4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kelembagaan Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal ikhwal tentang lembaga, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Hal penting tentang lembaga tersebut meliputi (Purwaka 2008): 1) Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga dalam rangka mencapai tujuan; 2) Tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan landasan hukum yang rasional; 3) Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagiamana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum dengan argumentasi yang rasional; 4) Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi rasional; 5) Sumberdaya manusia yang dibutuhkan sebagai pelaksana kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasar hukum serta dengan argumentasi yang rasional; 6) Sumberdaya manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembagal; 7) Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
29
Embed
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kelembagaan · di WPP RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau penyidik kepolisian. Penyidik dapat melakukan koordinasi pada
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kelembagaan
Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal
ikhwal tentang lembaga, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif
(peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta
maupun lembaga masyarakat. Hal penting tentang lembaga tersebut meliputi
(Purwaka 2008):
1) Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang tujuan yang hendak dicapai,
strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi,
serta kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga dalam rangka mencapai
tujuan;
2) Tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman
untuk melaksanakan strategi sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran
dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan landasan hukum
yang rasional;
3) Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi
lembaga sebagiamana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran
terhadap landasan hukum dengan argumentasi yang rasional;
4) Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan
fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi rasional;
5) Sumberdaya manusia yang dibutuhkan sebagai pelaksana kewenangan, tugas
pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran
dan penalaran terhadap landasar hukum serta dengan argumentasi yang
rasional;
6) Sumberdaya manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat
keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembagal;
7) Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok
dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
5
penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang
rasional;
8) Jejaring kerja antar lembaga sebagaimana dapat dipahami melalui penafsiran
dan penalaran terhadap lendasan hukum disertai dengan argumentasi yang
rasional; dan
9) Hasil kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana
dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum
disertai dengan argumentasi yang rasional.
Hal penting tentang lembaga pertama sampai dengan keenam merupakan
aspek statik (static aspects) dari kelembagaan yang disebut tata kelembagaan,
sedangkan hal penting tentang lembaga ketujuh, kedelapan dan kesembilan
merupakan aspek dinamik (dynamic aspects) dari kelembagaan yang disebut
sebagai kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan (Purwaka 2008).
Struktur kelembagaan dari suatu organisasi kelembagaan terdiri dari dua
substruktur utama, yaitu tata kelembagaan dan kerangka kerja atau mekanisme
kelembagaan. Masing-masing substruktur kelembagaan tersebut mengandung
komponen-komponen kapasitas potensial (potensial capacity), daya dukung
(carrying capacity) dan daya tampung (absorptive capacity) (Purwaka 2008).
Mekanisme kelembagaan adalah tata kelembagaan dalam keadaan bekerja
atau bergerak. Oleh karena itu mekenisme kelembagaan bersifat dinamis, sedang
tata kelembagaan bersifat statis. Tata kelembagaan terdiri dari (Purwaka 2008):
1) Kapasitas potensial (potensial capasity), yaitu kemampuan potensial dari tata
kelembagaan yang harus dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.
Kapasitas potensial mencangkup:
(1) Perumusan landasan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-
undangan yang diberlakukan sebagai aturan main kelembagaan;
(2) Penetapan tujuan, perumusan strategi, untuk mencapai tujuan, dan
perumusan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta perumusan tugas
pokok dan fungsi serta kewenangan dari unsur-unsur kelembagaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6
(3) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia yang berkualitas untuk
mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
(4) Penempatan sumberdaya yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang
dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Daya dukung (carrying capacity), yaitu kemampuan tata kelembagaan untuk
mendukung suatu aktivitas tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan yang
telah ditetapkan. Daya dukung kelembagaan meliputi:
(1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap utaian tugas pokok dan fungsi,
dan landasan hukum kelembagaan yang berlaku, serta usaha pemberian
argumentasi yang rasional terhadap hasil penafsiran dan penalaran
tersebut;
(2) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia sesuai dengan kualifikasi
berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi
yang rasional;
(3) Penempatan sejumlah sumberdaya buatan sesuai dengan kualifikasi
berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi
yang rasional; dan
(4) Pemberian beban tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kapasitas
terpasang atau kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan
yang ditempatkan, serta tujuan yang ingin dicapai.
3) Daya tampung (absorptive capasity), yaitu kemampuan menyerap dan/atau
mengantisipasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi tanpa harus
mengubah jati diri kelembagaan yang sudah ada. Daya tampung disebut juga
daya lentur kelembagaan meliputi:
(1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap perubaha lingkungan yang
terjadi, serta pemberian argumentasi yang rasioanal terhadap hasil
penafsiran dan penalaran tersebut; dan
(2) Upaya penyerasian, penyelarasan dan penyesuaian antara kondisi
kelembagaan yang ada (existing condition) dan perubahan lingkungan
kelembagaan.
7
Kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan yang merupakan tata
kelembagaan dalam keadaan bergerak atau bekerja meliputi (Purwaka 2008):
1) Kapasitas potensial mekanisme kelembagaan untuk melakukan dan
mengembangkan komunikasi, interaksi dan jejaring kerja kelembagaan, baik
yang bersifat internal maupun eksternal, sebagai perwujudan dari
oprasionalisasi kapasitas potensial tata kelembagaan sesuai dengan daya
dukung dan daya tampung kelembagaan;
2) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau
mekanisme kelembagaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi;
3) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau
mekanisme kelembagaan dalam mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi
yang berdampak pada organisasi kelembagaan; dan
4) Optimalisasi sisa tata kelembagaan yang belum dikonversikan menjadi
mekanisme kelembagaan melalui upaya penafsiran, penalaran dan
argumentasi rasional untuk didaya gunakan menjadi kapasitas potensial, daya
dukung dan daya tampung dalam kerangka interaksi kerangka kerja atau
mekanisme kelembagaan yang dinamis.
Menurut Purwaka (2008) kapasitas yang harus ada dalam tata kelembagaan
harus dituangkan dalam wujud sebagai berikut:
1) Visi, misi, tujuan dan objek;
2) Bentuk lembaga;
3) Struktur organisasi;
4) Uraian tugas pokok dan fungsi;
5) Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang diperlukan; dan
6) Kualitas dan kuantitas sumberdaya buatan yang diperlukan.
Keberlanjutan suatu kegiatan yang mensyaratkan pentingnya partisipasi
banyak pihak, mutlak memerlukan kerangka hukum (legal framework), agar
segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Berkaitan
dengan kerangka hukum, perlu diperhatikan pentingnya struktur hukum (legal
structure), pelaksanaan mandat hukum (legal mendate) dan penegakan hukum
(legal enforcement) (Purwaka 2008).
8
2.2 Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam tataran teoritis, bukan hanya memberikan sanksi
kepada orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap suatu
peraturan perundang-undangan, tetapi perlu pula dipahami bahwa penegakan
hukum tersebut berkaitan dengan konsep penegakan hukum yang bersifat
preventif. Namun demikian, terminologi penegakan hukum saat ini telah
mengarah pada suatu tindakan yakni menjatuhkan sanksi pidana. Penegakan
hukum yang ada kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan, dikaitkan dengan
suatu tindakan yang akan memberikan sanksi kepada setiap orang atau badan
hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pelanggaran hukum
ini sama halnya dengan pelanggaran pidana pada umumnya, yang prosesnya sama
dengan pidana biasa yang sebelum diajukan ke pengadilan, maka terlebih dahulu
didahului oleh suatu proses hukum yang lazim disebut penyidikan (Supriadi dan
Alimudin 2011).
Ketentuan pidana di bidang perikanan diatur secara khusus di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perikanan, terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 104.
Ketentuan pidana tersebut merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat
menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia
yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Hukuman pidananya
tinggi dan berat sebagai salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana
di bidang perikanan (Supratomo 2011).
Ketentuan pidana terhadap sesuatu pelanggaran merupakan hal mutlak perlu
bagi negara hukum. Menurut Supratomo (2011), berdasarkan ketentuan pidana
yang diatur dalam ketentuan Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Tindak pidana yang menyangkut penggunaan bahan yang dapat
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan/atau lingkungannya;
9
2) Tindak pidana sengaja menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang
mengganggu dan merusak SDI di kapal perikanan;
3) Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran atau kerusakan SDI
dan/atau lingkungannya;
4) Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan;
5) Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah;
6) Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang merugikan
masyarakat;
7) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengelolaan ikan yang kurang dan/atau
tidak memenuhi syarat;
8) Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan atau pengeluaran hasil
perikanan dari atau ke wilayah negara Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat
kesehatan;
9) Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang
membahayakan manusia dalam melakukan pengolahan ikan;
10) Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan tanpa
SIUP;
11) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIPI;
12) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIKPI;
13) Tindak pidana memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI;
14) Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal perikanan tanpa
izin;
15) Tindak pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan;
16) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan asing;
17) Tindak pidana tanpa memiliki surat persetjuan berlayar;
18) Tindak pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah;
19) Tindak pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak memenuhi
ketentuan yang ditetapkan UU Perikanan;
20) Tindak pidana yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil; dan
tindak pidana melanggar kebijakan pengelolaan SDI yang dilakukan oleh
nelayan atau pembudidaya ikan kecil.
10
Penegakan hukum secara lebih rinci dijabarkan pada Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan. Kapal pengawasan perikanan pada Pasal 69 dijelaskan berfungsi untuk
melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam
wilayah pengelolaan perikanan RI, kapal juga dapat dilengkapi dengan senjata
api. Kapal dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang
diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di WPP RI ke pelabuhan
terdekat untuk proses lebih lanjut. Penyidik dan.atau pengawas perikanan dapat
melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Pasal 71 memberikan jabaran bahwa akan bibentuk pengadilan perikanan
yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang
perikanan yang merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri. Pengadilan akan
dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
Dijelaskan pada Pasal 73 bahwa penyidik tindak pidana di bidang perikanan
di WPP RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau
penyidik kepolisian. Penyidik dapat melakukan koordinasi pada forum koordinasi
yang dibentuk oleh menteri dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang
perikanan. Selain penyidik TNI AL, PPNS Perikanan berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.
Penyidik terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan
perikanan, diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan.
Wewenang penyidik perikanan sebagaimana Pasal 73A antara lain
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di
bidang perikanan, memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya, membawa dan menghadapkan seseorang sebagai
tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya, menggeledah sarana dan
prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat
melakukan tindak pidana di bidang perikanan, menghentikan, memeriksa,
menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka
melakukan tindak pidana di bidang perikanan, memeriksa kelengkapan dan
11
keabsahan dokumen usaha perikanan, memotret tersangka dan/atau barang bukti
tindak pidana di bidang perikanan, mendatangkan ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan, membuat dan
menandatangani berita acara pemeriksaan, melakukan penyitaan terhadap barang
bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana, melakukan penghentian
penyidikan,dan mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat
dipertanggungjawabkan.
Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh
penuntut umum yang ditetapkan oleh jaksa agung hal ini sesuai dengan Pasal 75.
Pada Pasal 76A dapat dilihat bahwa benda dan/atau alat yang digunakan dalam
dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk
negara atau dimusnahkan setelah mendapat persejutuan ketua pengadilan negeri,
dan pada Pasal 76B ayat 2 ditambahkan apabila berupa jenis ikan terlebih dahulu
disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Sedangkan
barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan
biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan
negeri sesuai yang tercantum dalam Pasal 76B ayat 1. Ditambahkan pada Pasal
76C bahwa benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan
dapat dilelang untuk negara. Pelaksana lelang dilakukan oleh badan lelang negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uang hasil pelelangan
disetor ke kas negara sebagai penerimaan bukan pajak. Aparat penegak hukum di
bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugas dengan baik dan pihak yang
berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam
PP. Sedangkan apabila benda yang dirampas berupa kapal perikanan dapat
diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan.
Seluruh pelanggaran mengenai perikanan yang telah disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikananakan dikenakan sanksi pidana dengan
pembayaran denda minimal Rp.200.000.000,00 hingga Rp.20.000.000.000,00
dimana besaran denda ini ditentukan dengan melihat jenis pelanggaran yang
terjadi.
12
2.3 Wilayah Laut Indonesia
Indonesia menurut Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS ’82) memiliki
beberapa rezim laut yang dibedakan berdasarkan derajat dan tingkat kewenangan
dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan (Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara).
2.3.1 Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh
Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh bagi Indonesia atau dapat
disebut juga sebutan wilayah kedaulatan Indonesia. Indonesia memiliki
kedaulatan mutlak atas ruang udara dan dasar laut serta tanah di bawahnya.
Wilayah ini meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara, dan laut teritorial.
1) Perairan Pedalaman (Internal Waters).
Perairan pedalaman merupakan wilayah Indonesia dimana terdapat
kedaulatan mutlak dan kapal-kapal asing tidak mempunyai hak lintas. Perairan
Indonesia merupakan laut yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal, atau laut
yang terletak pada sisi darat dari garis penutup teluk di perairan kepulauan.
2) Perairan Nusantara atau Perairan Kepulauan (Archipelagic Water).
Wilayah perairan ini dapat dipahami sebagai laut yang terletak di antara
pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis pangkal, tanpa memperhatikan
kedalaman dan lebar laut tersebut. Kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan
prinsip lintas damai (innocent passage) dan bagi kepentingan pelayaran
intenasional kapal asing juga memiliki hak lintas melalui Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) atau sea lanes. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2002, Indonesia memiliki tiga ALKI. Hak lintas kapal asing berdasarkan
prinsip Lintas Damai dan ALKI memberdakan antara hak dan kewenangan antara
perairan pedalaman dan perairan nusantara.
3) Laut Teritorial (Territorial Sea).
Laut Teritorial merupakan wilayah perairan di luar perairan kepulauan
yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal pantai.
Indonesia memiliki kedaulatan penuh terhadapnya. Seperti halnya yang berlaku di
wilayah perairan kepulauan, kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan Lintas
Damai dan hak lintas berdasarakn ALKI.
13
2.3.2 Wilayah laut dengan hak berdaulat
Wilayah laut dengan hak berdaulat adalah wilayah laut dimana suatu negara
memiliki hak terhadap kekayaan alam yang dikandung serta memiliki
kewenangan untuk mengatur beberapa hal di wilayah tersebut.
1) Zona Tambahan (Contiguous Zone).
Zona tambahan ditetapkan sampai dengan 12 mil laut di luar laut teritorial
atau sampai dengan 24 mil laut diukur dari garis pangkal pantai terluar. Pada zona
ini Indonesia memiliki hak untuk dapat melaksanakan kewenangan tertentu dalam
mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea cukai,
keuangan/fiskal, kerantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan menjamin
pelaksanaan hukum di wilayahnya.
2) Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economi Zone).
Konvensi hukum laut 1982 Pasal 55 dan 56 ayat (1a) menyebutkan bahwa
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah suatu daerah di luar dan berdampingan
dengan laut teritorial. Lebar ZEE tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal
pantai terluar. Indonesia di perairan ZEE memiliki hak berdaulat atas eksplorasi
dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, baik hayati
maupun non hayati yang terdapat di kolom perairan. Hak berdaulat lainnya adalah
berkenaan dengan kegiatan untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi
seperti produk energi dari air, arus, dan angin. Indonesia juga memiliki kewajiban
untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan penelitian ilmiah
kelautan, serta memberikan izin pembangunan pulau buatan, instalasi, dan
bangunan laut lainnya. Pemerintah telah mengeluarkan dasar hukum untuk
mengatur wilayah ini yakni pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
ZEEI. Zonasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Zona ratifikasi UNCLOS 1982
14
3) Landas Kontinental (Continental Shelf).
Landas kontinen merupakan wilayah dimana suatu negara pantai memiliki
kewenangan atas kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di
bawahnya. Daerah di bawah permukaan yang terletak di luar laut teritorial,
sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinental
(continental margin), atau hingga jarak 200 mil dari garing pangkal dari lebar laut
teritorial diukur. Negara pentai diperbolehkan untuk menetapkan batasan luar
landas kontinental lebih dari 200 mil dengan ketentuan:
(1) Lebar maksimum tidak boleh lebih dari 350 mil laut diukur dari garis
pangkal;
(2) Tidak melebihi 100 mil laut diukur dari garis kedalaman 2500 m;
(3) Tidak melebihi lebar 60 mil laut dari kaki lereng kontinen;
(4) Garis terluar dengan titik-titik ketebalan batu endapan adalah paling sedikit
1% dari jarak terdekat antara titik-titik terluar dan kaki lereng kontinen.
2.3.3 Wilayah laut tanpa kedaulatan wilayah
Wilayah laut tanpa kedaulatan adalah wilayah dimana negara tidak memiliki
kewenangan. Wilayah ini meliputi perairan laut lepas dan kawasan dasar laut
dalam Internasional
1) Laut Lepas (High Seas).
Laut lepas merupakan bagian laut yang bukan wilayah negara maupun
ZEE. Jadi Indonesia tidak memiliki kedaulatan atau hak berdaulat terhadapnya.
Laut lepas bersifat terbuka, yakni terdapat kebebasan berlayar, penerbangan,
memasang kabel dan pipa di dasar laut, membangun pulau buatan dan instansi
lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, menangkan ikan
hingga riset ilmiah. Kebebasan ini harus memperhatikan kepentingan negara lain
di laut lepas dan memperhatikan hak-hak dalam konvensi hukum laut 1982 yang
bertalian dengan kegiatan kawasan.
2) Kawasan Dasar Laut Dalam Internasional (Internasional Sea-Bed Area).
Dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar yurisdiksi nasional.
Kekayaan alamnya diperuntukan bagi warisan umum umat manusia (common
heritage of mankind).
15
2.4 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT)
Analisis SWOT merupakan suatu metode yang dapat membantu dalam
pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat melihat seluruh kemungkinan
perubahan masa depan sebuah organisasi melalui pendekatan sistematik dengan
proses intropeksi dan mawas diri ke dalam, baik bersifat positif maupun negatif.
Metode ini digunakan untuk meneliti adanya kekuatan (strengths), kelemahan
(weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) bagi pelaksanaan
kebijakan. Sehingga dalam pelaksanaannya, SWOT mengandung prinsip
“kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap peluang, dan hilangkan
ancaman”. Kerangka formulasi strategis dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengumpulan Data 1) Faktor internal
Analisis data (Matriks SWOT)
Pengambilan keputusan
2) Faktor Eksternal
Gambar 2 Kerangka formulasi strategis
Faktor internal merupakan aspek dari dalam yang mempengaruhi suatu
organisasi dalam pengambilan suatu keputusan. Keunggulan-keunggulan yang
dimiliki akan dijadikan suatu kekuatan dalam perumusan suatu kebijakan.
Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada digunakan sebagai pertimbangan
untuk memperbaiki kinerja yang akan atau sedang dijalankan.
Faktor eksternal merupakan aspek diluar organisasi yang mampu memberi
pengaruh nyata terhadap proses penyusunan suatu kebijakan. Faktor ini meliputi
peluang dan ancaman dari pelaksanaan kebijakan yang diambil. Aspek sosial,
politik, ekonomi, budaya, demografi dan teknologi erupakan hal yang sangat
penting dalam perumusan kebijakan yang digunakan untuk pengembangan
perikanan tangkap.
16
Peluang
3. Mendukung strategi turn around 1. Mendukung strategi agresif
Kelemahan Kekuatan
4. Mendukung strategi defensif 2. Mendukung strategi diversifikasi
Ancaman
Gambar 3 Analisis SWOT (Rangkuti 2005)
Keterangan :
Kuadran 1 : Pada kuadran satu merupakan situasi yang menguntungkan,
dimana lembaga penegak hukum mempunyai peluang dan
kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan fungsi
pengawasan. Contoh strategi yang dapat diterapkan disituasi ini
adalah kerjasama pengadaan kapal patroli oleh lembaga
Internasional;
Kuadran 2 : Pada kuadran dua merupakan situasi terdapatnya ancaman, namun
masih terdapat kekuatan internal yang mendukung dalam
menjalankan fungsi pengawasan. Contoh strategi yang dapat
diterapkan adalah penempatan kapal patroli pada titik rawan
sering terjadi tindak pidana perikanan;
Kuadran 3 : Kuadran tiga menggambarkan bahwa lembaga penegak hukum
mempunyai peluang, akan tetapi masih terdapat kelemahan-
kelemahan yang harus dihadapi. Cocok strategi yang dapat
diterapkan adalah penguatan lembaga masyarakat untuk
membantu pengawasan;
Kuadran 4 : Kuadran keempat merupakan situasi yang sangat tidak
menguntungkan karena dalam dalam menjalankan fungsi
pengawasan terdapat berbagai kelemahan yang berasal dari pihak
17
internal dan juga terdapat ancaman-ancaman dari pihak eksternal.
Contoh strategi yang dapat dijalankan adalah menjalankan
operasional yang sudah dijalankan selama ini.
Keputusan yang dihasilkan merupakan suatu strategi dilaksanakan sesuai
dengan kondisi yang ada. Strategi tersebut mempunyai empat kemungkinan:
1) Strategi SO : Strategi ini memanfaatkan seluruh kekuatan unuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya;
2) Strategi ST : Strategi ini memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk untuk
mengatasi ancaman;
3) Strategi WO : Strategi ini bertujuan untuk memanfatkan peluang untuk
meminimalkan kelemahan yang ada;
4) Strategi WT : Strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan
kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
Tahap pertama adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan kelemahan)
dan eksternal (ancaman dan peluang).
Tabel 1 Faktor Internal dan Eksternal
Faktor internal Faktor Eksternal Kekuatan ............ ............
Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) digunakan
untuk membuat perangkat strategi dengan memperoleh daftar prioritas yang ada.
QSPM merupakan suatu alat yang membuat para perencana strategi dapat menilai
secara objektif strategi alternatif berdasarkan faktor-faktor keberhasilan kritis
eksternal dan internal yang telah diketahui terlebih dahulu. Matriks QSPM
menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang disasarkan sampai
seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci
dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi
dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor
keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi
alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap jumlah strategi dapat menyusun
suatu rangkaian strategi tertentu. Namun, hanya strategi dari suatu rangkaian
tertentu yang dapat dinilai relatif terhadap satu sama lain. Pengembangan QSPM
membuat kemungkinan kecil faktor-faktor kunci terabaikan atau diberi bobot
secara tidak sesuai. Meskipun dalam mengembangkan QSPM membutuhkan
sejumlah keputusan subjektif, hal ini dapat membuat beberapa keputusan kecil
sepanjang proses akan meningkatkan kemungkinan keputusan strategis akhir yang
baik untuk organisasi (David, 2003).
2.6 Landasan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan
2.6.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Maret 1980
mengeluarkan pengumuman pemerintah tentang Zona Ekonomi Ekslusif
20
Indonesia (ZEEI). Undang-undang ini didasari atas pentingnya melindungi
kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani
bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan
sumberdaya alam non hayati, pelindungan dan pelestarian lingkungan laut serta
penelitian ilmiah kelautan. Pengembangan ZEEI juga dimaksud untuk melindungi
kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta
penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumberdaya
alam di zona tersebut.
Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia merupakan jalur di luar dan berbatasan
dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-
undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di
bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia (Pasal 2). Hak berdaulat dapat dilihat
pada Pasal 4, bahwa Indonesia berhak melakukan kegiatan di ZEEI, antara lain
Indonesia berhak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumberdaya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di
bawahnya serta air di atasnya, pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin.
Indonesia berhak atas juridiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan
penggunaan pulau buatan, instalasi, dan bangunan lainnya, penelitian ilmiah
mengenai kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan
kabel dan pipa bawah laut juga diakui dengan prinsip-prinsip hukum laut
internasional yang berlaku. Selain bahwa kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi
yang dilakukan harus berdasarkan izin dari Pemerintah RI atau berdasarkan
persetujuan Internasional dengan Pemerintah RI dan dilaksanakan menurut syarat-
syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut, kegiatan tersebut juga
harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan
oleh Pemerintan RI. Eksplorasi dan/atau eksploitasi sumberdaya alam hayati dapat
diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah RI untuk
jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia hal ini berdasarkan BAB IV tentang
kegiatan-kegiatan di ZEEI Indonesia.
21
Aparatur penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan Pasal 13, dapat
melakukan tindakan berupa penangkapan terhadap kapal dan/atau orang yang
diduga melakukan pelanggaran di ZEEI yang meliputi tindakan penghentian kapal
sampai menyerahkan kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan dimana perkara
dapat diproses lebih lanjut. Tindakan penangkapan oleh aparatur penegakan
hukum ini harus dilaksanakan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka
waktu tujuh hari kecuali bila terdapat keadaan mendesak.
Pasal 14 menjabarkan bahwa aparatur penegak hukum adalah Perwira
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang ditunjuk oleh
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengadilan yang
berwenang adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan
dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang yang melanggar
tersebut.
Pasal 15 menjelaskan bahwa permohonan pembebasan terhadap pihak yang
melanggar tersebut dapat dilakukan setiap saat sebelum ada keputusan dari
pengadilan negeri yang berwenang. Permohonan dapat dikabulkan apabila sudah
menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan
oleh pengadilan. Ketentuan pidana dapat dilihat pada Pasal 16 dicabut, hal ini
berdasarkan Pasal 110 ayat (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
2.6.2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia antara lain:
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2) Menegakkan hukum; dan
3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok pada
Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas antara lain:
1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
22
2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;
4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan
bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
11) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian;
12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 dikatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugasnya,
Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan.
Tindakan bertujuan untuk membantu tugas Kepolisian Begara Republik Indonesia
dalam memberantas tindak kejahatan yang ada. Tindakan tersebut antara lain
sebagai berikut:
1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;
23
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
8) Mengadakan penghentian penyidikan;
9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
Mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana;
11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum; dan
12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
2.6.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang juga merupakan pengganti
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985. Hal ini dikarenakan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tersebut belum sepenuhnya mampu mengantisipasi
perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan
pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Selain itu, undang-undang ini disahkan
juga dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan yang belum memberikan
peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan
perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal.
Pasal 5 menerangkan bahwa Wilayah pengelolaan perikanan (WPP)
merupakan wilayah untuk penangkapan ikan dan budidaya ikan meliputi perairan
Indonesia, ZEEI, dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
24
dapat diusahakan sebagai lahan budidaya ikan. Pengelolaan perikanan di luar
wilayah tersebut dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
persyaratan dan/atau standar internasional yang diterima secara umum.
Dijelaskan pada Pasal 8 bahwa setiap orang baik nakhoda atau pemimpin
kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, Anak Buah Kapal (ABK) yang
melakukan penangkapan ikan, pemilik kapal, pemilik perusahaan perikanan,
penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan serta
pemilik perusahaan pembididaya ikan, kuasa pemilik perusahaan ikan, dan/atau
penanggung jawab perusahaan pembudidaya ikan yang melakukan usaha
pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bengunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di WWP
Republik Indonesia. Penggunaan alat, cara, bangunan dan bahan-bahan tersebut
diperbolehkan hanya untuk penelitian yang diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketentuan selanjutnya pada Pasal 9 bahwa setiap orang dilarang memiliki,
menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau
alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumberdaya ikan di kapal penangkapan ikan di WPP Republik Indonesia.
Ketentuan mengenai API dan/atau alat bantu penangkapan ikan tersebut diatur
dengan peraturan menteri.
Pada Pasal 12 dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan
yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau
lingkungannya di WPP Republik Indonesia. Setiap orang juga dilarang
membudidayakan ikan, membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika dan
menggunakan obat-obatan dalam pembudidayakan ikan yang dapat membahakan
sumberdaya ikan, lingkungan sumberdaya ikan, dan/atau kesehatan manusia di
WPP Republik Indonesia yang lebih lanjut akan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Ketentuan larangan selanjutnya pada Pasal 16 bahwa setiap orang dilarang
memasukkan, mengeluarkan mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara
ikan yang merugikan masyarakat, pembudidaya ikan, sumberdaya ikan, dan/atau
lingkungan sumberdaya ikan ke dalam dan/atau ke laut WPP Republik Indonesia
25
yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Ikan hasil
tangkapan dan/atau pembudidayaan harus memenuhi standar mutu dan keamanan
hasil perikanan hal ini ada pada Pasal 20 ayat (6).
Dijelaskan pada Pasal 26, bahwa setiap orang yang melakukan usaha
perikanan di bidang penengkapan, pembudidaya ikan, pengangkutan, pengolahan,
dan pemasaran ikan di WPP RI wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP) dimana kewajiban ini tidak berlaku untuk nalayan kecil dan/atau
pembudidaya ikan kecil. Ditambahkan pada Pasal 27 ayat (1), bahwa setiap orang
yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera
Indonesia yang digunakan untuk penangkapan ikan di WPP RI dan/atau laut lepas
wajib memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), namun SIPI ini tidak berlaku
untuk nelayan kecil seperti dijelaskan pada ayat 5 Pasal yang sama. Kemudian
pada ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang digunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI. Pada ayat (3) kembali
diperjelas bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan
berbendera Indonesia di WPP RI atau mengoperasikan kapal asing di ZEEI wajib
membawa SIPI asli. Sedangkan pada ayat (4) dijabarkan bahwa kapal
penangkapan ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkpan ikan di
wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah.
Menurut Pasal 28 ayat (1), bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal pengangkutan ikan berbendera Indonesia di WPP Republik
Indonesia wajib memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), namun
SIKPI ini tidak berlaku untuk nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil
seperti dijelaskan pada ayat (4) Pasal yang sama. Kemudian pada ayat (2)
dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkutan ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan
pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Pada ayat
(3) kembali diperjelas bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal
pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia wajib membawa SIKPI asli. Pada
26
Pasal 28A ditekankan bahwa setiap orang dilarang memalsukan dan
menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.
Pasal 29 menjelaskan bahwa usaha perikanan di WPP RI hanya boleh
dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia. Pengecualian
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban RI
berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang
berlaku. Pada Pasal 30 dikatakan bahwa pemberian SIUP kepada orang dan/atau
badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian
perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah RI dan
Pemerintah negara bendera kapal. Perjanjian ini harus mencantumkan kewajiban
Pemerintah negara berbendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan
orang atau badan hukum negara berbendera kapal untuk mematuhi perjanjian
perikanan tersebut. Selain itu Pemerintah RI juga menetapkan peraturan mengenai
pemberian izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang
beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan
lainnya.
Dijelaskan pada Pasal 35A ayat (1) bahwa kapal perikanan berbendera
Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di WPP RI wajib menggunakan
nakhoda dan ABK berkeluarganegaraan Indonesia. Sedangkan pada ayat 2
ditambahkan bahwa kapal perikanan berbendera saing yang melakukan
penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan ABK berkewarganegaraan
Indonesia paling sedikit 70% dari jumlah ABK. Pelanggaran terhadap kapal
perikanan berbendera asing tentang ABK ini dapat dikenakan sanksi administratif
berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin dimana mengenai
pengenaan sanksi administratif diatur dalam peraturan pemerintah, hal ini
terdapat pada ayat (3) dan (4).
Ketentuan pada Pasal 38 ayat 1 bahwa setiap kapal penangkapan ikan
berbendera asing yang tidak memiliki SIUP selama berada di WPP RI wajib
menyimpan API di dalam palka. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa kapal
penangkapan ikan berbendera asing yang telah memiliki SIUP dengan satu jenis
API tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa API lainnya.
27
Sedangkan pada ayat (3) menambahkan bahwa setiap kapal penangkapan ikan
berbendera asing yang telah memiliki SIUP wajib menyimpan API dalam palka
selama berada di luar daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang diizinkan di
WPP RI. Pada Pasal 39 dijelaskan bahwa kapal penangkapan ikan berbendera
Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 jenis
API yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah
penangkapan ikan.
Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa setiap kapal
perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi
kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya setelah dipenuhi
persyaratan administrasi dan kelayakan teknis, dimana mengenai persyaratan
administrasi dan kelayakan teknis diatur dalam peraturan menteri. Pada Pasal 44
ayat (1) surat persetujuan berlayar juga harus dimiliki oleh kapal perikanan sesuai
dengan Pasal 42 ayat (2) yang dikeluarkan oleh syahbandar pelabuhan setelah
kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi.
Pungutan perikanan diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa setiap
orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya ikan dan
lingkungannya di WPP RI dan di luar WPP RI dikenakan pungutan perikanan.
Pungutan ini merupakan penerimaan negara bukan pajak dan tidak dikenakan bagi
nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Sesuai dengan Pasal 49, setiap orang
asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI juga dikenakan pungutan
perikanan. Pada Pasal 50 dijelaskan bahwa pungutan perikanan digunakan untuk
pembangunan perikanan serta kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan
lingkungannya. Ketentuan mengenai pungutan perikanan diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah sesuai dengan Pasal 51.
Dijelaskan pada Pasal 66 bahwa pengawasan perikanan dilakukan oleh
pengawas perikanan. Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang
meliputi kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, perbenihan,
pengolahan, distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan, distribusi keluar
masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia, plasma
nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan,dan ikan hasil rekayasa genetik.
28
Dilanjutkan pada Pasal 66A bahwa pengawas perikanan merupakan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh menteri
atau pejabat yang ditunjuk, mereka dapat dididik untuk menjadi Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) perikanan. Pengawas perikanan yang dimaksud dapat
ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengawas perikanan yang diatur pada
peraturan menteri.
Pasal 66B menjabarkan bahwa pengawas perikanan melaksanakan tugasnya
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
kapal perikanan, pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk,
pelabuhan tangkahan, sentra kegiatan perikanan, area pembenihan ikan, area
pembudidayaan ikan, unit pengolahan ikan, dan/atau kawasan konservasi
perairan. Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas diatur dalam peraturan menteri.
Wewenang pengawas perikanan terdapat pada Pasal 66C antara lain memasuki
dan memeriksa tempat kegiatan usaha perikanan, memeriksa kelengkapan dan
keabsahan dokumen usaha perikanan, memeriksa kegiatan usaha perikanan,
memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan perikanan,
memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI, mendokumentasikan
hasil pemeriksaan, mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk
keperluan pengujian laboratorium, memeriksa peralatan dan keaktifan sistem
pemantauan kapal perikanan, menghentikan, memeriksa, membawa, menahan,
dan menangkap kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan
tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di
pelabuhan tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik,
menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin untuk memberikan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan tindakan khusus
terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau
membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal
perikanan, dan/atau mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab. Pengawas perikanan dalam melaksanakan tugasnya dapat dilengkapi
dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.
29
Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan
hal ini sesuai dengan Pasal 67. Pasal 68 dikatakan bahwa Pemerintah mengadakan
sarana dan prasarana pengawasan perikanan.
2.6.4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 20004 tentang
Tentara Nasional Indonesia disebutkan bahwa Angkatan Laut yang merupakan
bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas antara lain:
1) Melaksanakan tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) matra laut di bidang
pertahanan;
2) Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional
sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi;
3) Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung
kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
4) Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan
matra laut; dan
5) Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
2.6.5 Keputusan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan. Keputusan Menteri merupakan kesepakatan bersama antara Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) yang diwakili oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan dengan Kepolisian Negara yang diwakili oleh Kepala Kepolisian
Negara. Kesepakatan ini didasari bahwa pihak DKP merupakan pihak yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap, perikanan
budidaya, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas
kelembagaan dan pemasaran, pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta
riset kelautan dan perikanan. Sedangkan pihak kepolisian merupakan pihak yang
bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban msayarakat,
menagakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat serta melindungi kepentingan nasional. Salah satu tujuan dari
30
kesepakatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 adalah meningkatkan
kooordinasi dan kerjasama dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum terhadap
tindak pidana yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan di wilayah
perairan Indonesia.
Beberapa kesepakatan yang dapat diambil antara lain adalah bahwa dalam
rangka mendorong dan mengembangakn sistem pengamanan di lingkunagn DKP,
maka Kepolisian menyiapkan tenaga pelatih profesional guna melakukan
pembinaan dan pelatihan satuan pengamanan yang dimiliki jajaran DKP. Pihak
Kepolisian juga membantu piranti lunak dan keras untuk meningkatkan sarana
dan prasarana dalam rangka pelaksanan sistem pengawasan. Dalam rangka
peningkatan kemampuan Penyidik Pegawai Begeri Sipil (PPNS) DKP, maka
kepolisian dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sesuai Pasal 4.
Bidang operasional pada Pasal 5 dikatakan bahwa DKP dan kepolisian
mendahulukan tindakan preventif dan persuasif dalam menangani kasus-kasus
yang merugikan atau mengganggu pelaksanaan tugas dibidang kelautan dan
perikanan, sepanjang tidak atau belum dikategorikan tindakan pidana. Pasal 6 dan
Pasal 7 melanjutkan bahwa kedua pihak dapat saling memberitahukan mengenai
informasi adanya perbuatan dari pihak tertentu yang merugikan dan/atau
mengganggu pelaksanaan tugas di bidang kelautan dan perikanan. Informasi
tersebut dapat disampaikan oleh jajaran DKP kepada jajaran Kepolisian setempat
untuk ditendak lanjuti yang dalam prosesnya DKP wajib membantu Kepolisian.
Tindak lanjut pada Pasal 8, apabila terjadi tindak pidana membuat
kepolisian memerlukan penyitaan barang bukti berupa dokumen kelautan dan
perikanan, dapat meminta bantuan kepada DKP. Pelanggaran yang memerlukan
kesaksian dari pejabat DKP atau dinas, maka pemanggilan sebagai saksi
disampaikan kepada yang bersangkutan di tingkat pusat melalui menteri KP dan
di tingkat Daerah melalui dinas, kabupaten/kota yang bersangkutan. Pejabat dapat
menunjuk anggota yang membidangi permasalahannya atau apabila diperlukan
dapat memberikan keterangan tertulis.
31
2.6.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Pasal 1 mengatakan bahwa guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas
penyidik dan untuk memperlancar komunikasi serta tukar menukar data, informasi
dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi
penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana di bidang perikanan secara
terpadu, dibentuk Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang
Perikanan. Dilanjutkan pada Pasal 2 dikatakan bahwa Forum tersebut mempunyai
tugas mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan penanganan tindak
pidana di bidang perikanan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait
agar efektif, efisien, dan memenuhi rasa keadilan.
Pasal 3 menjelaskan bahwa forum menyelenggarakan fungsi antara lain:
1) Koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan;
2) Identifikasi, jenis, modus operandi, volume/frekwensi, dan penyebaran praktik-
praktik tindak pidana di bidang perikanan;
3) Penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritaskan untuk
diproses secara bertahap;
4) Penyuluh dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah terjasinya tindak
pidana di bidang perikanan;
5) Identifikasi, pengukuran, dan analisis signifikansi tindak pidana di bidang