Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 95
PROFIL INTUISI MAHASISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH
MATEMATIKA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF FIELD DEPENDENT
DAN FIELD INDEPENDEN
Budi Usodo
Program Studi Pendidikan Matematika PMIPA FKIP UNS
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil intuisi mahasiswa dalam
memecahkan masalah matematika ditinjau dari gaya kognitif field independent dan field
dependen. Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut maka dalam penelitan ini menggunakan
metode penelitian diskriptif kualitatif. Subyek penelitian sebanyak 4 mahasiswa terdiri dari
2 mahasiswa dengan gaya kognitif field dependent dan 2 mahasiswa dengan gaya kognitif
field independent. Metode pengambilan data adalah tes dan wawancara. Teknik pemeriksaan
keabsahan data menggunakan triangulasi, pengecekan anggota dan kecukupan referensi.
Teknik analisis data melalui langkah-langkah reduksi data, pemaparan data penafsiran data
dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian sebagai berikut; (1) Profil intuisi pada subjek dengan gaya kognitif field
dependent adalah, untuk menyelesaikan masalah menemukan intuisi yang digunakan adalah
intuisi antisipatori yang bersifat global dan didasarkan pada imajinasi. Subjek kesulitan untuk
menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah. Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah dengan
intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan pada umumnya. Subjek mengalami kesulitan
memperoleh ide untuk menyelesaikan masalah sehingga yang terpikir adalah ide-ide yang
tidak dapat menyelesaikan masalah. (2) Profil intuisi pada subjek dengan gaya kognitif field
independent adalah, untuk menyelesaikan masalah menemukan intuisi yang digunakan
adalah intuisi antisipatori yang bersifat global. Subjek dapat menggunakan intuisinya untuk
menyelesaikan masalah dengan mengubah permasalahan ke bentuk yang lebih terinci
sehingga timbul pemikiran secara real. Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
membuktikan adalah intuisi antisipatori yang bersifat global yaitu dengan menggunakan cara
kontraposisi dan jenis intuisi yang digunakan menggunakan pemikiran matematika secara
real. Subjek dapat memilah penggunaan cara dalam membuktikan berkaitan dengan soal yang
diberikan.
Kata kunci : profil, intuisi, gaya kognitif, field independent, field dependent
PENDAHULUAN
Kegiatan pembelajaran matematika tentu tidak akan terlepas dari masalah matematika.
Dalam mengajarakan bagaimana memecahkan masalah, berbagai dosen atau pendidik
matematika mempunyai cara yang berbeda-beda. Diantaranya adalah dengan selalu memberikan
contoh-contoh bagaimana memecahkan suatu masalah matematika, tanpa memberikan
kesempatan banyak pada mahasiswa untuk berusaha menemukan sendiri penyelesaiannya.
Sehingga dengan cara demikian mahasiswa menjadi kurang kreatif dalam memecahkan
masalah. Akibatnya mahasiswa hanya mampu memecahkan masalah matematika bila telah
dibeRikn caranya oleh Dosen. Dengan kondisi demikian, maka mahasiswa seringkali
dihadapkan pada beberapa kesulitan, misalnya mahasiswa tidak tahu apa yang harus diperbuat
dengan masalah yang diberikan atau bila telah dapat memulai menjawab, namun mengalami
kemacetan di tengah penyelesaian soal tersebut, meskipun sebenarnya telah dimilikinya bekal
yang cukup untuk memecahkan masalah tersebut.
Walaupun proses berpikir analitik dan logik memainkan peranan penting dalam
merepresentasikan struktur logika pengetahuan matematika. Akan tetapi, mengejar ketepatan
dan cara-cara formal hanyalah hasil akhir dari aktivitas matematika. Proses membangun
pengetahuan matematika tanpa disadari menghasilkan pengenalan tentang kepastian atau
ketakpastian, verifikasi atau penyangkalan tanpa pembuktian (Kossak, 1966). Karena itu
diasumsikan bahwa aktivitas mental seseorang terdiri atas kognisi formal (formal cognition) dan
kognisi intuitif (intuitive cognition) dari pengetahuan matematika. Kognisi formal merujuk
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
96 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
kepada kognisi yang dikontrol oleh logika matematika dan bukti melalui induksi matematika
atau deduksi (Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara ketat memahami
pengetahuan matematika. Kognisi formal juga perlu bagi matematikawan untuk berkomunikasi
dengan sesama matematikawan dalam suatu asosiasi matematika. Serupa dengan itu, persepsi
terhadap pengetahuan formal sangat perlu bagi mahasiswa untuk maju ke tingkat pengetahuan
matematika yang lebih tinggi.
Akan tetapi kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah berpikir dalam aktivitas
matematika. Pengembangan kemampuan memahami dan menggunakan pengetahuan formal
tidak sama dengan kreativitas bermatematika yang sangat diperlukan dalam doing mathematics, seperti membuat dugaan atau klaim pengetahuan baru. Lebih jauh, tidak jelas
apakah dapat dikembangkan kreativitas matematika melalui pengembangan kognisi formal.
Mahasiswa mungkin sangat yakin akan kemampuan logika dan penalaran dalam pembuktian
matematik yang ketat. Akan tetapi hanya sedikit mahasiswa yang berhasil dengan baik dalam
aktivitas menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali menjadi kurang kreatif
dalam memecahkan masalah matematika. Karena itu diduga bahwa ada aktivitas mental
berbeda dengan kognisi formal dalam mengoperasikan kegiatan matematik. Hal tersebut disebut
kognisi intuitif (intuitive cognition), atau intuisi (intuition).
Konsep intuisi dijelaskan oleh Fischbein (1987) sebagai kognisi yang self evident, dapat
diterima langsung, holistik, bersifat memaksa dan ekstrapolatif. Kognisi intuitif berbeda dengan
kognisi secara analitik . Contoh, kebenaran pernyataan bahwa jumlah sudut-sudut pada suatu
segitiga adalah 1800 diyakini karena telah membuktikannya. Tetapi kebenaran pernyataan jarak
terpendek antara dua titik adalah garis lurus tanpa harus membuktikannya baik secara formal
ataupun secara empiris. Penjelasan kebenaran suatu pernyataan karena harus membuktikan
merupakan kognisi yang bersifat non intuitif, tetapi kebenaran yang munculnya secara subjektif
dan diterima secara langsung (tanpa pembuktian secara formal) merupakan kognisi secara
intuitif.
Fischbein (1999) telah menyajikan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam
matematika, yang merupakan sesuatu yang mendasar dan yang sangat nampak dari suatu
kognisi intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah (1) kognisi langsung, kognisi self evident
(direct, self evident cognitions), yaitu intuisi merupakan kognisi yang diterima sebagai feeling
individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut . Sebagai contoh: jarak
terdekat antara dua titik adalah garis lurus, (2) kepastian intrinsik (intrinsic certainty), yaitu
intuisi feeling tertentu dari kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah
subjektif, terasa seperti sudah suatu ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung
eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal
atau empiris), (3) pemaksaan (coerciveness), yaitu intuisi yang menggunakan efek memaksa
pada strategi penalaran individual dan pada seleksinya dari hipotesis dan penyelesaian. Hal ini
berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi
intuisinya, (4) Extrapolativeness, yaitu intuisi yang kaitannya dengan kemampuan untuk
meramalkan di balik suatu pendukung empiris. Sebagai contoh: pernyataan melalui satu titik diluar garis hanya dapat digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut mengekspresikan kemampuan ekstrapolasi dari intuisi, (5) keseluruhan (globality) adalah intuisi
yang berlawa-nan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, berurutan dan secara analitis.
Lima karakteristik intuisi yang dikemukakan Fischbein di atas merupakan karakteristik
afirmatori yaitu karakteristik intuisi yang berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi
yang secara individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan kecukupan
secara instrinsik. Selain karakteristik afirmatori, Fischbein juga mengemukkan karakteristik
intuisi lain disebut karakteristik intuisi antisipatori, yaitu karakteristik intuisi yang berkaitan
untuk memecahkan masalah. Karakteristik dari intuisi antisipatori adalah sebagai berikut: (1)
intuisi tersebut muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah, (2) intuisi tersebut
menyajikan karakter global, (3) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya,
dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling dari keyakinan, meskipun pembenaran secara rinci
atau bukti belum ditemukan.
Lebih lanjut, Poincare (dalam http://www-history.mcs.st-andrews.ac.uk /Extras/
Poincare _Intuition.html) membeRikn tiga jenis intuisi,yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 97
indra dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, meniru seperti
prosedur pengetahuan ekperimental (3) intuisi dari bilangan murni yang dapat mencapai
berpikir matematika secara nyata.
Dari uraian tentang jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein dan Poincare di
atas, memberikan gambaran bahwa jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein berupa bentuk
intuisi, sedangkan jenis intuisi yang disampaikan oleh Pincare berupa sesuatu yang mendasari
adanya intuisi. Oleh karena itu pada penelitian ini jenis-jenis intuisi siswa dalam memecahkan
masalah matematika meliputi dua bagian.
a. Bagian pertama adalah jenis intuisi berdasarkan jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein, yaitu:
1) Intuisi afirmatori dengan ciri-ciri sebagai berikut: langsung, self evident, pasti secara intrinsik, penggiringan, pemerkiraan atau global.
2) Intuisi antisipatori dengan ciri-ciri antara lain, akan muncul ketika berusaha keras untuk memecahkan masalah yang berupa ide global, dan intuisi tersebut bertentangan dengan
dugaan pada umumnya.
b. Bagian kedua adalah jenis intuisi yang disampaikan oleh Poincare, yaitu:
1) Intuisi yang didasarkan oleh indera dan imajinasi dengan ciri-ciri antara lain dengan mengamati, memanipulasi benda, mengukur, membayangkan.
2) Intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan eksperimental dengan ciri-ciri antara lain menggunakan pola pikir induktif,
dengan coba-coba atau contoh-contoh.
3) Intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara real, dengan ciri-ciri menggunakan ketentuan pada matematika,
Banyak faktor yang mempengaruhi individu dalam memecahkan masalah matematika.
Salah satunya adalah gaya kognitif. Gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam
penggunaan fungsi kognitif (berpikir, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan,
mengorganisasi dan memproses informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan
berlangsung lama (Desmita, 2006). Gaya kognitif menempati posisi yang penting dalam proses
pembelajaran (Desmita, 2006). Bahkan gaya kognitif merupakan salah satu variabel belajar
yang perlu dipertimbangkan dalam merancang pembelajaran. Sebagai salah satu variabel
pembelajaran, gaya kognitif mencerminkan karakteristik siswa, di samping karakteristik lainnya
seperti motivasi, sikap, minat, kemampuan berpikir, dan sebagainya.
Gaya kognitif merupakan salah satu ide baru dalam kajian psikologi perkembangan dan
pendidikan. Ide ini berkembang pada penelitian bagaimana individu menerima dan
mengorganisasi informasi dari lingkungan sekitarnya. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa
individu berbeda-beda dalam hal bagaimana mereka mendekati tugas eksperimental, tetapi
variasi ini tidak merefleksikan tingkat intelegensi atau pola kemampuan khusus. Bahkan mereka
melakukannya dengan cara yang dipilih yang dimiliki individu berbeda untuk memproses dan
mengorganisasi informasi dan untuk merespon stimulan lingkungan (Woolfolk & Nicolich
dalam Desmita, 2009).
Gaya kognitif sering dideskripsikan sebagai berada dalam garis batas antara
kemampuan mental dan sifat personalitas. Berbeda dengan strategi kognitif yang mungkin
mengalami perubahan dari waktu ke waktu serta dapat dipelajari dan dikembangkan, gaya
kognitif bersifat statis dan secara relatif menjadi gambaran tetap tentang diri individu (Riding &
Douglas dalam Desmita, 2009). Gaya (style) juga berbeda dengan kemampuan (ability), seperti
intelegensi. Kemampuan mengacu pada isi kognisi yang menyatakan informasi apa saja yang
telah diproses, dengan langkah bagaimana dan dalam bentuk apa informasi itu diproses.
Sedangkan gaya lebih mengacu pada proses kognisi yang menyatakan bagaimana isi informasi
itu diproses. Atau dengan kata lain, gaya adalah cara seseorang menggunakan kemampuannya
(Santrock dalam Desmita, 2009).
Pengetahuan tentang gaya kognitif peserta didik diperlukan dalam merancang atau
memodifikasi materi, tujuan, dan metode pembelajaran. Dengan adanya interaksi antara gaya
kognitif dengan faktor materi, tujuan dan metode pembelajaran, kemungkinan hasil belajar
siswa dapat dicapai dengan optimal. Ini menunjukkan bahwa gaya kognitif merupakan salah
satu variabel kondisi belajar yang perlu dipertimbangkan oleh guru dalam merancang
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
98 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
pembelajaran, terutama dalam memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan gaya kognitif
peserta didik. Sebab, jenis strategi tertentu memerlukan gaya belajar tertentu.
Secara bahasa, istilah gaya dalam bahasa Inggris disebut style, yang berarti corak, mode
atau gaya. Menurut Brown (dalam Desmita, 2009), style is a term that refers to consistent and
rather enduring tendencies or preference within an individual. Style are those general
characteristic of intellectual functioning (and personality type, as well) that pertain to you as an
individual, and that differentiate you from someone else.
Tennant (dalam Desmita, 2009), secara sederhana mendefinisikan gaya kognitif sebagai
an individuals characteristic and consisternt approach to organizing and processing information. Menurut Ferrari dan Sternberg (dalam Desminta, 2009: 146), cognitive style refer to the dominant or typical ways children use their cognitive abilities across a wide range of
situations, when the situation is complex enough to allow a variety of responsses.
Berdasarkan pada beberapa defenisi di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam penggunaan fungsi kognitif (berpikir,
mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi dan memproses
informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan berlangsung lama.
Gaya field dependence (FD) dan field independence (FI) merupakan tipe gaya kognitif
yang mencerminkan cara analisis seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Individu
dengan gaya FD cenderung menerima susatu pola sebagai suatu keseluruhan. Mereka sulit
untuk memfokuskan pada satu aspek dari satu situasi, atau menganalisa pola menjadi bagian-
bagian yang berbeda. Sebaliknya individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagian-bagian
terpisah dari pola menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponen-
komponennya.
Seorang siswa dengan gaya kognitif FD menemukan kesulitan dalam memproses,
namun mudah mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya. Ia akan
dapat memisahkan stimuli dalam konteksnya, tetapi persepsinya lemah ketika terjadi perubahan
konteks. Sementara itu, siswa dengan gaya kognitif FI cenderung menggunakan faktor-faktor
internal sebagai arahan dalam memproses informasi. Mereka mengerjakan tugas secara tidak
berurutan dan merasa efisien bekerja sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Bilal Atasoy dkk. (2008:) yang menunjukkan bahwa siswa dengan gaya kognitif FD lebih
suka menyelesaikan sesuatu dengan cara yang telah ditetapkan sementara siswa dengan gaya
kognitif FI cenderung lebih menyukai penyelesaian yang tidak
Uraian di atas menunjukkan bahwa individu dengan gaya kognitif FI lebih baik dari
individu FD. Bahkan hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa siswa yang memiliki gaya
kognitif FI lebih unggul daripada gaya kognitif FD dalam perolehan belajar. Seperti yang
disampaikan oleh Terance P. Obrien dkk. (2001: 89 92) dalam penelitiannya bahwa siswa dengan gaya kognitif FI memperoleh nilai yang lebih tinggi dibandingkan siswa dengan gaya
kognitif FD. Namun demikian, tiap gaya kognitif memiliki keunggulan dan kelemahan. Contoh,
individu dengan gaya kognitif FD unggul dalam mengingat informasi sosial, seperti percakapan
atau interaksi intrapersonal, mungkin karena mereka lebih terbiasa dengan hubungan sosial.
Tetapi, individu dengan gaya kognitif FI memiliki kemampuan lebih mendalam menganalisis
informasi yang kompleks, yang tak terstruktur dan mampu mengorganisasinya untuk
memecahkan masalah.
Sebagai salah satu karakteristik peserta didik, kedudukan gaya kognitif dalam proses
pembelajaran perlu mendapat perhatian dari dosen/ guru dalam merancang pembelajaran.
Rancangan pembelajaran yang disusun dengan mempertimbangkan gaya kognitif peserta didik,
berarti menyajikan materi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik dan potensi yang
mereka miliki. Dengan rancangan pembelajaran seperti itu, suasana belajar akan tercipta dengan
baik, karena proses pembelajaran sesuai dengan proses dan perkembangan kognitif peserta
didik, serta tidak terkesan mengintervensi hak mereka.
Di samping itu, dengan mengetahui adanya perbedaan individual dalam gaya kognitif,
dosen/guru dapat memahami bahwa peserta didik yang hadir di kelas memiliki cara yang
berbeda-beda dalam mendekati masalah atau menghadapi tugas-tugas yang diberikan. Beberapa
peserta didik mungkin membutuhkan bantuan pembelajaran untuk menentukan hal penting dan
mengabaikan detail-detail yang tidak relevan. Hal ini bukan berarti mereka kurang cerdas, tetapi
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 99
karena gaya kognitifnya yang cenderung menerima pola sebagai keseluruhan dan menemui
kesulitan untuk melakukan analisis. Dalam menghadapi situasi seperti itulah, dosen dengan
bekal pengetahuan tentang gaya kognitif mahasiswa dapat memberikan layanan pendidikan
yang sesuai dengan karakteristik gaya kognitif yang dimilikinya. Oleh sebab itu perlu diteliti
profil intuisi mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan gaya kognitifnya.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan profil intuisi mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari
gaya kognitif field independent dan field dependent
METODE PENELITIAN
Penelitian ini untuk mengungkap hakekat gejala yang muncul dari subyek penelitian.
Hakekat tersebut digunakan untuk menemukan profil intuisi yang digunakan mahasiswa dalam
memecahkan pemasalahan matematika. Hakekat tersebut ditelusuri melalui suatu wawancara
yang berbasis pada tugas. Oleh sebab itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif
eksploratif yang data utamanya berupa kata-kata tertulis dan/atau lisan.
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA
FKIP UNS Tahun Akademik 2011/2012. Subjek dipilih tidak secara acak, namun diambil
berdasarkan hasil tes gaya kognitif dengan GEFT. Dari hasil GEFT tersebut dipilih 2
mahasiswa dengan gaya kognitif field dependen dan 2 mahasiswa field independent. Dari
pemilihan subjek penelitian seperti tersebut di atas, maka subjek penelitian ini adalah S1FD dan
S2FD (gaya kognitif field dependent), dan S3FI dan S4FI (gaya kognitif field independent.
Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai instrumen utama dan intrumen
antu adalah tes gaya kognitif tes pemecahan masalah matematika. Sedangkan instrumen tes
pemecahan masalah matematika terdiri dari masalah menemukan dan masalah membuktikan.
Data dalam penelitian ini berupa (1) data tentang hasil GEFT, (2) jawaban tertulis dari
tes kemampuan pemecahan masalah dan (3) data hasil wawancara dengan subyek penelitian.
Data hasil GEFT digunakan untuk menentukan subyek penelitian, sedangkan data tentang
jawaban tertulis dan hasil wawancara digunakan untuk mendeskripsikan intuisi subjek dalam
memecahkan masalah matematika.
Pada penelitian ini data dikatakan absah atau valid jika data tersebut memenuhi syarat
kredibel. Untuk memenuhi kriteria kredibel dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data diawali dengan meminta subjek ke-i (Si), untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara tertulis. Untuk mengecek ataupun menguji keabsahan data tertulis
tersebut, peneliti meminta subjek Si menjelaskan jawaban tertulisnya melalui wawancara.
Wawancara juga bertujuan untuk mengetahui jawaban subjek tentang permasalahan tersebut
secara lisan. Dengan demikian peneliti melakukan triangulasi metode.
b. Garis besar atau ikhtisar wawancara dikonfirmasikan dengan subjek Si untuk mendapatkan komentar. Kegiatan ini memberikan peluang untuk membetulkan kesalahan dalam membuat
ikhtisar wawancara atau mendapatkan informasi tambahan. Dengan demikian peneliti
melakukan pengecekan anggota. c. Hasil penelitian perlu diuji/dicocokkan dengan referensial (rujukan), seperti catatan
lapangan, rekaman kamera audiovisual, dan transkrip wawancara. Dengan demikian peneliti
melakukan ketepatan/kecukupan referensial.
d. Jika data yang diperoleh belum kredibel, misalnya terdapat perbedaan antara data yang diperoleh melalui jawaban tertulis dengan data yang diperoleh melalui wawancara, maka
peneliti memberikan permasalahan yang isomorfik dengan masalah sebelumnya kepada
subjek Si dan melakukan wawncara.
Sedangkan analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Reduksi data yaitu kegiatan yang mengacu pada proses pemilihan, pemusatan perhatian penyederhanaan pengabstraksian dan transformasi data mentah di lapangan.
b. Pemaparan data yang meliputi pengklasifikasi dan identifikasi data, yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori sehingga memungkinkan untuk menarik
kesimpulan dari data tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
100 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
c. Menarik kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan dan menverifikasi kesimpulan tersebut.
d. Hasil analisis wawancara akan digunakan untuk mengetahui karakteristik setiap tingkat berpikir kreatif siswa dan proses berpikirnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Subjek Field Dependent
a. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah menemukan
Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh
S1FD untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi antisipatori yang bersifat
global dan jenis intuisinya adalah intuisi yang didasarkan pada imajinasi namun tidak
mengarah pada penyelesaian masalah.
Subjek S2FD dalam menentukan banyaknya persegi dengan digambar langsung pada
papan paku 10x10 dan meyakini persegi yang kongruen dengan persegi ABCD harus
berada pada papan paku-papan paku 4x4 tidak saling beririsan pada papan paku 10x10.
Dari apa yang dilakukan subjek S2FD terlihat tidak menggunakan kognisi segera. Dengan
demikian subjek S2FD tidak menggunakan intuisi dalam memcahkan masalah-1.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan gaya kognitif dependent ada
kecenderungan memandang permasalahan secara menyeluruh. Nampak bahwa subjek
S1FD, intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah bersifat global dan didasarkan
pada imajinasi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa individu dengan gaya FD cenderung
menerima susatu pola sebagai suatu keseluruhan. Mereka sulit untuk memfokuskan pada
satu aspek dari satu situasi, atau menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda.
b. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah membuktikan Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh
S1FD untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah pada awalnya yang dipikirkan
adalah menggunakan prinsip induksi matematika karena ada keyakinan kalau pernyataan
yang terkait dengan bilangan biasanya menggunakan prinsip induksi matematika. Dengan
demikian intuisi yang digunakan oleh subjek S1FD adalah intuisi antisipatori yang
bertentangan pada umumnya dan intuisinya tidak mengarah pada penyelesaian masalah.
Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan
oleh S2FD untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah intuisi antisipatori yang
bersifat bertentangan pada umumnya. Jenis intuisi yang digunakan mengarah kepada
menggunakan pemikiran matematika secara real, walaupun tidak menyelesaikan masalah.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa subjek dengan gaya kognitif field dependent
dalam menyelesaikan masalah membuktikan adalah dengan intuisi antisipatori yang
bersifat bertentangan pada umumnya. Hasil ini memberikan gambaran bahwa subjek
mengalami kesulitan memperoleh ide untuk menyelesaikan masalah sehingga yang terpikir
adalah ide-ide yang tidak dapat menyelesaikan masalah. Apalagi masalah yang dihadapi
tidak menemukan konteks yang terkait. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa individu
dengan gaya kognitif field dependent kesulitan dalam memproses, namun mudah
mempersepsi apabila informasi dimanipulasi sesuai dengan konteksnya. Ia akan dapat
memisahkan stimuli dalam konteksnya, tetapi persepsinya lemah ketika terjadi perubahan
konteks.
2. Subjek Field Independent
a. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah menemukan
Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa intuisi yang digunakan oleh
S3FI untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi antisipatori yang bersifat
global dengan keyakinan yang mendalam dengan jenis intuisi yang didasarkan pada
generalisasi dengan induksi. Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh
bahwa intuisi yang digunakan oleh S4FI untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 101
intuisi antisipatori bersifat global berupa feeling dari keyakinan yang mendalam dengan
jenis intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara real.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa, walaupun intuisinya adalah intuisi antisipatori
yang bersifat global, namun selanjutnya subjek dapat menggunakan intuisinya untuk
menyelesiakan ke bentuk yang lebih terinci sehingga timbul pemikiran secara real. Hal
tersebut sesuai dengan teori, bahwa individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagian-
bagian terpisah dari pola menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponen-
komponennya. Individu dengan gaya kognitif FI cenderung menggunakan faktor-faktor
internal sebagai arahan dalam memproses informasi
b. Intuisi yang digunakan untuk memecahkan masalah membuktikan
Dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa apa yang dilakukan oleh S3FI
untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah mendasarkan pada ingatan, bahwa
pernah mendapatkan pelajaran tentang penggunaan kontraposisi untuk membuktikan
pernyataan dan contohnya sama dengan masalah membuktikan. Dengan demikian tidak
ada kognisi segera yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dengan
demikian subjek S3FI tidak menggunakan intuisi dalam memecahkan masalah tersebut.
Sedangkan dari analisis jawaban dan wawancara diperoleh bahwa apa yang dilakukan
oleh S4FI untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah subjek S4FI juga sudah
melihat bahwa dengan bukti langsung akan mengalami kemacetan. Jadi intuisi yang
digunakan oleh subjek S4FI adalah dengan kontraposisi dan menyadari bahwa bukti secara
langsung tidak dapat digunakan. Dengan demikian intuisi yang digunakan oleh subjek
S4FI adalah intuisi antisipatori yang bersifat global dan jenis intuisi yang digunakan
menggunakan pemikiran matematika secara real.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa intuisi yang digunakan subjek dengan gaya
kognitif field independent adalah intuisi antisipatori yang bersifat global yaitu dengan
menggunakan cara kontraposisi dan jenis intuisi yang digunakan menggunakan pemikiran
matematika secara real. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa subjek dapat memilah
penggunaan cara dalam membuktikan berkaitan dengan soal yang diberikan. Berdasarkan
teori, bahwa individu dengan gaya FI lebih menunjukkan bagian-bagian terpisah dari pola
menyeluruh dan mampu menganalisa pola ke dalam komponen-komponennya. Artinya
intuisi yang muncul pada subjek field independent tersebut diperoleh dari upaya untuk
memilah penggunaan cara-cara pembuktian yang dikuasainya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Profil Intuisi Pada Subjek dengan Gaya Kognitif Field Dependent Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi
antisipatori yang bersifat global dan didasarkan pada imajinasi. Subjek kesulitan untuk
menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah.
Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah dengan
intuisi antisipatori yang bersifat bertentangan pada umumnya. Subjek mengalami kesulitan
memperoleh ide untuk menyelesaikan masalah sehingga yang terpikir adalah ide-ide yang
tidak dapat menyelesaikan masalah.
2. Profil Intuisi Pada Subjek dengan Gaya Kognitif Field Dependent Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah intuisi
antisipatori yang bersifat global. Subjek dapat menggunakan intuisinya untuk
menyelesaikan masalah dengan mengubah permasalahan ke bentuk yang lebih terinci
sehingga timbul pemikiran secara real.
Intuisi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah intuisi
antisipatori yang bersifat global yaitu dengan menggunakan cara kontraposisi dan jenis
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
102 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
intuisi yang digunakan menggunakan pemikiran matematika secara real. Subjek dapat
memilah penggunaan cara dalam membuktikan berkaitan dengan soal yang diberikan.
Saran 1. Kepada dosen pada program studi pendidikan matematika, dalam mengajar yang berkaitan
dengan pemecahan masalah, sebaiknya memperhatikan gaya kognitif mahasiswanya
sehingga pembelajaran yang dilaksanakan dapat lebih sesuai dengan karakteristik
mahasiswa.
2. Kepada dosen pada program studi pendidikan matematika, hendaknya menggunakan hasil penelitian ini untuk kajian dalam pembelajaran. Kajian pembelajaran tidak terbatas pada
pemecahan masalah, namun pada kajian-kajian yang lain, misalnya proses berpikir.
3. Kepada para dosen dapat mengembangkan penelitian lanjutan, misalnya profil intuisi mahasiswa dalam memecahkan masalah yang berdasarkan langkah-langkah pemecahan
masalah dari Polya.
4. Kepada mahasiswa program studi pendidikan matematika hendaknya mengetahui gaya kognitif yang dimilikinya agar dalam belajar dapat menyesuaikan dengan gaya kognitifny
sehingga diperoleh hasil belajar yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht, The Netherlands: D.
Reidel.
Fischbein, E. 1994. The Interaction Between The Formal, The Algorithmic, and The intuitive
Components in a Mathematical Activity. In R. Biehler, R. W. Scholz, R.
Fischbein, E. and Grossman, A.: 1997, Schemata and intuitions in combinatorial reasoning,Educational Studies in Mathematics 34, 2747.
Fischbein, E. & Schnarch, D. 1997. The Evolution With Age of Probabilistic, Intuitively based
Misconseptions. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol No. Vol
28.
Fischbein, E. 1999. Intuition and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies In
Mathematics Vol. 38: Netherland: Kluwer Academic Publishers
Guisande, M. Adelina., Paramo, M. Fernanda., Tinajero, Carolina., dan Almeida, Leonardo S.
2007. Field Dependence-Independence (FDI) Cognitive Style: An Analysis of
Attentional Functioning. Psicothema. Vol. 19 (004), pp. 572-577.
Maleong,L.J.1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
OBrien, Terrance P., Butler, Susan M., dan Bernold, Leonhard E. 2001. Group Embedded Figures Test and Academic Achievement in Engineering Education. Int. J. Engng Ed.
Vol. 17, No. 1, pp. 89-92.
Oh, Eunjoo dan Lim, Doohun. 2005. Cross Relationships between Cognitive Styles and Learner
Variables in Online Learning Environment. Journal of Interactive Online Learning.
Vol. 4, No. 1, pp. 53-66.
Parkinson, Ardian dan Redmon, James A. 2001. The Impact of Cognitive Styles and
Educational Computer Environments on Learning Performance. Dublin: Dept of
Computer Science, Trinity College.
Polya, George.1980. Problem Solving in School Mathematics: On Solving Mathematical
Problems In High School. National Council of Teachers of Mathematics
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 103
TRAFFIC LIGHT KARAKTER AKADEMIK SISWA DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM MENGATASI RENDAHNYA
PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
Triyanto
Staff Pengajar Program Studi Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan UNS
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari Kabupaten
Klaten. Sedangkan dalam pelaksanaannya dari model matematika yang terbentuk akan dibuat software aplikasi berupa TRAFFIC LIGHT tentang karakter akademik siswa
sedemikian hingga dapat digunakan sebagai acuan baik untuk siswa, guru maupun jajaran
Dinas Pendidikan dalam mengatasi rendahnya prestasi belajar Matematika di Sekolah
Menengah Pertama.
Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut, penelitan ini menggunakan metode deskriptif
kuantitatif, yaitu untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
matematika siswa Sekolah Menengah Pertama. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Sampel
diambil proporsional Cluster random sampling sebanyak 5 kelas, dengan perincian 2 kelas
untuk SMPN 1 Wonosari (63 siswa) dan 3 kelas untuk SMPN 2 Wonosari (108 siswa). Untuk
teknik pengambilan data digunakan metode angket. Sedangkan teknik analisis data
menggunakan stepwise regression untuk pemilihan variabel dan analisis diskriminan untuk
pengelompokan variabel.
Hasil penelitian ini adalah diperolehnya Model matematika dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten, yaitu:
HIJAU = -89.506 + 2.094 X2 + 0.927 X3 + 2.272 X6 + 1.534 X8
KUNING = -64.287 + 1.695 X2 + 0.742 X3 + 2.080 X6 + 1.246 X8
MERAH = -51.004 + 1.538 X2 + 0.733 X3 + 1.891 X6+ 0.981 X8
Untuk mempermudah penggunaan dari model matematika yang telah terbuat, telah kami buat software aplikasi (Adobe Flash CS4) yang sangat praktis dalam penggunaan. Diharapkan
dalam pelaksanaannya dari model matematika yang terbentuk, setiap siswa akan mempunyai rambu-rambu sebagai petunjuk untuk meraih prestasi belajar matematika yang lebih baik.
Kata Kunci : traffic light, model matematika, karakter akademik
PENDAHULUAN
Matematika adalah RATU sekaligus PELAYAN dari ilmu pengetahuan. Matematika merupakan SUNGAI sekaligus JEMBATAN ilmu pengetahuan. Kuasailah Matematika maka
dunia ada dalam genggamanmu. Itulah sebait ungkapan dari para ilmuwan yang menunjukkan betapa besar peran
matematika dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu komputer tidak dapat
berkembang seperti sekarang ini jika sebelumnya tidak diperkenalkan bilangan biner. Ahli
Astronomi tidak dapat menentukan jarak antar bintang jika sebelumnya tidak diperkenalkan
konsep trigonometri, dan masih banyak lagi peran matematika untuk kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Memperhatikan begitu besar peranan Matematika, tentunya sangat ironis jika melihat
kondisi di Indonesia. Matematika menjadi mata pelajaran yang dianggap paling sulit bahkan
menjadi momok dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Prestasi Indonesia pada tingkat
internasional dalam penguasaan matematika sangat memprihatinkan, dimana berdasarkan hasil
penelitian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2003 yang
dikoordinir oleh The International for Evaluation of Education Achievement (IEA),
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
104 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
menempatkan siswa Indonesia di peringkat 34 dari 38 negara yang diteliti. Padahal kalau kita
tilik lebih dalam lagi, berdasarkan penelitian yang juga dilakukan oleh TIMMS yang di
publikasikan 26 Desember 2006, jumlah jam pengajaran matematika di Indonesia jauh lebih
banyak dibandingkan negara lain, misalnya Malaysia dan Singapura. Dalam satu tahun, siswa
kelas VIII di Indonesia rata-rata mendapat 169 jam pelajaran matematika. Sementara di
Malaysia hanya mendapat 120 jam dan Singapura 112 jam. Tapi kenyataannya, prestasi
Indonesia berada jauh di bawah kedua negara tersebut. Prestasi matematika siswa Indonesia
hanya menembus skor rata-rata 411, sedangkan Malaysia mencapai 508 dan Singapura 605.
Artinya Waktu yang dihabiskan siswa Indonesia di sekolah tidak sebanding dengan prestasi yang diraih.
Sementara itu, prestasi yang didasarkan pada standar nasional pun juga sangat
memprihatinkan. Sebanyak 350.798 siswa dari total 3.605.163 peserta tidak lulus Ujian
Nasional Utama SMP/MTs/SMPT 2010. Sementara untuk Kabupaten (daerah yang akan
digunakan untuk penelitian ini), tercatat 2.442 dari total 17.858 peserta Ujian Nasional Utama
SMP/MTs/SMPT 2010 yang tidak lulus. Lebih lanjut dijelaskan oleh Dinas Pendidikan bahwa
ketidaklulusan siswa tertinggi pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.
Kenyataan di atas menunjukkan masih rendahnya prestasi belajar matematika siswa.
Diduga banyak faktor yang mempengaruhi kompetensi belajar matematika, yang secara garis
besar faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang
meliputi faktor jasmaniah dan psikologis serta faktor yang berasal dari luar diri siswa yang
meliputi faktor keluarga, sekolah dan masyarakat. Berbagai usaha telah dilakukan baik oleh
pihak pemerintah melalui Dirjen Dikdasmen maupun oleh guru sebagai ujung tombak
pelaksanaan kegiatan akademik untuk mengeliminir segala hambatan, khususnya faktor yang
berasal dari luar diri siswa, misalnya dengan meningkatkan kualitas guru, penyempurnaan
kurikulum maupun meningkatkan sarana prasarana pembelajaran. Sayangnya usaha tersebut
kurang diimbangi oleh kemauan atau mungkin ketidaktahuan siswa untuk mengatasi hambatan
yang berasal dari dalam diri sendiri. Hal tersebut dimungkinkan karena siswa kurang
memahami karakter diri sendiri sehingga muncul kebingungan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya ?.
Sementara itu, keberadaan guru juga kurang optimal dalam membantu mengatasi
permasalahan ditengah kebingungan siswa. Hal utama yang perlu mendapat perhatian adalah
interaksi antara siswa dan guru masih sangat memprihatinkan sehingga guru kurang mengenal
anak didiknya, apalagi sampai memahami karakternya. Bagaimana mungkin bimbingan dapat
berjalan dengan baik jika guru tidak memahami karakter anak didiknya?
Di sisi lain, ilmu statistika telah berkembang begitu pesat. Dalam pemilihan model regresi
terbaik terjadi pergeseran yang cukup berarti. Exhaustive search methods, yang didasarkan pada metode all possible subset of prediktors awalnya disebut sebagai metode yang sangat
menjanjikan karena dapat menjelaskan secara terperinci segala kemungkinan regresi dengan
berbagai karakternya, akan tetapi sayangnya metode ini membutuhkan komputasi yang sangat
banyak dan tidak feasible dalam skala yang besar. Untuk mengatasi hal tersebut systematic
selection algorithms, yang didasarkan pada metode forward, backward dan stepwise
memberikan kontribusi yang sangat baik dalam menutup kelemahan dari Exhaustive search
method. Pola pikir dari systematic selection algorithms dalam pemilihan model regresi terbaik , yaitu dengan jalan membuang atau memasukkan satu per satu variabel ke dalam model
berdasarkan kontribusi variabel tersebut dalam model, sehingga komputaasi akan lebih efisien.
( Brauner dan Shacham, 2003).
Dalam pada itu, munculnya analisis diskriminan telah memberi warna baru dalam
pengelompokan variabel. Analisis diskriminan merupakan suatu metode yang dapat
menghasilkan pemisahan yang terbaik antara berbagai macam populasi. Pemisahan dilakukan dengan fungsi diskriminan, yaitu fungsi yang diperlukan apabila variabel asal belum cukup baik
untuk mencirikan populasinya, dimana hal itu terjadi akibat dari tumpang tindihnya sebaran
daerah populasi tersebut. (Bilodeau dan Brenner ,1999).
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten. Sedangkan dalam pelaksanaannya dari model
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 105
matematika yang terbentuk akan dibuat software aplikasi berupa TRAFFIC LIGHT tentang karakter akademik siswa sedemikian hingga dapat digunakan sebagai acuan baik untuk siswa,
guru maupun jajaran Dinas Pendidikan dalam mengatasi rendahnya prestasi belajar Matematika
di Sekolah Menengah Pertama.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitan ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif untuk mendeskripsikan faktor-
faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama.
Untuk keperluan ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :
Tahap I : Menganalisis faktor-faktor internal yang diduga potensial berpengaruh
terhadap kompetensi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama. Dari
10 variabel yang ada akan dipilih beberapa variabel yang benar-benar mempunyai
pengaruh signifikan terhadap kompetensi belajar siswa Sekolah Menengah
Pertama. Untuk keperluan ini akan digunakan stepwise regression.
Tahap II : Dari variabel yang telah terpilih melalui stepwise regression akan
dilakukan pengelompokan berdasarkan pestasi belajar matematika siswa. Pada
tahap ini akan diperoleh model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa. Untuk keperluan ini akan digunakan analisis diskriminan.
Tahap III : Dari model matematika yang terbentuk akan dibuat software aplikasi berupa TRAFFIC LIGHT tentang karakter akademik siswa. Untuk keperluan ini
akan digunakan Adobe Flash CS4.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Menengah Pertama di
Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Sedangkan sampel diambil proporsional Cluster
random sampling sebanyak 5 kelas, dengan perincian 2 kelas untuk SMPN 1 Wonosari (63
siswa) dan 3 kelas untuk SMPN 2 Wonosari (108 siswa)
Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini selain mengacu pada pendapat Slametto
(1995) tentang belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga diambil dari beberapa
hasil penelitian mahasiswa (skripsi) yang relevan. Variabel-variabel tersebut adalah :
Variabel Tak Bebas
Y : Prestasi Belajar Matematika
Variabel Bebas
Dalam penelitian ini terdapat 10 variabel bebas, yaitu :
X1 : Aktivitas Belajar Matematika
X2 : Kesiapan Belajar Matematika
X3 : Kreativitas Belajar Matematika
X4 : Kedisiplinan Belajar Matematika
X5 : Kemandirian Belajar Matematika
X6 : Minat Belajar Matematika
X7 : Motivasi Belajar Matematika
X8 : Kemampuan Bekerjasama
X9 : Kemampuan Berkomunikasi
X10 : Temperamen Siswa
Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini digunakan metode angket yaitu sejumlah
pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi responden dalam arti laporan tentang
pribadinya atau hal-hal yang diketahuinya. Angket dalam penelitian ini berbentuk pertanyaan
pilihan ganda untuk mengetahui beberapa varibel laten yang diduga mempengaruhi kompetensi
belajar matematika siswa. Sedangkan untuk memperoleh data dari variabel terikat yaitu
kompetensi belajar matematika diambil dari nilai raport. Sebelum soal/angket digunakan untuk
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
106 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
mengumpulkan data, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Adapun teknik yang
digunakan untuk uji validitas adalah dengan rumus korelasi momen produk, sedangkan untuk
uji reliabilitas digunakan rumus alpha.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk membuat model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Wonosari Kabupaten Klaten, dalam penelitian akan diamati
10 variabel yang didasarkan pada beberapa hasil penelitian mahasiswa (skripsi) yang relevan
dan pengamatan peneliti terhadap sikap dan perilaku siswa Sekolah Menengah Pertama. Untuk
memperoleh data 10 variabel tersebut digunakan instrumen yang berupa angket.
Deskripsi Data
Untuk memperoleh data penelitian, angket yang sudah cukup layak tersebut dibagikan
kepada 63 siswa SMPN 1 Wonosari dan 108 siswa SMPN 2 Wonosari. Sementara prestasi
belajar matematika siswa diambil dari nilai ujian tengah semester. Hasil yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
Angket Skor
Minimal Maksimal Rata-rata Sta. deviasi
Aktivitas 15 25 19.74 2.73
Kesiapan 12 28 18.33 3.93
Kreativitas 13 29 20.74 4.66
Kedisiplinan 15 32 23.05 5.26
Kemandirian 21 34 27.44 4.05
Minat 19 32 24.60 3.83
Motivasi 18 31 24.32 3.97
Kerjasama 16 34 23.36 4.98
Komunikasi 15 37 24.79 6.93
Temperamen 21 31 26.09 3.27
Prestasi 44 98 65.14 12.63
Pembuatan Model Matematika dari Karakter Akademik Siswa Untuk membuat model matematika tersebut dilakukan dalam dua tahap (pemilihan
variabel dan pengelompokan variabel) sebagai berikut :
Tahap I
Menentukan faktor-faktor internal yang diduga potensial berpengaruh terhadap
prestasi belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama. Dari 10 variabel yang ada akan
dipilih beberapa variabel yang benar-benar mempunyai pengaruh signifikan terhadap prestasi
belajar matematika siswa Sekolah Menengah Pertama.
Berdasarkan hasil olah data menggunakan paket program MINITAB 16 melalui
Stepwise Regression diperoleh hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
matematika siswa Sekolah Menengah Pertama digambarkan dalam model regresi terbaik
sebagai berikut :
PRESTASI = -9.309 + 1.04 X2 + 0.25 X3 + 0.96 X6 + 1.14 X8 Tahap II
Dari variabel-variabel yang telah terpilih pada tahap I, akan dilakukan
pengelompokan berdasarkan prestasi belajar matematika siswa, sehingga akan diperoleh
model matematika sebagai wujud dari karakter akademik siswa. Untuk keperluan pengelompokan, terlebih dahulu setiap responden diberikan rambu-rambu berdasarkan prestasi belajar matematikanya, yaitu :
HIJAU : 80N KUNING : 8060 N MERAH : 60N
Berdasarkan hasil olah data menggunakan paket program MINITAB 16 melalui analisis
diskriminan diperoleh hasil bahwa dengan mempertimbangkan prestasi belajar matematika dan
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 107
faktor-faktor yang potensial mempengaruhinya, maka model matematika dari karakter akademik siswa SMP di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut :
HIJAU = -89.506 + 2.094 X2 + 0.927 X3 + 2.272 X6 + 1.534 X8
KUNING = -64.287 + 1.695 X2 + 0.742 X3 + 2.080 X6 + 1.246 X8
MERAH = -51.004 + 1.538 X2 + 0.733 X3 + 1.891 X6+ 0.981 X8
Tahap III
Untuk mempermudah penggunaan dari model matematika yang telah terbuat, telah kami buat software aplikasi (Adobe Flash CS4) yang sangat praktis dalam penggunaan. Dalam
aplikasi ini, siswa diminta untuk mengisi angket yang telah dimunculkan, dan secara otomatis
Traffic Light akan menyala (Merah, Kuning atau Hijau) dan selanjutnya akan muncul informasi
tentang siswa tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan dengan memperhatikan tujuan penelitian, maka
dapat ditarik suatu kesimpulan :
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika siswa Sekolah Menengah
Pertama digambarkan dalam model regresi terbaik sebagai berikut :
PRESTASI = -9.309 + 1.04 X2 + 0.25 X3 + 0.96 X6 + 1.14 X8
IDENTIFIKASI KARAKTER AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
NAMA :: :
NO. INDUK
SEKOLAH
KESIAPAN BELAJAR
MINAT BELAJAR
KEMAMPUAN BEKERJASAMA
KREATIVITAS BELAJAR
HASIL
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
108 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Dengan
X2 = Kesiapan Belajar Matematika
X3= Kreatifitas Belajar Matematika
X6= Minat Belajar Matematika
X8 = Kemampuan Kerjasama 2. Model matematika dari karakter akademik siswa SMP di Kecamatan Wonosari, Kabupaten
Klaten adalah sebagai berikut :
HIJAU = -89.506 + 2.094 X2 + 0.927 X3 + 2.272 X6 + 1.534 X8
KUNING = -64.287 + 1.695 X2 + 0.742 X3 + 2.080 X6 + 1.246 X8
MERAH = -51.004 + 1.538 X2 + 0.733 X3 + 1.891 X6+ 0.981 X8
3. Berdasarkan model matematika yang telah terbuat setiap siswa dengan berbagai karakter akan dapat dikelompokkan dalam kategori MERAH, KUNING atau HIJAU, sehingga dapat
digunakan sebagai pedoman guru atau wali kelas dalam usaha meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa.
Berdasarkan hasil penelitian ini, saran yang dapat peneliti sampaikan yaitu:
1. Model matematika yang telah terbentuk akan dapat digunakan untuk menganalis karakter akademik siswa Sekolah Menengah Pertama dengan baik jika memang siswa dapat mengisi
angket tentang variabel-variabel yang ada dengan jujur. 2. Pola pikir pembuatan model matematika ini dapat juga digunakan untuk mata pelajaran
yang lain dengan memperhatikan variabel-variabel yang lain juga.
DAFTAR PUSTAKA
Asari, A.R. (2003). Menyambut Kurikulum Berbasis Kompetensi : Bagaimana Bentuk HijrahPembelajaran Matematika Kita ?. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Matematika IV di Unnes Semarang.
Bilodeau, M. and Brenner, D. (1999). Theory of Multivariate Statistics. Springer-Verlag New
York Inc. New York.
Draper, N.R. and H. Smith (1981). Applied Regression Analysis. 2nd ed.. John Wiley & Sons.
New York.
Gunarsa, Singgih Y D dan Gunarsa, Singgih D. (1995). Psikologi Untuk Membimbing. Gunung
Mulia. Jakarta.
Herman Holstein. (1990). Murid Belajar Mandiri. Remaja Karya. Bandung.
Muhibbin Syah (1997). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru . Remaja Rosda Karya.
Bandung.
Mulyani, S dan J. Permana (2001). Strategi Belajar Mengajar. CV Maulana. Bandung.
Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Muclish Hamidi dan Dasiemi S. (1991). Pola Asuh Orang Tua, Kenakalan dan Prestasi Belajar
Siswa SD di Kecamatan Banjarsari. UNS Press. Surakarta.
Ngalim Purwanto. (1991). Psikologi Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Pusat Kurikulum (2002). Kurikulum dan Hasil Belajar Matematika Sekolah Dasar. Depdiknas.
Jakarta.
Slametto. (1995). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta. Jakarta.
Suharsimi Arikunto. (1998). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bina Aksara. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 109
PENGARUH PENDEKATAN HUMANISTIK TERHADAP KARAKTERISTIK
SISWA
Ida Dwijayanti
Program Studi Pendidikan Matematika FMIPA IKIP PGRI Semarang
Jl. Sidodadi Timur No.24 / Dr. Cipto semarang, e-mail: uwyx_na@[email protected]
Abstrak
Tema Hardiknas Tahun 2011 yaitu Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan
Bangsa dengan Subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti (Kemendiknas, 2011),
namun UAS yang diterapkan sebagai indikator kelulusan hanya membidik aspek kognitif.
Untuk itu perlu menjadi perhatian khusus bagi kita tenaga pengajar untuk menyelipkan nilai-
nilai karakter dalam tiap pembelajaran. Adapun tujuan dari penelitian ini nantinya untuk
mengembangkan self-direction yang positif (berkarakter) dan kebebasan (kemandirian) pada
diri siswa sesuai dengan digunakannya karakteristik humanistik dalam pembelajaran (Arsury,
2007).
Jenis penelitian ini ialah PTK yang memanfaatkan karakteristik kelas humanistik untuk
membentuk karakteristik siswa yang berprestasi dan berbudi luhur, memiliki nilai-nilai
kehidupan dan karakter kebangsaan (IKIP, 2011). Pengambilan data menggunakan
pengamatan aktivitas siswa dalam pembelajaran khususnya aktivitas sebelum penerapan
pendekatan humanistik dibandingkan dengan sesudahnya. Analisis data menggunakan uji
regresi untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya. Selain itu, akan diuji pula ketuntasan
prestasi belajar siswa yang didapat dengan metode tes untuk kemudian dianalisis
menggunakan uji one sample t-test. Hasil yang diharapkan melalui penelitian ini ialah siswa
sesudah mengikuti kelas yang humanis tidak hanya memiliki prestasi belajar yang bagus
namun juga karakter yang kuat.
Kata Kunci : Pengaruh, Humanistik, karakter, siswa
PENDAHULUAN
Setiap pribadi manusia memiliki potensi dan talenta dalam dirinya, tugas pendidikan
yang sejati adalah membantu siswa untuk menemukan dan mengembangkan seoptimal
mungkin. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II Pasal
3 dinyatakan bahwa:
Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sistem evaluasi dan ujian nasional yang diselenggarakan relatif masih mengukur satu
aspek kecerdasan dan mengkerdilkan makna siswa sebagai suatu pribadi manusia dan sekolah
sebagai lembaga pendidikan (Vitonasya, 2009). Hal ini menyebabkan sekolah di Indonesia lebih
mementingkan kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan aspek afektif siswa.
Hasil penelitian Assegaf (2003) menemukan 93 kasus kekerasan dalam kategori sedang
berupa kekerasan antar pihak sekolah, kekerasan antar pelajar/mahasiswa, kasus kekerasan guru
terhadap siswa dan sebaliknya, kekerasan pelajar terhadap guru, kasus kekerasan mahasiswa
terhadap masyarakat dan sebaliknya, kekerasan masyarakat terhadap siswa. Tidak hanya itu,
kasus kriminalitas dalam pendidikan (tingkat berat) biasanya berkutat pada pencabulan,
penculikan, pencurian, bahkan aksi pembunuhan sebagaimana menimpa guru di Aceh yang
mencapai 200 kasus dengan 50 korban meninggal dan 100 lainnya mengalami cacat fisik
permanen dan kehilangan tempat tinggal karena rumahnya terbakar. Di samping itu, selama
empat tahun terakhir, angka kejahatan narkoba di Indonesia naik signifikan 90 %, dari 958
kasus pada 1998 menjadi 3.617 kasus pada 2001. Peredaran narkoba ini bahkan telah merambah
ke kalangan pelajar SLTP dan SD. Di Bogor, 16 siswa SLTP dipecat karena terbukti
mengkonsumsi narkoba. Sementara itu di Yogya ditemukan indikasi bahwa pemakaian
narkotika ini sudah masuk ke SD. Rigby (dalam Assegaf, 2003) menyatakan dampak pada
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
110 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
rendahnya kesejahteraan psikologi (rendah diri, mudah marah dan sedih), susah untuk
bersosialisasi, dan menyebabkan tekanan psikologi (kecemasan tingkat tinggi, depresi, bunuh
diri). Hal ini dapat memperburuk tingkat kecerdasan emosional siswa. Hal ini bertentangan
dengan tema Hardiknas Tahun 2011 yaitu Pendidikan Karakter Sebagai Pilar Kebangkitan
Bangsa dengan Subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Karakter yang bertumpu
pada kecintaan dan kebanggaan terhadap Bangsa dan Negara dengan Pancasila, UUD NKRI
1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai pilarnya (Kemendiknas, 2011).
Dalam konsep humanistik, belajar adalah pengembangan kualitas kognitif, afektif dan
psikomotorik. Pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau
perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki setiap siswa. Pendidikan
humanistik memandang proses belajar bukan hanya sebagai sarana transformasi pengetahuan
saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar merupakan bagian dari mengembangkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan survey yang dilakukan Haglun (2004) yang menyatakan
bahwa kelas yang diajarkan menggunakan metode humanistik lebih memanusiakan siswa (
pengembangan potensi siswa maksimal serta penanaman nilai humanistik pada siswa)
dibandingkan kelas lain.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa study kasus/ penelitian tersebut di lakukan di luar
negeri maka terdapat suatu permasalahan apakah pendekatan humanistik berpengaruh terhadap
penanaman karakteristik (berprestasi dan berbudi luhur) siswa di Indonesia?. Dari penelitian ini
nantinya akan diperoleh suatu pendekatan pembelajaran yang dapat mendorong terwujudnya
tema pendidikan nasional tahun 2011 yaitu membentuk siswa yang tidak hanya berprestasi
tinggi namun juga memiliki karakter yang berbudi luhur.
Kajian Teori
1. Pembelajaran Matematika Humanistik Teori humanistik menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti
membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang.
Sudjana (dalam Arsury, 2007) menyatakan bahwa aliran humanistik menekankan pada
pentingnya sasaran (obyek) kognitif dan afektif pada diri seseorang serta kondisi lingkunganya.
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa persepsi memainkan peranan dalam pengalaman belajar
seseorang (Arsury, 2007). Apabila seseorang berhubungan dengan lingkungan sekitar maka
persepsi orang itu tidak terlepas dari faktor-faktor subyektif. Siswa akan mempersepsikan
pengalamannya, termasuk pengalaman belajar dalam memenuhi kebutuhan belajarnya, dan ia
akan menginternalisasikan pengalaman itu dalam dirinya secara aktif.
Konsepsi aliran humanistik menjelaskan bahwa siswa merupakan pelaku yang aktif
dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya. Rogers (1969) berpendapat
pembelajaran hendaknya berpusat pada siswa (learner centered). Pembelajaran hendaknya
memberikan kebebasan yang luas kepada siswa untuk menentukan apa yang ingin ia pelajari
sesuai dengan sumber-sumber belajar yang tersedia atau yang dapat disediakan. Kegiatan
pembelajaran yang berpusat pada siswa dilakukan dengan memberikan kebebasan yang lebih
luas kepada mereka dalam memilih dan memutuskan apa yang ingin dipelajari, dan bagaimana
cara mempelajarinya. Menurut Gage and Berliner (dalam Arsury, 2007) terdapat lima tujuan
yang mendasar dengan diterapkannya pendekatan humanistik dalam pendidikan, yaitu: (1)
mengembangkan self-direction yang positif dan kebebasan (kemandirian) pada diri siswa; (2)
membangun kemampuan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang dipelajari; (3)
membangun kreativitas, (4) membangun rasa keingintahuan; dan (5) membangun minat
terhadap matematika atau menciptakan sensitivitas matematika.
Alvin (dalam Haglun, 2004) menyebutkan beberapa karakteristik umum dari sebuah
kelas humanistik: (1) Menempatkan siswa pada posisi penyelidik, bukan hanya reseptor fakta
dan prosedur; (2) Membiarkan siswa untuk saling membantu memahami masalah dan solusinya
lebih mendalam; (3) Belajar berbagai cara untuk memecahkan masalah, bukan hanya suatu
pendekatan aljabar; (4) Termasuk latar belakang sejarah menunjukkan matematika sebagai
usaha manusia; (5) Menggunakan pengajuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan terbuka, bukan
hanya latihan; (6) Menggunakan berbagai teknik penilaian, bukan hanya menilai seorang siswa
terhadap kemampuannya untuk melaksanakan prosedur hafal; (7) Mengembangkan pemahaman
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 111
dan apresiasi dari beberapa ide-ide matematika besar yang telah membentuk sejarah dan budaya
kita; (8) Membantu para siswa melihat matematika sebagai studi tentang pola-pola, termasuk
aspek-aspek seperti keindahan dan kreativitas; dan (9) Membantu siswa mengembangkan sikap
kemandirian, kemerdekaan dan rasa ingin tahu.
2. Pendidikan Karakter Azra (dalam Sapriati, 2003) menyatakan bahwa sekolah bukanlah sekedar tempat
transfer of knowlegde namun juga merupakan lembaga yang memfasilitasi usaha dan upaya
pembelajaran yang berorientasi pada nilai. Pembentukan dan pendidikan karakter bangsa tidak
dapat dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan tetapi melalui penanaman nilai.
Kajian nilai umumnya mencakup estetika (hal tentang dan justifikasi terhadap apa yang
dipandang manusia sebagai indah, yang disenangi) dan etika (hal tentang justifikasi terhadap
tingkah laku yang pantas berdasarkan standar yang berlaku dalam masyarakat yang bersumber
dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya). Sekolah memiliki tanggung jawab untuk
mencetak siswa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta dalam karakter dan
kepribadian. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pendidikan karakter di sekolah di
antaranya adalah pendekatan modelling atau exemplary, penjelasan atau klarifikasi berbagai
nilai baik dan buruk kepada siswa secara terus menerus, dan penerapan pendekatan pendidikan
berdasarkan karakter dalam setiap mata pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus
pendidikan karakter.
Nilai yang berkaitan dengan pendidikan matematika di sekolah dapat ditanamkan
melalui sifat matematika. Uskup (dalam Seah, 2005) menyatakan pendidikan nilai-nilai dalam
matematika meliputi kerapian, kreativitas dan kejujuran. Harmin dan Simon (dalam Seah, 2005)
menyebutkan adanya nilai keyakinan dan sikap dalam matematika. Keyakinan identik dengan
kebenaran/ kepalsuan tentang suatu konteks. Hofstede (dalam Seah, 2005) juga menyatakan
nilai saling menghargai dan kepatuhan terhadap kesepakatan dalam matematika.
Dalam buku pedoman pendidikan karakter yang disusun oleh IKIP PGRI Semarang,
terdapat 18 nilai beserta deskripsi keberhasilan dalam pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa di kelas (IKIP, 2011:24). Nilai-nilai tersebut antara lain, sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Nilai Deskripsi
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar, tugas dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-
baiknya.
6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin
tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.
10. Semangat
kebangsaan
Cara berpikir dan bertindak dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta tanah
air
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik,
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
112 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa.
12.Menghargai
prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, mengakui dan menghormati keberhasilan
orang lain
13.komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul dan
bekerjasama dengan orang lain.
14. Cinta damai Sikap,perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadiran dirinya.
15.Gemar
membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli
Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang terjadi.
17. Peduli
Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung
Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan(alam, sosial budaya) negara dan Tuhan Yang Maha Esa
3. Teori Belajar Yang Mendukung Honey dan Mumford (dalam Uno, 2006 : 16) menggolongakan orang yang belajar ke
dalam empat macam kelompok, yaitu: (a) Kelompok aktifvis (mereka yang senang melibatkan
diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh
pengalaman-pengalan baru); (b) Kelompok Reflektor (mempunyai kecenderungan yang
berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam melakukan suatu tindakan
orang-orang tipe reflektor sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan); (c) Kelompok Teoris
(memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan
menggunakan penalarannya); (d) Kelompok Pragmatis (mereka memiliki sifat-sifat praktis,
tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya)
Menurut Moslow (dalam Soemanto, 2006:138-139) pada diri masing-masing orang
mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut
untuk mengambil kesempatan , takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya.
Tetapi mendorong untuk maju kearah keutuhan, keunikan diri kearah berfungsinya semua
kemampuan, kearah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat
menerima diri sendiri. Belajar menurut Maslow adalah proses untuk memenuhi kebutuahan.
Tugas pendidik dalam hal ini adalah memahami kebutuhan anak didiknya, situasi dan
kondisinya yang dialami anak didik tersebut.
Simpulan
Berdasarkan kajian teori tersebut, maka hal-hal yang akan dilakukan dalam penelitian
ini nantinya adalah, sebagai berikut.
1. Proses Pembelajaran Suasana pembelajaran yang akan tercipta dengan diterapkannya pendekatan humanistik
ialah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Adapun kegiatan yang dirancang selama
pembelajaran berlangsung, sebagai berikut.
a. Pada kegiatan pendahuluan: 1) Mengaitkan tujuan pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari yang menjadi kebutuhan
siswa. Dengan demikian siswa akan termotivasi dalam pembelajaran, katena
menganggap apa yang ia kerjakan merupakan usaha untuk pemenuhan kebutuhan
(Moslow dalam Soemanto, 2006:138-139). Selain itu, siswa akan mulai memilih sendiri
apa yang ingin ia pelajari menggunakan sumber-sumber belajar yang telah tersedia,
sesuai dengan konsepsi humanistik yang dikemukakan Rogers (1969).
2) Melakukan kegiatan apersepsi. Hal ini dilakukan untuk membekali siswa sebelum melakukan proses penyelidikan sehingga siswa dapat merancang pola matematika dari
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 113
pengetahuan yang telah mereka miliki dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
(salah satukarakteristik kelas humanistik).
3) Guru memberikan arahan tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan siswa yang berkaitan dengan sumber belajar.
b. Pada Kegiatan Inti Pembelajaran 1) Guru menyampaikan permasalahan menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka
(karakteristik kelas humanistik) yang tertuang dalam LKS. Ini merupakan usaha guru
dalam memfasilitasi siswa untuk belajar untuk mengembangkan sikap kemandirian,
kemerdekaan dan rasa ingin tahu.
2) Siswa melakukan kegiatan eksplorasi terhadap sumber belajar yang telah tersedia menggunakan bekal pengetahuan dari kegiatan apersepsi. Dalam hal ini sumber belajar
(alat peraga) akan dirancang sedemikian rupa agar mengarah pada tujuan pembelajaran.
Kegiatan ini merupakan karakteristik kelas humanistik dimana siswa memposisikan
dirinya sebagai penyelidik sehingga muncul persepsi pada siswa bahwa matematika
merupakan usaha siswa untuk menyelesaikan masalah guna memenuhi kebutuhan.
3) Siswa melakukan kegiatan elaborasi, dengan cara saling berdiskusi tentang hasil kerja individu dalam kelompok. Disini siswa akan saling membantu memahami masalah dan
mencari solusi yang lebih mendalam (karakteristik kelas humanistik).
4) Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan kegiatan konfirmasi melalui presentasi hasil diskusi. Di sini siswa akan mengembangkan pemahaman dan
aspiarasi dari ide-ide yang dihasilkan oleh tiap siswa (karakteristik kelas humanistik).
5) Guru memberikan latihan soal yang berisi soal terbuka sebagai salah satu teknik penilaian. Selain itu pada kegiatan eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi guru mengamati
aktivitas peserta didik menggunakan rubrik pengamatan. Dalam kegiatan ini terlihat
guru menggunakan berbagai teknik penilaian (karakteristik kelas humanistik).
6) Guru meminta tiap kelompok untuk menyelesaikan soal dengan berbagai cara (karakteristik kelas humanistik).
7) Guru mempersilahkan siswa untuk memaparkan hasil kerja kelompok. 8) Memberikan penghargaan pada kelompok yang dianggap paling sukses menjalankan
tugas. Penghargaan bisa berupa nilai tambahan bagi tiap anggota kelompok.
c. Pada Kegiatan Akhir 1) Bersama siswa guru menyimpulkan tentang materi pecahan yang telah bersama-sama
mereka pelajari.
2) Guru memberikan tugas rumah. 2. Karakter Siswa
Melalui karakteristik kelas humanistik yang dirancang oleh guru, akan terselip
penanaman nilai-nilai yang akan membentuk karakter siswa. Adapun nilai dan proses tersebut,
antara lain.
a. Religius akan terbentuk ketika kelompok yang ada tidak membedakan agama sehingga siswa belajar kerukukan dengan pemeluk agama lain.
b. Kejujuran akan terbentuk ketika siswa melakukan kegiatan eksplorasi yang terlihat dari terselesaikannya LKS oleh siswa dengan hasil kerja sendiri, bukan hasil mencontek dari
jawaban siswa. Karna di sini, tiap siswa menggunakan ide yang berbeda-beda.
c. Toleransi, demokrasi, komunikatif, peduli sosial dan cinta damai akan terbentuk dari setiap kegiatan yang melibatkan kelompok.
d. Disiplin akan terbentuk melalui setiap tahap yang telah ditetapkan waktu pengerjaannya oleh guru.
e. Rasa ingin tahu, kerja keras, kreatif dan mandiri akan terbentuk dalam tahap eksplorasi, karena siswa diminta untuk mengeluarkan ide original untuk menyelesaikan permasalahan
yang diajukan guru.
f. Gemar membaca akan terbentuk oleh keinginan untuk mampu memenuhi kebutuhan (dalam hal ini memecahkan masalah).
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
114 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
g. Peduli lingkungan akan terbentuk ketika siswa merapikian mejanya dari alat peraga yang digunakan.
h. Tanggung jawab akan terbentuk dari terselesainya tiap tugas yang diberikan oleh siswa. Pemberian skor tentang nilai-nilai pembentuk karakter akan lebih mudah karena
pembentukan kelompok disesuaikan dengan tipe-tipe kelompok belajar yang dikumukakan oleh
Honey dan Mumford (dalam Uno, 2006 : 16). Hal ini juga akan mengurangi tingkat ancaman
pada siswa karena pemikiran yang berbeda dalam satu kelompok akan dijadikan ancaman bagi
siswa yang membuat motivasi siswa akan berkurang (Moslow dalam Soemanto, 2006:138-139).
3. Pengaruh Karakter Siswa terhadap Prestasi Belajar Siswa Karakter rasa ingin tahu akan membuat siswa gemar membaca sehingga membuat siswa
lebiah siap mengikuti pembelajaran. Selanjutnya saat pembelajaran di kelas, karakter disiplin,
kerja keras, kreatif dan mandiri membantu siswa untuk mampu menyelesaikan permasalahan
yang telah dibuat guru dan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pribadinya. Karena
masalah yang dirancang guru menyangkut konsep baru yang harus dimiliki siswa maka
pemahan konsep siswa akan semakin kuat. Selanjutnya pada kegiatan elaborasi dan konfirmasi,
karakter religius, toleransi, demokrasi, komunikatif, peduli sosial dan cinta damai akan
mempermudah siswa dalam bekerja sama dengan siswa yang lain dalam usaha untuk
memperluas pemahaman konsep untuk penyelesaian masalah sehingga ide dan persepsi siswa
tentang pecahan lebih banyak dan lebih luas. Dan tentunya yang tidak kalah penting yang
menjamin keberhasilan siswa dalam belajar ialah karakter kejujuran dan tanggung jawab.
Karena semua hal akan terasa sia-sia jika siswa melakukannya bukan atas usaha sendiri.
4. Ketuntasan Prestasi Belajar Siswa Proses pembelajaran yang telah dirancang sedemikian rupa akan membuat konsep
mudah tertanam oleh siswa karena dalam belajar siswa merasa termotivasi dan tanpa tekanan
dan ancaman (Moslow dalam Soemanto, 2006:138-139). Sehingga ketika dilakukan tes tentang
prestasi belajar maka akan menghasilkan nilai yang melebihi KKM yang ada serta proporsi
siswa yang tuntas pun akan lebih dari 80% sehingga ketuntasan individu dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Arsury. 2007. Pendidikan yang Humanistik. http://arsury.blogspot.com/2007/12/pendidikan-
yang-humanistik.html [14/10/2009].
Assegaf, A. R. 2003. Kondisi dan Pemicu Kekerasan dalam Pendidikan. Jurnal Inovasi
Pendidikan Tinggi Agama Islam, 2(1). http://www.ditpertais.net/istiqro/ist02-03.asp
[16/02/2010].
Clark, C., Guskey, T., & Benninga, J. 1983. The effectiveness of mastery learning strategies in
undergraduate education courses. Journal of Educational Research, 76(4): 210-214.
Haglun, R. 2004. Humanistic Mathematics Teaching Can Make a Difference: Using Humanistic
Content and Teaching Methods to Motivate Students and Counteract Negative
Perceptions of Mathematics. The Humanistic Mathematics Network Journal Online, 27.
Tersedia di http://www2.hmc.edu/www_common/hmnj/haglund.doc [diakses pada
25/10/2009].
IKIP PGRI Semarang. Pedoman Pendidikan Karakter. 2011. Semarang: IKIP PGRI Press.
Kemendiknas. 2011. Sambutan Mediknas pada Hardiknas 2011.
www.kemendiknas.go.id/media/424570/SambutanHardiknas2011-Final.pdf
[02/05/2011]
Rogers, C. R. 1969. Freedom to Learn. http://www.panarchy.org/rogers/learning.html
[29/10/2009].
Sapriati, A. 2003. Pelaksanaan Pengembangan Nilai Melalui Pembelajaran dan Kegiatan
Sekolah.
http://gurupintar.ut.ac.id/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=6 [27/
10/ 2009].
Seah, W. T. 2005. Negotiating About Perceived Value Differences in Mathematics Teaching:
The Case of Immigrant Teachers in Australia. On Proceedings of the 29th Conference
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 115
of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 4. Melbourne:
PME. www.emis.de/proceedings/PME29/.../PME29Vol4Seah.pdf [30/10/2009].
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Sukestiyarno,YL. 2004. Modul Kuliah SPSS. Semarang: Program Pasca Sarjana UNNES
Soemanto, Wasty. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Uno, Hamzah B. 2006. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi
Aksara
Vitonasya. 2009. Paradigma "Matematikasih" dalam Pengajaran Beraliran Humanistik.
http://vitonasya.blogspot.com/2009/03/paradigma-matematikasih-dalam.html [11/ 10/
2009].
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
116 Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
EFEKTIVITAS MODEL ANCHORED INSTRUCTION MATERI LUAS KUBUS DAN
BALOK DI SMP
Lilik Ariyanto Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI SEMARANG
Jl. Sidodadi Timur Nomor 24 Dr. Cipto Semarang, e-mail: [email protected]
Abstrak
Pembelajaran yang selama ini digunakan oleh guru-guru SMP pada materi luas kubus
dan balok belum memperoleh hasil belajar siswa yang maksimal, karena yang dipelajari
adalah bangun ruang tiga dimensi tapi disajikan dalam gambar dua dimensi yang statis,
sehingga hasil belajar siswa kurang. Peneliti mencoba untuk menerapkan Anchored
Instruction (AI).Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah pembelajaran
matematka dengan AI efektif.
Rancangan uji coba menggunakan Quasi-Experimental. Variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: (1) hasil belajar siswa, diperoleh dengan tes; (2) aktivitas belajar siswa
yang diperoleh dari hasil observasi; (3) motivasi belajar siswa yang diperoleh dari angket.
Pada penelitian ini menghasilkan pembelajaran yang efektif yang dapat dilihat dari: (1)
hasil belajar siswa mencapai ketuntasan secara individu dan secara klaksikal, (2) adanya
pengaruh positif aktivitas dan motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswa, (3) rata-rata
nilai hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol.
Kata Kunci : Efektivitas, Anchored Instruction, Kubus, Balok
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi, serba modern, berteknologi dan penuh persaingan, menuntut setiap
orang untuk menguasai berbagai bidang kehidupan, supaya Sumber Daya Manusia (SDM)-nya
dapat meningkat. Dengan SDM yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, negara tersebut akan
dapat bersaing dengan negara-negara lain diberbagai bidang pula. Salah satu bidang yang
menunjang meningkatnya SDM Indonesia adalah bidang pendidikan.Keberhasilan bidang
pendidikan tidak terlepas dari peran guru dan sekolah, baik sekolah negeri maupun swasta.Salah
satu pelajaran di sekolah yang ikut berperan besar dalam kemajuan teknologi dan SDM adalah
matematika.
Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas dibandingkan dengan
disiplin ilmu yang lain, yaitu berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang
tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Kegiatan belajar dan mengajar matematika
seyogyanya tidak disamakan begitu saja dengan ilmu yang lain. Kegiatan belajar-mengajar
haruslah diatur dengan memperhatikan kemampuan siswa dan memahami hakekat matematika
karena siswa yang belajar matematika berbeda-beda kemampuannya.
Pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus dikuasai
oleh siswa SMP, dengan bukti bahwa matematika termasuk dalam mata pelajaran yang
diperhitungkan untuk syarat kelulusan siswa SMP. Belajar matematika akan berhasil bila proses
belajarnya baik, salah satunya yaitu melibatkan siswa secara aktif. Zaini (2008: 14)
mengungkapkan bahwa ketika siswa belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi
aktifitas pembelajaran.Dengan ini mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk
menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan masalah, ataupun
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.Anni (2004:11) menyatakan bahwa hasil
belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun faktor dari
luar (eksternal). Faktor internal antara lain faktor fisiologis dan psikologis (misalnya
kecerdasan, motivasi, berprestasi dan kemampuan kognitif), dan faktor eksternal antara lain
faktor lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan media pembelajaran).
Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2 117
Menurut Nurhadi (2004: 3), belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami sendiri apa yang dipelajarinya, bukan hanya mengetahuinya saja. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Model pembelajaran yang mencakup strategi, pendekatan, teknik dan metode
instruksional dapat mengoptimalkan aktifitas belajar siswa apabila pembelajaran terjadi dengan
bermakna, menyenangkan dan dapat mendorong siswa untuk membangun dan mengembangkan
pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini guru harus dapat menjadi seorang desainer
mengajarkan teori dan mengimplementasikan teori tersebut kepada siswa dalam pembelajaran
untuk mencapai tujuan pembelajaran (Joyce ,1994:34).
Pembelajaran ekspostori yang selama ini digunakan oleh guru-guru SMP belum dapat
menjembatani antara konsep luas kubus dan balok yang masih abstrak dengan siswa yang masih
berpikir konkrit.Hal ini disebabkan media yang digunakan hanya media diam dan tidak bergerak
(static visual), serta sering kali kubus dan balok tersebut disajikan dalam visual dua dimensi,
padahal yang dibahas adalah tiga dimensi.
Sehubungan dengan hal itu diperlukan model pembelajaran yang berorientasi pada
siswa, dapat melibatkan siswa secara aktif, dan siswa dapat menggunakan pengetahuan yang
telah dimilikinya untuk membangun pengetahuan yang baru guna memecahkan suatu masalah,
sehingga proses pembelajaran menjadi bermakna, kontekstual dan tidak membosankan.
Diperlukan pula media yang dapat melibatkan lebih dari satu indera pada diri siswa, yaitu media
yang dapat bergerak/dianimasi, dan dapat menuntun siswa dalam mengkonstruk
pengetahuannya, sehingga dapat menarik minat siswa serta membuat suasana pembelajaran
menjadi lebih menyenangkan.
Anchored Instruction (AI) telah dikembangkan oleh The Cognition and Technology
Group at Vanderbilt University yang dipimpin oleh John Bransford. AI muncul dari masalah
pendidikan sekitar tahun 1929, AI dikembangkan dengan rancangan khusus berdasarkan video-
based format yang disebut "anchor" atau "kasus" yang memberikan dasar untuk eksplorasi dan
kolaborasi dalam memecahkan masalah. Cerita dalam video menggambarkan kehidupan nyata
yang dapat dieksplorasi di berbagai tingkatan.Video tersebut dirancang untuk memungkinkan
guru serta siswa untuk menghubungkan pengetahuan matematika dengan pelajaran lainnya
dengan menjelajahi lingkungan dari sudut pandang yang berbeda. (Rabinowitz, 1993: 43)
AI hampir sama dengan pembelajaran berbasis masalah, hanya saja cerita (masalah)
yang disaji