PENGELOLAAN AIR ASAM TAMBANG Oleh: Prof. Dr. Rudy Sayoga Gautama Fakultas Teknik Pertambangan & Perminyakan Institut Teknologi Bandung BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG PADA KEGIATAN PERTAMBANGAN MINERAL & BATUBARA DITJEN MINERAL & BATUBARA, KESDM YOGYAKARTA, 20 jUNI 2012 FORUM Pengelola Lingkungan P e r t a m b a n g a n Mineral & Batubara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGELOLAAN AIR ASAM TAMBANG Oleh:
Prof. Dr. Rudy Sayoga Gautama Fakultas Teknik Pertambangan & Perminyakan
Institut Teknologi Bandung
BIMBINGAN TEKNIS REKLAMASI DAN PASCATAMBANG PADA KEGIATAN PERTAMBANGAN MINERAL & BATUBARA DITJEN MINERAL & BATUBARA, KESDM
YOGYAKARTA, 20 jUNI 2012
FORUM Pengelola Lingkungan
P e r t a m b a n g a n
Mineral & Batubara
Dampak dari kegiatan pertambangan
• Dampak lingkungan yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pertambangan (aspek biogeofisik):
– Dampak terhadap badan air: • Kuantitas – misalnya turunnya muka air tanah atau debit sungai
• Kualitas – baik secara fisik (misalnya meningkatnya kekeruhan) maupun secara kimia (meningkatnya konsentrasi unsur/senyawa berbahaya bagi biota atau manusia)
– Dampak terhadap lahan – karena kegiatan penggalian dan penimbunan
– Dampak terhadap udara – menurunnya kualitas udara karena debu
– Dampak terhadap biota (karena pembersihan lahan)
• Salah satu dampak yang sangat penting adalah dampak
terhadap badan air, terutama dari aspek kualitas air
• Air asam tambang – AAT (acid mine drainage - AMD atau air asam batuan – acid rock drainage - ARD) adalah air yang bersifat asam (tingkat keasaman yang tinggi dan sering ditandai dengan nilai pH yang rendah di bawah 5) sebagai hasil dari oksidasi mineral sulfida yang terpajan atau terdedah (exposed) di udara dengan kehadiran air
• Kegiatan penambangan, yang kegiatan utamanya adalah penggalian, mempercepat proses pembentukan AAT karena mengakibatkan terpajannya mineral sulfida ke udara, air dan mikroorganisme
• Dampak yang dapat ditimbulkan dari AAT adalah terhadap biota perairan, baik secara langsung karena tingkat keasaman yang tinggi maupun karena peningkatan kandungan logam di dalam air (air yang bersifat asam mudah melarutkan logam-logam)
• AAT menjadi salah satu dampak penting dari kegiatan pertambangan yang harus dikelola tidak saja karena dampaknya terhadap lingkungan perairan atau air tanah, tetapi juga karena: – Sekali telah terbentuk akan sulit untuk menghentikannya (kecuali
salah satu komponennya habis)
– Bisa berdampak sangat lama, melampaui umur tambang; pengalaman menunjukkan bisa berlangsung sampai ratusan tahun
• Eropa dan Amerika Serikat menghadapi masalah dengan AAT yang terbangkitkan dari bekas-bekas tambang atau tambang yang sudah ditutup puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu, karena pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemerintah
• Biaya yang dikeluarkan mencapai milyaran dollar Amerika
• Memang tidak semua tambang dapat menghasilkan AAT
• Risiko yang dihadapi oleh pertambangan terhadap AAT tidak saja pada masa operasi tetapi yang lebih penting adalah pada masa pascatambang
• Jika mengacu pada Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara serta Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pelaku usaha pertambangan harus bertanggungjawab terhadap berbagai dampak lingkungan yang ditimbulkannya
• Bila terjadi kasus AAT pada pascatambang, bisa membuat pelaku usaha pertambangan bertanggungjawab selamanya atau harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk melakukan penggalian & penimbunan kembali (re-mining)
• Pembentukan AAT dimungkinkan karena tersedianya: – Mineral sulfida – sumber sulfur/asam
– Oksigen (dalam udara) - pengoksidasi
– Air – pencuci hasil oksidasi
• Oleh karena itu perlu diketahui jenis sulfur yang terdapat di dalam batuan – yang mudah teroksidasi adalah sulfur yang terdapat dalam bentuk mineral sulfida: – FeS2 - pirit MoS2 - molybdenite
• Reaksi pertama adalah reaksi pelapukan dari pirit disertai proses oksidasi. pirit dioksidasi menjadi sulfat dan besi fero. Dari reaksi ini dihasilkan dua mol keasaman dari setiap mol pirit yang teroksidasi. O2 terlarut dapat juga mengoksidasi tetapi kurang penting karena kelarutannya sangat terbatas
• Reaksi ini dapat terjadi baik pada kondisi abiotik maupun biotik
• Selain oksidasi langsung, pirit dapat juga terlarut dan selanjutnya teroksidasi
Pyrite + Oxygen + Water Ferrous Iron + Sulfate + Acidity
(1)
Pendahuluan – pembentukan AAT
• Aqueous ferric ion juga dapat mengoksidasi pirit
• Reaksi oksidasi lanjutan dari pirit oleh besi ferri lebih cepat (2-3 kali) dibandingkan dengan oksidasi dengan oksigen dan menghasilkan keasaman yang lebih banyak per mol pirit
• Tetapi terbatas pada kondisi dimana terdapat jumlah yang cukup dari ion ferri (kondisi asam)
• Dengan demikian oksidasi pirit dimulai dengan reaksi (1) pada kondisi dekat netral dan dilanjutkan dengan reaksi (2) jika kondisi semakin asam (pH < 4,5)
Pyrite + Ferric Iron + Water Ferrous Iron + Sulfate + Acidity
(2)
Pendahuluan – pembentukan AAT
• Pada reaksi ketiga terjadi konversi dari besi ferro menjadi besi ferri yang mengkonsumsi satu mol keasaman. Laju reaksi lambat pada pH < 5 dan kondisi abiotik. Kehadiran bakteri acidithiobacillus ferrooxidans dapat mempercepat reaksi ini (5-6 kali).
• Anggapan bahwa ion ferri dapat mengoksidasi pirit tanpa kehadiran oksigen – tidak benar. Reaksi (3) menunjukkan bahwa oksigen diperlukan untuk mengoksidasi ion ferro menjadi ferri
Ferrous Iron + Oxygen + Acidity Ferric Iron + Water
(3)
Pendahuluan – pembentukan AAT
• Ion ferri yang dihasilkan pada reaksi (1) dapat mengalami oksidasi dan hidrolisa dan membentuk ferri hidroksida. Pembentukan presipitat ferri hidroksida tergantung pH, yaitu lebih banyak pada pH di atas 3,5.
Tujuan pengujian • Pengujian terhadap sampel batuan bertujuan untuk mengetahui
karakteristik geokimia batuan terkait dengan pembentukan AAT • Konsep perhitungan potensi asam:
– Kandungan sulfur sebesar 1% pada batuan sebanyak 1 ton akan menghasilkan asam sulfat sebanyak 30,62 kg yang membutuhkan 31,25 kg CaCO3 untuk menetralkannya.
– Jika sulfur dalam batuan tersebut terdapat dalam bentuk pirit, kandungan sulfur total dalam batuan secara akurat mengkuantifikasi potensi pembentukan asam
– Jika terdapat juga sulfur organik atau sulfat dalam jumlah yang cukup besar, maka total sulfur akan memberikan prediksi yang “overestimate”.
– Di dalam batuan selain pirit bisa juga terdapat material basa (alkaline), umumnya dalam bentuk karbonat atau exchange cation dalam lempung, yang dapat mengurangi proses oksidasi atau menetralkan asam yang terbentuk. Material alkaline juga dapat mengontrol bakteri dan membatasi kelarutan dari besi ferri.
– Jumlah material alkaline ini diukur dengan kemampuannya untuk menetralkan asam
• Ada dua jenis uji untuk menentukan potensi pembentukan asam, yaitu: – Potensi pembentukan asam melalui penentuan secara independen
komponen yang dapat membangkitkan dan menetralkan asam → dikenal sebagai ABA (Acid-Base Accounting)
– Potensi pembentukan asam dinyatakan dalam satu nilai yang digunakan untuk menggambarkan kemungkinan asam yang dibangkitkan atau pelepasan asam yang terkandung dalam sampel → NAG test dan paste pH
• Uji-uji di atas relatif tidak mahal sehingga dapat dilakukan untuk jumlah sampel yang banyak – hasilnya seringkali dipakai untuk kriteria penapisan dalam klasifikasi batuan
• ABA awalnya dikembangkan untuk batubara tetapi selanjutnya juga digunakan pada tambang bijih
• Perangkat untuk penapisan terdiri atas: – Penentuan total sulfur (umumnya dengan metode LECO , tetapi jika tidak
tersedia dapat juga dengan metode Eschka berdasarkan SNI 13-3481-1994 )
– Kapasitas penetralan asam atau acid neutralizing capacity (ANC) – mengacu pada SNI 13-7170-2006, yang mengadopsi Sobek, A.A., Schuller, W.A., Freeman, J.R., and Smith, R.M., 1978. Field and Laboratory Methods Applicable to Overburdens and Minesoils. p.p. 47-50. U.S. Environmental Protection Agency, Cincinati, Ohio, 45268 (EPA-600/2-78-054)
– Pembentukan asam neto atau net acid generating (NAG) – mengacu pada SNI 13-6599-2001 yang mengadopsi metode yang dikembangkan oleh EGi (Australia) dalam AMIRA (2002)
– pH pasta atau paste pH – mengacu pada Sobek et al (1978) dan AMIRA (2002)
• Uji-uji di atas seringkali dikelompokkan sebagai uji statik (static test) karena tidak dapat menentukan laju reaksi pembentukan AAT
• Uji kinetik (kinetic test) dilakukan untuk – memvalidasi hasil uji statik,
– Memperkirakan laju pelapukan (reaksi pembentukan AAT) jangka panjang
– Memperkirakan potensi batuan untuk menghasilkan penyaliran yang dapat berdampak terhadap lingkungan
• Uji kinetik adalah simulasi proses oksidasi (pelapukan) yang prosedurnya disesuaikan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama (reasonable)
• ada dua jenis uji kinetik yang dikenal secara umum: – Humidity cell test (HCT) – suatu uji standar pada kondisi beroksigen
• Seperti yang telah disampaikan di bagian awal, bahwa sekali AAT sudah terbangkitkan akan sangat sulit untuk menghentikannya
• Prinsip utama pengelolaan AAT → sedapat mungkin mencegah terbentuknya AAT = upaya preventif
• Tetapi pada kenyataannya pada kegiatan penambangan terbuka hal tersebut tidak dapat mencegah secara total terjadinyaAAT → AAT yang terbentuk di dalam pit (baik di dinding atau pit wall maupun di dasar atau pit floor) tidak akan mungkin dicegah – perlu ditangani (mitigasi)
• Upaya yang dapat dilakukan adalah mencegah terbentuknya AAT di daerah penimbunan batuan penutup – rencana pengelolaan overburden (overburden management plan)
• Prinsip dasar pencegahan pencemaran adalah menerapkan suatu proses perencanaan dan perancangan untuk
– mencegah, menahan, atau menghentikan proses-proses hidrologi, kimia, mikrobiologi, atau termodinamika yang menyebabkan pencemaran pada lingkungan perairan, pada atau sedekat mungkin dengan lokasi dimana terjadinya penurunan kualitas air (reduksi pada sumber) atau
– menerapkan upaya-upaya fisik untuk mencegah atau menahan transpor dari kontaminan ke badan air (antara lain dengan recycling, pengolahan/treatment dan/atau mengamankan timbunan)
• Melalui upaya segregasi dapat dipisahkan antara material PAF dan NAF
• Metode yang umum diterapkan dalam penimbunan overburden adalah encapsulation dan layering → menempatkan material PAF dan NAF sedemikian untuk menghindari terjadinya pembentukan AAT (mencegah oksidasi mineral sulfida dan/atau aliran air)
• Merupakan proses pengolahan yang tidak memerlukan intervensi, operasi atau perawatan oleh manusia secara reguler
• Suatu sistem pengolahan air yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara alami seperti gradien topografi, energi metabolisme mikroba, fotosintesis dan energy kimia dan membutuhkan perawatan secara reguler tetapi jarang untuk beroperasi sepanjang umur rancangannya (Pulles et al, 2004, dalam GARD Guide, 2009)
• Suatu proses secara bertahap menghilangkan logam dan/atau keasaman dalam suatu biosistem seperti alami tetapi buatan manusia yang mendukung reaksi ekologi dan geokimia. Proses tsb tidak memerlukan tenaga atau bahan kimia setelah konstruksi dan akan berumur puluhan tahun dengan bantuan manusia secara minimum (Gusek, 2002, dalam GARD Guide, 2009)
• Air asam tambang adalah salah satu dampak penting dari kegiatan pertambangan (batubara & bijih) yang sekali terbentuk akan sulit menghentikannya dan dapat berlangsung untuk jangka waktu yang sangat lama melampaui umur tambang
• Oleh karena itu harus menjadi perhatian dari semua pelaku tambang, walaupun tidak semua tambang berpotensi membentuk AAT
• Penanganan AAT yang baik mencakup perencanaan yang terintegrasi dari sejak masa eksplorasi dan masa operasi sampai pasca tambang
• Pencegahan AAT jauh lebih baik (efisien dari segi biaya tetapi efektif) dibandingkan pengolahan (treatment)
• Melalui pengelolaan yang baik, risiko juga semakin kecil