-
Page 1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara
kepulauan
yang terdiri dari pulau-pulau besar maupun kecil yang menurut
perhitungan Dishidros pada tahun 1982 seluruhnya berjumlah
17.508
pulau1 di mana terdapat 5.707 pulau mempunyai nama dan 11.801
pulau yang tak bernama dengan garis pantai sepanjang 108.000 km
serta luas wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2.2 Eksistensi
NKRI sebagai
negara kepulauan telah diakui oleh dunia melalui Konvensi Hukum
Laut PBB (UNCLOS 1982). Wilayah perairan NKRI lebih luas dari
daratan, yaitu 1:3.
Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus
1945, secara geografis, adalah negara kepulauan. Oleh sebab itu,
pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia
mengumumkan suatu pernyataan (deklarasi) mengenai Wilayah Perairan
Indonesia yang
berbunyi sebagai berikut: "Bahwa segala perairan di sekitar,
diantara dan yang menghubungkan
pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar
daripada wilayah daratan negara Indonesia dan dengan demikian
bagian daripada perairan
pedalaman atau nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak
negara Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini
bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak
bertentangan
dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia.
Penentuan batas landas lautan teritorial (yang lebarnya 12 mil)
diukur dari
garis yang menghubungkan titik-titik ujung yang terluar pada
pulau-pulau Negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas
akan diatur selekas-lekasnya dengan Undang-undang".
Deklarasi tersebut mengandung makna bahwa negara Indonesia
adalah
satu kesatuan yang meliputi tanah (daratan) dan air (lautan)
secara tidak terpisahkan sebagai "Negara Kepulauan". Negara
kepulauan tersebut, kemudian diberikan landasan hukum dalam sistem
ketatanegaraan
Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia. Deklarasi tersebut mengakibatkan suatu
perubahan mendasar dalam struktur kewilayahan Negara Republik
Indonesia karena
laut tidak lagi dianggap sebagai pemisah pulau-pulau, tetapi
pemersatu yang menjadikan keseluruhannya suatu kesatuan yang utuh.
Deklarasi
yang diumumkan pada saat perjuangan bangsa Indonesia
mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kedaulatan Negara
Republik Indonesia juga banyak menghadapi kesulitan, antara lain
karena perairan Indonesia di
sekitar Irian Barat masih dianggap sebagai perairan
internasional yang bebas dimanfaatkan oleh siapa saja. Selain
alasan terhadap ancaman
pertahanan-keamanan, tindakan Pemerintah ini didasarkan pula
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta
ruang udara di atasnya diperuntukkan bagi kemakmuran dan
kesejahteraan
1 Makalah Dirjen Penataan Ruang Depkimpraswil dalam semi
lokakarya mengenai Reposisi dan
Revitalisasi Kepulauan Sangihe Talaud, Jakarta, 12 Maret 2003. 2
Adirini Pujayanti, Perbatasan Indonesia dalam Perspektif Politik,
(Editor:Poltak Partogi Nainggolan),
Jakarta: Tiga Putra Utama, 2004, hal. 82
-
Page 2
bangsa. Kebijaksanaan tersebut juga ingin memberikan bentuk
nyata kepada kesatuan dalam keanekaragaman (Bhinneka Tunggal Ika)
yang
menjadi semboyan bangsa Indonesia.
Baik Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 maupun Undang- undang
Nomor 4 Prp.Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dilandasi oleh
Wawasan Nusantara, yang kemudian sesuai dengan Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1983 ditetapkan sebagai
wawasan dalam mencapai pembangunan nasional yang mencakup
perwujudan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi,
sosial-budaya, dan
pertahanan-keamanan.
Sejak diumumkannya Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah
Indonesia terus memperjuangkan agar konsepsi hukum negara kepulauan
diterima dan diakui masyarakat internasional. Perjuangan
tersebut
akhirnya telah menghasilkan pengakuan masyarakat internasional
secara universal dengan diterimanya pengaturan mengenai asas dan
rezim hukum
negara kepulauan (Archipelagic State) dalam Bab IV Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Konvensi
tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang- undang
Nomor 17 Tahun
1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of
the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Perubahan
kedudukan Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan
membawa implikasi yang sangat luas tidak saja terhadap kepentingan
nasional, tetapi juga terhadap kepentingan internasional di
perairan
Indonesia. Pengakuan dunia internasional terhadap asas negara
kepulauan sebagai penjelmaan aspirasi bangsa Indonesia, membawa
konsekuensi
bahwa Indonesia juga harus menghormati hak-hak masyarakat
internasional di perairan yang kini menjadi perairan nasional,
terutama hak lintas damai dan hak lintas alur laut kepulauan bagi
kapal-kapal asing.
Setelah masyarakat dunia yakin bahwa dengan tindakannya ini
Indonesia tidak bermaksud mengurangi hak-hak dunia pelayaran yang
sah dan tercapai suatu keseimbangan antara keinginan Indonesia
untuk
mengamankan keutuhan wilayahnya dan menguasai sumber kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya di satu pihak, dan kepentingan
dunia
pelayaran internasional di pihak lain, asas negara kepulauan ini
akhirnya diterima dunia internasional.
Ditinjau dari segi ketatanegaraan, Deklarasi tanggal 13 Desember
1957 dan Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan
Indonesia
merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ketatanegaraan
Indonesia bahwa negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan
yang kemudian diakui oleh dunia internasional dengan dimuatnya asas
dan
rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982. Ketentuan mengenai
asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Konvensi tersebut
mengandung berbagai pengembangan dari konsepsi negara kepulauan
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960
tentang Perairan Indonesia. Berdasarkan hal ini maka terdapat
RUU yang sangat krusial bagi
pemerintah daerah di era otonomi daerah untuk membangun Daerah
kepulauan yaitu RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah
Kepulauan. Adapun Latar Belakang adanya keinginan untuk
mempercepat
pembangunan di Daerah Kepulauan adalah sebagai berikut, pertama,
Terdapat sebanyak 60% penduduk atau sebanyak 140 juta penduduk
-
Page 3
Indonesia bermukim di wilayah pesisir. Dimana 22% dari mereka
tinggal di desa pesisir dan pulau-pulau terpencil yang selama ini
kurang tersentuh
oleh pembangunan, kedua, Pendekatan kebijakan pembangunan di
Indonesia selama ini dilakukan dengan pendekatan pembangunan
kawasan
yang berorientasi pada daratan padahal Indonesia adalah negara
kepulauan oleh karena itu diperlukan sebuah pendekatan yang berbeda
untuk pembangunan di provinsi kelautan, ketiga, Kesulitan dalam
Pola
Pengendalian Wilayah. Pada Provinsi yang berbasis darat
komunikasi jauh lebih mudah dilakukan, sementara komunikasi jauh
lebih sulit dilakukan di Provinsi yang berbasis kepulauan, keempat,
Kesulitannya pemerintah
daerah dalam memberdayakan Pulau-pulau kecil di dalam provinsi
Kepulauan apalagi yang berada di wilayah perbatasan, kelima,
Kecilnya
dana alokasi umum (DAU) dan Dana alokasi khusus (DAK) yang
diberikan Pemerintah Pusat. Hal ini disebabkan perhitungan DAU dan
DAK didasarkan pada pikiran kontinental yaitu penentuan formula
hanya
memperhitungkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk dan
keenam, Masih Terisolasinya masyarakat di pulau-pulau yang
Darah
Kepulauan sehingga belum tersentuh pembangunan. B. IDENTIFIKASI
MASALAH
Naskah Akademik RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah
Kepulauan difokuskan pada beberapa permasalahan, yaitu: Pertama,
bagaimana teori - teori dan problematika kebijakan daerah
kepulauan yang selama ini diterapkan di Indonesia? Kedua,
kerangka regulasi yang ada apakah sudah cukup memadai untuk
menjadi dasar membentuk perlakuan khusus bagi Daerah Kepulauan
dan strategi percepatan pembangunan di daerah
kepulauan? Ketiga, apa yang menjadi argumentasi, baik secara
filosofis, sosiologis
maupun yuridis mengenai urgensi atau pentingnya pembentukan
Undang-Undang tentang Percepatan pembangunan Daerah
Kepulauan?
Keempat, apabila dirasakan penting untuk menyusun Rancangan
Undang-
Undang tentang Percepatan pembangunan Daerah Kepulauan,
bagaimana arah dan jangkauan pengaturan apa saja yang menjadi
ruang lingkup materi RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah
Kepulauan?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
Adapun maksud dari penyusunan Naskah Akademik RUU tentang
Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan ini adalah menyusun atau
merumuskan argumentasi pentingnya RUU tentang Percepatan
pembangunan Daerah Kepulauan melalui penjelasan dan analisis
teoritis, serta konstataring fakta empiris kebijakan Daerah
Kepulauan di Indonesia.
Tujuannya adalah untuk melahirkan suatu rumusan Undang-Undang
tentang Daerah Kepulauan yang komprehensif dan integratif, serta
efektif sebagai acuan bagi setiap pihak yang melaksanakan
kegiatan
pembangunan provinsi kepulauan dan kabupaten/kota kepulauan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam Naskah Akademik ini
memuat : Pertama, Teori-teori dan problematika kebijakan kelauatan
yang selama
ini diterapkan di Indonesia. Kedua, Hasil analisa dan evaluasi
kerangka regulasi yang terkait dengan
penanganan Daerah Kepulauan, serta urgensi pembentukan RUU
tentang Percepatan pembangunan Daerah Kepulauan.
-
Page 4
Ketiga, Argumentasi filosofis, sosiologis dan yuridis mengenai
urgensi
atau pentingnya pembentukan Undang-Undang tentang Percepatan
pembangunan Daerah Kepulauan. Keempat, Arah/jangkauan pengaturan
dan Ruang lingkup materi
RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.
D. METODE PENELITIAN KERANGKA DASAR PENULISAN NASKAH
AKADEMIK
Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Percepatan
Pembangunan
Daerah Kepulauan dilakukan dengan mengacu kepada Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
serta praktek penyusunan Naskah Akademik yang selama ini
berkembang di DPR RI, khususnya Badan Legislasi DPR RI dan
Pemerintah. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah: Pertama, Studi
literatur/kepustakaan tentang kebijakan kelautan di
Indonesia dan pembangunan daerah yang berbasis laut. Kedua,
Analisis dan kajian awal mengenai kebijakan kelautan di
Indonesia. Kegiatan ini melahirkan suatu naskah Grand Strategi
Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.
Ketiga, melakukan RDPU, kunjungan kerja dan serangkaian FGD
mengenai tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan dan
penguatan kerangka regulasi yang melibatkan para pakar
yang memahami kelautan. Keempat, merumuskan draft awal Naskah
Akademik.
Kelima, melaksanakan perumusan Draft Pasal-Pasal RUU
Adapun kerangka penulisan naskah akademik ini disusun
berdasarkan logika input-proses-output, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut (Kerangka penulisan disajikan pada gambar (1):
Input : Gambaran Teoritis, Praktek Penanganan kelautan di
Indonesia,Serta Perubahan Paradigma Penangan kelautan di
Indonesia.
Proses : Review Kebijakan Daerah yang berbasis laut dan Analisis
dan Evaluasi Peraturan perundang-undangan Daerah Kepulauan di
Indonesia.
Output : Rumusan Urgensi, Argumentasi Filosofis, Sosiologis,
Yuridis
serta Jangkauan dan Ruang Lingkup Materi RUU tentang Percepatan
pembangunan Daerah Kepulauan.
-
Page 5
Gambar Metode Dan Kerangka Dasar Penulisan Naskah Akademik
E. SISTEMATIKA
Naskah Akademik tentang Percepatan Pembangunan di Daerah
Kepulauan ini terdiri dari 6 (enam) bab, yaitu:
Bab I: Pendahuluan Menjelaskan latar belakang pentingnya
penyusunan naskah akademik dan
penyusunan draft RUU tentang Percepatan pembangunan Daerah
Kepulauan, masalah-masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam
Naskah Akademik, rumusan maksud dan tujuan penyusunan Naskah
Akademik, dan sistematika Naskah Akademik.
Bab II: Kajian Teoritis Kepustakaan dan Analisis terhadap
Kebijakan Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan yang dilaksanakan
Pemerintah Indonesia.
Ada tiga materi utama dalam Bab II ini, yaitu pertama adalah
mengenai
teori-teori kelautan. Kedua, permasalahan daerah yang berbasis
laut di Indonesia. Ketiga adalah perubahan paradigma penanganan
Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan di Indonesia. Ketiga materi
di atas pada
dasarnya menguraikan menguraikan pemikiran-pemikiran teoritis
dan konseptual mengenai Daerah Kepulauan. Uraian dimulai dari
teori-teori
mengenai kelauatan. Materi penting lainnya dalam Bab II ini
adalah konstataring fakta kebijakan penanganan Daerah Kepulauan
yang dilakukan di Indonesia pada saat ini dan sebelumnya. Manfaat
dari uraian
Input
Proses/ Analisis
Output
Evaluasi
Kebijakan
kelautan di
Indonesia
Pendahuluan
Urgensi dan
Argumentasi
Filosofis,
Sosiologis, dan
Yuridis RUU
Percepatan
Pembangunan
Daerah Kepulauan
Perubahan
Paradigma
Kebijakan
kelautan di
Indonesia
Evaluasi dan Analisis
Hukum Kelautan
Jangkauan
Pengaturan dan
Ruang Lingkup
Materi RUU
Percepatan
Pembangunan Daerah
Kepulauan
Kajian Teoritis
dan Kebijakan
Kelautan di
Indonesia
-
Page 6
teoritis dan kebijakan Daerah Kepulauan adalah memberikan
gambaran mengenai teori, problematika, serta sistem ideal yang
dapat diterapkan di
kemudian hari.
Bab II ini sekaligus merupakan hasil evaluasi terhadap
kelemahanan sistem dan metode penanganan Daerah Kepulauan yang
berjalan pada saat ini di Indonesia, dan perubahan paradigma
pananganan Daerah Kepulauan
yang menjadi landasan pentingnya membangun suatu mode baru dalam
penanganan Daerah Kepulauan yang akan dituangkan dalam UU tentang
Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.
Bab III: Analisa dan Evaluasi Peraturan perundang-undangan
terkait
Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan. Substansi analisis dan
evaluasi hukum, serta urgensi pembentukan hukum
Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan dimaksudkan untuk
memberikan gambaran mengenai peraturan perundang-undangan yang
menjadi peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan upaya
penanganan Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan pada saat ini.
Untuk itu bab tentang analisa dan evaluasi hukum ini memuat empat
bagian penting, yaitu: pertama mengenai gambaran umum peraturan
perundang-undangan (regulasi) kelautan di Indonesia. Kedua,
mengenai
gambaran kerangka regulasi berdasarkan strategi Percepatan
Pembangunan Daerah Kepulauan. Ketiga, tentang keterkaitan
tentang
Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan dengan UU lainnya.
Sedangkan yang keempat, adalah mengenai urgensi dan pilihan
pengaturan tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan di
Indonesia melalui pembentukan Undang-Undang tentang Percepatan
pembangunan Daerah Kepulauan.
Bab IV: Argumentasi Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan mensyaratkan bahwa pembentukan setiap
Undang-Undang perlu didasarkan pada tiga argumentasi yaitu
argumentasi fiolosofis, sosiologis, dan yuridis. Oleh karena itu,
salah satu substansi
yang harus terdapat dalam setiap Naskah Akademis adalah ketiga
argumentasi tersebut. Secara metologis, rumusan argumentasi
fiolosofis,
sosiologis, dan yuridis merupakan abstraksi dari materi-materi
yang telah diuraikan dalam pendahuluan, kajian teoritis dan
konstataring empiris kebijakan daerah kepulauan di Indonesia, serta
hasil analisa dan evaluasi
kerangka regulasi yang ada serta urgensi pembentukan RUU tentang
Percepatan pembangunan Daerah Kepulauan.
Bab V: Arah dan Ruang Lingkup Materi Muatan tentang
Percepatan
Pemabngunan Daerah Kepulauan.
Setelah melakukan analisis teoritis dan praktek kebijakan
penanganan Daerah Kepulauan di Indonesia, termasuk analisa dan
evaluasi terhadap
kerangka regulasi yang ada, maka naskah akademik ini sampai pada
perumusan mengenai arah dan materi apa saja yang perlu diatur
dalam
RUU tentang Percepatan pembangunan Daerah Kepulauan. Arah
pengaturan ini diperlukan agar jelas hubungannya dengan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait dan tidak terjadi konflik
materi
muatan. Sedangkan rumusan materi muatan untuk memberikan
gambaran
-
Page 7
pengaturan yang komprehensif dalam rangka menciptakan peraturan
yang efektif bagi tentang Daerah Kepulauan.
Bab VI: Penutup
Memuat kesimpulan yang tentunya mempertegas pentingnya RUU
tentang Percepatan pembangunan Daerah Kepulauan. Sedangkan
rekomendasi
memuat langkah-langkah stategis yang perlu dilakukan dalam
rangka mendorong terbentuknya RUU tentang Percepatan pembangunan
Daerah Kepulauan.
Akhirnya, sebagaimana dipersyaratkan bagi setiap Naskah Akademik
RUU,
maka Naskah Akademik ini dilengkapi dengan Draft RUU tentang
Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.
-
Page 8
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRATIK EMPIRIS
Dalam bab II ini akan dijabarkan mengenai kajian yang berkaitan
dengan
konsep RUU tentang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan.
Kajian pertama akan membahas tentang latar belakang sejarah hukum
perairan
Indonesia beserta perkembangan dari peraturan hukum perairan
pada saat ini. Selanjutnya akan membahas dari sisi ekonomi regional
dan kajian yang terkait dengan pembangunan kelautan dan
kewilayahan. Kajian ini tidak
hanya sebatas kajian teoritis saja namun juga disertai kajian
empirik yang berasal dari hasil penelitian. Kajian ini diharapkan
dapat menjadi dasar
kajian akademis terhadap RUU tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Kepulauan.
2.1. Latar Belakang Sejarah Hukum Perairan Indonesia
Perjuangan negara Indonesia menjadi negara kepulauan telah lam
dilakukan di forum internasional. Pembentukan wilayah maritim di
Indonesia dimulai pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana
Menteri
Indonesia waktu itU (Djuanda Kartawidjaja) dengan nama
"Deklarasi Juanda". Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara
Republik Indonesia
mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale
Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam
peraturan jaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah
Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau
hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai.
Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari
laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut
prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada
saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga
laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan
bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan
menjadi UU No.4/PRP/1960
tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik
Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km menjadi
5.193.250 km. Di
antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai
negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal
(baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the
outermost points of the outermost islands and drying reefs). Hal
itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia
untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai
implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita. Menurut
UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat
koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal
kepulauan
Indonesia.Dengan perhitungan 196 garis batas lurus (straight
baselines) dari titik pulau terluar, terciptalah garis maya batas
mengelilingi RI sepanjang
8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada
tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi
hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The
Law of The
-
Page 9
Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali
dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa
Indonesia
adalah negara kepulauan.
Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut maka membawa konsekuensi
logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus
dilaksanakan
berupa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan
Indonesia berdasarkan hukum internasional.
2.1.1.Deklarasi Djoeanda
Negara Indonesia mencatat tonggak sejarah baru di bidang hukum
laut dan memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) ketika pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri
Djuanda
Kartawidjaja mengeluarkan sebuah pernyataan (deklarasi) mengenai
Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia yang lengkapnya
sebagai
berikut : Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara
Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat corak
tersendiri. Bagi keutuhan territorial dan untuk melindungi kekayaan
Negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya
harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat. Penentuan batas laut
territorial seperti termaktub dalam Territoriale Zeen en Maritime
Kringen Ordonnantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan
pertimbangan-pertimbangan di atas karena membagi wilayah daratan
Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya
sendiri-sendiri.3 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka
Pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara,
dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk NegaraIndonesia
dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian
bagian daripada wilayah pedalaman atau Nasional yang berada di
bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu-lintas yang damai
diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selamat dan
sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan
keselamatan Negara Indonesia. Penentuan batas laut territorial yang
lebarnya 12 mil diukur dari garisgaris yang menghubungkan
titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia. 4
Pengumuman Pemerintah Indonesia tersebut yang sekarang dikenal
dengan sebutan Deklarasi Djuanda itu disiapkan dalam rangka
menghadiri Konferensi Hukum Laut di Jenewa pada bulan Februari
1958. Pengumuman Pemerintah Indonesia yang menyatakan Indonesia
sebagai negara kepulauan itu mendapat protes keras dari Amerika
Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand, tetapi
mendapat dukungan dari Uni Soviet (waktu itu), dan Republik Rakyat
Cina, Filipina, Ekuador.5 Pemerintah Indonesia terus melanjutkan
kebijakan
3 Pasal 1 TZMKO 1939 berbunyi : Laut territorial Indonesia :
daerah laut yang membentang ke arah laut sampai jarak tiga mil laut
dari garis air surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulau-pulau
yang termasuk wilayah Republik Indonesia . TZMKO 1939 ini adalah
produk kolonial yang harus segera dinyatakan tidak berlaku lagi
karena semua ketentuannya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations
Convention on the Law of the Sea) atau disingkat UNCLOS 1982.
4Lihat teks utuh Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan
Negara Republik Indonesia yang dibuat di Jakarta pada
tanggal 13 Desember 1957. 5 Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai
Hukum Laut, Binacipta, Bandung, 1978, hlm. 29.
-
Page 10
tersebut karena menyangkut kedaulatan negara atas wilayah laut
dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Deklarasi
Djuanda
dipertegas lagi secara juridis formal dengan dibuatnya
Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Dengan adanya
UU No.4/Prp/ Tahun 1960 tersebut, menjadikan luas wilayah laut
Indonesia yang tadinya 2.027.087 km2 (daratan) menjadi 5.193.250
km2, suatu penambahan yang wilayah berupa perairan nasional
(laut)
sebesar 3.166.163 km2.6 Di pihak lain, yaitu dalam tataran
internasional masyarakat internasional melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa terus melakukan berbagai upaya kodifikasi hukum laut
melalui
konferensi-konferensi internasional, yaitu Konferensi Hukum Laut
di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the Law of the
Sea - UNCLOS I) yang menghasilkan 4 (empat) Konvensi, tetapi
Konferensi tersebut gagal menentukan lebar laut territorial dan
konsepsi negara kepulauan yang diajukan Indonesia, kemudian
dilanjutkan dengan
Konferensi kedua (UNCLOS II) yang juga mengalami kegagalan dalam
menetapkan dua ketentuan penting tersebut, yang penetapan lebar
laut
teritorial dan negara kepulauan. UNCLOS I dan UNCLOS II telah
gagal menentukan lebar laut territorial dan konsepsi Negara
kepulauan karena berbagai kepentingan setiap Negara, maka PBB
terus
melanjutkan upaya kodifikasi dan unifikasi hukum laut
internasional terutama dimulai sejak tahun 1973 di mana tahun
1970an itu
merupakan awal kebangkitan kesadaran masyarakat internasional
atas pentingnya mengatur dan menjaga lingkungan global termasuk
lingkungan laut, sehingga melalui proses panjang dari tahun
1973-1982
akhirnya Konferensi ketiga (UNCLOS III) itu berhasil membentuk
sebuah Konvensi yang sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB tentang
Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the 3
Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Binacipta, Bandung,
1978, hlm. 29. 4 Ibid., hlm. 34. Sea) yang ditandatangani oleh 119
Negara di Teluk Montego Jamaika tanggal 10 Desember 1982. 5 Ketika
Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut masih dalam proses
perdebatan,
hebatnya Indonesia adalah telah mengumumkan pada tanggal 21
Maret 1980 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesaia selebar 200
mil, dan ternyata bersinergi dengan terbentukya Konvensi tersebut,
sehingga
sesuai dengan praktik Negara-negara dan telah diaturnya ZEE
dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka Indonesia mengeluarkan
Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia yang mempunyai karakter sui generis itu.
2.1.2. Konsep Wawasan Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut
1982
Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan yang diperjuangkan
oleh Mochtar Kusumaatmadja dari sejak Deklarasi Juanda 1957 sampai
diakuinya konsepsi tersebut oleh dunia internasional dalam
Konvensi
Hukum Laut 1982 adalah sebenarnya suatu kebanggaan yang luar
biasa bagi bangsa dan Negara Indonesia, tetapi sebagian masyarakat
Indonesia tidak begitu mengenal dengan baik bahwa Indonesia
mempunyai luas laut dua per tiga dari luar daratan dan
pemerintah juga tidak begitu care melakukan pembangunan yang
berorientasi ke laut, tetapi masih terfokus pada paradigma
pembangunan di darat. Padahal pembangunan yang dicanangkan oleh
para pendahulu itu
sudah termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 6
Ibid., hlm. 34.
-
Page 11
Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara dalam
Bab II mengenai Pola Dasar Pembangunan Nasional menegaskan
bahwa
wawasan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional adalah
Wawasan Nusantara yang mencakup satu kesatuan politik, satu
kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan
pertahanan dan keamanan.7 Dengan di tetapkannya Wawasan Nusantara
sebagai konsepsi kesatuan wilayah, bangsa, dan negara yang
memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah
(darat) dan air (laut) secara tidak terpisahkan merupakan tahapan
akhir
dari perjuangan konsepsi Wawasan Nusantara yang dimulai sejak
Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.8
Wawasan Nusantara yang dalam status juridisnya adalah negara
kepulauan (archipelagic states) sudah diakui oleh masyarakat
internasional dengan adanya Konvensi Hukum Laut 1982 yang diatur
dalam Bab IV Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut : a)
archipelagic State means a State constituted wholly by one or
more
archipelagos and may include other islands; b) archipelago means
a group of islands, including parts of islands,
interconnecting waters and other natural features which are so
closely interrelated that such islands, waters and other natural
features form an intrinsic geographical, economic and political
entity, or which historically have been regarded as such.
Negara kepulauan adalah suatu Negara yang seluruhnya terdiri
dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau
lain.
Kepulauan berarti suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau,
perairan di antaranya dan lain-lain wujud ilmiah yang hubungannya
satu sama lainnya demikian erat, sehingga pulau-pulau, perairan
dan
wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi,
ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang secara histories
dianggap
sebagai demikian.
Gambar 1. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939
(sebelum Deklarasi Djoeanda)
7 Konvensi Hukum Laut 1982 sekarang sudah diratifikasi oleh
lebih 160 Negara.
8 Sekarang yang berlaku adalah Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004-2009
-
Page 12
Gambar 2. Peta Batas Wilayah Indonesia Setelah Deklarasi
Djoeanda.
2.1.3. Peran dan Konsekuensi Indonesia sebagai Negara
Kepulauan
Dari sudut pandang geografis, Indonesia merupakan negara yang
memiliki posisi strategis dalam lalu lintas perekonomian dunia,
yaitu
terletak diatara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera
(Pasific dan Hindia) yang membuat masyarakat dunia mengakui
Indonesia sebagai persimpangan lintas pelayaran niaga utama.
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia
memiliki
kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang
terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut
teritorial seluas 0,3 juta km2. Selain itu, Indonesia juga
mempunyai hak eksklusif untuk
memanfaatkan sumber daya laut dan berbagai kepentingan seluas
2,7 km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis
pangkal). Menurut Pasal 47 Ayat 1 Konvensi Hukum Laut Internasional
(UNCLOS)
1982, Negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal
(archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran wilayah
perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau
terluarnya.
Berbicara mengenai potensi dan sumber daya laut yang dimiliki
Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori, sebagai berikut :
-
Page 13
1. Sumber daya dapat pulih (renewable resources), merupakan
sumber daya kelautan yang dapat diperbaharui misalnya berupa sumber
daya
perikanan. 2. Sumber daya tidak dapat pulih (nonrenewable
resources), merupakan
sumber daya kelautan yang tidak dapat diperbarui milsanya berupa
bahan tambang seperti minyak bumi, gas, bauksit, timah, bijih besi,
serta bahan tambang dan mineral lainnya.
3. Sumber daya berupa energi yang berasal dari proses kelautan,
berupa energi gelombang, pasang surut, angin dan Ocean Thermal
Energy Conversion (OTEC).
4. Sumber daya yang berkaitan dengan jasa-jasa pelayanan dan
lingkungan kelautan, misalnya pelabuhan, peyeberangan, media
transportasi, pariwisata bahari, pengatur iklim lokal maupun
global, sumber plasma nutfah dan lain sebagainya.
Bangsa Indonesia perlu memiliki kesadaran dan bangga sebagai
negara
maritim dan kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi
kekayaan sumber daya kelautan yang sangat besar. Kenyataan ini
menjadikan modal bagi kita bahwa pembangunan di Indonesia masa
kini dan masa depan haruslah berbasiskan kepada negara
kepulauan. Kita harus mampu memadukan paradigma pendekatan Land
based socio-economic development dengan Marine based socio-economic
development. Rezim pengelolaan wilayah laut Indonesia yang begitu
luas ini mengandung hak dan kewajiban negara dan bangsa, seperti
hak
kedaulatan, hak yuridiksi, dan kewajiban untuk
penjagaan,pengamanan, perlindungan serta pemeliharaan. Hal
tersebut
diatas perlu dilakukan demi sebesar-besar kemanfaatan dan
measlahatan kesejahteraan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia bukan hanya untuk kepentingan kelompok,
golongan atau kepentingan tertentu.
Pembangunan kepulauanan begitu sangat penting. Kawasan kepulauan
dari berbagai ciri geografis memiliki banyak keunikan. Pertama
adalah keunikan utama bahwa untuk mencapai daerah kepulauan
memerlukan transportasi laut sebagai sarana utama, dan
infrastruktur lain yang memerlukannya. Sehingga dengan jarak
tempuh
yang jauh, bisa saja kawasan kepulauan menjadi tertinggal dari
pembangunan kabupaten pusat. Kedua adalah daerah kepulauan ditandai
dengan wilayah pemukiman masyarakat pesisir dan suku laut.
Dimana komunitas kepulauan sangat berbeda dengan komunitas
daratan. Masyuri (2001) mempublikasikan hasil risetnya dan
menyimpulkan bahwa dalam jangka panjang kehidupan nelayan dan
pulau-pulau akan tertinggal dan turun menurun. Dimensi Kehidupan
Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan,
vol 9 No.1, hal 73 98. Ketiga membangunan daerah kepulauan sangat
bervariasi, tergantung besarnya pulau-pulau dan
laskap tanahnya. Daerah yang relatif sempit kepulauannya dan
jauh dari pusat pembangunan, biasanya relatif tertinggal.
Di balik keberhasilan Indonesia yang telah memperjuangkan lebar
laut teritorial sejauh 12 mil laut dan perjuangan yang terpenting
diterimanya konsep wawasan nusantara menjadi negara kepulauan oleh
dunia
internasional adalah tersimpannya tanggung jawab besar dalam
memanfaatkan perairan Indonesia (perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial) dan kekayaan sumber daya alam di
dalamnya dengan seoptimal mungkin bagi kemakmuran dan
-
Page 14
kesejahteraan rakyat Indonesia. Tanggung jawab besar yang
diemban oleh NKRI ini untuk menjadikan negara ini menjadi negara
besar yang
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Indonesia mempunyai peranan yang maha penting untuk
menjaga Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai
wilayah
laut sangat luas dan mengelola kekayaan sumber daya alamnya
dengan baik dan benar. Peranan tersebut dapat berupa adanya
anggaran yang memadai untuk pembangunan di bidang kelautan dan
penegakan
hukum dan kedaulatan NKRI di Perairan Indonesia, zona tambahan,
zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, dan laut lepas
sebagaimana diatur oleh Konvensi Hukum Laut 1982 dan hukum
internasional lainnya. Indonesia secara juridis formal sudah sangat
kuat atas wilayah lautnya, tetapi konsekuensinya adalah Indonesia
harus
menjaga kekayaan sumberdaya alam di laut dan memanfaatkannya
dengan optimal bagi kepentingan nasional dan seluruh rakyat
Indonesia.
Indonesia jangan hanya bangga menjadi negara kepulauan, tetapi
tidak mau dan tidak mampu menjaga laut dan kekayaannya. Apabila
Indonesia tidak mau menjaganya dengan baik, maka apa yang
terjadi
selama berupa illegal fishing yang dilakukan oleh
nelayan-nelayan asing, transaksi atau perdagangan ilegal,
perompakan (piracy), pencemaran/perusakan lingkungan laut, terus
berlangsung, maka akan terkuras kekayaan laut Indonesia dan
Indonesia akan menjadi negara miskin. Oleh karena itu, Indonesia
harus bangkit membangun bidang
kelautan termasuk membangun infrastruktur, peralatan, dan
penegakan hukumnya, sehingga status Indonesia sebagai negara
kepulauan tidak
hanya di atas kertas perjanjiannya saja, tetapi harus menjadikan
negara besar yang memberikan kemakmurandan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Indonesia tidak hanya bangga menjadi
negara
kepulauan, tetapi harus menjadi negara maritim (maritime state)
dan negara kelautan (ocean state), sehingga semboyan jales veva
jaya mahe terlaksana dengan baik.
2.1.4. Hak dan Kewajiban Negara Indonesia sebagai Negara
Kepulauan
Kewajiban Indonesia sebagai Negara Kepulauan sudah diatur oleh
Pasal
47-53 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 47 menyatakan bahwa Negara
kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan (arhipelagic
baselines) dan aturan ini sudah ditransformasikan atau
diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan PP Nomor 37 Tahun 2002
tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam
Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut
Kepulauan yang Ditetapkan, dan PP Nomor 38 Tahun 2002 tentang
DaftarKoordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia.
-
Page 15
Gambar 3. Peta Perairan Indonesia Berdasarkan UU No. 6 Tahun
1996. Kewajiban Indonesia sebagai negara kepulauan yang terikat
oleh
Konvensi Hukum Laut 1982 sudah terlaksana dengan baik, seperti
pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi
eksklusif, dan landasan kontinen seperti yang dikehendaki oleh
Pasal 48
Konvensi walaupun belum semua ditetapkan . Penetapan batas
zona-zona maritime tersebut harus dengan kesepakatan dengan
negara-
negara tetangga baik dengan negara yang saling berhadapan maupun
negara berdampingan. Kewajiban Indonesia lainnya adalah menghormati
persetujuan-persetujuan yang sudah ada, hak-hak penangkapan
ikan
tradisional, dan pemasangan kabel-kabel bawah laut yang
dilakukan oleh negara-negara tetangga, menghormati hak lintas damai
(right of innocent passage), dan hak lintas alurlaut kepulauan
(right of archipelagic sea lanes passage).
Gambar 4. Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Berdasarkan
PP No. 37 Tahun 2002.
Kewajiban Indonesia sebagai negara kepulauan yang menyangkut
hak-
hak negara lain dipastikan sudah dan akan dilaksanakan
dengan
-
Page 16
sebaik-baiknya, tetapi persoalan bukan itu. Kewajiban Indonesia
yang terpenting sebagai negara kepulauan adalah kewajiban
melaksanakan
kedaulatan NKRI di perairan kepulauan, yaitu kewajiban
memanfaatkan sumber daya alam hayati dan nonhayati di perairan
kepulauan serta
melaksanakan penegakan hukumnya. Perairan kepulauan adalah
bagian dari kedaulatan NKRI dan perairan ini yang sejak dahulu
diperjuangkan oleh para pendahulu negara ini termasuk oleh
dengan
adanya Deklarasi Djuanda dan perjuangan oleh Mochtar
Kusumaatmadja di forum Internasional sampai terbentuknya Konvensi
Hukum Laut 1982. Di perairan kepulauan terdapat kekayaan sumber
daya alam nonhayati berupa minyak, gas, dan pertambangan lainnya
yang belum dimanfaatkan secara optimal karena ketidakberdayaan
sumber daya manusia dan teknologi. Kalau pun ada investasi asing
dalam eksplorasi dan eksploitasi di perairan kepulauan tersebut,
harus diupayakan melibatkan SDM bangsa kita, sehingga
keuntungan
besarnya bagi negara dan bangsa. Yang tak kalah pentingnya
adalah bagaimana kewajiban Indonesia dalam menjaga sumber daya
alam
hayati berupa ikan yang berlimpah itu, jangan sampai
terus-menerus dikuras oleh nelayan-nelayan asing.
2.2.Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan9
Penyusunan rencana yang komprehensif dan terarah dilaksanakan
agar pembangunan dapat berhasil mencapai sasarannya. Dengan
perencanaan
dilakukan perkiraan mengenai potensi, prospek, hambatan dan
resiko yang dihadapi. Dengan perencanaan juga memberikan kesempatan
untk memilih berbagai alternatif yang terbaik dan memilih kombinasi
yang terbaik.
Perencanaan wilayah (regional planning) dimaksudkan agar semua
wilayah dapat melaksanakan pembangunan berdasarkan potensi yang
dimiliki.
Manfaat perencanaan wilayah adalah untuk pemetaan pembangunan
atau perluasan dari pusat ke daerah-daerah (spread effects),
diharapkan kemandirian daerah dapat tumbuh dan berkembang sendiri
atas dasar kekuatan sendiri, dalam arti tidak menggantungkan
fasilitas atau faktor yang berasal dari luar.
Wilayah daratan memiliki sumber daya alam yang tersebar
untuk
dimanfaatkan dan diolah guna memenuhi kebutuhan penduduk. Dilain
pihak, wilayah perairan/laut memiliki pula kekayaan sumberdaya
kelauatan yang potensial untuk dimanfaatkan dan diolah secara
potensial; selain
daripada itu wilayah perairan/laut memilki pula lingkungan usaha
yang prospektif, yaitu sebagai wahana atau sarana tempat
dilaksanakan berbagai jenis kegiatan ekonomi dan pembangunan, yaitu
meliputi kegiatan
pelayaran, perdagangan antar pulau, perikanan, pertambangan di
bawah dasar laut, perairan laut, kegiatan kepelabuhan (kunjungan
kapal dan
bongkar muat barang), industri di daerah pelabuhan, dan wisata
bahari. Potensi wilayah perairan laut yang prospektif tersebut
seharusnya dimanfaatkan secara optimal. Perencanaan pembangunan
wilayah
perairan/laut agar disusun secara komprehensif dan berdimensi
jangka panjang.
Pendekatan pembangunan regional (wilayah) ke dalam pendekatan
spasial (tata ruang) yang berdasarkan pada luasan wilayah
perencanaan yang lebih
sempit. Selain pendekatan regional (kedaratan) perlu dilengkapi
dengan pendekatan kelautan (kemaritiman). Baik pembangunan
kewilayahan
9 Rahardjo Adisasmita,Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan,
Graha Ilmu Yogyakarta, 2006
-
Page 17
maupun pembangunan kelautan menunjukkan perkembangan yang
semakin maju. Wilayah perairan dapat berbentuk selat, teluk dan
laut.
2.2.1 Dimensi Pembangunan Kelautan
Konsep pembangunan ekonomi archipelago diderivasi oleh Prof
Rahardjo Adisasmita dari landasan konseptual deklarasi Djuanda
(1967), prinsip
negara kepulauan (1982) dan wawasan nusantara (1983) yang
dikaitkan dengan konsep Benua Maritim Indoensia (1993), yang pada
dasarnya menyatakan bahwa kepulauan nusantara merupakan satu
kesatuan
politik, sosial budaya, ekonomi serta pertahanan dan keamanan,
selanjutnya kepulauan nusantara dapat diinterpretasikan sebagai
pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut, tetapi dapat pula
dilihat
sebagai hamparan laut yang ditaburi oleh daratan (pulau-pulau).
Konsep-konsep tersebut memberikan pengertian bahwa pembangunan
selain diorientasikan ke arah daratan, seharusnya pula ke arah
perairan/laut, maka Prof Rahardjo Adisasmita memberikan sebutan
Ekonomi Archipelago. Ekonomi Archipelago lebih sesuai
diterapkan
untuk melakukan percepatan pengembangan Kawasan Timur Indonesia
(KTI) yang meliputi wilayah perairan/laut yang sangat luas dan
terdiri
dari banyak pulau. Selanjutnya konsep tersebut dikembangkan
lebih spesifik disesuaikan dengan kondisi geografis KTI, yang
diformulasikan dalam konsep pembangunan KAwasan Semeja (satu
meja).
2.2.2.Dimensi Pembangunan Kewilayahan
Keterhubungan dan ketergantungan antar wilayah menimbulkan
kegiatan perdagangan antar wilayah yang didasarkan pada prinsip
keunggulan komperative advantage. Arus barang dari daerah
produksi sampai ke konsumen dilakukan melalui pasar lokal,
regional, nasional yang berfungsi sebagai pusat pasar (pelayanan)
yang umumnya
merupakan kota. Kota-kota atau pusat-pusat tersusun secara
hierarkis. Orde 1, orde 2, orde 3, dan seterusnya, yang berfungsi
untuk
mendukung barang dari pusat ke wilayah pelayanan (wilayah
pengaruh) dan sebaliknya arus koleksibarang dari wilayah belakang
(hinterland)ke pusat pemasaran.
Peranan pusat dalam pengembangan wilayah sangat penting oleh
karena itu perlu ditampilkan beberapa teori dan pencetusnya,
misalnya teori
tempat sentral (central place theory) yang dikembangkan oleh
Wlter Christaller, Menurut pendapatnya ada 3 unsur mendasar
dalam
pengembangan wilayah yaitu: 1. Adanya pusat;
2. Wilayah pengaruh;dan 3. Jaringan transportasi konstribusinya,
terhadap pengembangan ilmu
wilayah adalah susunan pusat-pusat (kota) secara hierarki.
Kalau
tempat sentral dikategorikan sebagai teori statistik maka teori
pusat pertumbuhan (growth pole theory).
Jika teori tempat sentral dikategorikan sebagai teori statistik
maka teori pusat pertumbuhan (growth pole theory)yang dilontarkan
oleh Francois Perroux berpendapat bahwa pertumbuhan pembangunan
tidak terjadi di semua tempat tetapi hanya pada sejumlah kecil tata
ruang.
Kontribusinya adalah muncul pengembangan yang berfungsi sebagai
penggerak utama yang dikategorikan sebagai teori dinamis. Teori
yang menjembatani antara teori Christaller dan Perroux adalah teori
kutub
pembangunan yang terlokalisasikan (localized development pole
theory) yang dicetuskan oleh Boudevillogs yang menganggap kutub
-
Page 18
pembangunan itu sebagai kutub geografis dan kutub fungsional.
Untuk menjelaskan dampak keterkaitan antara pusat dan wilayah
pengaruhnya dikemukakan pendapat Albert Hirschman yaitu dampak
tetesan ke bawah (trickling-down effect) dan dampak polarisasi
(polarization effect), yang senada dengan yang dikemukakan oleh
Gunnar Myrdal yaitu dampak penyebaran (spread effect) dan dampak
pengurasan (backwash effect), meskipun pada dasarnya sama tetapi
terdapat perbedaan, yaitu Hirschman bersifat optimis sedangkan
Myrdal bersifat pesimis. Ternyata pendapat Hirschman tidak
berlaku
sepenuhnya di Indonesia.
Sampai pada saat ini pengertian tentang pendekatan wilayah masih
belum menyatu, pendekatan wilayah seharusnya bertolak pada
kenyataan bahwa kenyataan bahwa setiap kegiatan usaha selalu
memanfaatkan ruang wilayah. Rumus umumnya yaitu : pemanfaatan ruang
wilayah adalah pemanfaatan wilayah dengan memperhatikan
aspek ruang.
Tata ruang ekonomi sangat penting dalam studi pengembangan
wilayah. Tata ruang geografis merupakan tata ruang tiga dimensi,
sedangkan tata ruang ekonomi lebih kompleks dan bersifat multi
dimensi. Konsep tata
ruang ekonomi mempunyai pengertian yang lebih operasional,
misalnya investasi modal, jaringan transportasi, industri dan
teknologi pertanian
akan menciptakan perkembangan tata ruang wilayah, yang
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, Selain konsep tata
ruang ekonomi, konsep pembangunan kawasan telah banyak
dikembangkan, yang mendasar pada luas wilayah perencanaan yang
lebih luas dan memiliki fungsi tertentu, dengan demikian
pembangunan yang dilaksanakan akan lebih berhasil. Kawasan andalan
jika memiliki
sektor unggulan, dan kawasan gugus kepulauan yang terdiri dari
banyak pulau-pulau kecil. Pengembangan kawasan andalan didukung
oleh sektor yang potensial, sedangkan pengembangan kawasan gugus
kepulauan menghadapi berbagai hambatan geografis, demografis dan
transportasi laut.
Pendekatan sosiologi wilayah perlu dikembangkan untuk
memberikan
kontribusi dalam memecahkan masalah sosial. Dari sekian banyak
masalah sosial yang ada dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok,
yaitu (1) keserasian sosial, (2) transformasi sosial, dan (3)
infrastruktur
sosial. Instrumen kebijakan yang positif adalah meningkatkan
pembangunan di wilayah-wilayah yang lemah, dan instrumen negatif
adalah mengendalikan pertumbuhan di wilayah-wilayah yang
terkuat.
Pendekatan input lebih sesuai bagi wilayah-wilayah kuat yang
telah siap mengabsorsikan kemajuan teknologi, sedangkan pendekatan
output
lebih cocok bagi wilayah-wilayah lemah dimana transformasi
sosial sangat diperlukan. Infrastruktur sosial mempunyai saling
keterkaitan dengan keserasian sosial, transformasi sosial dan
pertumbuhan
ekonomi, maka infrastruktur sosial harus dianggap produktif dan
diperhitungkan dalam kebijakan dan perencanaan wilayah.
2.3. Teori-Teori Pusat Pertumbuhan Pembangunan
Aliran Liberal (klasik) yang menganggap bahwa semua permukaan
adalah homogen telah ditumbangkan oleh aliran historis (sejarah)
yang beranggapan bahwa permukaan atau tata ruang itu adalah
heterogen.
Heterogen berarti bervariasi (berbeda) dalam hal kapasitas dan
kesesuaian
-
Page 19
lahannya, topografinya dan lainnya, maka untuk menempatkan
setiap kegiatan usaha atau pun pembangunan pada umumnya harus
memilih
suatu lokasi yang tepat diantara sejumlah alternatif, maka
muncullah teori-teori yang menyusun formula dan kriteria pemilihan
lokasi yang optimum.
Suatu wilayah tata ruang ekonomi mempunyai keterkaitan secara
fungsional dengan wilayah-wilayah tata ruang ekonomi yang lain.
Gejala
keterkaitan antar tata ruang itu mencerminkan dimensi wilayah.
Dimensi kewilayahan menjelaskan proses dan berkembangnya wilayah,
sehingga perlu dipelajari sebagai suatu ilmu tersendiri yaitu
subjek pengembangan wilayah.
Pembangunan wilayah bertujuan untuk meniadakan kesenjangan
antar
daerah, antar daerah yang maju dengan daerah yang kurang maju,
antar daerah perkotaan dengan pedesaan, dan selanjutnya
menciptakan
keseimbangan yang kental antar daerah.
2.3.1. Teori Tempat Sentral (Central Place Theory)
Teori tempat sentraldiformulasikan oleh Walter Christaller (ahli
ilmu bumi, 1933). Teori tesebut telah merintis analisis tata ruang
yang
menekankan pada identifikasi sistem wilayah baik secara fisik
ataupun ekonomi yang memiliki pola distribusi kegiatan produksi dan
pemasaran
serta susunan daerah perkotaan secara hierarkis.
Christaller mengembangkan modelnya dari atas atau skala
besar
(nasional). Setiap wilayah perdagangan yang efisien berbentuk
heksagonal memiliki pusat. Besar kecilnya pusat-pusat itu adalah
sebanding dengan besar kecilnya masing-masing wilayah
heksagonalnya. Wilayah heksagonal yang terbesar memiliki pusat
yang paling besar, sedangkan wilayah heksagonal yang terkecil
memiliki
pusat yang paling kecil.
Secara horisontal model Christaller menunjukkan
kegiatan-kegiatan
manusia yang tersusun dalam ruang geografis dan tempat sentral
(pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan
atau wilayah pelayanan yang lebih luas. Secara vertikal model
tersebut
memperlihatkan keterkaitan dalam pelayanan antara tem,pat
sentral yang lebih tinggi ordenya dan tempat-tempat setral yang
rendah
ordenya.
Model Christaller menganalisis susunan spasial baik dari segi
makro
dan dari segi mikro. Analisis dari segi mikro adalah mengenai
distribusi produksi barang-baranag secara individual, dan analisis
dari segi mikro menyangkut distribusi spasial dan distribusi
aglomerasi. Menurut teori
tempat sentral, fungsi pokok pusat perkotaan berorientasi pada
permintaan penduduk daerah belakang, tetapi ternyata berorientasi
pula
pada suplai dari daerah belakang. Teori tempat sentral ternyata
berorientasi pula pada suplai dari daerah belakang. Teori tempa
sentral menjelaskan pola geografis dan struktur hirarkis
pusat-pusat kota.
Teori tempat sentral untuk sbeagian bersifat positif karena
berusaha
menjelaskan pola aktual arus pelayanan jasa dan untuk sebagian
lagi bersifat normatif karena berusaha menentukan pola optimal
distribusi tempat-tempat sentral. Kedua-duanya mempunyai kontribusi
pada
pemahaman interkoneksitas mengenai sistem kota-kota sistem di
dalam sistem kota.
-
Page 20
Meskipun model tempat sentral mempunyai keterbatasan, namun
sesungguhnya teori tempat sentral mengandung paling sedikit
tiga
konsep fundamental, yaitu ambang (trshold), lingkup (range) dan
hirarki. Proses penyebaran pertumbuhan mengikuti pola ambang
(jumlah
penduduk) dan pola lingkup (sistem lokasi), kedua faktor
tersebut menentukan hirarkii tempat sentral.
Sumbangan positif teori sentral dapat dikemukakan yaitu teori
tersebut adalah relevan bagi perencanaan kota dan wilayah, karena
sistem hirarki merupakan sarana yang efektif untuk perencanaan
wilayah.
Tempat sentral besar seringkali merupakan titik pertumbuhan
wilayahnya dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi ke
seluruh
wilayah.
2.3.2.Teori Kutub Pertumbuhan dan Kutub Pembangunan yang
Terlokalisasi (Growth and Development Centre Theory)
Teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) diperkenalkan oleh
Francois Perroux (1956). Menurut pendapatnya, pertumbuhan atau
pembanguna tidak dilakukan di seluruh tata ruang, tetapi terbatas
pada
beberapa tempat atau lokasi tertentu. Tata ruang
diidentifikasikan sebagai kutub-kutub atau pusat-pusat, setiap
kutub mempunyai kekuatan pancaran pengembangan ke luar dan kekuatan
tarikan ke
dalam. Teori ini menjelaskan tentang pertumbuhan perusahaan dan
industri-industri srta ketergantungannya, dan bukan mengenai
pola
geografis dan pergeseran industri baik secara intra maupuan
secara inter. Pada dasarnya konsep kutub pertumbuhan mempunyai
pengertian tata ruang ekonomi secara abstrak.
Konsep kutub pertumbuhan merupakan konsep sangat menarik bagi
perencanaan wilayah. Persoalan utama yang dihadapi dalam
penerapan
konsep tersebut adalah pemilihan industri pendorong ataupun
industri yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak
dinamika pertumbuhan.
Kutub pertumbuhan dapat ditafsirkan dalam dua pengertian,
yaitu
secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional,
menggambarkan kutub pertumbuhan sebagai suatu kelompok
perusahaan, industri atau unsur-unsur dinamik yang meningkatkan
kehidupan ekonomi. Secara geografis, menunjukkan kutub pertumbuhan
sesungguhnya lebih banyak merupakan daya tarik yang
mengundang berbagai kegiatan untuk menempatkan usahanya di suatu
tempat.
Tiga ciri penting dari konsep kutub pertumbuhan dapat
dikemukakan yaitu:
a. Terdapat keterkaitan internal berbagai industri secara teknik
dan ekonomi;
b. Terdapat pengaruh multiplier;
c. Terdapat konsentrasi geografis.
2.3.3. Konsep Hirschman dan Myrdal
Albert Hirschman (1958) seorang penganjur teori pertumbuhan
tidak
seimbang (unbalanced growth). Ia menggunakan dengan istilah
titik pertumbuhan (growth point) atau pusat pertumbuhan (growing
centre) dan bukan kutub pertumbuhan (growth pole) seperti yang
dipakai oleh Perroux.
-
Page 21
Dalam bidang pertumbuhan wilayah dapat dikemukakan
konsep-konsep
lainnya yang relevan, yaitu yang dikembangkan oleh Hirschman dan
oleh Myrdal. Hirschman menyadari bahwa fungsi-fungsi ekonomi
berbeda tingkat intensitasnya pada tempat-tempat yang berbeda.
Pertumbuhan ekonomi diutamakan pada titik originalnya sebelum
disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Di suatu negara terdapat
beberapa titik pertumbuhan, di mana industri-industri
berkelompok di tempat-tempat itu karena diperolehnya berbagai
manfaat dalam bentuk penghematan-penghematan dan
kemudahan-kemudahan. Kesempatan
investasi, lapangan, kerja dan upah buruh yang relatif tinggi
lebih banyak terdapat di pusat-pusat pertumbuhan daripadadi
daerah-daerah
belakang. Antara pusat dan aerah belakang terdapat
ketergantungan dalam suplai barang dan tenaga kerja. Migrasi
penduduk ke kota-kota besar akan dapat mengabsorbsikan tenaga kerja
yang terampil serta
akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerh belakang.
Hal ini tergantung pada komplementaritas antara dua temmpat
tersebut.
Jika komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran
pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickling down), dan
sebaliknya jika komplementaritas lemah akan terjadi pengaruh
polarisasi atau mengutubnya arus ke pusat. Jika pengaruh
polarisasi lebih kuat dari penyebaran pembangunan, maka akan
timbul
masyarakat dualistik, selain memiliki ciri-ciri daerah perkotaan
modern juag memiliki ciri-ciri daerah pedesaan terkebelakang.
Hirschman optimis dan percaya bhawa dalam jangka panjang
penghematan-
penghematan eksternal dan tersedianya komplementaris di
pusat-pusat akan menjamin penyebaran pembangunan ke daerah-daerah
di sekitarnya.
Di lain pihak, berdasar asumsi yang serupa mengenai struktur
titik-
tititk pertumbuhan dan daerah-daerah belakang, Myrdal
berpendapat bahwa polarisasi akan muncul lebih kuat daripada
penyebaran pembangunan, perpindahan faktor-faktor produksi akan
menumpuk di
tempat-tempat yang memberikan manfaat-manfaat kepadanya, dan
sebaliknya di daerah-daerah yang tidak menguntungkan akan menipis.
Pengaruh-pengaruh ekspansi di suatu tempat terhadap
tempat-tempat
lain dapat bersifat menguntungkan (spread effect), tetapi dapat
pula bersifat buruk dan melemahkan (backwash effect). Jika kedua
macam pengaruh tersebut berimbang, maka daerah yang bersangkutan
akan mengalami stagnasi, walaupun keseimbangan tersebut bersifat
tidak
stabil. Dalam kasus backwash effect yang kuat atau spread effect
yang kuat, suatu daerah harus dibantu untuk mempercepat
pembangunannya. Menurut Myrdal, dalam tiap kasus akan terjadi
ketidakseimbangan antar regional.
Hirschman dan Myrdal keduanya setuju bahwa distribusi geografis
pusat-pusat pertumbuhan terbentuk sebagai akibat dari pengaruh
polarisasi, mereka mempunyai persamaan pendapat pula mengenai
proses yang menyebabkan polarisasi pada pusat-pusat pertumbuhan
tetapi mereka berlainan pendapat dalam hal hasil akhir yang
ditimbulkan proses polarisasi tersebut. Pandangan Hirschman
lebih optimistis, ia menkankan pada faktor-faktor komplementaritas
yang membantu kecenderungan penyebaran pembangunan, walaupun
diakui
bahwa proses penyebaran pembangunan, walaupun diakui bahwa
proses penyebaran pembangunan akan mengakibatkan terjadinya
masyarakat dualistik dengan ciri-ciri perkotaan industri dan
pertanian
-
Page 22
pedesaan terbelakang. Sedangkan Myrdal mempunyai pandangan yang
pesimistis, ia menekankan pada pembahasan faktor-faktor kausasi
sirkuler kumulatif yang akan selalu menghasilkan penyebaran
pembangunan yang lemah dan ketidakmerataan. Berdasar pada
perbedaan pendapat tersebut, maka kebijaksanaan perspektif yang
dianjurkan oleh Hirschman dan Myrdal berbeda pula. Hirschman
menyarankan agar membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan
supaya dapat menciptakan pengaruh-pengaruh penyebaran
pembangunan yang efektif, sedangkan Myrdal menekankan pada
tindakan-tindakan kebijakan untuk melemahkan backwash effect dan
memperkuat spread effect agar suaya proses kausasi sirkuler
kumulatif mengarah ke atas dengan demikian semakin memperkecil
ketidakmerataan.
2.3.4. Suntikan Kepada Wilayah Pengaruh (Injection to Influenced
Region)
Konsep suntikan kepada wilayah pengaruh merupakan konsep
tandingan terhadap konsep trickling down Hirschman. Konsep ini
merupakan original konsep dari Prof Rahardjo Adisasmita. Dasar
pemikiran dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Keterkaitan ekonomi
dan pembangunan antara kota sebagai pusat
pertumbuhan dan wilayah pengaruh di sekitarnya harus
ditingkatkan.
2. Keterkaitan ekonomi dan pembangunan antara kota sebagai
pusat
pertumbuhan dan wilayah pengaruh di sekitarnya harus
ditingkatkan.
3. Wilayah pengaruh harus dibangun sesuai dengan potensi
sumbedaya yang dimilikinya berprinsip pada penciptaan keunggulan
komparatif (resouce based development and comparative advantage
principle).
4. Pembangunan wilayah pengaruh yang dilakukan harus
berorientasi pada penawaran yaitu tersedianya sumber daya yang
cukup potensial
dan harus pula berorientasi pada permintaan agar menjadi lebih
seimbang antara sisi produksi dan sisi pasar.
5. Wilayah pengaruh harus diberdayakan secara nyata, terarah,
dan
optimal untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan
wilayah pengaruh.
6. Butir-butir di atas digunakan untuk menjelaskan bagaimana
mendorong interaksi antara wilayah pengaruh dengan pusatnya. Di
wilayah pengaruh yang memiliki sumber daya yang potensial dan
prospek pasar yang kuat, agar dibangun proyek investasi fisik
yang mampu menciptakan (a) comparative advantage, (b)
marketability, dan (c) sustainability. Untuk mengetahui jenis
sprogram pembangunan yang akan dikembangkan secara tepat dan layak,
maka pelibatan partisipasu masyarakat lokal harus diberdayakan,
karena anggota masyarakat lokal itu dianggap yang paling
mengetahui potensi dan kondisi masyarakatnya, yang berarti
pembangunan yang dilaksanakan itu menerapkan pendekatan
partisipatif dan pemberdayaan masyarakat.
7. Suntikan modal kepada wilayah pengaruhl, selain dalam
bentuk
investasi fisik (misalnya: sub sektor tanaman pangan yang
didukung oleh prasarana irigasi, perkebunan, perikanan, peternakan,
industri) harus disertai motivasi dan aspirasi masyarkat lokal
sebagai kekauatan pendukungnya. Dengan pengembangan dan penguatan
motivasi masyarakat dan penguatan kelembagaan lokal,
-
Page 23
implementasinya, dan pengelolaan usahanya akan terjamun
keberhasilannya.
8. Dengan keberhasilan pembangunan program tesebut, diahrapkan
produksi dan produktivitasnya dapat mencapai keunggulan
komparatif, pemasaran lebih terjamin dan cukup besar, dan
keuntungan dapat tercapai secara pasti, hal ini berarti pendapatan
masyarakat lokal meningkat, memiliki daya beli yang lebih
tinggi
untuk membeli barang-barang yang dihasilkan daerah perkotaan,
sehingga keterkaitan kegiatan ekonomi antara wilayah pengaruh dan
pusatnya (rural-urban lingkage) secara timbal balik akan lebih
interaktif, intensif, responsif, dan relatif berimbang, serta
salaing menguntungkan.
2.4. Pengembangan Wilayah Gugus Pulau
2.4.1. Konsep Pengembangan Wilayah Gugus Pulau
Dalam sistem wilayah (regional) terdapat tiga komponen, yaitu
(1) sumber daya penduduk, (2) kegiatan ekonomi dan pembangunan, dan
(3) sistem transportasi.
Interkoneksi sapsial antar pulau-pulau dapat
diklasifikasikan
dalam beberapa kategori sebagai berikut: a. Secara
teknis-ekonomis, yakni menyangkut arus barang yang
merupakan gejala ekonomi yang paling menonjol dalam
kehisupan masyarakat. Arus barang memerlukan jasa perdagangan
dan jas pengangkutan (transportasi).
b. Secara temporal yang diperlihatkan oleh dampak
perkembangan
pembangunan pada saat sekarang dan anda beberapa mendatang yaitu
dalam peningkatan pada berbagai kegiatan
sektoral yang mencipatkan tingkat kesejahteraan masyarakat
pulau-pulau yang tinggi.
Dalam penyusunan perencanaan sistem transportasi kepulauan yang
komprehensif, efektif dan lancar harus memahami dimensi
pengembangan wilayah gugus kepulauan. Wilayah kepulauan
atau gugus kepulauan adalah wilayah yang terdiri dari banyak
pulau yang relatif besar dan banyak pulau-pulau kecil. Hambatan
yang dihadapi dalam pembangunannya adalah penduduk yang
jumlahnya tidak banyak tersebar pada pulau-pulau yang jumlahnya
banyak. Hambatan yang bersifat geografis demografis
dan transportasi laut. Banyak pulau-pualu kecil tidak
menguntungkan, mengakibatkan ketertinggalan, keterisolasian
atau keterpencilan dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya yang
mempunyai kemudahan pengangkutan yang lebih tersedia dan
lancar.
Pengembangan wilayah diartikan sebagai upaya pembangunan pada
suatu wilayah atau beberapa daerah untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumber
daya seperti alam, manusia, kelembagaan, teknologi dan
prasarana secara efektif, optimal dan berkelanjutan dengan cara
menggerakkan berbagai kegiatan produktif (sektor primer, sekunder
dan tersier), penyediaan fasilitas pelayanan (ekonomi
dan sosial), penyediaan prasarana dan sarana serta perbandingan
lingkungan. Pengembangan wilayah dilakukan dengan
-
Page 24
menggunakan pendekatan kawasan dimana pada masing-masing kawasan
diidentifikasikan berbagai sektor unggulan yang
potensial untuk dikembangkan. Pengembangan wilayah pada berbagai
pemanfaatan dan penggalian berbagai potensi
sumberdaya unggulan kawasan yang dimiliki dan pemberdayaan
masyarakat lokal.
2.4.2. Konsep-Konsep Teoritik Pengembangan Wilayah
Meskipun kondisi dan karakteristik wilayah gugusan kepulauan
berbeda dengan wilayah daratan, wilayah gugus kepulauan terdiri
dari daratan pulau dan perairan laut, sedangkan wilayah daratan
meliputi permukaan daratan, namun landasan teoritiknya hampir sam.
Komponen landasan teoritik yang utama adalah:
a. Ada pusat, wilayah pengaruh (pelayanan) dan jaringan
transportasi (Wlter Christaller).
b. Secara hirarkis terdapat pusat besar, pusat menengah dan
pusat-pusat kecil (sub ordinasi pusat).
c. Munculnya pusat/kutub pertumbuhan sebagai penggerak
pembangunan (Francois Perroux). d. Mata rantai ke depan dan ke
belakang (forward linkage and
backward linkage). e. Dampak tetesan ke bawah (trickling down
effect) dan dampka
polarisasi (Hirschman) yang sama artinya dengan dampak
penjabaran (spread effect)dan dampak pengurasan (backwash effect;
Gunar Myrdal).
f. Penentuan kawasan/zoning (Van Thunnen). g. Wilayah homogen,
nodal (polarisasi) dan perencanaan
(program) yang dierivasi dari logika Aristoteles. h. Fungsi
pusat (kota) sebagai simpul jasa distribusi (jasa
perdagangan dan jasa pengangkutan), sub ordinasi simpul jasa
distribusi (orde 1,2,dst), dan orientasi pemasaran secara geografis
(Pernomosidhi Hadjisarosa).
Konsep-konsep atau teori-teori di atas dapat digunakan untuk
menganalsa dan mendesain rencana pengembangan wilayah gugus
kepulauan dari wilayah kepulauan yang luas dan terdiri
dari pulau-pulau yang meliputi wilayah laut atau perairan dan
wilayah darat dapat dikelompokkan dalam berbagai kawasan yang
masing-masing mempunyai kondisi dan karakteristik fungsi yang
relatif sama. Setiap kawasan tersebut mempunyai pusat kegiatan
pembangunan yang tersusun secara hirarkis. Pusat besar
mensubordinasi pusat-pusat kecil dan pusat-pusat kecil memiliki
orientasi perdagangan dan pengangkutan secara geografis kepada
pusat besar. Susunan hirarki dari pusat-pusat pada suatu
kawasan terlihat dalam sistem wilayah kepulauan yang lebih luas
dan mencakupi sejumlah kawasan. Orientasi jasa perdagangan dan jasa
pengangkutan secara geografis dari pusat-pusat kecil
menuju ke arah pusat-pusat yang lebih besar selanjutnya
pusat-pusat yang lebih besar tersebut berorientasi pada jasa
distribusi kepada pusat terbesar, sehingga membentuk suatu
susunan
sistem pusat-pusat secara hirarkis.
Pusat-pusat (kota-kota) baik yang berskala besar maupun yang
kecil mempunyai fungsi sebagai simpul besar adalah orde 1, yang
menengah adalah orde 2 dan yang kecil adalah orde 3. Pusat
-
Page 25
besar atau orde yang lebih tinggi menyebarkan pembangunan dan
hasil-hasil pembangunan dan hasilhasil pembangunan ke pusat-pusat
lebih kecil atau orde yang lebih rendah (trickling down effect).
Sebagai contoh KTI dapat dikelompokkan dalam kawasan pembangunan
yaitu Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Setiap kawasan
dan sub kawasan mempunyai pusat-
pusat yang tersusun secara hirarkis. Dalam sistem perwilayahan
pembangunan nasional terdiri dari wilayah pembangunan uta,a
(WPU), WPU terdiri dari satuan wilayah pembangunan (SWP), SWP
terdiri dari wilayah pembangunan (WP).
Dalam konteks wilayah kepulauan atau gugus kepulauan yang
terdiri dari banyak pulau yang relatif kecil yang mempunyai
wilayah perairan laut dan wilayah darat misalnya di Kawasan
Timur Indonesia, dapat dikelompokkan dalam berbagai kawasan gugus
kepulauan yaitu Maluku Utara dengan pusatnya adalah
Ternate, Maluku Tengah dengan pusatnya adalah Ambon dan Maluku
Tenggara dengan pusatnya adalah Tual, Nusa Tenggara dengan pusatnya
adalah Kupang, gugus kepulauan Selayar
dengan pusatnya adalah Kota Benteng Selayar, gugus kepulauan
Teluk Cendrawasih dengan pusatnya adalah Biak.
2.4.3. Strategi Pengembangan Wilayah Gugus Kepulauan
Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah gugus
kepulauan yang meliputi pulau-pulau kecil yang memiliki
kondisi,
karakteristik dan permasalahan masing-masing, ada juga jenjang
strategi yang perlu mendapat perhatian yaitu: a. Strategi
pengembangan pada tingkat pulau didasarkan pada
tingkat kemampuan masyarakatnya meliputi potensi sumber daya
alam di darat, sumber daya manusia, kelembagaan, teknologi dan
potensi sumber daya kelautan.
b. Strategi pengembangan yang memperkaitkan antara pula-pulau
yaitu upaya untuk lebih meningkatkan nilai produksi dan nilai
tambahanya yang dikaitkan dengan pengembangan pasar, pengelolaan
produksi dan penyediaan fasilitas transportasi (aksesibilitas).
Strategi pengembangan memperkaitkan kawasan pantai dan laut
pulau-pulau kecil tersebut ke dalam sistem yang lebih luas baik
secara regional (KTI atau KBI) atau secara nasional (Indonesia).
Pulau-pulau kecil beserta perairan lautnya merupakan bagian
integral yang memiliki spesialisasi atau fungsi khusus. Dalam
pengembangan wilayah dapat merupakan suatu kawasan misalnya Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KARPET),
Kawasan Pengembangan PAriwisata Nasional atau kawasan
pengambangan lainnya. Kawasan gugus pulau-[ulaua tersebut
difungsikan sebagai sentra atau pusat pengembangan kegiatan
produksi hadil kelautan dan sebagai loaksi pengolahan sumber daya
kelautan lainnya.
2.4.4. Berbagai Dimensi Pengembangan Wilayah Gugus Pulau
Penanganan pembangunan wilayah pada setiap kawasan maupun secara
antar kawasan yang mempunyai kondisi dan karakteristik
-
Page 26
yang berbeda-beda, maka fokus pembangunnanya akan berbeda-beda
pula. Namun demikian ada beberapa hal yang bersifat
strategis yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan
pengembangan wilayah kawasan gugus kepulauan, yaitu:
1. Pengembangan wilayah seyogyanya lebih difokuskan pada
penanganan kawasan tertinggal, terisolasi, dan perbatasan guna
mengurangi tingkat kesenjangan sosial-ekonomi antar kawasan.
2. Penanganan pembangunan agar mengutamakan kepada upsaya
meningkatkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dan penguatan
kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan
pengelolaan dan pengembangan sumber daya kelautan yang
dimilikinya.
3. Agar pembanunan yang dilaksanakan mencapai keberhasilan yang
optimal sesuai dengan sasaran dan tujuan yang tekah ditetapkan,
maka perlu dilakukan penyusunan rencana aksi
pembangunan (Development Action Plan) termasuk pula rencana aksi
komunitas (Community Action Plan) sebagai realisasi pendekatan
pembangunan dan perencanaan yang bersifat Bottom Up dan Grass Root
Approach.
2.5. Transportasi Gugus Pulau
2.5.1 Transportasi Bersifat Lintas Sektoral dan Lintas
Regional
Transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dan
kedudukan yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat dan
kelangsungan pembangunan. Seringkali dikatakan bahwa
transportasi merupakan urat nadi perekonomian dan sebagi
penunjang pembangunan, maka dari itu penyempurnaan jasa
transportasi adalah mutlak dilaksanakan bukan hanya ditinjau
secara sektoral akan tetapi juga secara regional. Jadi
pembangunan transportasi harus diarahkan baik secara antar
sektoral maupun antar regional. Antar sektoral seringkali
dikatakan dengan istilah lintas sektoral dan antar regional
dikatakan lintas regional. Secara sektoral kebijaksanaan
pembangunan transportasi diarahkan kepada penyediaan sarana dan
prasarana transportasi
yang diperlukan untuk menunjang kelancaran arus barang dan
manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Sistem transportasi
nasional terdiri dari beberapa subsistem transportasi yang
meliputi transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi
udara. Pada setiap sub-sektor tersebut, kegiatan-kegiatan
pembangunan transportasi meliputi berbagai sarana dan prasarana
yang secara menyeluruh harus disusun dan
dikembangkan secara terpadu sehingga sistem trasnportasi
nasional dapat menyediakan pelayanan jasa transportasi yang
teratur, cukup, cepat, aman, dan murah bagi kegiatan-kegiatan
pembangunan, baik secara nasional maupun secara regional.
Penyusunan pola transportasi yang dilakukan secara tepat dan
berdasarkan pola konsentrasi penduduk, berdasarkan pola sentra
perdagangan dan sentra akumulasi, dan selanjutnya diharapkan
dapat menunjang pembangunan diberbagai kegiatan sektor
perdagangan yang akan memperlancar lalu lintas perdagangan,
-
Page 27
baik yang meliputi arus barang maupun arus manusia berlangsung
secara cepat, aman dan murah.
Untuk menunjang pengembangan pembangunan di sektor
perindustrian, perencanaan transportasi harus disusun
berdasarkan pada pola produksi dan konsumsi, sehingga fasilitas
transportasi tersedia mampu mengangkut hsil-hasil [roduksi dan
industri secara cepat, aman dan murah, selanjutnya diharapkan
harga hasil-hasil produksi dan industri dalam negeri mampu bersaing
terhadap barang-barang impor.
Kontribusi terhadap terselenggaranya
transportasi-transportasi
reional (terutama transportasi laut) diupayakan dapat tersusun
secara terintegrasi, terkonsolidasi, terkoordinasi, tersinkronisasi
dan berimbang. Terintegrasi dimaksud bahaw kegiatan-kegiatan
transportasi masing-masing cabang dan antara cabang transportasi
disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk dalam
satu sistem yang lengkap. Terkoordinasi artinya kegiatan dari
masing-masing cabang transportasi tidak dilakukan secara
sendiri-sendiri melainkan secara harmonis memperhatikan
kepentingan cabang-cabang transportasi lainnya. Terkonsolidasi
artinya emmanfaatkan kapasitas angkutan alat-alat transportasi yang
tersedia secara optimal. Tersinkronisasi berarti bahwa
muatan yang tersedia itu diangkut oleh alat transportasi yang
tepat atau serasi. Bwrimbang dimaksudkan bahwa pelayanan
jasa transportasi diselenggarakan ke seluruh wilayah secara
cukup dan lancar.
2.5.2. Sistem Transportasi Gugus Pulau
Sistem transportasi meliputi seluruh subsistem transportasi
darat,
sub sistem transportasi laut dan sub sistem transportasi udara,
dimana setiap sub sistem mencakup seluruh kegiatan operasional
transportasi yang didukung oleh prasarana dan sarana, kebijakan,
kelembagaan, sumber daya manusia, sumber daya modal, sumber daya
teknologi dan lainnya. Sistem transportasi tersebut bersifat
interkoneksi lintas sektoral dan regional, lintas dimensi dan
disiplin.
Secara umum yang banyak dibahas yaitu mengenai usnur-unsur utama
sistem transportasi yang meliputi:
a. The means (prasarana dan sarana) b. The ways (jalan darat,
trayek pelayaran dan rute penerbangan) c. The terminals (terminal,
pelabuhan laut dan bandar udara) Ketiga uraian di atas adalah
pendukung secara langsung
terselenggaranya kegiatan transportasi yang fungsinya melakukan
angkutan barang dan penumpang dari suatu tempat asal ke suatu
tempat tujuan.
Antara pulau-pulau dalam kawasan gugus kepulauan terdapat
keterkaitan dan ketergantungan. Pusat-pusat di kawasan gugus
kepulauan dapat diklasifikasikan berdasar pada fungsi pelayanan
jasa distribusinya (jasa perdagangan dan jasa pengangkutan)
yaitu
sebagai: a. Pusat pelayanan antara kawasan gugus kepulauan
(PPAKGK)
-
Page 28
b. Pusat pelayanan dalam kawsan gugus kepulauan (PPDKGK)
Dengan adanya beberapa kawasan gugus kepulauan yang tersebar
letaknya, maka perlunya dilakukan penyusunan suatu sistem
transportasi gugus kepulauan yang terintegrasi, terkoordinasi,
terkonsolidasi, tersinkronisasi dan berimbang yang bersifat
harmoni.
2.6 Karakteristik dan Permasalahan Daerah Kepulauan
Secara umum Daerah Kepulauan memiliki karakteristik akuatik
terestrial (wilayah laut lebih besar dari wilayah darat), yang
membedakannya dengan daerah-daerah terestrial maupun terestrial
akuatik. Dalam konteks ini, ketujuh Provinsi Kepulauan yang
bergabung dalam Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan telah menegaskan
bahwa karakteristik Provinsi Kepulauan yang membedakannya
dengan
provinsi-provinsi lain dapat terlihat dari:
1. Luas wilayah laut yang lebih besar dari wilayah daratan;
2. Dari segi persebaran demografis, penduduk wilayah kepulauan
biasanya bersifat relatif sedikit dan penyebarannya tidak
merata;
3. Dari segi sosial budaya, komunitas-komunitas di wilayah
kepulauan tersegregasi dalam pemukiman menurut territorial suatu
pulau, sehingga lasim berimplikasi pada kuatnya rasa keterikatan
pada
tanah (baca: pulau), pola hidup pada pulau-pulau kecil senang
selaras dengan alam (lamban menerima perobahan);
4. Dari segi ketersedian sumber daya alam, relatif beragam; 5.
Dari segi sistim kehidupan, ditentukan oleh tingkat isolasi
geografis
dengan keunikan habitat (endemis) dan keanekaragamaan biotik
(biodiversitas); 6. Dari segi sosial ekonomi, aktivitas ekonomi,
jenis dan derajat
dinamika ekonomi umumnya terbatas dan berskala kecil, serta
belum
didukung oleh jaringan distribusi dan pemasaran secara memadai;
7. Dari segi lingkungan, sumber daya lingkungan kecil, rentan
terhadap
perubahan (entrophy), rawan bencana alam (gelombang di permukaan
laut, didominasi oleh gelombang gravitasi yang ditimbulkan oleh
angin; arus laut disebabkan oleh dua faktor yakni angin musim
dan
pasang surut); 8. Dari segi biogeografis, terdapat potensi
keanekaragaman hayati darat
dan perairan sekitar pulau-pulau (kecil); 9. Hampir semua
Provinsi Kepulauan berada pada wilayah/kawasan
Perbatasan Negara, yang memiliki pulau kecil terluar.
Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005, maka pulau-pulau kecil
terluar yang ada pada Provinsi Kepulauan dapat dirinci,
Provinsi
Kepulauan Riau 20 pulau, Provinsi Maluku 18 pulau, Provinsi
Sulawesi Utara 12 pulau, Provinsi Nusa Tenggara Timur 5 pulau,
Provinsi Nusa Tenggara Barat 1 pulau, Provinsi Maluku Utara 1
pulau dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 0 pulau.
Luasnya wilayah laut pada Daerah Provinsi dengan karakteristik
akuatik terestrial (kepulauan), apabila tidak didukung oleh aturan
hukum
mengenai kewenangan yang dapat menyatukan, maka akan menyebabkan
terjadinya ketimpangan dalam pengaturan dan pemanfaatan sumberdaya
alam di wilayah laut maupun ketimpangan
dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan
-
Page 29
maupun pelayanan kepada masyarakat pada daerah kepulauan yang
berbeda dengan daerah lain.
Secara umum terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan daerah kepulauan. Pertama, sebagian besar pulau-pulau
merupakan daerah kawasan tertinggal dan banyak yang tidak
berpenghuni. Kedua, keterbatasan pelayanan administrasi
pemerintahan, pemberdayaan ekonomi dan sosial budaya, sarana dan
prasarana komunikasi dan transportasi, termasuk transportasi
laut
yang menghubungkan antarpulau kecil dan pulau besarnya. Ketiga,
terjadinya kegiatan ilegal dan penyeludupan, kegiatan perikanan
yang tidak ramah lingkungan dan berpotensi mengancam stabilitas
keamanan. Keempat, kurangnya data dan pulau kecil (lebih dari
9.600 pulau belum bernama). Disisi lain, potensi daerah kepulauan
kecil
sangat tinggi baik dari segi ekonomi, sosial, politik dan
pertahanan keamanan Indonesia, terutama pulau-pulau kecil yang
berada di wilaah perbatasan. Sumber daya alam seperti terumbu
karang, padang lamun,
mangrove, perikanan, dan wisata bahari yang ada di daerah
kepulauan dapat menjadi aset pembangunan bagi pengembangan daerah.
Yang
menjadi permasalahan selama ini adalah minimnya upaya promosi
potensi pembangunan di pulau-pulau kecil.
Beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh Negara Kepulauan
seperti Indonesia adalah :
1. Meskipun potensi Sumber Daya Alam sangat besar, tetapi
wilayah perbatasan dan pulau terluar dihadapkan kepada kondisi
kurangnya infrastruktur, minimnya pelayanan kesehatan dan
pendidikan,
terbatasnya sarana dan prasaranan perhubungan darat, laut dan
udara bagi kegiatan mobilitas penumpang, barang dan jasa, serta
sulitnya memasarkan hasil perikanan, dan mahal dan sulitnya
mendapatkan BBM dan kebutuhan pokok. 2. Aktifitas ekonomi dan
sosial masyarakat sangat bergantung terhadap
kondisi alam yang sebagian besar terdiri dari lautan 3. Keamanan
yang masih sangat rawan, terutama penyeludupan
barang, narkoba, dan psikotropika, uang palsu, senajata, jalur
transit
gerakan terorisme internasional, serta termasuk juga berbagai
kegiatan pembuangan limbah berbahaya, illegal fishing dan illega
trading.
4. Terbatasnya peralatan, frekwensi dan tenaga keamanan di laut.
5. Pasokan listrik yang mensuplay kebutuhan masyarakat di
daerah
pulau masih dihadapkan pada kendala ketidaklancaran pasokan
listrik yang sering mengakibatkan frekuensi pemandaman listrik
yang
cukup tinggi dan tidak menentu, bahkan dibeberapa tempat belum
tersedianya fasilitas listrik. Kondisi tersebut dapat menggangu
kegiatan dan kelancaran pelaksanaan pembangunan di wilayah ini.
Masalah lain yang muncul akibat besarnya potensi sumber daya
yang
ada di laut adalah isu kewenangan pengelolaan wilayah laut yang
menjadi perhatian serius dari berbagai stakeholder. Mereka
beranggapan bahwa dengan dilaksanakannya desentralisasi maka
kewenangan
pengelolaan sumber daya kelautan yang ada dalam ruang lingkup
wilayahnya mutlak berada di tangan daerah tersebut tanpa
memperhatikan kepentingan-kepentingan daerah sekitar dan
terlebih-lebih kepentingan pemerintah pusat.
Masalah perbedaan kepentingan yang telah disebutkan diatas yang
sering menyebabkan terjadinya friksi-friksi antara beberapa
daerah
-
Page 30
daerah dan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Dengan adanya pengaturan batas wilayah laut sejauh 12 mil bagi
wilayah laut yang merupakan kewenangan provinsi dan 4 mil bagi
wilayah laut yang merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/
kota
beberapa daerah beranggapan bahwa pemanfaatan sumber daya laut
yang ada diwilayahnya tidak boleh dilakukan oleh daerah lain bahkan
oleh pemerintah pusat.
Sehingga dari persoalan ini terjadi konflik kepentingan antara
daerah dan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Sehingga
muncul kesan ada pengkavlingan wilayah laut dan pembatasan
eksplorasi dan ekploitasi sumber daya yang berada di wilayah
laut.
Bahkan tidak jarang kemudian timbul bentrokan dalam hal
pemanfaatan sumber daya kelautan oleh beberapa stakeholder yang
ada. Contoh kongkret adalah bentorkan dalam hal pemanfaatan sumber
daya
kelautan dalam hal penangkapan ikan. Ada daerah merasa wilayah
sumber daya kelautan mereka dibatasi oleh daerah lain.
Persinggungan pengelolaan sumber daya di wilayah laut tidak
hanya terjadi antar daerah otonom, tetapi juga terjadi antara
daerah otonom
dengan pemerintah pusat terutama berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya yang bersifat strategis. Beberapa fakta menunjukkan
bahwa terjadi friksi antar tingkat pemerintahan dalam hal
pengelolaan sumber daya laut. Misalnya dalam hal pengelolaan
pelabuhan, pemerintah daerah merasa pelabuhan yang berada didaerah
provinsi
harus dikelola pemerintah daerah bukan oleh pemerintah pusat.
Contoh lebih eksterm adalah keinginnan pemerintah daerah otonom
untuk mendapatkan lebih pembagian keuntungan dari eksplorasi
minyak bumi dan gas alam yang berada di wilayah laut mereka
dari
keadaan sekarang, mereka merasa bahwa sumber daya yang berada di
wilayah laut merupakan hak mereka karena berada di wilayah mereka.
Provinsi daerah kepulauan merasa termaginalkan dan terpinggirkan
oleh
pemerintah pusat, mereka merasa seperti pepatah tikus mati di
lumbung padi. Artinya daerah provinsi mengalami kemiskinan dan
kemunduran ekonomi masyarakat, padahal di daerah wilayah laut
mereka memiliki sumber daya yang kaya. Akan tetapi keinginan
mereka akan sulit untuk dilaksanakan karena hal tersebut
bertentangan dengan
banyak peraturan yang sekarang berlaku. Fenomena empirik yang
terlihat secara konkrit terkait dengan
karakteristik daerah kepulauan di atas adalah, (a) terbatasnya
sarana dan prasarana pelayanan dasar; (b) terbatasnya kemampuan
keuangan
daerah; (c) sarana dan prasarana tranportasi laut dan udara yang
sangat minim; (d) biaya tranportasi dalam rangka pelayanan
pemerintahan yang sangat mahal; (e) terbatasnya aksesibilitas
masyarakat secara umum; (f) masih adanya isolasi fisik dan
sosial; (g) adanya ketergantungan fiskal yang sangat tinggi kepada
Pemerintah; (h) belum berkualitasnya berbagai layanan pemerintahan
baik layanan
publik maupun sipil; (i) masih adanya disparitas ekonomi antar
daerah; (j) rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
Identifikasi permasalahan berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 32 Tahun
2004 memperlihatkan sejumlah keterbatasan yang memerlukan
penanganan khusus pada Daerah Kepulauan, (1) pengendalian dan
pengawasan perumusan perencanaan dan pelaksanan pembangunan daerah;
(2) perencanaan pelaksanaan pemanfaatan tata ruang; (3)
-
Page 31
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; (4)
penyediaan sarana dan prasarana umum; (5) penanganan bidang
kesehatan; (6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya
manusia; (7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
(8)
pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (9)
koordinasi dan fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan
menengah termasuk lintas kabupaten/kota; (10) pengendalian
lingkungan hidup;
(11) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; (12)
pelayanan kependudukan; (13) administrasi umum pemerintahan; (14)
pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota; (15) pelayanan dasar lainnya.
2.7. Wilayah Laut Daerah Kepulauan
Pengaturan wilayah daerah kepulauan yang akan menjadi
kewenangan
Pemerintahan Daerah Kepulauan pada dasarnya dilakukan dengan
memperhatikan beberapa pokok pikiran untuk menjadi bahan
pertimbangan. Pertama; Perkembangan prinsip Negara Kepulauan
dalam Deklarasi Djuanda 1957 sampai mendapat pengakuan dan
pengaturan dalam
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982, perlu mendapat perhatian
dalam pengaturan pemerintahan daerah kepulauan, terutama
terkait
dengan kesatuan wilayah darat dan laut yang menjadi wilayah
kewenangan daerah dan upaya mereformasi manajemen pemerintahan
daerah dalam era otonomisasi serta kewenangan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam di laut.
Kedua; Perjuangan memberhasilkan prinsip Negara Kepulauan
sebagai bagian dari Hukum Laut Internasional, menekankan adanya
prinsip pembedaan dalam pengaturan mengenai laut. Hal ini terlihat
dari adanya pembedaan penarikan garis pangkal dalam mengukur lebar
laut teritorial. Pembedaan garis pangkal untuk mengukur lebar laut
teritorial antara Normal baseline untuk Negara dengan karakteristik
terestrial; Straight baseline untuk Negara dengan karakteristik
terrestrial akuatik; dan Archipelagic straight baseline untuk
Negara dengan karakteristik akuatik terrestrial (kepulauan).
Pembedaan penarikan garis pangkal ini hendaknya dapat diadopsi
untuk diterapkan juga dalam penetapan
wilayah kewenangan daerah (kepulauan) di laut, yang menyatukan
wilayah darat dan wilayah laut dalam satu kesatuan sehingga
kewenangan daerah terutama pada wilayah laut dapat mengadopsi
ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi
Indonesia dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985.
Ketiga; Prinsip Pembedaan dalam pengaturan pemerintahan daerah,
didasarkan pada karakteristik daerah sehingga mempercepat
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan
pelayanan kepada masyarakat. Dalam konteks ini, karakteristik
daerah yang terestrial hendaknya dibedakan d