i
ABSTRAK
Asyifa Delya Ramdaniah. NIM 11140460000032. PERSPEKTIF FATWA
DSN MUI NO. 31 TAHUN 2002 DAN SEOJK NO. 36/SEOJK.03/2015
TERHADAP PERJANJIAN TAKE OVER KREDIT MODAL KERJA DI
BANK SYARIAH (Studi pada PT Bank BRI Syariah, Tbk KC Depok
Margonda). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019
M. xi + 97 halaman 6 lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis konsep pengalihan utang atau yang
biasa disebut take over, aplikasi dan desain akad yang digunakan serta kesesuaian
perjanjian take over kredit modal kerja di bank syariah menurut fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan (SEOJK) No. 36/SEOJK.03/2015. Dalam ketentuan fatwa DSN
MUI No. 31 Tahun 2002 tentang Pengalihan Utang, terdapat empat alternatif yang
dapat digunakan bank/lembaga keuangan syariah dalam mengalihkan utang
nasabah dari bank atau lembaga keuangan konvensional, sedangkan SEOJK
memberikan enam alternatif akad yang dapat digunakan. Alternatif akad tersebut
cocok apabila digunakan untuk mengalihkan kredit yang memiliki objek barang
atau untuk pembelian barang, namun alternatif manakah dari kedua ketentuan
tersebut yang paling sesuai dalam hal kredit modal kerja yang tidak memiliki
objek barang seperti dalam hal membiayai piutang nasabah.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif empiris
dengan menggunakan pendekatan statute approach dan konseptual serta
menggunakan teknik pengumpulan data studi lapangan dalam bentuk wawancara,
library research atau kajian pustaka, dan triangulasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu alternatif akad yang
digunakan BRI Syariah dalam mengalihkan Kredit Modal Kerja nasabah dari
bank atau lembaga keuangan konvensional yaitu qardh-bai’ dengan murabahah,
sudah sesuai dengan fatwa DSN MUI dan SEOJK tentang pengalihan utang.
Sedangkan alternatif lainnya yakni qardh dengan musyarakah, belum sesuai
dengan fatwa DSN dan SEOJK tentang pengalihan utang karena tidak diatur di
dalamnya. Selain itu, penyelesaian qardh dengan musyarakah berarti bank syariah
menjadikan piutang qardh sebagai modal syirkah, hal tersebut tidak
diperbolehkan dalam fatwa DSN tentang syirkah.
Kata Kunci : Pengalihan Utang, Take Over, Kredit Modal Kerja,
Fatwa DSN MUI, dan SEOJK.
Dosen Pembimbing : Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH.
Daftar Pustaka : 1986 s.d 2019
ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan kemudahan dalam menjalani setiap tahap dalam hidup
ini. Rabb yang hingga kini tak hentinya mencurahkan rahmat, ilmu, petunjuk serta
bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada teladan terbaik Baginda Nabi Besar
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya atas inspirasi yang
mengagumkan.
Dalam penulisan skripsi ini, begitu banyak pengalaman, pelajaran dan
hikmah yang penulis peroleh yang semoga dapat menjadi ilmu bermanfaat bagi
penulis dan masyarakat luas. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karenanya, izinkanlah penulis secara
khusus menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak AM. Hasan Ali, M.A. selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Sekretaris Program
Studi Hukum Ekonomi Syariah.
3. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Para Pengurus Perpustakaan
Fakultas dan Para Pengurus Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Staf Akademik Fakultas Syariah dan Hukum.
5. Bank BRI Syariah Kantor Cabang Depok Margonda yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk memperoleh data dan informasi terkait
penelitian, terutama Ibu Ratna, Kak Alifah, Bapak M. Hadi Saputra, dan Ibu
Vini.
iii
6. Orang tua tercinta Ayahanda Ramdoni dan Ibunda Tuti Alawiyah yang tiada
henti memberikan dukungan moril dan materiil serta kesabaran, keikhlasan,
perhatian, cinta dan kasih sayang, serta doa dan munajatnya kepada Allah
SWT.
7. Adik-adik tercinta, Farisa Putri Azkiya dan Reynaldi Muhammad Alfarizi
serta sahabat-sahabat kecil penulis, Syafira Rainisha, Fathimathu Zahara,
Nabilah Musyarofah, dan Alfiani Fadhilah PS yang selalu memberikan
dukungan dan setia mendengarkan keluh kesah penulis.
8. Sahabat-sahabat tercinta, Ismy Yasintia Putri, Wienda Fitri Rahayu, dan
Khadijah Nur Arafah, yang telah berbagi suka dan duka dalam penyusunan
skripsi ini dan selalu menjadi pendengar dan penghibur terbaik. Serta Siti
Khodijah, Nurfaiqoh Ridhiyah, dan Faizah Eferdy yang selalu mendukung
penulis selama empat tahun ini.
9. Teman-teman Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah 2014 yang telah sama-
sama berjuang, khususnya teman-teman Hukum Ekonomi Syariah A.
10. Teman-teman KKN SKYLINE, terutama Nabilah Nur Annisa, Maulaya
Arinil Haqq, dan Inne Pujianti yang telah lebih dulu meraih gelarnya dan
selalu mendukung penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga semua dukungan dan doa yang telah kalian berikan mendapatkan
balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kata sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat
memberikan kontribusi dan manfaat bagi penulis khususnya, dan masyarakat luas
umumnya. Akhir kata, semoga kita semua selalu berada dalam lindungan Allah
SWT. Aamiin Ya Rabbal Aalamiin.
Jakarta, 30 September 2019
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ............................................................ 7
F. Kerangka Teori dan Konseptual ................................................................ 14
G. Metode penelitian ...................................................................................... 19
H. Rancangan Sistematika Penelitian ............................................................. 23
BAB II TINJAUAN TEORITIS ........................................................................ 25
A. Take Over .................................................................................................. 25
1. Definisi Take Over ............................................................................ 25
2. Tujuan Take Over .............................................................................. 27
3. Syarat dan Mekanisme Take Over .................................................... 28
4. Bentuk-Bentuk Take Over................................................................. 30
B. Take Over dengan Prinsip Syariah ............................................................. 32
1. Definisi Take Over dengan Prinsip Syariah ...................................... 32
2. Dasar Hukum Take Over dengan Prinsip Syariah ............................. 36
3. Bentuk-bentuk Take Over dengan Prinsip Syariah ........................... 37
BAB III GAMBARAN UMUM BRI SYARIAH .............................................. 53
A. Sejarah Singkat BRI Syariah ..................................................................... 53
B. Visi dan Misi BRI Syariah ......................................................................... 54
C. Struktur Organisasi BRI Syariah ............................................................... 54
D. Produk dan Layanan BRI Syariah.............................................................. 56
1. Produk Pendanaan ............................................................................. 56
v
2. Produk Pembiayaan ........................................................................... 58
E. Kinerja BRI Syariah................................................................................... 62
BAB IV ANALISIS KESESUAIAN PERJANJIAN TAKE OVER KREDIT
MODAL KERJA DI BRI SYARIAH KC DEPOK MARGONDA
DENGAN FATWA DSN-MUI NO. 31 TAHUN 2002 DAN SEOJK
NO. 36/SEOJK.03/2015 ....................................................................... 65
A. Konsep Perjanjian Take Over di BRI Syariah ........................................... 65
B. Aplikasi Take Over Kredit Modal Kerja di BRI Syariah ........................... 66
1. Persyaratan Take Over Kredit Modal Kerja ...................................... 66
2. Prosedur Pengajuan Take Over Kredit Modal Kerja ......................... 68
C. Desain Akad perjanjian Take Over Kredit Modal Kerja di BRI Syariah ... 71
1. Perjanjian Qardh ............................................................................... 74
2. Perjanjian Jual Beli (Bai’) ................................................................. 76
3. Perjanjian Murabahah ....................................................................... 77
4. Perjanjian Musyarakah ..................................................................... 79
D. Analisis Kesesuaian Perjanjian Take Over Kredit Modal Kerja di BRI
Syariah terhadap Fatwa DSN No. 31 Tahun 2002 dan SEOJK No.
36/SEOJK.03/2015 .................................................................................... 81
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 90
A. Kesimpulan ................................................................................................ 90
B. Rekomendasi .............................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 93
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 98
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan Keuangan Syariah .......................................................... 3
Tabel 1.2 Review Kajian Terdahulu ........................................................................ 8
Tabel 4.1 Perjanjian Qardh ................................................................................... 74
Tabel 4.2 Perjanjian Jual Beli (Bai’) ..................................................................... 76
Tabel 4.3 Perjanjian Murabahah........................................................................... 77
Tabel 4.4 Perjanjian Musyarakah ......................................................................... 79
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Konseptual ....................................................... 18
Gambar 2.1 Pengalihan Utang Alternatif Pertama ................................................ 39
Gambar 2.2 Pengalihan Utang Alternatif Kedua .................................................. 42
Gambar 2.3 Pengalihan Utang Alternatif Ketiga .................................................. 44
Gambar 2.4 Pengalihan Utang Alternatif Keempat .............................................. 46
Gambar 2.5 Pengalihan Utang Alternatif Kelima ................................................. 49
Gambar 2.6 Pengalihan Utang Alternatif Keenam ............................................... 51
Gambar 3.1 Struktur Organisasi BRI Syariah ....................................................... 54
Gambar 4.1 Flowchart Prosedur Pengajuan Take Over Kredit Modal Kerja di BRI
Syariah ............................................................................................. 71
Gambar 4.2 Alternatif Pertama BRI Syariah........................................................ 84
Gambar 4.3 Alternatif Kedua BRI Syariah........................................................... 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam melakukan kegiatan wirausaha, faktor permodalan merupakan
komponen penting bagi suatu usaha agar dapat terus bergerak maju. Jika
modal macet, maka dapat menjadi kendala bagi pengusaha untuk
meningkatkan usahanya. Modal tidak hanya dibutuhkan di awal usaha berdiri,
tetapi juga saat usaha berjalan. Banyak cara untuk mengatasi kekurangan
modal saat usaha sedang berjalan, namun terdapat cara yang biasa digunakan
para pengusaha apabila membutuhkan modal secara cepat, yaitu dengan
mengajukan perjanjian kredit ataupun pembiayaan ke bank.
Istilah perjanjian kredit berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract
credit. Kredit sendiri berasal dari kata credere yang artinya adalah
kepercayaan, maksudnya apabila seseorang memperoleh kredit, berarti
mereka memperoleh kepercayaan. Kredit menurut Undang-Undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
Sementara pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa baik kredit ataupun
pembiayaan dapat berupa uang ataupun tagihan yang nilainya diukur dengan
uang, misalnya bank membiayai kredit untuk pembelian rumah atau mobil.
Kemudian adanya kesepakatan antara bank (kreditur) dengan nasabah
penerima kredit (debitur), sesuai perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam
2
perjanjian kredit tersebut tercakup pula hak dan kewajiban masing-masing,
termasuk jangka waktu serta bunga atau bagi hasil yang ditetapkan bersama.1
Dalam bank konvensional dikenal satu pembiayaan berupa kredit
modal kerja yang merupakan fasilitas kredit yang diberikan baik dalam rupiah
maupun valuta asing untuk membiayai komponen modal kerja atau kegiatan
usaha perusahaan dalam satu siklus usaha dan dapat diperpanjang sesuai
kebutuhan. Kredit ini menurut Bastian dan Suhardjono (2006:251) memiliki
jangka waktu pengembalian maksimal satu tahun (bisa diperpanjang sesuai
kebutuhan) yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai stok barang, piutang
dagang, pembelian bahan baku ataupun kebutuhan modal kerja perusahaan
lainnya.
Dalam kredit modal kerja, umumnya bank memberikan kepada
nasabah fasilitas kredit berupa uang sebesar yang diajukan oleh nasabah.
Jumlah kredit tersebut disalurkan melalui rekening pinjaman dan atau
rekening giro yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat sesuai kebutuhan
usaha. Selanjutnya pelunasan dapat dilakukan oleh nasabah pada saat jatuh
tempo dengan perhitungan bunga sesuai dengan jumlah hari pemakaian
kredit.2
Namun, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat tentang
terdapatnya riba dalam bunga di bank konvensional, banyak masyarakat yang
mengalihkan simpanan atau kreditnya dari bank konvensional ke bank
syariah. Hal ini terbukti sepanjang 2016, Dana Pihak Ketiga (DPK) yang
dihimpun oleh BUS, UUS, dan BPRS meningkat 20,84% atau sebesar Rp
49,2 triliun menjadi Rp 285,2 triliun dari sebelumnya Rp 236,0 triliun di
tahun 2015. Sedangkan untuk Pembiayaan yang disalurkan (PYD) tercatat
meningkat 16,41% atau sebesar Rp 35,9 triliun menjadi Rp 254,6 triliun
dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 218,7 triliun.
1 Kasmir, Manajemen Perbankan. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 72.
2 https://www.bca.co.id/id/Bisnis/Produk-dan-Layanan/Pinjaman/kredit-lokasi diakses
pada 17 Agustus 2018 pukul 11:12 WIB
3
Tabel 1.1
Perkembangan Keuangan Syariah
INDIKATOR 2012 2013 2014 2015 2016
BUS-UUS-BPRS
Aset (Rp Triliun) 199,71 248,11 278,90 304,00 365,6
Pertumbuhan Aset (yoy) 34,04% 24,24% 12,41% 9,00% 20,28%
Market Share 4,58% 4,89% 4,85% 4,88% 5,55%
DPK (Rp Triliun) 150,44 187,19 221,89 236,02 285,2
Pertumbuhan DPK (yoy) 28,03& 24,43% 18,53% 6,37% 20,84%
PYD (Rp Triliun) 151,06 188,55 204,31 218,72 254,7
Pertumbuhan PYD (yoy) 43,41% 24,82% 8,35% 7,06% 16,41%
Sumber : Roadmap Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia3
Dengan meningkatnya minat masyarakat untuk mengalihkan
pembiayaannya, bank syariah kini menyediakan fasilitas take over kredit.
Fasilitas tersebut dapat membantu masyarakat yang ingin mengalihkan
transaksi non syariahnya menjadi transaksi yang sesuai prinsip syariah.
Pembiayaan dengan mekanisme take over ini dipandang sebagai bentuk
persaingan antar bank dalam menarik masyarakat, terlebih setelah
berkembangnya perbankan syariah. Perbankan syariah menawarkan kelebihan
tersendiri kepada masyarakat terutama dalam sisi idealisme kesyariahan,
sehingga penawaran pembiayaan take over oleh perbankan syariah
ditawarkan kepada nasabah-nasabah yang sudah memiliki fasilitas kredit di
bank-bank konvensional dalam rangka memperbesar market share perbankan
syariah sesuai target yang diterapkan Bank Indonesia untuk perbankan
syariah yaitu sebesar 5%.4
Fasilitas take over ini diperbolehkan dengan mengikuti ketentuan
dalam fatwa DSN MUI Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan
3 Otoritas Jasa Keuangan. Roadmap Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia 2017-
2019. (Jakarta: OJK, 2017), h. 12. 4 Nanda Meiliza Puspita, “Analisa Penerapan Akad Pembiayaan Take Over di Perbankan
Syariah berdasarkan Fatwa DSN MUI”. (Tesis Program Pascasarjana, Universitas Indonesia,
Depok, 2009), h. 4.
4
Utang. Dalam fatwa, terdapat empat alternatif akad yang dapat digunakan
dalam melakukan take over kredit dari bank atau lembaga keuangan
konvensional ke bank atau lembaga keuangan syariah. Namun, sebelum
menuju kepada alternatif tersebut, terlebih dahulu bank atau lembaga
keuangan syariah harus mengklasifikasikan utang nasabah kepada bank atau
lembaga keuangan konvensional menjadi dua macam, yaitu utang pokok plus
bunga atau utang pokok saja.
Dalam menangani utang yang berbentuk utang pokok plus bunga
maka bank syariah dapat memberikan jasa qardh karena alokasi penggunaan
qardh tidak terbatas, termasuk untuk menalangi utang yang berbasis bunga.
Sedangkan terhadap utang nasabah yang berbentuk utang pokok saja, bank
syariah dapat memberikan jasa hiwalah atau pengalihan utang, karena
hiwalah tidak bisa untuk menalangi utang yang berbasis bunga.5
Setelah mengklasifikasikan utang nasabah, dapat dilanjutkan dengan
alternatif akad yang telah ditentukan dalam fatwa. Keempat alternatif akad
tersebut antara lain menggunakan akad qardh, murabahah, ijarah, dan IMBT
yang intinya mengharuskan nasabah menjual terlebih dahulu aset yang
menjadi objek pengalihan kepada bank syariah untuk melunasi qardh-nya,
untuk kemudian disewa atau dijual lagi kepada nasabah dengan cara tangguh.
Alternatif tersebut dapat dilakukan apabila yang dialihkan adalah KPR
(Kredit Pemilikan Rumah) ataupun KKB (Kredit Kendaraan Bermotor) yang
memiliki objek atau underlying asset, tetapi bagaimana bila yang dialihkan
adalah kredit modal kerja nasabah dari bank atau lembaga keuangan
konvensional yang objeknya adalah piutang usaha nasabah. Apakah alternatif
tersebut cocok diimplementasikan. Hal ini bukanlah tidak mungkin
mengingat jasa pelayanan keuangan merupakan hal yang menjadi kebutuhan
masyarakat saat ini.
Dalam hal take over, hal ini sangat membantu masyarakat untuk
mengalihkan transaksi non syariahnya menjadi transaksi syariah, bukan
5 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 249.
5
hanya pembiayaan yang sifatnya konsumtif, tetapi juga pembiayaan yang
sifatnya produktif seperti Kredit Modal Kerja. Sehingga lembaga keuangan
syariah terutama bank perlu meresponnya dengan membentuk fasilitas yang
cocok yaitu melalui pengalihan utang atau take over.
Untuk merespon hal tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat
ketentuan yang mengatur tentang produk dan aktivitas bank syariah dan Unit
Usaha Syariah yang tertuang dalam POJK No. 24/POJK.03/2015, yang
ketentuan pelaksanaannya lebih lanjut dituangkan dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No. 36/SEOJK.03/2015. Hal tersebut
dilakukan dalam rangka memitigasi berbagai risiko yang mungkin akan
timbul terkait dengan perkembangan dan inovasi produk dan aktivitas bank
syariah dan Unit Usaha Syariah.
Di samping harus mengikuti ketentuan fatwa DSN MUI, bank syariah
juga harus mengikuti ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini
dikarenakan OJK merupakan lembaga independen yang mempunyai fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
di sektor jasa keuangan di bidang perbankan, pasar modal, dan industri
keuangan non bank menggantikan Bank Indonesia.
Dalam bidang perbankan, OJK melakukan pengaturan dan
pengawasan secara terpadu, independen dan akuntabel terhadap segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank; mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah.6
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, Penulis
tertarik untuk melakukan kajian lebih dalam tentang kesesuaian perjanjian
take over Kredit Modal Kerja di Bank Syariah dengan Fatwa DSN MUI dan
SEOJK yang akan dituangkan dalam judul “Perspektif Fatwa DSN MUI
No. 31 Tahun 2002 dan SEOJK No. 36/SEOJK.03/2015 terhadap
Perjanjian Take Over Kredit Modal Kerja di Bank Syariah”.
6 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia. (Depok: Kencana, 2017), h. 122.
6
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dan judul yang diajukan di atas, maka
penulis mengidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:
a. Banyak alternatif desain akad yang dapat digunakan bank syariah
dalam fasilitas take over, tetapi hanya dua alternatif yang sering
digunakan.
b. Dari berbagai akad yang ditawarkan, hawalah belum dianjurkan untuk
diterapkan di bank syariah.
c. Kredit modal kerja merupakan bentuk pinjaman dalam mata uang
yang dicairkan dan sifatnya produktif, yang biasanya bertujuan untuk
membiayai stok barang, pembelian bahan baku ataupun kebutuhan
modal kerja perusahaan lainnya hingga piutang dagang.
d. Alternatif proses pengalihan utang dalam fatwa mengharuskan
nasabah menjual aset yang dibelinya melalui kredit di bank
konvensional kepada bank syariah. Sedangkan dalam Kredit Modal
Kerja yang berbentuk piutang dagang, tidak memiliki objek barang
sehingga kurang cocok menggunakan alternatif tersebut.
e. Kesesuaian perjanjian take over kredit modal kerja di bank syariah
dengan fatwa DSN MUI No. 31 Tahun 2002 dan SEOJK No.
36/SEOJK.03/2015.
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak keluar dari pembahasan,
penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti sesuai dengan latar
belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan yaitu pada aspek
analisis kesesuaian perjanjian take over Kredit Modal Kerja di Bank
Syariah dengan fatwa DSN MUI dan SEOJK.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang, identifikasi dan pembatasan
masalah, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana konsep perjanjian take over menurut BRI Syariah ?
7
b. Bagaimana aplikasi dan desain akad serta model perjanjian yang
diterapkan BRISyariah dalam take over Kredit Modal Kerja ?
c. Apakah perjanjian take over Kredit Modal Kerja tersebut telah sesuai
dengan fatwa DSN MUI No. 31 Tahun 2002 dan SEOJK No.
36/SEOJK.03/2015 ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi dan model
perjanjian pada take over Kredit Modal Kerja. Tujuan dalam penelitian ini
adalah:
1. Menganalisis konsep take over di BRI Syariah.
2. Menganalisis aplikasi, desain akad dan model perjanjian yang diterapkan
BRI Syariah dalam take over Kredit Modal Kerja.
3. Menganalisis kesesuaian perjanjian take over Kredit Modal Kerja dengan
fatwa DSN MUI No. 31 Tahun 2002 dan SEOJK No. 36/SEOJK.03/2015.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dengan adanya penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis, dapat memperluas dan menambah wawasan mengenai
permasalahan terkait penelitian, serta dapat menjadi referensi untuk
keperluan studi dan penelitian mengenai hal-hal terkait dengan penelitian.
2. Manfaat praktis, dapat menjadi rambu-rambu sekaligus pengingat bagi
para praktisi agar dapat mengimplementasikan akad dan model perjanjian
yang sesuai pada take over Kredit Modal Kerja di Lembaga Keuangan
Syariah.
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Berdasarkan telaah yang penulis lakukan terhadap beberapa kajian
kepustakaan, terlihat bahwa masalah pokok yang penulis kaji dalam
penelitian ini belum banyak mendapat perhatian. Kajian tentang analisis
perspektif fatwa DSN MUI dan SEOJK terhadap perjanjian take over Kredit
8
Modal Kerja di Bank Syariah belum banyak dikaji, beberapa penelitian
terdahulu hanya mengkaji tentang implementasi dan analisis perjanjian take
over Kredit Pemilikan Rumah dan pembiayaan umum lainnya kemudian
dikaitkan dengan fatwa DSN MUI, di antaranya adalah :
Tabel 1.2
Review Kajian Terdahulu
1 Judul Jurnal Pelaksanaan Take Over Pembiayaan di PT Bank
Syariah Mandiri Cabang Medan
Identitas Muhammad Rizaldy, Jurnal Hukum, Vol. 12
Universitas Sumatera Utara, 2015.
Kesimpulan Pelaksanaan take over pembiayaan yang dilakukan di
PT Bank Syariah Mandiri Cabang Medan yang diawali
dengan pengajuan permohonan dan setelah dianalisis
dan disetujui dilanjutkan dengan pengikatan al-qardh
antara PT BSM Cabang Medan dengan nasabah untuk
mengambil alih pembiayaan dan kemudian diikuti
dengan penandatanganan akad al-murabahah.
Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya take
over, yaitu faktor internal dan eksternal. Dari
pelaksanaan take over pembiayaan ini, akibat
hukumnya ialah Bank Syariah Mandiri Cabang Medan
mengambil alih posisi kreditur lama, dan beralihnya
hak jaminan atas objek jaminan yang digunakan
sebagai agunan yang dilakukan melalui proses roya.
Pembeda Indikator pembeda dari penelitian ini ialah penelitian
ini hanya meninjau pelaksanaan take over dari fatwa
DSN MUI, tidak meninjau dari hukum positif seperti
SEOJK. Sedangkan penelitian penulis meninjau dari
segi fatwa DSN MUI dan SEOJK. Selain itu,
pembiayaan yang dimaksud dalam penelitian ini
bersifat luas, sedangkan penelitian penulis cakupannya
9
lebih sempit, yakni take over Kredit Modal Kerja.
Penelitian ini juga membahas perihal akibat hukum
dan faktor terjadinya take over yang tidak penulis
bahas dalam penelitian.
2 Judul Jurnal Analisis Yuridis Multi Akad dalam Pembiayaan
Pengalihan Hutang pada PT BRI Syariah
Identitas Destri Budi Nugraheni, Mimbar Hukum, Vol. 27,
No.2, Universitas Gadjah Mada, 2015.
Kesimpulan PT BRI Syariah menggunakan dua jenis multi akad
dalam transaksi pengalihan utang, yaitu tiga akad yang
berdiri sendiri yakni akad qardh, perjanjian jual beli,
dan akad pembiayaan murabahah, serta akad hawalah
wal murabahah, sebagai perpaduan akad hawalah dan
akad murabahah. Namun sebenarnya PT BRIS cukup
menggunakan satu jenis multi akad saja, yaitu akad
qardh, perjanjian jual beli, dan akad pembiayaan
murabahah. Konstruksi yuridisnya sesuai dengan
fatwa DSN-MUI Nomor 31 Tahun 2002, khususnya
alternatif pertama, yaitu akad qardh yang digunakan
sebagai dasar pemberian pinjaman kepada nasabah
untuk melunasi kreditnya di bank konvensional, lalu
dilanjutkan dengan perjanjian jual beli aset oleh
nasabah kepada bank syariah di mana hasil penjualan
tersebut digunakan untuk melunasi qardh-nya.
Kemudian bank syariah menjual kembali aset yang
telah dibelinya kepada nasabah melalui akad
murabahah, sehingga bank berhak mendapatkan
margin keuntugan. Harga beli bank ditambah margin
menjadi jumlah fasilitas pembiayaan yang dilakukan
nasabah dengan cara mengangsur.
10
Pembeda Indikator pembeda dari penelitian ini ialah penelitian
ini lebih membahas perihal konstruksi yuridis multi
akad yang terdapat dalam transaksi pengalihan utang,
sedangkan penelitian penulis lebih membahas
mengenai perjanjian pengalihan utang (take over)
ditinjau dari segi fatwa DSN MUI dan SEOJK.
3 Judul Skripsi Analisa Perjanjian Take Over di Bank Syariah
Identitas M. Koni Rumaini Aziz, Perbankan Syariah, Program
Studi Muamalat (Ekonomi Islam), UIN Syarif
Hidayatullah Jakata, 2011.
Kesimpulan Skripsi ini membahas prosedur pembiayaan take over
KPR di Bank DKI Syariah yang dirangkum menjadi
14 (empat belas) poin dan beberapa aspek yang belum
sesuai dengan teori akad pengalihan utang. Beberapa
aspek yang dinilai belum sesuai di antaranya adalah
terkait jaminan, status hak kepemilikan barang yang
tidak ada penggantian balik namanya, pajak yang
ditanggung oleh mustajir, pembatasan tindakan
mustajir, kerugian atas objek take over yang
ditanggung oleh mustajir/nasabah dan klausula sanksi-
sanksi.
Pembeda Indikator pembeda dari penelitian ini terletak pada
objek penelitian. Penelitian ini menjadikan perjanjian
take over Kredit Pemilikan Rumah di Bank DKI
Syariah sebagai objeknya, sedangkan penelitian
penulis menjadikan perjanjian take over Kredit Modal
Kerja sebagai objek penelitian. Selain itu, penelitian
ini hanya meninjau perjanjian dari segi kesesuaiannya
dengan fatwa DSN MUI, sedangkan penulis meninjau
dengan fatwa DSN MUI dan SEOJK.
11
4 Judul Skripsi Analisis Pelaksanaan Pengalihan Hutang (Take
Over) di Bank Jateng Cabang Syariah Semarang
Identitas Millaturrofi‟ah, Ilmu Hukum Ekonomi Syariah,
Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2017.
Kesimpulan Sesuai dengan SE Direksi Nomor
7627/HT.01.03/SYAR/2016 Semarang perihal
Persyaratan dan Tata Cara Take Over Pembiayaan dari
Bank Lain di Kantor Cabang Pembantu Syariah,
pelaksanaan take over tersebut telah sesuai dengan
hukum Islam. Hal ini dikarenakan dalam Surat Edaran
tersebut juga dijelaskan skema empat alternatif akad
yang serupa dengan fatwa DSN MUI Nomor 31 Tahun
2002 tentang Pengalihan Utang. Diawali dengan
pemberian qardh kepada nasabah untuk melunasi
kredit di bank lain, sehingga pengalihan utang telah
terjadi. Diikuti dengan penjualan aset milik nasabah
kepada Bank Jateng Cabang Syariah Semarang, di
mana dengan hasil penjualan aset tersebut, nasabah
melunasi qardh-nya kepada Bank Jateng Cabang
Syariah Semarang. Selanjutnya nasabah akan
mengambil kembali asetnya menggunakan beberapa
akad yang ditawarkan, di antaranya murabahah,
ijarah, musyarakah, dan ijarah muntahiya bittamlik.
Desain akad selanjutnya untuk tahap pengembalian
aset nasabah, disesuaikan dengan kebutuhan nasabah.
Pembeda Indikator pembeda dari penelitian ini ialah penelitian
ini menganalisis pelaksanaan take over ditinjau dari
segi fatwa DSN MUI dan Surat Edaran Bank
Indonesia (SEBI), sedangkan penelitian penulis
menganalisis perjanjian take over ditinjau dari fatwa
12
DSN MUI dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
(SEOJK). Selain itu, penelitian ini membahas take
over secara luas, sedangkan penulis membatasinya
dengan membahas take over Kredit Modal Kerja.
5 Judul Jurnal Pelaksanaan Pengalihan Hutang (Take Over) di PT
Bank BRI Syariah Kantor Cabang Yogyakarta
Identitas Ade Pangeran Anom, Magister Kenotariatan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014.
Kesimpulan Terdapat beberapa faktor terjadinya peralihan utang
dari bank konvensional ke BRI Syariah Cabang
Yogyakarta, di antaranya adalah faktor prinsip
idealisme kesyariahan dalam bertransaksi, faktor
BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), faktor
kolektibilitas, faktor margin/keuntungan dan bagi
hasil, faktor produk-produk BRI Syariah yang lebih
menarik dan beragam. Adapun syarat-syarat yang
diperlukan dalam pengalihan pembiayaan (take over)
pada BRI Syariah terdiri dari pinjaman yang berasal
dari lembaga keuangan konvensional berupa bank
umum konvensional ataupun Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) konvensional, objek barang yang akan di
lakukan pengalihan hutang (take over) merupakan
barang yang halal, jelas wujudnya (kualitasnya) dan
jelas jumlahnya (dapat di kuantitatifkan) serta
dijelaskan rinciannya, besarnya nilai yang di lakukan
pengalihan hutang (take over) adalah sebesar
outstanding kewajiban nasabah pada lembaga
keuangan konvensional, serta dokumen jaminan dari
pinjaman yang di take over harus sudah ada fisik
dokumennya. Proses pelaksanaan pengalihan hutang
13
(take over) di BRI Syariah menggunakan akad
hawalah wal murabahah, akad qardh, akad jual beli
dan akad murabahah tanpa wakalah.
Pembeda Indikator pembeda dari penelitian ini ialah penelitian
ini mengkaji pelaksanaan take over serta alasan yang
menyebabkan nasabah melakukan pengalihan utang,
sedangkan penulis mengkaji perjanjian take over
ditinjau dari fatwa DSN MUI dan SEOJK.
6 Judul Jurnal Penyelesaian Hutang yang Dialihkan Secara Take
Over dengan Akad Musharakah di BRI Syariah
KCP Diponegoro Surabaya
Identitas Uswatun Chasanah, Jurnal Maliyah, Vol. 03, No. 02,
UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2013.
Kesimpulan Penyelesaian utang yang dialihkan secara take over
dengan akad musharakah di BRI Syariah KCP
Diponegoro Surabaya tidak bertentangan dengan
hukum Islam. Penyelesaian utang tersebut ialah
pemindahan sisa utang yang dimiliki oleh nasabah dari
Lembaga Keuangan Non Syariah atau Lembaga
Keuangan Syariah kepada Bank Syariah lainnya
dengan akad qardh, selanjutnya utang nasabah kepada
bank syariah diselesaikan dengan akad musharakah,
yang mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung
bersama sesuai kesepakatan.
Pembeda Indikator pembeda dari penelitian ini ialah penelitian
ini hanya menganalisis satu alternatif penyelesaian
take over, yaitu menggunakan akad musyarakah,
sedangkan penulis menganalisis perjanjian take over
14
ditinjau dari fatwa DSN MUI dan SEOJK.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti perlu menyusun kerangka
pemikiran menyangkut konsep tahap-tahap penelitian berdasarkan pemikiran
penulis. Teori dapat didefinisikan sebagai serangkaian bagian (variabel),
definisi atau dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah
pandangan sistematis tentang fenomena dengan menentukan hubungan antar
variabel dengan maksud menjelaskan fenomena yang akan dikaji.7
Kontrak atau perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 1313 disebutkan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih. Untuk memperjelas
definisi tersebut, dijelaskan kembali dalam sebuah teori lama yang
menyebutkan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam definisi tersebut, telah
tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum. Menurut
teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian adalah suatu
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian
semata-mata tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan yang
mendahuluinya. Menurut teori tersebut, ada tiga tahap dalam membuat
perjanjian, pertama, tahap pra contractual yaitu adanya penawaran dan
penerimaan. Kedua, tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan
kehendak antara para pihak. Dan ketiga, tahap post contractual, yaitu
pelaksanaan perjanjian.8
Agar perjanjian sah dan mengikat bagi para pembuatnya, maka harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tertuang dalam Pasal 1320 KUH
7 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2010), h. 15. 8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum., h.164.
15
Perdata yaitu adanya kesepakatan para pihak (asas konsensual), kecakapan
bertindak dari para pihak, adanya objek tertentu, dan mempunyai kausa yang
halal.9 Konsep perjanjian menurut KUH Perdata ini menganut berbagai asas,
antara lain, (1) asas kebebasan berkontrak (freedom of contract principle),
artinya setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian,
bebas menentukan dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas menentukan
apa saja yang menjadi objek perjanjian, serta bebas menentukan penyelesaian
sengketa yang terjadi di kemudian hari; (2) asas kepribadian (privity of
contract), asas ini mencakup ruang lingkup dari berlakunya suatu perjanjian,
yakni bahwa suatu perjanjian mempunyai ruang lingkup berlaku hanya
terbatas pada para pihak dalam perjanjian itu saja sehingga pihak di luar
perjanjian tidak dapat ikut menuntut suatu pihak berdasarkan perjanjian
tersebut; (3) asas itikad baik (good faith principle), asas ini tercantum dalam
ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian
yang sah wajib dilaksanakan oleh pihak-pihak yang mengadakannya dengan
itikad baik. Doktrin tentang itikad baik ini merupakan doktrin yang esensial
dari suatu perjanjian yang dikenal dengan asas Pacta Sunt Servanda.10
Dalam Islam, suatu perjanjian atau perikatan dikaitkan dengan akad.
Akad secara etimologis memiliki arti menyimpulkan; mengikatkan (tali)11
,
sedangkan secara terminologis menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu12
. Sedangkan
akad dalam Pasal 1 angka (13) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah didefinisikan sebagai kesepakatan tertulis antara bank syariah atau
Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban
bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.
9 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi dan
Implementasi). (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), h. 7. 10
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi dan
Implementasi), h.8. 11
Mardani, Hukum Perikatan Syariah Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 52. 12
Lihat Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
16
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akad merupakan
kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri tentang suatu perbuatan
hukum tertentu yang akan dilakukannya sesuai dengan prinsip syariah.13
Atau
dapat juga disimpulkan bahwa akad adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban berprestasi pada salah satu pihak dan hak bagi pihak lain atas
prestasi tersebut, dengan atau tanpa melakukan kontraprestasi.14
Take over menurut Ahmad Antoni K. Muda adalah pengambilalihan
atau dalam lingkup suatu perusahaan adalah perubahan kepentingan
pengendalian suatu perseroan.15
Take over dalam penelitian ini adalah
pengambilalihan kredit yaitu istilah yang digunakan dalam dunia perbankan
dalam hal pihak ketiga memberi kredit kepada debitur yang bertujuan untuk
melunasi utang/kredit debitur kepada kreditur awal dan memberikan kredit
baru kepada debitur sehingga kedudukan pihak ketiga ini menggantikan
kedudukan kreditur awal.16
Dalam penelitian ini, bank syariah sebagai pihak
ketiga melakukan pengambilalihan utang nasabah di bank konvensional,
untuk selanjutnya bank syariah akan memberikan kredit baru kepada nasabah
sesuai dengan prinsip syariah.
Dalam penelitian ini yang menjadi objek pengalihan adalah kredit
modal kerja nasabah. Kredit modal kerja merupakan fasilitas kredit yang
diberikan bank baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk membiayai
komponen modal kerja atau kegiatan usaha perusahaan dalam satu siklus
usaha dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.17
Kredit modal kerja
termasuk kredit jangka pendek yang ditujukan untuk pengusaha kecil dan
13
A. Wangsawidjaja Z. Pembiayaan Bank Syariah. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2012), h. 130. 14
Inayah, “Kesesuaian Pembiayaan Murabahah Bank Syariah ke Perusahaan Ditinjau dari
Hukum Islam”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 15. 15
Ahmad Antoni K. Muda, Kamus Lengkap Ekonomi. (Jakarta: Gitamedia Press, 2003),
h. 331.
16 Syarief Toha dan Pujiyono, “Problematika dalam Pelaksanaan Pengambilalihan Kredit
dengan Jaminan Hak Tanggungan”, Jurnal Repertorium, IV, 2, (Juli-Desember, 2017), h. 96. 17
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2011), h. 61.
17
menengah yang ingin mengembangkan usahanya ataupun membuka usaha
baru yang biasanya bertujuan untuk membiayai stok barang, pembelian bahan
baku ataupun kebutuhan modal kerja perusahaan lainnya hingga piutang
dagang. Nilai pencairan kreditnya maksimal 70% dari keperluan modal
dengan jaminan yang diberikan. Jaminan yang diagunkan dapat berupa tanah
(SHM/SHGB) atau bangunan (IMB), atau usaha itu sendiri.
Dalam menjalankan usahanya, Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit
Usaha Syariah (UUS) wajib tunduk dan patuh terhadap ketentuan fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) karena
pengaruh fatwa DSN terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
perbankan syariah sangatlah besar. Fatwa DSN MUI kini dianggap sebagai
suatu hukum syariah yang berlaku karena digunakan sebagai pedoman
pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah yang isi ketentuannya diserap ke
dalam peraturan perundang-undangan dan menjadi landasan hukum bagi LKS
dalam menjalankan produk kegiatan usahanya.18
Selain tunduk dan patuh terhadap fatwa DSN MUI, BUS dan UUS
juga harus mengikuti ketentuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga
yang berwenang dalam mengatur, mengawasi, memeriksa, dan menyidik di
sektor jasa keuangan. Dalam lingkup perbankan, OJK mengatur segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara
konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud
undang-undang mengenai perbankan.
18
Yeni Salma Barlinti, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia.” (Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta,
2010), h. 469.
18
Gambar 1.1
Kerangka Pemikiran Konseptual
TAKE OVER KREDIT
MODAL KERJA
MODEL
PERJANJIAN
AKAD YANG
DIGUNAKAN
IMPLEMENTASI DI
BANK SYARIAH
FATWA DSN NOMOR
31/DSN-MUI/VI/2002
SEOJK NOMOR
36/SEOJK.03.2015
BELUM SESUAI SESUAI
TAKE OVER KREDIT
MODAL KERJA
19
G. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang analisis datanya bersifat induktif dan hasil
penelitiannya lebih menekankan makna daripada generalisasi.19
Metode
kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam pada suatu
data, di mana data tersebut bersifat deskriptif yang mengandung makna
yang sering bertujuan menghasilkan hipotesis dari penelitian lapangan.20
Makna adalah data yang sebenarnya, data pasti yang merupakan suatu nilai
di balik data yang tampak.21
Dalam ilmu hukum, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian
normatif empiris, yaitu penggabungan antara jenis penelitian normatif
dengan penambahan berbagai unsur empiris. Penelitian ini mengkaji
implementasi ketentuan hukum normatif dalam aksinya pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Penelitian
ini dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu
organisme (individu), lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau
subjek yang sempit.
Dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan data-data yang telah
didapatkan di lapangan untuk kemudian dianalisis melalui studi
dokumentasi atau kajian kepustakaan untuk mendapatkan hasil penelitian
dalam bentuk kata-kata.
Hukum normatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fatwa
DSN MUI dan SEOJK. Data penelitian diperoleh langsung dari semua
pihak yang bersangkutan atau dari berbagai sumber. Sebagai penelitian
yang bersifat empiris, penulis melakukan pengamatan langsung terhadap
19
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 54. 20
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 145. 21
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum. (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 57.
20
permasalahan yang diangkat, kemudian menganalisisnya melalui Fatwa
DSN MUI dan SEOJK.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) di mana peneliti menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dianalisis. Bagi penelitian
untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu regulasi dengan regulasi lainnya. Hasil dari telaah
tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang
dihadapi.22
Selain itu, penulis juga menggunakan pendekatan konseptual, di mana
pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan dan
doktrin tersebut, peneliti akan mendapatkan pemahaman yang dapat
dijadikan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi
hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.23
Dengan pendekatan tersebut, penulis mengumpulkan dan memaparkan
data yang telah diperoleh melalui studi lapangan yang kemudian dianalisis
dengan menggunakan Fatwa DSN MUI dan SEOJK.
3. Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah dokumen perjanjian dan hasil
wawancara dengan Tim Marketing BRI Syariah KC Depok Margonda
terkait perjanjian take over Kredit Modal Kerja di BRI Syariah sebagai
data primer. Sedangkan bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Fatwa DSN MUI No. 31 Tahun 2002 dan SEOJK No.
36/SEOJK.03/2015.
Data sekunder merupakan bahan-bahan sekunder yang sumbernya dari
literatur kepustakaan, yaitu ayat Al-Qur‟an, Hadits, literatur ilmiah, kitab-
22
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, 2005), h. 133.
23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum., h. 135.
21
kitab, jurnal, makalah dan bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan
tema penelitian. Serta kamus hukum maupun kamus lain yang memberikan
bantuan dalam menjelaskan ungkapan serta pengertian dan penjelasan
yang terdapat dalam literatur dan tulisan lainnya sebagai data tersier.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode dan teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah
studi lapangan dalam bentuk wawancara dan kajian pustaka atau library
research sebagai acuan guna mendapatkan teori dan literatur yang sesuai
dengan pembahasan penelitian. Wawancara digunakan untuk mendapatkan
data primer yang dibutuhkan, dalam penelitian ini penulis melakukan
wawancara yang sifatnya semi-terstruktur24
. Di mana penulislah yang
lebih mengarahkan pembicaraan, sehingga wawancara lebih terarah serta
cukup waktu dan cukup untuk menjaring data. Sedangkan kajian pustaka
dilakukan dengan cara mencari bahan materi melalui literatur berupa
bahan pustaka (buku, jurnal, artikel, dokumen, dan sebagainya) dan
dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang
diteliti sebagai data primer maupun sekunder.
Selain itu, penulis juga melakukan triangulasi atau lebih dikenal
dengan cek dan ricek yaitu pengecekan data menggunakan beragam
sumber, teknik, dan waktu untuk memastikan data yang didapatkan adalah
data yang benar. Cara yang digunakan adalah wawancara, pengamatan dan
analisis dokumen. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan triangulasi
teknik. Di mana penulis melakukan pengumpulan data dengan teknik yang
berbeda untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, yaitu wawancara dan
studi dokumentasi.25
5. Objek Penelitian
24
Suwartono, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014), h.
51.
25 Nusa Putra, Penelitian Kualitatif: Proses dan Aplikasi. (Jakarta: PT Indeks, 2011), h.
189.
22
Objek dalam penelitian ini adalah kesesuaian perjanjian take over
kredit modal kerja di bank syariah dengan ketentuan fatwa DSN MUI dan
SEOJK. Perjanjian take over kredit modal kerja tersebut dianalisis untuk
mengetahui kesesuaiannya dengan bahan hukum yang penulis gunakan,
yaitu fatwa DSN MUI No. 31 Tahun 2002 dan SEOJK No.
36/SEOJK.03/2015.
6. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul dalam tahap pengumpulan data, perlu
diolah terlebih dahulu. Tujuannya adalah menyederhanakan seluruh data
yang terkumpul, menyajikannya dalam susunan yang baik dan rapi, untuk
kemudian dianalisis. Teknik pengolahan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara melengkapi data-data yang telah didapatkan dari
lapangan.
Data-data tersebut kemudian dipaparkan dan dikelompokkan dengan
tujuan mempermudah proses pemilahan informasi yang sesuai mengenai
perjanjian take over kredit modal kerja dan melihat keterkaitan antara
permasalahan penelitian dengan teori. Kemudian penulis memilah data-
data mana yang dibutuhkan sesuai dengan pembahasan penelitian. Dalam
penelitian ini, penulis menyeleksi hasil wawancara dan data kepustakaan
yang akan dikutip dalam penulisan. Setelah diolah, dilakukan analisis isi
dengan cara menganalisis materi tertentu dari data yang telah dipaparkan
secara deskriptif sesuai dengan pembatasan masalah.
7. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul maka data tersebut
dianalisis, dan bentuk metode analisis data dalam penelitian ini adalah
analisis nonstatistika yang sesuai untuk data kualitatif. Analisis kualitatif
merupakan analisis data yang tidak menggunakan angka (non statistika),
melainkan memberikan gambaran-gambaran (deskripsi) dengan kata-kata
atas temuan-temuan. Kegiatan analisis ini dilakukan dengan cara membaca
data yang telah diolah kemudian dihubungkan dengan teori yang ada
23
sehingga data tersebut dapat disimpulkan sesuai rumusan masalah dalam
penelitian ini.
H. Rancangan Sistematika Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang permasalahan, identifikasi,
pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian (review) studi terdahulu, kerangka teori
dan konseptual, metode penelitian serta sistematika
penulisan skripsi.
BAB II LANDASAN TEORITIS
Bab ini berisi penjelasan teori terkait dengan permasalahan
yang akan diteliti berdasarkan tinjauan pustaka. Penulis
menguraikan teori tentang take over dan take over dengan
prinsip syariah, diikuti dengan bentuk-bentuk alternatif
akad yang dapat digunakan menurut Fatwa DSN MUI No.
31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang dan
SEOJK No. 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan
Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
BAB III GAMBARAN UMUM BRI SYARIAH
Bab ini menjelaskan gambaran umum dan profil lembaga
yang menjadi subjek penelitian, di antaranya berisi
mengenai sejarah singkat, Visi dan Misi, Struktur
Organisasi, produk-produk lembaga, dan kinerja keuangan.
BAB IV ANALISIS KESESUAIAN PERJANJIAN TAKE
OVER KREDIT MODAL KERJA DI BRI SYARIAH
KC DEPOK MARGONDA DENGAN FATWA DSN-
24
MUI NO. 31 TAHUN 2002 DAN SEOJK NO.
36/SEOJK.03/2015
Bab ini merupakan inti pembahasan penelitian yang akan
membahas mengenai permasalahan yang diteliti yaitu
tentang perjanjian take over Kredit Modal Kerja di bank
syariah ditinjau dari fatwa DSN MUI dan SEOJK No.
36/SEOJK.03/2015, serta bagaimana konsep dan
aplikasinya di bank syariah yang meliputi akad dan model
perjanjian yang digunakan serta analisis kesesuaiannya.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan penelitian yang diperoleh pada
bab sebelumnya dan disertai dengan pemberian saran-saran
yang konstruktif terkait pemasalahan yang ditemukan.
25
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Take Over
1. Definisi Take Over
Take over dalam kamus Inggris Indonesia berarti mengambil alih.
Secara umum, menurut Ahmad Antoni K. Muda, take over berarti
pengambilalihan atau dalam lingkup suatu perusahaan adalah perubahan
kepentingan pengendalian suatu perseroan.1 Sedangkan menurut Rochaety
dan Tresnati, take over selain mempunyai pengertian perubahan
kepentingan dalam pengendalian suatu perseroan juga memiliki pengertian
pengambilan sebuah perusahaan oleh perusahaan lain.2
Menurut Rachmat Firdaus dalam Manajemen Kredit Bank, “take over
merupakan suatu istilah yang dipakai dalam dunia perbankan dalam hal
pihak ketiga memberi kredit kepada debitur yang bertujuan untuk melunasi
utang kepada kreditur awal dan memberikan kredit baru kepada debitur
sehingga kedudukan pihak ketiga ini menggantikan kedudukan kreditur
awal.”3
Peristiwa pengalihan utang ini sangat identik dengan peristiwa
subrogasi dalam hukum positif. Pasal 1400 KUH Perdata menyatakan
bahwa subrogasi adalah pemindahan hak kreditur kepada seorang pihak
ketiga yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan
atau karena undang-undang. Apabila perpindahan tersebut terjadi karena
persetujuan, maka kemungkinan yang terjadi adalah atas inisiatif kreditur
atau inisiatif debitur. Inisiatif kreditur yaitu apabila kreditur dan pihak
ketiga bertemu dan bersama-sama mengetahui bahwa pihak ketiga akan
1 Ahmad Antoni K. Muda, Kamus Lengkap Ekonomi. (Jakarta: Gitamedia Press, 2003), h.
331. 2 Ety Rochaety dan Ratih Tresnati, Kamus Istilah Ekonomi. (Jakarta: PT Bumi Aksara,
2005), h. 231. 3 Rachmat Firdaus, Manajemen Kredit Bank. (Bandung: PT Purna Sarana Lingga Utama,
1986), h. 16.
26
menggantikan kedudukannya sebagai kreditur atas debitur yang
bersangkutan, subrogasi ini dinyatakan dengan tegas bersamaan pada saat
pembayaran.4
Tujuan pihak ketiga membayar utang debitur kepada kreditur
bukanlah untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar
melainkan menggantikan kedudukan kreditur lama. Selanjutnya pihak
ketiga berhak melakukan penagihan utang terhadap debitur dan apabila
debitur wanprestasi, pihak ketiga sebagai kreditur baru berhak untuk
melakukan eksekusi.
Kemungkinan kedua adalah debitur meminjam uang dari pihak ketiga
untuk melunasi utangnya kepada kreditur dan menetapkan bahwa pihak
ketiga menggantikan hak-hak kreditur terhadap debitur. Dalam hal ini,
agar subrogasi ini sah, maka perjanjian pinjam meminjam uang antara
debitur dan pihak ketiga harus dibuat dengan akta otentik beserta tanda
pelunasannya. Dalam perjanjian itu pula, harus ditegaskan bahwa uang
tersebut digunakan untuk melunasi utang debitur kepada kreditur. Setelah
dibayarkan, maka dalam tanda pelunasannya harus diterangkan bahwa
pelunasan dilakukan dengan menggunakan uang yang dipinjam dari pihak
ketiga. Proses tersebut di atas untuk menjamin kepentingan pihak ketiga
yang akan menggantikan kedudukan kreditur lama. Dalam hal pengalihan
kredit di perbankan, kemungkinan kedua inilah yang terjadi.
Sedangkan subrogasi yang terjadi karena undang-undang diatur dalam
Pasal 1402 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang artinya subrogasi
tersebut terjadi tanpa perlu persetujuan antara pihak ketiga dengan kreditur
lama, maupun pihak ketiga dengan debitur.5
Istilah take over yang digunakan dalam perbankan memang tidak
diatur secara baku dalam peraturan perundang-undangan, dalam arti tidak
ada ketentuan bahwa peristiwa peralihan kredit harus menggunakan istilah
4 Lihat Pasal 1401 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
5 Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Nivasi, dan Cessie dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek, Code Civil Perancis,
dan Common Law. (Jakarta: Kencana, 2006), h. 9.
27
take over, namun istilah ini sudah lazim digunakan baik dalam perbankan
maupun nasabah serta pengusaha dalam menggambarkan kondisi peralihan
kredit dari bank satu ke bank yang lain. Sedangkan istilah subrogasi jarang
digunakan dan bahkan tidak dikenal oleh nasabah dan kalangan
pengusaha.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa take over merupakan
suatu peristiwa pengalihan atau pengambilalihan untuk mengubah
kepentingan dan kedudukan pihak-pihak yang bersangkutan di dalamnya.
Dalam penelitian ini, take over yang dimaksud ialah take over
kredit/pinjaman yang berarti pengalihan kredit atau pinjaman debitur
kepada pihak ketiga, di mana selanjutnya pihak ketiga menggantikan hak-
hak kreditur lama terhadap debitur. Atau dalam bisnis perbankan dapat
didefinisikan sebagai pemberian fasilitas kredit atau pinjaman oleh suatu
lembaga keuangan -baik bank ataupun non-bank-, yang dipergunakan
untuk pemindahan fasilitas kredit dari lembaga keuangan lain.
2. Tujuan Take Over
Tujuan dilakukannya take over kredit secara umum selain karena
terpaksa, ialah karena ingin memperoleh dana tunai dengan suku bunga
yang ringan untuk mengecilkan besaran angsuran. Karena penurunan
tingkat suku bunga ini, otomatis akan mengecilkan besaran angsuran per
bulannya, dengan asumsi tidak mengubah jangka waktu pinjaman. Selain
itu, take over biasanya dilakukan karena nasabah tidak puas dengan
pelayanan di lembaga keuangan sebelumnya. Sehingga dengan take over
ini nasabah berharap pelayanan dari lembaga keuangan yang ditunjuk
dapat lebih baik dari yang sebelumnya.
Dalam penelitian ini, take over atau pengalihan utang dilakukan untuk
membantu masyarakat dalam mengalihkan transaksi non syariahnya
menjadi transaksi syariah, bukan hanya pembiayaan yang sifatnya
konsumtif, tetapi juga pembiayaan yang sifatnya produktif.
28
3. Syarat dan Mekanisme Take Over
Secara tanggap, bank dituntut untuk menjalankan fungsi dan tanggung
jawabnya terhadap masyarakat. Untuk itu, dalam memberikan pembiayaan
ataupun pelayanan, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah
calon debitur untuk mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum
memberikan kredit atau pembiayaan bank harus memberikan penilaian
dengan seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek
usaha dan nasabah calon debitur.
Secara garis besar, menurut Syamsu Iskandar mekanisme peralihan
kredit atau take over dalam perbankan berbeda dengan mekanisme
penyaluran kredit pada umumnya, karena penyaluran kredit dengan take
over hanya diperuntukkan bagi calon debitur yang saat diberi kredit masih
berstatus sebagai nasabah atau debitur bank atau lembaga keuangan lain.
Meskipun demikian, calon nasabah tersebut bebas untuk menentukan
kepada siapa ia akan mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian. Hal
tersebut diperbolehkan atas dasar asas kebebasan berkontrak. Menurut R.
Setiawan mereka bebas untuk memutuskan berpindah dari kreditur yang
satu kepada kreditur yang lain selama telah memenuhi segala
kewajibannya atas perjanjian sebelumnya dengan kreditur awal. Peristiwa
tersebut sesuai dengan salah satu unsur berakhirnya perjanjian yaitu
perjanjian berakhir apabila tujuan dari diadakannya perjanjian telah
tercapai.6
Untuk dapat melakukan penilaian, bank memerlukan informasi
tentang data-data yang dimiliki nasabah calon debitur. Data-data tersebut
adalah data yang tercantum dalam isi surat permohonan kredit, antara lain
identitas calon debitur, bidang usaha calon debitur, jumlah kredit yang
dimohon dan tujuan pemakaian kredit. Selain itu diperlukan data-data lain
6 Syarief Toha dan Pujiyono, “Problematika dalam Pelaksanaan Pengambilalihan Kredit
dengan Jaminan Hak Tanggungan”, Jurnal Repertorium, IV, 2, (Juli-Desember, 2017), h.98.
29
untuk menunjang permohonan, seperti susunan pengurus perusahaan
nasabah calon debitur, laporan keuangan, perencanaan proyek yang akan
dibiayai, barang jaminan yang akan diagunkan, dan lain-lain.7
Proses take over dimulai dengan permohonan kredit atau pembiayaan
oleh calon nasabah, kemudian penyerahan semua kelengkapan data dan
syarat-syarat pengajuan kredit atau pembiayaan, dilanjutkan dengan
dilakukannya analisis meliputi jangka waktu kredit yang telah berjalan,
kolektibilitas calon nasabah, mutasi rekening nasabah, informasi dari BI
terkait riwayat kredit calon nasabah, hingga jenis pembiayaan yang akan
diterapkan setelah kredit di take over.
Syarat-syarat di atas kemudian dinilai oleh bank sebelum akhirnya
disetujui dan dicairkan. Dalam dunia perbankan, aspek analisa yang dinilai
dikenal dengan sebutan 5C (Character, Capacity, Collateral, Capital, dan
Condition of Economy) dan 5P (Party, Purpose, Payment, Profitability,
dan Protection), bahkan menurut Munir Fuady dalam Hukum Perkreditan
Kontemporer ditambah dengan 3R (Returns, Repayment, dan Risk Bearing
Ability).8
Selanjutnya, setelah permohonan disetujui, bank akan kembali
melakukan analisis persyaratan administratif yang telah diberikan nasabah.
Biasanya analisis ini juga dilakukan dengan melakukan wawancara dan
tinjauan ke lapangan untuk melihat kondisi calon nasabah yang
sebenarnya. Apabila telah memenuhi syarat, maka dilanjutkan dengan
pembuatan proposal pembiayaan yang akan diajukan kepada komite
pembiayaan. Jika proposal disetujui, maka dilanjutkan dengan
penandatanganan perjanjian untuk melakukan take over terhadap kredit
yang dimiliki calon nasabah dengan cara melunasi sisa kredit di bank
asalnya untuk kemudian dilakukan pengikatan jaminan. Apabila pelunasan
telah dilakukan, maka calon nasabah wajib meminta slip tanda pelunasan
serta asli bukti kepemilikan jaminan yang telah dibebani Hak Tanggungan
7 Bambang Catur PS, Hukum Perbankan di Indonesia. (Depok: Pena Utama, 2011), h. 41.
8 Bambang Catur PS, Hukum Perbankan di Indonesia., h. 42.
30
dengan terlebih dahulu dilakukan roya (pencoretan hak) atas nama kreditur
awal.9
4. Bentuk-Bentuk Take Over
Take over merupakan transaksi dimana masyarakat dapat
memindahkan kredit berjalan yang dimilikinya kepada pihak lain. Dalam
praktiknya, take over kredit termasuk dalam pemberian fasilitas kredit
yang diberikan oleh suatu lembaga untuk memindahkan kredit yang telah
dilakukan sebelumnya oleh debitur dari pihak lain. Apabila disetujui oleh
bank atau lembaga yang menyediakan fasilitas tersebut, maka debitur
tersebut dapat memindahkan kreditnya untuk kemudian lembaga tersebut
akan menjadi kreditur baru bagi debitur. Beberapa pemindahan kredit/take
over kredit yang bisa dilakukan, antara lain:
a. Take over antar bank
Take over ini biasanya dilakukan oleh mereka yang menginginkan
sejumlah bunga yang lebih ringan dari yang mereka miliki saat ini
atau menginginkan menjadikan transaksi non syariahnya menjadi
transaksi yang sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini umumnya
dilakukan karena adanya penawaran yang lebih baik dan
menguntungkan dari bank lain. Sehingga mereka lebih memilih
mengajukan kredit yang baru dan melakukan take over pada kredit
sebelumnya yang telah dimiliki.
Syarat yang dibutuhkan untuk melakukan take over ini sama
dengan persyaratan yang ditetapkan oleh bank ketika pengajuan kredit
sebelumnya. Namun selain persyaratan standar yang dipenuhi pada
pengajuan awal kredit, bank biasanya juga akan meminta sertifikat
rumah yang akan di-take over apabila yang ingin di-take over adalah
Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Dengan adanya persyaratan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa
take over KPR hanya akan bisa dijalankan jika sertifikat rumah
9 Syarief Toha dan Pujiyono, “Problematika dalam Pelaksanaan Pengambilalihan Kredit
dengan Jaminan Hak Tanggungan”, Jurnal Repertorium, IV, 2, (Juli-Desember, 2017), h.98.
31
tersebut telah ada karena akan dijadikan sebagai jaminan atas kredit
yang akan diajukan. Dengan begitu, take over KPR hanya dapat
dilakukan bila setidaknya nasabah telah memiliki masa cicilan selama
satu tahun, di mana setelah masa tersebut biasanya sertifikat rumah
telah terbit dan dipegang oleh pihak bank pertama.10
Selain KPR, beberapa jenis kredit atau pembiayaan yang bisa
dilakukan take over antar bank antara lain, Kredit Kendaraan
Bermotor (KKB), Kredit Multiguna/Multijasa, Kredit Modal Kerja
(KMK), dan Kredit Investasi (KI).11
b. Jual beli secara take over
Take over ini dapat digunakan apabila kita memiliki keinginan
untuk membeli sebuah rumah atau kendaraan baru dengan KPR/KKB
dan melakukan take over terhadap KPR/KKB orang lain yang belum
lunas. Proses ini melibatkan tiga pihak yang berkepentingan, yaitu kita
sebagai pemohon take over, penjual rumah atau kendaraan yang akan
kita beli rumah atau kendaraannya, dan pihak bank selaku penyedia
dana.
Dalam proses pengajuannya, selain harus memenuhi persyaratan
pengajuan awal kredit, kita juga wajib datang ke bank bersama dengan
penjual rumah atau kendaraan yang akan kita beli sebagai pengajuan
KPR/KKB dengan take over tersebut. Setelah bank melakukan analisa
dan persetujuan terhadap pengajuan kredit tersebut, pihak bank akan
mengeluarkan Akta Jual Beli (AJB) dan juga Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Sebelum meneruskan
KPR/KKB tersebut, kita juga diwajibkan untuk membayar sejumlah
biaya take over yang telah ditentukan dan disepakati dengan pihak
penjual tersebut. Setelah itu pembeli akan menjadi debitur baru
10
http://cermati.com/artikel/take-over-kpr-apa-saja-syarat-dan-cara-mengurusnya diakses
pada 30 September 2018 pukul 15:32 WIB. 11
Uswatun Chasanah, “Pengalihan Hutang yang Dialihkan Secara Take Over dengan
Akad Musharakah di BRI Syariah KCP Diponegoro Surabaya” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah,
UIN Sunan Ampel Surabaya, 2010), h. 59.
32
menggantikan posisi penjual sebagai debitur lama. Kemudian
diteruskan dengan perjanjian kredit baru atas nama debitur yang
baru.12
c. Take over bawah tangan
Merupakan proses pengalihan kepemilikan rumah yang dilakukan
antara penjual dan pembeli saja. Take over ini berlangsung tanpa
adanya keterlibatan bank selaku pemberi dana kredit itu sendiri.
Dalam proses ini, biasanya pembeli hanya akan melakukan perjanjian
perpindahan kredit di depan notaris, melunasi biaya take over tersebut
dan melanjutkan pembayaran cicilan kredit yang di-take over. Proses
ini sangat tidak dianjurkan, terutama apabila kita bertindak sebagai
pembeli. Karena dalam KPR misalnya, bank tidak akan menyerahkan
sertifikat kepemilikan rumah kepada seseorang yang namanya tidak
tertera pada sertifikat tersebut. Dengan begitu, kita akan berpotensi
mengalami masalah dan kerugian atas take over tersebut.13
B. Take Over dengan Prinsip Syariah
1. Definisi Take Over dengan Prinsip Syariah
Akad perpindahan yang berhubungan dengan utang piutang antara
satu pihak dengan pihak yang lain dalam prinsip syariah dikenal dengan
istilah hawalah atau hiwalah. Secara bahasa, pengalihan utang atau take
over dalam hukum Islam disebut sebagai hawalah, yang memiliki arti
memindahkan atau mengalihkan. Secara terminologis, hawalah adalah
memindahkan utang dari tanggungan muhil (orang yang memindahkan)
kepada tanggungan muhal ‘alaih (orang yang berutang kepada muhil).
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hawalah adalah pengalihan
utang dari muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih.14
12
http://www.kreditgogo.com/artikel/Kredit-Mobil/Serba-Serbi-Take-Over-Kredit-
Mobil.html diakses pada 30 September 2018 pukul 16:48 WIB. 13
http://cermati.com/artikel/take-over-kpr-apa-saja-syarat-dan-cara-mengurusnya diakses
pada 30 September 2018 pukul 15:32 WIB. 14
Lihat Pasal 20 ayat (13) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
33
Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa hawalah ialah
pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan pihak pertama kepada
pihak kedua untuk menuntut pembayaran utang atau membayar utang dari
atau kepada pihak ketiga, karena pihak ketiga berutang kepada pihak
pertama dan pihak pertama berutang kepada pihak kedua; atau karena
pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua
berutang kepada pihak pertama. Perpindahan itu dimaksudkan sebagai
ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak didasarkan
kesepakatan bersama.15
Dalam praktik perbankan, praktik hawalah adalah perpindahan utang
atau piutang nasabah (muhal) ke bank (muhal ‘alaih). Atas bantuan bank
untuk melunaskan piutang nasabah terlebih dahulu, bank dapat meminta
pembayaran jasa kepada nasabah yang besarnya dengan memperhitungkan
faktor risiko apabila utang tersebut tidak tertagih.
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbs
Maret 2008, pemberian jasa pengalihan utang atas dasar hawalah terdiri
dari hawalah muthlaqah dan hawalah muqayyadah. Hawalah muthlaqah
ialah transaksi yang berfungsi untuk pengalihan utang dari pihak yang
menimbulkan adanya dana keluar (cash out) bank. Hawalah muqayyadah
ialah transaksi yang berfungsi untuk melakukan set off (penyelesaian)
utang piutang di antara tiga pihak yang memiliki hubungan utang piutang
melalui transaksi pengalihan utang, serta tidak menimbulkan adanya dana
keluar (cash out). Jadi, jika perpindahan utang piutang menyebabkan
adanya pembayaran yang dilakukan oleh bank, maka pengalihan tersebut
masuk dalam kategori hawalah muthlaqah.16
Namun dalam perkembangannya, konsep hawalah muthlaqah dalam
praktik di bank syariah diterjemahkan sebagai “Take Over Pembiayaan”
15
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h. 559. 16
Irma Devita Purnamasari dan Suswinarno, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer:
Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah. (Bandung: Kaifa, 2011),
h.118.
34
dan tidak menggunakan istilah hawalah. Hal ini dikarenakan, apabila
menggunakan konsep hawalah, akad yang digunakan harus berupa akad
tabarru’. Akad tabarru’ pada prinsipnya merupakan akad tolong-
menolong, yang artinya harus murni bersifat sosial dan tidak boleh
mengambil keuntungan dari transaksi akad yang dimaksud. Hal ini
tentunya kurang cocok dalam praktik perbankan, di mana bank tentunya
mengharapkan adanya keuntungan tertentu atas suatu transaksi. Oleh
karenanya, dibuat istilah Perjanjian Take Over.17
Maka dari itu, dalam pembiayaan berdasarkan take over ini, untuk
melunasi kewajiban nasabah terhadap bank atau lembaga keuangan
sebelumnya bank syariah mengklasifikasikan utang nasabah kepada bank
konvensional menjadi dua macam, yaitu utang pokok plus bunga dan
utang pokok saja. Dalam menangani utang pokok plus bunga, bank syariah
memberikan jasa qardh karena alokasi penggunaan qardh tidak terbatas,
termasuk untuk menalangi utang yang berbasis bunga. Sedangkan terhadap
utang yang berbentuk utang pokok saja, bank syariah memberikan jasa
hawalah atau pengalihan utang karena hawalah tidak bisa untuk
menalangi utang yang berbasis bunga.
Jika utang nasabah terdiri dari utang pokok plus bunga, langkah
pertama yang dilakukan bank syariah adalah memberikan qardh kepada
nasabah sehingga nasabah dapat melunasi utangnya di bank konvensional
dan aset tersebut menjadi hak milik nasabah secara penuh. Selanjutnya
nasabah menjual aset tersebut kepada bank yang dari hasil penjualannya
tersebut nasabah dapat melunasi qardhnya kepada bank syariah. Setelah
itu bank syariah dapat menjual aset secara murabahah atau menyewakan
aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah dengan akad
IMBT. Penerapan akad IMBT ini pada hakikatnya adalah untuk
17
Irma Devita Purnamasari dan Suswinarno, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer:
Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Akad Syariah., h.122.
35
menghindari terjadinya bai’ al-inah yang merupakan salah satu jual beli
yang dilarang.18
Untuk lebih jelasnya, fatwa DSN MUI No. 31/DSN-MUI/VI/2002
menerangkan bahwa take over mempunyai peran dalam membantu
masyarakat untuk mengalihkan transaksi non-syariah yang telah berjalan
menjadi transaksi yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam fatwa
tersebut, take over atau pengalihan utang didefinisikan sebagai
pemindahan utang nasabah dari bank atau lembaga keuangan konvensional
ke bank atau lembaga keuangan syariah. Nasabah yang dimaksud adalah
(calon) nasabah Lembaga Keuangan Syariah (LKS) atau Bank Syariah
yang mempunyai kredit (utang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional
(LKK) atau Bank Konvensional untuk pembelian aset, yang ingin
mengalihkan utangnya ke LKS atau Bank Syariah.
Untuk memenuhi tujuan dari transaksi ini, fatwa DSN No. 31/DSN-
MUI/VI/2002 memberikan empat alternatif yang dapat digunakan dalam
transaksi take over untuk disesuaikan dengan kebutuhannya, yaitu:
a. Qardh dan Murabahah;
b. Syirkah al-Milk dan Murabahah;
c. Ijarah (dengan qardh bila diperlukan); dan
d. Qardh dan Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT).
Berbeda dengan fatwa DSN MUI, Otoritas Jasa Keuangan dalam
Surat Edarannya Nomor36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah memberikan enam alternatif
yang dapat digunakan dalam hal pemindahan utang (take over) nasabah
dari Lembaga Keuangan Konvensional ke Bank Syariah, yaitu:
a. Qardh dan Murabahah;
b. Syirkah al-Milk dan Murabahah;
c. Ijarah (dengan qardh bila diperlukan);
d. Qardh dan Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT);
18
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013), h. 248.
36
e. Musyarakah Mutanaqisah dan Ijarah/ Usaha Jual Beli/
Usaha Bagi Hasil;dan
f. Hawalah bil ujrah.
Sedangkan dalam hal pemindahan pembiayaan nasabah dari Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) ke bank syariah dapat menggunakan tiga
alternatif, yaitu:
a. Hawalah bil ujrah;
b. Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT); dan
c. Musyarakah Mutanaqisah.
2. Dasar Hukum Take Over dengan Prinsip Syariah
Landasan hukum dari transaksi take over ini terdapat dalam beberapa
ayat Al-Qur‟an dan Hadits, di antaranya:
a. Q.S. Al-Ma‟idah (5) ayat 1:
...
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ...”
b. Q.S. Al-Isra‟ (17) ayat 34:
...
“... dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungan jawabnya.
c. Hadits Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari „Amr bin „Auf al-Muzani.
م حللا أو لح جا ئز بيي الوسلويي إلا صلحا حر الص
أحل حراها والوسلوىى ءلى شرو طهن إلا شرطا
م حللا أو أحل حرها . حر
37
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram.”
3. Bentuk-bentuk Take Over dengan Prinsip Syariah
Dalam mekanismenya, transaksi take over harus mengikuti ketentuan
dalam fatwa DSN No. 31/DSN-MUI/IV/2002 tentang Pengalihan Utang.
Fatwa sendiri merupakan cermin dari respon para ulama terhadap suatu
masalah yang memerlukan jawaban dari aspek agama Islam sehingga
sifatnya lebih dinamis dan juga merupakan cermin refleksi dari pemikiran
intelektual masyarakat tertentu.19
Pengaruh fatwa DSN terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan syariah sangatlah besar. Diawali dengan ketentuan yang
secara implisit atas pengakuan terhadap fatwa DSN, kemudian meningkat
secara yuridis formal dengan ketentuan secara eksplisit yang mengakui
fatwa DSN sebagai suatu hukum syariah yang berlaku.20
Dalam Pasal 35 Peraturan Bank Indonesia No. 11/3/PBI/2009 juga
dinyatakan, dalam melakukan usahanya, Bank Umum Syariah diwajibkan
merujuk pada fatwa DSN serta meminta fatwa terlebih dahulu untuk
produk baru bank yang belum ada fatwanya. Maka dapat disimpulkan
bahwa kedudukan fatwa DSN dalam sistem hukum nasional antara lain
sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah; pedoman bagi
Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam mengawasi kegiatan usaha LKS;
isi ketentuannya diserap ke dalam peraturan perundang-undangan; dan
19
M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah. (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
2011), h. 105. 20
Yeni Salma Barlinti, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia.” (Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta,
2010), h. 255.
38
menjadi landasan hukum bagi LKS dalam menjalankan produk kegiatan
usahanya.21
Selain fatwa DSN bank syariah juga harus mengikuti ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hal ini dikarenakan dalam bidang
perbankan, OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank. Hal ini mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah. Untuk
dapat memitigasi berbagai risiko dalam kaitan perkembangan dan inovasi
produk dan aktivitas bank syariah dan Unit Usaha Syariah, maka perlu
diimbangi dengan mekanisme perizinan dan pelaporan produk dan
aktivitas yang lebih sesuai dengan upaya pengembangan bank syariah dan
unit usaha syariah. Maka dari itu, OJK membentuk peraturan tentang
Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah yang
dituangkan dalam POJK No. 24/POJK.03/2015.
Sehubungan dengan terbitnya POJK No. 24/POJK.03/2015 dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha
dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, maka perlu diatur pula
ketentuan pelaksanaan mengenai Produk dan Aktivitas Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah. Ketentuan pelaksanaan tersebut
selanjutnya dituangkan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan
(SEOJK) No. 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. SEOJK ini mengatur mengenai
kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah (BUS) dan
Unit Usaha Syariah (UUS).
Dalam SEOJK tersebut diatur pula mengenai persyaratan dan
karakteristik akad yang dapat digunakan dalam sebuah produk. Dalam hal
take over atau pengalihan utang, Otoritas Jasa Keuangan memberikan
21
Yeni Salma Barlinti, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia.” (Disertasi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta,
2010), h. 469.
39
enam bentuk alternatif yang dapat dilakukan oleh BUS ataupun UUS,
yaitu22
:
a. Alternatif 1
1) Bank Syariah memberikan pinjaman qardh kepada nasabah untuk
melunasi kredit nasabah di lembaga keuangan konvensional
sehingga aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik
nasabah secara penuh.
2) Nasabah menjual aset tersebut kepada Bank Syariah dan hasil
penjualannya digunakan untuk melunasi pinjaman qardh.
3) Bank Syariah menjual aset yang telah menjadi milik Bank kepada
nasabah secara murabahah dengan pembayaran secara cicilan.
4) Memenuhi ketentuan pembiayaan qardh dan pembiayaan
murabahah.
Gambar 2.1 : Pengalihan Utang Alternatif Pertama
(5) menerima aset (6) jual aset & lunasi qardh
(2) pengajuan &
(1) kredit berjalan kesepakatan TO
(4) pelunasan kredit (3) pemberian qardh
(7) akad murabahah
Dalam alternatif pertama ini, bank syariah dapat menggunakan
akad qardh dan murabahah. Qardh merupakan pinjaman yang
diberikan kepada nasabah yang dananya bersumber dari bagian modal
22
Lihat Lampiran IV Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 36/SEOJK.03/2015
tentang Produk dan Aktivitas Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, h. 91.
BANK
KONVEN NASABAH BANK
SYARIAH
40
LKS, keuntungan LKS yang disisihkan, dan lembaga lain atau
individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.
Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada nasabahnya
sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami
over-draft. Fasilitas ini merupaka bagian dari satu paket pembiayaan
lain, untuk memudahkan nasabah bertransaksi.23
Dalam akad qardh
ini, biaya administrasi, notaris, materai dan lain sebagainya
dibebankan kepada nasabah.24
Qardh merupakan salah satu aktivitas
taqarrub kepada Allah SWT karena di dalamnya terdapat unsur
kelembutan dan kasih sayang kepada manusia, mempermudah urusan
dan meringankan beban kesulitan mereka.25
Pengajuan take over dapat dilakukan oleh nasabah saat kreditnya
di bank konvensional masih berjalan. Bank syariah menganalisis
kredit calon nasabahnya yang masih berjalan di bank konvensional
meliputi jangka waktu kredit yang telah berjalan, kolektibilitas calon
nasabah, mutasi rekening nasabah, informasi dari BI terkait riwayat
kredit calon nasabah, hingga jenis pembiayaan yang akan diterapkan
setelah kredit di take over. Setelah terjadi kesepakatan, bank syariah
memberikan pinjaman berupa qardh kepada nasabah untuk melakukan
pelunasan kreditnya, sehingga aset yang dibeli dengan kredit tersebut
menjadi milik nasabah seutuhnya.
Selanjutnya aset yang telah menjadi milik nasabah tersebut, dijual
kepada bank syariah, dan hasil penjualannya digunakan untuk
melunasi utang qardh nasabah. Dalam hal nasabah tidak memenuhi
kewajibannya untuk melunasi fasilitas qardh pada waktu yang telah
disepakati, bank syariah dapat membebankan denda atas
keterlambatan tersebut yang diperuntukkan sebagai dana sosial.
23
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), h. 48. 24
Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh 25
Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu‟ al-Qadimah wa al-Mu‟ashirah wa al-Burshat al-
Mahaliyyah wa ad-Duwaliyyah. Penerjemah Yahya Abdurrahman, Bisnis Islam & Kritik atas
Praktik Bisnis ala Kapitalis. (Bogor: Al-Azhar Press, 2014), h. 364.
41
Setelah proses qardh dan jual beli selesai, bank syariah kembali
menjual aset tersebut kepada nasabah secara murabahah.26
Murabahah
merupakan kontrak untuk jual beli biasa, di mana harga jualnya terdiri
dari harga pembelian ditambah dengan suatu margin dengan
persentase, mark up, atau cost plus tertentu sebagai keuntungan
penjual. Harga pokok ini harus diketahui pembeli. Dalam
hubungannya dengan bank, murabahah harus berkaitan dengan jual
beli. Bank dapat membelikan barang yang diperlukan nasabahnya
dengan membayar tunai kepada penjual. Namun dalam transaksi ini,
murabahah dilakukan terhadap barang yang telah dibeli bank dari
nasabah. Kemudian, barang yang sama tersebut dijual kepada nasabah
dengan tambahan margin sebagai keuntungan bagi bank, dengan cara
tangguh atau angsur.27
Porsi keuntungan tersebut bersifat tetap, dan merupakan
kompensasi terhadap pelayanan yang diberikan, dan risiko yang ada
dapat timbul selama masa angsuran. Karena harga jual diangsur
kepada bank, maka terdapat unsur pemerataan pendapatan selama
masa angsuran, atau disebut sebagai payment atau income smoothing.
Hal ini berbeda dengan bunga di bank konvensional, karena akad
murabahah bukan akad yang memberikan pinjaman uang, melainkan
akad jual beli barang yang bersifat tangible, dengan pembayarannya
ditunda atau diangsur (bai’ bithaman ajil). Jadi prima kausa akadnya
bukan uang seperti dalam perjanjian kredit di bank konvensional,
melainkan barang, yang merupakan hasil dari produksi ekonomi riil.28
Dalam transaksi ini, kredit yang akan dialihkan dari bank atau
26
Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah 27
Hendy Herijanto, “Pembiayaan dalam Islam” dalam Dewan Pengurus Nasional
FORDEBI & ADESy, Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis
Islam.(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), h. 32. 28
Hendy Herijanto, “Pembiayaan dalam Islam” dalam Dewan Pengurus Nasional
FORDEBI & ADESy, Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis
Islam., h. 33.
42
lembaga keuangan konvensional harus kredit yang memiliki
underlying asset dan sesuai dengan ketentuan dalam fatwa DSN MUI
terkait qardh dan murabahah.
b. Alternatif 2
1) Bank Syariah dengan seizin lembaga keuangan konvensional
membeli sebagian aset nasabah yang dibiayai oleh lembaga
keuangan konvensional, sehingga terjadi kepemilikan bersama
antara Bank dan nasabah terhadap aset tersebut.
2) Bagian aset yang dibeli Bank Syariah adalah bagian aset yang
senilai dengan sisa utang (kredit) nasabah kepada kembaga
keuangan konvensional.
3) Bank Syariah menjual bagian aset yang telah dimilikinya tersebut
kepada nasabah secara murabahah dengan pembayaran secara
cicilan.
4) Memenuhi ketentuan pembiayaan murabahah.
Gambar 2.2 : Pengalihan Utang Alternatif Kedua
(4) jual aset bagian miliknya (murabahah)
(2) Pengajuan &
(1) kredit berjalan kesepakatan TO
(3) membeli sebagian aset nasabah (sisa cicilan) atas ijin LKK (syirkah al-milk)
Dalam alternatif ini, desain akad yang digunakan bank syariah
adalah syirkah al-milk dan murabahah. Bank syariah menganalisis
kredit calon nasabahnya yang masih berjalan di bank konvensional
meliputi jangka waktu kredit yang telah berjalan, kolektibilitas calon
nasabah, mutasi rekening nasabah, informasi dari BI terkait riwayat
BANK
KONVEN NASABAH BANK
SYARIAH
43
kredit calon nasabah, hingga jenis pembiayaan yang akan diterapkan
setelah kredit di take over. Setelah terjadi kesepakatan, take over atau
pengalihan dilakukan oleh bank syariah dengan cara membeli
sebagian aset nasabah dengan seizin bank konvensional, sehingga
terjadilah syirkah al-milk antara bank syariah dan nasabah terhadap
aset tersebut.
Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam hal
permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha tertentu
dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati
oleh pihak-pihak yang berserikat.29
Secara garis besar syirkah ada dua
macam, yaitu syirkah al-milk dan syirkah al-‘aqd. Syirkah al-milk
adalah perkongsian atau kerjasama dalam hal kepemilikan harta yang
keberadaannya muncul apabila dua orang atau lebih memperoleh
kepemilikan bersama atas suatu aset dengan salah satu sebab
kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan.30
Sementara syirkah
al-‘aqd adalah kerjasama dalam transaksi31
atau kerja sama antara dua
orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan.32
Dalam pembelian aset tersebut, bagian aset yang dibeli harus
senilai dengan sisa utang nasabah di bank atau lembaga keuangan
konvensional. Bagian aset tersebut kemudian dijual oleh bank syariah
secara murabahah kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan
dan mengikuti ketentuan murabahah dalam fatwa DSN MUI.
c. Alternatif 3
1) Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh atas aset,
nasabah dapat melakukan akad ijarah dengan Bank Syariah.
29
Lihat Pasal 20 ayat (3) Buku II Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah 30
Shalah ash-Shawi & Abdullah al-Mushlih, Ma La Yasa’ at-Tajira Jabluhu. Penerjemah
Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. (Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 145. 31
Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016),
h.130. 32
Shalah ash-Shawi & Abdullah al-Mushlih, Ma La Yasa’ at-Tajira Jabluhu. Penerjemah
Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. (Jakarta: Darul Haq, 2008), h. 146.
44
2) Apabila diperlukan, Bank Syariah dapat membantu menalangi
kewajiban nasabah dengan memberikan pinjaman qardh.
3) Akad ijarah sebagaimana dimaksud pada angka satu (1) tidak dapat
dipersyaratkan dengan pemberian talangan sebagaimana dimaksud
pada angka dua (2).
4) Besar imbalan jasa ijarah sebagaimana dimaksud pada angka satu
(1) tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan
Bank Syariah kepada nasabah sebagaimana dimaksud pada angka
dua (2).
5) Memenuhi ketentuan pembiayaan ijarah dan/atau pembiayaan
qardh
Gambar 2.3 : Pengalihan Utang Alternatif Ketiga
(4) membantu menalangi kewajiban nasabah bila diperlukan (qardh)
(2) pengajuan &
(1) kredit berjalan kesepakatan TO
(5) imbalan ijarah
(3)ijarah untuk pengurusan kepemilikan aset penuh
Dalam alternatif ini, desain akad yang digunakan bank syariah
adalah akad ijarah dan/atau qardh. Bank syariah menganalisis kredit
calon nasabahnya yang masih berjalan di bank konvensional meliputi
jangka waktu kredit yang telah berjalan, kolektibilitas calon nasabah,
mutasi rekening nasabah, informasi dari BI terkait riwayat kredit calon
nasabah, hingga jenis pembiayaan yang akan diterapkan setelah kredit
BANK
KONVEN NASABAH BANK
SYARIAH
45
di take over. Setelah terjadi kesepakatan, pengalihan dilakukan dengan
akad ijarah untuk pengurusan kepemilikan aset nasabah secara penuh.
Pada dasarnya, prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli,
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila jual beli objek
transaksinya adalah barang, ijarah objek transaksinya adalah barang
maupun jasa. Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk
memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu.33
Ijarah menurut fatwa DSN MUI adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri.34
Dalam mekanismenya, bank syariah dan nasabah melakukan akad
ijarah atas suatu aset yang kreditnya masih berjalan di bank atau
lembaga keuangan konvensional. Ijarah yang dilakukan adalah
memberikan sewa jasa karena bank syariah memberikan jasanya untuk
menyelesaikan sisa utang nasabah dari lembaga keuangan
konvensional. Atau apabila diperlukan, bank syariah atau LKS dapat
membantu menalangi kewajiban nasabahnya dengan qardh, akan
tetapi qardh ini tidak boleh dipersyaratkan bersama dengan akad
ijarah. Selanjutnya nasabah akan membayar sejumlah sisa utang
nasabah termasuk dengan ujrah (upah) yang telah disepakati setiap
bulannya. Besar imbalan jasa ijarah tersebut tidak boleh didasarkan
pada jumlah talangan yang diberikan Bank Syariah kepada nasabah.
d. Alternatif 4
1) Bank Syariah memberikan qardh kepada nasabah untuk melunasi
kredit, dengan demikian aset yang dibeli dengan kredit tersebut
menjadi milik nasabah secara penuh.
33
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan.(Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013), h. 138. 34
Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSN-MUI/IV/2002 tentang
Pembiayaan Ijarah
46
2) Nasabah menjual aset tersebut kepada Bank Syariah dan hasil
penjualannya digunakan untuk melunasi pinjaman qardh.
3) Bank Syariah menyewakan aset yang telah menjadi miliknya
kepada nasabah dengan akad ijarah muntahiyah bittamlik.
4) Memenuhi ketentuan pembiayaan ijarah muntahiyah bittamllik dan
pembiayaan qardh.
Gambar 2.4: Pengalihan Utang Alternatif Keempat
(5) menerima aset (6) jual aset & lunasi qardh
(2) pengajuan &
(1) kredit berjalan kesepakatan TO
(4) pelunasan kredit (3) pemberian qardh
(7) akad IMBT
Dalam alternatif ini, desain akad yang digunakan bank syariah
adalah akad qardh dan ijarah muntahiyah bittamlik (IMBT). Bank
syariah menganalisis kredit calon nasabahnya yang masih berjalan di
bank konvensional meliputi jangka waktu kredit yang telah berjalan,
kolektibilitas calon nasabah, mutasi rekening nasabah, informasi dari
BI terkait riwayat kredit calon nasabah, hingga jenis pembiayaan yang
akan diterapkan setelah kredit di take over. Setelah terjadi
kesepakatan, bank syariah melunasi kredit berjalan nasabah yang akan
dialihkan dengan menggunakan akad qardh.
Dengan pelunasan tersebut, aset yang dibeli secara kredit oleh
nasabah dapat menjadi milik nasabah sepenuhnya. Pelunasan qardh
kemudian dilakukan oleh nasabah dengan cara menjual aset tersebut
kepada bank syariah. Setelahnya, bank syariah dapat menyewakan
BANK
KONVEN NASABAH BANK
SYARIAH
47
aset yang telah dimilikinya tersebut kepada nasabah dengan
menggunakan akad ijarah muntahiyah bittamlik.
Akad ijarah muntahiyah bittamlik (IMBT) sendiri merupakan
perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak
milik atas benda yang disewa, kepada si penyewa setelah masa sewa
selesai. Akad IMBT terdiri dari akad ijarah dan bai’ atau hibah.
Kedua akad tersebut menjadi bergantung (mu’allaq) satu sama lain
karena akad ijarah tidak akan terjadi kecuali jika akad jual/hibah
disepakati akan dilakukan, dan objek sewa tidak bisa disewakan
kecuali jika setelah disewakan objek tersebut dijual atau dihibahkan.35
Dalam ketentuannya, semua rukun dan syarat yang berlaku dalam
akad ijarah berlaku pula dalam akad ijarah muntahiyah bittamlik.36
Dengan akad ijarah, pemilik barang menandatangani perjanjian
terpisah yang menyatakan bahwa di akhir masa sewa, penyewa dapat
membeli barang yang disewa dengan harga ditentukan lebih dahulu,
atau pemilik barang dapat menghibahkan barang tersebut ketika
penyewa telah melunasi seluruh biaya sewa. Janji ini bersifat
unilateral, dan tidak bilateral, dan hanya mengikat pemilik barang;
karena jika mengikat kedua belah pihak, maka akad tersebut menjadi
akad jual beli sesuatu di masa depan37
.
Pilihan untuk menjual barang di akhir masa sewa biasanya
diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa
relatif kecil, sehingga akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan
sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang
tersebut dan margin laba yang ditentukan oleh bank. Oleh karena itu,
untuk menutupi kekurangan tersebut, bila penyewa ingin memiliki
35
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017), h. 162. 36
Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al-Ijarah
Al-Muntahiyah bi Al-Tamlik 37
Hendy Herijanto, “Pembiayaan dalam Islam” dalam Dewan Pengurus Nasional
FORDEBI & ADESy, Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis
Islam.(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), h. 37.
48
barang tersebut, ia harus membelinya di akhir periode. Sedangkan
pilihan untuk menghibahkan barang di akhir masa sewa biasanya
diambil apabila kemampuan finansial penyewa untuk membayar sewa
relatif besar, sehingga sudah mencukupi untuk menutup harga beli
barang dan margin yang ditetapkan bank.38
e. Alternatif 5
1) Nasabah yang masih memiliki kredit pada lembaga keuangan
konvensional mengajukan permohonan pengalihan utangnya
kepada Bank Syariah dengan akad musyarakah mutanaqisah.
2) Bank Syariah dan nasabah melakukan akad musyarakah
mutanaqisah dengan ketentuan Bank Syariah dan nasabah
menyertakan modal usaha senilai kesepakatan antara Bank Syariah
dengan nasabah.
3) Nasabah melunasi kreditnya kepada lembaga keuangan
konvensional.
4) Nasabah menyewa barang yang menjadi objek syirkah
(musyarakah) dengan akad ijarah dan/atau nasabah dan Bank
Syariah melakukan kegiatan usaha dengan pihak ketiga dalam
bentuk:
a) Kegiatan usaha sewa menyewa;
b) Kegiatan usaha jual beli; dan/atau
c) Kegiatan usaha bagi hasil.
5) Bank Syariah dan nasabah berbagi pendapatan atas kegiatan
sebagaimana diatur pada angka empat (4).
6) Nasabah membeli porsi kepemilikan (hishshah) modal syirkah
Bank Syariah Syariah secara bertahap.
38
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013), h. 149.
49
Gambar 2.5: Pengalihan Utang Alternatif Kelima
(7) beli porsi kepemilikan secara bertahap
(5) akad ijarah/kegiatan usaha
dengan pihak ketiga
(2) pengajuan &
(1) kredit berjalan kesepakatan TO
(4) pelunasan kredit (3) akad MMQ
(6) bagi hasil pendapatan usaha
Dalam alternatif ini, desain akad yang digunakan bank syariah
adalah akad musyarakah mutanaqisah (MMQ) dan ijarah atau
kegiatan usaha lain dengan pihak ketiga. Musyarakah mutanaqisah
(MMQ) adalah musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset
(barang) atau modal salah satu pihak berkurang, yang disebabkan
pembelian bertahap oleh pihak lainnya. Substansi dari pembiayaan ini
ialah kepemilikan bersama atas suatu aset, antara bank dan nasabah
yang pada akhirnya aset tersebut dimiliki penuh oleh nasabah setelah
seluruh angsuran dilunasi oleh nasabah. Dengan angsuran menuju
kepemilikan penuh ini, porsi kepemilikan bank berangsur-angsur akan
berkurang sejalan dengan pembayaran angsuran yang dilakukan
nasabah. Angsuran ini terdiri dari porsi yang digunakan untuk
membeli bagian kepemilikan bank, dan porsi yang digunakan sebagai
biaya sewa kepada bank. Porsi ekuitas nasabah akan terus bertambah,
BANK
KONVEN NASABAH BANK
SYARIAH
50
dan ekuitas bank akan berkurang, yang pada akhirnya nasabah akan
memiliki aset tersebut secara penuh.39
Pertama, bank syariah menganalisis kredit calon nasabahnya yang
masih berjalan di bank konvensional meliputi jangka waktu kredit
yang telah berjalan, kolektibilitas calon nasabah, mutasi rekening
nasabah, informasi dari BI terkait riwayat kredit calon nasabah,
hingga jenis pembiayaan yang akan diterapkan setelah kredit di take
over. Setelah terjadi kesepakatan, bank syariah dan nasabah
melakukan akad musyarakah mutanaqisah dengan ketentuan bank
syariah akan menyertakan modal usaha senilai kesepakatan. Modal
usaha tersebut kemudian digunakan nasabah untuk melunasi sisa
kreditnya bank konvensional.
Dalam MMQ, pihak pertama –dalam hal ini bank syariah- wajib
berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan
pihak kedua (nasabah) wajib membelinya. Hishshah adalah porsi atau
bagian para pihak dalam kekayaan musyarakah yang sifatnya
ditentukan secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya
secara fisik.40
Selanjutnya, nasabah dapat melakukan akad ijarah dengan bank
syariah, atau nasabah dan bank syariah dapat juga melakukan kegiatan
usaha dengan pihak ketiga. Dalam hal aset MMQ di-ijarah-kan
kepada nasabah atau pihak ketiga, maka nilai ujrah harus disepakati
oleh para pihak. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut
kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dalam
akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan.
Selain itu nisbah keuntungan juga dapat mengikuti perubahan proporsi
kepemilikan sesuai kesepakatan para pihak.
39
Hendy Herijanto, “Pembiayaan dalam Islam” dalam Dewan Pengurus Nasional
FORDEBI & ADESy, Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis
Islam.(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), h. 41. 40
Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang
Musyarakah Mutanaqisah
51
Selanjutnya, nasabah dapat membeli porsi kepemilikan (hishshah)
modal syirkah bank syariah secara bertahap untuk dapat memiliki aset
tersebut secara penuh. Dalam akad ini porsi kepemilikan aset
musyarakah bank syariah yang berkurang akibat terjadi pembayaran
oleh nasabah harus jelas dan disepakati dalam akad.41
f. Alternatif 6
1) Nasabah yang masih memiliki kredit lembaga keuangan
konvensional mengajukan permohonan pengalihan utangnya
kepada Bank Syariah.
2) Bank Syariah setelah menyetujui permohonan nasabah tersebut,
melakukan akad hawalah bi al-ujrah dan membayar sebagian atau
seluruh utang nasabah kepada lembaga keuangan konvensional
pada waktu yang disepakati.
3) Nasabah membayar ujrah kepada Bank Syariah atas jasa hawalah.
4) Nasabah membayar kewajibannya yang timbul dari akad hawalah
kepada Bank Syariah, baik secara tunai maupun secara
tangguh/angsur sesuai kesepakatan.
Gambar 2.6: Pengalihan Utang Alternatif Keenam
(4) bayar kewajiban + ujrah
(2) pengajuan &
(1) kredit berjalan kesepakatan TO
(3)bayar sebagian/seluruh utang nasabah (hawalah bil ujrah)
Bank syariah menganalisis kredit calon nasabahnya yang masih
berjalan di bank konvensional meliputi jangka waktu kredit yang telah
41
Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang
Musyarakah Mutanaqisah
BANK
KONVEN NASABAH BANK
SYARIAH
52
berjalan, kolektibilitas calon nasabah, mutasi rekening nasabah,
informasi dari BI terkait riwayat kredit calon nasabah, hingga jenis
pembiayaan yang akan diterapkan setelah kredit di take over. Setelah
terjadi kesepakatan, bank syariah membayar utang nasabah di bank
konvensional dengan menggunakan akad hawalah bi al-ujrah, yaitu
akad pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain disertai dengan
ujrah (upah). Hawalah bil ujrah ini hanya berlaku pada hawalah
muthlaqah, di mana nasabah adalah orang yang berutang pada bank
konvensional, tetapi tidak memiliki piutang kepada bank syariah.
Ujrah atau fee yang diterima bank syariah didasarkan atas
kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang nasabah di bank
konvensional. Besaran, jangka waktu dan cara pembayarannya harus
ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai
kesepakatan.42
42
Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah
bil Ujrah
53
BAB III
GAMBARAN UMUM BRI SYARIAH
A. Sejarah Singkat BRI Syariah
Berawal dari akuisisi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.,
terhadap Bank Jasa Arta pada 19 Desember 2007 dan setelah mendapatkan
izin dari Bank Indonesia pada 16 Oktober 2008 melalui suratnya No.
10/67/KEP.GBI/DpG/2008, maka pada tanggal 17 November 2008 PT Bank
BRISyariah Tbk secara resmi beroperasi. Kemudian PT Bank BRISyariah
Tbk mengubah kegiatan usahanya yang semula beroperasional secara
konvensional, diubah menjadi kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariat
Islam.
Sepuluh tahun PT Bank BRISyariah Tbk, hadir mempersembahkan
sebuah bank ritel modern terkemuka dengan layanan finansial sesuai
kebutuhan nasabah dengan jangkauan termudah untuk kehidupan lebih
bermakna. Melayani nasabah dengan pelayanan prima (service excellence)
dan menawarkan beragam produk yang sesuai harapan nasabah dengan
prinsip syariah. Kehadirannya di tengah-tengah industri perbankan nasional
dipertegas oleh makna pendar cahaya yang mengikuti logo perusahaan. Logo
ini menggambarkan keinginan dan tuntutan masyarakat terhadap sebuah bank
modern sekelas PT Bank BRISyariah Tbk, yang mampu melayani masyarakat
dalam kehidupan modern.
Aktivitas PT Bank BRISyariah Tbk, semakin kokoh setelah pada 19
Desember ditandatangani akta pemisahan Unit Usaha Syariah PT Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., untuk melebur ke dalam PT Bank
BRISyariah Tbk (proses spin off) yang berlaku efektif pada 1 Januari 2009.
Penandatanganan tersebut dilakukan oleh Bapak Sofyan Basir selaku Direktur
Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., dan Bapak Ventje
Rahardjo selaku Direktur Utama PT Bank BRISyariah Tbk.
Saat ini PT Bank BRISyariah Tbk menjadi bank syariah ketiga
terbesar berdasarkan aset. PT Bank BRISyariah Tbk, tumbuh dengan pesat,
54
baik dari sisi aset, jumlah pembiayaan dan perolehan dana pihak ketiga.
Dengan berfokus pada segmen menengah ke bawah, PT Bank BRISyariah
Tbk, menargetkan menjadi bank ritel modern terkemuka dengan berbagai
ragam produk dan layanan perbankan.
Sesuai dengan visinya, saat ini PT Bank BRISyariah Tbk, merintis
sinergi dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., dengan
memanfaatkan jaringan kerja PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.,
sebagai Kantor Layanan Syariah dalam mengembangkan bisnis yang
berfokus kepada kegiatan penghimpunan dana masyarakat dan kegiatan
konsumer berdasarkan prinsip Syariah.1
B. Visi dan Misi BRI Syariah
Visi BRI Syariah adalah menjadi bank ritel modern terkemuka dengan
ragam layanan finansial sesuai kebutuhan nasabah dengan jangkauan
termudah untuk kehidupan lebih bermakna. Sedangkan misinya adalah
memahami keragaman individu dan mengakomodasi beragam kebutuhan
finansial nasabah; menyediakan produk dan layanan yang mengedepankan
etika sesuai dengan prinsip-prinsip syariah; menyediakan akses ternyaman
melalui berbagai sarana, kapan pun dan dimana pun; dan memungkinkan
setiap individu untuk meningkatkan kualitas hidup dan menghadirkan
ketenteraman pikiran.2
C. Struktur Organisasi BRI Syariah
Gambar 3.1
Struktur Organisasi BRI Syariah
1 http://www.brisyariah.co.id/ diakses pada 24 September 2018 pukul 20:00 WIB.
2 http://www.brisyariah.co.id/.
55
Komite Pemantau Risiko
Komite Audit
Komite Remunerasi &
Nominasi
Perencanaan Bisnis Bisnis Operasi & Manajemen
Strategis Ritel Komersial Layanan Risiko
Audit Bisnis Tresuri Analisa Sekretaris Penunjang
Internal Mikro Perbankan Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan
Teknologi Internasional Akuntansi & Kepatuhan Pengelolaan
Informasi Dana & Haji Keuangan Aset Khusus
Sumber Daya Jaringan &
Insani Logistik
Kantor Cabang
Rapat Umum Pemegang
Saham
Dewan Pengawas
Syariah
Dewan Komisaris
Direktur Utama
Dirut Bisnis
Ritel
Dirut
Operasional
Dirut Bisnis
Komersial
Dirut
Kepatuhan
Koor.
Penunjang
Pembiayaan
dan Aset
Khusus
56
Keterangan:3
Jalur Supervisi
Jalur Pembinaan
Jalur Koordinasi
D. Produk dan Layanan BRI Syariah
1. Produk Pendanaan
a. Tabungan Faedah BRISyariah iB
Merupakan produk simpanan dari BRISyariah untuk nasabah
perorangan yang menginginkan kemudahan transaksi keuangan sehari-
hari. Akad yang digunakan dalam produk ini adalah akad wadi’ah.
Tabungan ini memiliki beberapa segmen, yaitu:
1) Tabungan Faedah Segmen Reguler BRISyariah iB
Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah
individu, dengan dilengkapi buku tabungan dan kartu ATM serta
fasilitas iBank, SMS Banking, BRIS Online dan Cash Management
System (CMS).
2) Tabungan Faedah Segmen Payroll BRISyariah iB
Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah
kerjasama (PKS) sebagai sarana pembayaran gaji/payroll karyawan
dengan fitur khusus payroll.
3) Tabungan Faedah Segmen Siswa BRISyariah iB (Co-Branding)
Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah
kerjasama (PKS) yang dapat dpergunakan sebagai kartu siswa
ataupun kartu identitas dengan fitur co-branding.
4) Tabungan Faedah Segmen Bisnis Non-Individu BRISyariah iB
Merupakan produk tabungan yang diperuntukkan bagi nasabah
badan/non individu baik berupa badan hukum maupun non badan
3 PT Bank BRISyariah, Annual Report 2018., h. 82.
57
hukum dengan dilengkapi buku tabungan untuk mempermudah
transaksi bisnis nasabah.
5) Tabungan Faedah Haji BRISyariah iB
Merupakan produk simpanan yang menggunakan akad mudharabah
mutlaqah sesuai prinsip syariah khusus bagi calon Haji yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan Biaya Perjalanan Ibadah Haji
(BPIH). Selain itu dapat juga digunakan nasabah untuk
merencanakan ibadah umrah.
6) Tabungan Faedah Impian BRISyariah iB
Merupakan produk simpanan berjangka dari BRISyariah untuk
nasabah perorangan yang dirancang untuk mewujudkan impian
nasabah seperti kurban, pendidikan, liburan, belanja, dan lainnya
dengan terencana menggunakan mekanisme autodebet setoran rutin
bulanan melalui Tabungan Faedah BRISyariah sebagai rekening
induk. Akad yang digunakan dalam produk ini adalah akad
mudharabah muthlaqah
7) TabunganKu BRISyariah iB
Merupakan tabungan untuk perorangan menggunakan akad wadi’ah
dengan persyaratan mudah dan ringan yang diterbitkan secara
bersama oleh Bank-Bank di Indonesia guna menumbuhkan budaya
menabung serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
8) Tabungan Faedah Simpanan Pelajar iB
Merupakan tabungan untuk siswa yang diterbitkan secara nasional
oleh bank-bank di Indonesia dengan persyaratan mudah dan
sederhana serta fitur yang menarik, dalam rangka edukasi dan
inklusi keuangan untuk mendorong budaya menabung sejak dini.
b. Giro Faedah BRISyariah iB
1) Giro Faedah Segemen Regular BRISyariah iB
Merupakan produk simpanan dari BRISyariah bagi nasabah
perorangan maupun perusahaan untuk kemudahan transaksi bisnis
sehari-hari di mana penarikan dana menggunakan cek, bilyet giro,
58
sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan
yang tersedia dalam akad wadi’ah maupun mudharabah mutlaqah.
2) Giro Faedah Segmen Pemerintah BRISyariah iB
Merupakan produk dana nasabah dengan segmen pemerintah
menggunakan akad wadi’ah, yang penarikannya dapat dilakukan
mengunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya,
atau dengan pemindahbukuan.
c. Deposito
1) Deposito Faedah BRISyariah iB
Merupakan produk investasi berjangka menggunakan akad
mudharabah mutlaqah sesuai prinsip syariah bagi nasabah
perorangan maupun perusahaan dengan jangka waktu penempatan
1, 3, 6, dan 12 bulan.
2) Simpanan Faedah BRISyariah iB
Merupakan produk investasi berjangka menggunakan akad
mudharabah mutlaqah sesuai prinsip syariah bagi nasabah
perorangan maupun perusahaan dengan jangka waktu penempatan
kurang dari satu bulan (7, 14, 21, dan 28 hari).
2. Produk Pembiayaan
a. Pembiayaan Retail Konsumer, yang terdiri dari:
1) Griya Faedah BRISyariah iB
Merupakan pembiayaan kepada perorangan untuk memenuhi
sebagian atau keseluruhan kebutuhan akan hunian dengan
menggunakan prinsip jual beli (murabahah)/sewa menyewa dengan
opsi beli/hibah (ijarah muntahiya bit tamlik) dan kemitraan-sewa
(musyarakah mutanaqisah).
2) KPR Sejahtera BRISyariah iB
Merupakan produk pembiayaan kepemilikan rumah untuk
pembiayaan rumah dengan dukungan bantuan dana Fasilitas
Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) kepada masyarakat
59
berpenghasilan rendah (MBR) dalam rangka pemilikan rumah
sejahtera yang dibeli dari pengembang (developer).
3) Oto Faedah BRISyariah iB
Merupakan pembiayaan kepemilikan mobil kepada perorangan
untuk memenuhi kebutuhan akan kendaraan dengan menggunakan
prinsip jual beli (murabahah)/sewa menyewa dengan opsi
beli/hibah (ijarah muntahiya bit tamlik) dan kemitraan-sewa
(musyarakah mutanaqisah).
4) Gadai Faedah BRISyariah iB
Merupakan pinjaman dengan agunan berupa emas, di mana emas
yang diagunkan disimpan dan dipelihara oleh BRISyariah selama
jangka waktu tertentu dengan membayar biaya penyimpanan dan
pemeliharaan atas emas..
5) Gadai Faedah BRISyariah iB: Pembiayaan Kepemilikan Emas
(PKE)
Merupakan pembiayaan kepada perorangan untuk tujuan
kepemilikan emas dengan menggunakan akad murabahah di mana
pengembalian pembiayaan dilakukan dengan mengangsur setiap
bulan sampai dengan jangka waktu selesai sesuai kesepakatan.
6) Multi Faedah BRISyariah iB
Merupakan pembiayaan yang diberikan khusus kepada karyawan
untuk memenuhi segala kebuthan (barang/jasa) yang bersifat
konsumtif menggunakan prinsip jual beli (murabahah) atau sewa-
menyewa (ijarah) dengan pengembalian pembiayaan dilakukan
secara mengangsur setiap bulannya sesuai kesepakatan.
7) Multi Faedah BRISyariah iB: Pembiayaan Umroh
Merupakan pembiayaan kepada perorangan untuk tujuan beribadah
umrah, di mana pembayarannya secara angsuran setiap bulannya
dan tetap dapat diangsur meski nasabah telah menunaikan ibadah
umrah.
60
8) Purna Faedah BRISyariah iB: Pra Purna
Merupakan fasilitas pembiayaan kepada para PNS aktif yang akan
memasuki masa pensiunan untuk memenuhi sebagian atau
keseluruhan kebutuhan paket barang atau jasa menggunakan prinsip
jual beli (murabahah) atau sewa-menyewa (ijarah).
9) Purna Faedah BRISyariah iB: Purna
Merupakan fasilitas pembiayaan kepada para pensiun untuk
memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan paket barang atau
jasa menggunakan prinsip jual beli (murabahah) atau sewa-
menyewa (ijarah).
b. Pembiayaan Retail Kemitraan, yang terdiri dari:
1) Mitra Faedah BRISyariah iB: Multifinance
Pembiayaan yang diberikan kepada lembaga keuangan yang
melakukan kegiatan usaha pembiayaan untuk pengadaan barang
dan/atau jasa untuk kemudian disalurkan lebih lanjut kepada end
user yang megajukan pembiayaan kepemilikan barang/jasa kepada
multifinance tersebut sesuai dengan akad syariah.
2) Mitra Faedah BRISyariah iB: Koperasi Karyawan
Pembiayaan yang diberikan kepada koperasi untuk kemudian
disalurkan lebih lanjut kepada para anggotanya yang mengajukan
pembiayaan kepemilikan barang/jasa sesuai dengan akad syariah.
3) Mitra Faedah BRISyariah iB: BMT (Baitul Mal wat Tamwil)
Pembiayaan yang diberikan kepada lembaga keuangan yang
berbentuk BMT untuk kemudian disalurkan lebih lanjut kepada para
nasabahnya yang mengajukan pembiayaan kepemilikan barang/jasa.
4) Mitra Faedah BRISyariah iB: Linkage – Channeling
Pola pemberian fasilitas pembiayaan konsumtif multiguna dan
multijasa kepada calon nasabah yang merupakan pegawai/karyawan
suatu instansi/perusahaan yang juga merupakan anggota koperasi
karyawan/pegawai, melalui perantara Koperasi Karyawan
(KOPKAR)/Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI).
61
5) Ritel Faedah BRISyariah iB: Modal Kerja & Investasi
Merupakan fasilitas pembiayaan kepada nasabah guna memenuhi
kebutuhan modal kerja dan investasi usaha sesuai prinsip syariah
yang menggunakan konsep murabahah, IMBT, maupun
musyarakah mutanaqishah dengan plafon mulai dari > Rp. 200 juta
sampai dengan Rp. 5 miliar.
6) Ritel Faedah BRISyariah iB: Pembiayaan Modal Kerja Revolving
(PMKR)
Merupakan fasilitas pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan modal kerja usaha nasabah yang tidak berdasarkan
kontrak (non project based) dan menggunakan akad musyarakah,
dengan sifat revolving sehingga nasabah dapat melakukan penarikan
dan penurunan pokok secara berulang kali sesuai kebutuhan,
sepanjang tidak melebihi plafond yang telah ditentukan.
c. Layanan Perbankan
1) Mitra Faedah BRISyariah iB: Kerjasama Institusi/Perusahaan
Merupakan program kerjasama dengan suatu perusahaan yang
dituangkan dalam Master Agreement berupa pemberian fasilitas
langsung kepada karyawan/ti dari perusahaan yang memenuhi
kriteria utuk tujuan pemenuhan kebutuhan konsumtif sesuai prinsip
syariah.
d. Pembiayaan Mikro
1) Mikro Faedah iB
2) KUR iB
Skema pembiayaan mikro BRISyariah menggunakan akad
murabahah (jual beli), musyarakah mutanaqishah dan ijarah
muntahiya bittamlik (IMBT), dengan tujuan pembiayaan untuk
modal kerja, investasi dan konsumsi dengan plafond sampai dengan
Rp. 200 juta. Pembiayaan ini diberikan kepada calon nasabah dengan
rentang umur minimal 21 tahun atau telah menikah untuk usia lebih
62
besar atau sama dengan 18 tahun. Maksimal 65 tahun pada saat akhir
jangka waktu pembiayaan.4
E. Kinerja BRI Syariah
BRI Syariah berhasil membukukan kinerja yang cukup baik di tahun
2018. Secara umum, berbagai target kinerja yang ditetapkan dalam Rencana
Bisnis Bank (RBB) dapat dicapai, kecuali pada aspek pertumbuhan
pembiayaan yang sedikit berada di bawah target. Kurang tercapainya target
pertumbuhan pembiayaan tersebut tak lepas dari sejumlah tantangan, selain
itu BRI Syariah semakin selektif dalam melakukan pembiayaan pada sektor
tertentu. Meski demikian, tingkat pertumbuhan pembiayaan BRI Syariah
berada di atas rata-rata tingkat pertumbuhan pembiayaan industri, baik
perbankan nasional maupun perbankan syariah.5
Sepanjang 2018, BRI Syariah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp
21,86 triliun, meningkat 14,96% dibanding tahun sebelumnya yaitu Rp 19,01
triliun. Pembiayaan tersebut berasal dari Piutang Murabahah sebesar Rp
11,56 triliun, Piutang Istishna Rp 3,35 miliar, Pinjaman Qardh Rp 367 miliar,
Pembiayaan Mudharabah Rp 484,85 miliar, Pembiayaan Musyarakah Rp 7,75
triliun, dan Pembiayaan Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT) Rp 1,68 triliun.6
Dana Pihak Ketiga yang dihimpun BRI Syariah tahun 2018 mencapai
Rp 28,86 triliun meningkat 9,69% dari tahun sebelumnya yaitu Rp 26,31
triliun. Komposisi tersebut masih didominasi oleh produk Deposito, yaitu
sebesar Rp 19,03 triliun. Jumlah tersebut meningkat dibanding tahun
sebelumnya sebesar Rp 18,38 triliun. Namun, pertumbuhan tertinggi berasal
dari Tabungan dan Giro dengan pertumbuhan sebesar 20,61% dan 34,76%
dibandingkan tahun sebelumnya.7 Jumlah rekening Dana Pihak Ketiga
mencapai 2.850.284 rekening, meningkat 17,44% dari tahun sebelumnya
yang berjumlah 2.427.072 rekening.
4 PT Bank BRISyariah, Annual Report 2018., h. 73.
5 PT Bank BRISyariah, Annual Report 2018., h. 52.
6 PT Bank BRISyariah, Annual Report 2018., h. 161.
7 PT Bank BRISyariah, Annual Report 2018., h. 154.
63
Laba operasional sebelum pencadangan BRI Syariah berhasil tumbuh
sebesar 30,35% menjadi Rp 776,8 miliar dari tahun sebelumnya sebesar Rp
595,9 miliar. Sedangkan laba bersih yang dibukukan di tahun 2018 meningkat
5,45% menjadi Rp 106,6 miliar dari tahun sebelumnya sebesar Rp 101
miliar.8 Selain itu BRI Syariah juga berhasil mencatat pertumbuhan aset
sebesar 20,20% menjadi Rp 37,9 triliun dari tahun sebelumnya.9
Dalam operasionalnya di tahun 2018, BRI Syariah melanjutkan
inisiatif penyederhanaan proses dan sistem pembiayaan, peningkatan mutu
pemantauan kinerja, mengembangakn financing originating system untuk
pembiayaan mikro dan konsumen, menjalin kerja sama baru, serta
meningkatkan sosialisasi dan promosi layanan. Tujuannya adalah
mempercepat proses pembiayaan, meningkatkan kualitas pemantauan dan
memperluas basis pasar. BRI Syariah juga melanjutkan program
pengembangan Teknologi Informasi sebagai bagian dari penerapan rencana
strategis bank. Di tahun 2018, BRI Syariah mengembangkan sistem
perbankan berbasis digital menggunakan aplikasi DSAR Mobile dan APPEL
Mobile, sehingga monitoring kinerja account officer mikro, termasuk data
realisasi pembiayaan mikro dapat dilakukan dengan lebih efektif, mudah dan
up to date.
Selain melanjutkan dukungan pelaksanaan program Pemerintah,
seperti penyaluran KUR Syariah, penyaluran Pembiayaan Fasilitas Likuiditas
Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan pembayaran gaji PNS, pada 2018 BRI
Syariah meluncurkan produk layanan baru, yaitu Kartu ATM/Debit Gold dan
Platinum, New BRISSMART (LAKUPANDAI), selain terus
mengembangkan pembiayaan mikro dengan skema musyarakah mutanaqisah
(MMQ).
BRI Syariah juga mencatatkan keberhasilan merealisasikan langkah
strategis go-public di tahun 2018 dengan melepas sebanyak 2.623.350.600
saham atau sebesar 27% dari total saham yang dikeluarkan dengan harga
8 PT Bank BRISyariah, Annual Report 2018., h. 52.
9 PT Bank BRISyariah, Annual Report 2018., h. 33.
64
penawaran Rp 510. Melalui proses tersebut, BRI Syariah mendapatkan total
dana sebesar Rp 1.337,91 miliar dengan perolehan dana bersih sebesar Rp
1.312,19 miliar yang sebagian besar dialokasikan untuk mendukung ekspansi
pembiayaan.10
10
PT Bank BRISyariah, Annual Report 2018., h. 51.
65
BAB IV
ANALISIS KESESUAIAN PERJANJIAN TAKE OVER KREDIT MODAL
KERJA DI BRI SYARIAH KC DEPOK MARGONDA DENGAN FATWA
DSN-MUI NO. 31 TAHUN 2002 DAN SEOJK NO. 36/SEOJK.03/2015
A. Konsep Perjanjian Take Over di BRI Syariah
Take over kredit kini menjadi salah satu transaksi yang berkembang
dalam bisnis perbankan, terutama dalam bisnis perbankan syariah.
Meningkatnya popularitas bank syariah serta berbagai keuntungan dan
kelebihan dari produk yang ditawarkannya, membuat banyak masyarakat
tertarik untuk memindahkan kredit dan simpanannya. BRI Syariah sebagai
salah satu bank syariah nasional terbesar yang memiliki banyak produk
menarik tidak ketinggalan menawarkan fasilitas take over kredit bagi para
calon nasabah yang ingin mengalihkan kreditnya dari bank atau lembaga
keuangan konvensional maupun syariah.
BRI Syariah mendefinisikan take over sebagai bentuk pelayanan bank
syariah dalam membantu masyarakat mengalihkan transaksi nonsyariah yang
telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah berdasarkan
permintaan nasabah. Dalam hal ini, bank syariah mengambil alih utang
nasabah di bank konvensional dengan cara memberikan qardh yang
disesuaikan dengan ada tidaknya unsur bunga dalam utang nasabah kepada
bank konvensional.1
Sedangkan take over kredit modal kerja berarti bentuk pelayanan bank
syariah dalam mengalihkan kredit modal kerja nasabah yang sedang berjalan
menjadi pembiayaan yang sesuai dengan prinsip syariah atas permintaan
nasabah. Dalam hal ini, BRI Syariah akan mengambil alih sisa outstanding
kredit modal kerja nasabah dengan cara memberikan qardh untuk membantu
1 M. Hadi Saputra, Marketing Manager PT Bank BRI Syariah KC Depok Margonda,
Interview Pribadi, Depok, 21 Maret 2019.
66
menalangi kewajiban nasabah di lembaga keuangan konvensional, kemudian
diselesaikan dengan akad lain yang sesuai.
Konsep perjanjian take over yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah perjanjian pengambilalihan atau pengalihan suatu kredit atau
pembiayaan milik debitur kepada pihak ketiga, di mana selanjutnya pihak
ketiga menggantikan hak kreditur lama terhadap debitur. Dalam penelitian ini
pengalihan dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan syariah terhadap
kredit atau pembiayaan nasabah di bank atau lembaga keuangan
konvensional, untuk selanjutnya bank atau lembaga keuangan syariah
menggantikan hak bank atau lembaga keuangan konvensional terhadap
nasabah.
BRI Syariah menyediakan berbagai fasilitas take over kredit, mulai
dari yang sifatnya konsumtif hingga produktif di antaranya ialah take over
KPR (Kepemilikan Pembiayaan Rumah), KKB (Kepemilikan Kendaraan
Bermotor), KMF (Kepemilikan Multifaedah) untuk pembiayaan
mutiguna/multijasa dan take over pembiayaan modal kerja.2 Beberapa
alternatif akad yang digunakan BRI Syariah dalam transaksi take over antara
lain ialah akad qardh dengan murabahah atau IMBT untuk kredit atau
pembiayaan yang memiliki objek barang dan akad qardh dengan musyarakah
untuk kredit atau pembiayaan modal kerja yang berbentuk piutang atau tidak
memiliki objek barang. Akan tetapi sejauh ini, BRI Syariah hanya
menggunakan qardh dengan bai’ dan murabahah; atau qardh dengan
musyarakah dalam hal take over kredit modal kerja.3
B. Aplikasi Take Over Kredit Modal Kerja di BRI Syariah
1. Persyaratan Take Over Kredit Modal Kerja
2 Alifah, Marketing PT Bank BRI Syariah KC Depok Margonda, Interview Pribadi,
Depok 20 Juli 2018. 3 M. Hadi Saputra, Marketing Manager PT Bank BRI Syariah KC Depok Margonda,
Interview Pribadi, Depok, 21 Maret 2019.
67
Sama seperti kerja sama yang melibatkan lembaga keuangan pada
umumnya, terdapat beberapa persyaratan bagi bakal calon nasabah yang
ingin mengajukan pembiayaan di BRI Syariah. Persyaratan tersebut
nantinya akan dijadikan pedoman dan tolak ukur bagi bank untuk
menentukan apakah bakal calon nasabah tersebut berhak mendapatkan
pembiayaan atau tidak. Dalam hal mengajukan take over kredit modal
kerja di BRI Syariah, yang harus dilakukan bakal calon nasabah pertama
kali adalah mengajukan take over ke BRI Syariah melalui account officer.
Setelahnya, bakal calon nasabah akan dijelaskan mengenai dokumen apa
saja yang harus dipersiapkan.
Persyaratan yang diberikan BRI Syariah kepada bakal calon
nasabah yang ingin mengalihkan kreditnya di bank atau lembaga keuangan
konvensional ke BRI Syariah hampir sama dengan persyaratan
mengajukan pembiayaan baru, antara lain:
a. Apabila usaha perorangan:
1) Dokumen Identitas:
a) Copy KTP
b) Copy NPWP
c) Copy Kartu Keluarga
d) Copy Akta Nikah
e) Copy Akta Cerai/Surat Kematian (untuk janda/duda)
f) Copy Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar
Perusahaan (TDP), SK Domisili
2) Aplikasi Pengajuan Pembiayaan
a) Laporan keuangan yang dibuat oleh nasabah atau nota-nota
penjualan
b) Copy Rekening Koran/Tabungan 3 bulan terakhir
c) SPPT PBB bukti lunas PBB tahun terakhir (Wajib untuk
jaminan Tanah dan Bangunan)
d) FC agunan dan IMB
e) Bukti Riwayat Pembiayaan di Bank
68
f) Sisa outstanding dari bank sebelumnya
b. Apabila berbadan hukum PT atau CV:
1) Dokumen Identitas dan Legalitas Usaha:
a) Copy Akta Pendirian & Perubahan Perusahaan
b) Copy Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar
Perusahaan (TDP), NPWP Usaha
c) Copy KTP Pengurus Perusahaan
d) Copy NPWP Pengurus Perusahaan
e) Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU)
f) Pengesahan Kemenkumham
g) Berita Negara Republik Indonesia
h) Izin usaha lainnya yang diterbitkan instansi berwenang
2) Aplikasi Pengajuan Pembiayaan
a) Laporan Keuangan & Laba Rugi 3 tahun terakhir
b) Copy Rekening Koran/Tabungan 3 bulan terakhir
c) Rekap Penjualan
d) Daftar Persediaan dan Piutang
e) SPPT PBB bukti lunas PBB tahun terakhir (Wajib untuk
jaminan Tanah dan Bangunan)
f) FC agunan dan IMB
g) Sisa outstanding dari bank sebelumnya4
2. Prosedur Pengajuan Take Over Kredit Modal Kerja
Pelaksanaan take over kredit modal kerja di BRI Syariah
berlangsung setelah melalui beberapa tahap, mulai dari pengajuan take
over, analisis kelayakan usaha, hingga akhirnya dikeluarkan SP3 (Surat
4 M. Hadi Saputra, Marketing Manager PT Bank BRI Syariah KC Depok Margonda,
Interview Pribadi, Depok, 21 Maret 2019.
69
Persetujuan Prinsip Pembiayaan). Berikut adalah prosedur pengajuan take
over kredit modal kerja hingga realisasinya di BRI Syariah5:
a. Pengajuan Permohonan Pembiayaan
Dalam proses pengajuannya, bakal calon nasabah/debitur
mendatangi bank syariah untuk mendaftarkan diri dan mengisi
formulir permohonan pembiayaan take over dengan membawa
persyaratan administrasi yang telah disiapkan. Setelah proses
pendaftaran dan permohonan, BRI Syariah akan melakukan verifikasi
data untuk menganalisa layak atau tidaknya bakal calon nasabah
tersebut diberikan pembiayaan.
b. Analisa Kelayakan
Dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah, BRI Syariah
memerhatikan prinsip-prinsip pemberian pembiayaan yang benar. Ada
beberapa prinsip yang digunakan BRI Syariah untuk menganalisa
calon nasabahnya antara lain prinsip dengan analisis 5C (Character,
Capacity, Collateral, Capital, dan Condition of Economy), 7P
(Personality, Party, Purpose, Prospect, Payment, Profitability, dan
Protection) dan studi kelayakan.6 Analisis tersebut di atas dilakukan
BRI Syariah secara mendalam menggunakan BI Checking atau yang
per 1 Januari 2018, layanan Sistem Informasi Debitur (SID) tersebut
diubah dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang kini
dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan SLIK checking
tersebut, BRI Syariah dapat mengetahui informasi historical nasabah.
Termasuk di dalamnya riwayat pembayaran cicilan serta pembiayaan
lain yang pernah dilakukan nasabah hingga utang atau tunggakan yang
dimiliki nasabah di masa lalu.
5 M. Hadi Saputra, Marketing Manager PT Bank BRI Syariah KC Depok Margonda,
Interview Pribadi, Depok, 21 Maret 2019. 6 Kasmir, Manajemen Perbankan. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 91.
70
Setelah analisis dilakukan dan rekam jejak nasabah dinyatakan
baik serta memenuhi kriteria dan persyaratan, selanjutnya dilakukan
penilaian atau evaluasi terhadap usaha nasabah dengan melihat
laporan keuangan yang diberikan. Dalam hal usahanya merupakan
usaha perorangan, biasanya pembukuan laporan keuangan yang
dilakukan nasabah kurang baik. Untuk mempermudah, maka
dilakukan wawancara terkait kegiatan usahanya, termasuk di
dalamnya jumlah penjualan dan pembeliannya untuk kemudian dibuat
laporan keuangannya oleh bank.
c. Evaluasi dan Penerbitan SP3 (Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan)
oleh Komite Pembiayaan
Setelah laporan keuangan tersebut diterima dan dianalisis, account
officer akan membuat usulan pembiayaan dalam bentuk proposal yang
diajukan kepada komite pembiayaan. Selanjutnya komite pembiayaan
akan melakukan evaluasi usulan pembiayaan secara mendalam dengan
melakukan kunjungan ke lokasi usaha. Jika usulan disetujui, maka
pembiayaan dapat dilaksanakan dengan mengeluarkan SP3.
d. Realisasi Pembiayaan
Setelah SP3 disetujui, biasanya bank akan meminta nasabah
membuka rekening baru untuk mempermudah transaksi. Bank
selanjutnya akan menerbitkan surat resmi kepada bank tempat nasabah
menerima kredit sebelumnya untuk mengonfirmasi sisa outstanding
nasabah beserta pinaltinya. Setelah mendapatkan konfirmasi dari bank
tersebut, BRI Syariah dapat melakukan akad qardh untuk
melunasinya.
71
Gambar 4.1
Flowchart Prosedur Pengajuan Take Over Kredit Modal Kerja di BRI Syariah
C. Desain Akad perjanjian Take Over Kredit Modal Kerja di BRI Syariah
Sebagai bank umum yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah, BRI Syariah wajib mengikuti ketentuan Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008. Prinsip syariah secara tegas ditentukan dalam
Pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2008, yang berbunyi :
“Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan
perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”
Itu artinya semua kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Umum
Syariah harus mengikuti ketentuan fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI). Hal ini memberikan kedudukan hukum
tersendiri terhadap DSN-MUI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Sehingga fatwa DSN-MUI
Pengajuan Permohonan
Pembiayaan
Analisa Kelayakan dengan
SLIK Checking
Evaluasi oleh Komite
Pembiayaan
Penerbitan Proposal Usulan
Pembiayaan
Penerbitan SP3 Penandatanganan Akad
72
memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dipatuhi dalam aktifitas
perekonomian syariah di Indonesia7.
Selain mengikuti ketentuan fatwa DSN, BRI Syariah juga harus
mengikuti ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu
lembaga yang berwenang untuk mengatur, mengawasi, memeriksa, dan
menyidik terhadap kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan, pasar modal
dan industri keuangan non bank. Untuk melaksanakan tugas pengaturannya,
OJK memiliki 9 (sembilan) wewenang yang salah satunya ialah menetapkan
peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan dan menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan. Sedangkan untuk melaksanakan tugas pengawasan OJK
berwenang untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap
kegiatan jasa keuangan.8
Dalam transaksi take over kredit modal kerja, desain akad dan model
perjanjian yang digunakan oleh BRI Syariah adalah akad qardh dengan bai’
dan murabahah, atau akad qardh dengan musyarakah. Jika kredit modal kerja
yang dialihkan tersebut memiliki objek barang, seperti untuk persediaan dan
pengadaan bahan baku, BRI Syariah akan melakukan akad qardh terlebih
dahulu untuk melunasi sisa outstanding kredit nasabah beserta pinaltinya ke
bank konvensional melalui nasabah. Kemudian setelah barang atau aset
tersebut menjadi milik nasabah sepenuhnya, dilakukanlah jual beli antara
nasabah dan bank syariah di mana hasil penjualan barang tersebut digunakan
nasabah untuk melunasi utang qardhnya. Setelah barang tersebut menjadi
milik bank syariah, dilakukanlah murabahah kepada nasabah untuk kemudian
nasabah bisa membeli barang tersebut dengan pembayaran secara tangguh.
Sedangkan untuk kredit modal kerja yang tidak memiliki objek barang
seperti piutang dagang nasabah, BRI Syariah akan menggunakan akad qardh
7 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah di
Indonesia. (Depok: Kencana, 2017), h. 203. 8 Lihat Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
73
untuk membantu nasabah dalam melunasi kewajiban beserta pinaltinya ke
bank konvensional dengan kuasa transfer atau RTGS9 apabila nominalnya di
atas Rp 100 juta. Setelah kewajiban tersebut selesai, maka BRI Syariah dan
nasabah akan melakukan akad musyarakah guna untuk penyelesaian sisa
utang nasabah kepada BRI Syariah. Dengan musyarakah ini BRI Syariah dan
nasabah bersama-sama menyediakan modal usaha sesuai dengan kesepakatan.
Selanjutnya nasabah dan BRI Syariah akan bekerja sama dalam menjalankan
usaha dengan prinsip bagi hasil, di mana keuntungan dibagikan sesuai nisbah
yang disepakati. Pendapatan atau keuntungan tersebut akan dibagi antara
bank dan nasabah berdasarkan revenue sharing.10
Meskipun dalam literatur klasik karakteristik pokok pembiayaan
musyarakah ialah pembagian hasil usaha didasarkan pada profit and loss
sharing, kenyataannya perbankan syariah di Indonesia mendasarkan pada
revenue sharing.11
Revenue sharing sendiri ialah metode perhitungan bagi
hasil yang didasarkan pada total seluruh pendapatan sebelum dikurangi
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
tersebut.12
Hal ini dibolehkan DSN MUI dikarenakan perjanjian dengan basis
revenue sharing memiliki tingkat risiko yang lebih rendah dibandingkan
dengan profit and loss sharing jika dilihat dari kacamata pemilik modal.13
Dalam profit and loss sharing, keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan, tetapi kerugian dibagi berdasarkan dan terbatas pada partisipasi
modal masing-masing pihak.14
Pada musyarakah, karena masing-masing
9 RTGS atau Real-Time Gross Settlement adalah proses penyelesaian akhir transaksi
(settlement) pembayaran yang dilakukan per transaksi (individually processed/gross settlement)
dan bersifat real-time (electronically processed), di mana rekening peserta dapat di-debit/di-kredit
berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran. 10
M. Hadi Saputra, Marketing Manager PT Bank BRI Syariah KC Depok Margonda,
Interview Pribadi, Depok, 21 Maret 2019. 11
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), h. 218. 12
Otoritas Jasa Keuangan, Buku Standar Produk Musyarakah dan Musyarakah
Mutanaqishah. (Jakarta: OJK, 2016), h. 35. 13
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah. h. 216. 14
Hendy Herijanto, “Pembiayaan dalam Islam” dalam Dewan Pengurus Nasional
FORDEBI & ADESy, Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis
Islam.(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016), h. 41.
74
pihak memiliki dan berkontribusi modal usaha, maka setiap pihak
menanggung kerugian, atas dasar berbagi keuntungan secara bersama.15
Selanjutnya model perjanjian take over Kredit Modal Kerja yang
digunakan BRI Syariah adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian Qardh
Dalam perjanjian qardh antara BRI Syariah dengan nasabah terdiri dari 9
(sembilan) Pasal dengan anatomi perjanjian sebagai berikut:
Tabel 4.1
Perjanjian Qardh
Klausula Keterangan
Tujuan Akad
(Pasal 1)
Menyatakan bahwa bank syariah memberikan
pinjaman uang kepada nasabah untuk tujuan
pelunasan kewajiban nasabah kepada bank
konvensional yang timbul berdasarkan
Perjanjian Kredit.
Jumlah Pinjaman
(Pasal 2)
Menyatakan bahwa jumlah pinjaman yaitu
sesuai sisa outstanding. Jumlah tersebut belum
termasuk biaya yang timbul akibat pembuatan
akad, oleh karenanya biaya-biaya tersebut
menjadi beban nasabah.
Jangka Waktu
Pinjaman
(Pasal 3)
Menyatakan jangka waktu pinjaman.
Kewajiban Nasabah
(Pasal 4)
Menyatakan bahwa kewajiban nasabah yaitu
kewajiban untuk melengkapi segala persyaratan
yang ditentukan bank, bekerja sama dengan
bank untuk mengembalikan pinjaman yang
diberikan, maupun memberikan jaminan
15
Hendy Herijanto, “Pembiayaan dalam Islam” dalam Dewan Pengurus Nasional
FORDEBI & ADESy, Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis
Islam., h. 52.
75
pengganti bila diperlukan.
Tata Cara Pembayaran
(Pasal 5)
Menyatakan bahwa untuk melunasi pinjaman,
bank dan nasabah akan melakukan jual beli atas
aset-aset nasabah dengan harga sebesar jumlah
utang nasabah kepada bank. Pembayaran dari
bank untuk pembelian aset nasabah wajib
digunakan untuk melunasi utang nasabah
kepada bank.
Hak untuk
Menjual/Menyewakan
(Pasal 6)
Menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat
melakukan transaksi pengalihan aset yang akan
diatur dalam akad tersendiri, baik berupa
murabahah, ijarah, ijarah muntahiyah
bittamlik maupun akad syariah lainnya.
Denda
(Pasal 7)
Menyatakan bahwa apabila nasabah tidak
memenuhi kewajibannya untuk melunasi pada
waktu yang telah ditetapkan, maka akan
dibebankan denda (ta’zir) yang diperuntukan
sebagai dana sosial atas keterlambatan tersebut.
Agunan
(Pasal 8)
Menyatakan bahwa untuk menjamin
pembayaran kembali utang qardh, nasabah
menjaminkan barang kepada bank. Dan apabila
menurut bank nilai agunan tidak lagi cukup
untuk menjamin utang, atas permintaan bank
nasabah wajib menambah agunan lainnya.
Ketentuan Penutup
(Pasal 9)
Menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat
dan setuju untuk memberlakukan ketentuan
yang telah diatur. Seluruh lampiran dari akad
ini merupakan satu kesatuan dan tidak
terpisahkan. Apabila ada hal yang belum diatur
maka akan diatur bersama secara musyawarah
76
dalam suatu akad tambahan (addendum) yang
ditandatangani para pihak.
2. Perjanjian Jual Beli (Bai’)
Dalam perjanjian jual beli antara BRI Syariah dengan nasabah terdiri dari
10 (sepuluh) Pasal dengan anatomi perjanjian sebagai berikut:
Tabel 4.2
Perjanjian Jual Beli (Bai’)
Klausula Keterangan
Definisi
(Pasal 1)
Berisi definisi segala hal yang berkaitan dengan
akad jual beli.
Jual Beli Barang
(Pasal 2)
Menyatakan bahwa nasabah menjual kepada
bank dan bank membeli kepada nasabah atas
suatu barang yang sama-sama telah diketahui
bentuk, wujud dan letaknya.
Harga Barang
(Pasal 3)
Menyatakan harga atas barang dan akad ini
berlaku sebagai tanda terima yang sah atas
harga barang tersebut.
Tata Cara Pembayaran
(Pasal 4)
Menyatakan bahwa pembayaran oleh bank
kepada nasabah digunakan seluruhnya untuk
melunasi sejumlah uang yang terutang oleh
nasabah (qardh) dan nasabah memberikan
kuasa kepada bank untuk mendebet rekening
nasabah atas jumlah tersebut.
Kuasa-Kuasa
(Pasal 5)
Menyatakan bahwa segala kuasa yang diberikan
nasabah kepada bank sehubungan dengan akad
ini merupakan kuasa dengan hak substitusi dan
selama kewajiban nasabah belum diselesaikan,
kuasa tersebut tidak akan berakhir karena sebab
apapun, juga termasuk tetapi tak terbatas pada
sebab-sebab yang diatur Pasal 1813 KUH
77
Perdata.
Pajak-pajak
(Pasal 6)
Menyatakan bahwa segala pajak yang timbul
merupakan tanggungan dan wajib dibayar
nasabah, kecuali pajak penghasilan bank.
Pernyataan dan
Jaminan Nasabah
(Pasal 7)
Berisi tentang pernyataan bahwa nasabah
adalah pemegang hak yang sah dan berwenang
melakukan pemindahtanganan atas barang dan
bahwa tidak ada cacat tersembunyi atas barang.
Surat Menyurat
(Pasal 8)
Berisi tentang identitas dan alamat para pihak
apabila pemberitahuan dan komunikasi
sehubungan dengan akad dikirim berupa surat/
pos tercatat, perusahaan ekspedisi (kurir), atau
sarana komunikasi lain.
Penyelesaian
Perselisihan
(Pasal 9)
Berisi tentang pilihan tempat penyelesaian
apabila terjadi sengketa, yaitu melalui
Pengadilan Agama di tempat akad ini dibuat,
namun tidak mengurangi hak bank untuk
memilih Pengadilan Agama lain dalam wilayah
Negara Republik Indonesia.
Lain-lain
(Pasal 10)
Menyatakan bahwa nasabah tunduk dan patuh
kepada semua ketentuan syariah dan kebiasaan
mengenai perjanjian jual beli dan perjanjian
pemberian jaminan yang berlaku pada bank dan
peraturan yang berlaku.
3. Perjanjian Murabahah
Dalam perjanjian murabahah antara BRI Syariah dengan nasabah terdiri
dari 9 (sembilan) Pasal dengan anatomi perjanjian sebagai berikut:
Tabel 4.3
Perjanjian Murabahah
Klausula Keterangan
78
Barang
(Pasal 1)
Menyatakan bahwa para pihak sepakat bahwa
spesifikasi barang sesuai dengan yang
dimaksud dalam Lampiran 1 akad ini.
Fasilitas Pembiayaan
dan Harga
(Pasal 2)
Menyatakan harga beli barang, margin, harga
jual bank, uang muka nasabah, serta total
kewajiban nasabah. Total tersebut tidak
termasuk biaya yang timbul sehubungan dengan
pembuatan akad.
Pengakuan Hutang dan
Penyerahan Barang
Jaminan
(Pasal 3)
Menyatakan bahwa bila dikehendaki oleh bank,
nasabah setuju dan mengikat diri untuk
menandatangani Surat Pengakuan Hutang
secara notaril serta berjanji dan mengikatkan
diri untuk menandatangani akta pengikatan
jaminan secara notaril atau bawah tangan dan
menyerahkan barang yang dijaminkan.
Jangka Waktu,
Pembayaran dan
Denda
(Pasal 4)
Berisi tentang jangka waktu pelunasan
pembiayaan, cara pembayaran, dan denda
perhari apabila terjadi keterlambatan
pembayaran.
Hukum yang Berlaku
(Pasal 5)
Menyatakan bahwa akad ini tunduk pada
ketentuan perundang-undangan dan ketentuan
syariah, termasuk tetapi tidak terbatas pada
Peraturan Bank Indonesia dan fatwa DSN MUI.
Penyelesaian
Perselisihan
(Pasal 6)
Berisi tentang pilihan tempat penyelesaian
apabila terjadi sengketa, yaitu melalui
Pengadilan Agama di tempat akad ini dibuat,
namun tidak mengurangi hak bank untuk
memilih Pengadilan Agama lain dalam wilayah
Negara Republik Indonesia.
Jangka Waktu Akad Berisi tentang jangka waktu fasilitas
79
(Pasal 7) pembiayaan.
Pemberitahuan
(Pasal 8)
Berisi tentang identitas dan alamat para pihak
apabila pemberitahuan dan komunikasi
sehubungan dengan akad dikirim berupa surat.
Ketentuan Penutup
(Pasal 9)
Menyatakan bahwa kedua belah pihak sepakat
dan setuju untuk memberlakukan ketentuan
yang telah diatur. Seluruh lampiran dari akad
ini merupakan satu kesatuan dan tidak
terpisahkan. Apabila ada hal yang belum diatur
maka akan diatur bersama secara musyawarah
dalam suatu akad tambahan (addendum) yang
ditandatangani para pihak.
4. Perjanjian Musyarakah
Dalam perjanjian musyarakah antara BRI Syariah dengan nasabah terdiri
dari 8 (delapan) Pasal dengan anatomi perjanjian sebagai berikut:
Tabel 4.4
Perjanjian Musyarakah
Klausula Keterangan
Fasilitas Pembiayaan
dan Jangka Waktu
Penggunaannya
(Pasal 1)
Berisi tentang jumlah fasilitas pembiayaan,
objek pembiayaan dan jangka waktunya.
Pembagian Hasil
Usaha
(Pasal 2)
Berisi tentang besaran nisbah bagi hasil untuk
masing-masing pihak yang ditetapkan dalam
persentase dari pendapatan usaha nasabah yang
tetap selama jangka waktu pembiayaan.
Barang Jaminan
(Pasal 3)
Menyatakan bahwa nasabah berjanji dan
mengikatkan diri untuk membuat dan
menandatangani akta pengikatan jaminan dan
menyerahkan barang jaminan kepada bank.
80
Denda
(Pasal 4)
Menyatakan bahwa nasabah akan dibebankan
denda (ta’zir) dalam hal terlambat membayar
kewajiban dari jadwal yang ditetapkan.
Hukum yang Berlaku
(Pasal 5)
Menyatakan bahwa akad ini tunduk pada
ketentuan perundang-undangan dan ketentuan
syariah, termasuk tetapi tidak terbatas pada
Peraturan Bank Indonesia dan fatwa DSN MUI.
Penyelesaian
Perselisihan
(Pasal 6)
Menyatakan bahwa bila terjadi perbedaan
pendapat/penafsiran atau perselisihan, maka
diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat.
Tetapi apabila tidak tercapai kesepakatan, maka
diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS).
Surat Menyurat
(Pasal 7)
Berisi tentang identitas dan alamat para pihak
apabila pemberitahuan dan komunikasi
sehubungan dengan akad dikirim berupa surat/
pos tercatat, perusahaan ekspedisi (kurir), atau
sarana komunikasi lain.
Ketentuan Penutup
(Pasal 8)
Menyatakan bahwa bank dan nasabah sepakat
untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Perjanjian Pemberian Line
Facility (jika ada) dan Surat Persetujuan Prinsip
Pembiayaan. Seluruh lampiran dari akad ini
merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan.
Apabila ada hal yang belum diatur maka akan
diatur bersama secara musyawarah dalam suatu
akad tambahan (addendum) yang
ditandatangani para pihak.
81
D. Analisis Kesesuaian Perjanjian Take Over Kredit Modal Kerja di BRI
Syariah terhadap Fatwa DSN No. 31 Tahun 2002 dan SEOJK No.
36/SEOJK.03/2015
DSN MUI dalam fatwanya No. 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang
pengalihan utang menetapkan bahwa dalam hal terjadi pemindahan utang
nasabah dari bank atau Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) ke bank
atau Lembaga Keuangan Syariah (LKS), dapat dilakukan melalui empat
alternatif akad. Sedangkan OJK menetapkan enam alternatif akad yang bisa
digunakan dalam hal pengalihan utang.
Take over kredit modal kerja yang dilakukan oleh BRI Syariah KC
Depok Margonda, menggunakan dua alternatif akad, yaitu (1) qardh dengan
bai’ dan murabahah untuk kredit modal kerja yang memiliki objek barang,
seperti persediaan dan pembelian bahan baku dan (2) qardh dengan
musyarakah untuk kredit modal kerja yang tidak memiliki objek barang,
seperti piutang dagang nasabah terhadap pihak ketiga.
1. Alternatif I
Dalam alternatif ini, BRI Syariah menggunakan akad qardh dalam
melunasi utang nasabahnya di bank konvensional. Hal ini diperbolehkan
menurut fatwa DSN dalam rangka mengalihkan utang nasabah yang
berbentuk utang pokok plus bunga. Qardh sendiri merupakan suatu akad
pembiayaan kepada nasabah tertentu dengan ketentuan bahwa nasabah
wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu
yang telah disepakati16
.
Akad qardh dalam LKS terdiri dari dua macam, yaitu (1) akad qardh
yang berdiri sendiri untuk tujuan sosial, bukan sebagai sarana untuk
melengkapi transaksi lain dalam sebuah produk yang bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan, dan (2) akad qardh yang dilakukan sebagai
sarana untuk melengkapi transaksi lain yang menggunakan akad-akad
mu’awadhah (pertukaran yang sifatnya komersil) dalam sebuah produk
16 Nurul Huda & Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis. (Jakarta: Kencana, 2013), h. 58.
82
yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Penggunaan dana dari
pihak ketiga hanya diperbolehkan untuk tujuan komersial, di antaranya
produk rahn emas, pembiayaan pengurusan haji LKS, pengalihan utang,
dan anjak piutang. Dalam alternatif ini, qardh yang digunakan adalah
untuk melengkapi dan menjembatani transaksi lain yang sifatnya komersil,
sehingga dana yang disalurkan bukanlah dana kebajikan yang bersumber
dari dana zakat, infak, dan sedekah melainkan diambil dari modal bank
sendiri.
Dalam perjanjiannya, BRI Syariah menyatakan bahwa qardh tersebut
bertujuan untuk melunasi kewajiban nasabah kepada bank yang timbul
berdasarkan perjanjian kredit, yang besarnya sesuai dengan sisa
outstanding nasabah. Besaran tersebut belum termasuk biaya yang timbul
sehubungan dengan akad, dan karenanya menjadi beban nasabah. Di Pasal
5, disebutkan bahwa untuk melunasi utangnya, nasabah dan BRI Syariah
akan melakukan jual beli atas aset tersebut dengan harga sebesar jumlah
qardh, di mana pembayaran dari BRI Syariah akan digunakan untuk
melunasi utang nasabah berdasarkan akad ini. Kemudian di Pasal
selanjutnya disebutkan bahwa BRI Syariah dan nasabah sepakat untuk
melakukan transaksi pengalihan aset dengan syarat dan ketentuan yang
akan diatur dalam akad tersendiri, baik berupa murabahah maupun akad
syariah lainnya.
Hal-hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan fatwa dan SEOJK
tentang pengalihan utang yang menyatakan bahwa qardh dalam rangka
pengalihan utang digunakan untuk melunasi kewajiban nasabah di bank
sebelumnya agar aset yang dibeli dengan kredit tersebut dapat menjadi
milik nasabah sepenuhnya, untuk kemudian pelunasannya akan dilakukan
dengan cara jual beli aset tersebut dengan harga nominal kewajiban qardh.
Selain itu, pembebanan biaya administrasi kepada nasabah juga sesuai
dengan ketentuan fatwa mengenai qardh.
Selanjutnya, dalam perjanjian jual beli antara nasabah dengan BRI
Syariah dinyatakan bahwa nasabah menjual kepada bank dan bank
83
membeli dari nasabah aset yang telah menjadi milik nasabah sepenuhnya.
Aset tersebut ialah berupa barang berikut pula segala sesuatu yang telah
dan/atau kemudian akan didirikan ditanam dan ditempatkan di atas bidang
tanah tersebut yang menurut sifatnya, peruntukkannya dan penempatannya
menurut undang-undang dianggap sebagai harta tetap. Jual beli tersebut
dilangsungkan dengan harga sesuai dengan besaran qardh nasabah, dan
pembayarannya digunakan seluruhnya untuk melunasi qardh nasabah pada
perjanjian sebelumnya. Akad jual beli yang dilakukan BRI Syariah dan
nasabah di atas telah sesuai dengan ketentuan fatwa dan SEOJK terkait
pengalihan utang serta fatwa DSN tentang akad jual beli di mana dalam
transaksi jual beli haruslah terjadi perpindahan kepemilikan objek yang
dipertukarkan yaitu barang dan harga. Selain itu, rukun dan syarat terkait
para pihak, objek jual beli dan harga juga sesuai dengan fatwa.
Kemudian setelah aset tersebut menjadi milik bank sepenuhnya, BRI
Syariah melanjutkannya dengan akad murabahah agar nasabah dapat
memiliki asetnya kembali. Dalam perjanjian murabahah antara BRI
Syariah dan nasabah, terdapat klausul fasilitas pembiayaan dan harga yang
isinya adalah rincian harga beli, margin keuntungan, harga jual bank, dan
uang muka nasabah. Rincian tersebut kemudian dikalkulasikan menjadi
total kewajiban nasabah yang harus dibayarkan. Total kewajiban tersebut
tidak termasuk biaya-biaya lain, seperti biaya administrasi yang juga
dibebankan kepada nasabah. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
murabahah dalam fatwa No. 04 Tahun 2000 dan No. 111 Tahun 2017
yang menyatakan bahwa bank menjual barang tersebut kepada nasabah
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya dan bank harus
memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut
biaya yang diperlukan. Dalam transaksi ini, BRI Syariah memberitahu
secara jujur harga beli plus keuntungannya dalam akad.
Selain itu, guna menjamin pembayaran kewajiban yang tertib, BRI
Syariah meminta dan nasabah setuju untuk menyerahkan barang jaminan
dan membuat akta pengikatan jaminan secara notaril dan/atau di bawah
84
tangan. Hal ini diperbolehkan dalam fatwa agar nasabah serius dalam
menjalankan kewajibannya.
Gambar 4.2 : Alternatif Pertama BRI Syariah
(5) menerima aset (6) jual aset & lunasi qardh
(2) pengajuan &
(1) kredit berjalan kesepakatan TO
(4) pelunasan kredit (3) pemberian qardh
(7) akad murabahah
Hemat penulis, pengaplikasian akad qardh dengan bai’ dan
murabahah yang dijalankan BRI Syariah Depok Margonda dalam rangka
mengalihkan kredit modal kerja nasabah di lembaga keuangan
konvensional telah sesuai dengan alternatif akad dalam fatwa DSN MUI
No. 31/DSN-MUI/VI/2002 dan SEOJK No. 36/SEOJK.03/2015. Selain
itu, perjanjian qardh, jual beli, dan murabahah yang dibuat oleh BRI
Syariah juga telah memenuhi rukun dan syarat serta ketentuan yang ada
dalam fatwa DSN mengenai qardh, jual beli, dan murabahah.
2. Alternatif II
Dalam mengalihkan kredit modal kerja nasabah yang tidak memiliki
objek barang, seperti membiayai piutang dagang, atas permintaan nasabah
dan seizin bank atau LKK, BRI Syariah menggunakan akad qardh dengan
musyarakah. Dari BRI Syariah, kredit modal kerja nasabah yang berupa
piutang terhadap pihak ketiga tersebut dialihkan menjadi porsi bank
syariah dengan menggunakan akad qardh. Qardh yang diberikan BRI
Syariah tersebut senilai dengan sisa outstanding kewajiban nasabah yang
BANK
KONVEN NASABAH BRI
SYARIAH
85
akan dialihkannya ke bank syariah, dan atas kuasa nasabah dilimpahkan
kepada bank konvensional dengan kuasa transfer atau RTGS apabila
nominalnya di atas Rp 100 juta. Setelah kewajiban nasabah di bank
konvensional terpenuhi, BRI Syariah dan nasabah akan melakukan akad
musyarakah guna menyelesaikan utang nasabah kepada BRI Syariah yang
timbul atas qardh tersebut. Dalam akad musyarakah tersebut, nasabah dan
BRI Syariah bersama-sama menyediakan modal usaha sesuai kesepakatan.
Selanjutnya nasabah dan BRI Syariah akan bekerja sama dalam
menjalankan usaha dengan prinsip bagi hasil, di mana keuntungan
dibagikan sesuai nisbah yang disepakati.
Substansi perjanjian qardh dalam alternatif ini sama dengan alternatif
sebelumnya. Qardh ini diberikan BRI Syariah untuk tujuan pelunasan
kewajiban nasabah kepada bank sebelumnya yang timbul berdasarkan
perjanjian kredit. Kewajiban tersebut nominalnya sesuai dengan sisa
outstanding kewajiban nasabah, tetapi belum termasuk biaya yang timbul
sehubungan dengan pembuatan akad, seperti biaya administrasi, notaris,
materai, dan lainnya. Biaya-biaya tersebut disepakati akan menjadi beban
nasabah.
Berbeda dengan qardh dalam alternatif pertama, qardh dalam
alternatif ini memberikan tata cara pembayaran yaitu dengan
menggunakan akad musyarakah sebagai penyelesaian sisa utang nasabah
kepada BRI Syariah. Sehingga, dalam menyelesaikan sisa utangnya
dengan BRI Syariah yang terjadi karena qardh, nasabah dan bank
melakukan akad musyarakah. Musyarakah atau syirkah sendiri merupakan
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di
mana setiap pihak memberikan kontribusi dana atau modal usaha dengan
ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau
secara proporsional; sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak
secara proporsional.17
17
Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 114/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad
Syirkah.
86
Dalam akad ini, BRI Syariah dan nasabah setuju untuk bersama-sama
menyediakan modal usaha sesuai kesepakatan. Modal usaha yang
diberikan bank syariah dan nasabah dituliskan nominalnya secara jelas
dalam akad. Sesuai dengan permintaan nasabah untuk tujuan usaha yang
disetujui bank, bank bersedia memberikan fasilitas pembiayaan berupa
modal yang nisbah bagi hasilnya disepakati untuk masing-masing pihak,
yaitu berupa persentase atas pendapatan dari usaha tersebut. Di mana
nisbah tersebut bersifat tetap selama jangka waktu fasilitas pembiayaan
dan pelaksanaan penghitungan serta pembayaran bagi hasilnya akan
dilakukan pada setiap tanggal yang disepakati para pihak. Dalam akad ini,
nisbah bagi hasil yang dicantumkan adalah dalam bentuk angka persentase
dari pendapatan usaha.
Gambar 4.3 : Alternatif Kedua BRI Syariah
(6) kegiatan usaha &
bagi hasil sesuai nisbah
(2) pengajuan &
(1) kredit berjalan kesepakatan TO
(4) pelunasan kredit (3) akad qardh
(5) penyelesaian qardh dengan musyarakah
Hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan fatwa tentang syirkah
yang menyatakan bahwa dalam hal modal usaha yang diberikan berupa
harta, baik uang atau barang maka harus jelas jumlah dan nominalnya serta
wajib diserahterimakan; baik secara tunai maupun bertahap sesuai
kesepakatan. Kemudian nisbah bagi hasil harus dalam bentuk angka
persentase terhadap keuntungan dan bukan nominal atau angka persentase
BANK
KONVEN NASABAH BRI
SYARIAH
87
dari modal nasabah dan pembayarannya boleh sekaligus pada saat
berakhirnya akad atau bertahap sesuai kesepakatan. Hanya saja salah satu
syarat modal syirkah, yaitu modal usaha tidak boleh dalam bentuk piutang
tidak terpenuhi dalam transaksi ini.
Selain itu, dalam draft akad musyarakah ini tidak mencantumkan
porsi kerugian yang dibebankan kepada masing-masing pihak, padahal hal
ini termasuk ke dalam syarat musyarakah. Kemudian tidak terdapat pula
klausul mengenai angsuran pembiayaan, biaya-biaya yang akan
dibebankan kepada nasabah, tata cara pembayaran; baik penarikan maupun
pengembalian dana, ganti rugi apabila nasabah melakukan wanprestasi,
perlakuan tunggakan dan pelunasan dipercepat, asuransi, dan klausul-
klausul yang menjelaskan kondisi tertentu yang akan memengaruhi
keberadaan investasi tersebut, seperti kondisi force majeur yang dapat
dijadikan acuan bahwa bank tidak akan mengalami kerugian oleh faktor-
faktor yang sifatnya spesifik18
. Meskipun hal tersebut di atas diatur sesuai
kesepakatan para pihak, hendaknya dicantumkan agar tidak terjadi
kekeliruan.
Keputusan BRI Syariah untuk menggunakan qardh dalam hal
pengalihan utang nasabah di bank konvensional dalam rangka membantu
pelunasan kewajiban nasabah menurut penulis adalah hal yang tepat. Hal
ini dikarenakan qardh sendiri merupakan akad pelengkap bagi transaksi
lain di bank syariah, seperti dalam transaksi gadai, pengalihan utang dari
bank atau lembaga keuangan konvensional, dana talangan haji, dan lain
sebagainya. Selain itu, dalam hal menangani utang nasabah dalam bentuk
utang pokok plus bunga memang lebih tepat menggunakan qardh, karena
alokasi penggunaannya tidak terbatas.
Akan tetapi penyelesaian utang qardh nasabah dengan menggunakan
akad musyarakah menurut penulis kurang tepat. Hal ini dikarenakan salah
satu syarat modal usaha dalam syirkah adalah modal tidak boleh dalam
18 Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buku Standar Produk Musyarakah dan Musyarakah
Mutanaqishah (Jakarta: OJK, 2016), h. 20.
88
bentuk piutang. Dalam fatwa No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
pembiayaan musyarakah disebutkan bahwa apabila objek akad berupa
modal, maka harus berupa uang tunai, emas, perak atau yang nilainya
sama. Modal tersebut dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-
barang, properti, dan sebagainya. Dan jika modal berbentuk aset, maka
harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati para mitra.
Selanjutnya dalam fatwa No. 114/DSN-MUI/IX/2017 tentang akad syirkah
mengenai ketentuan ra’s al-mal (modal usaha) disebutkan bahwa modal
usaha syirkah wajib diserahterimakan, baik secara tunai maupun bertahap,
sesuai kesepakatan dan tidak boleh dalam bentuk piutang.
Sedangkan dalam transaksi qardh yang dilakukan BRI Syariah dengan
nasabah sebelumnya, menjadikan status BRI Syariah sebagai pemilik
piutang. Pembebasan sisa utang qardh nasabah dengan menggunakan
musyarakah berarti BRI Syariah menjadikan piutang qardh nasabah
sebagai modal syirkah. Hal ini jelas tidak diperbolehkan dalam fatwa.
Hemat penulis, penggunaan qardh dan musyarakah dalam
mengalihkan utang nasabah di bank konvensional bukan merupakan
alternatif yang ditawarkan baik oleh fatwa DSN maupun SEOJK. Hanya
saja penggunaan alternatif tersebut boleh dilakukan selama rukun dan
syaratnya telah terpenuhi dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Namun, akad musyarakah yang diterapkan BRI Syariah dalam transaksi
take over ini belum sesuai dengan fatwa DSN MUI terkait syirkah karena
penyelesaian sisa utang qardh dengan menggunakan musyarakah berarti
BRI Syariah menjadikan piutang qardh-nya sebagai modal usaha. Di mana
hal tersebut tidak diperbolehkan.
Dalam hal kredit modal kerja yang dialihkan tidak memiliki objek
barang atau bukan untuk pembelian barang, fatwa DSN No. 31/DSN-
MUI/VI/2002 belum menetapkan alternatif akad yang dapat digunakan.
Karena dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa pengalihan utang adalah
pemindahan utang nasabah dari bank/Lembaga Keuangan Konvensional
(LKK) ke bank/Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Di mana yang
89
dimaksud dengan nasabah di sini ialah (calon) nasabah LKS yang
mempunyai kredit (utang) kepada LKK untuk “pembelian aset”, yang
ingin mengalihkan utangnya ke LKS. Sedangkan dalam hal bank
membiayai modal kerja nasabah dalam bentuk piutang dagang, tidak
terdapat transaksi pembelian aset sebagaimana halnya modal kerja untuk
pengadaan persediaan ataupun bahan baku.
Berbeda dengan fatwa, SEOJK memberikan alternatif akad yang
menurut penulis bisa digunakan dalam hal utang yang dialihkan tidak
memiliki objek barang yaitu menggunakan akad musyarakah mutanaqisah
(MMQ), dengan ketentuan bank dan nasabah menyertakan modal usaha
senilai kesepakatan. Dengan penyertaan modal tersebut, nasabah melunasi
kreditnya di bank atau LKK. Selanjutnya, nasabah dapat menyewa objek
syirkah dengan akad ijarah; atau nasabah dan bank dapat pula melakukan
kegiatan usaha dengan pihak ketiga dalam bentuk usaha sewa menyewa,
usaha jual beli, atau usaha bagi hasil. Dari usaha tersebut, bank dan
nasabah berbagi pendapatan. Selama akad berlangsung, nasabah membeli
porsi kepemilikan (hishshah) modal syirkah bank secara bertahap.
Berbeda dengan syirkah biasa, dalam MMQ ini pihak pertama –dalam hal
ini bank syariah- wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya
secara bertahap dan pihak kedua (nasabah) wajib membelinya.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan merujuk kepada rumusan masalah yang
telah penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka simpulan dari
penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Perjanjian take over menurut Bank BRI Syariah merupakan suatu bentuk
pelayanan bank syariah atas permintaan nasabah dalam membantu
mengalihkan transaksi nonsyariah yang telah berjalan menjadi transaksi
yang sesuai dengan syariah. Konsep pengalihan ini menggunakan akad-
akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam hal ini, BRI Syariah akan
mengambil alih sisa outstanding kredit modal kerja nasabah dengan cara
memberikan qardh untuk membantu menalangi kewajiban nasabah di
lembaga keuangan konvensional, kemudian diselesaikan dengan akad lain
yang sesuai.
2. Aplikasi pada take over kredit modal kerja di Bank BRI Syariah dimulai
dari pengajuan permohonan pembiayaan oleh bakal calon nasabah,
kemudian dilanjutkan dengan analisa kelayakan nasabah oleh bank, lalu
evaluasi dan penerbitan SP3 (Surat Persetujuan Prinsip Pembiayaan) oleh
komite pembiayaan, hingga akhirnya realisasi pembiayaan serta
penandatanganan dan pelaksanaan akad yang disepakati. Desain akad serta
model perjanjian yang diterapkan Bank BRI Syariah dalam perjanjian take
over kredit modal kerja ialah:
a. Dalam mengalihkan kredit modal kerja yang memiliki objek barang,
BRI Syariah akan menggunakan akad qardh untuk melunasi sisa
outstanding kredit nasabah beserta pinaltinya ke bank konvensional
melalui nasabah sehingga barang tersebut menjadi milik nasabah.
Setelahnya nasabah akan melakukan jual beli dengan BRI Syariah
atas barang tersebut di mana hasil penjualan digunakan nasabah
91
untuk melunasi qardhnya. Selanjutnya barang tersebut dijual oleh
BRI Syariah kepada nasabah dengan murabahah.
b. Dalam mengalihkan kredit modal kerja yang tidak memiliki objek
barang, seperti piutang dagang nasabah, BRI Syariah menggunakan
qardh dan musyarakah. Atas seizin bank konvensional, BRI Syariah
melunasi kewajiban nasabah dengan menggunakan qardh. Setelah
kewajiban nasabah di bank konvensional terpenuhi, untuk
menyelesaikan sisa utang nasabah dengan BRI Syariah, dibuatlah
akad musyarakah. Dengan musyarakah tersebut, nasabah dan bank
syariah bersama-sama menyediakan modal usaha sesuai kesepakatan.
Selanjutnya bank syariah dan nasabah bekerja sama dalam
menjalankan usaha nasabah dengan prinsip bagi hasil dengan
keuntungan sesuai nisbah yang disepakati.
3. Perjanjian take over kredit modal kerja yang diterapkan Bank BRI Syariah
belum sepenuhnya sesuai dengan fatwa DSN MUI No. 31 Tahun 2002 dan
SEOJK No. 36/SEOJK.03/2015. Hal ini dikarenakan salah satu alternatif
pengalihan yang digunakan, yaitu qardh dengan musyarakah tidak diatur
dalam fatwa DSN maupun SEOJK tentang pengalihan utang. Selain itu,
penyelesaian utang qardh dengan menggunakan musyarakah tidak sesuai
dengan fatwa DSN tentang syirkah karena modal usaha dalam syirkah
tidak boleh berupa piutang.
B. Rekomendasi
1. Dalam hal take over Kredit Modal Kerja yang tidak memiliki objek seperti
piutang nasabah, BRI Syariah bisa menggunakan alternatif musyarakah
mutanaqisah (MMQ). Hal ini dikarenakan MMQ merupakan akad yang
sophisticated (canggih) dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan
serta alternatif tersebut lebih sesuai dan telah dijadikan alternatif
pengalihan utang oleh OJK. Dengan MMQ, porsi kepemilikan bank
nantinya akan berkurang sejalan dengan angsuran yang dibayar nasabah,
92
sehingga porsi modal nasabah akan terus bertambah dan akhirnya nasabah
akan memiliki aset tersebut secara penuh.
2. Dalam mengembangkan produk dan usahanya, sumber daya yang
dibutuhkan BRI Syariah bukan hanya harus mampu dalam hal
pengembangan, namun juga harus memahami dengan baik standar
operasional akad yang ditetapkan fatwa DSN MUI, peraturan OJK,
maupun aturan lainnya yang berkaitan dengan produk dan kegiatan usaha
bank lainnya. Hal ini dikarenakan fatwa DSN MUI kini dianggap sebagai
hukum syariah yang berlaku dan digunakan sebagai pedoman dalam
melaksanakan kegiatan ekonomi syariah, sedangkan OJK merupakan
lembaga yang mengatur dan mengawasi segala hal di sektor jasa
keuangan, khususnya menyangkut kegiatan usaha lembaga keuangan.
93
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum.
Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2010.
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi
dan Implementasi). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010.
Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.
Ash-Shawi, Shalah & Abdullah al-Mushlih, Ma La Yasa’ at-Tajira Jabluhu.
Penerjemah Abu Umar Basyir, Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta:
Darul Haq, 2008.
As-Sabatin, Yusuf. Al-Buyu’ al-Qadimah wa al-Mu’ashirah wa al-Burshat al
Mahaliyyah wa ad-Duwaliyyah. Penerjemah Yahya Abdurrahman,
Bisnis Islam & Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis. Bogor: Al
Azhar Press, 2014.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997.
Dewan Pengurus Nasional FORDEBI & ADESy. Ekonomi dan Bisnis Islam: Seri
Konsep dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2016.
Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan & Perasuransian Syariah
di Indonesia. Depok: Kencana, 2017.
Firdaus, Rachmat, Manajemen Kredit Bank. Bandung: PT Purna Sarana Lingga
Utama, 1986.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana, 2011.
Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013.
Kasmir, Manajemen Perbankan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Mardani, Hukum Perikatan Syariah Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Muda, Ahmad Antoni K., Kamus Lengkap Ekonomi. Jakarta: Gitamedia Press,
2003.
94
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001.
Mustofa, Imam, Fiqih Mu’amalah Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2016.
Nafis, M. Cholil, Teori Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 2011.
Otoritas Jasa Keuangan, Buku Standar Produk Musyarakah dan Musyarakah
Mutanaqishah. Jakarta: OJK, 2016.
Otoritas Jasa Keuangan. Roadmap Pengembangan Keuangan Syariah Indonesia
2017-2019. Jakarta: OJK, 2017.
PS, Bambang Catur, Hukum Perbankan di Indonesia. Depok: Pena Utama, 2011.
Purnamasari, Irma Devita dan Suswinarno, Panduan Lengkap Hukum Praktis
Populer: Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah
Akad Syariah. Bandung: Kaifa, 2011.
Putra, Nusa, Penelitian Kualitatif: Proses dan Aplikasi. Jakarta: PT Indeks, 2011.
Rochaety, Ety dan Ratih Tresnati, Kamus Istilah Ekonomi. Jakarta: PT Bumi
Aksara, 2005.
Sahroni, Oni dan M. Hasanuddin, Fikih Muamalah: Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2017.
Suharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Nivasi, dan Cessie dalam
Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Nieuw Nederlands
Burgerlijk Wetboek, Code Civil Perancis, dan Common Law.
Jakarta: Kencana, 2006.
Suwartono, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penerbit Andi,
2014.
Z. A. Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2012.
Regulasi
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 04 Tahun 2000
tentang Murabahah.
95
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 08 Tahun 2000
tentang Pembiayaan Musyarakah
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 09 Tahun 2002
tentang Pembiayaan Ijarah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 19 Tahun 2001
tentang Al-Qardh.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 27 Tahun 2002
tentang Al-Ijarah Al-Muntahiyah bi Al-Tamlik.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 31 Tahun 2002
tentang Pengalihan Utang.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 58 Tahun 2007
tentang Hawalah bil Ujrah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 73 Tahun 2008
tentang Musyarakah Mutanaqisah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 79 Tahun 2011
tentang Qardh dengan Menggunakan Dana Nasabah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 110 Tahun 2017
tentang Akad Jual Beli.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 111 Tahun 2017
tentang Akad Jual Beli Murabahah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 114 Tahun 2017
tentang Akad Syirkah.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.03/2015 tentang Produk dan
Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbs Maret 2008 tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/SEOJK.03/2015 tentang Produk
dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
96
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Jurnal, Skripsi, Tesis, Disertasi dan Artikel
Anom, Ade Pangeran dan Destri Budi Nugrahaeni, “Pelaksanaan Pengalihan
Hutang (Take Over) di PT Bank BRI Syariah Kantor Cabang
Yogyakarta”. Jurnal Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2014.
Aziz, M. Koni Rumaini, “Analisa Perjanjian Take Over di Bank Syariah”. Skripsi
S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Barlinti, Yeni Salma, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem
Hukum Nasional di Indonesia.” Disertasi Doktor Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Jakarta, 2010.
Chasanah, Uswatun, “Penyelesaian Hutang yang Dialihkan Secara Take Over
dengan Akad Musharakah di BRI Syariah KCP Diponegoro Surabaya”.
Jurnal Maliyah, Vol. 03, No. 02, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.
Inayah, “Kesesuaian Pembiayaan Murabahah Bank Syariah ke Perusahaan
Ditinjau dari Hukum Islam”. Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Millaturrofi‟ah, “Analisis Pelaksanaan Pengalihan Hutang (Take Over) di Bank
Jateng Cabang Syariah Semarang”. Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2017.
Nugraheni, Destri Budi, “Analisis Yuridis Multi Akad dalam Pembiayaan
Pengalihan Hutang pada PT BRI Syariah”. Mimbar Hukum Vol. 27 No. 2
Universitas Gadjah Mada, 2015.
Puspita, Nanda Meiliza, “Analisa Penerapan Akad Pembiayaan Take Over di
Perbankan Syariah berdasarkan Fatwa DSN MUI”. Tesis Program
Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok, 2009.
Rizaldy, Muhammad, “Pelaksanaan Take Over Pembiayaan di PT Bank Syariah
Mandiri Cabang Medan”. Jurnal Hukum, Vol. 12 Universitas Sumatera
Utara, 2015.
Toha, Syarief dan Pujiyono, “Problematika dalam Pelaksanaan Pengambilalihan
Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan”. Jurnal Repertorium, Vol. IV
No. 2, Universitas Sebelas Maret, 2017.
97
Website
https://www.bca.co.id/id/Bisnis/Produk-dan-Layanan/Pinjaman/kredit-lokasi
diakses pada 17 Agustus 2018 pukul 11:12 WIB.
http://cermati.com/artikel/take-over-kpr-apa-saja-syarat-dan-cara-mengurusnya
diakses pada 30 September 2018 pukul 15:32 WIB.
http://www.kreditgogo.com/artikel/Kredit-Mobil/Serba-Serbi-Take-Over-Kredit
Mobil.html diakses pada 30 September 2018 pukul 16:48 WIB.
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Bapak M. Hadi Saputra, Marketing Manager PT Bank
BRI Syariah, Tbk Kantor Cabang Depok Margonda, Depok, 21 Maret 2019.
Wawancara Pribadi dengan Ibu Alifah, Marketing PT Bank BRI Syariah, Tbk
Kantor Cabang Depok Margonda, Depok, 20 Juli 2018.
98
LAMPIRAN-LAMPIRAN
99
LAMPIRAN 1
SURAT PERMOHONAN DATA/WAWANCARA
100
LAMPIRAN 2
TRANSKIP HASIL WAWANCARA
101
102
103
104
LAMPIRAN 3
DRAFT PERJANJIAN QARDH
105
106
107
108
109
LAMPIRAN 4
DRAFT PERJANJIAN JUAL BELI
110
111
112
113
114
LAMPIRAN 5
DRAFT PERJANJIAN MURABAHAH
115
116
117
118
119
120
LAMPIRAN 6
DRAFT PERJANJIAN MUSYARAKAH
121
122
123
124
125