15 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” 14 . Dari definisi tersebut beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung beberapa kelemahan. Menurut J. Satrio, Kata “perjanjian” secara umum mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian perkawinan dan lain-lain. Dalam arti sempit “perjanjian” disini hanya ditujukan kepada hubungan - hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUHPerdata. 15 Abdulkadir Muhammad juga menerangkan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata mengandung beberapa kelemahan-kelemahan, yaitu 16 : 1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya 14 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, hal. 338. 15 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (buku 1) , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.28. 16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal.78. Universitas Sumatera Utara
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
15
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Definisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang
menentukan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”14
. Dari
definisi tersebut beberapa sarjana kurang menyetujui karena mengandung
beberapa kelemahan.
Menurut J. Satrio, Kata “perjanjian” secara umum mempunyai arti yang
luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang
menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki
oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian perkawinan dan
lain-lain.
Dalam arti sempit “perjanjian” disini hanya ditujukan kepada hubungan-
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud
oleh Buku III KUHPerdata.15
Abdulkadir Muhammad juga menerangkan bahwa rumusan Pasal 1313
KUHPerdata mengandung beberapa kelemahan-kelemahan, yaitu16
:
1. Hanya menyangkut sepihak saja.
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikat” sifatnya
14 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.cit, hal. 338. 15 J.Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian (buku 1), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.28. 16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal.78.
Universitas Sumatera Utara
16
hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus
antara pihak-pihak.
2. Kata perbuatan termasuk di dalamnya konsensus.
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum
(onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya
dipakai kata “persetujuan”.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut diatas terlalu luas, karena
mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam
lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara
debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang
dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian
yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebutkan tujuan.
Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk
apa.
Pendapat dari Abdul Kadir Muhamad ini juga sama dengan Mariam Darus
Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa: Definisi
perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak
lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya
mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat
Universitas Sumatera Utara
17
mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji
kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian
yang diatur dalam KUHPerdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain
dinilai dengan uang.17
Pendapat dari Gunawan Widjaja yang menyatakan bahwa rumusan dalam
Pasal 1313 KUHPerdata menegaskan bahwa perjanjian mengakibatkan seseroang
mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti timbul prestasi dari satu atau
lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas
prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi.18
Rumusan
tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam satu perjanjian akan selalu ada
dua pihak, dimana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur)
dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).
Gunawan Widjaja memberikan alasan lain bahwa Pasal 1313 KUHPerdata
tidak berdiri sendiri tetapi dikembangkan dengan Pasal 1314 KUHPerdata yang
menentukan bahwa :
“Suatu persetujuan diadakan dengan cuma-cuma atau dengan memberatkan.
Suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan, bahwa pihak yang
satu akan memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa
menerima imbalan. Suatu persetujuan memberatkan adalah suatu
persetujuan yang mewajibkan tiap pihak untuk memberikan sesuatu,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.”
17 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, (1), Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65. 18 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.249.
Universitas Sumatera Utara
18
Pasal 1313 KUHPerdata dikembangkan dengan menyatakan bahwa atas
prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur dalam perjanjian tersebut dapat
meminta dilakukannya kontraprestasi dari lawan pihaknya tersebut.19
Dua rumusan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 dan 1314
KUHPerdata menentukan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan
perikatan yang bersifat sepihak (dimana satu pihak yang wajib berprestasi) dan
perikatan yang bertimbal balik (kedua belah pihak saling berprestasi).
Berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari
satu perikatan dengan kewajiban yang saling bertimbal balik yakni debitur pada
satu sisi menjadi kreditur. Kewajiban yang saling bertimbal balik merupakan
karakterisik dari perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan perikatan yang
lahir dari undang- undang, hanya ada satu pihak yang menjadi debitur dan pihak
lain yang menjadi kreditur yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitur.20
Para sarjana mencoba menguraikan definisi dari perjanjian walaupun
terdapat kelemahan definisi perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata.
Subekti berpendapat bahwa ”Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal”.21
Abdulkadir Muhammad mengartikan “Perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan
suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.22
19 Loc.it. 20 Ibid hal.250. 21
Subekti (1), Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1987, hal.1. 22 Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal.78.
Universitas Sumatera Utara
19
M. Yahya Harahap mengartikan “perjanjian maksudnya adalah hubungan
hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang
memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu
prestasi”.23
B. Asas-Asas Perjanjian
Asas-asas perjanjian dalam hukum perdata, yaitu :
1. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan
untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini adalah tidak tepat, karena
maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada
saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan
antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum
dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya
kesepakatan oleh para pihak melahirkan hal dan kewajiban bagi mereka atau
biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni
melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
Lahirnya perjanjian pada saat terjadinya kesepakatan tidak berlaku
bagi semua jenis kontrak, karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak
konsensual, sedangkan terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak
berlaku, karena terhadap kontrak formal memerlukan formalitas tertentu
untuk lahirnya kontrak, sedangkan untuk kontrak riel, lahir pada saat
penyerahan barang yang menjadi objek kontrak.24
23 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6 24 Ahmadi Miru (2), Hukum Kontrak Bernuansa Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.9.
Universitas Sumatera Utara
20
2. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat
penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sarjana
hukum biasanya didasarkan pada pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada
pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan syarat sahnya suatu perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada
seseorang dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
diantaranya:
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian;
e. Bebas menentukan hukum yang digunakan; dan
f. Kebebasan-kebebasan lainnya.
Kebebasan berkontrak ini tetap saja ada batasnya, yakni tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,
maupun kesusilaan. Larangan ini berlaku umum dalam hukum kontrak.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin
kebebasan seseorang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga
dari sifatnya buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang
mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya
Universitas Sumatera Utara
21
(mengenyampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang
sifatnya memaksa.
Walaupun banyak para ahli yang mendasarkan asas kebebasan
berkontrak pada pasal 1338 KUHPerdata, namun dalam pasal tersebut
sebenarnya paling tidak terdapat 3 (tiga) asas, yakni :
a. Pada kalimat “semua perjanjian yang dibuat secara sah” menunjukkan
asas kebebasan berkontrak;
b. Pada kalimat “berlaku sebagai undang-undang” menunjukkan asas
kekuatan mengikat atau yang disebut asas pacta sunt servanda; dan
c. Pada kalimat “bagi mereka yang membuatnya” menunjukkan asas
personalitas.
Walaupun demikian, kalimat tersebut merupakan suatu kesatuan yang
tidak dapat dipenggal-penggal seperti tersebut diatas. Jadi pemenggalan
diatas hanya untuk melihat kandungan dari pasal tersebut.25
3. Asas mengikatnya kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, maka dia terikat untuk
memenuhi kontrak tersebut, karena kontrak tersebut mengandung janji-janji
untuk untuk dipenuhi, dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
25 Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
22
Dengan demikian, apabila dicermati, maka asas mengikatnya kontrak,
dapat dilihat dari kalimat “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.26
Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Karena substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, layaknya sebuah
undang-undang, selain itu pihak ketiga atau hakimpun tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak.27
4. Asas iktikad baik
Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam
hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik. Sedangkan Arrest H. R. dinegeri belanda memberikan peranan
tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan
ditempatkan dibawah asas iktikad baik tersebut, sehingga dalam
perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah
pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus ini membawa
akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus ini bertindak dengan
mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari para pihak lain. Bagi
masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk
mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak
lawan sebelum menandatangani kontrak, atau masing-masing pihak harus
26 Loc.cit. Hal.11. 27 Salim H.S (1), Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Hal.10.
Universitas Sumatera Utara
23
menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan
dengan iktikad baik.28
Dalam perjanjian asas iktikad baik sangat ditekankan pada tahap pra
perjanjian, akan tetapi secara umum iktikad baik harus selalu ada pada
setiap tahap perjanjian, sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat
diperhatikan oleh pihak lainnya.
Makna iktikad baik yang sebenarnya mengalami perkembangan ini
tentu melahirkan banyak pendapat, namun prasa iktikad baik ini biasanya
dipasangkan dengan fair dealing. Iktikad baik juga sering kali dihubungkan
dengan makna fairness, reasonable standard of fair dealing, decency,
reasonableness, a common ethical sense, a spirit of solidarity and
community standards.29
C. Syarat Sah Perjanjian
Secara umum suatu perjanjian lahir pada saat tercapainya kesepakatan oleh
para pihak. Akan tetapi kesepakatan saja tidaklah cukup untuk lahirnya suatu
perjanjian, karena ada persyaratan lainnya, sebagaimana diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata yaitu : “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(3) Suatu hal tertentu;
28 Ahmadi Miru (2), Op.cit., Hal.12 29 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,2004, Hal.130.
Universitas Sumatera Utara
24
(4) Suatu sebab yang halal.”30
1. Kesepakatan kedua belah pihak
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau
konsensus para pihak. Kesepakatan diatur dalam pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata. Kesepakatan adalah kesesuain pernyataan kehendak antara
satu orang atau lebih de ngan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah
pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.
Ada 5 cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:
a. bahasa yang sempurna dan tertulis;
b. bahasa yang sempurna secara lisan;
c. bahasa yang tidak sempurna asal dimengerti pihak lawan. Karena
dalam kenyataanya sering sekali seseorang menyampaikan dengan
bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
d. bahasa isyarat asal dapat diterima pihak lawannya; dan
e. diam atau membisu tetapi asal dipahami/diterima pihak lawan.
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak
yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tulisan. Tujuan
pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian
hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul
sengketa dikemudian hari.31
Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan
diri, terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan
cacat pada kesepakatan tersebut yang dicantumkan dalam Pasal 1321 KUH
Perdata yang berbunyi: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan.”32
Berdasarkan ketentuan tersebut, perjanjian dikatakan tidak
memenuhi syarat kesepakatan kehendak apabila terdapat unsur-unsur antara
lain :
1) Kekhilafan
Masalah kekhilafan diatur dalam pasal 1322 KUHPerdata yang
berbunyi :
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian,
kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang
menjadi pokok perjanjian.
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu
hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang
bermaksud untuk berbuat perjanjian, kecuali jika perjanjian itu
dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”
Ada dua hal pokok dan prinsipil dari rumusan pasal 1322
KUHPerdata yaitu :
a) kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian
b) ada dua hal yang dapat menyebabkan alasan pembatalan
perjanjian karena kekhilafan mengenai:
(1) hakikat kebendaan yang menjadi pokok perjanjian tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya ;
(2) orang terhadap siapa suatu perjanjian hanya akan dibuat.
32 Mariam Darus Badrulzaman (2), KUH Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasan), Alumni, Bandung, 1993, hal. 99
Universitas Sumatera Utara
26
Hal pertama adalah prinsip umum yang harus dipegang, diikuti
dan ditaati. Hal kedua merupakan pengecualian atau penyimpangan,
yang dibatasi alasannya. Dari kedua alasan tersebut, alasan kedua
lebih mudah dimengerti dari alasan kedua.33
2) Paksaan
Pada pasal 1323 KUHPerdata menyatakan bahwa ”paksaan yang
dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian
mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila
paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga, untuk kepentingan siapa
perjanjian tersebut tidak telah dibuat.”
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, yang dimaksud dengan
paksaan ialah: kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka
rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang
menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat
perjanjian. Jadi, bukanlah paksaan dalam arti absolut, misalnya
seseorang yang lebih kuat memegang tangan seseorang yang lebih
lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan pada sebuah
perjanjian sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali
tidak terjadi.34
3) Penipuan
Penipuan diatur dalam pasal 1328 KUHPerdata yaitu:
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu
perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu
adalah sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata bahwa pihak
33 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian), Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003. Hal.105 34 Mariam Darus Badrulzaman (1), Op.cit., hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
27
yang lain tidah telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan
tipu muslihat tersebut.
Penipuan tidak dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan.”
Melalui rumusan pasal 1328 KUHPerdata tersebut menjelaskan
bahwa penipuan berbeda dengan kekhilafan, penipuan melibatkan
unsur kesengajaan dari salah satu pihak dalam perjanjian, untuk
mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak pihak yang terakhir ini
memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian yang
dibuat diantara mereka.35
2. Kecakapan bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaiman ditentukan oleh undang-
undang. Orang cakap atau yang mempunyai wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan
adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum adalah
a. Anak dibawah umur (minderjarigheid);
b. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan; dan
c. Istri (pasal 1330 KUHPerdata).
35 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hal.126
Universitas Sumatera Utara
28
Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan
hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 jo SEMA Nomor 3 tahun 1963.36
3. Adanya suatu hal tertentu (Een Bepaald Onderwerp)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud hal
tertentu, dengan memberikan rumusan dalam pasal 1333 KUHPerdata, yang
berbunyi:
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu
kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja
jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang
yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya KUHPerdata hanya menekanka
pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun jika
diperhatikan lebih lanjut, rumusan; tersebut hendak menegaskan kepada kita
bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata
hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan
keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan tertentu.37
4. Tentang sebab yang halal
Pada pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian orzaak
(causa yang halal). Namun dalam pasal 1337 KUHPerdata disebutkan sebab