BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Beberapa hasil penelitian yang relevan dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini, yakni yang menyangkut bidang morfologi, sintaksis, dan semantik BI. Tujuannya ialah untuk mendapatkan pemahaman dan signifikansi penelitian ini dengan penelitian yang sejenis, baik dari temuan-temuan yang telah dicapai, seperti model, metode, konsep maupun teori, yang telah dipakai pada pelitian BI yang sudah dilakukan, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik. Akan tetapi, pada kajian pustaka ini yang dikaji lebih lanjut hanya bidang morfologi, sintaksis, dan semantik, yakni kajian yang hanya relevan dengan penelitian ini, terutama penelitian yang terkait dengan derivasi, sistem morfologi, dan sistem pemarkahan verba. Penelitian BI di bidang morfologi, sintaksis/morfosintaksis, dan semantik sudah banyak dilakukan. Berikut adalah beberapa kajian hasil penelitian BI yang sangat erat kaitannya dengan bidang kajian penelitian desertasi ini, yakni bidang morfologi yang terkait dengan proses derivasi. Ermanto (2007) dalam kajiannya berjudul Hierarki Afiksasi pada verba Bahasa Indonesia dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi, temuan dari penelitian tersebut adalah bahwa pada verba afiksasi BI terdapat lima pola hierarki afiksasi. Pola (I) adalah D + PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif) hanya memiliki satu afik infleksional meN- atau afiks infleksional di-. Sebagai contoh: protes memprotes, diprotes. Pola (II) adalah (D+PROSES DERIVASI) + PROSES INFLEKSI. Pola 10
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP,
LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian yang relevan dikaji berkaitan dengan objek penelitian ini, yakni
yang menyangkut bidang morfologi, sintaksis, dan semantik BI. Tujuannya ialah untuk
mendapatkan pemahaman dan signifikansi penelitian ini dengan penelitian yang sejenis, baik
dari temuan-temuan yang telah dicapai, seperti model, metode, konsep maupun teori, yang telah
dipakai pada pelitian BI yang sudah dilakukan, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis,
maupun semantik. Akan tetapi, pada kajian pustaka ini yang dikaji lebih lanjut hanya bidang
morfologi, sintaksis, dan semantik, yakni kajian yang hanya relevan dengan penelitian ini,
terutama penelitian yang terkait dengan derivasi, sistem morfologi, dan sistem pemarkahan
verba.
Penelitian BI di bidang morfologi, sintaksis/morfosintaksis, dan semantik sudah banyak
dilakukan. Berikut adalah beberapa kajian hasil penelitian BI yang sangat erat kaitannya dengan
bidang kajian penelitian desertasi ini, yakni bidang morfologi yang terkait dengan proses derivasi.
Ermanto (2007) dalam kajiannya berjudul Hierarki Afiksasi pada verba Bahasa
Indonesia dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi, temuan dari penelitian tersebut
adalah bahwa pada verba afiksasi BI terdapat lima pola hierarki afiksasi. Pola (I) adalah D +
PROSES INFLEKSI. Pola hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif)
hanya memiliki satu afik infleksional meN- atau afiks infleksional di-. Sebagai contoh: protes
memprotes, diprotes. Pola (II) adalah (D+PROSES DERIVASI) + PROSES INFLEKSI. Pola
10
hierarki afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif) selain memiliki afiks
infleksional meN- atau afiks infleksional di- juga memiliki afiks derivasional lain, seperti afiks
–kan, -i, per/-kan, per/-i, per-. Sebagai contoh padat padati memadati, dipadati. Pola (III)
adalah (D+PROSES DERIVASI (1) )+PROSES DERIVASI (2)+PROSES INFLEKSI. Hierarki
afiksasi ini terjadi jika verba AKSI PROSES (Vtransitif) selain memiliki afiks infleksional meN-
atau afiks infleksional di- juga memiliki afiks derivasional lain, seperti afiks ber- dan –kan.
Sebagai contoh ajar belajar belajarkan membelajarkan, dibelajarkan. Pola (IV) adalah
(D + PROSES DERIVASI). Hierarki afiksasi ini terdapat pada VKEADAAN, VPROSES,
VPROSES, VAKSI (Vintransitif) yang diturunkan dari DN, DA, DV Keadaan, DV PROSES,
DV AKSI dengan pengimbuhan afiks derivasional meN-, beR-,teR-, ke-/-an, beR-/-an, beR-/-kan.
Sebagai contoh; tetap menetap. Pola (V) adalah D + PROSES INFLEKSI (afiks infleksional
ber-). Pola hierarki afiksasi ini terdapat pada VAKSI atau VKeadaan yang berfitur semantis
aksi mental dengan pengimbuhan afiks infleksional beR-. Sebagai contoh: kerja kerjakan, lari
berlari. Ermanto sudah menjelaskan dengan rinci pembentukan verba derivatif BI serta
mengklasifikasikan semua jenis afiks yang bisa membentuk verba derivatif transitif dan
intransitif BI. Hal yang membedakan analisis yang dilakukan oleh Ermanto dengan yang
dilakukan pada penelitian ini adalah Ermanto mengkaji verba derivatif dengan menggunakan
teori tata bahasa kasus Chafe (1970) dan Fillmoe (1971) dari sudut semantiknya, sedangkan
penelitian ini mengkaji verba derivatif BI dengan menerapkan teori Tipologi. Persamaan dari
kedua penelitian ini terletak pada objek penelitian, yaitu verba derivatif BI. Namun baik kajian,
analisis, maupun tujuan utama dari kedua penelitian ini berbeda.
Verhaar (2006) membedakan pengertian infleksi dan derivasi, yakni infleksi merupakan
perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan,
misalnya dalam bahasa Inggris friend dan friends. Sementara itu derivasi merupakan perubahan
morfemis yang menghasilakan kata dengan identitas morfemis yang lain, misalnya friend
‘teman’(N) dan to be friend ‘berteman’ (V). Tulisan Verhaar dijadikan acuan untuk
membedakan afiks derivasional dan afiks infleksional berdasarkan kategori dan identitas, yakni
Verhaar (2006:144-146) menjelaskan afiks derivasional selalu menyebabkan perubahan kelas
kata, tetapi jika mempertahankan kelas kata, maka afiks tersebut akan mengubah makna.
Subroto (1985) mengkaji derivasi BI dengan penelitiannya berjudul Infleksi dan Derivasi
Kemungkinan Penerapannya dalam Pemerian Morfologi Bahasa Indonesia. Penelitian ini
membahas penerapan morfologi derivasional dan morfologi infleksional bahasa Indonesia.
Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata-
kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda); sedangkan infleksi pembentukan kata yang
menghasilkan bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang sama. Sebagai contoh,
verba work, otomatis akan dikenali works, worked, working atau worker → workers. Hal ini
berbeda dengan bentukan derivasional dalam kata do → doer: dan have → *haver. Kata have
secara logika seharusnya dapat ditambahkan dengan sufiks –r/-er karena kata do dan have
memiliki kelas yang sama (do dan have adalah verba) sehingga dapat ditambah dengan sufiks –
r/-er. Namun, aturan do + er ini tidaklah berlaku pada kata kerja have karena secara tata bahasa
tidak berterima. Perbedaan kedua kategori tersebut terkait dengan pembentukan kata secara
derivasional dan infleksional. Dari hasil penelitiannya dinyatakan bahwa (1) pembentukan
derivasi termasuk jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata), (2)
afiks derivasional jumlahnya jauh lebih beragam bila dibandingkan dengan afiks infleksional, (3)
afiks derivasional dapat mengubah kelas kata, sedangkan afiks infleksional tidak bisa, (4) afiks
derivasional mempunyai distribusi yang sangat terbatas, sedangkan afiks infleksional
mempunyai distribusi yang luas, dan (5) pembentukan derivasi dapat dijadikan dasar bagi
pembentukan berikutnya, sedangkan pembentukan infleksi tidak bisa. Subroto menjelaskan
dalam tulisannya perbedaan antara pembentukan derivasi dan infleksi, termasuk kategori afiks
yang membedakan dalam pembentukan kedua proses morfologis tersebut. Penelitian Subroto
sangat membantu dan memberi konstribusi yang banyak dalam pembentukan derivasi verba
karena dalam tulisan itu dijelaskan dengan lengkap afiks-afiks derivasional. Sebagai
pengematan awal bahwa verba derivatif BI dapat diturnkan dari prakategorial, adjektiva, nomina,
verba intransitif, dan verba transitif. Pembahasan mengenai bentuk dasar dari verba derivatif
merupakan bagian kajian pada disertasi ini.
Ermanto dan Emidar (2011) meneliti tentang Afiks Derivasi Per-/-An dalam Bahasa
Indonesia Tinjauan dari Perspektif Morfologi Derivasi dan Infleksi. Hasil penelitian mereka
menunjukkan bahwa perspektif morfologi derivasi dan infleksi, pengimbuhan afiks derivasi per-
/-an pada verba (baik verba dasar maupun verba turunan) dan pada nomina dapat menurunkan
(1) nomina perbuatan, (2) nomina tindakan, (3) nomina instrumen, (4) nomina lokatif, (5)
nomina proses, (6) nomina kolektif, dan (7) nomina abstrak. Penelitian keduanya tentang afiks
derivasional tersebut bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan alternatif verba turunan afiks
derivasional per-/-an, baik pada verba (verba dasar maupun verba turunan) maupun alternasi
pada nomina turunan. Dari hasil penelitian ini dijelaskan bahwa pengimbuhan afiks derivasional
per-/-an bisa pada verba (baik verba dasar maupun verba turunan) dan juga bisa pada nomina.
Nomina tersebut perlu dikaji lebih dalam lagi seperti apa alternasi verba turunan yang dihasilkan
dari nomina tersebut.
Ahya (2013:13) menjelaskan proses derivasi, yaitu proses pembentukan kata yang
menghasilkan leksem baru yang menyebabkan perubahan kelas kata. Walaupun tidak mengubah
kelas kata, proses derivasi mengubah makna (mengubah identitas leksikal) untuk merealisasikan
fungsi tertentu.
Parwati (2000) mengkaji di bidang morfologi dengan judul penelitian Makna Verba
Transitif Melalui Afiksasi –kan dan –i. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa makna verba
transitif yang berafiks –kan, yaitu (1) melakukan, (2) menyebabkan (kausatif), (3) menjadikan,
(4) menempatkan, dan (5)makna benefaktif. Sementara itu, makna verba transitif yang berafiks –
i, yaitu (1) menaruh, (2) makna kausatif, (3) lokatif. Penelitian yang dilakukan oleh Parwati
memberi kontribusi pada penelitian ini dalam mengkaji makna kausatif dan aplikatif yang
dihasilkan oleh verba derivatif yang bersufiks -kan dan –i. Kajian Parwati tersebut tidak
membahas bagaimana struktur argumen dan relasi gramatikal pada klausa yang verbanya
berafiks -kan dan –i yang merupakan bagian kajian desertasi ini.
Mirsa (2013) mengkaji tentang Tipologi Perilaku Gramatikal Adjektiva Bahasa
Indonesia. Dalam analisisnya Mirsa mendeskripsikan perilaku verba selain perilaku adjektiva
dan menjabarkan tujuh rumusan kandungan makna yang dimiliki adjektiva BI, yaitu: (1)
spesifikasi nomina (spesifikasi dari suatu properti/benda) yang berfungsi sebagai penguat makna
(specifier/modifier) dan fungsi pemberi atribut (attributive), (2) spesifikasi verba, (3) waktu, (4)
properti/kepemilikan, (5) kecaraan, (6) keadaan, dan (7) kuantitas. Adjektiva jika dilihat dari
perilaku sintaksis bisa berfungsi sebagai predikat dan adverbial dalam kalimat. Fungsi predikatif
dan adverbial tersebut mengacu ke suatu keadaan. Sebagai contoh: (1) Orang itu sakit dan tidak
tertolong lagi, (2) Ia berhasil dengan baik. Sedangkan untuk verba Mirsa mengklasifikasikannya
berdasarkan kepada 5(lima) kandungan makna semantik, yakni: (1) suatu gerakan/perpindahan
atau perbuatan tanpa gerakan/perpindahan (rest), (2) suatu tindakan yang menimbulakn efek
tertentu, (3) suatu aksi yang menyiratkan perbuatan memberi, (4) suatu aksi yang menyiratkan
perhatian, dan (5) suatu perbuatan terkait aktivitas berbicara. Klasisfikasi adjektiva dan verba
tersebut di atas dimanfaatkan sebagai referensi pada waktu menganalisis pembentukkan verba
derivatif yang diderivasi dari bentuk dasar adjektiva dan verba.
Dari hasil penelitian BI pada bidang morfologi kajian derivasi, yakni Ermanto (2007),
Verhaar (2006), Subroto (1985), Ermanto dan Emidar (2011), Parwati (2000), dan Mirsa (2013)
yang sudah dipaparkan di atas, belum ada yang mengkaji tentang verba derivatif BI yang
berfokus pada: (1) kajian pembentukan verba derivatif, (2) menganalisis struktur konstituen pada
verba derivatif transitif bersufiks -kan dan –i, dan (3) relasi gramatikal dalam klausa pada verba
derivatif transitif bersufiks-kan dan –i.
Penelitian BI di bidang sintaksis, di antaranya Sedeng (2011), dalam hal ini, kajian
morfosintaksis dengan menggunakan teori morfologi yang diperkenalkan oleh Katamba dan
teori sintaksis RRG (Van Valid dan La Pola). Dalam tulisannya berjudul Pembentukan Verba
Bersufiks -kan Bahasa Indonesia Struktur Argumen, Struktur Logis. Sedeng menyatakan bahwa:
(i)Verba sufiks -kan dapat diturunkan dari bentuk dasar: prakategorial, adjektiva, verba
intransitif, bi-intransitif, dan monotransitif. Proses morfosintaksis pembentukkan verba bersufiks
-kan pada perubahan fungsi gramatikal mencakup pengklausatifan, pengaplikatifan dengan
makna benefaktif, lokatif, instrumen, dan proses koorporasi; (ii)Verba bersufiks -kan memiliki
struktur argument, seperti mematikan (X,Y) (agen, pasien), membawakan (X,Y,Z) (afektor,
benefaktor, tema), menempelkan (X,Y),(Z) (afektor, tema) (lokatif); (iii)sufiks -kan BI
mengandung makna memberi, mendapatkan, memindahkan posisi, menempatkan,
menyampaikan, perpindahan kepemilikan dan kausatif. Analisis penelitian Sedeng ini sangat
bermanfaat yang menyatakan bahwa sufiks –kan bisa bergabung dengan bentuk dasar terikat,
kata sifat dan kata kerja (transitif dan intransitif). Selain itu, dijelaskan juga bahwa fungsi sufiks
-kan adalah salah satu afiks yang mampu menaikkan valensi verba melalui proses
pengaplikatifan. Penelitian yang dilakukan oleh Sedeng sangat membantu pada waktu dilakukan
kajian tentang makna yang muncul akibat pelekatan afiks -kan pada bentuk dasar karena afiks -
kan ini merupakan pembentuk verba derivatif transitif yang mengakibatkan argumen dan makna
yang muncul dari verba derivatif tersebut berbeda dengan verba dasarnya.
Artawa (1998) yang melakukan kajian di bidang sintaksis dalam tulisannya Bahasa
Indonesia : Sebuah Kajian Tipologi Sintaksis menyatakan bahwa bahasa Indonesia mempunyai
pivot P/S. Konstruksi dengan verba yang berafiks nasal diperlukan apabila P tidak sama dengan
S, sehingga BI merupakan bahasa yang berperilaku sama dengan bahasa yang ergatif secara
sintaktis, karena perilaku argumennya mewujudkan fungsi gramatikal. Artawa menjelaskan juga
BI secara tipologi tidak dapat digolongkan sebagai bahasa yang bertipe ergatif, dengan alasan
bahwa argumen pasien konstruksi nasal tidak dimarkahi seperti relasi oblik. Serta sistem
keterpilahan dalam verba intransitf menunjukkan bahwa BI mempunyai ciri bahasa aktif. Hasil
penelitian Artawa bermanfaat sebagai pijakan untuk memahami dan menerapkan teori tipologi
serta rujukan untuk memudahkan dalam memahami tipologi sintaksis BI yang cenderung bertipe
ergatif dan bertipe bahasa aktif. Hasil penelitian disertasi ini diharapkan juga untuk melengkapi
dan memperjelas kajian yang telah dilakukan.
Setyawati ( 2009) mengkaji Valensi dan Relasi Sintaksis Bahasa Bima dan Yudha
( 2011) meneliti tentang Struktur dan fungsi gramatikal bahasa Lio. Kedua penelitian ini banyak
membahas tentang relasi gramatikal, yakni perilaku dari relasi subjek, objek, oblik, dan adjung.
Dari hasil penelitian BI pada bidang sintaksis yang sudah dipaparkan di atas, Artawa
(1998), Sedeng (2011), Setyawati ( 2009), dan Yudha (2011) belum menyinggung tentang
struktur konstituen dan relasi gramatikal dari verba derivatif yang menjadi kajian utama
penelitian disertasi ini.
2.2 Konsep
Konsep merupakan penjelasan terminologi untuk memberikan informasi teoretis dan
konseptual dalam menyatukan persepsi atau pandangan dan pemahaman yang terkait dengan
istilah teknis linguistik yang dipergunakan dalam penelitian ini. Berikut ini adalah
pemaparannya.
2.2.1 Tipologi Linguistik
Tipologi Linguistik merupakan kajian ilmu bahasa bagaimana bahasa-bahasa di dunia
dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri struktur. Pengelompokan bahasa-bahasa ini didasarkan pada
sifat-perilaku (property) yang dimiliki oleh bahasa itu sendiri (Mallinson dan Blake:1981;
Comrie:1983, Artawa : 2000). Kajian tipologi linguistik bersifat deskriptif-alamiah dan lintas
bahasa, Artawa dan Jufrizal (2018:35). Tipologi linguistik sering diindentikkan dengan tipologi
bahasa, sebetulnya ada perbedaan pengertian antara kedua istilah tersebut. Artawa (2005) dalam
orasi ilmialnya menjelaskan bahwa tipologi linguistik merujuk ke teori atau kerangka teori yang
akan dijadikan dasar pengkajian untuk mengelompokkan bahasa-bahasa berdasarkan parameter
tertentu, sedangkan tipologi bahasa merupakan hasil pengkajian berdasarkan teori tipologi
linguistik, pengelompokan bahasa-bahasa yang mempunyai ciri-ciri dan sifat perilaku gramatikal
yang sama.
2.2.2 Klausa
Klausa memiliki struktur dasar dan struktur alternasi atau struktur derivasi versi Teori
Transformasi (Chomsky, 1965). Struktur dasar sangat erat kaitannya dengan istilah klausa dasar.
Dalam hal ini, struktur dasar dipahami sebagai struktur atau konstruksi dasar dari klausa dasar
yang belum mengalami revaluasi struktur. Secara lintas bahasa, struktur dasar klausa terdiri atas
dua unsur, yaitu (1) sebuah argumen inti dan predikat, dan (2) dua atau lebih argumen inti dan
predikat. Sementara itu, struktur alternasi atau struktur derivasi, yaitu struktur yang sudah
mengalami revaluasi. Mekanisme alternasi struktur salah satunya bisa ditandai pada kata kerja BI
dengan kehadiran sufiks -kan atau -i.
Kridalaksana (1993:110) menyatakan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal yang
berwujud kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat dan memiliki
potensi untuk menjadi kalimat. Hal ini sejalan dengan pendapat Dixon (2010:6) yang
mengungkapkan bahwa kalimat sederhana adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu klausa
yang bisa saja menjadi kalimat kompleks dengan melibatkan beberapa klausa. Di dalamnya bisa
saja ada klausa induk dan klausa subordinasi, digabung untuk membentuk kalimat kompleks
dengan konjugasi yang bisa menunjukkan alasan, rangkaian temporal, dan lain-lain.
Katamba (1993: 257-258) membagi klausa menjadi dua, yakni (1) klausa intransitif, dan
(2) klausa transitif. Klausa intransitif adalah klausa yang memiliki predikat satu-tempat (one-
place predicates), maksudnya verba intransitif hanya memerlukan satu argumen. Klausa transitif
adalah klausa dengan predikat dua-tempat (two-place predicates), maksudnya verba transitif
menuntut hadirnya dua argumen. Selain itu, ada jenis ketiga verba ditransitif, yaitu verba tiga-
tempat (three-place predicates), verba ditransif menuntut hadirnya tiga argumen.
2.2.3 Predikasi
Jufrizal (2012: 99) menjelaskan istilah predikasi, yaitu konstruksi dalam bentuk klausa
(kalimat sederhana) yang terdiri atas predikat dan argumen. Secara lintas bahasa wujud optimal
sebuah klausa terdiri atas unsur-unsur yang mempredikati (predicating elements) dan unsur-
unsur yang bukan mempredikati (non-predicating elements). Bangun (konstruksi) klausa
optimal dapat dilihat pada table di bawah ini:
Tabel 2.1
Struktur Klausa
+ Argumen Bukan Argumen
Sumber Van Valin Jr. dan Lapolla , (2002: 25)
2.2.4 Verba Intransitif
Verba intransitif adalah verba yang memerlukan satu argumen inti (S). Sebagai contoh:
datang, pergi, dll., Artawa dan Jufrizal (2018:107). Verba intransitif tidak menurunkan bentukan
berlawanan aktif dan pasif. Alieva dkk. (1991) menjelaskan bahwa dalam subkelas verba
intransitif terdapat derivatif, yaitu (1) verba tunggal, (2) verba berprefik ber-, ber-kan, (3) verba
berprefik me-, (4) verba berprefik ter-, (5) verba ke-an, dan (6) verba berprefik se-.
2.2.5 Verba Transitif
Verba transitif adalah verba yang memerlukan dua argumen inti (A dan O). Sebagai
contoh: pukul, tusuk dll., Artawa dan Jufrizal (2018:107). Verba transitif mempunyai bentukan
berlawanan aktif dan pasif. Artawa dan Jufrizal membedakan verba transitif dengan istilah
verba ditransitif dan ambitransitif. Verba ditransitif adalah verba yang memerlukan tiga argumen
inti ( A, O dan E (Extended) ). Sebagai contoh: membawakan, menunjukkan, dll. Serta yang
dimaksud verba ambitransitif adalah verba yang bisa memerlukan dua argumen A dan O atau
satu argumen S. Sebagai contoh: makan, minum, dll. Alieva dkk. (1991) menjelaskan bahwa
dasar-dasar kata turunan dari verba transitif dibangun menurut model sebagai berikut: (1)
morfem akar + sufiks –kan, (2) morfem akar + sufiks –i, (3) morfem akar + prefiks per-, dan
Predikat
(4) morfem akar + konfiks per-kan atau per-i. Sedeng (2010) membagi verba transitif menjadi
dua, yakni (1) ekatransitif, dan (2) dwitransitif.
2.2.6 Derivasi
Katamba (2008:92-100) menjelaskan konsep derivasi dan infleksi sebagai berikut.
Infleksi berkaitan dengan kaidah-kaidah sintaksis yang dapat diramalkan (predictable), otomatis
(automatic), sistematik, bersifat konsisten. Sementara itu, derivasi lebih bersifat tidak bisa
diramalkan berdasarkan kaidah sintaksis, bersifat opsional atau sporadik.
Subroto (1985:2) menjelaskan tentang derivasi bahwa (1) pembentukan derivasi termasuk
jenis kata yang sama dengan kata tunggal (dari suatu sistem jenis kata); (2) secara statistik, afiks
derivasional jumlahnya lebih beragam bila dibandingkan dengan afiks infleksional; (3)
afiks-afiks derivasional dapat mengubah jenis kata, sedangkan afiks-afiks infleksional tidak bisa;
(4) afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang terbatas, sedangkan afiks infleksional
mempunyai distribusi yang luas; dan (5) pembentukan derivasi dapat dijadikan dasar bagi
pembentukan berikutnya, sedangkan pembentukan infleksi tidak bisa.
Verhaar (2006:144-146) menjelaskan bahwa afiks derivasional selalu menyebabkan
perubahan kelas kata, tetapi jika mempertahankan kelas kata, maka akan mengubah identitas
leksikal. Yang dimaksud dengan identitas leksikal adalah adanya suatu ciri kausatif atau
benefaktif pada verba turunan yang tidak ditemukan dalam bentuk dasarnya/sebelumnya.
Sebagai contoh: verba berangkat dan melihat menjadi verba derivatif memberangkatkan dan
memperlihatkan. Pada verba derivatif memberangkatkan mempunyai makna kausatif yang tidak
nampak pada verba sebelumnya berangkat, begitupun verba derivatif memperlihatkan
mempunyai makna benefaktif yang tidak nampak pada verba sebelumnya melihat. Tafsiran ini
oleh Verhaar dinamakan derivasional, karena dasarnya adalah leksikal bukan gramatikal.
Ermanto (2008:26) menjelaskan ada empat tipe afiks derivasional, yakni (1) Featural