Top Banner
ISLAM DAN PEMERINTAHAN : KONSEP POLITIK JAMAL AL BANNA Najibul Khairi 1 Abstract : There are three ways of thought in the contemporary Islamic thought, especially in relationship between religion and state, which are; secularist, traditionalist, and reformist. Secularists state that Islam is only a religion which arranges the relationship between human and God. There is no regulation related to the state problem. In contrast, traditionalists argue that Islam is a comprehensive religion. People can find all regulation including a relationship with the state. Therefore, Islamic followers don’t have to imitate the Western ways. On the other hand, reformists say that Islam is not religion which only arranges the relationship between humans and God, but it’s not a comprehensive way too. According to reformists, it is enough for Islam to give based principles for people in order to guide activities and relationship among people in their communities and states. According to Jamal al-Banna, there are four bases principles for the establishment of Islamic state, which are 1 Penulis adalah dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya faith, justice, Syar’iyyah, and al-Farrusyumuliyyah (individualist-universalist). The best example of Islamic state is the model from Rasulullah and Khulafa’ur- Rasyidin’s eras. Also, Jamal al-Banna argues that syura concept is the based principle for running the Islamic state. All regulation should comply with the Quran, Sunah, and wisdom. A good example of this is economic system should guarantee the prosperity of people in this country based on Islamic values. Furthermore, one of the characteristics of Islamic state is that every person has a right to release his opinion. In summary, Jamal al-Banna’s ideas can be categorized as reformist thought. He argues that there are no detailed and direct regulation about state in Quran and Sunah . However, in Quran and Sunah people can find code of ethic that can be used as guidance in human activities. Keywords: Religion, State, and Syura
21
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 6-20-1-PB

ISLAM DAN PEMERINTAHAN : KONSEP POLITIK

JAMAL AL BANNA

Najibul Khairi1

Abstract : There are three ways of thought in the

contemporary Islamic thought, especially in relationship

between religion and state, which are; secularist,

traditionalist, and reformist. Secularists state that Islam is

only a religion which arranges the relationship between

human and God. There is no regulation related to the state

problem. In contrast, traditionalists argue that Islam is a

comprehensive religion. People can find all regulation

including a relationship with the state. Therefore, Islamic

followers don’t have to imitate the Western ways. On the

other hand, reformists say that Islam is not religion which

only arranges the relationship between humans and God,

but it’s not a comprehensive way too. According to

reformists, it is enough for Islam to give based principles for

people in order to guide activities and relationship among

people in their communities and states.

According to Jamal al-Banna, there are four bases

principles for the establishment of Islamic state, which are

1 Penulis adalah dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya

faith, justice, Syar’iyyah, and al-Farrusyumuliyyah

(individualist-universalist). The best example of Islamic

state is the model from Rasulullah and Khulafa’ur-

Rasyidin’s eras.

Also, Jamal al-Banna argues that syura concept is

the based principle for running the Islamic state. All

regulation should comply with the Quran, Sunah, and

wisdom. A good example of this is economic system should

guarantee the prosperity of people in this country based on

Islamic values. Furthermore, one of the characteristics of

Islamic state is that every person has a right to release his

opinion.

In summary, Jamal al-Banna’s ideas can be

categorized as reformist thought. He argues that there are

no detailed and direct regulation about state in Quran and

Sunah . However, in Quran and Sunah people can find code

of ethic that can be used as guidance in human activities.

Keywords: Religion, State, and Syura

Page 2: 6-20-1-PB

I. PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Masalah pemerintahan dalam Islam merupakan

bagian dari berbagai permasalahan penting yang senantiasa

terasa aktual untuk dibahas, karena relevansi masalah yang

diperbincangkan senantiasa berkembang sepanjang masa.

Al-Qur‟an maupun hadis sebagai sumber utama hukum

Islam tidak memberikan penjelasan secara tegas dan tuntas

mengenai masalah yang berhubungan dengan kenegaraan,

baik konsepsi kekuasaan, kedaulatan, ide-ide tentang

konstitusi, struktur, maupun sistem pemerintahan dalam

sebuah negara. Aktualisasi permasalahan tersebut juga

dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak memberikan

contoh konkret yang baku dan mapan tentang keberadaan

sebuah negara yang harus ditegakkan oleh umat Islam, baik

ketika ia hidup maupun sebagai pedoman untuk masa-masa

sepeninggalnya.

Menurut Munawir Sjadzali (1993:1-2), ada tiga

pendapat tentang konsepsi negara dalam Islam. Pendapat

pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang

sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek

kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan

bernegara. Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa

Islam, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah

politik dan kenegaraan. Terakhir, tidak sependapat bahwa

Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di

dalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan. Namun,

aliran ini tidak sependapat pula bila Islam sama sekali tidak

ada hubungan dengan masalah politik dan ketatanegaraan.

Apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama

mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam -

apakah dalam Islam diajarkan atau dituntut agar mendirikan

negara atau tidak- kenyataannya umat Islam selalu

membutuhkan sebuah sistem kenegaraan Islami. Karena,

bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan

diperlukan suatu kekuatan (institusi politik). Untuk

menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian dan

ketertiban misalnya, diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu

organisasi politik atau negara (Budiarjo, 1981:8-9).

Page 3: 6-20-1-PB

Andaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu mengacu kepada

tegaknya ajaran Islam maka perangkat-perangkat peraturan

keamanannya seharusnya yang Islami pula. Adalah suatu hal

yang kurang tepat bila ingin menegakkan segala prinsip-

prinsip Islami tetapi menggunakan sistem yang non Islami.

Dari sinilah umat Islam membutuhkan sebuah negara

dengan sistem yang Islami.

Realitas sejarah Islam menunjukkan bahwa negara

itu dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah.

Misalnya, ketika nabi masih di Makkah (611-622 M), tidak

banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena

kekuatan politik didominasi oleh kaum aristoktrat Quraisy

yang memusuhi nabi. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, di

mana nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji

setia untuk hidup bersama dengan suatu kesepakatn

menggunakan aturan yang disepakati bersama berupa

Piagam Madinah.

Kehidupan nabi bersama umatnya pada periode

Madinah ini (622-632H), oleh banyak pakar dianggap

kehidupan yang bernegara (Nasution, 1986:92). Penilaian ini

tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan

sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah

negara, baik itu wilayah, masyarakat maupun penguasa.

Demikian juga penilaian terhadap nabi ketika itu telah

bertindak tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala

negara, misalnya memutuskan hukum, mengirim dan

menerima utusan, dan juga memimpin peperangan.

Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah

nabi tidak meninggalkan satu Sunah yang pasti bagaiamana

sistem penyelenggaraan negara itu, misalnya bagaimana

sistem pengangkatan kepala negara, siapa yang berhak

menetapkan undang-undang, kepada siapa negara

bertanggungjawab, dan bagaimana pertanggungjawaban

tersebut. Untuk mengikuti nabi sepenuhnya tentu tidak

mungkin. Pertama, ia sebagai seorang rasul yang selalu

mendapat petunjuk dari Allah Swt. Kedua, dari kenyataan

terlihat ketundukan rakyat padanya pada dasarnya karena ia

sebagai rasul Allah Swt, kendatipun ia tidak tetap

memperlihatkan dimensi-dimensi manusia biasa. Ketiga,

hukum yang diberlakukan lebih banyak berdasarkan wahyu

Page 4: 6-20-1-PB

Allah bahkan ucapan dan tindakannya pun selalu mendapat

pengawasan dari Allah.

Karena ketidakjelasan ini, praktik sistem kenegaraan

dalam sejarah Islam selanjutnya selalu berubah-ubah. Dalam

masa empat Khalifah al-Rasyidun saja kita lihat

kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi,

terutama sekali dalam masalah suksesi. Misalnya Abu Bakar

menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam

satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah

nabi wafat. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan

sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu

forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan dan

wasiat pendahulunya, Abu Bakar, kendatipun Abu Bakar

pernah mendiskusikan dengan sahabat-sahabat lain

sebelumnya secara tertutup. Utsman bin Affan menjadi

khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok

orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum ia

wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi

khalifah yang keempat melalui pemilihan yang

penyelenggaraannya jauh dari sempurna (Sjadzali,1993:28-

29).

Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah jauh

dari ajaran yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Saat itu,

hampir tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan,

terutama dalam rangka suksesi. Tradisi suksesi berubah dari

sistem musyawarah menjadi sistem penunjukan terhadap

anak atau keturunannnya. Tidak jarang terjadi perebutan

kekuasaan melalui kekerasan senjata. Demikian juga praktek

sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiah tidak banyak

perbedaannya dengan masa Umayyah.

Di masa kemunduran Islam, umat Islam hampir

mempunyai negara, karena kebanyakan bangsa muslim

ketika itu berada di bawah penjajahan Barat baik Inggris,

Prancis, Portugis, Spanyol, Italia, dan Belanda. Tetapi

keinginan untuk mendirikan negara sendiri tetap ada, karena

itu dalam sejarah kita lihat di mana-mana umat Islam dalam

periode selanjutnya memberontak untuk melepaskan diri

dari penjajah. Setelah mendapatkan kemerdekaan, umat

Page 5: 6-20-1-PB

Islam menghadapi masalah baru yaitu bagaimanakah

sebenarnya negara Islam itu?

Berdasarkan pengalaman ini, sejumlah ilmuwan

muslim telah tampil dan berusaha merumuskan konsep-

konsep dasar mengenai negara Islam. Tokoh dan ilmuwan

yang pernah memberi gagasan dalam masalah ini, antara

lain Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid

Ridha, Ali Abd Razik, Thaha Husein, Husein Haikal,

Hassan al-Banna, Iqbal, Maududi, dan Fazlurrahman. Sesuai

dengan zamannya dan latar belakang sosial politik di masa

dan di mana mereka hidup ditambah dengan latar belakang

pendidikan yang berbeda mereka telah mengemukakan

pendapat-pendapatnya yang saling berbeda pula.

Salah seorang tokoh yang mengkaji tentang negara

Islam adalah Jamal al-Banna, adik kandung Hassan al-

Banna, tokoh pendiri gerakan Ikhwānul-Muslimīn. Jamal al-

Banna berpendapat bahwa tidak ada satu pun contoh

pemerintahan Islam yang ideal selain pada masa Madinah

al-Munawarah, yang berlangsung hanya dalam waktu 23

tahun. Sepuluh tahun pada masa kenabian, sementara tiga

belas tahun setelahnya adalah di bawah khalifah Abu Bakar

dan Umar. Setelah itu, yang ada tidak lebih dari bentuk

pemerintahan yang ekspansif dan rakus, sampai berakhirnya

masa kekhalifahan Turki, termasuk pada masa khalifah

Usman dan Ali karena keduanya tidak mengikuti cara kedua

khalifah pendahulunya (al-Banna, 2003:1).

II. BIOGRAFI JAMAL AL-BANNA

Jamal al-Banna mempunyai nama lengkap, Ahmad

Jamaluddin Ahmad „Abd al-Rahman, lahir pada tanggal 15

Desember 1920. Akrab dengan dunia tulis-menulis dan

jurnalistik sejak usia muda. Pada tahun 1946 menulis "Neo-

Demokrasi" yang salah satu idenya adalah pemahaman baru

terhadap agama (fahm jadîd li al-dîn) menjadi salah satu

pilar neo-demokrasi. Jamal juga adik kandung pendiri

jamaah Ikhwan Muslimun, Imam al-Syahid Hasan Al-

Banna. Ketika Ikhwan Muslimin mendirikan media cetak,

Jamal menjadi sekretaris redaksinya. Namun menurut

pengakuan Jamal, dia sendiri tidak pernah menjadi anggota

Ikhwan Muslimun..

Page 6: 6-20-1-PB

Sebagai seorang tokoh pemikir, ia sangat produktif

menulis buku. Dalam konteks fikih, dia menulis Nahwa

Fiqh Jadīd (Manifesto Fikih Baru) dalam tiga jilid. Dalam

kajian al-Qur‟an dia menggagas Tashwīrul-Qur’an

(Revolusi al-Qur‟an). Dalam bidang tafsir dia menggagas

Tafsir al-Qur’ānul-Karīm Bainal-Qudamā’ wal-

Muhadditsīn (Tafsir al-Qur‟an; antara Ahli Tafsir Lama

dengan Pembaharu). Dalam bidang Hadis, Jamal menggagas

Al-Ashlāni al-‘Adzīmāni; Ru’yah Jadīdah (Dua Pondasi

Agung; Al-Qur‟an dan as-Sunnah, Sebuah Pandangan Baru).

Isu-isu kontemporer pun tak lepas dari perhatian adik

kandung pendiri gerakan Ikhwānul-Muslimīn ini. Dalam

bidang kebebasan, Jamal menggagas buku berjudul

Mathlabunā al-Awwal Huwa al-Hurriyyah (Kebebasan

adalah pertama dan utama). Dalam wacana pluralitas dia

menggagas At-Ta’addudiyah fil-Mujtama’ al-Islāmī

(Pluralitas dalam Masyarakat Islam). Untuk merespons

perdebatan Islam dan terorisme, Jamal menggagas al-Jihād.

Dalam konteks Islam dan kekuasaan Jamal menggagas al-

Islām Dīn wa Ummah, Wa Laisa Dīn wa Daulah (Islam

adalah agama dan umat, bukan agama dan negara),

Mauqifunā Minal-'Almāniyah, al-Qaumiyyah, al-Istirākiyah,

al-Ushul al-Fikriyah lid-Daulah Islāmiyah, Mas'ūliyyah

Fasyalid-Daulah al-Islāmiyyah (Tanggungjawab Kegagalan

Negara Islam), al-Daulah al-‘Ashriyyah, Khamsatu Ma’āyir

Li Mishdaqiyyatil-Hukmi al-Islāmī.

Di indonesia, Jamal al-Banna bisa dikatakan kurang

dikenal. Bahkan seorang Syafi‟i Maarif pun

mengungkapkan bahwa tokoh ini luput dari perhatiannya

selama ini (Ma‟arif, Republika 13 Mei 2008). Padahal,

Hashim Sholeh, spesialis penerjemah karya-karya Arkoun

dan kritikus pemikiran Islam kontemporer menulis dalam

kolomnya di harian paling terkemuka di Timur Tengah

Sharqal Awsat (24 Mei 2004), posisi Jamal Al-Banna

sebagai pionir revivalisme Islam (râ‟id da‟wah al-ihyâ‟ al-

Islâmî). Seperti posisi Martin Luther dalam agama Kristen

yang menggerakkan reformasi keagamaan (al-ishlâh al-dînî)

. (Romli, Gatra Nomor 42, 27 Agustus 2004)

Page 7: 6-20-1-PB

III. PANDANGAN JAMAL AL-BANNA TENTANG

NEGARA ISLAM

Salah satu karakteristik agama Islam pada masa-

masa awal penampilannya, adalah kejayaan di bidang

politik. Penuturan sejarah Islam dipenuhi oleh kisah

kejayaan itu sejak Nabi Muhammad SAW (periode

Madinah) sampai masa-masa jauh setelah beliau wafat.

Terjalin dengan kejayaan politik itu ialah sukses yang

spektakuler ekspansi militer kaum Muslim, khususnya yang

terjadi di bawah pimpinan pada sahabat Nabi.

Kenyataan historis tersebut menunjukkan bahwa

Islam adalah agama yang terkait erat dengan kenegaraan.

Setelah kaum Muslim berkenalan dengan Aryanisme Persia,

muncul ungkapan bahwa “Islam adalah agama dan negara”

(al-Islām Dīn wa Da’wah), yang mengisyaratkan keterkaitan

yang erat antara keduanya. Sebaliknya, sejarah juga

mencatat bahwa perpecahan, pertentangan, dan bahkan

penumpahan darah dalam tubuh umat Islam terjadi justru

karena persoalan politik. Dimulai dengan peristiwa

pembunuhan Khalifah Ketiga, „Ustman ibn Affan‟ yang

kemudian diikuti oleh pembunuhan pemimpin-pemimpin

Islam lain dan pertentangan yang tiada hentinya di kalangan

umat sehingga melahirkan berbagai aliran dan golongan.

Usaha memahami masalah politik dalam Islam

memang bukan perkara sederhana. Hal itu, menurut

Nurcholish Madjid, karena ada dua alasan. Pertama, bahwa

Islam membuat sejarah selama lebih dari 14 abad sehingga

akan merupakan suatu kenaifan jika dianggap bahwa selama

kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap

stasioner dan berhenti. Sementara hanya sedikit sekali di

kalangan kaum Muslim yang memiliki pengetahuan, apalagi

kesadaran tentang sejarah itu. Kedua, selain beraneka

ragamnya bahan-bahan kesejarahan yang harus dikaji dan

diteliti, dalam sejarah Islam juga terdapat perbendaharaan

teoritis yang amat luas tentang politik yang hampir setiap

kali muncul bersama dengan munculnya sebuah peristiwa

sejarah (Syadzali, 1993:vi-vii).

Karena itu, dapat dipahami mengapa sampai kini

belum ada kesepakatan pendapat mengenai konsep negara

Islam. Fakta-fakta historis menunjukkan adanya aneka

Page 8: 6-20-1-PB

ragam bentuk pemerintahan dalam dunia Islam pada masa

silam. Sekalipun tahap masa al-Khulafā’ur-Rāsyidun

dipandang pihak muslim Sunni sebagai suri teladan ideal

sepanjang sejarah Islam, yang di dalamnya agama dan

kekuasaan bersatu dalam pemerintahan berdasarkan hukum

Islam. Akan tetapi, realitas sepanjang pemerintahan Bani

Umayyah (661-750) dan Bani „Abbas (750-1258) amat

berbeda dengan tahap masa normatif itu. Realitas sepanjang

sejarah Islam berbentuk fragmentasi de facto dalam

imperium Islam sejak 850 M, watak dan kepentingan yang

tidak bercirikan Islam dari para penguasa Islam, sudah tidak

memperlihatkan eksistensi negara Islam ideal (Esposito,

1990:307).

Harun Nasution (1986:92) menyebutkan bahwa di

Madinah umat Islam mempunyai posisi yang baik dan

segera berkembang menjadi suatu komunitas kiat dan

mampu berdiri sendiri. Nabi sendiri menjadi pemimpin

masyarakat yang baru dibentuk itu, dan akhirnya menjadi

suatu negara. Suatu negara yang wilayah kekuasaannya

ketika ia wafat meliputi seluruh kawasan Semenanjung

Arab. Posisi nabi di Madinah adalah sebagai pemimpin

sekaligus pemimpin kepala Negara (Arnold dalam Mulia,

2001:3). Pendapat ini juga disampaikan oleh Fazlur

Rahman, tokoh modernisme Islam. Masyarakat Madinah

yang dipimpin nabi itu merupakan suatu Negara dan

pemerintahan yang membawa kepada terbentuknya suatu

negara dan pemerintahan yang membawa kepada

terbentuknya suatu umat Muslim (Mulia, 2001:4). Menurut

Jamal al-Banna (2003:23), pada periode Madinah

merupakan model pemerintahan Islami. Nabi bersentuhan

langsung dengan persoalan kepemimpinan dan kenegaraan.

Al-Banna (2003:7) berpendapat, negara Madinah

hanya berjalan sekitar 23 tahun. Sepuluh tahun di bawah

kepemimpinan Rasul, dan tiga belas tahun di bawah

kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Bagi Jamal al-Banna,

era al-Khulafā’ur-Rāsyidun telah terhenti dengan

terbunuhnya Umar ibn Khattab oleh seorang budak Iran

pada tahun 644 M. Ia tidak memasukkan Utsman dan Ali ke

dalam deretan para khalifah yang lurus. Jamal al-Banna

tidak meragukan bahwa Ustman adalah seorang baik dan

Page 9: 6-20-1-PB

dermawan, serta berasal dari puak Umayyah yang awal

masuk Islam. Namun di mata Jamal al-Banna, Utsman tidak

mencerminkan seorang khalifah. Pada masanya mulai

dikenal praktek nepotisme. Dia tidak memahami dampak

dari kebajikannya yang memberikan jabatan kepada sanak

keluarga dan kawan-kawannya (al-Banna, 1997:181).

Prinsip-prinsip Dasar Negara Islam

Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dasar dalam

uraian ini adalah dasar-dasar atau asas-asas kebenaran

fundamental, petunjuk peraturan moral yang terkandung

dalam suatau ajaran yang dijadikan sebagai landasan

berpikir, bertindak, dan bertingkah laku manusia dalam

mengelola suatu negara.

Jamal al-Banna mengemukakan bahwa ada empat

prinsip dasar yang dijadikan acuan dalam pengelolaan

negara Islam, yaitu prinsip keimanan, keadilan, prinsip

Syar’iyyah dan prinsip individualis-universalis (al-Far

Syumūliyyah (al-Banna, 1979:9).

Pertama, Keimanan, menurutnya, iman adalah

prinsip dasar Islam yang pertama dan utama bagi

pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara (al-Banna,

1979:10). Pendapat senada juga disampaikan oleh Husain

Haikal, dengan istilah yang berbeda, yaitu tauhid (Mulia,

2001:65).

Al-Banna (1979:13), menjelaskan bahwa iman

membawa seseorang mengenali jati dirinya dan mengakui

kelemahan dirinya. Apabila tertanam kuat dalam diri

seseorang, iman dapat membuat orang yang bersangkutan

memandang kecil segala makhluk sehingga dengan segala

senang hati akan mengorbankan harta benda, kesenangan,

dan kebebesan, bahkan seluruh hidupnya demi mencapai

keridhaan-Nya. Ungkapan tersebut menyimpulkan bahwa

jika seseorang memiliki iman yang kuat, ia akan menyadari

eksistensi dirinya sebagai hamba Allah, yang harus dipatuhi

dan taat hanya kepada-Nya. Dengan kesadaran tersebut

seseorang terhindar dari sifat arogan dan takabur. Pandangan

Jamal al-Banna di atas juga menjelaskan bahwa iman

membawa efek pembebasan diri manusia dari belenggu

Page 10: 6-20-1-PB

hawa nafsu yang menjadi sumber kesombongan,

kecongkakan, dan tiranik.

Karena itu, Jamal al-Banna berpendapat bahwa iman

merupakan landasan bagi pembinaan masyarakat muslim

dan pengelolaan negara Islam. Ajaran tauhid sarat dengan

berbagai nilai dan norma-norma luhur yang harus dijadikan

pedoman oleh umat Islam dalam mewujudkan masyarakat

yang adil, terbuka, dan demokratis. Dengan menjadikan

keimanan sebagai poros kehidupan, umat Islam dapat

menarik sejumlah tata nilai etika bagi kehidupan

bermasyarakat, yang akan mengantarkan umat Islam

menjadi manusia bermoral dan memiliki integritas ruhani

yang kukuh (al-Banna, 1979:33).

Kedua, prinsip keadilan. Salah satu ciri khas

kehidupan Islami dan masyarakat muslim adalah

ditegakkannya keadilan. Keadilan tersebut tidak mungkin

terealisasi jika tidak ada suatu sistem atau lembaga yang

menegakkannya (al-Banna, 1979:7). Keadilan merupakan

simbol Islam. Oleh karena itu, semestinya umat Islam harus

menjadi penyeru pertama tentang keadilan. Bahwasanya

Islam masa pertama mengalami kebangkitan adalah tidak

lain karena keimanan orang-orang yang tertindas. Tidak ada

alasan lagi bagi negara Islam untuk tidak menerapkan

keadilan dalam sebuah negara (al-Banna, 1994:35).

Keadilan yang dimaksud adalah keadilan ekonomi dan

keadilan dalam hukum (al-Banna, 1997:74).

Ketika sebuah negara mampu menciptakan keadilan

dalam ekonomi, kebebasan pemikiran, menjadikan

keimanan kepada Allah sebagai landasan utama dalam

menentukan tindakan dan menjadikan ilmu pengetahuan

sebagai sarana untuk mengetahui hakikat, maka hubungan

antara penguasa dengan rakyat adalah seperti hubungan

antara seorang pegawai dengan perusahaan tempat ia

bekerja. Karena itu, tidak akan ada penindasan dan

eksploitasi, sehingga rakyat merasa mulia dan terhormat (al-

Banna, 1984:41).

Ketiga, Istilah syar’iyyah adalah paduan dari dua

kata Asy-Syar’u dan Asy-Syarī’ah yang merupakan salah

satu prinsip utama negara Islam. Menurut Jamal al-Banna

(1979:56), Syar’iyyah meliputi beberapa hal: Pertama,

Page 11: 6-20-1-PB

Undang-undang atau hukum yang diberlakukan tidak

berlandaskan atas suatu keinginan pribadi, penguasa,

kehendak sewenang-wenang dari lembaga yudikatif, atau

hanya menguntungkan salah satu kelompok masyarakat.

Undang-undang dikeluarkan harus berdasarkan al-Qur‟an

dan Sunah Nabi yang shahih atau yang mengandung atau

sejalan dengan nilai-nilai dari keduanya. Kedua, dalam

syariat Islam, suatu undang-undang tidak hanya diilhami

dari al-Qur‟an dan Sunah nabi, namun juga didasari oleh

realita dan prinsip-prinsip keadilan seperti apa yang

difirmankan Allah dalam kitab-kitab yang diturunkan

kepada rasul-rasul -Nya. Sejarah mencatat kitab-kitab

tersebut adalah buku petunjuk yang paling berharga bagi

kehidupan manusia. Ketiga, Syar’iyyah adalah hukum

tertinggi dalam suatu masyarakat. Penerapan undang-undang

diberlakukan kepada seluruh masyarakat tanpa pandang bulu

atau pilih kasih kepada siapapun, bahkan kepada seorang

nabi sekalipun yang diperintahkan untuk menjalankan

hukum seperti apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt (al-

Banna, 1979:59).

Keempat, Al-Farsyumuliyyah (Individualis-

Universalis). Menurut Jamal al-Banna (1979:83), negara

yang harus didirikan adalah Al-Farsyumuliyyah (gabungan

dari dua kata Al-Fardu dan Asy-Syumūliyyah), (Individualis-

Universalis) yaitu bentuk negara yang bukan berdiri atas

individualis atau universalis.

Negara Islam, bagi Jamal al-Banna (1979:83),

bukanlah sistem individualis (kapitalis) ataupun sistem

sosialis. Akan tetapi Islam adalah negara kapitalis sekaligus

sosialis. Islam menjunjung tinggi hak-hak pribadi, karena

iman sebagai pijakan utama negara Islam timbul dari hati

masing-masing individu. Oleh karena itu, melanggar hak-

hak individu lain berarti telah menginjak-injak prinsip-

prinsip dasar negara Islam. Kebebasan berpikir juga dijamin

oleh Islam. Pada saat yang sama, Islam juga sosialis. Prinsip

zakat adalah bukti nyata bahwa Islam menganjurkan agar

seseorang peduli terhadap kehidupan orang lain.

Dapat disimpulkan, negara Islam yang ideal adalah

menjunjung hak-hak pribadi maupun masyarakat. Seorang

individu diberi kebebasan untuk mengembangkan dirinya

Page 12: 6-20-1-PB

ataupun meningkatkan taraf ekonominya. Walaupun

demikian, mereka tidak boleh lupa akan hak-hak orang-

orang lain maupun masyarakat secara umum.

IV. KARAKTERISTIK NEGARA ISLAM

Menurut Jamal al-Banna ada beberapa kriteria atau

karakteristik sebuah negara disebut dengan negara Islam.

Beberapa kriteria tersebut adalah;

1. Sistem Pemerintahan

a. Syūra

Pendapat Jamal al-Banna mengenai pemerintahan

negara Islam dibangun di atas teori bahwa dalam Islam tidak

terdapat sistem pemerintahan yang baku. Islam hanya

meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan

sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku

manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya.

Islam hanya memberikan ukuran dan dasar-dasar bagaimana

menjadikan sebuah negara bisa adil dan sentosa. Hal ini

dibuktikan karena tidak ada satu pun indikasi al-Qur‟an

ataupun dari nabi, dan dua al-Khulafā’ur-Rāsyidun pertama

tentang perincian dan model ideal sebuah pemerintahan,

yang ada hanya konsepsi Syūra untuk sebuah kebijakan

menuju kebaikan dan keluar dari kezaliman.

Dalam buku ad-Daulah al-‘Ashriyyah (Negara

Modern), (al-Banna, 1982:86-87), menegaskan bahwa

negara Islam adalah negara konstitusional dengan undang-

undang tertinggi adalah al-Qur‟an dan Sunah. Supremasi

hukum harus ditegakkan tanpa pilih kasih. Anggota

masyarakat mempunyai kedudukan yang sama di mata

hukum. Tidak boleh ada eksploitasi suatu kelompok

terhadap kelompok lain. Oleh karena itu, pemerintahan yang

bercorak teokratis, absolut, dan tiranik tidak sejalan dengan

nilai-nilai Islam.

Umat Islam bebas mengambil sistem pemerintahan

yang menjamin persamaan di antara para warganya, baik

dalam hak maupun kewajiban dan juga persamaan di muka

hukum. Selain itu, pengelolaan urusan negara

diselenggarakan atas dasar Syūra atau musyawarah dengan

berpegang teguh kepada tata nilai moral dan etika yang

Page 13: 6-20-1-PB

diajarkan Islam bagi pengelolaan hidup bermasyarakat (al-

Banna 1986:88).

Oleh karena itu, menurut al-Banna (2004:144), Syūra

merupakan elemen penting dalam terciptanya kemaslahatan

umat dan menegakkan keadilan, maka seorang penguasa

(lembaga eksekutif) tidak boleh diberi kekuasaan mutlak

untuk menentukan suatu keputusan atau kebijakan tanpa

melalui konsultasi ataupun bermusyawarah kepada lembaga

terkait (legislatif).

b. Proses Pemilihan Kepala Negara

Al-Banna menyatakan, setidaknya ada tiga syarat

dalam menentukan seorang pemimpin, pertama, pemilihan

berdasarkan kapabilitas. Kedua, berlandaskan Syūra. Ketiga,

tujuan utama adalah menegakkan apa yang telah diturunkan

oleh Allah. Ibn Taimiyah (Jindan, 1994:85-86) setiap

muslim dapat dipilih untuk menduduki posisi tertinggi bila

ia memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, pertama,

memperoleh dukungan mayoritas umat yang dalam Islam

ditentukan dengan konsultasi dan Mubāya’ah. Kedua,

Memenangkan dukungan Ahlus-Syaukah atau unsur-unsur

pemegang kekuasaan dalam masyarakat. Terakhir, memiliki

syarat-syarat kekuatan pribadi dan dapat dipercaya.

c. Oposisi dan Sistem Kepartaian

Oposisi dalam suatu pemerintahan adalah suatu

keharusan untuk mengontrol rezim berkuasa agar tidak

muncul rezim diktator yang otoriter (al-Banna, 2000:39).

Allah telah mewajibkan masyarakat muslim untuk

membentuk komunitas atau gerakan yang bertugas untuk

mengawasi para pemimpin dan pejabat serta individu dan

bekerja untuk mengamalkan syariat Allah Swt: “Dan

hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf

dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang

yang beruntung”. (QS. Ali Imran 104).

Dalam konteks kekinian, pendirian partai merupakan

representasi suatu lembaga oposisi. Bagi al-Banna

(2000:37), negara harus menjamin kebebasan rakyat untuk

mendirikan partai. Dengan adanya partai (multipartai)

Page 14: 6-20-1-PB

dalam sebuah negara akan lebih memberikan jaminan

keamanan dari tindakan kezaliman seseorang atau kelompok

tertentu dalam menjalankan roda pemerintahan serta

kesewenang-wenangan terhadap seluruh rakyat.

2. Sumber Hukum

a. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an sebagai rujukan akhir hukum Islam tidak

saja berperan sebagai undang-undang perilaku keagamaan,

tetapi yang lebih tinggi lagi, kitab suci itu merupakan dasar

dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen

serius tentang konstitusi negara Islam (Jindan, 1994:52). Al-

Qur‟an mengandung nilai-nilai yang universal, seperti

kemanusiaan, rasionalisme, kebebasan, keadilan, dan

pengetahuan yang objektif (al-Banna, 1986:91).

Al-Banna berpendapat (2004:69), al-Qur‟an

setidaknya mengandung 3 pokok utama: akidah, syariah dan

kedamaian manusia secara spiritual. Ia menegaskan bahwa

mengikuti al-Qur‟an bukan berarti mengikuti aturan-aturan

yang sudah ditetapkan oleh para ahli Tafsir, ahli Hadis, atau

bahkan ahli Fikih sekalipun. Akan tetapi harus mengikuti

aturan yang terpercaya dari al-Qur‟an dan tidak

menyimpang dari kandungan al-Qur‟an yang sebenar-

benarnya (al-Banna, 2004:144).

b. Sunah

Sumber hukum konstitusi Islam kedua yang tidak

kalah penting adalah Sunnah atau segala perkataan dan

praktek kehidupan Nabi Muhammad Saw, manusia yang

dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada

semua manusia.

Sunah terdiri dari tiga ruang lingkup. Pertama,

Sunnah Hayātiyah (Kehidupan), yaitu yang menyangkut

interaksi sosial rasul sebagai bapak, suami, dan sebagai

manusia seperti lainnya yang memerlukan sandang pangan.

Dalam hal ini Rasulullah memberi contoh suri tauladan

kepada umatnya dalam bermasyarakat. Kedua, Sunah

‘Ibādiyah (Sunah yang bersifat amaliah pragmatis) yaitu

bagaimana cara melakukan shalat, haji, mengeluarkan zakat

ataupun dalam bentuk-bentuk ibadah lainnya. Ketiga Sunah

Page 15: 6-20-1-PB

Siyāsiyah (Politik), yang meliputi keputusan-keputusan atau

kebijakan-kebijakan beliau sebagai seorang pemimpin

negara ataupun sebagai komandan dalam peperangan, atau

kebijakan-kebijakannya dalam perekonomian. Para sahabat

nabi seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Zaid bin

Haritsah, dan yang lainnya, serta mereka pada gilirannya

menjadi seorang pemimpin yang memimpin penaklukkan-

penaklukkan, maka kita dapat memahami bahwa nabi juga

mengajarkan cara kepemimpinan (al-Banna, 1997:170-176).

c. Hikmah

Hikmah adalah akal yang baik, nilai-nilai yang tinggi

dan ilmu pengetahuan yang benar yang dapat memberi

petunjuk kepada umat (al-Banna, 2001:42). Dalam al-

Qur‟an terdapat beberapa ayat yang membahas tentang

hikmah, bahkan disandingkan dengan al-Quran,

sebagaimana dalam ayat-ayat berikut;

_ ويعلمكم الكتاب واحلكمة )البقرة(.

“Mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah”

(QS. Al-Baqarah 152).

Ada dua alasan utama yang mengapa hikmah sebagai

sumber ketiga. Pertama, karena al-Qur‟an tidak pernah

menyebutkan hal-hal yang bersifat terperinci. Oleh

karenanya, banyak lahan yang harus digarap dan dilestarikan

oleh manusia. Dalam dunia sastra kita mengenal penulisan

gaya sya‟ir, narasi dan pengisahan. Sebagaimana dalam

dunia seni kita mengenal musik, drama dan lainnya. Semua

hal di atas sangat penting untuk mempengaruhi dan

menguasai perasaan. Di sana juga ada filsafat dengan gaya

pencarian dan pembongkarannya yang khas. Semua itu telah

menentukan bagi terciptanya berbagai perubahan dalam

kehidupan, hingga akhirnya hikmah pun terungkap (al-

Banna, 2004:108).

Seandainya Allah hanya menyebutkan al-Qur‟an,

tanpa hikmah, hal ini membuka terjadinya penafsiran secara

fanatis atau hegemonik oleh dan terhadap pihak-pihak

tertentu. Atau semua itu hanya digunakan untuk mencapai

kepentingannya semata. Bila ini terjadi, kehidupan manusia

akan suram dan dunia pun terasa sangat sempit.

Page 16: 6-20-1-PB

Kedua, karena Islam merupakan agama terakhir dan

diturunkan untuk semua manusia. Itu berarti Islam harus

memperhatikan dan berdampingan dengan maslahat

kemanusiaan. Hal ini tak akan terjadi tanpa adanya “pintu”

yang terbuka untuk berbagai macam perkembangan,

kebudayaan, dan lain sebagainya. Hingga Islam sangat akrab

dengan semua bentuk perkembangan. Bila tidak, maka Islam

akan menjelma sebagai sel tahanan, baku, dan tidak mampu

mengikuti perkembangan yang ada (al-Banna, 2004:108).

3. Sistem Ekonomi

Menurut al-Banna (1984:90), salah satu prinsip

ekonomi yang harus dianut adalah mengakui hak milik

individu sepanjang tidak merugikan masyarakat. Ekonomi

yang harus dianut harus menjamin terwujudnya pemuasan

seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu secara

menyeluruh, dan pemberian peluang kepada individu untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap menurut

kemampuannya, dengan memandangnya sebagai individu

yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara

hidup yang khas. Dalam hal ini, Islam hampir mirip dengan

sistem kapitalis, yaitu mengakui kepemilikan pribadi,

mengambil keuntungan, dan kebebasan dalam bekerja.

Namun demikian, Islam juga berbeda dengan kapitalisme.

Sebab kapitalisme adalah suatu aliran ekonomi yang

menjadikan ekonomi digunakan sebagai alat hegemoni kelas

pemodal terhadap kelas pekerja (al-Banna, 1984:102).

Sistem ekonomi Islam merupakan sistem yang adil,

serta berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul hanya

pada kepada satu kelompok saja, tetapi tersebar ke seluruh

masyarakat. Ciri-ciri penting sistem ekonomi Islam tersebut

digambarkan dalam ayat al-Qur‟an:“Supaya harta itu jangan

hanya beredar di antara golongan kaya saja di kalangan

kamu” (QS. Al-Hasyr:7).

Sistem ekonomi Islam menyediakan menyediakan

peluang-peluang yang sama dan memberikan hak-hak alami

kepada semua (yaitu hak terhadap harta dan bebas

berusaha). Pada saat yang sama menjamin keseimbangan

dalam distribusi kekayaan; semata-mata untuk menjaga

kestabilan dalam sistem ekonomi.

Page 17: 6-20-1-PB

4. Prinsip Kebebasan

Kebebasan merupakan salah satau hak dasar hidup

setiap orang dan merupakan pengakuan seseorang atau

kelompok atau persamaan. Kemuliaan harkat kemanusiaan

orang lain. Kebebasan semakin dibutuhkan oleh setiap orang

yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang terdiri dari

golongan yang beraneka ragam baik dari segi etnis, kultur,

agama, keyakinan maupun ekonomi. Bila kebebasan

dibelenggu, maka yang akan terjadi adalah penindasan satu

golongan terhadap golongan lain. Kebebasan membuat

setiap orang atau golongan merasa terangkat eksistensinya

dan dihargai harkat kemanusiaannya di tengah-tengah

kemajemukan umat. Karena itu, prinsip kebebasan mutlak

perlu dikembangkan dan dijamin pelaksanaannya guna

terjaminnya masyarakat pluralistik. Kebebasan-kebebasan

yang dibutuhkan manusia adalah kebebasan beragama,

kebebasan dari perbudakan, kebebasan dari kekurangaan,

kebebasan dari rasa takut, kebebasan menyatakan pendapat,

kebebasan bergerak, kebebasan dari penganiayaan, dan lain-

lain.

Dalam era kini kebebasan-kebebasan tersebut

mencakup berbagam macam dimensi. Tidak hanya berbeda

pendapat atau berkeyakinan, akan tetapi juga meliputi hal-

hal seperti, kebebasan pers, kebebasan mendirikan

organisasi masyarakat atau asosiasi buruh, profesi maupun

partai (al-Banna, 2000:16-20).

Dalam catatan sejarah Islam permulaan dapat

ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Nabi

memberikan kebebasan kepada para sahabatnya untuk

berbicara dan mengemukakan pendapat. Hal ini tampak

dalam musyawarah-musyawarah atau konsultasi yang ia

laksanakan untuk membicarakan berbagai masalah. Ia

mengembangkan budaya kebebasan berpendapat atau

berbeda pendapat di kalangan para sahabatnya (al-Banna,

1997:49).

Page 18: 6-20-1-PB

V. PENUTUP

Jamal al-Banna menginginkan suatu negara atau

pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip Islam.

Tidak hanya menjadikan Islam sebagai slogan untuk

melanggengkan kekuasaan. Pemikirannya berdasarkan

realita pengalaman-pengalaman negara yang mentahbiskan

sebagai negara Islam, namun tidak menjalankan prinsip

Islam. Ia memberikan contoh, Saudi Arabia. Walaupun

menyatakan sebagai negara Islam, namun dalam prakteknya

negara tersebut tidak selalu menerapkan nilai-nilai Islam.

Menurut hemat penulis, konsep pemerintahan yang

diajukan oleh Jamal al-Banna, tidak jauh beda dengan

tokoh-tokoh yang mengajukan konsep negara Islam semisal

Husain Haykal. Rumusan yang diajukan bersifat idealis dan

teoritis. Kemungkinan, sangat sulit diterapkan dalam

masyarakat yang sangat plural di era modern kini dengan

problematika yang sangat komplek.

Hal baru yang dapat diambil dari pemikiran Jamal al-

Banna adalah Hikmah sebagai sumber hukum. Hikmah

mencakup nilai-nilai, ilmu pengetahuan, dan budaya

sehingga dapat dijadikan acuan sebagai hukum, dengan

syarat dapat menjamin kesejahteraan rakyat dan terciptanya

keadilan.

Page 19: 6-20-1-PB

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. A. Ali Mukti. 1991. Metode Memahami Agama

Islam. Jakarta:Bulan Bintang.

Al-Banna, Jamal. 1979. Al-Ushūl al-Fikriyyah lid- Daulah

al-Islāmiya. Kairo: Dār Thabā‟ah al-Hadītsah.

_____________. 1982. Al-Daulah al-‘Ashriyyah. Kairo.

Kairo:Al-Ittichād al-Dauli al-Islāmī.

_____________. 1984. Wujūhul-I'tilāf wal-Ikhtilāf baina

Ra'samāliyah wa Syuyū'iyyah wa al-Islām.

Kairo: Ittichād al-Islāmī ad-Dauli lil-Amal.

_____________. 1986. Al-Hukm Bil-Qur’ān wa Qadhiyyatu

Tathbīq asy-Syariah. Kairo, Dārul-Fikri al-

Islāmī.

_____________. 1994. Mas’ūliyyatu Fasyalid-Daulah Al-

Islāmiyah Fil-‘ Ashri Hadīts. Kairo: Dārul-Fikri

al-Islāmī.

_____________. 1997. Nachwa Fiqh Jadīd 2. Kairo: Dārul-

Fikri al-Islāmī.

_____________. 1997. Khamsatu Ma’āyir Li

Mishdaqiyyatil-Hukmi al-Islāmī. Kairo: Dārul-

Fikri al-Islāmī.

_____________. 1999. Nahwa Fiqh Jadid 3. Kairo:Dārul-

Fikri al-Islāmī.

_____________. 1999 Al-Islām wa Hurriyatul-Fikri,

Haddur-Riddah Shinā’ah Fiqhiyyah Tunāqidhu

Sharikhul-Qur’ān. Kairo:Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 2000. Mathlabunal- Awwal Huwal-

Hurriyyah. Kairo:Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 2001. At-Ta’addudiyah Fi Mujtama’il-

Islāmī. Kairo: Dārul-Fikri al-Islāmī.

_____________. 2003. (1) Al-Islām Dīn Wa Ummah, Wa

Laisa Dīn Wa Daulah. Kairo: Dārul-Fikri al-

Islāmī.

_____________. 2003. (2) Mauqifunā Minal-'Almāniyyah,

al-Qaumiyyah, wal-Istirākiyyah. Kairo: Dārul-

Fikri al-Islamī.

_____________. 2004. Al-Islām; Kamā Tuqaddimuhu

Da’watul-Ihyā’il-Islāmī. Kairo: Dārul-Fikri al-

Islāmī.

_____________. Limādzā Nuthālib bil-Churryiyah Qabla

Tathbīqisy-Syarī’ah?. Dalam

www.middleeasttransparent.com Diakses pada

11 Mei 2009).

Page 20: 6-20-1-PB

Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam Menurut

Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII Press.

Budiarjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik.

Jakarta:Gramedia.

Departemen Agama RI. 1989. Al-Qu'an dan

Terjemahannya. Semarang: Toha Putra

Esposito, John L dan O. Voll, John. 1994. Demokrasi di

Negara-negara Muslim:Problem dan Prospek,

Bandung, Mizan

______________. 1990. Islam dan Politik. Jakarta: Bulan

Bintang.

Id, Abd Razak dan Jabbar. 2000. Al-Dimuqrātiyyah Bainal-

'Almāniyyah Wal-Islām. Beirut: Dar al-Fikri al

Mu'asir.

Jindan, Khalid Ibrahim. 1994. Teori Pemerintahan Islam

menurut Ibn Taimiyah. Jakarta: Rineka Cipta.

Maududi. 1984. Khilafah dan Kerajaan. Bandung:Mizan.

Mudzhar, M. Atho. 1998. Membaca Gelombang Ijtihad:

Antara Tradisi dan Liberalisasi. Yogyakarta:

Titian Ilahi Press

Mulia, Musdah. 2001. Negara Islam; Pemikiran Politik

Husain Haikal. Jakarta: Paramadina.

Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai

Aspeknya. Jakarta:UI Press.

Raziq, Ali Abd. 2001. Islam Dasar-Dasar Pemerintahan;

Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam.

Terj. M. Zaid Su‟di. (Al-Islam Wa Ushul al-

Hukm) Yogyakarta: Jendela.

Sjadzali, Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara; Ajaran,

Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.

Syafiuddin, 2007. Negara Islam menurut Konsep Ibnu

Khaldun. Yogyakarta: Gama Media.

Syamsuddin, M. Din. 1999. Usaha Pencarian Konsep

Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam.

dalam Abu Zahra (ed), Politik Demi Tuhan

Nasionalisme Religius di Indonesia. Bandung:

Pustaka Hidayah.

Page 21: 6-20-1-PB

Referensi dari Internet

Al-Banna, Jamal. Khitabah Hasan al-Banna al-Shab ila

Abihi. www.islamiccall.org/alda awat. Diakses

pada tanggal 5 april 2009.

Kadir, Ashraf Abdul. 2004. Hiwar al-Mutamaddin; Hadisun

Ma'a Murabbi Al-Ajyal Jamal al-Banna: syaqiq

Hasan al-Banna. www.ahewar.org/debat/14-02-

2003. Diakses pada tanggal 5 April 2009.

www.alghoraba.com/Ahmad bin 'Abd al-Rahman bin

Muhammad al-Banna al-Saaiti. 2004. Diakses

pada tanggal 5 April 2009.