Bab IPendahuluan1.1 Latar BelakangBerdasarkan pengamatan di
banyak negara, baik di negara maju maupun yang sedang berkembang,
jumlah orang dengan kelainan sindrom metabolic semakin banyak. Oleh
karena itu telah banyak peringatan dan anjuran untuk segera
melakukan upaya untuk mencegah timbulnya sindrom metabolik. Upaya
pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu kelainan,
faktor-faktor yang berperan, patofisiologinya kemudian diikuti
dengan upaya pencegahan dan penatalaksanaannya Dalam upaya tersebut
telah dikemukakan beberapa definisi mengenai kelainan apa saja yang
perlu diperhatikan dan kriteria batasan nilainya. Antara beberapa
rekomendasi tersebut banyak persamaannya tetapi ada pula
perbedaannya, bahkan timbul perdebatan kontroversial antara para
ahli sehingga membingungkan para pengguna, yaitu para dokter dan
tenaga kesehatan lainnya. Diinginkan adanya suatu pedoman yang
bersifat universal yang dapat dipakai bersama di semua negara.1.2
Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini adalah membahas secara singkat
mengenai sindrom metabolik, bermacam-macam definisi dan kriteria
batasan nilai, berbagai faktor risiko, dan anjuran cara
penatalaksanaannya termasuk pencegahannya.
BAB IIPEMBAHASAN2.1 Sindrom MetabolikSindrom metabolik (SM)
adalah keadaan klinis dimana pada seseorang terdapat sekumpulan
kelainan metabolik, antara lain kelainan kadar lipid
(dislipidemia), peningkatan kadar glukosa (hiperglikemia),
peningkatan kadar asam urat (hiperurikemia), peningkatan tekanan
darah (hipertensi), dan kegemukan (obesitas). Kondisi ini dikaitkan
dengan risiko penyakit kardiovaskular (PKV), stroke, diabetes
melitus tipe 2 (DM t2) dan kematian. sehingga memerlukan intervensi
modifikasi gaya hidup yang ketat (intensif). Komponen utama dari
sindrom metabolik meliputi : Resistensi insulin, Obesitas
abdominal/sentral, Hipertensi, Dislipidemia berupa peningkatan
kadar trigliserida dan penurunan kadar HDL kolesterol. Sindrom
Metabolik disertai dengan keadaan proinflammasi / prothrombotik
yang dapat menimbulkan peningkatan kadar C-reactive protein,
disfungsi endotel, hiperfibrinogenemia, peningkatan agregasi
platelet, peningkatan kadar PAI-1, peningkatan kadar asam urat,
mikroalbuminuria dan peningkatan kadar LDL cholesterol. Berdasarkan
pengamatan di banyak negara, baik di negara maju maupun yang sedang
berkembang, jumlah orang dengan kelainan ini makin banyak. Oleh
karena itu telah banyak peringatan dan anjuran untuk segera
melakukan upaya untuk mencegah timbulnya sindrom metabolik. Upaya
pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu kelainan,
faktor-faktor yang berperan, patofisiologinya kemudian diikuti
dengan upaya pencegahan dan penatalaksanaannya.2.2 Anamnesispada
pemeriksaan pasien,dapat dilakukan dengan menanyakan kepada pasien
mengenai identitas, keluhan utama, riwayat perjalanan keluhan,
sejak kapan timbul gejala, riwayat penyakit pasien dan keluarga.
Perlu juga ditanyakan bagaimana aktivitas pasien sehari-hari dan
bagaimana asupan makanan sehari-harinya. Pada kasus ini dapat
ditemui bahwa pasien merasa dirinya terlalu gemuk dan sulit
menurunkan berat badannya sejak usia 30 tahunan. Dan bahwa pasien
juga merasakan agak sering lelah dan mudah haus 1 tahun belakangan
ini. Riwayat ayahnya menderita hipertensi dan ibunya sudah 10 tahun
mengidap penyakit diabetes. Setelah dilakukan anamnesis kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.1,32.3 PEMERIKSAAN1.FISIK-
Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah , tingkat
kesadaran, frekuensi nafas, denyut nadi, dan suhu tubuh- Pengukuran
Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus Berat badan (kg)Tinggi
badan (m)2 Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang
lebih baik terhadap risiko kardiovaskular daripada pengukuran
waist-to-hip ratio.32.PENUNJANGPanel Sindrom MetabolikMerupakan
sekelompok pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk
mengetahui adanya sindrom metabolik beserta komplikasinya.1.
Trigliserida, HDL Kolesterol, Glukosa PuasaManfaat: Mendeteksi
adanya sindrom metabolik berdasarkan kriteria IDF 2005.2. Apo B dan
LDL Kolesterol DirekManfaat: Melihat adanya small dense LDL. Small
dense LDL merupakan faktor risiko penting untuk Penyakit Jantung
Koroner (PJK) dan lebih aterogenik bila dibandingkan dengan LDL
biasa. Dengan menentukan konsentrasi apo B plasma, kita dapat
menentukan jumlah partikel small dense LDL, di mana dengan
menggunakan rasio kolesterol LDL/ApoB (konsentrasi kolesterol LDL
diukur dengan metode direk) dapat ditentukan adanya small dense
LDL. Pada rasio kolesterol LDL direk/ApoB < 1,2, terdapat small
dense LDL dalam sirkulasi tubuh .
3. AdiponektinManfaat: Melihat apakah terjadi penurunan
konsentrasi adiponektin (hipoadiponektinemia), di mana peningkatan
jaringan adiposa viseral akan mengakibatkan penurunan konsentrasi
adiponektin dan peningkatan sitokin proinflamasi yang berperan
penting dalam efek kardiovaskular sindrom metabolik.4. Glukosa
Puasa, Glukosa 2 jam pp dan HbA1cManfaat : Mendiagnosis dan
memantau pengendalian hiperglikemia (glukosa darah puasa terganggu,
toleransi glukosa terganggu dan T2DM).5. hsCRPManfaat : Menilai
kondisi inflamasi kronis pada individu sindrom metabolik. penanda
untuk memprediksi penyakit pembuluh darah koroner pada sindrom
metabolik, dan baru-baru ini digunakan prediktor untuk penyakit
lemak hati non-alkohol dalam hubungan dengan penanda serum yang
menunjukkan lipid dan metabolisme glukosa.6. NT-proBNPManfaat :
Melihat risiko gagal jantung pada individu obes. Peningkatan indeks
massa tubuh merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi, T2DM dan
dislipidemia, sehingga meningkatkan risiko infark miokardial yang
mendahului terjadinya gagal jantung. Selain itu, hipertensi dan
T2DM secara independen akan meningkatkan risiko gagal jantung.7.
Albumin Urin Kuantitatif (Sewaktu)Manfaat : Membantu menentukan
pengobatan yang dapat mencegah atau memperlambat onset penyakit
ginjal kronik (PGK) dan penyakit kardiovaskular (PKV). Albumin Urin
Kuantitatif merupakan penanda prognosis untuk risiko PKV pada
individu dengan diabetes maupun tanpa diabetes, sebagai penanda
risiko mortalitas pada individu infark miokardial, dan merupakan
prediktor PKV pada individu dengan hipertensi tidak terkontrol.
8. SGPT dan Collagen Type IVManfaat : Melihat risiko NASH pada
individu dengan sindrom metabolik. NASH merupakan bagian dari
spektrum luas nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan ditandai
dengan hepatomegali, peningkatan serum aminotransferase dan
gambaran histologi yang menyerupai hepatitis alkoholik tanpa adanya
penggunaan alkohol berlebihan. Terjadinya fatty liver (yang
dideteksi melalui ultrasonografi) yang disertai dengan adanya
inflamasi (ditandai dengan peningkatan hsCRP dan
hipoadiponektinemia), proses fibrosis (ditandai dengan peningkatan
collagen type IV) serta adanya kematian sel (ditandai dengan
peningkatan enzim SGPT) merupakan kondisi yang terjadi pada
NASH.3,4
2.4 DIAGNOSIS KERJASejak munculnya sindrom resistensi insulin,
beberapa organisasi berusaha membuat kriteria sindrom metabolik
supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari. Secara
umum, semua kriteria yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria
untuk mendiagnosis sondrom metabolik atau sindrom resistensi
insulin. World Health Organization (WHO) merupakan organisasi
pertama yang mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun
1998. Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat dipakai
pada penyandang! DM mengingat penyandang DM juga dapat memenuhi
kriteria tersebut dan menunjukkan besarnya risiko terhadap kejadian
kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun 1999, the European
Group for Study of Insulin Resistance (EGIR) melakukan modifikasi
pada kriteria WHO. EGIR cenderung menggunakan istilah sindrom
resistensi insulin. Berbeda dengan WHO, EGIR lebih memlih obesitas
sentral dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi insulin
tidak dapat dipakai pada penyandang DM karena resistensi insulin
merupakan faktor risiko timbulnya DM. Pada tahun 2001, National
Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP
III) mengajukan kriteria baru yang tidak mengharuskan adanya
komponen resistensi insulin. Meski tidak pula mewajibkan adanya
komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas
sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom metabolik.
Nilai cut off lingkar perut diambil dari National Institute of
Health Obesity ClinicaI Guidelines; > 102 cm untuk pria dan >
88 cm untuk wanita. Untuk etnik tertentu seperti Asia, dengan
cut-off lingkar perut lebih rendah dari ATP III, sudah berisiko
terkena sindrom metabolik. Pada tahun 2003, American Association of
ClinicaI Endocrinologists (AACE) memodifikasi definisi dari ATP
III. Sama seperti EGIR, bila sudah ada DM, maka istilah sindrom
resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, pada
tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali
memodifikasi kriteria ATP III. IDF menganggap obesitas sentral
sangat berkorelasi dengan resistensi insulin, sehingga memakai
obesitas sentral sebagai kriteria utama. Nilai cut-off yang
digunakan juga dipengaruhi oleh etnik. Untuk Asia dipakai cut-off\
lingkar perut > 90 cm untuk pria dan > 80 cm untuk wanita.
Beberapa kriteria sindrom metabolik dapat dilihat pada table 2.
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak digunakan,
karena lebih memudahkan seorang klinisi untuk mengidentifikasi
seseorang dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik ditegakkan
apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria.1,5
2.5 DIAGNOSIS BANDINGDiferensial diagnosis yang mungkin ialah
diabetes mellitus. DM tipe 2 ini terjadi karena resistensi insulin.
Namun yang membedakannya dengan toleransi glukosa biasa adalah
kadar glukosa darah. Untuk diagnose DM tipe 2 jika kadar glukosa
darah sewaktu diatas 200 mg/dl maka orang tersebut masuk ke
kategori DM tipe 2. Namun jika hasilnya sudah diatas 110 dan masih
dibawah 200 maka orang tersebut dimasukan ke kategori tes toleransi
glukosa terganggu.Diagnosis banding yang lain ialah obesitas.
Sebenarnya dapat terjadi tumpang tindih antara diagnose banding
dengan gejala klinis. Dalam hal ini mungkin yang terlihat adalah
hanya obesitas yang biasanhya menjadi keluhan utama dan hasil yang
kita dapatkan. Padahal obesitas ini tidak berdiri sendiri dan
tergabung dalam sindrom metabolic ini sendiri.2.6 ETIOLOGIDari
beberapa pendapat ahli menyebutkan bahwa faktor genetik dan
lingkunganlah yang memegang peranan penting terjadinya sindroma
metabolik.Riwayat keluarga dengan diabetes tipe 2, hipertensi dan
penyakit jantung akan meningkatkan kemungkinan seseorang menderita
sindroma metabolik. Fator lingkungan yang berperan antara lain
kurangnya berolah raga, gaya hidup yang buruk, dan peningkatan
berat badan yang terlampau cepat.Sindroma metabolik terjadi pada 5%
orang dengan berat badan normal, 22% pada orang dengan kelebihan
berat badan dan 60% pada orang yang gemuk. Orang dewasa yang berat
badannya meningkat lebih dari 5 kg per tahun akan meningkatkan pula
resiko terjadinya sindroma metabolik sekitar 45%.Jadi, melihat
gambaran diatas, kegemukan merupakan faktor resiko yang sangat
penting terjadinya sindroma metabolik disamping hal hal berikut :
Perempuan yang telah memasuki menopause. Merokok. Mengkonsumsi
terlalu banyak karbohidrat. Kurang berolah raga. Mengkonsumsi
minuman beralkohol.Faktor-faktor tersebut merupakan ciri-ciri dari
pola hidup yang Westernized (kebarat-baratan) yang dapat memicu
timbulnya penyakit yang erat hubungannya dengan pola hidup ( Life
Style Related Disease) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1980an
dan sebagai salah satu contoh yang jelas adalah Sindroma
Metabolik.1,3,6
2.7 EPIDEMIOLOGIDi US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi
peningkatan prevalensi sindrom metabolik. Prevalensi sindrom
metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada
usia > 50 tahun sebesar 45%. Pandemi sindrom metabolik juga
berkembang seiring dengan peningkatan prevalensi obesitas yang
terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi yang
dilakukan di Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik
menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel III (NCEP-ATP III) dengan modifikasi Asia Pasifik,
terdapat pada 25.7% pria dan 25% wanita. Penelitian Soegondo (2004)
melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13% dan
menunjukkan bahwa kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25
kg/m2 lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian
di DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom
metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan
obesitas sentral merupakan komponen terbanyak (59,4%). Laporan
prevalensi sindrom metabolik di beberapa daerah di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 1.
Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik,
obesitas sentral paling dekat untuk memprediksi ada tidaknya
sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah Indonesia termasuk
Jakarta menunjukkan obesitas sentral merupakan komponen yang paling
banyak ditemukan pada individu dengan sindrom metabolik.12.8
PATOFISIOLOGIPengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing
komponen sindrom metabolik sebaiknya diketahui untuk dapat
memprediksi pengaruh perubahan gaya hidup dan medikamentosa dalam
penatalaksanaan sindrom metabolik.Obesitas sentralObesitas yang
digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang
terjadi. Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan
oleh lingkar perut (dengan cut-off yang berbeda antara jenis
kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi gangguan metabolik dan
risiko kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik jaringan
adiposa subkutan dan visceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral
lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular,
hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada
peningkatan kejadian kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat
perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari suatu
obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi
resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat
ditemukan pada individu tanpa obes (lean subjects). Interaksi
faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik
dari suatu resistensi insulin maupun obesitas. Jaringan adiposa
merupaka sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai
faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, Tumor
nekrosis factor (TNF-), Interleukin-6 (IL-6) dan resistin.
Konsentrasi adiponektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2 dan
obesitas. Senyawa ini dipreaya memiliki efek antiaterogenik pada
hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasi leptin meningkat
pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan berhubungan dengan
risiko kejadian kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko
tradisional kardiovaskular, IMT dan konsentrasi CRP Sejauh ini
belum diketahui apakah pengukuran pengukuran marker hormonal dari
jaringan adiposa lebih baik daripada pengukuran secara anatomi dala
memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolik
yang terkait.Resistensi InsulinResistensi insulin mendasari
kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini belum
disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi
insulin. Teknik clamp merupakan teknik yang ideal namun tidak
praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama puasa
juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya
dijumpai pada 10% sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model
Asessment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity Check Index
(QUICKI) dibuktikan berkorelasi erat dengan pemeriksaan standar,
sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila
melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan
jaringan adiposa dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran
resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin
(seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh
karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin di klinis belum
disarankan maupun disepakati.DislipidemiaDislipidemia yang khas
pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan trigliserida dan
penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun
mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL.
Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan akibat
peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi
peningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada manusia dan
hewan menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat
multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan
asam lemak bebas ke hati.Penurunan kolesterol HDL disebabkan
peningkatan trigliserida sehingga terjadi transfer trigliserida ke
HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi
trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL.
Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme lain yang menyebabkan
penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan trigliserida.
Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid
post prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi
gangguan produksi Apolipoprotein A-I (Apo A-l) oleh hati yang
selanjutnya mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran sistem
imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan
profil leipid pada subyek dengan resistensi insulin. Studi pada
hewan menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun akan menyebabkan
gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim
yang berkaitan sehingga terjadi perubahan profil lipid.Peran sistem
imunitas pada resistensi insulinInflamasi subklinis kronik juga
merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker inflamasi berperan
pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive
protein (CRP) dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang
keparahan inflamasi pada subyek wanita sehat dengan sindrom
metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang
mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan gangguan
fibrinolisis dalam memprediksi risiko
kardiovaskular.HipertensiResistensi insulin juga berperan pada
pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf simpatis
meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport
kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah.
Pemberian infus insulin akut dapat menyebabkan hipotensi akibat
vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat
resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek
pressor dan depressor. The Insulin Resistance Atherosclerosis
Stucfy melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan
hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan DM
tipe 2
Manifestasi lain-lainResistensi insulin disertai oleh banyak
perubahan lain yang tidak termasuk dalam kriteria diagnostik SM.
Peningkatan apo B, apo C-III, asam urat, faktor-faktor protrombotik
(fibrinogen, plasminogen activator inhibitor 1 = PAI-1), viskositas
serum, asymmetric dimethylarginine (ADMA), hemosistein, hitung
leukosit, sitokin proinflamasi, mikroalbuminuria, penyakit
perlemakan hati (non-alcoholic fatty liver disease = NAFLD dan
non-alcoholic steatohepatitis = NASH), gangguan napas sewaktu tidur
(obstructive sleep apnea ) dan penyakit polikistik ovarium
(polycystic ovarian disease) semua berkaitan dengan RI. Pada NASH
terdapat akumulasi trigliserida dan inflamasi. Merokok dan gaya
hidup tidak aktif fisik (sedenter) juga dapat menimbulkan banyak
dari kriteria utama SM. Peningkatan apo B dan apo C-III, dan NASH
terkait dengan pengaruh asam lemak terhadap produksi VLDL oleh
hati, juga apo B dan apo C-III menunjukkan peningkatan jumlah
partikel proaterogenik dalam sirkulasi.Hiperurikemia disebabkan
efek kerja insulin terhadap reabsorpsi asam urat di tubuli ginjal ,
sedangkan peningkatan ADMA, suatu penghambat nitric oxide synthase
endogen, berhubungan dengan disfungsi endotel. Mikroalbuminuria
menunjukkan adanya disfungsi endotel dalam keadaan RI.Sitokin
propinflamasiPada Sindrom Metabolik terdapat peningkatan sitokin
pro inflamasi meliputi interleukin 6 (IL-6), resistin, /tumour
necrosis factor (TNF) dan C-reactive protein (CRP) mencerminkan
produksi dari massa jaringan lemak yang lebih luas. Bukti
menunjukkan /monocyte-derived macrophages /terdapat di jaringan
lemak dan kemungkinan sekurangnya sumber generasi sitokin pro
inflamasi lokal dan sirkulasi sistemik. Terdapat bukti bahwa RI di
hati, otot, dan jaringan adiposa tidak hanya berkaitan dengan
banyaknya sitokin pro inflamasi (dan defisiensi relatif sitokin
anti inflamasi adiponektin), tetapi juga sebagai hasil beban
tersebut. Sebagai indeks umum inflamasi, kadar CRP bervariasi
tergantung pada etnik, asal dan kelompok dalam etnik oleh kebugaran
(/fitnes/s). Sebagai contoh kadar CRP lebih tinggi pada orang India
sehat daripada orang kulit putih Eropa dan terkait kepada obesitas
sentral dan RI yang lebih besar pada orang India.
AdiponektinAdiponektin adalah sitokin anti inflamasi yang
diproduksi hanya oleh adiposit. Adiponektin memperkuat kepekaan
insulin (insulin sensitivity), juga menghambat banyak langkah dalam
proses inflamasi,misalnya di hati menghambat ekpresi enzim-enzim
glukoneogenesis hati dan laju produksi glukosa endogen. di otot
meningkatkan angkutan glukosa dan memperkuat okidasi asam lemak,
pengaruh-pengaruh yang sebagian karena kerja AMP-kinase.1,2,32.9
PENATALAKSANAANUntuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada
individu yang telah memiliki sindrom metabolik, diperlukan
pemantauan yang terus menerus dengan modifikasi komponen sindrom
metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih
merupakan penatalaksanaan dari masing-masing komponennya (Tabel
3)Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular aterosklerosis dan risiko
diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang belum diabetes.
Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu
tatalaksana penyebab (berat badan lebih/obesitas dan inaktifitas
fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.Obesitas
dan Obesitas SentralPemahaman tentang hubungan antara obesitas dan
sindrom metabolik serta peranan otak dalam pengaturan energi,
merupakan titik tolak yang penting dalam penatalaksanaan klinik.
Pengaturan berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas
tapi juga sindrom metabolik. Mempertahankan berat badan yang lebih
rendah dikombinasi dengan pengurangan asupan kalori dan peningkatan
aktifitas fisik merupakan prioritas utama pada penyandang sindrom
metabolik. Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12
bulan, dapat dicapai dengan mengurangi asupan kalori sebesar
500-1000 kalori per hari ditunjang dengan aktifitas fisik yang
sesuai. Aktifitas fisik yang disarankan adalah selama 30 menit atau
lebih setiap hari. Untuk subyek dengan komorbid penyakit jantung
koroner, perlu dilakukan evaluasi kebugaran sebelum diberikan
anjuran jenis-jenis olah raga yang sesuai.Pemakaian obat-obatan
dapat berguna sehingga dipertimbangkan pada beberapa pasien. Dua
obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah
sibutramin dan orlistat. Dengan mempertimbangkan peranan otak
sebagai regulator berat badan, sibutramin dapat menjadi
pertimbangan walaupun tanpa mengesampingkan kemungkinan efek
samping yang mungkin timbul. Cara kerjanya di sentral memberikan
efek mengurangi asupan energi melalui efek mempercepat rasa kenyang
dan mempertahankan pengeluaran energi setelah berat badan turun
dapat memberikan efek tidak hanya untuk penurunan berat badan namun
juga mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula
dengan efek metabolik, sebagai efek dari penurunan berat badan
pemberian sibutramin setelah 24 minggu yang disertai dengan diet
dan aktifitas fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan
kolesterol HDL.Terapi pembedahan dapat dipertimbangkan pada
pasien-pasien yang berisiko serius akibat
obesitasnya.HipertensiHipertensi merupakan faktor risiko penyakit
kardiovaskular. Hipertensi juga mengakibatkan mikroalbuminuria
yangdipakai sebagai indikator independen morbiditas kardiovaskular
pida pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan darah
berbeda antara subyek dengan DM dan tanpa DM. Pada subyek dengan DM
dan penyakit ginjal, target tekanan darah adalah < 130/80 mmHg,
sedangkan pada bukan, targetnya < 140/90 mmHg. Untuk mencapai
target tekanan darah, penatalaksanaan tetap diawali dengan
pengaturan diet dan aktifitas fisik. Peningkatan tekanan darah
ringan dapat diatasi dulu dengan upaya penurunan berat badan,
berolah raga, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak
mengkonsumsi serat. Namun apabila modifikasi gaya hidup sendiri
tidak mampu mengendalikan tekanan darah maka dibutuhken pendekatan
medikamentosa untuk mencegah komplikasi seperti infark miokard,
gagal ginjal kronik dan stroke.Dalam suatu penelitian meta-analisis
didapatkan bahwa enzim pengkonversi angiotensin dan penghambat
reseptor angiotensin mempunyai manfaat yang bermakna dalam
meregresi hipertrofi ventrikel kiri dibandingkan dengan penghambat
beta adrenergik, diuretik dan antagonis kalsium. Valsartan, suatu
penghambat reseptor angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuria
yang diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular.
Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai
linipertama pada penyandang hipertensi dengan sindrom metabolik
terutama bila ada DM Angiotensin receptor blocker (ARB) dapat
digunakan apabila tidak toleran terhadap ACE inhibitor. Meski
pemakaian diuretik tidak dianjurkan pada subyek dengan gangguan
toleransi glukosa, namun pemakaian diuretik dosis rendah yang
dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat dibandingkan
efek sampingnya.Gangguan Toleransi GlukosaIntoleransi glukosa
merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat
menjadi awal suatu diabetes melitus. Penelitian-penelitian yang ada
menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan risiko kardiovaskular padasindrom metabolik dan
diabetes. Perubahan gaya hidup dan aktifitas fisik yang teratur
terbukti efektif dapat menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi
diet secara bermakna memperbaiki glukosa 2 jam pasca prandial dan
konsentrasi insulin.Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan
tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan
konsentrasi asam lemak bebas. Pada Diabetes Prevention Program,
penggunaan metformin dapat mengurangi progresi diabetes sebesar 31%
dan efektif pada pasien muda dengan obesitas.DislipidemiaPilihan
terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti
dengan medikamentosa. Namun demikian, perubahan diet dan latihan
jasmani saja tidak cukup berhasil mencapai target. Oleh karena itu
disarankan untuk memberikan obat berbarengan dengan perubahan gaya
hidup. Menurut ATP III, setelah kolesterol LDL sudah mencapai
target, sasaran berikutnya adalah dislipidemia aterogenik. Pada
konsentrasi trigliserida + 200 mg/di, maka target terapi adalah non
kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi dengan
gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara
bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat secara
khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan
kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang
sangat efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat
juga dapat menurunkan konsentrasi fibrinogen. Kombinasi fenofibrat
dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol HDL dan
LDLTarget terapi berikutnya adalah peningkatan apoB. Beberapa studi
menunjukkan apoB lebih baik dalam menggambarkan dislipidemia
aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan konlesterol non HDL
sehingga menyarankan apoB sebagai target terapi. Meskipun demikian,
ATP III tetap menyarankan pemakaian kolesterol non HDL sebagai
target terapi mengingat di beberapa tempat, sarana pemeriksaan apoB
belum tersedia.Apabila konsentrasi trigliserida + 500 mg/dL, maka
target terapi pertama adalah penurunan trigliserida untuk mencegah
timbulnya pancreatitis akut. Pada konsentrasi trigliserida < 500
mg/dL, terapi kombinasi untuk menurunkan trigliserida dan
kolesterol LDL dapat digunakan. Berbeda dengan trigliserida dan
kolesterol LDL, untuk kolesterol HDL tidak ada target terapi
tertentu, hanya dinaikkan saja. Panduan terapi untuk dislipidemia
dapat dilihat pada Tabel 3.1,3,4
2.10 PENCEGAHANThe US Preventive Services Task Force
merekomendasi konsultasi diet intensif terhadap pasien-pasien
dewasa yang mempunyai faktor-faktor risiko untuk terjadinya
penyulit kardiovaskular. Para dokter keluarga lebih efektif dalam
membantu pasien menerapkan kebiasaan hidup sehat. The Diabetes
Prevention Program telah membuktikan bahwa intervensi gaya hidup
yang ketat pada pasien prediabetes dapat menghambat progresivitas
terjadinya diabetes lebih dari 50% ( dari 11% menjadi 4,8%).32.11
KOMPLIKASIKegemukan (obesitas), tekanan darah tinggi, diabetes
mellitus dan dislipidemia secara sendiri-sendiri sudah sejak lama
diketahui sebagai faktor resiko terjadinya penyakit jantung
koroner. Demikian pula adanya factor-faktor tersebut secara
bersamaan pada seseorang telah sangat dikenal akan jauh
meningkatkan kemungkinan terjadinya Penyakit jantung Koroner.
Dengan demikian penderita dengan Sindroma Metabolik kemungkinan
untuk mendapatkan / terkena penyakit jantung koroner dan penyakit
kardiovaskuler lainnya akan meningkat.72.12 PROGNOSISMetabolic
syndrome bukan suatu penyakit tetapi kumpulan fenomena klinis
terkait resistensi insulin. Intervensi terhadap metabolic syndrome
termasuk penurunan berat badan ( perubahan gaya hidup, obat ) dapat
menunda ataupun mencegah diabetes mellitus tipe 2 serta menurunkan
risiko penyakit kardiovaskular.8
BAB IIIPENUTUP3.1 KesimpulanSindrom metabolik merupakan kumpulan
gejala yang keberadaannya menunjukkan peningkatan risiko kejadian
penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. Obesitas sentral
memiliki korelasi paling erat dengan sindrom metabolik dibandingkan
dengan komponen yang lain. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih
mengacu pada tiap komponen, sejauh ini belum ada penatalaksanaan
yang berbeda bila dibandingkan dengan komponen secara
individual.
DAFTAR PUSTAKA1. Sudoyo W. Aru, et al. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Ed 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran UI. 2009; h. 1865-1872. 2. Sylvia, A ,
Prince, Lorraine , et. al. Patofisiologi. 6th ed, vol. 1. Jakarta :
EGC 2006; h.1202-1213.3. Sindrom metabolik. 2010. Diunduh dari
http://www.abclab.co.id/?p=833 pada 28 November 2010.4. National
Institutes of Health: Third Report of the National Cholesterol
Education Program Expert Panel on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment
Panel III). Executive Summary. Bethesda, Md.: National Institutes
of Health, National Heart Lung and Blood Institute, 2001 (NIH
publication no. 01-3670). Diunduh dari
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/ index.html pada 28
November 20105. Surabaya metabolic syndrome update 2006. 2006.
Diunduh dari http://www.majalah-farmacia.com pada 28 November
2010.6. Faktor risiko sindrom metabolik. 2009. Diunduh dari
http://www.news-medical.net/health/Metabolic-Syndrome-Risk-Factors-%28Indonesian%29.aspx
pada 28 November 2010.7. Komplikasi obesitas dan usaha. 2007.
Diunduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_KomplikasiObesitasdanUsaha.pdf/15_KomplikasiObesitasdanUsaha.html
pada 28 November 20108. Cardiovascular morbidity and mortality
associated with the metabolic syndrome. 2007. Diunduh dari
http://www.metabolicsyndromeinstitute.com/informations/prognosis-outcomes/cardiovascular-morbidity-and-mortality-associated-with-the-metabolic-syndrome.php
pada 28 November 2010