Top Banner
KARYA AKHIR ANALISIS KADAR PEPSIN DAN pH SEKRET HIDUNG PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK TERHADAP REFLUKS LARING FARING ANALYSIS OF PEPSIN LEVEL AND pH OF NASAL SECRETION IN CHRONIC RHINOSINUSITIS PATIENT TOWARDS LARINGOPHARINGEAL REFLUX ASNI AZIS PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp.1) PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018
113

Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

Jul 14, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

KARYA AKHIR

ANALISIS KADAR PEPSIN DAN pH SEKRET HIDUNGPENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK TERHADAP

REFLUKS LARING FARING

ANALYSIS OF PEPSIN LEVEL AND pH OF NASAL

SECRETION IN CHRONIC RHINOSINUSITIS PATIENT

TOWARDS LARINGOPHARINGEAL REFLUX

ASNI AZIS

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp.1)PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG

TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHERFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

2018

Page 2: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

ANALISIS KADAR PEPSIN DAN pH SEKRET HIDUNGPENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK TERHADAP

REFLUKS LARING FARING

ANALYSIS OF PEPSIN LEVEL AND pH OF NASALSECRETION IN CHRONIC RHINOSINUSITIS PATIENT

TOWARDS LARINGOPHARINGEAL REFLUX

Karya AkhirSebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis T.H.T.K.L.

Program Studi : Ilmu Kesehatan T.H.T.K.LPendidikan Dokter Spesialis Terpadu

Disusun dan Diajukan oleh :

ASNI AZIS

Kepada

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp.1)PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHERFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

2018

Page 3: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis
Page 4: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Asni Azis

Nomor mahasiswa : C103213205

Program Studi : PPDS Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya akhir yang saya tulis ini benar-

benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan karya akhir

ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, 30 Januari 2018

Yang menyatakan

Asni Azis

Page 5: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis
Page 6: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis
Page 7: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

PRAKATA

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat kami selesaikan.

Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dalam pendidikan Dokter

Spesialis Terpadu Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin.

Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan sedalam-

dalamnya kepada Ketua Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L FK UNHAS

Prof. Dr. dr. Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L(K),FICS serta pembimbing

kami Dr.dr.M.Amsyar Akil, Sp.T.H.T.K.L(K),FICS, Dr.dr. Riskiana

Djamin,Sp.T.H.T.K.L(K), Dr.dr Ilham Jaya Patellongi, M.Kes, yang telah

membimbing dan mendorong kami sejak penyusunan proposal, pelaksanaan

penelitian hingga selesainya tesis ini. Terima kasih pula kami sampaikan

kepada penguji kami Prof. Dr. dr. Sutji Pratiwi Rahardjo,Sp.T.H.T.K.L(K),

dr.Aminuddin Azis, Sp.T.H.T.K.L(K), MARS, Dr. dr. M. Fadjar Perkasa,

Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Upik A. Miskad, Sp.PA(K).

Terima kasih yang tak terhingga juga kami sampaikan kepada seluruh

staf pengajar ilmu kesehatan T.H.T.K.L FK UNHAS yang telah membimbing

dan mengarahkan kami selama mengikuti pendidikan sampai penelitian dan

penyusunan karya akhir ini.

Pada kesempatan ini pula kami menyampaikan terima kasih kepada:

1. Seluruh teman sejawat PPDS T.H.T.K.L FK UNHAS terutama dr. Stella

F. Attu, dr. Indira Maharis, dr. Novimaryana Drakel dan dr. Ayu

Page 8: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

Ameliyah, dr. Raihanah Azisa atas dukungan moril dan bantuannya

dalam menyelesaikan karya akhir ini.

2. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam tugas, pendidikan

dan karya akhir dr. Renato, dr. Heike, dr. sandrianto, hayati pide, kak

uli, serta semua pasien kami.

Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga

kepada kedua orang tua saya Hi.Abdul Azis Muhiddin dan Hj.Darni Ismail,

saudara(i) saya dr. M. Ali Asdar, Muchtaram,SH, Noer Fitri Zachrani,

Syalwa Zahratulsita, Dan kepada Hj.Dahlia serta semua keluarga besar

H.Lelle Ismail(Alm) atas segala doa dan dukungan penuh dalam

menyelesaikan pendidikan dan karya akhir ini.

Akhirul kalam, kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan

dan dukungan yang tidak sempat kami sebutkan satu-persatu, kami

ucapkan banyak terima kasih, permohonan maaf yang sebesar-besarnya

bila terdapat kesalahan dan kehilafan selama ini.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya

kepada kita semua. Amin

Makassar, 30 Januari 2018

Asni Azis

Page 9: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

i

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR

ABSTRAK

ABSTRACT

PRAKATA

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR GRAFIK vi

DAFTAR BAGAN vii

DAFTAR SINGKATAN viii

DAFTAR LAMPIRAN x

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar belakang masalah 1

B. Rumusan masalah 8

C. Tujuan penelitian 8

D. Manfaat penelitian 9

E. Hipotesa penelitia 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 10

A. Anatomi hidung,dan sinus paranasalis 10

B. Definisi dan Insiden Rinosinusitis 15

C. Patofisiologi Rinosinusitis 16

Page 10: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

ii

D. Klasifikasi Riosinusitis 19

E. Etiologi Riosinusitis 19

F. Gejala Klinis Riosinusitis 19

G. Penanganan Riosinusitis 22

H. Anatomi Faring dan Laring 25

I. Anatomi Esofagus 27

J. Reflux Gastroesofageal 38

K. Refluks Laringofaringeal 39

L. Mekanisme Refluks Laring Faring 40

M. Penatalaksanaan RLF 46

N. Pepsin dan Riosinusitis 49

O. Kerangka Teori 58

P. Kerangka Konsep 59

N. Identifikasi Variabel 59

BAB III. METODE PENELITIAN 60

A. Desain Penelitian 60

B. Tempat dan Waktu Penelitian 60

C. Populasi Penelitian 60.

D. Sampel Penelitian 60

E. Besar Sampel 60

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi penelitian 61

G. Izin penelitian dan Ethical Clearance 61

H. Biaya Penelitian 62

I. .Bahan dan cara pengambilan sampel 62

J. Teknik Pemeriksaan 64

Page 11: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

iii

K. Pengolahan dan Analisis data 66

L. Alur Penelitian 67

M. Kriteria dan Definisi Operasional 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 71

A. HASIL PENELITIAN 71

B. PEMBAHASAN PENELITIAN 75

C. KETERBATASAN PENELITIAN 82

BAB V KESIMPULAN 83

SARAN 84

DAFTAR PUSTAKA 85

LAMPIRAN 91

Page 12: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Rekomendasi terapi rinosinusitis tanpa polip

hidung pada dewasa.

Hal 22

Tabel 2 Konsentrasi larutan standard dan diluent Hal 64

Tabel 3 Karakteristik sampel pada penderita

Rinosinusitis Kronik (RSK)

Hal 71

Tabel 4 Kadar Pepsin dan pH sekret hidung penderita

rinosinusitis kronik (RSK)

Hal 72

Tabel 5 Kadar Pepsin dan pH sekret hidung penderita

rinosinusitis kronik berdasarkan adanya

keluhan RLF

Hal 72

Grafik 1 Box Plot kadar Pepsin secret hidung pada

kedua kelompok

Hal 73

Grafik 2 Box Plot pH sekret hidung pada kedua

kelompok

Hal 74

Page 13: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi hidung luar tampak lateral hidung Hal 10

Gambar 2 Dinding lateral rongga hidung Hal 11

Page 14: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

vi

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Box Plot kadar Pepsin secret hidung pada

kedua kelompok

Hal 73

Grafik 2 Box Plot pH sekret hidung pada kedua

kelompok

Hal 74

Page 15: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

vii

DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Algoritme penatalaksanaan rinosinusitis

kronik tanpa polip pada dewasa untuk

dokter spesialis THT.

Hal 23

Bagan 2 Algorime penatalaksanaan rinosinusitis

akut dan kronik

Hal 24

Bagan Kerangka Teori Hal 58

Bagan Kerangka Konsep Hal 59

Bagan Alur Penelitian Hal 67

Page 16: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

viii

DAFTAR SINGKATAN

Simbol dan Singkatan Arti dan Keterangan

% Persen

0 C Derajat Celcius

AH-2 Anti Histamin - 2

DEPKES Departemen Kesehatan

dkk dan kawan-kawan

ELISA Enzym-Linked Immnunosorbent Assay

EPOS European Position Paper on Rhinosinusitis and

nasal polyposis

g gram

GER Gastroesophageal Reflux

GERD Gastroesophageal Reflux Disease

GERD Gastroesophageal Refluks Disease

KOM Komplek Osteomeatal

LES Lower Esophageal Reflux

LPR Laringopharingeal Reflux

ml milliliter

mm millimeter

ng nanogram

p Nilai signifikan

pg pikogram

pH Potensial Hidrogen

PPI Proton Pump Inhibitors

Page 17: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

ix

RLF Laringopharingeal Reflux

RSF Refluks Finding Score

RSI Refluks Symptom Index

RSK Rinosinusitis kronik

SEA Sfingter Esofagus Atas

SEB Sfingter Esofagus Bawah

THT Telinga Hidung Tenggorok

UES Upper Esophageal Reflux

WHO World Heatlh Organization

Page 18: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Reflux Symptom Index 91

Lampiran 2 Kuesioner Reflux Finding Score 92

Lampiran 3 Data hasil penelitian 93

Lampiran 4 Dokumentasi penelitian 94

Page 19: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rinosinusitis kronik (RSK) sesuai kriteria EPOS (European Position

Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) merupakan inflamasi hidung

dan sinus paranasal yang berlangsung > 12 minggu, ditandai adanya dua

atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat / obstruksi /

kongesti atau pilek (sekret hidung anterior / posterior), dengan atau tanpa

nyeri wajah / rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa gangguan

penghidu, dan salah satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan

atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan udem / obstruksi

mukosa di meatus medius) dan gambaran tomografi komputer (perubahan

mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus). (Fokkens et al, 2012).

Rinosinusitis kronik memiliki prevalensi yang tinggi di masyarakat.

Di Eropa diperkirakan sekitar 10 – 15% menderita penyakit rinosinusitis.

Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikit pernah mengalami

episode rinosinusitis dan sekitar 15% diperkirakan menderita rinosinusitis

kronik. Insiden kasus baru rinosinusitis pada pasien dewasa yang datang

ke Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 dari 435

pasien, 69% (300 pasien) menderita rinosinusitis, di Makassar dari tiga

rumah sakit periode tahun 2003-2007 dilaporkan sebanyak 45% dari

seluruh kasus yang ditangani Sub Bagian Rinologi. (File TM, 2006;

Osguthorpe Jd, 2001; Anand VK, 2004;; Punagi AQ, 2008). Data dari

Page 20: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

2

respiratory surveillance program menunjukkan bahwa rinosinusitis paling

banyak ditemukan pada etnis kulit putih. Berdasarkan jenis kelamin,

penyakit rinosinusitis kronik lebih banyak terjadi pada perempuan dari

pada laki – laki dengan perbandingan 2 : 1 dan sering pada usia 25 – 64

tahun. Insidensi rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun

2011 paling sering pada rentang umur 31-45 tahun (31,6%) (,Privina

Arivalagan 2013), Prevalensi rinosinusitis kronik meningkat seiring

bertambahnya usia dan jarang setelah usia 60 tahun (Chen Y, 2003)

Perubahan patologik mukosa sinus paranasal terjadi akibat proses

peradangan lapisan mukoperiostium hidung dan sinus dimulai dari adanya

blockade / sumbatan area kompleks ostiomeatal (KOM), yang

menimbulkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.

Sumbatan yang berlangsung terus-menerus mengakibatkan hipoksi dan

retensi sekret serta perubahan pH sekret. Hal ini memungkinkan sekret

menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri yang akhirnya akan

merusak silia, dan akan terus berlangsung lalu menghasilkan lapisan

mukosa yang hipertrofi, sehingga semakin memperberat blokade di area

kompleks ostiomeatal. RSK merupakan penyakit multifaktorial dengan

faktor predisposisi yang meliputi infeksi virus, bakteri, dan jamur, serta

menghirup alergen dan polusi dan kelainan anatomi. (suay ozmen, 2008).

Hubungan antara rinosinusitis kronik dan refluks terutama refluks

pada laringofaring masih menjadi isu yang kontroversial dalam literatur.

Penyakit rinosinusitis kronik dan refluks gastroesofageal adalah dua

Page 21: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

3

kondisi umum yang terjadi bersamaan lebih sering dari yang diperkirakan

(Hanna BC; 2012). Oleh karena itu, telah diusulkan bahwa penyakit

gastroesofageal refluks mungkin memiliki peran etiologis dalam terjadinya

rinosinusitis kronik. Terdapat prevalensi relatif mengenai refluks dengan

RSK yang sulit dikendalikan. Masih sedikit penelitian terkontrol dengan

sejumlah besar pasien untuk mengkonfirmasi hipotesis ini. (Sella GCP,

2016). Pasien dengan RLF memiliki refluks asam yang intermiten yang

kadang mencapai jalan napas dan ke nasofaring. Beberapa studi lainnya,

pepsin lambung terdeteksi pada sekresi paru, laring dan jaringan sinus,

dahak, dan efusi telinga tengah. Ide kemungkinan hubungan antara RLF

dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten

bersilangan dalam praktek klinis (Loehri TA, 2004).

Gastroesophageal refluks (GER ) adalah aliran balik isi lambung

ke dalam esofagus. Keadaan ini merupakan hal yang normal dan

biasanya terjadi sampai 50 kali dalam sehari. Esofagus mempunyai

mekanisme proteksi melalui pembersihan asam dan ketahanan mukosa

intrinsik terhadap refluks isi lambung. Gastroesophageal refluks disease

(GERD) terjadi bila terdapat peningkatan frekuensi refluks dengan waktu

paparan melebihi 5 % (pH < 4) selama periode 24 jam yang diukur melalui

pemantauan pH intraesofagus, yang mengakibatkan kerusakan jaringan

esofagus seperti esofagitis dengan manifestasi rasa terbakar pada dada

(heartburn) (Kaszuba, 2004., Murray JA, 2008., Handa KK, 2005).

Page 22: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

4

Esofagus dan laring faring dipisahkan oleh sfingter esofagus atas

(SEA) yang merupakan sawar terakhir untuk mencegah refluksat masuk

ke laringofaring. Tonus SEA yang meningkat sebagai reaksi terhadap

refluksat menimbulkan distensi esophagus dan relaksasi dari SEA yang

menyebabkan pajanan asam keluar dari esofagus (Yunizaf HM, 2007).

Akibat dari refluks isi lambung keluar dari esofagus disebut extra

esophageal refluks. Tidak seperti esofagus, jalan napas tidak diproteksi

oleh mekanisme pembersihan anti refluks dan mekanisme pertahanan

mukosa intrinsik terhadap refluks isi lambung (Poelmans J and Tack J,

2005, Sone M et al, 2007 ). Refluks laringofaring (RLF) adalah aliran balik

asam lambung ke daerah laring faring, menyebabkan kontak dengan

jaringan yang menimbulkan jejas pada laringofaring dengan manifestasi

keluhan pada oral, faring dan laring berupa suara serak, throat clearing,

sekret di belakang hidung (post nasal drips), kesulitan dalam proses

menelan atau rasa mengganjal di tenggorok, batuk setelah makan / saat

berbaring atau batuk kronik, dan tersedak. (Makmun D.; 2006..)

Diagnosa RLF dapat ditegakkan dari riwayat penyakit, gejala klinik

dan pemeriksaan laringoskopi, serta menentukan adanya refluks cairan

lambung ke laringofaring. Pemeriksaan ambulatory 24 hour double-probe

(pharyngeal and esophageal) pH monitoring merupakan gold standar

untuk mendiagnosa RLF, namun pemeriksaan ini masih jauh dari kriteria

ideal oleh karena sensitifitas pH-metri yang dilaporkan hanya 50% sampai

80%, sekitar 12% dari pasien THT tidak dapat mentoleransi prosedur ini,

Page 23: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

5

modifikasi diet (untuk standardisasi prosedur) dapat menghasilkan false-

negative dan biaya pemeriksaan pH-metri masih mahal serta tidak semua

pusat pelayanan menyediakan alat ini.

Berdasarkan penelitian menggunakan pH probe yang dikonfirmasi

dengan kasus-kasus RLF, Belafsky mengembangkan suatu sistem

skoring dinamakan Refluks Symptom Index (RSI) yang dapat membantu

dalam menilai berat ringannya penyakit sebelum dan sesudah terapi

berdasarkan penilaian terhadap 9 gejala menggunakan skala 0 sampai 5

dengan skala maksimal 45. Nilai RSI > 13 didiagnosa sebagai RLF. Selain

RSI, Belafsky dkk juga telah mengembangkan Refluks Finding Score

(RFS) untuk menilai berat ringannya gambaran klinis berdasarkan

pemeriksaan laringoskopi fiberoptik. RFS terdiri dari 8 gambaran kelainan

yang ditemukan pada laring, bila skor > 7 dapat didiagnosa sebagai RLF.

Beberapa penelitian di luar negeri telah dilakukan untuk membandingkan

keakuratan RSI dan RFS dalam mendiagnosa RLF. Penelitian oleh

Messalam Tamer A dkk pada 40 pasien secara random mendapatkan

korelasi yang signifikan antara RSI dan RFS (p < 0,001).

Penelitian terbaru untuk mendeteksi RLF adalah dengan

menentukan ada tidaknya pepsin pada laring dengan metode ELISA

(immunoassay). Karena pepsin tidak disintesis oleh tipe sel apapun

kecuali sel peptik atau chief cell dalam lambung, maka potensi adanya

pepsin pada saluran nafas merupakan bukti nyata bahwa pepsin tersebut

Page 24: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

6

berasal dari refluks isi lambung, sehingga pengukuran pepsin pada sekret

saluran nafas dapat menjadi petanda diagnostik yang sensitif pada RLF.

RLF terlibat sebagai faktor yang berkontribusi pada asma, batuk

kronis, pneumonia, disfonia, lesi vokal jinak, spasme laring, stenosis

subglotis dan rinosinusitis. Mekanisme bagaimana RLF dapat

berkontribusi untuk RSK adalah topik yang kontroversial; cedera langsung

asam lambung dan perubahan neurofisiologis yang dimediasi nervus

vagus adalah mekanisme yang paling sering dicurigai. kemungkinan

bahwa Helicobacter pylori dapat memfasilitasi penyakit ini diusulkan baru-

baru ini. ( suay ozmen, 2008 )

Penelitian oleh Andriani (2011), terhadap penderita refluks

gastroesofageal dengan hasil Skor RSI > 13 dan skor RFS > 7 sebanyak

48 sampel dari 51 sampel menderita RLF dimana Pepsin terdeteksi pada

saliva semua penderita RLF tersebut. Taliyah (2012) melaporkan Kadar

pepsin rata-rata sekret penderita OMSK dengan gejala RLF adalah 744,37

pg/ml dan tanpa gejala RLF 209,057 pg/ml . Adanya pepsin dalam cairan

telinga tengah mengindikasikan bahwa reflux cairan lambung mampu

mencapai jauh ke telinga tengah. Diduga bahwa adanya paparan pepsin

pada membran mukosa telinga tengah menimbulkan iritasi kronis dan

memicu terjadinya reaksi inflamasi yang akhirnya menciptakan kondisi

yang baik berkembangnya suatu otitis. Keadaan ini menjadi kondisi ideal

berkembangnya kolonisasi bakteri. Penelitian mengenai dampak pepsin

terhadap hidung dengan hasil bahwa pepsin terdeteksi pada cairan sinus

Page 25: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

7

pada 4 dari 6 penderita RSK dimana dengan pemeriksaan invitro

didapatkan kesimpulan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan

pada mitokondria pada sel epitel hidung (Jessica E, 2015).

Pepsin maksimal aktif pada pH 2, tetapi memiliki aktivitas hingga

pH 6,5. Sementara tidak aktif pada pH > 6.5 dan tetap stabil pada pH 8.

enzim ini tidak aktif ireversibel (terdenaturasi) sampai pH 8. Meskipun

pepsin inaktif pada pH tersebut, tetapi tetap stabil sampai pH 8.0 dan

kembali reaktif bila terjadi penurunan pH (Joel H. Blumin, 2014). Ozmen

tahun 2008 meneliti mengenai tingginya insidensi refluks asam, dimana

didapatkan 29 dari 33 pasien dengan refluks asam menderita RSK. Hasil

pemeriksaan fluorometrik pepsin berkorelasi dengan hasil 24 hour dual

probe monitoring untuk diagnosa refluks laringofaring dengan sensitifitas

100% dan spesifitas 92,5%. Dari data tersebut diasosiasikan bahwa

terdapat hubungan antara rinosinusitis kronik dan refluks laringofaring,

dan deteksi pepsin pada cairan hidung dapat dilakukan sebagai metode

non invasive dan feasible untuk skring refluks laringofaring. Di Makassar

belum ada studi terkontrol yang telah dirancang yang menunjukkan

kehadiran dan hubungan kadar pepsin dan pH pada sekret hidung pasien

dengan RSK dan hubungannya dengan RLF.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi dan menganalisa

keberadaan pepsin dan mengukur pH pada sekret hidung penderita

rinosinusitis kronik terhadap keluhan refluks laringofaring yang didiagnosis

berdasarkan Refluks Symptom Index dan Refluks Finding Score.

Page 26: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

8

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik dan terdorong

untuk melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Kadar Pepsin dan

pH Sekret Hidung Penderita Rinosinusitis Kronik Terhadap Refluks

Laringofaring “

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut : apakah refluks ekstraesofageal

dapat berperan pada terjadinya rinosinusitis kronik serta bagaimanakah

kadar pepsin dan pH sekret penderita rinosinusitis kronik dengan dan

tanpa keluhan refluks laringofaring ?.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya profil kadar pepsin dan pH sekret hidung penderita

rinosinusitis kronik terhadap RLF menggunakan pemeriksaan ELISA dan

pH-Metri

2. Tujuan Khusus

1. Diketahui ada tidaknya pepsin pada sekret hidung penderita

rinosinusitis Kronik dengan menggunakan pemeriksaan ELISA.

2. Diketahuinya kadar pepsin dan pH pada sekret hidung penderita

rinosinusitis kronik dengan menggunakan Elisa dan pH-metri.

3. Diketahuinya perbedaan kadar pepsin sekret hidung antara

penderita rinosinusitis kronik yang disertai dengan keluhan refluks

laring faring dan tanpa disertai dengan keluhan refluks laring.

Page 27: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

9

4. Diketahuinya perbedaan pH pada sekret hidung antara penderita

rinosinusitis kronik yang disertai dengan keluhan refluks laring

faring dan tanpa disertai dengan keluhan refluks laring .

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai keberadaan pepsin dan pH

pada penderita rinosinusitis kronik sebagai bahan pengembangan

ilmu kedokteran khususnya di bidang rinologi

2. Data penelitian ini sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut yaitu

untuk melihat factor resiko ataupun penyebab lain dari rinosinusitis

kronik

3. Dalam bidang pelayanan, hasil penelitian ini dapat digunakan

sebagai manajemen tambahan dalam penanganan rinosinusitis

kronik

E. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat pepsin pada sekret hidung penderita rinosinusitis

kronik dimana kadarnya lebih tinggi pada penderita

rinosinusitis dengan keluhan RLF daripada tanpa keluhan

RLF

2. pH sekret hidung penderita rinosinuistis kronik adalah asam

dimana pH penderita rinosinuistis kronik dengan keluhan

RLF derajat keasamannya lebih tinggi daripada tanpa

keluhan RLF

Page 28: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi hidung dan sinus paranasal

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang

dilapis oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi

untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang

terdiri dari tulang hidung, prosessus frontalis os maxilla dan prossesus

frontalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago

nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior dan

kartilago septum nasi.

Gambar 1 : Anatomi hidung luar tampak lateral hidung ( sabotta 2000)

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding

medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial adalah septum nasi.

Pada dinding lateral terdapat empat buah konka, yaitu konka inferior,

konka media, konka superior dan konka suprema yang yang biasanya

rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga

Page 29: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

11

sempit yang disebut meatus. Tergantung letak meatus, ada tiga meatus,

yaitu : meatus inferior, medius dan superior. Dinding inferior merupakan

dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maxilla dan os palatum.

Dinding superior dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan

rongga tengkorak dengan hidung.

Gambar 2: Dinding lateral rongga hidung (sabotta,2000)

Secara garis besar perdarahan hidung berasal; dari 3 sumber utama,

yaitu : arteri ethmoidalis anterior, arteri ethmoidalis posterior cabang dari

arteri optalmica, dan arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksillaris

interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Vena-vena di hidung

mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena-vena di hidng tidak memiliki katup sehingga merupakan

faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

intrakranial.

Page 30: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

12

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan dari n.

ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. optalmikus (NV-1).

Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan dari n.

maksila melalui ganglion sfenopalatina

Secara anatomi ada 4 pasang sinus paranasalis yaitu : sinus

maxilla, sinus frontal, sinus ethmoid dan sphenoid. Sinus anterior terdiri

dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus ethmoidalis anterior dimana

muara dari sinus anterior ini berada pada meatus media. Sinus posterior

terdiri dari sinus ethmoidali posterior dan sinus sfenoid dimana muara dari

sinua ini berada pada meatus superior.

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir

sinus maksila bervolume 6 -8 ml, kemudian berkembang dengan cepat

dan akhirnya mencapai ukuran maksimal 15 ml saat dewasa.Sinus

maksila berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan

fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah

permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding

lateral adalah rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan

dinding inferior adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus

maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke

hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoid. Ostium sinus maksila

lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase hanya tergantung pada

gerak silia, dan harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum

adalah bagian dari sinus ethmoid anterior dan pembengkakan akibat

Page 31: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

13

radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus

maksila dan selanjutnya dapat menyebabkan sinusitis.

Sinus ethmoid merupakan sinus paranasal yang paling sering

bervariasi, bentuknya menyerupai sarang tawon dan terdiri dari 7-15

rongga yang dibatasi oleh dinding yang sangat tipis. Dibagi menjadi dua

kelompok yaitu sinus ethmoid anterior dan sinus ethmoid posterior. Sinus

ethmoid anterior ostiumnya bermuara pada meatus nasi media,

sedangkan sinus ethmoid posterior bermuara pada meatus nasi superior.

Batas atas terdapat fossa crania anterior dipisahkan oleh tulang tipis

(lamina kribrosa) Batas lateral terdapat lamina papiracea yang

memisahkan sinus ethmoid dengan orbita

Sinus sphenoid terletak di dalam os sphenoid di belakang sinus

ethmoid posterior sinus sphenoid . Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat

yang disebut septum intersfenoid. Batas-batasnya adalah sebelah

superior terdapat fossa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah

inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus

kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya

berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons.

Sinus frontal dibentuk dari sel-sel resessus frontal atau sel-sel

infundibulum ethmoid. Bentuk dan ukuran sinus frontal, sangat bervariasi

dan seringkali juga sangat berbedabentuk dan ukuran dari sinus

pasangannya. Kadang-kadang ada juga sinus yang rudimenter. Sinus ini

berhubungan dengan meatus nasi medius melalu duktus nasofrontal.

Page 32: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

14

Dinding belakang dan atap sinus frontal berbatasan dengan fossa kranii

anterior sedangkan dasarnya dengan orbita.

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan unit fungsional yang

merupakan tempat ventilasi dan drainase sinus-sinus yang letaknya

anterior yaitu sinus maxilla, ethmoid anterior dan frontal. KOM dibentuk

oleh prosses uncinatus, infundibulum ethmoid, agger nasi, dan ressus

frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi

perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait

Sistim Transpor mukosiliar

Sistim transport mukosiliar merupakan sistim pertahanan aktif

rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain

yang terhirup bersama udara. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur

untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur

yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran

transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus

anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di

depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus

posterior bergabung di resessus sfenoetmoidalis dialirkan ke nasofaring di

postero superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati post

nasal drip tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung Pada sinus

maxilla sistim transport mukosiliar berbentuk gambaran halo atau bintang

yang mengarah ke ostium alamiah. Gerakan sistim transport mukosiliar

pada sinus frontal dan sinus sphenoid mengikuti gerakan spiral,

Page 33: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

15

sedangkan pada sinus ethmoid terjadi gerakan rektolinier jika ostiumnya

terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostiumnya terdapat pada

salah satu dindingnya.

B. Definisi dan Insiden rinosinusitis kronik

Rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper

on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan

sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah satunya

termasuk hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek ( sekret hidung

anterior / posterior), dengan atau tanpa nyeri wajah / rasa tertekan di

wajah, dengan atau tanpa penurunan / hilangnya penghidu, dan salah

satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan atau sekret

mukopurulen dari meatus medius dan udem / obstruksi mukosa di meatus

medius) dan gambaran tomografi komputer (perubahan mukosa di

kompleks osteomeatal dan atau sinus. (Fokkens et al., 2012).

Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck

Surgery 1996, rinosinusitis adalah peradangan kronik pada satu atau lebih

mukosa sinus paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan

lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu didahului

dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia

dijumpai pada rinitis maupun sinusitis. Berdasarkan Task force yang

dibentuk oleh American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan

American Rhinologic Society (ARS), rinosinusitis kronik didefinisikan

sebagai rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2

Page 34: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

16

gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor.

Rinosinusitis kronik memiliki prevalensi yang tinggi di masyarakat.

Di Eropa diperkirakan sekitar 10 – 15% menderita penyakit rinosinusitis.

Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikit pernah mengalami

episode rinosinusitis dan sekitar 15% diperkirakan menderita rinosinusitis

kronik. Data dari respiratory surveillance program menunjukkan bahwa

rinosinusitis paling banyak ditemukan pada etnis kulit putih. Berdasarkan

jenis kelamin, penyakit rinosinusitis kronik lebih banyak terjadi pada

perempuan daripada laki–laki dengan perbandingan 2 : 1 dan sering pada

usia 25 – 64 tahun.

C. Patofisiologi Rinosinusitis Kronik

Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium,

fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau

kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan

sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus

merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik. (Pinheiro AD,

et al 2001)

Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem

hasil proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah

kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi

sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan

mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH

sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk

Page 35: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

17

berkembang biak yang menyebabkan gangguan pada silia, Selanjutnya

dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks

ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka blokade

kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus.

(Mangunkusumo. 2002: Kennedy,1995)

Secara embriologik sinus paranasal dari invaginasi mukosa rongga

hidung dan perkembangannya dimulai dari fetus usia 3-4 bulan, kecuali

sinus sfenoid dan frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak

bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dan sinus etmid anterior

pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid

dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari posterosuerior rongga

hidung. Sinus-sinus ini mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18

tahun. (Soetjipto., 2000). Virus merupakan mikroorganisme tersering yang

mengawali terjadinya rinosinusitis, berupa infeksi saluran pernapasan atas

dan kemudian oleh keadaan tertentu sering disertai dengan infeksi

sekunder oleh bakteri atau jamur (Dharmabakti., 2003: Suyitno., 1996).

Rinosinustis akut dan kronik memiliki dasar patofisiologi yang sama

yaitu terganggunya fungsi ventilasi, drainase dan transport mukosilier.

Pada infeksi akut terjadi kerusakan silia sehingga mucus akan terganggu

akibatnya terjadi akumulasi mucus didalam rongga sinus. Keadaan ini

memudahkan bakteri pathogen untuk tumbuh dan berkembang biak

sehingga terjadilah infeksi sekunder. Bila ventilasi terganggu oleh karena

adanya sumbatan dari ostium maka pH dalam rongga sinus akan

Page 36: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

18

menurun, hal ini akan menyebabkan gerakan silia dalam rongga sinus

akan berkurang dan mucus yang diproduksi menjadi lebih kental. Bila

sumbatan ini terus berlangsung maka akan terjadi hipoksia dan stagnasi

dari mucus akibatnya bakteri anaerob dan pathogen akan lebih mudah

bertumbuh dan berkembang.

Patensi ostium sinus paranasal dan mukosilier klirens yang normal

mutlak diperlukan untuk mencegah infeksi sinus paranasal. Obstruksi

ostium diduga merupakan penyebab utama dan tersering terjadinya

rinosinusitis. Patensi ostium tidak saja penting untuk drainase sekret tetapi

juga untuk ventilasi sinus paranasal dalam hal pertukaran O2 dan CO2.

Kadar CO2 yang rendah dalam sinus menyebabkan bakteri aerob dapat

bertumbuh dengan cepat sedangkan bila kadar O2 yang kurang

memungkinkan untuk bakteri anerob berkembang. Mukosilier klirens yang

normal akan mencegah terjadinya infeksi didalam sinus dimana untuk

tercapainya keadaan ini jumlah dan kualitas sekret serta pergerakan silia

harus baik. ( Weir., et al 1997)

Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi

mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di

hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang

mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes,

kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara,

debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada

mukosa dan kerusakan silia. (Ballenger ., 1994)

Page 37: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

19

D. Klasifikasi rinosinusitis

Klasifikasi rinosinusitis berdasarkan lamanya penyakit terbagi atas :

rinosinusitis akut dimana perlangsungannya kurang dari 4 minggu, sub

akut 4 - 12 minggu, dan rinosinusitis kronik dimana perlangsungannya

lebih dari 12 minggu tanpa resolusi gejala komplit (fokkens., et al 2012)

E. Etiologi Rinosinusitis Kronik

Terdapat beberapa yang dapat berkontribusi secara potensial

terhadap perkembangan rinosinusitis, termasuk factor host dan

lingkungan. Contoh karakteristik dar host yang dapat menyebabkan

rinosinusitis antara lain kondisi kongenital seperti fibrosis kistik atau

sindrom immotil silia, alergi atau gangguan fungsi imun, abnormalitas

anatomi, penyakit sistemik, dan mekanisme neural. Beberapa factor

eksternal yang dapat sebabkan rinosinusitis adalah agen infeksi, trauma,

paparan dari bahan kimia atau obat yang berbahaya, dan akibat

operasi.( bailey, 2014)

Berbagai variasi atau kelainan anatomi seperti sel Haller, sel Agger

nasi Berbagai variasi atau kelainan anatomi seperti sel Haller, sel Agger

nasi yang menonjol ke arah insersi antero-superior konkha media, konkha

media paradoks, pneumatisasi konka dan septum deviasi dapat

menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik.

F. Gejala Klinis Rinosinusitis Kronik

Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis,

Page 38: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

20

pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Gejala lokal

rinosinusitik kronik berupa obstruksi nasi, nasal discharge, nyeri kepala,

nyeri wajah serta gangguan penghidu. Selain gejala lokal terdapat juga

gejala-gejala lain yang disebabkan karena iritasi pada faring, laring dan

juga trakea berupa batuk, disfoni, sesak dan nyeri tenggorok. Gejala

sistemik berupa malaise dan demam. ( Fokkens et al , 2012)

Studi Brook (2001) yang dikutip oleh Mulyarjo mendapatkan gejala-

gejala rinosinusitik kronik antara lain ingus purulen 71%, batuk 72%, sakit

kepala 66%, sakit pada wajah 60%, demam 47%, hiposmia 43% dan nyeri

geraham 18%. (Mulyarjo., 2004)

Rinosinusitis kronik (RSK) sesuai kriteria EPOS (European Position

Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) merupakan inflamasi hidung

dan sinus paranasal yang berlangsung > 12 minggu, ditandai adanya dua

atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat / obstruksi /

kongesti atau pilek (sekret hidung anterior / posterior), dengan atau tanpa

nyeri wajah / rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa gangguan

penghidu, dan salah satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan

atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan udem / obstruksi

mukosa di meatus medius) dan gambaran tomografi komputer (perubahan

mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus). (Fokkens et al, 2012).

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada

atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal,

nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang

Page 39: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

21

letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas

lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus

sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal. Nyeri ini pada umumnya

disebut sebagai sakit kepala oleh pasien. (Ballenger ., 1994)

Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura

olfaktorius di daerah konkha media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini

dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius,

meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal

setelah proses infeksi hilang. (Ballenger ., 1994)

Task Force yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryngo

Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS) menjelaskan

bahwa gejala rinosinusitis pada dewasa dapat digolongkan menjadi 2

kriteria yaitu kelompok gejala mayor dan minor. Gejala mayor adalah

gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi yang tinggi,

antara lain: nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung buntu,

ingus berwarna, gangguan penghidu, ditemukannya sekret purulen di

rongga hidung (dengan rinoskopi) dan demam (untuk rinosinusitis akut

saja). Gejala-gejala minor antara lain: batuk, tenggorok berlendir, nyeri

kepala, nyeri geraham serta napas bau. Persangkaan rinosinusitis

didasarkan atas adanya dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala

mayor disertai dua gejala minor.. (Mulyarjo., et al 2004)

Tanda rinosinusitis dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi

anterior, rinoskopi posterior dan pemeriksaan faring. Pada pemeriksaan

Page 40: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

22

rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa

hiperemis, edema dan discharge mukopurulen yang terdapat pada meatus

media. Pada pemeriksaan faring dapat terlihat pus mengalir ke bawah

melalui sela dinding lateral faring. ( Bailey .,2001; Mangunkusumo., 2002).

G. Penanganan RSK

Penatalaksanaan berbasis bukti dan rekomendasi untuk

rinosinusitis tanpa polip hidung pada dewasa.

Tabel 1. Rekomendasi terapi rinosinusitis tanpa polip hidung pada dewasa.

Terapi Level Derajat rekomendasi

Relevansi

Terapi Antibiotik oral jangka pendek < 2 minggu

Ib ( -) C Tidak

Terapi Antibiotik oral jangka panjang > 12 minggu

Ib A Ya

Antibiotik-Topikal III D Tidak Steroid topikal Ib A Ya Steroid oral Tidak

ada data D Tidak

Cuci hidung larutan garam fisiologis (saline nasal douching)

Ib A Ya

Dekongestan oral/topikal Tidak ada

D Tidak

Mukolitik III C Tidak Anti jamur-sistemik Ib (-) D Tidak Anti jamur-topikal Ib (-) D Tidak Anti histamine oral pada pasien alergi

Tidak ada Data

D Tidak

Proton Pump Inhibitor Tidak ada Data Ib

D A

Tidak Tidak

Imunomodulator Ib (-) D Tidak Fitoterapi Ib (-) D Tidak Anti-Leukotrien III C Tidak

( fokkens, 2012)

Page 41: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

23

bagan 1. Algoritme penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip

pada dewasa untuk dokter spesialis THT.

( fokkens, 2012)

Page 42: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

24

YA

TIDAK

TIDAK

Ro.polos/CT scan dan / Aso-endoskopi (NE)

Kelainan ?

Evaluasi diagnosis kembali 1. Evaluasi komprehensif`

alergi, RLF (refluks) 2. Kultur pungsi sinus untuk

resistensi kuman, beri AB sesuai kultur

Kemungkinan Sinusitis Akut Berulang Lakukan terapi sinusitis kronik

YA

AB alternative 7 hari Atau buat kultur

Perbaikan ?

TIDAK

Evaluasi kembali : NE, Sinuskopi atau CT jika belum Obstruksi KOM?

TINDAKAN BEDAH : BSEF atau Bedah

Konvensional

Cari alur Diagnostik lain

Teruskan AB mencukupi 7-14 hari

YA

TIDAK

YA

TIDAK

Perbaikan ?

TIDAK

Teruskan AB mencukupi 7-14 hari

Perbaikan ? YA

TIDAK

TIDAK

ANAMNESIS Rinore purulen > 7 hari

(sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, gangguan penghidu, demam dll

RINOSKOPI ANTERIOR Polip? Tumor?

Komplikasi sinusitis? YA

Lakukan penatalaksanaan yang sesuai

SINUSITIS AKUT / KRONIK ? Lama gejala > 12 minggu ?

Episode serangan akut >4 x / tahun? (consensus Internasional Sinusitis 2004)

SINUSITIS AKUT Rinoskopi Anterior

(RA)

SINUSITIS KRONIK

RA/Naso-endoskopi Ro polos / CT Scan

Pungsi & irigasi sinus Sinuskopi

YA

Terapi tambahan : Dekongest.oral Kortikost.oral dan atautopikal, Mukolitik Antihistamin (pasien atopi) Diartemi,Proet,Irigasi sinus

YA YA

Faktor Predisposisi Deviasi septum Konka bulosa,

Hopertrofi Adenoid (pada anak)

Polip, Kista, JAmur, Dontogenik

Terapi tambahan : Dekongest.oral + topical Mukolitik, Analgetik Pasien Atopi : Antihist/Kortiko

steroid topikal

Perbaikan ?

Lini II AB (7 hari) Amoks. klav / Ampi. sulbaktam Cephalosporin gen. kell Makrolid + terapi tambahan

YA

Faktor Predisposisi?

Tata laksana yang sesuai

Terapi sesuai pada episode akut lini II + Terapi tambahan

TIDAK

AB empiric (2 x 24 jam) Lini I : Amoksil 3x500 mg /Citrimoxasol 2x480 mg + terapi tambahan

Dikutip dari Soetjipto D., Wardhani RS3

Bagan 2. Algorime penatalaksanaan rinosinusitis akut

dan kronik

Page 43: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

25

H. Anatomi Faring dan Laring

Faring dibagi menjadi nasofaring yaitu bagian dari faring yang

terletak di atas palatum mole, orofaring yaitu bagian yang terletak diantara

palatum mole dan tulang hioid dan laringofaring yang meluas dari tulang

hioid sampai ke batas bawah kartilago krikoid (Ballenger JJ, 1997).

Faring adalah suatu tabung fibromuskular yang meluas mulai dari

basis cranii sampai pada tepi kaudal kartilago krikoid, yaitu setinggi

vertebra servikal 6, dan melanjutkan diri menjadi esofagus. Tabung ini

mempunyai ukuran panjang kira-kira 12,5 cm dengan diameter pada ujung

kranial kurang lebih 5 cm dan ujung kaudal kira-kira 2,5 cm (berbentuk

kerucut). Faring berfungsi meneruskan aliran udara dari rongga hidung

menuju ke laring dan makanan dari rongga mulut menuju ke esofagus.

Bagian kranial faring selalu berada dalam keadaan terbuka yang

memungkinkan udara dengan bebas masuk ke dalam laring, yang berada

pada dinding anterior faring. Bagian kaudal berbentuk flat anterior-

posterior yang hanya membuka bilamana dilalui oleh bolus makanan

(Datu AR, 2009)

Nasofaring dibentuk oleh sebelah atas oleh korpus sfenoid dan

prosesus basilar os oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum

mole dan sebelah posterior oleh vertebra servikal, sebelah inferior

nasofaring dilanjutkan oleh orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak

pada dinding lateral nasofaring di belakang ujung posterior konka inferior.

Di sebelah atas dan belakang dari orifisium tuba Eustachius terdapat

Page 44: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

26

suatu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago tuba Eustachius.

Mamanjang ke bawah dari ujung posterior penonjolan tersebut terdapat

lipatan membran mukosa yang kuat yaitu membran salpingofaringeal.

Lipatan membran mukosa yang tidak begitu menonjol yaitu membran

salpingopalatina meluas ke bawah di depan orifisium tuba Eustachius.

Kantung yang dalam yang terbentuk pada sudut faring di antara tepi

posterior kartilago tuba Eustachius dan dinding posterior dikenal sebagai

fossa Rosenmuller. Nasofaring diliputi oleh epitel torak bersilia berlapis

semu (Ballenger, JJ 1997).

Fungsi utama nasofaring adalah sebagai tabung kaku dan terbuka

untuk udara pernapasan. Pada waktu menelan, muntah, bersendawa dan

tercekik, nasofaring akan terpisah dengan sempurna dari orofaring karena

palatum mole terangkat sampai ke dinding posterior orofaring. Nasofaring

juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba

Eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba

Eustachius. Nasofaring juga berfungsi sebagai ruang resonansi yang

sangat penting dalam pembentukan suara (Ballenger JJ, 1997).

Laringofaring berada di sebelah dorsal laring. Ke arah kranial

berhubungan dengan orofaring (hubungan bebas) dan ke arah kaudal

melanjutkan diri menjadi esofagus. Aditus laring terletak pada dinding

anterior laringofaring. Fasies posterior dari kartilago aritenoid dan kartilago

krikoid membentuk dinding anterior laringofaring (Datu AR, 2009).

Laringofaring sebagian terpisah dari orofaring oleh lipatan faringoepiglotis

Page 45: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

27

yang terbentang dari epiglotis sampai sisi faring. Mukosa laringofaring

dilapisi oleh epitel torak bersilia berlapis semu kecuali pada permukaan

laring epiglotis, permukaan anterior aritenoid dan sisi bebas pita suara asli

ditutupi epitel gepeng berlapis. Otot-otot faring terdiri dari otot konstriktor

faringeus, superior, medius dan inferior, otot stilofaringeus dan otot

palatofaringeus (Ballenger JJ, 1997).

Dinding faring mendapat suplai darah dari arteri faringeal asendens

(sebagai cabang dari arteri karotis eksterna), arteri palatina asendens

(cabang dari arteri fasialis) dan arteri palatina mayor (cabang dari arteri

maksila). Pembuluh vena membentuk pleksus faringeus pada dinding

posterior dan dinding lateral faring dan memberi aliran darahnya kepada

vena jugularis interna (Datu AR, 2009).

Persarafan motorik untuk otot-otot faring diperoleh dari pleksus

faringeus terkecuali otot stilofaringeus yang mendapatkan persarafan dari

r.muskularis n.glosofaringeus. Kelenjar faringeal (terutama pada

nasofaring) mendapatkan serabut sekretomotorik dari r.faringeal yang

dikeluarkan oleh ganglion pterigopalatinum. Persarafan sensorik untuk

membran mukosa diperoleh dari pleksus faringeus (Datu AR, 2009).

I. Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan suatu organ silindris yang berongga yang

terbentang dari hipofaring (setinggi servikal VI sampai ke kardia lambung

(torakal XI) dengan panjang sekitar 25 cm pada orang dewasa dan garis

tengah 2 cm. Esofagus terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior

Page 46: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

28

vertebra dan menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta

(Wilson LM and Lindseth GN, 2006).

Esofagus pada neonatus relatif lebih panjang dari orang dewasa,

dimulai setinggi vertebra servikal IV–V sampai pada batas setinggi

Vertebra torakal IX, dengan panjang bervariasi antara 8–10 cm.

Pertumbuhan panjang esofagus menjelang umur 1 tahun meningkat

menjadi 12 cm, pada umur 5 tahun panjang esofagus menjadi 16 cm dan

setelah itu pertumbuhannya menjadi lambat, sehingga pada umur 15

tahun hanya mencapai 19 cm (Beasley P, 1997).

Berdasarkan anatomi esofagus dibagi atas :

1. Esofagus pars servikal

Pars servikal panjangnya 5–6 cm pada orang dewasa, mulai

setinggi vertebra servikal VI sampai vertebra torakal I. Di bagian

anterolateral tertutup oleh kelenjar tiroid, sedang di sisi kiri dan

kanannya berjalan saraf laringeus rekuren kiri dan kanan pada alur

yang terletak antara trakea dan esofagus (Debas HT, 2006).

Pada bagian posterior di daerah yang berbatasan dengan

hipofaring terdapat daerah dengan resistensi lemah yaitu dinding yang

tidak ditutupi oleh otot konstriktor faringeus inferior. Sedangkan di

lateral esofagus terdapat carotid sheath beserta isinya (Debas HT,

2006).

Page 47: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

29

2. Esofagus pars torakal

Pars torakal panjangnya 16 – 18 cm, mulai setinggi torakal I sampai

torakal IX – X, berada di mediastinum di belakang antrium kiri. Dinding

anteriornya melekat pada dinding posterior trakea sampai setinggi

torakal V. Di mediastinum superior, esofagus berjalan ke posterior ke

sisi kanan aorta desendens sampai bagian inferior mediastinum

kemudian berjalan ke anterior dan sedikit ke sisi kiri aorta. Di dalam

rongga toraks, menyilang arkus aorta setinggi torakal IV dan bronkus

utama kiri setinggi torakal V. Arteri pulmonal kanan menyilang

esofagus di bifurkasio trakealis. Pada bagian distalnya di antara

dinding posterior dan permukaan ventral korpus esofagus berjalan

duktus torasikus, vena ozigos serta Aa/Vv interkostal (Frenz D, 2006).

3. Esofagus pars abdominal

Pars abdominal terdiri dari bagian diafragma yang disebut pars

diafragma yang panjangnya 1 – 1,5 cm dan terletak setinggi torakal X,

melewati krus diafragma kanan bersama dengan saraf vagus kiri di

permukaan anteriornya serta saraf vagus kanan di bagian posteriornya

dan bagian esofagus yang terdapat dalam rongga abdomen yang

panjangnya 2–3 cm dan berjalan melalui lekuk esofagus pada

permukaan posterior lobus kanan hepar dan selanjutnya melengkung

agak tajam ke kiri untuk bergabung dengan bagian kardia lambung.

Pertautan ini disebut esophageal junction (Debas HT, 2006).

Page 48: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

30

Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot

krikofaringeus membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas

serabut-serabut otot rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada

dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter

esofagus bagian bawah walaupun secara anatomi tidak nyata bertindak

sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung

ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup kecuali

bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu muntah (Wilson LM

and Lindseth GN, 2006).

Dinding Esofagus seperti juga bagian lain dari saluran

gastrointestinal terdiri atas 4 lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa,

muskularis dan lapisan serosa (lapisan luar). Lapisan mukosa bagian

dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring atas;

epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan

esofagus dengan lambung (garis Z) menjadi epitel torak selapis. Mukosa

esofagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap

isi lambung yang sangat asam. Lapisan submukosa mengandung sel-sel

sekretori yang memproduksi mukus. Mukus mempermudah jalannya

makanan masuk sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera

akibat zat kimia. Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam

tersusun sirkuler. Otot-otot yang terdapat di 5% bagian atas esofagus

adalah otot rangka sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot

polos. Bagian diantaranya terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos.

Page 49: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

31

Berbeda dengan tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak memiliki

lapisan serosa ataupun peritoneum, lapisan ini terdiri atas jaringan ikat

longgar yang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang

berdekatan (Wilson LM and Lindseth GN, 2006).

Suplai darah untuk esofagus servikal dari arteri tiroidea inferior

cabang trunkus tiroservikal. Esofagus pars torakal dilayani oleh cabang-

cabang langsung dari aorta torakal desendens dan arteri bronkial.

Esofagus pars abdominal adalah cabang arteri gastrika sinistra dan arteri

frenika inferior. Drainase vena esofagus servikal ke vena tiroid inferior.

Esofagus torakal bermuara ke dalam vena azigos dan vena hemiazigos.

Esofagus abdominal bermuara ke vena gastrika sinistra (Frenz D, 2006,

Peter JH, 2006).

Persarafan utama esofagus berasal dari serabut-serabut simpatis

dan parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa

oleh saraf vagus yang dianggap sebagai saraf motorik esofagus. Fungsi

serabut simpatis masih kurang diketahui. Selain persarafan ekstrinsik

tersebut, terdapat jala-jala serabut saraf intramural intrinsik di antara

lapisan otot sirkuler dan longitudinal (pleksus Auerbach atau mienterikus)

dan tampaknya berperan dalam pengaturan peristaltik esofagus normal.

Jala-jala saraf intrinsik kedua (pleksus Meissner) terdapat di submukosa

saluran gastrointestinal dan agak tersebar di esofagus (Wilson LM and

Lindseth GN, 2006).

Page 50: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

32

Terdapat 4 barier fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif

bagian atas dari cedera karena refluks yaitu sfingter esofagus bawah

(lower esophagus sphincter), fungsi motorik esofagus yang berperan

dalam pembersihan asam (esophageal acid clearance), ketahanan

jaringan mukosa esofagus (esophageal mucosal tissue resistance) dan

sfingter esofagus atas (upper esophagus sphincter) (Ford CN, 2005).

Sfingter Esofagus Bawah / SEB (Lower Esophageal Sphincter / UES)

Secara anatomi sfingter esofagus bawah adalah zona kompleks

yang berlokasi pada gastroesofageal junction yang terdiri dari 2 komponen

yaitu true LES (SEB sejati), suatu segmen dibentuk oleh otot polos

esofagus yang berkontraksi secara tonik pada esofagus bagian bawah

dan diafragma bagian crural. SEB dan diafragma sangat berperan dalam

fungsi sfingter gastroesofageal. Secara fisiologi, relaksasi SEB terjadi

sebelum kontraksi esofagus yang menyebabkan makanan bisa masuk ke

lambung. Dalam keadaan istirahat, SEB berada dalam zona bertekanan

tinggi 15-30 mmHg di atas tekanan intragastrik dimana setiap individu

bervariasi (Giorgi FD et al, 2006).

Sejumlah penderita dengan GERD mempunyai tekanan SEB yang

lemah dan rendah yang menyebabkan isi lambung bisa refluks setiap saat.

Hal ini bisa terjadi apabila tekanan SEB < 6 mmHg. Menurunnya tekanan

SEB saat istirahat dalam waktu yang lama biasanya berkaitan dengan

esofagitis yang berat. Defek pada SEB ditemukan pada penderita dengan

komplikasi GERD seperti striktur esofagus, Barret’s esofagus. Faktor-

Page 51: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

33

faktor yang dapat menurunkan tekanan SEB adalah hormone endogen

(cholecystokinin, progesteron saat hamil), obat-obatan (nitrat, Ca-channel

blocker), makanan dengan lemak tinggi dan coklat, kebiasaan merokok,

minum kopi dan alkohol (Giorgi FD et al, 2006).

Fungsi motorik esofagus melalui pembersihan asam di esofagus

(esophageal acid clearance)

Proses pembersihan asam di esofagus merupakan mekanisme

perlindungan penting dalam mencegah berkembangnya suatu GERD.

Proses ini melibatkan gerakan peristaltik serta bikarbonat saliva saat

menelan. Gerakan peristaltik baik primer maupun sekunder adalah

mekanisme yang sangat penting dalam pembersihan esofagus. Proses

menelan yang berhubungan dengan peristaltik primer terjadi sekitar 60

kali per jam, sedangkan Gerakan peristaltik sekunder tanpa adanya

proses menelan dapat ditimbulkan oleh distensi esofagus atau

meningkatnya keasaman. Proses menelan saliva (pH 7,8-8,0) sangat

penting dalam proses pembersihan asam di esofagus karena bisa

memulihkan pH esofagus. Pada penelitian eksperimen (refluks spontan

atau yang diinduksi), pembersihan asam penderita GERD ditemukan dua

sampai tiga kali lebih lama dibandingkan dengan penderita tanpa GERD.

Terganggunya proses pembersihan asam di esofagus bisa disebabkan

oleh meningkatnya volume refluksat atau bisa juga karena adanya

penyakit yang mendasari seperti skleroderma (Giorgi FD et al, 2006).

Page 52: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

34

Dua mekanisme terganggunya pembersihan asam di esofagus

adalah disfungsi peristaltik dan adanya refluks yang berulang. Disfungsi

peristaltik ditandai dengan kegagalan peristaltik sehingga terjadi kontraksi

yang rendah (<30 mmHg), menyebabkan pengosongan esofagus yang

tidak sempurna. Disfungsi peristaltik bertambah parah dengan adanya

esofagitis yang berat. Selain itu, pembersihan asam juga diperpanjang

oleh kurangnya saliva atau menurunnya kapasitas saliva untuk

menetralkan asam. Berkurangnya saliva tampaknya menjadi salah satu

penyebab utamanya terjadinya GERD. Berkurangnya frekuensi menelan

saat tidur juga memperpanjang waktu paparan asam di esofagus. Saliva

juga bisa berkurang pada perokok dan pada penderita yang

menggunakan obat antikolinergik, yang akhirnya dapat memperpanjang

proses netralisasi mukosa (Giorgi FD et al, 2006).

Peristiwa menelan memegang peranan penting pada pembersihan

asam esofagus karena dapat menimbulkan gelombang peristaltik

esofagus primer. Gelombang peristaltik ini akan mengeluarkan saliva yang

kaya akan bikarbonat yang dapat menetralkan dan membersihkan

refluksat ke bagian distal esofagus (Yunizaf HM, 2007).

Ketahanan jaringan mukosa esofagus (esophageal mucosal tissue

resistance)

Kemampuan mukosa esofagus dalam mencegah terjadinya cedera

merupakan salah satu faktor yang menentukan terjadinya GERD. Mukosa

esofagus mengandung beberapa komponen struktural dan fungsional

Page 53: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

35

yang berperan sebagai pelindung melawan refluks isi lambung yang

berbahaya. Hal ini termasuk pertahanan pre-epitel yang relatif lemah dan

pertahanan epitel yang kuat yang didukung oleh suplai darah. Pertahanan

pre-epitel terdiri dari sedikit lapisan cairan dengan kapasitas bufer yang

terbatas yaitu adanya bikarbonat daris ekresi saliva yang tertelan dan

akibat sekresi dari kelenjar submukosa esofagus. Meskipun kapasitas

buffer tersebut terbatas, namun cukup untuk mempertahankan nilai pH di

permukaan esofagus dengan menghindari pepsin aktif. Apabila

mekanisme ini gagal maka pertahanan utama akan bergantung pada

epiteli tu sendiri. Pertahanan epitel terdiridari tiga komponen utama:

1. Membran sel dan kompleks junctional interseluler yang membatasi

kecepatan penetrasi ion hidrogen menuju ruang interseluler.

2. Adanya bufer seluler dan interseluler (bikarbonat, protein, fosfat) yang

menetralisir kembali difusi asam.

3. Adanya ion membran sel yang berfungsi mengeluarkan asam dari sel

ketika pH interseluler berada di bawah pH asam (Giorgi FD et al, 2006).

Namun, mekanisme pertahanan tersebut memiliki keterbatasan

yaitu dapat dicapai oleh refluksat yang mengandung tingkat keasaman

luminal yang tinggi atau penderita yang mengkonsumsi zat beralkohol

tinggi, osmolalitas tinggi atau bahan-bahan kimia yang berasal dari rokok.

Apabila faktor-faktor tersebut mengenai pertahanan esofagus maka

cedera mukosa akan terjadi. Asam dan pepsin awalnya menyerang dan

merusak interseluler junction sehingga terjadi peningkatan permeabilitas

Page 54: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

36

paraseluler dan hal ini tampak secara morfologi yaitu terdapatnya

pelebaran antar sel (Giorgi FD et al, 2006).

Sfingter Esofagus Atas / SEA (Upper Esophageal Sphincter / UES)

Sfingter esofagus atas merupakan zona bertekanan tinggi yang

terletak antara faring dengan esofagus pars servikal. Sfingter ini secara

fisiologis berperan mencegah refluks makanan ke jalan napas dan

mencegah masuknya udara ke traktus digestif. SEA ini merupakan

struktur muskulokartilagenius, dinding anterior dibentuk oleh permukaan

posterior kartilago krikoid dan aritenoid, di bagian atas oleh otot

interaritenoid sedangkan bagian posterior dan lateral dibentuk oleh otot

krikofaring. Otot krikofaring merupakan bagian penting dari SEA dan

mempunyai karakteristik diantaranya: aktif berkontraksi, mempunyai

elastisitas yang tinggi, tidak mengalami ketegangan maksimal pada

kondisi basal dan terdiri dari serabut tipe lambat dan cepat. SEA

didominasi oleh serabut tipe lambat. Keadaan ini membuat otot krikofaring

dapat mempertahankan tonus istirahat dan dapat melakukan regangan

dengan kekuatan yang besar. Meski demikian otot krikofaring hanya

terdapat pada sepertiga bawah zona bertekanan tinggi. Otot tirofaringeus

terdapat pada dua pertiga atas dari SEA. Pembukaan SEA melibatkan

relaksasi otot krikofaringeus, tirofaringeus dan gerakan laring ke depan

oleh kontraksi otot hioid. Fungsi SEA dikontrol oleh banyak refleks yang

melibatkan input aferen menuju motor neuron yang mempersarafi sfingter.

Page 55: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

37

Refleks fisiologis ini menimbulkan kontraksi atau pembukaan dari sfingter

(Sivarao DV et al, 2000).

Esofagus dan laringofaring dipisahkan oleh SEA yang merupakan

sawar terakhir untuk mencegah refluksat masuk ke laringofaring.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa tonus SEA yang meningkat

sebagai reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi esofagus.

Relaksasi dari SEB akan menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring

atau laring (Yunizaf HM, 2007). Akibat dari refluks isi lambung keluar dari

esofagus disebut refluks ekstraesofageal. Hal ini bisa terjadi karena efek

langsung dari refluks isi lambung pada permukaan mukosa jalan napas

atas (faring, laring, telinga tengah, kompleks nasosinus) dan jalan napas

bawah (trakeobronkopulmonal). Tidak seperti esofagus, jalan napas tidak

diproteksi oleh mekanisme pembersihan antirefluks dan mekanisme

pertahanan mukosa intrinsik terhadap refluks isi lambung (Poelmans J

and Tack J, 2005).

Patofisiologi GER dan GERD pada bayi, anak dan dewasa hampir

sama. Refluks terutama terjadi karena relaksasi sementara pada sfingter

esofagus bawah. Tingginya frekuensi GER dan GERD pada bayi

berkaitan dengan sistem imatur dari esofagus dan lambung. Gambaran

sistem imatur ini termasuk esofagus pars abdominal yang pendek (<1 cm),

peningkatan jumlah kontraksi esofagus yang tidak merata, peningkatan

pembersihan esofagus dan jumlah relaksasi sementara SEB berhubungan

dengan pengosongan lambung yang lambat (Cezard JP, 2004). Tekanan

Page 56: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

38

sfingter esofagus yang lebih rendah dari 6 mmHg hampir selalu

menimbulkan GER. GER juga bisa terjadi pada tekanan SEB yang normal.

Isi lambung yang penuh terutama setelah makan akan memudahkan

terjadinya refluks. Pengosongan lambung yang terlambat bisa

menyebabkan GER. Materi dari isi lambung sebagai bahan refluks yang

mengandung asam, pepsin, garam empedu, tripsin akan merusak mukosa

esofagus. Pembersihan esofagus dari bahan refluks untuk dialirkan

kembali ke lambung dipengaruhi oleh kontraksi peristaltik esofagus, faktor

gravitasi dan saliva. Pembentukan saliva sebanyak 0,5 ml/menit akan

menetralkan asam yang masih tersisa. Faktor-faktor tersebut membantu

regulasi pH dalam esofagus (Yunizaf HM, 2007).

Gejala GERD pada orang dewasa antara lain rasa panas di dada

(heart burn), nyeri dada substernal, epikardial atau retrosternal, regurgitasi

asam, sendawa, cepat merasa kenyang, nausea, muntah, cegukan,

disfagia dan odinofagia (Yunizaf HM, 2007). Pada anak, gejala GERD

hampir sama dengan orang dewasa (Sretenovic, 2009).

Pengukuran pH esofagus 24 jam merupakan standar emas (gold

standard) untuk mendiagnosis adanya GERD. Bila pH kurang dari

4 dianggap ada GERD (Gohary YE et al).

J. Gastroesophageal Refluks (GER)

Gastroesophageal refluks (GER) adalah peristiwa masuknya isi

lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap

orang terutama setelah makan. Refluks yang terjadi pada orang normal

Page 57: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

39

tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologi mukosa esofagus

disebut GER fisiologis. Bila refluks terjadi berulang-ulang menyebabkan

bagian distal esofagus mendapat rangsangan dari isi lambung dalam

waktu yang lama sehingga timbul gejala dan komplikasi disebut GER

patologis atau gastroesophageal refluks disease (GERD) yang meliputi

refluks esofagitis dan refluks simptomatik. Pada refluks esofagus telah

terjadi kelainan mukosa esofagus sedangkan refluks simptomatik

menyebabkan gejala tanpa perubahan histologi dinding esofagus (Yunizaf

HM, 2007).

K. Reflux Laryngopharingeal (RLF )

Refluks Laring Faring / Laryngopharyngeal Reflux (RLF) dapat

didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara retrograd menuju

faring dan laring serta saluran pencernaan atas. RLF dapat menyebabkan

iritasi dan perubahan pada laring.

Pada tahun 1996 Houfman dkk memperkenalkan istilah penyakit

refluks laring faring (RLF) untuk penyakit ini. Amerika serikat beranggapan

RLF merupakan bentuk lain dari Gastroesophageal Reflux disease

(GERD) karena pada pasien RLF tidak perlu ditemukan gejala spesifik

GERD seperti rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi. Lebih jauh

lagi pada kebanyakan pasien dengan RLF refluks asam di esofagus

bagian bawah normal dan pasien RLF tidak didiagnosis sebagai GERD .

Walaupun penyebab kedua penyakit tersebut sama RLF harusdibedakan

dari GERD. Pasien dengan RLF biasanya mempunyai keluhan di daerah

Page 58: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

40

kepala dan leher sedangkan pada GERD biasanya didapatkan keluhan

klasik seperti esophagitis dan rasa panas di dada (heartburn). Perbedaan

ini menyebabkan kedua penyakit tersebut memerlukan pengobatan yang

agak berbeda.

L. Mekanisme Refluks laringofaring

Patofisiologi RLF sampai saat ini masih sulit dipastikan. seperti

yang diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah

cedera langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada

refluxate. Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus

karena tidak mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan

instrinsik seperti esofagus. Terdapat beberapa teori yang mencetuskan

respon patologis karena cairan refluks ini yaitu :

1) Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh

cairan refluks yang mengandung asam dan pepsin. Cairan asam

dan pepsin merupakan zat berbahaya bagi laring dan jaringan

sekitarnya. Pepsin merupakan enzim proteolitik utama lambung

aktivitas optimal pepsin terjadi pada pH 2.0 dan aktif, dan bersifat

stabil pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat kembali ke

pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari sebelumnya.

2) Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang

refleks vagal sehingga akan mengakibatkan bronkokontriksi,

gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk kronis. Lama

kelamaan akan menyebabkan lesi pada mukosa. mekanisme

Page 59: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

41

keduanya akan menyebabkan perubahan patologis pada kondisi

laring. bukti lain juga menyebutkan bahwa rangsangan mukosa

esofagus oleh cairan asam lambung juga akan menyebabkan

peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan gangguan

pernafasan. Cairanlambung tadi menyebabkan refleks vagal eferen

sehingga terjadi respons neuroinflamasimukosa dan dapat saja

tidak ditemukan inflamasi di daerah laring

Penyakit refluks gastroesofageal adalah penyakit umum yang dapat

mengenai setiap segmen populasi. Secara ttradisional pengobatannya

lebih banyak ditujukan pada asam lambung sebagai faktor penyebab.

Pada dasarnya terdapat banyak fackor yang berperan pada mekanisme

terjadinya refluks gastroesofageal dan jejas pada mukosa. Pada keadaan

normal terdapat keseimbangan antara mekanisme agresif dan defensive.

Bila keseimbangan ini terganggu, dapat menimbulkan penyakit refluks

gastroesofageal.

1. Faktor Gastroduodenal

a. Kandungan lambung

Mukosa lambung memiliki dua tipe kelenjar tubuler yaitu kelenjar

gastrik dan kelenjar pilorik. Kelenjar gastrik memiliki tiga jenis sel yaitu :

mucous neck cell yang menghasilkan mucus, sel peptic ( chief ) yang

mensekresi sejumlah besar pepsinogen, dan sel parietal mensekresi

asam klorida dan faktor intrinsik. fakta-fakta klinis dan studi eksperimental

memberikan bukti kuat peranan pepsin dan asam dalam terjadinya PGRE.

Page 60: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

42

Asam sendiri hanya hanya dapat menimbulkan jejas pada mukosa pada

pH sangat rendah ( pH 1-2 ). Dengan kata lain kombinasi asam dengan

pepsin meskipun dengan kadar pepsin yang kecil dapat meyebabkan jejas

yang cukup berat. Asam dapat merusak sel oleh karena kandungan ion

hidrogennya dapat menimbulkan gangguan regulasi volume sel yang

berakibat timbulnya edema sampai nekrosis sedangkan pepsin pada

suasana asam ( pH < 4 ), dapat merusak oleh karena sifat proteolitiknya

( Orlando RC, 2002 ). Sangat penting diketahui bahwa pada penderita

PGRE meskipun terjadi peningkatan paparan asam pada esophagus,

tetapi produksi asam lambung tidak meningkat ( Hirschowitz dkk, 1991 ).

Ini membuktikan bahwa gangguan terjadi pada sawar gastroesofageal dan

menurunnya mekanisme pembersihan esofagus.

b. Kandungan duodenum

Asam empedu dan enzim pankreas dapat berpindah dari

duodenum melewati pylorus masuk ke dalam lambung dan bercampur

dengan sekresi lambung. Peranan asam empedu dan enzim tripsin pada

perlukaan mukosa masih diperdebatkan. Perlukaan mukosa yang

disebabkan oleh asam empedu tergantung pada bentuk asam empedu.

Asam empedu tidak terkonyugasi dapat menyebabkan perlukaan pada

suasana alkali sedangkan asam empedu terkonyugasi menyebabkan

perlukaan pada suasana asam. Bagaimana asam empedu dapat

menyebabkan perlukaan pada mukosa esophagus, masih belum diketahui.

Page 61: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

43

Tripsin, sama dengan pepsin merupakan proteolysis yang aktif pada pH 5-

8 ( Vaezi MF, 1999)

c. Pengosongan lambung

Pengosongan lambung yang lambat akan memicu terjadinya

relaksasi sementara SBE yang menyebabkan keluarnya isi lambung ke

esophagus.

d. Helicobacter pylori

Eradikasi H.pylori dapat meningkatkan keasaman esophagus

sehingga dapat menyebabkan PRGE (Feldman M, Cryer B, Lee E 1998).

Strain CagA+ dari H.pylori dapat melindung esophagus dari bentuk PRGE

yang lebih berat yaitu Barrett’s esophagus (Vicari J., 1998, Vaezi M, dkk.

2000). Meskipun kepentingan klinis H.pylori dalam terjadinya PRGE masih

diperdebatkan, beberapa individu yang mengalami gastritis oleh H.pylori,

khususnya strain CagA+ dapat terlindungi dari kejadian refluks akibat

menurunnya produksi asam lambung.

2. Faktor tautan gastroesofageal

a. Relaksasi sementara spinkter bawah esophagus (TLESr)

Relaksasi sementara SBE terjadi secara spontan dan tidak

tergantung oleh relaksasi proses menelan. Kejadian ini dipicu oleh distensi

lambung melalui jalur vagal afferen. Selain itu dapat pula dipicu oleh

tindakan intubasi faring yang akan meningkatkan frekuensi TLESr ( Mittal

dkk., 1996). Koek dkk 2001 ) memperlihatkan adanya penurunan keluhan

Page 62: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

44

PRGE setelah pemberian baclofen, suatu agonis GABA-B yang

menghambat relaksasi TLESr.

b. Hipotensi spinkter bawah esophagus

Meskipun TLESr merupakan mekanisme utama refluks, rendahnya

tekanan SBE juga merupakan factor penting pada penderita PRGE berat.

Hipotensi SBE (< 10 mmHg) dapat menyebabkan keluarnya isi lambung

secara bebas ke dalam esophagus yang menimbulkan keluhan

esophagitis. Bagaimana mekanisme rendahnya tekanan SBE

menyebabkan refluks masih belum jelas. Rendahnya tekanan SBE juga

dapat disebabkan oleh distensi esophagus, makanan, merokok atau obat-

obatan. ( Mittal R 1999).

c. Hiatal hernia

Herniasi bagian lambung ke dalam rongga torak dapat memicu

terjadinya refluks dengan cara masuknya asam lambung yang terdapat

pada kantung herniasi ke dalam esophagus, krural diafragma tidak dapat

berfungsi sebagai pencegah refluks akibat bergesernya tautan

esofagogastrik. TLESr penderita hiatal hernia juga memiliki ambang batas

yang rendah sehingga sangat mudah terpicu ( Kharilas P dkk., 2000 )

3. Factor esofageal

a. Pembersihan esophagus

Pembersihan asam esophagus melalui 2 mekanisme yaitu : ( 1 )

peristaltis yang dibantu oleh gaya gravitasi. Pada PRGE terjadi penurunan

Page 63: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

45

sampai menghilangnya amplitude peristaltis primer pada bagian distal

esophagus sehingga pembersihan asam terganggu. Pada kasus yang

kronik terjadi pula gangguan pada peristaltis sekunder yang disebabkan

oleh jejas irreversible pada mukosa esophagus akibat paparan asam yang

kronis (Rydberg dkk., 2000, Pai CG 2000 ). ( 2 ) Penetralan asam yang

dilakukan oleh bikarbonat dalam saliva dan sekresi oleh kelenjar

submukosa. Saliva juga mengandung epidermal growth factors yang

potensial untuk memperbaiki kerusakan mukosa dengan menyediakan

sitoproteksi terhadap iritan dan menurunkan permeabilitas mukosa

esophagus terhadap ion hydrogen

b. Pertahanan epitel

Barrier epitel esophagus dalam mencegah difusi asam dan pepsin

diperankan oleh tautan yang rapat dari matriks glikoprotein interseluler.

Matriks ini menghasilkan resistensi elektrik epitel yang membatasi

masuknya asam ke dalam jaringan. PRGE dapat terjadi bila tautan

interseluler dirusak oleh refluksat yang kemudian memudahkan masuknya

ion hidrogen. Sensasi heartburn akan dirasakan oleh penderita bila ion

tersebut mengiritasi vagal afferen. Fosfat, protein dan CA III bertindak

sebagai barier terhadap ion hidrogen ketika ion hidrogen masuk ke dalam

sel.bila barrier ini dilewati, sel-sel epitel esofagus akan mengeluarkan

asam melalui 2 mekanisme pompa transmembran yaitu pertukaran ion

Na/H dan pertukaran sodium dependen Cl/HCO3 ( Orlando RC 2000). Bila

sel epitel kewalahan akibat banyaknya asam, pH inraseluler akan

Page 64: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

46

menurun dan menimbulkan kerusakan sel, defek pada pengaturan volume

sel, lebih lanjut akan merusak mekanisme pertahanan epitel,

permeabilitas terhadap asam meningkat dan akhirnya terjadi kematian

dan nekrosis sel ( Orlando RC. 1999 ). Paparan asam yang berulang akan

menyebabkan erosi mukosa dan memberikan gambaran endoskopik

berupa PRGE erosif.

M. Penatalaksanaan RLF

RLF adalah gerakan retrograde dari enzim lambung yaitu pepsin

dan asam ke daerah tenggorokan bagian bawah. Pasien RLF biasanya

tidak mengetahui mereka menderita RLF dan, tidak seperti penderita

Penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), RLF biasanya tidak

mengeluh sakit heartburn (hanya 35% yang mengeluh). Ketika

lpermukaan tenggorokan terkena oleh cairan lambung, terdapat sekresi

lapisan mukus untuk melindungi permukaan dari agen kaustik. Penderita

bisa menampakkan gejala seperti throat-clearing berlebihan (terutama di

pagi hari atau setelah makan), batuk kering yang persisten, sakit

tenggorokan yang tidak berhubungan dengan pilek, suara serak, atau rasa

mengganjal di tenggorokan. Managemen RLF membutuhkan tiga

pendekatan dengan memperhatikan perubahan pola makan dan perilaku,

dan penggunaan obat penghambat asam. (C.Kwang Sung, MD, MS 2017)

Page 65: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

47

1) Perubahan Diet

Makanan yang berbeda mempengaruhi RLF dengan

mekanisme yang berbeda. Makanan spesifik ini harus dihindari

atau dikurangi secara drastis, atau akan mengganggu proses

penyembuhan:

Kafein, alkohol, coklat, dan peppermint melemahkan sfingter

esofagus bagian bawah, yang nomalnya tertahan dalam isi

lambung

Buah jeruk, kiwi, nanas, tomat (dan makanan asam lainnya),

daging pedas, dan bumbu panas langsung mengiritasi lapisan

tenggorok. Ini berarti bahwa meski obat itu bekerja dengan baik,

mengonsumsi makanan ini akan menyebabkan iritasi dan

pembengkakan pada lapisan tenggorokan.

Minuman berkarbonasi (seperti soda dan bir) membawa

cairan asam ke dalam tenggorokan. Waspadalah walaupun

terhadap soda yang tidak berkafein.

2) Perubahan Perilaku

Jangan meningkatkan tekanan di dalam perut setidaknya 2

jam setelah makan (tidak membungkuk, berolahraga atau

bernyanyi), karena akan memaksa komponen lambung ke dalam

tenggorokan.

Jangan terlalu membebani perut (makan lebih sedikit

sepanjang hari, bukan 3 kali makanan yang lebih besar). Jangan

Page 66: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

48

berbaring dalam waktu 3 jam setelah makan. Jangan makan snack

atau minum sebelum tidur. Elevasi / naikkan kepala dengan

menopang tempat tidur dengan sudut 4 inci untuk memungkinkan

gravitasi membantu menjaga isi perut .

3) Obat-obatan

Proton Pump Inhibitors (PPI) adalah obat yang paling efektif

untuk pengobatan RLF. Mengingat bahwa RLF berbeda dengan

GERD dan perawatannya yang sukses memerlukan dosis obat

yang lebih tinggi untuk jangka waktu lama. Uji coba awal obat-

obatan setidaknya 6 bulan, dengan dosis dua kali sehari

(tergantung pada tingkat keparahan perubahan RLF yang terlihat

pada pemeriksaan). Gejala harus mulai membaik dalam waktu 4

sampai 6 minggu setelah mulai minum obat. pemeriksaan

didapatkan membaik setelah gejala hilang dalam beberapa bulan.

PPI menghentikan produksi asam di lambung selama 12 - 17 jam

(inilah mengapa dosis dua kali sehari diperlukan), membantu

mengurangi potensi iritasi isi lambung.

PPI harus diminum pada waktu perut kosong, 1/2 jam

sebelum makan. Dosis yang paling efektif adalah dosis pagi.

Omeprazole dan lanzoprazole telah disetujui digunakan pada anak

dan usia 12 bulan. Dosisnya yaitu : 1 – 2 mg/kgBB. (Suwandhi,

2006., Sretenovic, 2009)

Page 67: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

49

Gunakan antasida 1/2 jam setelah makan atau 1/2 jam

sebelum bernyanyi atau berolahraga. Beberapa pasien mungkin

memerlukan obat golongan kedua (H2-blocker) untuk membantu

mengendalikan gejala malam hari. H2-blocker adalah anti histamin

yang mengganggu sinyal yang menyebabkan asam lambung

diproduksi. Obat ini tidak sekuat PPI, tapi lebih efektif saat tidur.

Perlu diketahui mengenai jeda antara waktu minum obat dan waktu

saat gejala mulai membaik. Orang yang berhenti minum obat

biasanya merasa gejala membaik selama 1 sampai 3 minggu dan

kemudian gejalanya kembali secara bertahap. Beberapa orang

berhasil dengan menghentikan obat-obatan namun perlu mengikuti

diet ketat serta pemberian obat-obatan menyebabkan Gejala RLF

mulai membaik dalam waktu 4 sampai 6 minggu. ( C. Kwang Sung,

2017)

N. Pepsin dan rinosinusitis

Pepsin pertama kali ditemukan oleh seorang peneliti Jerman

bernama Theodor Schwann pada tahun 1836. Zat tersebut dinamakan

pepsin karena terinspirasi oleh bahasa Yunani pepsis yang berarti

pencernaan. Selanjutnya pada tahun 1929, pepsin menjadi enzim pertama

yang berhasil dikristalkan. Tokoh yang berjasa dalam proses kristalisasi

ini adalah John H. Northrop (Wikipedia).

Pepsin diekspresikan dalam bentuk pro zymogen , pepsinogen,

dimana struktur primernya memiliki 44 amino tambahan. Dalam stoma sel

Page 68: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

50

chief melepaskan pepsinogen. Adanya amino tambahan ini mengaktifkan

zymogen. hormon gastrin dan saraf vagus memicu pelepasan kedua

pepsinogen dan HCl ketika makanan masuk. HCI menciptakan lingkungan

asam yang memungkinkan pepsinogen berkembang dan membelah diri

dengan cara autokatalisis, sehingga menghasilkan pepsin, bentuk aktif

dari enzim. Pepsin kemudian membelah 44 amino tambahan dari

pepsinogen dan menciptakan pepsin yang lebih banyak lagi. Pepsin akan

mencerna hingga 20% protein amida dengan membelah isecara

preferensial asam amino aromatic N-tenninal seperti fenilalanin, triptofan,

dan tirosin. Pepsin membelah secara preferensial untuk hidrofobik..

Peningkatan kerentanan terhadap hidrolisis terjadi jika ada ada tambahan

dosis sulfur yang mengandung amino ke ikatan peptida, yang memiliki

amino aromatic tambahan. Pepsin memotong Phe-Val, Gin-Nya, Glu-Ala.

Ala-Leu, LeuTyr, Tyr-Leu, Gly-Phe, Phe-Phe dan Phe-Tyr pada rantai B

insulin. Peptida selanjutnya dapat dicerna oleh protease lainnya di

duodenum dan akhirnya diserap dalam usus. Pepsin disimpan sebagai

pepsinogen; sehingga hanya akan dirilis bila diperlukan dan tidak

mencerna protein tubuh sendiri di lapisan lambung. Pepsin maksimal aktif

pada pH 2, tetapi memiliki aktivitas hingga pH 6,5. Sementara tidak aktif

pada pH diatas 6.5 dan tetap stabil pada pH 8. enzim ini tidak aktif

ireversibel (terdenaturasi) sampai pH 8. Meskipun pepsin inaktif pada pH

tersebut, tetapi tetap stabil sampai pH 8.0 dan kembali reaktif bila terjadi

penurunan pH .Sementara lambung dirancang untuk menahan kerusakan

Page 69: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

51

oleh pepsin, refluks pepsin ke kerongkongan dan laringofaring

menyebabkan kerusakan bahkan pH di atas 4. Pepsin dianggap faktor

etiologi penting dalam penyakit refluks pada saluran aerodigestive dan

biomarker untuk refluks. yang tingkat dan keasaman dapat berhubungan

dengan keparahan kerusakan. (Joel H. Blumin, 2014)

Pepsin merupakan suatu acidic protease. Saat pertama kali

diproduksi, pepsinogen tidak memiliki aktivitas digestif. Saat kontak

dengan asam klorida yang disekresi oleh sel parietal lambung,

pepsinogen menjadi pepsin yang aktif dalam mencerna protein. Pada

saluran pencernaan terdapat enzim lain yang juga berfungsi mencerna

protein (proteolytic enzyme) yaitu chymotrypsin dan trypsin. Selama

proses pencernaan berlangsung, enzim-enzim ini mencerna protein

menjadi komponen-komponen yang dapat diabsorpsi tubuh seperti

peptida dan asam-asam amino. Pepsin tetap stabil selama kurang lebih

24 jam pada pH 7.0 ( Johnston N dkk, 2007 )

Lambung merupakan sumber pepsin yang digunakan sebagai

enzim untuk mencerna protein. Setiap makan, seseorang menghasilkan

sekresi jus lambung rata-rata sekitar 400 ml yang mengandung pepsin 50-

300 µg/ml. Rata-rata sekitar 200 µg/ml × 400 ml jus lambung 80 mg atau

0.080 g pepsin setiap kali makan (Carter SJ, 1996).

Mukosa lambung memiliki dua tipe kelenjar tubuler yaitu kelenjar

oksintik atau gastrik dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak pada

bagian dalam korpus dan fundus lambung meliputi 80 % bagian proksimal

Page 70: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

52

lambung. Kelenjar pilorik terletak pada bagian antrum lambung. Kelenjar

oksintik terdiri dari tiga tipe sel yaitu sel leher mukus yang terutama

menyekresi mukus dan beberapa pepsinogen, sel peptik atau chief cells

yang menyekresi sejumlah besar pepsinogen dan sel parietal atau oksintik

yang menyekresi asam klorida dan faktor intrinsik. Kelenjar pilorik

mengandung beberapa sel peptik dan hampir tidak ada sel parietal.

Kelenjar pilorik terutama menyekresi mukus untuk melindungi mukosa

pilorik dan beberapa pepsinogen serta hormon gastrin (Guyton AC, 2006).

Ketika pepsinogen pertama kali disekresikan, pepsinogen tidak

mempunyai aktivitas pencernaan. Segera setelah kontak dengan asam

hidroklorida dan khususnya ketika kontak dengan pepsin yang sudah

terbentuk sebelumnya ditambah dengan asam hidroklorida maka

pepsinogen menjadi pepsin yang aktif dalam mencerna protein. Pepsin

hanya memulai proses pencernaan protein yang biasanya hanya 10

sampai 20% dari pencernaan total protein (Guyton AC, 2006).

Pepsin adalah enzim proteolitik aktif dalam medium yang sangat

asam. Setelah diisolasi, pepsin harus disimpan dalam suhu yang sangat

dingin antara -20°C sampai - 80°C untuk mencegah struktur pepsin

mengalami denaturasi autolisis atau pembelahan secara otomatis

(Guyton AC, 2006).

Adanya pepsin di saliva, paru, dan sekresi hidung bukti langsung

dari isi lambung refluks ke dalam orofaring, nasofaring atau paru-paru.

dengan adanya asam, pepsinogen akan dikonversi ke pepsin, yang dapat

Page 71: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

53

menyebabkan cedera mukosa. pepsin memainkan banyak peran utama

dalam pengembangan terkait gangguan refluks. Refluks gastroesofageal

selalu mengandung pepsin. (koufmann JA., 2004)

Refluks lambung baru-baru ini telah dikaitkan dengan banyaknya

gejala laring dan supra-esofagus lainnya, topik yang banyak

diperdebatkan, dengan judul penyakit laryngopharyngeal refluks (LPR)

atau refluks laringofaring (RLF). RLF terlibat sebagai faktor yang

berkontribusi pada asma, batuk kronis, pneumonia, disfonia, lesi vokal

jinak, spasme laring, stenosis subglotis, dan rinosinusitis. Mekanisme

bagaimana RLF dapat berkontribusi untuk rinosinusitis kronis adalah topik

yang kontroversial; cedera langsung asam lambung dan perubahan

neurofisiologis yang dimediasi nervus vagus adalah mekanisme yang

paling sering dicurigai. kemungkinan bahwa Helicobacter pylori dapat

memfasilitasi penyakit ini diusulkan baru-baru ini. ( suay ozmen, 2008 )

Penelitian oleh Andriani terhadap penderita refluks gastroesofageal

dengan hasil Skor RSI > 13 dan skor RSF > 7 sebanyak 48 sampel dari

51 sampel menderita RLF dimana Pepsin terdeteksi pada saliva semua

penderita RLF tersebut. (Andriyani Y, 2011)

Penelitian oleh taliyah mendeteksi adanya pepsin pada cairan

ditelinga tengah. Berdasarkan ada tidaknya gejala refluks, Kadar pepsin

rata-rata sekret penderita OMSK dengan gejala refluks 744,37 pg/ml

209,057 pg/ml dan tanpa gejala refluks 209,057 pg/ml. Adanya pepsin

dalam cairan telinga tengah mengindikasikan bahwa refluks cairan

Page 72: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

54

lambung mampu mencapai jauh ke telinga tengah. Diduga bahwa adanya

paparan pepsin pada membran mukosa telinga tengah menimbulkan

iritasi kronis dan memicu terjadinya reaksi inflamasi yang akhirnya

menciptakan kondisi yang baik berkembangnya suatu otitis. Keadaan ini

menjadi kondisi ideal berkembangnya kolonisasi bakteri. (Taliyah., 2012)

Perubahan patologik mukosa sinus paranasal terjadi akibat proses

peradangan lapisan mukoperiostium hidung dan sinus yang berlangsung

lebih dari 12 minggu. Proses patologik rinosinusitis dimulai dari adanya

blokade/ sumbatan area kompleks ostiomeatal (KOM), yang menimbulkan

gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang

berlangsung terus-menerus mengakibatkan hipoksi dan retensi sekret

serta perubahan pH sekret. Perubahan tersebut memungkinkan sekret

menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri yang akhirnya akan

merusak silia. Siklus patologik tersebut akan terus berlangsung dan

menghasilkan lapisan mukosa yang hipertrofi, sehingga semakin

memperberat blokade di area kompleks ostiomeatal. (Matthew W. Ryan,

2014)

Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling

sering ditemui di seluruh dunia. Patofisiologi rinosinusitis kronis

melibatkan perubahan mukosa inflamasi, yang mengakibatkan edema

mukosa, obstruksi ostium, stasis mukosa, dan infeksi. rinosinusitis kronis

penyakit multifaktorial dengan faktor predisposisi yang meliputi infeksi

virus, bakteri, dan jamur, serta menghirup alergen dan polusi dan kelainan

Page 73: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

55

anatomi. (suay ozmen, 2008)

Walaupun hubungan antara penyakit sinonasal dan hipersekresi

lambung pertama kali di dokumentasikan pada tahun 1950, akan tetapi

investigasi yang menyeluruh mengeni hubungan keduanya belum lama

dikemukakan. pada akhir 1990an, beberapa studi menunjukkan bahwa

tingginya hubungan antara refluks ekstraesofageal dan penyakit sinonasal.

Baise dkk melakukan studi mengenai pH probe pada kelompok pasien

dengan rinosinusitis kronik, dan hasilnya 78% pasien terbukti memiliki

refluks. Studi epidemiologi yang lebih besar oleh El-serag dkk

menunjukkan bahwa orang dewasa dengan refluks gastroesofageal juga

memiliki riwayat rinosinusitis. Studi lainnya pada pasien dengan sinusitis

untuk mengevaluasi refluks dan temuan objektif refluks yang diterapi

dengan supresi asam yaitu dengan PPI. Kebanyak pasien pada studi

nonkontrol yang diterapi dengan PPI untuk refluksnya menunjukkan

perbaikan pada gejala sinonasal. studi lainnya mendeteksi asam dengan

faringeal probe menunjukkan keberadaannya pada nasofaring dan

multipel studi telah menunjukkan tingginya prevalensi refluks

gastroesofageal dengan sinusitis pada populasi anak, akan tetapi

penyebab dan efek belum dibuktikan. ( bailey, 2014)

Penelitian lain oleh Jessica mengenai dampak pepsin terhadap

hidung dengan hasil bahwa pepsin terdeteksi pada cairan sinus pada 4

dari 6 penderita rinosinusitis kronik dimana dengan pemeriksaan invitro

Page 74: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

56

didapatkan kesimpulan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan

pada mitokondria pada sel epitel hidung. ( Jessica E, 2015).

Penelitian lain menunjukkan tingginya kejadian refluks esophagus

pada pasien dengan rinosinusitis kronik. Dimana beberapa studi

menginvestigasi mekanisme kemungkinan refluks memberi efek pada

cavum sinonasal secara langsung yaitu efek inflamasi langsung, perantara

saraf dan inokulasi helikobakter pilori. Penelitian oleh Ozmen, mengenai

tingginya insidensi refluks asam, dimana didapatkan 29 dari 33 pasien

dengan refluks asam menderita rinosinusitis kronik. hasil pemeriksaan

fluorometrik pepsin berkorelasi dengan hasil 24 hour dual probe

monitoring untuk diagnosa refluks laringofaring dengan sensitifitas 100%

dan spesifitas 92,5%. Dari data tersebut diasosiasikan bahwa terdapat

hubungan antara rinosinusitis kronik dan refluks laringofaring, dan deteksi

pepsin pada cairan hidung dapat dilakukan sebagai metode non invasive

dan feasible untuk skring refluks laringofaring. ( suay ozmen, 2008 )

Terdapat Beberapa teori hubungan antara refluks asam dan

rinosinusitis kronis. Yang pertama adalah paparan langsung mukosa

hidung dan nasofaring dari asam lambung, menyebabkan Peradangan

pada mukosa dan gangguan mukosilier klirens, yang dapat menyebabkan

obstruksi ostia sinus dan infeksi berulang (Loehrl TA et al., 2002;

delehaye .,2009). Hal ini diketahui bahwa variasi pH mempengaruhi

motilitas dan morfologi silia pada mukosa pernapasan ( holma B., 1997).

Page 75: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

57

Hipotesis kedua adalah hubungannya yang diperantarai oleh saraf

vagus, mekanisme ini sudah terbukti di saluran napas bagian bawah dan

di mukosa hidung dari pasien dengan rhinitis, tapi tidak pada pasien

dengan rinosinusitis kronis. Disfungsi sistem saraf otonom dapat

menyebabkan pembengkakan dan peradangan sinonasal, dan

penyumbatan dari ostia tersebut. Wong et al menunjukkan bahwa dengan

memasukkan dengan sengaja salin dengan asam klorida dalam esofagus

bagian bawah yang sehat, terdapat peningkatan produksi lendir hidung,

peningkatan skor gejala hidung, dan mengurangi peak inspirasi nasal flow,

sehingga mendukung teori ini.( Lodi et al., 1997; harding ., 1997; wong

iwy., 2010)

Mekanisme akhir yang berperan langsung yaitu dari Helicobacter

pylori (H. pylori). (Koc et al ., 2004 ) mengamamati adanya H. pylori pada

penderita polip hidung, tapi tidak ada pada jaringan lain, sedangkan

Morinaka dkk menemukan H. pylori melalui polymerase chain reaction

(PCR) dalam mukosa hidung dari pasien yang memiliki keluhan

rinosinusitis kronis dan gastroesophageal refluks. ( morinaka et al., 2003)

Namun ada temuan yang saling bertentangan dalam literatur apakah

terdapat jumlah yang lebih besar dari H. pylori pada mukosa hidung

penderita dengan rinosinusitis kronis. (Ozdek et al., 2003 )

Page 76: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

58

Page 77: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

59

P. Kerangka Konsep

Q. Identifikasi Variabel

Variabel Independen :

Variabel Dependen :

Variabel Antara :

Variabel kendali :

Page 78: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

60

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitis dengan rancangan studi

cross-sectional untuk menganalisis kadar pepsin dan pH sekret sampel

hidung pada penderita rinosinusitis kronik terhadap keluhan Refluks

Laring Faring

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo,

RS Unhas Makassar bulan oktober - desember 2017.

C. Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan adalah penderita rinosinusitis kronik di

RS Wahidin Sudirohusodo

D. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah sekret hidung penderita rinosinusitis

kronik yang berkunjung ke poiklinik THT.

E. Besar sampel

Besar sampel ditetapkan berdasarkan dengan rumus estimasi

besar sampel satu proporsi adalah X dengan perhitungan :

Page 79: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

61

n = Zα2 P.Q : 27-29 sampel

d2

keterangan

n = perkiraan besar sampel

Zα = Tingkat kemaknaan yang ditetapkan 1,96

P= Proporsi penyakit atau keadaan yang dicari (pustaka)

Q = 1 – P

d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (0,1)

(Sastroasmoro dan Ismael, 2008)

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi

a. Penderita rinosinusitis kronik

b. Penderita usia 15-60 tahun

c. Penderita bersedia ikut penelitian dan memberikan persetujuan

secara tertulis (informed Consent) dan menanda-tangani surat

persetujuan tindakan medis.

2. Kriteria Eksklusi

a. Tidak sedang minum obat PPI, antasida, AH-2 selama 4 minggu

b. Tidak mengikuti seluruh prosedur penelitian

G. Izin Penelitian dan Ethical Clearance

Ijin penelitian diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada

Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan nomor

surat rekomendasi 922/H4.8.4.5.31/PP36-KOMETIK/2017. Penderita

Page 80: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

62

diberi penjelasan tentang penelitian ini dan meminta persetujuan penderita

untuk berpartisipasi dalam penelitian ini (informed consent) untuk

dijadikan sampel penelitian.

H. BIAYA PENELITIAN

Biaya penelitian dan pemeriksaan ditanggung oleh peneliti sendiri

dan tidak dibebankan kepada pasien

I. Bahan dan Cara Pengambilan sampel

a Bahan dan alat

1) Subyek penelitian yang terdiagnosis sebagai rhinosinusitis kronik.

2) Alat diagnostik set THT

3) Rekaman foto CT-Scan sinus paranasalis potongan koronal

tanpa kontras

4) Fiber optik laringoskop

5) pH-Meter Hanna

6) Elisa kit

7) Tabung sampel eppendorf 1,5 ml

8) Kuesioner RSI dan RFS

b Cara pengambilan sampel

1) Sekret penderita rinosinusitis kronik yang memenuhi kriteria

inklusi dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian ini dan

penderita diberi penjelasan (informed consent) serta memberi

persetujuan.

Page 81: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

63

2) Melakukan wawancara orang tua penderita/ penderita

rinosinusitis kronik yang berisi tentang kuesioner refluks

laringofaring ( reflux score index / RSI )

3) Sekret dari hidung diambil di meatus media dengan cara : spoit 1

cc yang ujungnya disambungkan dengan ujung suction, dan

dimasukkan ke dalam tabung eppendorf minimal 1,5 ml

J. Teknik Pemeriksaan

Pemeriksaan pH

Sekret pada tabung eppendorf diukur pHnya dengan pH-Meter digital

Hanna kemudian sesegera mungkin tabung sampel dimasukkan ke

dalam freezer disimpan pada suhu -20 °C untuk persiapan

pemeriksaan pepsin menggunakan ELISA

Pemeriksaan nasoendoskopi fleksibel

Melakukan nasolaringoendoskopi fleksibel untuk menghitung skor

refluks laringofaring (reflux finding score / RFS ) dengan memasang

tampon kapas anterior yang mengandung efedrin : lidoacain 1:

100.000 kedalam cavum nasi, juga menyemprotkan xylocain spray ke

orofaring, kemudian masukkan scope endoskopi fleksibel melalui

cavum nasi lalu dinilai mulai dari cavum nasi sampai ke laring dan

dicatat hasil skor RFS.

Page 82: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

64

Pemeriksaan Pepsin Metode ELISA

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan metode ELISA.

Microplate yang tersedia pada kit sudah mengandung antibodi monoklonal

spesifik untuk pepsin. Standar dan sampel ditambahkan pada well yang

tersedia pada microplate dan bila terdapat pepsin akan terikat oleh

antibodi yang ada. Suatu enzim antibodi poliklonal spesifik untuk pepsin

ditambahkan. Selanjutnya microplate dicuci untuk menghilangkan reagent

enzim antibodi yang tidak terikat, kemudian cairan substrat ditambahkan

ke dalam well microplate dan akan terjadi perubahan warna sesuai jumlah

pepsin yang terikat. Perubahan warna ini akan diukur intensitasnya dan

dibandingkan dengan kurva standar.

Persiapan assay (Cusabio Biotech) :

1. Sampel sekret dilakukan sentrifuge selama ± 20 menit dengan

kecepatan 2000-3000 rpm

2. Prosedur dan teknik pemeriksaan ELISA

a. Buat standar dengan jalan melarutkan standard ditambah 1 ml

sampel diluents untuk membuat kurva konsentrasi.

Tabel 2. Konsentrasi larutan standard dan diluent

80ng/ml Standart No.5 120 µl Original Standart + 120 µl standart diluent

40ng/ml Standart No.4 120 µl Standart no.5 + 120 µl standart diluent

20ng/ml Standart No.3 120 µl Standart no.4 + 120 µl standart diluent

10ng/ml Standart No.2 120 µl Standart no.3 + 120 µl standart diluent

5 ng/ml Standart No.1 120 µl Standart no.2 + 120 µl standart diluent

Page 83: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

65

b. Masukkan sebanyak 50 µl masing-masing standard dan sampel

pada well plate (yang mengandung antibodi spesifik untuk human

pepsin). Tutup dengan strip adhesive. Inkubasi selama 1 jam pada

suhu 37°C. Buang cairan pada setiap well plate, jangan dicuci.

c. Masukkan 100 µl cairan biotin-antibodi pada setiap well plate.

Inkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C. Larutan biotin-antibodi 1 :

100 dibuat dengan jalan melarutkan 80 µl biotin-antibodi

ditambahkan 7920 µl biotin-antibodi diluents. Buat wash buffer

dengan pengenceran 30 kali dengan jalan melarutkan 20 ml wash

buffer kemudian menambahkan akuades 480 ml hingga volumenya

menjadi 500 ml.

d. Aspirasi setiap well plate dan dicuci, ulangi proses tersebut

sebanyak 5 kali. Pencucian dilakukan dengan cara : mengisi setiap

well dengan wash buffer (350 µl)

e. Tambahkan 100 µl cairan HRP-avidin pada setiap well. Tutup plate

dengan strip adhesive yang baru.

standart S5 S4 S3 S2 S1

160ng/ml 80ng/ml 40ng/ml 20ng/ml 10ng/ml 5ng/ml

Page 84: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

66

f. Aspirasi dan cuci setiap well sebanyak 5 kali pencucian seperti

pada proses pencucian sebelumnya menggunakan 350 µl wash

buffer dengan pipet multi-channel dan biarkan selama 1-2 menit,

kemudian cairan pada well dibuang. Wash buffer yang tersisa

diaspirasi atau dituang dan dikeringkan dengan kertas tisu.

g. Tambahkan 90 µl larutan substrat TMB pada setiap well, warna

berubah menjadi biru. Inkubasi selama 60 menit pada suhu kamar,

lindungi dari cahaya terang. Tambahkan 50 µl stop solution pada

setiap well. Warna berubah menguning.

h. Identifikasi densitas optik pada setiap well dalam 30 detik

menggunakan ELISA microplate reader set pada 450 nm dan

hasilnya akan terbaca.

K. Pengolahan dan Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh, dikelompokkan sesuai dengan tujuan

dan jenis data. Pengolahan data menggunakan SPSS 18 dengan

berbagai analisis statistik di bawah ini :

a. Analisis univariat digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi,

rerata, standar deviasi, nilai maksimum dan minimum.

b. Analisis bivariat : untuk membandingkan variabel yang berskala

nominal antara dua kelompok yang tidak berpasangan.

c. Uji statistik yang bertujuan untuk analisis perbandingan rata-rata antar

variabel. Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann-Whitney U Test.

Hasil uji dianggap signifikan jika nilai p uji < 0,05.

Page 85: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

67

L. Alur Penelitian

POPULASI

Nasolaringoendoskopi fleksibel ( kuesioner RSI + RSF )

Syarat terpenuhi (penjelasan & persetujuan)

Sekret diambil

Disimpan di Freezer suhu -20oC

Ada gejala RLF

Gejala dan CT Scan : rinosinusitis kronik

sekret (+)

Pemeriksaan ELISA

Analisis Data

Tidak ada gejala RLF

Pemeriksaan pH

Page 86: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

68

M. Kriteria dan Definisi Operasional

1. Rinosinusitis kronik adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal

berlangsung > 12 minggu yang ditandai adanya dua atau lebih gejala,

salah satunya termasuk hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau

pilek (sekret hidung anterior / posterior), dengan atau tanpa nyeri

wajah / rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa penurunan /

hilangnya penghidu, dan salah satu temuan dari temuan

nasoendoskopi (polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus

medius dan udem / obstruksi mukosa di meatus medius) dan

gambaran tomografi komputer (perubahan mukosa di kompleks

osteomeatal dan atau sinus.

2. Sekret hidung adalah cairan yang keluar dari hidung bisa bersifat

mukoid, jernih atau keruh kadang-kadang berwarna kehijauan, bisa

berbau atau tidak.

3. Sampel Sekret adalah cairan yang diambil dari meatus media

disimpan ditabung eppendorf dan langsung diperiksa pHnya lalu

disimpan dalam suhu -20°C sebelum dilakukan pemeriksaan ELISA.

4. Rerfluks laringofaring (RLF) adalah aliran balik asam lambung ke

daerah laring, faring, yang menyebabkan kontak dan menimbulkan

jejas pada laringofaring, yang dinilai berdasarkan skor RSI > 13 dan

RSF > 7.

5. Refluks symptom index ( RSI ) adalah Sistem skoring oleh Belafsky

dan kawan-kawan yang didapat berdasarkan penilaian terhadap 9

Page 87: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

69

gejala dari Laringofaringeal refluks menggunakan skala 0 sampai 5

dengan skala maksimal 45 untuk berbagai gejala berikut : 1. Suara

serak/gangguan suara, 2. Throat clearing, 3. Sekret dibelakang hidung

/ post nasal drip, 4. Kesulitan dalam menelan, 5. Batuk setelah makan /

berbaring, 6. Kesulitan bernafas/tersedak, 7. Batuk kronik, 8. Perasaan

mengganjal di tenggorok, dan 9. Rasa terbakar di dada. Dimana nilai

RSI lebih besar dari 13 dapat didiagnosa sebagai Laringofaringeal

refluks.

6. Refluks Finding Score (RFS) adalah Sistem skoring oleh Belafsky dan

kawan-kawan untuk menilai berat ringannya gambaran klinis

berdasarkan pemeriksaan laringoskopi fiberoptik. RFS terdiri dari

delapan skala yang merupakan kelainan yang ditemukan pada laring,

yaitu : 1. Edema subglottik, 2. Obliterasi ventrikular, 3. Eritema /

hiperemis laring, 4. Edema pita suara, 5. Edema laring menyeluruh, 6.

Hipertrofi commisura posterior, 7. Granuloma / jaringan granulasi pada

laring, dan 8. Mukus endolaring yang tebal. Skor maximum dari RFS

adalah 26 dan bila skor lebih dari 7 dapat didiagnosa sebagai

Laringofaringeal refluks.

7. Pepsin adalah kadar pepsin sekret hidung pada penderita rinosinusitis

kronik yang didapat dengan cara interpretasi hasil densitas optik

setiap well yang terekam ELISA microplate reader set pada 450nm.

Dimana kadar pepsin yang ditemukan dihitung dalam satuan ng/ml

Page 88: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

70

8. Kit ELISA merupakan seperangkat pemeriksaan pepsin dari Bioassay

Technology Laboratory dengan menggunakan metode Enzyme-Linked

Immunosorbent Assay ( ELISA) KitCat.No. E0922Hu terdiri dari 96 well,

terletak pada microplate dengan larutan standar pada konsentrasi 80

ng/ml, 40 ng/ml, 20 ng/ml, 10 ng/ml, dan 5 ng/ml.

9. pH-metri adalah alat pHmeter digital dari Hanna Instrument USA, yang

digunakan untuk mengukur pH (Potensial Hidrogen) kadar asam basa

cairan. Kadar pH dimulai dari 0 sampai 14. Dimana < 7 suasana asam,

7 netral dan > 7 suasana basa.

Page 89: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

71

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di RS. Wahidin Sudirohusodo, Laboratorium

RS Universitas Hasanuddin Makassar sejak oktober – desember 2017.

Didapatkan 27 pasien (sampel) dengan rinosinusitis kronik. Pasien diambil

sekret hidungnya untuk menilai pepsin dan pH, kemudian pasien

menjalani pemeriksaan nasolaringoendoskopi fleksibel dan di bagi

menjadi dua kelompok yaitu yang disertai refluks laring faring dan yang

tidak diserati keluhan refluks laring faring.

Adapun distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin dan rata-rata

usia antara kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 3. Karakteristik sampel penderita Rinosinusitis Kronik (RSK)

karakteristik n %

Usia 16-24 tahun 5 18 %

25-55 tahun 22 82 %

Jenis kelamin Laki- 11 40,7 %

perempuan 16 59,3 %

Keluhan RLF Ya 8 29,6 %

Tidak 19 70,4 %

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar (82,0%) penderita

rinosinusitis kronik berusia diatas 25 tahun dan lebih banyak pada

perempuan daripada laki-laki (59,3% vs 40,7%) dan ditemukan penderita

Page 90: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

72

rinosinusitis kronik juga disertai dengan keluhan refluks laring faring

(29,6%)

Tabel 4. Kadar Pepsin dan pH sekret hidung penderita rinosinusitis

kronik (RSK)

Variabel

PEPSIN Kadar Pepsin (pg/ml) pH

Ada Tidak Min/Max Median Min/Max Median

RSK

(n=27) 27 - 19,0 / 75,8 52,20

6,00/

6,80 6,395

Total 100% 0%

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa ditemukan pepsin pada semua

secret hidung penderita rinosinusitis kronik dimana kadar pepsin sekret

hidung penderita Rinosinusitis Kronik berkisar 19.00-75.80 pg/ml dengan

median 52.20 pg/ml dan pH sekret hidung penderita Rinosinusitis kronik

berkisar 6.00-6.80 dengan median 6.395

Tabel 5. Kadar Pepsin dan pH sekret hidung penderita rinosinusitis

kronik berdasarkan adanya keluhan RLF

Variabe

l

RLF (n=19) tidak RLF (n=8) Total (n=27)

p* Media

n

Min/Ma

x

Media

n

Min/Ma

x

Media

n

Min/Ma

x

Pepsin

(pg/ml) 58,60

44,2/

75,8 51,30

19,0/

58,5 52,20

19,0 /

75,8

0,03

5

pH 6,22 6,00/

6,35 6,450

6,00/

6,70 6,395

6,00/

6,80

0,09

5

*Mann-Whitney U test

Page 91: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

73

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa kadar pepsin sekret hidung

penderita Rinosinusitis Kronik berkisar 19.00-75.80 pg/ml dengan median

52.20 pg/ml dan pH sekret hidung penderita Rinosinusitis kronik berkisar

6.00-6.80 dengan median 6.395

Hasil uji Mann-Whitney U test menunjukkan perbedaan kadar

pepsin sekret hidung yang bermakna (p <0,05) antara penderita

Rinosinusitis kronik dengan keluhan RLF dan Rinosinusitis kronik tanpa

keluhan RLF, dimana kadar pepsin penderita rinosinusitis kronik dengan

keluhan RLF lebih tinggi daripada yang tidak memiliki keluhan RLF

(median 58,60 vs 51,30 pg/ml). pH pada sekret hidung penderita

rinosinusitis kronik dengan RLF lebih rendah dari Rinosinusitis Kronik

tanpa RLF ( 6,22 vs 6.45 ) tetapi tidak bermakna secara statistik ( p >

0,05 )

Grafik 1. Box Plot kadar Pepsin sekret hidung pada kedua kelompok

Page 92: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

74

Dari grafik 1 dapat dilihat rata-rata kadar pepsin sekret hidung

penderita Rinosinusitis Kronik dengan keluhan RLF lebih tinggi daripada

penderita rinosinusitis kronik tanpa keluhan RLF.

Grafik 2. Box Plot pH sekret hidung pada kedua kelompok

Dari grafik 2 dapat dilihat rata-rata pH sekret hidung penderita

Rinosinusitis Kronik dengan keluhan RLF lebih rendah (asam) daripada

penderita Rinosinusitis Kronik tanpa keluhan RLF.

Page 93: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

75

B. PEMBAHASAN PENELITIAN

Penelitian ini melibatkan 27 pasien. Pengambilan sampel sekret

hidung dilakukan di Instalasi Rawat Jalan THT sementara pemeriksaan

nasolaringoendoskopi fleksibel dilakukan di endoscopic centre RS.

Wahidin Sudirohusodo Makassar, Pemeriksaan pepsin dan pH dilakukan

di laboratorium Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin,

kemudian dari ke 27 sampel di bagi menjadi dua kelompok yaitu yang

disertai keluhan refluks laring faring dan yang tidak disertai keluhan refluks

laring faring berdasarkan nilai skor RSI dan RFS.

Pada peneltian ini didapatkan distribusi penderita rinosinusitis

kronik lebih banyak pada perembuan dari pada laki-laki. Hal ini sama

seperti yang dilaporkan oleh Elisabeth tahun 2015 dimana angka kejadian

rinosinustis kronik lebih banyak pada perempuan dari pada laki-laki.

Distribusi usia terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua

kelompok pasien dimana pada kelompok pertama distribusi usia 16-24

tahun dan pada kelompok kedua 25-55 tahun. Dimana didapatkan

sebanyak 22 sampel (82%) penderita RSK berusia 25-55 tahun dan

kurang dari 25 tahun sebanyak 18%. Hal ini sesuai dengan yang

dilaporkan oleh respiratory surveillance program bahwa RSK banyak

ditemukan pada usia 25-64 tahun. Chen Y (2003) mengatakan bahwa

Prevalensi rinosinusitis kronik meningkat seiring bertambahnya usia dan

jarang setelah usia 60 tahun

RSK merupakan penyakit multifaktorial dengan faktor predisposisi

Page 94: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

76

yang meliputi infeksi virus, bakteri, dan jamur, serta menghirup alergen

dan polusi dan kelainan anatomi. (suay ozmen, 2008). hubungan

rinosinusitis kronik dan refluks ekstraesofageal masih menjadi isu yang

kontroversial. Sella GCP, 2016 menyatakan gastroesofageal refluks

mungkin memiliki peran etiologis dalam terjadinya rinosinusitis kronik.

Gastroesophagealrefluks (GER) adalah aliran balik isi lambung ke

dalam esofagus. Esofagus dan laringofaring dipisahkan oleh sfingter

esofagus atas (SEA) yang merupakan sawar terakhir untuk mencegah

refluksat masuk ke laringofaring. Refluksat meningkatkan tonus SEA

menimbulkan distensi esofagus sehingga terjadi relaksasi dari SEA yang

menyebabkan terjadinya pajanan cairan lambung keluar dari esofagus

yang disebut refluks ekstra esofageal. Dimana ini bisa mencapai laring,

faring, kavum nasi dan telinga tengah dan menyebabkan laringitis dan

faringitis dalam bentuk refluks laring faring, serta dapat menyebabkan

rinosinusitis. Cairan lambung dapat mengandung pepsin, asam lambung

(HCl), pepsin, mucin dan renin.

Pepsin memainkan banyak peran utama dalam pengembangan

terkait gangguan refluks dimana refluks gastroesofageal selalu

mengandung pepsin. Joel H. Blumin, 2014 mengatakan Pepsin dianggap

faktor etiologi penting penyakit refluks pada saluran aerodigestive dan

biomarker untuk refluks, yang tingkat dan keasaman dapat berhubungan

dengan keparahan kerusakan. Penelitian oleh Ozmen, 2008 mendapatkan

29 dari 33 pasien dengan refluks menderita rinosinusitis kronik. Hasil

Page 95: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

77

pemeriksaan fluorometrik pepsin berkorelasi dengan hasil 24 hour dual

probe monitoring untuk diagnosa refluks laringofaring dengan sensitifitas

100% dan spesifitas 92,5%. Ini dapat diasosiasikan bahwa terdapat

hubungan antara RSK dan RLF, dan deteksi pepsin pada cairan hidung

dapat dilakukan sebagai metode non invasive dan feasible untuk skring

RLF. Aysegul Verim, 2016 melaporkan bahwa nilai radiologi dan

endoskopi penderita rinosinusitis lebih buruk pada pasien yang juga

menderita refluks laringofaring.

Dari hasil penelitian dengan pemeriksaan Elisa, dari 27 sampel

ditemukan adanya pepsin pada semua sampel sekret hidung penderita

rinosinusitis kronik dengan kadar pepsin 19-75,8 pg/ml rata-rata 52,2

pg/ml, dan pH 6,0-6,8 rata-rata 6,39. Secara statistik didapatkan hasil

yang bermakna diantara kedua kelompok yaitu Kadar pepsin sekret

hidung penderita RSK yang disertai dengan keluhan RLF yaitu 44,2/75,8

pg/ml dengan rata-rata 58,60 pg/ml dimana ini lebih tinggi daripada RSK

tanpa keluhan RLF yaitu 19,0/58,5 dengan rata-rata 51,30 pg/ml. Dari 27

sampel tadi didapatkan 8 sampel juga memberikan gejala RLF yang dinilai

berdasarkan skor RSI dan RFS, Hal ini dapat memberikan gambaran

mengapa pepsin bisa sampai ke sinonasal. Walaupun terdapat pepsin

pada semua sekret hidung, akan tetapi pada 19 sampel tidak memberikan

gejala RLF. Dari 27 sampel, 21 sampel memberikan skor RSI > 13 dimana

ini mengarah ke refluks laring faring akan tetapi hanya 8 sampel yang juga

memberikan skor RFS yang mendukung refluks laring faring yaitu > 7. Hal

Page 96: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

78

ini bisa saja disebabkan oleh skor RSI dan RFS yang telah membaik,

beberapa sampel mengatakan memiliki keluhan RLF sebelumnya yang

dirasakan telah berkurang beberapa bulan terakhir, 11 dari 19 sampel

yang menderita RSK tanpa keluhan RLF telah merubah pola kebiasaan

makan mereka walaupun tanpa mengkonsumsi obat untuk lambungnya.

Pola makan yang lebih teratur juga telah dijalani yaitu makan sering

dengan porsi sedikit dimana ddiketahui bahwa makanan dengan porsi

besar kemungkinan meningkatkan tekanan dan refluks lambung. Pola

makan dan perilaku sangat mempengaruhi dalam terjadinya refluks. Pada

orang yang sering makan coklat dalam waktu yang lama dapat menjadi

faktor resiko terjadinya refluks dimana diketahui bahwa coklat

mengandung methylxanthine, yang telah terbukti mengurangi tekanan

LES dengan menyebabkan relaksasi otot polos. Akan tetapi keberadaan

pepsin pada sekret hidung jelaslah menjadi petanda bahwa telah terjadi

refluks cairan lambung yang mecapai ke daerah sinonasal dikarenakan

pepsin didalam tubuh hanya di produksi di lambung. Suasana asam dapat

menyebabkan pepsin aktif, dimana pepsin maksimal aktif pada pH 2,

tetapi memiliki aktivitas hingga pH 6,5, tidak aktif pada pH >6.5 dan tetap

stabil pada pH8.

Dari hasil penelitian ini didapatkan kadar pH sekret hidung

penderita rinosinusitis kronik adalah cenderung asam yaitu rata-rata 6,39.

Dimana kadar pH sekret hidung penderita rinosinusitis kronik yang

disertai dengan keluhan RLF yaitu 6,00/6,35 dengan rata-rata 6,22 lebih

rendah atau lebih asam daripada rinosinusitis kronik tanpa keluhan RLF

Page 97: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

79

yaitu 6,00/6,70 dengan rata-rata 6,45. Walaupun secara statistik kedua

kelompok tersebut tidak memberikan perbedaan yang bermakna, akan

tetapi hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pepsin dapat

memberikan reaksi bila berada dalam suasana asam yaitu pada pH 2-6,5 .

Holma B menyatakan bahwa variasi pH mempengaruhi motilitas dan

morfologi silia pada mukosa pernapasan. Mukosa sinonasal tidak

dirancang untuk menahan kerusakan akibat pepsin dan asam. Adanya

pepsin dan suasana asam pada sekret hidung menyebabkan pepsin aktif

dan terjadi perubahan patologik mukosa sinus paranasal yang

mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi pada lapisan mukoperiostium

hidung dan sinus yang berlangsung kronik yang akhirnya menciptakan

kondisi yang baik berkembangnya suatu rinosinusitis yang nantinya

keadaan ini menjadi kondisi ideal berkembangnya kolonisasi bakteri.

Telah dibuktikan dari banyaknya penelitian bahwa refluks

ekstraesofageal dapat menyebabkan laringitis dan faringitis dalam bentuk

refluks laring faring, sehingga secara teori hal ini juga dapat menyebabkan

terjadinya rinosinusitis kronik, sebagaimana diketahui bahwa lapisan

mukosa hidung, laring dan faring tidak sama dengan mukosa esofagus

dimana esophagus memiliki mukosa dan silia yang dapat sebagai barrier

terhadap efek pepsin dan asam lambung. Oleh karena itu rinosinusitis

kronik yang disertai dengan keluhan refluks laring faring pada penelitian

ini adalah tidak dapat dipungkri merupakan penyebab dari faktor iritan

yang disebabkan oleh pepsin dan asam, dengan bukti bahwa adanya

pepsin dengan kadar yang lebih tinggi dan tingkat keasaman yang lebih

rendah yang dapat mengaktifkan pepsin (pH <6,5) ditemukan pada

Page 98: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

80

penderita rinosinusitis kronik yang disertai dengan keluhan refluks laring

faring daripada tanpa keluhan refluks laring faring.

Walaupun pemeriksaan pepsin tidak dilakukan pada sekret di laring

dan faring, akan tetapi adanya pepsin di cavum nasi dapat diartikan juga

pepsin ada di laring dan faring oleh karena untuk sampai ke cavum nasi

pepsin dan asam pastilah melewati laring dan faring dulu. Sehinggarefluks

gastroesofageal dapat menjadi salah satu faktor resiko terjadinya

rinosinusitis kronik. Tingginya kadar pepsin dan suasana asam dalam

waktu yang lama menyebabkan iritasi pada mukosa sinonasal yang dapat

menjadi salah satu faktor resiko terjadinya rinosinusitis kronik ataupun

dapat memperburuk rinosinusitis kronik yang disebabkan oleh faktor

lainnya, sebagaimana diketahui bahwa rinosinusitis kronik juga dapat

disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur), alergi dan lain-lain.

Penelitian lain oleh Jessica E (2015) mengenai dampak pepsin terhadap

hidung dengan hasil bahwa pepsin terdeteksi pada cairan sinus pada 4

dari 6 penderita rinosinusitis kronik dimana dengan pemeriksaan invitro

didapatkan kesimpulan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan

pada mitokondria pada sel epitel hidung. ( Jessica E, 2015).

Bilamana RSK yang disebabkan oleh infeksi maupun alergi telah

diobati dengan managemen pengobatan standar untuk RSK tidak

memberikan perbaikan atau respon yang diharapkan, makan salah satu

yang perlu dicurigai adalah adanya peradangan mukosa akibat efek iritasi

langsung dari pepsin dan asam yang tinggi yang berasal dari refluks

Page 99: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

81

ekstra esofageal. Untuk itu sebaiknya penderita RSK yang telah diberikan

pengobatan standar tetapi masih belum memberikan respon yang baik

ataupun sering rekuren, perlu dilakukan pemeriksaan pepsin terhadap

sekret hidung dan pemberian terapi antirefluks (PPI) terutama bila

ternyata penderita RSK tersebut juga memiliki gejala atau tanda-tanda

RLF yang didapatkan dari nilai skor Reflux Symptom Index >13 dan Reflux

Finding Score >7. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Pincus RL

mengenai pemberian terapi PPI dimana menunjukkan setidaknya

beberapa perbaikan pada gejala RSK, beberapa mengalami resolusi

gejala yang lengkap atau hampir lengkap. Perbaikan gejala sinus

berhubungan dengan perbaikan gejala refluks laring faring. Hal ini

menunjukkan bahwa terapi antireflux mungkin berperan dalam

pengobatan penyakit RSK. Oleh karena itu diharapkan penatalaksanaan

terhadap penyakit RSK terutama terhadap penderita yang juga

memberikan gejala RLF sebaiknya mempertimbangkan mengenai terapi

refluks laring faringnya serta mengurangi atau mengganti pemberian obat-

obatan untuk RSK yang dapat meningkatkan sekresi pepsin dan asam

lambung yang nantinya memperparah.

Page 100: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

82

C. KETERBATASAN PENELITIAN

Rinosinusitis kronik tidak hanya karena adanya refluks tetapi juga

disebabkan oleh banyak hal diantaranya seperti infeksi dan alergi. Pada

penelitian ini tidak dipastikan apakah tidak ada faktor resiko lain seperti

infeksi atau adanya alergi yang seharusnya dibuktikan dengan

pemeriksaan tes cukit kulit.

Pada penelitian ini tidak diketahui kualitas pepsin yang dapat

menyebabkan terjadinya peradangan pada mukosa sinonasal. Penelitian

yang dilakukan ini hanya dapat memperkuat kemungkinan hubungan

antara kejadian rinosinusitis kronik dengan keluhan refluks laringofaring

yang disebabkan oleh refluks ekstraesofageal.

Walaupun dengan menilai skor RSI dan RFS sudah dapat menilai

adanya kejadian atau keterlibatan refluks laring faring, akan tetapi

pemeriksaan Ambulatory 24- hour double-probe pH monitoring yang

merupakan gold standar untuk menegakkan diagnosis refluks laringofaring

tidak dilakukan karena sarana dan prasarana yang tidak tersedia.

Page 101: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

83

BAB IV

KESIMPULAN

Refluks ekstraesodageal merupakan salah satu faktor resiko

terjadinya rinosinusitsi kronik, dengan bukti sebagai berikut :

1. Ditemukan pepsin pada sekret hidung penderita rinosinusitis kronik.

2. Sekret hidung penderita rinosinusitis kronik berada dalam suasana

asam (pH <6,5)

3. Kadar pepsin sekret hidung penderita rinosinusitis kronik yang

disertai dengan keluhan refluks laring faring lebih tinggi daripada

yang tidak disertai dengan refluks laring faring.

4. Sekret hidung penderita rinosinusitis kronik yang disertai keluhan

refluks laring faring memiliki derajat keasaman yang lebih tinggi (pH

yang lebih rendah) daripada rinosinusitis kronik yang tidak disertai

keluhan refluks laring faring.

Page 102: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

84

SARAN

1. Pada penatalaksanaan rinosinusitis kronik, sebaiknya dilakukan

skrining penilaian skor RSI. Lebih baik lagi bila dilakukan

penentuan skor RFS ataupun pemeriksaan pepsin pada sekret

hidung bila sarana dan prasarana memadai. Terutama bila

penderita tidak memberikan respon perbaikan gejala yang

diharapkan atau rekuren terhadap pengobatan rinosinusitis kronik

standar.

2. Sebaiknya dipikirkan untuk penambahan terapi anti refluks (PPI)

bila didapatkan skor RSI >13 pada penatalaksanaan rinosinusitis

kronik yang tidak memberikan respon perbaikan gejala yang

diharapkan atau rekuren terhadap pengobatan rinosinusitis kronik

standar.

3. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dan terarah mengenai hubungan

refluks ekstraesofageal dan rinosinusitis kronik dengan

menyingkirkan resiko lain yang dapat menyebabkan rinosinusitis

kronik.

Page 103: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

85

DAFTAR PUSTAKA

Andriani Y, Akil M.A, Gaffar M, Punagi A.Q, Deteksi Pepsin Pada

Penderita Refluks Laringofaring (Rlf) Yang Didiagnosis

Berdasarkan Reflux Symptom Index (Rsi) Dan Reflux Finding

Score (RFS), Departemen Ilmu Kesehatan THTKL Fakultas

Kedokteran Unhas, Makassar. 2011

Aysegul Verim, MD, Effect of laryngopharyngeal reflux on the

improvement of chronic rhinosinusitis without polyposis after

primary endoscopic sinus surgery, Department of Otolaryngology,

Haydarpasa Numune Training and Research Hospital, Istanbul,

Turkey , 2016

Ballenger, J.J. 1997. Anatomi Bedah Faring. Penyakit Telinga, Hidung,

Tenggorok, Kepala Dan Leher. Jilid I. Edisi 13. Binarupa Aksara.

Jakarta : 319-27

Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA (2001) The Validity And Reability

Of The Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope.; 111: 1313-

17

Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA (2002) The Validity And Reability

Of The Reflux Symptom Index (RSI). J Voice.; 16: 274-7

Page 104: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

86

C. Kwang Sung, Laryngopharyngeal Reflux (LPR) Protocol, Voice and

swallowing centre, otolaryngology head and neck surgery, stanford

medicine, 2017

Chen Y, The epidemiology of chronic rhinosinusitis in Canadians, The

laryngoscope, Volume 113, Issue 7, July 2003 , Pages 1199–1205

Daniel L. Hamilos, MD, Chronic Rhinosinusitis: Epidemiology And Medical,

In American Academy Of Allergy, Asthma & Immunology, 2011

Dhingra, P.L. 2007. Anatomy Of Faring. Diseases Of Ear, Nose And

Throat. 4th Ed. Elsevier. New Delhi : 1-13

Elisabeth H. Ference, M.D, Commentary on gender differences in

prevalence, treatment, and quality of life of patients with chronic

rhinosinusitis, Allergy Rhinol (Providence). 2015 Summer; 6(2):

e82–e88.

Guyton, A.C., Hall, J.E. 2006. Gastrointestinal Physiology. Textbook Of

Medical Physiology. 8th Ed. Elsiever Saunders. Philadelphia: 795-7

Hanna BC1, Gastroesophageal reflux and chronic rhinosinusitis. Curr Opin

Otolaryngol Head Neck Surg. 2012 Feb;20(1):15-8.

J.B. Shi, Epidemiology of chronic rhinosinusitis: results from a cross-

sectional survey in seven Chinese cities , journal of Allergy 2015;

70: 533–539.

Page 105: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

87

Jessica E. Southwood, The Impact Of Pepsin On Human Nasal Epithelial

Cells In Vitro: A Potential Mechanism For Extraesophageal Reflux

Induced Chronic Rhinosinusitis, The Annals Of Oyology, Rhinology,

And Laryngology 124(12) · June 2015

Jing Wang, Effects of pepsin A on heat shock protein 70 response in

laryngopharyngeal reflux patients with chronic rhinosinusitis,

Department of Oto-Rhino-Laryngology, West China Hospital, West

China Medical School, Sichuan University, Chengdu, Sichuan, Acta

Oto-Laryngologica China Volume 137, 2017 - Issue 12

Joel H. Blumin Nihhi Johnston, Laryngopharingeal Reflux In Bailey’s Head

And Neck Surgery Otolaryngology Vol.1 Fifth Edition, Lippincott

Williams&. WJ.Lkins, Philadelpia, 2014

Joel H. Blumin, laryngopharingeal refluks, bailey otorynolaringology 2014

p 958

Karna Dev Bardhan,1 Vicki Strugala,2 And Peterw. Dettmar2 Reflux

Revisited: Advancing The Role Of Pepsin In International Journal

Of Otolaryngology , UK, 2012

Koufman JA. The Otolaryngologic Manifestations Of Gastroesophageal

Reflux Disease (GERD): A Clinical Investigation Of 225 Patients

Using Ambulatory 24-Hour Ph Monitoring And An Experimental

Investigation Of The Role Of Add And Pepsin In The Development

Of Laryngeal Injury. Laryngoscope 1991;101:1-78.

Page 106: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

88

Loehrl TA1, Chronic sinusitis and gastroesophageal reflux: are they

related?, Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2004

Feb;12 (1):18-20.

Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2006 :

317-20.

Matthew W. Ryan, chronic rhinosinusitis with nasal polyposis, bailey

otorynolaringology 2014 p 525

Philip A. Weisslwod Albert L. Meratiphilip A., Upper Airway Stenosis :

Evaluation And Management In Bailey’s Head And Neck Surgery

Otolaryngology Vol.1 Fifth Edition, Lippincott Williams&. WJ.Lkins,

Philadelpia, 2014

Pincus RL1,A study of the link between gastric reflux and chronic sinusitis

in adults. Ear Nose Throat J. 2006 Mar;85(3):174-8

Poelmans J, Tack J, Fenestra L. 2002. Prospective Study On The

Incidence Of Chronic Ear Complaints Related To Gastroesophageal

Reflux And On The Outcome Of Antireflux Therapy. Ann Otol

Rhinol Laryngol. (Online). Vol. 111. Diakses 20 April 20123 : 933-8

Poelmans, J., Tack J. 2005. Extraesophageal Manifestations Of

Gastro-Oesophageal Reflux. GUT An International Journal Of

Gastroenterology And Hepatology. (Online). Vol. 54. No. 10.

Page 107: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

89

(Http://Gut.Bmj.Com/Content/54/10/1492.Extract, Diakses 12 Januari

2017: 1492-9

Privina Arivalagan, Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam

Malik pada Tahun 2011, E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun

2013

Schreiber, S., Garten, D., Sudhoff, H. 2009. Pathophysiological

Mechanisms Of Extraesophageal Reflux In Otolaryngologeal

Disorders. Eur Arch Otorhinolaryngology. (Online). Vol. 266. No. 1.

(Www.Ncbinlm.Nih.Gov. Diakses 30 Juni 2011 : 17-24

Sella GCP1, Relation between chronic rhinosinusitis and

gastroesophageal reflux in adults: systematic review. Braz J

Otorhinolaryngol. 2017 May – Jun ;83(3):356-363.

Soetjipto D. Sinus Paranasal .In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. 119 – 148 Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.

Suay Ozmen, MD; Omer Taskin Yu¨ Cel, MD Et All, Nasal Pepsin Assay

And Ph Monitoring In Chronic Rhinosinusitis In The Laryngoscope

Journal, Lippincott Williams & Wilkins, 2008

Taliyah, Savitri E, Analisis Kadar Pepsin Sekret Penderita Otitis Media

Supuratif Kronis Tipe Aktif Antara Penderita Anak Dan

Dewasa Dengan Menggunakan Pemeriksaan ELISA. Departemen

Page 108: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

90

Ilmu Kesehatan THTKL Fakultas Kedokteran Unhas, Makassar.

2012

Tina L. Samuels, MS; Nikki Johnston, Phd, Pepsin As A Marker Of

Extraesophageal Reflux In Annais Of Otology. Rhinotogy &

Laryngotogy 119(3):203-208. Milwaukee, Wisconsin., 2010

Guilherme Constante Preis Sella, Edwin Tamashiro Et All. Relation

Between Chronic Rhinosinusitis Andgastroesophageal Reflux In

Adults_ In Brazilian Journal Of Otorhinolaryngology, Brazil, 2016.

Wikipedia. Pepsin. Wikipedia The Free Encyclopedia.

Page 109: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

91

Lampiran 1 :

Kuesioner Reflux Symptom Index / RSI

NO Dalam 1 bulan terakhir,

apakah kamu menderita

0=tidak, 5 = sangat berat

1 suara serak/problem suara 0 1 2 3 4 5

2 clearing your throat ( sering

mengeluarkan lendir tenggorok

/ mendehem )

0 1 2 3 4 5

3 mukus berlebih / PND (post

nasal drip)

0 1 2 3 4 5

4 kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5

5 batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5

6 kesukaran bernafas/ choking 0 1 2 3 4 5

7 batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5

8 rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5

9 heartburn, rasa nyeri di dada,

gangguan pencernaan,

regurgitasi asam

0 1 2 3 4 5

TOTAL SKOR

Page 110: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

92

Lampiran 2 :

Kuesioner Reflux finding score / RFS

NO Temuan Endoskopi

keterangan

1 Edema subglotik

0 = Tidak ada

2 = Ada

2 Ventrikular obliterasi

2 = Parsial

4 = Komplit

3 Eritema/hiperemia 2 = Hanya aritenoid Difus

4 =

4 Edema pita suara 1 = Ringan

2 = Moderat

3 = Berat

4 = Polipoid

5 Edema laring difus 1 = Ringan

2 = Moderat

3 = Berat

4 = Obstructing

6 Hipertrofi komisura

posterior

1 = Ringan

2 = Moderat

3 = Berat

4 = Obstructing

7 Granuloma/jaringan

granulasi

0 = Tidak ada

2 = Ada

8 Mukus kental endolaring 0 = Tidak ada

2 = Ada

TOTAL SKOR

Page 111: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

93

Lampiran 3

DATA PENELITIAN

NO NAMA UMUR JK PEPSIN PH RSI RFS RLF

1 MM 32 P 42.4 6 16 0 Tidak

2 RW 24 L 78.2 6.3 13 - Tidak

3 R 28 P 19.0 6.65 24 3 Tidak

4 B 30 L 53.8 6.60 9 2 Tidak

5 Su 55 L 52.2 6.00 25 8 Ya

6 Mu 51 L 31.9 6.6 23 2 Tidak

7 Nu 47 P 52.4 6.05 13 3 Tidak

8 NH 19 P 39.6 6.3 15 0 Tidak

9 AA 30 P 52.2 6.01 15 8 Ya

10 He 19 P 54.8 6.14 28 0 Tidak

11 DN 28 P 38.6 6.32 13 0 Tidak

12 Yu 36 P 75.8 6.3 33 8 Ya

13 Is 38 L 53.5 6.70 16 0 Tidak

14 Gu 49 P 53.1 6.40 15 0 Tidak

15 Ta 19 L 44.2 6.38 22 8 Ya

16 Sy 27 P 31.9 6.50 22 4 Tidak

17 Sa 34 L 54.6 6.59 13 4 Tidak

18 Sya 27 P 64.7 6.21 22 8 Ya

19 Bo 45 L 39.4 6.37 19 0 Tidak

20 Sur 35 P 55.3 6.5 21 0 Tidak

21 St. k 52 P 52.9 6.23 23 8 Ya

22 Zh 20 P 44.4 6.7 14 0 Tidak

23 S 28 L 51.9 6.37 11 0 Tidak

24 SA 27 P 50.7 6.28 21 4 Tidak

25 AL 30 P 58.7 6.7 18 0 Tidak

26 AB 43 L 66.4 6.35 24 8 Ya

27 ASR 34 L 64.3 6.3 21 8 ya

Page 112: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis

94

Lampiran 4

DOKUMENTASI PENELITIAN

Page 113: Unhasdigilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 2. 21. · dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten bersilangan dalam praktek klinis