DIABETES MELITUS TIPE 2 Kelompok A7 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Semester V Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2010 Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 PENDAHULUAN Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. 1 Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang tidak pernah mendapat perhatian para ahli diabetes di negara-negara barat sampai dengan Kongres International Diabetes Federation (IDF) ke IX tahun 1973 di Brussel. Baru pada tahun 1976, ketika kongres IDF di New Delhi India, diadakan acara khusus yang membahas diabetes melitus di daerah tropis. Setelah itu banyak sekali penelitian yang telah dilakukan di Negara berkembang dan data terakhir dari WHO menunjukan justru peningkatan tertinggi jumlah pasien diabetes malah di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. 2 Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%. 2 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DIABETES MELITUS TIPE 2
Kelompok A7
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Semester V
Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta 2010
Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus ( DM ) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya.1 Masalah diabetes melitus di negara-negara berkembang tidak pernah mendapat
perhatian para ahli diabetes di negara-negara barat sampai dengan Kongres International
Diabetes Federation (IDF) ke IX tahun 1973 di Brussel. Baru pada tahun 1976, ketika
kongres IDF di New Delhi India, diadakan acara khusus yang membahas diabetes melitus di
daerah tropis. Setelah itu banyak sekali penelitian yang telah dilakukan di Negara
berkembang dan data terakhir dari WHO menunjukan justru peningkatan tertinggi jumlah
pasien diabetes malah di negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.2
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia,
kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu
di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.2
Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah
urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural di suatu daerah
di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara
prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup
mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43%
di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi
Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di
daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.2
Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM
tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar,
1
prevalensi diabetes terakhit tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan
Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor
Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 laki-
laki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta
sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi
sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis
masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi (Gambar
1).2
Gambar 1. Prevalens DM di Indonesia
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan
terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan
demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2
dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastic. Ini
sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati peringkat
nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun
2025, naik 2 tingkat disbanding tahun 1995 (Tabel 1).2
2
Tabel 1. Urutan 10
Negara dengan
Jumlah Pengidap Diabetes Terbanyak pada Penduduk Dewasa di Seluruh Dunia 1995 dan
2025
ISI
Anamnesis
Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan pada saat anamnesis padien diabetes adalah
gejala-gejala khas diabetes serta komplikasi yang biasa sudah menyertainya pada saat
diagnose. Pertanyaan yang biasa diajukan antara lain :
Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya sering
disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari tidurnya dan sering
menganggu kualitas tidur.
3
Urutan Negara 1995
(Juta)
Urutan Negara 2025
(Juta)
1 India 19.4 1 India 57.2
2 Cina 16.0 2 Cina 37.6
3 Amerika 13.9 3 Amerika 21.9
Serikat
4 Federasi 8.9 4 Pakistan 14.5
Russia
5 Jepang 6.3 5 Indonesia 12.4
6 Brazil 4.9 6 Federasi 12.2
Russia
7 Indonesia 4.5 7 Meksiko 11.7
8 Pakistan 4.3 8 Brazil 11.6
9 Meksiko 3.8 9 Mesir 8.8
10 Ukraine 3.6 10 Jepang 8.5
Semua 49.7 103.6
negara lain
Jumlah 135.3 300
Polidipsia. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsia disebabkan oleh
banyaknya volume urin yang dikeluarkan.
Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar.
Penurunan berat badan.
Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada bagian
distal tubuh seperti kaki.
Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar sembuh,
terutama pada bagian kaki..
Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan penglihatan.
Pemeriksaan Fisik
Sebagai tambahan dari pemeriksaan fisik komplit pada umumnya, perlu diberikan perhatian
khusus pada aspek-aspek yang berkaitan dengan DM seperti BMI, pemeriksaan mata,
tekanan darah ortostatik, pemeriksaan kaki, pemeriksaan denyut perifer. Tekanan darah >
130/80 mHg sudah dianggap sebagai tekanan darah tinggi pada pasien dengan diabetes.
Pemeriksaan ektremitas bawah yang teliti dilakukan untuk melihat adanya neuropati perifer,
calus, infeksi jamur superficial, penyakit kuku, reflex APR KPR, dan bentuk kaki yang
abnormal (hammer atau claw toes, dan charcoat foot). Dinilai juga kemampuan untuk
merasakan sentuhan menggunakan benang monofilament dan kemampuan untuk menentukan
letak sakit/tusukan (pinprick) untuk menentukan seberapa parah neuropati perifernya.
Penyakit periodontal, gigi, dan gusi lebih sering terjadi pada pasien DM, sehingga juga harus
diperiksa.3
Pemeriksaan Laboratorium
Temuan Laboratorium pada DM
Pemeriksaan glukosa dan badan keton dalam kemih , juga glukosa plasma atau darah
dari sampel yang diambil dalam keadaan basal dan sesudah pemberian glukosa sangat
penting dalam evaluasi pasien diabetes Uji untuk hemoglobin glikosilasi telah terbukti
bermanfaat untuk evaluasi awal dan dalam penilaian efektivitas terapi. Pada keadaan-
keadaan tertentu, pengukuran kadar insulin atau peptida C dan kadar hormon-hormon lain
yang terlibat dalam homeostasis karbohidrat (misal, glukagon, hormon pertumbuhan)
mungkin berguna. Dari pandangan tingginya risiko aterosklerosis pada diabetes, maka
4
penentuan kadar kolesterol serum (termasuk fraksi HDL yang menguntungkan) dan
trigliserida dapat membantu. Dari tiga pengukuran ini dapat dibuat perkiraan kadar LDL.4
Glikosuria
Apapun metode yang dipakai, terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan
pemakaian glukosa kemih sebagai petunjuk glukosa darah. Yang pertama, kadar glukosa
kemih dalam kandung kemih mencerminkan kadar glukosa saat kemih dibentuk. Oleh sebab
itu, spesimen yang pertama dikeluarkan di pagi hari mengandung glukosa yang diekskresi
sepanjang malam dan sama sekali tidak mencerminkan kadar glukosa darah pagi hari. Sedikit
perbaikan dalam korelasi glukosa kemih dengan glukosa darah dapat diperoleh jika pasien
"berkemih dua kali"—yaitu, mengosongkan kandung kemih seluruhnya, membuang sampel,
dan kemudian berkemih lagi kira-kira setengah jam kemudian, dan hanya sampel kedua ini
yang diuji kandungan glukosanya. Akan tetapi, kesulitan dalam mengosongkan kandung
kemih seluruhnya (volume residu besar), masalah-masalah dalam memahami instruksi, dan
ketidaknyamanan mengurangi manfaat dari uji ini. Pemantauan kadar glukosa darah sendiri
telah menggantikan pemeriksaan kadar glukosa kemih pada kebanyakan penderita DMTI dan
sebagian pasien DMTTI (khususnya yang mendapat terapi insulin).4
Tersedia beberapa produk komersial untuk menentukan adanya glukosa dan
jumlahnya dalam kemih. Penilaian glikosuria di samping tempat tidur yang sudah lama dan
sulit dengan tablet Clinitest kini telah diganti dengan metode carik celup yang lebih cepat,
mudah dan spesifik glukosa. Metode ini menggunakan carik kertas (Clinistix, Diastix, Tes-
Tape) yang diimpregnasi dengan enzim (glukosa oksidase dan hidrogen peroksidase) dan
suatu zat warna kromogenik yang akan menjadi pucat dalam keadaan tereduksi.
Terbentuknya hidrogen peroksida di bawah pengaruh enzim akan mengoksidasi zat warna
untuk menghasilkan warna yang intensitasnya bergantung pada kadar glukosa. Uji carik
celup ini peka terhadap kadar glukosa sekecil 0,1 % glukosa(100 mg/dL) tetapi tidak bereaksi
terhadap umlah kecil glukosa yang biasanya terdapat dalam :emih. Carik kertas dapat
mengalami kerusakan ika terpapar udara, kelembaban dan panas yang lebat, dan perlu
disimpan dalam tabung kedap udara jika tidak digunakan. Hasil negatif palsu dapat liperoleh
bilamana ada alkaptonuria dan bila zat-zat tertentu seperti asam salisilat atau askorbat di-
consumsi berlebihan. Semua hasil negatif palsu ini erjadi akibat bahan-bahan pereduksi kuat
yang lapat mengganggu oksidasi kromogen.4
5
Ketonuria
Dalam keadaan tidak ada insulin dalam jumlah cukup, maka tiga “badan keton"
utama dibentuk dan diekskresi ke dalam kemih: asam β-hidroksibutirat, asam asetoasetat. dan
aseton. Produk-produk komersil untuk menguji adanya keton dalam kemih kini tersedia.
Tablet Acetest, Ketostix, dan Keto-Diastix menggunakan suatu reaksi nitroprusida yang
hanya mengukur aseton dan asetoasetat. Dengan demikian, uji-uji ini dapat keliru
mengarahkan bila asam β-hidroksibutirat merupakan metabolit yang dominan.
Kondisi-kondisi lain di samping ketoasidosis diabetik dapat menyebabkan badan-
badan keton tampil dalam kemih; antara lain kelaparan, diet tinggi lemak, ketoasidosis
alkoholik, demam, dan kondisi lain di mana kebutuhan metabolik meningkat.4
Proteinuria
Proteinuria seperti yang ditemukan pada pemeriksaan carik celup rutin seringkali
menjadi tanda pertama komplikasi diabetes pada ginjal. Jika proteinuria terdeteksi, maka
perlu dilakukan analisis kumpulan kemih 24 jam untuk menentukan derajat proteinuria
(individu normal mengekskresikan < 30 mg protein per hari) dan laju ekskresi kreatinin
kemih; pada saat yang sama, kadar kreatinin serum perlu ditentukan sehingga bersihan
kreatinin (suatu perkiraan dari laju filtrasi glomerulus) dapat dihitung. Pada beberapa kasus
kelak terjadi proteinuria yang berat (3-5 g/hari) dengan gejala-gejala sindroma nefrotik lain
seperti edema, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia.4
Mikroalbuminuria
Albumin kemih kini dapat dideteksi dalam hitungan mikrogram menggunakan
metode radioimmunoassay yang lebih peka daripada metode carik celup yang batas deteksi
minimalnya adalah 0,3- 0,5%. Kumpulan kemih 24-jam konvensional menyebabkan
ketidaknyamanan bagi pasien, dan di samping itu juga memperlihatkan variabilitas ekskresi
albumin disebabkan beberapa faktor se perti berdiri larra protein dalam diet, dan latihan fisik
cenderung meninggikan lajuekskresi albumin. Karena alasan-alasan inilah banyak klinik
lebih suka melakukan pemeriksaan penyaring dengan suatu kumpulan kemih semalam yang
diberi batasan waktu yaitu mulai dari saat menjelang tidur, di mana kemih dibuang dan jam
dicatat. Pengumpulan kemih diakhiri saat kandung kemih dikosongkan di pagi hari. dan
kemih ini serta kemih yang dikeluarkan dalam semalam, ditera terhadap albumin. Subjek
normal mengekskresikan kurang dari 15 µg/menit dalam pengumpulan kemih semalam;
6
angka di antara 20 dan 200 µg/menit atau lebih menggambarkan mikroalbuminuria abnormal
yang mungkin merupakan prediktor dini dari perkembangan nefropati diabetik.4
Pemeriksaan Glukosa Darah
Angka Normal
Nilai normal glukosa darah puasa bervariasi antara 60 hingga 110 mg/dL (3,3-6,1
mmol/L). Kadar plasma atau serum adalah 10-15% lebih tinggi karena komponen-komponen
struktural sel darah dihilangkan, sehingga akan lebih banyak glukosa per unit volume. Jadi,
nilai normal glukosa plasma atau serum puasa adalah 70-120 mg/dL (3,9-6,7 mmol/L).
Secara klinis, pengukuran glukosa plasma atau serum lebih sering digunakan karena bebas
dari hematokrit, lebih dekat dengan kadar glukosa ruang jaringan interstisial, dan me-
mudahkan prosedur analisis otomatis. Penentuan kadar glukosa darah penuh dilakukan di
tempat untuk menguji glukosa pada keadaan-keadaan darurat dan juga pada prosedur
pemantauan sendiri glukosa kapiler. Suatu teknik yang telah diterima luas dalam penatalaksanaan
diabetes melitus.4
Nilai normal glukosa plasma atau darah yang sudah diterima memerlukan koreksi
usia sebesar 1 mg/dL (0,056 mmol/L) per tahun usia di atas 60 tahun. Jadi kadar glukosa
plasma puasa pada orang tua non-diabetes berkisar antara 80 hingga 150 mg/dL (4,4-8,3
mmol/L).4
Sampel Darah Vena
Sampel perlu diletakkan dalam tabung yang mengandung natrium fluorida yang akan
mencegah glikolisis dalam darah sampel dan dapat menurunkan kadar glukosa yang diukur.
Jika tabung seper ini tidak tersedia, maka sampel perlu dipusing da lam waktu 30 menit
sesudah diambil dan plasma atau serum disimpan pada suhu 4 °C.4
Metode laboratorium yang biasa digunakan untuk menentukan glukosa plasma
menggunaka metode enzimatik (misal, glukosa oksidase atau heksokinase), metode
kolorimetrik (misal, o-tolui din) atau metode otomatis. Metode otomatis memanfaatkan
reduksi dari senyawa tembaga atau be dengan mereduksi gula dalam serum diálisis. Cara ini
mudah tetapi tidak spesifik terhadap glukosa karena juga bereaksi dengan bahan-bahan
pereduksi lainnya (yang meningkat pada keadan azotem atau asupan asam askorbat yang
tinggi).4
7
Sampel Darah Kapiler
Terdapat beberapa metode carik kertas (glukosa oksidase) untuk mengukur glukosa
darah kapiler Semuanya sudah diadaptasi untuk pemakaian mudah dalam bentuk meter
pengukur bertenaga baterai yang dapat dibawa-bawa dengan bacaan digital Suatu perangkat
uji carik, Chemstrip bG, dilengkap; suatu bagan warna untuk perbandingan visual dan
perkiraan kadar glukosa darah. Meter pengukur yang lebih konvensional (misal, Glucometer,
Glu- coscan, Glucocheck, Diascan, atau AccuChek memerlukan penentuan waktu yang tepat
oleh pengguna serta pembersihan carik kertas dari jejas- jejas darah dengan teliti sebelum
pembacaan warna Alat-alat generasi kedua (misal, One Touch II, ExacTech) telah
menghapus dua sumber kesalahan teknis ini dengan penentuan waktu secara otomatis dan
memungkinkan kuantitasi kolorimeter tanpa membersihkan darah. Untuk memantau kadar glu-
kosa darahnya sendiri, pasien harus menusuk jarinya dengan lanset kecil (misal, Monolet),
yang dapat dipermudah pemakaiannya dengan alat pelatuk plastik kecil (misal, Autolet,
Penlet). Dengar instruksi teknik yang tepat, pasien dapat memperoleh pengukuran kadar
glukosa darah sendiri yang akurat dan dapat diandalkan, yang sangat bernila untuk
penatalaksanaan diabetes jangka panjang Metode ini juga sangat bermanfaat untuk para pro-
fesional kesehatan dalam penatalaksanaan di samping tempat tidur pasien DM serius yang
dirawat dirumah sakit.4
Uji Diagnostik Sederhana Dengan Kadar Glukosa Plasma
Kadar glukosa plasma puasa diatas 140 mg/dL (7,8 mmol/L0 pada lebih dari satu
pemeriksaan memastikan diagnostik DM. Sampel untuk pemeriksaan kadar glukosa paling
baik diamnbil pada pagi hari sesudah puasa semalaman.4
Uji Toleransi Glukosa Oral
Tes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini
tidakdibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
manifestasi klinik DM dan hiperglikemia.4
Persiapan Uji
Guna mengoptimalkan sekresi insulin dan efektivitasnya, terutama bila pasien tengan
menjalani seatu diet rendah karbohidrat, maka jumlah minimum 150-200 g karbohidrat per
8
hari perlu dimasukan dalam diet selama 3 hari sebelum menjalani uji.pasien tidak boleh
memakan apapun sesudah tengah malam sebelum hari pengujian.4
Prosedur Uji
Kadar glukukosa diukur sebelum dan sesudah membebanan 75 g glukosa. Orang
dewasa diberikan glukosa 75 g dalam 300 mL air, sedangkan anak –anak mendapat 1,75 g
glukosa per kilogram berat badan ideal. Beban glukosa dikonsumsi dalam 5 menit. Kadar
glukosa diukur setiap ½ jam selama 2 jam setelah pemberian glukosa.4
Interpretasi
Pada keadaan sehat, kadar glukosa puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi
glukosa normal adalah 70 hingga 110 mg/dL. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan
meningkat pada awalnya namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam atau
dengan kata lain glukosa plasma pu8asa kurang dari 115 mg/dL dan setelah 2 jam kadarnya
akan turun dibwah 140 mg/dL dan nilai – nilai dari sampel lainnya tidak ada yang melampaui
200 mg/dL (National Diabetes Data Group Criteri).4
Hasil – hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang mal nutrisi pada saat
pengujian, berbaring ditempat tidur, atau terserang suatu infeksi atau suatu stress emosional
yang berat. Diuretika, kontraseptif oral, glukokortikoid, tiroksin yang berlebihan, fenitoin,
asam, nikotinat, dan beberapa obat psikoteropik juga dapat menyebabkan hasil positif palsu.4
Kadar Insulin
Untuk menukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau
plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum
diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20µU/mL dalam keadaan
puasa, dan mencapai 50 – 130 µU/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah
30µU/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena
alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg.dL, hiperinsulinemia
dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II; akan
tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana
pelepasan insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat
merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.4
9
Uji Toleransi Glukosa Intravena
Uji toleransi glukosa IV dilakukan dengan cara pemberian infus glukosa secara cepat
diikuti serangkaian pemeriksaan glukosa plasma untuk menentukan laju hilangnya glukosa
per menit. Laju hilangnya glukosa mencerminkan kemampuan pasien untuk memindahkan
suatu beban glukosa. Uji ini digunakan untuk evaluasi toleransi glukosa pada pasien – pasien
dengan klainan GI (malabsorpi). Uji ini relatif tidak peka, dan belum ada kriteria yang
memadai untuk diagnostik diabetes pada berbagai kelompok umur.4
Working Diagnosis
Diabetes Melitus Type 2.
Diabetes mellitus (DM) mengacu pada sekelompok kelainan metabolik dengan gejala
hiperglikemia. Terdapat beberapa jenis DM dan disebabkan oleh interaksi antara faktor
genetic dan lingkungan. Berdasarkan etiologi yang menyebabkan DM, faktor yang ikut
berperan dalam terjadinya hiperglikemia adalah berkurangnya sekresi insulin, pengurangan
kemampuan menggunakan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Kelainan metabolik
yang menyertai DM dapat menyebabkan perubahan patofisiologik sekunder pada berbagai
sistem organ. Di US, DM adalah penyebab utama terjadinya End-Stage Renal Disease
(ESRD), amputasi ekstremitas bawah non-trauma, kebutaan pada orang dewasa. DM juga
merupakan faktor predisposisi terjadinya kelainan kardiovaskular.1,3
Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan proses patogenik yang menyebabkan
terjadinya hipoglikemia. Secara garis besar dibagi menjadi DM tipe 1 dan tipe 2. Kedua jenis
DM ini didahului oleh fase hemostasis glukosa abnormal seiring dengan proses patogenik
berlanjut. Tipe 1 disebabkan oleh defisiensi insulin total atau mendekati total. DM tipe 2
merupakan sekelompok kelainan yang dicirikan dengan berbagai derajat resistensi insulin,
gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. Defek metabolik dan genetic
yang jelas pada fungsi/sekresi insulin merupakan penyebab hiperglikemia yang umum pada
pasien DM tipe 2, dan mempunyai peranan yang penting dalam implikasi terapi karena
sekarang sudah terdapat obat yang dapat memperbaiki gangguan metabolic secara spesifik.
DM tipe 2 didahului oleh homeostasis glukosa abnormal yang disebut sebagai impaired
fasting glucose (IFT) dan impaired glucose tolerance (IGT).1,3
10
Terdapat dua perbedaan yang membedakan klasifikasi DM dahulu dengan sekarang.
Pertama, istilah Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan Noninsulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM) sudah tidak digunakan lagi. Karena terdapat banyak pasien
dengan DM tipe 2 pada akhirnya memerlukan terapi insulin untuk mengatur glikemia.
Perbedaan kedua adalah umur bukan merupakan suatu kriteria klasifikasi. Walaupun pada
umumnya DM tipe 1 tampak pada usia kurang dari 30 tahun, proses autoimun penghancuran
beta-cell dapat terjadi pada usia berapa saja. Sebaliknya, DM tipe 2 lebih sering tampak
seiring dengan penambahan umur, tetapi sekarang lebih banyak didiagnosis pada anak dan
dewasa muda terutama remaja dengan obesitas.1,3
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam
menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM , pemeriksaan glukosa seyogyanya di laboratorium klinik yang
terpercaya. Waalupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan
darah utuh (whole blood), vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostic yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat diperiksa kadar glukosa kapiler.1,3
Ada perbedaan uji diagnostic DM pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan tanda/gejala DM. sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai
faktor risiko DM. serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitive.1,3
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM
sebagai berikut:1,3
Usia > 45 tahun
BB > 110% berat badan ideal atau IMT > 23kg/m2
Hipertensi ( > 140/90 mmHg)
Riwayat DM
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau berat badan lahir bayi > 4 kg.
Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
11
Catatan:
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negative, pemeriksaan
penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusi > 45 tahun tanpa
faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.1,3
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya
(mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut
bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk
pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan
penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.1,3
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan
langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan
sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang
menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan
dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya atherosclerosis lebih
tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit
kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat
diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan
sekunder dapat segera diterapkan.1,3
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian
dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standart (Tabel 2).1,3
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
plasma vena < 110 110 – 199 >200
darah kapiler < 90 90 - 199 > 200
Kadar glukosa darah puasa
plasma vena < 110 110 – 125 > 126
darah kapiler < 90 90 - 109 > 110
12
Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dl)
Langkah-langkah Untuk Menegakkan Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Jika keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. hasl pemeriksaan kadar glukosa darh puasa > 126 mg/dL juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kal saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu > 200
mg/dL pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa (TTGO) didapatkan kadar
glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dL. (Gambar 2).1,3
Gambar 2. Langkah-langkah diagnostic DM dan toleransi glukosa terganggu
13
Differential Diagnosis
Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependent insulin;
namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak
30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat
disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya
autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik