2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda Waduk merupakan badan perairan yang dibentuk dengan membangun dam melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan waduk terbesar di Jawa Barat dan tertua di Indonesia yang memiliki fungsi serbaguna. Waduk Ir. H. Juanda mempunyai luas 8.300 ha dengan kapasitas waduk mencapai ± 3 milyar m 3 yang memiliki fungsi sebagai penyediaan baku air minum dan industri, PLTA, penyediaan air irigasi pertanian, perikanan, pariwisata, dan pengendali banjir. Waduk Ir. H. Juanda terletak ± 11 km ke arah barat daya dari kota Purwakarta tepatnya pada posisi 6 0 30’ sampai 6 0 49’ LS dan 107 0 14’ sampai 107 0 22’ BT (Anonimus 1989 in Widiyastuti 2004). Waduk Ir. H. Juanda dibentuk dengan membendung Sungai Citarum dan anak sungai yang berada di Kecamatan Jatiluhur. Waduk ini mendapat pasokan air dari dua waduk yang berada di bagian hulu sepanjang DAS Citarum, yaitu Waduk Saguling dan Cirata. Sumber air waduk berasal dari daerah pengaliran Waduk Saguling dan Cirata yang juga terdapat keramba jaring apung dalam jumlah yang banyak dan mengakibatkan beban pencemaran terakumulasi di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004). Berdasarkan ciri morfometrik, Waduk Ir. H. Juanda termasuk perairan terbuka yang cukup dalam, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah tangkap hujan yang luas, dan produktivitas perairan umumnya didominasi oleh fitoplankton (Simarmata 2007). Menurut Sukimin (1999), ekosistem Waduk Ir. H. Juanda secara gradient longitudinal dapat dibagi kedalam zona mengalir (riverine), zona transisi dan zona menggenang (lacustrine) (perairan tengah, Dam) yang sebagian besar merupakan tempat pengembangan budidaya ikan keramba jaring apung. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda dapat digambarkan dengan beberapa parameter seperti yang tertera pada Tabel 1.
20
Embed
2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda - repository.ipb.ac.id · melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Umum Waduk Ir. H. Juanda
Waduk merupakan badan perairan yang dibentuk dengan membangun dam
melintasi sungai sehingga air bendungan berada di belakang dam (Ryding dan
Rast 1989 in Simarmata 2007). Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur) merupakan
waduk terbesar di Jawa Barat dan tertua di Indonesia yang memiliki fungsi
serbaguna. Waduk Ir. H. Juanda mempunyai luas 8.300 ha dengan kapasitas
waduk mencapai ± 3 milyar m3 yang memiliki fungsi sebagai penyediaan baku air
minum dan industri, PLTA, penyediaan air irigasi pertanian, perikanan, pariwisata,
dan pengendali banjir. Waduk Ir. H. Juanda terletak ± 11 km ke arah barat daya
dari kota Purwakarta tepatnya pada posisi 60 30’ sampai 60 49’ LS dan 1070 14’
sampai 1070 22’ BT (Anonimus 1989 in Widiyastuti 2004).
Waduk Ir. H. Juanda dibentuk dengan membendung Sungai Citarum dan
anak sungai yang berada di Kecamatan Jatiluhur. Waduk ini mendapat pasokan
air dari dua waduk yang berada di bagian hulu sepanjang DAS Citarum, yaitu
Waduk Saguling dan Cirata. Sumber air waduk berasal dari daerah pengaliran
Waduk Saguling dan Cirata yang juga terdapat keramba jaring apung dalam
jumlah yang banyak dan mengakibatkan beban pencemaran terakumulasi di
Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004).
Berdasarkan ciri morfometrik, Waduk Ir. H. Juanda termasuk perairan
terbuka yang cukup dalam, jumlah teluk banyak, garis pantai yang panjang, daerah
tangkap hujan yang luas, dan produktivitas perairan umumnya didominasi oleh
fitoplankton (Simarmata 2007). Menurut Sukimin (1999), ekosistem Waduk Ir. H.
Juanda secara gradient longitudinal dapat dibagi kedalam zona mengalir (riverine),
zona transisi dan zona menggenang (lacustrine) (perairan tengah, Dam) yang
sebagian besar merupakan tempat pengembangan budidaya ikan keramba jaring
apung. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda dapat digambarkan dengan beberapa
parameter seperti yang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Waduk Ir. H. Juanda (Prihadi 2004)
2.2. Keramba Jaring Apung (KJA)
Keramba jaring apung (KJA) adalah tempat pemeliharaan ikan yang
terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air
dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran air. Budidaya ikan dalam KJA
atau Floating Net Cage merupakan salah satu cara pemanfaatan badan air
semaksimal mungkin sebagai media budidaya (Susanti 2003). Menurut
Ilyas et al. (1990) in Nastiti et al. (2001), paket teknologi budidaya ikan dalam
KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan yang cocok untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya perairan
danau dan waduk Indonesia. Beberapa jenis ikan yang dapat dipelihara di
KJA adalah ikan mas, nila grass crap, tawes, jelawat dan patin.
Paket teknologi KJA merupakan salah satu paket teknologi budidaya ikan
yang cocok untuk mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya perairan khususnya
perairan danau dan waduk di Indonesia; yang luasnya 2,1 juta hektar (Ilyas et al.
1992 in Iskandar dan Suryadi 2000) termasuk Waduk Ir. H. Juanda, Cirata, dan
Saguling. Menurut Krismono (1993) in Iskandar dan Suryadi (2000), bila 1% saja
dari luas perairan tersebut digunakan untuk budidaya ikan dalam KJA, maka akan
dapat menghasilkan 800 ton ikan/hari. Namun, perkembangan KJA yang tidak
terkendali akan banyak mengakibatkan kematian ikan yang dipelihara di KJA
seperti yang terjadi pada tahun 1996 jumlah ikan yang mati mencapai 1.560 ton dan
kerugian mencapai 7 milyar rupiah (Krismono et al. 1996).
Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Di bagian bawah/hilir
Ketinggian dari muka laut (m) 111
Selesai dibangun 1967
Volume air × 1000 m3 2.970.000.000
Luas permukaan (A) (ha) 8.300
Kedalaman rata-rata (m) 35,8
Kedalaman maksimum (Zmaks) (m) 90
Status Kesuburan Mesotrofik-Eutrofik
Pola pencampuran massa air Oligomictic (jarang)
Kondisi tanpa oksigen dimulai pada kedalaman (m) > 11-20 (anoksik)
Teknologi KJA merupakan sistem budidaya perairan yang relatif baru
dibandingkan dengan teknologi budidaya lainnya. Pertama kali diuji coba pada
tahun 1974 di Waduk Ir. H. Juanda dibawah pengelolan Perum Jasa Tirta II dan
mulai dibudidayakan pada tahun 1988. Berkembangnya budidaya ikan KJA di
Waduk Ir. H. Juanda terbukti telah memberikan dampak positif terhadap
peningkatan produksi ikan, konsumsi ikan, peluang usaha, kesempatan kerja dan
peningkatan pendapatan. Namun sejalan dengan hal tersebut timbul permasalahan
yang mengganggu pelestarian sumberdaya air waduk maupun usaha perikanan itu
sendiri.
Jumlah unit KJA di Waduk Ir. H. Juanda mengalami peningkatan yang cukup
besar dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi peningkatan
unit KJA yang cukup besar yaitu pada tahun 1994 jumlah KJA sebanyak 850 unit
dengan produksi ikan 1.998 ton/tahun (Krismono 2000) dan jumlah KJA pada
tahun 2004 adalah 3.216 unit dengan produksi 12.580 ton/tahun (Sudjana 2004).
Jumlah unit KJA hingga saat ini bahkan mencapai 4.714 unit (Dinas Perikanan
Kabupaten Purwakarta, 2009). Jumlah unit KJA ini sudah dikategorikan dalam
jumlah yang cukup tinggi. Dalam penetapan batas maksimum jumlah unit KJA di
Waduk Ir. H. Juanda terdapat perbedaan dari masing-masing instansi terkait
seperti yang ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbedaan jumlah dan luas areal budidaya KJA di Waduk Ir. H. Juanda (Sudjana 2004)
Kriteria Satuan POKJA
1996 PJT II 2004
SK Bupati
06/2000
Batasan
kriteria
Luas waduk ha 8.300 8.300 8.300 6.000
Elevasi air minimum m dpl 90,00 - 87,65 87,65
Jarak antar unit m 25 - 50 50
Luas desain/unit KJA m2 453 - 624 624
Jumlah KJA maksimum unit 5.480 3216 2100 962
Luas perairan KJA ha 209,5 83 131 60
Luas perairan KJA % 2,52 1 1,58 1
Pada perkembangannya, paket teknologi budidaya ikan dalam KJA belum
dipahami secara baik oleh petani khususnya dalam cara pemberian pakan. Untuk
mengejar keuntungan besar, maka cara pemberian pakan dilakukan dengan sistem
pompa supaya panen lebih cepat. Pemberian pakan dengan sistem ini
menyebabkan pakan yang terbuang pada KJA ukuran 7 x 7 x 3 m3 adalah 20-30%
dan untuk ukuran 1 x 1 x 1 m3 sebanyak 30-50% (Wahyudi 1996 in Krismono 2004).
Dampak pakan yang terbuang akan mengendap ke dasar perairan dan
menunjukkan perbedaan antara daerah bebas KJA, daerah KJA baru, dan daerah
KJA lama mempunyai endapan paling tebal.
Pada pengembangan budidaya ikan di KJA diperlukan beberapa
pertimbangan agar kegiatan budidaya ikan tersebut tidak melebihi daya dukung
dari perairan itu sendiri. Beberapa parameter yang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengembangan budidaya ikan sistem KJA dari ketiga waduk
di Sungai Citarum dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Estimasi daya dukung Waduk Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk
pengembangan budidaya ikan dalam KJA (modifikasi Krismono 2004)
Persyaratan KJA berdasarkan SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten
Purwakarta No. 53.32/Kep.234-Diskan/2000 in Sudjana (2004) yaitu:
1. Ukuran petak KJA : 7 x 7 x 3 m3
2. Unit KJA : maksimal 8 petak/unit KJA
3. Ukuran per unit KJA : maksimal 28 × 14 m2
4. Jarak antar unit KJA : minimal 50 m
5. 1 % dari luas waduk efektif : ± 60 ha
6. Dilengkapi gudang pakan dan ruang tunggu: maksimal 4 × 4 m2
7. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan mas, nila/nila merah, patin,ikan
hias, dan ikan lain yang cocok serta tidak merusak lingkungan
Daya dukung ikan maksimum (kg) 1.781.988,89 2.004.737,5 1.672.983,3
Padat tebar KJA (kg/m3) 7,5 7,5 7,5
Ukuran keramba (m3) 98 98 98
Bobot rataan ikan/KJA (kg) 735 735 735
Jumlah maksimum KJA (unit) 2.424,4 2.727,5 3.636,7
9. Jenis pakan ikan yang dipergunakan harus memenuhi Standar Industri
Indonesia (SII) dan lolos pengujian dari Pemerintah daerah melalui Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Purwakarta
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2002), waktu pemeliharaan
tiap periode di Waduk Ir. H. Juanda pada umumnya adalah 2,5 bulan/musim
tanam dengan frekuensi panen 2,5 bulan/musim tanam; produksi ikan rata-
rata/jaring/musim tanam adalah 1.167,14 kg dengan total 23.076.692,08 kg/tahun;
dan jumlah pakan rata-rata 1.753,57 kg/musim dengan total adalah 34.671.586,04
kg/tahun.
2.3. Umbalan (Pencampuran Massa Air)
Pada saat terjadinya peralihan musim antara musim kemarau ke musim
hujan intensitas cahaya matahari menjadi berkurang. Kondisi ini dapat
menyebabkan terjadinya proses umbalan (upwelling), yaitu pembalikan massa air
pada saat suhu di lapisan permukaan terjadi penurunan secara tiba-tiba hingga
mencapai kisaran suhu yang lebih kecil daripada suhu di dasar yang selanjutnya
akan mempengaruhi kehidupan biota perairan khususnya ikan budidaya di
keramba jaring apung. Masalah arus balik ini telah beberapa kali dialami oleh
Waduk Ir. H. Juanda berupa naiknya massa air dari dasar ke permukaan secara
tiba-tiba. Hal ini juga dapat terjadi pada awal musim hujan saat terjadi penurunan
suhu secara mendadak pada lapisan permukaan akibat hujan deras yang terjadi
secara tiba-tiba.
Waduk Ir. H. Juanda memiliki stratifikasi temperatur yang merupakan salah
satu penyebab terjadinya proses umbalan di waduk tersebut. Waduk-waduk yang
dibangun di dataran tinggi atau pegunungan sering mengalami umbalan karena
morfologinya seperti corong dan cenderung disebabkan oleh suhu. Menurut
Jangkaru (2003), proses umbalan umumnya terjadi pada badan air dengan
permukaan yang sempit dan dalam, serta curam seperti corong atau botol. Dengan
bentuk seperti corong dan botol maka proses pengadukan alamiah yang umumnya
dilakukan oleh angin tidak terjadi secara rutin. Akibatnya terbentuklah pelapisan
dalam kolom badan air termasuk juga pelapisan kualitas air sehingga semakin
dalam lapisan air maka akan semakin rendah mutunya. Jika umbalan terjadi pada
badan air yang memiliki stratifikasi atau pelapisan maka dapat berakibat fatal bagi
organisme di dalamnya karena kualitas air yang rendah umumnya terdapat di
dasar dan akan ikut terangkat ke permukaan tempat ikan hidup. Umbalan tidak
berpengaruh terlalu buruk pada air yang jernih, sedangkan pada perairan yang
dasarnya kotor tercemar limbah (termasuk limbah pakan ikan) dapat mengancam
kehidupan ikan karena massa air yang naik ke permukaan akan membawa
senyawa-senyawa beracun yang membahayakan kehidupan ikan.
Jangkaru (2002) menyatakan bahwa penurunan suhu udara pada
malam hari, pada waktu hujan, atau pada waktu sinar matahari terhalang
oleh awan, asap, debu, atau pelindung lainnya akan menurunkan suhu air
permukaan. Jika proses penurunan suhu udara berlanjut sehingga suhu air
permukaan sama dengan suhu lapisan bawah maka akan terjadi proses
pembauran atau pencampuran air. Apabila suhu air permukaan terus
berlanjut sehingga lebih dingin dibanding dengan suhu air dasar maka akan
terjadi proses pembalikan atau umbalan (upwelling).
Goldman dan Horne (1983) membagi upwelling berdasarkan
banyaknya upwelling yang terjadi dalam satu tahun, yaitu :
1). Monomictic : pencampuran massa air yang terjadi satu kali dalam
setahun. Biasanya terjadi pada perairan yang beriklim tropis.
2). Dimictic : pencampuran massa air yang terjadi dua kali dalam setahun
yaitu pada permulaan musim semi dan pada musim dingin atau musim
salju.
3). Polymictic : pencampuran massa air yang terjadi secara terus menerus
dalam setiap tahun.
Berdasarkan derajat pencampuran, Goldman dan Horne (1983)
membagi upwelling menjadi dua yaitu:
1). Holomictic : pencampuran massa air yang terjadi dari permukaan hingga
ke dasar perairan yang terjadi secara sempurna. Siklus pencampuran ini
biasanya terjadi setiap tahunnya.
2). Meromictic : pencampuran massa air yang terjadi pada kedalaman
tertentu saja dan tidak terjadi secara sempurna hingga ke dasar.
Pencampuran ini biasanya terjadi pada perairan yang dalam.
Menurut Mann (1978) in Nastiti dan Krismono (2003) faktor yang
menyebabkan terjadinya umbalan adalah sebagai berikut :
1). Pendinginan secara konveksi
Pendinginan secara konveksi bisa terjadi setiap hari terutama pada
perairan yang dangkal di daerah dataran tinggi. Proses pendinginan terjadi
pada waktu malam hari yang menyebabkan pendinginan di daerah
permukaan. Partikel–partikel air yang dingin dan berat akan tenggelam
sampai pada lapisan yang mempunyai suhu atau berat jenis yang sama.
Dengan demikian arus konveksi yang timbul menyebabkan perpindahan
massa air dari bawah ke permukaan perairan. Proses pendinginan secara
konveksi selain disebabkan pendinginan pada malam hari juga disebabkan
karena penguapan, ataupun cuaca yang dingin.
2). Angin
Angin topan akan menimbulkan arus kuat, yang mampu
memindahkan massa air dari dasar ke permukaan. Jangkaru (2003)
menyatakan bahwa angin yang bertiup dengan kecepatan yang tinggi di
atas permukaan air yang luas dapat menimbulkan gerakan air vertikal.
Angin mengangkat sejumlah massa air lalu akan menumpuk di sisi lain,
yang umumnya disebut dengan gelombang. Ruang kosong yang
ditinggalkan gelombang akan segera diisi oleh lapisan air di bawahnya
sehingga terjadilah umbalan.
3). Aliran Sungai
Masukan air sungai kedalam perairan waduk ataupun danau akan
menimbulkan arus. Arus sungai mempunyai berat yang berbeda dengan air
waduk atau danau. Kedalaman air yang dicapai tergantung kepada
perbedaan berat jenis. Jika berat jenis air sungai lebih besar daripada air
waduk atau danau maka air sungai tersebut akan mengalir di bawah air
waduk atau danau. Akan tetapi bila berat jenis air sungai lebih kecil dari air
waduk atau danau maka air sungai akan mengalir diatas air waduk atau
danau. Pada waduk atau danau yang mengalami stratifikasi, air sungai
yang dingin mengalir kebawah hingga mencapai daerah yang mempunyai
berat jenis dan suhu yang sama. Daerah ini umumnya diatas hipolimnion.
4). Pasang Surut
Proses pemindahan massa air dari bawah ke permukaan disebabkan
oleh pasang surut yang umumnya terjadi di pantai.
Menurut Azwar et al. (2004), kematian massal ikan yang sering terjadi
di KJA disebabkan oleh terjadinya perubahan ekosistem lingkungan secara
mendadak karena umbalan akibat dari massa air di lapisan bawah yang
memiliki kadar oksigen rendah akibat tingginya pembusukan bahan
organik, tingginya NH3-N, H2S, dan gas metan. Ketiga senyawa terakhir ini
bersifat toksik bagi ikan, sedangkan ketersediaan oksigen sangat penting
dalam mempertahankan kehidupan ikan.
2.4. Oksigen Terlarut - Dissolved Oxygen (DO)
2.4.1. Sumber oksigen terlarut
Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung
pada suhu, salinitas, turbulensi, air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar
suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar
oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003).
Menurut Simarmata (2007) sumber oksigen terlarut di perairan berasal dari
hasil fotosintesis fitoplankton, difusi udara, dan susupan dari inflow.
Di perairan yang subur, fotosintesis merupakan input utama dalam
produksi oksigen di perairan. Pada umumnya konsentrasi oksigen saat
permulaan fajar masih rendah, lalu tinggi pada siang hari, kemudian secara
kontinu berkurang sepanjang malam karena kebutuhan respirasi komunitas.
Populasi hewan dan tanaman di badan air akan mengkonsumsi oksigen
selama proses respirasi dan menghasilkan CO2 yang akan digunakan untuk
fotosintesis. Fotosintesis terjadi di zona fotik, namun respirasi terjadi
dimana saja baik dari kolom air hingga ke dasar perairan sehingga
permukaan air cenderung kaya akan oksigen terlarut dan berkurang dengan
bertambahnya kedalaman (Seller dan Markland 1990 in Simarmata 2007).
Selain dari hasil fotosintesis, oksigen terlarut juga bersumber dari
difusi udara. Menurut Welch (1952), adsorpsi oksigen dari udara ke air
melalui dua cara yaitu difusi langsung ke permukaan air atau melalui
bentuk agitasi air permukaan seperti gelombang, air terjun, turbulensi. Di
perairan danau dan waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh
fotosintesis alga yang banyak terdapat di epilimnion. Kadar oksigen
maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi pada
pagi hari (Effendi 2003).
Ketersediaan oksigen terlarut merupakan informasi penting dalam
reaksi secara biologi dan biokimia di perairan. Konsentrasi oksigen yang
tersedia berpengaruh secara langsung pada kehidupan akuatik khususnya
respirasi aerobik, pertumbuhan dan reproduksi. Konsentrasi oksigen
terlarut di perairan juga menentukan kapasitas perairan untuk menerima
beban bahan organik tanpa menyebabkan gangguan atau mematikan
organisme hidup (Umaly and Cuvin 1988 in Effendi 2003).
2.4.2. Cadangan oksigen terlarut di hipolimnion
Sumber oksigen di lapisan hipolimnion hampir tidak ada, kecuali jika terjadi
pembalikkan massa air. Menurut Cornett dan Rigler (1987) in Krismono (2000),
konsentrasi oksigen di lapisan hipolimnion merupakan hasil bersih dari sisa
dekomposisi bahan organik di sedimen dasar dan respirasi biota perairan ditambah
oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis biota pelagis dan bentik serta transport
oksigen secara vertikal karena turbulensi. Distribusi oksigen ke dalam kolom
perairan lambat kecuali jika terjadi turbulensi kuat.
2.4.3. Penurunan oksigen terlarut di perairan
Pengkayaan bahan organik di sedimen akan menstimulasi aktivitas
mikroba yang memerlukan oksigen sehingga menimbulkan deoksigenasi
pada subtrat dan kolom air diatasnya. Akibatnya akan menambah
kedalaman lapisan reduktif atau mengurangi lapisan oksik di perairan, yang
pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan biota di KJA karena oksigen
merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan. Stadia kritis terjadi jika
jumlah oksigen di hipolimnion tidak cukup untuk proses degradasi bahan
organik, baik allochtonous atau autochtonous (Simarmata 2007).
Oksigen merupakan faktor kritis dalam budidaya ikan dikarenakan
oksigen merupakan faktor utama dalam mendukung kelangsungan hidup
ikan. Kondisi oksigen yang minim di perairan dapat mengancam
kehidupan ikan dan biota air lainnya, namun jika oksigen mencapai titik
jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat
seiring dengan peningkatan unsur hara, maka akan membahayakan
kelangsungan hidup ikan karena dapat memicu terjadinya eutrofikasi
perairan yang mengakibatkan oksigen pada saat malam hari menjadi sangat
minim atau bahkan mencapai nol.
Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat
mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Di
perairan tawar, kadar oksigen terlarut berkisar antara 15 mg/liter pada 0 0C
dan 8 mg/liter pada suhu 25 0C (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003).
Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan
musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan
(turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent)
yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Menurut Welch (1952),
ketersediaan oksigen terlarut di perairan akan mengalami penurunan akibat
proses respirasi oleh biota air baik hewan maupun tumbuhan di sepanjang
hari, dekomposisi bahan organik, inflow dari tanah, dan keberadaan besi di
perairan.
Menurut Effendi (2003), ikan dan organisme akuatik lain
membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang cukup. Pada siang hari
ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis
pada lapisan eufotik lebih besar daripada konsumsi oksigen oleh proses
respirasi. Pada malam hari, fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus
berlangsung. Pola perubahan kadar oksigen ini mengakibatkan terjadinya
fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan.
Goldman dan Horne (1983) membagi empat tipe distribusi oksigen
terlarut di suatu perairan, yaitu (Gambar 2):
a. Tipe orthograde : terjadi pada danau yang tidak produktif (oligotrofik) atau
danau yang miskin unsur hara dan bahan organik. Pada tipe ini konsentrasi
oksigen semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman perairan.
Peningkatan oksigen pada kondisi ini lebih diakibatkan oleh penurunan suhu
dengan bertambahnya kedalaman.
b. Tipe clinograde : terjadi pada danau yang produktif (eutrofik) dengan
kandungan unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Pada tipe ini
oksigen terlarut semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman
atau bahkan habis sebelum mencapai dasar. Penurunan ini diakibatkan
oleh adanya proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme.
c. Tipe heterograde positif dan negatif : pada tipe ini terlihat bahwa
fotosintesis dominan terjadi di atas lapisan termoklin dan akan
meningkatkan oksigen di bagian atas lapisan metalimnion.
d. Tipe anomali : tipe ini terjadi aliran air yang deras, dingin, kaya oksigen
dan membentuk sebuah lapisan yang mempunyai ciri-ciri tersendiri.
Gambar 2. Tipe distribusi oksigen terlarut secara vertikal di danau/waduk berdasarkan kedalaman; (a). orthograde, (b). clinograde, (c). heterograde, (d). anomali (Goldman dan Horne 1983).
2.5. Bahan Organik di Perairan
Bahan organik yang terdapat di perairan waduk terdiri dari
allocthonous organic matter dan autochthonous organic matter. Allocthonous
organic matter adalah bahan organik yang berasal dari luar perairan seperti
limbah rumah tangga dan sisa aktivitas perairan di sekitar waduk,
sedangkan autochthonous organic matter adalah bahan organik yang berasal
dari dalam waduk itu sendiri seperti sisa pakan, buangan hasil ekskresi
ikan, dan hasil dekomposisi organisme plankton. Akumulasi bahan organik
di perairan juga mempengaruhi kelangsungan hidup ikan seperti kematian,
akibat defisiensi oksigen karena dipakai untuk menguraikan bahan organik
tersebut.
Bahan organik dalam KJA terutama berasal dari sisa pakan dan
kotoran ikan. Dengan meningkatnya jumlah unit KJA maka secara otomatis
bahan organik menjadi berlipat ganda. Bahan organik dari sisa pakan yang
tidak termakan oleh ikan akan semakin bertambah dengan meningkatnya
jumlah unit KJA karena semakin banyak jumlah pakan yang masuk ke
perairan. Selain itu peningkatan jumlah unit KJA juga mengakibatkan
peningkatan bahan organik dari hasil ekskresi ikan karena dengan
meningkatnya jumlah unit KJA tersebut maka akan semakin banyak ikan
budidaya yang ditebar.
Pakan dapat berasal dari pemberian atau tersedia secara alami dalam
KJA sedangkan kotoran ikan biasanya berupa sisa-sisa hasil metabolisme
ikan. Bahan organik tersebut akan larut dan terkandung dalam air dan
sebagian mengendap di dasar yang kemudian akan dimakan dan dirombak
oleh makroorganisme dan mikroorganisme. Dalam batas tertentu,
kandungan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan perairan.
Namun, jika melampaui batas, bahan organik justru akan menghambat
pertumbuhan ikan (Jangkaru 2003).
Menurut Vitner et al. (1999) peningkatan konsentrasi bahan organik di
perairan diduga karena: (a) pengadukan massa air secara merata, (b)
penurunan muka air yang mengakibatkan konsentrasi di perairan menjadi
pekat dan kandungan bahan organik menjadi meningkat, dan (c) pengaruh
buangan yang makin hari semakin besar dari luar waduk. Jika peningkatan
bahan organik terjadi secara terus menerus maka akan memberi dampak
seperti:
a. Akan bertambahnya beban waduk dalam menampung limbah organik
b. Akan berakibat berupa penurunan umur fisiologi dan biologi waduk
c. Berdampak berupa menurunnya kualitas air dan kematian ikan bila terjadi
perubahan siklus air. Tingginya konsentrasi bahan organik akan meningkatkan
pengendapan, kemudian setelah terjadi musim hujan terjadi pembalikkan
massa air. Keadaan ini akan memperkaya zat hara dan akan mempercepat
pertumbuhan fitoplankton. Pembalikkan yang diiringi blooming plankton akan
menurunkan konsentrasi oksigen. Kemudian perairan akan berbau busuk dan
mempercepat kematian ikan.
d. Menurunnya kualitas air produksi Perusahaan Air Minum (PAM), yang akan
berdampak pada menurunnya sanitasi masyarakat konsumen.
2.6. Parameter Fisika-Kimia Penunjang
2.6.1. Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan
meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, dan
padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran (Effendi
2003). Kecerahan perairan erat kaitannya dengan jumlah intensitas sinar matahari
yang masuk ke suatu perairan.
Perairan tergenang biasanya memiliki stratifikasi secara vertikal yang
diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu secara vertikal
pada kolom air (Effendi 2003). Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom air
semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Menurut Effendi (2003),
stratifikasi vertikal kolom air pada perairan tergenang berdasarkan perbedaan
intensitas cahaya yang masuk ke perairan dikelompokan menjadi tiga, yaitu :
(a). Lapisan eufotik, yaitu lapisan yang masih mendapat cukup sinar matahari.
Pada lapisan ini oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis lebih besar
daripada oksigen yang digunakan untuk respirasi.
(b). Lapisan kompensasi, yaitu lapisan dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari
intensitas cahaya permukaan atau dicirikan oleh hasil fotosintesis yang sama
dengan respirasi.
(c). Lapisan profundal, yaitu lapisan di sebelah bawah lapisan kompensasi dengan
intensitas cahaya yang kecil (disfotik) atau sudah tidak ada lagi cahaya
(afotik).
Menurut Simarmata (1998), apabila intensitas cahaya ke permukaan
menurun, maka ketebalan zona eufotik pun akan semakin menipis. Penyebab
peredupan cahaya di Waduk Ir. H. Juanda juga diakibatkan oleh bahan organik
terlarut dan total padatan tersuspensi. Menurut Asmawi (1983), nilai kecerahan
yang baik untuk kelangsungan hidup ikan adalah lebih besar dari 45 cm. Dengan
mengetahui kecerahan suatu perairan maka akan dapat diketahui batasan masih
adanya kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan yang tidak keruh
dan yang paling keruh.
2.6.2. Suhu
Suhu pada suatu perairan dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude),
ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran serta kedalaman perairan. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi pada perairan tersebut.
Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0C menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat.
Namun peningkatan suhu seringkali disertai dengan penurunan kadar oksigen
terlarut sehingga keberadaan oksigen terlarut tidak mampu memenuhi kebutuhan
oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan
respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan
dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi 2003). Adanya hubungan
antara oksigen terlarut dengan suhu di perairan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan antara konsentrasi oksigen terlarut jenuh dan suhu pada
tekanan udara 760 mmHg (Cole 1983 in Effendi 2003).