Page 1
KARYA AKHIR
ANALISIS KADAR PEPSIN DAN pH SEKRET HIDUNGPENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK TERHADAP
REFLUKS LARING FARING
ANALYSIS OF PEPSIN LEVEL AND pH OF NASAL
SECRETION IN CHRONIC RHINOSINUSITIS PATIENT
TOWARDS LARINGOPHARINGEAL REFLUX
ASNI AZIS
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp.1)PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2018
Page 2
ANALISIS KADAR PEPSIN DAN pH SEKRET HIDUNGPENDERITA RINOSINUSITIS KRONIK TERHADAP
REFLUKS LARING FARING
ANALYSIS OF PEPSIN LEVEL AND pH OF NASALSECRETION IN CHRONIC RHINOSINUSITIS PATIENT
TOWARDS LARINGOPHARINGEAL REFLUX
Karya AkhirSebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis T.H.T.K.L.
Program Studi : Ilmu Kesehatan T.H.T.K.LPendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Disusun dan Diajukan oleh :
ASNI AZIS
Kepada
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp.1)PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
2018
Page 4
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Asni Azis
Nomor mahasiswa : C103213205
Program Studi : PPDS Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L.
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya akhir yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan karya akhir
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 30 Januari 2018
Yang menyatakan
Asni Azis
Page 7
PRAKATA
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat kami selesaikan.
Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dalam pendidikan Dokter
Spesialis Terpadu Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan sedalam-
dalamnya kepada Ketua Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L FK UNHAS
Prof. Dr. dr. Abdul Qadar Punagi, Sp.T.H.T.K.L(K),FICS serta pembimbing
kami Dr.dr.M.Amsyar Akil, Sp.T.H.T.K.L(K),FICS, Dr.dr. Riskiana
Djamin,Sp.T.H.T.K.L(K), Dr.dr Ilham Jaya Patellongi, M.Kes, yang telah
membimbing dan mendorong kami sejak penyusunan proposal, pelaksanaan
penelitian hingga selesainya tesis ini. Terima kasih pula kami sampaikan
kepada penguji kami Prof. Dr. dr. Sutji Pratiwi Rahardjo,Sp.T.H.T.K.L(K),
dr.Aminuddin Azis, Sp.T.H.T.K.L(K), MARS, Dr. dr. M. Fadjar Perkasa,
Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Upik A. Miskad, Sp.PA(K).
Terima kasih yang tak terhingga juga kami sampaikan kepada seluruh
staf pengajar ilmu kesehatan T.H.T.K.L FK UNHAS yang telah membimbing
dan mengarahkan kami selama mengikuti pendidikan sampai penelitian dan
penyusunan karya akhir ini.
Pada kesempatan ini pula kami menyampaikan terima kasih kepada:
1. Seluruh teman sejawat PPDS T.H.T.K.L FK UNHAS terutama dr. Stella
F. Attu, dr. Indira Maharis, dr. Novimaryana Drakel dan dr. Ayu
Page 8
Ameliyah, dr. Raihanah Azisa atas dukungan moril dan bantuannya
dalam menyelesaikan karya akhir ini.
2. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam tugas, pendidikan
dan karya akhir dr. Renato, dr. Heike, dr. sandrianto, hayati pide, kak
uli, serta semua pasien kami.
Akhirnya ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga
kepada kedua orang tua saya Hi.Abdul Azis Muhiddin dan Hj.Darni Ismail,
saudara(i) saya dr. M. Ali Asdar, Muchtaram,SH, Noer Fitri Zachrani,
Syalwa Zahratulsita, Dan kepada Hj.Dahlia serta semua keluarga besar
H.Lelle Ismail(Alm) atas segala doa dan dukungan penuh dalam
menyelesaikan pendidikan dan karya akhir ini.
Akhirul kalam, kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan
dan dukungan yang tidak sempat kami sebutkan satu-persatu, kami
ucapkan banyak terima kasih, permohonan maaf yang sebesar-besarnya
bila terdapat kesalahan dan kehilafan selama ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya
kepada kita semua. Amin
Makassar, 30 Januari 2018
Asni Azis
Page 9
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR
ABSTRAK
ABSTRACT
PRAKATA
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR GRAFIK vi
DAFTAR BAGAN vii
DAFTAR SINGKATAN viii
DAFTAR LAMPIRAN x
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang masalah 1
B. Rumusan masalah 8
C. Tujuan penelitian 8
D. Manfaat penelitian 9
E. Hipotesa penelitia 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 10
A. Anatomi hidung,dan sinus paranasalis 10
B. Definisi dan Insiden Rinosinusitis 15
C. Patofisiologi Rinosinusitis 16
Page 10
ii
D. Klasifikasi Riosinusitis 19
E. Etiologi Riosinusitis 19
F. Gejala Klinis Riosinusitis 19
G. Penanganan Riosinusitis 22
H. Anatomi Faring dan Laring 25
I. Anatomi Esofagus 27
J. Reflux Gastroesofageal 38
K. Refluks Laringofaringeal 39
L. Mekanisme Refluks Laring Faring 40
M. Penatalaksanaan RLF 46
N. Pepsin dan Riosinusitis 49
O. Kerangka Teori 58
P. Kerangka Konsep 59
N. Identifikasi Variabel 59
BAB III. METODE PENELITIAN 60
A. Desain Penelitian 60
B. Tempat dan Waktu Penelitian 60
C. Populasi Penelitian 60.
D. Sampel Penelitian 60
E. Besar Sampel 60
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi penelitian 61
G. Izin penelitian dan Ethical Clearance 61
H. Biaya Penelitian 62
I. .Bahan dan cara pengambilan sampel 62
J. Teknik Pemeriksaan 64
Page 11
iii
K. Pengolahan dan Analisis data 66
L. Alur Penelitian 67
M. Kriteria dan Definisi Operasional 68
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 71
A. HASIL PENELITIAN 71
B. PEMBAHASAN PENELITIAN 75
C. KETERBATASAN PENELITIAN 82
BAB V KESIMPULAN 83
SARAN 84
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN 91
Page 12
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Rekomendasi terapi rinosinusitis tanpa polip
hidung pada dewasa.
Hal 22
Tabel 2 Konsentrasi larutan standard dan diluent Hal 64
Tabel 3 Karakteristik sampel pada penderita
Rinosinusitis Kronik (RSK)
Hal 71
Tabel 4 Kadar Pepsin dan pH sekret hidung penderita
rinosinusitis kronik (RSK)
Hal 72
Tabel 5 Kadar Pepsin dan pH sekret hidung penderita
rinosinusitis kronik berdasarkan adanya
keluhan RLF
Hal 72
Grafik 1 Box Plot kadar Pepsin secret hidung pada
kedua kelompok
Hal 73
Grafik 2 Box Plot pH sekret hidung pada kedua
kelompok
Hal 74
Page 13
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Anatomi hidung luar tampak lateral hidung Hal 10
Gambar 2 Dinding lateral rongga hidung Hal 11
Page 14
vi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 Box Plot kadar Pepsin secret hidung pada
kedua kelompok
Hal 73
Grafik 2 Box Plot pH sekret hidung pada kedua
kelompok
Hal 74
Page 15
vii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Algoritme penatalaksanaan rinosinusitis
kronik tanpa polip pada dewasa untuk
dokter spesialis THT.
Hal 23
Bagan 2 Algorime penatalaksanaan rinosinusitis
akut dan kronik
Hal 24
Bagan Kerangka Teori Hal 58
Bagan Kerangka Konsep Hal 59
Bagan Alur Penelitian Hal 67
Page 16
viii
DAFTAR SINGKATAN
Simbol dan Singkatan Arti dan Keterangan
% Persen
0 C Derajat Celcius
AH-2 Anti Histamin - 2
DEPKES Departemen Kesehatan
dkk dan kawan-kawan
ELISA Enzym-Linked Immnunosorbent Assay
EPOS European Position Paper on Rhinosinusitis and
nasal polyposis
g gram
GER Gastroesophageal Reflux
GERD Gastroesophageal Reflux Disease
GERD Gastroesophageal Refluks Disease
KOM Komplek Osteomeatal
LES Lower Esophageal Reflux
LPR Laringopharingeal Reflux
ml milliliter
mm millimeter
ng nanogram
p Nilai signifikan
pg pikogram
pH Potensial Hidrogen
PPI Proton Pump Inhibitors
Page 17
ix
RLF Laringopharingeal Reflux
RSF Refluks Finding Score
RSI Refluks Symptom Index
RSK Rinosinusitis kronik
SEA Sfingter Esofagus Atas
SEB Sfingter Esofagus Bawah
THT Telinga Hidung Tenggorok
UES Upper Esophageal Reflux
WHO World Heatlh Organization
Page 18
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Reflux Symptom Index 91
Lampiran 2 Kuesioner Reflux Finding Score 92
Lampiran 3 Data hasil penelitian 93
Lampiran 4 Dokumentasi penelitian 94
Page 19
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rinosinusitis kronik (RSK) sesuai kriteria EPOS (European Position
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) merupakan inflamasi hidung
dan sinus paranasal yang berlangsung > 12 minggu, ditandai adanya dua
atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat / obstruksi /
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior / posterior), dengan atau tanpa
nyeri wajah / rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa gangguan
penghidu, dan salah satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan
atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan udem / obstruksi
mukosa di meatus medius) dan gambaran tomografi komputer (perubahan
mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus). (Fokkens et al, 2012).
Rinosinusitis kronik memiliki prevalensi yang tinggi di masyarakat.
Di Eropa diperkirakan sekitar 10 – 15% menderita penyakit rinosinusitis.
Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikit pernah mengalami
episode rinosinusitis dan sekitar 15% diperkirakan menderita rinosinusitis
kronik. Insiden kasus baru rinosinusitis pada pasien dewasa yang datang
ke Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 dari 435
pasien, 69% (300 pasien) menderita rinosinusitis, di Makassar dari tiga
rumah sakit periode tahun 2003-2007 dilaporkan sebanyak 45% dari
seluruh kasus yang ditangani Sub Bagian Rinologi. (File TM, 2006;
Osguthorpe Jd, 2001; Anand VK, 2004;; Punagi AQ, 2008). Data dari
Page 20
2
respiratory surveillance program menunjukkan bahwa rinosinusitis paling
banyak ditemukan pada etnis kulit putih. Berdasarkan jenis kelamin,
penyakit rinosinusitis kronik lebih banyak terjadi pada perempuan dari
pada laki – laki dengan perbandingan 2 : 1 dan sering pada usia 25 – 64
tahun. Insidensi rinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam Malik pada tahun
2011 paling sering pada rentang umur 31-45 tahun (31,6%) (,Privina
Arivalagan 2013), Prevalensi rinosinusitis kronik meningkat seiring
bertambahnya usia dan jarang setelah usia 60 tahun (Chen Y, 2003)
Perubahan patologik mukosa sinus paranasal terjadi akibat proses
peradangan lapisan mukoperiostium hidung dan sinus dimulai dari adanya
blockade / sumbatan area kompleks ostiomeatal (KOM), yang
menimbulkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus-menerus mengakibatkan hipoksi dan
retensi sekret serta perubahan pH sekret. Hal ini memungkinkan sekret
menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri yang akhirnya akan
merusak silia, dan akan terus berlangsung lalu menghasilkan lapisan
mukosa yang hipertrofi, sehingga semakin memperberat blokade di area
kompleks ostiomeatal. RSK merupakan penyakit multifaktorial dengan
faktor predisposisi yang meliputi infeksi virus, bakteri, dan jamur, serta
menghirup alergen dan polusi dan kelainan anatomi. (suay ozmen, 2008).
Hubungan antara rinosinusitis kronik dan refluks terutama refluks
pada laringofaring masih menjadi isu yang kontroversial dalam literatur.
Penyakit rinosinusitis kronik dan refluks gastroesofageal adalah dua
Page 21
3
kondisi umum yang terjadi bersamaan lebih sering dari yang diperkirakan
(Hanna BC; 2012). Oleh karena itu, telah diusulkan bahwa penyakit
gastroesofageal refluks mungkin memiliki peran etiologis dalam terjadinya
rinosinusitis kronik. Terdapat prevalensi relatif mengenai refluks dengan
RSK yang sulit dikendalikan. Masih sedikit penelitian terkontrol dengan
sejumlah besar pasien untuk mengkonfirmasi hipotesis ini. (Sella GCP,
2016). Pasien dengan RLF memiliki refluks asam yang intermiten yang
kadang mencapai jalan napas dan ke nasofaring. Beberapa studi lainnya,
pepsin lambung terdeteksi pada sekresi paru, laring dan jaringan sinus,
dahak, dan efusi telinga tengah. Ide kemungkinan hubungan antara RLF
dan RSK telah dikemukakan lebih lanjut bahwa keduanya cukup konsisten
bersilangan dalam praktek klinis (Loehri TA, 2004).
Gastroesophageal refluks (GER ) adalah aliran balik isi lambung
ke dalam esofagus. Keadaan ini merupakan hal yang normal dan
biasanya terjadi sampai 50 kali dalam sehari. Esofagus mempunyai
mekanisme proteksi melalui pembersihan asam dan ketahanan mukosa
intrinsik terhadap refluks isi lambung. Gastroesophageal refluks disease
(GERD) terjadi bila terdapat peningkatan frekuensi refluks dengan waktu
paparan melebihi 5 % (pH < 4) selama periode 24 jam yang diukur melalui
pemantauan pH intraesofagus, yang mengakibatkan kerusakan jaringan
esofagus seperti esofagitis dengan manifestasi rasa terbakar pada dada
(heartburn) (Kaszuba, 2004., Murray JA, 2008., Handa KK, 2005).
Page 22
4
Esofagus dan laring faring dipisahkan oleh sfingter esofagus atas
(SEA) yang merupakan sawar terakhir untuk mencegah refluksat masuk
ke laringofaring. Tonus SEA yang meningkat sebagai reaksi terhadap
refluksat menimbulkan distensi esophagus dan relaksasi dari SEA yang
menyebabkan pajanan asam keluar dari esofagus (Yunizaf HM, 2007).
Akibat dari refluks isi lambung keluar dari esofagus disebut extra
esophageal refluks. Tidak seperti esofagus, jalan napas tidak diproteksi
oleh mekanisme pembersihan anti refluks dan mekanisme pertahanan
mukosa intrinsik terhadap refluks isi lambung (Poelmans J and Tack J,
2005, Sone M et al, 2007 ). Refluks laringofaring (RLF) adalah aliran balik
asam lambung ke daerah laring faring, menyebabkan kontak dengan
jaringan yang menimbulkan jejas pada laringofaring dengan manifestasi
keluhan pada oral, faring dan laring berupa suara serak, throat clearing,
sekret di belakang hidung (post nasal drips), kesulitan dalam proses
menelan atau rasa mengganjal di tenggorok, batuk setelah makan / saat
berbaring atau batuk kronik, dan tersedak. (Makmun D.; 2006..)
Diagnosa RLF dapat ditegakkan dari riwayat penyakit, gejala klinik
dan pemeriksaan laringoskopi, serta menentukan adanya refluks cairan
lambung ke laringofaring. Pemeriksaan ambulatory 24 hour double-probe
(pharyngeal and esophageal) pH monitoring merupakan gold standar
untuk mendiagnosa RLF, namun pemeriksaan ini masih jauh dari kriteria
ideal oleh karena sensitifitas pH-metri yang dilaporkan hanya 50% sampai
80%, sekitar 12% dari pasien THT tidak dapat mentoleransi prosedur ini,
Page 23
5
modifikasi diet (untuk standardisasi prosedur) dapat menghasilkan false-
negative dan biaya pemeriksaan pH-metri masih mahal serta tidak semua
pusat pelayanan menyediakan alat ini.
Berdasarkan penelitian menggunakan pH probe yang dikonfirmasi
dengan kasus-kasus RLF, Belafsky mengembangkan suatu sistem
skoring dinamakan Refluks Symptom Index (RSI) yang dapat membantu
dalam menilai berat ringannya penyakit sebelum dan sesudah terapi
berdasarkan penilaian terhadap 9 gejala menggunakan skala 0 sampai 5
dengan skala maksimal 45. Nilai RSI > 13 didiagnosa sebagai RLF. Selain
RSI, Belafsky dkk juga telah mengembangkan Refluks Finding Score
(RFS) untuk menilai berat ringannya gambaran klinis berdasarkan
pemeriksaan laringoskopi fiberoptik. RFS terdiri dari 8 gambaran kelainan
yang ditemukan pada laring, bila skor > 7 dapat didiagnosa sebagai RLF.
Beberapa penelitian di luar negeri telah dilakukan untuk membandingkan
keakuratan RSI dan RFS dalam mendiagnosa RLF. Penelitian oleh
Messalam Tamer A dkk pada 40 pasien secara random mendapatkan
korelasi yang signifikan antara RSI dan RFS (p < 0,001).
Penelitian terbaru untuk mendeteksi RLF adalah dengan
menentukan ada tidaknya pepsin pada laring dengan metode ELISA
(immunoassay). Karena pepsin tidak disintesis oleh tipe sel apapun
kecuali sel peptik atau chief cell dalam lambung, maka potensi adanya
pepsin pada saluran nafas merupakan bukti nyata bahwa pepsin tersebut
Page 24
6
berasal dari refluks isi lambung, sehingga pengukuran pepsin pada sekret
saluran nafas dapat menjadi petanda diagnostik yang sensitif pada RLF.
RLF terlibat sebagai faktor yang berkontribusi pada asma, batuk
kronis, pneumonia, disfonia, lesi vokal jinak, spasme laring, stenosis
subglotis dan rinosinusitis. Mekanisme bagaimana RLF dapat
berkontribusi untuk RSK adalah topik yang kontroversial; cedera langsung
asam lambung dan perubahan neurofisiologis yang dimediasi nervus
vagus adalah mekanisme yang paling sering dicurigai. kemungkinan
bahwa Helicobacter pylori dapat memfasilitasi penyakit ini diusulkan baru-
baru ini. ( suay ozmen, 2008 )
Penelitian oleh Andriani (2011), terhadap penderita refluks
gastroesofageal dengan hasil Skor RSI > 13 dan skor RFS > 7 sebanyak
48 sampel dari 51 sampel menderita RLF dimana Pepsin terdeteksi pada
saliva semua penderita RLF tersebut. Taliyah (2012) melaporkan Kadar
pepsin rata-rata sekret penderita OMSK dengan gejala RLF adalah 744,37
pg/ml dan tanpa gejala RLF 209,057 pg/ml . Adanya pepsin dalam cairan
telinga tengah mengindikasikan bahwa reflux cairan lambung mampu
mencapai jauh ke telinga tengah. Diduga bahwa adanya paparan pepsin
pada membran mukosa telinga tengah menimbulkan iritasi kronis dan
memicu terjadinya reaksi inflamasi yang akhirnya menciptakan kondisi
yang baik berkembangnya suatu otitis. Keadaan ini menjadi kondisi ideal
berkembangnya kolonisasi bakteri. Penelitian mengenai dampak pepsin
terhadap hidung dengan hasil bahwa pepsin terdeteksi pada cairan sinus
Page 25
7
pada 4 dari 6 penderita RSK dimana dengan pemeriksaan invitro
didapatkan kesimpulan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan
pada mitokondria pada sel epitel hidung (Jessica E, 2015).
Pepsin maksimal aktif pada pH 2, tetapi memiliki aktivitas hingga
pH 6,5. Sementara tidak aktif pada pH > 6.5 dan tetap stabil pada pH 8.
enzim ini tidak aktif ireversibel (terdenaturasi) sampai pH 8. Meskipun
pepsin inaktif pada pH tersebut, tetapi tetap stabil sampai pH 8.0 dan
kembali reaktif bila terjadi penurunan pH (Joel H. Blumin, 2014). Ozmen
tahun 2008 meneliti mengenai tingginya insidensi refluks asam, dimana
didapatkan 29 dari 33 pasien dengan refluks asam menderita RSK. Hasil
pemeriksaan fluorometrik pepsin berkorelasi dengan hasil 24 hour dual
probe monitoring untuk diagnosa refluks laringofaring dengan sensitifitas
100% dan spesifitas 92,5%. Dari data tersebut diasosiasikan bahwa
terdapat hubungan antara rinosinusitis kronik dan refluks laringofaring,
dan deteksi pepsin pada cairan hidung dapat dilakukan sebagai metode
non invasive dan feasible untuk skring refluks laringofaring. Di Makassar
belum ada studi terkontrol yang telah dirancang yang menunjukkan
kehadiran dan hubungan kadar pepsin dan pH pada sekret hidung pasien
dengan RSK dan hubungannya dengan RLF.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi dan menganalisa
keberadaan pepsin dan mengukur pH pada sekret hidung penderita
rinosinusitis kronik terhadap keluhan refluks laringofaring yang didiagnosis
berdasarkan Refluks Symptom Index dan Refluks Finding Score.
Page 26
8
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik dan terdorong
untuk melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Kadar Pepsin dan
pH Sekret Hidung Penderita Rinosinusitis Kronik Terhadap Refluks
Laringofaring “
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut : apakah refluks ekstraesofageal
dapat berperan pada terjadinya rinosinusitis kronik serta bagaimanakah
kadar pepsin dan pH sekret penderita rinosinusitis kronik dengan dan
tanpa keluhan refluks laringofaring ?.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya profil kadar pepsin dan pH sekret hidung penderita
rinosinusitis kronik terhadap RLF menggunakan pemeriksaan ELISA dan
pH-Metri
2. Tujuan Khusus
1. Diketahui ada tidaknya pepsin pada sekret hidung penderita
rinosinusitis Kronik dengan menggunakan pemeriksaan ELISA.
2. Diketahuinya kadar pepsin dan pH pada sekret hidung penderita
rinosinusitis kronik dengan menggunakan Elisa dan pH-metri.
3. Diketahuinya perbedaan kadar pepsin sekret hidung antara
penderita rinosinusitis kronik yang disertai dengan keluhan refluks
laring faring dan tanpa disertai dengan keluhan refluks laring.
Page 27
9
4. Diketahuinya perbedaan pH pada sekret hidung antara penderita
rinosinusitis kronik yang disertai dengan keluhan refluks laring
faring dan tanpa disertai dengan keluhan refluks laring .
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi ilmiah mengenai keberadaan pepsin dan pH
pada penderita rinosinusitis kronik sebagai bahan pengembangan
ilmu kedokteran khususnya di bidang rinologi
2. Data penelitian ini sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut yaitu
untuk melihat factor resiko ataupun penyebab lain dari rinosinusitis
kronik
3. Dalam bidang pelayanan, hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai manajemen tambahan dalam penanganan rinosinusitis
kronik
E. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat pepsin pada sekret hidung penderita rinosinusitis
kronik dimana kadarnya lebih tinggi pada penderita
rinosinusitis dengan keluhan RLF daripada tanpa keluhan
RLF
2. pH sekret hidung penderita rinosinuistis kronik adalah asam
dimana pH penderita rinosinuistis kronik dengan keluhan
RLF derajat keasamannya lebih tinggi daripada tanpa
keluhan RLF
Page 28
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi hidung dan sinus paranasal
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapis oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi
untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari tulang hidung, prosessus frontalis os maxilla dan prossesus
frontalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior dan
kartilago septum nasi.
Gambar 1 : Anatomi hidung luar tampak lateral hidung ( sabotta 2000)
Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding
medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial adalah septum nasi.
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka, yaitu konka inferior,
konka media, konka superior dan konka suprema yang yang biasanya
rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
Page 29
11
sempit yang disebut meatus. Tergantung letak meatus, ada tiga meatus,
yaitu : meatus inferior, medius dan superior. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maxilla dan os palatum.
Dinding superior dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan
rongga tengkorak dengan hidung.
Gambar 2: Dinding lateral rongga hidung (sabotta,2000)
Secara garis besar perdarahan hidung berasal; dari 3 sumber utama,
yaitu : arteri ethmoidalis anterior, arteri ethmoidalis posterior cabang dari
arteri optalmica, dan arteri sfenopalatina, cabang terminal arteri maksillaris
interna yang berasal dari arteri karotis eksterna. Vena-vena di hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena-vena di hidng tidak memiliki katup sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.
Page 30
12
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan dari n.
ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. optalmikus (NV-1).
Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan dari n.
maksila melalui ganglion sfenopalatina
Secara anatomi ada 4 pasang sinus paranasalis yaitu : sinus
maxilla, sinus frontal, sinus ethmoid dan sphenoid. Sinus anterior terdiri
dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus ethmoidalis anterior dimana
muara dari sinus anterior ini berada pada meatus media. Sinus posterior
terdiri dari sinus ethmoidali posterior dan sinus sfenoid dimana muara dari
sinua ini berada pada meatus superior.
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir
sinus maksila bervolume 6 -8 ml, kemudian berkembang dengan cepat
dan akhirnya mencapai ukuran maksimal 15 ml saat dewasa.Sinus
maksila berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan
fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding
lateral adalah rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan
dinding inferior adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke
hiatus semilunaris melalui infundibulum ethmoid. Ostium sinus maksila
lebih tinggi dari dasar sinus sehingga drainase hanya tergantung pada
gerak silia, dan harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus ethmoid anterior dan pembengkakan akibat
Page 31
13
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus
maksila dan selanjutnya dapat menyebabkan sinusitis.
Sinus ethmoid merupakan sinus paranasal yang paling sering
bervariasi, bentuknya menyerupai sarang tawon dan terdiri dari 7-15
rongga yang dibatasi oleh dinding yang sangat tipis. Dibagi menjadi dua
kelompok yaitu sinus ethmoid anterior dan sinus ethmoid posterior. Sinus
ethmoid anterior ostiumnya bermuara pada meatus nasi media,
sedangkan sinus ethmoid posterior bermuara pada meatus nasi superior.
Batas atas terdapat fossa crania anterior dipisahkan oleh tulang tipis
(lamina kribrosa) Batas lateral terdapat lamina papiracea yang
memisahkan sinus ethmoid dengan orbita
Sinus sphenoid terletak di dalam os sphenoid di belakang sinus
ethmoid posterior sinus sphenoid . Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat
yang disebut septum intersfenoid. Batas-batasnya adalah sebelah
superior terdapat fossa serebri media dan kelenjar hipofise, sebelah
inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fossa serebri posterior di daerah pons.
Sinus frontal dibentuk dari sel-sel resessus frontal atau sel-sel
infundibulum ethmoid. Bentuk dan ukuran sinus frontal, sangat bervariasi
dan seringkali juga sangat berbedabentuk dan ukuran dari sinus
pasangannya. Kadang-kadang ada juga sinus yang rudimenter. Sinus ini
berhubungan dengan meatus nasi medius melalu duktus nasofrontal.
Page 32
14
Dinding belakang dan atap sinus frontal berbatasan dengan fossa kranii
anterior sedangkan dasarnya dengan orbita.
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drainase sinus-sinus yang letaknya
anterior yaitu sinus maxilla, ethmoid anterior dan frontal. KOM dibentuk
oleh prosses uncinatus, infundibulum ethmoid, agger nasi, dan ressus
frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait
Sistim Transpor mukosiliar
Sistim transport mukosiliar merupakan sistim pertahanan aktif
rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain
yang terhirup bersama udara. Di dalam sinus, silia bergerak secara teratur
untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur
yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran
transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di
depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung di resessus sfenoetmoidalis dialirkan ke nasofaring di
postero superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati post
nasal drip tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung Pada sinus
maxilla sistim transport mukosiliar berbentuk gambaran halo atau bintang
yang mengarah ke ostium alamiah. Gerakan sistim transport mukosiliar
pada sinus frontal dan sinus sphenoid mengikuti gerakan spiral,
Page 33
15
sedangkan pada sinus ethmoid terjadi gerakan rektolinier jika ostiumnya
terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostiumnya terdapat pada
salah satu dindingnya.
B. Definisi dan Insiden rinosinusitis kronik
Rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European Position Paper
on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) 2012 adalah inflamasi hidung dan
sinus paranasal yang ditandai adanya dua atau lebih gejala, salah satunya
termasuk hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau pilek ( sekret hidung
anterior / posterior), dengan atau tanpa nyeri wajah / rasa tertekan di
wajah, dengan atau tanpa penurunan / hilangnya penghidu, dan salah
satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan atau sekret
mukopurulen dari meatus medius dan udem / obstruksi mukosa di meatus
medius) dan gambaran tomografi komputer (perubahan mukosa di
kompleks osteomeatal dan atau sinus. (Fokkens et al., 2012).
Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery 1996, rinosinusitis adalah peradangan kronik pada satu atau lebih
mukosa sinus paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan
lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu didahului
dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia
dijumpai pada rinitis maupun sinusitis. Berdasarkan Task force yang
dibentuk oleh American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan
American Rhinologic Society (ARS), rinosinusitis kronik didefinisikan
sebagai rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2
Page 34
16
gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor.
Rinosinusitis kronik memiliki prevalensi yang tinggi di masyarakat.
Di Eropa diperkirakan sekitar 10 – 15% menderita penyakit rinosinusitis.
Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikit pernah mengalami
episode rinosinusitis dan sekitar 15% diperkirakan menderita rinosinusitis
kronik. Data dari respiratory surveillance program menunjukkan bahwa
rinosinusitis paling banyak ditemukan pada etnis kulit putih. Berdasarkan
jenis kelamin, penyakit rinosinusitis kronik lebih banyak terjadi pada
perempuan daripada laki–laki dengan perbandingan 2 : 1 dan sering pada
usia 25 – 64 tahun.
C. Patofisiologi Rinosinusitis Kronik
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium,
fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau
kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan
sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus
merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik. (Pinheiro AD,
et al 2001)
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem
hasil proses radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah
kompleks ostiomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi
sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan
mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret serta perubahan pH
sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk
Page 35
17
berkembang biak yang menyebabkan gangguan pada silia, Selanjutnya
dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks
ostiomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka blokade
kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus.
(Mangunkusumo. 2002: Kennedy,1995)
Secara embriologik sinus paranasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai dari fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sfenoid dan frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak
bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dan sinus etmid anterior
pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari posterosuerior rongga
hidung. Sinus-sinus ini mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18
tahun. (Soetjipto., 2000). Virus merupakan mikroorganisme tersering yang
mengawali terjadinya rinosinusitis, berupa infeksi saluran pernapasan atas
dan kemudian oleh keadaan tertentu sering disertai dengan infeksi
sekunder oleh bakteri atau jamur (Dharmabakti., 2003: Suyitno., 1996).
Rinosinustis akut dan kronik memiliki dasar patofisiologi yang sama
yaitu terganggunya fungsi ventilasi, drainase dan transport mukosilier.
Pada infeksi akut terjadi kerusakan silia sehingga mucus akan terganggu
akibatnya terjadi akumulasi mucus didalam rongga sinus. Keadaan ini
memudahkan bakteri pathogen untuk tumbuh dan berkembang biak
sehingga terjadilah infeksi sekunder. Bila ventilasi terganggu oleh karena
adanya sumbatan dari ostium maka pH dalam rongga sinus akan
Page 36
18
menurun, hal ini akan menyebabkan gerakan silia dalam rongga sinus
akan berkurang dan mucus yang diproduksi menjadi lebih kental. Bila
sumbatan ini terus berlangsung maka akan terjadi hipoksia dan stagnasi
dari mucus akibatnya bakteri anaerob dan pathogen akan lebih mudah
bertumbuh dan berkembang.
Patensi ostium sinus paranasal dan mukosilier klirens yang normal
mutlak diperlukan untuk mencegah infeksi sinus paranasal. Obstruksi
ostium diduga merupakan penyebab utama dan tersering terjadinya
rinosinusitis. Patensi ostium tidak saja penting untuk drainase sekret tetapi
juga untuk ventilasi sinus paranasal dalam hal pertukaran O2 dan CO2.
Kadar CO2 yang rendah dalam sinus menyebabkan bakteri aerob dapat
bertumbuh dengan cepat sedangkan bila kadar O2 yang kurang
memungkinkan untuk bakteri anerob berkembang. Mukosilier klirens yang
normal akan mencegah terjadinya infeksi didalam sinus dimana untuk
tercapainya keadaan ini jumlah dan kualitas sekret serta pergerakan silia
harus baik. ( Weir., et al 1997)
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi
mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di
hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang
mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes,
kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara,
debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada
mukosa dan kerusakan silia. (Ballenger ., 1994)
Page 37
19
D. Klasifikasi rinosinusitis
Klasifikasi rinosinusitis berdasarkan lamanya penyakit terbagi atas :
rinosinusitis akut dimana perlangsungannya kurang dari 4 minggu, sub
akut 4 - 12 minggu, dan rinosinusitis kronik dimana perlangsungannya
lebih dari 12 minggu tanpa resolusi gejala komplit (fokkens., et al 2012)
E. Etiologi Rinosinusitis Kronik
Terdapat beberapa yang dapat berkontribusi secara potensial
terhadap perkembangan rinosinusitis, termasuk factor host dan
lingkungan. Contoh karakteristik dar host yang dapat menyebabkan
rinosinusitis antara lain kondisi kongenital seperti fibrosis kistik atau
sindrom immotil silia, alergi atau gangguan fungsi imun, abnormalitas
anatomi, penyakit sistemik, dan mekanisme neural. Beberapa factor
eksternal yang dapat sebabkan rinosinusitis adalah agen infeksi, trauma,
paparan dari bahan kimia atau obat yang berbahaya, dan akibat
operasi.( bailey, 2014)
Berbagai variasi atau kelainan anatomi seperti sel Haller, sel Agger
nasi Berbagai variasi atau kelainan anatomi seperti sel Haller, sel Agger
nasi yang menonjol ke arah insersi antero-superior konkha media, konkha
media paradoks, pneumatisasi konka dan septum deviasi dapat
menyebabkan penyempitan ostiomeatal secara mekanik.
F. Gejala Klinis Rinosinusitis Kronik
Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis,
Page 38
20
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang. Gejala lokal
rinosinusitik kronik berupa obstruksi nasi, nasal discharge, nyeri kepala,
nyeri wajah serta gangguan penghidu. Selain gejala lokal terdapat juga
gejala-gejala lain yang disebabkan karena iritasi pada faring, laring dan
juga trakea berupa batuk, disfoni, sesak dan nyeri tenggorok. Gejala
sistemik berupa malaise dan demam. ( Fokkens et al , 2012)
Studi Brook (2001) yang dikutip oleh Mulyarjo mendapatkan gejala-
gejala rinosinusitik kronik antara lain ingus purulen 71%, batuk 72%, sakit
kepala 66%, sakit pada wajah 60%, demam 47%, hiposmia 43% dan nyeri
geraham 18%. (Mulyarjo., 2004)
Rinosinusitis kronik (RSK) sesuai kriteria EPOS (European Position
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis) merupakan inflamasi hidung
dan sinus paranasal yang berlangsung > 12 minggu, ditandai adanya dua
atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat / obstruksi /
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior / posterior), dengan atau tanpa
nyeri wajah / rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa gangguan
penghidu, dan salah satu temuan dari temuan nasoendoskopi (polip dan
atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan udem / obstruksi
mukosa di meatus medius) dan gambaran tomografi komputer (perubahan
mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus). (Fokkens et al, 2012).
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada
atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal,
nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang
Page 39
21
letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas
lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus
sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal. Nyeri ini pada umumnya
disebut sebagai sakit kepala oleh pasien. (Ballenger ., 1994)
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura
olfaktorius di daerah konkha media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini
dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius,
meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal
setelah proses infeksi hilang. (Ballenger ., 1994)
Task Force yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryngo
Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS) menjelaskan
bahwa gejala rinosinusitis pada dewasa dapat digolongkan menjadi 2
kriteria yaitu kelompok gejala mayor dan minor. Gejala mayor adalah
gejala yang banyak dijumpai serta mempunyai faktor prediksi yang tinggi,
antara lain: nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung buntu,
ingus berwarna, gangguan penghidu, ditemukannya sekret purulen di
rongga hidung (dengan rinoskopi) dan demam (untuk rinosinusitis akut
saja). Gejala-gejala minor antara lain: batuk, tenggorok berlendir, nyeri
kepala, nyeri geraham serta napas bau. Persangkaan rinosinusitis
didasarkan atas adanya dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala
mayor disertai dua gejala minor.. (Mulyarjo., et al 2004)
Tanda rinosinusitis dapat dilihat melalui pemeriksaan rinoskopi
anterior, rinoskopi posterior dan pemeriksaan faring. Pada pemeriksaan
Page 40
22
rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa
hiperemis, edema dan discharge mukopurulen yang terdapat pada meatus
media. Pada pemeriksaan faring dapat terlihat pus mengalir ke bawah
melalui sela dinding lateral faring. ( Bailey .,2001; Mangunkusumo., 2002).
G. Penanganan RSK
Penatalaksanaan berbasis bukti dan rekomendasi untuk
rinosinusitis tanpa polip hidung pada dewasa.
Tabel 1. Rekomendasi terapi rinosinusitis tanpa polip hidung pada dewasa.
Terapi Level Derajat rekomendasi
Relevansi
Terapi Antibiotik oral jangka pendek < 2 minggu
Ib ( -) C Tidak
Terapi Antibiotik oral jangka panjang > 12 minggu
Ib A Ya
Antibiotik-Topikal III D Tidak Steroid topikal Ib A Ya Steroid oral Tidak
ada data D Tidak
Cuci hidung larutan garam fisiologis (saline nasal douching)
Ib A Ya
Dekongestan oral/topikal Tidak ada
D Tidak
Mukolitik III C Tidak Anti jamur-sistemik Ib (-) D Tidak Anti jamur-topikal Ib (-) D Tidak Anti histamine oral pada pasien alergi
Tidak ada Data
D Tidak
Proton Pump Inhibitor Tidak ada Data Ib
D A
Tidak Tidak
Imunomodulator Ib (-) D Tidak Fitoterapi Ib (-) D Tidak Anti-Leukotrien III C Tidak
( fokkens, 2012)
Page 41
23
bagan 1. Algoritme penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip
pada dewasa untuk dokter spesialis THT.
( fokkens, 2012)
Page 42
24
YA
TIDAK
TIDAK
Ro.polos/CT scan dan / Aso-endoskopi (NE)
Kelainan ?
Evaluasi diagnosis kembali 1. Evaluasi komprehensif`
alergi, RLF (refluks) 2. Kultur pungsi sinus untuk
resistensi kuman, beri AB sesuai kultur
Kemungkinan Sinusitis Akut Berulang Lakukan terapi sinusitis kronik
YA
AB alternative 7 hari Atau buat kultur
Perbaikan ?
TIDAK
Evaluasi kembali : NE, Sinuskopi atau CT jika belum Obstruksi KOM?
TINDAKAN BEDAH : BSEF atau Bedah
Konvensional
Cari alur Diagnostik lain
Teruskan AB mencukupi 7-14 hari
YA
TIDAK
YA
TIDAK
Perbaikan ?
TIDAK
Teruskan AB mencukupi 7-14 hari
Perbaikan ? YA
TIDAK
TIDAK
ANAMNESIS Rinore purulen > 7 hari
(sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, gangguan penghidu, demam dll
RINOSKOPI ANTERIOR Polip? Tumor?
Komplikasi sinusitis? YA
Lakukan penatalaksanaan yang sesuai
SINUSITIS AKUT / KRONIK ? Lama gejala > 12 minggu ?
Episode serangan akut >4 x / tahun? (consensus Internasional Sinusitis 2004)
SINUSITIS AKUT Rinoskopi Anterior
(RA)
SINUSITIS KRONIK
RA/Naso-endoskopi Ro polos / CT Scan
Pungsi & irigasi sinus Sinuskopi
YA
Terapi tambahan : Dekongest.oral Kortikost.oral dan atautopikal, Mukolitik Antihistamin (pasien atopi) Diartemi,Proet,Irigasi sinus
YA YA
Faktor Predisposisi Deviasi septum Konka bulosa,
Hopertrofi Adenoid (pada anak)
Polip, Kista, JAmur, Dontogenik
Terapi tambahan : Dekongest.oral + topical Mukolitik, Analgetik Pasien Atopi : Antihist/Kortiko
steroid topikal
Perbaikan ?
Lini II AB (7 hari) Amoks. klav / Ampi. sulbaktam Cephalosporin gen. kell Makrolid + terapi tambahan
YA
Faktor Predisposisi?
Tata laksana yang sesuai
Terapi sesuai pada episode akut lini II + Terapi tambahan
TIDAK
AB empiric (2 x 24 jam) Lini I : Amoksil 3x500 mg /Citrimoxasol 2x480 mg + terapi tambahan
Dikutip dari Soetjipto D., Wardhani RS3
Bagan 2. Algorime penatalaksanaan rinosinusitis akut
dan kronik
Page 43
25
H. Anatomi Faring dan Laring
Faring dibagi menjadi nasofaring yaitu bagian dari faring yang
terletak di atas palatum mole, orofaring yaitu bagian yang terletak diantara
palatum mole dan tulang hioid dan laringofaring yang meluas dari tulang
hioid sampai ke batas bawah kartilago krikoid (Ballenger JJ, 1997).
Faring adalah suatu tabung fibromuskular yang meluas mulai dari
basis cranii sampai pada tepi kaudal kartilago krikoid, yaitu setinggi
vertebra servikal 6, dan melanjutkan diri menjadi esofagus. Tabung ini
mempunyai ukuran panjang kira-kira 12,5 cm dengan diameter pada ujung
kranial kurang lebih 5 cm dan ujung kaudal kira-kira 2,5 cm (berbentuk
kerucut). Faring berfungsi meneruskan aliran udara dari rongga hidung
menuju ke laring dan makanan dari rongga mulut menuju ke esofagus.
Bagian kranial faring selalu berada dalam keadaan terbuka yang
memungkinkan udara dengan bebas masuk ke dalam laring, yang berada
pada dinding anterior faring. Bagian kaudal berbentuk flat anterior-
posterior yang hanya membuka bilamana dilalui oleh bolus makanan
(Datu AR, 2009)
Nasofaring dibentuk oleh sebelah atas oleh korpus sfenoid dan
prosesus basilar os oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum
mole dan sebelah posterior oleh vertebra servikal, sebelah inferior
nasofaring dilanjutkan oleh orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring di belakang ujung posterior konka inferior.
Di sebelah atas dan belakang dari orifisium tuba Eustachius terdapat
Page 44
26
suatu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago tuba Eustachius.
Mamanjang ke bawah dari ujung posterior penonjolan tersebut terdapat
lipatan membran mukosa yang kuat yaitu membran salpingofaringeal.
Lipatan membran mukosa yang tidak begitu menonjol yaitu membran
salpingopalatina meluas ke bawah di depan orifisium tuba Eustachius.
Kantung yang dalam yang terbentuk pada sudut faring di antara tepi
posterior kartilago tuba Eustachius dan dinding posterior dikenal sebagai
fossa Rosenmuller. Nasofaring diliputi oleh epitel torak bersilia berlapis
semu (Ballenger, JJ 1997).
Fungsi utama nasofaring adalah sebagai tabung kaku dan terbuka
untuk udara pernapasan. Pada waktu menelan, muntah, bersendawa dan
tercekik, nasofaring akan terpisah dengan sempurna dari orofaring karena
palatum mole terangkat sampai ke dinding posterior orofaring. Nasofaring
juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba
Eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba
Eustachius. Nasofaring juga berfungsi sebagai ruang resonansi yang
sangat penting dalam pembentukan suara (Ballenger JJ, 1997).
Laringofaring berada di sebelah dorsal laring. Ke arah kranial
berhubungan dengan orofaring (hubungan bebas) dan ke arah kaudal
melanjutkan diri menjadi esofagus. Aditus laring terletak pada dinding
anterior laringofaring. Fasies posterior dari kartilago aritenoid dan kartilago
krikoid membentuk dinding anterior laringofaring (Datu AR, 2009).
Laringofaring sebagian terpisah dari orofaring oleh lipatan faringoepiglotis
Page 45
27
yang terbentang dari epiglotis sampai sisi faring. Mukosa laringofaring
dilapisi oleh epitel torak bersilia berlapis semu kecuali pada permukaan
laring epiglotis, permukaan anterior aritenoid dan sisi bebas pita suara asli
ditutupi epitel gepeng berlapis. Otot-otot faring terdiri dari otot konstriktor
faringeus, superior, medius dan inferior, otot stilofaringeus dan otot
palatofaringeus (Ballenger JJ, 1997).
Dinding faring mendapat suplai darah dari arteri faringeal asendens
(sebagai cabang dari arteri karotis eksterna), arteri palatina asendens
(cabang dari arteri fasialis) dan arteri palatina mayor (cabang dari arteri
maksila). Pembuluh vena membentuk pleksus faringeus pada dinding
posterior dan dinding lateral faring dan memberi aliran darahnya kepada
vena jugularis interna (Datu AR, 2009).
Persarafan motorik untuk otot-otot faring diperoleh dari pleksus
faringeus terkecuali otot stilofaringeus yang mendapatkan persarafan dari
r.muskularis n.glosofaringeus. Kelenjar faringeal (terutama pada
nasofaring) mendapatkan serabut sekretomotorik dari r.faringeal yang
dikeluarkan oleh ganglion pterigopalatinum. Persarafan sensorik untuk
membran mukosa diperoleh dari pleksus faringeus (Datu AR, 2009).
I. Anatomi Esofagus
Esofagus merupakan suatu organ silindris yang berongga yang
terbentang dari hipofaring (setinggi servikal VI sampai ke kardia lambung
(torakal XI) dengan panjang sekitar 25 cm pada orang dewasa dan garis
tengah 2 cm. Esofagus terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior
Page 46
28
vertebra dan menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta
(Wilson LM and Lindseth GN, 2006).
Esofagus pada neonatus relatif lebih panjang dari orang dewasa,
dimulai setinggi vertebra servikal IV–V sampai pada batas setinggi
Vertebra torakal IX, dengan panjang bervariasi antara 8–10 cm.
Pertumbuhan panjang esofagus menjelang umur 1 tahun meningkat
menjadi 12 cm, pada umur 5 tahun panjang esofagus menjadi 16 cm dan
setelah itu pertumbuhannya menjadi lambat, sehingga pada umur 15
tahun hanya mencapai 19 cm (Beasley P, 1997).
Berdasarkan anatomi esofagus dibagi atas :
1. Esofagus pars servikal
Pars servikal panjangnya 5–6 cm pada orang dewasa, mulai
setinggi vertebra servikal VI sampai vertebra torakal I. Di bagian
anterolateral tertutup oleh kelenjar tiroid, sedang di sisi kiri dan
kanannya berjalan saraf laringeus rekuren kiri dan kanan pada alur
yang terletak antara trakea dan esofagus (Debas HT, 2006).
Pada bagian posterior di daerah yang berbatasan dengan
hipofaring terdapat daerah dengan resistensi lemah yaitu dinding yang
tidak ditutupi oleh otot konstriktor faringeus inferior. Sedangkan di
lateral esofagus terdapat carotid sheath beserta isinya (Debas HT,
2006).
Page 47
29
2. Esofagus pars torakal
Pars torakal panjangnya 16 – 18 cm, mulai setinggi torakal I sampai
torakal IX – X, berada di mediastinum di belakang antrium kiri. Dinding
anteriornya melekat pada dinding posterior trakea sampai setinggi
torakal V. Di mediastinum superior, esofagus berjalan ke posterior ke
sisi kanan aorta desendens sampai bagian inferior mediastinum
kemudian berjalan ke anterior dan sedikit ke sisi kiri aorta. Di dalam
rongga toraks, menyilang arkus aorta setinggi torakal IV dan bronkus
utama kiri setinggi torakal V. Arteri pulmonal kanan menyilang
esofagus di bifurkasio trakealis. Pada bagian distalnya di antara
dinding posterior dan permukaan ventral korpus esofagus berjalan
duktus torasikus, vena ozigos serta Aa/Vv interkostal (Frenz D, 2006).
3. Esofagus pars abdominal
Pars abdominal terdiri dari bagian diafragma yang disebut pars
diafragma yang panjangnya 1 – 1,5 cm dan terletak setinggi torakal X,
melewati krus diafragma kanan bersama dengan saraf vagus kiri di
permukaan anteriornya serta saraf vagus kanan di bagian posteriornya
dan bagian esofagus yang terdapat dalam rongga abdomen yang
panjangnya 2–3 cm dan berjalan melalui lekuk esofagus pada
permukaan posterior lobus kanan hepar dan selanjutnya melengkung
agak tajam ke kiri untuk bergabung dengan bagian kardia lambung.
Pertautan ini disebut esophageal junction (Debas HT, 2006).
Page 48
30
Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot
krikofaringeus membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas
serabut-serabut otot rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada
dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter
esofagus bagian bawah walaupun secara anatomi tidak nyata bertindak
sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung
ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup kecuali
bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu muntah (Wilson LM
and Lindseth GN, 2006).
Dinding Esofagus seperti juga bagian lain dari saluran
gastrointestinal terdiri atas 4 lapisan yaitu lapisan mukosa, submukosa,
muskularis dan lapisan serosa (lapisan luar). Lapisan mukosa bagian
dalam terbentuk dari epitel gepeng berlapis yang berlanjut ke faring atas;
epitel lapisan ini mengalami perubahan mendadak pada perbatasan
esofagus dengan lambung (garis Z) menjadi epitel torak selapis. Mukosa
esofagus dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap
isi lambung yang sangat asam. Lapisan submukosa mengandung sel-sel
sekretori yang memproduksi mukus. Mukus mempermudah jalannya
makanan masuk sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera
akibat zat kimia. Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam
tersusun sirkuler. Otot-otot yang terdapat di 5% bagian atas esofagus
adalah otot rangka sedangkan otot di separuh bagian bawah adalah otot
polos. Bagian diantaranya terdiri dari campuran otot rangka dan otot polos.
Page 49
31
Berbeda dengan tunika serosa (lapisan luar) esofagus tidak memiliki
lapisan serosa ataupun peritoneum, lapisan ini terdiri atas jaringan ikat
longgar yang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang
berdekatan (Wilson LM and Lindseth GN, 2006).
Suplai darah untuk esofagus servikal dari arteri tiroidea inferior
cabang trunkus tiroservikal. Esofagus pars torakal dilayani oleh cabang-
cabang langsung dari aorta torakal desendens dan arteri bronkial.
Esofagus pars abdominal adalah cabang arteri gastrika sinistra dan arteri
frenika inferior. Drainase vena esofagus servikal ke vena tiroid inferior.
Esofagus torakal bermuara ke dalam vena azigos dan vena hemiazigos.
Esofagus abdominal bermuara ke vena gastrika sinistra (Frenz D, 2006,
Peter JH, 2006).
Persarafan utama esofagus berasal dari serabut-serabut simpatis
dan parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut parasimpatis dibawa
oleh saraf vagus yang dianggap sebagai saraf motorik esofagus. Fungsi
serabut simpatis masih kurang diketahui. Selain persarafan ekstrinsik
tersebut, terdapat jala-jala serabut saraf intramural intrinsik di antara
lapisan otot sirkuler dan longitudinal (pleksus Auerbach atau mienterikus)
dan tampaknya berperan dalam pengaturan peristaltik esofagus normal.
Jala-jala saraf intrinsik kedua (pleksus Meissner) terdapat di submukosa
saluran gastrointestinal dan agak tersebar di esofagus (Wilson LM and
Lindseth GN, 2006).
Page 50
32
Terdapat 4 barier fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif
bagian atas dari cedera karena refluks yaitu sfingter esofagus bawah
(lower esophagus sphincter), fungsi motorik esofagus yang berperan
dalam pembersihan asam (esophageal acid clearance), ketahanan
jaringan mukosa esofagus (esophageal mucosal tissue resistance) dan
sfingter esofagus atas (upper esophagus sphincter) (Ford CN, 2005).
Sfingter Esofagus Bawah / SEB (Lower Esophageal Sphincter / UES)
Secara anatomi sfingter esofagus bawah adalah zona kompleks
yang berlokasi pada gastroesofageal junction yang terdiri dari 2 komponen
yaitu true LES (SEB sejati), suatu segmen dibentuk oleh otot polos
esofagus yang berkontraksi secara tonik pada esofagus bagian bawah
dan diafragma bagian crural. SEB dan diafragma sangat berperan dalam
fungsi sfingter gastroesofageal. Secara fisiologi, relaksasi SEB terjadi
sebelum kontraksi esofagus yang menyebabkan makanan bisa masuk ke
lambung. Dalam keadaan istirahat, SEB berada dalam zona bertekanan
tinggi 15-30 mmHg di atas tekanan intragastrik dimana setiap individu
bervariasi (Giorgi FD et al, 2006).
Sejumlah penderita dengan GERD mempunyai tekanan SEB yang
lemah dan rendah yang menyebabkan isi lambung bisa refluks setiap saat.
Hal ini bisa terjadi apabila tekanan SEB < 6 mmHg. Menurunnya tekanan
SEB saat istirahat dalam waktu yang lama biasanya berkaitan dengan
esofagitis yang berat. Defek pada SEB ditemukan pada penderita dengan
komplikasi GERD seperti striktur esofagus, Barret’s esofagus. Faktor-
Page 51
33
faktor yang dapat menurunkan tekanan SEB adalah hormone endogen
(cholecystokinin, progesteron saat hamil), obat-obatan (nitrat, Ca-channel
blocker), makanan dengan lemak tinggi dan coklat, kebiasaan merokok,
minum kopi dan alkohol (Giorgi FD et al, 2006).
Fungsi motorik esofagus melalui pembersihan asam di esofagus
(esophageal acid clearance)
Proses pembersihan asam di esofagus merupakan mekanisme
perlindungan penting dalam mencegah berkembangnya suatu GERD.
Proses ini melibatkan gerakan peristaltik serta bikarbonat saliva saat
menelan. Gerakan peristaltik baik primer maupun sekunder adalah
mekanisme yang sangat penting dalam pembersihan esofagus. Proses
menelan yang berhubungan dengan peristaltik primer terjadi sekitar 60
kali per jam, sedangkan Gerakan peristaltik sekunder tanpa adanya
proses menelan dapat ditimbulkan oleh distensi esofagus atau
meningkatnya keasaman. Proses menelan saliva (pH 7,8-8,0) sangat
penting dalam proses pembersihan asam di esofagus karena bisa
memulihkan pH esofagus. Pada penelitian eksperimen (refluks spontan
atau yang diinduksi), pembersihan asam penderita GERD ditemukan dua
sampai tiga kali lebih lama dibandingkan dengan penderita tanpa GERD.
Terganggunya proses pembersihan asam di esofagus bisa disebabkan
oleh meningkatnya volume refluksat atau bisa juga karena adanya
penyakit yang mendasari seperti skleroderma (Giorgi FD et al, 2006).
Page 52
34
Dua mekanisme terganggunya pembersihan asam di esofagus
adalah disfungsi peristaltik dan adanya refluks yang berulang. Disfungsi
peristaltik ditandai dengan kegagalan peristaltik sehingga terjadi kontraksi
yang rendah (<30 mmHg), menyebabkan pengosongan esofagus yang
tidak sempurna. Disfungsi peristaltik bertambah parah dengan adanya
esofagitis yang berat. Selain itu, pembersihan asam juga diperpanjang
oleh kurangnya saliva atau menurunnya kapasitas saliva untuk
menetralkan asam. Berkurangnya saliva tampaknya menjadi salah satu
penyebab utamanya terjadinya GERD. Berkurangnya frekuensi menelan
saat tidur juga memperpanjang waktu paparan asam di esofagus. Saliva
juga bisa berkurang pada perokok dan pada penderita yang
menggunakan obat antikolinergik, yang akhirnya dapat memperpanjang
proses netralisasi mukosa (Giorgi FD et al, 2006).
Peristiwa menelan memegang peranan penting pada pembersihan
asam esofagus karena dapat menimbulkan gelombang peristaltik
esofagus primer. Gelombang peristaltik ini akan mengeluarkan saliva yang
kaya akan bikarbonat yang dapat menetralkan dan membersihkan
refluksat ke bagian distal esofagus (Yunizaf HM, 2007).
Ketahanan jaringan mukosa esofagus (esophageal mucosal tissue
resistance)
Kemampuan mukosa esofagus dalam mencegah terjadinya cedera
merupakan salah satu faktor yang menentukan terjadinya GERD. Mukosa
esofagus mengandung beberapa komponen struktural dan fungsional
Page 53
35
yang berperan sebagai pelindung melawan refluks isi lambung yang
berbahaya. Hal ini termasuk pertahanan pre-epitel yang relatif lemah dan
pertahanan epitel yang kuat yang didukung oleh suplai darah. Pertahanan
pre-epitel terdiri dari sedikit lapisan cairan dengan kapasitas bufer yang
terbatas yaitu adanya bikarbonat daris ekresi saliva yang tertelan dan
akibat sekresi dari kelenjar submukosa esofagus. Meskipun kapasitas
buffer tersebut terbatas, namun cukup untuk mempertahankan nilai pH di
permukaan esofagus dengan menghindari pepsin aktif. Apabila
mekanisme ini gagal maka pertahanan utama akan bergantung pada
epiteli tu sendiri. Pertahanan epitel terdiridari tiga komponen utama:
1. Membran sel dan kompleks junctional interseluler yang membatasi
kecepatan penetrasi ion hidrogen menuju ruang interseluler.
2. Adanya bufer seluler dan interseluler (bikarbonat, protein, fosfat) yang
menetralisir kembali difusi asam.
3. Adanya ion membran sel yang berfungsi mengeluarkan asam dari sel
ketika pH interseluler berada di bawah pH asam (Giorgi FD et al, 2006).
Namun, mekanisme pertahanan tersebut memiliki keterbatasan
yaitu dapat dicapai oleh refluksat yang mengandung tingkat keasaman
luminal yang tinggi atau penderita yang mengkonsumsi zat beralkohol
tinggi, osmolalitas tinggi atau bahan-bahan kimia yang berasal dari rokok.
Apabila faktor-faktor tersebut mengenai pertahanan esofagus maka
cedera mukosa akan terjadi. Asam dan pepsin awalnya menyerang dan
merusak interseluler junction sehingga terjadi peningkatan permeabilitas
Page 54
36
paraseluler dan hal ini tampak secara morfologi yaitu terdapatnya
pelebaran antar sel (Giorgi FD et al, 2006).
Sfingter Esofagus Atas / SEA (Upper Esophageal Sphincter / UES)
Sfingter esofagus atas merupakan zona bertekanan tinggi yang
terletak antara faring dengan esofagus pars servikal. Sfingter ini secara
fisiologis berperan mencegah refluks makanan ke jalan napas dan
mencegah masuknya udara ke traktus digestif. SEA ini merupakan
struktur muskulokartilagenius, dinding anterior dibentuk oleh permukaan
posterior kartilago krikoid dan aritenoid, di bagian atas oleh otot
interaritenoid sedangkan bagian posterior dan lateral dibentuk oleh otot
krikofaring. Otot krikofaring merupakan bagian penting dari SEA dan
mempunyai karakteristik diantaranya: aktif berkontraksi, mempunyai
elastisitas yang tinggi, tidak mengalami ketegangan maksimal pada
kondisi basal dan terdiri dari serabut tipe lambat dan cepat. SEA
didominasi oleh serabut tipe lambat. Keadaan ini membuat otot krikofaring
dapat mempertahankan tonus istirahat dan dapat melakukan regangan
dengan kekuatan yang besar. Meski demikian otot krikofaring hanya
terdapat pada sepertiga bawah zona bertekanan tinggi. Otot tirofaringeus
terdapat pada dua pertiga atas dari SEA. Pembukaan SEA melibatkan
relaksasi otot krikofaringeus, tirofaringeus dan gerakan laring ke depan
oleh kontraksi otot hioid. Fungsi SEA dikontrol oleh banyak refleks yang
melibatkan input aferen menuju motor neuron yang mempersarafi sfingter.
Page 55
37
Refleks fisiologis ini menimbulkan kontraksi atau pembukaan dari sfingter
(Sivarao DV et al, 2000).
Esofagus dan laringofaring dipisahkan oleh SEA yang merupakan
sawar terakhir untuk mencegah refluksat masuk ke laringofaring.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa tonus SEA yang meningkat
sebagai reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi esofagus.
Relaksasi dari SEB akan menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring
atau laring (Yunizaf HM, 2007). Akibat dari refluks isi lambung keluar dari
esofagus disebut refluks ekstraesofageal. Hal ini bisa terjadi karena efek
langsung dari refluks isi lambung pada permukaan mukosa jalan napas
atas (faring, laring, telinga tengah, kompleks nasosinus) dan jalan napas
bawah (trakeobronkopulmonal). Tidak seperti esofagus, jalan napas tidak
diproteksi oleh mekanisme pembersihan antirefluks dan mekanisme
pertahanan mukosa intrinsik terhadap refluks isi lambung (Poelmans J
and Tack J, 2005).
Patofisiologi GER dan GERD pada bayi, anak dan dewasa hampir
sama. Refluks terutama terjadi karena relaksasi sementara pada sfingter
esofagus bawah. Tingginya frekuensi GER dan GERD pada bayi
berkaitan dengan sistem imatur dari esofagus dan lambung. Gambaran
sistem imatur ini termasuk esofagus pars abdominal yang pendek (<1 cm),
peningkatan jumlah kontraksi esofagus yang tidak merata, peningkatan
pembersihan esofagus dan jumlah relaksasi sementara SEB berhubungan
dengan pengosongan lambung yang lambat (Cezard JP, 2004). Tekanan
Page 56
38
sfingter esofagus yang lebih rendah dari 6 mmHg hampir selalu
menimbulkan GER. GER juga bisa terjadi pada tekanan SEB yang normal.
Isi lambung yang penuh terutama setelah makan akan memudahkan
terjadinya refluks. Pengosongan lambung yang terlambat bisa
menyebabkan GER. Materi dari isi lambung sebagai bahan refluks yang
mengandung asam, pepsin, garam empedu, tripsin akan merusak mukosa
esofagus. Pembersihan esofagus dari bahan refluks untuk dialirkan
kembali ke lambung dipengaruhi oleh kontraksi peristaltik esofagus, faktor
gravitasi dan saliva. Pembentukan saliva sebanyak 0,5 ml/menit akan
menetralkan asam yang masih tersisa. Faktor-faktor tersebut membantu
regulasi pH dalam esofagus (Yunizaf HM, 2007).
Gejala GERD pada orang dewasa antara lain rasa panas di dada
(heart burn), nyeri dada substernal, epikardial atau retrosternal, regurgitasi
asam, sendawa, cepat merasa kenyang, nausea, muntah, cegukan,
disfagia dan odinofagia (Yunizaf HM, 2007). Pada anak, gejala GERD
hampir sama dengan orang dewasa (Sretenovic, 2009).
Pengukuran pH esofagus 24 jam merupakan standar emas (gold
standard) untuk mendiagnosis adanya GERD. Bila pH kurang dari
4 dianggap ada GERD (Gohary YE et al).
J. Gastroesophageal Refluks (GER)
Gastroesophageal refluks (GER) adalah peristiwa masuknya isi
lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada setiap
orang terutama setelah makan. Refluks yang terjadi pada orang normal
Page 57
39
tanpa menimbulkan gejala dan perubahan histologi mukosa esofagus
disebut GER fisiologis. Bila refluks terjadi berulang-ulang menyebabkan
bagian distal esofagus mendapat rangsangan dari isi lambung dalam
waktu yang lama sehingga timbul gejala dan komplikasi disebut GER
patologis atau gastroesophageal refluks disease (GERD) yang meliputi
refluks esofagitis dan refluks simptomatik. Pada refluks esofagus telah
terjadi kelainan mukosa esofagus sedangkan refluks simptomatik
menyebabkan gejala tanpa perubahan histologi dinding esofagus (Yunizaf
HM, 2007).
K. Reflux Laryngopharingeal (RLF )
Refluks Laring Faring / Laryngopharyngeal Reflux (RLF) dapat
didefinisikan sebagai pergerakan asam lambung secara retrograd menuju
faring dan laring serta saluran pencernaan atas. RLF dapat menyebabkan
iritasi dan perubahan pada laring.
Pada tahun 1996 Houfman dkk memperkenalkan istilah penyakit
refluks laring faring (RLF) untuk penyakit ini. Amerika serikat beranggapan
RLF merupakan bentuk lain dari Gastroesophageal Reflux disease
(GERD) karena pada pasien RLF tidak perlu ditemukan gejala spesifik
GERD seperti rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi. Lebih jauh
lagi pada kebanyakan pasien dengan RLF refluks asam di esofagus
bagian bawah normal dan pasien RLF tidak didiagnosis sebagai GERD .
Walaupun penyebab kedua penyakit tersebut sama RLF harusdibedakan
dari GERD. Pasien dengan RLF biasanya mempunyai keluhan di daerah
Page 58
40
kepala dan leher sedangkan pada GERD biasanya didapatkan keluhan
klasik seperti esophagitis dan rasa panas di dada (heartburn). Perbedaan
ini menyebabkan kedua penyakit tersebut memerlukan pengobatan yang
agak berbeda.
L. Mekanisme Refluks laringofaring
Patofisiologi RLF sampai saat ini masih sulit dipastikan. seperti
yang diketahui mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah
cedera langsung akibat asam lambung dan pepsin yang terkandung pada
refluxate. Laring lebih rentan terhadap cairan refluks dibanding esofagus
karena tidak mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan
instrinsik seperti esofagus. Terdapat beberapa teori yang mencetuskan
respon patologis karena cairan refluks ini yaitu :
1) Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh
cairan refluks yang mengandung asam dan pepsin. Cairan asam
dan pepsin merupakan zat berbahaya bagi laring dan jaringan
sekitarnya. Pepsin merupakan enzim proteolitik utama lambung
aktivitas optimal pepsin terjadi pada pH 2.0 dan aktif, dan bersifat
stabil pada pH 6 tetapi akan aktif kembali jika pH dapat kembali ke
pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari sebelumnya.
2) Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang
refleks vagal sehingga akan mengakibatkan bronkokontriksi,
gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk kronis. Lama
kelamaan akan menyebabkan lesi pada mukosa. mekanisme
Page 59
41
keduanya akan menyebabkan perubahan patologis pada kondisi
laring. bukti lain juga menyebutkan bahwa rangsangan mukosa
esofagus oleh cairan asam lambung juga akan menyebabkan
peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan gangguan
pernafasan. Cairanlambung tadi menyebabkan refleks vagal eferen
sehingga terjadi respons neuroinflamasimukosa dan dapat saja
tidak ditemukan inflamasi di daerah laring
Penyakit refluks gastroesofageal adalah penyakit umum yang dapat
mengenai setiap segmen populasi. Secara ttradisional pengobatannya
lebih banyak ditujukan pada asam lambung sebagai faktor penyebab.
Pada dasarnya terdapat banyak fackor yang berperan pada mekanisme
terjadinya refluks gastroesofageal dan jejas pada mukosa. Pada keadaan
normal terdapat keseimbangan antara mekanisme agresif dan defensive.
Bila keseimbangan ini terganggu, dapat menimbulkan penyakit refluks
gastroesofageal.
1. Faktor Gastroduodenal
a. Kandungan lambung
Mukosa lambung memiliki dua tipe kelenjar tubuler yaitu kelenjar
gastrik dan kelenjar pilorik. Kelenjar gastrik memiliki tiga jenis sel yaitu :
mucous neck cell yang menghasilkan mucus, sel peptic ( chief ) yang
mensekresi sejumlah besar pepsinogen, dan sel parietal mensekresi
asam klorida dan faktor intrinsik. fakta-fakta klinis dan studi eksperimental
memberikan bukti kuat peranan pepsin dan asam dalam terjadinya PGRE.
Page 60
42
Asam sendiri hanya hanya dapat menimbulkan jejas pada mukosa pada
pH sangat rendah ( pH 1-2 ). Dengan kata lain kombinasi asam dengan
pepsin meskipun dengan kadar pepsin yang kecil dapat meyebabkan jejas
yang cukup berat. Asam dapat merusak sel oleh karena kandungan ion
hidrogennya dapat menimbulkan gangguan regulasi volume sel yang
berakibat timbulnya edema sampai nekrosis sedangkan pepsin pada
suasana asam ( pH < 4 ), dapat merusak oleh karena sifat proteolitiknya
( Orlando RC, 2002 ). Sangat penting diketahui bahwa pada penderita
PGRE meskipun terjadi peningkatan paparan asam pada esophagus,
tetapi produksi asam lambung tidak meningkat ( Hirschowitz dkk, 1991 ).
Ini membuktikan bahwa gangguan terjadi pada sawar gastroesofageal dan
menurunnya mekanisme pembersihan esofagus.
b. Kandungan duodenum
Asam empedu dan enzim pankreas dapat berpindah dari
duodenum melewati pylorus masuk ke dalam lambung dan bercampur
dengan sekresi lambung. Peranan asam empedu dan enzim tripsin pada
perlukaan mukosa masih diperdebatkan. Perlukaan mukosa yang
disebabkan oleh asam empedu tergantung pada bentuk asam empedu.
Asam empedu tidak terkonyugasi dapat menyebabkan perlukaan pada
suasana alkali sedangkan asam empedu terkonyugasi menyebabkan
perlukaan pada suasana asam. Bagaimana asam empedu dapat
menyebabkan perlukaan pada mukosa esophagus, masih belum diketahui.
Page 61
43
Tripsin, sama dengan pepsin merupakan proteolysis yang aktif pada pH 5-
8 ( Vaezi MF, 1999)
c. Pengosongan lambung
Pengosongan lambung yang lambat akan memicu terjadinya
relaksasi sementara SBE yang menyebabkan keluarnya isi lambung ke
esophagus.
d. Helicobacter pylori
Eradikasi H.pylori dapat meningkatkan keasaman esophagus
sehingga dapat menyebabkan PRGE (Feldman M, Cryer B, Lee E 1998).
Strain CagA+ dari H.pylori dapat melindung esophagus dari bentuk PRGE
yang lebih berat yaitu Barrett’s esophagus (Vicari J., 1998, Vaezi M, dkk.
2000). Meskipun kepentingan klinis H.pylori dalam terjadinya PRGE masih
diperdebatkan, beberapa individu yang mengalami gastritis oleh H.pylori,
khususnya strain CagA+ dapat terlindungi dari kejadian refluks akibat
menurunnya produksi asam lambung.
2. Faktor tautan gastroesofageal
a. Relaksasi sementara spinkter bawah esophagus (TLESr)
Relaksasi sementara SBE terjadi secara spontan dan tidak
tergantung oleh relaksasi proses menelan. Kejadian ini dipicu oleh distensi
lambung melalui jalur vagal afferen. Selain itu dapat pula dipicu oleh
tindakan intubasi faring yang akan meningkatkan frekuensi TLESr ( Mittal
dkk., 1996). Koek dkk 2001 ) memperlihatkan adanya penurunan keluhan
Page 62
44
PRGE setelah pemberian baclofen, suatu agonis GABA-B yang
menghambat relaksasi TLESr.
b. Hipotensi spinkter bawah esophagus
Meskipun TLESr merupakan mekanisme utama refluks, rendahnya
tekanan SBE juga merupakan factor penting pada penderita PRGE berat.
Hipotensi SBE (< 10 mmHg) dapat menyebabkan keluarnya isi lambung
secara bebas ke dalam esophagus yang menimbulkan keluhan
esophagitis. Bagaimana mekanisme rendahnya tekanan SBE
menyebabkan refluks masih belum jelas. Rendahnya tekanan SBE juga
dapat disebabkan oleh distensi esophagus, makanan, merokok atau obat-
obatan. ( Mittal R 1999).
c. Hiatal hernia
Herniasi bagian lambung ke dalam rongga torak dapat memicu
terjadinya refluks dengan cara masuknya asam lambung yang terdapat
pada kantung herniasi ke dalam esophagus, krural diafragma tidak dapat
berfungsi sebagai pencegah refluks akibat bergesernya tautan
esofagogastrik. TLESr penderita hiatal hernia juga memiliki ambang batas
yang rendah sehingga sangat mudah terpicu ( Kharilas P dkk., 2000 )
3. Factor esofageal
a. Pembersihan esophagus
Pembersihan asam esophagus melalui 2 mekanisme yaitu : ( 1 )
peristaltis yang dibantu oleh gaya gravitasi. Pada PRGE terjadi penurunan
Page 63
45
sampai menghilangnya amplitude peristaltis primer pada bagian distal
esophagus sehingga pembersihan asam terganggu. Pada kasus yang
kronik terjadi pula gangguan pada peristaltis sekunder yang disebabkan
oleh jejas irreversible pada mukosa esophagus akibat paparan asam yang
kronis (Rydberg dkk., 2000, Pai CG 2000 ). ( 2 ) Penetralan asam yang
dilakukan oleh bikarbonat dalam saliva dan sekresi oleh kelenjar
submukosa. Saliva juga mengandung epidermal growth factors yang
potensial untuk memperbaiki kerusakan mukosa dengan menyediakan
sitoproteksi terhadap iritan dan menurunkan permeabilitas mukosa
esophagus terhadap ion hydrogen
b. Pertahanan epitel
Barrier epitel esophagus dalam mencegah difusi asam dan pepsin
diperankan oleh tautan yang rapat dari matriks glikoprotein interseluler.
Matriks ini menghasilkan resistensi elektrik epitel yang membatasi
masuknya asam ke dalam jaringan. PRGE dapat terjadi bila tautan
interseluler dirusak oleh refluksat yang kemudian memudahkan masuknya
ion hidrogen. Sensasi heartburn akan dirasakan oleh penderita bila ion
tersebut mengiritasi vagal afferen. Fosfat, protein dan CA III bertindak
sebagai barier terhadap ion hidrogen ketika ion hidrogen masuk ke dalam
sel.bila barrier ini dilewati, sel-sel epitel esofagus akan mengeluarkan
asam melalui 2 mekanisme pompa transmembran yaitu pertukaran ion
Na/H dan pertukaran sodium dependen Cl/HCO3 ( Orlando RC 2000). Bila
sel epitel kewalahan akibat banyaknya asam, pH inraseluler akan
Page 64
46
menurun dan menimbulkan kerusakan sel, defek pada pengaturan volume
sel, lebih lanjut akan merusak mekanisme pertahanan epitel,
permeabilitas terhadap asam meningkat dan akhirnya terjadi kematian
dan nekrosis sel ( Orlando RC. 1999 ). Paparan asam yang berulang akan
menyebabkan erosi mukosa dan memberikan gambaran endoskopik
berupa PRGE erosif.
M. Penatalaksanaan RLF
RLF adalah gerakan retrograde dari enzim lambung yaitu pepsin
dan asam ke daerah tenggorokan bagian bawah. Pasien RLF biasanya
tidak mengetahui mereka menderita RLF dan, tidak seperti penderita
Penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD), RLF biasanya tidak
mengeluh sakit heartburn (hanya 35% yang mengeluh). Ketika
lpermukaan tenggorokan terkena oleh cairan lambung, terdapat sekresi
lapisan mukus untuk melindungi permukaan dari agen kaustik. Penderita
bisa menampakkan gejala seperti throat-clearing berlebihan (terutama di
pagi hari atau setelah makan), batuk kering yang persisten, sakit
tenggorokan yang tidak berhubungan dengan pilek, suara serak, atau rasa
mengganjal di tenggorokan. Managemen RLF membutuhkan tiga
pendekatan dengan memperhatikan perubahan pola makan dan perilaku,
dan penggunaan obat penghambat asam. (C.Kwang Sung, MD, MS 2017)
Page 65
47
1) Perubahan Diet
Makanan yang berbeda mempengaruhi RLF dengan
mekanisme yang berbeda. Makanan spesifik ini harus dihindari
atau dikurangi secara drastis, atau akan mengganggu proses
penyembuhan:
Kafein, alkohol, coklat, dan peppermint melemahkan sfingter
esofagus bagian bawah, yang nomalnya tertahan dalam isi
lambung
Buah jeruk, kiwi, nanas, tomat (dan makanan asam lainnya),
daging pedas, dan bumbu panas langsung mengiritasi lapisan
tenggorok. Ini berarti bahwa meski obat itu bekerja dengan baik,
mengonsumsi makanan ini akan menyebabkan iritasi dan
pembengkakan pada lapisan tenggorokan.
Minuman berkarbonasi (seperti soda dan bir) membawa
cairan asam ke dalam tenggorokan. Waspadalah walaupun
terhadap soda yang tidak berkafein.
2) Perubahan Perilaku
Jangan meningkatkan tekanan di dalam perut setidaknya 2
jam setelah makan (tidak membungkuk, berolahraga atau
bernyanyi), karena akan memaksa komponen lambung ke dalam
tenggorokan.
Jangan terlalu membebani perut (makan lebih sedikit
sepanjang hari, bukan 3 kali makanan yang lebih besar). Jangan
Page 66
48
berbaring dalam waktu 3 jam setelah makan. Jangan makan snack
atau minum sebelum tidur. Elevasi / naikkan kepala dengan
menopang tempat tidur dengan sudut 4 inci untuk memungkinkan
gravitasi membantu menjaga isi perut .
3) Obat-obatan
Proton Pump Inhibitors (PPI) adalah obat yang paling efektif
untuk pengobatan RLF. Mengingat bahwa RLF berbeda dengan
GERD dan perawatannya yang sukses memerlukan dosis obat
yang lebih tinggi untuk jangka waktu lama. Uji coba awal obat-
obatan setidaknya 6 bulan, dengan dosis dua kali sehari
(tergantung pada tingkat keparahan perubahan RLF yang terlihat
pada pemeriksaan). Gejala harus mulai membaik dalam waktu 4
sampai 6 minggu setelah mulai minum obat. pemeriksaan
didapatkan membaik setelah gejala hilang dalam beberapa bulan.
PPI menghentikan produksi asam di lambung selama 12 - 17 jam
(inilah mengapa dosis dua kali sehari diperlukan), membantu
mengurangi potensi iritasi isi lambung.
PPI harus diminum pada waktu perut kosong, 1/2 jam
sebelum makan. Dosis yang paling efektif adalah dosis pagi.
Omeprazole dan lanzoprazole telah disetujui digunakan pada anak
dan usia 12 bulan. Dosisnya yaitu : 1 – 2 mg/kgBB. (Suwandhi,
2006., Sretenovic, 2009)
Page 67
49
Gunakan antasida 1/2 jam setelah makan atau 1/2 jam
sebelum bernyanyi atau berolahraga. Beberapa pasien mungkin
memerlukan obat golongan kedua (H2-blocker) untuk membantu
mengendalikan gejala malam hari. H2-blocker adalah anti histamin
yang mengganggu sinyal yang menyebabkan asam lambung
diproduksi. Obat ini tidak sekuat PPI, tapi lebih efektif saat tidur.
Perlu diketahui mengenai jeda antara waktu minum obat dan waktu
saat gejala mulai membaik. Orang yang berhenti minum obat
biasanya merasa gejala membaik selama 1 sampai 3 minggu dan
kemudian gejalanya kembali secara bertahap. Beberapa orang
berhasil dengan menghentikan obat-obatan namun perlu mengikuti
diet ketat serta pemberian obat-obatan menyebabkan Gejala RLF
mulai membaik dalam waktu 4 sampai 6 minggu. ( C. Kwang Sung,
2017)
N. Pepsin dan rinosinusitis
Pepsin pertama kali ditemukan oleh seorang peneliti Jerman
bernama Theodor Schwann pada tahun 1836. Zat tersebut dinamakan
pepsin karena terinspirasi oleh bahasa Yunani pepsis yang berarti
pencernaan. Selanjutnya pada tahun 1929, pepsin menjadi enzim pertama
yang berhasil dikristalkan. Tokoh yang berjasa dalam proses kristalisasi
ini adalah John H. Northrop (Wikipedia).
Pepsin diekspresikan dalam bentuk pro zymogen , pepsinogen,
dimana struktur primernya memiliki 44 amino tambahan. Dalam stoma sel
Page 68
50
chief melepaskan pepsinogen. Adanya amino tambahan ini mengaktifkan
zymogen. hormon gastrin dan saraf vagus memicu pelepasan kedua
pepsinogen dan HCl ketika makanan masuk. HCI menciptakan lingkungan
asam yang memungkinkan pepsinogen berkembang dan membelah diri
dengan cara autokatalisis, sehingga menghasilkan pepsin, bentuk aktif
dari enzim. Pepsin kemudian membelah 44 amino tambahan dari
pepsinogen dan menciptakan pepsin yang lebih banyak lagi. Pepsin akan
mencerna hingga 20% protein amida dengan membelah isecara
preferensial asam amino aromatic N-tenninal seperti fenilalanin, triptofan,
dan tirosin. Pepsin membelah secara preferensial untuk hidrofobik..
Peningkatan kerentanan terhadap hidrolisis terjadi jika ada ada tambahan
dosis sulfur yang mengandung amino ke ikatan peptida, yang memiliki
amino aromatic tambahan. Pepsin memotong Phe-Val, Gin-Nya, Glu-Ala.
Ala-Leu, LeuTyr, Tyr-Leu, Gly-Phe, Phe-Phe dan Phe-Tyr pada rantai B
insulin. Peptida selanjutnya dapat dicerna oleh protease lainnya di
duodenum dan akhirnya diserap dalam usus. Pepsin disimpan sebagai
pepsinogen; sehingga hanya akan dirilis bila diperlukan dan tidak
mencerna protein tubuh sendiri di lapisan lambung. Pepsin maksimal aktif
pada pH 2, tetapi memiliki aktivitas hingga pH 6,5. Sementara tidak aktif
pada pH diatas 6.5 dan tetap stabil pada pH 8. enzim ini tidak aktif
ireversibel (terdenaturasi) sampai pH 8. Meskipun pepsin inaktif pada pH
tersebut, tetapi tetap stabil sampai pH 8.0 dan kembali reaktif bila terjadi
penurunan pH .Sementara lambung dirancang untuk menahan kerusakan
Page 69
51
oleh pepsin, refluks pepsin ke kerongkongan dan laringofaring
menyebabkan kerusakan bahkan pH di atas 4. Pepsin dianggap faktor
etiologi penting dalam penyakit refluks pada saluran aerodigestive dan
biomarker untuk refluks. yang tingkat dan keasaman dapat berhubungan
dengan keparahan kerusakan. (Joel H. Blumin, 2014)
Pepsin merupakan suatu acidic protease. Saat pertama kali
diproduksi, pepsinogen tidak memiliki aktivitas digestif. Saat kontak
dengan asam klorida yang disekresi oleh sel parietal lambung,
pepsinogen menjadi pepsin yang aktif dalam mencerna protein. Pada
saluran pencernaan terdapat enzim lain yang juga berfungsi mencerna
protein (proteolytic enzyme) yaitu chymotrypsin dan trypsin. Selama
proses pencernaan berlangsung, enzim-enzim ini mencerna protein
menjadi komponen-komponen yang dapat diabsorpsi tubuh seperti
peptida dan asam-asam amino. Pepsin tetap stabil selama kurang lebih
24 jam pada pH 7.0 ( Johnston N dkk, 2007 )
Lambung merupakan sumber pepsin yang digunakan sebagai
enzim untuk mencerna protein. Setiap makan, seseorang menghasilkan
sekresi jus lambung rata-rata sekitar 400 ml yang mengandung pepsin 50-
300 µg/ml. Rata-rata sekitar 200 µg/ml × 400 ml jus lambung 80 mg atau
0.080 g pepsin setiap kali makan (Carter SJ, 1996).
Mukosa lambung memiliki dua tipe kelenjar tubuler yaitu kelenjar
oksintik atau gastrik dan kelenjar pilorik. Kelenjar oksintik terletak pada
bagian dalam korpus dan fundus lambung meliputi 80 % bagian proksimal
Page 70
52
lambung. Kelenjar pilorik terletak pada bagian antrum lambung. Kelenjar
oksintik terdiri dari tiga tipe sel yaitu sel leher mukus yang terutama
menyekresi mukus dan beberapa pepsinogen, sel peptik atau chief cells
yang menyekresi sejumlah besar pepsinogen dan sel parietal atau oksintik
yang menyekresi asam klorida dan faktor intrinsik. Kelenjar pilorik
mengandung beberapa sel peptik dan hampir tidak ada sel parietal.
Kelenjar pilorik terutama menyekresi mukus untuk melindungi mukosa
pilorik dan beberapa pepsinogen serta hormon gastrin (Guyton AC, 2006).
Ketika pepsinogen pertama kali disekresikan, pepsinogen tidak
mempunyai aktivitas pencernaan. Segera setelah kontak dengan asam
hidroklorida dan khususnya ketika kontak dengan pepsin yang sudah
terbentuk sebelumnya ditambah dengan asam hidroklorida maka
pepsinogen menjadi pepsin yang aktif dalam mencerna protein. Pepsin
hanya memulai proses pencernaan protein yang biasanya hanya 10
sampai 20% dari pencernaan total protein (Guyton AC, 2006).
Pepsin adalah enzim proteolitik aktif dalam medium yang sangat
asam. Setelah diisolasi, pepsin harus disimpan dalam suhu yang sangat
dingin antara -20°C sampai - 80°C untuk mencegah struktur pepsin
mengalami denaturasi autolisis atau pembelahan secara otomatis
(Guyton AC, 2006).
Adanya pepsin di saliva, paru, dan sekresi hidung bukti langsung
dari isi lambung refluks ke dalam orofaring, nasofaring atau paru-paru.
dengan adanya asam, pepsinogen akan dikonversi ke pepsin, yang dapat
Page 71
53
menyebabkan cedera mukosa. pepsin memainkan banyak peran utama
dalam pengembangan terkait gangguan refluks. Refluks gastroesofageal
selalu mengandung pepsin. (koufmann JA., 2004)
Refluks lambung baru-baru ini telah dikaitkan dengan banyaknya
gejala laring dan supra-esofagus lainnya, topik yang banyak
diperdebatkan, dengan judul penyakit laryngopharyngeal refluks (LPR)
atau refluks laringofaring (RLF). RLF terlibat sebagai faktor yang
berkontribusi pada asma, batuk kronis, pneumonia, disfonia, lesi vokal
jinak, spasme laring, stenosis subglotis, dan rinosinusitis. Mekanisme
bagaimana RLF dapat berkontribusi untuk rinosinusitis kronis adalah topik
yang kontroversial; cedera langsung asam lambung dan perubahan
neurofisiologis yang dimediasi nervus vagus adalah mekanisme yang
paling sering dicurigai. kemungkinan bahwa Helicobacter pylori dapat
memfasilitasi penyakit ini diusulkan baru-baru ini. ( suay ozmen, 2008 )
Penelitian oleh Andriani terhadap penderita refluks gastroesofageal
dengan hasil Skor RSI > 13 dan skor RSF > 7 sebanyak 48 sampel dari
51 sampel menderita RLF dimana Pepsin terdeteksi pada saliva semua
penderita RLF tersebut. (Andriyani Y, 2011)
Penelitian oleh taliyah mendeteksi adanya pepsin pada cairan
ditelinga tengah. Berdasarkan ada tidaknya gejala refluks, Kadar pepsin
rata-rata sekret penderita OMSK dengan gejala refluks 744,37 pg/ml
209,057 pg/ml dan tanpa gejala refluks 209,057 pg/ml. Adanya pepsin
dalam cairan telinga tengah mengindikasikan bahwa refluks cairan
Page 72
54
lambung mampu mencapai jauh ke telinga tengah. Diduga bahwa adanya
paparan pepsin pada membran mukosa telinga tengah menimbulkan
iritasi kronis dan memicu terjadinya reaksi inflamasi yang akhirnya
menciptakan kondisi yang baik berkembangnya suatu otitis. Keadaan ini
menjadi kondisi ideal berkembangnya kolonisasi bakteri. (Taliyah., 2012)
Perubahan patologik mukosa sinus paranasal terjadi akibat proses
peradangan lapisan mukoperiostium hidung dan sinus yang berlangsung
lebih dari 12 minggu. Proses patologik rinosinusitis dimulai dari adanya
blokade/ sumbatan area kompleks ostiomeatal (KOM), yang menimbulkan
gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang
berlangsung terus-menerus mengakibatkan hipoksi dan retensi sekret
serta perubahan pH sekret. Perubahan tersebut memungkinkan sekret
menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri yang akhirnya akan
merusak silia. Siklus patologik tersebut akan terus berlangsung dan
menghasilkan lapisan mukosa yang hipertrofi, sehingga semakin
memperberat blokade di area kompleks ostiomeatal. (Matthew W. Ryan,
2014)
Rinosinusitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling
sering ditemui di seluruh dunia. Patofisiologi rinosinusitis kronis
melibatkan perubahan mukosa inflamasi, yang mengakibatkan edema
mukosa, obstruksi ostium, stasis mukosa, dan infeksi. rinosinusitis kronis
penyakit multifaktorial dengan faktor predisposisi yang meliputi infeksi
virus, bakteri, dan jamur, serta menghirup alergen dan polusi dan kelainan
Page 73
55
anatomi. (suay ozmen, 2008)
Walaupun hubungan antara penyakit sinonasal dan hipersekresi
lambung pertama kali di dokumentasikan pada tahun 1950, akan tetapi
investigasi yang menyeluruh mengeni hubungan keduanya belum lama
dikemukakan. pada akhir 1990an, beberapa studi menunjukkan bahwa
tingginya hubungan antara refluks ekstraesofageal dan penyakit sinonasal.
Baise dkk melakukan studi mengenai pH probe pada kelompok pasien
dengan rinosinusitis kronik, dan hasilnya 78% pasien terbukti memiliki
refluks. Studi epidemiologi yang lebih besar oleh El-serag dkk
menunjukkan bahwa orang dewasa dengan refluks gastroesofageal juga
memiliki riwayat rinosinusitis. Studi lainnya pada pasien dengan sinusitis
untuk mengevaluasi refluks dan temuan objektif refluks yang diterapi
dengan supresi asam yaitu dengan PPI. Kebanyak pasien pada studi
nonkontrol yang diterapi dengan PPI untuk refluksnya menunjukkan
perbaikan pada gejala sinonasal. studi lainnya mendeteksi asam dengan
faringeal probe menunjukkan keberadaannya pada nasofaring dan
multipel studi telah menunjukkan tingginya prevalensi refluks
gastroesofageal dengan sinusitis pada populasi anak, akan tetapi
penyebab dan efek belum dibuktikan. ( bailey, 2014)
Penelitian lain oleh Jessica mengenai dampak pepsin terhadap
hidung dengan hasil bahwa pepsin terdeteksi pada cairan sinus pada 4
dari 6 penderita rinosinusitis kronik dimana dengan pemeriksaan invitro
Page 74
56
didapatkan kesimpulan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan
pada mitokondria pada sel epitel hidung. ( Jessica E, 2015).
Penelitian lain menunjukkan tingginya kejadian refluks esophagus
pada pasien dengan rinosinusitis kronik. Dimana beberapa studi
menginvestigasi mekanisme kemungkinan refluks memberi efek pada
cavum sinonasal secara langsung yaitu efek inflamasi langsung, perantara
saraf dan inokulasi helikobakter pilori. Penelitian oleh Ozmen, mengenai
tingginya insidensi refluks asam, dimana didapatkan 29 dari 33 pasien
dengan refluks asam menderita rinosinusitis kronik. hasil pemeriksaan
fluorometrik pepsin berkorelasi dengan hasil 24 hour dual probe
monitoring untuk diagnosa refluks laringofaring dengan sensitifitas 100%
dan spesifitas 92,5%. Dari data tersebut diasosiasikan bahwa terdapat
hubungan antara rinosinusitis kronik dan refluks laringofaring, dan deteksi
pepsin pada cairan hidung dapat dilakukan sebagai metode non invasive
dan feasible untuk skring refluks laringofaring. ( suay ozmen, 2008 )
Terdapat Beberapa teori hubungan antara refluks asam dan
rinosinusitis kronis. Yang pertama adalah paparan langsung mukosa
hidung dan nasofaring dari asam lambung, menyebabkan Peradangan
pada mukosa dan gangguan mukosilier klirens, yang dapat menyebabkan
obstruksi ostia sinus dan infeksi berulang (Loehrl TA et al., 2002;
delehaye .,2009). Hal ini diketahui bahwa variasi pH mempengaruhi
motilitas dan morfologi silia pada mukosa pernapasan ( holma B., 1997).
Page 75
57
Hipotesis kedua adalah hubungannya yang diperantarai oleh saraf
vagus, mekanisme ini sudah terbukti di saluran napas bagian bawah dan
di mukosa hidung dari pasien dengan rhinitis, tapi tidak pada pasien
dengan rinosinusitis kronis. Disfungsi sistem saraf otonom dapat
menyebabkan pembengkakan dan peradangan sinonasal, dan
penyumbatan dari ostia tersebut. Wong et al menunjukkan bahwa dengan
memasukkan dengan sengaja salin dengan asam klorida dalam esofagus
bagian bawah yang sehat, terdapat peningkatan produksi lendir hidung,
peningkatan skor gejala hidung, dan mengurangi peak inspirasi nasal flow,
sehingga mendukung teori ini.( Lodi et al., 1997; harding ., 1997; wong
iwy., 2010)
Mekanisme akhir yang berperan langsung yaitu dari Helicobacter
pylori (H. pylori). (Koc et al ., 2004 ) mengamamati adanya H. pylori pada
penderita polip hidung, tapi tidak ada pada jaringan lain, sedangkan
Morinaka dkk menemukan H. pylori melalui polymerase chain reaction
(PCR) dalam mukosa hidung dari pasien yang memiliki keluhan
rinosinusitis kronis dan gastroesophageal refluks. ( morinaka et al., 2003)
Namun ada temuan yang saling bertentangan dalam literatur apakah
terdapat jumlah yang lebih besar dari H. pylori pada mukosa hidung
penderita dengan rinosinusitis kronis. (Ozdek et al., 2003 )
Page 77
59
P. Kerangka Konsep
Q. Identifikasi Variabel
Variabel Independen :
Variabel Dependen :
Variabel Antara :
Variabel kendali :
Page 78
60
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitis dengan rancangan studi
cross-sectional untuk menganalisis kadar pepsin dan pH sekret sampel
hidung pada penderita rinosinusitis kronik terhadap keluhan Refluks
Laring Faring
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo,
RS Unhas Makassar bulan oktober - desember 2017.
C. Populasi Penelitian
Populasi yang digunakan adalah penderita rinosinusitis kronik di
RS Wahidin Sudirohusodo
D. Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah sekret hidung penderita rinosinusitis
kronik yang berkunjung ke poiklinik THT.
E. Besar sampel
Besar sampel ditetapkan berdasarkan dengan rumus estimasi
besar sampel satu proporsi adalah X dengan perhitungan :
Page 79
61
n = Zα2 P.Q : 27-29 sampel
d2
keterangan
n = perkiraan besar sampel
Zα = Tingkat kemaknaan yang ditetapkan 1,96
P= Proporsi penyakit atau keadaan yang dicari (pustaka)
Q = 1 – P
d = Tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (0,1)
(Sastroasmoro dan Ismael, 2008)
F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
1. Kriteria inklusi
a. Penderita rinosinusitis kronik
b. Penderita usia 15-60 tahun
c. Penderita bersedia ikut penelitian dan memberikan persetujuan
secara tertulis (informed Consent) dan menanda-tangani surat
persetujuan tindakan medis.
2. Kriteria Eksklusi
a. Tidak sedang minum obat PPI, antasida, AH-2 selama 4 minggu
b. Tidak mengikuti seluruh prosedur penelitian
G. Izin Penelitian dan Ethical Clearance
Ijin penelitian diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada
Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dengan nomor
surat rekomendasi 922/H4.8.4.5.31/PP36-KOMETIK/2017. Penderita
Page 80
62
diberi penjelasan tentang penelitian ini dan meminta persetujuan penderita
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini (informed consent) untuk
dijadikan sampel penelitian.
H. BIAYA PENELITIAN
Biaya penelitian dan pemeriksaan ditanggung oleh peneliti sendiri
dan tidak dibebankan kepada pasien
I. Bahan dan Cara Pengambilan sampel
a Bahan dan alat
1) Subyek penelitian yang terdiagnosis sebagai rhinosinusitis kronik.
2) Alat diagnostik set THT
3) Rekaman foto CT-Scan sinus paranasalis potongan koronal
tanpa kontras
4) Fiber optik laringoskop
5) pH-Meter Hanna
6) Elisa kit
7) Tabung sampel eppendorf 1,5 ml
8) Kuesioner RSI dan RFS
b Cara pengambilan sampel
1) Sekret penderita rinosinusitis kronik yang memenuhi kriteria
inklusi dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian ini dan
penderita diberi penjelasan (informed consent) serta memberi
persetujuan.
Page 81
63
2) Melakukan wawancara orang tua penderita/ penderita
rinosinusitis kronik yang berisi tentang kuesioner refluks
laringofaring ( reflux score index / RSI )
3) Sekret dari hidung diambil di meatus media dengan cara : spoit 1
cc yang ujungnya disambungkan dengan ujung suction, dan
dimasukkan ke dalam tabung eppendorf minimal 1,5 ml
J. Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan pH
Sekret pada tabung eppendorf diukur pHnya dengan pH-Meter digital
Hanna kemudian sesegera mungkin tabung sampel dimasukkan ke
dalam freezer disimpan pada suhu -20 °C untuk persiapan
pemeriksaan pepsin menggunakan ELISA
Pemeriksaan nasoendoskopi fleksibel
Melakukan nasolaringoendoskopi fleksibel untuk menghitung skor
refluks laringofaring (reflux finding score / RFS ) dengan memasang
tampon kapas anterior yang mengandung efedrin : lidoacain 1:
100.000 kedalam cavum nasi, juga menyemprotkan xylocain spray ke
orofaring, kemudian masukkan scope endoskopi fleksibel melalui
cavum nasi lalu dinilai mulai dari cavum nasi sampai ke laring dan
dicatat hasil skor RFS.
Page 82
64
Pemeriksaan Pepsin Metode ELISA
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan metode ELISA.
Microplate yang tersedia pada kit sudah mengandung antibodi monoklonal
spesifik untuk pepsin. Standar dan sampel ditambahkan pada well yang
tersedia pada microplate dan bila terdapat pepsin akan terikat oleh
antibodi yang ada. Suatu enzim antibodi poliklonal spesifik untuk pepsin
ditambahkan. Selanjutnya microplate dicuci untuk menghilangkan reagent
enzim antibodi yang tidak terikat, kemudian cairan substrat ditambahkan
ke dalam well microplate dan akan terjadi perubahan warna sesuai jumlah
pepsin yang terikat. Perubahan warna ini akan diukur intensitasnya dan
dibandingkan dengan kurva standar.
Persiapan assay (Cusabio Biotech) :
1. Sampel sekret dilakukan sentrifuge selama ± 20 menit dengan
kecepatan 2000-3000 rpm
2. Prosedur dan teknik pemeriksaan ELISA
a. Buat standar dengan jalan melarutkan standard ditambah 1 ml
sampel diluents untuk membuat kurva konsentrasi.
Tabel 2. Konsentrasi larutan standard dan diluent
80ng/ml Standart No.5 120 µl Original Standart + 120 µl standart diluent
40ng/ml Standart No.4 120 µl Standart no.5 + 120 µl standart diluent
20ng/ml Standart No.3 120 µl Standart no.4 + 120 µl standart diluent
10ng/ml Standart No.2 120 µl Standart no.3 + 120 µl standart diluent
5 ng/ml Standart No.1 120 µl Standart no.2 + 120 µl standart diluent
Page 83
65
b. Masukkan sebanyak 50 µl masing-masing standard dan sampel
pada well plate (yang mengandung antibodi spesifik untuk human
pepsin). Tutup dengan strip adhesive. Inkubasi selama 1 jam pada
suhu 37°C. Buang cairan pada setiap well plate, jangan dicuci.
c. Masukkan 100 µl cairan biotin-antibodi pada setiap well plate.
Inkubasi selama 1 jam pada suhu 37°C. Larutan biotin-antibodi 1 :
100 dibuat dengan jalan melarutkan 80 µl biotin-antibodi
ditambahkan 7920 µl biotin-antibodi diluents. Buat wash buffer
dengan pengenceran 30 kali dengan jalan melarutkan 20 ml wash
buffer kemudian menambahkan akuades 480 ml hingga volumenya
menjadi 500 ml.
d. Aspirasi setiap well plate dan dicuci, ulangi proses tersebut
sebanyak 5 kali. Pencucian dilakukan dengan cara : mengisi setiap
well dengan wash buffer (350 µl)
e. Tambahkan 100 µl cairan HRP-avidin pada setiap well. Tutup plate
dengan strip adhesive yang baru.
standart S5 S4 S3 S2 S1
160ng/ml 80ng/ml 40ng/ml 20ng/ml 10ng/ml 5ng/ml
Page 84
66
f. Aspirasi dan cuci setiap well sebanyak 5 kali pencucian seperti
pada proses pencucian sebelumnya menggunakan 350 µl wash
buffer dengan pipet multi-channel dan biarkan selama 1-2 menit,
kemudian cairan pada well dibuang. Wash buffer yang tersisa
diaspirasi atau dituang dan dikeringkan dengan kertas tisu.
g. Tambahkan 90 µl larutan substrat TMB pada setiap well, warna
berubah menjadi biru. Inkubasi selama 60 menit pada suhu kamar,
lindungi dari cahaya terang. Tambahkan 50 µl stop solution pada
setiap well. Warna berubah menguning.
h. Identifikasi densitas optik pada setiap well dalam 30 detik
menggunakan ELISA microplate reader set pada 450 nm dan
hasilnya akan terbaca.
K. Pengolahan dan Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh, dikelompokkan sesuai dengan tujuan
dan jenis data. Pengolahan data menggunakan SPSS 18 dengan
berbagai analisis statistik di bawah ini :
a. Analisis univariat digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi,
rerata, standar deviasi, nilai maksimum dan minimum.
b. Analisis bivariat : untuk membandingkan variabel yang berskala
nominal antara dua kelompok yang tidak berpasangan.
c. Uji statistik yang bertujuan untuk analisis perbandingan rata-rata antar
variabel. Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann-Whitney U Test.
Hasil uji dianggap signifikan jika nilai p uji < 0,05.
Page 85
67
L. Alur Penelitian
POPULASI
Nasolaringoendoskopi fleksibel ( kuesioner RSI + RSF )
Syarat terpenuhi (penjelasan & persetujuan)
Sekret diambil
Disimpan di Freezer suhu -20oC
Ada gejala RLF
Gejala dan CT Scan : rinosinusitis kronik
sekret (+)
Pemeriksaan ELISA
Analisis Data
Tidak ada gejala RLF
Pemeriksaan pH
Page 86
68
M. Kriteria dan Definisi Operasional
1. Rinosinusitis kronik adalah inflamasi hidung dan sinus paranasal
berlangsung > 12 minggu yang ditandai adanya dua atau lebih gejala,
salah satunya termasuk hidung tersumbat / obstruksi / kongesti atau
pilek (sekret hidung anterior / posterior), dengan atau tanpa nyeri
wajah / rasa tertekan di wajah, dengan atau tanpa penurunan /
hilangnya penghidu, dan salah satu temuan dari temuan
nasoendoskopi (polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus
medius dan udem / obstruksi mukosa di meatus medius) dan
gambaran tomografi komputer (perubahan mukosa di kompleks
osteomeatal dan atau sinus.
2. Sekret hidung adalah cairan yang keluar dari hidung bisa bersifat
mukoid, jernih atau keruh kadang-kadang berwarna kehijauan, bisa
berbau atau tidak.
3. Sampel Sekret adalah cairan yang diambil dari meatus media
disimpan ditabung eppendorf dan langsung diperiksa pHnya lalu
disimpan dalam suhu -20°C sebelum dilakukan pemeriksaan ELISA.
4. Rerfluks laringofaring (RLF) adalah aliran balik asam lambung ke
daerah laring, faring, yang menyebabkan kontak dan menimbulkan
jejas pada laringofaring, yang dinilai berdasarkan skor RSI > 13 dan
RSF > 7.
5. Refluks symptom index ( RSI ) adalah Sistem skoring oleh Belafsky
dan kawan-kawan yang didapat berdasarkan penilaian terhadap 9
Page 87
69
gejala dari Laringofaringeal refluks menggunakan skala 0 sampai 5
dengan skala maksimal 45 untuk berbagai gejala berikut : 1. Suara
serak/gangguan suara, 2. Throat clearing, 3. Sekret dibelakang hidung
/ post nasal drip, 4. Kesulitan dalam menelan, 5. Batuk setelah makan /
berbaring, 6. Kesulitan bernafas/tersedak, 7. Batuk kronik, 8. Perasaan
mengganjal di tenggorok, dan 9. Rasa terbakar di dada. Dimana nilai
RSI lebih besar dari 13 dapat didiagnosa sebagai Laringofaringeal
refluks.
6. Refluks Finding Score (RFS) adalah Sistem skoring oleh Belafsky dan
kawan-kawan untuk menilai berat ringannya gambaran klinis
berdasarkan pemeriksaan laringoskopi fiberoptik. RFS terdiri dari
delapan skala yang merupakan kelainan yang ditemukan pada laring,
yaitu : 1. Edema subglottik, 2. Obliterasi ventrikular, 3. Eritema /
hiperemis laring, 4. Edema pita suara, 5. Edema laring menyeluruh, 6.
Hipertrofi commisura posterior, 7. Granuloma / jaringan granulasi pada
laring, dan 8. Mukus endolaring yang tebal. Skor maximum dari RFS
adalah 26 dan bila skor lebih dari 7 dapat didiagnosa sebagai
Laringofaringeal refluks.
7. Pepsin adalah kadar pepsin sekret hidung pada penderita rinosinusitis
kronik yang didapat dengan cara interpretasi hasil densitas optik
setiap well yang terekam ELISA microplate reader set pada 450nm.
Dimana kadar pepsin yang ditemukan dihitung dalam satuan ng/ml
Page 88
70
8. Kit ELISA merupakan seperangkat pemeriksaan pepsin dari Bioassay
Technology Laboratory dengan menggunakan metode Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay ( ELISA) KitCat.No. E0922Hu terdiri dari 96 well,
terletak pada microplate dengan larutan standar pada konsentrasi 80
ng/ml, 40 ng/ml, 20 ng/ml, 10 ng/ml, dan 5 ng/ml.
9. pH-metri adalah alat pHmeter digital dari Hanna Instrument USA, yang
digunakan untuk mengukur pH (Potensial Hidrogen) kadar asam basa
cairan. Kadar pH dimulai dari 0 sampai 14. Dimana < 7 suasana asam,
7 netral dan > 7 suasana basa.
Page 89
71
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RS. Wahidin Sudirohusodo, Laboratorium
RS Universitas Hasanuddin Makassar sejak oktober – desember 2017.
Didapatkan 27 pasien (sampel) dengan rinosinusitis kronik. Pasien diambil
sekret hidungnya untuk menilai pepsin dan pH, kemudian pasien
menjalani pemeriksaan nasolaringoendoskopi fleksibel dan di bagi
menjadi dua kelompok yaitu yang disertai refluks laring faring dan yang
tidak diserati keluhan refluks laring faring.
Adapun distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin dan rata-rata
usia antara kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 3. Karakteristik sampel penderita Rinosinusitis Kronik (RSK)
karakteristik n %
Usia 16-24 tahun 5 18 %
25-55 tahun 22 82 %
Jenis kelamin Laki- 11 40,7 %
perempuan 16 59,3 %
Keluhan RLF Ya 8 29,6 %
Tidak 19 70,4 %
Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa sebagian besar (82,0%) penderita
rinosinusitis kronik berusia diatas 25 tahun dan lebih banyak pada
perempuan daripada laki-laki (59,3% vs 40,7%) dan ditemukan penderita
Page 90
72
rinosinusitis kronik juga disertai dengan keluhan refluks laring faring
(29,6%)
Tabel 4. Kadar Pepsin dan pH sekret hidung penderita rinosinusitis
kronik (RSK)
Variabel
PEPSIN Kadar Pepsin (pg/ml) pH
Ada Tidak Min/Max Median Min/Max Median
RSK
(n=27) 27 - 19,0 / 75,8 52,20
6,00/
6,80 6,395
Total 100% 0%
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa ditemukan pepsin pada semua
secret hidung penderita rinosinusitis kronik dimana kadar pepsin sekret
hidung penderita Rinosinusitis Kronik berkisar 19.00-75.80 pg/ml dengan
median 52.20 pg/ml dan pH sekret hidung penderita Rinosinusitis kronik
berkisar 6.00-6.80 dengan median 6.395
Tabel 5. Kadar Pepsin dan pH sekret hidung penderita rinosinusitis
kronik berdasarkan adanya keluhan RLF
Variabe
l
RLF (n=19) tidak RLF (n=8) Total (n=27)
p* Media
n
Min/Ma
x
Media
n
Min/Ma
x
Media
n
Min/Ma
x
Pepsin
(pg/ml) 58,60
44,2/
75,8 51,30
19,0/
58,5 52,20
19,0 /
75,8
0,03
5
pH 6,22 6,00/
6,35 6,450
6,00/
6,70 6,395
6,00/
6,80
0,09
5
*Mann-Whitney U test
Page 91
73
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa kadar pepsin sekret hidung
penderita Rinosinusitis Kronik berkisar 19.00-75.80 pg/ml dengan median
52.20 pg/ml dan pH sekret hidung penderita Rinosinusitis kronik berkisar
6.00-6.80 dengan median 6.395
Hasil uji Mann-Whitney U test menunjukkan perbedaan kadar
pepsin sekret hidung yang bermakna (p <0,05) antara penderita
Rinosinusitis kronik dengan keluhan RLF dan Rinosinusitis kronik tanpa
keluhan RLF, dimana kadar pepsin penderita rinosinusitis kronik dengan
keluhan RLF lebih tinggi daripada yang tidak memiliki keluhan RLF
(median 58,60 vs 51,30 pg/ml). pH pada sekret hidung penderita
rinosinusitis kronik dengan RLF lebih rendah dari Rinosinusitis Kronik
tanpa RLF ( 6,22 vs 6.45 ) tetapi tidak bermakna secara statistik ( p >
0,05 )
Grafik 1. Box Plot kadar Pepsin sekret hidung pada kedua kelompok
Page 92
74
Dari grafik 1 dapat dilihat rata-rata kadar pepsin sekret hidung
penderita Rinosinusitis Kronik dengan keluhan RLF lebih tinggi daripada
penderita rinosinusitis kronik tanpa keluhan RLF.
Grafik 2. Box Plot pH sekret hidung pada kedua kelompok
Dari grafik 2 dapat dilihat rata-rata pH sekret hidung penderita
Rinosinusitis Kronik dengan keluhan RLF lebih rendah (asam) daripada
penderita Rinosinusitis Kronik tanpa keluhan RLF.
Page 93
75
B. PEMBAHASAN PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan 27 pasien. Pengambilan sampel sekret
hidung dilakukan di Instalasi Rawat Jalan THT sementara pemeriksaan
nasolaringoendoskopi fleksibel dilakukan di endoscopic centre RS.
Wahidin Sudirohusodo Makassar, Pemeriksaan pepsin dan pH dilakukan
di laboratorium Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin,
kemudian dari ke 27 sampel di bagi menjadi dua kelompok yaitu yang
disertai keluhan refluks laring faring dan yang tidak disertai keluhan refluks
laring faring berdasarkan nilai skor RSI dan RFS.
Pada peneltian ini didapatkan distribusi penderita rinosinusitis
kronik lebih banyak pada perembuan dari pada laki-laki. Hal ini sama
seperti yang dilaporkan oleh Elisabeth tahun 2015 dimana angka kejadian
rinosinustis kronik lebih banyak pada perempuan dari pada laki-laki.
Distribusi usia terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua
kelompok pasien dimana pada kelompok pertama distribusi usia 16-24
tahun dan pada kelompok kedua 25-55 tahun. Dimana didapatkan
sebanyak 22 sampel (82%) penderita RSK berusia 25-55 tahun dan
kurang dari 25 tahun sebanyak 18%. Hal ini sesuai dengan yang
dilaporkan oleh respiratory surveillance program bahwa RSK banyak
ditemukan pada usia 25-64 tahun. Chen Y (2003) mengatakan bahwa
Prevalensi rinosinusitis kronik meningkat seiring bertambahnya usia dan
jarang setelah usia 60 tahun
RSK merupakan penyakit multifaktorial dengan faktor predisposisi
Page 94
76
yang meliputi infeksi virus, bakteri, dan jamur, serta menghirup alergen
dan polusi dan kelainan anatomi. (suay ozmen, 2008). hubungan
rinosinusitis kronik dan refluks ekstraesofageal masih menjadi isu yang
kontroversial. Sella GCP, 2016 menyatakan gastroesofageal refluks
mungkin memiliki peran etiologis dalam terjadinya rinosinusitis kronik.
Gastroesophagealrefluks (GER) adalah aliran balik isi lambung ke
dalam esofagus. Esofagus dan laringofaring dipisahkan oleh sfingter
esofagus atas (SEA) yang merupakan sawar terakhir untuk mencegah
refluksat masuk ke laringofaring. Refluksat meningkatkan tonus SEA
menimbulkan distensi esofagus sehingga terjadi relaksasi dari SEA yang
menyebabkan terjadinya pajanan cairan lambung keluar dari esofagus
yang disebut refluks ekstra esofageal. Dimana ini bisa mencapai laring,
faring, kavum nasi dan telinga tengah dan menyebabkan laringitis dan
faringitis dalam bentuk refluks laring faring, serta dapat menyebabkan
rinosinusitis. Cairan lambung dapat mengandung pepsin, asam lambung
(HCl), pepsin, mucin dan renin.
Pepsin memainkan banyak peran utama dalam pengembangan
terkait gangguan refluks dimana refluks gastroesofageal selalu
mengandung pepsin. Joel H. Blumin, 2014 mengatakan Pepsin dianggap
faktor etiologi penting penyakit refluks pada saluran aerodigestive dan
biomarker untuk refluks, yang tingkat dan keasaman dapat berhubungan
dengan keparahan kerusakan. Penelitian oleh Ozmen, 2008 mendapatkan
29 dari 33 pasien dengan refluks menderita rinosinusitis kronik. Hasil
Page 95
77
pemeriksaan fluorometrik pepsin berkorelasi dengan hasil 24 hour dual
probe monitoring untuk diagnosa refluks laringofaring dengan sensitifitas
100% dan spesifitas 92,5%. Ini dapat diasosiasikan bahwa terdapat
hubungan antara RSK dan RLF, dan deteksi pepsin pada cairan hidung
dapat dilakukan sebagai metode non invasive dan feasible untuk skring
RLF. Aysegul Verim, 2016 melaporkan bahwa nilai radiologi dan
endoskopi penderita rinosinusitis lebih buruk pada pasien yang juga
menderita refluks laringofaring.
Dari hasil penelitian dengan pemeriksaan Elisa, dari 27 sampel
ditemukan adanya pepsin pada semua sampel sekret hidung penderita
rinosinusitis kronik dengan kadar pepsin 19-75,8 pg/ml rata-rata 52,2
pg/ml, dan pH 6,0-6,8 rata-rata 6,39. Secara statistik didapatkan hasil
yang bermakna diantara kedua kelompok yaitu Kadar pepsin sekret
hidung penderita RSK yang disertai dengan keluhan RLF yaitu 44,2/75,8
pg/ml dengan rata-rata 58,60 pg/ml dimana ini lebih tinggi daripada RSK
tanpa keluhan RLF yaitu 19,0/58,5 dengan rata-rata 51,30 pg/ml. Dari 27
sampel tadi didapatkan 8 sampel juga memberikan gejala RLF yang dinilai
berdasarkan skor RSI dan RFS, Hal ini dapat memberikan gambaran
mengapa pepsin bisa sampai ke sinonasal. Walaupun terdapat pepsin
pada semua sekret hidung, akan tetapi pada 19 sampel tidak memberikan
gejala RLF. Dari 27 sampel, 21 sampel memberikan skor RSI > 13 dimana
ini mengarah ke refluks laring faring akan tetapi hanya 8 sampel yang juga
memberikan skor RFS yang mendukung refluks laring faring yaitu > 7. Hal
Page 96
78
ini bisa saja disebabkan oleh skor RSI dan RFS yang telah membaik,
beberapa sampel mengatakan memiliki keluhan RLF sebelumnya yang
dirasakan telah berkurang beberapa bulan terakhir, 11 dari 19 sampel
yang menderita RSK tanpa keluhan RLF telah merubah pola kebiasaan
makan mereka walaupun tanpa mengkonsumsi obat untuk lambungnya.
Pola makan yang lebih teratur juga telah dijalani yaitu makan sering
dengan porsi sedikit dimana ddiketahui bahwa makanan dengan porsi
besar kemungkinan meningkatkan tekanan dan refluks lambung. Pola
makan dan perilaku sangat mempengaruhi dalam terjadinya refluks. Pada
orang yang sering makan coklat dalam waktu yang lama dapat menjadi
faktor resiko terjadinya refluks dimana diketahui bahwa coklat
mengandung methylxanthine, yang telah terbukti mengurangi tekanan
LES dengan menyebabkan relaksasi otot polos. Akan tetapi keberadaan
pepsin pada sekret hidung jelaslah menjadi petanda bahwa telah terjadi
refluks cairan lambung yang mecapai ke daerah sinonasal dikarenakan
pepsin didalam tubuh hanya di produksi di lambung. Suasana asam dapat
menyebabkan pepsin aktif, dimana pepsin maksimal aktif pada pH 2,
tetapi memiliki aktivitas hingga pH 6,5, tidak aktif pada pH >6.5 dan tetap
stabil pada pH8.
Dari hasil penelitian ini didapatkan kadar pH sekret hidung
penderita rinosinusitis kronik adalah cenderung asam yaitu rata-rata 6,39.
Dimana kadar pH sekret hidung penderita rinosinusitis kronik yang
disertai dengan keluhan RLF yaitu 6,00/6,35 dengan rata-rata 6,22 lebih
rendah atau lebih asam daripada rinosinusitis kronik tanpa keluhan RLF
Page 97
79
yaitu 6,00/6,70 dengan rata-rata 6,45. Walaupun secara statistik kedua
kelompok tersebut tidak memberikan perbedaan yang bermakna, akan
tetapi hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pepsin dapat
memberikan reaksi bila berada dalam suasana asam yaitu pada pH 2-6,5 .
Holma B menyatakan bahwa variasi pH mempengaruhi motilitas dan
morfologi silia pada mukosa pernapasan. Mukosa sinonasal tidak
dirancang untuk menahan kerusakan akibat pepsin dan asam. Adanya
pepsin dan suasana asam pada sekret hidung menyebabkan pepsin aktif
dan terjadi perubahan patologik mukosa sinus paranasal yang
mengakibatkan terjadinya reaksi inflamasi pada lapisan mukoperiostium
hidung dan sinus yang berlangsung kronik yang akhirnya menciptakan
kondisi yang baik berkembangnya suatu rinosinusitis yang nantinya
keadaan ini menjadi kondisi ideal berkembangnya kolonisasi bakteri.
Telah dibuktikan dari banyaknya penelitian bahwa refluks
ekstraesofageal dapat menyebabkan laringitis dan faringitis dalam bentuk
refluks laring faring, sehingga secara teori hal ini juga dapat menyebabkan
terjadinya rinosinusitis kronik, sebagaimana diketahui bahwa lapisan
mukosa hidung, laring dan faring tidak sama dengan mukosa esofagus
dimana esophagus memiliki mukosa dan silia yang dapat sebagai barrier
terhadap efek pepsin dan asam lambung. Oleh karena itu rinosinusitis
kronik yang disertai dengan keluhan refluks laring faring pada penelitian
ini adalah tidak dapat dipungkri merupakan penyebab dari faktor iritan
yang disebabkan oleh pepsin dan asam, dengan bukti bahwa adanya
pepsin dengan kadar yang lebih tinggi dan tingkat keasaman yang lebih
rendah yang dapat mengaktifkan pepsin (pH <6,5) ditemukan pada
Page 98
80
penderita rinosinusitis kronik yang disertai dengan keluhan refluks laring
faring daripada tanpa keluhan refluks laring faring.
Walaupun pemeriksaan pepsin tidak dilakukan pada sekret di laring
dan faring, akan tetapi adanya pepsin di cavum nasi dapat diartikan juga
pepsin ada di laring dan faring oleh karena untuk sampai ke cavum nasi
pepsin dan asam pastilah melewati laring dan faring dulu. Sehinggarefluks
gastroesofageal dapat menjadi salah satu faktor resiko terjadinya
rinosinusitis kronik. Tingginya kadar pepsin dan suasana asam dalam
waktu yang lama menyebabkan iritasi pada mukosa sinonasal yang dapat
menjadi salah satu faktor resiko terjadinya rinosinusitis kronik ataupun
dapat memperburuk rinosinusitis kronik yang disebabkan oleh faktor
lainnya, sebagaimana diketahui bahwa rinosinusitis kronik juga dapat
disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur), alergi dan lain-lain.
Penelitian lain oleh Jessica E (2015) mengenai dampak pepsin terhadap
hidung dengan hasil bahwa pepsin terdeteksi pada cairan sinus pada 4
dari 6 penderita rinosinusitis kronik dimana dengan pemeriksaan invitro
didapatkan kesimpulan bahwa pepsin dapat menyebabkan kerusakan
pada mitokondria pada sel epitel hidung. ( Jessica E, 2015).
Bilamana RSK yang disebabkan oleh infeksi maupun alergi telah
diobati dengan managemen pengobatan standar untuk RSK tidak
memberikan perbaikan atau respon yang diharapkan, makan salah satu
yang perlu dicurigai adalah adanya peradangan mukosa akibat efek iritasi
langsung dari pepsin dan asam yang tinggi yang berasal dari refluks
Page 99
81
ekstra esofageal. Untuk itu sebaiknya penderita RSK yang telah diberikan
pengobatan standar tetapi masih belum memberikan respon yang baik
ataupun sering rekuren, perlu dilakukan pemeriksaan pepsin terhadap
sekret hidung dan pemberian terapi antirefluks (PPI) terutama bila
ternyata penderita RSK tersebut juga memiliki gejala atau tanda-tanda
RLF yang didapatkan dari nilai skor Reflux Symptom Index >13 dan Reflux
Finding Score >7. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Pincus RL
mengenai pemberian terapi PPI dimana menunjukkan setidaknya
beberapa perbaikan pada gejala RSK, beberapa mengalami resolusi
gejala yang lengkap atau hampir lengkap. Perbaikan gejala sinus
berhubungan dengan perbaikan gejala refluks laring faring. Hal ini
menunjukkan bahwa terapi antireflux mungkin berperan dalam
pengobatan penyakit RSK. Oleh karena itu diharapkan penatalaksanaan
terhadap penyakit RSK terutama terhadap penderita yang juga
memberikan gejala RLF sebaiknya mempertimbangkan mengenai terapi
refluks laring faringnya serta mengurangi atau mengganti pemberian obat-
obatan untuk RSK yang dapat meningkatkan sekresi pepsin dan asam
lambung yang nantinya memperparah.
Page 100
82
C. KETERBATASAN PENELITIAN
Rinosinusitis kronik tidak hanya karena adanya refluks tetapi juga
disebabkan oleh banyak hal diantaranya seperti infeksi dan alergi. Pada
penelitian ini tidak dipastikan apakah tidak ada faktor resiko lain seperti
infeksi atau adanya alergi yang seharusnya dibuktikan dengan
pemeriksaan tes cukit kulit.
Pada penelitian ini tidak diketahui kualitas pepsin yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan pada mukosa sinonasal. Penelitian
yang dilakukan ini hanya dapat memperkuat kemungkinan hubungan
antara kejadian rinosinusitis kronik dengan keluhan refluks laringofaring
yang disebabkan oleh refluks ekstraesofageal.
Walaupun dengan menilai skor RSI dan RFS sudah dapat menilai
adanya kejadian atau keterlibatan refluks laring faring, akan tetapi
pemeriksaan Ambulatory 24- hour double-probe pH monitoring yang
merupakan gold standar untuk menegakkan diagnosis refluks laringofaring
tidak dilakukan karena sarana dan prasarana yang tidak tersedia.
Page 101
83
BAB IV
KESIMPULAN
Refluks ekstraesodageal merupakan salah satu faktor resiko
terjadinya rinosinusitsi kronik, dengan bukti sebagai berikut :
1. Ditemukan pepsin pada sekret hidung penderita rinosinusitis kronik.
2. Sekret hidung penderita rinosinusitis kronik berada dalam suasana
asam (pH <6,5)
3. Kadar pepsin sekret hidung penderita rinosinusitis kronik yang
disertai dengan keluhan refluks laring faring lebih tinggi daripada
yang tidak disertai dengan refluks laring faring.
4. Sekret hidung penderita rinosinusitis kronik yang disertai keluhan
refluks laring faring memiliki derajat keasaman yang lebih tinggi (pH
yang lebih rendah) daripada rinosinusitis kronik yang tidak disertai
keluhan refluks laring faring.
Page 102
84
SARAN
1. Pada penatalaksanaan rinosinusitis kronik, sebaiknya dilakukan
skrining penilaian skor RSI. Lebih baik lagi bila dilakukan
penentuan skor RFS ataupun pemeriksaan pepsin pada sekret
hidung bila sarana dan prasarana memadai. Terutama bila
penderita tidak memberikan respon perbaikan gejala yang
diharapkan atau rekuren terhadap pengobatan rinosinusitis kronik
standar.
2. Sebaiknya dipikirkan untuk penambahan terapi anti refluks (PPI)
bila didapatkan skor RSI >13 pada penatalaksanaan rinosinusitis
kronik yang tidak memberikan respon perbaikan gejala yang
diharapkan atau rekuren terhadap pengobatan rinosinusitis kronik
standar.
3. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dan terarah mengenai hubungan
refluks ekstraesofageal dan rinosinusitis kronik dengan
menyingkirkan resiko lain yang dapat menyebabkan rinosinusitis
kronik.
Page 103
85
DAFTAR PUSTAKA
Andriani Y, Akil M.A, Gaffar M, Punagi A.Q, Deteksi Pepsin Pada
Penderita Refluks Laringofaring (Rlf) Yang Didiagnosis
Berdasarkan Reflux Symptom Index (Rsi) Dan Reflux Finding
Score (RFS), Departemen Ilmu Kesehatan THTKL Fakultas
Kedokteran Unhas, Makassar. 2011
Aysegul Verim, MD, Effect of laryngopharyngeal reflux on the
improvement of chronic rhinosinusitis without polyposis after
primary endoscopic sinus surgery, Department of Otolaryngology,
Haydarpasa Numune Training and Research Hospital, Istanbul,
Turkey , 2016
Ballenger, J.J. 1997. Anatomi Bedah Faring. Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala Dan Leher. Jilid I. Edisi 13. Binarupa Aksara.
Jakarta : 319-27
Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA (2001) The Validity And Reability
Of The Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope.; 111: 1313-
17
Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA (2002) The Validity And Reability
Of The Reflux Symptom Index (RSI). J Voice.; 16: 274-7
Page 104
86
C. Kwang Sung, Laryngopharyngeal Reflux (LPR) Protocol, Voice and
swallowing centre, otolaryngology head and neck surgery, stanford
medicine, 2017
Chen Y, The epidemiology of chronic rhinosinusitis in Canadians, The
laryngoscope, Volume 113, Issue 7, July 2003 , Pages 1199–1205
Daniel L. Hamilos, MD, Chronic Rhinosinusitis: Epidemiology And Medical,
In American Academy Of Allergy, Asthma & Immunology, 2011
Dhingra, P.L. 2007. Anatomy Of Faring. Diseases Of Ear, Nose And
Throat. 4th Ed. Elsevier. New Delhi : 1-13
Elisabeth H. Ference, M.D, Commentary on gender differences in
prevalence, treatment, and quality of life of patients with chronic
rhinosinusitis, Allergy Rhinol (Providence). 2015 Summer; 6(2):
e82–e88.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2006. Gastrointestinal Physiology. Textbook Of
Medical Physiology. 8th Ed. Elsiever Saunders. Philadelphia: 795-7
Hanna BC1, Gastroesophageal reflux and chronic rhinosinusitis. Curr Opin
Otolaryngol Head Neck Surg. 2012 Feb;20(1):15-8.
J.B. Shi, Epidemiology of chronic rhinosinusitis: results from a cross-
sectional survey in seven Chinese cities , journal of Allergy 2015;
70: 533–539.
Page 105
87
Jessica E. Southwood, The Impact Of Pepsin On Human Nasal Epithelial
Cells In Vitro: A Potential Mechanism For Extraesophageal Reflux
Induced Chronic Rhinosinusitis, The Annals Of Oyology, Rhinology,
And Laryngology 124(12) · June 2015
Jing Wang, Effects of pepsin A on heat shock protein 70 response in
laryngopharyngeal reflux patients with chronic rhinosinusitis,
Department of Oto-Rhino-Laryngology, West China Hospital, West
China Medical School, Sichuan University, Chengdu, Sichuan, Acta
Oto-Laryngologica China Volume 137, 2017 - Issue 12
Joel H. Blumin Nihhi Johnston, Laryngopharingeal Reflux In Bailey’s Head
And Neck Surgery Otolaryngology Vol.1 Fifth Edition, Lippincott
Williams&. WJ.Lkins, Philadelpia, 2014
Joel H. Blumin, laryngopharingeal refluks, bailey otorynolaringology 2014
p 958
Karna Dev Bardhan,1 Vicki Strugala,2 And Peterw. Dettmar2 Reflux
Revisited: Advancing The Role Of Pepsin In International Journal
Of Otolaryngology , UK, 2012
Koufman JA. The Otolaryngologic Manifestations Of Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD): A Clinical Investigation Of 225 Patients
Using Ambulatory 24-Hour Ph Monitoring And An Experimental
Investigation Of The Role Of Add And Pepsin In The Development
Of Laryngeal Injury. Laryngoscope 1991;101:1-78.
Page 106
88
Loehrl TA1, Chronic sinusitis and gastroesophageal reflux: are they
related?, Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 2004
Feb;12 (1):18-20.
Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2006 :
317-20.
Matthew W. Ryan, chronic rhinosinusitis with nasal polyposis, bailey
otorynolaringology 2014 p 525
Philip A. Weisslwod Albert L. Meratiphilip A., Upper Airway Stenosis :
Evaluation And Management In Bailey’s Head And Neck Surgery
Otolaryngology Vol.1 Fifth Edition, Lippincott Williams&. WJ.Lkins,
Philadelpia, 2014
Pincus RL1,A study of the link between gastric reflux and chronic sinusitis
in adults. Ear Nose Throat J. 2006 Mar;85(3):174-8
Poelmans J, Tack J, Fenestra L. 2002. Prospective Study On The
Incidence Of Chronic Ear Complaints Related To Gastroesophageal
Reflux And On The Outcome Of Antireflux Therapy. Ann Otol
Rhinol Laryngol. (Online). Vol. 111. Diakses 20 April 20123 : 933-8
Poelmans, J., Tack J. 2005. Extraesophageal Manifestations Of
Gastro-Oesophageal Reflux. GUT An International Journal Of
Gastroenterology And Hepatology. (Online). Vol. 54. No. 10.
Page 107
89
(Http://Gut.Bmj.Com/Content/54/10/1492.Extract, Diakses 12 Januari
2017: 1492-9
Privina Arivalagan, Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam
Malik pada Tahun 2011, E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun
2013
Schreiber, S., Garten, D., Sudhoff, H. 2009. Pathophysiological
Mechanisms Of Extraesophageal Reflux In Otolaryngologeal
Disorders. Eur Arch Otorhinolaryngology. (Online). Vol. 266. No. 1.
(Www.Ncbinlm.Nih.Gov. Diakses 30 Juni 2011 : 17-24
Sella GCP1, Relation between chronic rhinosinusitis and
gastroesophageal reflux in adults: systematic review. Braz J
Otorhinolaryngol. 2017 May – Jun ;83(3):356-363.
Soetjipto D. Sinus Paranasal .In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi Keenam. 119 – 148 Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007.
Suay Ozmen, MD; Omer Taskin Yu¨ Cel, MD Et All, Nasal Pepsin Assay
And Ph Monitoring In Chronic Rhinosinusitis In The Laryngoscope
Journal, Lippincott Williams & Wilkins, 2008
Taliyah, Savitri E, Analisis Kadar Pepsin Sekret Penderita Otitis Media
Supuratif Kronis Tipe Aktif Antara Penderita Anak Dan
Dewasa Dengan Menggunakan Pemeriksaan ELISA. Departemen
Page 108
90
Ilmu Kesehatan THTKL Fakultas Kedokteran Unhas, Makassar.
2012
Tina L. Samuels, MS; Nikki Johnston, Phd, Pepsin As A Marker Of
Extraesophageal Reflux In Annais Of Otology. Rhinotogy &
Laryngotogy 119(3):203-208. Milwaukee, Wisconsin., 2010
Guilherme Constante Preis Sella, Edwin Tamashiro Et All. Relation
Between Chronic Rhinosinusitis Andgastroesophageal Reflux In
Adults_ In Brazilian Journal Of Otorhinolaryngology, Brazil, 2016.
Wikipedia. Pepsin. Wikipedia The Free Encyclopedia.
Page 109
91
Lampiran 1 :
Kuesioner Reflux Symptom Index / RSI
NO Dalam 1 bulan terakhir,
apakah kamu menderita
0=tidak, 5 = sangat berat
1 suara serak/problem suara 0 1 2 3 4 5
2 clearing your throat ( sering
mengeluarkan lendir tenggorok
/ mendehem )
0 1 2 3 4 5
3 mukus berlebih / PND (post
nasal drip)
0 1 2 3 4 5
4 kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5
5 batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5
6 kesukaran bernafas/ choking 0 1 2 3 4 5
7 batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8 rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5
9 heartburn, rasa nyeri di dada,
gangguan pencernaan,
regurgitasi asam
0 1 2 3 4 5
TOTAL SKOR
Page 110
92
Lampiran 2 :
Kuesioner Reflux finding score / RFS
NO Temuan Endoskopi
keterangan
1 Edema subglotik
0 = Tidak ada
2 = Ada
2 Ventrikular obliterasi
2 = Parsial
4 = Komplit
3 Eritema/hiperemia 2 = Hanya aritenoid Difus
4 =
4 Edema pita suara 1 = Ringan
2 = Moderat
3 = Berat
4 = Polipoid
5 Edema laring difus 1 = Ringan
2 = Moderat
3 = Berat
4 = Obstructing
6 Hipertrofi komisura
posterior
1 = Ringan
2 = Moderat
3 = Berat
4 = Obstructing
7 Granuloma/jaringan
granulasi
0 = Tidak ada
2 = Ada
8 Mukus kental endolaring 0 = Tidak ada
2 = Ada
TOTAL SKOR
Page 111
93
Lampiran 3
DATA PENELITIAN
NO NAMA UMUR JK PEPSIN PH RSI RFS RLF
1 MM 32 P 42.4 6 16 0 Tidak
2 RW 24 L 78.2 6.3 13 - Tidak
3 R 28 P 19.0 6.65 24 3 Tidak
4 B 30 L 53.8 6.60 9 2 Tidak
5 Su 55 L 52.2 6.00 25 8 Ya
6 Mu 51 L 31.9 6.6 23 2 Tidak
7 Nu 47 P 52.4 6.05 13 3 Tidak
8 NH 19 P 39.6 6.3 15 0 Tidak
9 AA 30 P 52.2 6.01 15 8 Ya
10 He 19 P 54.8 6.14 28 0 Tidak
11 DN 28 P 38.6 6.32 13 0 Tidak
12 Yu 36 P 75.8 6.3 33 8 Ya
13 Is 38 L 53.5 6.70 16 0 Tidak
14 Gu 49 P 53.1 6.40 15 0 Tidak
15 Ta 19 L 44.2 6.38 22 8 Ya
16 Sy 27 P 31.9 6.50 22 4 Tidak
17 Sa 34 L 54.6 6.59 13 4 Tidak
18 Sya 27 P 64.7 6.21 22 8 Ya
19 Bo 45 L 39.4 6.37 19 0 Tidak
20 Sur 35 P 55.3 6.5 21 0 Tidak
21 St. k 52 P 52.9 6.23 23 8 Ya
22 Zh 20 P 44.4 6.7 14 0 Tidak
23 S 28 L 51.9 6.37 11 0 Tidak
24 SA 27 P 50.7 6.28 21 4 Tidak
25 AL 30 P 58.7 6.7 18 0 Tidak
26 AB 43 L 66.4 6.35 24 8 Ya
27 ASR 34 L 64.3 6.3 21 8 ya
Page 112
94
Lampiran 4
DOKUMENTASI PENELITIAN