Dasar-dasar Jurnalistik
Pesatnya kemajuan media informasi dewasa ini cukup memberikan
kemajuan yang signifikan. Media cetak maupun elektronik pun saling
bersaing kecepatan sehingga tidak ayal bila si pemburu berita
dituntut kreativitasnya dalam penyampaian informasi. Penguasaan
dasar-dasar pengetahuan jurnalistik merupakan modal yang amat
penting manakala kita terjun di dunia ini. Keberadaan media tidak
lagi sebatas penyampai informasi yang aktual kepada masyarakat,
tapi media juga mempunyai tanggung jawab yang berat dalam
menampilkan fakta-fakta untuk selalu bertindak objektif dalam
setiap pemberitaannya.
Apa Itu Jurnalistik?
Menurut Kris Budiman, jurnalistik (journalistiek, Belanda) bisa
dibatasi secara singkat sebagai kegiatan penyiapan, penulisan,
penyuntingan, dan penyampaian berita kepada khalayak melalui
saluran media tertentu. Jurnalistik mencakup kegiatan dari
peliputan sampai kepada penyebarannya kepada masyarakat.
Sebelumnya, jurnalistik dalam pengertian sempit disebut juga dengan
publikasi secara cetak. Dewasa ini pengertian tersebut tidak hanya
sebatas melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, dsb.,
namun meluas menjadi media elektronik seperti radio atau televisi.
Berdasarkan media yang digunakan meliputi jurnalistik cetak (print
journalism), elektronik (electronic journalism). Akhir-akhir ini
juga telah berkembang jurnalistik secara tersambung (online
journalism).
Jurnalistik atau jurnalisme, menurut Luwi Ishwara (2005),
mempunyai ciri-ciri yang penting untuk kita perhatikan.
a. Skeptis
Skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu,
meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar
tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media
janganlah puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk
mengingatkan kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan
haruslah terjun ke lapangan, berjuang, serta menggali hal-hal yang
eksklusif.
b. Bertindak (action)
Wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia
akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang
wartawan.
c. Berubah
Perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi
sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan pemberi
makna dari sebuah informasi.
d. Seni dan Profesi
Wartawan melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa
untuk menangkap aspek-aspek yang unik.
e. Peran Pers
Pers sebagai pelapor, bertindak sebagai mata dan telinga publik,
melaporkan peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakat
dengan netral dan tanpa prasangka. Selain itu, pers juga harus
berperan sebagai interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat
kebijaksanaan serta advokasi.
Berita
Ketika membahas mengenai jurnalistik, pikiran kita tentu akan
langsung tertuju pada kata berita atau news. Lalu apa itu berita?
Berita (news) berdasarkan batasan dari Kris Budiman adalah laporan
mengenai suatu peristiwa atau kejadian yang terbaru (aktual);
laporan mengenai fakta-fakta yang aktual, menarik perhatian,
dinilai penting, atau luar biasa. News sendiri mengandung
pengertian yang penting, yaitu dari kata new yang artinya adalah
baru. Jadi, berita harus mempunyai nilai kebaruan atau selalu
mengedepankan aktualitas. Dari kata news sendiri, kita bisa
menjabarkannya dengan north, east, west, dan south. Bahwa si
pencari berita dalam mendapatkan informasi harus dari keempat
sumber arah mata angin tersebut.
Selanjutnya berdasarkan jenisnya, Kris Budiman membedakannya
menjadi straight news yang berisi laporan peristiwa politik,
ekonomi, masalah sosial, dan kriminalitas, sering disebut sebagai
berita keras (hard news). Sementara straight news tentang hal-hal
semisal olahraga, kesenian, hiburan, hobi, elektronika, dsb.,
dikategorikan sebagai berita ringan atau lunak (soft news). Di
samping itu, dikenal juga jenis berita yang dinamakan feature atau
berita kisah. Jenis ini lebih bersifat naratif, berkisah mengenai
aspek-aspek insani (human interest). Sebuah feature tidak terlalu
terikat pada nilai-nilai berita dan faktualitas. Ada lagi yang
dinamakan berita investigatif (investigative news), berupa hasil
penyelidikan seorang atau satu tim wartawan secara lengkap dan
mendalam dalam pelaporannya.
Nilai Berita
Sebuah berita jika disajikan haruslah memuat nilai berita di
dalamnya. Nilai berita itu mencakup beberapa hal, seperti
berikut.
1. Objektif: berdasarkan fakta, tidak memihak.
2. Aktual: terbaru, belum basi.
3. Luar biasa: besar, aneh, janggal, tidak umum.
4. Penting: pengaruh atau dampaknya bagi orang banyak;
menyangkut orang penting/terkenal.
5. Jarak: familiaritas, kedekatan (geografis, kultural,
psikologis).
Lima nilai berita di atas menurut Kris Budiman sudah dianggap
cukup dalam menyusun berita. Namun, Masri Sareb Putra dalam bukunya
Teknik Menulis Berita dan Feature, malah memberikan dua belas nilai
berita dalam menulis berita (2006: 33). Dua belas hal tersebut di
antaranya adalah:
1. sesuatu yang unik,
2. sesuatu yang luar biasa,
3. sesuatu yang langka,
4. sesuatu yang dialami/dilakukan/menimpa orang (tokoh)
penting,
5. menyangkut keinginan publik,
6. yang tersembunyi,
7. sesuatu yang sulit untuk dimasuki,
8. sesuatu yang belum banyak/umum diketahui,
9. pemikiran dari tokoh penting,
10. komentar/ucapan dari tokoh penting,
11. kelakuan/kehidupan tokoh penting, dan
12. hal lain yang luar biasa.
Dalam kenyataannya, tidak semua nilai itu akan kita pakai dalam
sebuah penulisan berita. Hal terpenting adalah adanya aktualitas
dan pengedepanan objektivitas yang terlihat dalam isi tersebut.
Anatomi Berita dan Unsur-Unsur
Seperti tubuh kita, berita juga mempunyai bagian-bagian, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1. Judul atau kepala berita (headline).
2. Baris tanggal (dateline).
3. Teras berita (lead atau intro).
4. Tubuh berita (body).
Bagian-bagian di atas tersusun secara terpadu dalam sebuah
berita. Susunan yang paling sering didengar ialah susunan piramida
terbalik. Metode ini lebih menonjolkan inti berita saja. Atau
dengan kata lain, lebih menekankan hal-hal yang umum dahulu baru ke
hal yang khusus. Tujuannya adalah untuk memudahkan atau mempercepat
pembaca dalam mengetahui apa yang diberitakan; juga untuk
memudahkan para redaktur memotong bagian tidak/kurang penting yang
terletak di bagian paling bawah dari tubuh berita (Budiman 2005) .
Dengan selalu mengedepankan unsur-unsur yang berupa fakta di tiap
bagiannya, terutama pada tubuh berita. Dengan senantiasa
meminimalkan aspek nonfaktual yang pada kecenderuangan akan menjadi
sebuah opini.
Untuk itu, sebuah berita harus memuat fakta yang di dalamnya
terkandung unsur-unsur 5W + 1H. Hal ini senada dengan apa yang
dimaksudkan oleh Lasswell, salah seorang pakar komunikasi (Masri
Sareb 2006: 38).
1. Who siapa yang terlibat di dalamnya?
2. What apa yang terjadi di dalam suatu peristiwa?
3. Where di mana terjadinya peristiwa itu?
4. Why mengapa peristiwa itu terjadi?
5. When kapan terjadinya?
6. How bagaimana terjadinya?
Tidak hanya sebatas berita, bentuk jurnalistik lain, khususnya
dalam media cetak, adalah berupa opini. Bentuk opini ini dapat
berupa tajuk rencana (editorial), artikel opini atau kolom
(column), pojok dan surat pembaca.
Sumber Berita
Hal penting lain yang dibutuhkan dalam sebuah proses jurnalistik
adalah pada sumber berita. Ada beberapa petunjuk yang dapat
membantu pengumpulan informasi, sebagaimana diungkapkan oleh Eugene
J. Webb dan Jerry R. Salancik (Luwi Iswara 2005: 67) berikut
ini.
1. Observasi langsung dan tidak langsung dari situasi
berita.
2. Proses wawancara.
3. Pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen
publik.
4. Partisipasi dalam peristiwa.
Kiranya tulisan singkat tentang dasar-dasar jurnalistik di atas
akan lebih membantu kita saat mengerjakan proses kreatif kita dalam
penulisan jurnalistik.
Sumber bacaan:
Budiman, Kris. 2005. Dasar-Dasar Jurnalistik: Makalah yang
disampaikan dalam Pelatihan Jurnalistik Info Jawa 12-15 Desember
2005. Dalam www.infojawa.org.
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Putra, R. Masri Sareb. 2006. Teknik Menulis Berita dan Feature.
Jakarta: Indeks.
Ditulis dalam Materi JurnalistikKonsep DasarPemberitaan
1. Fungsi Pemberitaan Fungsi utama pemberitaan bukanlah untuk
memperingatkan, menginstruksikan, dan membuat khalayak tercengang;
tetapi memberitahu (Halsberstam 1992: 14). Setelah memberitahu
khalayak, terserah khalayak untuk memanfaatkan sebuah berita.
Tertapi, kalau sebuah berita hanya berhenti sampai memberitahu
saja, maka berita itu disebut tidak bermanfaat bagi khalayak.Lalu,
bagaimana caranya agar berita bisa bermanfaat untuk khalayak?
Jawabnya ada dua, yaitu:a. Mengusahakan berita sebagai pengetahuan
umumPengetahuan umum adalah pengertian-pengertian bersama tentang
satu hal yang bisa dimanfaatkan khalayak untuk berinteraksi sosial.
Bila seorang individu tidak memiliki pengetahuan umu, biasanya ia
tidak berdaya dalam berinteraksi dengan individu atau kelompok
lain. Tidak heran kalau pengetahuan umum menjadi bagian yang
penting dari kehidupan khalayak.
Pengalaman menunjukkan, bahan baku pengetahuan umum adalah
informasi. Agar menjadi pengetahuan umu, informasi harus
diinterpretasikan dan diberi konteks tertentu (Ericson, Baranek dan
Chan 1987: 11). Sedangkan yang bisa digolongkan sebgai informasi
antara lain:berita, laporan, data statistic, peraturan-peraturan,
keputusan-keputusan penting, resolusi. Kenyataan ini menimbulkan
pendapat bahwa usaha menjadikan berita menjadi pengetahuan umum
bisa ditempuh dengan menginterpretasikan berita dan memberinya
konteks tertentu.
Lalu, siapa yang harus menginterpretasikan berita dan memberinya
konteks tertentu? Jawabnya, khalayak. Tetapi, para wartawan perlu
merangsang khalayak untuk melakukan kedua hal itu, yaitu
denganmenyiarkan berita yang memiliki nilai sosial dan yang
menguntungkan kepentingan umum. Sebuah berita disebut menyiarkan
berita yang memiliki nilai sosial kalau berita tersebut memenuhi
kepentingan umum. Berita tentang pertengkaran suami-istri dan ulang
tahun pejabat pemerintah misanlnya, bukanlah berita yang memenuhi
kepentingan umum.
Sedangkan berita disebut menguntungkan kepentingan umum, kalau
berita tersebut tidak mendikte khalayak. Sebuah berita yang
menyiarkan informasi yang berasal dari hanya satu narasumber jelas
tidak menguntungkan kepentingan umum. Di samping khalayak tidak
mendapatkan gmabaran permasalahan dari berbagai pihak, khalayak
seolah-olah dipaksa untuk mengikuti pendapat satu orang saja.
Kalau selama ini para pengamat menilai bahwa khalayak belum bisa
menjadikan berita-berita yang disiarkan pers Indonesia sebgai
pengetahuan umum, maka menjadi tantangan begi pers Indonesia untuk
menyiarkan berita yang memenuhi dan menguntungkan kepentingan umum.
Andaikata pers Indonesia bisa menjadikan berita sebagai pengetahuan
umum, pers indonesia disebut telah memberikan sumbangan yang sangat
berarti bagi peningkatan daya nalar khalayak. Bukankah pengetahuan
umum bisa dijadikan khalayak untuk mengontrol diri danlingkungan
mereka?
b. Mengusahakan berita sebagai alat kontrol sosialMaksud berita
sebagai alat kontrol sosial adalah: memberitakan peristiwa yang
buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya dan ihwal yang menyalahi
aturan, supaya peristiwa buruk tidak terulang lagi dan kesadaran
berbuat baik serta mentaati peraturan makin tinggi. Makanya berita
sebagai alat kontrol sosial bisa disebut berita buruk.
Selama ini ada pendapat yang dianut oleh banyak orang bahwa
berita buruk akan melahirkan hal yang buruk pula. Misalnya: berita
menyeluruh tentang gerakan Papua Merdeka dikhawatirkan akan
mengancam persatuan nasional. Tetapi, akhir-akhir ini, di negara
maju, berkembang pendapat bahwa berita buruk justru melahirkan
pelajaran yang baik untuk memperkuat nilai dan identitas kolektif
yang sudah dimiliki (Ericson, Baranek dan Chan 1987: 65). Sebab,
khalayak cenderung memproyeksikan keadaan yang mereka lihat pada
diri mereka. Begitu mereka melihat kehidupan gerakan Papua Merdeka
yang tidak enak dan tidak tentram, saat itu pula mereka tidak ingin
meniru mereka.
Pada sisi yan lain, penyiaran berita buruk tentang sebuah
lembaga pemerintah bisa melahirkan opii publik yang baru dan citra
yang baru pula tentang lembaga pemerintah tersebut. Biarpun begitu,
ia bisa merangsang gagasan-gagasan dari khalayak untuk ikut
membantu memperbaiki lembaga pemerintah tersebut. Kalau berita itu
tidak disiarkan, bukan mustahil gagasan-gagasan khalayak untuk
memperbaiki lembaga tersebut tidak muncul.
Bagi individu yang terlibat langsung dalam sebuah berita buruk
penyiaran beritanya akan membuat ia selalu ingat bahwa khalayak
tahu ia pernah teledor dan khilaf. Ingatan ini akan membuatnya
berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ini
dimungkinkan karenasesungguhnay seorang individu akan merasa gundah
dan resah bila khalayak tahu ia pernah berbuat salah.
Kalau selama ini ada kekhawatiran bahwa berita sebagai kontrol
sosial akan meresahkan khalyak dan merugikan kepentingan umum,
kenyataan di atas menimbulkan pendapat bahwa berita sebagai kontrol
sosial lebih banyak mendatangkan keuntungan daripada kerugian.
Salah satu keuntungan itu adalah merangsang tinbulnya
gagasan-gagasan khalayak.
2. Batas Pemberitaan Sesungguhnya yang menjadi batas pemberitaan
resmi di Indonesia ada tiga, yaitu Undang-Undang, Kode Etik
Jurnalistik dan Code of Conduct yang dimiliki media pers.
Undang-Undang membatasi media pers dari hjal-hal yang boleh
diberitakan melalui pasal-pasalnya. Ia merupakan hukum positif.
Bila ada media pers yang melanggar, maka ia akan dituntut di
pengadilan. Sebuah Undang-Undang yang harus dipatuhi media pers
sekarang adalah Undang-Undang No. 40 Tahun 1999.
Kode Etik Jurnalistik membatasi wartawan tentang apa yang baik
dan tidak baik diberitakan. Ia dikeluarkan oleh asosiasi profesi
wartawan. Karena itu, sanksi bagi pelanggarnya diberikan oleh
asosiasi profesi wartawan bersangkutan. Sanksi ini lebih bersifat
moral. Wartawan yang melanggarnya akan disebut tidak bermoral,
dikucilkan dari kehidupan media pers ataudiskors.
Sekarang, siapa pun wartawan Indonesia harus mematuhi Kode Etik
Wartawan Indonesia (KEWI) yang sudah disusun bersama-sama oleh
berbagai asosiasi profesi wartawan Indonesia di Bandung, 6 Agustus
1999. KEWI terdiri atas tujuh pasal, yaitu: (i) Wartawan Indonesia
menghormati hak masyarakat utnuk memperoleh informasi yang benar;
(ii) Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh
dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber
informasi; (iii) Wartawan Indonesia menghormati azas praduga tak
bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang dan selalu
meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat; (iv)
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta,
fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas
korbankejahatan susila; (v) Wartawan Indonesia tidak menerima suap
dan tidak menyalahgunakan profesi; (vi) Wartawan Indonesia memiliki
hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang
dan off the record sesuai kesepakatan; (vii) Wartawan Indonesia
segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta
melayani hak jawab.
Code of Conduct, dalam pada itu, merupakan peraturan yang
dikeluarkan oleh sebuah media pers tentang apa yang boleh dan tidak
boleh diberitakan. Ia mengikat wartawan sebagai pekerja di sebuah
media pers. Karena itu, sanksi bagi pelanggarnya diberikan oleh
media pers yang menerbitkan Code of Conduct itu. Tidak jarang
sanksi itu lebih keras dari sanksi yang diberikan oleh asosiasi
profesi wartawan, misalnya pemutusan hubungan kerja.
Dengan ketiga batas pemberitaan di atas terlihat bahwa media
pers tidak bebas begitu saja menyiarkan berita. Ada
peraturan-peraturan yan membatasinya menyiarkan berita kepada
khalayak. Kalau ada pihak yang mengatakan bahwa media pers sangat
bebas, itu tidak benar. Media pers memiliki berbagai batasan
pemberitaan. Justru karena batasan pemberitaan itulah diaeksis
sebagai kekuatan keempat (fourth estate), setelah eksekutif,
legislatif, dan yudikatif.
3. Layak Berita Secara praktis, layak berita merupakan gabungan
antara nilai berita dan tujuan media. Nilai berita merupakan titik
awal utnuk meliput sebuah peristiwa. Sedangkan tujuan media merupan
saringan yang menentukan apakah peristiwa yang sudah memiliki nilai
berita pantas disiarkan atau tidak. Dengan perkataan lain, tidak
semua peristiwa yang memiliki nilai berita bisa diberitakan.
Sebaliknya, semua informasi yang layak berita tentu memiliki nilai
berita. Di Amerika Serikat, seperti kata Doris A. Graber, nilai
berita yang banyak dianut media massa adalah: luar biasa,
menghibur, tidak asing, dekat, konflik, dan kekerasan (Graber 1993:
131). Artinya, semua peristiwa yang luar biasa, bisa menghibur
khalayak, tidak asing bagi khalayak, berdekatan dengan khalayak
(baik emosional maupun geografis), mengandung konflik dan
mengungkapkan kekerasan, perlu diberitskan. Di Indonesia, nilai
berita yang memasyarakat adalah penting, terkenal, luar biasa,
dekat, aktual, dan manusiawi. Dengan begitu media massa di
Indonesia merasa peristiwa yang penting bagi khalayak, menyangkut
orang terkenal, luar biasa, dekat dengan khalayak (baik emosional
maupun geografis), baru terjadi dan bersifat manusiawi, pantas
diberitakan. Meskipun demikian, tidak ada satu kekuatan pun yang
bisa memaksa media massa, baik di Amerika Serikat maupun di
Indonesia, untuk memenuhi nilai berita yang umum tersebut. Semua
media massa bebas menentukan nilai berita yang akan dianut.
Bila seorang wartawan sudah menulis berita sesuai dengan
kriteria nilai berita yang dianut medianya, berita itu tidak
langsung disiarkan. Ia diserahkan pada redaktur untuk diuji. Pada
saat ujian ini, kriteria yang dipakai bukan hanya nilai berita,
tetapi juga tujuan media. Kalau tidak ada masalah, barulah berita
tersebut layak berita. Kalau masih ada masalah, berita tersebut
diserahkan kepada gatekeeper (di Indonesia, fungsi ini biasanya
dijalankan oleh redaktur pelaksana, wakil pemimpin redaksi dan
pemimpin redaksi). Gatekeeper yang akan memutuskan berita tersebut
layak berita atau tidak.
Gatekeeper adalah orang yang sangat memahami konsep layak berita
yang dianut media tempat ia bekerja. Dalam bekerja, ia lebih
mengutamakan kepentingan medianya. Kalau ia merasa berita yang
sedang ditangannya akan merugikan medianya, misalnya tidak akan
menguntungkan secara ekonomis, atau akan menyebabkan pemerintah
tersinggung, maka berita tersebut dianggap tidak layak berita.
Tidak heran kalau berita lantas merupakan hasil sebuah proses
penerapan konsep layak berita yang dipandu leoh gatekeeper.
Akibatnya, sulit bagi orang untuk menjadikan berita model begini
sebagai cermin sebuah realitas sosial.
Dengan penerapan konsep layak berita ini, wartawan tidak bekerja
denga pikiran yang kosong. Kendati sebagian besar wartawan tahu
persis konsep layak berita media tempat mereka bekerja, mereka
sangat peka dengan nilai berita. Nilai berita menjadi pedoman pokok
dalam meliput berita. Semua peristiwa atau pernyataan yang mereka
amati senantiasa diukur denga nilai berita.
Apakah wartawan bisa bebas menentukan peristiwa yang memenuhi
nilai berita? Jawabnya, tidak. Menurut Brian Dutton, wartawan
dipengaruhi oleh aspek ekonomi dan budaya (Dutton 1986: 33-34).
Aspek ekonomi di sini adalah keinginan media tampat mereka bekerja
untuk senantiasa meningkatkan jumlah khalayak, semakin banyak pula
kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Tidak heran kalau wartawan
berusaha mengetahui keinginan masyarakat.
Keinginan masyarakat tersebut bisa diketahui bila wartawan
sangat memahami nilai dan norma yang dianut masyarakat bersangkutan
(Pemahaman tentang nilai dan norma yang dianut masyarakat inilah
yang disebut Brian Dutton sebagai aspek budaya). Dengan pemahaman
ini wartawan menjadi paham peristiwa atau pernyataan apa yang luar
biasa, manusiawi, dekat, dan sebagainya bagi masyarakat. Dengan
pengertian ini wartawan mampu menebak peristiwa yang akan berkenan
di hati masyarakat.
Semua ini bisa diketahui bila wartawan dekat dengan masyarakat,
baik melalui pergaulan sosial maupun tinggal di lingkungan
masyarakat tersebut. Pengamatan sepintas tidak menjamin wartawan
bisa mengetahui aspek budaya ini. Lebih dari itu, keadaan di atas
makin meyakinkan bahwa pers tidak bisa lepas dari sistem sosial
yang melingkupi masyarakat tempat pers itu beroperasi.
Sesungguhnya konsep layak berita yan dianut media tidak lepas
dari usaha pengejawantahan ideologi. Herbert Marcuse misalnya,
menyiratkan bahwa berita yang ada di media massa memanipulasi
kenyataan yang sebenarnya, sehingga masyarakat tidak tahu kebutuhan
mereka yang sesungguhnya (ibid.,35). Dengan demikian konsep layak
berita difokuskanpada usaha mencari keuntungan materi. Keadaan
seperti ini hanya akan menguntungkan pemilik modal.
Pandangan Antonio Gramsci mengesankan bahwa berita yang ada di
media massa membuat penguasa mampu mengontrol masyarakat secara
haluis, tidak lagi menggunakan kekerasan (ibid.,37). Sebab media
massa sekarang sangat berperan dalam membentuk akal sehat
masyarakat. Lihatlah, dengan hanya menerapkan konsep layak berita
yang terfokus pada pemberitaan yang baik saja tentang penguasa,
masyarakat menjadi tidak kritis lagi terhadap pemerintah.
Masyarakat menjadi percaya dan patuh saja kepada pemerintah.
Barangkali media massa di Indonesia tidak menganut salah satu
atau kedua ideologi tersebut di atas. Tetapi, wartawan perlu
mengetahui bahwa dari kenyataan tersebut, banyak orang lantas
menyebut berita yang disiarkan media massa adalah alat orang-orang
yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Berbarengan dengan itu
media massa juga memberi legitimasi terhadap ideologi tertentu.
Terpulang kepada wartawan untuk memilih media massa yang cocok
dengan ideologi yang dianutnya. Bagaimanapun kepuasan erja wartawan
juga berkaitan dengan pengejawantahan ideologi wartawan itu
sendiri.
4. Model Proses Penulisan Berita Menurut Doris A. Graber, model
proses penulisan penulisan berita terdiri atas: model cermin, model
profesional, model organisasi, dan model politik (Graber
1993;24-26). Setiap model memiliki karakteristik sendiri. Model
sermin adalah model yang mengharuskan berita dilaporkan apa adanya.
Artinya, tugas wartawan adalah melaporkan sebuah peristiwa seakurat
dan sejujur mungkin. Dalam pandangan ini wartawan tidak berhak
memberi perspektif terhadap peristiwa tersebut.
Model profesional mengisyaratkan berita sebagai hasil kemampuan
profesionalisme jurnalisme yang tinggi, yang memadukan ketrampilan
memilih peristiwa yang memenuhi kriteria nilai berita dengan
ketrampilan menyeimbangkan kepentingan berbagai pihak dalam sebuah
peristiwa disertai dengan rasa susastra yang tinggi. Dengan
demikian, tugas wartawan adalah menyajikan berita yang komprehensif
kepada khalayak tanpa menyertakan penilaiannya dengan bahasa yang
enak dibaca. Menurut pandangan ini hanya khalayak yang berhak
menilai peristiwa yang diberitakan.
Model organisasi menekankan bahwa berita perlu disesuaikan
dengan tujuan organisasi media yang menyiarkan berita tersebut.
Berita yang tersaji diangankan mendatangkan keuntungan bagi
organisasi. Tidak jarang, bahkan, berita dimasukkan sebagai alat
untuk membentuk citra positif bagi organisasi bersangkutan. Dalam
hal ini, biasanya pengurus inti organisasilah yang menjadi anggota
bidang redaksi.
Sedangkan model politik meletakkan berita sebagai produ sebuah
ideologi dan mampu memberi legitimasi terhadap sebuah ideologi.
Karena itu, berita diarahkan untuk menjelek-jelekan ideologi yang
bertentangan dengan ideologi yang dianut pemilik media dan
memuji-muji ideologi yang dianut pemilik media. Adalah wajar berita
produk profesionalisme jurnalisme model begini selalu mengundang
konflik.
Mengikuti keempat model di atas, timbul pertanyaan: model proses
penulisan yang mana yang ideal bagi pers di Indonesia? Sebelum
menentukan pilihan, diperlukan sebuah pedoman. Apa pedomannya?
Yaitu: model proses penulisan yang bisa merefleksikan semua
dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Ini perlu
digarisbawahi. Sebab, merefleksikan dinamika ini bukanlah pekerjaan
yang mudah. Pengalaman menunjukkan, wartawan sering kali dihadapkan
kepada pertanyaan: kepentingan siapa yang harus didulukan ketika
berusaha merefleksikan dinamika tersebut? Kepentingan masyarakat,
kepentingan profesionalisme jurnalisme, kepentingan media atau
kepentingan pemerintah? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa
ditinggalkan begitu saja. Bagaimana pun wartawan harus
menjawabnya.
Untuk bisa melaksanakan tugas tersebut, model proses penulisan
berita profesional akan banyak membantu. Artinya, model inilah yang
ideal. Sebab, model ini memungkinkan wartawan menyajikan informasi
yang bermanfaat buat masyarakat dan mengontrol pemerintah tanpa
mengorbankan profesionalisme jurnalismenya. Model ini juga
memungkinkan wartawan bermain untuk mnegutamakan kepentingan
masyarakat tanpa mengorbankan media tempatnya bekerja.
5. Fakta dan Opini dalan Pemberitaan Menurut prinsip etika
jurnalistik yang paling sederhana, informasi yang boleh diberitakan
wartawan adalah fakta. Secara umum fakta adalah semua fenomena yang
benar-benar terjadi. Sedangkan secara praktis fakta adalah semua
keterangan yang diungkapkan oleh narasumber dan semua hasil
observasi wartawan.
Berpedoman kepada penjelasan ini, semua pertanyaan seorang
narasumber yang diperoleh wartawan, baik melalui wawancara maupun
tulisannya, adalah fakta. Karena itu, wartawan tidak perlu ragu
terhadap keterangan yang diperoleh dari seorang narasumber. Kalau
ada yang perlu diragukan, barangkali, adalah soal realitas hasil
pengamatan narasumber tersebut. Sebab, menurut Alastair Reid, fakta
hanya sebagian dari relitas (dalam Olen 1988:82). Realitas hanya
akan diperoleh dari penggabungan berbagai fakta yang terdapat dalam
setting tertentu dan berlaku dalam konteks tertentu pula. Dengan
perkataan lain, bila para wartawan ingin mengungkapkan realitas
yang sebenarnya dari pernyataan seorang narasumber, mereka perlu
mengamati setting dan konteks yang dipilih si narasumber dalam
melakukan pengamatannya.
Kalau sudah mencapai taraf realitas, apakah sudah bisa disebut
kebenaran? Kebenaran, menurut prinsip umum etika jurnalistik,
adalah penjelasan lengkap yang sesungguhnya fakta. Misalnya begini:
pernyataan seorang narasumber adalah fakta. Penjelasan lengkap dari
pernyataan itu, yang antara lain berisi makna pernyataan yang
sebenarnya dan alasan pengungkapan pernyataan yang sesungguhnya
adalah kebenaran. Kenyataan ini melahirkan pengertian, kalau
khalayak hanya ingin mengetahui pernyataan seorang narasumber, yang
mereka peroleh adalah fakta. Tetapi, kalau mereka ingin mengetahui
penjelasan lengkap yang sesungguhnya mengenai pernyataan seorang
narasumber, maka mereka akan menangkap kebenaran.
Mengikuti logika ini, ketika membaca sebuah berita, khalayak
diminta membedakan pernyataan dan makna yang dikandungya, serta
pernyataan dan penjelasannya. Untuk mengetahui kebenaran, tidak
cukup hanya mengetahui pernyataannya saja, tetapi perlu ditambah
dengan penjelasan lengkap mengenai pernyataan bersangkutan. Ini
perlu digarisbawahi supaya khalayak tidak tergesa-gesa mengaku
mengetahui kebenaran setelahmengetahui fakta semata.
Lalu, bagaimana dengan opini? Opini adalah penilaian moral
seseorang terhadap satu peristiwa dan fenomena. Mengikuti
pengertian yang sangat sederhana ini, maka opini seorang wartawan
adalah penilaian moralnya terhadap peristiwa atau fenomena yang
disaksikannya. Kalau seorang wartawan memasukkan opininya dalam
berita yang ditulisnya, maka posisinya tidak lagi sebagai pengamat,
tetapi sudah berubah menjadi penganjur, dan bukan mustahil pula
mengarah pada partisipan. Ketiga jenis wartawan ini memiliki ciri
yang berbeda. Wartawanpengamat akan berlaku netral dalam penyiaran
berita. Wartawan penganjur akan menyiarkan berita yang merangsang
timbulnya gerakan sosial, seperti protes umum, unjuk rasa,
demonstrasi dan sebagainya. Sedangkan wartawan partisipan lebih
suka mempertanyakan mottif seorang narasumber sebelum menyiarkan
berita yang
1.bersumber dari dirinya.Kalau seorang ingin menjadi wartawan
pengamat, ia harus sejauh mungkin menghindari isi pemberitaan dari
opininya. Ia diizinkan memberikan opini sehubungan dengan penerapan
nilai dan layak berita. Dengan perkataan lain, ahram baginya
mencampur fakta dengan opininya.
Bagaimana membedakan fakta dan opini melahirkan istilah
jurnalisme yang berbeda, seperti Jurnalisme Baru, Jurnalisme
Evaluatif, dan Jurnalisme Partisipan. Jurnalisme Baru mengandung
hasrat wartawan untuk memasukkan subjektivitas dirinya dalam
melaporkan peristiwa yang dilihatnya. Jurnalisme Evaluatif
mencampurkan fakta-fakta yang diperoleh dan subjektivitas wartawan
untuk mengevaluasi birokrasi dan para pejabat pemerintah. Sedangkan
Jurnalisme Partisipan biasa dilakukan penerbitan pers untuk
memperjuangkan kebenaran versi wartawannya (Anwar 1983:5).
www.infojawa.org 13
Pasal-Pasal Kode EtikJurnalistik
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi
manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah
sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi,
guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia
juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial,
keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut
profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan
landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam
menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta
profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan
menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran1. Independen berarti memberitakan peristiwa atau
fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan,
dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.2.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika
peristiwa terjadi.3. Berimbang berarti semua pihak mendapat
kesempatan setara.4. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat
secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak
lain.Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
PenafsiranCara-cara yang profesional adalah:1. menunjukkan
identitas diri kepada narasumber;2. menghormati hak privasi;3.
tidak menyuap;4. menghasilkan berita yang faktual dan jelas
sumbernya;5. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran
gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan
ditampilkan secara berimbang;6. menghormati pengalaman traumatik
narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;7. tidak melakukan
plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;8. penggunaan cara-cara tertentu dapat
dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan
publik.Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi,
serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran1. Menguji informasi berarti melakukan check and
recheck tentang kebenaran informasi itu.2. Berimbang adalah
memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.3. Opini yang menghakimi adalah pendapat
pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu
pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.4. Asas
praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi
seseorang.Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis,
dan cabul.
Penafsiran1. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui
sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta
yang terjadi.2. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan
secara sengaja dengan niat buruk.3. Sadis berarti kejam dan tidak
mengenal belas kasihan.4. Cabul berarti penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang
semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.5. Dalam penyiaran
gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu
pengambilan gambar dan suara.Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas
korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang
menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran1. Identitas adalah semua data dan informasi yang
menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk
melacak.2. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun
dan belum menikah.Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak
menerima suap.
Penafsiran1. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang
mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat
bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.2.
Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau
fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.Pasal
7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi
narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar
belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran1. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan
identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan
keluarganya.2. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran
berita sesuai dengan permintaan narasumber.3. Informasi latar
belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang
disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.4. Off
the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang
tidak boleh disiarkan atau diberitakan.Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas
dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan
bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit,
cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran1. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai
sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.2. Diskriminasi adalah
pembedaan perlakuan.Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran1. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan
diri dan berhati-hati.2. Kehidupan pribadi adalah segala segi
kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan
kepentingan publik.Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki
berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran1. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat
mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak
luar.2. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait
dengan substansi pokok.Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proporsional.
Penafsiran1. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok
orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap
pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.2. Hak koreksi
adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang
lain.3. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu
diperbaiki.Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik
dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik
dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
Kami atas nama organisasi wartawan dan organisasi perusahaan
pers Indonesia:
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI)-Abdul Manan
2. Aliansi Wartawan Independen (AWI)-Alex Sutejo
3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)-Uni Z Lubis
4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI)-OK. Syahyan
Budiwahyu
5. Asosiasi Wartawan Kota (AWK)-Dasmir Ali Malayoe
6. Federasi Serikat Pewarta-Masfendi
7. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI)-Fowaa Hia
8. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI)-RE Hermawan
S
9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI)-Syahril
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)-Bekti Nugroho
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa (IJAB
HAMBA)-Boyke M. Nainggolan
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI)-Kasmarios SmHk
13. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI)-M.
Suprapt
14. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI)-Sakata Barus
15. Komite Wartawan Indonesia (KWI)-Herman Sanggam
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI)-A.M.
Syarifuddin
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI)-Hans
Max Kawengian
18. Korp Wartawan Republik Indonesia (KOWRI)-Hasnul Amar
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI)-Ismed hasan Potro
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)-Wina Armada Sukardi
21. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI)-Andi A.
Mallarangan
22. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus (PWRCPK)-Jaja
Suparja Ramli
23. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia
(PWIRI)-Ramses Ramona S
24. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI)-Ev. Robinson
Togap Siagian
25. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI)-Rusli
26. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat- Mahtum Mastoem
27. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS)-Laode Haziru
28. Serikat Wartawan Indonesia (SWI)-Daniel Chandra
29. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII)-Gunarso
Kusumodiningrat
30. Kode Etik AJI (Aliansi JurnalisIndependen)
31. 1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar.32. 2. Jurnalis senantiasa mempertahankan
prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan
pemberitaan serta kritik dan komentar.33. 3. Jurnalis memberi
tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk
menyuarakan pendapatnya.34. 4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan
pendapat yang jelas sumbernya.35. 5. Jurnalis tidak menyembunyikan
informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.36. 6. Jurnalis
menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan
dokumen.37. 7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi
informasi latar belakang, off the record, dan embargo.38. 8.
Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak
akurat.39. 9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi
konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak
pidana di bawah umur.40. 10. Jurnalis menghindari kebencian,
prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku,
ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau
latar belakang sosial lainnya.41. 11. Jurnalis menghormati privasi,
kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.42. 12. Jurnalis
tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman
kekerasan fisik dan seksual.43. 13. Jurnalis tidak memanfaatkan
posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan
pribadi.44. 14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.45.
Catatan: yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian
berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung
atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat
kerja jurnalistik.46. 15. Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.47.
16. Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.48. 17.
Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang
menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.49. 18. Kasus-kasus
yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis
Kode Etik.50. Ditulis dalam Materi Jurnalistik51. Sejarah
JurnalisIndonesia
52. BAGAIMANA dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional,
Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya PWI di Arena Masa (1998)
menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri
mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian,
sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali
mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya
orang Indonesia.
53. Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah
satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Haryadi Suadi
menyebutkan, salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada
masa awal kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan
koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan
Sinar Baroe (Semarang) (PR, 23 Agustus 2004).
54. Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin menguat pada
akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang mempropagandakan
kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita
Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia.
55. Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai
dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi
mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir
1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat
(FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan
Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas
dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan
Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel
Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
56. Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia,
terutama setelah Soeharto lengser dari kursi presiden. Judul dan
berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka koran-koran dan
majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di
Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih
ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional
semacam itu.
57. Teknologi dalam jurnalisme
58. Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan
teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun
1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik.
Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat,
sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari
dan mulai munculnya foto di surat kabar.
59. Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS
menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran
edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam
pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat
itu.
60. Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing
baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun
demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena
berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas.
Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan
munculnya televisi.
61. Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era
1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita.
Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy
cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan,
dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan
komputer di industri media massa.
62. Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak
terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi
komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi
wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video
melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang
meliput di medan paling sulit sekalipun.
63. Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik
multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah
berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media
cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia
internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
64. Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk
juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi
menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak
atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet,
yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang
masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi
cetak.
65. Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang
juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs
pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog
saja.
66. Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi
banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior
Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa
blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan
sumber untuk berita.
67. Dalam penggunaan teknologi, Indonesia mungkin agak terlambat
dibanding dengan media massa dari negara maju seperti AS, Prancis,
dan Inggris. Tetapi untuk saat ini penggunaan teknologi di
Indonesia terutama untuk media televisi sudah sangat maju. Lihat
saja bagaimana Metro TV melakukan laporan live dari Banda Aceh,
selang sehari setelah tsunami melanda wilayah itu. Padahal saat itu
aliran listrik dan telefon belum tersambung. (Zaky/PR)***
Seberapa cerdas anda untuk meng-copy artikel
ini[Samui_desigN]