6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Biologis dan Ekologis Ikan Kembung Lelaki(Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817)
Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) menurut
taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984):
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Subordo : Scombroidea
Famili : Scombridae
Genus : Rastrelliger
Spesies : Rastrelliger kanagurta (Cuvier 1817)
Gambar 2. Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817)(Dokumentasi pribadi)
Ikan kembung (Rastrelliger spp) dapat dibedakan menjadi 3 spesies yaitu
Rastrelliger kanagurta, Rastrelliger brachysoma, dan Rastrelliger neglectus
(Collete & Nauen, 1983). Sedangkan ikan kembung di Teluk Jakarta terdiri dari 2
7
spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan
kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(Sujastani 1974). Ikan kembung
lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan periode pemijahan di Teluk
Jakarta dan Laut Jawa terjadi dalam dua periode yaitu musim timur mulai Juni,
Juli, hingga Agustus dan periode musim barat pada Februari hingga April
(Burhanuddin 1984).
Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) memiliki ciri-ciri morfologi
sebagai berikut : kepala lebih panjang dibandingkan dengan tebal tubuh, rahang
sebagian tersembunyi, tertutup oleh tulang lakrimal yang memanjang hingga tepi
rongga mata, bukaan insang sangat panjang, terlihat ketika mulut sedang terbuka,
memiliki kantung renang, memiliki sirip punggung pertama berjari-jari keras IX-
XI; sirip punggung pertama berjari-jari lemah 11-13+5; finlet pada sirip anal 11-
12+5; serta finlet pada sirip dada 19-22; V, 1+5.
Ikan kembung lelaki dalam keadaan hidup berwarna keemasan pada
bagian punggung, sedangkan dalam keadaan mati berwarna garis kegelapan pada
bagian punggung dan tanda hitam dekat batas bawah sirip dada; sirip punggung
berwarna kekuningan dengan corak hitam, sirip ekor dan sirip dada berwarna
kekuningan. Daerah penyebaran ikan kembung lelaki di perairan pantai Indonesia
dengan konsentrasi terbesar di perairan Laut Jawa, Kalimantan, Sumatera Barat,
dan Selat Malaka.
Ikan kembung lelaki hidup di perairan pantai dan tersebar di wilayah
Indo-Pasifik barat dengan suhu perairan kurang lebih 170C. Ikan kembung lelaki
dewasa banyak ditemukan di lepas pantai dan pesisir yang dalam. Ikan ini
memakan plankton dan biasa ditemukan bergerombol di kolom perairan.
Ikan kembung lelaki cenderung berenang mendekati permukaan air pada
waktu malam hari dan pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan
vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan
suhu, faktor hidrografis dan salinitas air laut . Ikan kembung lelaki biasanya dijual
dalam bentuk segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan asin seperti peda
yang lebih tahan lama. Ikan kembung lelaki yang masih kecil juga sering
digunakan sebagai umpan hidup untuk memancing cakalang (Widyantoro 2009).
8
2.2. Alat Tangkap Ikan Kembung Lelaki
Alat tangkap ikan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1985
merupakan sarana dan perlengkapan atau benda lainnya yang dipergunakan untuk
menangkap ikan. Ikan kembung lelaki dapat tertangkap menggunakan alat
tangkap pukat udang (high opening bottomtrawl), pancing (handline), jaring
insang (gill net), jaring angkat (lift net) dan pukat cincin (purse seine) (Moazzam
et al. 2005).
Berdasarkan data yang diperoleh, payang merupakan alat tangkap yang
dominan digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan kembung lelaki di PPI
Kamal Muara (Instalasi Riset Perikanan Teluk PPI Kamal Muara, 2010). Alat
tangkap jaring payang merupakan pukat kantong yang digunakan untuk
menangkap ikan pelagis (pelagic fish).
Menurut Monintja (1991) in Irnawati (2004), jaring pada payang terdiri
dari sebuah kantong berukuran besar, dua buah sayap, dua tali ris diujung sayap
jaring, tali selambar, serta pelampung dan pemberat. Kantong merupakan satu
kesatuan yang berbentuk menyerupai bangun kerucut, semakin ke arah ujung
kantong jumlah mata jaring semakin berkurang dan ukuran mata jaringnya
semakin kecil. Ikan hasil tangkapan akan terkumpul di bagian kantong ini.
Semakin kecil ukuran mata jaring maka akan semakin kecil kemungkinan ikan
meloloskan diri. Bentuk dan bagian-bagian alat tangkap payang dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk dan bagian-bagian pada alat tangkap payang(auxis.tripod.com/fishing.htm)
Spesifikasi alat tangkap payang yang digunakan oleh nelayan di PPI
Kamal Muara adalah jaring berukuran panjang ±16 m dengan lebar ±10 m,
9
ukuran mata jaring bagian kantong mencapai 1 inchi – 3 inchi dan ukuran mata
jaring bagian sayap 8 inchi, serta tali ris berjenis marlon pada bagian sayap
sepanjang ±8 m. Jenis kapal yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini
adalah perahu motor dengan ukuran 5-6 GT.
2.3. Hubungan Panjang Bobot
Dalam perhitungan untuk menduga suatu pertumbuhan terdapat dua model
yang dapat digunakan yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model
yang berhubungan dengan panjang (Effendie 1979). Model-model tersebut
menggunakan persamaan matematik untuk menggambarkan suatu pertumbuhan.
Analisis pola pertumbuhan menggunakan data panjang bobot. Persamaan
hubungan panjang bobot ikan yang dihasilkan dari perhitungan dimanfaatkan
untuk menjelaskan pola pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai suatu
fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari
panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga
bobot melalui panjang (Effendie 1979).
Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot diplotkan
dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb. Hasil analisis
hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b) yaitu harga
pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola
pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan
pertambahan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik
(b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobot. Pola
pertumbuhan allometrik positif (b>3) menyatakan pertambahan bobot lebih cepat
dibandingkan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan allometrik negatif
(b<3) menyatakan pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan
bobot.
2.4. Sebaran Frekuensi Panjang
Dalam melakukan pendugaan stok suatu spesies ikan digunakan masukan
berupa data komposisi umur. Menurut Sparre & Venema (1999) in Ruth (2011),
10
bagian tubuh ikan berupa sisik dan otolith pada bagian kepala ikan memiliki
lingkaran-lingkaran tahunan yang digunakan sebagai metode untuk menghitung
data komposisi umur pada perairan beriklim sedang. Lingkaran yang terbentuk
pada sisik dan otolith pada ikan disebabkan oleh fluktuasi yang kuat dalam
berbagai kondisi lingkungan perairan dari musim panas ke musim dingin serta
sebaliknya.
Tujuan analisis data berdasarkan sidik frekuensi panjang digunakan untuk
menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis
tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang
kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999 in Ruth
2011).
Menurut Pauly (1984), fungsi sidik frekuensi panjang adalah menentukan
umur dan membandingkan pada metode lain yang menggunakan struktur
kompleks. Setelah komposisi umur diketahui melalui sidik frekuensi panjang,
selanjutnya parameter pertumbuhan dapat ditentukan dengan metode estimasi
yang sesuai. Metode berbasis panjang selain digunakan untuk menduga parameter
pertumbuhan juga dapat digunakan unruk menduga mortalitas total dari hasil
tangkapan yang dilinierkan (King 1995).
2.5. Pertumbuhan
Effendie (2002) menyatakan pertumbuhan suatu individu merupakan
pertambahan bobot atau panjang dalam satuan waktu, sedangkan pertumbuhan
dalam suatu populasi dinyatakan dengan penambahan jumlah individu. Namun
jika ditelaah lebih lanjut, pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks
yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang selanjutnya dibagi menjadi dua bagian
besar yaitu faktor dalam dan faktor luar.. Faktor dalam umumnya adalah faktor
yang sulit dikontrol, antara lain keturunan, parasit, dan penyakit. Sedangkan
faktor luar yang paling mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu
perairan.
Pada perairan tropis, makanan merupakan faktor yang lebih penting
daripada suhu perairan (Effendie 2002). Ada beberapa metode yang umum
digunakan untuk menduga parameter-parameter pertumbuhan (K=koefisien
11
pertumbuhan; L∞ = panjang asimtotik; t0 = umur ikan ketika panjangnya sama
dengan nol), yaitu plot Gulland & Holt, plot Ford Walford, metode Chapman, dan
plot von Bertalanffy.
Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran
badan sebagai suatu fungsi umur (Ruth 2011). Umur secara teoritis ikan pada saat
panjang sama dengan nol, dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan
empiris Pauly (Pauly 1983 in Lelono 2007). Menurut Ambarini (1997) persamaan
pertumbuhan ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta Lt = 27,5 (1-e 0,53(t-0,32)). Nilai
b (koefisien regresi) yang didapat sebesar 2,3221. Nilai ini lebih kecil
dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Laut Jawa sebesar 3,193.
Faktor yang mempengaruhi diantaranya faktor lingkungan seperti suhu perairan.
2.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi
Banyak faktor yang berperan di suatu lingkungan perairan sehingga
menyebabkan berkurangnya kesempatan hidup individu ikan dalam suatu
populasi. Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan
mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z)
adalah hasil penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas
alami (M) (King 1995).
Mortalitas alami merupakan mortalitas yang disebabkan oleh pemangsaan,
penyakit, stress, pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999).
Menurut Beverton & Holt (1957), predasi merupakan faktor eksternal yang umum
sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan
nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy, yaitu K (koefisien pertumbuhan)
dan L∞ (panjang maksimum teoritis suatu jenis ikan). Ikan yang pertumbuhannya
cepat (nilai koefisien pertumbuhan (K) tinggi) memiliki laju mortalitas alami (M)
yang tinggi dan sebaliknya. Mortalitas alami berhubungan dengan L∞, karena
pemangsa bagi ikan berukuran besar lebih sedikit dari ikan kecil yang lebih
mudah dimangsa jenis ikan lain. Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema
(1999), berdasarkan penelitiannya terhadap 175 stok ikan yang berbeda, faktor
lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain
faktor panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas
12
penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas
penangkapan oleh manusia (Sparre & Venema 1999).
Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur
yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Oleh karena itu laju eksploitasi
juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan
jumlah total ikan yang mati karena semua faktor, baik faktor alami maupun
faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga
bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan
(F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama
dengan 0,5. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu
diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian
stok ikan (King 1995).
2.7. Model Surplus Produksi
Model surplus produksi didasarkan pada asumsi bahwa CPUE merupakan
fungsi dari f, baik bersifat linear seperti pada model Schaefer maupun bersifat
eksponensial seperti pada model Fox. Dalam model surplus produksi Schaefer
mengasumsikan bahwa kenaikan bersih biomassa adalah fungsi dari besarnya
populasi (Atmadja et al. 2003).
Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan
tingkat upaya optimum (biasa disebut fMSY atau effort MSY), yaitu suatu
upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari
tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut
hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY)
(Sparre & Venema 1999). Dari model ini dapat diperoleh estimasi besarnya
kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi dari suatu jenis atau kelompok
jenis (species group) sumberdaya ikan (Widodo & Nurhakim 1998).
Pada kondisi dimana perikanan tangkap berkembang secara bertahap,
populasi ikan membutuhkan waktu penyesuaian terhadap tekanan alat tangkap
yang semakin bertambah. Periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
keseimbangan tidak pernah diketahui. Hasil penelitian terakhir mendapatkan
bahwa banyak stok ikan sudah mengalami penurunan secara terus menerus sejak
13
pertama kali ditangkap, dan populasi ikan berkurang 80% dalam 15 tahun sejak
pertama kali dieksploitasi (Myers & Worm, 2003 in Wiadnya et al. 2009).
Implikasinya adalah bahwa banyak stok populasi ikan yang tidak pernah
mencapai kondisi keseimbangan.
Model surplus produksi merupakan model yang sangat sederhana dengan
biaya yang relatif murah (Widodo & Nurhakim 1998). Model ini dikatakan
sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak
perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu
penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau
produksi yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya
penangkapan (Sparre & Venema 1999).
Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam
penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan
dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang
tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus
menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus
dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005).
Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus produksi banyak
digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.
Model surplus produksi dapat diterapkan bila data hasil tangkapan
total (berdasarkan spesies), hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit
effort/CPUE) atau per spesies, atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya
penangkapannya dalam beberapa tahun tersedia (Sparre & Venema 1999).
Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang
benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal amat sulit ditentukan.
Oleh sebab itu penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan
didukung dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan
menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam
menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, udang dan krustasea
lainnya, serta moluska (Widodo & Nurhakim 1998).
Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai
berikut (Sparre & Venema 1999):
14
(1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya
tangkap relatif
(2) Distribusi ikan menyebar merata
(3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan
tangkap yang seragam.
Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre
&Venema (1999) adalah :
(1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium
Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama
dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu)
ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.
(2) Asumsi biologi
Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah
dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema
(1999) sebagai berikut :
a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang,
dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang
lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan
meningkatkan jumlah rekrutmen.
b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan
menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil.
Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh
makanan lebih sedikit; dengan demikian dalam fraksi yang lebih
besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup, dan
dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan
c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat
kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan
stok yang telah dieksploitasi
(3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap
Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas
penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini
tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya
15
penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas
penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih
adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.
2.8. Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan
Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan
memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin secara sumberdaya. Hal ini
dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan
dengan hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch (TAC) atau jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan Maximum Sustainable Yield (MSY)
atau jumlah maksimum tangkapan lestari (Poernomo 2009).
Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan
yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) dan tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan (TP). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai
tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu
sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan
atau metode (Boer & Aziz 1995). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(JTB/TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (MSY).
Akan tetapi manajemen perikanan menganut azas kehati-hatian
(Precautionary approach), maka TAC ditetapkan sebesar 80% dari potensi
tersebut (Atmaji 2007).
2.9. Pengelolaan Perikanan
Menurut Boer & Aziz (2007), pengelolaan sumberdaya perikanan
bertujuan demi tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan
pangan, bahan baku industri, penghasil devisa serta mengetahui porsi optimum
pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan. Selain itu pengelola perikanan
memiliki tugas untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Pendekatan yang umum digunakan
dalam studi pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pendekatan struktural
atau analitik yaitu pendekatan dengan cara menjelaskan sistem sumberdaya
16
perikanan melalui komponen-komponen yang membentuk sistem tersebut.
Komponen-komponen tersebut adalah rekrutmen, pertumbuhan dan mortalitas.
Pendekatan secara struktural cukup ideal namun berbiaya termahal
serta membutuhkan waktu yang cukup lama, dimana untuk dapat memahami
setiap komponen diperlukan penelitian khusus yang beragam, mulai dari
aspek biologi hingga aplikasi model-model kuantitatif sebagai alat bantu
studi. Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan global yang menjelaskan
sistem sumberdaya perikanan tanpa memperhatikan komponen yang
membentuknya, melainkan berdasarkan data maupun informasi yang paling
mudah dikumpulkan, seperti data tangkapan, upaya tangkap, produksi dan
nilai produksi serta informasi lain yang diperoleh melalui sistem pelaporan
kegiatan armada perikanan di pelabuhan, tempat pelelangan ikan atau tempat lain
yang telah ditentukan (Boer & Aziz 2007).
Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi
yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource
conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan (regulations)
dan pengayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan
sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo & Suadi
2002).
Dalam pengelolaan perikanan sangat sulit untuk mengatur dan
merubah kondisi yang telah ada sehingga upaya yang mungkin dilakukan
adalah hanya berupa pembatasan seperti tidak mengijinkan perahu penangkap
baru yang akan masuk ke perairan serta membatasi jumlah tangkapan
nelayan tanpa mengurangi jumlah perahu nelayan yang telah ada saat ini.
Menurut Widodo & Suadi (2006), proses penipisan stok sering dibarengi
dengan lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil
tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan
total yang didaratkan, penurunan bobot rata-rata ikan, perubahan dalam struktur
umur populasi ikan (ukuran, umur), serta perubahan komposisi spesies ikan
(ekologi perikanan).
Pengelolaan perikanan harus ditentukan melalui beberapa tahap
diantaranya tahap awal, saat produksi ikan masih berada di bawah nilai
17
tangkapan maksimum lestari (MSY), maka kebijakan harus ditujukan terutama
untuk mendorong perkembangan perikanan. Setelah batas kemampuan (potensi,
daya dukung) dari stok ikan telah tercapai (MSY), laju perkembangan
penangkapan ikan mulai dikurangi. Selanjutnya ketika nilai tangkapan berada di
atas ambang nilai MSY, semua kebijakan akan lebih bersifat sebagai usaha
pembatasan (Widodo & Suadi 2006).