2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Hewan Karang Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat yang sangat banyak (CaCo3), batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari makhluk hidup (Castro & Huber 2007). Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari kelas scleractinia, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan & Wells 1943 in Supriharyono 2007). Struktur bangunan kapur (CaCo3) tersebut cukup kuat sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian corals adalah alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes 1981 in Supriharyono 2007). Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic corals). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang dari kalsium karbonat, sehingga sering dikenal juga sebagai reef-building corals. Sedangkan ahermatypic coral adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk bangunan karang (Supriharyono 2007) Kemampuan hermatypic coral membentuk bangunan kapur tidak lepas dari proses hidup binatang ini. Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiosis dengan sejenis alga (zooxanthellae) yang hidup di jaringan-jaringan polip binatang karang tersebut, dan melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktifitas fotosintesa tersebut adalah endapan kapur kalsium karbonat, yang struktur dan bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menetukan jenis atau spesies binatang karang. Karena aktifitas tersebut, maka peran cahaya matahari sangat penting bagi hermatypic coral. Sehingga jenis binatang karang ini umumnya hidup di perairan pantai atau laut yang cukup dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan (Supriharyono 2007). Zooxanthellae adalah algae bersel tunggal dengan ukuran mikroskopis yang memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Zooxanthellae merupakan alga dari jenis Gymnodinium microadriaticum atau dikenal juga dengan jenis Simbiodinium (Ronsen 1988 in Efendie 2009). Adanya simbiosis dengan zooxanthellae menyebabkan karang berwarna coklat, hijau, atau biru. Dalam keadaan tertentu misalnya akibat
18
Embed
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Hewan Karang · Karang membutuhkan karakteristik lingkungan ... Nybakken 1992). Faktor-faktor fisika dan kimia ... penting dalam proses transfer
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi Hewan Karang
Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat yang sangat banyak (CaCo3),
batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari makhluk hidup (Castro & Huber
2007). Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari
kelas scleractinia, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis karang yang
mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan &
Wells 1943 in Supriharyono 2007). Struktur bangunan kapur (CaCo3) tersebut cukup
kuat sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan
asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian
corals adalah alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes 1981 in
Supriharyono 2007).
Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur
(hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic
corals). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan
karang dari kalsium karbonat, sehingga sering dikenal juga sebagai reef-building corals.
Sedangkan ahermatypic coral adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk
bangunan karang (Supriharyono 2007)
Kemampuan hermatypic coral membentuk bangunan kapur tidak lepas dari
proses hidup binatang ini. Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiosis dengan
sejenis alga (zooxanthellae) yang hidup di jaringan-jaringan polip binatang karang
tersebut, dan melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktifitas fotosintesa
tersebut adalah endapan kapur kalsium karbonat, yang struktur dan bangunannya
khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menetukan jenis atau spesies binatang karang.
Karena aktifitas tersebut, maka peran cahaya matahari sangat penting bagi hermatypic
coral. Sehingga jenis binatang karang ini umumnya hidup di perairan pantai atau laut
yang cukup dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar
perairan (Supriharyono 2007).
Zooxanthellae adalah algae bersel tunggal dengan ukuran mikroskopis yang
memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Zooxanthellae merupakan alga
dari jenis Gymnodinium microadriaticum atau dikenal juga dengan jenis Simbiodinium
(Ronsen 1988 in Efendie 2009). Adanya simbiosis dengan zooxanthellae menyebabkan
karang berwarna coklat, hijau, atau biru. Dalam keadaan tertentu misalnya akibat
5
tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang menyerang karang, zooxanthellae
dapat keluar dari karang sehingga menyebabkan karang menjadi putih pucat dan bisa
menyebabkan kematian (Veron 1986 in Pratama 2005). Zooxanthellae mendapat
perlindungan dari karang dan menggunakan beberapa hasil sampingan metabolisme
karang seperti karbondioksida, amonia, nitrat, dan fosfat sebagai bahan makanan.
Sebaliknya karang mendapat keuntungan dari pelepasan bahan-bahan organik
termasuk glukose, gliserol dan asam amonia yang dikeluarkan oleh zooxanthellae
(Hutabarat & Evans 1985). Simbiosis antara zooxanthellae dengan polip karang dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Simbiosis antara zooxanthellae dan polip karang (Castro & Huber 2007)
Karang pembentuk terumbu merupakan koloni dengan sejumlah besar polip-
polip kecil dengan diameter 1-3 mm, namun seluruh koloni dapat menjadi besar.
Beberapa jenis polip soliter dengan diameter sampai 25 cm, misalnya fungia
(Suwignyo et al. 2005). Setiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk
kecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang
tajam dan berbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini
merupakan dasar penentuan spesies karang (Bengen 2002). Setiap polip berbentuk
seperti cangkir dengan lingkaran tentakel yang mengelilingi bagian tengah yang
berfungsi sebagai mulut sekaligus anus. Tentakel memberi informasi melalui sel-sel
penyengat (nematocysts) yang berfungsi sebagai alat pertahanan dan menangkap
mangsa (Bermuda Coexploration 2000 in Soehartono & Mardiastuti 2003). Anatomi
polip karang dapat dilihat pada Gambar 3.
6
Gambar 3. Anatomi polip karang (Sumich 1999 in Bengen 2002)
2.2. Klasifikasi Hewan Karang
Klasifikasi hewan karang pembentuk terumbu yang ditransplantasikan menurut
Wells (1954) in Suharsono (2008) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Sub kelas : Zoantharia
Ordo : Scleractinia
Famili : Pocilliporidae
Genus : 1. Stylophora
2. Pocillopora
Spesies : 1. Stylophora pistillata
2. Pocillopora verrucosa
Filum Cnidaria merupakan salah satu filum yang besar dari hewan air dan
kebanyakan merupakan hewan air laut. Kebanyakan hidup berkoloni, dimana setiap
individu saling terhubung. Filum ini dua bentuk karakteristik polimorfisme yang
diperoleh dari daur hidupnya, yaitu polip dan medusa (Kolzof 1990 in Prawidya 2003).
Anggota kelas Anthozoa merupakan cnidaria yang berpolip dan tidak
mempunyai tahap medusoid. Memiliki polip khusus dibanding kelas Hydrozoa.
Kebanyakan hidup berkoloni dan dapat mencapai ukuran besar, walaupun sebenarya
individu polipnya kecil (Ruppert & Barnes 1987 in Prawidya 2003).
Ordo Scleractinia sering disebut dengan karang batu, karena menghasilkan
rangka. Rangkanya terdiri dari kalsium karbonat dan terpisah oleh epidermis pada
7
basal disc (lapisan basal). Proses pemisahan ini menghasilkan mangkuk kapur, yang
merupakan tempat polip bernaung. Pada dasar mangkuk, terdapat sklerosepta. Setiap
sklerosepta ini terbentuk ke atas sampai ke dasar polip, menahan lapisan basal. Selama
polip hidup, akan terus dihasilkan kalsium karbonat di bawah jaringan yang hidup
(Ruppert & Barnes 1987 in Prawidya 2003).
Famili Pocilloporidae terdiri dari genus Pocillopora, Seriatopora, Stylophora,
Palaustrea dan Madracis. Semuanya dapat ditemukan di perairan Indonesia. Koloni
bercabang atau submasif, ditutupi oleh bintil-bintil (verrucosae). Koralit hampir
tenggelam, kecil, kolumella, diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil (Suharsono
2008).
Genus Stylophora memiliki percabangan yang tumpul, kolumella menonjol,
dengan septa terlihat jelas, diantara koralit ditutupi duri-duri kecil dan permukaan
koloni terlihat kasar (Schweigger 1819 in Suharsono 2008).
Spesies Stylophora pistillata (Gambar 4) memiliki koloni bercabang dengan
percabangan pendek dengan ujung tumpul. Koloni biasanya berbentuk submasif
dengan cabang pendek berupa kolom atau lempengan tebal. Koralit menonjol pada
satu sisi dan pada sisi lain tenggelam dan tidak tersusun teratur. Biasanya berwarna
kuning cerah dengan ujung berwarna ungu atau putih. Jenis ini umum ditemui di
perairan yang dangkal dan tersebar di seluruh perairan Indonesia (Esper 1979 in
Suharsono 2008).
Gambar 4. Fragmen jenis Stylophora pistillata (Dok. PKSPL-IPB 2009)
Genus Pocillopora memiliki ciri-ciri koloni hampir bercabang, submasif, koralit
hampir tenggelam, septa bersatu dengan kolumella, percabangan relatif besar dengan
8
permukaan berbintil-bintil yang disebut verrucosae (Lamarck 1816 in Suharsono
2008).
Spesies Pocillopora verrucosa (Gambar 5) memiliki karakteristik koloni dapat
mencapai ukuran besar dengan percabangan yang agak tegak ke atas, gemuk pada
pangkal dan agak melebar di bagian atas dengan percabangan menimbulkan kesan
teratur dan memiliki verrucosae yang tersebar merata dengan ukuran yang tidak
seragam. Biasanya berwarna kuning pucat dan coklat muda dan tersebar di seluruh
perairan Indonesia (Ellis & Solander 1786 in Suharsono 2008).
Gambar 5. Fragmen jenis Pocillopora verrucosa (Dok. PKSPL-IPB 2009)
2.3. Sistem Reproduksi
2.3.1. Reproduksi seksual
Binatang karang berkembang biak secara seksual dan aseksual (Supriharyono
2007). Perkembangbiakkan secara seksual melalui pemijahan atau pertemuan antara
ovarium dan testes. Reproduksi seksual karang dimulai dengan pembentukan calon
gamet sampai terbentuknya gamet matang, proses ini disebut gametogenesis.
Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur atau planula. Masing-
masing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur yang telah dibuahi
dan pertumbuhan terjadi di luar (broadcaster). Sedang karang yang lain pembuahan
terjadi di dalam induknya dierami untuk beberapa saat dan dilepaskan sudah dalam
bentuk planula (broader) (Coremap fase II 2006). Proses reproduksi seksual pada
hewan karang dapat dilihat dari Gambar 6.
Gambar 6. Reproduksi seksual pada hewan karang (Nybakken 19
2.3.2. Reproduksi aseksual
Reproduksi aseksual pada karang umumnya dilakukan dengan cara m
tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, dan pembentukan tunas yang
terus-menerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak
untuk menambah koloni baru (Nybakken 1992).
fragmentasi dan pertunasan (
pada jenisnya, polip baru tumbuh secara ekstratentrakular atau intratentakular
(Gambar 7). Pada pertunasan ekstratentakular, polip yang baru tumbuh dari setengah
bagian tubuh ke bawah (Gam
tumbuh dari penyekatan membujur mulai dari
Proses pertunasan diikuti pembentukan sklerosepta dan mangkuk karang dari masing
masing polip baru (Suwignyo
Gambar 7. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan B. Pertunasan intratentakular (S
Reproduksi seksual pada hewan karang (Nybakken 19
seksual
Reproduksi aseksual pada karang umumnya dilakukan dengan cara m
tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, dan pembentukan tunas yang
menerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak
untuk menambah koloni baru (Nybakken 1992). Reproduksi aseksual karang melalui
an pertunasan (budding). Reproduksi melalui pertunasan, tergantung
pada jenisnya, polip baru tumbuh secara ekstratentrakular atau intratentakular
Pada pertunasan ekstratentakular, polip yang baru tumbuh dari setengah
(Gambar 7-A). Pada pertunasan intertentakular, polip baru
tumbuh dari penyekatan membujur mulai dari oral disk ke arah aboral (Gambar 7
Proses pertunasan diikuti pembentukan sklerosepta dan mangkuk karang dari masing
masing polip baru (Suwignyo et al. 2005).
. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular,B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo et al. 2005).
9
Reproduksi seksual pada hewan karang (Nybakken 1992)
Reproduksi aseksual pada karang umumnya dilakukan dengan cara membentuk
tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, dan pembentukan tunas yang
menerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak
Reproduksi aseksual karang melalui
). Reproduksi melalui pertunasan, tergantung
pada jenisnya, polip baru tumbuh secara ekstratentrakular atau intratentakular
Pada pertunasan ekstratentakular, polip yang baru tumbuh dari setengah
intertentakular, polip baru
(Gambar 7-B).
Proses pertunasan diikuti pembentukan sklerosepta dan mangkuk karang dari masing-
ekstratentakular,
10
2.4. Faktor-faktor Pembatas Kehidupan Karang
Terumbu karang di dunia tersebar hanya pada daerah 32 oLU sampai 32 oLS,
dimana garis lintang yang mengelilingi bumi ini merupakan batas maksimum bagi
karang untuk dapat tumbuh dengan baik. Organisme pembangun karang hanya dapat
hidup di perairan yang dangkal dimana terdapat sinar matahari yang cukup, sehingga
memberi kesan bahwa cara hidup mereka seolah-olah seperti tumbuhan (Hutabarat &
Evans 1985). Selain itu, karang pembentuk terumbu juga dapat tumbuh dengan baik di
daerah-daerah tertentu dimana sedimentasi sedikit dan terhindar dari arus dingin
(Suharsono 1996).
Karang membutuhkan karakteristik lingkungan perairan yang spesifik untuk
dapat tumbuh dan hidup dengan baik. Rachmawati (2001) menyatakan bahwa
terdapat parameter utama yang berpengaruh terhadap keberadaan terumbu karang,
yaitu suhu, salinitas, cahaya matahari, kekeruhan dan nutrisi. Adapun faktor-faktor
lain yang mempengaruhi yaitu sedimentasi, sirkulasi arus dan gelombang, kedalaman
perairan (Dahuri 2003 ; Nybakken 1992). Faktor-faktor fisika dan kimia yang
mempengaruhi kehidupan karang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Faktor-faktor fisik yang bekerja pada polip karang (Nybakken 1992).
2.4.1. Suhu
Suhu air merupakan faktor penting yang menetukan kehidupan karang. Menurut
Wells (1995) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk pertumbuhan karang
adalah berkisar antara 25-29 oC. Berdasarkan Dirjen PHKA (2008) suhu optimal untuk
pertumbuhan karang sebesar 26-30OC, dan menurut baku mutu air laut untuk biota
laut Kep.51 MENKLH (2004) suhu optimal untuk pertumbuhan karang sebesar 28-
11
30OC. Karena sifat hidup ini ekosistem terumbu karang umumnya tumbuh di daerah
tropis, walaupun ada diantaranya yang dapat hidup di daerah sub-tropis seperti di
perairan Bemuda, perairan sebelah selatan Jepang, dan perairan sebelah selatan Afrika
Selatan (Supriharyono 2007).
Nybakken (1992) menyatakan bahwa hampir semua terumbu karang di dunia
hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20oC.
Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu agak dibawah
20oC, tetapi menurut Wells (1957) in Nybakken (1992) tidak ada terumbu karang yang
mampu berkembang pada suhu tahunan dibawah 18oC. Terumbu karang dapat
mentoleransi suhu sampai kira-kira 36-40oC, studi yang dilakukan oleh Coles & Jokiel
(1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) mengenai pengaruh limbah
suhu, menjelaskan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6oC di bawah
atau diatas ambang batas dapat mengurangi pertumbuhan karang, bahkan dapat
mematikannya (Supriharyono 2007).
2.4.2. Salinitas
Menurut Nybakken (1992), Karang hermatipik tidak dapat bertahan pada
salinitas yang menyimpang dari salinitas normal, yaitu 32-35 PSU. Adanya aliran
sungai yang bermuara ke perairan pantai menyebabkan penurunan salinitas pada
perairan pantai, sehingga hal ini dapat mempengaruhi kehidupan karang sehingga
pertumbuhannya menjadi tidak normal. Nilai salinitas dapat menurun hingga 20 PSU
ataupun dapat naik melebihi 50 PSU secara temporal (Rachmawati 2001). Namun
demikian, ada juga terumbu karang yang dapat hidup pada perairan yang memiliki
kadar salinitas yang tinggi, yaitu sebesar 42 PSU seperti di Teluk Persia, wilayah Timur
Tengah (Nybakken 1992).
2.4.3. Intensitas cahaya matahari
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya merangsang terjadinya proses
fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang
cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu, kemampuan
karang untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan berkurang pula (Dahuri 2003).
Cahaya memiliki korelasi penting dengan kedalaman, karena seberapa
kedalaman yang memungkinkan untuk pertumbuhan karang, tergantung dari
seberapa jauh cahaya matahari mampu menembus kolom air (Rachmawati 2001).
12
Terumbu karang umumnya tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Pada perairan
yang jernih, kedalaman tersebut dapat bertambah hingga lebih dari 40 m, namun
jarang ditemukan tumbuh dengan baik pada kedalaman lebih dari 50 m (Rachmawati
2001). Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran benua-
benua atau pulau-pulau (Nybakken 1992).
2.4.4. Arus
Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai
makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari
endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh
karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi
(Dahuri 2003). Arus berperan dalam pemindahan nutrien, larva, dan sedimen. Sampah
juga dapat berpindah dengan bantuan arus yang membawanya ke tempat lain.
Karenanya kecepatan arus dan turbulensi memiliki pengaruh terhadap morfologi dan