LAPORAN FARMASI KLINIK ANALISA DRP KASUS CEDERA KEPALA BERAT DAN FRACTUR CRURIS PASIEN IMC Pembimbing : Dra. Inayati, M.Si., Apt Oleh : KELOMPOK A Ndaru Setyaningrum PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PERIODE FEBRUARI-MARET PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2010
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN FARMASI KLINIK
ANALISA DRP KASUS CEDERA KEPALA BERAT DAN FRACTUR
CRURIS PASIEN IMC
Pembimbing : Dra. Inayati, M.Si., Apt
Oleh :
KELOMPOK A
Ndaru Setyaningrum
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
PERIODE FEBRUARI-MARET
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
RS PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
2010
Analisa DRP Kasus Cedera Kepala Berat dan Fraktur Cruris Pasien IMC
Pendahuluan
Cedera kepala merupakan keadaan pasien yang mengalami riwayat benturan di kepala
atau adanya luka di kulit kepala atau menunjukkan perubahan kesadaran setelah cedera
tertentu (Jennett dan MacMillan, 1981). Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik. Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa
perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada
kepala (Anonim, 2006).
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenai tekanan yang
lebih besar dari yang dapat ditahannya (Smeltzer S., 1997).
Klasifikasi
Secara umum cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan tiga hal, yaitu:
1. Berdasarkan mekanisme terbagi atas:
• Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh
atau pukulan benda tumpul.
• Cedera tembus, biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Berdasarkan morfologi
• Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur dapat
berupa garis/linear, multiple dan menyebar dari satu titik (stelata) dan
membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif).
• Lesi intrakranial
Lesi intrakranial dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan
subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara
bersamaan.
3. Berdasarkan tingkat keparahan
Tingkat kesadaran yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) telah digunakan
untuk mengklasifikasikan derajat keparahan cedera kepala yang tersaji dalam tabel
berikut:
Tingkat keparahan cedera kepala GCS scoreRingan 13-15Sedang 9-12Berat 8 atau kurang
Etiologi
Penyebab cedera kepala diantaranya adalah:
• Kecelakaan sepeda motor
• Jatuh
• Pukulan keras
• Luka tembakan
Patofisiologi
Cedera primer
Luka primer termasuk transfer eksternal dari energi kinetik ke berbagai komponen stukrtur
otak (misal neuron, sinaps saraf, sel glial, akson, dan pembuluh darah cerebral). Desakan zat
biokimia bertanggung jawab terhadap luka otak primer dapat diklasifikasikan secara umum
sebagai concussive/compressive (misal pukulan benda tumpul, luka penetrasi peluru) dan
akselerasi/deselerasi (misal pergerakan otak akibat kecelakaan bermotor). Luka primer
terkategori selanjutnya sebagai fokal (misal luka memar, hematoma) atau difusse.
Cedera sekunder
Suatu rangkaian patofisiologi yang kompleks dipercepat oleh cedera otak primer dapat
mengganggu secara serius terhadap keseimbangan antara kebutuhan dan supply oksigen di
CNS. Hipotensi selama periode awal pasca trauma merupakan penyumbang utama terhadap
ketidakseimbangan yang terjadi dan faktor yang menentukan outcome. Hasil akhir dari
ketidakseimbangan ini dapat menimbulkan iskemia cerebral, yang merupakan kunci
patofisiologi pemicu luka sekunder. Bagan berikut merupakan skema sederhana dari proses
luka sekunder dan hubungan timbal baliknya.
Presentasi klinik
• Umum : derajat kesadaran dalam rentang bangun sampai tidak berespon sama sekali
• Gejala : amnesia pasca trauma (lebih dari 1 jam), pusing yang bertambah, sakit kepala
sedang sampai berat, kelemahan anggota badan, atau paresthesia mungkin
mengindikasikan cedera yang lebih berat
• Tanda : CSF otorrhea atau rhinorhea dan kejang mungkin mengindikasikan cedera
yang lebih berat. Kemunduran status mental yang cepat sangat menandakan adanya
• GCS : Pemantauan setiap jam pada periode awal, kemudian frekuensi pemantauan
diturunkan sesuai dengan tingkat stabilitas status neurologic
• Tanda-tanda vital (TD; HR; RR; suhu). Catat setiap jam pada periode awal, frekuensi
dapat diturunkan jika kondisi neurologic telah stabil
• Output urine. Catat setiap jam pada periode awal, frekuensi dapat diturunkan jika
kondisi neurologic telah stabil
Resiko peningkatan intracranial pressure (ICP)
• Saturasi oksigen arteri, monitoring terus selama masih di ruang intensif
• ICP (intracranial pressure) dicatat setiap jam, frekuensi diturunkan jika ICP telah
stabil (<20mmHg)
• CCP (central perfusion pressure) dicatat setiap jam, frekuensi diturunkan jika CCP
telah stabil (>60mmHg)
Tes laboratorium
• Konsentrasi etanol dan skrining obat dalam urin
• ABG (arterial blood gas) monitoring minimal setiap hari selama intubasi, diulangi
jika perlu berdasarkan instabilitas paru-paru yang membutuhkan perubahan setting
ventilator
• CBC (complete blood count) monitoring setiap hari selama di ruang intensif
• Serum elektrolit (Na, K, Cl) monitoring setiap hati selama di ruang intensif
• Mineral (Mg, Ca, P) monitoring setiap hari sampai konsentrasi stabil
Prosedur radiologi
• CT scan setelah resusitasi awal dilakukan scan ulang apabila perlu berdasarkan
derajat instabilitas neurologic (misal penurunan Glasgow Coma Scale)
Form pemantauan pasien
1. Identitas Pasien
Nama : Slamet Setiawan Umur : 38th BB : - TB:-No RM: Alergi obat : -Ruang : IMC Arofah Tanggal masuk : 7 Feb 2010Dokter : dr. Andi dr. Kun Alasan keluar : pasien masih dirawat
2. Kondisi Pasien
Keluhan utama : pasien tidak sadar Diagnosa : CKBRiwayat penyakit : - Riwayat penyakit keluarga : -Riwayat pengobatan : - Pekerjaan/life style : pekerja lepas
3. Tanda Vital
Tanda vital Tanggal 07/02/10 08/02/10 09/02/10 10/02/10 11/02/10 12/02/10
TD (mmHg) 136/72 105/72 Tidak ada data
120/80 Tidak ada data
Tidak ada data
Suhu (C) 37 367 36 365
Nadi 102 102 110 73
4. Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Perkembangan pasien Tindak lanjut07/02/10
pagi
14.40
17.3023.30
Di IGD Pasca kecelakaan, nyeri kaki kanan Diagnosa : CKB Fr. Cruris
Perawatan di IMCHb=15,5 ;Al=23,9; At=315; Hmt=45Pernafasan normal; Kesadaran terpengaruh CPZ injPasien gelisah; TD=130/70; HR=120CT scan:udem cerebri(+); fraktur os petrosum kanan&fossa cerebri; meda ham.paenocerebriPasien masih gelisah dan teriak2Pasien gelisah teriak2TD=122/80 N=95x/menit
ES : hipotensi, bradikardi, palpitasi, heart block, ansietas, gelisah
IO : -
KI : hipersensitif
Dosis : 0,25% infiltrasi secara lokal, maksimum 175mg
9. Infus RL
Komposisi : Per 500ml NaCl 3g; KCl 0,15g; CaCl2 dihidrat 0,1g; Na laktat 1,55g
Indikasi : terapi untuk mengatasi deplesi volume berat saat tidak dapat diberikan
rehidrasi oral
IO : preparat K dan Ca
KI : hipernatremia
Dosis : individual
10.Dextrose 5 ½ NS
Komposisi : Per 500ml Glukosa anhidrat 25g; NaCl 2,25g
Indikasi : penggantian cairan dan kalori
Peringatan : kecepatan infus yang lambat, monitor kadar glukosa darah dan urin.
Hentikan terapi jika terjadi trombosis
ES : demam, infeksi atau jaringan nekrosis pada tempat suntikan,
trombosis vena atau phlebitis di lokasi suntikan, hipernatremia
IO : kortikorsteroid atau kortikotropin, vit B kompleks
KI : sindroma malabsorbsi glukosa-galaktosa, koma diabetikum
Dosis : individual
11. Susu; jus, sonde
Indikasi : sebagai asupan nutrisi
Dosis : individual
Pembahasan
Subjektif
Pasien masuk rumah sakit tanggal 7 Februari 2010 akibat kecelakaan dalam kondisi tidak
sadar. Kecelakaan merupakan penyebab utama kejadian cedera kepala, selain karena benturan
keras, jatuh atau akibat luka tembakan. Pasien juga mengalami fraktur cruris (bagian kaki).
Objektif
• Hasil pemeriksaan CT scan pasien mengalami EDH (perdarahan pada bagian
epidural); udem cerebri (+); fraktur os petrosum kanan&fossa cerebri; meda
ham.paenocerebri.
• Pengukuran tanda vital pasien TD 136/72; T 37 0C; N 102x/menit dan RR 18x/menit.
• Pemeriksaan laboratorium berupa CBC dan gula darah sewaktu (GDS) menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan nilai WBC; nilai GDS tinggi tetapi masih dalam batas normal; nilai RBC
rendah namun nilai Hb dan Hct normal. Hasil interpretasi klinik menyatakan bahwa pasien
mengalami leukositosis, monositosis, eosinophilia, basophilia dan anisocytosis.
• Diagnosa
Pasien mengalami cedera kepala berat dan fraktur cruris. Penegakan diagnosa cedera
kepala berat dapat dilakukan dengan GCS (Glasgow Coma Scale and Score). Pasien
dinyatakan mengalami cedera kepala berat jika nilai GCS ≤ 8. Parameter yang diukur
dalam skala ini adalah respon membuka mata, respon motorik dan respon verbal
dengan total score 15 poin.
Selain cedera kepala, pasien juga didiagnosa mengalami fraktur cruris.
Penegakan diagnosa terjadinya fraktur cruris berdasarkan hasil anamnesis dan
pengamatan terhadap luka di kaki pasien.
• Terapi
Ketika di IGD, pasien mendapatkan terapi Inj Ceftriaxone 2gr; ATS 1500 UI;
Ketorolac 30mg; Valium; Infus RL dan Cepezet 1 amp secara intramuskular di IGD.
Ceftriaxone digunakan sebagai profilaksis sekaligus terapi infeksi. ATS digunakan sebagai
terapi profilaksis tetanus yang disebabkan kecelakaan. Ketorolac untuk manajemen nyeri
akut. Valium (diazepam) sebagai anti ansietas dan relaksan otot skeletal. Sedangkan Cepezet
(Klorpromazin HCl) digunakan sebagai penenang dan sedasi pasien yang mengalami
gangguan neuronal. Infus RL sebagai cairan rehidrasi parenteral untuk mendukung
circulation (peredaran darah) pasien. Sedangkan oksigenasi sebagai suportif airway dan
breathing dalam penatalaksanaan awal pasien cedera kepala yang tidak sadar.
Selanjutnya pasien mendapatkan perawatan di ruang IMC. Jenis pengobatan yang
diberikan adalah Ceftriaxone, ketorolac, cepezet dan valium. Selain terapi obat pasien juga
mendapatkan suportif kristaloid berupa infus RL dan Dextrose 5 ½ NS serta terapi nutrisi
berupa susu, dan jus. Oksigenasi terus diberikan untuk hiperventilasi dan mengendalikan
saturasi karbondioksida jaringan.
Ketika pasien telah sadar, dilakukan bedah ORIF untuk penanganan fraktur cruris
pasien. Terapi yang diberikan untuk menunjang pembedahan yaitu Cortidex 2amp; Narfoz
1amp; infus FIMA; bupivacain; ketorolac 2amp; dan ceftriaxone 2amp. Cortidex sebagai
antiinflamasi fraktur cruris dan akibat pembedahan. Narfoz (ondansetron) untuk profilaksis
mual dan muntah pasca bedah. Infus FIMA sebagai suportif cairan selama dan setelah
pembedahan. Bupivacain sebagai anestesi lokal. Ketorolac untuk manajemen nyeri pasca
bedah dan ceftriaxone sebagai profilaksis infeksi akibat pembedahan.
Selanjutnya setelah bedah ORIF, terapi ceftriaxone dan ketorolac dilanjutkan dengan
frekuensi masing-masing 2xsehari dan 3xsehari melalui injeksi intravena.
Assessment
Sesuai dengan SPM dalam penatalaksanaan cedera kepala akut, untuk pasien tidak sadar, tata
laksana terapi yang dilakukan telah mendekati kesesuaian.
1. Pasien telah mendapatkan terapi suportif ABC dalam resusitasi awal. Untuk suportif
airway dan breathing, pasien telah mendapat oksigenasi. Sedangkan untuk
circulation, pasien mendapat infus dengan cairan kristaloid Ringer Laktat.
2. Untuk mengendalikan tekanan intrakranial, dilakukan hiperventilasi dengan
mempertahankan PaCO2 25-30mmHg. Namun pasien tidak mendapatkan manitol
sebagai diuretik osmotik yang juga berfungsi dalam mengendalikan tekanan
intrakranial. Pasien juga tidak memperoleh furosemid injeksi dalam penanganan udem
cerebralnya. Tidak dilakukannya pemberian manitol tersebut diduga udem cerebral
tidak terlalu parah dan tekanan intrakranial tidak terlalu tinggi sehingga dapat
dikendalikan hanya dengan melakukan hiperventilasi. Setelah perawatan selama 2
hari di IMC, pasien telah sadar dan menunjukkan tanda klinik yang membaik. Untuk
perawatan pasien selanjutnya, dilakukan di bangsal Arofah sampai kondisi cedera
mengalami pemulihan.
3. Tidak dilakukan koreksi gangguan elektrolit asam basa pada pasien. Pemeriksaan lab
yang telah terekam dalam RM pasien hanya pemeriksaan darah lengkap dan cek kadar
glukosa darah. Namun hasil monitoring saturasi O2 jaringan telah sesuai dengan
rentang normal (90-95%). Nilai kecepatan respirasi (RR) juga menunjukkan nilai
normal.
4. Pada periode awal cedera kepala (hari pertama di IMC) pasien mengalami gelisah.
Tidak ada indikasi terjadinya kejang akibat trauma kepala. Untuk mengatasi gelisah,
dokter memberikan injeksi im Cepezet (Chlorpromazine hidrochloride 25mg). Setelah
3 jam pemberian obat tersebut, pasien kembali gelisah. Kemudian pasien mendapat
terapi Valium (diazepam) 5mg iv pelan-pelan. Pemberian antikonvulsan dimaksudkan
untuk mencegah kenaikan CMR O2 (cerebral consumption oxygen) yang selanjutnya
dapat terjadi kejang. Terapi insial untuk pasien dewasa adalah pemberian diazepam
secara intravena dosis 5-40 mg (Dipiro, 2005). Hal yang harus diperhatikan dalam
injeksi diazepam intravena adalah pemberian secara perlahan-lahan. Injeksi yang
terlalu cepat dapat menyebabkan resiko syncope, hipotensi dan apnoea. Pemberian
diazepam secara infus tidak direkomendasikan sebab diazepam dapat mengalami
presipitasi terhadap pelarut intravena (karena kelarutannya rendah) juga dapat
teradsorbsi pada kemasan infus berbahan plastik (Injectable Drug Handbook, 1997).
5. Terapi antibiotik digunakan ceftriaxone, golongan Cephalosporin. Indikasi infeksi
pasien sesuai dengan pemilihan antibiotik. Pasien mengalami trauma akibat
kecelakaan dengan dugaan infeksi di kulit, struktur kulit, tulang dan sendi, meningitis
(pasien juga mengalami cedera kepala) dapat dipilih penggunaan ceftriaxone. Dosis
yang diberikan di IGD sebesar 2 gram, selanjutnya pemberian dosis sebesar 1 gram
selama masa perawatan. Ceftriaxone (golongan cephalosporin) merupakan antibiotik
dengan model farmakokinetik-farmakodinamik tipe II. Bahwa antibiotik model ini
untuk menghasilkan efek terapi yang optimal, diperlukan kadar obat di atas MIC
dengan memaksimalkan durasi paparan antibiotik. Sehingga pemberian cephalosporin
secara ideal adalah dengan infus intravena.
Pasien mendapatkan terapi Ceftriaxone (dalam profilaksis bedah) dosis 2 gram.
Pemberian dosis besar untuk antibiotik model farmakokinetik-farmakodinamik model
II dinilai kurang tepat (dosis terlalu besar). Pemberian dosis cukup di atas MIC secara
infus intravena akan menghasilkan respon terapi yang lebih optimal.
6. Pemberian nutrisi dilakukan pada hari kedua di IMC. Untuk hari pertama, nutrisi
pasien hanya diberikan dextrose kadar 5% pada periode akhir resusitasi. Nutrisi yang
berikan berupa susu, sonde dan jus. Bukti menunjukkan bahwa pemberian nutrisi
tahap awal pada cedera kepala berhubungan dengan outcome yang lebih baik untuk
survival dan disability.
Drug Related Problem
Jenis Drug Related Problem
Problem (kategori DRP) Penilaian Membutuhkan obat tetapi tidak menerima Tidak adaMenerima obat yang tidak ada indikasi Tidak adaMenerima obat salah Tidak adaDosis kurang (subterapi) Tidak adaDosis berlebih Ada Mengalami ADR Ada (efek samping potensial terjadi)Non compliance Tidak ada
a. DRP aktual
Dosis berlebih
• Tujuan pemberian ATS bukan sebagai pengobatan tetapi sebagai profilaksis sebab
pasien belum menunjukkan gejala dan tanda mengalami tetanus. Gejala tetanus yang
paling sering ditemukan adalah kekakuan rahang dan sulit dibuka (trimus) karena
yang pertama tersernag adalah otot rahang (Anonim, 2007). Dosis pemberian ATS
pasien dewasa untuk profilaksis adalah 250 UI . Sedangkan pasien mendapatkan
injeksi ATS sebanyak 15r00 UI (6x dosis lazim).
• Dosis ceftriaxone 2gram melebihi anjuran dosis untuk profilaksis bedah yakni cukup
1gram (DIH hal.296).
Mengalami ADR
• Penggunaan ketorolac untuk manajemen nyeri jangka pendek (≤5hari). Pasien telah
mendapatkan terapi ketorolac lebih dari 5 hari. Pada monitoring hari keenam,
keluarga pasien menyatakan bahwa pasien mengeluh nyeri perut. Penggunaan
ketorolac jangka panjang dapat meningkatkan resiko kejadian gastrointestinal yang
tidak dikehendaki. Informasi dari keluarga pasien, bahwa pasien sudah tidak
mengeluh nyeri akibat fraktur maupun trauma. Sehingga penggunaan ketorolac
sebaiknya dihentikan segera untuk menghindari perdarahan/ulser gastrointestinal.
b. DRP potensial
• Penggunaan ketorolac menjadi peringatan untuk pasien yang terduga mengalami
perdarahan cerebrovaskuler. Pasien berdasarkan hasil CT scan mengalami perdarahan
epidural (EDH). Sehingga perlu dilakukan monitoring perdarahan cerebrovaskuler
dengan melakukan CT scan kembali.
• Penggunaan dexamethason bersama NSAID dan salisilat berpotensi meningkatkan
kejadian gastrointestinal yang tidak diharapkan. Sehingga perlu dilakukan monitoring
keadaan GI
Plan
Rekomendasi berdasarkan problem terapi pasien:
• Penghentian terapi ketorolac, sebab ketorolac tidak dapat digunakan dalam
manajemen nyeri jangka panjang ( ≤ 5hari). Informasi keluarga pasien menyatakan
bahwa pasien juga mengeluh nyeri perut.
Monitoring yang perlu dilakukan:
• Dilakukan pemantauan terhadap efek samping obat yang potensial terjadi (>10%
dengan sumber DIH)
Nama obat Efek samping potensial Hasil Cefrtiaxone - Tidak adaATS Nyeri, tenderness, eritema Nyeri utama karena cedera (fraktur,
bukan akibat injeksi ATS)Ketorolac Pusing, nyeri perut,
dispepsia, mual
Pasien mengeluhkan nyeri perut
Cepezet Frekuensi tidak terdefinisi Tidak adaValium Frekuensi tidak terdefinisi Tidak adaCortidex Frekuensi tidak terdefinisi Emosi tidak stabilNarfoz Pusing, kelelahan,
konstipasi
Pasien mengeluhkan kelelahan
Bupivacain Frekuensi tidak terdefinisi Pasien mengeluh lemah (weakness)
Aturan pemakaian obat (pasca bedah)
Nama obat Aturan pemakaian Jam PemberianI II III IV
Ceftriaxone 2 x sehari 08.00 20.00Ketorolac 3 x sehari 08.00 16.00 24.00
Edukasi kepada pasien/keluarga pasien
• Penggunaan obat antibiotic ceftriaxone diminum sampai habis walaupun sudah
merasakan kondisi yang lebih baik
• Penggunaan obat pereda rasa sakit (ketorolac) diminum ketika merasa sakit saja.
Apabila sudah tidak mengeluh sakit, pemakaian obat dapat dihentikan
• Penggunaan obat ketorolac setelah makan, agar tidak timbul rasa perih di perut
• Apabila merasakan nyeri di perut setelah penggunaan obat, harap menghubungi
apoteker atau dokter yang bersangkutan
• Apabila timbul infeksi/luka pada bekas operasi, harap memeriksakan diri ke dokter
• Apabila rasa sakit tidak berkurang selama 3 hari mengkonsumsi obat, harap
menghubungi apoteker atau dokter segera
• Sebaiknya mengurangi pekerjaan yang terlalu berat untuk sementara waktu agar
kondisi luka di kepala segera membaik
Daftar pustaka
Anonim, 1997, Australian Injectable Drugs Handbook, 1st Edition, p.126-127
Anonim, 2006, Types of Brain Injury, http://asramamedicafkunhas.blogspot.com/2009/05/cedera-kepala-trauma-capitis.html, diakses tanggal 9 Februari 2010
Anonim, 2007, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, http://www.depkes.go.id/downloads/doen2008/puskesmas_2007.pdf, diakses tanggal 10 Februari 2010
Anonim, 2007, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, PT Infomaster, Jakarta
Anonim, 2009, Standar Pelayanan Medik, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarya
Dipiro, T. Joseph, et al., 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th Ed., Appleton and Lange : New York USA
Jennett B., dan MacMillan R., 1981, Epidemiology of head injury cit Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2009, http://www.sign.ac.uk/pdf/sign110.pdf, diakses tanggal 9 Februari 2010
Lacy, C.F, et al., 2008, Drug Information Handbook, 17th Ed., Lexi-Comp : Ohio
Smeltzer S., 1997, Buku Ajar Medikal Bedah, http://keperawatangun.blogspot.com/2007/07/fraktur-cruris.html, diakses tanggal 9 Februari 2010
Vanessa, D.A., 2009, Tetanus, http://www.scribd.com/doc/7432195/Laporan-Kasus-TETANUS?secret_password=&autodown=pdf, diakses tanggal 10 Februari 2010