47 BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR 2.1. Kerangka Teoritik Dalam membahas permasalahan penelitian didasarkan pada kerangka teoritik yang merupakan landasan teoritis, dan landasan ini adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep- konsep hukum, azas-azas hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. 49 Sebagai suatu kegiatan ilmiah, maka dalam suatu penelitian diperlukan teori yang berupa asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 50 Suatu teori merupakan hubungan antar dua variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya. 51 Fungsi teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan. 52 49 Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2006, Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Makalah Kedua dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana Universitas Udayana. (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut II) 50 Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 19. 51 Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III) 52 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Sebagaimana dikutip dari Duane R. Monette, Thomas J. Sullivan, Corucl R. Dejong, 1986, Applied Social Research , New York, Chocago, San Francisco Holt, Rinehart and Winston Inc, h. 27
68
Embed
47 BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
47
BAB II
KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL
DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1. Kerangka Teoritik
Dalam membahas permasalahan penelitian didasarkan pada
kerangka teoritik yang merupakan landasan teoritis, dan landasan ini
adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-
konsep hukum, azas-azas hukum dan lain-lain yang akan dipakai sebagai
landasan untuk membahas permasalahan penelitian.49
Sebagai suatu kegiatan ilmiah, maka dalam suatu penelitian
diperlukan teori yang berupa asumsi, konsep, definisi dan proposisi
untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara
merumuskan hubungan antar konsep.50
Suatu teori merupakan hubungan antar dua variable atau lebih
yang telah diuji kebenarannya.51
Fungsi teori dalam suatu penelitian
adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan
dilakukan.52
49 Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2006, Metodologi Penelitian Hukum
Empiris, Makalah Kedua dipresentasikan pada Lokakarya pascasarjana
Universitas Udayana. (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut II)
50
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta,
Jakarta, h. 19.
51
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 30. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III)
52
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, Sebagaimana
dikutip dari Duane R. Monette, Thomas J. Sullivan, Corucl R. Dejong, 1986,
Applied Social Research, New York, Chocago, San Francisco Holt, Rinehart and
Winston Inc, h. 27
48
Terkait dengan tatanan hukum positif kongkrit dalam penulisan
karya ilmiah diperlukan teori. Hal ini dikemukakan oleh Jan Gigssels dan
Mark Van Hoecke dengan pendapatnya sebagai berikut :
Een degelijk inzicht in dezerechlsteokefische kucesties wordt
blijkens het voouvoord beschouwd al seen noodzakelijke basis
voor alke wettenschappelijke studie van eeu konkrect positief
rechtsstelsel.53
(Dalam teori hukum diperlukan suatu pandangan
yang merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada
sebagai dasar dari studi ilmu pengetahuan terhadap aturan
hukum positif).
Beranjak dari permasalahan penelitian sebagaimana dipaparkan
di atas, maka dipergunakan beberapa teori yang dijadikan sebagai pisau
analisa dalam membedah permasalahan penelitian disertasi ini. Untuk
membedah permasalahan yang pertama penelitian ini dipergunakan teori
Sistem Hukum (Legal System Theory) yang didukung dengan teori
utilitarisme, teori hak dan HAM. Kemudian untuk membedah
permasalahan yang kedua dipergunakan teori Negara Kesejahteraan,
yang didukung teori Stakeholders (Stakeholders Theory), teori Hukum
Progresif, Teori Keadilan, dan Konsep Hukum sebagai sarana Pembaruan
masyarakat.
Adapun teori-teori dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut :
2.1.1. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
Untuk mengetahui kondisi peraturan perundang-undangan
yang mengatur UMKM terhadap modal dan politik hukum
pengaturan UMKM dalam hubungannya dengan hak UMKM
53 Jan Gijssels and Mark Van Hoecke, 1982¸ Whats Is Rechtsteorie ?
Nederland, h. 57.
49
atas akses modal dipergunakan teori system hukum dari Lawrence
M. Friedman.
Sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari
tiga elemen, yaitu elemen struktur hukum (legal structure),
substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal
culture). 54
Aspek struktur (structure) oleh Friedman dirumuskan sebagai
berikut:
"The structure of a legal system consists of elements of this
kind: the number and size of courts; their jurisdiction (that
is, what kind of cases they hear, and how and why), and
modes of appeal from one court to another. Structure also
means how the legislature is organized, how many
memberis sit on the Federal Trade Commission, what a
president can (legally) do or not do, what procedures the t
police department follows, and so on". (Struktur dari suatu
sistem hukum terdiri atas hal-hal sebagai berikut,
diantaranya : jumlah dan kapasitas peradilan, yurisdiksi,
dan pola banding dari satu peradilan keperadilan lainnya.
Struktur pun menjelaskan pengaturan legislasi, jumlah
anggota yang duduk pada Kamar Dagang, batas wewenang
dan keabsahan tindakan suatu pimpinan, prosedur yang
dijalankan Kepolisian dan sebagainya).
Mengacu kepada rumusan di atas, maka pengadilan beserta
organisasinya, dan DPR merupakan elemen struktur dari sistem
hukum. Lembaga DPR sebagai elemen struktur, alat-alat
54 Lawrence M. Friedman, 1977, Law and Society, an introduction,
Prentice Hall, New Jersey, p.7. (Selanjutnya disebut Lawrence M. Friedman I) Pada prinsipnya menurut Friedman bahwa sistem hukum terdiri dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur hukum menyangkut lembaga-lembaganya, substansi hukum mencakup semua peraturan hukum, sementara itu budaya hukum mencakup gambaran sikap dan perilaku terhadap hukum, dan faktor-faktor yang menentukan diterimanya sistem hukum tertentu dalam suatu masyarakat.
50
kelengkapan dan anggota DPR merupakan aspek struktur dalam
sistem hukum.
Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum
(substance). Penjelasan Friedman terhadap substansi hukum
adalah sebagai berikut:
"By this is meant the actual rules, norms, and behavior
patterns of people inside the system. This is, first of all,
"the law" in the popular sense of the term-the fact that the
speed limit is fifty-five miles an hour, that burglars can be
sent to prison, that 'by law' a pickle maker has to list his
ingredients on the label of the jar".55
(Hal tersebut
diartikan sebagai peraturan yang nyata, norma, dan pola
perilaku masyarakat dalam suatu sistem. Hal ini utamanya
hukum dalam pengertian umum, sebagai suatu bentuk
batasan kecepatan 50 mili per/jam, bahwa penjahat dapat
dijebloskan kepenjara, dan demi hukum setiap pembuat
acara harus menjelaskan bahan-bahan dalam setiap
toplesnya).
Dengan demikian, Friedman mengatakan, bahwa yang
dimaksudkan dengan substansi hukum adalah peraturan-peraturan
yang ada, norma-norma dan aturan tentang perilaku manusia, atau
yang biasanya dikenal orang sebagai "hukum" itulah substansi
hukum.
Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman
mengartikannya sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum
dan sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, gagasan, serta
harapan masyarakat tentang hukum. Dalam tulisannya Friedman
merumuskannya sebagai berikut;
55 Lawrence M. Friedman, dalam Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan
Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggungjawab Mutlak, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, h. 23.
51
"By this we mean people's attitudes toward law and the
legal system-their beliefs, values, ideas, and expectations.
In other words, it is that part of the general culture which
concerns the legal system".56
(Dengan ini kami
mengartikan perilaku masyarakat terhadap hukum dan
kepercayaan terhadap sistem hukum, tata nilai, gagasan dan
ekspektasi. Dengan kata lain, ini merupakan bagian dari
kebudayaan umum yang membahas perihal sistem hukum).
Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan antara ketiga
elemen sistem hukum tersebut Friedman dengan menarik dan jelas
sekali membuat sebuah ilustrasi yang menggambarkan sistem
hukum sebagai suatu "proses produksi" dengan menempatkan
mesin sebagai "struktur", kemudian produk yang dihasilkan
sebagai "substansi hukum", sedangkan bagaimana mesin ini
digunakan merupakan representasi dari elemen "budaya hukum".
Dalam bahasanya, Friedman merumuskan ilustrasi tersebut
sebagai berikut;
"Another way to visualize the three dements of law is to
imagine legal "structure" as a kind of machine.
"Substance" is what the machine manufactures or does.
The "legal structure" is whatever or whoever decides to
turn the machine on and off, and determines how it will be
used".57
(Cara lain untuk memvisualisasikan tiga elemen
hukum adalah untuk membayangkan suatu “struktur”
selayaknya suatu mesin. “Substansi” adalah hal yang diolah
oleh suatu mesin. “Struktur hukum” adalah apapun atau
segala jenis bentuk yang memutuskan dimatikan atau
dihidupkannya mesin tersebut dan bagaimana cara
penggunaannya).
56 Ibid, h. 24
57
Ibid. Lihat juga John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara
Hukum dan Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluarsa,
Pelangi Cendikia, Jakarta, h. 37-35.
52
Pada dasarnya pembangunan hukum sama dengan
pembangunan komponen-komponen sistem hukum.58
Pernyataan
ini mengacu pada tujuan utama hukum adalah mewujudkan
ketertiban (order).59
Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan
fakta dan kebutuhan obyektif bagi setiap masyarakat manusia.60
Pada dasarnya ada tiga tujuan hukum yaitu ; kepastian,
keteraturan, dan keadilan.61
Dengan demikian, tujuan dalam
pembangunan hukum terhadap pemberdayaan UMKM atas akses
modal adalah kepastian hukum, keteraturan, dan keadilan dalam
sistem hukumnya.
Seperti dikemukakan oleh Achmad Ali, persoalan yang
dihadapi Indonesia saat ini adalah adanya keterpurukan dalam
ketiga elemen sistem hukum tersebut, dan yang sangat
menyedihkan adalah fakta bahwa ketiga elemen sistem hukum
Indonesia masih belum harmonis satu sama lain.62
Begitu juga terkait dengan elemen substansi hukum yang
menyangkut peraturan hukum (Peraturan Perundang-Undangan)
58 Lili Rasjidi, Wyasa Putra IB., 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
Mandar Maju, Bandung, h. 184.
59
Andrieansjah Soeparman, 2013, Hak Desain Industri Berdasarkan
Penilaian Kebaruan Desain Industri, PT. Alumni, Bandung, h. 56.
60
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Fungsi dan Perkembangan Hukum
Dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 2-3. (Selanjutnya
disebut Mochtar Kusumaatmadja I)
61
Lili Rasjidi, Wyasa Putra IB., Op.Cit, h. 185.
62
Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h.9 – 11. (Selanjutnya disebut Achmad Ali I).
53
berkaitan dengan hak UMKM atas akses modal, disamping
menunjukkan adanya norma kabur, juga menunjukkan adanya
norma konflik atau pertentangan antara peraturan satu dengan
peraturan yang lainnya, sehingga menampakkan adanya
ketidakpastian hukum.
Guna meneliti peraturan perundang-undangan yang ada
terkait dengan hak UMKM atas akses modal, maka sudah barang
tentu ketiga komponen sistem hukum itu tidak boleh lepas dari
pengamatan, terutama komponen substansi hukum (legal
substance). Dengan demikian, untuk mengetahui stagnasi-stagnasi
hukum ketiga komponen sistem hukum itu harus diberikan
perhatian penuh.
2.1.2. Teori Utilitarisme
Terkait dengan substansi hukum, yaitu pembentukan
peraturan perundang-undangan yang mengatur hak UMKM atas
akses modal, maka teori Utilitarisme dari Jerremy Bentham
relevan untuk dijadikan dasar rujukan. Salah satu substansi teori
Jeremy Bentham yaitu; terori perundang-undangan atau prinsip
legislasi, dimana yang menjadi tujuan pembentukan hukum oleh
pembentuk undang-undang (legislator) adalah manfaat umum
(kebaikan publik).
54
Jeremy Bentham dikenal sebagai penggagas aliran
“Utilitarisme Hukum”. Bentham mampu menenun dari “benang”
kemanfaatan menjadi permadani doktrin etika dan ilmu-ilmu
hukum yang luas dan dikenal sebagai utilitarisme. Menurut
Jeremy Bentham pembentuk undang-undang hendaknya dapat
melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan
bagi semua individu.63
Dengan berpegang pada prinsip ini Jeremy
Bentham mengemukakan bahwa suatu perundang-undangan itu
hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
bagi sebagian terbesar masyarakat.64
Dalam teori ini diajarkan hanya dalam ketertibanlah setiap
orang akan mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan
kebahagiaan yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh
(volwaardig), tidak seorangpun bernilai lebih (everybody to count
for one, no body for more than one). Teori ini bertujuan untuk
mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya
guna (efektif).65
Hukum barulah diakui sebagai hukum jika ia memberikan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya
orang. Prinsip ini dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya
63 Gerald Postema, 1986, Bentham and The Common Law Tradition ,
Clafendom Press, Oxford, h. 403.
64
Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2011, Hak Kekayaan Intelektual dan
Harmonisasi Hukum Global Rekonstruksi Pemikiran Terhadap Perlindungan
Program Komputer, Disertasi, Universitas Diponegoro Semarang, h.11-12.
(Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut III), Lihat juga Abdul Manan,
2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h. 17.
65
Ibid, h. 18.
55
Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789)
yang berbunyi ; bahwa hukum bertujuan untuk “the greatest
happiness of the greatest number” 66
Bagi Bentham tujuan perundang-undangan adalah untuk
menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundang-
undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan;
1. To provide subsistence (untuk memberikan nafkah hidup)
2. To Provide abundance (untuk memberikan makanan yang
berlimpah)
3. To Provide Security (untuk memberikan perlindungan)
4. To Provide equity (untuk mencapai persamaan).67
Aliran utilitarisme dianggap sebagai aliran yang
meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
Dalam konteks ini apakah hukum dapat memberikan kebahagiaan
kepada manusia atau tidak.68
Sementara Gustav Radbruch justru
menegaskan tentang manfaat hukum sebagai sarana untuk tercipta
66 Bentuk Utilitarisme pertamakali diperkenalkan oleh Filsuf Inggris,
Jeremy Bentham (1748 – 1832). Jeremy Bentham sangat percaya bahwa hukum
harus dibuat secara utilitarianistik, melihat gunanya dengan patokan-patokan
yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan manusia. Dal am
hukum tidak ada masalah kebaikan atau keburukan, atau hukum yang tertinggi
atau yang terendah dalam ukuran nilai. Hukum yang baik adalah hukum yang
dapat memenuhi prinsip memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan rasa
sakit dalam masyarakat. Adapun jaminan kebahagiaan yang dimaksud oleh
Bentham terutama ditujukan kepada individu. Lihat Muhamad Erwin, Filsafat
Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
180-181.
67
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicial Prudence) termasuk Interprestas i Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 78. (Selanjutnya
disebut Achmad Ali I)
68
Muhamad Erwin, Op.Cit, h. 179
56
suatu kepastian hukum (azas legalitas), keadilan (finalitas) dan
kemanfaatan (utility)69
.
Dengan mengutip pandangan dari Resoe Pound terkait
dengan aliran Utilitarisme, Muhamad Erwin kemudian
menegaskan bahwa pembuat undang-undang harus dipimpin oleh
suatu azas kegunaan (utility), harus menjadi patokan bagi
pembuat undang-undang ialah apa yang akan memberikan
kebahagiaan kepada jumlah individu yang paling besar.70
Guna mewujudkan hukum (peraturan perundang-undangan)
tentang UMKM yang dapat memberikan kemanfaatan, maka
peraturan perundang-undangan tersebut harus mengandung
kepastian hukum (normanya harus jelas, tidak kabur, dan tidak
mengandung norma yang konflik). Dengan demikian azas-azas
pembentukan peraturan harus mendapat perhatian dan penting
adanya.
Jeremy Bentham mengemukakan bahwa ketidaksempurnaan
(imperfectionis) yang dapat mempengaruhi undang-undang
(statute law), bisa dijadikan sebagai azas-azas dalam penbentukan
perundang-undangan.71
Jeremy Bentham membagi ketidak-
sempurnaan tersebut dalam dua derajat atau tingkatan sebagai
berikut;
69 Muhamad Erwin, Op.Cit, h. 184
70
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah ,
Kanisius, Yogyakarta, h. 161. (Selanjutnya disebut Theo Huijbers I)
masyarakat, termasuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
dalam bentuk pemberian kesempatan atau peluang untuk
mendapatkan akses modal usaha sebagai bagian dari
pemberdayaan dan pengembangan UMKM.
Ide Dasar Negara Kesejahteraan seperti dikemukakan oleh
Watts, Dalton dan Smith, sudah ada semenjak abad ke-18 ketika
Jeremy Bentham (1748-1832) menjelaskan gagasan bahwa
pemerintah mempunyai tanggungjawab untuk menjamin the
greatest happiness (Wellfare) of the greatest number of their
citizens,94
artinya bahwa pemerintah berkewajiban membuat
bahagia sebanyak mungkin warganya.
Bentham menggunakan istilah utility (kegunaan) dalam
menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Atas dasar
prinsip utilitarismenya Bentham mengatakan bahwa hal yang bisa
membawa kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Bentham
94 Bessant, Judiths, 2006, Talking Policy; How Social Policy in Made ,
Crows Mest : Allen and Unwin, h. 11.
66
juga berpendapat bahwa pemerintah berkewajiban membuat
bahagia sebanyak mungkin warganya, dan atas gagasan-gagasan
inilah Bentham diakui sebagai Bapak Negara Kesejahteraan
(Father of Welfare State).
Paham Negara Kesejahteraan (welfare state) lahir pada
abad XIX sebagai reaksi terhadap kelemahan liberalisme dan
kapitalisme klasik dan sekaligus reaksi terhadap ajaran “negara
penjaga malam” (nachtwachtersstaat) yang mengidealkan prinsip
pemerintah yang paling baik adalah yang memerintah sesedikit
mungkin (the best government is the least government)95
Negara Kesejahteraan (welfare state) menurut Bagir Manan
adalah negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga
keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama
tanggungjawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan
umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.96
Munculnya konsep Negara Kesejahteraan didahului oleh
konsep Negara Penjaga Malam (Nachtwachterstaat). Dalam
konsep Negara Penjaga Malam pemerintah hanya dibenarkan
masuk dalam wilayah keamanan dan tidak masuk pada wilayah
politik dan ekonomi, sesuai dengan dalil “laissez-faire
95 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga-
Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, h. 330. (Selanjutnya disebut
Jimly Asshiddiqie II). Lihat juga Miriam Budiardjo, 2001, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.50.
96
Abrar, 1999, Hak Penguasaan Negara Atas Pertambangan
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi PPS Universitas Padjajaran,
Bandung, h. 4.
67
laissezaller”97
atau paham liberal. Paham liberal percaya bahwa
jika seorang diberikan kebebasan mengurus ekonominya masing-
masing, ekonomi negara akan sehat. Dalam perspektif ini urusan
ekonomi terlepas campur tangan negara.
Paham liberal ini muncul karena sebelumnya dalam
pemerintahan yang berbentuk kerajaan bersifat absolut, dan
rajalah yang menentukan segala-galanya bagi kepentingan
masyarakat. Semboyan yang terkenal saat itu sebagaimana
ungkapan raja Perancis, Louis XIV, “L’etate C’estmoi,”98
negara
adalah aku. Azas yang berlaku dalam pemerintahan waktu itu
adalah bahwa rajalah yang menentukan segala-galanya untuk
rakyatnya, dan kepentingan umum mengatasi semua undang-
undang dan hukum (legibus solutes est, soluspublikus suprema
lex)99
Paham Negara Kesejahteraan (walfare state) menjadi ide
yang cukup dominan dalam penyelenggaraan negara di Negara
Maju maupun Dunia Ketiga. Konsep Negara Kesejahteraan
merupakan jawaban terhadap ekses-ekses negatif paham
kapitalisme periode pertama yang sangat meminimalkan peran
negara.100
Dalam Konsep Negara Kesejahteraan, gagasan bahwa
97 Marbun S.F., 2001, Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, h. 201.
98
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia , UI Press, Jakarta, h. 34-35.
99
Donald A. Runokoy, Marbun SF., Op.Cit.h.10.
100
Adji Samekto F.X., 2005, Pembangunan Berkelanjutan Dalam
Tatanan Sosial Yang Berubah, Jurnal Hukum Progresif Vol. I Nomor 2 Oktober
2005, h.18.
68
pemerintah dilarang intervensi dalam urusan warga negara lambat
laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah harus intervensi
dan bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat, dan karenanya
harus proaktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial.101
Intervensi tersebut bila dikaitkan dengan tujuan pokok
negara kesejahteraan, antara lain ;
1. Mengontrol dan menggunakan sumber daya sosial dan
ekonomi untuk kepentingan publik
2. Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata
3. Mengurangi kemiskinan
4. Menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi
disadvantage people.
5. Menyediakan asuransi sosial (kesehatan dan pendidikan) bagi
masyarakat miskin.
6. Memberi proteksi sosial bagi tiap warga negara.102
Negara Kesejahteraan juga didefinisikan, is a state which
provides all individuals a fair distribution of the basic resources
necessary to maintain a good standard of living , (suatu negara
yang memberikan seluruh rakyat suatu pendistribusian secara adil
sumber-sumber kebutuhan pokok untuk pemeliharaan suatu
standar hidup yang layak.)103
101 Ibid.
102
Tjandra W. Riawan, 2008, Hukum Tata Negara, Universitas
Atmadjaja, Jakarta, h. 4.
103
Yohannes Usfunan, et.al. Op.Cit, h. 18.
69
Menurut Spicker104
Negara Kesejahteraan dapat
didefinisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang
memberi peran lebih besar pada Negara atau pemerintah untuk
mengalokasikan sebagian dana publik untuk menjamin
terpenuhinya kebutuhan dasar warganya.
Negara Kesejahteraan mengantarkan pada aksi
perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama kelompok
lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran, usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM), dan sebagainya. Negara
Kesejahteraan dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya
kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat.
Secara konstitusional Negara Kesejahteraan Indonesia
tertuang dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, Pasal 27 ayat (2), Pasal 33, dan Pasal 34.105
Pemahaman
mengenai Negara Kesejahteraan terfokus pada dua konsep yaitu
social welfare dan economic development. Social Welfare
berkaitan dengan altruism, hak-hak sosial, dan redistribusi asset.
Hal ini merupakan mekanisme redistribusi kekayaan untuk
membiayai layanan sosial bagi masyarakat yang kurang mampu.
Economic development berkenaan dengan pertumbuhan,
104 Jasim Hamidi, Herlin Wijayanti, 2009, Teori dan Politik Hukum Tata
Negara, Total Media, Yogyakarta, h. 307.
105
Djauhari, Politik Hukum Negara Kesejahteraan Indonesia (Studi
tentang Kebijakan Regulasi dan Institusionalisasi Gagasan Kesejahteraan Sosial
Ekonomi Masyarakat Nelayan di Jawa Tengah , dalam Bunga Rampai Pemikiran
Hukum di Indonesia, FH. UII Press, Yogyakarta, h. 312.
70
akumulasi modal, dan keuntungan ekonomi. Hal ini merupakan
jalan mewujudkan kekayaan dan meningkatkan kualitas standar
hidup.106
Negara Kesejahteraan diwujudkan tidak semata-mata dalam
bentuk kebijakan dan program sosial seperti social safety net,
social security, social insurance, atau social subsidy, tetapi juga
melalui penyelenggaraan pembanguan sosial yang diarahkan pada
penciptaan lapangan kerja, pengembangan modal, memobilisasi
modal sosial, mengakumulasi asset produktif, dan merintis serta
mengembangkan UMKM dalam bentuk pemberian dan penguatan
untuk mendapatkan hak aksesnya terhadap modal.
Bila dihubungkan dengan liberalisasi perdagangan jasa
pariwisata, yang sudah barang tentu pasti akan menghadirkan
pengusaha dan pemasok jasa asing, maka pemerintah sebagai
representasi welfare state wajib campur tangan untuk melindungi
keberadaan UMKM dibidang akses untuk mendapatkan modal dan
akses pasar sehingga mereka tidak tereliminasi dalam kegiatannya
dibidang ekonomi.
Wujud campur tangan negara atau pemerintah sebagaimana
dimaksud adalah dengan membuat atau merumuskan peraturan
dibidang ekonomi berkaitan dengan hak UMKM atas akses
106 Johanes Usfunan, et.al., Op.Cit, h. 19.
71
modal. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Alinea
keempat), mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan yang
meliputi berbagai bidang seperti; politik, hukum, maupun
ekonomi.107
2.1.5. Teori Stakeholders (Stakeholders Theory)
Salah satu akses UMKM untuk mendapatkan modal usaha
adalah melalui pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan
(Corporate Social Responsibility). Perusahaan–perusahaan besar
biasanya menyalurkan dana hibah yang disalurkan melalui divisi
CSR nya.
Konsep dan pengimplementasian CSR (Corporate Social
Responsibility) ini didasarkan pada teori stakeholders
(Stakeholders Theory). Menurut teori stakeholrders dari Thomas
Donaldson, yang menyatakan bahwa manajemen suatu perusahaan
harus memperhatikan kepentingan para stakeholders, baik yang
berasal dari group atau individu yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh maksud dan tujuan perusahaan.108
Menurut
Stakeholders Theory tidak ada suatu perseroan dapat berdiri
sendiri tanpa dukungan dari pihak lain yang dapat menunjang
107 Syamsuharya Bethan, 2008, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian
Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional Sebuah Upaya
Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan antar Generasi, PT. Alumni,
Bandung H. 22.
108
Misahardi Wilamarta, 2002, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam
Rangka Good Corporate Governance , Program Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, h. 260.
72
keberhasilan perusahaan, seperti langganan, supplier, kreditor,
anggota masyarakat, termasuk karyawan perseroan.109
Dengan landasan Stakeholders Theory ini CSR penting
untuk dikembangkan guna memudahkan UMKM untuk
mendapatkan akses pembiayaan atau modal, terlebih-lebih bila
melihat fakta adanya ketidakseimbangan ekonomi, terutama
didalam memperoleh akses pembiayaan antara usaha besar dengan
UMKM.
Dalam konteks pembangunan saat ini, perusahaan tidak
lagi dihadapkan pada tanggungjawab yang berpijak pada aspek
keuntungan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi
kelangsungan usahanya, melainkan juga bertanggungjawab
terhadap aspek sosial dan lingkungannya, karena dalam
kegiatannya aktivitas ekonomi berkembang sangat tidak
seimbang.110
Suatu perusahaan dalam melakukan kegiatan usaha atau
berbisnis, ia memiliki kewajiban kepada Shareholders (Pemegang
Saham), namun ia juga harus memenuhi harapan para
Stakeholders (Pemangku Kepentingan), yakni karyawan, rekanan
bisnis, pemerintah, dan masyarakat sekitar. CSR harus dikerjakan
109 Ibid.
110
Thomas Lindblad J., et.al, 2002, Fondasi Historis Ekonomi Indonesia ,
terjemahan Nawianto S., Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, hl. 26.
73
dengan sepenuh hati sebagai bentuk tanggungjawab kepada
Stakeholders.111
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan
dan kepentingan Stakeholdersnya. Kesadaran akan pentingnya
Sustainability perusahaan jangka panjang dari pada sekedar
Profitability ini dinilai sudah tidak sesuai dengan pandangan
tradisional yang menyatakan mengenai “The Social Responsibility
of Business is that business should maximize profits for
shareholders”.112
Dalam konteks CSR, perusahaan yang ingin
mempertahankan eksistensinya atau kelangsungan hidupnya, maka
konsep Triple Bottom Lines yaitu people, profit, dan planet harus
diperhatikan. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan
juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif
dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Konsep Triple Bottom Lines mengimplikasikan bahwa
perusahaan harus lebih mengutamakan kepentingan Stakeholders
(semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang
111 Sukandarrumidi, 2012, Corporatet Social Responsibility (CSR) Usaha
Meredam Unjukrasa Akibat Gangguan Lingkungan , Bajawa Press, Yogyakarta,
h.61.
112
Henry R. Cheeseman, 2000, Countemporary Business, 3rd
ed, Upper
Saddle River, New Jersey, h. 41.
74
dilakukan perusahaan) dari pada kepentingan Shareholders
(pemegang saham).
Mengacu pada konsep Triple Bottom Lines, maka UMKM
sebagai Stakeholders penting untuk diperhatikan bila perusahaan
ingin tetap mempertahankan eksistensinya. Perusahaan harus
memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat, termasuk
UMKM dengan melaksanakan program CSR.
Terkait dengan implementasi CSR itu sendiri sebagai suatu
kewajiban hukum seperti diatur dalam undang-undang,113
nampaknya pada saat sekarang ini sudah menjadi suatu kebutuhan
bila dilihat dari segi pemberdayaan UMKM. Ketika CSR sudah
menjadi suatu kewajiban hukum yang mesti harus dilaksanakan
oleh suatu perusahaan, maka hal itu akan mendorong perusahaan
untuk melaksanakannya.
Dalam konteks ini relevan untuk dicermati pendekatan
Hybrid Framwork yang diperkenalkan Ni Ketut Supasti
Dharmawan sebagai suatu alternatif penerapan konsep Corporate
Social Responsibility (CSR) ditengah kontroversi CSR antara
voluntary dan mandatory. A Hybrid Framwork adalah sebuah
113 Undang-Undang yang mewajibkan CSR adalah Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan ; Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Pasal 15 huruf b Undang -Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyatakan; Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.
75
pendekatan yang menggabungkan antara pelaksanaan CSR secara
voluntary dan regulatory (mandatory).114
Melalui pendekatan Hybrid ini tidak melihat keduanya
terpisah secara eksklusif, akan tetapi melihatnya sebagai dua hal
yang saling melengkapi. Adanya suatu usaha legislasi, itu bukan
berarti menganggap inisiatif voluntary sebagai suatu hal yang
tidak penting, melainkan usaha atau pemasukan konsep CSR ke
dalam undang-undang sebagai salah satu factor lebih
mempengaruhi perilaku korporasi dalam menjalankan
tanggungjawab sosialnya.115
Sementara itu, dalam undang-undang tanggungjawab sosial
yang berbasis kewajiban hukum (legal obligation) hendaknya
tidak dilihat sebagai suatu yang berbenturan, akan tetapi suatu
pendekatan yang saling melengkapi. Pencantuman konsep CSR
dalam format undang-undang bukan suatu kesalahan melainkan
suatu kebutuhan.116
2.1.6. Teori Keadilan
Keadilan berasal dari kata dasar adil dengan mendapat
imbuhan ke-an, menjadi keadilan. Keadilan berarti dapat
114 Supasti Dharmawan Ni Ketut, 2010, A Hybrid Framwork Suatu
Alternatif Pendekatan CSR (Corporate Social Respponsibility) di Indonesia ,
Jurnal Ilmiah Kertha Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Volume 34
No. 1, Januari, Denpasar, h. 9. (Selanjutnya disebut Supasti Dharmawan Ni Ketut
IV).
115
Ibid.
116
Ibid.
76
menempatkan sesuatu secara proporsional dan persamaan hak
sesuai dengan kapasitas dan kemampuan seseorang dalam
melakukan sesuatu masalah.117
Di dalam literatur Inggris istilah keadilan disebut dengan
“justice”, kata dasarnya “jus”. Perkataan “jus” berarti hukum atau
hak. Dengan demikian salah satu pengertian dari justice adalah
hukum. Dalam makna keadilan sebagai hukum, kemudian
berkembang arti dari kata justice sebagai “lawfulness” yaitu
keabsahan menurut hukum.118
Menurut bahasa (etimologi) keadilan ialah seimbang
antara berat dan muatan,119
sesuai dengan hak dan kewajiban,
sesuai antara pekerjaan dan hasil yang diperoleh, sesuai dengan
ilmu, sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan.
WJS. Poerwadaminta memberikan pengertian adil sebagai
berikut:
1. Adil berarti tidak berat sebelah (tidak memihak),
pertimbangan yang adil, putusan yang dianggap adil;
2. Adil berarti patut, sepatutnya, tidak sewenang-wenang.
Misalnya, dalam mengemukakan tuntutan yang adil,
117
Yatimin Abdullah, 2006, Pengantar Studi Etika, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 537. 118
Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan
Berserikat Bagi Pekerja, Mandar Maju, Bandung, h. 48. 119
Ibnu Miskawaih, 1995, Menuju Kesempurnaan Ahlak, Mizan, bandung,
h. 115.
77
masyarakat adil, masyarakat yang sekalian anggotanya
mendapat perlakuan yang sama adil.120
Apa yang dikemukakan WJS. Poerwadarminta tentang adil,
hampir sama dengan pengertian adil/keadilan menurut pengertian
kalangan masyarakat pada umumnya yaitu merupakan sifat
tindakan atau perlakuan yang tidak memihak kepada salah satu
pihak, tidak berat sebelah, memberikan sesuatu kepada setiap
orang sesuai dengan hak yang harus diperolehnya, selalu berpihak
kepada yang benar dan tidak berbuat sewenang-wenang.121
Mengenai pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran
yang panjang. Tema keadilan merupakan tema utama dalam
hukum semenjak masa Yunani kuno,122
karena salah satu tujuan
hukum adalah keadilan.
Perbincangan tentang keadilan berkembang dengan
pendekatan dan sudut pandang yang berbeda-beda, sehingga
karenanya berkembang pula teori-teori keadilan dari para sarjana
yang intinya mengemukakan teorinya dari sudut pandangannya
masing-masing.
Teori keadilan yang tepat dipergunakan dalam membedah
permasalahan penelitian ini, terutama permasalahan pertama dan
permasalahan kedua adalah teori keadilan Pancasila. Di Indonesia
120
Poerwadarminta WJS., 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, h. 16. 121
Kuffal HMA., 2012, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, Universitas Muhammadiyah, Malang, h. 48. 122
Fernando M. Manullang E., 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, PT.
Kompas Media Nusantara, Jakartam h. 96.
78
keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.123
Nilai-nilai yang
terkandung dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila-sila dari Pancasila.124
Berdasarkan sila-sila dari Pancasila, maka dalam sila
kelima terkandung nilai-nilai keadilan yang harus terwujud dalam
kehidupan bersama (kehidupan sosial). Adapun keadilan tersebut
didasari dan dijiwai oleh hakekat keadilan kemanusiaan yaitu
keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri,
manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat,
bangsa dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.125
Menurut I Ketut Rindjin, sesungguhnya keadilan sosial
yang berlaku dalam masyarakat meliputi segala bidang
kehidupan, tidak hanya meliputi aspek materiil saja, tetapi juga
aspek spiritual, yaitu yang menyangkut adil dibidang hukum,
politik, sosial, budaya, maupun ekonomi.126
Makna keadilan sosial
mencakup pula pengertian adil dan makmur yang merupakan
tujuan dari negara Indonesia.127
123
Agus Santoso H.M., 2012, Hukum, Moral, dan Keadilan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, h. 86. 124
Ibid 125
Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi ,
Paradigma, Yogyakarta, h. 36. 126
Rindjin Ketut, 2012, Pendidikan Pancasila Untuk Perguruan Tinggi ,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 178. 127
Kaelan, Op. Cit, h. 37
79
Menurut Ida Bagus Wyasa Putra, teori keadilan Pancasila
mencakup sekurang-kurangnya tiga komponen keadilan yaitu;
keadilan tukar menukar, keadilan sosial, dan keadilan dalam
membagi.128
Apa yang dimaksud dengan ketiga komponen
keadilan tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut;
1. Keadilan tukar menukar mencakup dua konsep yaitu; (a) memberikan kepada pihak lain segala sesuatu yang menjadi haknya, atau yang semestinya mereka terima, sehingga masing-masing pihak mempunyai kesempatan untuk melaksanakan hak dan kewajiban tanpa rintangan; (b) dalam hubungan manusia orang perorangan; memberikan kepada sesamanya segala sesuatu yang menjadi hak pihak lain atau yang seharusnya diterima pihak lain, sehingga timbul keadaan saling memberi dan saling menerima.
2. Keadilan sosial, yaitu dalam hubungan manusia perseorangan dengan masyarakat, memberi dan melaksanakan segala sesuatu yang memajukan kemakmuran serta kesejahteraan sebagai tujuan mutlak masyarakat.
3. Keadilan dalam membagi, yaitu dalam hubungan antara masyarakat dengan warganya, masyarakat dengan alat penguasaannya, membagikan segala kenikmatan dan beban bersama dengan secara rata dan merata, menurut keselamatan sifat dan tingkat perbedaan rohaniah serta badaniah warganya, baik sebagai perseorangan maupun golongan, sehingga terlaksana sama rasa sama rata.
129
Keadilan Pancasila menurut Ida Bagus Wyasa Putra
mempunyai cakupan lebih luas dan tidak hanya sekedar keadilan
sosial saja, tetapi juga keadilan tukar menukar dan keadilan dalam
membagi.
Dari konstruksi keadilan sosial dapat ditarik benang merah
bahwa merupakan tugas dari pemerintah kepada warganya untuk
menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga, oleh karena itu
merupakan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk
128
Wyasa Putra Ida Bagus I, Op.Cit. h. 210. 129
Wyasa Putra Ida BAgus I, Loc.Cit.
80
memperhatikannya dalam merumuskan undang-undang. Terkait
dengan hak UMKM atas akses modal, maka konsep keadilan
sosial penting untuk diatur dan diimplementasikan dalam konteks
pemberdayaan UMKM.
Mengingat dalam praktek dewasa ini masih
memperlihatkan bahwa para pembuat kebijakan dan pembentuk
hukum masih mengabaikan mandat konstitusi bahwa pendirian
negara ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mewujudkan keadilan sosial, maka prinsip keadilan sosial sebagai
salah satu sila dari Pancasila relevan dan penting untuk diterapkan
dan tercermin dalam norma hukum yang akan dibentuk.
Konsep John Rawls tentang keadilan relevan pula dipakai
sebagai landasan teori dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia terkait dengan pemberdayaan
(Perlindungan) UMKM yang posisinya lemah dan kurang
beruntung. John Rawls mengemukakan ada 2 (dua) prinsip
keadilan sebagai berikut :
First, each person is to have an equel right to the most
extensive basic liberty compatible with a similiar liberty
for other, second, social and economic inequalities are to
be arranged so that they kare both (a) reasonably expected
to be eveyone’s advantage, and (b) attached to positions
and offices open to all.130
(Pertama-tama, tiap orang agar
memiliki hak yang sama terhadap kebebasan dasar terhadap
yang lain, dan kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi agar
diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kemampuan
dan tugas dan wewenangnya).
130 John Rawls, 2006, Teori Keadilan Atau Theory of Justice (Terjemahan
Pustaka Pelajar), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 60.
81
Kedua prinsip keadilan di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut; prinsip yang pertama; menempatkan setiap orang
mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,
seluas kebebasan yang sama bagi semua orang (bagi orang lain).
Sedangkan prinsip kedua; ketimpangan sosial dan ekonomi yang
ada ditengah masyarakat, harus diatur sedemikian rupa sehingga ;
(a) dapat diharapkan memberi keuntungan pada setiap orang; (b)
semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.
Seperti ditegaskan oleh Otong Rosadi bahwa teori John
Rawls sangat penting dalam konteks pembahasan mengenai
inkorporasi prinsip keadilan sosial dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Teori Rawls tentang
keadilan penting karena dua hal;131
1. Prosedur pencapaian atau pencarian konsensus yang
menempatkan individu sama peluangnya.
2. Mengakui ada ketimpangan dalam masyarakat yang harus
mendapat prioritas perhatian dalam penyusunan atau
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Prinsip keadilan yang kedua dari John Rawls dapat menjadi
pedoman bahwa pembentukan undang-undang harus memberikan
perlindungan yang memadai bagi masyarakat yang mempunyai
akses kecil dan terbatas terhadap sumber-sumber daya dalam
masyarakat, termasuk UMKM sebagai kelompok yang posisinya
131 Otong Rosadi, 2012, Hukum Ekologi dan Keadilan Sosial Dalam
Perenungan Pemikiran (Filsafat) Hukum , Thafa Media, Yogyakarta, h. 117.
82
lemah. Kelompok masyarakat yang masuk katagori ini harus
diperhatikan dan menjadi dasar pertimbangan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan.
2.1.7. Teori Hukum Progresif
Seirama dengan perkembangan bidang hukum dewasa ini
telah berkembang berbagai pendirian dari para sajana tentang
hukum, salah satunya adalah pemikiran dari Satjipto Rahardjo
mengenai Hukum Progresif. Tidak dapat dipungkiri, pemikiran
Hukum Progresif ini telah memberikan warna bagi perkembangan
hukum di Indonesia.
Hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang
paling menarik dalam literatur hukum Indonesia pada saat ini.
Dikatakan menarik, karena Hukum Progresif telah menggugat
keberadan hukum modern yang telah dianggap mapan dalam
berhukum kita selama ini.132
Hukum progresif menyingkap tabir dan menggeledah
berbagai kegagalan hukum modern yang didasari oleh Filsafat
positivistik, legalistik, dan linier tersebut untuk menjawab
persoalan hukum sebagai masalah manusia dan kemanusiaan.133
Dalam konteks hukum progresif, hukum tidak hanya
dijalankan dengan kecerdasan spiritual. Menjalankan hukum
haruslah dengan determinasi, empati, dedikasi, komitmen
132 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h.v (Selanjutnya disebut Satjipto
Rahardjo I).
133
Ibid.
83
terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain
guna mensejahterakan rakyat.
Melalui pemikiran hukum progresif ini Satjipto Rahardjo
kemudian melakukan elaborasi mendalam mengenai peranan
hukum dan bagaimana seharusnya hukum diperankan dalam
mengatur kehidupan masyarakat Indonesia.134
Gagasan hukum progresif yang dicetuskan Satjipto
Rahardjo disampaikan dalam berbagai seminar, diskusi, dan
pertemuan ilmiah dan telah mengundang berbagai komentar dari
berbagai kalangan dalam mengkritisi pemikiran hukum progresif
tersebut.135
134 Romly Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif; Rekonstruksi
Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta
Publishing, Yogyakarta, h. 86
135
Pandangan Teori Hukum Progresif menurut Satjipto Rahardjo,
merupakan gagasan yang berintikan 9 (Sembilan) pokok pemikiran sebagai
berikut ;
1) Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatik dan
berbagai paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslekre,
sociological jurisprudence, interressenjuriprudenz di Jerman, teori hukum
alam dan critical legal studies.
2) Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui
institusi-institusi kenegaraan.
3) Hukum progresif bertujuan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal
hukum.
4) Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.
5) Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia pada
kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
6) Hukum progresif adalah hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro
keadilan.
7) Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa hukum untuk manusia, dan
bukan sebaliknya.
8) Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolute dan final, melainkan
sangat tergnatung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya.
Manusialah yang merupakan penentu.
9) Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi ( law as a process,
law in the making)
Ibid. h. 88-89.
84
Asumsi dasar hukum progresif adalah mengenai pandangan
tentang hubungan antara hukum dan manusia. Ada penegasan prinsip
bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya.136
Berkaitan dengan itu bahwa hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,
melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Setiap kali
ada masalah dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki
dan bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam
skema hukum.137
Begitu juga halnya dengan ketentuan hukum yang menyangkut
akses untuk mendapatkan modal bagi UMKM yang menunjukkan
adanya ketidakjelasan atau pertentangan, maka mengacu pada
pandangan hukum progresif, ketentuan hukum itu yang mesti harus
diperbaiki atau disempurnakan, dalam arti dikonstruksi normanya,
sehingga membuka peluang bagi UMKM untuk mendapatkan akses
modal, sebagai bagian dari upaya untuk membuat masyarakat
(manusia) sejahtera dan bahagia.
Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order)
hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif
ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum dan
menolak status-quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai
teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang
bermoral.138
136 Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif, Hukum Yang Membebaskan ,
Jurnal Hukum Progresif, PDIH Semarang, Volume I Nomor 1, April, 2005, h.5.
(Selanjutnya disebut Satjipto rahardjo II).
137
Endang Sutrisno, Op.Cit, h. 67.
138
Satjipto Rahardjo I, h.2
85
Konsep pemikiran tersebut diatas ditawarkan untuk
diimplementasikan dalam tataran agenda akademia dan agenda aksi.
Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia
kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia
bahagia.139
Pernyataan tersebut merupakan pangkal pikiran yang akhirnya
memuncak pada tuntutan bagi kehiadiran hukum progresif.
Pernyataan tersebut mengandung paham mengenai hukum, baik
konsep, fungsi serta tujuannya. Hal tersebut sekaligus merupakan
ideal hukum yang menuntut untuk diwujudkan. Sebagai
konsekuensinya, hukum merupakan suatu proses yang secara terus-
menerus membangun dirinya menuju ideal tersebut. Inilah esensi
hukum progresif. Secara spesifik hukum progresif adalah suatu
hukum yang pro rakyat dan hukum yang pro keadilan.140
Dalam konteks paparan di atas kiranya demikian relevan dan
urgen beberapa pokok pikiran hukum progresif dari Satjipto
Rahardjo, kaitannya dengan pemberdayaan UMKM karena;
1) Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat (UMKM)
kepada ideal hukum.
2) Hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia
(UMKM) pada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat
manusia bahagia.
139 Satjipto Rahardjo I, Op.Cit, h.2.
140
Satjipto Rahardjo II, Loc.Cit.
86
3) Hukum progresif adalah hukum yang pro rakyat dan hukum yang
pro keadilan.
2.1.8. Konsep Fungsi Hukum Sebagai Sarana Pembaruan
Masyarakat (Law as a Tool of Social Engineering)
Konsep fungsi hukum yang relevan dalam pemberdayaan
UMKM dibidang akses modal adalah konsep fungsi hukum
sebagai sarana pembaruan masyarakat, yang merupakan pemikiran
Rescoe Pound, salah seorang peletak dasar (aliran dalam filsafat
hukum) Sociological Jurisprudence.141
Pound menyatakan hukum
dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool
of social engineering). Di Indonesia, konsep Rescoe Pound
diintrodusir dan dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja.142
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum berfungsi
sebagai sarana pembaharuan atau sarana pembangunan adalah
didasarkan atas anggapan, bahwa hukum dalam arti kaedah atau
peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur)
atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan
manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan.143
141 Lily Rasjidi, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 47.
142
Syahmin, AK, Mengkritisi Hukum Sebaga Sarana Pembaharuan
Masyarakat Indonesia, Jurnal Hukum Progresif Volume I Nomor 2, Oktober,
2005, h. 32.
143
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, h. 12-13. (Selanjutnya disebut Mochtar
Kusumaatmadja I).
87
Abdurahman mengungkapkan bahwa disatu pihak hukum
memperlihatkan diri sebagai suatu objek pembangunan nasional,
dalam arti hukum itu dilihat sebagai suatu sektor pembangunan
yang perlu mendapat prioritas penegakan, pengembangan dan
pembinaannya. Sedangkan dipihak lain hukum harus dipandang
sebagai suatu “alat” (tool) dan sarana penunjang yang akan
menentukan usaha-usaha pembangunan nasional.144
Berkaitan
dengan fungsi hukum dalam konteks pembangunan, diungkapkan
juga oleh Sunaryati Hartono, sebagai ; 1) Pemelihara ketertiban
dan keamanan; 2) Sarana pembangunan; 3) Sarana penegak
keadilan; 4) Sarana pendidikan masyarakat.145
Menurut Michael Hager, hukum dalam fungsinya sebagai
sarana pembangunan dapat mengabdi dalam tiga sektor, yaitu : 1)
Hukum sebagai alat penertib (ordering); 2) Hukum sebagai alat
penjaga keseimbangan; 3) Hukum sebagai katalisator, yang dapat
membantu untuk memudahkan terjadinya proses perubahan
melalui pembaharuan hukum (law reform).146
Pemberdayaan UMKM dibidang akses modal sebagai
bagian dari kebijakan pemerintah dalam perekonomian, agar
tercapai seperti dikehendaki, memerlukan dukungan hukum untuk
144 Abdurahman, 1976, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di
Indonesia, Alumni, Bandung, h. 19.
145
Sunaryati Hartono, 1982, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia,
Binacipta, Bandung, h. 10-30
146
Ibid. h. 22
88
mewujudkannya. Banyak negara telah menggunakan hukum
sebagai sarana perubahan masyarakat. Peranan hukum sebagai
sarana perubahan masyarakat merupakan kebutuhan kaitannya
dengan tujuan pembangunan sebagaimana dicita-citakan atau yang
sudah direncanakan.
Apabila hukum akan dipergunakan sebagai sarana
perubahan, maka hukum tersebut harus dibentuk terlebih dahulu
dan harus memuat substansi perubahan yang diinginkan. Apabila
diinginkan sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam
pemberdayaan UMKM dibidang akses modal dengan melibatkan
partisipasi masyarakat, maka hal itu harus dirumuskan terlebih
dahulu dengan menggunakan hukum (peraturan perundang-
undangan) yang dibuat oleh pemerintah sebagai sarananya.147
2.2. Kerangka Konsepsual
2.2.1. Konsep Pengaturan
Pengaturan yang dimaksud disini adalah pengaturan
terhadap UMKM dengan segala aspeknya melalui sarana hukum
(peraturan perundang-undangan) yang dibuat oleh Pemerintah dan
147 Sebagaimana diungkapkan oleh Erwin Arifin, apabila melalui hukum
akan dilakukan perubahan terhadap masyarakat dalam arti bahwa hukum
digunakan sebagai sarana untuk mengubah dan perubahan itu ditujukan ke arah
yang baru, maka berarti hukum harus dibentuk terlebih dahulu dan harus memuat
bentuk masyarakat dengan hukum yang akan diubah tersebut. Dengan demikian,
untuk melakukan perubahan itu, maka bentuk masyarakat yang dicita-citakan atau
yang diinginkan harus dirumuskan terlebih dahulu serta harus memenuhi unsur -
unsur masyarakat yang dikehendaki. Erwin Arifin, 1994, Konsep Mazhab
Sociological Jurisprudence Dalam Hubungannya Dengan Perkembangan Hukum
di Indonesia Dalam Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya , PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, h. 87.
89
badan legislatif. Dalam kerangka pengaturan, pembinaan dan
pengembangan UMKM, dibutuhkan peraturan yang sifatnya
komprehensif sebagai bentuk perlindungan oleh pemerintah.148
Pengaturan merupakan salah satu bentuk fungsi dari fungsi
hukum. Pengaturan merupakan bentuk tindakan legislatif
(legislation) dalam bentuk penerbitan aturan oleh badan
legislatif.149
Dengan banyaknya peran hukum yang tidak terhingga itu,
maka salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat pengatur tata
tertib hubungan masyarakat.150
Dalam bukunya “Inleiding tot de
studie van het Nederlandse recht”. Apeldoorn menyatakan bahwa
tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara
damai dan adil.151
Meskipun hukum tidak identik dengan peraturan
perundang-undangan, secara umum dapat dinyatakan bahwa dalam
realitas kehidupan masyarakat modern, apa yang dimaksud dengan
hukum sebagian besar dapat ditemukan dan dirumuskan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan dari
suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan yang dibentuk
148 Teguh Sulistia, 2006, Aspek Hukum Usaha Kecil Dalam Ekonomi
Kerakyatan, Andalas University Press, Padang, h. 157.
149
R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
h.53.
150
Ibid. h. 57
151
Wyasa Putra I.B. II, Op.Cit, h. 126
90
berdasarkan atribusi dan delegasi.152
Dalam rumusan lain dapat
juga diartikan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat