-
Majalah Komunikasi dan Informasi
MAJALAH TANNAS Edisi 95 - 2013 45
I. PendahuluanPosisi Indonesia secara geopolitik
dan geostrategi, serta kepemilikan kekayaan sumber daya alam
banyak mengundang kepentingan berbagai negara lain untuk melakukan
intervensi. Salah satu contoh intervensi nyata adalah pengalaman
sejarah di mana kekuatan asing menguasai rempah-rempah Indonesia.
Intervensi tetap datang walaupun Indonesia telah mem-proklamirkan
kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat. Era perdagangan bebas
menuntut dilakukannya liberalisme perdagangan, tidak terkecuali
pangan. Atas nama keamanan pangan demi melindungi kesehatan
masyarakat negara maju, keamanan pangan merupakan senjata utama
untuk membendung pangan impor, khususnya dari negara berkembang.
Pangan Indonesia cukup sulit menembus pasar global dengan alasan
gagal memenuhi standar ke-amanan pangannya. Sebaliknya Indonesia
belum mampu sepenuhnya membendung gempuran pangan impor dari negara
lain. Alasan keamanan pangan belum secara optimal dimanfaatkan
untuk membatasi produk asing masuk Indonesia. Hal ini dapat
dimaknai bahwa Indonesia belum dapat sepenuhnya melindungi
kesehatan masyarakatnya dari paparan pangan impor maupun pangan
domestik yang berisiko terhadap kesehatan.
Indonesia telah mengatur pangan sesuai Undang-Undang Nomor 18
tahun 2012 tentang Pangan. Undang-undang ini mengamanatkan bahwa
pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin
di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Hal ini sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia
yang berkualitas.
Selain itu, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, ke
-terjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman,
bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun
daerah hingga per-seorangan secara merata di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan
sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Pe-nyelenggaraan pangan
selain mewujud-kan tingkat kecukupan pangan dan menyediakan pangan
yang beraneka ragam, bergizi dan bermutu juga harus memenuhi syarat
keamanan.
Pemerintah Indonesia melalui ke-bijakan pembangunan nasional
me-nuntut pelaksanaan manajemen risiko keamanan pangan dengan baik,
di antaranya yaitu:
Undang-undang No. 17/2007 tentang RPJPN tahun 2005-2025,
yaitu
pembangunan dan perbaikan gizi lintas sektor di sepanjang rantai
pangan untuk gizi yang cukup, seimbang serta terjamin
keamanannya.
Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang RPJMN tahun 2010 - 2014.
Program aksi di bidang pangan menjadi prioritas yang sasarannya
termasuk meningkatnya mutu dan keamanan pangan hasil pertanian,
terbangunnya kesadaran masyarakat akan risiko dan bahaya pada
pangan asal hewan, meningkatnya pe-mantapan keamanan pangan.
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011 - 2015, yaitu
kebijakan pangan dan gizi disusun dalam lima pilar, yaitu: 1. gizi
masyarakat; 2. akses pangan; 3. mutu dan keamanan pangan; 4.
perilaku hidup bersih dan sehat; 5. kelembagaan pangan dan
gizi.
Pangan, sebagai salah satu komoditi yang penting selain
merupakan bagian
Meningkatkan Paradigma Pengawasan Keamanan Pangan Berbasis
Risiko dalam Perspektif Ketahanan NasionalOleh : Dra. Lucky S.
Slamet, M.Sc. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
IndonesiaAlumni PPSA XV
AcerHighlight
AcerHighlight
AcerHighlight
AcerHighlight
-
Majalah Komunikasi dan Informasi
MAJALAH TANNAS Edisi 95 - 201346
tak terpisahkan dari peningkatan ke-sehatan masyarakat juga
memiliki sisi komersial yang bersifat global. Isu keamanan pangan
dijadikan instrumen utama dalam forum perdagangan dunia yang telah
mendapat restu dari organisasi kesehatan dunia WHO maupun pangan
dan pertanian FAO. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI secara aktif
mewujudkan paradigma baru pe-ngawasan keamanan pangan berbasis
risiko sebagai bagian dari kewaspadaan nasional untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat guna menjamin perdagangan yang adil dan dalam
rangka mewujud-kan ketahanan nasional.
II. Tantangan Pengawasan Keamanan PanganLetak geografis
Indonesia yang
dibagi dalam 33 provinsi dengan 429 kabupaten/kota menunjukkan
cakupan area pengawasan yang sangat luas dan produk pangan yang
bervariasi. Hal ini
terkait erat dengan jumlah populasi Indonesia sekitar 237 jiwa
dengan 300 etnis yang menunjukkan kebutuhan pangan yang sangat
besar baik dalam jumlah maupun variasi produknya serta pola
konsumsinya.
Di sisi lain, seiring dengan peningkatan taraf ekonomi dan
perubahan gaya hidup (life style), tuntutan masyarakat terus
meningkat, terutama terhadap kinerja Badan POM. Kondisi ini
didukung dengan globalisasi dunia perdagangan yang menyebabkan arus
barang hampir tak memiliki hambatan keluar-masuk dari satu negara
ke negara lainnya se-hingga potensi menyebarnya sumber food-borne
disease (penyakit akibat pangan) dan emerging pathogen tidak dapat
dihindarkan. Beberapa food-borne disease dapat berupa penyakit
degeneratif, misalnya yang disebab-kan oleh Eschericia coli
O157:H7, Listeri-amonocytogenes serta cemaran logam berat
merkuri.
Pada kenyataannya, pengawasan keamanan pangan pada saat ini
meng-hadapi tantangan yang semakin kompleks. Keberhasilan
mewujudkan ketahanan nasional di bidang pengawasan ke-amanan pangan
sangat dipengaruhi oleh integrasi kepentingan berbagai pihak
terutama sepanjang rantai pangan yang dirumuskan sebagai Sistem
Ke-amanan Pangan Terpadu (Integrated Food Safety System).
Kontaminasi pangan tidak hanya be-risiko terhadap kesehatan
masyarakat, tetapi juga memiliki dampak besar dari sisi sosial dan
ekonomi bagi suatu negara. Besarnya dampak penyakit akibat pangan
menuntut kemampuan pemerintah dalam mendeteksi sumber cemaran yang
harus didukung chain traceability. Oleh karena itu diperlukan
penguatan internal system ketelusuran (traceability system) pada
masing - masing pelaku usaha di sepanjang rantai pangan lintas
daerah dan negara.
Sumber: FOTO ANTARA/Asep Fathulrahman/ss/nz/13
AcerHighlight
AcerHighlight
-
Majalah Komunikasi dan Informasi
MAJALAH TANNAS Edisi 95 - 2013 47
III. Paradigma Baru Pengawasan Keamanan Pangan Berbasis
RisikoSesuai penjelasan Pasal 68, Undang-
Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan antara lain dijelaskan
bahwa penyelenggaraan pangan harus di-laksanakan secara terpadu dan
sinergis oleh semua pemangku kepentingan pada setiap rantai pangan.
Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan ke-amanan di sepanjang rantai
pangan harus dilakukan secara sistematis dan transparan.
Konsepsi pengawasan keamanan pangan berbasis risiko
memperhitung-kan faktor-faktor risiko yang meliputi karakteristik
pangan, proses pengolahan, kerentanan konsumen serta faktor
asupan/paparan termasuk jumlah dan frekuensi paparan (FAO, 2011).
Implementasi di Indonesia berupa 1) mengembangkan sistem respons
cepat, 2) memantapkan strategi pengawasan pangan berbasis iptek, 3)
melaksanakan program pengawasan berbasis risiko, serta 4)
memberdayakan stakeholder kunci untuk berinteraksi positif secara
kondusif.
1) Mengembangkan Sistem Respons Cepat
Produk pangan yang ber-edar di pasar Indonesia dapat saja
berasal dari berbagai negara dan produk pangan yang ke luar
Indonesia dapat memasuki pasar global jika su-dah memenuhi
persyaratan ke-amanan, mutu dan gizi pangan. Oleh karena itu,
pergerakan produk pangan yang masuk dan keluar Indonesia perlu
terus-menerus diawasi, ter-utama pemenuhan ketentuan yang berlaku.
Untuk mencegah risiko pangan, baik langsung maupun tidak langsung,
bagi kesehatan manusia saat ini sudah diupayakan adanya sistem
notifikasi pangan, yaitu Indonesia Rapid Alert System for Food and
Feed (INRASFF).
Selain itu, sistem notifikasi ini juga diupayakan untuk
me-ngambil tindakan penanganan/penanggulangan yang perlu diambil
oleh pihak berwenang untuk mencegah risiko ter-sebut masuk ke
rantai pangan. Oleh karena itu, INRASFF se-bagai salah satu sistem
respons cepat dan dapat berimplikasi pada sistem informasi perlu
dimantapkan dan diperkuat sehingga menjadi satu sistem pengawasan
keamanan pangan yang andal.
2) Memantapkan Strategi Pe-ngawasan Pangan Berbasis Iptek
Pendekatan berbasis iptek dalam pengawasan keamanan pangan
diperlukan dalam men-jawab tantangan permasalahan keamanan pangan
yang semakin kompleks guna menjamin ke-tersediaan pangan aman bagi
masyarakat. Bukti-bukti ilmiah dapat digunakan untuk me-minimalkan
food-borne hazard, menurunkan dan mengendali-kan risiko serta
meningkatkan capaian outcome dari kebijakan program keamanan
pangan.
Pada tahun 1995, resolusi Majel is Kesehatan Dunia
(WHA World Health Assembly) mendesak semua negara anggota untuk
memperkuat pengawasan penyakit menular dan segera mendeteksi dan
mengidentifikasi kembali penyakit menular baru. Resolusi ini
menyebabkan WHO mem-bentuk satu divisi, yaitu EMC - Division of
Emerging and other Communicable Diseases Surveillance and Control,
yang misinya untuk memperkuat
Indonesia telah mengatur pangan sesuai Undang-
Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Undang-
undang ini mengamanatkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia
yang paling utama dan pemenuhannya merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Hal ini sebagai komponen dasar untuk
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Sumber: FOTO ANTARA/Herka Yanis Pangaribowo/Koz/pd/13.
-
Majalah Komunikasi dan Informasi
MAJALAH TANNAS Edisi 95 - 201348
kapasitas pengawasan dan pengendalian penyakit menular secara
nasional dan inter-nasional, termasuk patogen baru (new-emerging),
yang telah ada (emerging) dan patogen yang muncul kembali
(re-emerging) (WHO, 1998).
3) Melaksanakan Program Pe-ngawasan Berbasis Risiko
Pengawasan pangan ber-basis risiko merupakan suatu terobosan
manajemen risiko dengan memfokuskan program prioritas pre- dan
post-market berbasis risiko. Sistem ini ber-tujuan mengefisienkan
dan mengefektifkan sumber daya yang ada dan menggunakan bukti
ilmiah yang dapat di-verifikasi untuk mendukung keamanan dari suatu
sistem produksi pangan. Hal tersebut dilakukan melalui penekanan
pengawasan mandiri/internal oleh industri pangan/pelaku usaha
sebagai tanggung jawab mereka atas keamanan dan mutu pangan
produknya. Sehingga produsen dan inspektur pangan akan berubah
peranannya, yaitu produsen sebagai otoritas dan penanggung jawab
atas ke-amanan pangan produknya melalui penerapan sistem ke-amanan
pangan (audit internal GMP/HACCP dan pemenuhan sejumlah regulasi),
sedangkan
inspektur pangan sebagai pe-ngawas/pengarah compliance yang
ditetapkan dengan ber-basis i lmu pengetahuan. Manfaat bagi
inspektur pangan dari sistem ini adalah waktu inspeksi lebih
efisien karena tidak harus selalu fokus pada hal-hal non-compliance
dan pelanggarannya (FAO, 2008).
4) Memberdayakan Stakeholder Kunci untuk Berinteraksi Positif
Secara Kondusif
Tanggung jawab keamanan pangan terletak pada pelaku usaha,
pemerintah dan konsumen. Pelaku usaha pangan adalah pihak yang
bertanggung jawab atas keamanan pangan p ro d u k nya s e d a n g k
a n pemerintah bertugas me-ngawal compliance pelaku usaha dalam
kerangka per-lindungan konsumen. Oleh karena itu, pelaku usaha
harus diberdayakan agar bertanggung jawab terhadap keamanan pangan
produknya dan memiliki suatu sistem pengawasan internal atau
manajemen pengawasan mutu yang dapat mengontrol dan mendeteksi mutu
produknya sejak awal proses sampai produk tersebut beredar di
masyarakat. Dalam konteks ini, pelaku usaha diharuskan untuk
menerapkan praktik keamanan pangan yang baik (antara lain GMP,
HACCP), sehingga setiap
bentuk penyimpangan dari standar mutu dan keamanan pangan dapat
dideteksi se-cara dini, serta kemungkinan kerugian yang lebih besar
dapat dicegah.
IV. KesimpulanSasaran utama dari konsepsi pe-
ngawasan keamanan pangan berbasis risiko adalah meningkatnya
keamanan dan mutu pangan yang beredar di Indonesia lebih efisien
dan efektif, baik terhadap pangan impor, maupun pangan domestik.
Pengawasan ke-amanan pangan berbasis risiko ini mampu meningkatkan
kewaspadaan nasional terhadap ancaman kesehatan masyarakat dan
ancaman terhadap dominasi produk asing, serta mendukung
kelangsungan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Kualitas
kewaspadaan ini akan berhasil guna apabila disertai kesadaran yang
tinggi dari regulator, pelaku usaha dan konsumen. Pangan domestik
yang aman, bermutu dan bergizi tidak hanya memberikan dampak
terhadap kesehatan masyarakat, tetapi juga meningkatkan daya saing
produk nasional yang mampu bersaing di pasar global maupun
domestik. Dengan demikian pengawasan keamanan pangan berbasis
risiko dapat menciptakan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dan
mendukung perekonomian nasional dalam rangka ketahanan
nasional.
Tanggung jawab keamanan pangan terletak pada pelaku usaha,
pemerintah dan konsumen. Pelaku usaha pangan adalah pihak yang
bertanggung jawab atas
keamanan pangan produknya sedangkan pemerintah bertugas mengawal
compliance pelaku usaha dalam kerangka perlindungan konsumen. Oleh
karena itu, pelaku usaha harus diberdayakan agar bertanggung jawab
terhadap keamanan pangan produknya
dan memiliki suatu sistem pengawasan internal atau manajemen
pengawasan mutu yang dapat mengontrol dan mendeteksi mutu produknya
sejak awal proses sampai
produk tersebut beredar di masyarakat.
AcerHighlight
AcerHighlight
AcerHighlight
AcerHighlight
AcerHighlight