Page 1
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
48
URGENSI DIBENTUKNYA BADAN PERADILAN KHUSUS
LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN BADAN PEMBERSIH
SAMPAH ANTARIKSA (SPACE DEBRIS)
Sofian Ardi
Abstract44
Drastic changes in some elements of the environment caused by
human activities, organizations, public and private businesses, as well as
countries, has recently become a big concern of mankind and nations,
among others, global warming as a serious threat. Additionally,
international environmental law is a very broad subject that affects many
areas, such as labor, trade, energy, sovereignty, international fisheries law,
health, international treaty law, and human rights. While courts that exist
today is less able to handle effective international environmental problems
that occur. Therefore, a new special international judicial bodies are
needed, namely the International Environmental Court (IEC) and it is also
expected to have a jurisdiction that is not owned by a national court to
address the international environment damage. In addition, the problem of
space debris as results from the human activities in aerospace become a
44 Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Dipatiukur Nomor 35 Bandung,
[email protected]
Page 2
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
49
serious concern in international environmental issue too. The absence of a
special body to handle space debris is an urgency in international legal
framework besides the need to set up an International Environmental Court.
Keywords: International Environmental, International Environmental
Court, Space Debris
A. LATAR BELAKANG
Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup
bersama dengan benda tak-hidup lainnya.45 Adalah suatu kenyataan bahwa
setiap bagian lingkungan hidup, menjadi bagian wilayah suatu negara atau
berada di bawah l ingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan. Setiap bagian
lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan (a wholeness) yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dari satu sama lain, membentuk satu kesatuan
tempat hidup yang disebut lingkungan hidup.
Perubahan drastis beberapa unsur lingkungan hidup yang diakibatkan
oleh kegiatan manusia, organisasi bisnis, serta negara-negara, belakangan
ini menjadi perhatian besar umat manusia, serta menimbulkan reaksi keras
kelompok tertentu, terutama ekolog. Hakikat hukum lingkungan
internasional adalah meningkatkan kualitas ekosistem dari derajat rendah ke
derajat yang lebih tinggi. Hukum internasional memerlukan pendekatan
yang representatif, yang mampu mengkaji masalah-masalah yang timbul
akibat kegiatan internasional yang beraspek lingkungan, baik lingkungan
hidup dalam porsi sebagai bagian wilayah suatu negara maupun sebagai
bagian satu kesatuan ekosistem bumi yang utuh, yang tersusun dalam
45 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1991, hlm.48
Page 3
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
50
struktur sistem komponen yang saling terkait dan mempengaruhi.46
Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan
dunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup,
mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang
perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.47
Masyarakat internasional menyadari bahwa langkah-langkah segera
perlu diambil untuk melindungi planet bumi dengan mengingat keadaan
bumi sekarang ini. Pemanasan global sebagai salah satu ancaman paling
serius terhadap lingkungan saat ini dan mempengaruhi baik tanaman dan
hewan dengan penipisan ozon yang terus berlanjut. Keanekaragaman hayati
terus menurun karena banyak spesies tanaman dan hewan terancam punah
oleh eksploitasi dan kegiatan industrial manusia. Asam hujan, deforestasi,
polusi sumber daya air menimbulkan ancaman yang serius. Bahkan, bumi
sudah dianggap sebagai satu tubuh yang saling berhubungan di bawah
tekanan, dalam kondisi yang lemah, dan dengan kemampuan terbatas untuk
mempertahankan kerusakan yang terjadi.48
Selain itu, luar angkasa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan pula
dengan lingkungan hidup yang juga merupakan sumber daya yang sangat
berguna; dengan meluncurkan Hobble, satelit dan lain sebagainya kita bisa
menggunakan televisi, GPS, mobile phone, ramalan cuaca, observasi, dan
lain sebagainya, karena itu kita perlu melestarikannya.49 Berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa, dan dengan hasil di satu
46 Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional¸Reflika,
Bandung, hlm. 5. 47 J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 1999, hlm.3. 48 Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court : Its Broad Jurisdiction as a Possible
Fatal Flaw”, Hofstra Law Review, Vol 32, 2003, hlm 737 49 Sampah Benda di Luar Angkasa Sulit Di Atasi, diakses dari
http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716, pada tanggal 07 Juni 2015 pukul
20:30 WIB.
Page 4
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
51
pihak maupun meningkatkan kesejahteraan manusia akan tetapi di lain
pihak juga menjadi alat pemusnah dan di tambah lagi dengan dampak-
dampaknya terhadap lingkungan hidup, telah menyadarkan manusia bahwa
hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi itu memerlukan perangkat
hukum. Perangkat hukum ini diharapkan dapat mengatur agar segala hasil
ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan tanpa merugikan manusia dan juga
lingkungan di mana dia hidup.50
Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum sebagai
keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam
masyarakat, juga meliputi lembaga dan proses untuk mewujudkan asas dan
kaidah tersebut dalam kenyataan. Kemudian, hakikat dan karakter
lingkungan hidup demikian itu membutuhkan sistem hukum yang mampu
menyerap sifat khas lingkungan hidup ke dalam pendekatan dan materinya
yang berfungsi melindungi dan meningkatkan kualitas fungsi dari setiap
komponen ekosistem. Dengan mengkaitkan pengertian hukum menurut
Mochtar Kusumaatmadja, sistem hukum yang dimaksud salah satunya
adalah lembaga peradilan di bidang hukum lingkungan yang berfungsi
untuk mewujudkan keseluruhan asas dan kaidah lingkungan hidup itu
sendiri.
Mengingat keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan sebelumnya
hanyalah merupakan awal dari daftar panjang masalah lingkungan global
yang membutuhkan solusi. Untuk melindungi dan melestarikan lingkungan
dunia, kerjasama internasional tidak diragukan lagi sangat dibutuhkan.
Sejumlah ahli menyatakan bahwa pengadilan internasional untuk
lingkungan perlu dibuat karena pengadilan internasional yang ada tidak
cukup siap untuk berurusan dengan kerugian lingkungan yang besar seperti
sekarang ini dan yang perlu menjadi perhatian pula ialah terkait perlunya
50H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003, hlm xxi
Page 5
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
52
suatu badan khusus yang menangani sampah ruang angkasa (space debris)
sebagaimana disebutkan diatas.
B. PEMBAHASAN
1. Badan Peradilan yang Menangani Masalah Lingkungan
Internasional Saat Ini
Hukum Lingkungan Intenasional, disamping berkembang sebagai
cabang hukum yang berdiri sendiri, juga berkembang melalui cabang-
cabang hukum internasional khusus, seperti space law, law of the sea,
sebagai konsekuensi dari keberadaan bagian-bagian tertentu dari
lingkungan hidup sebagai bagian ruang lingkungan yang masuk kedalam
skup objek pengaturan cabang-cabang hukum tersebut.51 Dalam hukum laut
internasional, termasuk mengenai persoalan terhadap kewajiban negara
untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, UNCLOS 1982
mengatur prosedur penyelesaian sengketa yang bersifat formal dan
mengikat, salah satunya yaitu melalui ICJ (International Court of Justice).52
Yurisdiksi Mahkamah dapat dilaksanakan melalui salah satunya
berdasarkan statuta, bahwa yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa
yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan
dalam Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau
konvensi-konvensi internasional yang berlaku.53 Yurisdiksi dari ICJ ini
dapat dikatakan sangat luas, sehingga segala persoalan lingkungan hidup,
karena belum memiliki badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, dapat
diserahkan untuk diselesaikan oleh ICJ.
51 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm.16 52 Lihat Pasal 287 UNCLOS 1982 53 Lihat Pasal 36 ayat (1) Statuta ICJ
Page 6
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
53
Dalam proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Internasional
bersifat pasif artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan
bila ada pihak-pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional.
Dengan kata lain, Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif
terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara
terdapat 2 tugas Mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat
kewenangan memberi nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara
yang wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan
oleh negara-negara (contensious case). Sebenarnya, hanya negara sebagai
pihak yang boleh mengajukan perkara kepada Mahkamah Internasiona
sehingga perseorangan, badan hukum, serta organisasi internasional tidak
dapat menjadi pihak untuk berperkara ke Mahkamah internasional. Namun
demikian berdasarkan Advisory Opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah
Internasional secara tegas menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa
merupakan pribadi hukum yang dapat mengajukan klaim internasional atau
gugatan terhadap negara. Advisory Opinion ini telah membuka kesempatan
kepada PBB untuk menjadi pihak dalam perkara kontradiktor (contentious
case).
Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional
bukanlah merupakan kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif.
Artinya negara dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat
melalui berbagai cara lain seperti saluran diplomatik, mediasi, arbitrasi, dan
cara-cara lain yang dilakukan secara damai. Dengan demikian penyelesaian
perkara yang diajukan ke Mahkamah Internasional bersifat pilihan dan atas
dasar sukarela bagi pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan
Pasal 33 (1) Piagam PBB. Meskipun Mahkamah Internasional merupakan
organ utama PBB dan anggota PBB otomatis dapat berperkara melalui
Mahkamah Internasional, namun dalam kenyataannya bukanlah merupakan
kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada badan peradilan ini.
Perkembangan hukum internasional khususnya mengenai pengajuan
kasus-kasus ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Page 7
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
54
dalam lima tahun terakhir ini telah menghadapi babak baru. Paling tidak
perhatian terhadap kasus-kasus yang menyangkut persoalan lingkungan
hidup khususnya sumberdaya alam telah menjadi agenda penting, walaupun
dalam kasus-kasus terdahulu hanya merupakan bagian dari kasus mengenai
sengketa perbatasan. Hal ini dapat diketahui bahwa Mahkamah
International telah menerima dua kasus penting yang berkaitan dengan
masalah lingkungan hidup khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya
alam yaitu Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v.
Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia).
Mengingat kedua kasus ini memiliki karakteristik tersendiri maka dengan
pertimbangan Pasal 26 Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk The
Chamber of Environmental Dispute pada tanggal 19 Juli 1993. Namun
pembentukan kamar sengketa ini hanya berlaku bagi kewenangan untuk
memeriksa perkara kontradiktor sehingga tidak berlaku dalam persidangan
advisory opinion.
Sebenarnya kasus lingkungan hidup dalam arti luas pernah ditangani
oleh Mahkamah Internasional Permanen (PICJ) seperti dalam Diversion of
the Waters of the River Meuse dan Territorial Jurisdiction of the
International Commission of the River Oder Case 1929. Demikian juga
dengan Mahkamah yang telah beberapa kali menangani sengketa yang
bersinggungan dengan masalah lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam
Chorfu Channel Case (UK v. Albania) 1949, Nuclear Test Cases, Gulf of
Maine Case (USA v. Canada) 1984, Fisheries Jurisdiction Case, dan
beberapa kasus mengenai landas kontinen dan perbatasan.
Sengketa lingkungan internasional yang diselesaikan oleh lembaga
internasional di atas adalah sifatnya damai, tetapi belum ada proses
pengadilan internasional tentang kerusakan lingkungan oleh perang seperti
kehancuran lingkungan di Nagasaki dan Hiroshima dalam Perang Dunia II
(1945), Perang Vietnam (1967-1975) yang menimbulkan kebutaan
penduduk dan rusaknya alam karena Amerika Serikat menggunakan gas
Page 8
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
55
Agent Orange. Selain itu pula, Perang Iran-Irak (1980-1988), Perang Teluk
I (1990-1991) yang menghancurkan ladang-ladang sumur minyak, serangan
militer Israel ke Lebanon (2006) yang mengakibatkan pencemaran Laut
Merah (Red Sea), dan agresi militer AS ke Irak sejak tanggal 20 Maret 2003
(Perang Teluk II) yang menimbulkan banyak korban warga sipil dan
kehancuran terhadap lingkungan hidup di Irak.54
2. Urgensi Dibentuknya Badan Peradilan Khusus mengenai
Lingkungan Internasional
Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkembang dengan
pesat nampaknya Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk
menyesuaikan perkembangan zaman. Hal ini dapat terlihat dengan adanya
perkembangan demokratisasi khususnya tuntutan negara-negara baru sejak
berakhirnya Perang Dunia II. Selain itu partisipasi masyarakat global
melalui berbagai kegiatan internasional semakin nyata dengan makin
berperannya Non-Governmental Organization (NGO), indigenous people,
asosiasi-asosiasi dan berbagai kelompok kepentingan yang menuntut
adanya hak-hak yang sama. Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang
nyata dimana batas-batas negara semakin menipis dan semakin
berkembanganya organisasi-organisasi yang memiliki karakter
internasional yang kuat. Karena itu sebagian ahli menuntut adanya lembaga
peradilan internasional yang mampu menangani berbagai persoalan global
yang tidak terbatas pada kepentingan negara saja.
Pada bulan Agustus 2002, United Nations Environment Programme
(UNEP) menjadi tuan rumah selama tiga hari dari World Summit on
Sustainable Development di Johannesburg bersama hakim-hakim dunia
54 Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Unpad Press, Bandung, 2011, hlm.46
Page 9
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
56
terkemuka. Disana disimpulkan bahwa keadaan rapuh lingkungan global
saat ini memerlukan pengadilan, sebagai ‘primary guardian of the rule of
law’ untuk berani dan tanpa rasa takut menegakkan hukum lingkungan
nasional dan internasional. Kejahatan lingkungan seperti perdagangan ilegal
kayu, perdagangan spesies yang terancam punah, dan penanganan limbah
berbahaya telah didiskusikan. Saran yaitu mulai dari pelatihan program
untuk hakim domestik dan internasional dalam ilmu lingkungan dan
kebijakan untuk pembentukan pengadilan internasional untuk lingkungan
yang baru, telah didiskusikan pula sebagai solusi untuk masalah koordinasi
dan penegakkan yang sulit terhadap dari lebih dari lima ratus perjanjian oleh
badan peradilan yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibuatnya
peradilan yang kuat untuk menerapkan hukum lingkungan adalah suatu
kebutuhan saat ini.55
Beberapa pendapat ahli menyatakan sebagai berikut, yaitu seperti: “…
supporters will need to show that existing international and national
judicial for are inadequate for resolution of international environmental
disputes”.56 Selain itu terdapat pula pendapat ahli lain, yaitu:
“… As evidence mounts that the planet is increasingly experiencing serious
environmental consequences caused by a history of human activity, a call
has been made to introduce a new international judicial body to the existing
international courts and tribunals: an International Environtmental Court
(IEC)… Advocates of the new court cite uncertain environmental
jurisdiction in existing courts and tribunal to address in the environmental
expertise of judges in the existing courts.”57
55 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.729 56 Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International Environmental Court”, George
Washington Journal International Law and Economy, Vol 32, hlm 333 57 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm 727
Page 10
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
57
Dari kedua pendapat ahli tersebut menyatakan bahwa terbukti saat ini
menunjukkan bahwa bumi ini semakin serius ancaman bahaya oleh kegiatan
manusia dan pengadilan nasional maupun internasional yang ada sudah
tidak memadai lagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan
internasional sehingga dibutuhkan badan peradilan internasional tersendiri
yang baru, yaitu Mahkamah Lingkungan Internasional (International
Environmental Court atau IEC). Selain itu, memang diperlukannya pula
pembentukan suatu peradilan internasional khusus untuk memproses
sengketa lingkungan karena marak dari adanya pelanggaran atau kejahatan
terhadap lingkungan hidup, mengingat mahkamah atau pengadilan
internasional yang dapat menangani kasus-kasus lingkungan tersebut dinilai
sudah tidak memadai lagi.
Dalam beberapa tahun terakhir, keberhasilan terbatas dalam
menegakkan aturan hukum lingkungan internasional terhadap negara-
negara yang melanggar telah menyebabkan panggilan untuk pembentukan
pengadilan lingkungan internasional atau International Environmental
Court (IEC) yang mampu mengeluarkan keputusan yang mengikat dan
dapat dilaksanakan terhadap negara-negara tersebut. Para ahli pendukung
dari pembentukan pengadilan baru ini, yang diperkirakan akan dibentuk
oleh perjanjian internasional yang dibuat antara negara-negara, perlu untuk
meyakinkan pemerintah negara-negara pada dua poin penting.58 Pertama,
ahli pendukung perlu menunjukkan bahwa forum peradilan internasional
dan nasional yang ada tidak memadai untuk penyelesaian sengketa
lingkungan hidup internasional. Kedua, harus menunjukkan bahwa jika
aspek forum peradilan yang ada tidak memadai, sehingga tidak dapat
diperbaiki untuk dapat memuaskan sesuai harapan, sementara pada saat
58 Sean D. Murphy, Loc.Cit.
Page 11
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
58
yang sama penciptaan pengadilan baru dibutuhkan untuk menghindari
kekurangan tersebut.
Para ahli pendukung pengadilan baru ini percaya beberapa isu saat ini
dalam hukum lingkungan internasional akan diselesaikan dengan
menciptakan International Environmental Court (IEC). Isu ini termasuk: (1)
kekurangan keahlian, kesadaran, dan sumber daya lingkungan; (2) masalah
efisiensi; (3) tidak adanya preseden yang jelas dalam hukum lingkungan
internasional; (4) masalah dengan aksesibilitas untuk beberapa entitas di
pengadilan saat ini; dan (5) kurangnya penegakan hukum dan yurisdiksi.59
Sejumlah ahli menyatakan bahwa dibentuknya pengadilan baru karena
terdapatnya ketidakpastian yurisdiksi lingkungan di pengadilan yang ada
saat ini untuk mengatasi kerusakan serius lingkungan internasional, dan
kekurangan dalam keahlian hakim di pengadilan dalam bidang lingkungan
internasional. Hukum lingkungan internasional adalah subjek yang sangat
luas yang mempengaruhi banyak bidang, seperti tenaga kerja, perdagangan,
energi, kedaulatan, hukum perikanan internasional, kesehatan, hukum
perjanjian internasional, dan hak asasi manusia. Sementara pengadilan yang
ada tidak menangani secara efektif dengan masalah lingkungan
internasional seperti diatas. Masalah pada pengadilan yang ada sekarang ini
yaitu60 termasuk kurangnya sumber daya, kesulitan untuk
mentransformasikan perjanjian internasional menjadi hukum nasional, dan
kurangnya kesadaran. Masalah ini terutama terjadi pada negara-negara
berkembang. Selain itu tekanan lingkungan global, menunjukkan bahwa
pengenalan IEC sebagai badan hukum internasional dibenarkan dan
memang diperlukan. Segala kesulitan yang mengganggu pada pengadilan
59 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.739 60 Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should There Be One?”, Touro Journal
International Law, Vol 31, 1992, hlm.52
Page 12
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
59
internasional sekarang ini dapat diselesaikan atau minimum dapat diperbaiki
dengan menciptakan badan peradilan internasional yang baru.
Diluar perspektif lingkungan dalam hukum internasional, Indonesia saat
ini pun belum memiliki lembaga peradilan yang secara khusus menangani
perkara-perkara sengketa lingkungan. Dilihat dari permasalahan
sengketanya, isu-isu lingkungan merupakan permasalahan yang rumit
penanganannya. Hal itu bisa dilihat dari proses pembuktian maupun
kepentingan yang ada di balik konflik lingkungan. Apalagi, jika sengketa
tersebut melibatkan entitas privat atau perusahaan di dalamnya. Sistem
peradilan lingkungan yang akan dibangun harus memperhatikan hal-hal
yang spesifik mengenai persoalan tersebut. Selama ini, perkara yang
menyangkut soal lingkungan lebih sering masuk dalam ranah proses perdata
dan administrasi di pengadilan. Kendati demikian, dalam konteks peradilan,
masyarakat dapat mengujinya dalam sebuah wadah peradilan khusus
lingkungan, mengingat jumlah kasus mengenai isu-isu lingkungan yang
signifikan jumlahnya. Pengadilan lingkungan bisa menjadi bagian dari
usaha pemerintah dalam rangka menyediakan akses terhadap keadilan,
termasuk di dalamnya keadilan lingkungan bagi masyarakat. Dengan
dibentuknya pengadilan lingkungan diharapkan menjadi satu pemacu dalam
rangka menciptakan ruang untuk memperbaharui kebijakan lingkungan
hidup di Indonesia.
3. Urgensi Dibentuknya Badan Khusus Pembersih Sampah Antariksa
(Space Debris)
Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas
wilayahnya. Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada
sebuah dalil Hukum Romawi yang berbunyi “cujus est solum, ejus est usque
ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan
Page 13
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
60
demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah
tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.61
Menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra
yaitu darat, laut, dan udara. Wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah
daratan, dan wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah
negara di darat dan dilaut. Hal ini tercermin dalam Pasal I Paris Convention
for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919 yang mengakui
kedaulatan negara penuh di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut
teritorialnya. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas
jaraknya secara vertikal (usque ad coelum) yang kemudian dibatasi dengan
adanya pengaturan tentang ruang angkasa.62
Dewasa ini frekuensi peluncuran-peluncuran satelit semakin meningkat
dimana negara-negara bersaing keras meluncurkan satelit-satelit ke
angkasa. Amerika Serikat dengan NASA-nya telah menciptakan pesawat
ulang-alik yang dapat membawa beberapa satelit sekaligus ke angkasa,
menempatkan di orbitnya, serta kembali ke bumi. Pesawat ulang-alik ini
dapat digunakan kembali untuk program peluncuran satelit berikutnya.
Soviet pun tidak kalah aktifnya dalam proyek ruang angkasanya. Proyek
Soyuz, Sputnik serta Cosmos-nya bukan hal yang asing lagi. Indonesia
dengan bantuan Amerika Serikat, telah meluncurkan satelit komunikasi
pertamanya, PALAPA A-1, pada tahun 1970an. Ini menandakan pula bahwa
Indonesia sejak tahun itu telah turut serta dalam era pemanfaatan ruang
angkasa.63
61 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung,
2011, hlm.137 62Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003,
hlm 194 63 Huala Adolf., Op.Cit., hlm.143
Page 14
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
61
Bukan hanya di bumi saja manusia membuat sampah dalam jumlah yang
besar, di luar angkasa manusia juga mengotorinya dengan sampah dengan
melihat tingginya frekuensi kegiatan keruangangkasaan manusia pada saat
ini. Berbagai benda yang diluncurkan manusia ke luar angkasa menjadi
benda tak berguna. Sampah antariksa adalah benda buatan yang mengitari
bumi selain satelit yang berfungsi. Sampah ini bisa berupa bekas roket
(rocket bodies), serpihan (debris) dan lain-lain. Jika dirata-ratakan, satu
sampah antariksa jatuh setiap hari sejak awal peluncuran satelit tahun 1957.
Kebanyakan sampah ini berupa pecahan roket atau satelit yang habis
terbakar di atmosfer. Hanya sepertiga dari 20 ribuan sampah yang jatuh
berukuran cukup besar sehingga mampu bertahan sampai ke permukaan
bumi. Benda-benda tersebut umumnya jatuh di daerah tak berpenduduk
sehingga tidak membahayakan.64
Kasus-kasus tabrakan antarsatelit di ruang angkasa atau satelit yang
sudah menjadi sampah dan dampak buruknya ke bumi harus menjadi
perhatian masyarakat internasional sebagai langkah antisipasi mekanisme
penyelesaian sengketa lingkungan internasional karena kegiatan itu
mengandung risiko tinggi bagi lingkungan dan manusia di bumi. Masalah
sampah antariksa bukan saja mengkhawatirkan bagi keselamatan wahana
antariksa, tetapi juga kemungkinannya untuk jatuh ke permukaan bumi.
Semakin rendah posisi orbit satelit atau sampah antariksa, semakin cepat
akan jatuh ke permukaan bumi.
Contoh kasus jatuhnya sampah ruang angkasa ke permukaan bumi yaitu
jatuhnya sampah ruang angkasa (space debris) Cosmos 954 milik Uni
Soviet pada tahun 1979 yang menyadarkan masyarakat internasional untuk
diatur lebih lanjut dalam hukum internasional karena peristiwa itu dapat
menimpa siapa saja di dunia yang merugikan negara lain baik berupa
64 Sampah Antariksa, diakses dari http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampah-
antariksa-64, pada tanggal 08 Juni 2015 pukul 17:38 WIB.
Page 15
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
62
terjadinya kerusakan lingkungan hidup maupun korban manusia. Cosmos
954 jatuh di wilayah Nortwest Territories Provinces of Alberta dan
Saskatchewan Kanada yang menimbulkan kerugian bagi Kanada karena
adanya sampah radioaktif berbahaya yang merusak lingkungan dan harta
benda masyarakat di sekitar jatuhnya space debris tersebut.65 Pecahan
Cosmos 954 itu berbobot sekitar 65 Kg dan mengandung sekitar 3.500
partikel radioaktif. Tingkat radiasi partikel tersebut sangat bervariasi dari
ribuan sampai jutaan dari satu rontgen/jam. Beberapa diantaranya memiliki
sifat sangat mematikan. Satu pecahan berukuran tidak terlalu besar, 25 mm
x 15 mm x 10 mm, memiliki radiasi sampai 500 rontgen/jam dimana cukup
untuk membunuh manusia dalam beberapa jam sejak mengalami kontak
pertama.Ddata tersebut hanyalah data tentang dampak langsung (acut
impacts) dari jatuhnya Cosmos 954, dan Kanada belum memperhitungkan
dampak tidak langsungnya (cronic impacts).66
Atas permasalahan tersebut perlu adanya implementasi yang nyata dari
prinsip pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang
angkasa termasuk oleh benda-benda ruang angkasa agar kelestarian
lingkungan tetap terjaga (sebagaimana diatur dalam Pasal IX Space Treaty).
Berbeda dengan bumi yang memiliki petugas kebersihan dan bagian daur
ulang sampah, sayangnya diluar angkasa tidak ada regu pembersih, sampah
dibiarkan mengorbit terus menerus di luar angkasa.
Walaupun telah terdapat hukum internasional yang mengatur mengenai
pertanggungjawaban atas kerusakan yang diakibatkan oleh space objects
yaitu Convention on International Liability for Damage Caused by Space
Objects 1972, namun tetap diperlukan adanya upaya pencegahan atas
kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh benda-benda ruang angkasa atau
65 Idris, Op.Cit., hlm. 130-131. 66 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm. 51.
Page 16
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
63
wahana antariksa. Akibat semakin bertambahnya populasi sampah antariksa
menyebabkan sulit ditemukannya lokasi jatuhnya sampah tersebut sehingga
perlu adanya upaya pencegahan dengan suatu mekanisme yang dilakukan
oleh manusia untuk membersihkan sampah antariksa tersebut. Negara
peluncur wahana antariksa harus melakukan pemantauan wahananya
tersebut, karena hanya negara peluncur yang mengetahui masa orbit dari
setiap space objects yang diluncurkannya. Negara peluncur harus terus-
menerus memantau keberadaan sampah antariksa dan memetakannya.
Upaya tersebut selanjutnya dapat dilakukan dengan mengirimkan misi yaitu
dengan membentuk Badan Pembersih Sampah Antariksa untuk
mengumpulkan sampah antariksa dan menghancurkannya menjadi serpihan
kecil sehingga mengurangi kebahayaannya. Terlebih penting yaitu adanya
kerja sama di antara negara-negara dalam mengurangi dampak lingkungan
akibat jatuhnya sampah antariksa yaitu dengan alih teknologi dan kontribusi
biaya dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang demi
terjaganya kelestarian lingkungan hidup di Bumi ini.
C. Penutup
Beberapa kasus lingkungan hidup khususnya yang dikategorikan
sebagai common heritage of mankind diharapkan akan lebih menjadi
perhatian Mahkamah Internasional di masa mendatang. Hanya saja usulan
reformasi di dalam tubuh Mahkamah Internasional seperti pemberian
kesempatan kepada Non-Governmental Organization (NGO) yang
mewakili lingkungan hidup untuk memiliki locus standi hingga kini belum
dapat diterima. Hal ini dikarenakan masih kuatnya doktrin yang menyatakan
bahwa hanya negara sajalah yang dapat berperkara dalam Mahkamah
Internasional. Karena itu ada beberapa kasus yang menyangkut persoalan
sumberdaya alam diselesaikan oleh badan-badan di luar Mahkamah
Internasional seperti GATT/WTO, Mahkamah Eropa (European Court of
Justice), World Bank dll.
Page 17
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
64
Pengadilan nasional dan internasional yang ada tidak memadai lagi
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan internasional karena
bukti menunjukkan bahwa bumi ini makin seriusnya ancaman bahaya oleh
aktivitas manusia, sehingga diperlukan badan peradilan internasional baru,
yaitu Pengadilan Lingkungan Internasional (International Environmental
Court/IEC) dan pengadilan khusus itu diharapkan mempunyai yurisdiksi
yang tidak dimiliki oleh pengadilan nasional terhadap kerusakan lingkungan
internasional.
Manfaat lain dari dibentuknya sebuah IEC akan memberikan kepada
masyarakat internasional meliputi: aksesibilitas terhadap berbagai aktor;
pembentukan badan hukum lingkungan internasional yang konsisten;
keputusan yang lebih cepat dalam menangani masalah dan perselisihan;
biaya yang lebih rendah dari perkara sengketa lingkungan internasional; dan
penegakan perjanjian yang lebih baik dalam bidang lingkungan. Pengadilan
ini dapat lebih memungkinkan penggugat untuk membawa gugatannya
kepada entitas non-negara yang saat ini dilarang menjadi pihak dalam
hukum Internasional. Begitupun dengan dibentuknya badan khusus yang
menangani sampah ruang angkasa (space debris) menjadi suatu kebutuhan
mengingat dampak dari kegiatan keruangangkasaan manusia yang
meningkat menjadi perhatian serius bagi lingkungan maupun kehidupan
manusia di bumi. Dengan dibentuknya badan peradilan khusus lingkungan
internasional dan badan khusus menangani sampah ruang angkasa (space
debris) ini tentunya memperkuat kerangka hukum internasional di bidang
lingkungan sehingga upaya-upaya yang gencar digalakkan saat ini untuk
menjaga lingkungan hidup oleh banyak negara menjadi lebih kuat dan
melengkapi.
Page 18
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
65
DAFTAR PUSTAKA
Buku
- Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional,
Bandung:Keni Media, 2011
- Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional
Perspektif Bisnis Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, 2003
- Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Bandung:
Unpad Press, 2011
- J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta
, 1999
- Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, Pengantar Hukum
Internasional, Bandung: Alumni, 2003
- Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,
Jakarta: Djambatan, 1991
- Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara,
Fikahati Aneska, Jakarta, 2003
Artikel Ilmiah
- Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should
There Be One?”, Touro Journal International Law, Vol 31, 1992
- Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International
Environmental Court”, George Washington Journal International
Law and Economy, Vol 32, 2000
Page 19
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 19 Januari – April 2016
66
- Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court :
Its Broad Jurisdiction as a Possible Fatal Flaw”, Hofstra Law
Review, Vol 32, 2003
Website:
- http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampah-
antariksa-64
- http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716