1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemaran udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam seperti kebakaran hutan, gunung meletus, gas alam beracun dan sebagainya. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia (Depkes, 2009). Di banyak kota, terutama di negara-negara berkembang yang urbanisasinya tumbuh pesat, pencemaran udara telah merusak sistem pernafasan, khususnya bagi orang yang lebih tua, lebih muda,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakan kondisi yang
sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai
kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran dan perumahan.
Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemaran
udara yang dibuang ke udara bebas. Sumber pencemaran juga dapat
disebabkan oleh berbagai kegiatan alam seperti kebakaran hutan, gunung
meletus, gas alam beracun dan sebagainya. Dampak dari pencemaran udara
tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak
negatif terhadap kesehatan manusia (Depkes, 2009).
Di banyak kota, terutama di negara-negara berkembang yang
urbanisasinya tumbuh pesat, pencemaran udara telah merusak sistem
pernafasan, khususnya bagi orang yang lebih tua, lebih muda, para perokok
dan mereka yang menderita penyakit kronis saluran pernafasan (Baum, 2005).
Salah satu dampak dari pencemaran udara adalah rhinitis akibat kerja.
Rhinitis adalah peradangan pada mukosa hidung. Hal ini menyebabkan gejala
seperti bersin, rinorea, dan hidung tersumbat (Dong-Uk Park, 2008). Rhinitis
akibat kerja adalah penyakit yang penting tetapi kurang terdiagnosis dengan
baik secara medis. Definisi rhinitis akibat kerja/RAK menurut EAACI Task
Force on occupational rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat
persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-bersin,
2
rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau hipersekresi yang
disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato G et al., 2009).
Sebanyak 15% pekerja di dunia diperkirakan menderita rhinitis akibat
kerja. Pekerja industri merupakan pekerja terbanyak yang bisa menderita
rhinitis akibat kerja (48%), disusul oleh pekerja administrasi (29%) dan
pekerja pengolah bahan jadi (13%). Peningkatan konsentrasi substansi dan
lamanya waktu pajanan, dikatakan semakin meningkatkan risiko menderita
rhinitis akibat kerja (Arandelovic M, 2004). Agen-agen di tempat kerja yang
diduga menjadi penyebab terjadinya rhinitis akibat kerja adalah polusi udara,
asap rokok, lateks, psylium, asam anhidrida, platina, toluena diisosianat,
amonia, deterjen dan hewan peliharaan (Rebecca et al., 2009 ; Arandelovic M,
2004).
Pencemaran udara di daerah pedesaan terjadi karena eksploitasi
sumber daya alam, baik secara tradisional maupun modern. Industri batu
kapur merupakan salah satu kegiatan di pedesaan yang kontribusinya terhadap
pencemaran udara cukup besar. Mineral murni batu kapur mengandung
CaCO3 sebagai kalsit (calcite). Kebanyakan batu kapur komersial
mengandung oksida besi, alumina, magnesia, silika dan belerang, dengan CaO
(22 – 56 %) dan MgO (sekitar 21 %) sebagai komponen utamanya. Di masa
dahulu batu kapur dipakai sebagai pengeras tembok, namun dalam industri
modern dipakai sebagai bahan pembuat semen. Kapur dipakai dalam sektor
pertanian dan perkebunan untuk mengurangi keasaman tanah (menaikkan pH).
Agar dapat digunakan sebagai campuran pupuk, batu kapur harus dibakar
3
sehingga dihasilkan kapur tohor (CaO). Secara teoritis, pada proses ini
diemisikan gas-gas hasil pembakaran seperti NO2, SO2 dan CO yang
menambah pencemaran udara. Partikel-partikel kapur bersifat iritan namun
tidak tergolong karsinogen. Industri batu kapur telah mencemari udara dengan
debu dan gas-gas hasil pembakaran batu kapur menjadi kapur tohor. Debu dan
gas-gas yang disebabkan oleh proses pengolahan batu kapur akan berada di
lingkungan kerja, hal ini akan berakibat tenaga kerja terpapar debu kapur dan
gas-gas pada konsentrasi maupun ukuran yang berbeda-beda (Yulaekah,
2007).
Salah satu sentra industri batu kapur di Kabupaten Banyumas, adalah
kawasan industri penambangan kapur yang terletak di desa Darmakradenan,
Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Industri batu kapur ini
merupakan usaha kegiatan turun temurun dari orang tua. Jumlah industri yang
aktif 27 buah dengan kapasitas produksi sekitar 5.640 ton/tahun. Industri
kapur menyerap tenaga kerja sekitar 650 orang. Pekerja tambang tersebut
berasal dari daerah setempat dan sebagian kecil dari tetangga desa dan dari
luar daerah. Sebagian besar (90 %) pekerja adalah laki-laki berusia antara 20-
50 tahun. Dari pengamatan pendahuluan, sebagian besar mereka bekerja tanpa
menggunakan alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, sepatu boot
dan kaca mata (Budi, 2005).
Hasil dari studi prevalensi pengukuran kapasitas vital paru pada
tanggal 23 Agustus – 7 September 2004 terhadap 283 pekerja tambang kapur
di Desa Darmakradenan, didapatkan data kapasitas paru pekerja normal 68
4
orang (24,03%) dan kapasitas paru tidak normal sebanyak 215 orang
(75,97%), yang terdiri dari restriksi 81 orang (28,62%); obstruksi 46 orang
(15,25%) dan kombinasi (obstruksi dan restriksi) 88 orang (31,10%).
Hasil pengukuran kualitas debu total menggunakan alat dustfall
collector (alat pengukur debu jatuhan) oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Banyumas rata-rata sebesar 430,50 mg/m3 udara. Kadar debu terendap ini
sudah melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan sebesar 350 mg/m3 udara.
Data kesehatan haji banyumas tahun 2003 juga memperlihatkan hasil foto
rontgen paru pada peserta jemaah haji yang berasal dari daerah penambangan
kapur, 70% juga menunjukkan adanya kelainan paru (DKKS kab. Banyumas,
2003). Di Desa Darmakradenan yang merupakan wilayah kerja Puskesmas
Ajibarang I, penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) menduduki
urutan pertama dalam urutan 10 besar penyakit yang terjadi di Desa
Darmakradenan. Urutan kedua dan ketiganya masing-masing adalah
dermatitis dan konjungtivitis.
Di Indonesia, belum ada data resmi mengenai angka kejadian rhinitis
akibat kerja akibat pajanan batu kapur atau gamping. Di Jakarta, pernah
dilakukan penelitian mengenai faktor risiko rhinitis akibat kerja antara lain
pada pekerja yang terpajan debu tepung gandum. Hasil penelitian
menunjukkan adanya gejala yang berhubungan dengan tempat kerja pada 6-
30% pekerja yang memiliki pajanan tinggi terhadap debu tepung gandum
mengalami rhinitis akibat kerja (Pujiwati R, 2006). Selain itu, pernah
dilakukan penelitian terhadap prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja
5
yang terpajan bahan kimia surfaktan. Hasil dari penelitian menunjukkan
sebanyak 20% dari pekerja tersebut mengalami rhinitis akibat kerja
(Anggraini D, 2008).
Di Makassar, pernah dilakukan penelitian mengenai analisis faktor
risiko rhinitis akibat kerja pada pekerja yang terpajan debu terigu dan
didapatkan angka kejadian rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik terigu
adalah sebesar 50,7% (Quadarusman E, 2010). Belum adanya data mengenai
prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di Desa
Darmakradenan, kecamatan Ajibarang, Jawa Tengah, mendorong penulis
untuk melakukan penelitian berjudul: Prevalensi rhinitis akibat kerja pada
pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
” Bagaimana prevalensi rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di
Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ”.
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi rhinitis akibat kerja
pada pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan
Ajibarang, Kabupaten Banyumas.
6
Tujuan Khusus:
a. Untuk mengetahui angka kejadian rhinitis akibat kerja pada pekerja
pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas
b. Untuk mengetahui karakteristik (usia dan jenis kelamin laki-laki)
penderita rhinitis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di Desa
Darmakradenan, kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas
c. Untuk mengetahui lama kerja berkaitan dengan rhinitis akibat kerja
pada pekerja pabrik gamping di Desa Darmakradenan, Kecamatan
Ajibarang, Kabupaten Banyumas
2. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan informasi mengenai prevalensi
rhintis akibat kerja pada pekerja pabrik gamping di desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas
2. Manfaat praktis
a. Sebagai sumber informasi yang dapat
digunakan untuk penelitian selanjutnya.
b. Menambah pengetahuan masyarakat
khususnya masyarakat setempat tentang rhintis akibat kerja pada
pekerja pabrik gamping di desa Darmakradenan, Kecamatan
Ajibarang, Kabupaten Banyumas
7
3. Manfaat bagi institusi
a. Sebagai bahan pustaka di jurusan kedokteran Fakultas
Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan UNSOED khususnya bidang
kesehatan kerja.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung
Hidung merupakan orang penting yang menjadi salah satu organ
pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung
terdiri atas nasus eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar
menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung
luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang
tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit
dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang
mudah digerakkan (Levine, 2005).
1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas
ke bawah yakni pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung
(apeks), alas nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung
luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang hidung terdiri dari sepasang os nasalis (tulang
hidung), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontalis.
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis
9
lateralis superior dan sepasang kartilago nasalis lateral inferior
(kartilago alar mayor).
Hidung juga memiliki otot—otot yang berguna untuk melebarkan
dan menyempitkan lubang hidung yang terdiri dari dua kelompok yaitu:
1. Kelompok dilator yang terdiri dari m. dilator nares (anterior dan
posterior), m. prosesus dan kaput angular m. kuadratus labil superior.
2. Kelompok konstriktor terdiri dari m. nasalis dan m. depressor septi.
2. Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum
nasi bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut
nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Gambar 2.1. Pembagian anatomi hidung (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
10
1. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
yang disebut vibrissae (Damayanti S, 1997).
2. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan dimana bagian
tulang terdiri dari :
a. lamina perpendikularis os etmoid
b. vomer
c. krista nasalis os maksila
d. krista nasalis os palatine
Bagian tulang rawan terdiri dari :
a. kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
b. kolumela
3. Kavum nasi
a. Dasar hidung, dibentuk oleh prosesus palatine os maksilaris dan
prosesus horizontal os palatum
b. Atap hidung, terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior,
os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan
korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang
berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan
11
menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka
superior (Damayanti S, 1997 ; Ballenger JJ, 1994).
c. Dinding lateral, dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam
prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior,
konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum
dan lamina pterigoideus medial (Ballenger JJ, 1994).
d. Konka, pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan konka
superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid (Damayanti S, 1997)
e. Meatus nasi, diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior
terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka
media dan dinding lateral rongga hidung. Disini terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada
meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
12
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.
f. Dinding medial, dinding medial hidung adalah septum nasi
(Damayanti S, 1997).
3. Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber
utama:
a. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior
anterior dan dinding lateral hidung.
b. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi
septum bagian superior posterior.
c. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang
menuju ke dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang
menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari
cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a.
palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area )
13
yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis. (Damayanti S, 1997)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang berhubungan
dengan sinus kavernosus (Damayanti S, 1997 ; Ballenger JJ, 1994).
B. Persarafan Hidung
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot
hidung bagian luar
2. Saraf sensoris.
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris,
yang berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya,
sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n. maksila
melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :
a. Saraf post ganglion saraf simpatis (Adrenergik). Saraf simpatis
meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas
dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior.
Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan
kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan
serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor
14
membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis
pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan sinapsis didalam
ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh cabang
palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf
simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap
sistem vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi
kelenjar.
b. Serabut saraf preganglion parasimpatis (kolinergik). Berasal
dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus
salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus
superfisialis mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan
mengadakan sinapsis didalam ganglion tersebut. Serabut-
serabut post ganglion menyebar menuju mukosa hidung.
Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan
kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan
vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan
menghilangkan impuls sekretomotorik atau parasimpatis pada
mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan
sensasi hidung tidak akan terganggu (Snell, 2006).
4. Olfaktorius (penghidu)
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
15
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas
hidung (Damayanti S, 1997)
C. Rhinitis Akibat Kerja (Occupational Rhinitis)
1. Definisi
Rhinitis akibat kerja didefinisikan sebagai rhinitis yang muncul
sebagai respon dari agen udara yang terdapat pada tempat kerja dan
mungkin terjadi karena reaksi alergi atau bagian dari respon iritasi
(Bousquet J, 2008). Menurut panduan BSACI, rhinitis akibat kerja
adalah rhinitis yang diinduksi oleh paparan tempat kerja ke saluran
pernapasan karena sensitisasi oleh agen (Scadding GK et al., 2008).
Definisi rhinitis akibat kerja menurut EAACI Task Force on
Occupational Rhinitis 2009 adalah inflamasi hidung baik bersifat
persisten atau sementara yang ditandai dengan kongesti hidung, bersin-
bersin, rinore, gatal dan atau gangguan aliran udara hidung dan atau
hipersekresi yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja (Moscato
G et al., 2009).
Rhinitis akibat kerja dimungkinkan terjadi dari dua faktor utama
yakni rhinitis yang di sebabkan langsung oleh agen-agen lingkungan
kerja atau rhinitis yang diperburuk akibat dari agen-agen di lingkungan
kerja. Rhinitis akibat kerja juga merupakan penyakit nomor dua setelah
asma akibat dari lingkungan kerja (Moscato G et al., 2009).
16
.
Gambar 2.2. Bagan Kategori Rhinitis Akibat Kerja (Moscato G
et al., 2009)
Rhinitis alergi akibat kerja dapat dikategorikan menjadi 2
mekanisme yakni :
a. Termediasi IgE (IgE mediated) : diakibatkan paparan alergen
bermolekul berat / high molecular weigth (HMW) misalkan
glikoprotein dari tanaman atau binatang. selain itu juga dapat
disebabkan oleh alergen bermolekul ringan / low molecular weight
agents (LMW) misalkan garam platinum, pewarna reaktif dan asam
andhidrida.
Rhinitis Akibat Kerja
Rhinitis alergi akibat kerja (occupational rhinitis allergic)
Termediasi IgETanpa mediasi IgE
Rhinitis non-alergi akibat kerja (occopational rhinitis non-alergic)