1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini penelitian mengenai obat-obatan terus dilakukan sehingga diperoleh obat dengan efikasi yang maksimal. Beberapa obat memiliki indeks terapi yang sempit dan penggunaannya dibatasi karena memiliki efek samping. Oleh karena itu, formulasi obat terus dikembangkan untuk mendapatkan efektivitas terapi yang diharapkan. Beberapa teknik sedang dikembangkan agar obat dapat mencapai target di tempat yang spesifik tanpa mempengaruhi jaringan lain sehingga dapat mencegah efek toksik (Biju et al, 2006). Banyak senyawa aktif memiliki bioavaibilitas dan kelarutan dalam air yang rendah, sehingga diperlukan suatu sistem pembawa yang cocok untuk obat hidrofobik. Obat-obat yang kelarutannya kecil dalam air merupakan suatu permasalahan dalam industri farmasi karena pada umumnya obat diabsorbsi dari saluran cerna dengan mekanisme difusi pasif sehingga kecepatan absorbsi obat akan menentukan bioavaibilitas. Salah satu pendekatan untuk masalah ini adalah menggunakan vesikel yang sudah populer seperti liposom sebagai penghantar obat. Liposom multilamelar dapat digunakan untuk menghantar obat hidrofobik yang dapat memisah ke fase minyak sedangkan vesikel unilamelar dapat digunakan untuk menyerap obat larut air pada ruang dalam molekul cairan. Liposom sudah dapat dibuktikan secara klinis dapat menghantarkan berbagai jenis obat misalnya amphotericin B, doxorubicin, daunaurubicin, antrasiklin, dan cytarabin (Blazek-Welsh and Rhodes, 2001). Berbagai formulasi liposom telah dilakukan untuk memperbaiki stabilitas fisik pada saat pembuatan, namun keadaan vakum atau gas nitrogen masih diperlukan selama proses pembuatan dan penyimpanan untuk mencegah oksidasi fosfolipid. Kesulitan pada teknik ini dapat dihindari dengan alternatif lain untuk mengganti fosfolipid, salah satunya adalah pembuatan vesikel dengan hidrasi campuran kolesterol dan surfaktan non ionik atau dikenal dengan nama niosom (Jufri dkk, 2004). Niosom adalah sistem vesikel yang mirip dengan liposom yang dapat
44
Embed
20090513092921SKRIPSI_UII_F. MIPA_Farmasi_Pembuatan Niosom berbasis Maltodekstrin DE 5-10 dari Pati Beras _Amylum Oryzae_Mita Sukamdiyah_03613052
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini penelitian mengenai obat-obatan terus dilakukan sehingga
diperoleh obat dengan efikasi yang maksimal. Beberapa obat memiliki indeks
terapi yang sempit dan penggunaannya dibatasi karena memiliki efek samping.
Oleh karena itu, formulasi obat terus dikembangkan untuk mendapatkan
efektivitas terapi yang diharapkan. Beberapa teknik sedang dikembangkan agar
obat dapat mencapai target di tempat yang spesifik tanpa mempengaruhi jaringan
lain sehingga dapat mencegah efek toksik (Biju et al, 2006).
Banyak senyawa aktif memiliki bioavaibilitas dan kelarutan dalam air
yang rendah, sehingga diperlukan suatu sistem pembawa yang cocok untuk obat
hidrofobik. Obat-obat yang kelarutannya kecil dalam air merupakan suatu
permasalahan dalam industri farmasi karena pada umumnya obat diabsorbsi dari
saluran cerna dengan mekanisme difusi pasif sehingga kecepatan absorbsi obat
akan menentukan bioavaibilitas. Salah satu pendekatan untuk masalah ini adalah
menggunakan vesikel yang sudah populer seperti liposom sebagai penghantar
obat. Liposom multilamelar dapat digunakan untuk menghantar obat hidrofobik
yang dapat memisah ke fase minyak sedangkan vesikel unilamelar dapat
digunakan untuk menyerap obat larut air pada ruang dalam molekul cairan.
Liposom sudah dapat dibuktikan secara klinis dapat menghantarkan berbagai jenis
obat misalnya amphotericin B, doxorubicin, daunaurubicin, antrasiklin, dan
cytarabin (Blazek-Welsh and Rhodes, 2001).
Berbagai formulasi liposom telah dilakukan untuk memperbaiki stabilitas
fisik pada saat pembuatan, namun keadaan vakum atau gas nitrogen masih
diperlukan selama proses pembuatan dan penyimpanan untuk mencegah oksidasi
fosfolipid. Kesulitan pada teknik ini dapat dihindari dengan alternatif lain untuk
mengganti fosfolipid, salah satunya adalah pembuatan vesikel dengan hidrasi
campuran kolesterol dan surfaktan non ionik atau dikenal dengan nama niosom
(Jufri dkk, 2004).
Niosom adalah sistem vesikel yang mirip dengan liposom yang dapat
2
digunakan sebagai pembawa obat hidrofobik. Niosom dibentuk dari campuran
surfaktan non ionik sebagai pengganti fosfolipid. Beberapa rute pemberian untuk
niosom telah diteliti seperti intramuskular, intravena, subkutan, okular, oral dan
transdermal. Niosom memiliki struktur surfaktan multilamelar sehingga cocok
untuk obat hidrofobik (Blazek-Welsh and Rhodes, 2001). Niosom bersifat
biodegradabel, biokompatibel dan non-imunogenik selain itu niosom bekerja
meningkatkan efek terapetik dengan cara menunda klirens dari sirkulasi,
melindungi obat dari lingkungan biologi serta membatasi efek ke sel target (Biju
et al, 2006).
Berbagai metode untuk pembuatan niosom telah diteliti, tetapi metode ini
memiliki beberapa kelemahan yaitu preparasi yang rumit, waktu yang lama dan
alat-alat khusus. Sekarang ini sedang diteliti pembuatan niosom dari hidrasi
proniosom. Metode ini lebih mudah dan tidak memerlukan alat khusus.
Proniosom dibuat dengan menyemprotkan surfaktan dalam pelarut organik ke
serbuk sorbitol kemudian menguapkan pelarutnya, tetapi untuk melapisi partikel
sorbitol ini sulit karena sorbitol yang digunakan larut dalam pelarut organik
sehingga partikel sorbitol dapat terdegradasi dan menjadi sangat kental. Untuk
mencegah hal ini, beberapa metode pembuatan proniosom telah dicoba, salah
satunya adalah mengganti sorbitol dengan maltodekstrin (Blazek-Welsh and
Rhodes, 2001).
Maltodekstrin merupakan salah satu produk turunan pati yang dihasilkan
dari proses hidrolisis parsial oleh enzim α-amilase yang memiliki nilai Dextrose
Equivalent (DE) kurang dari 20. Maltodekstrin dapat bercampur dengan air
membentuk cairan koloid bila dipanaskan dan mempunyai kemampuan sebagai
perekat, tidak memiliki warna dan bau yang tidak enak serta tidak toksik (Jufri
dkk, 2004).
Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi yang
memiliki kelarutan dalam air sangat kecil bahkan dapat dikatakan praktis tidak
larut dalam air walaupun ibuprofen diabsorbsi secara cepat di lambung. Sembilan
puluh sembilan persen ibuprofen terikat dalam protein plasma sehingga dapat
Maltodekstrin dimasukkan ke dalam labu bulat, kemudian ditambahkan
volume larutan stok surfaktan (larutan sorbitan monostearat) yang ekivalen
dengan komposisi tiap formula. Jika campuran belum membentuk slurry, perlu
ditambahkan kloroform secukupnya. Campuran kemudian diuapkan dengan
rotary evaporator pada suhu 50-60°C dan kecepatan 60 rpm sampai terbentuk
serbuk kering. Serbuk proniosom yang dihasilkan dibiarkan di desikator selama
dua malam, kemudian disimpan dalam wadah tertutup rapat di lemari es (pada
suhu di bawah 10°C).
21
6. Uji Sifat Fisik Proniosom
a. Uji Organoleptis
Uji ini meliputi bentuk, warna, rasa dan bau
b. Penetapan kadar air (Lachman and Lieberman, 1995)
Pemeriksaan kadar air diuji menggunakan alat uji kadar air. Sejumlah serbuk
proniosom dimasukan ke dalam alat uji kadar air, kemudian permukaan
proniosom diratakan. Alat uji kadar air dinyalakan dan nilai kadar air akan
tertera pada alat.
c. Penetapan pH
Penetapan pH ini dilakukan dengan mencelupkan pH meter ke dalam
suspensi dari proniosom yang ditempatkan di atas hotplate stirer sehingga
suspensi selalu homogen. Nilai pH dari suspensi akan tertera pada alat.
d. Penetapan sudut diam (Lachman and Lieberman, 1995)
Proniosom dituang pelan-pelan lewat corong, sementara bagian bawah
ditutup. Setelah itu penutup dibuka dan granul dibiarkan mengalir keluar.
Diukur tinggi dan jari-jari kerucut yang terbentuk, kemudian ditentukan
sudut diamnya. Sudut diam dihitung dengan menggunakan persamaan (2).
e. Penetapan indeks kompresibilitas (Lachman and Lieberman, 1995)
Proniosom dituang pelan-pelan ke dalam gelas ukur sampai volume 10 ml.
Gelas ukur dipasang pada motorized tapping device, kemudian alatnya
dinyalakan. Pengetapan dilakukan sampai volume konstan. Perubahan
volume setelah pengetapan dicatat kemudian dihitung indeks kompresibilitas
menggunakan persamaan (3).
f. Penetapan densitas (Lachmann and Lieberman, 1995)
Serbuk dimasukan ke dalam gelas ukur 10 ml, kemudian diukur berat dari
proniosom. Bobot jenis dihitung dengan menggunakan persamaan (4).
7. Pembuatan Niosom (Jufri dkk, 2004)
a. Niosom kosong
Sejumlah serbuk proniosom yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Sejumlah volume aquadest bebas ion yang bersuhu ±
80°C ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Setelah ditutup rapat, campuran
22
itu divortex selama ± 30 detik (diulang 4x). Suspensi niosom dibuat dengan
konsentrasi total surfaktan konstan yaitu 10 mmol/L untuk tiap formula.
b. Niosom dengan obat
Bahan aktif yang digunakan sebagai model obat adalah ibuprofen. Larutan
stok ibuprofen dalam alkohol 96% : buffer fosfat pH 7,4 (1:10) dibuat
dengan konsentrasi 10 mmol/L. Niosom dibuat dengan cara yang sama
seperti diatas, hanya volume air yang ditambahkan diganti dengan larutan
ibuprofen dalam campuran alkohol 96% : buffer fosfat pH 7,4 (1:10) yang
bersuhu ± 80°C. Sediaan yang diperoleh didinginkan pada temperatur ruang.
8. Karakterisasi niosom (Jufri dkk, 2004)
a. Mikroskopi optik
Suspensi niosom yang diperoleh, dipipet, diteteskan di atas kaca objek dan
ditempatkan di bawah mikroskop optik kemudian diamati morfologinya, dan
difoto menggunakan kamera.
b. Penetapan jumlah obat yang dibawa
Sejumlah 1,0 mL suspensi niosom diencerkan dengan air (1 : 4) kemudian
disentrifus pada 4000 rpm selama ± 30 menit dan didekantasi. Supernatan
yang diperoleh dipipet 1,0 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 25,0
mL, kemudian ditepatkan volumenya dengan buffer fosfat pH 7,4 hingga
garis batas.
Larutan kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang 264 nm dan
dibandingkan dengan serapan larutan standar ibuprofen yang telah diketahui
kadarnya untuk menghitung berapa jumlah ibuprofen yang larut / tidak
dibawa oleh niosom (Cf). Jumlah obat yang dibawa oleh niosom (EP) dapat
dihitung dengan rumus :
EP (%) = [(Ct – Cf) / Ct] x 100 (5)
Keterangan :
Ct : konsentrasi larutan stok Ibuprofen yang digunakan untuk membuat
suspensi.
Cf : jumlah ibuprofen yang larut
Ep : jumlah obat yang dibawa niosom
23
C. Analisis Hasil
Hasil pengujian berbagai parameter di atas dianalisis dengan
menggunakan pendekatan teoritis. Hasil yang diperoleh dari uji pemeriksaan pati
beras (Amylum oryzae), uji sifat fisik maltodekstrin dan uji sifat fisik proniosom
dibandingkan terhadap persyaratan-persyaratan sesuai dengan kepustakaan yang
ada. Sedangkan data dari penetapan jumlah obat yang dibawa akan digunakan
untuk mengetahui berhasil atau tidaknya niosom yang berasal dari maltodekstrin
DE 5-10 dalam membawa obat.
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pemeriksaan pati beras (Amylum oryza)
Pati beras merupakan bahan dasar pembuatan maltodekstrin sehingga perlu
dilakukan uji untuk mengetahui karakteristik dari pati beras.
Tabel III. Hasil pemeriksaan kualitatif pati beras
Uji Kualitatif Standar (Anonim, 1979)
Hasil Keterangan
Mikroskopi Butir bersegi banyak, tunggal atau majemuk bentuk bulat telur, hilus tidak terlihat jelas
Butir-butir majemuk dan tidak terlihat adanya hilus
Sesuai
Kelarutan Tidak larut dalam air dingin dan dalam etanol
Praktis tidak larut dalam etanol dan air dingin
Sesuai
Identifikasi a. Suspensi dalam
air dengan pemanasan
b. Iodine Test c. Kertas lakmus
Larutan kanji yang tidak transparan Warna biru tua hilang pada saat pemanasan dan timbal kembali pada pendinginan Tidak mengubah warna
Larutan kental berwarna putih tidak transparan Berwarna biru tua, saat dipanaskan warna biru menghilang dan muncul kembali saat didinginkan Tidak mengubah warna
Sesuai
Sesuai
Sesuai
Organoleptis a. Bentuk b. Warna c. Bau d. Rasa
Serbuk sangat halus Putih Tidak berbau Tidak berasa
Serbuk halus Putih Tidak berbau Tidak berasa
Sesuai
Sesuai Sesuai Sesuai
Kadar air Kurang dari 15% 10,37% Sesuai
a. Mikroskopi
Jenis amilum yang berbeda akan memberikan penampakan mikroskop
yang berbeda dan bersifat khas. Pada pati beras ditambahkan sedikit air dan
diamati dibawah mikroskop optik dengan perbesaran 100x. Menurut
Farmakope edisi III (Anonim,1979) pati beras jika diamati dengan mikroskop
25
terlihat butir bersegi banyak, tunggal atau majemuk, hilus tidak terlihat jelas
dan tidak ada lamela konsentris.
Gambar 3. Bentuk mikroskopik Amylum oryzae dengan perbesaran 100x,
Dari gambar 3 terlihat butir-butir yang majemuk dan tidak terlihat
adanya hilus, sehingga dapat dikatakan bahwa Amylum oryzae yang dipakai
sudah memenuhi persyaratan.
b. Kelarutan
Pati beras dimasukan ke dalam air dingin dan etanol dan dilihat
kelarutannya. Dari hasil uji kelarutan menunjukkan bahwa pati beras tidak larut
dalam air dingin dan etanol. Pati mengandung amilosa dan amilopektin.
Amilosa dapat larut dalam air sedangkan amilopektin tidak larut dalam air.
Semakin kecil kandungan amilosa semakin tinggi kandungan amilopektinnya
(Winarno, 2002). Pati beras memiliki kandungan amilopektin yang lebih besar
dari amilosa sehingga tidak larut dalam air. Menurut Farmakope edisi III
(Anonim,1979) pati beras tidak larut dalam air dan etanol sehingga pati beras
yang digunakan sudah memenuhi standarnya.
c. Identifikasi
Identifikasi pati beras dilakukan dengan mensuspensikan pati beras
dengan air yang dipanaskan hingga terbentuk larutan kental berwarna putih dan
tidak transparan, tidak menimbulkan bau dan tidak mengubah warna kertas
lakmus. Pati ketika dipanaskan hanya akan menghasilkan tenaga yang
melemahkan ikatan hidrogennya sehingga air dapat diserap oleh butiran
amilum dan mulai mengembang sehingga terbentuk larutan kanji yang kental.
26
Larutan kanji yang terbentuk ditambah dengan pereaksi iodium sehingga
berubah warna menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul pati
yang berbentuk spiral sehingga akan mengikat molekul iodin dan terbentuklah
warna biru. Apabila pati dipanaskan, spiral akan merenggang, molekul-molekul
iodin terlepas sehingga warna biru menjadi hilang (Winarno, 2002). Reaksi ini
bersifat reversible sehingga ketika didinginkan akan terbentuk kembali warna
biru. Hal ini disebabkan iodin akan berikatan kembali dengan molekul pati.
d.Organoleptis
Dalam Farmakope edisi III (Anonim,1979) disyaratkan bahwa pati beras
berbentuk serbuk halus, berwarna putih, tidak berasa dan tidak berbau. Tabel
III menunjukkan bahwa pati beras yang dipakai sudah sesuai kriteria pada
Farmakope edisi III (Anonim,1979) yaitu serbuk halus, berwarna putih, tidak
berasa dan tidak berbau.
e. Uji kadar air
Menurut Farmakope edisi III (Anonim,1979) amilum mempunyai
persyaratan memiliki kadar air tidak lebih dari 15%. Kadar air akan
berpengaruh pada stabilitas saat penyimpanan. Kadar air yang tinggi dapat
menyebabkan pati yang terbentuk kurang stabil. Dari tabel III, diperoleh kadar
air 10,37% sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air dari pati beras sudah
memenuhi kriteria yaitu kurang dari 15%.
Dari keseluruhan uji identifikasi pati beras, menunjukkan bahwa hasil
identifikasi pati beras sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh
Farmakope edisi III (Anonim, 1979) sehingga dapat digunakan dalam
pembuatan maltodekstrin.
2. Pembuatan maltodekstrin
Maltodekstrin dibuat dari pati beras sejumlah 40% b/b yang disuspensikan
dalam air bebas ion yang mengandung 200 ppm CaCl2. Pati beras yang digunakan
adalah seberat 80 gram yang kemudian disuspensikan dalam larutan stok air bebas
ion 200 ml yang mengandung CaCl2 sebanyak 0,04 gram, sehingga berat total
suspensi adalah 200 gram. Penggunaan air bebas ion bertujuan untuk
menghilangkan ion-ion yang dapat mengganggu aktivitas enzim, sedangkan
27
penambahan CaCl2 berfungsi untuk menyediakan ion kalsium (Ca2+) yang akan
mempertahankan stabilitas enzim pada temperatur tinggi. Ion kalsium akan
bereaksi dengan cara membentuk khelat dengan sisi enzim dan akan menjaga
kestabilan struktur tersiernya. Jumlah konsentrasi ion kalsium per molekul pada
tiap enzim sangat bervariasi (Whistler et al, 1984). Apabila konsentrasi ion Ca2+
yang ditambahkan terlalu banyak (500 ppm) akan menghambat aktivitas enzim.
Suspensi pati diatur pH-nya dengan pH meter yaitu dengan menaikkan pH
pati dari 4,5-5 menjadi 6,5 untuk mengaktifkan enzim, karena kerja enzim sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pH. Apabila pH terlalu
tinggi atau terlalu rendah akan dapat mendegradasi enzim sehingga enzim akan
rusak. Enzim α-amilase diketahui bekerja optimum pada pH 6-7.
Suspensi yang telah diatur pH-nya, kemudian ditambahkan enzim α-
amilase sebanyak 0,4% b/b, yaitu 0,5 gram dalam 200 gram suspensi. Suspensi
tersebut dipanaskan dalam waterbath shaker selama 120 menit pada suhu 60ºC
dan kecepatan 80 rpm. Kondisi tersebut berdasar optimasi yang dilakukan dan
merupakan kondisi optimum untuk mencapai DE 5-10. Suhu yang digunakan
adalah 60ºC untuk menjaga agar enzim tidak rusak karena enzim yang digunakan
bersifat termolabil dan mempunyai suhu maksimal 65ºC. Walaupun demikian,
suhu tersebut cukup tinggi untuk dapat melepaskan amilosa dan amilopektin dari
granul pati sehingga dapat dengan mudah dihidrolisis oleh enzim.
Tabel IV. Kondisi pembuatan maltodekstrin dari pati beras
Keterangan : * = Data disajikan sebagai x ± SD dengan n = 3 Formula 1 = maltodekstrin : span 60 (5g : 2,50 mmol) Formula 2 = maltodekstrin : span 60 (5g : 5,00 mmol) Formula 3 = maltodekstrin : span 60 (5g : 7,50 mmol) Formula 4 = maltodekstrin : span 60 (5g : 10,0 mmol)
a. Uji organoleptis
Uji organoleptis meliputi bentuk, warna, rasa dan bau. Dari hasil uji
organoleptis menunjukkan bahwa proniosom formula 1 berbentuk kasar. Semakin
banyak jumlah surfaktan yang menyalut maltodekstrin maka permukaannya akan
semakin kasar. Proniosom keseluruhannya berwarna putih tulang dan tidak
berbau. Warna putih tulang ini disebabkan oleh surfaktan yang menyalut
maltodekstrin berwarna kuning pucat sehingga akan mempengaruhi warna dari
proniosom. Dari tabel VII diketahui bahwa proniosom tidak berasa.
b. Uji kadar air
Kadar air akan berpengaruh pada stabilitas proniosom selama
penyimpanan. Semakin banyak surfaktan yang ditambahkan, semakin turun kadar
airnya. Hal ini disebabkan jumlah surfaktan yang menyalut maltodekstrin juga
35
semakin banyak. Selain itu, pada proses pembuatan proniosom dilakukan
penguapan pelarut dengan rotary evaporator dan dilakukan penyimpanan dalam
densikator sehingga dapat menyebabkan menurunnya kadar air bila dibandingkan
dengan maltodekstrin.
c. Uji pH
Nilai pH akan berpengaruh pada stabilitas proniosom. Tabel VII
menunjukkan bahwa semakin banyak surfaktan yang ditambahkan maka nilai pH
juga akan meningkat. Nilai pH proniosom lebih tinggi daripada maltodekstrin
karena telah terjadi penambahan span 60 dan pelarut kloroform.
d. Penetapan sudut diam
Bentuk partikel yang tidak beraturan akan menyebabkan sudut diam
meningkat. Semakin kasar gesekan antar partikel dan semakin tidak beraturan
permukaan partikel juga akan menyebabkan tingginya sudut diam. Dari ke empat
formula proniosom, masing-masing memiliki sudut diam yang berbeda karena
jumlah total surfaktan yang ditambahkan berbeda sehingga cenderung untuk
menghasilkan penyalutan yang berbeda pula. Menurut tabel VII semakin banyak
jumlah total surfaktan yang digunakan sebagai penyalut, semakin tinggi sudut
diamnya. Hal ini terjadi karena semakin banyak jumlah surfaktan maka
permukaan proniosom juga akan semakin kasar sehingga menyebabkan sudut
diam meningkat, walaupun sudut diam yang didapat masih belum memenuhi
syarat yaitu 25o-45o. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa sifat aliran
serbuk dipengaruhi oleh penambahan surfaktan dalam jumlah tertentu karena
bentuk asal partikel maltodekstrin tetap dipertahankan (Jufri dkk, 2004).
e. Penetapan indeks kompresibilitas
Pengetapan merupakan volume dimana satuan massa produk berbentuk
serbuk berada dalam kondisinya yang paling mampat tempat terjadinya perubahan
bentuk partikel. Besar kecilnya harga indeks kompresibilitas sangat ditentukan
oleh pengisian ruang antar partikel oleh sejumlah serbuk dan pemampatan saat
terjadinya getaran volumenometer (Lachman and Lieberman, 1994).
Tabel VII menunjukan terjadinya perbedaan indeks kompresibilitas pada
masing-masing formula. Pada hasil uji menunjukkan bahwa semakin banyak
jumlah surfaktan maka indeks kompresibilitasnya juga semakin kecil. Hal ini
36
terjadi karena proniosom yang dihasilkan juga semakin kasar yang berarti
kemampuan partikel untuk mengisi ruang antar partikel berkurang sehingga dapat
dikatakan memiliki indeks kompresibilitas yang semakin baik.
f. Penetapan densitas
Densitas merupakan perbandingan antara bobot granul dengan volume
granul. Densitas massa akan berpengaruh pada sifat alir, semakin besar densitas
masssa maka akan semakin baik pula sifat alir serbuk tersebut. Dari hasil uji
menunjukan terjadinya peningkatan densitas dari formula 1 hingga formula 4.
Formula 4 memiliki densitas yang paling tinggi karena penambahan surfaktan
pada formula 4 merupakan yang paling besar. Semakin banyak surfaktan maka
densitas yang diperoleh juga akan semakin besar yang juga berarti semakin berat
serbuk proniosom. Semakin berat partikel akan membuat partikel lebih mudah
jatuh dan mengalir karena mempunyai kecenderungan untuk mengalir ke bawah
karena gaya beratnya.
7. Pembuatan niosom
Niosom dibuat dari hidrasi serbuk proniosom. Hasil dari hidrasi ini akan
menghasilkan suspensi. Untuk membuat niosom yang berisi obat maka niosom
dihidrasi dengan menambahkan larutan obat. Sebagai pembanding digunakan
niosom kosong yang tidak berisi obat. Model obat yang digunakan adalah
ibuprofen karena mudah larut dalam kloroform dan tahan terhadap pemanasan
(Anonim, 1995). Selain itu ibuprofen murah dan mudah didapat. Dalam industri
farmasi, ibuprofen cukup laku di pasaran karena khasiatnya sebagai analgesik
serta anti-inflamasinya.
Ibuprofen bersifat hidrofobik sehingga akan dihasilkan suspensi niosom
yang terpisah dengan jelas. Hal ini terjadi karena ibuprofen terikat dengan kuat
pada molekul span 60 yang juga bersifat hidrofob sehingga menyebabkan
partikel-partikel dalam suspensi menggumpal. Hal ini dapat dibandingkan pada uji
mikroskopi antara niosom kosong dengan niosom yang berisi dengan obat yaitu
pada suspensi yang tidak mengandung obat, agregasi partikel lebih sedikit
dibandingkan suspensi yang mengandung obat.
37
8. Karakterisasi niosom
a. Mikroskop optik
Karakterisasi dengan mikroskop optik ini dilakukan dengan
membandingkan niosom yang berisi obat dengan niosom tanpa obat. Suspensi
niosom dari masing-masing formula dilihat dibawah mikroskop optik dengan
perbesaran 100x kemudian diamati bentuk molekul.
A B
Gambar 5. Hasil uji mikroskopi suspensi niosom dengan perbesaran 100x ket.A.
Niosom kosong Formula 1, B. Niosom isi Formula 1, C. Niosom kosong Formula 2, D. Niosom isi Formula 2, E. Niosom kosong Formula 3, F. Niosom isi Formula
3, G.Niosom kosong Formula 4, H.Niosom isi Formula 4. a. menunjukan terjadinya aggregasi
Dari hasil uji mikroskopi terlihat adanya partikel kecil berbentuk bulat
yang diduga vesikel niosom yang dihasilkan dari hidrasi proniosom. Pada gambar
5 ditunjukkan bahwa pada suspensi yang tidak mengandung obat memiliki
a
a
G
FE
DC
H
a
a a
a a
a
38
agregasi partikel yang lebih sedikit dibanding suspensi yang mengandung obat.
Agregasi partikel pada suspensi yang tidak mengandung obat dapat terjadi karena
sistem yang yang terbentuk tidak stabil. Sistem tersebut dapat terstabilkan dengan
memberikan muatan-muatan listrik pada permukaan partikel karena muatan yang
sama menghasilkan tolak menolak yang mencegah koagulasi partikel. Pada
suspensi yang mengandung obat, agregasi partikelnya lebih besar karena sistem
yang terbentuk lebih stabil. Hal ini terjadi karena ibuprofen terikat dengan kuat
pada molekul span 60 yang juga bersifat hidrofob sehingga menyebabkan
partikel-partikel dalam suspensi menggumpal. Walaupun demikian agregasi
dalam sistem suspensi akan menyebabkan terbentuknya endapan dengan cepat.
Telah dibuktikan bahwa penambahan sejumlah kecil DCP cenderung dapat
menstabilkan sistem span 60-niosom dengan memberikan muatan listrik negatif
yang akan mencegah agregasi niosom. Kombinasi surfaktan yang biasa dipakai
dalam berbagai penelitian adalah span 60, kolesterol dan disetilfosfat (DCP)
sehingga akan menghasilkan niosom yang stabil. Kolesterol dipakai untuk
menambah kekakuan pada proniosom sehingga penyalutan yang terjadi rapat dan
tidak mudah bocor, sedang DCP berfungsi untuk menstabilkan proniosom dengan
memberi muatan listrik pada permukaan partikel. Tetapi kolesterol dan DCP
mahal dan sulit didapat sehingga tidak digunakan dalam penelitian ini.
Gambar 5 menunjukkan perbedaan pada suspensi niosom yang
mengandung obat dan yang tidak mengandung obat. Untuk mengetahui jumlah
obat yang dapat dibawa oleh niosom dilakukan penetapan jumlah obat yang
dibawa niosom.
b. Penetapan jumlah obat yang dibawa
Jumlah obat yang dibawa oleh niosom ditetapkan dengan metode
sentrifugasi karena metode ini lebih cepat. Suspensi niosom yang telah diperoleh
disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm yang berfungsi untuk mempercepat
pemisahan dengan cara meningkatkan gaya gravitasi sehingga pemisahan terjadi
dengan cepat. Dari hasil sentrifuse ini diperoleh supernatan yang mengandung
obat yang larut atau tidak dibawa oleh niosom. Kadar obat yang larut ini
kemudian ditetapkan kadarnya secara spektrofotometri. Apabila jumlah obat yang
larut sama dengan jumlah obat yang ditambahkan maka diasumsikan tidak ada
39
obat yang dibawa, apabila berbeda diperkirakan telah terbentuk niosom yang
dapat membawa obat. Jumlah obat yang dibawa ditentukan dengan menghitung
persentase selisih jumlah obat yang ditambahkan dan jumlah obat yang larut (Jufri
et al, 2004).
Dari gambar 6 diperoleh persamaan y = 0,0073 + 0,7151x dengan nilai
r = 0,9995. Persamaan linear ini digunakan untuk menentukan kadar
ibuprofen yang terlarut dalam suspensi niosom kemudian dihitung jumlah
obat yang dibawa oleh niosom dengan menggunakan persamaan 5.
Tabel VIII. Konsentrasi jumlah obat yang dibawa niosom dengan total surfaktan 10 mmol
Formula Jumlah ibuprofen yang ditambahkan
(mmol)
Kadar ibuprofen terlarut (mmol)
Persentase ibuprofen yang
dibawa niosom (%) Formula 1 10,00 0,07 ± 0,01 99,35 ± 0,09 Formula 2 10,00 0,04 ± 0,02 99,58± 0,19 Formula 3 10,00 0,03 ± 0,00 99,67 ± 0,02 Formula 4 10,00 0,05 ± 0,01 99,51 ± 0,11 Keterangan : * : Data disajikan sebagai x ± SD dengan n = 3 Formula 1 = maltodekstrin : span 60 (5g : 2,50 mmol) Formula 2 = maltodekstrin : span 60 (5g : 5,00 mmol) Formula 3 = maltodekstrin : span 60 (5g : 7,50 mmol) Formula 4 = maltodekstrin : span 60 (5g : 10,0 mmol)
Dari hasil percobaan diperoleh bahwa jumlah obat yang terlarut
berbeda dengan jumlah obat yang ditambahkan. Tabel VIII menunjukkan
bahwa persentase jumlah obat yang dibawa oleh niosom memiliki kemampuan
y = 0,0073 + 0,007151 x
Gambar 6. Kurva Baku Larutan Ibuprofen
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1
Konsentrasi Ibuprofen (mmol/L)
Abs
orba
nsi (
nm)
y = 0,0073 + 0,7151x
40
yang hampir sama dalam membawa obat. Tidak ditambahkannya kolesterol
pada formula kemungkinan menyebabkan kurang rapatnya surfaktan yang
menempel pada carrier (maltodekstrin) sehingga jumlah surfaktan yang
tertempel tidak berbeda jauh. Selain itu konsentrasi surfaktan yang digunakan
pada formula 1 diperkirakan sudah mencapai Critical Micelle Concentration
(CMC) sehingga peningkatan konsentrasi surfaktan tidak menyebabkan
perbedaan yang terlalu jauh.
Tabel VIII menunjukan bahwa jika konsentrasi obat yang ditambahkan
dibuat konstan 10 mmol/L, jumlah obat yang dibawa tergantung pada
konsentrasi surfaktan dalam suspensi dengan jumlah maksimal obat yang
terbawa. Jumlah obat yang dibawa tidak tergantung pada konsentrasi obat
yang ditambahkan karena kapasitas niosom terbatas dalam membawa obat
(Blazek-welsh and Rhodes, 2001)
Secara keseluruhan, niosom yang dibuat dari maltodekstrin DE 5-10
yang berasal dari pati beras terbukti mampu menghantarkan obat dengan
persentase yang tinggi. Jumlah surfaktan pada formula 1 telah mampu
membawa obat dengan optimal sehingga penambahan konsentrasi surfaktan
tidak menyebabkan perbedaan yang terlalu jauh yaitu dengan rata-rata
keempat formula 99,53%.
41
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Maltodekstrin DE 5-10 yang berasal dari pati beras dapat dibuat niosom.
2. Variasi total surfaktan yang ditambahkan tidak mempengaruhi jumlah obat
yang dibawa oleh niosom. Konsentrasi surfaktan yang digunakan pada
formula 1 diperkirakan sudah mencapai nilai Critical Micelle Concentration
(CMC) sehingga peningkatan konsentrasi surfaktan tidak menyebabkan
perbedaan yang terlalu jauh.
3. Niosom dapat digunakan sebagai penghantar obat ibuprofen dengan
persentase yang tinggi dengan rata-rata 99,53%.
B. Saran
1. Perlu dilakukannya penelitian tentang pembuatan niosom yang berbasis
maltodekstrin dari pati jenis lain.
2. Perlu dilakukannya penelitian pembuatan niosom dengan metode yang lain.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjut untuk membuat niosom dengan obat dalam
bentuk sediaan.
4. Perlu dilakukan penelitian dengan model obat yang berbeda.
42
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 93
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 108, 449
Anonim, 2006, The United Stated Pharmacopeia, edisi XXIV, Webcom Limited, Toronto, 3368
Anwar, E., Djajadisastra, J., Yanuar, A., Bahtiar, A., 2004, Pemanfaatan Maltodekstrin Pati Terigu Sebagai Eksipien Dalam Formula Sediaan Tablet dan Niosom, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(1): 34-36
Biju, S.S., Talegaonkar, S., Mishra, P.R., Khar, R.K., 2006, Vesikular System: An Overview, Indian Journal Of Pharmaceutical Science, 68(2): 141-153
Chaplin, M., 2004, The Use of Enzymes in Starch Hidrolysis, available at http://www.lsbu.ac.id/biology/enztech/starch.html (diakses tanggal 3 Februari)
Deman, J.M., 1997, Kimia Makanan, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 455
Fassihi, A.R., and Kanfer, I., 1986, Effect of Compressibility and Powder Flow Properties and Tablet Weigh Variation in Drug Development and Industry Pharmacy, Marccel Dekker Inc, 1947-1966
Ganiswara, S., 1995, Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 218
Gibaldi, M., and Fieldman, S., 1970, Mechanism of Surfactant Effect On Drug absorbtion, J. Pharm. Sci, 5
Gibaldi, M., 1984, Biopharmaceiutic and Clinical Pharmacokinetics, 3th ed, Lea & Febiger, Philadelphia, 15-26
43
Jufri, M., Anwar, E., Djajadisastra, J., 2004, Pembuatan Niosom Berbasis Maltodekstrin DE 5-10 Dari Pati Singkong, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1(1): 10-20
Kuntz, AL., 1997, Making The Most of Maltodextrin, available at http://www.foosproductdesign.com/archive/1997/0897DE.html (diakses tanggal 31 Januari 2007)
Lachman, L., and Lieberman, H. A., 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri, Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi, UI Press, Jakarta, 111, 142, 146-147, 339-357
Limwong, V., Sutanthavibul, N., Kulvanich, P., 2004, Sperical Composite Particles Of Rice Starch and Microcrystalline Cellulosa: A New Composed Excipient for Direct Compression, AAPS Pharm. Sci. Tech, 5(2)
Martin, A., Swarbrick, J., Cammarata, A., 1983, Farmasi Fisik, UI-Press,1064-1067
McKee, T., McKee, J.R., 2003, Biochemistry: The Molecular Basis of Life, 3th, McGraww-Hill, New York
Moore, G.R.P., Canto, L.R., Amante, E.A., Soldi, V., 2005, Cassava and Corn Starch In Maltodextrin Production, Quinica Nova 28(4)
Patel, S., Natavarial, M., Mukesh, R., 2006, Liposome: A Versatile Platform for Targeted Delivery of Drugs, available at http://www.pharmainfo.net/exclusive/reviews/liposom:_a_versatile_platform_for_targeted_delivery_of_drug (diakses tanggal 23 Januari 2007)
Reynolds, J.E.F., 1993, Martindale: The Extra Pharmacopeia, Volume 1, Info Acces & Distribution Pte Ltd, Singapore, 1044
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi, 1995, Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Liberty, Yogyakarta, 34-35