ISLAM DAN PEMERINTAHAN : KONSEP POLITIK JAMAL AL BANNA Najibul Khairi 1 Abstract : There are three ways of thought in the contemporary Islamic thought, especially in relationship between religion and state, which are; secularist, traditionalist, and reformist. Secularists state that Islam is only a religion which arranges the relationship between human and God. There is no regulation related to the state problem. In contrast, traditionalists argue that Islam is a comprehensive religion. People can find all regulation including a relationship with the state. Therefore, Islamic followers don’t have to imitate the Western ways. On the other hand, reformists say that Islam is not religion which only arranges the relationship between humans and God, but it’s not a comprehensive way too. According to reformists, it is enough for Islam to give based principles for people in order to guide activities and relationship among people in their communities and states. According to Jamal al-Banna, there are four bases principles for the establishment of Islamic state, which are 1 Penulis adalah dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya faith, justice, Syar’iyyah, and al-Farrusyumuliyyah (individualist-universalist). The best example of Islamic state is the model from Rasulullah and Khulafa’ur- Rasyidin’s eras. Also, Jamal al-Banna argues that syura concept is the based principle for running the Islamic state. All regulation should comply with the Quran, Sunah, and wisdom. A good example of this is economic system should guarantee the prosperity of people in this country based on Islamic values. Furthermore, one of the characteristics of Islamic state is that every person has a right to release his opinion. In summary, Jamal al-Banna’s ideas can be categorized as reformist thought. He argues that there are no detailed and direct regulation about state in Quran and Sunah . However, in Quran and Sunah people can find code of ethic that can be used as guidance in human activities. Keywords: Religion, State, and Syura
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ISLAM DAN PEMERINTAHAN : KONSEP POLITIK
JAMAL AL BANNA
Najibul Khairi1
Abstract : There are three ways of thought in the
contemporary Islamic thought, especially in relationship
between religion and state, which are; secularist,
traditionalist, and reformist. Secularists state that Islam is
only a religion which arranges the relationship between
human and God. There is no regulation related to the state
problem. In contrast, traditionalists argue that Islam is a
comprehensive religion. People can find all regulation
including a relationship with the state. Therefore, Islamic
followers don’t have to imitate the Western ways. On the
other hand, reformists say that Islam is not religion which
only arranges the relationship between humans and God,
but it’s not a comprehensive way too. According to
reformists, it is enough for Islam to give based principles for
people in order to guide activities and relationship among
people in their communities and states.
According to Jamal al-Banna, there are four bases
principles for the establishment of Islamic state, which are
1 Penulis adalah dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya
faith, justice, Syar’iyyah, and al-Farrusyumuliyyah
(individualist-universalist). The best example of Islamic
state is the model from Rasulullah and Khulafa’ur-
Rasyidin’s eras.
Also, Jamal al-Banna argues that syura concept is
the based principle for running the Islamic state. All
regulation should comply with the Quran, Sunah, and
wisdom. A good example of this is economic system should
guarantee the prosperity of people in this country based on
Islamic values. Furthermore, one of the characteristics of
Islamic state is that every person has a right to release his
opinion.
In summary, Jamal al-Banna’s ideas can be
categorized as reformist thought. He argues that there are
no detailed and direct regulation about state in Quran and
Sunah . However, in Quran and Sunah people can find code
of ethic that can be used as guidance in human activities.
Keywords: Religion, State, and Syura
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Masalah pemerintahan dalam Islam merupakan
bagian dari berbagai permasalahan penting yang senantiasa
terasa aktual untuk dibahas, karena relevansi masalah yang
diperbincangkan senantiasa berkembang sepanjang masa.
Al-Qur‟an maupun hadis sebagai sumber utama hukum
Islam tidak memberikan penjelasan secara tegas dan tuntas
mengenai masalah yang berhubungan dengan kenegaraan,
baik konsepsi kekuasaan, kedaulatan, ide-ide tentang
konstitusi, struktur, maupun sistem pemerintahan dalam
sebuah negara. Aktualisasi permasalahan tersebut juga
dikarenakan Nabi Muhammad SAW tidak memberikan
contoh konkret yang baku dan mapan tentang keberadaan
sebuah negara yang harus ditegakkan oleh umat Islam, baik
ketika ia hidup maupun sebagai pedoman untuk masa-masa
sepeninggalnya.
Menurut Munawir Sjadzali (1993:1-2), ada tiga
pendapat tentang konsepsi negara dalam Islam. Pendapat
pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang
sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan
bernegara. Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa
Islam, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah
politik dan kenegaraan. Terakhir, tidak sependapat bahwa
Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di
dalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan. Namun,
aliran ini tidak sependapat pula bila Islam sama sekali tidak
ada hubungan dengan masalah politik dan ketatanegaraan.
Apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama
mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam -
apakah dalam Islam diajarkan atau dituntut agar mendirikan
negara atau tidak- kenyataannya umat Islam selalu
membutuhkan sebuah sistem kenegaraan Islami. Karena,
bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan
diperlukan suatu kekuatan (institusi politik). Untuk
menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian dan
ketertiban misalnya, diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu
organisasi politik atau negara (Budiarjo, 1981:8-9).
Andaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu mengacu kepada
tegaknya ajaran Islam maka perangkat-perangkat peraturan
keamanannya seharusnya yang Islami pula. Adalah suatu hal
yang kurang tepat bila ingin menegakkan segala prinsip-
prinsip Islami tetapi menggunakan sistem yang non Islami.
Dari sinilah umat Islam membutuhkan sebuah negara
dengan sistem yang Islami.
Realitas sejarah Islam menunjukkan bahwa negara
itu dibutuhkan dalam rangka pengembangan dakwah.
Misalnya, ketika nabi masih di Makkah (611-622 M), tidak
banyak yang dapat diperbuat di bidang politik karena
kekuatan politik didominasi oleh kaum aristoktrat Quraisy
yang memusuhi nabi. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, di
mana nabi telah mempunyai komunitas sendiri yang berjanji
setia untuk hidup bersama dengan suatu kesepakatn
menggunakan aturan yang disepakati bersama berupa
Piagam Madinah.
Kehidupan nabi bersama umatnya pada periode
Madinah ini (622-632H), oleh banyak pakar dianggap
kehidupan yang bernegara (Nasution, 1986:92). Penilaian ini
tentu didasarkan pada kenyataan yang dapat dijadikan
sebagai argumen bahwa ketika itu telah terwujud sebuah
negara, baik itu wilayah, masyarakat maupun penguasa.
Demikian juga penilaian terhadap nabi ketika itu telah
bertindak tidak hanya sebagai nabi tapi juga sebagai kepala
negara, misalnya memutuskan hukum, mengirim dan
menerima utusan, dan juga memimpin peperangan.
Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah
nabi tidak meninggalkan satu Sunah yang pasti bagaiamana
sistem penyelenggaraan negara itu, misalnya bagaimana
sistem pengangkatan kepala negara, siapa yang berhak
menetapkan undang-undang, kepada siapa negara
bertanggungjawab, dan bagaimana pertanggungjawaban
tersebut. Untuk mengikuti nabi sepenuhnya tentu tidak
mungkin. Pertama, ia sebagai seorang rasul yang selalu
mendapat petunjuk dari Allah Swt. Kedua, dari kenyataan
terlihat ketundukan rakyat padanya pada dasarnya karena ia
sebagai rasul Allah Swt, kendatipun ia tidak tetap
memperlihatkan dimensi-dimensi manusia biasa. Ketiga,
hukum yang diberlakukan lebih banyak berdasarkan wahyu
Allah bahkan ucapan dan tindakannya pun selalu mendapat
pengawasan dari Allah.
Karena ketidakjelasan ini, praktik sistem kenegaraan
dalam sejarah Islam selanjutnya selalu berubah-ubah. Dalam
masa empat Khalifah al-Rasyidun saja kita lihat
kebijaksanaan masing-masing mereka sangat bervariasi,
terutama sekali dalam masalah suksesi. Misalnya Abu Bakar
menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam
satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah
nabi wafat. Umar bin Khattab mendapat kepercayaan
sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu
forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan dan
wasiat pendahulunya, Abu Bakar, kendatipun Abu Bakar
pernah mendiskusikan dengan sahabat-sahabat lain
sebelumnya secara tertutup. Utsman bin Affan menjadi
khalifah yang ketiga melalui pemilihan oleh sekelompok
orang-orang yang telah ditetapkan oleh Umar sebelum ia
wafat. Sementara Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi
khalifah yang keempat melalui pemilihan yang
penyelenggaraannya jauh dari sempurna (Sjadzali,1993:28-
29).
Penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah jauh
dari ajaran yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Saat itu,
hampir tidak ada lagi bentuk musyawarah dipraktekkan,
terutama dalam rangka suksesi. Tradisi suksesi berubah dari
sistem musyawarah menjadi sistem penunjukan terhadap
anak atau keturunannnya. Tidak jarang terjadi perebutan
kekuasaan melalui kekerasan senjata. Demikian juga praktek
sistem kenegaraan di masa Bani Abbasiah tidak banyak
perbedaannya dengan masa Umayyah.
Di masa kemunduran Islam, umat Islam hampir
mempunyai negara, karena kebanyakan bangsa muslim
ketika itu berada di bawah penjajahan Barat baik Inggris,
Prancis, Portugis, Spanyol, Italia, dan Belanda. Tetapi
keinginan untuk mendirikan negara sendiri tetap ada, karena
itu dalam sejarah kita lihat di mana-mana umat Islam dalam
periode selanjutnya memberontak untuk melepaskan diri
dari penjajah. Setelah mendapatkan kemerdekaan, umat
Islam menghadapi masalah baru yaitu bagaimanakah
sebenarnya negara Islam itu?
Berdasarkan pengalaman ini, sejumlah ilmuwan
muslim telah tampil dan berusaha merumuskan konsep-
konsep dasar mengenai negara Islam. Tokoh dan ilmuwan
yang pernah memberi gagasan dalam masalah ini, antara
lain Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Ali Abd Razik, Thaha Husein, Husein Haikal,
Hassan al-Banna, Iqbal, Maududi, dan Fazlurrahman. Sesuai
dengan zamannya dan latar belakang sosial politik di masa
dan di mana mereka hidup ditambah dengan latar belakang
pendidikan yang berbeda mereka telah mengemukakan
pendapat-pendapatnya yang saling berbeda pula.
Salah seorang tokoh yang mengkaji tentang negara
Islam adalah Jamal al-Banna, adik kandung Hassan al-
Banna, tokoh pendiri gerakan Ikhwānul-Muslimīn. Jamal al-
Banna berpendapat bahwa tidak ada satu pun contoh
pemerintahan Islam yang ideal selain pada masa Madinah
al-Munawarah, yang berlangsung hanya dalam waktu 23
tahun. Sepuluh tahun pada masa kenabian, sementara tiga
belas tahun setelahnya adalah di bawah khalifah Abu Bakar
dan Umar. Setelah itu, yang ada tidak lebih dari bentuk
pemerintahan yang ekspansif dan rakus, sampai berakhirnya
masa kekhalifahan Turki, termasuk pada masa khalifah
Usman dan Ali karena keduanya tidak mengikuti cara kedua
khalifah pendahulunya (al-Banna, 2003:1).
II. BIOGRAFI JAMAL AL-BANNA
Jamal al-Banna mempunyai nama lengkap, Ahmad
Jamaluddin Ahmad „Abd al-Rahman, lahir pada tanggal 15
Desember 1920. Akrab dengan dunia tulis-menulis dan
jurnalistik sejak usia muda. Pada tahun 1946 menulis "Neo-
Demokrasi" yang salah satu idenya adalah pemahaman baru
terhadap agama (fahm jadîd li al-dîn) menjadi salah satu
pilar neo-demokrasi. Jamal juga adik kandung pendiri
jamaah Ikhwan Muslimun, Imam al-Syahid Hasan Al-
Banna. Ketika Ikhwan Muslimin mendirikan media cetak,
Jamal menjadi sekretaris redaksinya. Namun menurut
pengakuan Jamal, dia sendiri tidak pernah menjadi anggota
Ikhwan Muslimun..
Sebagai seorang tokoh pemikir, ia sangat produktif
menulis buku. Dalam konteks fikih, dia menulis Nahwa
Fiqh Jadīd (Manifesto Fikih Baru) dalam tiga jilid. Dalam
kajian al-Qur‟an dia menggagas Tashwīrul-Qur’an
(Revolusi al-Qur‟an). Dalam bidang tafsir dia menggagas
Tafsir al-Qur’ānul-Karīm Bainal-Qudamā’ wal-
Muhadditsīn (Tafsir al-Qur‟an; antara Ahli Tafsir Lama
dengan Pembaharu). Dalam bidang Hadis, Jamal menggagas