Top Banner
5 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC Klasifikasi ABC merupakan klasifikasi dari suatu kelompok produk dalam susunan menurun berdasarkan biaya penggunaan produk itu per periode waktu (harga per unit per produk dikalikan volume penggunaan dari produk itu selama periode tertentu). Periode yang umum digunakan adalah 1 tahun. Klasifikasi ABC umum dipergunakan dalam pengendalian persediaan. Klasifikasi ABC mengikuti prinsip 80-20 atau hukum Pareto di mana sekitar 80% dari nilai total persediaan produk direpresentasikan (diwakilkan) oleh 20% persediaan produk. Penggunaan klasifikasi ABC (Gaspersz, Vincent, 2001) adalah untuk menetapkan: a. Frekuensi penghitungan persediaan , di mana produk-produk kelas A harus diuji lebih sering dalam hal akurasi catatan persediaan dibandingkan produk kelas B atau C. b. Prioritas pembelian (perolehan), di mana aktivitas pembelian seharusnya difokuskan pada produk-produk bernilai tinggi dan penggunaan dalam jumlah tinggi. c. Sistem pengisian kembali, di mana klasifikasi ABC akan membantu mengidentifikasi metode pengendalian yang digunakan. Akan lebih ekonomis apabila mengendalikan material kelas C dengan metode yang lebih sederhana dan metode-metode yang lebih canggih untuk produk-produk kelas A dan kelas B. d. Keputusan investasi, karena produk kelas A menggambarkan investasi yang lebih besar dalam persediaan, maka perlu lebih berhati-hati dalam membuat keputusan tentang kuantitas pesanan dan stok pengaman terhadap produk kelas A, dibandingkan terhadap produk kelas B dan kelas C.
21

2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

Dec 01, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

5

2. TEORI PENUNJANG

2.1. Klasifikasi ABC

Klasifikasi ABC merupakan klasifikasi dari suatu kelompok produk dalam

susunan menurun berdasarkan biaya penggunaan produk itu per periode waktu

(harga per unit per produk dikalikan volume penggunaan dari produk itu selama

periode tertentu). Periode yang umum digunakan adalah 1 tahun. Klasifikasi ABC

umum dipergunakan dalam pengendalian persediaan.

Klasifikasi ABC mengikuti prinsip 80-20 atau hukum Pareto di mana

sekitar 80% dari nilai total persediaan produk direpresentasikan (diwakilkan) oleh

20% persediaan produk.

Penggunaan klasifikasi ABC (Gaspersz, Vincent, 2001) adalah untuk

menetapkan:

a. Frekuensi penghitungan persediaan , di mana produk-produk kelas A harus diuji

lebih sering dalam hal akurasi catatan persediaan dibandingkan produk kelas B

atau C.

b. Prioritas pembelian (perolehan), di mana aktivitas pembelian seharusnya

difokuskan pada produk-produk bernilai tinggi dan penggunaan dalam jumlah

tinggi.

c. Sistem pengisian kembali, di mana klasifikasi ABC akan membantu

mengidentifikasi metode pengendalian yang digunakan. Akan lebih ekonomis

apabila mengendalikan material kelas C dengan metode yang lebih sederhana dan

metode-metode yang lebih canggih untuk produk-produk kelas A dan kelas B.

d. Keputusan investasi, karena produk kelas A menggambarkan investasi yang lebih

besar dalam persediaan, maka perlu lebih berhati-hati dalam membuat keputusan

tentang kuantitas pesanan dan stok pengaman terhadap produk kelas A,

dibandingkan terhadap produk kelas B dan kelas C.

Page 2: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

6

Cara melakukan klasifikasi ABC:

• Tabulasikan nama, harga per unit, dan jumlah unit yang dijual per tahun.

• Kalikan harga per unit dengan jumlah unit yang dijual selama setahun untuk

mendapatkan nilai rupiah penjualan setahun dari masing-masing produk.

• Jumlahkan nilai rupiah tahunan untuk keseluruhan produk dan hitung persentase

penjualan tahunan untuk tiap-tiap produk.

• Sorting (urutkan) produk-produk mulai dari yang jumlah penjualan tahunannya

terbesar.

• Buat klasifikasi ABC dengan aturan yang mendekati di atas.

Tabel 2.1. Klasifikasi ABC

Karakteristik A B C

Persentase Nilai 75-80% 10-15% 5-10%

Persentase Jumlah Produk 15-20% 20-25% 60-65%

Sumber dari: Pujawan, Nyoman, 2001

2.2. Peramalan

Peramalan merupakan suatu fungsi bisnis yang berusaha untuk

memperkirakan penjualan dan penggunaan produk sehingga produk-produk itu dapat

dibuat dalam kuantitas yang tepat. Dengan demikian, peramalan merupakan suatu

dugaan terhadap permintaan yang akan datang berdasarkan pada beberapa variabel

peramal, sering berdasarkan pada data deret waktu historis.

Tujuan utama dari peramalan permintaan adalah untuk meramalkan

permintaan dari produk-produk independent demand (misalnya produk akhir) di

masa yang akan datang. Pemilihan produk-produk independent demand yang akan

diramalkan tergantung pada situasi dan kondisi aktual dari masing-masing industri

manufaktur.

Penentuan horizon waktu peramalan akan tergantung pada situasi dan

kondisi aktual dari masing-masing industri manufaktur. Alternatif interval ramalan

yang umum dipilih adalah menggunakan interval waktu: harian, mingguan, bulanan,

triwulan, semesteran, dan tahunan. Selain memilih interval ramalan, harus juga

ditentukan banyaknya periode di masa yang akan datang yang akan diramalkan,

Page 3: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

7

misalnya 12 atau 24 bulan mendatang, atau periode 8, 12, 16, atau 20 triwulan

mendatang. Dalam sistem peramalan berlaku aturan bahwa semakin jauh periode di

masa yang akan datang yang diramalkan (dengan asumsi faktor lain tetap), hasil

ramalan akan semakin kurang akurat. Dengan demikian, semakin panjang horizon

waktu peramalan, hasil ramalan akan semakin kurang akurat.

2.2.1. Manfaat Peramalan Permintaan

Peramalan permintaan sangat bermanfaat bagi perusahaan karena

berhubungan dengan pengambilan keputusan. Manfaat dari peramalan permintaan

adalah sebagai berikut:

• Untuk menentukan kebijakan dalam persoalan penyusunan anggaran untuk

segala aktivitas yang dilaksanakan, seperti anggaran penjualan dan sebagainya.

• Pedoman untuk pengendalian persediaan, karena bila persediaan terlalu besar

maka akan menimbulkan biaya penyimpanan yang tinggi dan sebaliknya bila

persediaan terlalu kecil maka akan berpengaruh pada tingkat pelayanan terhadap

konsumen. Oleh karena itu, peramalan dapat digunakan sebagai pedoman untuk

mengendalikan persediaan.

• Merupakan langkah evaluasi yang baik untuk mengukur tingkat pelayanan

(kemampuan memenuhi permintaan) terhadap konsumen.

2.2.2. Langkah-langkah Peramalan

Langkah-langkah yang harus diperhatikan untuk menjamin efektivitas dan

efisiensi dari sistem peramalan dalam manajemen permintaan, yaitu:

a. Menentukan tujuan dari peramalan

Tujuan utama dari peramalan permintaan adalah untuk menentukan permintaan

dari produk-produk independent demand di masa yang akan datang.

b. Memilih produk independent demand yang akan diramalkan

Pemilihan produk independent demand tergantung pada situasi dan kondisi aktual

dari masing-masing industri manufaktur dan tujuan peramalan itu sendiri.

c. Menentukan horizon waktu peramalan

Penentuan horizon waktu peramalan bergantung pada situasi dan kondisi aktual

dari masing-masing industri manufaktur dan tujuan peramalan itu sendiri. Dalam

Page 4: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

8

sistem peramalan berlaku aturan bahwa semakin jauh periode di masa datang

yang diramalkan (dengan asumsi faktor lain tetap) maka hasil ramalan akan

semakin kurang akurat.

d. Mengumpulkan data yang diperlukan untuk melakukan peramalan

Data yang diperlukan untuk melakukan peramalan adalah data permintaan, lead

time, persediaan dan lain sebagainya. Jangka waktu untuk proses peramalan

secara normal minimal 2 tahun.

e. Memilih model-model peramalan

Pemilihan model peramalan bergantung pada pola data dan horizon waktu

peramalan. Pola data dibedakan menjadi 4 yaitu:

• Pola horizontal (H), terjadi bilamana nilai data berfluktuasi di sekitar rata-rata

yang konstan. Deret seperti ini stasioner terhadap nilai rata-rata.

• Pola musiman (S), terjadi bilamana suatu deret dipengaruhi oleh faktor

musiman, misalnya tahun, minggu, atau hari tertentu.

• Pola siklis (C), merupakan pola musiman dengan periode waktu jangka

panjang, biasanya berhubungan dengan siklus bisnis.

• Pola trend (T), terjadi bilamana ada kenaikan atau penurunan jangka panjang

dalam data.

Dari identifikasi pola dasar maka akan ditemukan formulasi model matematis

(dengan asumsi yang diperlukan) sehingga pola tersebut dapat diteruskan dan

diperbaharui untuk masa yang akan datang.

f. Penentuan model peramalan

Model peramalan yang baik adalah yang dapat memberikan hasil ramalan tidak

jauh berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Dengan kata lain, model peramalan

yang baik adalah yang dapat memberikan hasil penyimpangan terkecil antara

hasil peramalan dengan nilai kenyataannya.

g. Validasi model peramalan

Validasi model peramalan dapat dilakukan dengan menggunakan tracking signal.

Tracking signal adalah suatu ukuran bagaimana baiknya suatu ramalan

memperkirakan nilai-nilai aktual.

h. Membuat peramalan

Page 5: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

9

2.2.3. Model Dekomposisi

Model dekomposisi digunakan untuk mengidentifikasi 3 komponen pola

data yaitu trend, musiman, dan siklus. Model dekomposisi mengasumsikan bahwa

data terdiri dari :

Data = pola + error

= f (trend, siklus, musiman) + error

Sebagai tambahan komponen dari pola, pola acak (error) diasumsikan ada. Error

yang dimaksudkan adalah perbedaan antara kombinasi dari 3 pola data yang sudah

ada dengan data aktual.

Model matematika untuk dekomposisi adalah:

( )ttttt ECTIfX ,,,= (2.1)

di mana Xt adalah data aktual pada periode t

It adalah indeks (komponen) musiman pada periode t

Ct adalah indeks (komponen) siklus pada periode t

Et adalah indeks (komponen) acak pada periode t

2.2.4. Tracking Signal

Tracking signal adalah suatu ukuran bagaimana baiknya suatu ramalan

memperkirakan nilai-nilai aktual. Tracking signal dihitung sebagai running sum of

the forecast error (RSFE) dibagi dengan mean absolut deviation (MAD), sebagai

berikut:

Tracking signal MADRSFE

= (2.2)

= ∑ (actual demand in period i – forecast demand in period i) MAD

di mana MAD = ∑ (absolut dari forecast error) n n = banyaknya periode data

Apabila tracking signal telah dihitung maka dapat dibangun peta kontrol

tracking signal. Beberapa ahli dalam sistem peramalan menyarankan untuk

menggunakan nilai tracking signal maksimum ± 4, sebagai batas-batas pengendalian

untuk tracking signal. Dengan demikian apabila tracking signal berada di luar batas

Page 6: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

10

pengendalian maka model peramalan perlu ditinjau kembali karena akurasi

peramalan tidak dapat diterima (Gaspersz, Vincent, 2001).

2.3. Fill Rate (Percent Unit Service Level)

Fill rate adalah prosentase unit permintaan yang dapat dipenuhi dari

persediaan (Narasimhan, Seetharama L., 1995). Fill rate adalah kebalikan dari

stockout rate yang menyatakan prosentase dari unit permintaan yang tidak dapat

dipenuhi dari persediaan (stok), yang akhirnya menjadi backorder atau lost sales.

2.3.1. Notasi yang Digunakan

Dalam perhitungan fill rate, notasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

• Marginal profit (MP)

Marginal profit dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

MP = S – C (2.4)

Sumber dari: Narasimhan, Seetharama L., 1995

Di mana S = harga jual (Rp)

C = biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan produk (Rp)

• Marginal loss (ML)

Marginal loss dapat dihitung dengan menggunaka rumus sebagai berikut:

ML = C – V (2.5)

Sumber dari: Narasimhan, Seetharama L., 1995

Di mana C = biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan produk (Rp)

V = nilai sisa (Rp)

• Probabilitas menjual marginal produk / probabilitas menjual unit ke-Q (p)

Keputusan yang diambil adalah sebagai berikut:

Profit yang diharapkan ≥ kerugian yang diharapkan

( )MPp ≥ ( )MLp−1

( )MPp ≥ ( )MLpML −

( )MLMPp + ≥ ML

p ≥ MLMP

ML+

(2.6)

Sumber dari: Narasimhan, Seetharama L., 1995

Page 7: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

11

• Stockout risk (SOR)

Adalah probabilitas bahwa jumlah permintaan melebihi jumlah pemesanan

(Narasimhan, Seetharama L., 1995).

• Percent order service level (OSL)

Adalah prosentase dari siklus pengisian kembali di mana kebutuhan konsumen

terpenuhi.

Nilai OSL didapatkan dari rumus sebagai berikut:

OSL = 1 – SOR (2.7)

Sumber dari: Narasimhan, Seetharama L., 1995

• Reorder point dari permintaan selama lead time pada unit normal distribution (k)

• Standard deviasi dari permintaan selama lead time dan masa review ( LR+σ )

RL+σ didapatkan dari rumus sebagai berikut:

( ) RRL RL σσ ×+=+ (2.8)

Sumber dari: Chopra, Sunil, 2001.

di mana L = lead time (bulan)

R = review interval (bulan)

Rσ = standard deviasi dari kesalahan peramalan permintaan selama masa

review (unit)

• Review interval (R)

Adalah jangka waktu pemeriksaan persediaan.

• Lead time (L)

Lead time adalah waktu tunggu dari waktu pemesanan barang sampai barang

yang dipesan masuk dalam gudang dan siap untuk digunakan.

• Rata-rata permintaan setiap siklus pengisian kembali (Q)

• Unit stockout rate (USOR)

USOR didapatkan dari rumus sebagai berikut:

Q

kgUSOR LR )(+=

σ (2.9)

Sumber dari: Narasimhan, Seetharama L., 1995

• Percent unit service level / fill rate (USL)

USL didapatkan dari rumus sebagai berikut:

Page 8: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

12

USL = 1 – USOR (2.10)

Sumber dari: Narasimhan, Seetharama L., 1995

2.3.2. Perhitungan Fill Rate

Langkah-langkah yang digunakan untuk menghitung fill rate adalah sebagai

berikut:

a. Menghitung p

Dengan menghitung nilai p maka akan didapatkan nilai SOR. Dengan

diketahuinya SOR maka dapat diketahui pula service level-nya.

b. Mencari nilai k

Nilai k didapatkan dari tabel unit normal distribution.

c. Mencari nilai g(k)

Nilai g(k) didapatkan dari tabel unit normal distribution.

d. Menghitung nilai RL+σ dan Q

e. Menghitung USOR

f. Menghitung fill rate (USL)

2.4. Persediaan

Persediaan adalah suatu sumber daya menganggur (idle resources) yang

menunggu proses lebih lanjut. Yang dimaksud dengan proses lebih lanjut di sini

adalah berupa kegiatan produksi seperti dijumpai pada sistem manufaktur, kegiatan

pemasaran seperti yang dijumpai pada sistem distribusi ataupun kegiatan konsumsi

seperti dijumpai pada sistem rumah tangga.

Dalam sistem manufaktur, persediaan dapat ditemui dalam 3 bentuk yaitu:

• Bahan baku, merupakan masukan awal dari proses transformasi menjadi produk

jadi.

• Barang setengah jadi, merupakan bentuk peralihan dari bahan baku menjadi

produk jadi

• Barang jadi, merupakan hasil akhir proses transformasi yang siap dipasarkan

kepada konsumen.

Timbulnya persediaan dalam suatu sistem merupakan akibat dari

mekanisme pemenuhan atas permintaan (transaction motive). Permintaan akan suatu

Page 9: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

13

barang yang datang pada suatu sistem tidak akan dapat dipenuhi dengan segera pada

saat permintaan itu tiba, bila barang tersebut tidak tersedia sebelumnya, karena untuk

mengadakan barang dibutuhkan waktu baik untuk proses pembuatan barang tersebut

maupun untuk mendatangkannya. Hal ini berarti bahwa adanya persediaan dalam

suatu sistem merupakan suatu hal yang sulit untuk dihindarkan.

Besar kecilnya kesulitan dalam permasalahan tersebut tergantung pada

berbagai faktor, di antaranya adalah:

• Permintaan yang bervariasi dan sering tidak pasti baik dalam jumlah maupun

kedatangannya.

• Waktu pembuatan yang cenderung tidak konstan antara satu produk dengan

produk lainnya.

• Waktu ancang-ancang (lead time) yang cenderung tidak pasti karena berbagai

faktor yang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan.

• Sistem administrasi dan pengorganisasian.

• Tingkat pelayanan yang ingin diberikan.

• Keberanian pihak manajemen untuk mengambil resiko.

Selain akibat dari mekanisme pemenuhan atas permintaan, timbulnya

persediaan dapat pula disebabkan karena adanya keinginan untuk meredam

ketidakpastian (precautionary motive) dari ketiga faktor pertama di atas. Jenis

persediaan yang diperuntukkan untuk meredam ketidakpastian sering disebut sebagai

persediaan pengaman (safety stock).

2.4.1. Permasalahan Umum Pengendalian Persediaan

Fungsi utama dari persediaan adalah menjamin kelancaran mekanisme

pemenuhan permintaan barang sesuai dengan kebutuhan pemakai sehingga sistem

yang dikelola dapat mencapai kinerja (performance) yang optimal. Adapun

permasalahan yang dihadapi di dalam pengendalian persediaan pada umumnya

adalah sebagai berikut:

• Permasalahan kuantitatif, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penentuan jumlah

barang yang akan dipesan / dibuat, saat pemesanan / pembuatan serta jumlah

persediaan pengamannya. Permasalahan ini sering dikenal dengan penentuan

Page 10: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

14

kebijaksanaan persediaan (inventory policy), yaitu pemilihan metode

pengendalian persediaan yang terbaik.

• Permasalahan kualitatif, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan sistem

pengoperasian persediaan yang meliputi antara lain pengorganisasian,

mekanisme dan prosedur, administrasi, dan sistem informasi persediaan.

Permasalahan ini akan dijumpai secara rutin pada waktu pengoperasian sistem

persediaan.

2.4.2. Biaya Persediaan

Biaya persediaan adalah semua pengeluaran dan kerugian yang timbul

sebagai akibat adanya persediaan. Adapun komponen-komponennya terdiri atas

biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, biaya kekurangan

persediaan, dan biaya sistemik.

a. Biaya pengadaan

Biaya pengadaan dibedakan atas 2 jenis sesuai asal-usul dari barang tersebut

yaitu biaya pemesanan dan biaya pembuatan.

• Biaya pemesanan

Adalah semua pengeluaran yang ditimbulkan untuk mendatangkan barang

dari luar. Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan pemasok (supplier),

biaya memeriksa persediaan sebelum melakukan pemesanan, dan sebagainya.

Biasanya biaya ini diasumsikan tetap untuk setiap kali pemesanan barang.

• Biaya pembuatan

Adalah semua pengeluaran yang ditimbulkan untuk persiapan memproduksi

barang. Biaya ini biasanya timbul di dalam pabrik, yang meliputi biaya

menyetel mesin, biaya mempersiapkan gambar benda kerja, dan sebagainya.

b. Biaya penyimpanan

Adalah semua pengeluaran yang timbul akibat penyimpanan barang. Biaya ini

meliputi:

• Biaya memiliki persediaan

Barang yang menumpuk di gudang adalah benda yang mempunyai nilai.

Dengan demikian penumpukan barang di gudang berarti penumpukan modal,

dan modal perusahaan mempunyai biaya yang dapat diukur dengan suku

Page 11: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

15

bunga di bank misalnya. Oleh sebab itu, biaya yang ditimbulkan karena

dimilikinya persediaan harus diperhitungkan di dalam biaya sistem

persediaan. Biaya memiliki persediaan biasanya dinyatakan sebagai

persentase terhadap nilai persediaan tersebut untuk satuan waktu tertentu.

• Biaya gudang

Barang disimpan memerlukan tempat untuk penyimpanan (gudang), oleh

sebab itu menimbulkan biaya gudang. Bila gudang dan fasilitas peralatannya

disewa maka biaya gudang merupakan biaya sewa, sedangkan bila dimiliki

sendiri maka biaya gudang merupakan biaya depresiasinya.

• Biaya kerusakan dan penyusutan

Barang yang disimpan dapat mengalami kerusakan bahkan dapat pula

mengalami penyusutan. Penyusutan ini dapat terjadi karena beratnya

berkurang ataupun jumlahnya berkurang karena hilang. Biaya yang

ditimbulkan karena faktor kerusakan dan penyusutan ini biasanya diukur dari

pengalaman sesuai dengan persentasenya.

• Biaya kadaluwarsa

Ada kalanya barang-barang yang disimpan mengalami penurunan nilai

karena adanya model yang lebih baru. Hal ini banyak dijumpai pada barang-

barang elektronik. Besarnya biaya kadaluwarsa ini biasanya diukur dengan

besarnya penurunan nilai jual barang tersebut.

• Biaya asuransi

Untuk menjaga barang terhadap hal-hal yang tidak diinginkan seperti

kebakaran, huru-hara, dan sebagainya maka barang yang disimpan juga

diasuransikan. Biaya yang dikeluarkan untuk ini disebut biaya asuransi,

besarnya tergantung pada perjanjian dengan perusahaan asuransinya serta

jenis barang yang diasuransikan.

• Biaya administrasi

Biaya ini dikeluarkan untuk mengadministrasikan persediaan barang yang

ada, baik pada saat pemesanan, penerimaan barang maupun penyimpanannya.

• Biaya lain-lain

Adalah semua biaya penyimpanan yang belum dimasukkan ke dalam elemen

biaya di atas, biasanya bergantung pada situasi dan kondisi perusahaan.

Page 12: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

16

Di dalam manajemen persediaan, terutama yang berkaitan dengan permasalahan

kuantitatif maka biaya simpan per unit diasumsikan linier terhadap jumlah barang

yang disimpan (misalnya Rp/unit/tahun).

c. Biaya kekurangan persediaan

Apabila dijumpai tidak ada barang pada saat diminta maka akan terjadi keadaan

kekurangan persediaan. Keadaan ini akan menimbulkan kerugian karena proses

produksi menjadi terganggu dan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan

menjadi hilang. Satu hal yang amat penting dari keadaan ini adalah beralihnya

konsumen ke tempat lain, dan ini merupakan kerugian yang susah untuk dinilai.

Untuk menentukan biaya kekurangan persediaan, dapat diukur dari:

• Kuantitas yang tidak dapat dipenuhi

Diukur dari keuntungan yang hilang karena tidak dapat memenuhi barang

yang diminta atau dari kerugian akibat terhentinya proses produksi (Rp/unit).

• Waktu pemenuhan

Lama waktu gudang kosong akan berarti lamanya proses produksi terhenti

ataupun lamanya perusahaan tidak dapat menikmati keuntungan. Oleh sebab

itu, waktu dapat diartikan sebagai uang yang hilang. Biaya yang ditimbulkan

keadaan ini dapat diukur berdasarkan waktu yang diperlukan untuk

memenuhi gudang yang biasanya dinyatakan dalam Rp/satuan/waktu.

• Biaya pengadaan darurat

Agar konsumen tidak kecewa maka dapat dilakukan pengadaan darurat yang

biasanya menimbulkan biaya yang lebih besar daripada pengadaan normal.

Kelebihan biaya persediaan ini dapat dijadikan ukuran untuk menentukan

biaya kekurangan persediaan, biasanya dinyatakan dalam Rp/setiap kali

kekurangan.

d. Biaya sistemik

Biaya ini meliputi biaya perancangan dan perencanaan sistem persediaan serta

biaya untuk mengadakan peralatan (misalnya komputer) serta melatih tenaga

yang digunakan untuk mengoperasikan sistem. Biaya sistemik ini dapat dianggap

sebagai biaya investasi bagi pengadaan suatu sistem persediaan.

Page 13: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

17

2.4.3. Sistem Distribusi Pull

Pada sistem pull, setiap pusat distribusi daerah (toko) menentukan apa yang

dibutuhkan dan memesan kebutuhannya sendiri ke sumber di atasnya (distributor).

Toko bertindak independent satu sama lain dan memesan kebutuhannya sendiri tanpa

memperhatikan kebutuhan toko lain, stok yang tersedia pada distibutor, maupun

jadwal produksi. Tiap lokasi membentuk rencana sendiri dan biasanya memiliki

safety stock sendiri. Sistem pull tradisional ini bereaksi terhadap permintaan tanpa

mengantisipasinya. Tidak ada komunikasi antara toko dengan sumbernya.

Komunikasi hanya terjadi secara khusus pada saat pemesanan. Hal ini menyebabkan

permintaan yang sangat berfluktuasi pada sumber sehingga dibutuhkan safety stock

yang besar pada sumber, selain safety stock pada toko.

Kelebihan sistem pull adalah toko dapat beroperasi secara otonom (tidak

tergantung pada sumber ataupun toko lain). Selain itu pengeluaran atas pemrosesan

data dan komunikasi rendah karena komunikasi hanya dilakukan pada saat

pemesanan dilakukan.

Kelemahannya adalah pesanan ditempatkan tanpa mengetahui dan

menyeimbangkan dengan toko lainnya, serta tanpa memperhatikan stok yang ada

serta jadwal produksi.

2.4.4. Sistem Persediaan Probabilistik

Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai fenomena probabilistik yaitu

suatu keadaan yang mengandung ketidakpastian. Adanya fenomena probabilistik di

dalam sistem persediaan mengakibatkan pengelolaannya menjadi lebih sulit bila

dibandingkan dengan sistem persediaan deterministik, sebab fenomena

ketidakpastian ini merupakan sumber penyimpangan dari rencana yang telah dibuat.

Dalam sistem persediaan ketidakpastiannya yang tidak dapt dihindarkan adalah

berasal dari:

• Konsumen, yang berupa fluktuasi kebutuhan yang dicerminkan oleh variansi atau

standard deviasinya.

• Supplier, yang berupa waktu pengiriman barang yang dicerminkan oleh waktu

ancang-ancangnya (lead time).

Page 14: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

18

Keberadaan fenomena probabilistik secara operasional akan mengakibatkan

perlunya cadangan pengaman (safety stock) yang dapat digunakan untuk meredam

fluktuasi selama waktu tertentu. Dengan demikian dalam sistem persediaan

probabilistik yang dimaksudkan dengan kebijakan persediaan akan meliputi 3 hal

yaitu:

• Menentukan besarnya ukuran pemesanan.

• Menentukan saat pemesanan dilakukan.

• Menentukan besarnya cadangan pengaman.

Untuk menentukan kebijakan persediaan ini dikenal adanya metode dasar

yaitu metode Q (continuous review system) dan metode P (periodic review system)

yang merupakan dasar bagi penurunan metode pengendalian persediaan yang lain.

Asumsi yang digunakan adalah:

• Permintaan barang probabilistik dengan distribusi kemungkinan diketahui

• Lead time konstan

• Harga barang yang dipesan konstan untuk setiap kali pemesanan

• Biaya pengadaan konstan untuk tiap kali pemesanan

• Biaya penyimpanan per unit per tahun konstan, tidak bergantung pada besarnya

barang yang disimpan

Ditinjau dari segi struktur biaya, adanya fenomena probabilistik ini

menyebabkan tambahan elemen biaya kekurangan persediaan dan biaya

penyimpanan cadangan pengaman yang perlu diperhitungkan dalam total biaya

persediaan selain biaya pengadaan dan biaya penyimpanan. Dengan demikian, total

biayanya menjadi:

Biaya persediaan = biaya pemesanan + biaya penyimpanan + biaya kekurangan

persediaan

= )(2

zEskQD

sICzQ

ICSQD

dd ′+′++ (2.11)

Sumber dari: Ballou, Ronald H., 1999.

di mana D = permintaan selama 1 tahun (unit)

Q = kuantitas pemesanan (unit)

S = biaya pemesanan (Rp / pemesanan)

I = biaya penyimpanan (% / tahun)

Page 15: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

19

C = Nilai persediaan (Rp / unit)

ds′ = standard deviasi dari kesalahan peramalan selama masa review dan

lead time (unit)

k = biaya kekurangan persediaan / unit (Rp)

P = service level (%)

2.4.5. Periodic Review System

Periodic review system adalah salah satu metode untuk menentukan

kebijakan perusahaan. Dengan periodic review system, status persediaan di gudang

ditentukan pada interval yang teratur atau tetap, dan memesan order quantity yang

dibutuhkan sampai mencapai level persediaan maksimum. Persediaan pengaman

(safety stock) yang disediakan di gudang harus lebih besar daripada continuous

review system karena dalam sistem periodic review persediaan pengaman harus

mencakup variasi permintaan selama periode review dan selama waktu tunggu (lead

time).

Periodic Review System merupakan sistem pemesanan kembali secara

periodik, di mana interval waktu di antara pesanan-pesanan adalah tetap (misalnya:

mingguan, bulanan, atau triwulan), tetapi ukuran pemesanan bervariasi sesuai dengan

pemakaian pada saat review terakhir. Adopsi periodic review system (Gaspersz,

Vincent, 2001) disarankan untuk diterapkan dalam kondisi-kondisi berikut:

• Produk-produk inventory berada dalam situasi independent demand.

• Kelompok produk dibeli dari supplier yang sama.

• Produk-produk yang memiliki daya tahan terbatas adalah ideal dengan

menggunakan periodic review system.

• Pertimbangan economic advantage dalam membangun full truckload shipment

atau penggunaan secara penuh kapasitas yang tersedia.

2.4.6. Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Menggunakan Model Persediaan

Periodic Review Order-Up-To-Level (R,S)

Dalam model persediaan periodic review order-up-to-level (R,S),

pemesanan dilakukan pada tiap R unit waktu (Silver, Edward E., 1998). Nilai dari R

Page 16: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

20

telah ditetapkan sebelumnya untuk menghitung S yang optimal. Dua komponen

penting dalam model persediaan periodic review order-up-to-level (R,S) adalah:

a. Interval Review (R)

Dalam pengendalian persediaan sistem (R,S), pemenuhan order dilakukan pada

tiap R unit waktu. Nilai dari R telah ditetapkan sebelumnya untuk menghitung S

yang optimal

b. Order-up-to-level (S)

Order-up-to-level adalah maksimum persediaan yang diijinkan. Dalam sistem

(R,S), order-up-to-level S harus dapat memenuhi permintaan selama periode

R+L. Kekurangan dapat terjadi bila total permintaan dalam interval R+L

melebihi order-up-to-level S.

2.4.6.1. Asumsi-Asumsi

Model persediaan periodic review order-up-to-level (R,S) menggunakan

asumsi-asumsi (Silver, Edward E., 1998) sebagai berikut:

a. Walaupun permintaan bersifat probabilistik, tetapi perubahan laju permintaan

terhadap waktu sangat kecil.

b. Pemesanan dilakukan pada tiap periode pemeriksaan.

c. Bila ada 2 atau lebih order untuk produk yang sama belum terpenuhi, maka

produk-produk tersebut harus diterima bersamaan dengan produk yang lain yang

diorder bersama. Untuk dapat memenuhi asumsi ini maka leadtime, L, harus

konstan.

d. Nilai dari R telah ditetapkan sebelumnya untuk mendapatkan nilai S yang

optimal.

e. Biaya untuk pengendalian sistem tidak tergantung pada nilai S yang digunakan.

2.4.6.2. Notasi yang Digunakan

Notasi yang digunakan dalam sistem (R,S) adalah:

D = laju permintaan (unit/tahun)

∫∞

−−=k

u duukukG 02

00 )2/exp(2

1)()(

π

suatu fungsi khusus dari unit variabel normal (mean 0, standar deviasi 1)

Page 17: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

21

k = safety factor

L = leadtime (tahun)

pu(k) = probabilitas 1 unit variabel normal mempunyai nilai k atau lebih

r = biaya persediaan (Rp/tahun)

R = interval review (tahun)

S = order-up-to-level (unit)

SS = safety stock (unit)

v = biaya variabel (Rp/unit)

xR+L = peramalan permintaan selama periode pemeriksaan dan leadtime (unit)

σR+L = standard deviasi dari kesalahan peramalan (unit)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

2.4.6.3. Turunan Dasar

Karena asumsi b, maka:

Jumlah pemeriksaan per tahun = 1/R (2.12)

Dan

Jumlah pemesanan yang dilakukan per tahun = 1/R (2.13)

Kekurangan (stockout) terjadi apabila total permintaan selama interval

waktu R + L melebihi order-up-to-level S.

Bila permintaan (x) selama R + L mempunyai sebuah fungsi probabilitas

density yang didefinisikan sebagai:

fx(x0)d0 = Prob {total permintaan selama R + L antara x0 dan x0 + dx0}

maka akan menghasilkan:

1. Safety stock = E (net stock sebelum pesanan berikutnya tiba)

= ( ) ( )∫∞

−0

000 dxxfxS x

maka,

SS = S – xR+L (2.14)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

2. Prob {stockout selama siklus pemesanan}

= Prob {x ≥ S}

Page 18: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

22

= ( ) 00 dxxfs

x∫∞

(2.15)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

3. Ekspektasi kekurangan per siklus pemesanan order , ESPRC

= ( ) ( ) 000 dxxfSx x

s∫∞

− (2.16)

E (persediaan yang dimiliki menjelang waktu pemesanan),

≈ Safety stock (SS)

= S – xR+L (2.17)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

Karena pemesanan dilakukan tiap R unit waktu, maka ukuran rata-rata tiap

pemesanan adalah DR. Oleh karena itu,

E (persediaan yang dimiliki saat pesanan tiba) ≈ S - xR+L + DR (2.18)

Dari kedua kondisi ekstrim di atas dapat dihitung rata-rata persediaan yang

dimiliki, yaitu:

E (OH) ≈ S - xR+L + DR/2 (2.19)

Dengan demikian,

SS = k.σR+L (2.20)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

Bila kesalahan peramalan berdistribusi normal, maka

Prob {kekurangan selama siklus pemesanan} = pu ≥ (k) (2.21)

Dan

ESPRC = σR+L.Gu(k) (2.22)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

Page 19: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

23

2.4.6.4. Sistem Keputusan untuk Specified Fraction (P2) of Demand Satisfied

Directly From Shelf

Langkah-langkah yang dilakukan (Silver, Edward E., 1998) adalah sebagai

berikut:

• Memilih safety factor k yang memenuhi persyaratan

( )21)( PDR

kGLR

u −=+σ

(2.23)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

di mana D adalah permintaan per tahun (unit/tahun).

• Menghitung reorder point s

LRLR kxs ++ += σˆ (2.24)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

2.4.7. Sistem Pengendalian Persediaan Dengan Menggunakan Sistem (R, s, S)

(R, s, S) adalah merupakan kombinasi dari sistem (s, S) dan (R, S). (R, s, S)

menggunakan asumsi periodic review system (Silver, Edward E., 1998). Dalam

sistem (R, s, S), setiap R unit waktu dilakukan pemeriksaan posisi persediaan.

Apabila posisinya berada di bawah atau sama dengan reorder point, s, maka

dilakukan pemesanan sampai posisi persediaan mencapai S. Tapi apabila di atas s

maka tidak dilakukan pemesanan sampai saat pemeriksaan berikutnya.

Untuk kasus fill rate constraint maka digunakan prosedur heuristik yang

dapat disesuaikan dengan (s, S). Schneider menggunakan pendekatan yang berbeda

untuk hasil yang sama. Asumsi yang digunakan sama dengan sistem (R, S) kecuali,

bahwa sekarang asumsi yang digunakan adalah pemesanan dilakukan setiap

pemeriksaan sesegera mungkin bila posisi persediaan sama atau di bawah s.

Metode ini baik digunakan apabila data berdistribusi normal, apabila

5.0)( ≤+LRCV dimana ( ) LRLRLR xCV +++ = ˆ/σ yaitu koefisien varians dari

permintaan (demand) selama R+L. Bila CV lebih besar dari 0.5 maka distribusi

Gamma akan memberikan hasil yang lebih baik karena dengan kovarians yang

tinggi, distribusi normal akan memberikan probabilitas permintaan yang negatif.

Langkah yang digunakan dalam metode ini:

Pilih s untuk memenuhi persyaratan

Page 20: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

24

( )

++−−=

−−

+

++

R

RRR

L

LuL

LR

LRuLR x

xsSxP

xsJ

xsJ

ˆ2

ˆˆ12

ˆˆ 22

222 σ

σσ

σσ (2.25)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

di mana

S – s diasumsikan diketahui

tx̂ = permintaan (demand) yang diharapkan dalam periode selama t

tσ = standard deviasi dari kesalahan peramalan dari total permintaan selama periode

dalam durasi t

( ) ( )∫ −=x

k

uu duufkukJ 002

0)( = fungsi spesial lain unit distribusi normal

Apabila data permintaan diasumsikan berdistribusi normal maka rumus yang dipakai

menjadi sebagai berikut:

( ) ( )

++−−=+

R

RRRuLR x

xsSxPkJ

ˆ2

ˆˆ12

22

22 σ

σ (2.26)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

Untuk menentukan reorder point digunakan rumus sebagai berikut:

LRLR kxs ++ += σˆ (2.27)

Sumber dari: Silver, Edward E., 1998.

2.4.8. Penerapan Full Truckload

Penerapan full truckload (Silver, Edward E., 1998) dikarenakan tingginya

biaya yang harus dikeluarkan untuk menggunakan jasa angkutan truk. Sehingga

untuk menurunkan biaya pemakaian jasa truk tersebut, distributor biasanya memesan

1 truk penuh untuk memperkecil frekuensi pemakaian truk.

Langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Menghitung Acceptable Shortages per Replenishment Cycle (ASPRC).

ASPRC = ∑=

−n

ii PY

12 )1( (2.28)

Di mana

Yi = perkiraan penggunaan produk i pada siklus pengisian berikutnya (unit)

Page 21: 2. TEORI PENUNJANG 2.1. Klasifikasi ABC

25

Qi = rata-rata jumlah unit yang digunakan setiap siklus (unit)

P2 = fill rate

n = jumlah produk dalam famili

2. Menghitung Expected Shortages per Replenishment Cycle (ESPRC) setiap saat

periode pemeriksaan (review) bila tidak melakukan order.

ESPRC dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

)(kGESPRC uLR+= σ (2.29)

di mana k dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

( )LR

LRxIPk

+

+−=

σˆ

(2.30)

3. Bila ESPRC > ASPRC maka lakukan pemesanan. Bila tidak, tunggu sampai

periode pemeriksaan (review) berikutnya.

4. Bila diputuskan untuk melakukan pemesanan, maka alokasikan kapasitas truk

untuk semua produk untuk memperpanjang waktu pengisian kembali.