Top Banner
i
240

22

Dec 27, 2015

Download

Documents

acheh library
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 22

i

Page 2: 22

ii

Page 3: 22

iii

DR. Chairan M. Nur. M.Ag

PEREMPUAN DALAM

DINAMIKA POLITIK DAN PENDIDIKAN

DI ACEH

Page 4: 22

iv

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Chairan M. Nur

Perempuan dalam Dinamika Politik dan Pendidikan di Aceh/ Chairan

M. Nur,-Cet.I,- Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009

ISBN……………..

Perempuan dalam Dinamika Politik dan Pendidikan di Aceh

Penulis

Dr. Chairan M. Nur, M.Ag

Editor Dr. Sri Suyanta, M.Ag

Setting/Layout

Tim Citra Kreasi Utama Jln. Tgk. Imuem Lueng Bata No. 3 Banda Aceh

Desain Cover Alwahidi Ilyas

Diterbitkan oleh Ar-Raniry Press

bekerjasama dengan Penerbit dan Percetakan Polydor Yogyakarta

Cetakan Pertama Juli 2009

Hak cipta ada pada pengarang

Copyright @ 2009

Page 5: 22

v

Kata Pengantar

amdan wa syukran lillah, Shalatan wa salaman ‘ala Rasulillah saw, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat

Allah swt yang senantiasa memberikan limpahan karunia kepada hamba-hamba-Nya, sehingga di antara hamba-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku Perempuan dalam Dinamika Politik dan Pendidikan di Aceh ini berasal dari disertasi yang penulis pertahankan pada Promosi Doktor pada Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008. Salam Sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah saw dan para sahabat serta pengikutnya.

Buku ini menggambarkan realitas peran serta perempuan Aceh dalam sektor publik/politik dan pendidikan di Aceh. Karena merupakan karya dalam rangkaian penyelesaian studi program Doktor, maka sejatinya karya dan penyelesaian studi dapat diselesaikan sebenarnya juga berkat doa dan harapan suami tercinta Drs. Mahmud Adeq tempat penulis berbagi dan mengadu, Mu (Ibunda tercinta) tempat penulis berbakti yang selalu tabah dalam menggantikan posisi penulis selama dalam penyelesaian kuliah, kepada almarhum Ayahanda, tak lupa penulis mengucapkan terima kasih atas semangat yang telah diberikan sehingga penulis dapat merasakan semangat belajar yang selalu ditanamkan sejak kecil, meskipun tidak dapat sepenuhnya memenuhi harapan, pada kesempatan inilah seyogyanya penulis mohon maaf, mudah-mudahan amalannya diterima oleh Allah SWT, Amin. Dan putra putri penulis (Kaka, Dede, Abang, Adek), tempat di mana penulis menaruh harapan besar karena masa depan dan cita-cita mulia mereka dan seluruh keluarga. Dan juga cucunda tercinta Muhammad Faiz Al-Hariri dan Azkia yang telah mengisi hari-hari dengan inspirasi dan

H

Page 6: 22

vi

semangat baru bagi penulis. Tak lupa juga terima kasih kepada kedua menantu yang mendukung dan mendoakan penulis yaitu M. Affas Edward, S.Ag dan Ir. H. Abdul Muthalib.

Penulis juga tak lupa berterima kasih kepada adik-adik yaitu Chairen, Khairun (almh), Khairiah, dan Khairiatun (almh) yang mendukung menjaga dan melindungi keluarga penulis. Kepada kedua adik-adikku beserta keluarganya semua yang telah meninggalkan dunia ini dengan begitu cepat pada saat tsunami, penulis juga tidak lupa memanjatkan doa semoga mereka mendapatkan tempat di kalangan syuhada, amin.

Dalam ranah formal akademik, meskipun tidak seluruhnya penulis sebut, dalam kesempatan ini penulis merasa sangat berhutang budi sekaligus mengaturkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku pembimbing

sekaligus promotor penulis, di sela-sela kesibukannya yang luar biasa, senantiasa memberikan arahan dan bimbingan akademis saat-saat penulis berkonsultasi.

2. Prof. Dr. Suwito, MA, selaku pembimbing sekaligus promotor penulis, di berbagai kesempatan dengan keikhlasannya senantiasa memberikan saran-saran dan melayani keluhan akademis yang penulis sampaikan.

3. (Almarhum) Prof. Dr. H. Safwan Idris, MA selaku pembimbing metodologi pertama penulis yang telah meninggalkan pesan dan kesan ilmiah kepada penulis, sebelum akhirnya menghadap Sang Pencipta setelah mengalami nasib tragis yang menimpa dirinya, 16 September 2000. Semoga Allah menempatkan arwahnya ke dalam golongan para syuhada.

4. (Almarhum) Prof. Dr. Harun Nasution yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis untuk melanjutkan program studi Doktor, semoga amal dan ibadahnya diterima Allah SWT.

5. Seluruh Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan perhatian dan

Page 7: 22

vii

mentrasfer ilmu pengetahuan kepada penulis selam mengikuti kuliah.

6. Pimpinan beserta staf perpustakaan yang telah melayani dan menyediakan fasilitas buku serta referensi kepada penulis.

7. Staf-staf akademik yang telah membantu kelancaran akademi penulis selama menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Akhirnya penyelesaian buku ini juga setelah penulis menemui beberapa kendala berawal dari berpulangnya ke rahmatullah pembimbing Prof. Dr. H. Safwan Idris dan kemudian hilangnya semua data yang ada di rumah di saat terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Penulisan buku ini dimulai kembali beberapa lama setelah itu, karena tidak adanya tempat tinggal, sehingga harus dirintis dari awal lagi.

Di samping itu, dalam proses dan penyelesaian studi program Doktor ini, penulis berhutang budi - dan karenanya - sekaligus menghaturkan terima kasih kepada: Pertama, Rektor dan Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang telah memberikan izin dan merestui penulis untuk mengikuti Program Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saat-saat di IAIN Ar-Raniry sendiri sangat membutuhkan banyak tenaga edukatif. Kedua, Rektor, Direktur, Deputi Direktur dan seluruh Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti studi Program Doktor pada UIN Syarif Hidayatullah ini. Ketiga, Departemen Agama, Bapak Menteri Agama RI, Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Daerah Tk II Kabupaten Aceh Besar, Yayasan Malem Putra (dalam hal ini Prof. Dr. Ibrahim Hasan M.BA (alm) semoga kebaikannya mendapat balasan dan ampunan dari Allah swt, Yayasan Supersemar yang telah memberikan bantuan finansial kepada penulis saat mengikuti studi Program Doktor pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan kepada

Page 8: 22

viii

Prof. Dr. Ryaas Rasyid yang telah banyak membantu, baik dalam masa menyelesaikan studi maupun di saat penulis mengalami musibah tsunami. Berkat bantuannya penulis dan sekeluarga dapat menyambung hidup selama berada di pengungsian. Semoga amalnya diterima oleh Allah SWT. Amin

Pihak-pihak lain yang belum penulis sebutkan serta terakhir para pembaca buku ini yang diharapkan turut ambil bagian demi terciptanya budaya akademis di daerah kita.Demikian, wassalam.

Banda Aceh, 2 Maret 2009

Chairan M. Nur

Page 9: 22

ix

TRANSLITERASI 1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan tidak dilambangkan - ا

b be ب t te ت ts Te dan es ث j je ج h ha dengan garis bawah ح kh ka dan ha خ d de د dz de dan zet ذ r er ر z zet ز s es س sy es dan ye ش s es dengan garis di bawah ص d de dengan garis di bawah ض t te dengan garis di bawah ط z zet dengan garis di bawah ظ koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع gh Ge dan ha غ f Ef ف q ki ق k ka ك l el ل m em م n en ن w we و� h ha apostrof ’ ء y ye ي

2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab mirip dengan vokal bahasa

Indonesia, terdiri dari vokal tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong).

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin keterangan ____ a Fathah

i Kasrah

Page 10: 22

x

_____ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ai a dan i ____ ي au a dan u ____ و

3. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang

dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan â a dengan topi di atas ــ! î i dengan topi di atas ــ$ û u dengan topi di atas ــ%

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl , al-dîwân bukan ad-dîwân. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah (Tasydîd) yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (- ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan meng-gandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ا*()'ورة tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterus-nya. 5. Ta Marbût ah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta

Page 11: 22

xi

marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh: No Kata Arab Alih Aksara 1 +,-'. tarîqah 4056+2ا ا*1!0/+ 2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah Wahdat al-wujûd ا*%9%د و78ة 3

6. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hâmid al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniry, tidak Nûr al-Din al-Rânîrî. 7. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l ), kata benda (ism), maupun huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut ini adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara dzahaba al-ustâdz ذ األستا هب ذ

Page 12: 22

xii

تثب راألج tsabata al-ajr

al-harakah al-‘asriyyah العصرية احلركة

هللا إال الاله أن أشهد asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

الح ملك النا موالص Maulânâ Malik al-Sâlih

ؤي ثر هللا كم yu’atstsirukum Allâh

al-mazâhir al-‘aqliyyah العقلية هر املظا

ياتاال ة الكوني al-âyât al-kauniyyah

al-darûrat tubîh al-mahzûrât املحظورات تبيح الضرورة

Page 13: 22

xiii

DAFTAR ISIDAFTAR ISIDAFTAR ISIDAFTAR ISI

Pedoman Transliterasi — iv Kata Pengantar — vii Daftar Isi — ix

PENDAHULUAN — 1

PEREMPUAN ACEH DALAM POLITIK — 33

Sekilas Nanggroe Aceh Darussalam — 33 Kondisi Perempuan pada Masa Lalu — 38 Keterlibatan Perempuan Aceh dalam Bidang Politik dan Sosial — 44 1. Dalam Angkatan Perang — 45 2. Keterlibatan Perempuan dalam Eksekutif — 48 3. Keterlibatan Perempuan dalam Badan Legislatif — 58

PENDIDIKAN DI ACEH DALAM LINTASAN SEJARAH — 61

Pendidikan Pra Kemerdekaan — 61 Masa Kerajaan Samudera Pasai — 62 Masa Kesultanan Aceh Darussalam — 65 Masa Penjajahan — 70 Pendidikan Aceh pada Masa Penjajahan Belanda — 70 Pendidikan Aceh pada Masa Penjajahan Jepang — 80 Pendidikan Pasca Kemerdekaan — 81 Masa Orde Lama — 82 Masa Orde Baru — 101 Masa Reformasi — 110 Pendidikan Aceh Pasca Tsunami — 115

Page 14: 22

xiv

KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN DI ACEH — 125

Lembaga Penyusun Kebijakan Pendidikan — 125 Kebijakan untuk Pemerataan Pendidikan — 148 Peran Perempuan di Bidang Pendidikan — 149 Keterlibatan Perempuan dalam Kebijakan Pendidikan — 152 Analisa Faktor-faktor Penentu — 159 1. Faktor Sosial Agama — 159 2. Faktor Sosial Budaya — 161 3. Faktor Kebijakan Pemerintah — 163 Reformulasi Peran Perempuan dalam Kebijakan Pendidikan — 164

KIPRAH PEREMPUAN ACEH MASA KINI — 171

Watak dan Karakter Perempuan Aceh — 71 Kiprah Perempuan Aceh dalam Peran Publik/Politik — 177 Pandangan Tokoh tentang Posisi Perempuan di Aceh — 182

1. Gambaran Umum Tokoh Aceh — 182 2. Pandangan Tokoh Perempuan — 185 3. Pandangan Tokoh Laki-laki — 198

DAFTAR KEPUSTAKAAN — 115 Daftar Riwayat Hidup — 225

Page 15: 22

1

PENDAHULUAN

anusia sejak dilahirkan telah dibekali oleh Allah swt, dengan naluri hidup bersama dengan orang lain. Sebagai

akibatnya timbul interaksi sosial yang dinamis. Interaksi tersebut pada awalnya berupa tindakan atau perbuatan yang dianggap baik dan dapat diterima oleh semua pihak. Jika tindakan tersebut diakui, kemudian disukai dan diterima oleh masyarakat, maka hal itu akan memberikan suatu integritas yang kuat dalam masyarakat, yang akhirnya menjurus menjadi tata tindakan dan pola pikir yang mantap dan lebih kekal keberadaannya dalam pergaulan pada masyarakat yang bersangkutan. Namun demikian, tidak setiap tindakan yang diterima oleh masyarakat dan menjadi tata tindakan dan pola pikir yang mantap, dapat dikatakan ideal dan sesuai dengan harkat kemanusiaan serta prinsip keislaman. Hal ini dapat dilihat dalam kebiasaan masyarakat yang lebih mengedepankan maskulinitas dalam wilayah sosial dan kemudian meng-kristalisasikannya dalam budaya paternalistik. Dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw yang merupakan sumber utama ajaran Islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi manusia, baik pada zaman dulu, kini maupun yang akan datang. Petunjuk-petunjuk tersebut memberikan pedoman kepada manusia mengenai berbagai macam segi kehidupan yang dialami oleh manusia, baik dalam hal peribadatan manusia kepada Tuhan, maupun ranah kehidupan sehari-hari yang mencakup interaksi antara manusia. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan.1 Dengan nilai-nilai tersebut, Islam hendak menegaskan persamaan kedudukan seluruh manusia di mata Allah, meski diciptakan

1Ratna Batara Munti, Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga

(Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999), hal 36.

M

Page 16: 22

2

dalam berbagai perbedaan, seperti dalam hal warna kulit, letak geografis, status sosial, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Pada intinya, Islam tidak menoleransi adanya perbedaan atau diskriminasi di antara sesama manusia.2 Namun perkembangan pemahaman Islam dewasa ini banyak mendapat tantangan baru, karena dianggap sebagai salah satu budaya yang melanggengkan ketidakadilan dan penindasan terhadap kaum perempuan. Dari sini timbul pertanyaan, apakah sumber ketidakadilan tersebut berasal dari watak normatif agama itu sendiri ataukah justru berasal dari tafsiran dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan budaya bias jender, atau pandangan ideologi tertentu yang diadopsi oleh pemeluk agama? Timbulnya pertanyaan ini dapat dipahami, karena pada kehidupan nyata, budaya yang dianggap mewakili gambaran Islam pada umumnya cenderung bersifat maskulin, terlalu berpihak kepada laki-laki dan cenderung mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini dapat kita lihat pada fenomena yang menimpa Syajaratuddur di Mesir,3 dan Sultanah Keumalatsyah

2

Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.(QS. Al-Ahzab, 33:35)

3PM. Holt, (ed) Cambridge History of Islam, Vol. II B, (New York: Cambridge University Press, 1977), hal. 210.

Page 17: 22

3

pada masa Kerajaan Aceh Darussalam4 abad ke-17. Mereka adalah dua contoh pemimpin perempuan yang mesti turun dari tahta karena dianggap menyalahi kodratnya. Bahkan sampai kini masih banyak anggapan bahwa ruang lingkup kerja perempuan hanya terbatas pada konteks keluarga, paling tinggi hanya sebatas menekuni sejenis pekerjaan yang mempunyai nilai gengsi dan prestasi rendah, sehingga hanya sedikit perempuan yang dapat mencapai posisi penting, baik dalam organisasi bisnis, pemerintahan maupun di dalam organisasi pendidikan. Hal ini terjadi karena berbagai sebab, dan di antaranya adalah alasan agama.5 Dalam tradisi Barat, persoalan terpinggirkannya kaum perempuan sering dikaitkan dengan istilah feminisme, sebuah gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa dalam kehidupan sosial kaum perempuan terus-menerus mengalami diskriminasi, dan untuk itu diskriminasi tersebut harus dihentikan. Dalam hal ini, Mansour Fakih menerangkan beberapa macam pandangan feminisme, di antaranya; Pertama, disebut golongan feminis liberal yang dipelopori oleh Margaret Fuller (1810-1850). Kedua, disebut golongan feminis radikal yang memahami bahwa dasar penindasan terhadap perempuan disebabkan oleh dominasi laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Ketiga, kaum feminis Marxis yang beranggapan bahwa penindasan perempuan merupakan bagian dari eksploitasi kelas akibat adanya struktur kelas dalam relasi produksi. Isu tentang perempuan sering diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Keempat, kaum feminis sosialis yang merupakan sintesa antara golongan marxis dan radikal. Golongan ini beranggapan bahwa penindasan perempuan disebabkan karena adanya kelas mana saja. Partisipasi perempuan dalam ekonomi bukan saja sangat

4Syekh Jalalluddin bin Syekh Kamaluddin Tursani, Safinah al-

Hukkam fi Takhlish al-Khisham, (manuskrip), 1153 H, hal. 3 dan 29. 5A. Chumaidi Umar (Penerjemah) Kiprah Muslimah Dalam

Keluarga Islam, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 65.

Page 18: 22

4

diperlukan, meskipun tidak selalu menaikkan status perempuan. Kelima, teori ekofeminisme yang justru berusaha mengembali-kan identifikasi perempuan sesuai dengan kodratnya.6 Sebenarnya pandangan al-Qur‘an terhadap keberadaan perempuan tidak bersifat diskriminatif, meski-pun tetap mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Memperbaiki nasib kaum perempuan justru merupakan salah satu misi di antara sekian banyak misi yang diemban oleh al-Qur‘an. Gagasan emansipasi yang tersirat di dalam ayat-ayat al-Qur‘an mencakup pemulihan status mereka sebagai manusia yang sama kualitasnya dengan laki-laki, memberikan hak memiliki dan hak-hak lainnya seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki secara adil dan proporsional.7 Namun, ketika ajaran Islam berkembang melalui mazhab-mazhab yang mengelaborasi lebih jauh masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan, dalam bab-bab fikih nampaknya gambaran tentang posisi perempuan lebih mengarah kepada pemahaman Islam “tradisional” yang mendiskreditkan perempuan. Hal ini mungkin dikarenakan kitab-kitab fikih yang dimiliki oleh masyarakat kita sekarang adalah warisan ulama klasik. Menurut pemaham-an tradisional, perempuan memainkan peran yang sangat terbatas bila dibandingkan dengan laki-laki dalam masyarakat Islam; mereka hanya berperan dalam urusan domestik kerumahtanggaan, tidak

6Lihat Mansour Fakih, Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam:

Tinjauan Dari Analisis Gender, hal. 39-45. Lihat juga Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001) hal. 64.

الصالة ويقيمون المنكر عن وينهون بالمعروف يأمرون بعض أولياء بعضهم والمؤمنات والمؤمنون 7يمحك عزيز الله إن الله سيرحمهم أولـئك ورسوله الله ويطيعون الزكاة ويؤتون

Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah 71).

Page 19: 22

5

diperkenankan melaku-kan aktivitas di depan publik. Sebagian ulama Salaf menyatakan bahwa seorang perempuan dapat meninggalkan rumahnya dalam tiga kesempatan: Pertama, ketika dia pindah ke rumah suaminya, kedua, pada hari kematian orang tuanya, dan ketiga, ketika dia sendiri meninggal dan diantarkan ke kuburnya.8 Dalam pandangan Qasim Amin (1863-1908 M) perempuan sama dengan laki-laki; tidak ada perbedaan pada hakikat kemanusiaan antara keduanya, dari fungsi anggota tubuh, perasaan dan daya pikir, kecuali pada perbedaan jenis kelamin dan hal-hal yang berkenaan dengannya. Selama ini perempuan tidak banyak kesempatan untuk melatih pikiran sebagaimana kaum laki-laki, maka ada kalanya laki-laki tampak lebih ungggul. Dan dalam syariat Islam, perempuan memiliki hak memperoleh pendidikan.9 Perempuan yang tidak berpendidikan tidak akan mampu menjalankan perannya dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat. Lebih jauh, secara sosiologis pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan tidak terlepas dari kedudukan kaum perempuan itu sendiri sebagai anggota masyarakat dan sebagai ibu rumah tangga. Karena menurutnya, perempuan separuh dari penduduk sebuah negara. Sekiranya mereka dibiarkan dalam kebodohan, maka negara akan rugi, karena telah menyia-nyiakan potensi yang ada.10 Perempuan Mesir, dalam pandangan Qasim Amin, diumpamakan sebagai seorang kaya yang modalnya disimpan dalam laci tanpa dimanfaatkan dan dikembangkan, maka akibatnya ekonomi bangsa Mesir menjadi lemah, karena telah membiarkan sebagian jumlah penduduk menjadi penganggur,

8Ibn al-Hajj, al-Madkhal, (Kairo, 1929), hal. 245-246,

dikutip oleh Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (New York, Warner Books,1991), hal. 120.

9Qasim Amin, Tahrir al-Mar'at, (Cairo: Dâr al-Ma'ârif), 1970, hal. 41.

10Qasim Amin, Tahrir…, hal. 43.

Page 20: 22

6

dan kalau pun bekerja, mereka tak dibekali pengetahuan yang cukup.11 Permasalahan seperti ini juga terjadi di Aceh, meskipun secara kuantitas, persentase jumlah kaum perempuannya lebih banyak dibanding jumlah kaum laki-laki.12 Secara keseluruhan, kehidupan masyarakat Aceh sebagai sebuah sistem kebudayaan, dikenal sebagai kebudayaan yang sarat dengan unsur-unsur ke-Islaman, sebagai agama yang dianutnya. Hal ini tergoreskan dalam sejarah Aceh. Hal tersebut tak bisa dilepaskan dari proses penyatuan kerajaan-kerajaan Islam Aceh ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam yang telah mempercepat islamisasi di wilayah ini, sehingga dari masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Mughayatsyah (916-936 H/1511-1530 M) sampai masa pemerintahan Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johansyah (1050-1086 H./1641-1675 M.), Islam telah benar-benar menjiwai seluruh kehidupan rakyat Aceh, karena dominasi pengaruh Islam tercermin dalam segala aspek kehidupan, baik kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini pula yang terpatri dalam sebuah hadih maja yang menjadi filsafat hidup dan filsafat politik rakyat Aceh dan Kerajaan Aceh Darussalam, yakni “adat bak poe Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala, Kanun Bak Putro Phang Reusam Bak Lakseumana, hukom ngon adat lage zat ngon sifeut”. Artinya hukum adat berada di tangan pemerintah, dan hukum syariat berada di tangan ulama, perintah ada di raja, kebiasaan berada di tangan laksamana, hukum dengan adat bagaikan zat dengan sifat, tidak dapat dipisahkan.13 Hadih maja di atas adalah suatu filsafat hidup bagi rakyat Aceh yang berarti; Pertama, segala cabang kehidupan

11Qasim Amin, Tahrir …, hal. 44. 12Dalam masyarakat Aceh, dari segi kuantitas penduduk perempuan

lebih besar daripada penduduk laki-laki. Tim Penyusun, Penduduk Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Badan Pusat Statistik [BPS], 2005), hal. 1.

13Sulaiman, Nasruddin, Rusdi Sufi, Tuanku Abdul Jalil, (1992), Aceh; Manusia, Masyarakat, Adat dan Budaya, Banda Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), hal. 10.

Page 21: 22

7

negara dan rakyat hendaklah berjiwa dan bersendikan Islam. Kedua, wajah politik dan wajah agama Islam pada batang tubuh masyarakat dan negara Aceh telah menjadi satu. Dan ketiga, sifat gotong-royong yang menjadi ciri khas Islam, telah menjadi landasan berpijak bagi rakyat dan Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan yang dimaksud dengan “hukom“ dalam hadih maja tersebut yaitu hukum Islam. Hal tersebut dikarenakan Undang-undang Dasar Aceh yang bernama Qânûn Meukuta Alam menegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Kerajaan Aceh Darussalam adalah hukum Islam dengan sumber hukumnya al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’, dan al-Qiyas.14 Dalam masyarakat Aceh, tradisi atau hukum adat mempunyai peranan penting dalam penataan kehidupan sosial kemasyarakatan sehari-hari. Hukum adat yang terangkum dalam sebuah adagium, dijadikan sebagai rujukan dari setiap pengambilan putusan bagi pemegang/pengambil kebijaksanaan. Memang praktik hukum adat ini berangsur hilang pasca terjadinya penjajahan di Aceh (di Indonesia pada umumnya). Namun setelah diberlakukannya otonomi khusus di Aceh, persoalan tradisi atau hukum adat tersebut kembali diperbincangkan kepentingannya untuk dilaksanakan kembali di semua bidang kehidupan, tak terkecuali politik ataupun pendidikan bagi perempuan.

Islam, baik sebagai sebuah agama, maupun sebagai sistem tradisi, sebenarnya telah memberi ruang sangat luas dan istimewa pada kaum perempuan dalam tata kehidupan, ada perempuan yang aktif dalam peperangan baik sebagai tenaga medis maupun tokoh intelektual, bahkan menjadi serdadu jika keadaan sudah genting, ada juga yang menjadi ilmuwan, politikus, serta pakar berbagai bidang. Eksistensi perempuan seharusnya menjadi segmen penting dan tak bisa dinafikkan perannya dalam kehidupan masyarakat Aceh. Namun, meskipun persentase jumlah kaum perempuan dalam masyarakat Aceh

14Panitia Penyelenggarakan Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional ke-

12 Tahun 1981, Makalah. hal. 262-263.

Page 22: 22

8

lebih banyak daripada jumlah kaum laki-lakinya, tapi keterlibatan kaum perempuan dalam segala bidang dan sektor kehidupan masih tidak terlihat. Kenyataan ini terpantau dari kebijakan-kebijakan yang ada yang dikeluarkan di berbagai sektor kehidupan masyarakat Aceh, termasuk pendidikan. Padahal jika diukur dari tingkat kemampuan pendidikan, bisa jadi kaum perempuan Aceh tidak kalah kualitasnya dan bahkan mungkin lebih dibandingkan kaum laki-lakinya. Potensi kerja perempuan terus berkembang dari tahun ke tahun dan dari segi kuantitas menunjukkan peningkatan. Karena rasa percaya diri pada kaum perempuan yang sudah tinggi, mereka berusaha untuk mencari peluang dan kesempatan menuju posisi tertentu yang strategis. Begitu juga dari segi kualitas, sudah nampak ada peningkatan kemampuan dan keterampilan. Dan memang dalam segi knowledge, ability dan skill tidak diragukan lagi, karena terus menerus diusahakan supaya bisa mencapai posisi-posisi tertentu. Namun masih ada persepsi masyarakat yang menilai perempuan tidak dapat secara wajar terlibat dalam sebuah organisasi.15

Peran perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bemasyarakat, dan bernegara belum terwakili kepentingan-nya secara proporsional. Dari segi pendidikan, jumlah kaum perempuan yang mendapat kesempatan jauh lebih kecil daripada kaum laki-laki. Hal ini menandakan bahwa paham yang berkembang dalam masyarakat Aceh adalah persepsi tentang anak laki-laki yang mesti lebih diutamakan untuk memperoleh dan melanjutkan pendidikan.16 Begitu juga halnya dalam masalah-masalah yang lain. Penilaian masyarakat maupun pembuat keputusan dan kebijakan dalam sebuah organisasi cenderung memosisikan perempuan tidak berdasarkan pada

15Kamariah dkk. Perempuan Indonesia dalam Rangkuman

Informasi, Suplemen 1, (Jakarta: PPII-LIPI, 1989), hal. 92-93. 16Raihan Putry dkk, Persepsi Masyarakat Daerah Istimewa Aceh

Terhadap Kemitrasejajaran Antara Pria dan Perempuan, (Banda Aceh: Penelitian Diks, IAIN Ar-Raniry, 1998/1999), hal. 14.

Page 23: 22

9

kapasitas diri, akan tetapi yang sering terjadi karena jabatan keluarganya seperti bapak, kakak suami, dan lain-lain. Kemudian apabila terjadi persaingan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dengan kriteria yang sama atau bahkan agak lebih yang dimiliki oleh perempuan tersebut, maka kaum laki-lakilah yang menjadi pilihannya untuk ditempatkan pada suatu posisi.17 Di sisi lain, sepertinya di Aceh masih terdapat anggapan bahwa perempuan lebih rendah martabatnya daripada laki-laki.18 Hal ini sangat terkait dengan pemahaman dan interpretasi tentang eksistensi, posisi, dan keterlibatan perempuan sesuai dengan sumber-sumber asli ajaran agama. Waktu telah berganti hingga ke masa kini. Sistem pendidikan yang semakin maju menuntut adanya berbagai konsep dan aturan dalam meningkatkan pendidikan di berbagai daerah. Tujuan akhir dari tuntutan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas masyarakat agar sesuai dengan kondisi dan situasi di daerah tersebut, begitu juga yang dialami daerah Aceh. Dalam hal penyusunan kebijakan, misalnya, hal ini diserahkan kepada lembaga yang kompeten dan dibentuk untuk menyikapi kondisi-situasi pendidikan yang ada di suatu daerah, baik melakukan pengontrolan maupun evaluasi pendidikan. Pada tingkatan nasional dikenal dengan nama dewan pendidikan dan komite sekolah, sedangkan di Aceh dikenal dengan Majelis Pendidikan Daerah (selanjutnya disebut MPD).19 Nantinya, dalam penyusunan sebuah kebijakan, biasanya lembaga ini bekerjasama dengan lembaga-lembaga terkait lainnya, seperti

17Siti Wildaniar, Kepentingan Perempuan Dalam Rancangan Qanun

Syari’at Islam, (Diktat disampaikan dalam Seminar Sehari Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh), hal. 2.

18Seksi Analisis dan Pengembangan Statistik, Ulasan Singkat Perempuan Aceh dalam Lintasan Sejarah dan Masa Kini, Katalog BPS: No. 4112.11, (Banda Aceh: BPS Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1999), hal. 10-11.

19Lihat Darwis A. Soelaiman, Burhanuddin Salim dkk (Ed), Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Lima Belas Tahun (1990-2005), (Banda Aceh: MPD NAD, 2005), hal. 8-12.

Page 24: 22

10

Dinas Pendidikan, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),20 dan lainnya. Dapat diindikasikan bahwa ada kaum perempuan yang terlibat dalam struktur lembaga-lembaga tersebut, dan dapat dikatakan bahwa mereka terlibat dalam membentuk dan menyusun kebijakan pendidikan. Namun timbul tanda tanya, sejauh mana mereka terlibat dalam penyusunan kebijakan tersebut? Pandangan ini membentuk sebuah pertanyaan lain “bagaimana keterlibatan perempuan dalam menyusun kebijakan pendidikan di Aceh?” Pertanyaan di atas muncul dikarenakan perempuan juga memiliki prioritas yang sama, termasuk pendidikan, baik dalam hal mendapatkan pendidikan maupun dalam menunjang pendidikan. Keterlibatan perempuan dalam pendidikan berpengaruh besar terhadap kemajuan sebuah daerah dan negara. Kalau keterwakilan perempuan minim, maka kepentingannya tidak tercapai. Kepentingan tersebut, misalnya mencakup isu-isu seperti kesehatan reproduksi, kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan anak, kelompok usia lanjut, isu-isu kekerasan seksual, dan lain-lain.21 Persoalan tersebut tidak hanya dialami di Aceh saja, tetapi mencakup konteks nasional, di mana peran perempuan masih jauh dari apa yang diharapkan, yang terlihat di semua bidang dan lembaga. Pada sektor publik, misalnya perempuan sebenarnya dapat berkiprah di mana-mana seperti di badan eksekutif, yakni pegawai negeri sipil (PNS). Dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta terdapat 1.477.109 pegawai negeri perempuan yang

20DPRA merupakan DPRD yang pada tahun 2004 diubah menjadi

DPRA yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum sebagai unsur Penyelenggaraan Pemerintah Aceh yang menjalankan tugas legislatif, lihat Keputusan DPRD Prop. NAD, Peraturan Tertib DPRA No. 1/DPRD/2007.

21Khofifah Indar Parawansa, Pendidikan Politik bagi Perempuan sebagai Upaya Menuju Masyarakat Aceh yang Demokratis, makalah yang disampaikan dalam acara seminar “Sosialisasi Pendidikan Politik bagi Perempuan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, di Anjong Mon Mata Banda Aceh, 19 Juli 2006.

Page 25: 22

11

menduduki jabatan struktural pada tahun 1999, hanya 34.691 pegawai (2,35%), jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan kaum laki-laki pada tahun yang sama (7,67%). Demikian juga dengan jabatan eselon, persentase terbesar dari perempuan yang menduduki jabatan adalah pada tingkatan eselon yang terendah (Eselon V) sebesar 12,47%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki yakni pada tingkatan eselon II sebesar 87,53%.22 Melihat jumlah pegawai di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2006 sebanyak 3.601 orang, pegawai laki-laki berjumlah 2.446 orang (67,92%) dan pegawai perempuan berjumlah 1.155 orang (32,07%), pada eselon II hanya ada 1 orang perempuan, eselon III perempuan 12 orang, dan eselon IV perempuan 167 orang.23 Keadaan ini perlu ditelusuri lebih lanjut, karena pendidikan merupakan syarat dasar dalam memajukan sebuah negeri. Di mana keterlibatan perempuan dan laki-laki harus sama dan seimbang dalam menyusun suatu kebijakan di wilayah tertentu, tanpa dominasi dari kaum tertentu, yang bisa melahirkan diskriminasi, sehingga berakibat pada kemerosotan sumber daya manusia dan pembodohan terhadap bangsanya sendiri.

Fenomena di atas adalah sebuah gambaran realitas perempuan dalam memainkan peran publiknya dalam masyarakat dan menjadi bagian dalam diskursus jender24 yang pada dekade terakhir ini makin mengemuka (yang di dalamnya selalu diwarnai pro kontra). Dalam perdebatan-nya terdapat

22Untuk lebih rinci lihat dalam, Indikator Sosial Perempuan

Indonesia, (Jakarta: BPS, 1999), hal. 193-194. 23Sumber: Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretaris Daerah

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2006. 24Jender merupakan sebuah ide dari Barat tentang kondisi marginak

perempuan yang pada dasarnya bukan kodrat, namun karena dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kepentingannya. Jadi jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Perbedaan di sini (laki-laki dan perempuan) dari sudut non biologis. Lihat Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Cet. II, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 35.

Page 26: 22

12

kalangan yang menyetujui bahwa perempuan disejajarkan dengan kaum laki-laki dalam berbagai posisi, termasuk dalam aspek kepemimpinannya. Di sisi lain masih banyak juga yang belum bisa memosisikan kaum perempuan secara proporsional, sehingga kaum perempuan menghadapi dilema dalam berkiprah di sektor politik yang berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Benturan pemikiran antara kedua pihak masih sangat dirasakan oleh kaum perempuan dalam masyarakat dewasa ini. Hal ini terindikasi dari sikap yang agaknya masih ragu-ragu dalam memosisikan kaum perempuan pada public life dan bahkan masih ada yang mengklaim bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tidak mungkin diberikan hak dan kewajiban sebagaimana yang diberikan kepada kaum laki-laki. Perdebatan panjang yang tak habis-habisnya sejak dulu sampai sekarang dan mungkin juga akan terus berlangsung entah sampai kapan, adalah disebabkan oleh berbagai aspek pandangan, seperti agama, politik, pendidikan, budaya, dan tradisi yang ada dalam suatu masyarakat. Tidak hanya potret pendidikan yang terlihat, tetapi struktur politik, sosial, dan budaya kita masih dalam kungkungan sistem yang patriarkis. Untuk itu pemerintah bersama seluruh lapisan masyarakat masih harus berusaha memperbaiki persepsinya tentang keberadaan dan keter-libatan perempuan dalam penyusunan kebijakan dan peraturan perundangan, terutama menyangkut pendidikan, sehingga diperlukan upaya keras dan kreatif untuk memenuhi komitmen mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender (gender equality and equity) seperti yang telah disuarakan negara-negara lain di dunia dalam Forum Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York pada bulan Juni 2000.25 Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretaris Daerah (Setda) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

25Khafifah Indar Parawansa, Radio dan Politik Perempuan, (Jakarta:

Yayasan Hapsari Perbaungan, 2000), hal. 3.

Page 27: 22

13

memberikan gambaran tentang keberadaan kaum perempuan di Aceh dalam berbagai bidang yang juga mempengaruhi keterlibatannya dalam penyusunan ke-bijakan. Di bidang politik, kaum perempuan Aceh masih berada pada taraf kemunduran, seperti terlihat dari catatan bahwa sejak tahun 1992, Aceh hanya mengirim 1 (satu) anggota legislatif perempuan ke DPR-RI dari 10 (sepuluh) wakil yang terpilih. Pada tahun 1997 Aceh tidak berhasil mengirimkan wakil perempuan ke DPR-RI, tetapi hanya 2 (dua) anggota MPR-RI yang bisa mewakili NAD (dulu namanya Daerah Istimewa Aceh), bahkan pada tahun 1999 hanya 1 (satu) orang yang mewakili kaum perempuan Aceh. Pada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) (dulu DPRD Tk. I) dari hasil pemilu 1992 terlihat hanya 4 (empat) orang perempuan yang menjadi anggota DPRA, bahkan pada tahun 1997 berkurang menjadi 3 (tiga) orang, tetapi pada tahun 1999 kembali menjadi 4 (empat) orang. Pada tahun 2004 juga hanya 4 (empat) orang yang menjadi anggota legislatif perempuan dan masih tidak ada penambahan.

Gambaran yang tidak jauh berbeda terjadi di DPRD Tk. II (sekarang namanya Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota), hanya Aceh Timur yang mengalami penambahan anggota legislatif dari kaum perempuan, dari 1 (satu) orang pada tahun 1992 menjadi 3 (tiga) orang pada pemilu tahun 1997 dan turun menjadi 2 (dua) orang pada tahun 2004. Kota Banda Aceh dari 2 (dua) orang pada hasil pemilu 1992 menjadi 1 (satu) orang pada hasil pemilu 1997 dan pada tahun 2004 ada 4 (empat) orang pada tahun ini ada peningkatan. Pada tahun 1999 untuk seluruh kabupaten/kota, kaum perempuan yang menjadi anggota legislatif berjumlah 11 (sebelas) orang. Sedangkan pada tahun 2004 seluruh kabupaten/kota, kaum perempuan yang menjadi anggota legislatif meningkat jumlahnya yaitu ada 39 orang. Kecuali di beberapa kabupaten pada tahun ini (2004) belum ada anggota legislatif dari kaum perempuan yaitu di kabupaten Sabang, Aceh

Page 28: 22

14

Besar, Aceh Barat Daya, Simeulue Gayo lues dan Aceh Tengah.26

Begitu juga halnya pada bidang eksekutif, perempuan Aceh tidak banyak yang ditampilkan, dan kesempatan untuk menjadi penentu kebijakan dan pengambil keputusan pun masih sangat terbatas. Sangat mungkin itu disebabkan oleh tidak adanya penghargaan terhadap perempuan, seperti yang digambarkan oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setda Propinsi Daerah Istimewa Aceh (saat itu). Begitu juga dalam bidang penyusunan kebijakan pendidikan, keterwakilan perempuan sangat minim dan hal ini dapat dilihat pada MPD, dari 11 orang pengurus hanya dua orang perempuan yang mewakili.27 Tidak jauh berbeda pada tenaga non struktural, perempuan juga sedikit dan kiprahnya hanya sebatas sebagai tenaga tidak terikat (out sourcing), yaitu tenaga-tenaga yang diundang untuk dilibatkan ketika ada kebutuhan dalam rangka kegiatan-kegiatan yang dilakukan MPD, seperti membuat rencana strategis, mengevaluasikan pendidikan, menyusun buku ajar, dan lain-lain. Berdasarkan data di DPRA, perempuan yang menduduki jabatan pada komisi E28 hanya dua orang dari 12 orang anggota. Kemudian pada Dinas Pendidikan hanya tiga orang perempuan sebagai Kepala Seksi dan sembilan orang hanya pembantu Kepala Seksi.29

Fenomena di atas menunjukkan kurangnya keterlibatan perempuan dalam menyusun kebijakan pendidikan, sehingga

26Sumber: Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretaris Daerah Prop.

NAD, Banda Aceh, 2006. 27Lihat, Darwis A. Sulaiman, dkk., MPD Lima Belas Tahun (1990-

2005) (Banda Aceh: MPD Prop. NAD), hal. 51-57. 28Komisi E merupakan salah satu komisi dalam DPRA yang

membahas bidang Keistimewaan Aceh yang meliputi, agama, pendidikan, Ilmu pengetahuan dan Teknologi, Kesehatan, Sosial, Kebudayaan, harta agama dan wakaf, Fatwa dan Dakwah, Museum dan cagar alam, keulamaan, KB. dan peranan perempuan, ketenagakerjaan dan pemuda dan olahraga, lihat sumber biro pemberdayaan perempuan, 2004.

29Sumber, Dinas Pendidikan Provinsi NAD.

Page 29: 22

15

berdampak pada akses terhadap keterwakilan mereka, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Padahal peranan mereka sebagai praktisi terlihat nyata dengan banyaknya pendidik yang dapat mempengaruhi arus pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Aceh terhadap generasi-generasi mendatang. Dalam tradisi Aceh pun, peran dan keterlibatan perempuan sebenarnya sudah menjadi unsur dasar dalam proses pendidikan. Hal ini dapat ditilik dari sistem pendidikan tradisonal Aceh yang berupa pengajian (membaca al-Qur’an dan lainnya) dan diselenggarakan di meunasah ataupun rangkang.30 Pendidikan di meunasah ini diajarkan oleh seorang teungku, dan sekaligus menuntut istrinya menjadi staf pengajarnya, bahkan meng-gantikan bila suaminya (teungku) tidak ada.31

Keadaan di atas perlu ditelusuri lebih lanjut menyangkut peran perempuan dalam sektor pendidikan di Aceh, termasuk di dalamnya membangun pendidikan dalam dinamika politik. Dalam tulisan ini fokus yang ingin diteliti berkisar keterlibatan perempuan dalam peran politik dan penyusunan kebijakan pendidikan. Persoalan yang akan diangkat ke permukaan adalah “bagaimana keter-libatan perempuan dalam sektor publik/politik dan pendidikan di Aceh?” Berdasarkan persoalam di atas, maka masalah dalam kajian ini dapat diidentifikasi antara lain: Pertama, Bagaimana peran perempuan dalam dinamika politik di Aceh? Kedua, Masih sedikitnya peran perempuan dalam dinamika politik Aceh? Ketiga, Apa dan bagaimana keterlibatan perempuan dalam dinamika pendidikan di Aceh? Keempat, Sejauh mana keterlibatan perempuan dalam menyusun kebijakan pendidikan di Aceh? Dan kelima, Masih sedikitnya perempuan Aceh dilibatkan dalam penyusunan kebijakan pendidikan di Aceh?

30Meunasah atau rangkang adalah tempat pengajian dan pendidikan,

yang berupa sebuah balai, ataupun pondok (dalam bahasa Jawa). 31Lihat Snouck Hurgronje, Aceh (Di Mata Kolonialis), Jilid II,

(Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), hal. 1-25.

Page 30: 22

16

Dengan demikian masalah pokok yang ingin dikaji adalah bagaimana keterlibatan perempuan dalam dinamika politik dan dalam menyusun kebijakan pendidikan di Aceh. Keterlibatan dalam politik yang dimaksudkan di sini adalah keikutsertaan dalam membuat dan melaksanakan sebuah usaha untuk mengatur tata kehidupan masyarakat, menegakkan hukum dengan benar, dan mewujudkan keadilan serta hal-hal penting lain yang diperlukan bagi kehidupan bersama. Ini semua merupakan unsur-unsur politik, jadi penyebutan kata politik di sini tidak dalam artian politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat. Sebaliknya, politik yang dimaksudkan di sini adalah keterlibatan seseorang atau kelompok dalam memikirkan dan menyusun kebijakan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan.32

Keterlibatan perempuan di sini dalam rangka berpartisi-pasi dengan komponen yang lain untuk membuat dan menampilkan berbagai format kebijakan dan strategi pendidikan yang prospektif. Dengan demikian hasil dari produk pembangunan pendidikan harus dapat diper-tanggungjawabkan, dan tentunya dengan langkah-langkah yang menuju ke peningkatan kualitas pendidikan. Karena dalam setiap kewajiban tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Dan pendidikan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat.

Memang penyebutan kata “politik” dalam pikiran banyak orang dewasa ini telah menyempit menjadi istilah bagi politik praktis, politik struktural, dan dinamika perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan lagi untuk kepentingan masyarakat luas dan untuk masa depan yang panjang. Namun jika dilihat dalam wacana Islam, politik secara sederhana dirumuskan sebagai cara

32Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan

Kiay Pesantren (Yogyakarta: LKis 2004 ) hal 163-164

Page 31: 22

17

mengatur urusan-urusan kehidupan bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dengan ini maka politik sesungguhnya adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik, ruang kultural maupun ruang struktural, personal dan komunal.

Selanjutnya, dalam hal partisipasi di ruang publik atau politik, sebagaimana diartikan di atas, perempuan, seperti laki-laki, juga makhluk Tuhan yang memiliki tanggung jawab kemanusiaan, memakmurkan bumi, dan menyejahterakan manusia. Perempuan untuk tugas itu tidak dibedakan dari laki-laki. Tuhan memberikan kepada laki-laki dan perempuan, potensi-potensi dan al-ahliyah atau kemampuan untuk bertindak secara otonom yang diperlu-kan bagi tanggung jawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit teks-teks suci yang menegaskan keharusan kerjasama antara laki-laki dan perem-puan untuk tugas-tugas pengaturan dunia ini. Laki-laki dan perempuan beriman, di dalam al-Qur’an saling bekerjasama untuk tugas keagamaan; menyerukan kebaikan dan menghapus kemungkaran (kerusakan sosial).

Beberapa ayat al-Qur’an, antara lain Q.S. Alî Imrân ayat 195, al-Nahl ayat 97, dan al-Taubah ayat 71 dan beberapa ayat lainnya cukup menjadi dasar legitimasi betapa partisipasi politik perempuan dan laki-laki tidak dibedakan. Partisipasi mereka menjangkau seluruh dimensi kehidupan. Diktum-diktum Islam telah memberikan ruang pilihan bagi perempuan dan laki-laki untuk menjalankan peran politik mereka, baik dalam lingkup domestik maupun publik, secara cerdas dan terampil. Namun sayangnya, dalam perjalanan sejarah politik kaum muslimin, partisipasi politik perempuan mengalami degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan ini bukan hanya terbaca dalam buku-buku pelajaran, tetapi juga muncul dalam realitas sosial.33

33Husein Muhammad, Islam..., hal. 164 – 167.

Page 32: 22

18

Sementara, kebijakan pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah usaha dalam mewujudkan tujuan pen-didikan di Provinsi NAD, yaitu membina pribadi muslim seutuhnya, sesuai dengan fitrah, pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, ber-akhlâqul karîmah, demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hak azasi manusia, berpengetahuan, terampil, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri, mampu menghadapi tantangan global dan memiliki tanggung jawab kepada Allah SWT, masyarakat dan negara.

Kebijakan pendidikan di Aceh mengacu kepada UU No. 44 Tahun 1999 yang telah mempertegas bahwa bidang pendidikan merupakan salah satu pilar keistimewaan Aceh, di samping syariat Islam, adat istiadat dan peranan ulama. Pasal 8 UU No.44 Tahun 1999 menegaskan bahwa daerah mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur dan jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal syariat Islam.

Terdapat beberapa definisi pendidikan yang dapat diutarakan di sini. Menurut Langeveld, mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya ke arah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.34 Sementara menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.35 Sedangkan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terrencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengem-bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

34Made Pidarta. Landasan Kependidikan; Stimulus Ilmu Pendidikan

Bercorak Indonesia. Jakarta; Rineka Cipta, 2007, cet. II. Hal. 10. 35Made Pidarta. Landasan Kependidikan..., hal. 10.

Page 33: 22

19

mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat, bangsa, dan negara.36

Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mendidik adalah upaya menciptakan situasi yang membuat peserta didik mau dan dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan potensi-potensi lainnya secara optimal ke arah yang positif.37 Maka yang perlu ditekankan dalam prosesnya adalah membantu peserta didik dengan penuh kesadaran, baik dengan alat bantu atau tidak, dalam kewajiban mereka mengembangkan dan menumbuhkan diri untuk meningkat-kan kemampuan serta peran dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan antara lain: Pertama, Bagaimana peran perempuan dalam politik di Aceh? Kedua, Apa dan bagaimana peran perempuan dalam pendidikan di Aceh? Ketiga, Sejauh mana keterlibatan perempuan dalam penyusunan kebijakan pen-didikan di Aceh? Permasalahan ini akan dibahas dengan judul “Perempuan dalam Dinamika Politik dan Pendidikan di Aceh”. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu kiranya penulis membatasi diri dengan melihat atau mengambil objek tertentu dan kurun waktu tertentu pula, yaitu MPD di Provinsi NAD periode III tahun 2003-2008. Kajian ini bertujuan untuk menelusuri keberadaan peran perempuan dalam dinamika politik dan pendidikan di Aceh (mengapa kaum perempuan masih termarjinalkan kepentingan-nya?). Tujuan lebih lanjut untuk meneliti dan mengetahui keterlibatan perempuan dalam bidang pendidikan di Aceh dan hal-hal yang mempengaruhi keter-libatan perempuan tersebut, yakni pada penyusunan kebijakan pendidikan di MPD periode III tahun 2003-2008. Dalam sifatnya yang eksloratif, kajian ini bermaksud untuk mencari faktor-faktor yang menentukan tingkat partisipasi

36Made Pidarta. Landasan Kependidikan..., hal. 10 – 11. 37Made Pidarta. Landasan Kependidikan..., hal. 11.

Page 34: 22

20

perempuan, sehingga dapat diupayakan langkah-langkah agar perempuan tidak hanya berperan sebagai praktisi pendidik semata, tetapi juga mampu terlibat aktif dalam menyusun dan bahkan sebagai pengambil kebijakan untuk mengangkat sumber daya manusia Aceh selanjutnya. Dengan begitu perempuan Aceh tidak hanya terpaku pada keadaan yang ada, tetapi giat secara bersama-sama membantu, membangun daerah dengan menyusun kebijakan di Aceh, untuk mewujudkan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi, karena perempuan merupakan mitra sejajar laki-laki. Selanjutnya tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan masukan-masukan kepada pihak yang berwenang dan terkait, agar dapat berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh dengan memperhatikan tenaga-tenaga yang dibutuhkan. Adapun manfaat dari kajian ini secara umum mampu mendeskripsikan keberadaan perempuan dan keterlibatannya dalam peran publik/politik, dan dalam menyusun kebijakan pendidikan di Aceh, serta faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keterlibatan perempuan di dalamnya. Di samping itu, kajian ini dapat memberikan informasi mengenai peran publik perempuan dalam dinamika politik di Aceh, di tengah kondisi/situasi, rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Selanjutnya penelitian ini dapat bermanfaat terhadap perempuan Aceh agar dapat aktif secara bersama-sama terlibat dalam penyusunan kebijakan pendidikan di Aceh menuju arah berkebudayaan dan berperadaban tinggi. Penelitian ini juga bermanfaat dalam memberi masukan-masukan kepada pihak yang berwenang dan yang terkait dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Aceh di masa depan. Dan harapan selanjutnya, semoga penelitian ini dapat memberi masukan-masukan kepada pihak yang berwenang dan yang terkait dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Aceh, dengan memperhatikan tenaga-tenaga yang dibutuhkan. Harus diakui bahwa kajian komprehensif tentang perempuan di Aceh masih jarang ditemukan. Sedangkan kajian

Page 35: 22

21

perempuan pada umumnya, meskipun ada tetapi juga belum banyak diteliti. Di antara penelitian tentang perempuan di Aceh yang pernah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Raihan Putry dkk.,38 pada tahun 1998/1999 dengan judul: “Persepsi Masyarakat Daerah Istimewa Aceh terhadap Kemitrasejajaran antara Pria dan Perempuan.” Tim ini berangkat dari asumsi bahwa persepsi salah masih memasyarakat di daerah Aceh, di mana ketetapan tekstual yang ada dalam nash dipahami apa adanya tanpa melihat secara kontekstual. Misalnya nash yang menyatakan bahwa “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan” atau “laki-laki dilebihkan satu derajat daripada perempuan”, atau “negara akan hancur bila dipimpin oleh seorang perempuan” dan lain sebagainya. Sebagian besar responden memahaminya secara tekstual apa adanya sebagaimana bunyi teks itu. Karenanya kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan masih jauh panggang dari api. Kalau pun ada relatif kecil dan amat terbatas pada kalangan tertentu saja. Nursalmi Mahdi,39 pada tahun 2000 juga mengadakan penelitian yang mengambil tema tentang perempuan dengan judul Persepsi Dosen dan Karyawan Terhadap Eksekutif Perempuan IAIN Ar-Raniry. Nursalmi menyatakan bahwa kenyataan terdapatnya kaum perempuan yang menduduki berbagai jabatan karir di IAIN Ar-Raniry adalah sesuatu yang positif, meskipun masih relatif sedikit bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dinilai Nursalmi wajar, karena suatu jabatan karir memang membutuhkan kapabilitas dan ketrampilan

38Raihan Putri dkk, Persepsi Masyarakat Daerah Istimewa Aceh

Terhadap Kemitrasejajaran antara Pria dan Perempuan, (Banda Aceh: Penelitian Diks, IAIN Ar-Raniry, 1998/1999).

39Nursalmi Mahdi, Persepsi Dosen dan Karyawan Terhadap Eksekutif Perempuan IAIN Ar-Raniry, Pusat penelitian IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, 1999. Juga penelitiannya yang lain, Sikap Dosen dan Karyawan Terhadap Perempuan (Studi Tentang Kedudukan Perempuan pada Posisi Kepemimpinan di IAIN Ar-Raniry), (Banda Aceh: Pusat penelitian IAIN Ar-Raniry, 2000).

Page 36: 22

22

khusus, sehingga pos-pos ini lebih banyak diduduki oleh laki-laki. Secara tidak langsung Nursalmi mengakui adanya kurang-nya kualitas SDM dari kalangan kaum perempuan di IAIN untuk menduduki jabatan-jabatan karir. Arbiyah Lubis, dkk.,40 juga mengadakan penelitian dua kali tentang perempuan di Aceh, yang pertama, berjudul Perempuan Aceh dalam Lintasan Sejarah (Kajian tentang Keserasian Hubungan Gender pada Masa Kesultanan Aceh), dan kedua, Perempuan dalam Pandang-an Jamaah Tabligh (Studi Tentang Peran dan Kedudukan Perempuan).” Adapun penelitian yang dilakukan oleh Ratna Megawangi41 melalui judul kajiannya; Membiarkan Ber-beda, Sudut Pandang Baru tentang Relasi Jender, mengajak kepada kita untuk berpikir dan menganalisis berbagai sudut pandang mengenai relasi jender, serta mencari alternatif konsep kesetaraan jender yang dapat mewujudkan relasi jender yang harmonis. Dalam rangka ini, Megawangi juga mengungkapkan landasan teoretis dan ideologis tentang kesetaraan jender. Dari kajiannya dapat diambil kesimpulan bahwa antara kaum laki-laki dan kaum perempuan walaupun berbeda dalam peran, namun yang terpenting adalah satu dalam mencapai tujuannya. Jadi di sini tidak terlihat keharusan adanya kesetaraan jender dalam semua aspeknya. Raihan Putry, dengan judul tesisnya yaitu Kemampuan Manajerial Dosen Perempuan, membahas tentang sebab-musabab mengapa kaum perempuan tidak bisa mencapai jabatan-jabatan kepemimpinan di lembaga perguruan tinggi yaitu di UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry yang merupakan

40Arbiyah Lubis, Perempuan Aceh Dalam Lintasan Sejarah (Kajian

Tentang Keserasian Hubungan Gender Pada Masa Kesultanan Aceh) Penelitian Proyek IAIN, Banda Aceh, 1997. Dan penelitiannya yang lain Perempuan Dalam Pandangan Jamaah Tabligh (Studi Tentang Peran dan Kedudukan Perempuan), (Banda Aceh: Penelitian Proyek IAIN, 2001).

41Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Jender, (Bandung: Mizan, 1999)

Page 37: 22

23

lembaga yang lebih netral, sehat, dan rasional.42 Kemudian kajian tentang perempuan yang dilakukan oleh Mustabsyirah dengan judul tesisnya, Hak Publik Perempuan dalam Fikih Siyasah, dengan pendekatan metode hermeneutik yang membahas masalah munculnya paham tentang lahan publik bagi perempuan yang tidak adil jender.43 Faisar Ananda Arfa44 melalui disertasinya yang berjudul Perempuan Dalam Konsep Islam Modernitas, juga telah membahas tentang isu jender. Sesuai dengan judulnya, Faisar mencoba mengkaji dan menganalisis landasan filosofis dari pemikiran modern di Indonesia tentang perempuan. Faisar menyatakan bahwa dalam Islam, terdapat nash yang seolah-olah kontradiktif; di antaranya ada gambaran yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan sama dengan laki-laki, tetapi di sisi lain terdapat juga nash yang memberi kesan subordinatif bagi perempuan, seperti kasus tentang kesaksian, poligami, warisan dan kepemimpinan. Dalam kajiannya, Faisar menyatakan bahwa perempuan dalam pemikiran Islam modern di Indonesia dinilai sebagai sesama makhluk Tuhan yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Dengan demikian juga mendapat kesempatan yang sama dalam mengapresiasikan hak dan kewajibannya. Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh juga pernah menerbitkan kumpulan tulisan seputar pendidikan di Aceh dengan judul; Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh.45 Di dalamnya berisi tulisan-tulisan mengenai sejarah

42Raihan Putry, Kemampuan Manajerial Dosen Perempuan, (Tesis)

(Banda Aceh: Program Pascasarjana Unsyiah), 2003. 43Mustabsyirah Husein, Hak Publik Perempuan Dalam Fikih

Siyasah, (Tesis) (Banda Aceh: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry), 2003.

44Faisar Ananda Arfa, Perempuan Dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004).

45Lihat MPD Prop. D.I. Aceh, Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, Badruzzaman, Mahyuddin Hasyim dkk (Ed), (Banda Aceh: Gua Hira’, 1995).

Page 38: 22

24

pendidikan di Aceh dan kajian mengenai sebuah lembaga pendidikan yang ada di Aceh, sedangkan pembahasannya belum dikaitkan dengan perempuan. Penelitian atau kajian-kajian yang telah ada, jelas terlihat belum menyentuh secara spesifik bagian yang akan dijadikan obyek penelitian ini, apalagi menyangkut keter-libatan perempuan dalam menyusun kebijakan pendidikan di Aceh. Kajian ini penting bukan hanya bagi perempuan dalam mendapatkan hak-haknya (terutama sektor pen-didikan) ataupun agar dapat menduduki posisi-posisi tertentu (memiliki kapabilitas), melainkan juga agar kaum perempuan dapat memainkan perannya dalam kehidupan publik di Aceh, sehingga tidak terjadi diskriminasi di kemudian hari.

Akan tetapi, kajian ini juga terbantu dengan kajian atau teori yang relevan yang pernah dilakukan, seperti kajian yang dilakukan oleh Mansour Fakih, secara sederhana pandangan gerakan feminisme dapat dibagi menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial, yakni aliran fungsionalisme struktural dan aliran konflik.46

Asumsi dasar kaum fungsionalisme struktural adalah keyakinan bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian dan saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik, sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni. Pengaruh pemikiran ini dapat kita temui dalam pemikiran feminisme liberal yang memandang bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equity) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Karena laki-laki dan perempuan adalah sesama makhluk rasional, maka tidak ada perbedaan kesempatan di antara mereka. Dengan kata lain, jika sistem sudah memberikan kesempatan yang sama, maka jika

46Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 71-72.

Page 39: 22

25

kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan sendiri.47

Sedangkan aliran konflik adalah pandangan yang percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Bagi mereka, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai senjata untuk menguasai dan melegimitasi kekauasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Berdasarkan asumsi seperti ini, maka perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan merubah posisi dan hubungan. Pandangan kaum feminis yang dapat dikata-kan terpengaruh oleh pandangan ini, di antaranya adalah, feminisme radikal, feminisme marxis, serta feminisme sosialis.48

Pandangan-pandangan dari kaum feminis ini dapat dijadikan acuan dalam memahami fenomena marjinalisasi yang dialami oleh kaum perempuan, serta membaca dan menganalisis data-data yang diperoleh dalam penelitian ini.

Kajian ini sendiri menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya dan pengumpulan datanya bisa dengan wawancara serta pengamatan.49 Dalam memahami fenomena yang diteliti, metode ini menggunakan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa.50

47Mansour Fakih, Analisis Gender..., hal. 81-82. 48Mansour Fakih, Analisis Gender..., hal. 84-89. 49Lihat Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian

Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 4. Lihat juga Burhan Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2007, hal. 27-28

50 Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 6.

Page 40: 22

26

Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller51 pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuanti-tatif. Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang melibat-kan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. Sementara penelitian kualitatif adalah penelitian yang me-rujuk pada kualitas-kualitas alamiah yang dipertentangkan dengan kuantitas atau jumlah/angka. Karenanya, penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Pendapat ini sejalan dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Strauss, bahwa penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak dapat diperoleh dengan alat-alat dan prosedur kuantifikasi. Penelitian ini dapat dikenakan pada kehidupan, sejarah, perilaku seseorang, atau hubungan interaksional.

Bogdan dan Taylor,52 dengan bahasa yang agak berbeda, mendefinisikan metode kualitatif sebagai peneliti-an yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik. Karenanya, dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak boleh mengisolasi individu atau kelompok ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai sesuatu yang utuh.

Dengan demikian penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi dan sebagainya yang dilihat secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.53

51 Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian…, hal. 6. 52 Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian..., hal. 4. 53 Lexy J. Moleong, M.A., Metodologi Penelitian…, hal. 6.

Page 41: 22

27

Karena sifat penelitiannya deskriptif analitis54 dan sosio historis,55 maka penelitian dilakukan terhadap keterlibatan perempuan di lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pendidikan, seperti MPD, dan Dinas pendidikan. Selanjutnya didukung oleh literatur yang akan menjadi rujukannya yaitu buku-buku yang terfokus pada tema perempuan, baik dalam konteks sejarahnya, maupun dalam konteks pendidikan di Aceh. Sumber data diperoleh melalui literatur kepustakaan atau wawancara dengan pihak-pihak yang terkait pada lembaga/ instansi yang terkait (konteks perempuan dalam publik/politik dan pendidikan). Selain itu pencarian sumber data juga diperoleh melalui penelusuran literatur, tidak hanya pada kantor arsip dan perpustakaan resmi, seperti di pustaka wilayah propinsi NAD, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh, akan tetapi juga pada perpustakaan tidak resmi, seperti koleksi-koleksi pribadi yang memungkinkan, makalah-makalah seminar, dan artikel-artikel.

Metode dan langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data penelitian ini; Pertama, Analisis dokumen yang digunakan karena beberapa alasan, yaitu sumber informasi yang stabil dan kaya, sifatnya yang alamiah dan sesuai konteks ketika dokumen itu dikeluar-kan, dan murah serta mudah didapat. Dengan ini peneliti melakukan survei literatur (kajian kepustakaan, library research) terhadap berbagai data yang menyangkut tentang perempuan, terutama perempuan Aceh dan literatur lain yang dinilai relevan yang menyangkut dengan sejarah Aceh dari segi politik dan pendidikan, baik untuk penyusunan kerangka teoretis maupun untuk kepentingan analisis.

54 Analisis isi secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi (lihat Nyoman Kutha Ratna, Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Post Strukturalisme, Pespektive Wacana Narative, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal 46)

55Karena Penelitian ini mengkaji sejarah terutama Sejarah Aceh dalam kaitannya dengan keterlibatan perempuan.

Page 42: 22

28

Kedua, untuk mendapatkan data di lapangan penulis melakukan observasi dan wawancara mendalam dengan pihak terkait. Alasan digunakannya teknik observasi ini adalah karena dengan teknik ini peneliti bisa mengamati dan mengalami langsung kejadian-kejadian yang terjadi pada obyek. Dengan demikian peneliti dapat secara langsung mencatat perilaku atau kejadian yang berlangsung saat itu. Tujuan digunakannya teknik observasi ini adalah untuk mendeskripsikan latar hal-hal yang berkaitan dengan apa yang sedang diteliti, kegiatan-kegiatan yang sedang terjadi, orang-orang yang berpartisipasi, dan makna latar, kegiatan, dan orang-orang yang diobservasi.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan pedoman observasi yang telah disiapkan oleh penulis sebelumnya. Pedoman ini disusun setelah dilakukan penelusuran terhadap data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang hendak diteliti, sehingga dapat dipetakan apa saja permasalahan yang hendak ditelusuri dan kepada siapa saja wawancara akan dilakukan.

Bentuk teknik observasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi non partisipan, karena peneliti tidak dapat menjadi bagian dari lingkungan di mana subyek melakukan aktivitasnya (sebagai pegawai, dan sebagainya). Sementara teknik wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara yang permasalahan dalam pertanyaannya telah disusun secara sistematis dan memfokuskan pada permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Namun tidak menutup kemung-kinan ketika terjadi interaksi dengan sumber, pembicaraan berkembang ke berbagai hal yang berkaitan dengan per-masalahan utama. Meski begitu, penulis tetap membatasi pembicaraan agar tetap relevan. Catatan atau hasil dari wawancara ini yang kemudian dipergunakan dalam analisis dan interpretasi data. Data dari hasil wawancara ini dilengkapi dengan data yang diperoleh melalui observasi, sebelum, selama, dan sesudah wawancara.

Page 43: 22

29

Hal ini dilakukan sebab penelitian ini ditempuh dengan penelitian lapangan (penelitian kancah, field research). Untuk memperkuat dan mempertajam analisis penelitian ini dilengkapi dengan upaya konfirmasi dan pencarian informasi dari pihak-pihak yang terkait. Jadi mayoritas data diperoleh dari para informan dengan melakukan wawancara mendalam. Setelah data dan informasi yang relevan dengan penelitian ini terhimpun, maka data tersebut akan diklasifikasikan sesuai dengan kategori dan kedekatan masalah yang dikaji.

Tahap selanjutnya adalah pengolahan data secara intensif untuk kemudian disajikan secara utuh dengan pendekatan deskriptif analitik. Pendekatan deskriptif ber-maksud untuk melukiskan data yang diperoleh di lapangan lalu dianalisa agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sedangkan metode analitik56 diarahkan pada upaya pemaparan data penelitian yang disertai dengan pembacaan kreatif penulis berupa penilaian, perbandingan, interpretasi dan tafsiran subyektif yang tersedia.

Teknik deskriptif analitis, seperti dikemukakan Moleong, dilakukan melalui dua tahapan, yaitu penyajian data dan analisis data dengan rincian sebagai berikut;

Pertama, Pengolahan Data, terdiri dari beberapa langkah, yaitu; 1) Mencatat data yang menghasilkan catatan lapangan, kemudian diberi kode agar sumber data tetap dapat ditelusuri. 2). Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasi, menyintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeks. 3). Berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data memiliki makna, mencari dan menemukan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.

Kedua, Analisis Data, dengan langkah-langkahnya; 1). Membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data. 2). Mempelajari kata-kata kunci, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data. 3). Menuliskan model yang ditemukan.

56 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian..., hal. 248

Page 44: 22

30

Ketiga, Populasi dan Sampel. Penelitian ini mengambil populasi dalam masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam dengan menggunakan purposive sampling57 dengan sasaran seluruh perempuan Aceh di lembaga pemerintahan. Mengingat luasnya wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, maka sampel diambil dengan mempertimbangkan terpenuhinya aspek keterwakilan, yaitu perempuan anggota Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA), perempuan di MPD, dan perempuan akademisi. Adapun lokasi penelitian diputuskan berdasarkan klasifikasi lembaga, yaitu lembaga atau instansi yang berkaitan dengan keterlibatan perempuan dalam mengambil kebijakan pendidikan, yaitu MPD Propinsi NAD pada periode tiga (tahun 2003-2008).

Keempat, Sistematika Penulisan.Teknis penulisan buku ini mengikuti transliterasi yang berlaku dan disistematisasi pada beberapa bab bahasan. Bagian pertama, berupa pendahuluan berisi latar belakang masalah, permasalahan, yang meliputi identifikasi masalah, pem-batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat pembahasan, kajian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian meliputi bentuk dan sifat penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel serta sistematika penulisan. Bagian kedua, keterlibatan perempuan dalam perspektif sejarah. Bahasan bagian ini meliputi gambaran umum Nanggroe Aceh Darussalam, dan kondisi perempuan Aceh masa lalu. Bagian ketiga pendidikan di Aceh dalam lintasan sejarah, meliputi pendidikan pra kemerdekaan (masa

57Penelitian kualitatif cenderung menggunaan teknik purposive

sampling (sampling bertujuan) dan sampling ini akan paling sering untuk memasukkan sebanyak mungkin informasi. Jadi penggunaan purposive sampling karena: memilih kasus-kasus yang bersifat informatif (lihat Rulam Ahmad, Memahami Metodologi Penelitian Kualitatif (Malang:UM Press, 2005 hal. 46-48) Cetakan I. untuk mengambil suatu kelompok yang dijadikan “kunci” (lihat Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Metode Penelitian Sosial (Terapan dan Kebijaksanaan, tahun 2000 hal. 18)

Page 45: 22

31

kesultanan Aceh dan masa penjajahan), pendidikan pasca kemerdekaan (orde lama, orde baru dan era reformasi), dan pendidikan masa kini. Bagian keempat, seputar keterlibatan perempuan dalam bidang pendidikan di Aceh, meliputi lembaga penyusun kebijakan pendidikan, peran perempuan terhadap pendidikan, dan keterlibatan perempuan dalam menyusun kebijakan pendidikan, analisa faktor penentu dan reformulasi peran perempuan dalam kebijakan pendidikan. Bagian Kelima, kiprah perempuan Aceh masa kini, meliputi watak dan karakter perempuan Aceh, kiprah perempuan Aceh dalam peran publik, pandangan tokoh tentang posisi perempuan (gambaran umum tokoh Aceh, pandangan tokoh perempuan, pandangan tokoh laki-laki). Bagian terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dan implikasi penelitian.

Page 46: 22

32

Page 47: 22

33

PEREMPUAN ACEH DALAM KANCAH POLITIK

Sekilas Nanggroe Aceh Darussalam

ajian ini difokuskan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terletak di ujung paling Barat dari

kepulauan Indonesia, tepatnya di ujung barat laut pulau Sumatera, antara 2º-6º Lintang Utara dan 95º-98º Bujur Timur. Posisi geografis Nanggroe Aceh Darussalam sebelah utara dan timur berbatasan langsung dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.58

Luas wilayah Nanggroe Aceh Darussalam adalah 57.365,57 KM2 atau 5.736.557 Ha. Keseluruhan luas wilayah ini terdiri dari areal perhutanan, areal perindustrian, pertanian, padang rumput/lapang, daerah perkotaan dan pedesaan, danau sungai dan pegunungan. Wilayah seluas itu, menurut data tahun 2005 dihuni oleh sekitar empat juta jiwa yang tersebar di 21 kecamatan, yaitu Kota Madya Sabang (28.597 jiwa), Kota Madya Banda Aceh (177.881 jiwa), Kabupaten Aceh Besar (296.541 jiwa), Kabupaten Pidie (474.359 jiwa), Kabupaten Bireuen (351.835 jiwa), Kabupaten Aceh Utara (493.670 jiwa), Kabupaten Aceh Tengah (160.549 jiwa), Kabupaten Aceh Timur (304.643 jiwa), Kabupaten Aceh Tenggara (169.053 jiwa), Kabupaten Aceh Barat (150.450 jiwa), Kabupaten Simeulue (78.389 jiwa), Kabupaten Aceh Selatan (191.539 jiwa), Kabupaten Aceh Singkil (148.277 jiwa), Kota Lhokseumawe (154.634 jiwa), Kota Langsa (137.586 jiwa), Kabupaten Aceh Barat Daya (115.676 jiwa), Kabupaten Gayo Lues (72.045 jiwa), Kabupaten Aceh Jaya (60.660 jiwa),

58Alamsyah (Ed.), Pedoman Umum Aceh, Edisi I, (Banda Aceh, Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990), hal. 1.

K

Page 48: 22

34

Kabupaten Nagan Raya (123.743 jiwa), Kabupaten Aceh Tamiang (235.314 jiwa) dan Kabupaten Bener Meriah (106.148 jiwa).59

Tata pemerintahan daerah dari tingkat Propinsi sampai dengan kecamatan secara umum sama dengan yang ada di daerah lain, namun sejak Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, maka pemerintahan daerah di Aceh memiliki karakteristik tersendiri. Daerah administrasi terrendah adalah gampong (desa) yang dikepalai oleh seorang keuchik (kepala desa). Di samping itu, juga terdapat kemukiman yang merupakan kumpulan dari beberapa gampong yang berdekatan yang dikepalai oleh kepala mukim (imeum mukim), yang bertugas mengoordinasikan kegiatan para keuchik, terutama pada bidang-bidang sosial. Selain itu masih terdapat pemimpin-pemimpin informal yang dikenal dengan tuha peuet (Petua empat) dan tuha lapan (petua delapan) yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat. Dalam kepemimpinan keagamaan terdapat teungku imeum (imam) atau qadhi. Di atas kemukinan terdapat wilayah yang disebut nanggroe dan di tingkat Propinsi, NAD dikepalai seorang gubernur. Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam beribukota Banda Aceh.60

Sejak dulu, Aceh yang berbatasan dengan Selat Malaka, menjadi jalur niaga internasional, termasuk wilayah yang paling awal menerima Islam dari para pengikut Nabi Muhammad SAW., yang datang untuk berdagang dan berdakwah ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana diketahui bahwa Islam masuk ke wilayah Nusantara, pada awalnya di Aceh, yang telah berlangsung sejak abad pertama hijriah (VII Masehi) dan

59Lihat Penduduk Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: BPS,

2005), hal. 2-10. 60T. Alamsyah (Ed.), Pedoman Umum, hal. 1-6. Pemerintah Kota

Banda Aceh, Profil Kota Banda Aceh dan Potensi Pariwisata, Banda Aceh, 1999, hal. 4.

Page 49: 22

35

mencapai puncak Islamisasi ketika berdiri kekuasaan Islam di Aceh pada abad III hijriah. Dalam buku Sumatera: Its History and People, Edwin M. Loeb61 menyatakan bahwa para pengikut Nabi Muhammad Saw. telah sampai ke wilayah Sumatera bagian Utara (Peureulak) dan mendakwahkan Islam antara tahun 846 dan 950 Masehi. Bahkan menurut Thomas Arnold62 para pengikut Muhammad diperkirakan telah sampai dan menetap di Sumatera sejak tahun 674, karena wilayah ini termasuk lintasan niaga internasional.

Catatan di atas diperkuat oleh catatan Ali Hasjmy yang mendasarkan diri pada kitab Izhâr al-Haqq karya Abu Ishaq Makarani al-Fasi dan kitab Tazkirah Tabaqât Jam‘u Sultân as-Salâtîn karya Syamsul Bahri al-Asyi yang disalin kembali oleh Abdullah bin Sayid Habib Saifuddin pada tahun 1275 H., atas perintah Sultan Alaiddin Mansur Syah (1836-1870), yang menyatakan bahwa di Peureulak pada abad IX Masehi telah berdiri kerajaan Islam yang dipimpin oleh seorang sultan. Hasjmy menyatakan bahwa dalam rentang kurang lebih setengah abad, masyarakat Islam yang terdiri dari keturunan Arab, Persia, Gujarat dan orang pribumi (Aceh, Nusantara) telah eksis di daerah Peureulak ini, sehingga sangat kondusif untuk diproklamasikan sebagai sebuah kerajaan Islam, yang kemudian dikenal Kerajaan Islam Peureulak, pada hari Rabu, 1 Muharram 225 H. (12 Nopember 839 M.) dengan Sayyid Maulana Abdul Aziz dengan gelar Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang berkuasa hingga 864 Masehi.63 Oleh karenanya masyarakat di tempat tersebut sangat religius, dan sejak awal telah berdiri sebuah daerah kekuasaan Islam serta menjadi

61Edwin M. Loeb, Sumatra: Its History and People (Oxford

University Press: New York, 1972), hal. 218. 62Thomas Arnold, The Spread of Islam in The World: A. History of

Peaceful Preaching, (India: Goodword Books, 2001), hal. 364. 63Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit

Beuna, 1983), hal. 45. Lihat juga Muhammad Syamsu, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Cet. II (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), hal. 1-2.

Page 50: 22

36

tempat persinggahan orang Islam Nusantara untuk menyempur-nakan ilmunya bagi yang ingin menunai-kan ibadah haji. Tempat ini juga berperan sebagai pusat perhatian dalam menimba ilmu agama bagi penuntut ilmu serta tempat rujukan umat Islam di kawasan Asia Tenggara dalam bidang agama, maka Aceh kemudian dikenal dengan julukan daerah Serambi Mekah.

Penduduk Aceh terdiri dari berbagai etnis seperti etnis Aceh, Tamiang, Alas, Aneuk Jamee, Kluet, Aneuk Laot, Simelue dan Sinabang, yang masing-masing memiliki budaya dan bahasa serta pola pikir yang spesifik. Aceh bagian tengah didiami oleh orang Alas dan Gayo yang memiliki budaya yang ciri khas, yang membedakannya dengan orang Aceh yang berdiam diri di sepanjang pesisir Aceh. Kehidupan di wilayah pesisir memiliki karakteristik kosmopolit, mudah menerima perubahan, persaingan ketat, kehidupan keras dan mengutamakan sikap efektif dan efisien. Oleh karenanya wajar bila bahasa yang digunakannya yang termasuk rumpun bahasa Detro Melayu menggunakan jumlah suku kata yang cenderung sangat singkat.

Menurut para sejarawan dan antropolog, asal-usul bangsa Aceh berasal dari suku mantir (Aceh, mantee) yang hidup di rimba raya Aceh dan berpostur tubuh kecil bila dibanding dengan orang Aceh sekarang. Diperkirakan suku mantir ini memiliki hubungan dengan suku bangsa mantera di Malaka, bagian dari bangsa Monk Khmer di Hindia Belakang. Bangsa Aceh juga mengalami pembauran dengan bangsa-bangsa yang datang dari Andaman, India, dan Nicobar.64

Menurut cerita mitologis yang sering dikutip, asal-usul bangsa Aceh berasal dari keluarga yatim, di mana Putri Baren mempunyai dua anak laki-laki. Karena rasa tidak aman, mereka berniat meninggalkan negerinya di Parsi menuju ke suatu pulau makmur yang terletak di tengah lautan Hindia. Di tengah

64S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh (Jakarta:

Soerangon ,1956), hal. 5-7.

Page 51: 22

37

perjalanan, anak yang tertua memisahkan diri menuju Tiongkok dan lainnya menuju Aceh. Setibanya di pantai di ujung pulau Sumatera, penduduk setempat menyambutnya dengan ucapan “Aji datang, aji datang” yang berarti “Abang yang datang, Abang yang datang” yang dikiranya rombongan sang abang. Istilah Aji atau Achin kemudian di kalangan bangsa Cina sebagai sebutan untuk Aceh. Dalam folklore lainnya, diceritakan bahwa istilah Aceh berasal dari sebuah kerajaan di mana permaisuri tengah mengandung dan tiba-tiba melahirkan. Oleh penduduk peristiwa ini disambutlah dengan seruan ka ceh yang berarti telah lahir. Dan dari sinilah asal kata Aceh.65

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam beribukota Banda Aceh. Keberadaan dan kedudukannya sebagai Ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh mengemban fungsi utama sebagai pusat pemerintahan. Selain itu juga mengemban fungsi sebagai pusat pen-didikan, pusat sosial budaya, serta pusat politik. Di sisi lain, perkembangan dalam sektor perdagangan, industri, kerajinan dan perbankan di kota ini mengalami peningkatan sejalan dengan lajunya pembangunan di berbagai bidang.

Letak Kota Banda Aceh adalah pada ujung paling Barat pulau Sumatera, yaitu tepatnya pada: 500 30 sampai 500 40 lintang utara dan 950 6 sampai 950 24 lintang timur. Batas wilayah Kota Banda Aceh adalah: Utara, berbatasan dengan Selat Malaka, Selatan, berbatasan dengan Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, Timur, berbatasan dengan Kecamatan Ingin Jaya dan Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, dan Barat, berbatasan dengan Kecamatan Peukan Bada dan Lautan Indonesia.66

Secara umum penyebaran penduduk, terutama tokoh masyarakat baik ulama, cendekiawan dan kalangan politikus Aceh banyak berdomisili di wilayah Kota Banda Aceh. Para

65Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh

Mewujudkan Negara Islam (Jakarta: Madani Press, 1999), hal. 11-12. 66 Pemerintah Kota Banda Aceh, Profil Kota Banda Aceh, hal. 4

Page 52: 22

38

tokoh intelektual tersebut tersebar dalam berbagai bidang keilmuan, baik agama, pendidikan, hukum, ekonomi, kesehatan, politik dan lain-lain. Mereka itulah, terutama para tokoh yang terkait dengan Majelis Pendidikan Daerah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang menjadi sasaran penelitian sebagai dasar pijakan pembahasan penelitian ini.

Kondisi dan Posisi Perempuan pada Masa Lalu Aceh dalam lintasan sejarah identik dengan Islam, banyak masyarakat yang menyatakan bahwa masyarakat Aceh sama dengan Islam, ada juga yang berpendapat bahwa sejarah masyarakat Aceh sendiri baru dikenal sejalan dengan berkembangnya agama Islam. Menurut sejarah, Islam sudah menapak di Aceh di abad ke-9 M,67 bahkan ada sumber yang mengatakan bahwa muslim pertama yang mengunjungi Indonesia diperkirakan pada abad ke-7 M, ketika pedagang Arab berhenti di Sumatera untuk menuju ke Cina.68 Dalam sebuah sumber seperti yang dijelaskan oleh A. Hasjmy dikatakan bahwa pada tahun 173 H, sebuah kapal yang dipimpin oleh Nahkoda Khalifah dengan kira-kira seratus orang anggota dakwahnya telah berlabuh di Bandar Perlak.69 Dari sinilah Islam masuk ke Aceh, walaupun menurut Marco Polo, seorang pelaut bangsa Italia dari Venesia yang sempat singgah di Peureulak dalam perjalanannya ke India dari Cina, membuat laporan bahwa kerajaan Islam telah ada di Peureulak tahun 1292.70

67Yunus Djamil, Silsilah Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh (Banda

Aceh, diterbitkan dengan usaha Adjudan Djendral Kodam I Iskandar Muda, 1968), hal. 4.

68Harry W. Hazard, Atlas of Islamic History, (Princton University Press, 1952), hal. 45.

69M. Hasbi Amiruddin, Latar Belakang Aceh Sebagai Serambi Makkah (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Propinsi NAD, 2005), hal. 10.

70Marco Polo, The Travels of Marco Polo, terjemahan Ronald Latham, (London: Penguin Garup, 1958), hal. 253.

Page 53: 22

39

Kerajaan Peureulak merupakan daerah mula-mula Islam masuk dan kemudian berkembang ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya, sehingga masyarakat Aceh yang memeluk agama Islam ini menjadikan agama tersebut sebagai pedoman hidup (way of life). Sejak dari kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Samudra Pasai sampai-sampai kepada kerajaan Aceh Darussalam, telah mengambil Islam menjadi dasar negara dan sumber hukum, yaitu Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Karena Islam menjadi Dasar Negara, sumber hukumnya Qur’an dan Sunnah, maka kedudukan perempuan dalam Kerajaan Aceh disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Ajaran Islam sendiri telah memberi penghargaan terhadap perempuan, di mana posisinya sama dengan kaum laki-laki. al-Qur’an telah menegaskan, bahwa manusia diciptakan dari sumber yang satu, yaitu dari Adam, baik laki-laki ataupun perempuan, baik yang berkulit hitam atau pun berkulit putih, karena itu kedudukan laki-laki dan perempuan sama; manusia sama derajat dalam pandangan Allah.71 Menurut Islam juga, bahwa hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sama dalam masyarakat bangsa dan dalam masyarakat dunia, kalau pun ada yang lebih dan kurang, terletak pada ketakwaannya. Sebenarnya banyak dari ayat-ayat Qur’an yang menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam. Dan bila diikuti, konsep pendidikan dalam Islam juga menunjukkan Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya al-Qur’an ketika menyatakan penghargaannya terhadap orang-orang berilmu, dan tidak membedakan apakah laki-laki ataupun perempuan. Betapa besar perhatian Allah kepada kaum perempuan, antara lain terbukti bahwa dalam al-Qur’an terdapat surat yang bernama an-Nisâ’, artinya perempuan-perempuan, yang di dalamnya banyak membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan perempuan dan masyarakatnya. Dalam

71Ali. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan

Ratu (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang , 1977), hal. 21-22.

Page 54: 22

40

masalah jihad atau perang, dalam masalah negara, menurut Islam kewajiban laki-laki dan perempuan sama, artinya sama wajib berjihad untuk menegakkan agama Allah, sama-sama wajib berjihad untuk membela tanah air, sama-sama wajib bekerja untuk memimpin dan membangun negara. Mengenai hak perempuan untuk memegang jabatan-jabatan dalam negara, sampai jabatan yang tinggi boleh, asal sanggup dan mempunyai pengetahuan untuk bidang-bidang jabatan yang akan dipegang-nya; sama seperti hak laki-laki dalam hal tersebut.72 Bila dicermati ayat-ayat al-Qur’an dalam berbagai kesempatan laki-laki dan perempuan menduduki posisi yang setara di hadapan Allah karena keduanya adalah sama-sama sebagai manusia. Hal ini bisa dilihat dari kata “insan” yang bermakna manusia yaitu salah satu dari anak cucu Adam, laki-laki dan perempuan. Laki-laki adalah manusia, begitu pula kata “Basyar”, yang bermakna manusia. Tidak ada perbedaannya antara perempuan dan laki-laki. Dalam al-Qur’an banyak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki itu sama, baik dalam mendapat hak dan kewajiban, yang antara lain ditunjukkan oleh surat Ali-Imran ayat 195,73 surat An-Nahl ayat 97,74 surat Al-Hujarat ayat 13,75 surat At-Taubah ayat 71.76

72Ali Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka…, hal. 23-24. 73

Maka Tuhan mereka memperkenankan per-mohonannya (dengan

berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam

Page 55: 22

41

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan juga tercermin pada kesetaraan dalam nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan dalam hak-hak sosial, kesetaraan dalam tanggung jawab, atau kesetaraan dalam segala bidang termasuk dalam kesetaraan penghitungan di akhirat. Sedangkan hal-hal yang bersifat relatif akibat perbedaan keduanya dalam beberapa pengecualian adalah bertujuan untuk menyempurnakan keduanya dalam merealisasikan kekhalifahan, dan menjadi

surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki

maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian

mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Page 56: 22

42

19

standar ukuran dari kesetaraan, kepercayaan, dan tanggung jawab yang dipikul keduanya dalam hubungan keimanan dan kekerabatan teologis. Bentuk ini merupakan suatu keharusan dalam lingkup universal untuk memahami makna qawamâh (kepemim-pinan) dalam perspektif Islam.77

Di negara-negara yang mempunyai peradaban besar, seperti Yunani, Romawi, India, dan Cina dan agama-agama dunia seperti Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster, dan sebagainya, perempuan diperlakukan tidak senonoh. Walaupun Yunani sudah memiliki peradaban yang tinggi dan mereka sudah dikenal dengan pemikiran filsafatnya, perempuan diperlakukan tidak adil, perempuan-perempuan elit disekap dalam istana sementara perempuan di kalangan bawah, diperjualbelikan. Bagi yang sudah kawin, sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suaminya. Bahkan pada puncak peradaban Yunani, perempuan dijadikan sebagai pemenuhan kebutuhan laki-laki dan sebagai pemuas nafsu seksual. Begitu juga dalam peradaban Romawi, perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, mereka di bawah kekuasaan suaminya, apakah dia mau menjual, mengusir, menganiaya, dan bahkan membunuhnya. Keadaan tersebut berlangsung terus-menerus sampai abad keenam Masehi. Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu diundang-undang-kannya hak kepemilikan terbatas bagi perempuan dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah). Peradaban Hindu dan Cina tidak jauh beda dengan peradaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang perempuan yang telah kawin harus berakhir pada saat kematian suaminya, istri harus dibakar hidup-hidup bersamaan dengan pembakaran suaminya. Keadaan tersebut baru berakhir pada abad ke-17 M.

77 Nawal al-Sya’dawi, dan Ibah Rauf Idzat, Perempuan, Agama, dan

Moralitas Antara Nalar Feminis dan Islam Revitalis, Penerjemah Ibn Rusyd, (Jakarta: Erlangga, 2002), hal. 131-132

Page 57: 22

43

Dalam masyarakat Hindu ketika itu, perempuan dijadikan sesajen bagi dewa-dewa mereka. Dan perempuan dalam petuah sejarah kuno dianggap sama dengan racun, ular, dan api. Pembicaraan perempuan tidak boleh dipercayai kebenarannya. Tidak ada bedanya dalam ajaran Yahudi, perempuan dianggap sama dengan pembantu. Ayah berhak menjual anak perempuannya kalau ia tidak memiliki saudara laki-laki. Mereka mempercayai perempuan sebagai laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga, begitulah ajaran mereka. Hampir sama juga dalam pandangan sementara pemuka/penganut Nasrani, bahwa perempuan adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad ke-5 M, diselenggarakan suatu konsili yang membahas apakah kaum perempuan itu mempunyai ruh atau tidak. Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa perempuan tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan selanjutnya, pada abad ke-6 M, juga diadakan suatu pertemuan untuk membahas apakah perempuan itu manusia atau bukan manusia. Kesimpulan dari pertemuan tersebut bahwa perempuan itu manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan tetap sangat memrihatinkan. Bahkan sampai tahun 1805 M., perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual istrinya dan sampai tahun 1882 M. perempuan Inggris belum memiliki hak kepemilikan harta benda secara penuh, apalagi hak untuk menuntut ke pengadilan.

Ketika Elizabeth Blackwill –yang merupakan dokter perempuan pertama di dunia– menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849 M, teman-teman yang bertempat tinggal dengannya memboikot dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pengajaran. Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk Perempuan di Philadelphia, Amerika Serikat, ikatan dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.

Page 58: 22

44

Demikian gambaran kedudukan perempuan sebelum, menjelang, dan sesudah kehadiran al-Qur’an di berbagai negara dan agama dunia yang tentunya tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an yang sangat memuliakan perempuan. Keterlibatan Perempuan Aceh dalam Bidang Politik dan Sosial

Melihat masa lampau di beberapa negara, baik Eropa maupun Amerika dan Asia78 terdapat segolongan perempuan yang merasa dimarginalkan, sehingga mereka berjuang untuk kesetaraan/persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dengan jiwa dan semangat menyala-nyala. Akhirnya pada abad ke-19 kedudukan perempuan dalam masyarakat dapat dikatakan telah berubah dan jauh lebih sempurna dari sebelumnya. Tetapi lain yang terjadi di Aceh dari zaman ke zaman. Turun-temurun perempuan dianggap dan diperlakukan dalam pergaulan hidup, bersamaan hak dan kewajibannya dengan laki-laki. Seorang perempuan bukan mustahil menduduki kedudukan penting dalam bidang apapun.79 Sebagaimana ternukil dalam sebuah kitab yang berjudul Safinah al-Hukkâm (Bahtera Para Hakim), yang dikarang dalam tahun 1153 H (1721 M), di dalamnya menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kerajaan, asal memiliki syarat-syarat kecakapan dan ilmu pengetahuan.80

Suatu hal yang logis kalau sejarah telah mencatat sejumlah nama perempuan yang telah memainkan peranan yang amat penting di Tanah Aceh, sejak kerajaan Islam Perlak sampai kepada Kerajaan Aceh Darussalam. Perempuan yang cerdas dan

78M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), hal. 296 – 298.

79S. M. Amin, Sejenak Meninjau Aceh, Serambi Mekkah, dalam Bungai Rampai tentang Aceh oleh Ismail Suny (Jakarta: Penerbit Karya Aksara, 1980), hal. 98.

80Syekh Jalaluddin Tursany, Safinah al-Hukkâm (Banda Aceh: Koleksi Naskah Tua Perpustakaan A. Hasjmi), hal. 27.

Page 59: 22

45

cakap di berbagai bidang, sanggup menjalankan tugasnya dalam fungsi pemerintahan dari tingkat bawah ke tingkat tinggi. Perempuan Aceh yang mempunyai peranan sebagai negarawan dan panglima perang yang turut mengisi lembaran sejarah dunia adalah Puteri Lindung Bulan, Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, Laksamana Malahayati, Ratu Safiatuddin, Ratu Naqia-tuddin, Ratu Zakiyatuddin , Ratu Keumalat, Cut Nyak Dhien, Teungku Fakinah, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah dan Cutpo Fatimah.81

Peranan perempuan-perempuan Aceh yang kuat dan aktif dalam menegakkan pemerintahan bersama kaum laki-laki sebagai berikut:

Perempuan dalam Angkatan Perang

Sejak zaman kerajaan Islam Samudra Pasai tempat salah seorang raja perempuan Ratu Nihrasiyah tahun 801-831 H (1400-1428 M), peran perempuan dalam politik dan militer sangat menonjol. Perempun diberi kesempatan dan penghargaan yang luar biasa untuk ikut serta dalam lembaga-lembaga negara serta sebagai pertahanan pada masa kerajaan Aceh, perempuan langsung masuk dalam dinas tentara aktif, seperti: Armada Inong Balee, pasukan ini terdiri dari para janda atau inong balee, mereka istri dari prajurit-prajurit yang syahid pada pertempuran antara Armada Selat Malaka dengan Portugis.

Pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al Mukammil 997-1011 H (1589-1604 M), terjadi pertem-puran laut antara Armada Selat Malaka Aceh dengan armada Portugis, di bawah pimpinan Sultan sendiri dan dibantu oleh dua orang laksamana. Pertempuran Teluk Haru ini dimenangkan oleh pihak Sultan, tetapi dua orang laksamana dan kira-kira seribu prajuritnya syahid sebagai pahlawan. Meskipun kemenangan ini disambut dengan gembira atas kepahlawanan suaminya, Malahayati juga merasa geram dan marah, kemudian memohon kepada Sultan untuk membentuk sebuah armada Aceh yang prajurit-prajuritnya

81Lihat Ali Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka…, hal. 25-26.

Page 60: 22

46

adalah para janda yang suaminya telah syahid dalam perang Teluk Haru. Permohonan ini dikabulkan dan Laksamana Malahayati diangkat menjadi panglimanya. Armada tersebut dinamakan Armada Inong Balee (Armada Perempuan Janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya.82

Malahayati pada masa muda telah mendapat pendidikan militer pada Pusat Pendidikan Asykar Baital Maqdis, instrukturnya terdiri dari para perwira Turki Usmani. Selesai pendidikan Malahayati diangkat oleh Sultan Al-Mukammil menjadi komandan Protokol Istana Darud Dunia. Karena keberhasilannya dalam memimpin pasukan perempuan ini dan mendapat kepercayaan dari Sultan, maka setelah Perang Teluk Haru, Malahayati kemudian diangkat menjadi Laksamana (admiral). Laksamana Malahayati pada waktu itu berhasil meng-gagalkan percobaan pengacauan oleh Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Croulis dan Frederich Houtman 1006 H (1599 M). Dan sering sekali Armada Inong Balee ikut bertempur di Selat Malaka dan pantai-pantai Sumatera Timur dan Melayu. Malahayati juga dipercayakan oleh Sultan untuk menghadap dan menerima utusan Ratu Inggris Sir James Lancester, yang datang ke Banda Aceh Darussalam pada tanggal 6 Juni 1606 dengan surat dari Ratu Inggris (139). Kemudian peristiwa Houtman bersaudara telah mengangkat derajat laksamana Malahayati ke puncak kegemilangan, baik dari sumber-sumber Aceh maupun sumber-sumber dari Barat. Armada Dagang Belanda yang dipersenjatai dengan kapal perang, di bawah pimpinan Houtman bersaudara yaitu, Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada tanggal 21 Juni 1599 memasuki pelabuhan Banda Aceh yang diterima dengan wajar oleh Sultan, tetapi mereka berkhianat dan membuat manipulasi dagang, mengacau, menghasut, dan sebagainya. Dan Sultan memerintah Armada Inong Balee untuk menyelesaikan pengkhianatan tersebut, yang

82Ali Hasjmy, Perempuan Aceh Sebagai Negara-wan dan Panglima

Perang, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1995), hal. 9.

Page 61: 22

47

menyebabkan Cornelis de Houtman mati ditikam Malahayati dan Frederijk de Houtman ditawan.

Pada ukuran zaman itu Armada Inong Balee dipandang sebagai armada yang kuat di Selat Malaka, bahkan di Samudera Asia Tenggara, seperti yang dijelaskan Denys Lombard, bahwa Armada Inong Balee terdiri dari seratus buah kapal perang, setiap kapal dilengkapi dengan meriam-meriam dan lila-lila. Kapal terbesar dilengkapi dengan lima meriam83. Demikianlah riwayat singkat seorang perempun Aceh, Laksamana Malahayati, yang pada awal abad XVII telah memainkan peranan yang amat penting dalam Kerajaan Aceh Darussalam, tidak saja sebagai panglima armada yang bernama Inong Balee, tetapi juga sebagai seorang negarawan dan diplomat ulung.84

Resimen Perempuan Pengawal Istana, pada masa Sultan Muda Riayat Syah V, 1011-1015 91604-1607 M) dibentuk yang semuanya terdiri dari perempuan, baik yang masih dara maupun perempuan muda yang telah bersuami. Beberapa Sultan telah mempercayakan pengawalan Istana Darud Dunia kepada pasukan khusus perempuan. Hal ini merupakan satu kehormatan bagi perempuan di mana Sultan cukup yakin akan kemampuan perempuan dalam melaksanakan tugas yang berat, yaitu penjagaan keamanan istana dengan segala penghuni pentingnya. Resimen Perempuan Pengawal Istana disebut juga Sukei Inong Kaway Istana, dan prajuri-prajurit perempuan disebut juga Si Pai Inong. Komandan dari Sukey Inong Kaway Istana adalah seorang perwira tinggi, namanya Laksamana Meurah Ganti. Sukey Inong Kaway bertugas untuk menjaga dan memelihara tata tertib dalam Istana Darut Dunia, termasuk masalah

83Denys Lombard, Kerajaan Aceh di Zaman Iskandar Muda

(Jakarta: Balai Pustaka, 1986), alih bahasa (dari bahasa Perancis) oleh Winarsih Arifin.

84Lihat H.M. Zainuddin, Srikandi Aceh, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1966), hal. 8-15; M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, (Banda Aceh: Adjam Iskandar Muda, 1968), hal. 45.

Page 62: 22

48

keprotokolan dalam istana, bahkan mereka juga menjadi barisan kehormatan kalau datang tamu-tamu kerajaan.85

Divisi Keumala Cahya dibentuk pada masa Sultan Iskandar Muda 1016-1045 H (1607-1636 M) yang telah memperbesar dan memodernisasi Angkatan Perang Aceh, yang juga terdiri dari Si Pai Inong (prajurit perempuan). Panglimanya juga seorang jendral perempuan yaitu Laksamana Cut Meurah Inseun. Menurut catatan sejarah, satu batalion dari Divisi Perempuan yang bernama “Divisi Keumala Cahya” dijadikan “Batalion Kawal Kehormatan” yang prajuritnya dipilih dari dara-dara yang rupawan, yang tugasnya untuk menerima tamu-tamu agung dengan barisan kehormatannya.86

Keterlibatan Perempuan dalam Eksekutif

Banyak tokoh perempuan Aceh yang menjadi negarawan ulung baik sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, angkatan perang dan lain-lain. Sebagai kepala negara perempuan, kita mengenal “Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu”, ia seorang sultanah terakhir dari Kerajaan Islam Samudra Pasai. Ayahnya bernama Sultan Zainal Abidin Malikudz Zhahir, yang memerintah Samudra Pasai dalam tahun 750-796 H (1350-1395 M). Ratu Nihrasyiah Rawangsa Khadiyu memerintah Kerajaan Islam Pasai pada tahun 801-831 H (1400-1428 M), setelah mangkat ayahnya dalam pertempuran perebutan kekuasaan oleh panglimanya. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Samudra Pasai mencapai puncak kemajuan, Jika kakeknya Sultan Malikus Saleh adalah pembangun awal dari tamaddun Kerajaan Islam Pasai, maka

85Lihat, M. Yunus Jamil, Gajah Putih, (Banda Aceh: Lembaga

Kebudayaan Aceh, 1958), hal. 114: A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Beunua, 1983), hal. 127.

86Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Harian Waspada, 1961), hal. 193.

Page 63: 22

49

Ratu Nihrasyiah adalah penyempurna pembangunan Samudra Pasai.87

Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin memerintah selama 35 tahun (1641-1675 M), ia dinobatkan menjadi ratu setelah Iskandar Tsani, suaminya, mangkat. Selama masa pemerintahan-nya kerajaan itu telah mencapai kemajuan yang cukup baik, terutama di bidang ilmu pengetahuan. Sejak usia tujuh tahun, Safiatuddin telah belajar pada para ulama besar terkenal, seperti Syekh Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Seri Fakih Zainal Abidin Ibnu Daim Mansur, dan lain-lainnya; semua mereka itu adalah guru besar pada Jami’ Baiturrahman. Selesai pendidikan, Safiatuddin telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan telah menguasai dengan baik bahasa Arab, Persia, Spanyol. Di samping itu Ia alim dalam ilmu hukum (fikih) termasuk fiqh duali (hukum tata negara), sejarah, mantik, falsafah, tasawuf, adab/sastra, dan lain-lain.

Tidaklah heran jika masa Ratu Safiatuddin adalah zaman emas ilmu pengetahuan dalam Kerajaan Aceh Darussalam, dalam masa ini banyak muncul ulama-ulama/sarjana-sarjana besar, yang di antaranya berkaliber internasional, seperti Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, Syekh Jalaluddin Tursani, dan sebagainya.88 Ratu Safiatuddin mengajak para ulama/sarjana untuk mengarang buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu, banyak kitab yang dikarang oleh para ulama pada masa itu, sehingga ibukota kerajaan pada masa itu merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Di samping peningkatan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, Safiatuddin banyak mengambil langkah untuk lebih meningkat-kan kedudukan kaum perempuan. Banyak peraturan yang dibuat untuk melindungi kaum perempuan.

Pada masa pemerintahannya selama kurang lebih 35 tahun, Ratu Safiatuddin menghadapi keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimiliki sudah melemah, situasi

87Ali Hasjmy, Perempuan Aceh…, hal. 6. 88Ali Hasjmy, Perempuan Aceh …, hal. 26.

Page 64: 22

50

bertambah gawat dengan adanya usaha perebutan kekua-saan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan ratu. Dan juga keadaan yang penuh dengan tipu daya asing, mereka turut mempengaruhi dan menghasut serta mencoba mengambil keuntungan dari usaha perebutan kekuasaan, serta VOC yang sedang menguasai nusantara juga selalu mengintip kelemahan-kelemahan Aceh. Namun semua per-masalahan tersebut dapat diselesaikan dengan bijaksana, tanpa gejolak yang berarti. Begitulah kepiawaian Sultanah Safiatuddin mengendalikan pemerintahan.89

Sebelum Ratu Safiatuddin dimakamkan, terlebih dahulu dilantik penggantinya, sesuai dengan ketentuan dalam Kanun Asyi. Dia mempersiapkan tiga orang calon penggantinya. Salah seorang di antaranya yang telah dipersiapkan adalah Putri Naqiatuddin. Ada petunjuk yang menyatakan, bahwa Nurul ‘Alam mendapat kesempatan naik tahta untuk mengatasi perebutan kerajaan yang berhak mewarisi. Pada masa ini ia melakukan perubahan-perubahan penting pada pembentukan Federasi Tiga Sagi di Aceh Rayeuk (Aceh Besar), yang masing-masing dikepalai oleh seorang Panglima Sagi, yaitu Sagi XXII Mukim, Sagi XXV Mukim, dan Sagi XXVI Mukim. Menurut Braddlell pembentukan Tiga Sagi ini merupakan suatu contoh kemajuan pemerintahan. Dia berpendapat pembaharuan itu adalah bagian terpenting dalam Sejarah Aceh. Dan masa ini juga Mesjid Baitul Rahman yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda, kebanggaan Aceh pula waktu itu, telah terbakar habis, seluruh harta kerajaan yang berharga musnah menjadi abu. Sabotase Kaum Wujudiyah membuat pemerintahan Sri Ratu Nurul Alam tidak berjalan lancar dan juga membawa dampak negatif kepada para ratu setelahnya.90

89M. Hasbi Amiruddin, Perempuan Aceh Pada Masa Kerajaan

Islam, dalam Doktrin Islam dan Studi Kawasan: Portret keberagaman Masyarakat Aceh oleh Agusni Yahya et al. (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005), hal. 216.

90M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja…, hal. 47.

Page 65: 22

51

Setelah wafat Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin, sebelum pemakaman beliau terlebih dahulu dilantik Putri Zakiah manjadi Sulthanah Kerajaan Aceh Darussalam dengan gelar Sri Ratu Zakiyatuddin Inayat Syah 1088-1098 H (1678-1688 M). Pada masa pemerintahannya datang utusan Inggris dari Madras, membawa mandat dari pemerintahn Inggris meminta supaya Inggris diberi izin mendirikan kantor dagang yang diperteguh dengan benteng. Tetapi permintan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultanah. Kebijaksanaan kedua pendahulunya terus dijalan-kan sedapat mungkin. Tindakan keras terhadap “Kaum Wujudiyah” tetap dilaksanakan. Terhadap VOC, yang semenjak masa Ratu Safiatuddin terus merongrong Aceh, tidak diberi kesempatan untuk melaksanakan niat jahatnya. Di samping menghadapi segala tantangan dengan tegas, Ratu Zakiyatuddin juga bertindak cepat untuk memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dayah-dayah yang telah ada dipelihara terus, Pusat Pendidikan Tinggi Baiturrahman dikembangkan terus di bawah pimpinan Syekh Abdurrauf Syiahkuala dan ulama-ulama lainnya. Meunasah dan mesjid dibina dan ditingkatkan fungsinya, sehingga ajaran-ajaran Agama Islam merata ke dalam jiwa rakyat.

Dalam tahun 1683 Ratu Zakiyatuddin menerima Utusan Mekkah, yang dikirim oleh Syarif Barakat sebagai penguasa Hijz (Mekkah dan Madinah), untuk menyaksikan apakah benar laporan kaum wujudiyah yang menyatakan bahwa kerajaan Aceh di bawah pemerintahan Ratu telah jauh menyimpang dari Agama Islam.91 Selama pemerintah-an Ratu telah berbuat banyak untuk mempertahankan sisa-sisa kebesaran Aceh. Sekalipun tidak sanggup mengembali-kan kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda. Setelah memerintah selam 10

91Ternyata Ratu orang yang taat dan shaleh, kalau berbicara Ratu

berada di belakang tabir. Ketika utusan kembali ke Makkah tinggallah seorang syarif yang bernama Hasyim Jamullalil (yang nantinya akan menjadi pengganti Ratu yang terakhir), atas permintaan dan sebagai jaminan beberapa orang tokoh politik (lihat M. Yunus Jamil, Tawarich Raja.......hal 47-48)

Page 66: 22

52

tahun Ratu Zakiyatuddin wafat pada tanggal 8 Zulhijjah 1098 H (3 Oktober 1688 M).

Kemangkatan Ratu Zakiyatuddin menimbulkan kegun-cangan yang dahsyat dalam kalangan rakyat di seluruh wilayah kerajaan. Terjadi perebutan tahta, di mana pemerintah tidak menginginkan perempuan menjadi raja lagi. Sebaliknya golongan Tiga Sagi ingin supaya perempuan tetap jadi raja. Akhirnya golongan Tiga Sagi menang. Maka diangkatlah seorang putri bangsawan men-jadi Ratu yang bergelar Ratu Keumalat Syah. Pada masa ini terjadi pro dan kontra92 yang mengakibatkan Ratu hampir terjungkir dari tahta kerajaan. Walaupun berat tantangan yang dihadapi dari pihak oposisi, namun Ratu Keumalat masih memikirkan pembangunan kerajaan, termasuk pem-bangunan ekonomi. Hal ini karena Syekh Abdurrauf Syiah Kuala sebagai Kadi Malikul ‘Adil dan para ulama besar lainnya terus membantu Ratu. Pada waktu Keumalat sedang melaksanakan segala rencana pembangunan negara yang telah disahkan oleh Majelis Mahkamah Rakyat, tiba-tiba Kadi Malikul ‘Adil Syekh Abdurrauf meninggal dunia. Penggantinya tidak cukup kuat menghadapi oposisi, sehingga Ratu Keumalat Syah dimakzulkan, dan sebagai pengganti dinobatkan Syarif Hasyim Jamalullail menjadi sultan Kerajaan Aceh Darus-salam, dengan gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalullail.

92Apakah menurut hukum Islam perempuan diperbolehkan menjadi

penguasa dan persoalan itu telah lama menjadi masalah tidak terpecahkan di kalangan orang orang aceh. Dalam situasi demikian datang delegasi dari Makkah dan persoalan yang terjadi di sana dipertanyakan kepada delegasi tersebut, mereka tidak langsung memberi-kan jawaban terhadap masalah itu tetapi membawa persoalan tersebut ke ulama Haramayn. Akhirnya jawaban-nya datang dari Makkah ke Istana Kesultanan Aceh dengan membawa fatwa dari Mufti kepala di Makkah yang menyatakan bahwa hal ini bertentangan dengan syariat jika kerajaan Islam diperintah oleh perempuan (Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah di Kepulauan Nusantara antara Abad 17 dan 18; Melacak Akar Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cetakan IV (Bandung:Mizan, 1998 hal 200 – 201)

Page 67: 22

53

Sebagai pahlawan perempuan yang memiliki daya juang yang tinggi, yaitu sebagai pemimpin perang melawan penjajah. Banyak para perempuan Aceh yang memperlihat-kan daya juang perempuan, di antaranya, adalah Cut Nyak Dhien, seorang pemimpin pasukan yang menjadi panglima perang menggantikan suaminya yang gugur di medan juang. Ketika suaminya gugur ia tidak menangis malah menyembunyikan peristiwa tersebut agar semangat pasukannya tidak melemah. Dia sendiri menyamar sebagai suaminya memimpin pasukan seperti biasa93. Cut Nyak Dhien bertahun-tahun berjihad, bergerilya dari satu medan ke medan lain, dari satu belukar ke belukar lain, dari satu lembah ke lembah lain sampai matanya buta. Sebelumnya dia pernah tidak diizinkan oleh suaminya untuk ikut bersama pasukan, bahkan pernah diungsikan jauh dari suaminya dengan membawa anaknya yang diasuh tanpa suaminya, tetapi ditemani oleh sejumlah pengawal laki-laki. Di tidak mengeluh karena berpisah dengan suaminya berbulan-bulan, dan dia sendiri menjadi guru dan ibu bagi pasukan yang menyertainya. Sehingga ketika dia ber-gabung lagi dengan suami dan pasukannya, dialah yang menjadi pemeriksa dan pemberi semangat pasukan. Setiap kali suaminya pulang dari peperangan Cut Nyak Dhien menjadi teman diskusi dan juga sebagai penyusun strategi selanjutnya. Setelah bertahun-tahun bergerilya akhirnya pada tanggal 4 November 1905 Cut Nyak Dhien tertawan oleh pasukan Belanda dalam keadaan buta. Dan kemudian diasingkan ke Pulau Jawa tepatnya di Sumedang Jawa Barat.94 Dan akhirnya dia meninggal dan dikuburkan di sana.

Cut Meutia seorang pahlawan yang mempunyai dua suami, suami pertamanya syahid dan suami keduanya juga syahid. Dia pernah meminta fasakh pada suaminya karena tidak mau berjuang bersama ulama-ulama mengusir pen-jajah Belanda, padahal suami yang pertama merupakan keturunan bangsawan. Dia lebih memilih menikah lagi dengan rakyat biasa

93M. Hasbi Amiruddin, Perempuan Aceh…, hal. 217. 94Ali Hasjmy, Perempuan Aceh…, hal. 57.

Page 68: 22

54

tetapi mau memimpin pasukan untuk mengusir penjajah. Ketika suaminya meninggal, dia di-tawarkan untuk hidup senang bersama Belanda, tetapi dia lebih memilih tidur di hutan belantara sambil memimpin pasukan yang tersisa. Cut Meutia setia mendampingi suaminya dalam berjuang mempertahankan daerah Aceh. Pada akhirnya tanggal 25 Oktober 1910 sebuah peluru musuh menembus kepalanya dan dia mati syahid.95

Pocut Meurah Intan dikenal juga dengan sebutan Pocut Biheu, seorang srikandi dan Pahlawan Perempuan Aceh yang kenamaan. Meskipun suaminya Tuwanku Abdul Majid terpaksa menyerah kepada Belanda, tetapi bersama dengan ketiga putranya dan panglima yang setia bergerilya di daerah Lawueng (Pidie).Bagi Pocut Biheu menyerah merupakan kehinaan yang tiada tara. Dia memimpin “Perang Gerilya Raksasa” di daerah Laweung dan Batee. Meskipun seluruh badannya telah berlobang-lobang dilanggar peluru musuh tetapi ia pantang menyerah, hal ini membuat para perwira tentara Belanda kagum dan hormat.96 Memang demikianlah seharusnya sifat seorang ksatria. Setelah sembuh dari luka-lukanya yang parah, pada waktu itu dia telah menjadi tawanan Belanda dan bermukim di Banda Aceh, serta ditempatkan dalam sebuah rumah di Kampung Keudah. Kemudian Pocut bersama tiga putranya diinternir ke luar Aceh, Pocut di buang ke Jawa tepatnya di Blora. Dalam usia yang telah lanjut dengan membawa bekas luka parah di tubuhnya, Beliau meninggal tanggal 20 September 1937 dan dikebumikan di Makam Tegal Sari. Desa Tegalan di pinggiran kota Blora.

Teungku Fatimah adalah seorang panglima bawahan Cut Meutia yang dikenal dengan Cut Po Fatimah dan suaminya bernama Teungku Di Barat. Fatimah putri Teungku Khatim semasa muda ikut dalam laskar bersama putri-putri lain yang belajar pada dayah pusat pendidikan ayahnya. Panggilan jihad telah menarik kedua suami-istri itu berangkat ke medan gerilya

95Ali Hasjmy, Perempuan Aceh…., hal. 63. 96Lihat, H.C. Zentgraaff, Atjeh, hal. 129.

Page 69: 22

55

di hutan Pasai. Mereka menggabungkan diri dalam pasukan yang dipimpin Cut Meutia-Pang Nanggroe. Setelah Cut Meutia syahid, pimpinan gerilya diambil alih oleh Teungku Cut Fatimah dan suaminya. Bukan saja pimpinan perang saja yang diambil alih, tetapi pemeliharaan dan pendidikan Teuku Raja Sabi, putra tunggal Cut Meutia juga menjadi tanggung jawab dua suami istri yang menjadi pahlawan itu. Pertempuran yang terjadi dengan pasukan Belanda selalu berpindah arena dan penyerangan silih berganti. Namun hasilnya selalu terjadi korban yang banyak di pihak Belanda. Akhirnya, sebuah batalion marsose di bawah pimpinan Letnan H. Behrens berhasil mengepung kubu Cut Po Fatimah di Gunung Panjang dalam hutan Pasai. Pertempuran yang tidak seimbang dalam persenjataan ini banyak menewas-kan prajurit-prajurit Teungku Fatimah. Dengan berlindung di sebuah batu besar, Cut Po Fatimah dan suaminya Teungku Di Barat terus menembak musuh, sedang pengepungan bertambah ketat. Dalam keadaan kritis itu, tangan kanan Teungku Di Barat tertembak peluru Marsose, dan dengan amat cepat Cut Po Fatimah berdiri di depan suaminya untuk menjadi tameng bagi suaminya yang tak berdaya lagi. Dengan gencar Fatimah menembak musuh sampai pelurunya habis, kemudian diambillah senapan suaminya yang masih dipegang dengan tangan kirinya, dan menembak sampai pelurunya habis. Sehingga Letnan H. Bahrens meminta agar Cut Po menyerah, tetapi ia tidak mau menyerah bahkan rencong pusaka yang bertengger di pinggangnya dihunus keluar untuk menikam Letnan H. Bahrens yang sudah semakin dekat dengannya. Dalam keadaan gugup Letnan melepaskan tembakan-tembakan beruntun yang menembus dada Fatimah dan suaminya yang berada di belakangnya, sehingga kedua suami-istri itu syahid bertindih mayat.97

Perempuan pada masa lalu yang selain tampil sebagai panglima perang juga sebagai ulama besar dan pendidik Islam,

97T. Alibasyah Talsya, Cut Nyak Meutia (Jakarta: Mutiara, 1982),

hal. 65.

Page 70: 22

56

yang sebelum pecah perang Aceh telah membangun dayah (pesantren), dan setelah perang dilanjut-kan kembali dayah-nya itu, adalah Teungku Fakinah. Dia seorang pahlawan perempuan titisan darah ulama dan umara. Ayahnya seorang pejabat tinggi kerajaan dan ibunya putri seorang ulama besar, yang juga menjadi ulama. Dari ibunya ia belajar membaca Qur’an, ilmu-ilmu Islam dalam kitab-kitab berbahasa Melayu, di samping belajar berbagai kerajinan tangan, seperti menjahit, menenun kain, me-nyulam, memasak, membuat kerawang sutra/kasab, sedang-kan dari ayahnya Datu Mahmud, Fakinah belajar bahasa Arab, hukum Islam, tasawuf/akhlak, sejarah, tafsir Qur’an, hadis Nabi, dan lain-lainnya. Selain itu ia juga pernah mendapat pendidikan militer menjelang pecahnya Perang Aceh. Ia bersama suaminya seorang perwira muda Teungku ahmad mengajar di Pusat Pendidikan Islam Dayah Lam-pucok yang dibangun oleh ayah Fatimah.98

Pada waktu Belanda memulai agresinya terhadap Aceh tahun 1873, suami Fakinah bertempur di medan perang Pantai Cermin di tempat tentara Belanda mendarat, dalam pertempuran itu suami Fakinah syahid. Setelah suaminya wafat, Fakinah mengadakan kampanye perang di tengah-tengah kaum perempuan. Atas izin sultan ia membentuk sebuah pasukan dalam tingkat sukey (resimen) yang terdiri dari perempuan, sementara balang (batalion) yang seluruh prajuritnya terdiri dari perempuan, sementara balang-balang lain ada pula kawan (kompi) atau sabat (regu) yang komandan dan prajuritnya perempuan. Fakinah dengan sukeinya ikut bertempur di berbagai medan perang dalam wilayah Aceh Rayeuk. Satu hal yang perlu dicatat bahwa Teungku Fakinah mempunyai modal yang besar dalam hal menyadarkan kembli Teuku Umar, hingga kembali ke pihak Aceh. Setelah perang Aceh berakhir (sedangkan perang gerilya tidak pernah berakhir sampai Belanda pergi dari Tanah Aceh), maka Teungku Fakinah membangun kembali pendidikan, membangun kemak-muran rakyat dalam arti luas.

98Chaiin M. Nur, Eksistensi dan Posisi Perempuan, hal. 27.

Page 71: 22

57

Setelah berbakti kepada agama, bangsa dan tanah air, pada tanggal 3 Oktober 1933, ulama dan pahlawan besar Teungku Fakinah berpulah ke rahmatullah dalam usia yang amat tua dan dimakamkan dalam Maqbarah Lamdiran.99

Seorang pahlawan perempuan Aceh yang menjadi panglima perang juga sebagai uleebalang/kepala pemerintahan Nanggrou, yaitu Pocut Baren. Dalam usia antara 7 sampai 14 tahun, Pocut selalu mengikuti ayahnya dalam berbagai medan perang di Aceh Barat. Dia dibesarkan oleh asap mesiu didendangkan tingkah dentum-an suara meriam dan bedil, digelorakan semangatnya oleh deru gemerincingan pedang bergumul, fisik dan mentalnya dibina oleh gemuruhnya lagu-lagu jihad di jalan Allah. Setelah usia dewasa ia menikah dengan seorang keujrun yang menjadi Uleebalang Geume, sebuah nanggrou di Rantau XII (Aceh Barat sekarang). Setelah suaminya wafat, maka Pocut Baren tampil bukan saja sebagai Ulee-balang/Kepala Nanggrou Geume, tetapi ia memimpin juga peperangan dalam waktu cukup panjang, yaitu hampir sepuluh tahun lamanya. Pocut membangun sebuah kuta (benteng) pertahanan yang tangguh di Gunong Mancang yang tidak jauh dari Tanoh Mirah (pusat pemerintahannya). Pocut Baren banyak melakukan penyerangan ke tangsi-tangsi militer Belanda yang telah dibangun di Tanoh Mirah, yang selalu menimbulkan korban cukup banyak di pihak Belanda. Maka pada suatu subuh Pocut Baren memimpin penyerbuan ke Tangsi Tanoh Mirah, yang telah diperkuat dengan pasukan-pasukan yang baru datang dari Meulaboh, Kutaraja, dan Betawi. Pertempuran itu berlangsung sampai sore, banyak marsose Belanda yang tewas dan di pihak Pocut juga banyak prajurit mati syahid dan luka-luka. Pertempuran berakhir dengan tertawannya Pocut Baren. Kakinya yang kena tembak terpaksa dipotong karena tulang utamanya telah hancur berserakan, sehingga kakinya menjadi cacat. Dan Pocut Baren menjadi Uleebalang Tungkop dan Geume, daerah tersebut mendapat kemajuan, rakyat bekerja

99Chairin M. Nur, Eksistensi…, hal. 33.

Page 72: 22

58

keras untuk kemakmuran negeri. Maka pada tahun 1933 Pahlawan Pocut Baren meninggal dunia dan meninggalkan nama yang dikenang sepanjang masa. Selain nama-nama di atas, masih banyak tokoh-tokoh perempuan negarawan Pemerintah Daerah (Uleebalang) lainnya, seperti, Cut Nyak Asiah, Pocut Meuligoe, Cut Nyak Keuruto dan lain-lain.

Keterlibatan Perempuan dalam Badan Legislatif

Secara sederhana, dalam wacana Islam, politik dirumuskan sebagai cara mengatur urusan-urusan kehidup-an bersama untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Politik dalam pengertian ini sesungguh-nya adalah seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik, ruang kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tetapi penyebutan politik dalam pikiran banyak orang dewasa ini telah menyempit menjadi istilah bagi politik praktis, politik struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang, bukan lagi untuk kepentingan masyarakat luas dan untuk masa depan yang panjang.100

Perempuan dan laki-laki merupakan hamba Tuhan yang memiliki tanggung jawab kemanusiaan, memak-murkan bumi dan menyejahterakan manusia. Perempuan untuk tugas-tugas itu tidak dibedakan dari laki-laki, termasuk dalam sektor politik. Husein Muhammad lebih jauh membicarakan tentang partisipasi perempuan dalam kancah politik. Diktum-diktum Islam telah memberi-kan ruang pilihan bagi perempuan juga laki-laki untuk menjalani peran-peran politik untuk menjadi cerdas dan terampil.101 Salah seorang perempuan yang berperan di bidang politik adalah Putri Pahang istri dari Sultan Iskandar Muda.

100Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan

Kiay Pesanteren (Yogyakarta , LKiS, 2004 ) hal. 163-164. 101Husein Muhammad, Islam Agama Ramah…, hal. 166.

Page 73: 22

59

Putri Pahang dalam Istana Darud Dunia tidak hanya sebagai permaisuri tetapi juga sebagai penasihat bagi suaminya. Salah satu nasihatnya yang dilaksanakan oleh Iskandar Muda dan amat bersejarah, yaitu pembentukan sebuah lembaga yang mirip Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) zaman sekarang, yaitu Balai Majelis Mahkamah Rakyat, yang beranggotakan 73 orang, yang mewakili penduduk dalam Kerajan Aceh Darussalam. Karena jasa dan karya besar Putri Pahang, maka semua produk Balai Majelis Mahkamah Rakyat disebut sebagai produk Putri Pahang. Di zaman Ratu Safiatuddin, Majelis Mahkamah Rakyat (parlemen) mengadakan perubahan susunan anggota Badan Legislatif terdiri dari 73 orang dan di dalamnya ditempatkan 17 orang perempuan yang turut mengatur urusan negara guna mempertimbangkan kebijak-sanaan Sultanah dan meneliti segala adat dan hukum yang layak disalurkan kepada rakyat supaya tetap adil dan makmur. Nama-nama perempuan yang ada dalam Susunan Badan Perwakilan Rakyat (parlemen), yaitu Sinyak Bunga, Si Halifah, Si Sanah, Maimunah, Siti Cahya, Mahkiah, Sinyak Puan, Nadisah, Sinyak Ti Cahya, Si Habibah, Umi Puan, Siti Awan, Si Mawar, Si Manis, Sinyak Tampli, Sinyak Rih dan Sinyak Apakat. Parlemen dalam pemerintahan Aceh itu membuktikan bahwa sultan sangat mengutamakan hukum demi keadilan rakyat dan hak azasi rakyat. Pemerintahan Aceh Darussalam telah begitu militan dalam menjalankan roda pemerintahan terhadap perempuan.102

Untuk melihat peran perempuan terhadap pen-didikan, sebaiknya perhatian kita kembali pada masa pemerintahan para Sultanah. Pada masa pemerintahan Ratu Taj Al-Alam Safiah al-Din dan sultanah-sultanah sesudahnya, walaupun kekuasaan politik, ekonomi, dan militer telah menurun, tetapi per-kembangan pengetahuan kebudayaan tambah semarak dan

102Luthfi Auni, The Decline of The Islamic Empire of Aceh (1641-

1699), hal. 6. Lihat juga, Mohammad Said, Aceh…, hal. 421.

Page 74: 22

60

meningkat.103 Hal ini dapat dilihat pada perkembangan Jami’ Baiturrahman (Universitas Baiturrahman) di Banda Aceh yang bertambah maju. Demikian pula pusat-pusat pendidikan (dayah-dayah) di seluruh Aceh bahkan di seluruh daerah atau wilayah-wilayah yang berada di lingkungan Kerajaan Aceh Darussalam, seperti Ulakan di Sumatera Barat, Yan Kedah, Sri Indrapura dan lain-lain. Demikianlah kondisi perempuan masa lalu dalam sejarah Aceh. Perempuan Aceh turut menentukan perkembangan sejarah, dalam pemerintahan dapat memainkan peranan penting, sedang-kan dalam perjuangan bersenjata, perempuan Aceh berawal mendampingi suaminya di medan laga sampai dapat menjadi komandan pasukannya dengan gagah berani pejuang-pejuang perempuan tidak gentar melawan penjajah yang mempunyai begitu lengkap senjatanya demi tegaknya sebuah kebenaran. Demikian juga dalam bidang pendidikan banyak kaum perempuan yang terlibat di dalamnya.

103A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan

Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 95.

Page 75: 22

61

PENDIDIKAN DI ACEH DALAM LINTASAN SEJARAH

Pendidikan Pra Kemerdekaan

endidikan merupakan suatu unsur yang sangat esensial dan urgen bagi suatu bangsa untuk membangun dan

mempertahankan eksistensi dan identitasnya. Pendidikan adalah sebuah proses yang bergerak tanpa henti, selagi manusia itu hidup dan berkembang. Ia merupakan proses panjang yang berjalan sepanjang lintas kehidupan anak manusia (it is a long-life process). Pendidikan ini penting dan sudah berlangsung dari dulu sampai sekarang, yang mengambil strategi dasar life long education (al-Tarbiyah tûl a- hayah min al mahdi ila allahdi), berkaitan dalam sebuah jenis, jenjang, dan jalur.104 Sejak manusia lahir, ia sudah mendapat didikan dari orang tuanya dan juga ling-kungan. Dan pendidik harus bertanggung jawab kepada anak didiknya. Hal ini meliputi tanggung jawab pendidikan aqidah, pendidikan moral/spiritual, pendidikan keterampilan (skill), pendidikan intelektual, pendidikan emosional, pendidikan sosial dan pendidikan kebangsaan.105 Setiap orang mempunyai cara tersendiri dalam mendidik anaknya. Begitu juga dalam sebuah negara yang mempunyai usaha dan sistem pendidikan dalam meningkatkan pendidikan bagi rakyatnya, seperti halnya di Aceh.

Gambaran tentang perkembangan pendidikan di Aceh semenjak Kerajaan Samudera Pasai, masa Kesultanan Aceh Darussalam, Perang Aceh sampai setelah perang, tentu saja tidak terlepas dari gambaran sejarah Aceh yang bergejolak dari sebuah kerajaan yang berdaulat, menjadi daerah perang dan

104 HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),

(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 136. 105Lihat Abdullah ‘Ulwan, Tarbiyah al-Aulâd fi al-Islâm, jilid I

cetakan II (Beirut:Dâr al-Salâm, 1978 M – 1398 H), hal.18.

P

Page 76: 22

62

jajahan Hindia Belanda, daerah pendudukan Jepang, daerah modal dalam masa revolusi kemerdekaan sampai sekarang. Di bawah ini akan diuraikan tentang pendidikan di Aceh menurut sejarah perkembangannya.

1. Masa Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan Samudra Pasai merupakan Kerajaan Islam Pertama di Indonesia. Ia berdiri pada sekitar awal abad ke-13 Masehi, dengan rajanya yang pertama Malik Ibrahim bin Mahdum, yang kedua bernama Malikussaleh, dan yang terakhir Malik Sabarsyah (tahun 1444 M/ abad ke-5 H). Kerajaan ini terletak di pesisir timur Aceh atau 13 kilometer arah timur Kota Lhokseumawe, tepatnya di Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara. Untuk waktu yang lama Pasai dianggap oleh kerajaan Islam lain di Nusantara sebagai pusat Islam.

Kemunculan Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam diperkirakan dimulai dari awal atau pertengahan abad ke-13, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke tujuh Masehi.106 Sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudra Pasai mempunyai peran yang sangat berarti dalam melakukan proses pendidikan guna tersosialisasikannya ajaran-ajaran Islam sekaligus menginternalisasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam perilaku masyarakat Aceh sehari-hari. Para Sultan mendukung penuh dan sangat memperhatikan pengajaran ilmu-ilmu ke-Islaman di bawah pemerintahannya107.

Penyelenggaraan pendidikan Islam pada saat itu masih sangat sederhana, dalam arti bentuk, metode dan coraknya masih konvensional atau tradisional, namun praktik pendidikan merupakan proses transformasi dan Islamisasi nilai-nilai budaya

106Lihat Suwito dan Fauzan (editor), Perkembangan Pendidikan

Islam di Nusantara Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 Masehi (Bandung: Angkasa 2004), hal. 6-7.

107Suwito dan Fauzan (editor), Perkembangan Pendidikan Islam..., hal 1 – 2.

Page 77: 22

63

dan perilaku masyarakat Aceh. Karena pada saat itu terjadi interaksi yang cukup panjang antara Samudra Pasai yang mewakili wilayah Nusantara, dengan Timur tengah sebagai pusat/sumber ke-Islaman. Interaksi tersebut berawal dari hubungan ekonomi dagang, hubungan politik keagamaan, dan diikuti pula dengan hubungan intelektual keagamaan dalam bentuk tran-sformasi pendidikan ke-Islaman.

Adapun sistem pendidikan yang berlaku pada masa kerajaan Samudra Pasai bersifat informal yang berbentuk majelis taklim dan halaqah, namun komponen-komponen pendidikannya tidak jauh berbeda dengan yang sekarang, sebagai berikut: 1. Pendidik dan Peserta Didik

Pendidik atau guru adalah para saudagar yang sekaligus merangkap sebagai da’i yang berasal dari Gujarat dan Timur Tengah, mereka antara lain adalah Syekh Ismail dan Syekh Sayid Abdul Aziz. Demikian pula para sultan Kerajaaan Samudra Pasai ikut mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam kepada rakyatnya. Adapun peserta didik pada saat itu adalah tidak terbatas usianya mulai dari anak-anak hingga dewasa. Tidak terbatas pada kalangan tertentu mulai dari rakyat biasa sampai dengan para sultan atau raja.

2. Materi Pendidikan Materi yang pertama kali diberikan kepada peserta didik adalah “dua kalimah syahadat”, sesudah itu barulah mereka diajarkan membaca al-Qur’an dan melaksanakan shalat. Materi yang diajarkan selanjutnya adalah pengajian kitab-kitab fikih yang beraliran Syafi’i seperti Taqrîb, Sulâm Taufîq, dan yang lebih tinggi lagi kitab Ihyâ Ulumûddîn, al-Umm, dan Tafsîr Jalâlain. Selain itu diajarkan juga tentang aqidah dan akhlaq.

3. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan pada masa Kerajaan Pasai adalah semata-mata menuntut ilmu karena Allah.

Page 78: 22

64

4. Biaya Pendidikan Biaya pendidikan pada masa itu diberikan oleh negara/ kerajaan. Dan masyarakat secara sukarela memberikan hadiah kepada para guru, terutama dalam bentuk hasil pertanian, jamuan-jamuan, dan sebagai-nya dengan ikhlas.

5. Waktu dan Tempat Belajar (a) Waktu Belajar

Waktu yang digunakan untuk belajar tidak mengikat, bisa dijalankan pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari atau bahkan pada malam hari, dan bisa sambil berdagang, dengan memberikan contoh-contoh perbuatan dengan prinsip ke-Islaman, namun secara khusus yang terjadi di lingkungan kerajaaan waktu pengajaran dilakukan pada waktu sebagai berikut: (1) Siang hari, khususnya setelah shalat Jumat, kadang-kadang dilakukan di masjid, kadang-kadang di istana. (2) Sore hari, atau setelah shalat ashar, (3) malam hari, sesudah maghrib/isya. Adapun metode yang digunakan khususnya di kalangan Istana dengan cara berdiskusi tentang masalah keagamaan dengan para ulama.

(b) Tempat Belajar Pelaksanaan belajar tidak terikat dengan tempat, bisa di pinggir kali sambil menanti perahu pengangkut barang, di perjamuan, di waktu kenduri, di padang rumput tempat menggembala ternak, di pasar-pasar tempat berjual beli, dan lain lain (secara umum). Adapun secara khusus tempat-tempat pelajaran dilakuk andi rumah-rumah, mesjid, dayah, meunasah, rangkang dan pendopo istana. Dalam pelaksanaan pengajian tersebut seringkali juga hadir orang-orang asing muslim.108

108Suwito dan Fauzan (editor), Perkembangan Pendidikan Islam...,

hal 12-15.

Page 79: 22

65

2. Masa Kesultanan Aceh Darussalam

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa Aceh sebelum berperang dengan Belanda pada tahun 1873 adalah daerah kerajaan. Ada beberapa kerajaan yng terdapat di daerah Aceh pada masa lalu, yaitu kerajaan Pereulak di bagian Aceh Timur, kerajaan Jeumpa di bagian Aceh Utara (sekarang Kabupaten Bireun), kerajaan Pidie di bagian Kabupaten Pidie, dan kerajaan Daya di bagian Aceh Barat. Di antara kerajaan-kerajaan itu yang terkenal sampai sekarang adalah kerajaan Pase dan kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Pase dan Kerajaan Aceh Darussalam adalah Kerajaan Islam, maka dapat dipahami bahwa pendidikan yang berlaku pada kerajaan tersebut, adalah pendidikan berdasarkan Agama Islam. Hal yang semacam ini bukan saja berlaku pada Karajaan Pase dan Kerajaan Aceh Darussalam, tetapi juga pada seluruh Negeri Islam. Anak-anak dididik langsung oleh orang tuanya dan juga diserahkan belajar di rumah seorang guru atau di tempat belajar, seperti mesjid atau langgar (meunasah). Atau dipanggil gurunya datang ke rumah si murid untuk memberi pelajaran yang diperlukan. Setelah berdirinya Kerajaan Islam Peureulak, maka langkah pertama yang diambil oleh Kerajaan Islam tersebut ialah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di tiap-tiap kampung Madrasah (lambat laun lidah Aceh menyebutnya Meunasah).109

Sejak berdirinya Kerajaan Islam Peureulak pada awal abad kesembilan Masehi, istilah sultan secara formal telah dipakai. Pada masa kesultanan ini belum ada sekolah seperti sekarang. Satu-satunya tempat belajar untuk umum adalah pesantren (dayah) dan meunasah. Meunasah (bahasa aslinya; madrasah, bahasa arab artinya; sekolah).110 Dayah atau

109Ali Hasjmy, Keistimewaan Aceh dalam Bidang Pendidikan,

dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 41-42.

110Ismail Yakub, Gambaran Pendidikan di Aceh Sesudah Perang Aceh-Belanda Sampai Sekarang, dalam Bunga Rampai oleh Ismail Suny, (Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara, 1980), hal. 322.

Page 80: 22

66

pesantren ditilik secara etimologis berasal dari istilah zâwiyah, dalam bahasa Arab berarti sudut. Ini disebabkan dalam tradisi Islam pendidikan dan pengajaran pada mulanya dilaksanakan di sudut-sudut mesjid. Setelah lembaga yang memakai tempat di sudut-sudut ini menjadi besar maka ia dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas lainnya, namun mesjid tetap menjadi pusatnya. Di tiap-tiap Mukim didirikan lembaga pendidikan lanjutan yang bernama Zâwiyah (lambat laun lidah Aceh menyebutnya Dayah) kira-kira seperti SLTP, dalam Zawiyah ini sudah mulai diajarkan ilmu pengetahuan umum dan bahasa Arab. Pada tempat-tempat tertentu didirikan sebuah lembaga pendidikan lanjutan atas, yang bernama Zawiyah Teungku Chik yang semua pelajaran sudah diajarkan dalam bahasa Arab.

Menurut Ibrahim Husein111 pada saat ini salah satu sumber yang tertulis yang sampai kepada kita tentang pendidikan di Aceh pada masa kerajaan atau kesultanan Aceh adalah Hikayat Pocut Muhammad, karya salah seorang ulama sastrawan, diduga Teungku Lam Rukam. Buku ini sebagian kecil isinya memuat beberapa keterangan tentang pendidikan Aceh. Pada halaman 134 dari buku itu terdapat syair-syair berkenaan dengan sistem pendidikan di Aceh pada masa kesultanan, antara lain adalah:

1. Tempat Belajar Tempat belajar di beunasah (meunasah) dan di

sekitarnya terdapat beberapa rangkang yang jumlahnya tergantung kepada tingkat dan cabang ilmu yang dipelajari.

2. Pimpinan Pendidikan Pimpinan pendidikan terdiri dari teungku meunasah yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Sultan Aceh sangat menghargai pendapatnya dalam menjalankan setiap keputusan

111Lihat Ibrahim Husein, Sejarah Singkat Pendidikan di Aceh, dalam

Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 47.

Page 81: 22

67

kesultanan, umpamanya berperang melawan musuh112. Untuk menjalankan pendidikan di Kampus (sejumlah rangkang-rangkang) teungku dibantu oleh wakil-wakilnya, sesuai dengan tingkatan ilmu yang diajarkan kepada murid-murid yang belajar di kampus itu.

3. Para Murid atau Pelajar Sesuai dengan keterangan yang tersurat dalam syair

tersebut, para murid yang belajar di lingkungan meunasah itu, terdiri atas tingkat rendah sampai ke tingkat tinggi, bahkan hingga tingkat spesialisasi dalam suatu ilmu agama. Tidak ada keterangan yang jelas apakah mereka tinggal di kampus itu atau tidak.

4. Ilmu-ilmu yang Dipelajari Sejauh yang kita pahami dalam syair tersebut, para

pelajar di situ adalah mulai dari kelompok yang masih “menghija” (mengeja) Al-Qur’an, sampai kepada mereka mempelajari ilmu-ilmu khusus, seperti tasawuf, bahasa Arab dan bahasa Jawi. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila muridnya bisa berjumlah enam ratus orang.

5. Jenjang Pendidikan Sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam Hikayat

Pocut Muhammad, jenjang pendidikan di Aceh (Pendidikan Islam) pada kesultanan diatur sebagai berikut: a. Tingkat Rendah

Tingkat terrendah ini mempunyai rangkang sendiri dan dikepalai oleh seorang teungku, yang kedudukannya sebagai wakil Teungku Chik untuk mengajar di situ. Hal yang diajarkan adalah kemampuan membaca al-Qur’an yang memulai dengan pangenalan huruf lebih dahulu, kemudian menghija, dan selanjutnya meningkat kepada cara membaca al-Qur’an. b. Tingkat Menengah

Tidak ada penjelasan tentang pelajaran apa saja yang diberikan sesudah murid telah mampu membaca al-Qur’an.

112 G. W. J Drewes, Hikayat Pocut Muhammad.( The Hague,

Martinus Nijhoff, 1979), hal. 134

Page 82: 22

68

Akan tetapi menurut kebiasaan dalam pendidikan agama di Aceh, sesudah mampu membaca al-Qur’an para murid mempelajari bahasa Djawoe (Melayu). Kegunaan mempelajari bahasa ini adalah untuk mempelajari ilmu-ilmu agama dasar yang kebanyakan tertulis dalam bahasa Djawoe. Dan pada tingkat ini murid mempelajari tingkat agama yang bernama Masailal al-Muftadin. Selain dari bahasa Djawoe, murid di tingkat ini sudah dimulai mempelajari bahasa Arab, khususnya yang menyangkut dengan ilmu Nahwu. Kitab yang dipakai untuk mempelajari ilmu ini adalah Al-Ajrumiyah. c. Tingkat Tinggi

Sesudah menguasai Bahasa Arab, para mahasiswa mulai mempelajari ilmu agama yang lebih tinggi, terutama ilmu tasawuf. Dalam buku hikayat tersebut tidak dising-gung proses belajar. Namun murid pada masa itu telah mendapat didikan dari para ulama yang terkenal, seperti Hamzah Al-Fanshuri, Abdurrauf Syiah Kuala, Syamsuddin As-Sumatrani, dan lain lain.

Meunasah yang terdapat di tiap-tiap kampung pada era kejayaan Islam menjadi tempat belajarnya anak-anak di kampung dan orang-orang tua dalam bidang keagamaan. Dalam keagamaan, pada umumnya dipelajari pada ahli agama, yang disebut teungku dan yang mengetuai meunasah, disebut teungku meunasah. Di mana teungku ini mengajar di meunasahnya sebagi seorang guru, di samping tugas keagamaan yang menyangkut kepentingan masyarakat keagamaan dalam kampung, seperti: urusan perkawinan, urusan tajhiz janazah dan lain-lain sebagainya.

Sejarah telah mencatat bahwa dalam Kerajaan Aceh Darussalam telah berdiri sebuah lembaga perguruan tinggi, yang hampir sama dengan yang kita kenal sebagai universitas pada saat ini, namanya Jami’ Baiturrahman, dengan Dâr (fakultas) yang banyak seperti: Dâr al-Syarîah (hukum), Dâr al-Zirâ’ah (pertanian), Dâr al-Adab Wa al-Târikh (fakultas sastra dan sejarah), Dâr al-Tijârah (perdagangan), Dâr al-Sanâ’ah

Page 83: 22

69

(teknologi), Dâr al-Tafsîr Wa al-Hadîts (ilmu tafsir dan hadis), Makhd Bait al-Makdis (akademi militer) dan sebagainya.

Dengan tenaga-tenaga ahli dari Turki, Arab, dan Persia, maka jadilah Jami’ Baiturrahman menjadi sumber tenaga manusia terdidik untuk kepentingan kerajaan dan rakyat, sehingga Aceh dalam abad XVI sanggup memproduksi bermacam-macam senjata, berat maupun ringan, seperti meriam, keumurah, peudeng onteubey, siswaih, rencong, dan bari. Di samping itu, Aceh juga telah membangun galangan-galangan kapal, yang sanggup mem-buat kapal-kapal perang dan kapal dagang.

Dalam tulisan Ismail Yakub,113 pendidikan pada masa itu berjenjang dari tingkat rendah, tingkat menengah sampai tingkat tinggi. Kalau pelajaran di rumah atau di meunasah, pada umumnya rendah. Tetapi bila guru (ulama) diundang ke rumah untuk mengajar, ada juga yang tingkat tinggi, bahkan ada pada tingkat khusus (spesialisasi) dalam sesuatu cabang pengetahuan. Misalnya untuk mengajar putra-putra Uleeblang dan putra-putra orang terkemuka. Pendidikan di pesantren, kalau bagian rendah diajar oleh seorang santri yang lebih tinggi ilmunya. Begitu pula di bagian menengah, diajar oleh santri yang sudah lebih tinggi ilmunya. Santri-santri pengajar tadi, dinamakan: teungku rangkang, sedang untuk teungku-teungku rangkang diajar-kan oleh Teungku Chik (teungku besar), yang dinamakan Teungku di Balee. Walaupun setelah Sultan Iskandar Muda wafat dan digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani, ilmu pengetahuan tetap berkembang di Kesultanan Aceh sampai pada Kesultanan digantikan oleh para Sultanah berturut-turut empat orang lebih setengah abad (1641-1699 M), yaitu mulai dari Sultanah Safiatuddin (1641-1675 M), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678 M), Sultanah Zakiyatuddin Inayatsyah (1678-1688 M) dan terakhir yang berkuasa Sultanah Kamalatsyah (1688-1699 M).

113Ismail Yakub, Gambaran Pendidikan…, hal. 325.

Page 84: 22

70

Sejak zaman dahulu, dimulai saat Islam datang di Tanah Air kita, nama dan jasa pesantren berada di garda depan dalam hal pendidikan. Landasan pendidikan agama bagi masyarakat Aceh menjadi panutan utama, oleh karena itu masa kesultanan Aceh menjadi populer ke seantero dunia dengan adanya para pakar ulama dan para pedagang dari berbagai negara yang mengajarkan bebagai cabang ilmu setelah Islam datang ke Aceh. Terutama pada masa Sultan Iskandar Muda, ilmu pengetahuan agama sudah berkembang sehingga muncullah ulama-ulama yang bisa menghasilkan karya-karya besar dalam berbagai disiplin ilmu. 3. Masa Penjajahan a. Pendidikan Aceh pada Masa Penjajahan Belanda

Menurut sejarah, pernyataan perang dari Belanda kepada Kerajaan Aceh, termaktub di kapal perangnya “Citadel van Antwerpen” yang berlabuh di Aceh Besar, pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873, lebih dari seratus tahun yang lalu. Sebelumnya pada tanggal 22 Maret 1873, Angkatan Perang Belanda berangkat dari Tanjung Priuk menuju Aceh, di bawah pimpinan Jendral Mayor J. H. R. Kohler dan Kolonel A. W. Egter van Wisserkerke sebagai kepala staf. Setelah agresi pertama ini gagal dengan terbunuhnya Kohler pada tanggal 14 April 1973 oleh tembakan salah seorang Patriot Aceh yang bersembunyi, agresi kedua di pimpinan oleh Jenderal van Swieten berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 November 1873. Van Swieten ingin menyampai-kan surat resminya pada tanggal 1 Desember 1873 yang dialamatkan kepada Sultan Aceh, yang isinya menuntut supaya Aceh mengakui kedaulatan Belanda atas Kerajaan Aceh. Tetapi Aceh tidak mau menyerah atas tuntutan Belanda tersebut. Lalu dengan kekuatan tempur besar-besaran, Belanda mendaratkan tentaranya sebagai agresi kedua atas kerajaan Aceh pada tanggal 19 Desember 1873. Akhirnya Belanda dapat merebut istana Sultan dalam keadaan kosong, tanpa

Page 85: 22

71

mendapatkan panglima-panglima perang dan Sultan Aceh. Belanda menguasai Aceh pada tahun 1903, karena pada masa ini Sultan Muhammad Daud Syah tertangkap.114

M. Said pengarang buku Aceh Sepanjang Abad berpendapat bahwa, Aceh tidak pernah mengaku dan menyerah kepada Belanda, sampai Belanda lari kocar-kacir. Kemudian datanglah tentara Jepang yang digempur oleh rakyat Aceh sebelum tanggal 12 Maret 1942. Sultan Aceh, sebelum menyerah untuk menebus keluarganya yang ditangkap Belanda, mengirimkan pesan kepada Panglima Polim dan ulama di Tiro, bahwa dia menyerahkan pimpinan perjuangan tertinggi ke tangan mereka.115 Perang antara Aceh dan Belanda selama 30 tahun lamanya, dapat dibayangkan bagaimana gambaran pendidikan di muka bumi Aceh pada tahun-tahun ber-kecamuknya peperangan itu. Pendidikan Aceh pada masa ini dapat dibagi dalam dua bagian:

1. Pendidikan Umum yang Diadakan oleh Belanda

Selama peperangan melawan Belanda banyak perubahan dalam bidang pendidikan. Sebagai penjajah, mereka membawa semangat yang dilandasi oleh misi ”gold, glourious, gospel”, yang mencakup tiga hal; kekayaan, kejayaan, dan keagamaan (Kristen). Belanda berusaha merubah pendidikan yang ada di Aceh sesuai dengan yang mereka inginkan. Mereka banyak membakar dan membumihanguskan sejumlah bangunan dayah bersama perpustakaannya, sehingga banyak kitab-kitab besar dalam disiplin ilmu, baik yang ditulis oleh ulama Aceh sendiri maupun yang ditulis oleh ulama-ulama dari Timur Tengah, musnah. Sekolah atau pendidikan yang diasuh oleh para ulama dianggap sebagai duri dalam daging, karena menurut pandangan mereka tujuan pendidikan agama ini untuk menanam rasa kebencian dalam jiwa anak-anak dan keturunan orang Aceh

114Ismail Ya’qub, Gambaran Pendidikan …,hal. 327. 115M. Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: P.T. Percetakan dan

Penerbitan Waspada Medan, 1981), hal. 634.

Page 86: 22

72

terhadap pemerintah kolonial Belanda. Bahkan pendidikan agama dianggap sebagai alat untuk membentuk dan pengumpulan kekuatan guna membalas dendam terhadap Belanda. Belanda juga melarang mengajarkan beberapa mata pelajaran yang berhubungan dengan politik dan yang dianggap dapat memajukan kebudayaan umat. Karena itu banyak pelajaran yang tidak diajarkan lagi di dayah ketika itu. Oleh karenanya pendidikan agama harus dihapus di Aceh dan diganti dengan pendidikan lain yang sesuai dengan selera penjajah.

Meskipun tentara kolonial Belanda secara umum telah mulai dapat menaklukkan perlawanan Aceh pada tahun 1910, namun tidak ada niat dari pemerintah kolonial Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah guna men-cerdaskan rakyat Aceh, selain dari niat jahatnya untuk menjajah dan memeras rakyat Aceh.116 Karena pendidikan di dayah yang telah berjalan lama tersebut, selain meneruskan tujuan yang sudah-sudah dari pendidikan umat, tetapi bertambah lagi dengan tujuan baru yaitu: mempertahankan semangat juang rakyat, jangan sampai lumpuh dipengaruhi mentalnya dan keyakinannya oleh Belanda. Untuk mengantisipasinya maka Belanda mendiri-kan dua macam sekolah bagi rakyat Aceh sesuai dengan maksud jahatnya, adapun tujuan yang dibawa Belanda, pada hakekatnya adalah: alat untuk menundukkan rakyat Aceh dan mencerdaskannya untuk kepentingan keamanan Belanda.117 Pertama, sekolah rakyat biasa dan kedua, sekolah untuk golongan elite.

Sekolah untuk rakyat biasa bernama “Sekolah Desa” (Volkschool) yang didirikan pada tahun 1907. Lama belajarnya tiga tahun dan mata pelajarannya berkisar sekitar membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan bahasa Latin. Dengan institusi pendidikan yang didirikan ini, Belanda bertujuan untuk menanam pengaruh dan mencari simpati rakyat Aceh kepadanya. Lalu dipakai cara-cara ynag sangat menonjol,

116Ibrahim Husein, Sejarah Singkat…, hal. 50-51. 117 Ismail Yakub, Gambaran Pendidikan…, hal. 329.

Page 87: 22

73

umpamanya yang diutamakan adalah pelajaran menyanyi, lagu Wilhelmus dan nyanyi lain untuk memuji Belanda. Untuk itu dipakailah beberapa tenaga pengajar yang didatangkan dari luar Aceh, yang sudah diyakini loyalitasnya kepada Belanda.

Sekolah ini tidak mendapat sambutan dari rakyat Aceh, karena berbau kolonial. Dan karena benci akan tingkah laku kaum Belanda yang kejam dan serta-merta membunuh para ulama dan mujahid yang mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bagi bangsa mereka, mereka memboikot sekolah ini, sehingga timbul anggapan bahwa siapa yang sekolah di sekolah Belanda, mereka akan menjadi kafir.118 Sekolah ini baru diterima oleh sebagian rakyat Aceh berbarengan dengan masuknya “Sarekat Islam” pada tahun 1920. Tujuan dari SI, selain untuk melepaskan Aceh dari tindasan penjajah, juga menginginkan rakyat Indonesia melek huruf dan menguasai berbagai ilmu pengetahuan (modernisasi pendidikan). Dengan pengaruh perjuangan Sarekat Islam dan kesadaran rakyat Aceh terhadap pendidikan, maka jumlah sekolah desa bertambah dan jumlah murid meningkat menjadi 33.000 orang pada tahun 1935.119 Mulai tahun 1938, Belanda membuka Vervolgschool, yang masa belajarnya 5 tahun, sekolah ini merupakan sambungan dari Volkschool, tetapi tidak semua Volkschool menjadi Vervolgschool yang waktu belajarnya ditambah dari 3 tahun menjadi 5 tahun.120

Sekolah untuk golongan elite dinamakan dengan sekolah H.I.S (Holland Inlandsche School), yang diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri (pegawai pemerintah Belanda), anak-anak uleebalang serta golongan tertentu di perkotaan yaitu murid-murid yang terdiri dari anak-anak yang menurut keyakinan Belanda akan menjadi pendukung politik mereka di kemudian hari. H.I.S merupakan sekolah bumiputera berbahasa

118Anthony Reid, The Blood of the People, (Oxford University Press,

1946), hal. 21. 119Anthony Reid, The Blood…, hal. 22. 120Anthony Reid, The Blood…, hal. 24.

Page 88: 22

74

Belanda yang masa belajarnya selama 7 tahun. Pada tahun 1938 sudah ada sebanyak 8 buah sekolah di seluruh Aceh yang muridnya berjumlah 1.500 orang. Bagi anak-anak Belanda dan golongan tertentu lain yang ingin dipersamakan dengan Belanda disediakan sekolah khusus berbahasa Belanda yaitu ELS (Europeesche Lagere School, sebagai sekolah untuk anak-anak Eropa, 7 tahun). Meskipun strategi tertentu pemerintah Belanda tidak melarang untuk berkembangnya pendidikan Islam di Aceh, tetapi gerak kegiatan selalu diintai pemerintah kolonial. Mereka sangat khawatir dengan perkembangan intelektual masyarakat bumiputera, karena dapat menggoyahkan kedudukan mereka sebagai bangsa penjajah.

Belanda mendirikan sekolah M.U.L.O di Kutaraja pada tahun 1930 sebagai tempat pendidikan bagi tamatan H.I.S di Aceh. Pemerintah Belanda tidak memberi kesempatan kepada para murid yang menyelesaikan pelajarannya di Vervolgschool untuk memperoleh pendidikan lanjutan seperti MULO. Oleh karena itu tampillah sekolah swasta yang didirikan oleh Muhammadiyah dan Taman Siswa yang masing-masing masuk ke Aceh pada tahun 1928 dan 1932. Sekolah-sekolah swasta tersebut mempunyai program yang sama dengan HIS, bahkan sekolah Taman Siswa mendirikan sekolah setingkat dengan MULO di Kutaraja dan Bireuen. Kesimpulannya Belanda secara umum hanya mendirikan sejumlah Sekolah Dasar dan sebuah tingkat SMP, yaitu MULO di Kutaraja.121

Secara umum, pada masa ini Belanda mengatur segala urusan yang menyangkut kepentingan pendidikan, mulai izin mendirikan sekolah, sampai izin untuk mengajar.122 2. Pendidikan Agama pada Masa Penjajahan Belanda

1). Pesantren/Dayah Di masa-masa kesultanan Aceh, lembaga pen-didikan

dayah mengalami kemajuan yang pesat. Ini dibuktikan dengan

121Ibrahim Husein, Sejarah Singkat…, hal. 52. 122Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta,

Pertjetakan Taman Siswa, 1962) hal.109-110.

Page 89: 22

75

jumlah dayah di Aceh terus ber-kembang, dan jumlah ulama juga bertambah, selain ulama tempatan sultan juga mengundang ulama-ulama dari luar negeri. Pada masa perang Belanda di Aceh, dayah mulai menurun, karena sejumlah ulama telah harus menjadi pemimpin perang dan kemudian gugur di medan peperangan. Kaum alim ulama pada masa berkecamuknya peperangan itu, seperti Teungku Chik Di Tiro Dayah Cut di Aceh Pidie, paman dari Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman, yang mulanya memimpin pendidikan rakyat dengan mengadakan pesantren dan ceramah-ceramah keagamaan, mendidik, di samping tugas memimpin perjuangan dengan senjata. Ada yang tidak langsung terjun memimpin peperangan, tetapi menjadi tempat bertanya para pejuang, tidak berhubungan dengan Belanda dan tetap membuka pesantren di tempatnya, jauh di pedalaman, seperti Teungku Chik Tanah Abeue di Aceh Besar. Kedua golongan ulama ini tetap mendidik dan mengajar, sehingga banyak ulama Aceh yang lahir kemudian dari kalangan santri yang belajar dalam hutan.

Sejak kerajaan Aceh terlibat perang dengan Belanda dari tahun 1873-1910 M., pendidikan dayah terhenti, karena para pemimpinnya ikut berperang. Setelah mengikuti peperangan, para ulama dan pemimpin agama kembali ke kampung dan mengaktifkan kembali pendidikan dayah. Pendidikan dayah dapat kita katagorikan dalam dua bagian yaitu pendidikan di meunasah dan pendidikan di rangkang.123

Meunasah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam struktur masyarakat desa atau gampong di Aceh.124 Meunasah merupakan lembaga pendidikan tradisional yang mem-punyai asal usul, tradisi dan filosofi yang sama dengan dayah. Pada meunasah, fungsi mesjid dan musala sebagai lembaga ibadah yang sudah digabungkan dengan fungsi-fungsi pendidikan dan

123Ibrahim Husein, Sejarah Singkat…, hal. 53. 124Snouck Hurgronjoe, Aceh Di Mata Kolonialis, Jilid I, (Jakarta:

Yayasan Soko Guru, 1985), hal. 68.

Page 90: 22

76

sosial budaya lainnya dalam satu institusi yang tunggal, dan juga merupakan institusi yang sangat dasar dalam masyarakat Aceh, karena pada lembaga inilah berhimpun berbagai fungsi yang ada dalam masyarakat.

Pendidikan di meunasah berjalan baik dan lancar karena faktor kesadaran orang tua untuk bertanggung jawab atas pendidikan anaknya sejak dini. Di sini belajar semua anak anggota masyarakat tanpa kecuali, dengan tidak memandang status sosial dari setiap individu, pendidikan dianggap sebagai suatu ibadah wajib atas setiap muslim. Kewajiban guru adalah mengajar dan kewajiban murid adalah belajar atas dasar perintah agama. Anak laki-laki belajar di meunasah sedangkan anak perempuan belajar di rumah guru, di bawah pimpinan seorang guru perempuan, yang sering disebut dengan teungku Inong. Selain di rumah-rumah teungku ada juga di Balee. Tujuan dari pendidikan tingkat meunasah ini adalah untuk memberikan pengetahuan dasar agama, yang harus diketahui oleh setiap orang Islam. Pendidikan pada tingkat ini terdiri dari membaca Al-Qur’an, menghafal beberapa surat pendek Juz Amma yang harus dibaca pada waktu mengerjakan shalat. Selain itu diajari juga ilmu-ilmu dasar melaksanakan rukun-rukun Islam, seperti shalat, mengucapkan kalimat syahadat, puasa dan keterampilan yang berkenaan dengan tingkah laku dan akhlak mulia.

Ajaran pokok agama Islam yang diajarkan di meunasah didasarkan pada kitab Masailal Mubtadi suatu kitab pelajaran agama yang klasik di Aceh dan juga ditulis oleh Syekh Baba Daud, atau dikenal dengan nama Teungku Di Leupue, murid Syekh Abd al-Rauf Syiah Kuala125 (disebut juga Abd al-Rauf al-Sinkili karena berasal dari daerah Singkil). Metode tanya jawab yang dipakai dalam kitab tersebut diingat dengan mudah oleh semua orang Aceh yang pernah mengaji di meunasah itu. Peran meunasah dalam bidang peribadatan nampak sekali dalam bulan Ramadhan atau bulan puasa, di samping untuk shalat lima

125Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta: Penerbit

Beuna, 1983), hal. 218.

Page 91: 22

77

waktu, juga menjadi tempat orang-orang mengadakan shalat tarawih dan membaca Qur’an yang di sebut dengan tadarus. Pendidikan meunasah lebih banyak berorentasi pada kaum laki-laki, karena kegiatan di meunasah lebih banyak didominasi oleh kaum lelaki.

Pendidikan rangkang berbeda dengan pendidikan meunasah, pendidikan ini biasanya terpisah dari lingkungan rumah tangga atau kampung halaman santri atau pelajar tingkat dayah. Pendidikan tingkat ini (rangkang atau dayah) tidak terdapat pada setiap desa bahkan pada setiap kecamatan. Ciri dayah ini adalah pemondokan untuk santri atau murid-murid dalam satu komplek bersama-sama teungku atau guru. Biasanya rangkang ini dibangun oleh seorang teungku atau ulama di kampung atau tempat ulama atau teungku itu bermukim. Pendidikan di rangkang merupakan lanjutan dari pendidikan dasar yang terdapat di meunasah. Ilmu-ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu yang lebih tinggi dari pendidikan awal tadi, seperti mempelajari bahasa Arab yang terdiri dari ilmu al-nahw dan al-sharf. Apabila para santri telah menguasai ilmu ini (bahasa Arab) maka mereka dibenarkan menyambung pendidikannya di tingkat yang disebut dengan balee, di bawah pimpinan Teungku di Balee. Pelajaran pada tingkat ini merupakan spesialisasi dalam ilmu agama, dalam bidang ilmu fikih, tafsir, hadis dan tasawuf dan sebagainya. Ada juga yang belajar pada Teungku Chik dalam memahami pengertian-pengertian sukar yang terdapat dalam kitab-kitab tertentu, dan terdapat juga cara belajar dengan Teungku Chik memilih masalah-masalah tertentu yang timbul dalam masyarakat, kemudian dibahas bersama, di mana Teungku Chik sebagai moderator atau pemandu. Belajar seperti ini adalah meniru sistem pendidikan Ma’had ‘Ulya pada masa kerajaan Islam Timur Tengah.

Tradisionalisme dalam pendidikan dayah memang merupakan warisan paling penting dari Timur Tengah. Inti dari pendidikan ini ialah pengajaran fiqh atau hukum Islam yang

Page 92: 22

78

disebut oleh Makdisi sebagai “queen of Islamic sciences” (ratu dari ilmu keislaman)126, tradisi yang kemudian dipelihara dengan baik sampai ratusan tahun.

2). Sekolah Agama (Madrasah)

Berdirinya sekolah agama (madrasah) adalah akibat dari pengaruh kebangkitan semangat nasionalisme baik yang datang ke Aceh dari dalam maupun dari luar negeri. Semangat ini telah mendorong para pemuda untuk memperluas wawasan ilmu pengetahuan, dalam arti tidak terbatas dalam mempelajari agama saja. Pemimpin Aceh pada waktu itu menyadari bahwa merebut kemerdekaan tidak cukup dengan memiliki semangat dan sentimen agama saja, akan tetapi mereka harus memiliki ilmu-ilmu modern. Madrasah ini merupakan kombinasi antara pelajaran umum dan ilmu agama. Ulama-ulama di Aceh tidak ingin sisi apapun dijauhkan dari aspek agama, karena itu mereka mengambil model pendidikan sekolah tetapi orientasinya dirubah. Pendidikan madrasah tetap bertujuan dalam rangka memperdalam ilmu sesuai dengan tuntutan agama, kendatipun ada tujuan lain yaitu agar memiliki keterampilan untuk kebutuhan hidupnya.

Madrasah-madrasah yang didirikan pada hakikatnya masih merupakan pendidikan agama, hanya kurikulumnya saja yang diperluas dengan ilmu-ilmu yang baru seperti Sejarah umum, Sejarah Islam, Sejarah Indonesia, Tata Negara, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Pendidikan seperti ini dimaksudkan untuk bekal mempelajari ilmu modern, di samping mempelajari ilmu agama yang telah berkembang sejak tahun 1926, dan untuk itu didirikan beberapa sekolah seperti Madrasah Al-Irsyad di Lhokseumawe dan di beberapa tempat lain, akan tetapi tidak berusia lama karena beberapa faktor. Sekitar tahun 1928 terjadi perubahan dalam pendidikan agama, yaitu sistem pendidikan

126George Makdisi, The Rise of College: Institutions of Learning in

Islam and The West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), hal. 32.

Page 93: 22

79

yang sebelumnya berupa dayah-dayah menjadi madrasah-madrsah yang terkenal di Aceh. Di antara madrasah-madrasah yang mempunyai pengaruh besar membawa perubahan dalam pendidikan agama di Aceh adalah Madrasah Sa’adah Al- Abadiyah (M.S.A) yang mula-mula didirikan di Garot pada tahun 1929 dan kemudian dipindahkan ke Blang Paseh (Kepala Satu) Sigli pada tahun 1930. Kedua, adalah Madrasah Al-Muslim yang didirikan di Matang Glumpang Dua, pada tahun 1930. ketiga, adalah perguruan Djadam yang didirikan pada tahun 1931 di Montasiek. Keempat, adalah Perguruan Islam di Seulimeum yang didirikan pada tahun 1926. Di samping itu masih banyak madrasah-madrasah dengan program yang sama yang bertebar di seluruh Daerah Aceh, antara lain: Darul Huda di Bambi, Darul Ma’arif di Garot, MSA di Beureunun, Madrasah Ibtidaiyah di Teupin Raya.127

Sistem madrasah merupakan suatu kemajuan yang besar bagi daerah Aceh, karena pendidikan inilah lahir pejuang-pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya Normal Islam Institut (N.I.I) di Bireun tahun 1939. NII adalah suatu jenis dari pendidikan untuk melahirkan guru agama yang cakap dalam jumlah besar dan disebarkan ke sekolah-sekolah agama dan madrasah yang ada di seluruh Aceh, dan juga telah membentuk dan melahirkan para pemimpin yang mengisi jabatan-jabatan dalam pemerintahan pada masa tahun-tahun pertama dari Republik Indonesia. Selain NII, juga ada MIM (Ma’had Iskandar Muda) yang didirikan oleh T.P Polem di Lampakuek, yang merupakan Perguruan Islam tingkat menengah yang kedua di Aceh.128

Pada tahun 1939 merupakan salah satu tonggak sejarah dalam perjalanan perkembangan masyarakat Aceh, dalam tahun ini terjadi beberapa peristiwa penting yaitu didirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 5 Mei 1939. Salah satu fungsinya di bidang pendidikan yaitu menyeragamkan

127Ibrahim Husein, Sejarah Singkat…, 56-57. 128Ibrahim Husein, Sejarah Singkat,…, hal. 57.

Page 94: 22

80

kurikulum sekolah-sekolah agama tingkat rendah di Aceh. PUSA ingin mengatur kembali dan menstandarisasikan kurikulum seluruh madrasah yang telah dibangun di Aceh. Peristiwa ini merupakan prestasi dalam sejarah kemajuan pendidikan Islam di Aceh karena mempunyai pengaruh besar dalam mempercepat moder-nisasi sekolah-sekolah agama dan akselerasi kemajuan pendidikan Islam di Aceh. 129

b. Pendidikan Aceh Pada Masa Pejajahan Jepang

Jepang memasuki daratan Aceh melalui Malaya, sekarang Malaysia, dengan menyebut dirinya “saudara tua”. Melalui sebutan ini Jepang berhasil menipu rakyat dan tokoh-tokoh pergerakan Aceh dengan memanfaatkan sentimen sesama bangsa Asia, sesama bangsa Timur. Tanpa menaruh curiga kehadiran Jepang disambut dengan tangan terbuka, sehingga Jepang dapat menguasai Aceh selama 3,5 tahun, karena itu tidak sempat menjalankan politik pendidikannya di daerah Aceh. Sebenarnya Jepang mempunyai rencana untuk membuat pendidikan yang besar, yaitu memasukkan Indonesia dalam Asia Raya ciptaan Jepang, namun hal ini tidak berhasil karena negara Jepang diserang oleh Sekutu yang menyebabkan kehancur-an Jepang, dan membuatnya terpaksa angkat kaki dari tanah Aceh.

Dalam hal pendidikan, Jepang menghapus semua sekolah yang berbau Belanda, sekolah HIS dan Europescheschool dijadikan sekolah rakyat dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar diganti dengan bahasa Indonesia. Sekolah MULO di Kutaraja dijadikan Sekolah Menengah biasa (Tyugakko). Bahasa Jepang diajarkan pada tiap-tiap sekolah, lagu Kimigayo wajib dipelajari dan diajarkan di semua sekolah tanpa kecuali. Nyanyian dalam bahasa Jepang diajarkan juga pada semua Sekolah Rakyat. Para guru wajib mempelajari bahasa Jepang, kursus-kursus bahasa Jepang dibuka di mana-

129M. Nur El Ibrahim, Sekitar Pembaharuan Sistem Pen-didikan

Agama di Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 104.

Page 95: 22

81

mana. Sekolah Jepang dalam bahasa Jepang disebut Sihan Gakko. Sekolah agama diperbolehkan berjalan seperti biasa dan dianjurkan mempelajari Bahasa Jepang bagi sekolah-sekolah yang ada gurunya.

Pada masa itu ada dua sekolah guru yaitu Sihan Gakko dan Sekolah Normal Islam di Bireuen. Salah satu gejala sosial yang berkenaan dengan pendidikan pada masa pendudukan Jepang ini adalah, sebagian dari pemuda Aceh memperoleh kesempatan untuk masuk pendidikan militer Jepang, dengan mendaftarkan diri sebagai Giguyun yang dipusatkan di Lhokseumawe dan beberapa tempat lainnya di Aceh. Banyak pemuda Aceh yang menggunakan kesempatan ini, antara lain Syamaun Gaharu, Hasan Saleh, Hasballah Haji, dan lain-lain130.

Penjajahan Jepang hanya 3,5 tahun tetapi pengaruh politik tangan besi atau perang, sedikit banyak mem-pengaruhi perkembangan pendidikan di Aceh. Pada masa itu di sekolah Jepang setiap pagi murid atau siswa dipaksa “bertaiso” (gerak badan), menghormati Raja Tenno Heika dengan membungkuk-kan badan (kaire) ke arah Tokyo, sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai di sekolah. Kebiasaan-kebiasaan ini dilakukan untuk menanamkan semangat bishido di kalangan murid sekolah dan generasi muda di Indonesia. Dengan kebiasaan ini Jepang lama-kelamaan dapat menipponkan murid dan generasi muda, sehingga Jepang mudah untuk menguasai daerah jajahan-nya dengan menanamkan nilai-nilai kebudayaannya. Tetapi karena sebab-sebab yang telah disebut di atas, usaha Jepang ini tidak berhasil.

Pendidikan Pasca Kemerdekaan

Aceh selama masa penjajahan, baik oleh Belanda maupun Jepang banyak mengalami perubahan dalam hal sistem pendidikan. Para penjajah membuat pendidikan seperti apa yang mereka inginkan untuk mengambil keuntungan bagi mereka, tetapi tidak pernah memikirkan nasib rakyat Aceh ataupun untuk

130Ibrahim Husein, Sejarah Singkat…, hal. 58-59

Page 96: 22

82

mencerdaskan rakyat. Penjajah hanya memaksa rakyat untuk kemakmuran negara mereka tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat, dan mereka mengekang kemerdekaan tiap orang untuk melaku-kan sesuatu. Akhirnya setelah mengalami penderitaan yang panjang, pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mem-proklamasikan kemerdekaannya. Indonesia lepas dari dari belenggu kolonial Belanda dan Jepang. Sebelumnya pada tanggal 14 Agustus 1945 Pemerintah Jepang telah menyerah kepada sekutu.

Setelah kemerdekaan, saat itu pendidikan juga mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kepribadi-an bangsa. Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, rakyat Indonesia bebas mengatur dan menyusun sistem pendidikan Nasional. Tetapi perjalanan mengisi kemerdekaan ini dalam perkembangan pendidikan tidak berjalan lancar, karena pendidikan itu sendiri berkaitan dengan aspek geografi negara Indonesia yang luas dan terdiri dari kepulauan, lautan, gunung dan lembah yang berjauhan, serta variasi etnik bangsa dan bahasa. Banyak permasalahan yang harus diselesaikan secara bertahap-tahap, demikian juga dalam perkembangan pendidikan pada masa-masa tertentu juga mengalami perubahan-perubahan. Untuk melihat perkembangan pendidikan per-kembangannya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Masa Orde Lama

Sejak kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,131 berita ini tersebar luas ke Aceh dan pada

131Setalah kemerdekaan RI, wilayahnya dibagi kepada 8 Propinsi

yaitu Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, maluku, dan Sunda Kecil. Propinsi Sumatera dengan gubernurnya Teuku Mr. Muhammad Hasan berkedudukan di Bukittinggi membawahi beberapa residen, termasuk Aceh yang residen pertamanya Teuka Nyak Arif. Dan atas dasar beberapa pertimbangan, utamanya alasan luasnya geografi dan kesulitan komunikasi, sidang tanggal 17-19 April 1946 memutuskan untuk membagi Propinsi Sumatera menjadi 3 Propinsi , yaitu (1) Bagian Sumatera Utara yang meliputi Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli dengan gubernur

Page 97: 22

83

tanggal 24 Agustus 1945 Aceh juga menaikkan bendera merah putih yang pertama, yang dipimpin langsung oleh Teuku Nyak Arief.132 Meskipun Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya tetapi Belanda masih juga melakukan agresinya. Para ulama mengadakan pertemuan yang memutus-kan untuk memberi dorongan kepada Indonesia, dengan menyemangati rakyat untuk mendukung Soekarno melawan penjajah Belanda. Agresi pertama Belanda tanggal 21 Juli 1947 gagal masuk Aceh. Dan Agresi kedua Belanda pada tanggal 19 Desember 1948 berhasil menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta dan menangkap Soekarno (presiden) serta M. Hatta (wakil presiden) dan beberapa menteri. Daerah yang belum dikuasai Belanda adalah Aceh. Namun pada saat itu juga di bidang pendidikan juga mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu dan peristiwa. Republik Indonesia mulai membangun sistem pendidikan baru yang bersifat nasional setelah merebut kemerdekaan dari Belanda melalui perjuangan keras.

Kemerdekaan yang diproklamasikan Indonesia meng-akhiri sistem pendidikan yang sebelumnya bercorak kolonial untuk kepentingan kolonial dan memulai suatu sistem pendidikan bagi bangsa Indonesia yang merdeka. Pada masa ini Aceh mengalami perubahan dan perkembangan di bidang pendidikan, baik dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Banyak peristiwa yang mempengaruhi pendidikan di Aceh setelah kemerdekaan seperti terjadinya peristiwa berdarah yaitu

muda Mr. S.M Amin; (2) Bagian Propinsi Sumatera Tengah yang sekarang meliputi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi yang gubernur muda Mr. Muh. Nasrun; (3) Bagian propinsi Sumatera Selatan yang sekarang meliputi Palembang, Bengkulu, Bangka, Belitung dan Lampung dengan gubernur muda Dr. A.K Gani. Lihat Ramadhan dan Hamid Jabbar, Sjamaum Gaharu, Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, (Jakarta: Pustaka Harapan), hal. 313-314.

132Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, (Jakarta: Madani press Penebar Buku Islam Radikal, 2000), hal. 110.

Page 98: 22

84

pemberontakan Aceh terhadap pemerintah pusat yang berdampak buruk bagi pendidikan di Aceh. Perkembangan pendidikan sekolah dasar sampai perguruan tinggi di Aceh pada masa orde lama yaitu:

1. Pendidikan Dasar

Pada masa kemerdekaan pada jenjang pendidikan dasar masih berlangsung dua corak sekolah yaitu sekolah umum yang disebut Sekolah Rakyat (SR) dan Sekolah Islam yang disebut Sekolah Rendah Islam (SRI). SR berlangsung selama enam tahun, sedangkan SRI berlangsung selama tujuh tahun. Kedua sekolah ini dikelola oleh pemerintah sebagai sekolah negeri. Dan juga pada jenjang ini ada yang dikelola oleh pihak swasta133.

Pendidikan di Aceh tidak terlepas dari pendidikan Islam atau pendidikan agama. Maka tidaklah heran jika sekolah agama lebih banyak dari pada sekolah umum. Hal ini dikarenakan salah satu perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan dulu dengan cara menjauhkan diri dari sekolah-sekolah negeri kolonial Belanda, yang umumnya dipandang sebagai sumber usaha Belanda untuk melemahkan semangat perlawanan nasional sebagai sumber pengetahuan keduniaan yang menjauhi adat dan agama Islam. Rakyat Aceh lebih tertarik mengarahkan pendidikan rakyat ke arah pengetahuan keruhanian dengan jalan mengunjungi madarasah-madrasah. Hal ini membuat Aceh kekurangan sekolah-sekolah negeri, dan pemeliharaannya kurang diperhatikan juga.

Pada masa kemerdekaan ini madrasah-madrasah Ibtidaiyah seluruh Aceh dijadikan sekolah negeri dengan nama SRI (Sekolah Rendah Islam). Semua sekolah ini tidak tunduk di bawah Kementerian P dan K, tetapi di bawah Kementerian Agama yang mulanya diurus oleh Jawatan Agama Islam Daerah

133M. Gade Ismail dkk, Pendidikan Dasar di Daerah Istimewa Aceh,

dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 245.

Page 99: 22

85

Aceh (sebelum ada hubungan normal dengan pusat)134. Pada tahun 1946 hampir seluruh sekolah-sekolah agama di Aceh yang berjumlah 180 sekolah bersama muridnya yang berjumlah 36.000 orang diserah-kan kepada pemerintah Daerah Aceh, di bawah asuhan pejabat Agama c.q. Kepala Bahagian Pendidikan Agama menjadi sekolah negeri. Penyerahan resmi ini bernama “Qanun” yang tertanggal 1 Nopember 1946. Dengan penyerahan ini resmilah madrasah-madrasah itu menjadi Sekolah Islam Negeri 7 (Tujuh) Tahun (SRIN)135.

Setelah hubungan antara daerah dengan pusat menjadi normal karena Belanda menyerahkan kedaulatan-nya kepada Indonesia, barulah madrasah-madrasah yang telah dinegerikan di Aceh resmi sebagai sekolah Kementerian Agama. Karena pada masa ini belum ada sekolah yang tunduk di bawah Kementerian Agama di seluruh Indonesia, maka dalam beberapa kali diadakan rapat dan konferensi Kementerian Agama, Aceh selalu menjadi ejekan dan madrasah-madrasah itu diperintahkan untuk diserahkan kepada Kementerian P dan K. Banyak kendala-kendala yang dialami dengan pembentukan madrasah menjadi negeri, kemudian barulah pada tahun 1951 pada konferensi Kementerian Agama di Bandung diumumkan oleh Menteri Agama bahwa sekolah-sekolah agama yang ada di Aceh adalah milik Kementerian Agama, yaitu sebagai warisan dari pemerintah daerah Aceh. Sehingga di Aceh ada dua sekolah yaitu SRI yang tunduk di bawah Kementerian Agama dan SR tunduk di bawah P dan K yang resmi diasuh oleh Pemerintah.

Dengan munculnya kedua sekolah ini, rakyat Aceh mempunyai dua pilihan dalam memilih pendidikan untuk anak-anaknya. Sehingga terdengar keretakan-keretakan antara

134Mahyiddin Yusuf, Pendidikan Agama di Aceh dalam

Pembangunan, dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 145.

135Badruzzaman Ismail, Peranan dan Perkembangan lembaga-Lembaga Pendidikan Agama di Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 174.

Page 100: 22

86

pengasuh kedua sekolah ini, bahwa di sekolah umum di bawah P dan K tidak mempunyai murid lagi karena pindah masuk ke madrasah-madrasah, sedangkan sekolah agama di bawah kementerian Agama merasa murid-muridnya direbut oleh sekolah umum. Hal ini menimbulkan ide dari tokoh-tokoh untuk menyatukan kedua sekolah ini ke dalam satu naungan. Tetapi tetap tidak berhasil meskipun telah bertahun-tahun badan ini bekerja dengan sungguh-sungguh, kedudukan sekolah dan madrasah ini tetap seperti biasa.

Pelaksanaan pendidikan SRIN dengan menyusun kurikulum pelajaran agama dengan pelajaran umum, berbanding 34% : 66%, dengan catatan jumlah pelajaran seminggu 218 jam, yaitu 74 jam pelajaran agama dan 144 pelajaran umum. Perbandingan kurikulum yang demikian untuk tamatan SRIN diharapkan mampu memenuhi tuntutan pengetahuan agama serta membekali anak didik, yang cakap dan berkemampuan dalam masyarakat. Selanjutnya melalui Ketetapan Menteri Agama RI No. 43 tanggal 24 Desember 1952 kepada 200 sekolah, mulai mendapatkan bantuan/subsidi, biaya, alat-alat mobilair (perlengkapan sekolah) dan buku-buku pelajaran.

Namun pada tahun 1953 terjadi peristiwa pemberontakan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat di Jakarta, dan berdampak sangat buruk dalam pendidikan di Aceh. Banyak gedung sekolah SR di pedesaan yang dibakar, dan menyebabkan kerugian material dan spiritual yang tidak sedikit bagi rakyat Aceh. Sehingga ada kebijaksanaan pemulihan keamanan yaitu ketika pada tahun 1959 para ulama mendukung proses perdamaian136 yang menghasilkan perubahan status propinsi Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, keistimewaannya terletak pada pemberian hak-hak otonomi yang luas, terutama dalam bidang keagamaan, pendidikan dan kebudayaan/adat.

Pada tahun 1959 ada tindakan kebijaksanaan pemerintah berikutnya melalui penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1959,

136A. Hasjmy, Keistimewaan Aceh dalam Bidang Pendidikan,

(Banda Aceh; Panitia Seminar Propinsi Banda Aceh), 1993, hal. 25-33.

Page 101: 22

87

kepada seluruh SRI diberikan dasar hukum penegerian, dengan demikian lembaga pendidikan diasuh dan berada langsung di bawah pimpinan Depar-temen Agama. Jumlah madrasah sebanyak 205 sekolah yang bersubsidi (swasta) sebanyak 55 sekolah, dengan jumlah murid seluruhnya 45.684 orang dan guru 900 orang, dengan demikian SRI menjadi lebih terkenal dan disukai oleh masyarakat pada waktu itu, lebih-lebih setelah mendapat bantuan alat-alat dan buku-buku pelajaran dari pemerintah pada tahun 1952.

Pada tahun 1962 kurikulum mengalami perubahan dengan adanya Keputusan Menteri Agama No. 104 tahun 1962, perubahannya menjadi 32% : 68% yaitu pelajaran agama yaitu 85 jam dan pelajaran umum 166 jam. Berdasarkan keputusan Menag ini, maka lembaga Sekolah Rendah Islam Negeri, berubah namanya menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) dengan masa belajar selama 6 tahun. Pada tahun 1962 terjadi peningkatan jumlah sekolah negeri yaitu 210 sekolah MIN, swasta menjadi 175 dengan jumlah murid seluruhnya 70.108 orang dan guru sebanyak 1.605 orang. Pada tahun 1969 jumlah ruang belajar untuk kelangsungan belajar pada tingkat sekolah dasar yang telah tersedia yaitu 2.199 ruang. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah ruang belajar tidak terjadi penambahan.137

Pendidikan dasar di Aceh sepanjang sejarah telah menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat dan kebutuhan-nya. Pada awal pertumbuhannya, masyarakat Aceh yag didirikan atas dasar agama Islam, maka pendidikan dasar sangat diwarnai oleh penanaman nilai-nilai dan pengetahuan yang bercirikan ke-Islaman. Oleh karena itu dalam proses belajar mengajar, pemahaman dan penguasaan materi pelajaran berupa ajaran-ajaran Islam adalah fokus utama dari pengajaran. Pada masa orde lama, pengembangan pendidikan dasar di Daerah Istimewa Aceh tidak terlalu menggembirakan, karena banyak kesulitan-kesulitan yang dialami pemerintah dan masyarakat.

137Badruzzaman Ismail, Peranan …, hal. 176.

Page 102: 22

88

2. Pendidikan Menengah

Sekolah tingkat menengah merupakan lanjutan dari sekolah dasar, baik menengah umum maupun menengah agama telah mulai tumbuh dan berkembang di Aceh. Hal ini sejalan dengan minat masyarakat yang timbul untuk memasuki pendidikan menengah. Setelah Indonesia merdeka, setiap warga negara diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan. Di daerah Aceh meskipun setelah kemerdekaan masih terjadi peristiwa-peristiwa berdarah seperti pemberontakan PKI dan juga pemberontakan rakyat Aceh sendiri, tetapi sekolah menengah mulai berkembang di sana.

Sekolah menengah agama merupakan salah satu sekolah yang diminati oleh rakyat Aceh karena pembelajarannya banyak mengkaji pelajaran-pelajaran Agama Islam. Lembaga pendidikan agama sebagai lanjutan dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri/Swasta, adalah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), masa belajarnya selama 3 tahun setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tumbuh dan berkembangnya sekolah ini sama dengan situasi lahirnya MIN, yaitu bersumber dari madrasah atau dayah yang dikembangkan oleh masyarakat, baik gedung, murid, guru, serta biayanya dikelola oleh mereka. Pem-bentukan sekolah ini juga banyak mengalami kesulitan dan hambatan pada awal pertumbuhannya. MTsN berasal dari peralihan Sekolah menengah Islam (SMI). Adapun sebelumnya SMI ini berasal dari Sekolah Normal Islam.138

Pada tahun 1946 Normal Institut Pusa di Bireun dipindah-kan ke Kutaraja (Banda Aceh), setelah berada di Kutaraja berubah namanya menjadi Sekolah Menengah Islam dan sebagian lagi dinamakan Sekolah Guru Islam (SGI) di bawah Departemen Agama dengan status negeri, maka Normal Islam Bireun dengan sendirinya bubar. Akibat pemindahan ini gedung-gedung bekas lembaga Pendidikan Normal Islam dimanfaatkan menjadi Sekolah Menengah Islam (SMI) yang

138Badruzzaman Ismail, Peranan …,hal. 190.

Page 103: 22

89

diasuh oleh sebuah Yayasan Pendidikan Islam, di bawah akte Notaris R. Kadiman, No. 46, tanggal 11 Oktober 1956139. Meskipun belum mendapat status negeri tetapi semua guru-gurunya diangkat oleh pemerintah.

Sejak tahun 1964, pada kesempatan Pemerintah (Departemen Agama) membuka sekolah-sekolah Negeri, maka SMI-SMI yang memenuhi syarat diusulkan menjadi Madrasah Tsanawiyah Negeri. Kemudian sekolah lanjutan dari MTsN adalah Madrasah Aliyah Negeri (MAN), yaitu lembaga pendidikan yang setingkat dengan SLTA, lama belajarnya selama 3 tahun. MAN bersumber dari penegerian Sekolah Menengah Islam Atas (SMIA) yang merupakan lanjutan dari SMI, sekolah ini tumbuh sejak tahun 1949 dalam daerah Istimewa Aceh.

Sekolah pendidikan guru juga merupakan sekolah lanjutan setelah menamatkan sekolah dasar seperti PGAN yang awalnya berasal dari sekolah guru agama Islam (SGAI), yang didirikan di Aceh berdasarkan Maklumat Jawatan Pendidikan Agama RI di Yogyakarta tahun 1950, yang menganjurkan agar pada setiap keresidenan didirikan sebuah SGAI. Sebenarnya SGAI telah ada di Aceh sejak tahun 1946 atas prakarsa pemerintah Daerah sebagai pindahan dari Normal Islam Bireun. Normal Islam merupakan lembaga pendidikan guru, karena masa itu di Aceh sangat dirasakan kekurangan guru yang mampu mengembangkan sistem pendidikan yang berorientasi pada kepentingan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama (dunia akhirat). Kemudian pada tahun 1951, ada Keputusan Menteri Agama Nomor 7 Tahun 1951, tanggal 15 Pebruari 1951, SGAI berubah menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama), masa belajarnya selama 4 tahun dan PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) dengan masa belajar selama 2 tahun, sebagai kelanjutan dari PGA. Kemudian dengan adanya Keputusan Menteri No. G/II/4/10491/1951, tanggal 14 Agustus 1951, PGA/PGAA berubah bentuk lagi menjadi PGAN

139Badruzzaman Ismail, Peranan …,hal. 173.

Page 104: 22

90

(Pendidikan Guru Agama Negeri) yang masa belajarnya menjadi 6 tahun. Siswa yang masuk pada PGAN ini merupakan siswa tamatan MIN 6 tahun.140

Pendidikan selain agama juga ada pendidikan menengah umum yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Bertolak dari sejarah Aceh, yang kekhususannya dalam pelaksanaan agama, adat, dan pendidikan. Pendidikan di Aceh tidak terlepas dari pelaksanaan pembangunan nasional, maka perkembangan sekolah umum juga terus berlanjut. Sejak kemerdekaan hingga tahun 1950 Sekolah Menengah Pertama (SMP) telah terdapat di Kutaraja (Banda Aceh), Sigli, Langsa, Lhokseumawe, Meulaboh, Tapaktuan, dan Takengon. Pada saat ini SMP yang mempunyai guru-guru dan alat-alat yang memadai adalah SMP di Kutaraja, karena berada di ibukota keresidenan dan cepat mendapat perhatian dari pemerintah.

Setelah tahun 1950 selama 9 tahun sesudahnya, berkat usaha masyarakat dan bimbingan dari pemerintah di Aceh telah bertambah 13 SMP Negeri, yaitu di Sabang, Sibreh, Sinabang, Singkil, Bereuneun, Meureudu, Samalanga, Bireun, Lhoksukon, Idi, Kutacane, Blang-kejeren, dan Kuala Simpang. Selain sekolah Negeri, berkembang juga sekolah-sekolah swasta, yang sebagian-nya juga telah dinegerikan. Sekolah swasta yang terkenal pada masa itu adalah SMP yang diasuh oleh Organisasi Muhammadiyah, antara lain terdapat di Kutaraja, Sigli dan Lhokseumawe.141

Pada tahun 1959 status “Daerah Istimewa” diberi-kan kepada propinsi Aceh, terutama keistimewaan dalam bidang pendidikan. Penetapan tanggal 2 September 1959 sebagai Hari Pendidikan Daerah bagi Aceh, yang kemudian diperingati setiap tahunnya oleh masyarakat Aceh serta dijadikan momentum untuk memberikan evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan. Tahun pertama setelah pencanangan ini didirikan Perkampungan

140Badruzzaman Ismail, Peranan …, hal. 196. 141Badruzzaman Ismail, Peranan …,hal. 257.

Page 105: 22

91

Pelajar di beberapa daerah tingkat II mencontoh kepada Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) yang terdapat di Ibukota Propinsi yaitu Kopelma Darussalam. Setiap Perkampungan Pelajar di ibukota Kabupaten ditandai dengan berdirinya sekolah menengah umum (SMP dan SMA). Selama kurun waktu 10 tahun SMP telah bertambah sebanyak 28 sekolah dan Swasta sebanyak 38 sekolah.142

Sekolah Menengah Atas (SMA) satu-satunya terdapat di Kutaraja, sekolah ini didirikan pada tahun 1946, sumber sekolah ini pada mulanya adalah Sekolah Menengah Tinggi (SMT). Kemudian berganti nama menjadi SMA pada tahun 1947. Siswanya merupakan tamatan dari MULO, Tyu Gakko, SMP dan sekolah menengah lainnya yang setingkat. Karena pertambahan jumlah SMP berarti bertambah juga tamatannya yang membutuhkan sekolah lanjutan. Maka awal tahun ajaran 1957/1958 di Sigli dibuka SMA Negeri sebagai SMA kedua tertua di Aceh. Kemudian berkat usaha dan kerja-sama guru-guru SMA dan SGA Banda Aceh telah didirikan SMA swasta di bawah sebuah yayasan, yaitu Yayasan Adidarma, dan di Sigli juga dibuka SMA swasta Tgk. Chik di Tiro, yang sebagian siswanya yang memenuhi syarat diterima di SMA Negeri Sigli, dan di Langsa bernama SMA Muda Setia Langsa. Pada tahun 1958 terdapat tiga buah SMA Negeri tambahan yaitu di Takengon, Langsa, Meulaboh, dan juga yayasan Iskandar Muda, pada tahun 1959 bertambah lagi dua SMA yaitu di Lhokseumawe dan Tapaktuan. Pada tahun ini juga di buka SMA Swasta lainnya di Banda Aceh yaitu SMA taruna yang kemudian tahun 1966 ditutup. SMA Muhammadiyah yaitu sekolah yang didirikan oleh organisasi tertua yang amat berpengalaman dalam mendirikan dan membuka lembaga pendidikan.

142Ali Bakri Ibrahim, dkk., Pendidikan Menengah Umum, dalam

Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 259.

Page 106: 22

92

Setelah tahun 1959 yaitu sekitar tahun 1960 ada beberapa sekolah yang dibuka yaitu SMA Negeri Darus-salam (Aceh Besar), kemudian SMA ini dipindahkan ke dalam kota Banda Aceh yang dikenal sekarang sebagai SMA Negeri 2, SMA Negeri Bireun (Aceh Utara), SMA Negeri Kuala Simpang, SMA Negeri Blang Pidie (Aceh Selatan), SMA negeri Sibreh (Aceh Besar), SMA Negeri Montasik (Aceh Besar), SMA Negeri Kutacane (Aceh Tenggara) dan SMA Sabang. Pembangunan gedung sekolah-sekolah menengah ini diusahakan oleh masyarakat, dunia usaha dan juga dibantu oleh pemerintah Daerah. Dan juga penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah di Aceh pada masa orde lama banyak mendapat bantuan dari dari Persatun Orang Tua murid dan Guru (POMG), pemerintah daerah, para penguasaha dan juga anggota masyarakat.143

Setelah berdirinya sekolah-sekolah menengah ini, ternyata tenaga pengajar yang ada tidak mencukupi atau terjadi kekurangan tenaga pengajar. Maka pada tahun 1949, tenaga pengajar didatangkan dari Yogyakarta sebanyak 6 orang mahasiswa untuk mengisi kekurangan guru pada SMA Kutaraja. Dan Pemerintah juga mengangkat tenaga mahasiswa melalui program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM), untuk mengatasi kekurangan guru di seluruh Indonesia. Selain itu kekurangan guru juga diisi oleh tenaga dari pegawai setempat, yang umumnya bekerja secara sukarela tetapi tetap bertanggung jawab. Mulai tahun 1959 selain dari guru PTM dari luar Aceh, sumber guru SMA mulai dilayani oleh Universitas Syiah Kuala, berupa guru-guru tidak tetap yang berasal dari mahasiswa.

Perubahan kurikulum pada masa orde lama hanya sekali terjadi yaitu pada tahun 1962, meskipun demikian tidak ada perubahan yang berarti. Sarana, alat-alat untuk media belajar serta pendekatan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar belum mengalami pembaharuan. Buku-buku pelajaran pegangan

143Ali Bakri Ibrahim, dkk., Pendidikan..., hal. 261.

Page 107: 22

93

guru dan murid yang khusus belum tersedia atau disediakan di toko-toko buku maupun disediakan oleh pemerintah.144

Pembangunan gedung dan sarana sekolah juga sedikit dari pemerintah daerah setempat mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten sampai tingkat propinsi, umumnya yang telah ada dibangun dari hasil usaha swadaya masyarakat, dan sekolah-sekolah Negeri memakai gedung-gedung kosong yang tidak terpakai pada masa peninggalan Belanda. Meskipun demikian berkat usaha-usaha dan bimbingan guru-guru dan masyarakat SMA Negeri 1 mampu bersaing dengan tamatan SMA lain dalam memasuki Perguruan Tinggi Negeri ternama seperti UGM, ITB, UI dan IPB, termasuk mengikuti ujian masuk akademi militer. Selain itu SMA Negeri Sigli pada tahun 1960 juga telah menghasilkan tamatan yang pintar dan brilian sehingga banyak juga yang diterima di Perguruan Tinggi terkemuka di seluruh Indonesia.

3. Pendidikan Kejuruan

Pada masa perjuangan Kemerdekaan Indonesia, perkembangan pendidikan kejuruan masih berjalan sangat lamban dibandingkan dengan perkembangan pendidikan yang lain. Suasana dan kondisi yang sulit seluruh perhatian pemerintah dan masyarakat tertuju pada hambatan-hambatan perjuangan baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun dari luar. Setelah tahun 1950 barulah pendidikan kejuruan di Aceh mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat. Dari kemerdekaan sampai tahun 1950 hanya ada sebuah sekolah kejuruan yaitu Sekolah Tehnik yang berada di Kutaraja (Banda Aceh) di bawah pimpinan Anwar Boestam. Dari sekolah ini telah menghasilkan tenaga-tenaga teknik di bidang pengerjaan kayu dan logam/mesin meskipun kualitas dan kuantitasnya terbatas, tetapi bisa juga mengatasi kelangkaan tenaga kerja di

144Ali Bakri Ibrahim, dkk., Pendidikan..., hal. 262.

Page 108: 22

94

bidang teknik tertentu145. Hingga pada tahun 1959 bertambah 2 (dua) sekolah teknik di Langsa dan Sigli yang merupakan penegerian pada tahun 1957. Sekolah sukar untuk dikembangkan karena beratnya syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Dalam masa 9 (sembilan) tahun mulai terlihat perkembangan pendidikan kejuruan dengan bertambahnya jenis sekolah dari tingkat pertama maupun tingkat atas dan jumlah siswanya. Adapun sekolah kejuruan yang didirikan pada tahun 1951 yaitu SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama), yang merupakan sekolah pertama didirikan di Sigli. Kemudian disusul SMEP Banda Aceh tahun 1953 dan SMEP di Takengon pada tahun 1955. Sehingga pada tahun 1959 jumlah SMEP telah mencapai 10 sekolah yang berasal dari Sekolah Guru-B yang dialihkan fungsinya. Tetapi minat masyarakat tetap kurang terhadap sekolah kejuruan, karena mereka khawatir tidak dapat melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi jika masuk ke sekolah kejuruan.

Selain kejuruan ekonomi, pada tahun 1959 di buka juga Sekolah Kepandaian Putri (SKP) di sebagian daerah tingkat II dan jumlahnya mencapai 10 sekolah. Minat pada SKP sangat kurang, karena kurangnya fasilitas gedung dan peralatan sehingga pengajaran praktek tidak dapat berlangsung seperti yang diharapkan oleh peminat sekolah ini; Kursus Pegawai Administrasi (KPA) yang berkedudukan di Banda Aceh, yaitu lembaga untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan Pegawai Negeri Sipil yang berlatar belakang pendidikan tingkat Sekolah Dasar. Kursus ini dapat diikuti selama 2 tahun, dan ijazahnya dapat dipakai untuk menyesuaikan pangkat bagi pegawai. Dan untuk pegawai yang berlatar belakang pendidikan sederajat dengan Sekolah Lanjutan Pertama, dibuka kursus Pegawai Administrasi Atas (KPAA) di Banda Aceh pada tahun

145H. R Margono dan A. R. Nasution, Perkembangan Pendidikan

Kejuruan, dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 300.

Page 109: 22

95

1961 dengan jurusan Perbendaharaan dan Kas, Kepegawaian dan Hubungan Masyarakat. Pada tahun 1966 dibuka KPAA di Takengon, tetapi tahun 1968 ditutup karena tidak ada peminat.146

Pada tingkat menengah atas juga ada pendidikan kejuruan seperti, Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA), hanya satu-satunya yang didirikan di Banda Aceh pada tahun 1959. Sekolah ini kurang diminati karena hanya sebagai SMA-C plus saja. Kemudian ada juga Sekolah Teknik Menengah (STM) swasta pada tahun 1957, yang dinegerikan pada tahun 1959. Sekolah ini hanya membuka jurusan Mesin Umum dan jurusan Bangunan Air dan Jalan, disebabkan terbatasnya fasilitas peralatan untuk praktik.

Pertambahan lembaga untuk jenis sekolah yang diharapkan, maka ada suatu usaha untuk menghasilkan guru khusus kejuruan untuk SKP yaitu didirikan Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) di Banda Aceh pada tahun 1961 dan di Langsa tahun 1964. Sejalan dengan bertambahnya 2 sekolah SGKP, maka SMEA bertambah sebanyak 7 sekolah masing-masing di Sigli dan Langsa yang di buka sejak tahun 1960, di Takengon tahun 1963, Tapaktuan tahun 1964 dan Meulaboh, Lhokseumawe dan Kutacane pada tahun 1967147.

Perkembangan sekolah kejuruan dalam tahun 1964 terjadi perubahan kurikulum yang menyatakan bahwa tujuan lembaga sekolah kejuruan adalah menyiapkan lulusannya untuk dapat memasuki lapangan kerja dan dapat juga melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pada masa orde lama ini kemampuan dan keterampilan lulusan sekolah kejuruan masih terbatas, namun ada juga yang mengisi lowongan-lowongan kerja di bidang-bidang tertentu. Keterbatasan ini dikarenakan fasilitas yang terbatas sehingga kegiatan praktek tidak dapat dilakukan sebagaimana yang diharapkan, dan juga

146H. R Margono dan A. R. Nasution, Perkembangan..., hal. 304. 147Margono dan. Nasution, Perkembangan Pendidikan…, hal. 304

Page 110: 22

96

kurangnya peminat pemuda-pemudi dalam memilih dan masuk ke sekolah-sekolah kejuruan.

4. Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi merupakan sebuah lembaga pendidikan lanjutan setelah sekolah menengah atas. Terjadinya pemberontakan atau menurut istilah Nazaruddin Syamsuddin “pemberontakan kaum republik”148 pada tahun 1953, membuat perkembangan pendidikan Aceh terhambat. Salah satu usaha pemerintah untuk meredakan konflik politik tersebut yaitu memberikan konsep keistimewaan bagi Aceh dalam suatu bentuk otonomi daerah yang diberikan pada masyarakat Aceh pada tahun 1959. Berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri Hardi Nomor 1 Tahun 1959, Propinsi Aceh memperoleh status “Daerah Istimewa”, sehingga sebutannya menjadi Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan ini meliputi tiga bidang yaitu: agama, adat istiadat dan pendidikan. Tiga bulan setelah peningkatan status menjadi Daerah Istimewa, maka Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, Panglima Kodam I Iskandar Muda dan Pemimpin-pemimpin Aceh lainnya terus mendirikan pusat pendidikan Tinggi di daerah Darussalam, yang diresmikan pada tanggal 2 September 1959 oleh Presiden Soekarno, sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh. Presiden Soekarno menulis sebuah prasasti yang terukir pada Tugu Darussalam yang berbunyi “Tekad bulat melahirkan perbuatan jang njata, Darussalam menudju kepada pelaksanaan tjita-tjita”.149 Kemudian di Kopelma Darussalam didirikan tiga buah Perguruan Tinggi yaitu Universitas Negeri Syiah Kuala (Unsyiah), Institut Agama Islam

148Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus

Darul Islam Aceh, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti), 1990 149Suardi Saidy, dkk., Perkembangan Perguruan Tinggi Agama,

dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 353

Page 111: 22

97

Negeri (IAIN) Jami’ah Ar-Raniry, dan Dayah Tgk. Chik Pante Kulu.

Universitas Syiah Kuala didirikan di Aceh atas dasar Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan No. 11/1961, tanggal 21 Juni 1961. Kemudian keputusan tersebut disahkan dengan Surat Keputusan Presiden RI. No.161 tanggal 24 April 1962. Kehadiran Unsyiah merupakan lambang kedamaian bagi rakyat Aceh yang sebelumnya terjadi ketidakpuasan dan kemelut politik. Sehingga keadaan terbelakang rakyat Aceh dan sifat keterasingan daerah dan masyarakat lambat laun jadi terbuka. Unsyiah ini dibina tidak hanya sebagai tempat mahasiswa menekuni studinya dan mengembangkan penalaran individulnya, tetapi sebagai medan ilmu pengetahuan dan merupakan lingkungan yang menyenangkan bagi masyarakat. Pada masa ini Unsyiah hanya memilki empat fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi yang telah ada pada tahun 1959, Fakultas Kedokteran Hewan dan Ilmu Peternakan berdiri tahun 1960, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat berdiri tahun 1961, serta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan tahun 1961. Kemudian pada tahun 1964 Unsyiah menambah satu Fakultas yaitu Fakultas Teknik dan pada tahun 1965 membuka Fakultas Pertanian. Sementara itu, FKIP yang telah ada beralih menjadi IKIP Bandung Cabang Banda Aceh dan kemudian lepas dari Unsyiah sejak tahun 1965.

Berdirinya Unsyiah membuat rakyat Aceh semakin maju dalam perkembangan pendidikan. Menumbuhkan rasa bahwa pengetahuan itu penting dalam kehidupan masyarakat. Di Perguruan Tinggi mahasiswa dapat menggali, meneliti dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta sebagai arena studi dan tempat pengabdian untuk membangun bangsa dan negara. Bagi pemerintah, Unsyiah merupakan sumber tenaga ahli dan tempat untuk mendapatkan jawaban atas persoalan yang dihadapi bangsa dan negara. Dari sini muncul para cendekiawan-cendekiawan Aceh, meskipun pada masa orde lama ini tidak

Page 112: 22

98

banyak pembaharuan dalam pendidikan, hanya pembangunan dan penegerian saja.

IAIN Ar-Raniry didirikan setelah ada Unsyiah yang diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1963, berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor 89 tahun 1963. IAIN Ar-Raniry diresmikan setelah dua tahun menjadi cabang dari IAIN Yogyakarta dan enam bulan tunduk di bawah IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.150 Sebenarnya sebelum lahir IAIN Ar-Raniry telah ada Perguruan Tinggi Agama di Aceh yang bernama PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri), yang merupakan pecahan dari Fakultas Agama di UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta. Dan juga ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) yang tunduk di bawah pembinaan Jawatan Pendidikan Agama Departemen Agama. ADIA dibentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga pengajar pada Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) yang berada di bawah Departemen Agama. Karena PTAIN dan ADIA merupakan lembaga pendidikan Tinggi yang berada di bawah Depar-temen Agama dengan manajemen dan sistem pengelolaan yang berbeda, maka timbul kesadaran untuk menyatukan dengan manajemen yang sama, karena banyak menemui kesulitan dalam pembinaannya. Sehingga diadakan rapat dan membentuk panitia Perbaikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang diketuai oleh Prof. RHA Sunarjo, SH. Didirikanlah IAIN Ar-Raniry di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, setelah rapat mengambil kesepakatan untuk menyatukan PTAIN dan ADIA sebagai lembaga pendidikan ketiga setelah IAIN Yogyakarta sebagai IAIN pertama dan IAIN Syarif Hidayatullah yang kedua.151

150Suardi Saidi, dkk., Perkembangan Perguruan…., hal. 341 151 Lihat Depag, Himpunan Peraturan Perundangan Produk Depag

RI, Tahun 1960-1963,(Jakarta Depag RI, 1960-1963), lihat pula Muhaimin Abdul Ghofur, “K.H. Saifuddin Zuhri; Eksistensi Agama dalam’Nation Building’, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam, (ed), Menteri-menteri Agama RI : Biografi Sosial Politik, (Jakarta: INIS, 1998), hal. 225-7

Page 113: 22

99

Setelah satu tahun pertemuan yang berlangsung pada tanggal 2 September 1959 antara Presiden, Menteri Depdikbud, Menteri Agama dan gubernur Aceh, maka dibukalah Fakultas Syari’ah, sebagai fakultas pertama di IAIN Ar-Raniry. Kemudian pada tanggal 15 Desember 1962, Menteri Agama Republik Indonesia meresmikan berdirinya Fakultas Tarbiyah. Sebelumnya tahun 1961 telah dibuka Sekolah Persiapan IAIN Cabang Kutaraja tepatnya diresmikan pada tanggal 11 November 1961. Pada tahun 1963 juga diresmikan Fakultas Ushuluddin setelah satu tahun berstatus swasta. Jadi pada saat peresmian IAIN Ar-Raniry, Perguruan Tinggi Negeri ini telah memiliki tiga buah fakultas yaitu Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin. Berdirinya IAIN di Aceh merupakan perwujudan kebulatan tekad cita-cita pemerintah dan masyarakat Aceh sejak lama. Setelah terjadi pemberontakan DI/TII yang menuntut syari’at Islam dijalankan di Aceh. IAIN merupakan perwujudan pemulihan keamanan yang damai yang diabadikan menjadi nama Kampus Darussalam.

Dayah Tgk. Chik Pante Kulu diresmikan pada tahun 1962, didirikan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh Nomor 36/1962, tanggal 17 Maret 1962. Susunan Panitia Persiapan Pembangunan Dayah Tinggi ini berjumlah 75 orang yang terdiri dari berbagai kalangan, panitia pada pembangunan dayah ini mungkin yang terlengkap dibandingkan susunan panitia pembangunan PTS lain di Aceh. Tujuan utama pembangunan Dayah Tgk. Chik Pante Kulu adalah mencetak kader-kader ulama yang berbudi luhur serta berpengetahuan luas. Untuk mendukung proses belajar mengajar, Pemerintah Daerah menyediakan berbagai sarana dan fasilitas, seperti asrama, sandang-pangan, uang saku bagi santri, dan honorium bagi staf pengajar, sehingga dengan fasilitas ini banyak masyarakat yang berminat untuk menuntut ilmu di Dayah Tinggi ini. Tetapi lambat laun meskipun pemerintah memberi kemudahan bagi para mahasiswa peminat Dayah ini menurun, karena kalah bersaing dengan Unsyiah dan IAIN. Dan

Page 114: 22

100

untuk mempertahankan eksistensinya Dayah Tgk. Chik Pante Kulu terpaksa mengubah bentuknya menjadi Fakultas Syari’ah Tgk. Chik. Pante Kulu.152

Pada masa orde lama tidak banyak perkembangan pendidikan yang berarti, hal ini disebabkan setelah kemerdekaan masih banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi yang meng-goyahkan kestabilan negara. Setelah merdeka Belanda masih melakukan agresinya yang pertama dan kedua, terjadinya pemberontakan DI/TII di Aceh yang tidak puas dengan pemerintahan RI dan juga terjadinya Pemberontakan G-30-S/PKI yang telah mengubah arah perjalanan sejarah dan nasib bangsa. Tetapi pemerintah berusaha menstabilkan keadaan dengan melakukan perbaikan di bidang pendidikan, yaitu mendirikan gedung-gedung sekolah dan penegerian sekolah-sekolah swasta, terjadi perubahan kurikulum meskipun hanya sekali. Dan juga penyebaran pendirian sekolah ke daerah-daerah untuk pemerataan pendidikan tidak hanya dinikmati oleh masyarakat kota saja. Pada masa ini juga didirikan Perguruan Tinggi Negeri dan juga ada perhatian untuk PTS seperti Akdemi Tabligh Muhammadiyah yang resmi berdiri tanggal 18 November 1962, yang kemudian diubah nama-nya menjadi Akademi Dakwah, maka pada tanggal 22 Juni 1964 menjadi Fakultas Dakwah. Dan pada tahun berikutnya tanggal 10 Maret 1965 sesuai dengan Surat keputusan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Dakwah di ubah lagi menjadi Fakultas Ilmu Agama Jurusan Dakwah (FIAD). FIAD Muhammadiyah Aceh merupakan cabang dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Perkembangan pendidikan masa orde lama ini meskipun hanya sedikit, tetapi terdapat kemajuan dalam jumlah dan jenis sekolah, walaupun belum maksimal dalam pengelolaannya. Hal ini dipengaruhi waktu yang terbatas akibat insiden-insiden yang terjadi yang mengakibatkan lengsernya orde lama ini sebelum

152Suardi Saidy, dkk., Perkembangan Perguruan Tinggi..., hal. 353-

354.

Page 115: 22

101

dapat berbuat banyak dalam perkembangan pendidikan. Masa orde lama ini berakhir pada tahun 1966 setelah penumpasan Gestapu/PKI, maka berakhir pula orde lama ini dan mulailah masa orde baru.

2. Masa Orde Baru

Masa Orde baru dimulai pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1998 yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Orde baru dimulai sejak penumpasan G-30-S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Pengertian Orde Baru itu sendiri adalah sikap mental yang positif untuk meng-hentikan dan mengoreksi segala penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945; memperjuang-kan adanya suatu masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupun spiritual melalui pembangunan; dan sikap mental mengabdi kepada kepentingan rakyat dan melaksanakan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.153 Ada pun landasan Orde Baru adalah Pancasila sebagai landasan ideal, Undang-undang 1945 sebagai landasan konstitusional, dan Ketetapan (TAP) MPR sebagai landasan struktural dan program-program Kabinet Pembangunan sebagai landasan operasional. Pada masa ini melahirkan kebijakan-kebijakan baru tak terkecuali pendidikan. Kebijakan pendidikan Orde Baru pada intinya mengacu pada GBHN dari tahun 1973 sampai 1998. Secara umum tujuan pendidikan pemerintah orde baru adalah membentuk manusia yang berjiwa Pancasila, cerdas, terampil, dan berbudi pekerti serta berkepribadian Indonesia yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan.154

Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk pemerataan, peningkatan kualitas, efektivitas dan efisiensi, dan

153Lihat, Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan di

Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), hal. 51 154Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hal.81

Page 116: 22

102

relevansi pendidikan dengan pembangunan nasional adalah pertama, melanjutkan program pemberantasan buta huruf yang kemudian tahun 1972 dikembangkan lebih lanjut dengan pemberian keterampilan tertentu; kedua, melaksanakan pendidikan masyarakat agar memiliki kemampuan mental, spiritual, serta keterampilan; ketiga, mengenalkan pendidikan luar sekolah yang berorientasi kepada hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya sebagai kebutuhan praktis; keempat, mengenalkan kegiatan inovasi pendidikan misalnya Kuliah Kerja Nyata (KKN), dibukanya sekolah dan universitas terbuka, serta wajib belajar; kelima, pembinaan generasi muda melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), organisasi mahasiswa di kampus, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), dilaksanakannya program orang tua asuh mulai 1984.155

Kebijakan ini juga berlaku bagi masyarakat Aceh yang merupakan bagian dari Republik Indonesia. Pada tahun 1969 Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada saat memasuki pembangunan, sebagai bagian dari pembangunan nasional bangsa, maka melalui pelita demi pelita, program pembangunan dan pembinaan lembaga-lembaga sekolah umum begitu meningkat. Lain halnya dengan madrasah-madrasah yang tertinggal dan tidak ada per-tumbuhan dan penegerian lagi, selain dinegerikan sesuai dengan Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1959, sama sekali konstan atau tidak bertambah. Pembangunan dan pembinaan sekolah umum terutama SD-SD dalam ling-kungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sangat menonjol, melalui berbagai proyek dan kegiatan seperti Instruksi Presiden (SD Inpres), pembangunan di berbagai bidang sampai panegerian SD sampai ke pelosok terpencil berkembang pesat. Sedangkan partisipasi masyarakat masih tertuju pada pendidikan agama (madrasah-madrasah), sehingga aspirasi sebagian masyarakat Aceh ditampung dengan jalan mendirikan Madrasah-Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS-MIS) dan sebagian

155Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan…, hal. 55-79

Page 117: 22

103

dikembangkan dalam bentuk madrasah kelas jauh (Fillial). Dalam instansi Departemen Agama, penegerian madrasah-madrasah hampir tidak pernah terjadi, hingga pada saat berakhirnya Pelita Tahap 25 tahun pertama barulah Departemen Agama RI menegerikan 6 buah MIN. Begitulah gambaran lembaga-lembaga pendidikan dari masa ke masa menurun dan masih banyak kekurangan yang dirasakan.

Jika melihat sejarah pendidikan agama bahwa dasar hukum pendidikan agama pada sekolah umum dan madrasah telah ada pada tahun 1954 didasarkan pada pasal 20 UU No.4/50, Yonto UU No.12 tahun 1954, yang sebelumnya telah ada dengan penetapan pemerintah No.I/SD, tanggal 3 Januari 1946. Hal ini sesuai dengan dasar pertimbangan usul BP/KNIP, tanggal 27 Desember 1945, Kementerian P.P & K mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran, sesuai rencana pokok usaha pendidikan dan pengajaran baru yang meliputi 10 persoalan termasuk di dalamnya masalah pengajaran agama, Madrasah dan Pondok Pesantren. Dan pada masa orde baru kurikulum yang dipakai berdasarkan keputusan bersama Menteri Dikbud dan Menteri Agama No. 0299/U/1984, tanggal 2 Juni 1984, yaitu 70% pendidikan umum dan 30% pendidikan agama. Atas dasar keputusan tersebut lembaga-lembaga pendidikan agama mendapat penghargaan yang sama dengan lembaga-lembaga umum. Akhirnya dengan berlakunya UU No. 2 tahun 1989, tentang pendidikan nasional, maka pembinaan lembaga-lembaga pendidikan agama merujuk kepada UU tersebut. Dengan adanya UU tersebut, maka kedudukan dan status hukum pendidikan agama, dalam hubungan pelaksanaan UUD 1945, pasal 29 dan 31 serta pengamalan Pancasila menjadi lebih jelas, karena itu pendidikan agama tetap mendapat perhatian dalam setiap Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).156

Meskipun dinyatakan secara legal bahwa pendidikan Islam di Indonesia merupakan salah satu sub sistem pendidikan

156Badruzzaman, Peranan …, hal. 200

Page 118: 22

104

nasional, tetapi pada tataran praktis, dalam perkembangannya hal ini mengalami berbagai hambatan, tantangan, dan jauh dari harapan di Indonesia khususnya di Daerah Istimewa Aceh yang dari dulu sudah mengenyam pendidikan agama. Meskipun demikian mengenai perkembangan MIN untuk masa 10 tahun dari 1980 sampai tahun 1990 jumlah MIN dari 210 sekolah menjadi 232 sekolah, hal ini berarti mengalami peningkatan sebanyak 5,71 %. Pada tahun terakhir PJPT-I jumlah MIN menjadi 372 dan MIS berjumlah 128 sekolah.157 Bertambahnya gedung MIN bukan berarti murid di MIN bertambah, tetapi jumlah murid menunjukkan kecenderung-an yang menurun, dari 51.825 menurun menjadi 48.056 murid pada thun 1990. Mengenai jumlah Sekolah Dasar selama Repelita I, II, dan III telah dibngun 917 unit sekolah, hingga pada pelita III jumlah sekolah menjadi dua kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelum dimulai Pelita. Kemudian ditambah lagi dengan pemekaran sebanyak 72 sekolah, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 1.913 unit sekolah.158

Pendidikan Dasar di daerah Istimewa Aceh pada masa orde baru telah menunjukkan pertumbuhan dan per-kembangan sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat dan kebutuhan. Sarana dan prasarana serta program peningkatan mutu dilaksanakan secara terarah dan terpadu, sehingga pada tahun 1994 diadakan program wajib belajar 9 tahun yang dimulai sejak April. Program ini merupakan program Nasional yang telah dituangkan dalam GBHN 1988 dan 1993 serta UU No.2 tahun 1898 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun direalisasi pada Pelita IV dan secara resmi dicanangkan pada tanggal 2 Mei 1994. Batas usia untuk program ini untuk anak usia 7-12 tahun. Wajib belajar

157Sumber Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, 2001 158Lihat Gade Ismail, dkk., Pendidikan Dasar di Daerah Istimewa

Aceh dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 246

Page 119: 22

105

pendidikan dasar 9 tahun ini mencakup 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP. Terlepas ada dan tidak kendala dalam pelaksanaan program ini di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dapat dikatakan berhasil. Hal ini dapat dilihat dari angka Gross Enrolmen Ratio (GER) yang telah mencapai 98% dan Net Enrolmen Ratio (NER) telah mencapai 94%. Dengan demikian hanya tersisa sedikit anak-anak yang belum mengikuti pendidikan 7-12 tahun tersebut.159

Pada masa Repelita I yang dimulai sejak 1 April 1969, program wajib belajar 9 tahun belum disusun berdasarkan GBHN, namun usaha pengelolaan pem-bangunan pendidikan telah dimulai. Pada masa orde lama telah ada pembangunan sekolah menengah pertama mau-pun menengah atas, maka pada masa orde baru lebih banyak lagi pembangunan sekolah menengah di daerah-daerah Istimewa Aceh. Pada tahun 1973 dan 1974 telah dibangun Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) yang berlokasi di Banda Aceh dan Bireun. Dalam Repelita I terdapat SMP Negeri 54 buah, SMP Swasta 78 buah, SMA Negeri 20 buah, dan SMA Swasta sebanyak 14 buah. Selama Repelita II penambahan jumlah SMP dan SMA baik negeri maupun swasta jauh lebih banyak. Penambahan SMP dan SMA negeri berasal dari pembangunan Unit Gedung Baru (UGB) dan penegerian sekolah-sekolah swasta. Maka pada Repelita II ini jumlah SMP Negeri bertambah sebanyak 130 buah, SMP Swasta sebanyak 114 buah, SMA Negeri 35 buah, dan SMA swasta sebanyak 24 buah. Unit Gedung Baru yang dibangun dilengkapi dengan ruang-ruang perpustakaan, laboratorium serta Bimbingan dan Konseling. Di Banda Aceh SMP yang merupakan UGB adalah SMP Negeri 6 dan SMA Negeri 3. Pada Repelita II bukan hanya membangun UGB saja, tetapi laboratorium juga dibangun, penambahan kelas

159M. Salim T.U, Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar

Usia 7-12 Tahun di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 490

Page 120: 22

106

baru serta melakukan rehabilitasi terhadap bangunan sekolah yang sudah rusak. Pada Repelita III sampai Pelita V terus bertambah jumlah SMP dan SMA pada setiap tahunnya.

Di daerah Aceh pada awal tahun ajaran 1976 Kanwil Depdikbud mengadakan penataran kepala-kepala sekolah SMP dan SMA Negeri sedaerah Aceh agar memiliki gambaran esensi kurikulum 1975, untuk meng-antisipasi pelaksanaan kurikulum baru untuk SMP dan SMA yaitu kurikulum 1975. Melalui penataran diharapkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan para kepala sekolah dan guru dalam menyelenggarakan pendidikan dan proses belajar mengajar di sekolah makin baik, sehingga mutu lulusan juga semakin baik. Kemudian pada tahun 1984 mulai dilaksanakan kurikulum baru yang disebut kurikulum 1984. Untuk SMA, kurikulum ini dirancang atas Program Akademik atau Program A yang dimaksudkan untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi dan Program Keterampilan atau Program B untuk siswa yang akan terjun ke dunia kerja. Tetapi program B ini belum sempat dilaksanakan di Aceh maupun di Indonesia. Peningkatan kualitas pendidikan selalu diusahakan melalui berbagai macam program dan proyek. Guru juga mengikuti program pemantapan Kerja Guru melalui pembinaan guru mata pelajaran atau bidang studi. Agar semua guru dapat berdiskusi maka diadakan sanggar PKG yang pada tahun 1992/1993 telah dibangun 2 unit SPKG lagi di daerah Tingkat II, yaitu di Kabupaten Aceh Besar yang berlokasi di Lubuk dan di SMA Negeri 2 Kotamadya Sabang.

Sekolah Menengah Islam (SMIA) merupakan lembaga setingkat SLTA, yang masa belajarnya 3 tahun. Atas dasar Keputusan Menteri Agama No. 29 tahun 1967, maka Sekolah Menengah Islam Atas ini berubah namanya menjadi Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN), dan pada Keputusan menteri Agama Nomor 17 tahun 1978 lembaga ini berubah lagi menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Madrasah Aliyah Negeri mempunyai jurusan-jurusan yaitu IPA dan Ilmu Agama. Pendorong utama pendirian MTsN dan MAN adalah

Page 121: 22

107

berkembangnya Madrasah-madrasah Ibtidaiyah dan juga sebagai jenjang untuk kader-kader mahasiswa untuk memasuki IAIN-IAIN yang sekarang sudah berkembang di seluruh Indonesia.

Pembinaan kurikulum Madrasah Aliyah Negeri, juga didasarkan kepada keputusan bersama Menteri Agama dan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor 45 tahun 1984 dan nomor 0299/U/1984, tanggal 28 Juni 1984, yaitu 70% bidang studi umum dan 30% bidang studi agama, sehingga tamatan MAN dapat memasuki Universitas Negeri.

Peningkatan kualitas pendidikan terus dikembang-kan sehingga pada tanggal 31 agustus 1990 dibentuk MPD (Majelis Pendidikan Daerah), sebagai suatu lembaga baru yang merupakan wadah pengisian keistimewaan Aceh di bidang pendidikan. Salah satu usaha yang dilakukan MPD dalam meningkatkan kualitas pendidikan yaitu mengadakan pembinaan dan pengembangan SMA unggul melalui proyek SMA MODAL BANGSA. Sasaran dari SMA Modal Bangsa ini adalah diharapkan lulusan sekolah ini dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang bermutu, baik di dalam maupun di luar negeri dan siap memasuki dunia kerja dan mampu bekerja mandiri. Dan di jajaran pendidikan agama juga ada pembinaan sekolah unggul dalam bentuk MAN Proyek Khusus, baik untuk putera yang dipusatkan di Banda Aceh dan puteri dipusat-kan di Meulaboh. Lulusan sekolah unggul ini diharapkan memiliki keunggulan dalam beberapa subjek pelajaran seperti matematika/IPA, tafsir, hadits, tahfidh Al-Quran, membaca kitab kuning, bahasa asing (Arab dan Inggris) dengan baik dan dibiasakan berdiskusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan dengan cara yang lebih ihsân.160

Pembangunan sekolah-sekolah kejuruan juga terus ditingkatkan pada masa orde baru ini, seperti SMEP, SKKP, 3 buah STM dinegerikan masing-masing di Langsa pada tahun

160Azhari Basar dan Athailah Abu Lam U, Prospek Pendidikan di

Daerah Istimewa Aceh, dalam Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 552

Page 122: 22

108

1975, di Meulaboh pada tahun 1977 dan di Bireun pada tahun 1979. Dalam Repelita I pemerintah mulai mengadakan pembaharuan pada program dan spektrum keterampilan kejuruan yang diharapkan dapat menyiapkan kaum muda untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja yang memiliki kemampuan, keterampilan dan sikap profesional yang sesuai dengan persyaratan dunia usaha. Pemerintah Daerah juga melengkapi fasilitas gedung baru dan peralatan pendidikan untuk praktek siswa dengan membangun bangunan unit baru dalam upaya pengembang-an sarana pendidikan.161 Hingga pada akhir Repelita-V lembaga kejuruan bertambah lagi yang tersebar di beberapa daerah tingkat II di Aceh dan dikelola oleh yayasan mencapai 28 buah sekolah. Penyediaan sarana dan fasilitas pendidikan untuk sekolah-sekolah juga ditingkatkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kemajuan Iptek.

Pada perguruan tinggi di masa orde baru terus terjadi pengembangan baik PTN maupun PTS. Seperti di Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry pada masa ini banyak penambahan fakultas dan program studi baru. Unsyiah menyelenggarakan Program Pascasarjana (S-2) Studi Pembangunan pada tahun 1992, dan program Pascasarjana (S-2) di IAIN telah dimulai sejak persetujuan Menteri Agama RI pada tahun 1988 yang merupakan cabang Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, meskipun pada tahun pertama program ini harus dibiayai oleh Pemda Daerah Istimewa Aceh. Perguruan-perguruan tinggi swasta juga terus tumbuh di berbagai daerah untuk menampung mahasiswa yang tidak tertampung di perguruan tinggi negeri seperti STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Syariah) dan STIT (Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah) yayasan Al-Hilal Sigli, STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Syariah yayasan Malikussaleh Lhokseumawe, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Institut Agama Islam Zawiyah

161H. R. Margono dan A. R. Nasution, Perkembangan Pendidikan

Kejuruan, Perkembangan Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 306-307.

Page 123: 22

109

Cot Kala Langsa, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah yayasan Pembangunan serambi Makkah Banda Aceh, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Banda Aceh, dan masih banyak PTS yang berdiri tersebar di wilayah Daerah Istimewa Aceh.

Demikianlah perkembangan pendidikan di Aceh banyak terjadi peningkatan baik segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan sekolah setiap tahun semakin bertambah dan juga kesadaran dari masyarakat untuk sekolah semakin banyak. Tetapi perkembangan pendidikan ini tidak terlepas dari perkembangan politik, meskipun banyak peningkatan jika dibandingkan pada masa orde lama. Pada masa orde baru juga terjadi ketidakpuasan rakyat Aceh terhadap pemerintahan baik dari segi politik maupun ekonomi, yang turut juga mempengaruhi di bidang pendidikan. Timbulnya gejolak-gejolak dalam masyarakat Aceh yang tidak puas dengan pemerintahan yang banyak menerapkan sistem sentralistik162 dari segi politik, sosial ekonomi dan juga pendidikan, tidak adanya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan juga pergeseran nilai budaya Aceh yang tak lagi beorientasi religi serta ingin menjadikan Aceh sebagai daerah yang bersyariat Islam.163 Sehingga pada masa orde baru di Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM),164 yaitu di daerah Aceh Utara dan Pidie. Banyak rakyat Aceh yang terbunuh dan sebagian pendidikannya terlantar akibat ketakutan yang dialami masyarakat setempat. Akibat DOM ini membuat luka di hati

162Sentralistik adalah sistem pemerintahan yang memegang

kekuasaan adalah pemerintah pusat, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hal. 819

163Al Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam (Madani Press, 2000), hal. 140-141

164DOM terjadi dengan diawali oleh perampasan senjata ABRI oleh pihak GAM yang menewaskan beberapa prajurit yang sedang melaksanakan program ABRI Masuk Desa (AMD) di Buloh Blang Ara, merupakan tragedi yang mendorong ABRI bertindak keras, sehingga dilakukan Operasi Jaring Merah yang kemudian di kenal dengan sebutan DOM.

Page 124: 22

110

rakyat sehingga timbul gerakan-gerakan dari masyarakat maupun mahasiswa Aceh untuk memecahkan persoalan ini, sehingga banyak tumbuh LSM-LSM di kalangan mahasiswa, yang lebih berpihak kepada rakyat ketimbang kepada pemerintah, untuk menuntut referendum.165 Dan keadaan nasional juga tidak stabil karena dampak keterpurukan perekonomian mulai pertengahan 1997 yang sangat berpengaruh bagi daerah-daerah tak terkecuali Daerah Istimewa Aceh. Ketidakstabilan politik dan sosial ekonomi mempengaruhi semua daerah-daerah di seluruh Indonesia yang menginginkan reformasi. Sehingga pada bulan Mei 1998 Soeharto lengser, yang menyebabkan berakhirnya masa orde baru, yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie. Masa ini ditandai dengan mulainya era reformasi dan juga dinama-kan era transisi.

3. Masa Reformasi

Masa reformasi di Indonesia dimulai pada masa Presiden B.J.Habibie setelah Soeharto turun pada tahun 1998.166 Pada

165M. Kaoy Syah dan Lukman Hakiem, Keistimewaan Aceh Dalam

Lintasan Sejarah Proses Pembentukan UU No. 44/1999 (Jakarta: Pengurus Besar Al-Jami’iyatul Washliyah, 2000), hal. 53

166Era Reformasi ini disebabkan oleh beberapa krisis seperti krisis ekonomi, krisis politik, kepercayaan dan sosial budaya masyarakat. Baca: Donald K. Emmerson, “Krismon dan Lengser: Kemelut Tahun 1997-1998” dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat transisi, (editor Donald K. Emmerson), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 521. Akibat dari krisis tersebut menimbulkan reaksi dan tuntutan perubahan dan pembaharuan. Tuntutan reformsai yang terjadi pada 1997-1998 itu tidak dapat dibendung lagi karena:

- Pada masa Orde Baru di bawah pimpnan Soeharto cenderung bersikap tiranik yang selalu tidak boleh ada perbedaan pendapat dan kritik, tidak tumbuhnya prinsip-prinsip demokrasi yang meng-utamakan kesederajatan, kebebasan dan partisipasi rakyat tidak mempunyai ruang dan tempat secara proporsional.

- Anjloknya perekonomian rakyat yang menyebabkan perekonomian Indonesia menjadi lemah. Implikasi dari kondisi perekonomian yang demikian itu menurunnya kredibilitas pemerintah di mata investor asing dan semakin semaraknya korupsi, kolusi dan nepotisme

Page 125: 22

111

masa ini masih dalam suasana perpolitikan dan keamanan yang kacau terutama di Aceh. Tetapi pemerintah B. J. Habibie dengan Kabinet Reformasi Pembangunannya memberikan perhatian yang lebih serius kepada Daerah Istimewa Aceh. Dengan keadaan yang cenderung berkembang menuju disintegrasi bangsa, ia menghendaki penyelesaian masalah Aceh lebih bersifat komprehensif, adil, dan berwawasan ke depan.167 Konflik terus berlanjut pada masa ini dan kondisi Aceh berada dalam keadaan yang sangat dilematis. Pada satu sisi pemerintah ingin mempertahankan wilayah RI secara utuh sesuai dengan proklamasi 1945, sementara di sisi yang lain aspirasi rakyat Aceh telah berkembang dan berkumandang berbeda dengan sikap pemerintah pusat sebagai akibat berbagai kekecewaan masa lalu yang rasanya sulit ditebus dengan kompensasi apapun, apalagi hanya sekedar janji-janji.168

Usaha-usaha telah banyak dilakukan untuk memulihkan keadaan yang kacau, anggota DPR RI yang mewakili daerah pemilihan Aceh terus berjuang di lembaga legislatif untuk kepentingan kesejahteraan rakyat pasca DOM. Dan puncak dari perjuangan DPR-RI periode 1977-1999 dari pemilihan Aceh adalah terbentuknya Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Propinsi Aceh. Ditetapkan UU ini di Aceh, maka secara legal formal telah terjadi pemberlakuan Syariat Islam di Aceh. Isi dari Undang-undang No.44 Tahun 1999 adalah tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dalam empat bidang: pertama, penyeleng-garaan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam pelak-sanaan Syariat Islam. Kedua, pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat yang dijiwai dan sesuai dengan Syariat (KKN). Baca Matori Abdul Djalil, “Tuntutan Reformasi dan Penyelenggaraan Pemilu ’99 dalam Masa Transisi” dalam Ardiantoro (Penyunting), Transisi Demokrasi: Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), 1999, hal. 31-32

167Kaoy Syah dan Lukman Hakiem, Keistimewaan Aceh…., hal. 53 168Kaoy Syah dan Lukman Hakiem, Keistimewaan Aceh…., hal. 220

Page 126: 22

112

Islam. Ketiga, pengembangan pendidikan dengan menambah materi muatan lokal (local knowledge) sesuai dengan pengembangan pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Keempat, memberi peran kepada ulama dalam menetapkan kebijakan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan di Aceh.169

Perkembangan pendidikan tidak terlepas dari perkembangan politik, sosial budaya dan juga ekonomi, semua saling terkait dan sejalan. Pendidikan merupakan bagian yang tercakup dan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Pengembangan dan pelaksanaan pendidikan di Aceh tidak dapat dipisahkan dari kultur dan nilai religiusitas ke-Islaman.170Artinya sistem pendidikan di Aceh dikembangkan berdasarkan pada nilai-nilai budaya yang bersumber dari ajaran Islam. Pada masa reformasi, pendidikan di Aceh banyak mengalami kegagalan dalam mengemban misi dan tujuan, yaitu untuk menghasilkan komunitas muslim yang mempunyai kualitas keimanan yang tangguh, aktivitas amaliah yang baik, moralitas dan kepekaan sosial yang tinggi (bertauhid dan berakhlak Ilahiyah, berilmu amaliah dan beramal ilmiah). Kegagalan ini dapat dilihat akibatnya dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan ketimpangan-ketimpangan moral seperti pembunuhan yang merajalela, korupsi, pencurian, pergaulan bebas, kenakalan remaja, narkoba dan berbagai perbuatan maksiat yang lain.171

169Lihat Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 6 Tahun

2001 tentang penyelenggaraan, lihat juga Kaoy Syah.., Keistimewaan Aceh…, hal. 224-225

170Darni M. Daud, Pendidikan yang Berakar Syari’at, dalam Safwan Idris, et. Al. Syari’at di Wilayah Syari’at, (NAD: Dinas Syari’at Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2002), hal. 52

171Mujiburrahman, Pendidik Berbasis Budaya; Rekonstruksi Pendidikan di Propinsi NAD dalam Rangka Penerapan Syariat Islam, dalam Agusni Yahya, dkk., Doktrin Islam dan Kawasan Studi Kawasan: Portret Keberagaman Masyarakat Aceh (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005), hal.376

Page 127: 22

113

Pada masa ini pendidikan kurang kondusif akibat terjadinya pembakaran gedung-gedung dan kontak senjata antara TNI dan GAM. Pembakaran sekolah sejak tahun 1998 sampai 2003 di berbagai kabupaten/kota ada sebanyak 1157 sekolah, guru yang meninggal ada 40 orang, 15 orang cacat berat dan 34 orang lainnya luka ringan. Terjadilah eksodus dan perpindahan guru secara besar-besaran, baik keluar daerah maupun dari pedesaan ke kota, juga siswa yang mengungsi bersama orang tua tercatat ada 115.000 orang. Secara keseluruhan Propinsi NAD mengalami kekurangan guru sebanyak 18.550 orang karena sebagian banyak guru yang pindah ke daerah lain selama konflik.172 Hal inilah yang menjadi pemicu kelemahan-kelemahan yang dialami dalam masa perkembangan pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam.

Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh dan dengan lahirnya Undang-undang Pemberlakuan Undang-undang No.44 tahun 1999 Tentang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi NAD, telah membuka harapan baru bagi pendidikan di Propinsi NAD dan menjadi momentum penting dalam proses penyelenggaraan pendidikan di NAD. Kedua aturan tersebut memberikan legitimasi bagi dunia pendidikan, di samping untuk mengembangkan dan mengatur jenis, jalur, dan jenjang pendidikan, juga berhak untuk menambah materi muatan lokal yang sesuai dengan syariat Islam. Sejak Indonesia melakukan reformasi politik yang melahirkan UU No.22/1999 yang disempurnakan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, maka sistem politik pemerintah berubah dari sentralistik menjadi desentralistik,173 dengan memberikan otonomi kepada daerah. Dan sektor pen-didikan termasuk

172Warul Walidin AK, Kurikulum dan Pengajaran di Propinsi NAD Pasca Tsunami, dalam MPD Lima Belas Tahun (1990-2005) (NAD: Majelis Pendidikan Daerah), hal.128-129.

173Desentralistik adalah pemerintahan yang bersifat memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hal. 201

Page 128: 22

114

bagian dari sektor pembangunan yang didesentralisasi. Meskipun Aceh telah mendapat otonomi khusus di bidang pendidikan tetapi permasalahan tentang mutu pendidikan masih tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lain di negara kita. Hal ini disebabkan oleh minimnya ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas; prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum didayagunakan secara optimal; biaya pendidikan yang belum memadai juga ikut mempengaruhi mutu pem-belajaran.174

Pada saat pemerintah daerah mengupayakan perbaikan pendidikan di Aceh yang bersyariat Islam seperti pada masa kerajaan dulu, para perencana dan penentu kebijakan pendidikan di daerah menetapkan strategi dan kebijakan pendidikan dalam menyukseskan pelaksanaan syariat Islam, tanpa mengabaikan kurikulum nasional, ter-jadilah Tsunami pada akhir tahun 2004, tepatnya tanggal 26 Desember 2004 yang menimpa wilayah Nanggroe Aceh Darussalam dan sebagian Sumatera Utara. Peristiwa ini menghancurkan infrastruktur seperti rumah-rumah, per-kantoran, sarana ibadah dan juga gedung-gedung sekolah. Sehingga secara otomatis perkembangan dalam pendidikan menjadi terhambat. Proses belajar mengajar dan aktivitas pendidikan lainnya juga terhenti dengan sendirinya. Banyak kendala yang dialami pemerintah daerah pada masa ini, keadaan keamanan yang tidak kondusif di tambah lagi dengan peristiwa tsunami yang membuat pemerintah harus membangun Aceh kembali dari awal lagi.

Dalam rangka membangun kembali Aceh, maka dibentuklah BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) NAD. Melalui badan ini pemerintah membangun kembali infrastruktur yang telah hancur. Untuk itu BRR membentuk Satker (Satuan

174Lihat Fasli Jalal, Kebijakan Depdiknas dalam Peningkatan Mutu

Pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam pasca Tsunami, dalam MPD Lima Belas Tahun (1990-2005) (NAD: Majelis Pendidikan Daerah, 2005), hal.139

Page 129: 22

115

Kerja) dalam berbagai bidang kehidupan sampai kepada sektor pendidikan mulai dibangun gedung-gedung sekolah sampai merekrut guru-guru dan karyawan yang telah hilang bersama tsunami.

Pendidikan Aceh Pasca Tsunami

Pendidikan Aceh masa kini perkembangannya dimulai setelah peristiwa tsunami, dimulai oleh usaha pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mem-bangun kembali infrastruktur daerah seperti sediakala. Peristiwa gempa dan gelombang tsunami dahsyat yang melanda sebagian daerah pesisir Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, telah meninggalkan kerusakan yang sangat parah. Banyak bangunan mulai dari perumahan penduduk, sarana ibadah, gedung-gedung perkantoran hingga gedung-gedung sekolah. Musibah ini juga menyebabkan korban jiwa yang sangat besar yang terdiri dari anak-anak usia belajar, sumber daya guru, baik pelajaran umum maupun agama, dan masyarakat lain baik muda maupun tua.

Kondisi gedung sekolah dan fasilitas belajar mengajar yang rusak akibat tsunami, membuat proses belajar mengajar terganggu sehingga prestasi atau hasil belajar murid tahun ajaran 2004/2005 di NAD pada umum-nya di Banda Aceh menurun drastis. Untuk memperbaiki kondisi tersebut dibutuhkan waktu yang lama dan peren-canaan yang sangat matang dan dituntut keseriusan semua pihak. Berbagai program dilakukan, diawali dengan kajian filosofi dan perumusan visi-misi pendidikan, yang semua-nya bertujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.175 Dalam membangun atau merehabilitasi gedung sekolah baik negeri maupun swasta banyak bantuan dana kemanusiaan baik secara individual, kelompok, relawan masyarakat Indonesia, pemerintah negara-negara di dunia dan

175Achmad Zaini Ibrahim, Sekolah Swasta di Banda Aceh, dalam

MPD Lima Belas Tahun (1990-2005) (NAD: Majelis Pendidikan Daerah, 2005), hal.111

Page 130: 22

116

NGO, baik material maupun tenaga. Bantuan yang diberikan untuk pendidikan yaitu memberi kepada anak-anak, siswa-siswa dengan berbagai daya, model sekolah, seperti tenda dan barak. Sekolah darurat, dengan program trauma dan konseling kepada peserta didik. Di samping itu juga dilakukan pengembangan kurikulum pemerintah dan perekrutan guru-guru yang dilatih khusus untuk membina peserta didik.

Berdasarkan catatan posko pemulihan pendidikan di Banda Aceh dan Dinas Pendidikan Propinsi, tidak kurang dari 641 unit sekolah yang rusak maupun hancur rata dengan tanah, mencakup 73 unit TK, 420 unit SD/MI, 69 unit SMP/MTS, 41 unit SMA/MA, 9 unit SMK dan lebih dari 34 unit pesantren/dayah.dan dinas pendidikan dan PGRI Propinsi NAD memperkirakan hingga minggu kedua pasca bencana, jumlah guru meninggal berkisar hingga 2.500 orang.176 Siswa dan mahasiswa yang meninggal mencapai 40.900 orang, 3000 orang guru dan pegawai kehilangan tempat tinggal dan harta benda, 46.000 siswa mengungsi, 150.000 orang siswa dari berbagai tingkatan terganggu aktivitas belajarnya. Diperkirakan nilai kerusakan di bidang pendidikan mencapai Rp. 1, 34 trilyun.177

Sebelum tsunami, kondisi pendidikan memang rendah dan setelah tsunami keadaan pendidikan Aceh makin terpuruk, hal ini ditandai antara lain rendahnya tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) tahap I yang secara global dapat disebutkan tingkat ketidaklulusan sebagai berikut: SMA IPA = 38,769%, SMA IPS = 58,68%; MA IPA = 43,551%; MA IPS = 55,319%; MA Bahasa = 36,625%; SMK = 49,566%; dan MTs = 27%. Hasil Ujian Nasional 2005 di Aceh menunjukkan bahwa dari 118.827 siswa SMP/SMA peserta ujian nasional, 51.355 orang

176M. Hasan Yakob, Siswa dan Santri di Aceh Pasca Tsunami,

dalam MPD Lima Belas Tahun (1990-2005) (NAD: Majelis Pendidikan Daerah, 2005), hal.119

177Badan Rehabilitasi & Rekonstruksi (BRR), Rencana Strategis (Renstra) Bidang Pendidikan, dalam MPD Lima Belas Tahun (1990-2005) (Banda Aceh: MPD Propinsi NAD, 2005), hal. 164-165

Page 131: 22

117

tidak lulus. Ini berarti hampir 50% anak gagal. Bahkan ada sekolah yang persentase kelulusannya 0%.178 Meskipun keadaan ini juga terjadi secara nasional, namun khusus untuk Propinsi NAD dapat diidentifikasi faktor-faktor penyebab yaitu; pertama, pencapaian target kurikulum yang rendah karena kualitas dan kuantitas guru, keamanan yang tidak kondusif; kriteria kelulusan siswa yang dinaikkan menjadi 4,26 pada tahun 2005; Depdiknas untuk tahun 2005 tidak memberikan tabel konversi; imbas konflik; dan bencana alam gempa dan tsunami.179

Menanggapi kondisi di atas, pemerintah melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias bersama seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah menyusun rencana strategis (renstra) bidang pendidikan sebagai pedoman dan arah seluruh program rehabilitasi dan rekonstruksi bidang pendidikan di Propinsi NAD dan Nias. Renstra ini dijabarkan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005. Adapun visinya adalah terwujudnya masyarakat Aceh yang maju, adil, aman, damai, sejahtera berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam serta memiliki harkat dan martabat Aceh dalam wawasan NKRI dan universal. Misinya adalah meningkatkan mutu sumber daya manusia yang unggul dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) serta iman dan taqwa (imtaq). Sedangkan tujuan pembentukan BRR adalah untuk membangun kembali kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Aceh dan Nias Sumatra Utara pasca tsunami, terutama melalui penyediaan pelayanan pendidikan yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Adapun ruang lingkup program rehabilitasi dan rekonstruksi bidang pendidikan di Propinsi NAD terdiri dari:180 1. Menyelenggarakan pendidikan darurat.

a. Menyediakan fasilitas pendidikan darurat, termasuk tenda dan sekolah darurat.

178Fasli Jalal, Kebijakan Depdiknas …, hal. 157 179Warul Walidin AK, Kurikulum dan Pengajaran…, hal. 130 180Fasli Jalal, Kebijakan Depdiknas …, hal. 175.

Page 132: 22

118

b. Membersihkan fasilitas pendidikan untuk dapat difungsikan kembali.

c. Merekrut pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang bersifat sementara, termasuk memberdayakan relawan.

d. Menyediakan buku dan peralatan pendidikan lainnya. e. Melakukan bimbingan dan konseling yang diberikan

bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya untuk membantu mereka menghilangkan trauma yang dialami akibat bencana yang terjadi.

2. Memperluas pemerataan dan keterjangkauan pelayanan pendidikan. a. Pengembangan program pendidikan dan pelatihan untuk

anggota masyarakat. b. Rehabilitas dan pembangunan sarana dan prasarana

pendidikan termasuk dayah. c. Bimbingan dan Konseling bagi peserta didik, pendidik

dan tenaga kependidikan. d. Penyediaan beasiswa bagi peserta didik dan bantuan

biaya hidup bagi korban. 3. Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan.

a. Peningkatan mutu pendidikan dan meningkatkan relevansinya termasuk pengembangan pendidikan bertaraf internasional.

b. Pengembangan kurikulum yang relevan disesuaikan dengan kebutuhan lokal.

c. Peningkatan jumlah, kualitas dan profesionalisme pendidik.

d. Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hukum pendidik dan tenaga kependidikan.

4. Memperkuat manajemen pelayanan pendidikan.181 a. Pengembangan sistem pendidikan termasuk pen-didikan

keluarga dan masyarakat.

181Fasli Jalal, Kebijakan Depdiknas …, hal. 176.

Page 133: 22

119

b. Peningkatan partisipasi masyarakat dan dunia usaha. c. Revitalisasi dinas pendidikan dan kantor wilayah agama

propinsi dan kabupaten/kota. d. Penyediaan anggaran pendidikan yang memadai dan

berkelanjutan. e. Pelaksanaan sosialisasi tentang pentingnya pen-didikan

sebagai hak asasi, investasi, dan aset kepada seluruh kelompok masyarakat.

f. Penataan dan peningkatan kinerja penyelenggaraan pendidikan termasuk penelitian dan pengembangan, serta sistem informasi pendidikan.

5. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

a. Menigkatkan pengetahuan, kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam pencegahan dini terhadap bencana, khususnya terhadap gempa bumi dan gelombang tsunami dengan memperhatikan kearifan budaya lokal.

b. Membangun pusat peringatan dini (early warning system).

c. Memanfaatkan teknologi tepat guna dalam men-dukung kehidupan sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, dan pendidikan masyarakat. Agar program bidang pendidikan dapat terlaksana

dengan visi, misi dan tujuan, maka telah disusun strategi rehabilitasi dan rekonstruksi, meliputi:

1. Untuk masa tanggap darurat, strategi yang dilaku-kan adalah menyediakan pelayanan penyediaan fasilitas pendidikan di wilayah hunian sementara.

2. Rehabilitasi fasilitas pendidikan diprioritaskan terlebih dahulu untuk daerah yang berpenduduk.

3. Pembangunan kembali fasilitas pendidikan yang hancur di wilayah yang tidak berpenduduk lagi dilakukan setelah wilayah tersebut kembali dihuni dengan memperhatikan jumlah peserta didik yang ada.

Page 134: 22

120

4. Rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas pendidikan dilakukan dengn memperhatikan kebutuhan aksesibilitas peserta didik, khususnya untuk penyandang cacat.

5. Untuk menggantikan pendidik yang meninggal atau hilang selama tahun pertama diupayakan untuk dipenuhi dengn merekrut pendidik relawan atau mendatangkan pendidik dari wilayah lain.

6. Peserta didik yang tidak memiliki orang tua atau keluarga diupayakan untuk ditampung di pesantren yang ada atau di asrama yang akan dibangun, dan disediakan beasiswa untuk menjamin kelangsungan pendidikan mereka.

7. Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi fasilitas pelayanan pendidikan dilakukan semaksimal mungkin dengan menggunakan pola pemberdayaan masyarakat.

8. Mobilisasi sumber daya dan pemberdayaan semua potensi pemerintah, masyarakat, dan swasta.

9. Memperkuat jaringan kerjasama lintas program dan lintas sektor.

10. Menerapkan prinsip-prinsip good governance yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.182 Proses pendidikan tidak mungkin berhenti karena

fasilitas pendidikan rusak, pendidikan dapat berlangsung dalam berbagai keadaan darurat dan musibah yang kerap mendera Aceh. Kelangsungan proses belajar harus tetap dipertahankan, untuk pemerintah daerah melalui dinas pendidikan menempuh berbagai pendekatan untuk dapat berlangsungnya proses belajar mengajar. Untuk mem-bangun sarana dan prasarana yang begitu banyak akibat rusaknya gedung sekolah sampai ribuan unit, maka memerlukan banyak biaya. Rehabilitasi dan pembangunan kembali sekolah yang rusak ternyata membutuhkan dana trilyunan dan membutuhkan waktu yang lama. Harus diakui Pemda mempunyai keterbatasan dana dalam mengatasi masalah tersebut. Maka partisipasi negara donor dan berbagai NGO

182BRR, Rencana Strategis…, hal. 178

Page 135: 22

121

diperlukan dalam pembangunan sekolah, seperti bantuan negara donor melalui lembaga resmi UN, contohnya UNICEF, Bantuan negara donor melalui pemerintah yang disalurkan melalui BRR, ada yang disalur-kan melalui lembaga keuangan, contohnya Asian Development Bank, dan lain-lain. Perhatian yang diberikan oleh negara donor juga mendapat perhatian dari pemerintah daerah untuk menyeimbangkan antara pembangunan fisik dan non fisik. Dengan keseimbangan ini diharapkan pen-didikan Aceh pada masa akan datang lebih maju dan lebih baik.183

Pada masa kini perhatian pemerintah di bidang pendidikan sedang giat-giatnya yaitu dengan memberikan bantuan dana, berupa beasiswa bagi masyarakat Aceh yang ingin melanjutkan sekolah baik Srata satu, Strata dua, dan Srata tiga di dalam negeri maupun di luar negeri. Usaha ini dilakukan pemerintah untuk meningkatkan semangat juang belajar dan untuk meningkatkan kualitas masyarakat Aceh yang berpendidikan maju, karena pendidikan bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM), dan juga dengan pendidikan terkait juga dengan pengurangan kemiskinan, peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang pada akhirnya juga untuk percepatan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu proses pendidikan harus dikelola secara baik dan efisien untuk mencapai sasaran yang tepat. Sehingga dengan pendidikan kesejahteraan masyarakat Aceh semakin tinggi, dan dapat bersaing dengan masyarakat lain untuk menuju pencapaian hidup bahagia dunia akhirat, karena begitulah yang dituntut dan diingin-kan oleh pergerakan Islam itu sendiri.

Demikianlah pendidikan di Aceh dalam lintasan sejarahnya yang mengalami pasang surut. Hal ini sangat tergantung pada masa dan penguasa yang memerintahnya. Pada masa kesultanan Aceh pendidikan yang berlaku di sana adalah

183Anas M Adam, M.Pd, Partisipasi Negara Donor dalam

Rekonstruksi Pendidikan di Aceh, dalam MPD Lima Belas Tahun (1990-2005) (NAD: Majelis Pendidikan Daerah, 2005), hal. 184-185.

Page 136: 22

122

berdasarkan agama Islam. Pendidikan pada masa ini berpusat di meunasah-meunasah, rangkang, dan dayah-dayah. Pada masa ini pula ilmu pengetahuan maju pesat sehinga melahirkan ulama-ulama yang berkaliber internasional dan dapat menghasilkan karya-karya besar dalam berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu umum atau ilmu pengetahuan agama.

Pada masa penjajahan orientasi pendidikan di Aceh telah bergeser, hal ini sangat tergantung juga dengan keinginan penjajah itu sendiri. Pada masa penjajahan Belanda pendidikan agama, politik dihapuskan karena takut akan melawan penjajah, lalu dibuatlah pembatasan-pembatasan terhadap pelajaran-pelajaran yang diajarkan di dayah-dayah. Untuk antisipasi dan demi keamanan bagi Belanda didirikanlah sekolah-sekolah yang bertujuan pula untuk menanam pengaruh dan mencari simpati rakyat Aceh kepadanya. Sebagai reaksi dari kebijakan Belanda tersebut rakyat Aceh mendirikan madrasah yang merupakan kombinasi antara pelajaran umum dan agama.

Ketika Jepang menjajah Aceh mereka mengingin-kan sekolah-sekolah yang berbau Belanda dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar digantikan di sekolah-sekolah. Jepang juga ingin menipponkan rakyat Aceh dengan kepentingan penjajahannya, tetapi mereka tidak berhasil, jadi pendidikan pada masa itu yang berdasarkan agama diperbolehkan seperti biasa.

Pada masa kemerdekaan di Aceh terdapat sekolah-sekolah yang terdiri dari dua corak, yaitu sekolah umum dan agama baik di tingkat dasar, menengah pertama, menengah atas dan perguruan tinggi, di samping itu sekolah kejuruan mulai tumbuh. Tetapi perkembangan pendidikan masa orde lama ini tidak banyak berarti, apalagi pendidikan agama.

Pada masa Orde Baru, pendidikan agama sangat memprihatinkan, pemerintah tidak memperhatikan pem-bangunan dan pertumbuhan sekolah agama, sementara pembinaan sekolah umum sangat menonjol. Pergeseran nilai budaya Aceh tidak lagi berorientasi religi.

Page 137: 22

123

Pada era reformasi di Aceh sektor pendidikan termasuk bagian dari sektor pembangunan yang didesentralisasikan, di era reformasi ini pendidikan yang bernilai budaya Aceh dan berorientasi religi yang sesuai dengan syariat Islam kembali diperbincangkan, namun ketika kebijakan-kebijakan dan program yang akan diambil, terjadilah Tsunami pada tanggal 24 Desember 2004.

Dalam rangka membangun kembali Aceh sesuadah Tsunami, pemerintah melalui BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) Aceh menyusun rencana strategis bidang pendidikan sebagai pedoman dan arah seluruh program di propinsi NAD, visinya adalah mewujudkan masyarakat Aceh yang maju, adil, aman, damai, sejahtera berlandaskan nilai-nilai ajaran Islam serta memiliki hakikat dan martabat Aceh dalam wawasan NKRI dan universal.

Page 138: 22

124

Page 139: 22

125

KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG PENDIDIKAN DI ACEH

Lembaga Penyusun Kebijakan Pendidikan

ntuk mengoptimalisasi dunia pendidikan di negeri kita, selama ini pemerintah telah melakukan berbagai usaha,

misalnya, dengan mengembangkan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui berbagai pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, telah menunjukkan adanya peningkatan mutu yang cukup signifikan, namun sebagian lainnya, seperti umumnya sekolah-sekolah di daerah pedesaan dan terpencil, masih belum menunjukkan adanya peningkatan.184

Salah satu faktor yang ditengarai menjadi penyebab tidak meratanya pertumbuhan pendidikan di masing-masing daerah adalah, karena sistem penyelenggaraannya yang telalu birokratis-sentralistik.185 Hal ini, paling tidak berpotensi untuk menimbulkan dua kesulitan. Pertama, menyebabkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, sangat bergantung pada keputusan birokrasi yang mem-punyai jalur yang sangat panjang, dan kedua, kadang-kadang kebijakan yang dirumuskan dari pusat pun tidak sesuai dengan kondisi setempat.

Oleh karena itu, mengusahakan peningkatan mutu pendidikan dengan cara mendorong peran serta masyarakat, dapat menjadi sebuah bentuk usaha yang kiranya bisa dipertimbangkan. Hal ini, selain menjadi antitesis bagi sistem

184Budimansyah, Optimalisasi Peran dan Kinerja MPD bagi

Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh, dalam Laporan Rapat Kerja MPD 2006 (Aceh: Majelis Pen-didikan Daerah Aceh, 2006), hal. 9.

185Budimansyah, Optimalisasi Peran dan Kinerja MPD…, hal. 10.

U

Page 140: 22

126

yang terlalu sentralistik, juga membuat sistem pendidikan yang digagas lebih mampu untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di daerah masing-masing. Upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan adalah dengan mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, tran-sparansi, dan akuntabilitas.186

Karenanya, strategi pengembangan masyarakat sebagai sumber daya manusia yang berkualitas harus sejalan dengan visi serta misi daerah otonom masing-masing. Setiap daerah akan membutuhkan kualitas manusia yang beraneka ragam, sesuai dengan potensi sumber daya alamnya.187 Melalui pengembangan sumber daya manusia, maka penciptaan sumber daya buatan maupun produk yang berkualitas dan berdaya saing di setiap daerah akan dapat tercapai. Ada tiga pilar utama yang diharapkan dapat menjadi motor penggerak pembangunan sumber daya manusia daerah yang berkualitas melalui pembentukan organisasi pembelajaran, yaitu: pertama, pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah, yang berfungsi membuat rencana dan menjalankan aktivitas pemerintahan sehari-hari; kedua, DPRD sebagai badan legislatif daerah, yang berfungsi sebagai pembuat kebijakan di masing-masing daerah; ketiga, perguruan tinggi berfungsi sebagai “pusat keunggulan” (center of excelence) dan sekaligus menjadi ”dapur pemikir” (think tank).188

Dengan berpijak pada hal-hal di atas,189 dibentuklah sebuah lembaga yang diberi nama Majelis Pendidikan Daerah

186Budimansyah, Optimalisasi Peran dan Kinerja MPD…, hal. 11. 187Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan

Daerah (Bandung: CV. Fokus Media, 2003), hal 37. 188Sadu Wasistiono, Kapita Selekta…, hal. 38 189Lihat Darwis A. Soelaiman, Majelis Pendidikan Daerah

Eksistensi, Problem dan prospek, dalam MPD Lima Belas Tahun (1990-2005) (Banda Aceh: MPD Provinsi NAD, 2005), hal. 1.

Page 141: 22

127

(MPD) di Aceh.190 Lembaga ini digagas untuk mengiden-tifikasikan permasalahan-permasalahan pen-didikan di Aceh secara terpadu dan menyeluruh, serta untuk merumuskannya, dan selanjutnya menyusun kebijakan-kebijakan yang dapat menjadi solusi yang dapat menjadi jawaban bagi permasalahan-permasalahan tersebut. Majelis ini dibentuk pada tanggal 31 Agustus 1990 dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 420/435/1990. Kelahiran MPD merupakan kelahiran kembali keinginan masyarakat Aceh terhadap pembangunan pendidikan seperti yang ber-kembang pada awal Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dan MPD diharapkan dapat mewarisi semangat tersebut. Selama ini pengembangan pendidikan di Aceh dilakukan oleh badan-badan, lembaga atau instansi yang masing-masing mengembangkannya ini secara terpisah-pisah. Sentralisasi kebijaksanaan pendidikan selama ini merupa-kan satu sebab penting yang membuat pendidikan di Aceh tidak bisa diintegrasikan. Kenyataan ini pula yang menyebabkan konsep keistimewaan dalam bidang ini tidak bisa dikembangkan dengan baik. Keadaan ini dirasakan sangat merugikan perkembangan pendidikan di daerah ini karena masyarakat tidak bisa mengonsentrasikan pilihan-nya dalam memilih pendidikan untuk anak-anaknya. Akibatnya banyak biaya dan tenaga yang dihabiskan dengan hasil yang tidak memadai. Dan agar dapat perkembangan pendidikan di daerah ini dapat diintegrasi-kan menjadi suatu sistem yang terpadu dan memenuhi harapan masyarakat Aceh, maka tradisi yang terpisah itu perlu dipahami dan dikaji dengan sebaik-baiknya.

Pendidikan merupakan usaha manusia untuk membina dan mengembangkan kepribadian dan kemampu-an anak didik di dalam maupun di luar sekolah, dan meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (cipta, karsa, dan rasa, serta hati nurani) dan jasmani (panca indera, organ tubuh, dan keterampilan).

190Safwan Idris, Pendidikan di Aceh, dalam Per-kembangan

Pendidikan di NAD oleh MPD, (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 4

Page 142: 22

128

Pendidikan, dalam arti lembaga, bertanggung jawab menetapkan cita-cita, tujuan, isi, sistem, dan organisasi pendidikan. Lembaga ini meliputi sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dilihat dari ruang lingkup, maka pendidikan itu dapat berlangsung di dalam maupun di luar sekolah. Dalam penyelenggaraan Keistimewaan Aceh bersendikan syariat Islam, maka tugas lembaga pendidikan, apapun jenis dan jenjangnya, siapapun perencana dan pekerja pendidikannya, menjadi sangat penting dan menentukan. Para perencana dan penentu kebijakan pendidikan di daerah menetapkan strategi dan kebijakan pendidikan dalam ikhtiar menyukseskan pelaksanaan syariat Islam. Tanpa mengabaikan kebijakan kurikulum nasional yang juga harus berlaku di Daerah Istimewa Aceh, maka dalam batas-batas wajar perlu dilakukan pengkajian ulang, baik materi maupun struktur kurikulum di sekolah, madrasah, pesantren, akademi, dan universitas. Untuk keperluan itu dibentuklah lembaga independen dalam mengembangkan pendidikan daerah selain Dinas Pendidikan yaitu MPD di daerah Aceh.

1. Pembentukan MPD

Pemerintah Daerah Aceh telah memikirkan per-kembangan pendidikan daerah sejak Aceh ditetapkan sebagai Daerah Istimewa dalam bidang pendidikan (SK Perdana Menteri RI Nomor 1/Missi/1959). Maka pada tahun 1990, tepatnya tanggal 31 Agustus 1990 dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Derah Istimewa Aceh Nomor 420/435/1990 dibentuklah MPD untuk mengisi keistimewaan daerah Aceh dalam bidang pendidikan yang berbasis masyarakat.191 Pembentukan MPD mengacu kepada ketentuan yang tercantum dalam Qanun Pendidikan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pada tingkat nasional pemerintah juga memandang perlu adanya badan pendidikan berbasis masyarakat yang diberi nama Dewan pendidikan yang berlaku tidak hanya di daerah Aceh tetapi untuk seluruh daerah yang ada di Indonesia. Karena hal

191Darwis A. Soelaiman, Majelis Pendidikan Daerah..., hal. 1.

Page 143: 22

129

itu telah diatur dalam Pedoman Pembentukan Dewan Pendidikan. Mengenai nama dan ruang lingkup Dewan Pendidikan telah ada dalam buku Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang dibuat oleh Depdiknas yaitu “Dewan Pendidikan adalah nama generik artinya nama badan dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah masing-masing, seperti Dewan pendidikan, Majelis Pendidikan, atau nama lain yang disepakati, yang dimaksud dengan pendidikan di sini adalah pendidikan pra sekolah, pendidikan sekolah, dan pendidikan luar sekolah”.192 Tetapi pada daerah Aceh tidak perlu lagi dibentuk Dewan Pendidikan, karena sudah ada MPD di mana tugas-tugas dan peran Dewan Pendidikan yang ditentukan oleh Depdiknas menjadi tugas dan peran MPD.

Setelah terbentuk MPD maka dibuat struktur kepengurusan MPD pada periode pertama (1990-1995), yang terdiri dari Badan Pemikir dan Badan Pengurus yang semuanya berjumlah 74 orang. Badan Pemikir berjumlah 46 orang dan Badan Pengurus berjumlah 28 orang. Struktur kepengurusan MPD periode kedua (1996-2001) terdiri atas pelindung, Dewan Pertimbangan, Dewan pimpinan dan komisi-komisi. Pelindung 5 orang, Dewan Pertimbangan 10 orang, Dewan Pimpinan 10 orang personalia komisi seluruhnya adalah 40 orang, sehingga jumlah semuanya adalah 65 orang. Pengurus MPD periode ketiga (2003-2008) sangat berbeda dengan sebelumnya yaitu jumlahnya hanya 11 orang, terdiri dari 1 orang ketua, 3 orang wakil, dan 7 orang sebagai ketua komisi yaitu komisi kurikulum, komisi tenaga kependidikan, komisi pendidikan luar sekolah, komisi pendidikan tinggi, komisi pendidikan dayah, komisi sarana dan prasarana serta komisi penelitian dan pengembangan pendidikan. Pembentukan pengurus MPD periode ketiga ini berdasarkan pada Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan di Propinsi NAD, di mana

192Depdiknas, Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite

Sekolah (Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, 2002).

Page 144: 22

130

ditentukan bahwa MPD adalah badan yang keanggotaan pengurusnya berbasis masyarakat.

2. Tugas Pokok dan Fungsi MPD

Tugas utama MPD pada awal mula dibentuknya lembaga ini adalah untuk memberikan pemikiran dan saran-saran kepada pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan di Aceh. Tugas tersebut secara terperinci tercantum dalam SK Gubernur Nomor: 420/435/1990 tersebut di atas, yang rumusannya adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan, membina dan mengembangkan kualitas

pendidikan di daerah sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari pendidikan nasional dalam rangka mewujudkan keistimewaan Aceh.

b. Menghimpun dan mengkaji bahan-bahan yang di-pandang perlu bagi penyampaian pendapat, saran, usul, nasehat atau pemikiran kepada Gubernur dalam rangka perumusan dan penyusunan kebijakan daerah di bidang pendidikan khususnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

c. Mengolah dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang berkenaan dengan upaya pendidikan daerah khusus-nya, sesuai dengan keadaan ketentuan yang berlaku.

d. Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh masyarakat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat, terutama dalam pengisian muatan lokal.

e. Meningkatkan dan menyebarluaskan pendidikan dalam masyarakat melalui kreativitas, media cetak, media elektronik, dan sebagainya.

f. Meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak, baik perorangan maupun badan-badan/instansi pemerintah dan swasta.

Page 145: 22

131

g. Menyusun risalah-risalah untuk menjadi pedoman tentang kemajuan pendidikan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 193

Kemudian, tugas pokok MPD dirumuskan kembali oleh pengurus periode ketiga ini, yang disesuaikan dengan tugas MPD yang ditentukan dalam Qanun Pendidikan serta dikaitkan dengan visi, misi dan fungsi MPD yang juga telah dirumuskan dalam rapat kerja MPD, yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut194: a. Memberikan pendapat, saran dan pertimbangan, antara lain

mengenai: (1) Kebijakan pendidikan dan pelaksanaannya, (2) Standar mutu pendidikan, (3) Sistem pendidikan, kurikulum, pembelajaran dan

evaluasi, (4) Tenaga pendidikan, mencakup pendidikan, pengang-

katan dan pembinaan guru, (5) Prasarana dan sarana pendidikan, (6) Penelitian dan pengembangan pendidikan, (7) Pendirian sekolah/madrasah dan perguruan tinggi

swasta. b. Mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan

program-program pendidikan. c. Menampung pemikiran, temuan dan aspirasi masyarakat

mengenai pendidikan. d. Mendorong partisipasi masyarakat dalam penyeleng-garaan

dan peningkatan mutu pendidikan serta memotivasi semangat belajar guru, teungku dayah, siswa dan santri untuk berinovasi dan berprestasi.195

MPD mempunyai eksistensi yang tidak hanya sebagai perwujudan keistimewaan daerah Aceh di bidang pendidikan, tetapi juga disesuaikan dengan perkembangan zaman yang

193Darwis A Soelaiman, Majelis Pendidikan..., hal 4 194Lihat Qanun Pendidikan..., hal.36 195Darwis A. Soelaiman, Majelis Pendidikan…, hal. 5-6

Page 146: 22

132

membuat sektor pendidikan semakin kompleks dan semakin banyaknya pula pendidikan yang perlu dipecahkan dalam megisi status daerah Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Pada tahun 2003 MPD merumus-kan kembali fungsinya sebagai badan masyarakat yang bersifat normatif dan independen, yang mencakup 5 macam,196 yaitu: a. Sebagai badan pemikir (think tank body) mengenai

berbagai aspek pendidikan, khususnya dalam upaya pengembangan sistem pendidikan islami dan peningkatan mutu pendidikan.

b. Sebagai badan pemberi pertimbangan, pendapat dan saran serta badan konsultasi (advisory and consultating body) dalam menentukan kebijakan pendidikan dan strategi pelaksanaannya.

c. Sebagai badan penggerak atau motivator (motivating body), masyarakat pada umumnya untuk secara maksimal berpartisipasi dalam membangun dan meningkatkan mutu pendidikan, dan pendorong masyarakat pendidikan pada khusunya dalam berinovasi dan berprestasi di bidang pendidikan.

d. Sebagai badan pengawas (controlling body) mengenai pelaksanaan kebijakan dan program-program pen-didikan serta menjaga standar mutu pendidikan dalam rangka menjaga standar mutu pendidikan dan peningkatan akuntabilitas penyelenggaraan pen-didikan.

e. Sebagai badan perantara (mediating body) antara masyrakat dengan pemerintah serta antara sekolah atau madrasah dengan keluarga dan masyarakat, dalam upaya menjaga keterkaitan dan keserasian antara pendidikan di ketiga lingkungan tersebut (tri pusat pendidikan).

Oleh karena itu, sebagai badan normatif, MPD bukan badan pelaksana tetapi lebih menekankan pada penyusunan konsep-konsep mengenai pendidikan.

196Wawancara dengan Warul Walidin Wakil Ketua MPD Provinsi

NAD periode 2003-2008 pada tanggal 7 Agustus 2007 di Banda Aceh

Page 147: 22

133

3. Visi dan Misi MPD Sebagaimana telah disepakati dalam Rapat Kerja MPD

tahun 2004 adalah Menjadikan MPD sebagai badan normatif yang proaktif dalam mengaktualisasikan perannya secara optimal sebagai mitra pemerintah dan masyarakat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam melahirkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang aspiratif, relevan dan akuntabel dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, yaitu terwjudnya masyarakat yang cerdas, maju, beriman dan bertaqwa, serta berakhlak mulia.197

Dalam mewujudkan visi tersebut, maka misi yang diemban oleh MPD adalah sebagai berikut: a. Mengembangkan sistem pendidikan Islami Nanggroe

Aceh Darussalam. b. Menyusun konsep-konsep pembaharuan dan peningkatan

mutu pendidikan, termasuk konsep pendidikan nilai-nilai (values education) yang sesuai dengan filosofi dan budaya masyarakat Aceh serta menyusun konsep-konsep untuk pengembangan masyarakat belajar (learning society).

c. Memberikan pendapat dan saran kepada pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan pendidikan, seperti mengenai kurikulum, guru, ujian, dan lain-lain.

d. Mengawasi dan menilai pelaksanaan kebijakan dan program-program pendidikan.

e. Memotivasi masyarakat pada umumnya untuk ber-partisipasi dalam membangun dan meningkatkan mutu pendidikan serta masyarakat pendidikan pada khususnya untuk berinovasi dan berprestasi.

4. Kinerja MPD

Kinerja MPD pada masa awal-awal masa pembentukannya, khususnya selama 3 tahun pertama (1990-1993), yang telah dilakukan antara lain:198

197Darwis A. Soelaiman, Majelis Pendidikan…, hal. 8 198Darwis A Soelaiman, Majelis Pendidikan..., hal 13.

Page 148: 22

134

a. Menyusun draf buku 10 Tahun Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, tetapi naskah buku tersebut belum dapat diselesaikan untuk diterbitkan.

b. Melaksanakan Dialog Pendidikan yang membahas 4 masalah pendidikan, yaitu: 1. Pelaksanaan kelas inti di SMTA; 2. Operasionalisasi muatan lokal di SD; 3. Pendidikan agama pada lembaga pendidikan umum, dan; 4. Pelaksanaan wajib dapat baca Al-Qur’an bagi murid SD

di Daerah Istimewa Aceh (Instruksi Gubernur No.2 Tahun 1990).

c. Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan Instruksi Gubernur no. 2 Tahun 1990 tentang Wajib Dapat Baca Al-Qur’an bagi murid-murid SD Daerah Istimewa Aceh.

d. Menyusun buku petunjuk bagi Guru SMP dan SMA dalam membuat satuan pelajaran dengan meng-gunakan bahan pengayaan yang bersumber dari ajaran Islam (1993).

e. Mengadakan lokakarya penerapan muatan lokal dalam proses pembelajaran di SD.

f. Mengadakan penataran guru-guru dalam rangka peningkatan minat baca dan kemampuan penelitian dan penulisan karya ilmiah remaja (siswa SLTA) di Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

g. Mengadakan dialog Dayah/Pesantren se-Daerah Istimewa Aceh untuk mendapatkan masukan mengenai pengelolaan dayah/pesantren di Aceh.

h. Memberikan penghargaan pendidikan kepada Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA, Gubernur Aceh pada waktu itu, yaitu pada suatu upacara pada tanggal 29 Agustus 1991.

i. Menyampaikan pikiran dan sumbang saran MPD dalam bidang pendidikan kepada masyarakat melalui forum seminar, ceramah, lokakarya, dll. Antara lain mengenai:199

199Darwis A Soelaiman, Majelis Pendidikan..., hal 14.

Page 149: 22

135

� Relevansi bidang studi keterampilan dengan pembangunan,

� Upaya peningkatan mutu pendidikan, � Kebutuhan muatan lokal jurusan PKK, � Pendidikan Agama Islam di sekolah umum, � Peningkatan kerja guru, � Motivasi guru dalam penerapan hasil penataran, � Peranan MPD dalam mengembangkan kuri-kulum

sesuai potensi daerah dan lingkungan, � Memacu peningkatan mutu pendidikan melalui

peranan masyarakat dan orang tua, � Pendayagunaan dana bantuan BP3 untuk peningkatan

mutu pendidikan. Kinerja MPD yang dapat dicatat sejak tahun 1994

sampai tahun 2002 adalah sebagai berikut: a. Mempersiapkan konsep, kurikulum, dan persiapan

pendirian SMU Modal Bangsa yang telah diberlaku-kan tahun 1993. Pada tahun ajaran 1994/1995 SMU ini diresmikan pendiriannya menjadi SMU unggulan yng berstatus negeri.

b. Pada tanggal 29 Agustus 1995 (dalam rangka Hardikda ke-35) dilaksanakan Seminar Pembelajaran Bidang Studi Agama, Bahasa, Matematika dan Sains pada Pendidikan Dasar.

c. Mengadakan Pelatihan Penulisan Buku Muatan Lokal untuk guru-guru SMP dan SMU pada bulan Februari 1997.

d. Pada tanggal 31 Agustus 1997 mengadakan Dialog Pendidikan (dalam rangka Hardikda ke-38) dengan tema “Sekolah Unggul Menyiapkan SDM Profesional Ber-wawasan IPTEK dan IMTAQ Memasuki Era Globalisasi”.

e. Pada tahun 1997 dibuka Dayah Ruhul Islam Anak Bangsa Penyusunan Konsep, dan kurikulum untuk dayah tersebut telah dipersiapkan oleh MPD sejak tahun 1996.

f. Pada tahun 2001/2002 dan 2002/2003 MPD telah mendapat bantuan biaya yang cukup berarti dari pemerintah daerah,

Page 150: 22

136

dan dengan demikian telah dapat diadakan beberapa kegiatan, antara lain: Mengadakan Pelatihan Action Research untuk 45 orang guru SMU (17-27 September 2001), pelatihan untuk membina 35 guru madrasah (20-31 Oktober 2001); serta penulisan buku pelajaran dan buku bacaan untuk madrasah dasar dan menengah (SD/Mi, SMP/MTs, SMU/MAN) dan penyusunan rancangan kurikulum NAD (kegiatan tahun 1992/1993).

g. Dalam rangka upaya pengembangan pendidikan di Aceh, MPD pernah mengadakan dua kali studi banding, yaitu ke Malaysia dan Thailand pada tahun 1994 dan ke beberapa sekolah unggul di Jawa (SMA Nusantara Magelang, Pesantren Zaitun di Indramayu, dan sekolah-sekolah Al-Azhar di Jakarta pada tahun 2002).200

Kinerja MPD pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 tidak banyak melakukan kegiatan karena dana sangat terbatas, di antaranya disebabkan oleh krisis ekonomi yang dialami Indonesia yang berimbas ke daerah Aceh, dan juga faktor keamanan yang tidak kondusif.

Sesuai dengan Undang-undang No. 18 tahun 2001 daerah Aceh berubah statusnya menjadi Daerah Otonomi khusus dengan nama Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk merealisasikan maksud Undang-undang itu, banyak Qanun telah dibuat termasuk Qanun Nomor 23 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam Qanun tersebut telah dirumuskan sistem pendidikan yang di-pandang cocok untuk Propinsi NAD, yaitu Sistem Pendidikan Islami.201 Sejak dilantiknya pengurus periode ketiga pada bulan Oktober 2003, MPD Propinsi NAD telah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dapat dibagi atas kegiatan bersifat umum yang berkaitan dengan upaya pengembangan kelembagaan MPD, dan kegiatan yang berkaitan dengan program pengembangan pendidikan yaitu program-program MPD tahun 2003, 2004 dan 2005.

200Darwis A Soelaiman, Majelis Pendidikan..., hal 15. 201Lihat Qanun Pendidikan..., hal 41 - 44

Page 151: 22

137

a. Kegiatan Umum Maksudnya ialah kegiatan-kegiatan yang menyangkut

pengembangan kelembagaan MPD, antara lain: (1) Mengadakan audiensi dengan berbagai pihak termasuk

dengan gubernur, DPRD, Kapolda, Dinas Pendidikan, Unsyiah, dll.

(2) Membina hubungan kerjasama instansional dengan Dinas Pendidikan, Kanwil Depag, Unsyiah, IAIN, PGRI, dll.

(3) Menghadiri rapat-rapat yang diadakan oleh Pemda. (4) Mengikuti sidang-sidang DPRD. (5) Menghadiri acara-acara (pelantikan pengurus dll.) yang

dilakukan oleh MPD kabupaten/kota. (6) Menghadiri seminar dan lokakarya mengenai pen-didikan

baik di daerah maupun luar daerah, termasuk seminar mengenai blue print rekonstruksi Aceh pasca tsunami dan RUU PA.

(7) Mengunjungi MPD seluruh Aceh, dan mengadakan pertemuan dengan bupati/walikota serta kepala dinas kabupaten/kota.

(8) Ikut serta bersama Tim Bawasda mengadakan pengawasan/evaluasi pelaksanaan program pendidikan di kabupaten/kota.

(9) Terlibat dalam tim Penyusunan Rencana dan Dana Pendidikan NAD.

(10) Mengadakan Raker MPD (Propinsi dan kabupaten/kota) setiap tahun sejak 2003.

(11) Mengadakan konsultasi dengan DPRD, Bappeda, dinas terkait, BRR, Ormas, NGO, Universitas, dll.

b. Kegiatan Pelaksanaan Program Pengembangan Pen-didikan Setiap tahun pengurus MPD Propinsi NAD

melaksanakan sejumlah program yang berkaitan dengan pengembangan, pendidikan di Aceh, seperti menyusun konsep Pendidikan Islami, mengadakan seminar dan lokakarya, mengadakan penelitian pendidikan, dan lain-lain. Selama 3

Page 152: 22

138

tahun (2003-2005) MPD telah melaksanakan program-program sebagai berikut: (1) Menyusun Buku Pedoman Penerapan Nilai-Nilai Islami

dalam Pendidikan di Sekolah dan dalam Keluarga MPD telah berhasil membuat dua buah naskah buku, yaitu: (a) Buku pedoman penerapan nilai-nilai Islami melalui pendidikan dalam keluarga, dan (b) Buku strategi pembelajaran nilai-nilai Islami di sekolah.

(2) Gerakan Hidup Islami (Gehimi) Program ini dilaksanakan dalam bentuk gerakan masyarakat, yang merupakan upaya pengembangan nilai-nilai Islami dalam masyarakat. Ada 4 macam nilai Islami yang dijadikan materi Gehimi, yaitu: a. Nilai bersih, b. Nilai sopan santun, c. Nilai disiplin dalam berlalu lintas, d. Nilai malu (budaya malu). Gehimi telah dilaksanakan di kota Banda Aceh pada bulan Oktober 2004 dengan melibatkan polisi lalu lintas, dokter dan perawat, orang tua murid, budayawan dan wartawan. Untuk kegiatan tersebut MPD mempersiapkan booklet dan leaflet mengenai Gehimi yang disebarkan kepada masyarakat.

(3) Gerakan Masyarakat Belajar (Gemajar) Dengan program Gemajar diharapkan kegiatan belajar merupakan kebutuhan dan kebiasaan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

(4) Sosialisasi Qanun Pendidikan dan Sistem pendidikan Islami202 Program sosialisasi Qanun pendidikan No. 23 Tahun 2002 dilaksanakan oleh MPD tahun 2004, akan tetapi, saat baru dilakukan sosialisasi di beberapa daerah, terjadilah bencana tsunami.

202Darwis A. Soelaiman, Majelis Pendidikan…, hal. 20

Page 153: 22

139

(5) Penelitian Implementasi Nilai-Nilai Islam di Sekolah, dalam Keluarga dan Masyarakat

(6) Seminar Pendidikan Setiap tahun, khususnya dalam rangka peringatan Hardikda, MPD mengadakan seminar mengenai pen-didikan.

(7) Menyusun Rancangan Kurikulum NAD Kurikulum NAD disusun oleh sebuah Tim, yaitu kerjasama MPD dan Dinas Pendidikan, yang sudah dimulai pada tahun 2003. Kurikulum tersebut disusun berdasarkan Kurikulum Nasional dengan memberi tekanan pada nilai-nilai Islami sesuai dengan ketentuan Qanun No. 23 tahun 2002, sehingga kurikulum NA disebut Kurikulum Nasional plus.

(8) Menyusun Konsep Pendidikan dan Pembinaan Guru NAD (9) Penelitian Keberadaan dan Kinerja Komite Sekolah (10) Penulisan Buku Teks/Kitab203

Kenyataan masih sangat banyak kekurangan buku-buku pelajaran dan buku-buku tambahan untuk mem-perkaya wawasan para murid, maka diadakan program memberi kesempatan kepada dosen, guru dan teungku untuk menulis buku. Salah satu program MPD ialah program memberikan kesempatan kepada guru, dosen dan teungku untuk menulis 6 buah buku pelajaran. Hasilnya ialah tersusun naskah buku-buku sebagai berikut: (a) Sejarah Kebudayaan Islam oleh M. Nasir dan

Hayatullaili. (b) Pendidikan Bahasa Inggris oleh Abdussalam dan

Abdul Azis. (c) Pidato Bahasa Arab untuk Tsanawiyah oleh Abbas

Ibnu Hajar dan Salami M. (d) Masail Fikhiyah oleh Mulyadi Kurdi dan Muji Mulia. (e) Pendidikan Jasmani di Sekolah oleh Syamsul Rizal dan

Jafar, MPd.

203Darwis A. Soelaiman, Majelis Pendidikan…, hal. 21-22,

Page 154: 22

140

(f) Fikh Al-Hadissal oleh Tgk. Jamaluddin, Asna Husin dan Daud Zamzami.

Sayang sekali, setelah dikumpulkan, semua naskah hilang diterpa tsunami. (11) Menyusun Konsep Sekolah Unggul

Konsep ini merupakan program tahun 2005. Dasar pikirannya adalah bahwa hampir semua kabupaten/kota membuat sekolah unggul, namun bagaimana model dan bagaimana cara pengembangan-nya bermacam-macam. Pada umumnya tidak ada pola yang jelas mengenai aspek keunggulan dari sekolah tersebut. Produk dari program ini ialah sebuah naskah buku Konsep Sekolah Unggul di Propinsi NAD.

(12) Evaluasi Pelaksanaan Program Pendidikan NAD Tahun 2002, 2003 dan 2004.204 Pada tahun 2005 MPD mengadakan evaluasi, yaitu pelaksanaan program pendidikan selama 3 tahun (2002, 2003 dan 2004) yang mencakup 10 program berikut ini: (a) Pengadaan alat pendidikan (b) Pengadaan buku (c) Pendidikan Luar Sekolah (d) Sekolah Unggul (e) Supervisi (f) Pembinaan siswa dan santri (g) Beasiswa untuk siswa (h) Pembinaan laboratorium dan pustaka (i) Penelitian dan Pengembangan (j) Guru (uji kompetensi dan kesejahteraan guru)

(13) Penelitian Efektivitas Pelatihan Guru NAD Program Tahun 2002, 2003, dan 2004 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan dari program-program pelatihan guru itu berlangsung secara efektif.

204Darwis A. Soelaiman, Majelis Pendidikan…, hal. 23.

Page 155: 22

141

(14) Lokakarya Wajib Mampu Membaca Qur’an bagi Siswa Pendidikan Dasar Program lain yang dilaksanakan pada tahun 2005 ialah mengadakan lokakarya yang bertujuan untuk merumuskan kriteria kelulusan dan pemberian sertifikat kepada mereka yang telah dinyatakan mampu membaca al-Qur’an.

(15) Lokakarya Pemberdayaan Komite Sekolah Lokakarya yang dilaksanakan pada tahun 2005 bertujuan untuk meningkatkan peran dan kinerja Komite Sekolah di Propinsi NAD yang dinilai masih banyak yang belum berfungsi dengan baik sebagai-mana ketentuan yang tercantum dalam buku Acuan Operasional dan Kinerja Komite Sekolah yang telah dibuat oleh Depdiknas.

(16) Lomba Mengarang Siswa SLTA mengenai Nilai-nilai Islami di Sekolah Dengan program ini ingin diketahui pemahaman siswa mengenai nilai-nilai Islami melalui ekspresi mereka dalam bentuk karangan (laporan, esei, cerpen) mengenai nilai-nilai Islami yang dilaksanakan atau yang berkembang di sekolahnya.

(17) Menerbitkan Jurnal pendidikan NAD “PEN-CERAHAN”205 Jurnal “Pencerahan” adalah media pendidikan MPD yang berisi informasi mengenai pendidikan, khusus-nya dalam bentuk tulisan-tulisan ilmiah dan popular. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pengetahuan para guru, pendidik dan masyarakat mengenai pen-didikan, khususnya pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam.

(18) Membuat Buku MPD 15 Tahun Tujuan menyusun buku 15 tahun MPD adalah untuk merekam informasi mengenai keadaan dan per-kembangan badan tersebut dalam bentuk dokumen tertulis yang diharapkan dapat menjadi salah satu dokumen sejarah mengenai pendidikan di Aceh.

205Darwis A. Soelaiman, Majelis Pendidikan…, hal. 25

Page 156: 22

142

Demikianlah sejumlah kegiatan yang telah dilaksana-kan oleh MPD, dan diharapkan kegiatan-kegiatan tersebut, yang hasilnya dapat menjadi bahan rujukan yang berguna bagi upaya pengembangan lebih lanjut pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam.

5. Problem dan Prospek MPD Masalah yang dihadapi MPD ialah tidak cukup kuatnya

pengakuan akan peran atau fungsinya sebagai badan pengawas, pengontrol, pengevaluasi pelaksana kebijakan dan program-program pendidikan. Tidak mudah bagi MPD untuk melaksanakan peran tersebut ke lembaga-lembaga pelaksana pendidikan tanpa suatu “legal authority”. MPD tidak mudah memiliki data yang diperlukan dari instansi terkait.

Masalah lain yang menjadi kendala dalam MPD ialah anggota pengurus yang berasal dari masyarakat yang bermacam-macam kesibukannya, sehingga banyak anggota pengurus MPD, baik di Propinsi maupun di kabupaten/kota yang tidak berpartisipasi secara aktif dalam kepengurus-an206. Misalnya pada MPD Propinsi sangat sedikit anggota yang bisa full time bertugas di MPD, kecuali anggota yang telah pensiun dan tidak ada pekerjaan khusus lain yang menyita waktunya. Pada kepengurusan periode 2003-2008 tidak banyak anggota pengurus MPD hal ini dikarenakan mereka diharapkan untuk dapat bekerja sepenuh waktu. Dan masalah lainnya adalah belum adanya dana tetap dari APBD untuk menjalankan roda organisasi yang dihadapi oleh sebagian MPD Kabupaten/Kota. Adapun dana untuk menggerakkan roda organisasi MPD pada masa awal berdirinya yaitu bersumber dari bantuan Pemda dalam bentuk blocgrant, kerjasama instansional dengan Kanwil Depdikbud, Unsyiah, dan Dinas P dan K serta bantuan dari pihak ketiga. Sejak tahun 2003 dana untuk MPD bersumber dari APBD (yaitu dari pendidikan NAD) sudah teralokasi dan

206Wawancara dengan Hasan Yakob, Ketua Komisi Kurikulum dan

Evaluasi MPD NAD, pada tanggal 27 April 2008

Page 157: 22

143

tercantum dalam DASK MPD. Besarnya dana untuk pelaksanaan program MPD (biaya langsung) dalam setahun sekitar Rp. 1 M, tidak termasuk untuk biaya tidak langsung yang besarnya juga sebanyak Rp.1 M, yaitu untuk pembangunan kantor sekretariat MPD, pengadaan meubeler dan alat perlengkapan lainnya, namun semua itu lenyap pada akhir tahun sebagai akibat bencana alam tsunami.

Kendala lain yaitu terjadinya tsunami yang tidak disangka-sangka yang mengakibatkan kantor MPD hancur, semua dokumen dan perlengkapan turut hilang. Buku laporan pelaksana program MPD tahun 2003 dan 2004 hampir semuanya hilang. Dan sekarang kantor MPD menumpang pada kantor Dinas Pariwisata Propinsi NAD, dan sementara itu direncanakan akan direhab kembali sebagian gedung kantor MPD yang masih tersisa akibat tsunami. Selain dokumen dan perlengkapan, tsunami juga telah merenggut korban jiwa dua orang karyawan MPD dan juga pada tingkat kabupaten/kota. Inilah permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh MPD sehingga tidak bisa melaksanakan tugas dan perannya semaksimal mungkin.

Prospek MPD diharapkan harus mampu memberi-kan ruh dan warna pendidikan di Aceh, dan harus mampu meletakkan dasar yang kokoh dan strategi yang tepat bagi pelaksanaan pendidikan yang Islami dan MPD harus mampu melaksanakan perannya sebagai agent of change bagi pendidikan di Aceh masa depan. Sebagai badan normatif, peran MPD sangat strategis dalam pengembangan pendidikan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di masa depan. Diperlukan pemikiran-pemikiran yang rasional dan realistis untuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan, diperlukan filisofis dan inovatif dalam menetapkan kebijakan pendidikan dan implementasinya.

Mengingat masih sangat kusutnya permasalahan pendidikan, khususnya di Aceh, maka diharapkan MPD mampu memberikan terobosan-terobosan yang berarti dalam

Page 158: 22

144

mereformasi benang kusut itu, khususnya dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. MPD sebagai badan yang berbasis masyarakat perlu diperkuat dengan berbagai masukan dari masyarakat. Dan kantor MPD bisa menjadi pusat belajar bagi masyarakat, yang perlu dilengkapi dengan berbagai sumber belajar antara lain situs MPD. Situs ini sebagai upaya pengembangan pendidikan Islami yang dapat diakses oleh berbagai pihak. MPD harus diberi kekuatan untuk melaksanakan fungsinya dan benar-benar berperan sebagai agent of change bagi pendidikan Aceh di masa yang akan datang.

Sebagai agent of change bagi pendidikan Aceh, MPD berupaya meningkatkan mutu pendidikan secara menyeluruh, mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yaitu aspek-aspek iman dan takwa, akhlakul karimah, pengetahuan, kesehatan, keterampilan dan seni. Pengembangan aspek-aspek tersebut mengacu pada peningkatan kecakapan hidup, yaitu life skill yang diwujudkan melalui pengembangan kompetensi subjek didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri dan berhasil di masa akan datang. Dengan demikian, subjek didik memiliki ketangguhan, kemandirian dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran atau latihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Atas dasar itu, pemerintah harus melakukan pembaharuan kurikulum sekolah menuju kurikulum berbasis kompetensi, yaitu kurikulum yang ditujukan untuk menciptakan lulusan yang kompeten dan cerdas dalam mengaktualisasikan potensi dirinya, membangun identitas budaya dan bangsanya, serta dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, penga-laman belajar yang membangun integritas sosial, serta membudayakan dan mewujudkan karakter bangsa.

Untuk Nanggroe Aceh Darussalam, dikembangkan kurikulum yang berlaku nasional dengan penambahan unsur-unsur lokal ke-Acehan dan ke-Islaman, yang secara bertahap telah diberlakukan sejak tahun 2003207.

207 Warul Walidin AK, Kurikulum dan Pengajaran…., hal. 124-125

Page 159: 22

145

Dalam pembangunan pendidikan di NAD sejak keluarnya UU No. 44 Tahun 1999 pemerintah NAD telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dalam upaya perubahan sistem pendidikan dan perubahan kurikulum yaitu: 1. Menyusun Perda No. 6 Tahun 2000, yang selanjutnya

dikembangkan menjadi Qanun No. 23 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

2. Menambah pendidikan agama di SD dari 2 jam menjadi 5–6 jam per minggu dan menambah mata pelajaran agama dari 1 mata pelajaran menjadi 5 mata pelajaran, yaitu: Al-Qur’an, Al-Hadis, Aqidah Akhlak, Fiqh, SKI dan Bahasa Arab.

3. Mengembangkan paradigma baru pendidikan islami, manajemen yang berbasis sekolah (MBS), termasuk pengembangan kurikulum berbasis sekolah (PKBS), dan paradigma pendidikan berbasis masyarakat (PBM).

4. Mengembangkan kurikulum baru yang khas NAD, yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi Plus ke-Islaman dan ke-Acehan.

Dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 telah terbuka harapan baru bagi pendidikan di propinsi NAD dan sejalan dengan itu pula Pemda NAD telah berhasil merumuskan Pola Dasar Pembangunan Pendidikan (PDPP), dengan beberapa rumusan pokok yang sangat substantif, yaitu:

1. Sistem pendidikan di Aceh masa depan adalah sistem pendidikan yang Islami serta sesuai dengan kebutuhan dan budaya daerah yang kental tingkat religiusitasnya.

2. Kurikulum yang berlaku adalah kurikulum pendidikan Aceh yang khas yaitu kurikulum nasional yang menampung kekhususan dan kebutuhan daerah.

3. Paradigma pendidikan di propinsi NAD adalah pendidikan yang berbasis masyarakat, pendidikan yang berbasis kompetensi, manajemen berbasis sekolah, pendidikan terpadu, pembelajaran yang mendidik, pendidikan yang berorientasi masa depan, pendidikan berkelanjutan, pendidikan sepanjang hayat, dan pendidikan untuk semua.

Page 160: 22

146

4. Kebijakan pokok pembangunan pendidikan diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi, pemerataan, peningkatan fungsi manajemen, dan penataan sistem pendidikan yang Islami.

Selain kebijakan-kebijakan tersebut, berbagai program strategis telah diluncurkan, baik yang sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang. Program strategi tersebut antara lain: perbaikan sistem rekrutmen guru, peningkatan kualitas inservice training, perbaikan manajemen sekolah, peningkatan insentif guru, pening-katan sarana dan media pendidikan.

Sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia, di NAD masih dijumpai sejumlah kelemahan sekaligus menjadi kendala implementasi kurikulum yang memerlu-kan penanganan dan perbaikan seperlunya ke depan. Kelemahan-kelemahan tersebut dipengaruhi secara kumulatif oleh berbagai faktor internal dan faktor eksternal sekolah, antara lain karena konflik yang berkepanjangan dan faktor gempa dan tsunami yang terjadi pada Desember 2004 lalu.

Kelemahan-kelemahan tersebut adalah: 1. Sistem pendidikan yang belum mampu meng-akomodasi

sepenuhnya kebutuhan (social demand) daerah kabupaten/kota yang tingkat heterogenitasnya sangat tinggi, dengan wilayah geografis serta budaya yang berbeda secara signifikan.

2. Tingkat partisipasi sekolah yang masih sangat rendah 3. Pengajaran yang belum cukup efektif. 4. Pencapaian target kurikulum masih rendah 5. Manajemen pendidikan yang cenderung top down, sehingga

menimbulkan kesenjangan antara cita dan realita terutama dalam hal pemerataan sumber daya pendidikan termasuk guru dan fasilitas serta media pembelajaran.

6. Belum terpenuhinya tingkat rasio guru–murid yang ideal. 7. Masih rendahnya kualitas SDM guru. 8. Rendahnya komitmen guru terhadap profesinya karena

faktor penghasilan/kesejateraan.

Page 161: 22

147

9. Kurang berfungsinya “lembaga pelatihan guru” untuk meningkatkan “academic competance” para guru.

10. Sangat terbatasnya pelatihan kepada tenaga kepen-didikan non guru yang mendukung serta melayani proses pembelajaran.

11. Muatan kurikulum yang kurang akomodatif terhadap tuntutan lapangan kerja.

12. Rendahnya mutu dan relevansi pendidikan yang ditandai dengan rendahnya prosentase kelulusan pada UN, sedikitnya jumlah lulusan yang dapat diterima di PTN serta lemahnya daya saing dalam dunia kerja.

13. Pembelajaran yang belum mampu memberi tekanan secara menyeluruh dan intergrated aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.

14. Terbatasnya fasilitas dan media pembelajaran. 15. Belum tersedianya fasilitas laboratorium dan per-pustakaan

sekolah yang memadai 16. Belum tersedianya fasilitas mushalla untuk praktek ibadah

sebagaimana tuntutan kurikulum pendidikan agama yang disempurnakan

17. Belum tersedia suatu rencana strategis pengembangan dayah di masa depan, sebagai konsekuensi keberadaan dayah yang semakin beragam.208

Demikian kebijakan-kebijakan pendidikan yang telah diambil oleh Pemerintah NAD yang pada dasarnya diusulkan oleh MPD. Semoga dengan kebijakan-kebijakan yang ada, segala kendala dan kelemahan yang ada, yang disebabkan oleh berbagai faktor yang telah terjadi sebagaimana yang telah dikemukakan, da[at diatasi dengan baik. Dengan demikian kualitas pendidikan di Propinsi NAD dapat ditingkatkan.

208Warul Walidin AK, Kurikulum dan Pengajaran …., hal. 126-128

Page 162: 22

148

Kebijakan untuk Pemerataan Pendidikan

Dalam renstra pendidikan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, disebutkan bahwa yang menjadi dorongan utama dalam kebijakan pemerataan pendidikan adalah tercapainya pendidikan untuk semua lapisan masyarakat di tingkat pendidikan dasar dan menengah tahun 2012 dengan menghilangkan hambatan biaya dan hambatan lainnya dalam memperoleh kesempatan pendidikan. Kebijakan lainnya adalah memperluas kesempatan belajar pada pen-didikan usia dini melalui perluasan penyelenggaraan TK dan playgroup berbasis masyarakat baik oleh pemerintah maupun swasta. Karena itu, perubahan kelembagaan perlu dilakukan secara signifikan memperluas kesempatan mempelajari ketrampilan hidup, program keaksaraan, dan memasuki pendidikan tinggi. Di samping itu, perlu pengembangan model-model baru mengenai bentuk organisasi pesantren, khususnya untuk penggabungan sekolah dasar dan menengah melalui pendekatan non formal.209

Kebijakan-kebijakan di atas merupakan permasalahan pokok mengenai akses yang merata pada sektor pendidikan, seperti bagaimana mengoptimalkan fasilitas dan staf, memperketat peraturan usia anak sekolahan, meningkatkan mutu pendidikan sehingga mengurangi angka tidak naik kelas, dan memromosikan konsep pendidikan umum ke dalam pesantren atau sebaliknya yaitu konsep pesantren dipadukan pada sekolah umum.

Tantangan-tantangan di atas diperlukan tenaga terampil yang terdidik serta tidak memandang status gender. Setiap tenaga yang dipersiapkan dalam berbagai sektor harus siap dengan berbagai kebijakan yang ada. Dalam pergulatan ini tidak ada pergulatan status gender, dan siapa yang terampil maka keterampilan tersebutlah yang muncul ke permukaan, sehingga laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama.

209Bahan Sosialisasi tentang Renstra pendidikan di Provinsi NAD

2007-2012, hal. 21.

Page 163: 22

149

Perguna-kan kesempatan yang ada supaya sumber daya yang dimiliki akan terarah pada konsepsi intelektualitas masing-masing.

Peran Perempuan di Bidang Pendidikan

Sebagaimana telah dijelaskan pada akhir bab II, yaitu keterlibatan perempuan Aceh dalam berbagai sektor pemerintahan, yakni sebagian ulama tidak setuju dengan politik sultanah, dengan mendirikan pusat-pusat pendidikan sebagai perlawanan terhadap politiknya, seperti pemerintahan Ratu Taj Al-Alam Safiah al-Din dan sultanah-sultanah sesudahnya. Meskipun mereka beraliran wujudiyah yang telah sesat, namun beliau tidak menjatuhkan sanksi terhadap ulama tersebut sebab cintanya kepada ilmu pengetahuan. Masa ini disebut dengan masa kejayaan ilmu pengetahuan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkaliber internasional, seperti yang dikarang oleh Abdur Rauf Syiah Kuala atau disebut juga Syekh Abdur Rauf As-Singkili. Dia adalah seorang mufti dan Qadhi Malik al-Adil Kerajaaan Islam Aceh pada waktu itu.

Perhatian Ratu terhadap pendidikan membuatnya tidak membedakan dalam memberikan kesempatan kepada kaum laki-laki atau kaum perempuan. Perhatian yang lebih lagi dari Ratu, adalah menganjurkan bahkan mewajibkan kaun perempuan untuk belajar, karena dengan jalan pendidikanlah kaum perempuan dapat ditingkatkan kedudukan dan martabatnya dalam segala aspek kehidup-an.210 Kebijakan tersebut tetap dilanjutkan oleh ketiga sultanah sesudahnya.

Dalam masa perang antara Sultan Aceh dengan Belanda yang berlangsung begitu lama selama kurang lebih 50 tahun. Perempuan Aceh tampil bersama-sama kaum laki-laki untuk menentang penjajahan imperialism atau kolonialisme dan kapitalisme. Mereka tampil sebagai pahlawan di bidang pemerintah, perang, agama dan juga di bidang pendidikan.

210A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka…, hal. 121

Page 164: 22

150

Perempuan pejuang di wilayah itu yang aktif juga dalam pendidikan bernama Tgk. Fakinah yang sejak kecil belajar agama serta keterampilan seperti menjahit, menyulam, membuat karawang sutra dan kasab (benang emas). Setelah dewasa terus belajar pelajaran agama sehingga menjadi seorang yang alim. Ia seorang pendiri dayah bersama suaminya, yang dibiayai oleh mertuanya. Dan dia sendiri menjadi mufti dan mengajar agama, di samping mengajar pengetahuan lainnya. Pada saat pengungsian di berbagai kampung atau wilayah lainnya seperti Lamlo, Ia menetap di Tiro bersama Tgk. Chik di Tiro, kemudian pindah ke Tangse. Di sanalah dia membangun dayah tempat pengajian perempuan. Dalam keadaan bagaimanapun Tgk. Fakinah selalu aktif dalam pendidikan agama dan mengajar perempuan yang turut bersamanya. Setelah kembali ke kampung halamannya Lam Krak pada tahun 1911, Tgk. Fakinah membuka lagi dayahnya yang telah lama ditinggalkan. Lalu pada tahun 1914 dia melakukan ibadah haji dan selama berada di Mekkah pada tahun 1918 dia menambah ilmu pengetahuan dengan belajar di Masjidil Haram. Sekembalinya ke kampung setelah suaminya meninggal dunia di sana, Beliau dapat membawa pengetahuan baru kepada murid-muridnya di dayah yang sebelumnya diserahkan pada kawannya yang juga seorang perempuan.211

Setelah kemerdekaan Indonesia, maka pergerakan perempuan Aceh terus berkembang. Emansipasi perempuan dengan cita-citanya untuk perubahan-perubahan hak sebagai reaksi dari keadaan yang dulu. Yang dipentingkan dan diperjuangkan oleh kaum perempuan pada mulanya adalah hak-hak yang sama dan disertai kewajiban-kewajiban yang seimbang pula. Perempuan Aceh sekarang sudah menduduki posisi-posisi yang penting, baik dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif baik di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten. Di

211Tgk. H. Ainal Mardhiah, Pergerakan Perempuan di Aceh Masa

Lampau Sampai Kini, dalam Bunga Rampai Tentang Aceh oleh Ismil Suny (Jakarta: Penerbit Bharata Karya Aksara, 1980), hal. 311

Page 165: 22

151

samping bidang-bidang tersebut perempuan terlibat juga dalam bidang pendidikan dan banyak lembaga-lembaga pendidikan perempuan yang juga aktif dalam memimpin dan membina lembaga tersebut.

Partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan mempunyai peranan penting terutama dalam proses pem-bentukan kepribadian seseorang. Di samping perempuan merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, juga merupakan sarana bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam kesempatan kerja. Fakta menunjukkan tingkat pendidikan perempuan masih rendah dibandingkan kaum laki-laki, walaupun perempuan mem-punyai hak yang sama dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan Inayatillah yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan Aceh pada tahun 2000 menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk sekolah di tingkat SD, SLTP dan SLTA. Pada tingkat diploma terjadi sedikit perbedaan jumlah yang menunjukkan perempuan lebih banyak menamatkan jenjang tersebut daripada laki-laki, tetapi pada tingkat Universitas terjadi sebaliknya. Lebih banyak laki-laki yang menamatkan daripada perempuan.212

Ada beberapa hal yang membuat perempuan lebih minim daripada kaum laki-laki dalam belajar pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi seperti Universitas, antara lain faktor ekonomi karena tingginya biaya pendidikan yang semakin mahal, faktor ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya dan tradisi, karena dalam tradisi masyarakat, anak laki-laki lebih diutamakan dari anak perempuan, karena anak-laki-laki dianggap dapat mempunyai peluang kerja setelah pendidikannya, sementara anak perempuan dalam hal ini tidak dipentingkan karena perjalanan pendidikannya nanti akan diputuskan oleh keadaan yang membawa dia masuk ke gerbang perkawinan.

212Inayatillah, Perempuan Aceh Dalam Millenium III, dalam Doktrin

Islam dan Studi Kawasan: Potret Kebaragaman Masyarakat Aceh oleh Agusni Yahya, dkk. (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005, hal. 241-242

Page 166: 22

152

Keterlibatan Perempuan dalam Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pelaksanaan pendidikan seharusnya tidak bertentangan dengan nilai, norma, dan budaya yang dianut dalam masyarakat. Tradisi dan sistem pendidikan yang dilaksanakan di Aceh sejak dahulu telah dilandasi dengan nilai budaya yang Islami. Dewasa ini pendidikan yang berbasis budaya yang Islami tersebut perlu ditumbuh-kembangkan kembali dalam paradigma dan sistem pendidikan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal itu sejalan dengan penerapan syariat Islam di daerah ini yang didasarkan pada Undang-undang No. 44 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Istimewa Aceh sebagai Propinsi NAD, selanjutnya Undang-undang No. 20 Tahun 2002 tentang Pendidikan Nasional. Qanun No. 6 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lebih lanjut penataan paradigma dan sistem pendidikan yang berbasis budaya tersebut harus mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak, terutama para pakar pendidikan dan lembaga yang terkait langsung dengan pendidikan seperti MPD.213

MPD merupakan salah satu lembaga yang berwenang dalam penyusunan kebijakan pendidikan yang telah ada sejak tahun 1990 sampai sekarang. Kebijakan pendidikan yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan pembangunan NAD yang telah mempunyai landasan yang cukup kokoh, yang semuanya membuka peluang besar yang memungkinkan pendidikan di Aceh akan lebih maju. Landasan tersebut berdasarkan pada UU No. 22 tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999, UU No. 44 tahun 1999, Qanun No. 23 tahun 2002 dan UU No 18 tahun 2001. Bertitik pada landasan tersebut, filosofi, visi, misi MPD disesuaikan dengan filosofi, visi dan misi pembangunan

213Lihat Mujiburrahman, Pendidikan Berbasis Budaya; Rekonstruksi Pendidikan di Provinsi NAD dalam Rangka Penerapan Syariat Islam, dalam Doktrin Islam dan Studi Kawasan: Potret Keberagaman Masyarakat Aceh oleh Agusni Yahya, dkk., (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005), hal. 383

Page 167: 22

153

pendidikan NAD yang memperhatikan kondisi objektif pendidikan NAD. Adapun kebijakan pembangunan pendidikan NAD, antara lain: 1. Meningkatkan upaya pemulihan pendidikan dari dampak

krisis ekonomi dan dampak tsunami guna mempertahankan enrollment, kausalitas dan relevansi pendidikan melalui peningkatan efisiensi internal, penajaman sasaran program jaring pengaman sosial, serta revitalisasi manajemen pendidikan yang lebih profesional serta pemantapan sistem secara optimal.

2. Meningkatkan perluasan dan pemerataan pendidikan yang bermutu pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan dengan penekanan pada penuntasan wajib belajar 9 tahun bagi penduduk usia 7-15 tahun.

3. Meningkatkan kualitas pendidikan yang dilandasi wawasan keunggulan dan berorientasi pada “academic excellence”, dengan mengembangkan model sekolah unggulan untuk semua jenjang pendidikan sesuai dengan karakteristik Keistimewaan Aceh.

4. Meningkatkan relevansi pendidikan yang dititik-beratkan pada kemampuan beradaptasi dengan perubahan tuntutan dunia kerja yang cepat, pengembangan “life skill education”, berinovasi dalam menciptakan karya yang bermanfaat, serta kesiapan lulusan mengikuti pendidikan berkelanjutan (continuing education)

5. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan, sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan akhlaqul karimah agar dapat meningkatkan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.

6. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan daerah termasuk pembaharuan kurikulum yang berlaku nasionl dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat serta diversifikasi jenis pendidikan secara proporsional

Page 168: 22

154

7. Memberdayakan lembaga pendidikan, baik jalur sekolah maupun jalur luar sekolah termasuk lembaga pendidikan Dayah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai

8. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi khusus dengan pelaksanaan manajemen yang berbasis sekolah dan masyarakat (school and community based management) dalam rangka pemberdayaan sekolah dan partisipasi masyarakat.214

MPD sebagai badan normatif yang independen juga merumuskan kembali kebijakan pendidikan yang menjadi tugas pokok MPD yang ditentukan dalam Qanun Pendidikan yaitu Qanun Nomor 23 tahun 2002.215 Pendidikan ini dikaitkan dengan visi, misi dan fungsi MPD yang juga telah dirumuskan dalam rapat kerja MPD. Hasil wawancara dengan Darwis A. Soelaiman216 menyatakan bahwa mekanisme kerja MPD yaitu MPD sebagai badan pemikir menyusun konsep-konsep kebijakan yang merupa-kan salah satu fungsi MPD kemudian diserahkan kepada Gubernur yang nantinya akan dibahas di DPRA. Begitu juga dengan Warul Walidin217 menyatakan bahwa MPD sebagai badan normatif yang lebih menekankan pada penyusunan konsep-konsep mengenai pendidikan, bukan badan pelaksana. MPD merupakan badan perantara masyarakat

214Warul Walidin, Qanun Pendidikan dan Implementasinya di NAD,

Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, pada tanggal 4 Maret 2006, hal. 4-5

215Lihat lampiran Qanun No. 23 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pendidikan

216Wawancara dengan Darwis. A. Soelaiman, Ketua MPD Provinsi NAD periode 2003-2008 di Banda Aceh pada tanggal 6 Agustus 2007

217Wawancara dengan Warul Walidin, Wakil Ketua MPD Provinsi NAD periode 2003-2008 di Banda Aceh pada tanggal 7 Agustus 2007

Page 169: 22

155

dengan pemerintah, dan antara sekolah dengan masyarakat. MPD berkewajiban untuk menjaga keserasian antara ketiga komponen tadi.

Dalam pelaksanaannya MPD mempunyai ke-pengurusan yang sampai sekarang telah dibentuk tiga periode yaitu periode tahun 1990-1995, periode kedua tahun 1996-2001), dan periode ketiga yaitu tahun 2003-2008. Dari ketiga periode tersebut dapat kita lihat jumlah perempuan yang terlibat di dalamnya. Berdasarkan SK (Surat Keputusan) gubernur tahun 1990 pada periode pertama dari 74 orang pengurus struktural, hanya 5 orang perempuan yang terlibat (6,8%).218 Pada periode kedua berdasarkan SK Gubernur tahun 1996 dari 65 orang pengurus, perempuan hanya 3 orang (4,6%).219 Dan pada periode ketiga juga jumlah perempuan dari 11 orang pengurus struktural perempuan hanya 2 orang yang dilibatkan di MPD (18,1%).220 Dari jumlah perempuan yang ditetapkan sebagai pengurus dari periode ke periode selanjutnya jumlah perempuan semakin sedikit. Selain anggota struktural MPD juga mempunyai anggota non struktural/tenaga lepas (out sourcing) yang juga di dalamnya dilibatkan perempuan. Anggota ini diundang ketika dibutuhkan biasanya dilibatkan dalam kegiatan merumuskan kurikulum, pembuatan qanun, pembuatan rencana strategis (renstra) pendidikan, mengevaluasi prestasi pendidikan kabupaten kota. Selebihnya diundang untuk menyusun buku ajar

218Lihat Lampiran Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah

Istimewa Aceh Nomor 420/435/1990. Tentang Pengangkatan Pengurus Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam periode 1990-1995

219Lihat Lampiran Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 420/834/1996. Tentang Pengangkatan Pengurus Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam periode 1996-2001

220Lihat Lampiran Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 420/391/2003. Tentang Pengangkatan Pengurus Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam periode 2003-2008

Page 170: 22

156

tingkat SMP dan SMA dalam beberapa bidang pelajaran, seperti Qur’an Hadis, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam, dan Praktek ibadah, Bahasa Arab, Ilmu Pengetahuan Alam (seperti Biologi), dan lain-lain.

Dalam berbagai kategori keterlibatan unsur-unsur yang telah disebutkan di atas tetap perempuan lebih sedikit keterlibatannya dibandingkan laki-laki dalam berbagai kegiatan untuk menyusun kebijakan pendidikan. Mengenai sedikitnya keterlibatan perempuan dalam kegiatan penyusunan kebijakan pendidikan di MPD telah dicari konfirmasi dan informasi dari beberapa tokoh yang menjadi informan pada penelitian ini baik dari pengurus MPD itu sendiri, praktisi pendidikan, unsur-unsur dari dinas terkait seperti dinas pendidikan nasional Propinsi NAD. Pada unsur-unsur tersebut dapat mewakili dari kalangan laki-laki maupun perempuan yang terlibat langsung ataupun tidak dalam kebijakan tersebut.

Adapun pandangan dari kalangan informan dapat dicermati pada uraian berikut ini:

Menurut Zainab221 keterlibatan perempuan dalam kebijakan pendidikan di MPD masih terbatas dikarenakan oleh kelangkaan tokoh-tokoh pendidikan perempuan yang punya ilmu dan skill, serta terbatasnya waktu bagi perempuan itu sendiri. Hal ini juga dipertegas lagi oleh M Hasbi Amiruddin222 di samping masih sedikit yang pandai, mau aktif dan juga sebagian kaum perempuan tidak diberi kesempatan atau izin oleh suaminya untuk aktif di luar atau untuk urusan publik karena dapat melalaikan urusan domestiknya. Senada dengan pernyataan di atas, Anas M. Adam223 menyatakan, perempuan, di samping sedikit yang mempunyai skill di bidang pendidikan,

221Wawancara dengan Zainab AR, Anggota Komisi E DPRA

Provinsi NAD, pada tanggal 26 Agustus 2007 222Wawancara dengan M. Hasbi Amiruddin, Ketua Komisi

Pendidikan Dayah MPD Prov. NAD pada tanggal 29 Agustus 2007 223Wawancara dengan Anas M. Adam, Kepala Dinas Pendidikan

Nasional Provinsi NAD pada tanggal 27 Agustus 2007

Page 171: 22

157

juga masih kurang waktu dalam kegiatan yang berkaitan dengan pembahasan kebijakan pendidikan. Pernyataan yang sama disampaikan oleh Darmawati AS,224 dan Warul Walidin.225 Keterbatasan keterlibatan perempuan dalam bidang penyusunan kebijak-an pendidikan di MPD (Majlis Pendidikan Daerah) Propinsi NAD dikarenakan oleh kurangnya kompetensi dari perempuan itu sendiri yang belum bisa diandalkan, walau-pun ada faktor eksternal tetapi tidak dominan.

Sebaliknya James Sijabat226 menyatakan bahwa kurangnya keterlibatan perempuan adalah karena kurangnya perhatian terhadap perempuan itu sendiri, padahal pada tataran aplikatif, jumlah pegawai di kantor sebagian besar adalah perempuan. Contoh yang dikemuka-kan di kantor-kantor sebagian besar yang bekerja dengan rajin dan tekun adalah kaum perempuan. Hal senada juga disampaikan oleh Damanhuri227 bahwa perempuan sebenar-nya tidak mau mengandalkan diri meskipun kompeten di bidang tersebut.

Cut Trisnawati228 menyatakan bahwa kaum perempuan mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki, namun kesempatan itu sangat tergantung kepada perempuan untuk memilihnya. Memang dalam segi kepakaran perempuan masih belum banyak. Adapun kalangan perempuan di kampus mencermati fenomena yang tidak menggembirakan terhadap peran perempuan juga dalam bidang tersebut dapat diklasifikasikan pada dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan persoalan dan kendala

224Wawancara dengan Darmawati AS, Pengawas Karyawan Dinas

Pendidikan Prov. NAD pada tanggal 24 Agustus 2007 225 Wawancara dengan Warul Walidin, Wakil Ketua MPD Provinsi

NAD periode 2003-2008 di Banda Aceh pada tanggal 7 Agustus 2007 226Wawancara dengan James Sijabat, Kasubbag Kepegawaian Dinas

Pendidikan Nasional Prov. NAD, pada tanggal 10 Agustus 2007 227Wawancara dengan Damanhuri, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN

Ar-Raniry pada tanggal 27 Agustus 2007 228Wawancara dengan Cut Trisnawati Ketua Komisi PLS dan PLB

di MPD Prov. NAD, pada tanggal 6 Desember 2006

Page 172: 22

158

yang ada pada perempuan itu sendiri di antaranya adalah faktor kualitas intelektual yang rendah, tingkat kepercayaan diri yang lemah, terikat dengan persoalan domestik yaitu urusan keluarga dan rumah tangga, terutama dalam mendidik dan mengurus anak. Dan perempuan cenderung tidak mampu melahirkan gagasan dan pemikiran yang cemerlang dan aktual. Adapun faktor eksternal yang merupakan persoalan yang muncul dari luar diri perempuan merupakan penghambat untuk berperan dan melibatkan diri dalam dunia publik apalagi dalam urusan besar seperti merumus-kan sebuah kebijakan. Faktor eksternal ini sangat terkait dengan beberapa hal seperti konstruksi sosial keagamaan, budaya dan tradisi dan sosio politis yang berkembang dalam masyarakat. Tidak terlepas juga dari konstruksi sosial keagamaan yang terbangun dari proses interpretasi nilai-nilai ajaran Al-Quran, yang terkadang cenderung melahirkan pemahaman yang bias jender, tidak adil dan terkesan memarjinalkan kaum perempuan. Keberadaan budaya dan adat-istiadat yang memberi penilaian dan apresiasi yang lebih terhadap laki-laki turut membentuk tatanan budaya dan adat-istiadat yang cenderung melemah-kan peran perempuan, sehingga mengakibatkan peran perempuan dalam bidang publik, apalagi dalam peran membuat sebuah kebijakan tidak begitu diperhatikan dan tidak diberi kesempatan.229 Menurut Zainal Abidin,230 keterbatasan perempuan dalam keterlibatan di sektor publik apalagi pada taraf pengambilan kebijakan di sebabkan oleh faktor internal, yaitu perempuan masih kurang skill, kurang keberanian, dan faktor eksternal adalah faktor budaya, sosial, dan agama.

229Wawancara dengan Nursalmi Mahdi, Salami Mahmud,. Huznah

Husin, Misnawati,.pada tanggal 25 Agustus 2007 230Wawancara dengan Zainal Abidin Alawy, Dosen Fakultas

Tarbiyah IAIN Ar-Raniry pada tanggal 9 Agustus 2007

Page 173: 22

159

Analisis Faktor-Faktor Penentu

Berdasarkan penuturan informan penelitian sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka dari segi faktor penentu secara umum dapat dikemukan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi posisi dan kedudukan kaum perempuan di Nangggroe Aceh Darussalam. Di antara faktor penentu ini adalah:

Faktor Sosial Agama

Sudah menjadi sangat lazim bahwa masyarakat Aceh terkenal akan semangat keberagamaannya (baca: ke-Islamannya). Hal ini tercermin dalam kehidupan praktis, di mana seluruh elemen masyarakat di Aceh, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam. Islam kemudian menjadi identitas Aceh dan rakyat Aceh. Bahkan adat istiadat yang berkembang dan dilestarikan adalah adat istiadat yang berasal dari –atau minimal tidak bertentangan dengan– ajaran Islam. Oleh karenanya segala hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan yang dialaminya, secara ideal masyarakat Aceh akan mengembalikan dan merujuk pada ajaran Islam.

Ajaran Islam berupa syariat yang menjadi tolok ukur masyarakat Aceh dalam menentukan sesuatu atau perilaku dinilai valid dan sahih, sehingga layak bahkan wajib untuk diamalkan. Ajaran Islam yang diyakini dan diamalkan ini tentunya merupakan hasil dari proses sosialisasi para ulama dari generasi ke generasi. Dalam proses sosialisasi ajaran ini tentunya tidak kosong dari realitas yang dihadapi oleh para penyampainya, maka sangat wajar bila improvisasi subyektif berupa penafsiran dari para penyampainya turut mewarnai ajaran Islam di Aceh.

Para ulama sebagai agen sosialisasi nilai-nilai religiusitas di daerah ini, tentu berperan aktif terhadap wahyu, baik al-Qur’an, al-hadis maupun doktrin-doktrin agama lainnya, seperti tafsir dan fikih, yang sebenarnya merupakan hasil pemahaman para mujtahid masa sebelumnya. Dalam konteks inilah agaknya

Page 174: 22

160

keragaman pemahaman, interpretasi dan lahirnya berbagai golongan tidak bisa dielakkan.

Oleh karenanya agama menjadi bidang yang sangat berpengaruh terhadap penciptaan dan pencitraan tentang segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya tentang perempuan. Agama atau lebih tepatnya pemahaman doktrin-doktrin keagamaan sering sekali mengalami bias jender dan dijadikan sebagai legitimiasi teologis untuk mendiskreditkan perempuan. Pemahaman terhadap doktrin keagamaan yang bias jender ini dirumuskan oleh struktur masyarakat yang patriarkis, di mana laki-laki memegang peran penting di dalamnya.

Dalam masyarakat yang sangat agamis, seperti di Aceh, maka peran para ulama sebagai penafsir otoritatif atas wahyu, al-Qur’an dan hadis sangat signifikan. Azyumardi Azra231 berpendapat bahwa ulama memiliki hak istimewa (privellage) terhadap teks-teks suci tersebut, seperti menyampaikan dan menjabarkannya dalam kehidupan praksis umat Islam. Oleh karenanya dalam konteks historis, ulama tidak saja berperan dalam sosio religius tetapi juga pada sosio politik dan sosio kultur lainnya.

Signifikansi ulama dalam masyarakat Aceh ditandai dengan ketaatan yang tanpa reserve terhadap ajaran dan fatwa yang disampaikannya. Dalam rentang waktu yang panjang seiring dengan bergantinya keadaan, Islam yang disosialisasikan oleh ulama sangat rentan mengalami distorsi penafsiran, atau bahkan mengalami “kerancuan” pemahaman oleh para penganutnya.

Oleh karenanya sangatlah wajar bila kemudian banyak kalangan dalam masyarakat, di antaranya masih ada yang berpendapat dan “memeluk” keyakinan bahwa perempuan lebih

231Azyumardi Azra, “Ulama, Politik dan Modernisasi”, dalam

‘Ulumul Qur’an, Vol. II, 1990, hal. 5. Bandingkan dengan M. Dawan Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 551 dst.

Page 175: 22

161

cocok menggeluti sektor domestik, internal rumah tangga dan sebaiknya menghindari semaksimal mungkin untuk beraktivitas ke luar rumah. Berbagai argumen dimajukan untuk meyakinkan bahwa perempuan memang seharusnya hanya berkiprah di dapur, sumur dan kasur. Seperti, misalnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki; sebagai manusia yang memiliki sifat kasih sayang, lembut, gemulai, lemah secara fisik dan sifat-sifat lain. Oleh karenanya secara kontekstual, perempuan hanya berhak berkiprah di lingkungan rumah tangga. Kalaupun kaum perempuan berhak dan diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan setinggi apapun, maka hal itu ditujukan untuk menyukseskan tugas pokoknya dalam rumah tangga tadi.

Adapun sektor publik dan pencari nafkah ke dunia luar menjadi beban dan tanggungjawab kaum laki-laki. Untuk berkiprah di dunia luar yang keras dan penuh persaingan, maka laki-laki dicipta sebagai manusia yang memiliki otot kekar dan kasar. Oleh karenanya laki-laki dicitrakan sebagai manusia yang gagah berani, perkasa, memiliki fisik yang kuat, sehingga dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah, pemimpin dan pelindung kaum perempuan. Untuk membekali diri agar dapat mengemban tanggungjawab yang berat ini, maka kesempatan memperoleh pendidikan dan keterampilan laki-laki menjadi lebih diprioritaskan daripada kaum perempuan.

Faktor Sosial Budaya

Masyarakat Aceh, sebagaimana telah dikemukakan, melestarikan adat dan sosial budaya yang bersumber -atau minimal tidak bertentangan dengan– dari ajaran Islam. Padahal ajaran Islam yang dimaksudkan adalah bukan saja al-Qur’an dan hadis, akan tetapi juga penafsiran para ulama yang tertuang dalam berbagai kitab tafsir, fikih maupun berupa fatwa-fatwa keagamaan. Oleh karenanya, cukup beralasan bila kemudian terdapat adat istiadat yang bersumber atau hanya ditopang oleh keyakinan yang turun-temurun dari hasil pemahaman seseorang terhadap doktrin agama yang dianutnya. Seperti pemahaman

Page 176: 22

162

tentang asal-usul perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk laki-laki atau pemahaman bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan, cukup berpengaruh dalam masyarakat yang kemudian menimbulkan sikap yang membudaya. Seperti sikap menomorduakan anak perempuan dan memrioritaskan anak laki-laki, mengutamakan anak laki-laki untuk melanjutkan studi dan sebaliknya mengutamakan perempuan untuk mengurus rumah tangga dan suami, membiasakan perempuan untuk tinggal di rumah, sedangkan anak laki-laki dibiasakan ke luar rumah dan lain sebagainya.

Kondisi sosial budaya seperti itulah yang kemudian merembet ke berbagai sektor kehidupan. Oleh karenanya terdapat usaha untuk menghalangi atau mencegah sedapat mungkin keterlibatan perempuan dalam urusan yang biasanya dipegang oleh laki-laki. Oleh karenanya terdapat semacam sinyalemen bahwa dunia publik adalah dunia laki-laki, maka hanya laki-laki saja yang berhak berkiprah di dunia publik. Sedangkan dunia perempuan adalah di rumah tangga, maka kaum perempuan juga yang harus mengurus rumah tangga dengan segala permasalahan di dalamnya. Konsekuensi logis yang terjadi adalah pemisahan ruang kerja, perempuan mengurus dunia dalam rumah tangga, sedangkan laki-laki pencari nafkah ke dunia luar. Kondisi sosial budaya yang demikian menyebabkan terbatasnya kiprah kaum perempuan di dunia publik.

Khusus untuk Aceh, kondisi sosial budaya tersebut, semakin diperkeruh oleh konflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh. Kaum perempuan Aceh, secara langsung mengalami masa-masa sulit, bahkan untuk menyelamatkan jiwa mereka sendiri sekalipun. Dalam suasana mencekam, perempuan harus menanggung beban ekonomi keluarga, menjadi single parent, karena ditinggal oleh suaminya. Suasana konflik juga menyebabkan semakin rentannya perempuan untuk menerima berbagai kekerasan, baik kekerasan ekonomi maupun seksual.

Page 177: 22

163

Bagaimana mungkin berpikir apalagi berbuat untuk melakukan pemberdayaan diri di tengah suasana yang serba tidak menentu. Realitas ini mengakibatkan kurang terwakilinya kaum perempuan Aceh dalam dunia publik.

Faktor Kebijakan Pemerintah

Produk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa berpengaruh besar bagi keterlibatan seluruh penduduknya dalam pembangunan, tak terkecuali bagi peran serta kaum perempuan. Dalam konteks pembangunan nasional, pemerintah Indonesia juga menyadari akan pentingnya keikutsertaan perempuan dalam pembangunan. Namun bila kita cermati pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak tahun 1973 dan selalu diperbaharui setiap lima tahun, pemerintah masih meletakkan peran perempuan Indonesia pada kehidupan keluarga. Bahkan di masa pemerintahan Orde Baru, perempuan Indonesia yang ideal adalah perempuan yang mampu berperan sebagai pendamping suami yang setia, sebagai ibu yang mendidik putra-putinya, sebagai pengatur ekonomi dalam rumah tangga, sebagai pencari nafkah tambahan dan sebagai anggota masyarakat.232

Kebijakan pemerintah lainnya sebagai upaya peningkatan peran perempuan melalui program PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) yang diimplementasikan sampai ke desa-desa. Program PKK bertujuan menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera melalui sepuluh program pokok, yaitu penghayatan dan pengamalan Pancasila, gotong royong, pangan, sandang, perumahan dan tata laksana rumah tangga, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, pengembangan kehidupan berkoperasi, kelestarian lingkungan hidup dan

232 Erni Isnaeniah, Perempuan Islam dan Politik: Tinjauan

Terhadap Peran Politik Perempuan Islam Indonesia 1992-1997, Tesis IAIN Gunung Jati, Bandung, 1998, hal. 16.

Page 178: 22

164

perencanaan sehat. Kesepuluh program ini mencerminkan adanya upaya untuk melakukan domestikasi terhadap perempuan dalam bingkai pembangunan nasional.

Faktor-faktor penentu yang dapat dikatakan sebagai faktor eksternal tersebut akan bekerja secara efektif manakala si pelaku, yaitu perempuan itu sendiri juga tidak berusaha secara maksimal untuk keluar dari jeratan pemahaman dan sosial budaya yang mendiskreditkan dirinya sendiri. Karena banyak di antara informan yang menyatakan bahwa faktor internal dari diri perempuan itu sendiri yang sejatinya lebih dominan sebagai penyebab keterbatasan keterwakilan perempuan dalam sektor publik.

Di antara faktor internal yang sangat menentukan terhadap penerimaannya di dunia publik adalah rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki kaum perempuan. Dan ini sangat terkait dengan semangat dan motivasi serta konfidensi internal yang mesti dibangun pada diri kaum perempuan itu sendiri. Karena tidak memiliki daya saing dan daya juang terhadap kaum laki-laki, maka perempuan selalu dalam kondisi marjinal.

Sebenarnya pada banyak hal, di mana tidak disyaratkan berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi berdasarkan kualifikasi keilmuan, kepandaian, ketrampilan tertentu untuk menggeluti suatu bidang. Akan tetapi lagi-lagi kaum perempuan tidak memiliki gairah dan kemauan untuk meraih kesempatan yang terbuka luas di hadapannya, maka seiring berjalannya waktu laki-laki yang mengisi posisi-posisi seperti ini.

Reformulasi Peran Perempuan di Bidang Pendidikan Meminjam teori efisiensi, Julia Cleves Mosse merujuk

pada dua dokumen terbitan tahun 1987 yang berjudul Pendekatan Baru Bank Dunia terhadap Perempuan dalam Pembangunan, yang ditulis oleh Kepala unit Women and

Page 179: 22

165

Development, Barbara Herz. Dalam tulisan tersebut Barbara Herz berusaha memperlihatkan apa yang sebenarnya bisa dilakukan untuk memasukkan perempuan dalam program-program pembangunan dan bagaimana hal itu bisa memberikan sumbangan kepada kinerja ekonomi, mengurangi kemiskinan dan tujuan-tujuan pembangunan lainnya. Barbara Herz memaparkan lebih jauh lagi terhadap proporsi perempuan, yakni Bank memakai pendekatan baru, yaitu pendekatan yang lebih operasional, terhadap perempuan dalam pembangunan. Pende-katan ini menekankan hasil dalam produktivitas ekonomi yang bisa diperoleh melalui keterlibatan perempuan secara efektif dan menitikberatkan kepada cara-cara praktis untuk melibatkan perempuan dalam operasi-operasi normal di bidang pertanian, pendidikan dan PHN (Primary Health and Nutrition).233

Dua tahun kemudian Overseas Development Administration Women di Inggris menyatakan bahwa telah tercapai perlakuan yang lebih baik bagi perempuan, sekaligus dan pada saat yang sama, merupakan langkah utama menuju ke arah penghapusan kemiskinan, perluasan kesempatan sosial dan rangsangan bagi pembangunan ekonomi. Karena perempuan merupakan bagian yang lebih besar dari kelompok termiskin dari yang miskin, maka membantu mereka berarti bisa memberi sumbangan besar guna mengurangi kemiskinan. Perempuan dapat memegang kunci bagi masyarakat yang lebih produktif dan dinamis. Jika mereka sendiri sehat dan berpengetahuan, serta memiliki akses yang lebih besar terhadap pengetahuan, ketrampilan dan kredit, mereka akan lebih produktif secara ekonomis. Selain itu perempuan memiliki pengaruh dominan terhadap generasi yang akan datang melalui sikap, pendidikan dan kesehatan mereka. Persamaan dan petumbuhan ekonomi berjalan bersama. Jika tantangan terhadap keberanian berusaha ini cukup berat, maka akan membuahkan keberhasilan.234

233 Julia Cleves Mosse, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2003, hal. 205. 234 Mosse, Gender, hal. 206.

Page 180: 22

166

Kedua dokumen tersebut mengandung makna penting di mana terdapat keyakinan bahwa pembangunan hanya akan efisien apabila perempuan diikutsertakan. Pendekatan efisiensi sejatinya telah ada sejak pertengahan tahun 1970-an di Inggris saat perekonomian dunia mengalami kemunduran. Pendekatan efisiensi bekerja pada dua tingkat yang berbeda. Pertama, memastikan efisiensi dalam proyek pembangunan menuntut keikutsertaan perempuan dalam pembangunan. Kedua, kebijakan pembangunan pada tingkat makro yang dikejar oleh pemerintah, yang didukung oleh organisasi-organisasi dunia seperti Bank Dunia dan IMF, juga menuntut efisiensi dan produktivitas dalam program penyesuaian struktural. Pada tingkat inilah efisiensi dilakukan dengan jalan mengikutsertakan perempuan dalam pembangunan, apalagi biaya tenaga kerja perempuan tidak semahal biaya tenaga kerja laki-laki.

Bila statemen di atas berbicara dalam keterlibatan peran dalam bidang ekonomi, sejatinya perempuan dapat berkiprah jauh lebih besar dari sekedar bidang ekonomi. Oleha karenanya, secara global, kita juga mengenal Forward Looking Strategy (FLS) for the Advancement of Women, yang berisi tiga butir penting, yaitu equality, development dan peace.235 Menyahuti pemberdayaan perempuan yang dideklarasikan secara internasional tersebut, Indonesia melalui GBHN 1993 telah mengamanatkan akan pentingnya kemitrasejajaran dan peranan perempuan dalam pembangunan bangsa. Kemitarsejajaran di sini dimaknai sebagai: Pertama kondisi di mana perempuan meningkatan kedudukan, peranan dan kemampuannya. Kedua, kemandirian serta ketahanan mental spiritual, sehingga perempuan mampu berperan bersama-sama dengan laki-laki sebagai mitra yang serasi, selaras dan seimbang. Ketiga, kemitrasejajaran dilandasi oleh sikap yang saling menghargai dan bersifat komplementer. Keempat, kemitrasejajaran

235 Mien Sugandhi, Pokok-Pokok Peranan Perempuan Indonesia, dalam Membincang Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Perempuan, Pustaka Hidayah, Bandung, 1997, hal. 125.

Page 181: 22

167

digalakkan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun dalam pembangunan bangsa.

Bahkan perempuan shalihat dinyatakan oleh Rasulullah SAW sebagai tiang negara, sumber kebajikan, dan sebaik-baik perhiasan dunia. Dalam kapasitasnya sebagai pilar negara bisa dipahami, karena pada perempuanlah upaya pembentukan masyarakat yang Islami ditanamkan. Oleh karenanya untuk mewujudkan peran ideal ini, AM Saefuddin236 menyatakan bahwa terdapat lima kewajiban yang harus diemban oleh perempuan shalihat:

1. Kewajiban Terhadap Agama

Menunaikan kewajiban agamanya (wajibat diniyyah) sebagai bukti atas komitmen dirinya terhadap ketinggian ajaran Islam sebagai nilai, ideologi, tatanan hidup dan way of life. Untuk membuktikan atas komitmennya ini, terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh oleh seorang perempuan shalihat. Pertama, berbekal dengan akhlak mulia, sehingga dirinya tidak saja indah lahiriahnya dengan keindahan pakaian, kecukupan perhiasan dan hal-hal yang bersifat materi lainnya, tetapi juga indah budi pekertinya. Ketinggian seseorang atau suatu komunitas dan suatu bangsa sangat tergantung dengan tinggi rendahnya akhlak yang dipeluk dan dipraktikkannya. Kedua, meningkatkan ilmu dan kecerdasan intelektualnya. Ketiga memperbanyak amal, gerak, perjuangan yang baik.

2. Kewajiban Terhadap Diri Sendiri Kewajiban terhadap diri sendiri (wajibat as-syahsiyah) dimaksudkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap dirinya sendiri, sehingga potensi yang ada padanya dapat diberdayakan agar mendatangkan kemaslahatan seluas-luasnya bagi diri sendiri, keluarga dan kehidupan di sekelilingnya.

236 A.M. Saefuddin, Kiprah dan Perjuangan Perempuan Salihat

dalam dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 2000, hal. 69-76.

Page 182: 22

168

Secara lahiriah, perempuan mesti menjaga kebersihan dan kesehatan, baik kesehatan dirinya sendiri maupun lingkungan sekitarnya, sehingga suasana indah, higienis dan nyaman selalu menyertainya. Sedangkan secara ruhaniah, perempuan wajib menjaga kemurnian akidah, memelihara ibadah dan menghiasi diri dengan akhlak mulia. 3. Kewajiban Terhadap Rumah Tangga Dalam konteks kewajiban terhadap rumah tangga (wajibat baitiyah) seorang perempuan memiliki peran utama. Perempuan harus mampu menciptakan suasana rumah tangga yang indah, nyaman dan tentram. Di sini peran seorang perempuan atau istri tentunya bukan hanya terbatas pada dapur, sumur dan kasur, serta mendidik anak semata, akan tetapi juga sebagai mitra kerja laki-laki dalam setiap usaha yang baik; seorang istri harus aktif di samping harus memberikan masukan terhadap suami bagi kemajuan keluarga.237 4. Kewajiban Terhadap Masyarakat

Dalam melaksanakan kewajiban terhadap masyarakat (wajibat ijtima‘iyah) ini menghendaki perempuan turut aktif berperan sebagai makhluk sosial, sehingga mendatangkan kemaslahatan bagi orang di sekitarnya. Perempuan dapat berperan sebagai pendidik, sehingga alih generasi yang dipertanggungjawabkan dapat berjalan. Begitu juga halnya pada bidang kesehatan, masyarakat sangat membutuhkan tenaga-

��ٲ ا�� �� 237 �� �� ���ٲ ��� و ���� � �� ا� �� �� ل ��� آ�ن � ا��� ا�

�)� ا�'� زو%� �� �� $�#ا � "��ى � � ��نٳ �#ٲ *�ٲ ه� ��نٳ � ��,�ٳ �+# نٳو "� �# /.�ٲ �#"�ا ���,� نٳو ,� ب �0 � ��('� 23

�,.�8��9١٨٥٧ ��7ح آ��ب 23 ��%� ا�� روا4 – �� و�� � Artinya: Dari Abi Amamah dari Nabi SAW bahwa dia

mendengar Nabi SAW bersabda “Bagi seorang mukmin, sesudah bertakwa kepada Allah, tak ada hal lain yang terbaik selain istri yang shalihat; istri yang jika diperintah menaatinya, jika dipandang menyenangkannya, jika berjanji selalu setia dan jika ditinggal pergi selalu memelihara diri dan harta suaminya.”Diriwayatkan oleh Ibnu Majah diambil dari Kitab Nikah Hadis 1857

Page 183: 22

169

tenaga medis dari kalangan perempuan, sehingga bisa me-nangani masalah kesehatan di sekitarnya. 5. Kewajiban Terhadap Negara

Kewajiban terhadap negara (wajibat wathaniyah) merupakan kewajiban bagi setiap warga anak bangsa, tak terkecuali bagi perempuan, sehingga cita-cita terbentuknya masyarakat dan negara yang hidup berada di bawah nilai-nilai rabbaniyah bisa diwujudkan.

Mencermati peran yang diemban oleh perempuan, maka segala aktivitasnya diberikan seluas-luasnya sehingga dapat membentuk suatu peradaban dan diilhami oleh nilai-nilai keislaman.

Dari sini dapat dilihat bahwa marjinalisasi kaum perempuan di bidang pendidikan terjadi karena beberapa faktor. Melihat fenomena ini, serta mengingat dunia pendidikan di Aceh yang belum juga berhasil mengatasi ketertinggalannya, maka sudah semestinya untuk mempertimbangkan pemberian kesempatan yang lebih luas kepada perempuan untuk ber-partisipasi di dalamnya.

Page 184: 22

170

Page 185: 22

171

KIPRAH PEREMPUAN ACEH MASA KINI Watak dan Karakter Perempuan Aceh Aceh merupakan salah satu daerah di Republik Indonesia yang terletak di paling ujung pulau Sumatera, tepatnya di bagian utara pulau Sumatera. Secara historis Aceh pernah menjadi sebuah kerajaan besar yang terdiri dari beberapa bagian negara kecil seperti Peureulak, Samudra Pasai, Pidie dan Daya. Pada awal abad ke-16 Aceh adalah suatu negara yang besar setelah seluruh kerajaan bersatu di bawah kerajaan Aceh Darussalam. Aceh menguasai pesisir timur Sumatera sampai ke Deli, dan sepanjang pesisir barat sampai ke Padang, juga dari Semenanjung Melayu sampai Selat Malaka pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636).238 Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, empat orang perempuan Aceh sempat memerintah Kerajaan Aceh secara berturut-turut, yaitu Taj al-‘Alam Safiatuddin (1641-1675), Nur’Alam Nakiyatuddin (1675–1678), Inayah Syah Zakiyatuddin (1678–1688), dan Keumalat Syah (1688–1699).239 Sejarah puncak kemegahan di Aceh yaitu pada penghujung abad ke-17. Hal ini dapat dilihat dari sejarah sultanah-sultanah Aceh memimpin Kerajaan Aceh selama 59 tahun. Pada tahun-tahun sebelumnya, juga dikenal seorang perempuan yang diangkat menjadi Panglima Angkatan Laut yaitu Laksamana Malahayati. Dan pada masa peperangan Aceh, juga banyak muncul perempuan-perempuan Aceh sebagai pejuang untuk memper-tahankan Agama, Bangsa dan Negara. Misalnya, Cut Nyak Dhien, pemimpin yang muncul sebagai pengganti suaminya

238 M. Hasbi Amiruddin, Perempuan Aceh Pada Masa Kerajaan Islam dalam Doktrin Islam dan Studi Kawasan: Potret Keberagaman Masyarakat Aceh (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005), hal. 203

239 Fatimah Mernissi, Sultanes Oubliees, Terj. Bahasa Inggris oleh Mary Jo Lakeland, The Forgotten Queens of Islam (Minnieapolis: University of Minnesota Press, 1993), hal. 30

Page 186: 22

172

yang gugur di medan perang yang tertembak oleh tentara Belanda; Cut Meutia, yang berjuang bersama suaminya juga gugur menemui ajalnya di hutan belantara dalam membela Aceh; Pocut Baren, seorang perempuan yang selain menjadi pejuang, juga pernah memegang jabatan sebagai Ulee Balang pada masa Belanda; Cut Meurah Intan, seorang pejuang pembela tanah air, dari sejarah kehidupannya dapat dilihat semangat yang tidak dapat ditawar-tawar, kepatuhan akan dedikasi, konsekuen dalam memimpin rakyatnya, dan juga berada di tengah-tengah rakyat mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan Belanda. Dalam bidang pendidikan juga ada seorang perempuan yang terkenal pada masa lalu yaitu Teungku Fakinah, di samping memimpin dayah beliau juga menyempatkan diri menjadi pimpinan pejuang kaum muslimin. Masih banyak lagi perempuan-perempuan Aceh yang berjuang dalam memajukan agama dan kerajaan Aceh. Ternyata dari golongan perempuan Aceh banyak tokoh yang cerdas dan cakap di berbagai bidang. Mereka sanggup menjalankan tugasnya dalam fungsi pemerintahan dari tingkat bawah sampai ke tingkat tinggi.240 Bukan tidak ada kaum perempuan yang dapat dikemukakan dalam lapangan sejarah di mana mereka tidak hanya berpangku tangan, hidup penuh gairah dalam kancah perjuangan di segala bidang yang memper-juangkan nasib rakyat, agama dan bangsa, walaupun tidak mendapat pendidikan yang tinggi. Dari gambaran di atas dapat diketahui bagaimana watak dan karakter kaum perempuan Aceh. Perempuan zaman dahulu tahu “tiap perjuangan akan memperoleh hasil yang gemilang apabila perjuangan itu dibantu oleh perempuan”.241 Perempuan-perempuan Aceh merupakan

240 Ainal Mardiah Aly, Pergerakan Perempuan di Aceh Masa

Lampau Sampai Kini, dalam Bunga Rampai Tentang Aceh oleh Ismail Suny (Jakarta: Penerbit Bhratara karya Aksara, 1980), hal. 283.

241 Lihat H.C. Zentgraaff, Atjeh, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Aboe Bakar dengan judul Aceh (Jakarta: Beuna, 1983), hal.109.

Page 187: 22

173

srikandi yang tidak hanya memberi semangat kepada suami, anak-anak dan rakyat, tetapi juga berjuang secara fisik memimpin di tengah-tengah rakyat. Berbagai corak ragam bangsa di dunia ini, serta beraneka ragam pula sifat dan karakter, ada yang pemberani, ada yang penakut, ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang fanatik ataupun tidak, dan lain-lain. Namun dari semua pemimpin perang di masa lalu yang telah bertempur di setiap pojok dan pelosok kepulauan Indonesia, akan terdengar bahwa tidak ada satu bangsa pun yang begitu bersemangat dan fanatik dalam menghadapi musuh selain bangsa Aceh dengan perempuan-perempuannya, yang jauh lebih unggul dari pada semua bangsa lain dalam keberanian menghadapi maut. Bahkan dalam mempertahankan sesuatu pendirian baik untuk kepentingan nasional dan agama para perempuan tak kalah unggul dari kaum laki-laki, baik di belakang layar maupun secara terang-terangan. Fenomena perempuan yang tak gentar dalam menghadapi musuh/penjajah, menempuh perjalanan mengarungi rimba raya dengan segala kekurangan, menghadapi halangan dan rintangan dengan bahaya yang mengintai. Inilah merupakan watak dan karakter perempuan Aceh yang berjuang atas dasar agama. Perempuan Aceh memiliki watak dan karakter yang keras, teguh pendirian, pemberani, pantang menyerah apalagi jika menyangkut pembelaan terhadap agama dan bangsa. Watak sebagai perempuan yang tak mau kompromi ini digambarkan oleh Zentgraaff242 dalam bukunya, dengan menyatakan bahwa perempuan Aceh hanya mengenal alternatif “membunuh atau dibunuh!” Perempuan Aceh yang mempunyai pendirian teguh dapat dilihat seperti kisah tewasnya isteri Tengku Mayet yaitu Cut Gambang di Tiro pada tahun 1910. Dalam peperangan melawan Belanda ia seorang perempuan yang benci terhadap penjajah dan tak kenal damai terhadap lawannya. Pada saat pengejaran terhadap anggota keluarga terakhir ulama Tiro yang

242 Zentgraaff, Atjeh…, hal. 110

Page 188: 22

174

terkenal di gunung-gunung sekitar tangse, pasukan Belanda berhasil menangkap pasukan Tengku Mayet, meskipun ia dapat melarikan diri, tetapi isterinya jatuh terluka parah dan berhasil ditawan oleh Belanda. Dalam penderitaannya ia menampakkan wajah yang gagah berani, walaupun sakit ia tidak mengerang dan tanpa bersuara menanti akhir hidupnya. Meskipun Belanda ingin mengobatinya, tapi Cut Gambang lebih menyukai kematian daripada hidup di tengah seorang kafir. Baginya berlaku: Ia tidak mendustakan darah keturunannya yang baik-baik.243 Perempuan Aceh sebagai pemberani, dan hal ini dapat dilihat dari sejarah tentang kematian isteri Tengku di Barat, salah seorang ulama terkenal di bagian Timur laut Aceh. Ia dan suaminya diburu oleh tentara Belanda dan akhirnya mereka terjepit di antara gunung-gunung. Ia berdiri di samping suaminya, kemudian sebuah peluru mengenai lengan kanan Tengku dan isterinya berdiri di mukanya sebagai pelindung dan sekaligus juga sebagai korban dengan pengabdian keagungan yang tiada tara. Demikianlah ia berdiri di depan suaminya sehingga peluru menembus tubuhnya, baru kemudian suaminya.244 Menelusuri sejarah di atas, sebagian orang akan mengatakan bahwa semua yang dilakukan perempuan Aceh pada masa lalu itu berakar pada dendam kepada orang kafir (penjajah) dan kefanatikan dalam agama. Tetapi hal ini seharusnya diperlukan pada semua bangsa untuk mendorong para perempuannya untuk berjuang di samping kaum laki-laki dalam mempertahankan bangsa dan tanah air. Perempuan-perempuan dengan tipikal seperti yang tersebut di atas jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan, keberanian mereka dapat menimbulkan kekaguman, mereka tidak pernah merasa gusar dalam mempertahankan seluruh pribadinya untuk kepentingan nasional dan agama. Patriotisme yang ada dalam diri perempuan Aceh sebagaimana dijelaskan

243 Zentgraaff, Atjeh…, hal. 111 244 Zentgraaff, Atjeh…, hal. 113.

Page 189: 22

175

Titie Said Sadikun245, bahwa ibu-ibu Aceh sejak dahulu sampai sekarang selalu mendongengkan anak-anak mereka tentang kegagahberanian Hang Tuah, Hang Jebat, dan pahlawan lainnya, hikayat-hikayat perang sabil, perang Khoempheni dan juga hikayat-hikayat para Nabi dan lain-lain yang selalu diceritakan dengan dendang dan lagu. Sejalan dengan pendapat di atas A. Hasjmy juga dalam bukunya246 menyatakan bahwa bukan hal kebetulan jika Cut Nyak Dhien mempunyai jiwa kepahlawanan yang luar biasa, tetapi selagi bayi, ibunya mendendangkannya lagu-lagu yang dapat menanamkan semangat kepahlawanan ke dalam tubuh sang bayi. Ayahnya menceritakan kepadanya kehebatan para perempuan masa lalu seperti: Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu, laksamana Malahayati, Laksamana Cut Meurah dan sebagainya. Begitu kuatnya perempuan Aceh menanamkan patriotisme dalam diri anak-anaknya. Sehingga perempuan Aceh bisa berperan sebagai pejuang yang mempunyai patriotisme rakyat Aceh di samping sebagai seorang isteri, seorang ibu, juga sebagai seorang perempuan dan warga bagi kaumnya, yang memiliki kepribadian paripurna. Perempuan Aceh memiliki harga diri yang kuat yang bersumber dari ketakwaan dan keimanan. Agama telah mendarah daging bagi perempuan Aceh. Agama adalah fondasi/tiang penyangga yang kuat bagi langkah dan kiprah mereka dan juga dalam menghadapi kemelut kehidupan. Letak Aceh di pesisir pantai membuat karakter penduduknya keras. Di samping itu keadaan juga yang menjadikan watak perempuan Aceh berkepribadian kuat. Peperangan yang panjang berpuluh-puluh tahun, pendidikan

245 Titie Said Sadikun, Pocut Meurah Intan Perempuan Paripurna

Pendekar Kaumnya, dalam Pocut Meurah Intan Srikandi Nasional dari Tanah Rencong, Dr. Sjarif Thajeb, dkk (Jakarta: Yayasan TP Aceh,1987), hal. 91-92.

246 Lihat Ali Hasjmy, Perempuan Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima Perang (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1995), hal. 53.

Page 190: 22

176

agama yang kuat, merupakan tradisi dan penyebab mengapa perempuan Aceh memiliki kepribadian yang hebat. Di desa-desa Aceh, para perempuan bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kaum laki-laki. Hal ini menandakan bahwa emansipasi perempuan telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, dan pada dasarnya perempuan Aceh mempunyai sifat demokratis, kritis dan tidak bisa didikte.247 Perempuan Aceh merupakan pionir emansipasi perempuan. Hal ini dapat dibuktikan dari sejarah bahwa pada saat perempuan-perempuan di Barat sedang mengalami masa-masa kelam, perempuan di Aceh telah menduduki jabatan-jabatan puncak dalam pemerintahan. Kenapa perempuan-perempuan Aceh bisa menduduki jabatan-jabatan puncak? Hal ini dikarenakan perempuan-perempuan Aceh mempunyai watak dan karakter yang kuat, tidak manja dan tidak mudah menyerah, sehingga pada masa-masa sulit perempuan Aceh juga sempat menjadi kepala pemerintahan. Di antara penyebab perempuan dan masyarakat Aceh pada umumnya berani berperang dan daya juangnya yang tinggi, antara lain adalah, dengan adanya hikayat-hikayat seperti Hikayat Perang Sabii yang sangat efektif dalam membangkitkan semangat juang masyarakat Aceh, karena berisi anjuran berperang di jalan Allah dan menjanjikan pahala (balasan) bagi siapa yang mati syahid dalam perang. Ibrahim Alfian menyebutkan bahwa A.H Philips, Gubernur Belanda di Aceh menulis dalam memoarnya bahwa pembacaan hikayat perang Sabii dalam masyarakat Aceh dapat menyebabkan pembaca dan pendengarnya terdorong keinginan mereka untuk berperang dan mati syahid melawan kafir.248 Dan risalah kecil yang ditulis oleh Teungku Chik Kuta Karang (nama sebenarnya Syekh Abbas Ibnu Muhammad) membicarakan masalah hubungan agama dan ilmu politik yang berjudul Tazkirat al Radikin (pernyataan

247 Titie Said Sadikun, Pocut Meurah Intan….,hal. 94. 248 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta, Pustaka Sinar

Harapan, tahun 1987) hal 136.

Page 191: 22

177

kepada yang tidak berbuat sesuatu) tahun 1889249 menyebutkan bahwa: “Adat ban adat hukom ban hukom, adat ngon hukom sama kembar tatkala mufakat adat ngon hukom, nanggroe seunang hana goga goga” artinya “Adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat negeri senang tiada huru-hara”. Risalah ini dapat membawa pengaruh tidak saja kepada orang awam, tetapi juga kepada ulebalang yang sebelumnya berpihak kepada Belanda, namun kemudian berbalik membantu pasukan gerilya secara terang-terangan atau tertutup. Dengan demikian pasukan rakyat Aceh mendapat kemenangan dalam pertempuran seperti pada sebuah penyerangan yang dipimpin langsung oleh Tengku Chik Kuta Karang sendiri dengan senjata yang sama dipakai oleh Belanda.250 Kiprah Perempuan Aceh dalam Peran Publik/Politik

Pada dasarnya setiap manusia itu lahir sama, baik laki-laki maupun perempuan, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Perempuan juga bisa berperan dan berkiprah dalam kehidupan sosial seperti halnya laki-laki. Tetapi sampai saat ini sebagian masyarakat masih mengganggap perempuan memiliki status dan kedudukan yang rendah dalam masyarakat atau mungkin juga disebabkan oleh kondisi perempuan itu sendiri. Meskipun jumlah perempuan lebih banyak dari kaum lelaki, namun kiprahnya dalam masyarakat masih sangat minim.

Menurut sensus tahun 2000 penduduk Nanggroe Aceh Darussalam berjumlah 4.010.865 jiwa, jumlah perempuan 2.021.596 jiwa (50,2%) dan laki-laki 1.998.269 jiwa (49,8%).251 Dari data tersebut dapat dilihat jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Kendatipun demikian, peran perempuan Aceh

249 C. Snouck Hurgronje, The Acehness, A.W.S.O, Sullivans

(terjemahan) (Leiden: E.J.Brill, 1906) Vol I hal 186. 250 Ibrahim Alfian, Perang…, hal 162 251 Kantor Statistik Nanggroe Aceh Darussalam, 2001

Page 192: 22

178

dalam publik masih kurang, terutama dalam dunia politik. Jika dalam sejarah Aceh banyak kaum perempuan yang menjadi pemimpin baik perang maupun pemerintahan, pada saat sekarang ini belum pernah ada perempuan Aceh menjabat sebagai gubernur, bupati maupun pimpinan dalam kemiliteran. Keterampilan politik perempuan masih rendah dibandingkan laki-laki karena kultur kompetitif yang biasa terjadi di dunia politik tidak diperkenalkan kepada anak perempuan. Hal ini berangkat dari anggapan bahwa perempuan mengalami beban ganda dalam rumah tangga, mendidik anak, mendampingi suami, dan memelihara rumah, sehingga mereka baru dapat berpartisipasi ketika anak-anak mereka sudah besar, dan peluang memasuki lembaga formal menjadi terbatas.252

Peran perempuan dalam politik masih kurang dibandingkan laki-laki, pada tahun 2004 anggota legislatif perempuan untuk DPRD Propinsi NAD hanya ada 4 orang saja. DPRD tingkat II kabupaten semuanya ada 35 orang yang terdiri atas DPRD kota Banda Aceh 4 orang perempuan, Kabupaten Pidie hanya ada 3 orang perempuan, Kabupaten Bireuen hanya 2 orang, Kabupaten Aceh Utara hanya ada 4 orang perempuan, Kota Lhokseumawe ada 2 orang perempuan, Kabupaten Aceh Timur 2 orang perempuan, Kota Langsa ada 3 orang perempuan, Kabupaten Aceh Barat hanya ada 2 orang, Kabupaten Aceh Tamiang hanya 1 orang perempuan, Kabupaten Aceh Jaya hanya 2 orang perempuan, Kabupaten Bener Meriah ada 2 orang perempuan, Kabupaten Nagan Raya 1 orang perempuan, Kabupaten Aceh Selatan ada 1 orang perempuan, Kabupaten Aceh Tenggara ada 4 orang perempuan, dan Kabupaten Aceh Singkil hanya ada 2 orang perempuan, dan masih ada beberapa kabupaten yang tidak mempunyai anggota legislatif perempuan

252 Khofifah Indar Parawansa, Pendidikan Politik bagi Perempuan

Sebagai Upaya Menuju Masyarakat Aceh yang Demokratis, Tulisan ini disampaikan dalam acara seminar “Sosialisasi Pendidikan politik bagi Perempuan Prov. NAD”, di Anjong Mon Mata Banda Aceh, Rabu, 19 Juli 2006, hal. 4

Page 193: 22

179

yaitu, Kota Sabang, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Simeulue, Kabupaten Gayo lues dan Kabupaten Aceh Tengah.253

Jabatan teknokrat membutuhkan profesionalisme kerja seperti kepala-kepala dinas atau kepala biro di kantor-kantor Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih sangat sedikit dijabat oleh perempuan. Hanya satu kepala dinas yang dipegang oleh perempuan dari 48 Kepala Dinas/Badan di Aceh (hanya 2.08%). Demikian juga dari 12 kepala biro yang terdapat di jajaran pemerintahan daerah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam hanya 1 (satu) orang perempuan yang menjabat sebagai kepala biro (hanya 8.3%).254

Di samping jabatan-jabatan politik, peran perempuan dalam lembaga yang lebih netral, sehat dan rasional yaitu di dalam pendidikan, seperti perguruan tinggi. Contohnya Universitas Syiah Kuala, dosen berjumlah 1369 orang terdiri dari 944 orang laki-laki dan 425 orang perempuan. Derajat S1 laki-laki 42% dan perempuan 58%, S2 laki-laki 48% dan perempuan 52%, S3 laki-laki 99,1% dan perempuan 0,9%, dan untuk jabatan guru besar (profesor) baru ada 33 orang yang semuanya adalah laki-laki. sedangkan IAIN Ar-Raniry jumlah dosen ada 260 orang terdiri atas jumlah laki-laki 210 orang (80,8%) dan jumlah perempuan 50 orang (19,2). Kualifikasi pendidikan yang ada khusus perempuan S1 sebanyak 25 orang, S2 22 orang dan S3 3 orang. Jabatan-jabatan kepemimpinan seperti rektor, dekan dan ketua jurusan perempuan masih kurang.

253 Sumber: Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretaris Daerah

Prop. NAD, Banda Aceh, 2006 254 Sumber: Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretaris Daerah

Propinsi NAD, Banda Aceh tahun 2006

Page 194: 22

180

Perbandingan persentase antara dosen laki-laki dengan dosen perempuan di Universitas Syiah Kuala

Laki-laki Perempuan S1 42% 58% S2 48% 52% S3 99,1% 0,9%

Guru besar (profesor)

0% 100%

Hasil penelitian yang dilakukan Raihan mengungkapkan,

banyak sebab mengapa kaum perempuan tidak bisa mencapai jumlah proporsi ideal dalam jabatan-jabatan tersebut, di antaranya adalah masalah yang terkait dengan derajat dan kualifikasi pendidikan, masalah popularitas dan akses ke publik, tingkat ambisi dan daya juang dalam mencari pengaruh, tekanan budaya, dan ada juga sifat-sifat pribadi perempuan yang kurang stabil, seperti mudah terpancing dan mudah tersinggung jika tidak dihargai, suka menempuh jalan pintas dengan menjelek-jelekkan pribadi lawan, lekas pasrah dan cepat marah jika mendapat serangan yang bertubi-tubi.255

Pola relasi jender di daerah Aceh sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi yang berlaku. Masyarakat Aceh yang mayoritas beragama Islam telah menjadikan “Syariat Islam” sebagai pedoman sikap hidup sehari-hari. Akan tetapi pemahaman ajaran Islam yang dijadikan sebagai identitas budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh cenderung bias jender. Kondisi ini telah berdampak pada pemahaman yang mengristal di kalangan masyarakat Aceh bahwa kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Kaum perempuan dianggap sebagai second class. Pandangan seperti ini harus segera ditinggalkan dalam kehidupan keseharian masyarakat, karena hal ini tanpa disadari telah mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak. Peran orang tua yang mengajarkan

255 Lihat lebih lanjut, Raihan Putry, Kemampuan Manajerial Dosen Perempuan, Program Pascasarjana Unsyiah, Tesis, 2003.

Page 195: 22

181

kepada anaknya untuk cenderung melebihkan anak laki-laki daripada anak perempuan dalam berbagai aspek. Misalnya dalam pendidikan formal, para orang tua cenderung memberikan kesempatan kepada anak laki-laki jika kondisi finansial mereka terbatas, suatu kegiatan yang wajar jika anak perempuan diminta untuk membantu ibunya mencuci, memasak, menyapu dan bahkan mengasuh adiknya yang lebih kecil, dan kegiatan ini tidak dimintakan kepada anak laki-laki meskipun dia sudah beranjak dewasa.256 Hal ini bukan saja merugikan pihak perempuan itu sendiri, melainkan masyarakat umum.

Membangun kemitraan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang perlu digalakkan dan disosialisasikan dengan tepat, agar keseimbangan dalam memahami peran dan tanggung jawab masing-masing pihak dapat terwujud dengan benar. Dan ada pemerataan peran serta kiprah masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan sosial. Ada keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian tugas dan beban kerja, adanya peluang dan kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan diri dalam aktivitas publik dan kaum laki-laki dapat membantu perempuan dengan berbagai pekerjaan rumah.

Kiprah perempuan Aceh dalam publik/politik mungkin sangat kurang, tetapi dalam domestik ia memikul tanggung jawab besar dalam menjalankan aktivitas rumah tangga. Perempuan merupakan tulang punggung kesuksesan anak dalam dunia pendidikan. Ketika sang suami kerja mulai pagi sampai sore urusan pendidikan anak menjadi tanggung jawab isteri. Bahkan seorang isteri harus merasa bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan anaknya ketika suami merantau bertahun-tahun atau meninggal dunia. Rasa tanggung jawab ini diwujudkan dengan usaha mereka menggeluti berbagai jenis

256 Al-Yasa’ Abu Bakar, Kemitrasejajaran Pria dan Perempuan

dalam Pembangunan Bangsa: Beberapa Segi Ajaran Islam, Jurnal Ar-Raniry, No. 72, Juli 1997, hal. 15-16

Page 196: 22

182

pekerjaan untuk menopang ekonomi keluarga dan kelangsungan biaya pendidikan anaknya.

Pandangan Tokoh Terhadap Posisi Perempuan di Aceh Sebelum menguraikan pandangan tokoh Aceh tentang posisi perempuan dalam peran publik dan politik secara sistematis dan rinci, terlebih dahulu diketengahkan tentang gambaran para tokoh itu sendiri. Para tokoh yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah para tokoh Aceh yang memiliki latar pendidikan tinggi dan mempunyai wawasan serta konstruksi berpikir yang memadai. Kalangan tokoh ini mempunyai latar pendidikan, pekerjaan dan status sosial yang tidak sama. Secara umum para tokoh tersebut telah menempuh jalur pendidikan formal di perguruan tinggi dalam berbagai bidang keilmuan dan keahlian, pada strata satu (S1), strata dua (S2) maupun strata tiga (S3). Sejalan dengan latar pendidikan ini, mereka kemudian menggeluti berbagai bidang pekerjaan sesuai dengan keilmuan dan keahlian masing-masing. Ada di antaranya yang bekerja sebagai dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta, guru, hakim, pegawai negeri di berbagai instansi pemerintah, politisi (sebagai anggota DPRD), dokter, LSM atau profesi lainnya. Dengan latar pendidikan dan profesi pekerjaan yang berbeda di kalangan para tokoh Aceh, sedikitnya telah mengakibatkan perbedaan status sosial di kalangan mereka. 1. Gambaran Umum Tokoh Aceh

Tokoh adalah kalangan terpelajar yang dinilai memiliki kemampuan dalam bidang keilmuan di berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, mereka adakalanya adalah para ahli agama (‘ulama’), pakar pendidikan, ekonomi, ahli hukum, ahli kesehatan atau politikus. Pada bidang-bidang ini ketokohan seseorang sebenarnya tidak memandang jenis kelamin, apakah laki-laki atau perempuan. Artinya para tokoh dapat berasal dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Karena penelitian ini memfokuskan diri pada para tokoh di Aceh, maka penjelasan

Page 197: 22

183

dan uraian berikut ini akan memaparkan keberadaan para tokoh di Aceh. Keberadaan para tokoh Aceh tersebut juga memiliki berbagai latar belakang pendidikan dalam berbagai bidang keahliannya.

Para tokoh di Aceh secara umum adalah kalangan terpelajar yang kebanyakan telah menempuh pendidikan pada strata satu (S1) namun ada beberapa orang yang tidak menyelesaikan S1, dan juga sebagian telah menyelesaikan studi pada Strata dua (S2) dan Strata tiga (S3). Mereka kebanyakan berprofesi sebagai pegawai negeri yang bekerja di instansi pemerintah, dan sebagian dari mereka memiliki profesi sebagai dosen dan politisi. Gambaran umum tentang kalangan tokoh Aceh yang bekerja di berbagai instansi pemerintah dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1 Tokoh Perempuan yang Bekerja di Instansi

Pemerintah di Aceh

No Nama Instansi Pegawai Perem-puan

Pegawai Laki-laki

Jum-lah

Persentase pegawai

perempuan

1 Kanwil Depag Prop. NAD

19 106 125 15,2

2 Dinas Syariat Islam Prop.NAD

14 69 83 16,9

3 DPRD Prop. NAD

5 50 55 9,1

4 Dinas Kebudayaan Prop. NAD

4 23 27 14,9

5 Dinas Tenaga Kerja Prop. NAD

21 77 98 21,5

6 Badan Diklat Prop. NAD

19 55 74 25,7

7 Dinas Pendapatan Prop. NAD

31 173 204 15,2

8 Kantor BKKBN Prop. NAD

22 111 133 16,5

Page 198: 22

184

9 Dinas Kelautan dan Perikanan NAD

26 87 113 19,6

10 Mahkamah Syar’iyah NAD

13 28 41 31,7

11 Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota

8 33 41 19,5

12 Dinas Pertanahan Kota Banda Aceh

17 30 47 36,1

13 Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh

33 97 130 25,4

14 Sekretariat Kota Banda Aceh

83 130 213 38,96

15 IAIN Ar-Raniry 92 334 426 21,6

16 UPTD Meusium 14 40 54 25,93

17 UPTD Taman Budaya

9 33 42 21,4

Berdasarkan sumber dari Biro Pemberdayaan Perempuan Kantor Gubernur NAD.

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah kalangan perempuan yang bekerja di berbagai instansi pemerintah jauh lebih kecil dari jumlah laki-laki. Dan hal yang tidak mengembirakan justru dalam bidang politik, di mana dari jumlah 55 orang anggota DPRD Propinsi NAD, hanya 5 orang yang berhasil diisi oleh kalangan perempuan. Padahal kalau didasari pada banyaknya jumlah penduduk di kota Banda Aceh dan secara umum di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki. Data statistik tahun 2001 tentang gambaran penduduk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan bahwa penduduk perempuan melebihi separuh (51%) penduduk secara kese-luruhan. Jumlah yang besar tersebut apabila didukung oleh

Page 199: 22

185

kualitas yang tinggi akan merupakan potensi produktif dan modal bagi pembangunan daerah.257

2. Pandangan Tokoh Perempuan

Kategori tokoh yang dapat disebutkan sebagai tokoh perempuan adalah perempuan-perempuan yang berkiprah di berbagai sektor pemerintahan. Mereka yang tersebut dalam tabel berikut merupakan perempuan-perempuan yang namanya telah tersohor di Propinsi NAD, dan peneliti mendapatkan nama-nama mereka dengan cara mendatangi tempat mereka bekerja, namun tidak dimungkiri bahwa masih banyak tokoh-tokoh perempuan yang tidak tercatat di sini namanya. Hal ini dikarenakan ada sebagian mereka tidak berada di Aceh. Untuk mendukung bagaimana kiprah perempuan Aceh di era sekarang, berikut akan diketengahkan berbagai perspektif para tokoh muslim Aceh tentang peran perempuan dalam bidang publik dan politik, serta keberadaan dan posisi perempuan dalam kehidupan keseharian di tengah masyarakat Aceh dewasa ini, sekaligus mencermati konstruksi berpikir mereka tentang berbagai pendapat yang dikemukakan seputar peran dan posisi perempuan di bidang publik dan politik, sehingga nantinya akan memberikan sebuah gambaran terhadap pola pemikiran mereka apakah diwarnai dengan kondisi sosial keagamaan, budaya, dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat, atau oleh hal lainnya. Menurut Lailisma Sofiyati,258 Kepala Biro Pember-dayaan Perempuan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada dasarnya tidak ada diskriminasi kesempatan antara perempuan dan laki-laki untuk berkreasi dan berpartisipasi secara proaktif

257 Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, Gambaran Keadaan Perempuan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2001, hal. 1

258 Wawancara dengan Lailisma Sofyati di Kantor Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal 10 September 2001.

Page 200: 22

186

dalam berbagai aspek kehidupan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan lainnya. Namun realitanya pada aspek-aspek ini, baik secara formal maupun non formal, bagi kaum perempuan terdapat beberapa kendala yang harus dihadapi.

Pada bidang eksekutif, misalnya, terdapat semacam aturan formal dalam sistem penjenjangan dalam karir, sehingga perempuan sering tidak dapat bersaing dengan laki-laki, terutama dalam hal persyaratan kualitas keilmuan dan SDM perempuan sering berada di bawah laki-laki. Adapun pada bidang legislatif, kaum perempuan cenderung tidak memiliki semangat untuk menekuni bidang ini. Hal ini disebabkan adanya anggapan yang berkembang dalam masyarakat -kondisi ini didasari pada fenomena yang ada di tengah kehidupan keseharian di Aceh- bahwa dunia politik dipandang sebagai sesuatu yang tidak baik, kasar, kotor, buas dan penuh kelicikan bahkan tipu daya. Didasari pada anggapan seperti ini, maka perempuan cenderung untuk menghindari dunia politik, sehingga peran serta dan partisipasi mereka dalam bidang legislatif relatif sangat rendah.

Adapun menurut. Ismayani,259 Dekan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, keterbatasan keterwakilan perempuan dalam urusan publik/politik disebabkan oleh faktor daerah Aceh yang sisi heroiknya terkenal sangat keras, maka perempuan payah untuk maju. Kaum perempuan lebih cenderung disibukkan oleh urusan domestik. Oleh karenanya sangat sedikit perempuan yang berkecimpung di bidang legislatif. Memperhatikan pendapat tokoh perempuan ini, mengingatkan kita pada fenomena abad 17 dan awal abad 20 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tokoh perempuan Aceh kala itu sangat heroik dan tidak pantang menyerah tetap berjalan di depan. Pendapat tokoh ini mengindikasikan bahwa masih ada perempuan Aceh menyibukkan diri dalam bidang domestik, padahal beliau sendiri

259 Wawancara dengan Ismayani, Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tanggal 21 September 2004

Page 201: 22

187

merupakan salah seorang perempuan yang tidak mudah menyerah.

Faktor dominan yang mempengaruhi keterbatasan perempuan dalam sektor publik/politik dalam pandangan Ismayani adalah faktor internal. Oleh karena itu, meskipun perempuan harus tetap menjadi dirinya sendiri, Ismayani menyarankan agar perempuan yang dari segi SDM sebenarnya tersedia harus merebut simpati dan kesempatan, membenahi menejerial, harus membuat strategi untuk merebut posisi.

Sementara dalam bidang yudikatif, sebenarnya perempuan memiliki kelebihan dibandingkan dengan laki-laki, kalau sekiranya perempuan itu sendiri mampu dan memiliki kualitas SDM yang baik. Keberadaan perempuan dalam posisi sebagai hakim merupakan suatu hal yang membanggakan dan sekaligus memiliki kelebihan dalam upaya penerapan dan penegakan hukum di Aceh khususnya atau di Indonesia pada umumnya. Namun realitanya, perempuan belum mau dan mampu untuk ambil bagian dalam bidang ini, kecuali dalam jumlah yang amat terbatas. Sejalan dengan pendapat Lailisma di atas, Khuzaimah Ibrahim,260 seorang Widyaswara pada BKKBN Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, melihat permasalahan yang dihadapi kaum perempuan dalam eksekutif dan legislatif lebih disebabkan oleh keterbatasan internal pada kaum perempuan itu sendiri, terutama berkaitan dengan kualitas SDM perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini disebabkan oleh faktor keyakinan bahwa kaum perempuan lebih sering menyerah pada keadaan atau nasib, sehingga tidak aktif dan kurang agresif, bahkan cenderung malas. Berbagai kekurangan perempuan ini dipengaruhi oleh faktor sosial budaya yang masih dikondisikan seperti anggapan bahwa perempuan bukan kepala rumah tangga. Masyarakat terlalu melecehkan kemampuan perempuan, sehingga melahirkan pandangan stereotip bahwa

260 Wawancara dengan Khuzaimah Ibrahim, di Kantor BKKBN

Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal 15 September 2003.

Page 202: 22

188

perempuan tidak memiliki kemampuan dalam bidang publik dan perempuan memiliki berbagai kekurangan. Semua ini sebenarnya tidak terbangun dari konstruksi ajaran agama, melainkan lebih disebabkan oleh tatanan sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat.

Hal senada juga disampaikan oleh Cut Trisnawati261 bila pada bidang eksekutif dan legislatif, peran perempuan dinilai amat terbatas dan menghadapi banyak tantangan, namun dalam bidang yudikatif, perempuan sebenarnya memiliki nilai lebih daripada laki-laki. Dalam menjalankan profesinya sebagai hakim, misalnya, kaum perempuan dinilai lebih memiliki keberanian, kebijaksanaan, sikap lemah lembut, kearifan, tidak egois dan emosional. Sementara pada bidang militer, sebenarnya perempuan juga diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki, namun kesempatan itu terserah kepada perempuan untuk menentukannya, mau atau tidak menekuni bidang ini. Konstruksi sosial budaya yang cenderung diskriminatif dan memarginalkan peran perempuan, turut mempengaruhi posisi perempuan dalam bidang publik dan politik. Realitanya, masih ada semacam anggapan bahwa seakan-akan perempuan tidak dapat berkiprah dan berkarya seperti halnya laki-laki, sehingga konsekuensinya laki-laki tidak memberi kesempatan kepada kaum perempuan. Hal ini diperparah adanya faktor internal bahwa kaum perempuan itu sendiri yang kurang percaya diri dan tidak kreatif.262 Adapun kalangan perempuan tokoh kampus mencermati fenomena yang tidak menggembirakan terhadap peran perempuan dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Secara umum hal tersebut dapat diklasifikasikan kepada dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan persoalan dan kendala yang ada pada diri

261 Wawancara dengan Cut Trisnawati, Ketua Komisi PLS dan

PLB., pada tanggal 20 September 2003. 262 Wawancara dengan Hayatul Wardani. pada tanggal 24 September

2003.

Page 203: 22

189

perempuan itu sendiri. Di antaranya adalah faktor kualitas intelektual yang rendah, kecerdasan emosional yang tidak seimbang, dinamika dan semangat bersaing yang rendah, tingkat kepercayaan diri yang lemah, terikat dengan persoalan domestik, yaiu urusan keluarga dan rumah tangga, terutama dalam hal mengurus dan mendidik anak, dan perempuan cenderung tidak mampu melahirkan gagasan dan pemikiran yang cemerlang dan aktual. Sedangkan faktor eksternal yang merupakan persoalan dan kendala-kendala yang muncul dari luar diri perempuan, namun menjadi penghambat terhadap peran dan kreativitas perempuan dalam dunia publik dan politik. Faktor eksternal ini meliputi berbagai hal seperti konstruksi sosial keagamaan, kultur, adat istiadat, dan sosio-politis yang berkembang dalam masyarakat. Kostruksi sosial keagamaan yang terbangun dari proses interpretasi nilai ajaran al-Qur’an, terkadang cenderung melahirkan pemahaman yang bias jender, tidak adil dan terkesan memarginalkan kaum perempuan. Keberadaan budaya dan adat istiadat yang memberi penilaian dan apresiasi yang lebih terhadap laki-laki, turut membentuk tatanan budaya dan adat istiadat yang cenderung melemahkan peran perempuan. Juga tatanan politik yang didominasi oleh kalangan laki-laki turut mewarnai dan membentuk konstruksi politik yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Berbagai faktor ini, membawa dampak yang sangat besar dalam pembentukan opini di tengah-tengah masyarakat, sehingga berakibat peran perempuan dalam bidang publik dan politik terasa tidak begitu diperhatikan dan tidak diberi kesempatan.263 Gambaran yang tidak jauh berbeda dari apa yang dikemukakan oleh para intelektual kampus, dipaparkan oleh para tokoh perempuan intelektual pendidik yang mempunyai profesi sebagai guru. Dalam hal ini, Dahlia dan Ramlah

263 Wawancara dengan Naimah Hasan, Raihan Putri, Nursalmi

Mahdi, Salami Mahmud,. Huaznah Husin, Juwita, T.A., Syarifah Habibah, dan Nurmasyithah Syamaun, pada tanggal 25-30 September 2003.

Page 204: 22

190

Tambunan.264 Mereka mengemukakan bahwa sedikitnya jumlah perempuan yang berkecimpung dalam bidang publik dan politik dikarenakan pada satu sisi terdapat kelemahan dan kekurangan pada diri perempuan itu sendiri. Sumber daya mereka masih sangat lemah, di samping mereka kurang percaya diri dan cenderung menempatkan diri sebagai penerima keputusan dan kebijakan serta belum pada tahap pengambilan keputusan. Ditambah dengan adanya rasa persaingan dan tidak ada dukungan antara sesamanya, serta kebanyakan meraka juga masih berpikir sempit. Pada sisi lain, adanya konstruksi budaya yang terbangun dalam masyarakat menempatkan “kelas superior laki-laki dan inferior perempuan”, telah melahirkan pandangan yang kurang menguntungkan bagi perempuan, mereka dipandang sebagai kelas dua dalam masyarakat. Beranjak dari konstruksi budaya dan pemikiran seperti ini, perempuan kemudian kurang diberi kesempatan dan peluang untuk berperan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama bidang publik dan politik. Kalangan tokoh perempuan intelektual yang berkecimpung dalam dunia politik menjelaskan bahwa akibat adanya konstruksi budaya dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat, secara tidak langsung telah mengakibatkan terbatasnya gerak dan peluang bagi perempuan untuk beraktivitas di luar wilayah domestik, khususnya dalam bidang politik. Kondisi ini diperparah lagi dengan ketidaksiapan perempuan itu sendiri akibat rendahnya kualitas SDM yang mereka miliki. Di samping itu, terdapat faktor lain di luar perempuan yang juga mempunyai andil besar penghambat pengembangan karir dan gerak perempuan. Perhatian, pembinaan dan pemberdayaan yang kurang terhadap perempuan juga turut membuat mereka tidak terberdaya dan termarjinalkan dalam percaturan perpolitikan dan peran publik lainnya.

264 Wawancara dengan. Dahlia dan Ramlah Tambunan pada tanggal

2 Oktober 2003.

Page 205: 22

191

Lebih jauh faktor keluarga dan kurangnya sosialisasi sejak dini dalam masyarakat, mengakibatkan tumbuh dan berkembang pemahaman yang tidak seimbang dalam pola relasi laki-laki dan perempuan. Laki-laki dianggap superior serta memiliki kelebihan, sementara perempuan dianggap inferior dan dihiasi dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan baik secara fisik maupun non fisik. Konstruksi berpikir ini lebih jauh menjadikan gerak dan peran perempuan terbatas di berbagai sektor kehidupan, baik bidang eksekutif, legislatif, yudikatif dan lain-lain. Memperhatikan pemahaman di atas, mantan aktivis kampus, Cut Munira, memaparkan keterlibatannya dalam beroganisasi. Aktivitas Cut Munira dalam organisasi dilatarbelakangi oleh kecemasan yang tinggi terhadap yang terjadi dalam masyarakat. Dia melihat perempuan sekarang dalam segi keberanian sudah banyak, tetapi tidak sama dengan dulu, karena dulu jelas visinya sampai dengan tahun 2002. Di sana muncul tokoh-tokoh perempuan seperti Cut Nur Asikin. Jadi, bisa dikatakan perempuan sekarang lebih mundur karena arahnya tidak menentu, padahal fasilitasnya banyak. Sebenarnya perempuan harus punya hak untuk menentukan pilihan dalam hidupnya, tetapi banyak perempuan tidak berani mengatakan sesuatu kepada suaminya.

Kalaupun ada insan intelektual, namun jika tidak didukung oleh masyarakat luas yang di dalamnya termasuk perempuan, maka pembangunan tidak akan berhasil. Menyusun barisan dari atas sampai ke bawah merupakan keharusan. Kita bisa melihat pada rentang waktu ’96-’99, tokoh perempuan memang sedikit, tetapi bisa menggerakkan referendum di Aceh. Sesudah masa itu, letokohan perempuan tampak menurun, karena kondisi tidak mendukung. Dalam GAM, perempuan tidak menonjol, karena mereka tidak bisa dilihat dengan jelas, tidak bisa dipublikasikan demi keamanan. Sebenarnya daya

Page 206: 22

192

juang perempuan sekarang masih tinggi, tetapi harus dibentuk organisasi tersendiri.265

Sedangkan Ibu Zainab266 berargumen bahwa, ketika ditanyakan mana yang lebih maju antara perempuan zaman dulu dengan perempuan zaman sekarang, jawabannya tergantung lingkungannya. Perempuan pada masa kesultanan berkuasa karena warisan. Seperti Ratu Safiatuddin, ayahnya tidak punya putra mahkota. Selanjutnya masa Belanda dan Jepang, perempuan berperang/berjuang seperti Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, karena berkaitan dengan emosi (balas dendam) kepada kafir, atas kematian suaminya, dan dibarengi dengan kemampuan perempuan tersebut. Pada masa sekarang, perempuan intelektual banyak, tetapi perempuan itu sendiri tidak mau tampil di depan karena beberapa sebab, di antaranya:

- Kurang percaya diri, padahal SDM sama dengan laki-laki, tetapi lagi-lagi ada faktor emosional, cepat iba, sedih, dan lain-lain.

- Kurang kompetitif, ini ada kaitannya dengan tanggung jawab kepada keluarga, merasa melalaikan keluarganya.

- Perempuan kalau didesak dan ditonjolkan oleh orang lain, baru mau untuk tampil. Di sini ada unsur keterpaksaan. Dalam Tuha Peut Gampong, seharusnya ada lebih

banyak perempuan yang bisa ditonjolkan karena pembangunan ini harus melibatkan perempuan sebagai penentu kebijakan dalam masyarakat/pemerintahan desa.

Menurut Cut Cayarani,267 ketika ditanya mana yang lebih maju antara perempuan dulu dengan perempuan sekarang, beliau menjawab idem, sama-sama maju, karena seorang perempuan harus mempunyai ilmu pengetahuan ditambah

265 Wawancara dengan Cut Munira, mantan aktivis kampus, tanggal

21 April 2008 266 Wawancara dengan Ibu Zainab, anggota DPRA, Komisi F

(Pendidikan). 267 Wawancara dengan Ibu Cut Cayarani, Kepala Deputi Pendidikan.

Page 207: 22

193

dengan pengalaman profesional dan pergaulan dengan masyarakat luas, perempuan itu sudah memiliki pengalaman penguat untuk menjadi seorang figur, sudah ada pengalaman, seperti pengalaman Cut Cayarani sendiri. Kemudian ketika ditanya faktor apa yang menyebabkan perempuan itu kurang berkiprah di dalam masyarakat, dia menjawab disebabkan oleh faktor internal, perempuan tidak mau, erat kaitannya dengan keluarga. SDM perempuan sebenarnya sudah bagus, dan sudah punya ilmu, tetapi apakah dipraktikkan?

Untuk memajukan kaum perempuan, harus didahului dengan penininjauan bakat perempuan itu, dari tingkat SMP dengan beraneka metode. Begitu juga dalam pendidikan. Aceh mempunyai Sekolah Keterampilan Menengah. Cut Cayarani sendiri mendukung pertumbuhan SMK di NAD. Perempuan Aceh mau mempergunakan kesempatan kalau mereka sudah mempunyai kesiapan untuk itu. Sekarang dukungan kepada perempuan yang punya bakat apakah positif?

Menurut Dahlia,268 perempuan ditinjau dari segi kualitas, perempuan di masa lalu lebih dari perempuan sekarang, karena ketaatannya. Sekarang memang perempuan dari segi kuantitasnya lebih banyak tampil. Ketika ditanya mengapa perempuan sekarang tidak punya kualitas, jawabnya karena motivasinya rendah, sebenarnya SDM dan potensi cukup, namun pemahaman atau wawasan ke-Islaman masih sempit. Selain itu semangat patriotismenya juga kurang. Sedangkan ketika ditanya bagaimana dengan peran Inong Balee, Dahlia menjawab terlepas dari tujuan yang ada, yang jelas perempuan Aceh selalu tampil ketika ada sebuah panggilan hati untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Jadi, bila ada keyakinan bahwa itu benar, pasti diikuti.

Lebih jauh Rukaiyah Ibrahim Nain,269 memperhatikan bahwa perempuan zaman dulu semangatnya lebih tinggi

268 Wawancara dengan Dahlia. 269 Wawancara dengan Rukaiyah Ibrahim Nain, mantan anggota

DPRA, tanggal 22 April 2008.

Page 208: 22

194

daripada perempuan zaman sekarang, kemunduran ini terjadi sesudah fase kemerdekaan, akibat konflik berkepanjangan. Jadi, peran perempuan dalam publik/politik sangat kurang, apalagi dalam pengambilan kebijakan, hal ini disebabkan oleh beberapa hal:

- faktor internal, yaitu disebabkan oleh budaya malu masih tinggi.

- Tidak ada kiat untuk merebut kesempatan. - Bersikap apatis, padahal SDM perempuan ada.

Asna Husein,270 ketika ditanya sejauh mana keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di MPD, dia mengatakan dia sendiri telah melakukan berbagai kegiatan seperti Raker MPD 2006 sebagai koordinator, tahun 2007 mengadakan seminar pendidikan, kongres pendidikan, terlibat dalam membuat Renstra Pendidikan, terlibat juga dalam pembahasan Qanun Pendidikan. Asna menyatakan bahwa tidak ada pembatasan gerak dari pihak laki-laki kecuali perempuan itu sendiri yang tidak punya waktu banyak untuk melakukan hal-hal yang lebih jauh yang membutuhkan waktu yang lama. Jadi, faktor internal perempuan itu sendiri yang kurang punya waktu. Sebelum tsunami, Asna masih sempat survei PAUD ke daerah-daerah, tetapi hasilnya hilang bersama tsunami. Sedangkan Cut Danilla, Istri Walikota Banda Aceh yang juga aktif di berbagai organisasi publik,271 menyatakan bahwa keterbatasan keterwakilan perempuan dalam urusan publik sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor internal. Di antaranya adalah wawasan (SDM) perempuan itu sendiri masih sangat kurang, kalaupun ada satu dua orang yang mampu tetapi tidak ada kesempatan yang tersedia. Di samping itu kelemahan perempuan juga disebabkan oleh faktor keturunan, interpretasi terhadap ajaran agama, faktor budaya masyarakat. Oleh

270 Wawancara dengan Asna Husein, Ketua Komisi :itbang

Pendidikan, tgl 21 April 2008. 271 Wawancara dengan Cut Danilla di Banda Aceh, pada tanggal 28

September 2004.

Page 209: 22

195

karenanya Cut Danilla menyatakan bahwa untuk memperbaiki situasi seperti ini, maka kaum perempuan harus berbenah diri, dan meningkatkan skill, harus pandai-pandai membawa diri, baik pada keluarga maupun masyarakat sosial di sekitarnya. Meskipun mengakui masih adanya keterbatasan keikutsertaan perempuan dalam bidang yudikatif, namun Cut Danilla menyatakan bahwa bidang ini sebenarnya sangat cocok digeluti oleh kaum perempuan. Begitu juga untuk bidang pendidikan. Sedangkan untuk bidang militer, agaknya kurang diminati oleh kaum perempuan karena kurang sesuai dengan faktor biologis yang ada pada dirinya, kecuali pada bidang pemgambil kebijakannya atau sebagai polisi perempuan (atau polisi syariat) terutama dalam rangka mengisi tugas dan peran dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Perempuan dalam politik di Aceh saat ini sudah mampu tampil di hadapan khalayak. Hal tersebut disambut baik oleh sang tokoh Raihan Putry Ali Muhammad,272 yang mengungkapkan dengan argumen yang tajam dan cekatan, dan langsung tertuju pada permasalahan yang diharapkan dalam penelitian ini. Beliau memulainya dari pangkal masalah, yaitu sejak abad 17 M, jauh sebelum belahan dunia lain unjuk prestasi, perempuan Aceh sudah mampu tampil dalam dunia politik. Hal ini terindikasi dengan kekuasaan empat Sulthanah selama setengah abad lebih berturut-turut memimpin pemerintah Aceh secara gemilang (baca sejarah Sulthanah Aceh). Namun sejak awal abad 19 sampai akhir abad 20 Aceh terus dilanda kecamuk perang secara bergantian, mulai perang dengan Belanda, Jepang, G 30 S PKI, DI TII, dan Gerakan Aceh Merdeka. Raihan Putry Ali Muhammad lebih bersemangat menjabarkan pengalamannya terhadap penelitian ini. Beliau melihat kondisi di atas mengakibatkan terpuruknya peran sosial

272 Wawancara dengan Raihan Putry Ali Muhammad, seorang

pejabat Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Propinsi NAD, tanggal 27 April 2008.

Page 210: 22

196

politik kaum perempuan Aceh. Peran ganda domestik dan peran publik yang diemban semakin tidak mendukung mereka berperan maksimal dalam dunia politik. Jadi dapat dikatakan bahwa perempuan sekarang lebih mundur. Ketika pertanyaan ini disodorkan, aktivis HAM ini menjawab, Ya, perempuan jauh lebih mundur, terutama dalam sektor politik. Indikasi ke arah ini terlihat dari minimnya jumlah perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif, dan jabatan akademis lainnya, seperti rektor, pembantu rektor, dan dekan. Kemudian peneliti menyodorkan pertanyaan dengan menanyakan faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut. Beliau dengan spontan berargumen, pertama, budaya patriarki yang masih kuat. Kedua, budaya membaca yang rendah, sehingga sedikit sekali wawasan dan informasi yang didapat, dan terakhir tidak percaya diri. Sedangkan ketika ditanyan mengapa hanya sedikit perempuan yang berorientasi pada birokrasi, Raihan Putry Ali Muhammad dengan santai menjawab, ”Saya berpikir posisi birokrasi sangat menantang dan ribet, tidak begitu nyaman untuk dinikmati. Tetapi saya bersedia di birokrasi lebih karena menghargai kepercayaan kepada pemerintahan Aceh. Saya mencoba menjalankan amanah ini. Mudah-mudahan Allah Swt. membantu, mengilhami dan memberi petunjuk kepada Saya dan semoga jabatan ini tidak akan memudharatkan Saya dan keluarga besar, Allah Maha Kuasa.” Tidak berhenti di situ, Raihan Putry Ali Muhammad, menyinggung juga tentang strategi penyusunan kebijakan pendidikan dan keterlibatan perempuan. Beliau lebih berpandangan kepada penyebabnya, yakni kurangnya respon positif terhadap kualitas dan eksistensi perempuan, serta kurangnya sosialisasi Inpres No. 9 tahun 2000 tentang gender mainstreaming. Bila dicermati dengan seksama dari informan yang ada, maka dalam pandangan para tokoh muslim perempuan yang ada di Aceh, sebagian besar berpendapat bahwa keterbatasan

Page 211: 22

197

perempuan berkiprah pada bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif memang sangat dirasakan dan diterima sebagai suatu kenyataan. Selain faktor internal, seperti rendahnya SDM, kurangnya rasa percaya diri (self confident) yang dimiliki oleh perempuan, faktor eksternal juga dinilai lebih dominan. Sebagian besar informan para tokoh perempuan menyatakan faktor eksternallah yang lebih dominan sebagai penyebab keterbatasan perempuan dalam urusan publik, meskipun ada sebagian kecil yang menyatakan faktor internal. Faktor eksternal yang dimaksud di antaranya, karena adanya pemahaman terhadap doktrin keagamaan yang mendiskreditkan perempuan. Hal ini kemudian berpengaruh kepada terciptanya sosial budaya untuk memrioritaskan laki-laki daripada perempuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan upaya pemberdayaannya dan dalam kesempatan mengaktualisasikan diri pada bidang-bidang publik. Di samping itu, menurut sebagian informan, kalaupun perempuan berkiprah di sektor publik, bidang yang paling sesuai dan paling banyak keikutsertaannya adalah bidang pendidikan, yakni sebagai pendidik, baik guru atau dosen. Hal ini dikarenakan karakternya yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, sebagai karakter yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Sedangkan pada bidang militer, para tokoh perempuan sendiri memandangnya sebagai bidang yang lebih tepat diberikan dan diikuti oleh laki-laki, karena bidang ini memerlukan kekuatan fisik yang dominan dan bidang garapannya juga dirasakan lebih berat. Kalaupun kesempatan pada bidang ini diberikan kepada perempuan, maka lebih ditujukan untuk mengisi tenaga administrarif, bukan harus terjun langsung ke lapangan. Paling jauh sebagai polisi yang bertugas menjaga ketertiban dalam masyarakat. Apalagi di Aceh sedang diberlakukan syariat Islam, maka kehadiran polisi perempuan dan polisi syariat dipandang perlu untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan keperempuanan.

Page 212: 22

198

3. Pandangan Tokoh Laki-Laki Adapun pandangan para tokoh muslim dari kalangan

kaum laki-laki dapat dicermati pada uraian berikut. Menurut Al Yasa Abubakar,273 Kepala Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, keterlibatan perempuan dalam urusan publik sebenarnya berkembang secara alamiah dan personal, tergantung pada perempuan itu sendiri. Tidak ada rekayasa dan tidak ada upaya untuk menghalanginya. Realitasnya, budaya Aceh agaknya menghendaki adanya pembagian kerja demi terciptanya kehidupan keluarga yang bahagia. Sepertinya kaum perempuan lebih cenderung memilih mengurusi rumah tangga dan keluarganya di rumah tanpa harus mengejar karir di luar, sementara kaum laki-laki berkiprah di dunia luar. Dalam konteks peran perempuan, dengan modernisasi yang didengung-dengungkan sekarang ini peran perempuan justru dinilai berjalan mundur daripada sebelumnya. Dahulu, di Aceh laki-laki terbiasa berbelanja ke pasar untuk keperluan harian rumah tangga dan terbiasa mengerjakan pekerjaan di dalam rumah tangga seperti mencuci, tetapi sekarang pekerjaan-pekerjaan seperti ini secara umum dikonotasikan menjadi pekerjaan perempuan. Modernisasi yang datang ke Aceh menjadikan perempuan berperan ganda dan justru berakibat emansipasi berjalan mundur. Dengan demikian, persoalan peran perempuan dalam urusan publik sebenarnya terletak pada perempuan itu sendiri. Dalam kaitannya dengan keterbatasan perempuan dalam urusan publik menurut Azman Ismail,274 Pembantu Rektor III IAIN Ar-Raniry Banda Aceh disebabkan karena perempuan kurang mendapat pendidikan. Hal ini dikarenakan pengaruh budaya lama, yaitu sosio kultur masyarakat yang tidak mementingkan pendidikan bagi kaum perempuan. Baru setelah

273 Wawancara dengan Al Yasa’ Abubakar tanggal 8 April 2004 di

Kantor Dinas Syariat Islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 274 Wawancara dengan Azman Ismail di Kantor Pembantu Rektor III

(Kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Adab) IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada tanggal 26 Mei 2004.

Page 213: 22

199

tahun tujuh puluhan, kesempatan memperoleh pendidikan bagi kaum perempuan sudah mulai terbuka. Sementara menurut Iskandar Usman,275 Pembantu Rektor II IAIN Ar-Raniry, keterbatasan perempuan dalam urusan publik disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu agama, budaya dan faktor intenal perempuan itu sendiri. Dari faktor agama, dikarenakan adanya pemahaman tekstual hadis yang mendiskreditkan kaum perempuan. Sementara meskipun faktor budaya turut berpengaruh terhadap keterbatasan perempuan dalam urusan publik, namun yang dominan sebenarnya pada faktor internal kaum perempuan itu sendiri, yaitu mereka belum sigap, tidak siap dan segan. Hal ini termasuk dalam penguasaan kemampuan ilmiah, managerial, lobi, menggalang kekuatan dan kemandirian, serta tidak mau bekerja keras pada kalangan perempuan. Padahal dari segi potensi intelektual, antara kaum perempuan dan laki-laki sebenarnya sama, hanya saka kaum perempuan tidak memaksimalkannya. Menurut Muharrir Asy’ary,276 Dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, keterbatasan perempuan dalam urusan publik lebih banyak disebabkan oleh budaya, seperti keharusan meminta izin pada suami ketika mau beraktivitas di luar rumah. Juga ada semacam kekhawatiran sebagian orangtua terhadap anak perempuannya yang tidak akan mendapat jodoh bila ia mengejar karir. Dalam budaya juga terdapat superioritas kaum laki-laki dalam keluarga, apalagi pada kasus keluarga yang kurang mampu. Di samping itu, sempitnya kesempatann bagi perempuan juga disebabkan oleh faktor agama, yaitu kesalahan dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan hadis yang mengelaborasi tentang kaum perempuan. Hal ini diperparah oleh faktor-faktor internal pada kaum perempuan itu

275 Wawancara dengan Iskandar Usman di Kantor Pembantu Rektor

II IAIN Ar-Raniry Banda Aceh pada tanggal 13 Mei 2004. 276 Wawancara dengan Muharrir Asy’ary tanggal 30 Mei 2004 di

IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Page 214: 22

200

sendiri, sehingga menyebabkan keterbatasan ruang lingkup dan kiprahnya. Tgk. Faisal Ali277 setuju jika perempuan berkiprah di peran publik, karena banyak hal yang berkaitan dengan perempuan. Kemajuan kaum perempuan tidak jauh berbeda dari dulu sampai sekarang, hanya konteksnya yang berbeda. Saat ini dalam peran publik memang masih sedikit keterlibatan perempuan, karena diakibatkan oleh keterbatasan SDM, yang disebabkan oleh:

- Tanggung jawab dengan keluarga, bisa mengurangi kegiatan, jadi di Aceh tidak ada diskriminasi. Kalau ada bias, hal itu karena tidak disengaja.

- Semangat/Motivasi kaum perempuan lemah, karena mungkin melihat perkembangan yang mendorong beraktivitas.

- Tidak mau susah/sukar, maunya yang mudah-mudah saja.

Zaman sesudah itu (konflik), perempuan berperan: - Menyelamatkan perempuan - Menghindari konflik

Bangkitnya Inong Balee dalam tubuh GAM adalah satu bentuk bahwa perempuan terusik, punya kepedulian.

M. Hasan Yakob,278 berpandangan bahwa walaupun sedikit posisi perempuan dalam struktur pengurus dan outsourcing MPD, namun mereka banyak memberikan input untuk kebijakan pendidikan. Seperti Asna dan Cut Trisnawati. Begitu juga anggota outsourcing lainnya. Mereka terlibat dalam setiap kondisi dan situasi. Namun, oleh karena kesibukan masing-masing, kadang-kadang tidak bisa hadir. Ketika ditanyakan mengapa perempuan sedikit terlibat dalam MPD, dia menyebutkan bahwa banyak kegiatan-kegiatan lain yang diikuti perempuan. Jadi bukan karena SDM-nya kurang. Justru karena SDM-nya lebih, mereka terlibat di berbagai kegiatan.

277 Wawancara dengan Tgk. Faisal Ali, tanggal 20 April 2008 278 Wawancara dengan M. Hasan Yakob, 30 April 2008.

Page 215: 22

201

Demikian juga menurut Luthfi Auni,279 Pembantu Rektor Rektor IV IAIN ar-Raniry Banda Aceh, keterbatasan perempuan dalam urusan publik disebabkan oleh faktor budaya yang berkembang dalam masyarakat. Terdapat semacam budaya yang tidak memberi peluang bagi kaum perempuan untuk tampil pada urusan publik dan terdapat sinyalemen naluriah bahwa kaum laki-laki tidak mau dipimpin oleh perempuan. Kesempatan memilih dan menekuni peran publik, sebenarnya terbuka luas untuk semua lapisan, tanpa memandang jenis kelamin, misalnya di sektor hukum sebagai pengacara atau hakim, sektor ekonomi, sektor pendidikan, anggota legislatif dan lain sebagainya. Bahkan pada bidang yudikatif, menurut Azman Ismail,280 Dekan Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, perempuan lebih cocok mengemban peran ini, karena karakteristik perempuan lebih memungkinkan untuk melakukan pendekatan yang lebih luwes dan fleksibel. Tawaran untuk menjadi anggota ulama pada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga ditanggapi dingin oleh kaum perempuan. Hal ini, menurut Azman Ismail, disebabkan kekurangberanian perempuan itu sendiri untuk tampil menjadi seorang ulama, padahal sebenarnya untuk masa sekarang sudah ada yang bisa ditampilkan. Sementara menurut Tgk. M. Daud Zamzami,281 wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hal itu disebabkan oleh perasaan kaum perempuan itu sendiri, karena menganggap dirinya kurang layak untuk memenuhi kriteria sebagai seorang ulama. Kalaupun ada perempuan yang memiliki berbagai kemampuan, mereka tidak bisa dikategorikan sebagai seorang ulama. Karena

279 Wawancara dengan Luthfi Auni tanggal 13 Mei 2004 di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

280 Wawancara dengan Azman Ismail pada tanggal 13 Mei 2004 di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

281 Wawancara dengan M Daud Zamzami tanggal 14 April 2004 di Kantor Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Page 216: 22

202

ulama yang dimaksudkan dalam Majelis Permusyawaratan Ulama Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah yang memiliki ilmu ke-Islaman yang luas, bisa memahami syariat dari sumbernya yang asli dalam bahasa Arab yang lazim disebut dengan kitab kuning. Padahal keulamaan dari kalangan perempuan sangat dibutuhkan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selama ini, kalaupun ada kaum perempuan yang berkiprah di bidang pendidikan, di kampus misalnya, mereka hanya membatasi pada bidang akademis saja tanpa terlibat langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam sektor ini nampaknya ketersediaan SDM perempuan juga tidak ada bedanya dengan kaum laki-laki. Tetapi lagi-lagi, secara internal, kaum perempuan sendiri membatasi diri pada bidang yang ia tekuni saja. Berkaitan dengan pendidikan ini, menurut Teungku Daud Zamzami, semua orang tua mengharapkan anak-anaknya baik laki-laki dan perempuan maju di bidang pendidikan. Dengan demikian baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Secara psikologis, sebenarnya kaum perempuan lebih suka dipimpin oleh laki-laki. Hal ini terkait sifat kejiwaan kaum perempuan yang emosional dan lemah lembuta. Oleh karenanya di sektor-sektor lain, agaknya kaum perempuan, kalaupun sebagai pegawai, maka ia hanya menempati pegawai kelas menengah ke bawah. Dengan demikian daya saing bagi kaum perempuan untuk menduduki kelas menengah ke atas di berbagai institusi dinilai sangat rendah. Hal ini dikarenakan faktor internal perempuan itu sendiri yang tidak berusaha mencapai kedudukan yang tinggi. Di alam sekarang suatu jabatan diberikan dan dipilih oleh anggotanya berdasarkan kemampuan orang per orang tanpa membedakan jenis kelamin.

Page 217: 22

203

Hamid Sarong,282 Dekan Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menilai bahwa quota 30% yang diberikan kepada perempuan untuk menduduki lembaga legislatif justru merupakan pelecehan terhadap kaum perempuan. Seharusnya bukan persentasenya yang dipermasalahkan, tetapi mengapa harus ditentukan sekian persen. Hal seperti ini tidak terjadi pada kaum laki-laki. Dalam pandangan Hamid Sarong, SDM laki-laki dan perempuan dipandang sama. Oleh karenanya perempuan sebenarnya memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memasuki berbagai institusi dan posisi. Mantan kombatan, Sofyan Daud, berpendapat bahwa perempuan bebas berjuang di ranah publik/politik menurut kemampuan masing-masing. Sebenarnya perempuan sama dengan laki-laki, tetapi ia tidak mampu ke depan dan tidak mungkin bisa menyamai laki-laki. SDM perempuan masih kurang. Tidak adanya kepemimpinan perempuan dalam membuat strategi, karena mereka ketakutan (faktor keamanan). Jadi, sekarang perempuan mundur. Dalam hal apapun, penyebab kemunduran perempuan justru berasal dari faktor-faktor internalnya sendiri, karena perempuan tidak agresif. Sepuluh persen perempuan tidak berpendidikan. Padahal pendidikan itu sangat penting bagi perempuan. Untuk kemajuan bangsa, perempuan harus punya pendidikan. Menurut Iskandar Ibrahim,283 Dosen Fakultas Syariah, peran perempuan dalam sektor publik dipandang sebagai sampingan bukan menjadi prioritas utama. Hal ini secara internal di antaranya disebabkan karena adanya perasaan pada perempuan bahwa ururan publik merupakan sektor laki-laki, sedangkan secara eksternal faktor penyebabnya adalah masih dominannya budaya patriarki.

282 Wawancara dengan Hamid Sarong tanggal 13 April 2004 di

Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 283 Wawancara dengan Iskandar Ibrahim, tanggal 16 April 2004 di

Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Page 218: 22

204

Apalagi hal ini diperparah dengan SDM perempuan yang belum bisa ditampilkan, sebagaimana dikatakan Iskandar Budiman.284 Menurut T. Safir Iskandar Wijaya285 Asisten Direktur Pascasarjana IAIN Ar-Raniry dan Mukhsin Nyak Umar286 Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, tidak tampilnya kaum perempuan dalam urusan publik disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya dikarenakan adanya penafsiran agama yang keliru, faktor adat istiadat yang telah menradisikan kaum perempuan tidak terlibat dalam urusan publik dan kesempatan yang masih terbatas yang diberikan kepada kaum perempuan untuk berperan dalam urusan publik. Padahal sebenarnya, kaum perempuan juga bisa tampil di berbagai bidang, baik eksekutif, legislatif apalagi yudikatif, karena diyakini bahwa kaum perempuan lebih tegas. Sementara untuk bidang militer, perempuan hanya cocok sebagai pengambil kebijakan.

Menurut Zulkifli Yusuf,287 keterbatasan keterwakilan perempuan dalam urusan publik disebabkan oleh beberapa faktor, pertama faktor agama, di mana di dalamnya telah ada semacam ketentuan yang menyatakan bahwa selama masih ada kaum laki-laki yang lebih tepat keterlibatannya dalam suatu hal, maka hal itu diutamakan bagi kaum laki-laki. Kedua, faktor pendidikan, di mana kaum perempuan belum mendapat pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Kalaupun ada baru sebatas wacana dan belum menyentuh realitas di lapangan. Ketiga, faktor adat dan budaya, di mana masih adanya anggapan bahwa kaum perempuan belum mampu tampil menduduki

284 Wawancara dengan Iskandar Budiman, tanggal 16 April 2004 di

Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 285 Wawancara dengan Safir Iskandar Wijaya tanggal 13 April 2004

di Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 286 Wawancara dengan Mukhsin Nyak Umar tanggal 16 April 2004

di Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 287Wawancara dengan Zulkifli Yusuf, Dosen Fakultas Ekonomi

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada tanggal 5 Juli 2004 di Banda Aceh.

Page 219: 22

205

jabatan-jabatan dalam urusan publik. Di samping itu, terdapat semacam kebiasaan birokratis untuk mengangkat pejabat di lingkungan yang sangat dipengaruhi oleh budaya yang sarat KKN, di mana kaum perempuan sangat kecil kesempatannya untuk ambil bagian.

Pada bidang legislatif, terdapat pandangan masyarakat, terutama dari kaum perempuan sendiri bahwa mereka tidak cocok untuk terlibat dalam bidang tersebut. Karena bidang ini sangat terkait dengan pemahaman mereka dalam memaknai tujuan politik. Sementara pada bidang yudikatif, kaum perempuan sebenarnya memiliki kesempatan yang sama, hanya kaum perempuan sendiri yang tidak mau mengambil kesempatan itu. Pada bidang militer, bagi masyarakat Aceh masih terdapat semacam hambatan budaya; untuk menjadi polisi saja masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu.

Menurut Syamsuddin Ya’kub,288 keterbatasan keterwakilan perempuan dalam urusan publik disebabkan beberapa faktor juga. Di antaranya disebabkan faktor tradisi, budaya dan adat, seperti kesempatan belajar pada kaum perempuan yang masih terbatas. Sementara untuk menduduki jabatan-jabatan dalam bidang legislatif, yudikatif dan eksekutif, menurut Syamsuddin, SDM kaum perempuan dinilai belum mampu dan siap untuk mendudukinya. Pada bidang yudikatif, kaum perempuan Aceh tidak cocok menjadi hakim, karena kaum perempuan dinilai memiliki perasaan yang lembut, sehingga tidak bisa cocok untuk jabatan hakim yang memerlukan ketegasan. Pada bidang militer, secara normal kaum perempuan tidak mau terlibat dalam militer, padahal dahulu di Aceh terdapat kaum perempuan yang terjun langsung dalam bidang ini, seperti Laksamana Malayati, Cut Nyak Din, Cut Mutia.

288 Wawancara dengan Syamsuddin Ya’kub, Dosen Fakultas

Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh di Banda Aceh pada tanggal 5 Juli 2004.

Page 220: 22

206

Bila semua faktor di atas dinilai sebagai faktor eksternal yang menyebabkan keterbatasan keterwakilan perempuan dalam urusan publik, maka terdapat faktor internal yang sebenarnya lebih dominan.

Menurut Syahrizal,289 keterbatasan perempuan dari urusan publik dikarenakan oleh tiga faktor utama, yaitu faktor struktural, kultural dan faktor x. Faktor struktural politik hukum di Aceh dinilai memang sangat memarjinalkan kaum perempuan dalam urusan publik. Sedangkan dari faktor kultural, adanya budaya yang dibangun sangat erat dengan kualitas perempuan itu sendiri. Sedangkan dari segi faktor agama terdapat adanya pendapat yang menyatakan bahwa kaum perempuan kurang akal, di samping terdapat penafsiran terhadap nash yang membatasi kaum perempuan dalam urusan publik. Adapun faktor x adalah faktor yang sulit diidentifikasi, seperti SDM atau lainnya. Untuk kasus di Aceh sebenarnya faktor budaya yang lebih dominan.

R.A. Syauqas Rahmatillah,290 Pembantu Rektor III berpendapat bahwa keterbatasan keterwakilan perempuan dalam sektor publik disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Pada bidang eksekutif lebih disebabkan oleh faktor internal, di mana kaum perempuan belum siap untuk menggeluti bidang ini, seperti dari segi SDM, ilmu, pengalaman dan kealimannya yang masih rendah. Hal ini diperparah oleh keadaan di mana kita tidak pernah memberdayakan kaum perempuan itu sendiri dan bahkan tidak ada usaha ke arah itu. Bila ada pandangan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, ini merupakan pandangan yang sempit dalam Islam, seperti halnya penafsiran bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, yang sering disalahpahami.

289 Wawancara dengan Syahrizal pada tanggal 28 Juli 2004 di

Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. 290 Wawancara dengan RA. Syauqas Rahmatillah, IAIN Ar-Raniry

Banda Aceh pada tanggal 3 Agustus 2004.

Page 221: 22

207

Sementara kaum perempuan sendiri terkadang mempunyai sikap yang berlebihan, seperti permintaannya menjadi imam dalam shalat yang sering ditanyakan dalam berbagai forum. Hal ini dinilai sebagai sebuah keganjilan, sehingga kepercayaan terhadap perempuan juga berkurang.

Pada bidang yudikatif, Syauqas Rahmatillah melihat bahwa sektor ini menuntut adanya kompetensi, dan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Adapun pada bidang legislatif lebih disebabkan oleh faktor internal kaum perempuan, di antaranya SDM-nya rendah, tidak mau bekerja keras, kurangan bergaul, dan kaum perempuan sendiri juga tidak mau tampil mengambil peran publik, kecuali ditampilkan oleh orang lain.

Daniel Djuned,291 Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, berpendapat bahwa keterbatasan perempuan dalam urusan publik disebabkan oleh multi faktor. Di antaranya faktor pendidikan, sosial budaya, perubahan perilaku global individualistik materialistik, SDM perempuan yang relatif masih rendah, kondisi psikologis akibat terjadi kontradiksi terhadap peran dan posisi perempuan. Namun demikian dari semua faktor ini, sebenarnya yang lebih dominan adalah faktor SDM yang lebih disebabkan oleh faktor genetik. Oleh karenanya di berbagai bidang, seperti yudikatif, eksekutif, legislatif, bidang militer keterwakilan perempuan amat terbatas.

Farid Wajdi Ibrahim,292 Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh berpendapat bahwa keterbatasan perempuan pada sektor publik disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Di antara faktor internal, dikatakan oleh Farid, adalah SDM kaum perempuan di Indonesia masih relatif rendah, apalagi di Nanggroe Aceh Darussalam. Faktor eksternal di

291 Wawancara dengan Daniel Djuned di Kantor Ushuluddin IAIN

Ar-Raniry Banda Aceh pada tanggal 5 Agustus 2004. 292 Wawancara dengan Farid Wajdi di Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-

Raniry pada tanggal 7 Agustus 2004.

Page 222: 22

208

antaranya adalah faktor budaya yang diakibatkan oleh faktor pemahamanan terhadap agama yang dianut.

Sedangkan dalam bidang legislatif, yudikatif dan eksekutif, kaum perempuan dinilai tidak mau mengadakan berbagai pendekatan dan tidak mau bekerja keras, sehingga keterwakilan di dalamnya terbatas. Sedangkan pada bidang militer, secara psikologis memang perempuan menganggap bidang ini tidak sesuai dengan kondisi yang ada pada diri perempuan itu sendiri.

Menurut Yusny Saby,293 keterbatasan perempuan dalam sektor publik seperti pada bidang legislatif, yudikatif dan eksekutif disebabkan oleh beberapa faktor: budaya (cultural problem). Budaya yang berkembang cenderung kurang memberi peluang terhadap perempuan untuk maju, dan perempuan dianggap lebih diprioritaskan dalam urusan rumah tangga. Ada juga faktor struktur politik (structure politic), di mana terjadi persaingan yang diciptakan oleh struktur kepentingan. Sekain itu, gerak perempuan dibatasi juga oleh faktor agama, di mana terdapat pemahaman terhadap nash-nash keagamaan yang mendiskreditkan perempuan, seperti kesalahan interpretasi terhadap nash yang menyatakan bahwa “laki-laki adalah pemimpin perempuan”. Semua faktor ini memiliki hubungan sinergis yang saling terkait satu sama lain.

M. Nasir Budiman,294 Asisten Direktur PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, menyatakan bahwa keterbatasan keterwakilan perempuan dalam urusan publik disebabkan oleh faktor budaya, di mana terdapat persepsi masyarakat yang mengganggap bahwa perempuan memiliki berbagai keterbatasan. Di antaranya kekhawatiran terlambat berumah tangga bila tetap menuntut ilmu dan mengejar karir. Pada bidang legislatif, Nasir menilai bahwa kaum perempuan belum

293 Wawancara dengan Yusny Saby di Kantor PPS IAIN Ar-Raniry

Banda Aceh pada tanggal 11 Agustus 2004. 294 Wawancara dengan M. Nasir Budiman di PPS IAIN Ar-Raniry

banda Aceh pada tanggal 11 Agustus 2004.

Page 223: 22

209

kompeten. Kalaupun ada yang tampil hal itu bukan berdasarkan kompentensi, akan tetapi semata-mata karena itu diberikan oleh pihak laki-laki. Sementara bidang militer agaknya cenderung lebih diprioritaskan kepada laki-laki, karena menuntut kerja keras dan ekstra berat, kecuali pada bidang kepolisian.

Jamaluddin Idris,295 Pembantu Dekan I Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh berpendapat bahwa keterbatasan perempuan dalam sektor publik bukan disebabkan oleh karena faktor diskriminatif, akan tetapi lebih disebabkan oleh faktor budaya dan agama. Dalam konteks faktor agama, masih didapati pemahaman yang bias jender terdapat nash-nash agama, seperti tentang “laki-laki pemimpin perempuan”. Sebenarnya SDM perempuan sudah memadai, akan tetapi terdapat semacam keengganan kaum perempuan itu sendiri untuk mengejar karir. Sementara pada bidang legislatif, masih ada anggapan masyarakat yang belum bisa menerima kaum perempuan berkiprah pada bidang ini, di samping kapabilitas perempuan itu sendiri yang kurang memadai. Hal-hal demikian juga terjadi pada bidang yudikatif, meskipun pada bidang-bidang ini tidak menyaratkan jender tertentu.

Misri A. Mukhsin,296 Pembantu Dekan I Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, berpendapat bahwa keterbatasan perempuan dalam sektor publik lebih disebabkan oleh faktor internal kaum perempuan itu sendiri yang tidak mau mengoptimalkan potensinya. Hal ini disebabkan oleh kultur yang sudah terbentuk dalam masyarakat. Di samping itu terdapat pemahaman keagamaan di mana laki-laki adalah imam, sementara perempuan, untuk keluar rumah saja harus ada muhrim yang menyertainya.

Pada bidang legislatif, Misri menilai bahwa kaum perempuan kalah dalam promosi, padahal perempuan sejatinya

295 Wawancara dengan Jamaluddin di Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-

Raniry pada tanggal 16 Agustus 2004. 296 Wawancara dengan Misri A. Mukhsin di Fakultas Adab IAIN

Ar-Raniry pada tanggal 19 Agustus 2004.

Page 224: 22

210

lebih hemat dan tidak mau mengambil risiko. Pada bidang yudikatif yang menuntut SDM dan kapabilitas, karena keterbatasan dari kaum perempuan sendiri, maka untuk sementara bidang ini ditempati oleh laki-laki, dan jarang perempuan yang bergelut di bidang ini.

Amirul Hadi,297 berpendapat bahwa keterbatasan ruang bagi perempuan dalam urusan publik disebabkan oleh faktor nature kaum perempuan itu sendiri. Pada bidang legislatif, suatu sektor yang menyaratkan seorang calon legislatif dikenal oleh umum, pada umumnya perempuan tidak memenuhi syarat ini. Di samping itu, SDM perempuan itu sendiri kurang, kepercayaan terhadap diri sendiri kecil, kurang produktif, kurang progresif, dan lain sebagainya. Dengan demikian, sejatinya faktor internal yang lebih dominan pengaruhnya terhadap keterbatasan perempuan dalam sektor publik.

Muhammad Nazar,298 yang pada saat ini menjadi bagian dari unsur Pemda, mengatakan bahwa kemajuan perempuan Aceh di masa dulu, yang sering dikenal adalah dalam wilayah politik, negarawan, dan militer. Namun dalam pendidikan jarang dikenal, lebih-lebih pada abad ke 18, padahal ada tokoh sufi perempuan, seperti Tgk. Rubiah di Ulim, Tgk. Maryam ulama besar pada saat ini. Menyangkut kemajuan kaum perempuan, Muhammad Nazar menyatakan bahwa pada saat sebelum perang Belanda kaum perempuan lebih maju. Ketika ditanyakan mengapa perempuan sesudah masa penjajahan lebih mundur, Ia mengatakan banyak faktor yang menyebabkan, antara lain: persepsi masyarakat ketika konflik dengan Belanda. Dalam masa tersebut banyak kejadian yang berimbas kepada kaum perempuan. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya imej tidak bagus kepada Belanda, dan dari situ perempuan sudah enggan untuk tampil, kecuali ada beberapa perempuan tangguh seperti

297Wawancara dengan Amirul Hadi di Fakultas Tarbiyah pada

tanggal 21 Agustus 2004. 298Wawancara dengan M Nazar Wakil Gubernur Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam di Banda Aceh pada tanggal 26 April 2008.

Page 225: 22

211

Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia. Dalam pergerakan Aceh Merdeka perempuan direkrut sebagai militer, namun tidak dipubli-kasikan, karena takut diketahui identitasnya di ruang konflik. Ketika ditanyakan kenapa perempuan Aceh bisa melemah perannya dalam sektor publik/politik, jawabannya adalah disebabkan oleh faktor internal perempuan, sehingga dalam pencalonan kepala-kepala dinas beberapa waktu yang lalu, contohnya, hampir tidak ada kaum prempuan yang mendaftar untuk ikut tes uji kelayakan. Faktor SDM perempuan yang masih lemah dipengurahi oleh situasi. Pada intinya tidak ada diskriminasi terhadap perempuan. Dalam kebijakan publik kurangnya peran perempuan karena mereka merasa masa bodoh terhadap peran publik. Sedangkan dalam dinamika politik di Aceh, lemahnya posisi perempuan dikarenakan faktor sedikitnya peluang. Mengenai penyebab tingginya daya juang kaum perempuan Aceh dulu, jawabannya sangat mengusik pribadi kita, karena sangat dipengaruhi oleh latar belakang bangsa Aceh yang besar, pengaruh genetik, mungkin kalau ditelusuri bangsa Aceh berasal dari Timur Tengah, khususnya Turki yang kita ketahui semangat juangnya begitu keras sehingga pada zaman lampau Turki dikenal sebagai negara yang selalu jadi pemenang dalam tiap peperangan.

Dari berbagai pendapat dan pandangan para tokoh dari kalangan laki-laki di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan peluang yang sama dalam meniti karir dan beraktivitas di berbagai aspek kehidupan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Namun fenomena dan kenyataan yang ada menunjukkan bahwa sedikit sekali perempuan yang berkecimpung dalam dunia publik, dan politik khususnya. Bila kita cermati dengan seksama, dari semua informan yang diambil, maka dalam pandangan para tokoh laki-laki yang ada di Aceh, sebagian besar berpendapat bahwa keterbatasan kiprah perempuan pada bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif memang realitas yang harus diakui. Menurut para tokoh laki-laki ini, selain faktor eksternal, keterbatasan

Page 226: 22

212

perempuan dalam dunia publik lebih dominan disebabkan oleh faktor internal, seperti rendahnya kualiatas SDM perempuan, kecerdasan emosional yang lemah, rasa percaya diri (self confident) yang rendah, serta daya juang dan daya saing yang rendah dan cenderung pasrah pada nasib/kondisi.

Dengan demikian, baik para tokoh perempuan maupun laki-laki sama-sama mengakui adanya keterbatas-an keterwakilan perempuan dalam dunia publik. Hal yang membedakannya adalah faktor yang menjadi penyebabnya; para tokoh perempuan menilai bahwa hal itu lebih disebabkan oleh faktor internal, tapi faktor ini juga mempengaruhi faktor eksternal sedangkan para tokoh laki-laki melihat faktor eksternal yang justru lebih dominan.

Kesamaan lain, yaitu pandangannya tentang dunia pendidikan dan bidang kemiliteran. Para tokoh menyatakan bahwa kalaupun perempuan berkiprah di sektor publik, bidang yang paling sesuai dan paling banyak diminatinya adalah bidang pendidikan. Hal ini sesuai dengan karakternya yang lemah lembut, penuh kasih sayang, emosional dan sabar; sifat-sifat yang sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Sedangkan pada bidang militer terutama bidang ketentaraan, para tokoh memandangnya sebagai bidang yang lebih tepat dibebankan kepada laki-laki, karena bidang ini memerlukan kekuatan fisik yang dominan dan bidang garapannya juga dirasakan lebih berat. Kalaupun diberikan kepada perempuan, maka mereka lebih ditujukan untuk mengisi tenaga administrtif, bukan yang harus terjun langsung ke lapangan. Dalam bidang ini jabatan paling tinggi yang layak adalah sebagai polisi yang bertugas menjaga ketertiban dalam masyarakat. Apalagi di Aceh sedang diberlakukan syariat Islam, maka kehadiran polisi perempuan dan polisi syariat dipandang perlu untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan keperempuanan.

Di sisi lain, keberadaan kondisi sosial keagamaan, sosial budaya, adat istiadat dan tradisi yang bias gender dan menyatu dalam struktur kemasyarakatan, sedikit banyaknya telah

Page 227: 22

213

memberi andil bagi terbentuk dan terbangunnya konstruksi berpikir masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan munculnya pemikiran yang tidak seimbang terhadap pola relasi antara perempuan dengan laki-laki. Laki-laki dipandang superior -memiliki kelebihan dan berkuasa terhadap perempuan, sementara perempuan dipandang inferior, memiliki kekurangan dan tunduk di bawah kekuasaan dan kepemimpinan laki-laki. Kedua hal ini merupakan alasan yang jelas tentang keterbatasan gerak dan peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, baik pendidikan, hukum, sosial ekonomi, kesehatan maupun politik.

Bila ditinjau dari pendapat yang ada, baik tokoh laki-laki dan perempuan, pada kenyataannya faktor internallah yang lebih mempengaruhi minimnya peran perempuan dalam sektor publik di Aceh, hal in dikarenakan oleh berbagai alasan, seperti kualitas SDM perempuan yang masih rendah, rasa percaya diri (self confident) yang belum begitu tinggi, daya juang dan daya saing yang kurang memadai dan merasa tidak perlu. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh faktor sosio kultural, di mana kaum perempuan diposisikan untuk kurang mementingkan aktivitas-aktivitas yang banyak menghabiskan waktu dan tenaga dalam urusan-urusan publik, dan lebih nyaman berada di sektor domestik.

Page 228: 22

214

Page 229: 22

215

DAFTAR KEPUSTAKAAN Abdul Djalil, Matori, Tuntutan Reformasi dan Penyelenggaraan

Pemilu ’99 dalam Masa Transisi, dalam Ardiantoro (Penyunting), Transisi Demokrasi: Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pemilu 1999, (Jakarta: Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), 1999)

Alfian, Ibrahim, Perang di Jalan Allah (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987).

Alamsyah, T, (Ed.), Pedoman Umum Aceh, Edisi I, Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), (Banda Aceh: Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990).

Amin, S.M., Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerangon, 1956).

Amin, Qasim, Tahrir al-Mar'ah, (Kairo:Dâr al-Ma'arif, 1970). Amiruddin, M. Hasbi, Latar Belakang Aceh Sebagai Serambi

Mekkah, (Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Propinsi NAD, 2005).

Arfa, Faisar Ananda, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004).

Arnold, Thomas, The Spread of Islam in The World: A. History of Peaceful Preaching, (India: Goodword Books, 2001).

al-Asqalani, Ibn Hajar, Fath al Bâri, I, (Beirut: Dâr al-Fikr) , tt. al-Nawawi, Abd al Ra’uf, Faidh al-Qadir: Syarh al-Jami’ al-

Shaghir, Juz II, (Dâr al-Hadis), t.t., Nomor 2560. al-Qurtubi, Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Ansari,

Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Jilid III Juz V, (Beirut, Lebanon: Dâr al-Kutub al-’Ilmiah, t.t).

al-Razi, Imam Muhammad Fakhruddin bin Alamah Diyauddin Umar, Tafsir Fakhr al- Razi , Juz 10, (Beirut, Lebanon: Dâr al-Fikry, t.t).

al-Sa’dawi, Nawal, Perempuan, Agama dan Moralitas Antara Nalar Feminis dan Islam Revivalis, Penerjemah Ibnu Rusydi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002)

Page 230: 22

216

al-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Tafsir Fath al-Qadr Baina Tanwîr Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilmi Tafsîr, Juz I, (Beirut, Lebanon : Dâr al-Fikry, t.t).

al-Zuhaili, Wahbah dalam Tafsir al-Munir, Juz V, (Beirut Lebonon: Dâr al-Fikry, t.t).

-----------, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, (Terjemahan), (Yogyakarta: Dinamika, 1996).

Arifin, HM., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).

Aunie, Luthfi, The Decline of The Islamic Empire of Aceh (1641-1699), Thesis, 1993.

Azra, Azyumardi, “Ulama, Politik dan Modernisasi”, dalam ‘Ulumul Qur’an, Vol. II, 1990.

-----------, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Cet. I, PT (Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1998.

-------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Cet. IV (Bandung: Mizan 1998).

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Metode Penelitian Sosial (Terapan dan Kebijaksanaan tahun 2000).

Badan Pusat Statistik Propinsi NAD, Ulasan Singkat Perempuan Aceh Dalam Lintasan Sejarah dan Masa Kini, (Banda Aceh, 1999).

Baqdadi, al-Farq Bayn al-Firaq, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif), tt. Bhasin, Kamla, Menggugat Patriarki: Pengantar Tentang

Persoalan Dominasi Kaum Perempuan, (Terj.), (Yogyakarta: Kalyanamitra, Bentang, 1996).

Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Gambaran Keadaan Perempuan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh, 2001).

Bungin, Burhan (Ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007).

Page 231: 22

217

Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, (Jakarta: Madani Press, 1999).

Chumaidi Umar, A. (Penerjemah), Kiprah Muslimah Dalam Keluarga Islam, (Bandung: Mizan, 1992).

Cleves Mosse, Julia, Gender dan Pembangunan, (Yogya-karta: Pustaka Pelajar, 2003).

Depdiknas, Panduan Umum Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, 2002).

Djamil, Yunus, Silsilah Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh (Banda Aceh, diterbitkan dengan usaha Adjudan Djendral Kodam I Iskandar Muda, 1968).

Drewes, G. W. J, Hikayat Pocut Muhammad, (The Hague, Martinus Nijhoff, 1979).

Dzuhayatin, Siti Ruhaini, dkk.,Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, (Yogya-karta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002).

Emmerson, Donald K., Krismon dan Lengser: Kemelut Tahun 1997-1998, dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat transisi, (editor Donald K. Emmerson), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001).

Fakih, Mansour, “Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam: Tinjauan Dari Analisis Gender”, dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti , 2000).

Faruqi, Al, Lamya’, ‘Ailah, Masa Depan Kaum Wanita: Model Masyarakat Ideal Tawaran Islam Studi Kasus Amerika dan Masyarakat Moderen, (Surabaya: Al-Fikr, 1997).

Gunawan, Ary H., Kebijakan-kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1986).

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995).

Hasjmy, Ali, 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977).

Page 232: 22

218

-------------, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).

-------------, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, (Jakarta: Penerbit Beuna), 1983).

-------------, Wanita Aceh Sebagai Negarawan dan Panglima Perang, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995).

-------------, Keistimewaan Aceh dalam Bidang Pendidikan, (Banda Aceh: Pantia Seminar Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1999)

Hasyim, Syafiq, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001).

Hidayat, Konsepsi Ketuhanan Iqbal (Thesis), IAIN Ar-Raniry Darussalam: PPS, Banda Aceh, 1992/1412.

Hazard, Harry W., Atlas of Islamic History, (Princeton University press, 1952).

Holt, PM., (ed) Cambridge History of Islam, Vol.IIB, (New York: Cambridge University Press, 1977).

Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age 1789-1939, (London: Oxford University Press, 1966).

----------, A History of the Arab Peoples, (New York: Warner Books,1991).

Hurgronje, Snouck, Aceh (Di Mata Kolonialis), Jilid II, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985)

Husein, Muhammad, Islam; Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta, LkiS, 2004).

Husein, Mustabsyirah, Hak Publik Perempuan Dalam Fikih Siyasah, Tesis,, (Banda Aceh: Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, 2003).

Ibnu Katsîr, Imâm al-Hafîz Imaduddîn Abul Fida’ Ismâil al-Quraisyi al-Dimasqy, Tafsîr al-Qur’an al-‘Azîm, Juz 1, ,(Madinah: Maktabah al-‘Ulŭm wa al-Hikam), t.t.

Imam Fakhr al-din Muhammad bin Umar bin Husein bin Hasan Ibn Ali al-Tamimy al-Bakri al-Razi al-Syafi‘i, At-Tafsiru al-Kabir, Juz 10, (Beirut, Lebanon: Dâr al- Kutub al-Ilmiah), t.t.

Page 233: 22

219

Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan; Bias laki-laki dalam Penafsiran, (Yogyakarta, LkiS, 2003).

Ismuha (Ismail Muhammad), “Adat dan Agama di Aceh” dalam Berita Antropologi, Terbitan Khusus dalam Seminar di Bukit Tinggi, (Jakarta: Yayasan Perpustakaan Nasional Jakarta dan Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI, Pertamina, 1971).

Isnaeniah Erni, Wanita Islam dan Politik: Tinjauan Terhadap Peran Politik Wanita Islam Indonesia 1992-1997, (Bandung: Tesis IAIN Gunung Jati, 1998).

Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta:, Lembaga Kajian Agama dan Jender dan Perserikatan Solidaritas Perempuan, 1999).

Kamariah dkk., Wanita Indonesia dalam Rangkuman Informasi, (Jakarta: Suplement 1, PPII-LIPI, 1989).

Kaoy Syah dan Lukman Hakiem, Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan Sejarah Proses Pembentukan UU No. 44/1999, (Jakarta: Pengurus Besar Al-Jami’iyatul Washliyah, 2000).

Khafifah Indar Parawansa, Radio dan Politik Perempuan, (Jakarta: Yayasan Hapsari Perbaungan, 2000).

Kutha Ratna Nyoman, Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Post Strukturalisme, Pespektive Wacana Narative,Cetakan I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Lailisma Sofyati adalah Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan wawancara dilakukan pada tanggal 10 September 2001.

Lies Marcoes Natsir dan Nurcholis Madjid, Penafsiran Ajaran Islam dalam Mengkonstruksi Ideologi Gender, Seri KKA ke 114, 1966.

Loeb, Edwin M., Sumatra: Its History and People, (New York: Oxford University Press, 1972).

Lombard, Denys, Kerajaan Aceh di Zaman Iskandar Muda, terj. Winarsih Arifin, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986).

Page 234: 22

220

Lubis, Arbiyah, Perempuan dalam Pandangan Jamaah Tabligh (Studi Tentang Peran dan Kedudukan Perempuan), (Banda Aceh: Penelitian Proyek IAIN, 2001).

-----------, Wanita Aceh Dalam Lintasan Sejarah (Kajian Tentang Keserasian Gender Pada Masa Kesultanan Aceh), (Banda Aceh: Penelitian Proyek IAIN, 1997).

Mahdi, Nursalmi, Persepsi Dosen dan Karyawan Terhadap Eksekutif Wanita IAIN Ar-Raniry, (Banda Aceh: Pusat penelitian IAIN Ar-Raniry, 1999).

----------, Sikap Dosen dan Karyawan terhadap Perempuan (Studi tentang Kedudukan Perempuan pada Posisi Kepemimpinan di IAIN Ar-Raniry,) (Banda Aceh: Pusat penelitian IAIN Ar-Raniry , 2000).

Makdisi, George, The Rise of College: Institutions of Learning in Islam and The West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981).

Mawardi, al-Ahkâm al-Sultâniyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr), tt. Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru

tentang Relasi Jender, (Bandung: Mizan, 1999). Mernissi, Fatimah (Terjemahan), Menengok Kontroversi Peran

Wanita dalam Politik, (Surabaya: Dunia Ilmu Offset, 1977).

----------, A History of the Arab Peoples, (New York: Warner Books, 1991).

----------, Ratu-Ratu Islam Yang Terlupakan, (Terjemahan Rahmani Astuti dan Enna Hadi) (Bandung: Mizan, 1994)

----------, Wanita di Dalam Islam (TerjemahanYaziar Radianti), (Bandung: Pustaka, 1994.)

Moleong. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi revisi Cetakan XXIII (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2007).

Mosse, Julia Cleves, Gender dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Munti, Ratna Batara, Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999).

Page 235: 22

221

Musdah, Siti Mulia (Editor), Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), (Jakarta: Tim Pember-dayaan Perempuan Bidang Agama, Departemen Agama RI, 2001).

Muslim, Shahîh Muslim Bi Syarh an-Nawawy, Juz XVI, (Beirut, Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah), t.t.

Nur, Chairan M., Eksistensi dan Posisi Perempuan dalam Pandangan Intelektual Muslim Aceh, (Banda Aceh, Pusat Penelitian IAIN Ar-Raniry, 2004).

O’Dea, Thomas, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Terjemahan dari Sociology of Religion oleh Tim Penerjemah Yasogama), Cet. Ke IV, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994).

Panitia Penyelenggarakan Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional ke 12 Tahun 1981, Makalah, (Banda Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1981).

Pemerintah Kota Banda Aceh, Profil Kota Banda Aceh dan Potensi Pariwisata, (Banda Aceh, 1999).

Pemerintah Propinsi NAD, Buku Resume Renstra Pendidikan, (Banda Aceh, 2007).

Pidarta, Made, Landasan Kependidikan; Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia, cet. ke II (Jakarta; Rineka Cipta, 2007).

Polim, Bachtiar E., Panglima, “Perubahan Sosial Dan Pergeseran Norma-Norma Di Aceh Besar” dalam Berita Antropologi, Terbitan Khusus Dalam Seminar di Bukit Tinggi, (Jakarta: Yayasan Perpustakaan Nasional Jakarta dan Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI, Pertamina, 1971).

Polo, Marco, The Travels of Marco Polo, terj. Ronald Latham, (London: Penguin Group, 1958).

Putri, Raihan dkk, Persepsi Masyarakat Daerah Istimewa Aceh Terhadap Kemitrasejajaran Antara Pria dan Wanita, (Banda Aceh: Penelitian Diks, IAIN Ar-Raniry, 1998/1999).

Page 236: 22

222

Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an, Tafsir Berdasar-kan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996).

----------, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa; Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1999).

Ramadhan dan Hamid Jabbar, Sjamaum Gaharu, Cuplikan Perjuangan di Daerah Modal, (Jakarta: Pustaka Harapan, 1995)

Ramadhan, M. Said, Perempuan Antara Kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam, (Solo: Era Intermedia, 2002).

Ratna, Kutha, Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Post Strukturalisme, Pespektive Wacana Narative, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Reid, Anthony, The Blood of The People, (Oxford University Press, 1946).

Remantan Daud, M, Disertasi Pembaharuan Pendidikan Islam di Aceh 1914 – 1953 (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah)

Saefuddin, A.M., “Kiprah dan Perjuangan Perempuan Salihat” dalam dalam Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000).

Sa‘id Al-Afghani, Pemimpin Wanita di kancah Politik: Studi Sejarah Pemerintahan Aisyah, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

Said, H.M., Aceh Sepanjang Abad, (Medan: P. T. Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981)

Said, Mohammad, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: Penerbit Waspada, 1981).

Samsul Bahri, Penceritaan Tokoh Perempuan Dalam Al-Qur’an, dalam Akar Konflik Manusia, (Banda Aceh: Ar-Raniry Pres, 2003).

Seksi Analisis dan Pengembangan Statistik, Ulasan Singkat Perempuan Aceh dalam Lintasan Sejarah dan Masa Kini, Katalog BPS: no. 4112.11, (Banda Aceh: Propinsi Daerah Istimewa Aceh: BPS, 1999).

Page 237: 22

223

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1986).

Siegel, James T. The Rope of God, (Barkeley, Los Angeles: University of California, 1969).

Sirazi, Imam Nashiruddin Abu Said Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi, Tafsîr Anwar al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, Juz II, (Beirut: Dâr al-Shâdir, t.t).

Soelaiman, Darwis. A., dkk., MPD, Majelis Pendidikan Daerah Lima Belas Tahun (1990-2005), (Banda Aceh: Majelis Pendidikan Daerah Propinsi NAD, 2005).

Steenbrink, Karel A, Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern Cetakan III (Jakarta:LP3ES,1964)

Strauss, Anselm, dan, Corbin, Juliet, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Sulaiman, Nasruddin, Rusdi Sufi, Tuanku Abdul Jalil, (1992), Aceh; Manusia, Masyarakat, Adat dan Budaya, Banda Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA).

Sugandhi, Mien, “Pokok-Pokok Peranan Wanita Indonesia, dalam Membincang Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).

Suny, Ismail, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Penerbit Bhrata Karya Aksara, 1980).

Suwito, Fauzan (editor), Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara Studi Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 Masehi (Bandung: Angkasa 2004).

Syamsu, Muhammad, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Cet. Ke-2, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999).

Syamsuddin, Nazaruddin, Pemberontakan Kaum Republik: Kasus Darul Islam Aceh, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti, 1990),

Syauqani, Nayl al-Awtâr, (Beirut: al-Bab al-Halabŷ, t.t). Talsya, T. Alibasyah, Cut Nyak Meutia, (Jakarta: Mutiara,

1982).

Page 238: 22

224

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988).

Tim Penyusun, Indikator Sosial Wanita Indonesia, (Jakarta, BPS, 1999)

Tim Penyusun, Indikator Sosial Wanita Indonesia, (Jakarta, BPS, 1999).

Tim Penyusun, Penduduk Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Badan Pusat Statistik [BPS], 2005).

Tursany, Syekh Jalaluddin bin Syekh Kamaluddin, Safinah al-Hukkâm fî Takhlish al-Khishâm, (manuskrip, 1153 H.)

‘Ulwan Abdullah, Tarbiyah al-Aulâd fi al-Islâm, jilid I cetakan II (Beirut: Dâr al-Salâm, 1978 M – 1398 H).

Umar, A. Chumaidi (penterjemah), Kiprah Muslimah Dalam Keluarga Islam, (Bandung: Mizan, 1992).

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Cet. II, (Jakarta: Paramadina, 2001).

Wajidi, Farid, “Perempuan dan Agama: Sumbangan Riffaat Hassan”, dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993).

Wasistiono, Sadu, M.S. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, (Bandung: CV. Fokusmedia, 2003).

Wildaniar, Siti, Kepentingan Perempuan Dalam Rancangan Qanun Syari’at Islam, (Banda Aceh: Diktat disampaikan dalam Seminar Sehari Fakultas Hukum Unsyiah, 2000).

Yahya, Agusni, dkk., Doktrin Islam dan Studi Kawasan: Potret Keberagaman Masyarakat Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2005).

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Cetakan IV (Jakarta:Sumber Widya,1995)

Yusuf, Muhammad bin al-Syahid bin Abî Hayyan al-Andalusî, Tafsîr al-Bahr al-Muhît, Juz III, (Beirut, Libanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t).

Zentgraaff, H.C., Aceh, terj. Aboe Bakar (Jakarta: Beuna, 1983).

Page 239: 22

225

BIODATA PENULIS

Chairan M. Nur, lahir di Aceh Besar tanggal 22 Pebruari 1956, menyelesaikan kuliah S1 di Fakultas Tarbiyah dan selanjutnya ditetapkan sebagai dosen tetap di Fakultas yang sama. Di samping sebagai dosen tetap Fakultas Tarbiyah Chairan M. Nur juga pernah menjabat sebagai Asisten Direktur STAI Nusantara Banda Aceh dan juga sebagai Dosen Luar Biasa Universitas Muhammadiyah Aceh. Di samping aktif di dunia akademis, Chairan juga aktif berbagai organisasi, pengalaman organisasinya adalah menjadi: • Pengurus Pelajar Islam Indonesia • Pengurus Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Prop.

NAD • Sekretaris umum Wanita Syarikat Islam Aceh • Pengurus BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam

Wanita Indonesia) • Pengurus (wakil ketua) PSW IAIN Ar-Raniry • Ketua As-sHIVa (Pusat Pelayanan Kesehatan Reproduksi

HIV AIDS dan Narkoba) IAIN Ar-Raniry • Pengurus FORMAT (Forum Masyarakat Anti Traffiking)

Prop. NAD • Pengurus JAPPP • Pengurus Yayasan Nashrul Insan Prop. NAD • Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan Koniry

(Korps Alumni IAIN Ar-Raniry) periode 2008 - 2012 Disamping aktif di organisasi dan mengajar sebagai dosen tetap, Chairan M. Nur juga aktif dalam melakukan kajian ilmiah, banyak karyanya yang pernah dipublikasikan di antaranya: Pengalaman Penelitian dan Karya Ilmiah: • Penelitian: Revitalisasi Bazis di Perguruan Tinggi (Kajian

Deskriptif di IAIN Ar-Raniry) tahun 1998 • Penelitian: Puslit Institut Agama Islam Negeri, Integrasi

Aceh Kepada Indonesia (Kajian Terhadap Peran Ulama) tahun 2000

Page 240: 22

226

• Penelitian: Dayah dan Tranformasi Wasilah Syiah Kuala di Aceh tahun 2001

• Penelitian: Konsep Imamah (Kajian Teologis Syi’ah Isna ‘Asy’ariyah Isma’iliyah) tahun 2002

• Penelitian: Posisi Perempuan dalam Pandangan Perempuan Intelektual di Aceh tahun 2003

• Penelitian tentang Abdul Rauf al-Singkili (Biografi Pemikiran dan Akar-akar Pembaharuannya)

• Sejarah Melayu (Studi Naskah) • Jurnal Didaktika Umum tahun 2000, Pendidikan Islam dan

Tantangan Zaman • Jurnal Didaktika tahun 2002, Konsep Pendidikan dalam Al-

Qur’an (Kajian terhadap Surat Lukman 12-20) • Karya Ilmiah, Kajian terhadap G. W. J. Drewes dan Naquib

Al-Atlas tentang Nur al- Din Ar-Raniry Mengenai Paham Keagamaan Hamzah Fansuri

• Karya Ilmiah, Pergeseran Corak Tasawuf di Nusantara Abad XVII dan XVIII (Studi Perbandingan Ajaran Martabat Tujuh Syekh Mahyi Pamijahan)

• Karya Ilmiah, Hubungan Ulama dengan Penguasa dan Pengaruhnya bagi Perkembangan Islam di Aceh (Studi Kasus Lahirnya PUSA)

• Karya Ilmiah, Hadits Pada Masa Sahabat dan Tabi’in • Karya Ilmiah, Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an • Karya Ilmiah, Wacana Intelektual Keagamaan di Indonesia

dengan Dunia Islam • Karya Ilmiah, Pembentukan Tradisi Pemikiran dan Konsepsi

Sosio-Politik Islam di Nusantara • Karya Ilmiah, Al Zamakhsyari (Corak dan Aliran Tafsirnya) • Karya Ilmiah, Ilmu Naqd Al-Hadits (Studi tentang

Otentisitas dan Sanad Hadits)