LAPORAN KASUS 2HYPERTROPHY ADENOID DENGAN RHINITIS KRONIS
LANIRA ZARIMA N.H1A 008 038
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYABAGIAN ILMU
PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROKANRUMAH SAKIT UMUM PROVINSI
NTBFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM2012
BAB 1PENDAHULUAN
Tonsil dan adenoid merupakan jaringan limfoid yang terdapat pada
daerah faring atau tenggorok. Keduanya sudah ada sejak anak
dilahirkan dan mulai berfungsi sebagai bagian dari sistem imunitas
tubuh setelah imunitas dari ibu mulai menghilang dari tubuh anak.
Pada saat itu tonsil dan adenoid merupakan organ imunitas utama
pada anak, karena jaringan limfoid lain yang ada di seluruh tubuh
belum bekerja secara optimal (Hutauruk, 2012). Setelah melewati
usia 1 tahun, anak sudah dapat berjalan dan sudah mempunyai
lingkungan bermain yang lebih luas sehingga akan lebih banyak
kontak dengan orang sekitar. Resiko untuk tertular infeksi akan
menjadi lebih besar, dan karena tonsil dan adenoid merupakan organ
imunitas utama yang bekerja melawan infeksi pada usia ini, maka
keduanya akan tumbuh dan berkembang, baik fungsi maupun ukurannya.
Tonsil dan adenoid mengalami pertumbuhan fungsi dan ukuran yang
paling cepat pada usia 3 sampai 7 tahun, dan setelah itu fungsinya
akan berkurang serta ukuranya mengecil dan hampir hilang setelah
usia 15 sampai 18 tahun. Pada saat anak berusia 5 tahun sistem imun
lain di seluruh tubuh juga sudah bekerja dengan optimal sehingga
dapat mengambil alih fungsi tonsil dan adenoid yang mulai menurun
(Hutauruk, 2012).Kuman yang dihancurkan oleh imunitas seluler
tonsil dan adenoid terkadang tidak mati dan tetap bersarang disana
serta menyebabkan infeksi yang kronis dan berulang. Infeksi yang
berulang ini akan menyebabkan tonsil dan adenoid bekerja keras
denganmemproduksi sel-sel imun yang banyak sehingga ukuran tonsil
dan adenoid akanmembesar dengan cepat melebihi ukuran yang normal.
Tonsil dan adenoid yang demikian sering dikenal sebagai amandel
yang dapat menjadi sumber infeksi (fokal infeksi) sehingga anak
menjadi sering sakit demam dan batuk pilek (Hutauruk, 2012).Selain
menjadi sumber infeksi, ukuran tonsil dan adenoid yang besar pada
anak juga dapat menyebabkan sumbatan (obstruksi) saluran napas
bagian atas, khususnya hidung dan tenggorok, terutama pada saat
tidur. Sumbatan saluran napas saat tidur ini disebut Obstructive
Sleep Apneu (OSA). Keadaan ini dapat menyebabkan gangguan napas
saat tidur pada anak (Sleep Disorder Breathing) dengan akibat anak
sering terbangun, mengorok, kualitas tidur yang buruk, kurang
oksigen dan terkadang ngompol. Saat bangun di pagi hari anak tidak
segar sehingga konsentrasi belajar di sekolah jadi kurang dan
tampak mengantuk saat belajar di kelas. Bila berlangsung lama,
keadaan ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan prestasi
belajar menurun (Hutauruk, 2012). Prevalensi gangguan bernapas saat
tidur pada anak-anak adalah 11%, sedangkan perkiraan OSA pada usia
pra-sekolah sekitar 1-3% (Wahyuni, 2007).Sesuai dengan fisiologi
perkembangan tonsil dan adenoid, OSA pada anak paling banyak
ditemukan pada usia 2 sampai 6 tahun walaupun OSA sendiri dapat
terjadi dari usia kanak-kanak, remaja sampai dewasa. Kondisi ini
tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Jadi penyebab tersering
gangguan bernapas saat tidur pada anak-anak adalah hipertrofi
adenoid atau adenotonsilitis kronis (Hutauruk, 2012; Wahyuni,
2007).Beberapa penelitian menemukan adanya perbaikan gangguan
bernapas saat tidur setelah adenotonsilektomi. Dari penelitian dan
catatan klinis yang ada, anak-anak dengan gangguan bernapas saat
tidur mempunyai dampak serius pada kualitas hidupnya. Penelitian
yang telah dilakukan oleh Da Silva dkk menunjukkan adanya perbaikan
kualitas hidup pada anak yang menderita gangguan bernapas saat
tidur setelah 30 hari pasca-adenoidektomi atau adenotonsilektomi
(Wahyuni, 2007).
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Faring Faring adalah suatu kantong
fibromuskular yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian
atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal
ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui
koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang
dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir,
fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal (Rusmarjono, 2010).Untuk keperluan klinis faring
dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring, orofaring, dan
laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga
bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole
di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengah faring,
meluas dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual
epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan
arkusnya, dan tonsila lingualis pada dasar lidah. Hipofaring
merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan daerah saluran napas
atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas (Adams,
1997).
Anatomi NasofaringNasofaring merupakan rongga dengan dinding
kaku di atas, belakang, dan lateral. Di sebelah atas nasofaring
dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,
sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior
oleh vertebra servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring
berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka
inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius
terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius
(Ballenger, 1997). Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan
beberapa organ penting (Adams, 1997) : Pada dinding posterior
terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah. Pada dinding
lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang
dikenal sebagai fossa Rosenmuller. Torus tubarius merupakan
refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago tuba Eustachius,
berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding
lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole. Koana posterior
rongga hidung. Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat
terkena akibat perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen
jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius
spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang
meningeal dari oksipital dan arteri faringeal asenden. Tulang
temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat
dengan bagian lateral atap nasofaring. Ostium dari sinus-sinus
sfenoid.
Gambar 2.1 Struktur Anatomi Nasofaring
Batas-batas nasofaring : Superior: basis cranii, diliputi oleh
mukosa dan fascia. Inferior: bidang horizontal yang ditarik dari
palatum durum ke posterior, batas ini bersifat subyektif karena
tergantung dari palatum durum. Anterior: koana, yang dipisahkan
menjadi koana dextra dan sinistra oleh os vomer. Posterior:
vertebra cervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari
mukosa bagian atas. Lateral: mukosa lanjutan dari mukosa di bagian
superior dan posterior, muara tuba Eustachii, fossa Rosenmuller
(Ballenger, 1997).
Anatomi OrofaringOrofaring disebut juga mesofaring, dengan batas
atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas
epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal (Rusmarjono, 2010).Orofaring termasuk
cincin jaringan limfoid yang sirkumferensial, disebut cincin
Waldeyer. Bagian cincin Waldeyer adalah jaringan adenoid, tonsila
palatina, tonsila lingual, dan folikel limfoid pada dinding
posterior faring (Adams, 1997).
Gambar 2.2 Anatomi Tonsil
1) Tonsilla Palatina Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan
limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada dinding lateral
orofaring dalam fossa tonsillaris dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).
Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang
bebas menonjol ke dalam faring. Permukaannya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam Cryptae Tonsillares
yang berjumlah 6-20 kripte. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh
fossa tonsillaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai
fosa supratonsilar. Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis
jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak
berdekatan dengan tonsilla lingualis (Norhidayah, 2010; Rusmarjono,
2010). Tonsil dibatasi oleh : Lateral: muskulus konstriktor faring
superior Medial: ruang orofaring Anterior: muskulus palatoglosus
Posterior: muskulus palatofaringeus Superior: palatum mole
Inferior: tonsil lingual (Norhidayah, 2010)
Gambar 2.3 Tonsilla PalatinaPermukaan tonsil palatina ditutupi
epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripte
tonsila. Epitel yang melapisi permukaan tonsila palatina mempunyai
daya tahan yang lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana
mukosa tonsila palatina ini selalu mendapat gesekan dalam tubuh
sehingga memerlukan perlindungan yang lebih baik agar lebih tahan
terhadap trauma. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan
ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus.
Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh
yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik
(Norhidayah, 2010).Kripte pada tonsila palatina dalam dan
bercabang-cabang dan terdapat kripte dalam jumlah yang banyak. Pada
kripte ini bermuara kelenjar-kelenjar submukosa yang terdapat di
sekitar tonsil (Norhidayah, 2010).Fossa tonsil dibatasi oleh
otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus,
batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan
dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring
terdapat nervus ke IX, yaitu nervus glosofaringeal (Norhidayah,
2010). Vaskularisasi tonsil diperoleh dari arteri yang terutama
masuk melalui polus caudalis, tapi juga bisa melalui polus
cranialis. Melalui polus caudalis : rr. tonsillaris a. dorsalis
linguae, a. palatina ascendens dan a. facialis. Melalui polus
cranialis : rr. tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina
minor. Semua cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari a.
carotis eksterna (Moore, 2002).Darah venous dari tonsil terutama
dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis dan di sekitar kapsula
tonsillaris membentuk pleksus venosus yang mempunyai hubungan
dengan pleksus pharyngealis. Vena paratonsillaris dari palatum mole
menuju ke bawah lewat pada bagian atas tonsillar bed untuk
mengalirkan darah ke dalam pleksus pharyngealis (Moore,
2002).Cairan limfe dialirkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis
superficialis dan sebagian besar ke lnn. cervicalis profundus
superior, terutama pada limfonodi yang terdapat di dorsal angulus
mandibular (lnn. tonsillaris). Nodus paling penting pada kelompok
ini adalah nodus jugulodigastricus yang terletak di bawah dan
belakang angulus mandibulae (Moore, 2002).Tonsil bagian bawah
mendapat persarafan dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves (Moore, 2002).Tonsil merupakan jaringan limfoid yang
mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari
limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan
3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen
komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan
tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada
4 area, yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle
zone pada folikel limfoid, dan pusat germinal pada folikel limfoid
(Norhidayah, 2010).Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama, yaitu 1) menangkap
dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik (Norhidayah, 2010).
2) Tonsilla Pharingeal (Adenoid)Adenoid merupakan massa limfoid
yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan
yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun
teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan
celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa
faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus (Norhidayah,
2010).Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring,
berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian
anterior, serta kompleks tuba Eustachius telinga tengah kavum
mastoid pada bagain lateral. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fossa Rosenmuller dan orifisium tuba Eustachius. Ukuran
adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid
akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan
mengalami regresi (Norhidayah, 2010).Vaskularisasi adenoid
diperoleh melalui cabang faringeal a.carotis eksternal, beberapa
cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan a.fasialis.
Innervasi sensible merupakan cabang dari n.glosofaringeus dan
n.vagus. Anatomi mikro dan makroskopik dari adenoid menggambarkan
fungsinya dan perbedaannya dengan tonsila palatina. Adenoid adalah
organ limfoid yang mengalami invaginasi dalam bentuk lipatan yang
dalam, hanya terdiri beberapa kripte berbeda dengan tonsila
palatine yang memiliki jumlah kripte lebih banyak (Moore,
2002).
Gambar 2.4 Tonsilla Pharingeal (Adenoid)Fungsi adenoid adalah
bagian dari imunitas tubuh. Adenoid merupakan jaringan limfoid
bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid
memproduksi IgA sebagai bagian penting sistem pertahanan tubuh lini
terdepan dalam memproteksi tubuh dari invasi mikroorganisme dan
molekul asing (Handokho, 2011).Proses imunologi pada adenoid
dimulai ketika bakteri, virus, atau antigen makanan memasuki
nasofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen
adenoid pertama sebagai barrier imunologis. Kemudian terjadi
absorbsi secara selektif oleh makrofag, sel HLA dan sel M dari tepi
adenoid. Antigen selanjutnya diangkut dan dipresentasikan ke sel T
pada area ekstra-folikuler dan ke sel B pada sentrum germinativum
oleh follicular dendritic cells FDC (Handokho, 2011).Interaksi
antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC bersama
dengan IL-1 akan mengakibatkan aktivasi sel T yang ditandai oleh
pelepasan IL-2 dan ekspresi reseptor IL-2. Antigen bersama-sama
dengan sel Th dan IL-2, IL-4, IL-6 sebagai aktivator dan promotor
bagi sel B untuk berkembang menjadi sel plasma. Sel plasma akan
didistribusikan pada zona ekstrafolikuler yang menghasilkan
immunoglobulin (IgG 65%, IgA 20%, sisanya IgM, IgD, IgE) untuk
memelihara flora normal dalam kripte individu yang sehat (Handokho,
2011).Secara histologis, adenoid tersusun atas 3 jenis epitel pada
permukaannya, yaitu epitel kolumnar bertingkat dengan silia, epitel
berlapis skuamous dan epitel transisional. Infeksi kronik atau
pembesaran adenoid cenderung akibat peningkatan proporsi epitel
berlapis skuamous (aktif untuk proses antigen) dan berkurangnya
epitel respirasi (aktif untuk klirens mukosilier) (Handokho,
2011).
3) Tonsilla Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan
dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis
tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat
ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan
secara klinis merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus (Rusmarjono,
2010).
2.2. Hipertrofi AdenoidAdenoid merupakan massa yang terdiri dari
jaringan limfoid pada dinding posterior nasofaring di atas batas
palatum molle dan termasuk dalam cincin Waldeyer. Secara fisiologik
pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami hipertrofi. Adenoid
ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan
menghilang sama sekali pada usia 14 tahun. Apabila sering terjadi
infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi
hipertrofi adenoid yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana dan
tuba Eustachius (Rusmarjono, 2010).Akibat sumbatan koana pasien
akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi (1) fasies adenoid,
yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen),
arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak
seperti orang bodoh; (2) faringitis dan bronkitis; serta (3)
gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
menimbulkan sinusitis kronik. Obstruksi dapat mengganggu pernapasan
hidung dan menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara. Akibat
sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang
dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik. Akibat
hipertrofi adenoid juga dapat menimbulkan retardasi mental,
pertumbuhan fisik berkurang, gangguan tidur dan tidur ngorok.
Hipertrofi adenoid juga dapat menyebabkan beberapa perubahan dalam
struktur gigi dan maloklusi (Adams, 1997; Rusmarjono, 2010).
Gambar 2.5 Gambaran Obstructive Sleep ApneaEtiologi Etiologi
pembesaran adenoid dapat diringkas menjadi 2, yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis, adenoid akan
mengalami hipertrofi pada masa puncaknya, yaitu 3-7 tahun. Biasanya
asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan gejala.
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi
kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas (ISPA). Hipertrofi
adenoid terjadi akibat adenoiditis yang berulang kali antara usia
4-14 tahun (Bull, 2002).
EpidemiologiPrevalensi hipertrofi adenoid dapat diperkirakan
jumlahnya dari tindakan adenoidektomi yang dilakukan. Di Indonesia
belum ada data nasional mengenai jumlah operasi adenoidektomi atau
tonsiloadenoidektomi, tetapi didapatkan data dari Rumah Sakit Umum
dr. Sardjito Yogyakarta dan Rumah Sakit Fatmawati Jakarta. Data
dari Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito diperoleh bahwa jumlah kasus
selama 5 tahun (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsiloadenoidektomi. Puncak kenaikan, yaitu 275
kasus pada tahun 2000 dan terus menurun sampai 152 kasus pada tahun
2003. Demikian pula dari data dari Rumah Sakit Fatmawati dalam 3
tahun (2002-2004) dilaporkan bahwa terjadi kecenderungan penurunan
jumlah operasi tonsiloadenoidektomi setiap tahunnya (Handokho,
2011).
PatofisiologiPada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldeyer
sangat kecil. Pada anak berumur 4 tahun bertambah besar karena
aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil)
merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit
kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan
penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun
selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan
bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan
merupakan respon terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri
dan mikroorganisme patogen (Bull, 2002).Adenoid dapat membesar
seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya jalan
udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang
keras untuk bernapas, sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui
mulut yang terbuka. Adenoid juga dapat menyebabkan obstruksi pada
jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran
adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba Eustachius yang
akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga
tengah akibat tuba Eustachius yang tidak bekerja efisien karena
adanya sumbatan (Bull, 2002).Penyebab utama hipertrofi jaringan
adenoid adalah infeksi saluran napas atas yang berulang. Infeksi
dari bakteri-bakteri yang memproduksi beta-lactamase, seperti
Streptoccocus Beta Hemolytic Group A (SBHGA), Staphylococcus
aureus, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumonia dan
Haemophilus influenzae, apabila mengenai jaringan adenoid akan
menyebabkan inflamasi dan hipertrofi. Jaringan adenoid yang
seharusnya mengecil secara fisiologis sejalan dengan pertambahan
usia, menjadi membesar dan pada akhirnya menutupi saluran
pernapasan atas. Hambatan pada saluran pernapasan atas akan
mengakibatkan pernapasan melalui mulut dan pola perkembangan
sindrom wajah adenoid (Handokho, 2011; Rahbar, 2004). Menurut
Linder-Arosson (2000), sindrom wajah adenoid diakibatkan oleh
penyumbatan saluran napas atas kronis oleh karena hipertrofi
jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas atas kronis menyebabkan
kuantitas pernapasan atas menjadi menurun, sebagai penyesuaian
fisiologis penderita akan bernapas melalui mulut. Pernapasan
melalui mulut menyebabkan perubahan struktur dentofasial yang dapat
mengakibatkan maloklusi, yaitu posisi rahang bawah yang turun dan
elongasi, posisi tulang hyoid yang turun sehingga lidah akan
cenderung ke bawah dan ke depan, serta meningginya dimensi vertikal
(Handokho, 2011; Rahbar, 2004).Faktor etiologi lainnya dari
sindroma wajah adenoid adalah inflamasi mukosa hidung, deviasi
septum nasalis, anomali kogenital dan penyempitan lengkung maksila.
Gambaran skematis mengenai etiologi sindrom wajah adenoid akan
diuraikan pada bagan berikut ini (Handokho, 2011).
ISPA berulangDeviasi septum nasiPenyempitan lengkung
maksillaInflamasi mukosa hidungHipertrofi adenoidBerkurangnya
pernapasan melalui hidung Penyempitan lubang hidungTerjadi
pernapasan melalui mulutTurunnya posisi lidahSikap kepala
mendongakTurunnya posisi mandibula Sindrom Wajah AdenoidGambar 2.6
Patofisiologi Sindrom Wajah Adenoid
Gejala Klinis Obstruksi NasiPembesaran adenoid dapat menyumbat
parsial atau total respirasi hidung sehingga terjadi ngorok,
percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus bernapas melalui
mulut. Beberapa peneliti menunjukkan korelasi statistik antara
pembesaran adenoid dan kongesti hidung dengan rinoskopi anterior.
Sleep ApneaSleep apnea pada anak berupa adanya episode apnea saat
tidur dan hipersomnolen pada siang hari. Sering juga disertai
dengan hipoksemia dan bradikardi. Episode apnea dapat terjadi
akibat adanya obstruksi, sentral atau campuran.
Gambar 2.7 Gejala Obstruksi Saluran Napas Atas Facies
AdenoidSecara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran
adenoid mempunyai tampak muka yang karakteristik. Tampakan klasik
tersebut meliputi :Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan
bibir atas yang pendek. Namun sering juga muncul pada anak-anak
yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam jangka panjang.
Hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/hipoplastik, sudut
alveolar atas lebih sempit, dan arkus palatum lebih tinggi. Efek
Pembesaran Adenoid Pada TelingaHubungan pembesaran adenoid atau
adenoiditis rekuren dengan otitis media efusi telah dibuktikan baik
secara radiologis maupun berdasarkan penelitian tentang tekanan
oleh Bluestone. Otitis media efusi merupakan keadaan dimana
terdapat efusi cairan di telinga tengah dengan membran timpani utuh
tanpa tanda-tanda radang. Hal ini dapat terjadi akibat adanya
sumbatan pada tuba Eustachius. Keadaan alergik juga sering berperan
sebagai faktor tambahan dalam timbulnya efusi cairan di telinga
tengah (Rahbar, 2004; Rusmarjono, 2010; Handokho, 2011).
Penegakkan Diagnosis1) Tanda dan gejala klinikBila hipertrofi
adenoid berlangsung lama, akan timbul wajah adenoid, yaitu
pandangan kosong dengan mulut terbuka. Biasanya langit-langit
cekung dan tinggi. Karena pernapasan melalui hidung terganggu
akibat sumbatan adenoid pada koana, terjadi gangguan pendengaran
dan penderita sering beringus. 2) Pemeriksaan rinoskopi anterior
dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada waktu
fonasi. Pada pemeriksaan tepi anterior adenoid yang hipertrofi
terlihat melalui lubang hidung bila sekat hidung lurus dan konka
mengerut. Dengan meletakkan ganjal di antara deretan gigi atas dan
bawah, adenoid yang membesar dapat diraba.3) Pemeriksaan rinoskopi
posterior (pada anak biasanya sulit).4) Pemeriksaan nasoendoskopi
dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara langsung. 5)
Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral kepala agar
dapat melihat pembesaran adenoid. Prosedur pemeriksaan radiologi :
Posisi pasien : Pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan posisi
berdiri tegak pada film sejauh 180 cm. Pengukuran adenoid (A) : A
adalah titik konveks maksimal sepanjang tepi inferior bayangan
adenoid. Garis B adalah garis yang ditarik lurus dari tepi anterior
basis oksiput. Jarak A diukur dari titik A ke perpotongannya pada
garis B. Pengukuran ruang nasofaring : Ruang nasofaring diukur
sebagai jarak antara titik C, sudut posterior-superior dari palatum
durum dan D (sudut anterior-inferior sincondrosis
sfenobasioksipital. Jika sinkondrosis tidak jelas, maka titik D
ditentukan sebagai titik yang melewati tepi posterior-inferior
pterigoidea lateralis dan lantai tulang nasofaring. Rasio adenoid
nasofaring diperoleh dengan membagi ukuran adenoid dengan ukuran
ruang nasofaring, yaitu Rasio AN = A/N. Dengan kriteria sebagai
berikut : Rasio adenoid nasofaring 0 0,52 : tidak ada pembesaran
Rasio adenoid nasofaring 0,52 0,72 : pembesaran sedang non
obstruksi Rasio adenoid nasofaring > 0,72 : pembesaran dengan
obstruksi4) 5)
Gambar 2.8 Gambaran Hipertrofi Adenoid Pada Rontgen Lateral
Kepala 6) CT scan merupakan modalitas yang lebih sensitif daripada
foto polos untuk identifikasi patologi jaringan lunak, tapi
kekurangannya karena biaya yang mahal (Jung, 2011;
Widjoseno-Gardjito, 2005).
TatalaksanaTerapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid
hipertrofi yang menyebabkan obstruksi hidung, obstruksi tuba
Eustachius, atau yang menimbulkan penyulit lain. Operasi dilakukan
dengan alat khusus (adenotom). Kontraindikasi operasi adalah celah
palatum atau insufisiensi palatum karena operasi ini dapat
mengakibatkan rinolalia aperta. Kontraindikasi relatif berupa
gangguan perdarahan, anemia, infeksi akut yang berat, dan adanya
penyakit berat lain yang mendasari (Adams, 1997; Rahbar,
2004).Indikasi adenoidektomi :1) Sumbatan : sumbatan hidung yang
menyebabkan bernapas melalui mulut, sleep apnea, gangguan menelan,
gangguan berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid
face).2) Infeksi : adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi
berulang/kronik, otitis media akut berulang.3) Kecurigaan neoplasma
jinak/ganas (Rusmarjono, 2010).
KomplikasiKomplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan
bila pengerokan adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam
menguretnya akan terjadi kerusakan dinding belakang faring. Bila
kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan rusak dan
dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul tuli
konduktif (Rusmarjono, 2010).
Prognosis Adenotonsilektomi merupakan suatu tindakan yang
kuratif pada kebanyakan individu. Jika pasien ditangani dengan baik
diharapkan dapat sembuh sempurna, kerusakan akibat cor pulmonal
tidak menetap dan sleep apnea dan obstruksi jalan napas dapat
diatasi (Adams, 1997).
BAB 3LAPORAN KASUS
3.1. Identitas PasienNama: An. TUmur: 9 tahunJenis kelamin:
Laki-lakiAlamat: NarmadaMRS: 31 Maret 2012
3.2. Anamnesis Keluhan Utama : Sering pilek Riwayat Penyakit
Sekarang : Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan
keluhan pilek yang dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Pilek hilang
timbul dan biasanya muncul bila udara dingin. Pasien juga merasa
hidungnya tersumbat, rasa panas, kering, dan gatal pada hidung,
serta keluar ingus dengan konsistensi agak kental. Pasien mengaku
agak sulit bernapas melalui hidung karena keluhannya tadi sehingga
pasien sering bernapas melalui mulut. Apabila menunduk, pasien
sering merasa nyeri di daerah sekitar pipi dan hidung. Menurut
orang tua pasien, saat tidur anaknya sering mendengkur atau
mengorok. Keluhan penurunan pendengaran, nyeri kepala, batuk dan
demam disangkal. Riwayat Penyakit Dahulu :Pasien mengalami keluhan
yang serupa sejak masih bayi dan sering berulang hingga saat ini.
Riwayat Penyakit Keluarga/Sosial :Pasien tidak memiliki keluarga
dengan keluhan yang serupa. Riwayat Alergi :Pasien mengaku tidak
memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, tetapi sering pilek
dan bersin-bersin saat terkena udara dingin.
3.3. Pemeriksaan Fisik Status Generalis : Keadaan umum: baik
Kesadaran: compos mentis Tanda vital: TD: --- Nadi: 84 x/menit
Respirasi: 20 x/menit Suhu : 37,7oC Status Lokalis : Pemeriksaan
TelingaNo.Pemeriksaan TelingaAuricula DextraAuricula Sinistra
1.TragusNyeri tekan (-), edema (-)Nyeri tekan (-), edema (-)
2.Daun telinga : aurikula, preaurikuer, retroaurikuler.Bentuk
dan ukuran telinga dalam batas normal, lesi pada kulit (-),
hematoma (-), massa (-), fistula (-), nyeri tarik aurikula
(-).Bentuk dan ukuran telinga dalam batas normal, lesi pada kulit
(-), hematoma (-), massa (-), fistula (-), nyeri tarik aurikula
(-).
3.Liang telinga (MAE)Serumen (-), hiperemis (-), edema (-),
furunkel (-), otorhea (-).Serumen (-), hiperemis (-), edema (-),
furunkel (-), otorhea (-).
4.Membran timpani
Intak, retraksi (-), hiperemi (-), bulging (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (+).
Intak, retraksi (-), hiperemi (-), bulging (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (+).
Pemeriksaan HidungInspeksiNasal DextraNasal Sinistra
Hidung luarBentuk (N), inflamasi (-), deformitas (-), massa
(-).Bentuk (N), inflamasi (-), deformitas (-), massa (-).
Rinoskopi Anterior :
Vestibulum nasiN, ulkus (-)N, ulkus (-)
Cavum nasiBentuk (N), mukosa hiperemi (+), sekret mukopurulen
(+).Bentuk (N), mukosa hiperemi (+), sekret mukopurulen (+).
Septum nasiDeviasi (-), benda asing (-), perdarahan (-), ulkus
(-).Deviasi (-), benda asing (-), perdarahan (-), ulkus (-).
Konka media & inferiorHipertrofi (-), hiperemi (+), kongesti
(+).Hipertrofi (-), hiperemi (+), kongesti (+).
Gambar :
Pemeriksaan Sinus ParanasalSinusNyeri TekanTransiluminasi
DextraSinistraDextraSinistra
Maksilaris(+)(+)Tidak dilakukanTidak dilakukan
Frontalis(-)(-)Tidak dilakukanTidak dilakukan
Pemeriksaan TenggorokanNo.PemeriksaanKeterangan
1.BibirMukosa bibir basah, berwarna merah muda
2.MulutMulut terbuka dan tidak dapat menutup sempurna, mukosa
mulut basah, berwarna merah muda.
3.BucalWarna merah muda, hiperemi (-)
4.GigiGigi pada rahang atas sedikit menonjol ke depan
5.Lidah Ulkus (-), pseudomembran (-).
6.Uvula Bentuk normal, hiperemi (+), edema (-), pseudomembran
(-).
7.Palatum moleUlkus (-), hiperemi (-), arkus palatum tampak
lebih cekung.
8.FaringMukosa hiperemi (+), edema (-), ulkus (-), granul (-),
sekret (-), reflex muntah (+).
9.Tonsila PalatinaHiperemi (-), ukuran T1-T1, kripte melebar
(-), detritus (-).
Kesan: Facies AdenoidGambar:
3.4. DiagnosisHypertrophy Adenoid dengan Rhinitis Kronis
3.5. Planning Planning Diagnosis : Pemeriksaan laboratorium DL,
LED, BT, CT Pemeriksaan foto rontgen toraks posisi Waters untuk
menilai adanya kelainan pada sinus paranasalis (sinus maksila,
frontal, dan etmoid). Pemeriksaan foto polos lateral kepala untuk
melihat pembesaran adenoid. Planning Terapi : Pemberian antibiotik
golongan Penicilin, yaitu Ampisilin dengan dosis pemberian 250 mg
4x sehari atau golongan Sefalosporin, yaitu Cefadroxil dengan dosis
pemberian 500 mg 2x sehari. Pengobatan simptomatis dengan pemberian
antipiretik, yaitu Paracetamol dengan dosis pemberian 500 mg 3x
sehari dan Interhistin yang mengandung mebidrolin napadisilat
(antihistamin) dengan dosis 50 mg 2x sehari. Pemberian vitamin C
dengan dosis 500 mg 2x sehari untuk terapi penunjang terhadap
rhinitis dan baik digunakan selama masa penyembuhan dari sakit.
Tindakan operasi adenoidektomi.
3.6. KIE Pasien Hindari paparan alergen untuk mencegah
terjadinya kekambuhan rhinitis pada pasien. Menjaga higiene mulut
untuk mencegah terjadinya infeksi lebih lanjut Untuk sementara
hindari minuman atau makanan dingin Menyarankan pasien untuk
melakukan operasi adenoidektomi
3.7 PrognosisPrognosis baik dan pasien dapat sembuh sempurna
jika dilakukan tindakan adenoidektomi.
BAB 4PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesis pada pasien didapatkan keluhan
berupa pilek yang hilang timbul dan biasanya muncul bila udara
dingin. Pasien juga merasa hidungnya tersumbat, rasa panas, kering,
dan gatal pada hidung, serta keluar ingus dengan konsistensi agak
kental. Pasien mengaku agak sulit bernapas melalui hidung karena
keluhannya tadi sehingga pasien sering bernapas melalui mulut.
Menurut orang tua pasien, saat tidur anaknya juga sering mendengkur
atau mengorok.Pada proses pernapasan normal melalui rongga hidung,
terjadi pergerakan otot-otot di sekitar wajah. Pergerakan tersebut
akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan tulang wajah serta
oklusi secara normal. Apabila terjadi gangguan pada proses
pernapasan, maka pergerakan otot-otot wajah menjadi tidak seimbang
sehingga menganggu pertumbuhan dan perkembangan tulang wajah dan
menyebabkan oklusi pada gigi.Salah satu jenis gangguan pernapasan
yang dapat menyebabkan permasalahan tersebut adalah obstruksi
saluran napas atas yang disebabkan oleh hipertrofi dari jaringan
adenoid. Penyebab utamanya adalah infeksi saluran pernapasan atas
yang berulang, seperti pada pasien ini yang sering mengalami
rhinitis berulang. Upaya adaptasi fisiologis karena terhambatnya
saluran pernapasan atas adalah dengan bernapas melalui mulut.
Pernapasan melalui mulut akan menganggu pertumbuhan dan
perkembangan otot dan tulang dentofasial, seperti menurunnya posisi
rahang bawah, dimensi vertikal yang tinggi, posisi tulang hyoid
yang rendah dan perubahan dentofasial lainnya. Apabila hal tersebut
tidak segera ditangani, dalam jangka panjang akan menyebabkan
sindroma wajah adenoid. Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan
fisik yang ditemukan pada pasien ini dimana mulut terbuka dan tidak
dapat menutup sempurna, gigi pada rahang atas sedikit menonjol ke
depan, dan arkus palatum tampak lebih cekung sehingga didapatkan
kesan facies adenoid. Pada pasien ini sebaiknya dilakukan
pemeriksaan foto polos lateral kepala untuk melihat dan memastikan
adanya pembesaran adenoid. Dengan demikian, pasien bisa mendapatkan
terapi definitif berupa tindakan adenoidektomi. Selain itu, pasien
juga dapat diberikan terapi konservatif terlebih dahulu menggunakan
obat-obatan untuk mengatasi infeksi saluran napas atas, serta
hindari paparan alergen untuk mencegah terjadinya kekambuhan
rhinitis pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Adams GL. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam :
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
6. Cetakan Ketiga. Jakarta : EGC. 1997 : hlm 320-322,
325-327.Ballenger, JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan
Nasofaring. Dalam : Ballenger Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
dan Leher. Jilid I. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 1997 : hlm
1020-1039.Bull PD. Adenoids. In : Lecture Notes on Diseases of The
Ear, Nose and Throat. Ninth Edition. USA : Blackwell Science Ltd.
2002 : p. 109-110.Handokho, Albert. Gambaran Klinis dan Perawatan
Anomali Ortodonti Pada Penderita Sindroma Wajah Adenoid yang
Disebabkan oleh Hipertrofi Jaringan Adenoid. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara : Medan. 2011. Available at :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24213 (Accessed : 2012
April 3)Hutauruk SM. Hipertrofi Tonsil dan Adenoid Sebagai Penyebab
Mengorok Pada Anak. Poliklinik THT RSIA Permata Cibubur : Jakarta.
2012. Available at :
http://www.permatacibubur.com/en/see.php?id=&lang=en (Accessed
: 2012 April 1)Jung YG, et al. Role of Intranasal Topical Steroid
in Pediatric Sleep Disordered Breathing and Influence of Allergy,
Sinusitis and Obesity on Treatment Outcome. Clinical and
Experimental Otorhinolaryngology. 03/2011; 4(1) : 27-32. Department
of Otorhinolaryngology : Head and Neck Surgery, Samsung Changwon
Hospital, Changwon, Korea. Available at :
http://www.researchgate.net/researcher/38549271 (Accessed : 2012
April 7)Moore KL, Anne MR. Neck. In : Essential Clinical Anatomy.
USA : Lippincott Williams and Wilkins. 2002 : p. 439-445.
Norhidayah. Gambaran Indikasi Tonsilektomi di RSUP Haji Adam Malik
dari Tahun 2008-2010. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara : Medan. 2010. Available at :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/23175 (Accessed : 2012
April 3)Rahbar R. Adenotonsillar Hypertrophy : The Presentation and
Management of Upper Airway Obstruction. Seminars in Orthodontics 10
: 244-246. 2004. Elsevier Inc. Department of Otolaryngology,
Childrens Hospital, Boston, MA. Available at :
http://www.med.univaq.it/medicina/lo/6746/1165156019-Adenotonsillar%20Hypertrophy.pdf
(Accessed : 2012 April 7)Rusmarjono, Hermani B. Nyeri Tenggorok
(Odinofagia). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan Keempat. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 212-216. Rusmarjono, Soepardi EA.
Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam : Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm
224-225.Wahyuni AE, Setiawan EP, Suardana W, Putra AE. Kualitas
Hidup Anak dengan Gangguan Bernapas Saat Tidur Pra- dan
Pasca-Adenoidektomi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
- Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah
Sakit Sanglah Denpasar : Bali. 2007. Available at :
http://www.perhati.org (Accessed : 2012 April 1)Widjoseno-Gardjito,
editor. Kepala dan Leher. Dalam : Sjamsuhidajat R, Wim de Jong,
editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta : EGC.
2005 : hlm 367-368.
1