Top Banner

of 78

2.-MAKALAH-PENDAMPING-2.pdf

Oct 31, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 95

    PROFIL INTUISI MAHASISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH

    MATEMATIKA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT

    DAN FIELD INDEPENDEN

    Budi Usodo

    Program Studi Pendidikan Matematika PMIPA FKIP UNS

    Abstrak

    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil intuisi mahasiswa dalam

    memecahkan masalah matematika ditinjau dari gaya kognitif field independent dan field

    dependen. Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut maka dalam penelitan ini menggunakan

    metode penelitian diskriptif kualitatif. Subyek penelitian sebanyak 4 mahasiswa terdiri dari

    2 mahasiswa dengan gaya kognitif field dependent dan 2 mahasiswa dengan gaya kognitif

    field independent. Metode pengambilan data adalah tes dan wawancara. Teknik pemeriksaan

    keabsahan data menggunakan triangulasi, pengecekan anggota dan kecukupan referensi.

    Teknik analisis data melalui langkah-langkah reduksi data, pemaparan data penafsiran data

    dan penarikan kesimpulan.

    Hasil penelitian sebagai berikut; (1) Profil intuisi pada subjek dengan gaya kognitif field

    dependent adalah, untuk menyelesaikan masalah menemukan intuisi yang digunakan adalah

    intuisi antisipatori yang bersifat global dan didasarkan pada imajinasi. Subjek kesulitan untuk

    menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda yang digunakan untuk menyelesaikan

    masalah. Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah dengan

    intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan pada umumnya. Subjek mengalami kesulitan

    memperoleh ide untuk menyelesaikan masalah sehingga yang terpikir adalah ide-ide yang

    tidak dapat menyelesaikan masalah. (2) Profil intuisi pada subjek dengan gaya kognitif field

    independent adalah, untuk menyelesaikan masalah menemukan intuisi yang digunakan

    adalah intuisi antisipatori yang bersifat global. Subjek dapat menggunakan intuisinya untuk

    menyelesaikan masalah dengan mengubah permasalahan ke bentuk yang lebih terinci

    sehingga timbul pemikiran secara real. Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah

    membuktikan adalah intuisi antisipatori yang bersifat global yaitu dengan menggunakan cara

    kontraposisi dan jenis intuisi yang digunakan menggunakan pemikiran matematika secara

    real. Subjek dapat memilah penggunaan cara dalam membuktikan berkaitan dengan soal yang

    diberikan.

    Kata kunci : profil, intuisi, gaya kognitif, field independent, field dependent

    PENDAHULUAN

    Kegiatan pembelajaran matematika tentu tidak akan terlepas dari masalah matematika.

    Dalam mengajarakan bagaimana memecahkan masalah, berbagai dosen atau pendidik

    matematika mempunyai cara yang berbeda-beda. Diantaranya adalah dengan selalu memberikan

    contoh-contoh bagaimana memecahkan suatu masalah matematika, tanpa memberikan

    kesempatan banyak pada mahasiswa untuk berusaha menemukan sendiri penyelesaiannya.

    Sehingga dengan cara demikian mahasiswa menjadi kurang kreatif dalam memecahkan

    masalah. Akibatnya mahasiswa hanya mampu memecahkan masalah matematika bila telah

    dibeRikn caranya oleh Dosen. Dengan kondisi demikian, maka mahasiswa seringkali

    dihadapkan pada beberapa kesulitan, misalnya mahasiswa tidak tahu apa yang harus diperbuat

    dengan masalah yang diberikan atau bila telah dapat memulai menjawab, namun mengalami

    kemacetan di tengah penyelesaian soal tersebut, meskipun sebenarnya telah dimilikinya bekal

    yang cukup untuk memecahkan masalah tersebut.

    Walaupun proses berpikir analitik dan logik memainkan peranan penting dalam

    merepresentasikan struktur logika pengetahuan matematika. Akan tetapi, mengejar ketepatan

    dan cara-cara formal hanyalah hasil akhir dari aktivitas matematika. Proses membangun

    pengetahuan matematika tanpa disadari menghasilkan pengenalan tentang kepastian atau

    ketakpastian, verifikasi atau penyangkalan tanpa pembuktian (Kossak, 1966). Karena itu

    diasumsikan bahwa aktivitas mental seseorang terdiri atas kognisi formal (formal cognition) dan

    kognisi intuitif (intuitive cognition) dari pengetahuan matematika. Kognisi formal merujuk

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    96 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    kepada kognisi yang dikontrol oleh logika matematika dan bukti melalui induksi matematika

    atau deduksi (Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara ketat memahami

    pengetahuan matematika. Kognisi formal juga perlu bagi matematikawan untuk berkomunikasi

    dengan sesama matematikawan dalam suatu asosiasi matematika. Serupa dengan itu, persepsi

    terhadap pengetahuan formal sangat perlu bagi mahasiswa untuk maju ke tingkat pengetahuan

    matematika yang lebih tinggi.

    Akan tetapi kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah berpikir dalam aktivitas

    matematika. Pengembangan kemampuan memahami dan menggunakan pengetahuan formal

    tidak sama dengan kreativitas bermatematika yang sangat diperlukan dalam doing mathematics, seperti membuat dugaan atau klaim pengetahuan baru. Lebih jauh, tidak jelas

    apakah dapat dikembangkan kreativitas matematika melalui pengembangan kognisi formal.

    Mahasiswa mungkin sangat yakin akan kemampuan logika dan penalaran dalam pembuktian

    matematik yang ketat. Akan tetapi hanya sedikit mahasiswa yang berhasil dengan baik dalam

    aktivitas menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali menjadi kurang kreatif

    dalam memecahkan masalah matematika. Karena itu diduga bahwa ada aktivitas mental

    berbeda dengan kognisi formal dalam mengoperasikan kegiatan matematik. Hal tersebut disebut

    kognisi intuitif (intuitive cognition), atau intuisi (intuition).

    Konsep intuisi dijelaskan oleh Fischbein (1987) sebagai kognisi yang self evident, dapat

    diterima langsung, holistik, bersifat memaksa dan ekstrapolatif. Kognisi intuitif berbeda dengan

    kognisi secara analitik . Contoh, kebenaran pernyataan bahwa jumlah sudut-sudut pada suatu

    segitiga adalah 1800 diyakini karena telah membuktikannya. Tetapi kebenaran pernyataan jarak

    terpendek antara dua titik adalah garis lurus tanpa harus membuktikannya baik secara formal

    ataupun secara empiris. Penjelasan kebenaran suatu pernyataan karena harus membuktikan

    merupakan kognisi yang bersifat non intuitif, tetapi kebenaran yang munculnya secara subjektif

    dan diterima secara langsung (tanpa pembuktian secara formal) merupakan kognisi secara

    intuitif.

    Fischbein (1999) telah menyajikan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam

    matematika, yang merupakan sesuatu yang mendasar dan yang sangat nampak dari suatu

    kognisi intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah (1) kognisi langsung, kognisi self evident

    (direct, self evident cognitions), yaitu intuisi merupakan kognisi yang diterima sebagai feeling

    individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut . Sebagai contoh: jarak

    terdekat antara dua titik adalah garis lurus, (2) kepastian intrinsik (intrinsic certainty), yaitu

    intuisi feeling tertentu dari kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah

    subjektif, terasa seperti sudah suatu ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung

    eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal

    atau empiris), (3) pemaksaan (coerciveness), yaitu intuisi yang menggunakan efek memaksa

    pada strategi penalaran individual dan pada seleksinya dari hipotesis dan penyelesaian. Hal ini

    berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi

    intuisinya, (4) Extrapolativeness, yaitu intuisi yang kaitannya dengan kemampuan untuk

    meramalkan di balik suatu pendukung empiris. Sebagai contoh: pernyataan melalui satu titik diluar garis hanya dapat digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut mengekspresikan kemampuan ekstrapolasi dari intuisi, (5) keseluruhan (globality) adalah intuisi

    yang berlawa-nan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, berurutan dan secara analitis.

    Lima karakteristik intuisi yang dikemukakan Fischbein di atas merupakan karakteristik

    afirmatori yaitu karakteristik intuisi yang berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi

    yang secara individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan kecukupan

    secara instrinsik. Selain karakteristik afirmatori, Fischbein juga mengemukkan karakteristik

    intuisi lain disebut karakteristik intuisi antisipatori, yaitu karakteristik intuisi yang berkaitan

    untuk memecahkan masalah. Karakteristik dari intuisi antisipatori adalah sebagai berikut: (1)

    intuisi tersebut muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah, (2) intuisi tersebut

    menyajikan karakter global, (3) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya,

    dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling dari keyakinan, meskipun pembenaran secara rinci

    atau bukti belum ditemukan.

    Lebih lanjut, Poincare (dalam http://www-history.mcs.st-andrews.ac.uk /Extras/

    Poincare _Intuition.html) membeRikn tiga jenis intuisi,yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 97

    indra dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, meniru seperti

    prosedur pengetahuan ekperimental (3) intuisi dari bilangan murni yang dapat mencapai

    berpikir matematika secara nyata.

    Dari uraian tentang jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein dan Poincare di

    atas, memberikan gambaran bahwa jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein berupa bentuk

    intuisi, sedangkan jenis intuisi yang disampaikan oleh Pincare berupa sesuatu yang mendasari

    adanya intuisi. Oleh karena itu pada penelitian ini jenis-jenis intuisi siswa dalam memecahkan

    masalah matematika meliputi dua bagian.

    a. Bagian pertama adalah jenis intuisi berdasarkan jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein, yaitu:

    1) Intuisi afirmatori dengan ciri-ciri sebagai berikut: langsung, self evident, pasti secara intrinsik, penggiringan, pemerkiraan atau global.

    2) Intuisi antisipatori dengan ciri-ciri antara lain, akan muncul ketika berusaha keras untuk memecahkan masalah yang berupa ide global, dan intuisi tersebut bertentangan dengan

    dugaan pada umumnya.

    b. Bagian kedua adalah jenis intuisi yang disampaikan oleh Poincare, yaitu:

    1) Intuisi yang didasarkan oleh indera dan imajinasi dengan ciri-ciri antara lain dengan mengamati, memanipulasi benda, mengukur, membayangkan.

    2) Intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan eksperimental dengan ciri-ciri antara lain menggunakan pola pikir induktif,

    dengan coba-coba atau contoh-contoh.

    3) Intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara real, dengan ciri-ciri menggunakan ketentuan pada matematika,

    Banyak faktor yang mempengaruhi individu dalam memecahkan masalah matematika.

    Salah satunya adalah gaya kognitif. Gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam

    penggunaan fungsi kognitif (berpikir, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan,

    mengorganisasi dan memproses informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan

    berlangsung lama (Desmita, 2006). Gaya kognitif menempati posisi yang penting dalam proses

    pembelajaran (Desmita, 2006). Bahkan gaya kognitif merupakan salah satu variabel belajar

    yang perlu dipertimbangkan dalam merancang pembelajaran. Sebagai salah satu variabel

    pembelajaran, gaya kognitif mencerminkan karakteristik siswa, di samping karakteristik lainnya

    seperti motivasi, sikap, minat, kemampuan berpikir, dan sebagainya.

    Gaya kognitif merupakan salah satu ide baru dalam kajian psikologi perkembangan dan

    pendidikan. Ide ini berkembang pada penelitian bagaimana individu menerima dan

    mengorganisasi informasi dari lingkungan sekitarnya. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa

    individu berbeda-beda dalam hal bagaimana mereka mendekati tugas eksperimental, tetapi

    variasi ini tidak merefleksikan tingkat intelegensi atau pola kemampuan khusus. Bahkan mereka

    melakukannya dengan cara yang dipilih yang dimiliki individu berbeda untuk memproses dan

    mengorganisasi informasi dan untuk merespon stimulan lingkungan (Woolfolk & Nicolich

    dalam Desmita, 2009).

    Gaya kognitif sering dideskripsikan sebagai berada dalam garis batas antara

    kemampuan mental dan sifat personalitas. Berbeda dengan strategi kognitif yang mungkin

    mengalami perubahan dari waktu ke waktu serta dapat dipelajari dan dikembangkan, gaya

    kognitif bersifat statis dan secara relatif menjadi gambaran tetap tentang diri individu (Riding &

    Douglas dalam Desmita, 2009). Gaya (style) juga berbeda dengan kemampuan (ability), seperti

    intelegensi. Kemampuan mengacu pada isi kognisi yang menyatakan informasi apa saja yang

    telah diproses, dengan langkah bagaimana dan dalam bentuk apa informasi itu diproses.

    Sedangkan gaya lebih mengacu pada proses kognisi yang menyatakan bagaimana isi informasi

    itu diproses. Atau dengan kata lain, gaya adalah cara seseorang menggunakan kemampuannya

    (Santrock dalam Desmita, 2009).

    Pengetahuan tentang gaya kognitif peserta didik diperlukan dalam merancang atau

    memodifikasi materi, tujuan, dan metode pembelajaran. Dengan adanya interaksi antara gaya

    kognitif dengan faktor materi, tujuan dan metode pembelajaran, kemungkinan hasil belajar

    siswa dapat dicapai dengan optimal. Ini menunjukkan bahwa gaya kognitif merupakan salah

    satu variabel kondisi belajar yang perlu dipertimbangkan oleh guru dalam merancang

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    98 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    pembelajaran, terutama dalam memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya kognitif

    peserta didik. Sebab, jenis strategi tertentu memerlukan gaya belajar tertentu.

    Secara bahasa, istilah gaya dalam bahasa Inggris disebut style, yang berarti corak, mode

    atau gaya. Menurut Brown (dalam Desmita, 2009), style is a term that refers to consistent and

    rather enduring tendencies or preference within an individual. Style are those general

    characteristic of intellectual functioning (and personality type, as well) that pertain to you as an

    individual, and that differentiate you from someone else.

    Tennant (dalam Desmita, 2009), secara sederhana mendefinisikan gaya kognitif sebagai

    an individuals characteristic and consisternt approach to organizing and processing information. Menurut Ferrari dan Sternberg (dalam Desminta, 2009: 146), cognitive style refer to the dominant or typical ways children use their cognitive abilities across a wide range of

    situations, when the situation is complex enough to allow a variety of responsses.

    Berdasarkan pada beberapa defenisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud

    dengan gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam penggunaan fungsi kognitif (berpikir,

    mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi dan memproses

    informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan berlangsung lama.

    Gaya field dependence (FD) dan field independence (FI) merupakan tipe gaya kognitif

    yang mencerminkan cara analisis seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Individu

    dengan gaya FD cenderung menerima susatu pola sebagai suatu keseluruhan. Mereka sulit

    untuk memfokuskan pada satu aspek dari satu situasi, atau menganalisa pola menjadi bagian-

    bagian yang berbeda. Sebaliknya individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagian-bagian

    terpisah dari pola menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponen-

    komponennya.

    Seorang siswa dengan gaya kognitif FD menemukan kesulitan dalam memproses,

    namun mudah mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya. Ia akan

    dapat memisahkan stimuli dalam konteksnya, tetapi persepsinya lemah ketika terjadi perubahan

    konteks. Sementara itu, siswa dengan gaya kognitif FI cenderung menggunakan faktor-faktor

    internal sebagai arahan dalam memproses informasi. Mereka mengerjakan tugas secara tidak

    berurutan dan merasa efisien bekerja sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

    oleh Bilal Atasoy dkk. (2008:) yang menunjukkan bahwa siswa dengan gaya kognitif FD lebih

    suka menyelesaikan sesuatu dengan cara yang telah ditetapkan sementara siswa dengan gaya

    kognitif FI cenderung lebih menyukai penyelesaian yang tidak

    Uraian di atas menunjukkan bahwa individu dengan gaya kognitif FI lebih baik dari

    individu FD. Bahkan hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa siswa yang memiliki gaya

    kognitif FI lebih unggul daripada gaya kognitif FD dalam perolehan belajar. Seperti yang

    disampaikan oleh Terance P. Obrien dkk. (2001: 89 92) dalam penelitiannya bahwa siswa dengan gaya kognitif FI memperoleh nilai yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan gaya

    kognitif FD. Namun demikian, tiap gaya kognitif memiliki keunggulan dan kelemahan. Contoh,

    individu dengan gaya kognitif FD unggul dalam mengingat informasi sosial, seperti percakapan

    atau interaksi intrapersonal, mungkin karena mereka lebih terbiasa dengan hubungan sosial.

    Tetapi, individu dengan gaya kognitif FI memiliki kemampuan lebih mendalam menganalisis

    informasi yang kompleks, yang tak terstruktur dan mampu mengorganisasinya untuk

    memecahkan masalah.

    Sebagai salah satu karakteristik peserta didik, kedudukan gaya kognitif dalam proses

    pembelajaran perlu mendapat perhatian dari dosen/ guru dalam merancang pembelajaran.

    Rancangan pembelajaran yang disusun dengan mempertimbangkan gaya kognitif peserta didik,

    berarti menyajikan materi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan potensi yang

    mereka miliki. Dengan rancangan pembelajaran seperti itu, suasana belajar akan tercipta dengan

    baik, karena proses pembelajaran sesuai dengan proses dan perkembangan kognitif peserta

    didik, serta tidak terkesan mengintervensi hak mereka.

    Di samping itu, dengan mengetahui adanya perbedaan individual dalam gaya kognitif,

    dosen/guru dapat memahami bahwa peserta didik yang hadir di kelas memiliki cara yang

    berbeda-beda dalam mendekati masalah atau menghadapi tugas-tugas yang diberikan. Beberapa

    peserta didik mungkin membutuhkan bantuan pembelajaran untuk menentukan hal penting dan

    mengabaikan detail-detail yang tidak relevan. Hal ini bukan berarti mereka kurang cerdas, tetapi

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 99

    karena gaya kognitifnya yang cenderung menerima pola sebagai keseluruhan dan menemui

    kesulitan untuk melakukan analisis. Dalam menghadapi situasi seperti itulah, dosen dengan

    bekal pengetahuan tentang gaya kognitif mahasiswa dapat memberikan layanan pendidikan

    yang sesuai dengan karakteristik gaya kognitif yang dimilikinya. Oleh sebab itu perlu diteliti

    profil intuisi mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan gaya kognitifnya.

    Berkaitan dengan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk

    mendeskripsikan profil intuisi mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari

    gaya kognitif field independent dan field dependent

    METODE PENELITIAN

    Penelitian ini untuk mengungkap hakekat gejala yang muncul dari subyek penelitian.

    Hakekat tersebut digunakan untuk menemukan profil intuisi yang digunakan mahasiswa dalam

    memecahkan pemasalahan matematika. Hakekat tersebut ditelusuri melalui suatu wawancara

    yang berbasis pada tugas. Oleh sebab itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif

    eksploratif yang data utamanya berupa kata-kata tertulis dan/atau lisan.

    Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA

    FKIP UNS Tahun Akademik 2011/2012. Subjek dipilih tidak secara acak, namun diambil

    berdasarkan hasil tes gaya kognitif dengan GEFT. Dari hasil GEFT tersebut dipilih 2

    mahasiswa dengan gaya kognitif field dependen dan 2 mahasiswa field independent. Dari

    pemilihan subjek penelitian seperti tersebut di atas, maka subjek penelitian ini adalah S1FD dan

    S2FD (gaya kognitif field dependent), dan S3FI dan S4FI (gaya kognitif field independent.

    Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen utama dan intrumen

    antu adalah tes gaya kognitif tes pemecahan masalah matematika. Sedangkan instrumen tes

    pemecahan masalah matematika terdiri dari masalah menemukan dan masalah membuktikan.

    Data dalam penelitian ini berupa (1) data tentang hasil GEFT, (2) jawaban tertulis dari

    tes kemampuan pemecahan masalah dan (3) data hasil wawancara dengan subyek penelitian.

    Data hasil GEFT digunakan untuk menentukan subyek penelitian, sedangkan data tentang

    jawaban tertulis dan hasil wawancara digunakan untuk mendeskripsikan intuisi subjek dalam

    memecahkan masalah matematika.

    Pada penelitian ini data dikatakan absah atau valid jika data tersebut memenuhi syarat

    kredibel. Untuk memenuhi kriteria kredibel dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

    a. Pengumpulan data diawali dengan meminta subjek ke-i (Si), untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara tertulis. Untuk mengecek ataupun menguji keabsahan data tertulis

    tersebut, peneliti meminta subjek Si menjelaskan jawaban tertulisnya melalui wawancara.

    Wawancara juga bertujuan untuk mengetahui jawaban subjek tentang permasalahan tersebut

    secara lisan. Dengan demikian peneliti melakukan triangulasi metode.

    b. Garis besar atau ikhtisar wawancara dikonfirmasikan dengan subjek Si untuk mendapatkan komentar. Kegiatan ini memberikan peluang untuk membetulkan kesalahan dalam membuat

    ikhtisar wawancara atau mendapatkan informasi tambahan. Dengan demikian peneliti

    melakukan pengecekan anggota. c. Hasil penelitian perlu diuji/dicocokkan dengan referensial (rujukan), seperti catatan

    lapangan, rekaman kamera audiovisual, dan transkrip wawancara. Dengan demikian peneliti

    melakukan ketepatan/kecukupan referensial.

    d. Jika data yang diperoleh belum kredibel, misalnya terdapat perbedaan antara data yang diperoleh melalui jawaban tertulis dengan data yang diperoleh melalui wawancara, maka

    peneliti memberikan permasalahan yang isomorfik dengan masalah sebelumnya kepada

    subjek Si dan melakukan wawncara.

    Sedangkan analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai

    berikut:

    a. Reduksi data yaitu kegiatan yang mengacu pada proses pemilihan, pemusatan perhatian penyederhanaan pengabstraksian dan transformasi data mentah di lapangan.

    b. Pemaparan data yang meliputi pengklasifikasi dan identifikasi data, yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori sehingga memungkinkan untuk menarik

    kesimpulan dari data tersebut.

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    100 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    c. Menarik kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan dan menverifikasi kesimpulan tersebut.

    d. Hasil analisis wawancara akan digunakan untuk mengetahui karakteristik setiap tingkat berpikir kreatif siswa dan proses berpikirnya.

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    1. Subjek Field Dependent

    a. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah menemukan

    Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh

    S1FD untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi antisipatori yang bersifat

    global dan jenis intuisinya adalah intuisi yang didasarkan pada imajinasi namun tidak

    mengarah pada penyelesaian masalah.

    Subjek S2FD dalam menentukan banyaknya persegi dengan digambar langsung pada

    papan paku 10x10 dan meyakini persegi yang kongruen dengan persegi ABCD harus

    berada pada papan paku-papan paku 4x4 tidak saling beririsan pada papan paku 10x10.

    Dari apa yang dilakukan subjek S2FD terlihat tidak menggunakan kognisi segera. Dengan

    demikian subjek S2FD tidak menggunakan intuisi dalam memcahkan masalah-1.

    Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan gaya kognitif dependent ada

    kecenderungan memandang permasalahan secara menyeluruh. Nampak bahwa subjek

    S1FD, intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah bersifat global dan didasarkan

    pada imajinasi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa individu dengan gaya FD cenderung

    menerima susatu pola sebagai suatu keseluruhan. Mereka sulit untuk memfokuskan pada

    satu aspek dari satu situasi, atau menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda.

    b. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah membuktikan Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh

    S1FD untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah pada awalnya yang dipikirkan

    adalah menggunakan prinsip induksi matematika karena ada keyakinan kalau pernyataan

    yang terkait dengan bilangan biasanya menggunakan prinsip induksi matematika. Dengan

    demikian intuisi yang digunakan oleh subjek S1FD adalah intuisi antisipatori yang

    bertentangan pada umumnya dan intuisinya tidak mengarah pada penyelesaian masalah.

    Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan

    oleh S2FD untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah intuisi antisipatori yang

    bersifat bertentangan pada umumnya. Jenis intuisi yang digunakan mengarah kepada

    menggunakan pemikiran matematika secara real, walaupun tidak menyelesaikan masalah.

    Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan gaya kognitif field dependent

    dalam menyelesaikan masalah membuktikan adalah dengan intuisi antisipatori yang

    bersifat bertentangan pada umumnya. Hasil ini memberikan gambaran bahwa subjek

    mengalami kesulitan memperoleh ide untuk menyelesaikan masalah sehingga yang terpikir

    adalah ide-ide yang tidak dapat menyelesaikan masalah. Apalagi masalah yang dihadapi

    tidak menemukan konteks yang terkait. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa individu

    dengan gaya kognitif field dependent kesulitan dalam memproses, namun mudah

    mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya. Ia akan dapat

    memisahkan stimuli dalam konteksnya, tetapi persepsinya lemah ketika terjadi perubahan

    konteks.

    2. Subjek Field Independent

    a. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah menemukan

    Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh

    S3FI untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi antisipatori yang bersifat

    global dengan keyakinan yang mendalam dengan jenis intuisi yang didasarkan pada

    generalisasi dengan induksi. Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh

    bahwa intuisi yang digunakan oleh S4FI untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 101

    intuisi antisipatori bersifat global berupa feeling dari keyakinan yang mendalam dengan

    jenis intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara real.

    Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa, walaupun intuisinya adalah intuisi antisipatori

    yang bersifat global, namun selanjutnya subjek dapat menggunakan intuisinya untuk

    menyelesiakan ke bentuk yang lebih terinci sehingga timbul pemikiran secara real. Hal

    tersebut sesuai dengan teori, bahwa individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagian-

    bagian terpisah dari pola menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponen-

    komponennya. Individu dengan gaya kognitif FI cenderung menggunakan faktor-faktor

    internal sebagai arahan dalam memproses informasi

    b. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah membuktikan

    Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa apa yang dilakukan oleh S3FI

    untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah mendasarkan pada ingatan, bahwa

    pernah mendapatkan pelajaran tentang penggunaan kontraposisi untuk membuktikan

    pernyataan dan contohnya sama dengan masalah membuktikan. Dengan demikian tidak

    ada kognisi segera yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan

    demikian subjek S3FI tidak menggunakan intuisi dalam memecahkan masalah tersebut.

    Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa apa yang dilakukan

    oleh S4FI untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah subjek S4FI juga sudah

    melihat bahwa dengan bukti langsung akan mengalami kemacetan. Jadi intuisi yang

    digunakan oleh subjek S4FI adalah dengan kontraposisi dan menyadari bahwa bukti secara

    langsung tidak dapat digunakan. Dengan demikian intuisi yang digunakan oleh subjek

    S4FI adalah intuisi antisipatori yang bersifat global dan jenis intuisi yang digunakan

    menggunakan pemikiran matematika secara real.

    Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa intuisi yang digunakan subjek dengan gaya

    kognitif field independent adalah intuisi antisipatori yang bersifat global yaitu dengan

    menggunakan cara kontraposisi dan jenis intuisi yang digunakan menggunakan pemikiran

    matematika secara real. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa subjek dapat memilah

    penggunaan cara dalam membuktikan berkaitan dengan soal yang diberikan. Berdasarkan

    teori, bahwa individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagian-bagian terpisah dari pola

    menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponen-komponennya. Artinya

    intuisi yang muncul pada subjek field independent tersebut diperoleh dari upaya untuk

    memilah penggunaan cara-cara pembuktian yang dikuasainya.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan

    1. Profil Intuisi Pada Subjek dengan Gaya Kognitif Field Dependent Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi

    antisipatori yang bersifat global dan didasarkan pada imajinasi. Subjek kesulitan untuk

    menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda yang digunakan untuk

    menyelesaikan masalah.

    Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah dengan

    intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan pada umumnya. Subjek mengalami kesulitan

    memperoleh ide untuk menyelesaikan masalah sehingga yang terpikir adalah ide-ide yang

    tidak dapat menyelesaikan masalah.

    2. Profil Intuisi Pada Subjek dengan Gaya Kognitif Field Dependent Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi

    antisipatori yang bersifat global. Subjek dapat menggunakan intuisinya untuk

    menyelesaikan masalah dengan mengubah permasalahan ke bentuk yang lebih terinci

    sehingga timbul pemikiran secara real.

    Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah intuisi

    antisipatori yang bersifat global yaitu dengan menggunakan cara kontraposisi dan jenis

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    102 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    intuisi yang digunakan menggunakan pemikiran matematika secara real. Subjek dapat

    memilah penggunaan cara dalam membuktikan berkaitan dengan soal yang diberikan.

    Saran 1. Kepada dosen pada program studi pendidikan matematika, dalam mengajar yang berkaitan

    dengan pemecahan masalah, sebaiknya memperhatikan gaya kognitif mahasiswanya

    sehingga pembelajaran yang dilaksanakan dapat lebih sesuai dengan karakteristik

    mahasiswa.

    2. Kepada dosen pada program studi pendidikan matematika, hendaknya menggunakan hasil penelitian ini untuk kajian dalam pembelajaran. Kajian pembelajaran tidak terbatas pada

    pemecahan masalah, namun pada kajian-kajian yang lain, misalnya proses berpikir.

    3. Kepada para dosen dapat mengembangkan penelitian lanjutan, misalnya profil intuisi mahasiswa dalam memecahkan masalah yang berdasarkan langkah-langkah pemecahan

    masalah dari Polya.

    4. Kepada mahasiswa program studi pendidikan matematika hendaknya mengetahui gaya kognitif yang dimilikinya agar dalam belajar dapat menyesuaikan dengan gaya kognitifny

    sehingga diperoleh hasil belajar yang maksimal.

    DAFTAR PUSTAKA

    Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

    Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht, The Netherlands: D.

    Reidel.

    Fischbein, E. 1994. The Interaction Between The Formal, The Algorithmic, and The intuitive

    Components in a Mathematical Activity. In R. Biehler, R. W. Scholz, R.

    Fischbein, E. and Grossman, A.: 1997, Schemata and intuitions in combinatorial reasoning,Educational Studies in Mathematics 34, 2747.

    Fischbein, E. & Schnarch, D. 1997. The Evolution With Age of Probabilistic, Intuitively based

    Misconseptions. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol No. Vol

    28.

    Fischbein, E. 1999. Intuition and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies In

    Mathematics Vol. 38: Netherland: Kluwer Academic Publishers

    Guisande, M. Adelina., Paramo, M. Fernanda., Tinajero, Carolina., dan Almeida, Leonardo S.

    2007. Field Dependence-Independence (FDI) Cognitive Style: An Analysis of

    Attentional Functioning. Psicothema. Vol. 19 (004), pp. 572-577.

    Maleong,L.J.1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya

    OBrien, Terrance P., Butler, Susan M., dan Bernold, Leonhard E. 2001. Group Embedded Figures Test and Academic Achievement in Engineering Education. Int. J. Engng Ed.

    Vol. 17, No. 1, pp. 89-92.

    Oh, Eunjoo dan Lim, Doohun. 2005. Cross Relationships between Cognitive Styles and Learner

    Variables in Online Learning Environment. Journal of Interactive Online Learning.

    Vol. 4, No. 1, pp. 53-66.

    Parkinson, Ardian dan Redmon, James A. 2001. The Impact of Cognitive Styles and

    Educational Computer Environments on Learning Performance. Dublin: Dept of

    Computer Science, Trinity College.

    Polya, George.1980. Problem Solving in School Mathematics: On Solving Mathematical

    Problems In High School. National Council of Teachers of Mathematics

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 103

    TRAFFIC LIGHT KARAKTER AKADEMIK SISWA DAN

    IMPLEMENTASINYA DALAM MENGATASI RENDAHNYA

    PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA

    SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

    Triyanto

    Staff Pengajar Program Studi Pendidikan Matematika

    Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan UNS

    Abstrak

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari Kabupaten

    Klaten. Sedangkan dalam pelaksanaannya dari model matematika yang terbentuk akan dibuat software aplikasi berupa TRAFFIC LIGHT tentang karakter akademik siswa

    sedemikian hingga dapat digunakan sebagai acuan baik untuk siswa, guru maupun jajaran

    Dinas Pendidikan dalam mengatasi rendahnya prestasi belajar Matematika di Sekolah

    Menengah Pertama.

    Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut, penelitan ini menggunakan metode deskriptif

    kuantitatif, yaitu untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

    matematika siswa Sekolah Menengah Pertama. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

    siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Sampel

    diambil proporsional Cluster random sampling sebanyak 5 kelas, dengan perincian 2 kelas

    untuk SMPN 1 Wonosari (63 siswa) dan 3 kelas untuk SMPN 2 Wonosari (108 siswa). Untuk

    teknik pengambilan data digunakan metode angket. Sedangkan teknik analisis data

    menggunakan stepwise regression untuk pemilihan variabel dan analisis diskriminan untuk

    pengelompokan variabel.

    Hasil penelitian ini adalah diperolehnya Model matematika dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, yaitu:

    HIJAU = -89.506 + 2.094 X2 + 0.927 X3 + 2.272 X6 + 1.534 X8

    KUNING = -64.287 + 1.695 X2 + 0.742 X3 + 2.080 X6 + 1.246 X8

    MERAH = -51.004 + 1.538 X2 + 0.733 X3 + 1.891 X6+ 0.981 X8

    Untuk mempermudah penggunaan dari model matematika yang telah terbuat, telah kami buat software aplikasi (Adobe Flash CS4) yang sangat praktis dalam penggunaan. Diharapkan

    dalam pelaksanaannya dari model matematika yang terbentuk, setiap siswa akan mempunyai rambu-rambu sebagai petunjuk untuk meraih prestasi belajar matematika yang lebih baik.

    Kata Kunci : traffic light, model matematika, karakter akademik

    PENDAHULUAN

    Matematika adalah RATU sekaligus PELAYAN dari ilmu pengetahuan. Matematika merupakan SUNGAI sekaligus JEMBATAN ilmu pengetahuan. Kuasailah Matematika maka

    dunia ada dalam genggamanmu. Itulah sebait ungkapan dari para ilmuwan yang menunjukkan betapa besar peran

    matematika dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu komputer tidak dapat

    berkembang seperti sekarang ini jika sebelumnya tidak diperkenalkan bilangan biner. Ahli

    Astronomi tidak dapat menentukan jarak antar bintang jika sebelumnya tidak diperkenalkan

    konsep trigonometri, dan masih banyak lagi peran matematika untuk kemajuan ilmu

    pengetahuan dan teknologi.

    Memperhatikan begitu besar peranan Matematika, tentunya sangat ironis jika melihat

    kondisi di Indonesia. Matematika menjadi mata pelajaran yang dianggap paling sulit bahkan

    menjadi momok dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Prestasi Indonesia pada tingkat

    internasional dalam penguasaan matematika sangat memprihatinkan, dimana berdasarkan hasil

    penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 yang

    dikoordinir oleh The International for Evaluation of Education Achievement (IEA),

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    104 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    menempatkan siswa Indonesia di peringkat 34 dari 38 negara yang diteliti. Padahal kalau kita

    tilik lebih dalam lagi, berdasarkan penelitian yang juga dilakukan oleh TIMMS yang di

    publikasikan 26 Desember 2006, jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih

    banyak dibandingkan negara lain, misalnya Malaysia dan Singapura. Dalam satu tahun, siswa

    kelas VIII di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika. Sementara di

    Malaysia hanya mendapat 120 jam dan Singapura 112 jam. Tapi kenyataannya, prestasi

    Indonesia berada jauh di bawah kedua negara tersebut. Prestasi matematika siswa Indonesia

    hanya menembus skor rata-rata 411, sedangkan Malaysia mencapai 508 dan Singapura 605.

    Artinya Waktu yang dihabiskan siswa Indonesia di sekolah tidak sebanding dengan prestasi yang diraih.

    Sementara itu, prestasi yang didasarkan pada standar nasional pun juga sangat

    memprihatinkan. Sebanyak 350.798 siswa dari total 3.605.163 peserta tidak lulus Ujian

    Nasional Utama SMP/MTs/SMPT 2010. Sementara untuk Kabupaten (daerah yang akan

    digunakan untuk penelitian ini), tercatat 2.442 dari total 17.858 peserta Ujian Nasional Utama

    SMP/MTs/SMPT 2010 yang tidak lulus. Lebih lanjut dijelaskan oleh Dinas Pendidikan bahwa

    ketidaklulusan siswa tertinggi pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.

    Kenyataan di atas menunjukkan masih rendahnya prestasi belajar matematika siswa.

    Diduga banyak faktor yang mempengaruhi kompetensi belajar matematika, yang secara garis

    besar faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang

    meliputi faktor jasmaniah dan psikologis serta faktor yang berasal dari luar diri siswa yang

    meliputi faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan baik oleh

    pihak pemerintah melalui Dirjen Dikdasmen maupun oleh guru sebagai ujung tombak

    pelaksanaan kegiatan akademik untuk mengeliminir segala hambatan, khususnya faktor yang

    berasal dari luar diri siswa, misalnya dengan meningkatkan kualitas guru, penyempurnaan

    kurikulum maupun meningkatkan sarana prasarana pembelajaran. Sayangnya usaha tersebut

    kurang diimbangi oleh kemauan atau mungkin ketidaktahuan siswa untuk mengatasi hambatan

    yang berasal dari dalam diri sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena siswa kurang

    memahami karakter diri sendiri sehingga muncul kebingungan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya ?.

    Sementara itu, keberadaan guru juga kurang optimal dalam membantu mengatasi

    permasalahan ditengah kebingungan siswa. Hal utama yang perlu mendapat perhatian adalah

    interaksi antara siswa dan guru masih sangat memprihatinkan sehingga guru kurang mengenal

    anak didiknya, apalagi sampai memahami karakternya. Bagaimana mungkin bimbingan dapat

    berjalan dengan baik jika guru tidak memahami karakter anak didiknya?

    Di sisi lain, ilmu statistika telah berkembang begitu pesat. Dalam pemilihan model regresi

    terbaik terjadi pergeseran yang cukup berarti. Exhaustive search methods, yang didasarkan pada metode all possible subset of prediktors awalnya disebut sebagai metode yang sangat

    menjanjikan karena dapat menjelaskan secara terperinci segala kemungkinan regresi dengan

    berbagai karakternya, akan tetapi sayangnya metode ini membutuhkan komputasi yang sangat

    banyak dan tidak feasible dalam skala yang besar. Untuk mengatasi hal tersebut systematic

    selection algorithms, yang didasarkan pada metode forward, backward dan stepwise

    memberikan kontribusi yang sangat baik dalam menutup kelemahan dari Exhaustive search

    method. Pola pikir dari systematic selection algorithms dalam pemilihan model regresi terbaik , yaitu dengan jalan membuang atau memasukkan satu per satu variabel ke dalam model

    berdasarkan kontribusi variabel tersebut dalam model, sehingga komputaasi akan lebih efisien.

    ( Brauner dan Shacham, 2003).

    Dalam pada itu, munculnya analisis diskriminan telah memberi warna baru dalam

    pengelompokan variabel. Analisis diskriminan merupakan suatu metode yang dapat

    menghasilkan pemisahan yang terbaik antara berbagai macam populasi. Pemisahan dilakukan dengan fungsi diskriminan, yaitu fungsi yang diperlukan apabila variabel asal belum cukup baik

    untuk mencirikan populasinya, dimana hal itu terjadi akibat dari tumpang tindihnya sebaran

    daerah populasi tersebut. (Bilodeau dan Brenner ,1999).

    Berdasarkan fenomena tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Sedangkan dalam pelaksanaannya dari model

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 105

    matematika yang terbentuk akan dibuat software aplikasi berupa TRAFFIC LIGHT tentang karakter akademik siswa sedemikian hingga dapat digunakan sebagai acuan baik untuk siswa,

    guru maupun jajaran Dinas Pendidikan dalam mengatasi rendahnya prestasi belajar Matematika

    di Sekolah Menengah Pertama.

    METODE PENELITIAN

    Jenis Penelitian

    Penelitan ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif untuk mendeskripsikan faktor-

    faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama.

    Untuk keperluan ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :

    Tahap I : Menganalisis faktor-faktor internal yang diduga potensial berpengaruh

    terhadap kompetensi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama. Dari

    10 variabel yang ada akan dipilih beberapa variabel yang benar-benar mempunyai

    pengaruh signifikan terhadap kompetensi belajar siswa Sekolah Menengah

    Pertama. Untuk keperluan ini akan digunakan stepwise regression.

    Tahap II : Dari variabel yang telah terpilih melalui stepwise regression akan

    dilakukan pengelompokan berdasarkan pestasi belajar matematika siswa. Pada

    tahap ini akan diperoleh model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa. Untuk keperluan ini akan digunakan analisis diskriminan.

    Tahap III : Dari model matematika yang terbentuk akan dibuat software aplikasi berupa TRAFFIC LIGHT tentang karakter akademik siswa. Untuk keperluan ini

    akan digunakan Adobe Flash CS4.

    Populasi dan Sampel

    Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama di

    Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Sedangkan sampel diambil proporsional Cluster

    random sampling sebanyak 5 kelas, dengan perincian 2 kelas untuk SMPN 1 Wonosari (63

    siswa) dan 3 kelas untuk SMPN 2 Wonosari (108 siswa)

    Variabel Penelitian

    Variabel yang digunakan dalam penelitian ini selain mengacu pada pendapat Slametto

    (1995) tentang belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga diambil dari beberapa

    hasil penelitian mahasiswa (skripsi) yang relevan. Variabel-variabel tersebut adalah :

    Variabel Tak Bebas

    Y : Prestasi Belajar Matematika

    Variabel Bebas

    Dalam penelitian ini terdapat 10 variabel bebas, yaitu :

    X1 : Aktivitas Belajar Matematika

    X2 : Kesiapan Belajar Matematika

    X3 : Kreativitas Belajar Matematika

    X4 : Kedisiplinan Belajar Matematika

    X5 : Kemandirian Belajar Matematika

    X6 : Minat Belajar Matematika

    X7 : Motivasi Belajar Matematika

    X8 : Kemampuan Bekerjasama

    X9 : Kemampuan Berkomunikasi

    X10 : Temperamen Siswa

    Teknik Pengumpulan Data

    Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan metode angket yaitu sejumlah

    pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi responden dalam arti laporan tentang

    pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya. Angket dalam penelitian ini berbentuk pertanyaan

    pilihan ganda untuk mengetahui beberapa varibel laten yang diduga mempengaruhi kompetensi

    belajar matematika siswa. Sedangkan untuk memperoleh data dari variabel terikat yaitu

    kompetensi belajar matematika diambil dari nilai raport. Sebelum soal/angket digunakan untuk

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    106 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    mengumpulkan data, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Adapun teknik yang

    digunakan untuk uji validitas adalah dengan rumus korelasi momen produk, sedangkan untuk

    uji reliabilitas digunakan rumus alpha.

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Untuk membuat model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten, dalam penelitian akan diamati

    10 variabel yang didasarkan pada beberapa hasil penelitian mahasiswa (skripsi) yang relevan

    dan pengamatan peneliti terhadap sikap dan perilaku siswa Sekolah Menengah Pertama. Untuk

    memperoleh data 10 variabel tersebut digunakan instrumen yang berupa angket.

    Deskripsi Data

    Untuk memperoleh data penelitian, angket yang sudah cukup layak tersebut dibagikan

    kepada 63 siswa SMPN 1 Wonosari dan 108 siswa SMPN 2 Wonosari. Sementara prestasi

    belajar matematika siswa diambil dari nilai ujian tengah semester. Hasil yang diperoleh adalah

    sebagai berikut :

    Angket Skor

    Minimal Maksimal Rata-rata Sta. deviasi

    Aktivitas 15 25 19.74 2.73

    Kesiapan 12 28 18.33 3.93

    Kreativitas 13 29 20.74 4.66

    Kedisiplinan 15 32 23.05 5.26

    Kemandirian 21 34 27.44 4.05

    Minat 19 32 24.60 3.83

    Motivasi 18 31 24.32 3.97

    Kerjasama 16 34 23.36 4.98

    Komunikasi 15 37 24.79 6.93

    Temperamen 21 31 26.09 3.27

    Prestasi 44 98 65.14 12.63

    Pembuatan Model Matematika dari Karakter Akademik Siswa Untuk membuat model matematika tersebut dilakukan dalam dua tahap (pemilihan

    variabel dan pengelompokan variabel) sebagai berikut :

    Tahap I

    Menentukan faktor-faktor internal yang diduga potensial berpengaruh terhadap

    prestasi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama. Dari 10 variabel yang ada akan

    dipilih beberapa variabel yang benar-benar mempunyai pengaruh signifikan terhadap prestasi

    belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama.

    Berdasarkan hasil olah data menggunakan paket program MINITAB 16 melalui

    Stepwise Regression diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

    matematika siswa Sekolah Menengah Pertama digambarkan dalam model regresi terbaik

    sebagai berikut :

    PRESTASI = -9.309 + 1.04 X2 + 0.25 X3 + 0.96 X6 + 1.14 X8 Tahap II

    Dari variabel-variabel yang telah terpilih pada tahap I, akan dilakukan

    pengelompokan berdasarkan prestasi belajar matematika siswa, sehingga akan diperoleh

    model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa. Untuk keperluan pengelompokan, terlebih dahulu setiap responden diberikan rambu-rambu berdasarkan prestasi belajar matematikanya, yaitu :

    HIJAU : 80N KUNING : 8060 N MERAH : 60N

    Berdasarkan hasil olah data menggunakan paket program MINITAB 16 melalui analisis

    diskriminan diperoleh hasil bahwa dengan mempertimbangkan prestasi belajar matematika dan

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 107

    faktor-faktor yang potensial mempengaruhinya, maka model matematika dari karakter akademik siswa SMP di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut :

    HIJAU = -89.506 + 2.094 X2 + 0.927 X3 + 2.272 X6 + 1.534 X8

    KUNING = -64.287 + 1.695 X2 + 0.742 X3 + 2.080 X6 + 1.246 X8

    MERAH = -51.004 + 1.538 X2 + 0.733 X3 + 1.891 X6+ 0.981 X8

    Tahap III

    Untuk mempermudah penggunaan dari model matematika yang telah terbuat, telah kami buat software aplikasi (Adobe Flash CS4) yang sangat praktis dalam penggunaan. Dalam

    aplikasi ini, siswa diminta untuk mengisi angket yang telah dimunculkan, dan secara otomatis

    Traffic Light akan menyala (Merah, Kuning atau Hijau) dan selanjutnya akan muncul informasi

    tentang siswa tersebut.

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Berdasarkan analisis dan pembahasan dengan memperhatikan tujuan penelitian, maka

    dapat ditarik suatu kesimpulan :

    1. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa Sekolah Menengah

    Pertama digambarkan dalam model regresi terbaik sebagai berikut :

    PRESTASI = -9.309 + 1.04 X2 + 0.25 X3 + 0.96 X6 + 1.14 X8

    IDENTIFIKASI KARAKTER AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

    NAMA :: :

    NO. INDUK

    SEKOLAH

    KESIAPAN BELAJAR

    MINAT BELAJAR

    KEMAMPUAN BEKERJASAMA

    KREATIVITAS BELAJAR

    HASIL

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    108 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    Dengan

    X2 = Kesiapan Belajar Matematika

    X3= Kreatifitas Belajar Matematika

    X6= Minat Belajar Matematika

    X8 = Kemampuan Kerjasama 2. Model matematika dari karakter akademik siswa SMP di Kecamatan Wonosari, Kabupaten

    Klaten adalah sebagai berikut :

    HIJAU = -89.506 + 2.094 X2 + 0.927 X3 + 2.272 X6 + 1.534 X8

    KUNING = -64.287 + 1.695 X2 + 0.742 X3 + 2.080 X6 + 1.246 X8

    MERAH = -51.004 + 1.538 X2 + 0.733 X3 + 1.891 X6+ 0.981 X8

    3. Berdasarkan model matematika yang telah terbuat setiap siswa dengan berbagai karakter akan dapat dikelompokkan dalam kategori MERAH, KUNING atau HIJAU, sehingga dapat

    digunakan sebagai pedoman guru atau wali kelas dalam usaha meningkatkan prestasi belajar

    matematika siswa.

    Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat peneliti sampaikan yaitu:

    1. Model matematika yang telah terbentuk akan dapat digunakan untuk menganalis karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama dengan baik jika memang siswa dapat mengisi

    angket tentang variabel-variabel yang ada dengan jujur. 2. Pola pikir pembuatan model matematika ini dapat juga digunakan untuk mata pelajaran

    yang lain dengan memperhatikan variabel-variabel yang lain juga.

    DAFTAR PUSTAKA

    Asari, A.R. (2003). Menyambut Kurikulum Berbasis Kompetensi : Bagaimana Bentuk HijrahPembelajaran Matematika Kita ?. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional

    Matematika IV di Unnes Semarang.

    Bilodeau, M. and Brenner, D. (1999). Theory of Multivariate Statistics. Springer-Verlag New

    York Inc. New York.

    Draper, N.R. and H. Smith (1981). Applied Regression Analysis. 2nd ed.. John Wiley & Sons.

    New York.

    Gunarsa, Singgih Y D dan Gunarsa, Singgih D. (1995). Psikologi Untuk Membimbing. Gunung

    Mulia. Jakarta.

    Herman Holstein. (1990). Murid Belajar Mandiri. Remaja Karya. Bandung.

    Muhibbin Syah (1997). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru . Remaja Rosda Karya.

    Bandung.

    Mulyani, S dan J. Permana (2001). Strategi Belajar Mengajar. CV Maulana. Bandung.

    Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Remaja Rosdakarya. Bandung.

    Muclish Hamidi dan Dasiemi S. (1991). Pola Asuh Orang Tua, Kenakalan dan Prestasi Belajar

    Siswa SD di Kecamatan Banjarsari. UNS Press. Surakarta.

    Ngalim Purwanto. (1991). Psikologi Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Bandung.

    Pusat Kurikulum (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar Matematika Sekolah Dasar. Depdiknas.

    Jakarta.

    Slametto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta. Jakarta.

    Suharsimi Arikunto. (1998). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bina Aksara. Jakarta.

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 109

    PENGARUH PENDEKATAN HUMANISTIK TERHADAP KARAKTERISTIK

    SISWA

    Ida Dwijayanti

    Program Studi Pendidikan Matematika FMIPA IKIP PGRI Semarang

    Jl. Sidodadi Timur No.24 / Dr. Cipto semarang, e-mail: uwyx_na@[email protected]

    Abstrak

    Tema Hardiknas Tahun 2011 yaitu Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan

    Bangsa dengan Subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti (Kemendiknas, 2011),

    namun UAS yang diterapkan sebagai indikator kelulusan hanya membidik aspek kognitif.

    Untuk itu perlu menjadi perhatian khusus bagi kita tenaga pengajar untuk menyelipkan nilai-

    nilai karakter dalam tiap pembelajaran. Adapun tujuan dari penelitian ini nantinya untuk

    mengembangkan self-direction yang positif (berkarakter) dan kebebasan (kemandirian) pada

    diri siswa sesuai dengan digunakannya karakteristik humanistik dalam pembelajaran (Arsury,

    2007).

    Jenis penelitian ini ialah PTK yang memanfaatkan karakteristik kelas humanistik untuk

    membentuk karakteristik siswa yang berprestasi dan berbudi luhur, memiliki nilai-nilai

    kehidupan dan karakter kebangsaan (IKIP, 2011). Pengambilan data menggunakan

    pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran khususnya aktivitas sebelum penerapan

    pendekatan humanistik dibandingkan dengan sesudahnya. Analisis data menggunakan uji

    regresi untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya. Selain itu, akan diuji pula ketuntasan

    prestasi belajar siswa yang didapat dengan metode tes untuk kemudian dianalisis

    menggunakan uji one sample t-test. Hasil yang diharapkan melalui penelitian ini ialah siswa

    sesudah mengikuti kelas yang humanis tidak hanya memiliki prestasi belajar yang bagus

    namun juga karakter yang kuat.

    Kata Kunci : Pengaruh, Humanistik, karakter, siswa

    PENDAHULUAN

    Setiap pribadi manusia memiliki potensi dan talenta dalam dirinya, tugas pendidikan

    yang sejati adalah membantu siswa untuk menemukan dan mengembangkan seoptimal

    mungkin. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal

    3 dinyatakan bahwa:

    Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

    bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

    berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

    Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan

    menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

    Sistem evaluasi dan ujian nasional yang diselenggarakan relatif masih mengukur satu

    aspek kecerdasan dan mengkerdilkan makna siswa sebagai suatu pribadi manusia dan sekolah

    sebagai lembaga pendidikan (Vitonasya, 2009). Hal ini menyebabkan sekolah di Indonesia lebih

    mementingkan kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan aspek afektif siswa.

    Hasil penelitian Assegaf (2003) menemukan 93 kasus kekerasan dalam kategori sedang

    berupa kekerasan antar pihak sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru

    terhadap siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa

    terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa. Tidak hanya itu,

    kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkutat pada pencabulan,

    penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang

    mencapai 200 kasus dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik

    permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di samping itu, selama

    empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di Indonesia naik signifikan 90 %, dari 958

    kasus pada 1998 menjadi 3.617 kasus pada 2001. Peredaran narkoba ini bahkan telah merambah

    ke kalangan pelajar SLTP dan SD. Di Bogor, 16 siswa SLTP dipecat karena terbukti

    mengkonsumsi narkoba. Sementara itu di Yogya ditemukan indikasi bahwa pemakaian

    narkotika ini sudah masuk ke SD. Rigby (dalam Assegaf, 2003) menyatakan dampak pada

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    110 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    rendahnya kesejahteraan psikologi (rendah diri, mudah marah dan sedih), susah untuk

    bersosialisasi, dan menyebabkan tekanan psikologi (kecemasan tingkat tinggi, depresi, bunuh

    diri). Hal ini dapat memperburuk tingkat kecerdasan emosional siswa. Hal ini bertentangan

    dengan tema Hardiknas Tahun 2011 yaitu Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan

    Bangsa dengan Subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Karakter yang bertumpu

    pada kecintaan dan kebanggaan terhadap Bangsa dan Negara dengan Pancasila, UUD NKRI

    1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai pilarnya (Kemendiknas, 2011).

    Dalam konsep humanistik, belajar adalah pengembangan kualitas kognitif, afektif dan

    psikomotorik. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau

    perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki setiap siswa. Pendidikan

    humanistik memandang proses belajar bukan hanya sebagai sarana transformasi pengetahuan

    saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar merupakan bagian dari mengembangkan nilai-nilai

    kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan survey yang dilakukan Haglun (2004) yang menyatakan

    bahwa kelas yang diajarkan menggunakan metode humanistik lebih memanusiakan siswa (

    pengembangan potensi siswa maksimal serta penanaman nilai humanistik pada siswa)

    dibandingkan kelas lain.

    Dari uraian di atas, terlihat bahwa study kasus/ penelitian tersebut di lakukan di luar

    negeri maka terdapat suatu permasalahan apakah pendekatan humanistik berpengaruh terhadap

    penanaman karakteristik (berprestasi dan berbudi luhur) siswa di Indonesia?. Dari penelitian ini

    nantinya akan diperoleh suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mendorong terwujudnya

    tema pendidikan nasional tahun 2011 yaitu membentuk siswa yang tidak hanya berprestasi

    tinggi namun juga memiliki karakter yang berbudi luhur.

    Kajian Teori

    1. Pembelajaran Matematika Humanistik Teori humanistik menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti

    membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang.

    Sudjana (dalam Arsury, 2007) menyatakan bahwa aliran humanistik menekankan pada

    pentingnya sasaran (obyek) kognitif dan afektif pada diri seseorang serta kondisi lingkunganya.

    Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa persepsi memainkan peranan dalam pengalaman belajar

    seseorang (Arsury, 2007). Apabila seseorang berhubungan dengan lingkungan sekitar maka

    persepsi orang itu tidak terlepas dari faktor-faktor subyektif. Siswa akan mempersepsikan

    pengalamannya, termasuk pengalaman belajar dalam memenuhi kebutuhan belajarnya, dan ia

    akan menginternalisasikan pengalaman itu dalam dirinya secara aktif.

    Konsepsi aliran humanistik menjelaskan bahwa siswa merupakan pelaku yang aktif

    dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers (1969) berpendapat

    pembelajaran hendaknya berpusat pada siswa (learner centered). Pembelajaran hendaknya

    memberikan kebebasan yang luas kepada siswa untuk menentukan apa yang ingin ia pelajari

    sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Kegiatan

    pembelajaran yang berpusat pada siswa dilakukan dengan memberikan kebebasan yang lebih

    luas kepada mereka dalam memilih dan memutuskan apa yang ingin dipelajari, dan bagaimana

    cara mempelajarinya. Menurut Gage and Berliner (dalam Arsury, 2007) terdapat lima tujuan

    yang mendasar dengan diterapkannya pendekatan humanistik dalam pendidikan, yaitu: (1)

    mengembangkan self-direction yang positif dan kebebasan (kemandirian) pada diri siswa; (2)

    membangun kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dipelajari; (3)

    membangun kreativitas, (4) membangun rasa keingintahuan; dan (5) membangun minat

    terhadap matematika atau menciptakan sensitivitas matematika.

    Alvin (dalam Haglun, 2004) menyebutkan beberapa karakteristik umum dari sebuah

    kelas humanistik: (1) Menempatkan siswa pada posisi penyelidik, bukan hanya reseptor fakta

    dan prosedur; (2) Membiarkan siswa untuk saling membantu memahami masalah dan solusinya

    lebih mendalam; (3) Belajar berbagai cara untuk memecahkan masalah, bukan hanya suatu

    pendekatan aljabar; (4) Termasuk latar belakang sejarah menunjukkan matematika sebagai

    usaha manusia; (5) Menggunakan pengajuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan terbuka, bukan

    hanya latihan; (6) Menggunakan berbagai teknik penilaian, bukan hanya menilai seorang siswa

    terhadap kemampuannya untuk melaksanakan prosedur hafal; (7) Mengembangkan pemahaman

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 111

    dan apresiasi dari beberapa ide-ide matematika besar yang telah membentuk sejarah dan budaya

    kita; (8) Membantu para siswa melihat matematika sebagai studi tentang pola-pola, termasuk

    aspek-aspek seperti keindahan dan kreativitas; dan (9) Membantu siswa mengembangkan sikap

    kemandirian, kemerdekaan dan rasa ingin tahu.

    2. Pendidikan Karakter Azra (dalam Sapriati, 2003) menyatakan bahwa sekolah bukanlah sekedar tempat

    transfer of knowlegde namun juga merupakan lembaga yang memfasilitasi usaha dan upaya

    pembelajaran yang berorientasi pada nilai. Pembentukan dan pendidikan karakter bangsa tidak

    dapat dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan tetapi melalui penanaman nilai.

    Kajian nilai umumnya mencakup estetika (hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang

    dipandang manusia sebagai indah, yang disenangi) dan etika (hal tentang justifikasi terhadap

    tingkah laku yang pantas berdasarkan standar yang berlaku dalam masyarakat yang bersumber

    dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya). Sekolah memiliki tanggung jawab untuk

    mencetak siswa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta dalam karakter dan

    kepribadian. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pendidikan karakter di sekolah di

    antaranya adalah pendekatan modelling atau exemplary, penjelasan atau klarifikasi berbagai

    nilai baik dan buruk kepada siswa secara terus menerus, dan penerapan pendekatan pendidikan

    berdasarkan karakter dalam setiap mata pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus

    pendidikan karakter.

    Nilai yang berkaitan dengan pendidikan matematika di sekolah dapat ditanamkan

    melalui sifat matematika. Uskup (dalam Seah, 2005) menyatakan pendidikan nilai-nilai dalam

    matematika meliputi kerapian, kreativitas dan kejujuran. Harmin dan Simon (dalam Seah, 2005)

    menyebutkan adanya nilai keyakinan dan sikap dalam matematika. Keyakinan identik dengan

    kebenaran/ kepalsuan tentang suatu konteks. Hofstede (dalam Seah, 2005) juga menyatakan

    nilai saling menghargai dan kepatuhan terhadap kesepakatan dalam matematika.

    Dalam buku pedoman pendidikan karakter yang disusun oleh IKIP PGRI Semarang,

    terdapat 18 nilai beserta deskripsi keberhasilan dalam pengembangan pendidikan budaya dan

    karakter bangsa di kelas (IKIP, 2011:24). Nilai-nilai tersebut antara lain, sebagai berikut:

    Tabel 1. Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

    Nilai Deskripsi

    1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang

    dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun

    dengan pemeluk agama lain.

    2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang

    yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.

    3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,

    pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

    4. Disiplin Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai

    ketentuan dan peraturan.

    5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi

    berbagai hambatan belajar, tugas dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-

    baiknya.

    6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru

    dari sesuatu yang telah dimiliki.

    7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

    menyelesaikan tugas-tugas.

    8. Demokratis Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban

    dirinya dan orang lain.

    9. Rasa ingin

    tahu

    Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam

    dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.

    10. Semangat

    kebangsaan

    Cara berpikir dan bertindak dan berwawasan yang menempatkan

    kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya.

    11. Cinta tanah

    air

    Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,

    kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    112 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa.

    12.Menghargai

    prestasi

    Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu

    yang berguna bagi masyarakat, mengakui dan menghormati keberhasilan

    orang lain

    13.komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan

    bekerjasama dengan orang lain.

    14. Cinta damai Sikap,perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang

    dan aman atas kehadiran dirinya.

    15.Gemar

    membaca

    Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang

    memberikan kebajikan bagi dirinya.

    16. Peduli

    Lingkungan

    Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada

    lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk

    memperbaiki kerusakan alam yang terjadi.

    17. Peduli

    Sosial

    Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan

    masyarakat yang membutuhkan.

    18. Tanggung

    Jawab

    Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya

    yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,

    lingkungan(alam, sosial budaya) negara dan Tuhan Yang Maha Esa

    3. Teori Belajar Yang Mendukung Honey dan Mumford (dalam Uno, 2006 : 16) menggolongakan orang yang belajar ke

    dalam empat macam kelompok, yaitu: (a) Kelompok aktifvis (mereka yang senang melibatkan

    diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh

    pengalaman-pengalan baru); (b) Kelompok Reflektor (mempunyai kecenderungan yang

    berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan

    orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan); (c) Kelompok Teoris

    (memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan

    menggunakan penalarannya); (d) Kelompok Pragmatis (mereka memiliki sifat-sifat praktis,

    tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya)

    Menurut Moslow (dalam Soemanto, 2006:138-139) pada diri masing-masing orang

    mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut

    untuk mengambil kesempatan , takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya.

    Tetapi mendorong untuk maju kearah keutuhan, keunikan diri kearah berfungsinya semua

    kemampuan, kearah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat

    menerima diri sendiri. Belajar menurut Maslow adalah proses untuk memenuhi kebutuahan.

    Tugas pendidik dalam hal ini adalah memahami kebutuhan anak didiknya, situasi dan

    kondisinya yang dialami anak didik tersebut.

    Simpulan

    Berdasarkan kajian teori tersebut, maka hal-hal yang akan dilakukan dalam penelitian

    ini nantinya adalah, sebagai berikut.

    1. Proses Pembelajaran Suasana pembelajaran yang akan tercipta dengan diterapkannya pendekatan humanistik

    ialah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Adapun kegiatan yang dirancang selama

    pembelajaran berlangsung, sebagai berikut.

    a. Pada kegiatan pendahuluan: 1) Mengaitkan tujuan pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari yang menjadi kebutuhan

    siswa. Dengan demikian siswa akan termotivasi dalam pembelajaran, katena

    menganggap apa yang ia kerjakan merupakan usaha untuk pemenuhan kebutuhan

    (Moslow dalam Soemanto, 2006:138-139). Selain itu, siswa akan mulai memilih sendiri

    apa yang ingin ia pelajari menggunakan sumber-sumber belajar yang telah tersedia,

    sesuai dengan konsepsi humanistik yang dikemukakan Rogers (1969).

    2) Melakukan kegiatan apersepsi. Hal ini dilakukan untuk membekali siswa sebelum melakukan proses penyelidikan sehingga siswa dapat merancang pola matematika dari

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 113

    pengetahuan yang telah mereka miliki dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai

    (salah satukarakteristik kelas humanistik).

    3) Guru memberikan arahan tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan siswa yang berkaitan dengan sumber belajar.

    b. Pada Kegiatan Inti Pembelajaran 1) Guru menyampaikan permasalahan menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka

    (karakteristik kelas humanistik) yang tertuang dalam LKS. Ini merupakan usaha guru

    dalam memfasilitasi siswa untuk belajar untuk mengembangkan sikap kemandirian,

    kemerdekaan dan rasa ingin tahu.

    2) Siswa melakukan kegiatan eksplorasi terhadap sumber belajar yang telah tersedia menggunakan bekal pengetahuan dari kegiatan apersepsi. Dalam hal ini sumber belajar

    (alat peraga) akan dirancang sedemikian rupa agar mengarah pada tujuan pembelajaran.

    Kegiatan ini merupakan karakteristik kelas humanistik dimana siswa memposisikan

    dirinya sebagai penyelidik sehingga muncul persepsi pada siswa bahwa matematika

    merupakan usaha siswa untuk menyelesaikan masalah guna memenuhi kebutuhan.

    3) Siswa melakukan kegiatan elaborasi, dengan cara saling berdiskusi tentang hasil kerja individu dalam kelompok. Disini siswa akan saling membantu memahami masalah dan

    mencari solusi yang lebih mendalam (karakteristik kelas humanistik).

    4) Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan kegiatan konfirmasi melalui presentasi hasil diskusi. Di sini siswa akan mengembangkan pemahaman dan

    aspiarasi dari ide-ide yang dihasilkan oleh tiap siswa (karakteristik kelas humanistik).

    5) Guru memberikan latihan soal yang berisi soal terbuka sebagai salah satu teknik penilaian. Selain itu pada kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi guru mengamati

    aktivitas peserta didik menggunakan rubrik pengamatan. Dalam kegiatan ini terlihat

    guru menggunakan berbagai teknik penilaian (karakteristik kelas humanistik).

    6) Guru meminta tiap kelompok untuk menyelesaikan soal dengan berbagai cara (karakteristik kelas humanistik).

    7) Guru mempersilahkan siswa untuk memaparkan hasil kerja kelompok. 8) Memberikan penghargaan pada kelompok yang dianggap paling sukses menjalankan

    tugas. Penghargaan bisa berupa nilai tambahan bagi tiap anggota kelompok.

    c. Pada Kegiatan Akhir 1) Bersama siswa guru menyimpulkan tentang materi pecahan yang telah bersama-sama

    mereka pelajari.

    2) Guru memberikan tugas rumah. 2. Karakter Siswa

    Melalui karakteristik kelas humanistik yang dirancang oleh guru, akan terselip

    penanaman nilai-nilai yang akan membentuk karakter siswa. Adapun nilai dan proses tersebut,

    antara lain.

    a. Religius akan terbentuk ketika kelompok yang ada tidak membedakan agama sehingga siswa belajar kerukukan dengan pemeluk agama lain.

    b. Kejujuran akan terbentuk ketika siswa melakukan kegiatan eksplorasi yang terlihat dari terselesaikannya LKS oleh siswa dengan hasil kerja sendiri, bukan hasil mencontek dari

    jawaban siswa. Karna di sini, tiap siswa menggunakan ide yang berbeda-beda.

    c. Toleransi, demokrasi, komunikatif, peduli sosial dan cinta damai akan terbentuk dari setiap kegiatan yang melibatkan kelompok.

    d. Disiplin akan terbentuk melalui setiap tahap yang telah ditetapkan waktu pengerjaannya oleh guru.

    e. Rasa ingin tahu, kerja keras, kreatif dan mandiri akan terbentuk dalam tahap eksplorasi, karena siswa diminta untuk mengeluarkan ide original untuk menyelesaikan permasalahan

    yang diajukan guru.

    f. Gemar membaca akan terbentuk oleh keinginan untuk mampu memenuhi kebutuhan (dalam hal ini memecahkan masalah).

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    114 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    g. Peduli lingkungan akan terbentuk ketika siswa merapikian mejanya dari alat peraga yang digunakan.

    h. Tanggung jawab akan terbentuk dari terselesainya tiap tugas yang diberikan oleh siswa. Pemberian skor tentang nilai-nilai pembentuk karakter akan lebih mudah karena

    pembentukan kelompok disesuaikan dengan tipe-tipe kelompok belajar yang dikumukakan oleh

    Honey dan Mumford (dalam Uno, 2006 : 16). Hal ini juga akan mengurangi tingkat ancaman

    pada siswa karena pemikiran yang berbeda dalam satu kelompok akan dijadikan ancaman bagi

    siswa yang membuat motivasi siswa akan berkurang (Moslow dalam Soemanto, 2006:138-139).

    3. Pengaruh Karakter Siswa terhadap Prestasi Belajar Siswa Karakter rasa ingin tahu akan membuat siswa gemar membaca sehingga membuat siswa

    lebiah siap mengikuti pembelajaran. Selanjutnya saat pembelajaran di kelas, karakter disiplin,

    kerja keras, kreatif dan mandiri membantu siswa untuk mampu menyelesaikan permasalahan

    yang telah dibuat guru dan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pribadinya. Karena

    masalah yang dirancang guru menyangkut konsep baru yang harus dimiliki siswa maka

    pemahan konsep siswa akan semakin kuat. Selanjutnya pada kegiatan elaborasi dan konfirmasi,

    karakter religius, toleransi, demokrasi, komunikatif, peduli sosial dan cinta damai akan

    mempermudah siswa dalam bekerja sama dengan siswa yang lain dalam usaha untuk

    memperluas pemahaman konsep untuk penyelesaian masalah sehingga ide dan persepsi siswa

    tentang pecahan lebih banyak dan lebih luas. Dan tentunya yang tidak kalah penting yang

    menjamin keberhasilan siswa dalam belajar ialah karakter kejujuran dan tanggung jawab.

    Karena semua hal akan terasa sia-sia jika siswa melakukannya bukan atas usaha sendiri.

    4. Ketuntasan Prestasi Belajar Siswa Proses pembelajaran yang telah dirancang sedemikian rupa akan membuat konsep

    mudah tertanam oleh siswa karena dalam belajar siswa merasa termotivasi dan tanpa tekanan

    dan ancaman (Moslow dalam Soemanto, 2006:138-139). Sehingga ketika dilakukan tes tentang

    prestasi belajar maka akan menghasilkan nilai yang melebihi KKM yang ada serta proporsi

    siswa yang tuntas pun akan lebih dari 80% sehingga ketuntasan individu dapat tercapai.

    DAFTAR PUSTAKA

    Arsury. 2007. Pendidikan yang Humanistik. http://arsury.blogspot.com/2007/12/pendidikan-

    yang-humanistik.html [14/10/2009].

    Assegaf, A. R. 2003. Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan. Jurnal Inovasi

    Pendidikan Tinggi Agama Islam, 2(1). http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp

    [16/02/2010].

    Clark, C., Guskey, T., & Benninga, J. 1983. The effectiveness of mastery learning strategies in

    undergraduate education courses. Journal of Educational Research, 76(4): 210-214.

    Haglun, R. 2004. Humanistic Mathematics Teaching Can Make a Difference: Using Humanistic

    Content and Teaching Methods to Motivate Students and Counteract Negative

    Perceptions of Mathematics. The Humanistic Mathematics Network Journal Online, 27.

    Tersedia di http://www2.hmc.edu/www_common/hmnj/haglund.doc [diakses pada

    25/10/2009].

    IKIP PGRI Semarang. Pedoman Pendidikan Karakter. 2011. Semarang: IKIP PGRI Press.

    Kemendiknas. 2011. Sambutan Mediknas pada Hardiknas 2011.

    www.kemendiknas.go.id/media/424570/SambutanHardiknas2011-Final.pdf

    [02/05/2011]

    Rogers, C. R. 1969. Freedom to Learn. http://www.panarchy.org/rogers/learning.html

    [29/10/2009].

    Sapriati, A. 2003. Pelaksanaan Pengembangan Nilai Melalui Pembelajaran dan Kegiatan

    Sekolah.

    http://gurupintar.ut.ac.id/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=6 [27/

    10/ 2009].

    Seah, W. T. 2005. Negotiating About Perceived Value Differences in Mathematics Teaching:

    The Case of Immigrant Teachers in Australia. On Proceedings of the 29th Conference

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 115

    of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 4. Melbourne:

    PME. www.emis.de/proceedings/PME29/.../PME29Vol4Seah.pdf [30/10/2009].

    Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.

    Sukestiyarno,YL. 2004. Modul Kuliah SPSS. Semarang: Program Pasca Sarjana UNNES

    Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

    Uno, Hamzah B. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi

    Aksara

    Vitonasya. 2009. Paradigma "Matematikasih" dalam Pengajaran Beraliran Humanistik.

    http://vitonasya.blogspot.com/2009/03/paradigma-matematikasih-dalam.html [11/ 10/

    2009].

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    116 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2

    EFEKTIVITAS MODEL ANCHORED INSTRUCTION MATERI LUAS KUBUS DAN

    BALOK DI SMP

    Lilik Ariyanto Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI SEMARANG

    Jl. Sidodadi Timur Nomor 24 Dr. Cipto Semarang, e-mail: [email protected]

    Abstrak

    Pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru-guru SMP pada materi luas kubus

    dan balok belum memperoleh hasil belajar siswa yang maksimal, karena yang dipelajari

    adalah bangun ruang tiga dimensi tapi disajikan dalam gambar dua dimensi yang statis,

    sehingga hasil belajar siswa kurang. Peneliti mencoba untuk menerapkan Anchored

    Instruction (AI).Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah pembelajaran

    matematka dengan AI efektif.

    Rancangan uji coba menggunakan Quasi-Experimental. Variabel yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah: (1) hasil belajar siswa, diperoleh dengan tes; (2) aktivitas belajar siswa

    yang diperoleh dari hasil observasi; (3) motivasi belajar siswa yang diperoleh dari angket.

    Pada penelitian ini menghasilkan pembelajaran yang efektif yang dapat dilihat dari: (1)

    hasil belajar siswa mencapai ketuntasan secara individu dan secara klaksikal, (2) adanya

    pengaruh positif aktivitas dan motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswa, (3) rata-rata

    nilai hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol.

    Kata Kunci : Efektivitas, Anchored Instruction, Kubus, Balok

    PENDAHULUAN

    Pada era globalisasi, serba modern, berteknologi dan penuh persaingan, menuntut setiap

    orang untuk menguasai berbagai bidang kehidupan, supaya Sumber Daya Manusia (SDM)-nya

    dapat meningkat. Dengan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, negara tersebut akan

    dapat bersaing dengan negara-negara lain diberbagai bidang pula. Salah satu bidang yang

    menunjang meningkatnya SDM Indonesia adalah bidang pendidikan.Keberhasilan bidang

    pendidikan tidak terlepas dari peran guru dan sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta.Salah

    satu pelajaran di sekolah yang ikut berperan besar dalam kemajuan teknologi dan SDM adalah

    matematika.

    Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas dibandingkan dengan

    disiplin ilmu yang lain, yaitu berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang

    tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Kegiatan belajar dan mengajar matematika

    seyogyanya tidak disamakan begitu saja dengan ilmu yang lain. Kegiatan belajar-mengajar

    haruslah diatur dengan memperhatikan kemampuan siswa dan memahami hakekat matematika

    karena siswa yang belajar matematika berbeda-beda kemampuannya.

    Pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus dikuasai

    oleh siswa SMP, dengan bukti bahwa matematika termasuk dalam mata pelajaran yang

    diperhitungkan untuk syarat kelulusan siswa SMP. Belajar matematika akan berhasil bila proses

    belajarnya baik, salah satunya yaitu melibatkan siswa secara aktif. Zaini (2008: 14)

    mengungkapkan bahwa ketika siswa belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi

    aktifitas pembelajaran.Dengan ini mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk

    menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan masalah, ataupun

    mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.Anni (2004:11) menyatakan bahwa hasil

    belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun faktor dari

    luar (eksternal). Faktor internal antara lain faktor fisiologis dan psikologis (misalnya

    kecerdasan, motivasi, berprestasi dan kemampuan kognitif), dan faktor eksternal antara lain

    faktor lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan media pembelajaran).

  • Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

    Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 117

    Menurut Nurhadi (2004: 3), belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami sendiri apa yang dipelajarinya, bukan hanya mengetahuinya saja. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

    Model pembelajaran yang mencakup strategi, pendekatan, teknik dan metode

    instruksional dapat mengoptimalkan aktifitas belajar siswa apabila pembelajaran terjadi dengan

    bermakna, menyenangkan dan dapat mendorong siswa untuk membangun dan mengembangkan

    pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini guru harus dapat menjadi seorang desainer

    mengajarkan teori dan mengimplementasikan teori tersebut kepada siswa dalam pembelajaran

    untuk mencapai tujuan pembelajaran (Joyce ,1994:34).

    Pembelajaran ekspostori yang selama ini digunakan oleh guru-guru SMP belum dapat

    menjembatani antara konsep luas kubus dan balok yang masih abstrak dengan siswa yang masih

    berpikir konkrit.Hal ini disebabkan media yang digunakan hanya media diam dan tidak bergerak

    (static visual), serta sering kali kubus dan balok tersebut disajikan dalam visual dua dimensi,

    padahal yang dibahas adalah tiga dimensi.

    Sehubungan dengan hal itu diperlukan model pembelajaran yang berorientasi pada

    siswa, dapat melibatkan siswa secara aktif, dan siswa dapat menggunakan pengetahuan yang

    telah dimilikinya untuk membangun pengetahuan yang baru guna memecahkan suatu masalah,

    sehingga proses pembelajaran menjadi bermakna, kontekstual dan tidak membosankan.

    Diperlukan pula media yang dapat melibatkan lebih dari satu indera pada diri siswa, yaitu media

    yang dapat bergerak/dianimasi, dan dapat menuntun siswa dalam mengkonstruk

    pengetahuannya, sehingga dapat menarik minat siswa serta membuat suasana pembelajaran

    menjadi lebih menyenangkan.

    Anchored Instruction (AI) telah dikembangkan oleh The Cognition and Technology

    Group at Vanderbilt University yang dipimpin oleh John Bransford. AI muncul dari masalah

    pendidikan sekitar tahun 1929, AI dikembangkan dengan rancangan khusus berdasarkan video-

    based format yang disebut "anchor" atau "kasus" yang memberikan dasar untuk eksplorasi dan

    kolaborasi dalam memecahkan masalah. Cerita dalam video menggambarkan kehidupan nyata

    yang dapat dieksplorasi di berbagai tingkatan.Video tersebut dirancang untuk memungkinkan

    guru serta siswa untuk menghubungkan pengetahuan matematika dengan pelajaran lainnya

    dengan menjelajahi lingkungan dari sudut pandang yang berbeda. (Rabinowitz, 1993: 43)

    AI hampir sama dengan pembelajaran berbasis masalah, hanya saja cerita (masalah)

    yang disaji