Top Banner
Laporan Studi Pustaka (KPM 403) Transisi Agraria Masyarakat Tepian Kota dan Dampaknya terhadap Tingkat Kesejahteraan ASTRID PUTRI INDIRAWARDANI I34120151 Dosen Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
73

2289-5515-1-SP

Feb 01, 2016

Download

Documents

Renny Desiana

sosial
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 2289-5515-1-SP

Laporan Studi Pustaka (KPM 403)

Transisi Agraria Masyarakat Tepian Kota dan Dampaknya terhadap Tingkat Kesejahteraan

ASTRID PUTRI INDIRAWARDANI

I34120151

Dosen

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2015

Page 2: 2289-5515-1-SP

i

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Transisi Agraria Masyarakat Tepian Kota dan Dampaknya terhadap Tingkat Kesejahteraan” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.

Bogor, Mei 2015

Astrid Putri IndirawardaniNIM. I34120151

Page 3: 2289-5515-1-SP

ii

ABSTRAK

ASTRID PUTRI INDIRAWARDANI. Transisi Agraria Masyarakat Tepian Kota dan Dampaknya terhadap Tingkat Kesejahteraan. Di bawah bimbingan ENDRIATMO SOETARTO

Transformasi pengembangan merupakan sebuah konsekuensi dari adanya pembangunan daerah yang menjadi salah satu cara pemerintah (daerah) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun pembangunan ini mengakibatkan terjadinya konversi lahan pertanian yang meningkat dari tahun ke tahun. Hal-hal yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian dibagi menjadi 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya lahan pertanian menimbulkan transisi agraria yang ditunjukkan dengan pergeseran mata pencaharian masyarakat dari sektor pertanian menjadi sektor non-pertanian sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis mengenai transisi agraria masyarakat tepian kota dan dampaknya terhadap tingkat kesejahteraan.

Kata kunci: transformasi daerah, konversi lahan, mata pencaharian, kesejahteraan

ABSTRACT

ASTRID PUTRI INDIRAWARDANI. Agrarian Transition of Community in City Side and that Impact to The Level of Welfare. Supervised by ENDRIATMO SOETARTO

The expansion of transformation is a consequence of the area development that become one of government ways (area) for increasing community welfare. However, this development has resulted conversion of the agricultural land that increasing every year. Things that encourage conversion of the agricultural land are divided into two, internal factors and external factors. Factors that encourage conversion of agricultural land create agrarian transition that be shown with the shift of livelihood in community from agricultural sector to non-agricultural sector that affecting the level of welfare. Therefore, this paper will analyze about agrarian transition of community in city side and that impact to the level of welfare.

Keywords: area transformation, land conversion, livelihood, welfare

Page 4: 2289-5515-1-SP

iii

TRANSISI AGRARIA MASYARAKAT TEPIAN KOTA DAN DAMPAKNYA TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN

Oleh

ASTRID PUTRI INDIRAWARDANI

I34120151

Laporan Studi Pustaka

sebagai syarat kelulusan KPM 403

pada

Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2015

Page 5: 2289-5515-1-SP

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:Nama Mahasiswa : Astrid Putri IndirawardaniNomor Pokok : I34120151Judul : Transisi Agraria Masyarakat Tepian Kota dan Dampaknya terhadap

Tingkat KesejahteraanDapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MANIP. 19521225 1986 1 002

Mengetahui,Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc NIP: 19670903 199212 2 001

Tanggal Pengesahan: _____________________

Page 6: 2289-5515-1-SP

v

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Transisi Agraria Masyarakat Tepian Kota dan Dampaknya terhadap Tingkat Kesejahteraan” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. sebagai pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan Studi Pustaka ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada teman-teman yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikiran, membantu dan memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian Studi Pustaka ini. Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Mei 2015

Astrid Putri IndirawardaniNIM. I34120151

Page 7: 2289-5515-1-SP

vi

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………viii

PERNYATAAN.................................................................................................................i

ABSTRAK........................................................................................................................ii

PRAKATA........................................................................................................................v

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

Latar Belakang...............................................................................................................1

Tujuan Penulisan............................................................................................................2

Metode Penulisan...........................................................................................................2

RANGKUMAN DAN ANALISIS PUSTAKA................................................................3

1. Dampak Konversi Lahan Pertanian bagi Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru..............................................3

2. Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan................................4

3. Dilema dalam Transformasi Desa Ke Nagari: Studi Kasus di Kenagarian IV Kota Palembayan, Provinsi Sumatera Barat...........................................................................5

4. Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani.........................7

5. Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang........................10

6. Alih Fungsi Lahan: Potensi Pemicu Transformasi Desa-Kota (Studi Kasus Pembangunan Terminal Tipe A “Kertawangunan”)....................................................12

7. Analisis Transformasi Wilayah Peri-Urban pada Aspek Fisik dan Sosial Ekonomi (Kecamatan Kartasura) .........................................................................................14

8. DAMPAK TRANSFORMASI MATA PENCAHARIAN TERHADAP KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT (Studi Kasus pada Usaha atau Kegiatan Penambangan Mineral Logam Mangan di Wilayah IUP PT. Bun Yan Hasanag di Desa Nian Kecamatan Miomafo Tengah Kabupaten Timor Tengah Utara)...............15

9. DAMPAK TRANSFORMASI WILAYAH TERHADAP KONDISI KULTURAL PENDUDUK (TINJAUAN PERSPEKTIF GEOGRAFIS)........................................17

Page 8: 2289-5515-1-SP

vii

10. Analysis of Land Conversion and Its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia........................................................................................20

11. Agricultural Land Conversion Drivers: A Comparison between Less Developed, Developing and Developed Countries.........................................................................21

RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN........................................................................23

Pembangunan Daerah..................................................................................................23

Konversi Lahan............................................................................................................24

Konsep Konversi Lahan...........................................................................................24

Faktor-faktor yang Mendorong Konversi Lahan.....................................................25

Dampak Konversi Lahan..........................................................................................26

Transisi Agraria dan Arah Transformasi.....................................................................27

Konsep Transisi Agraria dan Arah Transformasi....................................................27

Pergeseran Mata Pencaharian..................................................................................28

Kesejahteraan...........................................................................................................29

KESIMPULAN...............................................................................................................31

Analisis dan Sintesis....................................................................................................31

Kerangka Analisis........................................................................................................32

Pertanyaan Penelitian...................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................34

RIWAYAT HIDUP.........................................................................................................39

Page 9: 2289-5515-1-SP

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Analisis.....................................................................33

Page 10: 2289-5515-1-SP

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris. Sebagian besar lahan di Indonesia digunakan sebagai sektor pertanian. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia merupakan petani. Lahan pertanian adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena bahan-bahan pangan dihasilkan dari hasil-hasil produksi pertanian yang ditanam di lahan pertanian tersebut. Lahan pertanian merupakan kehidupan bagi para petani, karena penghasilan para petani sebagian besar bahkan seluruhnya dari hasil-hasil produksi yang ditanam di lahan pertanian tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) (2013) memberikan laporan bahwa pada tahun 2000, jumlah penduduk di Indonesia adalah sebesar 206.264.595 jiwa dan meningkat pada tahun 2010 menjadi sebesar 237.641.326 jiwa. Sementara itu, banyaknya jumlah penduduk di Jawa Barat pada tahun 2000 sebesar 35.729.537 jiwa dan meningkat menjadi 43.053.732 jiwa di tahun 2010. Presentase penduduk daerah perkotaan di Jawa Barat meningkat dari tahun 2010 ke 2015 sebesar 65,7% menjadi 72,9% dan akan terus meningkat sampai tahun 2035. Selain jumlah penduduk, jumlah rumah tangga di Jawa Barat juga meningkat dari 11540 pada tahun 2010 menjadi 12104 pada tahun 2013. Hal serupa juga mempengaruhi jumlah pengangguran di Jawa Barat. Pada tahun 2012, jumlah pengangguran di Jawa Barat sebesar 9,78% pada bulan Februari dan menurun menjadi 9,08% pada bulan Agustus. Penurunan jumlah pengangguran juga terjadi pada bulan Februari menjadi sebesar 8,90 dan meningkat pada bulan Agustus menjadi sebesar 9,22% di tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya jumlah penduduk dan rumah tangga, maka akan mengurangi jumlah lapangan kerja yang meningkatkan pengangguran.

Peningkatan jumlah penduduk juga meningkatkan jumlah kabupaten dan kota di Jawa Barat. Pada tahun 2002-2006, jumlah kabupaten di Jawa Barat sebanyak 16 kabupaten dan jumlah kota tidak meningkat dari tahun 2002-2013, yaitu sebesar 9 kota. Sementara itu, jumlah kecamatan di Jawa Barat mengalami peningkatan dan pada tahun 2013 jumlah kecamatan sebanyak 626 kecamatan, sedangkan jumlah kabupaten juga mengalami peningkatan sampai tahun 2013, Jawa Barat memiliki 5962 kabupaten. Peningkatan jumlah wilayah di Jawa Barat ini bertujuan agar dapat menampung jumlah penduduk yang bertambah setiap tahunnya. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 paragraf keempat bagian ketiga tentang Perubahan Status Desa menyatakan bahwa perubahan status desa meliputi desa menjadi kelurahan, kelurahan menjadi desa, dan desa adat menjadi desa. Perubahan status desa menjadi kelurahan atau kota membuat ketertarikan masyarakat terhadap kota lebih besar dibandingkan desa. Tidak sedikit masyarakat akan pindah ke kota dan membuat populasi penduduk kota meningkat sehingga mengakibatkan pembangunan perumahan di lahan pertanian. Lahan pertanian akan semakin berkurang jumlahnya. Penduduk asli daerah akan kehilangan lahan pertanian dan pekerjaannya.

Perubahan status wilayah dari desa menjadi kota mengakibatkan terjadinya konversi lahan. Tanah kian menjadi kebutuhan langka karena pertumbuhan penduduk yang cepat dan mengakibatkan tempat tinggal mereka dari masa ke masa ikut mengalir

Page 11: 2289-5515-1-SP

2

ke dalam situasi arah perubahan dan perkembangan kota yang terkadang sulit diduga (Wirayuda, 2011). Pertumbuhan penduduk tersebut terjadi karena adanya perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain khususnya perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pertumbuhan penduduk yang cepat ini mengakibatkan konversi lahan di daerah kota yang mengakibatkan hilangnya lahan pertanian di kota. Konversi lahan pertanian dapat “diibaratkan sebagai suatu perubahan sosial yang juga terjadi “beriringan” dengan perubahan ruang dan waktu yang mengakibatkan perubahan sosial/komunitas dan disebabkan oleh jumlah penduduk (Silaholo 2004)1.

Tujuan Penulisan

Perubahan status wilayah mengakibatkan konversi lahan dan menyebabkan perubahan mata pencaharian. Masyarakat yang awalnya bermata pencaharian petani, harus berganti mata pencaharian ke bidang pertanian maupun non-pertanian. Hal ini mengakibatkan ada atau tidaknya perubahan kesejahteraan di masyarakat. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan studi pustaka ini adalah untuk menganalisis pergeseran mata pencaharian bertani setelah pergantian status wilayah, faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan, dan implikasi transisi agrarian (perubahan mata pencaharian) terhadap tingkat kesejahteraan rumah tangga.

Metode Penulisan

Metode yang dilakukan dalam studi pustaka ini adalah dengan menganalisis data sekunder yang relevan dengan topik studi pustaka. Data sekunder tersebut mencakup, antara lain jurnal, disertasi, tesis dan buku-buku mengenai agraria. Selanjutnya bahan-bahan bacaan tersebut dipelajari, diringkas dan disusun menjadi sebuah ringkasan studi pustaka. Kemudian ringkasan studi pustaka tersebut dianalisis dan sintesis. Sampai pada akhirnya adalah penarikan hubungan dari semua langkah-langkah yang telah dilakukan untuk dapat memunculkan kerangka teoritis yang akan menjadi rumusan pertanyaan bagi penelitian yang akan dilakukan.

1 Martua Silaholo. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan , Kota Bogor, Jawa Barat. [Thesis]. IPB [ID].

Page 12: 2289-5515-1-SP

3

RANGKUMAN DAN ANALISIS PUSTAKA

1. Judul :Dampak Konversi Lahan Pertanian bagi Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru

Tahun :2012Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis :Agung Hadi Hidayat, Usamah Hanafie,

Nurmelati SeptianaNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Jurnal Agribisnis PedesaanVolume (edisi): hal :02(02):95-107Alamat URL :http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/

agrides/article/view/224Tanggal Unduh :10 Maret 2015

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi taraf hidup petani sebelum dan sesudah terjadinya koversi lahan, serta mengetahui dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan. Menurut penelitian ini konversi lahan pertanian adalah perubahan pola penggunaan dan pemanfaatan lahan dari pertanian menjadi pemanfaatan non-pertanian. Petani yang berada di Jalan Karya Manuntung RT 1 Kelurahan Landasan Ulin Barat sudah berusaha tani lebih dari 20 tahun karena pada awalnya orang tua mereka juga melakukan usaha tani. Namun, masyarakat di daerah ini tergolong masyarakat pendatang yang sudah tinggal sejak tahun 1985 dari Pulau Jawa. Pendidikan para petani tergolong rendah, yaitu sebagian besar bersekolah sampai tamat Sekolah Menengah Pertama dan beberapa yang hanya tamat sampai Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Atas. Sebelum adanya konversi lahan, pendapatan petani hanya bergantung kepada tanaman yang dapat ditanam di musim kemarau atau musim penghujan, namun setelah adanya konversi lahan, terciptanya pekerjaan i sektor pertanian dan non-pertanian. Contoh pekerjaan di sektor pertanian adalah petani berusaha di bidang budidaya ikan lele dan mujair, peternakan sapi, serta peternakan ayam buras. Sementara itu pekerjaan di sektor non-pertanian adalah usaha perbengkelan radiator mobil. Semua usaha ini merupakan usaha sampingan para petani. Setelah adanya konversi pertanian, jumlah pendapatan petani ada yang meningkat, tetap, dan menurun. Kondisi rumah tempat tinggal petani hanya beberapa saja yang menggunakan batu bata dan batako, lantai rumah sudah ada yang dikeramik, namun masih ada juga yang masih tanah. Sarana MCK masih jauh dari layak, dan tanah yang dimiliki rata-rata seluas 1,5 ha yang digunakan untuk lahan pertanian dan tempat tinggal. Konversi lahan memiliki dampak terhadap lingkungan. Dibangunnya Perumahan Citra Graha memberikan dampak besar terhadap lingkungan sekitar. Saluran irigasi menjadi terhambat dan mengakibatkan hanya sebagian lahan pertanian yang bisa

Page 13: 2289-5515-1-SP

4

ditanami. Selain itu, hama dan penyakit tanaman juga meningkat yang dikarenakan banjir. Perumahan itu membuat lahan semakin menyempit. Landasan Ulin adalah pemasok sayur-sayuran di Kalimantan Selatan akan sulit terealisasi karena lahan pertanian semakin menyempit.

Analisis PustakaPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi taraf hidup petani

sebelum dan sesudah konversi lahan. Namun, tidak ada data yang menunjukkan persentase petani yang mengalami peningkatan, tetap, atau penurunan taraf hidup. Hal ini penting karena dengan ditunjukkannya data, maka dapat tergambar sejauh mana para petani mengalami peningkatan, tidak mengalami peningkatan (tetap), atau mengalami penurunan taraf hidup. Selain itu, untuk mengukur taraf hidup, dapat digunakan dengan banyaknya anak yang dimiliki. Semakin banyak anak yang bersekolah, maka taraf hidup semakin meningkat. Namun, hal ini tidak diukur dalam penelitian ini dan akan lebih baik jika menggunakan ukuran fertilitas untuk mengukur taraf hidup.

2. Judul : Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan

Tahun :2011Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis :Astri Lestari dan Arya Hadi DharmawanNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi

dan Ekologi ManusiaVolume (edisi): hal :05(01):1-12Alamat URL :

http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5835/4500

Tanggal Unduh :10 Maret 2015

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tipe-tipe konversi lahan, mengetahui dampak sosio-ekonomis konversi lahan terhadap rumah tangga setempat, dan mengetahui dampak sosio-ekologis konversi lahan terhadap kawasan setempat. Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor merupakan salah satu desa yang terletak di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) CIliwung dan mengalami konversi lahan pertanian. Desa ini banyak dikunjungi oleh wisatawan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan lahan di desa ini dibangun fasilitas wisata berupa villa, hotel, maupun restoran. Perubahan tata ruang di desa ini mengakibatkan banjir di kawasan hilir DAS Ciliwung. Penelitian ini dilakukan di dua kampung di Desa Tugu Utara, yaitu Kampung Sampay yang terletak di dekat jalan raya dan Kampung Sukatani yang letaknya jauh dari jalan raya. Pada Kampung Sampay, konversi lahan terjadi secara besar-besaran dan lahan pertanian sudah tidak ada lagi. Sedangkan di Kampung Sukatani, masih banyak terdapat lahan pertanian

Page 14: 2289-5515-1-SP

5

dan konversi lahan terjadi sangat lambat. Pihak pelaku konversi lahan terbagi menjadi dua, yaitu warga lokal yang mengkonversi lahan pertaniannya untuk membangun tempat tinggal warga, dan warga luar desa yang merupakan pemilik modal atau investor untuk membangun fasilitas wisata.

Konversi lahan pertanian memberikan dampak negatif terhadap aspek sosio-ekonomis seperti perubahan penguasaan lahan, kesempatan kerja, perubahan pola kerja, kondisi tempat tinggal, dan hubungan antar warga. Perubahan penguasaan lahan terbagi menjadi lima, yaitu kategori tidak punya lahan, tumpang sari, bagi hasil, sewa dan milik. Pada Desa Tugu Utara, baik di Kampung Sampay maupun Kampung Sukatani terjadi peningkatan rumah tangga yang menjadi tunakisma dan telah terjadi penurunan derajat penguasaan lahan dari pemilik menjadi penyewa, pemilik menjadi tunakisma, serta bagi hasil menjadi tunakisma. Selain itu, derajat luas lahan yang dikuasai rumah tangga menurun yang diiringi oleh penurunan derajat penguasaan lahan. Pada Kampung Sampay, kesempatan kerja di sektor non-pertanian lebih banyak. Namun, kesempatan kerja di bidang pertanian lebih banyak di Kampung Sukatani. Hal ini dikarenakan ketersediaan lahan pertanian di Kampung Sukatani lebih banyak dibandingkan di Kampung Sampay. Konversi lahan pertanian mengakibatkan rata-rata pendapatan di Desa Tugu Utara tergolong rendah. Sementara itu, terdapat hubungan antara status penguasaan lahan dengan kegiatan konversi lahan terlihat dari semakin tingginya jumlah tempat tinggal. Sebagian warga memiliki tempat tinggal sendiri yang dulunya merupakan lahan produktif dan kemudian dilakukan konversi menjadi tempat tinggal. Perubahan peruntukan lahan pertanian menjadi non-pertanian mengakibatkan munculnya prostitusi di Desa Tugu Utara.

Selain dampak sosio-ekonomis, penelitian ini juga melihat kepada dampak sosio-ekologis konversi lahan. Responden menyatakan bahwa tidak mengalami masalah terhadap akses terhadap air bersih. Sementara itu, pada Kampung Sampay, warga membuang sampah ke sungai karena tidak ada tempat pembuangan sampah, sedangkan pada Kampung Sukatani, warga membakar sampah atau menjadikannya pupuk organik. Permasalahan perubahan tata ruang tidak hanya mengakibatkan banjir di kawasan hilir, melainkan juga di kawasan hulu karena adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Alih fungsi lahan ini mengakibatkan kebisingan dan kemacetan yang merugikan warga di Desa Tugu Utara. Banyak transportasi pribadi yang datang dan mengakibatkan kemacetan serta kebisingan di lingkungan warga.

Analisis Pustaka Penelitian ini sudah disertai dengan diagram dan tabel-tabel data

sehingga memudahkan pembaca untuk membacanya dan mendapatkan gambaran tentang kondisi di Desa Tugu Utara. Selain itu, hasil dan pembahasan sudah sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang tercantum pada Bab I.

3. Judul :Dilema dalam Transformasi Desa Ke Nagari: Studi Kasus di Kenagarian IV Kota Palembayan, Provinsi Sumatera Barat

Page 15: 2289-5515-1-SP

6

Tahun :2009Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis :Nuraini Budi Astuti, Lala M. Kolopaking, dan

Nurmala K. PandjaitanNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi

dan Ekologi ManusiaVolume (edisi): hal :03(02):153-172Alamat URL : https://www.google.co.id/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCEQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjournal.ipb.ac.id%2Findex.php%2Fsodality%2Farticle%2Fdownload%2F5868%2F4533&ei=vKANVfLlF4uJuwTylYCIBQ&usg=AFQjCNGOTXPjetu1xbhyQp8JPEcIpHjQ2Q

Tanggal Unduh :10 Maret 2015

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perubahan sistem dari desa ke nagari dan menganalisa konflik akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa kembali ke nagari. Pada awalnya kehidupan masyarakat Minang berada dalam sistem pemerintahan yang disebut dengan nagari. Namun, sejak diberlakukannya UU No 5 tahun 1979 mengenai bentuk pemerintahan terendah yaitu desa, sistem pemerintahan nagari pecah menjadi desa sehingga merubah yang awalnya sentralistik menjadi desentralisasi. Sebelum diberlakukannya UU No 5 tahun 1979, terdapat 543 nagari, dan pada tahun 2006 terbentuklah sebanyak 519 nagari. Tipe perubahan nagari terbagi menjadi 3 tipe. Tipe 1 menjelaskan bahwa sebuah nagari terpecah menjadi beberapa desa dan selanjutnya desa-desa yang terpecah bergabung dan menjadi sebuah nagari. Tipe 2 menjelaskan bahwa harus menggabungkan desa-desa yang terpisah selama 30 tahun menjadi sebuah nagari, sedangkan tipe 3 menjelaskan bahwa nagari terpecah menjadi desa-desa dan pada saat kebijakan diimplementasikan, desa-desa ada yang tidak bergabung ke wilayah asalnya namun terpecah menjadi dua nagari yang berbeda. Sebelum diberlakukannya UU No 5 tahun 1979, Koto Palembayan memiliki tujuh kampung yang struktur pemerintahan terdiri dari Wali Nagari dan Kerapatan Nagari (KN). Setelah dikeluarkannya UU No 5 tahun 1979, pemerintah menghapuskan seluruh nagari yang ada di Sumatera Barat dan berganti menjadi pemerintahan desa. Pergantian pemerintahan nagari ke desa mengakibatkan institusi lokal terpinggirkan dan diambil alih oleh negara. Selain itu, pemerintah membentuk Lembaga Musyawarah Desa dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa. Menurut Naim (2007), nagari dan desa sesungguhnya merupakan dua bentuk yang saling bertolak belakang, karena pemerintah nagari cenderung berorientasi masyarakat sedangkan desa cenderung top down. Berdasarkan UU No 22 tahun 1999 yang disempurnakan oleh UU No 32 tahun 2004, pemerintahan nagari kembali dihidupkan namun struktur pemerintahannya tidak sama dengan nagari sebelumnya. Transformasi desa ke

Page 16: 2289-5515-1-SP

7

nagari mengakibatkan perubahan dan mengandung potensi konflik, yaitu dualisme kelembagaan dalam nagari yang ditunjukkan dengan tetap dipisahkannya pemerintahan dan unsur adat. Potensi konflik kedua adalah tumpang tindih dan ketidakjelasan peran lembaga-lembaga dalam nagari yang ditunjukkan dengan munculnya lembaga-lembaga baru namun tugas dan fungsi lembaga tidak jelas. Ketiga adalah perubahan peraturan yang ditunjukkan dengan adanya perubahan-perubahan peraturan daerah yang berlaku di Sumatera Barat. Keempat adalah ketidaksiapan menerima perubahan yang ditunjukkan dengan peran ninik mamak sudah tidak dapat diimplementasikan karena kaum muda lebih banyak dibandingkan kaum tua sehingga peran ninik mamak kurang dipahami sementara itu perubahan semakin cepat. Kelima adalah munculnya sentiment kesukuan yang ditunjukkan oleh banyaknya penduduk pendatang yang berasal dari luar Sumatera Barat sehingga menimbulkan sentiment kesukuan antara masyarakat pendatang dengan masyarakat asli. Keenam adalah konflik kepentingan yang ditunjukkan oleh adanya perubahan politik lokal di tingkat nagari dan mengakibatkan konflik yang melibatkan individu maupun kelompok yang terikat oleh suatu kepentingan. Pemerintah sejauh ini menjadi agen perubahan dengan menggunakan pendekatan social engineering yaitu pendekatan dengan menggunakan upaya-upaya yang bertujuan untuk memobilisasi masyarakat agar berubah. Selain itu, pendekatan yang digunakan oleh pemerintah adalah pendekatan social enlightment, yaitu sebuah pendekatan yang bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat melalui upaya-upaya yang bersifat persuasif. Upaya ini bertujuan untuk penyadaran dan pemahaman kepada semua pihak mengenai bentuk nagari dengan menggunakan berbagai wadah yang ada dalam masyarakat. Namun, pendekatan-pendekatan ini memerlukan waktu yang tidak singkat dan biaya yang tidak sedikit.

Analisis PustakaPenelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi studi

kasus. Data yang dikumpulkan dengan cara triangulasi dengan melalui observasi, wawancara mendalam, dan studi literatur. Penelitian ini dilakukan di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk perubahan sistem dari desa ke nagari dan bagaimana bentuk konflik (potensi konflik) yang berkembang akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa ke nagari. Penelitian ini sudah menjawab permasalahan yang akan dibahas. Selain itu, penelitian ini menjelaskan pemerintah sebagai agen perubahan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan social engineering dan social enlightment sehingga pembaca dapat menemukan solusinya walaupun hasil dari pendekatan yang digunakan oleh pemerintah belum diketahui.

4. Judul :Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani

Tahun :2007Jenis Pustaka :Ringkasan Eksekutif Hasil-Hasil PenelitianBentuk Pustaka :Elektronik

Page 17: 2289-5515-1-SP

8

Nama Penulis :Dr. Ir. MT Felix Sitorus, Arya H. Darmawan, Dr. Undang Fadjar, APUI (Peneliti Badan Litbang Pertanian), Ivanovich Agusta, dan Martua Sihaloho

Nama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :-Volume (edisi): hal :-Alamat URL : http://repository.ipb.ac.id/

handle/123456789/7187Tanggal Unduh :10 Maret 2015

Masalah penelitian yang ingin dipecahkan adalah sejauhmana lembaga lokal mendukung atau menghambat proses perubahan struktur agrarian perkebunan kakao dan kelapa sawit, bagaimana perubahan struktur agrarian terwujud dalam perkebunan kakao dan kelapa sawit, sejauhmana perubahan struktur agrarian tersebut mengubah tingkat kesejahteraan perkebunan kakao dan kelapa sawit, sampaimana lembaga-lembaga lokal masih mampu menjamin akses pekebun kakao dan kelapa sawit terhadap sumberdaya lahan sesuai perubahan struktur agrarian tersebut terjadi, dan sejauhmana persamaan dan perbedaan proses perubahan struktur agrarian dapat dibandingkan antara perkebunan kakao dan kelapa sawit. Keluaran yang diharapkan adalah berupa potret tentang perbedaan perubahan struktur agraria dan kesejahteraan komunitas pekebun yang mengelola komoditas dengan tingkat komersialisasi dan/atau pola pengembangan secara berbeda, rekomendasi kebijakan reforma agrarian dan revitalisasi pertanian bagi komunitas pekebun yang dapat mendorong berlangsungnya usaha perkebunan yang produktif, berkelanjutan, dan berkeadilan (pro petani miskin).

Struktur sumberdaya agraria pada komoditas (kakao dan kelapa sawit) akan menentukan tingkat kesejahteraan keluarga petani, selain itu didorong oleh berbagai perubahan realitas lokal yang merubah struktur agraria dan dapat mengarahkan pada bentuk polarisasi dan/atau stratifikasi sehingga berujung pada perubahan distibusi kesejahteraan dalam komunitas pekebun yaitu semakin merata atau semakin senjang kesejahteraannya. Penelitian ini dilakukan di 4 komunitas petani (4 desa) berbasis tanaman kakao ( 2 desa di Kabupaten Donggala –Sulawesi Tengah dan 2 desa di Kabupaten Pidie – Nangroe Aceh Darussalam). Hasil dari penelitian ini adalah pertama, lahan tidak menjadi faktor produksi tunggal melainkan menjadi salah satu dari dua faktor produksi penting yang saling terkait, yaitu lahan dan modal finansial yang diperlukan petani untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung proses produksi sehingga mendorong munculnya “pola hubungan sosial produksi banyak pihak” dan/atau “pola hubungan sosial produksi dua pihak yang semakin terakumulasi atau tersubordinasi (petani pemilik lahan semakin kuat dan petani penggarap semakin lemah).

Kedua adalah keuntungan usaha tani terbagi kepada banyak pihak, misalnya adalah apabila petani pemilik lahan menguasai alat/bahan produksi dan/atau modal finansial maka keuntungan usahatani terakumulasi pada petani pemilik lahan. Ketiga adalah karakter tanaman mempengaruhi kepada

Page 18: 2289-5515-1-SP

9

peningkatan produktivitas produktivitas tanaman. Hal ini dikarenakan karakteristik tanaman mendorong minat petani dalam menerapkan modal produksi pertanian intensif yang padat modal. Usahatani padi-sawah lebih intensif menggunakan traktor, pupuk, obat-obatan kimia sehingga usahatani ini lebih komersial dibandingkan dengan usahatani tanaman perkebunan. Keempat adalah kurangnya kesadaran petani penggarap dalam menyadari adanya eksploitasi. Hal ini dikarenakan petani penggarap lebih milih dieksploitasi dibandingkan mati kelaparan. Kelima adalah berdasarkan hasil data sensus lokasi penelitian, struktur agraria komunitas petani berbasis tanaman kakao dibangun oleh beragam lapisan masyarakat, yaitu petani pemilik; petani pemilik dan penggarap; petani pemilik, penggarap, dan buruh tani; petani pemilik dan buruh tani; petani penggarap; petani penggarap dan buruh tani; dan buruh tani. Petani pemilik lahan diseluruh daerah jumlahnya kurang dari 50%.

Keenam adalah terdapat beberapa mekanisme yang mendorong terjadinya proses polarisasi, adalah bagi hasil sawah, sewa kebun kelapa, gadai, penjualan kebun, dan buruh upahan serta akses petani terhadap program pemerintah. Selain itu mekanisme yang mendorong perubahan struktur agraria menuju stratifikasi adalah pola bagi hasil untuk kebun dan pewarisan. Ketujuh adalah petani pemilik masih berada dalam kategori miskin dan sedang karena luas lahannya masih kurang dari satu hektar, petani penggarap termasuk ke dalam kategori miskin dan sedang sedangkan penggarap kaya adalah petani yang menyewa kebun kelapa petani lain. Kedelapan adalah pengeluaran per kapita petani lapisan pemilik eksklusif merupakan lapisan petani paling sejahtera pengeluaran per kapita sebesar Rp. 3.590.730,-. Petani pemilik kombinasi berada pada tingkat kesejahteraan sedang dengan pengeluaran per kapita Rp 2.063.269,- sampai Rp. 2.428.646,-. Petani penggarap memiliki pengeluaran per kapita sebesar Rp 1.544.111,- dan penggarap buruh tani Rp 1.492.667,-. Lapisan petani kesejahteraan terendah adalah buruh tani dengan pengeluaran per kapita sebesar Rp 1.461.613,-.

Kesembilan adalah berkurangnya peluang petani untuk meningkatkan kesejahteraan karena semakin banyaknya kebutuhan pokok petani yang harus dibeli di pasar. Kesepuluh adalah kesulitan lapisan bawah untuk memiliki kebun sendiri karena kesulitan memperoleh uang tunai dan lahan semakin jauh dari pemukiman. Kesebelas adalah ketidakmerataan akses terhadap program pemerintah. Selanjutnya adalah kelembagaan lokal cenderung memfasilitasi berlangsungnya proses komersialisasi pertanian yang mengarah pada polarisasi dan masih banyaknya petani miskin karena penguasaan lahan sempit dan/atau karena tidak mampu mengusahakan lahan secara produktif.

Analisis PustakaPenelitian ini dilakukan untuk mengetahui potret tentang perbedaan

perubahan struktur agraria dan kesejahteraan komunitas pekebun yang mengelola komoditas dengan tingkat komersialisasi dan/atau pola pengembangan secara berbeda, rekomendasi kebijakan reforma agrarian dan revitalisasi pertanian bagi komunitas pekebunyang dapat mendorong berlangsungnya usaha perkebunan yang produktif, berkelanjutan, dan berkeadilan (pro petani miskin). Strategi yang diterapkan adalah “studi kasus historis” dan “studi kasus majemuk”. Penelitian ini dilaksanakan bukan sebagai

Page 19: 2289-5515-1-SP

10

penelitian deskriptif-planatif sehingga penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mengukur secara ketat besaran atau tingkatan realitas sosial tetapi untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana realitas sosial terbentuk dan sejauhmana realitas sosial dapat memberikan arti. Penjelasan dari penelitian ini hanya berfokus kepada tanaman kakao sementara dalam pembahasan disebutkan adanya pertanian padi-sawah sehingga lebih baik apabila diberi contoh lokasi yang berfokus kepada pertanian padi-sawah.

5. Judul :Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang

Tahun :2011Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis :Puji HardatiNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Jurnal GeografiVolume (edisi): hal :08 (02): 108-117Alamat URL : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/

JG/article/viewFile/1661/1868Tanggal Unduh :3 April 2015

Penelitian ini berfokus kepada faktor-faktor yang mendorong terjadinya transformasi pada wilayah peri urban. Terjadinya proses alih fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan akan ruang. Transformasi secara spatial di daerah peri urban ini secara morfologis akan mengubah bentuk pemanfaatan lahan. Hasil penelitian Giyarsih, Muta’ali dan Pramono menyatakan bahwa transformasi wilayah merupakan suatu rentetan yang panjang dan saling mempengaruhi sehingga mengubah sifat-sifat kedesaan menjadi kekotaan. Wilayah yang disebut dengan wilayah desakota merupakan wilayah pertanian yang padat penduduk dan berkegiatan di sektor pertanian dan mengalami pengaruh yang intensif dari kegiatan non-pertanian sehingga di dalamnya terlihat pencampuran antara kegiatan pertanian dan non-pertanian.

Ada lima kekuatan yang menyebabkan terjadinya pemekaran kota secara fisikal, yaitu peningkatan jumlah penduduk, peningkatan kesejahteraan penduduk, peningkatan pelayanan transportasi, adanya gejala penurunan peranan pusat kota sebagai pusat kegiatan, dan peningkatan peranan para pembangun (Sargent 1976 dalam Giyarsih 2009). Sementara itu ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan lahan kekotaan di daerah pinggiran kota (Sundaram dan Rao 1984), yaitu adanya jalur transportasi yang memadai, proksimitas dengan pusat kegiatan, preferensi penduduk maupun fungsi-fungsi kekotaan untuk memilih lokasi di kota. Daerah-daerah yang memilii utilitas umum lengkap akan lebih mendorong terjadinya proses perubahan pemanfaatan lahan dari pada daerah yang memiliki utilitas umum yang sangat terbatas (Yunus 2001).

Page 20: 2289-5515-1-SP

11

Menurut studi yang dilakukan oleh Firman 1992 dalam Giyarsih 2009 menunjukkan bahwa kota-kota di koridor Jakarta, Cirebon Semarang, Jakarta Bandung, Semarang Yogyakarta, dan Surabaya Malang telah mengalami perkembangan penduduk perkotaan sebagai bagian dari tahapan transformasi wilayah yang pesat dalam kurun waktu 10 tahun. Pada kabupaten Semarang, telah terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian dan non-pertanian selama tahun 2005 sampai 2009 dengan persentase penggunaan lahan untuk pertanian 25,70% pada tahun 2005 menjadi 25,69% pada tahun 2009. Sementara itu, penggunaan lahan untuk kegiatan non-pertanian mengalami pertambahan 70,59% pada tahun 2005 menjadi 70,60% pada tahun 2009 serta lahan yang dipergunakan untuk pekarangan dan bangunan mengalami peningkatan, yaitu dari 20.73% pada tahun 2005 menjadi 20,89% pada tahun 2009.

Faktor utama yang menyebabkan terjadinya transformasi wilayah peri urban adalah kepadatan penduduk. Semakin tinggi kepadatan penduduk maka akan semakin tinggi tingkat transformasi wilayahnya (Yunus 2001). Pertambahan penduduk terjadi di Kabupaten Semarang dengan perubahan yang positif, yaitu bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2005, jumlah penduduk di Kabupaten Semarang adalah 896.048 jiwa dan bertambah menjadi 917.745 jiwa. Pertambahan penduduk ini disebabkan oleh faktor alami dan non alami, yaitu adanya kelahiran dan kematian serta pertambahan jumlah orang yang masuk dan keluar pada periode 2005 sampai 2009 sehingga menyebabkan transformasi wilayah. Selama kurun waktu 1976 sampai 2010 terjadi spread effect di Kabupaten Semarang, yaitu terjadinya perkembangan indistri dan kegiatan non-pertanian di Kota Semarang yang memacu laju pertumbugan penduduk di wilayah sekitarnya dan mengakibatkan sebagian wilayah di Kabupaten Semarang terkurangi untuk perluasan wilayah Kota Semarang.

Selain jumlah, pertumbuhan, dan kepadatan penduduk sebagai faktor penentu transformasi wilayah peri urban, mata pencaharian penduduk juga menjadi salah satu faktor penentunya. Keberadaan daerah pinggiran kota tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pusat kegiatan sosial, budaya, dan ekonomi kekotaan terdekat maka struktur kegiatan penduduk pada daerah pinggiran kota akan terkena pengaruhnya dari kota tersebut. Pada kegiatan ekonomi, penduduk di pinggiran kota sebagian berkegiatan dalam bidang non-pertanian (sektor kekotaan) dan sebagian berkegiatan di bidang pertanian. Hal ini berlaku konsep distance decay principle, yaitu semakin dekat ke kota maka pekerjaan di bidang non-pertanian akan lebih banyak, sedangkan semakin dekat dengan desa maka pekerjaan di bidang pertanian akan lebih banyak.

Analisis PustakaPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong

terjadinya transformasi pada wilayah peri urban. Lokasi yang menjadi perhatian pada kajian ini adalah studi kasus di Kabupaten Semarang yang merupakan salah satu wilayah di pinggiran Kota Semarang. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder hasil sensus penduduk, susenas, dan registrasi penduduk, serta menggunakan analisis tabel untuk memberikan gambaran tentang faktor yang mendorong terjadinya transformasi wilayah peri urban. Kajian ini mengutip beberapa penelitian dengan menggabungkan data-data sekunder lainnya. Namun, kelebihan dari jurnal ini adalah adanya analisis tabel

Page 21: 2289-5515-1-SP

12

yang menunjukkan faktor yang mendorong terjadinya transformasi wilayah peri urban sehingga isinya jelas dan memudahkan pembaca untuk memahami isi dari jurnal ini. Kelemahan dari jurnal ini adalah disatukannya beberapa penelitian membuat pembaca harus membaca beberapa kali agar dapat memahami maksudnya.

6. Judul :Alih Fungsi Lahan: Potensi Pemicu Transformasi Desa-Kota (Studi Kasus Pembangunan Terminal Tipe A “Kertawangunan”)

Tahun :2012Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis :Evi Novia Nurjanah dan Heru PurwandariNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :JSEPVolume (edisi): hal :06 (03): 53-68Alamat URL :http://jurnal.unej.ac.id/index.php

/JSEP/article/viewFile/810/625 Tanggal Unduh :3 April 2015

Penggunaan lahan di Kabupaten Kuningan cenderung menurun tahun 2003 sampai 2005 dengan persentase 29,51 persen tahun 2003, sekitar 29,28 persen pada tahun 2004 dan sekitar 25,14 persen pada tahun 2005 untuk penggunaan lahan sawah. Penurunan ini disebabkan oleh kepentingan pemerintah daerah untuk membangun fasilitas umum dan diperburuk dengan pertambahan jumlah penduduk yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman, sarana transportasi, dan kebutuhan akan jalan. Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini adalah bagaimana orientasi petani yang terkena dampak alih fungsi lahan, sejauhmana gambaran peta kepentingan antar aktor dalam proses tersebut dan bagaimana implikasi konversi lahan terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kuningan.

Lahan di Desa Kertawangunan digunakan untuk lahan sawah dengan menggunakan sistem irigasi teknis. Lahan ini digarap oleh masyarakat desa dengan sistem sewa bagi hasil. Sistem sewa ini berlaku untuk tanah bengkok yaitu tanah sebagai gaji perangkat desa seluas 900 bata. Penggarapan tanah sistem bagi hasil ini menggunakan sistem maro, yaitu sistem bagi hasil dengan pembagian sama rata antara penggarap dan pemilik lahan yang terlebih dahulu dikurangi dari biaya benih padi dan pupuk. Sebagian besar penduduk di Desa Kertawangunan bermatapencaharian sebagai pedagang, buruh tani, dan petani.

Aktor pemanfaat sumberdaya agraria di Desa Kertawangunan terbagi menjadi tiga, yaitu aktor masyarakat adalah pemilik lahan yang dikonversikan lahannya dan petani ; aktor pemerintah adalah pemerintah desa dan daerah yang berkaitan dengan terjadinya konversi lahan sawah; dan aktor swasta adalah pemegang tender pembangunan terminal tipe A. Lahan pertanian yang dibebaskan untuk pembangunan terminal tipe A Kertawangunan adalah lahan sawah seluas 5,7ha dengan melalui beberapa tahapan yaitu musyawarah rencana pembangunan, musyawarah keputusan harga, dan pengalihan surat pajak tanah

Page 22: 2289-5515-1-SP

13

dari desa ke kabupaten. Faktor pendorong dari konversi lahan pertanian menjadi terminal adalah kebijakan pemerintah dan lokasi sawah terhadap pusat pertumbuhan ekonomi.

Pada saat proses penjualan tanah, Pemerintah Daerah memberikan penawaran harga dua kali lipat dari harga pasaran. Motif penjualan tanah masyarakat beragam, yaitu untuk menambah modal usaha karena sebagian besar pemilik lahan sawah bermatapencaharian sebagai pedagang; uang hasil menjual tanah digunakan untuk membeli tanah kembali di daerah lain. Namun penjualan tanah ini tidak memberikan keuntungan kepada petani, melainkan petani kehilangan lahan garapannya yang secara tidak langsung petani kehilangan mata pencahariannya sehingga yang dibutuhkan oleh petani dengan adanya pembangunan terminal adalah kesempatan kerja baru untuk keberlangsungan hidup para petani.

Pengambilalihan terhadap penguasaan atau pemilikan dan pemanfaatan sumberdaya agrarian oleh pemerintah daerah, yang sebelumnya dikuasai oleh masyarakat sehingga mengakibatkan hilangnya penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agrarian dari petani. Hal ini menimbulkan konflik dari dominasi pemerintah daerah terhadap petani dalam mengambil alih sumberdaya agrarian yang dimiliki oleh masyarakat. Dampak konversi lahan di Desa Kertawangunan terbagi menjadi tiga, yaitu pertama, perubahan orientasi nilai terhadap lahan yang dibagi menjadi nilai keuntungan, nilai kepentingan umum, dan nilai sosial dimana masyarakat menggunakan tanah untuk lahan sawah dengan memanfaatkan potensi alaminya untuk menjaga kelestarian tanah tersebut. Kedua, perubahan hubungan antar aktor, yaitu adanya hubungan pemilik-penyewa dan pemilik-penggarap antara pemilik lahan dengan petani. Petani kehilangan matapencahariannya akibat dibangunnya terminal pada lahan yang digarap sehingga menurunkan pendapatan petani.

Pemerintah desa melakukan berbagai cara untuk menanggulangi penurunan kondisi ekonomi para petani dengan cara memasukkan petani pada golongan keluarga prasejahtera untuk keperluan penyaluran beras miskin. Selain itu diberikannya pelayanan kesehatan kepada masyarakat kurang mampu untuk berobat. Ketiga adalah perkembangan desa perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan dibangunna kios dan perubahan sebanyak 16 lokal di Desa Kertawangunan. Selain itu, pembangunan terminal ini meningkatkan harga tanah yang berada di sekitar terminal A Kertawangunan. Implikasi konversi lahan terhadap pengembangan wilayah di Desa Kertawangunan adalah rencana tata ruang wilayah, dan prioritas pertumbuhan ekonomi.

Analisis PustakaPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses terjadinya

transformasi desa-kota dan implikasinya terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kuningan. Wilayah studi adalah Desa Kertawangunan, Kecamatan Sindang Agung, Kabupaten Kuningan dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini mampu menggali realitas sosial mengenai konversi lahan pertanian yang terjadi berdasarkan pemahaman dari orang-orang yang menjadi subyek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode triangulasi untuk memperoleh data yang akurat, memadukan pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Data yang

Page 23: 2289-5515-1-SP

14

diperoleh berupa data primer melalui wawancara mendalam dan pengamatan serta data sekunder melalui penelusuran literature. Kelebihan dari penelitian ini adalah sudah sesuai dengan permasalahan penelitian yang akan diteliti dan sudah menjawab seluruh permasalahan penelitian tersebut. Namun, kelemahan dari penelitian ini adalah kurangnya data yang disajikan dalam tabel dan tidak membahas konflik yang terjadi akibat pembebasan lahan secara jelas.

7. Judul :Analisis Transformasi Wilayah Peri-Urban pada Aspek Fisik dan Sosial Ekonomi (Kecamatan Kartasura)

Tahun :2014Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis :Nela Agustin Kurnianingsih dan Iwan

RudiartoNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Jurnal Pembangunan Wilayah dan KotaVolume (edisi): hal :10 (03): 265-277Alamat URL :http://ejournal.undip.ac.id/index.php

/pwk/article/viewFile/7784/6380Tanggal Unduh :3 April 2015

Kecamatan Kartasura merupakan salah satu kawasan peri-urban akibat bentuk perkembangan dari Kota Surakarta. Kecamatan ini terdiri dari 10 desa dan 2 kelurahan, yaitu kelurahan meliputi Kartasura dan Ngadirejo, sedangkan desa meliputi Ngemplak, Gumpang, Makamhaji, Pabelan, Pucangan, Kertonatan, Wirogunan, Nagbeyan, Singopuran, dan Gonilan. Perkembangan Kecamatan Kartasura ditandai dengan terjadinya perubahan lahan sebagai bentuk akan kebutuhan ruang dan selanjutnya menimbulkan perubahan pada aspek sosial ekonomi. Sekitar 564,6 ha lahan pertanian beralih fungsi menjadi kawasan terbangun. Permasalahan penelitian yang akan dibahas pada jurnal ini adalah bagaimanakah kondisi transformasi wilayah peri-urban yang terjadi pada Kecamatan Kartasura dan kecepatan laju transformasi yang diterima pada tiap desa sebagai bentuk dampak perubahan lahan yang terjadi.

Transformasi desa-kota di Kecamatan Kartasura ditunjukkan dengan pergeseran sektor pertanian ke arah non-pertanian yang dapat dilihat dari aspek perubahan lahan dan mata pencaharian yang mengakibatkan penurunan hasil produksi pertanian yang ada di Kecamatan Kartasura. Persentase migrasi penduduk baik penduduk datang maupun penduduk pergi mengalami kenaikan lebih dari 150%. Meskipun angka penduduk datang lebih besar dibandingkan penduduk yang pindah, namun angka kenaikan yang terjadi malah sebaliknya, yaitu angka peningkatan penduduk pindah lebih besar dibandingkan dengan penduduk datang.

Perubahan lahan mengakibatkan mata pencaharian di sektor pertanian menurun dan terjadi peningkatan di sektor non-pertanian. Pergeseran mata pencaharian dari sektor pertanian kearah non-pertanian sebesar 4,36%. Hasil

Page 24: 2289-5515-1-SP

15

produksi pertanian terbagi menjadi dua, yaitu produksi padi dan produksi jagung. Penurunan penggunaan lahan pertanian dan jumlah pekerja yang menggantungkan hidup pada mata pencaharian sektor pertanian berakibat pada penurunan hasil produksi pertanian (produksi padi) dan peningkatan produksi pada pertanian jagung. Selain hasil produksi, transformasi desa-kota mempengaruhi perilaku sosial-ekonomi masyarakat. Intensitas pelaksanaan kerja bakti mengalami penurunan sebesar 50% tidak ada. Selain terjadi penurunan, juga terjadi peningkatan pada olahraga bersama dan pertemuan warga yang sebelumnya tidak ada namun menjadi ada dan baru dilakukan kurang dari 15% responden. Peningkatan juga terjadi pada aktivitas ronda malam sebesar 3,13%. Namun ada pula kegiatan yang tidak berubag, yaitu pada arisan dan pengajian. Namun pengajian hanya dilakukan oleh kurang lebih 30%.

Selain itu, terjadi perubahan biaya pengeluaran bulanan rumah tangga rentang dari Rp 0,- sampai Rp 2.000.000,- menjadi Rp.500.000,- sampai dengan Rp 3.000.000,-. Peningkatan biaya pengeluaran rumah tangga dipengaruhi oleh perubahan pertumbuhan ekonomi nasional yaitu dari 3,66% menjadi 6,23% dan tingkat inflasi dari 10,03% menjadi 4,30%. Pergeseran juga terjadi pada alokasi pemakaian uang, pada total biaya lebih dari Rp 3.000.000,-, alokasi biaya kebutuhan pangan sama dengan biaya kebutuhan lainnya di tahun 2002. Pergeseran kebiasaan berbelanja cukup besar terjadi dari pemanfaatan toko kelontong dan swalayan kea rah pasar dan supermarket atau mall.

Terjadi perbedaan cepat lambat laju transformasi pada setiap bagian wilayah Kecamatan Kartasura karena perkembangan karakteristik wilayah peri-urban yang terjadi secara tidak bersamaan di seluruh wilayah Kecamatan Kartasura pada awal perkembangan tahun 1998. Hal ini menyebabkan perkembangan sifat peri-urban di tahun 2002-2012 terjadi lebih cepat pada bagian wilayah yang memiliki kedekatan dengan urban area dan keunggulan aksesibilitas. Kecepatan laju transformasi tertinggi berada pada desa yang dilalui Jalan Solo-Jogja karena merupakan jalur utama transportasi darat untuk menuju ke Kota Jogjakarta dari Kota Surakarta. Sedangkan, tipe klasifikasi wilayah dengan laju transformasi terendah di tahun 2002-2012 terjadi di sebagian kecil wilayah Kecamatan Kartasura dan Kelurahan Ngadirejo.

Analisis PustakaPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi transformasi wilayah

peri-urban yang terjadi pada Kecamatan Kartasura dan kecepatan laju transformasi yang diterima pada tiap desa sebagai bentuk dampak perubahan lahan yang terjadi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan kebutuhan data diperoleh melalui kuisioner dan observasi dan data sekunder. Kelebihan dari penelitian ini adalah data disajikan dalam bentuk tabel secara lengkap sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya. Namun, kelemahan dari penelitian ini adalah kurangnya penjelasan secara rinci data hasil penelitian yang dicantumkan pada tabel. Seharusnya data dijelaskan secara rinci setiap variabel yang diteliti. Selain itu, penjelasan mengenai persebaran laju transformasi WPU Kecamatan Kartasura kurang jelas dan seharusnya dijelaskan lebih rinci daerah-daerah mana saja atau desa-desa yang mengalami laju transformasi tinggi dan lambat.

Page 25: 2289-5515-1-SP

16

8. Judul : DAMPAK TRANSFORMASI MATA PENCAHARIAN TERHADAP KONDISI EKONOMI DAN SOSIAL MASYARAKAT (Studi Kasus pada Usaha atau Kegiatan Penambangan Mineral Logam Mangan di Wilayah IUP PT. Bun Yan Hasanag di Desa Nian Kecamatan Miomafo Tengah Kabupaten Timor Tengah Utara)

Tahun :2014Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis :Stefanus Frengki MbawoNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Jurnal Tata LokaVolume (edisi): hal :16 (03): 181-193Alamat URL

:http://www.indo-planning-journals.com/index.php/tataloka/article/view/168/78

Tanggal Unduh :3 April 2015

Sektor pertambangan merupakan sektor sebagai sumber devisa dan dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan sektor komoditi yang menjadi unggulan pertambangan adalah mineral mangan. Salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki potensi ekonomi yang besar dari komoditi mineral mangan adalah Kabupaten Timur Tengah Utara tepatnya di Desa Haumeni serta salah satu perusahaan pertambangan mineral mangan yang memiliki izin operasi di wilayah ini khususnya Desa Nian adalah PT. Bun Yan Hasanah.

Kegiatan penambangan di Desa Nian memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan penghasilan per bulan penduduk yang sebelumnya Rp 500.000, menjadi Rp 1000.000 setelah adanya kegiatan pertambangan. Hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan penduduk setiap harinya membuat masyarakat melihat adanya peluang untuk meningkatkan pendapatan dan terbukanya lapangan pekerjaan untuk penduduk lokal. Namun, peningkatan pendapatan memiliki hubungan yang positif dengan rata-rata per bulan masyarakat yang meningkat 50%, yaitu sebelumnya rata-rata pengeluaran kurang dari Rp 500.000,- dan sesudah ada perusahaan tambang menjadi Rp 1.000.000,-

Selain dampak terhadap ekonomi, kegiatan penambangan di Desa Nian juga memiliki dampak sosial. Keberadaan kegiatan pertambangan mangan memicu mentalitas masyarakat yang lebih cenderung individulistis, materialistis, tercampurnya kebudayaan asli dengan kebudayaan modern, serta hubungan kekerabatan warga masyarakat mulai merenggang. Peluang kerja di penambangan ini lebih banyak untuk warga luar dibandingkan dengan warga lokal. Hal ini dikarenakan keterbatasan penduduk lokal dan minimnya pendidikan yang membuat sulit penduduk lokal menduduki posisi tertentu di

Page 26: 2289-5515-1-SP

17

dalam perusahaan. Namun keadaan ini tidak menimbulkan konflik, melainkan penduduk lokal sadar akan keterbatasannya dan menerima kondisi tersebut.

Pekerjaan di sektor pertanian lebih dominan dilakukan oleh kepala rumah tangga yang dibantu oleh istrinya. Sementara itu, sebagian besar anak-anak bekerja di tempat lain karena bagi kaum muda bertani tidak menguntungkan karena ketidaktersediaan lahan yang dimiliki rumah tangga. Kaum muda banyak yang bekerja di sektor non pertanian, seperti tukang ojek, buruh bangunan, dan buruh rumah tangga di kota. Pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum pria mulai dari menggali, menyortir, mencuci, dan mengeringkan, sedangkan kaum wanita bekerja yang tidak terlalu berat seperti menyortir.

Berdasarkan penjelasan mengenai dampak ekonomi dan sosial yang terjadi, tingkat kepentingan dampak transformasi mata pencaharian yang pertama adalah kondisi ekonomi (67%), perubahan matapencaharian (25%), dan kondisi sosial (8%). Berdasarkan tingkat kepentingan kondisi ekonomi, maka diperoleh hasil prioritas dengan tingkat pertama adalah pemenuhan kebutuhan hidup (27%), keuntungan yang instan (23%), peluang usaha (17%), peningkatan pendapatan (16%), terciptanya lapangan kerja (13%), dan perubahan gaya hidup (4%). Hal ini ditunjukkan dengan ketika masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan menjadi petani, maka kegiatan penambangan ternyata dapat memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat Desa Nian.

Sementara itu, berdasarkan tingkat kepentingan kondisi sosial, prioritas masyarakat pada tingkat pertama adalah persepsi masyarakat (30%), perubahan perilaku (26%), peningkatan SDM (19%), mengurangi keresahan masyarakat (15%), mengurangi pengangguran (6%), dan kehidupan masyarakat modern (4%). Kondisi sosial berdampak kepada persepsi masyarakat mengenai faktor utama yang menjadi penyebab pergeseran nilai agraris, yaitu merupakan peralihan bidang kerja masyarakat dari pertanian ke pertambangan, dan adanya pengaruh dari budaya metropolitan yang menyebabkan generasi penerus tidak dapat mempertahankan nilai-nilai leluhur dan muda terkontaminasi oleh budaya luar secara langsung maupun tidak langsung.

Analisis PustakaPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak transformasi mata

pencaharian terhadap kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Desa Nian, Kecamatan Miomafo Tengah, Kabupaten Timor Tengah Utara. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan menggunakan metode ex post facto, yaitu data dikumpulkan setelah semua kejadian berlangsung. Kelebihan dari penelitian ini adalah sudah menjawab seluruh pertanyaan penelitian secara jelas dan disertai dengan tabel-tabel yang menggambarkan analisis data. Namun, kelemahan dari penelitian ini adalah tidak adanya persentase jumlah rumah tangga yang mengalami perubahan. Misalnya adalah kegiatan penambangan memberikan dampak positif terhadap sektor ekonomi. Pada penelitian ini tidak dijelaskan berapa persen rumah tangga responden yang mengalami kenaikan pendapatan dan berapa persen rumah tangga responden yang mengalami penurunan pendapatan. Selain itu, tidak ada persentase jumlah petani yang beralih matapencaharian ke sektor non-pertanian.

Page 27: 2289-5515-1-SP

18

9. Judul : DAMPAK TRANSFORMASI WILAYAH TERHADAP KONDISI KULTURAL PENDUDUK (TINJAUAN PERSPEKTIF GEOGRAFIS)

Tahun :2012Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis :Sri Rum GiyarsihNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Forum GeografiVolume (edisi): hal :26 (02): 120-131Alamat URL :

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/2581/Fg-2-Dampak%20Transformasi%20Wilayah.pdf?sequence=1

Tanggal Unduh :3 April 2015

Pertanyaan penelitian yang akan diteliti adalah apakah wilayah yang memiliki derajat aksesibilitas wilayah yang berbeda juga akan mempunyai dampak transformasi wilayah yang berbeda terhadap kondisi kultural penduduk. Penelitian ini dilakukan di Koridor Yogyakarta-Surakarta dengan mengambil 4 sampel desa yang mewakili derajat aksesibilitas wilayah yang berbeda yang dianalisis berdasarkan variabel perubahan adat-istiadat dalam siklus kehidupan penduduk, yaitu peristiwa kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Hasil dari penelitian ini adalah pada variabel kehamilan, hanya penduduk desa dengan derajat aksesibilitas yang sangat tinggi mengalami perubahan intensitas mitoni tinggi sebesar 50%. Sementara itu, desa yang tingkat aksesibilitas wilayah rendah, tidak dialami perubahan dalam adat-istiadat mitoni. Selain itu, hanya di desa yang memiliki tingkat aksesibilitas wilayah sangat tinggi yang mengalami perubahan intensitas adat-setiadat brokohan cukup tinggi sebesar 36,7%. Selain dari peristiwa kehamilan, transformasi wilayah juga berpengaruh terhadap peristiwa kelahiran, yaitu hanya di desa dengan tingkat aksesibilitas wilayah sangat tinggi yang mengalami perubahan intensitas selapanan bayi atau sepasaran dan jagogan bayi sebesar 70%. Namun, pada desa yang memiliki tingkat aksesibilitas wilayah rendah, tidak ditemui perubahan intensitas selapanan bayi atau sepasaran dan jagogan bayi.

Selain kehamilan dan kelahiran, dampak transformasi wilayah terhadap kultural juga berpengaruh terhadap perubahan adat-istiadat dalam peristiwa peralihan anak-anak ke dewasa. Desa dengan tingkat aksesibilitas wilayah sangat tinggi dan dengan jumlah penduduk terbanyak yang merasakan adanya perubahan intensitas adat-istiadat tetesan, dan supitan. Namun, untuk desa yang memiliki tingkat aksesibilitas wilayah rendah, tidak merasakan perubahan adat-istiadat tetesan, dan hanya 3,3% yang merasakan perubahan adat-istiadat supitan. Selain dirasakan perubahan pada peristiwa peralihan anak-anak ke dewasa, dampak transformasi wilayah juga dirasakan pada perubahan adat-istiadat dalam peristiwa perkawinan. Dilihat dari adat-istiadat buang anak,

Page 28: 2289-5515-1-SP

19

midodareni, melempar sirih, memecah telur, sungkeman pengantin, dan sepasaran pengantin dirasakan adanya perubahan intensitas adat-istiadat di desa dengan tingkat aksesibilitas wilayah sangat tinggi dengan jumlah penduduk terbanyak.

Dampak transformasi wilayah terhadap kultural penduduk juga dirasakan perubahan intensitas adat-istiadat dalam peristiwa kematian. Pada adat-istiadat kenduri, di desa yang memiliki derajat aksesibilitas wilayah sangat tinggi dijumpai sebanyak 23,3% penduduk yang mengalami perubahan tersebut. Adat-istiadat kenduri 3 hari, di desa yang memiliki derajat aksesibilitas wilayah sangat tinggi sejumlah 33,3% penduduk, 23,3% untuk desa yang memiliki derajat aksesibilitas wilayah tinggi, dan 3,3% untuk desa yang memiliki derajat aksesibilitas wilayah rendah. Kenduri 7 hari, persentase perubahan intensitas adat-istiadat dirasakan oleh desa yang memiliki derajat aksesibilitas wilayah sangat tinggi dan tinggi sebesar 23,3% dan persentase kecil di desa yang memiliki derajat aksesibilitas wilayah sangat rendah sementara itu pada kenduri 40 hari, desa dengan derajat aksesibilitas wilayah sangat tinggi dan tinggi memiliki presentase besar dan desa yang memiliki derajat aksesibilitas wilayah sangat rendah memiliki persentase sebesar 3,3%.

Pada idat-istiadat ruwahan/nyadran, jumlah penduduk yang merasakan perubahan intensitas adat-istiadat di desa dengan derajat aksesibilitas wilayah sangat tinggi memiliki persentase 63%, desa dengan derajat aksesibilitas wilayah tinggi sebesar 43,3%, dan desa dengan derajat aksesibilitas wilayah rendah sebesar 3,3%. Perubahan intensitas adat-istiadat ini disebabkan oleh infiltrasi nilai-nilai kultural akibat transformasi wilayah. Sebelumnya, adat-istiadat peristiwa kehamilan dilaksanakan upacara 5 bulan, 7 bulan. Namun saat ini hanya dilaksanakan upacara 5 bulan saja. Selain itu, pada peristiwa kelahiran sebelumnya dilaksanakan secara lengkap yaitu brokohan, njenang lemu, kenduri sepasaran bayi, kenduri salapanan bayi, serta jagongan bayi selama 35 hari. Namun saat ini, hanya jagongan bayi yang dilaksanakan dalam sehari pada saat kelahiran bayi.

Adat-istiadat juga berlaku dalam masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Sebelumnya, upacara tedhak siti bagi anak-anak yang baru dapat berjalan, upacara supitan bagi anak laki-laki dan tetesan bagi anak perempuan. Namun saat ini hanya upacara supitan yang masih dilaksanakan masyarakat. Pada peristiwa perkawinan upacara melempar sirih, melempar telur, wijika, dhahar kembul, sungkeman, dan sepasaran manten juga sudah ditinggalkan oleh masyarakat dan munculnya gaya perkawinan yang modern. Upacara yang dilaksanakan untuk kematian juga sudah ditinggalkan dan disederhanakan menjadi satu. Peristiwa ini menyatakan bahwa transformasi wilayah berdampak negatif terhadap kultural penduduk.

Analisis PustakaPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak transformasi wilayah

pada aspek kultural penduduk dalam kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 2006. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai dengan mengambil 4 sampel desa yang merepresentasikan derajat aksesibilitas wilayah yang berbeda. Keempat desa itu adalah Desa Sumopuro (tinggi), Desa Danguran (sedang), dan Desa Jatirejo (rendah). Total responden adalah 30 dari

Page 29: 2289-5515-1-SP

20

120 responden. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Kelebihan dari penelitian ini adalah terdapat tabel yang menjelaskan data dan menyatakan persentase jumlah masyarakat yang masih menjalankan dan meninggalkan adat-setiadat sehingga memberikan gambaran saat membacanya. Namun kelemahan dari penelitian ini adalah tidak adanya penjelasan mengenai bentuk adat-istiadat. Bagi masyarakat awam, akan mengalami kebingungan mengenai bentuk adat-istiadat tersebut. Selain itu, budaya upacara masih dilaksanakan di beberapa daerah yang telah mengalami modernisasi yang cukup tinggi dan belum hilang upacara tersebut.

10. Judul : Analysis of Land Conversion and Its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia

Tahun :2013Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis : Noortje M.Benu, Maryunani, Sugiyanto, and

Paulus KindangenNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Asian Transactions on Basic and Applied

SciencesVolume (edisi): hal :03 (02): 65-72Alamat URL :

www.asian-transactions.org/Journals/Vol03Issue02/ATBAS/ATBAS-40329021.pdf

Tanggal Unduh :3 April 2015

Permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini terfokus kepada bagaimana mengembangkan strategi penanganan konversi lahan yang terjadi di Kota Tomohon dan menentukan dampak yang terjadi akibat konversi lahan. Faktor pertama yang mengakibatkan konversi lahan adalah faktor ekonomi yang diukur melalui pendapatan petani, harga lahan, dan aktivitas ekonomi. Sedangkan faktor kedua yang mempengaruhi konversi lahan adalah faktor landskap yang diukur oleh akses terhadap lahan, infrastruktur, dan permintaan terhadap lahan dan faktor ketiga yang mempengaruhi konversi lahan adalah ketahanan pangan yang diukur melalui kesuburan lahan, pendapatan petani, dan produktivitas lahan.

Ada dua tipe hirarkhi, yaitu struktural dan fungsional hierarkhi. AHP dapat diimplementasikan ke dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan hierarkhi dan evaluasi hierarkhi. Pada tahap persiapan hierarkhi, terdapat tiga proses yaitu identifikasi tingkat dan elemen, definisi konsep, dan perumusan pertanyaan. Hasil analisis data berdasarkan persepsi baik dari para ahli masyarakat maupun masyarakat menyatakan bahwa aspek yang menyebabkan konversi lahan adalah aspek ketahanan pangan dengan skor 0.531, aspek lanskap dengan skor 0.253, dan aspek ekonomi dengan skor 0.271.Hal ini menunjukkan bahwa aspek

Page 30: 2289-5515-1-SP

21

ketahanan pangan berada pada tingkat pertama di Tomohon. Sektor pertanian dianggap kurang penting karena sektor tersebut hanya memiliki sedikit nilai tambah.

Dilihat dari aspek ekonomi, kriteria yang paling berpengaruh untuk konversi lahan di Tomohon adalah tingkat pendapatan petani dengan skor 0.134, kegiatan ekonomi dengan skor 0.052 dan harga tanah dengan skor 0.030. Hal ini menunjukkan bahwa petani dengan tingkat pendapatan yang tidak terlalu tinggi, cenderung membuat petani memilih untuk menjual tanah dan bekerja di sektor non-pertanian. Jika dilihat dari aspek lanskap, hal yang paling berpengaruh untuk konversi lahan di Tomohon adalah infrastruktur atau kedekatan dengan kondisi lahan yang memiliki skor 0.271, tingkat aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan dengan skor 0.130. Selain itu, jika dilihat dari aspek ketahanan pangan, kriteria yang paling tinggi menyebabkan konversi lahan adalah tingkat produktivitas lahan dengan skor 0.108, tingkat kesuburan tanah dengan skor 0.083, dan berbagai jenis makanan dengan skor 0.062. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengendalikan konversi lahan, aspek yang perlu diperhatikan adalah aspek kebijakan public dalam diversifikasi ekonomi dan strategi pembangunan kota yang sesuai dengan Kota Tomohon adalah strategi pengembangan ekowisata.

Analisis PustakaPenelitian ini dilakukan di Kota Tomohon, Sulawesi Utara pada bulan

April hingga Oktober 2011. Penelitian ini menggunakan teknik explanatory dengan responden adalah petani yang melakukan konversi lahan. Teknik sampling yang digunakan adalah proporsional random sampling dengan jumlah responden adalah 100 orang yang dipilih dari lima kabupaten, yaitu Kabupaten Utara, Selatan, Timur, Barat, dan Tengah Tomohon dengan 20 responden di masing-masing kabupaten. Metode analisis yang digunakan adalah metode kuantitatif. Analytic Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menentukan prioritas dari berbagai alternative strategi konversi lahan, sementara itu analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menguraikan proses dan dampak konversi. Penelitian ini sudah menjawab permasalahan penelitian dan sudah disertakan tabel sehingga memudahkan pembaca untuk memahami hasil penelitian.

11. Judul : Agricultural Land Conversion Drivers: A Comparison between Less Developed, Developing and Developed Countries

Tahun :2010Jenis Pustaka :JurnalBentuk Pustaka :ElektronikNama Penulis : H. Azadi, P.Ho, dan L.HasfiatiNama Editor :-Kota dan Nama Penerbit :-Nama Jurnal :Land Degradation and DevelopmentVolume (edisi): hal :03 (02):-

Page 31: 2289-5515-1-SP

22

Alamat URL : http://www.mearc.eu/resources/04ArtLandDegrDev2010.pdf

Tanggal Unduh :3 April 2015

Penelitian ini bertujuan untuk menguji tingkat intensitas, tren, dan faktor penggerak utama konversi lahan pertanian atau yang dikenal sebagai Agricultural Land Conservation (ALC) di seluruh dunia. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di 94 negara yang dipilih dalam tiga kelompok yang berbeda, yaitu kurang berkembang, sedang berkembang, dan negara-negara maju. ALC secara luas dilihat sebagai konsekuensi dari industrialisasi. Pertumbuhan penduduk mempengaruhi meningkatnya kebutuhan terutama di daerah perkotaan sehingga menuntut lebih banyak pasokan kebutuhan untuk masyarakat di perkotaan. Meningkatnya kebutuhan di perkotaan, mengakibatkan tanah di perkotaan menjadi langka dan lebih mahal. Oleh sebab itu, ALC menyebabkan dampak negatif untuk jangka panjang, seperti kehilangan lahan pertanian, perubahan pada produksi, pekerjaan dan infrastruktur. Urbanisasi dianggap sebagai ancaman bagi lahan pertanian di banyak negara. Di negara-negara berkembang, pertumbuhan ekonomi berlangsung sangat cepat sehingga struktur ekonomi cenderung bergeser ekonomi berbasis pertanian ke non-pertanian. Selain itu, perkembangan di sektor industry diyakini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi sehingga mempercepat konversi lahan pertanian. Beberapa kebijakan pemerintah mengenai industrialisasi juga muncul mendorong pengembangan kawasan industry untuk mengambil lahan pertanian di daerah pinggiran kota. Pengembangan zona ini mendorong investasi di bidang industrialisasi dan mendorong orang-orang untuk bermigrasi dan mencari peluang kerja baru, sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya tingkat konversi lahan dengan dibangunnya pemukiman, rekreasi, infrastruktur, dan jasa. ALC di negara berkembang cenderung tinggi, sementara di negara-negara maju tingkat ALC cenderung rendah. Sementara itu, tren ALC untuk ketiga kelompok negara meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa ALC akan berlanjut di masa depan jika tidak ada kebijakan dari pemerintah yang menghentikan ALC tersebut. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa urbanisasi bisa dianggap sebagai penyebab utama dari ALC, karena perkembangan wilayah perkotaan yang semakin cepat mengakibatkan banyaknya terjadi konversi lahan.

Analisis PustakaPenelitian ini dilakukan sebagai analisis time-series kuantitatif untuk

periode 1961-2003 dan data diperoleh dari negara yang kurang berkembang, sedang berkembang, dan negara maju dari dua database online, yaitu Nation Master dan Earth Trends Data Base. Pengambilan sample menggunakan stratified random sampling dengan sample dibagi tiga strata, yaitu kurang berkembang, sedang berkembang, dan negara maju. Ukuran sample dibagi secara proporsional dengan setiap strata menyumbang masing-masing 29, 46, dan 19 negara. Kelebihan penelitian ini adalah sudah menjawab permasalahan penelitian. Namun, kekurangan dari penelitian ini adalah data-data hanya diambil secara online tidak ada survey secara langsung dan data hanya ditampilkan dalam bentuk tabel tidak dengan grafik.

Page 32: 2289-5515-1-SP

23

RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN

Pembangunan Daerah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembangunan merupakan proses, cara, perbuatan membangun atau proses pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui pemerintah negara berkembang dan diturunkan kepada rakyat2. Pembangunan daerah merupakan sebuah proses mengembangkan sebuah wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Tujuan dari pembangunan adalah seluruh masyarakat dapat mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai. Nurhadi [tahun tidak diketahui] menjelaskan bahwa dilihat dari tingkat ekonominya, ada yang telah berkecukupan dan dapat menikmati pembangunan secara layak, namun tidak sedikit yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Perbedaan hasil pembangunan ini diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain: perbedaan sumberdaya yang dimiliki daerah, perbedaan kemampuan sumberdaya manusianya, tingkat penguasaan teknologi yang berbeda, dan kebijakan pemerintah terlalu mengutamakan pembangunan di Pulau Jawa, dan lain-lain. John Friedman dan Weaver (1979) dalam Nurhadi [tahun tidak diketahui] memandang pembangunan sebagai proses inovasi yang diskontinu tetapi kumulatif yang berasal dari sejumlah kecil pusat-pusat perubahan, yang terletak pada titik-titik informasi yang mempunyai potensi tertinggi. Pembangunan inovatif cenderung menyebar kebawah dan keluar dari pusat-pusat ke daerah yang memiliki potensi yang lebih rendah. Pembangunan daerah sebagai integral dari pembangunan nasional telah mendorong dan meningkatkan stabilitas, pemerataan, pertumbuhan, dan pengembangan daerah serta peran serta dan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan daerah bertujuan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan daerah, khususnya di kota dapat menimbulkan konflik-konflik antar stakeholder karena perebutan penguasaan lahan. Sementara itu, menurut Evers dan Korff (2002:303-304) menyatakan bahwa pergolakan di kota sering dalam bentuk konflik antara tuan tanah dan penyewa tanah seperti yang terjadi di Eropa pada akhir 1970-an dan awal 1980-an masih terus berlangsung sampai sekarang di kota-kota Asia Tenggara. Tekanan terhadap lahan kota tidak hanya meningkat karena pertumbuhan penduduk kota, melainkan juga karena kurangnya peluang-peluang alternatif untuk investasi. Sektor industri cenderung lamban dan pertumbuhan dikuasai oleh modal asing, maka investasi pada tanah menjadi salah satu cara utama untuk meraih sukses ekonomi. McTaggart (1966:189) dalam Evers dan Korff (2002: 299-300) dalam studinya di Noumea, ibukota Caledonia Prancis pada tahun 1880-1960 tentang perkembangan pemilikan lahan menyatakan bahwa “sudah menjadi ketentuan

2 http://kbbi.web.id/

Page 33: 2289-5515-1-SP

24

bahwa pengalihan lahan desa menjadi lahan kota mengakibatkan terpecahnya kepemilikan lahan” dan “apabila itu sudah terlaksana maka pola pemecahan kepemilikan lahan di kota tidak berubah-ubah lagi”.

Konversi Lahan

Konsep Konversi Lahan

Pembangunan desa menyebabkan lahan semakin berkurang karena terjadinya konversi lahan. Menurut Silaholo (2004) menyatakan bahwa konversi lahan adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian atau dari lahan non-pertanian ke lahan pertanian. Kegiatan ini dapat mencakup lahan pertanian, lahan kehutanan, perkebunan, hutan, wilayah pesisir, dan lain-lain sehingga konversi lahan dapat mencakup lahan produktif maupun non-produktif. Konversi lahan memiliki beragam pola yang tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan. Hal ini dijelaskan oleh Soemaryanto, et al (2001) memaparkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu pertama, menurut pelaku konversi yang dibedakan menjadi alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan dan alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Kedua, berdasarkan faktor pokok konversi, pelaku, pemanfaat, dan prosesnya.

Menurut Agus (2004) menjelaskan bahwa konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh manusia bukan suatu proses alami. Sementara itu, Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) menjelaskan bahwa konversi lahan sawah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan karena seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian dari tahun ke tahun. Sawah bukan hanya sebagai faktor produksi dalam proses produksi pangan, namun menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan oleh petani. Beberapa penelitian menyatakan bahwa luas lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin berkurang. Hal ini dikarenakan konversi lahan yang terjadi merupakan alih fungsi lahan dari pertanian ke non-pertanian, sedangkan alih fungsi lahan dari non-pertanian menjadi pertanian sangat langka terjadi. Konversi lahan menurut Soemarmo (2013a) adalah berbuahnya fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak negative terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Misalnya adalah berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi lahan pemukiman. Selain itu, terdapat dua jenis proses konversi lahan sawah, yaitu konversi sawah yang langsung dilakukan oleh petani pemilik lahan dan yang dilakukan oleh bukan petani lewat proses penjualan. Konversi yang dilakukan oleh bukan petani lahan lebih banyak dibandingkan dengan konversi yang dilakukan oleh petani pemilik lahan.

Soemarmo (2013b) juga menyatakan ada empat informasi dalam hal konversi lahan sawah, yaitu:

1) Konversi lahan sawah tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga terjadi di luar Jawa;

Page 34: 2289-5515-1-SP

25

2) Konversi lahan sawah di Jawa jauh lebih besar dibandingkan wilayah lainnya dan dari periode ke periode cenderung terus meningkat;

3) Pada periode pasca krisis ekonomi (1997-2000) baik secara nasional, maupun pada beberapa wilayah, konversi lahan sawah meningkat tajam; dan

4) Secara nasional selama periode 1979-2000 konversi lahan sawah netto bernilai positif, artinya pencetakan sawah baru lebih luas dari konversi lahan sawah.

Faktor-faktor yang Mendorong Konversi Lahan

Konversi lahan pertanian merupakan suatu hal yang sudah sering terjadi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Berbagai cara dan kebijakan sudah dilakukan pemerintah untuk menghentikan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Menurut Zain et al. kebutuhan pembangunan lahan terbangun (konversi lahan) terjadi untuk memenuhi kebutuhan pemukiman di kawasan sub urban, pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan, rel kereta api, dan pengembangan jaringan jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, serta dibangunnya sarana dan prasarana pendidikan. Pola perkembangan lahan terbangun yang terus dipacu dan membentuk pola tak terkendali akan memberikan dampak buruk terhadap kelangsungan aktivitas pertanian perkotaan. Selain itu, menurut Silaholo (2004), faktor yang menyebabkan konversi lahan terbagi menjadi dua, yaitu:

- Aras makro, terdiri dari pertumbuhan industri, pertumbuhan pemukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan marginalisasi ekonomi.

- Aras mikro, terdiri dari pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga), strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga).

Soemarmo (2013) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab konversi lahan yang lazim terjadi secara mikro adalah kecepatan faktor pertambahan penduduk yang menyebabkan semakin meningkat setiap tahunnya; faktor ekonomi yang identik dengan masalah kemiskinan; faktor luar, yaitu pengaruh warga dari daerah perbatasan yang menjual tanah kepada pihak swasta; adanya penanaman modal swasta dengan membeli lahan-lahan produktif milik warga; proses pengalihan pemilik lahan dari warga ke swasta dan ke orang lain yang menguasai lahan dalam luasan lebih dari 10 hektar; dan intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Dikaitkan dalam beberapa kasus penelitian di lapangan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Azadi et al. (2010) yang dilaksanakan di 94 negara yang dipilih dalam tiga kelompok berbeda, yaitu kurang berkembang, sedang berkembang, dan negara-negara maju. Faktor penggerak utama konversi lahan pertanian adalah industrialisasi, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengembangan kawasan industrialisasi. Menurut Benu et al (2013) dalam penelitiannya menyatakan terdapat tiga faktor yang mengakibatkan konversi lahan di Kota Tomohon. Faktor pertama adalah faktor

Page 35: 2289-5515-1-SP

26

ekonomi yang diukur melalui pendapatan petani, harga lahan, dan aktivitas ekonomi. Selain itu, faktor kedua adalah faktor landskap yang diukur oleh akses terhadap lahan, infrastruktur, dan permintaan terhadap lahan. Sedangkan faktor ketiga adalah ketahanan pangan yang diukur melalui kesuburan lahan, pendapatan petani, dan produktivitas lahan.

Dampak Konversi Lahan

Pada bab sebelumnya dijelaskan mengenai pengertian konversi lahan dan faktor-faktor yang mendorong konversi lahan. Transformasi wilayah meningkatkan kebutuhan di perkotaan dan mengakibatkan meningkatnya konversi lahan di perkotaan sehingga memberikan dampak bagi wilayah tersebut. Soemarmo (2013) menjelaskan konversi lahan berimplikasi pada perubahan struktur agrarian, beberapa perubahan yang terjadi, yaitu:

- Perubahan pola penguasaan tanah yang dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain.

- Perubahan pola penggunaan tanah yang dapat diketahui dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agrarian tersebut.

- Perubahan pola hubungan agraria - Perubahan pola nafkah agraria yang dikaji berdasarkan sistem mata

pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian.

- Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan semakin menurun).

Seperti contoh penelitian yang dilaksanakan oleh Hidayat et al. (2012) di Jalan Karya Manuntung RT 1 Kelurahan Landasan Ulin Barat menyatakan bahwa setelah konversi lahan, terciptanya pekerjaan di sektor pertanian dan non-pertanian. Selain itu, jumlah pendapatan petani ada yang meningkat, tetap, dan menurun. Konversi lahan juga memiliki dampak terhadap lingkungan, yaitu dibangunnya perumahan yang menyebabkan terhambatnya saluran irigrasi dan mengakibatkan hanya setengah lahan pertanian yang bisa ditanami. Lahan semakin sempit menyebabkan sulitnya terealisasi menjadi pemasok sayur-sayuran. Penelitian serupa dilakukan oleh Lestari dan Dharmawan (2011) di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua yang menyatakan bahwa konversi lahan pertanian memberikan dampak negatif terhadap aspek sosio-ekonomis seperti penguasaan lahan, kesempatan kerja, perubahan pola kerja, kondisi tempat tinggal, dan hubungan antar warga. Sedangkan dampak sosio-ekologi terlihat dengan adanya perubahan pada akses rumah tangga terhadap air, cara membuang limbah rumahtangga dan degradasi lingkungan.

Menurut Benu et al. (2013) di Kota Tomohon menyatakan bahwa pada aspek ekonomi konversi lahan diukur oleh tingkat pendapatan petani, kegiatan ekonomi, dan harga tanah. Dilihat dari aspek lanskap, hal yang paling berpengaruh untuk konversi lahan diukur oleh infrastruktur atau kedekatan dengan kondisi lahan, aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan. Selain itu, dari aspek ketahanan pangan diukur oleh tingkat produktivitas lahan, tingkat kesuburan tanah, dan berbagai jenis makanan.

Page 36: 2289-5515-1-SP

27

Transisi Agraria dan Arah Transformasi

Konsep Transisi Agraria dan Arah Transformasi

Transisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti peralihan suatu keadaan3. Sementara agraria berasal dari bahasa latin, yaitu ager yang berarti kawasan pedusunan, wilayah, tanah negara, serta agrarius yang berarti perladangan, persawahan, dan pertanian. Istilah agraria tidak hanya tentang tanah, tetapi peralihan status wilayah, peralihan mata pencaharian yang awalnya petani merupakan termasuk permasalahan agrarian. Agraria menunjuk pada beragam hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria (tanah, air) dan hubungan antara manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria4. Konsep transisi dapat dimaksudkan sebagai peralihan fase tradisional menjadi modern. Transisi dari fase perkotaan tradisional ke fase industry modern berlangsung pertama kali saat Revolusi Industri di Amerika Utara dan Eropa sekitar 150 hingga 200 tahun yang lalu. Perkembangan kota pada fase ini berkaitan dengan struktur ekonomi, yaitu dorongan proses transformasi ekonomi dari sektor pertanian (primer) dengan produktivitas rendah di wilayah pedesaan menuju sektor industri (sekunder) dan jasa (tersier) dengan produktivitas lebih tinggi di wilayah perkotaan (Nugroho dan Dahuri 2012). Selain itu, menurut penelitian Setiawati (2011) transisi agraria juga terjadi di wilayah Kasultanan Yogyakarta pada 1927, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII mengubah nama wilayah administratif. Mulanya, terdapat enam kabupaten di wilayah Kasultanan Yogyakarta, yaitu Kulonprogo, Mataram/Yogyakarta, Bantul, Sleman, Kalasan, dan Gunungkidul. Namun, setelah naik tahta, Sultan Hamengku Bowono IX mengeluarkan Rijksblad van Jogjakarta 1940 No. 13 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta menjadi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Yogyakarta yang terdiri dari Distrik Kota dan Distrik Sleman. Kabupaten kedua adalah Kabupaten Bantul yang terdiri dari Distrik Bantul, Distrik Godean, Distrik Kotagede, dan Distrik Pandah. Ketiga adalah Kabupaten Kulonprogo yang terdiri Distrik Sentolo dan Distrik Nanggulan. Kabupaten keempat adalah Kabupaten Gunungkidul yang terdiri atas Distrik Wonosari, Distrik Playen, dan Distrik Semanu.

Perubahan bentang alam dan status wilayah mengakibatkan terjadinya transisi (pergeseran) dan menimbulkan sebuah arah perubahan yang mengakibatkan penurunan atau peningkatan kualitas. Arah perubahan ini disebut

3 Pengertian Transisi. [Internet]. [dikutip 7 Juni 2014]. Dapat dikutip dari: http://kbbi.web.id/transisi. 4 Sunito, Satyawan. 2012-2013. Slide Bahan Kuliah Kajian Agraria. Bogor [ID]: IPB.

Page 37: 2289-5515-1-SP

28

dengan trannsformasi. Transformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya)5. Menurut Wiradi (1990) dalam Abdulloh (2002) transformasi adalah suatu proses perubahan bentuk: dari bentuk yang satu menjadi bentuk yang lain. transformasi daerah adalah perubahan status wilayah dari kabupaten menjadi kota yang awalnya desa merupakan salah satu wilayah di kabupaten berubah menjadi bagian di wilayah perkotaan. Proses transformasi mengandung tiga unsur penting, yaitu perbedaan merupakan aspek yang sangat penting dalam proses transformasi karena dengan perbedaan dapat dilihat perwujudan dari sebuah proses transformasi; konsep ciri atau identitas yang merupakan acuan di dalam suatu proses transformasi, baik ciri sosial, ekonomi, atau ciri penampilan sesuatu; proses transformasi selalu bersifat historis yang terikat pada satuan waktu yang berbeda (Abdullah, 1994 dalam Giyarsih, 2012).

Menurut Hardati (2011), faktor-faktor yang mendorong terjadinya transformasi wilayah peri urban adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk non alami yang tinggi, mata pencaharian penduduk yang didominasi oleh sektor di luar sektor pertanian, luas lahan terbangun yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan non-pertanian seperti pemukiman, industri, jasa, infrastruktur, dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi dan budaya. Transformasi wilayah atau daerah berdampak ke berbagai bidang. Contohnya adalah pada penelitian Giyarsih (2009) yang menunjukkan bahwa transformasi wilayah memiliki dampak terhadap kondisi kultural penduduk yang berupa adat-istiadat dalam peristiwa kehamilan, kelahiran, peralihan masa anak-anak ke dewasa, perkawinan, dan kematian dari adat-istiadat kompleks ke arah adat-istiadat yang lebih sederhana. Selain itu, Nurjanah dan Purwandari (2012) juga menyatakan bahwa alih fungsi lahan atau konversi lahan merupakan potensi pemicu transformasi desa-kota karena pada Desa Kertawangunan, masyarakat cenderung menjual lahannya kepada pemerintah daerah dengan motif untuk menambah modal usaha ataupun uang hasil jual tanah digunakan untuk membeli tanah kembali di daerah lain.

Selain itu, adanya perkebunan swasta di Yogyakarta menyebabkan penduduk Eropa dan Tionghoa meningkat. Sejak kaum bangsawan istana menyewakan tanah jabatannya di sekitar Benteng Vredeburg, kaum Eropa dan Tionghoa bermukin di daerah perkotaan. Golongan Eropa kemudian mengembangkan pemukimannya di utara kota sehingga disebut dengan nama Kotabaru. Perkembangan permukiman ini menyebabkan munculnya modernisasi Kota Yogyakarta dalam pengembangan infrastruktur seperti jalan umum, jembatan, dan sebagainya. Jenis matapencaharian penduduk kota meliputi pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian, pengangkutan, dan di bidang jasa lainnya. Munculnya inflasi di tahun 1930 menyebabkan ekonomi masyarakat Yogyakarta mengalami kemandegan (stagnasi) sehingga menurunkan produksi komoditas dan kebutuhan pokok. Hal ini juga menyebabkan harga-harga kebutuhan naik sehingga menyebabkan pegadang menjadi kaya, namun buruh upahan, pegawai keratin, dan pegawai negeri terpukul karena tidak adanya keseimbangan antara kenaikan harga dengan kenaikan upah dan gaji (Setiawati 2011).

5 http://kbbi.web.id/transformasi: diunduh pada tanggal 22 Oktober 2014.

Page 38: 2289-5515-1-SP

29

Pergeseran Mata Pencaharian

Konversi lahan pertanian memberikan dampak yang beragam terhadap mata pencaharian masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mata pencaharian adalah pekerjaan atau pencaharian pertama yang dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, penjelasan mengenai mata pencaharian dijelaskan di bawah ini:

“The livelihood perspective on rural change and development framework can be viewed as a critical response to the conceptualisation of development as a process that can be managed from above and one that hinges on intervention and the transfer of resources” (Long.N 2001, www.livelihood.com dalam Prambudi 2010a).

Perspektif mata pencaharian dalam pembangunan dan perubahan desa dapat dilihat sebagai tanggapan kritis terhadap pengembangan konseptual sebagai proses yang dapat diatur dari bawah dan salah satu yang berhubungan dalam campur tangan dan pemindahan sumber daya (Long. N 2001, www.livelihood.com dalam Prambudi 2010b). Mata pencaharian memiliki lima ciri, yaitu kegiatan yang menghasilkan energi, kegiatan yang memberikan sumbangan terhadap produksi barang dan jasa, kegiatan yang mencerminkan status sosial, kegiatan yang memberikan status sosial, dan kegiatan yang memberikan hasil langsung berupa uang, natura maupun curahan waktu (Sajogyo 1985 dalam Harnanto 2003).

Perubahan mata pencaharian menurut Prambudi (2010) dapat disebut sebagai transformasi pekerjaan, yaitu pergeseran atau perubahan dalam pekerjaan pokok yang dilakukan manusia untuk hidup dan sumberdaya tersedia untuk membangun kehidupan yang memuaskan (peningkatan taraf hidup). Seperti contoh penelitian yang dilakukan oleh Kurnianingsih dan Rudiarto (2014) di Kecamatan Kartasura yang menyatakan bahwa perubahan lahan mengakibatkan mata pencaharian di sektor pertanian menurun dan terjadi peningkatan di sektor non-pertanian. pergeseran mata pencaharian dari sektor pertanian kearah non-pertanian sebesar 4,36%. Berbeda dengan penelitian di Kecamatan Kartasura, penelitian yang dilaksanakan di Desa Nian Kecamatan Miomafo Tengah Kabupaten Timor Tengah Utara oleh Mbawo (2014) menyatakan bahwa kegiatan penambangan memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat. Pekerjaan di sektor pertanian lebih dominan dilakukan oleh kepala rumah tangga yang dibantu dengan istrinya sedangkan sebagian besar anak-anak bekerja di tempat lain, seperti pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum pria mulai dari menggali, menyortir, mencuci, dan mengeringkan, sedangkan kaum wanita bekerja tidak terlalu berat seperti menyortir. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan perubahan mata pencaharian akibat penambangan.

Kesejahteraan

Setiap kehidupan manusia bertujuan untuk mencapai kesejahteraan, dan transisi mengatur arah perubahan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Page 39: 2289-5515-1-SP

30

No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Tingkat kesejahteraan rumah tangga dapat dilihat dari tipe-tipe rumah tangga. Ada tiga tipe rumah tangga6, yaitu:

1. Rumah tangga survival yaitu rumah tangga yang pendapatannya hanya cukup untuk makan. Rumah tangga ini menggunakan porsi terbesarnya untuk konsumsi.

2. Rumah tangga konsolidasi yaitu rumah tangga yang pendapatannya sudah dapat dibelikan untuk kebutuhan sandang, seperti pakaian.

3. Rumah tangga akumulasi yaitu rumah tangga yang pendapatannya dapat dibelikan untuk kebutuhan sandang maupun tersier, seperti pakaian, televisi, motor, dan lain-lain.

Kesejahteraan memiliki indikator untuk mengukur sejauhmana keluarga atau masyarakat sudah sejahtera. Indikator kesejahteraan rakyat, adalah (BPS 2014):

a. Kependudukanb. Kesehatan dan gizic. Pendidikand. Ketenagakerjaane. Taraf dan pola konsumsif. Perumahan dan lingkungang. Kemiskinanh. Sosial lainnyaTransformasi daerah mengakibatkan pembangunan daerah yang

menyebabkan konversi lahan pertanian. Penduduk yang awalnya bekerja sebagai petani, harus berganti mata pencaharian akibat lahannya dijual, atau dibangun. Konversi lahan ini mempengaruhi kesejahteraan penduduk. Seperti contoh penelitian yang dilakukan di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua Bogor oleh Lestari dan Dharmawan (2011) yang menyatakan bahwa konversi lahan pertanian mengakibatkan rata-rata pendapatan di Desa Tugu Utara tergolong rendah. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan di Desa Tugu Utara. Hasil penelitian serupa yang dilaksanakan oleh Sitorus et al. (2007) yang menunjukkan bahwa berkurangnya peluang petani untuk meningkatkan kesejahteraan karena semakin banyaknya kebutuhan pokok yang harus dibeli di pasar.

6 Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA pada tanggal 15 Oktober 2014

Page 40: 2289-5515-1-SP

31

KESIMPULAN

Analisis dan Sintesis

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 paragraf keempat bagian ketiga tentang Perubahan Status Desa menyatakan bahwa perubahan status desa meliputi desa menjadi kelurahan, kelurahan menjadi desa, dan desa adat menjadi desa. Perubahan status desa menjadi kota menyebabkan munculnya pembangunan di daerah tersebut dan penduduk cenderung bertambah. Pembangunan daerah ini dilakukan oleh pemerintah daerah agar seluruh masyarakat di daerah yang dimaksud mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai. Pembangunan daerah merupakan salah satu penyebab dari transformasi daerah atau wilayah. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya transformasi wilayah peri urban adalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk non alami yang tinggi, mata pencaharian penduduk yang didominasi oleh sektor di luar sektor non pertanian, luas lahan terbangun yang sebagian besar digunakan untuk kegiatan non-pertanian seperti pemukiman, industri, jasa, infrastruktur, dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi dan budaya (Hardati 2011).

Transformasi wilayah menyebabkan kebutuhan terhadap lahan semakin tinggi sehingga mengakibatkan konversi lahan di wilayah tersebut. Lahan dibangun untuk infrastruktur, perumahan, industry, dan lain-lain. Menurut Nurjanah dan Purwandari (2012) menyatakan bahwa alih fungsi lahan atau konversi lahan merupakan potensi pemicu transformasi desa-kota, contohnya pada Desa Kertawangunan, masyarakat cenderung menjual lahannya kepada pemerintah daerah dengan motif untuk menambah modal usaha ataupun uang hasil jual tanah digunakan untuk membeli tanah kembali di daerah lain. Konversi lahan tidak dapat dihindari, karena terkait oleh beberapa faktor yang mendorong konversi lahan. Menurut Silaholo (2004), faktor yang menyebabkan konversi lahan terbagi menjadi dua, yaitu: aras makro, terdiri dari kebijakan pemerintah yang memberikan iklim kondusif bagi transformasi peruntukan suatu kawasan dan pertumbuhan penduduk alamiah dan non-alamiah (migrasi masuk lebih tinggi daripada migrasi keluar); dan aras mikro, terdiri dari keterdesakan ekonomi, investasi pihak pemodal, proses alih hak milik atas tanah, dan proses pengadaan tanah.

Konversi lahan memberikan dampak yang dirasakan oleh masyarakat khususnya petani atau pelaku konversi lahan. Soemarmo (2013) menjelaskan konversi lahan berimplikasi pada perubahan struktur agrarian, beberapa perubahan yang terjadi, yaitu perubahan pola penguasaan tanah yang dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain; perubahan pola penggunaan tanah yang dapat diketahui dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumberdaya agrarian tersebut, perubahan pola hubungan agrarian, perubahan pola nafkah agraria yang dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian; dan perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan semakin menurun). Namun, konversi lahan tidak hanya membuat

Page 41: 2289-5515-1-SP

32

pendapatan semakin menurun, tetapi juga berdampak positif terhadap perekonomian masyarakat. Sebagai contoh pada Kasus di Desa Nian Kecamatan Miomafo Tengah Kabupaten Timor Tengah Utara, peningkatan penghasilan per bulan penduduk yang sebelumnya Rp 500.000, menjadi Rp 1000.000 setelah adanya kegiatan pertambangan. Hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan penduduk setiap harinya membuat masyarakat melihat adanya peluang untuk meningkatkan pendapatan dan terbukanya lapangan pekerjaan untuk penduduk lokal. Namun, peningkatan pendapatan memiliki hubungan yang positif dengan rata-rata per bulan masyarakat yang meningkat 50%, yaitu sebelumnya rata-rata pengeluaran kurang dari Rp 500.000,- dan sesudah ada perusahaan tambang menjadi Rp 1.000.000,-. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan tidak hanya berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat melainkan juga berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

Kerangka Analisis

Pembangunan daerah merupakan salah satu penyebab dari transformasi daerah. Hal ini menyebabkan kepadatan penduduk semakin meningkat sehingga kebutuhan terhadap lahan semakin meningkat dan mengakibatkan konversi lahan. Faktor-faktor mendorong konversi lahan terdiri dari dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh tingkat pendapatan petani dan kebutuhan ekonomi petani, sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi, peningkatan jumlah penduduk, adanya kebijakan pemerintah sehingga terjadi peningkatan investasi swasta dan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan akan lahan. Konversi lahan mengakibatkan perubahan mata pencaharian masyarakat yang awalnya di sektor pertanian menjadi bekerja di sektor non-pertanian. Perubahan mata pencaharian ini berimplikasi terhadap tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh rumah tangga petani dan dapat dilihat dari perubahan tingkat kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, kemiskinan, dan sosial lainnya. Secara ringkas kerangka analisis disajikan pada gambar dibawah ini.

Arah Transformasi: Kesejahteraan

- Tingkat Kependudukan- Tingkat Kesehatan dan gizi- Tingkat Pendidikan- Tingkat Ketenagakerjaan- Tingkat Taraf dan pola konsumsi- Tingkat Perumahan dan lingkungan- Tingkat Kemiskinan- Tingkat Sosial lainnya

Transisi Agraria

- Tingkat Pergeseran Mata Pencaharian (sebelum dan setelah menjadi Kota Bogor)

Konversi Lahan

- Faktor-faktor yang mendorong konversi lahan

Pembangunan Daerah

-Transformasi Daerah

Page 42: 2289-5515-1-SP

33

Keterangan:

Hubungan pengaruh Kuantitatif

Hubungan sebab Kualitatif

Penelitian secara deskriptif

Gambar 1. Kerangka Analisis

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kerangka analisis yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:1. Apakah mata pencaharian bertani masyarakat Desa Kayumanis bergeser pasca Bogor

menuju kota metropolitan?2. Apa saja faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan?3. Bagaimana implikasi transisi agrarian (perubahan mata pencaharian) terhadap tingkat

kesejahteraan rumah tangga?

Page 43: 2289-5515-1-SP

34

DAFTAR PUSTAKA

Agus F. 2004. Konversi dan Hilangnya Multifungsi Lahan Sawah [ulasan]. Balai Penelitian Tanah [Internet]. [Diunduh tanggal 3 April 2015]. Dapat diunduh dari: http://www.litbang.pertanian.go.id/artikel.php/one/43/pdf/Konversi%20dan%20Hilangnya%20Multifungsi%20Lahan%20Sawah.pdf.

Astuti NB, Kolopaking LM, Pandjaitan NK. 2009. Dilema dalam Transformasi Desa Ke Nagari: Studi Kasus di Kenagarian IV Kota Palembayan, Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 10 Maret 2015]; 03(02):153-172. Dapat diunduh dari: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCEQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjournal.ipb.ac.id%2Findex.php%2Fsodality%2Farticle%2Fdownload%2F5868%2F4533&ei=vKANVfLlF4uJuwTylYCIBQ&usg=AFQjCNGOTXPjetu1xbhyQp8JPEcIpHjQ2Q.

Azadi H, Ho P, Hasfiati L. 2010. Agricultural Land Conversion Drivers: A Comparison between Less Developed, Developing and Developed Countries [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 3 April 2015]; 03 (02):-. Dapat diunduh dari: http://www.mearc.eu/resources/04ArtLandDegrDev2010.pdf.

Benu MN, Maryunani, Sugiyanto, Kindangen P. 2013. Analysis of Land Conversion and Its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia. Asian Transactions on Basic and Applied Sciences [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 3 April 2015]; 03 (02): 65-72. Dapat diunduh dari: www.asian-transactions.org/Journals/Vol03Issue02/ATBAS/ATBAS-40329021.pdf .

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2014. Indikator Kesejahteraan Rakyat. [Internet]. [Diunduh tanggal 3 April 2015]. Dapat diunduh dari: http://www.bps.go.id/index.php/publikasi/883#.

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2010. Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Provinsi. [Internet]. [Dikutip tanggal 3 April 2015]. Dapat dikutip dari: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267.

Page 44: 2289-5515-1-SP

35

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2010. Persentase Penduduk Daerah Perkotaan Menurut Provinsi. [Internet]. [Dikutip tanggal 3 April 2015]. Dapat dikutip dari: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1276 .

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Rumah Tangga dan Rata-rata Banyaknya Anggota Rumah Tangga Menurut Provinsi. [Internet]. [Dikutip tanggal 3 April 2015]. Dapat dikutip dari: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1283.

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Menurut Provinsi [Internet]. [Dikutip tanggal 3 April 2015]. Dapat dikutip dari: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/981.

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah Kabupaten Menurut Provinsi [Internet]. [Dikutip tanggal 3 April 2015]. Dapat dikutip dari: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1166.

[BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah Kecamatan Menurut Provinsi [Internet]. [Dikutip tanggal 3 April 2015]. Dapat dikutip dari: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1161.

Evers HD, Korff R. 2002. Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial. Zulfahmi, penerjemah; Zed M, editor. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Southeast Asia Urbanism: The Meaning and Power of Social Space.

Giyarsih SR. 2012. Dampak Transformasi Wilayah terhadap Kondisi Kultural Penduduk (Tinjauan Perspektif Geografis). Forum Geografi [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 3 April 2015]; 26 (02): 120-131. Dapat diunduh dari: https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/2581/Fg-2-Dampak%20Transformasi%20Wilayah.pdf?sequence=1.

Hardati P. 2011. Transformasi Wilayah Peri Urban: Kasus di Kabupaten Semarang. Jurnal Geografi [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 3 April 2015]; 08 (02): 108-117. Dapat diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/viewFile/1661/1868.

Harnanto S. 2003. Perubahan Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir Kabupaten Gunung Kidul (Kasus Pantai Baron dan Sadeng) [tesis]. Bogor [ID]:Insititut Pertanian Bogor.

Hidayat AH, Hanafie U, Septiana N. 2012. Dampak Konversi Lahan Pertanian bagi Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru. Jurnal Agribisnis Pedesaan [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 10 Maret 2015]; 02(02):95-107. Dapat diunduh dari: http://ejournal.unlam.ac.id/index.php/agrides/article/view/224.

Page 45: 2289-5515-1-SP

36

[KBBI]. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pembangunan. [Internet]. [Dikutip tanggal 3 April 2015]. Dapat dikutip dari: http://kbbi.web.id/pemnbangunan.

[KBBI]. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pembangunan Transisi. [Internet]. [Dikutip tanggal 7 Juni 2014]. Dapat dikutip dari: http://kbbi.web.id/transisi.

[KBBI]. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Transformasi. [Internet]. [Dikutip tanggal 22 Oktober 2014]. Dapat dikutip dari: http://kbi.web.id/transformasi.

Kurnianingsih NA, Rudiarto I. 2014. Analisis Transformasi Wilayah Peri-Urban pada Aspek Fisik dan Sosial Ekonomi (Kecamatan Kartasura). Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 3 April 2015]; 10 (03): 265-277. Dapat diunduh dari: http://ejournal.undip.ac.id/index.php /pwk/article/viewFile/7784/6380.

Lestari A, Dharmawan AH. 2011. Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 10 Maret 2015]; 05(01):1-12. Dapat diunduh dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewFile/5835/4500.

Mbawo SF. 2014. Dampak Transformasi Mata Pencaharian terhadap Kondisi Ekonomi dan Sosial Masyarakat (Studi Kasus pada Usaha atau Kegiatan Penambangan Mineral Logam Mangan di Wilayah IUP PT. Bun Yan Hasanag di Desa Nian Kecamatan Miomafo Tengah Kabupaten Timor Tengah Utara). Jurnal Tata Loka [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 3 April 2015]; 16 (03): 181-193. Dapat diunduh dari: http://www.indo-planning-journals.com/index.php/tataloka/article/view/168/78.

Nugroho I, Dahuri R. 2012. Pembangunan Wilayah (Perspektif Ekonomi, Sosial, Lingkungan). Jakarta (ID): LP3ES.

Nurhadi. [tahun tidak diketahui]. Konsep Teori Pembangunan Pusat Pinggiran dalam Kajian Geografi [ulasan]. [Internet]. [Dapat diunduh tanggal 5 April 2015]. Dapat diunduh dari: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2FTEORI%2520PEMB.pdf&ei=h21LVebCKs6fugT6m4C4Cw&usg=AFQjCNGURZvg9504J5y2RM82RoELg--bxg&sig2=riIEHOJoqDACoeehrqKA1A&bvm=bv.92765956,d.c2E.

Nurjanah EN, Purwandari H. 2012.Alih Fungsi Lahan: Potensi Pemicu Transformasi Desa-Kota (Studi Kasus Pembangunan Terminal Tipe A “Kertawangunan”).

Page 46: 2289-5515-1-SP

37

JSEP [Internet]. Jurnal. [Diunduh tanggal 3 April 2015]; 06 (03): 53-68. Dapat diunduh dari: http://jurnal.unej.ac.id/index.php/JSEP/article/viewFile/810/625.

[PPRI] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. [Internet]. [Diunduh tanggal 3 April 2015]. Dapat diunduh dari: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.hukumonline.com%2Fpusatdata%2Fdownloadfile%2Flt53a7ffb892775%2Fparent%2Flt53a7ff51a08a7&ei=fhU9Vcf3McijugS5-IDIDQ&usg=AFQjCNHQ3j1SeSqhn9gIzUMm1fn4TpycKA&sig2=qJVORfQsk3Wc1zeisUDwZw&bvm=bv.91665533,d.c2E.

Prambudi I. 2010. Perubahan Mata Pencaharian dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Hubungan Perubahan Mata Pencaharian dengan Nilai Sosial Budaya Masyarakatdi Desa Membalong, Kecamatan Membalong, Belitung) (skripsi). [Internet]. [Diunduh tanggal 3 April 2015]. Dapat diunduh dari: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Feprints.uns.ac.id%2F7241%2F1%2F125940308201008351.pdf&ei=WoVLVYHrLczHuATEg4H4Bw&usg=AFQjCNHrUGL-KssvoQhod_9CHCKGVDc0Qg&sig2=gf4AhZZDOd4dRPRKbuoIkA&bvm=bv.92765956,d.c2E.

Riyadi DMM. [tahun tidak diketahui]. Pembangunan Daerah melalui Pengembangan Wilayah. Bappenas [Internet]. [Diunduh tanggal 5 April 2015]. Dpat diunduh dari: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Ffiles%2F2913%2F5228%2F1449%2Fbangda-bangwil1__20091008103033__2165__1.pdf&ei=b39LVbq0D4mcugS_5YCYDg&usg=AFQjCNF_HJKdwxw8mn1lYmnzhYTDxW3XfA&sig2=yTqZbup6HfMYbSCIe6A1kw&bvm=bv.92765956,d.c2E.

Setiawati NA.2011. Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat: Pola Pemilikan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi 1917. Salim MN, editor. Yogyakarta (ID): STPN Press

Silaholo M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan , Kota Bogor, Jawa Barat. [Thesis]. Bogor [ID]:Institut Pertanian Bogor.

Page 47: 2289-5515-1-SP

38

Sitorus MTF, Dharmawan AH, Fadjar U, APUI, Agusta I, Sihaloho M. 2007. Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani. Ringkasan Eksekutif Hasil-Hasil Penelitian [Internet]. [Diunduh tanggal 10 Maret 2015]. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7187.Soemarmo. 2013. Konversi Lahan [ulasan]. Mk Landuse Planning and Land Management [Internet]. [Diunduh tanggal 3 April 2015]. Dapat diunduh dari: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fmarno.lecture.ub.ac.id%2Ffiles%2F2013%2F11%2FKONVERSI-LAHAN1.docx&ei=c6I4VdXjGpKIuASD2oHAAQ&usg=AFQjCNFffgpi-ekk_HzYtMqZVNnyOZYgOQ&sig2=u9qnShXA0bNYNLCWqseBNw

Sudaryanto T, Susilowati SH, Sumaryanto. 2009. INCREASING NUMBER OF SMALL FARMS IN INDONESIA: CAUSES AND CONSEQUENCES. 111 EAAE-IAAE Seminar ‘Small Farms: decline or persistence’ [Internet]. [Diunduh tanggal 5 April 2015]. Dapat diunduh dari: http://www.academia.edu/9952739/INCREASING_NUMBER_OF_SMALL_FARMS_IN_INDONESIA_CAUSES_AND_CONSEQUENCES.

Soemarmo. 2013. Konversi Lahan [ulasan]. Mk Landuse Planning and Land Management [Internet]. [Diunduh tanggal 3 April 2015]. Dapat diunduh dari: https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fmarno.lecture.ub.ac.id%2Ffiles%2F2013%2F11%2FKONVERSI-LAHAN1.docx&ei=c6I4VdXjGpKIuASD2oHAAQ&usg=AFQjCNFffgpi-ekk_HzYtMqZVNnyOZYgOQ&sig2=u9qnShXA0bNYNLCWqseBNw

Sumaryanto dan Sudaryanto T. 2005. Prosiding seminar penanganan konversi lahan dan pencapaian lahan pertanian: Pemahaman dampak negatif konversi lahan sawah sebagai landasan perumusan strategi pengendaliannya. Dalam: Sunito S, Purwandari H, Mardiyaningsih DI, editor. abadi. 22-36 hal.

Sunito, S. 2012-2013. Slide Bahan Kuliah Kajian Agraria. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[UU]. Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1974. [Internet]. [Diunduh tanggal 3 April 2015]. Dapat diunduh dari: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_6_1974.htm.

Wirayuda, AW. 2011. Dari Klaim Sepihak hingga Land Reform Konflik Penguasaan Tanah di Surabaya 1959-1967. STPN Press. Yogyakarta [ID].

Page 48: 2289-5515-1-SP

39

Zain AFM, Syahban G, Ermyanyla M. 2013. Analisis Perubahan Peruntukan Lahan Pertanian Perkotaan (Urban Agriculture) menjadi Non Pertanian di Kota Depok. Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI) [Internet]. [Diunduh tanggal 3 April 2015]. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/43762/Agus%20Ruswandi.pdf?sequence=1

RIWAYAT HIDUP

Astrid Putri Indirawardani dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Mei 1994. Penulis adalah anak ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Jumaini Achmad dan Pristiwayani Purnama Dewi. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis adalah SDN Semplak 2 pada periode 2000-2006, SMP Negeri 1 Bogor periode 2006-2009, dan SMA Negeri 9 Bogor periode 2009-2012. Pada tahun 2012, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur UTM (Ujian Talenta Mandiri).

Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti berbagai macam kegiatan dan organisasi di kampus. Penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat sebagai anggota pengurus divisi Public Relation pada periode 2013-2014, dan menjadi Direktur dari divisi Public Relation pada periode 2014-2015. Selain itu, penulis pernah menjadi Penanggung Jawab dalam acara KPM Garang (KPM Gabung Antar Angkatan) pada tahun 2014. Pada tahun 2013, penulis magang di bagian Corporate Communication MNCTV.