5 KARAKTERISTIK JENIS USAHA WISATA DAN KETERLIBATAN MASYARAKAT 5.1. Jenis-jenis Usaha Wisata oleh Masyarakat Menurut Peraturan Pemerintah no. 36 tahun 2010 Pengusahaan Pariwisata Alam meliputi: (1) usaha penyediaan jasa wisata alam; dan (2) usaha penyediaan sarana wisata alam (Lampiran 17 dan 18). Penyediaan jasa wisata alam meliputi 5 jenis yaitu: jasa informasi pariwisata; jasa pramuwisata; jasa transportasi; jasa perjalanan wisata; dan jasa makanan dan minuman. Sedangkan penyediaan sarana wisata alam meliputi 3 jenis yaitu: wisata tirta; akomodasi; dan sarana wisata petualangan. Hasil penelitian menunjukkan usaha jasa dan prasarana wisata yang dilakukan oleh masyarakat dikedua desa baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan GSE di TNGHS berupa: 1. Usaha penyediaan jasa wisata alam; merupakan kegiatan penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan wisata, diantaranya : a. Usaha jasa informasi; merupakan usaha penyediaan dan penyebaran informasi kepariwisataan. Penyediaan dan penyebaran informasi kepariwisataan dapat juga dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha jasa informasi meliputi : (1) Penyediaan informasi mengenai obyek dan daya- tarik wisata, sarana wisata, jasa wisata, transportasi, dan informasi lain yang diperlukan oleh wisatawan; dan (2) Penyebaran informasi tentang usaha pariwista atau informasi lain yang diperlukan wisatawan melalui media cetak, media elektronik atau media komunikasi lain. Usaha informasi pariwisata, di GSE dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha, mereka mencetak brosur mengenai sarana wisata yang dimilikinya, membuat blog dan lain sebagainya. Usaha informasi wisata yang sudah dijalankan oleh masyarakat diantaranya membuat blog http://wr- bingung.blogspot.com; www.pondokrasamala.com . b. Jasa pramuwisata yaitu usaha untuk mengatur, mengkoordinasikan dan menyediakan tenaga pramuwisata untuk memberikan pelayanan bagi seseorang atau kelompok orang yang melakukan perjalanan wisata. Jasa pramuwisata dilakukan oleh 10% masyarakat kawasan GSE, dikenal dengan istilah guide, tetapi sebenarnya lebih kepada menemani
17
Embed
5 KARAKTERISTIK JENIS USAHA WISATA DAN … · pengunjung diwajibkan untuk mengurus Surat Izin Masuk TNGHS ... pekerjaan utamanya sebagai guru, ... bervariasi dari mulai tidak tamat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5 KARAKTERISTIK JENIS USAHA WISATA DAN KETERLIBATAN MASYARAKAT
5.1. Jenis-jenis Usaha Wisata oleh Masyarakat Menurut Peraturan Pemerintah no. 36 tahun 2010 Pengusahaan Pariwisata
Alam meliputi: (1) usaha penyediaan jasa wisata alam; dan (2) usaha penyediaan
sarana wisata alam (Lampiran 17 dan 18). Penyediaan jasa wisata alam meliputi 5
jenis yaitu: jasa informasi pariwisata; jasa pramuwisata; jasa transportasi; jasa
perjalanan wisata; dan jasa makanan dan minuman. Sedangkan penyediaan sarana
wisata alam meliput i 3 jenis yaitu: wisata tirta; akomodasi; dan sarana wisata
petualangan. Hasil penelitian menunjukkan usaha jasa dan prasarana wisata yang
dilakukan oleh masyarakat dikedua desa baik yang berada di dalam maupun di
luar kawasan GSE di TNGHS berupa:
1. Usaha penyediaan jasa wisata alam; merupakan kegiatan penyediaan jasa
wisata alam pada kegiatan wisata, diantaranya :
a. Usaha jasa informasi; merupakan usaha penyediaan dan penyebaran
informasi kepariwisataan. Penyediaan dan penyebaran informasi
kepariwisataan dapat juga dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha jasa
informasi meliput i : (1) Penyediaan informasi mengenai obyek dan daya-
tarik wisata, sarana wisata, jasa wisata, transportasi, dan informasi lain
yang diperlukan oleh wisatawan; dan (2) Penyebaran informasi tentang
usaha pariwista atau informasi lain yang diperlukan wisatawan melalui
media cetak, media elektronik atau media komunikasi lain.
Usaha informasi pariwisata, di GSE dilakukan oleh masing-masing pelaku
usaha, mereka mencetak brosur mengenai sarana wisata yang dimilikinya,
membuat blog dan lain sebagainya. Usaha informasi wisata yang sudah
dijalankan oleh masyarakat diantaranya membuat blog http://wr-
bingung.blogspot.com; www.pondokrasamala.com.
b. Jasa pramuwisata yaitu usaha untuk mengatur, mengkoordinasikan dan
menyediakan tenaga pramuwisata untuk memberikan pelayanan bagi
seseorang atau kelompok orang yang melakukan perjalanan wisata. Jasa
pramuwisata dilakukan oleh 10% masyarakat kawasan GSE, dikenal
dengan istilah guide, tetapi sebenarnya lebih kepada menemani
< 5 tahun 45,5 37,5 - 5-10 tahun 29,5 37,5 - 11 -15 tahun 9,1 12,5 - > 16 tahun 15,9 12,5 -
Ukuran jumlah tanggungan rumah tangga yang terlibat wisata di kedua desa
lokasi penelitian rata-rata 5 orang. Jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh
terhadap pengeluaran baik konsumsi pangan maupun non pangan, tetapi disisi lain
juga akan mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga. Jumlah
tanggungan keluarga terutama yang berumur produktif merupakan tenaga kerja
dalam keluarga yang dapat membantu kegiatan keluarga yang berkaitan dengan
wisata seperti belanja keperluan warung, menjaga warung, menjaga toko,
memasak dan keperluan lain untuk melayani pengunjung. Selain itu juga anggota
keluarga dapat membantu mengurus keperluan rumah tangga seperti mencuci,
membersihkan rumah, menata rumah dan lain sebagainya.
59
Dari hasil wawancara masyarakat yang terlibat wisata menunjukkan, 51%
masyarakat di kedua desa ada berangggapan bahwa jumlah anak 2-4 orang sudah
cukup agar bisa diurus dengan baik, disekolahkan dan mendapat penghidupan
yang layak. Jumlah tanggungan lebih besar dari tujuh terutama dimiliki oleh
6,8% masyarakat dari Gunung Bunder 2 dan 5,4% dari Desa Gunung Sari.
Tingkat pendidikan merupakan cerminan penguasaan seseorang terhadap
pengetahuan yang aplikasinya terlihat sebagai perilaku hidup pada masyarakat.
Tingkat pendidikan juga memiliki peranan besar dalam proses penerapan
teknologi dan inovasi. Pendidikan formal masyarakat dalam penelitian ini
bervariasi dari mulai tidak tamat Sekolah Dasar sampai tamat Strata 1.
Pendidikan formal tidak memiliki beda nyata antara masyarakat yang terlibat dan
tidak terlibat dalam wisata.
Masyarakat yang terlibat wisata dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki
tingkat pendidikan formal sedikit lebih rendah dibandingkan Desa Gunung
Bunder 2. Di desa Gunung Sari, sebagian besar penduduknya merupakan
pendatang, kondisi ini pula yang mendorong kegiatan wisata di Gunung Sari lebih
maju dan tingkat pendidikannya bervariasi. Masyarakat Desa Gunung Sari mulai
menyadari bahwa tuntutan pekerjaan sektor wisata sebagai pekerjaan yang
memerlukan keahlian, sehingga memerlukan pendidikan yang lebih tinggi untuk
menghadapi tantangan kedepan. Perkembangan resort dan villa di GSE cukup
pesat menuntut suatu keahlian tertentu baik formal maupun informal dalam
pengelolaannya.
Lamanya keterlibatan dalam usaha dan jasa wisata di GSE memberikan
gambaran bahwa kegiatan wisata di kawasan ini memberikan daya tarik yang
besar bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan dari sektor ini. Distribusi
lamanya terlibat merata, dengan kisaran kurang dari lima tahun, sebanyak 51%
didominasi oleh usia-usia muda. Usaha dibidang wisata yang dilakukan dikedua
desa waktu memulainya bervariasi yaitu ada yang memulainya sebelum tahun
1990an, tahun 2000an, 2005an dan bahkan ada yang baru memulainya sejak tahun
2011an. Perbedaan waktu dimulainya usaha tersebut ditentukan oleh adanya
peluang-peluang, kisah sukses tetangga, diajak saudara dan lain sebagainya.
Keterlibatan lebih dari 16 tahun didominasi oleh usia-usia mendekati tidak
60
produktif, bahkan ada 2% masyarakat yang telah berusaha di kegiatan wisata
selama 30 tahun dari sebelum ditetapkan menjadi kawasan wisata.
Uji beda nyata terhadap jenis kelamin, jumlah tanggungan, umur,
pendidikan formal dan lamanya keterlibatan masyarakat yang terlibat dalam
wisata (Lampiran 16) menunjukkan bahwa kelima karakteristik tersebut tidak
berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan masyarakat yang terlibat wisata di GSE
dari kedua desa contoh tidak ditentukan oleh karakteristik demografis masyarakat.
Majunya kegiatan wisata di Desa Gunung Sari bukan disebabkan oleh kelima
faktor demografis, tetapi disebabkan oleh faktor lain.
Sedangkan dalam hubungannya dengan keterlibatan wisata yaitu antara
masyarakat yang terlibat dengan yang tidak terlibat dalam kegiatan wisata
(Lampiran 15) umur masyarakat memberikan hasil adanya perbedaan, namun
tidak demikian dengan jenis kelamin, pendidikan formal dan jumlah tanggungan.
Rata-rata umur masyarakat yang terlibat berbeda dengan umur masyarakat yang
tidak terlibat. Umur masyarakat yang terlibat wisata relatif lebih rendah (masih
lebih muda) dibandingkan yang tidak terlibat dalam wisata. Hasil uji lanjut ini
menunjukkan bahwa kegiatan wisata membutuhkan rentang usia muda yang
masih merupakan usia produktif. Usia erat kaitannya dengan produktivitas dalam
bekerja terutama dari segi fisik, yang akan memberi pengaruh terhadap aktivitas
yang dilakukan untuk menopang kehidupan keluarganya. Kamaluddin (1994)
yang diacu Hilyana (2001) menyatakan bahwa usia produktif berada pada
kematangan produktivitas terutama untuk pekerjaan yang bersifat pencurahan
tenaga kerja. Lebih lanjut Soekanto (2007) menyatakan bahwa orang berusia
muda lebih mudah untuk menerima ide baru juga cenderung lebih cepat
mengambil keputusan tentang sesuatu yang diminatinya sesuai dengan tingkat
pendidikan yang dimilikinya.
Struktur umur masyarakat menggambarkan kisaran umur dikedua desa
penelitian bervariasi dengan kisaran 20 – 77 tahun. Pengkategorian tersebut
berhubungan dengan produktivitas, maka sebagian masyarakat yang terlibat
berada di usia produktif (20 – 60) yaitu sebanyak 89% masyarakat, sedangkan
yang tidak terlibat relatif lebih rendah yaitu 86,7%. Rentang usia produktif
dianggap lebih mampu mampu berpartisipasi aktif dalam bidang wisata dan
mampu mengerjakan pekerjaan melayani pengunjung dengan cepat.
61
5.2. Masyarakat yang Terlibat Wisata Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata di GSE merupakan bagian
yang penting dalam pembangunan kepariwisataan di kedua desa penelitian.
Masyarakat lokal dimana mereka memiliki hak akses pemanfaatan atas
sumberdaya alam yang ada di sekitarnya akan memiliki kesempatan yang baik
untuk menangkap peluang berkembangnya wisata alam di daerahnya. Raharjo
(2005), menyatakan bahwa Masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan wisata
dengan berbagai pilihan keterlibatan diantaranya:
1. Membentuk joint venture dengan tour operator dimana masyarakat
menyediakan lebih banyak jasa sedangkan pihak swasta hanya fokus pada
promosi dan pemasaran.
2. Menyediakan layanan kepada tour operator, misalnya menyediakan bahan
makanan, menjadi guide lokal, menyediakan transportasi dan akomodasi lokal
atau kombinasi dari padanya.
3. Menyediakan lahan kepada pihak tour operator. Dalam hal ini masyarakat
masih memungkinkan untuk melakukan monitoring atas dampak dari aktivitas
wisata alam.
4. Mengembangkan program sendiri secara mandiri
5. Bekerja sebagai staf tour operator baik full time atau part time.
Keterlibatan masyarakat Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari menunjukkan
bahwa masyarakat dikedua desa menyediakan layanan langsung kepada
pengunjung dalam hal penyediaan makanan, menjadi guide lokal, menyediakan
transportasi dan akomodasi lokasi atau kombinasi daripadanya. PEMDA
Kabupaten Bogor mulai memberdayakan masyarakat dari kedua desa dengan
membentuk lembaga lokal yaitu KOMPEPAR di kedua desa contoh untuk
mengelola wisata, mengadakan pelatihan kerajinan, promosi GSE, dan lain
sebagainya. Selain itu juga merekrut penduduk Gunung Sari untuk menjadi
kolektor di pintu gerbang obyek-obyek yang dikelola oleh PEMDA.
Perum Perhutani yang sebelumnya mengusahakan wisata lebih banyak
melibatkan penduduk Desa Gunung Bunder 2. Mereka mengembangkan program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) bidang wisata. Mereka
mengadakan pelatihan kerajinan dan usaha-usaha alternatif untuk mengurangi
ketergantungan masyarakat akan sumberdaya hutan. Masyarakat di kedua desa
62
memiliki ketergantungan yang cukup tinggi akan keberadaan hutan diantaranya
adalah pengambilan rumput, kayu bakar, pakis dan kayu gelondongan, lahan
pertanian, pemukiman dan lain-lain.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, sebagai pengelola kawasan
saat ini memiliki mandat untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan dan
integritas kawasan. Pihak TNGHS melibatkan masyarakat Gunung Bunder 2
dengan membentuk semacam volunteer bidang wisata untuk mengelola beberapa
obyek peninggalan Perum Perhutani. Masyarakat Desa Gunung Sari juga sudah
mulai melibatkan diri dengan membentuk kelompok yang akan didorong menjadi
Model Kampung Konservasi (MKK) dengan nama “TANI HIJAU”.
Keterlibatan masyarakat lokal sangat diperlukan untuk keberlanjutan
kegiatan wisata di GSE. Jika masyarakat lokal tidak dilibatkan akan
menimbulkan berbagai macam masalah seperti konflik dengan pengelola maupun
dengan investor luar. Lebih lanjut Mbaiwa (2003) menyatakan bahwa kebencian,
antagonisme dan keterasingan antara masyarakat tuan rumah dan investor wisata
luar jika upaya tidak dibuat untuk menyertakan masyarakat lokal dalam bisnis
wisata. Keberhasilan dan keberlanjutan dari usaha ekowisata, akan tercapai jika
distribusi manfaat ekonomi dari ekowisata sama dengan jumlah aktual manfaat
yang diterima oleh komunitas (Wilkinson dan Pratiwi 1995). Inisiatif, intensitas,
determinan, dan dorongan keterlibatan dalam wisata perlu untuk diketahui untuk
mengetahui sejauh mana masyarakat terlibat dalam wisata di GSE.
Parameter pertama adalah inisiatif keterlibatan diantaranya berusaha sendiri,
dilibatkan oleh keluarga, dilibatkan oleh penyelenggara wisata, dilibatkan aparat
desa dan inisiatif lainnya. Inisiatif keterlibatan didominasi datang dari diri
sebanyak 70% (Tabel 18), hal ini menunjukkan anggota masyarakat secara
mandiri terlibat, dan ada indikasi murni dari masyarakat sendiri.
Tabel 18 Karakteristik keterlibatan masyarakat yang terlibat dalam wisata di Desa Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari
No. Parameter keterlibatan Jumlah (%) n=100 1 Inisiatif Berusaha sendiri 70 Dilibatkan oleh keluarga 8 Dilibatkan oleh penyelenggara wisata 15 Dilibatkan aparat desa 2 Lainnya 5
63
No. Parameter keterlibatan Jumlah (%) n=100
2 Intensitas Selalu 70 Kadang-kadang 20 Jarang 9 Jarang sekali 1 3 Determinan : Faktor yang menentukan keterlibatan Memiliki sarana/prasarana 59 Memiliki hubungan dengan pemilik/pengelola 33 Sebagai aparatur pemerintah 3 Menguasai bahasa asing 1 Lainnya 4 4 Motivasi keterlibatan Kepentingan masa depan 25 Kemandirian ekonomi 38 Lapangan pekerjaan bagi keluarga 6 Peningkatan pendapatan personal 3 Mengisi waktu luang 5 Menambah pendapatan 14 Lainnya 9
Pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan wisata memiliki hubungan
kekerabatan/keluarga. Mereka melibatkan saudaranya untuk berusaha seperti
pemilik warung yang berada di dalam kawasan TNGHS umumnya memiliki
hubungan kekerabatan. Ada sebanyak 8% masyarakat dilibatkan oleh kerabatnya.
Hal semacam ini jika berlangsung terus akan berpotensi menimbulkan berdampak
negatif yang tidak diinginkan, karena hanya beberapa unsur/kelompok masyarakat
saja yang terlibat karena secara ideal partisipasi masyarakat harus melibatkan
semua unsur masyarakat. Meskipun hingga saat ini, belum menimbulkan masalah
yang berarti. Senada dengan hasil penelitian Pratiwi (2008) keterlibatan
pengembangan ekowisata di Cikaniki, Citalahab dan Pangguyangan yang hanya
sekelompok masyarakat tertentu yaitu kelompok elit (elit bias) dan kelompok
yang berada dekat lokasi obyek wisata (by the road bias) saja yang dilibatkan.
Sehingga pengembangan wisata di GSE masih berpotensi menimbulkan konflik
horizontal yaitu antar sesama masyarakat.
Hubungan kekerabatan lebih terlihat dari Desa Gunung Bunder 2, sebagian
besar masyarakat (62%) dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki hubungan
kekerabatan, namun tidak demikian untuk Desa Gunung Sari yang sebagian besar
pendatang. Masyarakat di kedua desa juga memiliki hubungan dengan
64
penyelenggara wisata, terutama saat pembangunan sarana wisata sehingga ada
15% dilibatkan oleh penyelenggara wisata.
Pelibatan oleh penyelenggara wisata, sebagian besar karena mengenal,
pernah bekerja dan percaya kepada orang tersebut. Rachmawati (2010) unsur
kepercayaan memegang peranan penting dalam keterlibatan masyarakat Desa
Gunung Bunder 2 dan Gunung Sari. Para pemilik villa melibatkan pekerja yang
membangun villa untuk mengelola villa. Sebagian besar pemilik villa berasal dari
Jakarta sehingga perlu masyarakat setempat untuk menjaga dan mengelola
villanya. Pengelola villa biasanya sekaligus mengawasi pekerjaan lain dalam villa
seperti memotong rumput, membersihkan sampah, pemeliharaan villa dan lain
sebagainya. Selain kepercayaan pelibatan rmasyarakat dalam kegiatan wisata di
GSE karena memiliki hubungan kekerabatan.
Supaya partisipasi dapat bertahan, menurut teori partisipasi yaitu social
exchange theory yang menyebutkan bahwa masyarakat biasanya terlibat dalam
aktivitas sosial untuk mendapatkan manfaat (Howell et al. 1987 diacu Pratiwi
2008). Teori ini menyarankan tiga faktor penting yang perlu dibangun yaitu
meminimalisasi ongkos, memaksimalkan penghargaan, dan membangun rasa
saling percaya antar para pihak yang terlibat. Berdasarkan observasi dan
wawancara dengan narasumber, mekanisme untuk penghargaan masih sulit
ditemukan, walaupun rasa saling percaya sudah ada indikasi dalam kadar yang
masih sangat kecil. Masyarakat sudah mulai berani dan mau mengeluarkan
‘ongkos’ yang sudah dikeluarkan masyarakat baik berupa tenaga, pikiran, waktu
dan dana.
Parameter kedua adalah intensitas keterlibatan, berkaitan dengan interaksi
masyarakat dengan pengunjung dan curahan waktu masyarakat untuk mengelola
usahanya. Masyarakat di kedua desa memiliki intensitas yang tinggi dalam
melayani pengunjung, sebanyak 70% selalu terlibat dengan pengunjung (Tabel
18). Curahan waktu mereka berkisar 10 jam senin – jumat, sedangkan sabtu –
minggu bisa mencapai 24 jam. Curahan waktu 24 jam, dilakukan oleh pengusaha
warung, mereka rela tidur mereka terganggu untuk melayani pengunjung.
Warung mereka buka dan jika mereka tertidur, pengunjung bisa
membangunkannya untuk memesan kebutuhannya. Mereka yang berprofesi
65
sebagai kolektor juga memiliki intensitas tinggi yaitu selalu terlibat, tetapi curahan
waktu mereka senin-jumat 8 jam dan sabtu – minggu 10 jam.
Intensitas jarang dan kadang-kadang yang dilakukan oleh masyarakat,
karena mereka memiliki pekerjaan lain di luar sektor wisata yang curahan waktu
untuk berinteraksi dengan pengunjung lebih sedikit dibandingkan dengan
masyarakat yang selalu terlibat. Pelaku usaha jasa transporasi memiliki intensitas
jarang sekali karena mereka lebih banyak melayani masyarakat setempat
dibandingkan melayani pengunjung. Pengunjung GSE sebagian besar membawa
kendaraan sendiri baik menggunakan motor maupun mobil.
Intensitas keterlibatan masyarakat dalam usaha wisata di kawasan GSE telah
membentuk pola yang beragam. Pola berusaha mereka meliputi usaha harian,
berusaha setiap hari sabtu dan minggu serta usaha pada saat-saat tertentu, seperti
saat lebaran, natal, tahun baru dan hari libur nasional lainnya. Hasil ini senada
dengan Doro (1994). Usaha masyarakat di sektor wisata yang berpola usaha
harian dengan intensitas terus menerus. Masyarakat yang memiliki intensitas
kadang-kadang adalah yang berusaha hanya pada hari sabtu dan minggu.
Intensitas jarang hingga jarang sekali adalah yang hanya terlibat atau berusaha
jika hari libur nasional, hari raya idul fitri, natal dan tahun baru atau jika ada
permintaan dari pengunjung.
Parameter ketiga adalah determinan keterlibatan lebih menekankan faktor-
faktor yang berpengaruh dalam keterlibatan masyarakat yang akan mempengaruhi
pengembangan bidang kepariwisataan di kawasan GSE. Determinan keterlibatan
yang dominan dimiliki oleh masyarakat adalah memiliki sarana prasarana yaitu
sebanyak 59% (Tabel 18). Memiliki sarana prasarana artinya masyarakat
memiliki sumberdaya/aset berupa (1) warung beserta isinya, (2) lahan, dan (3)
bangunan.
Pemilik usaha baik berupa jasa maupun sarana prasarana yang berada di
dalam kawasan hingga saat ini belum memiliki izin dari pihak berwenang.
Pemilik warung dari Desa Gunung Bunder 2 memiliki kesepakatan dengan
BTNGHS untuk tidak menambah baik luas maupun jumlah warung yang ada di
dalam kawasan. Menurut pihak BTNGHS, warung yang dikelola oleh masyarakat
Desa Gunung Bunder 2 yang berada di dalam kawasan berjumlah 45 warung.
66
Sedangkan Warung-warung, villa, pemukiman dan bangunan lainnya yang berada
di kampung Lokapurna Desa Gunung Sari seluas 256,7 Ha berada didalam
kawasan sangat banyak jumlahnya dan masih dalam proses penyelesaian tukar
guling.
Berdasarakan determinan keterlibatan masyarakat hanya 1% yang memiliki
keahlian atau kemampuan dalam berbahasa asing yaitu bahasa Inggris dan bekerja
di Micheal Resort. Hal ini diduga karena pengunjungnya dari kalangan menengah
ke atas. Karena tempat Micheal Resort yang ekslusif, tertutup, bangunannya yang
mewah, harganya mahal dan system booking/reservasi 15 hari sebelumnnya
Ada hubungan yang erat antara inisiatif keterlibatan dengan determinan
keterlibatan, ada 3% masyarakat yang pada awalnya memiliki inisiatif sendiri
dalam wisata, tetapi dalam perjaanannya direkrut menjadi PNS oleh pemda
Kabupaten Bogor untuk menjadi kolektor. Kemudian kolektor yang berstatus
PNS juga merekrut teman dan saudaranya untuk membantu tugasnya. Sehingga
memiliki hungan dengan pengelola wisata menjadi faktor penentu dalam
keterlibatan masyarakat alam wisata. Ada sebanyak 33% masyarakat yang
dilibatkan karena oleh pengelola/pemilik.
Obyek-obyek wisata yang hingga saat ini dikelola oleh PEMDA Kabupaten
Bogor telah menempatkan satu orang yang berstatus PNS untuk ditempatkan di
Pintu Gerbang, Curug Cigamea, Pemandian Air Panas, Curug Seribu dan Curug
Ngumpet. Mereka berasal dari masyarakat Desa Gunung Sari, lalu merekrut
teman, saudara yang bisa dipercaya untuk membantu tugasnya. Satu lokasi
dibantu oleh 2-3 orang untuk membantu pada hari senin-jumat, sedangkan sabtu-
minggu bisa mencapai > 5 orang. Demikian pula di obyek yang dulunya dikelola
oleh Perum Perhutani dan sudah diserahkan kepada BTNGHS, saat ini dikelola
oleh masyarakat Gunung Bunder 2 sebagai mitra BTNGHS seperti Kawah Ratu,
Bumi Perkemahan Gunung Bunder, Curug Ngumpet 2, dan Curug Cihurang.
Parameter keempat adalah dorongan keterlibatan, menekankan kepada
motivasi yang mendorong seseorang untuk terlibat. Dorongan keterlibatan
masyarakat lebih menekankan kepada aspek sosial ekonomi. Individu yang masih
berada pada tingkat kebutuhan paling dasar menunjukkan bahwa tingkat
kesejahteraannya masih rendah dan membutuhkan berbagai cara untuk dapat
67
meningkatkan perekonomiannya. Dorongan keterlibatan didominasi untuk
kepentingan masa depan dan kemandirian ekonomi masyarakat.
Tabel 18 menunjukkan sebanyak 25% yang memiliki motivasi kepentingan
masa depan dan 38% bermotivasi kemandirian ekonomi. Motivasi kemandirian
ekonomi mendominasi diantara dorongan keterlibatan wisata lainnya.
Kemandirian ekonomi erat kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan materi
bagi rumah tangga masyarakat.
Dorongan untuk membuka lapangan pekerjaan, dilakukan oleh masyarakat yang sudah memiliki anak yang siap untuk hidup mandiri sehingga diharapkan dapat mewariskan usahanya kepada keturunannya. Dorongan mengisi waktu luang dan menambah pendapatan karena mereka sudah memiliki usaha lain selain pekerjaan utamanya yang dapat menghidupi kebutuhan sehari-harinya. Mereka juga memiliki hubungan dengan pihak penyelenggara wisata sehingga mampu menambah pendapatan.
5.3. Masyarakat yang Tidak Terlibat dalam Wisata
Selain masyarakat yang terlibat dalam wisata, adapula masyarakat yang
tidak terlibat dengan berbagai alasan ketidakterlibatannya dalam wisata di GSE.
Kedua masyarakat ini memiliki nilai penting bagi keberlanjutan kegiatan wisata di
GSE, karena tidak memungkinkan seluruh masyarakat terlibat langsung dalam
kegiatan wisata. Berbagai alasan masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata
perlu diketahui untuk memperoleh gambaran dampak wisata bagi mereka yang
tidak terlibat aktif dalam wisata.
Masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan wisata di GSE yaitu
masyarakat yang kondisi sosial dan ekonomi tidak dipengaruhi lagsung oleh
kegiatan wisata, namun tetap mendukung kegiatan wisata. Masyarakat memiliki
mata pencaharian yang tergantung pada lahan pertanian, peternakan, guru, dan
karyawan perusahaan di luar bidang wisata. Dukungan yang dapat diberikan oleh
kelompok masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam pengelolaan
wisata di GSE yakni dapat bersifat teknis dengan ikut serta dalam menyediakan
berbagai kebutuhan masyarakat yang berasal dari hasil pertanian seperti beras,
sayuran serta hasil ternak.
Kartasubrata (1986) mengemukakan bahwa syarat-syarat yang diperlukan
agar masyarakat dapat berpartisipasi dapat dikelompokkan dalam tiga golongan
68
yaitu : (1) Adanya kesempatan untuk membangun atau ikut dalarn pembangunan;
(2) Kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu; dan (3) Adanya kemauan
untuk berpartisipasi. Dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi mencakup
faktor-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan. Masyarakat
dikedua desa memiliki berbagai alasan untuk tidak terlibat dalam wisata. Antar
berbagai alasan tersebut saling melengkapi, karena pada dasarnya tidak ada alasan
tunggal mengapa masyarakat tidak terlibat dalam wisata.
Hasil wawancara dan kuisioner menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat dikedua tidak terlibat karena mereka memiliki pekerjaan di luar
bidang wisata yang telah menyita waktu mereka (Tabel 19). Ada 80% masyarakat
yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja di sektor
wisata, senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni (2002). Mereka
juga menyatakan bahwa tidak memiliki kapasitas, baik berupa pengetahuan
maupun modal (berupa uang) sehingga mereka beranggapan memiliki resiko
kegagalan yang tinggi.
Tabel 19 Alasan ketidakterlibatan masyarakat Desa Gunung Sari dan Gunung Bunder 2 dalam kegiatan wisata GSE
Kegiatan di luar wisata, bagi masyarakat yang tidak terlibat memiliki potensi dan prospek yang menjanjikan dan sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka, hal inilah yang menyebabkan ada 10% masyarakat yang sangat antipasti terhadap sektor wisata (Tabel 19). Sedikit berbeda dengan hasil Ulfah (2007) dan Rachmawati (2010) yang menyatakan pelibatan masyarakat tidak merata dan kurang informasi. Dari hasil wawancara menunjukkan sebagian besar (90%) tidak berminat untuk ikut untuk usaha di sektor wisata. Mereka juga beranggapan bahwa sektor wisata hanya menghasilkan saat ramai pengunjung dan sangat tergantung dengan pengunjung yaitu pada hari sabtu-minggu atau hari libur
69
nasional. Sedangkan jika bekerja di luar sektor wisata bisa setiap hari menghasilkan uang. Hasil penelitian sebelumnya juga menyatakan hal yang senada diantaranya Nugraheni (2002) yang menyatakan masyarakat tidak ingin terlibat karena tidak punya waktu, sibuk dengan pekerjaan yang lain, uang yang dihasilkan dari wisata lebih sedikit.
Tidak terlibatnya masyarakat dikedua desa lebih disebabkan oleh berbagai faktor penghalang atau hambatan dalam partisipasi, bukannya tidak ada kesempatan. Karena masyarakat di kedua desa mengakui adanya akses sebagaimana dinyatakan oleh Kartasubrata (1986) syarat untuk berpartispasi adalah adanya kesempatan, kemauan, kemampuan untuk berpartisipasi dalam wisata. Namun faktor-faktor penghalang struktural berupa jarak yang jauh menuju ke tempat wisata. Masyarakat beranggapan bahwa yang ikut terlibat dalam kegiatan wisata biasanya dari Kampung Lokapurna untuk Gunung Sari dan Kampung Bedeng untuk Desa Gunung Bunder 2 yang letaknya lebih dekat ke lokasi wisata GSE.
Selain penghalang struktural juga adanya penghalang kultural (budaya) Moscardo (2008); Tosum (2000) diacu dalam Aref dan Redzuan (2008) berupa kurangnya kemampuan masyarakat lokal untuk beradaptasi dengan perberkembangan dinamika sosial yang ada, sikap apatis dan rendahnya kesadaran dan pemahaman masyarakat lokal terkait dalam partisipasi dalam sektor wisata. Sikap apatis dapat dilihat dari 63% masyarakat merasa kurang memiliki kapasitas individu yang memadai.
Masyarakat yang tidak terlibat dalam wisata juga menyadari bahwa tidak mungkin terlibat semua dalam wisata, karena mereka memiliki peran dan keamampuan lain di luar wisata. Walaupun jumlah masyarakat yang terlibat wisata di Gunung Sari hanya 6,3% dan Gunung Bunder 2 hanya 0,4% (Rachmawati 2010) bukanlah penghalang bagi keberlanjutan kegiatan wisata di GSE. Tidak terlibat dalam wisata, bukan berarti tidak mendukung wisata di GSE, tetapi dukungan yang bersifat pasif telah dilakukan oleh masyarakat yaitu berupa keramahtamahan, senyuman, sambutan dan sapaan. Anggapan bahwa semakin banyak yang berartisipasi dalam suatu kegiatan akan membuat kegiatan tersebut berkelanjutan, tidaklah demikian untuk kasus di kedua desa yang diteliti.