4 BIOLOGI IKAN JULUNG-JULUNG 4.1 Pendahuluan Sumberdaya ikan julung-julung di Maluku Utara merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting. Khusunya di perairan Kayoa, penangkapan ikan ini menggunakan alat tangkap giob dan dilakukan dalam skala usaha. Perkembangan produksi ikan julung-julung akhi-akhir ini cenderung menurung dari tahun ke tahun. Penurunan volume produksi mengindikasikan terjadinya penurunan kelimpahan stok julung-julung di perairan. Penurunan stok tersebut diduga akibat terjadinya peningkatan intensitas eksploitasi terhadap sumberdaya julung-julung, sehingga mengakibatkan tangkap lebih (over exploited). Umumnya masyarakat Maluku Utara memanfaatkan ikan julung-julung sebagai kebutuhan pangan secara langsung dalam keadaan segar ataupun diolah dalam bentuk ikan asap kering. Produksi julung-julung segar dipasarkan untuk memenuhi pasar lokal. Pemasaran produk julung-julung olahan asap kering tersebar di pasar lokal maupun dipasarkan antar daerah seperti Sulawesi dan Jawa. Bagi sebagian masyarakat, komoditi julung-julung sangat berperan penting dalam menunjang perekonomian terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pulau- pulau kecil. Hal ini disebabkan karena pengolahan julung-julung dalam bentuk asap kering dianggap sederhana, selain harga jual relatif stabil sepanjang tahun. Penangkapan ikan julung-julung menggunakan alat tangkap giob dimana giob merupakan pukat cincin berukuran kecil (mini purse seine). Prinsip penangkapan giob adalah melingkari gerombolan ikan secara horizontal dan mengurung secara vertikal dengan menarik tali cincin, sehingga ikan tidak berpeluang untuk meloloskan diri. Ukuran mata jaring pada bagian kantong relatif kecil berpeluang menangkap ikan dalam berbagai ukuran. Target tangkapan sering ditujukan pada ikan julung-julung dalam gerombolan besar yang beruaya melintasi selat-selat yang relatif sempit diantara pulau-pulau kecil tanpa memastikan kondisi biologi ikan. Kondisi ini jika berlansung terus menerus maka akan berdampak terhadap keberlangsungan julung-julung di perairan.
36
Embed
4 BIOLOGI IKAN JULUNG-JULUNG - repository.ipb.ac.id · Perairan Philipina, Kepulauan Indonesia, Utara Australia dan Papua Nugini (Gambar 3). Famili Hemiramphidae terbagi atas dua
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4 BIOLOGI IKAN JULUNG-JULUNG
4.1 Pendahuluan
Sumberdaya ikan julung-julung di Maluku Utara merupakan salah satu jenis
ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomis penting. Khusunya di perairan Kayoa,
penangkapan ikan ini menggunakan alat tangkap giob dan dilakukan dalam skala
usaha. Perkembangan produksi ikan julung-julung akhi-akhir ini cenderung
menurung dari tahun ke tahun. Penurunan volume produksi mengindikasikan
terjadinya penurunan kelimpahan stok julung-julung di perairan. Penurunan stok
tersebut diduga akibat terjadinya peningkatan intensitas eksploitasi terhadap
sumberdaya julung-julung, sehingga mengakibatkan tangkap lebih (over
exploited).
Umumnya masyarakat Maluku Utara memanfaatkan ikan julung-julung
sebagai kebutuhan pangan secara langsung dalam keadaan segar ataupun diolah
dalam bentuk ikan asap kering. Produksi julung-julung segar dipasarkan untuk
memenuhi pasar lokal. Pemasaran produk julung-julung olahan asap kering
tersebar di pasar lokal maupun dipasarkan antar daerah seperti Sulawesi dan Jawa.
Bagi sebagian masyarakat, komoditi julung-julung sangat berperan penting dalam
menunjang perekonomian terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pulau-
pulau kecil. Hal ini disebabkan karena pengolahan julung-julung dalam bentuk
asap kering dianggap sederhana, selain harga jual relatif stabil sepanjang tahun.
Penangkapan ikan julung-julung menggunakan alat tangkap giob dimana
giob merupakan pukat cincin berukuran kecil (mini purse seine). Prinsip
penangkapan giob adalah melingkari gerombolan ikan secara horizontal dan
mengurung secara vertikal dengan menarik tali cincin, sehingga ikan tidak
berpeluang untuk meloloskan diri. Ukuran mata jaring pada bagian kantong relatif
kecil berpeluang menangkap ikan dalam berbagai ukuran. Target tangkapan sering
ditujukan pada ikan julung-julung dalam gerombolan besar yang beruaya
melintasi selat-selat yang relatif sempit diantara pulau-pulau kecil tanpa
memastikan kondisi biologi ikan. Kondisi ini jika berlansung terus menerus maka
akan berdampak terhadap keberlangsungan julung-julung di perairan.
27
Julung-julung termasuk dalam kategori ikan pelagis kecil (small pelagic
species), memiliki tubuh yang kecil dengan panjang rata-rata 18 cm. Ikan julung-
julung menyenangi air yang tenang, dimana mereka suka bergerombol di perairan
yang dangkal ketika matahari bersinar terang. Tapi kalau ada angin yang sangat
kencang yang mengakibatkan ombak yang pecah maka gerombolan ikan julung
akan lari ke perairan yang dalam (Yusron & Sumadhiharga 1987).
Secara morfologi (Peristiwady 2006) menggambarkan ikan julung-julung
memiliki tubuh yang simetris memanjang dan agak mampat ke bagian samping.
Memiliki rahang atas pendek membentuk paruh sedangkan rahang bawah panjang
dan membentuk segitiga. Selain itu, ikan julung-julung juga memiliki sirip
punggung dan sirip dubur terletak jauh di belakang, sedangkan sirip dada pendek
dan garis rusuk tertetak di bagian bawah (Gambar 2).
Berdasarkan klasifikasi julung-julung yang dikemukakan oleh (Gill 1859)
diacu dalam (Froese & Pauly 2012) sebagai berikut:
Kerajaan: AnimaliaFilum: Chordata
Kelas: ActinopterygiiOrdo: Beloniformes
Subordo: BelonoideiSuperfamili: Exocoetoidea
Family: HemiramphidaeGenus: Hemiramphus
Species: Hemiramphus spp.
Ikan julung-julung memiliki banyak spesies yang tersebar pada hampir
semua perairan, baik pada perairan tropis maupun pada perairan sub tropis.
Collette dan Parin (1979) diacu dalam (Froese & Pauly 2012) menggambarkan
bahwa julung-julung jenis Hemiramphus archipelagicus menyebar di perairan
Gambar 2 Ikan julung-julung (Hemiramphus sp.).
28
Indo-Pacific yang meliputi perairan pantai India dan Sri Lanka, Teluk Thailand,
Perairan Philipina, Kepulauan Indonesia, Utara Australia dan Papua Nugini
(Gambar 3).
Famili Hemiramphidae terbagi atas dua subfamili, yaitu Hemiramphinae
yang menghuni perairan laut dan Zenarchopterinae adalah penghuni air tawar
atau estuari. Selain itu ikan ini terbagi atas 13 genera, dan 117 spesies (Froese &
Pauly 2012). Allen (2000) mencatat julung-julung yang tersebar di kawasan Asia
Pasifik sebanyak 7 spesies yaitu, sebagai berikut: (1) Snub Nosed garfish
Ipi = index of preponderance kelompok makanan ke-i
Vi = persentase volume satu macam makanan
Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan
∑ViOi = jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan
4) Hubungan panjang berat
Hubungan panjang dan berat ikan dianalisis secara terpisah antara ikan contoh
jantan dan betina. Perhitungan hubungan panjang dan berat mengacu pada rumus
Effendie (1979), yaitu :
36
W = aL .................................................................................................. (4)Keterangan:W = berat tubuh (gram)L = panjang total (mm)a dan b = konstanta
Untuk mempermudah perhitungan, maka persamaan di atas dikonversi ke dalam
bentuk logaritma sehingga menjadi persamaan liner sebagai berikut (Jennings et
al. 2001)logW = log a + b logL ............................................................................... (5)
Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan julung-julung dapat ditentukan dari
nilai kontanta b hubungan panjang berat ikan tersebut. Jika b=3, maka
pertumbuhannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan
pertambahan berat). Jika b≠3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik
(pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat). Apabila b˃3,
maka hubungannya bersifat allometrik positif dimana pertambahan berat lebih
dominan dari pertambahan panjangnya, sedangkan jika b˂3, maka hubungan yang
terbentuk bersifat allometrik negatif dimana pertambahan panjang lebih dominan
dari pertambahan beratnya (Effendie 1979). Untuk mengetahui nilai b berbeda nyata
atau tidak dengan 3, maka digunakan uji-t, dengan persamaan menurut Pauly (1984):
Parameter pertumbuhan (K dan L∞) ditentukan dengan metode ELEFAN
dalam perangkat lunak FiSAT (Gayanilo et al. 1994) didasari melalui persamaan
Von Bertalanffy (1934) dalam Sparre & Venema (1999) sebagai berikut:L = L∞ 1 − e ( ) .......................................................................... (7)
Keterangan:L( ) = ukuran panjang ikan pada umur t tahun (cm)L∞ = panjang maksimum ikan yang dapat dicapait = umur ikan teoritis pada saat panjang 0 cmK = koeisi en pertumbuhan Von Bertalanffy
37
Untuk menentukan nilai K dan L∞ dengan menggunakan metode Ford
Walford, dalam:L = L∞ (1 − e ) + e L .............................................................................(8)
Maka diperoleh koefisien pertumbuhan (K) dan panjang infiniti (L∞) sebagai
berikut :K = −(1/△ t)x ln b ...........................................................................................(9)L∞ = a − b .......................................................................................................(10)
Untuk menduga umur teoritis pada saat panjang ikan sama dengan nol (t0),
digunakan persamaan Pauly (1984), yaitu :log −t = − 0.3922 − 0.2752 log L∞ − 1.038 logK ....................................(11)
Dalam aplikasinya, pendugaan koefisien pertumbuhan (K) dilakukan dengan
menggunakan program ELEFAN.
6) Mortalitas dan status pemanfaatan
Laju mortalitas total (Z) ikan julung-julung di perairan Kayoa, diduga
dengan menggunakan metoda kurva hasil tangkapan konversi panjang (Length
Converted Catch Curve) yang dikemukakan oleh Pauly (1980) sebagai berikut:Ln = a − Zt ...................................................................................................(12)
Keterangan:
N = banyaknya ikan pada waktu t
t = waktu yang diperlukan untuk tumbuh suatu kelas panjang
a = hasil tangkapan yang dikonversikan terhadap panjang
Pendugaan terhadap laju mortalitas alami (M) dengan menggunakan rumus
empiris Pauly (1980) yaitu hubungan antara kematian alami (M) dengan
parameter pertumbuhan von Bertalanffy (K, L∞) dan suhu lingkungan rata-rata
(T) dimana populasi ikan tersebut berada adalah sebagai berikut :Log(M) = −0.0066 − 0.279 log (L∞) + 0.6543 log( K) + 0.5634 log(T) ..(13)
38
Keterangan:M = laju mortalitas alamiahL∞ = panjang ikan maksimum secara teoritis (mm)K = laju pertumbuhan (mm/tahun)T = suhu perairan (oC)
Dengan mengetahui nilai dugaan mortalitas total (Z) dan mortalitas alami
(M), maka laju mortalitas penangkapan (F) dapat diduga dengan mengurangkan M
terhadap Z, adalah :F = Z − M ........................................................................................................ (14)
Untuk menduga laju eksploitasi ikan julung-julung di perairan Kayoa digunakan
rumus sebagai berikut (Jones 1984) :E = F/Z .......................................................................................................... (15)
Keterangan:E = nisbah eksploitasiF = kematian akibat penangkapanZ = kematian total4.3 Hasil Penelitian
4.3.1 Nisbah kelaminPengumpulan sampel ikan julung-julung dilakukan sejak bulan November
2011 sampai dengan Oktober 2012 berjumlah 1.546 ekor. Jumlah sampel ikan
tersebut terdiri dari ikan jantan berjumlah 928 ekor (60%) dan ikan betina
berjumlah 618 ekor (40%). Nisbah kelamin julung-julung (jantan:betina) yang
tertangkap di perairan Kayoa, Halmahera Selatan adalah 1,0 : 0,7. Berdasarkan
nisbah kelamin bulanan dapat menginformasikan bahwa julung-julung jantan
lebih banyak dari pada betina, kecuali pada bulan November, April, dan
September nisbah kelamin cenderung berimbang. Gambaran nisbah kelamin
julung-julung di perairan Kayoa disajikan pada Tabel 8.
39
Tabel 8 Nisbah kelamin (jantan : betina) julung-julung di perairan Kayoa, bulanDesember 2011- November 2012
Nilai b pada julung-julung lebih kecil dari tiga atau berdasarkan kriteria
dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan julung-julung adalah allometrik negativ (b
< 3), artinya pertumbuhan beratnya tidak secepat pertumbuhan panjang. Hal ini
menunjukkan bahwa julung-julung yang hidup di perairan Kayoa memiliki tubuh
yang kurus memanjang.
4.3.7 Pertumbuhan ikanJumlah ikan yang dianalisis untuk mencari nilai pertumbuhan adalah
keseluruhan ikan yang diperoleh berjumlah 1.546 ekor, dengan kisaran panjang
total antara 139 mm hingga 220 mm. Berdasarkan hasil analisis statistik
keseluruhan data terbagi dalam 10 selang kelas panjang dan lebar 7 kelas.
Analisis model pertumbuhan ikan menggunakan perangkat lunak FISAT
(Pauly 1983) terhadap sebaran frekuensi panjang ikan diperoleh hasil panjang
infiniti (L∞) sebesar 212,10 mm dan koefisien pertumbuhan (K) diperoleh sebesar
0,650 per tahun. Nilai t0 ikan julung-julung berdasarkan rumus empiris Pauly
(1984) adalah -0,1230, sehingga persamaan pertumbuhan ikan julung-julung
secara keseluruhan (jantan dan betina) di Kayoa, Halmahera Selatan adalah Lt =
[1 - e-0,650(t+0,1230)] (Gambar 15). Berdasarkan jenis kelamin diperoleh ikan julung-
julung jantan memiliki panjang infiniti (L∞) sebesar 216,30 cm dan koefisien
pertumbuhan (K) sebesar 0,800 per tahun. Nilai t0 ikan julung-julung jantan
adalah -0,1068, sehingga persamaan pertumbuhan ikan julung-julung di Kayoa,
Halmahera Selatan adalah Lt = [1 - e-0,800(t+0,1068)] (Gambar 16). Ikan julung-julung
betina mempunyai variabel pertumbuhan lebih cepat jika dibandingkan dengan
jantan dimanan betina memiliki panjang infiniti (L∞) sebesar 225,75 dan
koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1,300 per tahun, nilai t0 sebesar -0,1068,
sehingga persamaan pertumbuhan adalah Lt = [1 - e-1,300(t+0,1068)] (Gambar 17).
54
Gambar 15 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy hasil analisis frekuensi panjangjulung-julung di perairan Kayoa (L∞ = 212,10, K = 0,650 per tahundan t0 = -0,1230).
Gambar 16 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy hasil analisis frekuensi panjangjulung-julung jantan di perairan Kayoa (L∞ = 216,30, K = 0,800 pertahun dan t0 = -0,1068).
55
Gambar 17 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy hasil analisis frekuensi panjangjulung-julung betina di perairan Kayoa (L∞ = 225,75, K = 1,300 pertahun dan t0 = -0,1068).
4.3.8 Mortalitas dan laju eksploitasiNilai koefisien mortalitas diperoleh dengan menggunakan metode kurva
hasil tangkapan konversi panjang (length converted catch curve). Gambar 18,
menunjukkan bahwa laju mortalitas total (Z) secara keseluruhan ikan julung-
julung sebesar 2,26 per tahun, dengan memasukkan suhu rata-rata di perairan
Kayoa sebesar 28 0C maka diperoleh laju mortalitas alami (M) sebesar 0,78 per
tahun. Nilai laju mortalitas karena penangkapan (F) yang diperoleh sebesar 1,48
per tahun. Dengan mengetahui nilai mortalitas tersebut maka laju eksploitasi (E)
ikan julung-julung di perairan Kayoa diketahui sebesar 0,65 per tahun. Untuk
mengetahui umur relatif ikan julung-julung yang mati karena penangkapan
(tertangkap) dapat dilihat pada tiga titik yang berwarna hitam, sehingga populasi
yang umur relatif diatas 3,0 tahun. Gambar 19, menunjukkan bahwa laju
mortalitas total (Z) ikan julung-julung jantan sebesar 2,16 per tahun, dengan
memasukkan suhu rata-rata di perairan Kayoa sebesar 28 oC maka diperoleh laju
mortalitas alami (M) sebesar 0,84 per tahun. Nilai laju mortalitas karena
penangkapan (F) yang diperoleh sebesar 1,33 per tahun. Dengan mengetahui nilai
mortalitas tersebut maka laju eksploitasi (E) ikan julung-julung jantan di perairan
Kayoa diketahui sebesar 0,61 per tahun. Untuk mengetahui umur relatif ikan
56
julung-julung yang mati karena penangkapan (tertangkap) dapat dilihat pada tiga
titik yang berwarna hitam, sehingga populasi yang umur relatif diatas 2,0 tahun.
Gambar 18 Kurva hasil tangkapan konversi panjang ikan julung-julung di perairanKayoa.
Gambar 19 Kurva hasil tangkapan konversi panjang ikan julung-julung jantan diperairan Kayoa.
57
Gambar 20, menunjukkan bahwa laju mortalitas total (Z) ikan julung-
julung betina sebesar 4,41 per tahun, dengan memasukkan suhu rata-rata di
perairan Kayoa sebesar 28 0C maka diperoleh laju mortalitas alami (M) sebesar
1,21 per tahun. Nilai laju mortalitas karena penangkapan (F) yang diperoleh
sebesar 3,20 per tahun. Dengan mengetahui nilai mortalitas tersebut maka laju
eksploitasi (E) ikan julung-julung di perairan Kayoa diketahui sebesar 0,73 per
tahun. Untuk mengetahui umur relatif ikan julung-julung yang mati karena
penangkapan (tertangkap) dapat dilihat pada tiga titik yang berwarna hitam,
sehingga populasi yang umur relatif diatas 1,0 tahun.
Gambar 20 Kurva hasil tangkapan konversi panjang ikan julung-julung betina diperairan Kayoa.
4.4 Pembahasan
Nisbah kelamin suatu organisme perairan penting untuk dikaji, karena
terkait dengan kemampuan dan potensi reproduksi organisme tersebut ke depan.
Apabila keseimbangan alamiah nisbah kelamin terganggu, maka kesinambungan
stok alamiahnya dapat terganggu. Dengan mengetahui perbandingan jenis kelamin
dapat diduga keseimbangan populasi yang ada dengan asumsi bahwa
perbandingan jantan dan betina dalam suatu sediaan di alam adalah 1 : 1 dengan
demikian populasi dinyatakan dalam keadaan seimbang (Cristina 2003).
Tabel 8 menunjukan adanya perbedaan jenis kelamin dimana jantan lebih
banyak dari pada kelamin betina. Hasil penelitian yang sama telah dilaporkan
oleh (Talwar 1967; Talwar 1962), yang menemukan bahwa ikan julung-julung
58
(Hemirhamphus marginatus) di Teluk Mandapan India memiliki proporsi jumlah
tangkapan jantan lebih banyak dibandingkan betina. Secara umum proporsi
julung-julung jantan dan betina dapat dianalogkan bahwa setiap 10 ekor julung-
julung akan ditemukan 4 ekor betina. Kecuali bulan Juli dan Oktober dimana
betina lebih banyak. Angka nisbah kelamin tersebut juga mengindikasikan bahwa
ada kecenderungan julung-julung jantan pada umumnya memiliki pasangan lebih
dari satu. Hal ini memungkinkan pada saat musim perkawinan, julung-julung
betina akan diikuti julung-julung jantan lebih dari satu ekor. Tersedianya betina
yang lebih sedikit, memungkinkan rekrutmen yang terjadi juga sedikit sehingga
berpengaruh pada jumlah penambahan individu baru di alam.
Menurut Turkmen et al. (2002) penyimpangan nisbah kelamin dari pola 1 : 1
dapat terjadi dari faktor yang meliputi perbedaan distribusi, aktifitas dan gerakan
ikan. Agar pengelolaan sumberdaya ikan julung-julung berkelanjutan, perlu diatur
aktivitas penangkapan yang berlangsung di waktu penangkapan dimana jumlah
betinanya lebih sedikit, karena dengan sedikitnya jumlah betina berarti
kemampuan untuk menghadirkan individu baru pada waktu tersebut tidak
seoptimal di waktu penangkapan yang jumlah betinanya lebih banyak.
Menurut Hails dan Abdullah (1982) ikan yang hidup di daerah tropis cenderung
mempunyai periode pemijahan yang panjang atau bahkan memijah sepanjang tahun,
yang biasanya berkesesuaian dengan curah hujan. Tingkat kematangan gonad (TKG)
merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi pada suatu
organisme seperti ikan julung-julung. Kematangan gonad dapat digunakan sebagai
penduga status reproduksi ikan, penentu ukuran dan umur pada saat pertama kali
matang gonad, proporsi atau jumlah populasi yang secara reproduktif matang dan
pemahaman tentang siklus reproduksi bagi suatu populasi atau spesies.
Jika ditinjau TKG-nya, ikan julung-julung yang tertangkap di perairan
Kayoa pada TKG III dan IV ditemukan tersebar hampir setiap bulan, yang
mengambarkan waktu pemijahan. Jika TKG IV dijadikan dasar untuk menduga
waktu pemijahan, maka terlihat julung-julung yang tertangkap dengan giob di
perairan Kayoa membentuk dua fase puncak pemijahan yaitu fase pertama pada
bulan Januari, Februari, Maret dan fase kedua yaitu pada bulan September,
Oktober, November. Hasil penelitian ini berbeda dengan laporan Talwar (1967),
bahwa ikan julung-julung (Hemirhamphus marginatus) di Teluk Mandapan India
59
memiliki periode pemijahan yang pendek dan waktu tertentu saja yaitu
November-Desember dan nampaknya spesies ini tidak melakukan kegiatan
bertelur lebih dari sekali dalam setahun. Selain itu diinformasikan pula bahwa
kawasan bertelur bagi spesies ini berada di garis pantai pada kawasan yang
berbatu dan mengandung rumput laut.
Jika dugaan fase pemijahan tersebut dihubungkan dengan produksi bulanan
giob yang dikumpulkan selama satu tahun dimana produksi tertinggi pada bulan
Agustus-Oktober, maka dapat dipastikan bahwa puncak musim penangkapan
julung-julung bertepatan dengan musim pemijahan ikan. Puncak musim
penangkapan ikan julung-julung di perairan Kayoa, tidak jauh berbeda dengan di
perairan Selat Bangka, Sulawesi Utara yang terbagi dalam dua fase utama, yaitu
bulan Maret-Juni dan bulan September- November (Reppie dan Sitanggang 2011).
Puncak penangkapan julung-julung yang bertepatan dengan musim pemijahan
dapat diinterpretasikan bahwa kehadiran gerombolan julung-julung yang
melimpah di perairan pesisir pada waktu tertentu diduga melakukan pemijahan,
dimana kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh nelayan untuk melakukan
penangkapan. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa pada bulan-bulan tersebut
sebaiknya aktivitas penangkapan dikontrol secara ketat baik jumlah tangkapan
maupun ukuran ikan dengan harapan dapat memberi kesempatan ikan untuk
memijah terlebih dahulu sebelum tertangkap sehingga tidak mengganggu proses
rekruitmen individu baru di daerah penangkapan tersebut. Kondisi ini perlu
diantisipasi karena pengoperasian giob dilakukan di perairan kawasan selat
diantara pulau-pulau kecil.
Informasi tentang makan dan kebiasaan makan akan sangat penting untuk
memahami sejarah hidup, termasuk pertumbuhan, migrasi, dan untuk pengelolaan
perikanan secara komersial. Pengetahuan tentang sumber makanan dari stok ikan
komersial memberi pengalaman berharga bagi nelayan dalam menentukan daerah
penangkapan secara lebih menguntungkan. Nikolsky (1963) mengklasifikasikan
makanan menjadi 4 kategori yaitu makanan utama adalah makanan yang dimakan
dalam jumlah besar, makanan pelengkap adalah makanan yang dimakan dalam
jumlah sedikit, makanan tambahan adalah makanan yang dimakan dalam jumlah
60
sangat sedikit, dan makanan pengganti yang hanya dimakanan jika makanan
utama tidak tersedia.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa makanan ikan julung-julung dari
kelompok fitoplankton memiliki nilai terbesar (52,80%). Hal ini mengindikasikan
bahwa fitoplankton merupakan makanan utama julung-julung di peraian Kayoa.
Serasah merupakan makanan urutan kedua dengan nilai sebesar 31,36% diduga
merupakan makanan pelengkap. Krustasea dan zooplankton masing-masing
dengan proporsi 12,04% dan 3,73% diduga merupakan makanan tambahan.
Ditemukannya makanan jenis sisik dalam lambung ikan, diduga julung-julung
dalam kondisi panik saat diburu hingga terkurung didalam kantong jaring
menyebabkan tidak terkontol sehingga sisik masuk ke dalam rongga mulut.
Kebiasaan makan ikan dipengaruhi oleh beberpa faktor antara lain habitat
hidup, kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, musim, ukuran, dan umur ikan
(Lagler 1956). Jenis makanan ikan julung-julung berupa serasah dalam jumlah
yang besar mengindikasikan bahwa habitat yang senang dikunjungi ikan ini
adalah daerah sekitar mangrove. Realitas menunjukkan bahwa daerah
penangkapan julung-julung di Kayoa merupakan daerah pulau-pulau kecil dengan
jenis tumbuhan peisir adalah mangrove dan lamun. Sebagaimana pernyataan
Lagler (1956); Kagwade (1967); Holden & Raitt (1975), bahwa komposisi dari
makanan ikan akan membantu, menjelaskan kemungkinan habitat yang
dikunjungi.
Kaitan makanan dengan waktu penangkapan, dimana kehadiran ikan julung-
julung di perairan pada sore hari diduga karena mengejar pergerakan makanan
yang terbawa oleh arus. Jumlah sediaan ikan di suatu lokasi merupakan fungsi
dari potensialitas makanan, sehingga pengetahuan yang benar dari hubungan antar
ikan dengan organisme makanan sangat penting untuk prediksi dan eksploitasi
dari sediaan ikan tersebut (Nikolsky 1963; Rao 1974).
Berkurangnya kelimpahan ikan dalam sutu kelompok umur pada satu kurun
waktu tertentu disebabkan oleh faktor alami maupun penangkapan digambarkan
oleh koefisien kematian. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai dugaan koefisien
kematian total (Z) sebesar 2,09 per tahun. Besarnya nilai koefisien kematian total
ini tergantung dari besarnya nilai koefisien kematian alami (M) dan nilai koefisien
61
kematian akibat penangkapan (F). Kematian alami umumnya dipengaruhi oleh
faktor lingkungan (kondisi perairan, predator, penyakit, kekurangan pakan dan
mati karena tua). Koefisien kematian akibat penangkapan pada umumnya
dipengaruhi oleh jumlah alat tangkap dan intensitas penangkapan. Semakin
banyak jumlah alat tangkap dan intensitas penangkapan maka koefisien kematian
akibat penangkapan semakin besar.
Nilai status pemanfaatan (E) ikan julung-julung yang tertangkap di perairan
Kayoa, Halmahera Selatan adalah sebesar 65%. Nilai tersebut mengindikasikan
bahwa tingkat pemanfaatan ikan julung-julung di perairan Kayoa telah melewati
tingkat pemanfaatan optimal. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa hasil
berimbang adalah optimal bila E = 0,50 (Gulland 1971) diacu dalam (Pauly 1984).
4.5 Kesimpulan
1) Ikan julung-julung yang tertangkap dengan giob di perairan Kayoa memiliki
perbandingan kelamin jantan lebih banyak dari betina yaitu pada nisbah 1:0,7.
Julung-julung betina mengalami dua kali puncak matang gonad yakni pada
bulan Januari-Maret dan bulan September-November. Ukuran panjang
julung-julung jantan pertama kali mencapai matang gonad yaitu 164 mm
(16,4 cm) lebih besar jika dibandingkan dengan julung-julung betina pada
ukuran 156,56 mm (15,7 cm).
2) Komposisi makanan ikan julung-julung terdiri dari fitoplankton (52,80%),
serasah (31,36%), krustasea (12,04%), dan zooplankton (3,73%), sedangkan
sisik sebesar 0,08% sebagai isi lambung tapi bukan merupakan makanan.
3) Secara total, dan berdasarkan jenis kelamin (jantan dan betina) ikan julung-
julung mempunyai bentuk tubuh kurus (allometrik negatif). Persamaan
hubungan panjang dan berat ikan secara total adalah W = 0,00189L1,968,
jantan W = 0,0061L1,74, dan betina W = 0.00089L2,116. Pertumbuhan ikan
julung-julung betina lebih cepat dari pada jantan dengan persamaan
pertumbuhan secara total Lt = [1 - e-0,650(t+0,1230)], jantan adalah Lt = [1 - e-
0,800(t+0,1068)], dan betina adalah Lt = [1 - e-1,300(t+0,1068)]. Mortalitas total (Z),
mortalitas alami (M), mortalitas penangkapan (F) dan tingkat pemanfaatan
ikan julung-julung betina lebih besar dari pada jantan.