BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Teluk Tonkin , terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke- 17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai
tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi
dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi,
namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC).
Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah
(tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang
produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya
penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis.
Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial
untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai
dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama,
Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis
digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya
merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun
1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia
mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja
karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang
Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih
mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk
menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha
Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang
Suku Toraja sejak dahulu menganut suatu kepercayaan atau keyakinan yang
dikenal dengan nama Aluk Todolo I, sebagai sumber dari berbagai aspirasi kebudayaan
dan kehidupan orang Toraja.
Aluk Todolo adalah satu kepercayaan atau keyakinan dengan falsafah dan asas
kepercayaannya disebut Aluk Tallu Oto’na 2, artinya mempunyai dasar tiga prinsip
dengan bercaya dan memuja kepada tiga oknum masing-masing :
1. Percaya dan memuja kepada Puang Matua, sebagai Sang Pencipta semesta
alam
2. Percaya dan memuja kepada Deata-Deata (dewa-dewa), yaitu sebagai sang
pemelihara alam semesta ciptaan Puang Matua.
Deata-deata tersebut masih terbagi pula atas tiga golongan deata-deata yaitu :
Deata Tangngana Langi’, yaitu dewa penguasa di langit (benua atas).
Deata Tangngana Padang atau Kapadanganna, yaitu dewa penguasa di atas
permukaan bumi (benua tengah).
Deata To Kengkok, yaitu dewa penguasa isi daripada perut bumi (benua bawah).
Menurut kepercayaan Aluk Todolo tersebut, bahwa ketiga dewa tersebut adalah
Deata Titanan Tallu artinya dewa tiga serangkai.
3. Percaya dan memuja kepada To Membali Puang yang disebut juga Todolo yaitu
arwah leluhur yang bertugas memperhatikan dan memberikan berkat kepada
manusia turunannya.
Ketiga oknum tersebut, dipuja dan disembah menurut ajaran tidak bersamaan
dan dengan cara yang tidak sama yang ditentukan oleh kurban persembahan karena
disesuaikan dengan tingkatan dan kedudukan daripada masing-masing ketiga oknum
tersebut.
Pemujaan dan persembahan dilakukan dengan mempersembahkan kerbau,
babi, dan atau ayam. Kerbau adalah binatang paling penting bagi orang Toraja, salah
satu etnis yang berada di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, kerbau adalah
binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial mereka. Kerbau atau dalam
bahasa setempat tedong tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun
kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, dan alat
transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya.
Tidak mengherankan bila orang Toraja sangat dengan kerbau mereka. Hal ini dapat
dilihat dari percakapan sehari-hari, pada saat hendak bertransaksi, mengadakan pesta,
dalam praktek keagamaan.
Macam-macam kerbau persembahan di Toraja :
1. Tedong Saleko (kerbau belang)
2. Tedong bonga
3. Tedong Pudu’
4. Tedong Sokko
5. Tedong Lotong Boko
6. Tedong Bulan
7. Tedong Tekken Langi
8. Tedong Sambo Ra’tuk
9. Tedong Pudu’bara
10. Tedong Pangloli
11. Tedong Sambao
12. Tedong todi'
Oleh karena itu, perbedaan tingkatan dari ketiga oknum tersebut, maka tempat upacara
persembahan kepada masing-masing ketiga oknum tersebut adalah :
Upacara persembahan kepada Poang Matua dilakukan di depan rumah.
Upacara persembahan kepada deata-deata dilakukan di sebelah Timur rumah.
Upacara persembahan kepada Tomem Bali Puang dilakukan di sebelah Barat
rumah.
Dengan demikian rumah dalam kehidupan kepercayaan Aluk Todolo sebagai
pusat kegiatan turut memegang peranan dalam mengatur sistem upacara, sehingga
apabila salah penempatan zona serta penempatan upacara persembahan pada
masing-masing oknum tersebut, berarti salah pula seluruh pelaksanaan upacara
persembahan dan pemujaan.
Di samping upacara pemujaan dan persembahan kepada ketiga oknum yang
disebutkan di atas, juga sesuai dalam kehidupan dan kepercayaan bahwa seluruh
bentuk keberadaan serta kegiatan selalu di atur oleh asas hokum keseimbangan guna
menjadikan mudahny control dan monitoring seluruh kegiatan manusia, maka sebagai
pasangan atau imbangan dari kehidupan adalah mati sehingga upacara kematianpun
adalah sebagai pasangan dan imbangan dari upacara pemujaan dan persembahan
kepada ketiga oknum.
Oleh karena hokum keseimbangan tersebut, maka asas hukum mempengaruhi
segala bentuk dan kegiatan baik di bidang social maupun kebudayaan, sehingga
upacara persembahan disebut Aluk Rambu Tuka’ yang artinya upacara keselamatan,
dan upacara pemakaman kematian manusia disebut Aluk Rambu Solo artinya upacara
kematian dan keduanya sebagai Ritus Upacara yang berhadapan atau bertentangan.
Kedua upacara tersebut disebut Aluk Simuane Tallang Silau’ eran yaitu upacara yang
berpasangan yang berimbang bertingkat-tingkat atau bertangga-tangga.
Pengaruh nilai serta norma yang lahir dari Aluk Simuane Tallang Silau’ eran
tersebut yang teratur, terbina dengan asas hukum keseimbangan yang merupakan
pangkal dan mula terbinanya pola berfikir dari orang Toraja yang tetap mengikuti pola
hukum keseimbangan dalam seluruh pertumbuhan sosial budaya orang Toraja
Sudah sejak 1.700 tahun lalu masyarakat Toraja memiliki cara unik
memakamkan jenazah, yakni dengan meletakkan begitu saja di tebing atau gua
marmer. Lewat doa kepada Deata dalam kepercayaan Aluk Todolo, jenazah itu tidak
berbau meski tanpa pembalseman.
Meskipun dinaungi rimbun pepohonan dan hawa dingin pegunungan, tidak
membuat kompleks makam tua di Toraja ini angker, apalagi mistis. Padahal, tulang-
belulang manusia berserak di sanasini. Kete Kesu’ begitulah orang Toraja menyebut
situs pekuburan di Kecamatan Kesu’, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, ini.
Menurut sejarah kuno Toraja, situs ini sudah dijadikan pekuburan sejak ribuan
tahun lalu. Diprediksi demikian karena begitu sampai di tengah situs, kita akan
menemui tulang-belulang berserakan di tangga menuju gua. Menurut Arkeolog Toraja
Marla Tandirerung, fosil itu merupakan tulang bangsawan hingga budak yang hidup di
sejumlah tongkonan di Wilayah Adat Kesu’.
Dahulu, Suku Toraja tidak mengubur jenazah orang yang meninggal, tetapi
ditaruh saja di sekitar gua. Alasannya, selain peradaban manusia belum berkembang,
mereka senantiasa bisa tetap menjaga peninggalan leluhur yang turut dibawa ke
kuburan. Di Kete Kesu’, tidak hanya bangsawan yang menjadikan situs itu sebagai
kuburan, tetapi orang biasa yang bekerja pada bangsawan itu juga dimakamkan.
Ketua Adat Wilayah Kesu’ Layuk Sarongallo juga bercerita demikian. Seraya
mendongengkan kehidupan leluhur Toraja, Kete Kesu’ merupakan areal pemakaman
gunung batu yang terbentuk alami. Masyarakat primitif tidak lagi memerlukan peralatan
untuk menyimpan jenazah dan memanfaatkan gua-gua alam sebagai tempat
peristirahatan terakhir keluarga mereka.
Hal tersebut diperkirakan terjadi sejak 1.700 tahun yang lalu. Mayat ditempatkan
di gua-gua hanya ditutupi kulit kayu yang sudah diketam untuk sekujur badan. Namun,
anehnya, tidak sedikit pun bau bangkai menyengat hidung. Layuk menjelaskan, ajaran
Aluk Todolo yang dianut Suku Toraja memang berdoa kepada Deata agar bau-bau
tersebut dihilangkan dari tanah mereka tinggal. Alasan lain yang bisa terlihat dari
hilangnya bau busuk di pekuburan ini, yaitu gunung yang terbentuk dari marmer
tersebut mengalirkan hawa dingin sehingga mayat seperti dimasukkan ke dalam
pendingin. Karena itu, sekarang Toraja dikenal memiliki banyak mumi. Dalam areal
Kete Kesu’, ada tiga tipe kuburan atau liang dalam bahasa Toraja, antara lain
ditempatkan di gua dan tebing, lalu diukirlah kayu menjadi erong, dan yang paling baru
adalah patane.
iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang.
Tana Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam pegunungannya
yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor, tentu saja, pesta
Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang dihormati.
Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Toraja ini senantiasa
mengundang kedatangan ribuan wisatawan.Selain Rambu Solo, sebenarnya ada satu
ritual adat nan langka di Toraja, yakni Ma’ Nene’, yakni ritual membersihkan dan
mengganti busana jenazah leluhur.
Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara.
Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti
mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang batu
dan diletakkan di arena upacara.
Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka
mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-belulang)
dan mengganti busana yang melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.Mereka
memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian
keluarga besar.
7. KESENIAN
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam
upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai
komponen terpenting dalam upacara pemakaman.Pada hari kedua pemakaman, tarian
prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya.
Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit
kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian
Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum.
Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan
bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.Seperti di masyarakat agraris
lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi
dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang,
misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian
Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja
menari.
Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali.
Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala
kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.Alat musik tradisional Toraja adalah suling
bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak
tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama
sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang.
Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat
dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan
rumah. Budaya adalah salah satu harta berharga yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Perlu pemeliharaan dan kepedulian agar warisan budaya tidak semakin tergerus oleh
budaya asing.Banyak cara yang dapat dilakukan untuk tetap mempertahankan budaya.