Top Banner
304

18

Jan 19, 2016

Download

Documents

acheh library
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 18

i

Page 2: 18

ii

Page 3: 18

iii

M. Jakfar Puteh

SISTEM SOSIALBUDAYA DAN ADAT MASYARAKAT ACEH

Page 4: 18

iv

Perpustakaan Nasional Indonesia: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

M. Jakfar PutehSistem Sosial, Budaya dan Adat

Masyarakat Aceh, Yogyakarta, 2012Grafindo Litera Media

ISBN : 978-979-3896-14-9

PenulisDrs. M. Jakfar Puteh, M.Pd

Editor:Dicky Wirianto, MA

Maimun Fuadi, M.Ag

Proof reader:Syukri Syamaun, Fairus M. Nur. Ibrahim

Muhsinah Ibrahim, T. Zulyadi, Nurul HusnaSabirin

Cetakan Pertama Juli 2012

Setting/LayoutTim Citra Kreasi Utama

Jln. Tgk. Imuem Lueng Bata No. 3 Banda Aceh

Desain CoverM. Iqbal Jakfar

Diterbitkan oleh:Grafindo Litera Media

Perum Wirosaban Barat No. 90 Sorosutan UHYogyakarta. Telp/Fax. (0274) 373036 bekerjasama dengan

LSAMA Banda Aceh-Provinsi Aceh

Hak cipta ada pada pengarangCopyright@ 2012

Page 5: 18

v

PENGANTAR EDITOR “ACEH SEBAGAI LABORATORIUM BERBAGAI

KAJIAN”

Daerah asal kerajaan Aceh pada masa dahulu dikenal dengan nama Aceh Besar. Sebelah Utara dan Barat, daerah itu berbatas dengan Samudera Hindia, sebelah Timur dengan sebagian pegunungan Bukit Barisan yang berakhir pada Batee Puteh, terpisah dari daerah Pidie dan sebelah Selatan dengan bagian lain daerah pegunungan tersebut yang mendekati dengan Krueng Raba terpisah dari daerah-daerah kenegerian pantai Barat Aceh.

Luas seluruh daerah diestimasi lebih kurang 25 mil geografis. Melihat bentuk konfigurasinya, daerah Aceh Besar dapat dianggap sebagai sebuah segi tiga dengan bagian-bagian pegunungan Bukit Barisan sebagai sisi tegaknya. Sisi ini menutupi sebuah sungai yang dinamakan dengan Krueng Aceh bersama anak-anaknya. Kondisinya yang subur mampu mensejahterakan penduduknya yang hidup dengan mata pen-caharian terutama pertanian dan peternakan. Kesuburan Aceh membuat masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengandalkan usaha peternakan dan peter-nakan.

Kondisi Aceh yang sedemikian rupa dengan berbagai daya tariknya, baik berupa penghasil rempah-rempah karena memiliki tanah yang subur dan secara geografis strategis membuat banyak pihak melirik dan tertarik untuk mengunjungi Aceh dengan ber-

Page 6: 18

vi

bagai motif, baik itu Kolonialisme, wisatawan dan berbagai kalangan apakah itu para intelektual atau pun bukan. Keter-tarikan berbagai kalangan terhadap Aceh membuat banyak orang ingin mengenal dan mempelajari Aceh secara mendalam dan menyeluruh seperti apakah Aceh itu sejak awal sampai sekarang dan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat Aceh. Hal ini dianggap penting untuk melihat kondisi Aceh secara menyeluruh agar gambaran tentang Aceh tidak hanya apa yang terlihat dan diamati secara lahiriah saja namun dapat ditinjau dari berbagai perspektif tentang apakah dan bagaimanakah Aceh itu sendiri.

Ketertarikan berbagai pihak tentang Aceh membuat orang banyak mengkaji tentang Aceh itu sendiri dengan berbagai kepentingan yang dimilikinya. Dari pihak Kolonial misalnya ada C. Snouck Hurgronje yang diutus oleh pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti tentang Aceh. Penelitian ini diguna-kan untuk kepentingan Belanda saat itu yang sedang menjajah Aceh.

Snouck Hurgronje misalnya dalam buku Aceh Di Mata Kolonialisme berusaha untuk memaparkan beberapa kondisi yang terjadi di Aceh ketika itu, misalnya kondisi pendidikan di Aceh. Analisis Snouck bahwa praktik tiga cabang ajaran Nabi Muhammad dan studi pendahuluannya di Aceh terdeskripsi dengan jelas.

Pendidikan Islam di Aceh menurut Snouck, sama halnya seperti di tempat-tempat lain yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, pada hakekatnya hanya ada satu jenis ilmu atau pengajaran (Aceh: èleumeè’, dari kata Arab ‘ilmu), meliputi segala sesuatu yang harus dipercayai/diyakini dan dilaksana-kan orang sesuai dengan kehendak Allah seperti diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ilmu ini diarahkan untuk mencapai cita-cita yang tinggi dan mulia serta praktis, yakni memung-

Page 7: 18

vii

kinkan manusia hidup demikian rupa menyenangkan Tuhan agar membukakan kepadanya pintu menuju keselamatan yang abadi. Di samping itu, semua ilmu lainnya dianggap mempunyai hierarkhi yang lebih rendah dan hanya berfungsi untuk mencapai cita-cita duniawi, baik yang dibenarkan maupun yang dilarang oleh Hukum Yang Maha Suci. Pada masa Nabi Muhammad dan tidak lama sesudahnya, ajaran yang tunggal ini sangat sederhana dan ruang lingkupnya relatif kecil. Tetapi sejarah perkembangan Islam segera melahirkan perbedaan-perbedaan paradigma dan menciptakan doktrin-doktrin baru sehingga ensiklopedi ajaran Nabi Muhammad memperoleh proporsi yang terhormat, dan para guru walau barangkali berkeinginan lain terpaksa memusat-kan energi pada satu subyek tunggal saja. Untuk mendapatkan pemahaman seperlunya terhadap ensiklopedi ajaran Muhammad kita harus mendalami gambaran-gambaran pokok dari sejarah komposisinya.

Kondisi pendidikan Islam yang digambarkan oleh Snouck di Aceh ketika itu yaitu tentang hierarkhi pendidikan yang diterapkan di Aceh. Tingkatan/hierarkhi pendidikan yang dilaksanakan yaitu dengan belajar al-Qur’an terlebih dahulu sebelum belajar pelajaran agama lebih lanjut. Pembelajaran al-Qur’an merupakan pendidikan dasar yang dilakukan dengan berbagai pendekatan dan metode agar mudah memahami isi dan kandungan al-Qur’an itu sendiri. Metode yang digunakan yaitu dengan praktik ilmu tajwid dengan cara melafalkan huruf-huruf bahasa Arab agar memudahkan dalam membaca al-Qur’an nantinya.

Proses pengajaran dan penguasaan dalam membaca al-Qur’an dilakukan dengan cara penguasaan huruf-huruf Arab dengan bantuan papan tulis kecil dari kayu (loh), mereka diberi bagian terakhir dari 30 juz (Aceh: juih) al-Quran, ditulis dan dicetak secara terpisah, serta dibacanya di bawah bimbingan guru

Page 8: 18

viii

pengajian (ureueng pumubeuet atau guree). Bagian ini disebut juih ‘ama dari kata awalnya, dan bagian berikutnya juih taba dari dua suku kata pada kata awalnya. Dalam susunan kurikulum, juih taba mendahului juih ama. Setelah guru merasa puas atas pengejaan dan pengajian kedua bagian ini, barulah murid mulai membaca seluruh isi al-Quran, sejak al-Fatihah (Doa Tuhan menurut Islam) sampai akhir surat ke-I 14.

Proses pendidikan agama selanjutnya setelah seseorang dianggap mampu membaca al-Qur’an sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid, maka pendidikan selanjutnya mempelajari hukum-hukum tentang ajaran Islam, akidah dan akhlaq dengan mempelajari kitab Arab-Melayu seperti kitab Sirat al-Muttaqin yang berisikan hukum-hukum dalam Islam. Tingkatan pen-didikan agama Islam yang didalami orang Aceh tidak hanya berhenti pada mempelajari kitab-kitab Arab-Melayu, namun tingkatan yang mempelajari kitab Arab Melayu kebanyakan orang awam (masyarakat umum), sedangkan tingkatan yang lebih mahir dengan mempelajari kitab-kitab fiqh berbahasa Arab secara umum karangan madzhab Syafi’i seperti kitab Min-haj al-Talibin karangan Nawawi (Aceh: Mènhot) dan berbagai kupasannya seperti Fath al-Wahhab (Aceh: Peuthowahab), Tuhfah (Aceh: Tupah) dan Mahalli (Mahali) sangat pupuler. Pendidikan tingkatan ini dilakukan di balai-balai pengajian yang diberikan oleh teungku-teungku (guru pengajian).

Gambaran Snouck Hurgronje tentang kondisi pendidikan dan kepedulian masyarakat Aceh terhadap ajaran Islam saat itu sangat besar, di mana masyarakat umumnya benar-benar men-jalankan pendidikan agama dengan baik sehingga dapat meng-ikuti ajaran Islam dengan baik dan pemahaman yang baik pula. Apa yang telah diteliti oleh Snouck selama di Aceh sebenarnya tidak hanya masalah kondisi pendidikan Islam di Aceh saja saat itu tetapi banyak lainnya, dalam pengantar ini hanya digambar-

Page 9: 18

ix

kan sedikit penelitian Snouck Hurgronje.Pengkajian dan penelitian tentang Aceh terus terjadi dari

berbagai perspektif dan tujuan, baik yang bersifat penemuan, pengembangan maupun penerapan dari kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Pengkajian dan penelitian yang di-lakukan baik untuk kepentingan akademik (penelitian tesis dan disertasi) maupun non akademik. Untuk kebutuhan akademik, misalnya penelitian disertasi yang dilakukan oleh seorang maha-siswa yang berasal dari Aceh pada tahun 2009 mengkaji tentang “Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX”. Dalam penelitian ini penulis berusaha meng-ungkapkan dan mengangkat wacana intelektual yang terjadi dan berkembang saat itu tentang adanya harmonisasi antara syari’ah dengan tasawuf dan berbagai pergumulan intelektual yang ter-jadi ketika itu. Sehingga dengan adanya penelitian tersebut dapat memberikan informasi baru dan menambah literatur yang pernah ada sebelumnya.

Ketertarikan berbagai pihak untuk mengkaji tentang Aceh tentu saja akan menjadi nilai tambah dan pengayaan informasi tentang Aceh sehingga akan memotivasi peneliti-peneliti se-lanjutnya dalam mengungkapkan berbagai informasi-informasi yang masih belum muncul dan terungkap sebelumnya atau pun untuk menguatkan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

Kehadiran buku ini dapat dikatakan sebagai kepedulian penulis untuk menambah khazanah literatur mengenai kebu-dayaan dan sosial masyarakat Aceh yang diibaratkan seperti susunan batu bata dalam sebuah konstruksi bangunan sehingga memperkokoh dan membentuk sebuah karya yang besar untuk masa-masa akan datang. Sehingga kehadirannya memberikan sesuatu yang bermakna dan manfaat bagi masyarakat yang ingin mengetahui Aceh lebih jauh.

Page 10: 18

x

Kehadiran buku yang diberikan nama oleh penulisnya den-gan: Sistem Sosial-Budaya dan Adat Masyarakat Aceh diharap-kan tidak hanya memberikan informasi tentang sistem sosial dan budaya masyarakat Aceh, namun juga dapat memperkaya ber-bagai informasi tentang Aceh saat ini.

Selanjutnya, atas nama editor kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan penulis buku ini dalam proses editing naskah buku agar dapat diterbitkan sebagaimana layaknya. Semoga Allah Swt memberikan manfaat atas kehadiran buku ini dan memberikan balasan kebaikan atas kebaikan kita semua dengan balasan yang lebih baik, amin. Kepada para pembaca, kami ucapkan selamat membaca. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua, amin.

Banda Aceh, Mei 2012

Editor,

Dicky Wirianto, MA., dan Maimun Fuadi, M. Ag

Page 11: 18

xi

PENGANTAR PENULIS

Buku ini berjudul “Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh” merupakan upaya memperkaya bahan bacaan bagi komunitas Aceh pada umumnya dan para maha-siswa pada khususnya. Terutama bagi masyarakat yang ingin mendalami lebih jauh tentang budaya dan adat Aceh.

Tujuan penulisannya adalah memberikan pemahaman tentang wujud sistem sosial dan budaya serta adat dalam masyarakat Aceh. Sejalan dengan perkembangan masyarakat, adat tumbuh dan berkembang secara dinamis yang prosesnya melahirkan suatu bentuk budaya (a form of culture). Biarpun antara kata budaya dan kata adat diambil dari unsur yang ber-beda, namun terdapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa budaya itu sama saja dengan adat. Keduanya lahir dari karsa masyarakat yang terjadi secara berulang-ulang.

Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, sastra, lukisan, nyanyian, musik dan kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologi dari sistem penge-tahuan masyarakat. Sistem simbol dan epistemologi juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial dan seluruh perilaku sosial. Hanya saja perlu diketahui kepercayaan yang dalam arti keyakinan pada yang ghaib dalam masyarakat Aceh bukanlah budaya, sehingga jika terdapat kepercayaan-kepercayaan, cara-

Page 12: 18

xii

cara yang berlaku dan sikap-sikap dan hasil kegiatan kelompok masyarakat dan ternyata bertentangan dengan akidah Islamiah tidak akan dianggap budaya dan adat Aceh yang sesungguhnya.

Dengan demikian, budaya dan adat merupakan perlam-bang nilai dan konsep tentang kehidupan masyarakat yang sarat nilai perlu dikaji dan dilestarikan untuk generasi selanjutnya. Transmisi dan transformasi nilai-nilai budaya-adat itu sangat perlu, lebih-lebih pada zaman globalisasi seperti sekarang ini di mana setiap saat akan terjadi perubahan yang dapat mengancam nilai-nilai budaya lokal.

Jika upaya pelestarian budaya-adat tidak dilakukan secara sistematis dan konsisten, maka dikhawatirkan akan terjadi pe-rubahan nilai-nilai, budaya-adat istiadat kita bahkan akan meng-alami degradasi pada generasi berikutnya. Untuk mengatasi hal itu, jauh hari para leluhur telah mengingatkan dalam sebuah hadih maja Aceh “matee aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita” (meninggal anak jelas pusaranya, hilang adat kemana hendak di cari). Ungkapan ini bukan hanya slogan puitis yang indah semata dan kosong akan muatan nilai, namun hal itu mer-upakan suatu pernyataan yang mempunyai nilai-nilai filosofis yang perlu direnungkan.

Pengembangan sistem sosial, budaya dan adat istiadat tidak dapat dipisahkan dari kultur dan religiusitas ke Islaman. Islam dalam tatanan masyarakat Aceh bukan saja dipahami se-bagai agama, tetapi sekaligus sebagai kebudayaan (tamaddun). Ia merupakan suatu sistem universal dan total (holistik) yang mencakup dan menyentuh segenap aspek kehidupan manusia. Artinya sistem sosial, sistem nilai budaya dan adat yang dikem-bangkan di Aceh harus didasari pada nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Islam. Nilai-nilai budaya Aceh itu sendiri dijiwai dan diilhami oleh semangat ajaran Islam.

Masyarakat Aceh menganggap bahwa adat istiadat itu

Page 13: 18

xiii

diperbuat dan diatur oleh raja-raja di Aceh di zaman-zaman yang lampau. Zaman terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam (Sul-tan Ali Mughayatsyah: 1511 – 1530 M dan Sultan Iskandar Muda, zaman keemasan Aceh 1607-1636 M). Penataan dan penguatan adat pada masa dua kesultanan ini telah menerap-kan prinsip-prinsip penegakan “adat dan hukum”. Sultan dan Qadhi kesultanan dalam kepemimpinannya lebih memfokuskan diri pada pengurusan persoalan-persoalan besar saja, sementara masalah-masalah kecil lebih banyak dilimpahkan pada pemerin-tahan tingkat “mukim”.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Aceh meng-gunakan ajaran-ajaran Islam selaku pedoman yang harus di-taati dengan sungguh-sungguh, karena dapat mensejahterakan-nya baik duniawi maupun ukhrawi. Para sultan yang berkuasa dahulu membentengi ajaran-ajaran Islam itu dengan adat Aceh dan tidak tanggung-tanggung, sehingga berjalan baik dan mudah.

Pemimpin Aceh dahulu menghormati ulama-ulamanya, karena dapat dikatakan bahwa merekalah yang mengendali-kan sebagian besar adat dan hukum dalam wilayahnya masing-masing. Sebaliknya dalam kehidupan generasi sekarang ini para ulama tidak lagi didengar fatwa-fatwanya, para tokoh adat dan pengurus kelembagaan adat sudah kurang melaksanakan adat (praktik adat).

Apabila kita perhatikan dalam kehidupan masyarakat Aceh dewasa ini, pelaksanaan adat istiadat telah memudar di kalangan masyarakatnya. Berbicara masalah adat atau tradisi yang ber-laku dalam suatu masyarakat, berarti juga ikut mengupas perihal larangan atau hal-hal yang dilarang tersebut. Salah satu larangan dalam masyarakat Aceh adalah pantangan. Pantangan adalah suatu hal yang dianggap tabu oleh masyarakat atau “seumaloe” yang berarti suatu perbuatan yang tidak layak dikerjakan dan

Page 14: 18

xiv

biasanya berakibat kurang baik apabila dipaksakan.Pada dasarnya berbagai bentuk pantangan (tabu) yang

dikenal dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya berbagai tradisi atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Aceh berkaitan dengan ajaran Islam. Kebudayaan Aceh dan adat Aceh diwarnai oleh ajaran-ajaran Islam. Namun demikian, pengaruh yang telah berakar sebelum masuknya Islam terkadang masih juga kelihatan. Hal ini terlihat baik dalam adat istiadat, kebiasaan, kesenian maupun bahasa.

Penulisan buku ini merupakan langkah awal bagi penulis dalam menggali masalah sistem sosial-budaya dan adat masyarakat Aceh. Budaya dan adat Aceh yang bernuansa Islami dapat mem-berikan semangat bagi masyarakat Islam di Aceh pada umumnya. Penyajian buku ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran serta sumbangan pikiran yang bersifat kon-struktif sangat terbuka. Semoga buku ini menjadi bahan rujukan bagi pembaca yang mencintai budaya dan adat masyarakat Aceh dan juga bagi komunitas ilmu sosial dan budaya pada perguruan tinggi di Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Bapak Drs. H. A. Malik Raden, MM yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil yang dengan dukungan beliaulah buku yang ada di tangan pem-baca ini dapat diterbitkan. Selanjutnya ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Istri tercinta Dra. Hj. Ummiyah A. Thalib dan anak-anak tersayang (Ita, Iqbal, Ira dan Aan) yang terus menerus mendukung penyelesaian tulisan ini. Seterusnya penulis juga ucapkan terima kasih kepada Prof. Drs. H. Yusny Saby, MA. Ph. D dan Prof. Dr. H.M. Hasbi Amiruddin, MA yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mengoreksi dan mem-berikan pengantar buku ini. Selanjutnya ucapan terima kasih

Page 15: 18

xv

juga penulis sampaikan kepada Sdr. Dicky Wirianto, MA dan Maimun Fuadi, M. Ag yang telah bersedia menjadi editor buku ini sehingga menjadi sebuah karya seperti yang terlihat di tangan pembaca.

Banda Aceh, Mei 2012Penulis,

Drs. M. Jakfar Puteh, M. Pd

Page 16: 18

xvi

Page 17: 18

xvii

PENGANTAR“ADAT ACEH DAN KEGAMANGAN

MASYARAKATNYA”

Prof. Dr. H. M. Hasbi Amiruddin, MA

1. Pendahuluan

Kendatipun asal etnis Aceh belum disepakati dari mana asalnya oleh para sejarawan tetapi sejak Islam masuk ke Aceh masyarakat Aceh telah berusaha menyesuaikan adat kehidupan-nya dengan agama yang dipeluk yaitu Islam. Perlu diberi catatan bahwa adat yang dimaksudkan di Aceh tidak sama dengan penger-tian biasa. Adat di Aceh kedudukannya hampir setingkat dengan hukum. Ini sering didefinisikan dengan sebuah ungkapan “Adat ngen hukom lagei zat ngen sifeuet” (Adat dan hukum seperti zat dan sifat), maksudnya tidak dapat dipisahkan.

Praktek adat semacam ini dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dahulu dari rakyat kecil sampai raja-raja. Berbagai sisi kehidupan masyarakat telah diusahakan untuk diisi dengan ruh ajaran Islam. Kendatipun dalam beberapa hal praktik adatnya seakan akan merupakan peninggalan dari adat budaya masyarakat agama lain tetapi substansi ruhnya telah dirubah sehingga menjadi sesuatu amal yang dapat dianggap menjadi suatu amal kebaikan. Setidak-tidaknya jika dilihat dari segi pembagian hukum dalam Islam amal tersebut menjadi mubah, tetapi dari sisi kehidupan masyarakat menjadi suatu yang ber-manfaat. Misalnya seperti acara peusijuek, kendatipun banyak

Page 18: 18

xviii

orang berpendapat bahwa adat seperti itu berasal dari agama Hindu, tetapi unsur-unsur kepercayaan Hindu telah dibuang dan diganti dengan sistem kepercayaan dalam Islam.

Jika kita telusuri pada sejarah bagaimana Islam dibawa ke Aceh, itu merupakan salah satu metode pendekatan kepada anak negeri sehingga Islam datang ke Aceh tidak melalui kekerasan tetapi dengan suatu pendekatan yang damai. Para ulama Islam tidak mengikis budaya anak negeri yang telah dianut ratusan tahun dan telah menjadi bagian dari kehidupannya. Hanya saja filosofi dari kegiatan tersebut, dari demi penyembahan sesuatu yang lain ke tujuan penyembahan Allah pencipta alam semesta ini.

2. Masyarakat Aceh dan Pewarisan AdatDalam praktik sehari-hari kehidupan rumah tangga

masyarakat Aceh telah berusaha mengisi semua sisi kehidupan-nya dengan ruh-ruh Islam. Hal ini telah diusahakan sejak dini oleh orang tua si anak, misalnya seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu di rumah terhadap anak-anak mereka. Ketika ibu mulai hamil mereka sudah mulai memperhatikan kandungannya, misal-nya dengan menahan dirinya dari suka berkata yang tidak baik, sebaliknya mulai banyak membaca al-Qur’an, berselawat, ber-wirid, berzikir dan berdoa. Kadang-kadang juga ibu suka ber-bicara dengan kandungannya dengan mengharapkan sesuatu yang baik. Ketika anak sudah lahir, mereka mulai mengajarkan kalimat-kalimat tauhid. Misalnya ketika ibu-ibu mengayun-kan anaknya (meninabobokkan) di ayunan selalu menyanyikan syair-syair yang bernuansa tauhid atau akhlak. Contoh syair di antaranya:

Lailaha illallah, kalimat taibah pangkai tamate(Lailaha illallah, kalimat taibah bekal kita meninggal)Bagah rayeuk aneuk lon cedah, pubuet ibadah ke payong

Page 19: 18

xix

page(cepatlah dewasa anakku yang pintar, untuk beribadah

agar dapat menjaga diri) Allah hai do kudoda idang, seulayang blang ka putoh

taloe(Allah, hai anakku dalam ayunan, layang-layang di sawah

sudah putus benangnya)Beu bagah rayeuk po banta seedang, jak peu ek prang bila

nanggroe(Cepatlah dewasa anakku sayang, untuk berjuang bela

Negara dan agama)

Ketika anak sudah mulai makan minum, ibu mengajak anaknya memulai dengan membaca bismillah. Kebiasaan ini tidak hanya dilakukan ketika memberi makan nasi dengan meyuap atau menyodor minuman air yang biasa diberikan dari makanan yang masak, bahkan ketika memulai memberi susu ASI (Air Susu Ibu) sudah dimulai mengucapkan bismillahir-rahmanirrahim.

3. Adat Memilih JodohKita lihat misalnya adat masyarakat Aceh dalam meminang

jodoh. Kebiasaan masyarakat Aceh ketika ingin mendapatkan pasangan hidup itu diserahkan kepada orang tua untuk memi-lih mana jodoh yang baik untuk dia. Masa-masa sebelumnya malah pernah antara orang tua dengan orang tua mengikat per-janjian lebih duluan ketika anak-anaknya masih remaja. Tetapi kemudian sejalan dengan perkembangan zaman dan sejalan juga dengan ajaran Islam mulai diminta pendapat anaknya yang akan dikawinkan. Selanjutnya dengan semakin banyaknya anak-anak yang keluar dari daerahnya untuk bersekolah, anak-anak muda sudah mulai lebih awal mengenal sendiri calonnya. Tetapi mereka

Page 20: 18

xx

tetap meminta persetujuan orang tuanya.Selanjutnya ketika diadakan peminangan selalu menggunakan

perantara yang disebut seulangke. Ketika seulangke datang untuk meminang pihak calon mempelai perempuan menerima rombongan seulangke secara resmi yang ditemani oleh keluarga dekat dan pimpi-nan serta tokoh desa. Seluruh perjanjian antara kedua belah pihak dis-ampaikan di depan majelis ini, mulai verifikasi calon dara baro, mem-inta persetujuan, penetapan mahar dan waktu nikah dan walimah. Dan yang paling penting adalah disampaikan sesuatu adat bahwa calon linto baro tidak diperkenankan menjemput calon dara baro untuk dibawa-bawa rekreasi sebelum nikah.

Proses selanjutnya adalah acara walimah. Memang aktivitas ini dasarnya adalah ajaran dari hadis Nabi. Ajaran inilah yang kemudian dilestarikan dalam kehidupan masyarakat Aceh sehingga menjadi adat mereka. Hal ini sehubungan dengan tujuan memproklamirkan pada masyarakat bahwa si pulan adalah suami atau isteri si pulan. Ini penting sehingga jelas keluarga tertentu baik dalam menjaga agar tidak terjadi pergaulan bebas maupun dalam menjaga kepastian warisan di kemu-dian hari.

Menikah di masjid disaksikan oleh kerabat dan kolega adalah salah satu adat yang dilakukan dalam rangka memperkuat pengamalan agama selanjutnya. Karena dengan pernikahan yang disaksikan oleh orang banyak sehingga tidak mudah bagi pasangan untuk melakukan perselingkuhan dengan orang lain. Karena pasangan yang menikah tersebut telah dikenal oleh masyarakat ramai. Demikian juga mengam-bil tempat di masjid yang dalam pandangan masyarakat Islam adalah sebagai tempat yang suci sehingga tidak mudah untuk melakukan ses-uatu hal yang tidak suci termasuk untuk melakukan perceraian.

Ketika isteri dari pasangan hamil pada keluarga masyarakat Aceh yang masih kuat memegang adat tidak akan mengadakan per-jalanan jauh lagi karena ingin agar kandungannya itu terus bertahan dalam situasi yang baik. Misalnya ibunya selalu dalam keadaan beriba-

Page 21: 18

xxi

dah dan sering mengulang-ulang membaca al-Qur’an. Demikian juga makanan selalu terjaga yang baik.

Bulan ke lima atau keenam biasanya ibu yang sedang mengandung dikunjungi oleh keluarga suami. Ini merupakan keluarga bahwa kehamilan si ibu itu sah dan resmi serta menda-pat restu dari keluarga. Kunjungan keluarga suami serta bawaan yang dibawanya berupa nasi kulah dan lainnya, artinya mereka memberi tanda turut bersenang hati dan memberi tanda kasih sayang. Selain menciptakan terus kedekatan kedua keluarga, kunjungan ini juga menciptakan semakin yakin dan percaya diri bagi si calon ibu bahwa kelahiran bayinya mendapat dukungan dan menjadi kebahagian semua pihak.

Pada waktu lahir anak, berdasarkan sunnah ayah atau ke-luarga laki-laki mengumandangkan azan kalau yang lahir bayi laki-laki dan akan membacakan iqamat kalau bayinya perempuan. Azan atau iqamat adalah sebagai mengingatkan anak yang lahir tetap menjaga fitrah beragama dan janji dengan Allah karena sudah pernah mengaku Allah sebagai Tuhannya. Sunnah ini hampir dianggap sebagai kewajiban untuk melaku-kannya. Ini terlihat misalnya jika kebetulan ayahnya tidak ada di tempat maka orang-orang yang ada di sekelilingnya mencari orang untuk membacakan azan atau iqamat tersebut.

Aqiqah, selain niat untuk melaksanakan sunnah nabi, hal itu juga berarti sebagai pengumuman kepada kerabat dan masyarakat bahwa pasangan si pulan dengan si pulan telah melahirkan anak yang sah. Sehingga tidak ada yang gelap tentang keturunannya di masa akan datang. Hal ini penting karena berhubungan dengan ber-bagai aktivitas sosial masyarakat di kemudian hari. Seperti telah kita ketahui bahwa nabi sendiri ketika memberi kriteria seseorang perempuan yang dipilih menjadi jodohnya, salah satu diantara yang harus diperhatikan adalah keturunan.

Bagi masyarakat Aceh masa lalu “jak jok beut” (meng-

Page 22: 18

xxii

antar ke pengajian) adalah sudah mengadat. Buktinya jak jok beut itu dilakukan secara resmi dengan suatu tatacara yang telah mengadat pula. Misalnya ketika anaknya diantar dan diserahkan kepada teungku dilakukan dengan upacara peusijuk dan mem-bawa nasi ketan. Dan diterima dengan sama-sama berdoa untuk anak yang diantar itu mempercepat bisa dengan mencerdaskan hatinya.

Ketika anak sudah mampu membaca al-Qur’an dengan baik dan biasanya dia akan pindah untuk membaca kitab, itu di-adakan khatam Quran secara resmi seperti juga tatacara ketika memulai pengajian. Khatam al-Qur’an kadang juga dilakukan ketika anak mau menikah atau mau melaksanakan peresmian perkawinan.

Meudagang telah menjadi suatu adat yang sangat populer di kalangan anak muda masyarakat Aceh. Kalau umurnya sudah mulai menanjak dewasa, mereka akan merasa malu kalau belum berangkat untuk meudagang yaitu pergi menuntut ilmu agama secara mendalam. Sehingga bagi anak muda yang tidak hobbi meudagang, mereka tetap pergi walaupun untuk jangka waktu yang singkat agar tidak dikatakan sebagai anak yang tidak ber-pendidikan.

Demikian juga adat yang telah terbentuk dalam masyarakat pada rumah/ tempat orang meninggal dunia. Masyarakat akan mengunjungi pada hari meninggal, memberi sedekah, meng-kafani dan melaksanakan shalat janazah serta mengantar ke kubur dan berdoa bersama. Di sebagian masyarakat juga melakukan samadiyah dan tahlil baik di rumah atau di masjid. Sebagian masyarakat juga melaksanakan kenduri pada hari ketiga, kelima, tujuh, sepuluh, tiga puluh, empat puluh empat dan seratus hari. Secara umum masyarakat Aceh juga mengada-kan kenduri tahunan. Kendatipun kenduri ini bukan dari sunnah tetapi sudah menjadi adat bagi masyarakat Aceh. Soal manfaat

Page 23: 18

xxiii

adalah tergantung cara memandangnya.Adat aslinya yang sudah menjadi sikap hidup masyarakat

Aceh adalah menghormati tamu. Menghormati tamu diekpresi-kan dengan menerima tamu dengan senang hati dan ramah tamah. Ramah tamah tidak hanya ditunjukkan dengan sikap wa-jah berseri tatapi juga dengan menghidangkan minuman yang kadang-kadang juga dengan makan serta memberi kesempatan menginap di rumahnya.

Dalam hal aktivitas bisnis bukan hanya terus menjaga ke-jujuran sebagaimana anjuran nabi bahkan dilakukan ijab kabul. Agaknya beberapa pedagang di Aceh sampai sekarang masih ada yang melakukan ijab kabul dengan menyebutkan barang untuk anda uang untuk saya.

Menghormati orang tua, terutama sekali orang tua sendiri. Ini dilakukan di antara lain dengan selalu mencium tangan ketika bertemu atau hendak berpisah. Termasuk pada hari-hari besar Islam yaitu pada hari raya puasa (idul fithri) dan pada hari raya haji (idul adhha). Demikian juga ketika duduk bersama, anak-anak tidak akan duduk lebih tinggi dari orang tua misalnya duduk di atas kursi sedangkan orang tua duduk di atas lantai.

4. Kegamangan Masyarakat Aceh SekarangAgaknya masalah perjodohan tidak menjadi perhatian

serius lagi pada zaman sekarang dalam artian peran orang tua. Orang tua tidak lagi sebagai penentu baik atau tidak calon jodoh anaknya. Bukan hanya tidak lagi dicari oleh orang tua, hampir-hampir kesempatan untuk menilik saja tidak ada lagi. Hal ini memang kadang-kadang membawa efek negatif. Misalnya perkawinannya tidak bertahan lama, atau satu diantara keduanya atau harus menerima penderitaan. Atau tidak begitu harmonis-nya hubungan di antara kedua keluarga.

Page 24: 18

xxiv

Karena jodoh tidak lagi ditentukan oleh keluarga sehingga pergaulan diantara anak anak muda juga tidak dapat dikontrol lagi oleh para orang tua. Hal inilah yang telah membuat sekarang tidak begitu sakral lagi sebuah perkawinan. Karena tidak lagi dijaga oleh adat sehingga sangat mudah terjebak pada pelanggaran ajaran agama

Karena tidak berperan lagi para orang tua termasuk orang tua kampung sehingga sebahagian dari anak muda begitu bebas bergaul dan karena itu mudah sekali jatuh hati, dan lalu berdeka-tan tanpa suatu tujuan bahwa suatu waktu itu akan menjadi jodohnya. Pergaulan seperti ini kemudian dapat berakibat kecela-kaan – melahirkan keturunan tanpa nikah - sehingga tidak dapat diketahui dengan jelas sebenarnya siapa keluarganya.

Karena generasi tidak dipersiapkan dengan baik melalui sebuah proses pendidikan termasuk melalui nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah adat yang dianut, muncullah gen-erasi serba enteng. Setelah berkeluarga tanpa ada suatu kon-sep bagaimana keluarganya harus dibina. Orang tuanya tidak pernah merasa bertanggung jawab pada agama dan akhlak anaknya. Mereka merasa bertanggung jawab hanya pada memberi makan dan pakaian saja. Itulah yang menyebabkan munculnya generasi tanpa suatu cita-cita.

Fenomena ini misalnya dapat kita lihat betapa para orang tua sekarang tidak begitu perhatian pada “neubeut” (pengajian agama) anaknya. Para orang tua tidak merasa bersalah dan tidak malu jika anaknya tidak bisa mengaji. Dan tidak ada lagi kese-riusan seperti dulu diantar mengaji ke rumah teungku dengan adat memulai dengan pesijuk dengan ketan dan menyerah-kan anaknya kepada teungku untuk dididik dengan baik demi memahami agama. Hampir tidak pernah lagi ditandai khatam al-Qur’an bagi anak yang telah menamatkan al-Qur’an. Peng-entengan pada pengajian agama anak-anak telah mengakibatkan

Page 25: 18

xxv

pada perubahan sikap dan akhlak anak. Hal ini dapat kita lihat misalnya pada sikap kejujuran dan juga penghormatan pada orang tua.

Ketidak pedulian para orang tua yang kemudian beraki-bat pada tidak begitu disiplin lagi dalam kegiatan jak beut yang mengadat sehingga anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi dan itu tidak ada larangan dari orang tuanya. Se-bagian orang tua malah nonton sinetron bersama anaknya yang dibawah umur. Demikian juga ketika anaknya ke internet yang masih sangat remaja tidak ada kontrol dari orang tuanya. Saya pernah melihat anak-anak seumur SD duduk diinternat rental, tanpa ada orang tuanya.

Mungkin itulah puncaknya bagi anak-anak muda seka-rang dengan mudah menghabiskan waktunya di warung dan kafe (warung kopi). Selama ini di Aceh juga sudah trend anak-anak muda duduk berlama lama di kafe (warung kopi). Memang mereka sudah setingkat SMA atau mahasiswa. Ini jauh sekali dengan adat orang Aceh biasanya anak-anak remaja seperti ini lebih banyak masih diinginkan belajar di dayah-dayah (pesantren) atau belajar di meunasah-meunasah (mushalla) atau di rumoh beut (tempat pengajian) sambil membantu orang tuanya. Walaupun sebenarnya mereka sebagiannya masih belajar di Perguruan Tinggi tetapi apa faedahnya duduk berlama-lama di warung kopi. Kalau memang ingin mencari data di internet tidak perlu menghabiskan waktu ber jam-jam. Disinyalir sebagian di antara mereka berjudi melalui internet.

Sebagian anak muda juga sudah mulai duduk di warung lesehan dipinggir jalan bersama pasangan bahkan tidak meng-hormati waktu-waktu shalat dan ada diantara mereka duduk sampai larut malam. Hal ini selain akan mudah sekali melaku-kan pelecehan pada waktu shalat yang masih sangat dihormati oleh orang-orang tua di Aceh, mereka juga sudah tidak meng-

Page 26: 18

xxvi

hormati lagi orang tua. Artinya mereka melakukan sesuatu yang sangat tidak layak di depan orang tua kendatipun bukan orang tuanya sendiri.

Kalau dulu anak-anak atau anak remaja atau pemuda selalu menghormati orang tua, sekarang agaknya sudah sangat kurang. Hampir tidak terlihat lagi misalnya anak-anak muda memberi salam ketika ketemu orang tua atau sedikit menunduk ketika melewati orang tua bahkan termasuk gurunya.

5. Kesalahan dalam Mendidik (Orang Tua)Melihat pada fenomena yang terjadi pada generasi muda

yang sebagiannya sekarang telah menjadi orang tua bahwa mer-eka tidak lagi memperhatikan adat dan budaya masyarakat Aceh yang sebenarnya adalah pemelihara agamanya (Islam), kesala-han terbesar adalah pada orang tuanya.

Pertama kurang ada waktu untuk memberi perhatian bagi anak-anak mereka. Berbagai sebab yang menyebabkan mereka kurang memberi perhatian. Yang paling sering adalah kesibukan dalam mencari nafkah. Karena tuntutan zaman mereka harus mencari nafkah dengan sungguh-sungguh untuk mencukupi keperluan yang semakin banyak keperluannya. Kendatipun sebenarnya itu bukanlah alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. Karena kewajiban mencari nafkah dengan kewajiban mendidik anak agar menjadi pribadi yang baik adalah sama. Karena kedua-dua itu merupakan amanah Allah.

Kedua, tidak ada jiwa kepemimpinan. Mungkin karena tidak dipersiapkan oleh orang tuanya dalam bidang ilmu dan tanggung jawab dan mungkin juga sebuah perkawinan yang tidak direncanakan sehingga para orang tua dari anak-anak itu tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Orang tuanya tidak pernah mem-berikan suatu arahan bagaimana seharusnya anak-anak bersikap dan untuk apa hidup ini serta ke mana perjalanannya selanjut-nya sehingga anak-anak juga tidak tahu apa yang seharusnya

Page 27: 18

xxvii

dilakukan. Ayahnya tidak pernah sekalipun bertindak menjadi imam shalat di rumah sekaligus memimpin doa bersama. Ibunya juga tidak pernah duduk di samping anaknya mengajarkan dia mengaji dan berdoa untuk kebaikan dalam kehidupan.

Ketiga, mengutamakan materi. Orang tuanya telah men-dahulukan kepentingan materi dibandingkan pada agama seh-ingga adat dan budayanya pun dikesampingkan. Sejak mulai memilih pendidikan, memilih pekerjaan sampai pada penilaian kesuksesan seorang anak. Nilai sukses mereka hanya dianggap pada kemampuan mengumpulkan materi bukan pada menjadi orang yang berkepribadian.

Seharusnya orang tua menyesuaikan sikapnya dengan doa yang selalu di ucapkan yaitu: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami (anak) sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi yang ber-taqwa.”

Bagaimana anak-anak kita akan menjadi penyenang hati kalau kita tidak memberi perhatian pada mereka. Kalau kita tidak menyediakan waktu untuk mengajar dan mendidik mereka. Bagaimana mereka dapat kita harapkan menjadi orang-orang bertaqwa dan kita sebagai imamnya kalau kita tidak pernah bertindak sebagai imam baik dalam arti ibadah seperti imam shalat maupun dalam arti sosial kita sebagai contoh tela-dannya. Karena itu banyak sekali adat masyarakat Aceh yang di-warisi oleh orang tua kita yang sangat perlu kita perhatikan. Adat Aceh seperti sudah dijelaskan adalah penjaga agama, sehingga apabila kita masih dapat menjaganya itu berarti kita akan dapat menjaga generasi kita dari kedangkalan dalam beragama. Buku yang ditulis oleh saudara Drs. M. Jakfar Puteh, M.Pd dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry ini sebagai pegangan/rujukan bagi para peminat dalam memahami, mendalami tentang sistem sosial budaya dan adat masyarakat Aceh. Belum banyak buku tentang masalah adat dan budaya masyarakat Aceh yang ditulis

Page 28: 18

xxviii

oleh ilmuan-ilmuan kita dengan harapan buku ini dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya. Harapan saya ke depan untuk lebih banyak lagi ilmuan-ilmuan sosial untuk menulis buku tentang Aceh umumnya dan masalah sosial budaya dan adat Aceh khususnya. Pada saatnya kita semua mengharapkan akan memiliki generasi yang cinta budaya dan adatnya yang pada gilirannya semua kita mengharapkan akan memiliki generasi yang fiddunya hasanah wal akhirati hasanah. Semoga saja.

Banda Aceh, Mei 2012

Prof. Dr. H. M. Hasbi Amiruddin, MA

Page 29: 18

xxix

PENGANTAR“APA PENTINGNYA STUDI ACEH”

Oleh: Prof. Drs. H. Yusny Saby, MA. Ph.D

ILetak geografis telah memberi makna penting bagi Aceh

akan keberadaannya. Ianya telah menjadi wilayah perlintasan antar benua dan antar samudra sejak zaman kapal layar dahulu dan bahkan sampai selanjutnya. Walaupun lintasan perjalanan lewat udara terus berkembang pesat dan begitu cepatnya, angku-tan perairan laut nampaknya tidak akan pernah tergantikan. Bahwa letak Aceh yang berada di penghujung barat kepulauan Nusantara (archipelago) yang terbujur antara lautan Hindia dan Selat Mala-ka, penghubung dengan lautan Cina Selatan dan perairan lainnya telah membentuk satu pola interaksi ras dan budaya yang sangat kaya. Lebih-lebih lagi sekarang ini dengan dibukanya Terusan Suez pada akhir abad ke sembilan belas, perairan Aceh telah menjadi alur lintasan sangat penting yang menghubungkan antar benua dari Cina sampai Eropa. Posisi strategis ini telah memudahkan, dan bahkan ”mengharuskan” para musafir singgah dan menyentuh daratan Aceh untuk mendapatkan dukungan perjalanan, paling kurang, berupa air dan makanan.

II Sumber alam Aceh yang juga bahagian dari pulau

Sumatera telah juga membuat pendatang harus berperan dalam posisi pedagang. Pedagang pendatang adalah orang-orang proaktif yang jeli dan berani menghadang resiko dalam segala

Page 30: 18

xxx

cuaca dan bencana. Hasil bumi berupa rempah yang berragam jenis sangat digemari oleh pedagang terutama dari Eropah. Lada, kamphor, kayu manis, cengkeh, nilam dan sejenisnya menjadi komoditi utama. Sadar dagang ini telah menggugah orang Aceh giat berproduksi terutama hasil perkebunan dan kehutanan sejak masa yang lama. Penemuan minyak dan gas akhir-akhir ini telah juga memberi makna tersendiri, belum lagi hasil hutan, perikanan dan peternakan. Keberadaan berbagai jenis kekayaan alam ini telah membuat Aceh, dari masa ke masa menarik untuk diketahui, dikun-jungi, bahkan didiami.

IIIEtnis Aceh adalah hasil asimilasi antara pribumi dan pen-

datang yang beragam itu. Ketika para pendatang berlabuh di sebuah daerah pantai, atau dalam muara sungai, yang berjenis kelamin umumnya laki-laki (hanya laki-laki?), untuk satu ke-pentingan atau kebetulan, maka lambat laun ketertarikan kepada lawan jenispun muncul. Lebih-lebih lagi ketika yang datang itu bukan untuk satu dua hari, tapi bahkan sering sampai harus berbulan-bulan untuk menunggu bertiupnya angin pendayung bahtera kembali tiba. Ketika ini terjadi maka sangat wajar walau penampilan warga pribumi pada umumnya masih alami, maka di mata para pedagang, kian hari kian bertambah cantik dan meng-goda hati mereka. Dari kaca mata anak negeri tidak pelak lagi bahwa pendatang dianggap lebih berbudaya dari mereka, pene-rimaan kepada merekapun sangat tinggi layaknya. Maka tidak pelak lagi asimilasi pun terjadi secara alami antara pendatang dan pribumi. Pendatang bukan hanya dari “luar negeri” tapi juga dari wilayah dalam Nusantara ini. Akibatnya perkawinan, baik untuk sementara maupun untuk selamanya pun terjadi. Kalau sekarang kita jumpai ragam tampang orang Aceh dalam ber-bagai tipe: dari yang kulit putih bermata biru sampai kepada

Page 31: 18

xxxi

yang kulit hitam berambut keriting, adalah tidak lain sebagai hasil “produksi” masa lalu yang sangat dinamis itu. Kita lihatlah di Pantai Barat Aceh ada yang berwajah Eropa, di Pidie banyak yang mirip India, di Aceh Besar berpostur Champa dan China, di Aceh Utara bergaya Arab dan bahkan Persia, dan sebagainya. Makanya ketika ada yang menanyakan apakah anda orang “Aceh asli,” jawablah se-cara positif, “ya, benar, saya ini asli campuran, atau campuran asli.” Makanya ketika suatu saat orang ada yang bergurau mengatakan bahwa nama ACEH itu adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa dan Hindi, ada benarnya. Namun dengan mengamati tampilan tampan etnis, pertunjukan seni, ragam budaya, dan aneka rasa makanan yang terdapat di Aceh menunjukkan, bahwa ras Aceh telah ter-bentuk lebih dari empat suku bangsa tadi. Adanya ratusan kata dari bahasa Campa yang terdapat dalam bahasa Aceh (di samping kata-kata yang berasal dari bahasa Sanskirta, Arab, Persia, Cina, Eropa, Melayu, Jawa, menandakan bahwa asimilasi dan akulturasi antara Aceh dengan orang atau bahkan negeri Campa telah berlangsung dalam waktu yang relatif panjang adanya.

IVAgama Islam telah membentuk identitas Aceh sejak

masa awal penyebarannya ke luar jazirah Arab. Namun harus diakui bahwa animisme, dinamisme, Hindu, dan Budha nam-paknya telah duluan mendominasinya. Positifnya adalah bah-wa asimilasi prilaku beragama yang mulanya beragam yang antar agama itu berlangsung damai, tidak ada superior dan inferior. Makanya prilaku bernuansa spiritual yang dianut sebagian orang Aceh seperti peusijuek, peuglah alen, khan-duri blang, khanduri la’ot, teot keumeunyan, seumeumbo (meurajah), manoe Rabu Abeh, dan sejenisnya, adalah juga hasil dari interaksi pemahaman dan pengamalan antar agama dan kepercayaan tersebut. Inilah model dari suatu pola pa-

Page 32: 18

xxxii

cific penetration (penetrasi damai) bukan sebaliknya dengan violent penetration (penetrasi secara kekerasan) yang biasanya berlangsung dengan paksaan dan kekerasan. Mengapa terjadi demikian karena memang sejak awal yang datang sebagai “pem-bawa agama baru” itu bukan kekuasaan, bukan militer, bukan invasi, tapi adalah para pedagang, pengelana, pelaut, sufi wan-derers, yang se mereka itu berada di luar satu hegemoni kekua-saan yang mau mendominasi. Kalau banyak orang tidak sadar percampuran itu adalah karena ia sudah berlangsung lama, turun temurun dan berproses dalam suasana saling menghargai.

VDapat dipahami bahwa prilaku budaya masyarakat Aceh

adalah juga campuran dari asimilasi dan interaksi berbagai suku bangsa dan agama yang mendominasinya. Kita lihat misalnya bahasa Aceh. Sebagaimana sudah disinggung di atas bahwa ber-bagai asal usul kata telah menjadikan bahasa Aceh sebagaimana adanya sekarang, dan ia akan berkembang terus sesuai dengan perjalanan zaman. Akan sampai masanya nanti (atau sekarang-pun??) ungkapan bahasa Aceh masa lalu tidak mampu lagi dipa-hami oleh orang Aceh masa kini. Belum lagi keragaman bahasa Aceh itu sendiri. Dapat saja dipertanyakan apa sebenarnya “ba-hasa Aceh?” Apakah ia sebagai nama identitas bahasa seperti bahasa Inggeris, bahasa Arab? Atau bahasa yang dipakai oleh orang yang berdiam di Aceh? Ini tentu memerlukan studi yang lebih bersahaja. Nyatanya, sampai sekarang, orang-orang yang berdomisili di Aceh telah menggunakan beberapa bahasa yang dominan, antara lain: bahasa Aceh, bahasa Jamee, bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Tamiang, bahasa Kluet, bahasa Fak Fak, ba-hasa Simeulu, bahasa Devayan, dan beberapa bahasa lain secara lokal. Ini tentu tidak termasuk bahasa Indonesia secara menyelu-ruh, dan bahasa-bahasa lokal suku luar Aceh yang secara berkel-

Page 33: 18

xxxiii

ompok sudah tinggal di Aceh sejak waktu yang relatif lama. Semua ini memberi isyarat bahwa Aceh sebenarnya satu wujud keragaman yang sangat kaya substansinya. Untuk itu maka pe-nampilan budaya dapat menjelaskannya. Budaya sulam, bordir, songket yang ada di pantai Barat Aceh, Gayo, Alas, Aceh Besar memberi corak tersendiri. Budaya anyaman tikar di pantai Utara, tanah Alas, dan pantai Barat nampak ragamnya. Jenis penganan yang dihasilkan seperti keukarah, boi, meuseukat, dodoi, wa-jeb, timphan, dan sejenisnya akan lihat variasi dari daerah ke daerah. Belum lagi produk lauk utama, seperti masakan kari den-gan bahan kambing, sapi, ayam, itik menunjukkan variasi dari wilayah ke wilayah. Seni tari seperti seudati, saman, likok pulo, rateb meuseukat, meuratoh, dan sebaginya adalah ungkapan dari ragam budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh yang kaya budaya. Keragaman budaya adalah aset, marta-bat, harga diri, kalau ia dapat dipertahankan dalam kondisi yang lapang, luas, toleran dan dinamis.

Keunikan dan keanekaragaman yang multi aspek itulah, dari letak geografis, asal usul suku bangsa, tasamuh dalam be-ragama, kekayaan sumber alam, dan keanekaragaman budaya, yang telah membentuk satu suku bangsa yang berdinamika relatif “lebih tinggi” dari rata-rata sebahagian penghuni kepu-lauan Nusantara, itulah Aceh. “Dinamika insani” ini telah mela-hirkan kebanggaan tersendiri, sehingga mampu melahirkan satu negeri yang dikenal dan bahkan disegani pada masanya, khusus-nya pada masa kesultanan dahulu kala. Dampaknya ketika pen-jajahan datang menghampiri, tumbuhlah semangat menentang dengan gagah berani, sehingga banyak korban mati. Banda Aceh, Aceh Besar dan sekitarnya adalah “kuburan masal” para pejuang yang datang dari beberapa penjuru Aceh berperang mel-awan kolonialisme. Dinamika ini juga berlangsung terus paling kurang sampai dengan tahun 2005, dengan berakhirnya perten-

Page 34: 18

xxxiv

tangan bersenjata melawan Republik Indonesia yang telah mem-bawa korban nyawa dan harta benda.

Di samping “dinamika insani” ada lagi yang dinamakan dengan “dinamika alami,” khususnya dinamika struktur kulit bumi, yang pada satu saat telah mengakibatkan gempa besar yang membawa tsunami yang juga telah menewaskan ratusan ribu nyawa dan menghancurkan harta benda dalam kriteria ter-hebat berskala dunia. Dinamika alami ini tentu bukan kelebihan tapi mungkin ”keunikan” dan tidak diharapkan lagi bangkitnya, walau bisa saja datang tiba-tiba kapan saja. Dampak kedua di-namika inilah yang juga telah memabawa Aceh dalam perhatian yang besar dari masyarakat dunia. Apakah karena kejengkelan atau kekhawatiran kepada muncul (lagi) dinamika insani yang tidak terkendali atau karena ”belas kasihan” dari musibah tsu-nami. Apapun penyebabnya momentum dikenal dan diperhati-kan sudah ada, tinggal bagaimana suasana positif ke depan dapat terjaga untuk kemaslahatan umat manusia dan dunia.

VIApa yang ditulis oleh saudara Drs. M. Jakfar Puteh, M.Pd.

dalam buku Sistem Sosial Budaya dan Adat Masyarakat Aceh ini adalah satu upaya menggambarkan setiap unsur tersebut di atas, yang, dalam perjalanan sejarah, telah menjadikan satu sistem bu-daya yang masih juga tetap bervariasi. Format bhinneka tunggal ika, atau unity in diversity nyatanya telah dan akan berlangsung terus sesuai dinamika. Dengan memulai kajian tentang asal usul etnik, percampuran budaya, agama, sistem sosial yang begitu komplek, Jakfar Puteh telah menunjukkan keseriusannya dalam mengumpulkan bahan dan menghidangkannya dalam satu rang-kungan bodi tulisan yang lumayan panjang. Buku yang dibagi dalam 10 Bab, yang terdiri dari lebih dua ratus halaman ini, dita-mbah lagi dengan glosari, beberapa lampiran, yang berkaitan

Page 35: 18

xxxv

dengan aturan hukum positif tentang pranata sosial masyarakat Aceh, patut untuk menjadi bahan bacaan dan perbandingan. Paling kurang ia telah berusaha melengkapi apa yang telah ada selama ini, baik dari peneliti lokal, nasional bahkan internasion-al. Harus diakui bahwa dengan dinamika yang beragam ini te-lah memancing inspirasi pengamat, pemerhati, bahkan peneliti, dengan motif apapun, untuk menghasilkan karya-karya lain se-rupa yang sudah mulai bertambah selama ini.

Dalam penyajiannya telaah ini telah, langsung atau tidak langsung, melibatkan beberapa disiplin ilmu, antara lain etnolo-gi, sosiologi, antropologi, sampai kepada sistem fiqh atau pra-nata sosial mu‘amalah. Apa yang didapati dalam kajian ini ada-lah bahwa dalam perjalanan sejarah sosialnya didapati adanya kedinamisan perkembangan budaya orang Aceh, walau mereka juga memiliki keunikan tersendiri. Bahwa keanekaragaman asal usul dan latar belakang budaya orang Aceh telah berkontribusi kepada adanya semangat komunikasi dan toleransi yang mend-unia. Aceh bukan hanya sekedar satu suku bangsa, tapi juga sebagai bagian satu sistem masyarakat dunia yang sadar akan hak dan kewajiban serta kekuatan dan kekurangannya. Boleh jadi, buat sebagian orang, kajian ini berbau stereotype, cendrung mengungkapkan yang baik-baik saja. Padahal dalam realitas tidak demikian adanya. Sesuai capaian, itulah adanya, apa yang didapati baik dalam literatur maupun kehidupan bermasyarakat. Bahwa masyarakat yang unik tadi rupanya juga masih tetap menunjukkan pluralitasnya dalam berbagai penampilan budaya dan pengamalan ajaran agama.

VII

Tiada lain, kita harus mengucap salut dan penghargaan ke-pada penulisnya dan mengharapkan bahwa karya lain sejenis ke

Page 36: 18

xxxvi

depan akan (segera) menyusul pula.

Banda Aceh, Mei 2012Prof. Drs. H. Yusny Saby, MA. Ph.D

Page 37: 18

xxxvii

DAFTAR ISI

Pengantar Editor -------- | vPengantar Penulis -------- | xiPengantar Prof. Dr. H.M. Hasbi Amiruddin, MA ------ | xviiPengantar Prof. Drs. H. Yusni Saby, MA. Ph.D -------- | xxixDaftar Isi -------- | xxxvii

BAB I MASYARAKAT ACEH SEBAGAI SISTEM SOSIAL -------- | 1A. Pengertian Sistem Sosial -------- | 4B. Sosial Kemasyarakatan -------- | 7C. Stratifikasi Sosial -------- | 17

1. Struktur Masyarakat -------- | 182. Masyarakat Aceh -------- | 18

BAB II LEMBAGA ADAT DAN PERANNYA -------- | 21A. Pengertian Lembaga Adat -------- | 22B. Adat Istiadat -------- | 28C. Lembaga Adat dalam Lintasan Sejarah -------- | 29D. Eksistensi dan Fungsi Lembaga Adat -------- | 50E. Bentuk-bentuk Lembaga Adat dan Kegiatannya -------- | 60

Page 38: 18

xxxviii

BAB III PLURALISME MASYARAKAT ACEH -------- | 73A. Pengertian Pluralisme -------- | 73B. Pluralisme Budaya Aceh -------- | 75

BAB IV STRUKTUR DAN PRANATA SOSIAL MASYARAKAT ACEH -------- | 85A. Struktur Budaya, Pranata Sosial Budaya dan Sosial Budaya -------- | 85

1. Pengertian Struktur Pranata -------- | 862. Pranata Sosial Masyarakat -------- | 863. Transformasi Sosial Budaya -------- | 874. Proses Sosial Budaya -------- | 905. Sifat Interaksi Sosial -------- | 91

B. Syarat-syarat terjadinya Interaksi Sosial Hubungan Sosial -------- | 92

1. Adanya Kontak Sosial (Society Contact) -------- | 922. Adanya Komunikasi -------- | 92

C. Macam-Macam Pranata -------- | 931. Pranata Sosial -------- | 932. Pranata Keluarga -------- | 953. Pranata Agama -------- | 964. Pranata Ekonomi -------- | 965. Pranata Pendidikan -------- | 986. Pranata Politik -------- | 99

BAB V PERUBAHAN-PERUBAHAN KEBUDAYAAN ACEH -------- | 101A. Perubahan-perubahan Kebudayaan Aceh -------- | 103B. Penerapan Budaya dan Adat Istiadat Aceh -------- | 109

Page 39: 18

xxxix

C. Pergeseran-pergeseran Budaya dan Adat Istiadat Aceh -------- | 115

BAB VI SISTEM KOMUNIKASI DALAM MASYARAKAT ACEH -------- | 119A. Bahasa Masyarakat Aceh -------- | 119B. Bahasa Aceh -------- | 121C. Macam-macam Bahasa yang Ada di Aceh -------- | 123D. Tatakrama -------- | 127E. Stratifikasi Sosial -------- | 127

BAB VII BENTUK-BENTUK SOLIDARITAS SOSIAL DAN AKAR-AKAR BUDAYA MASYARAKAT ACEH -------- | 133A. Sistem Kemasyarakatan -------- | 133B. Latar Belakang Nilai Sosial Budaya -------- | 137

BAB VIII PROBLEMATIKA PANTANGAN DALAM MASYARAKAT ACEH -------- | 143A. Bentuk-Bentuk Pantangan -------- | 145B. Pengaruh Pantangan Bagi Masyarakat -------- | 156C. Manfaat Menjaga Pantangan Bagi Masyarakat -------- | 157D. Hubungan Pantangan dengan Adat Istiadat -------- | 159

BAB IX SISTEM PELAKSANAAN REUSAM GAMPONG -------- | 161A. Pengertian Reusam dan Asal Usulnya -------- | 161B. Kedudukan Reusam di Aceh Masa Dahulu dan

Page 40: 18

xl

Sekarang -------- | 164C. Tujuan dan Fungsi Reusam -------- | 167D. Reusam Sebagai Sumber Tatanan Sosial Masyarakat di Aceh -------- | 171E. Kelembagaan Adat Mukim -------- | 175F. Lembaga Adat Gampong -------- | 177

BAB X KESIMPULAN DAN HARAPAN -------- | 185

DAFTAR PUSTAKA -------- | 193RIWAYAT HIDUP PENULIS -------- | 201

LAMPIRAN QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 -------- | 205LAMPIRAN QANUN ACEH NOMOR 10 TAHUN 2008 -------- | 221

Indek -------- 259

Page 41: 18

1

BAB IMASYARAKAT ACEH

SEBAGAI SISTEM SOSIAL

Dilihat dari tengah-tengah Indonesia, pada zaman pra-Islam atau zaman modern, wilayah Sumatera di utara

garis khatulistiwa tampak sangat jauh. Penduduk wilayah ini, meski dilihat dari sisi suku bangsa termasuk orang Indonesia, hampir tidak tersentuh oleh peradaban besar Sriwijaya dan Majapahit. Bak sebuah lengan Indonesia yang terjulur ke arah India dan Barat, Sumatera Utara membangun tradisi sendiri yang unik sebagai jembatan antara dua dunia. Namun dari sudut pandang Islam, Sumatera Utara selama lima abad adalah titik pusat kepulauan Indonesia.1

Sudut barat laut Sumatera itu merupakan daratan pertama tempat pedagang India dan Arab yang berlayar mencari harta ke Cina dan kepulauan rempah-rempah menginjakkan kaki. Mereka mendirikan pos perdagangan sejak abad ke-11 dan menjelang akhir abad ke-13 membawa agama Islam dan organisasi politik ke beberapa kerajaan-pelabuhan yang sedang tumbuh di sana. Kerajaan-pelabuhan terbesar adalah Samudra (kemudian Pasai). Kerajaan Samudra tumbuh demikian pesat pada abad ke-14 sehingga namanya dipakai untuk nama seluruh pulau itu.

1Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hal. 1.

Page 42: 18

2

Pelabuhannya sekarang Lhokseumawe selama 150 tahun adalah pelabuhan paling timur pada rute perdagangan Muslim, dan merupakan pusat ilmu pengetahuan dan perdagangan yang paling terkemuka.2

Aceh merupakan sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada wilayah ujung Utara bagian Barat pada 2º-6 º dan 95º-98º Bujur Timur, dengan luas wilayah 57.365,57 km². Pada tahun 2002 masih memiliki 13 kabupaten/kota, namun sesuai dengan dinamika kehidupan sosial politik masyarakatnya pada tahun 2007 telah berkembang menjadi atau terdiri dari 23 kabupaten dan 5 Kota Madya untuk seluruh Aceh dengan jumlah penduduknya lebih kurang empat juta jiwa.3

Dengan berkat Rahmat Allah Swt, Aceh dilimpahkan berbagai kekayaan sumber daya Alam (SDA), baik mineral berupa minyak, gas bumi, emas maupun kekayaan alam berupa hutan kayu, kelapa sawit, kopi, padi dan hasil pertanian lainnya bahkan dahulu Aceh terkenal dengan hasil lada dan karetnya. Selain itu berbagai kekayaan alam seperti batu bara, uap bumi dan tenaga air menjadi bagian dari proses eksplorasi penambangannya yang letaknya sangat strategis di sisi dunia ekonomi global sepanjang lintasan Selat Malaka dan Samudra Hindia yang terbuka luas, sehingga Aceh sangat terbuka dan menjadi bahagian penting terhadap dunia Internasional.4

Untuk memahami sistem sosial masyarakat Aceh, dapat ditelusuri dengan cara memahami sejarah dan asal

2 Anthony Reid, Asal Mula…, hal. 1.3 Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh dalam

Membangun Kesejahteraan, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2008), hal. 1.

4 Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya..., hal. 2.

Page 43: 18

3

usul masyarakat Aceh itu sendiri. Sejarah dan asal usul penamaan kata Aceh sendiri sangat beragam, beberapa catatan sejarah menjelaskan bahwa nama Aceh, boleh jadi berasal dari:

ACA, yang berarti saudara perempuan. Ada yang a. mengatakan berasal dari kata: BA’SI ACEH-ACEH yaitu semacam pohon beringin yang besar dan rindang (sekarang pohon itu tidak terdapat lagi).Pelaut-pelaut asing masa lampau, baik dari Cina, Arab b. atau Barat menyebut macam-macam untuk Aceh seperti Poli untuk bagian Utara Sumatra Utara atau nama Rami, al-Rami dan Lamari.

c. Ada yang menemukan dengan nama Ferlec (Pereula), Basma (Pase), Fansoer (Baroes), Lamori atau Lamoeri (Aceh Besar).Ada pula yang mengatakan bahwa penduduk kerajaan c. Aceh, sebagai penduduk asli datang dari orang-orang beragama Hindu, ada dari Keling, Madras dan Malabar. Kemudian semua orang-orang itu masuk Islam di Aceh. Selain itu, orang-orang Aceh juga berasal dari Arab, Persia, Turki, Mantea dan Batak.

Akibat dari percampuran berbagai suku dan etnis ini, telah melahirkan suatu sistem kehidupan budaya adat dan istiadat di tengah-tengah masyarakat Aceh, sehingga menjadi kultur yang hidup dan berkembang dengan mengalami berbagai proses pertumbuhan seperti sekarang ini. Bermacam ragam budaya adat lahir sebagai implementasi sikap perilaku dalam berbagai kelompok masyarakat di seluruh Aceh, meskipun antara satu daerah dengan daerah lainnya ada bentuk-bentuk yang berbeda, namun tetap dalam bingkai yang penuh dengan nilai-nilai yang Islami.5 5 Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya..., hal. 4.

Page 44: 18

4

Bagi orang Aceh “Adat ngon hukom (agama) lagei zat ngon sifeut”. Adat bersumber dari syara’, syara’ bersumber dari kitabullah (Kitab Allah). Oleh karenanya telah dibakukan dalam narit maja “Adat bak Poeteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana.6

Sekilas riwayat Aceh di bawah pemerintahan Alauddin al-Kahar (1530-1552 M), di mana pembagian masyarakat Aceh pada saat itu lebih dikenal dengan Sukee (Suku) atau Kaom. Orang-orang Mante-Batak asli merupakan Sukee Lhee Reutoh (suku tiga ratus), orang-orang Hindu Kaom Imeum Peut, merupakan orang-orang yang datang dari berbagai tempat (asing) dan yang tinggal menetap disebut Kaom Tok Batee dan yang terakhir barulah muncul Kaom Ja Sandang (Kaum Penyandang), yaitu kaum yang suka menyandang hadiah/pemberian kepada Sultan.7

Pengertian Sistem SosialA.

Sebelum membahas tentang sistem sosial masyarakat Aceh, ada baiknya terlebih dahulu dibahas mengenai pengertian hal-hal yang berkaitan dengan sistem sosial masyarakat Aceh. Pendefinisian sebuah istilah operasional mutlak dibutuhkan guna memudahkan pembaca dalam memahami isi/pesan yang terkandung dalam pembahasan ini.

Suatu sistem mempunyai pengertian tertentu. Ada yang menyebutkan maksud dari suatu sistem merupakan untuk mencapai suatu tujuan (goal) dan ada yang menyebutkan untuk mencapai suatu sasaran (objectives).

6 Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya..., hal. 4. 7 Badruzzaman Ismail, Sistem Budaya..., hal. 2.

Page 45: 18

5

Goal biasanya dihubungkan dengan ruang lingkup yang lebih sempit. Bila merupakan suatu sistem utama, misalnya sistem kemasyarakatan, maka istilah goal lebih tepat diterapkan. Sedangkan untuk sistem budaya, sistem politik, sistem ekonomi atau sistem-sistem lainnya yang merupakan bagian atau subsistem dari sistem kemasyarakatan, maka istilah objectives yang lebih tepat. Jadi penggunaan istilah ini, sangat tergantung pada ruang lingkup dari mana memandang sistem tersebut. Sering kali tujuan (goal) dan sasaran (objectives) digunakan bergantian dan tidak dibedakan.8

Menurut Tatang M. Amirin bahwa istilah sistem berasal dari bahasa Yunani; systema, yang mempunyai pengertian bahwa:

Suatu hubungan yang tersusun atas sekian banyak 1. bagian;Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan 2. atau komponen-komponen secara teratur. Jadi systema itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling keterkaitan secara teratur dan merupakan keseluruhan.9

Dalam perkembangannya, pengertian serupa ini hanya merupakan salah satu pengertian saja, oleh karena ternyata istilah ini dipergunakan untuk menunjuk banyak hal. Tatang M. Amirin memberikan beberapa contoh yang lebih dikenal di Indonesia, antara lain:

Sistem yang digunakan untuk menunjuk suatu a) kumpulan atau himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu bentuk saling hubungan

8 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hal.7 9 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial..., hal. 7.

Page 46: 18

6

atau ketergantungan yang teratur, suatu himpunan bagian-bagian yang tergabung secara ilmiah maupun oleh budi daya manusia sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh dan terpadu. Misalnya sistem tata surya atau ekosistem.Sistem yang digunakan untuk menyebut ala-alat b) atau organ tubuh secara keseluruhan yang secara khusus memberikan andil atau sumbangan terhadap berfungsinya tubuh tertentu yang rumit, tetapi amat vital, seperti sistem saraf.Sistem yang menunjuk sehimpunan gagasan (ide) c) yang tersusun dan terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum, dan sebagainya yang membentuk suatu kesatuan yang logis dan dikenal sebagai sebuah isi pikiran filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu. Sistem teologi Agustinus, sistem pemerintahan demokratik, sistem masyarakat Islam merupakan contoh-contohnya.Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu d) hipotesis atau suatu teori (yang dilawan dengan praktik).Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata e) cara, misal sistem pengetikan sepuluh jari.Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk pengertian f) skema atau metode tata cara. Dapat pula dalam arti suatu bentuk atau pola peraturan, pelaksanaan atau pemprosesan, dan juga dalam pengertian metode pengelompokkan, pengkodifikasian dan sebagainya. Misalnya sistem pengelompokkan bahan pustaka.10

Adapun sosial budaya memiliki pengertian sosial dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan 10 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial..., hal. 8.

Page 47: 18

7

memiliki pengertian segala sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari orang atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Sedangkan budaya, kultur atau kebudayaan merupakan cara hidup atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya sudah tercakup segala hasil cipta, rasa, karsa dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang psikologis, dan spiritual. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.11

Berdasarkan pengertian yang telah disebutkan di atas, maka dapat dipahami bahwa sistem sosial dan budaya adalah; suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin, hukum, adat istiadat yang terdapat dalam sebuah komunitas masyarakat yang tersusun dan terorganisasikan sehingga membentuk suatu kesatuan yang logis dan dikenal sebagai sebuah isi pikiran filsafat tertentu, agama atau bentuk pemerintahan tertentu. Apabila dihubungkan dengan sistem sosial masyarakat Aceh, maka pengertian ini akan memuat seluruh ide, prinsip, doktrin, hukum dan adat istiadat, nilai-nilai sosial yang berlaku (terjadi) dalam masyarakat Aceh kesehariannya.

Sosial KemasyarakatanB. Suku Bangsa1. Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa dan

negara-negara di dunia, masyarakat Aceh pernah memiliki peran sebagai suatu bangsa yang mempunyai pemerintahan 11Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial..., hal. 9.

Page 48: 18

8

sendiri dan berdaulat penuh dalam suatu kerajaan yang terkenal dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam. Mengenai sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh telah menjadi perhatian para ahli sejarah dan antropologi, karena memiliki keunikan tersendiri, namun mengenai hal ini sangat sedikit terdapat keterangan yang menjelaskannya. Snouck Hurgronje menjelaskan bahwa tidak diperoleh bukti sejarah suku bangsa Aceh, sehingga menurutnya bahwa asal-usul suku bangsa Aceh telah sangat diwarnai dengan banyak percampuran dan integrasi etnik.12

Sumber lain menyebutkan bahwa suku bangsa Aceh merupakan salah satu suku yang tergolong ke dalam etnik Melayu atau Ras Melayu. Hal ini dapat dibuktikan dengan suku bangsa Aceh memiliki kemiripan dengan etnik Melayu yang hidup di Nusantara. Selain itu etnik Aceh sering diidentikkan berasal dari bangsa Arab, Cina, Eropa dan Hindustan atau India yang memiliki kesamaan warna kulit dan bentuk wajah dengan orang India dan Timur Tengah.13

Selain itu ada juga yang menyebutkan bahwa penduduk asli Aceh disebut ureung Mante (orang Mante), yang mungkin ada hubungan dengan suku Mantra yang mendiami daerah Selangor dan Gunung Ophir di Semenanjung Tanah Melayu. Namun sejauh mana kemungkinan itu benar masih perlu pembuktian lagi. Tetapi sejauh hal itu belum dapat dibuktikan, pada umumnya orang beranggapan bahwa orang Mante adalah penduduk asli asal daerah Aceh.14

Sebagai pembuktian menurut Snouck

12 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh Bumi Iskandar Muda, (Banda Aceh: Pemerintah Prov. NAD, 2008), hal. 57. 13 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 58. 14 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 58.

Page 49: 18

9

memperbandingkan bahasa Aceh menunjukkan titik perbedaan penting dengan beberapa bahasa daerah yang berdekatan letaknya dengan bahasa Campa dan Bahnar mendekati pembuktian yang berarti, tetapi Snouck mengingatkan bahwa untuk sementara sebaiknya jangan menarik kesimpulan terlebih dahulu tentang kemungkinan adanya pertalian atau kekeluargaan atau hubungan historis antara penduduk Aceh dengan daerah tersebut. Lebih lanjut, Snouck menyebutkan bahwa etnik Aceh juga berasal dari unsur Melayu Keling, dan ini dapat dilihat bahwa sebagian daratan tinggi Aceh Besar (Mukim XXII) didiami oleh orang Keling dan daerah tersebut kemudian diberi nama sesuai dengan penduduk asalnya seperti Lam Alieng.15

Di samping itu, dalam masyarakat Aceh terdapat banyak bahasa yang hidup dan berkembang seirama dengan berkembangnya masyarakat. Namun demikian, bahasa-bahasa yang hidup dan berkembang di Aceh adalah bahasa tutur semata. Bahasa yang banyak pemakainya adalah bahasa Aceh pesisir. Bahasa Aceh pesisir atau bahasa Aceh mempunyai kemiripan dengan bahasa Campa dari Indo Cina. Bahasa tersebut hidup dan berkembang sampai saat ini. Bahasa Aceh secara tertulis baru digunakan setelah kerajaan Pasai berkembang. Demikian halnya, penduduk Aceh terdiri dari berbagai etnik yang telah hidup dan berkembang sampai saat ini, misalnya sub-etnik Gayo, sub-etnik Tamiang, sub-etnik Alas, sub-etnik Simeulue dan ada lagi sub-etnik di pedalaman terutama di Aceh Singkil dan pulau banyak.16

John Davis mencatat bahwa di kota Banda Aceh terdapat perkampungan yang dikelompokkan pada tempat

15 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 58-59. 16 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 59.

Page 50: 18

10

tinggal pedagang dan bangsa Asing. Ada Gampong Portugis, Gujarat, Arab, Benggali, Pegu, bahkan terdapat para penyembah berhala seperti orang Hindu. Mereka memiliki tempat peribadatan sendiri. Gampong Cina dan Eropa malah berhimpitan. Perkampungan-perkampungan itu ada pula yang bukan hanya didasarkan kepada asal kebangsaannya, tetapi berdasarkan pada jenis pekerjaan. Hal ini dapat diketahui di Kampung Pande di Aceh Besar kemungkinan sebagai pemukiman para tukang.

Di daerah Aceh pada masa lalu terdapat juga pemukiman yang didasarkan pada status sosial ekonomi, status keagamaan, status kekuasaan dalam pemerintahan. Berdasarkan nama gampong yang sampai sekarang masih dipakai dapat diperkirakan bahwa Gampong Eumperoom dan Bitai adalah tempat kediaman orang Turki dan Arab, Gampong Biduen tempat kediaman para penghibur. Demikian juga dengan tempat kediaman penduduk asing, seperti Gampong Kléng, Peunayông dan Gampong Kedah.

17

John Davis memberitakan adanya perkampungan orang-orang Portugis, Gujarat, Arab, Benggala, dan Pegu, di samping perkampungan Cina. Di samping itu, diketahui pula perkampungan tempat kediaman prajurit pembesar seperti Neusu, Peulanggahan, Merduati dan lain-lain. Sebelum kedatangan kolonial Belanda, kota yang dulunya bernama Bandar Darussalam penduduknya sebagian besar adalah orang Aceh ditambah dengan pemukiman orang Jawa, Keling, Kedah, Cina, Arab, Turki, Melayu, Minangkabau dan lain-lain. Kota ini pada zaman Kerajaan sudah sangat ramai dikunjungi para nelayan lebih-lebih lagi pada masa kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam yaitu pada 17 Darwis A. Sulaiman dkk, Aceh..., hal. 60.

Page 51: 18

11

masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan pengganti-penggantinya sampai ratusan tahun lamanya.18

Agama 2. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Sultan

Mahmud, raja Malaka, telah mengirimkan utusan kepada ulama Pasai untuk menanyakan suatu masalah agama yang diperdebatkan di kalangan para ulama Tansoxania, Irak dan Khurasan, yaitu: barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak menjadikan dan tidak memberikan rezeki sejak azali, maka ia adalah kafir. Sebaliknya juga orang itu menjadi kafir, jika ia mengatakan bahwa Allah tidak menjadikan dan tidak memberikan rezeki sejak azali. Namun jawaban yang diberikan oleh ulama Pasai terhadap permasalahan tersebut sangat memuaskan para utusan Sultan Malaka.19

Selain kehidupan mistik dan pembahasan esoterik terhadap masalah agama yang memang merupakan identitas menonjol dalam kehidupan keagamaan para ulama Pasai, maka segi-segi lain yang bersifat pemikiran dan filsafat juga menjadi objek kajian dan perhatian mereka dalam diskusi-diskusi. Pemikiran keagamaan telah mewarnai pengajian di istana dan kehidupan ulama, dan oleh sebab itulah maka Kerajaan Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain sebagai pusat yang sangat memiliki wewenang dalam menyelesaikan permasalahan yang menyangkut tentang keagamaan. Karena menurut Ibnu Battutah, bahwa kerajaan ini terdapat beberapa jenis disiplin ilmu para sarjana seperti: ahli hukum Islam, para penyair, para hukama’ (ahli filsafat)

18 Darwis A. Sulaiman dkk, Aceh..., hal. 60. 19 Damanhuri Basyir, Tradisi Kehidupan Agama di Aceh Abad XVII, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008), hal. 9.

Page 52: 18

12

dan lainnya.20

Menurut Nuruddin Ar-Raniry, telah datang sejumlah ulama dari Makkah yaitu Muhammad Azhari yang bergelar Syeikh. Syeikh ini mengajar ilmu pengetahuan ma’qulat (metafisika) sampai meninggal dunia di Aceh pada tahun 1630. Pada tahun 1582, yaitu pada masa Sultan Alauddin (1577-1586 M), dua orang ulama datang dari Makkah ke Aceh, yaitu Syeikh Abu al-Khair ibn Syeikh ibn Hajar dan Syeikh Muhammad Yamani. Selain mahir dalam ilmu Syari’at, kedua ulama ini sering berdiskusi tentang ‘ayan tsabitah, yaitu suatu doktrin mistik yang bersumber dari Ibn ‘Arabi. Sebelum itu memang Syeikh Abu al-Khair telah menulis suatu buku yang berjudul al-Saif al-Qati’ (Pedang yang Tajam) yang membahas masalah tersebut.21

Kemudian disusul pula oleh kedatangan seorang ulama dari Gujarat, Syeikh Muhammad Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid Ar-Raniry, yaitu paman dari Syeikh Nuruddin Ar-Raniry. Syeikh Muhammad Jailani memang dikenal sebagai seseorang yang alim dalam bidang syari’at (fiqh), namun kondisi Islam di Aceh saat itu diwarnai oleh filsafat mistik, suatu ilmu yang belum dipelajari selama di India. Ketika kondisi yang begitu sukar dalam menghadapi permasalahan keagamaan di Aceh, membuat Syeikh Muhammad Jailani untuk kembali ke Makkah belajar ilmu tersebut, sehingga setelah kapasitas keilmuannya dirasakan cukup baru kembali ke Aceh untuk menyelesaikan masalah ‘ayan tsabitah yang hangat dibicarakan saat itu. Sifat kehidupan keagamaan masyarakat Aceh saat itu sangat didominasi oleh ajaran mistik dalam kerajaan Pasai pada abad 14 dan 15 masehi dan juga diduga berbagai aliran

20 Damanhuri Basyir, Tradisi..., hal. 10.21 Damanhuri Basyir, Tradisi..., hal. 10.

Page 53: 18

13

tarekat sufi telah berkembang pada saat itu sehingga sangat menentukan jalan kehidupan dan pemikiran keagamaan Kerajaan Aceh Darussalam yang lahir kemudian.22

Sejak masuknya Islam ke Aceh sekitar abad VIII. Agama Islam menjadi sandaran hidup masyarakatnya sampai pada masa-masa kejayaan pemerintah kesultanan terdahulu. Agama Islam sangat mempengaruhi kehidupan rakyat hingga perjuangan melawan Belanda dengan gigih karena mereka beranggapan bahwa Belanda sebagai kafir yang harus diperangi. Maka melawan Belanda berarti mati syahid yang mendapat imbalan syurga kemudian. Setelah kemerdekaan, dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor: XI/MSSI/1959 tanggal, 26 Mei 1959 Provinsi Aceh ditetapkan sebagai Daerah Istimewa terutama dalam bidang Keagamaan, Pendidikan dan Adat Istiadat.23

Sebagai daerah istimewa, Aceh memiliki keistimewaan dalam tiga hal, yaitu adat, pendidikan dan agama. Dalam bidang agama, Provinsi Daerah Istimewa Aceh dikenal dengan sebutan Serambi Makkah, karena perkembangan agama Islam yang cukup menonjol daerah ini. Pengaruh agama Islam juga dirasakan pula oleh seluruh warga di dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama Islam sudah diberikan sejak anak usia prasekolah. Sejak anak berumur 4-6 tahun, para orang tua mulai mengajarkan kepada anaknya tentang agama Islam dengan harapan agar setelah dewasa nanti akan menjadi orang yang taat dalam menjalankan syari’at agama Islam. Apabila orang tua tidak mempunyai waktu yang cukup, maka mereka akan menyerahkan pendidikan agama tersebut pada seorang

22 Damanhuri Basyir, Tradisi..., hal. 10. 23 Rusdi Sufi, dkk., Aceh Tanah Rencong, (Banda Aceh: Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hal. 40.

Page 54: 18

14

Teungku Meunasah. Hal tersebut memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat di daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh untuk mendidik agama Islam pada anak, para orang tua membawa mereka ke Teungku Meunasah.24

Secara umum pengetahuan tentang Islam yang banyak diajarkan di setiap dayah di Aceh termasuk Aceh Besar menganut madzhab Syafi’i. Madzhab ini mulai diajarkan oleh para Teungku kepada muridnya sejak dini. Apabila mereka telah dianggap mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Teungku mereka, maka pilihan selanjutnya agar lebih memperdalam pengetahuan tentang agama Islam adalah melalui belajar tasawuf atau paham sufi yang terdiri dari beberapa aliran seperti aliran Syattariyah dan aliran Naqsyabandiyah. Tasawuf dan pengetahuan ke-Islaman lainnya tentu saja tidak dikuasai oleh orang Aceh secara keseluruhan, namun ada di antara mereka yang sangat minim pengetahuan keislamannya. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti membuat faktor keislamannya menjadi berkurang. Mereka akan sangat tersinggung apabila disebut kafir. Bagi orang Aceh, penyebutan yang demikian hanya akan mengundang kemarahan dan pertengkaran. Islam dianggap sebagai satu kesatuan sebagaimana terungkap dalam ungkapan Aceh yang sangat popular, yaitu “Adat ngon hukom hanjeut cree lagee zat ngon sifeut”, artinya adat dengan hukum syariat Islam tidak dapat dipisahkan seperti unsur dengan sifatnya.25

Pendidikan3. Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak

kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

24 Rusdi Sufi, dkk., Aceh Tanah Rencong..., hal. 40.25 Rusdi Sufi, dkk., Aceh Tanah Rencong..., hal. 41.

Page 55: 18

15

Sultan ke-15 dari kerajaan ini, telah mampu membawa Aceh mendulang kegemilangan dalam bidang politik, pertahanan, ekonomi, sosial budaya dan agama. Keberhasilan Kerajaan Aceh Darussalam menjadi kerajaan besar terletak pada tokoh sentral Iskandar Muda. Ia dikenal sebagai seorang raja yang kuat lagi perkasa, berani, taat, adil dan cinta ilmu pengetahuan.26

Dalam bidang sosial budaya dan agama, Sultan Iskandar Muda telah menciptakan tata aturan dalam kehidupan sosial dan kehidupan keagamaan yang dilestarikan oleh generasi sesudahnya. Pembuatan tata aturan tersebut tidak lepas dari nasihat para ulama yang selalu mendampingi sultan. Dalam kitab Bustanussalatin digambarkan Sultan Iskandar Muda sangat giat mengembangkan agama Islam di Kerajaan Aceh Darussalam. Di mana-mana dia memerintahkan mendirikan mesjid dan rumah ibadah umat Islam. Di antaranya yang terbesar adalah mesjid Baitur-Rahman. Iskandar Muda selalu menganjurkan rakyatnya untuk memeluk agama Islam dengan sempurna (kaffah). Ia mengeluarkan berbagai aturan agar orang tidak melanggar ajaran agama. 27

Keseriusan Iskandar Muda memberikan pendidikan kepada rakyat tercermin dari perhatiannya terhadap dunia pendidikan di Aceh. Ketika itu sultan memfasilitasi tempat-tempat diskusi (mubahasah, muhadharah dan mujadalah) yang sultan sendiri ikut di dalamnya.

Perhatian sultan yang besar terhadap ilmu pengetahuan, menjadi faktor pendorong berkembangnya berbagai disiplin ilmu. Sultan juga memerintahkan para ulama untuk menulis berbagai kitab yang menjadi pegangan bagi rakyat dan aparat penegak hukum dalam

26 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 191.27 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 192.

Page 56: 18

16

menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan. Kitab Shirat al-Mustaqim merupakan kitab yang ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniry atas perintah Sultan Iskandar Muda. Kitab Mir’at al-Thullab adalah kitab yang ditulis oleh Syeikh Abdurrauf al-Singkili atas perintah Sultanah Tajul ‘Alam Safiyatuddin Syah. Kedua kitab ini berisi masalah hukum yang menjadi pegangan bagi para hakim dan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahannya.28

Ilmu pengetahuan yang berkembang ketika itu, bukan hanya ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti ekonomi, pertanian, pertukangan, teknik, hukum, sosial dan bahkan ilmu politik (siyasah). Perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan sangat dimungkinkan, karena berbagai ahli ilmu datang ke Aceh, karena Aceh sebagai pusat perdagangan dan pusat ilmu pengetahuan dunia ketika itu. Hal ini ditandai dengan lahirnya para ulama besar seperti Nuruddin Ar-Raniry, Hamzah Fansury, Syamsuddin as-Sumatrani, Abdurrauf al-Singkili, Jalaluddin at-Tursani dan lain-lain.29

Kegiatan atau aktivitas pewarisan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang ada di Aceh bermula pada lembaga pendidikan terdiri atas Meunasah dan Dayah. Meunasah adalah bangunan yang terdapat di setiap gampong. Meunasah lazimnya berbentuk rumah panggung yang terdiri atas dua bagian. Bagian pertama agak sedikit lebih rendah dari bahagian kedua, yang merupakan sebuah ruangan terbuka yang disebut serambi Meunasah. Bagian ini berfungsi sebagai tempat pertemuan baik bersifat resmi atau tidak resmi bagi warga gampong. Bagian kedua dari meunasah adalah ruangan tertutup atau setengah terbuka

28 Darwis A. Sulaiman dkk., Aceh..., hal. 193.29 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 193.

Page 57: 18

17

dan merupakan bangunan utama dari meunasah. Fungsinya adalah sebagai tempat kegiatan keagamaan, seperti shalat berjama’ah dan tempat pengajian.30

Fungsi utama dari meunasah adalah sebagai tempat pendidikan bagi masyarakat gampong. Meunasah bukan hanya sebagai tempat pendidikan bagi anak-anak dan remaja, tetapi juga digunakan sebagai tempat pengkajian masalah keagamaan bagi orang tua-tua gampong yang disebut dengan “meudrah”. Ulama yang dijadikan narasumber untuk kajian meudrah biasanya didatangkan dari luar gampong, yang dianggap cukup dalam ilmu pengetahuan keislaman.31

Stratifikasi SosialC.

Sistem sosial masyarakat Aceh tidak begitu terlihat jika dibandingkan dengan yang ada pada masa kemerdekaan. Stratifikasi sosial yang terdapat dalam masyarakat Aceh pada masa pra kemerdekaan didasarkan pada keturunan, namun setelah kemerdekaan dasar-dasar stratifikasi sosial mulai beralih fungsi dan berubah.

Stratifikasi sosial menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat secara umum. Petirin A. Sorokin mendefinisikan stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkhis). Hal ini terjadi karena tidak ada keseimbangan antara hak-hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota masyarakat. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat terdapat norma-norma, aturan-aturan atau nilai-nilai yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Namun, tidak

30 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 191.31 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 194.

Page 58: 18

18

semua anggota masyarakat dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai dengan aturan dan norma yang telah ditentukan.32

Struktur Masyarakat 1.

Masyarakat Aceh sebagaimana masyarakat lainnya mempunyai struktur dan lembaga sosial. Struktur dan lembaga sosial masyarakat Aceh sudah ada dan berkembang ratusan tahun yang lalu. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, struktur dan lembaga sosial masyarakat Aceh sangat teratur dan berkembang baik karena semuanya itu telah diatur dalam undang-undang kerajaan yang disebut Adat Meukuta Alam atau di mana pada saat itu terdapat sebuah aturan atau undang-undang yang mengatur tentang struktur dan lembaga sosial yang terkenal dengan Adat Meukuta Alam atau Qanun Meukuta Alam Al-Asy.33

Masyarakat Aceh2.

Dalam kehidupan masyarakat Aceh dikenal istilah Kawom. Kawom adalah semua saudara dari pihak ayah/laki-laki dan saudara pihak perempuan/ibu. Dengan kata lain, kawom adalah gabungan saudara dari pihak wali dan karong. Dalam masyarakat Aceh, seseorang akan terpandang dilihat dari kawomnya. Umumnya orang-orang terhormat banyak mempunyai kawom dibandingkan dengan orang biasa. 34

Kawom berfungsi saling membantu antara sesama kawom, baik secara moral maupun sosial, ekonomi,

32 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 63.33 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 68.34 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 63.

Page 59: 18

19

dan keagamaan. Apabila ada kenduri misalnya, kawom berkewajiban untuk membantu, misalnya tenaga maupun keuangan. Demikian juga apabila seseorang mendapat musibah, maka anggota dari kawom berhak membantu. Peranan kawom biasanya terlihat apabila terjadi musibah atau gangguan keagamaan, biasanya kawom tidak akan tinggal diam, akan tetapi mencoba mencari jalan keluarnya.35

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka masyarakat Aceh sebagai suatu sistem sosial dapat ditelusuri dengan memahami sejarah dan asal usul masyarakat Aceh yang beragam. Keragaman suku dan etnis telah melahirkan suatu sistem kehidupan budaya adat dan istiadat yang menjadi kultur yang hidup dan berkembang dengan mengalami berbagai proses pertumbuhan seperti sekarang ini. Meskipun antara satu daerah dengan daerah lainnya ada bentuk-bentuk yang berbeda, namun tetap dalam bingkai yang penuh dengan nilai-nilai yang Islami.

35 Darwis A. Sulaiman, dkk, Aceh..., hal. 64.

Page 60: 18

20

Page 61: 18

21

BAB II LEMBAGA ADAT DAN PERANNYA

Terdapat sebuah kenyataan bahwa adat tidaklah hanya bagian dari benda-benda peninggalan sejarah dan tata

cara perilaku hidup masyarakat setempat, melainkan juga sebagai bagian dari pranata sosial yang berfungsi sebagai salah satu mediator untuk menyelesaikan sengketa yang muncul dalam masyarakat. Dalam khazanah kebudayaan Aceh, adat sebagai sebuah institusi belum mengambil bentuknya seperti lembaga-lembaga/institusi-institusi pemerintahan seperti sekarang ini.

Adanya anggapan seperti demikian tidak berarti mengindikasi bahwa dalam masyarakat Aceh adat tidak mendapat tempat. Hal ini diperkuat oleh adanya hasil penelitian dari para sarjana yang berkecimpung di bidangnya. Oleh karena itu untuk dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya peran dan fungsi lembaga adat dalam masyarakat Aceh sebagai respon tentang hidup di era kehidupan global, terlebih dahulu akan dijelaskan definisi lembaga adat. Diharapkan pemahaman terhadap makna tersebut akan dapat dijumpai nilai-nilai yang terkandung dalam lembaga adat untuk mewujudkan kehidupan damai di dalam masyarakat.

Adat merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum dan aturan-

Page 62: 18

22

aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem. Nilai-nilai Islam dalam masyarakat Islam merupakan bangunan dasar yang sistematik dan fisik di dalamnya ajaran Islam dapat direalisasikan. Masyarakat merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam Islam. Tanpa masyarakat, ajaran Islam tidak akan pernah bisa direalisasikan. Dengan demikian Islam merupakan wadah yang di dalamnya terjalin ikatan bersama antara anggota-anggota berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam, yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.1

Pengertian nilai adalah sifat-sifat penting yang berguna bagi manusia dalam menjalankan hidupnya. Sedangkan Islam adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Rasulnya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia, sepanjang masa atau di setiap penjuru dunia.2

Pengertian Lembaga AdatA.

Sebelum pembahasan mengenai pengertian Lembaga adat, ada baiknya penulis jelaskan mengenai pengertian adat itu sendiri. Kata adat sebagaimana yang dijelaskan oleh Amirul Hadi dalam bukunya Aceh, Sejarah, Budaya dan Tradisi merupakan sebuah kata yang diadopsi dari bahasa Arab yang berasal dari kata ‘ằdah yang memiliki pengertian kebiasaan atau praktik. Sedangkan secara teoritis, ‘ằdah yang sering dikenal dengan ‘urf tidak pernah menjadi sumber resmi hukum Islam. Namun dalam aplikasinya,

1 Asnawi Muhammad Salam, Aceh Antara Adat dan Syari’at, Cet-I, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), hal. 17-18. 2 Asnawi Muhammad Salam, Aceh…, hal. 18.

Page 63: 18

23

ia sering diintegrasikan dalam salah satu referensi hukum Islam. ằdah terkadang digunakan ketika sumber-sumber utama hukum Islam (al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas) tidak menjelaskan tentang hal yang dimaksud, meskipun hal ini tidak berarti bahwa hukum yang berasal dari ằdah bertentangan dengan hukum Islam seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits.3

Selanjutnya, ằdah sering berfungsi sebagai satu-satunya referensi yang sering digunakan ketika muncul interpretasi yang beragam tentang ayat-ayat al-Qur’an. Kondisi ini, rujukan kepada hukum adat merupakan refleksi dari waktu dan tempat tertentu. Demikianlah adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh ketika itu, misalnya ketika berbicara mengenai adat pada abad ke-19, Snouck Hurgronje memahaminya sebagai kebiasaan dan hukum adat dengan menekankan adat lebih banyak digunakan dari pada syari’ah yang dikenal sebagai hukum.4

Istilah lembaga adat merupakan dua rangkaian kata yang terdiri dari kata “Lembaga” dan “adat”. Kata “lembaga” berasal dari bahasa Indonesia yang merupakan pengalihan istilah dari bahasa Inggris, Institution (pendirian, lembaga, adat, kebiasaan).5 Dari pengertian kebahasaan tersebut, lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola prilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam

3 Amirul Hadi, Aceh Sejarah Budaya dan Tradisi, (Ja-karta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), hal. 173. 4 Amirul Hadi, Aceh…, hal. 173-174. 5 John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesia Dictionary, Cet XXVI, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 325.

Page 64: 18

24

suatu kerangka nilai yang relevan.6 Yang dimaksud dengan struktur dalam pengertian di atas adalah tumpukan logis lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan.7

Sedangkan secara istilah, lembaga adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.8

Adapun kata adat atau yang biasa disebut dengan kebiasaan adalah kata Arab yang sudah dialihkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab kata ini adalah ‘adah9 yang berasal dari (masdar) atau yang artinya berulang-ulang

6 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ba-hasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hal. 655. 7 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. XI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 216. 8 Hendropuspita, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kani-sius, 1994), hal. 216. 9 Terdapat kata lain yang sinonim dengan kata ‘adah, yaitu ‘urf adalah praktik berulang-ulang yang diterima oleh ses-eorang yang mempunyai akal sehat. Kata ‘Urf menunjukkan ke-pada kebiasaan yang dilakukan orang banyak atau individu da-lam suatu masyarakat, untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai definisi ‘urf, dapat ditelusuri karya Muhammad Mus-tafa Syalabi, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1986), hal. 313-315; Muhammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texs Society, 1991), hal. 283-284.

Page 65: 18

25

kembali.10 Istilah al-‘adah adalah sebutan untuk sebuah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi tabiat atau karakter yang alamiah. Oleh karenanya ada ungkapan yang mensinyalir fenomena ini dengan perkataan “adat merupakan tabiat yang luhur.” 11

Sementara pengertian adat menurut istilah berarti pengulangan atau praktik yang sudah menjadi kebiasaan yang dapat dipergunakan, baik untuk kebiasaan individual maupun kelompok.12 Kebiasaan individual di sini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang secara pribadi pada sikap-sikapnya, seperti kebiasaan tidur, makan, jenis makanannya, perbuatannya. Sedangkan kebiasaan kelompok berarti kebiasaan yang dilakukan oleh suatu komunitas atau mayoritas, baik berupa perbuatan-perbuatan yang secara sadar ataupun yang tidak berasal dari kehendak (pilihan) mereka. Perbuatan tersebut biasa berupa kebiasaan terpuji maupun tercela.

Terdapat juga definisi lain yang dikemukakan oleh Hakim Nyak Pha yang memberi pengertian tentang adat. Menurutnya adat yaitu suatu kebiasaan yang sudah diterima bersama dan telah dikukuhkan sebagai dan terbaik yang harus dipertahankan, dilestarikan dan dituruti serta dipatuhi oleh warganya. Sehingga apabila seseorang warga bertingkah laku, berbuat atau bersikap menyimpang atau tidak sesuai dengan adat yang berlaku, maka akan dikenai sanksi, yang antara lain berupa penghinaan, pelecehan atau

10 Mushthafa Ahmad Zarqa’, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amiy, Cet. IX, juz. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), 838. 11 Mushthafa Ahmad Zarqa’, Al-Madkhal…, hal. 838. 12 Muhammad Mustafa Syalabi, Ushul…, hal. 313-315.

Page 66: 18

26

pengecualian dari pergaulan oleh masyarakatnya.13

Di samping bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat, adat juga menjadi cerminan dari kepribadian suatu suku bangsa. Sebab ia merupakan salah satu bentuk perwujudan dari jiwa bangsa yang bersangkutan. Dalam falsafah hidup orang Aceh, tercantum ajaran:

Umong meu ateung, ureung meu peutuaRumoh meu adat, pukat meu kaja(Sawah berpematang, orang berpemimpin, Rumah bertatakrama, pukat bertali-temali)Ungkapan di atas memberi pengertian bahwa dalam

menjalani kehidupan dan dalam bertingkah laku serta berhubungan sesamanya, setiap orang dibatasi oleh hukum adat, ibarat sawah yang harus dibatasi oleh pematang. Demikian pula setiap manusia yang hidup bersama harus mempunyai pimpinan serta diatur oleh adat istiadat. Dan jika dalam kehidupan bersama tersebut orang menginginkan hasil yang sebaik-baiknya (seimbang, rukun, tentram, aman, damai), maka adat harus berperan pula, ibarat sebuah pukat yang mempunyai jaring dan tali-temali, yang menghambat ikan keluar dari jaring pukat tersebut.14

Sebagai aktualisasi dari prinsip hidup mereka yang diwarnai oleh ajaran agama Islam, maka seluruh segi dari gerak, tingkah laku dan interaksi sosial, diberi bingkai atau bungkus dengan adat. Sebab adat dalam masyarakat Aceh merupakan manifestasi dari ajaran-ajaran agama yang tampak dalam gerak nyata dari kehidupan.15 Jika kedua kata

13 Hakim Nyak Pha, Kreativitas dan Ketahanan Adat/Budaya, dalam T. Alibasjah Talsya (peny.), Adat dan Budaya Aceh Nada dan Warna, (Banda Aceh: LAKA, tt), hal. 221. 14 Hakim Nyak Pha, Kreativitas…, hal. 221. 15 Hakim Nyak Pha, Kreativitas…, hal. 223.

Page 67: 18

27

di atas (lembaga dan adat) dipadukan menjadi satu rangkaian kata yang utuh maka yang dimaksud dengan lembaga adat mengacu kepada sebuah institusi yang berfungsi sebagai alat kontrol kehidupan masyarakat menyangkut kebiasaan sehari-hari yang dilakukan secara berulang-ulang. Dalam Peraturan Daerah Provinsi NAD nomor 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwewenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.16 Definisi yang dikemukakan dalam Perda ini memberikan gambaran bahwa lembaga adat merupakan alat kontrol terhadap perilaku masyarakat yang mempunyai kewenangan dalam memberi dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggarnya dan sanksi hukum yang diberikan oleh lembaga adat bersifat mengikat bagi semua komponen masyarakat baik pejabat pemerintah, pemuka-pemuka/tokoh adat maupun masyarakat biasa.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa lembaga adat adalah pranata sosial yang tersusun secara sistematis, memiliki kewenangan dalam mengatur hubungan antar sesama masyarakat berkaitan dengan perilaku yang telah disepakati oleh pemuka-pemuka adat. Di samping itu ia juga merupakan wadah untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dan tempat penyelesaian sengketa yang muncul

16 Lihat “Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 77 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Pasal 1 ayat 5” dalam Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presi-den, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, Edisi Ketiga, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004), hal. 75.

Page 68: 18

28

dari setiap anggota masyarakat.

Adat IstiadatB.

Yang dimaksud dengan adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku antar generasi dalam suatu masyarakat, di mana keberadaannya berfungsi sebagai pedoman dalam berpikir dan bertindak di masyarakat pemangku adat tersebut. Masyarakat Aceh memiliki berbagai kebiasaan yang telah menjadi tradisi dan berfungsi sebagai pedoman dalam perbuatan sehari-hari dan mampu melindungi serta memberikan rasa aman kepada masyarakat apabila dilakukan sebagaimana mestinya.17

Adat istiadat masyarakat Aceh merupakan bagian dari sisi budaya yang hidup dan berkembang di Aceh. Dalam kehidupan sehari-hari, budaya Aceh lebih popular dengan sebutan adat Aceh. Sebutan adat menjadi penting, karena kata-kata “adat” menjadi bagian yang bersumber dari nilai-nilai Islami sesuai dengan hadih maja “Adat ngon hukom (agama), lagee zat ngon sifeut”.18

Selain itu dalam masyarakat Aceh terkenal semboyan atau hadih maja yang menjadi falsafah hidup masyarakat Aceh masa lampau, yaitu:

Adat bak poteu meuruehom, hukom bak Syiah Kuala

Qanun bak putroe Phang, Reusam bak BentaraHukom ngon adat hanjeut cree, lagee zat dengan

sifeutArtinya bahwa urusan adat berada di tangan sulthan

17 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 165. 18 Abdul Rani Usman dkk, Budaya Aceh, (Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 2001), hal. 32.

Page 69: 18

29

(poeteu meureuhom), urusan hukum Islam di tangan para ulama (Teungku Syiah Kuala), urusan qanun atau perundang-undangan berada di tangan Putri Pahang, dan urusan adat istiadat (reusam) berada di tangan ahlinya yang disebut Bentara atau Laksamana. Namun yang sangat menjadi falsafah masyarakat Aceh sampai sekarang yaitu bahwa antara adat dengan hukum Islam (Syariat) tidak dapat dipisahkan, keduanya ibarat zat dengan sifat. Jadi semua adat atau yang diadatkan hal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.19

Lembaga Adat dalam Lintasan SejarahC. Asal Usul Masyarakat Aceh1. Untuk mengenal adat istiadat suatu komunitas

secara lebih detail perlu dikaji asal usul masyarakat tersebut. Demikian pula halnya dengan masyarakat Aceh di mana dalam peta wilayah ini didapati beberapa kelompok masyarakat yang memiliki khazanah budaya dan adat-istiadat yang beragam. Secara realitas ditemukan bahwa adat-istiadat yang dimiliki masyarakat ini ada kesamaan dan kemiripan, namun dijumpai pula perbedaan dalam teknis pelaksanaan atau bahkan dalam hal yang amat substansial. Kekayaan khazanah adat ini tidak terlepas dari asal-usul terbentuknya masyarakat periode awal yang mendiami daerah ini. Lahirnya tradisi dalam masyarakat terbangun dari latar belakang kehidupan kelompok masyarakat, agama, kepercayaan dan aturan-aturan penting yang disusun bersama demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Uraian ini tidak bertujuan mencari asal-usul orang Aceh secara lebih detail dan mendalam, namun hanya mengangkat sepintas tentang asal komunitas Aceh dan kapan 19 Darwis A. Sulaiman, dkk, Aceh..., hal. 166-167.

Page 70: 18

30

diperkirakan terwujud komunitas ini dengan mendasari pula sejumlah referensi sejarah dalam upaya mencari keberagaman adat yang dimiliki masyarakat sekarang.

Dalam manuskrip Cina Tsien-Han-Su dinyatakan bahwa Kaisar Wang Mang pernah mengirim suatu misi dengan membawa hadiah berupa permata dan berlian kepada sebuah kerajaan Huang Che. Kerajaan Huang Che ini diartikan oleh sejarawan dengan kerajaan Aceh.20 Dalam catatan lain, masih dari Cina pula, adalah seorang nelayan Fa-Hien menulis dalam buku catatannya pada tahun 399 M bahwa ia pernah menyeberangi laut ke arah Barat dan singgah di Yeh-Po’-Ti, sebuah negeri yang subur pada zaman itu. Negeri ini diperkirakan sejarawan juga Aceh.21 Catatan ini dapat ditafsirkan bahwa masyarakat Aceh telah memiliki format negeri atau sistem pemerintahan jauh sebelum dikenal Kerajaan Pasai, Perlak, Pedir dan Lingge yang Islami. Artinya masyarakat Aceh telah terlebih dahulu mengenal tatanan pemerintahan, aturan, budaya dan tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebelum Islam datang ke nusantara ini walaupun masih dalam kesederhanaannya.

Aturan dan pola hidup yang diwarisi demikian lama di tengah-tengah masyarakat pasti tidak akan mudah lentur secara serta-merta bahkan tidak dikikis habis oleh ajaran agama Islam yang datang kemudian. Karena sifat agama ini bukanlah mentransformasi semua aturan dan adat yang telah berlaku dalam masyarakat, namun memelihara, mengokohkan dan menumbuh-kembangkan nilai-nilai

20 Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Aceh, A Guide to Aceh, 1996, hal. 2 21 Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Aceh, A Guide…, hal. 2

Page 71: 18

31

dan norma-norma yang mempunyai arti positif.22 Karena itu didapati sejumlah tradisi di Aceh yang berbeda dengan wilayah Islam lainnya namun tetap tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Pernyataan lain menyebutkan bahwa Ptolemacus, seorang ahli geologi berkebangsaan Yunani, datang ke Aceh pada abad ketujuh dan membuat peta dunia yang dapat digunakan para pelaut. Dalam catatan tersebut ia memperkenalkan Aceh dalam pulau emas yang disebut Jabadio karena pulau itu kaya dengan emas yang memiliki kesuburan luar biasa. Di pantai sebelah barat, demikian pernyataan Ptolemacus lagi, didapati sebuah pelabuhan sibuk yang bernama Argry yaitu pantai Perak di mana sekarang dikenal dengan Pante Perak yang berada di Banda Aceh.23 Penjelasan ini menunjukkan bahwa peradaban kemajuan masyarakat ketika itu telah terbentuk yang ditandai dengan adanya hubungan dagang dengan luar negeri. Artinya daerah Banda Aceh sekarang telah mengenal peradaban dan sejumlah aturan kehidupan masyarakat sejak sebelum abad ke tujuh Masehi.

Menyangkut asal muasal komunitas Aceh, Zainuddin berasumsi bahwa telah terjadi perpindahan besar-besaran dari lembah sungai Indus dan Gangga akibat ekspansi Raja Iskandar Zulkarnaen ke Asia yang lari ke Sumatera/Aceh (334-326 SM).24 Kalau asumsi ini tepat, maka masyarakat

22 Pernyataan ini dikutip Endang Saifuddin dari pidato M. Natsir dengan judul Islam dan Sekularisme pada sidang umum Konstituante, November 1967. Endang, Wawasan Islam, (Bandung: Perpustakaan Salman ITB, 1983), hal. 152 23 Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Aceh, A Guide…, hal. 2. 24 Zainuddin, Tarich…, hal. 16.

Page 72: 18

32

Aceh telah sangat lama mengenal kehidupan beragama yaitu ajaran dan kebudayaan Hindu. Sumber lain menyebutkan bahwa pada zaman Nabi Sulaiman dan Iskandar Zulkarnaen, orang Arab (terutama mereka yang tinggal di pesisir seperti Yaman dan Syiria) banyak yang dijadikan awak kapal mengarungi lautan luas.25 Kalau demikian halnya sedikit banyaknya daerah ini telah bersentuhan pula dengan agama yang dianut Nabi Sulaiman. Namun pernyataan ini belum ditemukan data otentik sejarah yang menyatakan demikian. Kemudian setelah zaman Islam orang-orang Arab dan Parsi semakin ramai datang ke daerah ini dan diperkirakan sudah terjadi sejak awal tahun Hijriah.26

Sejumlah referensi menyebutkan bahwa orang-orang Arab, Parsi dan Hindia adalah para saudagar yang melakukan perdagangan dengan Timur terutama negeri Cina, sehingga ada hadits yang menyebutkan, “Tuntutlah Ilmu walaupun ke Negeri Cina.” Pernyataan ini memberi isyarat tentang telah adanya hubungan masyarakat Arab dengan Cina ketika itu. Pedagang-pedagang Arab menempuh jalan laut yang demikian jauh dan melelahkan sudah barang tentu singgah di kota-kota pesisir kepulauan Melayu termasuk Aceh. Dapat diperkirakan pula ada di antara mereka yang menjadikan daerah baru ini sebagai tempat mereka bermukim karena negerinya yang subur.

Catatan lain yang menarik dikaji untuk mengenal masyarakat Aceh sekarang adalah tulisan Ibn Battutah yang singgah di Pasai tahun 1346 M. Ia menyatakan bahwa Sri baginda membuat undang-undang persamaan antara bangsa Gujarat dan Persia dengan bangsa asli (Mante). Ia

25 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, tt), hal. 128. 26 Zainuddin, Tarich…, hal. 6.

Page 73: 18

33

menetapkan supaya perkawinan campuran dilakukan di antara ketiga bangsa itu tanpa membedakan sedikitpun terhadap perkawinan campuran. Demikian pula dengan bangsa-bangsa asing lainnya yang datang ke Pasai. Di samping itu diberikan pula kepada mereka tanah-tanah tempat perkampungan baru.27 Dari penjelasan di atas diperkirakan bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang asal usulnya amat majemuk yang berasal dari India, Persia, Arab, Indochina dan Cina bahkan dari Eropa.

Aceh Pada Masa Kerajaan Islam2. Sebelum terbentuk kerajaan Aceh Darussalam,

sejarah Islam Melayu menyatakan telah terlebih dahulu terbentuk kerajaan-kerajaan Islam kecil di daerah Aceh. Kerajaan Aceh Darussalam yang kuat dan Islami ini merupakan penggabungan dari kerajaan-kerajaan kecil tadi. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah:

Kerajaan Samudera Pasaia. Sebelum terbentuk kerajaan ini, menurut Hikayat

Raja-raja Pasai oleh A. H. Hill MA D. Phile dan Kronika Pasai oleh Prof. Teuku Ibrahim Alfian, seperti dikutip penulis, “Buku Aceh Utara Dari Kerajaan Samudera Pasai Ke Era Industrialisasi” bahwa didapati di daerah ini beberapa kerajaan kecil di antaranya Rimba Jreum dan Seumerlang.28 Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Meurah Seulu yang bergelar Malikussaleh (1270-1297 M), setelah menundukkan sejumlah kerajaan kecil di sekitarnya dan menyingkirkan Meugat An-Nazar Daro Kerajaan Semerlang, Malikussaleh lah yang dikenal resmi mendirikan kerajaan ini kemudian

27 Zainuddin, Tarich…, hal. 120. 28 Tim Penyusun, Aceh Utara Dari Kerajaan Samudera Pasai Ke Era Industrialisasi, hal. 15.

Page 74: 18

34

dapat berkiprah dalam percaturan dunia internasional.29

Tidak banyak diperoleh penjelasan tentang bentuk detail sistem pembentukan dan pembagian kekuasaan wilayah dari pemerintahan kerajaan ini. Namun dalam buku Tarich Atjeh kerajaan ini merupakan kerajaan yang terkenal dalam lintasan sejarah dunia di mana Marcopolo pernah singgah di sini sekembalinya dari negeri Cina pada tahun 1292 M. Hanya tidak ditemukan catatan penting dari tokoh ini perihal pemerintahan kecuali kemajuan bandarnya yang disinggahi pedagang-pedagang asing.30 Tokoh internasional penting lainnya yang pernah singgah di sini adalah Ibn Battutah, penjelajah dunia Muslim dari Maroko, yang singgah pada tahun 1345 M. Dia lebih banyak menggambarkan kerajaan ini sehingga dari catatannya dapat dipahami sedikit tentang kerajaan ini. Dalam buku Tarich Atjeh disebutkan bahwa Battutah turun ke darat dan pergi ke kota pelabuhan. Syahbandar menulis surat kepada Sultan dan memberitahukan kedatangan Batutah. Lalu Dealese menemui Battutah bersama Sam dan tuan Kadli dan beberapa ahli ilmu fiqh. Mereka membawa beberapa kuda untuk Battutah dan teman-temannya lalu menaiki kuda menuju ibu kota Samudera, kota besar dan bagus yang dikelilingi oleh dinding kayu dengan menara kayu.31

Berdasarkan sejumlah referensi yang menggambarkan kemajuan kerajaan ini dipahami bahwa kerajaan ini memiliki Syahbandar yang mengurus ketertiban kota, qadhi yang memutuskan hukum, panglima perang yang menjaga keamanan dan kedaulatan Negara, duta-duta utusan ke negara-negara tetangga untuk melakukan hubungan

29 Tim Penyusun, Aceh Utara…, hal. 15. 30 Zainuddin, Tarich…, hal. 117. 31 Tim Penyusun, Aceh Utara…, hal. 126.

Page 75: 18

35

bilateral dan ulama-ulama fiqh yang membuat regulasi-regulasi pemerintahan.

Kerajaan Peureulakb. Menurut tulisan Zainuddin bahwa pada tahun 420

H/1028 M sebuah kapal Gujarat telah datang lagi ke Peureulak yang ditumpangi oleh saudagar-saudagar Arab dan India dan mereka menjumpai di Peureulak seorang Mohrat/Meurah (Maharaja). Salah seorang Arab kabillah Quraisy turunan Sayid telah kawin dengan seorang Puteri Meurah Peureulak sampai memperoleh keturunan. Tidak jelas apakah Meurah itu seorang Muslim atau pun bukan, namun keturunan ini kemudian menjadi sultan-sultan muslim yang memegang pemerintahan Peureulak. Kalau demikian dapat dipastikan bahwa kerajaan Peureulak telah ada barangkali sebelum abad ke Empat Hijriah. Sementara keislaman kerajaan ini secara pasti adalah sejak tahun 470 H dengan sultannya yang pertama Sultan Alaidin Syah (520-54 H/1161-1186 M). Namanya Sayidi Abdul Aziz berasal dari keturunan Syi’ah manakala ibunya seorang puteri dari raja Peureulak.32 Tidak banyak diketahui tentang bentuk lembaga-lembaga pemerintahan kerajaan ini, namun pada awal kesultanan ini disebutkan bahwa kerajaan ini diserang oleh Sriwijaya. Ini berarti dalam kerajaan ini telah ada komando pertahanan negara yang mengatur masalah kemiliteran. Selain itu yang penting pula dicatat dari kerajaan ini adalah jasanya dalam mendirikan Zawiyah, yang kemudian terjadi transformasi nama menjadi Dayah (Pesantren), oleh Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin (597-641 H/1259-1245 M).33 Ini merupakan lembaga pendidikan yang telah cukup

32 Zainuddin, Tarich…, hal. 95. 33 Zainuddin, Tarich…, hal. 136.

Page 76: 18

36

fundamental dalam masyarakat Aceh dan merupakan lembaga pendidikan resmi dahulu dan berkembang dengan sangat baik sampai dengan sekarang.

Kerajaan Pidie/Polic. Dalam catatan sejarah Cina disebutkan bahwa di

Sumatera ada kerajaan yang namanya Poli yang dalam hal ini Zainuddin, setelah mengutip beberapa sumber, meyakini bahwa sebutan tersebut adalah Pidie sekarang. Pada tahun 415M seorang musafir Tiongkok bernama Fa Hin (Fa Hian) melaway Jeep Po Ti dan singgah di Poli (Pidie) di ujung Sumatera Utara. Ia menyebutkan negeri ini terdiri dari 136 kampung yang penduduknya menikmati kemakmuran dan mereka menanam padi dua kali dalam setahun.34

Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa negeri ini termasuk luas dan telah memiliki tatanan pemerintahan yang teratur dengan baik dan membagi-bagikan daerah yang diperintahi oleh seorang pemimpin kampung. Lebih lanjut catatan itu menyebutkan pula bahwa kepala negerinya beragama Budha.35 Kerajaan Aceh Darussalam yang dikemukakan nanti ada pendapat yang menyatakan dibentuk oleh sultan yang berasal dari negeri Pidie.

Kerajaan Lingged. Muhammad Ibrahim dalam bukunya Syari’at dan

Adat Istiadat menyebutkan bahwa pada tahun 450 H (1115 M) Raja Lingga yang disebut oleh penduduk Negeri Lingga “Pute Merhum Mahkota Alam” bersama pimpinan ulama telah merumuskan 45 adat Negeri Lingge yang mengatur

34 Zainuddin, Tarich…, hal. 84. 35 Zainuddin, Tarich…, hal. 85.

Page 77: 18

37

undang-undang negeri ini.36 Bila dikaji lebih lanjut tentang pasal-pasal dari adat ini merupakan gabungan dari ajaran agama dan aturan tatanan sosial yang baik dan telah berlaku dalam masyarakat setempat di mana meliputi ketentuan ibadah, mu’amalah dan akhlaq.

Adat-adat ini atau lebih tepat dikatakan sekarang dengan undang-undang menunjukkan tentang keteraturan sebuah negeri. Dari segi tertibnya undang-undang ini dapat dipastikan telah ada sistem pemerintahan yang teratur mulai dari tingkat raja sampai tingkat kampung.

Kerajaan Tamiange. Negeri Tamiang ini terbentuk akibat dari runtuhnya

Melayu Raya yang diserang oleh kerajaan Sriwijaya. Serangan yang demikian dahsyat mengakibatkan maha raja tewas dalam mempertahankan negerinya. Akibatnya banyak rakyat Melayu secara berkelompok dan berduyun-duyun hijrah mencari pemukiman lain yang aman bagi mereka. Sebagian mereka sampai ke Kalimantan, Maluku dan bahkan Madagaskar. Di antara rombongan yang mencari tempat aman dan daerah subur untuk didiami ada yang sampai ke sebuah sungai besar yang kemudian mereka sebut dengan sungai Tamieng.

Setelah beberapa lama mereka tinggal di sini mereka bergerak lagi mencari tempat subur dan pada akhirnya mereka menetap di daerah sungai Simpang Kanan dan di sinilah mereka mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan Batu Karang.37

Kerajaan Tamieng yang belum memeluk agama Islam

36 Mahmud Ibrahim dan Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat (tp: tt), hal.6. 37 Zainuddin, Tarich…, hal. 127-131.

Page 78: 18

38

kemudian ditundukkan oleh kerajaan Pasai. Raja Pasai sendiri mengangkat raja pengganti yang bernama Raja Muda Sedia untuk Keurajeun Tamieng di mana raja Dinok sebelumnya tewas dalam peperangan ini. Setelah menjadi negara bagian dari Kerajaan Pasai ditetapkan ibu kota Kerajaan Tamieng adalah Benua (Kuala Simpang).38 Kalau demikian halnya Kerajaan Samudera Pasai sendiri membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan negeri bagian dari Pasai atau hampir dapat dikatakan dengan sistem pemerintahan yang berbentuk federasi pada sekarang ini. Sistem pemerintahan Kerajaan Tamieng telah diatur demikian detail menyangkut dengan kerja masing-masing lembaga seperti dijelaskan Zainuddin39 dan dapat dibuat skema sebagai berikut:

Skema ini memberi gambaran terhadap lembaga pemerintahan negeri Tamieng yang telah teratur dalam menjalankan sebuah sistem pemerintahan. Masing-masing lembaga memiliki fungsi dan tugas yang jelas sehingga sektor pekerjaan terlaksana dengan baik.

38 Zainuddin, Tarich…, hal. 131. 39 Zainuddin, Tarich…, hal. 133.

Page 79: 18

39

Lamurif. Perlu dinyatakan di sini bahwa sebutan kerajaan

Lamuri ada beberapa macam, namun di sini diketengahkan beberapa saja yang dipandang lebih dekat dengan kebenaran untuk nama yang dimaksud dengan daerah ini. Marcopolo dalam catatan perjalanannya ke Cina dan pernah singgah di sini, demikian pula sejarah Melayu menyebutnya Lamuri. Orang-orang Tionghoa (China) menyebutnya Lan-Li, Lam Wuli, dan Nan Wuli.40

Sebutan ini lebih dekat untuk dipahami pada Lamuri mengingat lidah orang Cina yang lebih cenderung menyebut huruf “L” ketimbang “R”. Selain itu didapati beberapa sebutan lain seperti Napoli, Ramni dan Ramni yang berkemungkinan pula untuk ditafsirkan atau dikaitkan dengan sebutan daerah ini.

Kerajaan ini terletak di Aceh Besar sekarang yang wilayahnya, dengan didasari pada sejumlah referensi, meliputi Indrapuri, Seulimum, Jantho, Ulee Kareng, Lam Panah dan Lhoknga, sementara Tibang, Krueng Raya, Lamnyong dan Lambaro ketika itu masih merupakan lautan.

Ada dugaan yang menyatakan bahwa di daerah ini semula didiami oleh kebanyakan suku Mante (suku asli di Aceh). Menurut Zainuddin ditemukan suatu keterangan bahwa suku Mante umumnya penduduk Aceh Besar. Tempat kediaman mereka adalah di gampong Seumileuk yang juga disebut gampong Rumoh Duablaih letaknya di atas Seulimum antara Jantho dengan Tangse. Bangsa Mante inilah yang

40 T. Muhammad Hasan, “Perkembangan Swapraja di Aceh Sampai Perang Dunia II”, Dalam Ismail (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980), hal. 136.

Page 80: 18

40

berkembang biak ke seluruh Aceh Tiga Segi (wilayah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh sekarang) kemudian berpindah ke tempat-tempat lain.41 Kapan wujud Kerajaan Lamuri yang pasti tidak diketahui secara tepat, namun Teuku Muhammad Hasan memperkirakan kerajaan ini telah ada paling kurang dalam abad ke Sembilan Masehi.42

Menurut keterangan A. Hasjmy kerajaan yang dasarnya Hindu Indra purba diislamkan oleh Syeh Abdullah Kan’an pada Jum’at tanggal 1 Ramadhan 601 H dan memproklamirkannya sebagai kerajaan Islam Darussalam dengan rajanya yang pertama adalah Meurah Johan dari turunan raja Peureulak.43 Kerajaan inilah yang kemudian menggabungkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya sehingga menjadi besar dan megah.

Kerajaan Aceh Darussalamg. Sepintas di atas telah disebutkan beberapa kerajaan

kecil di Aceh, jika dikaji dari sejumlah referensi seperti Tarich Atjeh oleh Zainuddin dan Bunga Rampai tentang Aceh yang diedit oleh Ismail Sunny, masih didapati negeri yang lebih banyak dari yang telah disebutkan di atas. Ini dipahami karena yang mendiami Aceh merupakan suku dan keturunan yang beragam dan pemukiman tempat tinggal mereka saling terpisah serta amat sulit ketika itu dijangkau transportasi dan komunikasi untuk saling berinteraksi satu sama lainnya. Di antara kerajaan-kerajaan kecil ini didapati kerajaan Jaya, Darul Kamal, Sungoe Tualang, Negeri Alas,

41 Zainuddin, Tarich…, hal. 15. 42 T. Muhammad Hasan, Perkembangan…, hal. 141. 43 A. Hasjmy, Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan, dalam Ismail Sunni (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: 1980), hal. 204-205.

Page 81: 18

41

Negeri Idi, Negeri Pasir Karam, Negeri Teripa, Tamieng sendiri terpecah menjadi dua kerajaan dan masih ada negeri-negeri kecil lainnya. Negeri-negeri kecil ini memang sebagiannya jauh telah muncul sebelum Islam datang manakala yang lain kadang-kadang dimunculkan karena pengaruh oleh dakwah Islam.

Kerajaan Aceh Darussalam yang besar adalah gabungan dari kerajaan-kerajaan kecil ini yang terbentuk karena kehendak sultan untuk membangun sebuah imperium. Namun pada sisi lain didapati pula tuntutan politik negara-negara Barat yang tidak menginginkan adanya kekuatan negara besar sehingga menyulitkan perpolitikan dan perekonomian barat sebagaimana yang mereka hadapi terhadap imperium Turki Utsmani pada zaman kejayaannya.

Dalam buku Bunga Rampai tentang Aceh disebutkan bahwa Ali Mughayatsyah, putera Sultan Syamsyu Syah menyerang negeri Jaya (daerah Lamno sekarang) karena pinangannya terhadap puteri negeri itu ditolak. Raja Pidie, Sultan Makruf Syah menasihatinya untuk tidak menuruti hawa nafsunya melakukan serangan tersebut, namun Ali meneruskan kehendaknya bahkan setelah Jaya takluk, Pidie pun diserang sampai dapat dikalahkan kemudian penyerangan terhadap kerajaan Samudera Pasai, sementara ayahnya sendiri Sultan Syamsu Syah dimakzulkannya.44

Akibat penaklukan demikian membawa dampak positif bagi wilayah ini yaitu dapat mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil sehingga terbentuk Kerajaan Darussalam, walaupun masing-masing negeri memiliki hak otonomi untuk memerintah wilayahnya namun bersatu dalam melawan musuh dan melakukan ekspansi ke wilayah lain, 44 T. Muhammad Hasan, Perkembangan…, hal. 150.

Page 82: 18

42

manakala wilayah induk atau pusat kerajaan tetap sebatas Aceh Tiga Segi seperti disebutkan sebelumnya. Ini terjadi pada awal abad keenambelas.

Kerajaan Darussalam mencapai puncaknya pada masa Perkasa Alam yang bergelar Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masanya banyak dilengkapi aturan-aturan yang telah ada di masing-masing negeri, penyusunan dan penegakan hukum yang benar sehingga roda pemerintahan dapat berjalan dengan tertib dan lancar.

Sistem pemerintahan disusun mulai dari tingkat tertinggi yaitu pemerintahan tingkat kerajaan, negeri, kemukiman, gampong dan sebagian gampong memiliki perkumpulan tani yang disebut Seneubok.45 Setiap jenjang kepemimpinan memiliki pendamping pemimpin tertinggi kerajaan didampingi oleh Kadli yang memahami hukum Islam, adat, qanun dan reusam46 sebagaimana pula dibantu oleh Mufti, sementara tingkat kemukiman, imum mukim didampingi oleh Teungku Imum Syik yang mengurus dan memimpin masjid, manakala tingkat gampong Keuchik didampingi oleh Teungku Imum atau Teungku Sagoe yang mengurus dan memimpin meunasah.

Kemudian dalam aturan Iskandar Muda baru dapat dibentuk kalau penduduknya berjumlah 1000 orang. Federasi dari sejumlah kemukiman ini terbentuklah suatu keurajeun uleibalang (kekuasaan hulubalang). Dalam kerajeun ini didapati pula pelaksanaan tugas sehari-hari yaitu pang sagou.47

Untuk tingkat gampong, selain keuchik dan teungku ditambah lagi dengan ureung tuha, jumlahnya, menurut

45 Zainuddin, Tarich…, hal. 314. 46 Zainuddin, Tarich…, hal. 317. 47 Zainuddin, Tarich…, hal. 314-315.

Page 83: 18

43

penelitian C. Snouck tidak tentu dan cara pemilihannya juga tidak ada aturan yang baku namun lebih ditentukan oleh opini umum.48 Ureung tuha yang dimaksudkan oleh Snouck ini adalah seperti yang lazim disebut Tuha Peut sekarang. Memang pemilihannya dahulu kadang-kadang ditunjuk atau diajak oleh keuchik dan teungku untuk menjadi anggota musyawarah desa, namun dalam perkembangan kemudian lebih banyak dipilih langsung oleh masyarakat secara penyampaian lisan oleh anggota masyarakat terbanyak ataupun pengacungan tangan.

Selain keuchik didapati pula peutua seneubok yang mengurus urusan pertanian dan perekonomian masyarakat. Peutua seneubok lazimnya tunduk pada aturan kemukiman atau para uleibalang.49 Dalam perkembangan selanjutnya setelah pertanian maju dan teratur, untuk sebagian daerah menyebutnya dengan keujruenblang. Sebagian daerah membedakan keujruenblang dengan peutua seneubok, di mana keujruenblang mengurus persawahan manakala peutua seneubok mengurus pertanian yang terpisah dengan kampung dan lazimnya terletak dekat perbukitan.

Dari uraian asal usul orang Aceh dan negeri-negeri yang muncul di Aceh maka dipahami bahwa Aceh kaya dengan adat istiadat. Dengan memperhatikan pada kehidupan historis yang panjang pada orang Aceh dari segi kepercayaan agama mulai dari Animisme, Hindu, Budha dan terakhir beragama Islam, sementara dari asal usul daerah ada yang berasal dari Melayu, Keling, Parsi, Arab, Burma dan jumlah yang sedikit dari suku-suku lain telah

48 C. Snouck Hurgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istiadat-nya, Jilid 1, Terj. Sultan Maimoen, (Jakarta: Inis, 1997), hal. 58. 49 Zainuddin, Tarich…, hal. 315.

Page 84: 18

44

membawa dan menanam corak kehidupan yang beragam, namun sebagian sulit hilang atau dihilangkan walaupun bertentangan dengan ajaran Islam.

Adat istiadat masing-masing negeri dan disempurnakan oleh Kerajaan Aceh Darussalam inilah yang banyak tersisa di tengah-tengah masyarakat Aceh sekarang. Sebagian masih mempertahankan dengan ketat dan yang lain ditinggalkan karena kondisi dan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Adakala pula sebagian daerah mempertahankannya dan yang lain meninggalkannya akibat perubahan sosial masyarakat daerah tersebut.

Aktivitas-aktivitas Adat dalam Masyarakat Aceh3. Dalam masyarakat Aceh dari sejak dahulu didapati

sejumlah aktivitas yang meliputi perkawinan, pakaian, dan hal-hal yang menyangkut dengan kesenian.

Perkawinana. Dalam perkawinan masyarakat Aceh dikenal

sejumlah aktivitas adat yang lazim dilakukan di semua daerah walaupun sebagian ada yang telah memudar dan bahkan meninggalkannya sama sekali sekarang. Di antara aktivitas-aktivitas perkawinan yang pernah menjadi adat melekat dalam masyarakat Aceh adalah:

Keumalon/Eu Fhai1) Apabila satu keluarga telah menyepakati calon

pengantin perempuan untuk dipersunting puteranya maka mereka atau salah satu anggota keluarga mendatangi seorang yang dipercayai mengetahui nasib kehidupan pasangan ini. Biasanya, mereka cukup dengan memberitahukan nama anak mereka dan nama calon pengantin yang akan dipinang agar dapat dicari keadaan

Page 85: 18

45

hidup perkawinan mereka. Seandainya jawaban dari sang peramal baik maka rencana itu diteruskan sementara kalau dinyatakan tidak bernasib baik maka diurungkan keinginan tersebut.50 Tidak dapat diketahui persis kapan adat ini telah berlaku dalam masyarakat Aceh karena ilmu melihat nasib atau yang diistilahkan dengan ilmu nujum telah dipraktikkan dalam peradaban-peradaban kuno seperti masyarakat Mesir Fir’aun, Babylonia dan kaum Jahilliah Arab yang ketika Islam datang Nabi Muhammad melarangnya. Eu Fhai ini hampir dapat dipastikan tidak dilakukan oleh anggota masyarakat sekarang dan kalau ada hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu ataupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Meminang 2) Apabila orang tua calon mempelai pria (calon linto)

berkehendak meneruskan terjalin ikatan perkawinan anaknya dengan keluarga gadis yang dituju tersebut. Orang tua gadis ini akan melihat nasib (eu fhai) pula untuk puteri yang akan dikawinkannya. Kalau dilihat bernasib baik dalam membina rumah tangga dengan pria tersebut barulah mereka bermufakat dengan anggota keluarga yang patut dalam rangka menerima lamaran itu. Selanjutnya disampaikan keputusan mereka kepada keluarga peminang melalui seulangke tadi.

Ranub Kong Haba3) (Ikatan Konkrit)Setelah resmi diterima keluarga calon dara baro,

keluarga calon linto menyampaikan kepada keluarga calon dara baro penentuan hari peminangan, setelah terlebih dahulu dilihat bulan Hijriah serta hari tertentu yang dianggap baik dan tepat untuk melakukan lamaran. Peminangan resmi ini diistilahkan dalam adat Aceh

50 Zainuddin, Tarich…, hal. 340.

Page 86: 18

46

dengan ba ranub atau ada yang mengistilahkan dengan ba peuba. Keluarga calon linto baro mengundang sejumlah orang yang patut untuk menghadiri rumah gadis, sementara pihak keluarga gadis juga mengundang kerabat dekat dan orang tua kampung dalam rangka menerima kedatangan rombongan calon linto baro.

Meukeureja 4) (Acara Pesta)Beberapa hari sebelum dilangsungkan acara

pesta, dara baro dibubuhi inai pada tangan dan kakinya. Pembubuhan inai ini bukan sekedar hiasan tapi sekaligus diharapkan kebaikan dan keberkahan. Maka dalam proses pembubuhan ini yang pertama sekali melakukannya adalah seorang perempuan yang dituakan di kampung itu atau dipandang memiliki kedudukan yang mulia.51 Dari masa kapan adat pembubuhan inai ini dimulai tidak dapat diketahui dengan pasti. Tetapi pembubuhan inai pada pengantin perempuan dapat ditemukan praktiknya dalam masyarakat Arab pada masa jaya Islam yang diistilahkan dalam bahasa Arab dengan al-Khadd. Ini ditemukan dalam sejumlah bait-bait syair yang menggambarkan kecantikan pengantin yang dibubuhi inai. Menurut bait-bait syair ini pembubuhan inai pada pengantin adalah ditujukan untuk hiasan dan meningkatkan kecantikan perempuan itu sendiri dan tidak mengindikasikan keberkahan. Hal penting diperhatikan pada hari pesta adalah hidangan untuk bisan (keluarga linto baro). Hidangan makanan harus ditempatkan dalam dulang dan ditutup dengan sangai. Persoalan penentuan isi dulang ini Putroe Phang (istri Sultan Iskandar Muda) menetapkan setiap hidangan harus terdiri paling kurang satu lapis makanan yang diisi sembilan mangkuk lauk pauk dan paling lengkap adalah

51 Zainuddin, Tarich…, hal. 342.

Page 87: 18

47

tiga lapis kemudian baru ditutup dengan sangai. 52

Pakaian5) Pakaian adat Aceh terdiri dari celana, kemeja dan

kain sarung. Warna pakaian ini adalah hitam, kecuali kain sarung yang kadang berwarna abu-abu, merah dan warna gelap lainnya. Bentuk celana lebih longgar ke bawah sehingga orang Aceh lebih mudah beraktivitas, manakala pakaian perempuan lebih longgar dari pakaian laki-laki yang berkemungkinan ini mengikuti ajaran Islam. Ada ahli yang menyatakan bahwa pakaian Aceh berasal dari model Turki, sebab orang Turki sendiri menyebutkan untuk celana syarwal, manakala bahasa Arabnya sirwal dan dalam bahasa Aceh berubah menjadi silewue.53 Kalau pernyataan ini benar maka adat pakaian demikian telah berkembang sejak mulai jaya Aceh Darussalam, karena ketika itu dua negara Islam antara Turki dengan Aceh telah mempunyai ikatan hubungan kerjasama yang erat.

Seni Tari dan Suara6) Melihat keadaan yang berkembang sekarang

dapat diperkirakan bahwa masyarakat Aceh adalah orang-orang yang menyenangi seni maka persoalan-persoalan pengamalan dan pengajaran agama disiarkan melalui berbagai bentuk seni seperti tarian, seni suara atau bunyi-bunyi musik. Sejumlah seni ini tidak dapat dipungkiri nampak bernuansa Islami bahkan nama-namanya berasal dari dasar-dasar ajaran Islam seperti seudati yang asal katanya syahadatain (dua kalimat syahadat), seulawet berasal dari kata shalawat, meusekat adalah nama seorang ulama Aceh yaitu Maskawaih pada zaman Hamzah Fansuri yang diperkirakan dalam

52 Zainuddin, Tarich…, hal. 342. 53 Zainuddin, Tarich…, hal. 345

Page 88: 18

48

menyampaikan ajaran Islam melalui seni. Melihat kepada nama ini nampaknya bukan ulama asli berasal dari Aceh tetapi dari Iran. Selain itu didapati pula rapa-i geleng juga diperkenalkan oleh seorang ulama Aceh Selatan.54

Isi lantunan syair-syair dalam seni-seni adalah pujian pada Nabi dan baru kemudian diikuti dengan ajaran atau nasihat agama. Suatu alat musik yang popular dimainkan sampai sekarang adalah sereune kale. Alat musik ini adalah seruling yang ditiup dengan nafas yang panjang dan berirama. Kalau dilihat dari alat dan cara meniupnya lebih mirip dengan permainan seruling yang ada di India sekarang, maka besar kemungkinan seni ini berasal dari India.

Peringatan Hari-Hari Besar7) Di antara hari-hari yang diperingati oleh

masyarakat Aceh adalah Mauled Nabi Muhammad, hari Asyura dan Rabu Abeh (Rabu terakhir bulan Safar).

Maulid Nabi(1) Zainuddin menyebutkan bahwa peringatan

maulid Nabi Muhammad Saw dengan mengadakan khanduri (kenduri) dilakukan pada malam 12 Rabiul Awal setiap tahun di rumah-rumah raja, orang-orang besar dan orang kaya mengadakan kenduri di mesjid-mesjid atau meunasah dengan membaca barzanji.55 Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa perayaan ini telah ada sejak zaman raja-raja dahulu dan tidak dapat dipungkiri bahwa ini karena terpengaruh dengan praktik umat Islam di tempat lain di Timur Tengah. Tradisi ini tidak didapati pada periode awal sampai

54 Dinas Pariwisata, A Guide…, hal. 29-33. 55 Zainuddin, Tarich…, hal. 362.

Page 89: 18

49

dengan masa jayanya umat Islam.

Peringatan ‘Asyura(2) ‘Asyura adalah hari kesepuluh bulan Muharram

yang diperingati di Aceh sebagai salah satu hari besar Islam. Masyarakat awam sekarang tidak banyak mengetahui dalam kaitan apa hari ini diperingati. Snouck Hurgronje memberi penjelasan 10 Muharram, disebut di Aceh dengan buleun Hasan Hussain, diperingati di sejumlah daerah di negara Islam dalam kaitannya dengan gugurnya Husain di Karbala. Lebih lanjut Snouck menyebutkan itu sebagai pengaruh dari paham Syi’ah di Aceh walaupun mereka sebenarnya kental berpegang pada mazhab Syafi’i.56

Rabu Abeh(3) Kapan sebenarnya mulai diperingati hari Rabu

Abeh (Hari Rabu penghabisan setiap bulan Safar) tidak ditemukan dalam buku-buku referensi. Namun kalau dilihat terhadap pelarangan praktik ini di kalangan ulama dapat bermakna praktik ini bukan berasal dari Islam. Kalau demikian peringatan hari yang dianggap naas ini dan masyarakat harus melakukan tolak bala dengan membuang sial ke laut atau bentuk-bentuk lainnya jauh telah berakar di tengah-tengah masyarakat Aceh.

Demikianlah sejumlah adat istiadat Aceh dalam lintasan sejarah di mana adat-adat semacam ini ada yang berkembang sebelum datang Islam lalu diislamisasikan dan memang ada pula yang dibawa oleh ulama dalam rangka misi dakwah dan mengajar

56 Snock Hurgronje, Aceh Rakyat…, hal. 158.

Page 90: 18

50

ajaran Islam bagi masyarakat.

Eksistensi dan Fungsi Lembaga AdatD.

Seperti telah disebutkan bahwa dasar filosofis pembentukan lembaga adat adalah untuk memelihara dan melestarikan nilai, kaedah dan kepercayaan yang tumbuh bersama dengan pertumbuhan masyarakat. Sedangkan secara pragmatis, pembentukan ini adalah sebagai perpanjangan tangan dari pihak penguasa untuk membantu kelancaran administrasi pemerintahan dan mengatur tata tertib kehidupan kemasyarakatan.

Namun perubahan politik dan sosial yang terjadi pasca terbentuknya Negara Indonesia mengakibatkan eksistensi lembaga-lembaga adat ini lambat laun mulai tersisihkan. Ini berawal dari keluarnya Peraturan Undang-Undang Pemerintahan No. 5 Tahun 1979 yang menghapuskan segala bentuk hukum adat di seluruh Indonesia dan mengharuskan diterapkannya sistem pemerintahan desa seperti yang ada di Jawa. Akibatnya lembaga adat yang sebelumnya menjadi motor penggerak adat istiadat dan kehidupan bermasyarakat di Aceh melebur ke dalam struktur pemerintahan baru, seperti Tuha Peut yang berubah menjadi LMD (Lembaga Musyawarah Desa), dan Keujruen Blang menjadi Lembaga P2A (Perhimpunan Pemakai Air).

Kondisi ini diperparah dengan perkembangan zaman yang melahirkan anggapan pada sebagian masyarakat bahwa berbicara perihal adat pada masa kini dianggap sudah bukan zamannya lagi, atau ketinggalan zaman. Ada anggapan bahwa adat istiadat hanya mampu hidup dan bertahan di masyarakat-masyarakat “tradisional”, karena di masyarakat inilah peranannya akan menghabiskan waktu yang banyak

Page 91: 18

51

dan menguras tenaga, sehingga terkesan kurang praktis dan sama sekali tidak efisien. Pemikiran inilah yang kemudian menjadi pola pikir dan pola sikap generasi muda, di mana faktor lingkungan, pendidikan dan wilayah tempat tinggal telah banyak memberi andil atas memudarnya warna asli ke-Acehan mereka.57

Bertolak dari pendapat dan kenyataan di atas, maka yang menjadi masalah penting adalah bagaimana adat istiadat dan lembaga-lembaga adat di Aceh dapat kembali eksis dan ditumbuhkembangkan pada masa sekarang ini, dalam masyarakat yang menganut prinsip globalisasi. Bukankah adat dan hukum adat telah mampu mengatur kehidupan sosial masyarakat Aceh di masa lalu sehingga dapat mendatangkan kejayaan. Agaknya pemikiran inilah yang mendorong para pengambil kebijakan di Aceh (stakeholders) mau bersusah payah memikirkan dan memperjuangkan serta bekerja keras untuk menata kembali kehidupan sosial, masyarakat Aceh. Mereka melihat bahwa betapapun juga, selama orang Aceh masih menyadari ke-Acehannya, selama itu pula adat istiadat harus hidup dalam masyarakat.

Pada dasarnya adanya perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah sesuatu yang niscaya terjadi karena itu merupakan ciri masyarakat dinamis. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan dan kearifan bagaimana menyikapi perubahan tersebut sehingga dapat diubah menjadi sesuatu yang positif bagi perkembangan kehidupan sosial masyarakat. Teori struktural-fungsional menjelaskan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dapat dijelaskan melalui tujuh asumsi dasar

57 Muhammad Hakim Nyak Pha, Kreativitas…, hal. 225-228.

Page 92: 18

52

yaitu:Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan 1. yang utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi.Hubungan yang ada biasa bersifat dinamis, di mana 2. penyesuaian yang ada tidak perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh.Sistem sosial yang bersifat dinamis, di mana 3. penyesuaian yang ada tidak perlu banyak merubah sistem sebagai satu kesatuan yang utuh.Integrasi yang sempurna di tengah masyarakat 4. tidak pernah ada, oleh karenanya di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan. Tetapi ketegangan dan penyimpangan ini akan di netralisir lewat proses pelembagaan.Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual 5. dan perlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi diferensiasi dan inovasi.Perubahan merupakan hasil penyesuaian dari luar, 6. tumbuh oleh adanya diferensiasi dan inovasi.Sistem diintegrasikan lewat pemikiran nilai-nilai 7. yang sama.58

Dari tujuh asumsi dasar di atas dapat ditegaskan bahwa tinjauan dari sudut pandang sosiologi, upaya menghidupkan kembali lembaga-lembaga adat merupakan sesuatu yang mungkin terwujud. Bahkan lebih jauh juga dapat dilakukan upaya pengembangan terhadap kuantitas dan kualitas lembaga-lembaga tersebut. Antara lain dengan mengkaji ulang lembaga-lembaga adat yang pernah ada di

58 Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (Yo-gyakarta: Tiara Wacana, 1992), hal. 25.

Page 93: 18

53

tengah masyarakat, menghidupkan beberapa lembaga adat yang sangat mendesak kehadirannya di tengah masyarakat serta melakukan revitalisasi dan perluasan fungsi dari lembaga-lembaga adat tersebut.

Analisis terhadap eksistensi dan fungsi-fungsi lembaga dapat dilakukan dengan menggunakan teori yang sama. Menurut teori ini masyarakat sebagai suatu sistem memiliki struktur yang terdiri dari banyak lembaga, di mana masing-masing lembaga memiliki fungsi sendiri-sendiri. Struktur dan fungsi, dengan kompleksitas yang berbeda-beda, ada pada setiap masyarakat, baik masyarakat modern maupun masyarakat primitif.59 Misalnya lembaga sekolah mempunyai fungsi mewariskan nilai-nilai yang ada kepada generasi baru. Lembaga keagamaan berfungsi membimbing pemeluknya menjadi anggota masyarakat yang baik dan penuh dengan pengabdian untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Lembaga ekonomi memiliki fungsi untuk mengatur proses produksi menjaga tatanan sosial agar berjalan dan ditaati sebagaimana mestinya. Kesemua lembaga yang ada di masyarakat akan senantiasa saling berinteraksi dan satu sama lain akan melaksanakan penyesuaian sehingga masyarakat akan senantiasa berada pada keseimbangan.

Terkait dengan keinginan untuk menghidupkan dan memfungsikan kembali lembaga-lembaga adat yang ada dalam tatanan masyarakat Aceh, pada tahun 1990 Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah Istimewa Aceh No. 2 Tahun 1990 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, kebiasaan-kebiasaan Masyarakat Beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Peraturan daerah ini lahir didasari oleh suatu 59 Zamroni, Pengantar…, hal. 25-26.

Page 94: 18

54

kesadaran bahwa Adat dan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad dan telah melembaga sebagai suatu lembaga adat, telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, kelangsungan perjuangan kemerdekaan dan pembangunan di provinsi ini. Oleh karena itu langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan pembinaan dan pengembangan adat dan pembinaan dan pengembangan lembaga-lembaga adat yang pernah ada serta pengaturan dan penetapan fungsi dari masing-masing lembaga adat tersebut.

Dalam Peraturan Daerah yang pertama kali menyinggung masalah adat ini, disebutkan Lembaga Adat yang ada di masyarakat Aceh dan berfungsi dari tiap-tiap lembaga tersebut. Terkait dengan eksistensi, terdapat tujuh lembaga, yaitu Tuha Peut, Imeum Meunasah, Keujren Blang, Panglima Laot, Peutua Seunebok, Haria Peukan, dan Syahbandar. Di samping itu, pemerintah juga mengakui adanya lembaga-lembaga adat yang disebut lembaga lain, namun mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan lembaga-lembaga adat (pasal 2), juga disebutkan bahwa lembaga adat berkedudukan sebagai unsur pembantu Keusyik/Kepala Desa dan Kepala Kelurahan dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sepanjang yang menyangkut dengan hukum Adat, Adat Istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat (pasal 4).

Adapun fungsi dari lembaga Adat adalah:Membantu pemerintah dalam mengusahakan a. kelancaran pemerintahan, pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya.Melestarikan kedudukan hukum adat, adat istiadat b.

Page 95: 18

55

dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.Memberikan kedudukan hukum menurut c. hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut dengan keperdataan adat, juga dalam hal adanya persengketaan yang menyangkut masalah adat.Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan d. nilai-nilai Adat di Aceh dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Aceh pada khususnya.Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dilakukan

berdasarkan asas musyawarah dan mufakat dengan berlandaskan: Adat Bak Po Teumeuruhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putro Phang, Reusam Bak Laksamana. Hukom Ngon Adat Lagee Zat Ngon Sifeut. (Pasal 6 Ayat 2).

Namun, usaha-usaha untuk membina dan menata adat istiadat ini banyak mendapat hambatan. Antara lain yang terpenting adalah karena telah demikian lamanya orang Aceh menjalani hidupnya tidak menurut aturan-aturan yang telah digariskan dalam adat istiadat tersebut. Kesadaran akan ketidaktahuan sebagian masyarakat dan kurangnya informasi tentang adat istiadat ini pada mereka, maka dibentuklah Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA)/MAA (Majelis Adat Aceh)

Dalam kiprahnya mengembalikan kejayaan adat, LAKA/MAA bukan saja berusaha memasyarakatkan adat istiadat, tetapi juga ingin menggali kembali adat-adat lama. Selain itu lembaga ini juga berupaya melakukan pengkajian secara teliti tentang arah perubahan adat istiadat sebagai akibat dari tuntutan-tuntutan kemauan dan pengaruh globalisasi atas sosial budaya masyarakat. Diharapkan perubahan-perubahan yang terjadi tersebut tidak akan

Page 96: 18

56

melunturkan ke-Acehan orang Aceh sendiri.Peluang untuk menghidupkan kembali adat

dan memfungsikannya dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Aceh terbuka lebar seiring dengan lahirnya tuntutan reformasi di berbagai sektor kehidupan. Peluang ini terwujud dalam bentuk reformasi di berbagai sektor kehidupan. Peluang ini terwujud dalam bentuk disahkannya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan undang-undang Nomor 44 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, yang sekaligus mencabut undang-undang Nomor 5 Tahun 1974.

Pada hakikatnya, kelahiran UU No 44 Tahun 1999 yang memberikan keistimewaan bagi Aceh merupakan salah satu bentuk pengakuan Pemerintah Pusat terhadap nilai-nilai hakiki masyarakat Aceh yang telah hidup dan dipelihara secara turun temurun. Nilai-nilai ini berupa aturan-aturan peradatan yang sampai batas-batas tertentu telah mampu memelihara kerukunan hidup warganya. Bukan itu saja, tetapi adat jualah yang dari dahulu hingga sekarang telah menjamin keserasian, memelihara kedamaian dan menghidupkan kebersamaan di antara sesamanya sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka berada dalam kehidupan yang harmonis dan dinamis.

Adapun bentuk penyelenggaraan keistimewaan bagi Daerah Aceh yang dikukuhkan oleh UU No 44 Tahun 1999 meliputi:

Penyelenggaraan kehidupan beragama;a) Penyelenggaraan kehidupan adat;b) Penyelenggaraan pendidikan; danc) Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.d) Penyelenggaraan ke empat keistimewaan di atas,

ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk

Page 97: 18

57

Qanun atau peraturan pelaksanaan lainnya. Untuk keistimewaan di bidang adat, pada tanggal 25 Juli 2000 telah disahkan Peraturan Daerah (Qanun) No 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.

Dalam peraturan Daerah yang terdiri atas 10 Bab dan 29 Pasal ini terdapat pengakuan tentang eksistensi dan fungsi Lembaga Adat yang telah lama hidup dan berkembang dalam masyarakat, seperti tercantum dalam Pasal 5 berikut ini:

Pasal 5 Lembaga-lembaga Adat yang hidup dan berkembang (1) dalam masyarakat di Daerah tetap dipertahankan, dimanfaatkan, dipelihara, diberdayakandan dibakukan. Lembaga-lembaga Adat sebagaimana dimaksudkan (2) dalam ayat (1) antara lain:

Imum Mukim;a. Keuchik;b.

c. Tuha Peut;Tuha Lapan;d. Imum Meunasah;e. Keujreun Blang;f. Panglima Laot;g. Peutua h. Seneubok;Haria Peukan;i. Syahbanda.j.

Termasuk juga Lembaga Adat sebagaimana tersebut (3) dalam ayat (1) adalah Lembaga-lembaga Adat yang disebut dengan nama lain di Daerah Kabupaten/Kota yang mempunyai fungsi dan tujuan yang sama dengan Lembaga-lembaga Adat sebagaimana tersebut di atas.

Page 98: 18

58

Lembaga-lembaga Adat yang masih hidup dan (4) belum cukup berperan, seperti Panglima Uteun, Pawang Glee dan nama-nama lain yang sejenis diinventarisir untuk diberdayakan kembali sesuai dengan fungsi dan tujuannya.Lembaga Adat sebagai tersebut dalam ayat (1), (2), (5) (3), dan (4) merupakan alat penggerak partisipasi masyarakat dalam pembangunan termasuk Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA).60

Pada dasarnya tidak terdapat perbedaan prinsipil antara Peraturan Daerah No 2 Tahun 1990 yang mengatur tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Peraturan Daerah (Qanun) No 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Bahkan dapat dikatakan bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan terakhir ini hanya mempertegas eksistensi Lembaga Adat sebagai bagian dari struktur masyarakat Aceh. Perluasan dan pengembangan terhadap Lembaga Adat hanya terjadi pada pencantuman Imum Mukim dan Keuchik yang sebelumnya tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi kemudian dicantumkan secara tegas sebagai bagian Lembaga Adat Aceh.

Selanjutnya pada Pasal 6 disebutkan bahwa Lembaga-lembaga Adat di atas mempunyai fungsi sebagai sarana kontrol baik bersifat preventif maupun represif, yang meliputi bidang:

Keamanan;a.

60 Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Guber-nur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2004), hal. 77-78.

Page 99: 18

59

Ketentraman;b. Kerukunan; danc. Ketertiban masyarakat dalam menjalankan fungsi d. tersebut Lembaga Adat berwenang:Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;e. Menyelesaikan sengketa dan atau mendamaikan f. para pihak yang bersengketa di wilayahnya (sebagai hakim perdamaian).61

Dari pasal 6 di atas terlihat bahwa Lembaga Adat mempunyai fungsi dan peran yang besar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Fungsi dari masing-masing Lembaga Adat disesuaikan dengan bidang yang menjadi tanggung jawab mereka. Seperti tuha peut yang merupakan lembaga kelengkapan gampong dan mukim yang terdiri dari unsur-unsur Pemerintah, Ulama, Pimpinan Adat, dan Cerdik Pandai yang berada di gampong dan mukim dalam bidang pemerintahan, hukum, adat istiadat dan kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa di kampong dan kemukiman.

Untuk mendukung peran ini maka lembaga-lembaga adat tersebut diberikan kewenangan untuk menyelesaikan konflik yang timbul di tengah masyarakat. Pada prinsipnya menyelesaikan setiap sengketa atau perkara yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui musyawarah adat baik pada tingkat gampong maupun pada tingkat kemukiman. Adanya kewenangan Keuchik dan Imam Mukim untuk menyelesaikan perkara secara damai dalam masyarakat mempunyai dampak yang positif baik bagi para pihak yang bertikai, yaitu terciptanya kerukunan dan kedamaian di antara keluarga dan terhindar dari rasa dendam yang berkepanjangan. 61 Himpunan Undang-Undang…, hal. 78.

Page 100: 18

60

Bentuk-bentuk Lembaga Adat dan KegiatannyaE.

Ditinjau dari sudut kepentingan sosial, lembaga lahir dari suatu sistem nilai yang diambil dari perilaku masyarakat, untuk selanjutnya diformulasikan ke dalam sebuah organisasi yang memiliki struktur. Ia berkaitan dengan pengakuan sejarah manusia yang memerlukan wadah kegiatan sosial menuju bentuknya masing-masing. Dalam pasal 5 ayat (2) Perda Provinsi NAD nomor 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat terdapat bentuk-bentuk lembaga adat yang keberadaannya masih dipertahankan, yaitu imuem mukim, keusyik, tuha peut, tuha lapan, imum meunasah, kejreun blang, panglima laot, peutua laot, peutua seneubok, haria peukan dan syahbanda.62 Agar mendapatkan penjelasan yang jelas, berikut ini akan dipaparkan bentuk-bentuk lembaga adat serta ruang lingkup kegiatannya.

Imum Mukim1. Imum mukim adalah orang yang dipercayakan

sebagai pemangku adat di kemukiman atau disebut juga kepala mukim. Lembaga ini muncul karena pengaruh kaum ulama dan tokoh-tokoh keagamaan lainnya,63 sebagai badan federasi dari beberapa gampong (satu mukim terdiri dari delapan buah gampong). Bagi seorang imum mukim bertugas mengawasi pelaksanaan adat di tiap-tiap mukim, dan mempunyai kewenangan dalam menindak tegas bagi masyarakat yang melanggar adat di wilayah mukim tersebut.

62 Himpunan Undang-Undang…, hal. 78. 63 Snouck Hurgronje, The Achehnese, penerjemah, Ng. Singarimbun, dalam Aceh di Mata Kolonialis, jil. I, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1995), hal. 90.

Page 101: 18

61

Keuchik 2. Keuchik adalah seorang yang dituakan karena

kearifan, ketauladanan dan kemampuannya dalam memimpin. Sebagai seseorang yang dipercaya, ia juga dipilih oleh masyarakat dan diangkat oleh Pemerintah Daerah/Kota guna memegang amanat sebagai orang yang bertanggungjawab dalam melaksanakan pemerintahan gampong.64 Istilah keuchik mempunyai beberapa perbedaan bila dibandingkan dengan pengertian kepala desa.65

Seorang keuchik tidak saja dituntut oleh masyarakat mampu memimpin sebuah kampung (gampong), melainkan 64 Gazali (et.al), Lembaga Hukum Adat di Aceh, Kedudu-kan dan Peranannya Masa Kini (Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 1990), hal. 22 65 Ketika Orde Baru berkuasa dominasi negara (state) dalam mengambil kebijakan sangat terasa dan bahkan dapat mengesampingkan sistem pemerintahan desa yang ada di ber-bagai wilayah nusantara. Salah satu wujud dari penguasaan dan dominasi negara adalah dengan memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan atau aturan-aturan main untuk menata bidang-bidang tertentu sesuai dengan kehendak negara, yaitu diberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa. Implikasi dari penerapan Undang-undang ini mengharuskan pemerintahan wilayah gampong disesuaikan dengan Undang-undang tersebut sehingga tidak lagi diselengga-rakan berdasarkan adat. Transformasi ini berdampak terjadinya pergesaran sistem nilai budaya pemerintahan adat. Dampak so-sial yang dirasakan masyarakat Aceh sebagai akibat dari penera-pan Undang-undang tersebut adalah masyarakat gampong kehi-langan peran yang diemban oleh keuchik dan teungku meunasah karena mereka diganti dengan kepala desa yang hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan, sedangkan fungsi sebagai kepala adat menjadi terabaikan.

Page 102: 18

62

juga harus mengetahui sekedarnya hukum agama (Islam) yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Lebih dari itu seorang keuchik harus mengetahui dengan baik hubungan-hubungan kekerabatan antara penduduk, sejarah penduduk, luas tanah masyarakat dan kampung. Hal yang paling penting bagi seorang keuchik adalah benar-benar menguasai adat istiadat dan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat gampong tersebut.66

Sebagai sebuah lembaga, keuchik mempunyai otoritas dalam bidang pemerintahan, termasuk memelihara adat istiadat. Dalam posisi yang demikian menurut Teuku Ibrahim Alfian ia sering dianalogikan sebagai “bapak/ayah kampung”, karena kepadanyalah dipercayakan kontrol dan pemeliharaan adat/pemerintahan.67

Meskipun demikian, keuchik tidak dapat memerintah atas kemauan sendiri. Ia juga harus mempertimbangkan keberadaan teungku meunasah, yang dalam pandangan masyarakat dianggap sebagai “ibu gampong”, sebagai penerang di dalam kegelapan (orang yang paling memahami agama), sebagai imam, sebagai gurei (guru) dalam studi ke-Islaman dan pengajian. Oleh karena itu, keuchik memerlukan wibawa dan peran teungku meunasah untuk memudahkan pelaksanaan tugasnya dalam pemerintahan sehari-hari. Ia dapat diumpamakan seperti sebuah rumah tangga di mana peran bapak dan ibu kampung harus bekerja dalam membina “anak-anak” mereka (warga masyarakat) untuk dapat hidup tentram dan harmonis.

66 Himpunan Undang-Undang…, hal. 78 67Alfian, Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, (Ja-karta: KP3KS, 1999), hal. 233

Page 103: 18

63

3. Tuha PeutDalam sistem pemerintahan gampong, tuha peut

merupakan sebuah lembaga perwakilan desa atau dapat juga disebut sebagai lembaga musyawarah. Anggota tuha peut biasanya tidak diangkat melalui pemilihan oleh warga, melainkan oleh pengajuan diri warga secara individual. Kendati demikian bukan berarti semua orang mencalonkan diri. Budaya tahu diri mencegah warga yang merasa tidak memiliki sesuatu kelebihan untuk mengajukan diri.

Kelebihan yang dikehendaki dari seseorang anggota tuha peut antara lain adalah pengetahuan dan kearifan di dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Biasanya jumlah mereka sebanyak 4 (empat) orang. Keempat orang tersebut terdiri atas unsur pemerintah, unsur agama, unsur pimpinan adat, dan unsur cerdik pandai yang berada di gampong dan mukim yang fungsinya memberi nasihat kepada keuchik dan imum mukim dalam bidang pemerintahan, hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa di gampong dan mukim.68

Lembaga tuha peut ini sangat penting kedudukannya dalam pemerintahan adat gampong. Sebagai lembaga musyawarah, tuha peut merupakan tempat perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan dijalankan keuchik. Lembaga ini juga merupakan wadah tempat warga mengusulkan sesuatu nasibnya apabila diperlakukan tidak adil, baik oleh keuchik maupun imum meunasah. Semua perkara yang berat baik menyangkut urusan pemerintahan atau peradilan maupun urusan-urusan kemiliteran atau sejenis dengan itu dibicarakan di dewan tersebut sebelum mengambil keputusan, dan tidak satu hal pun dapat berjalan

68 Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Pasal 1 ayat (11).

Page 104: 18

64

di luar “dewan”.Keuchik, imum meunasah dan tuha peut

bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pemerintahan gampong yang dibina berdasarkan kekeluargaan dan mengayomi masyarakatnya. Di samping itu ia juga sebagai orang tua yang memberi nasihat untuk terciptanya kesejahteraan dalam rumah tangga gampong.

Tuha Lapan4. Suatu badan kelengkapan gampong dan mukim

yang terdiri dari unsur pemerintahan, unsur agama, unsur pimpinan adat, pemuka masyarakat, unsur cerdik pandai, unsur pemuda/wanita dan unsur kelompok organisasi masyarakat.69

Imum Meunasah5. Dalam melaksanakan tugas memimpin rakyat dan

gampong, keuchik bekerjasama dengan imum meunasah. Kedudukan imum meunasah lebih stabil jika dibandingkan dengan kedudukan keuchik. Keuchik mudah diganti, sedangkan imum meunasah tidak, sehingga ada imum yang bertugas seumur hidup.

Baik imum meunasah maupun keuchik sangat berperan aktif dalam memimpin gampong. Keduanya berbeda hanya dari segi tanggungjawabnya saja. Keuchik bertanggungjawab dalam bidang yang berkaitan dengan pemerintahan, adat dan istiadat serta hal lain yang berhubungan dengan keduniawian. Sementara imum meunasah bertanggungjawab dalam bidang keagamaan khususnya pelaksanaan syariat Islam. Sekalipun tugas

69 Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Pasal 1 ayat (8).

Page 105: 18

65

tanggungjawab tersebut demikian jelas, namun setiap masalah yang akan diputuskan terlebih dahulu harus dimusyawarahkan, kemudian baru dimufakatkan keputusannya. Suatu keputusan yang telah disetujui oleh imum meunasah, akan dipatuhi masyarakat dengan penuh keikhlasan sebab keputusan itu telah disandarkan kepada syariat Islam.

Keujren Blang6. Keujreun blang adalah orang yang membantu keuchik

di bidang pengaturan dan penggunaan air irigasi untuk persawahan.70 Dengan kata lain ia merupakan lembaga adat yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan mata pencairan bertani padi di sawah.

Umumnya setiap gampong memiliki lembaga adat keujreun blang. Orang yang mengatur tentang kegiatan-kegiatan seperti dijelaskan di atas disebut keujreun. Ia dipilih dari seseorang yang berwibawa ataupun berpengalaman tentang persoalan yang menyangkut dengan sawah. Fungsi dan kegiatan yang menjadi wewenang lembaga ini menyangkut seputar peraturan mengenai persawahan, seperti menentukan jadwal kegiatan di sawah (melalui musyawarah dengan keujreun lain dan pejabat pemerintah), mengorganisir kegiatan gotong royong, memperbaiki seuneulop, mengatur masalah pengairan (lung ie), sewa menyewa tanah, pembagian hasil, pemakaian air, pajak hasil bumi, menghidupkan tanah mati, sawah dan menyelesaikan pertengkaran-pertengkaran yang berhubungan antara petani di sawah.

Dalam melakukan kegiatan turun ke sawah masing-

70 Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Pasal 1 ayat (13).

Page 106: 18

66

masing daerah berbeda fungsi yang diemban terutama dalam pembagian kerja. Di Aceh Besar misalnya pada tahap proses menabur bibit hingga menuai benih banyak didominasi oleh kaum perempuan. Berbeda halnya di daerah pantai selatan dan tanah Gayo yang pembagian tugas di bidang ini setara antara laki-laki dan perempuan.71 Dengan demikian dapat dikatakan adanya suatu pembagian kerja di antara keluarga petani sewaktu mengerjakan sawah. Pejabat-pejabat ahli yang diangkat di bidang ini adalah:

Keujreun Lueng1. , yaitu ahli yang mengepalai urusan pengairan (irigasi)Keujreun Blang2. , yaitu tenaga ahli yang mengepalai urusan pertanian/persawahan.72

Panglima Laot7. Panglima Laot adalah orang yang memimpin adat

istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan, dan penyelesaian sengketa73. Secara umum panglima laot memiliki kewenangan yaitu bidang pengembangan dan penegakan adat laut, peraturan dan pemanfaat sumber daya kelautan dan peradilan adat laut.

Peraturan-peraturan yang dimaksudkan di atas meliputi penangkapan ikan di laut, mengatur masalah penangkapan ikan, alat-alat penangkapan ikan, para nelayan,

71 T. Ibrahim Alfian dkk, Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978), hal. 50.

72 Muhammad Hoesin, Adat Atjeh, (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 48-49.

73 Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Pasal 1 ayat (14).

Page 107: 18

67

upah kerja, pembagian antara yang punya alat dengan pekerja, pemimpin, tugas-tugas pimpinan mengambil penyu, cukai laut, dan sebagainya. Jika diamati dengan cermat terlihat bahwa bidang usaha penangkapan ikan di laut lebih berkembang di daerah pantai Aceh Utara (termasuk Aceh Besar). Asumsi seperti ini muncul mengingat banyaknya jumlah perahu motor dibandingkan perahu pukat sehingga ruang gerak dan penjelajahan penangkapan ikan di laut sangat luas.74

Kewenangan-kewenangan tersebut di atas telah terpatri dalam ketentuan adat yang sudah berlaku sejak dahulu kala. Di bidang pengembangan dan penegakan adat laut, panglima laot memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian adat, sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi tanpa mengenyampingkan adat sebagai pedoman.

Di pesisir Aceh Rayeuk (Aceh Besar), penyesuaian pemberlakuan adat telah terjadi pada tahun 1972. Saat itu dikenal perahu atau kapal bermotor untuk penangkapan ikan. Para panglima laot melakukan musyawarah mengenai pengaturan tata cara menangkap ikan antara nelayan yang menggunakan perahu motor dan nelayan tradisional. Dalam menangani masalah seperti ini ada 2 (dua) aturan yang dirumuskan oleh panglima laot, yaitu pertama, adat laot yang telah ada untuk perahu tradisional juga dilakukan armada bermotor, kedua mengatur dan melindungi hak-hak dan perahu pukat tradisional dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Sehingga apabila terjadi sengketa antara perahu pukat tradisional dengan boat pukat akan dengan mudah diatasi bersama.

Ada tiga pejabat ahli diangkat untuk memajukan 74 T. Ibrahim Alfian dkk, Adat Istiadat…, hal. 32.

Page 108: 18

68

perikanan yaitu:Panglima laot1. , yang menjadi penguasa tertinggi dalam bidang perikanan dan kelautan.Keujruen kuala2. , yaitu pejabat penguasa kuala yang menjadi pangkalan dari perahu-perahu pukat.Pawang pukat3. , yaitu yang menjadi pemimpin teknis dari perahu pukat dan bersama-sama anak pukat ikut turun ke laut.Di bawah panglima laot ada beberapa orang keujreun

kuala, artinya ada beberapa kuala yang menjadi pangkalan perahu pukat, dan ada yang berpangkal pada satu kuala ada beberapa perahu pukat. Selain tugas-tugas di atas, panglima laot di samping mempunyai otoritas, juga memiliki tugas dan fungsi tersendiri sebagai berikut:

Memelihara dan mengawasi ketentuan-ketentuan a. hukum dan adat laot.Mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan b. laot.Menyelesaikan perselisihan/sengketa yang terjadi di c. antara sesama anggota nelayan atau kelompoknya.Mengawasi dan menyelenggarakan upacara adat d. laot.Menjaga dan mengawasi agar pohon-pohon di tepi e. pantai jangan ditebang, karena akan menjauh ke tengah laot. Sebagai badan penghubung antara nelayan dengan f. pemerintah dan panglima laot dengan panglima laot.75

75 Sanusi M. Syarif, Riwang U La’ot: Leuen Pukat dan Panglima La’ot dalam Kehidupan Nelayan di Aceh, (Jakarta: Yayasan Rumpun Bambu, 2003), hal. 44-45.

Page 109: 18

69

Petua 8. SeneubokPeutua seneubok merupakan adat yang menangani

bidang perkebunan. Mulai dari peraturan-peraturan mengenai perkebunan, terutama perkebunan lada, mengatur masalah perizinan pembukaan “tanah mati”, yaitu tanah negara yang belum dikerjakan (dibuka), untuk menjadikan kebun, pengangkatan pejabat-pejabatnya, pengelolaan dan sebagainya. Yang dibolehkan membuka tanah mati untuk membuat seneubok adalah orang-orang Islam. Pelopor yang membuka tanah mati untuk menjadi seneubok diangkat menjadi pemimpin dengan gelar Peutua Seneubok, artinya setelah ada beberapa kebun dalam seneubok yang disebut petua chik seneubok.76

Haria Peukan9. Haria Peukan adalah orang yang mengatur

ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar gampong.77 Dalam kehidupan masyarakat Aceh, dikenal dengan nama pasar harian (uroe gantoe) yang tiap-tiap desa mendapat giliran sebagai pusat perbelanjaan pada hari yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat. Misalnya Seulimum pada Hari Senin, Sibreh Hari Rabu, Ulee Kareng pada Hari Sabtu dan seterusnya. Adanya ketentuan-ketentuan hari peukan ini adalah untuk menumbuhkan pasar-pasar strategis bagi perkembangan lalu lintas niaga/jual beli barang-barang benda ekonomi rakyat.78 Untuk

76 Muhammad Hoesin, Adat Atjeh…, hal. 177.77 Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2000

Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Pasal 1 ayat (16).78 Badruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah Se-

bagai Sumber Energi Budaya Aceh (Banda Aceh: Gua Hira’, 2002), hal. 153.

Page 110: 18

70

itu dalam kehidupan masyarakat dan juga menyelesaikan sengketa yang terjadi di seputar persoalan pasar.

Syahbanda 10. Orang yang memimpin dan mengatur tambahan

kapal/perahu, lalu lintas keluar masuk kapal/perahu di bidang angkutan laut, danau dan sungai.79 Syahbanda ini, mengatur kebutuhan kapal dan proses lalu lintas kapal/perahu di perairan sehingga berjalan dengan baik.

Pejabat-pejabat adat ini sesuai dengan fungsi dan peran yang melekat pada lembaganya masing-masing, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berpedoman pada “Adat bak Po Teumereuhom Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Lakseumana” yang mengacu pada 4 sumber pokok hukum adat yaitu:

Adatullah1. , merupakan hukum adat yang hampir mutlak didasarkan pada hukum Allah (al-Qur’an dan al-Hadits).Adatunnah,2. adalah adat istiadat sebagai manifestasi dari Qanun dan Reusam yang mengatur kehidupan masyarakat.Adat Muhakamah,3. merupakan hukum adat yang dimanifestasikan pada asas musyawarah dan mufakat.Adat Jahiliyah,4. adalah adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun masih digemari oleh masyarakat.Para fungsionaris adat/kepala-kepala adat

79 Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat Pasal 1 ayat (17).

Page 111: 18

71

memperoleh hak-hak adat sebagai jerih payah dalam menjalankan fungsi dan kewajibannya, misalnya keuchik mendapat hak dari hasil kekayaan meunasah, keujreun blang wase (hasil) persawahan dan seterusnya. Oleh karena itu adat (hukum) Aceh, terdapat beberapa penghasilan bagi para kepala adat yaitu:

Wase kualaa. , yaitu bea yang dipungut terhadap barang-barang (perahu-perahu) melalui kuala.Keurejat Kruengb. , dari bea angkutan perahu jalur sungai.Adat Lhooc. , yaitu adat labuhan bea via angkutan air bagi kapal-kapal yang berlabuh di Lho’ (teluk).Adat Boomd. , bea pangkalan tempat pemuatan barang.Kamsene. (komisi), yaitu komisi penjualan barang di pasar.Adat Gleef. atau Meusara Glee, yaitu pajak terhadap hasil hutan; 10% untuk papan dan rotan, dan 50% dari harga gading gajah.Adat Pukatg. , yaitu penghasilan ikan yang ditangkap dengan berbagai jenis pukat.Adat Meuhh. , yaitu 10% dari harga emas yang dijual.Adat Keubei. , adat kerbau yang diangkut dan dikeluarkan.Adat Blangj. , yaitu 1 naleh80 untuk 1 naleh bibit padi yang ditanam.

80 Naleh merupakan takaran padi yang jumlahnya 16 bambu (1 naleh) demikian juga dengan gunca, gunca merupa-kan penjumlahan 10 naleh padi, sama dengan 1 gunca. Di Aceh jika seorang petani padi mendapatkan hasil panen 7 gunca padi berarti sudah sampai nisab zakat 10 persen atau 1 naleh untuk tunaikan zakat.

Page 112: 18

72

Adat Peutuhak. , yaitu pajak dari daerah penanaman lada.Adat Tuhal. , yaitu pajak untuk orang-orang tua (qadhi) yang duduk dalam persidangan.Buet Umongm. , cukai yang dipungut terhadap penghasilan padi pada sawah-sawah yang diairi; 1 gantang= 2 are (bambu) dalam setiap naleh bibit untuk keuchik blang/keujreun blang.Asoe Nanggroe, cukai yang dipungut sebanyak 1-2 n. ringgit dalam setiap rumah.Sigei/Adat Zegelo. , bea yang dipungut sejumlah 1 ringgit dalam hal penjualan tanah yang dibayar oleh pembeli dan penjual kepada kepala adat.Adat Peujeumerangp. , bea penyeberangan di tempat-tempat yang terletak di tepi sungai yang menggunakan perahu penyeberangan/jaloe peumelheh.Hal serupa juga terdapat di daerah-daerah lain di

Indonesia, Sumatera Barat yang dari segi hukum adat lebih dikenal dengan Minangkabau, juga memiliki lembaga-lembaga adatnya, misalnya datuk, ninik mamak, penghulu andiko, family dan jurai. Di Batak misalnya terkenal dengan marga, kuria, huta-huta dan sebagainya, sedangkan di Jawa misalnya lurah, carik (panitera), dan lain-lain.

Page 113: 18

73

BAB IIIPLURALISME MASYARAKAT ACEH

Pengertian PluralismeA.

Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang majemuk, oleh karenanya kondisi orang Aceh sekarang adalah asli

berasal dari percampuran dengan berbagai bangsa sebagai akibat dari proses sejarahnya yang panjang. Abad demi abad sejak pemindahan dari daratan benua Asia, nenek moyang orang Aceh banyak bercampur dengan pendatang, baik dengan penduduk dari daerah lain di Nusantara maupun dengan bangsa-bangsa lain. Pengaruh Hindu di Aceh telah lama ada sebelum datangnya Islam. Kedatangan Islam ke Aceh telah membuat pengaruh Hindu menjadi hilang secara substansi berbagai ajarannya walaupun dalam bermacam hal masih menggunakan media yang ada dalam Islamisasi kebudayaan sebelumnya.

Kedatangan Islam ke Aceh telah meninggalkan pengaruh yang sangat komprehensif dan turut membawa orang Arab, Persia dan Turki ke Aceh, sehingga dalam hal ini menurut statement Teungku Kuta Karang, seorang ulama Aceh yang hidup pada akhir abad ke-18, orang Aceh yang merupakan percampuran antara orang asli Arab, Persia dan Turki. Pendapat ini didukung oleh Mohd. Said seorang ahli sejarah tentang Aceh dengan menunjukkan pengaruh kerajaan-kerajaan Romawi dan Phunisia yang besar pada

Page 114: 18

74

masa lalu yang juga sampai ke Aceh.1

Pluralisme merupakan sebuah kerangka, di mana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup berdampingan serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme juga dapat dikatakan sebagai salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan merupakan kontrol utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.

Pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat bangsa dalam negara merupakan hak setiap manusia berbudaya. Ini dapat dibuktikan secara historis, sosiologis maupun antropologis. Pemahaman pluralisme budaya memerlukan pendekatan filosofis yang bersifat universal, komprehensif dan integral melalui berbagai kajian ilmu. Jika pendekatan filsafat disepakati dan budaya lokal menjadi indikator pluralisme dalam tataran ideal, praktis, politik maupun strategis ternyata bersifat manusiawi dan sangat sensitif. Sebaliknya pluralisme sangat jarang terdengar pada tataran operasional dan prosedural dalam masyarakat adat maupun birokrasi pemerintahan sepertinya ada “ruang antara” ketika terminologi pluralisme dipertanyakan, apakah ia berada pada tataran ideal, historis, antropologis, politis atau apakah pluralisme budaya dapat digunakan sebagai pendekatan penyelesaian permasalahan sosial dalam tataran praktis dan operasional.

Pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan daerah (Aceh otonomi khusus), di lain pihak pluralisme budaya

1 Azman Ismail, Islam dan Budaya Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009), hal. 62.

Page 115: 18

75

cenderung dianggap kambing hitam, mengingat belum bagusnya implementasi otonomi khusus/otonomi daerah, dengan maraknya anarkhisme dan konflik sosial, bisa jadi konflik dalam pemilukada dan pemilihan umum nasional. Pada masa lalu nilai-nilai pluralisme dirangkum dalam wawasan nusantara. Konsep wawasan nusantara mampu mengakomodasi pluralisme yang memaknai dinamika masyarakat beragama, suku, kelompok sosial dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya ketika itu berlangsung antara lain dalam bentuk sosialisasi “Sumpah Pemuda” yang memiliki komitmen yang kuat terhadap bangsa, negara dan tanah air.

Ketika itu pluralisme budaya dalam konteks wawasan nusantara berkembang sebagai wahana dialog antara pluralisme masyarakat untuk saling menghargai dan memahami kultur masing-masing. Persoalan konkrit muncul ketika keberagaman budaya menjadi kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang muncul terkait pluralisme. Sementara visi yang harus dibangun adalah memelihara semangat hubungan harmonis dan sinergis antar kelompok masyarakat adat dalam hubungan internal maupun eksternal, misalnya menyediakan dialog antar etnis, antar kelompok sosial dan keagamaan (hubungan lintas agama) sehingga pluralisme dapat dipahami dan dapat memperpendek ruang dan jarak permasalahan suku bangsa, golongan atau elemen dan kelompok keagamaan yang bersifat plural.

Pluralisme Budaya AcehB.

Pluralisme Budaya di Aceh atau kemajemukan budaya Aceh, dapat diketahui melalui proses Islamisasi Aceh.

Page 116: 18

76

Islamisasi Aceh dilakukan salah satunya dengan pendekatan kebudayaan dengan kata lain agama Islam masuk ke Aceh melalui pendekatan kebudayaan. Hal ini diketahui melalui kondisi budaya masyarakat Aceh sebelum masuk Islam ke Aceh. Kondisi ini mendeskripsikan bahwa pada abad yang sama Aceh telah mengenal kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam memasuki kebudayaan lama. Kebudayaan Islam telah ber akulturasi dengan kebudayaan Aceh.2

Masuknya Islam ke Aceh pada abad ke-VII/VIII telah banyak mempengaruhi adat istiadat Aceh. Islam memainkan peranan penting dalam mengembangkan kebudayaan Aceh. Hampir semua aspek kebudayaan lama yang pernah berkembang di Aceh telah digantikan dan diberi semangat oleh Islam, sehingga Islam menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Aceh. Islamlah yang merubah identitas Aceh dengan identitas Islam. Pengaruh itu sangat besar, sehingga ada pepatah Aceh yang berbunyi Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut (hukum dengan adat seperti zat dengan sifatnya, tidak terpisahkan). Yang di maksud dengan hukum di sini adalah hukum Islam.3

Etnik1. Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian

masyarakat di Indonesia maupun dunia internasional pada masa yang lalu, saat ini ataupun mungkin yang akan datang. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog, seperti Snouck Hurgronje. Perkembangan sejarah dan peradaban suku bangsa Aceh pun menjadi perhatian para ahli sejarah, karena suku Aceh mempunyai keunikan tersendiri,

2 Azman Ismail, Islam…, hal. 62. 3 Azman Ismail, Islam…, hal. 62.

Page 117: 18

77

terutama integrasi etnik atau percampuran etnik yang akhirnya terjadilah suatu etnik Aceh.4

Suku bangsa Aceh merupakan salah satu suku yang tergolong ke dalam etnik Melayu (ras Melayu). Di samping itu etnik Aceh sering diidentikkan dengan Arab, Cina, Eropa dan India maupun Hindustan. Melihat dari segi fisik memang kebanyakan bentuk muka orang Aceh mirip orang Arab atau India, walaupun kemungkinan, itu biasa terjadi mengingat Aceh terletak di jalur perdagangan internasional sehingga pembauran dan akulturasi berbagai suku bangsa dapat terjadi dengan mudah. Akan tetapi, kalau diperhatikan dari segi kedekatan budaya dan geografis, Aceh memang terletak di Sumatera, maka etnis Aceh merupakan bagian dari etnis Melayu yang banyak tersebar di sekitar Selat Malaka.5

Dalam buku Aceh Sepanjang Abad Mohammad Said menyebutkan, bahwa dari sudut-sudut pengetahuan tentang jenis bangsa atau darah dapatlah diyakini sepenuhnya sudah lama sebelum Nabi Isa As, sekitar 2500 atau 100 tahun sebelum masehi wilayah Aceh telah dihuni oleh penduduk, mereka adalah golongan Melayu Tua, serupa dengan jenis suku bangsa lain dari kepulauan Sumatera, kemudian disusul oleh golongan Melayu Muda yang muncul 3000 tahun sebelum Masehi. Akibat kedatangan Melayu Muda, maka Melayu Tua yang sudah duluan mendiami wilayah Aceh akhirnya menyingkir ke daerah pedalaman, sedangkan Melayu Muda mendiami

4 M. Hasbi Amiruddin, dkk., Aceh Serambi Mekkah, (Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hal. 265. 5 M. Hasbi Amiruddin, dkk., Aceh…, hal. 265.

Page 118: 18

78

wilayah pesisir.6

Golongan Melayu Tua ini merupakan cikal bakal atau nenek moyang dari etnis yang ada di Aceh sekarang disebut etnik Gayo, mereka mendiami wilayah Aceh Tengah dan suku Mante di Aceh Besar. Sehubungan dengan suku Aceh disebutkan dalam buku Tarich Atjeh dan Nusantara mengatakan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun Melayu, yaitu bangsa-bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (Orang Laut), Senui dan lain-lain dari negeri Perak dan Pahang menurut ethnology, memiliki hubungan dengan bangsa Phonesia dan Babylonia dan bangsa Dravida di lembah Sungai Indus dan Gangga yang mungkin juga orang Batak atau Karo di mana mereka berhubungan erat dengan orang ini, dan kemungkinan pula ada pertalian dengan bangsa Gayo dan Alas.7

Agama 2. Dua abad sebelum Masehi, Aceh dalam sejarahnya

dikenal sebagai pusat perdagangan Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang Timur Tengah menuju negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad ke VI Masehi, Aceh menjadi wilayah pertama di nusantara yang menerima Islam. Setelah melalui proses yang panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad ke XIII Masehi, yang maju pada abad XIV Masehi. Dari tempat inilah Islam berkembang ke seluruh Asia.8

Keberagaman dan keterbukaan Asia Tenggara terhadap pengaruh luar, justru merupakan

6 M. Hasbi Amiruddin, dkk., Aceh…, hal. 265. 7 M. Hasbi Amiruddin dkk, Aceh…, hal. 266. 8 Badruzzaman Ismail, Sistem..., hal. 8.

Page 119: 18

79

karakteristik Aceh yang paling menonjol. Keterbukaan tersebut tidak hanya dalam aspek budaya, tetapi juga dalam proses transformasi teologis memiliki keterbukaan yang sama terhadap berbagai macam pemikiran. Setiap negara dibangun berdasarkan pertukaran budaya secara internal dan eksternal. Keyakinan universal berdasarkan kitab suci pun menguasai seluruh wilayah ini sekitar abad ke XV sampai XVIII Masehi. Mereka khususnya orang Melayu Nusantara, mengidentifikasi kawasannya sebagai negeri “di bawah angin” untuk membedakannya dengan dunia orang luar terutama orang-orang India, Arab dan Eropa sebagai negeri “di atas angin” yang datang untuk memanfaatkan angin Muson Samudra Hindia.9

Sejak abad XVII, bahkan sebelumnya, wilayah Sumatera bagian Barat, khususnya Aceh telah memiliki posisi dan peran historis sangat penting dalam renaisans tradisi keilmuan dan keulamaan. Aceh bahkan menjadi pusat keilmuan dan keulamaan pertama di Nusantara. Menurut Anthony Reid sebagaimana yang diikuti Erawadi bahwa apabila dilihat dari sudut pandang Islam, Sumatera bagian Utara selama lima abad telah menjadi titik pusat kepulauan nusantara (the pivot of the Archipelago). Adanya berbagai macam pengaruh menciptakan pusat peradaban intelektual. Kemunculan ulama-ulama besar beserta karya-karya besarnya dalam berbagai disiplin ilmu menunjukkan bahwa ulama-ulama seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani (w.1630 M), Nuruddin al-Raniry (w. 1658 M) dan Abdurrauf al-

9 Erawadi, Tradisi Wacana dan Dinamika Intelektual Is-lam Aceh Abad XVIII dan XIX, (Jakarta: Puslitbang Lektur Kea-gamaan, 2011), hal. 17.

Page 120: 18

80

Singkili al-Fansuri (w. 1693 M). dengan keterlibatan mereka dalam wacana pemikiran Islam pada tataran global sehingga menciptakan dinamika intelektual Islam Nusantara.10

Pada sekitar abad ke V, ketika orang-orang Barat memulai petualangannya di Timur, banyak wilayah di Nusantara yang dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat. Dalam percaturan politik internasional, hubungan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda yang semula cukup baik, pada abad XIX mengalami krisis. Meskipun demikian dalam Traktat London 17 Maret 1824, Pemerintah Belanda berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh.11

Empat puluh tahun kemudian, dengan berbagai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk tidak menghalanginya menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera No.1 November 1871. Dua tahun kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh yang berlangsung puluhan tahun dengan korban yang sangat besar banyaknya pada kedua belah pihak. Sejak itu sampai perang Dunia II Belanda kehilangan enam orang jenderal dan ribuan perwira serta prajurit. Demikian juga dengan Aceh tidak hanya kehilangan harta dan jiwa, bahkan yang lebih penting Aceh kehilangan kedaulatannya.12

Dalam kesadaran sejarah masyarakat Aceh, abad ke-17 merupakan masa keemasan Kerajaan Aceh Darussalam. Puncaknya dipercayai dicapai pada masa pemerintahan Iskandar Muda (memerintah 1607-1636).

10 Erawadi, Tradisi…, hal. 18. 11 Badruzzaman Ismail, Sistem..., hal. 8. 12 Badruzzaman Ismail, Sistem..., hal. 8.

Page 121: 18

81

Dalam ingatan masyarakat Aceh, sultan yang agung ini dianggap memiliki jasa yang telah membawa kerajaan Aceh mencapai kejayaan dalam segala hal. Sehingga Aceh pada saat itu menjadi sebuah kerajaan Islam yang memiliki karakteristik ke-Acehan-nya.13

Dari latar belakang sejarah yang cukup panjang inilah masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidup (the way of life) orang Aceh. Islam telah menjadi bagian dari mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh sangat tunduk kepada ajaran Islam dan taat serta memperhatikan fatwa ulama, karena ulama lah yang menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam jangka yang panjang tersebut telah melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktikkan, dikembangkan dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poeteumeuruhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”. 14

Budaya 3. Aceh merupakan daerah yang kaya budaya, dan

masyarakat Aceh adalah masyarakat yang berbudaya. Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam kebudayaan Aceh berkembang dengan pesat, baik dalam bentuk bahasa dan kesusasteraan maupun dalam bentuk seni dan ilmu pengetahuan. Baik adat maupun kebudayaan Aceh berakar pada nilai-nilai agama Islam.15

13 Amirul Hadi, Aceh..., hal. 148. 14 Badruzzaman Ismail, Sistem..., hal. 8. 15 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 178.

Page 122: 18

82

Sejak awal abad pertama Masehi, pulau Sumatera karena letak geografisnya, telah menjadi tumpuan perdagangan antar bangsa dan pedagang-pedagang yang datang ke Sumatera, antara lain dari negeri-negeri Arab, Anak Benua India, dan Negeri Cina. Teuku Ibrahim Alfian mengemukakan bahwa melalui suatu proses yang memakan waktu berabad-abad lamanya terbentuklah bahasa perhubungan di kepulauan nusantara yang memungkinkan orang untuk berkomunikasi antara sesama suku bangsa di nusantara dan antara suku-suku bangsa itu dengan bangsa-bangsa asing melalui lingua franca yang dikenal dengan nama bahasa Melayu.

Bahasa Melayu yang juga dikenal dengan nama bahasa Jawi berkembang dengan pesat terutama setelah penduduk-penduduk sekitar Selat Malaka itu memeluk agama Islam. Bahasa Melayu atau Jawi yang dimulai di Kerajaan Pasai itulah yang diangkat oleh para pemimpin pergerakan nasional Indonesia menjadi bahasa Indonesia.16

Teuku Iskandar dalam karyanya yang berjudul Kesusasteraan Melayu Klasik Sepanjang Abad, mengemukakan bahwa di nusantara ini terdapat delapan buah pusat kesusasteraan atau kebudayaan Melayu yaitu:

Kerajaan Sriwijaya (650-1200 M)(1) Kerajaan Melayu Singapura (abad ke-13 dan ke-(2) 14)Kerajaan Samudera Pasai (1250-1254 M)(3) Kerajaan Malaka (1400-1511 M)(4) Kerajaan Johor (1511-1798 M)(5) Kerajaan Aceh Darussalam (1524-1900 M)(6)

16 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 178-179.

Page 123: 18

83

Kerajaan Palembang (1650-1824 M)(7) Kerajaan Riau (1798-1900 M)(8) 17

Dari tahun 1400-1511 Masehi, Melaka bangkit sebagai pusat politik dan ekonomi di Selat Melaka dan menjadikan Melaka sebagai pusat kebudayaan Melayu. Penulisan sejarah, seperti Sejarah Melayu, merupakan lanjutan dari tradisi Pasai dan Melaka juga menghasilkan kitab undang-undang ini menjadi contoh di negeri-negeri lain. Pusat kesusasteraan Melayu di Johor dan Aceh lahir pada waktu yang hampir bersamaan. Setelah Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, muncullah Johor sebagai pusat kesusasteraan Melayu (1511-1798).18

Motif-motif budaya dan adat dapat dilihat pula pada perhiasan emas dan perak, keramik dan ukiran-ukiran pada pakaian, keranjang Gayo, termasuk berbagai makanan, batu nisan Aceh, tudung pelaminan dan aneka macam pakaian kebesaran adat lainnya.

Demikian pula tarian-tarian Aceh yang amat popular seperti tarian rapai geleng, tari saman (berbagai versi), seudati, tari ranup lampuan, tob daboh, didong, tari prang sabi, silat, likok pulo dan lain-lain. Model-model kue dan makanan yang beragam seperti wajeb, dodol, meusekat, timphan, boi, kueh seupet, keukarah, bungong kayee, sama loyang, bu leumak, bu leukat, kuah peungat, gulee pliek u, kuah leumak, kuah masam keu-eng, pisang pheep, engkot payeh, asam limeung,kueh lapeh dan lain-lain.

Menurut A. Hasjmy, ada tiga cara Islam membangun kebudayaannya, baik di tanah Aceh maupun di dunia lainnya, termasuk di Nusantara ini yaitu:

17 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal.179. 18 Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh..., hal. 179.

Page 124: 18

84

Mengislamkan kebudayaan yang telah ada (Islamisasi (1) Kebudayaan), di mana ajaran Islam terintegrasi dalam kebudayaan.Menghapus sama sekali kebudayaan yang telah ada, (2) yaitu kebudayaan yang bertentangan dengan akidah dan ibadah.

Membangun kebudayaan yang baru sepenuhnya.(3) 19

Kebudayaan Aceh itu dapat disimak dalam pelaksanaan kebijakan pemerintahan Aceh, di mana salah satu kerajaan yang dibangun berdasarkan ajaran agama Islam, maka Kerajaan Aceh Darussalam menyatakan sebagai negara yang berbudaya hukum. Implementasi nilai-nilai itu dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat, sebagaimana dalam adat perkawinan, peuwo linto, tueng dara baro, kelahiran bayi, adat turun ke sawah, turun ke laut, peusijuk, khanduri mauled Nabi, Nuzul Qur’an/Khatam Qur’an, Meurukon, Meulawet, dan lain-lain. Bentuk-bentuk budaya adat juga dapat dilihat pada ornamen/kaligrafi, arsitektur rumah-rumah adat, kegiatan berzikir, barzanji, nasyid, rebana dan lain-lain.

19 A. Hasjmy, Dari Tanah Aceh Kebudayaan Islam, Me-mulai Sejarah di Nusantara, Majalah Jeumala, (Banda Aceh: LAKA, 1993).

Page 125: 18

85

BAB IVSTRUKTUR DAN PRANATA SOSIAL

MASYARAKAT ACEH

Struktur Budaya, Pranata Sosial dan Sosial Budaya A.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering membicarakan tentang kebudayaan, juga dalam kehidupan keseharian

orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang melihat, mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan.1 Oleh karena itu, kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggota masyarakat, seperti misalnya kekuatan alam di mana dia bertempat tinggal, maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya.2

Seperti yang dikemukakan oleh Raymond Firth, bahwa konsep struktur sosial merupakan analytical tool, yang diwujudkan untuk membantu pemahaman tentang tingkah laku manusia dalam kehidupan sosial. Dasar yang penting dalam struktur sosial ialah relasi-relasi sosial yang jelas penting dalam menentukan tingkah laku manusia, yang 1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 153. 2 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 158.

Page 126: 18

86

apabila relasi sosial itu tidak dilakukan, maka masyarakat itu tak terwujud lagi. Struktur sosial juga dapat ditinjau dari status, peranan, nilai-nilai, norma dan institusi sosial dalam suatu sistem relasi.3

Pengertian Struktur Pranata1. Struktur dalam bahasa Inggris diartikan dengan

susunan4 sehingga struktur pranata merupakan susunan tatanan penting yang terdapat dalam suatu masyarakat dengan kata lain merupakan sistem nilai-nilai yang harus terwujud atau ada dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.5

Pranata Sosial Masyarakat2. Pranata Sosial Masyarakat merupakan terjemahan

langsung istilah “Social Institution”. Pranata sosial merupakan sistem pola-pola sosial yang tersusun rapi dan relatif permanen serta mengandung perilaku-perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu dengan pemuasan serta pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Pranata-pranata tersebut, seperti kekeluargaan, pendidikan, ekonomi, pemerintahan dan keagamaan, seni (keindahan dan kreasi), pranata hukum dan lain-lain.

Pranata sosial atau kelompok-kelompok sosial ini pada dasarnya dapat diklasifikasikan dari beberapa sudut atau atas dasar berbagai indikator. Seorang sosiolog Jerman Georg Simmel mengambil ukuran besar kecilnya jumlah

3 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial…, hal. 175-176. 4 John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesia Dictionary, Cet. XXVI (Jakarta: Gramedia, 1996), hal. 563. 5 Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial…, hal. 176.

Page 127: 18

87

anggota kelompok, bagaimana individu mempengaruhi kelompoknya serta interaksi sosial dalam kelompok tersebut. Dalam analisisnya mengenai kelompok-kelompok sosial, Georg Simmel mulai dengan bentuk terkecil yang terdiri dari satu orang sebagai fokus hubungan sosial yang dinamakannya monad yang kemudian dikembangkan dengan meneliti kelompok-kelompok yang terdiri dari dua atau tiga orang yaitu “dyad” serta “triad” dan kelompok-kelompok kecil lainnya. Di samping itu sebagai perbandingan, ditelaahnya kelompok-kelompok yang lebih besar. Analisanya tersebut kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Leopold Von Wiese dan Howard Becker.6

Ukuran lain yang diambil adalah atas dasar derajat interaksi sosial dalam kelompok sosial tersebut. Beberapa sosiolog memperhatikan pembagian atas dasar kelompok-kelompok di mana anggota-anggotanya saling kenal-mengenal (face to face grouping), seperti misalnya keluarga, rukun tetangga dan desa, dengan kelompok-kelompok sosial seperti kota-kota, korporasi dan negara, di mana anggota-anggotanya tidak mempunyai hubungan yang erat. Ukuran tersebut di atas, kemudian oleh sosiolog-sosiolog lainnya seperti umpamanya F. Stuart Chapin, dikembangkan lebih lanjut dengan memperhatikan tinggi rendahnya derajat eratnya hubungan antara anggota-anggota kelompok sosial tersebut.7

Transformasi Sosial Budaya3. Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak

kegiatan, di antaranya dalam organisasi sosial, ekonomi, ilmu

6 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 106. 7 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 106.

Page 128: 18

88

pengetahuan, teknologi dan proses simbolis.8 Industrialisasi pada awal, rupanya mengguncangkan masyarakat dan kebudayaan. Kata Ranggawarsita, “Mengalami zaman edan, serba sulit, tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, tetapi takdir kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia yang sadar dan waspada”. Jelas bahwa pada waktu itu suatu moralitas baru sedang tumbuh di dalam masyarakat, menggantikan kemapanan moralitas Jawa pada abad ke-19. Kekecewaan sang pujangga pada zamannya, pada lapisan atas dan lapisan bawah dari suatu tata masyarakat agro managerial state, menyebabkan ia ingat kepada Tuhan.9

Perasaan bahwa masyarakat hidup di zaman edan itu ditemukan kembali oleh Niels Mulders yang meneliti masyarakat Jawa pada tahun 1970-an, kurang-lebih seratus tahun sesudah Ranggawarsita menulis. Menurut Mulder, zaman edan itu merujuk pada peristiwa sekitar 1965-1966 ketika Indonesia terjadi huru-hara G-30-S PKI dan akibat-akibatnya. Namun kiranya ada yang lebih fundamental dari pada sekedar peristiwa politik dan militer. Sekarang telah terjadi transformasi sosial-budaya yang menyentuh akar-bawah. Reaksi terhadap transformasi itu, sebagaimana juga di zaman Ranggawarsita, ialah munculnya kecenderungan spiritual.10

Pada akhir abad ke-19 telah muncul gerakan revivalisme dan sectarian, sebagaimana dideskripsikan dalam tulisan Sartono Kartodirjo, di mana sekarang pun kita menyaksikan gerakan yang sama. Radikalisme budaya

8 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2006), hal.3. 9 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat…, hal. 12. 10 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat…, hal. 12.

Page 129: 18

89

kaum santri diwujudkan dalam kecenderungan sufisme pada kaum dewasa ini dan “fundamentalisme” kaum muda, dan di pihak lain, kaum abangan dengan sadar menuju ke penyuburan budaya spiritual setelah secara tegas diakui eksistensinya dalam GBHN 1978 dengan ratusan perkumpulan Penghayatan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa terdaftar pada kantor Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.11

Paralelisme historis ini dapat berarti bahwa sekarang kita setelah seratus tahun berada kembali pada awal suatu zaman baru, setelah kekuatan-kekuatan yang mengubah sejarah berjalan secara sempurna selama satu abad. Paralelisme itu dapat pula berarti bahwa sekarang transformasi memang sedang terjadi dalam skala dan kecepatan lebih, sementara antara perubahan struktural dan perubahan kultural tidak relevan sehingga terjadi anomie pada perangkat nilai. Anomie terjadi karena kesenjangan antara industrialisasi, teknologisasi dan urbanisasi di satu pihak, dan konservatisme budaya tradisional di lain pihak.12

Reaksi-reaksi terhadap gejala-gejala perubahan itu tampak di berbagai bidang. Sebagai reaksi terhadap budaya massa, kita melihat privatisme dalam kesenian garda depan, dan spiritualisme dalam cita-cita tentang kesempurnaan. Terhadap teknologisasi, terlihat derasnya kepercayaan kembali terhadap budaya magis-mistis dan paranormal. Terhadap urbanisme terlihat munculnya kelompok-kelompok kecil sekitar guru di berbagai kota, dan hubungan persaudaraan keagamaan sekitar guru tarekat, kelompok wirid dan majelis-majelis taklim. Reaksi-reaksi ini bertujuan untuk mengukuhkan kembali nilai-nilai yang

11 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat…, hal. 13. 12 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat…, hal. 13.

Page 130: 18

90

dikhawatirkan akan hilang.13

Proses Sosial Budaya4. Sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah

asumsi-asumsi dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem sosial budaya dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem sosial budaya itu sendiri, tetapi memberikan eksplanasi deskripsinya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat. Eksplanasi atau penjelasan menunjukkan bahwa sesuatu hal itu perlu penjelasan dan guna memprediksi gejala-gejala tertentu dengan berpedoman kepada kaedah sejagad atau teori. Apabila istilah konsep itu penting, maka apa yang dimaksud dengan konsep adalah istilah ilmiah yang menyatakan suatu idea atau pikiran umum tentang sifat-sifat suatu hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya. Seperti biokrasi, proses sosial, dan kebudayaan yang merupakan konsep-konsep yang menunjukkan pengaturan gejala empiris yang aneka ragam dan yang sering kali penting dinyatakan untuk membuat generalisasi serta membentuk teori.14

Konsep sistem kebudayaan sangat luas, karena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Hal-hal yang tidak termasuk kebudayaan hanyalah beberapa refleksi yang berdasarkan naluri, sedangkan suatu perbuatan yang sebenarnya juga merupakan perbuatan naluri, seperti makan misalnya, oleh manusia dilakukan dengan peralatan, dengan tata cara sopan santun dan protocol sehingga hanya biasa dilakukannya dengan baik sesudah suatu proses

13 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat…, hal. 113-14. 14 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 3.

Page 131: 18

91

belajar tata cara makan. Karena demikian luasnya, maka guna keperluan analisis, konsep sistem kebudayaan itu perlu dipecahkan lagi ke dalam unsur-unsurnya.15

Menurut Parsons dan Bertrand telah diketahui bahwa di dalam sistem sosial, sistem budaya atau sistem pada umumnya terdapat proses yang saling pengaruh-mempengaruhi. Hal ini terjadi karena adanya saling keterkaitan antara satu unsur dengan unsur lainnya atau satu bagian dengan bagian lainnya atau pun antara subsistem dengan subsistem, bahkan antara sistem itu sendiri dengan lingkungannya.16 Dari berbagai penjelasan mengenai proses sosial kebudayaan terjadi melalui interaksi berbagai elemen yang terdapat dalam sebuah masyarakat yang mencakupi berbagai unsur-unsur yang terdapat di dalamnya dan masing-masing memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya.

Sifat Interaksi Sosial5. Bentuk umum proses-proses sosial adalah interaksi

sosial yang juga dinamakan dengan proses sosial, oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses-proses sosial hanya merupakan bentuk-bentuk khusus dari interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu mereka saling tegur, berjabat tangan, saling berbicara bahkan berkelahi.17

15 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 5. 16 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 12. 17 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 51.

Page 132: 18

92

Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok lazim juga terjadi di dalam masyarakat. Interaksi tersebut terjadi secara mencolok, apabila terjadi pertentangan antara kepentingan-kepentingan orang perorangan dengan kepentingan kelompok.18

Syarat-Syarat Terjadinya Interaksi SosialB.

Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi tanpa memenuhi dua syarat yaitu:

Adanya Kontak Sosial (1. society contact)Kata kontak berasal dari kata Latin con atau cum

(yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh); jadi artinya secara harfiah adalah “bersama-sama menyentuh”. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya. Apalagi dengan perkembangan teknologi sekarang, orang-orang dapat berhubungan dengan orang lainnya melalui telepon, telegram, radio-radio surat dan seterusnya yang tidak membutuhkan suatu hubungan/kontak badaniah.19

Adanya Komunikasi2. Arti terpenting dalam komunikasi adalah bahwa

seseorang memberikan penafsiran pada perlakuan orang lain berupa pembicaraan, gerak-gerik fisik atau sikap, perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang

18 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 51. 19 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 54.

Page 133: 18

93

tersebut. Dalam komunikasi sering terjadi kemungkinan dengan berbagai interpretasi terhadap perilaku orang lain. Suatu senyum misalnya dapat diartikan dengan penafsiran keramah tamahan sikap, bersahabat atau bahkan sikap sinis dan sikap ingin menunjukkan kemenangan. Suatu lirikan dengan mata misalnya dapat ditafsirkan dengan pertanda bahwa yang bersangkutan kurang senang atau bahkan marah. Dengan demikian komunikasi memungkinkan kerjasama antara orang per orang atau antara kelompok-kelompok.20

Macam-Macam PranataC.

Pemahaman antara stratifikasi sosial dengan pranata sosial sering kali disamakan, padahal di sisi lain pengertian antara stratifikasi sosial dan pranata sosial terdapat perbedaan. Penyamaan dua konsep pengertian stratifikasi sosial dan pranata sosial akan mengakibatkan pemahaman dan pengertian yang rancu. Stratifikasi sosial lebih merujuk pada pengelompokkan orang ke dalam tingkatan atau strata dalam hierarkhi secara vertikal. Membicarakan stratifikasi sosial berarti mengkaji posisi atau kedudukan orang-orang atau kelompok orang dalam keadaan yang tidak sederajat. Dengan demikian stratifikasi sosial sering kali dihubungkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial.21

Pranata Sosial1. Pada puncak jenjang sosial terdapat segolongan

orang yang mempunyai hak-hak istimewa, yaitu orang kaya: bangsa Eropa menulis kata dengan “orancaya”, “orancaye”,

20 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 56. 21 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosi-ologi, Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 399.

Page 134: 18

94

atau menerjemahkannya dengan “gentilzhommes” (Fr. Martin), “noblemen” (Davis). Istilah Melayu “kaya” sama dengan “kaya” sekarang, tetapi sebagaimana dikemukakan oleh L.-C Damais, belum pasti arti itu sangat tua “oleh karena akarnya sama dengan akar “daya” dan “raya”, maka mungkin maksud aslinya adalah “mulia”, kuasa”. Sehingga padanannya dalam bahasa Prancis seperti “grands”, “notables”, “aristocrats” mempunyai ruangan semantik yang sudah dengan sendirinya berlainan, sehingga banyak penulis lebih suka menggunakan kata dari Melayunya. 22

Pranata sosial berada dalam ruang lingkup kajian yang sempit, artinya kelas sosial lebih merujuk pada satu lapisan atau strata tertentu dalam sebuah stratifikasi tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial. Dengan demikian pranata sosial cenderung didefinisikan sebagai kelompok yang anggota-anggotanya memiliki orientasi politik, nilai budaya, sikap, dan perilaku sosial yang secara umum sama. Misalnya masyarakat kelas menengah ke atas dalam banyak hal memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam hal penampilan fisik mereka, seperti cara berpakaian dan sarana transportasi yang digunakan bahkan merknya, tetapi di antara mereka biasanya juga berbeda dari segi ideologi, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku sehari-harinya. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari sikap dan gaya hidup di antara kelompok-kelompok sosial berdasarkan kelas tertentu. Atribut-atribut hidup berdasarkan kelas sosial yang dapat dilihat kasat mata.23

22 Deny. S Lombard, Kerajaan Aceh, (Jakarta: Kepusta-kaan Populer Gramedia, 2007), hal. 88-89. 23 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar…, hal. 399.

Page 135: 18

95

Pranata Keluarga2. Keluarga atau kerabat dalam istiadat, dalam kasus

ini diambil contoh masyarakat Gayo. Misalnya adat istiadat Gayo disebut kuning ni tenaruh (kuning telur) terdiri dari ayah dan ibu kandung serta anak kandung termasuk istrinya atau suaminya. Keluarga inti yang lebih luas dari kuning ni tenaruh disebut sara ine (satu mamak) terdiri dari ayah dan ibu kandung dan tiri, anak laki-laki dan anak perempuan baik kandung atau pun tiri beserta istri atau suaminya serta saudara satu kakek.24

Musyawarah keluarga inti ada dua macam: pertama musyawarah (pakat) sikuning tenaruh (paling inti) dan kedua musyawarah Sara ine (satu mamak). Musyawarah (pakat) sudere (saudara) juga ada dua macam: pertama, musyawarah yang diikuti oleh semua keluarga baik nasab (keturunan) maupun karena pernikahan, kedua, musyawarah yang diikuti pula oleh saudara karena bertetangga, satu belah, satu kampung, teman satu pekerjaan dan teman sejawat.25

Keluarga serumah tangga terdiri dari ayah, ibu, anak laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga, kakek dan nenek yang menjadi tanggungan anaknya serta cucu yang orang tuanya belum jawe (berpisah periuk nasinya dengan orang tuanya= mandiri).26

24 Mahmud Ibrahim dan A.R. Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat,(Aceh Tengah: Yayasan Maqaman Mahmuda, 2001), hal. 149. 25 Mahmud Ibrahim dan A.R. Hakim Aman Pinan, Syari’at…, hal. 149. 26 Mahmud Ibrahim dan A.R. Hakim Aman Pinan, Syari’at…, hal. 149.

Page 136: 18

96

Pranata Agama3. Kata “agama” dalam bahasa Indonesia sama artinya

dengan kata “religen” dalam bahasa Inggris atau “religi” dalam bahasa Belanda, yang kemudian diambil menjadi “religi” dalam bahasa Indonesia. Kata “religi” berasal dari kata bahasa Latin “relegere” yang berarti “to gather” (berkumpul bersama-sama) atau “relegare” yang berarti “faster” (mengikat, ikatan atau pengikatan diri). Dalam bahasa Arab untuk mengartikan agama digunakan kata-kata al-Millah dan al-Dien.27

Kata al-Millah dan al-Dien adalah bersifat umum, biasa dipergunakan untuk semua agama. Demikian juga al-Qur’an, pengertian kedua kata itu tidak dibedakan, artinya tidak dikhususkan untuk suatu agama tertentu. Pada suatu waktu al-Qur’an mempergunakan kata al-Dien dalam maksud Islam dan waktu yang lain menggunakan kata itu untuk seluruh agama selain Islam.28

Pranata Ekonomi4. Dewasa ini, masalah utama yang dihadapi

masyarakat Islam adalah kemiskinan dan kesenjangan. Al-Qur’an (2:266) menggunakan kata dlu’afa’ (lemah) untuk menggambarkan kemiskinan atau kesenjangan natural, dan kata mustadl’afin (Q.S. 4:75), yang berarti teraniaya, untuk menunjukkan adanya kesenjangan struktural atau kesenjangan. Di kalangan masyarakat Islam Indonesia kata dlu’afa, yang berkonotasi transformatif, lebih sering digunakan, sedangkan kata mustadl’afin, yang berkonotasi revolusioner, lebih popular pemakaiannya di kalangan

27 Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung: Rosdakarya, 2002), hal. 3. 28 Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam…, hal. 3.

Page 137: 18

97

masyarakat Islam Iran.29

Kemiskinan atau kesenjangan natural selalu terjadi sebagai sunnatullah, dan al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa Allah Swt melebihkan seseorang di atas yang lain. Kelebihan ini disebabkan perbedaan intelektual, perbedaan nasib, dan perbedaan lokasi maupun geografis. Tingkat pendidikan yang berbeda telah menyebabkan perbedaan pendapatan, yang pada gilirannya mempengaruhi pola konsumsi. Anak yang lahir dari keluarga miskin. Demikian juga yang dilahirkan di kota besar berbeda kemajuannya dengan yang dilahirkan di desa terpencil.30

Pada umumnya, kesenjangan struktural terjadi karena preferensi politik. Di zaman kolonial, Belanda memberikan preferensi kepada penguasa non-pribumi di atas pribumi Muslim karena alasan keamanan dan bisnis. Kontrak-kontrak penyetoran makanan untuk penjara, pengapalan prajurit, dan penjualan candu selalu diberikan kepada non-pribumi. Akibatnya, non-pribumi dapat mengangkat dirinya dan mempunyai jaringan perdagangan ke luar.31

Dualisme ekonomi antara sektor modern dan sektor tradisional itu akibatnya terasa hingga saat ini. Hanya saja, kesenjangan struktural sekarang ini sudah berubah format dari non-pribumi menjadi konglomerat usaha menengah dan kecil. Kebijakan ekonomi nasional di zaman Orde Baru yang berpihak kepada komunitas Cina dan elite pribumi telah melahirkan konglomerat. Konglomeratisasi ekonomi inilah yang melahirkan kesenjangan struktural antara

29 Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan Masyarakat Islam Gradualisme dan Konsensus, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), hal. 138. 30 Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan…, hal. 138. 31 Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan…, hal. 138.

Page 138: 18

98

konglomerat, pengusaha menengah dan kecil. Kesenjangan antara konglomerat, usaha menengah dan kecil disebabkan oleh faktor politik masa Orde Baru.32

Karena berbeda faktor penyebabnya, maka upaya penanganan antara kesenjangan natural dengan kesenjangan struktural pun berbeda. Kesenjangan natural dapat diatasi dengan membuka kran untuk mobilitas sosial. Zakat, infaq, dan shadaqah dapat diefektifkan untuk mengatasi kesenjangan dalam bentuk ini. Dalam hal ini, desa Putukrejo di Malang Selatan merupakan model keberhasilan dalam mengatasi kesenjangan natural lewat pengefektifan zakat. Dengan demikian, faktor politik tidak terlalu dibutuhkan untuk mengatasi kesenjangan struktural, keterlibatan unsur politik merupakan faktor utama. Negara bertanggungjawab untuk leveling sehingga kesenjangan struktural dapat teratasi.33

Pranata Pendidikan5. Dikotomi sistem pendidikan merupakan fenomena

yang sangat jelas dalam kehidupan masyarakat Islam hingga saat ini. Dikotomi ini tercermin dari pemilahan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, dan kenyataannya ini merupakan indikasi kerapuhan dasar filosofis pendidikan Islam. Adanya dualisme sistem pendidikan, antara sistem pendidikan pesantren/dayah dengan segala variasi dan implikasinya dalam pembentukan wawasan intelektual keislaman dan sistem pendidikan umum (sekular) dengan segala dampak serta akibatnya dalam persepsi keagamaan, di negara-negara Islam adalah bukti konkrit tentang dikotomi

32 Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan…, hal. 139. 33 Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan…, hal. 139.

Page 139: 18

99

tersebut.34

Pranata Politik6. Politik menyangkut soal kekuasaan, yang dapat

diperebutkan orang atau kelompok. Namun demikian, politik juga dapat menentukan segala-galanya sehingga ia menempati kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat dan negara. Islam juga memandang politik sebagai masalah penting, oleh karenanya ia menyuruh umat Islam menghadapi masalah tersebut dengan moral atau etika. Nilai-nilai persaudaraan, egaliter, saling menghormati, kejujuran, dan keadilan yang dikemukakan dalam hubungan antar manusia harus diikutsertakan dalam politik.35

Mengikutsertakan nilai-nilai tersebut dalam politik harus didasarkan pada kesadaran karena landasan bergerak bagi masyarakat Islam adalah kesadaran, bukan keuntungan material, kepentingan kelas, ataupun kepentingan golongan.36

34 Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan…, hal. 137. 35 Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan…, hal. 147. 36 Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan…, hal. 148.

Page 140: 18

100

Page 141: 18

101

BAB VPERUBAHAN-PERUBAHAN

KEBUDAYAAN ACEH

Dalam sebuah masyarakat, perubahan kultural merupakan sesuatu yang sunnatullah, mengingat

kehidupan sosial masyarakat yang dinamis. Perubahan sosial merupakan bagian dari gejala kehidupan sosial, sehingga perubahan sosial merupakan gejala sosial yang normal. Perubahan sosial tidak dapat dipandang hanya dari satu sisi, sebab perubahan ini mengakibatkan perubahan ke sektor-sektor lain. Ini berarti transformasi sosial dan kultural selalu menjalar ke berbagai bidang lainnya.1

Gejala transformasi itu dapat dilihat dari sistem nilai-nilai maupun norma yang ada pada suatu saat berlaku akan tetapi di saat yang lain tidak berlaku, atau suatu peradaban (civilization) yang sudah tidak relevan dengan peradaban pada masa sekarang ini. Sebuah contoh perubahan di bidang telekomunikasi yaitu penemuan pesawat telepon genggam (handphone), sehingga orang dapat menyampaikan pesan dengan cara mudah baik melalui pesan berbicara maupun pesan singkat melalui pesat singkat (SMS). Pengaruh ini akan menjalar pada penurunan fungsi kantor pos yang sebelumnya memegang peranan penting yaitu untuk mengantar surat hingga ke tempat tujuan. Contoh lainnya

1 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar…, hal. 609.

Page 142: 18

102

yaitu transformasi di bidang elektronika yang membawa pengaruh besar kepada sistem pengiriman uang. Setelah sebelumnya pengiriman uang dilakukan melalui wesel, maka saat ini orang bisa mengirimkan uang melalui ATM dan diterima dengan cepat dan mudah.2

Para sosiolog berbeda pendapat tentang batasan perubahan sosial. Untuk membatasinya akan diambil definisi yang dikemukakan oleh para sosiolog di antaranya:

Wiliam Ogburn, menyatakan batasan ruang lingkup 1. perubahan sosial, mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat materiil maupun yang tidak bersifat material (immaterial) dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang materiil terhadap unsur-unsur immaterial.Kingsley Davis, mengartikan perubahan sosial sebagai 2. perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbul pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalistis, menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dan majikan yang kemudian menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi politik.Gillin, mengartikan perubahan sosial sebagai suatu 3. variasi dari cara-cara hidup yang diterima, yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut.Selo Soemardjan, menyatakan perubahan sosial 4. adalah, segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang

2 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar…, hal. 609.

Page 143: 18

103

mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola peri kelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.Hans Garth dan C. Wright Mills, mendefinisikan 5. perubahan sosial adalah, apapun yang terjadi (kemunculan, perkembangan dan kemunduran), dalam kurun waktu tertentu terhadap peran, lembaga, atau tatanan yang meliputi struktur sosial.Samel Koenig menunjuk, pada modifikasi-modifikasi 6. yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia.3

Perubahan sosial tidak berarti kemajuan, tetapi dapat pula kemunduran, meskipun dinamika sosial selalu diarahkan kepada gejala transformasi (pergeseran) yang bersifat linier. Sebagai contoh hancurnya peradaban Yunani dan Kerajaan Majapahit di masa silam. Tekanan pada definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia di mana perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi segi-segi lain dalam struktur masyarakat. Hal ini erat sekali dengan asal mula perubahan sosial itu sendiri, di mana perubahan sosial ada yang direncanakan, yaitu melalui program pembangunan, dan perubahan sosial yang tidak terencana, seperti bencana alam dan peperangan.4

Perubahan-Perubahan Kebudayaan AcehA.

Setiap kehidupan masyarakat senantiasa mengalami suatu perubahan. Perubahan dalam kehidupan masyarakat merupakan fenomena sosial yang wajar. Oleh karena itu setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas. 3 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar…, hal. 610. 4 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar…, hal. 610-611.

Page 144: 18

104

Perubahan-perubahan akan tampak setelah tatanan sosial dan kehidupan masyarakat desa, dapat dibandingkan antara sebelum dan setelah mengenal surat kabar, listrik, televisi, internet, telepon, HP dan perangkat IT lainnya.

Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:

Tekanan kerja dalam masyarakat1. Keefektifan komunikasi2. Perubahan lingkungan alam.3. 5

Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan tersebut merupakan perubahan fungsi sosial dan masyarakat yang menyangkut perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lainnya. Perubahan-perubahan dalam pola kehidupan terutama perubahan nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, stratifikasi sosial, kekuasaan, tanggung jawab, kepemimpinan, perpolitikan, bahkan berlaku juga dalam bidang keagamaan.

Perilaku keagamaan, terindikasi bahwa masyarakat asli Aceh sekarang ada yang berpindah dari agama Islam ke ajaran agama lain atau aliran-aliran yang telah dinyatakan sesat oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), seperti aliran Millata Abraham, Ahmadiyah, Syiah, Mukmin Mubaliq dan lainnya. Perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan tersebut selalu berkaitan dengan ekonomi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, setiap perubahan dalam

5 Arnold, Matthew, Culture and Anarchy, Third edition, (New York: Macmillan, 1869).

Page 145: 18

105

suatu lembaga kemasyarakatan akan mengakibatkan pula perubahan dalam lembaga kemasyarakatan lainnya. Karena itulah, dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut selalu ada proses saling mempengaruhi secara timbal balik.

Perkembangan masyarakat Indonesia sejak awal tahun 1970-an memperlihatkan terjadinya perubahan-perubahan peranan komunitas Islam yang sangat mendasar di dalam transformasi sosial pada tingkat ekonomi, politik dan budaya masyarakat Indonesia. Demikian besarnya perubahan itu sehingga memunculkan lapisan elit intelektual Islam modern dalam jumlah yang sangat besar seolah-olah telah memisahkan sejarah masyarakat Indonesia modern, terutama sejarah era Orde baru, dari sejarah kolonial dan sejarah Orde Lama. Jikalau sepanjang era kolonial dan Orde Lama terdapat kesan umat Islam di Indonesia hanya mengenal lapisan intelektual tradisional “rural”, memiliki tingkat pendidikan sekular yang rendah, dan tidak memiliki minat terhadap dan keterlibatan di dalam biokrasi pemerintahan, maka sejak Orde Baru dapat dilihat lahirnya suatu sistem formasi sosial baru melalui munculnya lapisan kelompok intelektual Islam modern yang lebih “urban”, lebih berpendidikan, dan memiliki orientasi yang kuat terhadap dan keterlibatan yang semakin mendalam di dalam biokrasi pemerintahan.6

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan. Begitu pula halnya jika di

6 Djoko Surjo, dkk., Agama dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hal. 1-2.

Page 146: 18

106

amati perilaku budaya Aceh sekarang ini, tampaknya telah terjadi erosi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dinaiki, perlengkapan rumah yang dimiliki sebagai produk global yang melanda dunia. Celana pantelon, jins, sepeda motor, kompor gas, kulkas adalah salah satu wujud realitas dari perkembangan zaman. Kedua, pengaruh dari dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Pengaruh dari dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya.

Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti berubahnya hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan kontrol terhadap pembentukan suatu tipe sistem sosial. Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi.

Hal-hal seperti tersebut di atas sedang dihadapi pula oleh remaja putri di Aceh. Realitas remaja putri kekinian yang tampak adalah mereka lebih “bebas” dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Di kalangan orang-orang berpendidikan terutama yang hidup di kota telah terjadi

Page 147: 18

107

pergeseran budaya malu. Bagi golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan dan sebagainya. Keserasian menurut mereka dapat diperoleh melalui hubungan yang normal, rasional, dan saling menghormati.7

Realitas kekinian remaja putri tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi mereka sendiri terhadap gaya busana muslimah serta industrialisasi dan globalisasi yang melanda dunia. Konsep cantik bagi wanita sekarang amat berbeda dengan konsep cantik yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. Konsep cantik di kalangan remaja tidak hanya dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula dipengaruhi budaya luar. Kedua aspek tersebut akan menjadi referensi remaja dalam berbusana. Mereka lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas dibandingkan generasi di atas mereka. Gaya busana mereka lebih memilih baju-baju kasual untuk kegiatan sehari-hari mereka. Terdapat empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari hasil penelitian di Kota Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada beberapa jenis, seperti celana ketat/jeans, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.

Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, seperti jilbab yang dihiasi

7 http://tjoetnyakkkkk.blogspot.com/2011/01/pengaruh-budaya-terh-adap-agama-di-aceh, di akses pada bulan Februari 2012.

Page 148: 18

108

dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.

Dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu-mertua. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat. Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri.

Adapun upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya malu dalam masyarakat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara preventif dan refresif. Usaha yang disebutkan pertama dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal serta sikap menghindar, sedangkan usaha kedua dapat dilakukan melalui penjatuhan sanksi adat, penyebaran rasa malu terhadap para anggota yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.

Adat istiadat yang berupa kebiasaan seremonial/upacara, prilaku ritualitas, estetika/keindahan, apresiasi seni tari, seni suara, seni lukis, relief/ motif bangunan pisik, pakaian dan makanan ( bernilai ritual dan komersial ). Sedangkan nilai normatif/prilaku tatanan (hukum adat), yaitu materi norma/aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran yang berlaku untuk ketertiban masyarakat. “Geu pageu lampoeh ngon kawat, geu pageu nanggroe ngon adat”. ”Ureung majeulih hantom kanjai, ureung tawakal hantom binasa”. ”Taduk ta muproe ta mupakat, pat-pat nyang silap tawoe bak punca”.

Page 149: 18

109

“Tanoh leumik keubeu meukubang, leumoh goe parang goeb panglima”. ”Salah bak hukom raya akibat, salah bak adat malee”.

Penerapan Budaya dan Adat Istiadat AcehB.

Budaya dan adat istiadat Aceh merupakan simbol-simbol penampilan perilaku dalam tatanan pergaulan, sedangkan hukum adat aspek utamanya adalah pengaturan tatanan sikap perilaku yang wajib dijalankan dalam penataan struktur kehidupan bidang kenegaraan/pemerintahan, bidang hukum keluarga/perkawinan, lapangan kewarisan, mata pencaharian, keamanan, ketertiban dan sebagainya di mana konsekuensinya adalah ancaman hukuman bagi yang melanggarnya dengan menerapkan aturan adat yang dilaksanakan oleh fungsionaris-fungsionaris adat.

Demikian patuhnya orang Aceh daluhu pada adat istiadat dan keagamaan, sehingga dalam kehidupan kesehariannya selalu mereka praktikkan, “Udep tan adat, lagee kapai tan nakhoda”, atau “Udep tan adat, lagee buleukat tan seurikaya”. Untuk itulah mereka mengaplikasikan ungkapan “Umong meu ateung, ureung meu peutua, rumoh meu adat, pukat meu kaja dan Nanggroe meu raja”. Ungkapan ini bermakna cukup dalam dan mengikat setiap warga masyarakat, yaitu dalam hidup dan bertingkah laku, setiap orang dibatasi oleh hukum dan agama, ibarat sawah yang diatasi oleh pematang, sehingga air yang dibutuhkan oleh tanaman padi tidak tumpah dan mengalir keluar.

Seluruh bentuk ajaran agama, struktur pemerintahan, hubungan-hubungan sosial, pendidikan, perkawinan, politik, hukum, keadilan dan sebagainya dimulai dari gampong/desa. Gampong merupakan dasar utama dari segala bentuk

Page 150: 18

110

kehidupan masyarakat, “oleh sebab itu, menurut para orang “bijak” di zaman dahulu, tingkat pemerintahan gampong (desa) harus ditata sedemikian rupa baiknya. Dengan baik dan sehatnya kehidupan komunitas gampong akan memberikan kontribusi yang baik dan sehatnya kehidupan pemerintahan yang lebih tinggi”.8

Lebih jauh masyarakat Aceh meyakini bahwa agama dan adat pada dasarnya mengandung nilai-nilai dan sumber daya yang dapat dijadikan aset untuk menggerakkan upaya pencapaian keadilan dan kemakmuran serta kesejahteraan. Nilai-nilai yang bersumber pada agama dan adat sangat menekankan kedisiplinan, ketekunan, kesabaran dan kesungguhan dalam setiap kegiatan kehidupan. Adat mampu memberdayakan sumber daya dan struktur-struktur kelembagaan sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat. Salah satu aspek identitas budaya sebagai landasan penegak tatanan kehidupan komunitas masyarakat Aceh yang bersikap ikhlas, rukun, damai, adil, jujur dan bermartabat adalah bila dapat memanifestasikan pemberdayaan adat dan agama dalam segala sikap dan perilaku masyarakat.

Di saat masyarakat Aceh kini berada dalam dimensi situasi multi kritis, kecenderungan untuk teraktualisasikannya nilai-nilai adat dan hukum adat dalam tatanan kehidupan masyarakat sangat dirasakan kebutuhannya. Kerukunan, kedamaian, keikhlasan, kebersamaan dan kebenaran dalam tatanan gampong (desa) sebagai pilar Nanggroe (negeri), kiranya patut diperjuangkan dan diangkat kembali ke permukaan agar

8 M. Hakim Nyak Pha, Format Dasar Adat Istiadat dan Pelaksanaan dan Pelaksanaan Pada Generasi Muda, (Maka-lah), (Banda Aceh: MUI Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 2000), hal. 2.

Page 151: 18

111

harkat dan martabat masyarakat Aceh dapat ditegakkan kembali, sekurang-kurangnya dapat dipulihkan kembali supaya jangan terus menerus terpuruk.

Adapun aspek-aspek bidang (hukum) adat yang patut diangkat kembali antara lain:

Lembaga-lembaga hukum adat (struktural), seperti a. gampong, mukim, Nanggroe, sago, sago cut dan sebagainya.Fungsionaris hukum adat (pejabat/pelaksana/b. tokoh/pimpinan/panutan masyarakat), seperti tengku-tengku/ulama, pimpinan adat/ureung-ureung tuha (orang-orang tua), tuha peuet, tuha lapan, tengku sago, dayah, imuem chik, panglima laot, panglima uteuen, peutua seuneubok, keujruen chik, kejruen blang, haria peukan, Keuchik, imuem mukim dan lain sebagainya.Hukum adat itu sendiri (bentuk-bentuk hukum c. adat), seperti kebiasaan-kebiasaan yang diputuskan oleh majelis adat, norma-norma adat, nilai-nilai adat dan sebagainya.9

Aceh dikenal dengan kota Serambi Makkah, karena selain mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, peraturan Islam pun cukup ketat dalam pelaksanaannya. Masyarakat Aceh selalu menegakkan syariat Islam dalam berbagai aspek hidupnya. Misalnya hampir sulit ditemukan wanita Aceh yang tidak berjilbab. Begitu eratnya kaitan antara adat dengan agama Islam. Keterkaitan antara adat dengan hukum Islam itu digambarkan sedemikian rupa dalam ungkapan “adat ngon hukom legee zat ngon sipheuet” atau dalam ungkapan “adat ngon hukom hanjeuet cree, lagee

9 M. Hakim Nyak Pha, Format Adat Istiadat dan Pelaksa-naan Pada Generasi Muda, hal. 3.

Page 152: 18

112

mata uteh ngon mata itam”.Distorsi adat dalam perkembangan zaman, banyak

kalangan di dalam masyarakat sudah meninggalkan adat, bahkan telah memudarnya pemahaman adat Aceh di kalangan generasi muda. Hal ini terlihat arsitek rumah-rumah orang Aceh sekarang ini tidak lagi membuat rumah Aceh tempo doeloe, kantor-kantor pemerintahan, penggunaan bahasa sehari-hari, bangunan tempat-tempat pelayanan publik, cara berpakaian dan upacara-upacara adat yang telah mengalami pergesaran yang sangat berarti. Banyak hal yang dahulu dianggap sakral dalam memulai sesuatu bangunan rumah dan pada saat memasuki rumah baru, dahulu diikuti dengan upacara adat yang khas, tetapi sekarang ini sudah mengalami distorsi.

Dalam perkembangan kontemporer pakaian-pakaian yang digunakan oleh kaum pria dan wanita Aceh tidak lagi menunjukkan ciri khas keacehan. Demikian halnya pakaian yang digunakan oleh pegawai-pegawai negeri, siswa sekolah dan masyarakat pada umumnya. Guru-guru di Aceh dahulu walaupun tidak menggunakan pakaian seragam seperti sekarang, namun tampak jelas perbedaan pakaian masyarakat biasa dengan pakaian yang digunakan oleh guru sewaktu akan mengajar. Sekarang guru menggunakan pakaian seragam dan sama dengan pakaian seragam PNS Dinas/perkantoran pemerintah. Pakaian guru harus berbeda dengan pakaian pegawai di perkantoran. Karena pakaian seragam guru di sekolah/madrasah mencerminkan budaya mendidik dan merupakan ciri khas pendidik.

Perubahan yang mendasar lagi bahwa para wanita, terutama sebagian anak-anak gadis Aceh tidak canggung menggunakan pakaian/celana yang sangat ketat dan berboncengan antara pria dan wanita merupakan hal yang

Page 153: 18

113

biasa saja. Para orang tua (ayah dan ibu) si gadis tidak melarang cara berbusana anak gadisnya. Para sebagian orang tua membiarkan kebebasan berpakaian bagi anak-anak gadisnya. Ini pertanda budaya luar sudah sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan berbudaya di kalangan masyarakat Aceh.

Pergeseran dan perubahan budaya seirama dengan perkembangan zaman dan kemajuan suatu bangsa. Kekhususan budaya Aceh juga dapat dilihat dari ketahanan budaya yang diguncang oleh konflik yang berkepanjangan. Namun tidak semua sendi kehidupan budaya yang mengalami degradasi secara drastis. Budaya Aceh tetap eksis dan bertahan sebagaimana kebudayaan lain di nusantara. Sebagaimana yang digambarkan dalam buku “Budaya Aceh” keunikan dan kemiripan budaya Aceh dapat dilihat dari kesesuaian, terutama kesesuaian gerak atau seni tari. Seni tari Aceh yang geraknya sangat cepat dan heroik cenderung mendekati tani India belakang. Demikian juga cara berpakaian orang Aceh di kampung-kampung mirip dengan cara berpakaian orang Hindu. Kenyataan ini jelas terlihat pada sanggul rambut atau yang lainnya. Dari ramuan makanan yang disajikan pun ada kemiripan dengan makanan orang India. Misalnya orang kampung di Aceh saat ini masih makan sirih sebagai pencuci mulut setelah makan nasi. Makan sirih terdapat pada masyarakat tradisional India. Demikian pula seni ukir atau arsitektur dan bangunan-bangunan tempo dahulu, mirip dengan bangunan-bangunan Hindu. Peninggalan tersebut masih tersisa, seperti bangunan masjid kuno di Indrapuri Aceh Besar.10

10 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh, (Banda Aceh, Dinas Pariwisata Aceh, 2009), hal. 12.

Page 154: 18

114

Jadi masyarakat Aceh sesungguhnya sangat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka pada prinsipnya cukup taat serta mematuhi fatwa ulama. Penghayatan terhadap ajaran Islam dalam jangka yang sangat panjang itu telah melahirkan budaya Aceh yang Islami dan tercermin dalam adat (hukum) dan adat istiadatnya. “Adat lahir dalam renungan para ulama dan para cerdik pandai (cendekiawan) masa lalu, kemudian dipraktikkan, dikembangkan, disempurnakan dan dilestarikan, lalu disimpulkan dalam bentuk hadih maja “Adat bak Pho Teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksanama”.11

Menjadi cukup jelas dan terang bahwa adat istiadat Aceh sangat berperan dalam kehidupan masyarakat Aceh tempo doeloe, sehingga mereka cukup bermartabat dan mempunyai harga diri yang cukup disegani. Adat telah mengangkat dan mempertahankan harkat dan martabat serta jati diri orang Aceh masa lalu. Dan tentu saja untuk mengangkat harkat dan martabat orang Aceh masa kini yang telah cukup terpuruk, maka jalan yang paling mudah adalah Pemerintah Aceh melalui Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan lembaga terkait lain bersama-sama tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh agama untuk memberlakukan kembali hukum adat dan adat istiadat asli masyarakat Aceh yang nyaris terlupakan. Dan sudah saatnya untuk menerapkan hukum adat secara menyeluruh yang selama ini hanya menonjol pada upacara-upacara peusijuek pejabat-pejabat negara yang datang ke Aceh, upacara perkawinan dan adat memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. dan belum menyentuh aspek-aspek hukum adat dan adat istiadat yang menyeluruh.

11 M. Hakim Nyak Pha, Format Adat Istiadat dan Pelak-sanaan Pada Generasi Muda, hal. 4.

Page 155: 18

115

Pergesaran-pergeseran Budaya dan Adat Istiadat C. Aceh

Perubahan dan pergesaran budaya dan adat istiadat Aceh adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan dan pergesaran budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan dan pergesaran itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin melakukan perubahan. Manusia cepat bosan, kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari suatu perubahan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perubahan itu meliputi tekanan kerja dalam masyarakat, keefektifan komunikasi dan perubahan lingkungan alam.

Perubahan budaya dan adat istiadat juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan-penemuan baru dan kontak-kontak dengan kebudayaan lain. Perilaku budaya dan adat istiadat Aceh tertuang dalam sikap pemahaman dan sikap beragama berbahasa, adat istiadat, hukum, akhlaq dari masyarakat Aceh itu sendiri. Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dimiliki, perlengkapan rumah tangga yang terdiri dari produk-produk global yang tersedia. Demikian juga komporgas, kulkas, AC, sepeda motor adalah salah satu wujud realitas dari perkembangan zaman. Pengaruh dari dalam masyarakat itu sendiri relatif dominan terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai ke Acehannya yang disebabkan oleh faktor mental dan tidak setia pada budaya dan adat istiadatnya.

Akibat dari kekuatan-kekuatan eksternal dan internal yang mempengaruhi budaya dan adat istiadat Aceh

Page 156: 18

116

itu, berakibat pada melemahnya ikatan-ikatan tradisional di dalam kehidupan dan masyarakat Aceh. Berubahnya hubungan tradisional antar generasi, seperti dalam hubungan perkawinan, upacara-upacara perkawinan yang telah mengalami pergesaran yang mendasar, telah memadukan pola adat luar Aceh dengan adat Aceh, pakaian pengantin, sistem upacara, kenduri, penyambutan pengantin dan lain-lainnya. Hilangnya kultur keacehan mengakibatkan hilangnya kultur terhadap pembentukan suatu tipe dan sistem sosial. Tradisi-tradisi tradisional mulai melemah dan digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang-orang tua, pemuka masyarakat, pemuka-pemuka agama, pemangku adat atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakatnya, sehingga pengawasan atau kendali hanya dilakukan dengan instrumen-instrumen kekuasaan yang bersifat rasionalitas dan lebih kompetitif.

Hal-hal seperti tersebut di atas sedang berlangsung dan sedang dihadapi oleh sebagian komunitas di Aceh, terutama di kalangan remaja-remaja putri, realitas kaum remaja putri sekarang ini tampak “mereka lebih bebas” dibandingkan dengan remaja-remaja putri sebelumnya. Di kalangan orang-orang yang berpendidikan yang hidup di kota-kota telah mengalami pergesaran yang drastis, semisal budaya malu bagi remaja putri dalam berpakaian yang tidak mencerminkan busana Islami. Orang tua lebih banyak membiarkan dan memberi pilihan pada anak-anaknya, orang tua tidak membatasi pergaulan bagi anak-anaknya. Bagi golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak di capai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan dan sebagainya. Keserasian menurut mereka dapat diperoleh

Page 157: 18

117

melalui hubungan yang normal, rasional dan saling menghormati.

Perubahan sosial budaya dan adat merupakan hal yang niscaya dalam peradaban manusia. Manusia tidak mungkin hidup dalam keadaan yang statis. Demikian pula halnya dengan perubahan adat istiadat dan budaya masyarakat di Aceh. “Perubahan itu terjadi karena perkembangan pemikiran manusia dari masyarakat agraris ke masyarakat yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, dari masyarakat yang mengandalkan tenaga manusia ke masyarakat mekanis (mesin)”.12

Perubahan sosial tidak akan terjadi jika tatanan budaya berakar secara baik dalam masyarakat, yaitu tatanan budaya yang memiliki landasan dan filosofi yang kuat, fondasi yang dimaksud dalam konteks Aceh jelas adalah nilai-nilai Islami. Nilai-nilai tersebut terus terpelihara sampai sekarang, sehingga tidak dapat lagi dipisahkan antara nilai-nilai adat dan nilai-nilai Islami. Keduanya saling bersinergi, sehingga menjadi sebuah kekuatan yang menggerakkan masyarakat untuk melakukan sebuah gerakan sosial (social of action) bersifat profetis yang mengarah pada terciptanya masyarakat yang Islami. Dalam konteks ini sebuah ungkapan “Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeuet” selalu menjadi patron dalam bersikap dan berprilaku sehari-hari bagi masyarakat Aceh.

Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa, perubahan sosial budaya akan berjalan dengan baik jika faktor-faktor pendukung juga menopang gerakan tersebut. Faktor-faktor yang paling menentukan tersebut di antaranya

12 Tim Peneliti IAIN Ar-Raniry dan Biro Keistimewaan Aceh, Kelembagaan Adat Provinsi NAD, (Banda Aceh: Ar-Ra-niry Press, 2006), hal. 185.

Page 158: 18

118

adalah tingkat pendidikan, tatanan ekonomi dan stabilitas politik. Oleh karena itu, diperlukan upaya masyarakat dan keinginan pemerintah untuk melakukan perubahan ini. Sebab semua aspek saling terkait satu sama lain, pendidikan mempengaruhi keadaan ekonomi, stabilitas politik berdampak terhadap perkembangan budaya, serta budaya mempunyai efek terhadap perubahan sosial, begitu pun sebaliknya.13

Dengan demikian, perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat, termasuk juga masyarakat Aceh. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Dalam konteks keacehan, perubahan budaya ditimbulkan akibat perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain sebagaimana telah di jelaskan di atas. Pada sisi lain, pengaruh dari dalam juga dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya.

13 Tim Peneliti IAIN Ar-Raniry dan Biro Keistimewaan Aceh, Kelembagaan…, hal. 185.

Page 159: 18

119

BAB VISISTEM KOMUNIKASI SOSIAL DALAM

MASYARAKAT ACEH

Bahasa Masyarakat AcehA.

Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Aceh terdapat berbagai suku sehingga menggunakan bahasa daerah

yang sangat beragam dan berbeda. Misalnya orang Singkil mempergunakan bahasa pesisir. Singkil sebagai identitas bahasa daerah yang mengikat mereka. Bahasa ini mendapat pengaruh daerah Minangkabau dan Tapanuli. Bahasa Minangkabau dapat ditemui dalam kosakata bahasa Singkil, sedangkan bahasa Tapanuli ditemui pada intonasi suara yang keras, tinggi dan rendah, yang kadang-kadang diselingi dengan kata Bah.1

Bahasa pesisir Singkil umumnya dipergunakan dalam lingkungan keluarga mulai dari daerah pantai sampai hulu Sungai Singkil. Bahasa Singkil terdiri dari dialek Singkil Simpang Kiri dan dialek Singkil Simpang Kanan. Pengaruh bahasa Aneuk Jamee dan bahasa Aceh yang ditemui juga pada bahasa Singkil.2

Adapun Etnis Kluet, bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Kluet, kecuali mereka yang hidup di perantauan. Bahasa Kluet ini mempunyai tiga dialek, yaitu dialek Paya Dapur, dialek Manggamat, dan dialek Krueng

1 Abdul Rani Usman Dkk, Budaya Aceh…, hal. 60. 2 Abdul Rani Usman Dkk, Budaya Aceh…, hal. 60.

Page 160: 18

120

Kluet. Dialek Paya Dapur biasanya digunakan di wilayah Perdamaian dan Makmur. Dialek ini belum bercampur dengan bahasa lain, sementara dua dialek lainnya telah tercampur dengan bahasa lain. Hal ini dapat dilihat pada dialek Manggamat telah terpengaruhi oleh bahasa Aceh dan bahasa Aneuk Jamee. Dialek ini dipakai oleh penduduk wilayah Manggamat. Demikian juga dengan dialek Krueng Kluet yang sudah terpengaruh dengan bahasa Aceh. Namun secara keseluruhan bahasa Kluet dapat dikatakan mempunyai banyak persamaan dengan bahasa Alas.3

Lain halnya pula bahasa yang digunakan oleh masyarakat Simeulue. Orang Simeulue menggunakan dua bahasa, pertama, bahasa Sigulai yang digunakan oleh penduduk Simeulue Barat dan Salang. Kedua, bahasa Defayan yang digunakan di Simeulue Timur, Simeulue Tengah, dan Teupah Selatan. Bahasa Sigulai mempunyai banyak persamaan dengan bahasa Nias. Di pulau Harapan, yang terletak di perbatasan antara Simeulue Barat dan Salang, dipergunakan bahasa Leukon, bahasa ini hampir mirip dengan bahasa Defayan. Untuk komunikasi dengan pendatang dari Sibolga, Tapak Tuan, Meulaboh, dan Padang, bahasa yang digunakan adalah bahasa Aneuk Jamee. Pemakaian bahasa Indonesia secara aktif dapat dikatakan masih sangat terbatas pada sebagian penduduk dan umumnya dipakai di pusat kota dan kebanyakan bagi kaum laki-laki.4

Dalam masyarakat Aneuk Jamee, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jamee (Jamu). Kosa kata bahasa Jamee lebih dominan bahasa Minang dari pada bahasa Aceh. Bahasa yang diucapkan oleh masing-masing penduduk pada

3 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh…, hal. 85. 4 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh…, hal. 92.

Page 161: 18

121

tiap daerah setingkat kecamatan mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan dialek tersebut dipengaruhi oleh faktor geografis dan bahasa yang terdapat di daerah tersebut.5

Etnis Aceh selanjutnya adalah Gayo. Etnik ini terdapat tiga kelompok yakni Gayo Lut, Gayo Lues dan Gayo Serbajadi. Ketiga kelompok ini menggunakan bahasa yang sama yaitu bahasa Gayo. Sedangkan dialek yang mereka gunakan, menurut G.A.J. Hazeu, seorang pakar bahasa membagi bahasa Gayo ke dalam dua dialek. Yang pertama dialek Gayo Lues yang digunakan oleh orang Gayo Lues, Serbajadi, Lokop, dan Tampur. Namun Prof. Dr. M. Yunus Melato membagi dialek Gayo Lut menjadi tiga subdialek, yaitu subdialek Deret, subdialek Bukit, subdialek Cik.6

Bahasa AcehB.

Bahasa merupakan alat komunikasi di dalam masyarakat. Bahasa adalah ungkapan verbal yang digunakan untuk menyampaikan keinginan hasrat agar tercapai tujuannya dalam masyarakat. Setiap wilayah atau negara mempunyai satu atau lebih bahasa. Bahasa adalah salah satu unsur dari kebudayaan. Oleh karena itu bahasa erat kaitannya dengan masyarakat itu sendiri. Artinya bahasa di suatu wilayah hidup berkembang sesuai dengan perkembangan budaya itu sendiri dalam suatu masyarakat tertentu. Realitas tersebut juga terjadi pada bahasa Aceh. Bahasa Aceh merupakan bahasa yang berkembang sesuai dengan perkembangan budaya Masyarakat Aceh itu sendiri.

Bahasa Aceh sudah mengalami perubahan sedemikian rupa sehingga menjadi bahasa Aceh yang hidup

5 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh…, hal. 103. 6 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh…, hal. 114.

Page 162: 18

122

eksis sampai saat ini. Menurut Hasyim sebagaimana dikutip oleh Ismuha, Bahwa: “Bahasa Aceh banyak kesamaan dengan bahasa Campa dan Indo China. Kesamaan bahasa secara antropologi memang sedikit banyaknya karena mereka berasal dari nenek moyang yang sama, paling kurang sebagian dari penduduk tersebut dari nenek moyang yang berbahasa sama. Ditambah lagi dengan nama yang sering disebutkan atau diidentikkan, bahwa asal orang Aceh adalah percampuran dari Arab, China, Eropa dan Hindia. Mengenai pengaruh bahasa China di dalam bahasa Aceh, misalnya dalam sebutan camca (sendok) dan cawan (sejenis gelas minuman)”.7 Bahasa Aceh merupakan turunan dan satu rumpun bahasa yang dinamakan Austronesia.8 Bahasa Aceh adalah bahasa yang dipergunakan sehari-hari dalam masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam menjadi alat pemersatu bagi masyarakat sekitarnya. Bahasa Aceh, sebagaimana bahasa daerah lainnya, mempunyai peranan dalam pembangunan bangsa Indonesia terutama dalam mengembangkan kebudayaan nasional.

Demikian halnya bahasa Aceh yang asli atau bahasa yang mirip dengan bahasa Campa atau Indo Cina, diperkirakan hidup sebelum berkembangnya bahasa Melayu. Akan tetapi bahasa tersebut telah mengalami perubahan sedemikian rupa setelah berkembangnya bahasa dari kebudayaan Melayu. Secara etnologis bahasa Aceh itu sendiri. Kini bahasa Aceh sedikit demi sedikit mengalami penurunan penuturnya terutama di daerah perkataan. Bahasa Aceh merupakan rumpun bahasa Melayu. Bahasa

7 Ismuha, (Ed), Bunga Rampai Temu Budaya Nusantara PKA-3 Banda Aceh, (Banda Aceh: Syiah Kuala Universiti Press, 1988), hal. 182. 8 Ismuha, hal. 142

Page 163: 18

123

Aceh agak sukar pengucapannya apabila orang asing yang mempelajarinya, karena huruf hidup dan huruf mati yang ganda dalam penulisannya. Akan tetapi bahasa Aceh sangat singkat dalam pengucapannya. Misalnya jep (minum), ie (air), u (kelapa). Jika disatukan dalam kalimat: Jeb ie u artinya: minum air kelapa.

Di samping itu bahasa Aceh pada zaman sebelum Kerajaan Islam berkembang tidak dipergunakan sebagai bahasa tulis, akan tetapi digunakan sebagai bahasa lisan atau bahasa tutur dalam pergaulan sehari-hari. Namun demikian setelah Kerajaan Pasai berkembang, bahasa Aceh sudah dipergunakan sebagai bahasa tulis terutama dalam penulisan-penulisan hikayat-hikayat atau cerita-cerita rakyat. Namun demikian bahasa resmi atau bahasa ilmu pengetahuan di Aceh yang dipergunakan pada masa itu ialah bahasa Melayu. Oleh karena itu bahasa Melayu/Indonesia merupakan bahasa yang akrab dengan orang Aceh. Peninggalan-peninggalan tertulis orang Aceh masa lampau bukan tidak ada, melainkan bukan dalam bahasa Aceh. Tulisan pada batu nisan Malikussaleh, raja Kerajaan Samudra Pasai, misalnya bukan dalam bahasa Aceh. Tulisan-tulisan dari zaman raja Aceh setelah itupun bukan dalam bahasa Aceh. ini termasuk surat-surat dan tulisan-tulisan lain. Baru dalam abad kedelapan belas mulai ada tulisan-tulisan dalam bahasa Aceh dan kini khusus untuk hikayat-hikayat, yakni cerita yang diungkapkan dalam bentuk syair. Segala tulisan yang lain dituliskan dalam bahasa Melayu.

Macam-macam Bahasa yang Ada Di AcehC.

Pertama, Bahasa Gayo dipergunakan oleh masyarakat Kabupaten Aceh Tengah dan di Kecamatan Lokop Aceh

Page 164: 18

124

Timur. Bahasa Gayo dipergunakan oleh etnik Gayo. Etnik Gayo merupakan subetnik Aceh yang masih ada dan berkembang sampai saat ini, baik bahasanya, maupun peradabannya. Bahasa Gayo merupakan bahasa yang sangat berlainan dengan bahasa Aceh pesisir. Bahasa Gayo merupakan bahasa yang masih banyak dipergunakan di daerah etnik.

Di samping itu bahasa Gayo merupakan bahasa yang dipakai oleh etnik Gayo dan mereka umumnya tinggal di pedalaman Aceh Tengah. Bahasa Gayo mendekati/mirip bahasa Alas di Aceh Tenggara dan bahasa Batak. Demikian juga unsur budaya Gayo mirip dengan Budaya Batak seperti pakaian adat dan tari-tarian. Bahasa Gayo berbeda dengan bahasa Aceh. Demikian juga hidup dan berkembang bahasa Gayo di daerah dataran tinggi tanah Gayo. Mereka, etnik Gayo, sangat menghargai budaya dan bahasa nenek moyang mereka, sehingga terlihat apabila mereka ke luar dari daerah pedalaman Gayo, umumnya mereka tetap menggunakan bahasa Gayo.

Kedua, Bahasa Tamiang digunakan oleh masyarakat Melayu yang bertempat tinggal di Kecamatan Bendahara, Kecamatan Keujuruan Muda, Kecamatan Karang baru, Kecamatan Seruway dan Kecamatan Tamiang Hulu, semua terletak di wilayah kabupaten Aceh Tamiang. Bahasa Tamiang atau sering disebut dengan bahasa Teumieng, banyak terdapat di daerah kabupaten Aceh Timur. Bahasa Teumieng mirip dengan bahasa Melayu yang dipergunakan masyarakat Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Palembang dan bahasa Melayu Malaysia. Para petutur bahasa Tamiang sangat cepat menerima pembaharuan, kemungkinan karena mirip dengan bahasa Melayu Malaysia.

Ketiga, Bahasa Alas digunakan oleh masyarakat Alas

Page 165: 18

125

atau masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara dan di Hulu Sungai Singkil, Kabupaten Aceh Singkil. Bahasa Alas merupakan bahasa yang banyak terdapat di daerah Aceh Tenggara dan Aceh Singkil. Bahasa Alas merupakan salah satu bahasa yang mirip dengan bahasa Batak, baik suku katanya maupun cara pengungkapannya atau dialeknya. Dan bahkan etnik Alas, menganggap mereka merupakan keturunan yang sama dengan Batak. Bahasa Alas juga hampir sama dengan bahasa Gayo, akan tetapi bahasa Alas tidak begitu banyak penuturnya dibandingkan dengan bahasa Gayo.

Keempat, Bahasa Jamee dipergunakan oleh penduduk yang berdomisili di Kecamatan Labuhan Haji, Kecamatan Samadua, Kecamatan Susoh dan Kecamatan tapak Tuan, semua wilayah tersebut terletak di Kabupaten Aceh Selatan. Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa gabungan antara bahasa Aceh dengan bahasa Minang sehingga terjadilah integrasi bahasa dan mengakibatkan lahirnya bahasa Jamee. Bahasa Jamee merupakan bahasa yang lahirnya akibat percampuran etnik atau terjadinya asimilasi dan akulturasi di antara masyarakat asli dan masyarakat pendatang.

Kelima, Bahasa Kluet dipergunakan oleh penduduk yang berdiam di Kecamatan Kluet Utara dan Kecamatan Kluet Selatan, kabupaten Aceh Selatan, bahasa Kluet baik Kluet Utara maupun Kluet Selatan tidak mempunyai perbedaan yang besar. Para penutur bahasa Kluet tidak begitu banyak. Demikian juga bahasa mereka tidak begitu popular dan dipublikasikan karena kalau masyarakat Kluet sudah ke luar daerah mereka, umumnya bahasa Kluet tidak begitu banyak lagi penuturnya, tidak seperti bahasa Gayo dan bahasa Alas.

Keenam, Bahasa Singkil digunakan oleh masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Singkil, Kecamatan Simpang

Page 166: 18

126

kanan dan Kecamatan Simpang Kiri, kesemua Kecamatan tersebut berada di kabupaten Aceh Singkil. Bahasa Singkil hampir sama dengan bahasa Alas dan bahasa Batak. Bahasa Singkil saat ini juga tidak begitu banyak lagi para penuturnya. Kemungkinan karena mereka tinggal di daerah pedalaman Selatan Aceh.

Ketujuh, Bahasa Defayan, dituturkan oleh penduduk yang berdomisili di Kecamatan Simeulue Timur, Kecamatan Simeulue Tengah dan Kecamatan Teupah Selatan, kesemuanya berada di Kabupaten Simeulue. Terakhir Bahasa Sigulai. Bahasa ini digunakan oleh masyarakat yang berada di daerah Kabupaten Simeulue, yaitu di Kecamatan Simeulue barat dan Kecamatan Simeulue Calang Kabupaten Aceh Barat. Bahasa Defayan dan bahasa Sigulai merupakan bahasa pengantar di Simeulue, terutama bagi masyarakat asli Simeulue.

Sehubungan dengan bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam, bahasa Aceh merupakan bahasa yang dominan dipergunakan oleh masyarakat Aceh. Bahasa Aceh dipergunakan oleh 80% penduduk Nanggroe Aceh Darussalam.9 Bahasa Aceh merupakan bahasa pengantar di daerah Aceh. Demikian halnya dengan masyarakat yang sudah keluar dan area bahasa ibunya, seperti masyarakat yang menggunakan bahasa Defayan, umumnya mereka dapat mengerti bahasa Aceh karena mereka telah berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.

Bahasa Aceh merupakan bahasa yang paling banyak digunakan oleh masyarakat yang berdomisili di Nanggroe Aceh Darussalam. Kaitannya bahasa Aceh banyak mempunyai kesamaan dengan bahasa Campa. 9 Hanafiah dan Makam, hal. 3

Page 167: 18

127

Adanya hubungan yang erat antara bahasa Aceh dan bahasa Cam, yaitu bahasa dari penduduk Kerajaan Hindu Campa di Vietnam Selatan beberapa abad yang lalu. Selain itu ada juga pengaruh dari rumpun bahasa Mon Khmer, kepada bahasa Aceh, dapat dilihat dari adanya persamaan dengan bahasa Mon, yang menguasai Birma Hilir, persamaan dengan bahasa kepulauan Nikobar dan dengan bahasa sebagian penduduk asli Malaysia. Persamaan ini demikian eratnya sehingga tidak mungkin hal itu akibat kontak dagang biasa, tapi kemungkinan karena percampuran bangsa.10

TatakramaD.

Mengenai tatakrama, masing-masing etnik berbeda-beda seperti bahasa yang berbeda-beda tergantung letak geografis dan etnik masyarakatnya. Tatakrama dalam masyarakat Aceh secara garis besar meliputi tentang tatakrama bertamu, kapan seseorang tamu boleh mengunjungi rumah seseorang, tatakrama berbicara, di mana ada sopan santun antara berbicara dengan anak-anak, orang tua, ayah dengan menantu, suami dengan istri, berbicara dengan teman sebaya dan tatakrama dalam bersalaman dan bertegur sapa harus menggunakan kata-kata sepantasnya.11

Stratifikasi SosialE.

Stratifikasi sosial menggambarkan keadaan kehidupan masyarakat pada umumnya. Stratifikasi sosial merupakan keadaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkhis), perwujudannya

10 Ismuha, (Ed), hal. 181 11 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh…, hal. 62-67.

Page 168: 18

128

adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah karena tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Lapisan-lapisan dalam masyarakat itu sudah ada sejak manusia mengenal kehidupan bersama dalam masyarakat, mula-mula lapisan-lapisan itu didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, perbedaan antara pemimpin dengan yang dipimpin, pembagian kerja dan sebagainya. Semakin kompleks dan majemuknya pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat, maka sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat akan semakin komplek pula.12

Stratifikasi sosial merupakan suatu jenis diferensiasi sosial yang terkait dengan pengertian akan adanya jenjang secara bertingkat. Jenjang secara bertingkat tersebut menghasilkan strata tertentu, dan ke dalam strata tersebut warga-warga masyarakat dimasukkan. Secara berkelompok individu-individu tadi dimasukkan ke dalam suatu stratum tertentu, sehingga ada kedudukan-kedudukan yang lebih rendah dan ada yang lebih tinggi.13

Berdasarkan pendapat Talcott Parsons, maka Hewitt dan Mitchell menyatakan, bahwa stratifikasi sosial adalah, “the differential ranking of the human individuals who compose a given sosial system and their treatment as superior and inferior relative to one another in certain socially important respects”. Dengan demikian, maka yang perlu diperhatikan

12 Abdul Syami, Sosiologi; Skematika, Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 82. 13 Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat, (Jakarta: RajaGrafindo, 1993), hal. 243.

Page 169: 18

129

secara khusus adalah dua hal. Pertama, walaupun secara teoritis strata sosial terdiri dari individu-individu atau keluarga-keluarga, di dalam kenyataannya mereka tidak terlalu cocok atau sesuai dengan penempatannya tersebut. Kedua, adalah bahwa jenjang secara bertingkat atau hierarkhis tidak selalu berarti sama dengan suatu keadaan yang menyakitkan. Baik sistem kasta maupun “system of estates” merupakan contoh-contohnya kedua sistem tersebut merupakan bentuk-bentuk stratifikasi sosial, di mana pembedaan antar strata ditunjukkan secara jelas dan di mana pembedaan tersebut melembaga.14

Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi, dalam kelompok sosialnya senantiasa terjadi perbedaan berdasarkan nilai-nilai yang dihargai, seperti uang, tanah, keturunan, kekuasaan, peranan keagamaan dan sebagainya. Sistem berlapis-lapis dalam masyarakat (sosial stratification) ada yang terbentuk dengan sendirinya ada ada juga yang sengaja dibentuk.15

Seorang sosiolog, Pitirin A. Sorikin, pernah menyatakan bahwa sistem berlapis-lapis itu merupakan ciri yang umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Sistem yang berlapis-lapis itu dalam masyarakat tersebut dalam sosiologi dikenal dengan istilah sosial stratification. Kata stratification berasal dari stratum yang berarti lapisan. Sehingga sosial stratification dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkhis).16

14 Soerjono Soekanto, Beberapa…, hal. 244. 15 Syahrial, dkk., Sosiologi dan Politik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 32. 16 Syahrial, dkk., Sosiologi…, hal. 32.

Page 170: 18

130

Dasar-dasar Stratifikasi Sosial1. Penyebab terjadinya pelapisan sosial adalah karena

tidak ada keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga rasa tanggung jawab sosial menipis lalu disusul ketimpangan pemilikan nilai atau harga. Akibatnya, sesama anggota kelompok sosial menilai dan memilah-milah yang akhirnya tersirat dan diakui adanya perbedaan, maka timbul strata sosial. Bentuk-bentuk lapisan dalam masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali, akan tetapi lapisan tersebut tetap ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan sebagainya. Pelapisan itu muncul semenjak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam suatu organisasi sosial.17

Pelapisan dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi ada yang sengaja dibuat untuk mengejar tujuan bersama. Untuk meneliti terjadinya proses pelapisan dalam masyarakat, dapat digunakan pokok-pokoknya sebagai pedoman bahwa sistem stratifikasi sosial mungkin berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat. Sistem sedemikian hanya mempunyai arti yang khusus bagi masyarakat tertentu yang menjadi objek penyelidikan.18

Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa di mana-mana terdapat sistem berlapis-lapis, ukuran-ukuran yang dapat dipergunakan juga bermacam-macam. Stratifikasi masyarakat dapat diadakan atau atas dasar stabilitas emosinya, kemampuannya berolah raga, pengetahuan mereka tentang kebudayaan Latin dari abad-abad menengah, warna rambutnya, jumlah kawan-kawannya,

17 Syahrial, dkk., Sosiologi…, hal. 32. 18 Syahrial, dkk., Sosiologi…, hal. 33.

Page 171: 18

131

reputasi nenek moyangnya dan selanjutnya.19 Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat, akan tetapi sesuai dengan kenyataan kehidupan dalam kelompok-kelompok sosial, halnya tidaklah demikian. Pembedaan atas lapisan-lapisan merupakan gejala universal yang merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat.20

Perubahan-perubahan dalam Stratifikasi Sosial2. Sifat sistem pelapisan sosial ada yang tertutup dan

ada yang terbuka. Pelapisan sosial tertutup membatasi memungkinkan seseorang pindah ke lapisan lain. Pada sistem pelapisan terbuka setiap orang dapat naik jika mampu dan turun lapisan jika tidak mampu. Keterbukaan perjuangan tersebutlah yang menjadi nilai perangsang seseorang guna mengembangkan potensinya dan hal ini pula yang menjadi landasan gerak pembangunan masyarakat.21

19 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 206. 20 Soerjono Soekanto, Sosiologi…, hal. 206. 21 Syahrial, dkk., Sosiologi…, hal. 33.

Page 172: 18

132

Page 173: 18

133

BAB VIIBENTUK-BENTUK SOLIDARITAS

SOSIAL DAN AKAR-AKAR BUDAYA MASYARAKAT ACEH

Sistem KemasyarakatanA. Kesatuan Kekerabatan1.

Kesatuan kekerabatan adalah unit-unit kekerabatan yang ada dalam suatu masyarakat. Di dalam masyarakat

terdapat unit-unit keluarga dari yang terkecil sampai kepada yang terbesar yang dalam istilah masyarakat Aceh dikenal dengan istilah “kaom” (famili).

Garis keturunan orang Aceh didasarkan pada prinsip bilateral yaitu prinsip yang memperhitungkan hubungan kekerabatan baik melalui garis keturunan pihak laki-laki maupun perempuan. Kerabat yang terdapat dalam hubungan garis keturunan laki-laki di sebut “wali” atau “biek”, sedangkan kerabat yang hubungannya menurut garis keturunan perempuan disebut “karong” atau “koy”. Kedua macam hubungan kekerabatan ini memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam hal tertentu, antara lain perbedaan kedudukan itu terlihat dalam pembagian harta warisan dan dalam hal yang berhak menjadi wali dalam pernikahan.

Dalam kehidupan sehari-hari, hubungan kekerabatan tampak lebih intim terjadi dengan kerabat yang berkedudukan sebagai “karong”. Salah satu penyebab

Page 174: 18

134

terjadinya keadaan demikian antara lain sistem perkawinan yang bersifat uxorilokal, yaitu sistem yang diikuti kebanyakan suami yang bertempat tinggal di rumah istrinya.

Dalam masyarakat, orang-orang yang digolongkan seketurunan adalah orang-orang yang terdapat dalam jalur keturunan pihak ayah (laki-laki). Jalur kekerabatan wali lebih penting dan lebih berperan dari kekerabatan dalam jalur “karong”. Wali mempunyai hak-hak tertentu dari dan terhadap orang walinya. Sedangkan “karong” tidak mempunyai hak apa-apa. Meskipun diakui adanya hubungan darah, namun tidak terdapat larangan menjalin perkawinan antara anggota kekerabatan yang tergolong “wali” ataupun “karong” asal antara orang-orang yang bersangkutan itu tidak dapat dikenakan hubungan kekerabatan muhrim. Masuknya istilah muhrim dalam kekerabatan ini kiranya sudah dapat mengarahkan kita bahwa dalam masyarakat Aceh berlaku garis kekerabatan secara bilateral dan bilineal.1

Suatu hal yang menarik mengenai garis keturunan dijumpai pada masyarakat Gayo, karena di samping berlaku prinsip patrilineal, pada mereka juga ditemui matrilineal. Sementara itu sejak tahun 50-an muncul prinsip bilateral sebagai bentuk baru. Pada masyarakat Gayo dikenal tiga macam bentuk perkawinan, yaitu juelen, kerja anggap, kerje kuso kini. Pada sistem perkawinan kerje kuso kini terdapat kebebasan untuk memiliki tempat menetap yang di inginkan setelah menikah.2

1 Sindu Galba, Tata Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat Aceh, (Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1984), hal. 17-18. 2 Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Daerah Aceh, Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah, (Banda Aceh: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978/1979), hal. 51.

Page 175: 18

135

2. Istilah-Istilah KekerabatanIstilah-istilah yang dimaksud adalah sebagaai berikut:

Ayah, Bapak; istilah yang digunakan untuk orang a. tua laki-laki. Dalam keluarga tentu istilah ini diganti dengan abu, abi, walid atau lain-lain, istilah yang senilai dengan itu.Mama; istilah yang digunakan untuk orang tua b. perempuan. Istilah itu juga digunakan sebaagai kata panggilan untuk orang yang dalam sebutan sehari-hari disebut “ ibu”. Dalam keluarga-keluarga tertentu istilah ini diganti dengan umi (mi), nyak, atau kata lain yang senilai dengan itu.Apa: istilah ini digunakan untuk menyambut adik c. ibu atau adik ayah kita yang laki-laki. Istilah lain yang sering digunakan pengganti istilah ini ialah ayah muda, ayah cut, atau ayah ubit. Dewasa ini sudah banyak anggota masyarakat yang menggunakan kata lain sebagai pengganti istilah ini seperti ayah cek atau oom.

Teh: istilah ini digunakan untuk menyambut atau d. memanggil adik ibu atau adik ayah yang perempuan. Dalam keluarga tertentu, istilah ini diganti dengan istilah lain seperti ma cut, ma bit, mau da atau mak da (ibu muda) atau istilah-istilah lain yang senilai artinya.

Abang (bang), e. delem, polem (lem): istilah ini digunakan sebagai sebutan atau panggilan kepada saudara laki-laki yang lebih tua dari kita. Dalam keluarga tertentu sebagai diperhalus dalam sebutan cut bang atau cut lem. Penggunaan kata “cut” di depan kata panggilan itu berfungsi memperhalus sebutan untuk menunjukkan

Page 176: 18

136

rasa hormat kepada orang yang di sapa. Kata lain yang bersinonim dengan kata abang adalah “aduen”.

Daf. atau kak: istilah ini digunakan sebagai sebutan atau panggilan (sapaan) kepada saudara perempuan yang lebih tua dari penyapa sendiri. Kata lain yang sepadan artinya adalah “a”, artinya kakak.

3. Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial dalam masyarakat adalah

lapisan-lapisan sosial masyarakat yang berstruktur. Dikelompokannya seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu (status) terhadap anggota-anggota lainnya.

Kedudukan seseorang terhadap orang-orang lain inilah yang dimaksud dengan stratifikasi sosial dalam kajian ini. Kedudukan sosial seseorang akan banyak mempengaruhi kedudukan dalam berbagai kelompok tempat ia menjadi anggota.3

Dalam struktur administrasi pemerintah di daerah Aceh dikenal beberapa jenjang pembagian, dimulai dengan tingkatan propinsi, menurun tingkat Kabupaten/ Kota, tingkat Kecamatan, tingkat Kemukiman dan tingkat gampong. Daerah Aceh dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang provinsi Aceh) merupakan satu daerah yang meliputi 18 Kabupaten, 5 Kota, 264 Kecamatan, 594 Kemukiman, dan 6.656 gampong. Jumlah penduduk (tahun 2010) 4.486.570 jiwa (Laki-laki 2.243.578 jiwa dan penduduk wanita 2.242.992 jiwa). Dengan begitu, tingkatan provinsi merupakan

3 Editor: Sindu Galba, Tata Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat Aceh, (Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1984), hal. 19.

Page 177: 18

137

tingkatan administrasi pemerintah yang tertinggi dan tingkat gampong merupakan tingkat administrasi pemerintah yang terendah.

Pemerintah Gampong mempunyai beberapa tugas, seperti melaksanakan urusan pemerintahan Kecamatan, membuat pemungutan pajak, seperti pajak bumi dan bangun (PBB), melakukan pemeliharaan sarana utama wilayahnya dan memberikan layanan serta bimbingan bagi warga desa. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala gampong (keuchik) dibantu oleh sekretaris, tuha peuet, imuem meunasah, dan keujreun.4

Latar Belakang Nilai Sosial BudayaB. 1. Nilai-Nilai Sosial Budaya

Dalam menghadapi era globalisasi, tantangan dalam bidang sosial dan budaya semakin ketat, banyak hal telah mengalami pergeseran di bidang sosial-budaya dan adat istiadat Aceh. Kebudayaan merupakan bawaan pengalaman masa lalu yang dipandang sebagai tradisional kultural dan akan berhadapan dengan budaya modern (modern culture) yang kini penuh dengan muatan nilai-nilai global yang canggih, sehingga menempatkan manusia pada posisi alternatif, bertahan pada posisi lama, memilih yang baru atau ber akulturasi atau terasing dengan dunia budayanya sendiri.5

Suatu kebudayaan terkandung nilai-nilai sosial yang

4 Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Daerah Aceh , Pengaruh Migrasi…, hal. 49-50. 5 Badruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah Se-bagai Sumber Energi Budaya Aceh, (Banda Aceh: MAA, 2007), hal. 177.

Page 178: 18

138

merupakan faktor pendorong bagi manusia untuk bertingkah laku dan mencapai kepuasan tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai tersebut senantiasa berkaitan satu dengan lainnya. Nilai-nilai sosial ini diartikan seperti harga diri, marwah, martabat dan sejenisnya.

Nilai-nilai sosial-budaya menurut Huky (1982) ada beberapa fungsi umum dari nilai-nilai sosial yaitu:

Nilai-nilai menyumbang seperangkat alat yang siap 1. dipakai untuk menetapkan harga sosial dari pribadi dan group. Nilai-nilai ini memungkinkan sistem stratifikasi secara menyeluruh yang ada pada setiap masyarakat. Mereka membantu orang perorangan untuk mengetahui di mana ia berdiri di depan sesamanya dalam lingkup tertentu.Berpikir dan bertingkah laku secara ideal dalam 2. sejumlah masyarakat diarahkan atau dibentuk oleh nilai-nilai. Hal ini terjadi karena anggota masyarakat selalu dapat melihat cara bertindak dan bertingkah laku yang terbaik, dan ini sangat mempengaruhi dirinya sendiri.Nilai-nilai merupakan penuntun akhir bagi manusia 3. dalam memenuhi peranan-peranan sosialnya. Mereka menciptakan minat dan memberikan semangat pada manusia untuk mewujudkan apa yang diminta dan diharapkan oleh peranan-peranannya menuju tercapainya sasaran-sasaran masyarakat.Nilai-nilai dapat berfungsi sebagai alat pengawas 4. dengan daya tekan dan daya mengikuti tuntutan. Mereka mendorong, menuntun dan kadang-kadang menekan manusia untuk berbuat yang baik. Nilai-nilai menimbulkan perasaan bersalah yang cukup menyiksa bagi orang-orang yang melanggarnya, yang

Page 179: 18

139

dipandang baik dan berguna oleh masyarakat.6

Dalam kajian sosiologis, nilai-nilai sosial seseorang atau kelompok secara langsung dapat mempengaruhi segala aktivitasnya, terutama dalam rangka menyesuaikan diri dengan norma-norma yang terdapat di masyarakat sekelilingnya. Kecuali itu nilai-nilai sosial dapat menentukan ukuran besar kecil atau tinggi rendahnya status dan peranan seseorang di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Adat istiadat sebagai bagian dari kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Oleh karena itu, adat istiadat dan budaya yang sarat dengan nilai-nilai itu perlu dilestarikan sepanjang hidup kemasyarakatan di Aceh, agar generasi selanjutnya dapat mewarisi, transisi dan transformasi nilai-nilai budaya atau adat istiadat tersebut mutlak diperlukan lebih-lebih pada era globalisasi dewasa ini yang setiap saat dapat mengancam nilai-nilai yang terkandung dalam adat istiadat leluhur masyarakat Aceh. Hal ini akibat masuknya berbagai nilai budaya asing yang belum tentu sesuai dengan kondisi sosial keagamaan dan adat istiadat masyarakat Aceh.

Ada gejala bahwa masyarakat Aceh kini sedang mengalami resesi budaya yang cenderung meninggalkan adat istiadat Aceh, sebagai bukti misalnya bangunan masjid yang bermotifkan Aceh, rumah adat Aceh saat ini sudah sukar dicari, karena masjid-masjid, meunasah (surau), rumah-rumah adat sudah diganti dengan arsitektur yang tidak lagi menyentuh nilai dan estetika Aceh. Karena itu dapat diasumsikan bahwa timbulnya resesi budaya di daerah identik dengan semakin meningkatnya gaya hidup

6 Wika Huky, D.A., Pengantar Sosiologi, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hal. 55-56.

Page 180: 18

140

yang bersifat global, akibat modernisasi, sehingga banyak di antara anggota masyarakat yang tidak memahami estetika adat dan budaya Aceh.

Apabila pelestarian budaya dan adat tidak dilakukan secara sistematis dan konsisten, maka dikhawatirkan akibat tekanan atas budaya asing/budaya luar yang sangat besar dewasa ini, maka nilai budaya dan adat istiadat Aceh akan mengalami degradasi, pergeseran, perubahan yang signifikan bahkan akan hilang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh. Oleh sebab itu sejak awal leluhur kita telah mengingatkan dalam sebuah Hadih Maja “Matee aneuk meupat jrat, matee adat pat ta mita” (Meninggal anak ada kuburan, apabila hilang adat tidak dapat dicari). Ungkapan ini bukan hanya slogan puitis yang indah semata, namun hal ini merupakan suatu pengamatan yang sarat akan makna dengan nilai filosofi yang perlu disosialisasikan dan dikembangkan dalam masyarakat Aceh.

Perkembangan Kebudayaan1. Bahasa yang digunakan dan cerita rakyat.7 Bahasa

Aceh yang digunakan penduduk desa (gampong) dapat dikatakan tidak bervariasi. Maksudnya tidak ada dialek lain yang dapat dipakai dalam berkomunikasi antar sesama penduduk. Bahkan pada lembaga pendidikan dayah yang terdapat di tengah desa, guru-gurunya menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa pengantar pelajaran.

Bahasa Aceh tidak mengenal tingkat bahasa. Namun, tidak berarti bahwa bahasa ini hanya ada satu

7 Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkemban-gan Kebudaya Aceh, (Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978/1979), hal. 52.

Page 181: 18

141

ragam bahasa saja. Ada bahasa ragam pergaulan, ada juga bahasa ragam formal. Ragam pergaulan digunakan dalam pergaulan sesama orang-orang sebaya, sedangkan ragam formal digunakan dalam situasi yang formal atau jika sedang berhadapan orang-orang yang dihormati.8

Kecuali bahasa di kalangan masyarakat setempat di Aceh terdapat pula bermacam cerita rakyat. Cerita rakyat pada masyarakat Aceh lazim dibedakan menjadi dua jenis, yaitu apa yang disebut dengan hikayat dan haba jameun (cerita dulu). Hikayat adalah sejenis cerita rakyat yang dikisahkan dalam bahasa puisi atau syair-syair. Biasaanya hikayat tersebut dinikmati lewat alunan suara pembawa hikayat terutama di meunasah-meunasah. Sedangkan haba jamuen biasaanya dikisahkan dalam bahasa prosa. Pada masa dahulu itu para orang tua kerap kali menceritakan haba jameun itu kepada anak-anak mereka sebagai cerita pengantar tidur. Selain hikayat dan haba jameun, di daerah Aceh juga berkembang jenis-jenis seni tarian tertentu, baik tarian asli Aceh, tarian karya baru, tarian daerah lain ataupun tarian nasional.9

Sistem Religi dan Pengetahuan2. Walaupun jumlah persentase tertinggi (98,93%)

penduduk di daerah Aceh beragama Islam, namun pemeluk agama Protestan (0,61%), Katholik (0,38%), Budha dan agama lainnya (0,08%) juga dapat dijumpai terutama di kalangan orang Batak, Cina, dan Manado. Sistem religi dan kepercayaan yang berkembang di Aceh pada dasarnya dapat dipahami dari segi pranata-pranata

8 Sindu Galba, Tata Lingkungan Pergaulan..., hal. 22. 9 Balitbang Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Pen-garuh Migrasi…, hal. 52-53.

Page 182: 18

142

keagamaan, seperti rumah ibadah, lembaga pendidikan dan sosial keagamaan, tradisi keagamaan dan peranan pemimpin agama. “Dewasa ini di Aceh dijumpai fasilitas/sarana ibdaha umat beragama terdiri dari 3507 buah masjid, 6.705 buah meunasah, 2372 buah mushalla, 11 buah gereja protestan, 21 buah gereja katolik, 1 buah Vihara dan 14 Pura.10

Tradisi keagamaan pada masyarakat Aceh umumnya berbentuk kenduri selamatan. Begitu melekatnya upacara kenduri ini pada penghayatan keagamaan orang Aceh, sehingga nama bulan pun kerap kali disebutkan dengan dengan nama upacara kenduri tertentu, seperti bulan Jumadil Akhir disebut Buleuen Kenduri Boh Kayee, bulan Rajab disebut Buleuen Kanduri Apam, dan bulan Sya’ban disebut dengan Buleuen Kanduri Bu.

10 Sumber: Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh, Banda Aceh Januari 2012.

Page 183: 18

143

BAB VIIIFENOMENA PANTANGAN DALAM

MASYARAKAT ACEH

Pantangan (tabu) dalam masyarakat Aceh disebut juga dengan seumaloe. Pantangan merupakan sesuatu

perbuatan atau aktivitas yang dilarang menurut adat atau kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat.1 Pantangan ini sudah lama berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Adat istiadat Aceh sudah tumbuh dan berkembang sebelum Islam yang berakar pada ajaran Hindu. Sedangkan Islam masuk ke Aceh sewaktu Kerajaan Peureulak, yaitu sejak abad 10 M. kemudian berkembang juga ke Kerajaan Samudera Pasai.

Penyesuaian adat istiadat dengan ajaran Islam berlangsung secara berangsur-angsur. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh A. Hasjmy bahwa: “Islam telah datang ke nusantara membawa tamaddun, kemajuan dan kecerdasan. Namun kedatangan Islam ke nusantara bukan dalam suatu vakum peradaban, akan tetapi berhadapan dengan kebudayaan yang terlebih dahulu sudah berkembang yaitu pengaruh Hinduisme”.2

Berdasarkan pernyataan di atas menunjukkan bahwa 1 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia

Modern, (Jakarta: Pustaka Amini, t.t.), hal. 285.2 A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam

di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hal. 100.

Page 184: 18

144

sebelum Islam masuk telah berkembang kebudayaan Hindu di Indonesia, termasuk di Aceh. Karena faktor itulah, tidak mengherankan jika ada beberapa bentuk kebudayaan dan adat istiadat Aceh yang mendapat pengaruh Hindu. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh M. Nur Abbas: “Dengan memandang dekatnya hubungan antara India dan Aceh yang begitu dekat, dalam saat tertentu pada abad ke-2 hingga ke-9 terjadi semacam pendekatan yang kemudian meninggalkan pengaruh kebudayaan Hindu. Di dalam sejarah kebudayaan bangsa-bangsa, ahli sejarah mengingatkan para pembacanya bahwa bangsa yang lebih tinggi kebudayaan biasanya selalu dapat mempengaruhi bangsa lain yang lebih rendah kebudayaannya”.3

Sampai sekarang ini penyesuaian itu belum seluruhnya rampung, sebab ada sebagian kecil norma adat Aceh yang belum sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal ini seperti membakar kemenyan yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit. Bahkan ada sebagian kecil warga masyarakat yang menganggap pohon-pohon kayu yang sudah besar sebagai tempat bersemanyamnya makhluk-makhluk halus, bertemu atau mengunjungi ibu yang melahirkan pada malam hari dan beberapa pantangan lainnya.

Pada awal masuk dan berkembangnya Islam di Daerah Aceh, budaya Aceh bersumber dari dua sumber yang masih terpisah, yaitu adat Aceh dan Islam. Dalam hal ini pantangan merupakan salah satu unsur adat Aceh yang sudah berkembang dalam kehidupan. Karena itulah, maka pantangan ini sangat erat kaitannya dengan adat istiadat karena pantangan itu merupakan bagian dari adat

3 M. Nur Abbas, “Peninggalan Hinduisme di Aceh Be-sar”, dalam Penulis: Analisis Kebudayaan, (Jakarta: Departe-men Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984), hal. 77.

Page 185: 18

145

Aceh. Penyesuaian adat istiadat Aceh dengan ajaran Islam mengakibatkan berbagai bentuk pola adat Aceh tidak dapat dipisahkan dengan sendi-sendi ajaran Islam. Peribahasa yang berbunyi: “adat mengenal, hukum membeza”, memberi petunjuk bahwa adat istiadat menempati kedudukan yang cukup, dengan peranan tersendiri. Namun nilai-nilai dan norma agama Islam berperan sebagai alat kontrol dan pengendali terhadap adat istiadat yang mungkin bertentangan dengan agama Islam.4

Berdasarkan pendapat ini menunjukkan bahwa berbagai pola adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh senantiasa bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu juga hanya dengan pantangan tidak semuanya bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, pantangan sudah berkembang (dikenal) sejak masuknya pengaruh Hindu ke nusantara. Karena faktor itulah, maka secara pasti tidak diketahui latar belakang sejarah yang jelas sejak kapan sudah adanya pantangan dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Bentuk-Bentuk PantanganA.

Pantangan ada beberapa bentuknya. Dalam hal ini Husainy Isma’il menguraikan:”Tabu dapat diartikan ‘pantangan larang’. Namun setiap benda yang dianggap tabu bersifat sementara, selama seseorang memungkinkan menerima efeknya, misalnya tabu bagi wanita hamil, orang bepergian dan bersalin. Siapa saja yang melanggar tabu

4 M. Yunus Melalatoa, Peranan Islam Melalui Adat Istia-dat Aceh, (Takengon: Makalah Hasil Seminar Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, 1986), hal. 5.

Page 186: 18

146

berarti harus menerima risikonya”.5

Berdasarkan pandangan tersebut, maka dapat disebutkan beberapa bentuk tabu (seumaloe) yang dikenal dalam masyarakat Aceh ada yang berdasarkan agama (moral) dan adat istiadat, kesemuanya bertujuan untuk mendidik generasi penerus, yaitu:

Pantangan duduk (1. Seumaloe duek)Duduk di tempat yang khusus untuk orang tuaa.

Dalam kehidupan sehari-hari kedua orang tua berusaha dengan segenap kemampuan untuk mengasuh, mendidik serta memelihara anak-anaknya untuk menjadi generasi yang berguna. Dalam ajaran Islam, seorang ayah mencari nafkah untuk biaya hidup anaknya, ibu merawat, mengasuh dan mendidik anaknya. Semua itu dilakukannya agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.

Dalam adat Aceh yang bersumberkan pada tuntunan Islam senantiasa mengharuskan seorang anak untuk patuh, taat dan menghormati kedua orang tuannya. Salah satu bentuk kepatuhan tersebut, ialah seorang anak tabu duduk di tempat yang khusus tersedia untuk orang tuanya. Akan tetapi bentuk tabu (pantangan) seperti sekarang sudah kurang dilaksanakan dalam masyarakat Aceh karena rumah asli yang bermotif Aceh sudah jarang ditemukan dalam masyarakat. Kalau rumah Aceh yang asli, ada tempat khusus yang tersedia sebagai tempat duduk orang tua yang tidak boleh diduduki oleh anaknya.

Duduk di atas bantalb. Duduk di atas bantal dalam masyarakat Aceh dianggap

suatu hal yang tabu (seumaloe). Sebab bantal dipandang 5 Husainy Isma’il, Burong, (Jakarta: Erlangga, 1990),

hal. 5.

Page 187: 18

147

sebuah benda terhormat, tempat meletakkan kepala ketika tidur dan berbaring. Kepala adalah yang termulia di antara anggota tubuh yang lain. Dalam kepala terdapat sentral daya pikir dan kekuatan manusia untuk menentukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri dan orang lain.

Selain dari hal tersebut, larangan duduk di atas bantal ini adalah untuk mendidik anak kepada kebersihan, kemungkinan sebelum menduduki bantal anak tersebut pernah bermain-main di tempat yang kotor yang melekat pada si anak tadi dapat mengotori bantal yang didudukinya itu. Kebersihan dalam Islam sangat penting artinya, sebagaimana dalil al-Qur’an yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (Q.S. al-Baqarah: 222)

Menjaga kebersihan demi kesehatan sangat dianjurkan dalam Islam. hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Mahmoud Syaltout, “Pemeliharaan Islam terhadap kesehatan tidak kurang dari pada pemeliharaannya terhadap ilmu pengetahuan. Kenyataannya memang, tidak ada ilmu tanpa kesehatan, tidak ada harta tanpa kesehatan, tidak ada pekerjaan tanpa kesehatan dan tidak ada perjuangan tanpa kesehatan. Kesehatan adalah modal manusia dan pangkal dari kebaikan kesenangannya”.6

Di samping itu ada juga anggapan yang berkembang dalam masyarakat Aceh, bahwa duduk di atas bantal dapat mengakibatkan bisul. Ini merupakan suatu pantangan yang bersifat edukatif, untuk mendidik anaknya tidak mengerjakan pekerjaan atau aktivitas yang kurang baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tabu duduk di

6 Mahmoud Syaltout, Tuntunan Islam, Terjemahan: Bustami A. Gani dan Chatibul Umam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 123.

Page 188: 18

148

atas bantal, dapat mendidik anak untuk menjaga kebersihan dan kerapian.

Duduk dan berdiri di depan pintu (khusus bagi anak c. gadis)

Duduk atau berdiri di depan pintu bagi seorang gadis juga termasuk pekerjaan yang dianggap tabu (seumaloe) karena hal ini dapat menimbulkan pandangan yang tidak baik dari orang yang melihatnya, terutama bagi kaum laki-laki yang bukan muhrimnya. Dalam ajaran Islam seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat, kecuali kedua telapak tangan dan wajahnya saja. Hal ini sesuai dengan dalil al-Qur’an Q.S. An-Nur : 31 yang artinya: “…. dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…”.

Dalil ini menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh berpakaian yang menampakkan auratnya kepada orang-orang yang bukan muhrimnya. Di samping itu wanita mempunyai tanggungjawab sebagai seorang isteri dan seorang ibu yang memberi tauladan bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, sifat wanita yang halus, penuh kasih sayang, lemah lembut merupakan tempat subur bagi tumbuhnya keharmonisan dalam suatu rumah tangga. Hal ini tidak

Page 189: 18

149

mungkin terwujud tanpa kehadiran seorang wanita yang terjaga dari perilaku yang tidak baik seperti berpakaian tidak wajar, duduk di sembarang tempat, berbicara tidak lemah lembut dan sebagainya.

Oleh karena bagi wanita yang duduk atau berdiri di depan pintu dianggap suatu hal yang tabu. Pantangan (tabu) seperti ini dapat membawa dampak positif bagi pembentukan pribadi anak perempuan secara Islami. Di mana mereka dengan tidak melakukan hal tersebut akan terhindarnya dari tindakan tercela.

Pantangan makan2. Makan nasi panas-panasa.

Makan nasi yang terlalu panas juga dianggap suatu hal yang termasuk pantangan (seumaloe). Seseorang yang makan nasi dalam keadaan yang sangat panas, diibaratkan kepada beberapa tamsilan di antaranya adalah bersifat gegabah dan tidak sabar dalam melakukan segala pekerjaan. Hanya ingin segera mencapai tujuan tanpa menghiraukan akibatnya. Kemudian bersifat egois dan mementingkan diri sendiri senantiasa tidak menghiraukan kepentingan orang lain.

Jadi, pantangan makan nasi yang terlalu panas tujuannya untuk menghindari anak-anak agar tidak bersikap ceroboh dalam sesuatu hal. Di samping itu melalui pantangan tersebut juga dapat membentuk sikap sabar pada dirinya.

Melemparkan nasi ke dalam mulutb. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, melemparkan

nasi ke dalam mulut pada saat makan juga dianggap suatu perbuatan yang tabu. Larangan ini untuk mencegah sifat sombong seseorang terhadap makanan. Ajaran Islam dan

Page 190: 18

150

adat Aceh senantiasa mengajarkan kehidupan sopan santun, baik pada saat makan, duduk, bekerja dan sebagainya.

Karena diakui bahwa perbuatan dan tindakan seseorang yang tamak merupakan pencerminan dari kepribadiannya. Karena itulah, makan dengan melemparkan nasi ke mulut dianggap hal yang tabu (seumaloe).

Makan sambil berjalan/berdiric. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, makan sambil

berjalan atau berdiri juga dianggap suatu perbuatan tabu (seumaloe). Lebih-lebih bagi seorang anak, hal ini sangat dilarang. Karena dengan makan sambil berjalan dikhawatirkan terjadinya hal-hal yang tidak diingini. Di samping itu makan sambil berjalan atau berdiri juga dianggap perbuatan yang kurang sopan, tidak etis dan dianggap sudah mengadopsi cara makan orang-orang Eropa atau makan ala Barat (Budaya luar).

Makan makanan pemberian orang lain tanpa diselidiki d. (khusus bagi wanita hamil)

Pada dasarnya pantangan (seumaloe) yang bersifat umum juga berlaku bagi mereka yang sedang dalam keadaan hamil. Ketentuan ini tidak berlaku surut, tetapi malah lebih diperketat dan bersifat keharusan mentaatinya.

Dalam keadaan hamil, harus hati-hati menjaga makanan, terutama yang diberikan oleh orang lain. Setiap pemberian, apapun jenisnya harus diteliti dengan baik siapa orang yang memberikannya.

Kaitan dengan pantangan bagi wanita hamil dalam hal ini Husainy Isma’il menjelaskan bahwa “dalam setiap kehamilan, lebih-lebih kehamilan pertama harus mematuhi beberapa tabu, sehingga bayi yang akan dilahirkan nanti lancar tanpa hambatan. Misalnya tidak boleh makan belut (takut nanti suka keluyuran), mengurai rambut (dapat

Page 191: 18

151

membuat roh jahat benci padanya)”.7

Dengan demikian memberi kejelasan bahwa setiap apa yang di makan oleh wanita yang sedang dalam masa hamil akan membawa pengaruh terhadap janin yang dikandungnya. Karena itulah, dalam kehidupan masyarakat Aceh terdapat beberapa jenis makanan yang tidak boleh dimakan oleh wanita dalam masa kehamilan.

Pantangan (3. seumaloe) bermain-main di senja hariLarangan atau pantangan bermain-main di senja

hari, sangat besar pengaruhnya bagi seseorang yang melanggarnya. Kebanyakan masyarakat Aceh beranggapan bahwa main-main di senja hari dapat menimbulkan berbagai penyakit. Di samping itu pada saat senja hari, makhluk halus terutama jin atau setan bergentayangan. Hal ini dapat saja merasuki tubuh manusia yang dijumpainya. Kenyataan ini sebagaimana diungkapkan oleh Z. A. Nainggolan sebagai berikut:

Tentang ada atau wujudnya jin, setan dan iblis, di samping dibuktikan secara jelas dan pasti (qath’i) menurut al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah SAW juga dapat dibuktikan secara ilmiah. Yaitu ketika kita berhadapan dengan orang yang kemasukan setan, orang-orang yang memakai jimat dan sebagainya. Umpamanya kita menyaksikan seorang gadis yang dimasuki setan atau kena guna-guna oleh seorang dukun (tukang teluh), ini adalah suatu fakta atau kenyataan yang tidak bisa dipungkiri terutama oleh orang yang pernah mengalaminya sendiri, musuh gadis yang terkena guna-guna tersebut, dan keluarga atau orang yang menyaksikan peristiwa yang dialami oleh gadis yang kena guna-guna tersebut.8

Berdasarkan pendapat ini memberi penjelasan bahwa

7 Husainy Isma’il, Burong…, hal. 66.8 Z. A. Nainggolan, Kehidupan Jin, Setan dan Iblis di Jagad Raya

Menurut Konsep Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 25.

Page 192: 18

152

bermain-main di senja hari dapat membawa dampak negatif bagi seseorang seperti halnya kemasukan roh jahat atau terserangnya berbagai bentuk penyakit lainnya. Di samping itu bermain di senja hari, waktunya bersamaan dengan waktu Maghrib. Jadi bila terus bermain (keluyuran) di waktu ini, dikhawatirkan tinggalnya shalat Maghrib. Dengan meninggalkan shalat berarti dapat membawa dosa, karena shalat itu merupakan kewajiban yang harus dikerjakan bagi orang Islam yang sudah baligh.

Pantangan (4. seumaloe) dalam berpakaianMemakai pakaian orang tuannyaa.

Memakai pakaian orang tua baik anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan perbuatan yang termasuk pantangan (seumaloe). Lebih jauh lagi perbuatan tersebut adalah dianggap kurang sopan. Bila seseorang memakai pakaian orang tuanya dapat menimbulkan salah penafsiran orang lain, di mana orang lain yang melihat dari belakang mengira yang mengenakan baju tersebut, adalah benar pemiliknya (orang tua). Di samping itu anak yang memakai (pakaian) orang tuanya dapat mengurangi wibawa orang tua di mata masyarakat (orang lain).

Dengan demikian pantangan memakai pakaian orang tua, dapat mendidik anak untuk menjaga kewibawaan orang tuanya. Karena itulah, maka pantangan tersebut dapat memberi dampak positif bagi perkembangan anak dalam pembentukan pribadinya.

Pantangan laki-laki memakai pakaian perempuan dan b. perempuan memakai pakaian laki-laki

Dalam masyarakat Aceh, seorang perempuan berpakaian menyerupai laki-laki atau sebaliknya yang

Page 193: 18

153

berpakaian yang menyerupai perempuan juga dianggap suatu hal yang tabu. Hal ini sesuai dengan dalil hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud, yang artinya: Dari Abi Hurairah: “Bahwasannya Rasulullah SAW mengutuk seorang laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan sebaliknya seorang perempuan yang memakai pakaian laki-laki”.9

Islam juga menganjurkan agar wanita mengenakan pakaian yang sesuai menurut ajaran agama, pantas, menutup aurat dan tidak tipis. Hal ini dimaksudkan agar sifat kewanitaan pada dirinya tetap terjaga dan demikian pula tidak dibenarkan mengenakan pakaian yang menyerupai laki-laki.

Kaitan dengan pernyataan di atas, Nasaruddin al-Bany menguraikan sebagai berikut:

Imam At-Thobary berkata: “Tidak diperbolehkan seseorang laki-laki menyerupai dirinya seperti perempuan dalam berpakaian dan perhiasan yang menyerupai ciri khusus bagi wanita, demikian pula sebaliknya lelaki terhadap wanita”. … Yang dimaksudkan dalam perbuatan menyerupai di atas ialah dalam hal pakaian, beberapa sifat, gerak-gerik dan lain sebagainya; tetapi bukan dalam hal-hal yang baik.10

Dengan demikian menunjukkan bahwa dalam Islam mengutuk pria yang menyerupai dirinya dengan perempuan dalam cara berpakaian dan bertingkah laku. Begitu juga sebaliknya, kaum wanita juga tidak boleh bertingkah laku seperti kaum pria.

9 Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, Juzu’ V, (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, t.t), hal. 989.

10 Nasaruddin al-Bany, Jilbab dan Hijab, Alih Bahasa: Karim Hayaza’, (Semarang: Toha Putera, 1983), hal. 74.

Page 194: 18

154

Dalam ajaran Islam tidak membenarkan seorang laki-laki yang berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita, begitu juga sebaliknya wanita juga tidak boleh berpakaian dan bertingkah laku seperti laki-laki. Dengan demikian memberi kesimpulan bahwa pantangan dalam berpakaian ini juga sejalan dengan hukum Islam, yang mengharamkan laki-laki berpakaian seperti wanita, begitu juga sebaliknya.

Pantangan (5. seumaloe) dalam pergaulanBerdua-duan antara laki-laki dan perempuan yang bukan a. muhrim

Berdua-duan di sini yang dimaksudkan yaitu duduk bergaul di luar batas-batas yang tidak dibenarkan dalam ajaran agama, hal ini merupakan suatu hal yang tabu (seumaloe). Dalam hal ini Mftuh Ahnan menjelaskan:

“Agama Islam tidak melarang adanya pergaulan antara orang laki-laki dan orang wanita dan antara orang dewasa dengan para remaja. Bahkan malah dianjurkan asal tahu batas-batas dan norma-norma ajaran agama Islam. … kita hidup di bumi ini dituntut oleh Allah untuk berkenalan (bergaul) dengan siapapun asal saja tidak melanggar batas-batas agama Islam”.11

Pergaulan antara pria dan wanita tidak dilarang asalkan dapat menjaga batas-batasnya, yaitu tidak bersunyi-sunyian dan mengikut sertakan muhrim atau orang lain. Berduaan antara pria dan wanita dianggap suatu hal yang tabu (pantangan), karena dengan perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan yang melanggar norma-norma keagamaan.

Berkenaan dengan larangan berdua-duaan dengan

11 Maftuh Ahnan, Batas-batas Kebebasan Pergaulan Muda-mudi Islam, (Jakarta: Bintang Pelajar, t.t), hal. 73-74.

Page 195: 18

155

lawan jenis di tempat yang sunyi, dinyatakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits diriwayatkan Ahmad, artinya: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah jangan bersepi-sepi berduaan dengan wanita yang tanpa disertai muhrimnya, bahwa sesungguhnya (yang demikian itu) setan akan menjadi orang ketiga (HR. Ahmad).12

Hadits ini memberi kejelasan bahwa seseorang tidak boleh berdua-duaan di tempat yang sunyi karena dikhawatirkan timbulnya hal-hal yang tidak diingini. Hal ini juga dijelaskan oleh Asyhari Abd. Ghofar sebagai berikut: “Sepasang insan yang berbeda jenis, baik para remaja maupun orang-orang tua yang sudah berkeluarga, manakala berada pada suatu tempat yang sepi atau sunyi dan keduanya bukan merupakan muhrim atau bukan merupakan pasangan suami dan isteri, tentu mereka akan membuat kesan yang negatif”.13

Pergaulan antara pria dan wanita tidak dilarang asalkan dapat menjaga batas-batasnya, yaitu tidak bersunyi-sunyian dan mengikuti sertakan muhrim atau orang lain. Berdua-duaan tanpa muhrim dalam masyarakat Aceh juga suatu hal yang dianggap tabu, sebab dapat merusak citra generasi muda. Pantangan seperti ini dapat mengarahkan anak tidak tergelincir ke lembah nista. Di samping itu juga dapat membina dan menjaga batas-batas pergaulan anak.

Laki-laki bertamu ke rumah orang sedang suaminya b. tidak ada di rumah

12 Imam Ahmad, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, Juzu’ II, (Beirut: Darul Fikri, t.t), hal. 231

13 Ansyari Abd. Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, Cet. III, (Jakarta: Andes Uta-ma, 1993), hal. 52.

Page 196: 18

156

Berkenaan dengan bertamu ke rumah orang, sedang suaminya tidak ada di rumah juga dianggap suatu hal yang tabu (seumaloe). Karena tindakan seperti ini dapat menimbulkan fitnah dari masyarakat. Lebih jauh lagi tindakan seperti ini dapat membawa kehancuran rumah tangga orang lain, kemungkinan suaminya menduga bahwa isterinya telah berbuat sesuatu hal yang melanggar norma keagamaan dengan pria lain.

Dengan demikian tabu (seumaloe) dalam hal bertamu seperti ini tujuannya dapat membawa kemaslahatan hidup bermasyarakat. Karena dengan tidak melanggarnya pantangan tersebut, maka dapat menjaga kecurigaan yang timbul dari seseorang suami terhadap isterinya, atau sebaliknya.

Pengaruh Pantangan Bagi MasyarakatB.

Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa pantangan sudah menjadi suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pantangan tersebut sampai saat ini masih dipatuhi oleh sebagian masyarakat Aceh, terutama berdiam di wilayah pedesaan (gampong).

Ungkapan pantangan mengandung makna yang sangat dalam, walaupun pada dasarnya belum diketahui semuanya makna dari ungkapan tersebut. akan tetapi secara nyata pantangan dalam masyarakat Aceh dapat menjadi pengajaran bagi masyarakat. Lebih-lebih bagi kalangan anak-anak, pantangan dapat membimbing seorang anak untuk tidak mengerjakan perbuatan yang melanggar norma adat dan ajaran Islam. karena itulah, maka pantangan dapat membawa pengaruh positif bagi masyarakat.

Page 197: 18

157

Dapat diakui dengan tidak melanggarnya pantangan, seseorang tidak tercela dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan lebih dari itu dapat menuntun seseorang untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma adat dan agama. Karena adat Aceh, umumnya sejalan dengan ajaran Islam.

Kebudayaan dan adat istiadat Aceh telah menemukan identitasnya, yang bernafas keislaman. Sistem tata nilai inilah yang menjadi tolak ukur untuk menyaring pengaruh baru dari luar, mana yang bisa diterima dan mana yang harus di tolak.

Karena unsur tradisi dan budaya Aceh yang senantiasa Islami, maka pantangan (seumaloe) yang juga merupakan adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sangat besar peranannya. Dalam artian berbagai bentuk pantangan tersebut memberi pengaruh yang positif dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Manfaat Menjaga Pantangan Bagi MasyarakatC.

Dalam kehidupan bermasyarakat, pantangan (seumaloe) jika tidak dipatuhi akan membawa dampak negatif bagi orang yang melanggarnya. Karena itulah, maka pantangan ini sangat penting dijaga oleh seseorang, dengan tidak melanggar pantangan (seumaloe) tersebut dapat membawa berbagai manfaat. Manfaat pantangan, di antaranya sebagai berikut:

Untuk mendidik anak1. Dalam kehidupan di dunia ini tidaklah segala sesuatu

atau tujuan terwujud dengan mudah, tanpa dibarengi dengan ikhtiar (usaha) yang gigih. Bahkan harus dilakukan sekeras mungkin dengan mengerahkan tenaga, pikiran dan cucuran

Page 198: 18

158

keringat. Dalam menjalani kehidupan ini wajib berupaya dan berikhtiar untuk dapat meraihnya apa yang diinginkan. Dalam pepatah Aceh di sebutkan Menyoe na ta usaha, adak han kaya taduek senang. Menyo hana ta usaha pane atra rhet di manyang. (Jika ada bekerja (usaha), kalaupun tidak menjadi orang kaya, kehidupannya akan senang. Tetapi jika tidak bekerja (usaha), bagaimana harta itu jatuh dari langit atau datang dengan sendirinya). Betapa tepatnya filosofi hidup ini yang memiliki arti yang mendalam yang harus dipedomani oleh generasi muda dalam menatap masa depan mereka. Apabila ingin menghasilkan perbuatan yang mulia, seperti halnya mendidik anak-anak untuk menjadi insan yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa serta keturunannya.

Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka bagi para orang tua di Aceh terpikul suatu tanggung jawab dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan anak dan memberikan pendidikan kepadanya. Salah satu upaya pemberian pendidikan kepada anak dalam rumah tangga yaitu dengan memperkenalkan berbagai bentuk pantangan (seumaloe) yang tidak boleh dilanggar oleh anak-anaknya. Dengan tidak dilanggarnya berbagai bentuk pantangan, maka secara tidak langsung orang tua telah ikut memberikan pendidikan keagamaan kepadanya, yang semua itu merupakan tugas utama orang tua.

Jadi salah satu upaya untuk mendidikan anak ialah dengan memperkenalkan berbagai bentuk pantangan kepada anak. Dengan mengertinya bentuk pantangan (seumaloe) tersebut, maka anak akan terjaga dari hal-hal dan tindakan yang melanggar batas keagamaan. Bahkan dengan memperkenalkan bentuk pantangan tersebut, secara tidak langsung orang tua sudah ikut memberikan bimbingan dan pengajaran keagamaan kepada anak-anaknya.

Page 199: 18

159

Untuk kemaslahatan kehidupan keluarga dan 2. masyarakat

Ketentraman dan keharmonisan rumah tangga dan masyarakat merupakan dambaan setiap manusia. Upaya perwujudan suasana keluarga yang tentram dan masyarakat yang aman tidak mungkin tercapai dengan sendirinya, tanpa adanya norma atau adat yang mengatur tata cara tersebut. Di antara sejumlah tata cara, yang menyangkut dengan tradisi masyarakat Aceh yaitu pantangan (seumaloe).

Diakui bahwa dengan menjaga diri, tidak melanggar sesuatu pantangan (seumaloe) bagi sesuatu keluarga, maka dapat terciptanya suasana kehidupan rumah tangga yang harmonis. Dengan baiknya rumah tangga secara otomatis kemaslahatan masyarakat pun dapat tercipta. Karena keluarga merupakan unit terkecil persekutuan hidup masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menjaga pantangan (seumaloe) dapat terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis, yang pada akhirnya dapat terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman dan tentram, mulia dan sejahtera, serasi dan seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi (hablum minallah wa hablum minannas).

Hubungan Pantangan dengan Adat IstiadatD.

Sebagaimana diketahui bahwa pantangan (seumaloe) yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagian besar diterima dan diakui oleh masyarakat sebagai suatu tradisi adat istiadat yang tidak tertulis. Kendatipun tidak tertulis, akan tetapi pantangan tersebut eksistensinya dapat mendukung adat istiadat ke arah yang lebih positif. Diakui bahwa berbagai pola adat istiadat umumnya bersendikan

Page 200: 18

160

kepada ajaran Islam, maka pantangan tersebut sejalan dengan adat istiadat dan hukum Islam. hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Hakim Nyak Pha :

Khusus bagi masyarakat Aceh, hukum adat berarti hukum syara’. Atau setidak-tidaknya hukum adat (walaupun digali dari khasanah kebudayaan Aceh dengan cara musyawarah para pemuka adat dan pemuka masyarakat) didasarkan pada hukum syara’. Hak mana termaktub dalam hadih maja yang berbunyi: Hukom ngon adat, lagee dzat ngon sipheut (hukum dengan adat ibarat zat dengan sifatnya).

Dalam penerapan hukumnya (dasar normatif) selalu didasarkan pada syara’, sedangkan dalam aplikasinya (ujud nyata dalam praktik) atau dalam pelaksanaan eksekusinya dilengkapi dengan adat.14

Sehubungan dengan pendapat tersebut, menunjukkan bahwa pantangan yang merupakan suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh, yang umumnya dapat dijadikan sebagai tradisi yang sudah berurat akar. Pantangan ini merupakan bagian dari adat istiadat Aceh, karena itulah erat sekali kaitan pantangan (seumaloe) dengan adat istiadat Aceh.

Seseorang yang mengetahui ketentuan pantangan dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang beradab dan menjadi panutan dalam masyarakat. Tetapi sebaliknya bila seseorang yang tidak menghargai pantangan (seumaloe) juga dapat dianggap sebagai orang yang tidak mengerti adat istiadat. Karena itu masyarakat, akan memandang rendah terhadap orang yang melanggar pantangan (seumaloe) tersebut.

14 Muhammad Hakim Nyak Pha, “Hukum Adat dan Penerapannya dalam Masyarakat”, Di dalam Buku: Pedoman Umum Adat Aceh, Edisi –I, (Banda Aceh, LAKA Aceh, 1990), hal. 174.

Page 201: 18

161

BAB IXSISTEM PELAKSANAAN REUSAM

GAMPONG (DESA)

Pengertian A. Reusam dan Asal Usulnya

Menurut Kamus Umum Bahasa Aceh-Indonesia pengertian reusam adalah suatu kebiasaan, adat

istiadat di suatu daerah atau beberapa tata cara kehidupan.1

Menurut Badruzzaman Ismail, reusam adalah tatanan protokoler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan.2 Dalam pengertian lainnya yang tersirat dari qanun Aceh, reusam adalah petunjuk-petunjuk adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat.3 Sedangkan menurut Rusdi Sufi, reusam adalah aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dalam suatu daerah yang tertentu sebagai kelompok sosial yang mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi aturan hukum

1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, (Depdiknas, Jakarta, 2001) hal. 800. 2 Reusam Gampong, Disampaikan oleh H. Badruzzaman Ismail pada Forum Sinkronisasi dan Sinergitas Konsep Reusam Gampong dalam mendukung pengamalan Syari’at Islam di Ban-da Aceh, 25 Mei 2011.

3 Lihat Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pem-binaan Kehidupan dan Adat Istiadat.

Page 202: 18

162

yang mengikat dan kemudian disebut adat.4

Berbagai pendapat yang telah disebutkan tadi, maka dapat disimpulkan bahwa, reusam adalah suatu istilah bahasa Aceh yang artinya sesuatu peraturan, tata tertib dan tata cara kehidupan yang telah berlaku dalam masyarakat atau tata cara kehidupan yang telah dijalankan sejak dahulu dan menjadi kebiasaan turun temurun bagi masyarakat sebagai suatu ketetapan bersama yang mengikat seluruh masyarakat secara tidak resmi untuk dijadikan pedoman bersama dalam mengatur kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Namun, bila ditilik secara khusus makna reusam bisa diartikan sebagai suatu produk dari adat yang telah menjadi aturan khusus bagi masyarakat adat untuk dipatuhi sebagai suatu peraturan bersama. Pada konteks yang terakhir ini, reusam gampong (desa) dapat lebih dipahami sebagai suatu peraturan adat bagi masyarakat gampong untuk dijadikan sebagai pedoman bersama dalam menjalankan roda pemerintahan masyarakatnya.

Selanjutnya, dalam buku Ontologi Sastra Aceh, Ali Hasjmy menggambarkan asal muasal kata reusam yang bersumber dari hadih maja (kata berhikmah) yang berbunyi:

“Adat bak Po Teumeureuhoom,hukôm bak Syiah Kuala. Kanun bak Putro Phang, reusam bak Laksamana, hukôm ngen adat lage dzat ngen sifeut”.

Menurut Ali Hasjmy, hadih maja ini menggambarkan tentang pembagian kekuasaan dalam Kerajaan Aceh Darussalam yaitu:

4 Rusdi Sufi, dkk., Adat Istiadat Masyarakat Aceh, (Di-nas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2002), hal. 40.

Page 203: 18

163

Kekuasaan eksekutif atau politik berada di tangan 1. sultan.Kekuasaan yudikatif atau pelaksanaan hukum berada 2. di tangan ulama.Kekuasaan legislatif atau pembuat undang-undang 3. berada di tangan Putroe Phang (putri Pahang) karena putri dari Pahang itulah yang memberi nasihat kepada Iskandar Muda agar membentuk lembaga perwakilan yang bernama majelis mahkamah rakyat.Peraturan keprotokolan berada di tangan laksamana, 4. panglima angkatan perang Aceh.Dalam keadaan bagaimanapun, adat, qanun dan 5. reusam tidak bisa di pisahkan dari hukôm, atau hukum dari ajaran Islam.5

Hadih maja di atas merupakan bentuk kata berhikmat yang paling populer di masa lalu dan masa sekarang untuk menggambarkan kata reusam. Selain versi di atas terdapat versi lainnya yang berbunyi: “Adat bak Po Teumeureuhoom, Hukôm bak Syiah Kuala. Meudjelih Kanun bak Putro Phang, reusam bak Bintara”6.

Kedua versi di atas adalah hadih maja yang di kenal secara luas oleh masyarakat Aceh pada umumnya. Hadih maja di atas merupakan suatu peninggalan sejarah dari masa Kerajaan Iskandar Muda yang merupakan asal muasal istilah reusam bagi masyarakat Aceh hingga sekarang.

5 A. Hasjmy, Ontologi Sastra Aceh, Sekilas Pintas, Ed. LK. Ara, Taufiq Ismail, Hasyim KS, (Jakarta: Yayasan Nusan-tara, 1995), hal. 539.

6 Hasjim MK, Cs., Himponan Hadih Maja, (Banda Aceh: Pustaka Pribadi, 1969), hal. 8.

Page 204: 18

164

Kedudukan B. Reusam di Aceh Masa Dahulu dan Sekarang

Pada zaman Iskandar Muda, sebagaimana di nukil dalam sejarah, kata reusam populer dibicarakan dalam hadih maja di atas. Hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa kedudukan reusam yang paling tinggi yang pernah ada adalah ketika zaman itu. Bila dianalogikan maka kedudukan reusam pada masa tersebut setara dengan kedudukan Undang-undang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekarang ini. Pada era tersebut, setiap warga negara yang berada dalam kekuasaan kerajaan Iskandar Muda mentaati reusam yang berlaku di bawah naungan laksamana sebagai pemegang kekuasaan atas angkatan bersenjata. Pada zaman tersebut, di wilayah Aceh sistem pemerintahannya menggunakan Islam sebagai dasar negara. Bahkan tidak hanya Kerajaan Iskandar Muda, menurut Ali Hasjmy dapat dipastikan hampir semua kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh mengambil Islam sebagai dasar negara.7 Oleh karena itu maka tidaklah heran reusam pada zaman tersebut mengandung unsur Islam yang sangat kental dalam aplikasinya. D.I Meulek dalam Qanun Meukuta Alam menggambarkan bahwa dasar dan sumber hukum yang berlaku pada saat itu di ambil dari al-Qur’an, Hadist, Ijma’ Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan Qiyas. Dari sumber hukum tersebut lalu dibuatlah empat dasar dan sumber hukum baru yang meliputi : (a). Hukum. (b). Adat. (c). Reusam dan (d). Qanun.8 Ali Hasjmy lebih

7 Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Benua, 1983), hal. 67.

8 D.I Meulek, Qanun Meukuta Alam, (Banda Aceh), hal. 30-31.

Page 205: 18

165

lanjut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hukum yaitu segala perundang-undangan yang mengatur masalah keagamaan. Adat adalah perundang-undangan yang mengatur masalah kenegaraan, ketentaraan/pertahanan.9 Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa reusam memiliki kaitan yang sangat erat dengan sumber hukumnya yaitu al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Reusam juga memiliki kedudukan yang tinggi sebagai sumber hukum untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kemasyarakatan.

Dalam buku-buku sejarah Aceh yang telah dituliskan hingga saat ini, hanya sedikit sekali petunjuk yang menjelaskan hingga kapan dan sejauhmana reusam sebagai salah satu sumber hukum berjalan dalam masyarakat masih di pertahankan seperti fungsinya semula. Sejarah panjang kerajaan Aceh yang berlangsung hingga berpuluh-puluh tahun bahkan beratus tahun silih berganti antara raja dan ratu hingga para syarif tidak meninggalkan tulisan-tulisan yang bisa menjadi referensi apakah reusam yang tertera dalam “Adat Meukuta Alam” di atas masih berjalan ataupun telah ditinggalkan sebagai undang-undang dalam pemerintahan namun secara logika dapat di perkirakan bahwa kedudukan reusam sebagai undang-undang masih berlaku hingga periode sultan terakhir di masa itu yaitu Sultan Alaidin Muhammad Dawud Syah pada tahun 1903 M setelah beliau mangkat tanpa pengganti.10 Hal ini mengingat bahwa pada sistem pemerintahan Kerajaan Aceh tidak pernah di temukan tulisan adanya peristiwa amandemen undang-undang kerajaan sebagaimana pada Undang-Undang Dasar

9 Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh…, hal. 67.10 Tgk. M. Yunus Jamil, Tawarikh Raja-Raja Kerajaan

Aceh Darussalam, (Banda Aceh: 1986), hal. 53

Page 206: 18

166

1945 di negara Indonesia.Memasuki abad ke-21, reusam yang dahulunya

merupakan bagian dari undang-undang kerajaan tidak lagi menjadi suatu undang-undang kerajaan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini disebabkan karena Aceh tidak lagi berbentuk sistem kerajaan karena sudah bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meskipun Aceh sudah menjadi salah satu dari provinsi-provinsi di Indonesia, peran dan fungsi reusam masih berlaku secara sah dan tertulis dalam undang-undang di wilayah mukim dan gampong-gampong. Namun, di saat pemerintahan Orde Baru tiba, peran dan fungsi reusam yang dijalankan oleh pemerintahan mukim tersebut telah dipangkas lewat undang-undang baru untuk penyeragaman, modernisasi dan efisiensi pemerintahan desa.11 Untuk mengganti fungsi pemerintahan mukim pemerintah memperkenalkan istilah baru yang di sebut dengan kecamatan dengan camat sebagai pemimpinnya. Sedangkan sebagai lembaga, peran reusam telah dimasukkan ke dalam wilayah lembaga adat istiadat. Lembaga adat istiadat ini hanya mengatur tentang ritual-ritual dan upacara-upacara adat yang berlaku di masyarakat.

Ketika Aceh telah memasuki masa damainya, yaitu semenjak di tanda tanganinya MOU antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintahan Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2005, lahirlah Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang di kenal dengan UUPA. UUPA ini berisi undang-undang yang memberikan pengakuan akan kekhususan wilayah Aceh. Dari sinilah reusam kembali diperkenalkan sebagai suatu peraturan bagi masyarakat gampong hingga

11 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Desa.

Page 207: 18

167

sekarang ini.12 Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

kedudukan dan fungsi reusam di Aceh dimasa kesultanan pada masa-masa awal sejarah dikenalnya istilah reusam tersebut telah mengalami perubahan yang sangat drastis bisa dibandingkan dengan era Aceh yang sekarang. Bila dahulunya reusam merupakan undang-undang yang mengatur pemerintahan secara menyeluruh dan resmi maka sekarang reusam hanyalah seperangkat peraturan gampong yang bersifat tidak mengikat secara hukum positif, namun mengikat secara hukum adat. Reusam kembali menentukan payung hukum semenjak UUPA telah disahkan sebagai bentuk kekhususan wilayah Aceh di antara wilayah-wilayah Provinsi lainnya di Indonesia.

Tujuan dan Fungsi C. Reusam

Bagi masyarakat Aceh, adat dan hukum adat merupakan salah satu “alat penunjuk arah” yang jitu dalam menentukan sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari, dapat dikatakan bahwa masyarakat Aceh akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan adat dan hukum adat mereka. Reusam sebagai bagian dari peraturan adat atau sesuatu yang membingkai hukum adat bertujuan untuk mengatur ketertiban masyarakat di suatu desa dengan adat istiadatnya atau dengan kata lain menata kehidupan masyarakat.13 Sedangkan fungsi reusam adalah untuk memperkuat adat istiadat dan pelaksanaan syari’at Islam di tingkat gampong

12 Lihat Undang-Undang Nomor 11Tahun 2003 tentang Peraturan Gampong.

13 Lihat Undang-Undang Nomor 11Tahun 2003 tentang Peraturan Gampong.

Page 208: 18

168

serta mewujudkan nilai-nilai demokrasi di tengah-tengah masyarakat.14

Dari kutipan di atas, maka tujuan dan fungsi reusam dapat di gambarkan secara lebih luas sebagai berikut.

Tujuan Reusama. Dari awal mulanya reusam telah dijadikan sebagai

suatu aturan hukum yang berlaku di wilayah kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa Al-Mukammil atau Sultan Alaiddin Ri’ayatsyah IV, Said Mukammil Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604) M atau (977-1011) H sebagai suatu perundang-undangan yang mengatur kemasyarakatan telah memainkan perannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam catatan seorang saksi mata sejarah yang bernama Davis yang di kutip dari M. Said, Aceh sepanjang abad, di ceritakan bahwa hukuman terhadap orang bersalah telah diberikan kepada mereka yang melanggar aturan atau reusam di wilayah kerajaan. Hukuman yang di berikan antara lain yaitu hukum potong, hukum buang (ke Pulau Weh), hukuman mati (rajam, pancung), dan juga ada hukuman penjara.15

Di masa Iskandar Muda, menurut Muhammad Said, Adat Meukuta Alam sebagai perundang-undangan yang berlaku telah menarik perhatian dari negeri-negeri tetangga untuk di ambil sebagai rujukan terutama peraturan itu berunsur kepribadian yang di jiwai sepenuhnya oleh hukum agama.16 Hal ini menunjukkan bukti bahwa reusam sebagai salah satu sendi dari Adat Meukuta Alam telah memainkan tujuannya menata kehidupan bermasyarakat sebagai bagian

14 Qanun Kota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2005 Ten-tang Reusam Gampong.

15 Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1, (Me-dan: Waspada, 1992), hal. 187.

16 Muhammad Said, Aceh Sepanjang…, hal. 255.

Page 209: 18

169

dari perundang-undangan di kala itu.Ali Hasjmy, mengutip dari D.I Meulek, Qanun Meukuta

Alam, dalam bukunya Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, mengatakan bahwa :

Kehidupan Kerajaan rakyat Aceh pada masa itu berpedoman pada Islam sebagai sumber hukum utama. Dari sumber hukum utama itu maka ditetapkan hukum-hukum lain yang dijadikan pedoman dalam pemerintahan dan bermasyarakat yaitu hukum agama, hukum adat, reusam dan qanun. Baik hukum, adat, reusam dan qanun masing-masing ada beberapa tingkatan yaitu :

Hukum Syar’i, Adat Syar’i, 1. Reusam Syar’i dan Qanun Syar’i. Yaitu segala Hukum dasar atau undang-undang pokok yang bersumber dan mengacu pada syari’at.Hukum 2. Ardhli, Adat Ardhli, Reusam Ardhli dan Qanun Ardhli. Yaitu segala hukum dasar atau undang-undang pokok yang bersumber dari sultan.Hukum 3. Dharuri, Adat Dharuri, Reusam Dharuri dan Qanun Dharuri. Yaitu segala hukum dan undang-undang dalam keadaan darurat di pegang oleh sultan selaku pemimpin tertinggi.Hukum 4. Nafsi, Adat Nafsi, Reusam Nafsi dan Qanun Nafsi. Yaitu segala peraturan-peraturan khusus yang di buat oleh sultan.Hukum 5. Urfi, Adat Urfi, Reusam Urfi dan Qanun Urfi. Yaitu segala hukum dan peraturan yang di buat oleh penguasa daerah di daerahnya masing-masing.17

Kelima tingkatan di atas bersifat dari atas ke bawah yaitu tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Hukum adat berarti hukum syara’, hal tersebut tersurat dalam hadih maja yang berbunyi: hukom ngon adat lagee zat ngon sipheut

17 Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh…, hal. 70.

Page 210: 18

170

(hukum dan adat ibarat zat dengan sifatnya). Hukum yang dimaksud adalah hukum syari’at, jadi hukum syariat dan adat tidak dapat dipisahkan sebagaimana tidak terpisahnya suatu zat dengan sifatnya.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pemisahan antara hukum dengan adat. Tujuan reusam pada zaman dahulu adalah sebagai alat resmi dan mengikat secara hukum dan adat untuk mewujudkan nilai-nilai budaya yang bersendi Islam sebagai bagian adat istiadat untuk kerajaan dan seluruh masyarakat Aceh di bawah naungan pemerintah kerajaan. Namun, bila di bandingkan dengan tujuan dari reusam gampong sebagaimana terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2003. tujuan dijadikan reusam mengalami sedikit perubahan yaitu tidak lagi menjadi alat resmi dan mengikat secara hukum dan adat melainkan telah menjadi sekedar pelindung agar adat dan peraturan-peraturannya bisa berlaku di masyarakat tanpa bertentangan dengan hukum negara. Namun secara positif, tujuan dari reusam itu sendiri masih bisa dipahami dengan baik.

Fungsi b. ReusamFungsi Reusam tidaklah mengalami banyak perubahan

semenjak zaman dahulu hingga zaman sekarang. Fungsi reusam secara umum adalah untuk mengatur tata tertib dan tingkah laku anggota masyarakat.18 Dalam qanun Kota Banda Aceh no. 7 tahun 2005 di jelaskan bahwa fungsi Reusam adalah untuk memperkuat adat istiadat dan pelaksanaan syariat Islam di tingkat gampong serta mewujudkan nilai-nilai demokrasi di tengah-tengah masyarakat. Fungsi reusam adalah untuk menjalankan hukum adat yang bersumber

18 Rusdi Sufi, dkk., Adat Istiadat Masyarakat Aceh…, hal. 40.

Page 211: 18

171

dari syari’at Islam. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi reusam antara lain adalah:

Sebagai adat untuk memelihara dan mempertahankan 1. nilai-nilai adat dan budaya yang terkandung di dalam kehidupan masyarakat Aceh.Sebagai alat untuk kontrol untuk menertibkan 2. segala bentuk pelanggaran yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat dan segala permasalahan dalam masyarakat gampong di Aceh.Sebagai alat menjaga adat istiadat dari pengaruh 3. budaya luar yang dapat mengikis dan menghilangkan budaya dan adat istiadat dalam masyarakat Aceh.Sebagai alat untuk menjalankan syari’at yang teraplikasi 4. di dalam adat istiadat masyarakat Aceh.

Reusam sebagai Sumber Tatanan Sosial Masyarakat D. di Aceh

Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, sebagaimana kehidupan pada masyarakat lain pada umumnya di Indonesia ada dua sistem peraturan yang berlaku secara umum yaitu peraturan pemerintah berupa hukum positif yang diikat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara atau GBHN dan peraturan adat berupa hukum adat yang mengikat masyarakat menurut adatnya masing-masing. Pada hukum negara, semua wilayah yang berada di dalam batas-batas negaranya, setiap warga negara tanpa mempedulikan suku dan adat istiadatnya wajib tunduk dan patuh pada undang-undang yang berlaku. Sedangkan hukum adat hanya akan berlaku pada masyarakat adat itu sendiri dan boleh menggunakan sanksi, selama

Page 212: 18

172

sanksi tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang negara. Bila hukum adat berhadapan dengan hukum negara maka hukum negara lah yang harus didahulukan. Demikian juga dalam hal sanksi atau hukuman bagi mereka yang melanggar. Jika seseorang melakukan pelanggaran hukum negara dan hukum adat maka sanksi adat boleh di jatuhkan setelah pelakunya mendapatkan sanksi dari hukum negara.

Masalah hukum adat di dalam tatanan masyarakat Aceh pada awalnya merupakan hukum negara artinya hukum negara merangkap sekaligus hukum adat sehingga tidak terjadi polemik antara hukum adat dan negara. Hal ini tercantum dalam Adat Meukuta Alam. Reusam sebagai sumber tatanan sosial masyarakat dipercayai bermula dari sini.

Setelah masyarakat Aceh menjadi bagian dari NKRI, peran reusam sebagai sumber tatanan masyarakat telah di gantikan oleh UUD 1945 dan GBHN. Dasar Negara Indonesia yang bernafaskan Pancasila tidak lagi sejajar dengan dasar dari reusam itu sendiri yang bernafaskan al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Meskipun tidak bertentangan akan tetapi hal ini mempengaruhi bentuk reusam yang ada sekarang ini.

Adat istiadat sebagai reusam, merupakan norma, kaidah yang mengandung nilai-nilai hukum. Bagi masyarakat adat, sulit memisahkan pengertian adat yang bersifat hukum (hukum adat) dengan pengertian yang bersifat perbuatan perilaku yang tetap/tradisional. Namun kejelasan itu akan terlihat dalam penyelesaian permasalahan bila ada kasus-kasus adat yang terjadi dalam masyarakat. Adat atau hukum adat suatu norma yang mengandung sifat dan nilai-nilai hukum dalam tatanan perilaku kehidupan masyarakat dipatuhi untuk ketertiban, kerukunan dan

Page 213: 18

173

kesejahteraan masyarakat, di mana bagi siapa yang melanggar adat (hukum adat) akan diberikan sanksi hukum. Hukuman yang dijatuhkan oleh pimpinan adat, berdasarkan hasil keputusan musyawarah, berdasarkan nilai-nilai kepatutan, kelayakan-kelayakan dan keseimbangan dengan mendahulukan prinsip-prinsip damai suatu sebagai suatu landasan mekanisme untuk mewujudkan keadilan. Misalnya dalam hal persengketaan harta milik (perbuatan perdata), penganiayaan dan pertengkaran (perbuatan pidana) dapat diselesaikan dengan cara-cara damai melalui peradilan adat, yang terdapat di gampong-gampong dan Mukim. Prinsip utama yang digunakan adalah “damai” untuk membangun keseimbangan (equilibrium) dalam masyarakat, beralaskan nilai-nilai konpensasi luka ta sipat, dara ta suka dan narit maja Kiwing ateung beuneung peuteupat, kiwing ureung adat peuteupat. Adat sebagai norma hukum diaktualkan dalam sistem penyelesaian berbagai persengketaan dalam masyarakat melalui lembaga penegakan peradilan adat yang mengandung sanksi di gampong-gampong dan mukim. Adat istiadat sebagai reusam ini, dalam realitas kehidupan sosiologis masyarakat Aceh di gampong-gampong dan mukim menjadi pilar dalam penegakan norma-norma adat dalam simbol peukong pageu gampong.

Adat istiadat juga berarti aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim di tutur dan dilakukan. Pada masyarakat Aceh adat hadih maja yang sampai saat ini masih dipegang oleh masyarakat Aceh yaitu: Adat Bak Po teu Meurehom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana. Bunyi hadih maja ini, tidak bisa lekang dari keseharian masyarakat Aceh. Kalimat ini adalah bagian yang melekat dalam kehidupan adat di Aceh. Adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan

Page 214: 18

174

keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Muhammad Hakim Nyak Pha mengatakan bahwa adat istiadat adalah tata kelakuan atau tata tindakan atau tata perbuatan yang selanjutnya merupakan kaedah-kaedah yang bukan saja dikenal, diakui dan dihargai, akan tetapi juga ditaati oleh sebahagian besar warga masyarakat yang bersangkutan. Adat istiadat tersebut telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat.19 Adat dan hukum adat merupakan salah satu “alat penunjuk arah” dalam menentukan sikap dan tingkah laku dalam pergaulan sehari-hari. Atau bahkan dapat dikatakan bahwa orang Aceh akan selalu bersikap dan bertingkah laku dalam batas-batas yang telah dibenarkan oleh adat dan hukum adat mereka. Dalam hal ini, reusam adalah kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat setempat yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Reusam ini merupakan adat karena itu disebut adat reusam. Adat reusam itu bertingkat-tingkat (meutangga-tangga) yang maksudnya bahwa adat kebiasaan setempat ada yang bersifat sederhana, dan ada yang lebih kompleks serta ada yang sesuai untuk kelompok masyarakat biasa dan ada pula yang hanya cocok untuk orang bangsawan atau raja-raja.

Pengertian bertingkat dari adat reusam berkaitan dengan kedudukan reusam sebagai isi dari adat Aceh. Sebagai suatu kebiasaan dalam masyarakat setempat, maka reusam belum tentu telah memiliki peraturan pelaksanaan (kanun) yang dapat dipedomani, apalagi memiliki dasar

19 www.idlo.int/docNews/213DOC1.pdf, Lembaga Adat Sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa, diakses pada 12 Feb-ruari 2012.

Page 215: 18

175

hukumnya (hukom) dan yang akhirnya baru dapat disebut sebagai adat Aceh.

Kelembagaan Adat MukimE.

Mukim adalah gabungan beberapa gampong. Menurut Taqwadin, mukim adalah wilayah yang membawahi beberapa gampong yaitu gabungan sekitar minimal 5 sampai 13 gampong.20 Beliau melanjutkan bahwa kata-kata mukim pertama kali muncul seiring dengan masuknya Islam di Aceh. Menurutnya, tugas dan fungsi mukim pertama sekali hanya berurusan dengan kepengurusan dan manajemen masjid sebagai sarana ibadah umat Islam.

Mungkin sebagai suatu institusi telah memiliki pengakuan dan diberikan wewenang dalam hal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan sosial, juga dalam hal pembangunan dan penetapan dan penyelesaian hukum adat.21

Imuem Mukima. Imuem Mukim adalah seorang pemimpin di

tingkat mukim yang berperan sebagai eksekutif dalam mengatur urusan-urusan adat, sosial dan pemerintahan di tingkat mukim. Imuem Mukim ini juga berfungsi untuk menyidangkan perkara-perkara banding dari geuchik, dari putroe semeubok, keujruen blang, ketua pasar, panglima laôt, dan perkara-perkara banding dari imam masjid.

20 Taqwadin, di sampaikan dalam “Diskusi Publik” den-gan tema “Tinjauan Hukum atas Kedaulatan Institusi Mukim di Aceh” di selenggarakan oleh Proodelat pada tanggal 08 Septem-ber 2011.

21 Lihat Qanun Nomor 4 Tahun 2003 dan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Mukim

Page 216: 18

176

Tuha Peut Mukimb. Tuha Peut Mukim berperan sebagai legislatif. Dalam

pelaksanaannya, Tuha Peut Mukim yang dipilih dari perwakilan gampong berfungsi sebagai lembaga konsultasi dan pengawasan kebijakan-kebijakan oleh Imuem Mukim.Dua Perangkat mukim di atas adalah bentuk lanjutan dari institusi di tingkat gampong. Artinya, apabila ada permasalahan baik adat maupun agama serta permasalahan sosial lainnya yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat gampong maka Imuem Mukim dan Tuha Peut Mukim-lah yang akan menyelesaikannya di bantu oleh para ulama/pemuka adat dan cendikiawan-cendikiawan, khatib dan bilal beserta unsur-unsur lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran Imuem Mukim dan Tuha Peut Mukim sangatlah penting untuk membantu lembaga adat gampong (desa) untuk menjalankan reusam gampong dengan baik.

Sekretaris c. MukimSekretaris Mukim adalah jabatan khusus yang

di berikan kepada seseorang di tingkat mukim untuk memperlancar segala urusan administrasi berkaitan dengan pemerintahan mukim. Sekretaris Mukim ini berfungsi sebagai tangan kanan Imuem Mukim dalam menjalankan roda pemerintahan di tingkat pemukiman.

Sekretariat d. Mukim Sekretariat Mukim merupakan tempat di mana Imuem

Mukim, Tuha Peut Mukim dan Sekretaris Mukim berkantor. Mereka menggunakan tempat ini sebagai tempat menyimpan berkas-berkas atau segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas operasional pemerintahan di tingkat mukim.

Masjide. Masjid merupakan tempat bagi dilaksanakannya

Page 217: 18

177

shalat lima waktu dan shalat Jum’at di suatu wilayah mukim. Biasanya, masjid juga berperan sebagai tempat sidang atau musyawarah untuk penyelesaian sengketa yang tidak dapat di selesaikan di tingkat gampong. Fungsionalisasi masjid sebagai tempat ibadah, tempat musyawarah, tempat belajar, tempat berdakwah semakin berperan dalam kehidupan masyarakat Aceh dari dahulu sampai sekarang. Pada zaman keemasan masyarakat Islam telah berhasil menjadikan masjid sebagai markas pelaksanaan hubungan manusia dengan manusia (mu’amalah) dan pelaksanaan hubungan manusia dengan Allan Swt (ibadah), dan simbol persatuan dan kesatuan umat.

Lembaga Adat F. Gampong

Gampong adalah daerah hukum kecil di Aceh, seperti desa di Jawa, Dusun di Sumatra Selatan, Huta di Tapanuli dan Nagari di Minangkabau dan Kampung di wilayah Melayu.22 Badruzzaman Ismail menjelaskan bahwa suatu gampong adalah daerah yang memiliki rakyat dengan susunan pemerintahan sendiri. Dia juga menambahkan bahwa suatu gampong juga memiliki tatanan aturan, harta kekayaan dan batas teritorial. Gampong berwenang penuh untuk mengembangkan adat dan istiadatnya, bahkan berfungsi menyelenggarakan peradilan adat sesuai dengan tatanan adat yang mereka miliki.23

22 T. Syamsuddin, Bunga Rampai Tentang Aceh, Ed. Is-mail Sunny, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980), hal. 122.

23 Badruzzaman Ismail, dkk., Pendidikan Pelatihan, Per-alihan Adat/Hukum Adat, Adat Istiadat bagi Keuchik dan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Beserta Qanun-Qanunnya, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007), hal. 44.

Page 218: 18

178

Keuchik1. Keuchik adalah eksekutif yang menjalankan roda

pemerintahan gampong24. Selaku pimpinan dalam suatu gampong, seorang keuchik harus benar-benar memahami karakter sosial masyarakatnya. Seorang keuchik berfungsi sebagai alat kontrol sosial dalam bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun represif yang antara lain berupa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan dan penengah dalam mendamaikan sengketa yang timbul di masyarakat. Keuchik bertugas untuk mengasuh anggota komunitasnya mengenai masalah-masalah adat, sosial, dan pada masa terakhir pemerintahannya menyiapkan dan mengatur masalah administrasi pemerintahan.25

Keuchik memiliki wewenang yang luas dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin. Sulaiman Tripa mengutip dari Snouck Hurgronje (1985): Ada dua wewenang keuchik: memelihara tertib-aman, serta mengusahakan kesejahteraan. Berkaitan dengan kesejahteraan penduduk, keuchik berwenang mengatur pemindahan keluarga ke gampong lain, di mana harus seizin keuchik, hal ini berhubungan dengan berkebun; sama dengan orang yang bermukim di gampong; perkawinan juga harus mendapatkan izin dari keuchik, terutama berkenaan dengan usia si gadis apakah masih di bawah umur atau sudah dewasa, atau perkawinan yang bertentangan dengan hukum adat, yang

24 Lihat Pasal 18 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat.

25 M. Junus Melalatoa dalam Sardono W. Kusumoe, et.al, Aceh Kembali Ke Masa Depan, (Jakarta: IKJ Press bekerja sama dengan Kata Kita, 2005), hal. 46.

Page 219: 18

179

berarti bertentangan dengan hukum syari’at.26

Keuchik dalam kapasitasnya sebagai pimpinan berkewajiban menciptakan suasana yang aman dan tenteram bagi masyarakatnya. Setelah keamanan dan ketenteraman ini terwujud, maka terbentuklah sebuah sistem pengendalian sosial yang utuh dalam bingkai agama dan adat. Pengendalian sosial merupakan suatu kegiatan direncanakan maupun tidak direncanakan, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat, agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum adat memegang peran penting dalam pengendalian sosial masyarakat untuk mewujudkan kelompok masyarakat yang memiliki nilai-nilai agama. Lembaga adat gampong dapat menciptakan pengendalian sosial dengan beberapa cara:

Mempertebal keyakinan masyarakat akan kebaikan 1. kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.Memberikan penghargaan kepada masyarakat 2. yang mentaati kaidah-kaidah yang berlaku dengan menerapkan sanksi positif.mengembangkan rasa malu dalam diri masyarakat 3. apabila mereka menyimpang dari kaidah-kaidah tertentu.Menimbulkan rasa takut dengan penerapan sanksi 4. yang efektif Menyusun perangkat aturan-aturan hukum.5. Apabila dalam suatu masyarakat di suatu gampong telah

terjadi pelanggaran hukum syari’ at maupun hukum adat, maka keuchik harus bertindak adil dalam menyelesaikan suatu perkara dan diselesaikan dalam konteks budaya lokal. Sebagai pengendali sosial, keuchik harus mencari

26 Sulaiman Tripa, “Pembagian Peran Lewat Adat Gam-pong’”, dikutip dari wwv.aceh institute.org pada Februari 2012.

Page 220: 18

180

penyelesaian yang arif dan bijaksana, bukannya mencari siapa yang benar dan salah. Agar terciptanya keseimbangan sosial, keuchik dalam menyelesaikan perkara harus mengacu pada asas-asas sebagai berikut:

Kedudukan pihak-pihak yang bertikai adalah sama,1. Peradilan dilaksanakan dengan hakim kolegial dengan 2. hakim terdiri dari keuchik, imuem meunasah, dan tuha peut,Hukum harus ditegakkan, akan tetapi harus 3. diperhatikan pula jangan sampai dengan putusan itu menimbulkan perpecahan dalam masyarakat,Penyelesaian diwujudkan dalam bentuk perdamaian4. Penyelesaian perkara pidana dilakukan secara formal 5. dan material. Setiap terjadinya kasus-kasus pidana maupun perdata

baik di lingkungan keluarga, masyarakat dalam satu gampong maupun dengan gampong lain, maka keuchik harus memberikan solusi akhir dari penyelesaian kasus berupa perdamaian. Dalam hal ini, Badruzzaman Ismail, salah seorang tokoh adat Aceh menulis, “dalam membangun penyelesaian damai, biasanya mekanismenya “damai adat” ditempuh melalui dua jalan: pertama prosesi penyelesaian nilai-nilai normatif (hukum adat), melalui forum “Adat Musapat” , musyawarah para tokoh adat/lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan penyelesaian sengketa/pelanggaran dengan menggunakan asas “luka tasipat, darah tasukat “ (kompensasi/kerugian), “buet nyan geit pelcreulee keu bagah, beik jeut susah watei iblih teuka “. Kedua prosesi penyelesaian formal melalui seremonial adat (publik) di depan umum, dengan inti acara khanduri, peusijuek, bermaafan dan salaman.

Page 221: 18

181

Tuha Puet2. Jika kita merujuk pada Qanun No.8 Tahun 2004 tentang

pemerintahan gampong bab Tuha Puet pasal 34 dikatakan bahwa Tuha Peut Gampong sebagai Badan Perwakilan Gampong, merupakan wahana untuk mewujudkan demokratisasi, keterbukaan dan partisipasi rakyat dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan Gampong.Tuha Peut (sekumpulan orang yang dituakan karena memiliki beberapa kelebihan). Tuha Peut biasanya memikul tugas rangkap, di samping sebagai penasihat keuchik, juga sebagai pemikir, penimbang, dan penemu dasar-dasar hukum atas suatu keputusan atau ketetapan adat. Kecuali itu dalam kasus-kasus tertentu mereka acap sekali harus berposisi sebagai dewan juri. Kedudukan Tuha Peut dalam struktur pemerintahan gampong sejajar dan menjadi mitra kerja pemerintah gampong.Fungsi dan tugas Tuha Peut di antaranya adalah:

Meningkatkan upaya pelaksanaan syari’at Islam dan a. adat dalam masyarakatMemulihkan kelestarian adat istiadat, kebiasaan-b. kebiasaan dan budaya setempat yang memiliki azas manfaat.Melaksanakan fungsi legislatif, yaitu membahas/c. merumuskan dan memberi persetujuan terhadap penetapan keuchik terhadap reusam gampong.Melaksanakan fungsi anggaran yaitu membahas/d. merumuskan dan memberi persetujuan terhadap Rancangan Anggaran dan Penetapan Belanja Gampong, sebelum di tetapkan menjadi Anggaran Pendapatan Belanja GampongMelaksanakan fungsi pengawasan meliputi pengurusan e.

Page 222: 18

182

terhadap pelaksanaan Reusam Gampong, Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong, pelaksanaan keputusan dan kebijakan lainnya dari keuchik.Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat f. kepada Pemerintah Gampong.27

Sekretaris 3. GampongSebagaimana sekretaris mukim, sekretaris gampong

juga merupakan tangan kanan dari keuchik dan bertugas dalam memperlancar tugas yang berhubungan dengan administrasi gampong. Karena berhubungan dengan administrasi, seorang sekretaris gampong haruslah merupakan seseorang yang baik dalam hal administrasi.

Sekretariat 4. GampongSekretariat gampong merupakan tempat di mana

seluruh para perangkat desa berkantor. Dalam hal ini perannya mirip seperti kantor desa atau kelurahan di luar Aceh. Di sinilah seluruh data-data dan berkas-berkas yang berhubungan dengan pemerintahan desa (gampong) tersimpan.

Meunasah/Mushalla5. Meunasah adalah tempat yang berfungsi sebagai sidang

musyawarah penyelesaian sengketa di wilayah gampong. Segala pelanggaran terhadap reusam biasanya diselesaikan di meunasah. Di samping fungsi utamanya adalah sebagai tempat pelaksanaan shalat.

27 Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden, Pen-etapan Denah, Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam, (Banda Aceh: Nanggroe Aceh Darussalam, 2004), hal. 241.

Page 223: 18

183

Meunasah sebagai sentra pembangunan masyarakat/komunikasi sosial memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:

Tempat ibadah/shalat berjama’ah;a. Dakwah dan berdiskusi;b. Musyawarah/mufakat;c. Penyelesaian sengketa/damai;d. Pengembangan kreasi seni;e. Pembinaan dan posko generasi muda/remaja f. gampong;Forum asah terampil/olah raga;g. Pusat ibu kota pemerintahan.h. 28

Demikianlah beberapan lembaga beberapa lembaga adat gampong yang merupakan daerah hukum kecil di Aceh. Artinya suatu gampong adalah daerah yang memiliki rakyat dengan susunan pemerintahan sendiri. Lembaga adat gampong juga memiliki tatanan aturan, harta kekayaan dan batas teritorial. Gampong berwenang penuh untuk mengembangkan adat dan istiadatnya, bahkan berfungsi menyelenggarakan peradilan adat sesuai dengan tatanan adat yang mereka miliki.

28 Abdul Rani Usman, dkk., Budaya Aceh…, hal. 41.

Page 224: 18

184

Page 225: 18

185

BAB XKESIMPULAN DAN HARAPAN

Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat Indonesia, maupun di kawasan Nusantara

bahkan di dunia Internasional pada masa lalu, bahkan pada saat ini pun masih perhatian pihak luar, bahkan menariknya lagi untuk masa akan datang.

Sejarah perkembangan suku Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti C. Snouck Hurgronje dan ilmuan lainnya. Perkembangan sejarah dan peradaban etnis Aceh pun menjadi perhatian ahli sejarah, karena suku Aceh memiliki keunikan tersendiri terutama banyaknya integrasi etnik/campuran etnik yang akhirnya jadilah etnik Aceh.

Kebudayaan dan peradaban suku Aceh mengalami kedinamisan, sesuai dengan perkembangan situasi sosial dan politik yang berlangsung di Aceh. Perkembangan sosial, politik dan budaya di Aceh yang tidak kondusif, perkembangan, pertumbuhan di bidang sosial-budaya, adat istiadat sudah berlangsung puluhan tahun, sehingga perkembangan budaya, adat istiadat bahkan peradaban pun mengikuti perkembangan politik yang berjalan sesuai dengan kebijakan-kebijakan hukum, perundang-undangan NKRI.

Keunikan suku Aceh, karena banyaknya integrasi etnik/campuran etnik yang akhirnya terjadi suatu etnik

Page 226: 18

186

Aceh. Etnik Aceh ada yang berawal dari India dan Timur Tengah mempunyai kemiripan dengan Melayu yang hidup di Nusantara maupun dengan Semenanjung Melayu lainnya. Kedatangan imigran ke Aceh sebelum membawa suatu peradaban baru tapi penghuni Aceh sebelumnya seperti suku Mante dan Melayu tua yang sudah lama mendiami Aceh.

Etnik Aceh merupakan salah satu suku yang mendiami bagian ujung Pulau Sumatera, Aceh pada awal perkembangan peradaban atau pada awal abad pertama masehi sudah menjadi jalur perdagangan Internasional dan sudah terdapat pelabuhan sebagai tempat persinggahan atau tempat terjadinya interaksi/kontak antar bangsa, seperti dengan bangsa Arab, India, dan Cina. Aceh merupakan salah satu tempat pertemuan antar budaya dan antar peradaban. Pertemuan antar budaya tersebut semakin akrab, yang akhirnya terjadilah interaksi dari peradaban suku bangsa dengan suku Aceh.

Hubungan antar bangsa terjadi disebabkan oleh interaksi perdagangan dan diiringi dengan kontak budaya. Kontak budaya terjadi antar orang Aceh dengan bangsa-bangsa asing, selain berpengaruh terhadap budaya dan perilaku, juga mempunyai hubungan dengan penyebaran agama, baik agama Islam maupun juga dengan agama Hindu. Dalam kenyataannya dapat dilihat di Aceh sampai sekarang masih terdapat pengaruh agama Hindu dalam praktik-praktik adat, bahkan berpengaruh juga pada arsitektur rumah-rumah ibadah seperti masjid kuno di Indrapuri Aceh Besar, kenyataannya terlihat menunjukkan bahan integrasi budaya di Aceh terjadi dengan sendirinya dan berhasil dengan baik.

Dalam kehidupan masyarakat Aceh, adat mendapat

Page 227: 18

187

kedudukan yang terhormat dan diakui sebagai penguat hukum (syariat), seperti tersebut dalam hadih maja dikatakan ”hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut”. Ini menunjukkan bahwa hukum dengan adat tidak dapat dipisahkan, keduanya saling melengkapi, di mana adat berdasarkan hukum (syariat Islam), artinya dapat berdasarkan hukum Islam, sedangkan hukum Islam itu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, bila ada hukum adat yang berlawanan dengan hukum Islam, maka hukum tersebut tidak dapat dikatakan sebagai adat Aceh.

Adat istiadat sebagai bagian dari kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Oleh karena itu adat istiadat yang sarat dengan nilai itu pula dilestarikan oleh masyarakat Aceh dan perlu diajarkan kepada generasi selanjutnya untuk mewarisi. Transformasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat Aceh tersebut mutlak diperlukan. Lebih-lebih pada era globalisasi dewasa ini setiap saat dapat mengancam nilai-nilai yang terkandung dalam adat istiadat leluhur masyarakat Aceh, sebagai akibat masuknya berbagai nilai budaya asing yang belum tentu sesuai dengan kondisi sosial keagamaan dan adat istiadat masyarakat.

Adat istiadat Aceh merupakan asset yang perlu dilestarikan, pelestariannya sangat tergantung pada sikap dan perilaku para pengikutnya, pemakai dan penggunaannya. Banyak budaya dan adat menjadi hilang begitu saja, karena masyarakatnya tidak memerlukan adatnya atau budayanya. Sedangkan yang dikehendaki adalah budaya dan adat istiadat masyarakat terus berkembang dan lestari bersama berkembangnya peradaban dan ilmu pengetahuan masyarakat.

Page 228: 18

188

Stratifikasi sosial masyarakat Aceh pada masa pra kemerdekaan didasarkan pada keturunan, namun setelah kemerdekaan dasar-dasar stratifikasi sosial mulai beralih fungsi dan berubah. Masyarakat Aceh sebagaimana masyarakat lainnya mempunyai struktur dan lembaga sosial. Struktur dan lembaga sosial masyarakat Aceh sudah ada dan berkembang ratusan tahun yang lalu. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, struktur dan lembaga masyarakat Aceh sangat teratur dan berkembang baik, karena semuanya telah diatur dalam undang-undang kerajaan yang disebut Adat Meukuta Alam.

Dalam masyarakat Aceh dikenal juga ada istilah kawom, yaitu gabungan saudara dari pihak wali dan karong. Seseorang akan terpandang dilihat dari kawomnya. Kawom berfungsi saling membantu antara sesama kawom, baik secara umum maupun sosial, ekonomi dan keagamaan. Contohnya apabila ada khanduri maka kawom berkewajiban untuk membantu, baik tenaga maupun keuangan, demikian pula jika ada musibah maka anggota kawom itu berhak membantu.

Aktivitas adat dalam masyarakat Aceh yang mesti dilaksanakan adalah meliputi perkawinan, seperti keumalon putusan dari orang tua untuk melihat calon pengantin), meuminang, ba ranup peukeng haba (ikatan konkrit), meukereurija (acara pesta) sampai sang pengantin melahirkan anaknya. Dalam bidang seni tari juga masih dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Aceh, seperti tarian ranup lam puan, laweut, tarek pukat dan seni tarian lain, dan sebagainya sudah dimodifikasi dengan tarian-tarian atau seni suara modern sekarang ini.

Adat istiadat/kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad dan telah

Page 229: 18

189

melembaga sebagai suatu lembaga adat telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat, salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan pembinaan dan pengembangan adat yang ditempuh adalah dengan melakukan pembinaan dab pengembangan lembaga-lembaga adat yang pernah ada serta pengaturan dan penetapan fungsi dari undang-undang lembaga adat tersebut.

Adapun fungsi dari lembaga adat itu adalah:Membantu pemerintah dalam mengusahakan a. kelancaran pemerintahan, pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya.Melestarikan kebudayaan hukum adat, adat istiadat b. dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.Memberikan kebudayaan hukum menurut hukum c. adat terhadap hal-hal yang menyangkut dengan keperdataan adat, juga dalam hal adanya perkataan yang menyangkut masalah adat.Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan d. nilai-nilai adat di Aceh dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Aceh secara khususnya.Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dilakukan

berdasarkan azas mufakat musyawarah dengan berdasarkan “Adat bak Po Teumeruhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngen adat lagei zat dengan sifeut”.

Dalam kehidupan masyarakat Aceh terdapat pantangan-pantangan. Bentuk-bentuk pantangan itu tidak semua bertentangan dengan ajaran Islam. Pantangan-

Page 230: 18

190

pantangan tersebut bertujuan untuk mendidik generasi penerus, misalnya pantangan duduk (seumaloe duek), yaitu duduk pada tempat khusus diperuntukkan sebagai tempat orang tua, duduk di atas bantal, duduk berdiri di depan pintu khusus bagi anak gadis, makan nasi dalam keadaan sangat panas (panas-panas), melempar nasi ke dalam mulut, makan sambil berjalan atau berdiri. Wanita hamil tidak boleh makan sembarangan atas pemberian orang, wanita hamil dilarang bermain-main di senja hari, pantangan memakai pakaian orang tuanya. Pantangan laki-laki memakai pakaian wanita dan memakai pakaian laki-laki, sedangkan dalam bidang pergaulan sangat dilarang berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya, demikian pula laki-laki bertamu ke rumah orang, sedang suaminya tidak ada di rumah, sebab tindakan seperti ini dapat menimbulkan fitnah dengan masyarakat dan lebih jauh lagi dapat member kelancaran rumah tangga orang lain.

Pantangan-pantangan itu merupakan bagian dari adat istiadat, karena itulah banyak sekali kaitan pantangan dengan adat istiadat Aceh. Bagi seseorang yang mengetahui ketentuan pantangan itu dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang beradab dan akan menjadi panutan dalam masyarakat, tetapi sebaliknya bagi yang tidak menghargai pantangan juga dianggap sebagai orang yang tidak mengerti adat istiadat. Karena itu dianggap orang yang melanggar pantangan-pantangan tersebut.

Adapun pemahaman tentang “reusam” adalah aturan tentang bedanya segi kehidupan manusia yang tumbuh dalam suatu daerah atau dalam kelompok sosial yang mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya. Reusam adalah petunjuk-petunjuk adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat. Aturan-aturan segi kehidupan

Page 231: 18

191

masyarakat itu, menjadi aturan hukum yang mengikat dan kemudian disebut adat.

Tujuan dan fungsi reusam adalah sebagai alat petunjuk arah dalam menentukan sikap dan tingkah laku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan adat dan hukum adat mereka. Reusam sebagai bagian dari peraturan adat atau sesuatu yang membingkai hukum adat atau sesuatu yang membingkai hukum adat dan bertujuan untuk mengatur ketertiban masyarakat di suatu desa (gampong) dengan adat istiadatnya, sedangkan fungsi reusam adalah untuk memperkuat adat istiadat dan pelaksanaan syariat Islam di tingkat gampong (desa) serta mewujudkan nilai-nilai demokrasi di tengah-tengah masyarakat.

Page 232: 18

192

Page 233: 18

193

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Syami, Sosiologi; Skematika, Teori dan Terapan, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Alfian, Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Ja-karta: KP3KS, 1999.

Amirul Hadi, Aceh Sejarah Budaya dan Tradisi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

Ansyari Abd. Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, Cet. III, Jakarta: Andes Uta-ma, 1993.

Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Asnawi Muhammad Salam, Aceh Antara Adat dan Syari’at, Cet-1, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.

Azman Ismail, Islam dan Budaya Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009.

Badruzzaman Ismail, dkk., Pendidikan Pelatihan, Per-alihan Adat/Hukum Adat, Adat Istiadat bagi Keuchik dan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Beserta Qanun-Qanunnya, Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007.

_______, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh, Banda Aceh: Gua Hira’, 2002.

_______, Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber

Page 234: 18

194

Energi Budaya Aceh, Banda Aceh: MAA, 2007.

_______, Sistem Budaya Adat Aceh dalam Membangun Kesejahteraan, Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2008.

Balitbang Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Pen-garuh Migrasi Terhadap Perkembangan Kebudayaan Aceh, 1978/1979.

Damanhuri Basyir, Tradisi Kehidupan Agama di Aceh Abad XVII, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2008.

Darwis A. Sulaiman, dkk., Aceh Bumi Iskandar Muda, Banda Aceh: Pemerintah Prov. NAD, 2008.

Deny. S Lombard, Kerajaan Aceh, Jakarta: Kepusta-kaan Populer Gramedia, 2007.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ba-hasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cet. 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Aceh, A Guide To Aceh, 1996.

Djoko Surjo, dkk., Agama dan Perubahan Sosial, Yog-yakarta: LKPSM, 2001.

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2011.

Endang, Wawasan Islam, Bandung: Perpustakaan Sal-man ITB, 1983.

Erawadi, Tradisi Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2011..

Page 235: 18

195

Gazali (et.al), Lembaga Hukum Adat di Aceh, Kedudu-kan dan Peranannya Masa Kini, Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, 1990.

Hakim Nyak Pha, Kreativitas dan Ketahanan Adat/Budaya, dalam T. Alibasjah Talsya (peny.), Adat dan Budaya Aceh Nada dan Warna, Banda Aceh: LAKA, t.t.

Hasbi Amiruddin, M., dkk., Aceh Serambi Mekkah, Banda Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darus-salam, 2008.

Hasjim MK, Cs., Himponan Hadih Maja, Banda Aceh: Pustaka Pribadi, 1969.

Hasjmy, A., Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan, dalam buku Bunga Rampai..

_______, Dari Tanah Aceh Kebudayaan Islam, Memulai Sejarah di Nusantara, Majalah Jeumala, Banda Aceh: LAKA, 1993.

_______, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Jakarta: Be-nua, 1983.

_______, Ontologi Sastra Aceh, Sekilas Pintas, Ed. LK. Ara, Taufiq Ismail, Hasyim KS, Jakarta: Yayasan Nusantara, 1995.

_______, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1981.

Hendropuspita, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kani-sius, 1994.

Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden, Penetapan Denah, Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gu-

Page 236: 18

196

bernur, berkaitan dengan Pelaksanaan Syari’at Islam, Banda Aceh: Nanggroe Aceh Darussalam, 2004.

Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, instruksi Gubernur, Edaran Gu-bernur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, Edisi Ketiga, Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2004.

Hurgronje, C. Snouck, Aceh di Mata Kolonialis, jilid. I, Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1995.

Hurgronje, C. Snouck, Aceh Rakyat dan Adat Istiadat-nya, Jilid 1, Terj. Sultan Maimoen, Jakarta: Inis, 1997.

Husainy Isma’il, Burong, Jakarta: Erlangga, 1990.

Ibrahim Alfian, T., dkk., Adat Istiadat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978.

Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Han-bal, Juzu’ II, Beirut: Darul Fikri, t.t.

_______, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, Juzu’ V, Mesir: Mustafa al-Baby al-Halaby, t.t.

Jacobus Ranjabar, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Bo-gor: Ghalia Indonesia, 2006.

John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia: An English-Indonesia Dictionary, Cet. XXVI, (Jakarta: Gramedia, 1996).

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Ti-ara Wacana Yogya, 2006.

Maftuh Ahnan, Batas-batas Kebebasan Pergaulan Mu-

Page 237: 18

197

da-mudi Islam, Jakarta: Bintang Pelajar, t.t.

Mahmoud Syaltout, Tuntunan Islam, (Terjemahan: Bustami A. Gani dan Chatibul Umam), Jakarta: Bulan Bin-tang, 1973.

Mahmud Ibrahim dan A.R. Hakim Aman Pinan, Syari’at dan Adat Istiadat, Aceh Tengah: Yayasan Maqaman Mahmuda, 2001.

Matthew Arnold, Culture and Anarchy, Third edition, New York: Macmillan, 1869.

Meulek, D.I., Qanun Meukuta Alam, Banda Aceh.

Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Jakarta: Pustaka Amini, t.t..

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cet. XI (Jakar-ta: Raja Grafindo Persada, 2004).

Muhammad Hakim Nyak Pha, “Hukum Adat dan Penerapannya dalam Masyarakat”, Di dalam Buku: Pedo-man Umum Adat Aceh, Edisi –I, (Banda Aceh, LAKA Aceh, 1990).

Muhammad Hasan, T., Perkembangan Swapraja di Aceh Sampai Perang Dunia II, Dalam Bunga Rampai Ten-tang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980.

Muhammad Hashim Kamali, Principles of Islamic Ju-risprudence, Cambridge: Islamic Texs Society, 1991.

Muhammad Hoesin, Adat Atjeh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, 1970.

Page 238: 18

198

Muhammad Mustafa Syalabi, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1986.

Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1, Me-dan: Waspada, 1992.

Mushthafa Ahmad Zarqa’, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amiy, Cet. IX, juz. I, Beirut: Dar al-Fikr, 1968.

Nainggolan, Z.A., Kehidupan Jin, Setan dan Iblis di Jag-ad Raya Menurut Konsep Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994.

Nasaruddin al-Bany, Jilbab dan Hijab, (Alih Bahasa: Karim Hayaza’), Semarang: Toha Putera, 1983.

Nur Abbas, M., “Peninggalan Hinduisme di Aceh Be-sar”, di dalam buku: Analisis Kebudayaan, Jakarta: Departe-men Pendidikan dan Kebudayaan, 1983/1984.

Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah Aceh, Pusat Penelitian Sejarah dan Bu-daya, 1978/1979.

Peraturan Daerah Provinsi NAD Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Ka-mus Bahasa Aceh-Indonesia, Depdiknas, Jakarta, 2001..

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat..

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembi-naan Kehidupan dan Adat Istiadat.

Qanun Kota Banda Aceh Nomor 7 Tahun 2005 Ten-tang Reusam Gampong.

Page 239: 18

199

Qanun Nomor 4 Tahun 2003 dan Qanun Nomor 10 Ta-hun 2008 tentang Pemerintahan Mukim.

Rusdi Sufi, dkk., Aceh Tanah Rencong, Banda Aceh: Pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam, 2008.

_______, dkk., Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh, 2002.

Saifullah Zulkifli, Metode Pengembangan Masyarakat Islam Gradualisme dan Konsensus, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.

Sanusi M. Syarif, Riwang U La’ot: Leuen Pukat dan Panglima La’ot dalam Kehidupan Nelayan di Aceh, Jakarta: Yayasan Rumpun Bambu, 2003.

Sindu Galba, Tata Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat Aceh, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1984.

Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat, Jakarta: RajaGrafindo, 1993.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1986.

Sulaiman Tripa, “Pembagian Peran Lewat Adat Gam-pong’”, dikutip dari wwv.aceh institute.org pada tanggal 10 Juni 2007.

Syahrial, dkk., Sosiologi dan Politik, Jakarta: Ghalia In-donesia, 2002.

Syamsuddin, T., Bunga Rampai Tentang Aceh, Ed. Is-mail Sunny, Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980.

Page 240: 18

200

Thoyib I.M dan Sugiyanto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, Bandung: Rosdakarya, 2002.

Tim Penyusun, Aceh Utara Dari Kerajaan Samudera Pasai Ke Era Industrialisasi.

Undang-Undang Nomor 11Tahun 2003 tentang Pera-turan Gampong.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemer-intahan Desa.

Wika Huki, D.A., Pengantar Sosiologi, Surabaya: Usa-ha Nasional, 1982.

Yunus Jamil, M., Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh Darussalam, Banda Aceh: 1986.

Yunus Melalatoa, M., dalam Sardono W. Kusumoe, et.al, Aceh Kembali Ke Masa Depan, Jakarta: IKJ Press bek-erja sama dengan Kata Kita, 2005.

Yunus Melalatoa, M., Peranan Islam Melalui Adat Is-tiadat Aceh, Takengon: Makalah Hasil Seminar Ilmu Penge-tahuan dan Kebudayaan, 1986.

Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Yog-yakarta: Tiara Wacana, 1992.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Ak-sara, t.t.

Page 241: 18

201

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Dilahirkan di Krueng Geukueh Kabupaten Aceh Utara pada tanggal 18 Agustus 1955, merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara dari Ayahanda Tgk. H. Puteh bin Idrus dan Ibunda Cut Hafifah Binti M. Hasan.

Memulai pendidikan dasar pada SRI (sekarang MIN) Krg. Geukueh (1962-1968), PGAP Krg. Geukueh 4 tahun (1968-1971) dan PGAN 6 tahun di Lhokseumawe (1972-1974). Kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi, diterima di fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (1975-1982). Tahun 1982 meraih gelar Sarjana lengkap Prodi Pendidikan Agama. Pada tahun 1983 diterima bekerja sebagai tenaga honor/ pegawai bakti pada Pusat Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PSKLH) IAIN Ar-Raniry (1983-1985) dan pada tahun 1985 penulis lulus tes CPNS dan diangkat menjadi Dosen Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh serta pada tanggal 23 Februari 1983 menikah dengan Ummiyah A. Thalib Alumni FKIP Unsyiah dan hingga saat ini dikaruniai empat orang anak: Nida Jarmita, Muhammad Iqbal, Nida Khairani dan Mohd. Arif Ananda.

Dalam rangka pengembangan ilmu, penulis mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan dan pen-didikan di antaranya: Pelatihan Design and Evaluation Project (1983), Kursus Amdal A (1986) pada Lembaga Ekologi Univer-sitas Padjadjaran Bandung, kursus Amdal B pada lembaga yang sama (1988), pelatihan penelitian keagamaan di Balitbang Depar-temen Agama RI (1994) dan Kursus Demografi bagi Dosen dan Lembaga Peneliti di Lembaga Demografi Fa-kultas Ekonomi Universitas Indonesia (1997). Melanjutkan S2 Manajemen Pendidikan (2005), Tahun 2008 mengikuti

Page 242: 18

202

Training Akademik Manajemen Perguruan Tinggi di McGill University Montreal, Canada.

Di samping itu aktif dalam organisasi kemasyarakatan pemuda dan ormas/profesi dan keagamaan, di antaranya: menjadi Wakil Ketua I Bidang Intern PD PII Perguruan Tinggi (1977-1980), Wakil Sekretaris Bidang Pemb. Kader PW PII Prov. D.I Aceh (1980-1982), wakil sekretaris PW Per-himpunan KB PII Prov. NAD (2003-2006). Menjadi Ketua Umum DPD I Generasi Muda KOSGORO Prov. D.I. Aceh (1996-2002), Ketua Umum PP Korps Alumni IAIN Ar-Ra-niry (KONIRY) dari (1997-2002), Ketua Umum PW Lembaga Dakwah Nahdlatul ‘Ulama (LDNU) Prov. NAD (2001-2004) dan (2005-2008). Ketua Komisi G (Pengembangan Generasi Muda) Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Prov. NAD (2002-2006), Wakil Ketua PKB PII Aceh periode (2008-2012) dan Wakil Ketua DPD MDI Prov. NAD (2008-2012), Wakil Sekretaris ICMI Wilayah NAD (2006-2010).

Jabatan dalam kedinasan adalah Tahun 1982-1985 menjadi pegawai bakti pada pusat studi kependudukan dan lingkungan hidup (PSKLH) IAIN Ar-Raniry, dan se-lanjutnya pada tahun 1985 diangkat menjadi CPNS (Calon Dosen), kemudian tahun 1986 diangkat sebagai PNS penuh dalam jabatan Dosen Tetap pada Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry (Disiplin Ilmu Sosiologi Agama). Selanjutnya pada tahun 1987-1991 diberi kepercayaan menjabat Sekretaris PSKLH IAIN Ar-Raniry, Kasubbag Akademik dan Kema-hasiswaan/ Pengajaran Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Sekretaris Jurusan/ Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (DPMI) Fakultas Dakwah dan Selanjutnya diangkat men-jadi Ketua Jurusan/ Prodi pengembangan Masyarakat Islam pada Fakultas yang sama (1997-2001)/ merangkap sebagai Anggota Senat Fakultas Dakwah (1997-2001 dan 2001-2005).

Page 243: 18

203

Pada Tahun 2005-2006 terpilih menjadi Anggota Senat In-stitut mewakili Dosen Fakultas Dakwah, satu tahun ke-mudian berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor: B/II/2/0384/2006 Tanggal 3 April 2006 diangkat menjadi Kepala Biro AUAK IAIN Ar-Raniry (April 2006 – Desem-ber 2008). Kemudian dalam tahun 2009 kembali diangkat menjadi Dosen tetap pada Fakultas Dakwah (Lektor Kepala/ IV/c) mendapatkan tugas tambahan sebagai Wakil Koordi-nator Kopertais Wilayah V Aceh (2009-2010).

Selama mengabdi menjadi dosen pada Fakultas Dak-wah IAIN Ar-Raniry telah menulis beberapa buku di antaran-ya berjudul (1) Dakwah di Era Globalisasi (Strategi meng-hadapi perubahan sosial) tahun 2000, (2) Dakwah Tekstual dan Kontekstual (Peran dan fungsinya dalam pemberdayaan ekonomi umat) tahun 2001, (3) Islam Tinjauan Spiritual dan Sosial (2006), (4) Islam dan Pemberdayaan Masyarakat (2011), (5) Tim penulisan buku Dinamika Dakwah di Aceh (2011), (6) Tim penulisan buku Integritas Psikologi Dakwah Dalam Pengembangan Masyarakat Islam (2012).

Page 244: 18

204

Page 245: 18

205

QANUN ACEHNOMOR 9 TAHUN 2008

TENTANG

PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM,

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Menimbang : a. bahwa Adat dan Adat Istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang melahirkan nilai-nilai budaya, norma adat dan aturan yang sejalan dengan Syariat Islam dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang perlu dibina, dikembangkan dan dilestarikan;bahwa pembinaan, pengembangan b. dan pelestarian Adat dan Adat Istiadat perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh;bahwa untuk menindaklanjuti Pasal c. 99 dan Pasal 162 ayat (2) huruf (e)

Page 246: 18

206

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jo Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, perlu diatur Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dalam suatu qanun; bahwa berdasarkan pertimbangan d. sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu membentuk Qanun Aceh tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956, tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);Undang-undang Nomor 44 Tahun 2. 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);Undang-undang Nomor 10 tahun 3. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran

Page 247: 18

207

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

Undang-undang Nomor 11 tahun 4. 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang 5. Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03).

Page 248: 18

208

Dengan persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH

dan

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : QANUN PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam qanun ini yang dimaksudkan dengan :

Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan 1. masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah Provinsi 2. sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-

Page 249: 18

209

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati/Walikota.Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi 3. dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing.Pemerintah Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan 4. urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing;Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut 5. Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintah Aceh yang terdiri dari atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh.Gubernur adalah Kepala Pemerintah Aceh yang dipilih 6. melalui suatu proses demokrasi yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya 7. disebut Pemerintah Kabupaten/Kota adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas Bupati/Walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota. Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan daerah 8. kabupaten/kota yang dipilih melalui proses demokrasi yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.Wali Nanggroe adalah pemimpin lembaga adat nanggroe 9. yang independen sebagai pemersatu masyarakat,

Page 250: 18

210

berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat dan adat istiadat, pemberian gelar/derajat dan pembina upacara-upacara adat di Aceh serta sebagai penasihat Pemerintah Aceh.Adat adalah aturan perbuatan dan kebiasaan yang telah 10. berlaku dalam masyarakat yang dijadikan pedoman dalam pergaulan hidup di Aceh.Hukum Adat adalah seperangkat ketentuan tidak 11. tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki sanksi apabila dilanggar.Adat-istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-12. temurun dari generasi pendahulu yang dihormati dan dimuliakan sebagai warisan yang sesuai dengan Syariat Islam.Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan 13. secara berulang kali untuk hal yang sama, yang hidup dan berkembang serta dilaksanakan oleh masyarakat. Pemangku Adat adalah orang yang menduduki jabatan 14. pada lembaga-lembaga adat.Reusam atau nama lain adalah petunjuk-petunjuk adat 15. istiadat yang berlaku di dalam masyarakat.Upacara adat adalah rangkaian kegiatan yang 16. dilaksanakan sesuai dengan norma adat, nilai dan kebiasaan masyarakat adat setempat.

BAB IIRUANG LINGKUP PEMBINAAN DAN

PENGEMBANGANKEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

Pasal 2Ruang lingkup pembinaan dan pengembangan (1) kehidupan adat dan adat istiadat meliputi segenap

Page 251: 18

211

kegiatan kehidupan bermasyarakat.Pembinaan, pengembangan, pelestarian, dan (2) perlindungan terhadap adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada nilai-nilai Islami.

BAB IIIASAS, MAKSUD DAN TUJUAN

Pasal 3Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat berasaskan:

keislaman;a. keadilan;b. kebenaran;c. kemanusiaan;d. keharmonisan;e. ketertiban dan keamanan;f. ketentraman;g. kekeluargaan;h. kemanfaatan;i. kegotongroyongan;j. kedamaian;k. permusyawaratan; danl. kemaslahatan umum.m.

Pasal 4Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan (1) adat istiadat dimaksudkan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang harmonis dan seimbang yang diridhai oleh Allah SWT, antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, dan rakyat dengan pemimpinnya. Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan (2)

Page 252: 18

212

adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk meningkatkan fungsi dan peran adat dan adat istiadat dalam menata kehidupan bermasyarakat.

Pasal 5Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat bertujuan untuk:

menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang (1) harmonis;tersedianya pedoman dalam menata kehidupan (2) bermasyarakat;membina tatanan masyarakat adat yang kuat dan (3) bermartabat;memelihara, melestarikan dan melindungi khasanah-(4) khasanah adat, budaya, bahasa-bahasa daerah dan pusaka adat;merevitalisasi adat, seni budaya dan bahasa yang hidup (5) dan berkembang di Aceh; danmenciptakan kreativitas yang dapat memberi manfaat (6) ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat.

BAB IVTANGGUNG JAWAB DALAM PEMBINAAN DAN

PENGEMBANGAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

Pasal 6Wali Nanggroe bertanggungjawab dalam memelihara, mengembangkan, melindungi, dan melestarikan kehidupan adat, adat istiadat, dan budaya masyarakat.

Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat (1) istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Majelis Adat dan lembaga-lembaga adat.

Page 253: 18

213

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota (2) memfasilitasi pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat.

Pasal 7Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan dengan menumbuhkembangkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.

Pasal 8Majelis Adat dan lembaga-lembaga adat lainnya melakukan pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat yang sesuai dengan syariat Islam.

BAB VPELAKSANAAN PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN

KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT

Pasal 9Kehidupan adat dan adat istiadat dilaksanakan oleh (1) Pemerintah Aceh/pemerintah kab/kota dan segenap lapisan masyarakat.Pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kehidupan (2) adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

lingkungan keluarga;a. jalur pendidikan;b. lingkungan masyarakat;c. lingkungan kerja; dand. organisasi sosial kemasyarakatan.e.

Page 254: 18

214

Pasal 10Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan (1) adat istiadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dapat dilakukan dengan:

maklumat Pemerintah Aceh/pemerintah kab/kota;a. ketauladanan;b. penyuluhan, sosialisasi, diskusi dan simulasi;c. perlombaan dan atraksi/pertunjukan;d. perlindungan karya-karya adat berdasarkan hukum;e. perlindungan hak masyarakat adat, yang meliputi f. tanah, rawa, hutan, laut, sungai, danau, dan hak-hak masyarakat lainnya; dankaderisasi tokoh adat baik generasi muda maupun g. perempuan.Setiap aparat yang bertugas di Aceh harus memahami (2) dan menghargai tatanan adat dan adat istiadat Aceh.Setiap pejabat/aparat, Pemerintah Aceh dan pemerintah (3) kabupaten/kota harus memahami, membina, dan menghargai tatanan adat dan adat istiadat masyarakat setempat.

Pasal 11Lembaga adat wajib menjalin kerjasama dengan semua pihak untuk menggalikembali kaidah-kaidah adat dan adat istiadat.

Pasal 12Pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat dan (1) adat istiadat meliputi:

tatanan adat dan adat istiadat;a. arsitektur Aceh;b. ukiran-ukiran bermotif Aceh;c. cagar budaya;d.

Page 255: 18

215

alat persenjataan tradisional;e. karya tulis ulama, cendekiawan dan seniman;f. bahasa-bahasa yang ada di Aceh;g. kesenian tradisional Aceh;h. adat perkawinan;i. adat pergaulan;j. adat bertamu dan menerima tamu;k. adat peutamat darueh (Khatam Al Qur’an);l. adat mita raseuki (berusaha);m. pakaian adat;n. makanan/ pangan tradisional Aceh;o. perhiasan-perhiasan bermotif Aceh;p. kerajinan-kerajinan bermotif Aceh;q. piasan tradisional Aceh; dan r. upacara-upacara adat lainnya.s.

Pembinaan, pengembangan dan pelestarian prilaku (2) luhur dan keshalehan spiritual yang telah membentuk watak dan kepribadian Aceh yang Islami diteruskan kepada generasi muda Aceh.

BAB VIPENYELESAIAN SENGKETA/PERSELISIHAN

Pasal 13Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:(1)

perselisihan dalam rumah tangga;a. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan b. faraidh;perselisihan antar warga;c. khalwat meusum;d. perselisihan tentang hak milik;e. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);f. perselisihan harta sehareukat;g. pencurian ringan;h.

Page 256: 18

216

pencurian ternak peliharaan;i. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan j. hutan;persengketaan di laut;k. persengketaan di pasar;l. penganiayaan ringan;m. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan n. komunitas adat);pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama o. baik;pencemaran lingkungan (skala ringan);p. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); q. danperselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat r. dan adat istiadat.

Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan secara bertahap.Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar (3) sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain.

Pasal 14Penyelesaian secara adat sebagaimana dimaksud dalam (1) Pasal 13 ayat (2) meliputi penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain, penyelesaian secara adat di Mukim dan penyelesaian secara adat di Laot.Penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:

keuchik atau nama lain;a. imeum meunasah atau nama lain;b. tuha peut atau nama lain;c.

Page 257: 18

217

sekretaris gampong atau nama lain; dand. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di a. gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.

Penyelesaian secara adat di mukim sebagaimana (3) dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:

imeum mukim atau nama lain;a. imeum chik atau nama lainb. tuha peut atau nama lain;c. sekretaris mukim; dand. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim e. yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan (4) dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain.Penyelesaian secara adat di Laot sebagaimana dimaksud (5) pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:

panglima laot atau nama lain;a. wakil panglima laot atau nama lain;b. 3 orang staf panglima laot atau nama lain; danc. sekretaris panglima laot atau nama lain.d.

Dalam hal penyelesaian secara adat di Laot Lhok atau (6) nama lain tidak bisa menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antara dua atau lebih panglima laot lhok atau nama lain, maka sengketa/perselisihan tersebut dilaksanakan melalui penyelesaian secara adat laot kab/kota.

Page 258: 18

218

Penyelesaian secara adat laot kabupaten/kota (7) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:

panglima laot kab/kota atau nama lain;a. wakil panglima laot atau nama lain;b. 2 orang staf panglima laot kab/kota atau nama lain; c. dan1 orang dari dinas Dinas Kelautan dan Perikanan dan/d. atau tokoh nelayan.

Sidang musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa (8) dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain, di Mesjid pada tingkat Mukim, di laot pada balee nelayan dan di tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain, Imeum Mukim atau nama lain, dan Panglima Laot atau nama lain.

Pasal 15Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakansesuai dengan ketentuan adat setempat.

BAB VIIBENTUK-BENTUK SANKSI ADAT

Pasal 16Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam (1) penyelesaian sengketa adat sebagai berikut:

nasihat;a. teguran;b. pernyataan maaf;c. sayam;d. diyat;e. denda;f. ganti kerugian;g.

Page 259: 18

219

dikucilkan oleh masyarakat gampong atau nama h. lain;dikeluarkan dari masyarakat gampong atau nama i. lain;pencabutan gelar adat; danj. bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat.k.

Keluarga pelanggar adat ikut bertanggungjawab atas (2) terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota keluarganya.

BAB VIIIPEMBIAYAAN

Pasal 17Dana pembinaan dan pengembangan adat dan adat istiadat diperoleh melalui:

bantuan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/a. kota sesuai dengan kemampuan daerah; dansumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.a.

BAB IXKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 18Segala ketentuan yang ada tentang pembinaan dan pengembangan adat dan adat istiadat, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Qanun ini.

Pasal 19Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang mengenai peraturan pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur.

Page 260: 18

220

BAB XKETENTUAN PENUTUP

Pasal 20Dengan berlakunya Qanun ini maka Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat dinyatakan dicabut.

Pasal 21Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Aceh.

Page 261: 18

221

QANUN ACEHNOMOR 10 TAHUN 2008

TENTANGLEMBAGA ADAT

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIMDENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Menimbang : a. bahwa lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai peranan penting dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai islami;bahwa keberadaan lembaga adat perlu b. ditingkatkan perannya guna melestarikan adat dan adat istiadat sebagai salah satu wujud pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat;bahwa untuk menindaklanjuti Pasal 98 dan c. Pasal 162 ayat (2) huruf (e) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jo Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, perlu diatur tentang keberadaan lembaga adat;

Page 262: 18

222

bahwa berdasarkan pertimbangan d. sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Qanun Aceh tentang lembaga adat;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 2. tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 3. Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 4. Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7);Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 5. Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8);

Page 263: 18

223

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 6. Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 8 Seri D Nomor 5);Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara 7. Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03);

Page 264: 18

224

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEHdan

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : QANUN ACEH TENTANG LEMBAGA ADAT.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1Dalam qanun ini yang dimaksud dengan :

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan 1. masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.Kabupaten/Kota adalah bagian dari daerah provinsi 2. sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

Page 265: 18

225

perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota.Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi 3. dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.Pemerintahan kabupaten/kota adalah penyelenggaraan 4. urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masingmasing.Pemerintah Daerah Aceh yang selanjutnya disebut 5. Pemerintah Aceh adalah unsur penyelenggara pemerintahan Aceh yang terdiri dari atas Gubernur dan perangkat daerah Aceh. Gubernur adalah kepala Pemerintah Aceh yang dipilih 6. melalui suatu proses demokratis yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemerintah daerah kabupaten/kota yang selanjutnya 7. disebut Pemerintah kabupaten/kota adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas bupati/walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota.Bupati/walikota adalah kepala pemerintahan daerah 8. kabupaten/kota yang dipilih melalui proses demokrasi yang dilakukan berdasarkan asas langsung, umum,

Page 266: 18

226

bebas, rahasia, jujur dan adil.Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan 9. adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.Majelis Adat Aceh yang selanjutnya disebut MAA 10. adalah sebuah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang struktur kelembagaannya sampai tingkat gampong. Lembaga Wali Nanggroe adalah lembaga kepemimpinan 11. adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya.Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat 12. sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah 13. kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat 14. hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.Imeum Mukim atau nama lain adalah kepala 15. Pemerintahan Mukim. Imeum Chik atau nama lain adalah imeum masjid 16. pada tingkat mukim orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan syari’at Islam.Keuchik atau nama lain merupakan kepala 17.

Page 267: 18

227

persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman dan ketertiban masyarakat.Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur 18. pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong.Tuha Peut Mukim atau nama lain adalah alat kelengkapan 19. mukim yang berfungsi memberi pertimbangan kepada imeum mukim.Tuha Lapan atau nama lain adalah lembaga adat pada 20. tingkat mukim dan gampong yang berfungsi membantu imeum mukim dan keuchik atau nama lain.Imeum Meunasah atau nama lain adalah orang 21. yang memimpin kegiatankegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari’at Islam. Keujruen Blang atau nama lain adalah orang yang 22. memimpin dan mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan.Panglima laot atau nama lain adalah orang yang 23. memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan.Peutua Seuneubok atau nama lain adalah orang yang 24. memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan.Haria Peukan atau nama lain adalah orang yang 25. mengatur ketentuan adat tentang tata pasar, ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar serta melaksanakan tugas-tugas perbantuan. Syahbanda atau nama lain adalah orang yang memimpin 26.

Page 268: 18

228

dan mengatur ketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di laut, danau dan sungai yang tidak dikelola oleh Pemerintah.Pawang Glee dan/atau Pawang Uteun atau nama lain 27. adalah orang yang memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan. Hukum Adat adalah seperangkat ketentuan tidak 28. tertulis yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, yang memiliki sanksi apabila dilanggar.Adat-istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-29. temurun dari generasi pendahulu yang dihormati dan dimuliakan sebagai warisan yang bersendikan Syariat Islam.Kebiasaan adalah sikap dan perbuatan yang dilakukan 30. secara berulang kali untuk hal yang sama, yang hidup dan berkembang serta dilaksanakan oleh masyarakat.Pemangku Adat adalah orang yang menduduki jabatan 31. pada lembaga-lembaga adat.

BAB IIFUNGSI DAN PERAN LEMBAGA ADAT

Pasal 2Lembaga adat berfungsi sebagai wahana partisipasi (1) masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan.Lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud pada (2) ayat (1) adalah:

Majelis Adat Aceh;a. imeum mukim atau nama lain;b.

Page 269: 18

229

imeum chik atau nama lain;c. keuchik atau nama lain;d. tuha peut atau nama lain;e. tuha lapan atau nama lain;f. imeum meunasah atau nama lain;g. keujruen blang atau nama lain;h. panglima laot atau nama lain;i. pawang glee/uteun atau nama lain;j. petua seuneubok atau nama lain;k. haria peukan atau nama lain; danl. syahbanda atau nama lain.m.

Selain lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (2), lembaga-lembaga adat lain yang hidup di dalam masyarakat diakui keberadaannya, dipelihara dan diberdayakan.

BAB IIISIFAT DAN WEWENANG LEMBAGA ADAT

Pasal 3Lembaga adat bersifat otonom dan independen sebagai

mitra Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 4Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (1) lembaga adat berwenang:menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan a. ketertiban masyarakat;membantu Pemerintah dalam pelaksanaan b. pembangunan;mengembangkan dan mendorong partisipasi c. masyarakat;

Page 270: 18

230

menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang d. tidak bertentangandengan syari’at Islam;e. menerapkan ketentuan adat;f. menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;g. mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; h. danmenegakkan hukum adat.i.

Pasal 5Setiap lembaga adat berhak atas pendapatan yang bentuk

dan besarnya disepakati berdasarkan musyawarah masyarakat adat.

Pasal 6Setiap lembaga adat dapat berperanserta dalam proses

perumusan kebijakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing lembaga adat.

BAB IVORGANISASI, KELENGKAPAN, DAN TUGAS LEMBAGA

ADAT

Bagian KesatuMajelis Adat Aceh

Pasal 7Majelis Adat Aceh bertugas membantu Wali Nanggroe (1) dalam membina, mengkoordinir lembaga-lembaga adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf m.

Page 271: 18

231

Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud (2) pada ayat (1) dibentuk susunan organisasi dan tata kerja Majelis Adat Aceh sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh.

Bagian KeduaImeum Mukim atau Nama Lain

Pasal 8Imeum mukim atau nama lain bertugas:

melakukan pembinaan masyarakat;a. melaksanakan kegiatan adat istiadat;b. menyelesaikan sengketa;c. membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;d. membantu penyelenggaraan pemerintahan; dane. membantu pelaksanaan pembangunan.f.

Pasal 9Imeum Mukim atau nama lain dipilih oleh musyawarah (1) mukim. Imeum Mukim atau nama lain diangkat dan (2) diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usulan Camat dari hasil musyawarah mukim.Pembentukan susunan organisasi, kedudukan, tugas, (3) fungsi, dan alat kelengkapan Imeum Mukim atau nama lain diatur dengan qanun kabupaten/kota.

Pasal 10Tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian

Imeum Mukim atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.

Page 272: 18

232

Bagian KetigaImeum Chik atau Nama Lain

Pasal 11Imeum Chik atau nama lain bertugas:

mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan dan a. peningkatan peribadatan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat;mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh b. kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran masjid; danmenjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak c. bertentangan dengan Syari’at Islam.

Pasal 12Imeum Chik atau nama lain dipilih dalam musyawarah (1) mukim yang dihadiri oleh Imeum Mukim atau nama lain, Tuha Peut Mukim atau nama lain, Sekretaris Mukim atau nama lain, Pemangku Adat, Keuchik atau nama lain, Imeum Masjid atau nama lain dan Imeum Meunasah atau nama lain dalam mukim.Syarat dan tata cara pemilihan Imeum Chik atau nama (2) lain ditentukan oleh musyawarah mukim.

Pasal 13Imeum Chik atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh

Bupati atas usul Imeum Mukim atau nama lain melalui Camat berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah mukim.

Pasal 14Imeum Chik atau nama lain berhenti karena :

meninggal dunia;a. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan b.

Page 273: 18

233

sendiri;melalaikan tugasnya sebagai Imeum Chik atau nama lain; c. danmelakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan d. Syari’at Islam atau adat istiadat.

Bagian KeempatKeuchik atau Nama Lain

Pasal 15Keuchik atau nama lain bertugas:(1)

membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syari’at a. Islam dalam masyarakat;menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat yang b. hidup dan berkembang dalam masyarakat;memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;c. menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat d. dalam membangun gampong;membina dan memajukan perekonomian masyarakat;e. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;f. memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban g. serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat;mengajukan rancangan qanun gampong kepada Tuha h. Peut Gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja i. gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;memimpin dan menyelesaikan masalah sosial j. kemasyarakatan; danmenjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk k. dalam gampong.

Page 274: 18

234

Keuchik atau nama lain sebagaimana dimaksud pada (2) ayat (1) huruf k dibantu oleh Imeum Meunasah atau nama lain dan Tuha Peut Gampong atau nama lain.

Pasal 16Keuchik atau nama lain dipilih secara langsung oleh (1) penduduk gampong melalui pemilihan yang demokratis, bebas, umum, rahasia, jujur dan adil.Tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pemberhentian (2) Keuchik atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh.

Bagian KelimaTuha Peut atau Nama Lain

Pasal 17Tuha Peut Mukim atau nama lain diangkat dan (1) diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usulan Camat dari hasil musyawarah mukim.Tuha Peut Gampong atau nama lain diangkat dan (2) diberhentikan oleh Camat atas usulan Imeum Mukim atau nama lain dari hasil musyawarah masyarakat gampong.Tuha Peut atau nama lain dipimpin oleh seorang ketua (3) dan sekretaris yang merangkap sebagai anggota.

Pasal 18Tuha Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas:

membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan a. belanja gampong atau nama lain;membahas dan menyetujui qanun gampong atau nama b. lain; mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau c.

Page 275: 18

235

nama lain;menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam d. penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama e. Keuchik atau nama lain;memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau f. nama lain baik diminta maupun tidak diminta; danmenyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat g. bersama pemangku adat.

Pasal 19Tuha Peut atau nama lain berhenti karena:

meninggal dunia;a. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan b. sendiri;melalaikan tugasnya sebagai Tuha Peut atau nama lain; c. danmelakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan d. agama atau adat istiadat.

Pasal 20Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas:

menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam a. penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan mukim;merumuskan kebijakan Mukim bersama Imeum Mukim b. atau nama lain;memberi nasehat dan pendapat kepada Imeum Mukim c. atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; danmenyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat d. bersama pemangku adat.

Page 276: 18

236

Bagian KeenamTuha Lapan atau Nama Lain

Pasal 21Pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat (1) dibentuk Tuha Lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.Tuha Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah (2) Gampong atau nama lain atau musyawarah mukim.Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur Tuha (3) Peut atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim.Pengangkatan dan pemberhentian Tuha Lapan atau (4) nama lain serta tugas dan fungsinya ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain atau mukim.

Bagian KetujuhImeum Meunasah atau Nama Lain

Pasal 22Imeum Meunasah atau nama lain dipilih dalam (1) musyawarah gampong atau nama lain.Pengangkatan dan pemberhentian Imeum Meunasah (2) atau nama lain dilakukan oleh Camat atas nama Bupati/Walikota.Tata cara dan pemilihan, serta masa jabatan Imeum (3) Meunasah atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain setiap 6 (enam) tahun sekali.

Pasal 23Imeum Meunasah atau nama lain mempunyai tugas:

memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan, a.

Page 277: 18

237

pendidikan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat;mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh b. kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran meunasah atau nama lain;memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau c. nama lain baik diminta maupun tidak diminta;menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat d. bersama pemangku adat; danmenjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak e. bertentangan dengan Syari’at Islam.

Bagian KedelapanKeujruen Blang atau Nama Lain

Pasal 24Keujruen Blang atau nama lain terdiri dari Keujruen (1) Muda atau nama lain dan Keujruen Chik atau nama lain.Pengaturan tugas, fungsi, wewenang dan persyaratan (2) Keujruen Blang atau nama lain ditetapkan dalam musyawarah Keujruen Blang atau nama lain setempat.Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang (3) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan pihak terkait lainnya.

Pasal 25Keujruen Blang atau nama lain mempunyai tugas:

menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke a. sawah;mengatur pembagian air ke sawah petani;b. membantu pemerintah dalam bidang pertanian;c. mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang d.

Page 278: 18

238

berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah;memberi teguran atau sanksi kepada petani yang e. melanggar aturan-aturan adat meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah secara adat; danmenyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan f. dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah.

Pasal 26Keujruen Blang atau nama lain berhenti karena:

meninggal dunia;a. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan b. sendiri;melalaikan tugasnya sebagai Keujruen Blang atau nama c. lain; danmelakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan d. syariat dan adat istiadat.

Bagian KesembilanPanglima Laot atau Nama Lain

Paragraf 1Susunan Organisasi

Pasal 27Panglima Laot atau nama lain terdiri dari :(1)

Panglima Laot lhok atau nama lain;a. Panglima Laot kabupaten/kota atau nama lain; danb. Panglima Laot Aceh atau nama lain.c.

Panglima laot lhok atau nama lain, dipilih oleh pawang-(2) pawang boat lhok atau nama lain masing-masing melalui musyawarah.Panglima Laot kab/kota atau nama lain dipilih dalam (3)

Page 279: 18

239

musyawarah panglima laot lhok atau nama lain.Panglima Laot Aceh atau nama lain dipilih dalam (4) musyawarah panglima laot kab/kota atau nama lain setiap 6 (enam) tahun sekali.

Paragraf 2Wewenang, Tugas dan Fungsi

Pasal 28Panglima Laot atau nama lain berwenang :(1)

menentukan tata tertib penangkapan ikan atau a. meupayang termasuk menentukan bagi hasil dan hari-hari pantang melaut;menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang b. terjadi di kalangan nelayan;menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar c. Panglima Laot lhok atau nama lain; danmengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot, d. peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan perikanan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.

Panglima Laot lhok atau nama lain mempunyai tugas :(2) melaksanakan, memelihara dan mengawasi a. pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat laot;membantu Pemerintah dalam bidang perikanan dan b. kelautan;menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi c. diantara nelayan sesuai dengan ketentuan hukum adat laot;menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan d. pesisir dan laut;memperjuangkan peningkatan taraf hidup e. masyarakat nelayan; dan

Page 280: 18

240

mencegah terjadinya penangkapan ikan secara f. illegal.

Panglima Laot kab/kota atau nama lain mempunyai (3) tugas:

melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud a. pada ayat (2) yang bersifat lintas lhok atau nama lain; danmenyelesaikan sengketa antar Panglima Laot lhok b. atau nama lain.

Panglima Laot Aceh atau nama lain mempunyai tugas:(4) melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud a. pada ayat (3) huruf a yang bersifat lintas kab/kota;memberikan advokasi kebijakan kelautan dan b. perikanan serta memberikan bantuan hukum kepada nelayan yang terdampar di negara lain; danmengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot.c.

Fungsi Panglima Laot atau nama lain:(5) Panglima Laot lhok atau nama lain dan Panglima a. Laot kab/kota atau nama lain sebagai ketua adat bagi masyarakat nelayan;Panglima Laot lhok atau nama lain dan Panglima b. Laot kab/kota atau nama lain, sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat nelayan; danmitra Pemerintah dalam menyukseskan program c. pembangunan perikanan dan kelautan.

Paragraf 3Organisasi dan Masa Tugas Panglima Laot

Pasal 29Tatacara pemilihan dan persyaratan Panglima Laot atau

nama lain ditetapkan melaluimusyawarah Panglima Laot atau nama lain.

Page 281: 18

241

Bagian KesepuluhPawang Glee atau Nama Lain

Pasal 30Pawang Glee atau nama lain dipilih oleh masyarakat (1) kawasan hutan.Tatacara pemilihan dan persyaratan Pawang Glee atau (2) nama lain ditetapkan melalui musyawarah masyarakat kawasan hutan setiap 6 (enam) tahun sekali.

Pasal 31Pawang Glee atau nama lain memiliki tugas sebagai

berikut:memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan a. dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan;membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan;b. menegakkan hukum adat tentang hutan;c. mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan d. dengan hutan; danmenyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam e. pemanfaatan hutan.

Bagian KesebelasPeutua Seuneubok atau Nama Lain

Pasal 32Peutua Seuneubok atau nama lain dipilih oleh (1) masyarakat kawasan Seuneubok atau nama lain.Tatacara pemilihan dan persyaratan Peutua Seuneubok (2) atau nama lain ditetapkan melalui musyawarah masyarakat kawasan Seuneubok atau nama lain.

Pasal 33

Page 282: 18

242

Petua Seuneubok atau nama lain mempunyai tugas:(1) mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam a. kawasan Seuneubok atau nama lain;membantu tugas pemerintah bidang perkebunan b. dan kehutanan;mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat c. dalam wilayah Seuneubok atau nama lain;menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah d. Seuneubok atau nama lain; danmelaksanakan dan menjaga hukum adat dalam e. wilayah Seuneubok atau nama lain.

Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait.

Bagian KeduabelasHaria Peukan atau Nama Lain

Pasal 34Haria Peukan atau nama lain dapat dibentuk untuk (1) pasar-pasar tradisional.Pembentukan Haria Peukan atau nama lain sebagaimana (2) dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pasar-pasar tradisional yang belum ada petugas Pemerintah.Dalam hal Haria Peukan atau nama lain telah dibentuk, (3) maka petugas Pemerintah yang ditunjuk harus bekerjasama dengan Haria Peukan atau nama lain.Pembentukan dan pengangkatan Haria Peukan atau (4) nama lain dilakukan oleh Camat setelah berkonsultasi dengan tokoh-tokoh pedagang dan Keuchik atau nama lain setempat

Pasal 35Tatacara pembentukan, pengangkatan dan persyaratan

Haria Peukan atau nama lain sebagaimana dimaksud

Page 283: 18

243

dalam Pasal 34 ayat (4) ditetapkan melalui musyawarah tokoh-tokoh pedagang dan Keuchik atau nama lain setempat setiap 6 (enam) tahun sekali.

Pasal 36Haria Peukan atau nama lain mempunyai tugas:

membantu pemerintah dalam mengatur tata pasar, a. ketertiban, keamanan, dan melaksanakan tugas-tugas perbantuan;menegakkan adat dan hukum adat dalam pelaksanaan b. berbagai aktifitas peukan;menjaga kebersihan peukan atau nama lain; danc. menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan atau d. nama lain.

Pasal 37Haria Peukan atau nama lain berhenti karena:

meninggal dunia;a. mengajukan permohonan berhenti atas kemauan b. sendiri;melalaikan tugasnya sebagai Haria Peukan atau nama c. lain; danmelakukan perbuatan tercela yang bertentangan dengan d. syariat dan adat istiadat.

Bagian KetigabelasSyahbanda atau Nama Lain

Pasal 38Syahbanda atau nama lain dapat dibentuk untuk (1) pelabuhan rakyat.Pembentukan Syahbanda atau nama lain sebagaimana (2) dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pelabuhan-

Page 284: 18

244

pelabuhan rakyat yang belum ada petugas Pemerintah.Dalam hal Syahbanda atau nama lain telah dibentuk, (3) maka petugas Pemerintah yang ditunjuk harus bekerjasama dengan Syahbanda atau nama lain.Pembentukan dan pengangkatan Syahbanda atau nama (4) lain dilakukan oleh Bupati/Walikota atas usul Panglima Laot atau nama lain dan tokoh-tokoh masyarakat setempat setiap 6 (enam) tahun sekali.

Pasal 39Tatacara pembentukan, pengangkatan dan persyaratan

Syahbanda atau nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) ditetapkan melalui kesepakatan bersama antara unsur Pemerintah dengan Panglima Laot atau nama lain dan tokoh-tokoh masyarakat.

Pasal 40Syahbanda atau nama lain mempunyai tugas:

mengelola pemanfaatan pelabuhan rakyat;a. menjaga ketertiban, keamanan di wilayah pelabuhan b. rakyat;menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayah pelabuhan c. rakyat; danmengatur hak dan kewajiban yang berkaitan dengan d. pemanfaatan pelabuhan.

BAB VPEMANGKU ADAT DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT

Pasal 41Pemangku Adat mengatur kebijakan dan tata cara (1) pelaksanaan adat dan adat istiadat sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga adat masing-masing.

Page 285: 18

245

Pemangku Adat berfungsi sebagai pendamai dalam (2) menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Pasal 42Lembaga-lembaga Adat sebagaimana dimaksud dalam (1) Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) berada di bawah pembinaan Wali Nanggroe.Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) dilaksanakan melalui Majelis Adat Aceh.Tata cara pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (2) diatur lebih lanjut oleh Wali Nanggroe.

Pasal 43Pembinaan Lembaga Adat dalam bidang administrasi (1) dan keuangan dilaksanakan oleh pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota.Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota (2) menyediakan bantuan dana pembinaan Lembaga-lembaga Adat sesuai dengan kemampuan daerah.

BAB VIKETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44Sepanjang lembaga Wali Nanggroe belum terbentuk, maka

tata cara pembinaan lembaga-lembaga adat dilakukan oleh MAA.

Pasal 45Segala ketentuan yang ada tentang lembaga adat, dinyatakan

tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Qanun ini.

Page 286: 18

246

BAB VIIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 46Dengan berlakunya Qanun ini maka Peraturan Daerah

Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat dinyatakan dicabut.

Pasal 47Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.’

Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Disahkan di Banda AcehPada Tanggal 30 Desember 2008 M2 Muharram 1430 HGUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

IRWANDI YUSUF

Diundangkan di Banda AcehPada Tanggal 31 Desember 2008 M 3 Muharram 1430 H

SEKRETARIS DAERAHNANGGROE ACEH DARUSSALAM,

HUSNI BAHRI TOB

Page 287: 18

247

LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008 NOMOR 10

PENJELASANATAS

QANUN ACEHNOMOR 10 TAHUN 2008

TENTANG

LEMBAGA ADAT

UMUMI. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh telah memberikan landasan yang lebih kuat dalam pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 98 Undang-Undang tersebut memerintahkan untuk mengatur tugas, wewenang, hak dan kewajiban dalam melaksanakan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dengan membentuk suatu Qanun Aceh.

Lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai fungsi dan berperan dalam membina nilainilai budaya, norma-norma adat dan aturan untuk mewujudkan keamanan, keharmonisasian, ketertiban, ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sebagai manifestasi untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama sesuai dengan keinginan dan kepentingan masyarakat setempat.

Untuk meningkatkan peran dan melestarikan lembaga adat, sebagai salah satu wujud pelaksanaan

Page 288: 18

248

kekhususan dan keistimewaan Aceh di bidang adat istiadat perlu dilakukan pembinaan dan pemberdayaan yang berkesinambungan terhadap lembaga-lembaga adat dimaksud sesuai dengan dinamika dan perkembangan masyarakat Aceh.

PASAL DEMI PASALII.

Pasal 1Cukup Jelas

Pasal 2Ayat (1)

Cukup JelasAyat (2)

Cukup jelas.Ayat (3)Selain yang tersebut dalam ayat (2) ini, dikenal

lembaga adat yang mempunyai fungsi yang sama di daerah kabupaten/kota dengan nama yang berbeda yang perlu diakui keberadaannya.

Pasal 3Cukup Jelas

Pasal 4Cukup Jelas

Pasal 5Cukup Jelas

Pasal 6Cukup jelas

Pasal 7Cukup Jelas

Pasal 8Cukup jelas

Page 289: 18

249

Pasal 9Ayat (1)Yang dimaksud dengan musyawarah mukim

adalah musyawarah untuk pemilihan imeum mukim atau nama lain yang dihadiri oleh para Keuchik atau nama lain, Imeum Chik atau nama lain, Tuha Peut Mukim atau nama lain, Sekretaris Mukim atau nama lain, dan Ketua-ketua Lembaga Adat dalam wilayah mukim.

Ayat (2)Cukup jelas

Ayat (3)Cukup jelas

Pasal 10Cukup jelas

Pasal 11Cukup jelas

Pasal 12Cukup Jelas

Pasal 13Cukup Jelas

Pasal 14Cukup Jelas

Pasal 15Ayat (1)

Huruf KYang dimaksud pendamai adalah

seseorang yang berfungsi sebagai hakim perdamaian dalam hal terjadinya sengketa/perselisihan.

Pasal 16Cukup Jelas

Page 290: 18

250

Pasal 17Cukup Jelas

Pasal 18Cukup Jelas

Pasal 19Cukup Jelas

Pasal 20Cukup Jelas

Pasal 21Cukup Jelas

Pasal 22Ayat (1)Penyebutan Imeum Meunasah atau nama lain

termasuk Imeum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama lain.

Ayat (2)Penyebutan Imeum Meunasah atau nama lain

termasuk Imeum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama lain.

Ayat (3)Penyebutan Imeum Meunasah atau nama lain

termasuk Imeum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama lain.

Pasal 23Penyebutan Imeum Meunasah atau nama lain termasuk

Imeum Masjid Gampong atau nama lain bagi gampong atau nama lain yang tidak mempunyai meunasah atau nama lain.

Pasal 24Cukup jelas

Page 291: 18

251

Pasal 25Cukup Jelas

Pasal 26Cukup Jelas

Pasal 27Cukup Jelas

Pasal 28Cukup Jelas

Pasal 29Cukup Jelas

Pasal 30Cukup Jelas

Pasal 31Cukup Jelas

Pasal 32Cukup Jelas

Pasal 33Cukup Jelas

Pasal 34Cukup Jelas

Pasal 35Cukup Jelas

Pasal 36Cukup Jelas

Pasal 37Cukup Jelas

Pasal 38Cukup Jelas

Pasal 39Cukup Jelas

Pasal 40Cukup jelas

Page 292: 18

252

Pasal 41Cukup Jelas

Pasal 42Cukup Jelas

Pasal 43Cukup jelas

Pasal 44Cukup Jelas

Pasal 45Cukup Jelas

Pasal 46Cukup Jelas

Pasal 47Cukup Jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 20

Disahkan di Banda Acehpada tanggal 30 Desember 2008 M2 Muharram 1430 H

GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, IRWANDI YUSUF

Diundangkan di Banda AcehPada tanggal 31 Desember 2008 M 3 Muharram 1430 HSEKRETARIS DAERAHNANGGROE ACEH DARUSSALAM,

HUSNI BAHRI TOB

Page 293: 18

253

Page 294: 18

254

LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2008 NOMOR 09

PENJELASAN

ATAS

QANUN ACEHNOMOR 9 TAHUN 2008

TENTANG

PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT DI ACEH

UMUMI. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh telah memberikan landasan yang lebih kuat dalam pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 99 Undang-Undang tersebut memerintahkan untuk melaksanakan pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dengan membentuk suatu Qanun Aceh. Bahwa Adat dan Adat Istiadat yang sejalan dengan Syariat Islam merupakan kekayaan budaya menunjukkan identitas bangsa yang perlu dibina, dikembangkan dan dilindungi keberadaannya.

Adat dan adat istiadat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki keragaman sesuai dengan sub-sub etnis yang hidup di Aceh. Keragaman tersebut

merupakan kekayaan dan khasanah budaya yang pluralistis. Oleh karena itu pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat harus diarahkan kepada pembinaan dan

Page 295: 18

255

pengembangan adat dan adat istiadat setempat.Adat dan adat istiadat telah menjadi perekat

dan pemersatu di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga menjadi modal dalam pembangunan. Oleh karena itu nilai-nilai adat dan adat istiadat tersebut perlu dibina dan dikembangkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

II. PASAL DEMI PASALIII.

Pasal 1Cukup jelas

Pasal 2Cukup jelas

Pasal 3Cukup jelas

Pasal 4Cukup jelas

Pasal 5Cukup jelas

Pasal 6Cukup jelas

Pasal 7Cukup jelas

Pasal 8Yang dimaksud dengan sesuai dengan ajaran Islam

adalah untuk menjamin agar pelaksanaan adat dan adat istiadat tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam.

Pasal 9Cukup jelas

Pasal 10Cukup jelas

Page 296: 18

256

Pasal 11Cukup jelas

Pasal 12Cukup jelas

Pasal 13Yang dimaksud secara bertahap adalah sengketa/

perselisihan yang terjadi diselesaikan terlebih dahulu dalam keluarga, apabila tidak dapat diselesaikan maka akan dibawa pada penyelesaian secara adat di gampong.

Pasal 14Cukup jelas

Pasal 15Cukup jelas

Pasal 16Ayat (1)

Huruf aCukup jelas

Huruf bCukup jelas

Huruf cCukup jelas

Huruf dYang dimaksud dengan sayam adalah perdamaian persengketaan/perselisihan yang mengakibatkan keluar darah (roe darah) yang diformulasikan dalam wujud ganti rugi berupa penyembelihan hewan ternak dalam sebuah acara adat.

Huruf eCukup jelas

Page 297: 18

257

Huruf fCukup jelas

Huruf gCukup jelas

Huruf hCukup jelas

Huruf iCukup jelas

Huruf jCukup jelas

Huruf kCukup jelas

Ayat (2)Cukup jelas

Pasal 17 Cukup jelasPasal 18

Cukup jelasPasal 19

Cukup jelasPasal 20

Cukup jelasPasal 21

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 19

Page 298: 18

258

Page 299: 18

259

Index

A

al-Rami 3‘ayan tsabitah 12al-‘adah 25al-Khadd 46Argry 31ằdah 22, 23Abdurrauf al-Singkili al-Fansuri 79asam limeung 83agro managerial state 88al-Millah dan al-Dien 96analytical tool 85Anomie 89aristocrats 94

B

Baroes 3Basma 3Bustanussalatin 15ba peuba 46ba ranub 46barzanji 48Bentara 28, 29buleun Hasan Hussain 49boi 83bu leukat 83bu leumak 83

Page 300: 18

260

bungong kayee 83

D

didong 83dodol 83dlu’afa 96

E

eu fhai 45engkot payeh 83

F

Fansoer 3Ferlec 3

G

gampong 10, 16, 17gampong 39, 42, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 69 Hhierarkhis 17Kadli 34, 42Kerajaan Batu Karang 37keuchik 42, 43, 61, 62, 63, 64, 65, 71, 72keujreun 65, 68, 71, 72Keurajeun Tamieng 38keurajeun uleibalang 42gulee pliek u 83gentilzhommes 94

K

kaffah 15Kaom Imeum Peut 4Kaom Ja Sandang 4

Page 301: 18

261

Kawom 18keukarah 83kuah leumak 83kuah masam keu-eng 83kuah peungat 83kueh lapeh 83kueh seupet 83

L

Lamari 3Lamoeri 3Lamori 3linto 45, 46linto baro 46likok pulo 83lingua franca 82

M

ma’qulat 12mendulang 15meudrah 17Meunasah 14, 16, 17Mir’at al-Thullab 16Mufti 42Meulawet 84Meurukon 84meusekat 83monad 87

N

notables 94

O

Page 302: 18

262

objectives 4

P

Poli 3panglima laot 60, 66, 67, 68Panglima Uteun 58pang sagou 42peukan 60, 69Peutua seneubok 43, 69peuwo linto 84pisang pheep 83

Q

qanun 29, 42

R

Rami 3Reutoh 4rapa-i geleng 48reusam 29, 42rapai geleng 83relegare 96

S

Shirat al-Mustaqim 16siyasah 16Sukee 4Syeikh Muhammad Jailani 12Syeikh Nuruddin Ar-Raniry 12Seneubok 42, 57, 69seudati 47seulawet 47

Page 303: 18

263

stakeholders 51syahadatain 47sama loyang 83seudati 83silat 83sudere 95sunnatullah 97TTarich Atjeh 34, 40teungku 42, 43, 61, 62Tsien-Han-Su 30Tuha Peut 43, 50, 54, 57, 63 Uureung Mante 8Tarich Atjeh 78tari prang sabi 83tari ranup lampuan 83tari saman 83timphan 83tob daboh 83tueng dara baro 84

U

Ureung tuha 43

Wwajeb 83

ZZawiyah 35

Page 304: 18

264