22 BAB II FITRAH DAN PENDIDIKAN A. Fitrah 1. Makna Fitrah Fitrah merupakan asal kata dari fathara yang mempunyai makna asal ‘menciptakan’. 1 Sedangkan dalam Bahasa Arab fitrah dengan segala derivasinya mempunyai arti belahan, muncul, kejadian, dan penciptaan. 2 Fitrah secara bahasa juga mempunyai arti belahan, muncul, kejadian, dan penciptaan. 3 Lebih lanjut Achmad Mubarok menjelaskan bahwa jika fitrah dihubungkan dengan manusia, maka yang dimaksud dengan fitrah manusia adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaannya semenjak lahir, dalam bahasa Melayu sering disebut semula jadi (kejadian semula). Selain itu, fitrah manusia dapat dicari rumusan karakteristiknya melalui penelitian empirik, tetapi juga dapat dipahami melalui teks al-Qur’an. 4 Fitrah juga mengandung arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti “menjadikan”. 5 Makna fitrah secara etimologi juga mengandung arti “kejadian”, oleh karena itu makna fitrah itu berasal dari kata kerja fathara 1 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung, PT. Al- Ma’arif, 1980, hlm. 322 2 Nurwadjah Ahmad E.Q., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan; Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman, Bandung, Penerbit MARJA, 2007, hlm. 85 3 Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia; IIIT Indonesia, Jakarta, Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, 2003, hlm. 24 4 Achmad Mubarok menganalogikan fitrah manusia dan tentang manusia secara umum, ibarat brosur tentang suatu benda yang dikeluarkan atau diproduksioleh pabriknya. Manusia adalah ciptaan Allah swt., sedangkan al-Qur’an adalah firman Allah swt. yang diantara ayat-ayatnya banyak yang menggali dan berbicara mengenai karakteristik manusia yang telah diciptakannya. Untuk lebih jelasnya lihat, Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia; IIIT Indonesia, Jakarta, Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, IIIT, 2003, hlm. 24 5 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, tt., hlm. 88
91
Embed
22 BAB II FITRAH DAN PENDIDIKAN A. Fitrah 1. Makna Fitrah ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
22
BAB II
FITRAH DAN PENDIDIKAN
A. Fitrah
1. Makna Fitrah
Fitrah merupakan asal kata dari fathara yang mempunyai makna asal
‘menciptakan’.1 Sedangkan dalam Bahasa Arab fitrah dengan segala
derivasinya mempunyai arti belahan, muncul, kejadian, dan penciptaan.2
Fitrah secara bahasa juga mempunyai arti belahan, muncul, kejadian, dan
penciptaan.3 Lebih lanjut Achmad Mubarok menjelaskan bahwa jika fitrah
dihubungkan dengan manusia, maka yang dimaksud dengan fitrah manusia
adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaannya semenjak lahir, dalam
bahasa Melayu sering disebut semula jadi (kejadian semula). Selain itu, fitrah
manusia dapat dicari rumusan karakteristiknya melalui penelitian empirik,
tetapi juga dapat dipahami melalui teks al-Qur’an.4 Fitrah juga mengandung
arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti
“menjadikan”.5 Makna fitrah secara etimologi juga mengandung arti
“kejadian”, oleh karena itu makna fitrah itu berasal dari kata kerja fathara
1 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung, PT. Al-
Ma’arif, 1980, hlm. 322
2 Nurwadjah Ahmad E.Q., Tafsir Ayat-ayat Pendidikan; Hati yang Selamat Hingga Kisah
Luqman, Bandung, Penerbit MARJA, 2007, hlm. 85
3 Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia; IIIT Indonesia, Jakarta, Sebuah
Pendekatan Psikologi Islam, 2003, hlm. 24
4 Achmad Mubarok menganalogikan fitrah manusia dan tentang manusia secara umum,
ibarat brosur tentang suatu benda yang dikeluarkan atau diproduksioleh pabriknya. Manusia adalah
ciptaan Allah swt., sedangkan al-Qur’an adalah firman Allah swt. yang diantara ayat-ayatnya
banyak yang menggali dan berbicara mengenai karakteristik manusia yang telah diciptakannya.
Untuk lebih jelasnya lihat, Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia; IIIT Indonesia,
Jakarta, Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, IIIT, 2003, hlm. 24
5 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, tt., hlm. 88
23
yang berarti “menjadikan”.6 Adapun menurut M. Quraish Shihab dari segi
bahasa kata fitrah terambil dari kata fatrh yang berarti belahan, dan dari
makna ini lahirlah makna-makna yang lainnya seperti, penciptaan atau
kejadian. Selanjutnya dipahami juga bahwa fatrh adalah bagian dari khalq
(penciptaan) Allah swt. Sedangkan mengenai hal apakah fitrah yang Allah
swt. Berikan kepada manusia tersebut terbatas hanya kepada fitrah agama
saja, Muhammad bin Askur yang dikutip M. Quraish Shihab mengatakan
bahwa: “fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah swt. pada
setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang
diciptakan Allah swt. pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan
akalnya (rohaninya).7 Sedangkan menurut istilah banyak para ahli
memberikan interpretasi yang beragam. Adapun secara umum fitrah adalah
potensi alami yang dimiliki setiap individu manusia.8 Hal yang sama juga
diungkapkan Syahminan Zaini, menurutnya fitrah adalah potensi laten atau
kekuatan terpendam yang ada dalam diri manusia yang dibawanya sejak
lahir.9 Dengan kata lain fitrah adalah segala potensi yang dianugerahkan
Allah swt. yang dibawa oleh manusia semenjak ia lahir (man’s natural
powers).
Fitrah juga dapat diartikan sebagai suatu dorongan keingintahuan
manusia kepada kebenaran yang dibawanya semenjak lahir. Motivasi atau
dorongan keingintahuan manusia terhadap kebenaran ini, Allah swt.
6 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 1997, hlm. 126
7 M. Quraih Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1995, hlm. 283
8 Sama’un Bakry, Menggagas Konsep IPI, Bandung Pustaka Bani Quraisy, 2004, hlm. 67
9 Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Kalam Mulia,
1986, hlm. 5
24
anugerahkan kepada setiap individu manusia, sedangkan digunakan atau
tidaknya fitrah ini oleh manusia tergantung pada manusianya itu sendiri.
Dengan demikian fitrah pada dasarnya baik dan sempurna, fitrah juga
memiliki probabilitas untuk menjadi baik dan buruk. Oleh karena itu, fitrah
juga dapat diartikan sebagai dasar-dasar kemampuan manusia untuk
menerima pendidikan dan pengajaran.10
Menurut HM. Arifin yang dikutif Sama’un Bakry11, didalam diri
manusia selalu terdapat dua potensi yang sama-sama kuat, yaitu potensi yang
akan membawa seseorang kepada ketaqwaan (fitrah positif) dan potensi yang
akan membawa seseorang menuju kefasikan (fitrah negatif), oleh karena itu
fitrah yang membawa seseorang kepada kecenderungan menuju ke-hahanifan
pun akan selalu mengalami sentuhan-sentuhan dari potensi lainnya. Adapun
Muhammad Fadlil Al-Jamaly yang dikutip Muhaimin dan Abdul Mujib
memberikan makna fitrah sebagai kemampuan dasar dan kecenderungan yang
murni (natural) bagi setiap individu.12 Selanjutnya ia menjelaskan bahwa
fitrah ini lahir dalam bentuk yang paling sederhana dan sangat terbatas,
kemudian saling mempengaruhi dengan lingkugan sekitarnya, sehingga
tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik atau bahkan sebaliknya.
10 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta, Bumi Aksara, 1991,
hlm. 65. Coba bandingkan dengan hadist Nabi pada footnote no. 6
11 Sama’un Bakry, Menggagas Konsep IPI, Bandung, Pustaka Bani Quraisy, 2004, hlm.
67
12 Muhaimin & A. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda Karya, 1993,
hlm. 27
25
Imam Al-Ghazali mendefinisikan fitrah sebagai dasar manusia yang
diperolehnya semenjak ia lahir dengan memiliki berbagai keistimewaan
antara lain :
a. Beriman kepada Allah
b. Memiliki kemampuan / daya untuk menerima kebaikan dan keturunan atau
dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.
c. Memiliki dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang
berujud daya untuk berpikir.
d. Memiliki dorongan biologis yang berupa syahwat (sensual pleasure),
ghodob, dan tabiat (insting).
e. Memiliki kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat
dikembangkan dan dapat disempurnakan.13
Konsep fitrah Al-Ghazali di atas, hampir senada dengan teori Francis
Bacon mengenai jiwa manusia yang berakal mempunyai suatu kemampuan
triganda, yaitu ingatan (memoria), daya khayal (imaginatio), dan akal (ratio).
Ketiganya merupakan dasar segala pengetahuan.14 Ingatan menyangkut apa
yang sudah diperiksa dan diselidiki (historia), daya khayal menyangkut
keindahan (estetika), dan akal yang menyangkut filsafat (philosophia) sebaga
hasil kerja akal.
13 Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazaly, Jakarta, Bumi Aksara, 1991,
hlm. 66-67
14 C. Verhaak & R. Haryono Imam, Jakarta, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah Atas
Kerja Ilmu-ilmu, Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 139
26
Ali Issa Othman15 dalam Manusia Menurut Al-Ghazaly memaknai fitrah
sebagai inti (core) dari sifat alamiah manusia yang secara alami pula
berkeinginan mengetahui dan mengenal Allah swt., yang tidak terbawa oleh
pengaruh-pengaruh yang menyimpang dari kebenaran dan dituntun oleh
kebenaran itu. Dengan kata lain, fitrah adalah kebenaran yang telah dimiliki
manusia yang secara alami telah ada ketika manusia lahir ke dunia.
Menurut Abdullah Ali terdapat dua potensi besar yang telah Allah swt.
anugerahkan kepada manusia yaitu potensi akal dan potensi nafsu.16 Lebih
lanjut ia menjelaskan, kedua potensi ini secara biologis berperan tarik
menarik dalam kepentingan. Akal mengantarkan manusia untuk berpikir
secara jernih dan sehat, sementara potensi nafsu mendorong manusia untuk
selalu berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan.
Adapun Muhaimin dan Abdul Mujib17 dalam bukunya ‘Pemikiran
Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya’
mengungkapkan makna fitrah sebagai berikut :
a. Fitrah berarti suci (thuhr), pemaknaan fitrah dengan suci ini mereka rujuk
dari pendapat Al-Auza’iy yaitu fitrah adalah kesucian, dalam jasmani dan
rohani.
b. Fitrah berarti Islam (dienul Islam).
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah swt. (at-tauhid).18
15 Ali Isa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazaly, Bandung, PUSTAKA-Perpustakaan
Salman ITB, 1981, hlm. 28
16 Abdullah Ali, Antropolog Dakwah, Cirebon, KPI Stain Press, 2004, hlm. 16
17 Muhaimin & A. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, Trigenda Karya, 1993,
hlm. 13-21
27
d. Fitrah berarti murni (al-ikhlash). Hal ini mereka rujuk dari pendapat Ismail
Haqi Al-Barusawi dalam kitab ‘Tafsir Ruhul Bayan’, menurutnya manusia
lahir dengan berbagai sifat, salah stunya diantaranya adalah kemurnian
(keikhlasan) dalam menjaalankan suatu aktivitas.
e. Fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan
untuk menerima kebenaran.
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan
ma’rifatullah.
g. Fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal mula manusia mengenai
kebahagiaan dan kesesatannya.
h. Fitrah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature).
i. Fitrah berarti Al-Gharizah (insting) dan Al-Munazzalah (wahyu dari Allah
swt).19
Menurut A. Mujib fitrah sinonim dengan struktur kepribadian dalam
perspektif Islam.20 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa struktur fitrah ini
memiliki tiga dimensi : (1) dimensi fisik (disebut dengan fitrah jasmani), (2)
dimensi psikis (yang disebut fitrah rohani), (3) dimensi psikologis (yang
disebut fitrah nafsani).21 Selain itu fitrah (potensi) dapat berupa keyakinan
18 Bandingkan dengan pendapat Hamka dalam, Tafsir Al-Azhar, Singapura, Pustaka
Nasional PTE LTD, 2003, hlm. 5516. Menurutnya semenjak akal tumbuh sebagai Insan,
pengakuan akan adanya yang Maha pencipta itu adalah fitrah. Untuk bahan perbandingan, lihat
juga Ibn Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1990, hlm. 82,
lihat juga ‘Aid al-Qarni Qisthi, Jakarta, Tafsir Al-Muyassar, 2008, hlm. 354, tafsir Al-Maraghi,
hlm. 237.
19 Untuk lebih jelasnya lihat Muhaimin & A. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam,
Bandung, Trigenda Karya, 1993, hlm, 13-21
20 Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta, Kalam Mulia, 2002, hlm. 122
21 Fitrah nafsani adalah dimensi psikofisik manusia yang memiliki tiga daya pokok yaitu
qalbu (struktur supra kesadaran), akal (struktur kesadaran), nafsu (struktur bawah sadar). Untuk
28
beragama, perilaku untuk menjadi baik atau pun menjadi buruk adan lain
sebagainya yang kesemuanya harus dikembangkan agar ia dapat bertumbuh
kembang secara wajar sebagai hamba Allah swt.22
Fitrah bisa juga dimaknai inti (core) dari sifat alamiah manusia yang
secara alami pula ingin mengetahui dan mengenal Allah swt., yang tidak
terbawa oleh pengaruh-pengaruh yang menyimpang dari kebenaran dan
dituntun oleh kebenaran itu.23 Pendapat ini senada dengan ayat al-Qur’an
yang mempunyai makna : “tidak ada perubahan dalam penciptaan Allah.”
Kepercayaan (keimanan) kepada Allah swt. merupakan fitrah (sifat yang
ditanamkan Allah ke dalam diri manusia sewaktu menciptakannya), dan tak
ada seorang pun yang bisa menghindari dorongan ‘fitrahnya’ untuk mencari
pengetahuan mengenai Allah swt. atau rasa ingin tahu mengenai eksistensi-
Nya.24
Meskipun diantara para mufassir dan filosof memaknai fitrah (potensi)
dengan interpretasi yang cukup beragam, hal ini tidaklah mengherankan
karena pada dasarnya makna fitrah (potensi) dalam al-Qur’an (perspektif
Islam) dengan potensi (fitrah) menurut para filosof (umum) sampai saat ini
lebih jelasnya lihat Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002, hlm. 122-123,
sebagai bahan perbandingan lihat juga Muhammad Alim, Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim, Bandung, Rosdakarya, 2006, hlm. 61, menurutnya dalam pandangan sistem
nafsani manusia memiliki dimensi ruhani yang terdiri dari an-Nafs, al-‘Aql, al-Qalb, ar-Ruh, dan
basirah (pandangan batin rohani).
22 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 1997, hlm. 113
23 Ali Isa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazaly, Bandung, PUSTAKA-Perpustakaan
Salman ITB, 1981, hlm. 28
24 Ali Isa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazaly, Bandung, PUSTAKA-Perpustakaan
Salman ITB, 1981, hlm. 185
29
pun masih merupakan polemik.25 Ibnu Katsir misalnya, dalam kitab tafsirnya
memaknai fitrah sebagai apa-apa yang mendasari dan menjiwai agama Islam
yang lurus.26 Sedangkan Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar-nya mengartikan
fitrah sebagai kesaksian manusia atas ke-tauhidan Allah swt. jauh ketika
manusia (roh manusia lebih tepatnya) masih berada dalam wujud ilmi.27
Fitrah juga menurut Hamka bisa bermakna al-Fithrat al-Islam.28 Begitu pula
dalam tafsir Al-Maraghi, Al-Maraghi sepertinya lebih cenderung memaknai
fitrah sebagai Al-Islam (agama Islam).29 Itulah beberapa pengertian fitrah
sebagai potensi manusia untuk mengenal, mengimani, dan meyakini
eksistensi Allah swt. sebagai Tuhan dan Islam sebagai satu-satunya agama
yang benar-benar diridloi keberadaannya oleh Allah swt.30
25 Polemik disini penulis maksudkan bukan pada makna yang nilainya lebih mengarah
pada aspek substantif dari fitrah itu sendiri, akan tetapi lebih kepada sisi harfiyah (istilah/bahasa)
yang digunakan; apakah fitrah itu sinonim dengan potensi. Karena secara substansi, pemaknaan
fitrah atau potensi baik dari sisi Islam maupun filsafat umum; penulis kira hampir mengarah
kepada suatu titik temu (sinergitas), yaitu fitrah atau potensi adalah sifat alami manusia (man’s
natural powers) yang telah ada ketika manusia itu dilahirkan.
26 Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1990, hlm.
237
27 Wujud ilmi maksudnya adalah ketika manusia (lebih tepatnya roh manusia) masih
berada dalam ilmu Tuhan, tetapi belum dilahirkan ke muka bumi.
79 Ahmad Tafsir, Filasafat Pendidikan Islami, Bandung, Rosdakarya, 2006, hlm. 27
80 Ahmad Tafsir, Filasafat Pendidikan Islami, Bandung, Rosdakarya, 2006 hlm. 2
48
Apabila kita melihat manusia dari sisi moral, maka manusia
sesungguhnya lebih rendah dari malaikat, sedangkan secara substansial
manusia sesungguhnya lebih rendah daripada syaitan. Akan tetapi secara
konseptual jelas manusia berda di tingkat lebih tinggi baik dari sisi moral
maupun dari sisi substansialnya, artinya manusia mempunyai kedudukan
lebih tinggi daripada kedua makhluk tersebut (malaikat dan syaitan).81 Ia juga
menjelaskan bahwa kemampuan manusia yaitu daya kreatifnya mempunyai
kemampuan menciptakan; suatu kemampuan yang tidak dimiliki baik oleh
Malaikat maupun Syaitan.
Jalaluddin dan Abdullah Idi82 mencoba melihat hakikat manusia dari
sudut pandang filsafat. Menurut keduanya ada empat aliran dalam filasafat
yang membicarakan tentang hakikat manusia, yaitu :
1. Aliran Serba Zat
Menurut aliran ini sungguh-sungguh tentang adanya zat atau materi.
Manusaia adalah unsur dari alam, alam adalah materi maka secara tidak
langsung manusia juga adalah materi juga.
2. Aliran Serba Ruh
Aliran ini berpendapat bahwa hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat
adalah manifestasi dari pada ruh di atas dunia ini. Dasar pemikiran aliran
ini adalah bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada
materi. Aliran ini mencoba menganalogikan (membuktikan) teorinya ini
81 Musa Asy’ari, Filsafat Islam; Sunah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta, LESFI, 2002,
hlm. 234
82 Jalaluddin & Abdullah Idi, Filasafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 107
49
dalam realitas, betapapun seseorang mencintai orang yang dicintainya bila
ruhnya pisah dengan badannya, maka jasadnya (materi) tidak ada artinya
lagi (tidak berharga). Dengan demikian aliran ini beranggapan bahwa ruh
itu adalah hakikat, sedangkan badan adalah penjelmaan atau bayangan.
3. Aliran Dualisme
Menurut aliran ini manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu
jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing merupaka unsur
asal, yang adanya tidak memiliki ketergantungan antara yang satu dengan
yang lainnya. Badan bukan berasal dari ruh begitu pula sebaliknya,
perwujudan manusia tidak serba dua (jasad dan ruh). Antara jasad dan ruh
terjadi hukum kausalitas (sebab akibat) dimana keduanya saling
mempengaruh
4. Aliran Eksistesialisme
Aliran filsafat modern berpikir tentang hakikat manusia merupakan
eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia, dengan demikian
inti dari hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara
komprehensif. Oleh karena itu, aliran ini memandang manusia tidak dari
sudut serba zat, serba ruh, dualisme, akan tetapi memandangnya dari segi
eksistensi manusia itu sendiri di dunia ini. Hal ini hampir senada dengan
pandangan Metafisika yang menyatakan bahwa hakikat manusia
merupakan integrasi antara wataknya, sebagai makhluk (individu, sebagai
makhluk sosial, dan sebagai makhluk susila).
50
Menurut al-Syaibani yang dikutip Ahmad Tafsir menyatakan bahwa
manusia terdiri atas tiga potensi yang sama pentingnya, yaitu jasmani, akal,
dan ruh, oleh karena itu pula menurutnya pendidikan harus dapat
mengembangkan jasmani, akal, dan rohani manusia secara seimbang dan
terintegrasi.83 Sedangkan Muhammad Quthb menyatakan bahwa eksistensi
manusia adalah jasmani dan rohani, atas jasmani, akal, dan ruh. Bila akal
berdiri sendiri bersama ruh, ketiga-tiganya bersatu menyusun manusia
menjadi satu kesatuan.84
Salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat
manusia adalah Antropologi Filsafat.85 Antropologi sendiri merupakan
disiplin ilmu yang mengungkap manusia dari berbagai sudut pandang
(interface) seperti ras, karakteristik, mental dan fisik, budaya, kebiasaan-
kebiasaan, dan lain sebagainya. Antropologi merupakan cabang filasafat yang
mempersoalkan tentang hakikat manusia, sejarah manusia, dan dalam sejarah
manusia selalu mempertanyakan hakikat dirinya, semua yang berkaitan
dengan hal ini dipelajari dalam Antropologi.86 Menurut Asy’ari ada empat
cara atau metode yang dapat ditempuh untuk memahami hakikat manusia.
Pertama, melalui pendekatan bahasa (lingustik), pendekatan kebahasaan telah
83 Ahmad Tafsir, Filasafat Pendidikan Islami, Bandung, Rosdakarya, 2006, hlm. 26
84 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Bandung, Rosdakarya, 2004, hlm. 39. Untuk lebih jelasnya coba lihat pada halaman yang sama mengenai
akal.
85 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta, 1983/1984, hlm. 71. Memikirkan dan membicarakan mengenai hakikat manusia dari
jaman dahulu tidak pernah ada ujung pangkalnya dan tidak ada henti-hentinya, hal ini disebabkan
manusia selalu berusaha mencari jawaban-jawaban yang memuaskan tentang pertanyaa-
pertanyaan tentang manusia, yaitu : Apa, Darimana dan Kemana manusia itu?
86 Musa Asy’ari, Filsafat Islam; Sunah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta, LESFI, 2002,
hlm. 211. Lihat juga footnote-nya yang membahas tentang pengertian Antropologi di halaman
yang sama.
51
dipakai oleh para filosof Yunani untuk menyingkap kebenaran dimensi
kemanusiaan.87 Pendekatan kebahasaan digunakan untuk mempelajari
manusia yang berkaitan dengan penyebutan manusia, apa arti dari kata
manusia, yang secara semantik dapat diusut maknanya terutama dari asal kata
yang digunakan dalam kondisi atau suasana kultur asalnya. Sebagai contoh,
manusia biasa disebut juga insan, insan yang berasal dari Bahasa Arab dari
asal kata nasiya, yang mengandung arti lupa dan apabila dilihat dari kata
dasarnya al-uns, artinya jinak.88 Kedua, metode kedua adalah melalui cara
keberadaannya (eksistensi) manusia itu sendiri yang sekaligus
membedakannya dalam realitas dengan keberadaan makhluk-makhluk
lainnya. Seperti realitas kemampuan manusia untuk berpikir, oleh karena itu
hakikat manusia adalah makhluk berpikir. Ketiga, metode ketiga untuk
memahami hakikat manusia adalah melalui karya yang dihasilkannya
(human’s creation), karena melalui karya tersebut secara tidak langsung
manusia menyatakan kualitas dirinya. Oleh karena itu, hakikat manusia
ditentukan oleh sejumlah karyanya. Kempat, atau metode terakhir, untuk
dapat memahami hakikat manusia adalah melalui pendekatan teologis
(qur’anik). Pendekatan ini bertujuan bagaimana memahami manusia dari
sudut pandang penciptanya, melalui firman-firman Tuhan yang diturunkan
dan tertulis dalam kitab suci. Seperti halnya dalam al-Qur’an ditegaskan
87 Lihat footnote no. 8, Musa Asy’ari dalam Filsafat Islam; Sunah Nabi dalam Berpikir,
Yogyakarta, LESFI, 2002, hlm. 7
88 Untuk lebih jelasnya lihat Musa Asy’ari, Filsafat Islam; Sunah Nabi dalam Berpikir,
Yogyakarta, LESFI, 2002, hlm. 214-217.
52
bahwa Allah swt. melihat (menilai) manusia adalah dari amal perbuatan,
pekerjaan, atau dengan kata lain karyanya.89
3. Fitrah dan Manusia
Fitrah (potensi) bagi manusia adalah salah satu dari dua karakteristik
manusia sebagai khalifah, sedangkan yang kedua adalah ruh yang bersatu
dengan badan.90 Selain itu, menurut Abdurrahman Shaleh Abdullah manusia
pun memiliki kehendak bebas (free will)91 yang menjadikan manusia mampu
89 Musa Asy’ari, Filsafat Islam; Sunah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta, LESFI, 2002,
hlm. 217 pada footnote no. 13. Lihat juga al-Qur’an at-Taubah : 105, Q.S Huud : 7
Artinya:
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah
kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah: 105)
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah
singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih
baik amalnya dan jika kamu Berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan
dibangkitkan sesudah mati", …” (Q.S. Huud: 7), bandingkan juga dengan surat al-Kahfi : 17.
Artinya: “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah
kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam
tempat yang luas dalam gua itu. itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah.
barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka dialah yang mendapat petunjuk; dan
barangsiapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun
yang dapat memberi petunjuk kepadanya.”
90 Abdurrahman Shaleh Abdullah, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 73*
91 Lihat misalnya dalam Q.S. al-Kahfi: 29
53
membuat pilihan yang berasal dari unsur yang berinteraksi dengan fitrah.
Dalam proses perkembangan dan perjalanannya, fungsi-fungsi fitrah manusia
banyak dipengaruhi oleh kehendak bebas manusia tersebut. Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa, Allah swt. telah mengiformasikan mengenai potensi
manusia sebagaimana telah dikisahkan dalam al-Qur’an melalui kisah Adam
a.s. dan Siti Hawa yaitu dalam al-Qur’an Surat ar-Ruum ayat 30, yang
menjelaskan bahwa sebelum kejadian Adam a.s. Allah swt. telah
merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di muka
bumi.92 Pada saat Allah swt. memberikan kepercayaan kekhalifahan kepada
manusia, maka sekaligus pula Allah swt. memberikan bekal kepada manusia
berupa akal dan ruhani; yang dengan akal dan ruhani inilah manusia diberikan
berbagai fitrah (potensi), diantaranya:
1. Potensi untuk mengetahui nama-nama dan fungsi benda-benda alam.
2. Pengalaman hidup di surga, baik yang berhubungan dengan kecukupan
dan kenikmatannya maupun rayuan Iblis dan akibat buruk yang
diterimanya.
Artinya: “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir."
92 Lihat misalnya dalam Q.S. al-Baqarah: 30
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
54
3. Petunjuk-petunjuk agama.
Potensi-potensi inilah yang diberikan Allah swt. kepada manusia, yang
menjadikannya berbeda dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah swt.
lainnya.93
Menurut Plato (427-347 SM) manusia secara kodrati (alamiah)
memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada ketiga potensi tersebut dan kepada masyarakat,
agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi.94
Adapun menurut Ahmad Tafsir, dalam pandangan Plato jiwa manusia
memiliki tiga elemen yang selalu saling mempengaruhi antara satu dengan
lainnya, ketiga elemen tersebut yaitu roh, nafsu, dan rasio.95 Manusia
memiliki potensi tertentu yang dapat dijadikan alat; yang fungsinya bukan
saja sebagai untuk menguraikan substansi (makna) dari apa yang telah
dilakukannya, akan tetapi juga dapat meramalkan apa yang akan
dilakukannya. Potensi inilah yang sering disebut sebagai fitrah manusia. Jadi,
fitrah manusia adalah sunnatullah dalam jiwa manusia.96
Al-Ghazali seorang ulama sekaligus filosof Muslim memposisikan
manusia sebagai sesuatu yang paling urgen terutama dalam pembahasan
93 Abdurrahman Shaleh Abdullah, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 60-61
94 Jalaluddin & Abdullah Idi, Filasafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan,
Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 96
95 Dalam teorinya tersebut Plato menganalogikan ketiga elemen jiwa manusia tersebut
dengan sangat menarik. Menurutnya, dalam operasinya Plato mengibaratkan roh sebagai kuda
putih yang menarik satu kereta bersama kuda hitam (nafsu), yang dikendalikan oleh kusir yaitu
rasio yang berusaha mengontrol laju kereta. Untuk lebih jelasnya lihat, Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islami, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, hlm. 10
96 Achmad Mubarok, Sunatullah dalam Jiwa Manusia; Sebuah Pendekatan Psikologi
Islam, Jakarta, IIIT Indonesia, 2003, hlm. 23
55
filsafat ilmu, baik secara subjek maupun objek ilmu, dan mengetahuinya
termasuk media penting dalam proses ma’rifat kepada Allah swt. Bahkan,
dari berbagai kitab-kitab karangannya dapat disimpulkan bahwa manusia
adalah makhluk yang terbentuk dari dua unsur yaitu jasad (jasmani) dan ruh
(rohani), dengan sejumlah potensi dan naluri tertentu, yang berwujud sebagai
identitas ketunggalan dalam mutlaknya kebersamaan, dan berfungsi sebagai
‘abd (hamba) sekaligus khalifah (wakil) Tuhan di dunia.97
Berbicara mengenai fitrah dan manusia maka secara langsung hal ini
akan berimplikasi kepada ayat al-Qur’an yang membahas mengenai fitrah.
Hampir semua ahli pendidikan maupun psikologi khususnya psikologi Islami,
maka ketika membahas mengenai fitrah manusia akan selalu dimulai dari
ayat al-Qur’an dalam Surat ar-Ruum: 30.98 Menurut Baharuddin ayat ini
menyatakan bahwa fitrah manusia pada hakikatnya adalah fitrah Allah swt.
Dengan demikian, fitrah manusia senantiasa akan menampilkan dua sisi
asalnya secara bersamaan yaitu sisi asalnya (esensial) dan sisi keberadaannya
(eksistensial).99 Menurutnya apabila fitrah dipandang dari sisi asalnya, maka
akan menampilkan sisi spiritual-transedental, sementara dari sisi
keberadaannya menampilkan sisi empirik-historis manusia.
97 .......,Filsafat Ilmu Al-Ghazaly,....
98 Q.S. ar-Ruum: 30
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
99 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hlm. xv
56
Ada beberapa macam fitrah (potensi) yang sangat potensial dalam
setiap individu manusia yang dianugerahkan Allah swt. yang mempunyai
fungsi untuk meraih ilmu pengetahuan. Muhaimin menamainya dengan “alat-
alat potensial”, masing-masing alat itu saling berkaitan dan melengkapi dalam
proses mencapai ilmu. Abdul Fattah Jalal dalam bukunya Min al-Ushul al-
Tarbawiyah al-Islamiyah, dalam kajiannya mengenai ayat-ayat al-Qur’an
yang mempunyai relasi dengan alat-alat potensial yang dimiliki manusia itu
antara lain :
a. Al-lams dan al-Syum (alat peraba dan alat pencium/pembau) (Q.S. Al-
An’am ayat 7 dan Q.S. Yusuf ayat 94).100
b. Al-sam’u (alat pendengaran), penyebutan alat ini dihubungkan dengan
penglihatan dan qalbu, yang memberikan petunjuk tentang adanya relasi
dan saling melengkapi antara berbagai alat potensial manusia tersebut
untuk mencapai ilmu pengetahuan. (Q.S. All-Isra’ ayat 36, Al-Mu’minun
ayat 78, Al-Sajdah ayat 9, Al-Mulk ayat 23, dan lain sebagainya).101
100 Q.S. Al-An’am: 7 dan Q.S. Yusuf : 94
Artinya : “Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat
menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang kafir itu berkata: "Ini tidak
lain hanyalah sihir yang nyata." (Q.S. Al-An’am: 7)
Artinya: “Tatkala kafilah itu Telah ke luar (dari negeri Mesir) Berkata ayah mereka:
"Sesungguhnya Aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu
perasaannya, mahir dalam pekerjaannya (profesional), manis tutur katanya
baik dalam lisan maupun tulisan.151 Ahmad D. Marimba dalam bukunya
Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.152
149 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan PAI di Sekolah),
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hlm. 19
150 Lihat dalam Q.S. Al-Mujadilah: 11
Artinya: “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” 151 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 1998, hlm. 3-4
152 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filasafat Pendidikan Islam, al-Ma’arif, 1980, hlm. 131
78
Pendidikan islam mempunyai pengertian yang luas, ia bukan sekedar proses
pengajaran yang sebatas pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge),
tetapi lebih dari itu yaitu sebagai proses internalisasi (penanaman) nilai-nilai
keislaman ke dalam setiap individu diri anak didik.153
b. Makna Pendidikan Perspektif Umum
Meskipun para ahli telah banyak yang mendefinisikan makna dari
pendidikan dan telah mengarah pada suatu tujuan tertentu, akan tetapi para
ahli pendidikan masih belum satu kata dalam mengartikan pendidikan.
Dalam Dictionary of Education yang dikutif Nanang Fattah154 dinyatakan
bahwa pendidikan adalah: (1) proses seseorang mengembangkan
kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat
mereka hidup, (2) proses sosial yang terjadi pada orang dihadapkan pada
pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang
dari sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan
kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.
Perbedaan yang sangat mencolok baik itu menyangkut pengertian
maupun tujuan pendidikan antara pendidikan Islam terutama yang sifatnya
substantif, dengan pendidikan umum (Barat) seperti yang telah penulis
paparkan di bagian pertama menjadikannya cukup sulit untuk terjadinya
sinkronisasi pada kedua kajian tersebut. Akan tetapi secara umum, tujuan
dari keduanya hampir sama, yaitu bertujuan untuk mengembangkan segala
potensi yang ada di dalam diri setiap anak didik. Hal ini dapat dibuktikan
153 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1998, hlm. 134
154 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2006,
hlm. 4
79
dengan pemaparan beberapa ahli pendidikan Barat ketika mendefinisikan
makna dari pendidikan.
Menurut John Dewey pendidikan adalah proses pembentukkan
kecakapan-kecakapan yang sifatnya fundamental baik secara intelektual
maupun emosional ke arah alam dan sesama manusia.155 Dalam pandangan
Dewey pendidikan adalah proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya rasa
(emosi) manusia.156 Oleh sebab itu, pada dasarnya pendidikan tidak akan
pernah bisa lepas dengan keterikatannya berkenaan dengan hal-hal seperti,
perkembangan dan perubahan anak didik. Pendidikan selalu berhubungan
dengan transformasi pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan keterampilan.
Menurut S. Nasution dalam kacamata sosiologisnya pendidikan adalah
proses mengajar sekaligus belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa
yang diharapkan oleh masyarakat.157 Karena menurutnya, tingkah laku
(kelakuan) manusia pada hakikatnya hampir seluruhnya bersifat sosial,
bahwa segala sesuatu yang kita pelajari pada dasarnya adalah merupakan
hasil hubungan kita (interaksi) dengan orang lain. Dalam hubungannya
dengan hal ini, Omar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani menegaskan
bahwa pendidikan adalah upaya merubah tingkah laku individu dalam
kehidupan pribadinya yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat
155 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 2
156 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, tt., hlm. 1 157 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2004, hlm. 10
80
dan lingkungan kehidupan di sekitarnya. 158 Sedangkan menurut Jalaluddin
proses pendidikan merupakan proses perkembangan yang bertujuan. Lebih
lanjut ia menegaskan bahwa tujuan dari proses perkembangan itu sendiri
secara alamiah adalah kedewasaan, kematangan dari kepribadian
manusia.159
Richard Tardif yang dikutip Muhibbin Syah mendefinisikan
pendidikan dalam pengertian yang luas dan representatif
(mewakili/mencerminkan berbagai segi), menurutnya pendidikan adalah :
“...the total process of developing human abilities and behaviours, drawing
on almost all life’s experiences...” (proses menyeluruh terhadap
pengembangan kemampuan-kemampuan dan perilaku-perilaku manusia,
juga sebagai proses penggunaan hampir semua pengalaman-pengalaman
hidup).160 Mencermati ungkapan Tardif ini memberikan pengetahuan
kepada kita mengenai makna pendidikan yang tidak hanya representatif,
akan tetapi juga komprehensif dari segi substantif, dalam artian bahwa
pendidikan tidak hanya sebatas bersifat sederhana (formal) tapi lebih dari
itu. Pendidikan tidak bisa lepas dan tidak akan pernah lepas dari aspek
pengalaman kehidupan.
Berdasarkan uraian di atas, maka pendidikan akan selalu mengalami
interaksi dengan kehidupan sosial dimana seseorang memperoleh
158 Omar Mohammad al-Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
1979, hlm. 399
159 Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Manusia; Filsafat dan Pendidikan, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2002, hlm. 14
160 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1998, hlm. 42
81
pengalaman kehidupannya. Akan tetapi mengartikan pendidikan dengan
terlalu luas tanpa suatu batas tertentu pun akan mengaburkan substansi dari
tujuan pendidikan itu sendiri. Redja Mudyahardjo161 mengatakan,
pendefinisian yang terlalu luas tentang pendidikan mengandung titik
kelemahan yaitu tidak bisa mendeskripsikan secara tegas mengenai batas-
batas mana pengaruh pendidikan dan bukan pendidikan terhadap
pertumbuhan individu. Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari
pengertian representatif adalah terletak pada penempatan kegiatan
pendidikan yang tidak terikat, dalam artian bahwa segala kegiatan atau
pengalaman belajar sebagai inti (core) dalam proses pendidikan bisa
berlangsung dimanapun, kapan pun dalam lingkungan hidup.
Stella van Petten Henderson mencoba memadukan pengertian
pendidikan sebagai pengembangan potensi-potensi yang terdapat dalam diri
seseorang, juga pendidikan diartikan sebagai warisan sosial dari generasi tua
kepada generasi muda. Dengan kata lain pendidikan adalah proses
transformasi ilmu pengetahuan yang secara terus-menerus
berkesinambungan. Lebih lanjut Henderson mengutarakan bahwa
pendidikan adalah :
“... pendidikan sebagai suatu proses pertumbuhan dan
perkembangan – berarti sebagai suatu hasil seorang individu dengan
lingkungannya baik fisik maupun sosial, mulai dari lahir sampai akhir
hayatnya – sebagai suatu proses dengan pewarisan sosial sebagai bagian
dari lingkunagan sosial yang dipergunakan menjadi suatu alat untuk
161 Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2004, hlm. 54-55
82
perkembangan dari pribadi-pribadi sebaik dan sebanyak mungkin, laki-laki
dan wanita yang hendak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ...”.162
Secara filosofis pendidikan sangat erat kaitannya dengan filsafat,
khususnya filsafat pendidikan. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya filsafat
dan pendidikan tidak dapat dipisahkan.163 Menurut Noorsyam filsafat adalah
menetapkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, tindakan, tingkah-laku,
bahkan membina kepribadian. Hal ini tergambar dari ungkapan Brauner dan
Burns : “Education and philosophy insepereable because the end of
education is the end of philosophy – wisdom; an the means of philosophy is
the means of education inquiry, which alone can lead to wisdom”.164
Pendidikan adalah proses aktualisasi diri secara total yang meliputi
aspek rohani dan jasmani dengan cara memanfaatkan segala potensi yang
dimiliki sehingga dapat dirasakan manfaatnya baik oleh dirinya sendiri
maupun lingkungannya. Dengan demikian, pendidikan berarti segala usaha
yang dilakukan seseorang dalam meningkatkan taraf hidupnya ke arah yang
lebih baik dalam membimbing perkembangan jasmani dan rohaninya ke
tingkat kedewasaan.165 Sedangkan menurut Hasan Langgulung, dalam arti
yang luas pendidikan berarti mengubah dan dan memindahkan nilai
kebudayaan kepada setiap individu dalam masyarakat.166 Secara tidak
langsung Langgulung ingin menyatakan bahwa pendidikan mempunyai
162 Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2004, hlm. 61
163 M. Noorsyam, Filasafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, Surabaya, Usaha
Nasional, 1988, hlm. 43
164 M. Noorsyam, Filasafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, Surabaya, Usaha
Nasional, 1988, hlm. 43
165 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1998, hlm. 1 166 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, ,Jakarta, Al-Husna, 1985, hlm. 3
83
tujuan dan fungsi sebagai alat transformasi nilai-nilai kebudayaan dan ilmu
pengetahuan kepada setiap individu dalam anggota masyarakat.
Sifat paedagogik yang tertanam dalam setiap individu manusia adalah
realitas yang tidak dimiliki makhluk selainnya. Kecenderungan untuk selalu
ingin tahu, berubah, berkembang, merupakan struktur dari kepribadian
manusia di lingkungan masyarakat dan kebudayaannya. Maka dalam arti
yang sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaan.167
Pendidikan adalah kebutuhan alamiah manusia, sangat tidak mungkin
untuk zaman sekarang ini manusia mengabaikan pendidikan, menurut
Abdus Salam Dz., pendidikan merupakan kebutuhan dasar (basic need)
untuk mengembangkan potensi sumber daya manusia.168 Lebih lanjut ia
menegaskan, dalam tataran aplikatif proses pendidikan harus dilakukan
secara integratif dengan semua komponen pendidikan. Pengemabangan
potensi sumber daya manusia bisa dilaksanakan secara maksimal melalui
proses pendidikan, pendidikan adalah alat untuk menumbuh kembangkan
segala potensi yang dimiliki manusia.
Sedangkan menurut Langeveld pendidikan adalah setiap usaha,
pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju
kepada pendewasaan anak, atau lebih tepatnya memberikan bantuan kepada
167 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003 hlm. 1
168 Abdus Salam Dz., Manajemen Tenaga Kependidikan, Cirebon, STAIN Press, 2007, hlm. 15
84
anak agar cukup cakap dalam melaksanakan tugas kehidupannya secara
mandiri.169
c. Aliran-aliran Pendidikan
Secara sederhana aliran-aliran dalam pendidikan dapat
diklasifikasikan dalam dua golongan, yaitu aliran-aliran pendidikan klasik
dan aliran-aliran pendidikan modern. Aliran-aliran yang termasuk kepada
golongan klasik secara garis besar terbagi ke dalam tiga aliran besar yaitu
Empirisme, Nativisme, dan Konvergensi. Sedangkan aliran-aliran modern
kebanyakan merupakan kelanjutan dan kritik terhadap aliran-aliran yang
sebelumnya.
1. Aliran-Aliran Pendidikan Klasik
a) Aliran Empirisme
Empirisme adalah aliran yang menitikberatkan pada hal-hal yang
sifatnya empirik (pengalaman), tokoh utama dari ini adalah John Locke
(1623-1704 M) seorang filosof berkebangsaan Inggris. Empirisme
berpandangan bahwa manusia di dalam hidup dan perkembangan
pribadinya hanya ditentukan oleh dunia luar (experience).170 Aliran ini
juga terkenal dengan teori tabularasa, menurut teori ini anak (manusia)
yang baru lahir kondisinya masih bersih tidak mengandung apa-apa.171
Sedangkan Mastuhu lebih jelas lagi, menurutnya perkembangan anak itu
selanjutnya ditentukan oleh faktor orang tua, sekolah, dan masyarakat ke
169 Langeveld, (terj.), Paedagogik Teoritis/Sistematis, Jakarta, FIP-IKIP, 1971; fatsal 5,
5a
170 Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, Semarang, CV. Toha Putra, 1976, hlm. 89
171 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1998, hlm. 138
85
arah mana kepribadian anak tersebut akan dibentuk dan dikembangkan.172
Dalam aliran ini pengalaman manusia dalam proses kehidupannya
merupakan faktor yang paling dominan terhadap perkembangan individu
manusia.
Teori Empirisme dengan tabularasa-nya hanya mengakui faktor-
faktor yang sifatnya eksternal (luar) dari manusia yang akan berpengaruh
terhdap perkembangan anak (manusia), dengan kata lain empirisme