Top Banner
i
108

1

Jul 20, 2016

Download

Documents

acheh library
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 1

i

Page 2: 1

ii

Page 3: 1

iii

MUHIBUDDIN HANAFIAH

INTERNALISASI

NILAI TEOLOGIS

DALAM

PENDIDIKAN

ISLAM

A r - R a n i r y P r e s s

2 0 0 9

Page 4: 1

iv

Perpustakaan Nasional Indonesia : Katalog Dalam

Terbitan (KDT)

Muhibuddin HanafiahMuhibuddin HanafiahMuhibuddin HanafiahMuhibuddin Hanafiah

Internalisasi Nilai Teologis Dalam Pendidikan

Islam/Muhibuddin Hanafiah,

Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2009

ISBN: XXX-XXXX-XXX-XXX

1. Pendidikan Islam

I. Muhibuddin II. Judul III. Syukrinur

PenulisPenulisPenulisPenulis

Muhibuddin Hanafiah

EditorEditorEditorEditor

Syukrinur

Setting/LayoutSetting/LayoutSetting/LayoutSetting/Layout

Tim Citra Kreasi Utama

Jln. Tgk. Imuem Lueng Bata No. 3 Banda Aceh

Desain CoverDesain CoverDesain CoverDesain Cover

Alwahidi Ilyas

Diterbitkan olehDiterbitkan olehDiterbitkan olehDiterbitkan oleh

Ar-Raniry Press

bekerjasama dengan Penerbit dan Percetakan

POLYDOR Yogyakarta

Cetakan PertamaCetakan PertamaCetakan PertamaCetakan Pertama Juli 2009

Hak cipta ada pada pengarang

Copyright@ 2009

Page 5: 1

v

SEKAPUR SIRIH

Ucapan syukur al-hamdulillâh merupakan kalimat yang paling layak pertama sekali diungkapkan. Atas kemurahan dan ilmu-Nya serta kemampuan dengan segala kapasitas potensial yang telah dianugerahkan kepada penulis, sehingga buku ini dapat diselesaikan.

Di dalam buku yang berjudul Internalisasi Nilai Teolo-gis Dalam Pendidikan Islam ini dikemukakan beberapa hal ten-tang Konsep Pendidikan Nilai dan terapannya dalam inter-nalisasi nilai-nilai teologis dalam Pendidikan Islam. Secara garis besar, buku ini mengkritik komponen PBM (proses belajar mengajar) khususnya metode, pendekatan, strategi dan teknik yang digunakan dalam proses pengajaran pendidikan aqidah par excellence, dan proses internalisasi nilai-nilai teologis me-lalui ekplorasi makna implisit semua disiplin ilmu pengeta-huan dalam platform Pendidikan Islam. Di mana selama ini, lembaga Pendidikan Islam lebih dominan masih menggunakan komponen PBM sebagaimana dimaksud di atas secara tra-disional, sehingga kurang relevan dengan pandangan filosofis tentang manusia dalam ajaran Islam (konsep fitrah), tujuan dan ruang lingkup Pendidikan Islam yang demikian strategis.

Karenanya, orientasi ke “belakang” dari penggunaan komponen PBM tersebut sudah semestinya diperbaharui (re-formed). Buku ini mencoba menawarkan metode deduktif, pendekatan rasional, strategi reflektif dan teknik trans-internal

Page 6: 1

vi

sebagai tawaran alternatif yang berbeda dengan apa yang dip-raktekkan selama ini di lembaga Pendidikan Islam guna lebih mengefektifkan internalisasi nilai-nilai teologis yang teraktu-alisasikan dalam pribadi subjek didik.

Akhir kata, semoga hasil penelitian ini bermamfaat, Âmîn.

Banda Aceh, 23 Maret 2009 Muhibuddin Hanafiah

Page 7: 1

vii

DAFTAR ISI

Sekapur Sirih …......................................................................... v Daftar Isi ………………………………………………………. viii

BAB SATU PENDAHULUAN ..................................................................... 1

BAB DUA KONSEPSI PENDIDIKAN NILAI ........................................ 17

A. Pengertian Nilai ........................................................... 19 B. Jenis dan Hirarkhi Nilai .............................................. 23 C. Proses Pembentukan Nilai ......................................... 27 D. Strategi dan Pendekatan Dalam Pendidikan Nilai .. 30 E. Metode dan Teknik Pendidikan Nilai ....................... 37

BAB TIGA NILAI TEOLOGIS DAN INTERNALISASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM ............................................. 49

A. Pengertian dan Dimensi Nilai Teologis .................... 50 B. Tujuan Internalisasi Nilai Teologis ........................... 56 C. Substansi Nilai Teologis .............................................. 61 D. Model; Metode, Pendekatan, Strategi dan Teknik

Internalisasi Nilai Teologis ......................................... 67

BAB EMPAT KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI STUDI ................... 85

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 91

BIOGRAFI SINGKAT ................................................................ 99

Page 8: 1

viii

Page 9: 1

1

B A B S A T U

PENDAHULUAN

endidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masya-

rakat suatu bangsa. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian dituangkan dalam undang-undang dasar dan perundang-undangan. Di mana dalam Undang-Undang Dasar dan per-undang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di anta-ranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan. Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai pendidikan dapat dilihat pada Tujuan Nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 para-graf ke empat, yaitu;

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu peme-rintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik In-donesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-waratan atau perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".1

____________

1Ketetapan MPR RI Th. 1993 No. II Tentang GBHN Negara RI Ta-hun 1993-1998).

P

Page 10: 1

2

Secara umum tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD'45 adalah untuk mencerdas-kan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya bab II pasal 4 bahwa:

“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia se-utuhnya. Manusia Indonesia seutuhnya adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap, serta mandiri dan memiliki rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.2

Bertitik tolak dari tujuan pendidikan Nasional di atas, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan sebagaimana disebut-kan itu merupakan tujuan akhir (tujuan jangka panjang) yang harus diterjemahkan lebih konkrit melalui sebuah proses. Proses dimaksud adalah usaha yang terpola, terencana dan tersistema-tisasikan melalui proses belajar mengajar. Keinginan luhur bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan kesadaran terhadap dunia di sekitarnya. Dilihat dari tridomain pendidikan (domain kognitif, afektif, psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pem-bukaan UUD'45 khususnya yang tertuang dalam UU No. 2 ta-hun 1989 pada kenyataannya lebih banyak didominasi oleh do-main afektif. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (sikap) ____________

2Undang-Undang R.I., No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pen-didikan Nasional dan Penjelasannya (Semarang: Aneka Ilmu, 1992), h. 4. Bandingkan dengan TAP. MPR. R.I., NO. II Tahun 1988) bahwa tujuan Pen-didikan Nasional adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya serta bersama-sama bertanggung-jawab atas pem-bangunan bangsa.

Page 11: 1

3

berfungsi sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecer-dasan dan ketrampilan harus berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Namun demikian, urgensitas nilai yang demikian mendapat posisi strategis dalam sistem pendidikan pada ken-yataannya tidak berperan secara riil dalam proses belajar menga-jar di lembaga pendidikan. Atau dengan kata lain internalisasi nilai (aspek afektif) belum mampu terwujud secara integral ke semua bidang studi lain yang lebih bertumpu pada domain kog-nitif dan psikomotorik. Kenyataan di lapangan pendidikan, aspek ideal itu belum terlihat sama sekali, sehingga sistem pen-didikan kita terkesan menganut sistem bebas nilai (value free education). Soeroyo menegaskan bahwa tanpa kecuali pendidikan pada umumnya, lebih-lebih pendidikan Islam bukanlah sekedar sebuah proses alih budaya (transfer of culture) atau alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) atau juga alih teknologi (transfer of technology), tetapi juga sebagai proses alih nilai (transfer of values), yakni nilai-nilai moral Islami. Karena tuju-an pendidikan Islam adalah menjadikan manusia yang bertaqwa; manusia yang mencapai al-falâh, yakni kesuksesan hidup yang abadi dunia akhirat.3 Di antara sekian banyak nilai yang tersentralisasikan dalam suatu tatanan nilai, maka nilai teologis adalah bagian in-tegral dari sejumlah tatanan nilai yang ada. Nilai teologis secara eksplisit disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional yaitu dalam kalimat "menciptakan manusia yang beriman dan ber-taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan kalimat ini secara hirarkhi perioritas disebutkan terlebih dahulu, kenyataan ini mengindikasikan bahwa di samping memayungi juga berfungsi merangkul aspek tujuan lain dalam satu jalinan yang integral. Dalam tradisi pendidikan Islam sampai sekarang ini, in-ternalisasi nilai teologis hanya diberikan secara terbatas dalam ____________

3Soeroyo, “Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Men-jangkau Tahun 2000”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indone-sia: Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 43.

Page 12: 1

4

pendidikan aqidah (teologi Islam). Yaitu pengkajian sekitar per-masalahan yang berdimensi ilahiyah (ketuhanan) yang hanya berdimensi transendental-kontemplatif semata, tradisi ini sudah sejak lama berlangsung. Dengan demikian nilai-nilai teologis belum mengintegral ke dalam disiplin-disiplin ilmu lainnya se-cara holistik, walaupun masih mengatasnamakan sistem Pen-didikan Islam. Bahkan pendekatan yang digunakan dalam proses internalisasi nilai-nilai teologis ini hanya sebatas pada pen-dekatan imani. Kecenderungan pendekat-an dalam proses bela-jar mengajar seperti ini jelas mempersempit bahkan mendistorsi pemahaman peserta didik secara objektif terhadap nilai-nilai te-ologis yang sebenarnya. Akibatnya peserta didik cenderung memahami dimensi nilai teologis sebatas pada tataran ritualistik-formalistik dan dogmatis-sakralistik. Pendekatan yang demikian, menjadikan kajian dimensi teologis semakin absurb, abstrak, melangit dan kurang menyentuh persoalan-persoalan riil kemanusiaan. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa wilayah kajian teologi adalah wilayah sakral-absolut sehingga tidak memberikan ruang reinterpretasi secara kreatif dan aktual-kontekstual terhadap penafsiran sebelumnya. Dalam diskursus keagamaan komtemporer, dijelaskan bahwa teologi ternyata memiliki banyak wajah (multi faces) dan bukan lagi single face. Teologi tidak lagi seperti orang dahulu memahaminya, yaitu hanya semata-mata terkait dengan perma-salahan ketuhanan, kepercayaan, keimanan kredo. Selain ciri dan sifat konfensionalnya, teologi yang berporos (inti) pada tau-hid sebagai hasil pemikiran keislaman memang meng-asumsikan bahwa persoalan teologi hanyalah semata-mata per-soalan ketuhanan, teologi ternyata juga terkait erat dengan per-masalahan emperis-sosial yang juga merupakan keniscayaan manusia.4

____________

4M. Amin Abdullah, “Relevansi Studi Agama-Agama Dalam Melin-ium Ketiga”, Jurnal ‘Ulumul Qur’an No. 5, Volume. VII, Tahun 1997, h. 57.

Page 13: 1

5

Berdasarkan asumsi dasar inilah, perumusan kembali ke arah reaktualisasi dan rekontekstualisasi baik dari segi metode maupun pendekatan pengajaran serta substansi materi kajian teologi yang akan diinternalisasikan ke dalam semua bidang studi (integralisasi) di lembaga pendidikan Islam nampaknya sudah menjadi suatu keharusan. Internalisasi nilai-nilai teologis nampaknya harus dibarengi dengan pendekatan rasional sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Khususnya terhadap isyarat-isyarat teologis yang berhubungan dengan pesan-pesan antropologis dan kosmologis (integrasi ilmu). Demikian juga dengan metode pengajarannya, tidak men-cukupi lagi dengan metode indoktrinasi, tetapi juga harus den-gan metode argumentasi-logis. Dengan demikian, untuk menginternalisasikan nilai-nilai teologis secara efektif dalam semua bidang studi diperlukan suatu strategi belajar-mengajar yang terpadu dan tepat antara tujuan, substansi, metode/pendekatan dan evaluasi. Para ahli pendidikan, atau praktisi yang bergelut dalam bidang ilmu pendidikan atau bahkan pengamat dan pemerhati masalah-masalah pendidikan baik di dunia Islam maupun di dunia Barat bahkan di Indonesia sendiri telah banyak menulis tentang masalah internalisasi nilai dalam sistem pendidikan. Tu-lisan-tulisan mereka tersebar baik dalam bentuk jurnal ilmiah, essay di koran-koran dan majalah, makalah-makalah yang disampaikan dalam seminar atau simposium, skripsi, tesis dan disertasi. Tidak sedikit dari tulisan-tulisan yang berserakan itu telah dibukukan. Sepengetahuan penulis, di antara sekian ban-yak tulisan itu belum ada yang menulis tentang internalisasi nilai teologis secara khusus dalam bentuk skripsi, tesis atau dis-ertasi. Namun demikian, kajian aksiologis dalam pendidikan Islam ini pernah diteliti dalam bentuk tesis oleh Lias Hasibuan, mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh tahun 1993 dengan judul: “Konsep Berpikir Reflektif; Tin-jauan Al-Qur'an Tentang Metode Pendidikan Islam Dalam Membentuk Aqidah Non-Verbal". Dalam tesis ini Lias mencoba

Page 14: 1

6

menawarkan sebuah pendekatan alternatif yang dinilainya san-gat efektif terhadap kajian bidang studi aqidah dalam institusi Pendidikan Islam. Ia berangkat dari sebuah hipotesis bahwa dalam kajian bidang studi aqidah selama ini, dimensi nilai keimanan subjek didik hanya berhasil diinternalisasikan dalam bentuk verbal; ucapan, pengakuan bibir semata tanpa menghu-jam ke dalam kedalaman batin dan kesadaran subjek didik untuk bersikap sesuai dengan kesadaran keimanannya yang mendalam. Untuk membumikan keimanan ke dalam lubuk hati subjek didik, maka pendekatan pengajaran bidang studi aqidah perlu mengikutsertakan potensi akal subjek didik dalam kapasitasnya sebagai konfirmasi dari keimanannya. Konsep berpikir yang menekankan optimalisasi rasio ini walaupun terhadap materi abstrak ini diadopsi dari konsep Hull-fish dan Smith5, Reflective Thinking; The Method of Education yang dalam penelitiannya itu dikembangkan ke arah metode pendidikan aqidah serta diperkaya dengan konsep-konsep al-Qur'an dan pandangan para ahli Pendidikan Islam seperti Imam al-Ghazali dan Muhammad Iqbal. Penelitian tentang internalisasi nilai ini juga pernah dila-kukan oleh M. Nasir Budiman, yang berjudul: "Pendidikan Moral Qur’âni; Strategi Belajar-Mengajar dan Evaluasi Pada MAN Se-Daerah Istimewa Aceh". Penelitian ini difokuskan pada jenjang pendidikan madrasah ‘Aliyah, yang berangkat dari adanya disintegrasi nilai-nilai moral secara umum dari hampir semua bidang studi yang ada pada madrasah khususnya tingkat `Aliyah. Oleh karena itu M. Nasir mencoba mengkonstruk kon-sep strategi belajar-mengajar yang menurutnya ideal untuk se-mua bidang studi dalam menerapkan nilai-nilai moral Qur’âni. Strategi itu sendiri dibangun dari pemilihan beberapa kata kunci dalam al-Qur’ân yang mengacu pada isyarat-isyarat al-Qur’ân. Konsep-konsep dasar ini diformulasikan ke dalam strategi

____________

5H. Gordon Hullfish and P.G. Smith, Reflective Thingking; The Method of Education (New York: Dood & Mead, 1964).

Page 15: 1

7

proses belajar mengajar (PBM). Menurutnya, selama ini inter-nalisasi nilai-nilai moral Qur’âni secara umum mengalami ban-yak kendala jika diterapkan pada semua bidang studi tanpa kec-uali. Hal ini dikarenakan adanya kelemah-an pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan liberalisasi nilai dan pendekatan indoktrinasi nilai. Untuk menutupi kelemahan pendekatan ini menurutnya, pendekatan yang ditawarkan dari al-Qur’ân nam-paknya menjadi pilihan alternatif. Ia yakin bahwa al-Qur’ân se-bagai hudân (petunjuk) pasti menyediakan petunjuk-petunjuk-nya.6 Penelitian lain yang juga membahas masalah inter-nalisasi nilai adalah karya Una Kartawisastra dalam bukunya; Strategi Klarifikasi Nilai.7 Dalam pembahasannya, Una menye-butkan bahwa konflik nilai yang terjadi dalam masyarakat menghadapkan subjek didik pada satu dilema antara apa yang diajarkan dalam kelas tidak ada korelasinya dan bahkan mung-kin juga jauh dengan kenyataan yang dihadapi subjek didik dalam kehidupan keseharian di luar kelas. Menurut Una, konflik nilai menjadi lebih riskan lagi dengan mengikuti konsep relativ-isme nilai di bidang moral. Bahkan pada zaman globalisasi dan komunikasi dewasa ini banyak nilai-nilai yang bertentangan satu sama lain terpampang di depan mata subjek didik. Selanjutnya sebuah pembahasan dari Jack R. Fraenkel dalam bukunya; How to Teach About Values; An Analytic Ap-proach8 mengatakan bahwa ada empat strategi internalisasi nilai moral, yaitu; 1) strategi klarifikasi nilai, 2) strategi pemahaman nilai, 3) strategi memberi kesimpulan terhadap nilai dan 4) strategi analisis nilai. Menurutmya, nilai sebelum diinter-

____________

6M. Nasir Budiman, “Pendidikan Moral Qur'ani: Strategi Belajar Mengajar dan Evaluasi pada MAN Se-Daerah Istimewa Aceh”, Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1996).

7Una Kartawisastra, Strategi Klarifikasi Nilai (Jakarta: Proyek Pen-gembangan Pendidikan Guru/P3G), Depdikbud, 1980).

8Jack. R. Fraenkel, How to Teach About Values; An Analytic Ap-proach (New Jersey: Prantice Hall, 1977).

Page 16: 1

8

nalisasikan ke dalam diri subjek didik, terlebih dahulu harus dik-larifikasikan melalui pemberian contoh, pengenalan terhadap kelebihan dan kekurangan nilai, dan kemudian mengorganisasi-kan ke dalam satu tata nilai yang utuh. Sementara Warul Walidin dalam sebuah tulisan berjudul; “Strategi Pembentukan Nilai: Upaya pengembangan Dimensi afektif”9, menulis bahwa dalam dunia pendidikan dewasa ini upaya pengembangan domain afektif (sebagai sasaran langsung pembentukan nilai) baru pada taraf penyerapan (alih) informasi di dalam struktur kognitif tanpa diteruskan ke taraf yang lebih tinggi yaitu internalisasi. Dalam kenyataannya, para pendidik belum menemukan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan pengembangan domain ini. Pendekatan informatif kon-vensional dengan strategi tradisional sering menjadi satu-satunya pilihan pendidik di lapangan. Mereka kurang menguasai ragam strategi yang lebih efektif untuk bidang ini, di samping minimnya penguasaan teknik yang lebih beragam. Dengan berpijak pada penelitian Krathwohl, Warul me-nulis bahwa dalam proses pembentukan nilai secara hirarkhinya ada lima tipe belajar afektif. Yaitu; 1) tipe belajar menyimak, 2) tipe belajar menanggapi, 3) tipe belajar memberi nilai, 4) tipe belajar mengorganisasi nilai, dan 5) tipe belajar karakteristik nilai. Namun menurutnya, kelima tipe belajar ini secara opera-sional dalam proses belajar mengajar harus didukung secara kondusif oleh kelima unsur pendidikan (aktivitas interaktif). Ke-lima unsur dimaksud adalah adanya proses memberi dan mene-rima, adanya tujuan yang baik, cara, jalan atau metode yang baik, dan yang terakhir adalah konteks pendidikan yang positif. Berdasarkan studi kepustakaan di atas, dapat dipahami bahwa penelitian tentang internalisasi nilai, khususnya tentang nilai teologis dalam pendidikan Islam, sepengetahuan penulis, belum ada. Adapun variabel yang membedakan penelitian ini ____________

9Warul Walidin AK, “Strategi Pembentukan Nilai: Upaya Pengem-bangan Dimensi Afektif”, Jurnal Didaktika Nomor 1, Vol. 2, September 2000, hal. 5.

Page 17: 1

9

dengan penelitian sebelumnya adalah; pertama, nilai yang men-jadi objek internalisasi terbatas hanya nilai teologis (nilai etik Ilahiyah). Kedua, instrumen yang digunakan untuk menginter-nalkan nilai teologis tersebut adalah korelasi antara metode de-duktif, pendekatan rasional-penghayatan, strategi reflektif dan teknik trans-internal dalam satu kesatuan proses pengajaran. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan studi yang di-perlukan bagi upaya mengkonstruk sebuah konsep strategi bela-jar mengajar yang integral dan kontekstual dalam upaya meng-internalisasikan nilai-nilai teologis untuk semua bidang studi di lembaga pendidikan Islam. Internalisasi nilai dalam proses pendidikan Islam pada dasarnya merupakan upaya transfer nilai (transfer of values). Nilai yang dimaksud di sini tentunya nilai-nilai islami (berasas-kan Islam), dimana Pendidikan Islam tidak mengenal adanya medan yang bebas nilai (free of value)--Pendidikan Islam men-ganut sistem sarat nilai. Karena itu, semua kajian ilmu yang di-internalisasikan dalam proses pendidikan Islam mengandung nilai-nilai. Hal ini selaras dengan tujuan Pendidikan Islam yang ingin menjadikan manusia paripurna dalam aspek spiritual (ukh-rawi) dan temporal (duniawi). Internalisasi pada prinsipnya adalah sebuah proses penanaman, penyadaran dan pembumian nilai-nilai. Untuk itu diperlukan suatu konsep strategi belajar-mengajar yang tepat dengan pendekatan yang relevan (aktual dan kontekstual) terhadap substansi materi kajian. Adapun yang dimaksud dengan nilai teologis (ketu-hanan) dalam kajian kontemporer secara umum ada dua yaitu nilai-nilai transendental (Ilâhiyyah) dan nilai-nilai kemanusiaan (insâniyyah) yaitu termasuk nilai moral antar sesama manusia sendiri (antropologis) dan dalam hubungannya dengan alam (kosmologis). Dengan demikian, nampak bahwa nilai teologis mengandung dimensi yang sangat luas, tidak terbatas pada aspek nilai transendental saja seperti keimanan atau kepercayaan kepada Tuhan sebagaimana selama ini dipahami. Dengan demikian, kesemua nilai tersebut (antropologis, kosmologis dan teologis) sebenarnya harus diinternalisasikan secara integral

Page 18: 1

10

dalam semua bidang kajian dalam institusi Pendidikan Islam. Realitas yang terjadi selama ini adalah bahwa ketiga grand con-cept nilai tersebut baru diinternalisasikan secara parsial dalam bidang-bidang studi yang masing-masingnya terpisah. Untuk itu dalam penelitian ini penulis mencoba rumus-kan sebuah konsep strategi belajar yang mampu menginter-nalisasikan dimensi nilai teologis itu ke dalam sub dimensi nilai-nya yang lebih luas yaitu ke dalam dimensi nilai antropologis (hablun min al-nâs) dan dimensi nilai kosmologis. (hablun min al-‘alâm) berupa etika terhadap lingkungan. Dengan demikian dalam aktivitas belajar mengajar diharapkan semua bidang studi pada tataran sempit dan kurikulum pada tataran lebih luas secara integral mengandung kesemua nilai teologis di atas dalam sub-stansi pengajarannya. Berdasarkan batasan masalah di atas, maka kajian ini secara umum berpijak pada Paradigma Pendidikan Nilai yang bagaimanakah yang lebih efektif dan aplikatif sehingga semua bidang studi dapat diinternalisasikan nilai teologis dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian subjek didik mampu mere-fleksikan nilai teologis yang telah menginternal tersebut ke da-lam sikap dan perilaku keseharian. Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka peneli-tian ini mempunyai tujuan antara lain untuk mencari jenis pen-dekatan yang lebih efektif dan representatif yang dapat diaplika-sikan pada aktivitas belajar mengajar dalam semua bidang studi di lembaga pendidikan Islam. Kenyataan bahwa belum diterapkannya pendekatan yang relevan yang dinilai kontekstual dengan tuntutan atas perkem-bangan ilmu pengetahuan dan menuntut subjek didik mampu berpikir integratif dan holistik khususnya dalam hal internalisasi nilai-nilai teologis ini dalam Pendidikan Islam mendorong penu-lis untuk menelusuri sejumlah karya tulis yang berbicara tentang konsep strategi belajar mengajar terutama masalah internalisasi nilai pada umumnya ataupun nilai teologis pada khususnya. Dengan ini diharapkan juga dapat menemukan landasan filosofis yang lebih mendasar dalam pengembangan metode dan

Page 19: 1

11

pendekatan dalam aktivitas belajar mengajar secara umum dalam lembaga Pendidikan Islam dewasa ini. Tujuan tersebut diharapkan tercapai karena terdapat indikasi-indikasi awal yang menunjukkan bahwa pendekatan indoktrinasi tidak begitu kon-struktif bagi kajian dimensi nilai teologis kontemporer yang substansi kajiannya tidak terbatas pada aspek etiktransendental saja melainkan meliputi etik-moral kemanusiaan dan alam ling-kungan hidup. Kajian ini memiliki kegunaan. Adapun kegunaan peneli-tian ini antara lain sebagai berikut: pertama, mengidentifikasi-kan strategi belajar mengajar khususnya terhadap efektifikasi internalisasi dimensi nilai teologis dalam aktivitas belajar men-gajar subjek didik. Kedua, memberikan alternatif metode dan pendekatan sehingga mampu membumikan nilai teologis ke da-lam kesadaran dan pemahaman peserta didik. Dengan demikian diharapkan mereka dapat menyikapi nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari secara lebih kreatif, inovatif, respon-sif, adaptif, dan relevan dengan realita yang dihadapinya dalam pengkajian ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Ketiga, me-numbuhkan kesadaran bagi para pendidik Muslim untuk secara terus menerus memikirkan penyesuaian pendekatan dalam inter-nalisasi dimensi nilai teologis secara spesifik dalam sistem pen-didikan Islam. Penelitian ini berkenaan dengan pencarian konsep strategi belajar mengajar yang ideal dalam rangka internalisasi nilai teologis ke dalam diri subjek didik melalui aktivitas belajar mengajar semua bidang studi. Karena yang dikaji di sini adalah strategi belajar mengajar, maka sumber utama yang menjadi acuan penelitian ini adalah karya-karya tulis (studi pustaka) berupa data-data yang membahas secara khusus tentang strategi internalisasi nilai. Demikian juga data-data lain yang mendu-kung dan berhubungan dengannya. Sumber-sumber itu yang

Page 20: 1

12

umumnya merupakan sumber yang bersifat kepustakaan akan dikaji dengan pendekatan rasionalistik.10 Di antara buku-buku yang masih sangat terbatas ini yang penulis jadikan dijadikan sandaran utama penelitian ini adalah artikel yang ditulis oleh Howard Kirschenbaun dan Sidney B. Simon dengan judul “Values and The Future Movement in Edu-cation” dalam buku Learning for Tomorrow; The Role of The Future in Education.11 Dalam karyanya ini Kirschenbaun mengsubordinasikan pendidikan moral ke dalam pentransferan nilai dan kemudian merumuskan empat strategi umum untuk menginternalisasikan nilai. Keempat strategi dimaksud adalah 1) strategi penanaman moral (moral inculcation), 2) strategi trans-misi melalui sikap bebas (laisser faire), 3) strategi keteladanan (modeling), dan 4) strategi klarifikasi nilai (yang dirintis oleh Louis E. Ratsis dari Amerika Serikat). Buku primer lainnya adalah karya Jack R. Fraenkel How to Teach About Values; An Analytic Approach,12 Fraenkal mengajukan empat strategi internalisasi nilai moral yaitu 1) klarifikasi nilai, 2) pemahaman nilai (moral reasoning), 3) membuat kesimpulan (making inference) dan 4) analisis nilai. Selain itu karya hasil penelitian Udin Sarifuddin,W. yang berjudul Konsep dan Strategi Values Pendidikan Moral

____________

10Pendekatan ini dapat digunakan pada studi tek atau studi pustaka lainnya yang lebih memerlukan olahan filosofis dan teoritik. Studi pustaka ditujukan untuk membangun konsep teoritis yang terkait dengan nilai, untuk tahap lebih lanjut juga tetap diperlukan pengujian evidensi empirik. Pendekatan rasionalistik adalah pendekatan yang bertitik tolak dari filsafat rasionalisme. Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, edisi. III, cet. Ke-7 (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 159.

11Alvin Toffler (ed), Learning for Tomorrow; The Role of The Fu-ture in Education (New York: Vintage Books, 1974).

12Jack R. Fraenkel, How to Teach About Values; An Analytic Ap-proach (New Jersey: Prentice Hall, 1977).

Page 21: 1

13

Pancasila di Sekolah Menengah.13 Dalam penelitian ini din-yatakan bahwa semua strategi dan tehnik pembentukan nilai-nilai (moral) yang banyak dikemukakan oleh para ahli pendidi-kan dibangun atas dua asumsi dasar. Pertama, setiap masyarakat mempunyai suatu paket nilai atau moral yang secara terus menerus telah dipraktekkan dan dilestarikan melalui penga-laman. Kedua, tidak adanya sistem nilai yang baik bagi setiap orang, karena itu manusia harus menguji dan meneliti sendiri pengikat nilai yang dianggap cocok. Tulisan lain yang juga berbicara tentang masalah inter-nalisasi nilai adalah karya Una Kartawisastra, dengan bukunya Strategi Klarifikasi Nilai. 14 Dalam buku tersebut disebutkan bahwa konflik nilai yang terjadi dalam masyarakat telah menghadapkan subjek didik pada satu dilema antara apa yang diajarkan dalam kelas (das sollen) tidak ada hubungannya den-gan dan mungkin juga jauh dengan kenyataan yang dihadapi oleh subjek didik dalam kehidupan sehari-hari di luar kelas (das sein). Menurut Una, konflik tentang nilai dapat menjadi lebih gawat lagi dengan mengikuti konsep relativisme nilai di bidang moral. Bahkan pada zaman globalisasi dan komunikasi ini ban-yak nilai-nilai yang bertentangan satu sama lain dipampang di depan mata subjek didik. Zakiah Daradjat, dalam bukunya Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia.15 Berpendapat, bahwa pembumian jiwa agama (nilai religius) yang telah dimulai dalam keluarga harus diteruskan di sekolah. Pembinaan nilai-nilai tersebut dilaksana-kan harus melibatkan semua guru bidang studi lain. Zakiah menyarankan agar nilai-nilai religius itu perlu diwujudkan

____________

13Udin Sarifuddin, W. Konsep dan Strategi Values Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Menengah (Jakarta: Proyek Pembangunan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Depdikbud, 1989).

14Una Kartawisastra, Strategi Klarifikasi Nilai (Jakarta: Proyek Pengembangan Profesi Guru/P3G), 1980.

15Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia (Ja-karta: Bulan Bintang, 1971).

Page 22: 1

14

dalam kurikulum, metode, atau strategi belajar mengajar serta guru itu sendiri. Buku Pemikiran Pendidikan Islam, karya bersama Mu-haimin dan Mujib Abdullah secara lebih filosofis menguraikan sebuah sub bab khusus yang membicarakan tentang sistem nilai dan relasinya terhadap prinsip-prinsip Pendidikan Islam. Ulasan filosofis ini meliputi bahasan tentang hakikat makna nilai, sum-ber nilai dalam kehidupan manusia, bentuk-bentuk dan tingkatan nilai, proses dan prinsip sosialisasi nilai dan implementasi sis-tem nilai dalam proses pendidikan Islam.16 Sumber-sumber data lainnya juga banyak diperoleh dari buku-buku seperti karya M. Arifin yang sangat konsern terhadap problematika Pendidi-kan Islam. Hal ini dibuktikan dengan produktivitas hasil tulisan. Buku-bukunya antara lain; Kapita Selekta Pendidikan; Umum dan Islam, Filsafat Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Is-lam.17 Dan masih banyak referensi-referensi terkait lainnya yang dengan keterbatasan penulis belum tercakup semuanya di dalam penelitian ini. Konsep umum yang terdapat dalam sejumlah referensi di atas dikonstruk dari hasil penelitian pada buku teks (sumber primer) yang membahas lebih terperinci tentang langkah-langkah dan strategi internalisasi nilai pada umumnya. Setelah diketahui strategi umum internalisasi nilai tersebut, maka ke-mudian dicoba cari relevansinnya dengan cara mengkombinasi-kan dengan fokus kajian yang lebih khusus berdasarkan kon-teksnya. Pada tahap ini data diidentifikasikan dan dianalisis dengan menggunakan pola pikir deduktif-kontekstual. Atas dasar dari langkah-langkah ini kemudian ditarik suatu sintesa

____________

16Muhaimin dan Mujib Abdullah, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis Dalam Kerangka Operasinal (Bandung: Trigenda Karya, 193).

17M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan; Umum dan Islam, Filsafat Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis Praktis Berdasarkan Pendekatan Inter-disipliner (Jakarta: Bumi Aksara: 1993).

Page 23: 1

15

baru atau solusi alternatif terhadap permasalahan inti yang di-kaji. Selanjutnya, tesis ini digarap dengan menggunakan pe-nelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan pisau analisis “didaktik metodologis” dan “teologik filosofis” yang didasarkan pada frame work “diskriptif analitik” terhadap semua referensi terkait. Kajian ini mencoba membahas landasan konsepsional pendidikan nilai secara umum. Dalam artian, pertama; konsep umum tentang nilai-nilai dalam pendidikan (educational values), kedua; konsepsi pendidikan nilai dalam bingkai Pendidikan Umum, bukan dalam pandangan Pendidikan Islam secara khu-sus. Adapun ruang lingkup pembahasan konsepsi pendidikan nilai meliputi; definisi tentang nilai, jenis-jenis dan hirarkhi ni-lai, proses pendidikan nilai, strategi dan pendekatan dalam pen-didikan nilai, serta metode dan teknik pendidikan nilai. Lebih lanjut, tulisan ini mencoba membahas konstruksi metodologis-pedagogis internalisasi nilai-nilai teologis ke dalam semua materi (subject matters) pelajaran yang ditawarkan kepa-da subjek didik beserta kemungkinan-kemungkinan aplikasinya dalam bingkai Pendidikan Islam. Bagian metodologis-aplikatif ini meliputi pembahasan tentang hakikat nilai teologis, tujuan internalisasi, substansi nilai teologis, model: strategi, pendeka-tan, metode dan teknik internalisasi, serta standar evaluasi ke-berhasilan.

Page 24: 1

16

Page 25: 1

17

B A B D U A

KONSEPSI PENDIDIKAN NILAI

onsepsi Pendidikan Nilai adalah rumusan, konstruk dasar pemikiran tentang wacana nilai dalam pendidikan, khusus-

nya penanaman dan pengembangan nilai dalam diri peserta didik. Pemikiran ini dibangun atas dasar postulat bahwa pen-didikan tidak hanya mengembangkan ilmu, ketrampilan, teknologi, tetapi juga mengembangkan aspek-aspek potensial kemanusiaan lainnya: kepribadian, etik moral dan lain-lain, yang kesemuanya itu dapat dikategorikan ke dalam pendidikan nilai.

Pendidikan afektif, khususnya pendidikan nilai adalah bagian integral dari pendidikan. Dengan bahasa sederhana ser-ing diungkapkan; “apa gunanya pandai tetapi tidak berakhlak”. Pendidikan nilai adalah proses membantu peserta didik menja-jaki nilai yang mereka yakini secara kritis agar meningkatkan mutu pemikiran dan perasaan mereka tentang nilai dimaksud. Pen-didikan nilai setidaknya mencakup empat dimensi utama, yaitu; 1) identifikasi nilai, 2) inkuiri filosofis atau tinjauan men-dalam secara rasional tentang nilai, 3) respons afektif dan emotif terhadap nilai, 4) dan mengambil keputusan terhadap nilai ber-dasarkan inkuiri dan respon.

Ditinjau dari sudut pandangan sosiologis dan antro-pologis, fungsi utama pendidikan adalah untuk menumbuhkan kreativitas peserta didik, dan menanamkan nilai yang baik.18 Karena itu tujuan akhir pendidikan adalah untuk mengembang-kan potensi kreatif peserta didik agar menjadi manusia yang baik, menurut pandangan manusia dan Tuhan.

Persoalan manusia baik adalah persoalan nilai, tidak hanya persoalan fakta dan kebenaran ilmiah rasional, akan tetapi ____________

18Kalimat “nilai yang baik”, secara implisit menunjukkan bahwa nilai tidak hanya berkonotasi positif melainkan juga negatif.

K

Page 26: 1

18

masalah penghayatan dan pemahaman yang lebih bersifat afektif dari pada kognitif.19 Walaupun demikian, penghayatan dan pe-mahaman tidak akan efektif tanpa didukung oleh fakta dan ke-benaran ilmiah rasional.

Untuk mencapai tujuan menjadikan manusia baik, dibu-tuhkan materi pendidikan yang baik, tujuan yang baik, strategi, pendekatan, metode dan tehnik belajar-mengajar yang baik juga. Persoalan menjadikan manusia yang baik tidak hanya menjadi kewajiban pendidikan keagamaan atau pendidikan moral saja, melainkan tanggungjawab bersama semua jenis pendidikan, baik pendidikan rasional (eksakta), teknologi, ekonomi, sosial, politik maupun pendidikan jasmani sekalipun.20 Dengan kata lain, pendidikan nilai bukan pendidikan yang diberikan secara terpisah dan terasing dari materi ajaran lainnya, hanya saja por-sinya yang berbeda. Pendidikan nilai harus termuat di dalam as-pek pendidikan lainnya walaupun secara implisit.21

Kewajiban mengimplikasikan nilai dalam semua jenis pendidikan sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari tujuan pendidikan untuk menjadikan manusia baik. Sehingga pendidi-kan apapun harus mampu melahirkan cendikiawan yang profes-sional dalam bidangnya masing-masing sekaligus peduli terha-dap tata nilai yang hidup dan dianut dalam realitas masyarakat.

Namun demikian, perlu ditekankan bahwa pendidikan nilai tidak harus mengorbankan kreatifitas rasional bagi peserta

____________

19Tentunya pemisahan kedua domain pendidikan ini khususnya dalam pendidikan nilai tidak harus bersifat dikotomis. Karena antara ranah afektif dengan dua ranah lainnya (kognitif dan psikomotor) dalam suatu aspek pen-didikan tidak dapat dinafikan salah satu diantara ketiganya secara mutlak.

20M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, cet. Ke-1 (Yo-gyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60.

21“Pendidikan nilai tidak harus merupakan satu program atau pela-jaran khusus, seperti pelajaran menggambar atau bahasa Inggris, tetapi le-bih merupakan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan”. M. Sastraprat-edja, “Pendidikan Nilai” dalam EM. K. Kaswardi (ed), Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000 ( Jakarta: Grasindo, 1993), h. 3.

Page 27: 1

19

didik; yang terjadi harus sebaliknya, pendidikan nilai dapat memper-gunakan pendekatan rasional ilmiah.

Di samping itu, berbicara masalah pendidikan nilai; ter-masuk nilai teologis tidaklah sederhana, sebab selain pendekatan rasional dan afektif, juga didasarkan atas tata nilai yang bersifat normatif. Di samping itu juga, pengertian “baik” itu sendiri cu-kup bervariasi sesuai dengan konteks kalimat dan sifat objek yang dijelaskan. Tujuan yang baik, tidak sama maksudnya den-gan materi yang baik, dan manusia yang baik. Dalam konteks pendidikan nilai manusia yang baik adalah manusia yang memiliki kepribadian utama; tujuan yang baik adalah tujuan yang dapat dijangkau, dan memiliki dimensi yang luas. Adapun materi yang baik adalah materi yang sesuai dengan pemikiran peserta didik.

A. Pengertian Nilai

Sebelum membahas lebih jauh teantang bagaimana pen-didikan nilai, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang penger-tian nilai. K. Berten dalam bukunya Etika mengakui bahwa ti-dak mudah untuk menjelaskan apa itu nilai. Namun menurutnya, setidaknya dapat dikatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang di-inginkan, singkatnya sesuatu yang baik. K. Bertens lebih jauh mengutip pendapat salah seorang filosof Jerman, Hans Jones, ia mengatakan; value is the addressed of a yes (sesuatu yang kita tujukan dengan ‘ya’ kita). Dalam menanggapi pandangan Hans Jones ini tentang pengertian nilai, K. Bertens beranggapan bahwa memang nilai merupakan sesuatu yang diiyakan atau diaminkan. Karena itu menurutnya, nilai selalu berkonotasi positif, sebaliknya sesuatu yang dijauhi, atau segala sesuatu yang manusia melarikan diri darinya seperti penderitaan adalah kebalikan dari nilai. Walaupun demikian, namun ada juga se-jumlah aksiolog dari kalangan filosof yang berpendapat bahwa nilai juga dapat berkonotasi negatif atau mereka sering juga

Page 28: 1

20

menggunakan istilah nilai negatif dalam ungkapannya tentang nilai.22 Sementara itu J.P Caplin menyatakan; nilai adalah suatu ukuran kualitatif, satu sasaran atau tujuan sosial yang dianggap penting dan berharga untuk dicapai. Sedangkan yang dimaksud dengan sistim nilai menurutnya adalah perangkat nilai yang diterima oleh seseorang secara individual atau sekelompok orang (komunal).23 Menurut Saliman dan Sudarsono, nilai dili-hat dari segi fungsionalnya adalah sifat-sifat penting bagi ke-manusiaan.24

Menurut Robin M. Williams. Jr, dalam tulisannya, The Concept of Values menyebutkan bahwa term “nilai” secara umum biasanya berhubungan dengan; perhatian, minat, ke-senang-an, kesukaan, pilihan, tugas dan kewajiban moral, hasrat, kebutuhan, keengganan, dan daya tarik serta berbagai orientasi pilihan yang berhubungan dengan perasaan lainnya.25

Menurut Robin, term nilai yang beragam ini secara sis-tematis dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori nilai pokok, yaitu jenis “nilai conatif” (hasrat, kesukaan), jenis achiefment value (sukses dan frustasi), dan jenis affective value (kesenan-gan dan kesengsaraan). Fenomena nilai dalam cakupan batasan term semacam ini mengandung sejumlah ciri umum, yaitu se-mua nilai mengandung sejumlah elemen kognitif; dimana nilai mempunyai suatu kemampuan memilih dan menentukan arah. Di dalamnya juga mencakup sejumlah kompenen afektif, di mana nilai berperan sebagai suatu criteria penyeleksian dalam tindakan. Oleh karena itu, ketika nilai dilihat secara lebih ek-splisit dan konseptual, maka nilai menjadi kriteria penentuan, ____________

22K. Bertens, E t i k a, Cet. Ke-1 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 139.

23J. P Caplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono, cet. Ke-2, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 256.

24Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum, cet. Ke-1 (Jakarta: Rinneka Cipta, 1994), h. 156.

25Robin M. Williams. Jr, “The Concept of Values”, dalam David. L Sill (ed) International Encyclopedia of The Social Sciences, Vol. XV (New York: Macmillan & The Free Press, t.t.), h. 238.

Page 29: 1

21

pilihan, dan pertimbangan suatu tindakan. Sebaliknya, secara implisit cakupan nilai menjadi sedemikian sempurna sebagai penentu dasar-dasar keputusan tingkah laku.

Bertitik tolak dari batasan term nilai di atas, kiranya da-pat dipahami bahwa pada kenyataannya term tersebut mencakup banyak aspek dan ruang lingkup tinjauan sesuai dengan dimensi dan pendekatan pengamatan yang digunakan. Walaupun demikian, pembatasan tentang term nilai sebagaimana telah disebutkan di atas kelihatannya tidak beranjak jauh dari dimensi psikologis dan humanis kemanusiaan baik diamati dari aspek kebutuhan manusiawi yaitu aspek etis dan aspek estetis, maupun diamati dari aspek fungsional nilai itu sendiri yaitu sebagai pe-nentu tingkah laku (behavior) manusia.

Dengan kata lain, nilai merupakan acuan, kriteria, stan-dar dan tolak ukur sikap dan tingkah laku individu. Dalam tata-ran praktis dan aplikatif, nilai dapat terwujud menjadi semacam ideologi, doktrin, dan etik yang tertanam secara naluriah dalam kesadaran individu. Sehingga menjadi cukup beralasan jika nilai dianggap sebagai salah satu komponen personalitas. Hanya saja dalam hirarkhinya, ada nilai universal yang sifatnya final dan absolut, dan ada nilai partikuler yang sifatnya temporal, medial dan sementara.

Sebagai penjelasan pembanding, berikut ini dikemu-kakan beberapa pandangan dari sejumlah pakar lainnya. Menu-rut Milton Rokeach dan James Bank, nilai adalah: “Suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sis-tim kepercayaan dimana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan”.26

Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa nilai merupakan sifat yang melekat pada suatu sistim keper-

____________

26Una Kartawisastra, Strategi Klasifikasi Nilai (Jakarta: Proyek Pen-gembangan Pendidikan Guru (P3G) Depdikbud, 1980), h. 1.

Page 30: 1

22

cayaan yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (yaitu manusia yang meyakini).

Sedangkan pengertian nilai menurut J.R. Fraenkel adalah sebagai berikut: “a value is an idea a concept about what some one thinks is important in life”.27 Maksudnya: nilai adalah suatu ide atau sebuah konsep tentang sesuatu hal yang penting dalam hidup.

Pengertian ini menunjukkan bahwa hubung-an antara subjek dengan objek memiliki arti penting dalam kehidupan ob-jek.

Sidi Gazalba mendefinisikan nilai sebagai berikur: “Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstraks, ia ideal, nilai bu-kan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi”.28

Pengertian tersebut menunjukkan adanya hubungan antar subjek penilaian dan objek. Tuhan tidak bernilai bila tidak ada subjek yang memberi nilai, Tuhan menjadi berarti setelah ada makhluk yang membutuh, ketika Tuhan sendirian, maka Ia hanya berarti bagi diri-Nya sendiri.

Namun demikian, nilai tidak semata-mata terletak pada subjek pemberi nilai, tetapi dalam sesuatu hal yang bernilai mengandung sesuatu yang bersifat esensial yang menjadikan sesuatu itu bernilai. Tuhan semata-mata mengandung sifat ke-sempurnaan yang tiada taranya dari segala makhluk di jagad raya ini. Jadi apabila unsur yang bersifat esensial ini tidak ada, maka manusia juga tidak akan memberikan harga terhadap se-suatu tersebut.

Menurut Louis D. Kattsoff nilai diartikan sebagai beri-kut:

____________

27Jack. R. Fraenkel, How to Teach About Values; An Analytic Ap-proach (New Jersey: Prantice Hall., 1977), h. 6.

28Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat; Buku IV. Teori Nilai (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 6.

Page 31: 1

23

1. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat dide-finisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami se-cara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Den-gan demikian nilai tidak semata-mata subjektif, melainkan ada tolak ukur yang pasti yang terletak pada esensi objek itu.

2. Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yaitu suatu ob-jek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran, ia dapat benilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan.

3. Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, dimana nilai itu diciptakan oleh situa-si kehidupan.

4. Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah ada sejak semula, terdapat dalam setiap ken-yataan namum tidak ber-eksistensi, nilai itu bersifat objektif dan tetap.29

Dari pengertian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa nilai adalah esensi yang melekat pada suatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Esensi belum berarti sebelum dibu-tuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kemaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya tangkap dan pemaknaan manusia sendiri.

B. Jenis dan Hirarkhi Nilai

Dengan memahami pengertian nilai sebagaimana dipa-parkan di atas, belum dapat memberikan gambaran yang konkrit bagaimana mengembangkan model-model strategi pendidikan nilai. Karena masing-masing nilai masih terdapat keberagaman pada sifat, sumber dan hirarkhi tata nilainya.

____________

29Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Agus Sumargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986), h. 333.

Page 32: 1

24

1. Jenis-jenis Nilai Nilai dilihat dari berbagai sudut pandang dan beragam

aspek tinjauan dapat terpolarisasi ke dalam beberapa jenis, antara lain: a. Nilai dilihat dari sudut kebutuhan manusia, dalam aspek ini

menurut Abraham Maslow 30 dapat dikategorikan menjadi; nilai biologis, nilai keamanan, nilai cinta kasih, dan nilai jati diri. Kelima nilai ini berkembang sesuai dengan tuntutan ke-butuhan manusia dilihat dari skala perioritasnya, yaitu mulai dari yang cukup sederhana (biologis) sampai dengan kebu-tuhan yang tertinggi (jati diri). Sementara itu jika tata nilai agama dikaitkan dengan nilai-nilai kebutuhan manusia tersebut, menurut M. Chabib Thoha31 tidak mungkin dapat direlevan-sikan. Karena menurutnya, wujud jati diri seorang Muslim tidak tergantung pada kondisi ekonomi maupun sosial budaya atau pada prestise sosial lainnya yang dimiliki. Wujud prestise seorang Muslim itu hanyalah terletak pada intensitas keberagamaannya.

b. Dilihat dari kemampuan jiwa manusia dalam menangkap dan mengembangkan nilai sebagaimana dinyatakan Noeng Muhadjir32, maka nilai dapat diklasifikasikan menjadi dua klasifikasi, yaitu; 1). Nilai statis, seperti kognisi, emosi, dan psikomotorik, 2). Nilai dinamis, seperti motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, dan motivasi berkuasa. Jika dikomposisikan kedua klasifikasi nilai ini, maka klasifikasi yang digunakan Noeng Muhadjir lebih memudahkan penyusunan strategi dalam pendidikan nilai, karena sebagiannya dilakukan dengan menggunakan pendekatan

____________

30Abraham Maslow, “A Theory of Human Motivation”, dalam Psy-cology of the World today, An Interdiciplinary Approach, Rovert V. Githrie (ed.) (California: Addison-Wesley Publishing, 1971), h. 101.

31M. Chabib Toha, Kapita Selekta…., h. 63. 32Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial; Suatu

Teori Pendidikan (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987), h. 133.

Page 33: 1

25

proses psikologis, sedangkan Maslow menggunakan pendekatan basic need.

c. Dilihat dari pendekatan proses budaya, sebagai-mana dikatakan Abdullah Sigit, maka nilai dapat dikelompokkan ke dalam tujuh jenis, yaitu; 1). nilai Ilmu Pengetahuan, 2). nilai Ekonomi, 3). Nilai Politik, 4). nilai Keindahan, 5). nilai keagamaan, 6). nilai Kekeluargaan, dan 7). nilai Kejasmanian.33 Pengkategorian sejumlah nilai di atas dari segi cakupan hidup manusia sudah cukup memadai. Karena mencakup nilai yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu nilai Ilâhiy-yah (teologis) dan nilai insâniyyah (sosiologis) dan nilai ke-masyarakat-an (ijtimai‘yyah) tercakup di dalamnya.

d. Dilihat dari segi sifat nilai, maka nilai dapat dibagi kepada; Nilai Subjektif, Nilai Objektif Rasional dan Nilai Objektif Metafisik.34 Nilai subjektif adalah nilai yang merupakan re-alisasi subjek terhadap objek. Nilai objektif rasional (logis) adalah nilai-nilai yang merupakan esensi dari objek secara logis yang dapat diketahui melalui akal sehat; seperti nilai kemerdekaan, kesehatan, keselamatan serta perdamaian. Se-dangkan nilai objektif metafisik adalah nilai-nilai yang bi-asanya mampu menyusun kenyata-an objek, seperti nilai-nilai agama.

e. Dilihat dari segi sumbernya, maka nilai terbagi menjadi Ni-lai Ilahiyah (‘ubûdiyyah), dan Nilai Insaniyah (mu‘âmalah). Adapun yang dimaksud dengan nilai Ilahiyah adalah nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan (wahyu Allah). Sedangkan nilai Insaniyah adalah nilai-nilai yang diciptakan manusia atas dasar kriteria manusia sendiri baik secara individual maupun kelompok.

____________

33Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan….., h. 134. 34Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 331.

Page 34: 1

26

f. Dilihat dari segi hakikatnya, menurut Noeng Muhadjir, nilai dapat dibagi menjadi; Nilai Hakiki (root values), dan Nilai Instrumental (instrumental values). Nilai-nilai hakiki itu ber-sifat universal dan abadi, sedangkan nilai-nilai instrumental bersifat lokal dan temporal.

g. Dilihat dari segi ruang lingkup dan keberlakuan-nya, nilai dapat juga dibagi menjadi; Nilai Universal dan Nilai Lokal. Walaupun demikian, tidak semua nilai-nilai keagamaan itu bersifat universal, ada yang sifatnya universal dan ada yang sifatnya temporal.

Perbedaan nilai-nilai ini setidaknya mem-bawa pengaruh pada perbedaan dalam menentukan tujuan pendidikan nilai, per-bedaan strategi yang akan dikembangkan dalam pen-didikan nilai. Di samping perbedaan nilai yang ditinjau dari sudut objek, ruang lingkup, sumber dan kualitas/masa keberlakuannya di atas, maka nilai dapat dibedakan dari segi hirarkhi atau struk-turnya. Tentunya hal ini lebih ditentukan dari sumber, sifat dan hakikat nilai itu. 2. Hirarkhi Nilai

Untuk melihat struktur dan tata nilai ada dua paradigma yang dapat disajikan, paradigma pertama yaitu sebagaimana di-kembangkan oleh Noeng Muhadjir, dan paradigama yang kedua adalah sebagaimana ditawarkan oleh Sidi Gazalba. a. Hirarkhi Nilai menurut Noeng Muhadjir, nilai dapat

dikelompokkan ke dalam dua jenis nilai, yaitu (1) apa yang diistilahkan dengan Nilai-nilai Ubudiyah dan Nilai-nilai Mu‘âmalah, (2) Nilai-nilai Etik Insaniyah, yang terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai individual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai politik, dan nilai estetik.35

b. Hirarkhi Nilai menurur Sidi Gazalba, hirarkhi ini didasarkan pada pendekatan kualisi nilai, sesuai dengan pendekatan islami. Dimana nilai terbagi ke dalam lima tingkatan; nilai-

____________

35Noeng Muhajdir, Ilmu Pendidikan…, h. 137.

Page 35: 1

27

nilai yang wajib (paling baik), nilai-nilai yang sunnah (baik), nilai-nilai yang mubah (netral/alternatif), nilai-nilai yang makruh (tercela), dan nilai-nilai yang haram (jelek).36

Tata nilai sebagaimana dihirarkhikan di atas kemudian dapat diposisikan dan dicari hubungan antara nilai-nilai Ilahiyah sebagai sumber nilai dan merupakan esensi nilai dalam kai-tannya dengan nilai-nilai etik Insaniyah lainnya. Pada prinsip-nya, masing-masing nilai, walaupun secara hirarkhis dapat dikembalikan kepada nilai-nilai Ilahiyah dan nilai etik Insani-yah, akan tetapi pada hakikatnya tidak sama besarnya melakat pada masing-masing individu. Dan pada perkembangan selan-jutnya, ada juga nilai yang menyentuh nilai-nilai tertinggi, tetapi ada juga yang hanya berada di posisi marginal dari nilai tertinggi dan tidak pernah menyentuh sekali.37

C. Proses Pembentukan Nilai

Dalam proses pembentukan nilai ini ada dua teori yang dapat dikemukakan, yaitu pertama teori L. Khohlberg yang mendekati proses pembentukan nilai dari tahap-tahap perkem-bangan usia anak. Sedangkan yang kedua adalah teori Krath-wohl, teori ini mengemukakan tentang proses pembentukan nilai dari segi proses psikologis untuk melakukan proses penyesuaian diri melalui lima tahap perkembangan. Dua teori dimaksud da-pat dipaparkan sebagai berikut: 38

1. Proses Pembentukan Nilai menurut L. Khohlberg Teori ini dikemukakan oleh Lawrence Khohlberg meru-

pakan validasi dari teori yang dikembangkan oleh Dewey dan Jean Peaget. Dimana keduanya menggunakan teori kognitif da-lam melihat perkembangan nilai-nilai moral, menurut mereka perkembangan moral terdiri dari enam tahap, yaitu; ____________

36 Sidi Gazalba, Sistematika…., h. 499. 37M. Chabib Thoha, Kapita Selekta….., h. 69. 38Lawrence Khohlberg, “The Cognitive Developmental Approach to

Moral Education”, dalam H.F. Clarizo (ed) Contemporary Issues in Educa-tional Psychology (Boston: Boston Allyn and Bacon, 1979), h. 53-55.

Page 36: 1

28

a. Pre-Conventional Level, yang terdiri dari : 1. Punishment-Obedience Orientation, tahap pertama ini

terdapat pada anak-anak kecil dimana perbuatannya masih sangat tergantung kepada hukuman dan pujian yang diberikan oleh orang tuanya.

2. The Instrumental-Relativist Orientation, pada tahap kedua ini hukuman fisik, tetapi telah menggunakan pendekatan non-fisik, tahap ini terdapat pada anak remaja.

b. Conventional Level, terdiri dari: 1. The Interpersonal Concordance, dimana pada tahap

remaja awal mulailah terjadi pembentukan nilai. Pada tahap ini individu mencoba bertingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan dari masyarakat.

2. The Law and Orders Orientation, tahap keempat di-miliki oleh orang dewasa muda. Pada tahap ini seseo-rang berbuat sesuai dengan pertimbangan kepentingan orang banyak agar masyarakat tidak terganggu keten-tramannya.

c. Principled Level, tahap ini terjadi pada orang dewasa yang terdiri dari dua tahapan, yaitu : 1. The Social Contract, Legalistic Orientation, pada ta-

hap ini seseorang bertindak dengan pertimbangan bahwa ia mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada masyarakat dan masyarakatpun sebaliknya. Orientasi pada tahap ini sudah lebih luas dari tahap-tahap sebelumnya, akan tetapi masih terikat dengan kondisi masyarakat tertentu di mana ia hidup.

2. The Universal-Ethical Principle Orientation, tahap ini adalah tahap tertinggi, pada tahap ini individu telah menemukan nilai-nilai yang dianggapnya berlaku uni-versal dan nilai-nilai itu dijadikannya prinsip yang mempengaruhi sikap hidupnya.

Dalam proses pembentukan dan pertumbuhan nilai menu-rut Khohlberg ini bila dikaitkan dengan strategi dan pendekatan dalam pendidikan nilai pada tahap pemula (pre-Conventional

Page 37: 1

29

level) dapat digunakan strategi tradisional, pada tahap kedua (conventional level) menggunakan strategi reflektif, pada tahap tertinggi (principled level) dapat menggunakan strategi bebas. 2. Proses Pembentukan Nilai menurut Krathwohl

Menurut David R. Krathwohl dan kawan-kawan, proses pembentukan nilai pada tahap awal dapat diklasifikasikan dalam lima tahap, yaitu; a. Tahap Receiving (menyimak), pada tahap ini anak secara ak-

tif dan sensitif menerima stimulus dan menghadapi fenome-na-fenomena, sedia menerima secara aktif, dan selektif dalam memilih fenomena. Pada tahap ini nilai belum terbentuk me-lainkan baru menerima nilai yang ada dari luar dirinya, dan mencari nilai-nilai itu untuk dipilih mana yang paling mena-rik bagi dirinya.

b. Tahap responding (menanggapi), pada tahap ini anak sudak mulai bersedia menerima dan menanggapi secara aktif stimuli dalam membentuk respon yang nyata. Dalam tahap ini terda-pat tiga tingkatan, yaitu; tahap compliance (manut), willing-ness to responce (sedia dalam menanggapi), dan satisfaction in responce (puas dalam menanggapi). Pada tahap ini anak sudah mulai aktif menanggapi nilai-nilai yang berkembang di luar dirinya dan berusaha meresponnya.

c. Tahap valuing (memberi nilai), jika pada tahap pertama dan kedua lebih banyak bersifat aktivitas fisik biologis dalam me-nerima dan menanggapi dan menanggapi nilai, maka pada ta-hap ketiga ini anak sudah mampu menangkap stimulus atau dasar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pada tahap ini juga anak sudah mampu menyusun persepsi tentang objek yang dalam hal ini terjadi secara tiga tahap, yaitu; percaya terhadap nilai yang ia terima, merasa terikat dengan nilai yang ia percaya (yang dipilihnya), dan memiliki keterikatan batin (commitment) untuk memperjuangkan nilai-nilai yang ia terima dan diyakininya itu.

d. Tahap organization (mengorganisasikan nilai), tahap ini lebih kompleks dari tahap-tahap sebelumnya. Pada tahap ini anak

Page 38: 1

30

sudah dapat mengatur sistem nilai yang ia terima dari luar un-tuk diorganisasikan (ditata) dalam dirinya sehingga sistem nilai itu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam dirinya. Pada tahap ini terbagi menjadi dua tahapan organisasi nilai, yaitu; pertama mengkonsepsikan nilai dalam dirinya, dan kedua mengorganisasikan sistem nilai dalam dirinya. Yaitu cara hidup dan tata perilakunya sudah didasarkan atas nilai-nilai yang diyakini.

e. Tahap characterization (karakteristik), pada tahap ini anak telah mampu mengorganisir sistem nilai yang diyakininya dalam hidupnya secara mapan; kontinyu dan konsisten se-hingga tidak dapat dipisahkan lagi dengan pribadinya. Tahap ini dapat diperinci ke dalam dua tahapan, yaitu; pertama tahap menerapkan sistem nilai dan kedua tahap karakterisasi yakni tahap mempribadikan (internalisasi) sistem nilai terse-but.39

Tahap-tahap proses pembentukan nilai menurut Krath-wohl ini lebih banyak ditentukan dari arah mana dan bagaimana individu itu menerima nilai-nilai dari luar kemudian menginter-nalisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam diri individu.

D. Strategi dan Pendekatan Pendidikan Nilai

Sebelum membahas strategi dan pendekatan dalam pendidikan nilai ada baiknya dijelaskan beberapa pengertian yang akan digunakan dalam sub judul ini. Dalam konteks pendidikan, yang dimaksud dengan “pendekatan” belajar-mengajar adalah cara pemrosesan subjek atas objek untuk mencapai tujuan. “Metode” belajar-mengajar adalah cara kerja pendidik atau subjek memproses objek sehingga mencapai tujuan. “Tehnik” belajar-mengajar adalah prosedur belajar-mengajar atau urutan kegiatan belajar-mengajar sesuai dengan metoda dan pendekatan yang digunakan. Sedangkan “strategi”

____________

39David R. Krathwohl (ed), Taxonomi of Educational Objectives, Hanbook II, Affective Domain (London: Longman Group, 1964).

Page 39: 1

31

belajar-mengajar mencakup pengertian mengimplisitkan pende-katan, metoda dan tehnik.

Karena itu dalam menentukan strategi dan pendekatan dalam pendidikan nilai terlebih dahulu harus diketahui nilai apa yang akan dididik, dan tujuannya. 1. Model-model Strategi Pendidikan Nilai

Dalam kajian pendidikan, paling tidak ada empat model strategi yang biasa digunakan dalam pendidikan nilai. Keempat model strategi dimaksud adalah model strategi tradisional, strategi bebas, strategi reflektif, dan strategi transinternal.40

a. Strategi tradisional Adalah biasanya dengan jalan memberikan nasehat atau

indoktrinasi. Strategi ini ditempuh dengan jalan memberitahu-kan secara langsung nilai-nilai mana yang baik dan nilai yang kurang baik.41 Kelemahan strategi ini adalah anak sekedar tahu atau hafal jenis-jenis nilai tertentu yang baik, tetapi belum tentu melaksanakan. Dalam hal ini pendidik lebih sering berperan se-bagai juru bicara nilai dan tidak jarang ia sendiri belum melak-sanakannya. Tekanan dari strategi ini lebih bersifat kognitif, se-dangkan segi afektifnya kurang dikembangkan.

Penggunaan strategi ini anak hanya mengerti nilai den-gan paksaan, paksaan akan efektif jika disertai dengan hukuman yang bersifat fisik atau materil. Hal ini kurang menguntungkan untuk pendidikan nilai yang seharusnya mengembangkan kesa-daran internal pada diri anak. Dan bila dikaitkan dengan per-tumbuhan nilai dari L. Khohlberg baru pada taraf nilai yang pal-ing rendah dan hanya berlaku untuk tingkat anak-anak, karena itu jika strategi ini dikembangkan di sekolah dan perguruan tinggi menjadi tidak tepat.

____________

40Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan ….., h. 135. 41Una Kartawisastra, et. al., Strategi Klasifikasi Nilai (Jakarta:

P3G Depdikbud, 1980), h. 4.

Page 40: 1

32

b. Strategi bebas Strategi ini merupakan kebalikan dari strategi tra-

disional, dimana pendidik tidak memberitahukan kepada peserta didik nilai-nilai yang baik dan buruk. Pembentukan nilai secara bebas adalah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada peserta didik untuk memilih dan menentukan nilai yang akan dipilihnya. Penggunaan strategi ini biasanya didasarkan pada alasan bahwa nilai yang baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang yang lain. Kelemahan dari penggunaan strategi ini adalah peserta didik belum mampu memilih nilai-nilai umum yang baik dan kurang baik, peserta didik masih memerlukan bimbingan dari pendidik untuk memilih nilai yang terbaik bagi dirinya. Karena itu strategi ini hanya dapat dikembangkan bagi pendidikan nilai yang diperuntukkan untuk orang dewasa, dan terhadap objek nilai kemanusiaan. Sedangkan terhadap nilai-nilai Ilahiyah, teru-tama Ilahiyah Ubudiyah sulit untuk menggunakan strategi bebas ini.

c. Strategi Reflektif Strategi ini merupakan cara yang biasa digunakan untuk

mendidik peserta didik dalam mengenali dan memilih nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dengan jalan mondar-mandir antara menggunakan pendekatan teoritik ke pendekatan empirik, serta mondar-mandir antara meng-gunakan pendekatan deduktif den-gan pendekatan induktif. Jika dalam strategi tradisional pendidik memiliki peran yang menentukan karena ia memegang otoritas kebenaran, sementara peserta didik hanya pasif menerima ke-benaran itu tanpa harus mempersoalkan hakikatnya. Sementara itu dalam pendekatan bebas peserta didik memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk memilih dan menentukan mana nilai-nilai yang benar dan yang salah, maka dalam strategi reflektif ini pe-ran pendidik dan peserta didik sama-sama terlibat secara aktif.

Pendekatan reflektif ini memungkinkan penggunaan pendekatan rasional sekaligus dengan pendekatan emosional, pendekatan teoritik dan pendekatan empirik. Dalam mengguna-kan pendekatan ini pendidik dituntut adanya konsistensi dalam menerapkan kriteria untuk mengadakan analisis terhadap kasus-

Page 41: 1

33

kasus empirik yang dikembalikan kepada konsep-konsep teoriti-knya. Demikian juga perlu konsistensi dalam meng-gunakan aksioma-aksioma yang digunakan sebagai dasar deduksi untuk menjabarkan konsep teoritik ke dalam terapan pada kasus-kasus yang lebih sempit dan operasional. Pendekatan ini lebih sesuai dengan tujuan tuntutan perkembangan berpikir peserta didik dan relevan dengan tujuan pendidikan nilai untuk menumbuhkan kesadaran rasional dan keluasan wawasan terhadap nilai.

d. Strategi Transinternal Strategi ini merupakan cara untuk mengajarkan nilai

dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan dengan transaksi dan transinternalisasi. Dalam strategi ini pendidik dan peserta didik sama-sama terlibat dalam proses komunikasi yang aktif dan tidak hanya melibatkan komunikasi verbal dan komu-nikasi fisik, melainkan adanya komunikasi batin (kepribadian) antara pendidik dan peserta didik. Pendidik berperan sebagai penyaji informasi, pemberi contoh dan teladan. Dengan kata lain pendidik berperan sebagai sumber nilai yang melekat dalam pri-badinya, sedangkan peserta didik menerima informasi dan mere-spon terhadap stimulus pendidik secara fisik biologis, serta memindahkan dan mempolakan pribadinya untuk menerima ni-lai-nilai kebenaran sesuai dengan kepribadian pendidik. Strategi inilah yang sesuai untuk pendidikan nilai ke-Tuhanan dan ke-manusiaan.

2. Model-model Pendekatan Pendidikan Nilai

Jika pada sub-point 1 telah disajikan beberapa alternatif tentang strategi pendidikan nilai, maka ada beberapa model pendekatan yang relevan dengan strategi-strategi dimaksud, yaitu; “pendekatan doktrinar, otoritatif, kharismatik, aksi, ra-sional, penghayatan, dan afektif”.42

____________

42Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan …., h. 136.

Page 42: 1

34

a. Pendekatan Doktriner Adalah cara menanamkan nilai kepada peserta didik

dengan jalan memberikan doktrin atau tekanan bahwa nilai yang benar itu tidak perlu dipersoalkan dan dipikirkan, tetapi cukup diterima sebagaimana adanya secara utuh. Pendekatan ini sesuai dengan strategi tradisional, salah satu kelemahan pendekatan ini kreativitas peserta didik tidak akan muncul dan peserta didik tidak memiliki wawasan yang memadai tentang nilai. Sehingga ketika nilai keimanan dan nilai Ubudiyah dikembangkan dengan pendekatan ini akan melahirkan sikap dan pandangan keaga-maan yang sempit dan membuta dan lebih bersifat fanatisme emosional daripada kesadaran rasional.

b. Pendekatan Otoritatif Adalah pendekatan yang menggunakan cara kekuasaan,

artinya nilai-nilai kebenaran, kebaikan yang datang dari orang lain yang memiliki otoritas (keahlian, kekuasaan, orang tua) adalah pasti benar dan baik, karena itu perlu diikuti. Pendekatan ini hanya sesuai untuk strategi tradisional dan kurang tepat un-tuk strategi reflketif dan transinternal. Karena kelemahan dasar dari pendekatan ini adalah bahwa orang yang memiliki kelebi-han ototritas formal itu belum tentu mempunyai nilai-nilai lebih. Dan yang lebih riskan lagi, peserta didik menjadi tidak kritis manakala melihat orang-orang yang memiliki otoritas ini sampai melakukan nilai-nilai yang kurang baik tidak hanya didiamkan, melainkan yang kurang baik itu bisa jadi dianggap yang baik dan yang benar.

c. Pendekatan Aksi Aksi digunakan untuk pendekatan pendidikan nilai den-

gan jalan peserta didik dilibatkan dalam tindakan nyata atau berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan demikian diharapkan muncul kesadaran dalam dirinya akan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Pendekatan ini akan tepat untuk mengembangkan nilai-nilai kejasmanian dan nilai-nilai kemasyarakatan, khususnya pembentukan nilai-nilai sportifitas

Page 43: 1

35

dan kejujuran yang akan lebih baik jika timbul sendiri dari pe-serta didik sebagai hasil interaksinya dengan masyarakat.

d. Pendekatan Kharismatik

Kharismatik sebagai pendekatan pendidikan nilai cukup relevan untuk strategi pendidikan yang memberi contoh teladan, artinya peserta didik dengan melihat dan mengamati kepribadian seseorang yang memiliki konsistensi dan keteladanan yang da-pat diandalkan, akan tumbuh kesadaran untuk menerima nilai-nilai tersebut sebagai nilai yang baik dan benar. Suatu kesulitan dari penggunaan pendekatan ini adalah sulitnya diketemukan pendidikan yang benar-benar dapat mempengaruhi orang secara sadar untuk mengikutinya. Kesulitan ini kadang-kadang dapat terjadi sebaliknya malah merusak nilai kharismatik yang se-sungguhnya, yakni seorang pendidik yang bersikap otoriter un-tuk mendukung kharisma yang ada pada dirinya.

Nilai yang dihasilkan dari pendekatan kharismatik ini juga sama dengan pendekatan doktriner dan otoritatif, yakni ni-lai-nilai yang diyakini oleh peserta didik sebagai kebaikan dan kebenaran bukan muncul dari kesadaran rasional dengan wawa-san yang luas dan mendalam, melainkan nilai-nilai hasil tiruan dari orang lain yang diyakini kebenarannya tanpa dipersoalkan hakikatnya. Karena itu untuk pendidikan nilai-nilai keimanan dan nilai-nilai kemanusiaan bagi usia remaja, mahasiswa dan orang dewasa pendekatan ini kurang cocok.

d. Pendekatan Penghayatan Penghayatan sebagai pendekatan dalam pendidikan nilai

dikembangkan dengan jalan melibatkan peserta didik dalam ke-giatan empiric keseharian tetapi lebih menekankan keterlibatan aspek afektifnya daripada aspek rasionalnya, dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran akan kebenaran. Nilai yang diha-silkan dari pendekatan ini jauh lebih mendalam daripada pende-katan-pendekatan sebelumnya, hal ini disebabkan karena peserta didik secara empirik terlibat secara langsung berbagai akibat dari dikembang-kannya nilai-nilai yang baik dan buruk dalam kehidupan sehari-hari.

Page 44: 1

36

Dalam pendekatan penghayatan ini berarti peserta didik dapat melihat perilaku konkrit dalam masyarakat, mengamati akibatnya, prosesnya dan terlibat sendiri dalam aktivitasnya, se-hingga kesan-kesan yang ditimbulkannya jauh lebih terpengaruh dan resisten. Pendekatan ini sesuai untuk pendidikan keimanan (ke-Tuhanan), sebab peserta didik tidak hanya sekedar terlibat dalam aktivitas fisik kegiatan keagamaan seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya, melainkan ada proses mental untuk men-gambil makna dari aktivitas fisik itu. Pemaknaan aktivitas fisik inilah yang disebut dengan aktivitas penghayatan.

e. Pendekatan Rasional Untuk menanamkan kesadaran tentang nilai baik dan be-

nar adakalanya harus dimulai dari kesadaran rasional, sebab proses pertumbuhan efek sebenarnya tidak terlepas sama sekali dengan pertumbuhan rasional. Informasi tentang nilai baik dan benar yang masuk melaui kesadaran rasional akan diolah secara psikologis yang melahirkan sikap efektif terhadap objek nilai tersebut. Jika kesimpulan rasionalnya menanggapi suatu objek secara salah dan tidak benar, maka akan melahirkan sikap efek-tif yang cendrung menjauh dan tidak menyukai nilai-nilai terse-but. Sebaliknya, jika kesadaran rasionalnya menerima objek ni-lai itu sebagai kebenaran, maka sikap efektifnya akan memberi-kan dorongan untuk menyenangi, menyetujui, menghargai ter-hadap nilai-nilai.

Pendekatan rasional ini jika dikembangkan untuk pen-didikan nilai-nilai ke-Tuhanan akan menghasilkan integrasi antara ilmu dan iman, antara kesadaran rasional yang didukung dan dikembangkan ke dalam kesadaran afektif, atau akal dan budi menyatu menjadi satu. Kesadaran nilai yang didukung oleh sikap rasional ini membedakan kedewasaan iman, dengan iman yang verbalis. Iman yang didukung oleh ilmu adalah iman yang dewasa, sedangkan iman yang didukung oleh emosi dan taqlid alah iman yang rawan.

Page 45: 1

37

f. Pendekatan Afektif Pendidikan nilai dengan pendekatan afektif ini adalah

dengan jalan proses emosional yang diarahkan untuk menum-buhkan motivasi untuk berbuat. Pendekatan afektif ini hampir sama dengan pertumbuhan nilai-nilai menurut pendekatannya Krathwohl dkk, yang sasaran paling akhirnya adalah inter-nalisasi nilai-nilai yang datang dari luar melalui proses penye-suaian diri.

Nilai-nilai yang mempribadi dari pendekatan afektif ini belum tentu nilai-nilai yang terseleksi secara kritis dan filosofis, tetapi lebih banyak nilai-nilai yang diterapkan dan berkembang dalam masyarakat.

Untuk pendidikan nilai-nilai keagamaan pendekatan afektif ini kurang memberikan akar yang kuat dalam pertumbu-han pribadi peserta didik secara utuh, karena tidak jarang nilai-nilai yang irrasional jika didekati dengan pendekatan afektif da-pat diyakini sebagai suatu kebenaran. Dan yang paling riskan dalam sistem nilai Islam adalah dua kebenaran yang saling ber-tentangan, yaitu kebenaran hati (perasaan) dan kebenaran akal (rasional). Dalam Islam kebenaran hanyalah satu, yaitu kebena-ran rasional yang mencapai tingkat hakikat, dan tidak akan ber-tentangan dengan kebenaran agama. Demikian juga sebaliknya, kebenaran agama juga tidak bertentangan dengan kebenaran ak-al.

Oleh karena itu, penggunaan pendekatan ini jika hanya satu-satunya yang digunakan untuk pendidikan nilai keagamaan tidak relevan dengan ciri nilai keagamaan itu, tetapi pendekatan ini dapat digunakan jika diserta dengan penggunaan pendekatan lainnya, yaitu pendekatan rasional.

E. Metode dan Teknik Pendidikan Nilai

Metode dan teknik yang sesuai dengan strategi dan pendekatan dalam pendidikan nilai dapat dirumuskan sebagai berikut :

Page 46: 1

38

1. Model: Metode Pendidikan Nilai

Ada beberapa metode untuk pendidikan nilai yang sesuai dengan strategi dan pendekatan pendidikan nilai tersebut di atas, metode-metode ini tentunya belum dapat dipastikan relevan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan nilai ke-Tuhanan dan kemanusiaan secara keseluruhan, melainkan harus disesuaikan dengan strategi dan pendekatan yang digunakan. Metode-metode dimaksud menurut Noeng Muhadjir43 antara lain adalah; “metode dogmatik, deduktif, induktif, dan metode reflektif”.

a. Metode Dogmatik

Metode dogmatik merupakan metode untuk meng-ajarkan nilai-nilai kepada peserta didik dengan cara menyajikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang harus diterima apa adanya dan tidak boleh mempersoalkan hakikat kebenaran itu. Metode ini sesuai dengan strategi tradisional dan pendekatan doktrinal otoritatif. Karena itu metode ini tidak mampu mengembangkan kesadaran rasional peserta didik dalam menghayati dan memahami nilai-nilai kebenaran.

Jika peserta didik menghayati dan menerima kebenaran ini, maka penerapan mereka secara dangkal dan terpaksa. Karena itu metode ini tidak relevan lagi dengan taraf berpikir peserta didik, dan tidak sesuai juga dengan hakikat nilai dalam Islam, apalagi untuk mencapai tujuan pendidikan nilai dalam Islam yang bertujuan menumbuhkan kesadaran pribadi tentang nilai-nilai kebenaran itu.

b. Metode Deduktif

Metode Deduktif adalah cara menyajikan kebenaran nilai-nilai ke-Tuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan dengan cara menguraikan konsepsi tentang kebenaran itu untuk dipahami oleh peserta didik. Metode ini berangkat dari kebenaran sebagai

____________

43Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan …, h. 139.

Page 47: 1

39

teori dan konsepsi yang memiliki nilai-nilai baik, selanjutnya ditarik beberapa contoh kasus terapan dalam kehidupan keseharian dalam masyarakat atau ditarik ke dalam nilai-nilai lain yang lebih sempit ruang lingkupnya.

Metode ini cukup sesuai dengan strategi reflektif dan

dengan pendekatan rasional. Kelebihan metode ini bagi peserta didik yang masih pada taraf mempelajari nilai pada tahap awal akan lebih baik, karena mereka terlebih dahulu diperkenalkan beberapa teori tentang nilai secara umum, baru kemudian ditarik rincian yang lebih sempit dan mendetail serta dihubungkan dengan kasus-kasus yang terjadi dalam di sekitarnya. Metode ini cukup refresentatif bagi pendidikan nilai ke-Tuhanan dan nilai kemanusiaan.

c. Metode Induktif

Metode ini merupakan kebalikan dari metode deduktif. Dalam mengajarkan nilai kepada peserta didik berawal dari pengenalan kasus-kasus yang riil dalam masyarakat, kemudian mereka diajak untuk menganalisis dan memberi semacam kesimpulan tentang nilai-nilai yang diamati dalam realitas tersebut untuk kemudian diseleksi di antara yang terbaik dikembangkan.

Metode ini merupakan pelaksanaan dari strategi reflektif dan pendekatan rasional dalam melakukan pendidikan nilai. Metode ini dapat digunakan untuk pendidikan nilai bagi peserta didik yang sudah mampu diajak untuk berpikir abstrak. Sehingga mereka mampu melakukan kajian dan analisis dari kasus konkrit, kemudian dibuat kesimpulan yang bersifat abstrak.

Kelemahan metode ini adalah apabila dalam berbagai kasus yang serupa tetapi dalam kenyataan terdapat nilai yang bersifat kontradiktif, sehingga menyulitkan peserta didik untuk mengambil kesimpulan: atau pendidik menawarkan beberapa kasus yang berbeda-beda namun memiliki nilai yang hampir sama. Karena itu dalam mempergunakan metode ini untuk

Page 48: 1

40

pendidikan nilai, harus menjaga konsistensi penggunaan kriteri pada kasus yang serupa.

d. Metode Reflektif

Metode ini merupakan integrasi dari penggunaan metode deduktif dan induktif. Yaitu mengajarkan nilai dengan jalan membalik antara memberikan konsep secara umum kemudian menerapkannya dalam praktek kehidupan sehari-hari, atau melihat kasus kemudian mempelajari sistemnya. Metode ini baik untuk peserta didik yang telah mempunyai kemampuan berpikir abstrak, sekaligus me-miliki bakal teori tentang nilai yang memadai.

Pemaksaan metode ini dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan pada metode deduktif, yang tidak jarang mengabaikan unsur empiris. Sekaligus mengatasi kelemahan penggunaan metode induktif yang terlalu berorientasi pada hal-hal yang empirik, yang kadang-kadang mengabaikan unsur teoritis. Dengan demikian, sebenarnya metode reflektif merupakan metode yang paling tepat dipergunakan untuk menjalankan pendidikan nilai keagamaan, terutama bagi kalangan peserta didik tingkat atas (mahasiswa) yang telah mampu berpikir abstrak dan analitik.

Konsekuensi dari penggunaan metode ini tetap ada, dimana pendidik harus benar-benar menguasai teori-teori secara umum tentang nilai-nilai kebenaran, sekaligus dituntut memiliki daya penalaran yang tinggi untuk mengembangkan setiap kasus dalam jajaran konsepsi sistem nilai.

Keempat metode yang telah diuraikan di atas, maka metode dokmatik kurang tepat diterapkan pada pendidikan keagamaan. Sementara itu metode lain dapat dipergunakan dengan variasi penggunaan metode Bantu yang dapat menjadi alternatif.

2. Model Teknik Pendidikan Nilai

Teknik-teknik yang dapat digunakan untuk pen-didikan nilai ada enam macam, yaitu; “teknik indoktrinasi, klarifikasi,

Page 49: 1

41

moral reasoning, meramalkan konsekuensi, menganalisis nilai, dan teknik internalisasi nilai”. Adapun uraian satu demi satu ten-tang bagaimana yang dimaksud teknik-teknik tersebut dan cara menggunakannya untuk pendidikan nilai dapat dipaparkan seba-gai berikut.

a. Teknik Indoktrinasi

Sebagaimana diketahui bahwa teknik doktrinasi diper-gunakan untuk strategi tradisional, pendekatan nya doktriner dan otoritatif, sedangkan metode yang dipergunakan adalah metode dokmatik. Adapun prosedur penggunaan teknik ini adalah seba-gai berikut: 1. Tahap brainwashing, yaitu pendidik mulai mendidik-kan

nilai dengan jalan merusak tata nilai yang sudah mapan da-lam diri peserta didik, dikacaukan sehinngga tidak memiliki tata nilai lagi. Beberapa cara dapat digunakan untuk men-gacaukan pikiran peserta didik, yaitu menggunakan metode Tanya jawab, wawancara mendalam, mengembangkan cara berpikir yang tidak mapan, membuat tipuan-tipuan yang mengacaukan cara berpikir peserta didik, ataupun membuat teknik stimulasi. Pada saat pikiran peserta sudah kacau, su-dah kosong, serta kesadaran rasionalnya tidak lagi mampu mengontrol diri, pendiriannya sudah hilang, maka tahap ke-dua sudah dapat dimulai, yaitu menanamkan fanatisme.

2. Menanamkan fanatisme, pendidikan kewajiban menanam-kan ide-ide baru yang dianggap benar pada saat situasi ber-pikir peserta didik kacau melalui pertimbangan rasional yang mapan. Dalam menanamkan fanatisme banyak diper-gunakan pendekatan afektif daripada mempergunakan pen-dekatan rasional. Apabila peserta didik telah dapat menerima nilai-nilai itu secara emosional, baru kemudian ditanamkan doktrin yang sesungguhnya.

3. Menanamkan doktrin, penanaman doktrin dapat memper-gunakan pendekatan afektif, doktriner atau otoritatif. Pada saat menanamkan doktrin, peserta didik hanya mengenal satu nilai kebenaran yang disajikan, tidak ada alternatif lain.

Page 50: 1

42

Semua peserta didik harus menerima kebenaran itu tanpa harus mempertanyakan hakikat kebenaran itu.

Teknik ini apabila dipergunakan untuk pendidikan nilai keagamaan sebenarnya tidak sesuai, karena tujuan pendidikan nilai keagamaan adalah untuk menanamkan kesadaran beragama, tanpa harus ada tekanan dan paksaan. Teknik ini sebenarnya hanya sesuai untuk menanamkan nilai-nilai yang tidak dimiliki akar kuat dan landasan kokoh sebagai nilai yang benar dan baik. Jika tata nilai telah memiliki landasan filosofis yang kuat, tetapi disajikan secara emosional dan membabi buta, maka akan menurunkan ketinggian nilai tersebut. Teknik ini hanya sesuai untuk pendidikan ideologi kebangsaan, nasionalis-me dan sejenisnya.

b. Teknik Klarifikasi

Teknik ini merupakan suatu cara untuk membantu peserta didik dalam menentukan nilai-nilai yang dipilih. Dalam teknik ini terdapat empat tahap untuk melaksanakan, yaitu: 1. Tahap pemberian contoh, pada tahap ini pendidik memperk-

enalkan kepada peserta didik nilai-nilai yang baik, dan memberikan contoh penerapan nilai tersebut sekaligus. Da-pat digunakan beberapa cara antara lain, observasi, melibat-kan peserta didik dalam tindakan nyata, pemberian contoh secara langsung oleh pendidik. Contoh-contoh tersebut di-maksudkan untuk member-kan gambaran kepada peserta didik tentang kemungkinan variasi penerapan sistem nilai.

2. Tahap mengenali kelebihan dan kekurangan nilai, nilai yang telah dikenali oleh peserta didik melalui contoh penerapan tersebut kemudian didiskusikan antar peserta didik untuk melihat di mana nilai-nilai yang tepat dan yang kurang tepat, yang baik dan benar, yang buruk dan salah. Dalam tahap ini dapat dipergunakan cara diskusi, Tanya jawab, untuk me-lihat kelebihan dan kekurangan nilai. Dalam tahap berikut-nya pendidik membimbing peserta didik dalam memilih nilai yang seharusnya diambil.

Page 51: 1

43

3. Tahap mengorganisasikan tata nilai, pada diri peserta didik. Setelah pilihan nilai dilakukan, pendidik harus membimbing bagaimana cara mengorganisasikan tata nilai tersebut dalam pribadi peserta didik.

Teknik klarifikasi dipergunakan untuk mengajarkan nilai dengan tujuan; a. menjajaki tingkat kuantitas dan kualitas peserta didik

mengenai nilai b. membina kesadaran peserta didik terhadap suatu nilai c. mengarahkan dan menyempurnakan peserta didik mengenai

nilai-nilai baru. d. Melatih peserta didik dalam cara menilai atau memgkaji

suatu nilai, ataupun mengambil keputusan tentang nilai.44

c. Teknik Moral Reasoning Tehnik ini sebenarnya sama dengan pemakaian metode

pemecahan masalah, dalam proses belajar-mengajar. Peserta di-dik dalam pemakaian metode ini dihadapkan pada suatu keadaan nilai moral; yang bersifat dilematis untuk dinilai dan dievaluasi oleh peserta didik, kemudian ia diajukan memilih nilai-nilai yang baik dan benar kemudian dipilih untuk diikuti.

Langkah-langkah dari teknik ini adalah sebagai berikut: 1. Penyajian dilema moral, pada tahap ini peserta didik diha-

dapkan dengan problematik nilai yang bersifat kontradiktif. Dari yang bersifat sederhana sampai yang bersifat kompleks. Adapun cara penyajiannya dapat berupa observasi; melalui media cetak dan eloktronik.

2. Pembagian kelompok diskusi, setelah para peserta didik menyelesaikan problematik dilema moral tersebut, peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan hasil pengamatan terhadap dilema tersebut.

3. Hasil diskusi kelompok selanjutnya dibawa dalam diskusi kelas, dengan tujuan untuk mengadakan klarifikasi nilai, membuat alternatif dan konsekuensinya.

____________

44Una Kartawisastra, et.al., Strategi …., h. 6.

Page 52: 1

44

4. Setelah peserta didik mendiskusikan secara intensif dan melakukan seleksi nilai yang dipilih sesuai dengan alternatif yang diajukan, selanjutnya peserta didik mengorganisasikan nilai-nilai yang dipilih tersebut. Untuk melihat hasil pengorganisasian ini dapat diketahui melalui pendapat para peserta didik, misalnya melalui karangan-karangan yang disusun setelah diskusi, atau melalui tindakan follow-up dari kegiatan diskusi.

Teknik ini dapat dipergunakan untuk mengajarkan nilai kemanusiaan bagi peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir abstrak. Teknik ini memadukan antara pendekatan rasional dan pendekatan afektif.

d. Teknik Meramalkan Konsekuensi Teknik ini sebenarnya merupakan penerapan dari

pendekatan rasional dalam mengajarkan nilai. Yaitu meng-andalkan kemampuan berfikir ke depan bagi peserta didik untuk membuat proyeksi tentang hal-hal yang akan terjadi dalam penerapan satu sistem nilai tertentu.

Adapun langkah-langkah dasarnya adalah sebagai berikut: 1. Tahap pertama, peserta didik disodorkan kusus melalui

cerita, ataupun sejumlah input dari berbagai media atau menemukan kejadian konkrit di lapangan.

2. Peserta didik diberikan beberapa pernyataannya menyangkut dengan nilai-nilai yang dilihat, dan dirasakan. Pernyataan-pernyataan itu adakalanya memperdalam horizon tentang nilai yang dilihat, alasan dan kemungkinan yang akan terjadi, atau menghubungkan suatu kejadian dengan kejadian lain yang relevan dengan kasus ini.

3. Upaya membandingkan nilai yang terdapat dalam kasus dengan nilai yang ada di luar kasus yang bersifat kontradiktif, baik kontradiksi dari pemilik nilai itu maupun kontradiksi dari latar belakang ruang dan waktu kejadian. Masing-masing nilai yang kontradiktif disajikan proyeksi-nya, apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Page 53: 1

45

4. Tahap terakhir kemampuan membuat ramalan tentang konsekuensi yang akan muncul dari pemilihan dan penerapan suatu tata nilai.

Tujuan teknik ini tidak untuk menginternalisasikan nilai, melainkan untuk melakukan pilihan nilai dengan jalan nilai yang baik dan disajikan seluruhnya dalam waktu yang bersamaan. Peserta didik diminta untuk memilih sesuai dengan wawasan yang dimiliki. Sehingga apabila peserta didik sudah memilih sistem nilai, maka ia sudah memikirkan konsekuensi yang ter-jadi dari pemilihan itu.

e. Teknik Menganalisis Nilai Teknik ini merupakan pelaksanaan dari pendekatan ra-

sional untuk mengajarkan nilai kepada peserta didik. Teknik ini dipergunakan dengan tujuan memberikan wawasan kepada pe-serta didik yang luas dalam memiliki nilai agar mereka yakin bahwa nilai yang dipilih benar-benar didasarkan atas kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.

Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah ; a. Analisa terhadap keputusan nilai, teknik ini dipergunakan

untuk mengajarkan nilai dengan pendekatan rasional. Krite-ria yang digunakan untuk mendapatkan analisis terhadap ke-putusan nilai yang disodorkan kepada peserta didik adakah: a. Sikap personal peserta didik b. Keahlian khusus yang dimiliki peserta didik c. Pendapat masyarakat atas definisi yang telah disepakati

Kemampuan peserta didik untuk menggali keputusan ni-lai merupakan suatu ciri dari kemampuan mereka untuk mere-spon dan memilih nilai yang diyakini kebenarannya. b. Analisis konflik nilai, teknik ini hampir identik dengan tek-

nik moral reasoning, namun sifatnya berbeda. Teknik ini mempergunakan pendekatan rasional, sasaran yang ingin di-capai adalah sama; yaitu membentuk wawasan yang lebih rasional terhadap pemilikan nilai. Adapun langkah-langkah teknik ini adalah sebagai berikut: a. Menghadapkan konflik nilai kepada peserta didik, b. Merumuskan alternatif yang akan muncul,

Page 54: 1

46

c. Meramalkan konsekuensi pada masing-masing alternatif yang akan muncul,

d. Meramalkan evidensi yang akan muncul, e. Peserta didik diminta melakukan assessing, f. Peserta didik diminta mengambil keputusan tentang nilai

yang dipilih. c. Analisis nilai dengan guru sebagai model, teknik ini diper-

gunakan untuk menganalisis nilai sebagaimana langkah yang dapat ditempuh dalam poin 1 dan 2, hanya saja ditampilkan kepada peserta didik bukan nilai yang bersifat kontradiktif, atau keputusan tentang nilai, melainkan yang dianalisis ada-lah model guru dalam penerapan suatu sistem nilai. Konsekuensi dari penggunaan teknik ini adalah guru harus memiliki sikap keterbukaan untuk dievaluasi dan dinilai si-kapnya oleh peserta didik, sebab tidak semua peserta didik mempunyai persepsi yang sama terhadap pendidiknya. Yang menjadi persoalan adalah bukan kebebasan peserta di-dik untuk nilai pendidik, sasaran yang ingin dituju adalah kemampuan peserta didik untuk meng-analisis antara nilai-nilai yang benar dan baik yang didasarkan atas kriteria ter-tentu.

f. Teknik Internalisasi Nilai

Apabila dalam teknik-teknik yang telah dipaparkan di atas hanya sebatas pada pemilihan nilai dengan argumentasi ter-tentu, maka dalam teknik ini sasarannya adalah sampai pada pemilikan nilai yang mengakar dalam kepribadian peserta didik.

Adapun langkah-langkah pendidikan nilai ini adalah se-bagai berikut: 1) Tahap transformasi nilai, tahap ini pendidik mentrans-

formasikan nilai yang baik dan buruk kepada peserta didik, yang sifatnya semata-mata sebagai komunikasi teoritik den-gan menggunakan bahasa verbal. Pada tahap ini peserta didik belum dapat melakukan analisis terhadap informasi untuk dikaitkan dengan kenyataan empirik yang ada dalam masyarakat.

Page 55: 1

47

2) Tahap transaksi, yaitu tahap pendidikan nilai dengan jalan menjelaskan komunikasi dua arah, yaitu interaksi antara pe-serta didik dengan pendidik yang bersifat timbal balik. Apa-bila dalam tahap pertama masih dalam posisi komunikasi satu arah. Tekanan dan komunikasi dua arah masih menitik-beratkan kepada komunikasi fisik, daripada komunikasi batin pendidik dalam mengajarkan nilai yang baik dan memberi contoh, kemudian peserta didik diminta untuk mencontohnya.

3) Tahap transinternalisasi, tahap ini pendidik berhadapan den-gan peserta didik lagi sebagai sosok fisiknya saja, melainkan juga dikap mental dan keseluruhan kepribadian. Demikian juga peserta didik merespon terhadap apa yang dikehendaki pendidik dengan mempergunakan seluruh aspek kepribad-iannya. Karena itu dapat dikatakan bahwa dalam proses transinternalisasi ini terjadi komunikasi batin antara peserta didik dengan pendidik. Adapun langkah-langkah dalam pengajaran dapat meng-gunakan alur berfikirnya David R. Krathowhl dalam afektif dominan sebagai berikut : a. Menyimak, pendidik memberi stimulus kepada peserta

didik, dan peserta didik menangkap stimulus yang di-berikan.

b. Menanggapi (responding), peserta didik mulai di-tanamkan pengertian dan kecintaan terhadap tata nilai tertentu, sehingga memiliki latar belakang teoritik ten-tang sistem nilai, mampu memberikan argumentasi ra-sional dan selanjutnya peserta didik dapat memiliki komitmen tinggi terhadap pilihan nilai tersebut.

c. Memberi nilai (valuing), pada tahap ini peserta didik sudah mampu menyusun persepsi tentang objek yang dilakukan dengan tiga tahap; yaitu percaya terhadap nilai yang ia terima, merasa terikat dengan nilai yang ia percayai (dipilihnya) itu, dan memiliki keterikatan batin (komitmen) untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diterima dan diyakini itu.

Page 56: 1

48

d. Memorganisasikan nilai (organization), peserta didik mulai dilatih mengatur sistem kepribadian-nya sesuai dengan sistem nilai yang ada.

e. Karakterisasi nilai (characterization), apabila kepri-badian sudah diatur sesuai dengan sistem nilai tertentu dan dilaksanakan berturut-turut, maka akan terbentuk kepribadian yang bersifat satu hati, kata dan perbuatan. Teknik internalisasi sesuai dengan tujuan pendidikan agama, khusus-nya pendidikan yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah dan akhlâq al-karîmah.

Beranjak dari uraian tentang konsepsi pendidikan nilai dapatlah dipahami bahwa masalah pendidikan nilai merupakan salah satu wacana yang cukup kompleks. Akan tetapi ia cukup menarik untuk ditelaah karena masalah pendidikan nilai ken-yataannya kurang serius dijadikan sebagai fokus perhatian dalam dunia pendidikan dewasa ini. Karenanya, pembahasan lebih lanjut akan dikonsentrasikan pada internalisasi nilai teo-logis dalam pendidikan Islam.

Page 57: 1

49

BAB TIGA

NILAI TEOLOGIS DAN INTERNALISASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

nternalisasi pada dasarnya merupakan proses puncak dalam hirarkhi proses pendidikan nilai dari lingkungan belajar

kepada subjek didik terutama melalui kelangsungan belajar mengajar dalam sistem Pendidikan Islam. Dari itu, term “inter-nalisasi” dalam konteks proses belajar-mengajar, atau dalam dunia pendidikan pada umumnya, lebih sering dan relevan digunakan dalam pendidikan nilai.

Nilai sebagai objek pendidikan adalah sesuatu yang me-miliki posisi tertinggi dalam falsafah Pendidikan Islam melebihi aspek substansi materi pembelajaran itu sendiri. Karena nilai merupakan aspek yang cukup filosofis yang terkandung dalam subjek studi (materi ajaran), bahkan pada semua disiplin ilmu (aspek kajian) tanpa terkecuali. Dalam tradisi Pendidikan Islam tidak dikenal adanya pendikhotomian antara pelajaran umum dan pelajaran agama. Sistem Pendidikan Islam hanya mengenal dan menawarkan sistem pendidikan yang holistik, diantaranya integrasi antar multi disiplin ilmu (multi interdisipliner).

Ada perbedaan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai dalam proses pembelajaran, perbedaan dimaksud antara lain pada tataran jangkauan prosesnya. Jika yang pertama terukur, maka internalisasi nilai tidak demikian. Nilai tidak cu-kup hanya dengan ditransfer, melainkan dengan diinternalisasi-kan.45

____________

45Ada sejumlah alasan tentang mengapa pembentukan sikap (atti-tude) dan nilai (value) penting dan proses serta hasilnya sulit terukur. Per-tama, kurikulum pendidikan mulai prasekolah lebih diinterpretasikaan dalam proses belajar mengajar dengan terlalu menitikberatkan pada segi kognitif. Kedua, pembentukan sikap dan sistem nilai tidak semudah memberikan pen-

I

Page 58: 1

50

Internalisasi tidak lain adalah proses penanaman atau pembumian nilai-nilai sehingga menghujam ke dalam jiwa pe-serta didik. Setelah nilai-nilai itu menjadi internal, maka ia akan melekat kuat, mengakar dan mendarah daging dalam diri peserta didik. Bahkan hati nurani dan seluruh sikap hidupnya mencer-minkan nilai-nilai yang dianut.

Dengan demikian, dalam meliu yang kurang kondusif-pun subjek didik diharapkan dapat mengaktualkan sikapnya se-suai dengan nilai yang telah menginternal tersebut. Dengan kata lain, keseluruhan sikap dan perilakunya merupakan refleksi langsung dari prinsip-prinsip nilai-nilai yang telah tertanam ko-koh dalam dirinya. Karena nilai yang berhasil dinternalisasikan akan menyatu dalam diri subjek didik selamanya. Sehingga ka-pan saja aktualisasi nilai itu akan terefleksi dengan sendirinya dan menjadi tolak ukur segala pertimbangan yang akan dilak-sanakan. Dalam kapasitas demikian, nilai pada akhirnya akan mengacu pada pandangaan hidup yang integratik dan holistik serta komprehensif.

A. Hakikat Nilai Teologis

Berpijak pada pengkategorian nilai secara hirarkhis sebagaimana disebutkan pada bagian kedua tesis ini yaitu dalam kategori nilai universal dan nilai partikular, maka nilai teologis

getahuaan dan penalaran. Pembentukan sikap harus memakan waktu yang lama, sebaliknya dalam bidang ilmu pengetaahuan subjek didik dapat mema-haminya dalam waktu yang relatif singkat. Orang akan mudah mengetahui dan menghafal bahwa merokok itu tidak baik bagi kesehatan, demikian juga sikap malas, melanggar peraturan lalu lintas, mengambil barang bukan mili-knya, berbohong, membuang sampah disembarang tempat, dan sebagainya adalah sikap yang tidak baik. Akan tetapi tidak semua orang yang memiliki pengetahuan semacam itu sanggup memiliki sistem nilai serta sikap yang mencerminkan pengetahuannya tersebut. Oleh karena itu internalisasi sikap dan sistem nilai harus dilakukaan lebih dini dan dalam waktu yang lama. Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Melinium III , cet. Ke-1 (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), h. 176.

Page 59: 1

51

adalah bagian yang tidak terpisahkan dari nilai universal (syumûl). Hal ini didasarkan pada dimensi teologis itu sendiri sebagai suatu yang transenden-metafisik. Nilai teologis merupakan nilai yang lahir dari dimensi ruhaniah (psikis-religius) manusia Muslim melalui keyakinan dan pengalaman-nya yang benar dan lurus (hanîf) kepada Tuhan. Dalam hal ini al-Qur’ân menyebutkan:

إبراهيم ملة واتبع حمسن وهو هللا وجهه أسلم ممن دينا أحسن ومن

)١٢٥: النساء. (خليال إبراهيم اهللا واختذ احنيفDan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (Q.S. Al-Nisâ’/4: 125)

Nilai teologis dalam konteks Islam terakumulasi dalam “konsep tauhid”. Di mana dalam konsep ini, nilai teologis berfungsi sebagai pandangan dunia (world view) yang meliputi seluruh tatanan nilai yang ada dalam Islam. Konsep tauhid pada dasarnya merupakan suatu konsep tentang sistem keyakinan kepada Tuhan, namun tauhid juga sekaligus menjadi nilai dalam Islam.46 Tauhid sebagai esensi nilai teologis berangkat dari kesadaran manusia terhadap eksistensi Tuhan (teologis) sebagai tempat bergantung (Allâh al-�samad), kesadaran terhadap dirinya sendiri (antropologis) sebagai individu (‘abd) dan mandataris Tuhan (khalîfah) yang mengemban amanah Tuhan di bumi serta alam jagad raya (kosmologis) sebagai wadah bagi manusia untuk menjalankan missi Tuhan tersebut.

Dalam konteks demikian, sangat jelas terlihat bahwa tata nilai teologis dalam pandangan Islam tepatnya pada tataran kemanusiaan cukup bernuansa teosentris (berpusat pada

____________

46Amrullah Achmad, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidi-kan Islam”, dalam Muslih USA (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Jakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 71.

Page 60: 1

52

Tuhan)47. Walaupun demikian, realitasnya dalam pandangan Tuhan itu sendiri yang menjadi issu sentral penciptaan Tuhan atas segala sesuatu yang ada (segenap realitas kosmis) tidak lain adalah manusia (antropologis/alam mikro) itu sendiri.

Implikasi dari kesadaran tauhid sebagai suatu pandangan dunia (tatanan nilai universal) dalam Islam pada setiap individu Muslim melahirkan sejumlah nilai yang inheren dan mengkristal secara internal dalam alam kesadaran. Kesadaran terhadap keberadaan Tuhan sebagai sumber kehidupan akan melahirkan sikap ketundukan (muslim) dan ketaatan karena ilmu dan iman (mukmin) yang mampu meredam sifat kerendahan (syai�taniy-yah) sekaligus mengangkat derajat manusia kepada sifat keilahian.

Sedangkan kesadaran terhadap kemanusiaannya sebagai kreasi penciptaan (makhluk) Allah yang terbaik melahirkan semangat beramal saleh untuk memakmurkan bumi dengan mengoptimalkan segenap potensi manusiawi yang ada secara kreatif dan inovatif dalam mensiasati dan merekayasa realitas kosmis (fenomena alam) melalui proses pengkajian ilmu pengetahuan.

Hubungan dan keterikatan antara Tuhan, manusia dan alam dalam diskursus teologi Islam cukup jelas. Kesadaran terhadap saling ketergantungan seperti ini dalam tataran aktualnya melahirkan dan membentuk nilai teologis pada subjek didik Muslim. Dalam tatanan kosmologis ini, subjek didik sebagai totalitas penciptaan merasakan betapa butuhnya kehadiran Tuhan dalam kesadaran hidupnya. Kebutuhan dan ketergantungan subjek didik pada Tuhan inilah yang menjadikan

____________

47Falsafah pendidikan sekuler memandang manusia terlalu antro-posentris, sementara menurut pandangan ajaran Islam manusia dipahami se-bagai makhluk yang teosentris. Pandangan manusia sebagai makhluk antro-posentris hanya merupakan salah satu aspek esensial dari konsep teosentris dimensi Filsafat Pendidikan Islam. Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pen-didikan Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 4, dan 19.

Page 61: 1

53

hidup manusia itu bermakna. Tanpa ada kesadaran ini, maka konsekuensinya hidup manusia menjadi tidak bermakna.

Kesadaran terhadap keberadaan Tuhan sebagai sebuah nilai teologis dalam doktrin Islam—karena ia bermuara pada pandangan hidup yang terefleksi dalam perilaku (etik)—pada dasarnya secara primordial (‘alâm �durriyyah) telah ada pada semua manusia tanpa kecuali (muslim atau non-muslim). Dalm hal ini Al-Qur’ân menyebutkan:

على وأشهدهم ذريتهم ظهورهم من ءادم بين من ربك أخذ وإذ

كنا إنا القيامة يوم تقولوا أن شهدنا بلى قالوا بربكم ألست أنفسهم

)١٧٢: فاألعرا. (غافلني هذا عنDan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. Al-A‘râf/7: 172)

Kesadaran yang diungkapkan al-Qur’ân tersebut meru-pakan potensi bawaan (hereditas) yang dikenal sebagai fitrah48

____________

48Kesadaran dan keyakinan terhadap keberadaan Tuhan merupakan kebutuhan kodrati dalam wujud empiriknya dapat dinyatakan, bahwa manusia selalu mengalami perasaan cemas, takut, harapan, tidak berdaya dan sebagainya. Manusia memerlukan rasa aman dan jaminan kepastian. Kebutu-han ini baru dilihaat dari dimensi fungsi dan mamfaat agama bagi manusia, belum dari dimensi kebenaran Tuhan Yang A�hâd. Karenanya, pencarian dan penemuan Tuhan merupakan puncak penemuan akan kebutuhan agama. Den-gan demikian, agama tidak hanya dipandang dari dimensi fungsi, melainkan juga dalam dimensi kebenaran Tuhan. Menurut al-Qur'ân, manusia dicipta-kan Allah mempunyai naluri beragama, yakni agama tauhid. oleh karena menurut Paulo F. Freire, konsep pendidikan haarus mampu menguak dan mengembangkan kesadaraan fundamental manusia sebagai kunci pemahaman

Page 62: 1

54

ketuhanan pada manusia. Namun kesadaran primordial ini be-lum memadai, karena masih dalam tataran potensial (ketika alam ruh) belum aktual dalam perilaku hidup di dunia. Sehingga sifatnya masih pasif dan sebatas imani serta masih berupa ab-straksi-abstraksi ruhaniah. Kesadaran ini mesti berperan aktif dalam kehidupan konkrit dimana manusia sudah dapat berperan menentukan pandangan hidup khususnya mengenai konsep ten-tang Tuhan khususnya.

Dalam tataran ini, menjadikan iman an sich sebagai dasar pandangan terhadap Tuhan melalui mata hati (zawq)49 menjadi kurang sempurna dan iman menjadi kurang teruji dan berkembang serta kurang kokoh, tidak menghujam ke dalam batin tanpa didukung oleh pemahaman bukti-bukti (âyât) ke-agungan Tuhan yang dapat diamati pada fenomena alam yang sifatnya empiris melalui pengamatan indrawi (ba�sîrah) kasat mata. Keterangan tentang hal ini dinyatakan al-Qur’ân, di antara-nya:

أومل احلق أنه هلم يتبني حىت أنفسهم ويف اآلفاق يف ءاياتنا سنريهم

)٥٣: الفصلت. (شهيد شيء كل على أنه بربك يكفKami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekua-saan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, se-hingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesung-

manusia dalam proses mengembangkan dunianya. Mastuhu, Memberdaya-kan…., h. 71, 73.

49Menurut Muhammad Fauzil Adhim, internalisasi nilai-nilai teolo-gis (taw�hîd) kepada subjek didik melalui sentuhan zauq mulai diberikan pada masa “tufûlah” (anak-anak/2-7 tahun), dimana potensi hati dan akalnya mulai aktif. Pilihan penanaman nilai-nilai tauhid melalui sentuhan dzauq akan lebih meransang subjek didik memiliki tauhid yang aktif. Kedalaman tauhid mem-beri suggesti kepadanya untuk bertindak baik (sâli�h). Muhammad Fauzil Ad-him, Mendidik Anak Menuju Taklif, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 16.

Page 63: 1

55

guhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?. (Q.S. Al-Fussilat/41: 53)

Dalam hubungan ini, sebagaimana diungkapkan Abdul Munir Mulkhan bahwa internalisasi nilai teologis diharapkan terwujudnya kehangatan jalinan yang harmonis dan sesuai serta tali temali hubungan antara gerak kehidupan dunia imanen den-gan dunia transenden. Kehidupan dunia imanen yang konkrit ril adalaah berupa transformasi nilai-nilai transcendental sebagai konseptualisasi dan merupakan kerangka abstrak dari kehidupan manusa yang konkrit dan empirik.50

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai teo-logis yang dimaksud dalam konteks pembahasan tesis ini adalah segenap refkelsi sikap dan tingkah laku subjek didik Muslim yang mencerminkan adanya kesadaran terhadap kehadiran dalam hidupnya sehingga menjadi semacam marâji‘, norma etik personal dalam setiap mobilitas hidupnya. Di mana nilai ini di-peroleh mulai dari institusi keluarga, institusi pendidikan dan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Pemahaman ini sebagaimana juga dipahami oleh Nur-cholish Madjid, di mana menurutnya nilai teologis (al-qîmat al-rabbâniyyah) adalah tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bah-wa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan, ma-ka Tuhan dalam tatanan nilai ini adalah asal dan tujuan hidup.51 Di dalam al-Qur’ân dijelaskan:

)١٥٦: البقرة. (راجعون إليه وإنا هللا إنا قالوا...…mereka mengucapkan, "Sesungguhnya kami berasal dari Al-lah dan kami akan kembali kepada-Nya". (Q.S. Al-Baqarah/2: 156)

____________

50Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebe-basan; Sebuah Essay Pemikiran al-Ghazali, cet. Ke-1 (Jakarta: Bumi Ak-sara, 1992), h. 167.

51Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. Ke-3 (Ja-karta: Paramadina, 1995), h. 1.

Page 64: 1

56

Ringkasnya nilai teologis adalah kualitas-kualitas moral insani subjek didik Muslim yang timbul melalui refleksi intensif terhadap kualitas-kualitas Ilahi seperti sifat Maha Pengasih dan Penyayang, Pengampun, Adil dan lainnya yang terangkum dalam al-asmâ’ al-�husnâ Allah, subjek didik Muslim meng-hayati nilai-nilai luhur kejati-dirian, keakhlakan dan moralitas ini. Personifikasi kualitas Ilahiyah tergambar dalam ayat berikut ini:

يف ما له يسبح احلسىن األمساء له املصور البارئ اخلالق اهللا هو

)٢٤: احلشر. (احلكيم العزيز وهو واألرض السمواتDia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Memben-tuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Hasyr/59: 24)

Dari penghayataan secara intensif akan membuka jalan dalam

qalbu subjek didik Muslim bagi nilai-nilai ini untuk diinternalisasikan. Maka kesimpulan dari semua paparan tentang nilai teologis ini adalah bahwa nilai ketuhanan merupakan wujud tujuan dan makna kosmis dan eksistensi manusia, yang berdampingan tidak terpisahkan dengan nilai kemanusiaan yang juga merupakan wujud makna terestial hidup ini.

B. Tujuan Internalisasi Nilai Teologis Dalam Pendidikan Islam

Secara umum tujuan pendidikan nilai-nilai ketuhanan dalam pendidikan Islam adalah supaya peserta didik memiliki dan mening-katkan secara terus menerus nilai-nilai iman dan taqwa kepada Allah. Sedangkan secara khusus, dapat dirumuskan dua tujuan utama yaitu; pertama untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah dan kedua un-tuk menginternalisasikan nilai-nilai ketuhanan sehingga dapat men-jiwai lahirnya nilai etik insani.52

____________

52M. Chobib Thoha, Kapita Selekta …, h. 73.

Page 65: 1

57

Memahami rumusan tujuan pendidikan nilai ketuhanan di atas, maka dapat dikritisi bahwa internalisasi itu sendiri--sebagai suatu usaha puncak dari transfer atau transformasi nilai dalam proses pendidikan—ternyata juga sebagai salah satu tu-juan akhir dari pendidikan pada umumnya dan pendidikan nilai secara khusus. Menginternalkan suatu nilai ke dalam jiwa dan alam pikiran peserta didik merupakan tujuan tertinggi dalam hirarkhi tujuan pendidikan nilai.53 Internalisasi hanyalah suatu jenjang dalam suatu proses pendidikan nilai, sedangkan menji-wanya nilai tersebut adalah target dari proses tersebut.

Konsekuensi lebih jauh dari tujuan atau target dalam pendidikan tentunya dapat diukur pada standar keberhasilan54 yang telah ditentukan sebelumnya seberapa mampu dicapai. Dalam proses pendidikan nilai tolak ukur yang biasa dipedomani adalah pada apresiasi gaya hidup peserta didik. Apresiasi dimaksud adalah segenap pola sikap dan perilaku yang ditunjukkan, apresiasi dimaksud tidak terbatas pada perilaku lahiriyah (psikomotorik) melainkan juga pada pemahaman nilai (kognitif) dan penghayatan (afektif) nilai.

Berangkat dari preseden ini dapatlah dipahami bahwa dalam konteks pembahasan tujuan internalisasi nilai teologis, maka tujuan khusus pendidikan nilai ketuhanan—untuk men-ginternalkan nilai-nilai ketaqwaan—sebagaimana dirumus-kan di atas menjadi tujuan eksternal.55 Sedangkan tujuan inter-

____________

53M. Amin Abdullah, “Problem Epistimologis-Metodologis Pen-didikan Islam”, dalam Abdul Munir Mulkhan at. al., Religiusitas Iptek, Cet. Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 54.

54Internalisasi nilai menekankan kemampuan anak didik untuk dapat menumbuhkan motivasi dalam dirinya sendiri (intrinsik) sehingga dapat menggerakkan, menjalankan dan mentaati nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalalisasikan dalam diri anak didik tersebut., M. Amin, Religiusitas ..., h. 56.

55Dikaitkan dengan proses makro pendidikan, pendidikan sebagai proses alih nilai mempunyai tiga sasaran. Pertama, seperti yang ditekankan GBHN, tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif, afektif dan

Page 66: 1

58

nalisasi nilai-nilai teologis dalam pendidikan Islam menjadi tu-juan internal dalam tesis ini. Walaupun pada prinsipnya kedua jenis tujuan ini tidak jauh bedanya, hanya saja perbedaannya terletak pada efektivitas hasil dan sasaran yang diaharapkan.

Dalam proses menginternalkan nilai-nilai teologis ke alam kesadaran subjek didik baik alam kesadaran rasional-etiknya (‘aqliyyah) maupun kesadaran imaninya (qalbiyyah), pendidikan Islam menetapkan tujuan yang jelas sehingga me-mudahkan pengimplimentasian tujuan tersebut di lapangan.

Dari sejumlah tujuan—yang tidak dicantumkan dalam bagian ini—yang ada, penulis berhasil mengelaborasi dua tujuan utama (the ultimate aim) internalisasi nilai-nilai teologis dalam Pendidikan Islam, kedua tujuan tersebut berorientasi pada proses dan output (produk) peadagogik dalam nuansa sistemik keisla-man.

Adapun kedua tujuan internalisasi nilai teologis dimak-sud adalah; pertama, untuk mendidik kepekaan daya gugah pe-serta didik terhadap eksistensi ketuhanan, sehingga dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya kapan dan di mana saja subjek didik berada. Dengan saratnya nilai teologis (nilai-nilai Ilahiyah) sekaligus insaniyah) yang mengkristal, mem-pribadi tersebut, diharapkan hidupnya lebih bermakna, penuh penghayatan, penuh kearifan, kebijaksanaan, pertimbangan, kasih sayang dan cinta serta berkeadilan (kapasitas personal islami) terhadap apa yang akan diamalkan.

Mendidik kepekaan daya gugah akan eksistensi ketu-hanan yang dimaksudkan di sini adalah bahwa melalui inter-nalisasi, alam kesadaran rasional-etik subjek didik dalam proses belajarnya terhadap semua disiplin ilmu yang dipelajari akan difokuskan pada nilai-nilai etik-ketuhanan yang bersifat natural-

psikomotor. Kedua, mengalihkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan, yang terpancar pada kedudukan manusia dalam rangka melaksanakan ibadah, berakhlak mulia, serta senantiasa menjaga harmoni hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya. Ahmad Watik Prati-knya, Pengembangan…, h. 59.

Page 67: 1

59

transendental sebagaimana dapat diamati pada tanda-tanda (al-âyât) kemaha-agungan, kemaha-adilan, kemaha-serasian, kemaha-harmonisan, kemaha-kasih sayangan Tuhan dalam mencipta, dan mengatur kehidupan ini (al-âyât al-kawniyyah). Objek-objek berupa fenomena alam (sunnat Allâh) dapat diek-splorasi melalui pengamatan empiris-observasitoris terhadap semua gejala alam dan gejala sosial yang telah dielaborasikan dalam setiap disiplin ilmu baik ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) maupun humanihora (behavior sciences). Tinggal lagi masalahnya adalah bagaimana merancang dan menjalankan ku-rikulum yang integral (integralistic curiculum)56 dalam bingkai sistem Pendidikan Islam, atau yang lebih dikenal dengan “Islam Untuk Disiplin Ilmu” (IDI) atau “Islam Dalam Perspektif Ilmu” (IPI).

Nilai-nilai--yang penulis sebut sebagai nilai teologis--ini diinternalkan oleh pendidik secara integral-holistik di dalam semua disiplin ilmu yang diajarkan kepada peserta didik sesuai dengan substansi materinya masing-masing. Dengan meng-internalnya nilai-nilai ini ke dalam alam kesadarannya diharap-kan akan terefleksi pada sikap, tutur kata dan perilaku (akhlak) peserta didik menjadi lebih baik (amal shalih).

Kedua terwujudnya integralitas kapasitas personal-subjek didik Muslim dengan wawasan bernuansa ketauhidan sebagai produk dari integralitas nilai teologis ke dalam semua disiplin ilmu yang dipelajarinya. Integritas personal subjek didik Muslim yang diharapkan dari internalisasi ini adalah individu yang memiliki keyakinan (iman) ilmiah-rasional dan pengeta-huan (ilmu) amaliah. Iman yang ilmiah dimaksudkan adalah

____________

56Dalam melaksanakan metodologi pendidikan dan pengajaran aga-ma harus dipergunakan paradigma holistik, yaitu memandang kehidupan se-bagai satu kesatuan, mulai dari sesuatu yang konkrit dan dekat dengan ke-pentingan hidup sehari-hari sampai dengan hal-hal yang abstrak dan tran-sendental. Tegasnya materi ajaran agama harus selalu terintegrasi dengan disiplin-disiplin ilmu umum, dan ilmu-ilmu umum harus disajikan dalam paradigma nilai ajaran agama. Mastuhu, Memberdayakan ..., h. 74.

Page 68: 1

60

iman yang didasarkan pada pemahaman dan penghayatan yang benar terhadap objek-objek tertentu yang harus diyakini dan da-pat dipertanggungjawabkan secara akal sehat kepada Tuhan dan manusia berdasarkan universalitas nilai ketuhanan dan kemanu-siaan.

Sementara iman yang hanya berada pada tataran pem-benaran lisan (verbal) tanpa disertai dengan penghayatan (heart) yang dalam dan pemahaman yang benar, diyakini tidak akan efektif terwujudnya subjek didik Muslim yang memiliki integri-tas personal yang mumpuni dalam beramal (hand). Karena imannya sebatas tataran pengetahuan (head), sehingga tidak terefleksi dalam tataran amaliah. Di sinilah sering muncul per-sonalitas individu yang “pecah” (split personality), atau lebih dikenal dengan pribadi yang hipokrit. Sejatinya hubungan antara ilmu-iman dan amal berlangsung secara dialektis-dialogis, men-yatu dan berkelindan dalam kesadaran alam lahiriyah dan batiniyah subjek didik Muslim. Dualisme (dichotomy) ilmu dan amal atau antara iman dan amal seyogianya tidak mesti terjadi jika penggunaan metode relevan dan aktual-kontekstual dengan sistem pendidikan yang berpijak pada azas children oriented57 dan kurikulum (proses dan pengalaman belajar) yang integral. Yaitu kurikulum yang berdimensi fungsional kualitatif; 58 kuri-kulum yang menitikberatkan pada substansi muatan kegiatan belajar mengajar sebagai wahana alih nilai.

Tujuan ideal sebagaimana telah dipaparkan di atas ke-mungkinan akan terwujud manakala keterpaduan dimensi kogni-tif, afektif dan psikomotorik menjadi satu bangunan yang inte-gral dan komprehensif di dalam praksis Pendidikan Islam. Me-lalui keterpaduan yang seimbang antara ketiga ranah ini Pen-didikan Islam yang bersifat intelektualistik-integratif yang bersi-

____________

57Suyanto, Refleksi…., h. 7 58Ahmad Watik Pratiknya, “Pengembangan Pendidikan Agama di

Perguruan Tinggi Umum”, dalam Dinamika Pemikiran Islam Di Perguruan Tinggi, Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (ed)., Cet. Ke-1 (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 57.

Page 69: 1

61

fat transformatif pada ujungnya akan mampu membentuk pri-laku dan sikap hidup yang pragmatis fungsional sebagaimana diharapkan.

Untuk menjembatani tujuan ini, aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya perubahan pendekatan bela-jar-mengajar dari pendekatan indoktrinasi kepada pendekatan yang mampu menyentuh dataran afeksi melalui proses penana-man dan internalisasi nilai-nilai teologis melalui pendekatan dia-log, kritik, diskusi, contoh-contoh yang nyata (empiris). Tuntu-nan dan contoh baik berupa pembiasaan, keteladanan yang baik serta pengalaman kebertuhanan khususnya yang berlangsung secara kondusif, pada gilirannya dapat mengantarkan pesera didik memasuki kawasan psikomotorik yang dapat menggerak-kan mereka secara mandiri dan otonom untuk berbuat sesuatu sesuai dengan nilai-nilai tawhîd yang telah tertanam dalam kal-bunya.59

C. Substansi Nilai Teologis

Wacana utama agama samawi yang dibawa oleh para ra-sul Tuhan adalah tauhid. Substansi tauhid bukan saja sebatas pengakuan verbal (syahâdah) terhadap eksistensi (wujûd) Tu-han. Karena kebanyakan manusia termasuk para penentang rasul Tuhan, juga mengakui Tuhan sebatas eksistensi-Nya. Bahkan mereka percaya bahwa Tuhan sajalah yang menciptkan seluruh jagad raya beserta segenap isinya. Mekanisme alam raya dan hukum-hukum-Nya (sunnatullah) juga tunduk kepada kehendak Tuhan. Al-Qur’ân menambahkan bahwa sunnatullah itu tidak pernah berubah, berikut kutipan ayatnya:

)٤٣: الفاطر. (حتويال اهللا لسنة جتد ولن تبديال اهللا لسنة جتد فلن...

____________

59Amin Abdullah, “Paradigma Pemikiran Keislaman Dalam Perspektif Perubahan Sosial di Indonesia”, dalam artikel Saifuddin Zuhri, “Dialog Fungsional Pendidikan Islam Dengan UUSPN Tahun 1989”, dalam buku Ismail SM, Nurul Huda, dan Ismail Kholiq (ed), Paradigma Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 188.

Page 70: 1

62

…Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berla-kunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (Q.S. Al-Fâtir/35: 43)

Bahwa Tuhan sajalah yang berkuasa menurunkan hujan, mengirimkan angin, dan menguasai matahari, bulan, bumi dan planet lain (QS.23:84-89;29:61,63;dan 43:87), dalam pengertian lain mereka kapasitas Tuhan sebatas rabb. Akan tetapi mereka tidak mengakui bahwa Tuhan; Allah adalah rabb yang juga sekaligus Ilâh.60

)٤٦: العنكبوت. (مسلمون له وحنن واحد وإهلكم وإهلنا...…Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Q.S. Al-‘Ankabût/29: 46)

Al-Qur’ân menegaskan bahwa Tuhan adalah rabb dan ilâh sekaligus. Dalam bahasa Arab, Ilâh berarti Tuhan yang dis-embah (ma‘bûd atau ‘ubûdiyyah) atau objek sembahan manusia.

61 Hubungan manusia dengan ilâh-nya diilustrasikan seumpama hubungan antara hamba sahaya (budak) yang cukup setia den-gan majikan (tuan)nya. Sang hamba sanggup mengorbankan apa saja yang dimilikinya untuk kebahagiaan sang tuan. Demikian juga manusia yang telah berikrar dengan syahadah tauhid “lâ ilâh illâ Allâh”, berarti telah bersedia mematuhi kehendak Allah dan tidak akan mengakui kekuasaan lain selain kekusaan Allah dalam lisan dan amal. Seluruh hidup, mati, karya dan amal sha-leh (ibadah) nya hanya didekasikan kepada Allah semata.

Sedangkan rabb, berarti Tuhan yang menciptakan, me-melihara, mengatur, mengasihi dan yang menyempurna-kan.

____________

60M. Amin Rais, “Pengantar”; Buku Abul A‘la al-Maudûdy, Khila-fah dan Kerajaan, terj. Muhammad Al Baqir, cet. Ke-6 (Bandung: Mizan, 1996), h. 14.

61M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân; Tafsir Maudlu‘i Atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. Ke-8, (Bandung: Mizan, 1999), h. 18.

Page 71: 1

63

Dalam kapasitas ini Tuhan adalah sebagai subjek, pusat, sentral (theosentris) kehidupan. Oleh karena itu hubungan antara manu-sia dengan rabb-nya harus ditandai dengan kepasrahan, ketaa-tan, dan ketundukan. Karena itu, maka Allah sajalah yang ber-hak menjadi objek ketaatan dan kepasrahan manusia.

Dalam literatur tasawuf disebutkan bahwa proses pencip-taan alam bertujuan supaya Tuhan dapat dikenal oleh makhluk-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi yang dikutip oleh Ibn ‘Arabî, Tuhan berfirman:

.عرفوىن فيه أعرف أن فأحببت خمـفـيا كرتا كنتAku (Allah) adalah perbendaharaan yang terpendam. Aku ingin supaya dikena ( maka Aku ciptakan alam ini) sehingga dengan itu mereka mengenal Aku.62

Menurut Ibn Arabi, meskipun alam empiris ini tidak memiliki arti bila ditinjau dari sudut ontologisnya, tetapi Tuhan sendiri yang menghendaki kemunculannya. Sebab Ia ingin meli-hat citra diri-Nya melalui alam yang menjadi cermin asma dan sifat-sifatnya. Alam semesta serta isinya adalah wadah tajallî dan nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam wujud yang terbatas. Tuhan sebagai esensi yang mutlak tidak mungkin dikenal, Tu-han hanya dapat dikenal melalui tajallî-nya pada alam empiris. Makhluk adalah manifestasi dari esensi wujud Tuhan.63

Kembali kepada kedua term teologis di atas, dalam diskursus teologi Islam kedua term dimaksud setelah dikatasi-fatkan dikenal dengan Uluhiyah dan Rububiyah. Kedua term ini menjadi dua kategorisasi tauhid yaitu dikenal dengan “tauhid uluhiyah” (Tuhan dalam keilahian-Nya) dan “tauhid rububiyah” (Tuhan dalam kerabbanihan-Nya). Dalam penelitian ini kedua

____________

62Sanad hadis ini tidak dikenal di kalangan ahli hadis. Oleh karena itu, menurut Ibn Taimîyah tidak memandangnya sebagai hadis. Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, cet. Ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 62. Akan te-tapi Ibn Al-‘Arabî memandangnya sahih atas dasar kasyâf. Lihat. Ibn Al-‘Arabî, Fu �sû�s al-�Hikâm (ed.) A.A. Afifi (Cairo: t.p., 1947), h. 53.

63Yunasril Ali, Manusia…, h. 51.

Page 72: 1

64

term tersebut penulis reposisikan ke dalam term “nilai teologis Uluhiyah” dan “nilai teologis Rububiyah”. a. Nilai Teologis Rububiyah

Dengan memahami term “rabb” di atas, maka nilai teologis rububiyah dapat dipahami bahwa Allah dalam kapasitas kerabbaniahan-Nya adalah al-khâliq (pencipta) atau “rabb al-‘âlamîn (pemelihara alam semesta). Dalam penciptaan alam semesta termasuk manusia Tuhan menempuh proses yang memperlihat-kan konsistensi dan ketaraturan berdasar-kan aturan-aturan alamiah yang ditetapkan Tuhan sendiri (sunnatullah) dalam alam semesta. Dalam konteks yang demikian ini Tuhan adalah murabbî (pendidik) yang se-benarnya. 64 Kenyataan ini meniscayakan penyertaan Tuhan dalam proses pendidikan, tentunya tanpa mereduksi peranan manusia. Peranan manusia secara teologis dimungkinkan karena ka-pasitasnya sebagai khalîfah Allâh fî al-ar�d atau wakil Tuhan di muka bumi (QS.2: 30, 6:165, 10;14). Sebagi khalifah manusia mengemban fungsi rububiyyah Tuhan terhadap alam semesta termasuk diri manusia sendiri. Sebagaimana kutipan ayat di bawah ini:

. تعملون كيف لننظر بعدهم من األرض يف خالئف جعلناكم مث

)١٤: يونس(Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mere-ka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memper-hatikan bagaimana kamu berbuat. (Q.S. Yunus/10: 14) Fungsi ini menjadi salah satu karakter hakiki dalam pendidi-kan Islam, di mana pendidikan Islam pada intinya terletak pada fungsi rububiyyah Tuhan yang secara praktis diman-datkan kepada manusia. Dengan demikian pendidikan Islam

____________

64Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, cet. Ke-1 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 57.

Page 73: 1

65

adalah keseluruhan proses dan fungsi rububiyyah Tuhan ter-hadap manusia (subjek didik) secara terencana, bertahap sampai dewasa dalam semua aspek potensi yang diberikan secara utuh. Atas dasar kekhalifahan ini juga manusia ber-tanggungjawab untuk merealisasikan proses pendidikan Is-lam.

b. Nilai Teologis Ulûhiyyah Berangkat dari term Ilâh di atas, maka nilai teologis Uluhi-yah adalah nilai di mana Tuhan dalam kapasitas keilahiyan-Nya, yaitu Tuhan sebagai al-ma‘bûd (Zat yang disembah) atau ilâh al-nâs (sembahan dan totalitas ketundukan manu-sia). Nilai keilahian ini menjiwai kesadaran manusia bahwa puncak pengabdian manusia adalah “penghambaan”, yang hanya kepada Tuhan sebagai tempat paling final penang-gungjawaban. Karenanya, segenap aktivitas positif yang di-lakukan manusia senantiasa harus dalam bingkai “peng-hambaan”. Bahkan tujuan keberadaan (hidup) manusia itu sendiri tidak lain dalam konteks penghambaan, pengabdian hanya kepada Tuhan. Sebagaimana ayat berikut:

)٥٦: الذاريات. (عبدونلي إال واإلنس اجلن خلقت وما Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan su-paya mereka menyembah-Ku. (QS. Al-Dhâriyât/51: 56)

: األنعام. (العاملني رب هللا وممايت وحمياي ونسكي صاليت إن قل

١٦٢( Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-An‘âm/6: 162) Dalam konteks pendidikan Islam, di mana tanggung-jawab kerabbaniyahan; mengaktualkan seluruh potensi fitrah manusia termasuk potensi keilahiyahan tertumpu, maka nilai teologis keilahiyahan terfokus pada pemeliharaan, pemupu-

Page 74: 1

66

kan terhadap kelangsungan nilai-nilai tauhid sebagai ka-pasitas bawaan dalam diri peserta didik. Maka dalam hal ini salah satu upaya yang ditempuh dalam proses peadagogis islami adalah menginternalisasikan nilai-nilai teologis. Se-hingga nature tauhid keilahian (nilai teologi Uluhiyah) men-jadi membumi, menginternal dalam diri, dan aktual dalam personifikasi kepribadian peserta didik. Refleksi nilai teologis Uluhiyah tercermin pada pengkonsen-trasian seluruh perasaan subjek didik pada Tuhan; rasa hor-mat, rasa syukur sepenuhnya hanya menjadi otoritas Tuhan semata. Apa yang dikehendaki Tuhan menjadi nilai yang melekat kuat pada keyakinan, perasaan dan sikap dalam me-nyikapi hidup. Komitmen kepada Tuhan adalah utuh, total, positif dan kukuh, mencakup cinta (ma�habbah), pengabdian (‘ubûdiyyah), ketaatan, dan kepasrahan (taslim) serta ke-mauan keras untuk menjalankan kehendak-Nya. Pada tataran ini, nilai teologis uluhyyah berfungsi mentrans-formasikan subjek didik menjadi insan teologis yang memi-liki komitmen ketuhanan yang stabil. Tuhan adalah sumber kebenaran, pandangan transcendental ini memberikan kesa-daran bahwa asal dan tujuan wujud hidupnya berpusat pada Tuhan (esoteris) yang wa�hdaniyyah (Esa). Menolak wujud kebenaran nisbi manusiawi (eksoteris) lainnya yang cende-rung antroposentris. Karena itu dalam pandangan pendidikan Islam manusia adalah makhluk theomorfis; makhluk yang dibekali dua kutub daya yang saling berlawanan antara ku-tub ketuhanan dan syaitan. Karenanya peran pendidikan da-lam pandangan Islam adalah mengaktualisasikan daya-daya ketuhanan itu (fitrah). Dengan demikian, pada dasarnya hakikat nilai teologis Ru-bubiyah dan Uluhiyah ini bertumpu pada tauhid. Yaitu pada pentauhidan atau penyatuan (the unity of God) eksistensi Tuhan sebagai rabb dan ilâh dalam satu kapasitas mutlak. Kesadaran subjek didik terhadap kapasitas Tuhan sebagai murabbî di alam semesta ini diharapkan akan mengantar-kannya pada kesadaran untuk mematuhi segala yang diti-

Page 75: 1

67

tahkan-Nya. Inilah dua aspek nilai teologis, masing-masing nilai-nilai membentuk aspek kognitif; pengetahuan bahwa Tuhan sebagai al-Khâliq, aspek afektif; timbulnya kesadaran ‘ubûdiyyah, dan ketiga aspek psikomotorik; personifikasi dalam sikap hidup (‘amaliyyah).

D. Model: Metode, Pendekatan, Strategi, dan Teknik Inter-nalisasi serta Standar Evaluasi keberhasilan Internalisasi nilai-nilai teologis dalam Pendidikan Islam ber-hasil secara efektif manakala mempertimbangkan (sangat tergantung) pada penggunaan metode, pendekatan, strategi, dan teknik yang tepat dan relevan. Karenanya pencarian model metode, pendekatan, strategi dan teknik yang ber-corak inovatif-transformatif mutlak diperlukan. Dalam kon-teks ini internalisasi adalah tujuan, sementara model metode, pendekatan, strategi dan teknik adalah alat untuk mencapai tujuan. Bertitik tolak pada landasan konsepsional pendidikan nilai sebagaimana telah dibahas pada bagian kedua tesis ini, sete-lah penulis memahami dan menganalisis terhadap sejumlah model; metode, pendekatan, strategi, dan teknik yang ada, maka pada bagian ketiga ini penulis menawarkan model me-tode deduktif, pendekatan rasional-penghayatan, strategi re-flektif dan teknik internalisasi yang menurut hemat penulis cukup refresentatif dapat digunakan dalam aplikasi proses belajar mengajar khususunya dalam “membumikan” nilai-nilai teologis dalam bingkai sistem pendidikan Islam trans-formatif. Model ini sekaligus sebagai tawaran alternatif ter-hadap kebekuan model belajar-mengajar dalam institusi Pendidikan Islam selama ini. Tentunya model-model ini se-telah sebelumnya ditransformasikan sesuai dengan para-digma Pendidikan Islam.

a. Metode Deduktif Metode deduktif secara umum dipahami sebagai me-

tode yang berangkat dari suatu rumusan konsep atau teori yang sifatnya umum untuk kemudian dicoba terapkan pada

Page 76: 1

68

suatu kasus atau permasalahan yang sifatnya khusus. Metode ini berangkat dari kebenaran nilai-nilai teologis sebagai teori dan konsepsi yang memiliki nilai-nilai baik. Kelebihan me-tode ini bagi subjek didik yang masih pada taraf baru mem-pelajari nilai pada tahap-tahap awal akan menjadi lebih baik. Metode ini dinilai cukup relevan dengan strategi reflektif dan pendekatan rasional.

Aplikasi metode deduktif dalam internalisasi nilai di-maksudkan adalah cara menyajikan kebenaran nilai-nilai te-ologis dengan jalan menguraikan konsepsi tentang nilai-nilai teologis untuk dipahami oleh subjek didik, selanjutnya di-tarik sejumlah contoh kasus terapan yang sifatnya konkrit, sederhana dan akrab dengan kehidupan (pengalaman) kese-harian subjek didik. Artinya subjek didik terlebih dahulu di-perkenalkan beberapa pengertian dan pemahaman tentang nilai teologis secara umum, baru kemudian diberikan rincian yang lebih mendetil dan kasuistik yang pernah mereka ala-mi.

Pengajaran tentang konsep keimanan dan ruang ling-kup aspek-aspek yang wajib diimani oleh subjek didik dalam Pendidikan Islam biasanya diberikan lebih dini dan secara khusus dalam satu mata pelajaran tersendiri yaitu “aqidah” atau ilmu Tauhid.65 Pendidikan aqidah dalam sudut pandang (outlook) metode deduktik di atas menurut penulis men-gandung rumusan-rumusan teoritis mendasar mengenai ma-salah-masalah keimanan. Dan ini dapat menjadi landasan konsepsional terhadap penjabaran nilai-nilai teologis tahap

____________

65Dalam perspektif Islam, Ilmu Tauhid merupakan ilmu tertinggi dalam hirarkhi pengetahuan, asal muasal dan tujuan pada ilmu-ilmu lain. Ia juga merupakan sumber kesatuan semua ilmu. Setiap ilmu yang mengklaim sebagai ilmu yang islami haruslah berhubungan secara organik dengan prin-sip tauhid. Osman Bakar, Tauhid and Science; Essays on The History and Philosophy of Islamic Science, terj. Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains; Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 244. Lihat dan bandingkan dengan Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori, Psikologi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 128-129.

Page 77: 1

69

awal yang harus dipahami subjek didik sebelum merefleksi-kannya lebih jauh dalam pengalaman hidup sehari-hari.

Secara sekilas metode deduktik sepertinya kembali menggiring aspek reflektif-transformatif normatifitas-nilai-nilai teologis yang berada pada domain afektif ke dalam bentuk pemahaman doktriner-konsepsional teologis--yang terangkum dalam ilmu tauhid--yang berada pada domain kognitif. Namun asumsi sementara ini akan absurd manakala dipahami bahwa penggiringan kembali aspek doktriner te-ologis tersebut hanya dimaksudkan sebatas pijakan teoritis belaka untuk kemudian “dilepaskan” kembali pada posisi normatifitasnya kembali. Penggiringan ini hanyalah untuk menjembatani antara posisi doktrin teologis yang “melangit” dan posisi refleksi-transformasi nilai-nilai teologis yang “membumi”. Interaksi dialektis--bolak-balik—antara postu-lasi dengan fenomena faktual-emperikal merupakan raison de tare bagian kerja metode deduktif yaitu metode reflektif.

Kembali pada penggunaan metode deduktif dalam ap-likasi internalisasi nilai-nilai teologis di atas, bahwa kon-sepsi teologis yang diajarkan adalah berupa konsep-konsep dasar keimanan materinya berupa doktrin murni (pure doc-trine)66. Artinya, belum direduksi ke dalam pandangan-pandangan (interpretasi) mazhab-mazhab teologi. Dan juga belum diajarkan dalam bentuk “kemasan” perspektif, ia ma-sih berupa pokok-pokok pengetahuan keimanan (al-u�sûl li al-îmân wa al-taw�hîd) belum membias dalam pendekatan ilmu lain.

____________

66Materi pelajaran tauhid berisikan pandangan dunia tauhid secara utuh. Di dalamnya membahas masalah-masalah yang berkenaan dengan keimanan; keesaan Allah beserta bukti-bukti (teologis-kosmologis-antropologis) yang terdapat dalam rujukan resmi Islam yaitu al-Qur’ân dan al-Hadits maupun fenomena kealaman, sifat-sifat Allah, kandungan makna al-asmâ’ al �husnâ, rukun iman, serta qadha dan qadar yang secara terpadu langsung dikaitkan dengan pembahasan tentang keadilan Ilahi. Muhammd Fauzil Adhim, Mendidik…, h. 41-42.

Page 78: 1

70

Tahap penjelasan masalah-masalah keimanan pada diri subjek didik di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, semestinya didukung secara kondusif oleh lembaga pendidi-kan lainnya terutama lembaga keluarga (informal). Pada tahap pengenalan dasar keimanan ini orang tua dan anggota keluarga lainnya sangat memegang peranan penting dan cu-kup menentukan pemahaman utuh keimanan subjek didik berdasarkan pada intensitas pengalaman dalam penerapan ibadah sebagai salah satu refleksi pengetahuan keimanan-nya. Pengalaman kebertuhanan67 subjek didik yang menda-pat tempat cukup intens dalam lingkungan keluarga akan mempersubur keyakinannya kepada apa yang selama ini hanya eksis dalam alam pikirnya.

Sehubungan dengan demikian urgennya dukung-an lingkungan keluarga terhadap kelangsungan per-kembangan sikap keberagamaan anak pada sejak usia prasekolah (pre-school) sampai dengan usia mulai sekolah (early childhood), berikut dikutip pendapat Zamroni. Lebih jauh ia mengata-kan;

Perkembangan kepribadian, sikap mental dan intelek-tual sangat ditentukan dan banyak dibentuk pada usia ini. Sebahagian besar perkembangan ini dipengaruhi oleh per-anan lingkungan keluarga menurutnya ada lima aspek dari lingkungan keluarga yang berpengaruh terhadap hasil pen-didikan sekolah dasar (early childhood), yaitu pola perilaku anak dan orang tua, bantuan dan petunjuk orang tua dalam belajar, diskusi antara orang tua dan anak, penggunaan ba-

____________

67Prinsip yang perlu dipertegas dalam Pendidikan Islam ialah pen-gembangan pengalaman hidup sebagai Muslim. Setiap rangkaian kegiatan belajar mengajar perlu ditempatkan sebagai media pengkayaan pengalaman kebertuhanan. Secara teoritis hal ini mengandaikan kerangka dan dasar meto-dik proses belajar mengajar sebagai penyadaran yang tumbuh dari pengala-man panjang memahami dinamika kehidupan manusia di alam semesta. Abdul Munir Mulkhan, “Re-edukasi Etika Sarjana Tarbiyah”, dalam Religiusitas Iptek…, h. 111.

Page 79: 1

71

hasa di rumah, dan aspirasi pendidikan orang tua. Di ling-kungan keluarga inilah anak akan berkembang, dan di sini juga tahap-tahap awal proses pembentukan kepribadian anak melalui internalisasi nilai-nilai terpantul dari emosi, minat, sikap dan perilaku orang tuanya.68

Setelah “materi-materi utama” ini dipahami subjek didik dalam bentuk wawasan pengetahuan (kognisi) keimanan atau ketauhidan, maka nilai-nilai keimanan, nilai-nilai tauhid atau nilai-nilai teologis dalam bentuk wacana atau perspektif disiplin ilmu lain mulai diperkenalkan secara bertahap sesuai kapasitas daya (logik) nalarnya. Nilai-nilai teologis yang secara implisit–paling tidak mempunyai kore-lasi positif dengan pesan moral dan etik-religius yang ter-kandung dalam disiplin ilmu itu--eksis dalam setiap subjek kajian dielaborasi sedemikian rupa sehingga muncul secara bersamaan dengan substansi topik yang sedang dibicarakan. Inilah yang dimaksudkan nilai-nilai teologis dalam perspek-tif, artinya apapun disiplin ilmu yang dikaji oleh subjek didik, pada substansi materinya disertakan dan dioerientasi-kan nilai-nilai teologis yang dikandung disiplin ilmu terse-but.

Muatan nilai-nilai teologis dalam suatu disiplin ilmu diangkat ke permukaan melalui pendekatan kontekstual dari ilmu yang bersangkutan. Dalam hal ini, perspektif nilai-nilai teologis dalam satu disiplin ilmu apapun merupakan muatan substansi “sertaan” yang senantiasa melekat pada substansi “inti” dari materi ilmu itu sendiri. Substansi sertaan ini memang harus direncanakan sebelumnya, sejak awal penyusunan kurikulum untuk masuk pada setiap substansi inti, walaupun tidak secara secara formal--tidak terinderai oleh pendidik dan subjek didik--dimunculkan. Sub-stansi sertaan adalah nafas yang selalu harus dihembuskan

____________

68Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta: Bi-grof Publising, 2000), h. 109.

Page 80: 1

72

manakala substansi inti disampaikan, ia berada di balik muatan yang nampak. Kedua bagian substansi materi ini tidak dipandang sebagai bentuk pembagian dikhotomis, subjek didik diarahkan untuk melihat kelompok yang pertama sebagai inti, dan kelompok yang lain sebagai pendukung menuju pemahaman yang lebih utuh.

Untuk melengkapi metode deduktif ini perlu diguna-kan model pendekatan empirik. Karena upaya menghadirkan iman (baca; nilai-nilai teologis) dalam kehidupan, selain melalui pendekatan wahyu (doktrin; konsep iman), subjek didik harus menerima-berhadapan dengan hukum alam ciptaan Tuhan dalam bentuk fenomena empiris mem-butuhkan “refleksi teologis” sebagai wa�sîlah yang meng-hubungi pengalaman empirik ke alam transendental. Melalui refleksi teologis subjek didik diajak agar mampu menyikapi problematik empirik pengalaman kebertuhanan dalam hidup keberagamaannya sehari-hari dengan pandangan yang utuh antara pengetahuan keimanannya dengan apresiasi sikap keberagamaannya yang tercermin dalam intensitas ketaatan beribadah, baik ibadah individual maupun ibadah sosial.

b. Pendekatan Rasional-Penghayatan Seperti telah disinggung pada pembahasan tentang

metode deduktif sebagai salah satu “metode alternatif” 69 dalam internalisasi nilai teologis, bahwa metode deduktif relevan dengan strategi reflektif dan pendekatan rasional.

____________

69Penulis maksudkan dengan term “alternatif”, bahwa pada prinsip-nya semua bentuk metode, pendekatan, teknik dan strategi dalam internalisasi nilai memungkinkan untuk digunakan. Hanya saja penggunaannya terbatas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di “lapangan” dunia pendidikan itu sendiri, seperti tujuan pembelajaran, ruang lingkup dan target materi ajaran, tingkat perkembangan dan kemampuan subjek didik, profesionalisme pen-didik, kondisi ril tempat dan waktu pembelajaran, dan lain sebagainya. Ber-dasarkan kemungkinan-kemungkinan ini, maka tidak ada metode atau pendekatanpun yang bernilai absolut untuk digunakan, sejauh dianggap lebih relavan dan lebih tepat terhadap pertimbangan-pertimbangan di atas, maka metode dan pendekatan itu dapat saja digunakan.

Page 81: 1

73

Relevansi tersebut terletak pada keharusan subjek didik menggunakan pemahaman rasionalitasnya secara optimal untuk menalar konsep dasar iman dan merefleksikan secara deduksi (dari konsep ke fakta atau pengalaman) ke dalam pengalaman-pengalaman kebertuhanan melalui pelaksanaan ibadah –dalam arti luas—sehari-hari.

Pemahaman fundamental terhadap norma-norma dasar keimanan berperan sebagai landasan konsepsional yang sekaligus menjadi batu lancatan terhadap kemampuan merefleksikan nilai-nilai iman yang “tersertakan” baik pada substansi disiplin ilmu lain atau pada pengalaman menghayati kebermaknaan Tuhan di luar lingkungan belajar institusi formal (sekolah alam raya). Dalam konteks hubungan ini, metode deduksi berfungsi sebagai basis (u�sûl) pengenalan nilai, sementara rasionalitas adalah pendekatan dalam mengenal dan menguasai basis, juga metode untuk mengaktualisasikan refleksi-refleksi dalam aksi.

Untuk menanamkan kesadaran nilai adakalanya harus dimulai dari kesadaran rasional, karena proses per-kembangan sikap (kesadaran beragama) sebenarnya tidak terlepas dari perkembangan penalaran (kognisi). Wawasan awal tentang nilai yang tercerap melalui kesadaran rasional akan diproses secara psikologis sehingga melahirkan respon dalam bentuk sikap terhadap objek nilai. Menginternalnya suatu nilai berawal dari penalaran yang benar terhadap nilai itu, maka jika penalarannya salah, dengan sendirinya nilai tersebut akan dianggap salah sehingga tidak menginternal dalam diri subjek didik.

Pendekatan rasional dalam pengembangannya terhadap internalisasi nilai-nilai teologis dimasudkan supaya kesadaran terhadap “kebermaknaan” Tuhan dalam hidup pada kepribadian subjek didik tidak sebatas pada “pengekoran” (taqlid) buta--tanpa dibarengi dengan pemahaman yang mendalam (ijtihad)--terhadap kebenaran nilai yang diyakini dan diaktualisasikan. Sikap kebertuhanan (beriman) yang gersang dari penalaran akan berimplikasi

Page 82: 1

74

pada ketidakmembumian kesadaran dalam menghadirkan Tuhan secara internal dalam hidup.

Sementara itu dalam proses belajar mengajar, pendekatan rasional difokuskan pada upaya pendidik men-jelaskan bahan ajar dengan menggunakan alasan-alasan, dalil-dalil logis--berdasarkan pengamatan empiris-- yang dapat dicerap akal sehat peserta didik sesuai dengan kemampuan daya nalarnya. Proses belajar-mengajar dengan pendekatan ini tidak hanya digunakan pada materi pelajaran pengetahuan umum seperti ilmu alam dan ilmu sosial, akan tetapi materi pelajaran agama, bahkan materi aqidah sekali-pun pendekatan rasional mutlak harus digunakan.70

Jargon “iman yang ilmiah dan ilmu yang amaliah” kiranya cukup sinkron dengan missi pendekatan rasional71 dalam internalisasi nilai teologis atau pembentukan dan

____________

70Dilihat dari segi metodologi Pendidikan Islam selama ini materi ajaran agama tampak belum banyak diintrodusir sisi-sisi rasionalitasnya. Karena itu perlu digunakan model penjelasan rasional, di samping intensitas praktek dan keharusan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin dan norma peribadatan. Model penjelasan yang rasional, misalnya digunakan dalam menjelaskan rukun iman yang enam. Metode belajar melalui dialog dan pen-jelasan-penjelasan rasional sudah satnya digunakan, selain tetap mengguna-kan metode tradisional sebatas keperluan. Metode tradisional diharapkan tetap dipertahankan, karena ada memang nateri-materi agama yang memerlu-kan metode belajar tradisional. Mastuhu, Memberdayakan…., h. 68, 75, 88. Dari doktrin dasar ini nilai-nilai teologis dapat dimaknai dan dihayati secara lebih luas pada aspek materi lainnya.

71Sistem kepercayaan harus mencapai derajat rasionalitas yang tinggi. Terdapat kebutuhan dalam konteks kultural klasik untuk membuktikan secara rasional keberadaan Tuhan, apalagi dalam kultural modern. Walaupun menurut Hasan Hanafi Tuhan dalam sistem kepercayaan bukan objek ilmu pengetahuan, tetapi kebenaran tentang keberadaan Tuhan dapat ditemukan melalui alam materi ciptaan-Nya. Lebih jauh Hasan mengatakan Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan teori, melainkan dengan kenyataan. Singkatnya, Tuhan bukan objek untuk dibuktikan secara teoritis, melainkan suatu tujuan untuk diwujudkan secara praktis. Hasan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pem-bangunan, terj. Shonhaji Shaleh, cet. Ke-1 (Jakarta: P3M, 1991), h. 8, 14, 115.

Page 83: 1

75

pendalaman aspek keimanan subjek didik. Betapa tidak, iman dikategorikan ilmiah manakala dalam pembentukannya melibatkan kapasitas rasional. Letak ilmiahnya iman adalah pada proses, kualitas dan aktualisasinya. Pada tataran proses, iman dikatakan ilmiah manakala dalam pembentukannya melibatkan runtutan (sistematika) langkah-langkah berpikir ilmiah.72 Ia tidak hanya melibatkan tolak ukur kebenaran in-tuisi atau pendekatan imani (trancendency) saja, melainkan juga turut di dalamnya tolak ukur kebenaran empiri, sensori, dan kebenaran logik. Pada tataran kualitas, iman dapat di-kategorikan berkualitas manakala iman dapat mempribadi atau membumi dalam bentuk kepribadian yang utuh. Semen-tara iman dapat dikategorikan aktual,73 manakala iman dapat berujud amal shalih sebagai bukti konkrit yang nampak dan terukur dalam menyikapi hidup.

Selain menggunakan pendekatan rasional dalam penje-lasan semua materi pelajaran yang dapat mengelaborasi nilai-nilai teologis, maka pendekatan penghayatan berperan sebagai “pendekatan pendamping” yang diperlukan dalam membimbing dan membantu penalaran rasional (‘aqliyyah) subjek didik menuju ke hirarkhi penalaran batin (qalbiyyah). Penghayatan terhadap nilai teologis yang telah melembaga dalam alam rasional subjek didik bertujuan untuk meniup-kan ruh (spirit) pada nilai-nilai teologis sehingga dapat tere-

____________

72Jika mengadobsi pada ketrampilan berpikir model John Dewey, maka langkah-langkahnya secara berurut adalah mengamati, mendiskripsi, menganalisis, mengklasifikasi, menafsirkan, dan menarik kesimpulan. S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, cet. kse-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h.121. Bandingkan dengan dimensi/skop pendidikan nilai, yaitu mengindentifikasi nilai, inkuiri filosofis/tinjauan mendalam secara rasionaal terhadap nilai, respon afektif dan emotif terhadap nilai, dan mengambil keputusan tentang nilai yang dipilih.

73Hasan Hanafi mengatakan iman menjadi mandiri tanpa pemahaman dan tindakan. Tindakan adalah manifestasi dari iman, iman tanpa tindakan sama dengan bentuk tanpa isi, kata tanpa aksi. Hasan Hanafi, Agama…, h. 18.

Page 84: 1

76

alisasi dan terakomudasi alam aktual melalui perwujudan si-kap dan perilaku insan yang berkapasitas iman yang ilmiah dan ilmu yang amaliah.

Pendekatan penghayatan akan berkembang lebih efek-tif jika subjek didik lebih intens dilibatkan dalam kegiatan empirik sehari-hari. Dengan catatan pengalaman empirik tersebut lebih ditekankan pada keterlibatan aspek afektifnya daripada aspek rasionalnya. Dengan demikian diharapankan muncul kesadaran terhadap kebenaran nilai yang diyakini dan diamalkan. Pendekatan penghayatan memberikan ke-sempatan yang luas kepada subjek didik untuk lebih kreatif mengalami sendiri nilai-nilai yang hidup, melembaga dalam dirinya dan lingkungan di luar dirinya.

Nilai-nilai teologis yang hidup dalam institusi sosial keagamaan seperti dalam pelaksanaan ibadah individual maupun sosial (shalat, puasa, zakat dan haji) kemudian mampu dihayati oleh subjek didik, maka pengaruhnya jauh lebih melembaga dalam kesadarannya. Karena di sini ber-langsung proses mental (religios building) untuk memaknai setiap aktivitas religius tersebut. Pemaknaan aktifitas fisik inilah yang disebut dengan aktivitas penghayatan.

Pendekatan penghayatan adalah pendekatan yang be-rupaya menyentuh hati nurani, mengembangkan kata hati dan perasaan subjek didik. Dalam internalisasi niliai-nilai teologis pendekatan ini difokuskan pada belajar mengalami kebermaknaan keberadaan Tuhan melalui semua realitas yang ada. Realitas kehidupan dan realitas kematian atau ke-tiadaan (fanâ). Pengalaman ini sedapat mungkin berlang-sung seumur hidup, mulai dari lingkungan keluarga, bangku pendidikan sekolah dan masyarakat.

Lebih khusus di lembaga pendidikan, pemaknaan hidup dengan nilai-nilai teologis ini diperoleh melalui pene-laahan ilmu pengetahuan alam dan sosio-kultural yang ber-peran sebagai landasan pemaknaan. Penelaahan melalui proses pembelajaran ilmu pengetahuan di lembaga pendidi-kan ini dengan prosesnya yang selalu menyertakan (inte-

Page 85: 1

77

grated) di dalamnya upaya mengangkat atau memunculkan keberadan realitas mutlak (Tuhan) di balik semua fenomena yang tersirat dalam kajian ilmu tersebut, cukup memberikan sentuhan awal pada “dinding-dinding” rasional-religiusitas subjek didik sejak awal.

c. Strategi Reflektif

Kata “reflektif“ dalam terminologi metodologi peneli-tian dimaksudkan sebagai metode integrasi dari penggunaan metode dedukti dan induktif. Dalam pendidikan nilai, strategi reflektif merupakan cara yang biasa digunakan un-tuk mendidik peserta didik dalam mengenali, memahami dan menghayati nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dengan jalan mondar-mandir antara menggunakan pendekatan teor-itik ke pendekatan empirik, serta mondar-mandir antara menggunakan metode deduktif dengan pendekatan induktif. Strategi reflektif memungkinkan penggunaan pendekatan ra-sional sekaligus dengan pendekatan emosional (pengha-yatan).

Dalam internalisasi nilai-nilai teologis, strategi reflek-tif adalah strategi belajar dengan menggunakan aktivitas berpikir rasional terhadap realitas empirik untuk mem-peroleh penghayatan yang mendalam terhadap kualitas ketu-hanan khususnya dan kemanusiaan sekaligus, sehingga mempribadi dalam diri menjadi pandangan hidup (keyaki-nan) bagi tolak ukur sikap dan perilaku.

Jika dirujuk ke dalam al-Qur’ân , konsep berpikir re-flektif banyak terkandung dalam ayat-ayat nalar. Seperti se-ruan Allah pada setiap penghujung ayat-ayat nalar dengan ungkapan “afalâ yatafakkarûn”, “ afalâ ya‘qilûn”, “ afalâ yan�zurûn”, “ yâ ulû al-albâb” dan ungkapan-ungkapan lain. Secara umum seruan Allah dalam ayat-ayat nalar di atas adalah seruan untuk berpikir dan merenung terhadap ayat-ayat Allah yang ada di alam raya (âyât al-kawniyyah) ini se-bagai tanda-tanda keagungan-Nya yang diperuntukkan bagi manusia. Dengan demikian, diharapkan manusia seluruhnya

Page 86: 1

78

yang tergolong ke dalam hambanya dapat mengambil i‘tibar atau ibrah untuk lebih yakin dan memantapkan keimanan kepada Allah.

Ajakan al-Qur’an pada sejumlah term sebagai-mana disebutkan di atas, mengajak dan mendorong manusia untuk aktif bereflektif terhadap semua objek realitas empirik alam raya ini guna mengokohkan keimanan kepada Allah atau menginternalnya nilai-nilai teologis yang nantinya inklusif dalam nilai-nilai kemanusiaan. 74

Sebagai strategi pendidikan, peranan berpikir mere-nung (reflektif) dapat dikembangkan dalam proses belajar mengajar semua materi pelajaran. Subjek didik membiasa-kan diri berpikir menghayati kebenaran-kebenaran Tuhan dengan segala keagungan-Nya--pada penciptaan, pengaturan dan pemeliharaan alam raya—melalui penelaahan ilmu pen-getahuan yang dipelajarinya. Melalui strategi reflektif nilai-nilai tauhid (teologis) akan muncul dari substansi ilmu yang dipelajari.

Harapan dari strategi reflektif ini adalah terintegras-inya antara ilmu dan iman, antara kesadaran rasional yang didukung dan dikembangkan ke dalam kesadaran afektif (emosional), antara berpikir dan merenung-menghayati, dan antara akal dan budi subjek didik sehingga terkonstruk suatu kepribadian yang utuh. Kesadaran nilai yang didukung oleh

____________

74Q.S. Ali ‘Imrân/3: 190-191 misalnya dan masih banyak ayat al-Qur’ân lainnya yang menggunakan fenomena kealaman yang secara langsung menjadi objek reflektif subjek didik untuk memikirkan, menghayati dan menjadikannya sebagai hujjah untuk meneguhkan keimanan kepada Allah. Upaya merefleksikan ayat-ayat kauniyah ini memungkinkan subjek didik lebih terbantu dalam konstruksi berpikir yang relatif matang ketika ia berhadapan langsung dengan medan kajian sainstec; sains dan teknologi. (iptek). Secara aktif nilai-nilai teologis yang terinternal melalui kajian saintek ini akan memperkokoh konstruksi berpikirnya ketika mempelajaari ilmu-ilmu pendukung sebagai bagian dari ayat-ayat Allah yang haq. Sebagaimana Allah sendiri memotivasi manusia agar memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya di balik fakta-fakta alam ciptaan-Nya.

Page 87: 1

79

sikap rasional ini membedakan kedewasaan iman dengan iman yang verbalis. Iman yang didukung oleh ilmu adalah iman yang dewasa, sementara iman yang hanya didukung oleh emosi dan taqlid adalah iman yang rawan.

Strategi reflektif diprediksikan mampu mengintegrasi-kan pandangan dunia tauhid dalam bingkai integrasi ilmu pengetahuan dalam paradigma Pendidikan Islam. Dalam hal ini Murtada Mutahhari menentukan sejumlah keunggulan pandangan dunia tauhid dalam membentuk pandangan hidup Muslim, yang dengan keunggulan ini internalisasi nilai-nilai teologis dalam paradigma Pendidikan Islam akan bermakna dan menjadi pegangan peserta didik dalam menentukan si-kap dan arah dalam menyikapi problema-problema sosial. Strategi refleksi mengantarkaan peserta didik lebih mengha-yati keadilan Ilahi sehingga memberi spirit bagi tegaknya keadilan insani di muka bumi. Tanpa adanya kapasitas re-flektif yang mempribadi semacam ini, maka internalisasi nilai-nilai teologis hanya akan berhasil menanamkan nilai-nilai teologis tekstual, bukan nilai-nilai teologis aktual.75

d. Teknik Trans-internal Teknik pendidikan nilai transinternal ini dinilai lebih

tepat digunakan dalam penanaman nilai-nilai ketuhanan (te-ologis) dan kemanusiaan. Ditambah lagi jika teknik ini dipa-dukan dengan metode deduktif, pendekatan rasional-peng-hayatan dan strategi reflektif. Tanpa mengurangi kelebihan

____________

75Nilai-nilai teologis aktual dimaksudkan adalah nilai-nilai teologis yang tertransformasikan ke dalam realitas kehidupan sehari-hari yang sifat-nya aktual. Karena pada dasarnya nilai-nilai teologis mengandung nilai moral dan sosial. Muatan aktual nilai-nilai teologis pada aspek sosial misalnya ke-pekaan terhadap issu-issu sosial, moral dan lingkungan hidup. Katakanlah kepedulian terhadap kaum tertindas (musta�z‘afîn) secara politik, ekonomi dan sosial; kaum pinggiran (marginal), anak yatim, fakir miskin, anak jalanan, panti asuhan, panti jompo, pelestarian lingkungan hidup, kebersihan dan ke-sehatan lingkungan, kriminalitas dan pelecehan terhadap wanita dan anak-anak. Semua isu-isu ini akan mendapat sentuhan pikiran, hati dan tangan dari subjek didik yang memiliki kapasitas nilai-nilai teologis.

Page 88: 1

80

teknik lain dan kelemahan teknik trans-internal sendiri, maka dibandingkan dengan teknik pendidikan lain seperti teknik indoktrinasi, klarifikasi, moral reasoning, meramal konsekuensi, dan teknik menganalisis nilai, teknik trans-internal memiliki keunggulan tersendiri.

Apabila dalam teknik-teknik yang disebutkan di atas hanya sebatas pada pemilihan nilai dengan argumentasi ter-tentu, maka dalam teknik trans-internal ini sasarannya adalah sampai pada pemilikan nilai yang mengakar dalam kepribadian subjek didik. Sebelum sampai pada tahap transinternal, ada dua tahap lainnya yang harus dilaksanakan pendidik dalam proses internalisasi nilai teologis sehingga sampai pada tahap trans-internal.

1. Tahap transfer nilai

Pada tahapan ini pendidik mentranfer atau mem-berkan pengetahuan tentang aspek keimanan (aqidah) secukupnya kepeda subjek didik. Dalam kegiatan ini aspek kognisi subjek didik sangat dominan. Transfer wawasan pengetahuan keimanan dari pendidik kepada subjek didik ini sifatnya semata-mata sebagai komunikasi teoritik dengan menggunakan bahasa verbal. Pada tahap ini subjek didik belum dapat melakukan analisis (subjek didik pasif) terhadap informasi aspek keimanan tersebut untuk dikaitkan dengan realitas praksis sehari-hari dalam pengalaman kebertuhanan subjek didik. Setelah tahapan ini dianggap sudah mampu dicerna dan dipahami serta memadai bagi pengalaman subjek didik dalam kehidupan di dalam masyarakat, maka tahapan berikut-nya sudah dapat dilaksanakan.

2. Tahap transaksi Jika pada tahap transfer, komunikasi yang ber-langsung sifatnya searah (informasi bersumber dari pendidik saja), maka pada tahap transaksi sudah ber-langsung komunikasi dua arah; yaitu antara pendidik

Page 89: 1

81

dengan subjek didik saling membagi dan menyampai-kan informasi berdasarkan penalaran (analisis) terhadap aspek pengetahuan keimanan yang didiskusi-kan. Pada tahapan ini interaksi antara peserta didik dengan pendidik bersifat timbal balik, masing-masing memberikan konstribusi analisis. Ada semacam tawar-menawar (bargaining information) input dari wacana yang sedang dibahas, subjek didik terkadang berkutat dengan penalarannya. Walaupun masih sebatas komu-nikasi verbal yang sifatnya fisik dengan memberi con-toh melalui pengamalan kebertuhanan yang dilakukan pendidik sehari-hari, akan tetapi tahap transaksi ini memberikan spirit, suggesti dan motivasi intrinsik tersendiri bagi peserta didik untuk mencoba “mem-batin” atau memaknai dan menghayati terhadap apa yang telah diketahui dan diamatinya pada profil pen-didik.

3. Tahap trans-internalisasi Pada tahap ini pendidik berhadapan dengan peserta didik tidak lagi sebagai sosok fisiknya saja, melainkan juga sikap mental dan keseluruhan kepribadiannya. Demikian juga peserta didik merespon terhadap apa yang dikehendaki pendidik dengan memaksimalkan se-luruh aspek kepribadiannya. Yaitu kepribadian dalam kondisi saling memberi dan menerima pengalaman penghayatan kebertuhanan melalui pengamalan praksis dalam kehidupan. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa pada tahap transinternalisasi ini terjadi “komu-nikasi batin” antara peserta didik dengan pendidik. Dalam eskalasi ini pendidik tidak ubahnya sudah ber-peran sebagai pembimbing ruhani, guru (murabbî) pencerah batin subjek didik yang senantiasa meng-ayomi, memberi arah kebenaran dan teladan yang kharismatik di mata anak-anak didiknya. Selain me-lalui kurikulum mikro (pengalaman belajar di ruang kelas), kurikulum makro (pengalaman belajar di luar

Page 90: 1

82

ruang (tanpa batas) kelas tahap trans-internalisasi dapat dilangsungkan seperti di mushalla sekolah melalui berbagai kegiatan baik yang bersifat pengasahan wawasan pengetahuan (kognitif), pencerahan pengha-yatan batin (afektif) maupun uji coba atau pengamalan langsung melalui ibadah ritual, sosial dan ibadah alam.

4. Tahap transformatif Kalaupun ketiga tahap di atas telah diutamakan dan memperoleh porsi yang memadai, masih ada satu ta-hapan lagi yang hendak dicapai, yaitu aspek psikomo-torik. Tahapan ini lebih menekankan kemampuan sub-jek didik untuk dapat menumbuhkan motivasi, sugesti, spirit dalam diri sediri (intrinsik) sehingga dapat menggerakkan, melaksanakan dan mentaati nilai-nilai teolgis yang telah terinternalisasikan dalam dirinya sendiri melalui ketiga tahapan di atas. Di sinilah tolak ukur keberhasilan internalisasi nilai akan terlihat pada tindakan subjek didik dalam lingkungan pengalaman belajar terbatas (keluarga dan sekolah) maupun dalam lingkungan pengalaman belajar lebih luas (masyara-kat). Terjadinya proses transformasi nilai dari tataran pen-getahuan atau alam kesadaran kepada perwujudan si-kap dan tidakan atau alam aktualitas adalah tujuan utama pendidikan atau tujuan hakiki internalisasi nilai, dan lebih khusus lagi tujuan internalisasi nilai teologis. Kesatuan (integrality) antara ilmu, iman, dan amal dalam keutuhan kapasitas personal subjek didik meru-pakan harapan dan cita-cita luhur Pendidikan Islam. Atau dalam bahasa umum pendidikan dinyatakan den-gan karakterisasi nilai, yaitu apabila kepribadian yang telah terbentuk sesuai dengan sistem nilai tertentu dan dilaksanakan secara terus menerus, maka akan terben-tuk kepribadian yang bersifat satunya hati, kata, dan perbuatan.

Page 91: 1

83

Teknik tran-internal merupakan sebuah proses–rangkai-an langkah-langkah pengubahan (transformasi) aspek pengeta-huan yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang kemudian diinternalisasikan. Selanjutnya “makna” dan “nilai” yang telah terkunyah dan terhayati menjadi kekuatan (power) bagi subjek didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku (mo-torik) secara konkrit-religius dalam wilayah praksis sehari-hari.

Serangkaian model: metode, pendekatan, strategi dan teknik yang telah dikualifikasikan di dalam proses menginter-nalkan (internalisasi) nilai-nilai teologis dalam lingkup Pendidi-kan Islam yang kelihatannya cukup aplikatif, kiranya hanyalah sebatas gagasan “ijtihadiyah” pemula dalam wacana Pendidikan Nilai Teologis dalam spektrum Pendidikan Islam. Dengan anal-isis yang masih dangkal mencoba mengangkat diskursus inter-nalisasi nilai teologis. Namun pada kenyataannya, akhir dari diskursus ini masih tidak bisa dihindari dari nuansa teoritis-konsepsional yang masih umum bagi upaya operasional-aplikatif internalisasi nilai-nilai teologis itu sendiri dalam plat-form Pendidikan Islam.

Walaupun demikian diharapkan studi ini menjadi sum-bangsih awal guna lebih memicu telaahan yang lebih kritis dan lebih operasional.

Page 92: 1

84

Page 93: 1

85

B A B E M P A T

KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI STUDI Kesimpulan

nternalisasi merupakan term yang terdapat dalam kajian Psi-kologi Pendidikan. Internalisasi adalah menjadikan sikap,

perasaan, keyakinan menjadi bagian tidak terpisahkan dari per-sonalitas seseorang melalui pengulangan pengalaman belajar. Proses internalisasi merupakan proses pemunculan dari dalam jiwa subjek didik. Secara umum internalisasi menunjuk ke arah perkembangan batiniah yang terjadi bila subjek didik menjadi sadar tentang tujuan hasil belajar, dan kemudian mengambil si-kap-sikap, prinsip-prinsip yang menjadi bagian dari dirinya di dalam membentuk penilaian norma daan di dalam menuntun tingkah laku (moral) nya.

Sementara nilai teologis adalah kualitas-kualitas ketu-hanan yang telah direfleksikan pada ayat-ayat Tuhan baik tersu-rat (qawliyyah) maupun yang tersirat (kaw-niyyah). Aktualisasi ayat-ayat Tuhan tersebut menjadi nilai-nilai teologis dicerap subjek didik melalui penelaahan ilmu pengetahuan—dalam ar-tian non-dikhotomis—dengan cara rasionalisasi (penalaran) dan refleksi (penghayatan) atau pemaknaan aspek kognitif ilmu pen-getahuan dengan makna atau nilai-nilai teologis yang implisit dalam substansi materi disiplin ilmu yang dipelajari tanpa kec-uali.

Refleksi keagungan terhadap kualitas-kualitas Ilahi --yang dalam penelitian ini diistilahkan dengan nilai-nilai teolo-gis—yang dapat diketahui pada kompleksitas penciptaan, pen-gaturan dan pemeliharan alam mikro (keunikan manusia), alam makro (alam semesta) seperti Maha Kreasi, Maha Pemelihara, Maha Mengatur, Maha harmonis, Maha adil dan bijaksana, dan

I

Page 94: 1

86

sifat-sifat “positif” lainnya yang secara inheren kualitas Ilahiyah ini ada pada manusia yang juga bersifat insaniyah.

Nilai-nilai Teologis ini diinternalisasikan melalui reka-yas peadagogik dalam bingkai paradigma Pendidikan Islam dengan metode, pendekatan, strategi dan teknik tertentu yang dianggap aktual dan relevan dengan tuntutan perkembangan zaman. Metode belajar mengajar deduktif dengan langkah-langkah yang telah disitematisasikan sesuai dengan tahap per-kembangan aspek kognitif dan afektif subjek didik dianggap da-pat menggantikan metode indoktrinasi yang selam ini masih dip-raktekkan dan masih mentradisi dalam lembaga Pendidikan Is-lam.

Demikian juga pendekatan rasional dianggap kredibel untuk menguak kreativitas berpikir subjek didik secara optimaal melalui kegiatan belajar dialogis yang objektif dan logis, anali-tik, partisipatoris, dialektis dan belajar mengalami sendiri wa-laupun terhadap aspek yang selama ini diasumsikan sakral untuk diekploitasi (ijtihadi) kemampuan kreativitas rasional subjek didik seperti aspek keimanan. Pendekatan rasional ini mencoba menggantikan pendekatan otoritatif (one man show), seolah guru satu-satunya pemilik kebenaran sementara subjek didik seperti kertas kosong tanpa potensi apa-apa. Hal ini sangat ber-tentangan dengan fitrah manusia dalam pandangan Pendidikan Islam bahwa subjek didik bukan bank atau botol (benda mati) yang pasif dan statis dan hanya siap ditransfer ilmu pengetahuan secara otoritatif.

Stretegi reflektif (berpikir-merenung) menawarkan kon-vergensi dengan “mengawinkan” metode deduktif dengan pendekatan rasional dan mengadobsikannya sebagai strategi al-ternatif internalisasi nilai teologis. Strategi reflektif merupakan stretegi jalan tengah antara maksimalisasi “kubu” rasionalitas (otak kanan) dengan “kubu” penghayatan (otak kiri) subjek didik dalam mencerna, membatin dan mengaktualkan nilai-nilai teologis menjadi karakteristik setiap sikap dan perilaku praktis-nya. Strategi ini mereposisikan strategi tradisonal yang lebih

Page 95: 1

87

menekankan pada aspek verbal sehingga cukup padaa tataran verbal (hafalan) saja.

Internalisasi nilai-nilai teologis menggunakan tehnik trans-internal, artinya pengkondisian suasana dan proses belajar mengajar yang lebih “hidup”. Suasana ini terwujud apabila jali-nan komunikasi lahir-batin (fisik dan kepribadian) antara subjek didik dengan pendidik secara kondusif dimungkinkan terjadi. Tidak ada “penguasa” kebenaran terutama oleh pendidik, semua dianggap sama di hadapan kebenaran, sama-sama sedang men-cari. Melalui teknik ini transformasi dialektif nilai-nilai teologis dari dan kepada pendidik-subjek didik berlangsung secara in-tens. Dimana pendidik tidak saja memiliki konstribusi kognitif, afektif dan psimotorik terhadap subjek didik, bahkan ia mampu berperan sebagi nilai-nilai yang hidup yang tercermin pada ke-teladan kepribadiannya.

Standar evaluasi dari segenap proses internalisasi nilai-nilai teologis sebagai tolak ukur keberhasilan adalah pada apre-siasi subjek didik yang lahir pada kesatuan antara kata, hati dan amal praksis yang disikapi, dilisankan dan dilaksanakan atas dasar keyakinan terhadap nilai yang telah mengkristal dalam kepribadiannya secara ikhlas dan ihsan.

Implimentasi Studi

Studi penelitian ini berimplimentasi pada pengembangan ranah afektif dalam sistem pendidikan Islam yang bercorak pada paradigma pendidikan integralistik. Terutama dalam pengem-bangan dan rekayasa strategi pembentukan sikap dan perilaku peserta didik yang berorientasi pada nilai teologis. Karenanya studi ini lebih cendrung mengacu pada aspek kajian psikologis (pen-dekatan nilai) metodologis pendidikan Islam. Karena pada sisi lain juga berupaya mencari metodologi pendidikan Islam yang relevan spirit Islam itu sendiri dan juga mainstream kema-juan ilmu pengetahuan yang mengungulkan rasionalitas–di samping penghayatan (refleksi)—sebagai piranti dalam mem-bentuk nilai.

Page 96: 1

88

Dalam operasionalisasinya, penerapan studi penelitian ini dapat diimplimentasikan pada pengajaran semua disiplin ilmu pengetahuan dalam bingkai sistemik keislaman. Di mana dalam semua disiplin ilmu pengetahuan yang diajarkan itu men-gandung nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang tersertakan di dalamnya. Salah satu nilai dimaksud adalah nilai teologis, dalam semua disiplin kajian ilmu pengetahuan secara implisit sarat memuat aspek teologis di dalamnya. Apakah itu dalam sains eksakta maupun dalam ilmu humaniora. Terdapat muatan kualitas-kualitas keilahian (trancendency) yang sangat ber-makna bagi subjek didik untuk lebih mengenal dirinya, alam dan Tuhan. Sehingga suatu korelasi linier antara peningkatan penge-tahuan dengan semakin membuminya nilai dapat terealisasikan dalam kualitas kepribadian peserta didik. Model pengajaran ini tentunya diberikan kepada subjek didik yang sudah mampu ber-pikir abstrak dan sistematis-metodelogis. Namun pada tahap pengenalan dapat digunakan pendekatan empiris kealaman.

Dengan demikian upaya untuk mengangkat aspek eso-teris (substansi) teologis terhadap semua materi ajar dalam proses pengajaran, menjadi langkah awal (step of method) yang harus ditempuh pendidik dalam menjalan strategi internalisasi nilai. Dengan demikian, strategi internalisasi berlaku efektif me-lalui skil dan kapasitas pendidik dalam memaknai nilai yang inklusif tersebut. Sehingga penerapan strategi–yang terkesan sophysticated--ini membutuhkan kesiapan meliu pendidikan yang kondusif dan dalam iklim yang demokratis.

Oleh karena itu, strategi belajar–internalisasi--ini men-jadi strategi pendidikan nilai alternatif. Khususnya terhadap penggunaan strategi tradisional yang dinilai sudah out of date dalam menyahuti kreativitas berpikir subjek didik yang demikian berkembang mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan. Secara fungsional strategi ini juga bertujuan menjaga kelang-sungan dan keaktualan potensi-potensi bawaan fitrah subjek didik sehingga senantiasa tetap pada kondisi fitrah itu.

Sementara itu, implementasi studi ini terhadap per-kembangan pendidikan yang mempengaruhi integrasi nilai a-

Page 97: 1

89

gama dalam berbagai bidang studi adalah bahwa studi ini tidak hanya mencari strategi pengajaran yang tepat untuk meng-internalkan nilai teologis semata, melainkan juga dapat dioperasinalisasikan ke dalam berbagai aspek nilai agama lain-nya. Tentunya berdasarkan strategi internalisasi yang tepat, maka dengan sendirinya nilai-nilai agama lainnya seperti nilai moral (akhlak) dapat juga diintegrasikan dengan menggunakan acuan strategi yang sama. Dengan demikian studi ini dapat men-jadi usaha awal atau percontohan bagi perumusan strategi inter-nalisasi nilai-nilai agama dalam upaya mengintegrasikannya ke dalam berbagai bidang studi lainnya.

Akhirnya, sebagus apapun teori atau konsep yang berha-sil di bangun dalam dunia pendidikan tidak akan membawa pe-rubahan signifikan kepada pemberdayaan peserta didik bilamana tidak didukung oleh kemauan dan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses memanusiakan manusia ini. Orang tua, masyarakat dan pendidik atau guru dalam pengertian terbatas adalah komponen penanggungjawab bagi masa depan generasi hari ini.

Dengan harapan studi ini menjadi salah satu kontribusi yang bernilai (having of value) bagi dunia pendidikan kita seka-rang ini. Âmîn Yâ Rabb al-‘Âlamîn.

Page 98: 1

90

Page 99: 1

91

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Rasyîd Ibn ‘Abd al-‘Azîz Salîm, Al-Tarbiyyah Al-

Islâmiyyah wa �Turuq Tadrîsihâ, Kuwait: Dâr al-Buhuth al-‘Ilmiyyah, 1975.

‘Abdul Munir Mulkhan, (ed.,), Religiusitas Iptek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

‘Abdullah Fajar, Peradaban dan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 1991.

Abdullah, Abdurrahman Saleh, Educational Theory: Qur’anic Outlook, Mekkah : Umm al-Qurra’ University, 1982.

-----, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’ân, terj. H.M. Arifin dan Zainuddin, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidi-kan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, Ja-karta: Bulan Bintang, 1970.

-----, Al-Tarbiyyah wa Falasifatuhâ, Mesir: Al-Nalaby, 1969. ‘Ali Asyraf, Sayyid, New Horizon In Muslim Education, Cam-

bridge: The Islamic Academy, 1985. -----, Philosophy of Education (Problem of Men), New Jersey:

Litlefield, Adam & Co Peterson, 1961. ‘Ali Syari‘ati, Tugas Cendikiawan Muslim, terj. Muhammad

Al-Baqir, Yogyakarta: Rajawali Pres, 1982. -----, Tentang Sosiologi Islam, terj., Saifullah Mahyudin, Yo-

gyakarta: Ananda, 1982. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,

Bandung: Al-Ma‘arif, 1990. Ahmad Muflih Saefuddin, “Tata Nilai dan Kehidupan Spritual

di Abad XXI,” dalam Permasalahan Abad XXI Sebuah Agenda, Said Tuhuleey (ed), Yogyakarta: SI Press, 1993.

Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995.

Page 100: 1

92

Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1980.

Ahmad Watik Pratiknya, ’’Pengembangan Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum,’’ dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri (ed), Dinamika Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi, cet. Ke-1., Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama R.I, 1982.

Ali Audah, Konkordansi Al-Qur’ân, Jakarta: Pustaka Antar Nusa, 1991.

Amir Yusuf Muhammad Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1991.

Athur, Ellis K., Intruduction to Foundation of Education, New Jersey: Prentice Hall Englewood, 1986.

Al-Attas, Sayyid Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir, Bandung: Mizan, 1980.

Bellah, Robert N., Beyond Belief: Essay on Religion in Post-Traditional World, New York: Harper & Publisher, 1976.

Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Univer-sitas Islam, terj. Machnun Husein, Yogyakarta: Tiara Wacara, 1989.

Budhy Munawar Rachman (ed.,), Kontekstualisasi Doktrin Is-lam dalam sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

Budi Hardiman, F., “Pendidikan Moral Sebagai Pendidikan Keadilan,” Basis, No. XXXXVI, Tahun 1987, h. 25.

Crow, Lester D., an Alice Crow, Introduction to Education, New Revised Edition, New York: American Book, 1990.

Dewan Ulama Darul Haq, Belajar Mudah Ushuluddin, cet. Ke-2, Bandung: Pustaka, 1996.

Dewey, John, Democracy and Education, New York: The Macmilland, 1950.

-----, How We Think, In Mental Discipline in Modern Educa-tion, W. Kolesnick (ed.,), Madison WI: University of Wisconsin Press, 1993.

Page 101: 1

93

Djamari, H., “Nilai-nilai Agama dan Budaya yang Melandasi Interaksi Sosial di Pondok Pesantren Cikadulun Banten,” Disertasi, Bandung: IKIP, 1985.

Donald, W Hudson, A Philosophycal Approach to Religion, London; The Mcmilan Press., 1976.

Al-Fârûqî, Ismâ‘îl Raji‘, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, terj. Mustaruddin dan Ahmad Thoha, Bandung: Pustaka, 1984.

Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pus-taka, 1985.

-----, Tema Pokok Al-Qur’an, terj. Ahsin Muhammad, Band-ung: Mizan, 1983.

Fraenkel, Jack R., How to Teach About Values; An Analytic Approach, New Jersey: Prentice Hall, 1977.

Frankena, William K., Ethics, New Jersey: Prentic-Hall, 1973. Freire, Paulo, Paedagogy of The Oppressed, Great Britain,

Penguin Books, 1974. Fuad Ihsan, Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta,

1997. Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, Jilid II,

Jakarta: Universitas Indonesia Pers, 1989. -----, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Ge-

rakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. -----., Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995. Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik; Gagasan Pen-

didikan al-Gazali, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pus-

taka al-Husna, 1978. -----, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam,

Bandung : Al-Ma‘arif, 1980. -----, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi, Fil-

safat, dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986. Hornby, A.S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Fifth

Edition, London: Oxford University, 1995.

Page 102: 1

94

Hossein Nasr, Sayyid, Theologi, Philosophy and Spirituality, terj., Soeharsono dan Djamaluddin MZ, Teologi, Filsa-fat dan Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Hullfish, H. Gordon and P. G. Smith, Reflective Thinking; The Method of Education, New York: Dood, Mead, 1964.

Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Islam dan Metode, Yo-gyakarta: Andi Officed, 1990.

Iqbâl, Sir Muhammad, The Reconstruction of Relegious Thought in Islam New Delhi, Khitab Bhavan, 1981.

Ismail S.M., et. al (ed.,), Paradigma Pendidikan Islam, Yogya-karta: Pustaka Pelajar, 2001.

Jalaluddin dan Utsman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Kon-sep Perkembangan Pemikirannya), Jakarta: Raja Graf-indo Persada, 1994.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1996. Kirschenbaun, Howard and Sidney B. Simon, “Values and The

Future Movement in Education,” dalam Alvin Toffler (ed), Learning for Tomorrow The Role of The Future in Education, New York: Vintage Books, 1974.

Krathwohl, David R., (ed), Taxonomi of Educational Objec-tives; Hanbook IV, Afective Domain, London: Longman Group, 1864.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Ban-dung: Mizan, 1994.

Lois Lamya‘ dan al-Fârûqî, “Tauhid Dasar Peradaban Islam,” terj. Rahmani Astuti, Jurnal Ulumul Qur’an , No. 1., Vol. VII., 1996, h. 57.

Made Pidarta, Landasan Kependidikan; Stimulus Ilmu Pen-didikan Bercorak Indonesia, cet. Ke-1., Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Ja-karta: Mutiara, 1979.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: IN-IS, 1994.

-----, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta Logos Wacana Ilmu, 1999.

Page 103: 1

95

Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Jakarta: Firdaus, 1995.

Muhaimin dan Mujib Abdullah, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Operasional, Bandung: Trigenda Karya, 1993.

Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo, Ramadhani, 1991.

Muhammad Amin Abdullah, “Relevansi Studi Agama-agama Dalam Milenium Ketiga,” Jurnal Ulumul Qur'an , No. 5., Vol. VII, 1997.

-----, “Relevansi Studi Agama-agama Dalam Milenium Ketiga,” Jurnal Ulumul Qur'an , No. 5., Vol. VII, 1997.

-----, “Studi-studi Islam; Sudut Pandang Filsafat,” Islamika 5/1994, hal. 14-21.

-----, Filsafat Kalam di Era Post Modernisme, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Muhammad Amin Mansyur, (ed), Moralitas Pem-bangunan Perspektif Agama-agama di Indonesia, Yogyakarta: LKPSM-NU DIY dan Pustaka Pelajar, 1994.

Muhammad Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

-----, Kapita Selekta Pendidikan; Umum dan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.

-----, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993. Muhammad Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al-

Qur’an, cet. 1, Jakarta: Nadia Press, 2001. -----, “Pendidikan Moral Qur’ani: Strategi Belajar Meng-ajar

dan Evaluasi pada MAN Se-Daerah Istimewa Aceh,” Disertasi Yogyakarta: IAIN Sunan Kaligaja, 1996.

Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‘ân; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1995.

-----, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Tematis Atas Pelbagai Per-soalan Umat, Bandung: Mizan, 1997.

Page 104: 1

96

Muhammad Shaleh Muntasir, Mencari Evidensi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1985.

Nahlawi, ‘Abd al-Rahmân, Prinsip-prinsip dan Metode Pen-didikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj. Shihabuddin, Jakarta: Gema Insani Pres, 1995.

Ngalim Purwanto. M., Psikologi Pendidikan, cet. Ke-11, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996.

Nasution, S, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

-----, Sosiologi Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial,

Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987. -----, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi III, cet. Ke-7,

Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. -----, Pendidikan Ilmu dan Islam, Yogyakarta: Rake Sarasin,

1985. Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan

Bintang, 1984. -----, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,

1988. -----, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992 -----, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997. Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo,

Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. Al-Qur’ân dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama R.I,

1989. Rustiyah, NK, Masalah-Masalah Ilmu Keguruan, cet. Ke-3,

Jakarta: Bina Aksara, 1989. Sidi Gazalba, Sistematisasi Filsafat; Buku IV teori Tentang

Nilai , Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Soejono, Ag, Aliran Baru Dalam Pendidikan, Bandung: Ilmu,

1978. Soeroyo, “Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial

Menjangkau Tahun 2000,” dalam Muslih, USA, Pen-didikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Page 105: 1

97

Sutari Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan ; Sistem dan Metode, Yogyakarta : IKIP, 1990.

Tajab, et. al., Dasar-Dasar Kependidikan Islam; Suatu Pen-gantar Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Karya Adi-tama, 1996.

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Al- Tawmy, Muhammad ‘Umar, Filsafat Pendidikan Islam, terj., Muhammad Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam; Pluralisme Budaya dan Politik (Refleksi Teologi Untuk Aksi Dalam Keberaga-maan dan Pendidikan), Yogyakarta: Sinpress, 1994.

Udin Sarifuddin W, Konsep dan Strategi Values Pendidikan Moral Pancasila di Sekolah Menengah (Suatu Peneli-tian Kepustakaan), Jakarta: Proyek Pembangunan Lem-baga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Depdikbud, 1989.

Una Kartasisastra, et. al, Strategi Klarifikasi Nilai, Jakarta: Proyek Pengembangan Pendidikan Guru (P3G), Depdik-bud, 1980.

Wahiduddin Khan, Qadliyyatu al-Ba`ts al-Islâmy; al-Manhaj wa al-syurûth, terj., Andang Mujahidin, cet. Ke-1., Ja-karta: Rabbani Press, 2001.

Warul Walidin AK, “Strategi Pembentukan Nilai; Upaya Pen-gembangan Dimensi Afektif,” Jurnal Didaktika No. 1, Vol. II, September, 2000, h. 5.

-----, “Konsep Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun” dalam Tesis, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1990.

-----, “Paradigma Baru Pendidikan Yang Bernuansa Islami; Sua-tu Kajian Pendidikan Terpadu di Daerah Istimewa Aceh,” Jurnal Didaktika, No. 2, Vol. II, Maret, 2001, h. 7.

Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Ja-karta: Bulan Bintang, 1971.

Page 106: 1

98

-----, Ilmu Jiwa Agama, cet. Ke-2. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

Zamakhsyari Zhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1985.

Page 107: 1

99

B I O G R A F I S I N G K A T

Muhibuddin Hanafiah dilahirkaan pada tanggal 8 Juni 1970 di Ulee Gle Pidie. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Hanafiah Ibrahim dan Rukiah Abdullah. Pendidikan formal dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) tahun 1977 ta-mat tahun 1983, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) tahun 1983 tamat tahun 1986, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) tahun 1986 tamat 1989, semuanya di Ulee Gle Kec. Bandar Dua Kab. Pidie D.I Aceh. Pada tahun itu juga penulis melanjutkan studi pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jammi`ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, tepatnya pada Fakultas Tarbiyah dan menyelesaikaan kuliah tahun 1994.

Semasa kuliah penulis aktif pada organisasi kemaha-siswaan baik ekstra-insrtituter, intra instituter, dan organisasi kedaerahan. Yakni pada Himpunan Maahasiswa Islam (HMI), Senat Maahasiswa Fakultas (SMF), Himpunan Mahasiswa Juru-san Pendidikan agama (HMJ-TPA) dan Ikatan Keluarga Bandar Dua (IKB), serta Forum Komunikasi Generasi Muda Pidie (FO-KUSGAMPI) Banda Aceh. Di sela-sela kuliah, penulis pernah menyempatkan diri menjadi guru privat pada sejumlah rumah di kawasan Banda Aceh dalam bidang Pendidikan Al-Qur'ân dan Pengetahuan Agama. Bahkan sampai sekarang, penulis masih aktif membina sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'ân (TKQ-TPQ-TQA) Nurul Ilmi Yayasan Pendidikan Prof. A. Madjid Ibrahim (YPMI) Banda Aceh.

Setamat kuliah, penulis diminta menjadi tenaga pengajar (asisten dosen) pada almamater, Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry sampai tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis mem-peroleh kesempatan mengikuti Pragram Pascasarjana Magister (Strata-2) pada IAIN Ar-Raniry. Saat ini penulis adalah salah seorang Staf Jurusan Pendidikan Agama (TPA) Fakultas Tarbi-yah dan sebagai salah seorang tenaga pengajar dalam bidang Metodologi Studi Islam (MSI).

Page 108: 1