Top Banner
KAMIS, 18 JULI 2013 KOMUNITAS 24 D ENGAN percaya diri gadis belia berkaus kuning itu menyapa para penum- pang kapal motor (KM) Onomi. Rabu (19/6), kapal milik Dinas Perhubungan Kabupaten Jaya- pura tersebut mengantarkan para pengunjung Festival Danau Sentani (FDS) 2013 dari pusat kegiatan di Pantai Khalkote menyeberang Da- nau Sentani menuju Kampung Asei Besar, Pulau Asei Besar. “Selamat siang Bapak dan Ibu, kita menuju Kampung Asei Besar yang terkenal dengan lukisan kulit kayunya,” ujar gadis berkulit hitam manis itu. Selama sekitar 15 menit perjalanan, beragam informasi lain seputar Danau Sentani meluncur dari mulutnya. Tidak hanya disam- paikan dalam bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Inggris. Meski begitu, Grayce Windesi-- begitu namanya--mengaku bukanlah pemandu wisata profesional. “Saya anggota Papua Tour Guides Com- munity (Patgom), Kak. Kalau sehari- hari, saya kuliah di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura,” tuturnya ramah. Di festival tahunan itu Grayce bu- kan satu-satunya anggota Patgom. Di Pantai Khalkote ada belasan remaja yang juga mengenakan se- ragam kaus dengan gambar burung cenderawasih dan Pulau Papua di bagian dada. Kebanyakan dari me- reka masih duduk di bangku SMA. Jika ada turis yang ingin mengikuti tur wisata di sekitar Danau Sentani, mereka akan sigap memandu. Be- berapa anak tampak sudah mahir seperti Grayce sehingga bisa tampil seorang diri. Namun, ada pula yang masih butuh didampingi rekannya. “Kami punya program namanya Tourism Goes to School. Kami ke sekolah-sekolah mengenalkan pari- wisata karena itu anggota kami ke- banyakan anak sekolah,” jelas Agus Kale’e, salah satu pendiri Patgom. Agus dan sembilan rekannya memulai kegiatan Tourism Goes to School pada 2006. Para pemilik agen wisata itu semula ingin menggerak- kan lagi Himpunan Pariwisata Indo- nesia (HPI) yang vakum di Papua. Namun, keinginan mereka tidak bisa terwujud karena berbagai kendala. Di sisi lain, 10 pelaku pariwisata itu melihat bahwa budaya pariwisa- ta rendah di Papua. Mereka menilai kecintaan pada pariwisata harus di- tumbuhkan sejak anak-anak. Maka dibuatlah program pengenalan wisata ke sekolah. Program itu disambut SMP Bo- naventura dan SMAN I Sentani. Agusta Kobeu, Kepala SMA I Sen- tani, pun duduk di kepengurusan Patgom. “Anak-anak kan senang traveling, jadi program pengenalan pariwisata itu dijalankan sambil kita traveling. Kita ajak anak-anak jalan-jalan biar kenal alam dan budaya Papua sen- diri,” jelas Agus. Acara jalan-jalan itu diselengga- rakan gratis tanpa dipungut biaya. Sambil berjalan-jalan, anak-anak juga dilatih bicara dalam bahasa Ing- gris, cara menjadi pemandu wisata, dan pemahaman pariwisata. Anak-anak yang terlihat punya minat dalam dunia pariwisata ke- mudian akan diajari lebih banyak keahlian. Termasuk, urusan teknis seperti cara mengurus tiket, surat jalan, hingga menjemput turis ke bandara. Tanpa paksaan Untuk merasakan pengalaman nyata menjadi guide, anak-anak usia sekolah itu bertandem dengan guide profesional yang juga anggota komunitas. Seusai menjadi guide, se- perti dalam pelaksanaan FDS 2013, anak-anak juga mendapat bayaran. Seorang anak SMA yang menjadi guide di FDS mengaku mendapat uang sekitar Rp150 ribu per hari. Sepintas komunitas ini memang dapat terlihat seperti memanfaatkan anak-anak menjadi pekerja di ba- wah umur. Namun, Agus menekan- kan bahwa keikutsertaan anak-anak menjadi pemandu dilakukan tanpa paksaan. Ia pun selalu mengingatkan ke- pada anak-anak bahwa inti kegiatan mereka bukan untuk mencari uang. “Ini kan sebenarnya hanya cara bagi mereka untuk kenal pariwisata, mencintai alam dan budayanya. Lalu selain itu mereka bisa belajar percaya diri dan sosialisasi,” tutur Agus. Menambah pergaulan dan wa- wasan pula yang diakui paling menarik bagi Grayce. “Saya jadi bisa ketemu orang asing dan ngobrol sama mereka. Jadi bisa sekalian belajar ngomong bahasa Inggris,” tukasnya. Kini, anggota aktif Patgom menca- pai sekitar 30 anak. Namun, jumlah anggota terdaftar mereka mencapai ratusan anak. Patgom juga melebarkan sayap ke kegiatan lainnya meski tidak terkait langsung dengan pariwisata. Agus dan Andre, pendiri Patgom lainnya, mengajak anak-anak juga terlibat dalam kegiatan lingkungan dan menjalin hubungan dengan organi- sasi lingkungan. Saat LSM internasional Green- peace mampir ke Papua bulan lalu, Patgom aktif mendukung kampanye lingkungan saat itu. Bagi Andre, mencintai pariwisata berarti harus pula mencintai lingkungan. Pasal- nya, tur wisata juga tidak akan laku jika kondisi alam rusak. Terlebih, pariwisata Papua menonjolkan kein- dahan alam, selain budaya. (M-5) [email protected] BINTANG KRISANTI MESKI sudah sering menjadi guide, kebanyakan dari mereka tidak ber- cita-cita menekuni karier di bidang pariwisata. Juli, salah satu anak yang menjadi guide di FDS, mengaku akan berku- liah di bidang jurnalistik. “Saya ingin jadi wartawan,” tukas gadis berkulit putih itu. Bagi Agus dan pendiri Patgom lain- nya, Andre Liem, pilihan anak-anak itu tidak jadi soal. Bagi mereka, yang terpenting anak-anak itu bisa terus menularkan keramahan pada turis dan menghargai pariwisata. Di sisi lain, para pendiri Patgom mengakui bahwa industri pariwisata di Papua sudah tidak lagi menggiur- kan seperti era 80 dan 90-an. “Dulu itu arrival turis ‘ngerisekali, setiap hari bisa ada turis asing. Kita sam- pai kewalahan. Tapi sekarang sudah jauh menurun,” ujar Agus. Penurunan wisatawan asing ke Papua dipercaya karena pengaruh tidak adanya lagi rute penerbangan internasional ke sana. Dahulu, Bandara Frans Kaisiepo, Biak, me- miliki penerbangan dengan rute Los Angeles-Hawaii–Biak. Kini, turis dari Amerika Serikat yang ingin berkunjung ke Papua ha- rus terlebih dulu singgah di Jakarta atau Bali. Biaya untuk wisata ke Papua menjadi jauh lebih tinggi dan akhirnya menurunkan minat turis. Selain bandara di Biak, Provinsi Papua sebenarnya punya tiga ban- dara internasional lain yakni di Sen- tani sendiri, Bandara Moses Kilangin di Kabupaten Mimika, dan Bandara Mopah di Kabuapaten Merauke. Na- mun, semuanya tidak memiliki rute penerbangan internasional. Agus berharap pemerintah bisa menarik minat para maskapai untuk membuka lagi rute internasional. Pasalnya, industri pariwisata di Papua sesungguhnya dapat memberi pemasukan besar bagi daerah dan membuka banyak lapangan kerja. (Big/M-5) Pariwisata Lesu ANTARA/ALEXANDER W LOEN MI/ADAM DWI ANTARA/HERMANUS PRIHATNA Saya jadi bisa ketemu orang asing dan ngobrol sama mereka. Jadi bisa sekalian belajar ngomong bahasa Inggris.” Grayce Windesi Anggota Papua Tour Guides Community Virus Cinta Wisata di Papua PAPUA TOUR GUIDES COMMUNITY Lewat kegiatan Tourism Goes to School, anak-anak sekolah di Papua diajak mencintai alam dan budaya setempat. Mereka juga bisa belajar menjadi pemandu wisata. FOTO BERSAMA: Papua Tour Guides Community berpose untuk Media Indonesia di Papua, beberapa waktu lalu. AKSESORI TARING BABI FESTIVAL DANAU SENTANI FESTIVAL LEMBAH BALIEM MI/BINTANG KRISANTI
1

18_07_2013_024_ea743991e342db0ba7f2c21c226dfc3b

Nov 28, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 18_07_2013_024_ea743991e342db0ba7f2c21c226dfc3b

KAMIS, 18 JULI 2013KOMUNITAS24

DENGAN percaya diri gadis belia berkaus kuning itu menyapa para penum-pang kapal motor (KM)

Onomi. Rabu (19/6), kapal milik Dinas Perhubungan Kabupaten Jaya-pura tersebut mengantarkan para pengunjung Festival Danau Sentani (FDS) 2013 dari pusat kegiatan di Pantai Khalkote menyeberang Da-nau Sentani menuju Kampung Asei Besar, Pulau Asei Besar.

“Selamat siang Bapak dan Ibu, kita menuju Kampung Asei Besar yang terkenal dengan lukisan kulit kayunya,” ujar gadis berkulit hitam manis itu. Selama sekitar 15 menit perjalanan, beragam informasi lain seputar Danau Sentani meluncur dari mulutnya. Tidak hanya disam-paikan dalam bahasa Indonesia, tapi juga bahasa Inggris.

Meski begitu, Grayce Windesi--begitu namanya--mengaku bukanlah pemandu wisata profesional. “Saya anggota Papua Tour Guides Com-munity (Patgom), Kak. Kalau sehari-hari, saya kuliah di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura,” tuturnya ramah.

Di festival tahunan itu Grayce bu-kan satu-satunya anggota Patgom.

Di Pantai Khalkote ada belasan remaja yang juga mengenakan se-ragam kaus dengan gambar burung cen derawasih dan Pulau Papua di bagian dada. Kebanyakan dari me-reka masih duduk di bangku SMA.

Jika ada turis yang ingin mengikuti tur wisata di sekitar Danau Sentani, mereka akan sigap memandu. Be-berapa anak tampak sudah mahir seperti Grayce sehingga bisa tampil seorang diri. Namun, ada pula yang masih butuh didampingi rekannya.

“Kami punya program namanya

Tourism Goes to School. Kami ke sekolah-sekolah mengenalkan pari-wisata karena itu anggota kami ke-banyakan anak sekolah,” jelas Agus Kale’e, salah satu pendiri Patgom.

Agus dan sembilan rekannya me mulai kegiatan Tourism Goes to School pada 2006. Para pemilik agen wisata itu semula ingin menggerak-kan lagi Himpunan Pariwisata Indo-nesia (HPI) yang vakum di Papua. Namun, keinginan mereka tidak bisa terwujud karena berbagai kendala.

Di sisi lain, 10 pelaku pariwisata

itu melihat bahwa budaya pariwisa-ta rendah di Papua. Mereka menilai kecintaan pada pariwisata harus di-tumbuhkan sejak anak-anak. Maka dibuatlah program pengenalan wisata ke sekolah.

Program itu disambut SMP Bo-naventura dan SMAN I Sentani. Agusta Kobeu, Kepala SMA I Sen-tani, pun duduk di kepengurusan Patgom.

“Anak-anak kan senang traveling, jadi program pengenalan pariwisata itu dijalankan sambil kita traveling. Kita ajak anak-anak jalan-jalan biar kenal alam dan budaya Papua sen-diri,” jelas Agus.

Acara jalan-jalan itu diselengga-rakan gratis tanpa dipungut biaya. Sambil berjalan-jalan, anak-anak juga dilatih bicara dalam bahasa Ing-

gris, cara menjadi pemandu wisata, dan pemahaman pariwisata.

Anak-anak yang terlihat punya minat dalam dunia pariwisata ke-mudian akan diajari lebih banyak keahlian. Termasuk, urusan teknis seperti cara mengurus tiket, surat jalan, hingga menjemput turis ke bandara.

Tanpa paksaanUntuk merasakan pengalaman

nyata menjadi guide, anak-anak usia sekolah itu bertandem dengan guide profesional yang juga anggota komunitas. Seusai menjadi guide, se-perti dalam pelaksanaan FDS 2013, anak-anak juga mendapat bayaran. Seorang anak SMA yang menjadi guide di FDS mengaku mendapat uang sekitar Rp150 ribu per hari.

Sepintas komunitas ini memang dapat terlihat seperti memanfaatkan anak-anak menjadi pekerja di ba-wah umur. Namun, Agus menekan-kan bahwa keikutsertaan anak-anak menjadi pemandu dilakukan tanpa paksaan.

Ia pun selalu mengingatkan ke-pada anak-anak bahwa inti kegiatan mereka bukan untuk mencari uang. “Ini kan sebenarnya hanya cara bagi mereka untuk kenal pariwisata, mencintai alam dan budayanya.

Lalu selain itu mereka bisa belajar percaya diri dan sosialisasi,” tutur Agus.

Menambah pergaulan dan wa-wasan pula yang diakui paling menarik bagi Grayce. “Saya jadi bisa ketemu orang asing dan ngobrol sama mereka. Jadi bisa sekalian belajar ngomong bahasa Inggris,” tukasnya.

Kini, anggota aktif Patgom menca-pai sekitar 30 anak. Namun, jumlah anggota terdaftar mereka mencapai ratusan anak.

Patgom juga melebarkan sayap ke kegiatan lainnya meski tidak terkait langsung dengan pariwisata. Agus dan Andre, pendiri Patgom lainnya, mengajak anak-anak juga terlibat dalam kegiatan lingkungan dan menjalin hubungan dengan organi-sasi lingkungan.

Saat LSM internasional Green-peace mampir ke Papua bulan lalu, Patgom aktif mendukung kampanye lingkungan saat itu. Bagi Andre, mencintai pariwisata berarti harus pula mencintai lingkungan. Pasal-nya, tur wisata juga tidak akan laku jika kondisi alam rusak. Terlebih, pariwisata Papua menonjolkan kein-dahan alam, selain budaya. (M-5)

[email protected]

BINTANG KRISANTI

MESKI sudah sering menjadi guide, kebanyakan dari mereka tidak ber-cita-cita menekuni karier di bidang pariwisata.

Juli, salah satu anak yang menjadi guide di FDS, mengaku akan berku-liah di bidang jurnalistik. “Saya ingin jadi wartawan,” tukas gadis berkulit putih itu.

Bagi Agus dan pendiri Patgom lain-nya, Andre Liem, pilihan anak-anak itu tidak jadi soal. Bagi mereka, yang terpenting anak-anak itu bisa terus menularkan keramahan pada turis dan menghargai pariwisata.

Di sisi lain, para pendiri Patgom mengakui bahwa industri pariwisata di Papua sudah tidak lagi menggiur-kan seperti era 80 dan 90-an. “Dulu itu arrival turis ‘ngeri’ sekali, setiap hari bisa ada turis asing. Kita sam-pai kewalahan. Tapi sekarang sudah jauh menurun,” ujar Agus.

Penurunan wisatawan asing ke Papua dipercaya karena pengaruh tidak adanya lagi rute penerbangan

internasional ke sana. Dahulu, Bandara Frans Kaisiepo, Biak, me-miliki penerbangan dengan rute Los Angeles-Hawaii–Biak.

Kini, turis dari Amerika Serikat yang ingin berkunjung ke Papua ha-rus terlebih dulu singgah di Jakarta atau Bali. Biaya untuk wisata ke Papua menjadi jauh lebih tinggi dan akhirnya menurunkan minat turis.

Selain bandara di Biak, Provinsi Papua sebenarnya punya tiga ban-dara internasional lain yakni di Sen-tani sendiri, Bandara Moses Kilangin di Kabupaten Mimika, dan Bandara Mopah di Kabuapaten Merauke. Na-mun, semuanya tidak memiliki rute penerbangan internasional.

Agus berharap pemerintah bisa menarik minat para maskapai untuk membuka lagi rute internasional. Pasalnya, industri pariwisata di Papua sesungguhnya dapat memberi pemasukan besar bagi daerah dan membuka banyak lapangan kerja.(Big/M-5)

Pariwisata Lesu

ANTARA/ALEXANDER W LOEN

MI/ADAM DWI

ANTARA/HERMANUS PRIHATNA

Saya jadi bisa ketemu orang asing dan ngobrol sama mereka. Jadi bisa sekalian belajar ngomong bahasa Inggris.”

Grayce WindesiAnggota Papua Tour Guides Community

Virus Cinta Wisatadi Papua

PAPUA TOUR GUIDES COMMUNITY

Lewat kegiatan Tourism Goes to School, anak-anak sekolah di Papua diajak mencintai alam dan budaya setempat. Mereka

juga bisa belajar menjadi pemandu wisata. FOTO BERSAMA: Papua Tour Guides Community berpose untuk Media Indonesia di Papua, beberapa waktu lalu.

AKSESORI TARING BABI

FESTIVAL DANAU SENTANI

FESTIVAL LEMBAH BALIEM

MI/BINTANG KRISANTI