-
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Kampung
Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses sejarah
perkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung
diindikasikan dari
hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus
gallus) dan ayam
hutan hijau atau green jungle fowls (Gallus varius). Awalnya,
ayam tersebut hidup
di hutan, kemudian didomestikasi serta dikembangkan oleh
masyarakat pedesaan
(Yaman, 2010). Ayam kampung merupakan salah satu dari keluarga
ayam buras
yang dapat dimanfaatkan baik telur maupun dagingnya. Ayam
kampung berukuran
kecil dan mempunyai bentuk agak ramping. Ayam ini mempunyai
warna bulu
putih, hitam, coklat, kuning kemerahan, kuning ataupun kombinasi
dari warna-
warna tersebut (Cahyono, 2002).
Di Indonesia, terdapat berbagai jenis ayam kampung, sebagian
sudah
teridentifikasi dan sebagian lagi belum. Pemahaman masyarakat
tentang ayam
kampung mungkin tiap daerah berlainan. Namun, secara umum ayam
kampung
mempunyai warna bulu beragam (hitam, putih, cokelat, kuning dan
kombinasinya),
kaki cenderung panjang dan berwarna hitam, putih, atau kuning
serta bentuk tubuh
ramping. Ayam kampung asli Indonesia yang sudah banyak dikenal
misalnya ayam
pelung, ayam kedu, ayam merawang, dan ayam sentul (Suharyanto,
2007). Akibat
proses budidaya dan perkawinan antar keturunan secara alam atau
liar, serta
pengaruh lingkungan yang berbeda-beda maka terbentuklah berbagai
macam tipe
ayam dengan beragam penampilan fisik dan varietas (Nuroso,
2010). Ayam buras
-
9
di Indonesia memiliki berbagai macam jenis sesuai asal dan
potensi pemanfaatanya,
berikut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ayam buras di Indonesia, daerah asal, dan potensi
pemanfaatannya
Nama ayam Daerah asal Potensi pemanfaatan
Pelung Cianjur Daging, suara
Sentul Ciamis Dwiguna
Nagrak Sukabumi Daging
Banten Banten Petarung
Ciparage Karawang Petarung
Siem Jawa Dwiguna
Wareng Jawa Petelur
Kedu hitam Temanggung Petelur
Kedu Putih Temanggung Petelur
Kedu cemani Temanggung Obat tradisional
Sedayu Magelang Pedaging
Gaok Madura Daging
Bangkalan Madura Dwiguna
Olagan Bali Dwiguna
Nusa penida Bali Petelur
Nunukan Kalimantan Timur Petelur
Ayunai Merauke Dwiguna
Tolakai Sulawesi Selatan Petarung
Tukung Kalimantan Barat Hias
Sumatera Sumatera bagian Tengah Petelur
Burgo Sumatera Selatan Hias
Merawang Suamtera Selatan Petelur
Kukuak balenggek Sumatera Barat Suara
Melayu Suamtera Utara Dwiguna
Bangkok Tersebar Petarung
Bekisar Madura Suara
Walik/Rintit Tersebar Hias
Kampung Tersebar Dwiguna
Maleo Sulawesi Tengah, Maluku Satwa Langka
KUB Jawa Barat Dwiguna
Sumber : Nataamijaya (2000)
Ayam kampung atau dikenal juga sebagai ayam buras mempunyai
banyak
kegunaan dan manfaat untuk menunjang kehidupan manusia antara
lain
pemeliharaannya sangat mudah karena tahan pada kondisi
lingkungan, pengelolaan
yang buruk, tidak memerlukan lahan yang luas, bisa dilahan
sekitar rumah, harga
-
10
jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam
pedaging lain dan
tidak mudah stress terhadap perlakuan yang kasar dan daya tahan
tubuhnya lebih
kuat di bandingkan dengan ayam pedaging lainnya (Nuroso, 2010).
Selain
kelebihan-kelebihan tersebut, ayam kampung juga memiliki
beberapa kelemahan,
antara lain sulitnya memperoleh bibit yang baik dan produksi
telurnya yang lebih
rendah dibandingkan ayam ras, pertumbuhannya relatif lambat
sehingga waktu
pemeliharaannya lebih lama, keadaan ini terutama disebabkan oleh
rendahnya
potensi genetik (Suharyanto, 2007).
Ayam kampung mempunyai bobot hidup rata-rata 205,21 gram pada
umur
tiga minggu. Bobot ayam kampung mencapai 865 gram pada umur
sembilan
minggu (Santosa, 2004). Peranan ayam kampung sebagai penyedia
daging dan telur
untuk memenuhi konsumsi protein hewani sangat berarti terutama
bagi masyarakat
perdesaan. Kontribusi ayam kampung terhadap produksi daging
unggas cukup
tinggi. Pada tahun 2014 sampai 2018 terjadi peningkatan produksi
ayam kampung
sebanyak 10,86% dan pada tahun 2014 sampai 2016 konsumsi ayam
kampung dari
0,469 kg/kapita/tahun meningkat menjadi 0,626 kg/kapita/tahun
(Anonim, 2017 ).
Selera konsumen terhadap ayam kampung yang dari tahun ke tahun
semakin
meningkat. Besarnya permintaan akan produk ayam kampung belum
mampu
dipenuhi oleh peternak ayam kampung terutama bila permintaan
dalam jumlah
besar dan kontinu. Untuk mengatasi masalah ini perlu dicari
berbagai alternatif
untuk meningkatkan produktivitas ayam kampung.
-
11
Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB)
Ayam Kampung Unggul Balitnak atau yang disingkat ayam KUB
(Hidayat
dkk., 2011) adalah ayam kampung murni hasil dari seleksi galur
betina selama 6
generasi dimana satu generasi membutuhkan waktu penelitian
selama kurang lebih
12 sampai 18 bulan. Karakteristik warna bulu ayam KUB sama
seperti ayam
kampung pada umumnya. Bibit ayam KUB berasal dari ayam kampung
unggul di
DKI Jakarta dan berbagai daerah di Jawa Barat seperti Depok,
Karakal Ciawi,
Cianjur, Jatiwangi (Anonim, 2013).
Ayam KUB jika dibandingkan dengan ayam kampung biasa mampu
memproduksi telur lebih tinggi (Hidayat dkk., 2011). Ayam KUB
memiliki
beberapa keunggulan lainnya yaitu mampu menghasilkan telur
mencapai 160
sampai 180 butir/ekor/tahun, ayam dapat cepat bertelur kembali
karena masa
mengeram berkurang hingga tinggal 10%, ayam ini juga dapat
tumbuh lebih cepat
daripada ayam kampung biasa, dan rasa daging ayam KUB juga
gurih, sama seperti
ayam kampung pada umumnya (Anonim, 2016).
Ciri-ciri indukan (parent stock) ayam KUB yaitu produksi telur
lebih kurang
180 butir per tahun sedangkan pada final stock sekitar 180-200
butir per tahun, awal
bertelur pada umur 18 minggu, puncak produksi pada 27 minggu,
daya tetas 84%,
dan konsumsi pakan lebih kurang 90 gram per ekor per hari.
Keunggulan parent
stock ayam KUB antara lain produksi telur lebih tinggi, sifat
mengeramnya lebih
pendek, lebih tahan terhadap penyakit, dan konsumsi pakan lebih
efisien (Anonim,
2013).
-
12
Kegiatan seleksi untuk mendapatkan ayam kampung unggul, telah
diawali
sejak tahun 1997 dengan cara mengambil calon bibit dari berbagai
daerah di Jawa
Barat yang meliputi Jatiwangi, Depok, Karakal Ciawi, DKI dan
Cianjur. Calon bibit
ayam kampung tersebut, dipelihara secara intensif di kandang
Percobaan Balitnak
Ciawi. Perkawinan dilakukan dengan teknik kawin suntik (IB) yang
diikuti dengan
recording yang ketat untuk menghindari terjadinya in breeding.
Selama periode
pemeliharaan, diberikan pakan standard yang sesuai dengan
kebutuhan gizi ayam
kampung. Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) mempunyai kelebihan
lainnya,
yaitu mengandung gen MX++ 60%, gen penanda ketahanan terhadap
flu burung
sehingga membuatnya lebih tahan terhadap serangan AI. Sebagai
perbandingan,
ayam broiler tidak mengandung gen tersebut, sementara pada ayam
kampung biasa
kandungan gen tersebut di bawah 60% (Anonim, 2013).
Pakan Ayam Kampung
Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
pemeliharaan
ternak termasuk ternak ayam kampung, karena biaya untuk pakan
mencapai 60–
70% dari total biaya produksi. Hal ini disebabkan pakan
merupakan sumber gizi
dan energi sehingga ternak dapat hidup, tumbuh dan bereproduksi
dengan baik
(Mahfudz et al., 2004).
Secara umum, kebutuhan gizi untuk ayam paling tinggi selama
minggu
awal (0-8 minggu) dari kehidupan, oleh karena itu perlu
diberikan ransum yang
cukup mengandung energi, protein, mineral dan vitamin dalam
jumlah yang
seimbang. Faktor lainnya adalah perbaikan genetik dan
peningkatan manajemen
pemeliharaan ayam kampung harus didukung dengan perbaikan
nutrisi pakan
-
13
(Setioko dan Iskandar, 2005).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan
produktivitas ayam kampung dipengaruhi oleh imbangan protein dan
energi
metabolis pakan. Bobot badan ayam kampung umur 0-6 minggu yang
diberi pakan
mengandung protein 14% dan energi metabolis 2.300-2.900 kkal/kg,
meningkat
dari 35,9 g menjadi 45,5 g/ekor, memperbaiki konversi pakan dari
6,6 menjadi 4,2,
dan meningkatkan bobot karkas dari 70,7% menjadi 73,4%
(Resnawati 2012).
Kebutuhan gizi ayam kampung sesuai dengan kandungan nutrisi yang
dibutuhkan
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan gizi ayam kampung
Gizi Pakan Umur (0-12 minggu )
Energi Metabolis (kkal/kg) 2600(2)-2800(1)
Protein Kasar (%) 17-20(2)
SK (%) 4-7(2)
LK (%) 4-7(3)
Kalsium (%) 0,9(1)
Fosfor Tersedia (%) 0,45(1)
Sumber : (1) Iskandar (2010), (2) Nawawi dan Norrohmah (2002)
dan (3) Zainudin,
(2006).
Pemberian pakan pada ayam kampung dengan imbangan protein 20%
dan
energi metabolis 2.800 kkal/kg meningkatkan bobot badan menjadi
520,6 g dan
efisiensi konversi pakan 2,60 pada umur 8 minggu (Resnawati,
2005). Data ini
menunjukkan bahwa kebutuhan imbangan protein dan energi
metabolis untuk
ayam kampung pedaging lebih rendah dibandingkan dengan ayam ras
pedaging,
yaitu 23% protein pada umur 0-6 minggu dan 20% pada umur >6
minggu, dengan
energi metabolis 3.000 kkal/kg (NRC 1994).
Sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi ransum untuk
memperoleh
energi sehingga jumlah makanan yang dimakan tiap harinya
berkecenderungan
-
14
berhubungan erat dengan kadar energinya. Bila persentase protein
yang tetap
terdapat dalam semua ransum, maka ransum yang mempunyai
konsentrasi ME
tinggi akan menyediakan protein yang kurang dalam tubuh unggas
karena
rendahnya jumlah makanan yang di konsumsi dalam tubuh unggas.
Sebaliknya,
bila kadar energi kurang maka unggas akan mengkonsumsi makanan
untuk
mendapatkan lebih banyak energi akibatnya kemungkinan akan
mengkonsumsi
protein yang berlebihan (Tillman et al., 1991).
Kebutuhan Pakan Ayam KUB
Bahan pakan pada ayam KUB dapat diberikan dengan lebih dari
dua
campuran. Adapun jenis bahan pakan yang dapat diberikan pada
ayam berupa
dedak padi, jagung, bungkil kelapa, bungkil inti sawit, tepung
singkong, menir,
beras, tepung ikan, ikan rucah, ikan asin, tepung daun lamtoro,
dedak jagung, polar,
sagu, tepung keong, tepung cangkang kerang, tepung kapur,
bungkil kacang tanah,
bungkil kedele, sorghum, asam amino, garam dapur, antibiotika,
premix vitamin
dan mineral serta herbal kesehatan untuk daya tahan tubuh
seperti jamu ternak
fermentasi dan anti koksidiosis (Hayanti, 2014).
1. Bangsa ayam (tingkat produktifitas, ukuran tubuh, prilaku)
Untuk ayam petelur
pada masa bertelur membutuhkan pakan lebih banyak (Lihat Tabel
3).
2. Kualitas bahan pakan (kadar serat kasar)
3. Bentuk ransum
- Mash atau tepung + biji pecah lembut, kasar
- Crumble atau pelet pecah, granul
- Pelet
-
15
4. Pemberian secara ad libitum (tidak terbatas)
- Kering
- Pasta /semi basah (Hayanti, 2014).
Pemberian pakan berdasarkan:
5. Umur ayam
Kebutuhan pakan Ayam KUB sesuai umur dapat dilihat pada
Tabel
Tabel 3. Kebutuhan pakan ayam KUB berdasarkan tingkatan umur
Umur ( minggu) Kebutuhan pakan ( g/e/hari )
0-1 05-10
1-2 10-15
2-3 15-20
3-4 20-25
4-5 25-30
5-6 30-40
6-7 40-50
7-8 50-70
Menjelang bertelur 80-90
Priode bertelur 90-100
Sumber : Hayanti (2014)
Rata-rata konsumsi pakan ayam KUB berkisar antara 101-105
g/ekor/hari
mendekati konsumsi pakan ayam kampung lainnya. Rata-rata
konsumsi pakan
ayam KUB ini lebih tinggi dengan yang dilaporkan Hidayat et al.
(2011) yaitu
berkisar antara 81-85 g/ekor/hari dengan angka konversi pakan
lebih besar (5,06).
Pemenuhan kebutuhan pakan ayam KUB yang dipelihara peternak di
Desa Teluk
Cati, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan antara
lain dengan
memanfaatkan limbah pertanian. Bobot badan ayam KUB umur satu
dan lima bulan
di KBI masing-masing memperlihatkan rata-rata sebesar 455 g/ekor
dan 1.780
g/ekor, lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat peternak
yaitu 410 dan 1.670
g/ekor. Rata-rata bobot badan ayam KUB ini lebih tinggi dengan
yang dilaporkan
-
16
Hidayat et al., (2011) yaitu 1.318 g/ekor. Konversi pakan
merupakan perhitungan
antara jumlah konsumsi pakan dengan bobot badan atau berat telur
yang dihasilkan
selama pemeliharaan.
Ayam KUB memiliki kinerja lebih baik dibandingkan ayam kampung
biasa.
Pembandingan kinerja ayam KUB dan ayam kampung biasa berdasarkan
sistem
pemeliharaannya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan kinerja ayam kampung biasa dengan ayam KUB
pada sitem
pemeliharaan yang berbeda
Cara
pemeliharaan
Uraian Ayam
kampung
KUB
Ekstensif*) Semi Intensif*) Intensif*) Intensif
Produksi telur
(butir/induk/th)
47 59 146 180
Produksi telur (%) 13 29 40 44-70
Frekuensi bertelur
(kali/th)
3 6 7 Tanpa
clutch
Setiap hari
Puncak produksi
(%)
- - 50 65-70
Umur pertama
Bertelur (mg)
28 22-26 20-24 20-22
Daya tetas telur
(%)
74 79 84 85
Bobot telur
(g/butir)
39-48 39-48 39-43 36-45
Frekuensi
terjadinya
mengeram (%)
100 100 30-100 10
Konsumsi pakan
(g/ekor/h)
< 60 60-68 80-100 80-85
Konversi pakan > 10 08-okt 4.9-6.4 3.8
Mortalitas s/d 6
minggu (%)
50-60% 34-42
-
17
Konsentrat
Konsentrat adalah suatu bahan pakan yang dipergunakan bersama
bahan
pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan
makanan dan
dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai pakan
pelengkap. Konsentrat
atau pakan penguat dapat disusun dari biji-bijian dan limbah
hasil proses industri
bahan pangan seperti jagung giling, tepung kedelai, menir,
dedak, bekatul, bungkil
kelapa, tetes dan umbi. Peranan konsentrat adalah untuk
meningkatkan nilai nutrien
yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh
dan
berkembang secara sehat (Hartadi et al., 2005).
Pakan konsentrat adalah pakan yang diproses dengan teknologi
modern
yang higinies yang memiliki nilai gizi dengan kisaran protein
17– 23% dan telah
disusun sesuai kebutuhan ternak serta pemberiannya tidak perlu
dicampur dengan
bahan pakan lain. Pakan konsentrat terdiri dari 2 jenis yaitu
pakan konsentrat
sumber energi dan pakan konsentrat sumber protein yang memiliki
kandungan
protein mencapai 27–42% dan biasanya pemberiannya masih dicampur
dengan
bahan pakan lainnya (Anonim, 2002).
Diwarta (2013) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam bentuk
pakan
konsentrat yaitu; bentuk tepung (mash) yang biasanya diberikan
untuk ayam petelur
fase grower dan layer dan puyuh petelur fase stater dan layer;
bentuk pellet,
biasanya untuk ayam petelur fase layer dan ayam pedaging fase
finisher; bentuk
crumble (pecahan pellet), biasanya untuk ayam pedaging fase
stater, ayam petelur
fase starter, grower dan layer.
-
18
Keong Mas
Keong mas (Pomacea canaliculata) adalah siput sawah dengan
warna
cangkang keemasan, kadang dianggap hama tetapi berprotein
tinggi. Keong mas
disebut hama karena menjadi pemakan tanaman padi di areal
persawahan. Telur
keong mas dapat menempel dan menetas pada batang padi, sehingga
menyebabkan
tanaman padi mati serta petani gagal panen. Keong memiliki
kandungan gizi sangat
tinggi karena daging keong mengandung protein. Daging keong
dapat diolah
menjadi bahan makanan dengan teknik pengolahan yang tepat.
Misalnya, daging
keong bisa dibuat menjadi keripik, kerupuk, tepung hingga pupuk
dan campuran
pakan ternak. Daging keong mas tidak haram karena hidup di satu
alam dan tidak
bertulang belakang (Sulistiono, 2010). Bentuk morfologi keong
mas dapat dilihat
pada Gambar 1.
Klasifikasi keong mas (Pomacea canaliculata) menurut Cazzaniga
(2002)
adalah sebagai berikut:
Filum : Molusca
Kelas : Gastropoda
Subkelas : Prosobranchiata
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Ampullariidae
Genus : Pomacea
Spesies : Pomacea canaliculata
-
19
Gambar 1. Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck)
Sumber : a) (Afrianty, 2010).
b) (Tamud, 2009).
Keong mas hidup di kolam, sawah beririgasi dan kanal. Keong
mas
membenamkan diri pada tanah lembab selama musim kering. Keong
mas dapat
bertahan hidup hingga 6 bulan dengan melakukan estivasi dengan
cara menutup
operkulum dan membenamkan diri dalam tanah. Keong mas menjadi
aktif kembali
ketika tanah tempat hidupnya tergenang air. Keong mas dapat
bertahan hidup pada
kondisi lingkungan yang keras, seperti pada perairan tercemar
atau perairan yang
memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah. Hal ini
dikarenakan keong mas
memiliki insang (ctenidium) dan organ menyerupai paru-paru,
sehingga
memungkinkan keong mas dapat bertahan hidup di dalam dan di luar
air (DA-
PhilRice, 2001).
Keong mas memiliki karakteristik khusus yang dapat digunakan
untuk
membedakan dengan keong-keong jenis lain yang hidup pada habitat
yang sama.
Keong mas dewasa memiliki cangkang berwarna coklat dan daging
berwarna putih
krem hingga emas kemerah-merahan. Ukuran tubuhnya sangat beragam
dan
bergantung pada ketersediaan makanan. Ukuran diameter cangkang
keong mas
dapat mencapai 4 cm dengan berat 10-20 gram. Keong mas memiliki
umbilicus
terbuka. Operkulum yang menutupi lubang aperture terbuat dari
kitin dan
-
20
merupakan operkulum tipe konsentris (Ardhi, 2008). Perbedaan
antara keong mas
jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perbedaan keong mas jantan dan betina
(Sumber: DA-PhilRice, 2001)
Keong mas dikategorikan sebagai hewan omnivora. Keong mas
dapat
memakan keong-keong jenis lain seperti Biomphalaria glabrata dan
Bulinus sp.
Keong Biomphalaria glabrata dan Bulinus sp merupakan inang
perantara parasit
trematoda dan dapat menyebabkan penyakit gatal (Sulistiono,
2007). Keong mas
juga dapat bersifat kanibalisme memakan telur-telurnya dan
juvenil-juvenil keong
mas yang baru menetas (Horn et al., 2008).
Pemanfaatan Keong Mas
Pemanfaatan keong mas, baik dibidang penyediaan pangan maupun
pakan,
merupakan salah satu bentuk usaha pengendalian keong mas yang
merupakan hama
berbahaya bagi sektor pertanian, khususnya pertanian padi.
Pengumpulan keong-
keong di areal persawahan juga termasuk salah satu usaha
pengendalian hama
keong mas ini. Keong-keong yang terkumpul biasanya diolah
menjadi bahan pakan
bagi ternak. Pengolahannya sebagai bahan pangan telah banyak
dilakukan, seperti
fortifikasi daging keong mas dalam pembuatan kerupuk keong mas,
fortifikasi
-
21
daging keong mas dalam pembuatan cracker “chicharon”, pembuatan
kecap, sate
keong, pepes keong, sambel keong, dendeng dan menu keong
lainnya. Keong mas
juga digunakan sebagai obat penyakit kulit, penyakit kuning, dan
penyakit liver
(Sulistiono, 2007). Selain itu, juga dapat bermanfaat untuk
meningkatkan
kecerdasan dan dapat meningkatkan vitalitas (Sumitro, 2009).
Daging keong mas
sebanyak 100 gram mengandung energi sebesar 83 kalori, fosfor 61
mg, sodium 40
mg, potasium 17 mg, riboflavin 12 mg, niacin 1,8 mg, vitamin C,
zinc, tembaga,
mangan dan iodium (DA-PhilRice, 2001). Komposisi kimia keong mas
dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi Kimia Keong Mas
Komposisi Kimia
(%)
Daging Lumat
Segar1)
Daging Segar2) Daging Segar3)
Kadar Air 84,70 82,37 77,60
Kadar Protein 9,33 8,69 12,20
Kadar Lemak 0,91 0,78 0,40
Kadar Abu 1,43 1,47 3,20
Kadar Serat Kasar 3,10 6,68 -
Karbohidrat 0,10 - 6,60 Sumber: 1) Nurjanah et al. (1996); 2)
Kamil et al. (1998); 3) DA-PhilRice (2001).
Pemanfaatan keong mas sebagai pakan ternak juga telah banyak
dikembangkan. Dalam bentuk segar, keong mas digunakan sebagai
pakan sumber
protein untuk ternak itik, ayam broiler, burung puyuh, budidaya
ikan patin, ikan
gabus, ikan sidat, udang, kepiting dan lobster air tawar.
Pemberian pakan berbasis
protein keong mas pada ternak burung puyuh (Coturnix coturnix)
dan budidaya ikan
gabus (Chana striata) serta ikan sidat (Anguilla sp.),
memberikan pertumbuhan
yang baik pada hewan-hewan budidaya tersebut (Sulistiono,
2007).
Daging keong mas yang akan digunakan untuk fortifikasi tepung
ikan
(pakan), harus diolah terlebih dahulu menjadi tepung keong mas.
Hasil penelitian
-
22
Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa tepung keong mas memiliki
kadar air
sebesar 8,03-8,73%, kadar protein 65,50-70,67%, kadar lemak
1,27-1,43%, kadar
abu 9,13-10,47%, kadar serat kasar 8,19-9,59%, dan kadar garam
0,56-1,69%.
Kadar asam amino esensial tepung keong mas yang paling tinggi
adalah leusin (44,8
mg/g protein) dan terendah adalah metionin (10,54 mg/g protein).
Jenis asam amino
esensial yang paling sedikit adalah triptofan. Lisin yang
biasanya menjadi asam
amino pembatas, ternyata pada tepung keong mas ini memiliki skor
kimia yang
cukup (41,29 mg/g protein) dan tidak menjadi asam amino
pembatas, sehingga
dapat digunakan sebagai suplemen pakan yang kurang lisin
(Sulistiono, 2007).
Harmentis et al. (1998) telah mencoba membuat tepung daging
keong mas
(Pomacea canaliculata) untuk pakan ayam. Tepung daging keong mas
dibuat
dengan terlebih dahulu direndam dalam larutan kapur 5% selama 60
menit dan
kemudian dikeringkan dengan sinar matahari. Tepung keong mas ini
mempunyai
kandungan protein kasar 46,2%, metionin 0,3%, lisin 1,37%, lemak
5,15%, serat
kasar 1,43%, kalsium 2,98%, dan fosfor 0,35% serta dapat
digunakan dalam ransum
ayam broiler sebanyak 4%.
Sinurat (1999) menyatakan tepung keong mas mempunyai
kandungan
protein 46,2%; metionin 0,3%; lisin 1,37%; lemak 5,15%; serat
kasar 1,43%;
kalsium 2,98%; fosfor 0,35% dan mengandung zat anti nutrisi.
Proses perebusan
dalam pembuatan tepung keong mas dapat mencegah dampak negatif
zat anti nutrisi
(Budiari et al., 2016), sehingga penambahan tepung keong mas
yang memiliki
kandungan nutrisi dan protein yang tinggi terutama pada
perlakuan 4%, diduga
memenuhi kebutuhan nutrisi ayam broiler.
-
23
Rodiallah (2018) dalam penelitiannya menyatkan bahwa
penambahan
tepung keong mas pada taraf 4% (R2) dalam ransum standar
komersil mampu
meningkatkan performa ayam broiler yang ditandai dengan
peningkatan konsumsi
ransum, pertambahan berat badan dan penurunan angka konversi
ransum. Tepung
keong mas dapat digunakan hingga taraf 4% dalam ransum standar
komersil.
Silase
Ensilase merupakan metode untuk pengawetan pakan ternak yang
telah
digunakan secara luas melalui proses fermentasi secara alamaiah
(Weinberg et al.,
2004; Chen dan Weinberg, 2009). Silase berkualitas baik akan
dihasilkan ketika
fermentasi didominasi oleh bakteri yang menghasilkan asam
laktat, sedangkan
aktivitas bakteri clostridia rendah (Santoso et al., 2009).
Prinsip pembuatan silase
adalah mempertahankan kondisi kedap udara dalam silo semaksimal
mungkin.
Kondisi kedap udara dapat diupayakan dengan cara pemadatan bahan
silase
semaksimal mungkin dan penambahan sumber karbohidrat
fermentabel.
Prinsip dasar pembuatan silase adalah fermentasi pakan oleh
mikroba yang
banyak menghasilkan asam laktat. Mikroba yang paling dominan
adalah dari
golongan bakteri asam laktat homofermentatif yang mampu
melakukan fermentasi
dari keadaan aerob sampai anaerob. Asam laktat yang dihasilkan
selama proses
fermentasi akan berperan sebagai zat pengawet sehingga dapat
menghindarkan dari
bakteri pembusuk (Ridwan, 2005).
Kushartono dan Iriani (2005) menjelaskan bahwa dalam pembuatan
silase
perlu diperhatikan beberapa aspek penting yang akan menunjang
dalam hal
pembuatan maupun ketersediaan silase. Aspek tersebut antara lain
konsistensi,
-
24
ketersediaan bahan dan harga. Media fermentasi dalam pembuatan
silase
merupakan faktor penentu yang paling penting untuk pertumbuhan
mikroba. Media
fermentasi merupakan starter penentu cepat lambatnya proses
fermentasi. Selain hal
tersebut aspek kesukaan ternak terhadap bahan pakan juga perlu
diperhatikan,
karena ternak lebih suka pakan yang yang memiliki kandungan
karbohidrat tinggi
berupa gula seperti rumput, shorgum, jagung, biji-bijian kecil,
tanaman tebu,
tongkol gandum, tongkol jagung, pucuk tebu, batang nanas, dan
jerami padi
(Anonim, 2011).
Secara esensial tujuan peternak membuat silase adalah sebagai
alternatif
pakan ternak pada saat musim kemarau datang akibat susahnya
memperoleh pakan
ternak pada saat musim kemarau, meskipun hal ini sangat
kontradiktif dengan
kondisi ketersediaan pakan pada saat musim hujan, namun dengan
adanya silase
kesulitan dalam memperoleh pakan ternak pada musim kemaraupun
dapat teratasi.
Selain itu tujuan dibuatnya silase adalah untuk memaksimalkan
pengawetan
kandungan nutrisi yang terdapat pada bahan pakan ternak, agar
bisa disimpan dalam
kurun waktu yang lama (Anonim, 2011).
Ratnakomala (2009) menambahkan bahwa pada saat proses ensilase
terjadi
3 proses perombakan yang penting yaitu proses yang terjadi pada
pakan, proes
kimiawi dan proses biologis. Silase atau yang akrab dikenal
sebagai awetan basah
pakan ternak yang merupakan hasil fermentasi dari bakteri asam
laktat khususnya
bakteri asam laktat homofermentatif. Pada masa ensilase sebagian
bakteri golongan
ini mampu memecah selulose menjadi hemiselulose menjadi gula
sederhana.
Sebagian lagi bakteri menggunakan gula sederhana tersebut
menjadi asam asetat,
-
25
laktat atau butirat. Proses fermentasi yang sempurna haruslah
menghasilkan produk
berupa asam laktat, karena asam laktat yang dihasilkan oleh
bakteri asam laktat
akan menghindarkan pakan dari kerusakan dan juga serangan
bakteri pembusuk,
sehingga pakanpun akan lebih awet dan tahan lama. Asam laktat
yang terkandung
dalam silase yang dikonsumsi digunakan oleh ternak sebagai
sumber energi dan
juga sebagai probiotik (Widyastuti, 2008).
Ohmomo et al. (2002) menyatakan bahwa materi yang baik untuk
pembuatan silase mempunyai kisaran kandungan bahan kering
35%-40%.
Kandungan bahan kering yang kurang dari 35%, mengakibatkan hasil
silase yang
terlalu asam dan silase akan kelihatan berair. Cairan dalam
silase yang keluar
selama proses fermentasi akan mengakibatkan penurunan kandungan
nutrisi silase.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thalib et al. (2000)
dijelaskan bahwa
derajat keasaman asam laktat adalah yang paling asam
dibandingkan asam-asam
organik yang lainnya yang terbentuk selama proses fermentasi,
oleh karena itu
penggunaan bakteri asam laktat sebagai inokulum dalam pembuatan
silase sangat
dianjurkan, karena dengan derajat keasaman yang dimiliki bakteri
asam laktat dapat
menghambat serangan dari bakteri yang merugikan.
Tepung Silase Keong Mas
Pemanfaatan keong mas sebagai pakan ternak merupakan salah satu
solusi
untuk mendapatkan pakan ternak alternatif dan berkualitas untuk
mendorong
peningkatan produksi usaha ternak. Daging keong dapat diberikan
untuk pakan
ternak dalam keadaan mentah (segar) maupun dalam bentuk olahan.
Biasanya
-
26
keong mas dijadikan pakan pada jenis ternak seperti sapi,
kambing, unggas (ayam,
itik).
Daging keong mas yang digunakan untuk substitusi konsentrat
(pakan),
harus diolah terlebih dahulu menjadi tepung keong mas atau
tepung siput murbei.
Hasil penelitian Kamil et al. (1998) menunjukkan bahwa tepung
keong mas
memiliki kadar air 8,03-8,73%, kadar protein 65,50-70,67%, kadar
lemak 1,27-
1,43%, kadar abu 9,13-10,47%, kadar serat kasar 8,19-9,59%, dan
kadar garam
0,56-1,69%. Kadar asam amino esensial tepung keong mas yang
paling tinggi
adalah leusin (44,8 mg/g protein) dan terendah adalah metionin
(10,54 mg/g
protein). Jenis asam amino esensial yang paling defisien adalah
triptofan,
sedangkan lisin yang biasanya menjadi asam amino pembatas,
ternyata pada tepung
keong mas ini memiliki skor kimia yang cukup (41,29 mg/g
protein) dan tidak
menjadi asam amino pembatas, sehingga dapat digunakan sebagai
suplemen pakan
yang kurang lisin. Komposisi asam amino esensial pada tepung
keong mas dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi asam amino tepung keong mas
Jenis Asam Amino Kandungan
(%) mg/g protein
Arginin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin
Fenilalanin
Tirosin
Treonin
Valin
4,3962
1,3822
2,3479
4,4812
4,1290
1,0540
2,0372
1,9742
2,4245
2,6055
43,962
13,822
23,479
44,812
41,290
10,540
20,372
19,742
24,245
26,055
Sumber : Kamil et al. (1998)
-
27
Pada pengembangan ternak ayam, keong mas merupakan pakan
campuran
sebagai sumber protein yang murah. Selain mengandung banyak
protein, keong
mas juga kaya akan kalsium. Penggunaan keong mas sebagai pakan
itik sebagai
sumber protein hewani telah dilakukan sejak tahun 1985
(Kompiang, 2009).
Upaya untuk memaksimalkan pengawetan kandungan nutrisi yang
terdapat
pada bahan pakan ternak seperti keong mas, agar bisa disimpan
dalam kurun waktu
yang lama maka dilakukan proses fermentasi silase keong mas. Hal
ini juga
diperkuat dengan hasil analisa Laboratorium Tim Penelitian
(Anonim, 2018), yang
menyatakan kandungan zat makanan tepung silase keong mas pada
Tabel 7.
Tabel 7. Hasil Analisa Tepung Silase Keong
Analisa Ulangan 1 Ulangan 2
Air (%) 17,1607 17,1199
Abu (%) 16,9175 16,9218
Protein (%) 28,9254 28,9809
Lemak (%) 1,4859 1,5390
Serat Kasar (%) 9,4101 9,3421
Karbohidrat (%) 26,1001 26,0961
Energy (kal/100g) 237,4454 238,1467
Sumber : Anonim (2018)
Subhan et al. (2009) menyatakan bahwa kombinasi 39% sagu kukus
dengan
6% tepung keong mas dapat mengganti kebutuhan jagung kuning
sebagai sumber
energi dalam pakan tanpa mempengaruhi penampilan (bobot hidup,
kenaikan bobot
hidup konsumsi pakan dan konversi pakan), persentase karkas dan
bagian-bagian
karkas, bobot organ dalam (jantung, hati, rempela dan lemak
abdominal) itik jantan
umur 1 – 8 minggu.
Pemberian tepung keong mas pada peternakan ayam broiler juga
telah
dilakukan oleh Widyatmoko (2008). Tepung tubuh dan cangkang
keong mas
-
28
memberikan nilai pertumbuhan yang cukup baik, dimana dapat
meningkatkan rata-
rata harian produksi telur hingga 3,7% dari 84,3% menjadi 88%.
Selain dalam
bentuk tepung, silase daging keong mas juga telah terbukti
menjadi sumber pakan
ternak bagi ruminansia dan ayam buras (Anonim, 2006).
Ayam buras membutuhkan pakan dengan kandungan protein 14-24%
dengan jumlah pakan/harinya semakin meningkat seiring
bertambahnya umur ayam
(20 – 150 g/hari) (Pramudyati 2009). Pakan yang berbasis protein
keong mas pernah
diujicobakan pada peternakan burung puyuh dan memberikan
pertumbuhan yang
baik, dimana tepung ikan dapat disubstitusi atau diganti dengan
tepung keong mas
sampai 10% dalam ransum puyuh umur 56-70 hari (periode awal
bertelur) dan tidak
menurunkan bobot badan (Pramudyati, 2009).
Karkas
Karkas adalah bagian tubuh unggas setelah dikurangi bulu, darah,
organ
dalam, leher, kepala dan kaki. Hasil pemotongan ternak yang
utama adalah karkas
karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dari bagian-bagian
non karkas.
Produksi karkas erat hubungannya dengan berat badan, semakin
tinggi berat badan
dari seekor ternak, produksi karkasnya akan semakin meningkat
(Murtidjo, 2003).
Karkas maupun komposisi fisik karkas terdiri dari komponen
tulang, otot,
lemak, dan semua jaringan yang akan tumbuh dengan kecepatan yang
berbeda-beda
sesuai dengan berat badan ternak. Proporsi tulang, otot dan
lemak sebagai
komponen utama karkas, dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
temperatur,
kelembaban dan nutrisi (Soeparno, 2009). Kualitas dan kuantitas
ransum
mempengaruhi berat karkas, makin baik kualitas dan makin banyak
konsumsi
-
29
ransum maka berat karkasnya semakin tinggi. Organ tubuh seperti
kepala, kaki,
bulu dan organ dalam dapat mempengaruhi berat karkas, semakin
tinggi berat organ
tersebut maka berat karkasnya semakin rendah (Sudaryani dan
Santo sa, 2010).
Lebih lanjut Soeparno (2009), juga menyatakan bahwa
bagian-bagian tubuh yang
banyak tulang seperti sayap, kepala, punggung, leher dan kaki,
persentasenya
semakin menurun dengan meningkatnya umur ayam, karena
bagian-bagian ini
mempunyai pertumbuhan yang konstan pada ayam dewasa.
Kualitas Fisik Daging
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua
produk hasil
pengolahan jaringan-jaringan yang sesuai untuk dimakan serta
tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005). Lawrie
(2003)
mendefinisikan daging sebagai jaringan hewan yang dapat
digunakan sebagai
makanan, sering pula diperluas dengan memasukkan organ organ
seperti hati dan
ginjal, otot dan jaringan lain yang dapat dimakan disamping urat
daging.
Kualitas fisik daging adalah karaketeristik daging yang dinilai
oleh
konsumen. Menurut Purbowati et al. (2006) beberapa karakteristik
kualitas daging
yang mempengaruhi daya terima konsumen terhadap daging yakni pH,
daya ikat
air, susut masak, warna dan keempukan. Soeparno (2005)
menyatakan bahwa faktor
kualitas daging yang dimakan meliputi warna, keempukan, tekstur,
flavor (cita
rasa), aroma (bau), dan kesan jus daging (juiciness). Disamping
itu susut masak
cooking lost ikut menentukan kualitas daging. Zat-zat yang
terdapat dalam daging
yaitu protein 19%, lemak 2,5%, air 75% dan 3,5% substansi non
protein terlarut
(Lawrie, 2003). Abustam (2009) menambahkan bahwa kualitas karkas
dan daging
-
30
dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor
sebelum
pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain
adalah genetik,
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan
termasuk bahan aditif
(hormon, antibiotik dan mineral).
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging
antara lain
meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan,
pH karkas dan
daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon
dan
antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode
penyimpanan dan
preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging.
Karakteristik fisik daging segar sangat berpengaruh terhadap
daya Tarik
konsumen untuk membeli daging (Aberle et al., 2001). Pengujian
kualitas fisik
daging secara objektif dapat dilakukan dengan cara mengetahui
daya putus Warner-
Bratzler (WB), kekuatan tarik dan kompresi, kehilangan berat
selama pemasakan
(susut masak), pH, daya ikat air dan keempukan juga merupakan
komponen kualitas
daging yang diuji (Soeparno, 2005).
Derajat Keasaman (pH)
Keasaman daging ditunjukkan dengan nilai pH, pH ultimat daging
adalah
5,5 dan nilai pH ditentukan oleh kandungan glikogen daging
(Soeparno, 2005).
Penurunan pH akan mempengaruhi sifat fisik daging. Laju
penurunan pH otot yang
cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air,
karena meningkatnya
kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan
memeras cairan keluar
dari dalam daging. Suhu tinggi juga dapat mempercepat penurunan
pH otot
pascamortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena
meningkatnya
-
31
denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke
ruang ekstraseluler
(Lawrie, 2003).
Menurut Soeparno (2009), faktor yang mempengaruhi laju dan
besarnya
penurunan pH postmortem ini dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok yaitu
faktor intrinsik meliputi spesies, tipe otot dan glikogen otot
sedangkan faktor
ekstrinsik meliputi temperatur, lingkungan, perlakuan bahan
aditif, dan stress
sebelum pemotongan. Nilai pH daging akan mempengaruhi daya ikat
air. Air yang
semula terikat, dengan meningkatknya pH, akan berakibat pada
lepasnya air yang
terikat tersebut kemudian menjadi air bebas. Ketersediaan air
bebas yang tinggi
akan menyebabkan tingginya populasi bakteri di dalam daging
(Soeparno, 2009).
Lubis (2017) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa nilai pH
daging
ayam kampung jantan umur 26 minggu diperoleh sebesar 5,46. Nilai
pH daging
ayam KBKB jantan pada umur yang sama adalah 5,60. Nilai tersebut
menunjukkan
bahwa daging ayam KBKB jantan umur 26 minggu memiliki nilai pH
yang lebih
tinggi dari daging ayam kampung jantan pada umur yang sama,
sehingga daging
ayam KBKB jantan umur 26 minggu lebih empuk dibanding daging
ayam kampung
jantan pada umur yang sama. Bouton et al., (1971) dalam Lubis
(2017) menyatakan
daging dengan nilai pH tinggi lebih empuk daripada daging dengan
pH rendah.
Soeparno (2005) menambahkan daging dengan nilai pH tinggi
biasanya
mengandung jus yang lebih banyak sehingga daging lebih empuk.
Jumlah asam
laktat mempengaruhi nilai pH daging. Nilai pH daging juga
berpengaruh terhadap
keempukan daging. Peningkatan kadar glikogen daging dan kadar
asam laktat akan
menurunkan nilai pH akhir, keempukan dan susut masak. Kadar
glikogen
-
32
mempengaruhi kadar asam laktat daging yang dihasilkan selama
proses konversi
otot menjadi daging.
Pearson dan Young (1989) dalam Lubis (2017) menyatakan bahwa
peran
utama glikogen dalam otot postmortem adalah melepaskan glukosa,
yang dapat
dipakai untuk mengisi senyawa fosfat energi tinggi (ATP).
Glikogen dirombak
secara besar-besaran dan sangat bertanggung jawab dalam
pembentukan asam
laktat daging, yang menimbulkan penurunan pH yang terjadi dalam
otot
postmortem. Kadar glikogen otot yang tinggi akan menghasilkan
asam laktat yang
tinggi. Kadar glikogen memiliki korelasi negatif dengan pH
daging (Hartati, 2012).
Keempukan Daging
Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan menggunakan alat
pemutus
warner-bratzler (WB), daging direbus sampai temperatur dalam
daging mencapai
angka 81ºC, kemudian daging diangkat dan didinginkan. Sampel
daging dibuat
menjadi berbentuk balok empat persegi panjang dengan potongan
searah serabut
otot. Pengujian daya putus otot, dengan luas penampang sampel
adalah 1,5 x 0,67
cm = 1 cm2 (Soeparno, 2005).
Keempukan daging merupakan faktor penting dalam pengolahan
daging.
Keempukan dapat diukur dengan nilai daya putus Warner-Bratzler
(WB).
Keempukan sangat berkaitan erat dengan status panjang sarkomer
otot. Daging
dengan sarkomer yang lebih pendek setelah fase rigormortis
memiliki tingkat
kealotan lebih tinggi dibanding yang sarkomernya tidak mengalami
pemendekan
(Swatland, 1984; Locker, 1985; Dutson, 1985). Kualiatas daging
akan berpengaruh
-
33
pada penyimpanan suhu dingin, dan penyimpanan pada suhu dingin
dapat
mengakibatkan terjadinya pemendekan otot (Suryati, 2004).
Menurut Pearson dan Dutson (1985) pada daging pre rigor yang
disimpan
pada suhu rendah mengakibatkan peningkatan konsentrasi ion Ca2+
bebas di luar
membran retikulum sarkoplasmik. Hal tersebut memicu serangkaian
reaksi yang
mengakibatkan terbentuknya ikatan aktomiosin dan menghasilkan
pemendekan
sarkomer. Menurut Suryati dkk. (2004) Semakin tinggi nilai daya
putus WB berarti
semakin banyak gaya yang diperlukan untuk memutus serabut daging
per
sentimeter persegi, yang berarti daging semakin alot atau
tingkat keempukan
semakin rendah. Swatland (1984) dan Locker (1985) mengatakan
bahwa
peningkatan panjang sarkomer secara paralel akan meningkatkan
keempukan.
Menurut Pearson dan Young (1971), nilai keempukkan daging
terbagi atas tiga
kelompok, yaitu kisaran empuk dengan skala 0-3 Kg/g,
cukup/sedang dengan skala
3-6 Kg/g, dan alot dengan skala >6-11 Kg/g.
Hasil penelitian yang diperoleh Lubis (2017) menyatakan bahwa
daging
ayam KBKB jantan umur 26 minggu memiliki keempukan sebesar 2.01
kg cm-2.
Daging ayam kampung jantan pada umur yang sama memiliki
keempukan sebesar
2.99 kg cm-2. Hasil ini menunjukkan bahwa daging ayam KBKB
jantan lebih
empuk dibanding daging ayam kampung jantan pada umur yang
sama.
Keempukan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik
ternak serta
interaksinya. Metode sensori untuk mengetahui kesukaan konsumen
dapat
dilakukan, tetapi membutuhkan waktu yang lama. Hasil pengujian
keempukan
daging dengan metode dengan warner bratzler dipengaruhi oleh
tipe otot, preparasi
-
34
sampel, metode pemasakan, pelaksanaan prosedur, dan tipe panel
(Destefanis et al.,
2008).
Susut Masak Daging
Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging
yang
berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang
terikat di dalam
dan diantara serabut otot. Susut masak dipengaruhi oleh
temperatur dan lama
pemasakan. Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk
mengestimasikan
jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang
rendah
mempunyai kualitas yang tinggi. Susut masak adalah proses selama
pemasakan
daging yang mengalami pengerutan dan pengurangan berat. Susut
masak juga
dipengaruhi oleh pH daging, dimana kenaikan pH daging akan
menurunkan susut
masak daging. Sifat mekanik daging termasuk susut masak
merupakan indikasi dari
sifat mekanik miofibril dan jaringan ikat, dengan bertambahnya
umur ternak,
terutama panjang sarkomer. Pada temperatur pemasakan 80oC,
daging yang
mengalami pemendekan dingin pada pH normal 5,4 - 5,8
menghasilkan susut masak
yang lebih besar dari pada susut masak daging regang dengan
panjang serabut yang
sama. Produk daging olahan sebaiknya mengalami susut masak
sedikit karena susut
masak mempunyai hubungan erat dengan rasa/juiceness daging
(Soeparno, 2005).
Konsumsi pakan dapat mempengaruhi besarnya susut masak.
Pendapat
Soeparno (2005), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging
sapi bervariasi
antara 1,5–54,5% dengan kisaran 15–40%. Daging bersusut masak
rendah
mempunyai kualitas yang relatif baik bila dibandingkan dengan
daging bersusut
masak tinggi, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan
akan lebih
-
35
sedikit. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging
yang berhubungan
dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di
dalam dan di antara
otot. Daya ikat air/WHC yang rendah akan mengakibatkan nilai
susut masak yang
tinggi. Water Holding Capacity sangat dipengaruhi oleh nilai pH
daging. Menurut
Soeparno (2005) apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah
dari titik isoelektrik
daging (5,0−5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan
rendah.
Hasil peneltian Lubis (2017) yang diperoleh menunjukkan bahwa
rataan
susut masak daging ayam kampung jantan umur 26 minggu mencapai
49,05% dan
daging ayam KBKB pada umur yang sama sebesar 41,66%. Hal ini
menunjukkan
daging ayam KBKB jantan umur 26 minggu memiliki nilai susut
masak yang lebih
rendah dibanding daging ayam kampung jantan pada umur yang sama.
Bobot yang
hilang adalah akibat keluarnya air yang ada di dalam daging dan
sebagian karena
evaporasi air (Soeparno 2011).
Daya Ikat Air
Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing disebut
sebagai Water
Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging
untuk
menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan,
misalnya pemotongan, pemanasan, penggilingan, dan tekanan.
Daging juga
mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari
lingkungan yang
mengandung cairan (water absorption). Ada tiga bentuk ikatan air
di dalam otot
yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar
4–5% sebagai lapisan
monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai
lapisan kedua dari
molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%,
dimana lapisan kedua
-
36
ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat.
Ketiga adalah lapisan
molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya
kira kira 10%.
Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul
pada air terikat
(lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada
diantara molekul akan
menurun pada saat protein daging mengalami denaturasi. Kualitas
karkas yang
berhubungan dengan umur dan lemak intramuskuler mempunyai
pengaruh terhadap
daya ikat air (DIA) daging (Soeparno, 2005).
Otot yang mempunyai kandungan lemak intramuskuler tinggi
cenderung
mempunyai DIA yang tinggi. Hubungan antara lemak intramuskuler
dengan DIA
adalah kompleks, lemak intramuskuler akan melonggarkan
mikrostruktur daging,
sehingga memberi lebih banyak kesempatan kepada protein daging
untuk mengikat
air. Kemampuan daging untuk menahan air merupakan suatu sifat
penting karena
dengan daya ikat air yang tinggi, maka daging mempunyai kualitas
yang baik.
Menurut Soeparno (2005) nilai daya ikat air (DIA) berkisar
diantara 20% – 60%
Persentase jumlah air yang keluar dari daging ayam kampung
jantan umur 26
minggu adalah 29,59%. Persentase jumlah air bebas yang keluar
dari daging ayam
KBKB jantan pada umur yang sama adalah 27,82% (Lubis, 2017).
Hipotesis
Substitusi konsentrat dengan tepung silase keong dalam pakan
dapat
mempertahankan kualitas fisik karkas ayam KUB meliputi uji pH,
keempukan
daging, susut masak, dan daya ikat air.