5

PERUBAHAN PARADIGMA DALAM ILMU HUKUM PADA MASA PERALIHAN MILENIUM

HUKUM nasional yang kita kenal dalam praktik maupun teori hukum di Indonesia dewasa ini adalah praktik dan teori (atau tepatnya: doktrin) yang dihasilkan oleh suatu perkembangan sejarah yang panjang, yang apabila diturutkan balik akan terpulang ke masa sejarah abad-abad pertengahan Eropa Barat. Berbeda dari apa yang sering dipersangkakan oleh banyak ahli hukum di Indonesia – yang mengatakan bahwa hukum Barat modern, sebagaimana juga dipraktikkan sebagai hukum nasional Indonesia itu pada dasarnya berasaskan hukum Romawi – Harold Berman dengan data sejarahnya yang relatif lengkap menyimpulkan bahwa hukum modern sebagaimana banyak dipraktikkan di banyak negara nasional pada abad XX ini, juga di negeri-negeri bekas jajahan, adalah hukum yang karakteristik utamanya terbentuk lewat dan oleh berbagai revolusi penting di negeri-negeri Eropa yang dahulu berada dalam kawasan Katolik Barat.

Dalam kajiannya itu Berman ternyata tidak terlalu mengedepankan pentingnya peran hukum Romawi dalam proses pembentukan tradisi hukum Barat. Doktrin-doktrin yang berkembang dan terawat dengan segala modifikasinya dalam tradisi hukum nasional Barat yang modern itu justru bermula dari perkembangan-perkembangan sejarah yang justru bermula amat lama sesudah era Romawi. Berman menunjukkan berdasarkan data sejarah bahwa genesis tradisi hukum Barat bermula dari dimaklumatkannya dekrit (edict) Paus Gregorius VII pada tahun 1075 yang mengumumkan bahwa Paus sajalah yang di dunia ini berstatus universal dan oleh karena itu tak akan terikat pada ucapan dan ikrarnya sendiri. Dekrit yang terkenal dengan judul Reformatio Totius Orbis (Reformasi Atas Seluruh Tatanan Dunia) ini memperoleh perlawanan simbolis maupun fisik yang dilakukan oleh raja-raja dunia, khususnya oleh Kaisar Heinrich IV dari Sachsen.

Itulah peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama The Papal Revolution, yang berlangsung secara agak berkepanjangan akan tetapi juga tak berkeputusan, untuk cuma berakhir dengan terjadinya deadlock. Justru impase inilah yang kemudian berpusat di Roma. Ialah doktrin yang mendasari pengakuan adanya dualisme – atau mungkin malah pluralisme – yurisdiksi hukum yang koeksisten secara integratif, dengan imperativa bahwa masing-masing harus berdasarkan prinsip the supremacy state of law. State of law alias law state alias rechtstaat seperti inilah yang diperlukan demi dapat diketahui dan diakuinya secara pasti secara saling-silang oleh para aktor yang sekalipun masing-masing itu tunduk dalam lingkungan yurisdiksinya sendiri namun toh harus terus berinteraksi dengan mereka yang berasal dari yurisdiksi lain.

Berman juga mengisahkan berdasarkan data sejarah bagaimana doktrin demi doktrin hukum berproses sepanjang sejarah revolusi-revolusi di negeri-negeri Barat itu. Ide dan doktrin

Page 60: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

40

konstitusionalisasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara atas dasar perjanjian antar-manusia berikut ideologinya (yang dikemudian dikenali dan disebut “konstitusionalisme”), misalnya, mulai memperoleh bentuknya yang kian nyata pada dan sesudah terjadinya The Glorious Revolution di Inggris (1688-1689). Selanjutnya mendasari bentuk negara Republik seratus tahun kemudian, pada masa revolusi kemerdekaan Amerika (1776) dan revolusi kerakyatan Prancis (1789). Positivasi hukum ke dalam wujud hukum perundang-undangan nasional yang dituliskan ke dalam kitab-kitab (corpus iuris) yang berlaku bagi seluruh warga negara tanpa kecualinya (tidak seperti ius romanum, yang hanya berlaku untuk orang-orang Romawi saja) tak salah lagi kalau didoktrinkan – demi kepastian hukum – pada suatu era revolusi pula, yaitu revolusi Prancis.

Positivasi hukum adalah suatu proses politik hukum yang amat menentukan perkembangan hukum sebagai suatu applied art (yang di dalam bahasa Inggris disebut “jurisprudence”, yang di Indonesia secara salah kaprah disebut “ilmu hukum”). Positivisasi hukum beserta dasar-dasar rasionalisasinya yang sarat dengan sistematisasi doktrin-doktrinnya sebagaimana dianjur-anjurkan menjelang pecahnya revolusi kerakyatan 1789 di Prancis, benar-benar dilaksanakan sepanjang masa pergolakan revolusi dan diteruskan cukup lama sesudah masa itu. Paradigma liberalisme dengan jabaran-jabarannya yang dikembangkan sebagai doktrin-doktrin dan/atau ajaran – semisal doktrin kebebasan individu (a.l. untuk membuat kontrak yang akan berlaku sebagai undang-undang bagi dirinya), netralitas dan objektivitas hukum (dengan konsekuensi tidak boleh diberlakukan surut undang-undang, karena akan mengganggu kepastian hukum) – sudah menjadi demikian standar pada awal abad 19 dan sudah dapat dijadikan pendukung gerakan politik di setiap negara nasional untuk mengubah praktik pendayagunaan kekuasaan pemerintah yang otoritarian ke yang demokratis.

Model standar seperti itu tidak hanya menyebabkan terjadinya reformasi ketatanegaraan di negeri-negeri Eropa, akan tetapi juga – sekalipun masih dalam taraf percobaan – di negeri-negeri jajahannya. Di negeri jajahan Hindia Belanda, yang dikemudian hari berhasil mencapai kemerdekaannya dengan nama “Indonesia”, paradigma liberalisme dengan doktrin-doktrin positivismenya telah dicoba pula dikembangkan lewat proses-proses replikasi, yang kelak dalam literatur hukum dengan pendekatan sosiologis diistilahi dengan “proses transplantasi”. Perubahan Regeringsreglement Hindia Belanda pada tahun 1854, menyusul perubahan Grondwet Kerajaan Belanda pada tahun 1848, menunjukkan betapa ambisiusnya kebijakan upaya transplantasi itu. Kodifikasi dan unifikasi hukum yang toh melahirkan polemik-polemik pada masa itu membuktikan betapa keras usaha memperluas berlakunya hukum Barat yang berparadigma libertarian dan dikemas serta dikonfigurasi atas dasar doktrin-doktrin yang positivistis-legistis itu.

Pada era pascakolonial, berlakunya hukum yang berparadigma libertarian dengan doktrin-doktrinnya yang positivistis – di sadari atau tidak – ternyata bertahan kuat sekalipun semangat dan sikap anti-Barat pada masa-masa pasca-kolonial itu demikian kuatnya. Ada semacam fakta pengakuan telah terjadinya biaya kultural yang besar sehingga penanganannya dengan memulai yang baru akan menghadapi perhitungan sunken cost yang tak tertanggungkan. Sekalipun pada tahun 1950-an berbagai pihak menyarankan dipertimbangkan model hukum nasional yang lain, entah bertolak dari asas-asas (paradigmatis?) hukum adat entah pula dari yang hukum Islam, dan bahkan Presiden waktu itu juga mencanangkan perlunya dikembangkan sistem hukum revolusi, tidaklah semua mampu menggeser – apalagi menyingkirkan – dominasi ajaran hukum positif yang berkukuh menuruti konfigurasi ajarannya yang libertarian dan individualistis.

Page 61: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

41

Model pendidikan hukum yang lebih cenderung ke upaya pengajaran aplikasi teknis, ialah

the dos and the don'ts, mengenai bagaimana hukum harus ditelusur dan diterapkan serta ditafsirkan berdasarkan doktrin positivisme kaum liberal, telah mendominasi praktik pelaksaksanaan hukum di Indonesia sejak zaman bewuste rexchtspolitiek penguasa-penguasa kolonial sampai era Orde Baru. Tatkala hukum (hukum perundang-undangan, dan bukan the judge-made laws) difungsikan sebagai tools of social engineering. Tatkala dalam kenyatan perkembangan politik di Indonesia kian menuju ke praktik-praktik yang anti-liberalisme untuk (sebaliknya) kian tertransformasi ke praktik-praktiknya yang bercorak otokratis. Mula-mula guna memenangkan revolusi (pada era Orde Lama), dan kemudian guna mensukseskan pembangunan nasional (pada Orde Baru) – tiba-tiba saja bisa tersimak dan tercatat bahwa ajaran positivisme yang bertolak dari paradigma liberalisme itu secara berbalik tak lagi bersemangatkan pro populus yang menjadi dasar komitmennya semula, melainkan mendegradasi dirinya menjadi alat atau sarana yang teknis-prosedural formal yang acap bisa ditawarkan pada tarif terentu untuk melayani siapa pun yang mampu membayar harga jasanya.

Realitas sosial mengenai terjadinya pengkhianatan kaum profesional hukum dengan bersembunyi di balik doktrin legisme – ialah doktrin bahwa hukum yang telah dipositifkan dalam wujud lege itu adalah hasil konsensus rakyat dan karena itu merupakan suatu objectified subjectivities yang telah dinetralkan sebagai suatu rule of law (yang objektif) dan bukan lagi rule of manusia (yang subjektif) – sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, akan tetapi juga di banyak negeri. Penjelasan para pakar, seperti misalnya yang diberikan oleh Marc Galanter bertahun yang lalu, why the haves always come out ahead adalah gambaran mengenai kenyatan ini. Nyata bahwa hukum dimana-mana, tatkala dipositifikan menjadi ius constitutum alias lege atau lex, tak lain akan menjadi agenda politik tersembunyi yang akan bisa difungsikan untuk melindungi kepentingan mereka yang berkuasa, dan sekaligus lalu menjadi legitimasi segala perilaku, yang tak jarang koruptif.

Maka hukum positif yang telah berubah semangat dan komitmen seperti itu, dua abad setelah terjadinya revolusi Prancis yang dikenal sebagai pemutakhir ajaran supremasi hukum kaum liberal, lalu serta merta mengalami cabaran teoretis (yang akan berimbas pada praktik pelaksanaannya juga). Cabaran antitesis yang mengingkari kenetralan hukum, bangkit ketika muncul aliran lain dalam ilmu hukum yang tidak lagi berparadigma liberalisme. Ada pun aliran lain ini adalah aliran kritis dalam ilmu hukum Amerika yang mulai dikenal pada akhir tahun 1970-an dengan memaklumkan diri sebagai aliran pendukung pengkajian hukum secara kritis, yang dinamakan the critical legal studies. Pendukung aliran ini mengembangkan pemikirannya dengan bertolak dari suatu keprihatinan melihat kenyataan betapa banyaknya problema sosial-politik dan hukum yang disebabkan oleh pengambilan-pengambilan keputusan yang kontroversial oleh para eksekutif pengontrol kebijakan politik, yang amat sepihak, demi kepentingan politik the industrial and military establishment, yang tidak lagi mudah dikontrol oleh rakyat pencari keadilan.

Aliran ini, dengan merujuk ke teori-teori Neo-Marxian, menyarankan perlunya mengkaji permasalahan hukum sebagai permasalahan yang sarat dengan persoalan politik. Pada akhirnya orang harus mau meyadari bahwa hukum dalam praktiknya tidaklah senetral seperti yang dipersangkakan oleh paradigma-paradigma dan teori alias doktrin hukum, yang ada sebelumnya,

Page 62: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

42

sebagai diyakini oleh kaum positivis yang juga liberalis itu. Sekalipun tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa prinsip rule of law dan supremasi hukum itu sebagai sesuatu "omong kosong", aliran yang berakronim CLS ini tetap secara konsisten mengetengahkan pendapat bahwa setiap permasalahan hukum tidak akan menemukan pemecahannya yang realistis tatkala tidak dianalisis terlebih dahulu sebagai permasalahan politik. Bagaimanapun juga, hukum itu bukan terproses menuruti silogisme-silogisme logika yuridis para pakar saja melainkan sesungguhnya merupakan sejumlah kepentingan politik yang manifes di dalam kehidupan yang konkret sebagaimana yang dapat disimak dalam kenyataan pengalaman sehari-hari.

Maka, berpikir secara nomologis, oleh para penganut paradigma yang neo-Marxian, orang diajak untuk mau beralih dari cara berpikir formalisme yang deduktif ke cara berpikir yang lebih mengapresiasi proses-proses yang induktif. Di sini fakta sosial dijadikan premis-premis partikular sebelum tiba pada kesimpulan umum, yang boleh difungsikan sebagai premis mayor dalam pemikiran logika formal yang deduktif-matematis itu. Peralihan model berpikir yang demikian ini boleh dibilang radikal, yang oleb sebab itu akan menyebabkan dunia kajian hukum serasa digoncang gerakan pembaru yang sekaligus juga terasakan sebagai ancaman eksistensi dunia profesi hukum yang selama ini bertahan dan bersikukuh pada keyakinan adanya netralitas hukum dan kemandirian hakim beserta badan peradilannya. Kenapa begitu? Tak lain karena beralih ke secara berpikir nomologis – dengan bertolak pada nomos-nomos (= keajegan atau kepanggahan yang tersimak di dalam kenyatan) – orang akan dipaksa untuk lebih berpikir secara kontekstual daripada tekstual.

Sekalipun mengajak berpikir pada jalur induktif dengan banyak memperhatikan realita-realitas kontekstual, namun demikian para eksponen aliran kritis neo-Marxian ini sesungguhnya tetaplah berkehendak untuk tetap bergerak dalam ranah jurisprudence untuk mempertahankan peran kaidah-kaidan hukum dalam proses-proses adjudikasi. Kritik-kritiknya pada praktik hukum yang bertolak dari paradigma lama tak lain disebabkan oleh keprihatinannya yang amat sangat tatkala menyimak kenyataan betapa tidak berdayanya hukum dalam penyelesaian-penyelesaian perkara yang berkonsekuensi struktural dan berimbas ke kepentingan publik. Tatkala kajian sosial tentang hukum (yang bertolak dari the Marxian grand theory sekalipun) bersifat eksplanatif tentang apa yang terjadi, realisme kaum penggerak kajian hukum secara penuh kritik ini mendorong dikembangkannya suatu gerakan baru dalam kerja pemberdayaan dan penegakan hukum.

Gerakan ini, menilik riwayat kelahirannya mungkin saja terilhami sedikit atau banyak paham Marxisme (bukan komunisme), namun ranah gerakannya tetaplah berada di ranah jursiprudence yang (bagaimanapun juga) tetap merupakan bagian dari historisitas tradisi hukum Barat. Medannya tetaplah dalam kerangka proses-proses adjudikasi, yang dengan amat bersemangatnya hendak melawan ideologi kaum legis yang positifisi dan liberal, nota bene kaum yang kini ini mungkin saja secara sah boleh dituduh sebagai pendukung aliran konservatif yang amat membuta pada tanda-tanda zaman. Bukankah zaman telah amat banyak berubah, menyaksikan betapa banyaknya orang di tengah khalayak terkesan tidak lagi terlalu banyak dirisaukan oleh masalah kelanjutan masa depan negara-negara bangsa. Alih-alih demikian, banyak orang telah lebih risau karena dihadapkan ke persoalan datangnya kehidupan global milenium ketiga Masehi, ialah kehidupan yang tak lagi diintegrasikan ke dalam banyak negara bangsa seperti awal mulanya, melainkan yang tiba-tiba saja telah terberai-berai sebagai akibat

Page 63: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

43

bangkrutnya banyak negara nasional berikut rontoknya kemampuan hukum nasional mereka masing-masing.

Dalam kenyataan yang telah amat banyak berubah seperti itu, jutaan manusia tiba-tiba saja menemukan dirinya tidak lagi berada dalam pasungan – akan tetapi juga perlindungan – para despot yang menguasai negara-negara nasional dengan perangkat hukumnya yang koersif dan koruptif, namun dilegitimasi sebagai kewenangan publik. Jutaan manusia tiba-tiba saja merasa teralienasi dalam kehidupan yang kian majemuk, serta pula pada skala global yang tidak mereka kenali sebelumnya, yang (setidak-tidaknya oleh Philip MacMichael) disebut the global market place yang amat dikontrol pula oleh kekuatan-kekutan despotik yang kali ini lebih sering tak menampak daripada tampak. Dalam keadaan dan situasi perasaan keterasingan seperti itu jutaan manusia toh akan kembali mencari apa yang disebut Roland Robertson the center that hold. Maka, tatkala yang dimaksudkan kekuatan pusat yang berkemampuan mengontrol integrasi kehidupan di abad ke-21 millenium ketiga Masehi ini pada tatarannya yang global ini toh tak lain daripada hukum, hukum yang tatkala dengan paradigmanya yang mana pulakah itu? Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Fungsi Politisnya dalam Kehidupan Bernegara Postivisme adalah suatu aliran paham filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di Prancis dengan dua eksponennya yang terkenal, Henri Saint-Simon (1760-1825) dan August Comte (1798-1857). Positivisme adalah suatu paham yang menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai suatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam prakonsepsi metafisis yang subjektif sifatnya (Gordon, 1991:301). Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konktrit antara warga masyarakat (atau wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi mesti dikonsepsi sebagai asas-asas moral metayuridis yang niskala (abstrak) tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai “apa yang terbilang hukum” dan “apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum”.

Paham positivisme dan pengaruhnya dalam kehidupan bernegara untuk segera mengupayakan positiviasi norma-norma keadilan (ialah hukum yang dikonsepkan sebagai ius) agar segera menjadi norma perundang-undangan (ialah hukum yang dikonsepsikan sebagai lege) – sesungguhnya fungsional untuk mempercepat terwujudnya negara bengsa yang diidealkan punya struktur yang terintegrasi kukuh secara sentral dan berotoritas sentral yang tak pula banyak bisa dicabar. Tak pelak lagi, dalam pengalaman, positivasi hukum selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di negara-negara yang tengah tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan/atau penyatuan, tak cuma yang menuju ke nation state melainkan juga yang dulu menuju ke colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berakibat sebagai proses nasionalisasi dan etatisasi hukum, dalam rangka penyempurnaan kemampuan negara dan pemerintah (sebagai pengemban kekuasaan negara) untuk memonopoli kontrak sosial yang formal, melalui pemberlakuan atau pendayagunaan hukum positif (Luhman, 1985:103-105).

Page 64: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

44

Ilmu Hukum dengan Hukum Positif sebagai Objek Satu-satunya Tidak hanya ada satu aliran atau mazhab dalam ilmu hukum. Sekali pun di negeri-negeri Anglo-Saxon berkembang positivisasi hukum lewat keputusan-keputusan pengadilan in concreto, yang menyebabkan tradisi hukum di negeri-negeri ini lebih dikelola dan didinamisasi secara pragmatis oleh para professional lawyers (yang memungkinkan terkembangnya berbagai variasi aliran pemikiran hukum lain yang kemudian diaplikasikan dalam praktik, seperti aliran legal realism dan sociological atau functional jurisprudence), namun di Eropa Kontinental pemikiran hukum yang dikontrol oleh para academic jurists tidak banyak bergeming dari ajaran jurisprudence positivism yang menkonsepsikan ilmu hukum sebagai ajaran yang murni tentang penyelengaraan hukum. Sedangkan yang dimaksud hukum di sini tentu saja tak lain daripada hukum yang positif (lege atau constitutum) yang merupakan produk positivisasi.

Produk positivisasi yang disebut hukum positif itu sekalipun terbilang positif – dalam arti objektivitasnya di-”ya”-kan dengan tegas – pada hakikatnya adalah tetap merupakan sesuatu yang terbilang fenomena normatif. Proses positivisasi pada hakikatnya adalah suatu proses objektivisasi sejumlah norma metayuridis menjadi sejumlah norma yang positif. Prosesnya tetap saja berlangsung dalam ranah normatif, sehingga ilmu hukum yang terbangun daripadanya adalah tetap saja berdasarkan logika normologi, dan tidak berlogika nomologis yang induktif, untuk menemukan berjumlah-jumlah nomos yang eksis sebagai fenomena empiris yang signifkan dalam kehidupan sosial dan kultural. Bagaimanapun juga hubungan kausal antara fakta (fakta hukum) dan akibat (akibat hukum) dalam ilmu hukum aliran positivisme ini adalah hasil normative judgements, bukan hasil obervasi-observasi yang mendayagunakan metode sains guna menjamin objektivitas dan realibilitas (Gordon, 1991: 33-51).

Berkutat dengan sikapnya yang konsevatif secara berketerusan untuk menamakan positivisme sebagai paham pembenaran suatu proses judgemental yang bernuansa politik, ialah proses untuk menentukan secara pasti mana yang dalam ranah normatif harus dinyatakan sebagai fakta hukum (dengan segala akibat hukumnya) dan mana pula yang bukan.. Kritik terhadap pendekatan dengan paradigma positivisme dalam ilmu hukum bermula dari suatu pemikiran kritis yang mencoba mempertanyakan pengertian “fenomena positif” dalam paham positivisme itu sendiri. Kritik seperti ini memang pertama-tama muncul tidak di lingkungan filsafat hukum itu sendiri, melainkan di kalangan para ilmuwan dan pemikir filsafat ilmu serta para matematisi yang pada tahun 1920-an bertemu, bekerja sama, berwacana dan menamakan diri “Kelompok Wina” (The Vienna Circle). Hasil kerja para cendekiawan yang mendekonstruksi positivisme sebagai paradigma keilmuan inilah yang kemudian, langsung atau tak langsung, turut berpengaruh pada perubahan pendekatan paradigam positivsme dalam ilmu hukum. Redefenisi Pengertian “Positif” dalam Paham Filsafati Positivisme, dan Akibat Kritisnya pada Paradigma The Positive Jurisprudence

Diceritakanlah bahwa pada tahun 1929, para pemikir filsafat ilmu yang berhimpun dalam Kelompok Wina menyiarkan sebuah manifesto yang mereka namakan sebagai The Scientific Conseption of the World (Neurath, 1973). Dalam manifesto ini, para pemikir filsafati, matematisi

Page 65: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

45

dan ilmuwan, yang bergabung dalam Kelompok Wina itu, menyatakan bahwa metode ilmu-ilmu alam kodrat adalah satu-satunya sumber (atau prosedur?) yang rasional – lewat pengukuran dan manipulasi statistika, untuk memperoleh pengetahuan yang universal; bahwa oleh sebab itu metode ini harus dipakai dalam setiap kerja penelitian, juga dalam penelitian sosial, apa pun sungguhnya keragaman realitas sosial yang diperkirakan adanya; bahwa setiap pernyataan yang dianggap memiliki kebenaran harus – setidak-tidaknya; “pada asasnya” – ditentukan oleh bukti-bukti yang empiris; dan bahwa setiap penelitian itu harus benar-benar objektif, dengan mewajibkan si peneliti untuk mengontrol keberpihakannya yang subjektif dengan berkomitmen pada nilai-nilai kenetralan asasi (Hammersley, 1995:2-7). Adalah komitmen moral akademi setiap ilmuwan – demikianlah manifesto mazhab Wina ini – untuk mencari kebenaran keilmuan tanpa melibatkan emosi dan keberpihakan apa pun dan tugasnya memang hanyalah membuat studi. Sine ira et studio!

Membedakan diri dari positivisme Prancis yang dirintiskan oleh Saint Simon dan Comte pada dua-tiga dasawarsa pertama abad 19 – yang masih cenderung bersifat lebih ideologis daripada empiris, yang karena itu oleh Toulmin (dalam Achinstein dan Baker, 1969:50) dikatakan tanpa ragu sebagai suatu "conservative obscurantism of idealist philosophy” – positivisme Kelompok Wina dari abad 20 ini berseru agar paham filsafat positivismenya ini dikenal sebagai The Logical Positivism. Inilah paham filsafat positivisme mutakhir yang boleh ditengarai sebagai gerakan intelektual yang progresif untuk membebaskan dunia keilmuan dari ideologi rezim-rezim pemerintahan otokratis, untuk – pada tahap berikutnya – memfungsikan ilmu pengetahuan sebagai sumber kebenaran (the original source of empirical truth) yang dikelola para akadmisi, bukan sebagai sumber-sumber pembenar (the normative source of legal justification) yang ditangani oleh “pakar-pakar tukang”.

Maka, diproyeksikan ke alam pemikiran filsafati dan ilmu hukum, dalam hubungan ini orang pun mulai mewacanakan kembali persoalan asas paradigmatis berlakunya hukum. Di sini orang pun tidak lagi cuma hendak memahami hukum secara episotemeologi sebagai produk positivisme yang bertolak dari keputusan politik rezim-rezim yang tengah berkuasa dan berhegemoni, baik lembaga-lembaga yang eksekutif maupun di lembaga-lembaga yang legislatif (atau bahkan yang yudisial). Alih-alih demikian, orang pun mulai memahami hukum sebagai fakta sosial, ialah sebagai law as what it is empirically observed in society. Alih-alih membatasi ilmu hukum sebagai ajaran murni yang doktirnal untuk keperluan seni peradilan kaum profesional, ilmu hukum pun lalu serta merta memperoleh redefinisinya yang lebih luas, tak lagi sebatas reine Rechtslehre atau positive jurisprudence yang Kelsenian, melainkan juga sebagai (socio) legal studies, dengan menempatkan hukum sebagai fenomena empiris yang menjadi objek kajian yang dapat saja diukur-ukur sebagai variabel yang dikuantifikasikan (Black, 1976:19), berdasarkan metodologi yang bertumpu pada paradigma epistemologis the logical positivism yang dirintis Kelompok Wina sebagai telah disebutkan di muka. Perkembangan Berikutnya: Kritik terhadap Epistemologi Logical Positivism dan Konsekuensinya pada Pencarian Paradigma Baru dalam Ilmu Hukum Tesis pokok dalam epistemologi kaum logical positivist berpangkal pada keyakinan pada adanya objektivitas yang universal, berikut logika serta metode yang dapat diaplikasikan untuk

Page 66: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

46

merekonstruksikannya secara netral (apa adanya) ke dalam teori-teori yang akan berlaku universal pula. Dalam kajian ilmu hukum, baik yang dianut eksponen aliran hukum kodrat maupun yang dianut kaum positivis pada periode berikutnya, doktrin universalisme ini sesungguhnya bukan sekali-sekali barang baru. Maka diintroduksikan dan diaplikasikannya epistemologi positivisme yang berlogika nomologis (tidak lagi normologis) menurut kelompok Wina ini tidaklah pertama-tama melahirkan wacana seru apa pun mengenai soal ruang lingkup berlakunya temuan. Wacana yang berkembang pertama-tama mengenai objek ilmu hukum, ialah norma-norma positif as it is written in the book atau nomos-nomos alias behavioral regularities as it is observed as social realities.

Maka universalisme yang diyakini oleh Kelompok Wina dan terbawa ke dalam kajian-kajian tentang hukum oleh kaum strukturalis dan/atau behavioralis – yang mencoba menerapkan the universal method of science rintisan Kelompok Wina ke dalam kajian-kajian tentang hukum – dapat dimengerti kalau memperoleh cabaran dan gugatan tidak hanya dari kaum positivis klasik Austinian maupun yang Kelsenian. Cabaran juga datang dari kaum pasca-positivis yang dengan sangat lantang mempertanyakan kebenaran pernyataan kaum positivis tentang apa yang disebut the verifiability principle dan the theory neutrality of observation (Hammersley, 1995:18). Dalam hal ini, kaum pasca-positivis mempertanyakan apakah benar norma-norma hukum itu – baik yang diperoleh sebagai hasil proses positifisasi (atas wibawa institusi-institusi pemerintahan dan/atau politik) ataupun yang diperoleh melalui proses observasi dalam wujud pola perilaku (yang signifikan secara statistikal sebagai realitas sosial) – benar-benar bersifat netral, dan oleh sebab itu lalu boleh berlaku atau diberlakukan dalam suatu ruang lingkup yang universal? Ataukah, sesungguhnya setiap norma hukum itu selalu dirasuki berbagai kepentingan yang relatif dan karena itu – sejak awalnya, pada aras dan wujudnya yang in abstracto sampai ke ujung akhirnya, pada aras dan wujudnya yang in concrecto – selalu menjadi objek interpretasi dan konstruksi para pelaku, pengguna dan/atau pemanfaat hukum. Paradigma Pasca-Positivisme: Fakta Sosial sebagai Realitas yang Dikonstruksi Lewat Interaksi Antar-Manusia Penolakan paradigma positivisme dalam kajian-kajian sosial dan humaniora dan kemudian juga dalam bidang kajian hukum (khususnya yang menjadi bagian dari kajian ilmu-ilmu sosial yang terbilang the legal studies, bukan yang terbilang Rechtslehre atau (positive jurisprudence) bertolak dari suatu premis bahwa – berbeda dari fakta alami – fakta sosial itu pada hakikatnya adalah sejumlah realitas yang terwujud sepanjang berlangsungnya interaksi-interaksi antara manusia di dalam kehidupan sosialnya. Dengan perkataan lain, fakta sosial itu bukanlah sesuatu yang objektif yang eksis “di luar sana”, melainkan suatu konstruksi yang berada di dalam ranah subjektivitas manusia yang tengah berinteraksi (entah interaksi yang diadik entah pula yang sekelompok atau sekaum). Maka tidaklah di sini, menurut paradigma pascapositisme ini, akan ada kemungkinan yang besar bagi terjadinya realitas sosial yang berlaku universal. Maka tidak pula di sini akan ada fakta atau konstruksi realitas sosial yang dapat divertifikasi validitasnya melalui metode-metode kajian yang berparadigma positivisme.

Melepaskan diri dari posisi paradigmatis kaum positivis, tak pelak lagi para pasca-positivis ini – yang oleh Collin (1997: 23) disebut kaum social constructivist, meminjam untuk digunakan

Page 67: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

47

secara luas dari Berger dan Luckmann (1996) – menguasai diri untuk mendefinisikan ulang apa yang sesungguhnya di maksudkan dengan “realitas sosial”. Lebih lanjut lagi, tidak cuma hendak mendefinisikan ulang apa yang disebut “relitas sosial” itu, kaum konstruktivis sosial ini juga mengemukakan argumentasi-argumentasinya mengenai posisinya. Diketahui bahwa sekalipun mereka semua itu boleh dibilang sebagai kaum konstruktivis, tetapi argumentasi mereka ternyata amatlah beragam. Collin (1997) menengarai dan mendeskripsikan setidak-tidaknya 8 posisi argumentatif kaum konstruktivis ini, yakni: entnometodologi, relativisme budaya, konstruktivisme sosial Bergerian, relativitas linguistik, fenomologi, simbolisme fakta sosial, paradigma konvensi, dan tak ayal juga posisi argumentatif yang hermeneutik.

Melanjutkan perkembangan yang telah ada (dari pendekatan doktrinal-jurisprudencial kaum positivis ke pendekatan non doktrinal-interdisipliner kaum behavioralis yang berjalan di atas tradisi metodologisnya mazhab Wina), aplikasi paradigma konstruktivisme sosial di bidang kajian hukum nyata-nyata terkesan banyak bertolak dari posisi hermeneutik. Barangkali saja hal itu terjadi karena jasa Habermas dengan teori communicative actions-nya (1981), yang dikembangkan lebih lanjut olehnya dengan perbincangannya yang intens dan rinci mengenai persoalan epistemologi yang berwacana "antara fakta dan norma" (1992) (Deflem, ed., 1996). Mengenai perkembangan hermeneutik dalam kajian hukum ini – lengkap dengan perdebatan pro dan kontranya – dapatlah dibaca dalam buku bunga rampai yang disunting oleh Leyh (1992). Paradigma Hermeneutik dalam Kajian Hukum Sebagaimana halnya dengan kajian-kajian pasca-positivistis lain yang menggunakan paradigma social constructionism, kajian sosial dan kajian hukum dengan pendekatan hermeneutik ini pun secara jelas dan tegas menolak paham universalisme dalam ilmu, khususnya ilmu yang berseluk-beluk dengan objek manusia berikut masyarakatnya. Akan gantinya, relativisme itulah yang harus diakui dan diterima. Pendekatan hermeneutik adalah pendekatan untuk memahami objek (produk perilaku manusia yang berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya), dari sudut pelaku aksi-interaksi (yang disebut “aktor”) itu sendiri. Maksudnya ialah tatkala mereka itu tengah terlibat atau melibatkan diri di/ke dalam suatu proses sosial, termasuk proses-proses sosial yang juga relevan dengan permasalahan hukum. Pendekatan hermeneutik berasumsi secara paradigmatis bahwasannya setiap bentuk dan produk perilaku antar-manusia itu – dan karena itu juga produksi hukum, baik yang in abstracto maupun yang in concreto – akan selalu ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati para pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu, yang tengah terlibat dalam proses itu, yang tentu saja akan memberikan keragaman maknawi pada fakta yang sedang dikaji sebagai objek.

Pendekatan hermeneutik alias pendekatan interpretatif dalam kajian hukum ini dengan demikian tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otorianisme para yuris positif yang elit, (yang di masa lalu selalu mengklaim dirinya sebagai satu-satunya pusat yang berkewenangan akademis dan profesional untuk menginterpretasi dan memberikan makna kepada hukum), tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emiris sifatnya. Pendekatan hermeneutik dalam kajian hukum membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tak hanya berkutat – demi kepentingan profesi yang eksklusif semata – menggunakan paradigma positivisme dan metode logikal formal melulu. Pendekatan ini, dengan

Page 68: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

48

strategi metodologisnya menganjurkan to learn from the people, mengajak para pengkaji hukum agar juga menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perpsektif para pengguna dan/atau pencari keadilan, sebagaimana dikatakan oleh Sarat (1992), "… as an alternative, or addition, to (the study of legal) behavior”.

Memang benar, kajian hukum dengan pendekatan hermeneutik (atau dengan pendekatan konstruksi sosial pada umumnya) itu tidak dimaksud untuk menggantikan sepenuhnya pendekatan-pendekatan lain. Pendekatan hermeneutik ini tidak hendak mengklaim diri sebagai satu-satunya pendekatan yang sah dalam kajian-kajian sosial dalam ilmu hukum, sebagaimana halnya pendekatan kaum positivis – baik yang berkhidmat di lingkungan jurisprudence maupun yang berkhidmat di lingkungan legal studies – yang tidak sekali-kali pernah dapat mengklaim paradigma dan metode serta teknik penelitiannya sebagai satu-satunya yang sah untuk mempelajari hukum. Benarlah apa yang dikatakan Sarat (1992) tersebut, bahwa pendekatan baru “hanyalah” merupakan alternatif yang akan menambah kekayaan khazanah kajian-kajian tentang hukum. Bukanlah pendekatan hermeneutik ini tidak memiliki kekurangan juga, antara lain – seperti dikatakan oleh Fish (dalam Sarat dan Kearns, eds., 1991: 316) – bahwasannya pendekatan hermeneutik itu akan mengharuskan orang untuk selalu mengkaji fakta sosial dan fakta hukum melalui interpretasi, padahal “the only thing to know about interpretation is that it has to be done every time”. Dan, sementara itu, bukankah hukum itu "wishes to have a formal existence"? Pustaka Achinstein, P. dan S.F. Baker (1969). The Lagacy of Logical Positivism. Baltimore: John Hopkins. Berger, Peter L. dan Thomas Lukmann (1966). The Social Construction of Reality. New York:

Anchor Books. Berman, Harold J. (1983). Law and Revolution: The Formation of The Western Legal Tradition.

Cambridge, Mass.: Harvard University Press. Black, Donald (1976). The Behavior of Law. New York: Pegassus. Collin, Finn (1997). Social Reality. London: Routledge. Deflem, Mathieu (1996). Habermas, Modernity and Law. London: Sage. Gordon, Scott (1991). The History and Philosophy of Social Science. London: Toutledge. Habermas, Juergen (1981). Handlungs-rationalitaet und Gesellschaftliche Rationalisierung, Band

I: Tehorie Des Komunikativen Handelns. Fankfurt: Suhrkpamf. – – – – - (1991). Faktizitaet und Geltung: Beitraege Zur Diskurstheorie Des Rechts und Des

Demokratischen Rechtstaats. Frangkfurt: Suhr-kampt. Hammersley, Martyn (1995). The Politics of Social Research. London: Sage Luhman, Niklas (1985). A sociological Theory of Law. London: Routledge & Kegan Paul. Leyh, Gregory (1992). Legal Hermeneutics: History, Theory, and Parctice. Berkeley: University

of California Press. Neurath, Otto (1973). Empiricism and sociology. Dordrecht: Reidel. Sarat, Austin (1992). “Legal Hermeneutics by Gregory Leyh”, The Law And Politics Book

Review, Th. II No. 8, H. 112-115 Sarat , Austin dan Thomas R. Kearns, eds. (1991), The Fate of Law. Ann Arbor, Mich.: University

of Michigan Press.

Page 69: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

49

Wignjosoebroto, Soetandyo (1994). Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Suatu Kajian Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (1949-1990). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Page 70: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

6

ILMU HUKUM DAN ILMU SOSIAL TENTANG HUKUM Perbedaan Konsepsi dan Konsekuensi Metodenya

Ilmu Hukum sebagai Seni Berpikir Mengikuti tradisi reine Rechtslehre atau rechts-geleerdheid atau jurisprudence, ilmu hukum sebagaimana diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia sesungguhnya tidaklah terbilang ke dalam kerabat sains. Ilmu hukum (di) Indonesia tidaklah ditradisikan dalam alur sains sebagai legal science. Sekalipun ilmu ini memang benar bekerja dengan berpangkal dari – serta berseluk-beluk dengan – proposisi-proposisi hukum yang positif, akan tetapi apa yang dimaksud dengan positive legal di sini bukanlah hasil observasi-observasi dan/atau pengukuran-pengukuran atas gejala-gejala dunia empiris, melainkan hasil positive judgements – baik in abstracto maupun in concreto – oleh otoritas-otoritas tertentu yang berkewenangan. (Kata “positif” di sini nyata kalau lebih dekat ke makna “non-moral” atau “netral” daripada ke makna “empiris” atau “sesuatu yang observable”).

Berihwal demikian, ilmu hukum dalam artinya sebagai reine Rechtslehre itu sesungguhnya tak memiliki (dan merasa tak perlu memiliki) data, yang dipunyai sebagai kekayaan intelektualnya adalah suatu khazanah proposisi dan/atau premis yang – masing-masing – lewat silogisme deduksi dan silogisme induksi dapat menghasilkan konklusi-kongklusi, baik yang praktis dan berfungsi sebagai sumber hukum yang bersifat formil (yang di negeri-negeri penganut Civil Law dihimpun sebagai yurisprudensi dan di negeri-negeri penganut Common Law dihimpun dalam wujud judge-made law), maupun yang teoretis dan berfungsi sebagai sumber hukum yang bersifat materiil (berupa asas-asas).

Tak pelak lagi, dalam tradisi Rechtslehre seperti ilmu hukum lalu lebih banyak terlihat sebagai suatu seni berpikir khusus yang dimaksudkan guna menemukan aturan-aturan yang dapat diterapkan in concreto dari dalam sistem peraturan-peraturan positif yang telah disusun secara logis, koheren, dalam jenjang-jenjang hierarki (stuffen), namun terkucil dan terasing insulated dari alam amatan. Maka, mengembangkan seni berpikir menurut ajaran (ilmu) hukum – yang dahulu disebut juridisch denken – adalah semisal berpikir menurut logika aturan main catur (schaakdenken), di mana dunia berpikir menurut aturan ini bersifat tersendiri dan eksklusif, dan karena itu pun tak perlu bertaat asas pada prinsip-prinsip logika yang menguasai alam kenyatan (the natural logic). Hukum dan Sains, Bagaikan Minyak dan Air

Page 71: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

52

Beberapa dari tradisi rechtslehre atau jurisprudence, ilmu-ilmu sosial bekerja dalam tradisi berpikir dan bermetode sains (dan karena itulah ilmu-ilmu sosial sejak awal mula tanpa ragu menamakan dirinya social science). Perbedaan berpikir dan bermetode dalam Rechtslehre dan social sciences sesungguhnya tidaklah terletak pada silogisme-silogisme logika yang dipakainya. Dalam hubungan ini perlu tetap diperhatikan bahwa kedua-duanya, lebih-lebih yang berkembang dalam sistem Common Law, sebenarnya sama-sama menggunakan cara-cara silogisme deduksi dan induksi. Perbedaan asasinya rupanya harus dicari tidak pada metodenya itu, melainkan pada asumsi-asumsi dasarnya mengenai postulat apa yang seharusnya dipakai sebagai pangkal tolak berpikir itu. Dalam ajaran hukum di fakultas-fakultas hukum, premis-premis itu haruslah merupakan hasil judgements otoritas yang berkewenangan dan/atau derivat-derivat yang bisa diperoleh daripadanya, ipso jure. Sementara itu, dalam kajian ilmu-ilmu sosial di fakultas-fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, premis-premis itu haruslah merupakan hasil amatan (yang dijaga agar berkecermatan, berketerandalan, dan sahih, dengan bantuan instrumen-instrumen perekam atau pengukur), dan/atau derivat-derivat yang bisa ditarik daripadanya, ipso facto.

Dari penjelasan ini nyata sudah bahwasannya ajaran (hukum) dan sains (sosial) itu merupakan dua dunia yang terpisah. Dalam ajaran hukum tidaklah akan ada hukum yang mungkin terbit begitu saja, ipso facto. Sedangkan dalam kajian-kajian sains sosial tidaklah akan dan/atau statemen-statemen yang boleh dinilai betul (true) begitu saja lantaran adanya tuntutan-tuntutan otoritas, ipso jure. Pemisahan demikian ini memang – tanpa dapat dihindari – terjadi sebagai akibat kepercayaan berlakunya metodendualismus Kantian dalam dunia berpikir Barat modern yang sekular, yang secara setia dianut di kalangan intelektual Barat berikut anak-anak didiknya yang juga membiak secara merata di negeri-negeri Dunia Ketiga (dan tak kurang-kurangnya juga di Indonesia). Bersetia kepada paham berpikir metodendualismus ini (tak salah lagi) ajaran hukum dan sains sosial akan terus ko-eksis – walaupun sudah amat berdekatan – bagaikan minyak dan air. Perbedaan Konsep dan Konsekuensi Praktiknya

Apabila orang cuma mau berkiblat ke kepentingan-kepentingan kesarjanaan secara miopik dan egosentris, metodendualismus yang fungsional dalam kajian-kajian teoretis murni itu pastilah akan terbawa-bawa pula ke dunia praktiknya kaum praktisi (yang mestinya sudah harus lebih sadar untuk berkiblat ke alam permasalahan, berikut realita pemecahannya). Ini telah sering kali terjadi, bukan karena sebab kecemburuan atau kompetisi status yang berkelanjutan dan dalam kadarnya yang terkadang keterlaluan, melainkan lebih bersebab pada tiadanya pengenalan terhadap sistem konseptual masing-masing, dengan akibat tiadanya kemampuan mereka bersama untuk “saling menyapa” secara konstruktif.

Perspektif yang berbeda tak hanya akan melahirkan konsep-konsep epistimologis yang berbeda, akan tetapi juga metode-metode berpikir dan metode-metode penelitian yang berbeda pula. Dan bahkan mungkin juga perbedaan perspektif seperti itu akan dapat melahirkan kepribadian yang berbeda pula, yaitu antara yuris yang umumnya gampang tampil dalam sosok kepribadian seorang eksponen yang sensitif, dan ilmuwan sosial yang umumnya gampang tampil dalam sosok kepribadian seorang narator atau analis tulen akan bercenderung mempercayai dan mengukuhi model-model perilaku tertentu, dan dengan semangat universalisme yang cukup tinggi mau memaksakan dunia kehidupan sehari-hari agar selalu patuh mengikuti imperatif model-model

Page 72: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

53

itu. Sementara itu seorang analis sosial yang tulen akan cenderung mempersepsi pola-pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagai variabel-variabel historis yang sifatnya partikularistis, dan oleh karena itu harus dipandang lumrah kalau sifatnya juga nisbi.

Digambarkan lebih lanjut secara dikotomis seperti itu, tampaknya juga menunjukkan polarisasi sikap dan pemihakan di kalangan para yuris di satu pihak dan para ilmuwan sosial di pihak lain dalam hubungan mereka dengan para penguasa pemerintahan. Para yuris yang cenderung bersetia pada model-model sentral umumnya bersedia pula dengan suka-cita dan penuh cita-cita menerima (dan malahan mungkin bersikap memihak) hadirnya otoritas-otoritas sentral (yang otoritarian sekalipun) yang telah menugasi diri untuk secara koersif merekayasa ketertiban dan ketenteraman umum. Dalam konsep kelompok ini, apa yang disebut social order itu tak lain daripada a normative pre-established order.

Sementara itu, di pihak lain, para ilmuwan sosial (yang sosiologi ataupun yang antropologi) tanpa enggan cenderung menenggang keragaman gerak arus bawah yang sering menafikan model-model yang dipaksakan berlakunya dengan topangan kekuasaan-kekuasaan sentral yang acap bersifat eliter dan otoritarian. Di mata analitis ilmuwan sosial itu, lebih-lebih yang penganut pandangan teori simbolis-interaksionis, di zaman yang ditengarai sudah masuk ke dekapan paham postomodernisme, setiap penyimpangan dan pelanggaran boleh jadi malahan tampak sebagai ulah-ulah improvisasi yang tak cuma kreatif dan spontan (yang tentulah akan melahirkan perubahan dan pembaruan yang unik dan menarik), akan tetapi juga amat efektif demi survival pada peringkat lokal. Maka, kalau para yuris klasik cenderung untuk berpandangan bahwa pelaku-pelaku dalam struktur-struktur supra pemerintahan yang harus ditegakkan, maka para ilmuwan sosial – lebih-lebih yang secara progresif mengikut pemikiran-pemikiran kontemporer – amat gampang untuk bercenderung memilih posisinya sebagai penggembira terjadinya perkembangan-perkembangan struktur-struktur infra dalam masyarakat dan komunitas-komunitas. Perbedaan Asal Usul Tradisi pendidikan hukum untuk penegakan hukum (di) Indonesia berakar pada tradisi penyelenggaraan tata hukum dan pendidikan hukum Negeri Belanda, yang pada gilirannya berakar pada sistem hukum yang terbilang kerabat hukum Romano-Germanic (yang sudah pada abad 18 menjadi hukum legislatif-positif berformat nasional). Para bestuursambtenaaren dan rechtsambtenaaren kolonial yang akan dikirim ke Indonesia (dahulu: Tanah Hindia atau Hindia Belanda), sekalipun sebelum dinyatakan lulus groot-ambtenaar examen, harus sudah pernah belajar sampai khatam dalam mataajaran-mataajaran non-hukum (seperti bahasa daerah, budaya serta adat-istiadat pribumi, pranata-pranata Islam, dan sebagainya), pada dasarnya mereka itu harus lebih banyak mempelajari hukum positif sebagaimana telah ditulis secara rapi dalam kitab-kitab (law as it is written in the books),. Hukum – beserta konsep-konsepnya – yang dipelajari ini sekali-kali bukanlah hukum Islam atau hukum tradisi masyarakat Timur melainkan yang Romano-Germanic sebagaimana telah disepuh dengan ide-ide liberal Revolusi Prancis abad 18).

Page 73: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

54

Ketika sebagian dari program pendidikan hukum mulia diselenggarakan di Indonesia untuk menciptakan sebarisan Inlandsche Rechtskundingen (yang diperlukan guna mengawaki peradilan landraad), gravitasi pendidikan hukum pun tak ayal lagi masihlah tetap saja berorientasi ke hukum abad dan tradisi sistem hukum Barat yang bertegak untuk menegakkan kekuasaan kolonial di bumi Timur. Bisa dimengerti (sine ira et studio) bahwasannya tradisi berpikir dan pelaksanaan praktik dalam hukum di Indonesia ini adalah tradisi kolonial yang otoritarian dan sentralistis, dengan berbagai metode berpikirnya yang deduktif-matematis yang lugas, bertolak tanpa ayal barang sedikitpun dari norma-norma yang diperlakukan sebagai premis mayor, yang – dasar kesahan formalnya maupun hakikat kebenaran substanstifnya – sudah tak boleh diperbantahkan lagi.

Bagaimana dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial? Ilmu-ilmu sosial berkembang juga sejak zaman pemerintahan kolonial, namun sebagai bagian dari upaya pengembangan sarana-sarana bantu saja, yaitu sehubungan dengan kebijakan kolonial Belanda yang mencoba menguasai tanah jajahannya melalui cara indirect rule yang melahirkan dengan segera suasana dualisme, dengan struktur supra yang Barat dan dengan struktur infra yang pribumi. Ilmu-ilmu sosial (khususnya antropologi – yang waktu itu juga mencakup ilmu bahasa dan pengetahuan budaya pada umumnya – dan ekonomi bangsa-bangsa Timur) dipakai untuk mengkaji dan memahami serta mengelola masyarakat dan budaya pribumi, sedangkan ilmu hukum dipakai untuk menyelenggarakan pemerintah kolonial yang Eropa-sentris. Maka komitmen ilmu-ilmu sosial untuk lebih memperhatikan kesejahteraan the civil society daripada kepentingan the state di negeri ini bolehlah dibilang sudah bermula sejak lama, setidak-tidaknya sudah sejak tahun-tahun menjelang Van Vollenhoven "menemukan hukum adat", yaitu ketika kaum partikularis (seperti misalnya, antara lain, Snouck-Hurgronje) menentang kebijakan-kebijakan politik kolonial kaum universalis.

Kebiasan untuk lebih menengok dan melongok ke perisitiwa-peristiwa yang berproses di ranah struktur-struktur infra daripada berpartisipasi di ranah struktur-struktur supra ternyata terus bersinambung selepas berakhirnya kekuasaan kolonial di Indonesia. Banyaknya para pelajar Indonesia yang mulai banyak mengalir ke Amerika Serikat daripada ke Negeri Belanda pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an, dan massalisasi pendidikan di dalam negeri dengan diverifikasi ilmu yang ditempuh, yang tak semata-mata dimaksudkan untuk berkhidmat ke kepentingan pemerintah dan pemerintahan secara langsung, telah melanjutkan kecenderungan seperti itu. Ilmu-ilmu sosial yang pada masa kolonial cuma dikaji dan dipelajari dalam kedudukannya sebagai bagian saja dari kemahiran yang disyaratkan untuk menempuh groot-ambtenaar examen, dan tidak sebagai bagian yang integral dan dominan di dalam ilmu hukum, kini telah memperoleh status dan peranannya sendiri yang otonom serta bermakna. Dan tatkala ilmu-ilmu sosial ini (entah teorinya entah metodenya) juga didayagunakan untuk mengindentifikasi dan memecahkan permasalahan hukum dan ketertiban sosial, maka berbagai cabang ilmu ini mempelajari hukum sebagai law as it is in society. Mengaburnya Batas Perkembangan selepas saat lahirnya Orde Baru, yaitu ketika seluruh usaha nasional dikonsentrasikan untuk membangun ekonomi Indonesia dengan tolok keberhasilan yang dapat

Page 74: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

55

diukur dengan melihat indikator empiris yang disebut GNP dan/atau Indeks Gini, langkah-langkah untuk merekayasa masyarakat tak lagi hendak didominasi oleh imperatif-imperatif ideologis atau yang serba formal yuridis. Pertimbangan dan perhitungan yang harus mendasarkan diri pada hukum sebab-akibat, tidak hanya dalam soal mengantisipasi perilaku ekonomi dan politik akan tetapi juga dalam soal mengantisipasi perilaku sosial dan budaya, kini banyak menyeruak ke depan.

Dalam suasana pemikiran profesional dan intelektual seperti itu, kecenderungan berpikir para yuris untuk tidak lagi menyempitkan wawasan ke gaya yang serba formal – legistis tercatat mulai nyata dan membesar. Dunia kerja para yuris (yang pada masa itu mulai lebih dikenal sebagai sarjana hukum daripada Mester in de Rechten, suatu pergantian sebutan yang mestinya tak cuma bermakna nominal), pun tak lagi dibatasi pada dunia kehukuman aplikatif dan kehakiman saja. Kenyataan-kenyataan ini telah mengharuskan para yuris – kalau toh tak harus belajar di fakultas-fakultas – mencoba mencari tambahan wawasan dan kajian di luar kampus, yaitu semasa mereka telah harus bergelut dengan masalah-masalah praktis di tengah masyarakat (yang pada era Republik ini telah menjadi kian kompleks, dengan perkembangan-perkembangan yang tak selamanya mudah diduga).

Perkembangan demikian menjadi lumrah, tatkala hukum tidak lagi merupakan ilmu dan kiat seni kehakiman yang berpusar di seputar persoalan litigasi semata. Tatkala hukum telah pula berkembang menjadi ilmu dan kiat kemahiran membela hak-hak warga masyarakat sipil, tidak saja dalam perkara-perkara pidana di sidang-sidang pengadilan akan tetapi juga sebagai bagian dari upaya-upaya bantuan yang ruang lingkupnya menjejas permasalahan struktural di luar proses-proses litigasi? Tatkala hukum juga mulai amat jelas terlibat sebagai bagian dari bargaining power yang dinamis, namun di lain pihak juga telah kian nyata terlihat – tidak cuma di ruang-ruang sidang parlemen akan tetapi juga lama sebelumnya di ladang-ladang dan tanah lapang – sebagai bagian dari ekspresi kolektif warga bangsa dalam soal keadilan. Tatkala hukum mulai dicabar dengan dalih bahwa hukum selama ini cuma merefleksikan ide-ide dan kepentingan para elite di kota-kota yang maunya cuma memaksakan rekayasa, dan bukannya nurani dan kearifan massa ramai di desa-desa?

Dari sinilah mulai lahir perhatian orang untuk melihat hukum tidak cuma sebagai permainan juridisch denken akan tetapi juga sebagai kekuatan riil yang berproses ke arah tertatanya kehidupan yang lebih demokratis dan adil. Konsep law as what it is written in the books secara berangsur mulai dilengkapi dan diimbuhi dengan konsep komplementernya law as what it is functioning in society. Kajian-kajian ilmu hukum – sekalipun di kampus-kampus dan di kurikula fakultas-fakultas hukum hingga kini masih terkesan memberatkan aspek-aspeknya yang klinis – dalam praktik mulai banyak juga mengungkap matra-matranya yang struktural, institusional dan bahkan akhir-akhir ini juga yang behavioral (yang mengkonsepkan hukum sebagai law is it is embedded in human mind, and manifested in their actions and interactions).

Untuk memahami lebih jauh liku-liku permasalahan hukum yang bermanifestasi sebagai peristiwa sosial atau perilaku interaktif antar-warga masyarakat ini para pengkaji mau tak mau harus mulai mau bersikap untuk mendayagunakan teori-teori sosial, dengan berbagai variasi paradigmatisnya, mulai dari teori struktur Durkheimian yang makro dan klasik sampai ke teori aksi dan interaksi simbolis yang mikro, terus ke teori strukturasi Giddensian yang mutakhir.

Page 75: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

56

Adapun metode kajian/penelitian yang hendak dipakai tentu saja juga bukan lagi metode normatif (atau yang tepatnya seyogianya dinamakan metode doktrinal) yang dikembangkan untuk kajian-kajian reine Rechtslehre yang klasik itu, yang sesungguhnya juga amat berpengaruh di dalam dunia pemikiran serta penelitian hukum adat.

Apabila hukum juga sudah dikonsepkan sebagai institusi alias gejala sosial yang empiris, atau sebagai makna-makna simbolis yang termanifestasi tidak di kitab-kitab undang-undang atau berkas-berkas keputusan hakim melainkan di dalam tindakan/aksi serta interaksi warga masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka tak terelakkan lagi metode penelitian sosial yang empiris-kualitatif atau simbolis-kualitatif itulah yang akan dipakai. Dalam hubungan ini, kajian-kajian dan penelitian-penelitian hukum rakyat pun tak akan lagi berlangsung menuruti metode klasik yang dikembangkan ter Haar dan murid-muridnya (bertolak dari beslissingsleer yang diintroduksi Logemann), atau apalagi yang dipakai oleh Djajadiningrat yang terbukti amat normatif dan bersetia pada cara berkonsepsi kaum yuris-positivis. Alih-alih begitu, kajian-kajian dan penelitian-penelitian hukum rakyat akan lebih dilakukan bersaranakan metode-metode antropologi yang mutakhir. Apabila hukum rakyat (yang dulu lebih populer disebut “hukum adat”) telah mulai banyak dikonsepkan sebagai produk (inter) aksi-(inter) aksi sosial – yang sarat dengan makna-makna yang berasal dari dunia simbolis para pelaku sosial (bukan dari dunia simbolis para penguasa pembuat undang-undang atau refleksi kebijakan para elite politik atau para elite kehakiman, baik yang berkedudukan sebagai aparat pusat yang formal maupun yang berstatus sebagai elite lokal yang informal) – maka tak ayal lagi metode penelitian yang refleksif dan interpretatif-kualitatif-lah (yang tak cuma untuk mencoba pengobservasi apa yang tengah diperlakukan melainkan untuk memahami apa sesungguhnya yang tengah digagas dan menjadi sumber-sumber motif menentukan keputusan), yang akan banyak dipakai. Keniscayaan Saling Menyapa dan Transaksi Gambaran adanya polarisasi wawasan, cara kerja, dan sikap pemihakan yang berbeda antara para yuris/sarjana hukum dan para ilmuwan sosial dari berbagai aliran paham kini – di banyak kegiatan profesi – telah kian mengabur. Banyak yuris telah menerima kenyataan dan lebih lanjut lagi bahkan juga telah mengakui – bahwa mempelajari hukum sebagai bagian dari logika, tanpa mengkaji relevansinya dengan dunia pengalaman, baik pengalaman kehidupan yang makro maupun yang mikro, adalah suatu aktivitas yang (di tengah-tengah era pembangunan yang penuh perubahan dan pergolakan sosial dewasa ini) akan merupakan kegiatan yang amat steril. Adagium pada awal abad (berasal dari lingkungan common law lewat ucapan Holmes) bahwa the life of law is not logic, but experience menjadi terpopulerkan, sekalipun bersamaan dengan itu adagium law is a tool of social engineering yang terkesan kontradiktif (lewat ucapan Pound) ikut dipopulerkan juga. Studi-studi law and society, sosiologi hukum, antropologi hukum, law and behavior, metode penelitian hukum (tidak hanya yang doktrinal, melainkan juga yang non-doktrinal, baik yang kuantitatif maupun yang kualitatif), mulai memperoleh perhatian, sekalipun dalam porsi yang masih terbatas, dan yang sayangnya akhir-akhir ini malah agak tergusur dan terabaikan dari kurikulum di banyak fakultas hukum. Topik-topik socio-legal justru telah banyak pula dipilih, tidak hanya untuk dan di dalam skripsi-skripsi para mahasiswa para mahasiswa Fakultas Hukum, melainkan sudah mulai marak dalam berbagai diskusi, seminar, dan berbagai polemik di luar kampus.

Page 76: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

57

Maka bolehlah diduga bahwa pendekatan atau ancangan sosial dalam ilmu hukum, yang

akan mengubah kajian hukum (dalam arti ajaran hukum alias Rechtslehre) menjadi bagian integral ilmu-ilmu sosial, untuk sementara ini masih dipandang terlalu berlebihan. Upaya untuk mempertahankan ilmu hukum dalam karakternya sebagai Rechtslhere, sekalipun tak lagi mesti rein, masih sangat kuat bertahan karena bagaimanapun juga menurut paham ini, ilmu hukum masihlah harus dipertahankan sebagai kiat kemahiran profesi kehukuman dan kehakiman, dan tidak terdeprofesionalisasi menjadi bagian dari massa awam di lapangan, di luar tembok-tembok pengadilan dan/atau di luar kantor-kantor pengacara. Namun, mengabaikan sama sekali hasil-hasil penelitian sosial dan kajian-kajian ilmu sosial (khususnya sosiologi dan antropologi hukum) sebagai masukan untuk membuat legal judgements yang lebih realistis dan menjamin rechtsdoelmatigheid-nya (sekalipun mungkin akan sedikit menganggu rechtszekerheid-nya), adalah juga kurang bijaksana.

Pendekatan untuk saling menyapa dan bertransaksi antara ilmu hukum dan ilmu sosial terjadi di sana sini, dari waktu ke waktu dan dalam wujud lintasan-lintasan dua arah. Para sarjana dan praktisi hukum telah banyak dipaksa dan terpaksa menimba fakta-fakta temuan yang berketerandalan tinggi dari berbagai upaya penelitian sosial untuk membuat legal judgements yang lebih realistis, tidak hanya dalam proses-proses penciptaan hukum in abstracto akan tetapi juga dalam proses-proses penemuan (atau bahkan juga penciptaan?) hukum in concreto. Sementara itu, di pihak lain, kini mulai banyak juga ilmuwan sosial yang memikirkan upaya-upaya agar hasil-hasil temuan penelitian sosial, yang bermakna untuk menata dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat, dapat mencapai dan diperhatikan para pengambil keputusan. Sehingga temuan-temuan yang baik itu tidak hanya terhenti dalam wujudnya sebagai fakta semata, akan tetapi juga ikut terproses menjadi sejumlah judgements yang tak hanya sah menurut hukumnya akan tetapi juga jujur menurut kriteria moral sosialnya, untuk mempengaruhi perilaku dan pola perilaku sosial. Penutup: Menuju Integrasi? Simpulan yang dapat ditarik dari seluruh uraian di muka ialah, bahwa ilmu hukum tidaklah akan mungkin menggunakan ancangan, perspektif, atau cara pendekatan yang ditradisikan dalam ilmu-ilmu sosial secara lengkap dan konsekuen, kecuali apabila ilmu hukum itu siap ditransformasikan menjadi suatu cabang ilmu sosial (dengan variabel hukum sebagai objek khususnya). Atau, kalau tidak demikian, ilmu hukum tetap saja ditampilkan dalam kepribadiannya yang semula jadi sebagai jurisprudence atau Rechtslehre, namun dengan kesediaan untuk menanggalkan tekad dan komitmennya yang sudah ketingalan zaman sebagai ajaran hukum yang murni, agar dengan begitu bisa mulai berubah wujud dan berkepribadian sebagai apa yang diintroduksi oleh Pound dengan nama sociological jurisprudence.

Di tengah-tengah situasi krisis yang menuntut kesediaan beradaptasi, ilmu hukum dewasa ini – harus bersedia mengembangkan tata hukum yang menjadi objek kajiannya tetap dalam konsepnya sebagai suatu sistem norma yang tak lagi berwatak positif yang sempit, dan dimodelkan sebagai sistem perkaidahan yang tertutup, melainkan suatu sistem yang terbuka. Sebagai sistem terbuka, hukum akan mudah bertransaksi dengan lingkungan sosial (yang menjadi

Page 77: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

58

objek kajian ilmu-ilmu sosial), dalam ihwal meng-input-kan fakta sosial, memprosesnya di dalam sistem sebagai through-puts yang secara sosial relevan, untuk kemudian meng-output-kan kembali ke tengah masyarakat sebagai suatu socio-legal judgements yang benar-benar fungsional.

Pertanyaan apakah di masa mendatang ilmu hukum akan berkembang menjadi ilmu/sains sosial, ataukah "hanya" berkembang sejauh capaiannya sebagai sociological jurisprudence, haruslah dijawab oleh para yuris sendiri. Namun perlu dicatat dan diingatkan terlebih dahulu, bahwa yang dimaksudkan dengan “para yuris” di sini bukanlah hanya mereka yang berkhidmat di kampus-kampus fakultas hukum dan di semua jurusannya yang klasik tapi juga mereka yang berkhidmat di profesi-profesi praktis, yang di dalam menghadapi masalah-masalah hukum tidak hanya harus mendayagunakan logika berpikirnya yang formal-deduktif. Menghadapi masalah-masalah hukum yang riil dan beraspek sosio-kultural, kemahiran metodologis untuk melakukan observasi berikut analisis-analisisnya – entah yang kuantitatif entah pula yang kualitatif – mesti pula benar-benar taat kepada silogisme induksi.

Page 78: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

7

PENGGUNAAN METODOLOGI PENELITIAN MENURUT TRADISI SAINS DALAM

ILMU HUKUM DAN ILMU-ILMU SOSIAL Perbincangan tentang Masalah Teknis-Operasionalnya

Sientisme, Sains dan Metode Penelitian atau riset itu bermakna pencarian, yaitu pencarian jawab mengenai suatu masalah. Maka dengan demikian apa yang disebut metode penelitian itu pada asasnya akan merupakan metode (atau cara dan/atau prosedur) yang harus ditempuh agar orang bisa menemukan jawab yang boleh dipandang benar (dalam arti true, bukan atau tidak selalu dalam arti right atau just) guna menjawab masalah tertentu itu. Apa yang harus dipandang benar dan bagaimana prosedur yang benar untuk memperoleh kesimpulan yang benar guna menjawab sang masalah secara benar itu merupakan persoalan filsafati yang banyak dibahas dalam pemikiran ontologi dan epistemologi. Dalam hal ini, ilmu modern (sains) meneruskan tradisi olah pikir Yunani yang berkehendak menyimpulkan kebenaran dari suatu proses berpikir yang prosedur-prosedurnya ditunjukkan oleh Aristoteles dalam format-format yang disebut silogisme. Ada dua silogisme yang dikenal, yaitu silogisme deduksi dan silogisme induksi. Penggunaan masing-masing ditentukan oleh keyakinan orang mengenai apa yang harus dipandang sebagai sumber kebenaran. Aliran idealisme yang mengkonsepkan kebenaran sebagai suatu yang berada dan berawal dalam alam ide in abstracto akan banyak mendayagunakan silogisme deduksi (berawal dari premis umum dan berakhir pada suatu kesimpulan yang khusus); sedangkan aliran empirisme yang mengkonsepkan kebenaran sebagai suatu yang berada dan berawal dalam alam pengalaman dan pengamatan indrawi in concreto akan banyak mendayagunakan silogisme induksi (berawal dari premis khusus dan berakhir pada suatu kesimpulan yang umum). Sains pada dasarnya tetap menganut paham bahwa kebenaran pada hakikatnya adalah hasil pikir dan bermukim sepenuhnya di alam ide. Deduksi dipakai untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (hipotetis) dari kebenaran-kebenaran induk (yang teoretis). Tetapi sains juga memberikan posisi penentu kepada kebenaran yang bersumber dari alam empiris, nota bene alam pemersembah kebenaran lewat observasi (dan tidak lewat kontemplasi). Di sini metode induksi memegang peranan besar. Metode ini menjadi metode penentu untuk menguji apakah temuan-temuan deduksi (hipotesis) boleh disahkan dan dipromosikan menjadi tesis.

Saintisme lahir pada abad rasionalisme ketika orang mulai berani dan bersedia “mendunia” dengan melihat alam yang terbentang di hadapan amatan indrawi ini sebagai kebenaran-kebenaran logis juga. Alam semesta yang tampil secara fisik pada hakikatnya -- demikian manurut paham mereka adalah manifestasi nyata sebuah ide logika: ia adalah a natural logic. Tak pelak saintisme lahir sejalan dan sewaktu dengan lahirnya empirisme

Page 79: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

(atau yang di negeri-negeri kontinental waktu itu lebih sering disebut positivisme). Di sini nyata kalau pada arus saintisme objek kajian adalah atau terkonsepkan sebagai objek-objek yang menggejala di alam pengalaman indrawi (empiris) dan/atau di alam pengamatan yang kebenarannya dapat ditangkap secara indrawi (alam positif). Sesungguhnya saintisme masih tetap meneruskan tradisi klasik untuk tetap mempercayai bahwa kebenaran ini harus pula memperoleh pembenaran dari alam empiris yang positif itu. Saintisme meluangkan dialog yang dialektis secara berkesinambungan antara alam ide (yang berfungsi sebagai asas-asas pembenar dan teroperasikan lewat prosedur logika formil atau deduksi) dan alam empiris (yang berfungsi sebagai pengungkap realitas hubungan antar-objek variabel, dengan generalisasi-generalisasi yang berfungsi menguji kebenaran setiap kontemplasi deduktif, dan teroperasikan lewat prosedur logika materiil atau induksi).

Mengkonstruksi metode dan prosedur penemuan kebenaran atas dasar logika yang demikian, sains dalam epistemologi saintisme sesungguhnya bersifat sinkretis. Alam ide teoretik in abstracto akan terus lewat deduksi menghasilkan konklusi-konklusi hipotetis. Sementara itu hasil-hasil amatan in concreto (informasi atau kalau lebih terukur disebut data) akan terus lewat induksi menghasilkan generalisasi-generalisasi. Saling menguji antara hipotesis (konklusi deduksi yang beranjak dari teori) dan hasil generalisasi (konklusi induksi yang beranjak dari alam empiris) akan menghasilkan kebenaran-kebenaran saintis. Prakarsa teori) dan hasil generalisasi kebenaran-kebenaran saintis. Prakarsa pemulanya bisa sang teori itu akan tetapi bisa juga sang data; tak dapat dikatakan mana yang harus lebih dahulu, seperti halnya orang yang sulit menyatakan mana yang harus eksis terlebih dulu, ayam ataukah telur. Tak pelak teori-teori sains akan selalu bersifat sinkretis, dalam arti akan selalu mengandung kebenaran empiris (jadi sifatnya tidak atau tidak selalu aksiomatis/dogmatis melainkan grounded atau corroborated, sebagaimana disyarati oleh data empiris-positif); sedangkan data akan selalu bersifat sinkretis pula dalam arti selalu mengandung kebenaran apriori yang teoretis (jadi sifatnya tidak atau tidak sepenuhnya objektif melainkan subjektif konseptual, sebagaimana disyarati oleh presumsi-presumsi teori yang dianut dan diyakini para subjek). Metode Sains dalam Ilmu Hukum dan Ilmu-Ilmu Sosial

Saintisme dan metode sains yang memberikan posisi dan porsi natural logic serta prosedur induksi secara bermakna dan menentukan kepada setiap upaya menemukan kebenaran lahir pertama-tama di kalangan para pakar piawai yang tekun di luar tembok-tembok biara, pakar-pakar ini adalah kelompok pencari kebenaran yang karena bergerak di luar tembok-tembok biara umumnya berpandangan sekular, praktis-pragmatis, doktriner, tekstual, serta serba kontemplatif dan meditatif. Di Inggris mereka sering dikenal sebagai profesor-profesor tak berjubah. Kelompok ini amat memperhatikan liku-liku perilaku alam kodrat, dengan keyakinan bahwa kebesaran Illahi tak hanya bermanifestasi dalam bentuk wahyu akan tetapi juga dalam bentuk alam semesta yang terhampar, dan yang karena itu juga dalam keadaan selalu siap untuk dibaca asal saja manusia menguasai bahasanya, yaitu the language of the natural logic. Maka mulailah

Page 80: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

orang mencoba menemukan kebenaran-kebenaran baru, tidak dalam bentuk imperatifa-imperatifa moral yang verbal melainkan dalam bentuk manifestasi-manifestasi in concreto-nya dalam rupa hubungan-hubungan imperatif yang penuh keniscayaan, yang kalau dituruti dan dipatuhi oleh manusia akan memberikan kepada manusia kesejahteraan hidup yang mempertinggi daya eksistensial manusia di dunia. Maka lahirlah sains utama dalam sejarah perkembangan peradaban intelektualisme manusia, yaitu apa yang kini kita kenal sebagai the natural science. Dalam sains tentang alam kodrat ini orang menerapkan metode sains yang telah mulai dirapikan untuk mengungkap kebenaran-kebenaran yang mengatur perilaku gejala-gejala anorganis di alam semesta, dan berhasil. Keberhasilan sains dan aplikasinya untuk kesejahteraan hidup duniawi tampak nyata dalam perkembangan teknologi, yang dengan cepat disebut revolusi pada waktu itu mengawali datangnya abad industri dalam sejarah manusia.

Keberhasilan pendayagunaan metode sains untuk mengungkap misteri-misteri alam kodrat, dan kemudian daripada itu memberikan kemampuan kepada manusia untuk tidak hanya sekadar memahami dan mengagumi, akan tetapi juga untuk “memanipulasi” proses-proses alam kodrat demi kesejahteraan umat manusia, mendorong para pakar untuk memperluas perdayagunaan metode ini juga ke bidang-bidang amatan lain. Yang pertama-tama memperoleh giliran ialah bidang amatan yang berupa gejala-gejala organisme. Maka bermulalah sains di bidang kehayatan (the life sciences) dengan segala anak cabang spesialisasinya. Sains ini dengan cepat berkembang maju, dan pada abad 20 ini sudah mencetuskan revolusi biologi melalui aplikasi-aplikasi dalam wujud bioteknologi yang canggih. Giliran berikutnya, di abad 19 upaya penerapan dan pendayagunaan metode sains untuk mengungkap liku-liku perilaku superorganisme (yang dalam perbincangan sehari-hari lebih kenal dengan penamaan “masyarakat” dan/atau budaya manusia). Sebagaimana perkembangan dalam bidang-bidang amatan dan kajian saintifis yang lain, dalam social science ini pun perkembanganyang akan digalakkan harus berawal dan diawali terlebih dahulu oleh suatu krisis konseptual. Masyarakat dan model-model struktur normatif sebagaimana tergambar dalam cita (ide) dan cita-cita, kini harus pula dapat dikonsepkan sebagai segugus realitas empiris yang positif, sine ira et studio dan value free. Superorganisme, sebagaimana anorganisme dan organisme, harus “disekularkan” lebih dahulu sebagai variabel-variabel objektif yang tak akan dinilai melainkan akan diukur. Superorganisme, sebagaimana anorganisme dan organisme yang telah lebih dahulu dijadikan objek sains, adalah sekadar peristiwa dan proses peristiwa as it is, dan bukan suatu gejala as it ought to be.

Krisis konseptual yang menarik namun juga jelas untuk diikuti terjadi dalam studi-studi tentang penataan tertib sosial. Masyarakat yang semula dikonsepkan ulang sebagai moral order yang value bound mulai dikonsepkan ulang sebagai legal order yang value free. Di sini apa yang harus dikenali sebagai hukum dalam konsep legal order dan rule of law (untuk penegakan tertib sosial) itu adalah hukum yang telah dipositifkan sebagai lege/lex yang harus dirumuskan secara eksplisit. Hukum tidak lagi dikonsepkan sebagai premis keadilan yang implisit dan yang karenanya tak terumus secara pasti; hukum positif bisa saja dinilai tak adil, namun yang penting di sini bukan soal adil-tidaknya melainkan soal sah tidaknya sebagai the command of the covereign.

Page 81: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Namun, lebih jauh dari sekadar mempositifkan hukum, dalam praktik peradilan dan di dalam kajian-kajian tentang perangkat hukum positif (sebagaimana diperlukan untuk kepentingan praktik peradilan), pemahaman orang akan hukum ini masih sepenuhnya berjalan menurut jawaban tentang kaidah in abstracto apa yang harus dipakai sebagai dasar pembenar suatu keputusan pengadilan, dan/atau keputusan konklusif in concreto apa yang harus ditarik sebagai jawab untuk menyelesaikan perkara di pengadilan. Berkenyataan demikian, tidaklah salah kalau kajian-kajian tentang hukum ini (dikatakan dalam istilah Inggris) sebelum akan disebut atau belum boleh dipandang telah mencapai taraf legal science melainkan masih harus disebut sebagai jurisprudence dengan segala kiat dan teknik yang di dalam Bahasa Belanda disebut juristerij. Berpikir yuridis di sini akan sama dan sebangun dengan berpikir deduktif.

Dalam kajian-kajian hukum yang berlangsung menurut dalil-dalil logika deduksi (formil) seperti itu, kaidah-kaidah hukum positif (menggantikan asas-asas moral yang implisit) dipraktikkan dalam fungsinya sebagai premis-premis mayor in abstracto yang kebenaran dan keabsahannya tak lagi boleh dicabar, yang-lewat penyimpulan deduksi-melahirkan premis-premis conclusio dan premis-premis conclusio inilah yang dicari orang untuk dipakai (atau diusulkan untuk dipakai) sebagai dasar benarnya keputusan peradilan in concreto; dalam keputusan ini memang ada juga penyimpulan tentang akibat (hukum) tertentu yang diperbuat orang; namun hubungan sebab-akibat yang dikonstruksikan di sini bukanlah hubungan kausal yang ditarik sebagai kesimpulan induktif melainkan sebagai hasil pernyataan pilihan (judgement) yang dideduksikan untuk keperluan konkret. Keniscayaannya pun bukan keniscayaan objektif yang bekerja di alam empiris melainkan suatu kepastian hukum yang hendak diupayakan realisasinya melalui sanksi-sanksi kekuasaan. Karena tidak mengenal silogisme induksi dan prosedur-prosedur penerapannya, apa yang disebut ilmu hukum sampai pada taraf ini bukanlah ilmu hukum yang berkualifikasi sebagai sains. Ilmu hukum memiliki keunggulannya tersendiri sebagai bagian dari keyakinan dan kiat profesi yang hadir dalam peradaban manusia; namun tidak sebagai sains. Mengharuskan penggunaan metodologi sains untuk memahami dunia hukum positif dan jurus-jurus kepiawaian jurist yang berkembang di kalangan profesi kaum juris (di luar maupun di dalam arena peradilan) adalah suatu pemaksaan. legal order bukanlah empirical order yang sifatnya deterministis secara objektif dan universal. Positive legal order bukanlah fenomen alami yang karenanya akan dapat diukur dengan hasil-hasil pengukuran yang secara kuantitatif cermat serta berketerandalan, yang kemudian daripada itu boleh dianalisis yang sahih guna memprediksi kejadian-kejadian di masa mendatang.

Krisis konseptual dalam kajian-kajian tertang tertib masyarakat tampaknya lebih mudah diatasi dan mendatangkan hasil tatkala orang di sini menggunakan perspektif atau pendekatan struktural. Di sini orang bisa lebih melihat masyarakat sebagai suatu fenomen natural, dan bukan sebagai suatu ideal order. Masyarakat dikonsepkan sebagai struktur yaitu suatu model sistem dinamis yang tersusun dari elemen-elemen aktif yang disebut peranan (roles) dan interrelasi antar-peranan. Pendekatannya sangat deterministis, dengan presumsi bahwa manusia-manusia itu sepenuhnya eksis sebagai social dopes (hasil sosialisasi yang total) dan karena itu hanya dapat berfungsi (ketika berkooperasi maupun ketika berkonflik) dalam bingkai-bingkai struktur belaka. Struktur adalah totalitas

Page 82: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

pengendali yang bekerja sebagai determinan yang sulit diingkari sehingga seluruh perilaku oknum dalam masyarakat dilihat dalam konteksnya yang makro akan selalu tunduk kepada pola dan keajegan yang sangat koersif. Oknum sebagai individu adalah role players atau role occupants yang posisinya di hadapan struktur adalah demikian terkondisi sehingga ia jarang sekali mampu membantah “program-program” sosial-kultural yang bekerja sebagai proses yang natural dan impersonal dalam kehidupan manusia. Rekonseptualisasi masyarakat yang lebih tergambar sebagai bagian dari objective system/stucture in a natural set-up daripada sebagai suatu moral order yang normatif, telah memungkinkan upaya orang menduduki masyarakat ini sebagai objek kajian yang mendayagunakan metode dan prosedur saintifis. Stuktur, proses, dan perubahan sosial adalah konstruksi-konstruksi rasional yang terkonsep sebagai fenomen, yang karenanya setidak-tidaknya memperhatikan indikator atau proksinya akan dapat diukur, didata, dikuantifikasikan, disimpulkan melalui analisis-analisis dan sintetis-sintesis menjadi generalisasi-generalisasi, teori-teori dan hipotesis-hipotesis. Metode saintifis dan prosedur-prosedur teknisnya yang selama ini diterapkan dengan sukses untuk mengungkap misteri-misteri di alam anorganik dan alam organik akan serta merta dinilai workable pula untuk mengungkap keniscayaan-keniscayaan yang ada di dalam alam superorganik.

Mengkaji hukum sebagai model hubungan sosial yang ideal, dengan kekuatan sanksi penunjang yang berfungsi sebagai kekuatan koersif yang “sekalipun langit akan runtuh” harus diterapkan guna menjamin secara pasti terciptanya kehidupan yang adil berdasarkan prinsip-prinsip dasar tertentu, adalah bagian dari upaya olah kebiasaan profesional. The do and the don’t akan banyak mencoraki kajian (atau lebih tepatnya pelatihan) hukum di sini, dan bukan upaya-upaya menemukan the what and the why. Namun dewasa ini kajian tentang hukum telah bercabang berbatang-batang ke perkembangan lain yang lebih dicoraki oleh corak-corak yang menggolongkannya ke dalam bilangan sains sosial yang bermetode saintifis itu. Berkembang menurut cabang aliran perkembangan ini, para eksponen pendukungnya tanpa ragu telah mengkonsepkan hukum sebagai bagian dari unsur kekayaan struktur (dalam makna yang tak lagi terbatas pada ihwal substansi normatifnya saja akan tetapi juga mencakup seluruh aspeknya sebagai suatu institusi sosial). Maka hukum ditinjau dari perspektif ini akan segera menampak tidak lagi sebagai sistim normatif yang tertutup dan ekslusif melainkan sebagai suatu sistem empiris yang terbuka, dan eksis dalam suatu proses pertukaran inputs-outputs dengan berbagai faktor dan vektor yang ada di tengah suprasistem sosial. Dilihat dari perspektif yang menempatkannya pada suatu konteks yang lebih luas seperti itu, hukum pun lalu dapat tergarap sebagai bagian dari sains sosial, dengan teori-teori sosial yang dapat dipakai untuk mengkonseptualkan permasalahannya dan dengan metode saintifis dan prosedur penelitian sosial yang dapat pula dipakai untuk menguji segala praduga mengenai bekerjanya hukum sebagai variabel sosial.

Penggunaan metode saintifis berikut prosedur-prosedur operasional untuk riset-risetnya guna menemukan jawab atas masalah-masalah sosial, dan pula masalah-masalah hukum yang telah dikonsepkan sebagai masalah empiris, pada dasarnya tidaklah akan menimbulkan kesulitan apa-apa. Pokok-pokok metode dan prosedur-prosedur teknis penelitian saintifis yang diterapkan untuk sains alam kodrati dan alam hayati pada

Page 83: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

dasarnya boleh diterapkan juga untuk riset-riset sosial (baik yang berobjekkan hukum ataupun yang bukan). Kesulitan baru akan timbul kalau orang tidak hendak menyadari perbedaan yang sesungguhnya ada sekalipun mungkin tidak kualitatif melainkan hanya kuantitaitf saja antara apa yang disebut natural phenomenon dan social phenomenon. Pertama-tama perlu disadari bahwa social phenomena adalah suatu konstruksi rasional, dan bukan fenomen yang sepenuhnya bersifat empiris atau positif. Apa yang disebut peranan, status, kelas, sosialisasi, sanksi, status sosial, pendapat nasional, kemiskinan, lembaga, keadilan, dan apa pun juga lainnya lagi adalah konsep-konsep yang terkonstruksi di dalam alam pikiran manusia. Konstruksinya sebagai konsep dan variabel, serta penyiapan kerja untuk pengukurannya karena diperlukan pemilihan dan penegasan indikator-indikatornya yang observable dan measurable jelas kalau akan lebih rumit dan penuh komplikasi daripada penerapan metode dan prosedur serupa yang dipakai untuk mengkaji dan menguji fenomena anorganik dan organik yang semakin banyak lebih bersifat fisik dan empiris. Kedua objek-objek yang dikaji oleh sains sosial adalah ihwal kejadian-kejadian dan perbuatan-perbuatan yang gampang terkait pada pilihan, penilaian dan emosi manusia; objek-objek itu bukanlah peristiwa-peristiwa netral belaka. Tak pelak kepentingan manusia akan selalu tersangkut dan mengintervensi setiap upaya pengukurannya, dan kalau ternyata mengganggu maka jelaslah kalau data yang diperoleh akan sulit dicermatkan, akan sukar dijaga keterandalannya, dan akan sulit pula dijaga kesahihannya. Objek-objek seperti itu akan sulit pula diukur dengan menggunakan instrumen-instrumen biasa; acap kali pembuatan dan penggunaan instrumen itu harus dilakukan dengan mengingati kesediaan objek-objek (sebenarnya subjek-subjek) untuk berkooperasi. Opini politik, misalnya, tak mungkin diukur sekalipun tidak untuk menghasilkan data yang kuantitatif tanpa kooperasi yang sungguh-sungguh dari pihak subjek yang beropini politik itu. Rancangan pengujian yang mendasarkan diri pada rancangan eksperimental akan jelas pula sulit dikerjakan; bukannya hal itu secara metodologis mahal, melainkan karena secara etis atau menurut hukum hal itu tak mungkin dikerjakan. Di sini, akan gantinya, peneliti secara kreatif harus mendesain ulang atau memodifikasi bagan-bagan prosedur eksprimentalnya sehingga diperoleh cara yang paling laik untuk penelitian sosial. Penarikan sampel secara random pun tak selamanya mudah dilaksanakan karena alasan-alasan non-metodologis, dengan konsekuensi bahwa inferensi-inferensi dalam penelitian sosial sulit dikerjakan. Dalam penarikan sampel secara random, subjek sumber data yang tersampel belum tentu bersedia menjadi responden atau menjadi sumber data yang diperlukan. Penelitian mengenai perilaku seksual dalam masyarakat, misalnya, (atau mengenai perilaku-perilaku lain yang selalu menimbulkan keberatan tatkala terdedah ke khalayak) acap kali harus dikerjakan dengan pemeriksaan sampel yang dilakukan melalui prosedur avaliable sampling. Komplikasi-komplikasi dalam praktik pengoperasiannya inilah yang condong menyebabkan penelitian-penelitian sosial akan lebih terpandang sebagai kiat daripada sebagai teknik dan rosedur yang baku. Kepintaran peneliti dalam penelitian sosial untuk selalu “membaca situasi” akan selalu dituntut, umumnya lebih banyak dikerjakan oleh dan di kalangan para peneliti sosial daripada oleh dan di kalangan peneliti sains hayati atau sains kodrati.

Kesulitan-kesulitan menerapkan prosedur-prosedur teknis penelitian saintifis secara baku untuk segala macam fenomena, sebagaimana yang terurai dalam paragraf di atas,

Page 84: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

memperkuat pernyataan bahwa sekalipun apa yang disebut metodologi sains itu berwujud satu, namun aplikasi operasionalnya tak akan mungkin dipertahankan satu dan baku. Keragaman aplikasi operasional tak hanya bersebab pada keragaman situasi medan operasionalnya (laboratorium ataukah lapangan) atau pada keragaman jumlah kejadiannya einmalig ataukah frequent), akan tetapi juga terutama pada perspektif, konseptualisasi dan teroretisasi permasalahannya. Beranjak dari kenyataan seperti itu memang sulitlah kalau orang mengajarkan atau memepelajari materi atau substansi teori-teorinya. Kesulitan ini jelas akan bertambah-tambah tatkala dalam pengajaran dan pembelajaran itu orang sudah tiba pada persoalan prosedur-prosedur aplikasinya guna keperluan operasi-operasi pengukuran atau penghimpunan informasi (apa yang akan diobservasi dan diukur, berapa banyak yang akan di observasi dan diukur, dengan cara dan alat apa pengamatan dan pengukuran itu akan boleh dikerjakan, dan untuk apa semua observasi dan pengukuran itu dilakukan).

Pada masa yang lalu, pada awal-awal perkembangannya, ketika sains sosial baru berkesempatan berbenah dengan menata konsep-konsep dan teori-teori dasarnya, kesulitan dalam hal aplikasi metode dan penjabarannya ke dalam rupa prosedur penelitian menurut tradisi sains untuk menjawab permasalahan sosial tidaklah banyak dirasakan dan dikesankan orang, analogi-analogi dari konsep dan teori biologi banyak didapati tanpa keberatan dalam sains sosial. Analogi-analogi seperti ini seperti struktur dan fungsi (berikut permasalahannya) serta perubahan masyarakat yang beranalog dengan anatomi, fisiologi, patologi dan evolusi tidaklah atau belum membangkitkan kesadaran akan adanya kesulitan-kesulitan metodologi. Penelitian sosial dalam format makro, dengan survei-survei yang mendayagunakan apa yang dikatakan orang sebagai a large mass of data yang akan mengundang analisis-analisis statistikal, tidaklah pula membangkitkan kerisauan orang akan kemungkinan timbulnya kesulitan-kesulitan metodologis tatkala dilakukan untuk segala jenis penelitian. Para peneliti sosial di sini malahan amat bangga manakala mampu mengembangkan studi-studi yang amat kuantitatif seperti ditradisikan dalam sains alam kodrat.

Tetapi tatkala penelitian sosial mulai sedikit “turun” ke kajian-kajian yang sedikit

banyak memfokus ke studi-studi yang hendak lebih mengungkap perilaku aksi dan interaksi (dalam konteks waktu dan tempat) dari pada pola-pola atau model-modelnya (yang bertaraf sistem ataupun yang sudah sampai bertaraf struktur), maka akan mulailah terasa kesulitan itu. Pengukuran dan kuantifikasi hasil-hasilnya yang menjamin kecermatan lalu bukan lagi menjadi penentu utama; justru konseptualisasi dan kualifikasi yang menjamin kesahihan data yang lalu akan menjadi penentu kebenaran hasil riset.

Sejauh perkembangan ini, sementara metodologi pun lalu berani pula mencabar bahwa metode dan prosedur yang baik untuk riset-riset sains alam kodrat dan sains alam hayat tak selamanya akan laik untuk mengkaji masalah-masalah sosial. Penemuan dalil-dalil umum mengeni hubungan-hubungan antar-variabel, lewat analisis-analisis statistikal yang teramat kuantitatif, adalah usaha yang tak selalu dapat menggambarkan kenyataan sosial secara sahih dan benar. Cara seperti ini pun kurang dapat mengungkap kenyataan sosial dalam wujudnya yang sesungguhnya holistik, dan yang kebenarannya pun sesungguhnya hanya mungkin ditangkap lewat metode yang akan memungkinkan orang

Page 85: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

verstehen dan tidak sekadar berkonklusi dan menjadi tahu pada suatu titik akhir yang disebut generalisasi. Sains yang berhenti pada kajian-kajian stuktur, dan pada peringkatnya yang makro pun akan gampang menguburkan dimensi manusia yang utuh, dan melenyapkan eksistensinya dalam tumpukan data yang sangat impersonal itu; padahal manusia itu sesungguhnya bukanlah sekadar “bola permainan” yang mudah dipermainkan kekuatan-kekuatan struktur, dan tenggelam tanpa makna di balik keutamaan struktur, melainkan suatu subjek yang pantas dikhususkan karena memiliki kesadaran kreatif dan kekuatan (self). Apabila demikian keadaannya, dapatlah dikatakan bahwa sains sosial telah terbelenggu oleh saintisme picik yang kurang termodifikasi untuk tujuan mengkaji secara khusus alam kehidupan manusia. Dengan demikian, sains sosial lalu menjadi sains tentang struktur, sistem peranan, dan kekuatan-kekuatan perubah yang impersonal dan non-manusiawi belaka sifatnya, dengan objektivisasi dan kuantifikasi yang jelas tak sahih dan kurang realistis. Sains sosial lalu bukan lagi sains tentang manusia dan kehidupannya. Warna humanisme dalam sains sosial lalu menjadi tiada.

Problema metodologis dalam sains sosial, yang muncul karena munculnya kehendak untuk tak mau mengekor di belakang “kesederhanaan” metodologi sains alam kodrat, sesungguhnya berawal dari atau tepatnya mengiringi perkembangan teori dalam sains sosial, yaitu terpengaruhnya teori yang bermaksud hendak lebih mengungkap eksistensi manusia dalam kehidupan bermasyarakat sebagai aktor yang kreatif, dan tidak sekadar sebagai role occupants yang doped. Kajian dan penelitian sosial yang terlampau kuantitatif pada peringkat makro direaksi olehnya sebagai kajian yang telah gagal mempelajari masyarakat manusia sebagai totalitas interaksi antar-person yang bermakna, dengan makna yang diberikan oleh siapa lagi kalau tidak oleh aktor-aktor yang terlibat dan karenanya tidaklah sekali-kali interaksi itu boleh diasumsikan sepenuhnya sebagai hasil objektivikasi yang non-manusiawi sifatnya). Kajian-kajian sosial semacam ini, walaupun muncul dalam berbagai variasi dan aliran yang mungkin dengan cara terlampau menyederhanakan dapatlah digolongkan ke dalam dua puak besar, yaitu puak aliran symbolic interactionism dan puak aliran ethnomethodology. Dan untuk lebih menyederhanakan lagi, paham-paham aliran ini sama-sama mendudukkan pikiran manusia sebagai aktor yang paling mampu memberikan makna kepada interaksi-interaksi yang mengalami subjektivikasi berikut reproduksinya yang memungkinkan terjadinya sistem sosial inilah justru sesungguhnya harus dipandang sebagai sasaran perhatian utama sains sosial.

Perspektif seperti ini membawa konsekuensi metodologis yang akan lebih membawa orang ke arah penelitian-penelitian kualitatif, yang tujuan utamanya tak lain daripada verstehen atau subjective understanding, perkembangan seperti ini tentulah harus diikuti secara khusus dan dengan cermat. Perkembangan seperti ini jelas mencabar dan membedakan diri dari tradisi metodologi yang selama ini lazim diterapkan dalam lingkungan sains alam kodrat dan sains alam hayat (yang selalu bekerja untuk membuat eksplanasi-eksplanasi yang dipercayai mampu berlaku universal di alam objektif, yaitu alam yang terbebaskan dari kekuatan-kekuatan yang bersifat subjektif dan personal).

Page 86: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

In conclusio dan in summarium, tak pelak mereka yang harus mempelajari dan menerapkan metode sains untuk mencari kebenaran-kebenaran mengenai fakta sosial pada akhirnya akan harus lebih banyak menghadapi dilema dan kontroversi daripada mereka yang harus memperlajari dan menerapkan metode sain untuk mengejar kebenaran-kebenaran mengenai peristiwa-peristiwa alam kodrat dan peristiwa-peristiwa alam hayat. Sebabnya bukanlah pertama-tama terpulang ke lebih kompleksnya metode melainkan pada lebih sulitnya orang dalam riset-riset sosial untuk mengandalkan satu perspektif saja untuk menciptakan konsep-konsep dan untuk membangun teori sosial. Alam superorganik memang amat kompleks dan – menggunakan ekspresi yang dipinjam dari bahasa Inggris – so treacherous.

Page 87: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

8 MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI HUKUM

SEBAGAI REALITAS SOSIAL Metodologi Penelitian Hukum

Hakikat Penelitian Penelitian – yang di dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah research – pada hakikatnya adalah sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research) orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar (truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan sesuatu masalah. Dengan menemukan pengetahuan baru yang benar, berdasarkan metode-metode yang dipatuhi secara penuh disiplin, orang akan mencoba meniadakan ketidaktahuannya dan/atau mengatasi keragu-raguan yang selama ini menggelisahkan jiwanya dan mengganggu pikirannya. Seperti halnya dalam upaya-upaya pencarian lain yang diharapkan memberikan hasil, orang pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu informasi apa yang sesungguhnya ingin peroleh, dan di mana gerangan kira-kira letak sumber-sumber yang dapat digali untuk menghasilkan informasi atau data yang diperlukan, yang kemudian dapat digunakan untuk menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan baru. Berikutnya, orang pun harus paham akan cara-cara metode pencarian/penemuannya, beserta keterampilan untuk mengaplikasikan metode itu.

Tentang sumber-sumber ini, orang dapat membedakannya menjadi dua, yaitu sumber penyedia pengetahuan yang siap pakai dan sumber yang cuma menyediakan materi-materi mentah (data), yang masih harus diolah terlebih dahulu melalui metode tertentu, sebelum bisa menghasilkan pengetahuan yang bisa dipakai untuk menjawab masalah yang diajukan. Sumber utama yang sering banyak dikenal oleh mereka yang pemula atau awam adalah para guru, atau tokoh-tokoh berwibawa lain yang dipandang serba tahu dan mahatahu. Mereka yang pemula dan awam ini tinggal bertanya saja secara langsung apa yang tak mereka ketahui. Pengetahuan yang mereka peroleh menurut dan lewat cara ini umumnya – dapat diduga – adalah juga pengetahuan-pengetahuan hasil olahan yang “telah jadi dan telah disiapkan” (atau yang disebut parate kennis dalam bahasa Belanda).

Sumber lain – dengan cara yang memerlukan motivasi dan aktivitas pencari pengetahuan yang sedikit lebih besar – adalah pencarian jawab untuk mengatasi ketidaktahuan lewat cara mencari dan membaca buku-buku referensi atau buku-buku teks (yang umumnya juga ditunjukkan oleh guru). Mencari dan membaca buku untuk menelusuri informasi-informasi yang termuat di dalamnya, untuk kemudian juga menseleksi mana yang akan diperlukan, merupakan kegiatan yang lebih bersifat individual, dan karena itu juga jelas memerlukan ketekunan yang lebih bersifat pribadi. Sekalipun pengetahuan yang diperoleh di sini adalah pengetahuan yang umumnya juga bersifat siap pakai, namun – berbeda dengan cara bertanya langsung – mencari informasi dari sumber-sumber pustaka akan memberikan kesempatan kepada para pencari informasi ini untuk membuktikan kemandiriannya, menguji ketekunannya, mengembangkan imanjinasinya di dalam abstracto, dan merasakan kepuasan, buah hasil suatu self-achievements.

Page 88: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

60

Apabila yang hendak dicari suatu kompleks informasi untuk menjawab permasalahan yang

sifatnya kompleks pula, acap kali sumber bacaan yang dicari tidaklah sebatas satu-dua buku saja, melainkan sumber-sumber pustaka dalam jumlah yang banyak dan saling merujuk. Pencarian sumber dan informasi yang dikandungnya memerlukan kemampuan metodis untuk menelusuri sumber dan informasi itu sebagaimana telah dikoleksi dan disimpan di perpustakaan. Metode penelusuran sumber di perpustakaan – untuk menemukan data, informasi dan pengetahuan terolah – disebut penelitian kepustakaan (library research).

Pada tingkat kemahiran yang lebih lanjut, bertanya langsung kepada guru atau responden atau informan atau pula menelusuri dan membaca buku-buku sumber yang diduga kaya dengan berbagai informasi, tidaklah hendak dimaksudkan sebagai kegiatan final. Kegiatan-kegiatan itu hanyalah dimaksudkan sebagai kegiatan awal saja, yaitu kegiatan untuk memperoleh informasi-informasi sementara (alias “bahan mentah” atau yang secara populer disebut data) guna diolah lebih lanjut secara kritis. Dengan demikian, pengetahuan-pengatahuan yang benar dan sahih, tidaklah dianggap telah diperoleh bagitu saja sewaktu diucapkan atau dituliskan oleh (nara)sumber, melainkan dianggap baru diperoleh setelah selesai diolah dengan cara-cara tambahan melalui prosedur dan proses tertentu yang bersifat lanjutan.

Adapun cara orang mencari pengetahuan yang dinilai benar dan sahih untuk menjawab suatu permasalahan – entah lewat cara yang masih dikatakan awal dan sederhana, entah pula lewat cara yang lebih kritis dan canggih – menurut definisinya semua itu adalah upaya-upaya yang boleh – dan bahkan harus dikualifikasi sebagai usaha pencarian alias usaha search and research. Mengapa begitu? Karena dalam upaya ini menurut kadar masing-masing, nyata-nyata terefleksikan adanya serangkaian aktivitas searching yang diawali oleh keinginan seseorang individu secara independen untuk ingin tahu dan ingin bertanya serta (bahkan) mempertanyakan. Di sini tersimak adanya upaya aktif seseorang untuk belajar, dan tidak untuk sebatas diajar dan diajar-ajari saja dalam posisinya yang pasif. Maka peran narasumber di sini tidak lagi terpandang sebagai pemuka yang harus diikuti dan dipercya serta diturut, melainkan sebagai pembimbing belaka, dengan fungsinya yang jelas-jelas "cuma" sebagai fasilitator.

Dalam tahap-tahap pendidikan keilmuan yang dini, meminta para pemula untuk searching for the true answer sudahlah cukup apabila mereka itu tergalakkan untuk banyak bertanya. Akan tetapi, amatlah lebih dipujikan lagi tatkala mereka ini tidak hanya hendak bertanya saja – dalam kerangka searching for the true answer itu – kepada guru-guru atau sumber-sumber yang berada dekat di seklilingnya. Alih-alih begitu, mereka bergerak juga untuk banyak bertanya ke berbagai sumber (manusia ataupun bahan-bahan pustaka) yang berada dalam suatu kalangan yang luas, yang masih harus dikontak lewat usaha penelusuran yang penuh jernih. Hasil dari berbagai sumber itulah yang kemudian diperbandingkan, dinilai keakuratan serta keterandalannya, guna kemudian dianalisis sampai menghasilkan simpulan akhir yang teruji sebagai tesis yang bernilai sebagai the true answer.

Pada tahap yang sudah boleh dibilang lanjut, minat menemukan pengetahuan yang benar itu tentulah ikut diseyogyakan apabila usaha seperti itu juga diiringi dengan reserve untuk tidak begitu saja menerima kebenaran apa yang dikabarkan sang sumber. Pada tahapan yang masih lebih tinggi lagi, mereka yang membilangkan diri ke dalam golongan peneliti (searcher/researcher)

Page 89: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

61

juga amat diharapkan selalu bisa bersikap kritis dengan membangkitkan keberanian serta kemampuannya untuk senantiasa mau menimbang-nimbang terlebih dahulu kecermatan, keterandalan dan kesahihan informasi-informasi yang diberitakan oleh sang sumber itu. Pada tahap ini, para peneliti perlu dibantu secara bersungguh-sungguh untuk mengembangkan kemampuannya agar tidak hanya sebatas cakap mengajukan pertanyaan dalam rangka proses tanya-jawab.

Maka alih-alih demikian – lebih jauh dari itu – amat diharapkan bahwasannya para peneliti itu juga mampu serta berani bersoal-jawab untuk menguji keterandalan sumber atau narasumber yang telah dipilihnya itu. Tak salah lagi, modal utama dalam langkah pertama suatu penelitian itu bukanlah "tak tahunya sama sekali" si peneliti mengenai jawaban atas sesuatu masalah, begitu rupa sehingga ia menggantungkan diri pada informasi yang diberikan sepenuhnya oleh sumber atau narasumber. Modal penggerak pertama suatu proses pencarian itu tak lain yaitu "keragu-raguan" si peneliti apakah pengetahuan atau jawaban yang ia punyai tentang suatu masalah memang sudah betul ataukah masih mengandung cacat kekeliruan.

Pada taraf pendidikan keilmuan yang lebih tinggi lagi, cara searching diharapkan sudah akan meningkat lebih lanjut lagi. Metode searching-nya pun sudah lebih prosedural lagi, dengan strategi-strategi yang dikontrol ketat dan tunduk penuh pada hukum-hukum logika serta disiplin pengamatan dan/atau pengukuran. Tidak hanya sampai di situ saja, temuan-temuan empiris itu masih harus dilanjutkan lagi dengan proses-proses analisis – yang tak hanya logis tapi juga imajinatif – untuk pada akhirnya tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang lebih abstrak dan lebih umum sifatnya. Proses abstraksi demikian ini kadang-kala bahkan dapat demikian teoretis dan imajinatif sifatnya sehingga hasilnya seolah-oleh "berambisi" hendak menjurus dan menjangkau ke kasimpulan-kesimpulan yang tidak cuma berlaku untuk menjawabi masalah-masalah setempat, akan tetapi juga berlaku "umum" untuk menjawab permasalahan serupa di tempat lain dan di kerangka waktu yang lain.

Model searching for true answers sebagaimana yang telah dipaparkan secara berurut-turut di muka – mulai dari yang awam sampai ke yang ilmiah – sesungguhnya mempunyai derajat kesulitan yang sifatnya tidak prinsipil, melainkan cuma kuatitatif atau gradual saja. Sekalipun demikian, researching untuk kepentingan ilmiah jelas kalau mempersyaratkan tak hanya metode dan instrumen yang lebih tergarap akan tetapi juga disiplin dalam hal berpikir dan dalam hal mendayagunakan metode serta teknik. Semua itu demi kecermatan, keterandalan dan kesahihan hasil-hasilnya. Metode diperlukan guna mengontrol sepanjang proses, apakah data, informasi dan seluruh kesimpulan yang didapat benar-benar merupakan kebenaran (truth) yang sungguh-sungguh berkebenaran alias “objektif”, dan bukan cuma merupakan proyeksi-proyeksi subjektivitas para penelitinya saja.

Maka, kemahiran metodologis para peneliti yang hendak mencari kebenaran ilmiah tidaklah dapat diabaikan. Maka siapa pun – ilmuwan ataupun praktisi – yang bermaksud secara bersungguh-sungguh mencari kebenaran ilmiah untuk menjawab masalah yang tengah ia dihadapi, mau tak mau dan dapat tak dapat, mestilah menguasai metode penelitian itu dengan benar. Sekalipun demikian, betapapun pentingnya penguasaan metode demi terjaminnya hasil penelitian yang tak hanya akurat dan berketerandalan (reliable) akan tetapi juga sahih (valid) untuk menjawab masalahnya. Ketegasan definitif mengenai "apa sesungguhnya yang tengah dijadikan

Page 90: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

62

masalah dan dicarikan jawabannya" itu haruslah ada terlebih dahulu. Orang harus menegaskan dulu "apa" yang jawabannya tengah dicari sebelum metode untuk menemukan jawaban itu dipastikan.

Itulah sebabnya mengapa setiap penelitian selalu diawali dengan upaya menegaskan dulu konsep dan/atau definisi objek atau objek-objek yang akan diteliti (alias yang "misteri"nya akan diungkap dengan jalan mencari jawaban kejelasan-kejelasannya). Penegasan konsep dimaksudkan agar orang tidak sampai salah memilih cara atau metode penelitian/pencariannya, suatu kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui penelitian/pencariannya, suatu kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui penelitian itu – sekalipun akurat dan berketerandalan – tidak "laku" lagi (alias tidak sahih atau tidak valid) untuk menjawab masalah yang tengah diajukan. Peringatan tentang hal itu amat perlu untuk diperhatikan, khususnya dalam penelitian sosial dan lebih khusus lagi di dalam penelitian-penelitian hukum, mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian kedua bidang ilmu itu orang lebih banyak membicarakan objek-objek yang tidak berwujud materi yang empiris dan kasat mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di suatu alam abstrak yang dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional. Metode Penelitian Hukum Terjadinya pengkotakan kajian hukum ke dalam spesialisasi yang amat dipisahkan seperti itu sebenarnya bermula dari kehendak untuk membuat dan menegakkan batas yuridiksi kewenangan yang jelas dan tegas demi kepentingan profesionalisme mereka yang membilangkan diri ke dalam golongan the legal professionals atau the lawyers yang spesialis pengkaji dan pengguna hukum yang murni alias hukum yang formal-positif itu. Pengkotakan yang berawal dari persoalan yurisdiksi kewenangan professional ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan persoalan keilmuan, berikut metode dan metodologinya, yang harus dipertimbangkan dan dibobot berdasakan makna akademisnya. Sekalipun demikian, akan kita ketahui nanti bahwa pembedaan antara hukum yang terbentuk secara formal sebagai norma positif dan hukum yang “terbiarkan” bebas sebagai nomos sosial ini akan ada juga imbasnya dalam dunia pembelajaran hukum dan penelitian hukum.

Namun demikian, asal saja orang bersedia mencermati liku-liku metodologi sains yang diperlukan untuk kajian-kajian saintik yang berobjek hukum sekalipun, orang akan sadar dan mengetahui bahwa metode penalaran yang diperlukan – baik untuk mempelajari norma (dengan mengikuti alur pemikiran kaum profesional yang positivis) maupun untuk mempelajari nomos (dengan mengikuti alur pemikiran para social scientists yang sebagian besar dari mereka sesungguhnya terbilang kaum positivis juga) – tidaklah sekali-kali berbeda secara mutlak. Keduanya diprasyaratkan untuk bekerja menurut disiplin prosedur logika yang sama. Perbedaan hanyalah ada dalam ihwal prosedur teknis-teknisnya saja, yaitu tatkala metode jenis kedua mulai harus dirancangkan dan dilaksanakan untuk keperluan mencari informasi yang akurat, berketerandalan dan sahih.

Dari sinilah awal pembedaan model penelitian hukum, yang terspesialisasi pula menjadi dua, yaitu antara penelitian hukum yang dikatakan normatif (khusus untuk meneliti hukum sebagai

Page 91: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

63

norma positif as it is written in the books) dan penelitian hukum yang dikatakan empiris (khusus untuk meneliti hukum dalam wujudnya sebagai nomos, at it is observed in society). Sekalipun pembedaan dua jenis penelitian hukum dengan penyebutan “penelitian normatif” dan “penelitian empiris” ini telah terlanjur populer dan terus dipopulerkan dalam wacana keilmuan hukum di Indonesia, namun sejak awal orang harus mengetahui bahwa penyebutan seperti itu kurang tepat benar. Akan kita ketahui nanti bahwa apa yang disebut “penelitian normatif” itu acap kali meninggalkan tataran normatifnya yang positif untuk menggapai tataran-tataran doktrin (atau ajaran) hukumnya juga. Sedangkan apa yang disebut “penelitian empiris” acap kali mengajuk ranah-ranah simbolis yang ada di balik nomos yang tersimak itu. Penyebutan “penelitian doktrinal” dan “penelitian nondoktrinal” – yang pada kenyataannya nanti akan merupakan penelitan sosial mengenai hukum – kiranya akan lebih tepat. A. Penelitian Hukum Doktrinal Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang pengembangnya. Ada berbagai doktrin yang pernah dianut dan dikembangkan dalam kajian-kajian hukum, mulai dari doktrin klasik – yang dikenali sebagai doktrin (atau aliran) hukum alam kaum filosof dan doktrin (atau aliran) positifisme para yuris-legis sampai ke doktrin historis dan doktrin realisme-fungsionalisme para ahli hukum yang terbilang kaum realis. Berikut ini akan dipaparkan berturut-turut metode doktrinal yang dikenal dalam aliran hukum alam, metode doktrinal yang dianut kaum positivis (yang juga disebut kaum legis itu), dan kemudian juga metode doktrinal yang ditradisikan di kalangan para ahli hukum yang berpaham fungsionalis-realisme. Di Indonesia, metode doktrinal ini terlanjur secara lazim disebut sebagai metode penelitian yang normatif, untuk melawankan dengan metode penelitian yang dikatakan terbilang empiris (yang di dalam literatur internasional disebut penelitian nondoktrinal). Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Asas Keadilan dalam Sistem Moral Menuruti Doktrin Aliran Hukum Alam Konsep hukum tersebut pertama adalah konsep yang amat berwarna moral dan fisolofis, atau tak jarang pula dalam masyarakat-masyarakat tertentu amat berwarna religius. Konsep hukum yang demikian ini tak pelak lagi akan melahirkan cabang kajian hukum yang amat religius (seperti semasa jaya-jayanya peran hukum kanonik Eropa pada abad-abad pra-renesans) atau amat filosofis (seperti semasa merebaknya ajaran hukum alam), atau yang moralistis (seperti pada era pengaruh ajaran hukum positif tatkala orang mendambakan koreksi-koreksi terhadap kelugasan ius constitutum dengan mengkonstruksikan apa yang mereka sebut ius constituendum).

Dalam perkembangan alam pemikiran Barat, konsep hukum sebagai asas moral keadilan itu adalah konsep yang terbilang paling tua. Konsep ini berasal-mula dari masa jaya-jayanya kekuasaan gereja dengan hukum kanonik atau ius novum-nya, sepanjang era sebelum lahirnya negara-negara nasional di negeri-negeri Eropa Barat. Asas dipungut dari dunia nilai (yaitu nilai moralitas) yang – sekalipun tak selamanya dirumuskan secara tegas dan pasti oleh lembaga-lembaga kekuasaan negara – tetap saja selalu diakui oleh masyarakat sebagai segugus

Page 92: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

64

pedoman normatif yang hidup untuk menuntut perilaku-perilaku yang dipandang amat patut di dalam masyarakat. Dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal yang otohton, yang di Indonesia dikenali sebagai masyarakat-masyarakat adat, asas-asas yang hidup di dalam sanubari warga masyarakat sebagai bagian dari – yang oleh Eugen Ehrlich disebut das lebend recht – “the living law”. Inilah yang di dalam literatur-literatur hukum di Indonesia disebut hukum adat (dalam asas-asasnya).

Asas-asas keadilan (atau kearifan atau pula kepantasan) yang berada pada ranah moral ini umumnya terumus amat umum, dan acap pula tidak tertulis, serta terbuka untuk sembarang tafsir oleh siapa pun ketika akan diperlukan untuk menghukumi sesuatu perkara yang konkret. Sekalipun terumus umum sebagai asas-asas belaka, namun demikian norma-norma abstrak itu dalam praktik kehidupan dapat berfungsi juga sebagai pedoman (kalaupun bukan sebagai aturan atau perintah berperilaku yang eksplisit untuk memberi arahan tentang apa yang harus dilakukan para warga dalam perilaku mereka sehari-hari). Kehidupan masyarakat awam dalam kesehariannya, umumnya dipedomani oleh asas-asas umum semacam ini, seperti misalnya “janji harus ditepati”, “suami-isteri harus saling mencintai”, “jangan gampang-gampangan memutus persahabatan”, “menutut ilmu itu sesungguhnya merupakan bagian dari ibadah dan karena itu harus dikerjakan sepanjang umur”, dan seterusnya.

Di tangan para elite pemuka masyarakat yang tampil sebagai eksponen-eksponen penegak moral sosial – entah yang tetua adat, entah yang ulama atau yang dikenali sebagai kaum brahman di India, entah filosof – semua asas-asas itu dihimpun (kalaupun tak dikitabkan tentulah direkam dalam ingatan), untuk difungsikan sebagai kekayaan rohani masyarakat, dan akan selalu dirujuk sebagai ajaran dan pembenaran cara-cara bertingkah laku dan/atau tatacara-tatacara berperilaku. Dalam riwayat berbagai bangsa, tak jarang ajaran-ajaran asasi ini dikabarkan sebagai sesuatu yang sebenarnya tak sekali-kali berawal dan berasal dari ranah-ranah manusiawi, melainkan dari ranah-ranah yang kodrati, supranatural, superhuman, atau bahkan sesungguhnya Illahi. Dalam perkembangan kehidupan di negeri-negeri Eropa Barat, para era sebelum lahirnya negara-negara nasional yang tersentralisasi, asas-asas itu memiliki sifatnya sebagai asas-asas yang kodrati dan – berikut semua hasil jabarannya – dipercaya sebagai bagian dari hukum kodrat atau hukum alam.

Di tangan ahli-ahli filsafat hukum alam, asas-asas yang diyakini sebagai bagian dari hukum kodrati itu – demi keterpakaiannya untuk mengkaidahi perilaku warga masyarakat dalam situasi-situasi konkret – masihlah harus diupayakan dan diputuskan dengan melihat permasalahannya dari kasus ke kasus. Upaya intelektual di ranah normatif ini – dari normanya yang abstrak (pada tataran asas) ke normanya yang sungguh lebih konkret (pada tataran aturan berperilaku) – berlangsung lewat proses-proses yang tunduk penuh pada aturan logika formal yang disebut silogisme deduksi. Deduksi yang dikenal juga sebagai logika matematika ini terdiri dari tiga premis: yang umum (mayor), yang khusus (minor) dan dan yang simpulan (konklusi). Apabila “semua manusia mesti mati” (premis mayor), dan “Socrates adalah manusia” (premis minor), maka “Socrates mesti mati” (premis konklusi).

Dalam konstruksi silogisme deduksi sebagaimana digunakan dalam kajian hukum bermoral keadilan ini, asas-asas atau postulat-postulat moral yang dipungut dari hasil kontemplasi para pemikir filsafati (atau yang tak jarang sesungguhnya juga dipungut dari moral masyarakat setempat) namun yang sering kali dinyatakan sebagai sesuatu yang self-evident dan berlaku

Page 93: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

65

universal, akan diposisikan sebagai premis mayor. Sementara itu, kasus-kasus perilaku yang hendak dipertanyakan nilai normatifnya akan didudukan sebagai presis minornya. Maka, tak ayal lagi, konklusi yang dapat ditarik sebagai premis penutup dalam silogisme itu akan menyatakan apa yang menjadi norma hukum atau norma moralnya untuk kasus perilaku yang ditanyakan itu. Sebagai ilustrasi dapatlah dikemukakan contoh berikut ini. Apabila orang menanyakan: “apakah dasar moral dan/atau bunyi hukumnya yang harus dipakai untuk membenarkan atau menyalahkan seseorang yang tak menepati janji dalam kasus jual-beli karena ia merasa tertipu?”, lalu apakah kira-kira jawabnnya? Dapatkah dicarikan (search and research) jawaban untuk pertanyaan itu?

Di sini akan dicari melalui konstruksi silogisme. Diketahui fakta bahwa ada orang yang tak menepati janji karena ia merasa tertipu. Fakta khusus ini tak pelak harus diposisikan sebagai premis minor. Asas moralnya yang berlaku umum harus dicari melalui penelusuran. Search! Ditemukan asas moral bahwa semua janji dan perjanjian harus dilandasi itikat baik agar melahirkan ikatan moral – atau ikatan hukum yang bermoral – antara pihak-pihak. Maka simpulannya dapat diharapkan dari konstruksi silogisme deduktif berikut ini: “Semua perjanjian harus dilakukan atas dasar itikat moral yang baik agar dapat mengikat; a concreto, semua perjanjian yang tak dilakukan atas dasar itikat moral yang baik tidaklah akan mengikat”. Ini premis mayornya. “Si A mengikat diri ke dalam ikatan perjanjian itu karena tertipu”. Ini premis minornya! Maka, premis konklusinya adalah: “Si A yang tertipu (menurut asas moralnya) tak akan terikat oleh perjanjian itu”. Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Kaidah Perundang-Undangan Menurut Doktrin Aliran Positivisme dalam Ilmu Hukum Berseiring dengan pertumbuhan dan perkembangan negara-negara bangsa yang terpisahkan dari kekuasaan Gereja di negeri-negeri Eropa Barat, yang dengan demikian telah menyebabkan terjadinya proses sekularisasi kekuasaan negara di negeri-negeri itu, terjad pula sekularisasi hukum-hukumnya. Hukum negara yang disebut juga hukum nasional – kini tak lagi mengutamakan kandungan moral dan kebenaran moral atau nilai rchtswaardigheid untuk menjamin legitimiasinya, melainkan lebih mengutamakan kekuatan kepastian berlaku atau nilai rechtzekerheid. Inilah proses sekularisasi yang disebut juga proses positivisasi hukum. “Hukum” hanya akan boleh dipandang dan diakui sebagai hukum tatkala hukum itu secara jelas merupakan perintah eksplisit. Hukumlah yang berdaulat, seperti yang dikatakan Austin bahwa “(positive) law is the command of the sovereign. Hukum bukan lagi asas-asas abstrak yang tak dapat ditunjukkan di mana dan bagaimana rumusannya yang jelas dan tegas, dan bagaimana pula ciri-cirinya yang menengarai bahwa “hukum” itu memang benar-benar hukum. Hukum dan konsep kaum positivis ini bukan lagi cuma berupa ius, melainkan harus benar-benar berciri sebagai lex atau lege.

Sekalipun dalam soal konsep tentang substansi hukum ada perbedaan yang cukup mendasar antara puak pembela hukum dalam yang moralistis dan puak positivis yang menyebut hukum adalah benar-benar the command of the sovereign – yang oleh sebab itu dapat ditunjukkan bagaimana isi rumusannya dan kapan serta di mana diperintahkannya (diundangkannya) itu – namun dalam soal metode searchings and researchings-nya tidaklah ada perbedaan antara keduanya itu. Baik penganut aliran hukum alam, maupun para penganut aliran positif, keduanya sama-sama berlogika normatif dan karena itu kedua-duanya juga sama-sama mendayagunakan

Page 94: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

66

silogisme deduktif untuk menemukan jawab mengenai “apa hukumnya untuk mengkaidahi suatu kasus tertentu”. Hanya saja, tatkala para eksponen aliran hukum alam mencari dan menemukan premis-premis mayornya dalam wujud asas-asas yang terdapat dalam ajaran moral atau asas-asas filsafati yang konon berlaku universal, para eksponen aliran positivisme hanya mau menggunakan pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat dalam undang-undang atau hukum perundang-undangan (tentu saja secara selektif) sebagai premis-premis mayor.

Lepas dari soal apa yang akan dijadikan premis mayor, tak adalah beda lebih jauh mengenai pendayagunaan silogisme deduksi itu, oleh mereka yang berada di pihak paham hukum alam dan mereka yang berada di pihak paham hukum positif. Dengan menempatkan fakta “duduk perkaranya” sebagai premisnya yang minor, kaum positivis dengan mudah akan menemukan lewat penarikan simpulan (premis konklusi) mengenai apakah bunyi hukumnya in concreto untuk suatu perkara tetentu. Peragaannya dalam sidang-sidang pengadilan yang menaati ajaran hukum kaum positivis (yang di dalam bahasa Hans Kelsen disebut reine Rechtslehre) adalah sebagai berikut: apabila hakim menemukan bunyi hukumnya in abstracto – seperti misalnya yang kira-kira dirumuskan dalam pasal 362 KUHP – bahwa “barangsiapa mengambil barang milik orang lain, sebagai atau seluruhnya, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka ia akan dihukum karena pencurian sebanyak-banyaknya X tahun” (ini premis mayor), dan dalam pemeriksaan perkara sang hakim ini menerima bukti bahwa “si A mengambil sebagian dari milik orang lain dengan maksud untuk menguntungkan anaknya” (ini logikanya) bahwa “si A harus dihukum karena mencuri.

Pada masa awal perkembangan kehidupan bernegara, yaitu tatkala positivisasi hukum baru berada pada tahap-tahap awalnya, dan ketika tertib kehidupan bermasyarakat masih pula lebih banyak dikuasai oleh tuntutan-tuntutan asas-asas moral dan mores sebagaimana yang lebih banyak dikontrol oleh elite-elite masyarakat ulama dan tokoh-tokoh penegak moral sosial daripada oleh the positive command of the sovereign sebagai dikontrol oleh the legal professional (juristen dan/atau lawyer), kebutuhan untuk menginventarisasi bahan-bahan hukum primer, yang dapat difungsikan sebagai sumber formil bagi setiap usaha penciptaan hukum baru (yang abstrak maupun yang konkrit) tidaklah sekali-kali terasa mendesak. Sementara itu, jumlah produk hukum perundang-undangan belum seberapa banyak, dan belum terasa perlu diinventarisasi, dikoleksi dan diorganisasi dengan teknik-teknik dan prosedur-prosedur yang khusus. Sehubungan dengan kenyataan itu, kebutuhan untuk mengembangkan metode dan teknik guna keperluan pembinaan serta pendayagunaan koleksi bahan-bahan primer pun lalu tak terlampau banyak dirasakan.

Namun kini keadaan telah berubah. Perkembangan hidup bernegara dan berhukum (yang tak hanya menghendaki keadilan akan tetapi juga kepastian), telah kian kompleks dan telah menyebabkan meningkatnya produksi perundang-undangan dan seterusnya juga meningkatkan pergandaannya dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanannya dan dalam berbagai bentuk keputusan pengadilan yang menetap sebagai yurisprudensi. Positivisasi hukum, dengan penolakan untuk mengakui asas-asas moral dan asas-asas filsafat sebagai hukum yang berlaku, telah meningkatkan produksi hukum positif. Multiplikasi hukum positif (yang terumus in abstracto maupun yang terlafalkan in concreto) dan meningkatnya kebutuhan akan informasi hukum positif untuk praktik maupun untuk studi, tentu saja akan meningkatkan pula kebutuhan akan metode dan teknik yang tepat guna menjamin terwujudnya koleksi bahan-bahan hukum yang lengkap. Seluruh kerja inventarisasi itu tentu saja meliputi pula usaha-usaha untuk mengorganisasi bahan-bahan

Page 95: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

67

hukum itu ke dalam suatu sistem informasi yang komprehensif dan yang terkembang demikian rupa sehingga memudahkan penelusuran kembali bahan-bahan hukum tersebut secara efisien.

Kecuali mengerjakan inventarisasi bahan-bahan primer – dalam wujud hukum perundang-undangan, untuk kemudian mengorganisasinya ke dalam suatu koleksi yang memudahkan penelusurannya kembali – kajian-kajian doktrinal dalam ranah hukum positif ini juga meliputi usaha-usaha untuk mengkoleksi bahan-bahan hukum lain yang sekalipun tak terbilang primer. Akan tetapi – dibilangkan sebagai bahan-bahan hukum yang sekunder – bernilai penting juga untuk mengembangkan hukum dan ilmu hukum. Bahan-bahan sekunder ini umumnya terdiri atas karya-karya akademis – mulai dari yang diskriptif sampai yang berupa komentar-komentar penuh kritik – yang memperkaya pengetahuan orang tentang hukum positif yang berlaku (ius constitutum) dan/atau yang seharusnya berlaku (ius constituendum). Dalam maknanya yang formil, bahan-bahan hukum yang sekunder ini memang bukan hukum yang berlaku akan tetapi, dalam maknanya yang materiil, bahan-bahan sekunder itu memang bahan-bahan yang berguna sekali untuk meningkatkan mutu hukum positif yang berlaku.

Bahan-bahan sekunder itu berguna untuk dirujuk pertama-tama sebagai sumber guna meningkatkan mutu interpretasi atas hukum positif yang berlaku. Lebih lanjut lagi, bahan-bahan sekunder itu juga berguna untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang komprehensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang formil maupun dalam maknanya yang materiil. Bahan-bahan sekunder adalah hasil kegiatan teoretis-akademis yang mengimbangi kegiatan-kegiatan praktik legislatif (atau praktik yudisial juga), sedemikian rupa sehingga produk-produk praktik yang nampaknya fragmentaris dan mosaik itu akhirnya bisa terpola menjadi suatu sistem yang utuh dengan komponen-komponen yang tak saling bertentangan, dan karena itu menyebabkan seluruh sistem hukum positif menjadi bersifat rasional serta pasti. Sementara itu, hasil-hasil studi yang telah terkoleksi sebagai hahan-bahan sekunder ini lazim pula dikaji para praktisi, yang akan mampu merawat serta mengembangkan kaidah positif secara lebih baik.

Inventarisasi dan koleksi bahan-bahan hukum tersebut dimuka (baik yang primer untuk difungsikan sebagai sumber formil maupun yang sekunder untuk difungsikan sebagai sumber materiil) banyak dikerjakan oleh para pekerja yang bertugas dalam bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi, serta pengarsipan hukum. Menggembirakan sekali, akhir-akhir ini perkembangan metode dan teknik untuk maksud itu telah banyak terbantu oleh prekembangan teknik dan prosedur di dalam cabang ilmu khusus yang dinamakan “informatika”, dan kemudian juga – setelah meluasnya penggunaan teknologi elektronik – oleh salah satu cabang kajian yang khusus tetapi penting di dalam Metodologi Penelitian Hukum, yaitu apa yang disebut-sebut dengan nama yurimetri. Namun, dalam soal pendayagunaan kemampuan informatika dan yurimetri. Namun, dalam soal pendayagunaan kemajuan informatika dan yurimetri itu, (sayang sekali), di Indonesia usaha-usaha di bidang itu ini belum banyak ditangani secara serius, dan prosedural serta struktur koleksinya pun belum dibakukan secara cukup tuntas. Komputerisasi koleksi malahan belum dimulai secara berarti, sedangkan personil-personilnya yang terlatih untuk bidang itu pun belum pula memadai, baik dalam hal jumlah maupun dalam hal mutu ketrampilannya.

Page 96: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

68

Metode Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Keputusan Hakim in Concreto Menuruti Doktrin Fungsionalisme Kaum Realis dalam Ilmu Hukum Kegiatan jenis ketiga dalam penelitian-penelitian hukum, dengan hukum yang menurut doktrinnya dikonsepkan sebagai hukum positif ini, adalah penelitian-penelitian dan kajian-kajian yang dikerjakan dengan hukum yang dikonsepkan pertama-tama sebagai keputusan hakim in concreto. Inilah hukum yang dikenali sebagai judge-made law, yang sekalipun semula dimaksudkan hanya untuk memutus perkara hukum yang tengah menjadi kasus, akan tetapi karena adanya doktrin stare decisis berikut asas precedencenya maka hukum seperti itu pada saat tertentu juga bisa berlaku in abstracto. Hukum dan kajian hukum yang dikembangkan atas dasar doktrin seperti itu dikenal marak di negeri-negeri yang bersistem common law (khususnya di Amerika Serikat), di mana hakim menurut doktrinnya tidak cuma hendak menemukan hukum akan tetapi terlebih-lebih harus dapat menciptakan hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum in concreto. Kegiatan penelitian hukum jenis ketiga di Amerika Serikat ini umumnya dilakukan oleh para ahli hukum praktisi, khususnya para pengacara, serta pula para teoretisi yang mem-back-up para pengacara itu untuk melakukan studi-studi guna memperkirakan apa kira-kira yang akan diputuskan hakim olah pengadilan dan/atau juri, lewat studi-studi. Berbeda dengan apa yang dipraktikkan di negeri-negeri penganut tradisi civil law system Eropa Kontinental, di mana para ahli hukum dengan sepenuhnya hati memandang law as it is in the books sebagai model normologis yang sempurna untuk mengontrol seluruh kehidupan, dengan kewajiban hakim untuk (bak mulut yang tugasnya cuma membunyikan apa yang tertulis dalam undang-undang) memutus perkara-perkara dengan menemukan hukum dari produk-produk legislatif – di negeri-negeri Anglo-Saxon (lebih-lebih di Amerika Serikat yang terkenal pragmatismenya itu) yang hendak dipentingkan bukanlah the codified law itu, melainkan the judge-made law.

Maka searching for law dalam tradisi penelitian hukum di Amerika Serikat ini akan segera bermakna sebagai the searching for what the judge will decide as law. Kerja pencarian hukum di sini lalu tak cuma hendak dilakukan untuk menemukan apakah bunyi hukum in abstracto-nya saja, untuk kemudian mendeduksikannya berdasarkan silogisme logika formal, melainkan dengan cara menspekulasikan secara teoretis – dan kemudian menghipotesiskan – apa kira-kira yang akan diputuskan oleh juri dan hakim. Diketahui bahwa hakim di mana-mana tidak akan mungkin – dan memang juga tidak akan diharapkan – untuk cuma sekadar menemukan lafal-lafal hukum in abstracto tersebut menjadi lafal-lafal yang in concreto, sine ira. Di mana-mana hakim itu selalu mengimbuhkan suatu pertimbangan pribadi yang extra-legal sifatnya, dengan cita-cita bahwa keputusan-keputusan yang dibuatnya itu akan lebih fungsional bagi kehidupan. Maka pengalaman yang tersimak dalam kehidupan akan dapat lebih mampu menjawab persoalan hukum dan akan dapat lebih cermat menduga arah keputusan hakim-hakim daripada logika-logika hukum. Berkatalah Holmes – yang merintis aliran realisme dalam ilmu hukum di Amerika Serikat – dalam hubungan ini bahwa the life of law has not been logic, it is experience.

Ajaran legal realism atau the functional jurisprudence rintisan Holmes ini bukannya mengabaikan sifat kajian-kajian hukum yang normatif-deduktif dan doktrinal, akan tetapi sesungguhnya cuma hendak menegaskan bahwa dalam setiap penciptaan hukum in concreto itu selalu terjadi apa yang disebut judgements, yaitu keputusan-keputusan yang diinfiltrasi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadi yang bersifat extra legal (bukan yang illegal). Roscoe Pound – dengan paham sociological jurisprudence-nya malahan menganjurkan dikerjakannya

Page 97: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

69

judgements seperti itu oleh para hakim agar hukum dan keputusan-keputusan hukum tidak hanya fungsional dalam masyarakat akan tetapi juga secara pro-aktif dapat merekayasa perubahan masyarakat. Tak pelak lagi, di negeri-negeri dengan tradisi common law di mana para hakim akan agak terbebaskan dari imperatif silogisme deduktif, agar dapat lebih memenuhi fungsi “menyelesaikan sengketa dari kasus ke kasus” daripada melebihkan fungsinya sebagai “penerap atau bahkan penegak hukum bersumberkan perintah undang-undang” (sekalipun langit akan runtuh), kemungkinan mencapai kesimpulan dengan cara induksi, seraya banyak mempertimbangkan tuntutan kenyataan – akan menjadi lebih besar. Maka, mungkin saja bukan hal yang kebetulan apabila dasar-dasar ide paham sociological jurisprudence atau the functional school of jurisprudence itu lebih mudah diterima dan dimengerti, untuk kemudian berkembang marak di negeri-negeri dengan sistem common law – lebih-lebih lagi yang berpaham pragmatis, seperti Amerika Serikat.

Kajian-kajian yang induktif-nomologis mengenai proses sosio-psikologis terjadinya judgements hakim banyak muncul dalam penelitian-penelitian tentang apa yang didalam literatur Amerika Serikta disebut court behaviors. Kondisi-kondisi sosio psikologis yang riil dan berpengaruh pada perilaku para juri dan hakim atau pula pada para pengacara – serta pula proses-proses interaktif antara-mereka, telah menjadi topik-topik utama dalam kajian-kajian court/judicial behaviors. Studi tentang afiliasi politik para hakim (demokrat ataukah republikan), misalnya, dikaji dalam kaitan dengan keputusan-keputusan yang akan dijatuhkan dalam perkara diskriminasi dan segregasi rasial. Perbedaan jenis kelamin atau golongan etnis/ras para anggota juri atau hakimnya, sebagai misal yang lain, dikaji apakah akan ada pengaruh dalam ihwal keputusan-keputusan yang akan dijatuhkan dalam perkara perkosaan. Demikian seterusnya.

Sejauh studi-studi itu berkaitan erat dengan soal opini-opini (hakim) tentang substansi hukum perundang-undangan dan/atau keputusan-keputusan para hakim terdahulu yang berkekuatan sebagai preseden-preseden, tidaklah ada salahnya kalau studi-studi tersebut tetap dikategorikan sebagai studi-studi doktrinal. Akan tetapi, studi-studi tentang perilaku hukum di ruangan-ruangan pengadilan sulitlah kalau dikategorikan sebagai studi tentang doktrin-doktrin hukum. Variabel-variabel yang extra-legal itu jelaslah kalau eksis ke luar ranah doktrin, dan penelitian-penelitian serta studi-studinya tak ayal lagi sudah terbilang ke dalam kategori non doktrinal, dengan menggunakan metode-metode dan idiom-idiom yang non doktrinal pula. Dalam perkembangan berikutnya, metode-metode nondoktrinal ini dimanfaatkan oleh ilmu hukum, tidak hanya untuk mengkaji the extra-legal factors, akan tetapi juga untuk mempelajari the real social factors dalam konteks legal hehaviors as it is in society. Dengan sekali langkah, the sociological jurisprudence sudah menjadi the sociology of law dengan segala konsekuensinya. Tidak cuma konsekuensi paradigma substantifnya akan tetapi juga konsekuensi metodologisnya. 2. Metode Penelitian Non-doktrinal Di dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif untuk menata perubahan dan perkembangan. Tak ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu sosial – khususnya sosiologi yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti ihwal perubahan-perubahan sosial – "dipanggil" untuk ikut menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial yang amat relevan

Page 98: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

70

dengan permasalahan hukum. Ilmu-ilmu sosial – yang mulai "ditengok" dalam kerangka ajaran sociological jurisprudence mulai banyak pula dimanfaatkan untuk memungkinkan usaha memperbaharui dan memutahirkan norma-norma hukum. Kajian-kajian sociology of law – dengan metode sosialnya yang nomologis-induktif – kini dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menganalisis dan memberikan jawaban tentang masalah keefektifan bekerjanya seluruh struktur institusional hukum.

Maka di sini, tak terelakan lagi hukum pun lalu dikonsepkan secara sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan. Hukum tidak lagi dikonsepkan secara filosofi-moral sebagai norma ius constituendum atau law as what ought to be, dan tidak pula secara positivistis sebagai norma ius constitutum atau law as what it is the books, melainkan secara empiris yang teramati di alam pengalaman. Hukum tidak lagi dimaknakan sebagai norma-norma yang eksis secara eksklusif di dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya, kini hukum terlihat sebagai suatu kekuatan sosial yang empiris wujudnya, namun yang terlihat secara sah, dan bekerja – dengan hasil yang mungkin saja efektif akan tetapi mungkin pula tidak – untuk memola perilaku-perilaku aktual warga masyarakat. Sementara itu, dari segi strukturnya, hukum kini terlihat sebagai suatu institusi peradilan yang kerjanya mentransformasi masukan-masukan (tegasnya materi hukum in abstracto, yaitu produk sistem politik) menjadi keluaran-keluaran (tegasnya keputusan-keputusan in concreto), yang dengan cara demikian mencoba mempengaruhi dan mengarahkan bentuk serta proses interaksi sosial yang berlangsung di dalam masyarakat.

Karena dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau beroperasi di dunia empiris, hukum – baik sebagai substansi kekuatan sosial maupun sebagai struktur institusi pembuat keputusan in concreto yang berkekuasaan – dari perspektif ini kini hukum akan menampakkan diri sebagai fakta alami yang tentunya akan tunduk kepada keajegan-keajegan (regularities, nomor) atau keseragaman-keseragaman (uniformities). Dengan demikian, menurut konsepnya, hukum akan dapat diamati. Kalau demikian halnya, hukum yang dikonsepkan secara sosiologis ini akan dapat dijadikan objek penelitian yang dikerjakan secara saintifik, non-doktrinal, dan tidak akan lagi dijadikan "sekadar" objek penggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka (atas daar prosedur logika yang deduktif semata-mata, dengan premis-premis yang diperoleh dari bahan-bahannya (yang primer atau yang sekunder) atau dari sumber-sumbernya di ranah normatif (baik yang formil maupun yang matriil). Perubahan konsep hukum – dari konsep positivistis ke konsep empiris-sosilologi – ini tak pelak akan menimbulkan konsekuensi metodologis yang cukup jauh juga, yaitu digunakannya metode saintifik untuk pengkajian dan penelitiannya.

Adapun ciri metode yang saintifik ini tampak jelas perama-tama pada peran logika induksi yang amat mengedepan untuk menemukan asas-asas umum (empirical uniformities) dan teori-teori (baik yang miniatur atau yang middle range maupun yang grand) melalui silogisme induksi. Dalam silogisme induksi ini, premis-premis (kecuali tentu saja konklusinya) selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah letak bedanya dengan model penelitian doktrinal yang dikerjakan oleh para filosof-moralis ataupun teoretis positivis untuk menemukan asas-asas umum hukum positif. Penelitian-penelitian doktrinal selalu bertolak secara deduktif dari noma-norma yang kebenarannya bernilai formal, dan tidak berasal dari hasil pengamatan yang kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan karenanya selalu dicek. Kedua, karena menggunakan silogisme induksi dan memperoleh simpulan-simpulan dari suatu proses induksi,

Page 99: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

71

simpulan-simpulan yang diperoleh sebagai conclusio di dan dari dalam silogisme induksi, selalulah berupa diskripsi atau eksplanasi tentang ada-tidaknya hubungan (entah kausal atau entah korelatif) antara berbagai variabel sosial-hukum.

Ilustrasi berikut ini dapatlah dikemukakan untuk menggambarkan perbedaan ancangan antara metode doktrinal yang normatif-normologis pada silogisme deduktif itu dengan metode nondoktrinal yang empiris-nomologis pada silogisme yang induktif. Dengan metode yang normologis-deduktif itu, bertolak dari premis “peradilan harus cepat dan murah” (bunyi pasal 14 Undang-Undang Pokok Kehakiman), orang akan menyimpulkan bahwa “peradilan dalam perkara warisan, pun di mana-mana di Indonesia, akan berlangsung cepat dan murah”. Namun, dengan metode yang nomologis-induktif, orang akan menemukan simpulan hubungan kausal antara kecepatan proses peradilan itu dengan gejala-gejala lain di dalam masyarakat, yang mungkin sekali lain dengan apa yang telah disimpulkan lewat proses deduksi di muka. Sebagai contoh: apabila di alam amatan “besar (atau kecil)-nya, jumlah harta warisan yang dipersengketakan di muka pengadilan” selalu berseiring atau selalu diikuti oleh fakta “cepat (atau lambat) nya penyelesaian perkara warisan, maka dengan mengamati frekuensi keseiringan itu di berbagai situasi, maka dapat disimpulkan bahwa ada buhungan antara jumlah harta warisan yang dipertaruhkan dengan kecepatan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.

Penelitian-penelitian nondoktrinal yang sosial dan empiris atas hukum akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, berikut perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan sosial. Teori-teori ini dikembangkan dari hasil-hasil penelitian yang beruang lingkup luas, makro, dan umumnya juga amat kuantitatif untuk mengelola data amat massal, terorganisasi dalam suatu gugus yang disebut the social theories of law. Seluruh hasil kajian disistematisasikan ke dalam suatu cabang kajian khusus yang terkategorikan tidak hanya sebagai cabang kajian ilmu-ilmu sosial akan tetapi juga tengah diperjuangkan agar boleh juga diaku sebagai bagian dari kajian ilmu hukum, yang disebut dengan nama kajian Law in Society yang di Amerika Serikat lebih dikenal dengan nama Law and Society. Penelitian-penelitian empiris cabang kajian ini lazim disebut socio-legal research, yang pada hakikatnya – seperti telah disebutkan berulangk ali di muka – merupakan bagian dari penelitian sosial. Di sini metode penelitian yang konvensional, seperti yang banyak dipraktikkan di berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, yang suka mengkuantifikasi datanya, akan lazim dipakai. Pendekatan Makro Teori Struktural-Fungsional: Hukum Dikonsepkan sebagai Institusi Sosial yang Objektif Dalam kajian-kajian ilmu hukum, penganut paham positivisme yang mengkonsepkan law in book sebagai model nomologis untuk mengontrol kehidupan yang riil, yang karena itu – demi terwujudnya tertib sosial – hukum harus diaati penuh, entah karena sanksi-sanksi koersifnya, entah karena kesadaran warga untuk bersikap patuh secara volunter. Dalam kajian hukum yang sociological jurisprudence maupun yang sosilogis-nondoktrinal, konsep mengenai fungsi hukum yang demikian itu terasa tetap dominan juga, sehingga paham sosiologis tentang hukum yang demikian – entah paham konseptual yang mengatakan bahwa law is a tool of social engineering, entah yang berpaham bahwa law is government’s social control, dalam perkembangan teori-teori sosial tentang hukum sekarang ini digolongkan ke dalam kelompok paham kaum strukturalis yang berwawasan teknokratis. Menurut konsep kaum ini, hukum – sebagai alat dan sarana untuk

Page 100: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

72

merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat – adalah hukum perundang-undangan yang telah dibuat secara baik dan layak sebagai refleksi kebijakan proaktif yang lahir dari pemikiran para pakar dan pemuka yang tentunya tak akan (banyak) mengandung cacat cela. Dalam hubungan ini, kewajiban rakyat awam tidak lain adalah menerima dan menaati hukum undang-undang yang telah dibuat dan diundangkan secara benar.

Akhir-akhir ini, seiring dengan perkembangan teori-teori sosial yang lebih melebihkan makna aksi-aksi individual dan interaksi-interaksi antar-individu (daripada melebih-lebihkan makna struktur kekuasaan) sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat, berkembang pula teori-teori sosiologi hukum yang berparadigma baru, dengan konsekuensi metodologinya yang – karena hendak lebih mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolis yang direfleksikannya – akan lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Kelompok teoretis yang terbilang ke dalam aliran paham aksi dan interaksionisme ini berpendapat bahwa realitas kehidupan itu tidaklah muncul secara empiris dalam alam amatan, dan menampak dalam ujud perilaku yang terpola dan terstruktur secara objektif (apalagi normatif), dan karenanya bisa diukur-ukur. Menurut kaum interaksionis ini, realitas kehidupan itu sesungguhnya hanya eksis dalam alam makna yang simbolis, yang karena itu akan sulit ditangkap” lewat pengamatan dan pengukuran begitu saja dari luar. Alih-alih begitu – demikian menurut kaum interaksionis-simbolis ini – realitas-realitas itu hanya mungkin “ditangkap” lewat pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal yang membuahkan gambaran kemafhuman yang utuh dan lengkap (verstehen), dan tidak cukup kalau cuma diperoleh lewat ukuran beberapa indikator yang cuma terlihat di permukaan.

Karena realitas adalah bagian dari alam makna/simbolis yang hanya dapat dipahami lewat pengalaman intern para subjek pelaku, maka menurut para interaksionisme ini tidaklah akan mungkin lain daripada apa yang dijumpai para subjek pelaku lewat partisipasi, pengalaman dan penghayatan mereka dalam kehidupan yang dijalani. Maka, masalah yang akan terlihat oleh subjek-subjek pengamat (bukan pelaku) yang non-partisipan, betapapun tinggi keahlian, dan betapapun pula besar kewenangannya di dalam hal pengendalian sistem, bukanlah hasil yang mereka peroleh lewat pengamatan. Dalam hal demikian, kaum interaksionis mengklaim bahwa masalah yang sebenar-benarnya masalah tidaklah akan mungkin didefinisikan oleh para pengamat dan penganalisis, melainkan hanya akan mungkin dipaparkan dan dijabarkan oleh mereka yang mengalami dan menjalaninya dalam kehidupan untuk kemudian melilitnya. Maka yang harus ia lakukan adalah “masuk” dan berpartisipasi di dalam kehidupan yang akan dikajinya itu guna menemukan masalah “dari dalam” lewat pengalaman dan penghayatan dalam kehidupan setempat. Atau, kalau tak ingin menempuh proses panjang berlama-lama lewat partisipasi seperti itu, dapatlah ia menanyai secara intensif dan in depth para warga yang menjadi partisipan budaya dan kehidupan sosial dan kehidupan hukum setempat, dengan sikap-sikap yang empatik.

Perbedaan dan silang selisih konseptual antara kedua paham yang berbeda paradigma sebagaimana diutarakan di atas, dapatlah diilustrasikan dengan jelas dalam persoalan berikut ini. Dalam kasus-kasus hukum berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah penduduk di kota-kota yang dilaksanakan dalam rangka peningakatan fungsi kota dalam tatanan ekonomi nasional, para pejabat yang duduk di kursi pemerintah umumnya melihat setiap masalah hak penguasaan atas tanah dari sudut hukum positif dan hak-hak yuridis (yang terelasisasi ipso jure). Sementara itu,

Page 101: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

73

orang-orang awam kebanyakan melihat dari sudut tradisi bahwa hak menguasai tanah ditentukan oleh ketekunan dan jerih orang (ipso facto) menggarap dan/atau merawat tanahnya itu.

Perbedaan metodologi yang tak dapat dielakkan – sehubungan dengan perbedaan paradigmatis dalam hal mengkonsepkan masalah sebagaimana dipaparkan berulangkali di muka – kini telah banyak disadari orang. Orang pun menyadari pula bahwa sehubungan dengan kenyataan itu dua metode yang pada prinsipnya memiliki asumsi, strategi dan prosedur berbeda, haruslah dikembangkan secara tersendiri; yaitu metode kuantitatif yang theory testing untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisa yang makro sebagai realitas empiris, dan metode kualitatif yang theory building untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis mikro sebagai realitas simbolis. Metode kuantitatif adalah metode yang klasik dan konvensional, dikenal orang sejak masa silam yakni semasa orang menganalogkan sistem kehidupan manusia ke sistem kehidupan non manusia, yang alami atau kodrati dan yang hayati maupun yang non hayati (anorganik). Metode ini semula memang terbukti efektif untuk meneliti fenomena alam yang “tak memiliki kehendak bebas” di dalam berbagai cabang ilmu alam kodrat dan ilmu hayat. Penerapan metode ini tanpa reserve juga untuk memahami liku-liku dan permasalahan kehidupan manusia pada mulanya juga disambut dengan baik dan dipandang efektif juga, namun di bawah kondisi bahwa manusia-manusia boleh diasumsikan sebagai oknum-oknum yang tak akan mengembangkan kemauan pribadi yang berkebebasan untuk melawan kodrati dan sistem kehidupan.

Metode kuantitatif yang klasik itu bukannya tak mampu mengungkapkan pola-pola yang berkepanggahan tingi dalam tatanan perilaku dan kehidupan manusia – juga perilaku dan kehidupan hukumnya – di tengah masyarakatnya, dan kemudian daripada itu juga melahirkan asa-asas, dalil-dalil, atau teori-teori. Akan tetapi, ketika studi-studi tentang masyarakat manusia hendak mengungkapkan pula aspek-aspek nilai, ide, makna, kepercayaan dan keyakinan (dan hukum itu sesungguhnya tak cuma berupa realitas struktural melainkan juga nilai, ide, makna dan keyakinan yang individualized), dan apa pun pula yang tersembunyi di dalam benak dan relung-relung perasaan para warga yang menjadi partisipan-partisipan budaya dan subjek-subjek hukum di dalam masyarakat, dan pula ketika studi-studi sosial kian banyak yang bersifat lintas-kultural atau lintas-etnis, metode kuantitatif yang klasik itu terbukti tidak lagi dapat banyak membantu. Untuk mengkompensasikannya orang pun serta merta mulai mencoba mengembangkan metode-metode penelitian yang baru, yakni metode penelitian yang kini dikenal dengan nama metode penelian kualitatif.

Berbeda dengan metode kuantitatif yang telah mulai lebih awal, metode penelitian kualitatif umumnya merupakan inovasi baru, yang baru memperoleh kemapanannya pada akhir tahun 1970-an, dan belum begitu banyak dipelajari dan dikenal orang. Membedakan diri dari metode kuantitaif yang efektif untuk mereduksi gejala kehidupan manusia ke dalam angka-angka untuk kemudian digarap dalam analisis-analisis statistikal, metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasu-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam (in depth) dan total/menyeluruh (holistik). Dalam arti tak mengenal pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif, yang kita kenali dengan sebutan variabel. Dalam hubungan ini, metode kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti yang dipersepsi oleh warga-warga masyarakat dan dari kondisi mereka sendiri yang tak diintervensi oleh pengamat penelitinya (naturalistis). Metode

Page 102: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

74

kualitatif ini tak sekali-kali menganjurkan dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para pakar penelitian, atau dari sudut penglihatan/kepentingan para elite pengendali struktur, yang dikhawatirkan sekali akan selalu mengandung bias teoretis dan mungkin juga asumsi-asumsi pemecahan masalah secara a priori.

Karena memiliki kegunaan sendiri-sendiri, dengan keefektifan masing-masing yang digantungkan dari asumsi paradigmatis teori-teori, yang dipilih dan dipakai, temuan-temuan kedua jenis metode itu tentu saja akan mensugestikan jawaban permasalahan yang terkonsepkan secara berbeda pula. Maka apabila langkah yang pertama bersifat teknokratis dan penuh intervensi perekayasaan secara sepihak terhadap objek, langkah yang kedua lebih cenderung bersifat kondusif dan “cuma” bermaksud menginputkan faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan keberdayaan yang mandiri dalam diri “si objek”. Langkah kedua ini berkesan lebih partisipatif dan mengundang partisipasi pelaku-pelaku sosial secara berkerelaan (volunter). Manakah dari dua pilihan itu yang paling tepat diambil – khususnya di dalam ranah kehidupan hukum yang telah berformat nasional dewasa ini – tentulah akan amat bergantung tidak hanya pada paradigma awal yang kita pilih, akan tetapi juga pada pemihakan moral kita. Dalam alam kehidupan yang kian demokratis dan people centered ini, kiranya kajian-kajian yang kualitatif tentang berbagai permasalahan sosial dan kehidupan manusia – agar dapat lebih mengungkap alam pikiran dan isi nurani massa awam – pantaslah kalau lebih banyak dicoba. Penelitian-penelitian hukum yang nondoktrinal-kualitatif dengan ancangan paradigmatisnya yang beranjak dari teori yang mikro dan pro populus, dapatlah kiranya banyak memberikan sumbangannya yang berarti. Ada Tidaknya Hubungan Berdasarkan Logika Induksi Analisis Telah kita ketahui dari kajian-kajian terdahulu mengenai penelitian hukum, bahwa ada berbagai aliran paham dalam ilmu hukum, masing-masing dengan metode kajiannya sendiri yang khusus. Aliran positivisme mengembangkan pemahamannya tentang hukum dengan metode khusus, yang oleh alam kepustakaan internasional disebut metode doktrinal. Metode ini bertumpu pada kebenaran-kebenaran formal yang diproses melalui hukum logika deduksi. Tak pelak ilmu hukum begini ini hanya mungkin berkembang kalau proses pengkajinya bersedia berasumsi secara menyebelah bahwa hukum positif adalah premis nonmetif yang kebenarannya tak boleh dibantah, dan keputusan-keputusan hukum hanya dapat disimpulkan melalui silogisme deduksi dari premis tersebut.

Perbincangan kita hari ini tidak berkaitan dengan seluk-beluk pendekatan positivistis dengan metodenya yang doktrinal itu. Kita akan sedikit keluar dari tradisi materi dan metode kajian hukum aliran positivisme ini, untuk juga mempelajari hukum sebagai kenyataan sosial dan "bermain" sebagai salah satu kekuatan yang dipakai dalam berbagai proses interaksi dalam masyarakat (ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya). Sebagai kenyataan, hukum adalah suatu variabel (suatu gejala dengan nilai yang bisa bervariasi) dengan keefektifan yang tentu saja belum tentu bisa dipastikan. Keniscayaan menurut logika formal (deduksi) acap kali tidak terbukti demikian adanya berdasarkan amatan dan penyimpulan menurut logika materiil (induksi) yang berangkat dari penyimakan ke alam kenyataan.

Page 103: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

75

Celah yang menggambarkan adanya selisih (gap) antara apa yang secara normatif diyakini sebagai sesuatu yang niscaya dengan apa yang secara aktual dan faktual teramati sebagai sesuatu yang ternyata nisbi dan tak menentu (tak mesti logika), akhir-akhir ini mengundang banyak pengkaji hukum untuk juga mempelajari dari perspektif lain. Tidak cuma menurut ajaran hukum murni, pengkaji-pengkaji hukum baru ini mulai mencoba melihat hukum sebagai institusi sosial yang "perilaku"-nya tunduk pada pola-pola yang harus dipelajari secara tersendiri.

Dalam kajian baru seperti ini, pertanyaan-pertanyaan yang mengedepan bukan lagi tersusun dalam pertanyaan "bagaimana seharusnya" menurut ketentuannya yang formal atau hipotetis, akan tetapi yang secara kritis mempertanyakan, "apakah gerangan sesungguhnya yang menjadi sebab-musababnya sebagaimana tersimak di alamnya yang empiris". Cara bepikir dan berlogika lalu berubah dari upaya mencari dasar-dasar pembenaran dan keabsahan ke upaya mencari penjelasan apa disebabkan apa dan/atau apa menyebabkan apa.

Cara berpikir tersebut akhir inilah yang disebut “berpikir eksplanatif dan "larinya" akan tak pelak lagi akan menuju ke upaya menemukan hubungan sebab akibat, hubungan pengaruh. Eskplanasi seperti ini tak akan mungkin diperoleh dengan/melalui logika deduksi. Akan gantinya, orang harus segera beralih ke silogisme induksi yang (sayang) belum masuk ke dalam silabus pengajaran dan pembelajaran logika di fakultas-fakultas hukum atau fakultas-fakultas lain yang tidak terbilang fakultas sains. Di fakultas-fakultas hukum hal ini terjadi sehubungan masih diabaikannya kajian-kajian hukum sebagai realitas sosial.

Berpikir korelatif atau kausal – alias berpikir dalam rantai hubungan antar variabel – adalah berpikir menurut pola pikir silogisme induksi. Formulanya tergambar sebagai berikut:

Premise I Si A diancam sanksi, si B diancam sanksi, si C diancam sanksi, si D diancam sanksi, si E diancam sanksi, si F diancam sanksi, (dan seterusnya). Premise II Si A menjadi taat, si B menjadi taat, si C menjadi taat, si D menjadi taat, si E menjadi taat, si F menjadi taat, (dan seterusnya). Premise III (kesimpulan) Jadi, di mana ada ancaman sanksi, di situ akan ada ketaatan (artinya, ada hubungan antara ancaman sanksi dan ketaatan).

Formula demikian itu disebut formula "cannon of agreement". Hadirnya suatu variabel

tertentu (X), apabila dalam situasi apa pun selalu seiring atau selalu diikuti oleh munculnya variabel tertentu yang lain (Y), maka berdasarkan logika dapatlah disimpulkan bahwa X menyebabkan Y, atau setidak-tidaknya ada hubungan antara X dan Y. Formula serupa, juga dalam bentuk silogisme, cuma saja dengan ekspresi negatif (disebut "negative cannon of agreement"), dapat pula dipakai untuk menguji ada tidaknya hubungan antara X dan Y itu. Apabila tiadanya

Page 104: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

76

sesuatu variabel tertentu selalu diikuti atau selalu berseiring dengan tiadanya sesuatu variabel tertentu yang lain, maka secara logika dapatlah disimpulkan bahwa antara kedua variabel itu ada hubungan (kausal ataupun pengaruh).

Prinsip atau formula ketiga adalah formula "cannon of difference" atau "cannon of joint occurrence". Formula ini adalah formula gabungan kedua cannon yang disebut dimuka. Dikatakan, bahwa tatkala ada X akan ada Y, sedangkan kalau tidak ada X akan tidak ada Y, maka menurut logika induksi ada hubungan antara X dan Y. Formula ketiga ini dapat pula disebut "cannon of concomittance variation", terjadi tatkala variabel-variabel yang tersimak dan dijadikan anasir dalam silogisme itu bisa diukur secara kuantitatif. Apabila demikian halnya, maka formulanya terbaca sebagai berikut: Apabila makin tinggai kuantitas X akan makin tinggi (atau rendah) kuantitas Y, sedangkan makin rendah kuantitas X akan makin rendah (atau tinggi) pula kuantitas Y.

Hubungan antara dua variabel yang masing-masing disebut X dan Y itu dapat pula digambarkan di dalam bentuk suatu bagan (dan tidak sekadar diuraikan secara verbal dalam bentuk kalimat atau uraian saja). Bagan itu tampak dalam bentuk tabel (disebut tabel silang, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 1 di dalam lampiran naskah ini). Sementara itu, tatkala variabel-variabel X dan Y masing-masing memiliki nilai yang bisa dikuantifikasikan, (tercatat sebagai data interval atau data rasio berdasarkan logika concomintant co-variation), dan tidak/bukan terbatas sebagai data kualitatif yang tak bisa dikuantifikasikan (tercatat sebagai data nominal atau data ordinal berdasarkan logika joint occurrence), maka bagan itu malah dapat dilukiskan dalam bentuk bagan grafik (lihat gambar 2)

Apa pun formulanya, semua prinsip itu menyatakan bahwa hubungan tersebut hanya mungkin terjadi dalam hubungan antar-variabel. Di sini semua prinsip bisa dikembalikan ke prinsip dasar bahwa logika hanya bisa menyimpulkan ada-tidaknya hubungan kalau amatan menemukan data adanya perubahan pada variabel yang satu yang lain berseiring dengan adanya perubahan pada variabel yang lain. Maka, logika induksi ini hanya bisa didayagunakan dan dioperasikan untuk menggerakkan pengujian-pengujian dalam penelitian-penelitian keilmuan, tatkala objek bisa dikonsepkan terlebih dahulu sebagai suatu variabel yang tentu mempunyai nilai-nilai atau kualitas-kualitas yang dapat divariasikan. Sebagai contoh, dapatlah dikemukakan mengenai ihwal hakim sebagai berikut.

Hakim, misalnya, hanya bisa dikaji secara induksi (dalam hubungannya dengan fakta lain) tatkala bisa "divariabelkan". Dalam eksistensinya sebagai variabel, hakim itu, misalnya saja, bisa adil tetapi juga bisa tak adil, kalau hakim harus dikonsepkan sebagai sosok yang – menurut ketentuan normatifnya yang pasti – niscaya dan selalu secara kontan adil (tak mungkin tidak), maka hakim yang dikonsepkan seperti itu tidaklah akan mungkin dijadikan objek penelitian induktif. Sejauh-jauhnya hanya dapat dijadikan rujukan pemerkuat keyakinan. Sedangkan apa yang sudah keyakinan yang sudah dikukuhkan tidaklah mungkin dijadikan unsur dalam kajian dengan langkah silogisme induksi untuk menemukan faktor penyebab (penyebab mengapa adil mengapa tidak adil).

Mengubah-ubah nilai variabel dalam banyak penelitian empiris yang mendayagunakan logika induksi itu dilakukan lewat rancangan-rancangan kerja yang disebut rancangan

Page 105: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

77

eksperimental. Penelitian seperti ini dapat dilakukan secara fisik-manipulatif, dengan memasukan suatu variabel fisik ke dalam suatu proses yang sengaja diupayakan, dan dapat pula dilakukan secara statistik (terhadap kejadian-kejadian yang telah berlangsung scara"alami", ex post facto).

Penelitian-penelitian dengan/tentang objek-objek non-manusia umumnya dapat dikerjakan secara eksperimental dengan cara memanipulasi secara fisik masuk-tidaknya (untuk memungkinkan terlihat ada-tidaknya) variabel X, untuk mengamati akan terjadinya atau tidak akan terjadinya variabel Y. Eksperimen seperti ini sempurnanya dikerjakan dengan membuat dua kelompok yang serupa ( kalaupun tak mungkin sama sepenuhnya). Yang satu disebut (kelompok kontrol) akan dikontrol agar tidak kemasukan variabel X, sedangkan yang satunya lagi (disebut kelompok eksperimental) akan dengan sengaja dimasuki – atau dibiarkan agar dimasuki – variabel X, untuk kemudian disimak lewat pengukuran atau assessments apakah variabel Y akan muncul dalam the after situation of the experimental group itu. Apabila dalam after situation di kelompok eksperimental itu terbukti "ada X dan Y", sedangkan dalam after situation di kelompok kontrol itu "tidak ada X dan tidak ada Y" maka menurut logikanya yang induksi ini antara X dan Y ada hubungan. Dan karena hadirnya Y lebih kemudian dari pada X. Maka boleh disimpulkan lebih lanjut bahwa X alalah sebab hadirnya Y, yang harus dibilang sebagai akibat.

Sementara itu, penelitian mengenai objek-objek manusia sungguhnya sulit untuk bisa dikerjakan dengan eksperimen-eksperimen yang manipulatif. Maka, akan ganti operasionalisasi prinsip-prinsip logika induksi menurut strategi ekperimental, sebagaimana dikatakan di muka, yang dikerjakan dengan cara memanipulasi kelompok-kelompok. Apa yang bisa dikerjakan dalam penelitian dengan/tentang manusia dan perilakunya (termasuk perilaku hukum) tidak lain adalah upaya untuk tetap mengoperasionalisasikan prinsip-prinsip induksi itu, namun menurut strategi yang kuasi-eksperimental saja, yang tidak berangkat dari before situation ke after situation, melainkan "bergerak mundur", ex-post facto, dari yang after ke yang before. Umumnya berupa amatan-amatan saja atas suatu peristiwa yang non-manipulatif, dengan hasil-hasil amatan (data) yang diorganisasi (secara manipulatif-imajinatif) atas dasar prinsip-prinsip logika yang disebut cannon di muka.

Page 106: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

78

Gambar 1 Ketaatan (Y) – – – – – – – – – – – – – – – - Besar Sedang Kecil berat Sanksi – sedang Ringan Gambar 2 100 X * * * * * * * * *

* * 0 100 Y

Page 107: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

9

KONSEP DAN TEORI YANG DISEBUT “HUKUM” Pendekatan Makro (Struktural) dan

Pendekatan Mikro (Simbolis-Interaksional) Tentang Konsep SEPERTI halnya teori – yang pada hakikatnya adalah unsur atau the building block suatu teori (dan pada gilirannya teori adalah the building block suatu cabang ilmu) – konsep adalah juga suatu realitas yang berada di ranah atau tataran idea manusia, hadir sebagai konstruksi yang menggambarkan dalam wujudnya yang abstrak yang simbolis suatu realitas empiris. Konsep (berasal dari kata Latin conceptus yang berarti “buah gagasan”) berhubungan dengan benda atau gejala, bukan gejala atau benda faktual itu sendiri, melainkan gambaran yang diimajinasikan dan didefinisikan saja. Demikian juga halnya dengan konsep hukum. Dari konsep dasar mengenai apa yang disebut hukum ini seluruh bangunan teori hukum dikembangkan, mungkin sebagai doktrin dan mungkin pula sebagai teori yang grounded on (empirical) data. Tergantung dari konsep yang ditegaskan – apakah hukum itu suatu konsep doktrinal/normatif ataukah konsep yang diangkat dari realitas nondoktrinal/empiris – itulah teori-teori hukum akan dikualifikasikan.

Dalam konsepnya yang paling klasik (dalam pemikiran maupun dalam praktik), hukum per definisi adalah seperangkat norma moral-sosial. Apa yang disebut “hukum” itu adalah realitas yang eksis di alam Sollen dengan posisinya yang a priori di hadapan segala bentuk perilaku manusia di alam pengalaman. Hukum adalah realitas kodrati, bagian dari keniscayaan alami yang tertanamkan dengan kekuatannya yang universal di dalam setiap idea dan budi nurani manusia, tanpa dapat dielakkan oleh manusia itu sendiri. Hukum menurut logikanya yang normatif seperti ini lalu senantiasa, dan niscaya pula, harus dipandang (ditheasthai alias diteorikan) sebagai sesuatu realitas kodrati yang internal, sudah tertanam di dalam sanubari yang merupakan bagian integral eksistensi manusia, dan yang karena itu pula niscaya sudah eksis sebelum perilaku hukum manusia diwujudkan di alam pengalaman yang nyata. Dalam posisi yang logis-normatif seperti itu hukum adalah pengarah atau pengontrol atau pula tolok guna menilai benar-salahnya setiap bentuk perilaku manusia.

Pada era pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa Barat, konsep klasik ini mulai mengalami modifikasi, menuju ke apa yang disebut positivisasi norma. Berseiring dengan maraknya ideologi liberalisme dan demokrasi yang memuncak pada akhir abad 18, yang mendudukan rakyat dalam kesamaan derajat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam penciptaan hukum nasional, hukum lalu mulai tidak lagi dikonsepkan sebagai norma moral yang hadir di luar kuasa manusia. Alih-alih sebagai sesuatu yang internal dan kodrati, dan yang hanya dapat dikatalisasi lewat renungan kontemplatif para elite yang filosof, hukum sebagai bagian dari national order lalu mulai dikonsepkan dan diteorikan sebagai norma yang dibuat atas kuasa manusia-manusia sendiri, bahkan oleh yang awam sekalipun, lewat kesepakatan-kesepakatan

Page 108: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

83

dalam suatu musyawarah perwakilan. Inilah teoritisasi yang dalam pemikiran kotemplatif-spekulatif Jean J. Rousseau dinamakan Contract Sociale. Hanya hukum yang telah ditegaskan – alias di"iya"kan alias pula dipositifkan via kesepakatan legislatif (yang merupakan realisasi sosial) – yang akan diakui sebagai hukum nasional, yang akan mengikat warga negara tanpa kecualinya, dalam suatu kesatuan yang insklusif.

Namun demikian, positivisasi seperti itu tidak atau belum mengubah konsep hukum (sekalipun sudah terbilang positif) sebagai norma. Di sini hukum tetap norms, as it is written in the codes, dan tidak atau belum sampai ke tatarannya as it is observed in the empirical world. Dikatakan orang, bahwasanya positivisasi hukum seperti itu baru mentransformasi konsep hukum dari pengertiannya yang semula metayuridis-normatif (serta substansif karena bersubstansi moral) ke pengertiannya yang yuridis-normatif (serta formal karena berformalitas lugas dan netral).

Lebih lanjut dari sekadar norma-norma, dalam konsep positivisme yang normatif, norma-norma sebagai unsur diintegrasikan ke dalam suatu aransemen, konfigurasi, atau tatanan oleh seperangkat ajaran (leer, Lehre, prudence), yang dikembangkan secara khusus. Berbeda dengan hukum dalam konsepnya sebagai norma-moral, hukum yang dikonsepkan sebagai hukum positif mensyaratkan adanya suatu legium ahli-ahli yang profesional untuk merawat dan mengelolanya, dengan mengembangkan data-data ajaran yang diperlukan agar apa yang disebut “hukum” ini dapat difungsikan sebagai suatu sistem. Sistem yang dimaksud adalah suatu sistem hukum (legal system, taat hukum) yang tunduk pada suatu konsistensi yang logis, dengan kepastian yang tinggi dengan hubungan antar-norma yang sungguh rasional.

Sekalipun ajaran itu sebenarnya masih boleh dipandang sebagai realitas yang masih berada di ranah Sollen – yang karena itu seluruh ajaran tentang “bagaimana norma-norma hukum positif itu harus ditata dan dikelola secara rasional (berdasarkan logika hukum)” disebut rexhtsleer, Rechtslehre, atau jurisprudence – namun dalam bahasa Indonesia seluruh ajaran itu telah terlanjur dilazimkan dengan menyebutnya sebagai “ilmu hukum”, berikut doktrin-doktrinnya yang terlanjur disebut pula “teori” (seperti misalnya teori von Buri, teori Stuffenbau Kelsen, dan lain sebagainya). Kalaupun disepakati, dan karena itu tidak perlu diperbantahkan lagi penggunaan istilah “ilmu hukum” atau “teori hukum” seperti itu, para pengkaji ilmu haruslah bersedia memperoleh klarifikasi terlebih dahulu, bahwasannya “ilmu” dan “teori” yang dimaksud di sini bukanlah “ilmu dan teori yang a posteriori”, yang kehadiran dan kebenarannya harus didahulukan oleh kehadiran dan kebenaran sejumlah data yang terlebih dahulu berasal-muasal dari alam indrawi.

Kalaupun disepakati agar masing-masing tetap disebut “ilmu hukum” dan “teori hukum”, hendaklah jelas terlebih dahulu demi kepentingan wacana akademis, bahwa “ilmu hukum” bukanlah legal science melainkan jurisprudence atau rechtsleer, dan bahwa “teori hukum” bukanlah the scientific theory of law melainkan legal doctrine. Lain halnya tatkala apa yang disebut “hukum” itu tidak lagi cuma dikonseptualisasikan dan didefinisikan secara klasik sebagai realitas yang hanya bisa eksis di alam moralis atau di alam norma-norma (di alam yang metafisis/metayuridis atau yang positif sekalipun) saja. Tatkala apa yang disebut “hukum” ini juga dikonseptualisasikan dan didefiniskan sebagai suatu realitas empiris, yang bisa tersimak di alam pengalaman sebagai pola perilaku atau hasil penstrukturannya dalam wujud suatu pranata atau institusi, maka alih-alih memasuki kajian jurisprudence itu, orang pun akan memasuki ranah

Page 109: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

84

kajian the (social) science of law atau yang lebih populer dikenal sebagai the socio-legal study atau juga legal study. Teori-teorinya pun akan lebih dikenal dan dikategorikan sebagai the social theory of law.

Kini, tatkala disadari bahwa kehidupan manusia yang menjadi objek kajian keilmuan telah menjadi kian majemuk, dengan perubahan-perubahan kontekstual yang dengan cepat telah merelatifkan segala macam ragam teks norma, ternyatalah bahwa social theory – yang dibangun berdasarkan kebenaran empiris menurut prosedur scientific method – kian pula memperoleh perannya yang penting. Kalaupun doktrin/teori hukum masih harus dipandang penting untuk mengkoherensikan norma-norma hukum positif ke dalam suatu sistem yang logis, implementasi yang kian mendambakan signifikansinya di tengah-tengah kehidupan yang riil ini telah kian harus menyadari berlakunya teori-teori sosial mengenai kehidupan hukum ini. Seorang yuris positivis sekalipun, seperti misalnya Holmes – yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai seorang realis – terpaksa harus mengatakan bahwa sekalipun hukum itu bekerja atas dasar logikanya sendiri, namun the life of law has not been logic; it is experience. Adapun yang dimaksud “experience” di sini sudahlah pasti tak mungkin lain daripada the social experience, Yaitu pengalaman yang hanya bisa dikaji dengan bersaranakan the social science method untuk menghasilkan social theories of law.

Di sini kajian-kajian hukum yang mengkonsepkan dan menteorikan hukum sebagai fakta sosial yang positif dan empiris, dan tidak cuma sebagai norma hukum nasional yang formal dan positifis, akan tidak lagi dibilangkan ke dalam kajian-kajian yang berkategori jurisprudence (ilmu hukum). Akan gantinya, kajian-kajian tentang hukum sebagai fakta sosial yang empiris seperti itu akan dimasukkan ke dalam bilangan ilmu pengetahuan sosial tentang hukum (social science on law), semisal sosiologi hukum, antropologi hukum, politik(ologi) hukum dan/atau psikolog hukum. Kajian-kajian ilmu pengetahuan (yang di dalam bahasa Inggris disebut science, yang di Malaysia dan yang kini di Indonesia mulai juga dipopulerkan dengan istilah sains) tentu saja akan lebih berkonsentrasi pada liku-liku pendayagunaan teori sebagai sarana analisis untuk berakhir pada simpulan induktif yang menyatakan ada tidaknya suatu peristiwa atau pola perbuatan hukum, berapa banyak dan/atau berapa sering berkorelasi-tidaknya perbuatan hukum itu dengan variabel sosial yang lain, apa saja. Kajian-kajian seperti ini tentu saja tidaklah akan mendayagunakan norma-norma hukum (sepositif dan seformal apa pun statusnya) berikut doktrin-doktrinnya (yang setinggi apa pun nilainya sebagai substansi yang terawat di sumber-sumber hukum yang materiil) untuk menyimpulkan suatu keputusan mengadili (judgement) mengenai benar-salahnya suatu perbuatan. Tentang Teori Teori – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti “cara atau hasil pandang” – adalah suatu konstruksi di dalam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara refleksi fenomena yang dijumpai di alam pengalaman. Dari kata dasar thea ini pulalah datang kata modern “teater” yang berarti “pertunjukan” atau “tontonan”.

Page 110: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

85

Didefinisikan dalam rumusan yang demikian, berbicara tentang “teori” tak pelak lagi orang niscaya akan diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas in abstracto yang ada di dalam idea yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada di alam pengalaman yang indrawi.

Ada dua paham yang berdebat di sini, mengenai mana dari kedua realitas tersebut yang harus diperlakukan sebagai kebenaran pertama, dan mana pula yang harus dipahamkan cuma sebagai derivat-nya saja. Apakah konstruksi di alam idea manusia itu yang harus dipandang sebagai kebenaran pertama, yang orisinal dan mutlak sifatnya, sedangkan realitas di alam pengalaman itu hanya refleksinya yang virtual alias maya saja? Ataukah sebaliknya, bahwasannya kebenaran sejati itu bermukim di dalam yang indrawi, sedangkan konstruksi yang disebut “teori” di alam idea manusia itu harus dimengerti sebagai refleksinya saja, sebagaimana dibangun berdasarkan hasil-hasil amatan indrawi. Debat antara dua paham seperti itu berlangsung sepanjang sejarah pemikiran manusia, seperti tidak akan berkesudahan mengenai apa yang eksis sebagai realitas yang memprasyarati terlebih dahulu, alam ideal ataukah alam indrawi. Debat seperti ini adalah bagaikan debat yang tak pula berkesudahan mengenai persoalan mana yang ada terlebih dahulu: ayam ataukah telur. Debat seperti itu nyata tidak cuma berkenaan dengan persoalan ontologis saja, tatkala orang bersoal-jawab tentang ihwal hakikat kebenaran yang asli (orisinal) dan sejati dan yang dikatakan pula bersifat mutlak itu. Debat demikian juga berkenaan dengan persoalan metodologi, yakni persoalan mengenai asal-muasal kebenaran itu dan kemudian juga mengenai cara apa yang harus ditempuh guna menemukan, atau menemukan kembali, kebenaran yang dikatakan orisinal dan sejati itu. Karena debat seperti ini tidak akan ada keputusannya, dan hanya akan berkepanjangan tanpa ada ujung-pangkalnya, maka yang dapat dilakukan agar debat bisa berkeputusan adalah: terserahlah pada pilihan masing-masing. Hasil pilihan yang tak perlu diperdebatkan lagi kebenarannya ini disebut “paradigma”.

Paham berparadigma yang pertama – yang bersikukuh pada proposisi bahwa alam idea itulah sumber segala kebenaran, dan karena itu disebut paham “idealisme – mengatakan bahwa "teori" yang eksis sebagai kontruksi di dalam cita manusia itu adalah kebenaran yang tak berasal dari mana-mana, dan hanya dapat "ditangkap" melalui proses kontemplasi. Kebenaran ini adalah kebenaran kodrati, inheren alias melekat secara kodrati pada sosok makhluk manusia yang tidak hanya berjasmani akan tetapi secara kodrati juga beridea. Kapasitas indrawi manusia yang memungkinkan manusia menyimak alam pengalaman hanyalah berfungsi mengkatalisasi atau membangkitkan saja ingatan manusia akan segala kebenaran yang sebenarnya sudah eksis dalam alam ide dan sanubarinya itu. Sudah sejak zaman Yunani Kuno (di tangan para pemikir seperti Plato) dan zaman abad pertengahannya kaum skolastika (seperti yang dikembangkan antara lain oleh Thomas Aquino), yang berlanjut ke zaman yang lebih mutakhir (seperti yang dikemukana antara lain oleh Hegel), paham ontologis tentang asal kebenaran akhir ini, ada dan bertahan.

Sementara itu, paham berparadigma yang kedua secara berlawanan mengawali seluruh proses pemikirannya dari suatu preposisi bahwa alam pengalaman itulah yang harus dipandang sebagai sumber segala kebenaran yang akhir dan sejati. Paham ontologi mengenai the ultimate truth tersebut kedua ini – yang dalam sejarah pemikiran modern disebut paham “positivisme” (dengan eksponennya August Comte di Prancis) atau “empirisme” (dengan eksponennya David

Page 111: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

86

Hume di Skotlandia) – ini mengatakan bahwa “teori yang benar” itu hanya mungkin dibangun secara konstruktif jika orang bersedia menangkap terlebih dahulu realitas indrawi, dengan hasil-hasilnya (disebut data) yang akan dipakai sebagai dasar pembenaran. Teori yang dikonstruksi menurut kotemplasi dan imajinasi semata, belumlah boleh dianggap teori yang penuh, melainkan masih "setengah jadi". Itu bukanlah “tesis”, melainkan baru “hipotesis” saja. Pada zaman Yunani kuno, filosof seperti Democritus dan muridnya Epicurus haruslah dibilangkan sebagai perintis pemikiran yang cenderung materialistis dan positivistis, serta mendudukkan diri dalam posisi yang berseberangan terhadap segala pemikiran yang terlalu bersifat metafisik. Di zaman yang lebih mutakhir kini, pemikiran ontologi seperti ini amat diwakili oleh pemikiran kaum Marxian dan neo-Marxian.

Dalam kerangka pemikiran kaum penganut paham idealisme, karena “teori” itu tidak hanya bersifat orisinal akan tetapi juga mutlak, maka teori yang terbilang a priori (alias berada di alam keharusan/Sollen, mendahulukan fakta-fakta empirisnya) seperti itu, acapkali disebut saja “doktrin” (yang imperatif) atau sekurang-kurangnya “ajaran” yang normatif. Sementara itu, dalam kerangka pemikiran mereka yang menganut paham positvisme, teori itu harus dipandang sebagai sesuatu yang terwujud dalam hakikatnya yang a posteriori. Maka, sekalipun berada di alam sang Sollen, keniscayaan berlakunya teori seperti itu masih akan amat ditentukan pada saat yang lebih kemudian oleh adanya simpulan dari hasil kajian tentang ada-tidaknya keniscayaan realitas di alam indrawi/sein yang menjadi tumpuan/dan/atau rujukan teori yang dikonstruksi di alam Sollen.

Teori-teori a priori yang berkategori imperatif atau normatif – yang oleh sebab itu juga disebut “doktrin” atau ajaran (leer, lehre, prudence) – adalah suatu statemen mengenai kebenaran yang kebenarannya dikatakan telah jelas dalam realitas kehadirannya sendiri. Ini adalah teori-teori yang kebenarannya "sudah benar dengan sendirinya", yang di dalam bahasa asingnya dikatakan sudah self-evident. Sudah jelas dan benar dengan sendirinya! Ini adalah kebenaran yang diklaim sudah jelas, yang karena sudah demikian jelas maka kejelasannya tidak lagi memerlukan penjelasan atau pembuktian lain lagi. Bagaikan menyaksikan lilin yang sudah menyala terang, perlukah orang bersusah payah untuk menyalakan lilin lagi untuk melihat sesuatu yang sudah terang seperti itu?

Sementar itu, berbeda dengan teori-teori a priori seperti yang telah yang dipaparkan di muka, teori-teori a posteriori berkategori positif atau empiris. Istilah “positif” berasal pertama-tama dari pemikir-pemikir Prancis, seperti Saint Simon atau August Comte, sedangkan istilah “empiris” berasal-musal dari pemikir-pemikir Skotlandia, seperti misalnya David Hume. Sekalipun berbeda dalam pemilihan istilah, namun keduanya sesungguhnya mempunyai kesamaan dalam hal pemahaman mereka mengenai hakikat kebenaran dan mengenai sumber kebenaran. Keduanya sama-sama berposisi bahwa teori adalah kebenaran menurut kenyataan empirisnya (truth) dan karena itu yang harus dicari tidak akan lain daripada pengetahuan yang objektif, yang kebenarannya akan dibuktikan berdasarkan tolok "betul atau keliru (true or untrue/false)". Tidak seperti apa yang dipahamkan dalam lingkungan kaum idealis, kaum positivis yang juga disebut kaum empiris ini tidak akan menolak pengetahuan atas dasar tolok subjektivas, yaitu tolok yang harus dianut mengenai ihwal "benar atau salahnya (right or wrong)" suatu keputusan akal atau suatu simpulan (yang ditarik pada ujung akhir proses pemikiran).

Page 112: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

87

Dari perbincangan tentang adanya dua tipe teori yang dibedakan secara dikotomis, sebagaimana dipaparkan dimuka itu, dapatlah sekarang dibicarkan soal "terbilang ke dalam jenis teori manakah teori-teori hukum itu"? Apakah terbilang ke dalam teori-teori yang normatif, imperatif dengan sifatnya yang a priori (mendaului kenyatanya), ataukah masuk ke dalam bilangan teori-teori yang positif alias empiris dengan sifatnya yang a posteriori (terkonstruksi setelah menyimak kenyataan)? Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya tergantung dari jawaban yang harus sudah dapat diberikan terlebih dahulu mengenai "konsep apakah yang harus dikenali dan didefenisikan sebagai “hukum”. Penegasan konsep inilah yang akan menjawab apakah teori-teori hukum itu sebenarnya terbilang doktrin-doktrin, ataukah teori-teori tersebut sebenar terbilang ke dalam kategori teori-teori yang bertumpu pada kebenaran empiris. Yakni kebenaran yang tesimak secara indrawi dari pengalaman kehidupan manusia yang riil di dalam masyarakat (entah masyarakat yang lokal dan tradisional, entah masyarakat yang berskala nasional dan berformat negara). Pendekatan Makro (Struktural) Di dalam kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak berfungsi efektif untuk menata kehidupan. Dikesankan bahwa hukum bahkan selalu tertinggal di belakang segala perubahan dan perkembangan. Tanpa ayal lagi, berbagai cabang ilmu-ilmu sosial – khususnya sosiologi yang akhir-akhir ini mulai banyak mengkaji dan meneliti ihwal perubahan-perubahan sosial – “dipanggil” untuk ikut menyelesaikan berbagai permasalahan sosial yang amat relevan dengan permasalahan hukum, yang terjadi sebagai akibat perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dengan amat cepatnya. Menghadapi perubahan-perubahan sosial yang berlangsung amat pesat, dengan konteks-konteks sosial-kultural yang menjadi kian majemuk dan heterogen, ajaran hukum positif yang cuma berkutat pada persoalan law as it is written in the book dengan doktrin kepastian hukumnya – berikut metode logikanya yang formal deduktif – serta merta menjadi kurang dapat memenuhi harapan.

Dalam lingkungan sistem hukum kontinental yang terbilang civil law system, cabaran terhadap ajaran hukum positif yang terlalu menekankan kepastian hukum datang pertama-tama dari Friedrich Karl von Savigny, dan hampir bersamaan dengan itu juga dari Eugen Ehrlich. Kedua kritisi ini sama-sama mereaksi berlakunya hukum yang dibuat dan diberlakukan secara universal dari atas, tanpa mengindahkan kenyataan-kenyataan sosial-kultural yang ada dan hidup di tengah masyarakat. Von Savigny dari Jerman, yang kemudian dikenal sebagai perintis mashab sejarah, berprinsip bahwa hukum itu harus berbasis pada adat kebiasaan sesuatu bangsa, karena hanya berdasarkan kenyataan yang sajalah hukum itu akan tercipta bersamaan dengan perkembangan sejarah sesuatu bangsa. Dikatakan olehnya dengan ucapan yang terkenal bahwa Recht ist nicht gemacht; es is und wird mit dem Volke. Sementara itu, Ehrlich dari Austria, yang kemudian terkenal dengan ajaran das lebende Recht-nya, menyatakan tegas-tegas bahwa esensi kultural yang berfungsi sebagai kekuatan pengembang hukum yang benar-benar hidup haruslah dicari tidak di dalam sistem yudisial yang dibangun oleh pemerintah, melainkan di dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya.

Page 113: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

88

Sementara itu, di dalam sistem common law (sebagaimana dipraktikkan di Amerika Serikat) datang juga cabaran terhadap positivisasi hukum yang telah berakibat terlalu jauh. Positivisasi hukum – yang didoktrinkan untuk lebih mendahulukan tercapainya kepastian hukum daripada kemanfaatannya – telah acap didakwa sebagai penyebab timbulnya karakter hukum yang amat berkesan koersif dan represif, dan kurang responsif pada tuntutan zaman. Cabaran datang sejak awalnya dari seorang hakim senior, Oliver Wendell Holmes namanya. Holmes mengatakan bahwa hukum itu kalaupun memang berproses sebagai logika, namun dalam kehidupannya yang nyata, hukum itu bukanlah lagi sebuah silogisme logika. Dalam kehidupan yang nyata, hukum adalah suatu kenyataan yang hanya bisa dijumpai dalam pengalaman manusia sehari-hari. Pada hakikatnya, demikian kata Holmes, hukum itu bukanlah suatu kepastian atau keniscayaan logika deduksi, melainkan suatu kemungkinan yang wujud akhirnya mestilah harus diprakirakan terlebih dahulu berdasarkan penduga-dugaan yang cerdas serta pengalaman yang realistis mengenai apa kira-kira yang nanti akan diputuskan hakim.

Maka sudah sejak belahan kedua abad 19 doktrin kepastian hukum kaum positivis, yang sebenarnya baru mulai marak pada awal abad, telah mulai terkoreksi oleh lahirnya doktrin-doktrin baru dalam ajaran hukum yang hendak lebih berorientasi ke kebenaran konteks sosial daripada kebenaran teks-teks yang normatif-positivistis. Aliran paham kesejarahan von Savigny menawarkan kebenaran-kebenaran historis, sedangkan Ehrlich dengan living law-nya menawarkan kebenaran sosial untuk dipertimbangkan dalam setiap upaya membangun hukum perundang-undangan baru. Sementara itu, paham legal realism Holmes – yang dikembangkan oleh Roscoe Pound pada tahun 1930-an di Universitas Harvard menjadi sociological atau functional jurisprudence – yang menyarankan kesediaan hakim dalam setiap pembuatan keputusan (the judge-made law menurut doktrin sistem common law) untuk memperhatikan realitas-realitas sosial yang telah berkembang dan berubah. Hanya dengan kearifan yang demikian itu sajalah setiap keputusan yang dibuat hakim akan dapat memutakhirkan keputusan-keputusan ataupun produk-produk perundang-undangan yang terdahulu, dan dengan demikian hukum akan dapat berfungsi secara sosiologis, sebagai tool of social engineering.

Tak terelakan, paham-paham baru dalam ajaran hukum mulai mengajak para sarjana dan praktisi hukum untuk ikut menengok kajian-kajian dan hasil-hasil kajian nonyuridis yang nomologis sifatnya. Hasil-hasil kajian itu diperlukan untuk memperbaharui dan memutakhirkan norma-norma hukum positif yang ada, entah lewat pembentukan undang-undang baru entah lewat interpretasi-interpretasi baru yang teleogis atas produk-produk perundang-undangan, yang masih dinyatakan berlaku. Semua usaha itu dimaksudkan agar setiap produk hukum itu dapat dinyatakan bermakna secara sosial, dalam arti bahwa pada akhirnya produk-produk normatif itu benar-benar terwujud dalam kenyataan sebagai pola-pola perilaku sosial yang riil. Efek pemanfaatan kajian-kajian sosial yang non-atau ekstra-yuridis untuk kepentingan legislasi maupun untuk kepentingan pembuatan keputusan-keputusan hukum – apabila memang benar-benar dikembangkan dan dimanfaatkan – akan mengubah citra hukum negara (yang juga disebut hukum nasional itu), dari citranya yang serba represif ke citranya yang baru sebagai hukum yang responsif.

Dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menganalisis dan menemukan, serta memberikan jawaban tentang masalah keefektifan bekerjanya seluruh struktur institusional hukum di dalam masyarakat, maka kajian-kajian sosial tentang hukum yang semula dikucilkan dari kurikula

Page 114: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

89

pendidikan hukum, mulai memperoleh tempat di dalam kurikula tersebut. Apa yang di dalam bahasa Indonesia sebagai “ilmu hukum” kini mulai bisa dipertanyakan apakah masih bisa dibatasi hanya sebagai apa yang di dalam bahasa Inggris dikenal sebagai jurisprudence; yaitu ajaran tentang pendayagunaan hukum secara arif (apa pun juga aliran pahamnya), untuk meneyelesaikan perkara-perkara hukum secara profesional di dalam atau lewat proses-proses peradilan. Ataukah “ilmu hukum” itu kini harus didefinisikan dalam batasannya yang lebih luas meliputi kajian apa pun – sosiologi, antropologi, psikologi, kriminologi, filsafat – yang karena itu tidak cuma terbatas sebagai jurisprudence yang mempelajari hukum as it is positively written in the book, melainkan juga sudah meliputi apa yang disebut (socio-) legal studies yang akan juga mengkaji hukum as it is in society.

Dalam kajian-kajian hukum as it is observed as living institution in society, tak terelakan lagi hukum pun lalu dikonsepkan secara sosiologis sebagai suatu gejala empiris yang akan dapat diamati di dalam kehidupan. Hukum tidak lagi dikonsepkan secara filosofis-moral sebagai norma ius constituendum atau law as what ought to be, dan tidak pula secara positivistis sebagai norma ius constitutum atau law as what it is in the books, melainkan secara empiris sebagai law as what it is (functioning) in society. Dikonsepkan sebagai gejala empiris yang teramati di dalam pengalaman, hukum jelas tidak lagi diamankan sebagai norma-norma yang eksis secara eksklusif di dalam suatu sistem legitimasi yang formal. Dari segi substansinya, kini hukum terlihat sebagai suatu kekuatan sosial yang nyata di dalam masyarakat dan empiris wujudnya, yang bekerja – dengan hasil yang mungkin saja efektif akan tetapi mungkin pula tidak – untuk memola perilaku-perilaku aktual warga masyarakat. Sementara itu, dari segi strukturnya, hukum kini terlebih sebagai suatu institusi peradilan yang kerjanya mentransformasi masukan-masukan (tegasnya keputusan-keputusan in concreto), yang dengan cara demikian mencoba mempengaruhi dan mengarahkan bentuk serta proses interaksi sosial yang berlangsung di dalam masyarakat (tentu saja dengan memperhitungkan pengaruh faktor-faktor lain non-hukum yang sekaligus juga non-noramtif, yang juga bekerja di dalam masyarakat).

Karena dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau beroperasi di dunia yang empiris, hukum – baik sebagai substansi kekuatan sosial maupun sebagai struktur institusi pembuat keputusan in concreto yang berkekuasaan – dari perspektif ini kini hukum akan menampakkan diri sebagai realitas sosial yang kasat mata, yang tentunya akan bisa dikategorikan berdasarkan keajegan-keajegan (regularities, nomos) atau keseragaman-keseragaman (uniformities) peristiwanya. Dengan demikian, menurut konsepnya, hukum akan dapat diamati. Maka, kalau memang demikian, hukum yang dikonsepkan secara sosiologis akan dapat dijadikan objek penelitian yang dikerjakan secara seintifis, non-doktrinal, dan tidak akan lagi dijadikan “sekadar” objek penggarapan-penggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka (atas dasar prosedur logika yang deduktif semata-mata, dengan premis-premis yang diperoleh dari bahan-bahannya (yang primer ataupun yang sekunder) atau dari sumber sumbernya di ranah normatif (baik yang formil maupun yang materiil). Pengalihan (atau tepatnya: penambahan!) konsep hukum – dari konsep positivistis ke konsep empiris sosiologi – tak pelak akan membawa konsekuensi metodologis yang cukup jauh juga, yaitu digunakannya metode saintifis untuk pengkajian dan penelitian.

Adapun ciri metode yang saintifis ini tampak jelas pertama-tama pada peran logika induksi yang amat mengedepan untuk menemukan asas-asas umum (generalities atau empirical

Page 115: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

90

uniformities) dan teori-teori (baik yang miniatur atau yang middle range maupun yang grand) melalui silogisme-silogisme. Dalam silogisme induksi ini, premisa-premisa (kecuali tentu saja konklusinya) selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di sinilah letak bedanya dengan model penelitian doktrinal yang dikerjakan oleh para filosof-moralis ataupun teoritisi positivis untuk menemukan asas-asas umum hukum positif. Penelitian-penelitian doktrinal selalu bertolak secara deduktif dari norma-norma yang kebenarannya bernilai formal, dan tidak – seperti dalam penelitian-penelitian nondoktrinal tatkala mendeduksikan simpulan hipotetis – berasal dari hasil pengamatan yang kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan karenanya selalu dicek. Kedua, karena menggunakan silogisme induksi dan memperoleh simpulan-simpulan dari suatu proses induksi, simpulan-simpulan yang diperoleh sebagai conclusio di dan dari dalam silogisme induksi, dalam penelitian-penelitian nondoktrinal itu selalulah berupa diskripsi atau eksplanasi tentang ada-tidaknya hubungan (entah kausal atau entah korelatif) antara berbagai variabel sosial yang relevan dengan soal kehidupan.

Ilustrasi berikut ini dapatlah dikemukakan untuk menggambarkan perbedaan ancangan antara metode doktrinal yang normatif-normologis pada silogisme deduktif dengan metode nondoktrinal yang empirisme-nomologis, pada silogisme yang induktif. Namun, dengan metode yang nomologis-induktif, orang akan menemukan simpulan hubungan kausal antara kecepatan proses peradilan itu dengan gejala-gejala lain di dalam masyarakat, yang mungkin sekali lain dengan apa yang telah disimpulkan lewat proses deduksi. Sebagai contoh: apabila di dalam amatan “besar (atau kecil)nya jumlah harta warisan yang dipersengketakan di muka pengadilan” selalu berseiring atau selalu diikuti oleh fakta “cepat (atau lambat)nya penyelesaian perkara warisan itu), maka dengan mengamati frekuensi keseiringan itu diberbagai situasi dapatlah disimpulkan bahwa ada “bubungan antara jumlah harta warisan yang dipertaruhkan dengan kecepatan pengadilan menyelesaikan perkara itu”. Dikatakan bahwa makin besar jumlah harta warisan yang dipertaruhkan akan makin segera pula persidangan menyudahi perkara dan sebaliknya, makin kecil jumlah harta warisan yang dipertaruhkan akan makin lamban pula persidangan mengakhiri perkara itu.

Hasil penelitian yang nondoktrinal ini jelas kalau bukan berupa imperativa (yang tentu saja bersifat formal pula) Penelitian-penelitian nondoktrinal yang sosial dan empirisme atas hukum akan menghasilkan teori-teori tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, berikut perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan sosial. Teori-teori ini dikembangkan dari hasil-hasil penelitian yang beruang lingkup luas, makro, dan umumnya juga amat kuantitatif untuk mengelola data yang amat massal, terorganisasi dalam suatu gugus yang disebut the social theories of law. Seluruh hasil kajian disistematisasikan ke dalam suatu cabang kajian khusus yang terkategorikan tidak hanya sebagai cabang kajian ilmu-ilmu sosial akan tetapi juga tengah diperjuangkan agar boleh juga diakui sebagai bagian dari kajian ilmu hukum (dalam arti dan batasannya yang luas dan luwes), yang disebut dengan nama socio legal studies (atau yang pada dan sejak tahun 1970-an dahulu disebut juga kajian law in society) Penelitian-penelitian empirisme cabang kajian ini pun lazim disebut socio-legal research, yang pada hakikatnya – seperti telah juga disebutkan berulangkali di muka – merupakan bagian dari penelitian sosial. Pendekatan Mikro

Page 116: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

91

Dalam kajian-kajian ilmu hukum, penganut paham positivisme yang mengkonsepkan law in book sebagai model normologis kehidupan yang riil, demi terwujudnya tertib sosial hukum harus ditaati penuh, entah dengan cara mengedepankan sanksi-sanksi koersifnya, entah pula dengan cara menggugah kesadaran warga untuk bersikap patuh secara sukarela. Dalam kajian hukum yang sociological jurisprudence maupun yang sosiologis-nondoktrinal, konsep mengenai fungsi hukum yang demikian itu terasa tetap dominan juga. Tak ayal lagi, oleh sebab itu, paham sosiologis tentang hukum yang demikian itu – baik yang berpaham bahwa law is a tool of social engineering, maupun yang berpaham bahwa law is government’s social control – dalam perkembangan teori-teori sosial tentang hukum lalu digolongkan ke dalam kelompok paham kaum strukturalis yang berwawasan teknokratis. Menurut konsep kaum ini, hukum sebagai alat dan sarana untuk merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat – adalah hukum perundang-undangan yang telah dibuat secara baik dan layak, sebagai refleksi kebijakan proaktif yang lahir dari pemikiran para pakar dan pemuka yang tentunya tak akan (banyak) mengandung cacat cela. Dalam hubungan ini, kewajiban rakyat awam tidak lain kecuali menerima dan menaati hukum undang-undang yang telah dibuat dan diundangkan secara benar itu.

Akhir-akhir ini, berseiring dengan perkembangan teori-teori sosial yang melebihkan makna aksi-aksi individual dan interaksi-interaksi antara individu (daripada melebih-lebihkan makna struktur kekuasaan) sebagai determinan utama eksistensi kehidupan bermasyarakat, berkembang pula teori-teori sosiologi hukum yang berparadigma baru, dengan konsekuensi metodologisnya yang – karena hendak lebih mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolis yang direfleksikannya – akan lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Kelompok teoritisi yang terbilang ke dalam aliran paham aksi dan interaksionisme ini berpendapat bahwa realitas kehidupan yang sesungguhnya itu tidaklah eksis dalam alam empiris yang juga alam amatan itu, dan menampak dalam wujud perilaku yang terpola dan terstruktur secara objektif (apalagi normatif) dan karenanya bisa diukur-ukur untuk menghasilkan data-data yang kuantitatif. Menurut kaum interaksionis ini, realitas kehidupan itu sesungguhnya hanya eksis dalam alam makna yang menampak dalam bentuk simbol-simbol yang hanya bisa dimengerti sesudah ditafsir. Maka realitas yang demikian itu tidaklah dapat dengan mudah (begitu saja!) "ditangkap" lewat pengamatan dan pengukuran dari luar. Alih-alih begitu realitas-realitas itu hanya mungkin "ditangkap" lewat pengalaman dan penghayatan-penghayatan internal yang membuahkan gambaran kemafhuman yang lengkap (verstehen).

Karena realitas adalah bagian dari alam makna/simbolis yang hanya dapat dipahami lewat pengalaman internal para subjek pelaku, maka menurut para interaksionisme ini apa yang akan terpersepsi dan terindentifikasi sebagai masalah tidaklah akan lain daripada apa yang dijumpai oleh para subjek pelaku lewat partisipasi, pengalaman dan penghayatan mereka dalam kehidupan yang dijalani. Maka, masalah yang akan terlihat oleh subjek-subjek pengamat (bukan pelaku) yang non-partisipan, betapapun tinggi keahliannya, dan betapapun besar kewenangannya di dalam hal pengendalian sistem, hasil yang mereka peroleh lewat pengamatan itu tidak akan (selalu) sama dengan apa yang terpersepsi dan terindentifikasi oleh subjek-subjek pelaku yang berpartisipasi dalam aksi-aksi dan interaksi-interaksi setempat. Dalam konsep yang nonempirical, kaum interaksionis mengklaim bahwa masalah yang sebenarnya merupakan masalah, tidaklah akan mungkin didefinisikan oleh para pengamat dan penganalisis, melainkan hanya akan mungkin dipaparkan dan dijabarkan oleh mereka yang mengalami dan menjalaninya dalam kehidupan.

Page 117: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

92

Maka kalau seseorang peneliti ingin mengidentifikasi sebuah masalah yang relevan dalam kehidupan untuk kemudian menelitinya, maka yang harus ia lakukan adalah "masuk" dan berpartisipasi di dalam kehidupan yang akan dikajinya itu, guna menemukan masalah "dari dalam" lewat pengalaman dan penghayatannya dalam kehidupan setempat. Atau, kalau tak ingin menempuh proses panjang berlama-lama lewat partisipasi seperti itu, dapatlah ia menanyai secara intensif dan in depth para warga yang menjadi partisipan budaya dan kehidupan sosial dan kehidupan hukum setempat, dengan sikap-sikap yang empatik. Inilah strategi untuk pertama-tama mengupayakan how to get in and how to get along, untuk pada saat nanti to get out. Hanya dengan cara demikian para peneliti "yang bersedia bergerak dari sebelah dalam " dan akan dapat lebih mengajuk secara dalam ke dalam alam simbolis para subjek warga masyaraka, yang akan dan tengah dikaji, berikut alam simbolis yang "tersimpan" di sanubari mereka itu.

Perbedaan dan silang selisih konseptual antara kedua paham yang berbeda paradigma teori sebagai diutarakan di atas dapatlah diilustrasikan dengan jelas dalam persoalan berikut ini. Dalam kasus-kasus hukum berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah penduduk di kota-kota yang dilaksanakan dalam rangka upaya peningkatan fungsi kota dalam tatanan ekonomi nasional, para pejabat yang duduk di kursi pemerintahan umumnya melihat setiap masalah hak penguasaan atas tanah dari sudut hukum positif dan hak-hak yuridis (yang terealisasi ipso jure). Sementara itu, orang-orang awam kebanyakan melihatnya dari sudut tradisi bahwa hak menguasai tanah ditentukan oleh ketekunan dan jerih orang (ipso facto) menggarap dan/atau merawat tanahnya itu. Bagi mereka itu, tanah bukanlah gundukkan materi pasir atau batu, melainkan simbol-simbol yang harus dimaknakan sebagai hasil jerih-payah orang-tua atau moyang yang diturunkan demi kesejahteraan anak-cucu. Atau mungkin pula bagi sebagian orang tanah itu dimaknakan sebagai uang, dan tanah adalah simbol kekayaan sosial yang disebut status. Dalam kasus seperti ini, mana sebenarnya yang harus dikonsepkan sebagai realitas untuk ditelaah dengan metoda tertentu yang dinilai lebih tepat (yang objektif-kuantitatif ataukah yang objectified dan kualitatif), akan menjadi polemik yang ramai.

Perbedaan metodologi yang tak dapat dielakkan – sehubungan dengan perbedaan paradigmatis dalam hal mengkonsepkan masalahnya, sebagaimana dipaparkan berulangkali di muka – kini telah banyak disadari orang. Orang pun menyadari pula bahwa sebubungan dengan kenyataan itu dua metode yang pada prinsipnya memiliki asumsi, strategi dan prosedur yang berbeda haruslah dikembangkan secara tersendiri; yaitu metode kuantitatif yang theory testing untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis yang mikro sebagai realitas empiris, dan metode kualitatif yang theory building untuk meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis mikro sebagai realitas simbolis. Metode kuantitatif adalah metode yang klasik dan konvensional, dikenal orang sejak masa yang awal, yakni semasa orang menganalogikan sistem kehidupan manusia ke sistem kehidupan nonmanusia yang alami atau kodrati, baik yang hayati maupun yang nonhayati (anorganik). Metode ini semula memang terbukti efektif untuk meneliti fenomena alam yang “tak memiliki kehendak bebas” di dalam berbagai cabang ilmu alam kodrat dan ilmu hayat. Penerapan metode ini tanpa reserve untuk juga memahami liku-liku dan permasalahan kehidupan manusia, yang pada mulanya juga disambut dengan baik dan dipandang efektif juga, namun di bawah kondisi bahwa manusia-manusia boleh diasumsikan sebagai oknum-oknum yang tak akan mengembangkan kemauan pribadi yang berkebebasan untuk melawan kodrat dan sistem kehidupannya.

Page 118: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

93

Metode kuantitatif yang klasik itu bukannya tak mampu mengungkapkan pola-pola yang

berkepanggahan tinggi dalam tatanan perilaku dan kehidupan manusia – juga perilaku dan kehidupan hukumnya – di tengah masyarakatnya, dan kemudian daripada itu juga melahirkan asas-asas, dalil-dalil, atau teori-teori. Akan tetapi, ketika studi-studi tentang masyarakat manusia hendak pula mengungkapkan pula aspek-aspek nilai, ide, makna, kepercayaan dan keyakinan (dan hukum itu sesungguhnya tak cuma berupa realitas struktural begitu itu, melainkan juga nilai, ide, makna dan keyakinan yang individualized), dan apa pun yang tersembunyi di dalam benak dan relung-relung perasaan para warga yang menjadi partisipasi-partisipasi budaya dan subjek-subjek hukum di dalam masyarakat, dan pula ketika studi-studi sosial kian banyak yang bersifat lintas kultural atau lintas-etnis, metode kuantitatif yang klasik itu terbukti tidak lagi dapat banyak membantu. Untuk mengkompensasikannya orang pun serta merta mulai mencoba mengembangkan metode-metode penelitian yang baru, yakni metode penelitian yang kini dikenal dengan nama metode penelitian kualitatif.

Berbeda dengan metode kuantitatif yang telah bergerak maju lebih awal, metode penelitian kualitatif ini umumnya merupakan inovasi baru dari tahun 1970-an, dan belum begitu banyak dipelajari dan dikenal orang. Membedakan diri dari metode kuantitatif yang efektif untuk mereduksi gejala kehidupan manusia ke dalam angka-angka untuk kemudian digarap dalam analisis-analisis statistik, metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam (in depth) dan total/menyeluruh (holistik), dalam arti tak mengenal pemilahan gejala secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif, yang kita kenali dengan sebutan variabel. Dalam hubungan ini, metode kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan masyarakat seperti apa yang terpersepsi oleh warga-warga masyarakat itu sendiri dan dari kondisi mereka sendiri yang tak diintervensi oleh pengamat penelitinya (naturalistis). Metode kualitatif ini tak sekali-kali menganjurkan dikembangkannya perspektif konseptual dari sudut amatan para pakar penelitian, atau juga dari sudut penglihatan/kepentingan para elite pengendali struktur, yang dikhawatirkan sekali akan selalu mengandung bias teoretis dan mungkin juga asumsi-asumsi pemecahan masalah secara a priori. Penutup Karena memiliki kegunaan sendiri-sendiri, dengan keefektifan masing-masing yang digantungkan dari asumsi paradigmatis teori-teori yang dipilih dan dipakainya (strukturalisme yang makro ataukah interaksionisme yang mikro), temuan-temuan kedua jenis metode itu tentu saja akan mensugestikan jawaban atas permasalahan, yang terkonsepkan secara berbeda pula. Maka apabila langkah yang pertama bersifat teknokratis dan penuh intervensi perekayasaan secara sepihak terhadap objek, langkah yang kedua lebih cenderung bersifat kondusif dan “cuma” bermaksud meng-input-kan faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan keberdayaan yang mandiri dalam diri “si objek”. Langkah kedua ini berkesan lebih partisipatif dan mengundang partisipasi pelaku-pelaku sosial secara suka rela.

Manakah dari dua pilihan itu yang paling tepat untuk diambil, khususnya di dalam ranah kehidupan hukum yang telah berformat nasional dewasa ini? Jawaban atas pertanyaan itu tentulah

Page 119: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

94

akan amat bergantung tidak hanya pada paradigma awal yang kita pilih, akan tetapi juga pada pemihakan moral kita. Dalam alam kehidupan yang kian demokratis dan people centered ini, yang amat mengharapkan terwujudnya signifikansi sosial setiap produk perundang-undangan, kiranya kajian-kajian yang kualitatif tentang berbagai permasalahan dan kebijakan sosial di dalam kehidupan manusia – agar dapat lebih merespon setiap kebutuhan hukum dan terpenuhinya rasa keadilan massa awam – pantaslah kalau lebih banyak dianjurkan dan lebih banyak dicoba. Penelitian-penelitian hukum yang nondoktrinal-kualitatif dengan ancangan paradigamtisnya yang mikro dan bertendensi pro populus itu, dapat kiranya banyak memberikan sumbangan yang berarti.

Page 120: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

10

PARADIGMA PENELITIAN KUALITATIF DAN KONSEKUENSINYA DALAM STRATEGI PELAKSANAANNYA (Sebagaimana Dicontohkan

dalam Metode Grounded Theory) Lepas tahun 1970-an, di dunia kajian ilmu-ilmu sosial mulai maraklah apa yang disebut teori-teori mikro. Adapun yang disebut teori mikro ini ialah teori yang dibangun di atas landasan paham paradigmatis bahwa di dalam kehidupan manusia yang kian bersifat semiotik dewasa ini objek ilmu-ilmu sosial yang sesungguhnya itu bukan lagi (cuma) perilaku-perilaku sosial manusia yang kasat mata saja, tapi nota bene adalah perilaku-perilaku yang pada dasarnya hanya merupakan refleksi pola-pola struktural dunia sosial yang makro dan normatif. Objek kajian ilmu-ilmu sosial yang sesungguhnya tak lain adalah seluruh makna kultural yang simbolis – dan acap pula berpenampilan nonverbal – yang ada di balik semua gerak tindakan manusia yang kasat mata itu.

Seiring dengan perkembangan teori-teori mikro – yang menekankan arti pentingnya tindakan-tindakan atau aksi-aksi individual manusia warga masyarakat, atas dasar asumsi bahwa aksi-aksi inilah yang telah menyebabkan masyarakat eksis dalam konsep, dan seterusnya memperoleh maknanya – marak pulalah metode-metode baru dalam ilmu-ilmu sosial ini. Itulah metode-metode yang dewasa ini dikenali dan disebut-sebut sebagai rumpun keluarga metode kualitatif. Apa pun variannya, metode-metode kualitatif itu dikembangkan atas dasar keyakinan epistimologis bahwasannya realitas-realitas simbolis yang kualitatif serta cenderung subjektif dalam aksi-aksi manusia , yang tentu saja juga nonempiris sifatnya, tidaklah akan mungkin didatakan dan dianalisis begitu saja dengan menggunakan metode-metode konvensional yang telah ada dan dipakai orang selama ini. Metode konvensional adalah metode yang sekarang ini dikembangkan secara khusus untuk melakukan pengamatan-pengamatan dan pengukuran-pengukuran terhadap alam empiris yang konon juga objektif, seperti sudah sejak dulu dikembangkan oleh para pakar di lingkungan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu hayat, (dan yang pada awalnya – sekalipun dengan berbagai modifikasi – telah dicoba pula dipakai oleh para pakar ilmu-ilmu sosial).

Uraian berikut ini ditulis dan disajikan dalam dua bagian. Bagian pertama dimaksudkan untuk memaparkan ihwal paradigma epistemik mengenai apa yang harus dikenali sebagai realitas (realitas sosial), yang secara ontologis harus diakui sebagai objek kajian keilmuan sosial; dan bagian kedua dimaksudkan untuk memaparkan pokok-pokok strategi metodologis penelitian kualitatif. Metode kualitatif adalah strategi penelitian yang dikembangkan sebagai konsekuensi pengkonsepan realitas sosial sebagai hasil proses intersubjektif antar-pelaku sosial. Inilah strategi penelitian untuk membangun teori, dan tidak untuk menguji teori sebagai dilazimkan di dalam penelitian-penelitian empiris yang konvensional.

Page 121: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

119

Realitas Sosial dalam Konsep dan Teori Ilmu-Ilmu Sosial Ilmu adalah seluruh informasi yang mengandung pengetahuan (yang telah teruji benar secara benar menurut prosedure sains), tentang sesuatu kejadian yang terjadi di alam empiris. Informasi seperti itu diperoleh melalui proses-proses pengamatan – yang disusul oleh proses-proses persepsi – atas kejadian-kejadian yang berkenaan karena ilmu.

Kejadian-kejadian – yang juga disebut fenomena atau gejala itu – terjadi dan ada di alam empiris yang kasat mata, sedangkan informasi atau pengetahuan itu (baik yang telah teruji menurut prosedur sains maupun yang belum) adalah imajinasi subyektif yang berada di alam pikiran (yang juga disebut “alam ide”). Di alam imajinasi ini apa yang disebut fenomena di alam kasat mata itu mengalami transformasi reflektif sebagai realitas-realitas. Sekalipun dimaksudkan untuk merefleksikan secara utuh dan penuh, setiap gejala yang berada di alam empiris yang objektif, realitas (namun demikian) tak selamanya berhasil menggambarkan secara sempurna kejadian-kejadian yang terjadi di alam empiris. Bagaikan benda dan bayangannya yang ada di kaca cermin yang belum tentu sama dan sebangun, demikian pulalah halnya dengan fenomena di alam empiris dan realitas yang ada di alam imajinasi.

Di alam ide yang imajinatif itu – yang apabila tak dikontrol oleh suatu metode yang ketat akan gampang diganggu subjektivitas – gejala yang telah tertransformasi secara perseptual menjadi realitas itu akan memperoleh batasan-batasan dan penamaannya yang definitif. Batasan-batasan dan penamaan yang definitif mengenai realitas-realitas itulah yang disebut konsep. Maka dapatlah dimengerti bahwasannya para ilmuwan itu pada akhirnya tak hendak berbicara langsung tentang fenomena yang kasat mata, melinkan senantiasa berbicara tentang fenomena sebagai realitas dalam batasan-batasannya yang definitif sebagai konsep.

Ilmuwan pemerhati gejala-gajala alam kodrat – yang juga dikenali sebagai alam anorganik – tak pelak akan mengenali gejala-geala alam itu sebagai realitas-realitas alam dengan batasan masing-masing yang definitif, sebagai konsep-konsep serba-fisik. Ilmuwan pemerhati alam hayat – pun tak salah lagi akan pula memahami alam hayati – yang juga dikenali sebagai alam organik – sebagai realitas-realitas yang tergambar secara definitif di alam konsep-konsep serba-bilogis. Demikian pula pemerhati gejala-gejala sosial, tentu saja mereka ini akan memahami dunia kehidupan masyarakat manusia sebagai realitas-realitas sosial, sebagaimana berkembang di peta konseptual mereka.

Realitas alam kodrat dan realitas alam hayat adalah realitas-realitas yang dapat menunjuk langsung ke gejala-gejala anorganik dan organik dalam dunia empiris yang sungguh konkret sifatnya, sehingga dengan demikian konsep-konsep untuk menggambarkan gejala di alam anorganik dan organik, lalu menjadi terbilang lebih bergatra nyata dan konkret pula. Tidak demikian halnya dengan realitas-realitas yang dikonstruk untuk merepresentasi gejala-gejal sosial-budaya yang menjadi perhatian para ahli ilmu-ilmu sosial budaya. Gejala-gejala sosial-budaya adalah gejala-gejala supraorganik yang sifatnya amat lebih abstrak dan bersifat “lebih tak teraba” (tak terlihat pula), dari pada gejala-gejala alam yang anorganik dan gejala-gejala hayati yang organik, yang lebih konkret sifatnya itu. Maka, berbeda dengan realitas-realitas anorganik dan organik yang lebih empiris-observatif sifatnya, realitas supraorganik amat lebih berupa suatu konstruksi rasional yang amat lebih imajinatif. Itu pula sebabnya mengapa, berbeda

Page 122: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

120

dengan konsep-konsep yang menjadi representasi gejala-gejala anorganik dan organik, konsep-konsep sosial-budaya yang menjadi representasi fenomena supraorganik itu hanya dapat dikatakan, akan tetapi tidak akan segera dapat ditunjukkan mana wujud fenomenanya. Itulah sebabnya bukan perkara mudah untuk dapat menyimak secara langsung – dengan indera-indera dan instrumen penginderaan manusia, (untuk kemudian diukur-ukur secara langsung – fenomen manusia yang berada di ranah-ranah supraorganik itu.

Kemiskinan, kesejahteraan, keadilan, demokrasi, status sosial, kekuasaan, in-group feelings, kohesi kelompok, perilaku menyimpang, atribut gender, hukum yang responsif, pelarian modal, adalah beberapa saja dari sekian ribu contoh fenomena sosial-budaya (termasuk pula yang ekonomi dan politik), yang karena sifatnya yang supraorganik akan jauh lebih sulit untuk ditegaskan dan dijelaskan dalam konsep dan dengan definisi apa pun. Mendefinisikan secara konseptual untuk mengidentifikasi planet dan untuk membedakannya dari bintang, misalnya, adalah jelas- relatif lebih mudah daripada mendefinisikan (misalnya) kemiskinan. Apalagi untuk mengkonseptualkan guna mengidentifikasi jenisnya: Apakah itu kemiskinan struktural ataukah itu kemiskinan yang nonstruktural . Mendefinsikan secara konseptual untuk mengidentifikasi Fiscus Elastica dan untuk membedakannya dari Fiscus Religiosa. Sebagai misal yang lain adalah jelas relatif lebih mudah pula daripada mendefinisikan (misalnya) konstitusionalisme, apalagi untuk mengkonseptualkan guna mengidentifikasi jenisnya: apakah itu konstitusionalisme dalam maknanya sebagai rule of law ataukah itu konstitusionalisme dalam maknanya yang terdistorsi sebagai rule by law.

Pada konsep-konsep yang hendak menegaskan realitas-realitas anorganik dan organik, sebagaimana dicontohkan di muka, kalaupun penegasan itu tak jelas dari bunyi definisi atau rumusan konsepnya yang verbal, wujud-wujudnya yang fisik dan kasat mata dapatlah ditunjukkan. Tidak demikian halnya dalam konsep-konsep yang hendak menegaskan realitas-realitas supraorganik. Mengenai kemiskinan atau konstitusionalisme sebagaimana dicontohkan di muka, misalnya, tidaklah ada wujud-wujud fisik yang akan dapat ditunjuk dan ditunjukkan agar bisa lebih diamati cermat secara indrawi. Yang dapat ditunjukkan hanyalah beberapa manifestasinya saja (itu pun mungkin saja tidak bisa lengkap) dan bukan fenomena atau realitasnya yang utuh.

Dari uraian-uraian yang dibentangkan di muka, menjadi jelas mengapa studi-studi sosial yang harus belum berseluk dengan realitas-realitas sosial, pada galibnya adalah lebih bersifat serba verbal, dan lebih banyak pula “bermain-main” dengan konsep-konsep (apabila dibandingkan misalnya dengan studi-studi biologi, kimia atau fisika). Sementara itu verbalisme dalam studi-studi sosial acap kali pula terjadi tanpa dapat dielakkan karena gejala-gejala sosial itu tak hanya bersifat relatif abstrak, akan tetapi juga karena bersifat kompleks dan multidimensi. Karena berhal seperti maka konsep yang benar-benar komprehensif lalu sulit dikonstruksi secara verbal. Mendefinisikan batas-batas suatu realitas sosial ke dalam satu konsep yang benar-benar komprehensif akan mengharuskan para pendefinisi mengenali betul-betul seluruh aspek varibel gejala itu secara imajinatif, lewat suatu proses abstraksi sebagai realitas yang kemudian memformulasikannya secara verbal menjadi suatu rational construct yang disebut konsep.

Mereduksi fenomena sosial yang multidimensi lewat proses abstraksi menjadi suatu realitas-realitas, yang seterusnya menjadi suatu konsep, mau tak mau akan memaksa para peneliti sosial untuk menengarai apa saja manifestasi empiris fenomena sosial yang tengah menjadi objek

Page 123: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

121

kajiannya, yang tak hanya bersifat multidimensi akan tetapi yang juga tak selalu kasat mata. Manifestasi-manifestasi yang mencuat ke permukaan – yang dikenali sebagai indikasi (dan karena itu disebut indikator) – yang kemudian secara selektif akan dijadikan anasir untuk mengkonstruksi sebuah konsep.

Dapat dimengerti mengapa karena alasan-alasan tersebut kajian-kajian dalam ilmu-ilmu sosial dengan demikian, pada akhirnya, hanya akan berkenaan dengan indikasi-indikasi dan indikator-indikator saja, tidak mendalam ke gejalanya itu sendiri. Adalah kenyatan dalam praktik bahwa mana yang terlihat sebagai indikator oleh pengkaji sosial tertentu tidak dilihat begitu oleh pengkaji yang lain. Maka, kenyataan yang demikian ini menjelaskan mengapa konsep-konsep dalam ilmu-ilmu sosial itu – dan pada akhirnya juga teori-teorinya (karena konsep itu sesungguhnya merupakan the building blocks of theories) – lalu gampang bersifat varitatif dari kajian-ke kajian. Perbedaan konsep tak pelak lagi akan menghasilkan perbedaan temuan data, dan perbedaan temuan data akan menghasilkan perbedaan hasil analisis yang disebut simpulan, dan akhirnya perbedaan-perbedaan simpulan akan tidak memudahkan terbangunnya teori yang komprehensif dan berkoherensi tinggi.

Kajian-kajian sosial yang bertolak dari paradigma kaum strukturalis nyata memihak ke pendapat bahwa para peneliti yang berkepakaran, yang harus mengenali gejala-gejala sosial yang hendak dikajinya untuk kemudian mendefinsikan dan mereformulasikan konsepnya. Bukan orang lain! Sementara itu, di lain pihak, kajian-kajian sosial yang bertolak dari paradigma kaum interaksionis nyata memihak ke pendapat bahwa konsep yang harus dipakai untuk menegaskan secara definitif apa objek sesungguhnya yang hendak dikaji, haruslah tak lain daripada apa yang dipersepsi pada pelaku sosial sebagai realitas-realitas. Argumentasi kaum interaksionis ini ialah bahwa dalam kajian-kajian ilmu-ilmu sosial yang sebenarnya hendak dikaji orang bukanlah kejadian-kejadian di alam empiris – sebagaimana yang dipersepsi para penelitinya (yang salah-salah malah mengandung cultural bias) melainkan peristiwa-peristiwa itu sebagaimana dipersepsi dan kemudian dimaknakan (atau termaknakan) sebagai realitas-realitas oleh para pelaku sosial warga masyarakat.

Tak pelak lagi, kajian-kajian dari perspektif mikro kaum interaksionis ini lalu tak lagi tampil sebagai kajian tentang kejadian atau tentang hubungan antara-kejadian (seperti yang dikerjakan dari perspektif makro kaum strukturalis). Alih-alih begitu, kajian-kajian kaum interaksionis ini akan lebih berfokus ke realitas-realitas sebagaimana dipahami dan diyakini oleh warga-warga masyarakat kebanyakan. Menurut kaum interaksionis ini, apa yang hidup di dalam alam kepahaman warga-warga masyarakat (yang harus dipandang sebagai aktor-aktor sosial yang sesungguhnya), itulah yang harus dimengerti sebagai realitas-realitas sosial yang sebenarnya. Oleh karena itu harus dipandang sebagai yang paling sah untuk objek kajian ilmu-ilmu sosial.

Memang benar kalau dikatakan bahwa seluruh realitas sosial yang berada di alam imajinasi pikiran manusia-manusia kebanyakan itu sesungguhnya merupakan segugusan subjektivitas awam yang tak pernah diuji kebenarannya, yang objektif menurut kaidah-kaidah keilmuan atau menurut logika. Tetapi, betapapun subjektifnya, semua sesungguhnya adalah subjektivitas unik yang justeru harus di tempatkan sebagai objek kajian ilmu-ilmu sosial yang pertama-tama dan paling utama. Itu bukanlah subjektivitas sembarang subjektivitas, melainkan suatu objectified subjectivies. Bagi para ilmuwan yang berparadigma interaksionisme, the objectified subjectivities

Page 124: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

122

inilah – dan bukan sekali-kali the subjectified objectivities menurut tradisi kaum strukturalis itu – yang harus dipandang secara ontologis sebagi objek kajian ilmu-ilmu sosial yang akan menjanjikan hasil yang paling sahih (valid).

Dari sini pulalah maraknya keyakinan para penganut paham interaksionisme bahwa tugas ilmu-ilmu sosial masa kini bukan lagi to learn about the people, akan tetapi to learn from the pople untuk menemukan dan memperoleh gambaran-gambaran yang total-holistik, dengan penuh kamfhuman (verstehen), tentang realitas-realitas sosial yang sesungguhnya. Realitas sosial bukanlah cuma tergambar secara sederhana sebagai korelasi-korelasi antar-variabel. Apalagi yang kemudian masih harus direduksi ke dalam angka-angka. Sesungguhnya kehidupan masyarakat dan manusianya – yang lebih banyak bermanifestasi di dalam realitas-realitas supraorganiknya daripada di dalam realitas- amat lebih kompleks daripada yang bisa diduga.

Pijakan kaum interaksionis tak pelak lagi akan pula membawa konsekuensi metodologis yang cukup jauh. Berkonsentrasi untuk memperoleh kemafhuman yang mendalam, kajian-kajian kaum interaksionis ini akan selalu mencoba menyelami in depth alam simbolis (yang supra-organik) masyarakat-masyarakat yang tengah menjadi objek studi. Karena alam simbolis itu memang benar-benar merupakan realitas-realitas kualitatif yang amat unik, tidak mudah untuk dikuantifikasikan, melainkan hanya akan siap untuk diinterpretasikan. Realitas Kualiatif Sebagaimana Dicontohkan oleh The Method of Grounded Theory Salah satu metode (bukan satu-satunya) yang terhitung ke dalam bilangan keluarga metode-metode kualitatifnya adalah metode grounded theory. Inilah metode yang dikembangkan oleh Barney Glaser dan Anselm Strauss pada pertengahan dasawarsa 1960-an dan muncul dalam karya bersama mereka Awareness of Dying (1965) dan The Discovery of Grounded Theory (1967). Sekalipun pada tahun-tahun berikutnya Glaser dan Strauss tak lagi bersejalan dalam mengembangkan discovery mereka – Strauss (bersama Juliet Corbin) menulis Basics of Qualitative Research (1990) dan Glaser menulis Basic of Grounded Theory Analysis (1992) – namun metode penelitian yang dimaksudkan secara khusus untuk mengembangkan teori-teori sosial yang grounded (on qualitative data) ini tetaplah menarik perhatian orang, entah untuk diikuti entah untuk dikritik.

Sekalipun oleh Glaser apa yang dikemukakan olah Strauss (dan Corbin) tak lagi tepat disebut sebagai metode grounded theory, melainkan lebih tepatnya disebut saja metode conceptual description, namun metode yang disarankan dan diajarkan oleh Strauss tetaplah taat pada asas dan strategi metode penelitian grounded theory. Yakni bahwa tujuan dari setiap penelitian sosial bukanlah pertama-tama “menguji teori” (bersaranakan data kuantitatif atau yang dikuantifikasikan sedapat mungkin), melainkan “membangun teori” berdasarkan informasi kualitatif tentang dunia simbolis masyarakat (yang diperoleh lewat berbagai interpretasi dari aksi-aksi serta interaksi-interaksi yang merefleksikan alam subjektivitas warga-warga masyarakat). Tentu saja – sebagaimana telah dikatakan di muka – penelitian kualitatif dengan metode yang dikembangkan oleh Strauss dan Corbin bukanlah satu-satunya jenis penelitian kualitatif yang pernah ada. Namun pada kesempatan kali ini baiklah kita kaji bersama sebagai salah satu contoh bagaimana penelitian kualitatif pada asasnya dikerjakan orang untuk membangun (bukan menguji) teori.

Page 125: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

123

Strategi “membangun teori” sebagaimana dimaksudkan di muka, namun demikian,

tidaklah berarti bahwa peranan teori dalam penelitian/pencarian boleh dikesampingkan atau diabaikan. Strauss mengajarkan bahwa dalam penelitian kualitatif para peneliti dapat mengontrol dirinya agar mampu menganalisis dengan penuh kritik situasi yang tengah dikajinya untuk kemudian melakukan abstraksi-abstraksi mengenai apa sesungguhnya yang tengah terjadi di hadapannya. Maka di sini, teori diperlukan untuk memaknakan realitas dan data, dan kepekaan sosial (merujuk ke pengalamannya pribadi dalam social settings serupa dengan apa yang tengah dihadapi dan dikaji) dan kepekaan teoretik sang peneliti pun tak pelak lalu menjadi amat berperan penting di sini. Menurut Strauss (dan Corbin), pada pokoknya ada tiga komponen utama dalam setiap penelitian kualitatif. Komponen pertama adalah data, yang kedua adalah prosedur-prosedur analitis dan interpretatifnya, dan yang ketiga adalah laporannya yang verbal. Komponen pertama dan kedua secara konseptual memang bisa dibedakan, akan tetapi dalam praktek boleh dibilang akan selalu bersangkut-sangkutan secara erat. Data diperoleh lewat observasi dan wawancara, dan bersamaan dengan itu analisis dan interpretasi menurut prosedur tertentu mestilah telah diupayakan. Tak ayal lagi, data yang diperoleh adalah data atau informasi hasil analisis (lewat berbagai proses codings dan penulisan dalam wujud memos) yang pada tahap berikutnya masih harus dianalisis lagi (lagi-lagi lewat proses coding) untuk tersusun menjadi suatu diskripsi atau story yang dapat disajikan sebagai suatu laporan penelitian.

Apa yang dikemukakan Strauss (dan Corbin) tersebut di tentu saja tidak selamanya sama dan sebangun dengan srategi metodologis penelitian kualitatif yang lain. Perbedaan yang ada dapat pula bersebab dari tujuan penelitian yang berbeda. Ada penelitian kualitatif yang dimaksudkan tidak untuk memberikan secara holistik suatu realitas sosial per se yang ada, melainkan “hanya” untuk memberikan ilustrasi – tambahan verbal yang lebih rinci namun fragmentaris atau parsial – kepada berbagai temuan yang telah diperoleh lewat prosedur kuantitatif. Di sini, data tidak boleh diinterpretasikan dan dianalisis, melainkan diketengahkan apa adanya, tanpa melebihkan atau mengurangi apa yang telah dikemukakan para informan. Dalam kegiatan seperti ini, tugas peneliti tak lebih tak kurang – hanyalah melihat dan mendengar dan kemudian melaporkan apa adanya, bak kerja seorang wartawan yang harus membuat laporan pandangan-mata tentang apa yang ada, tanpa kehendak sedikit pun untuk mengimbuhkan kesan-kesan subjektifnya, yang mungkin malah akan memberikan nuansa-nuansa opini.

Strategi the research method of grounded theory tentulah tidak demikian itu. Penelitian-penelitian kualitatif menurut aliran Strauss (dan Glaser) adalah penelitian untuk membangun teori, dan tidak cuma berhenti pada pemaparan data mentah belaka. Itulah sebabmya dalam penelitian kualitatif yang bermaksud menemukan teori yang grounded on, kegiatan-kegiatan koleksi data, analisis data, dan membangkitkan sensitivitas teori haruslah dilaksanakan secara berbarengan. Dalam penelitian yang satu ini, sang peneliti diharapkan bisa memilih suatu area studi tertentu dan mengupayakan tergalinya informasi-informasi apa pun yang relevan dalam kualitasnya yang total (holistik) dari berbagai fenomena yang terkenali dalam area studi itu.

Page 126: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

124

Memilih area studi dan membatasinya sebagai masalah penelitian dalam penelitian-penelitian grounded theory pada asasnya tidaklah banyak berbeda dengan pembatasan masalah dalam penelitian-penelitian lain pada umumnya. Hanya saja dalam penelitian yang satu ini sang peneliti diharapkan bisa memfokuskan perhatiannya pada suatu fenomena atau sejumlah fenomena tertentu, dan tidak buru-buru mereduksi secara konseptual fenomena yang dihadapi ke dalam sejumlah kategori variabel, atau bahkan ke sejumlah indikator yang diasumsikan akan bisa merepresentasikan si fenomen in toto. Penelitian grounded theory ini – sebagaimana umumnya penelitian-penelitian kualitatif lainnya yang ingin memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang objek kultural-simbolis yang tengah dikaji – dengan demikian akan bekerja lebih jauh dan lebih lanjut dari sekedar mengamat-amati dan mengukur indikator-indikator, melainkan akan bekerja tanpa tanggung-tanggung untuk membongkar seluruh black box.

Bekerja dengan niatnya seperti itu, para peneliti penganut aliran grounded theory akan mengembangkan metode koleksi data dan informasi yang amat fleksibel, yang kira-kira akan bisa memberikan kebebasan kepada dirinya untuk menjelajahi dan mendalami seluruh permasalahannya. In extenso maupun in intenso. Asumsi dasarnya ialah bahwa setiap kategori fenomen yang ada dalam area studi – berikut atribut-atributnya (yang oleh Strauss dan Corbin disebut property) dan dimensinya – belum pernah dikenal (apalagi kaitan-kaitan antar-kategori itu”), yang oleh karena itu pada setiap penelitian grounded theory haruslah sejak dini kategori-kategori itu bisa dikenali dulu, untuk kemudian diungkap lebih lanjut.

Bertolak dari premis metodologis yang demikian itu, problema atau pertanyaan yang diajukan dalam setiap penelitian grounded theory mestilah berupa statemen mengenai identifikasi semua fenomena yang hendak dikaji. Fenomena dalam suatu social setting yang diidentifikasi dalam statemen-statemen inilah – yang dalam penelitian konvensional disebut variabel – yang secara khusus akan ditaruh sebagai fokus seluruh studi, baik untuk diungkap guna mendedah anasir anatominya maupun untuk diungkap guna diketahui dinamika aksi-aksinya dalam proses.

Penelitian tentang “reaksi para kiai bergabung dalam Bassra terhadap industrialisasi Madura”, misalnya, akan berfokus pada ihwal para kiai di tengah suatu setting. Memang benar bahwasannya industrialisasi akan dikaji di sini, akan tetapi industrialisasi yang dikaji itu adalah industrialisasi sebagaimana terlihat dari perspektif para kiai, mula-mula yang perseorangan dan kemudian juga yang kolektif sebagai satuan kelompok. Maka, apabila perspektif dan persepsi pihak lain yang bukan kiai toh dipandang relevan juga untuk diungkap, pengungkapan itu selalu saja mestilah dipertimbangkan sehubungan atau dalam hubungan yang interaktif dengan aksi-aksi para kiai yang terjadi sepanjang proses. Semua fenomena yang hendak didedah atribut (unsur) dan dimensi (kualitas)nya mestilah bisa dipulangkan ke pokok atau fokus studinya, yaitu ihwal sang kiai. Dalam penelitian kualitatif (seperti contohnya penelitian grounded theory ini) orang memang tak hendak to learn about the kiais, melainkan hendak to learn from the kiais.

Berangkat dari masalah yang satu itu, tergantung dari kepekaan sosial dan kepekaan teoretis sang peneliti, pertanyaan-pertanyaan berikutnya dapatlah dikembangkan. Misalnya, apa yang akan terjadi dalam wujud tindakan (para) kiai apabila reaksi keberatan terhadap industrialisasi Madura tak diperhatikan oleh ketua BPPT? Apa yang akan disiapkan dan dikerjakan para kiai agar keberatannya itu terdengar dan terperhatikan oleh aparat pejabat yang berwenang? Adakah reaksi keberatan dan upaya agar keluhan-keluhan didengar pemerintah itu

Page 127: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

125

terucap dalam bunyi sama dan didorong oleh motivasi yang sama, di antara para kiai itu; ataukah ada perbedaan-perbedaan antara kiai yang satu dari kiai yang lain? Nyata bahwa dari satu pokok permasalahan dapat ditarik jabarannya ke berbagai arah permasalahan, seperti yang dicontohkan di atas, ialah ke arah permasalahan interaksi, pengorganisasian berbagai upaya tatkala hendak mengejar hasil, dan/atau pula biografi perkembangan pribadi-pribadi tertentu.

Dalam prosesnya untuk tiba pada teorinya yang grounded, proses penelitian menurut strategi Strauss (dan Corbin) harus dilaksanakan melalui penerapan-penerapan teknik koding. Teknik koding ini ada tiga: open coding, axial coding dan selective coding. Dalam open coding, suatu fenomena (misalnya dalam hal ini “reaksi kiai”) akan diidentifikasi kategori-kategorinya untuk kemudian – sesudah diberi sebutan istilah (named, labelled) – diidentifikasi atribut dan dimensinya. Misalnya, salah satu kategori dalam fenomena “reaksi kiai” itu adalah “aktivitasnya melakukan pertemuan untuk membahas masalah”. Pertemuan ini kemudian boleh dilihat atribut-atributnya (misalnya: frekuensinya, ruang lingkup bahasannya, intensitas kajiannya, lama penyelenggaraannya, dan sebagainya). Dan seterusnya dimensi masing-masing atribut itu (sering-tidaknya, luas-sempitnya ruang lingkup bahasan, dalam-dangkalnya kajian, lama atau hanya sebentar penyelengaraannya, dan seterusnya) masih bisa ditambah-tambah lagi sejalan dengan daya imajinasi dan kepekaan teoretis sang peneliti.

Dalam axial coding, kategori-kategori fenomena yang berhasil diungkap akan dihubung-hubungkan satu sama lain. Kategori-kategori itu ada yang bisa diposisikan sebagai (a) kondisi yang dianggap penyebab, yakni kejadian apa pun yang menyebabkan terjadinya suatu fenomen; (b) fenomen itu sendiri, yakni peristiwa sentral yang akan menggerakan terjadinya serangkaian aksi/tindakan atau juga interaksi; (c) konteks, yakni suatu kompleks kondisi – lokasi dan/atau waktu tertentu – yang menjadi ajang berlangsungnya suatu aksi atau interaksi; (d) kondisi pengintervensi, yakni kondisi-kondisi struktural yang memudahkan atau menyulitkan jalannya proses dalam suatu konteks tertentu; (e) aksi atau interaksi, yakni strategi tindakan yang dilakukan untuk merespons atau mengatasi permasalahan yang ada; dan (f) konsekuensi, yakni hasil yang diperoleh lewat penyelenggaran aksi atau interaksi.

Rangkaian kategori – yang sambung menyambung dari (a) sampai (f), masing-masing dengan segenap gambaran mengenai atribut dan dimensinya – tersebut mewujudkan suatu kategori baru (supra) dalam suatu tata hubungan yang tunggal. Kembali pada contoh di muka, kategori supra itu akan menggambarkan bagaimana kurang tanggapnya pejabat pusat kepada keberatan para kiai pada industrialisasi Madura sehingga: (a) telah menimbulkan rasa gundah pada diri kiai (b), khususnya yang memiliki pesantren di daerah-daerah yang terkena proyek (c), sedangkan diketahui bahwasannya PPP dan NU (sebagai misal saja, lho!) tak bisa diharapkan bantuannya untuk memenangkan lobi-lobi politik (d), sehingga para kiai Bassra itu harus mengambil langkah yang lebih akomodatif dengan harapan akan terbukanya kesediaan pemerintah untuk berkompromi (e), untuk pada akhirnya diperoleh hasil yang boleh dinilai – melalui assessment para kiai itu sendiri – apakah memuaskan atau tidak (f). Penutup

Page 128: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

126

Dalam praktek, melalui penelitian yang lebih ekstensif dan intensif, penemuan kategori yang supra lewat konstruksi hubungan antar-kategori infra tentulah tak sesederhana itu. Dalam penelitian yang ekstensif dan intensif jumlah kategori tidaklah cuma yang dicontohkan itu saja. Rinciannya ke dalam subjektivitas-subkategori tentulah lebih banyak serta beragam pula. Demikian pula halnya dengan informasi tentang atribut dan dimensinya. Seluruh kategori axial itu pun belum tentu hanya terjadi satu kali dan tergambar dalam satu model. The causal conditions mungkin saja terjadi berulang, dengan fenomen dan dalam konteks serta dengan kondisi intervensi yang berbeda-beda pula.

Sementara itu, hasil axial coding yang telah diperoleh lewat cara yang tak selamanya gampang masih harus dikembangkan lagi dalam suatu konstruksi yang lebih holistik dan bermakna teoretis, melalui suatu proses koding yang disebut selective coding. Dalam selective coding suatu proses untuk menseleksi kategori-kategori guna menemukan kategori mana yang inti atau sentral, yang secara sistematis dapat dipakai secara konsepsional untuk merangkai dan mengintegrasikan kategori-kategori lain dalam suatu jaringan “kisah”. Kisah panjang-lebar yang merupakan paparan diskriptif tentang realitas sosial yang diletakkan dalam fokus kajian ini disebut dengan story. Proses mengintegrasikan kategori-kategori dalam selective coding – yang berakhir dengan story yang bisa dilaporkan ini – tentu saja berlangsung dalam suatu tataran analisis yang jauh lebih abstrak daripada apa yang berlangsung sepanjang proses axial coding. Tak pelak, kepekaan teoretis seseorang peneliti, yakni ketajaman imajinasinya untuk mereka-reka bangunan teoretis dari data dan kategori data yang telah diperolah, sungguh amat lebih diharapkan di sini.

Page 129: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

11

HUKUM DAN PEMAKNAANNYA MENURUT

PENGALAMAN KEBAHASAAN PARA PENGGUNANYA Pengantar ke Arah “Kajian Hukum dengan Pendekatan Semiotika”

Pengantar Pada suatu waktu, beberapa tahun yang lalu, seorang mantan hakim militer pernah menceriterakan suatu kasus kepada saya tentang terpidananya seorang bintara TNI. Bintara itu didakwa dan dipidana karena ia terbukti menembak mati seseorang yang dicurigai sebagai anggota Fretilin, yang dilakukannya di luar prosedur hukum. Bintara itu beralasan bahwa ia melakukan tindakan yang didakwakan itu hanya karena ia itu bermaksud mematuhi perintah atasannya dalam kedudukannya sebagai perajurit bawahan. Dikatakan oleh si bintara terpidana itu di hadapan sidang, bahwa perwira atasannya itu – setelah menerima laporan tertangkapnya seorang penduduk desa yang patut dicurigai sebagai anggota Fretilin – telah memerintahkan kepadanya agar tawanan itu “segera diberesi”. Taat pada perintah atasan, serta merta ia “memberesi” tawanannya itu dengan menggiringnya ke pinggir desa dan kemudian menembaknya sampai mati. Di hadapan sidang, dalam kedudukannya sebagai saksi, sang perwira mengakui apa yang didalihkan sang bintara itu. Ia mengakui bahwa ia waktu itu memang benar telah memerintahkan agar tawanan itu “segera diberesi”. Akan tetapi, demikian dijelaskan olehnya, yang ia maksud “diberesi” dalam perkara itu tidak lain daripada “diberesi urusannya”, bukan “diberesi orangnya”. Mana mungkin seorang perwira memerintahkan dilakukannya suatu perbuatan keji yang bertentangan dengan norma-norma hukum humanitarian. Demikian dikatakan olehnya. Oleh sebab itu, kesalahan mengartikan perintah yang membawa akibat hukum yang serius itu mestilah menjadi tanggung jawab dan harus dipertanggungjawabkan oleh si bintara itu. Hakim rupanya bersetuju dengan keterangan perwira yang bersaksi itu, barangkali saja atas dasar dalih bahwa kata istilah “diberesi” dalam arti “dibunuh” memang tidak didapati dan tak dikenal dalam kamus hukum dan kamus hukum militer (yang resmi) mana pun juga. Maka berdasarkan keyakinannya itu hakim pun memidana bintara yang malang itu dengan pidana penjara serta memecatnya dari dinas kemiliteran dengan tidak hormat. Kasus ini telah lama ditutup. Perbincangannya sebagai perkara yang direview dari perspektif teori-teori (atau tepatnya “doktrin”) positive jurisprudence juga praktis telah tertutup. Akan tetapi kasus ini menarik untuk dibuka dan dikaji kembali dari perspektif lain yang tidak sepenuhnya mesti legalistis menurut doktrin-doktrin kaum positivis. Perspektif yang dimaksud ini adalah perspektif linguistik, yang sesungguhnya – asal orang tidak berpandangan teoretis yang sempit – cukup relevan juga dalam permasalahan hukum. Dapat dikatakan relevan, asal saja orang tidak membatasi diri pada kajian-kajian yang formal-legalistis, dan yang oleh karena itu lalu suka juga beralih ke kesediaan untuk mengakui bahwa apa yang disebut norma-norma

Page 130: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

hukum itu sebenarnya berhakikat sebagai suatu set (atau organisasi) simbol-simbol, khususnya simbolisme bahasa. Adapun yang dimaksud dengan “bahasa” di sini bisa saja meluas sampai meliputi segala bentuk signs/tanda-tanda atau isyarat-isyarat lainnya, di mana hasil-hasil interpretasi para subjek hukum (the interpretants) yang tengah berdialog mengenai suatu objek hukum (the referrant) menjadi amat penting untuk diperhitungkan. Di sinilah awal bekerjanya para pengkaji hukum, yang sebagian dari mereka dikenali sebagai penerus penganut aliran the realistic jurisprudence dan aliran the critical jurisprudence, yang hendak mendalami ihwal hukum dengan pendekatan semiotika. Apakah “semiotika” itu? Apa pulakah relevansinya dengan permasalahan hukum, yang kemudian daripada itu telah mengundang lahirnya analisis-analisis hukum dari perspektif semiotika ini? Adakah relevansi kajian semiotika untuk kepentingan analisis-analisis terhadap permasalahan hukum ini bisa membenarkan lahirnya aliran baru dalam ilmu hukum, yang boleh disebut the semiotic jurisprudence, atau yang kini sudah mulai dipopulerkan dengan nama the legal semiotics? Semiotika: Apakah Itu? Semiotika secara bebas bolehlah didefinisikan sebagai suatu cabang kajian mengenai tanda-tanda kebahasaan yang masing-masing tanda itu – entah yang berupa kata-kata yang diucapkan atau dituliskan, entah yang berupa isyarat-isyarat simbolis lainnya (seperti misalnya antara lain warna atau gerakan anggota tubuh dalam pola tertentu) – merupakan hasil konseptualisasi oleh subjek-subjek yang tengah berwacana mengenai realitas yang ditemui dan dialami.1 Adapun yang dimaksudkan dengan “tanda-tanda kebahasaan” (atau yang dalam istilah teknis aslinya disebut linguistic signs) di sini ialah kata-kata yang diucapkan secara lisan, atau isyarat-isyarat lain yang – seperti halnya dengan kata-kata lisan – memaknakan sesuatu maksud atau objek.

Sebagai metode, semiotika adalah suatu prosedur yang terpakai untuk menganalisis suatu dialog guna mengungkap pesan-pesan yang tengah diimbal-balikkan oleh para pebincang yang terlibat dalam dialog itu. Dalam dialog itu masing-masing pewacana tersimak mendayagunakan sejumlah signs, berikut sistem sign yang memungkinkan signs yang terpakai itu terkoordinasi secara sintagmatis ke dalam suatu pesan yang punya arti. Dalam hubungan ini tidaklah terlampau keliru apabila Roberta Kevelson mengatakan secara ringkas bahwa semiotika itu tak lain adalah a method of inquiry into the process of inquiry,2 juga – seperti yang akan diketahui nanti – dalam permasalahan hukum. Di sini ada tiga ihwal yang perlu diperhatikan. Pertama, bahwa setiap tanda bahasa itu akan tergunakan dalam maknanya yang tidak sekali-kali netral-objektif. Kedua, bahwa dalam masyarakat yang telah berkembang ke dalam strukturnya yang kompleks, kenisbian pemaknaan setiap tanda bahasa akan terjadi, yang kemudian daripada itu akan 1 Sebenanya terdapat banyak definisi tentang semiotika ini, semua itu tergantung dari perspektif dan/atau latar

pengkajinya. Banyak ragamnya definisi ini disebabkan oleh kenyataan bahwa semiotika itu bukan atau belum merupakan suatu cabang kajian yang telah berhasil diunifikasikan dan karena itu bisa diberangkatkan dari satu titik pandang yang sama. Untuk keterangan lebih lanjut baca: Winfried North, Handbook of Semiotics (Bloomington, Ind. : Indiana University Press, 1990), khususnya hlm. 3-4.

2 Roberta Kevelson adalah salah seorang teoretisi terkemuka dalam usaha merintiskan pendekatan semiotika dalam kajian-kajian hukum. Karyanya antara lain: The Law as a System of Signs (New York: Plenum, 1988). Sebagai editor ia menyunting sejumlah tulisan dalam Law dan Semiotics (New York: Plenum, 1987).

Page 131: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

berakibat pula pada terjadinya kemajemukan pada alam kebahasaan masyarakat. Ketiga, alam kebahasaan yang berganda-ganda itu tidak hanya akan ko-eksis melainkan juga terlibat dalam suatu persaingan untuk memperebutkan posisi dominan dalam ihwal pendayagunaannya sebagai sarana kontrol. Setiap Tanda Bahasa Itu Tidak Sekali-kali Bermakna Netral Dalam kajian semiotika akan terungkap bahwa tanda-tanda kebahasaan – khususnya signs yang berwujud antara lain dalam bentuk kata-kata atau istilah-istilah – itu tidaklah akan pernah bersifat objektif dan/atau netral. Dikatakan bahwa tidak akan didapati adanya kata-kata dalam bahasa mana pun juga yang bisa bekerja bagaikan cermin yang mampu memantulkan secara eksak arti suatu realitas objektif macam apa pun. Bagaimanapun juga arti setiap kata yang diucapkan dan gerak isyarat lain apa pun yang ditampakkan (dalam fungsinya sebagai sign) itu selalu saja berubah-ubah, tergantung dari proses kognitif sang subjek yang mengucapkan/mengungkapkan. Setiap tanda selalu mensinyalkan adanya muatan nilai dan/atau maksud subjektif mereka yang tengah berwacana. Perhatikan misalnya kata “anjing”, yang dapat mengasosiasikan pikiran sementara orang pada model hewan yang dapat dididik sebagai kawan setia manusia, namun yang dalam pikiran dan penilaian sementara orang dari khalayak yang lain lagi justru mengundang model yang sebaliknya, yaitu sebagai hewan yang lebih baik disingkiri karena salah satu unsurnya yang najis. Penilaian positif atau negatif ini jelas kalau tidak bersebab dari sesuatu yang objektif dan melekat pada si anjing itu, melainkan muncul sebagai bagian dari proses penilaian para subjek pengguna language sign (yang disebut “kata” atau “istilah”) yang tidak netral itu.

Lepas dari pengalaman dalam kehidupan sehari-hari (seperti misalnya tatkala orang

diperjumpakan dengan hewan yang namanya “anjing” itu), demikian jugalah halnya dengan persoalan tidak netralnya setiap kata (istilah) atau tanda-tanda kebahasaan lain yang dipakai dalam wacana-wacana politik atau bahkan juga yang dijumpai dalam wacana-wacana hukum). Istilah “individu” dan “individualisme”, atau “materi dan “materialisme”, misalnya, bukanlah sekali-kali tanda-tanda kebahasaan yang netral. Itulah istilah-istilah yang dimaksudkan untuk mengedepankan suatu ide yang positif dan diterima dalam nilainya yang positif pula, namun mungkin juga di kalangan-kalangan tertentu tak jarang kata-kata itu melambangkan hadirnya objek-objek yang dimakruhkan atau bahkan diharamkan. Istilah “demokrasi“ adalah istilah yang pada mulanya – bahkan oleh sang pencipta istilah itu sendiri, yaitu Plato – amat berwarna negatif, namun kini dalam lintasan waktu dan ruang telah mengalami perubahan dan menjadikannya amat berwarna positif.

Diketahui bahwa makna sebuah kata atau isyarat bisa juga berubah atau bergeser dari yang dimaksudkan semula dari setting sosial-kultural yang satu ke setting sosial-kultural yang lain. Kata panggilan “bapak” yang digunakan untuk menyapa seseorang pejabat di kantor, misalnya, sudah barang pasti akan mengandung makna dan akan terasa mengandung nuansa emosi yang berbeda apabila digunakan untuk menyapa seseorang tua di tengah kehidupan keluarga. Kata panggilan “bapak” ini pula, yang apabila di Indonesia biasa diletakkan di depan suatu kata nama jabatan, misalnya “Presiden” (yang lalu menjadikannya terucap “Bapak Presiden”), bisa mengherankan banyak warga dari suatu negara lain. Merekapun bertanya

Page 132: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

mengapa tidak digunakan saja kata sebutan yang tidak terlalu bernuansa mempribadi. Di negeri mereka, yang dilazimkan adalah menggunakan kata “mister” di depan kata nama jabatan tersebut, (yang lalu menjadikannya terucap “Mister President”). Sapaan “Mister President” mereka rasakan lebih bernuansa suasana politis yang publik dan zakelijk (karena ini merujuk ke makna “urusan orang banyak yang inklusif dan terbuka serta menyangkuti kepentingan umum”) daripada bersuasana kekeluargaan yang privat dan persoonlijk (yang terkesan lebih merujuk ke makna “urusan kalangan sendiri yang eksklusif dan karena itu tidak perlu ada campur tangan orang luar yang asing”). Masyarakat yang Majemuk dan Alam Kebahasaan yang Majemuk Pula Di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang kian berkembang majemuk – yaitu tatkala wacana-wacana dan dialog-dialog menyertakan subjek-subjek dari berbagai latar sosial dan budaya serta pula latar kepentingan yang berbeda-beda, tidak hanya sebagaimana yang terjadi pada tataran global dan regional akan tetapi yang terjadi pada tataran nasional dan lokal – tak ayal lagi akan berlangsunglah pluralisasi alam kebahasaan dalam kehidupan yang telah kian bertambah kompleks ini. Maka, di tengah kehidupan yang telah kian berkembang majemuk seperti itu, tersimaklah betapa banyaknya bahasa-bahasa eksklusif yang berlaku sebagai specialities. Itulah specialities antar-pihak yang sama-sama gagal mendengar dan memahami pesan lawan bicaranya.

Permasalahan "wacana yang tak nyambung" seperti itu akan bisa menjadi kian rumit lagi

tatkala kegagalan pendayagunaan tanda-tanda bahasa dalam proses imbal wacana itu tidak cuma terjadi pada tataran semantik (yang baru terbatas pada pengertian kata-kata atau arti tanda-tanda bahasa yang lain) akan tetapi juga sudah terjadi pada tatarannya yang sintaktis atau sintagmatis (yang berarti sudah mengena pada soal struktur atau tatanan gramatikal bahasa). Tatkala diketahui lebih lanjut bahwa gramatika itu sebenarnya juga berfungsi sebagai apa yang disebut (linguistic) coordinate system – yang akan menentukan konstruksi mental para pengguna bahasa yang bersangkutan mengenai apa yang sebenarnya tengah atau telah disimaknya – maka permasalahannya akan menjadi lebih rumit dan rawan lagi. Penggunaan berbagai metafora yang khas – yang terekspresi dalam ungkapan yang beragam dari kalangan ke kalangan atau dari situasi ke situasi – akan menambah-nambah kesulitan lagi.

Kata “sikat”, misalnya, apabila diucapkan dengan nada memelas oleh seorang anak

penyemir sepatu yang tengah menawarkan jasa di suatu terminal tentulah akan berbeda arti dengan kata yang sama itu apabila diteriakkan oleh seorang perwira dengan nada perintah tatkala berada pada suatu situasi penyerbuan di medan pertempuran. Berbeda pula arti apabila kata yang sama ini diserukan oleh seorang ayah yang dengan gembiranya menghampiri meja makan (yang telah dikerumuni anak-isterinya), “banyak makanan, nih; sikat terus sampai habis!”. Kata “sikat” yang diucapkan anak penyemir sepatu memunyai arti harafiah, sedangkan yang diucapkan sang perwira dan sang ayah dalam situasi yang lain tentu saja terinterpretasi dalam makna metaforis yang akan berefek lain, yang tentu saja hanya bermakna sebagai interpretant3 bagi mereka yang mempunyai pengalaman kebahasaan yang sama. 3 “Interpretant” adalah suatu istilah teknis yang diciptakan oleh Charles Sanders Peirce untuk menyebut

berbagai “tanda isyarat sebagaimana yang tercipta dan terkembang secara interpretatif dalam alam pikiran

Page 133: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Kesulitan memahami arti kata-kata di luar konteks, dan/atau oleh mereka yang berada di

luar pengalaman kebahasaan komunitas bahasa yang bersangkutan, memang gampang terjadi. Di tengah kehidupan yang telah berkembang kian heterogen dan majemuk besarlah kemungkinan banyak orang untuk tidak tersosialisasi ke/di dalam pengalaman kebahasaan yang sama. Padahal bahasa dengan seluruh tanda-tanda simbolisnya – baik yang berupa kata-kata untuk diucapkan maupun yang berupa isyarat-isyarat simbolis untuk diperlihatkan – adalah semacam partitur bagi para pemain musik. Inilah partitur yang – entah yang dituliskan untuk disimak, entah yang dihafalkan untuk diingat – akan memungkinkan sebuah permainan bisa terkoordinasi dalam suatu keselarasan yang baik. Berperan sebagai apa yang disebut the linguistic coordinate system, bahasa dengan segenap tanda-tanda simbolisnya – sebagai teks gramatikal berikut konteks-konteksnya – adalah “partitur” luar kepala yang memungkinkan kehidupan dalam suatu kolektiva sosial menjadi terkoordinasi dalam suatu keselarasan, bahkan juga tatkala terjadi gangguan-gangguan konflik (yang mendambakan pemulihan susana keselarasan) sekalipun. Alam Kebahasaan dengan Fungsinya sebagai Sarana Kontrol yang Dominan

Perbedaan-perbedaan penggunaan dan pemaknaan tanda-tanda kebahasaan – baik yang berupa kata-kata peristilahan maupun yang berbentuk isyarat-isyarat gerak – itu dalam kenyataan bukanlah perbedaan sembarang perbedaan yang menggambarkan adanya posisi berbagai specialities yang ko-eksis. Dalam kenyataan, posisi berbagai specialities itu lebih acap menggambarkan adanya hubungan dominasi-terdominasi. Di sini alam kebahasaan yang berjumlah banyak ini (dengan fungsinya sebagai linguistic coordinate system sebagaimana disebutkan di muka) acap kali tampak bersaing untuk merebut posisi-posisi dominan, tidak jarang dengan kesadaran tinggi. Dalam hubungan ini tidaklah salah apabila Ben Anderson pernah mengulas-ulas kenyataan bahwa sesungguhnya language is power (dalam perpolitikan Indonesia).4 Di sini kata-kata atau istilah-istilah dan tanda-tanda bahasa lain secara sengaja diproduksi, disirkulasikan dan dipilih secara rasional untuk didayagunakan dalam setiap wacana oleh para penggunanya demi terpenuhi maksud melindungi kepentingan yang mereka pertaruhkan. Di sini tanda-tanda kebahasaan lalu banyak didayagunakan sebagai bagian dari strategi dan taktik untuk memenangkan persaingan, dan dengan demikian juga untuk mengunggulkan suatu kepentingan ke posisinya yang dominan, mengatasi kepentingan-kepentingan lain yang tengah diketengahkan para pesaing. Berikut ini adalah beberapa contoh: Tatkala Pemerintah DKI-Jakarta melakukan pemindahan secara paksa penghuni-penghuni bantaran sungai, atau pula tatkala melarang beroperasinya becak di ibu kota Republik ini, para pejabat yang bertanggung jawab dalam masalah ini secara konsisten selalu menggunakan kata istilah dan/atau isyarat lain yang hendak memperkuatkan kesan bahwa yang tengah mereka tindakkan adalah sesungguhnya suatu “penertiban” (yang mempunyai dasar hukum). Di lain pihak, mereka yang tengah merasa menjadi korban segala keputusan dan tindakan para pejabat itu secara konsisten pula selalu menggunakan dan mengedarkan kata istilah

seseorang”. Penejelasan lebih lanjut tentang definisi ini dapat disimak dalam J. Buchler, ed. The Philosophy of Peirce: Selected Writings (London: Routledge and Paul Keagan, 1956), hlm. 98-119.

4 Benedict Anderson, ed., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell Universty Press, 1990).

Page 134: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

yang hendak meneguhkan kesan dan gambaran bahwa yang tengah dilakukan para pejabat dan aparatnya itu benar-benar merupakan serangkaian tindakan “penggusuran” dan “penggarukan” (yang tak berperikemanusiaan). Demikian pulalah halnya dengan penggunaan istilah “penjarahan tanah” yang selalu diucapkan oleh para pejabat pemerintah – tatkala mereaksi usaha massa petani memasuki lahan-lahan perkebunan di berbagai daerah di Jawa – yang dilawan oleh para petani dan aktivis pembelanya dengan penggunaan kata istilah “reclaiming hak” untuk membenarkan segala tindakan memasuki tanah-tanah perkebunan. Serangan dan serangan balik bersaranakan tanda-tanda bahasa – baik yang terucap dalam retorika maupun yang terekspresikan dalam bentuk gambar dan/atau isyarat lain – oleh para pihak yang tengah bertikai agar memperoleh posisi yang lebih dominan, dan yang kemudian daripada itu memungkinkan pihaknya mendominasi lawan, tentu saja akan ikut ditentukan oleh kesediaan media massa untuk mensirkulasikan alias mempopulerkan tanda-tanda atau salah satu dari tanda-tanda itu. Yang lebih terpilih untuk kemudian tersirkulasi dan menjadi populer dalam penggunaan tentulah akan lebih mendominasi wacana. Perhatikan misalnya penggunaan istilah “kafir” (dalam suatu “perang retorika” dalam kehidupan beragama) yang lebih dominan daripada penggunaan kata istilah “beragama lain”, atau istilah “murtad” yang lebih mendominasi kata istilah “beralih atau memilih agama sesuai dengan keyakinannya”. Sekali lagi hendak dinyatakan dan hendak dibuktikan di sini bahwa tanda-tanda bahasa itu tak satu pun yang netral, dan bahkan lebih dari itu berbagai tanda itu secara sengaja diciptakan dan disirkulasikan luas-luas untuk mempengaruhi dan menguasai alam pikiran orang dalam jumlah massal, dalam rangka usaha memperebutkan posisi-posisi sosial-politik ataupun kultural yang dominan. Semiotika dan Kedayagunaannya untuk Menganalisis Masalah-Masalah Hukum Dari paparan terurai di muka dapatlah disimpulkan sekurang-kurangnya tiga ihwal berikut ini. Pertama-tama diketahui bahwa setiap kata istilah dan isyarat atau tanda-tanda bahasa lainnya itu tidaklah sekali-kali bernilai netral dan objektif melainkan selalu tergunakan secara subjektif guna memihak maksud atau kepentingan tertentu. Kedua, diketahui bahwa setiap kata istilah dan isyarat atau tanda-tanda kebahasaan lainnya itu – baik secara bersendiri yang semantik maupun dalam suatu aksis sintagmatis – amat boleh diduga selalu juga merefleksikan alam pengalaman sosial-kultural para pewacana penggunanya (yang secara ringkas boleh disebut saja “pengalaman kebahasaan”), yang sekaligus sesungguhnya juga merefleksikan keberpihakan sosial-kultural dan/atau kepentingannya yang eksklusif. Ketiga, di tengah kehidupan yang kian bersifat majemuk dengan berbagai keberpihakan dan kepentingan yang bersaing-saingan, akan terjadi proses mendominasinya pengalaman kebahasaan kalangan-kalangan tertentu dengan kepentingan-kepentingan tertentu di hadapan dan terhadap kalangan-kalangan lain dengan kepentingan-kepentingan lain.

Tak perlu banyak diperdebatkan lagi bahwa ketiga simpulan tersebut di muka ini dapat berdaya guna untuk menganalisis berbagai permasalahan hukum, baik yang terjadi tatkala masih dalam proses penciptaannya in abstracto di lembaga-lembaga legislatif maupun yang timbul kemudian tatkala berlangsung sepanjang proses konkretisasinya (sebagai putusan-putusan) di lembaga-lembaga eksekutif-administratif dan lembaga-lembaga yudisial. Bagaimanapun juga, hukum itu adalah sejumlah teks, yang – baik yang positif dan tertulis maupun yang implisit dan

Page 135: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

lesan – selalu terdiri dan terbangun dari kata-kata istilah berikut hasil abstraksi-abstraksinya ke dalam wujud konsep, asas dan/atau doktrin. Berkenyataan sebagai teks yang terorganisasi ke dalam suatu sistem norma yang terintegrasi berkat bekerjanya sejumlah doktrin, hukum menampilkan sekian banyak tanda dan isyarat yang hanya dapat dipahami dalam berbagai maknanya tatkala pendekatan semiotika pada teks-teks itu – baik tatkala teks-teks itu masih berada dalam bentuk aslinya maupun tatkala sudah dalam bentuk interpretatifnya – dapat dikerjakan. Setiap Unsur dalam Teks Hukum Mengandung Makna yang Tak Sekali-kali Netral

Tatkala diketahui bahwa semua istilah dan seluruh bangunan yuridis itu sebenarnya berhakikat sebagai tanda-tanda kebahasaan, dan tanda-tanda ini dikatakan tak pernah bersifat netral melainkan mencenderungkan pemihakan, maka sungguh lebih realistislah tatkala orang mengatakan – berdasarkan kesadaran yang dikonstruksi dengan perspektif semiotika yang kritis – bahwa tidaklah ada ceriteranya bahwa hukum itu bersifat netral dan independen untuk tidak menyatakan keberpihakan. Merujuk kembali ke contoh di muka, berkenaan dengan kata “diberesi”, misalnya, ternyata kata ini bisa termaknakan secara berbeda, tergantung dari konteks ruang dan waktu serta kepentingan pewacananya yang berbeda-beda. Dari contoh di muka itu nyata dan jelas bagaimana seorang subjek mendayagunakan semantik yang berbeda-beda, tergantung dari kedayagunaannya untuk melindungi kepentingan dalam konteks yang berbeda-beda pula. Tatkala sudah berada di ruang sidang pengadilan, si subjek itu memilih secara rasional untuk memilih the linguistic coordinating system yang yuridis daripada the linguistic coordinating system yang militeristis. Dengan mudah ia bergerak di aksis semantik untuk menyelamatkan diri dari ancaman sanksi hukum.

Kata “diberesi” yang dalam situasi pertempuran dan ketentaraan bisa saja telah

tersepakati dan tergunakan bersama – oleh siapa pun di situ, baik yang perwira maupun yang bintara dan prajurit – dalam artinya yang tidak lagi umum sebagaimana yang telah dibakukan dalam kamus-kamus. Alih-alih, kata “diberesi” itu telah bermakna khusus sebagai suatu speciality informal, yaitu sebagai suatu term khusus yang berlaku di kalangan tertentu, yang di sini ini telah terlanjur biasa digunakan untuk mengganti kata “ditiadakan”, “dibinasakan” atau lebih vulgarnya “dibunuh”. Akan tetapi ketika kata “diberesi” itu ditransfer sebagai istilah yang relevan dengan kepentingan proses peradilan yang formal, nota bene dunia para profesional yang “beradab”, seperti tiba-tiba saja kata itu lalu berwarna dan bermakna amat berbeda.

Dalam semiotika terungkap kenyataan bahwa bahasa yang digunakan oleh kalangan tertentu akan membangun pemikiran tertentu di kalangan tertentu itu. Kata “diberesi” tersebut di muka menyatakan hal itu. Kata “diberesi” yang berlaku di kalangan orang-orang militer (seperti misalnya juga kata “disikat”) itu telah menstrukturkan pengertian dan pemikiran lain dari apa yang terjadi di kalangan hukum sebagaimana ternyatakan di sidang pengadilan yang resmi sebagaimana dicontohkan di muka. Jelas di sini bahwasanya para pengguna bahasa (tatkala menggunakan kosa kata berikut gramatikanya) itu selalu amat berkecenderungan untuk mereaktualisasikan kembali apa yang pernah dijalani dan dialami dalam pengalaman komunikasi dan/atau observasi-observasinya. Tatkala pengalaman para bintara di medan pertempuran sungguh berbeda dari apa yang dialami para jaksa dan hakim yang berkuasa membuat amar

Page 136: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

putusan, maka akan berbeda pulalah apa yang ingin direaktualisasikan oleh kedua pihak lewat bahasa, gramatika dan/atau kosa kata yang terpakai.

Perhatikan pula misalnya contoh berikut ini, sekali lagi mengenai penggunaan kata “beres” dalam suatu perilaku yang relevan dengan pengalaman dalam kehidupan hukum. Kali ini para subjeknya adalah seorang klien dan seorang pengacara yang berwacana dalam suatu situasi lain. Sang klien mendatangi seorang pengacara guna minta dibantu memenangkan perkara yang akan segera disidangkan pada tingkat pertama. Setelah selesai menyatakan maksud dan persoalannya, terjadilah wawanjawab yang berlangsung sebagai berikut:

Pengacara : “Sudah disiapkan?” Klien : “Ada Pak” (sambil mengeluarkan amplop besar berwarna coklat, lalu meletakkannya di meja di hadapan pengacara).

Pengacara : “Berapa?” (sambil meraih amplop itu, tetapi tidak membukanya). Klien : “Sepuluh em. Nanti Bapak hitung sendiri lagi. …. Cukup?”. Pengacara : “Sementara cukuplah. Ini perkara bisa lama dan mahal, lho!” Klien : “Terserah Bapaklah. Pokoknya bisa Bapak beresi, dah!” Tak pelak lagi, kata “beres” dalam percakapan di kantor pengacara ini tidaklah bersuasana sama dengan apa yang terjadi di suatu markas militer dan di suatu ruang sidang pengadilan militer sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini. Sekalipun sama-sama menggunakan kosakata “beres”, tidaklah kata “beres” di kantor pengacara ini hendak diartikan sebagai padanan kata “bunuh”. Nyata kalau kata “beres” dalam suasana kontekstual yang berbeda itu merujuk ke maksud reaktualisasi pengalaman yang berbeda pula. Namun, di kedua suasana itu, para pelaku dapat saling menangkap pesan dan saling paham. Itu semua tak lain berkat pengalaman yang sama, dan bukan sekali-kali karena memiliki kamus resmi yang sama dengan leksikon yang sama pula. Hukum sebagai Alam Kebahasaan yang Khusus dan Eksklusif di Tengah Kehidupan Bermasyarakat yang Kian Majemuk dan Heterogen Dalam pergaulan hidup yang nyata, di dalam maupun di luar konteks formalitas hukum, orang memang akan berinteraksi dengan tanda-tanda bahasa dan isyarat-isyarat simbolis mereka sendiri. Itulah speciality, “bahasa eksklusif” yang – walaupun tak diakui dan tak dimengerti oleh mereka yang berada di ranah hukum yang berbahasa formal – ternyata efektif juga untuk menuntaskan suatu transaksi yang akan berakibat cukup jauh dalam kehidupan hukum. Pengalaman bersama dalam ihwal mendayagunakan tanda-tanda kebahasaan yang telah mengendap sebagai memori kolektif – dengan fungsinya sebagai “partitur luar kepala” ini – sesungguhnya berhakikat sebagai alam kebahasaan khusus setiap satuan pergaulan. Inilah alam kebahasaan yang dikatakan akan bekerja mengkoordinasi dialog para pihak di situ, demikian rupa sehingga apa yang diimbal-wacanakan di situ menjadi bermakna dan berfungsi dengan baik sebagai media transaksional antar-pihak. Alam kebahasaan yang dipahami dan dirujuk bersama – yang dikatakan berfungsi bagaikan “partitur luar kepala” – inilah yang di dalam istilah teknisnya sebagaimana yang telah dikatakan di muka disebut the linguistic coordinate system.

Page 137: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Maka, merujuk kembali ke contoh di muka, nyata bahwa perbedaan arah pengertian kata “beres” tatkala digunakan di markas militer dan ketika digunakan di kantor pengacara – dan pula ketika dicobapahamkan di sidang pengadilan – tidaklah cuma bersebab dari perbedaan arti kata menurut leksikonnya. Perbedaan dalam mengartikan itu bisa dijelaskan lebih jauh sebagai perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan pengalaman dan alam kebahasaan yang disebut the linguistic coordinate system itu. Dalam praktik akan diketahui nanti betapa banyaknya linguistic coordinate system yang berlaku di dalam kehidupan yang kini kian lama kian kompleks. Seperti telah dikatakan, linguistic coordinate system yang berjumlah banyak ini bisa saja ko-eksis, akan tetapi acap pula bersaing untuk menghasilkan mana yang dominan dan mana yang terdominasi.

Dalam kehidupan hukum yang bersitegak atas dasar rasionalitas yang formal – seperti

misalnya yang terjadi di ruang sidang mahkamah militer sebagaimana yang dirujuk pada awal tulisan ini – alam kebahasaan para yuris di situ (sekalipun mereka adalah juga orang-orang militer) akan lebih dominan untuk “mengkoordinasi” seluruh percakapan sidang daripada apa yang dapat diperankan oleh pengalaman kebahasaan para perajurit ketika masih berada di lapangan. Tak pelak lagi, mereka yang dapat mendayagunakan alam kebahasaan yang diposisikan dominan akan lebih diuntungkan daripada mereka yang alam kebahasaannya berada dalam suatu posisi yang terdominasi, atau bahkan lebih celaka kalau sampai teringkari. Dalam contoh di muka, sang perwira akan diuntungkan (secara hukum, sekalipun belum tentu demikian halnya tatkala diwawas berdasarkan pertimbangan normatif yang lain) daripada si bintara yang alam kebahasaannya tidak diakui dan bahkan telah diingkari. Hukum dengan Teks-Teks yang Berfungsi sebagai Interpretant yang Dominan untuk Mengefektifkan Kontrol oleh Kelas Sosial-Ekonomi Tertentu Sekalipun berulang dikatakan bahwa sistem kebahasaan yang berfungsi mengkoordinasi seluruh perbincangan agar bermakna itu terlahir lewat pengalaman, akan tetapi tidaklah berarti bahwa proses penjadiannya berlangsung lewat proses-proses yang alami tanpa intervensi. Dalam praktik, sistem itu bukan hanya sekali dua kali merupakan hasil ciptaan dan konstruksi yang bersengaja. Sirkulasinya ke tengah khalayak pengguna pun tidak mustahil kalau direncanakan dan/atau diupayakan oleh sejumlah oknum pendukung kepentingan guna merebut posisi yang dominan dan diuntungkan. Mereka inilah perawat dan penjaga alam kebahasaan yang sudah berhasil merebut posisi dominan untuk berfungsi tanpa halangan sebagai suatu linguistic coordinate system dalam suatu forum tertentu. The juridic linguistic coordinate system, misalnya, adalah suatu alam kebahasaan yang tercipta untuk mendominasi seluruh wacana yang berlangsung dalam suatu forum yang dinamakan “sidang-sidang pengadilan” dan/atau proses hukum lainnya. Mereka yang tak menguasai sistem pengkoordinasi kebahasaan yang khusus ini tentu saja akan terkucil dari seluruh wacana di forum itu, sekalipun banyak kepentingan pribadinya telah terlanjur dipertaruhkan di sini.

Dalam kajian-kajian legal semiotics yang berangkat dari paradigma strukturalisme konflik dengan nuansanya yang Neo-Marxian, adanya kesengajaan kelas-kelas mapan untuk mengembangkan suatu linguistic coordinate system yang mendominasi percaturan hukum amatlah nyata diungkapkan dan dikiritik. Di sini hukum digambarkan sebagai teks-teks normatif yang tersusun dalam berbagai linguistics signs yang teknis dan khas yang – diakui atau tidak –

Page 138: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

sesungguhnya mengandung secara sembunyi-sembunyi berbagai pesan kepentingan para pembuat dan pensirkulasinya (yang umumnya lebih tanggap pada kepentingan para pelobi daripada kepentingan khalayak umum. Maka, pada akhirnya, teks-teks perundang-undangan dengan posisinya yang dominan dalam percaturan hukum nasional itu – sebagaimana diproduksi oleh para politisi di badan-badan legislatif dan sebagaimana diinterpretasi menurut doktrin-doktrin kaum positivis di badan-badan yudisial yang serba semantik – lalu menjadikan khalayak awam teralienasi dari segala bentuk proses pendayagunaan hukum yang mendambakan interpretasi-interpretasi yang lebih substantif.5

Di sini, the juridical linguistic coordinate system akan difungsikan sebagai sarana yang utama dan satu-satunya untuk bisa mengkoordinasi komunikasi di forum-forum percaturan hukum, baik yang di tengah maupun yang di luar penyelesaian perkara. Siapa pun yang akan terjun untuk berperan ke dalam proses yang berlangsung di forum-forum ini mestilah mempunyai keahlian profesional – dan belajar keras untuk maksud itu – agar dapat ikut mengontrol the coordinate system itu demi kepentingannya. Maka, karena the popular non-juridical linguistic coordinate system yang dikuasai khalayak ramai yang massa awam itu tak dikenal dan tak terpakai di setiap ruang sidang pengadilan dan/atau tak pula dikenal di lingkungan birokrasi pemerintahan maka akan amat sulitlah bagi mereka yang awam ini untuk memperoleh akses guna ikut memperdengarkan suara dan kepentingan mereka bersaranakan bahasa-bahasa awam yang mereka kuasai.

Kaum liberal yang meyakini kebenaran paham bahwa setiap orang itu memiliki

kesempatan yang sama untuk memilih atau tak memilih, dan mendayagunakan atau tak mendayagunakan, tidak akan mau percaya bahwa ada dominasi oleh kelas sosial tertentu dalam ihwal mendayagunakan hukum untuk melindungi hak dan kepentingan. Akan tetapi siapa pun tahu bahwa dalam realitasnya hal itu tidaklah demikian. Hukum nyata-nyata menggunakan tanda-tanda bahasa yang demikian teknis, canggih dan yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang profesional dan terdidik khusus untuk dapat mengenali dan mendayagunakan tanda-tanda bahasa khusus yang membentuk teks-teks hukum itu. Mereka yang awam dan tidak terlatih secara khusus untuk maksud itu – dan oleh sebab itu pula tak akan mampu memahaminya apa lagi mendayagunakannya – akan serta merta terpinggirkan pada suatu posisi yang tidak diuntungkan, atau malah terkucil dari kehidupan hukum. Kehidupan hukum untuk mereka yang awam ini pun lalu serta merta merupakan sesuatu yang mewah, sulit diakses, dan jauh dari kemungkinan bisa didayagunakan begitu saja.

Bagaimana mereka yang awam itu dapat berwacana berdasarkan pengalaman berbahasa

para elite profesional di bidang hukum itu kalau mereka hanya mengenal istilah “sirik” sebagai tanda bahasa yang bermakna terbangunkannya rasa malu yang amat sangat, yang kemudian daripada itu akan membenarkan dilakukannya tindakan untuk menghalalkan darah mereka yang berani menghina kehormatan keluarga. Padahal, sementara itu, the linguistic coodinate system yang harus difungsikan oleh para ahli dalam wacana hukum yang berdominasi di setiap forum formal itu tidak pernah mengenal apa yang disebut “sirik” itu, apalagi konsekuensinya yang akan berupa tertumpahnya darah. Yang mereka kenal adalah istilah “penghinaan” atau “perbuatan tidak menyenangkan” yang pada hakikatnya merupakan pelanggaran pasal-pasal atau salah satu 5 Ikuti apa yang ditulis Cass R. Sunstein, Legal Reasoning and Political Conflict (New York: Oxford University

Press, 1996), hlm. 122-125.

Page 139: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

pasal yang termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang hanya akan berkonsekuensi hukum tatkala si korban mengadu ke pejabat nasional yang berwenang. Contoh lain mengenai persoalan macam ini masih banyak yang bisa disebutkan, salah satu di antaranya adalah hal sulitnya apa yang disebut “santhet” yang amat hidup dalam alam kebahasaan masyarakat awam, namun sulit memperoleh aksesnya ke dalam alam kebahasaan para elite hukum, bahkan pula ke alam kebahasaan mereka yang ahli-ahli di bidang hukum pidana dan kriminologi, yang konon pernah dan tengah sibuk melakukan pembaruan hukum pidana.

Di tengah kehidupan nasional dan transnasional yang kian kompleks dan penuh

komplikasi dewasa ini, yang tengah terjadi bukan hanya adanya fakta kemajemukan alam kebahasaan antara yang dikuasai para elite yang dominan dan yang dipahami para awam yang tersubordinasi. Di tengah kehidupan transisional yang telah mulai bersifat lintas perbatasan – baik yang fisik-geografis maupun yang sosial-kulutral – segala perubahan dan perkembangan ini telah pula mengundang terjadinya kompetisi dan kontes-kontes antar-puak, masing-masing dengan alam dan pengalaman kebahasaannya sendiri, untuk memperebutkan posisi dominan di forum-forum formal. Dalam hubungan ini dapatlah diingat, sebagai salah satu contoh, kasus kematian seorang anggota Laskar Jihad di Maluku setahun-dua tahun yang lalu berkaitan dengan tuduhan yang diakui olehnya dalam kasus perkosaan. Di sini dapat disimak dengan jelas terjadinya dua alam kebahasaan yang sama-sama relevan dengan persoalan hukum, namun yang jelas-jelas berseberangan, bahkan berlawan-lawanan. Memperebutkan posisi dominan dalam suatu percaturan, Panglima Jafar dari Laskar Jihad merujuk penghukuman mati ke pelaku perkosaan sebagai “tindak merajam berdasarkan (alam kebahasaan) hukum Islam”, sedangkan Kapolri pada waktu itu, Jenderal Bimantoro menyebut penghukuman mati itu sebagai “perbuatan pidana melakukan pembunuhan yang dilarang (berdasarkan alam kebahasaan) suatu pasal dalam perkara pembunuhan di KUHP”.

Menarik pula untuk disimak dan diikuti ihwal pembaruan hukum yang berhakikat sebagai permasalahan semiotika. Para aktivis pengkaji hukum dari perspektif perempuan – khususnya yang menggolongkan diri ke dalam penganut aliran feminist jurisprudence – menuduh seluruh sistem hukum perundang-undangan nasional itu amat male based dan male biased, dan kentara sekali kalau dikonstruksi menurut alam kebahasaan kaum lelaki. Baik dalam hukum perdata (khususnya yang berkaitan dengan perkara perkawinan) maupun dalam hukum pidana (khususnya yang berkaitan dengan perkara perkosaan), nyata sekali kalau the juridical linguistic coordinate system memudahkan tafsir-tafsir yang akan memberikan posisi dominan kepada para lelaki dengan segenap kepentingan hidupnya, sedangkan sementara itu akan mendudukkan para perempuan ke posisi-posisi layanan yang tersubordinasi. Bertolak dari premis “hukum nasional yang male biased inilah datangnya penjelasan mengapa usaha memasukkan istilah marital rape sebagai tanda bahasa yang baru ke dalam kitab undang-undang hukum pidana yang tengah akan diperbarui menjadi amat terhalang dan terancam gagal. Tak lain karena alam kebahasaan para anggota badan legislatif – yang selalu dihegemoni oleh alam kebahasaan para anggota yang mayoritas lelaki – tak pernah mengenal untuk bisa menerima marital rape sebagai tanda bahasa yang baru, yang bermaknakan perkosaan terhadap perempuan siapa pun, apa pun status sosial perempuan itu. Mereka yang lelaki dengan jumlahnya yang mayoritas dan posisinya yang dominan itu hanya mengenal perbuatan pidana perkosaan sebagai “perkosaan terhadap perempuan sesiapapun, kecuali yang berstatus sebagai isteri”.

Page 140: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Legal Semiotics atau Semiotic Jurisprudence: Metode Analisis atau Aliran Teori Baru dalam Ilmu Hukum? Banyak penyelesaian perkara-perkara hukum yang dewasa ini dipandang masih amat kurang memuaskan oleh khalayak ramai. Dengan perasaan yang teramat kurang puas, mereka yang awam ini gampang berprasangka akan adanya sesuatu yang koruptif sepanjang proses, tak lain yaitu sebagai akibat ulah laku para hakim, jaksa dan pengacara yang menyalahi hukum yang berlaku. Sementara itu para aktivis lebih berani menuduh bahwa segala ketidakadilan itu bersumber dari tiadanya lagi kemampuan hukum formal – yang dibangun berdasarkan falsafah dan teori-teori positivisme dalam ilmu hukum – untuk memenuhi fungsinya sebagai sarana kontrol (yang sekaligus mestinya juga harus lebih bersifat fasilitatif6) dalam kehidupan bermasyarakat yang telah kian bertumbuh dam berkembang ke bentuk struktural organisatorisnya yang kian kompleks, majemuk dan heterogen. Dikatakan bahwa positivisme sebagai dasar paradigma hukum modern telah mengalami krisisnya di tengah kehidupan yang telah berubah pesat ini, khususnya amat terasa di Amerika Serikat yang para eksponennya dengan pasti kian mengukuhi paham pragmatismenya yang klasik, namun yang juga jelas memberikan preferensi yang tinggi pada realisme, tak ayal pula dalam kehidupan hukum.

Analisis dari perspektif semiotika adalah salah satu contoh realisme dalam pemikiran dan analisis hukum, baik pada tataran paradigmatis-teoretis maupun pada tataran produk legislatif dan kasus-kasus konkretnya di sidang-sidang pengadilan. Analisis-analisis semiotika memang diprakarsai oleh para realis yang memulai aktivitasnya dalam bentuk gerakan-gerakan sosial-politik untuk melakukan pembaruan dalam tatanan sosial dan tatanan hukum, dan baru kemudian disusul oleh gerakan-gerakan yang lebih bersifat akademis dalam bentuk dekonstruksi-rekonstruksi paham dan teori dalam percaturan ilmu hukum. Gerakan legal realism yang disusul oleh maraknya the realist jurisprudence ini – sebagai penerus usaha sociological jurisprudence yang terlalu teoretis dan retoris sebagaimana dirintis oleh Roscoe Pound untuk mengkaunter aliran legal mechanism yang sangat positivistis dari Langdell – berlangsung pada sekitar tahun-tahun 1940-1960-an, sebelum kemudian surut menjelang datangnya dasawarsa 70-an. Revitalisasi kaum realist dalam bentuk gerakan kritik pada hukum perundang-undangan yang ada baru tersimak sepanjang tahun-tahun awal 80-an, dan analisis-analisis mereka yang kritis dari perspektif semiotika oleh salah satu fraksinya adalah model metodologinya yang signifikan.7 Di Indonesia, sekalipun seruan untuk melakukan reformasi hukum amat kuat dan terlalu sering dikumandangkan, hasil akhirnya tetaplah tak terlihat. Tak lain karena apa yang dikerjakan dalam upaya pembaruan itu hanya berlangsung pada tataran norma-norma perundang-undangannya yang positif belaka. Pembaruan tidak pernah menukik ke upaya untuk medekonstruksi dan merekonstruksi seluruh sistem hukum nasional berdasarkan paradigma- 6 Mengenai hukum yang dikonsepkan lebih sebagai pemberi kemudahan berperilaku dalam masyarakat daripada

sebagai lembaga kontrol yang represif, dapat dibaca dalam Niklas Luhmann, A Sociological Theory of Law (London: Routledge & Kegan Paul, 1985).

7 Perkembangan yang dipaparkan sepanjang paragraf ini dapat dibaca kembali dalam uraian yang sekalipun ringkas namun lebih rinci dalam karya Dragan Milovanovic, A Primer in The Sociology of Law (New York: Harrow and Heston, 1994), hlm. 84-118 tentang “Between Legal Science and Sociology of Law” dan khususnya hlm. 141-184 tentang “Semiotics and Critical Approaches in The Sociology of Law”.

Page 141: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

paradigma baru yang nonpositivistis dan nondoktrinal, yang harus diawalmulakan sebagai gerakan sosial-politik guna melakukan dekonstruksi-dekonstruksi itu. Pembaruan hukum yang dikerjakan atas dasar doktrin-doktrin klasik kaum positivis yang pada dasarnya juga beraliran paham liberal – yang lebih berpreferensi pada kepastian hukum undang-undang daripada kemanfaatan segala amar putusan hukum untuk kemaslahatan umum – tidaklah akan berhasil mentransformasikan hukum ke konfigurasi dan fungsinya yang baru sebagai suatu pranata yang berfungsi fasilitatif bagi kemaslahatan massa awam. Selama alam kebahasaan – demikian kritik dari perspektif semiotika – tidak mengalami transformasi reformatifnya (yang hanya bisa dianjurkan sebagai politik/kebijakan hukum yang baru lewat bantuan analisis-analisis semiotika), selama itu pula reformasi hukum di negeri ini hanya merupakan dambaan yang hanya terealisasi dalam bentuk retorika pada tatarannya yang normatif di ranahnya yang formal belaka. Tidak kurang dan tak akan lebih.

Page 142: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

12 TRANSPLANTASI HUKUM KE NEGARA-NEGARA

YANG TENGAH BERKEMBANG, KHUSUSNYA INDONESIA Negara dan Karakteristik Hukum Negara KITA sekalian dewasa ini hidup di suatu zaman yang terbilang mutakhir, dalam suatu masyarakat yang dikelola dalam wujud sebagai organisasi negara, dengan pola-pola kehidupan yang secara formal distrukturkan oleh seperangkat kaidah khusus (disebut hukum negara), berupa seperangkat hukum tulis yang disistematikkan dan dirasionalisasikan secara formal, dan ditegakkan oleh suatu aparat birokratik yang diberi kewenangan memaksa. Patut diketahui dan diingat bahwa organisasi negara itu dan karenanya juga apa yang disebut hukum negara itu sesungguhnya merupakan suatu gejala baru dalam kehidupan manusia. Negara adalah suatu produk evolusi dalam sejarah kehidupan manusia yang panjang, berawal dari bentuknya yang embrional dalam masa prasejarah, berupa organisasi kerabat sedarah yang sekalipun lokal namun toh diikat oleh perasaan solidaritas yang lebih ditentukan oleh perasaan berkesamaan darah dari pada perasaan berkesamaan teritori. Perkembangan evolusioner dari satuan-satuan lokal genealogis ke komunitas-komunitas tribal yang memadukan unsur genealogis dan teritorial, dan seterusnya ke masyarakat-masyarakat bangsa yang disatukan oleh rasa berkesamaan budaya dan teritori, dan/atau ke negara bangsa yang teritorial dan merasa berkesamaan nasib dalam sejarah, amatlah panjangnya, dan sudah bermula pada masa prasejarah.1

Dalam evolusi kehidupan, kehidupan bernegara adalah suatu wujud performansi kehidupan yang berada pada taraf yang relatif lanjut. Kehidupan bernegara adalah suatu kehidupan yang hanya dimungkinkan manakala suatu sistem superorganisme dalam proses perkembangannya telah mencapai kemampuan bereksistensi sebagai suatu sistem kehidupan dengan energi tinggi. Negara adalah manifestasi kemampuan manusia dalam tarafnya yang relatif tinggi untuk mengonsentrasikan dan mendayagunakan energi dalam jumlah yang amat besar untuk mengontrol suatu jaringan kehidupan yang tak hanya beruanglingkup luar akan tetapi juga kompleks2. Konsentrasi energi yang terkonversi sebagai kekuatan politik ini, berada di tangan atau dikontrol secara langsung atau tidak langsung oleh suatu badan administratif yang disebut “pemerintah”, akan meniadakan setidak-tidaknya akan amat mengurangi otonomi-otonomi lokal, dan mengubah segmen-

1 Bacalah: Elman R. Service, Primitive Social Organization: An Evolutionaty Perspective (New York:

Random House 1962): R.L. Carneiro. “A Theory of The origin of The State”, Science Th. CLXIX (1970), h. 733-738: Elman R. Service, Origins of The State And Civilization: The Process of Cultural Evolution (New York: Norton, 1975); J Pfeiffer, The Emergence of Society (New York: McGraw; Hill 1977).

2 Fred Cottrell, Energy and Society (New York: McGraw, Hill 1955), h. 256 dst.

Page 143: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

129

segmen lokal itu menjadi komponen-komponen fungsional yang tunduk pada rancangan-rancangan rasional organisasi skala besar yang disebut negara itu. Perkembangannya yang pasti akan menganut pola evolusi, ialah perkembangan progresif dari satuan-satuan (komunitas) yang homogen namun independen ke satuan-satuan mutakhir yang heterogen namun interdependen dalam wujud suatu satuan sistem yang terintegrasi.3 Adalah Henry Maine, seorang antropolog Inggris denga karya pemikirannya yang klasik, yang sudah pada tahun 1861 menteorikan bahwa masyarakat memang bergerak secara evolusioner dari tipenya yang tradisional (yang dikonstruksikan sebagai satuan-satuan kehidupan yang berupa keluarga-keluarga sedarah, dan kemudian feodal) ke tipenya yang modern (yang lebih bersifat sekular dan teritorial). Sejalan dengan itu, masyarakat yang semula terstruktur secara tegar menurut pola distribusi hak dan kewajiban berdasarkan status-status yang telah tetap antar-warga berubah secara berangsur menjadi suatu masyarakat yang terstruktur secara lebih luwes dan lebih bervariasi menurut pola distribusi hak dan kewajiban berdasarkan kesepakatan-kesepakatan kontraktual yang dibuat oleh para warga secara suka dan rela. Menurut Maine, masyarakat yang telah berkembang kompleks, menjadi besar, dan penuh dengan interdependensi ekonomi, tak terelakkan akan mengalami disorganisasi pada struktur-strukturnya yang lama yang berorientasi ke status itu, dan seterusnya akan melahirkan struktur-struktur baru yang bertumpu pada jalinan kontrak-kontrak.4 Max Weber, seorang sosiolog Jerman yang hidup selang satu generasi sesudah Maine, dengan menggunakan data sejarah Eropa berkesimpulan bahwa masyarakat modern yang dikonsepkan sebagai masyarakat kontrak oleh Maine adalah suatu masyarakat yang mengalami rasionalisasi. Dalam masyarakat seperti ini hukum yang berfungsi sebagai determinan struktur sosial akan direkonstruksi dari wujudnya yang semula menekankan substansi (lengkap dengan kandungan etiknya) ke wujudnya yang kemudian lebih menekankan bentuk-bentuknya yang formal. Maka, sejalan dengan terwujudnya masyarakat-masyarakat baru yang diorganisasi ke dalam wujud negara bangsa yang modern, disitu akan dijumpai proses-proses yang berjalan manuju ke birokratisasi pemerintahan dan militer, dan ke rasionalitas hukum yang serba formal.5 Proses seperti itu dengan ringkas bolehlah disebut sebagai proses ke arah terwujudnya hukum yang otonom.6 Atau proses positivisasi hukum7 menuju kewujudnya sebagai hukum yang beratribut formal, dimana konsep-konsepnya serba abstrak namun dengan proposisi-proposisi normatif yang serba eksak dan dengan pelaksanaan-pelaksanaan yang serba prosedural. Positivisme hukum dan otonomisasi sistem penyelenggaraannya yang serba formal, positif-rasional, dan prosedural itu dengan implikasinya terjadinya profesonalisasi

3 Cf: Emile Durkheim, The Division of Labor in Society (Giencoe. III: Free Press, 1964): (terjemahan

dari sumber aslinya De La Division Du Travail oleh George Simpson). 4 Henry S Maine, Ancient Law (New York: Dutton, 1960): terbit pertama kali pada tahum 1861. 5 Teori-teori Weber mengenai ihwal ini dapat diikuti dalam karyanya tentang Wirtschaft und

Gesellschaft yang telah disunting dalam bahasa Inggris oleh Max Rheinstein (ed.) Max Weber on Law in Economy and Society (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1954).

6 Lihat: Philippe Nonet dan Philipe Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law (New York: Harper & Row, 1978)

7 Dikaji menurut versi seorang neo-evolusionis oleh Niklas Luhmann dalam Niklas Luhmann, A Sociological Theory of Law (London: Routledge & Kegan Paul, 1985),h. 103-158; (terjemahan dari sumber aselinya, Rechtssoziologie, oleh Elizabeth King-Utz dan Martin Albrow)

Page 144: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

130

hukum membawa konsekuensi digantikannya cara-cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat, dan akan digantikannya pula rujuakn-rujukan normatif yang dipakai. Cara negosiasi ke arah kompromi (musyawarah lewat proses-proses informal atau non formal), demi kepastian hubungan yang diharapkan berlaku universal akan digantikan dengan model penyelesaian adjudikatif (peradilan): atau, meminjam ungkapan Nader, cara “give a little, get a little” akan digantikan dengan cara yang lebih adil menurut bunyi kaidah-kaidah hukum positif (yang telah dibuat menurut tatacara yang telah disepakati), ialah bahwa di sini yang berhak (menurut hukum yang berlaku) akan memperoleh semua objek tuntutannya: “the winner will take all!”8. Namun ini tidak berarti bahwa yang adjudikatif akan lebih represif; Durkheim mengatakan bahwa dalam suasana tradisional hukum justru akan lebih bersifat represif, sedangkan dalam masyarakat-masyarakat yang telah mencapai tahap perkembangan pembagian kerja yang lanjut, dengan solidaritas sosial yang lebih bersifat organik daripada mekanik, hukum akan condong lebih bersifat restitutif.9 Asal Usul Kehendak Unifikasi Hukum Konstruksi teori yang disusun oleh Maine, Durkheim, dan Weber mengenai perkembangan struktur sosial dan perkembangan struktur normatif sebagaimana telah dipaparkan di muka itu sesungguhnya diilhami oleh situasi-situasi nyata yang pada jaman itu memang tengah berkembang di Eropa (tak ada teori yang berkembang dari “ruang hampa”, bukan?) Teori-teori itu sesungguhnyalah merupakan refleksi dan abstraksi sebuah transformasi besar yang tengah dialami Eropa, ialah transformasi yang kian memantapkan proses kehidupan Eropa di bidang, ekonomi politik, sosial, dan budaya menuju ke situasi-situasi baru yang lebih didominasi oleh kehidupan industri yang lugas dan dinamik dan kehidupan birokrasi yang formal dan tersentralisasi. Teori-teori Maine dan Durkheim mengesankan adanya gambaran sebuah progresi yang optimistik, dan situasi Eropa yang mereka alami mereka abstraksikan sebagai suatu situasi ideal yang terletak di ujung skala perkembangan yang lanjut. Situasi itu, kongkritnya, adalah situasi masyarakat dan orgahnisasi yang telah mengembang dalam skala besar dan pada taraf integrasi yang tinggi; Masyarakat lokal telah menjadi masyarakat bangsa. Organisasi politik yang semula lokal di bawah patriarkh-patriarkh telah menjadi negara, dan adat setempat yang implisit dan sakral telah menjadi hukum positif yang eksplisit, formal dan sekular, namun menjamin kepastian.

8 Laura Nader, “Styles of Court Procedure, ‘To Make The Balance’ dalam Laura Nader (ed.) Law in

Culture and Society (Chicago: Aldine, 1969), h. 69-74. 9 Emile Durkheim, Op. Cit. Durkheim percaya bahwa rekonstruksinya itu akan dapat dibenarkan oleh

sebuah penelitianempirik. Penelitian Schwartz dan Miller yang dilaporkan dalam Richard D. Schwartz dan James C Miller, “Legal Evolution and Societal Complexity”, American Journal of Sociology, th LXX (1965) h. 159-169 memang menyatakan bahwa penelitian mereka itu “reports preliminari findings from cross-cultural research that show a rather starting consistency in the pattern of legal evolution”, sekalipun dengan penelitian itu hipothesis Durkheim demikian menurut Luhmann, Op, Cit, h 14-292- “has had to tolerate considerable critique and far-reaching modification” tetapi Baxi membela Durkheim dengan cara membantah keragu-raguan Schwartz dan Miller dalam sebuah tulisan untuk mengomentari hasil penelitian Schwartz dan Miller itu: Upendea Baxi, “Durkheim and Legal Evolution: Some Problems of Disproof’, Law and Society Review th, VII (1874), no 4, h. 645.

Page 145: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

131

Seiring dengan perubahan dan perkembangan stuktur-struktur sosial seperti itu berkembang pula suatu kesadaran baru,10 ialah kesadaran akan makna manusia yang hakiki dan makna teritori sebagai penyatu. Kesadaran inilah yang melahirkan konsep humanisme, yang ketika terpadu dengan makna teritori lalu menjadi paham nasionalisme. Dalam konsep baru yang berkembang ini, manusia dimengeri menurut hakekatnya in abstracto, tanpa mementingkan ciri dan kondisinya in concreto, Kesamaan sebagai manusia (dan kesamaan teritori) lalu menjadi tolok penyatu, sedangkan ciri-ciri pembedaan antar manusia (seperti afiliasi, status pribadi, jenis kelamin atau tingkat usia) lalu kehilangan arti, interrasi-integrasi sosial yang baru tak ayal mengambil tolok yang humanistik ini, dan kesadaran nasional pun lalu menjadi penentu pula. Di sini apa yang disebut the new system of teritorial law secara pasti menggantikan the old system of personal law.11 Pertumbuhan struktur sosial yang berasaskan teritorialisme dan perkembangan kesadaran sosial yang berwarna humanisme merupakan kemudahan-kemudahan yang mempercepat lahirnya negara-negara nasional dan hukum-hukum nasional di Eropa.12 Dan itulah yang menjadi kenyataan di Eropa pada abad 18 dan 19. karakteristika final hukum-hukum nasional Eropa Barat pada saat itu kian terlihat nyata, ialah (1) bahwa hukum itu di lembagakan demikian rupa sehingga terbedakan secara nyata dari lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat, misalnya dari lembaga politik; (2) bahwa hukum dikelola (demi kepentingan praktis) dan dikaji serta dirawat (untuk kepentingan akademik) oleh para profesional yang terbilang pakar dibidang masing-masing, dan karena itu lalu bisa berkembang sebagai suatu sistem informasi dan/atau pengetahuan yang terorganisasi logis, yang selanjutnya memungkinkan penggunaannya secara malar dan konsisten; (3) bahwa karena itupun hukum dapat berfungsi sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, yang dapat dilepaskan dan dinetralkan dari kehendak subjektif manusia-manusia pengelolanya. Dan dengan demikian juga dapat menjamin kepastian dalam jangka panjang (disebut asas historicity yang menjamin kepastian hukum).13 Inilah proses pematangan praktek rule of law, yang dalam sejarah menjadi suatu sistem hukum yang disebut oleh Nonet dan Selznick – autonomous law dengan segala rasionalitasnya yang formal14.

10 Studi-studi tentang perubahan sosial dengan menganalisis perubahan struktur dan perubahan alam

kesadaran masyarakat hampir selalu ditekankan dalam kajian ilmu-ilmu sosial, Durkheim, Op. Cit. membicarakan perkembangan organisasi pembagian kerja dalam kaitan-kaitannya dengan perubahan tipe solidaritasnya, Hebermas mengemukakan tesis bahwa intersaksi antara struktur normatif (kesadaran moral dan kesadaran hukum ) dan struktur sosial akan menentukan tingkat integrasi masyarakat. Lihat: Minhael Pusey, Jurgen Habermas (London: Routledge, 1988) Unger, menggunakan model serupa untuk memperbincangkan “the emergence of bureaucratic law”, dalam Roberto M Unger, Law in Modern Society (New York: The Free Press, 1976).h. 58 dst.

11 Harold J. Berman, Law and Revolution: The Formation of The Western Legal Tradision (Cambridge: Mass: Harvard University Press: 1983).

12 Berman memerikan dengan cukup rinci dan jelas pertumbuhan organik kedua fenomena sejarah itu, dengan berbagai variasinya dari negeri ke negeri yang berawal pada abad 12: baca: Harold: J. Berman, Op. cit. h, 444-445, 464-467, 487-491.

13 Cf: Harold J Berman, Op.Cit, H. 7-9; dan juga Marc Galanter, ”The Modernization of Law”, dalam Myron Weiner (ed) Modernization: The Dynamics of Growth (New york: Basic Books, 1966). H. 168-170.

14 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op. Cit. h, 53-72.

Page 146: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

132

Antusiasme untuk mentransformasikan sistem hukum ke arah sistem hukum yang otonom berciri nasional-humanistik dan teritorial semasa revolusi Perancis tampak bersejajar benar dengan elan perjuangan politik rakyat di negeri itu pada waktu itu yang melantangkan tuntutan egalite, dan seperti menolak keragaman hukum yang didasarkan keragaman agama, atau keragaman etnik dan kelas (seperti misalnya yang dijumpai pada jaman kekuasaan Romawi, ketika iex romanum diberlakukan hanya untuk orang-orang Romawi, sedangkal iex barbarum berlaku untuk bangsa-bangsa jajahannya). Sejalan dengan kehendak itu, perkembangan politik hukum saat itu juga menjurus ke kehendak untuk merealisasi unifikasi hukum dengan keyakinan bahwa hukum nasional tak mungkin lain dari pada hukum unifikasi. Unifikasi dan Perkembangan Hukum Nasional di Eropa Barat Sesungguhnya soal unifikasi bukanlah soal baru dalam perkembangan sejarah hukum Eropa Barat. Sudah pada awal abad 12 reformasi oleh Paus Gregorius melahirkan hukum kanonik baru (iusnovum) yang bermaksud menyatukan komunitas Eropa di bawah satu tertib hukum, ialah tertib hukum kristiani: reformatio ini “berambisi” mengatasi keragaman hukum yang dikembangkan oleh apa yang disebut Berman “(the) individual spiritual comunities of bishooprics, local churchs, and monasteries subordinate to tribal and territorial and feudal units as well as to kings and emperor”.15 Namun demikian, unifikasi hukum yang dilandasi solidaritas nasional dari abad 19 mempunyai semangat lain: laih-alih mengingkari pluralisme yang ada unifikasi kali ini bekerja untuk menggarap berbagai sistem hukum yang ada itu ke dalam suatu sistem normatif yang tunggal, berdasarkan substansi atau objek-objek yurisdiksinya, dan bukan berdasarkan subjek-subjeknya. Kasus tipe apakah yang harus diadili menurut kaidah-kaidah (yang berasal dari) hukum gereja? Kasus tipe apakah yang harus diadili menurut kaidah-kaidah (yang berasal dari) hukum raja? Dan kasus macam apa pulakah yang harus diadili menurut kaidah-kaidah (yang berasal dari) hukum feodal, manorial, atau merkantil? Demikian selanjutnya. Maka, melalui unifikasi seperti ini, hukum nasional akan tetap konsekuen pada asasnya sebagai territorial law, dan tak akan menghidupkan kembali asas personal law, hadirnya pluralisme dalam hidup hukum masyarakat-masyarakat bangsa di Eropa pada abad itu tidaklah sekali-kali mementingkan unifikasi, tetapi malah memperkaya sistem hukum nasional yang tengah berkembang. Sebagaimana dikatakan Berman, “the very complexity of a common legal order contain diverse legal system contributed to legal sophistication”.16 Perkembangan hukum-hukum nasional di Eropa Barat sebagaimana dimatangkan oleh revolusi kaum liberal di Perancis itu penting dikaji, mengingat kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan sosial dan politik negara-negara dari peradaban Barat itu amat mendominasi percaturan sejarah dunia hingga saat itu. Karena negara-negara itu menguasai daerah-daerah jajahan yang amat luas di Asia dan Afrika, revolusi dan evolusi menuju ke hukum teritorial atas dasar prinsip ‘unifikasi hukum untuk seluruh penduduk

15 Harold J. Berman, Op. Cit. h. 69. 16 Ibid, h. 10, Cursif oleh saya. Dalam teks aselinya cursif diletakkan pada kata ‘order’ dan ‘systems’

untuk menekankanarti bahwa sistem (hukum) yang beragam tak menghalangi terwujudnya tertib (hukum) yang tunggal untuk kepentingan bersama.

Page 147: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

133

negeri’ lalu tak hanya akan berhenti dalam batas-batas kawasan Eropa (dan kawasan hunian baru orang-orang Eropa Barat di Amerika Utara dan Australia) saja. Humanisme lain di dunia ini berwahanakan kekuasan politik kolonialisme.17 Maka terjadilah serangkaian upaya di negeri-negeri jajahan itu apa yang disebut Falanter dengan suatu istilah yang mengandung celaan, the legal colonization.18 Pada pertengahan abad 19, ketika pengaruh ide-ide yang dibawakan revolusi Perancis mulai merata dan memperoleh akses pula dalam proses penetapan kebijakan kolonial, kebijakan untuk menangani daerah jajahan mulai dirasakan oleh para politisi kolonial di mana-mana sebagai bagian dari “misi suci orang-orang kulit putih”. Keberhasilan (Eropa) Barat membangun negara-negara bangsa, dengan hukum nasional yang terunifikasi dan tersistematisasi secara rasional dari postulat-postulat metayuridik (atau ideologi humanisme), dicoba direalisasi juga di daerah-daerah jajahan oleh para penguasa Eropa yang bertanah jajahan. Pada masa itulah dimulai bewuste rechtspolitiek untuk melaksanakan unifikasi hukum (secara berangsur) untuk seluruh penduduk di Hindia Belanda, dirintis oleh perencana-perencana seperti Hageman (1830-an) dan secara lebih moderat juga oleh Scholten van Oud Haarlem (1840-an). Unifikasi ini mengandung maksud hendak memperluas berlakunya hukum Eropa untuk seluruh penduduk, berdasarkan suatu asas yang disebut eenheidsbeginsel.19 Kebijakan serupa juga dilaksanakan di daerah-daerah jajahan Perancis, Belgia, dan Inggris, baik yang terletak di Afrika maupun yang terletak di Asia. Unifikasi berdasarkan asas teritorial denga memberlakukan hukum Barat yang positif, terkodifikasi secara sistematik dan terkelola secara profesional, dengan prosedur dan pelaksanaan yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian hak itu bahkan juga terjadi di negara-negara yang tak terjajah secara politik. Jepang, misalnya, meresepsi hukum Barat itu semasa pemerintahan Meiji Tenno; Turki melakukannya semasa jaya-jayanya kekuasaan Kemal Attaturk (suatu proses yang oleh Galanter disebut legal colonization from within,20 sekalipun kebijakan “from within” ini lebih didasarkan kepada pamrih-pamrih yang lebih pragmatik daripada pertimbangan-pertimbangan yang humanistik). Bahkan pada tahun 1950-an masih juga terjadi transplantasi hukum Eropa semacam itu melalui serangkaian usaha kodifikasi dan perundang-undangan (ialah ke Etiopia, suatu negeri yang praktis selama itu terisolasi dan hampir-hampir tak pernah menjadi sasaran kolonialisme).21 Tetapi menduplikasi “keberhasilan” Eropa di dan untuk daerah-daerah jajahannya tidaklah mudah. Kiranya tak salah untuk menyatakan disini bahwa keberhasilan Eropa adalahkeberhasilan suatu proses sejarah yang tak hanya “alami” akan tetapi jugaberlangsung dalam suatu jangka waktuyang teramat panjang, melalui perubahan-

17 Politik kolonialisme itu tak selamanya mencerminkan pamrih eksploitai dan pragmatisme yang

serakah. Tefleksi humanisme dan juga motif-motif etis sesungguhnya tercatat juga dalam dokumen-dokumen dan arsip-arsip kolonial. Khusus tentang Indonesia, kenyataan tentang ini dapat dikaji a.l. dalam artiker-artikel yang dihimpun dalam C. Fasseur, Geld En Geweten (Den Haag: Martinus Nijhoff. 1980), 2 jilid: dan juga J.S. Furnivall, Netrerlands India: A Study of Plural Economy (Amsterdam: BM Israel, 1976).

18 Marc Galanter, Op. Cit, h, 173. 19 Baca: J. van Kan, Uit De Geschiedenis Onzer Codificatie (Batavia: De Unie, 1927) h. 4-55 20 Marc Galanter, Op. Cit, h 173. 21 Jhon H. Beckstrom, “Transplantation of Legal System: An Early Report on the Reception of Western

Laws in Ethiopia”, The American Journal of Comparative Law, th XXI (1973). No 3,h, 557-583.

Page 148: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

134

perubahan mendasar yang berulangkali, yang oleh Berman disebut “revolusi”.22 Sementara itu apa yang tengah terjadi di daerah-daerah jajahan di Asia dan Afrika itu bukanlah proses peristiwa yang historik, melainkan rentetan usaha manusia yang rasional tetapi buru-buru, dalam jangka waktu yang direncanakan terlalu pendek, dan yang pada saat itu lebih banyak dikuasai oleh imperativa-imterativa ideologi daripada oleh tuntutan oleh pemahaman yang objektif dan kesadaran yang realistik. Rasionalitas para pemuncak politik dan para pembuat kebijakan hukum di sini adalah rasionalitas formal yang tegar, sejalan dengan rasionalitas yang dianut para positivis penganut ilmu hukum murni, dan bukannya rasionalitas purposif sebagaimana dianut oleh mereka yang mendukung paham aliran sosiologik dalam ilmu hukum. Kebijakan Unifikasi di Wilayah Kolonial

Pengalaman transplantasi hukum barat yang dapat dipelajari dari sejarah kolonial Indonesia.23Asas-asas humanitarian yang diintroduksikan dari Eropa mulai mengambil peranan penting dalam pemerintahan kolonial sejak awal abad 19. Daendels dan Raffles memperluas wilayah-wilayah di Jawa yang dimasukkan ke dalam kontrol langsung aparat-aparat pemerintahan kolonial, dan melakukan berbagai reformasi sekalipun terpaksa berangsur berdasarkan asas-asas keadilan bangsa Eropa. Sekali dua kali semangat dan usaha mempercepat proses “eropanisasi” sistem hukum kolonial (yang mengarah ke penyatuan, berdasarkan asas konkordansi untuk memberlakukan hukum yang berlaku di negeri Belanda untuk seluruh penduduk negeri di tanah jajahan) terjadi juga. Tetapi berulangkali pula semangat dan usaha itu mereda atau terkekang, bukan pertama-tama oleh kuatnya perlawanan politik para penentang, akan tetapi oleh karena pertimbangan-pertimbangan realistik yang akhirnya diambil oleh para penguasa kolonial mengenai soal konsekuensi pendanaannya.24 Pada akhirnya, mereka yang mempelajari

22 Harold, J Berman, Op. Cit. Khususnya H. 18-25, ada enam revolusi yang disebut dan dikaji Berman,

ialah reformasi Gregorian (the Papal Revolution) dari abad 12, Reformasi Protestan (yang disebut juga revolusi Jerman) dari abad 16, Revolusi Inggris (yang berawal dari The Glorius Revolution) dari abad 17. Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis dari abad 18, dan Revolusi Rusia (Bolshevik) dari abad 20.

23 Dapat dipelajari a.l. dari sumber-sumber: John Ball, Indonesian Legal History: 1602-1484 (Sydney: Oughtershaw Press, 1982), Khususnya h, 166-255 dan 231-236; J, W B. Money, Java, or How to Manage a Colony (London: Hurst & Blackett, 1861), khususnya h. 1-121 pada jilid II; J. van Kan, Loc. Cit; J. S Furnival, Op, Cit, khususnya h, 257-302; J.F. Hollemn (ed), Van Vollenhoven on Indonesia Adat Law (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), Khususnya h xxxix-lxvii; dan R Supomo dan R Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, 1848-1928 (Jakarta (?): Djambatan, 1945, khususnya h, 10-95.

24 Van der Vinne, seorang anggota Raad dan Stat yang berpengaruh, misalnya, sekalipun menyatakan bahwa penerapan hukum Eropa untuk orang-orang pribumi itu akan merupakan “eene ingrijping in de rechten, gewoonten en zeden der niet-Ruropeesche bevolking, en eene losschroeving van zoovele naar gelang van lonatiteit en personen verschillende inrichtingen, bepalingen en costumen in Indie”, namun demikian sesungguhnya keberatan dia menyetujui rencana penerapan hukum Eropa untuk orang-orang pribumi terletak pada pertimbanganbahwa hal itu akan menambah beban pekerjaan kehakiman pada pejabat-pejabat pemerintah dan karena itu akan menurunkan prestasi para pejabat itu dalam tugas-tugas pokoknya lebih penting, ialah mengawasi pelaksanaan kulturstelsel: (Pernyataan terkahir ini juga diucapkan oleh ‘Gubernur Jenderal Roshussen (1845-1851). Baca: J. van Kan, Op.

Page 149: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

135

sejarah lahirnya Regeringsreglement 1854, khususnya tentang pasalnya yang ke-75, akan mengetahui kebijakn kompromistis yang diambil, ialah (1) membiarkan (sementara) berlakunya hukum pribumi sejauh tidak bertentangan dengan asas-asas umum (baca: Eropa) mengenai kepatutan dan keadilan, untuk kemudian, sejauh diperlukan menurut kebutuhan, (2) menerapkan hukum Eropa kepada seluruh penduduk negeri (secara berangsur), melalui wewenang Gubernur Jenderal untuk menyatakan berlakunya ketentuan-ketentuan tertentu dalam perundang-undangan Eropa untuk penduduk pribumi, atau melalui lembaga vrijwillige onderwerping yang diberikan kepada orang-orang pribumi25 Sekalipun kesulitan dana pemerintah diajukan sebagai alasan utama, lebih-lebih setelah diundangkannya Compatabileitswett pada tahun 1864 (Ind. Stb. No. 104) yang menyatakan bahwa anggaran untuk penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda harus ditanggung dari pendapatan Hindia Belanda sendiri, namun pada akhirnya yang mempersulit tumbuh kembangnya hukum dan pelembagaan hukum Eropa di bumi Indonesia itu bukanlah keterbatasan dana itu. Penyebab lain yang paling utama ialah kenyataan bahwa di mana-mana budaya lokal yang asli dan belum berubah akan selalu sulit menopang kelangsungan hidup suatu sistem asing yang ditansplantasikan. Dasawarsa-dasawarsa selepas tahun diundangkannya Regeringsreglement 1854 menyaksikan betapa jarangnya lembaga vrijwillige onderwerping dipakai orang, yang menandakan betapa sedikitnya orang bersedia menyeberang untuk memperluas yurisdiksi hukum Eropa. Kenyataan ini menunjukkan berapa banyakny apenduduk di tanah jajahan itutetap bertahan untuk memilih hukum dan kebiasaannya sendiri yang berakar pada budaya suku dan yang ‘hanya’ berlaku dalam kalangan masyarakat-masyarakat lokal yang tersegmentasi. Sementara itu, kabijakan unifikasi lewat penerapan secara berangsur bagian-bagian tertentu hukum Eropa pada orang-orang pribumi pun tak selamanya mampu menimbulkan efek seperti yang diharapkan. Dekrit-dekrit dan keputusan-keputusan tak begitu saja mengubah kenyataan dan keadaan. Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (yang semula dirancang untuk negeri Belanda) untuk orang-orang pribumi semasa masa jabatan Menteri Koloni Fransen van de Putte (1872-1874) tak serta merta mengubah seluruh konsep penduduk pribumi mengenai apa yang jahat dan karenanya harus dihukum dan apa pula yang tidak; disini, di dalam praktek peradilan, penafsiran mengenai apa yang dimaksud wederrechtelijk yang disyaratkan sebagai unsur dalam setiap perbuatan pidana pun selalu menimbulkan keputusan in concreto yang bervariasi, sejalan dengan variasi budaya yang dianut para pelaku sebagaimana terpersepsi oleh

cit, h, 33, 43-44; juga A. J. Immink, De Regrerlijka Organisatie van Nederlandsch Indie (Batavia: Stemberg, 1882)

25 Regeringsreglement 1854 adalah reglemen yang progresif menurut ukuran waktu itu. Kecuali memuat

pasal 75 yang berissi semangatuntuk memodernisasi hukum berdasar tolok-tolok Eropa, reglemen ini juga memuat 3 pasal yang dengan jelas merefleksikan ide-ide liberal revolusi Perancis, ialah pasal 79 yang menyiratkan asas trias politika. Pasal 88 yang memerintahkan dilaksanakan asas legalitet dalam setiap proses pemindanaan, dan pasal 89 yang melarang pemindanaan yang mengakibatkan kematian seseorang secaraperdata. Dalam buku W.F Wertheim, Indonesia Society in Transition (The Hague: van Hoeve, 1956), h. 58 dituliskan bahwa “though the call for liberty, equality and franternity echoed but faintly in the Indies, the political structure of the Dutch possesich there was strongly influenced bay developments in Eropa”.

Page 150: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

136

hakim. Pengundangan Ind, Stb. 1863 no. 52 yang mengharuskan individuele contract sluiting atas dasar prinsip kebebasan berkontrak pun tak serta merta mengubah pola kebiasaan orang-orang pribumi untuk tak mengikat kerja denan cara menyerahkan penutupan kontrak-kontrak itu kepada (agar dilakukan saja oleh) kepala-kepala mereka:26 ketentuan-ketentuan hukum yang termuat dalam staatsblad itu pun tak serta merta menyebabkan orang-orang pribumi segera memahami asas-asas moral yang terkandung dalam adagium pacta sunt servanda yang selalu memperkuat daya ikat setiap kontrak itu. Karena tak cukup ditopang oleh kesadaran hukum masyarakat pribumi setempat yang resonan dengan hukum yang telah diundangkan, maka dapat dimengerti mengapa hukum Eropa ini, manakala diberlakukan untuk orang-orang pribumi, selalu terpaksa ditegakkan dengan paksaan-paksaan eksternal yang lebih keras. Misalnya dipertahankannya pidana mati dalam hukum kolonial, tetap digunakannya hukuman dera dengan rotan dimuka umum (sampai tahun 1870-an) dalam perkara-perkara rol, dan poenale sanctie untuk setiap pelnggaran kontrak yang dilakukan oleh para pekerja pribumi. Di sini terbukti kebenaran teori bahwa keefektifan kontrol untuk mengendalikan organisasi-organisasi kehidupan yang berada pada taraf integrasi yang lanjut tidaklah akan mungkin berhasil manakala perkembangan struktur sosial (d.h.i. organisasi kenegaraan masyarakat kolonial) tak berseiring dengan perkembangan struktur normatifnya (d.h.i. moral dan kesadaran hukum masyarakat kolonial).27 Dalam hubungan ini menarik juga untuk merujuk ke kesimpulan Seidman, yang diperolehnya dari kajian-kajiannya mengenai masalah transplantasi hukum Inggris ke daerah-daerah jajahan di Afrika yang dengan ringkas ia sebut “The law of the Nontransferebility of law”28 Seidman tidak menyebut-nyebut hal budaya atau struktur normatif sebagai variabel determinan dalam persoalan tak efektifnya hukum asing yang ditransplantasikan. Ia berangkat dari asumsi dasar mengenai perilaku warga masyarakat, dengan mengatakan bahwa perilaku hukum seseorang itu akan lebih banyak ditentukan oleh keputusan dan pilihannya atas berbagai alternatif, dengan menimbang-nimbang mana dari sekian alternatif itu yang paling menguntungkan atau yang paling sedikit menimbulkan kerugian. Disini kaidah hukum hanyalah merupakan salah satu saja di antara sejumlah determinan institusional lain yang akan mempengaruhi keputusannya.29 Maka, manakala hukum karena ditransplantasikan ke tengah masyarakat yang berbeda dari masyarakat aselinya harus bekerja di tengah-tengah lingkung institusional yang berbeda, maka efek atau pengaruh hukum terhadap pilihan seseorang (ketika harus memilih alternatif perilaku) patut diduga akan berbeda pula. Maka disini orang dapat menyimpulkan bahwa hukum yang ditransplantasikan itu tidaklah mungkin diharapkan akan dapat menerbitkan efek yang sama dengan efek yang dapat ia terbitkan di tempat asal. Maka tersimpukanlah

26 Gov. Best. Tgl.18-10-1858 no. 3 Bibjl. no. 813 bahkan mengkaidahi bahwa kontrak-kontrak itu harus

selalu dalam bentuk tertulis dan didaftarkan ke kantor Residen, dengan ancaman, bahwa apabila hal itu tidak dilakukan maka kontrak itu demi hukum akan tak sah: tetapi, ‘de praktijk hield zich aan deze bedoeling niet’. Lihat: Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Jilid II (1918) h. 360-366, pada entri ‘koeli’.

27 Perhatikan kembali catatan kaki no. 9 yang merujuk ke pikiran Durkheim. Habermas, dan Unger. 28 Robert B. Seidman, The State, Law and Development (New York: St. Martin’s Press 1978). h.29-36. 29 Seidman menyebut determinan ini “factor which affects….. decisions but over which (one) has no

control” Ibid, h, 35, dengan bahasa psikologi, atau ilmu periaku, apa yang disebut determinan di sini ini disebut dengan istilah ‘reinforcement (factor)’ yang dasar-dasar teorinya diletakkan oleh Skinner dalam B.F Skinner, Science and Human behavior (New York: MacMillan, 1953).

Page 151: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

137

oleh Siedman bahwa hukum itu tidak dapat ditransfer dari bumi daya asing tanpa membedol seluruh jaringan sistem institurional yang menjadi konteksnya30. Seidman menyimpulkan ‘The Law of The Nontransferebility of Law’nya itu dari sebuah studi yang ia lakukan tentang transplantasi hukum administrasi Inggris ke daerah-daerah jajahan di Afrika.31 Hukum administrasi Inggris yang tumbuh kembang dalam sejarah nasionalnya sebagai hukum yang bertumpu pada asas rule of law telah ditransplantasikan ke daerah-daerah yang terbiasa diperintah dengan kekuasaan otokratik. Pemerintah kolonial pun telah harus bekerja secara otokratik, memerintah dari kedudukannya di pusat-pusat tertentu karena mengingat situasi luar yang belum dikenal benar telah terpaksa menerapkan praktek pemerintahan tak langsung. Beroperasi di kawasan yang kosong dengan institusi-institusi yang memungkinkan rule of law, pemerintah kolonial menemukan kenyataan bahwa hukum administrasi Inggris kurang dapat berfungsi secara berarti sebagimana ketika diterapkan di negeri Inggris sendiri, maka, alih-alih mengupayakan keefektifan hukum administrasi yang resmi ini, pejabat kolonial mengembangkan pranata dan pola-pola normatif baru yang informal. Pola informal ini tampil dalam rupa sistem perekrutan pejabat-pejabat kolonial yang “inovatif” tetapi yang tak secara sengaja direncanakan dan diatur secara formal: ialah bahwa para pejabat kolonial itu secara diskriminatif hanya direkrut dari satu universitas elit tertentu saja. Cara demikian itu melahirkan klik-klik kesejawatan informal yang bertumpu pada budaya kelas atas Inggris, dan melahirkan pula kode-kode yang sekalipun tak pernah terrumus sebagai hukum yang resmi namun dalam kenyataan selalu dimengerti dan dijadikan pegangan bertindak oleh para pejabat yang seasal dan seperguruan itu. Institusi informal ini menurut kenyataannya malah sangat fungsional untuk memutar roda pemerintahan dalam lingkungan yang pernuh otokratisme itu. Di sini juga Seidman ingin juga menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Inggris di tanah-tanah jajahannya di Afrika itu hanya dapat berfungsi dengan baik kalau tidak lagi mengakui rule of law, melainkan rule of man, dan memang demikian kenyataannya yang nonretorik, yang dalam kenyataannya telah diupayakan oleh The Colonial Service bukanlah menegakkan the rule of (the English) law melainkan the rule of men. Maka dapatlah dimengerti mengapa pemerintah kolonial Inggris ini mementingkan sistem perekrutan dan pengembangan karakter para personilnya: tujuannya hanyalah mengembangkan pemerintahan yang baik lewat upaya mengembangkan apa yang disebut good man. 32 Yang dicari adalah tokoh-tokoh yang memiliki karakter sebagai seorang English Gentleman, yang bisa dipercaya akan selalu dapat bertindak dan membuat kebijakan-kebijakan situasional menurut keadaan setempat yang amat bervariasi, dan yang sebagian besar mungkin malahan tak terduga.33

30 Seidman mengembangkan suatu model untuk menggambarkan hubungan seluruh jaringan sistem

institutional itu dengan perilaku para pelaku hukum, baik yang berkedudukan sebagai pemegang peran dalam masyarakat, maupun yang berkedudukan sebagai pembuat hukum dan sebagai hakim pembuat keputusan. Keseluruhan jaringan itu ia sebut ‘arena of choice’ atau juga ‘field of social forces’, lihat :Robert B Seidman, Op, Cit, h, 69-79: atau, lebih terurai di Robert B Seidman, “Law and Development: A General Model”, Law And Society Review, Th VI (1972) no, 1, h, 126-154.

31 Robert B. Seidman, “ Administrative Law and Legitimacy in Anglophonic Africa: A Problem in The Reception of Foreign Law”, Law and Society Riview , Th, IV (1970), no. 1h. 161-204.

32 Ibid, juga diuraikan ringkas dalam Robert B, Siedman, Op. Cit. (1978), h. 38-46.. 33 Tentang masalah bekerjanya hukum formal yang telah baku dan semula dimaksudkan untuk

merealisasi kebijakan unifikasi di tengah-tengah situasi kolonial yang amat beragam, juga atas dasar

Page 152: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

138

Kebijakan Hukum Hindia Belanda Apa yang dijumpai pemerintah kolonial Inggris di Afrika sebagaimana dilaporkan Seidman sesungguhnya dijumpai pula oleh pemerintah kolonial Belanda, yang pada saat itu harus bekerja di bawah ketentuan-ketentuan Regeringsreglement 1854. Kesadaran akan kenyataan adanya pluralisme budaya, dan kenyataan bahwa lingkungan institusional pribumi sulit diubah untuk memudahkan resepsi hukum Eropa, untuk sementara telah meredakan niat pendukung kebijakan universalis, bahwa hukum Eropa akan dapat diterapkan dimana saja dengan efek yang sama baiknya dengan ketika diundangkan untuk masyarakat Belanda di Eropa. Setelah gerakan pemisahan kekuasaan sesuai dengan ide trias politika, mencapai hasilnya pada tahun 1870-an, dan peradilan negara untuk orang-orang pribumi (Landraad) menurut ketentuan tak lagi akan dijalankan oleh para pejabat pemerintahan, tampak tanda-tanda bahwa proses politik kolonial akan lebih menekankan soal penyiapan good men dan good gevernment yang diharapkan dapat “membimbing dan mendidik” orang-orang pribumi dari pada menekankan usaha-usaha mencarikan good law (menurut tolok ukur Barat untuk dibebankan ke masyarakat pribumi).34 Proses ini menampak nyata pada dasawarsa-dasawarsa yang bersamaan dengan dasawarsa surutnya pengaruh Fransen van de Putte, yang sebagai seorang politikus liberal yang berpengaruh selalu mendesakkan kebijakan universalis untuk segera memberlakukan hukum Eropa untuk semua golongan penduduk di daerah jajahan.35 Akhir abad ke 19 menyaksikan kebijakan politik kolonial yang hendak menekankan terlebih dahulu upaya-upaya pembenahan birokrasi pemerintahan dan peradilan: ini adalah suatu upaya unifikasi formal menuju ke suatu tertib pengendalian yang tunggal dan sentral, sesuai dengan prinsip-prinsip kenegaraan modern.36 Pada beberapa dasawarsa berakhirnya abad 19 inilah terjadi penggiatan usaha pemerintah kolonial untuk menjadikan apa yang dinamakan inlandse hooffden bisa fungsional di dalam struktur sosial-politik dan moral pemerintahan Hindia Belanda: secara sistematis para bupati dan bawahannya di Jawa mulai digarap, dari wujudnya semula sebagai

pengalaman Afrika, dapatlah dirujuk: Max Rheinstein, “Problems of Law in The New Nation of Afrika”, dalam Clifford Geertz, Old Societies And New States (New York: The Free Press, 1965), h. 220-246.

34 Pada tahun, 1878 tokoh anti-Revolutionaire Partij di Negeri Belanda, Abraham Kuyper. Mengintroduksi ide ini dalam tulisannya yang berjudul “Onze Program” untuk program perjuangan partainya. Seruannya: “geen exploitatie noch kolonisatie, maar voogdij I” baca selengkapnya dalam C.Fasseur, Op. Cit, Jilid I, h, 184-185.

35 Pendirian van de Putte ini, dan perkembangannya, dapat disimak antara lain dalam Parlementaire Redevoeringenvan I. D. van de Putte (Schiedam: Roelants. 1872), 2 jilid. Oposan kaum universalis ini adalah kaum partikularis, seperti antara lain Barron van hoevell dari kelompok liberal humanitarian, yang berpendapat bahwa hak-hak asasimanuia juga harus dijamin untuk orang-orang pribumi, dan sesungguhnya hak-hak itu hanya dapat dijaga dan tetap terlindung kalau dibiarkan saja berada di adat kebiasaan lokal: lihat Billie Mulherin, The Development of Dutch Adat Law Study with Relation to Land Tenures: Nineteenth Century Java. (Tesis Master Belum dipublikasikan, University Queensland, 1976) h, 182.

36 Sumber bahan untuk kajianyanglebih mendalam: A.D.A de Kat Angelino, Staatkundig beleid en Bestuurzorg in Nederlandsch-Indie (s’-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1931).

Page 153: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

139

penguasa feodal yang bersetia kepada raja menjadi pengreh praja yang bisa bekerja untuk kepentingan kolonial.37 Mereka mulai digaji dari kas negara, dan pemasokan yang tidak berdasarkan peraturan pemerintah (umumnya berupa pungutan in natura, sering berupa rodi) mulai dipelajari dan ditinjau kembali.38 Para pejabat Eropa yang direkrut untuk mengisi jabatan-jabatan pemerintahan kolonial, baik kolonial, baik sebagai bestuurambtenaar maupun sebagai rechtsambtenaar, harus pula dididik secara khusus dan lebih baik. Pendidikan khusus untuk maksud itu didirikan di Lieden (1864, tak beroperasi antara tahun 1891-1902), Delft (1892-1902), dan Utrecht (1925). Dalam masa pendidikannya, pejabat-pejabat itu tidak hanya harus mempelajari hukum dan tata pemerintahan akan tetapi juga harus mempelajari bahasa, adat kebiasaan, dan lembaga-lembaga agama rakyat pribumi di daerah-daerah jajahan.39 Dari ketiga pusat pendidikan itu, peranan Leiden tercatat paling besar, dan baru kemudian lewat kontroversi yang panas disaingi oleh Utrecht.40 Karena Rijksuniverstiteit Leiden adalah pusat pemikiran liberal yang menganut garis politik etik dalam menangani urusan koloni, maka tidak memberikan arah dan bentuk pada kebijakan-kebijakan kolonial di bidang pemerintahan dan hukum. Akan tetapi, secara cukup mengejutkan, Leiden ternyata tidak bisa sejalan dengan rencana orang-orang resmi di pemerintahan untuk meneruskan politik unifikasi hukum substantif yang selama ini telah agak tertunda. Orang-orang Leiden itulah (kususnya C. van Vollenhoven, dan kemudian juga B. ter Haar Bzn) yang menggagalkan upaya-upaya untuk kolonial. Orang-orang Leiden mempertahankan dualisme atau pluralisme, dan kodifikasi hukum yang akan diberlakukan secara menyeluruh tanpa mempertimbangkan perbedaan kelembagaan, adat, dan kepercayaan penduduk telah ditentangnya berulangkali.41 Lewat tangan dan pikiran orang-orang Leiden ini pulalah pertama kali Snouch Hurgronye, dan kemudian van Vollenhoven suatu kenyataan diungkapkan bahwa orang-orang pribumi memiliki hukumnya sendiri yang cukup penting untuk diperhatikan dan cukup potensial untuk

37 Uraian mengenai hal ini dapat diikuti dalam Heather Sutherland, The Making of A Bureaucratic Elite:

The Colonial Transformation of The Javanese Priyayi (Singapore: Heinemann, 1979). 38 Lihat laporan studi ini a.l. dalam : F. Fokkens, Eindresume van het bij Besluit van de Gouverneur-

General van Nederlandsch-indie van 24 Juli 1888 no. 8, Bevolen Onderzoek Naar de Verplichte Diensten op Java en Madura (Batavia: 1901-1903). 2 jilid.

39 A.A.J. Warmenhoven, “De Opleiding van Nederlandse Bestuurambtenaren in Indonesia” dalam S.L. vander wal (ed), Berturen Overzee (Franeker: Wever, 1977).h, 12-41.

40 Kontroversi antara Leiden dan Utrecht ini berlangsung antara tahun 1924-1932 ketika kelompok konservatif, dengan tokohnya F.C. Gerretson, menyatakan tak puas denagn cara Lieden menyiapkan para pejabat kolonial dan pendirian-pendirian politik yang dikembangkan. Sebagai tandingan Gerretson mendirikan Fakultas Indolog di Utrecdht dengan bantuan biaya para usahawan minyak yang beroperasi di Hindia Belanda, sehingga fakultas ini dikenal dengan nama Olie faculteit. Uraian lebih lanjut dapat dibaca di Emile Henssen, Gerretson. Leidsche Ideologie En Indische Realiteit (Leiden: brosur no 22 Vereniging voor Staatkundete Leiden, 1923).

41 Rencana-rencana unifikasi yang ditentang Vollenhoven dan pengikut-pengikutnya ini dibuat berturut-turut oleh Kabinet Kuyper (1904) sebagaimana dikoreksi dengan amandemen Idsinga ( 1906). Oleh Pleyte (1919, khususnya mengenai hal pemilikan tanah), dan oleh Cowan (1923). Perlawanan van Vollenhoven dapat dibaca dalam karangan-karangannya “Geen Juristenrecht voor den Inlander”, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie, jilid III (Lieden: E.J. Brill, 1918), h, 22-59, terbit pertama kali di Xxe Eeuw (Maret 1905); De Indonesiers en zijn Grond (Leiden: E.J. Brill, 1919); dan “juridisch confectiewerk: Eenheidsprivaatrecht voor Indie”, dalam Op. Cit. (1918), h. 719-744 terbit pertamakali di Koloniale Studien Th. IX (1925), no 1.

Page 154: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

140

dikembangkan, ialah hukum adat’.42 Peranan Leiden menjadi kian tak dapat diabaikan ketika puluhan mahasiswa dari kalangan elit pribumi mulai memanfaatkan kesempatan belajar ke negeri Belanda, dan banyak diantara mereka suka memilih Leiden sebagai tempat belajar ilmu hukum, indologi, dan ilmu susastra. Umumnya mereka berasal dari keluarga-keluarga ningrat atau priyayi/menak, memasuki pendidikan tinggi Belanda dan tujuan merintis karier di bidang pemerintahan atau kehakiman, namun banyak di antara mereka yang kemudianmenjadi tokoh-tokoh intelektual dalam pergerakan-pergerakan nasional, yang tentu saja gampang berkecenderungan untuk memilih dipertahankannya hukum adat untuk golongan pribumi dari pada meresepsi hukum asing yang ditransplantasikan dari Eropa, (dengan ataupun tanpa modifikasi). Ketika Rechtshogeschool (RHS) didirikan di Jakarta (waktu itu bernama Batavia) pada tahun 1924, warna Leiden mendominasi sekolah tinggi ini, gagasan-gagasan yang diajarkan di Verenigde Faculteiten der Geleerdheid en der Letteren en Wijsbegeerte Rijksuniversiteit Leiden terbias juga di RHS, karena hampir semua guru besar yang mengendalikan sekolah tinggi di Batavia ini adalah orang-orang Leiden.43 Manakala van Vollenhoven dari belakang mimbarnya di Leiden berperanan besar dalam menghidupkan ide tentang eksistensi dan potensi hukum adat untuk menjaga kesejahteraan hidup bangsa-bangsa pribumi, ter Har yang “turun kelapangan” telah berhasil mengoperasionalkan hukum adat lewat peradilan-peradilan negara yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi (disebut Landraad). Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-hakim banyak diantaranya pribumi yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar bagaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat memperolah bentuknya formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi, serta disiarkan secara luas lewat Indische Tijdschrift van Het Recht. Ter Haar amat berjasa dalam proses ini, dan disadari atau tidak ia telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem commom law.44 (dan tidak lewat cara kodifikasi menurut tradisi hukum kontinental yang sebenarnya lebih disarankan vanVollenhoven).45 42 Pengakuan umumnya diberikan kepada van Vollenhoven. Baca F.D.E, “Prof, Mr. Cornelis van

Vollenhoven als ontdekker van Het Adatrech”, Bijdragen tot De Taal, Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Th. XC (1933) hlm. 1-41 Von Benda-Beckman menulis bahwa (atas jasa rintisan van Volenhoven) selama 4 dasawarsa pertama di abad 20 ini tak ada negara dimanapun juga yang mampu menyamai Belanda dalam hal keberhasilannyamenghimpun jumlah bahan etnografi hukum: Frans von Benda-Beckman, :”Rechtsantropologie in Nederland”, Sociologische Gids, Th. XXVIII (1981), h. 297-400.

43 Resink mencatat bahwa guru-guru Leiden dan RHS mempunyai pengaruh besar pada pandanganpolitik nasionalis para mahasiswanya yang pribumi, dan banyak dari mahasiswa ini ternyata berperanan besar dalam Konggres Pemuda pada tahun 1928; bukan barang kebetulan kalau Sumpah Pemuda itu juga mengikrarkan pentingnya hukum adat untuk kehidupan dan kesatuan bangsa. Baca: G.J. Resink, “Rechtshoogeschool, Jongereneed, Stuw’en Gestuwden”, Bijdragen tot De Taal-Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie Th. CXXX (1973) hlm 427-449. Banyak guru bersar dari RHS juga menjadi anggota organisasi De Stuw yang menyokong ontvoogdij politiek, dan dengan demikian berlawanan dengan menghadapi pergerakan politik orang-orang pribumi. Baca mengenai hal ini : E. B. Locher Scholten, “De Stuw, Tijdstekening en Teken Des Tijds”, Tijdschrift voor Geschiedenis, Th. LXXXIV (1971), H. 36-65.

44 Dinyatakan pertama kali oleh Prof. Mr Djokosoetono bekas murid ter Haar lewat komunikasi lisan kepada salah seorang mahasiswanya, Mr. Soemarno P. Wirjanto; Mr, soemarno P Wirjanto

Page 155: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

141

Tantangan Kebijakan Hukum Paska Kolonial

Demikianlah situasinya anno 1942, ketika pemerintah Hindia Belanda harus mengakhiri kekuasaan politiknya di Indonesia, dan anno 1949 ketika pemerintahan Belanda harus mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Hukum teritorial yang berkembang sebagai suatu sistem tunggal dan siap pakai untuk rujukan seluruh nasion belumlah terwujud. Van Vollenhoven dan ter Haar boleh dituduh sebagai biang kegagalan unifikasi hukum; tetapi hingga eksponen-eksponen yang ikut mencegah terjadinya legal colonization seperti apa yang terlanjur terjadi di negara-negara Afrika. Tetapi apa yang menggembirakan pada masa kolonial tidaklah selamanya terasakan demikian pada masa kemerdekaan. Hukum adat yang menjadi perlambang ketahanan bangsa Indonesia menghadapi ofensi dan penetrasi hukum dan budaya Eropa kini mulai dipertanyakan kemampuannya untuk berfungsi sebagai struktur normatif yang melandasi struktur sosial-politiksuatu nasion baru yang berwatak pasca-suku. Di tengah ter Haar dan murid-muridnya, hukum adat telah berhasil memenuhi fungsinya sebagai hukum yang dapat dipakai di peradilan-peradilan negara yang modern. Ter Haar dan murid-muridnya juga telah berhasil menjaga perkembangan dan pertumbuhan institusi-institusi penunjang peradilan menurut hukum adat, seperti misalnya dalam ihwal profesionalisasi pengadilan hukum adat, perawatan literatur dan studi-studinya, metodologi penelitiannya, dan sebagainya. Selewat era ter Haar, pola kerja yang tersusun menurut tradisi common law Anglo Saxon (yang diam-diam dipakai ter Haar) tak banyak disadari dan diketahui orang. Lebih terlatih untuk bekerja dalam pola civil law Continental, upaya mengangkat hukum adat yang berakar pada budaya suku ke taraf nasional pasca-suku condong hendak dikerjakan orang lewat proses perundang-undangan. Dan usaha demikian lebih sejalan dengan alur yang ditunjukkan van vollenhoven tampaknya tak lebih mudah. Maka orang pun masih selalu saja berkutat dengan kehendak dan cita-cita, dan tidak segera terjun ke proses-proses yang lebih operasional. Dalam konteks kehidupan nasional, dorongan kearah unifikasi hukum yang telah bermula pada masa penjajahan memang telah memperolah kekuatan baru. Apabila pada era kolonial unifikasi hendak dijalankan menurut hukum Eropa, (yang ditentang van Vollenhoven dengan alasan bahwa serasa tak adil kalau hukum golongan minoritas diterapkan untuk yang berjumlah mayoritas), maka kini hukum golongan mayoritas yang akan dipakai modal untuk merealisasi unifikasi hukum. Tetapi hukum adat adalah hukum lokal yang dalam bentuk awalnya lebih banyak mencerminkan perkara-perkara masyarakat agraris daerah tropis. Mengkodifikasikan hukum adat untuk keperluan nasional akan menghadapkan orang pada suatu kesulitan: di tengah masyarakat nasional yang mengalami proses perubahan yang pesat, dan ruang lingkup operasional yang tak hanya lokal tetapi juga global, mengidentifikasi dengan rasionalitas yang formal tentang mana yang adat dan hukum adat, dan mana pula yang asing atau belum teradat, acapkali tidaklah mudah. Malahan, keharusan untuk berulah demikian itu boleh dibilang sudah

mengatakan hal itu kepada saya dalam suatu pertemuan pribadi di Yogya pada tanggal 15-1-1975 sewaktu diselenggarakannya Seminar “Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional”.

45 C. van Vollenhoven, Een Adatwetboekje voor Heel Indie (Leiden: E.J. Brill, 1910).

Page 156: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

142

tidak relevan lagi. Mengidentifikaasi kebutuhan hukum yang selalu berusaha secara dinamik, sejalan dengan derap pembangunan dan perubahan-perubahan dalam struktur sosial-ekonomi yang diakibatkannya, akan nyata lebih relevan. Sementara itu, seandainya yang akan dikodifikasikan adalah hukum yang lebih statik, ialah bagian hukum yang bersangkut paut dengan kehidupan moral masyarakat yang lebih mendasar (seperti yang mengenai bidang hukum keluarga dan waris), unifikasi pun tidaklah mungkin akan segera bisa dicapai. Rasionalitas formal dalam kebijakan menyusun hukum nasional memang sudah waktunya digantikan dengan rasionalitas yang lebih purposif. Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasinya dan dengan demikian juga pengubahannya menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern for behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar itulah orangnya yang telah berhasil memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Tetapi, apa yang telah dirintis ter Haar utnuk memfungsikan hukum adat dalam konteks kolonial menurut aliran realisme sayang sekali! Kini tak lagi terjamah oleh tangan-tangan profesional. Para yuris profesional sekarang ini tak bisa memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan penakatnya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan tidak sebagai hukum kodifiksi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.46 Kodifikasi dan unifikasi memang dapat saja dilakukan, akan tetapi celah perbedaan akan selalu terkuak lebar antara apa yang dikaidahkan dan apa yang terwujud sebagai perilaku aktual. Pengalaman dengan upaya mengunifikasikan hukum tanah dan hukum perkawinan telah membuktikan hal itu. Sehubungan dengan hal itu, akhir-akhir ini banyak pemikiran dan kenyataan yang terungkap bahwa hukum tak selamanya mampu memenuhi fungsinya sebagai penata kehidupan masyarakat. Akan gantinya, di dalam masyarakat akan selalu didapati apa yang disebut self-regulating mechanism yang bekerja secara informal namun otonom. Sekalipun informal, mekanisme-mekanisme ini acapkali dapat juga berfungsi sebagai penyelesai-penyelesai sengketa, dan/atau sebagai pemulih situasi tertib pada umumnya.47 Dalam situasi yang masih diwarnai pluralisme, hukum nasional yang lebih memberikan peluang mekanisme-mekanisme lokal untuk berfungsi kiranya akan dapat dianjurkan. Situasi plural masyarakat kolonial masihlah tetap berlanjut pada mayarakat nasional dewasa ini: kebijakan yang realistik dalam hal

46 Tiadanya tradisi peradilan yangdapat bekerja atas dasar konsep common law, dan kehendak untuk

selalu mengembangkan sistem hukum sebagai suatu sistem normatif yang logis dan terpositifkan dalam wujud sistem perundang-undangan, dengan fungsi hakim sebagai penemu dan bukan sebagai pencipta hukum, telah menimbulkan kesulitan ketika pada tahun 1960 Mahkaman Agung menerbitkan surat edaran untuk menyatakan bahwa Burgerlijk Wetboek hanya berlaku sebagai pedoman. Surat edaran yang sebenarnya memungkinkan hakim berinovasi dengan hukum-hukum baru dalam kerangka disiplin pemikiran konseptual sistem common law telah menimbulkan kegelisahan dan ketidakpastian pola, dan para hakim pun justru lalu mereaksinya secara negatif; lihat; Daniel S, Lev, “The Lady an The Banyan Tree: Civil Law Change in Indonesia”, American Journal of Comparative Law, Th. XIV (1965),h, 282-307.

47 Sally F. Moore, “Law and Social Change: The Semi-Autonomous social Field as An Appropriate Subject of Study”, Law And Society Review, Th. VII (1973). No. 4. h. 719-746.

Page 157: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

143

unifikasi hukum tentulah harus mempertimbangkan kenyataan mengapa unifikasi pada masa kolonial tak pernah berhasil; dan kegagalan itu tak selalu bersebab pada kuatnya pertimbangan politik-ideologik yang salah, akan tetapi juga acapkali karena sebab-sebab yang lebih objektif.48

48 Sementara pihak malah berpendapat bahwa hukum kolonial yang sering mendesakkan unifikasi itu tak

selalu dilandasi motif untukmemecah belah; sedangkanhukum nasional yang berlamban-lamban untuk tak segera merealisai unifikasi tak selamanya mengganggu kesatuan-dan persatuan nasional, stabilitas politik efesiensi pemerintahan, ataupun pertumbuhan ekonomi: John Ball, The Struggle for Nationl Law in Indonesia (Sydney: University of Sydney, 1986). h. 38.

Page 158: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

14

PERKEMBANGAN HUKUM DAN PERKEMBANGAN BISNIS Dari Status ke Contract

Dalam perkembangan kehidupan yang berlanjut-lanjut setakat -- dari realitanya yang baru, ialah yang nasional dan modern-- tampak nyata bahwasanya hukum dan bisnis berkembang secara berseiring dalam suatu hubungan yang komplementer. Hukum telah berkembang sebagai suatu tatanan dan sistem, dari fungsinya yang sebatas untuk memenuhi kebutuhan komunitas-komunitas lokal ke fungsinya yang baru sebagai pengontrol ketertiban kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada skala-skalanya yang nasional. Sementara itu apa yang disebut bisnis telah pula berkembang dari pola-pola kegiatannya yang semula lokal (dalam pasar-pasar yang kongkrit) ke pola-pola kegiatannya yang amat siap untuk berdinamika di kancah-kancah yang ruang lingkup nasional, atau bahkan juga yang beruanglingkup global (dalam pasar-pasar yang kian bersifat abstrak).

Perubahan kancah sosial yang mensyarati perubahan-perubahan kehidupan di bidang hukum dan bisnis sebagaimana dikemukakan oleh Henry Maine hampir satu setengah abad yang lalu. Menurut Maine, perubahan yang terjadi dalam kehidupan --dari kehidupan yang lokal-agraris ke kehidupan yang nasional-industrial-- itu pada hakikatnya adalah suatu perubahan besar yang membuyarkan organisasi kehidupan lama yang tersusun berdasarkan askripsi status-status untuk digantikan dengan organisasi kehidupan baru yang lebih tersusun berdasarkan kontrak-kontrak yang dibuat oleh dan untuk para warga sendiri. Secara ringkas Maine menyebutkan perubahan transformatif seperti itu dalam satu pernyataan from status to contracts. Perubahan yang demikian itu memungkinkan para warga masyarakat di dalam organisasi kehidupannya yang kemudian menentukan sendiri secara bebas posisi hak dan kewajibannya di hadapan warga-warga yang lain dengan memastikannya lewat kontrak-kontrak; tidak lagi tertetapkan tanpa dapat dicabar oleh askripsi-askripsi tradisi, yang konon-konon “tak akan lekang di panas dan tak bakalan lapuk di hujan”.

Perubahan pola-pola hubungan antar-manusia dalam organisasi kehidupan sebagaimana dipaparkan di muka itu pada hakikatnya adalah perubahan yang tertengarai tak cuma sebagai perubahan sosial, akan tetapi juga sebagai perubahan sosial, akan tetapi juga sebagai perubahan hukum. Organisasi-organisasi sosial lama – yang berskala dan berformat lokal – tertata sempurna menurut hukum tradisi, sedangkan transformasinya akan menjurus ke bentuk organisasi-organisasi kehidupan baru yang – dalam skala dan formatnya yang nasional – akan terpola berkat aktivitas-aktivitas kontraktual para warga. Terbebaskan dari pasungan tradisi yang selama ini mengusung para warga di dalam status-status dan pola-pola interaksional antar-status yang secara normatif bersifat baku, kini dalam organisasi kehidupan yang baru itu para warga menjadi berkebebasan untuk mengikatkan diri secara kontraktual ke dalam berbagai hubungan, atau juga untuk mengakhiri ikatan-ikatan itu.

Kebebasan seperti itulah yang dalam ilmu dan ajaran hukum disebut “kebebasan berkontrak”. Ide atau ideologi berikut praktik “kebebasan berkontrak” tersebut itu tak

Page 159: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

159

ayal lagi tentu saja memarakkan kehidupan bisnis industrial yang tengah berkembang di dalam suasana ekonomi urban yang liberalistis-kapitalistis di Eropa Barat, di bawah kontrol kaum kelas tengah pada masa itu. “Kebebasan berkontrak” memungkinkan ribuan pelaku ekonomi, baik yang terbilang kaum elit maupun yang tergolong massa pekerja, untuk melepaskan diri dari kontrol kaum feodal yang selama ini menguasai kehidupan komunitas-komunitas pertanian. “Kebebasan berkontrak” memungkinkan massa pekerja yang berasal dari kalangan para hamba dan para ulur di desa-desa meninggalkan tuan-tuannya yang menguasai tanah-tanah pertanian, untuk kemudian mencari kerja dan mengadu nasib ke kota-kota yang tengah diramaikan oleh pembangunan industri dan bisnis-bisnis penunjangnya. Tak pelak lagi, “kebebasan berkontrak” telah memungkinkan para usahawan yang bermodal dan bergerak di bidang-bidang bisnis nonpertanian dengan gampangnya merekrut pekerja-pekerja yang semula --menurut hukum yang lama-- harus berposisi sebagai abdi-abdi di bawah ayoman (baca: kontrol!) kaum feodal.

Tak jelas apakah dalam perkembangan sosial yang transformatif --dari yang lokal ke yang nasional-- dari abad yang lalu itu tuntutan dunia bisnis industrial itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan di dunia hukum (yang merefleksikan perubahan struktural dari dunia normatif from status to contracts) itu, ataukah sebaliknya; bahwa perubahan-perubahan dalam institusi-institusi hukum itulah yang memungkinkan maraknya dunia bisnis. Akan tetapi, jelas atau tak jelas, yang pasti adalah bahwa institusi bisnis dan institusi hukum berubah secara berbareng, berkembang dan dikembangkan untuk saling menopang dan saling menunjang secara fungsional. Dalam perkembangan itu, merespons dunia bisnis yang menghendaki terjaminnya kepastian-kepastian demi terealisasinya rencana-rencana yang rasional, hukum di bawah pengelolaan kaum profesionalnyapun tak ayal pula lalu mengembangkan dua doktin pokok. Ialah, yang pertama, doktrin positivisme yang menetralkan hukum dari sembarang nilai keadilan yang sangat relatif, dan yang kedua doktrin bahwa kontrak (hukum in concreto!) diakui berkekuatan setara undang-undang (hukum in abstracto!) bagi para pihak.

Sistem hukum yang dikembangkan di seputar konsep kontrak dalam hubungan-hubungan privat antar-warga (yang kini diharapkan akan bisa secara bebas bergerak di dunia bisnis industri dan/atau niaga itu nyata sekali kalau mencenderungkan diri ke paham dan kebijakan privatisasi atau individualisasi hukum. Sifat-sifat yang publikrechtelijk menjadi kabur dan tereduksi sekali. Dalam sistem hukum yang demikian itu --ialah yang nyata dikenali sebagai sistem hukum yang liberal-- peran pejabat-pejabat pemerintah dan pejabat-pejabat publik lainnya tak akan lebih dari apa yang disebut sebagai peran watchdog. Dalam peran peran seperti itu, tugas para pejabat yang berposisi di ranah publik --tak akan lebih dan tak akan kurang-- hanyalah sebagai pengawal yang bertugas menjaga lancarnya kerja mekanisme pasar secara alami, dan baru boleh turun tangan guna melakukan intervensi-intervensi yang bersifat publikrechtelijk manakala bekerjanya mekanisme pasar terbukti terganggu. Hukum dan Sistem Ekonomi

Perubahan sosial from status to contracts dengan sistem hukumnya yang ikut terubah menjadi amat kondisional bagi perkembangan bisnis liberal di Eropa Barat pada zamannya Henry Maine sebagaimana dipaparkan di muka itu tentu saja tidak begitu saja bisa berlaku untuk menjelaskan perkembangan-perkembangan di bagian-bagian benua lain di abad yang lain. Perubahan-perubahan besar di abad 20, sekalipun tetap memperlihatkan arah perkembangan from old communities (yang berskala lokal) ke new

Page 160: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

160

state (yang berskala nasional), namun nyata terlihat dan tercatat betapa liberalisme di dalam kehidupan bisnis yang terlalu memuliakan kebebasan berkontrak telah mengalami kritik yang hebat dan modifikasi yang cukup mendasar. Di banyak negeri --khususnya di negeri-negeri berkembang yang membangun dirinya di atas puing-puing kekuasaan kolonial-- ekonomi nasional tidaklah dikembangkan menurut hukum keniscayaan mekanisme pasar yang impersonal melainkan menurut hukum negara yang berfungsi mengimplementasikan rencana-rencana pembangunan pemerintah. Di sini market economy akan cenderung ditinggalkan, dan planned economy akan cenderung dipilih sebagai gantinya.

Fungsi hukum di dalam sistem market economy jelas berbeda sekali dengan fungsi hukum di dalam sistem planned economy itu. Kebebasan berkontrak tentu saja tak akan dapat lagi dikukuhi penuh-penuh, sehingga aktivitas ekonomi dan aktivitas bisnis pada dasarnya lalu tak lagi banyak dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum yang privaatrechtelijk, melainkan yang publiekrechtelijk. Di sini hukum cenderung akan dipakai sebagai pemberi kewenangan-kewenangan baru kepada pemerintah (dan segenap aparatnya), atau juga sebagai pemberi legitimasi-legitimasi pada setiap tindakan pemerintah (dan segenap aparatnya) itu.

Maka hukum itu kini tak lagi bisa memperlihatkan sikapnya yang murah hati untuk selalu berkemampuan menjamin kebebasan individu-individu warga masyarakat yang penuh prakarsa untuk membuat kontrak-kontrak guna menciptakan berbagai hubungan baru atau pula untuk memodifikasinya. Kalaupun kebebasan itu toh masih terakui ada, dalam praktik nanti hukum itu akan banyak lebih didayagunakan untuk mambuat intervensi-intervensi guna mengubah arah atau efek kegiatan-kegiatan individual itu. Intervensi begini ini bisa dilakukan di bidang apapun, baik yang bisnis (seperti misalnya di ranah penanam modal) maupun yang nonbisnis (seperti misalnya di ranah pembangunan keluarga sejahtera). Dapat dimengerti mengapa dalam kerangka kebijakan dan program-program planned economy inilah mulai dikenalnya doktrin baru dalam ilmu hukum dan ajaran hukum, ialah doktrin baru dalam ilmu hukum dan ajaran hukum, ialah doktrin law as a tool of social engineering, sekalipun sebenarnya doktrin ini berasal dari ide liberal Pound, yang mengajari para hakim agar peka pada perubahan-perubahan yang perkembangan-perkembangan (bukan pengembangan-penganbangan alias pembangunan!) sosial yang terjadi, dan mampu menyesuaikan keputusan-keputusannya pada perkembangan-perkembangan sosial-ekonomi yang terjadi.

Diterimanya doktrin law as/is a tool of social engineering di negeri-negeri berkembang yang menganut tradisi Civil Law (seperti Indonesia dewasa ini) sesungguhnya akan bermakna secara implisit diterimanya ide sentralisasi kontrol terhadap seluruh bidang kehidupan --baik yang bisnis maupun yang nonbisnis-- bersarakan hukum. Di sini regulasi akan berganda-ganda, sampaipun bercenderung ke taraf terjadinya overregulation terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat bangsa, sampai-sampai gampang timbul kesan bahwa hukum itu kini tidak lagi memiliki kedudukan supremasi, melainkan sudah terdegradasi cuma sebagai instrumen kontrol di tangan pemerintah (yang sudah terlalu terobsesi pada suksesnya pembangunan). Maka asas rule of the tak lagi banyak dipahami dalam praktik, dan terdistorsi menjadi suatu realita rule (of the ruler) by law. Dari Old Status ke New Status

Page 161: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

161

Dalam planned economy berikut segala konsekuensinya sebagaimana telah dipaparkan di muka itu, para pelaku ekonomi tanpa ayal lagi akan terpersepsi dan termaknakan dalam konsep-konsep tak lebih cumalah sebagai pelakon-pelakon belaka. Para pelakon ini --baik yang konsumen maupun yang produsen-- haruslah bisa bermain dan berperan secara loyal, menuruti apa yang telah diperintahkan oleh suatu skenario besar (yang secara resmi dan sah telah diundangkan sebagai “rencana pembangunan”). Para pelaku ekonomi itu kini ini bukanlah lagi individu-individu atau badan-badan swasta yang --seperti pada masa liberalisme dulu itu-- secara bebas dan mandiri bisa dan boleh membuat keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan ekonomi atas dasar pertimbangannya sendiri yang rasional. Alih-alih demikian, para pelaku ekonomi itu kini ini akan diorganisir dan dikontrol langsung oleh pemerintah (eksis sebagai BUMN-BUMN), entah pula yang diprakarsai oleh warga masyarakat namun yang mau tak mau harus dan akan ditaruh di bawah kontrol pemerintah (eksis sebagai koperasi-koperasi).

Maka dalam perkembangan seperti itu, yang terjadi bukanlah transformasi kehidupan from status to contracts seperti yang ditunjukkan Maine, melainkan perubahan format from old status (as ascribed by local traditions) to new status (as assigned by national laws). Namun demikian, betapapun rasionalnya planned economy itu sebagai suatu model, tidak banyaklah penguasa-penguasa di negeri-negeri yang sedang berkembang itu sesungguhnya yang sanggup merealisasi dan mengimplementasi ideologi planned economy itu secara konsekuen. Sekalipun melalui manuver-manuver politik seluruh sistem pembuatan dan penegakan hukum dapat dikuasai, dan rulling by law tanpa banyak kesulitan dapat dilaksanakan, akan tetapi langkanya sumberdaya (khususnya modal dan informasi) yang dapat dikerahkan dari dalam negeri telah menghadapkan pemerintah-pemerintah di negeri-negeri yang sedang berkembang ini kepada kenyataan-kenyataan ekonomi dan idiom-idiom bisnis yang nyata sekali kalau liberal.

Tak pelak lagi, kompromi-kompromi mesti dilakukan dan sebagian dari regulasi-regulasi --khususnya yang berkenaan dengan bisnis yang padat modal dan padat informasi, dengan ketergantungan yang kuat pada kekuatan-kekuatan eksternal-- mulai terpaksa dilonggarkan. Deregulasi-deregulasi mulai menyelingi regulasi-regulasi, dan hukum pun kini tak lagi hanya difungsikan sebagai sarana kontrol melainkan juga --atas dasar pertimbangan yang tak lagi ideologik melainkan pragmatik-- sebagai sarana untuk mengendurkan kontrol. (Sementara itu, di bidang kehidupan sehari-hari yang nonbisnis, di mana kompromi-kompromi dengan berbagai kekuatan luar tak sekali-kali terasa diperlukan, regulasi-regulasi by law (atau mungkin saja juga by pseudo-law) tetap saja berlangsung terus dengan amat bandelnya). Tantangan Global:

Memasuki millenium ketiga Masehi, kehidupan bisnis diramalkan banyak orang akan tak lagi beruang-lingkup cuma sebatas skala dan formatnya yang nasional. Banyak ramalan memprakirakan bahwasanya kehidupan umat manusia di abad-abad mendatang itu --di bidang apapun, khususnya di bidang bisnis pascaindustrial-- akan terus mengembang dalam skala dan formatnya yang kian regional atau bahkan global. Modal dan informasi, dan bahkan juga manusia-manusia pekerjanya, --seperti yang gampang dikatakan oleh Appadurai-- akan kian tak lagi gampang dikurung dan dikontrol (dengan regulasi-regulasi hukum nasional macam apapun!) dalam batas-batas suatu negara belaka. Pelaku-pelaku ekonomi dan bisnis akan kian berwawasan profesional dan transnasional, dan tidak lagi membatasi diri pada wawasannya yang nasional sebagai warga suatu

Page 162: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

162

negara (yang dengan penuh afeksi harus selalu bersedia menaati apa saja yang telah direncanakan dan diperintahkan oleh para pejabat politik, yang minta dikenali sebagai pengemban kekuasaan negara).

Perkembangan transformatif dari yang nasional ke yang global --meneruskan perkembangan yang bermula dari abad yang lalu, ialah perkembangan dari yang lokal ke yang translokal-nasional-- diramalkan akan terus berlangsung, tidak hanya dengan keniscayaannya yang tinggi namun juga dengan laju yang kian bersicepat. Dalam kenyataan perkembangan eksplosif yang boleh dikiaskan sebagai big bang itu, bak hendak mancabar perkembangan pada lingkup nasional yang cenderung implosif, banyak ahli meramalkan bahwa hukum nasional akan tak banyak punya banyak daya lagi untuk menjangkau dan mengontrol kehidupan bisnis yang sudah bersifat multinasional (dengan operasi-operasinya yang bersifat transnasional) dan berskala global itu.

Dalam perkembangan yang kian banyak berlangsung di zone-zone netral yang tengah lepas dari kontrol-kontrol pemerintah nasional --dan karena itu juga sedang “vakum tanpa ada kekuasaan supra macam manapun” seperti itu-- tak pelak lagi organisasi-organisasi kegiatan manusia yang tak hendak berafiliasi dengan kepentingan nasional yang sempit (tak hanya yang bergerak di bidang bisnis dalam wujudnya sebagai multinational atau transnational corporations, akan tetapi juga yang banyak bergerak di bidang politik, sosial ataupun budaya sebagai nongovernment organizations) akan berkesempatan untuk marak. Regulasi-regulasi menurut kaidah-kaidah hukum yang diundangkan atas wibawa penguasa-penguasa sentral tak akan banyak bisa berfungsi lagi. Akan gantinya, begitu menurut ramalannya, apa yang disebut Dezalay dengan lex mercatoria (ialah hukum transnasional yang terwujud sebagai hasil hubungan interaksional yang terwujud sebagai hasil hubungan interaksional antar-aktor dalam aktivitas pasar global) akan terbukti lebih fungsiaonal.

Peran para konsultan hukum yang profesional, dengan kemampuannya sebagai hired gun untuk membuat penyelesaian-penyelesaian yang kreatif dari kasus ke kasus, diramalkan akan menggeser dan mengungguli peran para legislator dan para hakim yang berkhidmat dalam sistem hukum nasional suatu negeri tertentu (yang karena itu acapkali terbukti kurang dapat membebaskan diri dari kepentingan politik para pejabat yang duduk dalam jajaran eksekutif). Proses-proses yang terjadi barangkali saja bersejajar benar dengan apa yang pernah diobservasi oleh antropolog Sally Falk-Moore, sekalipun antropolog wanita ini tak hendak merujuk ke kasus-kasus yang transnasional, melainkan yang subnasional. Apakah hasil observasi Falk-Moore ini? Ialah, bahwa dalam setiap situasi yang bisa terbebas atau terbebaskan dari sembarang kontrol kekuasaan hukum nasional yang berlanjut-lanjut, selalulah muncul di situ terjadinya suatu self-regulating mechanism yang otonom, yang sungguh fungsional juga sifatnya, dan tak sekali-kali terbukti hanya akan menimbulkan peristiwa anarki, yang pada gilirannya hanya akan mengundang kekacaubalauan belaka.

Page 163: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

15 MASALAH PLURALISME DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

Dari Old Societies, ke New State

Perkembangan hukum nasional di mana-mana berlangsung berseiring dengan perkembangan kekuasaan negara-negara bangsa. Tak pelak lagi kenyataannya memang demikian, karena apa yang disebut hukum nasional itu pada hakekatnya adalah hukum yang kesahan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. Tatkala kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang lebih luas, dari lingkar-lingkar kehidupan komunitas lokal (old societies) ke lingkar-lingkar besar yang bersifat translokal pada tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut negara bangsa yang modern (new nation state), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu dan pasti (alias positif!) amatlah terasanya. Maka gerakan ke arah unifikasi dan kodifikasi hukum terlihat marak disini, seolah menjadi bagian inheren proses nasionalisasi dan negaranisasi serta modernisasi yang amat berkesan mengingkari eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional.

Namun apa yang disebut lokal dan tradisional itu sesungguhnya berumur lebih tua, dan lebih mengakar dalam sejarah, dari pada apa yang nasional dan modern itu. Hukum setempat – sekalipun tak tertulis dan tak memiliki ciri-cirinya yang positif – adalah sesungguhnya hukum yang lebih memiliki makna sosial dari pada hukum yang terwujud dan bersitegak atas wibawa kekuasaan-kekuasaan sentral pemerintah-pemerintah nasional. Dibandingkan hukum nasional yang state law itu, hukum lokal yang folklaw itu memang tak mempunyai struktur-strukturnya yang politik, namun kekuatan dan kewibawaannya memang tidak tergantung dari struktur-struktur yang politik itu melainkan imperativa-imperativanya yang moral dan kultural. Maka dalam bingkai-bingkai kesatuan. Politik kenegaraan yang satu dan bersatu dalam konteks-konteksnya yang nasional, tetap tertampakkanlah pluralitas dan keragaman yang kultural dalam konteks-konteksnya yang lokal dan subnasional. Tak pelak lagi, di negeri-negeri yang berkultur bhineka namun yang tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lewat berbagai ikrar dan pernyataan tekad!) eksistensi hukum nasional – yang memanifestasikan nasionalisme politik – itu selalu menghadapi masalah pluralisme hukum-hukum lokal yang memanifestasikan kesetiaan-kesetiaan dan kebutuhan-kebutuhan lokal.

Folk Law versus State LawSesungguhnya institusi negara nasional itu merupakan invensi dan sekaligus juga bagian dari pengalaman sejarah bangsa-bangsa Eropa. Pengalaman ini terpelajari dan kemudian tertiru tatkala bangsa-bangsa Eropa itu tak hanya bertindak sebagai penjajah-penjajah melainkan juga menampilkan diri sebagai “guru-guru” berbagai bangsa di tanah-tanah jajahannya. Konsep negara bangsa yang tak hanya bersifat translokal akan tetapi juga teritorial, dengan sarana penertibnya yang disebut hukum nasional yang diunifikasikan dan dikodifikasikan, serta merta menjadi tertiru dan dicoba direalisasi di negeri-negeri Timur ini tatkala bangsa-bangsa terjajah ini

Page 164: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

165

pada suatu ketika menjadi merdeka dan menentukan nasibnya sendiri dalam suatu kehidupan bernegara. Akan tetapi, adakah model negara-negara bangsa yang Eropa itu dapat begitu saja ditiru dan diduplikasi untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri-negeri Asia dan Afrika? Dapatkah model negara bangsa Eropa yang bertumpu pada suatu kesatuan kultur yang homogen diduplikasi begitu saja untuk membangun satuan kehidupan yang ternyata berkultur plural dan karena itu juga akan mencuatkan masalah pluralitas dalam ihwal hukum-hukum subnasion yang kini harus eksis di tengah cita-cita kesatuan itu?

Masalah pluralitas hukum sebagai akibat pluralitas kultur lokal yang subnasion memang tak demikian terasa dalam pengalaman perkembangan nation state di Eropa pada masa 1-2 abad yang lalu. Dalam pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa Barat, hukum yang “dibuat” dan diundangkan oleh organisasi negara sebagai hukum nasional memang hukum yang pada substansinya dan pada esensinya sama atau tak jauh berbeda dengan kaidah-kaidah lokal. Ketika Napoleon mengundangkan 3 kitab hukum pada awal abad 19 di Perancis, misalnya, isi ketiga kodifikasi yang disiapkan oleh sebuah Panitia Negara itu sebenarnya tak lain dari pada hasil perekaman kembali kaidah-kaidah sosial yang secara de facto telah berlaku dan dianut oleh masyarakat-masyarakat lokal di negeri itu. Dengan demikian, bagi rakyat menaati kaidah-kaidah hukum yang diundangkan itu adalah sama saja dengan menaati kaidah-kaidah yang selama ini telah diakui berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Di sini substansi kedua kategori kaidah itu – yang folklaw dan yang state law – tidaklah banyak berbeda. Maka anggapan hukum bahwa “setiap orang dianggap mengetahui isi setiap undang-undang negara”, dan bahwa “tak seorang pun boleh mengelak dari hukuman hanya dengan dalih bahwa ia tak mengetahui hukumnya” (igniratio juris), tidaklah akan menimbulkan keberatan apa-apa di Perancis itu.

Halnya menjadi amat berbeda ketika hukum Perancis yang dikodifikasikan itu akan diterapkan di Jerman dan di Austria tatkala kekuasaan Napoleon berekspansi ke seluruh penjuru benua Eropa dengan maksud ikut mengekspansikan hukum kodifikasinya itu. Jerman dan Austria memiliki tradisi kaidah hukum rakyatnya sendiri – yang tumbuh dan berkembang menurut sejarah – dan yang tentu saja berbeda dari kaidah-kaidah sosial dan kaidah adat masyarakat Perancis yang telah dikodifikasikan itu. Menerima kodifikasi hukum Perancis yang asing itu dengan demikian akan berarti menerima kaidah-kaidah yang bersumber dari kekuasaan negara (yang waktu itu berkehendak meresepsi hukum Perancis), yang kandungan normatifnya ternyata berbeda dari kandungan normatif kaidah-kaidah sosial yang dianut masyarakat setempat. Eugen Ehrlich, seorang sarjana Austria pada masa itu, menyatakan bahwa pada waktu itu dapat disinyalir bahwa Hukum Negara (yang diambil dari Perancis itu) amat berbeda dari hukum yang dianut rakyat di pegunungan-pengunungan Austria dalam kehidupan sehari-hari. Hukum yang tertera di kitab-kitab nyata berbeda dengan hukum yang hidup (the living law) yang dianut rakyat dengan segala keyakinannya di tengah masyarakat. Pengalaman Austria itu telah mendemonstrasikan bahwa sesegera ranah jurisdiksi hukum negara yang formal dan positif itu memasuki ranah kultural yang berbeda, sesegera itu pula masalah pluralisme kultural pada masyarakat-masyarakat setempat akan bermula.

Page 165: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

166

Pengalaman Austria yang diutarakan di muka itu pernah pula dialami oleh Indonesia (yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda, suatu daerah jajahan Belanda). Ketika pada pertengahan abad 19 sampai awal abad 20 ini pemerintah Hindia memutuskan untuk memberlakukan hukum perdata Belanda (yang telah dikodifikasikan menurut model hukum kodifikasi Napoleon itu), reaksi-reaksi timbul dengan kerasnya dari beberapa kalangan sarjana Belanda yang berwawasan sosiologik dan historik. Van Vollenhoven mencanangkan pendiriannya yang berbunyi “geen juristenrecht voor de Inlanders” (tidak akan ada hukum yang cuma dimengerti pakar-pakar hukum bisa diterapkan untuk rakyat pribumi yang dalam kehidupannya sehari-hari telah memiliki tatacara hukumnya sendiri). Lebih pantaslah kiranya apabila hukum rakyat (yang oleh van Vollenhoven dan Snouk Hurgronje pendahulunya disebut “hukum adat” itu) direkam dan dipelajari dulu untuk kemudian dikodifikasikan untuk memedomani tindakan-tindakan hukum rakyat itu sendiri.

Penerus van Vollenhoven, ialah ter Haar dan para muridnya yang belajar di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama Rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah sosial (adat) komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi. Hasil-hasil kerja di lapangan itu dicatat dan diterbitkan dalam buku-buku dan majalah-majalah hukum, dan acapkali (walaupun tidak diresmikan sebagai kodifikasi) dipakai sebagai rujukan oleh hakim-hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara-perkara antara orang-orang pribumi. Berkat perjuangan van Vollenhoven dan ter Haar serta para penerusnya itu, pada jaman Hindia Belanda itu hukum negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial pemerintah kolonial) menjadi tidak – atau tidak banyak – menyimpang dari hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Dari uraian-uraian yang dipaparkan di muka itu terkesanlah bahwa hukum negara yang tertulis di kitab-kitab dan dokumen-dokumen – yang dulu disebut hukum kolonial dan yang kini disebut hukum nasional – itu tidak selamanya mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut rakyat setempat di dalam kehidupan sehari-harinya. Tidak dipahami hukum negara oleh rakyat yang berbagai-bagai itu terkadang bukan pula disebabkan oleh ketidaksadarannya melainkan juga sering karena ketidaksediaannya. Kenyataan seperti itu sesungguhnya mencerminkan pula telah terjadinya apa yang disebut cultural gaps bahkan mungkin juga cultural conflict. Isi kaidah yang terkandung dalam hukum negara dengan yang terkandung dalam hukum yang dianut rakyat tidak hanya tak bersesuaian satu sama lain melainkan juga bahkan acapkali bertentangan. Ambisi Unifikasi Hukum Nasional dan Konsekuensinya

Pengalaman “mendamaikan” isi kandungan hukum antara hukum yang diberi sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah sosial yang tersosialisasi dan diyakini oleh warga masyarakat-masyarakat lokal) sebagaimana diperoleh pada jaman kolonial – dan sedikit banyak boleh dibilang sukses -- itu ternyata justru sulit dilaksanakan pada zaman kemerdekaan. Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan paham partikularisme pada zaman kolonial tidaklah mudah diteruskan pada zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk “menyatukan” Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan pemerintahan telah bercenderung untuk mengabaikan hukum rakyat yang plural dan lokal-lokal itu untuk

Page 166: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

167

diganti dengan hukum nasional yang diunifikasikan dan tak pelak juga dikodifikasikan. Kebijakan hukum nasional ditantang untuk merealisasi cita-cita menfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan pembaharu, mendorong terjadinya perubahan dari wujud masyarakat-masyarakat lokal yang berciri agraris dan berskala-skala lokal ke kehidupan-kehidupan baru yang lebih berciri urban dan industrial dalam format dan skalanya yang nasional (dan bahkan kini juga global).

Karena perubahan cita-cita itu acapkali bermula dari cita-cita para pemegang kendali kebijakan pemerintah, sedangkan kesetiaan warga masyarakat pada umumnya (khususnya dari lapisan bawah yang kurang terdidik secara formal) lebih terlanjut ke nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dikukuhi secara konservatif selama ini di dalam komunitasnya, maka terjadilah tegangan yang terasa saling memaksa antara pemerintah beserta para elit pendukungnya dengan lapis-lapis masyarakat awam. Pengendali kebijakan negara mencita-citakan perubahan ke arah pola kehidupan yang baru, modern, industrial dan berkesetiaan nasional; sedangkan masyarakat awam yang pada umumnya cenderung konservatif untuk lebih banyak menyuarakan suara ragu akan manfaat dan kebajikan perubahan itu. Kenyataan memang membuktikan bahwa (misalnya!) sesegera kepemilikan tanah atau pengelolaan hutan tidak lagi diakui bertumpu pada legitimasi hukum adat yang hukum rakyat, melainkan harus disumberkan kesahannya pada hukum nasional, sesegera itu pula banyak warga masyarakat yang tahunya cuma hukumnya sendiri yang lokal itu menjadi terancam kesulitan untuk kemudian kehilangan banyak hak.

Banyak kebijakan yang tertuang dan dipositifkan ke dalam banyak perundang-undangan nasional yang berbeda dengan kelaziman-kelaziman yang telah diadatkan dalam hukum rakyat. Perhatikan juga misalnya di bidang pranata perkawinan tentang kedudukan isteri terhadap suami. Menjelang era industrialisasi, pembangunan yang dikembangkan pemerintah mengundang (atau mengharuskan?) pula partisipasi kaum wanita. Tak pelak lagi kedudukan wanita dalam masyarakat harus diangkat terlebih dahulu bersanksikan hukum perundang-undangan nasional agar dapat segera bersejajar dengan kedudukan pria. Dilindungi oleh hak-hak yang dijamin oleh hukum negara, kini wanita-wanita (misalnya!) tak akan mudah diceraikan begitu saja, tak mudah dimadu begitu saja, dan tambahan lagi tak akan boleh dikawini atau dikawinkan dalam usia yang masih terlalu muda (dan yang karena itu akan merampas kesempatan mereka untuk maju lewat pendidikan). Hak dan kedudukan wanita yang baru sebagaimana diberikan oleh dan di dalam hukum seperti yang resmi diciptakan oleh pemerintah itu nyata kalau tak akan di dapati dalam hukum atau kaidah sosial yang dianut rakyat awam selama ini. Perundang-undangan negara demikian mengundang alternatif baru, yang dengan sanksi hukum negara malahan dipandang sebagai satu-satunya kaidah yang harus dituruti dan ditaati semua warga masyarakat tanpa kecualinya. Akan tetapi adakah alternatif yang baru ini selalu dapat memenuhi kebutuhan hukum rakyat setempat dan karena itu juga dapat mengundang kesetiaan dan kesediaan untuk selalu menaatinya? Hukum negara yang tak bersesuaian dengan hukum rakyat seperti itu tentu saja acapkali condong untuk tak akan dipilih rakyat, atau kasarnya terkadang malah akan memperoleh perlawanan dari bawah. Sekalipun hukum negara itu ditopang oleh sanksi yang

Page 167: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

168

dilaksanakan secara terorganisasi oleh organisasi eksekutif, namun karena pada umumnya hukum negara ini kurang dikenal atau dipandang kurang menguntungkan masyarakat luas, maka hukum negara ini condong untuk terabaikan begitu saja. Dalam prakteknya, misalnya dalam hal adanya undang-undang mengenai soal “bagi hasil” yang menghakkan tidak lagi 2 untuk pemilik tanah dan 1 untuk penggarap, melainkan 1 untuk pemilik tanah dan 1 untuk penggarap, warga masyarakat di desa-desa akan tetap saja membagi hasil dengan cara 2 banding 1, dan para penggarap inipun sering tak hendak mencoba protes dengan merujuk ke hukum negara (mungkin karena tak mengetahui hak-hak baru ini, atau mungkin juga merasa asing dan tak tahu cara merealisasi hak-haknya yang baru itu. Warga-warga masyarakat, sebagai misal lain, akan tetap memandang benar bahwa pria harus tetap berkemudahan apabila terpaksa menceraikan istrinya seperti hari-hari yang lalu sebagaimana yang telah diajarkan, atau untuk tetap bisa mengawini 2-3 wanita sesuai dengan kemungkinan yang telah diberikan oleh adat dan agamanya (asal adil!) dan tak mau peduli dengan apa yang telah dibatas-bataskan oleh hukum negara, atau juga untuk mengawinkan anak-anak perempuannya sekalipun sekalipun masih berumur 12-13 tahun.

Menghadapi kenyataan seperti ini, sanksi hukum negara seakan-akan kehilangan legitimasinya dan kehilangan pula daya keefektifannya. Persoalannya memang bukan lagi berupa pelanggaran hukum oleh seorang dua orang yang tak berkesadaran hukum (yang – kalau saja demikian – tentunya akan dikoreksi dengan penjatuhan sanksi terhadapnya. Persoalannya yang paling mendasar adalah persoalan keyakinan dan kesadaran hukum rakyat yang merujuk ke perangkat budaya yang berbeda dari postulat yang diambil sebagai premisa kebijakan negara. Maka, pada hakekatnya yang tengah dihadapi ini adalah persoalan konflik budaya dalam suatu masyarakat nasional yang berkeadaan plural dalam soal budayanya, sekalipun satu dalam makna politik dan pemerintahannya.

Tak pelak lagi, masalah yang dihadapi oleh pemerintah di Indonesia dewasa ini akan amat berbeda dengan apa yang pernah dihadapi oleh sarjana-sarjana yang bersemangat nasionalisme pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, yang ketika itu berserempak menjadi penganjur-penganjur dipertahankannya hukum adat – yang berarti juga mempertahankan kemajemukan – untuk menghadapi hukum Belanda. Halnya juga berbeda dari apa yang dialami Napoleon pada awal perkembangan unifikasi hukum nasional di Perancis. Persoalannya justru lebih mirip persoalan konflik hukum di Austria sebagaimana telah dilaporkan Ehrlich pada waktu yang lalu. Maka, persoalan demikian itu jelas kalau memerlukan penyelesaian berstrategi jangka panjang: bukan mengutamakan pemaksaan dengan penerapan sanksi-sanksi yang tegas, melainkan mengutamakan usaha mensosialisasikan “hukum baru yang nasional” itu melalui aktivitas-aktivitas berencana yang disebut penyuluhan. Aktivitas seperti ini tentulah bertujuan tunggal, ialah terbangkitnya kesadaran hukum yang baru. Upaya seperti ini tak pelak harus dipandang juga sebagai bagian dari aktivitas pendidikan politik dan pembangunan budaya baru yang bertaraf nasional daripada yang berformat subnasional.

Tantangan Kini dan Masa Datang

Tetapi mungkinkah? Lagi pula, mudahkah? Bukankah mengajarkan sesuatu pemahaman baru itu juga berarti mengajak orang melupakan ajaran yang lama, dan justru

Page 168: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

169

belajar melupakan itu yang sebenarnya lebih sulit? Tidakkah akan lebih realistik dan arif untuk membiarkan saja terwujudkannya kemajemukan pada tataran lokal --yang karena itu lebih terintepretasi dan bergayung sambut dengan budaya hukum rakyat setempat-- sekalipun tetap mencita-citakan kesatuan pada tataran nasional? Tidakkah anjuran kebijakan untuk to think nationally, but to act locally patut dipertimbangkan kembali di sini?

Sesungguhnya penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat aparat pemerintah dewasa ini bertujuan tak hanya sekedar mengkhabarkan hukum-hukum baru kepada masyarakat, melainkan lebih jauh dari pada itu. Ialah kaidah-kaidah baru itu penting tidak cuma agar diketahui melainkan juga mesti diperhatikan agar seseorang tidak mengalami kesulitan di tengah kehidupan bernegara yang diupayakan tertib pada tataran nasional ini. Ditunjukkan dengan berbagai pengalaman bahwa hukum negara memang bisa diabaikan dan tidak perlu diketahui atau diperhatikan selama seseorang tak hendak terlibat dengan atau ke dalam kehidupan bernegara, atau tak hendak memerlukan fasilitas bantuan jasa aparat pemerintah negara. Kewajiban yang diharuskan hukum negara kepada setiap warga untuk mencatatkan kelahiran anak atau pernikahan yang dijalani, misalnya, dapat saja diabaikan untuk sementara; akan tetapi begitu sang anak sudah memerlukan sekolah, atau isteri memerlukan pengakuan sah guna memperoleh (misalnya!) tunjangan, maka akan mulailah timbul kesulitan sebagai akibat pengabaiannya pada ketentuan kaidah hukum negara selama ini.

Sekalipun dalam pengembangan hukum nasional dewasa ini pemerintah berposisi ofensif, ditunjang oleh struktur dan personil pemerintahan atau organisasi eksekutif yang kuat, namun upaya-upaya untuk menyadarkan rakyat agar segera meresepsi hukum negara (untuk tidak secara berterusan bersikukuh secara konservatif pada hukum lokalnya saja) bukannya akan serta-merta akan mudah. Merekayasa budaya dan mengubah keyakinan serta perilaku sekelompok warga masyarakat memang merupakan tugas berat dan berjangka panjang. Pada akhirnya semua upaya itu adalah juga upaya menumbuhkan kesadaran berbangsa dalam suatu kehidupan bernegara bangsa dan untuk berkesetiaan baru: tidak lagi mengutamakan masyarakat-masyarakat suku setempat akan tetapi mengutamakan masyarakat baru yang disebut masyarakat nasional yang “dari Sabang sampai Merauke, dan dari pulau Miangas sampai ke pulau Rote” itu. Sekali lagi harus dikatakan di sini bahwa upaya seperti itu tidak akan mudah. Manakala dalam kehidupan berbangsa dengan bersaranakan hukum nasional itu kepentingan dan kebutuhan hukum masyarakat-masyarakat lokal justru kurang terpenuhi, sedangkan hukum-hukum lokal yang tertulis terbukti selama ini tidak hanya murah akan tetapi juga terasa lebih melindungi kepentingan-kepentingan setempat, maka selama itu kesadaran yang lama itulah yang akan lebih kuat bertahan.

Yang masih juga harus diingat dan dipikirkan pada masa ini adalah kenyataan bahwa kini – berbeda dengan zaman awal pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa – kehidupan pada tataran nasional bukanlah satu-satunya alternatif yang hendak mengatasi kehidupan yang lokal itu. Kini kehidupan telah kian marak dalam format-formatnya yang global, seolah menawarkan alternatif baru yang tak cuma hendak mengatasi kehidupan yang lokal melainkan juga yang nasional. Dalam suasana kehidupan yang kian terasa menuju ke suasana one world, different but not divided dewasa ini, terjadilah suatu paradoks bahwa yang lokal tak akan kunjung terancam mati (sebagaimana yang terkesan akan terjadi demikian dalam suasana yang nasional dan

Page 169: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

170

modern (serta anti-tradisi itu dalam prakteknya), melainkan hidup kembali untuk koeksis sebagai alternatif yang dapat pula dipilih dalam kehidupan ini. Tatkala terbukti bahwa selama ini modernisme – dan dengan demikian juga hukum nasional yang konon modern itu – tak mampu memecahkan seluruh persoalan kemanusiaan, tak hanya apa yang global (dengan semangat postmodernismnya) melainkan juga yang lokal (dengan tema-tema premodernismenya) berani bangkit untuk menawarkan alternatif dalam kehidupan budaya, sosial, politik, ekonomi dan hukum kepada umat manusia.

Manakala dalam kehidupan berskala global ini yang akan pertama-tama terwujud adalah suatu global society yang akan membebaskan jutaan manusia dari ikatan-ikatan aturan hukum nasional yang berhakekat sebagai mekanisme kontrol di tangan penguasa-penguasa negara, dan bukan suatu global state, maka otonomi-otonomi pengaturan pada skala mikro “untuk kalangan sendiri” boleh diramalkan akan lebih banyak terjadi. Adjudikasi-adjudikasi oleh badan-badan peradilan yang terikat untuk merujuk ke hukum (negara) nasional diramalkan akan banyak mundur, untuk lebih sering tergantikan oleh cara-cara penyelesaian yang lebih luwes. Hukum serba baku yang dibuat oleh kekuasaan-kekuasaan sentral diramalkan --sekalipun dalam rentang waktu yang tak mudah dikatakan-- akan kian berkurang, sedangkan kesepakatan-kesepakatan kontraktual de novo akan lebih banyak dilakukan. Kalaupun ada pihak ketiga yang terpaksa diundang untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari kontrak-kontrak itu, maka badan-badan arbitrase akan cenderung lebih banyak dipilih daripada penyelesaian-penyelesaian lewat badan-badan peradilan nasional.

Makin cepat berkembangnya the global society di satu pihak, dan makin cepat pula surutnya kemampuan dan peran the nation state dalam hal ihwal penataan kehidupan sosial-ekonomi yang menjamin kesejahteraan hidup di lain pihak, akan makin cepat pula satuan-satuan parastatal di dunia yang telah “mengglobal” ini menemukan otonominya untuk mengembangkan aturan-aturannya sendiri, “untuk kalangan sendiri”!. Sementara itu, pada skala-skala kehidupan yang lebih lokal, pembebasan diri dari jangkauan hukum nasional akan pula tetap berlangsung. Kalaupun tak hanya berupa resistensi-resistensi kultural yang tak terorganisasi (sebagaimana telah dibentangkan dalam paragrap-paragrap awal di muka), berbagai institusi lokal dengan fungsinya untuk menyelesaikan perkara-perkara lokal dipraktikkan akan banyak pula terbentuk. Inilah ragam institusi-institusi sosial yang oleh Sally Moore disebut the autonomous self regulating mechanism.

Page 170: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

16

PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL, TANTANGAN BAGI

PEMIMPIN LOKAL Hakekat Manusia sebagai Mahluk Sosial

Manusia adalah makhluk sosial; artinya, bahwa manusia itu –agar dapat mampertahankan kelestarian hidupnya– harus hidup secara berkelompok dalam satuan-satuan yang disebut masyarakat. Dalam alam kehidupan ini, manusia memang bukan satu-satunya makhluk yang terbilang makhluk sosial. Semut dan lebah madu adalah pula terbilang makhluk yang amat nyata sifat sosialnya. Akan tetapi, berbeda sekali dengan semut dan lebah ini, masyarakat manusia hanya dapat beroperasi atas dasar tata cara pergaulan yang dipelajari. Bukan atas dasar naluri-naluri kodrati.

Tata cara pergaulan dalam masyarakat manusia disebut aturan atau sering disebut kaidah atau norma. Aturan bertingkah laku ini diperlukan agar manusia yang harus hidup di tengah masyarakatnya itu mengetahui dengan tepat apa yang harus ia lakukan dalam pergaulan dengan sesamanya. Dengan begitu ia pun tidak akan merugikan dan/atau mencederai sesamanya. Malah sebaliknya; dengan berbuat sesuai dengan aturan yang tepat sesuai dengan apa yang telah diketahui dan disepakati bersama, seseorang tak ayal akan mudah mengembangkan kerjasama – untuk berbagai tujuan – dengan sesamanya. Aturan atau norma itu berperan amat penting dalam kehidupan masyarakat manusia. Setiap warga masyarakat tidaklah mungkin berikut serta dalam kehidupan bersama apabila tak menguasai terlebih dahulu norma atau “aturan permainan” yang berlaku di tempat itu. Itulah sebabnya mengapa setiap “pendatang baru” dalam masyarakat (seperti anak-anak manusia atau orang-orang asing) selalu belajar dan diajar dahulu berbagai santun pergaulan yang berlaku ditempat.

Kecuali disyarati oleh proses belajar-mengajar, tertib pergaulan dalam masyarakat manusia yang ditopang oleh berlaku dan dijalani atau ditaatinya norma-norma itu akan ikut disyarati pula oleh ancaman hukuman. Walhasil, tertib pergaulan terjadi karena manusia-manusia yang menjadi warga pergaulan telah bersedia bertingkah laku tertib, sesuai dengan aturannya. Mereka bisa dan bersedia berlaku (1) Karena telah mengetahui – lewat proses belajar-mengajar – aturan apa yang harus ditaati dan dijalani; dan (2) karena telah pula mengetahui – juga lewat proses belajar-mengajar – akibat nestapa apa yang akan ditemui kalau aturan-aturan itu tidak dipatuhi dan dijalani. Keterangan di muka inilah yang menjelaskan mengapa – berbeda dari masyarakat semut dan lebah yang bertatanan kodrati – tertib masyarakat manusia mengandalkan dari pada upaya-upaya pengajaran dan pendidikan, dan upaya-upaya pengawasan dan penindakan.

Di manapun kita bertemu dengan masyarakat manusia, di situ selalulah kita

bertemu dengan sejumlah tata aturan, upaya pendidikan dan upaya penegakan. Tak ada masyarakat manusia di manapun didunia ini yang tak mengenal tata aturan, upaya

Page 171: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

172

pengajaran dan usaha menegakkan kepatuhan dengan cara (mengancamkan) penghukuman. Namun begitu, karena sifatnya yang bukan kodrati, aturan hidup, pendidikan dan penegakan yang selalu ada pada masyarakat manusia dimanapun itu bisa saja berbeda-beda dari tempat ke tempat atau dari bangsa ke bangsa dalam hal isinya (isi aturan), dan pola caranya (cara dan praktek mendidik dan menegakkan ketaatan. Perbedaan seperti itu memang tak dapat dielakkan karena masing-masing bangsa mengalami perjalanan sejarah yang berbeda-beda, dan karena itu pula mewariskan dan mewarisi tata bergaul dan cara menata ketertiban secara berbeda-beda pula. Pada akhirnya terjadilah apa yang dikatakan orang “lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”. Lain masyarakat lain pula isi aturannya, cara mengajarkan kaidah-kaidah pergaulan dan cara mengupayakan ketaatan dan disiplin sosial.

Kecuali berbeda-beda dari tempat ke tempat, unsur tertib sosial bisa pula berbeda-beda dari waktu ke waktu. Dulu begitu, sekarang begini. Inilah yang disebut perbedaan antar-waktu, atau yang lebih populer disebut disebut “perubahan”. Dalam kehidupan yang serba nisbi dan fana ini, tidaklah akan ada kesamaan antar-tempat dan antar-waktu yang mutlak.

Perubahan-perubahan dalam kehidupan terjadi oleh banyak sebab. Pada umumnya perubahan itu bisa dikembalikan pada sebab terjadinya peningkatan penggunaan energi (dalam jenis dan jumlah) yang dipakai sebagai daya kerja, dan sehubungan dengan hal itu juga dalam hal perubahan macam alat dan teknologi yang dipakai. Perubahan teknologi, alat sarana, energi dan materi inilah yang mengubah pembagian kerja dalam masyarakat, dan dalam garis besarnya mengubah masyarakat yang hidup dengan cara berburu ke masyarakat pertanian, dan seterusnya dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri (yang hidup dari membuat dan menjual barang/jasa). Perubahan kehidupan seperti ini tak hanya menyebabkan satuan-satuan kehidupan menjadi membesar (dari desa ke kota, dan dari kota ke negara bangsa) akan tetapi juga lebih penuh dengan pola-pola pergaulan yang tak selamanya sederhana lagi.

Proses pergaulan dalam masyarakat yang kian membesar dan tak lagi sederhana itu, tentulah membawa akibat-akibat khusus dalam upaya penegakan ketertiban. Pertama-tama, isi aturan pergaulan akan menjadi kian bertambah-tambah jumlahnya sejalan dengan berlipatnya jumlah dan macam pergaulan. Di sini aturan-aturan lama yang tak tertulis, dipahami dalam ingatan dalam pokok-pokoknya saja, menjadi tak memadai lagi. Aturan-aturan kian memerlukan penegasan-penegasan dan tafsir-tafsir yang jelas, tertulis dan diarsipkan, tetapi juga dimaklumatkan agar diketahui dengan pasti. Dalam perkembangannya yang lanjut, merekam dan menata serta mengembangkan tafsir untuk mendalami maksud-maksudnya diperlukan. Di sinilah muncul ahli-ahli khusus yang yang bekerja merawat dan menyantuni aturan-aturan itu.

Kedua, kecuali sekadar merekam dan menegaskan aturan-aturan pergaulan yang telah ada dan teradat sebagai kenyataan sehari-hari, masyarakat yang berkembang menjadi besar dan tak sederhana lagi (komplek) itu memerlukan aturan-aturan baru yang harus dibuat terlebih dahulu. Aturan-aturan dengan demikian tak hanya akan bersumber dari kebiasaan-kebiasaan lama saja akan tetapi juga dari kesepakatan-kesepakatan sosial dan/atau keputusan-keputusan politik yang diproses secara sengaja. “Aturan buatan”

Page 172: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

173

diperlukan karena masyarakat tak lagi hendak ditata untuk melanggengkan tata lama saja, akan tetapi juga untuk mengatur tata hubungan-tata hubungan baru dari masa mendatang.

Ketiga, masyarakat-masyarakat yang lokal dan sederhana cukup mendidikkan aturan-aturan pergaulan lewat jalur-jalur informal di lingkungan keluarga-keluarga dan tetangga-tetangga; demikian juga halnya dengan pembebanan hukumannya (kalau ada pelanggaran). Akan tetapi masyarakat-masyarakat yang besar dan komplek (seperti misalnya masyarakat negara) tak dapat mengandalkan diri pada peranan keluarga-keluarga semata untuk mendidikkan ketaatan dan untuk menegakkan aturan dan ketertiban, masyarakat negara harus mengembangkan aparat-aparat khusus untuk maksud-maksud itu. Desa Mawa Cara, Negara Mawa TataPerkembangan sebagaimana dipaparkan di muka secara ringkas dapat dikatakan sebagai perubahan dan perkembangan dari masyarakat lokal/sederhana yang ditata berdasarkan adat kebiasaan rakyat yang tak tertulis ke masyarakat negara/komplek yang ditata berdasarkan hukum negara yang tertulis. Adat kebiasaan dipatuhi terutama karena kuatnya kesadaran rakyat mengenai apa yang pentas/adil dan apa yang tak pantas/tak adil. Sementara itu hukum negara tegak dan menuntut kepatuhan terutama karena kuat, berkuasa, dan berwibawanya aparat-aparat pemerintahan pengadanya (disebut aparat legislatif), pelaksana dan penegaknya (disebut aparat legislatif), dan penerapnya (yudisial).

Adat kebiasaan adalah hukumnya rakyat, dipatuhi (atau harus dipatuhi) untuk tertibnya pergaulan masyarakat sipil. Hukum negara adalah tata aturan yang dibangun dan direka oleh aparat negara dan dipatuhi (atau harus dipatuhi) demi tertibnya kehidupan bernegara. Dalam kenyataan sejarah, sekalipun masyarakat lokal dapat saja berkembang menjadi (bagian dari) masyarakat negara, sering terjadi bahwa hukum rakyat itu masih juga bisa lestari dan bertahan untuk memenuhi kebutuhan lokal, tanpa diganggu atau mengganggu (malah acapkali justru memperkaya) hukum negara. Di kawasan negara/kerajaan Jawa, misalnya, diakui bahwa desa itu mawa cara, sedangkan negara itu mawa tata; yang berarti bahwa masyarakat lokal dan negara besar itu tegak berdasarkan dan menurut aturan penertib masing-masing. Dulu di kerajaan Jawa, cara desa itu dirawat dan ditegakkan oleh pamong-pamong desa, yang kalau tak berhasil akan diteruskan ke pengadilan yang dinamakan bale padu. Sedangkan tataning negara akan diurusi dan ditegakkan oleh punggawa-punggawa raja (adyaksa) yang kalau tak selesai dengan hasil baik akan diteruskan ke pengadilan yang disebut bale pradata. Kembaran antara desa (yang mawa cara) dan negara (yang mawa tata) yang tak boleh dibaur-baurkan – melainkan harus dipandang sebagai dunia yang saling berbeda dan terpilah begini ini – disebut “dualisme”. Dualisme antara kehidupan kenegaraan di seputar pemerintahan yang ditangani para priyayi agung dan kehidupan masyarakat pedesaan yang ditangani para kawula alit seperti ini terlihat jelas berabad-abad lamanya, sekalipun itu tidak berarti bahwa antara keduanya telah terjadi tindak kebijaksanaan untuk saling mengucilkan. Alih-alih begitu, dalam kenyataan, keduanya selalu saja dilihat sebagai dua hal yang sekalipun berbeda namun yang selalu bisa begitu saling melengkapi dan mengisi secara tepat dan berserasi, kadya keris manjing ing warangka.

Pada masa kekuasaan kolonial Hindia Belanda, dualisme seperti ini tetap diteruskan walaupun dengan alasan yang lain. Hanya saja, yang dipandang “dua berbeda” ini bukan dunia priyayi agung yang dihadapkan ke dunia kawula alit, akan tetapi dunia Eropa yang dihadapkan ke dunia pribumi. Tatanan Eropa adalah tatanan yang dipolakan

Page 173: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

174

menurut model negara modern, dengan kerangka aturan-aturan menurut hukum tulis hasil buatan badan-badan pembuat hukum, ditegakkan dan dijalankan oleh para administrator eksekutif, dengan ketaatan-ketaatan yang dikendalikan oleh dan atas wibawa lembaga-lembaga peradilan yang berkedudukan tak memihak. Sementara itu, tatanan pribumi berlangsung menurut tatanan yang diatur oleh adat dan hukum adat tak tertulis, sebagaimana yang berkembang di lapangan sebagai bagian dari budaya rakyat, dijaga dan dirawat oleh dan atas wibawa para kepala keluarga, serta tokoh-tokoh dan pamong-pamong desa. Pembangunan Hukum Nasional

Dualisme seperti yang dipraktekkan pada masa lalu itu ternyata tak lagi dianut ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. “Penegaraan” kehidupan tak lagi dibataskan pada masyarakat-masyarakat perkotaan dan lapisan-lapisan masyarakat tertentu saja, akan tetapi dilaksanakan secara menyeluruh. Oleh karena itu, hukum negara Indonesia (dikenal sejak waktu itu dengan sebutan “hukum nasional” dibuat, dibangun dan dikembangkan guna menata kehidupan dan kemasyarakatan di seluruh Indonesia tanpa kecualinya. Hukum nasional didayagunakan untuk merekayasa sendi-sendi kehidupan rakyat yang dahulu tak pernah hendak disentuh oleh aturan-aturan hukum negara, kecuali kalau ada alasan-alasan tertentu yang penting saja.

Pembangunan hukum yang diupayakan untuk menemukan sarana yang “ampuh” untuk membangun masyarakat ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum nasional yang baik – dalam hal kebenaran isinya maupun dalam hal kekuatan penegakannya – itu akan dapat “memaksa” warga masyarakat (yang kini juga berstatus warga negara!) untuk bertingkahlaku seperti yang diperintahkan oleh hukum negara (undang-undang, peraturan-peraturan pemerintah, keputusan-keputusan dan/atau instruksi-instruksi eksekutif). Bukan hukum – apabila hukum negara – itu memiliki upaya-upaya dan aparat-aparat penegak yang terorganisasi baik dan dapat memaksakan kuat-kuat ditaatinya sesuatu aturan.

Cara pendayagunaan hukum untuk merekayasa masyarakat dan sebagai sarana pembangunan, sekalipun dimaksudkan untuk tujuan-tujuan yang baik menurut pertimbangan para pemimpin dan penguasa pengambil keputusan acapkali dirasakan dan dinilai oleh masyarakat awam sebagai suatu tindakan yang sulit dimengerti dan tidak selamanya dapat diterima. Pembangunan – lebih-lebih pada masa awalnya – lebih sering dilaksanakan sebagai terobosan-terobosan lewat upaya-upaya baru yang harus ditaati dan diikuti secara nasional. Penyatuan dan penyamaan azas, cara, dan aturan-aturan akan dan telah banyak terjadi di sini. Semua ini adalah konsekuensi tekat untuk mengembangkan hidup bernegara dan bermasyarakat nasional “yang satu dan satu-satunya” di atas dan mengatasi hidup bermasyarakat lokal/daerah yang jelas sangat bhineka.

Dapatlah dimengerti mengapa pada situasi seperti ini hukum negara (alias hukum nasional) yang didayagunakan sebagai sarana perekayasa dan sarana pembangunan lalu tampak amat mendesak maju di mana-mana. Sementara itu hukum adat yang dianut sebagai kebiasaan turun-temurun setempat (tak lagi dilindungi kebijakan dualisme) menjadi terpaksa selalu bertahan dan bahkan surut pula di mana-mana, dan hanya dipakai

Page 174: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

175

dalam kehidupan setempat (yang tak ada kaitannya dengan urusan pemerintahan dan kenegaraan).

Dalam kenyataan, rakyat awam kian merasakan bahwa alam kehidupannya tak lagi alam kehidupan kedaerahan setempat yang otonom. Suasana kehidupan nasional merangsek dan merasuk di mana-mana. Urusan-urusan yang harus dikerjakan dan diselesaikan kian banyak yang mau tak mau menghadapkan mereka yang awam ini ke instansi-instansi pemerintah dan/atau mengharuskan mereka banyak berurusan dengan para pejabat negara. Kian banyak urusan yang harus mereka selesaikan dengan menggunakan bahasa resmi nasional daripada dengan menggunakan bahasa daerah. Maka, inipun sesungguhnya berarti pula bahwa mereka yang awam ini mau tak mau harus kian banyak pula menyelesaikan urusan-urusannya dengan merujuk ke aturan-aturan penertib baru, ialah hukum nasional. Tantangan Para Pemimpin Lokal Perubahan-perubahan luas yang kian merata sebagaimana dipaparkan di muka telah mengalihkan tatanan kehidupan di Indonesia ini dari wujudnya sebagai himpunan sejumlah besar masyarakat-masyarakat tua menjadi/ke satu negara baru; dari yang jamak dan lokal menjadi yang tunggal dan nasional. Namun peralihan dan pengalihan ini tidaklah serta-merta dapat ditafsirkan sebagai peniadaan secara mutlak tatanan yang lokal itu, sedangkan tatanan yang nasional saja yang akan hidup sebagai tatanan satu-satunya yang diakui sah serta yang dalam kenyataannya akan/harus dianut. Dualisme akan tetap ada dalam kenyataan, sekalipun tidak ada dalam kebijakan resminya.

Hal ini akan menempatkan para pemimpin lokal – seperti misalnya para pamong desa – dalam suatu kedudukan dan peran yang sering terpaksa mendua. Mengukuhi peran lamanya, pamong desa adalah pemimpin-pemimpin lokal yang diakui banyak memahami perasaan dan keyakinan rakyat setempat. Namun dalam kedudukan dan perannya yang baru sebagai kepanjangan aparat pemerintah, pamong desa adalah juga tokoh-tokoh yang diharapkan mampu membawakan aspirasi dan kebijakan nasional ke tengah-tengah rakyatnya. Posisi mendua seperti ini tidaklah usah dialami semasa kebijakan dualisme secara resmi dianut oleh pemerintah (kerajaan dan kolonial). Akan tetapi, ketika politik dualisme ditinggalkan dalam kebijakan nasional – pada saat kehidupan menurut adat lokal masih kuat dianut orang, padahal tatanan baru menurut kebijakan dan aturan nasional terus saja mendesak agar segera diwujudkan secara tuntas di desa-desa – pamong desa lalu mendapatkan dirinya bagaikan orang yang harus mengayuh biduk di antara dua karang.

Adalah sulit untuk menganjurkan agar para pamong desa dalam suasana kehidupan nasional ini mengukuhi saja tradisi-tradisi lama semata, dan sehubungan dengan itu berpihak kepada tolok-tolok norma adat yang mungkin masih berakar dalam-dalam dalam sanubari keyakinan sebagian besar rakyat yang belum siap untuk segera “mengindonesia”. Akan tetapi rasa-rasanya juga sama sekali tidak bijaksana apabila para pamong desa berpihak sepenuhnya kepada kebijakan-kebijakan sentral, dan memaksa terlalu keras tolok-tolok kebenaran dan keadilan sebagaimana dirumuskan secara sepihak oleh dan menurut keyakinan para pejabat negara. Para pamong tentulah lebih diseyogyakan untuk mengembangkan kemampuan untuk menerjemahkan kebijakan-kebijakan pusat menurut kemungkinan-kemungkinan pelaksanaannya di tempat. Asal tujuan-tujuan pembangunan itulah yang akan dipentingkan, dan bukan pertama-tama

Page 175: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

176

keharusan-keharusannya menurut rumus hukum itu yang hendak didahulukan (apapun juga konsekuensinya!), maka maksud perekayasaan pembangunan kira-kira saja akan lebih mudah diwujudkan.

Di lain pihak, rasa-rasanya juga tidak bijaksana apabila para pamong desa berpihak sepenuhnya kepada adat-adat dan keyakinan lokal yang tak lagi cocok untuk dipakai sebagai pedoman dan petunjuk guna memasuki situasi kehidupan nasional yang sudah banyak dipenuhi perubahan dan pembaharuan ini. Di sini para pamong hendaklah mampu pula membikin rakyat di desa-desa melek hukum nasional, tidak hanya agar rakyat itu bisa melihat kewajiban-kewajibannya (menurut hukum) di tengah-tengah hidup kemasyarakatan dan kenegaraan akan tetapi juga hak-haknya (baik di hadapan sesama warga maupun di hadapan para pejabat negara). Dalam soal yang disebutkan akhir, ialah dalam hal penyadaran rakyat banyak akan hak-haknya, para pamong desa akan bisa lebih bisa membantu timbulnya kesan di sanubari rakyat bahwa terjun dan berpartisipasi dalam kehidupan nasional itu sesungguhnya “aman-aman saja”. Dengan menyadari kuatnya hak-hak baru yang diberikan kepada rakyat berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum nasional, rakyat akan merasa bahwa memasuki kehidupan nasional mereka itu akan tetap saja memperoleh perlindungan, dan bahkan akan terbekali dengan sumberdaya untuk meraih kesempatan. Apabila dalam usaha menyuluhkan dan mempraktekkan hukum nasional para pamong hanya pandai menyadarkan rakyatnya akan kewajiban-kewajibannya semata-mata, tanpa rakyat mengetahui dengan sebenarnya di mana batas akhir kewajibannya dan di mana pula batas awal hak-haknya, maka tak pelak lagi rakyat awam akan gampang terkesan bahwa hidup dalam suasana hukum nasional itu sungguh lebih berat dan sungguh pula dipenuhi kebijakan dan tindakan pemerintah yang sekali-kali tak pantas dan tak adil.

Page 176: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

17

Pembaruan Hukum untuk Menggalang Kehidupan Masyarakat Indonesia Baru yang Berprikemanusiaan dan Berkeadilan

Indonesia: Realitas atau Imajinasi? Pernah dipertanyakan, apakah yang disebut Indonesia itu merupakan atau telah merupakan suatu realitas sejarah? Ataukah masih saja merupakan suatu fenomena dalam alam imajinasi belaka, yang nyatanya sampai saat ini tak juga kunjung dapat diaktualisasikan secara purna. Tidaklah kiranya ada orang yang dapat mengingkari bahwa fenomena Indonesia itu sebenarnya baru lahir sebagai cita-cita politik pada dasawarsa kedua abad yang lalu. Itupun tatkala suprastrukturnya berhasil dibangun sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pertengahan abad, infrastrukturnya yang secara social dan cultural tak juga kurang terbenahi, dan bahkan cenderung terabaikan, untuk benar-benar dapat dikembangkan sebagai suatu satuan masyarakat bangsa yang terintegrasi kuat. Romantisme kaum nasionalis, yang semula berhasil dikendalikan untuk menggapai saja “persatuan Indonesia” (atas dasar konsep Ernest Renan), seperti tiba-tiba saja pada era pasca revolusi menjadi terkesan demikian kelewatan dan menjadikan cita-cita “kesatuan” sebagai cita-cita yang amat lebih utama. Semangat bhineka tunggal ika yang mestinya terbaca sebagai “berbeda-beda itu (sekalipun) satulah itu” menjadi termaknakan sebagai “(sekalipun) berbeda-bedalah itu (namun satulah itu)”. Dalam romantisme yang dan semangat nasionalisme yang lebih terobsesi oleh ide “kesatuan Indonesia” yang sentralistik daripada oleh ide “persatuan Indonesia” yang federalistik seperti itu maka tak salah lagi terjadilah berbagai konflik yang didasari berbagai motif antara kaun modernis di pusat-pusat pemerintahan yang meyakini kebenaran yang meyakini kebenaran universalisme pada tataran nasional dan kaum tradisionalis yang meyakini kebenaran partikularisme demi kepentingan rakyat di komunitas-komunitas local yang otonom. Kini, dalam era reformasi yang mestinya bisa dipenuhi kesediaan berotokritik, kesempatan dialog sudahlah sepatutnya dibuka lebar-lebar guna menegaskan kembali macam kehidupan bernegara dan berbangsa yang hendak diwujudkan. Betulkah kecenderungan yang bergulir kini sudah lebih tertuntun untuk lebih mengarah ke arah otonomisasi yang juga bermakna sebagai penguatan etno-lokalisme? Ataukah proses itu sebenarnya hanya merupakan gambaran sementara saja dari hilangnya kekuatan kontrol para elit sentralis, yang namun demikian toh tengah hendak dicoba dipulihkan kembali oleh mereka itu dengan berbagai cara? Adakah seluruh dinamika politik sosial-politik yang tengah terjadi ini akan berujung muara pada terwujudnya Indonesia Baru yang tetap berhakikat sebagai organisasi kehidupan bernegara bangsa yang “sesungguhnya tetap yang dulu-dulu, namun kini telah berasesori dan berkosmetika baru supaya tampak serba baru”? Ataukah – berkat tekad mengupayakan suatu proses reformasi yang konsekuen – tidak sekali-kali akan demikian lagi? Manakala tidak demikian, lalu sejauh mana proses dinamika sosial politik itu akan berujung? Akankah berujung ke terwujudnya organisasi kehidupan bernegara bangsa yang sudah terdekonstruksi menuju ke terwujudnya desentralisasi

Page 177: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

178

pemerintahan yang cukup lanjut, yang barangkali saja malah tak muhal bisa mendekati modelnya yang federalistik, dengan kekuasaan lokal yang ethno-nationalistic centered sudah amat boleh (atau tak lagi bias ditolak, dan karena itu terpaksa?) ditenggang? Ataukah malah masih berlanjut lagi keterjadinya proses disintegrasi, kalaupun tidak berskala total tentulah parsial, menuju ke terjadinya beberapa negara baru sebagai akibat tekad sementara daerah untuk memisahkan diri dari negara kesatuan? Semua pertanyaan itu mestilah dijawab, tidak hanya berdasarkan keinginan dan kebijakan para elit yang tengah memegang kendali kekuasaan akan tetapi juga dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan yang tengah terjadi dan tersimak di lapangan, yang terungkap sebagai aspirasi warga di daerah-daerah. Konsep dan Perspektif Keadilan dalam Hukum Nasional

Dalam era maraknya negara-negara nasional yang modern (yang acap pula

disebut ‘negara bangsa’ sebagai terjemahan dari istilah dan konsep nation state yang dikenal dalam kepustakaan asing), apa yang disebut hukum itu --secara terang-terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi-- secara pasti telah berkembang ke dalam konsepnya yang baru sebagai hukum positif (dalam maknanya sebagai sesuatu yang positif. Karena terkualifikasi sebagai sesuatu yang positif (dalam maknanya sebagai sesuatu yang expressed definitely), hukum nasional yang telah terkonsepkan demikian itu tentu saja lalu bersifat formal, lebih bersosok sebagai kaidah-kaidah undang-undang yang terrumus eksplisit daripada sebagai asas-asas atau premis-premis tak tertulis yang bersifat implisit. Dalam konsep dan sosoknya yang seperti itu, tak pelak lagi apa yang disebut hukum nasional itu lalu muncul pula dalam fungsinya --apa yang disebut oleh Redfield dan Black-- sebagai the government (coersive) social control.

Dalam era yang telah berubah seperti ini tak pelak tidaklah akan ada materi normatif macam apapun yang akan terakui dan dan ditegakkan sebagai hukum, kecuali apabila materi itu telah mengalami positivisasi atau formalisasi dan formulasisasi terlebih dahulu. Dalam politik kenegaraan yang mengikuti tradisi Eropa Kontinental (antara lain juga Indonesia yang mewarisi tradisi itu dari Belanda yang pernah menjajahnya), positivisasi itu pada dasarnya berlangsung melalui proses-proses legislasi yang dituntun oleh ide-ide dan/atau kepentingan politik para politisi. Sementara itu, dalam praktek pemerintahan yang mengikuti tradisi Eropa Anglo-Saxon, positivisasi itu lebih sering berlangsung melalui proses-proses adjudikasi yang berlangsung di bawah arahan hakim-hakim (lawyers!) profesional di sidang-sidang pengadilan.

Menurut teorinya, positivisasi itu --lebih-lebih yang berlangsung melalui proses legislasi yang sarat dengan benturan antar-kepentingan dan/atau antar-posisi yang mencerminkan keberpihakan dalam percaturan politik-- tak akan terlalu peka untuk mempersoalkan ihwal keadilan itu. Menurut teori kaum yuris-positivis (ialah kaum yang selalu dapat kita temui di balik setiap penataan konstitusi dan sistem hukum negara-negara nasional), setiap kaidah hukum yang dicipta oleh negara (atau

Page 178: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

179

kongkritnya oleh badan atau salah satu badan pemerintahan yang berfungsi sebagai pengemban kekuasaannya) itu harus dinyatakan telah berlaku dan wajib ditaati, bukan karena kandungan normatif-etisnya (seperti a.l ‘keadilan’, misalnya!) melainkan karena kebenaran-kebenaran prosedur formal pembuatan dan pembentukannya menurut ketentuan-ketentuan konstitusional yang telah diikutinya. Maka, di sini bukan esensi keadilan kandungannya itu yang akan merupakan suatu conditio sine qua non yang akan menentukan apakah sesuatu kaidah hukum itu telah mempunyai dasar pembenar untuk diakui berlaku atau tidak. Alih-alih begitu, yang akan menjadi dasar pembenar berlaku-tidaknya sesuatu hukum (baca: undang-undang!) adalah kesahannya secara formal-yuridis (yang pada gilirannya ditentukan oleh kepatuhan para pembuat dan pembentuknya pada formalitas-formalitas konstitusional yang ada).

Semua itu tentu saja bukan berarti bahwa soal-soal nilai --seperti misalnya keadilan, kemanusiaan, dan apalah lainnya lagi-- lalu tak bisa masuk ke dalam percaturan hukum. Akan tetapi, selama nilai-nilai itu tidak atau belum dikongkritkan ke dalam wujudnya yang positif dan/atau tertulis --dengan memenuhi syarat-syarat formalnya-- sebagai kaidah (atau sebagai bagian dari kaidah) yang terumus in behavioral term, tidaklah nilai-nilai itu boleh dianggap memiliki kekuatan berlaku secara yuridis, dan karena itu juga boleh ditaati sebagai ius constitutum (alias lex atau lege). Setakat itu, sejauh-jauhnya nilai-nilai tersebut hanyalah akan dan boleh terakui berlakunya secara etis-filosofis sebagai ius constituendum.

Dalam percaturan hukum di forum-forum resmi, di mana kepentingan pemerintah dan pemerintahan nyata-nyata terlibat di dalamnya, tentu saja ius constitutum yang positif itulah yang selalu dirujuk oleh orang-orang pemerintah untuk memberikan dasar pembenaran bagi sebarang langkah dan kebijakan yang dibuat. Keabsahan secara yuridis --dan bukan kebenaran secara etis (yang diistilahi ‘keadilan’)-- itulah yang selalu pertama-tama dijadikan dasar pembenar. Kalaupun keadilan ikut dirujuk, itu tak lain karena norma etis itu telah ikut memperkuat kekuatan berlaku hukum positif yang yuridis tersebut (dengan menyumbangkan landasan filosofisnya); dan tidak akan dirujuk demikian kalau nanti ternyata malah akan memperlemahnya.

Maka, di negara-negara nasional yang menganut paham positivisme dalam kehidupan hukumnya ini, tak pelak lagi apa yang disebut keadilan itu lalu terreduksi menjadi keadilan menurut makna yuridisnya. Keadilan dianggap telah ada dan telah terrealisasi dengan penuh manakala setiap subjek hukum telah memperoleh hak-hak ini tentu saja bukan hak-hak yang menurut kriteria etis-filosofisnya seharusnya ada di dalam – dan/atau akan diberikan oleh -- ius constituendumnya.

Di negeri-negeri yang menganut tradisi Anglo-Saxon, persoalan keadilan itu tentu saja tidak pula ada kaitannya dengan “hukum (perundangan) yang akan datang”, melainkan selalu pula dalam kaitannya dengan pembuatan hukum yang kini. Dalam tradisi ini, sebagaimana kita ketahui, pembuatan itu berlangsung terutama dalam proses-proses adjudikasi untuk menghukumi perkara-perkara tertentu yang diajukan ke hadapan hakim. Dengan perkataan lain, di sini persoalan keadilan masuk ke dalam proses-proses pembuatan keputusan hakim, in concreto, dan seterusnya dalam pembuatan dan pengembangan judge-made-laws. Namun, karena sifatnya yang

Page 179: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

180

kongkrit dan direlevansikan dengan sesuatu perkara tertentu, keadilan di sini pun bukanlah keadilan dalam maknanya yang filosofis, akan tetapi yang berkait dengan praksis-praksis pembuatan (keputusan) hukum yang baik. Maka, tegasnya di sini keadilan akan lebih bermakna sebagai fairness dalam fair trial daripada sebagai moral rightness dalam maknanya yang abstrak. Di sini apa yang disebut justice pun tak lagi (semata-mata) dimafhumi dalam artinya yang lebih empirik sebagai fair handling atau bahkan sebagai the administration and procedure of law.

Positivisasi hukum dalam negara-negara nasional yang modern itu dengan demikian lalu gampang menodongkan bahaya rule by law yang represif, menggantikan rule of law yang otonom. Mereka yang memiliki akses paling lapang menuju ke pusat-pusat kekuasaan pembentukan hukum perundangan akan jelas-jelas paling berdaya memanfaatkan hukum sebagai (government’s) social control untuk menguasai sistem guna mengamankan dan mengefektifkan kebijakan-kebijakan dan kepentingan-kepentingannya. Di negeri-negeri di mana akses itu bisa dibuka sama lebarnya bagi siapa saja tanpa kecualinya (berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang sejati), positivisasi hukum dengan segala konsekuensinya sebagaimana telah dibentangkan di muka tidaklah akan menimbulkan keberatan yang terlalu sangat.

Akan tetapi, manakala akses yang terbuka sama lebar untuk siapapun itu tidak dapat diwujudkan, dan karena itu proses-proses legislasi dan pembuatan peraturan perundangan yang lain hanya akan dikuasai sedikit banyak secara monopolistik oleh elit-elit kekuasaan tertentu (yang umumnya juga telah bersarang tanpa dapat digugat-gugat lagi di badan-badan eksekutif dan mengontrol pula badan-badan yudisial), maka tak ayal lagi positivisasi hukum seperti itu tak ayal lagi akan berakhir dengan otorianisme yang terselubung, yang tersembunyi dibalik legalitas-legalitas dan legitimasi-legitimasi formal. Di sini kekuasaan-kekuasaan tanpa enggan dan segan akan disahkan oleh dirinya sendiri, dan hukumpun tidaklah lagi berfungsi sebagai pengontrol kekuasaan politik dan kekuasaan eksekutif sebagaimana dimaksudkan semula dalam prinsip-prinsip negara hukum. Alih-alih begitu, hukum telah berfungsi sebagai pembenar dan/atau penopang kekuasaan untuk mengontrol dan merekayasa perilaku rakyat yang warga masyarakat, dan sehubungan dengan itu semua lalu juga amat memaksakan ketaatan-ketaatan.

Dalam situasi seperti ini, pencanangan negara hukum tidak akan lagi tertangkap dalam arti dan dalam maknanya sebagai ‘negara yang tak berdasar kekuasaan’. Alih-alih begitu, konsep negara hukum akan bersalin rupa dalam arti dan maknanya sebagai “negara di mana semua warganya harus berperilaku mematuhi hukum yang telah dibentuk dan diundangkan oleh pemerintah”. Tak ayal lagi, dalam situasi yang berbalik seperti itu, bukan lagi pemerintah nasional yang akan selalu diingat-ingatkan rakyatnya untuk selalu menaati konstitusi dan ketentuan-ketentuan hukum berikut asas-asasnya. Dalam situasi seperti itu, justru rakyat itulah yang akan lebih acap diingat-ingatkan --dan dijadikan sasaran berbagai proyek penyuluhan hukum-- yang terus-terusan oleh orang-orang pemerintah untuk selalu menaati konstitusi dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan secara eksplisit dalam kaidah-kaidah hukum positif.

Page 180: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

181

Dalam praktek, hukum positif yang telah terlanjur berkembang sebagai hasil positivisasi dan legislasi --dengan fungsinya yang (sengaja atau tidak) cuma sebagai pemberi dasar legalitas pada setiap tindakan kekuasaan-- sebagaimana telah dipaparkan di muka itu tak ayal lagi lalu amat terkesan sebagai hukum yang lebih bersifat represif daripada bersifat responsif. Hukum seperti ini, apabila kelak ditegakkan oleh aparat-aparat pemerintah, tak pelak lagi lalu juga akan amat terkesan lebih berhakekat sebagai pemaksaan-pemaksaan sepihak yang tak adil daripada sebagai pengharusan-pengharusan yang memang telah tersepakati secara timbal-balik antara pemerintah dan rakyat, melalui cara-cara yang boleh dinilai jujur dan dengan kandungan materi normatif yang boleh pula dinilai adil. Dalam ihwal seperti itu tentu saja tak adalah kesempatan yang diperoleh warga masyarakat untuk berbincang soal adil tidaknya kandungan undang-undang itu. Yang ada hanyalah kesempatan dan keleluasaan orang-orang pemerintah untuk menunjukkan legalitas dan telah terpenuhinya syarat-syarat legitimasi undang-undang tersebut. Maka, tanpa kompromi, undang-undang itu harus dipatuhi; bukan karena soal adil-tidaknya, akan tetapi bertolak dari persoalan telah sah-tidaknya secara formal-yuridis. Pembaruan Hukum: Legal Reform

Manakala hukum dikonsepkan sebagai suatu subsistem saja yang mesti fungsional dalam suatu suprasistem yang disebut masyarakat, maka proses perkembangan dan/atau pengembangan masyarakat menuju keterwujudnya suatu masyarakat politik baru niscayalah berimbas pula pada upaya refungsionalisasi hukum sebagai suatu institusi yang harus dipandang strategis dalam kehidupan sosial-politik. Manakala proses menuju keterwujudnya Indonesia baru adalah suatu proses politik yang disadari, proses pembaharuan hukum demi terwujudnya Indonesia Baru ini akan pula -- tanpa bisa diingkari – adalah pula akan merupakan bagian dari proses politik yang progresif dan reformatif. Di sini hukum dapat difungsikan sebagai apa yang dalam kepustakaan teori hukum disebut tool of social engineering entah yang diefektifkan lewat proses-proses yudisial (Seperti yang dimaksudkan oleh Roosche Pound) entah pula yang diefektifkan via proses–proses legislatif (seperti yang diintroduksikan oleh Mochtar Kusumaatmadja untuk praktik pembangunan Indonesia). Dalam fungsinya yang reformatif sebagai tool of engineering itu, di negeri ini pembaharuan hukum acap kali masih saja diperbincangkan dalam konsepnya yang agak terbatas sebagai legal reform. Apa yang disebut sebagai legal reform ini secara harfiah harus diartikan sebagai pembaharuan dalam sistem perundang-undangan belaka.1) Dalam konsepnya seperti ini, pembaharuan hukum akan berlangsung sebagai aktifitas legislatif yang umumnya hanya sempat melibatkan pemikiran-pemukiran kaum politisi dan/atau sejauh-jauhnya juga pemikiran para elit profesional yang memiliki akses lobi. Kalaupun berkehendak untuk memperlebar persoalan dalam perbincangan, wacana pembaharuan hukum dalam alur strategiknya sebagai legal reform ini umumnya tidak hendak membatasi perbincangan pada pembaruan norma-norma positif perundang-undangannya saja. Berwacana lebih lanjut, logisnya 1 Kata legal itu berasal dari kata lege yang berarti “undang-undang” alias “materi hukum yang secara khusus telah dibentuk menjadi aturan-aturan yang telah dipastikan/dipositifkan sebagai aturan hukum yang berlaku secara formal”. Lege lazim juga disebut ius constitum atau hukum positif karena bentuk rumusannya yang telah jelas dan pasti.

Page 181: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

182

perbincangan ini akan menukik ke permasalahan doktrin-doktrin dan paradigma yang menjadi dasar pembenar (alias norma-norma dasarnya yang filosofis) seluruh bangunan perundang-undangan nasional, berikut (tentu saja) peninjauan ulang dan wacana pembaruannya. Dalam pengalaman Indonesia, pembaruan hukum dalam artian sebagai legal reform, dan dalam realitas sejarahnya untuk menasionalisasi hukum perundang-undangan kolonial, tidaklah pernah terbukti sebagai pembaruan yang sampai mengena dasar-dasar paradigmatiknya. Reform macam ini tertengarai berkecenderungan untuk membatasi diri pada pembaruan undang-undang atau sementara pasal dan ayat dalam undang-undang yang telah ada saja, dan seperti berkesan tak hendak risau untuk mempertanyakan paradigma ideologiknya. Diketahui bahwa bangunan perundang-undangan hukum kolonial – yang berangkat dari paradima liberalisme Eropa Barat yang klasik – itu amat menekankan kebenaran prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan individu, dan sehubungan dengan itu (demi kepastian!) mengharuskan positivisasi norma-norma hukum dalam bentuk suatu corpus iuris (sistem perundang-undangan) yang diideologikan berstatus supreme, sebagaimana dinyatakan oleh kaum yuris–legis sebagai ajaran the supreme state of law. Dari perspektif kajian semiotika hukum, legal reform tidaklah akan bisa mengikutkan keterlibatan khalayak ramai yang awam. Berada dalam suatu lingkungan yang disyarati oleh pengalaman budaya dan pengalaman berbahasa yang amat berbeda, khalayak ramai yang awam ini akan sulit – kalaupun tak dipersulit – memasuki suatu wacana yang dikuasai apa yang disebut suatu linguistic dominating system para elit politisasi dan elit profesional yang dengan itu mampu mendominasi percaturan hukum formal. Dalam kenyataan seperti itu hukum perundang-undangan nasional akan lebih gampang terdayagunakan untuk merespon kepentingan mereka yang mapan dan berkekuasaan daripada berkepekaan pada kepentingan mereka yang berkedudukan marjinal dan yang karena itu pula akan berkeadaan rawan. Dalam kenyataan seperti itu pula hukum perundang-undangan nasional yang diberlakukan diseluruh negeri atas dasar keyakinan akan kebenarannya yang universal akan tutup mata pada realitas tetap dipatuhinya tradisi-tradisi tua yang hidup dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal. Pembaruan Hukum: Law Reform

Hukum nasional yang dikembangkan berdasarkan modelnya yang diperjuangkan sepanjang abad 18 di Eropa Barat, dengan keberhasilannya mendestruksi model hukum lokal yang feodalistik dan hukum raja-raja yang selalu mencoba mempertahankan hegemoninya yang sentral, memang dipandang mampu memenuhi fungsinya untuk membebaskan jutaan manusia dari perhambaan dan kemudian daripada itu untuk melindungi hak-hak asasi mereka sebagai warga negara. Akan tetapi, sudah pada awal abad 20, di sementara negeri – justru di negeri tempat kelahirannya – ide dan model hukum nasional yang berkonfigurasi liberal-demokratik itu mengalami kritik dan dekonstruksinya yang korektif. Banyak teoritisi ilmu hukum dan eksponen politik hukum menengarai konsep hukum yang liberal-demokratik – dengan doktrinnya yang positivistik serta fungsinya sebagai penjamin kepastian-kepastian dalam setiap kesepakatan konstektual – itu sebagai konsep dan doktrin yang sesungguhnya tidak realistik.

Page 182: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

183

Didakwakan bahwa kebebasan, kesetaraan, dan kesamaan dalam hal memperoleh kesempatan sebagaimana dijanjikan oleh hukum itu hanyalah benar demikian dalam norma-normanya yang abstrak dan dalam retorika-retorika teoritiknya belaka. Dalam kenyatannya, in concreto, para pelaku dalam kehidupan hukum itu tidaklah berkesetaraan dan berkesempatan sama untuk memperoleh akses ke dalam sistem guna mengklaim hak-hak yang telah dijanjikan in abstracto. Kaum realis – yang di Amerika Serikat dirintis oleh teoritikus seperti Pound dan praktikus seperti Holmes, yang kemudian direalisasi lewat gerakan-gerakan sosial oleh tokoh-tokoh seperti Llewellyn dan Frank – mengembangkan doktrin-doktrin baru dalam ilmu dan praktek hukum yang berefek membandingi serta menandingi doktrin kaum positivis (yang di Amerika dikenali sebagai aliran legal mechanism langdelian). Pada asasnya, para pendukung paham sociological dan/atau realistic juresprudence tersebut menolak doktrin tentang universalisme substansi hukum yang berkonsekuensi pada tiadanya pengakuan pada hukum dan hak-hak mereka yang terbilang kaum minoritas. Para penganut paham realisme ini pun menolak anggapan kaum legis yang Langdelian itu, yang menyatakan bahwa hukum itu merupakan suatu sistem normatif yang tertutup dan karena itu mempunyai logikanya sendiri (yang deduktif) yang terlepas dari konteks-konteksnya yang politik, sosial maupun kultural. Esensi doktrin kaum realis ini bisa terbaca secara gamblang dalam ucapan seorang hakim bernama Oliver Wendell Holmes bahwa dalam kehidupan yang nyata ini law has not been logic. It is experience. Hukum bukanlah sutu sistem teks normatif yang tertutup. Menjaga kemurnian hukum dengan menutup diri dari pengaruh konteks-konteksnya adalah suatu upaya yang tidak hanya sia-sia akan tetapi juga tidak realistis. Maka, menyadari realitas sebagaimana yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, hukum harus diakui sebagai bagian fungsional saja dari suatu sistem kehidupan yang lebih inklusif. Berkeadaan seperti itu, hukum dapatlah dipandang sebagai suatu subsistem yang tanpa terelakkan akan terhimpit struktur dengan subsistem politik dan pula dengan subsistem sosio-kultural. Hukum bukanlah suatu (sub)sistem substantif-normatif semata akan tetapi juga berkomponenkan struktur alias organisasi yang berbasis politik dan pula berkomponenkan kultur alias nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berbasis sosial kultur komunitas etnik/indigenous. Partikularisme dalam kehidupan sosio-politik dan sosio kultural yang dinamik akan menjadikan hukum dengan konsepnya yang baru sebagai sistem yang terbuka di tengah makrosistem yang lebih inklusif itu justru boleh dipercaya akan lebih berpotensi memajukan demokrasi. Konsep ini menjadikan hukum – yang bersumber pada bahan perundang-undangan berikut doktrin-doktrin konfiguratifnya – tidak hanya menjadi bidang urusan para juris dan/atau lawyers semata melainkan juga urusan publik pada umumnya. Konsep hukum dan maknanya yang luas sebagai law (untuk menggantikan istilah latin ius) dan bukan diartikan sempit-sempit sebagai undang-undang (alias ius constitum, ialah norma hukum yang telah memperoleh bentuknya yang khusus dan dinyatakan secara positif konfirmatif sebagai hukum dengan backups kekuatan yang formal) akan memungkinkan proses desakralisasi hukum. Hukum – sekalipun telah dibentuk dalam wujudnya yang formal sebagai produk kebijakan suatu badan pemerintahan negara yang terbilang tinggi – bukanlah suatu yang sakral dan berstatus di atas segala-galanya (the supreme lawstate, de hoogste rechtsstat). Alih-alih, menurut konsepnya yang mutakhir ini, hukum pada hakikatnya adalah produk aktivitas politik rakyat yang berdaulat, yang digerakkan oleh kepentingan-kepentingan

Page 183: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

184

ekonomi mereka yang lugas entah pula yang ikut diilhami oleh dan/atau dirujukkan ke norma-norma sosial dan/atau nilai-nilai ideal kultur mereka. Dalam konsep kaum realis ini, hukum perundang-undangan yang diakui berlaku namun tak lagi disakralkan ini dapatlah dijadikan obyek kritik sewaktu-waktu. Kritik-kritik boleh dilancarkan tidak hanya atas dasar kriteria kesahan sehubungan dengan prosedur pembentukan serta prosedur pelaksanaannya yang formal semata melainkan juga atas dasar kebenaran substansi sosio-kulturalnya. Hukum perundang-undangan nasional, berikut konkretisasinya dalam bentuk amar-amar putusan pengadilan, dicitakan akan selalu terbuka untuk berbagai kajian dan berbagai kritik dekonstruktif yang dilakukan lewat berbagai gerakan sosial peduli hukum, agar hukum nasional yang berfungsi sebagai salah satu kekuatan penggalang kehidupan masyarakat Indonesia Baru mampu bertindak responsif ke kepentingan publik. Menuju ke kehidupan masyarakat Indonesia baru yang demokratik, pembaharuan hukum nasional mestilah bertolak dari konsep-konsep dan doktrin-doktrin yang baru dan diklaim lebih realistik ini. Bukanlah dalam pengalaman hidup di peralihan abad ke 21 ini telah terbukti bahwa konsep dan doktrin hukum yang formal-positivistik – yang berbasiskan ideologi yang berkemuncak di peralihan abad 19 – itu telah usang dan nyatanya hanya fungsional untuk melindungi kepentingan the rulling elites beserta kaum mapan yang telah menjadi kroni-kroninya?

Page 184: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

PERKEMBANGAN PROFESI HUKUM DI INDONESIA

Apakah sesungguhnya Profesi dan Profesionalisasi itu?Profesi dan profesionalisme banyak dibicarakan orang tak hanya terbatas pada soal pengertiannya, akan tetapi juga telah meliputi soal fungsinya dalam perkembangan masyarakat indistrial yang modern. Profesi, sebagai gejala sejarah, memang baru berkembang dalam dunia kerja manusia dalam dua abad terakhir ini, sejalan dengan perkembangan kehidupan industrial modern; kristalisasinya pun baru terjadi pada akhir abad 19 yang lalu di lingkungan peradaban industri Barat.1 Namun, segera pada abad 20, apa yang dinamakan profesi dan profesionalisme ini nyata-nyata telah menjadi bahan kajian dan diskusi-diskusi yang cukup dominan di kalangan para peneliti dan praktisi.

Dari hasil-hasil pengamatan para peneliti yang menekuni ihwal perubahan sosial dapatlah disimpulkan bahwa dalam sejarah rupanya tak pernah ada proses industrialisasi uang sukses tanpa diiringi oleh proses profesionalisasi berbagai jenis lapangan pekerjaan (okupasi) tertentu.2 Kemahiran-kemahiran tinggi dan kemampuan-kemampuan yang mumpuni untuk menguasai teknologi canggih --yang sesungguhnya merupakan ciri sejati seseorang yang berkualifikasi professional-- tak pelak menjadi syarat mutlak untuk memungkinkan perkembangan industri. Maka, karena kemampuan-kemampuan dan keahlian-keahlian khusus seperti itu memang disyaratkan bagi hampir setiap jabatan yang ada dalam sistem kerja industrial, tak ayal proses profesionalisasi pun akan terpacu sepanjang proses industrialisasi suatu masyarakat. Manakala proses industrialisasi di akhir abad 20 ini tak lagi hanya terjadi di lingkungan peradaban ekonomi Barat saja, melainkan juga telah menjadi fenomena global, maka tak ayal proses profesionalisasi akan pula menjadi suatu fenomena global yang penting, tak hanya untuk dipahami akan tetapi juga untuk dijalani.

Profesi pada hakekatnya adalah suatu lapangan pekerjaan (okupasi) yang

berkulifikasi yang menuntut syarat keahlian tinggi kepada para pengemban dan pelaksananya. Pada dasarnya ada tiga kriteria utama untuk mengkualifikasi apakah suatu okupasi itu boleh dibilang suatu profesi atau tidak.

Yang pertama ialah, bahwa profesi itu --berbeda dengan okupasi biasa-- akan dilaksanakan atas dasar keahlian yang tinggi, dan karena itu hanya dapat dimasuki oleh mereka yang telah menjalani pendidikan dan pelatihan teknis yang amat lanjut; sehubungan dengan hal itu, setiap profesi pun selalu mengembangkan pranata dan

1 Talcott Parsons, Professions, entri dalam David L. Sill, ed., Encyclopedia of The Social Science, Jilid

XII ( New York : Mac Millan & Free Press, 1972 ), h. 526 ff. 2 Hansjuergen Daheim, Der Beruf Der Moderne Gesselschaft ( Koeln : Kiepenhemeir & Witsch, 1967,

khususnya hlm. 34-66 yang memuat uraian tentang Professionalisierung der Berufposition ).

Page 185: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

183

lembaga untuk menetapkan standar keahlian yang diperlukan untuk mengefektifkan jasa profesi, dan sekaligus juga menilai kemampuan individu-individu yang menjalani profesi itu (untuk menjaga agar standar keahlian tetap terjaga). Kedua ialah, bahwa profesi itu mensyaratkan agar keahlian yang dipakainya selalu berkembang secara nalar dan dikembangkan dengan teratur seiring dengan kebutuhan masyarakat yang minta dilayani oleh profesi yang menguasai keahlian profesional itu; dengan demikian standar keahlian yang dituntut oleh profesi tidaklah akan statis dan konservatif, melainkan selalu dinamik dan progesif, bersejalan dengan perkembangan masyarakat yang harus dilayani oleh profesi tersebut. Ketiga, profesi itu selalu mengembangkan pranata dan lembaga untuk mengontrol agar keahlian-keahlian profesional didayagunakan secara bertanggung jawab, bertolak dari itikad pengabdian yang tulus dan tak berpamrih, dan semua itu dipikirkan untuk kemaslahatan sesama.3

Dari penegasan-penegasan tentang pengertian profesi sebagaimana disebutkan dimuka tampaklah bahwa apa yang disebut profesi itu sesungguhnya bertumpu kuat-kuat pada suatu paham atau ideologi. Inilah paham atau ideologi profesionalisme, yang --sebagaimana selalu dapat kita simak-- berkomponen dua: komponen teknik (teknologi) dan komponen etik (gnosis).4 Kedua komponen ini sebenarnya merupakan unsur sine gua non di dalam keseluruhan ide dan ideologi profesionalisme, sekalipun dalam praktek (lebih-lebih pada masa akhir-akhir ini) matra tekniknya acapkali cenderung untuk lebih ditonjolkan dan lebih dipentingkan ketimbang matra etiknya; padahal, menurut konsepnya itu, tanpa komponen etik apa yang dinamakan profesi itu akan gampang terperosok ke dalam praktek-praktek penyalahgunaan keahlian-keahlian yang tinggi itu; ahli-ahli bekerja untuk merealisasi kebajikan-kebajikan yang dinilai tinggi oleh masyarakat (dengan imbalan status dan kehormatan yang khusus), profesi akan beroperasi dengan mendaya-gunakan keahlian-keahlian teknis tanpa kontrol apapun untuk kepuasan-kepuasan pribadi kaum profesional yang elit itu saja.

Apabila komponen etik profesi sampai mengalami erosi yang parah maka apa

yang dinamakan profesi dan profesionalisme itu sesungguhnya boleh dituduh telah mengingkari ikrarnya sendiri yang telah tercatat dalam sejarah. Ide dan konsep profesionalisme lahir dan berkembang secara nyata untuk pertama kalinya di Eropa Barat, ialah pada saat awal perkembangan industri di kawasan benua ini. Ia eksis dan bertahan sekuat-kuatnya untuk mereaksi perkembangan industrialisasi yang terjadi di Eropa Barat, yang proses-prosesnya telah mendegradasi jenis-jenis kegiatan kerja manusia yang menjadi okupasi yang terbernilai apapun kecuali untuk mengupayakan tegaknya kepenekatan fisik dan materi. Profesionalisme adalah suatu kekuatan antitesis yang dianut sejumlah kelompok sosial yang berkeahlian yang mencoba bertahan untuk menegakkan status dan kehormatan dirinya dalam masyarakat dengan menyatakan bahwa keahlian yang mereka kuasai bukanlah komoditas jasa yang hendak diperjualbelikan (demi nafkah) melainkan suatu kebajikan yang hendak diabdikan (demi kesejahteraan 3 Disadur dari Talcott Parsons, loc. Cit. Baca dan bandingkan juga dengan apa yang ditulis oleh Cogan

dan Greenwood dalam Moris L. Cogan, Toward a Definition of Profession,, Harvard Educational Review, Th. XXIII ( 1953 ), hlm. 33-50; Ernest Greenwood, Atributes of a Profession,, Social Work, Th. II ( 1957 ), no.3 hlm. 44-55.

4 Tentang hubungan kedua matra ini, sekalipun tak dikaitkan dengan permasalahan profesionalisme; baca Soetandyo Wignyosoebroto, Teknologi dan Moral: Peranan Teknologi dan Teknokrasi dalam Masyarakat Modern, Prisma Th. XIV ( 1985 ), No.6, hlm. 29-39.

Page 186: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

184

sesama dalam masyarakat dan demi kehormatan diri). Jasa yang dibaktikan kaum profesional kepada sesama bukanlah dimaksudkan untuk mencari imbalan upah-upah yang akan mendegradasi mereka menjadi orang-orang upahan yang hina, melainkan untuk menegakkan kehormatan sehubungan dengan tekad dan itikadnya yang ikhlas untuk mengamalkan kemampuan dan keahlian bagi kemaslahatan umum.

Profesi dan profesionalisme Hukum Telah diutarakan bahwa profesionalisme berkembang secara nyata untuk

pertamakalinya di Eropa Barat, ialah pada saat awal perkembangan industri di kawasan benua ini. Perkembangan masyarakat industri, yang mendegradasi jenis-jenis kegiatan kerja manusia menjadi okupasi-okupasi yang tak ternilai apa-apa kecuali tegaknya survival, fisik dan materiil, telah mendorong lahirnya suatu kekuatan antitesis yang disebut profesionalisme ini. Demikianlah, profesionalisme hukum sebenarnya juga terlahir pada masa itu ialah ketika hukum berubah secara konseptual menjadi apa yang disebut oleh Austin hukum positif (the command of the souvereign) atau oleh Black the government social control.5

Hukum dalam wujudnya sebagai hukum positif memang amat didambakan pada masa itu, tak hanya karena kemampuannya menjamin kepastian (yang amat diperlukan untuk memungkinkan perencanaan-perencanaan perilaku menurut kebutuhan masyarakat industri), akan tetapi juga karena kekuatannya yang koersif dengan bantuan kekuatan politik yang sah dari aparat-aparat pemerintahan. Namun, hukum yang menjadi positif secara demikian itu sekaligus juga pantas dikhawatirkan akan menjadi “mendangkal”, dalam arti tak akan mengandung nilai falsafati apa-apa (misalnya “keadilan” dan “kebenaran”) selain menjadi instrumen kepentingan industrial semata-mata. Dari kenyataan inilah awal mulanya paham profesionalisme yang menegaskan bahwa “apabila hukum tak lagi bisa dikontrol dari ranah substantifnya, maka ia harus dikontrol dari ranah strukturalnya”. Maka struktur penegakan hukum pun lalu melahirkan profesional-profesional baru, menggeser dan menggantikan pakar-pakar lama yang bergerak dalam penegakan tatanan masyarakat lewat ajaran moral kebijakan individu. Adalah kenyataan bahwa tatanan masyarakat industri yang komplek dan berorientasi ke masa depan telah mengundang kebutuhan penegakan tatanan sosial ini. Praktisi-praktisi dengan kemahiran-kemahiran baru, tak hanya yang cendekia dalam pemikiran kan tetapi juga yang amat piawai dalam penguasaan kaidah-kaidah positif yang telah dibakukan secara rasional, berikut penanganan-penanganan teknisnya untuk melancarkan hubungan-hubungan ekonomi dan sosial dalam masyarakat, amatlah diperlukan. Maka pendidikan hukum sejak saat itu tak lagi menjadi bagian dari falsafat teologika atau falsafah moral dan etika, melainkan menjadi bagian dari ilmu hukum positif yang sekular, yang dikembangkan dalam sistematika-sistematika yang rasional berdasarkan logika. Kemahiran baru ternyata mendatangkan kekuasaan baru. Apabila tatanan sosial mulai diatur oleh hukum positif yang di Eropa Barat mulai dikodifikasikan, disistematikakan, dan diformalkan, maka spesialis yang mampu merawat dan mendayagunakan kaidah-kaidah positif semacam itu (mulai dari pengorganisasiannya sampai ke hal penelusuran, penafsiran dan penerapannya) akan memperoleh posisi 5 Donald Black, The Behaviour of Law ( New York : Academi Press, 1976 ), hlm. 2.

Page 187: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

185

penting yang diakui dan dihargai. Kemahiran ini kian memperkokoh kekuasaan kaum spesialis baru ini, lebih-lebih karena alasan-alasan berikut ini :

(a) bahwa kemahiran yang dikembangkan itu menyebabkan khalayak mayoritas yang awam menjadi terkucil dari pengakuan untuk bisa ikut menangani kaidah-kaidah sosial yang kini telah diformalkan sebagai hukum positif itu; dan

(b) bahwa kemahiran ini – berseiring dengan berkembangnya doktrin laissez-faire di masyarakat industri Barat waktu itu – mengembang menjadi kekuasaan yang otonom, yang pendayagunaannya justru digunakan untuk mengendalikan kekuasaan politik pemerintah dari kemungkinan penyalahgunaannya terhadap kepentingan privat warga negara (dan tidak sebaliknya).

Berkembang dalam alur seperti itu, kemahiran profesional menjadi kekuasaan

yang sebenarnya secara praktis tak akan dapat dikendalikan dari luar, dan akan gantinya hanya akan dapat dikendalikan dari dalam oleh itikad etis kelompok profesional itu sendiri. Tak pelak pengembangan hukum dan ilmu hukum telah harus sejalan dengan perkembangan dan pengembangan profesionalisme hukum itu sendiri.

Profesionalisme dan Peranan Pendidikan Tinggi untuk Mengembangkan Profesionalisme

Profesionalisme berkembang sebagai bagian dari moral sosial suatu kelompok masyarakat khusus, yang di Eropa pada waktu itu dikenali sebagai kelompok aristokrat. Kaum aristokrat melihat jati dirinya sebagai elit-elit yang merasa terpanggil untuk memenuhi kewajiban menjaga kesejahteraan rohani masyarakat luas dengan mendedikasikan kedudukan, kewenangan dan segala kemampuan serta keahliannya. Karena status aristokrat adalah status yang diwariskan secara temurun, maka segala kemampuan dan keahlian profesional –berikut nilai-nilai moral yang melandasi kewajiban untuk mendedikasikannya kepada khalayak – pun merupakan aset-aset budaya yang diturun-temurunkan secara eksklusif. Terjadinya revolusi industri di Eropa telah menyebabkan mundurnya kekuasaan, peranandan pengaruh kaum aristokrat dan para padri elit; namun munculnya elit-elit baru yang kemudian dikenali sebagai kaum profesional pewaris moral kaum elit angkatan sebelumnya (dan yang juga merasa berjati diri sebagai pengabdi-pengabdi yang terpanggil untuk menjaga kesejahteraan umat) tidaklah begitu saja melenyapkan kegiatan-kegiatan idiil dalam masyarakat.

Dalam hubungan ini, dalam sejarah profesionalisme, ada dua perkembangan yang menarik untuk diperhatikan. Yang pertama, ialah terjadinya sekularisasi sebagian dari keahlian-keahlian profesional; lewat proses perkembangan ini, tak semua keahlian itu kini berinduk pada ilmu-ilmu wahyu yang pada saat itu banyak dikaji di balik tembok-tembok biara (seperti misalnya keahlian dalam penguasaan moral sosial yang kini dipositifkan dalam rupa hukum nasional, dan keahlian somatolgik tradisional yang kini digantikan oleh ilmu ketabiban dan seni penyembuhan yang ilmiah. Perkembangan kedua yang cukup bermakna untuk disimak ialah perkembangan yang terjadi sebagai akibat tetap hendak dipertahankannya asas pewarisan yang eksklusif atas keahlian-keahlian yang sudah tersekularisasi itu, sedangkan upaya mempertahankan perkauman dengan status-status yang dimuliakan secara adat (ascribed) dalam proses industrialisasi yang kapitalistis dan berorientasi pasar itu – agaknya amat sulit. Tradisi selibat yang dianut di biara-biara saja juga telah tidak memungkinkan pewarisan keahlian-keahlian secara

Page 188: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

186

turun-temurun dan eksklusif dalam lingkungan trah-trah tertentu. Merespons perkembangan seperti itu, muncul dan berkembanglah di Eropa pusat-pusat kajian keahlian yang disebut universitas. Di negeri-negeri yang berpenduduk Protestan, universitas-universitas tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu modern (yang kini lazim disebut sains) akan tetapi juga teologi, yang di negeri-negeri Katolik tetap menjadi yurisdiksi pembelajaran para biarawan di seminari-seminari.

Tumbuh kembang di tengah arus perkembangan seperti itu, universitas-universitas Eropa (khususnya Eropa Daratan) dengan cepat berafiliasi dengan kepentingan idiil para elit baru yang disebut kaum profesional itu. Universitas-universitas menjadi ajang untuk menggladi rekrut-rekrut yang --mengikuti jejak kerabat pendahulunya-- merasa terpanggil untuk memasuki dunia kaum profesional dengan segala ikrarnya untuk menegakkan ide dan ideologi profesionalisme. Di kampus-kampus universitas, mereka yang terseleksi ini mendisiplin diri untuk menguasai keahlian-keahlian dan idealisme-idealisme professional yang diprasyaratkan secara institusional untuk dapat diterima dan diakui sebagai anggota profesi. Sekalipun umumnya universitas-universitas ini lebih menekankan aspek pembelajaran dan pengembangan ilmunya, sedangkan organisasi-organisasi profesi lebih menekankan aspek praktek dan kiat penerapannya, namun hubungan yang erat antara keduanya sangatlah nyata. Di Eropa Daratan, berbeda dengan tradisi yang dikembangkan di Inggris dan kemudian juga di Amerika, pengujian dan seleksi untuk menetapkan siapa yang boleh atau yang telah bias diterima di lingkungan profesi bahkan cukup diserahkan kepada universitas-universitas itu sendiri.6 Latar sejarah inilah yang ikut menjelaskan mengapa fakultas-fakultas --yang boleh dibilang sebagai representasi spesialis-spesialis professional-- di universitas-universitas Eropa Daratan lebih berperan dalam perkembangan profesi-profesi daripada apa yang disebut faculties atau colleges di Inggris dan Amerika.7

Perkembangan Universitas di Indonesia Semasa Penjajahan

Universitas-universitas di Indonesia di bangun menurut model institusi-institusi yang berkembang dalam sejarah Eropa Daratan, mengikuti ide dasar yang memberikan peranan besar kepada fakultas-fakultas dalam ikhwal jurusan profesi dan profesionalisme. Modifikasi kolonial menonjolkan fakultas-fakultas ini sebagai institusi-institusi yang berafilisi erat dengan ptofesi-profesi tertentu, ialah kedokteran, kehukuman (khususnya kehakiman), dan keinsinyuran, yang --menyesuaikan diri dengan situasi kolonial-- banyak bernaung di bawah patronase pemerintah (kolonial). Alih-alih melahirkan professional-profesional yang berpreferensi mengembangkan praktek bebas, mereka yang lulus dari ujian-ujian profesional yang diselenggarakan oleh fakultas-fakultas di negeri Belanda (yang acapa kali diberi wewenang pula untuk menyelenggarakan ujian Negara)

6 Parsons Loc. Cit. 7 Colleges di negeri-negeri ini mengajarkan ilmu-ilmu dasar yang bersifat umum, sedangkan keahlian-

keahlian professional yang khusus dikembangkan dan diujikan oleh kelompok-kelompok professional atau lembaga-lembaga penggladian yang mereka bentuk seperti societes bars, teaching hospitals atau apa yang kemudian di Amerika dikenal sebagai professional schools; pengelolaan professional schools ini memang banyak yang di”titip”kan ke universitas-universitas (disamping colleges yang mengajarkan liberal sciences and arts), namun kontrol atas kurikulum dan standar keahlian yang disyaratkan tetap dikontrol oleh organisasi-organisasi professional yang ada. Baca : Ricahard J. Storr, The Beginning on Graduate Education in America ( Chicago : Univ. of Chicago Press, 1953 ).

Page 189: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

187

--manakala akan merintis karier di daerah jajahan Hindia Belanda-- umumnya akan memasuki jabatan-jabatan sebagai pegawai negeri (ambtenaren).8

Ketika di Hindia Belanda dibangun sekolah-sekolah tinggi yang melaksanakan pendidikan setara --dengan mengambil model-- fakultas-fakultas yang telah berdiri lama di Eropa, maka sesungguhnya telah terjadi upaya transplantasi institusi secara lintas budaya. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan 3 sekolah tinggi pada tahun 1920-an (masing-masing untuk bidang keinsinyuran, kehukuman dan kedokteran) setelah melewati berbagai polemik dan mengatasi berbagai keberatan.9 Keberatan-keberatan yang diajukan umumnya bertolak dari keraguan, apakah kenyataan-kenyataan yang eksis di daearah jajahan sanggup menopang kehadiran lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang pada hakekatnya merupakan produk peradaban Eropa dan berkomitmen pada ide profesionalisme yang sesungguhnya juga merupakan produk peradaban Eropa. Adalah suatu kesengajaan yang bertujuan selektif dan diskriminatif bahwasanya sekolah-sekolah tinggi pada jaman colonial ini mensyaratkan secara mutlak penggunaan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Tak pelak, Bahasa Belanda --yang notabene adalah bahasa kelompok minoritas10 yang mengembangkan moralitas khusus dari peradaban yang berkembang secara khusus di benua lain-- telah menjadi kreterium untuk menyaring mereka yang hendak memasuki pendidikan tinggi (yang seterusnya juga hendak memasuki dunia profesi yang bertumpu pada moral tradisi Eropa), lewat seleksi penguasaan bahasa akan sekaligus terseleksi kadar pendedahan dan sosialisasi para calon mahasiswa dalam hal budaya dan peradaban Eropa.11

Tak pelak, pendidikan hukum di Indonesia memang juga berawal dari pendidikan hokum menurut cita profesionalisme hokum Eropa Barat (baca: Belanda). Profesionalisasi hukum, liberalisme ekonomi, dan demokrasi politik telah mewarnai pekembangan hukum dan pendidikan hukum di Indonesia semasa jaman kolonial dulu. Umumnya pendidikan itu lebih menekankan pada acara-acara pemberian kecakapan-kecakapan teknis dalam hal menemukan hokum (baca: undang-undang), menginterprestasinya, dan menggunakannya sebagai premise untuk mendeduksikan hukum in concrete untuk menghukumi perkara-perkara tertentu. Dengan perkataan lain,

8 Mereka yang belajar di Universitas Kerajaan di Leiden diuji di Universitas tersebut oleh apa yang

disebut Staatscommissie Belast met Het Afneemen van Het Examen voor de Nederlandsch Indische Administratief Dients, lihat album Studiosorum Der Rijks Universitaitte Leiden (Leiden : E.J. Brill, Th.1922, 1923, dan 1924 ).

9 Keberatan yang sangat dikemukakan antara lain oleh Koch yang secara tegas menyatakan bahwa masalah pendidikan tinggi di Indie adalah suatu vragstuk val aloemeen – sociologischen aard dan karena alasan-alasan itu de tijd voor stichting van aen Hoogeschool voor inlandsche bevolking van dit land nog lang niet gekomen is. Baca : D.M.C Koch, Hooger Onderwills in Indie ? dalam Koloniale Studies, Th. I ( 1917 ), no. 5 hal. 157-173.

10 Pada tahun 1937, jumlah orang yang cakap menggunakan Bahasa Belanda diperkirakan tak lebih dari 20.000 jiwa atau kira-kira 0,3 %d ari seluruh penduduk di Kepulauan Nusantara. Angka-angka ini dapat dilihat dalam tulisan I.J. Brugmans, “The spreed of The Ditch Language in The Netherlands Indies”, Bulletin of The Colonial Institute of Amsterdam, Th.I ( 1937 – 1938 ), hlm. 81-140.

11 Rechtshool yang didirikan pada tahun 1909 untuk mendidik hakim pengadilan tinggi – sekalipun tidak merupakan suatu lembaga pendidikan tinggi, dan baru setara dengan sekolah lanjutan atas – toh jelas-jelas mensyaratkan penguasaan Bahasa Belanda ini. Hanya anak-anak pribumi yang pernah bersekolah di Farugese Lagere School—ialah sekolah pengantar Bahasa Belanda – sajalah yang dapat diterima di Rechtschool ini.

Page 190: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

188

hal profesionalisme hukum lebih banyak diajarkan pada segi-segi teknisnya saja, sedangkan segi etisnya tak demikian dikedepankan.

Namun, rupanya pendidikan hukum yang demikian itu tak demikian mendatangkan masalah. Pendidikan etik profesi memang tak dikembangkan di kelas-kelas, tetapi dikembangkan dalam organisasi-organisasi profesi; dan organisasi-organisasi profesi yang elitis tetapi baik telah membuktikan kemampuannya merawat dan mensosialisasikan kode etiknya dari generasi ke generasi. Maka selama pendidikan teori dan teknik hukum berkomplementer dengan kehidupan profesi hukum maka dalam praktek tidaklah terlalu banyak permasalahan yang akan timbul. Seleksi mahasiswa, yang umumnya banyak diambil dari kalangan elit yang telah terdedah pada peradaban Belanda, telah pula memudahkan sosialisasi etika profesi Barat melalui jalur lain. Perkembangan dalam Masa Pasca-Penjajahan

Sesungguhnya aktivitas tandem antara Universitas dan profesi (sebagaimana telah berkembang pada awalnya dalam sejarah Eropa) tetap diharapkan agar dapat terus berfungsi ditengah-tengah kehidupan masyarakat nasional yang di Indonesia akhir-akhir ini memang menyatakan demikian; sesuai dengan harapan, universitas-universitas di Indonesia tercatat tetap meluhurkan nilai-nilai yang dieksplisitkan kedalam darma-darma pembelajaran (untuk menguasai keahlian-keahlian yang tinggi), pengembangan keahlian (lewat penelitian-penelitian dan studi-studi) dan pengabdian untuk mengamalkan kemahiran dan keahlian yang dikuasainya demi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian secara ideal, universitas-universitas --yang kini dikelola, secara langsung atau tidak, oleh pemerintah nasional-- tetap menopang profesi dan profesionalisme, dan sesungguhnya juga berkehendak akan menjamin perkembangannya. Tetapi, berbeda dengan situasi-situasi terdahulu universitas-universitas di Indonesia juga mengalami kenyataan-kenyataan yan agaknya akan dapat meyorongkan kesulitan; ialah terjadinya massalisasi pendidikan yang dapat mengaburkan tujuan-tujuan yang semula diutamakan oleh profesionalisme.

Massalisasi pendidikan tinggi seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini dalam wujud kecambahnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan meningkatnya jumlah populasi mahasiswa yang harus ditangani lembaga-lembaga itu. Seleksi calon mahasiswa atas dasar stanadar kemampuan dasar minimum yang harus dikuasai calon sebagai bekal awal, dan pula atas dasar kepribadian atau itikat-itikat tulus untuk mendedikasikan hidupnya bagi masyarakat atau umat, acapkali terabaikan dan bahkan terkesan tak pernah dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh. Pendidikan tinggi lebih cenderung dikonsepkan sebagai bak penampung, atau klep penyelamat untuk meredakan tekanan arus lulusan sekolah menengah yang tak mungkin ditampung di pasaran kerja, dari pada sebagai ajang untuk hidup sebagai muklis-muklis (yang bersedia mengabdikan keahliannya untuk kemaslahatan umum secara bertanggung jawab dan penuh ridho).

Apabila keahlian-keahlian toh sudah diberikan secara bertanggung jawab, komponen etik --karena dilepaskan dari tujuan-tujuan professional-- acapkali kurang diperhatikan dalam acara-acara pendidikan tinggi. Berhal demikian, universitas-universitas di Indonesia akan mudah terancam degradasi menjadi institusi-institusi industri atau bisnis yang terlalu lugas, untuk kemudian melupakan afiliasinya yang ukhrawi dengan dunia profesi dan ide profesionalisme. Dari distorsi-distorsi dan

Page 191: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

189

kemerangan-kemarangan konseptual itulah muncul pernyataan-pernyataan kecemasan bahwa universitas hanya dapat menghasilkan penganggur-penganggur intelektual atau bahwa universitas tak dapat menghasilkan lulusan-lulusan siap pakai. Konsep yang terdistorsi seperti ini sungguh mengabaikan peranan universitas yang sebenarnya, ialah peranannya sebagai pengembang karakter pengabdian di sanubari para pakar, dan bukan sebagai pencetak secara kodian pekerja-pekerja berpengetahuan yang suka menunggu-nunggu kesempatan untuk dipekerjakan.

Perkembangan yang keliru dan tak terkoreksi tentunya akan berpengaruh sekali pada perkembangan profesionalisme dan juga khususnya dalam kehidupan hokum di Indonesia. Ketika dualisme hukum di Indonesia dihapuskan, tradisi pengelolaan hukum positif secara professional – yang semula dilakukan secara konsekwen dan khusus untuk kehidupan hukum golongan Eropa an yang dipersamakan – ternyata tak mudah dikembangkan dan diterapkan begitu saja untuk kehidupan hukum rakyat Indonesia pada umumnya. Pendidikan hukum di Indonesia di satu pihak masih amat menekankan pengajaran-pengajaran teknis atas bahan-bahan hukum, dan tetap tak merisaukan hal mensosialisasikan makna profesionalisme, (suatu kenyataan yang pada jaman penjajahan --karena sifat pendidikannya yang elitis dan tidak massal-- tidak terlalu menimbulkan masalah), sedangkan di lain pihak perkembangan profesionalisme hukum menurut konsep kehidupan hukum di masyarakat industri Barat yang liberal tak lagi tertunjang. Akibatnya, pengelolaan hukum amat mementingkan segi-segi teknisnya kurang mengacuhan segi-segi etis profesi yang bersanksi (kecuali untuk maksud-maksud lip service semata-mata) dan terancam jatuh menjadi okupasi biasa belaka.

Sementara itu ada tiga hal lagi yang mempengaruhi pekembangan profesionalisasi dan profesionalisme hukum di Indonesia. Pertama hukum tak lagi diutamakan fungsinya sebagai penjamin kepastian-kepastian yang diperlukan untuk perencanaan-perencanaan kaum industrialis dan usahawan melainkan diidealkan sebagai sarana perekayasaan sosial dan reformasi struktural untuk kepentingan kaum miskin (yang menurut komitmen nasional akan dijadikan target group pembangunan). Kedua, sehubungan dengan hal tersebut diatas itu, hukum tak lagi dinetralkan dari pengaruh kekuasaan eksekutif --dan karenanya diotonomkan sebagai kekuatan mandiri yang harus dikelola oleh the free professionals-- melainkan benar-benar diefektifkan sebagai kekuatan eksekutif yang benevolen untuk merealisasi kebijakan-kebijakan pembangunan nasional (yang tentu saja tak selamanya hendak dimaksudkan untuk mengkonservasi tradisi-tradisi lokal). Akhirnya, ketiga, kebutuhan praktis kian mengharuskan hukum untuk memperhatikan variable-variabel sosial, kultural, dan psikologik (demi keefektifan hukum yang tak lagi sepenuhnya bertolak dari tradisi budaya lokal), dan kenyataan ini tak pelak telah memaksa para pengaji hukum dan para professional hukum di Indonesia untuk memulai mempersoalkan apakah hukum dalam konteks perkembangan sosial dan politik dewasa ini masih harus dikaji sebagai kaidah-kaidah positif semata, ataukah sudah harus dipikirkan sebagai fakta sosial yang --seperti halnya variabel-variabel sosial yang lain-- ikut tunduk pada permainan kekuatan-kekuatan sosial yang riil.

Profesionalisme klasik mencitakan suatu kehidupan yang penuh solidaritas antara para elit yang berkeahlian, yang berkekuasaan --karena kemampuan teknisnya-- untuk mengontrol tatanan dalam masyarakat namun yang juga diimbangi oleh kemampuannya mengendalikan diri atas dasar kesadaran, kehormatan, kejujuran dan tanggung jawab

Page 192: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

190

etisnya sebagai manusia-manusia professional yang bebas. Berdasarkan alasan-alasan yang telah dipaparkan di muka, agaknya profesionalisme hukum di Indonesia dewasa ini --menurut versinya yang klasik, yang muncul sebagai adaptasinya dalam dunia kehidupan ekonomi yang liberal-- tidaklah akan dapat berkembang dengan baik. Kecondongan yang telah terjadi dan dapat diamati dalam kenyataan adalah kecondongan yang justru menjurus ke terjadinya proses deprofesionalisasi. Hukum telah kian kehilangan artinya sebagai kaidah-kaidah positif (yang pengorganisasian, penelusuran, penafsiran dan penerapannya memerlukan kemahiran teknis yang amat terspesialisasi), dan dalam praktek acapkali telah digantikan dengan penuh rasa tenggang oleh penggunaan kaidah-kaidah sosial lain yang lebih memenuhi kreterium sebagai apa yang disebut ‘discrection’ (kebijaksanaan) dan atau pula yang disebut pertimbangan-pertimbangan politik.

Sementara itu, deprofesionalisasi di Indonesia rupanya telah terjadi bukan hanya sebagai akibat melemahnya organisasi-organisasi profesi dan semangat serta solidaritas profesionalisme dalam kehidupan hukum di negeri ini, akan tetapi juga oleh ulah pendidikan hukum di negeri ini, pendidikan hukum di Indonesia amat jelas kalau tak dikontrol oleh kebutuhan profesi dan organisasiprofesi; sebagaimana telah dikatakan, pendidikan ini amat bersifat missal, kehilangan makna spesialisasi teknisnya, dan secara sadar tak lagi melayani secara eksklusif kepentingan masyarakat professional melainkan terkesan kalau lebih condong melayani kepentingan dinas pemerintah. Lulusan pendidikan ini –dalam jumlah ribuan– dari tahun ke tahun tak pernah berkesempatan berlatih praktek di lingkungan profesi secara cukup; mereka umumnya mencari kerja di sembarang lapangan kerja, yang sebagian besar tak akan tergayung sambut dengan upaya pengembangan profesionalisme hukum.

Deprofesionalisasi yang dikisahkan diatas sebenarnya dapat juga dilihat dari perspektif yang lebih optimistik sebagai proses lahirnya profesionalisme baru; bukan yang adaptif untuk melayani kepentingan masyarakat bisnis dan industri Eropa dalam era liberalisme, melainkan yang lebih adaptif dan berperan untuk melayani masyarakat dunia ketiga yang tengah membangun. Ini adalah suatu profesi --sebagaimana dapat dilihat dalam kenyataan-- yang lebih condong bersolidaritas dalam ajang organisasi (alias dinas) kekuasaan politik (dan bukan untuk mengontrolnya atas dasar kecurigaan demi kepentingan kelas menengah yang berwiraswasta semata-mata), dan berkomitmen pada tujuan-tujuan pembangunan untuk terdegradasi menjadi okupasi biasa, selama para sejawat pendukungnya tetap memenuhi persyaratan yang berjumlah tiga, ialah tertegaskannya kembali itikat pengabdiannya kepada suatu nilai luhur penguasaan atas suatu kemahiran teknis yang bermutu tinggi dan kesediannya untuk terus mengejar pengetahuan-pengetahuan mengenai kemahiran teknis itu, dan kesediaannya untuk menundukkan diri pada control moral dank ode-kode etik yang dikembangkan antar sejawatsesamanya. Adakah pendidikan hukum di Indonesia mampu merumuskan kembali isi substantive yang lebih terinci dari ketiga persyaratan profesi itu dan menjadikannya sebagai tujuan pendidikan hukum di Indonesia ? Merosotnya Profesionalisme

Menumbuhkan konsep profesi dan ide profesionalisme di Negara-negara berkembang sesungguhnya bukanlah suatu usaha yang sederhana. Usaha seperti itu pada hakekatnya adalah suatu usaha akulturasi, atau suatu transplantasi budaya, dan manakala lahan-lahan budaya setempat tidak cocok dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang

Page 193: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

191

diakulturasikan itu maka berbagai kemerengan pasti akan terjadi. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam proses-proses inovasi atau invensi-invensi yang awal mulanya berasal dari bumi asing, penerimaan-penerimaan unsur-unsur luar itu lebih sering menimbulkan perubahan-perubahan lahiriah saja dan --karenanya tak mengena pada ide-ide dasarnya-- karena itu lalu tak kunjung fungsional dalam totalitas sistem kehidupan yang ada. Profesi, misalnya, tak dibedakan sama sekali dari kegiatan kerja macam apapun, bahkan disamakan begitu saja dengan setiap jabatan karier, sementara itu professional diartikan sebagai --dan/atau dikaitkan dengan-- setiap pekerjaan yang justru dilawankan dari pekerjaan-pekerjaan yang sukarela dan ikhlas.. Kode-kode etik dibuat dan ditiru-tiru, namun tak berkekuatan apa-apa kecuali kalau dibuatkan lembaga penegaknya yang berkewenangan untuk melakukan pemaksaan fisik. Massalisasi pendidikan pun dapat pula ikut dituding sebagai biang penyebab luruhnya profesionalisme dari setiap materi yang diajarkan di perguruan-perguruan tinggi.

Kalau kontinuitas pertumbuhan lembaga-lembaga yang diintroduksikan pada masa penjajahan tak dapat lagi diiringi oleh ide-ide yang mendasarinya (tentu saja dengan berbagai kebijakan modifikasi guna mengadaptasikannya pada situasi-situasi baru), maka tak pelak orangpun akan menghadapi berbagai kesulitan dalam ikhwal mengontrol tertib kehidupan kekaryaan masyarakat-masyarakat pasca-kolonial.

Page 194: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

19

Fungsi Paralegal dalam Tinjauan Sosio-Historis Asal-usul Paralegal

Paralegal adalah sebuah konsep baru yang muncul dalam khasanah pemikiran dan praktek pembangunan sosial dan pengembangan institusi hukum pada waktu akhir-akhir ini saja. Tak pelak, tinjauan sosio-historis mengenai paralegal ini tidaklah akan berbicara banyak mengenai “paralegal”-nya itu sendiri melainkan hanya akan lebih banyak mengenai kebijakan-kebijakan sosio-politik dan konteks-konteks sosio-kultural yang berkembang sebelumnya (atau tak memungkinkan) pertumbuhan institusi-institusi hukum tertentu. Sebelum istilah dan konsep paralegal dikenal orang, yang sebelumnya telah dikenal terlebih dahulu adalah istilah para-profesional (sebuah ringkasan dari istilah para-legal profesional); dan lama pula sebelum istilah para-legal profesional diciptakan dan dipakai orang untuk menyebut personil-personil tertentu dalam acara-acara berperkara di muka pengadilan, yang sudah dikenal dalam masa yang lebih awal adalah personil-personil berkeahlian yang dibilang the legal professionals. Paralegal (PL) dan para-professional (PP) adalah fenomena yang menampak dalam institusi hukum negara yang berawal dari tradisi budaya hukum Eropa-Barat semasa institusi yang bertradisi Barat ini coba ditransplantasikan ke lahan sosio-kultural baru yang bertradisi nonBarat. PL dan PP adalah wujud-wujud yang terlahir sebagai resultante proses-proses adaptasi fungsi the legal professionals (LP) yang sepanjang sejarah pemerintahan kolonialisme dan pasca-kolonialisme harus beroperasi di ranah-ranah yang berkondisi sosio-kultural yang (masih) berbeda dengan tradisi asalnya. Fenomena LP ini sendiri sebenarnya juga baru muncul dalam sejarah hukum menurut tradisi (Eropa)-barat semasa sekularisasi sistem hukum terjadi dengan pasti di bagian benua ini, ditandai oleh pemositifan hukum menjadi hukum negara yang dalam waktu singkat terlembagakan secara komplek. Dalam proses seperti ini, yang sejalan dengan proses penjadian negara-negara nasional dengan pemerintahan sentral yang kuat, rakyat dan masyarakat sipil akan teralienasi dari hukumnya sendiri yang teradat dan berakar dalam budaya lokal. Dalam proses seperti itu seluruh warga bangsa secara berangsur dan dengan cepat tergiring masuk ke suatu tatanan hukum baru yang – seperti dikatakan Berman – terlengkapi dengan “professional yudiciary, professionals class of lawyers, and professional legal literature”, dengan norma-norma hukum yang “consciously systematized, … disembedded from the whole social matrix”, sehingga menjadi “independent, integrated, developing body of legal principles and procedures clearly differentiated from other process of social organization and consciously articulatedby a corps of persons specially trained for the tasks.”1 Proses kompleksitas yang dijiwai oleh profesionalisme seperti ini mencapai puncak perkembangannya pada peralihan abad 18-19 ketika revolusi Perancis berhasil merealisasi pemisahan kekuasaan yudisial sebagai kekuasaan mandiri yang netral dari kekuasaan pemerintahan yang lain. 1 Harold J. Berman, Law And Revolution: The Formation of Western Legal Tradition (Cambridge:

Mass., 1983), hlm. 49-50

Page 195: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

183

Kebijakan Hukum Kolonial, Peningkatan kekuasaan dan wewenang badan-badan peradilan dalam proses yang kian mengunggulkan profesionalisme hukum yang berkhidmat kepada upaya melindungi hak kebebasan rakyat dari kesewenang-wenangan eksekutif, dan kepada perlindungan masyarakat sipil dari kekuasaan negara yang cenderung eksesif, berlangsung dengan relatif cukup memuaskan di Eropa, baik di negeri-negeri yang melanjutkan perkembangan menurut tradisi civil law maupun yang melanjutkan perkembangannya menurut tradisi common law. Akan tetapi, sejaman dengan perkembangan-perkembangan di negeri-negeri ini, penguasa-penguasa negara di negeri-negeri itu ternyata mengalami dilema khusus ketika harus mencoba mentransfer perkembangan profesionalisme di negeri induk ini ke dan untuk kepentingan peradilan di negeri-negeri jajahannya. Intensifikasi dan sentralisasi kekuasaan pemerintah di tanah jajahan, mengikuti model pengembangan kekuasaan di negeri induk yang mencita-citakan supremasi hukum, ternyata tidak mudah mencapai keberhasilan yang setara. Perkembangan di negeri induk ternyata tidak mungkin diduplikasikan begitu saja di negeri jajahan. Sekalipun kepada India – yang juga berbudaya bhineka itu – Inggris sedikit banyak berhasil memberikan “(legal) justice as the East has never known before”,2 (entah berkat kebijakannya untuk menerapkan direct rule, entah karena sifat common law dengan judge-made-laws-nya yang secara realistik selalu berorientasi ke kasus-kasus kongkrit daripada ke norma-norma abstrak), Belanda di tanah jajahannya Hindia Belanda merasa mengalami halangan-halangan yang sulit teratasi. Walhasil, sekalipun pemerintah kolonial Belanda sepanjang abad 19 mencoba memoderasi tata hukum Hindia Belanda menurut model yang telah dicobakembangkan di daratan Eropa, hasil yang sejauh-jauhnya dicapai barulah dalam formula-formula kebijakan (dikenal sebagai bewuste rechtspolitiek dengan manifstasi konstitusionalnya yang terjabar dalam pasal-pasal Regeringsreglement dari tahun 1854 saja. Yang berhasil direalisasi di lapangan pada asasnya adalah suatu struktur dualistik yang bertumpu pada kebijakan dasar indirect rule, dengan suprastruktur kenegaraan yang Eropa dan infrastruktur kemasyarakatan yang pribumi. Tatanan hukum yang dikelola secara profesional oleh/dengan banyak LP’s hanya dominan untuk menopang tegaknya suprastruktur, sedangkan infrastruktur pribumi tidak mudah bertransformasi begitu saja menjadi bagian yang integral dari tatanan hukum kolonial yang modern dan berciri universal. Tatanan sosial-budaya pribumi yang berposisi sebagai infrastruktur tetaplah relatif untuh, dikelola secara adat menurut tradisi-tadisi lokal oleh para tokoh adat dan/atau para tetua desa. Upaya untuk menggantikan tatanan pribumu secara berangsur dengan tatanan Eropa melalui wewenang toepaselijk verklaring atas berbagai produk perundangan Eropa oleh Gubernur Jenderal (seperti misalnya dalam persoalan tanah dan tenaga perburuhan) ternyata hanya menimbulkan disrupsi-disrupsi sosial budaya yang tak terduga. Sementara itu, upaya lain lewat lembaga vrijwillige orderwerping ternyata gagal menghasilkan perubahan yang bermakna (karena tak pernah berefek terjadinya eksodus besar-besaran dari yang pribumi tradisional ke yang Eropa kontemporer). Dualisme hukum dan

2 Kutipan diambil dari Penederal Moon, Strangers in India (London, 1944), hlm. 48. Tentang

“keberhasilan” Inggris di India ini baca lebih lanjut: Llyod I. Rudolph dan Susanne H Rudolph, “Barristers And Brahmans in India: Legal Cultures And Social Change”, Comparative Studies in Society And History, Th. VIII (1965) no. 1, hlm. 24-49.

Page 196: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

184

peradilan yang terjadi di Hindia Belanda menjadi kian mantap ketika ide-ide liberal universalistik yang mendambakan kodifikasi dan unifikasi hukum di tanah jajahan pada peralihan abad 19-20 “dikalahkan” berkali-kali – baik dalam polemik-polemik akademik maupun dalam debat-debat parlemen – oleh para pendukung partikularisme yang ditokohi oleh van Vollenhoven. Dalam suasana dualisme seperti itu, tak ayal LP’s hanya berfungsi secara penuh di badan-badan pengadilan yang diberi yurisdiksi khusus untuk melayani upaya-upaya pencarian keadilan menurut hukum positif oleh dan untuk orang-orang Eropa (dan yang dipersamakan dengannya), ialah Raden van Justitie dan Hogegerechtshoff. Dalam lingkungan badan-badan peradilan untuk orang-orang pribumi – yang sekalipun telah dibenahi dengan konstruksi dan prosedur cara Eropa – LP’s masih bekerja dan masih menampakkan sebagian dari sosok-sosoknya sebagai administrator-administrator (yang oleh karena itu juga tak selalu diharapkan cuma pandai menemukan hukum – guna mengadili perkara – dari sumber-sumber hukum yang formil semata).3 Dalam hubungan ini bolehlah disaksikan bahwasanya hakim-hakim yang bekerja pada badan-badan peradilan pribumi (kecuali pada Landraad) bukanlah lulusan-lulusan pendidikan tinggi; sedangkan yang menjadi ketua Landraad tidak selalu lulus dari fakultas-fakultas hukum yang menyajikan kurikulum hukum dan ilmu hukum yang sepantasnya diterapkan di badan-badan pengadilan untuk orang-orang Eropa. Para Meester van Nederlansch-Indisch Recht – sekalipun lulus dari Rijksuniversitiet te Leiden – tidaklah dapat bekerja sebagai hakim atau advokat pada Raden van Justitie dan Hogegerechtshof. Mereka adalah ahli-ahli yang belajar pada dan lulus dari suatu fakultas khusus dan menempuh ujian negara untuk dapat diangkat sebagai grote ambtenaren pada dinas-dinas pemerintahan dan pengadilan kolonial untuk orang-orang pribumi. Berbicara soal dualisme dalam tatanan hukum kolonial Hindia Belanda, janganlah orang membayangkan terbangunnya dua substruktur supra yang didominasi warna pribumi bukanlah bangunan-bangunan institusional yang kedap pengaruh secara total. Dalam kenyataan terjadilah banyak interpenetrasi dalam atau melalui ranah-ranah perbatasan yang terbentuk, seperti misalnya kebutuhan golongan penduduk pribumi untuk memperoleh pelayanan keadilan dalam perkara-perkara hukum di pengadilan-pengadilan negara yang disediakan untuk mereka, namun yang menerapkan hukum yang diputuskan berdasarkan substansi-substansi normatif yang hidup dan dianut di kalangan mereka. Peradilan-peradilan demikian ini sebenarnya berproses menurut acara yang dipertahankan agar sederhana dan murah, namun bagaimanapun juga dalam kenyataan dan prakteknya toh masih saja menuntut kemahiran khusus – atau membutuhkan pendamping khusus – dipihak mereka yang menghendaki pelayanan badan-badan pengadilan ini. Dalam banyak kejadian, berperkara di muka pengadilan-pengadilan pemerintah yang disediakan untuk orang-orang pribumi (khususnya di Landraad), bantuan dari mereka yang mempunyai pengalaman banyak dalam urusan-urusan pengadilan seperti ini amatlah diperlukan, sekalipun pada dasarnya “the administratif and

3 Karena kenyataan ini, pada tahun 1909 seorang pemuka Belanda mempertanyakan dalam suatu diskusi

apakah tak seyogyanya jabatan hakim dan badan-badan pengadilan untuk orang-orang pribumi dirangkap atau disatukan kembali dengan jabatan administrator pemerintahan. Baca E. Moresco, “Is Het Wenschelijk de Beestuurdes-en Rechterskopsen in Nederlandsch-Indie te Vereenigen?”, Verslag, Indisch Genootschap Vergadering van 9 November 1909, hlm. 1-34

Page 197: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

185

paternalistic conception of colonial governance extended to judicial affairs, and it was deemed sufficient for judge … to decide any issue between natives” tanpa keikutsertaan pengacara macam apapun.4 Tokoh-tokoh yang bertaraf PP ini, sekalipun tak terdidik sebagai LP, namun demikian umumnya diakui masyarakat sebagai tokoh-tokoh yang cukup berpengalaman dalam urusan-urusan pengadilan, dan di lain pihak juga diakui banyak mengenal alam kehidupan adat hukum dan kultur masyarakat lokal yang tengah terjejas kehidupan urban kolonial yang modern. Posisi yang dapat berfungsi menjembatani dua dunia inilah yang kemudian berevolusi dalam suatu proses gestasi untuk menumbuhkan institusi pokrol bambu, atau pengacara praktek, dalam tatanan peradilan kolonial, dan terus berlanjut pada masa kolonial. Hanya saja, pada masa pasca-kolonial ini, sekalipun resminya dikuasai oleh kebijakan-kebijakan politik yang nasional sifatnya, perkembangan kontekstualnya berlangsung sebagai perkembangan yang menuju di satu pihak ke pembangunan tata hukum nasional yang menafikan dualisme, namun yang di lain pihak memilih kebijakan untuk “mengugrade” substruktur infra yang berwarna pribumi itu daripada menasionalisasi” substruktur supra yang semula berwarna Eropa. Maka model peradilan Landraad (yang berarti Majelis Negeri) itulah nyatanya kemudian terambil untuk membangun pengadilan-pengadilan negara (disebut Pengadilan Negeri), dengan acara berperkara yang tetap dibuat sederhana dan yang pada dasarnya tidak memerlukan jasa bantuan advokat bagi pihak-pihak yang terbabit. Pun di sini hakim-hakim tetap mengukuhi statusnya yang mula-mula, ialah lebih tampil pada sosoknya sebagai rechtsambtenaren yang paternalistik daripada sebagai rechters yang benar-benar berdiri di atas dan di luar kepentingan pihak-pihak yang tengah bersengketa dalam suatu perkara. Di sini rupanya terjadi mobilitas secara vertikal di dalam struktur kekuasaan pemerintahan, akan tetapi tanpa dibarengi dengan transformasi kultural yang secara bermakna mengubah wawasan para hakim yang rechtsambtenareen itu menjadi LP’s yang tentunya akan lebih cenderung berwawasan profesionalisme, dengan kesetiaan yang lebih tertuju kepada nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh profesi dari pada setakat kepada organisasi yang dikelola atasan. Dalam perkembangan seperti itu, status dan fungsi para pengacara pengadilan (di Pengadilan Negeri yang dulu Majelis Negeri, yang secara tradisi bersetara dengan PP) tak terelakkan akan tetapi dipandang rendah seperti pada jaman kolonial, ketika mereka umumnya banyak dicurigai dan disangsikan itikatnya, ketika mereka umumnya banyak dicurigai dan disangsikan itikatnya, sehingga “in this viev native lawyers could only be trouble-makers who would use yhe judicial system for their own purposes”.5 Konfigurasi perkembangan seperti ini tidaklah banyak berubah sampaipun pembangunan hukum nasional Indonesia telah memasuki era Orde Baru di seputar tahun 1970-an. Unifikasi hukum materiilpun diupayakan sebagai bagian dari realisasi sebuah cita-cita, sedangkan sentralisasi pemerintahan yang mengharapkan terciptanya suatu pemerintahan nasional yang kuat telah pula bercenderung untuk mengontrol kebebasan badan-badan pengadilan yang tradisi profesionalismenya tak pernah kuat. Dalam suasana perkembangan hukum yang didayagunakan secara sadar untuk membangun kewenangan

4 Baca lebih lanjut Daniel S. Lev, Bush Lawyers in Indonesia: Stratifikation, Representation, and

Brokerage Working Paper From The Progress in Law And Society, 1, University of California, Berkeley. Kutipan juga diambil dari sumber ini, hlm 6.

5 Ibid

Page 198: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

186

rekayasa kekuasaan eksekutif (tidak dalam alur law as a tool of social engineering di tangan kekuasaan yudisial seperti yang untuk pertama kalinya disugestikan oleh Rooscoe Pound) seperti itu, fungsi hukum sebagai pengayom hak-hak masyarakat sipil menjadi sangat kurang berjalan. Hukum di sini lebih benar-benar berfungsi sebagai bagian dari apa yang disebut oleh Black “a government social control”6. Hakim, jaksa, dan pengacara pun lalu tetap lebih tergiring sebagai rechtsambtenareen atau kepanjangan tangan para pejabat negara – yang umumnya mendambakan kee0fektifan upaya-upaya mencapai target pembangunan – daripada menjadi free professionals yang tak pernah mempunyai pilihan lain selain mengabdikan diri pada kebenaran dan keadilan menurut bunyi hukum yang berlaku. Profesionalisasi Hukum dan Fungsi Paralegal Dalam sistem dan kondisi seperti itu, proses profesionalisasi hukum tidak mudah berkembang maju. Pengacara-pengacara di pengadilan-pengadilan negeri tak dapat beranjak naik dari status-statusnya yang lama, sebagai atau diperlakukan sebagai PP’s walaupun kini secara berangsur mayoritas daripadanya adalah lulusan-lulusan perguruan tinggi; sedangkan para hakim tak juga kunjung memperlakukan mereka dengan penuh respek sebagai sejawat-sejawat seprofesi (sesama LP’s). Maka, alih-alih terjadi proses profesionalisasi yang merebak sehat, apa yang sering terjadi adalah proses sebaliknya, ialah proses deprofesionalisasi, dengan forum-forum pencarian keadilan yang tak lagi selalu berarah ke sidang-sidang litigasi pengadilan negara melainkan ke banyak forum di luar institusi yudusual. Dan karena hukum – dalam fungsinya sebagai sarana rekayasa sosial – kian tampil dalam sosoknya sebagai government social control untuk mengejar tujuan-tujuan yang bermakna struktural, maka ruang lingkup yang terliput oleh sengketa-sengketa hukum tak lagi terbatas pada perkara-perkara yang sekedar relevan menurut hukum, akan tetapi juga relevan dalam jangka panjang menurut tolok-toloknya yang politik dan sosial. Sekalipun pembangunan yang sentralistis dan ditangani oleh pemerintah nasional yang kuat dan mapan telah terbukti mampu menaikkan taraf kemakmuran dan kesejahteraan lahiriah bangsa, akan tetapi kesenjangan yang kian melebar antara negara (berikut aparat-aparatnya) yang kian berdaya dan masyarakat sipil (berikut warga-warganya) yang – sekalipun kian berketerpelajaran – telah kian kurang berdaya telah mengundang reaksi-reaksi korektif yang kuat. Reaksi-reaksi ini terekspresi antara lain dalam bentuk gerakan-gerakan pro populo populus yang mengajarkan keswadayaan. Inilah gerakan-gerakan bawah yang kemudian terorganisasi dalam bentuk apa yang disebut non government organizations, dengan tujuan utamanya mengajak warga-warga lokal berupaya ke arah kemandirian, kesiapan melepaskan diri dari sembarang bentuk ketergantungan, dan kemudian darpada itu juga kepercayaan pada kemampuan sendiri, dan berkeswadayaan. Dari perspektif para eksponen gerakan pro populus yang demikian itu, tak pelak hukum tidaklah lagi akan terkonsepkan sebagai tool of social engineering melainkan sebagai tool of social empowering and enabling. Dalam konsep para eksponen yang demikian itu, hukum karena itu akan juga terlihat sebagai sejumlah hak-hak sosial yang berkemampuan meningkatkan potensi survival golongan masyarakat lemah di tengah-tengah masyarakat yang kain komplek dan penuh antagonisme ini, dan tidak lebih terlihat sebagai kewajiban-kewajiban melulu 6 Donald Black, The Behavior of Law (New York: Academic Press, 1982), hlm. 6

Page 199: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

187

yang harus ditaati setiap saat oleh setiap warga bangsa demi suksesnya pembangunan dan demi tercapainya target-target pemerintah. Dalam konsep para eksponen ini, penegakkan hak-hak pun diperkirakan tak akan menghasilkan apa-apa kalau penegakkan itu cuma hendak digantungkan pada prakarsa, upaya, kemampuan dan/atau perjoangan kekuatan-kekuatan sosial di luar masyarakat yang telah memperoleh hak-hak itu sendiri. Dalam doktrin para eksponen ini, bukan pemerintah dan bukan hakim, bukan pengacara yang profesional dan bukan pula pengacara yang para-profesional itu yang akan mampu menegakkan hak-hak warga masyarakat. Dipercaya dan dikatakan bahwa keberhasilan menegakkan hak-hak warga ini, khususnya mereka yang terbilang miskin dan buta hukum, akan lebih terjamin manakala warga masyarakat berkenaan itu sendiri yang – untuk maksud itu – mampu melahirkan tokoh-tokohnya sendiri yang mampu menyadari fungsi hukum nasional yang berlaku dan mengetahui pula cara-cara yang benar dan efektif untuk menegakkan hak-hak rakyat dalam arena-arena yang non-litigatif. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya juga diharapkan kemampuannya mengartikulasikan masalah-masalah yang berkenaan dengan kepentingan rakyat, dan memformulasikan sebagai permasalahan-permasalahan hkum yang dapat diselesaikan secara adil. Tokoh-tokoh pemuka masyarakat inilah yang kini hendak dikembangkan agar berkemampuan merespons kebutuhan masyarakat bawah yang akan datang, dalam fungsi dan kualifikasinya sebagai the paralegals.***)

Page 200: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

BAGIAN KEEMPAT

ASPEK-ASPEK SOSIO-LEGAL KONSTITUSIONALISME, SUPREMASI HUKUM, DAN HAK ASASI MANUSIA

Pengantar Objek telaah ilmu sosial tentang hukum adalah ketentuan-ketentuan hukum dan konsep-konsep yang menjadi anutan dan pedoman kerja lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi non-pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat. Apa yang dipelajari mulai dari bagaimana pengetahuan itu dikonstruksikan, diobjektifikasi dan kemudian disosialisasikan kembali, yang meluas ke bagaimana berbagai ketentuan hukum itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh dinamika sosial-politik yang melingkupinya.

Bagian ini dimulai dengan sajian analisis tentang konstitusi sebagai suatu dokumen yang vital bagi kehidupan bernegara dan konstitusionalisme sebagai suatu paham yang selayaknya dianut dan dipakai oleh mereka yang bekerja dengan konstitusi tersebut. Selanjutnya, disajikan pula hubungannya dengan ajaran hak asasi manusia yang mengatur hubungan antara masyarakat dengan negara. Disajikankan pula, analisis tentang konsep-konsep atau doktin-doktrin hukum seperti rule of law atau supremasi hukum, dengan memberi perhatian pada fungsi doktrin-doktrin itu dalam konteks sosial-politiknya.

Page 201: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

20

KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME

Secara sederhana, konstitusi dapatlah didefinisikan sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematis untuk menata dan mengatur pada pokok-pokoknya struktur dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk dalam ihwal kewenangan dan batas kewenangan lembaga-lembaga itu. Dalam artinya yang lebih sempit, konstitusi bahkan “cuma” diartikan sebagai dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan hukum tersebut di muka ini.

Dalam praktik ketatanegaraan dan dalam polemik-polemik hukum tata negara, perhatian orang acap kali hanya tertuju secara terbatas pada ihwal konstitusi itu saja, per se, baik dalam makna substantifnya sebagai ketentuan-ketentuan hukum maupun dalam makna formilnya sebagai rumusan-rumusan perundang-undangan, sebagaimana termuat dan terbaca (sebagai pasal-pasal) dalam dokumen Undang-Undang Dasar, dan kurang mengajukan lebih dalam lagi. Sebenarnya konstitusi itu cumalah raga atau wadah saja, dan bukanlah jiwa atau semangat; manifestasi yuridis saja dan bukanlah makna kulturalnya. Untuk memahami makna konstitusi secara utuh dan menyeluruh, orang haruslah mau membongkar dan menelaah seluruh isi blackbox, dan tidak cukup kalau cuma menangkap cuatan-cuatan indikatifnya yang tampak di permukaan saja. Konstitusionalisme

Dengan membongkar kotak hitam yang memuat informasi lengkap tentang sejarah perjalanan dan perkembangan konstitusi dan fungsinya dalam kehidupan ketatanegaraan, maklumlah kita bahwa makna hakiki konstitusi bermukim teguh-teguh di dalam ide konstitusionalisme. Istilah “konstitusionalisme” itu sendiri sebenarnya tercipta pada peralihan abad 18-19 untuk menegaskan doktrin Amerika tentang supremasi Undang-Undang Dasar (konstitusi tertulis) di atas undang-undang yang diundangkan sebagai produk badan legislatif. Akan tetapi, sebagai ide dan praksis modern dalam kehidupan kenegaraan modern, apa yang dipahami sebagai konstitusionalisme ini dalam maksud sebenarnya telah bisa dijumpai dalam kehidupan polis-polis (negara kota) di Eropa Barat pada abad 11 dan 12.

Pada abad-abad itu, sekalipun baru berdaya laku dalam lingkar kehidupan lokal urban

(karena belum berkembang kehidupan kenegaraan pada aras bangsa dan kebangsaan), berbagai konstitusi – sebagian sudah tertulis dalam dokumen-dokumen yang disebut chartula, charta atau chartre (charter) dan sebagian lagi tidak – telah dikenal orang. Tanpa menafikan variasinya, pada asasnya ide konstitusionalisme yang mantap dalam konstitusi-konstitusi berbagai polis di Eropa Barat itu mengakui kekuasaan pemerintah (misalnya untuk menarik pajak atau, membuat uang, membentuk bala tentara, membuat perjanjian damai dengan atau menyatakan perang terhadap polis lain); namun juga di lain pihak kekuasaan itu juga dibatasi oleh berbagai hak konstitusional warga kota (misalnya untuk memilih pejabat kota, untuk mempersenjatai diri, untuk memperoleh

Page 202: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

236

jaminan akan kebebasannya sebagai warga kota, dan untuk memperoleh perlindungan oleh proses peradilan yang jujur dan adil).

Ide konstitusionalisme sebagaimana bertumbuh kembang di bumi aslinya, Eropa Barat,

dapat dipulangkan ke dua esensinya. Esensi pertama ialah konsep “negara hukum” (atau di negeri-negeri yang terpengaruh oleh sistem hukum Anglo Saxon disebut rule of la) yang menyatakan bahwa kewibawaan hukum secara universal mengatasi kekuasaan negara, dan sehubungan dengan itu hukum akan mengontrol politik (dan tidak sebaliknya). Esensi kedua ialah konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan bahwa kebebasan warga negara dijamin oleh konstitusi dan kekuasaan negara pun akan dibatasi oleh konstitusi, dan kekuasaan itu pun hanya mungkin memperoleh legitimasinya dari konstitusi saja. Sifat Kesejarahan Sekalipun diklaim sebagai suatu ide universal, konstitusionalisme versi Eropa Barat itu yang antesedensinya dan konsekuensinya tercatat lebih jauh daripada yang versi Amerika), sesungguhnya tak pernah menafikan outentisitasnya yang bersifat kesejarahan. Dengan demikian konstitusionalisme tak pernah gampang dicanangkan diperlakukan sebagai doktrin, melainkan diterima sebatas fungsinya sebagai bagian dari sarana dan upaya manusia mengikuti kualitas hidup dan kualitas pribadi. Konstitusionalisme adalah suatu kontinuitas dalam suatu proses tumbuh kembang yang panjang. Dalam perspektif paham konstitusionalisme yang begini ini, tidaklah konstitusi mana pun – beserta konsep-konsep negara hukum dan hak-hak sipil warga negara yang terkandung di dalamnya – dapat diimplementasikan secara wajar dan efektif (menjadi realitas dan praksis dalam kehidupan) tatkala konstitusi itu cuma diartikan dan dimengerti sebagai preskripsi-preskripsi yang kontemporer dan sesaat, yang berasal cuma dari kehendak-kehendak politik para penguasa sekarang. Konstitusi, berikut konsep-konsep yang menjadi anasir esensialnya, haruslah disadari dan dipahami sebagai bagian dari kekuasaan yang bersejarah panjang di dalam tradisi dan budaya sesuatu bangsa. Konstitusi tidaklah akan mungkin dipahami secara utuh tatkala konteks historisnya tak pula ikut dipahami. Konstitusi bukanlah sekadar dokumen; konstitusi adalah hukum dengan makna-makna yang hidup dalam suatu konteks sejarah. Permasalahan di Negeri-Negeri Berkembang Permasalahan yang timbul dalam kehidupan kenegaraan di negeri-negeri berkembang – seperti misalnya Indonesia yang bisa dijadikan contoh – berawal dari kenyataan bahwa negara-negara di negeri-negeri bekas jajahan yang tengah berkembang ini bersedia menata institusi-institusi ketatanegaraan berdasarkan konstitusi. Konstitusi yang mereka kenal dari negara-negara bekas penjajah yang mewarisi tradisi hukum Barat itu, namun gagal mewarisi dan menerima tanpa reserve ide dasar konstitusionalismenya mengenai supremasi hukum, keterbatasan kekuasaan negara dan jaminan hak-hak sipil rakyat atas kebebasan asasinya. Di sini yang terjadi bukanlah receptio in complexu melainkan penerimaan konsep negara dan hukum

Page 203: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

237

ketatanegaraan barat secara terpenggal. Konstruksi-konstruksi dan norma-norma positifnya dimengerti dan diterima, tapi ide dan makna dasarnya terlepas dan tak tertangkap. Sesungguhnya konstitusi itu tatkala dimengerti sebagai bagian dari konfigurasi konstitusionalisme yang total, pada hakekatnya adalah sebuah kontrak. Setiap kontrak itu berfungsi menjamin hak-hak kedua belah pihak dalam ihwal sebagaimana telah mereka sepakati: hak-hak dan kewenangan-kewenangan politik penyelenggara negara dan hak-hak kebebasan warga masyarakat sipil. Kontrak itu pun selalu mengandung klausula tentang mekanisme serta prosedur yang dapat ditempuh manakala salah satu pihak patut disangka mengabaikan kewajibannya untuk menghormati hak-hak pihak lain, dan dengan demikian juga boleh disangka telah melanggar hak-hak pihak lain itu. Kontrak pun di sini – juga dalam kontrak-kontrak sosial yang menjadi salah satu ide dasar konstitusionalisme – selalu tegak dan dipatuhi, bukan saja oleh antisipasi-antisipasi tentang pasti efektifnya mekanisme pemulihan hak, akan tetapi juga oleh berlakunya asas moral pacta sunt servanda yang selayaknya diinsyafi dan dijunjung tinggi oleh kedua belah pihak. Tatkala konsep kehidupan bernegara menurut konsep peradaban Eropa Barat (yang berprasyarat tak hanya harus berakyat tapi juga berteritori) dengan lembaga-lembaga pemerintah berkekuasaan sebagaimana telah dikonstruksikan secara konstitusional hanya diduplikasi di negara-negara dunia ketiga dalam maknanya yang dangkal sebagai konstruksi-konstruksi hukum semata, sedangkan ide dasar falsafahnya yang mengacu ke keyakinan konstitusionalisme telah terpenggal dan tertinggal di belakang, maka tak pelak di negara-negara dunia ketiga ini konstitusi hanyalah akan berfungsi sebagai dasar pembenar kekuasaan negara yang normatif belaka. Konstitusi lalu tak terpakai dan difungsikan sebagai dasar legitimasi kekuasaan negara yang kontraktual sifatnya, dan limitatif pula sifatnya, di hadapan hak dan kebebasan para warga masyarakat sipil (yang kini telah bersedia menjadi warga negara). Proses Transplantasi Bukan Proses Tumbuh-Kembang Terpenggal dan tertinggalnya ide konstitusionalisme di belakang, ketika negara-negara baru – bermodelkan negara-negara berkonstitusi produk peradaban Eropa Barat – tumbuh kembang di negeri-negeri bekas jajahan, mengesankan benar bahwa yang terjadi adalah proses transplantasi institusi. Proses seperti ini berlangsung melalui pembentukan enklave-enklave kolonial Eropa di negeri-negeri jajahan, berikut proses kooptasi yang setengah-setengah atas anak-anak kaum elite pribumi ke dalam sistem kolonial, lewat pendidikan modern. Proses kooptasi yang setengah-setengah lewat pendidikan modern ini telah menjerembabkan anak-anak pelajar pribumi ke dalam proses modernisasi yang bersemangatkan nasionalisme pada aras-arasnya politik, namun tak menyentuhkan sedikit pun proses Eropanisasi yang total pada aras-aras yang sosial dan budaya. Perkembangan konsep, ideologi, hukum dan praksis-praksis kenegaraan pada zaman kolonial itu rupanya banyak terpraktikkan untuk membangun suatu suprastruktur kenegaraan yang terpola Eropa, namun sementara itu infrastruktur sosial yang lama masih terus dipelihara untuk tetap berfungsi sebagai rujukan kultural dan/atau ajang hidup yang relatif in taot buat orang-orang pribumi dan para elitenya. Maka yang terjadi adalah terekonstruksikannya suatu suprastruktur

Page 204: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

238

konstitutif kenegaraan yang terkesan ditransplantasikan dari Eropa, untuk ditumpangkan di atas – tanpa tertunjang sebagai hasil perkembangan – infrastrukturnya yang pribumi. Dualisme sosiopolitik seperti ini – dalam ujud adanya kehidupan bernegara yang dipermodern berdasarkan konstitusi, tertransplantasikan di atas suatu infrastruktur yang dalam riwayat sejarahnya tak mengenal ide konstitusionalisme secara sungguh-sungguh – bertahan lama sampai ketika saat kekuasaan pemerintah kolonial berakhir. Konstitusi Republik Indonesia: Jauh Panggang dari Api Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada tahun 1949 (atau “penyerahan kedaulatan” menurut versi Belanda) sebenarnya tak banyak mengubah – secara asasi dan seketika – struktur kekuasaan dan sistem administrasi pemerintahan yang ada. Konsep-konsep dasar ketatanegaraan yang modern, berikut konstitusi-konstitusi hukumnya yang merujuk ke kaidah-kaidah positif yang selama ini banyak dipraktikkan oleh negara-negara dan pemerintahan-pemerintahan pewaris peradaban Barat, tetap saja dipakai. Akan tetapi tercatatlah kemudian bahwa perubahan-perubahan yang lebih membawa konsekuensi secara substantif-materiil (dan tidak sekadar yang formal-formal di permukaan) adalah bermula dari terjadinya banyak pergantian personil (dari yang Eropa oleh yang pribumi) sehubungan dengan banyaknya jabatan-jabatan dalam struktur supra yang lowong, menyusul terambil-alihnya kekuasaan kolonial oleh kekuasaan nasional. Terjadilah arus mobilitas vertikal dalam skala cukup besar oleh personil-personil administrator pribumi (berwawasan moral-kultural pribumi yang inheren pada struktur infra) ke ranah struktur supra (yang selama ini dibangun dan dioperasikan berdasarkan kaidah-kaidah dan wawasan-wawasan serta imperatif-imperatif sejarah dan peradaban Eropa). Pergantian awak personil dalam sistem administrasi dan struktur politik dari yang kolonial ke yang nasional itu dengan begitu membawa serta pula pergantian wawasan ideologis dan orientasi budaya (yang tentu membawa banyak konsekuensi dalam praktik-praktik pemerintahan, pelaksanaan administrasi negara, dan/atau upaya-upaya penegakan dan penerapan hukum). Boleh dibilang di sini, tatanan panggung memang tak banyak berubah. Akan tetapi skenario permainan sebagaimana tertafsir berdasarkan imajinasi kultural-simbolis para pemainnya yang baru nyatanya sudah mulai berlainan. Di sinilah mungkin letak penjelasannya mengapa seorang pakar “pendiri Republik” seperti Soepomo bisa mengidealisasikan suatu negara hukum (yang sesungguhnya terpulang sebagai ide Eropa) namun sekaligus juga merekonstruksikannya sebagai manifestasi ide kekeluargaan yang menenggang ketotaliteran (yang merujuk ke ide pribumi), dan bukannya menegaskan maknanya sebagai suatu kontrak sosial yang lugas antara penguasa yang memerlukan kekuasaan dan wewenang untuk menegakkan eksistensinya dan rakyat yang memerlukan hak dan kebebasan untuk menegakkan hidupnya yang manusiawi. Enigma dan Dilema

Kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebuah fenomenon sejarah Eropa Barat yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat industri yang mampu menopang perkembangan dan maraknya suatu kekuasaan politik sentral yang disebut negara. Semangat kebangsaan yang

Page 205: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

239

manifes dalam bentuk perjuangan-perjuangan mereka mencapai kejayaannya – bersaranakan organisasi politik berkekuasaan sentral yang disebut negara – memang telah mengilhami banyak pelajar pribumi di tanah-tanah jajahan yang mempelajari sejarah Eropa itu untuk mengupayakan kejayaan bangsanya sendiri. Upaya ini tentu saja harus dilakukan dengan melepaskan diri dari belenggu penjajahan, untuk kemudian mengerahkan seluruh potensi bangsa secara terorganisasi ke dalam suatu institusi politik (negara!) yang dipercaya akan mampu mengefektifkan perjuangan.

Tetapi nasionalisme Eropa yang dikagumi dan mengilhami itu adalah sesungguhnya

nasionalisme yang dilandasi oleh kesadaran akan adanya kesamaan asal moyang, etnisitas, sebagaimana juga ditengarai oleh kesamaan bahasa dan budaya. Kesadaran inilah yang mendorong kehendak bersama untuk juga berkesamaan dalam suatu kesatuan politik yang beryurisdiksi di dalam batas-batas suatu teritori. Kesatuan politik seperti inilah yang kemudian dikenali sebagai suatu struktur supra, dibangun berdasarkan – akan tetapi juga dikontrol oleh – konstitusinya yang benar-benar amat bermakna secara kultural dan moral, (dan tidak sebaliknya, bahwa kultur dan moral bangsa itulah yang dikontrol dan direkayasa oleh negara).

Namun, yang nyatanya tampak dalam perkembangan-perkembangan pasca-kolonial, juga

di Indonesia, sangatlah enigmatis. Konsep negara sebagaimana dipahamkan dan dipakai dari perspektif kaum nasionalis muda yang melepaskan bangsanya dari belenggu penjajahan tidaklah seperti makna asalnya. Beranjak dari premis-premis kultural mereka sendiri yang non-Eropa, konsep negara di kalangan nasionalis-nasionalis muda ini lalu lebih gayut ke etatisme daripada ke konstitusionalisme. Hal ini dapatlah dijelaskan dan dimengerti, mengingat kenyataannya bahwa nasionalisme yang “tertransplantasikan” ke negeri-negeri terjajah – seperti yang dikenali antara lain juga di Hindia Belanda di kalangan para nasionalis perintis kemerdekaan – adalah nasionalisme kaum elite yang cenderung bersikap paternalistik, yang kemudian mencoba menularkannya ke massa bawah yang sesungguhnya (pada waktu itu!) tak berkesadaran sejarah.

Dapat pula dimengerti, bahwasanya nasionalisme dan strukturisasinya ke dalam ujud

negara di Indonesia ini dengan begitu lalu amat nyata kalau bersosok sebagi suatu organisasi kekuasaan politik sentral yang tergambar secara amat legalistis, yang sekalipun semula diambil dari pengalaman sosial dan peradaban Eropa Barat namun dalam keadaan “terpenggal”, minus konteks sosial budayanya. Maka dapatlah dimengerti pula mengapa kekuasaan negara di negeri-negeri berkembang bekas tanah jajahan (seperti di Indonesia ini) – sekalipun konon kemudian selalu dicarikan dasar pembenar kultural “yang digali” dari bumi budaya masyarakatnya sendiri, tetapi karena memang tidak terkembang dari bawah, dari bumi budaya masyarakatnya sendiri itu – umumnya lalu condong berdominasi tanpa terimbangi secara berarti oleh kekuatan dan keberdayaan yang hidup di lingkungan masyarakat sipil (dan masyarakat usaha). Konsekuensi dan Prospek Di tengah-tengah semangat nasionalisme yang menghasilkan state centrism dalam gerakan-gerakan perjuangan – baik yang dikonsepkan sebagai revolusi maupun yang dikonsepkan sebagai pembangunan – tak pelak sistem pemerintahan yang terkembang adalah sistem pemerintahan dengan penguasa-penguasa politik dan birokrat-birokrat yang secara loyal cuma mau dan tahu mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan politik negara semata. Orang-orang

Page 206: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

240

pemerintah dan birokrat, lalu banyak tampil dan menampak di mana-mana sebagai bagian dari kekuasaan negara, dan terindoktrinasi untuk cuma mau berkhidmat pada keputusan-keputusan politik para pejabat eksekutif saja, tanpa perlu mencoba mempertajam kepekaan guna menangkap cita-cita dan aspirasi politik warga masyarakat sipil. Kekuasaan dan kewenangan negara lalu berkembang mark di mana-mana, jauh lebih marak daripada ekspresi hak dan kebebasan warga-warga masyarakat sipilnya. Semasa perjuangan nasional tengah tertuju ke upaya memenangkan revolusi dan kemudian juga ke upaya memakmurkan bangsa lewat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya, peran negara dan “para abdi”nya yang bersebutan administrator itu tentu saja amat dibenarkan kalau berulah laku dominan. Pembenaran ini sesungguhnya tak hanya bersebab dari kedaruratan situasi, akan tetapi juga karena memang ide kenegaran di negeri ini sejak awal mulanya memberikan pembenaran yang demikian itu. Dalam situasi darurat ataupun tidak, selama negara tetap diidealisasikan sebagai suatu keluarga writ at large, dengan kepala keluarga yang dibenarkan memiliki kewenangan mutlak yang jauh melebihi hak-hak dan kebebasan warga-warganya (tak soal apakah dengan begitu akan disebut totaliter atau – distorsi semantiknya – totalitas), selama itu pula etatisme dan birokratisme akan tetap saja marak di negeri-negeri Dunia Ketiga yang mengenal model hidup kenegaraan dari peradaban bekas tuan-tuannya yang Eropa Barat itu, namun yang kurang mengenali idealisasi normatifnya. Tahap yang agak kritis barangkali tahap pembangunan akhir-akhir ini yang menuntut dimulainya pendekatan-pendekatan yang lebih manusiawi dalam pembangunan bangsa, dengan kemungkinan yang harus dibuka luas-luas guna meningkatkan kualitas manusia dan mempertinggi keberdayan masyarakatnya. Tuntutan seperti ini kini sudah merupakan suatu isu global, marak dalam kehidupan transnasional yang tak lagi mementingkan state centrism. Perkembangan seperti ini mestilah terus diantisipasi, dan – cepat atau lambat – mengharuskan para penyelenggara negara dan para administrator untuk merspons pergeseran-pergeseran peran yang tengah dan/atau akan terjadi, dengan sikap yang lebih positif, realistik, adaptif, dan tentu saja juga arif. Disukai atau tidak, disangkal atau tidak, peran negara dalam pembangunan di waktu-waktu yang akan datang akan terus surut, berseiring dengan kian berkembangnya keberdayaan masyarakat sipil yang otonom (dalam maknanya yang moral, budaya, sosial, politik dan ekonomi), dan berseiring pula dengan kian meningkatnya tuntutan agar warga masyarakat sipil boleh merebut peluang – sebagai bagian dari hak-hak asasinya – untuk berpartisipasi. Keberdayaan masyarakat sipil ini tertengarai tidak hanya akan berlangsung pada arasnya yang lokal saja, akan tetapi juga yang translokal-nasional, dan bahkan juga pada aras-aras yang transnasional-global. Apabila memang demikian jalan dan arah perkembangannya, debirokratisasi pastilah akan pula terjadi, dengan konsekuensi bahwa kegiatan-kegiatan yang ditata negara dan/atau oleh “para abdi negara” akan berubah: dari pelaksanaan-pelaksanaan yang amat sentral ke upaya-upaya menunjang aktivitas gerakan bawah saja, atau mungkin malah tereduksi ke upaya-upaya sejauh penyantunan-penyantunan belaka. Bagaimanapun juga, adalah hak asasi warga masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan dan untuk memilih secara bebas kegiatan-kegiatannya (sebagai bagian dari ekspresi-ekspresinya yang manusiawi berkenaan dengan hak-hak dan kebebasannya).

Page 207: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

20

Membangun Budaya Hukum dalam Pembangunan Hukum

Terbentuknya Legal Gaps

Pembangunan hukum adalah suatu pekerjaan yang sama tuanya dengan pekerjaan pembangunan negara bangsa. Sejak tumbuhkembangnya kehidupan berbangsa dalam suatu komunitas politik yang disebut negara—nota bene suatu kehidupan yang sebenar-benarnya memisahkan konsep negara dan agama serta negara dan masyarakat—hukum negara dibangun dalam suatu kitab-kitab yang disusun secara sistematis untuk menggantikan hukum tradisi yang tak tertulis dan/atau hukum agama. Di negeri-negeri yang berbudaya homogen, seperti di negeri-negeri Eropa Barat tempat berkecambahnya model kehidupan bernegara bangsa yang mula-mula (menggantikan model kehidupan imperium), sekalipun demikian konflik antara hukum negara dan hukum tradisi taktertulis dan/atau hukum agama tidaklah terjadi. Mengapa demikian? Tak lain karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi dalam kitab-kitab pada masa itu adalah hasil pengitaban saja dari hukum tradisi dan/atau hukum agama itu. Kodifikasi Napoleon dari Perancis dan kodifikasi Witchers dari negeri Belanda adalah dua dari sekian banyak contoh kodifikasi Eropa itu. Tidak demikianlah kenyataannya di negeri-negeri bekas daerah jajahan yang pada umumnya sejak awalnya dikembangkan tidak sebagai negara bangsa melainkan sebagai suatu imperium yang dikuasai oleh suatu bangsa “Yang dipertuan”, dengan membawahkan sekian banyak (suku) bangsa yang “dikalahkan”. Imperium kolonial seperti ini sudah barang tentu akan berinfrastruktur masyarakat yang berbudaya majemuk, sehingga upaya untuk merekonstruksi imperium kolonial ke dalam wujud suatu negara bangsa yang merdeka, dengan tatanan atas dasar satu hukum negara yang tunggal(lewat unifikasi dalam kodifikasi yang disebut “hukum nasional”!) menjadi tidak demikian mudah. Lebih-lebih manakala negara-negara nasional yang baru ini (seperti misalnya Indonesia) mencoba memfungsikan hukum tidak untuk melestarikan tatanan tradisi masyarakat-masyarakat lokal yang lama dengan cara mengakomodasi tradisi dan hukum lokal itu ke dalam—dan dengan menuliskannya sebagai bagian dari kodifikasi-kodifikasi; melainkan untuk mendekonstrusksi serta merekonstruksi tatanan-tatanan institusional yang ada—atau bahkan untuk menggantikannya sama sekali dengan yang baru—dalam rangka memodernkan kehidupan(suatu upaya politis yang lazim disebut “pembangunan”). Di sinilah awal masalah yang acap tertemui dalam praktek penegakan hukum, yang dalam bahasa teoritiknya disebut masalah legal gaps, terjadi dicelah selisih kepahaman dan/atau keyakinan antara apa yang “dikehendaki” oleh para pengemban kekuasaan negara (yang berobsesi pembangunan) agar dipatuhi dengan apa yang masih diyakini dan dipatuhi dalam praktik, sebagai tradisi sehari-hari, oleh warga masyarakat setempat. Legal gaps inilah yang menjadi dasar alasan utama para penanggungjawab pembangunan untuk mengambil kebijakan dan tindakan guna meniadakan (atau setidak-tidaknya mengurangi) gaps itu dengan cara mengupayakan teralihnya kesetiaan warga masyarakat dari kesetiaannya mematuhi tradisi dan hukum

Page 208: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

200

lokal kekesetiaannya yang baru untuk lebih mematuhi ketentuan-ketentuan hukum nasional. Inilah kebijakan dan tindakan yang dalam bahasa sehari-hari amat dikenali sebagai “penyuluhan hukum”. Penyuluhan Hukum: Upaya Memasyarakatkan Hukum Nasional

Tak pelak, masalah yang dihadapi oleh pemerintah nasional manapun tak terkecualinya juga yang di Indonesia dewasa ini akan amat berbeda denganpa yang dihadapi oleh pendahulu-pendahulu mereka pada masa penjajahan, yang sesungguhnya juga sama-sama berpaham dan bersemangatkan nasionalisme. Pada jaman pemerintahan kolonial para yirus nasionalis pada umumnya berserempak menjadi pengajur-penganjur dipertahankannya hukum rakyat untuk menghadapi hukum yang dianut kaum penjajahnya. Di Indonesia tercatat bagaimana yuris-yuris Bumiputera seperti misalnya Soepomo dan djojodigoeno bertahan pada hukum adat untuk menolak hukum Eropa diberlakukan untuk orang-orang Bumiputera. Tetapi apa yang terjadi kemudian di zaman pascakolonial? Mochtar Koesoemaatmadja, misalnya, justru ingin mendayagunakan hukum nasional yang modern sebagai sarana untuk mengubah dan merekayasa kehiupan masyarakat. Kebijakan (state) law as a tool of social engineering seperti ini bertolak dari suatu kebijakan dasar yang justru berbeda kalaupun takboleh disebut berlawanan dengan kebijakan yang dianut para yuris nasionalis pada era kekuasaankolonial. Maka persoalan yang dialami dan dihadapi oleh para yuris Napoleon tatkala melaksanakan unifikasi dan kodifikasi hukum nasional Perancis. Yuris-yuris Napoleon ini tidak hendak mendayagunakan hukum as a tool of social engineering melainkan Cuma hendak merekam dan megegaskan (alias mempositifkan) saja apa yang tengah berlaku sebaai kaidah-kaidah sosial yang riil dalam masyarakat.

Persialan yang dihadapi para yuris nasioal pasca-proklamasi, lebih-lebih pada

era pemerintahan Orde Baru yang memaklumkan diri sebagai Orde Pembangunan yang dikenal otokratik dalamhal pendayagunaan hukum bersanksi (sebagai tool of social engineering!) nyata kalau lebih mirip persoalan konflik hukum di Austria sebagaimana telah pernah diamati dan dilaporkan oleh Eugen Ehrlich pada pertengahan abad 19. Itulah kenyataan bahwa ada perbedaan besar antara hukum resmi yang diterapkan di pengadilan-pengadilan negara dan hukum yang sekalipun tak dianggap resmi namun amat diikuti oleh rakyat di daerah-daerah. Maka, persoalan adanya selisih perbedaan demikian itu jelas kalau tak akan selesai manakala hukum hendak diefektifkan dengan cuma mengandalkan kekuatan sanksi-sanksi formal yang fisik semata. Persoalan seperti itu memerlukan penyelesaian berstrategi jangka panjang: bukan mengutamakan pemaksaan dengan penerapan sanki-sanksi yang tegas, melainkan mengutamakan usaha mensosialisasi “hukum Baru” (baca hukum negara yang dipopulerkan dengan sebutan hukum nasional) melalui aktivitas-aktivitas berencana yang disebut penyuluhan. Aktivitas seperti ini tentulah bertujuan tuggal, ialah terbangkitnya kesadaran hukum yang baru; Penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan dewasa ini, tidak Cuma oleh aparat-aparat pemerintah saja, sudah semestinya kalau dilakukan tidak Cuma dengan kesan hanya hendak mengkhabarkan telah diundangkannya hukum-hukum baru kepada masyarakat, yang oleh sebab itu harus ditaati Penyuluhan harus menjangkau tujuan-tujuan yang lebih dari itu.

Page 209: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

201

Lebih dari itu, melalui penyuluhan haruslah bisa disosialisasikan kepada khalayak bahwasanya kaidah-kaidah baru memang penting untuk diperhatikan agar seseorang tidak mengalami kesulitan di tengah kehidupan baru yang tertib, yang disebut kehidupan bernegara ini. Harus bisa ditunjukkan bahwa penyuluhan itu dilaksanakan demi kepentingan masyarakat itu sendiri, dan tidak pertama-tama untuk kepentingan pemerintah. Harus bisa ditunjukkan dengan contoh berbagai pengalaman bahwa hukum negara itu kalaupun bisa saja diabaikan selama seseorang tak hendak terlibat dengan atau ke dalam kehidupan bernegara akan segera diperlukan manakala seseorang warga memelukan fasilitas bantuan dan jasa aparat pemerintahan negara. Kewajiban yang diharuskan hukum negara agar setiap warga mencatatkan kelahiran anak atau pernikahan yang dijalani, misalnya, bisa saja diabaikan untuk sementara. Akan tetapi,begitu nanti sang anak sudah memerlukan sekolah, atau isteri memerlukan pengakuan kesahan anak guna memperoleh (misalnya!) tunjangan, mulailah timbul kesulitan apabila ketentuan kaidah hukum negara terlanjur diabaikan selama ini. Maka sosialisasi hukum dalam bingkai semangat seperti itu bolehlah disebut sebagai ‘penyuluhan hukum’ untuk menyuluh atau menerangi masyarakat bahwa ada hak-hak yang bisa diperoleh setiap warga masyarakat manakala ia nanti terpaksa atau tidak terpaksa telah mulai harus memasuki kehidupan bernegara.

Sekalipun dalam pengembangan hukum nasional dewasa ini pemerintah

berposisi ofensif, ditunjang oleh struktur pemerintahan atau organisasi eksekutif yang kuat, namun upaya-upaya untuk menyadarkan rakyat agas segera meresepssi hukum negara (dan tidak terus bersikukuh secara konservatif pada keyakinan normatif atau hukum lokalnya saja) tetap saja bukannya akan serta merta mudah. Merekayasa masyarakat dan mengubah keyanikan serta perilaku sekelompok warga masyarakat memang merupakan tugas berat dan berjangka panjang. Djojodigoeno yang pakar hukum adat itupun sampai-sampai pernah berani menyatakan bahwa you cannot change social condition by changging the law. Pada akhirnya semua upaya itu adalah juga upaya menumbuhkan kesadaran bernegara dan kesetiaan baru, untuk tidaklagi mengutamakan masyarakat-masyarakat suku setempat akan tetapi mengutamakan masyarakat baru yang disebut masyarakat nasional “dari Sabang sampai ke Merauke), dari pulau Miangas sampai ke pulau Rote”. Tetapi, yang menjadi pertanyaan, ‘mungkinkah itu’?.

Rasa-rasanya tidak akan semudah itu karena nasionalisme dan kehidupan

nasional nyata sudah kalau pada masa peralihan millenium dewasa ini bukan lagi segala-galanya! Bagaimana akan bisa dikatakan mudah manakala dalam praktik akhirnya hukum nasional itu terbukti lebih banyak dan lebih sering membebani rakyat dengan kewajiban-kewajiban daripada lebih menjamin mereka dengan hak-hak. Bagaimana akan bisa dikatakan mudah kalau hukum nasional itu akan lebih didayagunakan untuk mengeksploitasi daerah-daerah untuk kepentingan pusat daripada termanfaatkan oleh warga-warga daerah untuk memperoleh jasa layanan dari para punggawa pemerintah pusat yang nasional? Hakekat Penyuluhan Hukum: Learning dan Dislearning

Page 210: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

202

Penyuluhan pada hakekatnya adalah suatu proses learning dan dislearning. Pada tahapan learning, orang harus belajar memahami norma-norma baru dan sekaligus membangun kesadaran (hukum) yang baru; sedangkan pada tahapan dislearning, orang harus berusaha melupakan norma-norma lama hasil ajaran yang lalu dan sekaligus “memadamkan” api kesadarannya (kesadaran hukum) yang lama. Dalam persoalan strategik, dalam kancah teoritik orang masih memperdebatkan permasalahan, manakah sesungguhnya yang akan lebih efektif: Mendahulukan proses learning ataukah mendahulukan proses dislearning? Adakah orang mesti mempelajari ihwal yang baru dulu sebelum dapat memutuskan untuk melupakan yang lama, ataukah orang itu mesti bersedia meninggalkan dan melupakan yang lama dulu sebelum bisa memulai mempelajari yang baru. Dalam praktik penyuluhan hukum, permasalahan teoritik sebagaimana terpapar di muka ini rupanya tak pernah dihiraukan. Pada umumnya para penyuluh secara serta merta saja melaksanakan proses penyuluhan sebagai proses learning, tanpa memikirkan kenyataan bahwa di dalam proses ini para subyek yang disuluh itu harus – entah selang beberapa lama kemudian, entah pada saat itu juga -- harus menjalani proses dislearning. Patut diketahui bahwa karena dalam persoalan hukum dan penyuluhan hukum ini yang tengah diperbincangkan sepanjang proses bukanlah sebatas persoalan teknis yang berada di ranah kognisi melainkan persoalan budaya (hukum) dan tradisi yang berada di ranah afeksi, maka sesunguhnya yang paling berkendala dalam proses penyuluhan ini adalah proses dislearningnya itu. Sekalipun demikian, justru pada sisi atau tahapan dislearning inilah para subyek yang disuluh itu kurang terbantu. Tak urung, sekalipun sudah memperoleh penyuluhan – dan demikian juga informasi baru tentang apa yang dalam kehidupan nasional akan diakui sebagai hak dan dibebankan sebagai kewajiban — para subyek yang disuluh itu tetap saja mengukuhi kaidah-kaidah dan tradisi -- tradisi lokal itu, setidaknya guna difungsikan sebagai referensi normatif dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keadaan demikian, selama orang masih bisa menyadari adanya ranah kehidupan yang ganda dan berbeda di negeri ini(yang masing-masing memiliki tatanan dan tertib normatifnya sendiri), ialah antara apa yang harus diidentifikasi sebagai kehidupan bermasyarakat lokal di lain pihak, maka selama itu pulalah proses learning sebagai bagian dari proses penyuluhan yang tanpa dibarengi dengan proses dislearningnya tidaklah akan banyak bermasalah. Persoalan baru akan timbul manakala orang merancukan kedua ranah kehidupan itu, dan/atau sulit mengidentifikasi suatu nuansa kehidupan (apakah terbilang nasional dan relevan dengan ihwal ketatanegaraan dan/atau tata pemerintahan, ataukah lebih terbilang urusan kemasyarakatan yang lokal dan etnik). Maka di sini akan terjadi konflik dalam soal memilih rujukan normatif, mana gerangan yang akan dipakai; apakah ketentuan-ketentuan perundang-undangan nasional itu yang akan dipakai, ataukah postulat-postulat normatif tradisi itu saja yang akan dipakai. Dalam situasi konflik seperti itu, sesungguhnya tak hanya pertimbangan-pertimbangan yang pragmatik-rasional saja yang akan menentukan pilihan. Tak jarang-jarangnya dan tak kurang-kurangnya pilihan itu akan banyak pula ditentukan oleh kecenderungan dan intensitas afeksi sang subyek. Selama kehidupan akrab dilingkungan komunitas-komunitas lokal etnik masih lebih dirasakan sebagai kehidupan yang penuh pengalaman afektif dan secara psikologik menerbitkan rasa aman dan rasa tersapa, maka selama itu pula ketentuan-ketentuan hukum nasional yang disuluhkan melalui forum-forum yangs ering terlalu formal tak akan

Page 211: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

203

didahulukan untuk dipilih. Permasalahannya menjadi lebih serius manakala yang disangka “dalam nuansa” itu sebenarnya nyata-nyata kalau tergolong bersangkutan erat dengan kepentingan nasional. Dapat dibayangkan apa jadinya apabila kehidupan yang relevan dengan urusan dan kepentingan nasional akan direspon — secara reaktif ataupun secara proaktif -- dengan prilaku yang tidak pertama-tama merujuk ke ketentuan perundang-undangan nasional melainkan ke tradisi-tradisi lokal yang selama ini dikenali sebagai bagian dari budaya etnik stempat. Maka, tak ayal lagi, menyadari kemungkinan terjadinya permasalahan seperti yang dibentangkan di muka ini, penyuluhan yang hanya akan menekankan proses learning tanpa memberikan perhatian yang khusus kepada perlunya langkah “menggarap” aspek dislearningnya akan benar-benar berbuntut masalah. Namun demikian, itu tidaklah kemudian serta merta berarti bahwa proses dislearningnya seyogyanya dituntaskan setuntas-tuntasnya sehingga para subyek benar-benar secara total dislearned dari budaya tradisinya yang setempat. Sekalipun menyuluh dalam artinya sebagai pelaksanaan proses learning—yang berefek menasionalisasi budaya hukum masyarakat setempat –itu boleh juga diakui dan dipuji sebagai proses emanispasi yang akan membebaskan jutaan warga dari rengkuhan tradisi yang acap terlalu amat protektif (namun juga konservatif!), yang demikian juga akan menyebabkan para warga itu tertatar dengan kemampuan untuk tidak ketinggalan memasuki kehidupan yang tak lagi berskala sempit dalam suasana nonurban, akan tetapi proses dislearning itu sesungguhnya merupakan proses perampasan dan pengingkaran potensi-potensi lokal. Dalam keadaan dislearned, banyak subyek dalam kehidupan lokal akan kehilangan kemampuan dan keberdayaannya untuk menata dan menjaga ketertiban masyarakatnya sendiri secara otonom, yang pada akhirnya akan memberatkan beban kerja para pejabat nasional di pusat-pusat pemerintahan. Apabila dalam pelaksanaan penyuluhan — dalam rangka menupayakan terbangunnya budaya hukum yang baru — proses dislearning itu harus juga dikerjakan seiring dengan proses learning itu sendiri, maka yang harus diingat oleh para penyuluh itu adalah to dislearn rujukan-rujukan lama manakala para subyek menyadari bahwa urusan hukumnya sudah berada di ranah yang bernuansa yurisdiksi nasional. Dalam urusan-urusan yang secara nyata-nyata melibatkan tindakan-tindakan pemerintahan oleh fungsionaris yang berkewenangan dalam aparat pemerintahan, setiap subyek harus mengutamakan rujukan-rujukan normatifnya yang lama, dan harus segera tahu — setelah tahu berkat program penyuluhan -- untuk menggantikan rujukan-rujukan normatif yang sebunyi dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Maka di sini penyuluhan hukum itu tak cuma harus mentransfer pengetahuan tentang hukum apa yang berlaku, in vacuo, melainkan juga mengabarkan informasi yang benar tentang bila serta di mana hukum (nasional) itu harus diakui berlakunya, dan bila serta di mana pula adat dan tradisi masyarakat itu yang boleh diakui berlaku. Nyata dari uraian-uraian di muka bahwasanya kerja penyuluhan hukum itu tak cuma mensyaratkan penguasaan sang penyuluh dalam ihwal substansi hukum nasional—yang akan disampaikan sebagai pesan lewat komunikasinya—itu saja. Penguasaan ilmu psikologi dan sosial budaya guna mengafektifkan proses transfer oleh para penyuluh itu sendiri jelas kalau amat diperlukan pula. Maka dari itu, sudah waktunya dipikirkan apakah penyuluhan hukum itu tak seyogyanya dikerjakan dengan melibatkan pula para ahli di bidang psikologi, ilmu komunikasi dan antropologi dan tak semata-mata merupakan garapan eksklusif para ahli hukum dan mereka yang berkhidmat di Departemen Kehakiman saja.

Page 212: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

204

Kesadaran Hukum sebagai Determinan Tegaknya Hukum

Ketaatan pada perintah hukum, dan dengan demikian juga tegaknya hukum yang dipositifkan oleh kekuasaan negara telah banyak diketahui dan diakui bahwa tidak selamanya dapat dipastikan hanya berdasarkan kekuatan sanksi-sanksinya saja. Kesediaan warga untuk secara tanpa dipaksa-paksa mau menaati hukum ternyata juga merupakan suatu prasyarat. Tanpa bangkitnya kesediaan untuk secara suka dan rela mengikuti apa yang diperintahkan atau dilarang oleh hukum tidaklah akan ada sanksi sekeras apapun bisa mengontrol sepenuhnya perilaku subjek. Selalu saja ada celah dan kesempatan, sekecil apapun, yang akan dicoba dimanfaatkan oleh seseorang subjek untuk menghindarkan diri (dengan segala risiko yang diperhitungkannya) dari kontrol hukum. Kesediaan menaati hukum itu sememangnya ikut pula menjadi determinan berlakunya hukum secara sosiologik, yang kemudian menjadi pertanyaan ialah: apa atau apa sajakah kemudian yang akan menentukan terbangkit-tidaknya kesediaan seseorang untuk menaati hukum itu?

Menurut teorinya, ada-tidaknya kesediaan seseorang subjek untuk menaati hukum itu ditentukan oleh kesadarannya, ialah apa yang di dalam kepustakaan sosiologi hukum disebut ‘kesadaran hukum’. Adapun yang dimaksudkan dengan kesadaran hukum disini ini ialah kondisi mental seseorang subjek tatkala harus menghadapi suatu imperativa normatif untuk menentukan pilihan perilakunya, yang lengkapnya berdimensi dua. Dimensi yang pertama adalah dimensi kognitifnya, ialah pengetahuannya bahwa sememangnya dan hukum yang mengatur perilaku tertentu yang tengah ia lakukan (entah melarang, entah memerintahkan dilakukannya). Sementara itu yang disebut sebagai dimensinya yang kedua ialah dimensi afektifnya, ialah ‘keinsyafannya bahwa hukum yang diketahuinya itu memang sebenar-benarnya harus diturut’.

Sesungguhnya istilah kesadaran hukum disini semula adalah hasil

penerjemahan dari asal istilah asingnya, ialah the legal awareness yang di dalam kepustakaan Inggris acapkali kata aware ini lebih diasosiasikan dengan kata knowing atau get to know, yang dengan demikian hanya merujuk ke dimensinya yang kognitif saja. Barangkali inilah yang menjadi penyebab mengapa di dalam agenda penelitian tentang kesadaran hukum ini banyak kajian terkesan lebih berfokus kepada permasalahan legal knowledge saja, ialah suatu seri penelitian yang disebut penelitian KOL (Knowledge On Law), atau yang akhir-akhir ini juga dikenal sebagai kajian khusus yang dinamakan LLS (legal literacy study). Kajian-kajian termaksud ini acap boleh disesalkan karena keduanya terkesan tidak banyak memerbincangkan aspek afektif sang pelaku hukum. Padahal di dalam kamus istilah Inggris, kata aware atau becoming aware ini bisa pula diartikan conscious yang kemudin daripada itu lalu juga bersinonim dengan kata thoughtful atau mindful. Istilah-istilah tersebut pada galibnya digunakan untuk menggambarkan adanya kondisi mental yang tending towards appreciation, yang sesungguhnya harus dikatakan berada diranah afektif. Bahwa istilah aware di dalam bahasa Inggris ini pun tidak boleh diartikan hanya terbatas pada masalah kognitif saja dapatlah kiranya lebih dijelaskan manakala kata substansiva awareness itu bersinonim juga dengan kata consciousness yang di dalam

Page 213: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

205

bahasa Indoensia acap pula diterjemahkan dengan kata ‘kesadaran’, dalam artinya yang sangat afektif sebagai ‘keniscayaan’.

Penegasan mengenai arti kesadaran atau awareness yang sampai perlu

dibentang-bentangkan agak panjang lebar ini bukannya tanpa maksud. Kalau kesadaran itu Cuma dibataskan pada permasalahan kognitif saja, maka konsekuensinya ialah, bahwa ketaatan yang akan dibangkitkan dari kesadaran semacam itu akan tak lebih daripada kesediaan subjek untuk to comply atau to conform saja. Ialah untuk menyesuaikan perilakunya secara formal, atau dalam wujudnya yang lahirirah saja, kepada apa yang telah dikaidahkan, lain halnya apabila definisi ‘kesadaran’ itu dituntaskan sampai meliputi aspeknya yang afektif. Ketaatan yang timbul secara asosiatif dengan kesadaran yang berpangkal dari afeksi sang subjek seperti itu akan melahirkan kesediaan untuk taat yang labih lanjut dari pada sekedar to comply atau to conform tersebut. Ialah suatu kesediaan untuk taat atas dasar adanya kemantapan hati utnuk mematuhi apa yang telah diperintahkan oleh hukum. Inilah yang di dalam bahasa Inggris disebut to obey. Membangun Kesadaran Hukum

Kesadaran (dalam arti yang sempit: menjadi tahu) itu terjadi karena proses pengkhabaran, pemberitahuan, dan pengajaran. Lewat proses-proses ini orang menjadi tahu isi normatif yang terkandung di dalam kaidah-kaidah hukum, dan sehubungan dengan itu ia akan segera menyesuaikan segala perilakunya ke tuntutan-tuntutan kaidah. Proses pengkhabaran dan pengajaran secamam ini acapkali berlanjut dalam rupa proses pendidikan, ialah proses pembangkitan rasa patuh dan setia. Pendidikan tidak hanya hendak menanamkan pengetahuan baru (kognis) saja, akan tetapi juga hendak menggugah perasaan (afeksi) dan membentuk sikap positif. Adalah harapan bahwa lewat proses lenjutan ini akan dapat dibangkitkan rasa taat yang ikhlas warga masyarakat kepada hukum. Adalah pula harapan bahwa apabila kepatuhan yang ikhlas ini dapat terwujud maka hukum pun akan dapat bekerja dengan efektif tanpa perlu memboros-boroskan kerja menerapkan sanksi, yang di dalam berbagai pelaksanaannya ternyata acapkali berbiaya sungguh mahal.

Adalah dambaan setiap pejabat pemerintah di negeri manapun, bahwasanya

hukum itu selalu dapat dididikan smapai tertanam dalam-dalam di dalam lubuk afeksi warga masyarakat. Kalau hukum itu hanya sekedar diketahui saja (dalam arti baru menyentuh permukaan kognisi manusia saja), kemungkinan akan terjadi bahwa orang dengan berbagai usaha, dalih, dan muslihat masih berkehendak saja untuk melanggar atau menyimpangi hukum itu. Maka, apabila itu yang masih banyak terjadi, tak ayal tegaknya hukumpun lalu harus selalu banyak menggerakkan mekanisme sanksi, sedangkan semua mengetahui bahwa sanksi itu karena bekerja sebagai kekuatan lahir yang harus bekerja mengontrol perilaku manusia dari luar kemampuannya sungguh terbatas lagi pula pada akhirnya berbiaya tinggi. Pada akhirnya upaya mendidik dan mengajarkan isi substantif dan prosedur bekerjanya hukum merupakan upaya yang mau takmau harus dilakukan.

Page 214: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

206

Proses pengajaran dan pendidikan kaidah-kaidah sosial disebut dalam jargon sosiologi dengan istilah ‘sosialisasi’. Disebut begitu karena proses demikian itu dipercaya akan dapat mentransformasi seseorang individu dari seorang makhluk non sosial (atau mungkin malah anti-sosial) menajdi makhluk sosial yang mau tahu memperhatikan kepentingan orang lain. Proses sosialisasi anak manusia bermula di rumahtangga-rumahtangga, ialah semasa individu-individu masih berada dalam keadaan “bocah mentah”, dan akan berlanjut di sekolah-sekolah dan/atau ditengah pergaulan masyarakat luar pada umumnya. Harap dicatat baik-baik bahwa karena bayi-bayi itu keluarga-keluarga selalu berkesempatan mendahulu. Sebelum lembaga-lembaga lain mengontrol pendidikan anak, keluarga-keluarga telah beranjak paling awal untuk menggarap anak-anak manusia itu. Lalu apakah yang disosialisasikan oleh keluarga-keluarga untuk anak-anaknya itu? Apakah kaidah-kaidah hukum-hukum yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintahan? Ternyata bukan! Keluarga-keluarga tidak mensosialisasikan produk-produk legislatif, peraturan-peratturan eksekutif, ataupun keputusan-keputusan yudisial: mengkhabarkan kaidah-kaidah itupun tidak.

Yang pertama-tama disosialisasikan oleh keluarga-keluarga tentulah kaidah-

kaidah yang dilazimkan oleh masyarakat setempat untuk melancarkan pergaulan di dalam keluarga diantara anggota keluarga sendiri. Anak-anak dididik untuk mematuhi kewajiban-kewajiban terhadap ibu, bapak, saudara-saudara, anggota keluarga yang lain. Sementara itu iapundididik untuk memahami dan menerima perlakuan-perlakuan yang dapat ia harapkan (atau dak dapat ia harapkan) dari ibu, bapak, dan saudara-saudaranya serta orang-orang lain, tua-muda dilingkungan kehidupannya. Tidak hanya itu, karena terhadap bapaknya dan terhadap saudara-saudaranya, vise versa. Sementara itu, karena pergaulan keluarga ini dikembangkan dalam suasana yang banyak mendemonstrasikan cinta dan kasih sayang, atau mungkin saja cetusan-cetusanemosi lain yang justru tidak merefleksikan rasa kasih sayang, maka tak pelak kaidah-kaidah itu tersosialisasi dengan muatan afeksi danemosi yang terkadang amat sarat, denga segala efeknya. Dalam jangka pendek ataupun dalam jangka panjang.

Berikutnya, anak-anak itu akan disosialisasi pula dengan kaidah-kaidah yang

akan ia perlukan untuk melancarkan pergaulan antar-tetangg dalam komunitasnya. Bertambah dewasa ia harus secara berangsur mematuhi kaidah-kaidah pergaulan antara keluarga-keluarga sekomunitas. Moral pergaulan, adat setempat, dan keyakinan-keyanikan masyarakat disekitarnya akan tersosialisasi secara intensif dari hari ke hari lewat pertemuan-pertemuan tatap muka, sekalipun banyak diantaranya yang bersifat informal, di dalam keluarga maupun diluar keluarga (antar-warga sekomunitas). Nyata dari paparan di muka ini bahwa kesempatan untuk memahami isi kaidah-kaidah hukum negara ialah hukum hasil produk legislatif baru datang kemudian manakala anak-anak sudah mulai berumur, atau umumnya setelah mereka menjelang dewasa. Sementara itu,pada kesempatan yang amat lebih kemudian itupun kaidah-kaidah itu hanya dikomunikasikan pada taraf pengkhabaran saja, dan jarang sempat dididikkan secara intensif kepada warga masyarakat.

Maka oleh karena kenyataan-kenyataan seprti itulah kerja sosialisasi hukum

produk badan legislatif akan tetap saja sulit memperoleh hasil-hasilnya yang maksimum maupun optimum. Sekalipun sosialisasi hukum ini toh bisa juga pada

Page 215: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

207

suatu waktu pada suatu kesempatan diusahakan intensitasnya lewat pendidikan yang terencana, menurut jalur formal ataupun yang nonformal, proses internalisasinya masih harus berebut ruang denga kaidah-kaidah sosial yang sudah terlebih dahulu bermukin di ranah kognisi dan afeksi di dalam sanubari warga masyarakat. Bukankah ruang kognisi dan ruang afeksi para warga sudah terlanjur terlebih dahulu “diduduki” secara hegemonik oleh kaidah-kaidah moral keluarga, adat masyarakat setempat, dan keyakinan-keyakinan yang dikembangkan oleh komunitas-komunitas lokal? Tak ayal, berhal demikian, hukumpun disosialisasikan keluarga dan komunitas-komunitas lokal. Dari kenyataan inilah datangnya upaya terprogram oleh para elit nasional untuk mendayagunakan saja tokoh-tokoh lokal dalam berbagai kerja mengikomunikasikan hukum-hukum formal dengan sekalian mencarikan legitimasinya yang harus diambilkan dari kaidah-kaidah sosil lokal yang ada, yang adat ataupun yang ayat demi terealisasinya signifikansi sosial atas kaidah-kaidah hukum nasional yang telah diundangkan. Jadi, masalah peningkatan hukum para warga masyarakat adalah masalah modernisasi. Ketika kehidupan rakyat berkembang dan dikembangkan dari kehidupan komunitas-komunitas lokal (yang berakar ke-dalam tradisi suku) ke kehidupan bernegara (yang serba modern, rasional, dan beruanglingkup nasional) masalah kesadaran hukum tanpa terelakkan lagi muncul ke depan untuk menuntut penyelesaian. Mengapa masalah kesadaran hukum baru muncul di tengah proses modernisasi negara-negara nasional, dan tidak sedikitpun dikenal di tengah kehidupan komuniats-komunitas tradisional yang bergatra kecil serta tatap muka? Apakah sesungguhnya yang dimaksud kesadaran hukum dalam hubungannya dengan pembicaraan di sini ini? Kesadaran hukum adalah seluruh kompleks kesediaan warga masyarakat untuk berprilaku sesuai dengan keharusan yang telah ditetapkan oleh hukum. Karena di dalam masyarakat tradisional itu ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku setempat itu tumbuh dari bawah dan bertumpu pada keyakinan moral rakyat, maka kesdaran hukum rakyat hampir selalu mengarah pula kepada kesadaran moral. Prilaku-prilaku yang sesuai dengan kesadaran hukum tidak jarang menampak sekaligus sebagai prilaku-prilaku yang berkesesuaian dengan keharusan moral rakyat. Bahkan kaidah-kaidah sosial yang dikategorikan sebagai kaidah hukum sering pula hanya mungkin dibedakan dengan kaidah sosial non-hukum atas dasar kriteria lembaga penegaknya saja, dan tidak atas dasar kriteria substantifnya. Artinya, bahwa sesegera setelah suatu kaidah sosial non-hukum dirumuskan dan digunakan secara eksplisit oleh sesuatu organisasi kekuasaan setempat untuk mengkaidahi prilaku tertentu (baik in abstracto untuk prilaku-prilaku sosial pada umumnya, maupun in concreto untuk prilaku sosial individu tertentu) barulah sesegera itu pula kaidah-kaidah sosial tersebut memiliki pemilahan kategoriknya sebagai kaidah umum. Keadaan rupanya segera berubah apabila hukum itu tak lagi seluruhnya tumbuh dan/atau diangkat dari bawah. Tumbuhnya negara-negara nasional yang modern --khususnya yang dibebani tanggungjawab pembaharuan dan pengembangan kehidupan rakyat yang sebagian besar masih berakar pada bumi tradisional lokal-- telah mendorong lahir dan berkembangnya jenis hukum yang lain, ialah hukum perundang-undangan, yang pertama-tama tak bermaksud hendak merefleksikan cita moral masyarakat lokal melainkan hendak memanifestasikan kehendak negara yang

Page 216: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

208

tengah mencita-citakan pembaharuan. Perlu kita maklumi bahwa cita pembaharuan itu tidak selamanya bersesuaian dengan cita moral (yang tradisional maupun yang tak tradisonal) yang hidup di tengah masyarakat. Maka, apabila demikian halnya, hukum --atau tepatnya sebagian dari hukum, ialah hukum negara yang bermaksud meng-”engineer” masyarakat itu akan sering tidak berpijak pada dasar moral yang dikukuhi rakyat, atau salah-salah malahan bisa berkonflik dengannya. Pada taraf dan situasi seperti ini, kesadaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat.

Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dapat dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini. Hukum-hukum ekonomi, lalu lintas, dan tata kota yang mendasarkan diri pada maksud-maksud pragmatik, misalnya, jelaslah kalau terlepas dari sandaran moral tradisional. Akan gantinya, hukum-hukum seperti ini harus bertumpu pada kesadaran moral baru yang berkait erat pada cita bernegara dan pada kehendak bersama untuk menegakkan disiplin nasional. Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan permasalahan kesadaran hukum ini ialah kenyataan bahwa “kehendak negara” yang memanifestasikan diri ke dalam hukum (nasional) itu pun bukanlah sesuatu kehendak yang selalu terpadu bulat. “Kehendak negara” ini tidak hanya sulit untuk melulu bertumpu pada dasar-dasar moral masyarakat (yang kini tak lagi monolitik, akan tetapi pluralistik dan anomi itu) akan tetapi juga sulit untuk merefleksikan suatu kehendak yang berasal dari kata sepakat yang berkemufakatan bulat. Masyarakat nasional adalah masyarakat yang besar dan heterogen, yang oleh karena itu pula selalu mengandung konflik-konflik nilai (potensial, laten, maupun terbuka). Oleh karena itu, apa yang disebut “kehendak negara” itu --baik yang dimanifestasikan ke dalam bentuk keputusan-keputusan legislatif maupun yang dimanifestasikan ke dalam bentuk keputusan-keputusan eksekutif-- selalu terbentuk melalui suatu proses politik yang seringkali panjang dan penuh liku-liku. “Kehendak negara” adalah suatu resultante kompromistis antara kekuatan-kekuatan politik yang berbenturan. Sementara itu, realisasi pelaksanaannya oleh berbagai organisasi eksekutif dan yudisiil pun masih tetap saja terbuka dari tekanan-tekanan politik yang memihak. Maka, apabila memang demikian hal dan keadannya, hukum negara-negara nasional yang modern itu per definitionem tidaklah akan pernah secara bulat didukung oleh – dan, seperti kita telah ketahui di muka, juga tak akan pernah secara penuh bertumpu pada – dasar-dasar moral rakyat yang tinggal ditengah masyarakat-masyarakat lokal lagi pula tradisional. Tidaklah mengherankan apabila hukum nasional yang dikonsepsikans sebagai manifestasi “kehendak negara” itu selalu tanpa putus menghadapi maslah ketaatan. Masalah yang timbul adalah masalah untuk menumbuhkan serta meningkatkan kewibawaan hukum nasional itu agar ditaati atau lebih ditaati oleh para warga masyarakat itu sebenar-benarnya sadar bahwa moral yang diyakini olehnya secara pribadi itu tidak sepenuhnya menjiwai hukum nasional yang tengah dihadapinya itu, dan sekalipun para warga ini juga sadar bahwa hukum yang tengah dihadapi olehnya itu adalah suatu produk proses politik yang sebagai ide (bukan sebagai hukum positif) tidak didukungnya. Itulah maslahnya! Dan bagaimanakah kira-kira langkah pemecahannya?

Page 217: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

209

Ketaatan pada Hukum Ketaatan sesungguhnya ada dua: Ketaatan lahirian dan ketaatan yang meresap sampai batin. Ketaatan kepada hukum bolehlah dikatakan (minimal) sebagai ketaatan yang lahiriah, sekalipun tentunya akan memuaskan sekali apabila ketaatan itu juga dilandasi oleh ketaatan dasar yang benar-benar bersifat batiniah. Namun, karena hukum nasional masyarakat-masyarakat modern adalah hukum yang tidak bertumpu secara penuh pada moral lokal melainkan pada cita nasional (sekalipun antara keduanya tidak selalu terjadi pertentangan secara diametrikal), maka ketaatan kepadanya yang diusahakan di sini agak sulitlah kalau dimaksudkan untuk menuju ke titik ketaatan yang penuh-penuh sebagai ketaatan batiniah. Karena ketaatan yang (minimal) dituntut adanya ketaatan lahiriah, maka tak terelakkan lagi kalau usaha untuk menjamin ketaatan hukum itu selalu didahului oleh usaha mengembangkan organisasi penegakkan hukum yang tak hanya bersifat institusional akan tetapi juga formal. Penegakkan hukum nasional --dan barangkali agak berbeda dengan strategi penegakkan hukum rakyat yang tak tertulis dan yang tumbuh serta bertumpu pada keyakinan moral masyarakat tradisional setempat-- sangat nyata kalau pertama-tama lebih dekat pada usaha-usaha yang bersifat koersif daripada pada usaha-usaha yang bernafaskan himbauan. Tidak dapat mengandaikan diri kepada ketaatan yang rela dari warga masyarakat yang karena heterogenitasnya mungkin mempunyai keyakinan moral, cita-politik, dan kepentingan ekonomik yang berbeda-beda, hukum nasional yang memanifestasikan “kehendak negara” ini mau tak mau harus mengandalkan diri pada hasil daya upaya organ penegak hukum yang berkedudukan formal. Memang tidak akan mungkin disangkal kalau dikatakan bahwa penegakkan hukum atas dasar saran koersif fisik semata-mata (untuk menjamin ketaatan lahiriah) itu tidak akan menjamin ketaatan yang penuh dan mantap dalam suatu jangka waktu yang panjang. Akan tetapi ini pun tidak akan berarti pula bahwa penegakkan hukum nasional --produk organisasi politik yang modern itu-- dapat pula dilakukan secara alih-alih atas dasar rasionalisasi dan persuasi semata-mata. Jauhlah dari itu!

Bagaimanapun juga, ketaatan kepada hukum diperlukan sebagai suatu keharusan yang sangat mendesak demi tegaknya ketertiban sosial, sehingga di dalam jangka waktu yang pendek adanya ketaatan lahiriah saja sudahlah dirasakan memadai. Ketaatan batiniah kepada hukum memang diperlukan juga, akan tetapi untuk keperluan jangka panjang, dan selalu diusahakan sebagai upaya penambah (bukan upaya pengganti) dalam kerangka usaha penegakkan hukum. Mengembangkan Kesadaran Hukum Warga Masyarakat

Ketaatan lahiriah kepada hukum dapat dijamin – untuk kepentingan jangka pendek – melalui usaha penerapan sanksi yang sepadan dengan berat ringannya kerugian (yang tak selalu harus diartikan kerugian materiil) akibat ketidaktaatan. Dan upaya ini akan lebif efektif lagi apabila pengenaan sanksi itu dapat berlangsung dengan segera; artinya bahwa jarak waktu antara saat pelanggaran dan saat pengenaan sanksi tidaklah terpisah oleh suatu tenggang waktu yang terlampau lama. Upaya begini tentu saja memerlukan kesempurnaan organisasi aparat penegakkan hukum,

Page 218: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

210

demikian rupa sehingga organisasi ini akan dapat bekerja dengan koordinasi yang baik serta efisien. Karena di dalam jangka panjang hukum itu tidak akan mungkin tegak apabila mendasarkan diri kepada “keampuhan” sanksi koersif itu saja (yang psychological cost serta economical cost-nya ternyata juga tidak dapat dikatakan rendah), maka hukum negara pun harus ditegakkan melalui usaha menanamkan – dan seterusnya meningkatkan – kesadaran hukum di dalam sanubari masyarakat. Kesadaran hukum akan memotivasi warga masyarakat untuk secara sukarela menyesuaikan segala prilakunya kepada ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan negara yang berlaku. Timbulnya kesadaran hukum di dalam sanubari rakyat selalu dipandang penting guna penegakkan hukum dalam jangka panjang. Lebih jauh lagi dari pendayagunaan sanksi yang bersifat fisik-koersif, yang – apabila segala persyaratannya terpenuhi – “hanya” akan menghasilkan konformitas lahir sesaat saja, (itu pun terbatas pada individu-individu tertentu yang terkena, atau pada mereka yang psikologiknya menyebabkan mereka mudah was-was dan mudah cemas ketakuatan), penanaman kesadaran hukum akan mengarah ke suatu konformitas prilaku yang bertahan lebih lama daripada sekedar sesaat. Apabila upaya penggarapan mekanisme sanksi pada hakekatnya merupakan upaya pengembangan mekanisme kontrole atas prilaku rakyat yang akan bekerja dari luar, upaya penanaman kesadaran pada hakekatnya merupakan upaya untuk mengembangkan mekanisme kontrol perilaku yang akan tumbuh serta bekerja di/dari dalam. Akan ganti mengandalkan suatu meknanisme “social control yang bekerja skin-out”, penegakkan hukum melalui suatu usaha penanaman kesdaran akan cenderung mengandalkan diri pada suatu mekanisme “self-control (yang tentu saja dikerjakan oleh para individu warga masyarakat itu sendiri) yang jelas kalau bersifat skin-in”. Usaha menanamkan kesadaran hukum di sanubari rakyat itu tentu saja tidak selamanya berlangsung mudah. Suatu kenyataan harus diingat dan dipertimbangkan, ialah bahwa hukum negara itu – karena tidak sepenuhnya tumbuh dari bawah melainkan diundangkan dari atas – tidak akan begitu saja diintegrasikan ke dalam sistem noetik masyarakat. Tambahan pula, usaha penanaman kesadaran itu mau tak mau akan merupakan suatu usaha yang beruanglingkup luas, jauh lebih luas dari sekedar usaha penegakkan hukum melalui pendayagunaan sarana sanksi koersif. Di sini, sekian banyak lembaga dan aparat akan terlibat, dan sekian banyak pranata harus ikut dikerahkan dan digiatkan. Berdasarkan macam prilaku ketaatan yang dituju sebagai sasaran, usaha penanaman kesadaran hukum itu sebenarnya dapat dibedakan menjadi. Yang pertama adalah usaha menanamkan kesadaran hukum dengan tujuan untuk mengefekkan ketaatan hukum secara lahiriah saja, dan yang kedua adalah usaha menanamkan kesadaran hukum dengan tujuan unrtuk mengefekkan ketaatan hukum secara batiniah (juga!). Menunjuk kembali uraian dan pernyataan di atas, dapatlah diketahui dengan jelas bahwa ketaatan lahir kepada hukum itu sesungguhnya – kecuali diakibatkan oleh usaha-usaha koersif yang eksternal – dapat pula diefekkan (secara relatif lebih permanen) oleh usaha penanaman kesadaran hukum. Konformitas lahiriah akibat paksaan sanksi koersif yang eksternal itu ekstrimnya tentu saja akan beriring dengan perubahan kondisi psikologik apapun di dalam diri individu warga masyarakat yang bersangkutan. Konformitas macam ini lazim disebut konformitas eksternal begitu saja, dan sedikitpun tak hendak menggambarkan adanya ketaatan yang disadari. Dalam hal konformitas itu diiringi oleh suatu kehendak yang sadar untuk taat, setidak-tidaknya untuk taat di dalam perbuatan-perbuatan yang lahir dan dapat diamati ini,

Page 219: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

211

maka dalam kejadian seperti ini barulah orang dapat mengatakan bahwa konformitas yang ada itu bukanlah “konformitas sekedar konformitas” melainkan suatu konformitas lahir yang terlahir dari suatu rasa ketaatan. Yang ada bukanlah lagi konformitas tindakan yang sepenuhnya eksternal, melainkan sesuatu prilaku bermotif yang di dalam bahasa asing disebut “compliance”. Ketaatan yang disadari ini, seperti apa yang telah kita ketahui dari pernyataan-pernyataan tersebut pada beberapa alinea di atas, dapat menjorok lebih jauh lagi sampai ke titik ketaatan yang bersifat batiniah. Di sini sesungguhnya orang tidak hanya akan mengusahakan konformitas perilaku lahirnya dengan ketentuan-ketentuan hukum positif yang ada, melainkan juga telah tiba pada suatu titik konformitas yang mempertemukan keyakinan pribadinya dengan moral atau nilai dasar yang menjiwai isi hukum yang berlaku. Dalam situasi yang demikian ini, orang tidak lagi dapat dikatakan hanya berada di dalam situasi “compliance” dengan hukum, akan tetapi (lebih jauh lagi!) benar-benar telah berada di dalam situasi “obidience”. Tak usaha dikatakan lagi bahwa hukum itu (nasionalis ataupun tradisional)hanya akan dapat tegak dengan kukuh apabila ia tidak hanya sekedar dijamin oleh suatu konformitas eksternal yang bersifat sesaat, melainkan juga oleh suatu “compliance” yang baik, atau lebih-lebih lagi oleh suatu sikap dan prilaku “obedience” yang benar-benar tulus. Tak pelak, kecuali mengandalkan diri pada hasil kerja aparat-aparat penerap sanksi koersif untuk keperluan sesaat yang mendesak, usaha-usaha penegakkan hukum juga berkembang dan bergerak ke arah usaha-usaha penanaman kesadaran hukum di kalangan rakyat guna memperoleh “obedience” yang tinggi , atau setidak-tidaknya memperoleh “compliance” yang cukup. Usaha merealisasi “obedience” rakyat – yang baru saja terlepas dari suasana tradisonal dan parokhial – kepada hukum nasional yang baru saja ditumbuhkan oleh suatu “welfare state” bukanlah sekali-kali merupakan suatu usaha yang gampang. Usaha demikian ini adalah suatu usaha yang mungkin agak terlampau ideal. Namun, apabila usaha demikian ini toh berhasil juga, suatu perubahan pada konstelasi keyakinan serta sikap warga massyarakat akan terjadi. Sikap warga masyarakat akan berubah dari kesetiaannya kepada moral tradisonal, atau kepada keyakinan serta kepentingan segolongan, ke suatu kesetiaan baru yang tertuju kepada cita-cita pembaharuan sebagaimana yang telah diobyektifkan sebagai cita-cita nasional. Usaha pengubahan sikap demikian ini pada hakekatnya adalah suatu usaha pembudayaan di dalam artinya yang luas, dan jelas akan bersifat lebih jauh daripada sekedar suatu usaha mengumumkan berlakunya sesuatu hukum perundang-undangan tertentu. Usaha pembudayaan seperti ini tak hanya akan menyangkut pendidikan hukum secara informal kepada khalayak luas, akan tetapi juga akan meliputi pendidikan berpolitik dan bernegara, yang akan mengubah perasaan identitas warga masyarakat, dari perasannya sebagai warga (apa yang disebut oleh Myrdal) “an old society” ke perasaan yang baru sebagai warga “a new state”. Penanaman kesadaran hukum dengan maksud untuk mengefekkan ketaatan lahiriah (dalam arti “compliance”) barangkali juga merupakan usaha yang pada waktu ini lebih dapat dinilai realistik, dan karenanya akan lebih sering dikehendaki, dibicarakan, dan ditempuh. Dalam hubungan ini, sekian banyak usaha akan dikerjakan untuk mengkomunikasikan hukum. Komunikasi dilaksanakan sedemikian rupa sehingga rakyat yang berposisi sebagai pihak penerima pesan yang dikomunikasikan itu lalu menjadi sadar bahwa dia harus berprilaku seperti apa yang telah dikaidahkan oleh hukum, terlepas dari persoalan apakah secara pribadi dia bisa menyetujui isi

Page 220: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

212

(moral maupun rasional) dan maksud hukum itu ataukah tidak. Melalui komunikasi-komunikasi hukum diharapkan agar suatu kesadaran dapat tertanam di sanubari warga masyarakat, bahwa hukum itu – sekalipun mungkin tak dapat diterima sebagai suatu asas kebenaran yang ideal – mau tak mau harus dipatuhi juga sebagai ketentuan-ketentuan normatif yang selalu diperlukan demi keberlangsungan interaksi-interaksi sosial di dalam suatu masyarakat yang beruanglingkup nasional. Komunikasi Hukum: Sebuah Upaya Penanaman Kesadaran Hukum Seperti apa yang telah diungkapkan di atas, usaha penanaman kesadaran hukum dengan tujuan terbangkitnya “compliance” itu pada hakekatnya adalah suatu usaha komunikasi. Usaha demikian ini tentu saja tak akan bergerak sejauh usaha sosialisasi, edukasi, atau enkulturasi yang menjangkau jauh-jauh ke lubuk sanubari warga masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, komunikasi hukum itu “hanya” mengarah ke ketaatan yang lahiriah, dan tidak sampai ke ketaatan lahir-batin seperti yang diarah oleh usaha edukasi atau enkulturasi (pembudayaan) hukum. Komunikasi hukum untuk menanamkan kesadaran hukum – yang kemudian diharapkan dapat mengefekkan ketaatan lahiriah – perlu diawali dengan penyebarluasan berita mengenai isi hukum yang tengah diusahakan berlakunya dan ditegakkan itu. Berbeda hal dengan hukum rakyat di masyarakat tradisional yang memang tumbuh dari bawah dan karenanya sudah tersiosialisasi secara intensif sejak awal mula, hukum nasional yang modern harus diundangkan secara luas agar dapat diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecualinya. Asumsinya adalah, bahwa dengan mengetahui berlakunya hukum yang diundangkan itu para warga masyarakat akan menjadi sadar bahwa ketaatannya kepada hukum itu (sekurang-kurangnya secara lahiriah) akan sangat diharapkan. Pengundangan secara formal saja tentu saja harus dipandang kurang cukup, dan perkiraan bahwa “setiap orang harus dianggap mengetahui bunyi undang-undang” adalah benar-benar suatu fiksi yang keterlaluan, dan yang sedikitpun tidak akan mampu membantu usaha peningkatan kesadaran hukum. Maka, menyadari problema ini, dewasa ini di samping pengundangan formal banyak pula dikembangkan usaha penyebarluasan informasi mengenai hukum, mengenai isi normatif sesuatu hukum, dan bahkan juga mengenai ide-ide pembenarnya, melalui jalur-jalur formal dan non formal. Karena tegaknya hukum itu sesungguhnya tidak seyogyannya semata-mata dibebankan kepada para pejabat penegak hukum yang berkedudukan formal, akan tetapi juga akan efektif kalau didesakkan oleh para pemegang hak, maka komunikasi hukum yang terselenggara dengan baik tidak hanya akan menyadarkan mereka yang mendukung kewajiban akan keharusannya untuk menaati ketentuan-ketentuan hukum, akan tetapi juga menyadarkan pula para warga masyarakat yang lain akan tersedianya hak baru yang diberikan oleh hukum. Pengkomunikasian undang-undang baru mengenai pertanahan, misalnya, apabila dapat terselenggara dengan baik tidak hanya akan menyadarkan para pemilik tanah akan kewajiban-kewajibannya yang baru di bidang pendayagunaan tanah, akan tetapi sekaligus juga akan menyadarkan para petani penggarap akan hak-haknya yang baru dalam soal pengerjaan tanah. Uraian di dalam alinea terakhir ini bermaksud untuk menunjukkan bahwasanya kesadaran untuk menaati hukum itu harus ditumbuhkan tidak hanya di dalam konteks suatu interaksi yang bersifat vertikal (antara warga masyarakat dan para pejabat negara) dab formal saja, akan tetapi juga bisa ditumbuhkan di dalam

Page 221: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

213

konteks interaksi yang bersifat horisontal dan informal (antara sesama warga masyarakat, tegasnya antara mereka yang memperoleh hak baru menurut hukum nasional dan mereka yang dibebani kewajiban baru menurut hukum nasional itu. Komunikasi yang mengarah ke arah kesadaran seperti ini tentu saja harus merangkum pula usaha-usaha untuk menguraikan dan menjelaskan isi materi hukum sehingga mudah ditangkap dan difahami khalayak luas. Makin mudah isi materi hukum difahami orang, dan makin luas pula kalangan di dalam masyarakat yang memahami isi aturan-aturannya, akan makin meningkat pulalah kesadaran para warga masyarakat bahwa hukum yang telah diundangkan dan tengah dikomunikasikan itu benar-benar harus ditaati. Komunikasi hukum seperti itu tentu saja tidak akan mungkin lagi dipandang sebagai tugas eksklusif aparat-aparat penegak hukum. Kebanyakan kali tugas ini terambil-alih oleh lembaga-lembaga komunikasi massa yang telah berkembang secara berseiring dengan perkembangan negara-negara nasional. Di Amerika Serikat – tugas mengkomunikasikan hukum ini telah pula diambil oleh korps pengacara yang ternyata banyak berkontak dan dikontak rakyat awam dalam rangka penyelesaian perkara-perkara hukum, dan yang di dalam kesempatan itu telah selalu memberikan nasehat-nasehat serta sekaligus juga mengkomunikasikan hukum. Di Indonesia lembaga pers dan komunikasi massa rupanya telah berkembang lebih pesat, dan karenanya juga lebih siap daripada lembaga kepengacaraan ini. Maka, apabila penanaman kesadaran hukum ke hati rakyat memang hendak diprogramkan dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh, kampanye yang bertujuan menghimbau rakyat agar menaati hukum nasional sudah selayaknyalah kalau ditempuh melalui pendayagunaan fasilitas-fasilitas media massa ini. Program ini tentu saja hanya mungkin berjalan apabila para ahli dibidang komunikasi massa menguasai juga materi dan cita hukum nasional, dan/atau apabila para ahli hukum menyadari pula peranan dan arti pentingnya media komunikasi massa untuk upaya menegakkan hukum serta untuk meningkatkan kesadaran hukum di dalam sanubari rakyat banyak. Saluran tradisonal yang biasanya tak berstruktur – yang dikenal dan lazim digunakan rakyat untuk mentransfer ide serta norma budayawi antar-generasi – tentu saja dapat pula digunakan untuk mengkomunikasikan hukum. Akan tetapi saluran ini hampir dapat dipastikan kalau selalu dikuasai oleh para pendukung moral tradisional yang kurang menunjuk kepada cita nasional. Oleh karena itu, wajarlah kalau saluran sosialisasi milik tradisi ini tidak dipandang sebagai sarana alternatif, melainkan sejauh-jauhnya sebagai sarana penambah atau pelengkap saja. Kesulitan tentu saja akan timbul mengingat kenyataan bahwa komunikasi hukum itu tidak bergerak di suatu lapangan kosong tanpa rival. Ide dan kaidah tradisional, serta pula ide politik yang tak terakomodasikan ke dalam hukum yang tengah diundangkan dan ditegakkan, tetap saja tersosialisasi melalui berbagai saluran yang informal dan non-formal, dan dengan begitu tidak membiarkan pengkomunikasian hukum berjalan tanpa saingan. Karena komunikasi hukum perundang-undangan nasional yang berlangsung top-down itu selalu bersaing dengan sosialisasi ide dan norma-norma sosial (yang tidak seluruhnya sudah terangkat menjadi ide dan norma hukum nasional), sedangkan jalur-jalur non-formal – seperti misalnya keluarga-keluarga -- telah sejak semula dikuasai oleh usaha-usaha sosialisasi ide serta norma rakyat yang tumbuh dan berkembang di bawah, maka jalur–jalur lain harus diusahakan dan dikembangkan. Kampanye untuk mengkomunikasikan ide dan norma prilaku berkeluarga secara terencana (KB)

Page 222: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

214

kiranya dapat ditengok sebagai teladan bagaimana jalur-jalur komunikasi baru yang massal dan efektif dapat ditemukan dan digunakan. Mengkampanyekan ide dan norma baru, program keluarga berencana telah banyak mendayagunakan media komunikasi massa tertulis di daerah-daerah yang banyak mengenal budaya baca tulis, dan mendayagunakan kontak-kontak langsung secara lisan akan tetapi intensif serta tetap cukup ekstensif di daerah-daerah yang belum banyak mengenal kebiasaan baca-tulis. Peranan kepala desa, pemuda, pelajar, dan juga apa yang disebut “opinion leader” amatlah penting, tidak hanya untuk memulai pengembangan jalur-jalur inkonvensional, akan tetapi juga untuk merebut jalur-jalur sosialisasi tradisional untuk kepentingan pembaharuan. Membangun Kesadaran Hukum sebagai Gerakan Pemberantasan Buta Hak

Dalam perkembangan akhir-akhir ini, upaya membangun kesadaran hukum di kalangan warga masyarakat telah beralih ke paradigmanya yang baru sebagai upaya penyadaran hak. Dicatat bahwa selama bertahun-tahun upaya membangun kesadaran hukum lewat penyuluhan-penyuluhan telah disalahgunakan berdasarkan kebijakan pemerintah yang cenderung berlaku otoriter untuk hanya menyadarkan para warga masyarakat akan kewajiban-kewajibannya melulu. Kebijakan seperti tersebut akhir ini lalu boleh dibilang dan boleh dituduh sebagai kebijakan yang tak lebih hanya hendak menjadikan warga masyarakat sebagai objek-objek -- dan bukan subjek-subjek -- penegakan hukum semata. Maka, dalam situasi-situasi reformatif dengan gerakan-gerajkan yang menghendaki perubahan ke arah kehidupan yang lebih demokratis, upaya meningkatkan kesadaran rakyat untuk ikut terlibat dan berpartisipasi dalam segenap aspek kehidupan akan meliputi juga upaya meningkatkan kesadaran mereka di bidang hukum, tidak hanya berkenaan dengan kewajiban-kewajibannya saja akan tetapi juga yang berkenaan dengan hak-haknya.

Sebagaimana gerakan untuk mengkritiki setiap kenetralan hukum perundang-undangan dari segala bentuk kepentingan politik yang melahirkan apa yang disebut the critical legal study (CLS) dalam ilmu hukum, demikian pulalah gerakan penyadaran hak ini telah melahirkan pula kajian-kajian akademiknya yang dikenal sebagai the legal literacy study (LLS) di kalangan para pengkaji ilmu hukum. LLS adalah suatu kajian tentang aktivitas kerja penyadaran warga akan hak-hak mereka, yang dilakukan baik oleh badan-badan pemerintahan maupun oleh organisasi-organisasi nonpemerintah (ORNOP yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama singkatan LSM), dalam rangka usaha bersama untuk memberdayakan warga masyarakat yang sejauh ini dinyatakan berstatus rawan. Pada asasnya, LLS adalah suatu studi mengenai aktivitas kerja pemberantasan buta hukum dan khususnya buta hak yang dialami oleh mereka yang berada dalam posisi terpinggirkan (marginalized) dan terdiskriminasi, dan karena itu amat tidak diuntungkan (disadvantaged).

Manakala dikatakan bahwa LLS adalah suatu kajian tentang aktivitas kerja yang dilaksanakan berbagai organisasi dalam masyarakat dengan tujuan menyadarkan warga akan hak-hak mereka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa, maka pada hakikatnya kerja penyadaran seperti ini adalah suatu rangakaian kerja pemberantasan buta hak. Tujuannya telah jelas, ialah agar warga masyarakat menyadari hak-hak yang mereka punyai menurut ketentuan-ketentuan hukum nasional, dan pula agar mereka yang warga ini dapat dibangunkan kepercayaan dirinya untuk kemudian sanggup bergerak – secara perorangan ataupun secara

Page 223: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

215

kolektif – untuk mengubah keadaan dengan memajukan taraf kesejahteraan hidupnya atas dasar kebenaran hak-hak yang telah mereka sadari itu.

Di negeri-negeri yang bertradisi feodalisme dan/atau “bapakisme”, dengan segala bentuk struktur hierarkik-patriarkiknya, mereka yang minoritas dan terpinggirkan -- dalam artian sosial dan ekonomiknya -- umumnya bercenderung menyikapi dirinya sebagai insan-insan duafa yang harus menerima nasib dengan cara menggantungkan kesejahteraan hidup mereka kepada “para bapak” yang bersedia menzakati mereka (dengan imbalan kesetiaan). Gerakan melek hak yang ditunjang secara teoretik-akdemik oleh para eksponen LLS bermaksud untuk menyadarkan rakyat bahwa alih-alih menggantungkan nasib kepada budi baik penguasa pemerintahan, mereka yang terpuruk dalam posisi duafa itu haruslah sadar bahwa keadaan mereka yang kurang diuntungkan itu sebenarnya bersebab dari pengingkaran yang sistematis atas hak-hak mereka yang asasi untuk memperoleh kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam kehidupan nasional yang dibangun di bawah kebijakan sentralisme, berikut paradigma developmentalismnya (sebagaimana dilaksanakan di bawah kontrol suatu sistem birokrasi sipil maupun militer yang ketat), program dan aktivitas pemberantasan buta hukum -- yang dulu pernah diperkenalkan dengan sebutan ‘penyuluhan hukum’ dalam rangka menggugah kesadaran hukum (‘sadarkum’) – nyata kalau lebih dimaksudkan sebagai program untuk menyadarkan rakyat akan segala kewajibannya. Itulah kewajiban-kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam undang-undang yang harus dipatuhi demi suksesnya pembangunan nasional. Kini, dalam era reformasi menuju ke terwujudnya masyarakat warga (the civil society), kegiatan sadarkum akan lebih ditujukan ke terbangunnya kesadaran para warga akan hak-haknya. Kesadaran warga akan hak-haknya harus dipandang penting karena hanya apabila warga-warga menyadari hak-hak dan batas hak-haknya sajalah infrastruktur kehidupan demokratik -- dengan penyelenggaraan pemerintahan yang accountable, participative, transparant, dan predictable (suatu penyelenggaraan pemerintahan yang memenuhi kualifikasi sebagai good governance) – akan dapat diwujudkan.

Kesadaran warga akan hak-hak dan batas hak-haknya dikatakan penting sebagai salah satu syarat terwujudnya pelembagaan apa yang disebut good governance atas dasar asumsi-asumsi berikut ini. Ialah bahwa kesadaran warga akan hak-haknya, juga khususnya akan hak-hak konstitusionalnya, akan menyebabkan warga negara terhindar dari sembarang bentuk perlakuan diskriminatif di hadapan hukum dan kekuasaan. Kemudian daripada itu, juga apabila para warga lebih lanjut lagi mengetahui prosedur-prosedur yang diperlukan untuk menegakkan hak-haknya, tidaklah akan banyak lagi hambatan bagi para warga itu untuk mendesakkan tuntutan dengan cara yang benar agar para pengemban kekuasaan -- dengan penuh rasa tanggungjawab dan secara transparan pula -- menghormati dan melindungi hak-hak warga.

Dalam kehidupan mutakhir yang harus dituntun oleh suatu sistem kepenguasaan yang terbilang good governance, LLS juga akan berguna untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan yang lebih demokratik dan partisipatif. LLS tidak hanya akan mempelajari aktivitas kerja pemberantasan buta hak akan tetapi juga mempelajari dampak yang tersimak sebagai akibat terbangkitkan dan tertingkatkannya kesadaran akan hak di kalangan warga, untuk kemudian diumpanbalikkan ke para pejabat pembuat kebijakan mengenai ihwal berikut ini.

Page 224: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

216

Ialah apakah kesadaran hak di kalangan warga masyarakat akan benar-benar secara riil membangunkan keberdayaan dan kemampuan masyarakat tatkala harus membuka akses-akses kelembagaan yang diperlukan untuk kemudian (1) dalam jangka pendek atau menengah mempengaruhi proses pengambilan keputusan para pejabat, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada setiap usaha warga untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya; dan (2) dalam jangka menengah atau panjang – secara sinergik dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada -- mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan kebijakan pada tingkat legislatif untuk terjadinya suatu perubahan perundang-undangan (legal reform)?

Sebagai penunjang kegiatan gerakan pemberantasan buta hak, LLS tentu saja juga bisa diketengahkan untuk memperoleh sebanyak mungkin informasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan/kegagalan kegiatan advokasi pemberdayaan warga masyarakat yang terbilang lemah dan’atau rawan, dan seterusnya mengoreksi program-programnya. Dengan LLS ini pula faktor-faktor kemudahan/kesulitan yang dijumpai dalam praktik advokasi dapat dideteksi untuk diumpanbalikkan dalam rangka upaya melakukan reevaluasi dan koreksi atas program-program yang telah ada. Semua itu (sekali lagi dikatakan di sini!) demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan suatu good governance yang (tak usah dikatakan lagi!) selalu memerlukan partisipasi seluruh warga tanpa kecualinya.

Lewat kajian-kajian dan penelitian-penelitiannya LLS pertama-tama akan menghimpun informasi yang benar mengenai badan-badan dan/atau organisasi-organisasi mana sajakah yang menyelenggarakan program penyuluhan hukum dan sebangsanya, baik sebagai program khusus satu-satunya maupun sebagai sebagai salah satu subprogram yang didudukkan sebagai komponen dalam program lain yang lebih berjangkau luas. Organisasi-organisasi kerja ini mungkin saja merupakan badan-badan pemerintah, atau mungkin pula organisasi-organisasi nonpemerintah dan organisasi-organisasi profesi, termasuk universitas-universitas dan fakultas-fakultasnya.

Lebih lanjut LLS akan juga bekerja dalam bidang-bidang pengembangan masyarakat yang khusus, yang pelaksanaannya memperjumpakan banyak aktivitas interaktif antara pejabat-pejabat pemerintah di lini-lini operasi dan warga masyarakat luas yang di atas kertas mempunyai hak untuk diperansertakan dalam pembangunan (baik dalam hal perencanaan fisik maupun dalam hal penetapan kebijakan) dan kemudian daripada itu juga mempunyai hak untuk ikut menikmati hasil pembangunan itu secara nyata dan langsung. Bidang-bidang ini misalnya saja bidang yang berkenaan dengan pembangunan pengairan dan persawahan, atau yang berkenaan dengan reboisasi serta pemanfaatan lahan-lahan kehutanan, atau yang berkenaan dengan usaha perikanan oleh para nelayan, atau yang berkenaan dengan pengembangan industri kecil dan menengah, atau apapun lainnya lagi yang dapat dipilih secara purposive.

Dalam aktivitasnya yang lebih lanjut, LLS – berikut tindaklanjutnya dalam bentuk gerakan penyadaran hak -- ada berbagai macam aktivitas kerja pemberantasan buta hukum/hak yang dapat diidentifikasi berikut dampaknya. Ada aktivitas yang dilaksanakan dengan memanfaatkan media massa dengan kelompok sasaran yang tak teridentifikasi secara khusus, dengan dampak yang tak pula dapat dikirakirakan dan diketahui (assessed) secara pasti. Sementara itu ada pula aktivitas yang dilaksanakan secara lebih terprogram dengan kelompok sasaran yang khusus pula, dengan dampak

Page 225: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

217

yang dikehendaki agar dapat lebih ditaksir diprakirakan. Tersebut akhir ini antara lain aktivitas pendampingan yang dilakukan secara langsung untuk meningkatkan kemampuan setiap usaha yang berbasis komunitas setempat, atau pula secara tak langsung lewat pelatihan-pelatihan semacam pelatihan paralegals dan pelatihan untuk para pelatih (Training Of Trainers, TOT), atau pula pengintensifan komunikasi interaktif dengan para pejabat pemerintahan yang progresif demi tertumbuhkannya kepekaan dan perubahan sikap dan perilaku para pejabat tatkala harus melayani kepentingan publik. Pembenahan Tata Perilaku Aparat Penegak Hukum Di samping upaya komunikasi, tentunya tak mungkin tidak diperlukan juga usaha membenahi tata perilaku aparat penegak hukum itu sendiri. Usaha-usaha yang konsekwen akan tatapi jujur untuk mengancamkan dan menerapkan sanksi nestapa kepada/terhadap para warga masyarakat yang bersalah memang mungkin sekali akan efektif untuk membangkitkan kembali rasa ketaatan kepada hukum. Akan tetapi, bagaimanapun juga masih tetap harus diingat bahwa ketaatan yang timbul sebagai akibat ketaatan akan beratnya ancaman sanksi demikian itu tidak dapat dikualifikasi sebagai suatu ketaatan yang sadar. Yang lebih dianjurkan adalah usaha untuk menumbuhkan “image” di kalangan masyarakat bahwa aparat-aparat yang cekatan, efektif, responsif, jujur, dan selalu merasa terlibat di dalam setiap usaha penegakkan hak setiap warga masyarakat yang telah diberikan menurut ketentuan-ketentuan hukum nasional yang tengah merintiskan pembaruan. “Image” yang ditumbuhkan adalah “image” suatu aparat yang lebih bergerak ke arah penegakkan hak-hak rakyat daripada bergerak untuk kepentingan ketertiban negara – apalagi kepentingan penguasa – semata-mata. “Image” demikian ini jelas akan membantu usaha peningkatan kesadaran rakyat bahwa ketaatan kepada hukum nasional yang tengah dikampanyekan dan dituntut dari mereka itu bukanlah sekali-kali suatu pemerasan moral atau suatu perkosaan kebebasan serta keyakinan, melainkan suatu kewajiban sosial, yang pada akhirnya akan bermanfaat untuk kehidupan mereka sendiri di dalam masyarakat yang tengah berubah pesat ini.

Page 226: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

21

HAK-HAK ASASI MANUSIA KONSTITUSIONALISME: HUBUNGAN ANTARA MASYARAKAT DAN NEGARA

SECARA formal, menurut sumber resminya yang sah berdasarkan rumusan peraturan perundang-undangan yang positif (legal), dan/atau yang berdasarkan moral hukumnya (lawful), lukisan tentang hubungan antara negara dan masyarakat di negeri mana pun selalulah dapat disimak balik dari bunyi konstitusinya. Bukanlah menurut idenya (yang dinamakan konstitusionalisme), apa yang disebut konstitusi selalu dimaksudkan untuk mengatur hubungan yang fungsional antara "kekuasaan" (yang dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara negara) dan "kebebasan" (yang tetap diakui sebagai bagian dari eksistensi kodrati manusia-manusia warga negara). Itu berarti bahwa besar-kecilnya kekuasaan yang akan dipercayakan ke tangan para pejabat penyelenggara negeri itu amat ditentukan oleh luas-sempitnya ranah kebebasan yang tetap dikukuhkan pada – dan karena itu juga tetap dikukuhi di tangan – para warga.

Menurut idiom konstitusionalisme, setiap wujud kekuasaan yang mempunyai dasar pembenarannya menurut hukum itu disebut "kewenangan". Maka setiap ekspresi kekuasaan yang tak ada dasar konstitusionalnya (not lawful) atau tidak ada dasar hukumnya dalam perundang-undangan (not legal) haruslah dibilangkan sebagai "kesewenang-wenangan". Sementara itu, menurut idiom konstitusionalisme pula, setiap wujud kebebasan manusia warga negara itu – kecuali apabila secara tegas-tegas dinafikan oleh konsitusi atau oleh hukum perundang-undangan – adalah sungguh-sungguh hak. Tatkala kebebasan itu dipandang secara universal sebagai sesuatu yang bernilai asasi bagi kelestarian manusia, maka sesungguhnya menurut ide konstitusionalisme ini tidaklah kewenangan-kewenangan untuk memerintah itu merupakan sesuatu yang secara universal harus disebut bersifat asasi. Sesungguhnyalah kewenangan itu merupakan fungsi kebebasan; artinya, bahwa besar-kecilnya kewenangan itu akan ditentukan oleh luas-sempitnya batas kebebasan, dan tidak sebaliknya.

Hukum yang kita kenali kini sebagai hukum perundang-undangan yang positif sesungguhnya adalah produk upaya adaptif pengelolanya untuk tetap dapat memfungsikan hukum di tengah suatu kehidupan yang tengah berubah. Hukum perundang-undangan yang kita kenali kini ini sesungguhnya adalah juga hasil reformasi rekonseptualisasi dan restrukturasi untuk merespon tuntutan zamannya. Hukum perundang-undang terinstitusikan untuk merespon kebutuhan negara-negara bangsa yang bertumbuh kembang sebagai negara-negara demokratis di negeri-negeri Barat sejak abad 18, yang mendambakan kepastian-kepastian hak bagi setiap warga negara. Hukum perundang-undangan memastikan alias mempositifkan mana kebebasan asli warga yang akan dibenarkan dan diakui menurut hukum sebagai hak yang asasi dan mana pula yang akan dikecualikan untuk tidak lagi dibenarkan sebagai kebebasan. Sementara itu, di lain pihak, hukum perundang-undangan akan memastikan mana-mana pula kekuasan para penguasa yang – dalam

Page 227: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

243

jumlah terbatas – boleh dibenarkan menurut hukum sebagai kewenangan mereka yang didudukan sebagai pejabat-pejabat pemerintahan. Positivisasi mengenai hubungan tarik-ulur antara hak kebebasan warga dan kewenangan aparat pemerintahan tersebut ini dapatlah diingati-ingati kembali dalam suatu asas atau paradigma konstitusional yang selalu diajar-ajarkan dalam kehidupan negara hukum, yaitu asas legalitas, nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali!

Paradigma hukum perundang-undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak – yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan) – inilah yang di dalam konsep moral dan metayuridisnya disebut "konstitusionalisme", dan yang di dalam bahasa politiknya disebut "demokrasi". Inilah paradigma yang harusnya menjiwai seluruh sistem hukum, baik pada wujudnya sebagai peraturan-peraturan maupun pada tahap proses pelaksanan dan aplikasinya yang kemudian sebagai keputusan-keputusan hukum. Namun demikian, bukan mustahil pula apabila dalam praktik nanti ternyata hukum itu – secara berlawanan dengan ide konstitusionalisme – acap kali dapat pula digunakan pertama-tama sebagai pembenaran eksistensi kekuasaan yang pada asasnya tak boleh dibatasi, (baik dalam hal jumlah maupun dalam hal ragam-macamnya). Akan tetapi, ditilik dari ide konstitusionalisme ini, kekuasan yang berwatak demikian itu (setinggi apa pun derajat kesahihannya) harus dinyatakan telah kehilangan jiwa atau moral konstitusional(-isme-)nya. Dikatakan bahwa kekuasaan seperti itu memang mempunyai dasar legalitasnya yang normal, akan tetapi jelas telah kehilangan legitimitasnya yang materiil. Kekuasan seperti itu akan nyata-nyata lebih berfungsi dalam wataknya sebagai instrumen kepentingan, dengan sifatnya yang – seperti telah dikatakan – akan serba formal dan legalistis, dan tidak sekali-sekali dapat memperlihatkan wataknya yang merefleksikan kebenaran moral kepatutan dan keadilan.

Hukum yang menyalahi moral konstitusionalismenya adalah hukum yang represif, yang serasa mempercayakan pengelolaannya ke tangan para pejabat pemerintah akan menjadikan hukum berhakikat sebagai instrumen-instrumen legal guna menjamin keutuhan dan keefektifan kekuasaan berdasarkan sanksi-sanksi pemaksa. Hukum – yang sekalipun mempunyai rujukannya yang positif di konstitusi akan tetapi tak dijiwai oleh moral konstitusionalisme – seperti itu tentu saja tidaklah dapat diharapkan, dalam kadarnya yang berarti, guna menjamin terlindunginya kebebasan dan hak warga dari sembarang kebijakan pemerintah untuk menguranginya sewaktu-waktu. Dalam kenyataan seperti itu, yaitu situasi tatkala hukum lebih termanfaatkan untuk menjamin kekuasaan daripada untuk menjamin kebebasan, tertengarailah bahwa para pejabat pengemban kekuasan itulah yang lebih sering menyerukan agar siapa pun selalu menaati hukum dan untuk selalu bertindak sesuai konstitusi. Itu tak lain karena sang penguasa ini mengetahui bahwa menaati hukum dan konstitusi itu pada hakikatnya adalah menaati kekuasannya yang besar dan tak gampang dibatasi itu. Di sini penyuluhan hukum amat digalakkan untuk membangkitkan kesadaran hukum rakyat, bukan serta merta dimaksudkan untuk membangun kesadaran rakyat akan hak dan batas-batasan mereka melainkan untuk membangun kesadaran rakyat akan kewajiban-kewajibannya.

Tidak demikianlah halnya apabila suasana kehidupan hukum di suatu negeri itu adalah suasana yang bernuansa konstitusionalisme. Dalam kehidupan di mana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme – di mana setiap kata di dalam setiap rumusan hukum

Page 228: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

244

perundang-undangan itu akan terbaca sebagai keharusan untuk pertama-tama dan pada asasnya menjamin kebebasan dan hak warga, dan bukan pertama-tama sebagai pengukuh kekuasaan yang pada asasnya tak bisa dibatasi – justeru para pengemban kekuasaan pemerintah itulah yang tertengarai selalu diingat-ingat agar senantiasa menanti hukum dan kaidah-kaidah konstitusi. Tak lain karena di sini ini menaati hukum dan menaati konstitusi pada hakikatnya adalah menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi di dalamnya. Maksudnya imperatif kebebasan sebagai hak-hak warga yang asasi (civil rights) harus dihormati dan ditegakkan oleh pengemban kekuasaan negara di mana pun dan kapan pun, juga tatkala warga ini menggunakan kebebasannya itu untuk ikut serta dalam – atau untuk ikut mempengaruhi jalannya – proses pembuatan kebijakan-kebijakan publik dalam kehidupan bernegara bangsa (political rights).

Membicarakan konstitusionalisme adalah sesungguhnya membicarakan sebuah ajaran metayuridis tentang berlakunya sebuah asas aksiomatis yang harus selalu diperhatikan tatkala orang harus membangun sebuah sistem hukum yang memenuhi syarat demi terealisasi kehidupan bernegara bangsa yang demokratis, yaitu bahwa setiap kekuasaan yang diakui sebagai kewenangan pemerintahan itu adalah sesungguhnya fungsi kebebasan dan hak warga. Ini berarti bahwa besar-kecil atau luas-sempitnya kewenangan akan selalu tergantung dari kesediaan warga untuk secara volunter mengurangkan sebagian dari kebebasannya agar dimungkinkan terwujudnya sejumlah kekuasaan yang dengan demikian berarti juga adanya kesediaan warga untuk "menidurkan" sebagian dari hak-haknya agar dimungkinkan – untuk sementara, sejauh diperlukan – terciptanya tambahan kekuasaan pengatur di tangan pemerintah. Inilah volunterisme yang erat kaitannya secara logis dengan asas kebebasan berkontrak, juga dalam ihwal pembentukan undang-undang yang pada hakikatnya merupakan kontrak-kontrak publik sebagaimana yang ditulis oleh Jean Jacque Rousseau dalam bukunya Du Contract Sociale.

Tak ayal dan tak salah lagi, dihubung-hubungkan dengan persoalan volunter-volunter ini, konstitusionalisme secara implisit namun logis mengisyaratkan bahwa oleh sebab itu setiap kekuasaan yang ada di tangan pemerintah hanya bisa dibenarkan dan dinyatakan sah sebagai kewenangan tatkala didasari oleh persetujuan eksplisit warga negara (yang dalam kehidupan demokratis umumnya gampang disimak sebagai pendapat umum lewat media, atau lewat proses yang lebih formal yang disebut referendum. Kalaupun persetujuan ini tak selalu dapat diberikan secara langsung, persetujuan itu mestilah diberikan lewat wakil-wakilnya yang dipilih melalui suatu proses pemilihan umum yang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil (yang resminya dapat disimak dalam wujud terbentuknya undang-undang). Hanya lewat cara itu sajalah setiap anggapan mengenai adanya kesediaan warga negara untuk melepaskan sebagian dari kebebasannya – demi dimungkinkannya penciptaan tambahan kekuasaan yang boleh diamanatkan dan dimandatkan kepada sang pejabat kekuasan itu – dapat dinyatakan benar dan mempunyai dasar konstitusional.

Dari situlah asal mulanya pembenaran atas anggapan konseptual bahwa sesungguhnya kekuasasaan dengan kewenangan itu dihasilan oleh suatu proses kontraktual. Ini adalah suatu proses interaktif yang terbuka dan yang tak boleh diganggu itikad-itikad culas. Ini adalah suatu proses yang didasari konsep konstitusionalisme untuk mempertemukan kemauan dan kesediaan warga mengenai perimbangan ulang yang dipandang lebih proporsional antara kekuasaan dan kebebasan; dan/atau antara kewenangan (kewenangan para warga yang dipercaya menjadi pejabat) dan hak-hak (hak-hak warga) yang secara volunter tak berkehendak mendudukan diri ke dalamnya.

Page 229: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

245

Page 230: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

22

HAK-HAK ASASI MANUSIA DAN PERSOALAN

HAK-HAK KEBEBASAN WARGA NEGARA HINGGA saat ini, tatkala skala dan format kehidupan manusia telah membesar dan meluas pada tataran global dengan perbatasan-perbatasan negara bangsa (baik yang fisik-teritorial maupun yang normatif-soverenitas) telah menjadi kian relatif, wacana-wacana untuk memperoleh kesepahaman mengenai apa yang harus didefinisikan sebagai hak-hak asasi manusia (HAM) telah menjadi hangat kembali. Di satu pihak ada sekelompok pewacana yang berkeyakinan bahwa HAM itu merupakan sesuatu hasil temuan yang bernilai universal dalam sejarah peradaban manusia, dan oleh sebab itu pantaslah kalau ide-ide normatif dan kaidah-kaidah positif HAM itu difungsikan dalam kehidupan antar-manusia yang menyeluruh, tanpa kecualinya, pada tataran global. Sementara itu ada sekelompok pewacana lain yang berkeyakinan bahwa itu mestilah didefinisikan secara partikularistis untuk pertama-tama difungsikan dalam kehidupan-kehidupan antara-manusia yang sudah seharusnya mendahulukan kepentingan nasional.

Perbedaan visi antara mereka yang berpandangan universalisme dan berpandangan pertikularisme itu pada akhirnya (tentu saja!) juga berimbas pada ihwal batasannya, mana yang harus dibilang sebagai hak manusia yang asasi* dan mana pula yang bukan hak yang asasi. Apakah (misalnya!) hak untuk memilih hidup dalam perkawinan dan beranak pinak – atau sebaliknya untuk hidup membujang dan tak perlu meneruskan keturunan – itu hak yang asasi ataukah tidak? Apakah (misalnya lagi!) hak untuk memilih jenis pekerjaan dan sehubungan dengan itu memilih daerah tempat tinggalnya itu terbilang hak yang asasi ataukah tidak? Apakah (masih satu misal lagi!) hak untuk mengeluarkan pendapat dan berserikat agar berkekuatan mendesakkan pendapatnya secara sinergis ke lokus-lokus pemerintahan terbilang asasi ataukan tidak, yang oleh sebab itu dapat diatur dan bahkan dicabut secara sepihak oleh para penguasa rezim tanpa perlu mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pada pengemban hak tersebut. Akhirnya, (masih satu misal lagi!) apakah hak untuk menganut sesuatu agama dan untuk melaksanakan segala tatacara ibadah menurut keyakinan agama yang dipilih untuk dipeluknya itu terbilang hak yang asasi pula, ataukah tidak?

Visi universalisme dalam permasalah HAM ini sebenarnya beriwayat lama, bermula dari abad dan budaya politik yang berkembang di negeri-negeri Barat sepanjang era transformasi, yaitu transformasi yang mengalihkan kehidupan dari yang lokal-feodal ke yang nasional-industrial.

* Hak manusia yang asasi adalah hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk yang dilahirkan dengan

sosok biologis manusia, yang memberikan jaminan moral dan menikmati kebebasan dari segala bentuk perlakuan yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah, yang oleh sebab itu tak mungkin dialihkan kepada – apalagi dirampas oleh – sesiapapun, kepada/oleh para pengemban kekuasaan negara sekalipun, kecuali untuk dikurangkan atas dasar persetujuan para penyandang hak itu lewat proses-proses legislatif yang benar-benar representatif demi tertegakkannya hak-hak asasi manusia lain sesama dalam kehidupan masyarakat.

Page 231: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

264

Sebagai ide dan konsep, HAM lahir dan berkembang marak tatkala sejumlah pemikir Barat yang berpikir cerah di sepanjang era transformasi beberapa abad yang lalu itu mulai mempertanyakan keabsahan wawasan dan tradisi yang amat diskrimnatif di negeri-negeri mereka pasa saat itu. Mereka mencabar tradisi sosial dan politik yang secara askriptif amat memilah-milah secara diskriminatif antara mereka yang terbilang a class of the higher order dengan segala hak-hak istimewanya dan mereka yang terbilang a class of the lower order yang secara askriptif lebih didudukkan sebagai objek daripada penyandang hak. Akan gantinya, mereka mencoba menyiarkan dan mensiarkan gagasan-gagasan tentang perlunya dibangun komunitas baru yang lebih egalitarian, terdiri dari warga-warga yang berkebebasan dan bukan terdiri dari ulur-ulur yang sepanjang umur dan secara turun temurun hidup dalam status perhambaan.

TAtkala di negeri-negeri Barat – secara suksesif akan tetapi juga berdaya akumulatif – gagasan-gagasan baru itu mulai berpengaruh luas, gerakan revolusioner untuk merealisasi cita-cita kebebasan dan egalitarianisme (demi ketahanan dan kemakmuran bangsa!) menjadi tak dapat ditahan-tahan lagi. Komunitas-komunitas warga sebangsa, diorganisasi dalam wujud institusi politik baru yang memproklamasikan diri sebagai negara demokrasi, lahir secara berturut-turut di benua Amerika (Negara Federal Amerika Serikat, 1776) dan benua Eropa (Negara Republik Perancis, 1786!). Itulah dua negara yang kemudian dijadikan model negara merdeka yang berhasil dibangun di atas infrastruktur suatu komunitas warga (civil society), suatu komunitas yang menolak diskriminasi antar-warga, dan akan gantinya mengumandangkan kebebasan dan kesetaraan. Itu lah dua negara yang kemudian – dengan segala kelebihan dan kekurangannya – dijadikan model negara modern berkonstitusi, yang mengkonsepkan konstitusi sebagai suatu kontra sosial. Itulah konsep dalam kehidupan komunitas politik baru yang modern, yang segera dikenali dengan istilah “konstitusionalisme”.

Kontrak sosial menurut konsep ini adalah suatu perjanjian luhur antar-manusia sesama warga, yaitu antara warga yang berdaulat sebagai rakyat penduduk negeri (yang oleh sebab itu pada asasnya akan tetap berkebebasan dalam segala hal, kecuali apabila ditentukan lain menurut hukum perundang-undangan) dan warga yang bersedia memperoleh mandat untuk menjabat dalam sistem pemerintahan (dengan kewenangan yang diberikan secara limitatif oleh warga yang berkedudukan sebagai rakyat atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam undang-undang). Apapun bunyi isi kontrak yang perjanjian luhur (alias “konstitusi” yang dalam wujud kaidah-kaidah positifnya yang di dalam Bahasa Indonesia disebut “undang-undang dasar”) itu tidaklah akan ada pasal atau ayat apapun di dalamnya yang boleh ditafsirkan sebagai adanya kewenangan pihak yang memperoleh mandat menduduki jabatan pemerintah untuk mengingkari, mengambil-alih atau apalagi merampas hak-hak warga yang asasi.

Terwujudnya komunitas warga yang egalitarian, terealisasinya konstitusi dan ditaatinya konstitusionalisme, serta terjamin hak-hak warga (warga negara!) yang asasi – untuk pada asasnya bisa hidup dalam suasana kebebasan, juga untuk berpolitik – adalah suatu kompleks konsep yang saling bersangkut-sangkutan, yang secara total dikenal sebagai konsep kehidupan yang demokratis. Tidaklah mungkin ada kehidupan demokrasi di suatu negeri apabila insfrastruktur sosial suatu komunitas politik (negara!) itu bukan masyarakat warga, melainkan masyarakat hamba yang harus hidup tanpa hak-hak asasi yang dijamin oleh suatu konstitusi dan oleh hukum yang dihormati oleh semua pihak, khususnya oleh para pengemban kekuasaan negara. Tak pelak lagi, menurut konsep tentang kehidupan demokrasi sebagaimana berkembang dalam sejarah

Page 232: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

265

politik dan ketatanegaraan Barat yang mutakhir ini, hak-hak manusia yang asasi (yang boleh dibatasi namun tak boleh dialihkan apalagi dirampas) adalah suatu unsur yang sungguh esensial dan menentukan, sine quo non, bagi kehidupan manusia sebagai warga dalam kehidupan bernegara.

HAM yang mensyarati kehidupan bernegara demokratis sebagaimana berkembang dalam sejarah negeri-negeri Barat seperti yang dibentangkan di muka) ini adalah sesungguhnya HAM yang diperjuangkan demi perlindungan hak-hak manusia warga dalam kapasitasnya sebagai individu dari kemungkinan perlakuan sewenang-wenang para penguasa nasional. Makna HAM seperti itu tertafsir berubah ketika konsep HAM ini mulai dikenal dan mulai merebak pula ke negeri-negeri jajahan. Di negeri-negeri jajahan ini, melalui proses dekonstruksi dalam gagasan-gagasan para nasionalis perintis kemerdekaan, HAM memperoleh tafsir maknanya yang baru, Yaitu bahwa eksponen-eksponen HAM dalam kehidupan kolonial haruslah mengartikan “manusia” tidak sebagai manusia-manusia individu yang tengah merisaukan kekuasaan pemerintahnya sendiri, melainkan ssebagaimana sebangsa yang tengah merisaukan kekuasaan asing. Di sini serta merta HAM tidak lagi dikmaknakan dari perspektif individualisme dan liberalisme yang diklaim berlaku universal, melainkan dimaknakan secara partikular dari perspektif kolektivisme dan nasionalisme negeri-negeri Timur yang terjajah. Maka di sini pula orang tidak lagi bicara soal “kebebasan individu” melainkan soal “kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Bukan lagi soal freedom melainkan soal independence.

Paham yang mengkonsepkan HAM sebagai hak-hak asasi manusia individu sering disebut oleh para pengkritiknya sebagai paham liberal yang terlalu membela kepentingan individu manusia-manusia dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik. Para nasionalis perintis kemerdekaan di bumi-bumi kolonial, dan kemudian juga para pemimpin serta penguasa pemerintahan di negeri-negeri berkembang, umumnya cenderung pula mengesan bahwa kepentingan-kepentingan individual seperti itu akan gampang miring ke – atau malah identik dengan – egosentrisme dan yang oleh sebab itu dikhawatirkan akan gampang memarakkan sikap-sikap anti-sosial. Berangkat dari prasangka seperti itu, para penguasa pemerintahan di negeri-negeri berkembang bekas negeri jajahan tanpa henti selalu mencoba mendesakkan arti makna HAM menurut versinya yang lebih pas untuk kepentingan negeri-negeri yang tengah berkembang. Maksudnya adalah bahwa HAM sebagai hak-hak asasi manusia harus lebih mementingkan kepentingan manusia sebagai suatu kolektiva atau suprakolektiva (bangsa) daripada kepentingan manusia sabagai individu.

Dimanakah posisi pendirian para pemuka dan penguasa politik Indonesia di tengah kontroversi individualisme versus kolektivisme dalam soal HAM ini. Pertanyaan pertanyaan para pemuka politik dan/atau para pengemban kekuasaan negara di Indonesia umumnya mengesankan kerisauan mereka pada paham keuniversalan HAM dalam konsepnya yang klasik sebagai hak-hak manusia individu yang tak mungkin dialihkan (inalienable). Itulah hak-hak yang bertolak dari paradigma kebebasan manusia demi kelestarian eksistensi individual manusia warga (civil rights) dan demi pelaksanaan peran mereka yang bebas dalam setiap aktivitas politik yang menyangkut kepentingan publik, pemerintahan dan/atau negara (political rights). Sekalipun ide-ide tentang kebebasan – bersamaan dengan paham liberalisme dan nasionalisme – bukan tak dikennal di negeri-negeri negara baru seperti Indonesia ini, namun ide kebebasan dan pembebasan di negeri-negeri ini tetaplah pertama-tama hendak dimengerti bukan sebagai ide kebebasan individu

Page 233: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

266

yang warga negara di hadapan kekuasaan negara yang cenderung semena-mena, melainakn kebebasan (dalam arti kemerdekaan) suatu bangsa dari ancaman bahaya kekuasaan bangsa lain. Inilah kebebasan yang dinamakan “kemerdekaan” yang secara univesal dituntut agar diakui sebagai hak segala bangsa.

Nyatalah dengan begitu sebagai pengalaman sejarah, bahwa apabila dari krisis ke krisis dalam sejarah kehidupan dunia Barat para eksponen merisaukan betapa semena-mena dan tidak adilnya penguasa-penguasa otokrat memperlakukan manusia-manusia sesamanya yang telah berstatus kurang berdaya, para eksponen negeri-negeri jajahan dan bekas jajahan telah lebih merisaukan betapa hak-hak kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah banyak diingkari bangsa-bangsa lain yang berindustri maju. Maka dapat dimengerti pula mengapa di tengah krisis kemanusiaan pada tahun 1940-an para pemuka di neeri-negeri Barat berkehandak “menegasakan kembali kepercayaan pada hak-hak fundamental manusia, martabat dan nilai-nilai pribadi dan insani” (sebagaimana ternyatakan dalam Mukadimah Piagam PBB, 1945), dan sehubungan dengan hal itu juga berkehendak meneruskan perjuangan guna memajukan perlindungan hak-hak asasi setiap manusia atas hidup, kebebasan dan keamanan pribadinya” (sebagaimana bunyi pasal 3 Deklarasi Hak-Hak Manusia, 1948), para pemimpin bangsa-bangsa baru ini lebih bergerak untuk melantangkan seruan “bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” (sebagaimana yang bisa dibaca dalam Pembukaan UUD RI 1945).

Dari premis pemikiran yang berbeda seperti itu terbedakanlah pula konsep dasar mengenai makna fungsi negara, dan sehubungan dengan itu pula tentang “makna hubungan hak dan kewajiban antara negara dan manusia-manusia rakyatnya” antara apa yang dianut di dunia Barat yang kian mendominasi percaturan politik antara bangsa dan apa yang dianut dikalangan para penguasa bangsa-bangsa baru, antara lain juga yang di Indonesia. Apabila mengingat pengalaman sejarahnya bangsa-bangsa yang bertradisi Eropa Barat gampang mencurigai kekuasaan negara sebagai pengancam kebebasan para warga yang amat potensial (dan oleh karena itu harus selalu diwaspadai secara konstitusional agar tidak memperkosa hak-hak asasi manusia-manusia yang berstatus sebagai warga negara), di kalangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika rupanya lebih dimarakkan paham bahwa negara itu justeru diharap-harapkan hadir untuk (misalnya menurut versi Indonesia, sebagaimana terbaca dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945) “melindungi segenap bangsa dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Pernyataan di dalam UUD yang diundangkan pada tahun 1945 tentang kewajiban negara

untuk (antara lain) “…. Memajukan kesejahteraan umum” – dihubungkan dengan pasal 33-nya tentang asas kekeluargaan dalam sistem perekonomian nasional, berikut pemberian kepercayaan yang besar kepada negara untuk menguasai kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting – nyata kalau (boleh) dirujuk sebagai dasar pembenar konstitusional oleh pemerintah di Indonesia untuk melancarkan seluruh program pembangunan, dengan memberikan kekuasaan mendahulu kepada negara dan para pengemban kekuasaannya. Ketika pemerintah Orde Baru memulai dan memprioritaskan secara amat sadar aktivitas pembangunannya pada akhir dasawarsa 1960-an dan/atau awal dasawarsa 1970-an, yang oleh karena itu pemerintah ketika itu juga memaklumkan diri sebagai Pemerintah Orde Pembangunan, berbagai upaya dikerjakan untuk

Page 234: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

267

mendahulukan misi negara dan pemerintah guna memajukan apa yang disebut kesejahteraan umum ini, mengatasi misi-misi lain. Tanpa sadar, HAM dengan demikian acapkali – dari perspektif kepentingan para pengemban kekuasaan negara, yaitu pemerintah – lalu gampang tertafsir sebagai hak asasi manusia yang telah dimandatkan (dialihkan!) ke tangan aparat pemerintah berikut para pejabatnya.

Pemahaman HAM yang tertafsir dan terimplementasi sebagai “hak segala bangsa” – dan bukan hak yang asasi bagi individu-individu warganya – memang sungguh berfungsi sebagai kekuatan untuk memerdekakan bangsa-bangsa terjajah dari penjajahan bangsa-bangsa asing. Namun, konsep yang demikian itu, dalam perkembangan dan dalam kenyataan, pada akhirnya hanya akan memperkuat hegemoni negara. Negara dalam hubungan ini lalu acapkali menjadi terkonsepkan sebagai suatu organisme yang merepresentasikan kepentingan manusia-manusia penyandang hak juga. Kalaupun tidak dalam sosoknya yang organik-biologis, negara tak jarang-jarangnya digambarkan dalam sosoknya yang supraorganik, bahkan sebagai suatu sosok yang lebih sempurna daripada kodrat oknum-oknum individualnya. Dalam konsep seperti itu tentu saja orang tak lagi bisa bicara mengenai HAM sebagai hak-hak manusia warga (warga negara !).

Perkembangan menjadi kian kurang menguntungkan manakala lebih jauh lagi negara tak lagi cuma dimaknakan sebagai komunitas politik yang pada esensinya merupakan totalitas kehendak para warga, melainkan sudah menjadi disamasebangunkan dengan sosok pribadi para (atau mungkin malah “sang”) tokoh penguasa puncak yang sentral yang selalu dianggap berwenang melakukan tindakan macam apapun atas nama negara dan bangsa. Sosok sentral inilah yang kemudian diperlakukan dan memperlakukan dirinya tidak cuma sebagai simbol eksisnya sebuah negara bangsa melainkan sudah dipujikan dan memuji diri dalam kenyataan (kalaupun tidak terkesan retoris-retorikanya) sebagai sosok negara itu sendiri. Dalam proses distorsi konseptual seperti itu, HAM sebagai hak-hak asasi manusia individual lalu benar-benar menjadi alienable dan bahkan juga violable sewaktu-waktu, karena kini sang sosok sentral yang berkedudukan di puncak itu telah mempunyai legitimiasi untuk bertindak “atas nama rakyat”. Apalagi kalau sampai keyakinan kuno yang feodalistis tentang manunggaling kawula marang Gusti itu berhasil diimbuhkan sebagai dasar legitimasi untuk memutlakkan kewenangan dan kekuasaan pemerintah berikut para pejabatnya.

Perbedaan visi tentang universal atau partikularitasnya HAM sebagai mana dibentangkan di muka itu tak ayal lagi terbawa-bawa ke tengah polemik mengenai luas-sempitnya batas kebebasan yang tersirat dalam berbagai hak asasi manusia warga, tak ayal juga dalam ihwal hak-haknya yang asasi dalam kehidupan beragama. Kaum partikularis selalu berpendapat bahwa stiap bangsa (yang dalam hal ini boleh dipersonifikasikan dalam wujud tokoh-tooh pemua-pemuka politiknya yang tengah berkuasa) selalu memiliki hak dan kewenangan untuk menetapkan standar-standarnya sendiri mengenai apa yang harus dibilang asasi (berikut batas-batas kebebasan pelaksanaannya) dan mana pula yang harus dibilang bukan yang asasi. Adakah kebebasan beragama itu merupakan suatu hak berkebebasan yang asasi setiap manusia, nota bene manusai yang kini telah berstatus warga (dan bukan lagi kawula), yang oleh sebab itu mana mungkin boleh dicabut dan diambil untuk dialihkan begitu saja oleh sesiapapun yang mengklaim dirinya sebagai penguasa negara? Ataukah dalam soal kehidupan beragama itu hak-hak yang asasi (untuk mengatur dan mengontrolnya) berada di tangan para pejabat pemerintah – yang beranggapan mempunyai kewenangan konstitusional dalam soal itu – atas nama bangsa dan negara (dan

Page 235: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

268

mungkin juga atas nama agama itu sendiri?); sedangkan dalam ihwal ini para warga tak lebih hanyalah penyandang kewajiban-kewajiban saja yang asasi.

Berbicara tentang persoalan dan HAM, ada dua hal yang sebenarnya perlu diperhatikan dan sisepakatkan terlebih dahulu guna mencegah kesalahpahaman. Yang pertama ialah, apakah yang dimaksudkan dengan “agama” dalam perbincangan ini? Yang kedua ialah, mengapa perbincangan untuk mempertanyakan peran agama dalam usaha-usaha menegakkan hak-hak manusia yang asasi (HAM) baru muncul belakangan ini saja, ialah semasa tumbuhkembang dan maraknya negara-negara bangsa yang modern – baik di negeri-negeri Barat maupun di negeri-negeri Timur – yang justeru sering tertengarai cenderung sekular namun demokratis? Mengapa tidak dulu-dulu semasa jaya-jayanya kekusaan kekuasaan imperium teokratis yang acapkali justeru menggunakan agama sebagai dasar pelegetimasi kekuasaan?

Sesungguhnya agama itu adalah ajaran dengan baik-buruk yang menurut agama-agama samawi – diwahyukan oleh Allah kepada manusia melalui nabinya tentang apa yang harus diperbuat dan diperlakukan ini ada dua macam; yaitu, yang pertama, ajaran berperilaku yang harus dipatuhi manusia dalam hubungannya yang vertikal dengan Sang Penciptanya dan, yang kedua, ajaran berperilaku yang harus dipatuhi manusia dalam hubungannya yang horisontal dengan sesamanya. Berbicara dari perspektif agama tentang manusia dan hak-haknya – khususnya hak-haknya yang terbilang asasi yang menurut konsep dasarnya merupakan hak-hak yang tak dapat dirampas dan ditiadakan oleh sesiapapun – tentulah harus digolongkan ke dalam jenis perbicangan tentang hak-hak manusia di hadapan sesamanya yang sama-sama warga (dalam garis hubungan yang horisontal) itu, dan tidak sekali-kali boleh dimaksudkan sebagai hak manusia di hadapan Allah (dalam garis hubungan yang vertikal) itu.

Agama sebagai wahyu Allah ini tak pelak lagi harus diyakini sebagai suatu kabar yang berkebenaran mutlak. Namun, dalam kehidupan manusia yang fana ini, apa yang berkebenaran mutlak itu sesungguhnya tak pernah bisa “sampai” secara sempurna ke dalam relung-relung kepahaman manusia yang senantiasa serba berkekurangan itu. Maka berbicara soal agama dalam stiap isu yang bersangkutan dengan kehidupan dan pengalaman manusia, yang akan dimaksudkan dengan “agama” dalam setiap perbincangan itu haruslah bukan agama dalam makna esensialnya sebagai ajaran yang berkebenaran mutlak, melainkan harus dibataskan hanya sejauh kepahaman manusia yang relatif dengan isi ajaran itu. Dari sinilah awal mulanya, mengapa perjuangan warga masyarakat untuk memperoleh pengakuan atas hak-haknya yang asasi di hadapan para pengusa pengemban kekuasaan negara itu baru sempat marak akhir-akhir ini saja; yaitu baru setelah pergulatan pemikiran manusia sampai pada suatu kepahaman bahwa – seperti yang dirumuskan di negeri-negeri Kristiani pada era awal tumbuh kembangnya kehidupan berbangsa dan bernegara – vox pupuli, vox Dei. Suara Tuhan tidaklah terdengar melalui suara nurani manusia-manusia pejabat yang elit, melainkan melaui nurani manusia yang warga.

Sesungguhnya yang dengan tengah terjadi dalam persoalan usaha memperjuangkan dihormati dan ditegakkannya hak-hak asasi manusia itu adalah pergulatan pemikiran manusia modern tentang ruang kebebasan manusia (sebagai bagian dari hak-haknya yang asasi berkat eksistensinya yang kodrati sebagai manusia) yang harus dihormati oleh sesiapapun yang berkekuasaan. Pergulatan pemikiran ini tak selamanya berlangsung dalam ranah-ranah yang sekular, karena bagaimanapun perbicangan tentang sesuatu yang bersubstansi normatif dan/atau

Page 236: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

269

bertolak dari premis-premis moral guna memperoleh dasar-dasar pembenaran yang bermakna esensial akan memasuki juga ranah-ranah ajaran, tak cuma yang ideologis dan falsawati akan tetapi acap pula memasuki yang religius.

Di sinilah para pemuka dan para eksponen dalam dunia pemikiran terpanggil untuk ikut berbicara, entah dari titik pendiriannya yang konservatif entah pula yang titik pendirannya yang progresif; entah yang hendak berkutat diseputar interpretasi-interpretasinya yang tekstual, entah pula yang siap berpikir ulang – untuk mendekonstruksi konsep usang guna memungkinkan rekonstruksinya yang mutakhir – secara kontekstual; entah yang berpihak pada pendapat bahwa manusia pada hakekatnya adalah kawula dalam suatu kehidupan bernegara dengan penguasa-penguasanya yang berlegitimasi teokratis (yang karena itu manusia yang terbilang rakyat harus tahu mendahlulukan kewajiban daripada hak), entah pula yang berpihak pada pendapat bahwa manusia itu tanpa kecualinya adalah warga dalam setiap kehidupan bermasyarakat dan bernegara di bawah kepemimpinan pemuka-pemuka yang berlegitimasi demokratis (yang oleh karena itu manusia arif yang terbilang orang pemerintahan harus tahu mndahulukan hak rakyat daripada kewenangannya yang sesungguhnya bermakna amanah).

Di Indonesia, pergulatan pemikiran seperti inipun tengah berlangsung, dan tampak-tampaknya belum akan segera selesai. Karena konteks-konteks kehidupan yang dengan cepat telah berubah – from old ethnic local societies to modern nation states yang berlanjut ke global society: one world, different but not divided – progresisme tampaknya akan melindih konservatisme. Ditengah-tengah perubahan yang tak lagi dapat dielakkan ini, humanisme dan nasionalisme yang humanistis – yang mengakui setiap manusia (yang disapa dalam seluruh kitab al-Qur’an dengan sebutan al-insan) sebagai kalifatullah yang harus mendahulukan kewajiban di hadapan Allah namun berhak menuntut diakui dan dihormatinya hak-haknya yang asasi di hadapan sesamanya, di negeri manapun dipermukaan bumi ini sang manusia ini berada – boleh diramal akan melindih otorianisme dan nasionalisme yang berpandangan sempit. Kinilah saatnya setiap cendekiawan pemikir meninjau ulang posisi pemikirannya.

Tak pelak lagi, di bidang pemikiran agama pun para mujtahid tak dapat mengelakkan diri

untuk terus melakukan reposisi secara progresif, memutakhirkan kepahaman-kepahaman mereka tentang apa yng telah dijarkan oleh Allah, beriring dengan setiap gerak perubahan yang terjadi dalam setiap konteks kehidupan di bumi dan fana ini. Itu semua adalah komitmen setiap manusia warga yang tengah terus mencari kebenaran Illahi yang hakiki, dan bukan sekali-kali urusan negara dan para pejabatnya yang umumnya selalu saja merasa berwenang mendiktekan segala macam wawasannya sendiri (yang justeru jarang boleh didialogkan) kepada para warga yang dipandangnya secara salah cuma sebagai massa mukalid belaka.

Page 237: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

23

DOKTRIN SUPREMASI HUKUM Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Historis Mengenai

Perkembangan Hukum Barat Pendahuluan

SUPREMASI hukum doktrin sentral yang menjadi reason of existence hukum Barat adalah suatu doktrin hukum yang sudah bermula dan berkembang sejak lama di negeri-negeri Eropa (kawasan Katolik ) Barat. Dalam bentuk embrionalnya, doktrin ini sudah mulai berkembang sejak dimaklumatkannya Dictatus Papae oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075, pada suatu abad tatkala dunia Nasrani terancam merosot ke titik nadir setelah terpukul kekalahan berulang dalam perang salib. Mereaksi kenyataan seperti itu, dengan maklumatnya itu Paus Gregorius VII mencoba mengorganisasi kembali kehidupan umat di kawasan Barat. Manifesto Paus ini berisi tak kurang dari 27 butir yang disusun dan dimaklumatkan sepihak, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Paus yang juga Uskup di Roma itulah satu-satunya pemegang kekuasaan hukum yang tertinggi dan universal atas segala urusan (baik yang rohani maupun yang duniawi) di kawasan imperium Barat atas orang-orang Nasrani dan atas para padri, dan pula atas para penguasa dunia, baik yang raja maupun yang kaisar. Sebagai pemegang kekuasaan hukum tertinggi yang universal, Paus menyatakan bahwa dirinyalah satu-satunya penguasa yang tak akan terikat pada ucapan dan keputusannya sendiri.

Pernyataan Paus yang mencitakan terwujudnya reformatio totius orbis (reformasi

atas seluruh tatanan dunia) ini segera saja mencetuskan konflik antara Paus dan Kaisar Heinrich IV dari Sachsen, yang berlanjut dalam suatu peperangan yang terkenal sebagai apa yang dalam kepustakaan berbahasa Inggris disebut Wars of Investiture. Perang yang memprebutkan simbol kekuasaan tertinggi dalam kehidupan manusia antara Kaisar (yang dibantu raja-raja berserta uskup-uskup setempat) dan Paus (yang juga dibantu oleh raja-raja berserta uskup-uskup yang setia kepadanya) yang hendak mengintegrasikan kekuatan rohani di satu kekuasaan sentral ini berlangsung 40 tahun lamanya. Perdamaian dicapai dengan suatu persetujuan di Worms pada tahun 1122 tatkala kedua belah pihak menyadari bahwa klaim mereka masing-masing tak lagi mungkin dipertahankan. Concordatum dari Worms ini pada akhirnya memang menghasilkan pengakuan hukum bahwa Paus adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas para uskup dan para awam. Akan tetapi, sementara itu, secara tersirat persetujuan Worms ini menegaskan sekali lagi kenyataan dan sekaligus suatu pengakuan yang penting tentang bertahannya secara terpisah dua yurisdiksi, yaitu yurisdiksi Gereja di bawah kontrol Paus (dengan para Uskupnya di satu pihak) dan yurisdiksi Negara Dunia di bawah kekuasaan Kaisar (dengan para Raja dan Pangeran di lain pihak).

Page 238: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

247

Dalam perkembangan seperti ini, Gereja sesungguhnya mengalami perubahan konfigurasi dan paradigma yang amat bermakna. Gereja kini sudah bukan lagi suatu komunitas spiritual yang teologis sifatnya, yang dikatakan oleh Agustinus di peralihan abad 4 Masehi sebagai suatu civitas Dei dengan berbagai ragam strukturnya yang hierarkis dan terkonsolidasi. Lebih lanjut lagi, struktur seperti itu kian harus diperteguh demi kelestarian eksistensinya di hadapan struktur lain yang beryurisdiksi juga, yaitu Negara Dunia, yang sekalipun ko-eksis namun tanpa ada hentinya selalu menantangkan suatu interaksi persaingan dan konflik yang terus-menerus. Adanya dualitas yurisdiksi dalam kenyataan sejarah dan pengakuan mengenai kemungkinan adanya lebih dari satu yurusdiksi yang harus sama-sama diterima (dengan rela ataupun dengan rasa terpaksa!) inilah yang kemudian mewarnai tradisi hukum Barat (tepatnya: di negeri-negeri dalam kawasan wilayah Katolik Barat yang berpusat di Roma).

Pemilahan yurisdiksi berikut segala tegangan tarik-menariknya yang

memutakhirkan ragam bentuknya yang dualitas seperti itu kian menjadi nyata dan jelas hampir seabad kemudian tatkala Raja John dari Inggris memaklumatkan Magna Charta pada tahun 1245 untuk mengkahiri perselisihannya dengan Paus Innoventius III. Dalam Magna Charta itu raja mendeklarasikan pengakuan bahwa “ecclesia Anglicana libera sit” (bahwa “Gereja Inggris diakui bebas), yang harus diartikan bahwa gereja bebas dari kontrol yurisdiksi raja dan para baron. Namun demikian, raja tetap mempertahankan yurisdiksinya dalam soal prosedur pemeriksaan dan pengadilan terhadap sesiapapun sampai selesai, sebelum kemudian menetapkan apakah seseorang yang diadili itu terbukti terbilang “orang Gereja” atau bukan. Baru tatkala proses peradilannya selesai dan kejahatannya di bawah yurisdiksi pengadian raja telah terbukti, si terpidana boleh mengklain dan membuktikan statusnya sebagai seseorang padri dan karena itu bisa memohon agar perkaranya diteruskan ke bawah yurisdiksi Gereja. Sementara itu, seperti juga halnya di Perancis, dalam kasus-kasus sekular yang nonkepadrian dan merupakan kejahatan yang serius seperti misalnya pembunuhan berencana, penyiksaan, perampasan yurisdiksi kerajaan tetap berlaku bagi siapa pun, tak soal apakah sang tertuduh itu orang biasa ataukah terbilang ke dalam ordo kepadrian. Magna Charta dari tahun 1245 ini menegaskan sekali lagi adanya dualitas yurisdiksi, yang juga bermakna sebagai penegasan tiadanya pengakuan akan adanya kekuasaan hukum yang tunggal, yang hendak mengklaim yurisdiksinya sebagai satu-satunya yurisdiksi yang universal.

Pemilahan yang tak dapat ditiadakan dan yang kemudian daripada itu

menghasilkan dualitas yurisdiksi antara yang Gereja dan yang Kerajaan yang disebut Negara Dunia itu pada akhirnya mendorong dengan segera terjadinya pembenahan kelembagaan dalam wilayah hukum masing-masing. Sepanjang konflik kian tertegaskanlah bahwa yurisdiksi Gereja bukanlah satu-satunya yurisdiksi hukum di dunia ini. Sepanjang konflik tersebut kian tertegaskanlah garis ide dan realitas status-status (state) yurisdiksi baik yang mesti ditata atas dasar hukumnya sendiri. Inilah status kehidupan rohaniah atau duniawi yang mesti ditata berdasarkan the rule of law. Ide rechtsstaat yang di Indonesia secara salah kaprah terlanjur diterjemahkan “negara hukum” ini tersimak dalam realitas sejarah Eropa Barat pada masa itu dalam wujud kenyataan, bahwa para penguasa dari dan dalam kawasan yurisdiksi masing-masing itu harus membangun dan mengelola sistem hukum mereka masing-masing. Negara Dunia

Page 239: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

248

yang dipimpin Kaisar mengembangkan ahli-ahlinya sendiri yang membangun sistem hukum berdasarkan asas-asas hukum Romawi, sedangkan Gereja di bawah kepemimpinan Paus mengembangkan sistem hukumnya sendiri atas dasar ajaran Kristus, yang kemudian terkenal benar sebagai hukum kanonik. Pengakuan akan peran hukum sebagai dasar kehidupan bernegara lalu serta merta menjadi amat bermakna di sini.

Di sini, menurut ide dan realitasnya yang mentradisi, norma-norma hukum

dirumuskan dan diundangkan, sistem peradilan dibina, lembaga-lembaga dibentuk dan ditata berdasarkan aturan-aturan hukum. Gereja lalu bukan lagi terkonsepkan sebagai suatu kesatuan spiritual melainkan, sama-sama seperti dan Negara Dunia, lalu mewujudkan diri sebagai suatu korporasi yang berstruktur birokratis, hierarkis dan berparadigma politik. Di sini pula para penguasa terikat oleh aturan-aturan hukum yang dibentuk, dinyatakan dan diundangkannya sendiri karena hanya dengan mematuhi prinsip dan konsep ideal rule of law yang berhakikat pula sebagai ide supremasi hukum ini sajalah para penguasa Gereja di satu pihak dan penguasa Kerajaan di lain pihak dengan segala kepastian akan dapat mengenali batas yurisdiksi pihak lain dan batas yurisdiksinya sendiri. Ide seperti ini memberikan kedudukan objektif kepada hukum dan menjadikan hukum suatu fenomena yang memanifestasikan adanya otoritas tersendiri dan independen, lepas dan berada di luar otoritas manusia-manusia pembentuk dan pengundangnya. Asasnya adalah The Rule of Law, dan bukan lagi The Rule of Men, seperti yang terjadi sebelum dimaklumatkannya Dictatus Papae Paus Gregorius VII dan konflik-konflik bersenjata yang kemudian menyusul. Pada wkatu itu yang disebut hukum adalah yang terutama bersumber dari nurani subjek-subjek atau kehendak-kehendak normatif (bahkan selera estetis dan etis) orang per orang.

Perkembangan Lebih Lanjut Konsep The Rule of Law

Sungguh menarik untuk dsimak bahwa ide supremasi hukum yang berkembang dalam wujudnya yang demikian itu sebenarnya dapat dikembalikan pada akar idealnya yang lebih awal lagi, yaitu konsep bahwa segala norma-norma hukum yang mengatur kehidupan manusia ini sebenarnya merupakah hasil pernjanjian manusia dengan Tuhannya. Perjanjian Lama antara umat Yahudi (untuk menaati perintah Tuhan) dengan Tuhan (yang akan menjanjikan balasan pahalanya) dan Perjanjian Baru antara umat Nasrani dengan Tuhan, kini secara diam-diam telah berkembang dalam wujudnya sebagai perjanjian antara dua penguasa untuk sama-sama menaati hukum Tuhan menurut tafsir dan batas yurisdiksi mereka masing-masing yang (bagaimanapun juga!) mestilah berkepastian. Pacta sunt servanda. Ide rule of law yang terlahir dari peristiwa sejarah yang terjadi sepanjang era pasca-maklumat Gregorius VII namun yang dapat dikembalikan ke ide supremasi hukum Tuhan sebagaimana dikisahkan di muka itu tetaplah bertahan sepanjang abad-abad berikutnya, dan tidaklah surut walaupun otoritas Gereja tercatat mundur secara pasti pada abad-abad 13-14.

Otoritas Gereja mundur karena ketergantungannya yang kian besar pada

penguasa-penguasa dunia yang harus menyediakan bantuan bala tentara dan dana-dana dengan memperoleh imbalan berbagai konsesi sepanjang berlangsungnya Perang Salib

Page 240: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

249

dua abad lamanya (tahun 1095-1291) untuk memperebutkan Tanah Suci, khususnya Darussalam (Yerusalem), yang nyatanya sia-sia. Mundurnya otoritas Gereja dalam percaturan politik kian bertambah tatkala Martin Luther (1483-1546), seorang teolog Jerman (yang diakui sebagai salah seorang reformis pembaru ajaran agama yang melahirkan apa yang kemudian oleh Max Weber disebut Protestantisme) menyerukan pentingnya segera melakukan rekonstitusi dalam kehidupan dan ajaran Kristiani. Reformasi Lutheran yang kemudian menyebabkan terjadinya perpisahan Gereja antara yang Protestan dan yang Katolik ini mengajarkan keharusan untuk segera melakukan proses depolitisasi Gereja, agar Gereja bisa lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan yang sepenuhnya eklesiastikal, dan dengan demikian juga menyegerakan terealisasinya proses sekularisasi negara-negara nasional berikut hukum-hukumnya. Adalah keyakinan Lutheran bahwa sentralisasi dalam segala urusan (tidak hanya yang akhirat tetapi juga yang duniawi) yang masih saja mesti dipulangkan ke tangan Paus di Roma hanya akan menyebabkan krisis-krisis dalam kehidupan berbangsa dan beragama di berbagai negeri yang tengah mengalami suatu kehidupan baru atas dasar kapitalisme yang tidak kunjung teratasi.

Namun demikian, ide rule of law dalam situasi yang menempatkan hukum pada

statusnya yang tertinggi (the supreme state of law) tidaklah ikut mundur begitu saja. Tak lain karena ide menempatkan hukum pada statusnya yang tertinggi itu tidak tergantung pertama-tama pada hadir-tidaknya kekuasaan Gereja melainkan pada fakta dan pengakuan atas fakta adanya dualitas atau bahkan pluralitas tertib dan sistem hukum dalam kenyataan sejarah, dengan kewenangan masing-masing penguasa yurisdiksi untuk membentuk (bukan membuat) hukum dari sumbernya yang Illahi. Adagium lama cuius regio eius religio yang bermakna “agama (dan tafsir-tafsirnya yang menjadikannya hukum dunia) yang dianut rakyat di suatu daerah akan ditentukan oleh siapa pun yang tengah menjadi penguasa yurisdiksi di situ” tetap berlaku. Adagium seperti inilah yang kemudian menyebabkan pluralitas sistem hukum di seantero negeri menjadi tetap terjaga dan terpertahankan, sekalipun konflik dan perang saudara antara para Pangeran di Jerman yang beragama Katolik dan yang beragama Protestan untuk berebut dominasi dan hegemoni terus saja berlangsung dengan amat sengitnya sepanjang masa-masa itu.

Pluralitas sistem hukum yang menjadi dasar paradigmatis eksistensi ide rule of

law seperti ini menjadi kian marak lagi pada abad-abad berikutnya tatkala kesadaran kebangsaan telah kian menyurutkan wibawa Gereja dan para Pangeran serta penguasa-penguasa lokal, dan akan gantinya menumbuhkembangkan satuan-satuan nasional dengan penguasa-penguasa kerajaan yang sentral. Ide rule of law tetap bertahan untuk memberikan kepastian mengenai hukum apa yang sebenarnya tengah berlaku di lingkungan yurisdiksi berbagai satuan baru yang terbentuk dalam format bangsa. Kali ini ide itu juga terfungsikan demi terjaminnya kepastian dalam hubungan antar-bangsa (baik dalam suasana damai maupun dalam suasana perang). Dalam perkembangan ini kian nyata betapa ide rule of law berfungsi pertama-tama demi kepentingan hubungan antar-yurisdiksi lebih-lebih sesudah tercapainya perdamaian di Westphalia pada tahun 1648 yang mengakhiri perang 30 tahun antara para Pangeran Katolik dan Protestan dan kali ini yang dimaksudkan hubungan antar-yurisdiksi itu tak lain (utamanya) adalah hubungan antar-yurisdiksi negara-negara bangsa. Kesadaran berbangsa telah menjadikan Eropa

Page 241: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

250

Barat memasuki era baru, suatu era yang mengakhiri proses the making of Europe sebagai The making of Kings (oleh atau atas wibawa Gereja). Peta politik Eropa kini (ikut) dibentuk oleh proses perkembangan kesadaran berbangsa, sekalipun konsep bangsa seperti yang terwujud di Jerman dan Perancis bisa berkembang berbeda dengan hasil yang berlain-lainan.

Sejak awal abad 17 sejarah Eropa memang menyaksikan maraknya

perkembangan negara-negara bangsa yang kian sekular, yang menjadikan kitab suci bukan satu-satunya sumber hukum. Inilah negara-negara bangsa yang kian nyata bersifat antroposentris (harap ingat dalam hubungan ini adanya kepercayaan bahwa vox populi, vox Dei) yang mengakhiri masa teosentrisme (yang percaya akan adanya hukum alam yang berlaku universal secara kodrati di luar kuasa rasionalitas manusia-manusia). Sementara itu, dalam perkembangan situasi seperti itu, muncul dan berkembanglah pula peran puak ketiga dengan tuntutannya untuk memperoleh pengakuan atas eksistensi hukumnya sendiri yang terbebas dari imperatif hukum Gereja ataupun hukum Kerajaan. Mereka yang termasuk puak ketiga ini adalah para saudagar yang tidak hendak bersetia kepada siapa pun yang tengah bersengketa kecuali kepada pasar yang netral. Di tengah peperangan yang melanda seluruh negeri, mereka menuntut jaminan kenetralan untuk tidak ditundukkan ke yurisdiksi Gereja maupun Kaisar dalam suatu hubungan yang hierarkis. Berkat kesediannya membayar pajak dan upeti, mereka berada pada suatu posisi untuk memperkuat tuntutan agar diakui kebebasan mereka untuk bergerak melintasi perbatasan-perbatasan negeri tanpa diganggu.

Di tengah perubahan kondisi sosial-ekonomi sepanjang abad sejak usainya wars of

investiture dan Perang Salib, peran para saudagar yang berkubu di kota-kota mulai kian marak. Pada abad pertengahan, kota-kota (cite, bourge, Burg) seperti itu dan bukan biara-biara dan bukan pula puri-puri berkembang sebagai pusat-pusat kegiatan baru dengan hegemoni paham mereka yang baru pula (yang disebut industrialisme, urbanisme, kapitalisme dan sekularisme) dalam rangka mengejar keselamatan dunia, yang lebih didahulukan sebelum mengejar keselamatan akhirat. Dalam perkembangan seperti itu manusia-manusia cite (citesein: citi+en) alias manusia-manusia bourge (bourgeoise) alias pula manusia-manusia Burg (burger) memperoleh jati dirinya yang juga baru. Mereka adalah individu-individu yang terbebas dari berbagai afiliasi lama untuk setia kepada kolektiva-kolektivanya yang semula, yang primordial dan/atau patrimonial sifatnya. Inilah jati diri yang lebih universalistis, berkesetaraan di antara sesamanya, suatu model homo aequalis yang karena itu selalu saling memandang kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan dalam setiap proses hukum dalam suatu kancah kehidupan baru yang nasional-translokal, terbuka, inklusif, dan tidak lagi mendasarkan diri pada prinsip domestisitas yang tertutup dan ekslusif (dengan suasananyayang serba privat dan personal serta pula hierarkis).

Konsep Rule of Law dalam Kehidupan Civil Society

Kian mengedepannya peran dan pengaruh kaum baru yang berkubu di kota-kota dalam perkembangan politik dan hukum di Barat sebagaimana telah dipaparkan di muka

Page 242: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

251

itu telah menambahkan warna-warna baru dalam perkembangan ide rule of law dalam suasana law state yang kian tergambar jelas dan tegas. Karena tidak tersubordinasi di bawah yurisdiksi siapa pun kecuali di bawah yurisdiksi hukumnya sendiri yang bersifat lintas-negeri, maka dalam posisinya yang netral demikian itu mereka yang kemudian dikenali sebagai kaum citesein atau bougeouise yang tuntutannya adalah untuk berkebebasan membuat hukumnya sendiri dan berkewenangan mengadili kaumnya sendiri berdasarkan hukumnya sendiri. Tuntutan seperti ini sebenarnya merujuk saja ke tradisi lama para baron tatkala mereka berhasil menolak berlakunya hukum dan peradilan Raja atau Gereja, yaitu tradisi iudicium pares. Ini adalah tradisi untuk menetapkan bahwa seseorang anggota kaum hanya bisa diadili oleh sesamanya dalam proses peradilan yang mendasarkan diri pada hukumnya sendiri yang dimaklumatkan sebagai law of the country).

Berkubu di kota-kota perdikan yang bebas dari campur tangan kekuasaan luar

mana pun, pengaruh kaum bourgeoise yang berkapital ini dalam percaturan sosial-politik Eropa Barat secara berangsur tetapi pasti menjadi kian amat bermakna, lebih-lebih tatkala peran modal-modal mereka yang harus ikut menyokong industrialisasi dan usaha meningkatkan pendapatan nasional masa itu. Berbasis di kota-kota yang otonom, dilindungi oleh berbagai charters atau chartula, mereka mewujudkan diri sebagai suatu sovietas civilis (civil, civis = warga) alias masyarakat warga yang eksis dan berfungsi sebagai satuan-satuan yang tak lagi berbasis hubungan patron-klien antara Gusti dan para kawulanya. Masyarakat ini terorganisasi sebagai satuan-satuan transdomestik dengan berbagai kegiatan produktif manufaktural di kota-kota yang otonom dengan hak untuk mengurus rumah-tangganya sendiri dan untuk mengatur berbagai hubungan internal antara mereka sendiri. Maka, berihwal dan bermodel seperti itu, masyarakat-masyarakat warga membuktikan diri sungguh berkemampuan menciptakan dan menguasai bersama suatu ruang publik (public sphere) yang netral di luar ruang privat-domestik mereka masing-masing. Inilah ruang yang dapat memberikan kebebasan gerak kepada para warga secara individual untuk mengatur hubungan antar-mereka sendiri yang sosial dan kontraktual sifatnya, di luar status mereka masing-masing yang terbilang domestik dan privat.

Mempelajari tatanan normatif masyarakat kota yang otonom, dapatlah diungkap

prinsip dasarnya, bahwa bangunan normatif (alias kostitusi) masyarakat yang satu ini sungguh-sungguh bersumber dari dalam sendiri, terbangun dan berbasiskan kesepakatan-kesepakatan kehendak para subjek warga yang dituangkan dalam wujud charter. Tak salah lagi, hubungan-hubungan antar-warga yang privat alias nonpublik itu pun dibangun atas dasar asas yang sama; yaitu dasar kesepakatan internal antar-subjek yang warga itu, tertuang dalam wujud perjanjian atau apa yang kini dikenali sebagai kontrak-kontrak. Tatanan normatif yang terwujud baik dalam ranah privat (kontrak) maupun dalam ranah publik (constitutional charters) seperti itu nyata kalau memungkinkan terwujudnya satuan-satuan kehidupan inklusif yang netral dan sekular, dan tidak lagi merupakan suatu kehidupan eksklusif yang berbasiskan religi, sebagaimana yang selama itu dipraktikan untuk menegakkan kehidupan masyarakat feodal dan negara Gereja dan monarki yang teokratis). Dalam hubungan ini, charters dan kontrak-kontrak masing-masing jelas telah

Page 243: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

252

mampu memandang dirinya sebagai makhluk yang rasional dan terbebas dari berbagai imperatif tradisi dan askripsi.

Kemungkinan untuk memahami dan menteorikan charters dan kontrak-kontrak

privat sebagai materi-materi yang memungkinkan terbangunnya internal legal order masyarakat warga yang otonom itu hanyalah dapat dikerjakan apabila orang bersedia memberangkatkan pemikirannya dari dua asumsi dasar: pertama bahwa manusia itu menurut kodratnya adalah makhluk yang bebas dan mampu berkehendak bebas untuk membuat pilihan-pilihannya sendiri secara rasional; dan kedua, bahwa kebebasan ini terkodratkan pada siapa pun yang manusia, tanpa kecualinya, sehingga setiap manusia harus dipandang berkedudukan sama. Asas kebebasan merujuk ke pembenaran adanya kemampuan manusia untuk mengekspresikan kehendak-kehendaknya yang subjektif; sedangkan asas kesamaan kedudukan merujuk ke pembenaran adanya kemungkinan manusia-manusia untuk membuat kesepakatan-kesepakatan kontraktual. Kesepakatan adalah refleksi intersubjektif individu-individu warga, dan terpandang sebagai pangkal awal terjadinya proses positivisasi dan objektivisasi yang menghasilkan charters atau hukum undang-undang yang dalam teori juga dikonsepkan sebagai kontrak (kontrak sosial!). Lewat proses kontraktual seperti itu terciptalah suatu ruang publik di antara sesama yang berkesetaraan.

Asumsi dan konsep dasar mengenai manusia individu bebas dengan kedudukan

yang bersederajat antar-sesamanya untuk membuat perjanjian bermasyarakat dan mencapai kesepakatan publik sebagaimana realitasnya tersimak dalam kehidupan masyarakat warga di kota-kota ini direkonstruksi, writ at large, oleh Rousseau (1712-1778) untuk merasionalisasikan model negara bangsa yang modern. Itulah sebabnya Rousseau tetap menggunakan istilan societe civile untuk menyebut negara bangsa. Karena “cuma” merupakan model hasil suatu rasionalisasi, notasi Rousseau mengenai adanya kesepakatan warga yang berkontrak sosial untuk membentuk suatu kehidupan bermasyarakat negara ini tidaklah dimaksudkan sebagai pengungkapan suatu kejadian faktual dalam sejarah. Kesepakatan kontraktual antar-manusia warga yang dimaksudkan ini, sekalipun bukan fakta dan fakta historis, akan tetapi amatlah berfungsi sebagai suatu konstruk abstrak dalam teori dan ajaran ketatanegaraan atas dasar prinsip demokrasi. Inilah doktrin atau teori yang akan menjelaskan secara normatif bagaimana suatu modus harus ditempuh agar suatu otoritas politik dengan segenap kawasan yurisdiksinya dapat dibentuk dan serta merta memperoleh dasar legitimasinya yang publik dan tidak privat (privilege).

Konstruksi kontrak sosial Rousseau mengetengahkan suatu moral politik baru,

bahwa kedaulatan – yang kemudian dikenali sebagai kedaulatan rakyat itu sebenar-benarnya berasal dari kedaulatan individu (yang bebas dan antar-sesamanya didoktrinkan sebagai berkesamaan derajat), dan dalam kehidupan nasional tidak sekali-kali bermula dari kedaulatan para penguasa, baikyang Kerajaan maupun yang Gereja. Kalaupun teori perjanjian yang klasik itu tetap dipakai di sini, perjanjian itu tidak lagi berarah vertikal (antara manusia dengan Tuhannya yang “di atas sana”) melainkan berarah horizontal antara manusia dengan sesama manusia yang “sama-sama ada di dunia ini”. Maka sekularisasi (atau tepatnya positivisasi) hukum telah terjadi, yang sekaligus menyatakan

Page 244: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

253

pengakuan legitimasi hukum yang internal, yuridis, temporal serta partikular, dan tidak sekali-kali eksternal, metayuridis, abadi dan universal. Maka pula, dasar legitimasi seluruh bangunan hukum nasional itu kini bukanlah lagi hukum Tuhan yang harus ditelusur ke sumbernya berupa Kitab ataupun alam, melainkan ke Grundnorm yang telah mengalami positivisasi itu, yang secara umum diistilahkan “konstitusi” atau yang di Indonesia diistilahkan “undang-undang dasar” (sebagai terjemahan dari grondwet) Rule of Law, Konsitusionalisme dan Perlindungan Hak-Hak Asasi Warga

Kini “konstitusi” suatu istilah baru yang mulai populer penggunaannya (untuk menggantikah istilah Charta atau chartula) sejak Amerika Serikat pada tahun 1787 menggunakan istilah The Constitution untuk menggantikan apa yang semula lebih dikenal dengan istilah charter – lebih tegas dan jelas lagi tidak cuma dipahamkan sebagai dokumen. Malah, lebih lanjut lagi, konstitusi bukanlah pula cuma dimengerti sebagai keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang secara fundamental mengkaidahi sifat, fungsi dan batas-batas kekuasaan atau kewenangan pemerintah. Konstitusi adalah juga suatu ajaran – suatu isme, konstitusionalisme yang mengajarkan keyakinan bahwa kekuasaan itu hanyalah fungsi kebebasan, dan bahwa kewenangan itu hanyalah fungsi hak-hak manusia warga negara. Luas-sempitnya kewenangan para penguasa pemerintahan akan ditentukan oleh kesediaan manusia-manusia warga untuk melepaskan (sementara!) sebagian dari hak-haknya yang kodrati dan asasi.

Menuruti konsepnya yang formal, konstitusi memang dapat didefinisikan sejumlah

ketentuan perundang-undangan yang disusun secara sistematis untuk menata dan mengatur pada pokok-pokoknya (dalam bahasa deklaratif) struktur dan fungsi berbagai institusi pemerintah termasuk ihwal kewenangan dan batas kewenangannya yang diperlukan demi berlangsungnya kehidupan suatu komunitas politik dalam formatnya yang nasional. Dalam artinya yang lebih sempit, konstitusi bahkan cuma diartikan sebagai charter atau dokumen yang memuat ketentuan-ketentuan tersebut. Padahal, sebenarnya konstitusi dalam artinya sebagai sejumlah ketentuan pasal dan ayat perundang-undangan itu cumalah gambaran tentang wadah atau raganya saja, dan bukan jiwa atau semangatnya. Dikatakan bahwa undang-undang itu dalam tarafnya sebagai undang-undang dasar sekalipun ternyata wujudnya hanyalah merupakan wujud manifestasi yuridisnya saja dan bukan hakikat nilai adabnya. Tak pelak lagi, untuk memahami makna-maknanya, orang harus bersedia dan mampu membongkar seluruh isi kandungan yang tersirat, dan tidak cuma yang tersurat, yaitu apa yang telah disebut di muka; “konstitusionalisme”.

Sebagaimana istilah “konstitusi” itu sendiri yang muncul sebagai pengalaman

kesejarahan pada suatu masa dalam kehidupan hukum dan politik orang-orang Barat, demikian pula istilah “konstitusionalisme” ini. Sekali lagi dikatakan dan diingatkan di sini bahwa esensi ajarannya bisa ditelusur balik ke awal perkembangannya dahulu pada masa-masa terjadinya berbagai reformatio dan/atau revolusi di benua Eropa Barat. Pada akhirnya, ide konstitusionalisme yang dijadikan tumpuan kehidupan bernegara dan

Page 245: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

254

kehidupan berhukum di negeri-negeri demokrasi dapatlah dipulangkan ke esensinya yang berjumlah dua. Yang pertama tentu saja konsep rule of law yang klasik, yang mengajarkan bahwa otoritas hukum itu universal mengatasi otoritas politik, (dan tidak sebaliknya), yang sekaligus juga menyiratkan kemenangan pluralisme atas monisme. Yang kedua ialah konsep yang muncul pada era yang lebih mutakhir, yaitu kebebasan sebagai hak manusia yang kodrati, yang tetap tak bisa diambil-alih kapan pun oleh kekuasaan di mana pun dalam kehidupan bernegara (inalienable), serta pula yang harus dijaga dan dipertahankan eksistensinya agar tetap intact, utuh dan tak tercacat cela karena terjadinya pelanggaran-pelanggaran atasnya (inviolable).

Sekalipun secara analitis elemennya dapat diidentifikasi dalam dua esensi, namun,

sebagai ide, apa yang dinamakan “konstitusionaliame” ini harus dipahami secara komprehensif dan holistik. Ide tentang kebebasan manusia yang kodrati dan yang tetap intact, sekalipun manusia-manusia ini sudah meninggalkan situasinya yang kodrati untuk hidup sebagai warga di dalam suatu komunitas politik, pada asasnya adalah juga ide tentang supremasi hukum, yang memberikan pembenaran bahwa dalam kehidupan publik yang berlaku adalah the rule of law dan bukan the rule of the politician man. Adalah suatu imperative bahwa setiap kekuasaan itu tak terkecuali kekuasaan penguasa pemerintahan, demi terjaminnya hak-hak manusia warga akan kebebasannya yang kodrati itu selalu harus terus dikontrol oleh hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi (the supreme state of the law). Doktrin supremasi hukum yang terkandung dalam ide constitutionalism ini tidaklah mempunyai maksud lain kecuali untuk menjamin kebebasan warga dari tindakan para pejabat pemerintahan pengemban kekuasaan politik yang mungkin saja disalahgunakan. Ini adalah ide tentang legitimasi internal, yang hanya terwujud kalau ada kemampuan pemerintah untuk menjamin dilindungainya hak-hak manusia individu akan kebebasan kodratinya.

Berseiring dengan perkembangan ide demokratis sejak akhir abad 18 itu amat

bermakna pulalah ide rule of law yang didekonstruksi ke arah idenya sebagai imperatif pembebasan manusia dari sembarang bentuk kekuasaan yang datang dari luar dirinya, yang nota bene otoritarian pula sifatnya. Manusia adalah makhluk yang pada asasnya bebas, yang hanya dapat diikat dalam berbagai komitmen atas dasar kemauannya sendiri yang bebas pula, melalui atau tidak melalui wakil, baik dalam ihwal perikatan-perikatan yang berlaku di ranah publik (yang menghasilkan produk-produk legislalif) maupun dalam hal perikatan-perikatan yang hanya berlaku khusus di ranah privat untuk para pihak sendiri (dalam wujud kontrak-kontrak). Hak kodrati yang asasi yang hanya dapat dibatasi oleh kehendaknya sendiri yang bebas pula, dan tidak oleh titah penguasa manapun juga itulah yang di dalam konstitusi dijamin sebagai hak-hak warga (civil rights, droits civil), sementara itu, karena pembatasan sesungguhnya merupakan suatu proses politik, maka tak pelak lagi demi terlindunginya hak-hak asasi yang disebut civil rights itu diperlakukanlah pengakuan atas kelengkapannya, yaitu hak-hak asasi manusia warga negara untuk ikut berpolitik (political rights, droits politique).

Jelas dapat diikuti dari uraian-uraian di muka bahwasanya ide kehidupan

bernegara nasional yang konstitusional dengan mengedepankan supremasi hukum (demi terlindunginya hak-hak manusia yang kodrati dan asasi) beranjak dari ide masyarakat

Page 246: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

255

warga, sekularisme dan humanisme itu bukanlah hasil rencara tersengaja semata, melainkan juga mengandung outentisitas yang bersifat kesejarahan. Dengan demikian semua ide itu tidaklah pernah dicanangkan cuma sebagai doktrin melainkan diterima sebatas fungsinya sebagai bagian dari sarana dan upaya manusia yang temporal di dunia yang fana ini untuk mempertinggi kualitas hidup dan kualitas pribadi. Ide-ide itu adalah produk-produk suatu kontinuitas dalam suatu proses tumbuh-kembang yang panjang, dan dipercaya mempunyai mekanisme internal yang selalu kritis dan progresif guna memperbarui diri sepanjang perjalanan sejarah. Krisis-krisis telah mengundang reformasi dan revolusi, yang pada gilirannya kemudian juga mengundang terjadinya dekonstruksi dan modifikasi konsep-konsep dan doktrin. Semua itu meneguhkan pernyataan bahwa doktrin-doktrin yang tengah kita perbincangkan ini adalah benar-benar merupakan cerminan kebenaran asas outentisitas kesejarahannya. Epilog: Doktrin Supremasi Hukum untuk Kehidupan Manusia Sejagad Kontemporer

Dari seluruh uraian di muka diketahuilah bahwa sesungguhnya konsep dan doktrin law state yang berhakikat sebagai rule of law itu berawal dan berakar dalam-dalam di dalam sejarah peradaban dan tradisi hukum kawasan Eropa yang berada di bawah pengaruh aktivitas politik raja-raja dan Gereja Katolik Barat. Sepanjang perkembangannya telah terjadi berbagai modifikasi dan mungkin juga distorsi oleh berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di luar kuasa manusia sendiri. Tatkala konsep dan doktrin ini pada suatu penggalan masa dalam perkembangan sejarah terlimpah pula ke luar kawasan Eropa, maka modifikasi dan distorsi akan pula terjadi. Modifikasi dan distorsi kali ini terjadi karena suatu proses yang tidak lagi bersifat transformatif melainkan transplantatif. Artinya, konsep dan doktrin law state alias Rechtstaat yang menekankan arti pentingnya rule of the supreme law itu tidak bermula dari bukti peradaban bangsa-bangsa di luar kawasan Barat itu sendiri melainkan diintroduksikan ke kawasan dengan bumi peradaban yang berbeda.

Dalam kasus ketatanegaraan dan ketatahukuman Indonesia, kalaupun doktrin

rechtsstaat ini juga dikenal di negeri ini, sebagaimana tersirat dalam UUD 45 dan tersurat dalam Penjelasannya, sesungguhnya doktrin tersebut masuk ke negeri ini sudah satu setengah abad yang lalu, yaitu tatkala negeri Nusantara ini masih lebih dikenal dengan nama De Nederlands-Oost-Indie. Diundangkannya Reglement Op Het Beleid der Regering van Nederlands-Indie dari tahun 1854, berikut positivisasi asas nullum delictum (nulla poena sine praevia lege poenali) sebagai mana tertuliskan di dalam pasal 1 Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders dari tahun 1872 membuktikan kenyataan itu. Pada masa itu konsep dan doktrin rechtstaat itu memang tidak lagi dipahamkan dalam maknanya yang klasik dari era pra-reformasi melainkan telah diartikan dalam konteks suasana liberalisme yang diperjuangkan oleh Revolusi Kerakyatan Perancis untuk mendasari kehidupan negara bangsa Perancis. Itulah konsep mutakhir dari masa itu yang diakui berwarna liberalisme yang klasik dari kaum penganut aliran laissez-faire, yang mendambakan rule of law sebagai pengaturan yang dimutlakkan sebagai penjamin terwujudnya kepastian hukum melalui upaya positivisasi hukum yang mengubah wujud

Page 247: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

256

hukum sebagai asas-asas normatif semisal asas-asas moral atau asas-asas keadilan (ius) menjadi hukum dalam wujudnya yang lebih terumus dan tertegaskan dalam bentuk-bentuknya yang positif (ius consitutum alias lege).

Sementara itu doktrin mengenai hukum yang harus didudukan dalam statusnya

yang supreme ini tidaklah berhenti begitu saja tatkala sejarah peradaban manusia tidak lagi cuma diartikan sebagai sejarah peradaban Eropa Barat. Doktrin ini mengalami reinterpretasi dan redefinisi tatkala sejarah peradaban manusia telah berformat sebagai peradaban manusia sejagad. Pada peralihan abad dari yang ke-20 ke yang ke-21 ini, doktrin ini telah pula mengalami dekonstruksi dan rekonstruksi, sejalan dengan kebutuhan dan pengalaman bangsa-bangsa manusia di dunia yang fana ini. Di Amerika yang tersimak sebagai negeri yang kuat menganut paham pragmatisme, munculnya aliran realisme dalam sejarah hukum konsep rule of law telah terpahamkan dengan warna-warna yang utilitarian dan mengejar kemanfaatan umum. Dekonstruksi mengenai peran hukum yang punya legitimasi sebagai norma penjamin ketertiban dalam statusnya yang tertinggi ini dari penjamin kepastian ke penjamin kemaslahatan umum telah kian nyata lagi tatkala seusai Perang Dunia II banyak negara bangsa di dunia ini berkepentingan dengan terwujudnya welfare state. Dalam perkembangan seperti ini kecurigaan dan/atau kecemburuan yang berlebihan kepada peran negara dalam penyelenggaraan tertib kehidupan tidaklah lagi sebesar apa yang tersimak pada era revolusi-revolusi kerakyatan dari akhir abad ke 18.

Bertolak dari paradigma yang sedikit banyak berlawanan dengan proposisi kaum

positivis, pada akhir abad 20 ini kian banyaklah keraguan di banyak kalangan apakah doktrin supremasi hukum itu memang dapat dilaksanakan secara konsekuen dengan efek menguntungkan semua warga masyarakat tanpa kecualinya? Ataukah doktrin seperti itu sekalipun senantiasa mengimajinasikan adanya persamaan kedudukan warga di hadapan hukum dalam kenyataan pelaksanaannya justru hanya akan mendiskriminasi mereka yang berposisi di pinggiran dan terbilang lemah serta rawan dalam jumlah massal, dengan efek hanya menambah-nambah kesenjangan saja dalam kehidupan yang riil? Apakah doktrin yang telah beriwayat lama dan tersaji dalam berbagai konstruk interpretatifnya itu dapat dan sempat pula mendatangkan keadilan dan kesejahteraan yang merata untuk setiap manusia tanpa kecualinya? Dengan perkataan lain, apakah asas the rule of law dan asas persamaan derajat serta hak di antara warga dan karena itu juga persamaan dalam ihwal memperoleh akses hukum itu dapat dilaksanakan secara bersamaan?

Maka maraklah kemudian pikiran-pikiran bahwa tatkala hukum memang

diinginkan agar tetap fungsional dalam kehidupan nasional yang modern, dengan mencegah terjadinya segala bentuk kesenjangan dan konflik, hukum itu – se-supreme apa pun statusnya, haruslah dapat dikritiki dan dikoreksi secara realistis sepanjang proses implementasi pelaksanaannya. Di sini hukum dalam arti keseluruhan peraturan perundang-undangan berikut doktrin-doktrin yang mengkonfigurasinya hanya akan dapat dikritiki dan dikoreksi (kalaupun tidak dalam rumusan-rumusan bakunya tentulah dalam interpretasi-interpretasinya) tatkala didekonstruksi dan dikonsepsikan ulang terlebih dahulu sebagai produk dan manifestasi kepentingan politik; dan tidak dimitoskan sebagai ekspresi keadilan komunitatif yang berkedudukan supremasi, dan yang oleh sebab itu lalu

Page 248: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

257

tak terbantah. Dikonsepkan secara realistis sebagai unsur suatu agenda politik yang tersembunyi, tidak cuma tatkala tengah diproses dalam perdebatan legislatif melainkan juga sepanjang proses menuju ke realisasinya sebagai fakta sosial yang signifikan. Hukum sepanjang perjalanannya di ranah eksekutif dan yudisial akan tetaplah dilihat sebagai institusi yang tak pernah lepas dari intervensi para subjek yang punya kepentingan.

Berkenyataan seperti itu, hukum dinyatakan bukan sebagai sesuatu yang objektif

dan netral, dan yang oleh sebab itu boleh didudukan dalam posisi yang supreme, yang oleh sebab itu pula boleh ditabukkan untuk tidak diganggu-ganggu dan tidak diintervensi dengan motif-motif politik. Sepanjang proses alasan itu pula, hukum seperti antara lain yang ditesiskan oleh puak yang menamakan dirinya penganjur critical legal studies dalam setiap wacana nasional nyatanya selalu bisa saja diintervensi oleh berbagai kebijakan, yang bermotivasi politik sekalipun. Di sini adagium lama ius contra legem yang telah terlanjur dimatikan pada era positivisme tampaknya akan hidup dan dihidupkan kembali. Tatkala demikian halnya, orang dari pandangannya yang ideal memang akan serta merta bersegera saja mempertanyakan “lalu di manakah letak kedudukan supremasinya hukum?” Di lain pihak, namun demikian, banyak orang yang akan pula bisa menjawab, “memangnya dalam kenyataannya hukum itu pernah terlaksana begitu saja secara murni sebagai sesuatu yang supreme?). Di tengah perubahan dan masa-masa krisis, polemik semacam ini antara hukum dan politik akan selalu saja marak. Sebenarnya sejak dahulu dalam sejarah baik sejarah yang di sana maupun sejarah yang di sini, baik yang terjadi pada masa lalu (semasa maraknya perkembangan negara-negara bangsa) maupun yang terjadi pada masa kini (tatkala banyak pengamat mulai menengarai terjadinya the end of nation states) polemik dan bahkan konflik antara yang hukum dan yang politik dalam situasi-situasi krisis yang tak berketentuan selalu saja terjadi.

Page 249: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

24

HUKUM DI BAWAH “KUASA” PARADIGMA LIBERALISME HUKUM nasional yang dibangun atas dasar paham aliran filsafat positivisme menghendaki penegasan (demi kepastian) mana yang harus didefinisikan dan dikategorikan sebagai hukum, dan mana pula yang harus didefinisikan dan dikategorikan sebagai norma-norma sosial biasa yang kepatuhan kepadanya atau pelanggaran terhadapnya tidak akan menimbulkan akibat hukum apa pun. Walhasil, hukum nasional yang menganut ajaran positivisme yang marak di Barat dan mengalami puncak keberhasilannya pada akhir abad 18, kemudian daripada itu akan dikenali sebagai hukum positif, dan tampil dalam rupa hukum perundang-undangan (lege, lex, atau ius constitutum yang berarti "hukum yang sudah terbentuk"). Walhasil, hukum yang sudah dipositifkan sebagai hukum nasional ini tidaklah lagi akan hanya berupa asas-asas umum yang tidak eksplisit (melainkan implisit-implisit saja!) mengenai apa yang harus dan boleh dilakukan dan mana pula yang terlarang (disebut ius) untuk dilakukan.

Positivisasi yang dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan dengan

demikian juga kepastian hak-hak manusia warga negara ini sesungguhnya merupakan bagian saja dari suatu tuntutan politik yang menghendaki pembebasan setiap individu manusia dari sembarang bentuk perhambaan, dan kemudian daripada itu juga mengendaki dapatnya hukum terdayagunakan untuk menjamin dihormatinya kebebasan yang telah diperoleh tersebut oleh siapa pun. Inilah tuntutan yang berangkat dari suatu paham yang di dalam wacana-wacana politik disebut paham “liberalisme”. Tak salah lagi, tuntutan positivisasi hukum demi tertatanya kehidupan bernegara modern yang dapat menjamin secara berkepastian kebebasan manusia-manusia individu warga negara itu memang sebenar-benarnyalah merupakan konsekuensi logis dari paham “liberalisme” itu. Dari paham inilah lahir paradigma yang menjadi dasar pembenar dalam maknanya yang moral maupun yang logikal bangunan seluruh bangunan teoretis hukum nasional yang modern. Seluruh bangunan teoretis hukum (yang di dalam bahasa Inggris dinamakan Jurisprudence) ini, baik yang berkenaan dengan pelafalan norma-normanya yang positif maupun yang berkenaan dengan konsep-konsep serta doktrin-doktrinnya yang diperlukan untuk menuntun interpretasi-interpretasinya, demi konsistensi konfigurasinya mestilah dikembalikan ke paradigma kaum liberalis ini.

Norma-norma dalam konstitusi tertulis berikut ajaran yang mendasarinya yang

disebut “konstitusionalisme”, misalnya, haruslah dimaknakan dan dimengerti berdasarkan paradigmanya, yaitu yang disebut “liberalisme” itu. Konstitusionalisme yang disyarati oleh paradigma liberalisme jelas akan mengarah ke pembenaran akan sifat enumeratifnya kebebasan warga di satu pihak, dan sifat limitatifnya kekuasaan para pengemban kekuasaan negara dipihak lain. Ini akan berkonsekuensi secara logis-yuridis

Page 250: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

259

pada suatu simpulan bahwa kekuasaan pemerintahan itu sesungguhnya adalah fungsi kebebasan. Artinya, bahwa besar-kecilnya kekuasaan pemerintah di tangan para pengemban kekuasaan negara akan ditentukan oleh keputusan konstitusional mengenai hal seberapa besar atau seberapa kecil kebebasan warga negara berdasarkan kesepakatan legislatif para wakil yang mereka percaya akan dilepaskan. Bagaimanapun juga, liberal atau tak liberal, sampai batas tertentu kebebasan harus bisa dikurangkan guna memungkinkan terwujudnya kewenangan-kewenangan menyelenggarakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Konsep "keadilan" yang dituntut agar selalu hadir menjiwai seluruh norma hukum

positif yang telah ada, sebagai misal yang lain adalah juga (tentu saja) keadilan yang bisa diterima berdasarkan paradigma liberalisme. Memberikan titik tekan sekali lagi pada arti pentingnya individu sebagai manusia yang berdasarkan kodrat kelahirannya merupakan makhluk yang berkebebasan, konsep keadilan di bawah kuasa paradigma liberalisme inipun tak pelak lagi adalah “keadilan yang komutatif”, dan bukan yang distributif. Keadilan komutatif bermakna bahwa keadilan itu merupakan hasil suatu proses pertukaran (co + mutation) antar-individu, untuk saling memberikan konsesi atas dasar kesepakatan yang berlangsung secara suka dan rela. Maka, di bawah kuasa paradigma liberalisme ini nilai keadilan yang harus menjiwai setiap norma hukum, baik yang berlaku di ranah publik menurut kesepakatan legislatif maupun yang berlaku di ranah privat menurut kesepakatan kontraktual, mestilah nilai keadilan yang komunikatif itu. Keadilan yang dimaksud ini bukanlah sekali-kali keadilan yang distributif alias keadilan yang diberikan atas dasar pembagian sumber daya menurut keputusan sang penguasa yang “kepala suku” (tribunus).

Kecuali doktrin mengenai persoalan bagaimana materi hukum yang normatif itu

mesti dimaknakan (sebagaimana telah diuraikan di muka), di bawah paradigma ini pulalah berlakunya doktrin-doktrin yang selama ini kita ketahui tentang persoalan bagaimana kekuasaan pemerintah demi tetap terjaganya kebebasan individu yang asali dan kodrati itu harus diwaspadai dan di kontrol secara institusional. Doktrin trias politica dan seterusnya juga doktrin yang berkenaan dengan fair trial haruslah dapat dimengerti dari asas dasar paradigma liberalisme ini. Kekuasaan pemerintahan harus dipecah dan dibagi demikian rupa sehingga tidak menggumpal di satu tangan yang salah-salah akan bisa mengakibatkan runtuhnya kedaulatan rakyat untuk digantikan oleh kedaulatan negara yang absolut. Maka, kekuasaan eksekutif haruslah dibatasi sampai kewenangan hanya untuk melaksanakan tegaknya hukum undang-undang yang dibentuk oleh badan legislatif (yang berhakikat sebagai lembaga perwakilan rakyat) saja. Sementara itu badan yudisial haruslah tak lebih dari “mulut yang membunyikan kalimat-kalimat undang-undang” belaka.

Contoh-contoh ilustratif masihlah dapat dicari dan ditambah-tambahkan di sini,

semua akan mengarah ke teori normologis, yaitu ajaran dan/atau konsep yang bahwasanya hukum nasional yang positif itu demi kepastian terwujudnya jaminan akan terlindunginya kepentingan manusia-manusia warga negara mestilah bertolak dari paradigma "harus tetap diakuinya dan dihormatinya kebebasan yang melekat secara kodrati pada diri manusia-manusia individu, sekalipun mereka ini kemudian telah

Page 251: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

260

bersalin rupa dari wujud semulanya yang makhluk alami ke wujudnya yang baru sebagai manusia warga suatu negara". Paradigma ini terrealisasinya dalam praktik-praktik kehidupan hukum dan berbagai negara nasional nanti, namun demikian tidaklah tersimak seragam di mana pun dankapan pun. Dalam kenyataan sejarah, sekalipun bertolak dari paradigma yang pada asasnya tidak berbeda, realisasi deduktif teoretiknya itu tidak selalu dan selamanya menghasilkan resultante yang sama. Berbagai varian selalu ada. Setidak-tidaknya dapat ditunjuk adanya 3 varian. Yang pertama adalah varian Laissez-faire menurut model Prancis yang bermula dari alam pemikiran tokoh-tokoh bangsa ini dari akhir abad 18, sedangkan varian kedua adalah varian liberalisme yang menuruti model Amerika yang berawal dari akhir abad 18 juga, dan varian ketiga adalah varian welfare-state yang berkembang menuruti model yang lebih kontemporer dari akhir abad 20.

Varian Prancis boleh dibilang merupakan varian yang paling ekstrem dalam hal

tiadanya kepercayaan pada sembarang bentuk kekuasaan pemerintahan. Ekstremitas ini boleh dijelaskan dari kenyataan telah terlalu mutlaknya kekuasaan nasional di tangan raja-raja Prancis pada masa yang lalu, yang kemudian membangkitkan perlawanan intelektual maupun fisik dan yang berujung pada terjadinya revolusi amat berdarah dan penuh terreur (teror) pada tahun 1789. Tumbangnya kekuasaan ancient regime melahirkan konstitusi ketatanegaraan baru yang mengambil model antitesisnya, yaitu bentuk demokrasi liberal yang tidak tanggung-tanggung dalam hal hendak menghadapi dan membatasi kekuasaan pemerintahan. Dalam model antitesisnya yang ekstrem ini tampaknya tercermin betapa besar kecurigaan atau ketidakpercayaan rakyat pada eksistensi kekuasaan, demikian rupa sehingga dalam konstitusi Prancis versi pasca revolusi ini kekuasaan pemerintahan menjadi memberat ke tangan parlemen, dan tidak ke tangan eksekutif. Walhasil, menurut konstitusi Prancis ini perilaku politik kekuasaan eksekutif di tangan Perdana Menteri dan Kabinetnya akan selalu dikontrol, diselidik dan dinilai oleh Parlemen secara terus-menerus. Begitu diketahui ada detournement de pouvoir dilakukan oleh eksekutif, lalu Parlemen dengan suara mayoritas mengajukan mosi tak percaya, maka tanpa ayal lagi dengan serta merta pemerintahan akan jatuh. Karena datangnya mosi tak percaya bisa sewaktu-waktu, tak pelak pula jatuhnya sebuah kabinet bisa pula terjadi sewaktu-waktu

Lain Prancis, lain pula Amerika. Sekalipun kedua-duanya menganut prinsip

liberalisme, liberalisme menurut versi Amerika yang penganutnya acap kali lebih sering dikenali dengan sebutan "kaum libertan" daripada "kaum liberalis" tertengarai lebih bersedia memperlihatkan sikap toleran pada hadirnya kekuasaan daripada apa yang diperlihatkan dalam praktik ketatanegaraan Prancis. Sejak awal perkembangannya liberalisme Amerika yang terpadu dengan pragmatisme dan realisme sebagaimana secara umum dianut di negeri ini bersedia menerima hadirnya kekuasaan (yang tentu saja tetap harus dikontrol demi kebebasan individu) sebagai sesuatu yang di dalam kata-kata pernyataan Thomas Paine, dikatakan evil akan tetap necessary. Itulah penjelasannya mengapa Amerika, yang berbeda dari sistem parlementer yang dianut Prancis, lebih suka menganut sistem pemerintahan presidensiil yang memberikan kesempatan kepada the Chief Executive untuk “bercokol” selama 5 tahun sebelum bisa dinilai ulang untuk dilengserkan atau tidak dilengserkan lewat pemilihan umum yang langsung. Dalam sistem Amerika ini pulalah pembentukan norma-norma hukum positif tidak dikuasakan

Page 252: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

261

melulu kepada parlemen, yang karenanya kewibawaan produk-produknya dijaga berdasarkan ajaran hierarki perundang-undangan yang menyatakan bahwa lex superiori derogat lex inferiori.

Dalam praktik sistem presidensiil Amerika itu tersimak betapa pentingnya peran

regulatory laws yang dibuat oleh Presiden untuk merespon kebutuhan hukum yang berkembang cepat, dan betapa pula arti pentingnya the judge-made laws, dengan peneguhannya berdasarkan doktrin "asas preseden", yang konon akan mampu memutakhirkan hukum sesuai dengan fungsinya sebagai tool of social engineering.

Dikaji dengan jalan memperbandingkan apa yang dikonstitusikan di Prancis dan

apa pula yang telah dikonstitusikan di Amerika, bolehlah dikesan bahwa paradigma liberalisme itu bukan lagi suatu prinsip dasar yang bersifat aksiomatis, melainkan suatu konstruksi rasional dengan hasil yang bisa bervariasi menurut nuansanya dalam suatu garis kontinuum. Varian ditentukan oleh ide realitas sejauh mana kebebasan individu bolehdan selaiknya dioptimalkan dan sehubungan dengan itu sejauh mana pula kekuasaan boleh dan selaiknya ditenggang. Dalam perkembangan yang lebih kemudian, tatkala krisis-krisis ekonomi dan politik yang serius melanda berbagai negeri di berbagai kawasan dunia, orang pun mulai merasa harus mempertimbangkan kembali peran yang dapat dimainkan negara (bentuk pengemban kekuasaannya yang disebut “pemerintah”) dalam variannya yang baru untuk mengatasi krisis-krisis semacam itu.

Dalam situasi seperti itu, paham liberalisme klasik apalagi yang berslogankan individualisme Laissez-nous faire et passer dari masa revolusi Prancis 1789 menjadi tidak lagi populer untuk dapat dipandang sebagai satu-satunya yang paling ideal. Sekalipun tidak sejauh apa yang dikatakan dalam pembukaan UUD 45 Republik Indonesia, yang memberikan legitimasi yuridis kepada negara dan pemerintah untuk bertindak secara relatif leluasa guna melaksanakan berbagai misi kebangsaan, negara-negara liberal Barat yang dalam perkembangannya di akhir abad 20 ini mulai mengidentifikasi diri sebagai welfare state itu pun mulai menengang terjadinya apa yang disindirkan sebagai the creeping socialism. Di bawah modifikasi paradigma liberalisme inilah terbentuknya perundang-undangan sosial yang jelas-jelas telah mengingkari doktrin hukum di bawah paradigma liberalisme klasik bahwa negara itu hanyalah berfungsi sebagai watchdog saja.

Apa pun kisah tentang variannya, namun demikian satu telah pasti, yaitu bahwa

paradigma liberalisme dalam konfigurasi sistem hukum nasional yang positif ini adalah asumsinya yang bertolak dari ide dan ideologi lama mengenai the rule of law, bahwa hukum dan badan peradilan itu menurut sifatnya yang hakiki adalah suatu institusi yang netral. Hukum yang telah mengalami positivisasi adalah reluctance kehendak-kehendak yang semula normatif dan subjektif namun yang kemudian telah menjadi suatu fenomena yang objektif, yang tidak lagi berada di dalam ranah subjektivitas individu-individu yang berpihak dalam pergulatan kepentingan itu. Maka hukum yang dikatakan demikian itu adalah tak lain daripada a set of objectified subjectivity, yang kemudian daripada itu mempunyai eksistensinya sendiri, terlepas dari manusia-manusia subjektif penciptanya. Rule of Law adalah sebenar-benarnya rule of law dan bukan rule of men. Dari sini pula

Page 253: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

262

lahirnya ide dan ideologi paradigmatis mengenai the (supremacy) state of law alias rechtstaat (hukum yang memiliki status khusus, yaitu status supremasi, yang di dalam bahasa Indonesia secara salah kaprah telah diterjemahkan ke dalam istilah "negara hukum"). Inilah idiologi atau doktrin yang hendak menegaskan bahwa hukum itu mempunyai statusnya sendiri yang mengatasi kekuatan normatif lainnya, yang karena itu tidak akan pernah bisa ditundukkan di bawah sembarang kepentingan politik dan nafsu kehendak kekuasaan manusia siapa pun.

Cabaran antitesis yang mengingkari kenetralan hukum akan datang dari aliran lain

dalam ilmu hukum yang tidak lagi berparadigma liberalisme dengan anggapannya bahwa hukum dan hakim yang menjadi personifikasinya itu selalu berposisi netral. Adapun aliran lain ini adalah aliran kritis dalam ilmu hukum Amerika yang mulai dikenal pada akhir tahun 1970-an dengan memaklumkan diri sebagai aliran pendukung pengkajian hukum secara kritis, yang dinamakan the critical legal studies. Pendukung aliran ini mengembangkan pemikirannya dengan bertolak dari sudut keprihatinan melihat kenyataan bahwa banyak problema sosial-politik dan hukum di Amerika yang disebabkan oleh kontroversi-kontroversi dalam pengambilan keputusan oleh para eksekutif pengontrol kebijakan politik yang tidak mudah lagi dikontrol oleh hukum yang ada pada saat itu. Aliran ini, dengan merujuk ke teori-teori neo-Marxian menyarankan perlunya mengkaji permasalahan hukum sebagai permasalahan yang sarat dengan persoalan politik, dan bahwa hukum dalam praktik itu tidaklah netral seperti yang diprasangkakan oleh paradigma-paradigma dan teori alias doktrin hukum yang ada sebelumnya sebagaimana diyakini oleh kaum positivis yang juga liberalis itu.

Sekalipun tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa prinsip rule of law dan

supremasi hukum itu sebagai suatu yang “omong kosong”, aliran yang berakronim CLS ini tetap secara konsisten mengetengahkan pendapat bahwa setiap permasalahan hukum tidak akan menemukan pemecahannya yang realistis tatkala tidak dianalisis terlebih dahulu sebagai permasalahan sosial dan budaya, khususnya lagi permasalahan politik. Sekalipun pula tidak hendak menggolongkan diri ke dalamkajian non-yuridis yang scientific dan tetap bertahan dalam kubu kajian jurisprudence untuk menyempurnakan seni dan moral aplikatifnya di ranah profesi hukum, para eksponen ini mulai banyak melakukan (mengajak melakukan) upaya pemanfaatan hasil-hasil kajian ilmu pengetahuan sosial tentang hukum. Langkah kebijakan aksiologis seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dianjurkan terlebih dahulu oleh para pengkritik aliran positive jurisprudence; seperti misalnya oleh hakim Oliver Wendell Holmes yang merintiskan paham realisme dalam ilmu hukum, atau oleh Roscoe Pound yang menganjurkan pemfungsionalan hukum khususnya keputusan-keputusan hukum secara positif oleh para hakim sebagai tool of social engineering dan yang dengan demikian merintiskan aliran functional atau sociological jurisprudence. Namun demikian, segera menjadi nyata bahwa aliran kritis ini menonjolkan sifatnya yang lebih kritis dan analitis dan bahkan mungkin cenderung skeptis pada setiap produk hukum, notabene produk kerja manusia yang nyatanya selalu berkepentingan dan memperjuangkan kepentingan lewat berbagai cara yang tidak selamanya jujur.

Page 254: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

25

DOKTRIN APAKAH SESUNGGUHNYA YANG TERKANDUNG

DALAM ISTILAH NEGARA HUKUM? Dalam penjelasan UUD 45 (yang dijadikan bahan penataran P4 pada masa yang lalu), apa yang disebut “negara hukum” disebutkan di situ secara lebih lengkap dalam suatu rangkaian kata-kata: “negara yang berdasarkan hukum”. Sebenarnya istilah ini, entah dituliskan pendek-pendek entah pula dituliskan agak panjang sebagai suatu frase, adalah hasil terjemahan dari istilah hukum berbahasa Belanda rechtstaat, atau yang di dalam bahasa Jerman dituliskan Rechtstaat atau pula yang di dalam Bahasa Inggris dituliskan the lawstate atau the state of law.

Ada dua kata dari istilah aslinya yang perlu kita cermati lebih dahulu maknanya agar kita dapat mengartikan secara betul dan benar substansi yang terkandung dalam ajaran atau doktrin hukum rechtstaat itu. Pertama-tama tentang istilah staat yang dalam bahasa Indonesia terterjemahkan ke dalam kata istilah “negara”; dan yang kedua adalah istilah recht yang di dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan memungut bahasa Arab “hukum”, pertama-tama konon oleh Snouck Hurgronje. Harus Diartikan Apakah Staat dalam Istilah Rechtstaat Itu? Tidaklah boleh dikatakan keliru apabila salah seorang penyusun UUD 45 (konon Prof. Dr. Soepomo) menyarankan penggunaan terjemahan “negara hukum” untuk menerjemahkan kata istilah Belanda rechtstaat. Staat (atau state di dalam bahasa Inggris dan etat dalam bahasa Prancis) memang menunjuk ke pengertian suatu organisasi politik suatu bangsa, yang para pecipta istilah dalam bahasa Indonesia menggunakan kata “negara” untuk maksud yang sama. Tetapi, tidaklah salah pula kalau penerjemahan yang demikian itu adalah penerjemahan yang harafiah saja, dan tidak sekali-kali bisa dibilang sebagai penerjemahan yang lebih bersifat konseptual dan/atau sintagmatis. Akan tetapi, tidaklah boleh dilupakan bahwasanya istilah staat itu juga bisa berarti “status”. Dengan demikian istilah rechtstaat di dalam bahasa Belanda (atau lawstate di dalam ahasa Inggris) itu dapatlah pula tanpa halangan diartikan sebagai “status hukum”. Maksudnya ialah status yang tertinggi dalam hierarki norma-norma ketertiban di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; atau, yang di dalam bahasa Inggris dikatakan the supremacy state of law. Dengan perkataan lain, hukum itulah yang harus dirujuk pertama-tama, dengan mengatasi norma-norma apa pun lainnya, demi terwujudnya kehidupan bersama di dalam organisasi negara nasional.

Page 255: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Dua versi terjemahan kata staat ini memang tidak menghasilkan pengertian akhir yang berlawanan, bahkan bisa saja malah saling menegaskan. Dapatlah diperoleh kejelasan dan ketegasan bahwa di dalam “kehidupan bernegara bangsa yang berdasarkan hukum, tak pelak lagi hukum itu selalu beroleh status yang tertinggi, dan oleh sebab itu akan mengatasi berlakunya norma-norma sosial yang lain”. Hanya saja, tatkala kata istilah rechtstaat diterjemahkan “negara hukum”, maka arti yang dibawakan oleh terjemahan itu hanya hendak sebatas mengatakan bahwa “dalam kehidupan bernegara itu perilaku setiap orang harus punya dasar pembenaran hukum”. Sementara itu, tatkala kata istilah rechtstaat diterjemahkan dan diartikan sebagai “status hukum yang tertinggi, mengatasi norma-norma sosial yang lain”, maka titik tekan permasalahannya tidak lagi pada ihwal kehidupan bernegara (yang harus mendasarkan diri pada pembenaran hukum). Alih-alih, titik tekannya berpindah ke ihwal kedudukan hukum (yang “super” di dalam kehidupan bernegara). Harus Diartikan Apakah Recht dalam Istilah Rechtstaat Itu? Konsep Kaum Positivis Tatkala titik tekan dalam permasalahan rechtstaat ini diletakkan pada ihwal hukumnya, maka akan menjadi crucial atau pelik/rawan di sini soal “apa yang dimaksudkan dengan hukum (yang diberi posisi superior) di sini ini”. Di sini akan terjadi polemik seru antara berbagai aliran pemikiran doktrinal dalam ilmu hukum, khususnya antara para yuris legis yang berpikiran posivistis dan para yuris yang realis dan berpikiran kritis. Polemik seperti ini tidak sampai terjadi tatkala orang menerjemahkan dan mengartikan kata rechtstaat sebatas sebagai “negara hukum”, dan tidak sampai mempersoalkan ihwal “hakikat dan status hukumnya itu sendiri”. Para legis – yang juga disebut yuris dari kelompok kaum positivis – mengajarkan bahwa yang namanya hukum itu tak lain daripada apa yang didefinisikan berikut ini. Hukum adalah norma-norma keadilan (ius) yang telah dibentuk (constitutum, constituted) menjadi aturan-aturan hidup oleh suatu badan legislatif melalui berbagai prosedur yang formal, dan yang kemudian daripada itu diumumkan (diundangkan) sebagai hukum yang berlaku secara pasti (di”iya”kan, dipositifkan) dalam suatu wilayah negara tertentu, yang oleh karena itu pula akan mengikat seluruh warga negara tanpa kecualinya. Itulah hukum positif, yang juga disebut hukum undang-undang (lege, lex, ius constitutum), yang oleh sebab sifat prosedurnya juga disebut hukum formal, yang kemudian daripada itu sering juga disebut hukum negara, diundangkan sebagai produk badan legislatif. Maka, dengan definisi yang membataskan hukum sebagai hukum undang-undang seperti itu, para yuris positivis akan mendoktrinkan rechtstaat (negara hukum) kurang dan lebihnya sebagai berikut. Negara hukum adalah “negara yang menata seluruh kehidupan di dalamnya berdasarkan atas aturan-aturan hidup yang telah dipositifkan secara formal sebagai undang-undang, yang oleh sebab itu telah berkepastian sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di suatu wilayah negeri”. Bertolak dari definisi negara hukum seperti itu, tak pelak lagi doktrin supremasi hukum akan terbataskan sebagai

Page 256: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

supremasi undang-undang. Maka, bertolak dari definisi seperti ini pula, pengetahuan tentang isi undang-undang dan tentang bagaimana menangkap makna-maknanya, lalu menjadi aset penting bagi seseorang yang hendak melibatkan diri ke dalam percaturan hukum secara benar dan memenangkan suatu perkara hukum dengan cara yang akan dipandang benar pula. Harus Diartikan Apakah Recht dalam Istilah Rechtstaat Itu? Konsep Kaum Realis Konsep negara hukum – yang bertandem dengan konsep supremasi hukum – sebagaimana didefiniskan oleh kaum positivis di muka, yang mengidentikkan hukum dengan undang-undang, nyata kemudian kalau berkonsekuensi ke terjadinya praktik percaturan hukum yang hanya bisa diikutsertai dan diperansertai oleh kaum elite saja. Pemahaman hukum perundang-undangan yang memerlukan kemahiran kebahasaan untuk mengartikannya dan kemahiran teknis untuk menggunakannya telah mengucilkan khalayak ramai dari kemungkinan melibatkan diri ke dalam percaturan hukum. Pengucilan ini tetap saja terjadi sekalipun percaturan itu akan amat bersangkutpaut dengan kepentingan hidup para awam ini. Tidak terdidik dalam liku-liku keilmuan dan keahlian hukum, pendapat para warga awam – yang hanya dapat menanggapi setiap permasalahan dan perkara hukum berdasarkan kepekaan cita rasanya saja mengenai apa yang harus dipandang adil dan apa pula yang harus dinilai tak adil – boleh dikatakan tidak pernah digubris para elite hukum yang profesional itu. Perlawanan teoretis (tetapi kemudian juga politis) terhadap konsep kaum positivis yang berpikiran elitis – dan yang telah mendominasi praktik dan pemikiran hukum sepanjang abad 19 – datang sejak awal abad 20 dari para ahli hukum Amerika yang mau berorientasi sosial/sosiologis. Kaum realis dalam kajian hukum dari tahun 1940an menggugat kebenaran pikiran kaum positivis yang menyatakan bahwa hukum positif produk legislatif nasional itulah yang harus diakui sebagai satu-satunya hukum yang berlaku secara universal di seluruh negeri. Kaum realis berpendapat bahwa dominasi pemikiran positivistis seperti itu akan berefek teringkarinya tata normatif yang berlaku secara partikular sebagai tradisi atau “hukum tak tertulis” di kalangan para awam dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut kaum realis yang berorientasi populis ini, pemberlakuan hukum positif ke seluruh negeri tanpa kecualinya itu memang tidak ada salahnya. Akan tetapi, demikian menurut kaum realis itu lebih lanjut, di dalam penerapannya nanti untuk menyelesaikan suatu perkara in concreto, bukan hanya bunyi teks-teks hukum undang-undang saja yang harus menjadi dasar putusan perkara melainkan juga tafsir-tafsir kontekstualnya yang sosial dan kultural. Doktrin kaum realis menolak cara penafsiran hukum yang terlampau tekstual, dan yang cuma dilakukan berdasarkan silogisme deduksi demi terjaga dan terlestarikannya konfigurasi hukum perundang-undangan semata. Cara seperti ini hanya akan memberikan kesempatan yang terlampau besar kepada produk pemikiran kaum elite – baik yang politisi di parlemen berikut klien-klien pelobinya maupun yang yuris-

Page 257: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

profesional yang berperan sebagai hakim alias “mulut yang hanya akan mengucapkan bunyi undang-undang” – untuk berperan mengarahkan hasil putusan hukum. Harus Diartikan Apakah Recht dalam Istilah Rechtstaat Itu? Konsep Para Yuris dari Aliran Kritik Bertolak dari – dan melanjutkan apa yang telah dimulai oleh – kaum realis, pada belahan akhir tahun 1970-an berhimpunlah sejumlah yuris dalam garis tradisi realisme yang, melalui kajian dan diskusi-diskusinya, tiba pada suatu kesimpulan yang lebih jauh lagi bahwa setiap hukum perundang-undangan hasil kerja para elite yang politisi ataupun yang birokrat itu secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi selalu memihak ke kepentingan para klien mereka. Inilah klien-klien dari kalangan kaum mapan yang mampu melakukan lobi-lobi politik, yang jarang dapat dilakukan oleh klien-klien dari kaum pinggiran yang rawan. Tidaklah ada hukum yang dengan demikian bisa dikatakan netral dan tak memihak, dan – kalaupun memihak itu harus dipandang wajar – tidaklah hukum perundang-undangan yang diproses para elite itu akan memihak kepentingan mereka yang lemah dan rawan. Berangkat dari simpulannya yang cenderung hendak “mencurigai” itikad baik para pembentuk undang-undang berikut para pelaksananya, dapatlah dimengerti mengapa kaum kritisi dalam ilmu dan praktik hukum ini sangat bersemangat reformatif. Menurut kaum ini, setiap produk perundang-undangan dan amar-amar putusan yudisial haruslah selalu bisa secara terus-menerus dicermati, dikaji kembali lewat peninjauan ulang yang kritis (reviewed), dan tatkala dipandang perlu produk itu diperbarui (reformed) demi kepentingan khalayak ramai. Kian banyak dikaji dan dikritik untuk memperbarui isi dan semangat pemihakannya, seluruh proses review dan reform itu akan kian terkikislah karakter elitisme dan kecenderungan represif undang-undang itu, untuk digantikan oleh karakternya yang populis dan kecenderungannya untuk bersikap responsif ke kebutuhan hukum kaum pinggiran. Doktrin kaum kritisi ini menganjurkan (bahkan memperjuangkan) terbukanya kesempatan yang luas kepada siapa pun (tanpa kecualinya) untuk ikut mendapatkan akses ke forum tempat hukum diperbincangkan dan dimaknakan. Dikatakan di sini bahwa hukum bukanlah hanya merupakan urusan para elite-profesional (yang mendukung dan/atau didukung oleh elite-elite politik, ekonomi, sosial, budaya atau elite-elite macam lainnya) saja. Hukum – lebih-lebih tatkala dikatakan berkedudukan tertinggi di dalam kehidupan negara, mengatasi kaidah-kaidah sosial lainnya – bukanlah hasil interpretasi sepihak mereka yang secara tak adil sering memperoleh akses lebih luas untuk berbicara mengenai soal bagaimana hukum harus dibuat, dimengerti dan digunakan.

Dikatakan bahwa hukum dan pemanfaatannya dalam kehidupan bernegara ini adalah urusan semua orang. Hukum mestilah dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum, dan – dalam masyarakat yang sebenar-benarnya majemuk, dengan komunitas-komunitas yang berbagai-bagai – haruslah diakui bahwa hukum itu, sebagai realitas dalam kehidupan ini akan terinterpretasi secara beragam pula, customized menurut tempat dan

Page 258: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

waktu serta menurut subjek atau para subjek yang hendak memanfaatkannya. Sekalipun undang-undangnya satu, tetapi penafsirannya bisa berbeda-beda dari pengguna ke pengguna dan dari kesepakatan yang dicapai oleh para pengguna dari para pengguna yang satu ke para pengguna yang lain. Di sini berlakulah seperti yang pernah dikatakan oleh Marc Galanter, bahwa dalam kehidupan ini tak terhindarilah adanya kenyataan akan adanya many laws in many rooms. Yang penting di sini bukanlah kepastian hukum melainkan kemaslahatan hukum. Tegas dan jelasnya, kemaslahatan itu adalah kemaslahatan bagi mayoritas yang umumnya terbilang miskin, lemah, dan belum beruntung dalam kehidupan ini.

Ilustrasi Mengenai Konsekuensi Perbedaan Pemaknaan Arti Hukum: Memaknakan Arti “Kepentingan Umum”. Dalam suatu kasus yang diangkat sebagai perkara korupsi dengan terdakwa Winfred Simatupang, pengacara terdakwa mohon ke majelis agar terdakwa dibebaskan karena tidak terbukti merugikan keuangan negara. Bukankah uang sebesar 40 milyar itu – setelah “disembunyikan di bawah bantal dua tahun lamanya” – telah bisa ditunjukkan masih dalam keadaan utuh dan akan bisa dikembalikan kepada negara dalam keadaan tak akan kurang barang satu sen pun? Maka, apabila demikian halnya, bukankah unsur “merugikan keuangan negara” dalam perbuatan pidana yang dituduhkan jaksa lalu menjadi tidak terbukti? Dan terdakwa yang bernama Winfred Simatupang itu lalu serta merta harus dinyatakan tidak bersalah dan oleh sebab itu juga harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum? Debat atau polemik mengenai perkara yang terpapar di muka itu, andai kata dikaji melulu secara yuridis-positivistis saja, tentu saja hanya berkutat di seputar pengertian “keuangan negara” dan pengertian “merugikan keuangan negara”. Akan tetapi, dari perspektif pandangan kaum realis dan kritisi yang populis itu, yang akan dipersoalkan di sini tidaklah sekali-kali persoalan negara dengan segenap kepentingannya. Yang harus dipersoalkan di sini, juga oleh hukum pidana yang terbilang hukum publik untuk melindungi kepentingan publik itu, tak pelak lagi tentulah kepentingan mereka yang dibilangkan sebagai “publik”; dan apa yang dinamakan “publik” itu tak lain daripada “khalayak ramai”. Bukankah kata “publik” itu berasal dari kata Latin publicus, yang sebenarnya berasal dari kata poplicus dan populus yang berarti the people, yang di dalam Bahasa Indonesia akan diartikan “penduduk” atau “orang ramai” atau pula “khalayak umum”.

Besarlah kecurigaan kaum realis dan (lebih-lebih lagi) kaum kritisi tatkala istilah public oleh para ahli hukum – yang administrator dalam jajaran eksekutif ataupun yang hakim dalam jajaran yudisial – lalu diartikan begitu saja sebagai “negara”. Tatkala demikian halnya, maka seluruh kata public interest dalam hukum perundang-undangan itu (juga hukum perundang-undangan tentang keuangan negara) lalu diartikan sebagai kepentingan negara dan bukan kepentingan khalayak/masyarakat umum. Kalau demikian itu pemaknaannya, maka seluruh uang 40 milyar yang disimpan Winfred Simatupang

Page 259: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

memang akan diartikan sebagai “tidak merugikan keuangan negara”. Akan tetapi tidakkah di sini telah terjadi perbuatan (pidana) yang telah merugikan kepentingan khalayak ramai (karena tidak jadi memperoleh sembako seharga 40 milyar yang amat diperlukan pada masa krisis yang lalu)? Maka, demikianlah dalam setiap usahanya menafsirkan isi pasal-pasal dan ayat-ayat perundang-undangan, kaum realis dan kaum kritisi selalu berprakarsa untuk setiap saat melawan setiap hukum perundang-undangan berikut tafsir-tafsirnya dalam amar-amar putusan hakim yang selalu hendak cenderung merujuk saja secara menyebelah ke kepentingan negara dan pejabat-pejabat penyelenggaranya saja. Posisi pemihakan kaum realis/kritisi sudah jelas kalau akan condong ke kepentingan masyarakat umum. Di sini kaum realis/kritisi akan mempertanyakan “apakah yang sebenarnya dimaksud dengan “kepentingan negara” itu. Itu “kepentingan negara” ataukah “kepentingan publik”. Ilustrasi Mengenai Konsekuensi Perbedaan Pemaknaan Arti Hukum: Memaknakan Arti “Praduga Tak Bersalah” Doktrin hukum positif mengajarkan bahwa, demi terlindunginya hak-hak asasi manusia individu warga negara, setiap orang di hadapan para pejabat negara dan khususnya juga di hadapan hakim harus dipradugakan tidak berbuat kesalahan karena melanggar ketentuan-ketentuan hukum. Asas legalitas mengatakan bahwa nullum delictum, nulla poena lege poenali. Akan tetapi, dalam hal ini bukannya tidak ada perkecualian. Atas dasar alasan tertentu, berdasarkan hukum perundang-undangan mengenai acara berperkara, atas nama publik – dalam arti khalayak ramai (yang tak boleh diartikan sebagai kepentingan individu) – polisi dan jaksa (dan juga pengacara dalam perkara perdata) diwenangkan untuk menduga seseorang telah berbuat salah. Atas dasar asas praduga bersalah inilah polisi berkewenangan untuk menangkap – dan jaksa pun berkewenangan untuk menyeret ke hadapan sidang pengadilan – seseorang yang diduga bersalah karena melanggar ketentuan hukum. Di sidang pengadilan itulah seseorang yang ditangkap dan ditahan (dan kemudian diadili) itu harus diduga tak bersalah. Tetapi diduga tak bersalah oleh siapa? Ya, “hanya” oleh siapa lagi kalau bukan oleh hakim. Sedangkan oleh jaksa (dan oleh sebagian dari khalayak ramai yang merasa telah dirugikan) boleh-boleh saja kalau si terdakwa tetap diyakini telah bersalah, yang karena itu mesti dituntut dan dimohonkan pemidanaannya kepada hakim, (sekalipun di lain pihak para pengacara terdakwa dan para sanak kerabat serta para sahabat si terdakwa yakin bahwa si terdakwa sama sekali tak bersalah). Tatkala kemudian pada akhir sidang pengadilan sang hakim dengan segenap keyakinannya (tentu saja berdasarkan bukti-bukti yang ada) bersimpulan bahwa terdakwa bersalah maka jatuhlah putusannya untuk menghukum. Pada tahap ini, hakim pemutus perkara itu tidaklah lagi terikat pada asas praduga tak bersalah. Pada tahap banding, praduga bersalah – oleh jaksa demi dan atas nama kepentingan khalayak umum – tetaplah berlaku. Di sini, dengan tetap menghormati hak

Page 260: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

terdakwa untuk mohon banding, jaksa pun harus pula ikut mohon banding. Jaksa tetap bekerja demi kemaslahatan khlayak ramai. Kepentingan umum haruslah tetap ia dahulukan daripada kepentingan warga individu yang tengah didakwa (sekalipun individu itu bernama Akbar Tanjung). Tindakan jaksa dalam perkara ini tidak hanya berdasarkan prinsip utilitarianisme, akan tetapi juga berdasarkan pembenaran yang telah diberikan menurut ajaran realisme dan ajaran kritisisme dalam ilmu dan praktik ilmu hukum. Asas praduga tak bersalah hanya berlaku bagi para hakim pada tingkat banding, dan tidak berlaku pada khalayak ramai yang dirugikan atau merasa dirugikan, beserta sang jaksa yang selalu bertindak sebagai pengacara atas nama publik (public attorney, bukan state attorney).

Maka, demikianlah penjelasannya, juga dalam setiap usaha menafsirkan suatu asas dalam ajaran hukum, kaum realis dan kaum kritisi selalu berprakarsa untuk senantiasa melawan setiap pemaknaan hukum berikut asas-asas ajarannya yang maunya hendak merujuk ke kepentingan negara dan pejabat-pejabat penyelenggaranya saja. Posisi pemihakan kaum realis/kritisi sudah jelas kalau akan condong untuk selalu mendayagunakan hukum – yang formil ataupun yang materiil – ke kepentingan masyarakat umum.

Tatkala jalan pemikiran doktrinal kaum realis dan khususnya kaum kritisi itu dirujuk untuk menjelaskan perkara Akbar Tanjung – yang belum juga selesai sampai saat ini – maka jelas sudah kalau Akbar Tanjung itu harus dipraduga telah bersalah. Demi kepentingan khalayak umum, dan bukan demi kepentingan suatu institusi politik tertentu, Akbar Tanjung harus sudah bisa diduga bersalah, kecuali pada saatnya nanti tatkala hakim pada tingkat banding meyakini bahwa ia tak bersalah. Mudah-mudahan saja hakim pada tingkat banding telah pernah terdedah pada doktrin kaum realis dan kaum kritisi, mampu memahaminya dengan baik, dan karena itu lalu tidak terus berkutat saja pada doktrin-doktrin klasik dari abad yang lalu.

Page 261: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

BAGIAN LIMA

MASYARAKAT WARGA, KEBANGSAAN, DEMOKRASI DAN PENEGASAN KEMBALI REFORMASI

Hukum yang dimaknakan sebagai pengatur tingkah laku manusia, sehingga hukum dapat didudukkan sebagai variabel yang berpengaruh pada dinamika sosial-politik. Di pihak lain, sebaliknya, dinamika sosial-politik ternyata juga berpengaruh pada bagaimana hukum dimaknakan, dipergunakan dan disosialisasikan. Lebih dari itu, bahkan dinamika sosial politik berpengaruh pada bagaimana pembuatan atau perubahan isi hukum.

Tulisan-tulisan yang dimuat pada bagian ini menyajikan analisis berbagai dinamika sosial-politik yang berpengaruh terhadap eksistensi hukum. Analisis yang disajikan berpusatkan pada masyarakat warga, kewarganegaraan, kebangsaan/nasionalisme, demokrasi, kemajemukan budaya, pembangunan dan reformasi. Dalam bagian ini, berbagai analisis yang terpisah-pisah seakan-akan dimuarakan ke visi mengenai perkembangan yang dicita-citakan terwujudnya di bidang hukum.

Page 262: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

26

DARI MASYARAKAT KAWULA-GUSTI DALAM OLD SOCIETY

KE MASYARAKAT WARGA DALAM NEW STATE MASYARAKAT WARGA (atau yang di dalam bahasa asingnya disebut civil society, atau yang di Malaysia diistilahkan “masyarakat madani”) adalah suatu bentuk masyarakat ideal di mana di dalamnya tidak dikenal adanya diskriminasi antara mereka yang berstatus “yang dipertuan” dengan segala hak-hak istimewanya dan mereka yang berstatus “yang diperhamba” dengan segala macam beban kewajibannya. Masyarakat warga adalah suatu masyarakat ideal yang di dalamnya hidup manusia-manusia yang di dalam hablul min anasnya diakui berkedudukan sama dalam soal pembagian hak dan kewajiban. Mereka ini adalah warga-warga yang berkesetaraan, musawah, sama-sama berkebebasan dan berkeberdayaan.

Pada masanya yang pramodern, masyarakat warga seperti ini hanya dijumpai dalam kehidupan komunitas-komunitas otonom yang mampu membebaskan diri dan bertahan dari kontrol kekuasaan penguasa-penguasa feodal. Di negeri-negeri Barat pada masa itu, masyarakat-masyarakat warga seperti itu didapati hidup dan mengorganisasi diri di dalam enklave-enklave bertembok yang disebut city. Itulah sebabnya para anggota masyarakat tersebut di negeri-negeri itu sejak saat itu disebut citizen (warga kota) atau civilian (dari kata civis yang berarti “warga”) begitu saja. Berbeda dari mereka yang harus hidup sebagai hamba-hamba di bawah kekuasaan para penguasa feodal yang setiap saat dapat direkrut sebagai anggota balatentara sang penguasa itu, mereka yang civilian itu akan tetap berstatus sipil – alias preman atau freeman alias orang merdeka – yang tak dapat diperintah begitu saja oleh para penguasa apabila tanpa perjanjian guna menyepakatkan kehendak terlebih dahulu.

Warga kota memang orang merdeka. Mereka sungguh terbebas dari segala bentuk per-ulur-an dan perhambaan di bawah duli para penguasa feodal yang lokal itu. Tidak seperti para hamba dan para ulur, mereka tidak terikat secara askriptif oleh berbagai macam nisbat untuk terus setia dalam status pengabdian kepada para penguasa lokal itu. Para ulur dan para hamba akan berkewajiban mengabdi selama hidup, baik pada masa perang (sebagai serdadu-serdadu, dengan para penguasa feodal sebagai perwiranya) maupun pada masa damai (sebagai pekerja-pekerja ladang dengan para penguasa feodal sebagai tuan-tuan tanahnya).

Pada mulanya, di tengah-tengah kehidupan old societies yang umumnya masih didominasi oleh stelsel ekonomi yang feodalistis itu, masyarakat warga – sebagai suatu satuan sosial yang khusus dan istimewa karena statusnya yang “perdikan” – adalah suatu masyarakat khusus yang berfungsi sebagai satuan-satuan produksi yang tak lagi berbasis keluarga di bawah kontrol keluarga para ningrat. City dan citizens terorganisasi dalam wujud gilde-gilde yang punya kegiatan usaha produksi sekunder, manufaktural, di kota-kota yang otonom dan merdeka untuk mengatur serta mengurus kehidupannya sendiri. Dalam skalanya yang relatif kecil dan formatnya yang relatif sederhana, partisipasi warga dalam berbagai kegiatan hidup – tak cuma yang ekonomis akan tetapi juga yang politik –

Page 263: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

273

dapatlah dilaksanakan secara langsung, seperti yang dahulu terjadi di berbagai polis pada zaman Yunani kuno atau pula yang berlangsung di buroughs pada era feodalisme Eropa.

Dalam perkembangan yang lebih kemudian, tatkala bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan mutlak para Gusti yang feodal (sebagai akibat revolusi-revolusi kerakyatan) kehidupan berkembang ke skala dan formatnya yang lebih besar, melampaui batas-batas kota ke arah terjadinya negara bangsa yang berhakikat sebagai negara teritorial, apa yang disebut masyarakat warga pun lalu tak lagi cuma bermakna sebagai masyarakat warga suatu kota, melainkan sebagai masyarakat warga suatu negara. Istilah citizen, denizen, citoyén, Burger, atau burgeouis yang semula diartikan sebagai “warga kota”, kini – tanpa perubahan – dipakai untuk menyebut “warga negara”. Pengakuan status sebagai warga dalam suatu kehidupan bernegara yang berskala nasional itu mengisyaratkan bahwa segala bentuk perbedaan – sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial dan/atau kultural – menjadi tidak relevan lagi, dan bahkan juga sama sekali tidak fungsional.

Warga bukanlah kawula atau oknum yang karena kedudukan sosial dan/atau afiliasi kulturalnya yang berbeda dari yang tengah berkuasa lalu boleh diperlakukan dengan sewenang-wenang. Warga adalah pengemban hak – sebagian malah diyakini bersifat kodrati dan asasi – dan yang oleh sebab itu tak lagi boleh diperlakukan secara semena-mena sebagai hamba-hamba oleh siapa pun. Sementara hamba-hamba ialah mereka yang cuma tahu menanggung beban kewajiban tanpa pernah merasakan nikmatnya hak yang memberikan rasa kesejahteraan. Kalaupun warga itu pada suatu ketika harus juga menanggung beban kewajiban, kewajibannya yang asasi itu tak akan lain daripada kewajiban untuk menghormati dan untuk ikut menegakkan hak-hak sesama warga. Kewajiban warga harus boleh dipastikan terlahir dari hak sesama warga, dan tidak sekali-kali terlahir dari kesewenang-wenangan sang penguasa. Bagaimanapun juga setiap warga negara itu harus dipandang berkedudukan sama di hadapan hukum; maka oleh sebab itu mereka itu pun juga akan memperoleh bagian hak dan bagian kewajiban dalam jumlah dan macam yang pada asasnya sama, tak lagi terbeda-bedakan secara diskriminatif. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu terlahir dari kesediaan masing-masing pihak yang dinyatakan secara bebas, tanpa paksaan, untuk berbagi hak dan/atau kewajiban, melalui akad-akad atau perjanjian-perjanjian yang berkesepakatan, yang melahirkan hubungan-hubungan serba kontraktual.

Baik di negeri-negeri Barat pada abad 18 maupun di negeri-negeri Timur pada abad 20, proses berkembangnya ide dan paham tentang manusia sebagai pengemban hak (yang sebagian bahkan bernilai asasi agar manusia dapat memperoleh secara optimal kesejahteraan dan martabatnya yang mulia) terkisah dalam sejarah sebagai peristiwa yang terjadi bersamaan dengan marak dan berkembangnya ide untuk membangun suatu negara bangsa yang demokratis dan berinfrastruktur masyarakat warga yang menolak diskriminasi. Di dalamnya tak lagi dikenal diskriminasi yang memilah masyarakat ke dalam golongan mereka yang harus dipertuan dan golongan mereka yang harus diperhamba. Masyarakat baru yang disebut masyarakat warga (dengan suprastrukturnya yang disebut negara bangsa yang berkedaulatan rakyat) itu – demikian menurut model idealnya – adalah suatu masyarakat baru yang terorganisasi dalam negara baru yang berasaskan kebebasan. Kesejahteraan dan kemuliaan pada asasnya hanya akan dapat ditemukan dan diperoleh apabila para warga dapat hidup dan bergerak dalam suasana berkebebasan.

Page 264: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

274

Kebebasan tentu saja akan diharamkan apabila dalam pelaksanaannya sampai mengancam kebebasan sesama warga yang juga sesama manusia itu. Maka kebebasan itu – demi kepentingan dan kemaslahatan bersama – dapatlah setiap waktu dikurangi atau dibatasi. Namun, kebebasan itu hanya boleh dikurangi atas dasar kesepakatan yang dicapai tanpa rasa keterpaksaan dan/atau terkecoh oleh para warga itu sendiri (atau oleh wakil atau kuasanya), yang kemudian harus dipositifkan dalam wujud kontrak (dalam kehidupan privat) atau undang-undang (dalam kehidupan publik). Maka hak-hak dan kewajiban-kewajiban para warga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu – juga hak-hak mereka yang asasi berikut pengurangannya dalam wujud kewajiban-kewajiban – mestilah berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan ikhlas, tanpa rasa keterpaksaan dan rasa dikecoh atau disesatkan. Hak dan kewajiban yang menjadi dasar dari seluruh tertib hukum di dalam kehidupan bernegara bangsa dan di dalam kehidupan masyarakat warga tidaklah sekali-kali boleh bermula dari kehendak yang dipaksakan sepihak: dipaksakan oleh dia yang tengah punya kekuatan dan kekuasaan kepada dia yang tengah berada dalam posisi lemah dan kurang berdaya.

Sebagus itu model idealnya, namun dalam kenyataan tidaklah sebagus dan semulus itu realisasinya. Dalam pengalaman bangsa-bangsa Barat, realisasi membangun masyarakat warga – dengan komunitas politik yang demokratis serta yang dibangun berdasarkan hukum (nota bene hukum yang merupakan manifestasi kesepakatan bersama para warga) sebagai suprastrukturnya – selalu berlangsung melalui revolusi-revolusi berdarah. Itulah revolusi-revolusi yang diperlukan untuk menumbangkan terlebih dahulu kekuasaan para Gusti sebelum suatu masyarakat baru yang didasarkan kedaulatan rakyat (para warga) dapat dibangun. Revolusi kemerdekaan Amerika (1776) dan revolusi Prancis (1789) adalah dua contohnya yang terkenal di dalam sejarah dunia.

Bahwa kedua revolusi tersebut benar-benar merupakan revolusi yang diilhami cita-cita menuju ke terbentuknya masyarakat baru dengan warga yang terbebaskan dari segala bentuk perhambaan, dan kemudian – dalam kedudukannya yang bebas itu – juga berkedudukan setara di antara sesamanya tanpa diskriminasi macam apa pun, nyata dari slogan dan ikrar yang dicanangkan pada masa revolusi itu. Ialah liberty, equality (and pursuit of happiness) di Amerika dan liberté, egalité (et fraternité) di Prancis. Diikrarkan di sini bahwa sesungguhnya setiap manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa itu adalah warga yang pada asasnya berkebebasan dan berkesetaraan dan berkesamaan derajat dan martabat. Ikrar ini menjadi bernilai sebagai hukum dasar yang positif tatkala juga dielaborasi lebih lanjut sebagai suatu proklamasi atau deklarasi, ialah Declaration of Independence di Amerika dan Declaration des Droit de l’Homme et du Citoyen di Prancis.

Memaklumkan secara terbuka persamaan derajat para warga – tanpa mengenal lagi pemisahan yang diskriminatif antara para Gusti yang boleh dibenarkan untuk selalu dipertuan dan para hamba yang sudah semestinya diperbudak untuk selalu patuh pada perintah – tak pelak lagi deklarasi itu pun menyuratkan hak-hak asasi manusia di dalam kedudukan mereka yang baru sebagai warga negara yang sebangsa. Inilah sejumlah hak yang diyakini dan harus diakui sebagai hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk yang bersosok manusia, karena tanpa jaminan hak yang asasi seperti itu keselamatan dan kesejahteraan hidup sesama manusia akan sulitlah dipastikan. Itulah sejumlah hak yang dipunyai karena sifat kodrati manusia sebagai manusia, dan bukan sekali-kali hak yang datang sebagai hasil pemberian para Gusti, penguasa duniawi yang

Page 265: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

275

sekalipun sudah disembah namun tak urung acap pula tetap berulah lalim. Itulah hak-hak manusia yang karena bersifat asasi dan kodrati tidaklah akan dapat dicabut atau boleh dirampas oleh siapa pun sesama manusia. Hanya Allah sematalah yang dapat menghentikan berlakunya hak-hak itu.

Kalaupun cita-cita untuk membangun kehidupan bermasyarakat warga dalam suasana kehidupan bernegara bangsa atas dasar asas kedaulatan para warga (yang secara kolektif disebut “rakyat”) itu acap kali dikisahkan sebagai bagian dari sejarah bangsa-bangsa Barat, itu tidak serta merta berarti bahwa pengalaman manusia-manusia Barat itu boleh diabaikan sebagai pengalaman yang sia-sia, yang oleh sebab itu bolehlah dilupakan atau diabaikan. Kini, pada akhir abad 20 Masehi, banyak bangsa di berbagai belahan bumi ini tengah bergulat – baik dalam pemikiran maupun dalam berbagai ikhtiar nyata – untuk membangun suatu kehidupan baru yang penuh kemaslahatan. Tak pelak lagi, dalam pergulatan banyak orang yang mulai juga menilai bahwasanya pengalaman bangsa-bangsa Barat dalam pergulatan mereka merealisasi terwujudnya masyarakat yang penuh kemaslahatan bagi warga dan rakyatnya (yang dalam bahasa asingnya disebut masyarakat res publica = republik) amatlah berguna untuk dipelajari dan dimanfaatkan – kalaupun tidak untuk ditiru sepenuhnya dalam suatu rentang waktu yang singkat – sebagai bahan pelajaran yang berharga.

Kini kita memasuki suatu era baru yang ditengarai oleh suatu proses perubahan cepat ke arah kehidupan global yang tak lagi mungkin dielakkan. Dalam kehidupan global ini, dunia terkesan kian menyatu, tidak hanya sebagai akibat kemajuan teknologi transportasi yang menisbikan jarak-jarak akan tetapi juga sebagai akibat revolusi teknologi komunikasi yang menisbikan waktu. Dalam era global, perbatasan-perbatasan nasional menjadi kian tak riil karena sudah menjadi demikian gampangnya dilintasi jutaan manusia berikut dana kekayaan dan/atau ide-idenya. Dalam suasana seperti itu, kehidupan bangsa yang satu tanpa dapat dielakkan – dengan segala akibatnya, yang positif maupun yang negatif – akan tak mungkin dikecualikan dan dikucilkan dari kehidupan bangsa yang lain.

Kini bangsa-bangsa mana pun di dunia ini tengah menemukan dirinya berada di suatu ambang transformatif menuju ke model kehidupan sebagai new nation states, dan dalam model kehidupannya yang baru itu harus lebih banyak mengembangkan kerja sama antarbangsa dalam konteks kehidupan global yang menyatu, yang mungkin amat berkeragaman namun yang tak mungkin lagi dipisah-pisahkan. Etnosentrisme, sektarianisme dan nasionalisme yang picik mau tak mau harus mulai ditinggalkan untuk digantikan dengan paham-paham kebangsaan yang lebih berperikemanusiaan (kemanusiaan yang adil dan beradab) dengan menghormati sesama manusia sebagai warga umat. Kemanusiaan akan lebih mendekatkan bangsa-bangsa ke arah kerja sama daripada ke nafsu mengobarkan peperangan-peperangan secara tak berkeputusan. Semua itu diupayakan guna menemukan kesejahteraan bersama, demi kelangsungan hidup manusia sebagai satu kesatuan umat. Dalam suasana seperti itu sudah sepatutnya bangsa yang satu belajar dari pengalaman dan kearifan bangsa yang lain. Kalaupun tidak untuk ditiru sepenuhnya dan seutuhnya, sekurang-kurangnya dapatlah semua pengalaman luar itu dikaji dan dipelajari sebagai bahan bandingan yang bermanfaat. Tak pelak, apabila tak dihambati konservatisme kuno, masyarakat warga akan terwujud, tak hanya dalam lingkup kehidupan new nation state melainkan juga di dalam lingkup the global society.

Page 266: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

27

KONSEP KEWARGANEGARAAN DALAM KEHIDUPAN

BERNEGARA BANGSA: SEBUAH PENJELASAN RINGKAS “Kewarganegaraan” adalah suatu konsep yang sebenarnya belum berumur lama. Konsep ini – dalam versinya yang modern – berkembang secara berangsur dalam praktik, wacana dan pemikiran serta esai-esai bersamaan waktu dengan tumbuh-kembangnya negara-negara bangsa dan pencarian format hukum nasional yang lebih berkepastian, positivistis dan sekular di Eropa Barat sejak abad 18-an. Konsep ini kemudian memperoleh rumusannya yang lebih pasti pada akhir abad 19 dengan terbentuknya dua negara Republik lewat dua revolusi, yaitu Revolusi Kemerdekaan Amerika (1776) dan Revolusi Kerakyatan Prancis (1789).

Memang benar tatkala dikatakan bahwa sejarah kehidupan bernegara itu – dan karena itu juga pengertian yang mendefinisikan siapa saja para warga yang boleh berpartisipasi dalam kehidupan politik dan publik di ranah-ranah yang non-domestik dan privat – telah beriwayat lama. Akan tetapi pada masa yang telah berlalu lama itu kehidupan bernegara yang menjadi konteks permasalahan kewargaan itu bukanlah kehidupan bernegara modern yang beruang lingkup satuan bangsa (nation) pada tatarannya yang lebih abstrak, melainkan yang beruang lingkup satuan kota (polis, cite, bourg) pada tatarannya yang lebih konkret. Maka menjadi “warga” dalam kehidupan bernegara pada masa itu sebenarnya “cumalah” menjadi warga dari suatu kota (bourgeouise) dan bukan warga dari suatu negara yang mencakup warga sebangsa (citoyen, citizen). Karakteristik yang Melekat pada Pengertian Warga dalam Kehidupan Bernegara Bangsa Namun demikian, sekalipun berbeda dalam skala dan tataran, namun ada karakteristik yang bertahan dalam konsep kewargaan, dari konsepnya yang klasik sebagai citesein atau bourgeouise (dalam kehidupan negara kota abad pertengahan) ke konsepnya yang baru sebagai citoyen atau citizen (dalam kehidupan negara bangsa yang modern dan lebih inklusif). Pertama adalah bahwa para warga itu merupakan manusia-manusia bebas, dalam arti tidak terikat oleh peraturan hidup yang datang dari luar kolektivanya sendiri yang otonom, melainkan oleh kehendak bebasnya sendiri, yang boleh dibatasi hanya atas dasar kesepakatan-kesepakatan dengan sesamanya. Kedua adalah bahwa para warga itu mengaku dan saling mengakui kesamaan derajat dan kesamaan martabat sesama warga yang juga sesama manusia itu dalam setiap kegiatan bermasyarakat di ranah publik dan dalam setiap kegiatan dalam kehidupan bernegara yang dikenali sebagai kegiatan politik, bersejalan dengan hak-hak warga yang tanpa ayal dibilangkan sebagai hak-hak manusia yang asasi.

Page 267: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

278

Karakteristik-karakteristik itulah yang kemudian kita kenali sebagai substansi yang kemudian tatkala dipositifkan dikenali orang sebagai unsur hak-hak manusia yang asasi, yaitu the civil rights (hak-hak sipil) dan the political rights (hak-hak politik). Tersebut pertama, yaitu the civil rights, adalah seperangkat hak warga akan kebebasannya untuk tidak dikungkung oleh aturan-aturan hidup di luar kemauan dan kesepakatannya sendiri. Hak-hak warga ini adalah hak-hak yang harus dipandang tidak hanya asasi tetapi juga kodrati, yang akan menjamin eksistensi setiap warga secara individual sebagai manusia-manusia bebas yang oleh sebab itu berkedudukan otonom, alias wenang membuat aturan (nomos)-nya sendiri (auto) secara bebas, tanpa dapat didikte oleh kekuatan luar mana pun, entah itu kekuatan yang bersumber dari kekuasaan sang raja atau para Gusti lainnya (yang acap kali mengaku sebagai representasi kekuasaan supranatural), entah itu kekuatan yang berasal dari sumber-sumber kekuasaan asing yang eksploitatif. Kebebasan warga sebagai hak warga yang asasi ini jelas kalau bersambung dengan haknya untuk ikut membuat keputusan-keputusan politik dalam kehidupan bernegara mengenai apa yang harus diambil dan/atau dihasilkan sebagai kesepakatan, misalnya kesepakatan legislatif. Membebaskan diri dari pasungan-pasungan askriptif kekuasaan normatif yang eksternal sebagaimana dikatakan di muka, para warga harus mampu membuat kesepakatan-kesepakatan, dalam posisi masing-masing yang otonom, mengenai apa yang harus disepakatkan secara jelas dan tegas (positif) sebagai hukum yang harus berlaku di antara mereka. Inilah hukum perundang-undangan (entah yang terbilang sebagai undang-undang dasar, entah pula yang terbilang undang-undang organik yang berkedudukan di bawahnya), yang dihasilkan oleh para warga sendiri berdasarkan kesepakatan yang bertolak dari kehendak bebas masing-masing. Dua karakteristik yang terefleksi sebagai hak-hak manusia warga yang asasi tersebut di muka inilah yang sesungguhnya mewarnai dan mensyarati kehidupan bernegara (sejak yang klasik sampai ke yang modern) yang dilandaskan pada prinsip-prinsip kewargaan. Tanpa hadirnya karakteristik kebebasan dan kesamaan derajat seperti itu, yang ditemui orang dalam pengalaman bernegara tidaklah lain daripada kehidupan bernegara yang otokratik, yang berhakikat pula sebagai kehidupan yang berdasarkan asas-asas kekeluargaan yang patriarkal, dengan raja atau penguasa sebagai patriarkh yang berkuasa mutlak di puncak. Revolusi-revolusi di akhir abad 18 di Amerika dan Prancis adalah revolusi-revolusi yang mengakhiri kekuasaan patriarkh-patriarkh semacam itu, berikut sistemnya yang amat hierarkis, dan menggantikan dengan kehidupan baru yang berdasarkan asas kebebasan (liberty, liberte) dan asas kesamaan derajat (equality, egalite), dan dalam revolusi Prancis juga dicanangkan asas persaudaraan (fraternite) yang dimaksudkan sebagai perlawanan dan simbol perlawanan untuk melepaskan setiap manusia dari kungkungan askripsi sistem hierarki yang dibela kaum patriarkh. Yang masih menjadi permasalahan di sini yaitu, apakah kewargaan dalam kehidupan bernegara modern itu sekaligus juga bermakna atau harus dimaknakan sebagai kewargaan dalam kehidupan berbangsa? Apakah kehidupan bernegara modern (dengan konsep kewargaan dalam interpretasinya yang modern) itu mesti juga berarti berkehidupan dalam negara bangsa, Lalu, apakah yang dimaksudkan dengan “bangsa” di sini ini? Apakah dalam artinya yang klasik dan harafiah sebagai “sekelompok orang yang

Page 268: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

279

seketurunan” (alias sewangsa) atau tunggal-asal-kelahiran dari moyang yang sama (nation – natus – nasci = dilahirkan)? Ataukah dalam artinya yang lebih mutakhir untuk mengakomodasi perkembangan kontemporer, sebagaimana dikatakan oleh Ernest Renan pada tahun 1870-an, tatkala ia membantah klaim penguasa Jerman bahwa daerah Alsace adalah bagian dari Imperium Jerman hanya karena alasan bahwa penduduk di daerah itu adalah keturunan Jerman dan berbahasa Jerman. Menjawab pertanyaannya sendiri qui est-ce que une nation, Renan menyatakan dengan tegas bahwa sesungguhnya une nation c’est un groupe des gens qui possèdent la désire d’être ensemble. Warga Negara dalam Artinya sebagai Warga Bangsa Dengan menyatakan bahwa apa yang disebut “bangsa” dalam pengertian “negara bangsa” yang modern itu tidaklah ditentukan oleh garis keturunan, melainkan oleh pilihan kehendaknya yang bebas untuk menyatu (la désire d’être ensemble ) dalam suatu kehidupan bernegara, Renan pada dasarnya telah memajukan tolok baru untuk mendefinisikan siapa yang harus dibilang sebagai warga suatu negara. Di sini bukan paham nasionalisme dalam artiannya yang sempit yang sebenarnya dipakai, melainkan paham kebangsaan dalam artinya yang luas, dengan mendefinisikan bangsa sebagai satuan warga yang dibangun atas dasar pilihan dan kesediaan yang berangkat dari rasa keikhlasan. Yang menentukan bukan kesatuannya (kesatuan moyang berikut tradisinya) melainkan persatuannya (kebersatuan atau dasar kehendak dan pilihannya). Maka, bangsa menurut Renan ini akan tetap ada selama manusia-manusia di dalamnya – tidak perlu secara terbuka, dapat pula secara diam-diam – tetap menyatakan keinginannya untuk tetap bertahan menjadi warga. Dikatakan di bagian lain oleh Renan, bahwa l’existence d’une nation est ... plébiscite de tous les jours. Maka di sini eksistensi suatu negara bangsa – sebagai negara yang dibangun dan dipertahankan oleh bangsanya – akan ditentukan tidak oleh ada tidaknya kelanjutan dan kehadiran identitas suatu etnisitas di situ, melainkan akan amat ditentukan oleh kehadiran manusia-manusia yang tetap ingin menyatu di situ dengan identitas kewargaan yang dipilihnya, tak soal asal muasal keturunannya. Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk, seperti yang kita saksikan dalam satuan-satuan negeri bekas daerah jajahan dan pula dalam kehidupan global dewasa ini, tolok kebangsaan atas dasar kewargaan yang berkebebasan itulah yang harus dipandang paling tepat dan realistis. Berbeda dengan apa yang berkembang pada masa pra-industri, tatkala kehidupan di bumi ini masih belum “dikocok sampai terbaur-baur” oleh banyaknya arus mobilitas penduduk antar-teritori, kini sudah sulitlah dijumpai teritori-teritori berperbatasan sebagai satuan negara yang dihuni dan dikelola oleh orang-orang seasal keturunan, seetnis, apalagi yang berasal dari suatu ras yang sama. Kewargaan dalam suatu kehidupan bernegara, kalaupun toh boleh pula disebut sebagai suatu kehidupan berbangsa, umumnya merujuk saja ke definisi “bangsa” seperti yang pernah dikemukakan oah Ernest Renan. Inilah konsep kebangsaan yang dikemukakan untuk menandingi – lebih dari sekadar menyandingi dan membandingi – konsep etno-

Page 269: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

280

nasionalisme Jerman yang cenderung berkesan diwarnai paham rasialisme atau setidak-tidaknya sukuisme. Konsep yang dikemukakan Ernest Renan pada tahun 1870-an itu sebenarnya merupakan rumusan ulang saja – namun dengan tekanan yang hendak lebih menegaskan – konsep kewarganegaraan yang lebih beresensikan identitas kewargaan daripada kebangsaan. Inilah konsep kewarganegaraan yang kini dikenali dengan istilah civil citizenship. Inilah konsep kewarganegaraan yang memberikan arti pentingnya hak-hak manusia yang asasi, yang karena itu harus dijamin tetap tegaknya tatkala manusia-manusia meninggalkan statusnya sebagai makhluk alami untuk kemudian memasuki status (etat, state) mereka yang baru sebagai warga suatu organisasi kehidupan yang disebut negara. Inilah hak-hak yang dalam banyak wacana disebut hak-hak warga (civil rights, droit civil atau droit du citoyen), seperti misalnya hak-hak asasi untuk memiliki harta kekayaan, untuk memperoleh perlindungan atas kebebasan pribadi atau pula untuk memperoleh perlakuan yang adil menurut undang-undang.

Berbeda dengan konsep etno-nasionalisme – suatu konsep yang bertumpu pada romantisme para penganut paham kesejarahan yang bertahan cukup lama di Jerman – konsep kebangsaan yang diidentikkan dan disamasebangunkan dengan konsep kewargaan tersebut di muka ini oleh beberapa penulis, seperti misalnya oleh van Steenbergen, dibilangkan ke dalam tipe civil citizenship. Inilah model kewarganegaraan yang mensyaratkan terwujudnya hak-hak para individu warga negara yang harus dijamin oleh para pengemban kekuasaan negara. Inilah model kewarganegaraan yang berkembang dari/dalam realitas perubahan-perubahan besar yang disebut revolusi pada abad 18 di negeri-negeri orang Eropa Barat. Maka tatkala perubahan-perubahan besar berlanjut-lanjut terus pada abad 19 dan 20, terjadilah upaya untuk memutakhirkan lebih lanjut konsep kewarganegaraan itu, lebih-lebih tatkala proses dekolonialisasi dan globalisasi berlangsung di berbagai bidang kehidupan. Sepanjang masa itu, lebih lanjut dari batasan konsep kewarganegaraan sebagai civil citizenship, berkembang pula konsep-konsep kewarganegaraan yang lain, yang (kembali seperti dikatakan van Steenbergen) dibilangkan ke dalam tipe political citizenship dan social citizenship.

Apa yang disebut political citizenship ini menekankan arti pentingnya persyaratan terwujudnya eksistensi para warga sebagai insan-insan politik, yang tak hanya memperoleh jaminan perlindungan hak akan tetapi juga jaminan termanfaatkan hak-hak para warga, terakui sebagai hak-hak mereka yang asasi, untuk berperanserta dalam setiap kegiatan politik. Tatkala dalam konsep civil citizenship itu setiap warga negara – tak peduli apa pun latar belakang asal usul kelahirannya – berhak unuk sepenuhnya menikmati hak, dalam konsep political citizenship ini tersirat adanya juga tanggungjawab moral para warga untuk tidak menyia-nyiakan hak asasinya. Hak tidaklah semestinya dibiarkan “menganggur” tanpa termanfaatkan. Demi kepentingan bersama yang disebut “kepentingan publik”, setiap warga negara selalu ditunggu kesediaannya untuk memanfaatkan secara bertanggung jawab hak-haknya itu untuk ikut berperan serta – secara langsung ataupun tidak langsung – dalam setiap aktivitas penyelenggaraan dan/atau pelestarian kehidupan bernegara. Hak-hak politik seperti itu, yang dihakkan kepada setiap warga dalam kerangka model political citizenship dengan

Page 270: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

281

mengimplikasikan adanya tanggung jawab yang melekat, antara lain ( sebagai contoh ) adalah hak untuk memberikan suara dalam pemilihan umum, dan hak untuk ikut melakukan pembelaan negara.

Social citizenship adalah konsep mutakhir yang mulai banyak dikenal dalam

perkembangan abad 20 ini, bersamaan masa dengan perkembangan konsep welfare state. Dalam konsep ini, warga negara berhak atas jaminan-jaminan sosial-ekonomi yang bermakna sebagai jaminan akan terselenggaranya kehidupan yang sejahtera. Tatkala pada realisasi konsep civil citizenship setiap warga akan menemukan dirinya beridentitas sebagai makhluk liberal yang hidup dalam suasana berkebebasan guna mengembangkan kepribadiannya, sedangkan dalam kehidupan yang berkonfigurasi political citizenship orang menemukan dirinya dalam identitasnya yang baru sebagai warga yang secara politik berdaulat dalam suatu kehidupan demokratis, menuruti konsep social citizenship setiap warga akan menemukan dirinya dalam identitasnya yang lain. Menuruti imperativa social citizenship, setiap warga adalah warga yang terjamin hak-hak sosial-ekonominya demi terjaganya kemampuan mereka yang tinggi untuk berpartisipasi secara optimal dalam setiap kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Epilog: Konsep Kewargaan dalam Kehidupan Global Ketika konsep kewargaan muncul dan terwujud secara berangsur sebagai bagian dari pengalaman dalam kehidupan masyarakat perkotaan dan/atau negara kota, konsep itu bermotifkan penolakan atas pembedaan diskriminatif antara mereka yang didudukkan sebagai Gusti yang selalu didewa-dewakan dan mereka yang didudukkan sebagai hamba yang selalu diperkuda. Konsep citizen ini – sekalipun sebagai istilah, yang berarti “orang kota” (cite + sein), tidak pernah berubah – mengalami perkembangan sehubungan dengan perubahan fungsinya di tengah lingkungan sosial-politik yang juga berubah. Perubahan lingkungan berlangsung dari model lingkungan kota yang klasik ke lingkungan negara bangsa yang modern, dan dari lingkungan bangsa modern yang dimaknakan sebagai satuan etnisitas ke lingkungan bangsa yang dimaknakan sebagai satuan manusia yang menyatu berdasarkan kehendak bebasnya. Dalam maknanya yang disebutkan akhir ini pun terjadi perubahan, kalaupun tidak dalam ihwal skala dan formatnya toh dalam ihwal model hubungan yang diharapkan antara pengemban kekuasaan negara dan warga, khususnya dalam hal ruang lingkup dan kewajiban warga vis a vis pengemban kekuasaan negara. Perubahan tidak berhenti di situ. Kini pengertian kewargaan – sekalipun masih disebut dengan istilah citizenship, yang arti harafiahnya sebenarnya tetap tak berubah, yaitu “hal orang kota” – sudah menjurus pula ke pengertian umat manusia. Hidup di tengah kehidupan global, tatkala perbatasan-perbatasan dan yurisdiksi negara-negara nasional sudah luruh di mana-mana, tatkala nasionalisme sudah juga surut untuk ditumpangi humanisme, pengertian kewargaan dan kewarganegaraan tentu saja akan memperoleh makna subtantifnya yang baru. Citizenship yang dulu berkonotasi ke kehidupan kota, lalu berkonotasi secara konseptual ke kehidupan berbangsa (apa pun juga interpretasi pengertian atas apa yang dimaksud dengan “bangsa” itu), kini mesti mulai

Page 271: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

282

dipikirkan dan diwacanakan sebagai dan/atau dalam konotasinya pada kehidupan umat manusia sejagad. Kalau ada beberapa pihak sudah mulai menengarai munculnya realitas world citizen, dan tatkala hak dan kewajiban asasi manusia di bumi ini tidak lagi diangkat-angkat sebagai bagian dari wacana nasional mengenai hubungan antara kewenangan dan kebebasan melainkan sebagai bagian dari wacana moral mengenai hak dan kewajiban manusia dalam hubungan dengan sesamanya, tahulah kita bahwa kita sudah tiba pada suatu titik akhir yang dikatakan T.H Marshall sebagai the end of the history of citizenship. Kecuali, tentu saja, apabila kita berani mengatakan bahwa citizenship tidaklah ada hubungannya dengan kehidupan bernegara, seperti dulu tatkala Jean J. Rousseau mengatakan bahwa tidaklah ada hubungan antara citizenship dengan kehidupan perkotaan. Bacaan Friedman, Jonathan. 1995. Cultural Identity and Global Process. London: Sage James, Paul. 1996. Nation Formation: Towards A Theory of Abstract Community. London: Sage. Van Steenbergen, Bart, ed. 1994. The Condition of Citizenship. London: Sage Turner, Bryan S., ed. 1993. Citizenship and Social Theory. London: Sage

Page 272: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

28

ASPIRASI WARGA MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA

Aspirasi (diserap dari bahasa Inggris, aspiration, yang berasal dari bahasa Latin, aspirare) yang semula berarti “bernafas kuat-kuat”, atau “mendengus”, kini telah lazim diartikan pula sebagai “keinginan keras untuk menggapai maksud”. Akhir-akhir ini kata “aspirasi” banyak diucapkan dan ditulis orang, tentu saja tidak dalam artinya yang “mendengus” itu, melainkan dalam artinya yang “berkeinginan keras” tersebut. Itu pun umumnya tidak dihubung-hubungkan dengan keinginan yang individual sifatnya, melainkan yang kolektif. Maksud keinginan kolektif adalah keinginan sejumlah warga masyarakat, yang di dalam praktiknya acap kali diungkapkan secara sangat asentif, nadanya keras dan terkesan galak, “sampai mendengus-dengus”. Dalam kehidupan bermasyarakat yang dicita-citakan sebagai kehidupan masyarakat warga (civil society) yang dikatakan madaniah sifatnya (alias berperadaban, characterized civility), dan/atau pula dalam kehidupan bernegara yang dicita-citakan sebagai kehidupan dalam suatu komunitas politik yang demokratis, maraknya ekspresi aspirasi rakyat atau warga masyarakat adalah sesuatu yang tak terelakkan. Dalam kehidupan masyarakat warga yang terorganisasi sebagai komunitas politik yang demokratis, seluruh kebijakan pemerintah (casu quo kebijakan negara) adalah memang hasil artikulasi aspirasi rakyat yang warga negara itu. Patut diingat bahwa kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang mementingkan kepentingan orang banyak (publik), dan bukan kepentingan orang per orang, lebih-lebih lagi bukan kepentingan seseorang atau sejumlah kecil orang yang – karena posisinya yang elite – mengklaim dirinya (tanpa mau disangkal) sebagai representasi kepentingan masyarakat. Kepentingan publik dalam kehidupan demokratis itu hanya akan bisa diketahui bunyinya tatkala semua warga secara individual (demi haknya) memperoleh kesempatan yang sama untuk secara bebas mengutarakan aspirasinya, yang kemudian daripada itu – tersalur dan terserap pada suatu lokus; yaitu lokus tempat pendapat-pendapat itu disimpulkan dan rumusan kebijakan publik – yang didasarkan pada pendapat-pendapat – tersebut dirumuskan. Harus diakui bahwa sedemokratis apa pun kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu tidaklah aspirasi seluruh warga itu bisa selamanya seragam, sehingga pengumpulan pendapat dan aspirasi itu akan selalu berakhir dengan kesimpulan dan/atau keputusan yang aklamatif. Maka tak pelak lagi, dan bukanlah suatu praktik yang salah, tatkala nanti ada pendapat dan/atau aspirasi yang sekalipun telah tertampung dan tersalur akan “kalah suara” dan tak terserap dan termasukkan ke dalam kebijakan publik; yaitu

Page 273: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

284

kebijakan yang menurut dalil dan dalihnya harus diambil demi kepentingan khalayak ramai (publik). Bertolak dari kenyataan seperti itu dalam kehidupan demokratis yang umumnya justru heterogen dan majemuk itu yang akan dipentingkan bukannya terjadinya keseragaman pikiran dan pendapat serta aspirasi, serta terealisasinya semua aspirasi yang ada (tanpa kecualinya) demi kepuasan semua pihak. Alih-alih begitu, yang lebih dipentingkan yaitu tiadanya diskriminasi dan/atau perilaku curang untuk tidak menampung dan tidak menyalurkan aspirasi yang hidup dalam masyarakat, betapapun juga minoritasnya posisi mereka yang tengah mengemukakan aspirasinya itu. “Kalah-menang” adalah persoalan nanti, asal sepanjang proses penampungan dan penyaluran aspirasi itu tidak ada perlakuan-perlakuan yang diskriminatif. Kalau prosesnya seperti itu, dan tidak terjadi cara “menang-menangan”, maka yang kalah akan bisa belajar dari pengalaman kekalahannya yang berharga itu, sedangkan yang menang akan tetap sadar bahwa kemenangan yang diperolehnya bukanlah segala-galanya dan tidak akan berlaku selama-lamanya. Apabila aturan permainan seperti ini tidak diterima, dan karena itu orang pun tak hendak mau menerima kekalahan dalam hal adu pendapat dan adu aspirasi yang sehat, dan maunya hanya mendesakkan kemauannya sendiri tanpa mengacuhkan ada-tidaknya kesempatan yang harus sama-sama diberikan pada sesama warga yang lain, maka tidaklah kehidupan bermasyarakat warga dan kehidupan bernegara demokrasi dapat terwujud. Itulah sebabnya mengapa dalam kehidupan bermasyarakat warga dan bernegara bangsa yang demokratis, forum-forum diperlukan untuk menyandingkan dan membandingkan serta mempertandingkan pendapat dan aspirasi secara terbuka, berdasarkan prosedur berwacana yang sama-sama disepakati. Tak ada harga mati di sini. Kalaupun tak mesti harus berakhir dengan keputusan kalah atau menang, keputusan lain dapat pula diupayakan. Misalnya melalui negosiasi, kompromi, saling memberi dan menerima, ke arah apa yang disebut win win solution. Forum seperti itu terlembagakan dalam banyak bentuk. Badan legislatif adalah lembaga yang paling dikenal dalam suatu kehidupan demokratis, dengan proses-prosesnya yang kian dewasa kian cakap mengupayakan the win win solution itu. Mau menangnya sendiri dengan sikap dan ulah-laku yang keras, kalaupun itu dimaksudkan untuk mengekspresikan aspirasi, tatkala bernuansa mau menangnya sendiri, tentulah tidaklah menguntungkan kehidupan demokrasi. Forum tempat bermainnya wacana demokrasi tentu saja harus pula diisi oleh aktor-aktor – baik yang bersosok individu maupun yang bersosok organisasi – yang tahu bermain cantik untuk memperoleh hasil akhir yang tak mesti memenangkan aspirasinya sendiri secara egosentrik. Aktor-aktor yang berwujud organisasi ini bisa berwujud organisasi yang langsung hendak bermain politik praktis (disebut partai politik) dengan secara langsung memobilisasi dan mensinergikan aspirasi warga masyarakat pengikutnya, atau pula berupa organisasi sipil/warga yang tujuannya hendak mempengaruhi jalannya proses politik dengan cara menampung dan menyalurkan aspirasi-aspirasi warga masyarakat ke lokus-lokus yang satu, yaitu bangsa Indonesia. Sedangkan mereka yang semula berjati diri sebagai satu wangsa tiba-tiba saja di negeri Republik ini hanya bisa diakui sebagai sukubangsa saja.

Page 274: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

285

Perbedaan – antara apa yang dicita-citakan penuh romantisme oleh kaum kebangsaan yang elite dan kenyataan kehidupan sehari-hari yang dialami rakyat – itu tak pelak lagi sejak awal telah menyebabkan terjadinya suatu dikotomi yang melambangkan lebarnya celah antara apa yang dicita-citakan (yang harus serba satu dalam satu kesatuan) dan apa yang terlihat dalam kenyataan (yaitu kemajemukan). Alih-alih mengembangkan pengakuan, akan kuatnya fakta kemajemukan, dan kemudian daripada itu mengajarkan paham yang lebih realistis mengenai moral dan hikmah kemajemukan itu, para pemuka politik di negeri ini tetap juga mengidealkan wujud yang serba harus satu, kesatuan dan persatuan. Alih-alih mengembangkan paham pluralisme yang realistis, para pemuka politik di negeri ini tetap saja mengukuhi paham unisme yang acap kali tak gampang bersesuai dengan dan/atau bisa merefleksikan apa yang ada dalam kenyataan. Walhasil, betapapun juga kuatnya kenyataan, kebijakan-kebijakan politik dan implementasinya dalam program-program pembangunan nasional di negeri ini tetap saja dengan kepanggahannya yang tinggi cenderung untuk terus saja merujuk ke apa yang selama ini telah dicita-citakan. Cita-cita itu adalah cita-cita kebangsaan yang beresensi “persatuan dan kesatuan”. Realitas keragaman dan pluralitas suku yang lokal tidak harus dipandang penting, dan karena itu harus ditundukkan ke bawah cita-cita kesatuan bangsa. Unisme dan unitarianisme itulah yang harus dimenangkan, dan pluralisme itulah yang harus disingkirkan dari segala macam ragam pemikiran. Kemungkinan kekuatan lokal untuk mempertahankan eksistensi dirinya – berikut segala keragamannya, yang seolah-olah membenarkan pernyataan “lain ladang harus lain belalangnya dan lain lubuk harus lain ikannya” diperkecil demi tak terhalanginya proses menuju ke realitas baru, yaitu realitas serba satunya bangsa dalam suatu kesatuan yang monolitik. Maka idiom politik yang amat mengidealkan kesatuan dan persatuan berdasarkan semangat kebangsaan yang diyakini tanpa reserve ini dalam praktik lalu menjadi nyata sekali kalau kehilangan visi dan orientasinya yang realistis, bahkan cenderung untuk kian utopik. Pada akhirnya semua itu hanya melahirkan paham-paham etatisme, kebijakan-kebijakan developmentalism, dan praktik-praktik pemerintahan yang menganut ajaran sentralisme yang berlebihan. Pada gilirannya, implementasi berbagai “isme” yang ekstrim ini hanya akan menghasilkan monopoli kekuasaan dan kontrol di tangan suatu rezim dengan aparat birokratiknya (sipil ataupun militer) yang sungguh otoritarian, dengan akibat-akibatnya yang justru amat counter-productive. Otoritarianisme sentral yang maunya hendak mendominasi dan berhegemoni saja, dengan mengabaikan perbedaan dan kemajemukan lokal yang ada di dalam realitas. Sentralisasi di negeri ini, di bawah kendali kekuasaan sentral yang otokratik, merasa harus selalu mencurigai dengan tiba-tiba saja datangnya resistensi yang bernafaskan primordialisme lokal. Tak lain, karena (dari perspektif politik) etatisme dan sentralisme seperti itu – sekalipun diklaim berkarakter nasional – tetap saja termaknakan sebagai suatu upaya sistematis rezim di pusat untuk memarjinalisasikan potensi dan peran lokal dalam percaturan nasional. Kalaupun tak hendak dimarjinalisasikan, praktik sentralisme hanya akan mengkooptasi dan/atau mengasimilasikan kekuatan-kekuatan lokal ke dalam kepentingan sentral. Maka, tiba-tiba saja segala potensi dan peran lokal

Page 275: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

286

hanya boleh ditenggang dan dipertahankan tatkala diabdikan kepada kepentingan “Jakarta”, atau bahkan lebih lanjut lagi untuk kepentingan “Jawa”. Dalam wacananya yang dilandasi syak wasangka, kata “Jakarta” dan lebih-lebih “Jawa” itu lalu tak jarang-jarangnya tak lagi terkonotasikan ke maknanya yang geografis, melainkan ke maknanya yang politis (Jakarta) dan bahkan pula ke maknanya yang etnis-lokal dengan primordialismenya yang baru (Jawa7). Konotasi seperti itu tiba-tiba saja terkesan dan serasa dialami oleh orang-orang daerah (khususnya yang dari luar Jawa) sebagai suatu proses penjadian suatu imperium baru di negeri ini, melalui suatu kebijakan untuk mengasimilasikan semua saja yang berada di periferi dan/atau berada di status minoritas ke idiom-idiom sentral mereka yang tengah mendominasi dan amat berpeluang untuk melakukan hegemoni. Tiba-tiba saja menjadi nyata terkesan telah terjadinya proses-proses yang bertengara sebagai suatu internal colonialism yang amat mengabaikan kepentingan dan otonomi lokal. Sentralisasi kekuasaan yang berangkat dari paham sentralisme, etatisme dan developmentalisme – dengan keyakinan agar proses-prosesnya harus dilaksanakan oleh suatu authoritarian bureaucracy yang gampang mencurigai sembarang wujud ekspresi perbedaan – justru telah menyebabkan terjadinya efek paradosal, yaitu disintegrasi. Alih-alih berhasil mengintegrasikan bangsa-bangsa tua di Kepulauan Nusantara ini ke dalam suatu kesatuan bangsa baru (apa pun juga socio-political costnya) telah mengundang datangnya bahaya disintegrasi, dengan upaya-upaya penyelesaiannya yang sering mengabaikan soal-soal kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengalaman rupanya hendak mengajarkan kepada kita bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) itu yang paling potensial akan melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat, melainkan pengakuan akan adanya pluralitas (bhinneka = bhinna ika) dan kesediaan untuk menghormati kemajemukan itulah yang akan menjamin persatuan dalam rentang waktu yang lebih panjang. Di negeri yang dalam kenyataan penuh dengan kemajemukan dewasa ini sesungguhnya bukan semboyan bhinneka tunggal ika itu yang harus diingat-ingat dan dilanggengkan sebagai rujukan setiap kebijakan nasional. Di tengah arus reformasi dewasa ini, idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan referensi setiap kebijakan adalah tunggal ika, bhinneka. Maksudnya, sekalipun satu tidaklah boleh dilupakan bahwa sesungguhnya kita ini bhinna: berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Lagi pula, berbeda-beda itu bukan suatu dosa melainkan suatu rahmat Tuhan yang Mahakuasa jugalah adanya.

Page 276: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

29

WAWASAN KEBANGSAAN DALAM KEHIDUPAN

BERNEGARA: SEBUAH KERANGKA PEMIKIRAN TEORETIS Sebuah wawasan – demikian juga yang mengenai soal kebangsaan – (yang sungguh relevan dan oleh sebab itu akan ikut menentukan arah proses pembuatan kebijakan) lazimnya berangkat terlebih dahulu dari suatu kepahaman konseptual mengenai apa yang dimaksud dengan “bangsa” itu. Memahami kebangsaan dalam konsepnya sebagai “kesatuan manusia yang berketunggalan moyang, bahasa, tradisi dan bermacam simbol kultural lainnya”, elite-elite nasional akan cenderung berarah ke pembuatan kebijakan-kebijakan yang sifatnya sentralistis. Sementara itu, memahami kebangsaan dalam konsepnya sebagai “persatuan kelompok-kelompok manusia yang berbeda-beda asal dan tradisi”, kebijakan-kebijakan nasional akan cenderung terproses sebagai hasil diskursus-diskursus dan kesepakatan berbagai pihak. Kehidupan kebangsaan yang dibangun di atas fakta (atau fiksi?) kesatuan dapatlah disimak dalam pengalaman sejarah Jerman. Dalam model kebangsaan Jerman ini, pada asasnya semua ras Arya yang secara asli menduduki wilayah von dem Maas am dem Memmel itulah yang harus diidentifikasi sebagai bangsa Jerman modern. Sementara itu, yang lain adalah pendatang-pendatang yang merupakan unsur baru saja, yang kehadirannya cuma akan mengganggu kemurnian bangsa Arya (yang merupakan unsur utama bangsa Jerman). Mementingkan kesatuan identitas, otokratisme mayoritas berikut praktik diskriminasinya – bahkan ekstremnya sampai ke praktik ethnic cleansing – terhadap kelompok-kelompok minoritas pendatang akan menjadi mudah terjadi dan juga serta merta dibenarkan. Berbeda dengan pengalaman kehidupan kebangsaan Jerman, pengalaman kebangsaan Prancis tidaklah bertolak dari kepahaman dan wawasan kesatuan melainkan persatuan. Definisi mengenai apa yang disebut “bangsa” menurut Ernest Renan memberikan penegasan tentang paradigma persatuan dalam kehidupan kebangsaan itu. Dikatakan olehnya bahwa pada pokoknya “une nation est un population groupe qu’est obsède par la désire d’être ensemble”. Maka apa yang disebut bangsa itu tentulah tidak mungkin akan ada tatkala tak ada hasrat yang ternyatakan di kalangan suatu kelompok penduduk untuk bersatu itu, misalnya antara lain melalui plebisit, sebagaimana dicontohkan dalam kasus bergabungnya rakyat Alsace yang – sekalipun mayoritas berdarah Jerman – menyatakan keinginannya untuk menjadi bagian dari bangsa Prancis. Pernyataan keinginan itu tidak selalu harus dieksplisitkan secara terus menerus dari hari ke hari. Menurut Renan, eksistensi suatu bangsa itu ditentukan oleh adanya plebisit diam-diam dari hari ke hari (un plébiscite muet tout le jour).

Page 277: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

288

Model kebangsaan Prancis ini yang mendasarkan diri pada paradigma persatuan (dan bukan kesatuan) boleh dikatakan bertolak dari kesadaran yang realistis mengenai adanya pluralitas sosial-budaya (bukan pertama-tama oleh sebab adanya heterogenitas dalam kehidupan ekonomi). Model berparadigma persatuan dalam kehidupan kebangsaan ini memungkinkan terkawalnya pengakuan akan adanya dan bertahannya keragaman sosial-budaya (yang di Indonesia secara salah kaprah disebut “kebhinekaan”) di kalangan berbagai unsur pembentuk kehidupan berbangsa. Itulah sebabnya mengapa pendiri Republik Indonesia yang menyadari kenyataan yang tak terbantah mengenai pluralitas yang terdapat di negeri ini lebih tergerak untuk mengikuti model kebangsaan Prancis (yang karena itu ucapan Renan acap dikutip dalam berbagai pidato pada tahun 1945an), dan mempositifkan pilihan ini pada sila ketiga pancasila: Persatuan (dan bukan Kesatuan) Indonesia. Sesungguhnya problema besar yang dihadapi para perintis kemerdekaan dan pendiri Republik di negeri ini pada waktu itu ialah, bagaimana membangun suatu kehidupan berbangsa di atas landasan keberagaman sosial-budaya yang berakar tunjang dalam-dalam di suatu substruktur yang disebut suku, suku bangsa, atau satuan kolektiva lain macam apa pun yang kultural atau religius-kultural sifatnya (yang pada hakikatnya memiliki unsur-unsur tradisi yang tua)? Mungkinkah kehidupan berbangsa modern itu dapat bertahan lama hanya atas dasar tekad-tekad dan ikrar-ikrar politik yang harus disegarkan lewat seremoni-seremoni dari tahun ke tahun? Bagaimanapun juga, sampai pada peralihan abad 20 Masehi sekarang ini, kenyataan di negeri ini tetap menunjukkan dengan jelas bahwa keanekaragaman infrastruktur sosial-budaya yang bertahan di daerah-daerah (betapapun tradisionalnya) tetap saja dengan kepanggahan yang tinggi merupakan predeterminan politik berikut ide dan ideologinya. Maka, kalau memang benar substruktur sosial-budaya yang bertegak di daerah-daerah tetap merupakan determinan suatu konstruksi politik nasional suatu bangsa baru yang dicoba dibangun di atas puing-puing kolonialisme, paradigma persatuan dalam kehidupan kebangsaan itulah yang mesti memperoleh perhatian utama. Setiap upaya untuk mengingkari keragaman latar sosial-budaya (apalagi latar sosial-religius) yang ada di berbagai kelompok dan daerah, terlebih-lebih lagi tatkala model sosial-budaya yang dianut suku suatu daerah atau model normatif sosial-religius kelompok mayoritas tertentu hendak dipaksakan sebagai standar nasional (secara terang-terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi), maka peralihan dari paradigma “persatuan” ke paradigma “kesatuan” dalam wawasan kebangsaan – seperti ini akan gampang mengundang permasalahan besar. Pengalaman Sri Lanka di Asia Selatan, Yugoslavia dan Rusia di Eropa Timur, dan Kanada di Amerika Utara, adalah beberapa saja dari sekian jumlah contoh yang pantas diperhatikan dan dipelajari bersama dengan sungguh-sungguh. Di tangan kekuasaan para nasionalis yang lebih menekankan asas paradigmatik kesatuan daripada asas persatuan dalam segala segi kehidupan, dengan seakan-akan secara sengaja melupakan imperativa sila ketiga Pancasila, sentralisasi kebijakan politik lewat proses-proses formal legislasi akan lebih dipentingkan daripada mengkaji perbedaan-perbedaan antar-daerah, antar-suku dan/atau antar-kelompok religi. Di sini prinsip bhineka tunggal ika lalu dipakai untuk lebih membenarkan cita-cita

Page 278: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

289

berketunggalan daripada untuk lebih mendahulukan perlunya mengapresiasi keragaman dalam ihwal berbudaya dan bertradisi. Sudah sejak awalnya memang terdapat sejumlah eksponen nasionalis – dengan semangat modernisasinya – mengkhawatirkan akan terjadinya disrupsi-disrupsi apabila kesetiaan-kesetiaan tradisional yang lokal dan sektarian ini terlalu ditenggang, untuk kemudian daripada itu lalu mengganggu kesatuan nasional. Akan tetapi, di lain pihak, nyatalah kemudian bahwa pementingan upaya membangun suprastruktur politik nasional dengan mengabaikan peran infrastruktur budaya yang ada hanya akan memperbanyak jumlah langkah-langkah perekayasaan yang cenderung semena-mena dan bersifat otokratis. Sudahlah kiranya tiba waktunya untuk menyadari dan mulai merenungi kenyataan dan kemungkinan bahwa kini bukan lagi peran pemuka-pemuka elite yang berkuasa – untuk membuat rekayasa-rekayasa dan melakukan kontrol-kontrol koersif terpusat – itu semata yang harus diutamakan. Peran massa awam non-elite (yang mampu bertransaksi lintas kultural secara riil dan otonom dari hari ke hari, dan yang karena itu dalam kenyataannya juga mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan antar-etnis), itulah sebenarnya yang harus (juga) lebih dipentingkan. Sudah waktunya semua insan menyadari bahwa umat manusia kini ini kian hidup di dalam suatu dunia – dalam ranah nasional ataupun dalam ranah global – yang satu, penuh perbedaan namun pantang dipecah-pecah dan terbagi-bagi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini, semboyan bhineka tunggal ika tetaplah relevan untuk diingat dan dianut. Hanya saja titik berat bacaannya saja yang mestinya berubah. Bukan lagi “(sekalipun) berbeda-beda itu, satulah itu” melainkan “(sekalipun) satulah itu, (sesungguhnya) berbeda-bedalah itu”. Bagaimanapun juga, adalah hak manusia – secara individu ataupun secara kolektif, sebagai bagian dari their social and cultural rights yang asasi – untuk berbeda. Dan bukankah pula bahwasanya perbedaan itu – seperti yang pernah dikatakan Nabi Muhammad – adalah sesungguhnya sebuah rahmat?

Page 279: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

30

DEMOKRASI, DEMOKRATISASI, DAN USAHA MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DI HADAPAN KEKUASAAN

NEGARA SEPERTI yang dinyatakan dalam judul di atas, uraian berikut ini akan berkenaan dengan tiga ihwal pokok; yaitu demokrasi, demokratisasi, dan usaha memberdayakan – dan/atau proses meningkatnya keberdayaan – masyarakat sipil di hadapan kekuasaan negara (dan para pengemban kekuasaannya). Perbincangan mengenai ketiga ihwal itu tak hanya akan berkisar di seputar pengertian-pengertian teoretisnya saja, akan tetapi juga akan terus berlanjut ke kenyataan-kenyataan empirisnya, baik yang tercatat sebagai bagian dari pengalaman kesejarahan maupun yang teramati dan terpersepsi sebagai permasalahan kontemporer dalam kehidupan nasional kita sendiri dewasa ini. Demokrasi: Konsep dan Praktik Menurut arti harafiahnya, apa yang dimaksudkan dengan demokrasi itu tak lain daripada kekuasaan (kratein) rakyat (demos). Tak pelak lagi, “demokrasi” itu menyiratkan arti kekuasaan (politik atau pemerintahan) dari/oleh/untuk rakyat (yaitu warga masyarakat yang telah terkonsepkan juga sebagai warga negara). Sekalipun sejelas itu arti istilah “demokrasi” itu menurut bunyi kata-kata asalnya, akan tetapi dalam praktik masih ada dua ihwal yang sering muncul menjadi permasalahan. Yang pertama adalah masalah apa atau siapa saja yang dimaksud dengan “rakyat” itu? Dan yang kedua adalah masalah bagaimana kekuasaan dari/oleh/untuk rakyat itu diimplementasi dan direalisasi sehingga efektif dalam praktik dan dalam kenyataan. Dalam konsep maupun dalam praktik, apa yang disebut rakyat (dalam kata demos) itu ternyata tidak identik dengan apa yang disebut seluruh warga masyarakat yang bermukim di suatu teritori negara tertentu sebagai penduduk (populo). Dalam konsep maupun dalam praktik, demos ternyata mengandung siratan makna yang diskriminatif. Demos adalah bagian dari populo tertentu; yaitu mereka yang berdasarkan tradisi, atau berdasarkan kesepakatan formal para pengontrol akses-akses ke sumber-sumber kekuasaan negara diakui atau bisa mengklim memiliki hak-hak prerogatif untuk mengambil bagian dalam proses-proses pengambilan kebijakan dan/atau dalam pembuatan keputusan yang menyangkut urusan-urusan publik atau pemerintahan.

Populasi usia muda yang terbilang belum dewasa, misalnya, di mana pun tak pernah diakui dan dikualifikasi sebagai warga kelompok demos yang mempunyai hak prerogatif untuk mengambil bagian dalam urusan-urusan kepemerintahan dan kenegaraan. Sampai pada awal abad ini, di banyak negeri penganut tradisi politik Eropa

Comment [E1]:

Page 280: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

295

Barat, mereka yang berjenis kelamin wanita tidak atau belum pula dibilangkan sebagai bagian dari warga kelompok demos. Di negeri-negeri ini pun pada mulanya hanya mereka yang sanggup membayar pajak saja yang boleh ikut serta kegiatan-kegiatan politik dan pemerintahan. Di negara-negara kota (polis) Yunani kuno, dari mana istilah dan praktik demokrasi konon bermula, hanya patriarkh-patriarkh aristokrat saja yang diakui secara eksklusif boleh berperan serta dalam pengelolaan riil kekuasaan-kekuasaan politik. Dalam kehidupan bernegara yang berkembang marak pada skala translokal alias nasional di Eropa Barat pada abad-abad 17-18, format-format kehidupan yang membesar pada waktu itu telah menyebabkan pembatasan-pembatasan diskriminatif sebagaimana dibentangkan di muka terkesan kian berlanjut lagi. Dalam perkembangan kehidupan bernegara yang berskala besar ini, jauh melampaui skala-skala kehidupan bermasyarakat yang berformat lokal, tidak semua yang sudah terbilang kelompok demos alias rakyat ini ternyata berkesempatan secara langsung untuk tersertakan dalam aktivitas-aktivitas kenegaraan. Berbeda dengan apa yang mungkin dikerjakan di polis-polis Yunani kuno, di Eropa Barat ini, dengan kehidupan bernegara yang telah berskala nasional, demokrasi tidaklah mungkin lagi direalisasi dalam wujud partisipasi secara langsung oleh semua yang terbilang rakyat. Yang dimungkinkan hanyalah partisipasi secara tak langsung lewat lembaga perwakilan. Institusi Perwakilan: Legitimasi Elitisme Sebagaimana telah diisyaratkan di muka, sesungguhnya demokrasi dengan lembaga perwakilan ini sampai batas tertentu mengakibatkan atau mengesankan adanya diskriminasi juga. Karena tidak semua warga masyarakat dapat secara langsung melibatkan diri ke dalam proses-proses politik untuk merebut posisi yang dapat didayagunakan untuk mempengaruhi proses-proses pembuatan kebijakan-kebijakan politik dan publik, dan hanya mereka yang karena sesuatu sebab bisa lebih berkemampuan untuk mendesak ke depan untuk memperoleh akses-akses politik guna membangun pengaruh, maka suatu diskriminasi baru – antara mereka yang elite politik dan mereka yang massa awam jelata biasa – telah terjadi. Sekalipun di sini secara formal semua saja yang terbilang rakyat memperoleh hak-hak politik tanpa terkecualinya, akan tetapi dalam kenyataan nyatanya tidak semua warga akan sama-sama berkesempatan mengefektifkan hak-hak itu sebagai bagian dari aktivitas mereka sehari-hari. Cuma sebagian kecil yang terseleksi sajalah – yaitu para elite politik yang disebut politisi – yang pada akhirnya dapat merealisasi dan mengefektifkan hak-hak itu, sedangkan sebagian besar yang lain merasa telah cukup puas apabila kepentingan dan pilihan-pilihannya bisa ikut terwakili dalam dan oleh kegiatan para elite politisi itu. Sebagian lagi, dalam jumlah yang cukup besar juga, malah mungkin lebih suka diam saja dan merasa tak usah banyak peduli, dan membiarkan (atau meyerahkan?) segala perkara politik kepada para elite itu.

Page 281: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

296

Dalam kehidupan nasional yang berskala besar, tidak dimungkinkannya intervensi langsung oleh rakyat terhadap para pengemban kekuasaan negara – seperti yang mungkin terjadi di zaman Yunani kuno itu – memang dapat dimaklumi. Akan ganti demokrasi langsung ini terkonstitusikanlah demokrasi tak langsung, berdasarkan sistem perwakilan, dengan kesan akan termungkinnya diskriminasi lagi antara mereka yang elite dan dekat dengan akses dan mereka yang awam kebanyakan yang jauh dari lorong-lorong akses. Namun demikian, dalam kehidupan demokrasi modern ini, terjadinya “diskriminasi” antara yang elite dan yang awam kebanyakan ini (yang karena sering diam tak peduli dengan banyak perkara politik itu lalu dinamakan the silent majority) bukanlah bersebab pada alasan-alasan yang sesungguh-sungguhnya normatif sehubungan dengan status-status askriptif seseorang oknum populo, melainkan bersebab pada faktor-faktor yang teknis sifatnya. Demokratisasi: Peningkatan Partisipasi Rakyat dalam Proses-Proses Perumusan Kebijakan-Kebijakan dan Pembuatan Keputusan-Keputusan Politik Demokratisasi – suatu proses (bermula dari suatu upaya) untuk merealisasi dan/atau menyempurnakan kehidupan demokrasi – muncul sebagai kebutuhan dan masalah apabila kehidupan bernegara yang dicita-citakan sebagai kehidupan bernegara yang demokratis ternyata belum terwujud sebagaimana yang diharapkan. Tentu saja demokratisasi ini, baik dalam artinya sebagai upaya maupun dalam artinya sebagai proses, pertama-tama harus diartikan sebagai upaya dan proses yang hendak mengatasi batasan-batasan diskriminatif, demikian rupa sehingga kian banyak warga dan golongan atau lapisan masyarakat – tanpa dihalangi oleh status dan/atau askripsi-askripsi sosialnya yang lain – akan dapat terpartisipasikan ke dalam urusan-urusan publik dan pemerintahan. Kalau semula yang boleh dan bisa bersuara hanya para pembayar pajak saja, misalnya, usaha dan proses yang dikembangkan untuk memperluas hak bersuara mengutarakan pendapat (guna mempengaruhi kebijakan dan keputusan) agar juga diperoleh dan dapat diefektifkan oleh warga masyarakat yang lain dapatlah disebut sebagai proses demokratisasi. Apabila semula yang bisa dan boleh menyandang hak untuk tampil dalam urusan-urusan kekuasaan publik dan pemerintahan hanya para patriarkh saja, misalnya, maka perluasan hak dan kewajiban kepada warga lain dengan status askriptif lain agar juga boleh dan bisa tampil dalam urusan-urusan pemerintahan itu adalah juga terbilang demokratisasi. Semua bentuk emansipasi sebenarnya berhakikat sebagai proses demokratisasi. Emansipasi budak (dari kekuasaan tuan-tuannya), emansipasi wanita (dari kungkungan para patriarkh), emansipasi anak-anak muda (dari pembatasan-pembatasan yang mengucilkan anak-anak itu dari prerogasi-prerogasi yang selama ini cuma dinikmati secara eksklusif oleh mereka yang tua-tua saja), emansipasi massa awam (dari alam kebodohan yang diakibatkan oleh kekurangan informasi dan pengetahuan yang benar), haruslah bisa dilihat sebagai bagian dari proses – demokratisasi. Demokratisasi pada dasarnya adalah suatu proses untuk meniadakan kesenjangan; tegasnya kesenjangan

Page 282: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

297

antara mereka yang terlalu berkekuasaan dan berprerogasi dan mereka yang terlalu kurang berkeberdayaan. Pada abad 20 ini, demokratisasi dalam hakikatnya sebagai upaya dan proses untuk mengemansipasikan golongan rakyat yang tak berdaya – setidak-tidaknya secara formal-yuridis – telah banyak berlangsung dan mencapai kemajuan. Hak-hak politik ini, sekali lagi setidak-tidaknya secara formal-yuridis, memang sudah tidak lagi termonopoli di tangan golongan rakyat tertentu, melainkan telah “diratakan” ke segenap lapisan masyarakat. Yang masih menjadi permasalahan ialah, apakah hak-hak formal yang dijamin ipso jure dalam konstitusi dan oleh undang-undang itu dalam kenyataannya yang konkret (de facto) memang telah dapat diefektifkan, demikian rupa sehingga tak lagi ada legal gaps antara apa yang dihukumkan dan apa yang diperilakukan orang dalam kenyataan. Dalam kehidupan bernegara nasional modern, khususnya di negeri-negeri berkembang yang dibangun di atas puing-puing reruntuhan kekuasaan kolonial yang umumnya tak pula pernah memiliki tradisi demokrasi, proses demokratisasi itu lazimnya cuma cepat berlangsung pada ranah-ranahnya yang formal-yuridis itu saja, namun tak mudah direalisasi dalam kenyataan-kenyataannya yang konkret sebagai praksis-praksis yang menata hubungan antara negara dan rakyat. Permasalahan yang serius tertemukan tidak dalam soal hak apa untuk siapa (saja) in abstracto, melainkan siapa (saja) gerangan yang dalam kenyataan nanti in concreto bisa lebih memperoleh akses ke sumber-sumber kekuasaan guna mendesakkan kepentingannya sendiri, namun dengan kemungkinan yang sulit dicek dan dikontrol – betapapun hipokritnya – untuk bisa berbicara secara proaktif dengan mengatasnamakan the silent majority. Demokratisasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Hadapan Kekuasaan Negara Di negeri-negeri yang tengah berkembang, yang dibangun sebagai negara-negara nasional modern di atas reruntuhan negara-negara kolonial, esensi konsep kenegaraan yang dimafhumi oleh para elite politik di negara-negara nasional pasca-kolonial ini pada dasarnya yang paling substansial – bukan sebatas takrif-takrifnya yang formal-yuridis saja – adalah lebih kuat bercenderung ke paham etatisme (dan di Indonesia juga yang integralistis). Tidak ada kecenderungan sedikit pun ke arah paham konstitusionalisme yang sebenarnya bertumpu pada dasar rasionalitas kontrak sosial (yang mengasumsikan kedudukan para pihak – yang penguasa dan yang rakyat – yang setara) sebagaimana dianut dalam falsafah ketatanegaraan Eropa Barat. Pada paham etatisme yang integralistis, pengemban kekuasaan itu (apakah itu ayah dalam keluarga, atau sang raja di suatu kerajaan) adalah personifikasi seluruh kepentingan kolektiva, sehingga sang penguasa itu selalu dianggap selalu mafhum akan kepentingan seluruh kolektiva berikut kebutuhan oknum-oknum komponennya. Di dalam dirinya, sang penguasa adalah sekaligus sosok super dan supra yang tak pelak lagi akan dibenarkan untuk selalu bertindak secara proaktif sebagai wakil kepentingan seluruh kolektiva. Tak pelak pula, dikonfigurasi oleh konsep dasar seperti itu, maka demokrasi

Comment [E2]:

Page 283: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

298

dengan sistem perwakilan di negara-negara nasional pasca-kolonial ini pada hakikatnya adalah tak lain daripada suatu konstruksi paternalistis yang klasik, namun yang ditampilkan dengan bungkus busana demokrasi. Demokrasi yang “seolah-olah” ini lalu nyata kalau lebih bersifat government centered dan government lead (ingat “demokrasi terpimpin?), dan tidak akan terkonsepkan sebagai suatu hubungan kekuasaan yang people centered. (Dalam konteks di Indonesia, demokrasi yang “seolah-olah” yang dikembangkan oleh rezim orde baru kemudian dilanjutkan dengan demokrasi yang bersifat legislatif centered di era reformasi. ed.) Maka dapatlah dimengerti pula mengapa kekuasaan negara di negeri-negeri berkembang eks-tanah jajahan (seperti misalnya juga di Indonesia ini) – sekalipun konon kemudian selalu berusaha menemukan dasar pembenar kultural “yang digali “ dari bumi budaya masyarakatnya sendiri, namun karena tak pernah terkembang dari bawah – umumnya lalu condong terdominasi peran negara, tanpa diimbangi secara berarti oleh kekuatan dan keberdayaan masyarakat sipil. Di tengah-tengah semangat nasionalisme yang menghasilkan state centrism dalam gerakan-gerakan perjuangan – baik yang dikonsepkan sebagai revolusi maupun yang hendak dikonsepkan sebagai pembangunan – tak pelak sistem pemerintahan yang terkembang adalah sistem pemerintahan dengan para pengemban kekuasaan yang secara loyal cuma tahu dan mau mengabdikan diri kepada tujuan-tujuan politik semata. Di sini sistem pemerintahan lalu menjadi suatu sistem yang cuma diperintah oleh pejabat-pejabat yang terindoktrinasi sebagai abdi negara, dan bukan sebagai pelayan masyarakat. Administrasi dan birokrasi yang terkembang sebagai bagian dari organisasi negara pun tak ayal lalu tampil dan menampakkan diri di mana-mana sebagai bagian saja dari kekuasaan yang terbina untuk cuma bisa berkhidmat kepada keputusan-keputusan politik para pejabat eksekutif, tanpa perlu mencoba mempertajam kepekaan guna menangkap cita-cita dan aspirasi politik warga masyarakat sipil. Realisasi kekuasaan dan kewenangan negara lebih marak di mana-mana daripada ekspresi hak dan kebebasan warga-warga masyarakat sipilnya. Semasa perjuangan nasional tengah tertuju ke upaya memenangkan revolusi dan kemudian juga ke upaya-upaya memakmurkan bangsa lewat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya, negara dan para pengemban kekuasaannya itu tentu saja merasa amat dibenarkan kalau berlaku-laku dominan. Pembenaran ini sesungguhnya tak hanya berpangkal dari persepsinya mengenai kedaruratan situasi, akan tetapi juga karena memang ide kenegaraan di negeri ini sejak awal mulanya tak pernah ragu untuk memberikan pembenaran yang demikian itu. Dalam situasi darurat maupun tidak, selama negara tetap diidealisasikan sebagai suatu keluarga writ at large, dengan kepala keluarga yang dibenarkan memiliki kewenangan mutlak yang jauh melebihi hak-hak dan kebebasan warga-warganya (tak soal apakah dengan begitu akan disebut totaliter atau – distorsi semantiknya – totalitas), selama itu pula etatisme dalam pemerintahan yang tak demokratis akan tetap saja marak di negeri-negeri Dunia Ketiga. Tahap yang paling kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri kita barangkali saja adalah tahap akhir-akhir ini yang menuntut dimulainya pendekatan-

Page 284: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

299

pendekatan yang lebih manusiawi dalam pembangunan bangsa, dengan kemungkinan yang harus dibuka luas-luas guna meningkatkan kualitas manusia dan mempertinggi keberdayaan masyarakatnya. Tuntutan seperti ini kini sudah merupakan suatu isu global, marak sekali dalam kehidupan transnasional yang tak lagi mementingkan state centrism dengan kewenangan-kewenangan konstitusional dan kekuasaan yang terpusat di tangan para penguasa tanpa diimbangi hak-hak asasi para warga. Perkembangan seperti ini mestilah terus diantisipasi, dan – cepat atau lambat – mengharuskan para penyelenggara kekuasaan negara dan para administratornya untuk merespon pergeseran-pergeseran peran yang tengah dan/atau akan terjadi, dengan sikap yang lebih positif, realistis, adaptif, dan tentu saja juga arif. Disukai atau tidak, disangkal atau tidak, peran negara dalam pembangunan di waktu-waktu yang akan datang akan dituntut agar terus dibatasi, berseiring dengan kian berkembangnya keterpelajaran masyarakat sipil yang akan menjurus ke terwujudnya keberdayaan mereka yang otonom (dalam maknanya yang moral, budaya, sosial, politik dan ekonomi). Berseiring dengan itu, akan kian meningkat pula tuntutan agar warga masyarakat memperoleh peluang-peluang yang lebih besar – sebagai bagian dari hak-hak mereka yang asasi dan terlindungi sebagaimana mestinya dalam negara hukum (yang tidak sekali-kali berdasarkan kekuasaan) – untuk berpartisipasi secara terorganisasi (organisasi yang otonom) dalam setiap proses pembuatan keputusan-keputusan yang menyangkut kebijakan pemerintahan dan pembangunan. Apabila memang demikian jalan dan arah perkembangannya, demokratisasi dalam berbagai bidang kehidupan – khususnya dalam bidang kehidupan politik atau yang akan banyak dipengaruhi politik – dapatlah diduga kalau akan dituntut pula agar segera dimulai. Konsekuensinya – apabila tuntutan itu (terpaksa) dipenuhi – yaitu bahwa kegiatan-kegiatan yang semula selalu dikontrol, diintervensi, atau disponsori negara dan/atau aparat pemerintahannya akan tidak akan banyak demikian lagi. Perubahan terjadi dari pelaksanaan-pelaksanaan program yang terkontrol sentral dan otokratis ke gerakan-gerakan dan upaya-upaya terorganisasi yang telah lebih mementingkan aktivitas dari bawah. Bagaimanapun juga, sesungguhnya telah merupakan hak yang asasi bagi setiap warga masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan secara mandiri dan untuk memilih – sampai batas-batas tertentu – secara bebas kegiatan-kegiatannya. Semua itu merupakan bagian dari ekspresi-ekspresi mereka yang manusiawi. Setiap kegiatan yang akan dikhidmatkan untuk kepentingan nusa dan bangsa akan dikerjakan dengan sungguh-sungguh, bukan karena sebab adanya pemaksaan-pemaksaan yang eksternal dan datang dari atas yang state centered, melainkan atas dasar kerelaan dan pilihan sendiri – baik secara individual maupun secara kolektif dalam organisasi – sebagai bagian dari manifestasi kemandirian para warga masyarakat (yang juga warga bangsa) yang bebas dan bertanggungjawab.

Page 285: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

31

PERKEMBANGAN DEMOKRASI DALAM KEHIDUPAN

BERBANGSA DI TENGAH PERKEMBANGAN KEHIDUPAN GLOBAL

Asal Usul Demokrasi PERKEMBANGAN demokrasi yang semarak bermula sejak bergejolaknya revolusi kemerdekaan Amerika dan revolusi Prancis yang berhasil menamatkan rezim-rezim otokratis pada akhir abad 18. Demokrasi yang pada zaman Yunani dibilangkan sebagai model pemerintahan yang buruk (karena bentuk aristokrasi yang mempercayakan kekuasaan pemerintahan kepada para filosof itulah yang harus dipandang terbaik) sejak akhir abad 18 itu telah diterima dan kemudian dicoba-praktikkan sebagai model pemerintahan yang paling baik untuk mengorganisasi kehidupan berbangsa dan bernegara modern. Demokrasi yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat inilah yang – melalui dua revolusi di Amerika dan di Prancis itu – telah dipilih untuk menggantikan bentuk pemerintahan sebelumnya, ialah bentuk pemerintahan monarki dengan kekuasaan absolut. Realisasi ide dan model demokrasi inilah yang meruntuhkan rezim yang ada sebelumnya, ialah ancient regime yang dalam praktik amat memuliakan secara diskriminatif status para gusti (dengan segala hak-hak istimewanya) di satu pihak dan merendahkan status para kawula (dengan segala beban kewajibannya) di lain pihak. Di atas puing-puing ancient regime itulah para eksponen demokrasi membangun suatu komunitas politik baru dengan rakyat di dalamnya yang masing-masing diakui sebagai manusia bebas yang berkesetaraan dalam status mereka yang baru sebagai warga (warga negara, dan bukan lagi kawula negara). Sekalipun bermula dan memperoleh pamornya dari dua revolusi kerakyatan yang terjadi di dua negeri Barat, demokrasi (baik sebagai ide maupun sebagai praktik), seperti melupakan asalnya yang dari Barat, pada abad 20 ini nyata kalau menyebar dan menemukan tempat berakarnya yang baru di luar negeri-negeri Barat. Inilah negeri-negeri bekas jajahan yang sekalipun semula melawan dan menolak kekuasaan politik penjajahnya namun yang kemudian terbukti pula kalau telah tak dapat melepaskan diri dari ide dan model kehidupan bernegara yang dibangun dan berkembang di Barat sejak dua revolusi yang telah disebutkan di muka itu. Ide dan berbagai konsep berikut ini menjadi tak asing lagi dalam khazanah bahasa partisipan politik di negeri-negeri bekas jajahan itu: republik, konstitusi, yurisdiksi teritorial, kabinet, presiden dan/atau perdana menteri, hukum perundang-undangan, parlemen, hak inisiatif, badan yudisial yang tak memihak, berbagai protokol dan konvensi ketatanegaraan lainnya, kewarganegaraan, dan ... dan tak ayal pula “demokrasi”. Demokrasi!

Page 286: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

301

Namun demikian demokrasi yang tumbuh-kembang di negeri-negeri bekas jajahan ini ternyata terproses di tengah-tengah kehidupan suatu bangsa baru yang nyata-nyata kalau bersifat multikultural dan terbukti lebih akrab dengan praktik feodalisme-otokratisme daripada dengan ide serta praktik demokrasi. Demokrasi menurut konstruk rasional Barat itu, dalam kenyataannya harus tumbuh kembang di atas bumi budaya yang menurut tradisinya amat lebih mengenal diskriminasi status antara gusti dan kawula daripada mengenal asas kesetaraan sebagai sama-sama warga antara sesama manusia sebangsa. Revolusi-revolusi memang terjadi dengan garangnya di negeri-negeri ini, namun berbeda dengan apa yang terjadi sebelumnya di negeri-negeri Barat. Revolusi-revolusi di negeri-negeri bekas jajahan ini “hanya” berhakikat sebagai gerakan merubuhkan kekuasaan politik asing, dan tidak serta merta merupakan suatu revolusi pemikiran. Maka ide demokrasi yang harus dibangun di atas bumi kultural yang demikian, dengan uletnya mencoba tetap bertahan pada konfigurasinya yang patrimonial dan otokratis (walaupun acap pula penuh kemurahan hati kepada mereka yang setia).

Maka di negeri-negeri ini demokrasi “hanya” tertransfer dan diterima sebagai

bagian dari upaya penataan kehidupan bernegara dalam maknanya yang normatif, akan tetapi ide itu tak juga kunjung terwujud sebagai realitas kehidupan sehari-hari. Adanya selisih antara ide dan realitas inilah yang melahirkan tegangan yang tak gampang diatasi, yang pada gilirannya juga akan melahirkan ketidakpastian-ketidakpastian. Di negeri ini demokrasi lalu gampang “ditawar” di dalam praktik, khususnya oleh mereka yang sedang berkekuasaan, untuk dirasionalisasi ke dalam konsep dan pengertian, yang luas-sempitnya gampang berubah, demi terakomodasikannya kepentingan yang tengah dibela. Di sini, demi kepentingan tertentu yang sesaat, demokrasi dapat ditafsir dan dikonsepkan berulangkali, bisa berubah-ubah tergantung kebutuhan.

Maka demokrasi dapat didefinisikan luas-luas sebagai upaya liberalisasi (alias pembebasan) manusia-manusia warga dari berbagai perangkap kekuasaan yang memasung dan mengerdilkan, akan tetapi tak mustahil pula kalau pada suatu saat – demi terpertahankannya kekuasaan politik yang telah mapan dan menghendaki status quo – boleh didefinisikan sempit-sempit saja. Tatkala para penguasa yang berdisposisi otokratis menghendaki terpertahankannya kekuasaan yang tengah tergenggam di tangannya dengan mantap, demokrasi tetap pula tanpa banyak kesulitan didefinisikan (dengan bantuan para “pakar tukang”) ke dalam batasan-batasan yang sempit. Pendefinisian yang sempit-sempit ini berhakikat sebagai upaya untuk “memanunggalkan para kawula ke kebijakan para gusti” demi terciptakannya suatu hegemoni, demikian rupa sehingga – apabila berhasil – para gusti itu akan dengan amannya dapat mengklaim dirinya sebagai representasi kepentingan bangsa yang tak perlu diragukan lagi. Fungsi Demokrasi di Negeri Berkembang-Bekas Jajahan Sesungguhnya persoalan yang bernilai strategis sebagaimana dipaparkan di muka itu tidak akan berhenti hanya sebatas persoalan definisi tentang demokrasi itu saja. Persoalan yang akan lebih mengundang polemik adalah persoalan fungsi; ialah fungsi demokrasi itu sendiri. Dipersoalkan di sini apakah sesungguhnya fungsi demokrasi di dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara itu? Seberapa besar arti pentingnya

Page 287: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

302

fungsi itu sehingga dapat memotivasi orang untuk mendefinisikannya luas-luas pada suatu saat dan mendefinisikannya sempit-sempit pada suatu saat yang lain? Apakah luas-sempitnya pendefinisian itu merupakan fungsi kekuasaan, dan amat ditentukan oleh ideologi yang tengah dikukuhi pemerintah nasional; ataukah luas-sempitnya batasan demokrasi itu sebenarnya akan lebih merupakan fungsi perubahan, dan amat lebih ditentukan oleh perkembangan terkini yang mentransformasikan model kehidupan yang nasional ke yang global? Di negeri-negeri berkembang bekas daerah jajahan, demokrasi memang cenderung lebih didefinisikan dalam maknanya yang sempit agar dapat diwujudkan kekuasaan nasional yang kuat dengan kebijakan-kebijakan sentralnya yang tak akan terlalu banyak dan terlalu sering dicabar (ditawar, ed.). Dengan definisi yang sengaja dibuat sempit-sempit seperti itu, pemerintah nasional berharap akan dapat memaksimalkan keleluasaannya tatkala mengaplikasikan kewenangan dan kekuasaannya, tanpa banyak terhalang oleh berbagai aktualisasi hak-hak rakyat yang asasi untuk mengontrol bebagai tindakan politik pemerintah. Dengan memaksimalkan keleluasaannya mengefektifkan kewenangan dan kekuasaannya itu, pemerintah-pemerintah nasional di negeri-negeri bekas jajahan ini berharap akan dapat segera mensukseskan pembangunan nasional. Pada gilirannya nanti, suksesnya pembangunan itu akan dapat dipakai sebagai legitimasi diteruskannya kekuasaan mereka itu, nota bene kekuasaan yang dikonfigurasikan di dalam ide demokrasi yang didefinisikan sempit-sempit itu. Selama kehidupan manusia masih terorganisasi di dalam bingkai-bingkai imperativa yang nasional, dengan pemahaman dan kesepakatan bersama bahwa keterbelakangan dan kemiskinan yang menjejas bangsa (yang didakwakan sebagai akibat penjajahan asing) memang merupakan kenyataan darurat yang hanya dapat diatasi dengan membangun suatu pemerintahan sentral yang kuat, maka “menawar” pelaksanaan demokrasi menurut definisinya yang sempit itu tiadalah banyak halangannya. Pada asasnya rakyat bersedia – lebih-lebih tatkala tingkat pendidikan umumnya belum tinggi – untuk menenggang terkuranginya hak-hak dengan kompensasi yang adil bekenaan dengan tertingkatkannya kemakmuran dan kesejahteraan mereka. Syahdan, toleransi seperti itu dapat diduga kalau akan segera berkurang dan hilang tatkala besarnya kekuasaan sentral itu ternyata tak kunjung dengan segera menambah (secara proporsional dan adil) kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Di tengah kenyataan yang demikian itu, tuntutan demokrasi dan otonomi – yang memaksa pemerintah pusat untuk merealisasi berbagai kebijakan deregulasi akan kian terdengar lantang disuarakan orang di mana-mana. Tuntutan-tuntutan seperti ini dapat terekspresikan secara verbal dalam ucapan-ucapan yang santun, akan tetapi tak jarang mencetus dalam wujud ekspresi-ekspresi fisik yang lebih keras, radikal, tak segan dengan mengerahkan massa, dan bahkan destruktif atau gampang diprovokasi untuk berbuat destruktif. Sementara itu kondisi-kondisi objektifpun tak jarang dengan kuatnya ikut mendorong pendulum perubahan ke arah pilihan demokrasi yang lebih bernuansa liberal.

Page 288: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

303

Perkembangan teknologi transportasi yang merelatifkan jarak ruang dan perkembangan teknologi komunikasi yang merelatifkan jarak waktu telah menyebabkan lahirnya realitas kehidupan one world yang different but never divided. Kenyataan objektif seperti ini – disukai atau tidak, disadari atau tidak, diakui atau tidak – tak pelak lagi akan mengedepankan situasi kehidupan global. Itulah situasi global yang melalulalangkan manusia dalam jumlah massal secara bebasnya melintasi berbagai perbatasan negeri, dalam kapasitas mereka masing-masing sebagai pribadi-pribadi individual. Itulah situasi kehidupan yang menyandingi dan bahkan yang juga menyaingi arti pentingnya kehidupan nasional (yang selama ini dikuasai dan dikelola oleh penguasa-penguasa nasional). Mobilitas massal lintas perbatasan telah membebaskan jutaan manusia dari status-status askriptif mereka yang semula di berbagai institusi nasional, lebih-lebih tatkala mobilitas demografis ini berseiring pula denga mobilitas informasi lintas negeri. Dalam kebebasannya di tengah dataran yang kian berskala global itu, manusia-manusia akan bebas pula untuk mengikatkan diri (atau untuk tak mengikatkan diri) ke dalam berbagai perikatan-perikatan baru yang ia pilih sendiri, secara rela, tanpa paksaan, sekalipun perikatan-perikatan baru itu tak lagi selalu terbilang nasional atau relevan dengan kepentingan nasional. Sementara itu, di tengah kebebasannya untuk menolak keterikatan atau untuk menyetujui keterikatan (yang disebut “kebebasan berkontrak”) itu, orang pun akan segera sadar bahwa ia pun tak akan dapat memaksakan kehendak untuk mengikat manusia-manusia sesama ke dalam perikatan-perikatan. Perubahan yang memperluas ufuk kehidupan tak pelak lagi akan kian menyadarkan setiap insan akan arti pentingnya kebebasan, tidak hanya bagi dirinya sendiri akan tetapi juga bagi manusia-manusia lain sesamanya. Itulah manusia-manusia lain sesama dari berbagai bangsa yang tak dapat begitu saja diikat dan dikuasai, namun juga tidak perlu secara serta merta ditunduki dan dipertuan. Dalam situasi global yang lebih bernuansa interaktif antarindividu (dalam suasana kebebasan dan pula berkesetaraan) daripada terstruktur hierarkis antarbangsa (dengan bangsa yang satu menjajah bangsa yang lain) tak pelak demokrasi dalam definisinya yang luas akan lebih nyata dapat berkembang. Dalam kehidupan global nyata kalau global state tak akan mudah terwujud untuk menggantikan the nation states atau the global society yang cepat berkembang (khususnya dalam kehidupan bisnis dan ekonomi). Tiadanya state (s), baik yang nasional maupun yang global, akan mempercepat proses-proses liberalisasi atau emansipasi individu-individu, yang pada gilirannya akan cepat memarakkan mobilitas dan berbagai interaksi kontraktual mereka. Struktur-struktur kekuasaan yang hanya dapat bertahan tatkala kebebasan inividu dibatasi (antara lain dengan mendefinisikan konsep demokrasi sempit-sempit) akan tererosi dengan maraknya mobilitas dan liberalisasi interaktif manusia-manusia individu. Maka dalam situasi global itu – tatkala nasionalisme harus mengalah kepada globalisme, dan chauvenisme harus pupus untuk digantikan oleh humanisme – demokrasi akan memperoleh maknanya yang universal. Di sini demokrasi akan memperoleh kembali maknanya yang hakiki, ialah sebagai kehidupan umat yang benar-benar bertatasusila kemanusiaan yang adil dan beradab.

Page 289: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

304

Pertumbuhan Infrastruktur Demokrasi Perkembangan kehidupan dari yang berskala dan berformat nasional ke yang global sebagaimana dibentangkan di muka ini bukan mustahil kalau akan menimbulkan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia sebumi. Perubahan yang berlangsung relatif cepat di ranah empiris yang objektif itu tidak jarang problematis kalau gagal diimbangi oleh perubahan visi, orientasi dan jati diri jutaan manusia di bumi ini. Perubahan – dari yang lokal-nasional ke yang global-transnasional, dari yang partikular ke yang universal, dari yang serba-eksklusif ke yang serba-inklusif – adalah perubahan-perubahan transformatif (atau malahan harus dikatakan reformatif) menuju ke alam kesadaran baru. Ialah kesadaran perikemanusiaan yang adil dan beradab. Inilah kesadaran yang bertolak dari pengakuan akan adanya perbedaan-perbedaan, namun dengan keyakinan bahwasanya perbedaan-perbedaan itu tidaklah sekali-kali boleh dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi-diskriminasi. Kesadaran berjati diri baru, tidak hanya sebagai bagian dari suatu sistem kehidupan bernegara bangsa akan tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan manusia sebumi ini, memang tidak akan terwujud dengan mudah begitu saja. Transformasi jati diri dan sense of belonging seperti itu – dari yang primer dan eksklusif menjadi sekunder inklusif – sesungguhnya memerlukan gerakan volunter dari bawah. Ada celah yang lebar antara kesadaran lama yang nasionalistis dan inner directed dengan kesadarn baru yang humanistis dan outer directed; suatu celah yang harus segera di atasi dengan suatu proses transformatif sosio-psikologis, yang tentu saja harus diupayakan dengan segala asa dan pikiran. Menurut pengalaman, transformasi seperti itu tidaklah akan banyak berhasil apabila cuma berlangsung melalui proses-proses yang diprogram dengan penuh rekayasa dari dan oleh pusat-pusat kekuasaan. Untuk menjembatani celah lebar itu diperlukanlah apa yang oleh Berger dan Neuhaus disebut mediating structures; ialah sejumlah institusi sosial yang berfungsi sebagai pelantar dan pengantar, yang secara elegan dapat mengurangkan elemen fanatisme yang nasionalistis (yang karena itu juga cenderung mengembangkan sikap-sikap eksklusivisme yang tak demokratis) untuk menebalkan akan gantinya elemen toleransi yang humanistis (yang diharapkan dapat lebih mengembangkan sikap-sikap inklusivisme yang lebih demokratis). Di tengah kehidupan bernegara bangsa dengan para pengemban kekuasaan negara yang lebih meyakini pentingnya peran birokrasi (sipil ataupun militer) daripada peran masyarakat warga dan warga yang berjumlah massal, esistensi dan peran mediating structures seperti itu cenderung terabaikan, dan serta merta tak memperoleh kesempatan untuk berkembang. Pada akhirnya mediating structures seperti itu akan menjadi tak berkeberdayaan, kecuali kalau kemudian dapat dan bersedia dikooptasi untuk difungsikan sebagai pelaksana program-program pemerintah yang dikontrol secara sentral. Dalam keadaan seperti itu, mediating structures yang ada – seperti misalnya antara lain komunitas-komunitas lokal, satuan-satuan keluarga dan kerabat, organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan olahraga, asosiasi-asosiasi profesi serta

Page 290: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

305

berbagai asosiasi volunter lainnya (termasuk ormas-ormas dan orpol-orpol) – akan banyak kehilangan perannya yang bebas untuk mencoba ikut mengantar para warganya ke dalam kehidupan yang berformat baru. Dalam kondisi seperti itu, yang akan lebih marak tak pelak lagi adalah proses-proses mobilisasi yang terkesan serba dipaksakan, dengan nuansa-nuansanya yang koersif, atau setidak-tidaknya yang hanya bisa tergerak oleh iming-iming harta dan tahta. Yang akan marak bukanlah proses-proses volunter yang penuh partisipasi, berangkat dari sense of belonging para warga yang tak dibuat-buat. Yang masih menjadi pertanyaan yang oleh sebab itu juga masih harus dijawab adalah hal-hal berikut ini. Adakah masih tersisa institusi-institusi kemasyarakatan di negeri ini yang masih dapat berfungsi sebagai mediating structures sebagaimana dimaksudkan di muka? Ataukah institusi-institusi nonpemerintah di negeri ini, semua saja tanpa kecualinya, sudah lama terkooptasi menjadi bagian dari kekuatan dan kekuasaan pengemban kekuasaan negara yang koersif, yang mengingkari peran dan arti pentingnya masyarakat warga dalam kehidupan bernegara bagi kepentingan survival di dalam rentang waktu sejarah yang panjang, di tengah kehidupan yang kian mengglobal? Dapatkah kita mengenali institusi-institusi di dalam kehidupan bermasyarakat yang masih berkebebasan, berkemandirian, dan berkeberdayaan untuk membangun suatu kehidupan yang egalitarian dan penuh konsensus, yang akan dapat berfungsi sebagai infrastruktur yang fundamental bagi suatu kehidupan baru? Kehidupan baru itu adalah kehidupan bernegara bangsa yang demokratis, yang kini terbukti tak akan mungkin mengelakan diri dari takdirnya untuk akan eksis “cuma” sebagai unsur saja dalam suatu kehidupan yang global, universal dan tak mungkin boleh mengingkari kebenaran sila kemanusiaan yang adil dan beradab.

Page 291: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

32

PAHAM KEBANGSAAN DALAM SUATU MASYARAKAT YANG

MAJEMUK DAN PERANNYA SEBAGAI KEKUATAN PENGINTEGRASI

Asal Usul Paham Kebangsaan Paham kebangsaan – yang dikembangkan atas dasar semangat kebangsaan, yang pada gilirannya berawal mula dari hadirnya kesadaran berbangsa – sesungguhnya adalah suatu fenomena baru dalam sejarah kehidupan manusia. Kesadaran akan adanya kesamaan bahasa ini (yang kemudian daripada itu juga dimaknakan sebagai kesamaan asal usul dari satu moyang yang sama), tatkala berkembang bersamaan dengan perkembangan ide dan proses teritorialisasi dalam penataan kehidupan masyarakat, telah melahirkan keyakinan bahwa komunitas politik yang dapat diharapkan kemampuannya untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan serta kepenakatan (survival) manusia di dunia (yang penuh persaingan ini) hanyalah suatu komunitas politik yang dapat tegak dan berhasil mengintegrasikan satuan-satuan lokal yang beridentitas sama. Adapun kesamaan identitas ini dicari dari dan ditengarai oleh adanya kesamaan bahasa (yang bermakna sebagai kesamaan seketurunan, sewangsa, alias sebangsa) itu. Merujuk ke penjelasan yang dikatakan di muka ini, mudahlah dimengerti mengapa obsesi integrasi selalu tertemui dalam setiap paham kebangsaan, apa pun juga kadar dan versinya. Upaya integrasi ini dilakukan pertama-tama dengan menegaskan perbatasan-perbatasan fisik kawasan teritorial yang melambangkan adanya yurisdiksi dan kedaulatan yang harus diakui oleh siapa pun, yang kemudian daripada itu harus dipertahankan dengan dan oleh kekuasaan sentral yang kuat. Demi terpertahankannya dalam jangka panjang, integrasi itu harus diupayakan dengan mengefektifkan kekuasaan sentral itu untuk mempertinggi taraf kemakmuran bangsa dengan upaya-upaya yang eksploitatif tapi juga produktif, intra-teritorial maupun ekstra-teritorial. Dari awal imperatif kebijakan inilah datangnya berbagai upaya modernisasi dan birokratisasi aparat pemerintahan maupun militer, dan etatisme dalam aktivitas-aktivitas ekonomis. Obsesi paham kebangsaan untuk selalu tanpa kompromi mempertahankan dan meningkatkan integrasi nasional seperti itu berkonsekuensi pada terjadinya ekses otokratisme sentral pada gerak dinamisnya yang internal di satu pihak, dan terjadinya ekses imperialisme pada sisi gerak dinamisnya yang eksternal dan ekspansif di lain pihak. Paham kebangsaan yang berkonduksi ke arah terjadinya otokratisme dan imperialisme yang demikian itulah yang menyebabkan terjadinya penjelajahan-penjelajahan bumi, akan tetapi juga peperangan-peperangan antara negara-negara bangsa Eropa Barat pada abad-abad 16-17. Cabaran terhadap otokratisme yang berawal-mula dari obsesi untuk memperoleh kejayaan nasional seperti itu memperoleh cabaran pertamanya pada masa-

Page 292: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

307

masa di sekitar tahun 1776 dengan terjadinya revolusi kemerdekaan di Amerika Utara dan pada masa-masa di sekitar tahun 1789 dengan terjadinya revolusi kerakyatan di Prancis. Kedua revolusi ini membebaskan rakyat dari himpitan otokratisme sentral yang berlebihan, dan sekaligus juga mereformasi paham dan praksis paham kebangsaan yang elitis dan eksploitatif itu menjadi paham baru yang tak hanya lebih bernuansa demokratis akan tetapi sesungguhnya juga kian bertengara humanistis. Maka paham kebangsaan yang telah tereformasi seperti itulah yang pada beberapa dasawarsa kemudian memasuki alam kebijakan para penguasa kolonial yang tengah mengelola imperium-imperium. Sekalipun kebenaran kolonialisme dan eksistensi imperium-imperium kolonial belum juga dipertanyakan, dan oleh sebab itu boleh dibilang – kecuali apa yang terjadi di Amerika Utara – masih cukup kuat bertahan sampai datangnya abad 20, namun kebijakan dan praktik pemerintahan kolonial yang eksploitatif pada asasnya tidaklah lagi diteruskan. Kebijakan-kebijakan kolonial yang lebih bernuansa demokratis dan humanistis mulai dapat ditengarai di daerah-daerah jajahan. Perubahan seperti itu, kalau saja orang mau jujur dalam sejarah, dapatlah juga disimak dalam sejarah kolonial di Indonesia (yang pada waktu itu disebut Hindia-Belanda). Perluasan Paham Kebangsaan ke Wilayah Jajahan Tercatat dalam sejarah bahwa bangkitnya kesadaran kebangsaan – yang bersiterus ke paham kebangsaan yang dengan kuatnya menjadi motif politik bangsa-bangsa Barat untuk membangun negara bangsa – itu pada awalnya telah menyebabkan terjadinya pemisahan antara Gereja (sebagai representasi agama dan apa yang disebut Civitas Dei) dan negara (sebagai representasi kepenguasaan dunia yang berbasis teritorialitas dan disebut Civitas Terrena). Namun demikian, nyatalah dalam sejarah itu pula bahwa imperialisme yang lahir sebagai anak paham kebangsaan di negeri-negeri Barat itu toh diwarnai juga oleh konsep keagamaan kaum Unversalis. Maka terbangunnya imperium-imperium bangsa-bangsa Barat ini selalu saja berseiring dengan terbangunnya dunia Nasrani di negeri-negeri jajahan. Dikatakan bahwa “salib mengikuti pedang”. Sekalipun kebenaran tesis “salib mengikuti pedang” ini tak sampai sepenuhnya gugur, namun selepas terjadinya revolusi Prancis pada akhir abad 18, dan lebih nyata lagi setelah jalannya sejarah memasuki belahan kedua abad 20, ada dua model yang mulai jelas tersimak dalam kebijakan pembangunan imperium oleh kekuasaan-kekuasaan nasional Barat berkenaan dengan perlakuan mereka terhadapa anak-anak negeri di daerah-daerah jajahan mereka itu. Yang pertama adalah model asimilatif sebagaimana dilaksanakan oleh bangsa-bangsa Spanyol dan Portugis dari Eropa Barat sebelah Selatan yang didominasi oleh Katolisisme, sedangkan yang kedua adalah model integratif sebagaimana dipraktikkan antara lain oleh bangsa-bangsa Belanda, Inggris dan Jerman dari Eropa Barat sebelah Utara yang didominasi oleh Protestantisme.

Mengikuti kebijakan penjajahan model asimilatif, penguasa-penguasa imperial-kolonial bangsa-bangsa Portugis atau Spanyol selalu bekerja untuk mengefektifkan proses “portugisisasi atau spanyolisasi” anak-anak pribumi di negeri-negeri jajahan. Melalui proses asimilatif seperti inilah hegemoni Portugis atau Spanyol dikukuhkan,

Page 293: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

308

idealnya secara total, demikian rupa sehingga anak-anak negeri pribumi di tanah-tanah jajahan ini tak lagi mempunyai pilihan lain kecuali mengadopsi agama, bahasa, hukum dan boleh dibilang seluruh tatalaku (sampaipun dalam hal penggunaan nama dan sebutan) milik tuan-tuan penjajahnya. Tidak demikianlah halnya dengan kebijakan penggunaan model integratif yang dipraktikkan oleh penguasa-penguasa imperial-kolonial bangsa-bangsa Eropa Barat sebelah Utara, antara lain juga oleh penguasa-penguasa imperial bangsa Belanda.

Menyatukan daerah-daerah jajahan sebagai bagian dari usaha

menginkorporasikan daerah-daerah jajahan ke dalam satu kesatuan imperium, para penguasa non-Portugis non-Spanyol ini tetap membiarkan anak-anak negeri yang pribumi itu bertahan dalam lingkungan identitas sosial-budayanya sendiri. Tak ayal, bangsa-bangsa pribumi ini (dengan beberapa perkecualian yang acap terjadi cuma pada tataran kelompok kecil atau individu) – dikatakan dari perspektif sosial-budaya – tidaklah terasimilasi ke dalam lingkungan bangsa-bangsa penjajahnya. Yang terjadi hanyalah proses-proses integrasi ke dalam satuan sistem politik yang tunggal, namun beralaskan keyakinan-keyakinan sosial-kultural yang amat beragam. Maka, apabila identitas kebangsaan – yang mungkin ada efeknya juga pada paham kebangsaan – pada bangsa-bangsa terjajah di kawasan imperium-imperium Portugis dan Spanyol terkesan lebih dekat dengan identitas kebangsaan bangsa-bangsa penjajahnya, tidak demikianlah halnya dengan apa yang terjadi di imperium-imperium yang dibangun antara lain oleh bangsa Belanda. Di kawasan imperium yang dibangun antara lain oleh bangsa Belanda ini, bangsa-bangsa pribumi memperoleh peluang untuk mempertahankan dan/atau mengembangkan identitas kebangsaannya sendiri. Dalam dan sepanjang perkembangan-perkembangannya yang terakhir, identitas kebangsaan bangsa-bangsa terjajah ini terbukti tak hanya secara terus-menerus membedakan diri dari identitas kebangsaan bangsa penjajahnya melainkan juga tanpa sempat diperkirakan terlebih dahulu lalu berperan sebagai kekuatan untuk menolak dan melawannya.

Paham Kebangsaan versus Masyarakat yang Majemuk Membangun sebuah imperium melalui model apa pun, yang asimilatif ataupun yang integratif, sesungguhnya berhakikat sebagai suatu upaya membangun suatu kesatuan kehidupan yang wujudnya akan bertaraf lebih lanjut daripada sebatas eksistensinya sebagai suatu kesatuan – atau suatu produk penyatuan – yang ekonomis dan yang politik atas dasar paham kebangsaan. Problema yang mengedepan di sini tak pelak lagi adalah problema yang berada di ranah sosial-budaya, bahkan mungkin juga yang akan punya relevansi dengan masalah akan tetap langgeng atau akan segera pupusnya sebuah peradaban bangsa. Pada hakikatnya, ini adalah masalah pengupayaan hegemoni yang imperialistis dengan pilihan: melalui proses enkulturasi dalam kerangka kebijakan asimilatif, ataukah melalui proses akulturasi dalam kerangka kebijakan integratif. Sesungguhnya semua itu merupakan permasalahan baru dalam pengalaman bangsa-bangsa Barat, mengingat kenyataan bahwa “eksperimentasi” mereka dalam pembentukan negara-negara bangsa – sebelum berekspansi menjadi negara dunia yang cenderung imperialistis – itu boleh dikata tidak pernah terbentur masalah keragaman

Page 294: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

309

tatanan sosial dan budaya. Bagaimanapun juga, kesadaran sebangsa dan kesadaran berbangsa di negeri-negeri bangsa Barat ini pada umumnya selalu bertolak dari kesadaran akan adanya kesamaan bahasa dan tradisi orang semoyang. Di sini tidaklah ada masalah kemajemukan atau keragaman bahasa, tradisi dan berbagai aspek budaya lain yang harus diatasi, entah melalui kebijakan dan proses asimilasi entah pula melalui kebijakan dan proses integrasi. Masalah keragaman sosial-budaya seperti ini mestinya tak perlu terjadi, seandainya saja proses dekolonialisasi bangsa-bangsa terjajah pada akhirnya menghasilkan sejumlah satuan bangsa yang tunggal, masing-masing berkesamaan bahasa serta pula berkesamaan tradisi sejak “dari awalnya dan dari sananya”, (yang bukan sekali-kali sebagai hasil ikrar-ikrar atau tekad-tekad yang diikrarkan). Akan tetapi kenyataan tidaklah menunjukkan gambaran yang demikian. Imperium-imperium yang dibangun bangsa-bangsa penjajah dari Barat secara ekspansif melampaui perbatasan-perbatasan nasionalnya sendiri, baik yang geografis maupun yang kultural, telah lebih acap daripada tidak menerjangi perbatasan-perbatasan permukiman suku-suku, sukubangsa – sukubangsa, dan/atau bangsa-bangsa terjajah. Ekspansi negara-negara bangsa bangsa-bangsa Barat telah menghasilkan imperium-imperium yang amat majemuk, yang usaha untuk mengelola dan mempertahankan kesatuannya dalam suatu rentang waktu yang panjang pada akhirnya gagal. Imperium-imperium yang dibangun atas dasar paham kebangsaan Barat yang klasik namun tak jarang vulgar itu pada akhirnya terdisintegrasi ke dalam berpuluh-puluh satuan komunitas politik yang masing-masing memaklumkan diri sebagi negara-negara bangsa baru yang merdeka, ada yang besar-besar dan ada pula yang kecil-kecil. Tersimak sebagai kenyataan yang sulit diingkari, betapa proses disintegrasi imperium-imperium kolonial itu setakat saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan sudah selesai. Sekalipun imperialisme dan kolonialisme Barat sudah lama berakhir, dan berbagai negara bangsa yang baru, dengan berbagai paham kebangsaannya, telah bermunculan sebagai gantinya, proses disintegrasi masih tampak akan berlanjut. Secara berlanjut proses ini terlihat mengancamkan disintegrasi kepada negara-negara bangsa baru yang baru saja terlepas dari penjajahan bangsa-bangsa Barat, namun yang – sekalipun menyadari kemajemukan tatanan sosial-budayanya – tertengarai akan mengulang kesalahan bangsa-bangsa Barat tatkala kebijakan asimilatif dan (lebih-lebih lagi) kebijakan integratif mereka terbukti tak mampu mempertahankan satuan imperiumnya. Kegagalan bangsa-bangsa Barat bukanlah bersebab dari paham kebangsaannya yang salah (betapapun ekspansifnya). Kegagalan itu sesungguhnya bermula dari suatu prasangka, bahwa dalam kehidupan yang majemuk ini ada agama, kekayaan budaya, dan/atau tradisi ras, bangsa atau suku bangsa tertentu yang lebih superior daripada yang lain, yang oleh sebab itu terkadang bahkan boleh dibenarkan kalau dijadikan idiom sentral guna menundukkan – atau bahkan untuk meniadakan eksistensi ( alias “menggenosid” ) – ras, bangsa atau suku bangsa lain yang secara amat diskriminatif dan bertentangan dengan sila kemanusiaan dipandang bertaraf inferior di dalam suatu negeri.

Page 295: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

310

Paham Kebangsaan di Tangan Penguasa Otoriter Adalah merupakan masalah besar yang secara potensial akan mengancamkan terjadinya proses disintegrasi apabila kenyataan sosial-budaya dalam sejarah kebangsaan di Indonesia – yaitu kenyataan kuatnya pluralitas sosial-budaya di negeri ini – banyak dikesampingkan dan bahkan diingkari dalam wacana politik para elite. Sekalipun dalam kenyataan orang gampang menyimak bahwa Indonesia ini adalah masyarakat yang bhineka (= berbeda-beda), tetapi siapa pun yang hidup sebagai warga negara di negeri ini selalu saja diingatkan dan diperingatkan untuk tetap bertahan dalam cita-cita bahwa sesungguhnya kita ini satu (tunggal ika). Celah perbedaan yang lebar antara apa yang dialami rakyat sebagai realitas kehidupan dan apa yang dicita-citakan para elite kebangsaan tersebut benar-benar telah merupakan suatu dikotomi yang tak pernah terjembatani dalam berbagai kebijakan di negeri ini. Alih-alih bersetuju untuk mengembangkan pengakuan akan kuatnya kemajemukan, dan kemudian daripada itu mengajarkan paham yang realistis mengenai moral kemajemukan itu, para pemuka politik di negeri ini tetap saja mengidealkan wujud yang harus serba satu, kesatuan dan persatuan, yang bahkan menjurus ke kebijakan untuk serba seragam. Alih-alih mengembangkan paham pluralisme yang realistis, para pemuka politik di negeri ini tetap saja mengukuhi paham unisme yang tak bersesuai dan/atau tak merefleksikan tuntutan kenyataan. Konsekuensi paham yang demikian itu ialah, bahwa realitas keragaman dan pluralitas suku dan kedaerahan yang lokal tidak harus dipandang penting. Semua harus tetap tunduk dan ditundukkan ke bawah cita-cita kesatuan bangsa yang besar, Unisme dan unitarianisme itulah yang harus dimenangkan, dan pluralisme itulah yang harus disingkirkan dari segala pemikiran dan niat-niat. Kemungkinan setiap kekuatan lokal untuk mempertahankan eksistensi dan identitas dirinya menjadi diperkecil demi tak terhalanginya proses ( yang sering agak koersif ) menuju ke realitas baru, yaitu realitas serba satunya bangsa dalam suatu kesatuan yang monolitik. Dalam praktik, idiom politik yang amat mengidealkan kesatuan dan persatuan berdasarkan semangat supranasionalisme yang diyakini tanpa reserve ini lalu menjadi nyata sekali kalau kehilangan visi dan orientasinya yang realistis, bahkan lalu cenderung menjadi utopis. Pada akhirnya, semua itu hanya melahirkan paham-paham etatisme, kebijakan developmentalism, dan praktik-praktik pemerintahan yang menganut ajaran sentralisme yang berlebihan. Pada akhirnya, yang terjadi adalah monopoli kekuasaan dan kewenangan kontrol di tangan suatu rezim dengan aparat birokratisnya (sipil ataupun militer) yang sungguh otoritarian, dengan segala akibatnya yang justru amat counterproductive. Walhasil, otoritarianisme sentral seperti itu pada akhirnya justru hanya akan melahirkan reaksi-reaksi perlawanan, berupa penolakan (laten ataupun manifes) terhadap segala bentuk ekspresi kekuasaan sentral yang maunya cuma hendak mendominasi dan berhegemoni saja, serta hanya hendak mengabaikan perbedaan dan kemajemukan yang ada di dalam realitas itu. Sentralisasi otoritarian ternyata hanya akan mengundang

Page 296: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

311

datangnya resistensi yang bernafaskan primordialisme lokal; tak lain karena (dari perspektif politik) etatisme dan sentralisme seperti itu – sekalipun diklaim berkarakter nasional – tetap saja termaknakan sebagai suatu upaya sistematis rezim yang bercokol di pusat untuk memarjinalisasikan potensi dan peran lokal dalam percaturan nasional. Kalaupun tak hendak memarjinalisasikan, praktik sentralisme hanya akan mengkooptasi dan/atau mengasimilasikan kekuatan-kekuatan lokal ke dalam kepentingan sentral. Maka, di sini tiba-tiba saja terkesan dan serasa dialami orang-orang daerah (khususnya yang dari luar Jawa) telah terjadinya suatu proses penjadian suatu imperium baru di negeri ini, melalui suatu proses yang ditengarai sebagai suatu internal colonialism yang amat mengabaikan otonomi lokal dan hak mereka yang di daerah untuk menentukan nasib mereka sendiri. Sentralisasi kekuasaan yang berangkat dari paham sentralisme, etatisme dan developmentalism – dengan keyakinan agar seluruh implementasinya dilaksanakan oleh suatu authoritarian bureaucracy – pada akhirnya justru telah menyebabkan terjadinya efek paradoksal, yaitu disintegrasi. Dalam kasus Indonesia, alih-alih berhasil mengintegrasikan bangsa-bangsa etnis tua di Kepulauan Nusantara ini ke dalam suatu kesatuan kebangsaan baru (yaitu bangsa Indonesia), upaya yang terobsesi untuk merealisasi cita-cita kesatuan telah mengundang datangnya bahaya disintegrasi. Pengalaman rupanya hendak mengajarkan kepada kita bahwa bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan itu yang paling potensial untuk melahirkan kesatuan dan persatuan yang kuat. Pengakuan akan adanya pluralitas dan kesediaan untuk menghormati perbedaan dalam kemajemukan itulah yang justru akan menjamin persatuan dalam suatu rentang waktu yang lebih panjang. Di suatu negeri yang dalam kenyataan dipenuhi fakta kemajemukan seperti Indonesia dewasa ini, sesungguhnya bukan slogan bhineka tunggal ika itu yang harus diingat-ingat dan diabadikan sebagai rujukan setiap kebijakan nasional. Di tengah arus reformasi dewasa ini, idiom yang akan lebih diingat-ingat dan dijadikan referensi setiap kebijakan adalah tunggal ika bhineka, yaitu bahwa sekalipun kita ini satu tidaklan boleh dilupakan bahwa sesungguhnya kita ini secara hakiki memang bhinna: berbeda-beda dalam suatu kemajemukan. Lagi pula, berbeda-beda itu bukanlah suatu dosa, melainkan suatu rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa jugalah adanya.

Page 297: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

33

DILEMA NASIONALISME PADA PERALIHAN MILENIUM Reaktualisasi Nilai-Nilai Budaya demi Integritas Bangsa, Kasus

Indonesia KEHIDUPAN kebangsaan di banyak negeri bekas jajahan – antara lain juga di Indonesia – adalah fenomena dan realitas abad 20. Model kehidupan seperti ini mulai dikenal di negeri-negeri jajahan dan bekas jajahan tatkala “para tuan kolonial” mulai memperkenalkannya kepada elite-elite terpelajar di negeri-negeri jajahannya itu. Di Indonesia, misalnya, konsep kebangsaan pun baru dikenal pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad 20. Sebelum itu tidak pernah ada dan tidak pernah dikenallah apa yang disebut bangsa atau “nasion” Indonesia itu. Bahkan nama dan kata Indonesia itu saja tidak dikenal secara umum pada satu dua dasawarsa pertama abad 20 itu, kira-kira 40 tahun semenjak Adolf Bastian memperkenalkan istilah itu untuk menyebut “Kepulauan India” (= Indus + Nesos) di dalam bahasa Latin. Benarlah apa yang dikatakan oleh banyak teoretisi – seperti misalnya Geller dan Smiths – bahwa apa yang disebut bangsa atau nation itu bukan sekali-kali suatu objektivitas dalam sejarah, melainkan suatu objektivitas yang menurut Geller jelas-jelas merupakan fenomena sosio-psikologis. Lahir dan terjadinya bangsa ditentukan oleh lahir dan maraknya subjetivitas itu. Maka tidaklah salah kalau dalam hubungan ini banyak pakar mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa itu sebenar-benarnya adalah suatu realitas yang hadir pertama-tama dalam alam kesadaran manusia yang subjektif, untuk kemudian mengembang menjadi suatu solidaritas yang inter-subjektif, dan yang akhirnya manifes dalam wujud ikrar-ikrar atau sumpah-sumpah bersama. Di Indonesia, kesadaran berbangsa seperti itu baru lahir dan berkecambah pada sekitar tahun 1910-1920an, tidak sebelumnya, untuk baru terekspresi kemudian dalam wujud suatu ikrar pengakuan berbangsa yang satu (bangsa Indonesia) oleh sejumlah anak-anak pelajar elite pada tahun 1928. Maka pula, tak pelak lagi, menurut teori dan merujuk ke peristiwa sejarah itu, lahirnya suatu bangsa dalam pengalaman kehidupan manusia itu harus dikatakan selalu dipersyarati pertama-tama oleh lahir dan berkecambahnya kesadaran dalam suatu kolektiva akan adanya kesamaan tolok yang menyatukan. Dengan perkataan lain, subjektivitas kesadaran berbangsa itulah yang sesungguhnya melahirkan suatu objektivitas (tegasnya objectivied subjectivities) mengenai hadirnya suatu kehidupan berbangsa. Dan bukan sebaliknya, bahwa kehidupan berbangsa itulah yang telah menggugah-gugah kesadaran orang kolektif untuk berbangsa (subjectivied objectivity). Seseorang pakar seperti Ben Anderson, misalnya, bahkan memprovokasi banyak pemikiran orang bahwa suatu bangsa itu “hanya” tercipta dan tercitakan di alam imajinasi

Page 298: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

313

para warganya semata, dan bukan sesuatu fenomen yang empiris. Berkenyataan demikian suatu bangsa hanya akan eksis dan tetap eksis sebagai suatu realitas selama bangsa itu sepanjang masanya eksis dan tetap eksis di alam cipta dan alam cita para warga pendukungnya. Halnya berbeda dengan kehidupan bersuku (tribal life) atau mungkin juga kehidupan bersuku bangsa (ethnic life). Menjadi warga suku atau menjadi warga sukubangsa adalah suatu pengalaman kultural yang kongkrit, empiris dan objektif. Itu adalah suatu kehidupan dan pengalaman yang tak perlu mensyarati adanya kesadaran dan ikrar, dan tak pula sekali-kali berdasarkan pilihan dan pemihakan yang subjektif dan individual. Itu sungguh berbeda dengan kehidupan berbangsa yang – dikatakan oleh Ernest Renan – lebih merupakan hasil kehendak bersama yang disadari untuk bersatu dan menyatu dalam suatu kehidupan bersama. Dikatakan olehnya bahwa une nation c’est un groupe des gens qui possèdent la désire d’être ensemble, dan bahwa tetap hadirnya suatu bangsa itu tak lain karena adanya “suatu plebisit diam-diam namun berterusan dari hari ke hari”. Nasionalisme Itu Juga Kesadaran Berbangsa Hal kedua yang dapat disimak dalam sejarah – dan yang lalu ditulis begitu dalam teori – adalah fakta bahwa kesadaran berbangsa itu pada hakikatnya merupakan kesadaran politik yang normatif. Inilah kesadaran yang merupakan janin suatu ideologi yang disebut nasionalisme. Nasionalisme, tak pelak lagi, adalah suatu paham yang meyakini kebenaran pikiran bahwa setiap bangsa itu – demi kejayaannya – seharusnya bersatu bulat dalam satu kehidupan bernegara. Dari nasionalisme inilah lahirnya ide dan usaha perjuangan untuk merealisasi negara bangsa. Di Indonesia, ide dan usaha seperti ini berkembang kuat pada tahun-tahun 1930an, dan memuncak pada tahun-tahun 1940-an. Namun, yang masih akan menjadi problema besar di sini ialah, apakah tegaknya suatu “nasion” yang pada hakikatnya merupakan suatu produk kesadaran politik bernegara itu dapat dilakukan tanpa landasan kultur? Dengan perkataan lain, apakah munculnya realitas bangsa itu dapat berlangsung secara spontan tanpa perlu berawal terlebih dahulu dari – atau berakar tunjang pada – suatu substruktur yang disebut suku, suku bangsa, atau satuan kolektiva lain macam apa pun yang kultural atau religius-kultural sifatnya ? Kenyataan memperlihatkan bahwa ada keragaman konstruksi kehidupan negara bangsa yang bermula dari adanya keanekaragaman struktur kultural. Tak ayal budaya itu memang acap kali berfungsi sebagai predeterminan politik kehidupan bernegara bangsa. Nasionalisme Prancis dan nasionalisme Jerman, misalnya, jelas terlihat berbeda sehubungan dengan perbedaan tradisi dan konsep kultural tentang makna kekuasaan yang hidup dalam kehidupan kedua bangsa yang sekalipun sama-sama Eropa itu. Nasionalisme Prancis, misalnya, nyata kalau lebih demokratis (atas dasar asas persatuan yang hendak mengatasi fakta kemajemukan dalam kehidupan) daripada, misalnya, nasionalisme Jerman (yang bertumpu pada asas ketunggalan berkat kuatnya kesadaran kesejarahan akan kesatuan asal moyang, berikut tradisi yang menyatukan). Perbedaan konstruksi kehidupan berbangsa ini akan kian nyata lagi tatkala orang membandingkan model

Page 299: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

314

Prancis ini dengan nasionalisme Cina atau Jepang (yang kulturnya mengkonsepkan legitimasi kekuasaan negara itu sebagai sesuatu yang jelas-jelas berasal dari “yang di atas sana”, dan bukan dari “yang di bawah sini”). Kalau memang benar substruktur kultur suatu kelompok etnis berfungsi sebagai determinan konstruksi-konstruksi politik nasional suatu bangsa, maka konsep yang partikularistis demikian ini akan menimbulkan tambahan problem yang besar di negeri-negeri yang tidak mengenal adanya homogenitas kultural. Kalau memang benar kelompok (-kelompok) etnis dan struktur budayanya merupakan unsur inti sesuatu bangsa serta konstruksi politik nasionalnya, maka adanya pluralitas dan/atau terjadinya pluralisasi budaya (yang diabaikan, ed.) boleh diduga – entah cepat, entah lambat – akan menyurutkan kekuatan nasionalisme, dan dengan demikian juga akan gampang menggoyahkan sendi-sendi politik di negara bangsa yang bersangkutan. Maka, demi fungsinya dalam jangka panjang, nasionalisme sebagai kekuatan pengintegrasi itu akan memerlukan kekuatan penopang yang lebih riil namun inspiratif, yaitu kekuatan budaya yang mempunyai akar tradisinya dalam kehidupan kelompok-kelompok etnis setempat. Legitimitas setiap penggunaan kekuasaan politik, misalnya, tidaklah cukup kalau cuma mendasarkan diri pada produk-produk legislatif yang tidak hanya formal saja sifatnya, akan tetapi yang juga termonopoli di tangan para pejabat pengemban kekuasaan negara. Produk-produk legislatif seperti itu jelas kalau akan sulit menghasilkan apa yang disebut signifikansi sosial; yaitu bahwa norma-norma positif dalam produk perundang-undangan itu tidak akan gampang berpengaruh pada terjadinya perubahan pada pola perilaku warga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah Pluralitas Budaya

Namun, kalaupun faktor sosial-budaya dipandang amat bermakna dalam dan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, pluralitas budaya di suatu negeri rupanya tidaklah memudahkan – kalaupun tidak akan amat menyulitkan – upaya pencarian kekuatan penopang yang akan dapat dimobilisasi sebagai bagian dari kultur politik nasional itu. Di dalam suatau negara bangsa yang berbudaya majemuk, seperti Indonesia saat ini, setiap langkah pengembangan kultur politik selalu saja menghadapkan orang kepada keterpaksaan untuk membuat pilihan-pilihan atau pemihakan-pemihakan yang sungguh rumit. Terjadilah dilema yang sungguh memusingkan.

Pada awalnya, eksponen-eksponen nasionalis hendak mencoba mengabaikan fungsi budaya-budaya etnis itu, atau malah terkesan mereka ini – dengan semangat modernisasinya – mengkhawatirkan akan terjadinya disrupsi-disrupsi apabila kesetiaan-kesetiaan tradisional pada segala sesuatu yang bersifat etnis itu terlalu ditenggang dan terangkat ke permukaan, untuk kemudian mengintervensi kehidupan bernegara dan seterusnya secara berlanjut mengganggu kehidupan nasional. Perkembangan yang berkesan anti-tradisi seperti ini tidak hanya dapat disimak pada tahap-tahap awal tatkala para nasionalis mulai tergugah kesadarannya untuk berbangsa dan bertanah air, akan

Page 300: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

315

tetapi juga sampai pada tahap implementasi tatkala kehidupan nasional hendak disempurnakan lewat usaha-usaha pembangunan. Akan tetapi, nyatalah kemudian bahwa pementingan upaya membangun suprastruktur politik nasional dengan mengabaikan peran infrastruktur budaya yang ada hanya akan memperbanyak jumlah langkah-langkah perekayasaan yang cenderung semena-mena dan bersifat otokratis. Modernisasi dan terwujudnya negara bangsa yang kuat, yang selama ini menjadi bagian utama dari cita-cita setiap nasionalis, lalu lebih banyak terekspresi serta termaknakan sebagai proses transplantasi (dari negeri sana yang maju ke negeri sini yang kurang maju) daripada sebagai proses transformasi (dari yang etnis-lokal ke yang nasional). Dalam proses transplantasi seperti itu, kontrol-kontrol sentral dan tekanan-tekanan yang sering tak sabaran dari atas akan berganda-ganda. Ketergantungan masyarakat kepada negara lalu menjadi meninggi, dan para nasionalis yang mengendalikan seluruh sistem kehidupan nasional pun serta merta lalu tampak lebih bercitra – dengan segala perilakunya – sebagai elite-elite baru daripada sebagai tokoh-tokoh yang bersemangat populis. Terlanjur berobsesi untuk menuruti cita-cita demokrasi (yang diperjuangkan para nasionalis Prancis pada akhir abad 18, namun yang selama ini selalu diklaim bersifat universal), para nasionalis yang menganut garis kebijakan modernisasi kehidupan berbangsa lewat upaya transplantasi yang akultural – kalaupun tidak antikultural – lalu menjadi tidak realistis lagi. Di negeri yang berbudaya amat majemuk seperti Indonesia, dengan kemajemukan yang jauh melebihi apa yang pernah dialami bangsa-bangsa Eropa tatkala mereka mengembangkan kehidupan nasional mereka, usaha untuk membangun budaya politik nasional lewat cara transformasi pun bukannya tanpa masalah. Masalah pokoknya adalah masalah menentukan pilihan. Sangatlah tidak mudah menggariskan strategi untuk memilih – yang pada hakikatnya juga bermakna memihak dan memenangkan – salah satu satuan dari sekian yang ada dalam kemajemukan, untuk kemudian digunakan sebagai pangkalan bermulanya proses transformasi, namun juga dengan upaya untuk tidak menimpakan rasa derita terdiskriminasi di sanubari pihak yang lain. Mendahulukan dan “memenangkan” yang mayoritas dalam pilihan ini, sekalipun yang dimenangkan ini terbilang yang mayoritas, sedangkan yang lain itu terbilang yang minoritas, belum tentu boleh dipandang sebagai langkah yang bijak. Mendahulukan tradisi Jawa – yang didukung penduduk mayoritas di negeri ini – sebagai modal pengintegrasian persatuan dan/atau kesatuan nasional, misalnya, belum tentu dapat dipandang sebagai langkah yang bijak. Dalam kehidupan yang kian mengglobal, dengan kegiatan lintas batas yang kian berganda-ganda pula, menentukan mana yang mayoritas dan mana yang minoritas juga tak lagi mudah, karena yang mayoritas dalam percaturan nasional sering terpaksa pula harus diperhitungkan sebagai yang minoritas dalam percaturan transnasional, dan demikian sebaliknya. Dalam situasi di mana nasionalisme sudah mulai harus berdampingan dengan kesadaran baru yang disebut globalisme – yang dalam teori maupun dalam praktek acap kali justru sudah kurang menaruh respek pada perbatasan-

Page 301: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

316

perbatasan teritorial dan/atau batas-batas yurisdiksi nasional – tak ada jalan lain bagi para eksponen yang nasionalis untuk membangun budaya nasional (demi sehatnya kehidupan bernegara) lewat proses-proses yang bermula dari bawah. Bukan lagi peran pemuka-pemuka elite yang berkuasa membuat rekayasa-rekayasa dan melakukan kontrol-kontrol koersif terpusat itu yang harus diutamakan. Kini peran massa awam non-elite – yang mampu bertransaksi lintas kultural secara riil dari hari ke hari, dan yang karena itu dalam kenyataannya juga mampu mengakomodasi perbedaan- perbedaan antar-etnis (sekalipun dalam format dan lingkungan-lingkungan yang terbatas namun otonom) – itulah sebenarnya yang harus lebih dipentingkan.

Page 302: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

34

REFORMASI KEHIDUPAN BERBANGSA DEMI

TERSELENGGARANYA PEMBANGUNAN YANG LEBIH BERWAWASAN KERAKYATAN DAN KEMANUSIAAN

DALAM suasana yang dipenuhi tuntutan dan aktivitas reformasi dewasa ini, maraklah pemikiran dan perbincangan (seperti antara lain yang kita lakukan kali ini) untuk pertama-tama mendefinisikan ulang apa yang sebenarnya dimaksud dengan “pembangunan” itu, dan “demi siapa dan oleh siapa pembangunan itu terutama dilaksanakan”. Mengingat kenyataan bahwasanya selama kekuasaan pemerintahan Orde Baru pembangunan itu amat bersifat state centered dengan peran birokrasi sipil maupun militer yang “di-Golkar-kan”) amat nyatanya, maka pemikiran dan perbincangan tak pelak lagi pada akhirnya mestilah pula berperhatian kepada persoalan reformasi birokrasi di negeri ini. Mendefinisikan Ulang “Pembangunan” “Pembangunan” adalah istilah di dalam bahasa Indonesia yang semula dimaksudkan untuk menerjemahkan istilah dari bahasa Inggris “development”. Akan tetapi tatkala di dalam bahasa Inggris istilah development itu bisa berarti pula “perkembangan”, di dalam bahasa Indonesia istilah development itu lebih acap diartikan sebagai “pembangunan” daripada “perkembangan”. Antara kedua istilah – “pembangunan” dan “perkembangan” – itu sebenarnya ada konotasi pemahaman yang berbeda. Pembangunan adalah seluruh upaya terencana untuk merealisasi perubahan menuju ke statusnya yang baru dan bernilai lebih; sedangkan perkembangan adalah perubahan yang berproses secara alami menuruti hukum-hukumnya sendiri yang di luar rencana siapa pun. Di negeri-negeri berkembang – seperti juga misalnya Indonesia – development lebih sering dimaknakan sebagai “pembangunan” itu daripada “perkembangan” yang berlangsung di luar rencana manusia itu. Persoalannya hanyalah, siapa yang harus ditunjuk dan diakui sebagai yang berkewenangan untuk melaksanakan perencanaan berikut pelaksanannya itu. Di negeri-negeri dengan pemerintahan yang cenderung otokratis, diimbuhi ketiadaan kepercayan pengemban kekuasaan negara pada kemampuan rakyat dalm persoalan penyelenggaraan negara, pembangunan pun senantiasa berlangsung menurut rencana-rencana sentral, dan dilaksanakan dengan sokongan tindakan-tindakan yang terkesan represif. Halnya berbeda dengan apa yang terjadi di negeri-negeri berkembang dengan pemerintahan yang mulai belajar bekerja atas dasar prinsip-prinsip demokrasi. Di negeri-negeri ini pembangunan akan dicoba lebih banyak berlangsung menurut rencana-rencana yang terdesentralisasi ke berbagai lokasi dan organisasi kemasyarakatan – baik

Page 303: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

318

yang community based maupun yang berfungsi sebagai mediating intermediaries yang di indonesia acapkali dikenali dengan nama LSM atau Ornop) – dengan aktivitas mereka masing-masing yang otonom namun yang bersinergi dalam suatu jaringan aktivitas. Pada awal-awal masa kemerdekaan seusai tersempurnakannya proses dekolonisasi, kebijakan untuk melaksanakan pembangunan yang tersentralisasi di tangan penguasa sentral itulah yang cenderung dominan. Adalah keyakinan elite-elite nasional yang (merasa) berjasa memerdekakan negeri bahwasanya kemakmuran hanya bisa diperoleh dengan cepat lewat “aktivitas di atas”, yang akan segera bisa didistribusikan berkat proses yang secara wajar segera menyusul, yaitu proses yang disebut trickle down effects. Akan tetapi, nyatalah kemudian bahwa banyak bukti menunjukkan bagaimana efek seperti itu tak pernah terjadi. Banyak elite nasional, terutama dari generasi kedua yang tak selalu terlibat dalam proses dekoloniasasi, yang melupakan misi mereka yang seharusnya tetap bernuansa kerakyatan dan kemanusiaan. Maka, berbagai kesenjangan yang dirasakan amat tidak adil akan mulai menampak di mana-mana. Adalah suatu wacana yang penuh polemik di negeri-negeri berkembang yang telah mencapai tahap perkembangan tertentu, apakah aktivitas pembangunan lalu harus tetap dan terus dilaksanakan berdasarkan rencana dan koordinasi otoritas sentral? Ataukah aktivitas itu harus segera dipercayakan saja lewat – suatu proses otonomi yang terkelola dengan baik – kepada prakarsa-prakarsa warga masyarakat pada tataran yang lebih terdesentralisasi dan yang lebih terbebas dari intervensi birokrat-birokrat pemerintah yang berlebihan. Persoalan pokoknya adalah, apakah pembangunan itu harus lebih mementingkan pencapaian hasil-hasilnya dengan segera (lewat kebijakan top down yang elitis)? Ataukah harus mulai lebih mementingkan proses-prosesnya yang menyertakan partisipasi (bukan mobilisasi) publik, lewat kebijakan bottom up yang populis, dengan menyadari hak-hak manusia warga negara yang asasi untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pula untuk ikut menikmati hasil-hasilnya. Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan, dan Peran Organisasi Warga Maka, pada tahapan yang telah mulai memperlihatkan tanda-tanda krisis dan yang serta merta mulai banyak mengundang cabaran seperti itu, pilihan kebijakan pembangunan yang bernuansa reformatif – yaitu untuk melaksanakan pembangunan lewat partisipasi yang populis – itulah yang segera saja terpandang sebagai pilihan yang lebih tepat. Akan tetapi, sebijak apa pun pilihan, realisasinya tidaklah sesederhana pembangkitan niat dan semangatnya. Kebijakan pembangunan lewat gerakan-gerakan partisipasi yang populis adalah pada dasarnya merupakan suatu kebijakan untuk mengupayakan terlebih dahulu penguatan infrastruktur sosial, berhakikat sebagai upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat warga di dalam kehidupan bernegara. Dengan perkataan lain, civil society (yang di Indonesia acapkali diterjemahkan – yang tak selalu dapat dianggap tepat – dengan istilah yang semula populer di Malaysia: “masyarakat madani”) harus dicoba dikembangkan dulu sampai mempunyai wujud dan dapat berfungsi sebagai infrastruktur yang berkeberdayaan, tidak selalu dalam maknanya yang ekonomis akan tetapi juga yang politik. Upaya mengembangkan infrastruktur sosial

Page 304: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

319

seperti ini bukannya mudah, khususnya di negeri-negeri berkembang seperti di Indonesia ini, yang pada dasarnya lebih bertradisi otoritarianisme dan feodalisme daripada bertradisi demokrasi dengan kehidupan yang egalitarian Maka, tatkala reformasi juga harus dilakukan di bidang pembangunan – dari yang elitis ke yang populis, dari yang mendahulukan suprastruktur politik lagi pula sentralistis ke yang lebih memprioritaskan infrastruktur sosial serta pula otonomis – maka upaya harus ikut memperhatikan proses reformatif sebagai proses transformatif. Bukan proses yang transplantatif. Proses transformatif adalah proses yang menggerakkan perubahan dan perkembangan internal dari tatanan sosial yang berkonfigurasi ketergantungan menuruti model hubungan vertikal Kawula – Gusti ke tatanan baru yang berkonfigurasi kesetaraan antar-warga. Transformasi seperti ini memerlukan institusi-institusi lokal yang bergerak aktif dan progresif dari dalam, yaitu dari lingkungan masyarakat-masyarakat lokal itu sendiri. Inilah institusi-institusi yang oleh Berger dan Neuhaus disebut mediating structures. Mediating structures adalah sejumlah institusi yang berfungsi sebagai pengantar yang mendekatkan kehidupan privat-domestik para warga ke kehidupan publik yang lebih luas. Dikatakan lebih luas karena kehidupan ini harus terbuka dan terdedah dalam konteks kehidupan bernegara bangsa yang berskala besar. Upaya dilaksanakan lewat suatu proses pendidikan yang mengantar setiap insan ke kehidupan sebagai warga suatu negara bangsa (dan tak lagi cuma bisa berpikir dan bersikap ekslusif sebagai warga komunitas lokal yang berwawasan sempit). Ditengah-tengah kehidupan bernegara dengan para pengemban kekuasaan negara yang telah terlanjur lebih meyakini pentingnya peran kader dan elite daripada peran masyarakat warga beserta para warganya yang berperan di tataran akar rumput dan berjumlah massal, mediating structures – sebagai hasil aktivitas arus bawah – memang semula cenderung terabaikan, dan karena itu juga sering tak berkesempatan untuk berkembang. Dalam kenyatan seperti itu, mediating structures telah menjadi tak berkeberdayaan, kecuali kalau kemudian dapat dan bersedia dikooptasi, untuk kemudian difungsikan sebagai pelaksana saja program-program pemerintah (yang dikontrol secara sentral) saja. Dalam keadaan seperti itu, mediating structures yang ada – seperti misalnya antara lain komunitas-komunitas lokal, satuan-satuan keluarga dan kerabat, organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan olahraga, asosiasi-asosiasi profesi serta berbagai asosiasi volunter lainnya (termasuk ormas-ormas dan orpol-orpol) – justru akan banyak kehilangan perannya yang bebas untuk mencoba ikut mengantar para warganya ke dalam kehidupan yang berformat baru. Dalam kondisi seperti itu, yang akan lebih marak tak pelak lagi adalah proses-proses yang serba dipaksakan dengan nuansa-nuansanya yang koersif, penuh rekayasa untuk melakukan mobilisasi, atau setidak-tidaknya suatu penggerakkan yang hanya bisa berlangsung kalau ada iming-iming harta dan tahta. Maka yang akan marak di sini bukanlah sekali-kali proses-proses volunter yang penuh partisipasi, berangkat dari sense of belonging para warga yang tak dibuat-buat, melainkan upaya-upaya yang acap semu, cuma kaya retorika yang kurang jujur, dan akan bersifat seremonial daripada profesional untuk mengefektifkan hasil.

Page 305: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

320

Apa pun juga masalah yang secara tak terelakkan mesti ditemui dalam situasi yang transisional, institusi-institusi yang dibangun atas prakarsa warga secara volunter dan otonom itu mesti diupayakan. Lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun secara mandiri oleh para warga untuk meningkatkan keberdayaannya, dan sampai juga organisasi-organisasi kepartaian politik dalam fungsinya sebagai ajang pendidikan politik rakyat guna memarakkan kehidupan yang demokratis dan antidiskriminasi, haruslah dapat difungsikan sebagai mediating structures sebagimana dimaksudkan di muka. Institusi-institusi yang berfungsi sebagai mediating intermediaries haruslah dapat dibangun dan dikembangkan sendiri secara volunter oleh para warga dan para pemimpinnya dalam masyarakat dan difungsikan dengan baik untuk mengembangkan kesadaran baru. Kesadaran baru yang dimaksudkan itu adalah kesadaran bahwa berpolitik dan berpartai politik itu sesungguhnya merupakan suatu keterlibatan penuh komitmen untuk ikut mempengaruhi jalannya proses pembentukan kebijakan publik demi tegaknya suatu prinsip dalam kehidupan bernegara. A contrario, tatkala institusi yang eksis sebagai mediating structures itu sampai terkooptasi dan terintegrasikan ke dalam sistem status quo yang selama ini terkontrol secara sentral, dan tak sempat berotonomi secara pantas, tidaklah akan dapat dielakkan lagi bahwa institusi-institusi tersebut hanyalah akan terus eksis sebagai bagian subordinatif belaka dari kekuatan dan kekuasaan pengemban kekuasaan negara yang koersif, yang selama ini tetap ngotot hendak bercokol. Dalam keadaan seperti itu, peran dan arti pentingnya masyarakat warga beserta individu-individu warganya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan benar-benar teringkari secara semena-mena. Terjadinya pengingkaran partisipasi para warga secara volunter dalam suatu kehidupan bernegara seperti itu akan mendegradasi warga dalam jumlah massal tak lebih tak kurang hanya untuk menjadi oknum-oknum perhambaan yang egosentris belaka. Itukah hamba-hamba yang amat berpamrih untuk memperoleh imbalan-imbalan entah yang dalam wujud jabatan-jabatan administratif atau politik, entah pula yang dalam wujud kemudahan-kemudahan tatkala ingin mengembangkan usaha-usaha bisnis keluarga. Reformasi Birokrasi Pemerintahan: Apa yang Pernah Dicoba-lakukan pada Era Kolonial Reformasi pada tataran infrastruktur seperti yang diutarakan di muka tentu saja tak akan menghasilkan efek yang optimal tatkala orang melupakan keharusan untuk juga memformat ulang struktur-struktur yang ada pada tataran supra, yaitu birokrasi pemerintahan. Reformasi suprastruktural seperti itu tentu saja tidaklah akan mungkin dilaksanakan untuk serta merta melikuidasi birokrasi secara total, melainkan untuk mendekonstruksi dan merekonstruksinya sedapat-dapatnya agar birokrasi dapat lebih berfungsi sesuai dengan tuntutan zaman. Proses reformasi seperti ini – dari yang serba sakral-feodal ke yang serba teknis-profesional – sebenarnya pernah berlangsung di zaman pemerintahan kolonial, sekalipun dengan hasil yang boleh dibilang masih setengah-setengah. Proses ini pernah dideskripsikan secara rinci, lewat suatu studi yang kemudian diangkat sebagai disertasi, oleh Heather Sutherland yang kemudian dipublikasikan dengan judul The Making Bureaucratic Elites.

Page 306: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

321

Sutherland berbicara tentang soal bagaimana para priyayi (di daerah-daerah yang telah jatuh di bawah kekuasaan dan pemerintahan Hindia-Belanda) “digarap” menjadi pegawai-pegawai gubernemen dan karena itu mesti bekerja dalam suatu organisasi pemerintahan yang berkonfigurasi baru. Ada proses transformasi di sini, dari model birokrasi feodal yang primordial dan disakralkan di seputar wibawa pribadi elite-elite feodal – yang mendudukkan diri ke dalam bilangan kelas ksatria yang militeristis – ke model birokrasi kolonial yang formal dan lebih rasional berdasarkan sistem yang non-askriptif. Sekalipun di dalam publikasinya itu Sutherland menggunakan istilah “bureaucratic elites”, namun pada zaman kolonial itu istilah yang lebih acap dipakai dan dikenal adalah “priyayi” atau “ambtenaar”. Istilah birokrasi – dalam pengertiannya sebagai suatu institusi politik yang menyelenggarakan administrasi dalam kehidupan bernegara – ini sekalipun boleh dikatakan sudah beriwayat cukup lama dalam sejarah kehidupan bernegara bangsa di negeri-negeri Barat, namun baru pada tahun 1940an banyak dikenal dan dipakai orang. Birokrasi berasal dari kata Perancis bureaucratie, yang diartikan sebagai kekuasaan para pejabat (pouvoir des bureaucrates), dan sudah mulai banyak ditemukan dalam berbagai kepustakaan Perancis dari abad 18. Perhatian khusus dalam permasalahan birokrasi ini pun sudah dapat dibaca dalam tulisan-tulisan Karl Marx dan de Tocqueville yang terbit pada pertengahan abad yang lalu. Akan tetapi dari tangan Max Weber – yang melahirkan tulisannya pada peralihan abad, akan tetapi yang baru populer setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1940an – perbincangan tentang birokrasi menjadi cepat “mendunia”. Mengenai birokrasi ini Weber terkenal dengan penulisannya tentang model-model konstruksi atau tipe-tipe ideal birokrasi, yang ia bedakan menjadi tiga. Pembedaan ini ia dasarkan suatu kriteria yang berbicara tentang ragam macam otoritas, yaitu otoritas subjek yang tengah mengendalikan tertib organisasi administrasi yang disebut birokratis itu. Ada tiga macam otoritas, yaitu yang tradisional, yang karismatis, dan yang legal-rasional. Menurut Weber, otoritas yang legal-rasional inilah yang marak penuh dalam komunitas-komunitas politik mutakhir yang disebut negara modern, dan pula dalam kehidupan ekonomi yang telah ditengarai oleh adanya lembaga-lembaga kapitalisme yang telah lanjut. Model birokrasi yang dibangun dengan konfigurasi otoritas yang legal-rasional inilah yang selalu dipikirkan sebagai model yang harus direalisasi dalam kehidupan negara-negara kolonial dan/atau negara-negara nasional yang modern.

Akan tetapi, merealisasi terwujudnya birokrasi dengan kekuatan pengintegrasinya yang legal-rasional seperti itu tidaklah selamanya mudah, khususnya di negeri-negeri jajahan dan oleh karena itu selanjutnya juga di berbagai negeri yang dibangun di atas puing-puing negara kolonial. Pada umumnya, seperti yang pernah dikatakan oleh Ralph Brabanti (dimuat dalam buku Modernization: The Dynamics of Growth), semua itu disebabkan oleh kenyataan bahwa pada masa penjajahan, kekuasaan kolonial di negeri-negeri itu harus membangun suatu sistem administrasi yang diperlukan untuk melaksanakan (boleh dibilang) seluruh aktivitas infrastruktural, demikian besar keperluan itu sampai-sampai seluruh aktivitas itu “termonopoli” sebagai kegiatan pemerintah,

Page 307: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

322

sehingga negara kolonial seperti itu acap dikenali juga sebagai “beambten staat” (negara amtenaar). Sehubungan dengan kenyataan ini, para amtenar dalam jajaran birokrasi – yang merupakan kader-kader terpelajar di suatu negeri yang dihuni massa yang miskin dan tak tahu baca tulis – itu pun lalu akan gampang terpandang sebagai elite-elite yang berkarisma dan mereduksi rasionalitas yang dicoba dikembangkan di dalam sistem. Ditambah dengan kenyataan bahwa jabatan dan kedudukan dalam birokrasi merupakan yang jabatan karier yang permanen, status elite para punggawa yang birokrat itu kian bertambah-tambah meninggi lagi.

Perkembangan seperti itu, khusus sebagai pengalaman Indonesia (khususnya lagi

sebagai pengalaman pemerintah kolonial di Jawa), karena sebab sejumlah faktor telah menyebabkan proses transformasi ke arah terjadinya birokrasi yang benar-benar legal-rasional – sebagaimana diperikan dalam model Weberian – menjadi kian tidak mudah lagi. Sartono Kartodirdjo dkk. Dalam buku Perkembangan Peradaban Priyayi (1987) mengetengahkan kenyataan betapa kebijakan untuk memodernkan birokrasi pemerintahan kolonial, yang berbarengan dengan kebijakan indirect rule, telah menyebabkan terjadinya konsekuensi paradoksal. Dikatakan, bahwa sekalipun sistem pemerintahan kolonial dikembangkan menuju ke model birokrasi yang berkarakter legal-rasional, namun kebijakan indirect rule telah menyebabkan banyak terbebaskannya para elite birokrasi pribumi – yang tetap saja mengandalkan kekuatan tradisi primordial dengan karisma feodal mereka yang disakralkan untuk menjaga status dan kewibawaannya – itu dari pengawasan pemerintah kolonial. Maka rencana modernisasi kekuasaan kolonial untuk mengintroduksikan terwujudkannya suatu sistem pemerintahan modern yang legal-rasional menjadi amat terhambat dan lambat, bahkan mungkin saja menjelang terlikuidasinya kekuasaan kolonial itu rencana tersebut belum juga kunjung kesampaian.

Maka ditengah kenyataan seperti itu, terjadinya transfer kekuasaan dari yang

kolonial ke yang nasional tidak begitu saja secara serta merta berarti telah tereformasi dan/atau tertransformasikannya birokrasi pemerintahan di negeri ini dari yang tradisional (dengan segala aura kesakralannya) ke yang modern (dengan segala aura keformalan dan legal-rasionalnya). Terusirnya penguasa-penguasa kolonial boleh diartikan sebagai terhentinya rencana untuk melaksanakan rasionalisasi dalam tubuh birokrasi pemerintahan, dan setiap upaya untuk mengimplementasi lebih lanjut rencana-rencana itu selalu tertumbuk perlawanan atas dasar idiom-idiom lama yang telah lama berakar pada tradisi yang ada; yaitu idiom-idiom yang lebih mendahulukan pemberian imbalan kepada mereka yang setia dan/atau mereka yang masih terbilang nepote daripada mendahulukan pemberian penghargaan kepada mereka yang kreatif dan kritis. Idiom-idiom yang demikian itu jelas bermula dari bertahannya secara bandel spoil system yang terbiasakan dalam kehidupan feodal, yang tak kunjung hendak mengenal – dan tak kunjung hendak beralih ke – merit nondiscriminstive system yang harus dibiasakan dalam kehidupan bernegara bangsa yang demokratis. Reformasi Birokrasi Pemerintahan: Apa yang Harus Dicoba-lakukan Sekarang Ini

Page 308: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

323

Sesungguhnya formalisasi, rasionalisasi, dan pula demokratisasi bukannya tak pernah dicoba pada tahun-tahun pertamanya berdirinya Republik di negeri ini. Peniadaan jabatan-jabatan kepamongprajaan dalam sistem pemerintahan untuk digantikan dengan berbagai jabatan – yang politik ataupun yang karier – dalam lembaga-lembaga pemerintahan daerah adalah salah satu contohnya. Akan tetapi, tiadanya kemungkinan untuk mengadakan personil-personil baru yang mestinya tak hanya mesti terbilang nasionalis saja, akan tetapi juga harus modernis dan cultural reformist, telah menyebabkan birokrasi pemerintahan di Indonesia pascakolonial itu tetap saja cenderung berkarakter elitis, tradisional dan mengandalkan kekuatan karismatik tokoh-tokoh birokratnya (yang karena itu harus selalu berupaya untuk bisa tetap dan terus menjadi panutan agar memperoleh banyak-banyak pengikut yang suka manut). Kecenderungan seperti itu bertambah-tambah kuat lagi oleh sebab kuatnya kehendak dan keputusan-keputusan politik di negeri ini untuk mempertahankan sentralisasi pemerintahan dengan misi developmentalism-nya (yang pada hakikatnya – disadari atau tidak, seperti dikatakan oleh MacMichael dalam bukunya Development and Social Change (1996) – sesungguhnya merupakan kelanjutan saja dari welvaart politiek para penguasa kolonial yang lama). Tatkala pada era Republik, lebih-lebih lagi dalam rentang waktu antara tahun-tahun 1965-1998, sentralisasi pemerintahan demi suksesnya pembangunan terus dipertahankan, diimbuhi praanggapan bahwa model-model birokrasi yang formal-rasional dan serba legalistis adalah amat berbau Barat dan bercela kolonial serta menyalahi kepribadian nasional, maka birokrasi yang fungsional untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara bangsa yang modern dan demokratis tidaklah akan segera terwujud. Elitisme dan sentralisme tidak hanya meneruskan tradisi Indonesia sebagai “negara ambtenaar” dengan punggawa-punggawa pemerintah yang akan mengurusi segala-galanya, akan tetapi juga kian menjadikan para birokrat Indonesia tetap panggah sebagai abdi-abdi negara, dan tak kunjung tampak citranya sebagai pelayan-pelayan publik. Alih-alih terkembang menjadi birokrasi yang rasional, birokrasi di negeri ini – sebagaimana yang juga terjadi di negeri-negeri berkembang lainnya – justru tertengarai akan terus berkembang menuju ke bentuk yang menggolongkannya ke dalam bilangan apa yang disebut bureaucratic-authoritarian industrializing regimes (BAIR) yang sifatnya amat paternalistis dan yang kecenderungannya tak sekali-kali hendak percaya bahwa demokrasi akan mensukseskan pembangunan. Akan tetapi, kini, memasuki era reformasi menjelang datangnya abad 21, orang dengan rasa optimisme yang tinggi mulai mengembangkan kembali harapan bahwa birokrasi pemerintahan akan dapat ditransformasikan ke struktur dan fungsinya yang lebih responsif kepada kepentingan umum. Namun, kini ini pula, sekalipun reformasi birokrasi dari yang feodal-primordial – dengan berbagai tipe otoritasnya yang karismatis dan disakralkan – ke yang legal-formal menurut kriteria Weberian yang memang benar-benar diharapkan, orang mulai mempertanyakan apakah model birokrasi Weberian memang benar-benar pernah diharapkan, orang mulai mempertanyakan apakah model birokrasi Weberian di masa peralihan millenium ini masih akan fungsional? Bukankah zaman telah berubah, dari era developmentalism kaum ultranasionalis (yang selalu

Page 309: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

324

berorientasi sentralisme dan legisme, serta berkecenderungan untuk selalu melihat pembangunan sebagai bagian dari ideologinya) ke era globalism pasca nasionalisme yang dianut kaum nasionalis humanis dan yang sekaligus juga populis (yang lebih suka melihat kegiatan pembangunan sebagai bagian dari proses global)? Apabila model birokrasi Weberian itu dimaksudkan untuk menegakkan wibawa kekuasaan nasional, tidakkah kini orang harus segera menyadari bahwa sesungguhnya yang diperlukan untuk merespons masa depan – suatu masa yang diramalkan akan menyaksikan the end of nation states – bukanlah tipe birokrasi Weberian, melainkan yang pasca Weberian, atau bahkan yang mungkin saja pasca-birokratis (seperti yang dicoba diulas oleh sejumlah sarjana dan disunting oleh Charles Heckscher dan Anne Donnellon dalam buku The Post-Bureaucratic Organization: New Perspectives on Organizational Change, 1994). Lalu apakah gerangan yang dimaksud dengan organisasi pemerintahan (atau bisnis) yang pasca-birokratis ini? Heckscher dan Donellon mengemukakan karakteristik organisasi pasca-birokratis ini sebagai suatu organisasi yang lebih menekankan pentingnya proses kolaborasi (antara mereka yang berkewenangan dengan mereka yang berkebebasan) daripada yang lebih menekankan pentingnya kekuatan komando yang militeristis oleh penguasa-penguasa formal untuk menggerakkan proses. Namun harus diketahui bahwa terlaksananya proses kolaborasi ini memprasyaratkan adanya suatu otoritas yang lebih konsensual daripada yang hierarkis, dan ketersediaan informasi yang lebih terbuka bagi pengetahuan publik daripada yang terlalu tertutup dan tersegmentasi. Pada tahun-tahun 1999 – 2000, prasyarat seperti ini amat dikenali sebagai prasyarat terciptanya apa yang disebut good governance, yaitu suatu praktik pengelolaan kekuasaan dalam ihwal penyelenggaraan pemerintahan negara yang mendasarkan diri pada berlakunya prinsip the rule of law yang karena itu juga akan bersifat predictable, accountable, transparent, dan participatory. Birokrasi baru yang belajar menyelenggarakan pembangunan atas dasar kiat good governance akan bersedia melakukan kajian-kajian to learn from the people to reveal the people’s real interest, dan tak mengulang kesalahan lama untuk cuma to learn about the people from the elite’s perspective of interest. Tak ayal lagi, to learn from the people ini memang merupakan kunci untuk mengidentifikasi dengan benar the people’s real interest itu, karena hanya dengan mengenali apa yang menjadi kepentingan dan minat masyarakat ramai itu sajalah setiap usaha pembangunan yang dilaksanakan akan terdukung oleh partisipasi khalayak bawah. Alih-alih berbenturan, perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan pembangunan akan dapat berselaras dengan segenap kepentingan masyarakat bawah itu, atau setidak-tidaknya para perencana pembangunan akan dapat membantu masyarakat untuk beradaptasi ke perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dijejas perasaan dirugikan sedikit pun; (syukur kalau malah merasa diuntungkan). walhasil, setiap pembangunan yang dilaksanakan dalam alur strategis learn from the people seperti itu akan mudah mengundang partisipasi masyarakat ramai. Bagaimanapun juga “partisipasi masyarakat” – sebagai bagian dari prasyarat terselenggaranya good governance itu amatlah diperlukan demi suksesnya pelaksanan pembangunan. “Partisipasi masyarakat” haruslah diartikan sebagai “kesediaan dan/atau perilaku para warga di masyarakat untuk turut mengambil bagian dalam suatu program

Page 310: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

325

aktivitas yang besar. Partisipasi tak akan mungkin dikembangkan dengan baik apabila setiap pelaksanaan pembangunan – fisik ataupun nonfisik – menerbitkan dampak yang dirasakan tidak pernah menguntungkan mereka di lapisan akar rumput yang – secara langsung atau tidak – diharapkan partisipasinya, dan alih-alih begitu hanya menguntungkan mereka yang bertengger di tataran hierarki kekuasaan di atas. Bagaimanapun juga, partisipasi itu selalu lahir dari adanya kebebasan seseorang untuk membuat pilihan yang rasional dan bertumpu pada voluntarisme yang internal. Walhasil, akhirulkalam, reformasi struktural yang berhasil adalah reformasi yang sanggup meniadakan sembarang bentuk mobilisasi massa atas dasar kekuatan kontrol-kontrol yang eksternal dalam setiap kerja pembangunan, untuk kemudian menggantikannya dengan aktivitas-aktivitas volunter yang terekspresikan sebagai bagian dari aspirasi kehidupan para warga masyarakat itu sendiri. Hanya dengan keberhasilan reformatif seperti itu sajalah pembangunan yang berwawasan kerakyatan dan kemanusiaan akan dapat direalisasi, dan akan berlangsung dalam citranya yang demokratis, dan bahkan (lebih lanjut dari batas itu) juga humanistis.

Page 311: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

35

REFORMASI SEBAGAI PROSES PEMAKNAAN

ULANG FUNGSI KONSTITUSI (Dari Fungsi Pelegitimasi Kekuasaan Negara

ke Fungsi Pelegitimasi Hak-Hak Asasi Manusia Warga Negara) MEMBUKA wacana dalam topik diskusi kali ini, siapa pun yang akan ikut ambil bagian dalam diskusi haruslah bisa memperoleh pengertian yang jelas terlebih dahulu mengenai soal, pertama, apakah sesungguhnya yang dimaksudkan dengan reformasi dan reformasi hukum itu? Kedua, mengapa pula harus ada reformasi dan untuk tujuan apakah reformasi itu? Menurut arti harafiahnya, reformasi – yang berasal dari bahasa Latin re + formare (forma = “bentuk”, sedangkan formare berarti “membentuk” – ed.), – dapatlah didefinisikan sebagai “usaha untuk membentuk ulang”. Tetapi dalam perkembangannya yang lebih kemudian, selepas terjadinya rekonstitusi dalam kehidupan dan ajaran Kristiani di Eropa Barat pada abad XVI (yang menyebabkan terjadi perpisahan gereja antara yang Protestan dan yang Katolik), istilah “reformasi” mengimplikasikan suatu unsur dan makna baru di dalamnya, yaitu unsur “koreksi”. Kata “reformasi” tidak lagi sebatas artinya sebagai “upaya untuk membentuk ulang (memformat ulang) suatu struktur, yang dilakukan lewat serangkaian tindakan korektif.

Redefinisi ”reformasi” sebagai “tindakan korektif” seperti yang dibentangkan di muka ini dengan demikian, pada gilirannya akan mengasumsikan bahwa telah terdapat banyak kesalahan pada masa lalu dalam kerja-kerja pengelolaan sistem atau struktur kehidupan. Tak pelak lagi, setiap itikad atau tekad untuk melakukan reformasi – entah karena prakarsa yang volunter entah pula karena keterpaksaan menghadapi tuntutan yang tak dapat ditolak – itu selalu bermula dari hadirnya kesadaran atau pengakuan bahwa ada sesuatu yang salah pada struktur kehidupan yang ada; bahwa ada sesuatu yang salah, yang oleh sebab itu memerlukan koreksi-koreksi yang diharapkan akan dapat memperbaiki kinerja sistem.

Kesediaan dan tindakan untuk mengkoreksi kesalahan dalam rangka memformat

(format, serapan dari formatus = bentuk lampau dari verba formare yang berarti “membentuk”) ulang tatanan dalam struktur kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagaimana telah dipaparkan di muka itu tentu saja mensyaratkan dan mengisyaratkan pula kesediaan orang untuk mendeteksi dulu macam dan atau lokasi kesalahan itu di dalam struktur. Adakah kesalahan itu terjadi di sekujur tubuh struktur? Ataukah kesalahan itu cuma bersifat lokal dan dapat dilokalisir; yaitu hanya mengenai suatu komponen tertentu saja di dalam sistem yang tak sekali-kali akan menimbulkan komplikasi? Atau, mungkinkah kesalahan itu memang benar cuma manifes sebagai masalah dibilangan substruktur yang ada dipermukaan saja (misalnya sebagai masalah moneter atau masalah ekonomi di sektor riil), akan tetapi sesungguhnya kesalahan itu

Page 312: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

327

lebih mendasar lagi, tersembunyi dalam-dalam di substruktur-substruktur yang terletak di bawah permukaan (sebagai permasalahan politik, atau bahkan juga sebagai permasalahan moral dan etika pemerintahan dalam masalah hubungan kekuasaan antara pejabat pengemban kekuasaan negara dan manusia-manusia warga negara). Hasil pendeteksian kesalahan – mengenai macam dan lokasinya, yang diperoleh entah sebagai simpulan analisis yang objektif, entah pula sebagai kesan-kesan awam yang banyak didistorsi oleh motif-motif politik yang subjektif – itu akan banyak menentukan arah ruang lingkup atau skala reformasi itu. Berdasarkan hasil deteksi-deteksi seperti itu, reformasi bisa saja cuma hendak dibataskan pada hal-hal yang lebih teknis dan atau prosedural saja sifatnya. Akan tetapi bukannya mahal pula, berdasarkan pendeteksian yang jujur, reformasi akan bisa berlangsung di ranah-ranah yang “lebih ke dalam lagi” (to the inner most) sampai mengenai komponennya yang paling esensial, yaitu moral: moral kekuasaan. Inilah komponen infrastruktur yang menentukan konfigurasi sistem, yang sekaligus berfungsi sebagai pengontrol sistem dengan kekuatannya yang ukhrowi.

Akhir-akhir ini makin marak perbincangan tentang keharusan melakukan reformasi di dalam kehidupan bernegara bangsa, dan – dalam konteksnya yang lebih makro – dalam rangka pembangunan bangsa. Reformasi dalam rangka pembangunan bangsa? Ada kesalahan apakah dalam pembangunan bangsa ini, sehingga diperlukan suatu reformasi? Kesalahan dalam ihwal pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan strategis yang mengakibatkan terbangunnya struktur-struktur institusional yang rapuh karena tak punya back up moral yang kukuh? Ataukah kesalahan-kesalahan itu tak lebih cuma dalam ikhwal pengambilan langkah-langkah operasional yang mengakibatkan terjadinya kinerja-kinerja yang kurang memuaskan, sebagai akibat belum lengkap tersusun dan terujinya juklak-juklak dan juknis-juknis yang ada? Maka, haruskah reformasi itu bersifat total sampai ke upaya menyingkirkan praktik-praktik yang amoral (kalaupun tidak antimoral) dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang tengah dibangun ini, semisal praktik-praktik yang diakronimkan sebagai KKN, atau (lebih serius lagi yang berkenaan dengan pelanggaran kaidah-kaidah moral kemanusiaan? Ataukah reformasi itu bisa dicukupkan saja pada upaya pembenahan mekanisme dan prosedur saja, yang karena itu pantaslah kalau disarankan agar dilokalisasi saja pada sektor-sektor “yang terbilang paling luar” (the outer most) dan duniawi, yaitu ekonomi dan sejauh-jauhnya sebatas aturan-aturan main dalam ihwal berpolitik? Di negeri-negeri berkembang, lebih-lebih lagi yang pernah mengalami penjajahan Barat, para pemuka nasionalis dan generasi tua umumnya gampang bercenderung untuk pertama-tama mempersepsi kompleks permasalahan nasional sebagai permasalahan kemiskinan dalam maknanya yang ekonomis, dengan sumber penyebabnya yang harus dicari pada kesewenang-wenangan eksploitasi asing. Tidaklah ada sedikit pun pikiran di antara mereka – yang rata-rata selalu memandang dirinya sebagai pejuang pahlawan pelawan kekuatan dan konspirasi asing, atau yang dibiayai asing, yang subversif dan anti-nasional – itu untuk melihat dan mengakui bahwa segala kemiskinan dan rendahnya martabat bangsa itu bersebab pertama-tama dari praktik dan moral koruptif yang

Page 313: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

328

terkandung dalam model pemerintahan pribumi sendiri. Yang dimaksudkan adalah moral dan model pemerintahan yang feodalistis, yang sekalipun mungkin bernuansa berevolusi namun tetap saja otokratis, dan tetap saja mempertahankan segregasi yang diskriminatif untuk menghasilkan dikotomi yang tak mudah diingkari, antara yang Gusti dan yang Kawula, antara yang Ksatria dan yang Sudra (dan mungkin malahan yang Paria), yang antar-keduanya itu mana mungkin se-”level” dalam hal keterpanggilannya. Maka, di dalam suasana pemikiran konseptual di kalangan mereka yang tengah berada di dalam sistem kekuasaan seperti itu setiap kegagalan yang mengundang tindakan korektif reformasi tak ayal lagi tidaklah akan diidentifikasi sebagai permasalahan yang inheren pada model pemerintahan dan atau struktur politik yang beridiom pribumi. Alih-alih begitu, permasalahan yang ada tentu harus dicari pada proses-proses ekonomis atau politik yang penuh dengan subversi dan konspirasi kekuatan anti-nasional, yang koreksi dan reformasinya bolehlah dicukupkan dan haruslah dikonsentrasikan pada upaya penguatan struktur ekonomi dan pemerintahan nasional yang ada. Saran-saran untuk melanjutkan reformasi sampai ke maknanya yang lebih total dan mendasar tentulah sulit diterima logika yang berangkat dari paradigma yang tak cuma tertengarai berciri amanat nasionalistis (bahkan chauvanistis) tetapi juga feodalistis itu.

Memperhatikan segala wacana mengenai reformasi akhir-akhir ini di negeri ini, reformasi yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh massa awam di luar sistem kekuasan pemerintahan dewasa ini adalah reformasi yang juga menjejas ranah yang lebih mendasar, yaitu moral politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi yang dicitakan adalah reformasi untuk menggerakkan perubahan yang secara strategis mendekonstruksi format lama dalam kehidupan bernegara yang cenderung otokratis ke wujud rekonstruktifnya yang baru, yang lebih demokratis. Inilah reformasi yang menggerakkan perubahan dari model kehidupan bernegara dengan kedaulatan yang cenderung dipusatkan di tangan penguasa tunggal yang bersemayam di pusat, ke model kehidupan bernegara dengan kedaulatan yang lebih didistribusikan secara adil ke tangan rakyat (yang masing-masing harus diakui sebagai warga yang berkedudukan sama di hadapan hukum, tanpa kecualinya). Reformasi politik yang dicita-citakan seperti itu pada ujung-ujungnya tentulah akan menyangkut juga persoalan reformasi hukum, khususnya hukum konstitusi. Kalaupun bukan persoalan rumusan-rumusan formilnya, reformasi korektif itu tentulah berkenaan dengan pemaknaan interpretatifnya, dan sehubungan dengan hal itu, selanjutnya juga berkenaan dengan dengan pelaksanaannya. Ini berarti bahwa urgensi reformasi hukum itu tak akan cuma terasa pada proses perumusan ulang isi pasal dan ayatnya, akan tetapi juga pada proses pelaksanaannya, yang tak hanya akan berkenaan dengan keharusan membenahi ulang organisasi atau lembaga penegakkannya akan tetapi juga berkenaan dengan keharusan untuk melakukan resosialisasi guna tumbuh kembangnya kesadaran dan kemafhuman bahwa hukum dan konstitusi itu sesungguhnya dan pada asasnya punya fungsi sebagai pelegitimasi dan penjamin kebebasan asasi manusia-manusia warga negara, dan tidak pertama-tama berfungsi sebagai pelegitimasi kewenang-wenangan para pejabat yang boleh disenaraikan secara enumeratif.

Page 314: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

329

Sudah terlalu lama dalam kehidupan di negara ini hukum nasional, khususnya yang terbilang hukum publik, dipandang dari perspektif kekuasaan sebagai instrumen kontrol. Sudah telalu lama dalam kehidupan di negara ini hukum nasional khususnya yang terbilang hukum publik, – baik yang berupa UUD maupun yang berupa undang-undang organik – kehilangan jati diri dan kepribadiannya sebagai kekuatan pelindung hak-hak rakyat, baik yang asasi maupun yang sekunder, dan yang demikian juga menjadi simbol terjadinya kebebasan rakyat di hadapan sembarang bentuk kekuasaan. Padahal, menilik riwayatnya, hukum dalam maknanya yang modern – yaitu yang telah mengalami positivisasi sebagai hukum perundang-undangan – itu adalah hukum yang tercipta pada era pasca revolusi dengan konsep dasar yang amat inventif untuk melindungi hak manusia yang asasi dari kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan pemerintah oleh pejabat pemerintah. Hukum nasional itu – diperbarui ataupun tak diperbarui – sesungguhnya akan kehilangan hakikatnya sebagai pelindung hak-hak asasi warga negara untuk memperoleh kebebasannya manakala asas konstitusionalnya ditiadakan. Asas konstitusional ini, yang lebih dikenal dengan nama “konstitusionalisme”, adalah unsur sine qua non bagi eksistensi hukum nasional yang tak hanya populis akan tetapi juga humanistis. Tanpa asas ini hukum nasional akan menyebabkan kekuasaan pemerintah di hadapan kebebasan kodrati manusia-manusia warga negara menjadi tak lagi limitatif, melainkan enumeratif. Tanpa asas ini suatu negara bangsa tak lagi akan terkualifikasi sebgai rechtstaat, melainkan serta merta sebagai machstaat, dimana kekuasaan Kepolisian (atau bahkan juga kekuasaan Militer) akan segera pula menjadi tak punya batas jelas. Tak perlu lagi, hukum nasional difungsikan di dalam kehidupan bernegara yang demokratis – haruslah tetap (atau bahkan “kian”) – mampu mendefinisikan secara legitimasi mana-mana saja kekuasaan polisionil pemerintahan yang boleh memperoleh legitimasi (sehingga boleh dibenarkan sebagai kewenangan) dan mana-mana pula kebebasan manusia warga negara yang secara enumeratif boleh memperoleh legitimasinya (sehingga terakui sebagai hak-hak asasi yang harus dilindungi). Kesimpulan dari argumentasi yang dibentangkan di muka bahwa yang menjadi persoalan pokok di sini sesungguhnya bukanlah cuma perlu dan urgensinya reformasi hukum dalam kerangka reformasi politik. Akan tetapi juga menjadi persoalan utama di sini ialah penegasan kembali misi moral politik hukum nasional – dengan dasar-dasar konstitusional dan moral konstitusionalnya – demi terlaksananya reformasi politik. Ini adalah proses yang (sekali lagi) harus lebih diurgensikan dan diutamakan agar berlangsung di ranah struktural (pembenahan organisasi dan fungsi pembuatan serta penegakan hukum yang dikehendaki kepentingan umum), dan lebih utama lagi agar berlangsung di ranah kultural (berkenaan dengan pemahaman moral hukum dan moral kebebasan manusia yang sesungguhnya), daripada berlangsung di ranah materi untuk memperbarui pasal-pasal dan ayat-ayat. Bagaimanapun juga, semua saja yang peduli – yang elit maupun yang awam – harus segera menyegarkan kembali ingatan, pengetahuan dan kearifan bahwa hukum nasional itu pada hakikatnya adalah manifestasi in concreto hukum konstitusi yang mendasari kebenaran kehidupan bernegara dan berbangsa dengan

Page 315: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

330

kedaulatan yang benar-benar di tangan rakyat, dan tidak di tangan suatu dinasti yang eksklusif.

Page 316: 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto H u k u m

Back Cover Text Buku I Serva ordinem et ordo servabit te. Ini adalah pepatah Latin kuno yang secara harfiah berarti “layanilah peraturan maka peraturan pun akan melayanimu”. Itu berarti ada internalisasi nilai-nilai yang termaktub dalam peraturan dalam berbagai bentuknya. Persoalannya, dari manakah asalnya nilai-nilai itu? Dari alam ide atau dari realitas empiris? Yang mana yang diakui sebagai benar, yang berasal dari dunia ide entah berentah ataukah yang berasal dari dunia real-empiris? Mengapa sebuah nilai diakui sebagai norma yang “mengikat” dan mengapa yang lain tidak? Itulah beberapa di antara berbagai masalah yang menggelisahkan ilmu hukum yang anehnya tak bisa dicarikan jawabannya oleh ilmu hukum itu sendiri. Ia membutuhkan ilmu dan perspektif lain untuk mendapatkan jawabannya, semisal sosiologi dan filsafat bahkan logika dan psikologi. Nah, berbagai kumpulan tulisan dalam buku ini – yang kemudian terkesan bukan lagi sebuah antologi, karena dijalin dengan begitu apik oleh tim editor termasuk penulisnya sendiri – mencoba menawarkan bukan jawaban final atas berbagai permasalahan hukum dan masyarakat di mana dan untuk apa hukum itu ada, melainkan terutama sebuah cara menjawab. Kita toh mengerti betul – mengikuti Plato yang mementingkan cara bertanya yang baik dan benar untuk melahirkan pengetahuan yang sejati – bahwa cara menjawab yang salah dengan sendirinya akan melahirkan jawaban yang salah pula. Artinya, di sini yang berperan adalah soal perspektif, metode, paradigma, dan logikanya. Sebagai seorang intelektual “kritis” tanpa harus “kiri”, Profesor Soetandyo Wignjosoebroto mengajak Anda untuk “bertamasya” ke alam rasio yang serius tetapi mengasyikkan karena dari sana Anda bisa menyaksikan “dunia” dengan lebih cerah dan penuh optimis. Lectori salutem!