i
ii
iii
M. Yusuf Zulkifli
PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN ANAK
DALAM KELUARGA POLIGAMI
DI KOTA BANDA ACEH
iv
Penyelenggaraan Pendidikan Anak
Dalam Keluarga Poligami di Kota Banda Aceh
Copyright © 2013 M. Yusuf Zulkifli, All right reserved.
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Penulis: M. Yusuf Zulkifli
Layout: Tim Citra Kreasi Utama
Desain Cover: Alwahidi Ilyas
Penerbit BukuLaela
Perum Banguntapan Asri No. E-9.
Jambidan, Banguntapan, Bantul
Telp. 0274-7477068
E-mail: [email protected]
Cetakan I, Mei 2013
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
M. Yusuf Zulkifli, Penyelenggaraan Pendidikan Anak
Dalam Keluarga Poligami di Kota Banda Aceh.
--- Yogyakarta: Penerbit BukuLaela, 2013.
ISBN: 978-979-96590-7-1
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
DAN SINGKATAN
A. TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan Tesis
ini, secara umum berpedoman kepada transliterasi ‘Ali ‘Audah
dengan keterangan sebagai berikut:
Arab Transliterasi Arab Transliterasi t (dengan titik di bawah) ط Tidak disimbolkan ا
Z (dengan titik di ظ b ب
bawah) ‘ ع t ت gh غ th ث f ف j ج H (dengan titik di ح
bawah)
q ق
k ك kh خ l ل d د m م dh ذ n ن r ر w و z ز h ه s س ’ ء sy ش s (dengan titik di ص
bawah)
y ي
d (dengan titik di ض
bawah)
vi
Catatan:
1. Vokal Tunggal
(fathah) = a misalnya, حدث ditulis hadatha
(kasrah) = i misalnya, وقف ditulis
wuqifa
(dammah) = u misalnya, روي ditulis
ruwiya
2. Vokal Rangkap
(ي) (fathah dan ya) = ay, misalnya, بين ditulis
bayna
(و) (fathah dan waw) = aw, misalnya, يوم ditulis yawm
3. Vokal Panjang (maddah)
(ا) (fathah dan alif) = ā, (a dengan garis di atas)
(ي) (kasrah dan ya) = ī, (i dengan garis di atas)
(و) dammah dan waw) = ū, (u dengan garis di atas)
misalnya: ( معلول, تصديق, برهان ) ditulis burhān, tasdiq, ma‘lūl.
4. Ta’ Marbutah(ة )
Ta’ Marbutah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah
dan dammah, transiliterasinya adalah (t), misalnya الفلسفة
(االولى )= al-falsafat al-ūlā. Sementara ta’ marbūthah mati atau
mendapat harakat sukun, transiliterasinya adalah (h),
misalnya: (مناهج االدلة, دليل االناية, تهافت الفالسفة) ditulis Tahāfut al-
Falāsifah, dalīl al-’ināyah, Manāhij al-Adillah
5. Syaddah (tasydid)
Syaddah yang dalam tulis Arab dilambangkan dengan
lambang ( ), dalam transiliterasi ini dilambangkan
dengan huruf, yakni yang sama dengan huruf yang
mendapat syaddah, misalnya (ابيةخط) ditulis khattabiyyah.
vii
6. Kata sandang dalam sistem tulisan arab dilambangkan
dengan huruf ال transiliterasinya adalah al, misalnya:
النفس, الكشف ditulis al-kasyf, al-nafs.
7. Hamzah (ء)
Untuk hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata
ditransliterasikan dengan (’), misalnya: مالئكة ditulis
mala’ikah, جزئ ditulis juz’i. Adapun hamzah yang terletak
di awal kata, tidak dilambangkan karena dalam bahasa
Arab ia menjadi alif, misalnya: اختراع ditulis ikhtirā‘
B. SINGKATAN
Cet. = Cetakan
Dkk. = Dan Kawan-Kawan
Ed. = Edisi
ed. = Editor
H.R. = Hadith Riwayat
hal. = Halaman
IAIN = Institut Agama Islam Negeri
saw. = Shallallahu ’Alaihi Wasallam
swt . = Subhanahu Wata’ala
Terj. = Terjemahan
t.p. = Tanpa Penerbit
t.tp. = Tanpa Tempat Penerbit
t.th. = Tanpa Tahun
Q.S. = Qur’an Surat
PPs = Program Pascasarjana
PWKP = Pedoman Wawancara dengan Keluarga
PWTM = Pedoman Wawancara dengan Tokoh
Masyarakat/Kepala Desa
LOPPA = Lembar Observasi Penyelenggaraan
Pendidikan Anak
viii
ix
KATA PENGANTAR
تبارك الذي بيده امللك و هو على كل : احلمد هلل رب العاملني القائل
الذي خلق املوت واحلياة ليبلوكم أيكم أحسن عمال و . شئ قدير
والصالة والسالم على سيدنا حممد وعلى اله و . هو العزيز الغفور
...و بعد ,صحبه أمجعني
uji syukur ke hadirat Allah swt, Atas karunia dan
petunjuk-Nya pula, atas bantuan semua pihak maka
tesis ini dengan judul Penyelenggaraan Pendidikan Anak
Dalam Keluarga Poligami akhirnya terselesaikan. Selawat
dan salam kepada Nabi Muhammad saw yang telah
mengangkat derajat kaum perempuan dari kehinaan
kepada kemuliaan.
Rasa hormat dan ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. M. Nasir Budiman,
M.A dan Bapak Dr. Fakhri M. Yacob, M. Ed yang telah
membimbing, mengarahkan dan memperbaiki tesis ini
dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Terima kasih
kepada Kepala dan Karyawan Perpustakaan IAIN Ar-
Raniry dan Pascasarjana yang telah memberikan pelayanan
dengan baik. Ucapan terima kasih juga kepada kawan-
kawan konsentrasi Dirasah Islamiyah yang telah
P
x
mendukung penulis selama perkuliahan dan penulisan tesis
ini, penulis sampaikan penghargaan sedalam-dalamnya.
Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Camat
Meraxa, Jaya Baru dan Ule Kareng dalam Kota Banda Aceh,
serta Bapak kepala desa/tokoh masyarakat juga orang tua
baik laki-laki maupun perempuan dalam keluarga poligami
yang telah memberikan banyak informasi dalam rangka
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini sangat
jauh dari kesempurnaan, untuk itu diharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan di
masa yang akan datang. Semoga Allah yang Maha Rahman
dan Maha Rahim meridhai semua amal baik kita, dan
semoga karya tulis bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Banda Aceh, 2013
Penulis
M. Yusuf Zulkifli
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ---------| ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
DAN SINGKATAN ---------| v
DAFTAR ISI ---------| xi
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah ---------|1
B. Rumusan Masalah ---------|10
C. Tujuan Penelitian ---------|10
D. Manfaat Penelitian ---------|11
E. Defenisi Oprasional ---------|12
BAB II : KAJIAN PUSTAKA ---------|15
A. Pengertian Poligami, Dasar Hukum dan
Syarat-syaratnya ---------|15
B. Tanggung Jawab Orang Tua terhadap
Pendidikan Anak ---------|35
C. Dampak Negatif Poligami dan terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan Anak ---------|48
D. Dampak positif poligami menurut dan
Pendidikan Anak ---------|61
BAB III : METODE PENELITIAN ---------|73
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ---------|73
B. Lokasi Penelitian ---------|75
C. Sumber Data Penelitian ---------|75
xii
D. Instrumen Penelitian Data (IPD) ---------|76
E. Teknik Pengumpulan Data ---------|77
F. Teknik Analisis Data ---------|78
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN ---------|81
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian --------|81
B. Penyelenggaraan Pendidikan Anak dalam
Keluarga Poligami ---------|88
C. Pembinaan Akhlak dan Mengantarkan ke
Lembaga Pendidikan ---------|91
D. Penyediaan Fasilitas dan Dana Pendidikan
Anak pada Keluarga Poligami di Kota Banda
Aceh ---------|96
E. Keteladanan Orang Tua dan Komunikasi
Aktif Keluarga Poligami di Kota Banda
Aceh ---------|103
F. Dampak nagatif dan positif terhadap
Penyelenggaran Pendidikan Anak dalam
Keluarga Poligami ---------|109
G. Pembahasan ---------|115
BAB V : PENUTUP ---------|121
A. Kesimpulan ---------|121
B. Saran-Saran ---------|122
DAFTAR PUSTAKA ---------|125
DAFTAR RIWAYAT HIDUP---------|129
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
elakukan perkawinan dengan beberapa orang
perempuan yang dibatasi dengan empat orang
perempuan, hal ini sering disebut dengan istilah poligami
dalam konsep ajaran Islam. Mahdi Fuad A.Gani (1999 : 42)
menyatakan bahwa poligami adalah perkawinan antara
seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam
waktu yang sama. Melaksanakan perkawinan dengan sebagai
tersebut di atas dalam Islam diperbolehkan dengan
pembatasannya paling banyak (maksimum) empat orang.
Praktek poligami sudah ada sebelum kadatangan
Islam, sebagaimana pendapat dari Asghar Ali Engineer
(2003: 11) yang mengatakan bahwa di jazirah Arab poligami
merupakan sesuatu yang mentradisi bagi masyarakat pada
saat itu dan tidak terbatas, suatu hal yang sangat ironisnya
lagi pihak istri harus menerima takdir mereka tanpa ada
usaha untuk memperoleh keadilan.
Abdur Rahman (2002: 193) mengatakan bahwa
kadatangan Islam melalui aturan hukum yang mengatur
masalah poligami, dapat dipahami bahwa poligami masih
dibenarkan, namun dengan membatasi batas maksimal
hanya sampai dengan jumlah empat orang istri dengan
memperhatikan terhadap syarat-syaratnya, seperti
keharusan berlaku adil di antara para istri.
M
2
Dengan demikian poligami adalah salah satu
permasalahan yang di bahas dalam ajaran Islam khususnya
terhadap kajian munakahat yang merupakan sunnah
Rasulallah saw, tentunya dengan syarat suami memiliki
kemampuan untuk adil di antara para istri. Untuk dapat
berlaku adil terhadap perempuan yang akan dinikahi
sebagai istri ke dua, tiga atau empat merupakan sebagai
salah satu alasan utama, agar dapat meminimalisir
permasalahan rumah tangga di kemudian hari. Ketegasan
terhadap keadilan menjadi sebuah syarat utama bagi
seorang laki-laki untuk melakukan praktek poligami,
Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Qur`an Surat An-
Nisa :
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
anianya” (QS An-Nisa : 3).
3
Dalam suasana ketidak-adilan, bagaimana bisa tercapai
tujuan perkawinan tersebut, yaitu kesejahteraan spiritual dan
material, atau terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin dalam
perkawinan itu. Kemungkinan alasan lain, Rasulullah s.a.w.
tidak mengizinkan mantunya berpoligami adalah karena ketika
itu anak-anaknya masih kecil, masih membutuhkan kasih
sayang dan perhatian yang besar dari kedua orangtuanya.
Dengan berpoligami perhatian seorang ayah kepada anak-
anaknya akan terbelah. Setelah menikah lagi, seorang suami
biasanya mengabaikan isteri lama dan anak-anaknya. Perhatian
dan kasih sayang akan lebih tercurah pada isterinya yang baru.
Suami yang berpoligami akhirnya akan terjebak dalam perilaku
dzalim dan tidak adil. Oleh karena itu, perkawinan monogami
adalah pilihan yang menjanjikan tercapainya tujuan perkawinan
yang hakiki (Musdah, 1999:26).
Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istri,
yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-
haknya sesuai dengan konsep keadilan. Adil di sini adalah
menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-
perkara yang memungkinkan untuk disamakan di dalamnya.
Jika tidak mampu berlaku adil, maka Allah swt
menganjurkan kawini wanita satu saja, sebagaimana firman
Allah swt:
4
Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil
di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),
sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.
Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri dari kecurangan, maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (An-Nisa : 129).
Bagi seorang laki-laki yang hendak berpoligami harus
memenuhi suatu persyaratan tertentu yang telah ditetapkan,
baik menurut hukum Islam maupun hukum negara.
Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan
poligami, menurut Abdur Rahman (2002: 192), setelah
merangkum pendapat fuqaha, beliau mengatakan setidaknya
ada delapan keadaan yang dibenarkan bagi suami untuk
melakukan poligami, apabila istri:
1. Mengidap penyakit berbahaya dan sulit untuk
disembuhkan.
2. Terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat
melahirkan.
3. Sakit ingatan/gila.
4. Lanjut usia, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban
sebagai istri.
5. Memiliki sifat buruk.
6. Minggat dari rumah.
7. Banyak perempuan dan laki-laki sangat sedikit, misalnya
akibat dari peperangan.
5
8. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak
menimbulkan kemudhratan di dalam kehidupan dan
pekerjaannya.
Apabila praktek poligami yang dilakukan tidak sesuai
dengan yang dianjurkan dalam agama dapat melahirkan
banyak persoalan dalam kehidupan rumah tangga. Selanjut-
nya, faktor-faktor yang membolehkan poligami seperti dapat
berlaku adil, tidak boleh lebih dari empat orang isteri, ingin
mempunyai keturunan, di utamakan wanita yang dikawini
mempunyai anak yatim, kecenderungan lebih banyak wanita
dari pada kaum pria, dan wanita yang hendak dikawini tidak
boleh ada hubungan saudara, baik saudara kandung maupun
saudara sesusuan.
Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa syarat-syarat berpoligami
itu harus adanya persetujuan isteri serta adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri dan
anak-anak mereka. Lebih lanjut lagi, dalam pasal 4 ayat 2
Undang-undang No.1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa
seorang suami yang hendak berpoligami wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan tempat tinggalnya. Namun,
pengadilan belum tentu mengabulkan permohonan
dimaksud, hal ini dikarenakan pengadilan hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan berpoligami apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Isteri mendapat eacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
6
Dengan demikian jelaslah bahwa berpoligami harus
melalui berbagai macam persyaratan yang telah diatur
sedemikian rupa, sehingga untuk berpoligami tidaklah dapat
dilakukan oleh setiap orang tanpa adanya kriteria atau
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, poligami
dibenarkan apabila adanya persetujuan dari pihak isteri
pertama. Di samping itu juga dengan memperhatikan
kewajiban yang mengikatnya, antara lain berkaitan dengan
tanggung jawab terhadap anak. Orang tua berkewajiban
terhadap anak-anaknya, sebagaimana Al-Ghazali menjelaskan
dalam Abubakar Mahmud (1998: 258), bahwa kewajiban
orang tua terhadap anaknya adalah harus mendidik,
memupuk dan meperbaiki akhlaknya serta memelihara dari
lingkungan yang tercela, tidak boleh membiasakannya
dengan kemewahan, agar terhindar dari sifat sombong,
angkuh serta malas.
Masih mengenai tanggung jawab orang tua terhadap
anak, menurut M.Arifin dan Amiruddin Rasyad (1991: 257-
258) mengatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud
antara lain:
1. Memelihara dan membesarkannya.
2. Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik dalam
bentuk jasmaniah maupun rohaniahnya.
3. Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan
kentrampilan yang berguna bagi kehidupannya kelak.
4. Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan
memberinya pendidikan agama sesuai dengan ketentuan
Allah swt dan tujuan akhir hidup bagi seorang muslim.
7
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami
bahwa orang tua memiliki tanggungjawab yang besar
terhadap anak mereka, baik terhadap perkembangan jasmani
maupun rohaniahnya. Begitu juga dengan pendidikan, baik
penyelenggaraan pendidikan dalam keluarga maupun
menggantarkannya ke lembaga pendidikan formal. Pada
dasarnya pendidikan pertama yang dirasakan anak adalah
melalui orang tua. Keluarga merupakan basis pertama dan
utama dalam berbagai rangkaian proses interaksi sosial yang
ideal dialami setiap individu selama dalam hidupnya, dalam
hal ini dimungkinkan karena kedudukan keluarga sebagai
komponen terkecil dari suatu struktur masyarakat,
merupakan tempat pertama bagi individu mengenal manusia
lain di luar dirinya dan memberikan peran positif untuk
lingkungannya.
Peranan keluarga yang dimaksudkan dalam hal ini tidak
hanya menyangkut pemenuhan segala kebutuhan anak yang
berwujud materi, akan tetapi juga menyangkut kebutuhan
psikologis dan sosiologis, bahkan kedua kebutuhan inilah
yang seharusnya mendapat porsi yang lebih besar pada
perkembangan selanjutnya yang dialami anak pada masa
mendatang. Sebagaimana diketahui bahwa biasanya poligami
banyak permasalahan yang terjadi di dalam keluarga, hal itu
terlepas dari permasalahan negatif atau positif.
Di samping itu interaksi orang tua dengan anak
tentunya dapat mempengaruhi perkembangan mental anak
itu sendiri dalam menjalani kehidupannya, begitu juga ketika
berpoligami, tentu membawa dampak negatif terhadap anak
seperti disampaikan John A. Schindler, M.D (1992: 147), yaitu:
8
a. Anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang
dari orang tua.
b. Figur orang tua yang tidak bisa memberikan rasa aman
pada anak.
c. Sosial ekonomi keluarga yang kurang atau sebaliknya
tidak bisa menunjang biaya.
d. Sikap bermusuhan baik langsung atau tidak langsung
yang ditujukan kepada anak, maupun yang tidak
disengaja dialami oleh seorang anak.
Dampak negatif lainnya dari poligami itu sendiri
antara lain dalam bidang pendidikan seperti tidak
terpenuhinya kebutuhan dalam bidang pendidikan seperti
tidak mampunya orang tua membeli buku, SPP, pakaian dan
keperluan pendidikan lainnya, karena orang tua (ayah) harus
membagi dua penghasilan yang diperoleh, terbaginya
perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan oleh seorang
anak dalam masa pendidikan dan pertumbuhan, dan lain-
lain.
Dampak negatif lainnya juga timbul terhadap isteri
seperti timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri
merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari
ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis
suaminya. Sehingga hal tersebut juga mem-pengaruhi orang
tua dalam mengungkapkan kasih sayang yang dibutuhkan si
anak. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah
sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak-
anak, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun
psikologis. Hal ini juga dapat membawa pengaruh yang
signifikan terhadap pendidikan anak.
9
Di samping dampak negatif sebagaimana paparan
sekilas di atas, juga tidak dapat dipungkiri poligami ini juga
dapat saja berdampak positif bagi mereka dalam keluarganya,
adapun dampak positif yang akan muncul antara lain
kebalikan dari dampak negatif itu sendiri artinya jika suami
dapat berlaku adil terhadap istri dan keluarga mereka yang
dipoligami artinya secara materil dapat ia penuhi dengan baik
dan moril juga demikan. Begitu juga halnya dengan kesiapan
istri dalam menerima dan kerelaan hati terhadap suaminya
memiliki beberapa istri selain dirinya. Efek-efek negatif
tersebut di atas juga timbul terhadap keluarga yang
melakukan poligami pada umumnya dan tidak tertutup
kemungkinan di alami oleh masyarakat di Kota Banda Aceh.
Dalam observasi awal di Kota Banda Aceh dapat
diketahui bahwa gambaran praktek poligami yang
berlangsung dalam masyarakat saat ini dilakukan sesuai
dengan ketuan hukum Islam dan hukum Negara yang
berlaku, namun sejauh mana terhadap perkembangan
pendidikan anak dalam keluarga poligami itu sendiri ada
yang berjalan dengan baik artinya tidak ada suatu kendala
yang mereka hadapi, namun tidak sedikit juga yang
menyebabkan mundurnya dalam perkembangan pendidikan
baik dari segi prestasi, motivasi belajar bahkan sikap pesimis
terhadap psikologis anak untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang selanjutnya.
Dengan demikian, tugas orang tua atau kewajiban
terhadap anaknya di awali dalam mendidik, memupuk dan
memperbaiki akhlaknya serta memeliharanya dari
lingkungan yang tercela, dan tidak membiasakannya dengan
10
kemewahan, agar terhindar dari sifat jahat dan keras hatinya,
sehingga sulit untuk diperbaiki. Untuk itu kontrol orang tua
terhadap anaknya sangat diperlukan. Hal ini bisa diwujudkan
dengan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga
khususnya keluarga dalam keadaan poligami. Dalam hal
itulah penulis berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut dalam
bentuk karya tulis ilmiah tesis dengan judul “Penyelenggaraan
Pendidikan Anak dalam Keluarga Poligami di Kota Banda Aceh”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah proses pembinaan akhlak anak dalam
keluarga poligami dan perhatian mengantarkannya ke
sekolah?
2. Bagaimanakah keteladanan yang dapat dicontoh oleh anak
dalam keluarga poligami?
3. Bagaimanakah penyediaan fasilitas dan dana bagi
pendidikan anak keluarga poligami?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dari tesis ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui proses pembinaan akhlak anak dalam
keluarga poligami dan perhatian mengantar-kannya ke
sekolah.
2. Untuk mengetahui keteladanan yang dapat dicontoh oleh
anak dalam keluarga poligami.
11
3. Untuk mengetahui penyediaan fasilitas dan dana bagi
pendidikan anak keluarga poligami.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat
memberikan keterangan ilmiah dalam memperoleh data yang
akurat dan bermanfaat bagi penulis khususnya juga bagi
pembaca pada umumnya. Dengan adanya penelitian yang
demikian sehingga mengetahui segi negatif dan positifnya
berkiatan dengan penyeleng-garaan pendidikan bagi anak.
Dengan selesainya penelitian ini mudah-mudahan
banyak masyarakat Kota Banda Aceh akan dapat mengetahui
tentang hal tersebut terutama bagi orang tua atau keluarga
poligami. Karena masih banyak rahasia-rahasia poligami
yang belum terungkap di dalam masyarakat, khususnya di
Kota Banda Aceh. Di samping itu untuk memberikan sedikit
masukan atau sumbangan pikiran terhadap orang tua dalam
pendidikan anak.
Mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang
terjadi saat sekarang dimana peneliti berusaha memotret
peristiwa dan kejadian yang timbul di lapangan untuk
kemudian digambarkan sebagaimana mestinya. Penelitian ini
dilaksanakan di Kota Banda Aceh.
Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat
memberikan keterangan ilmiah dalam memperoleh data yang
akurat dan bermanfaat bagi penulis khususnya juga bagi
pembaca pada umumnya. Dengan adanya penelitian yang
demikian sehingga mengetahui segi negatif dan positifnya
berkiatan dengan penyeleng-garaan pendidikan bagi anak.
12
Dengan selesainya penelitian ini mudah-mudahan
banyak masyarakat Kota Banda Aceh akan dapat mengetahui
tentang hal tersebut terutama bagi orang tua atau keluarga
poligami. Karena masih banyak rahasia-rahasia poligami
yang belum terungkap di dalam masyarakat, khususnya di
Kota Banda Aceh. Di samping itu untuk memberikan sedikit
masukan atau sumbangan pikiran terhadap orang tua dalam
pendidikan anak.
Mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang
terjadi saat sekarang dimana peneliti berusaha memotret
peristiwa dan kejadian yang timbul di lapangan untuk
kemudian digambarkan sebagaimana mestinya. Penelitian ini
dilaksanakan di Kota Banda Aceh.
E. Defenisi Oprasional
Penyelenggaraan pendidikan anak yang dimaksud dalam
pembahasan tesis ini adalah kegiatan pembinaan dan bimbingan
yang dilakukan orang tua dalam keluarga terhadap perubahan
pada anak baik jasmani maupun rohani. Secara teoretis menurut
M. Arifin (2003: 22) dalam buku ilmu pendidikan islam bahwa
pendidikan secara umum mengandung pengertian memberi
makna kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan
rohaniah. Dalam Islam, orang tua wajib mendidik anaknya, agar
kelak mempunyai sikap dan prilaku yang baik sesuai dengan
tuntunan ajaran Islam. Membina anak agar hidup secara Islami
adalah tugas dan tanggung jawab orang tua, termasuk bagi
keluarga poligami.
Orang tua menjadi contoh teladan dan mempunyai
pengaruh bagi perkembangan pribadi anak, baik dalam cara
befikir maupun berbuat, antara lain dalam membangun
13
keharmonisan dalam rumah tangga. Zakiah Daradjat (1994: 58)
mengatakan bahwa pen-didikan yang diterima anak dari orang
tuanya, baik dalam pergaulan hidup maupun dalam tata bicara,
bertindak, bersikap dan sebagainya menjadi teladan atau
pedoman yang ditiru oleh anak-anaknya.
Keserasian yang harus terbina adalah keserasian antara ibu
dan ayah, yang merupakan komponen pokok dalam setiap
keluarga. Seorang ibu dengan sifatnya yang lemah lembut dan
perasa itu merupakan imbangan terhadap sifat seorang ayah,
yang keduanya merupakan unsur yang saling melengkapi dan
isi mengisi yang membentuk suatu keserasian dan
keseimbangan dalam keluarga.
Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan terhadap
anak dalam keluarga dapat didefenisikan sebagai kegiatan orang
tua dalam rangka khususnya terhadap pendidikan anak, antara
lain yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Bimbangan dan nasehat dalam keluarga
2. Mengantarkan anak ke lembaga pendidikan
3. Memenuhi fasilitas pendidikan anak
4. Melakukan pengontrolan terhadap perilaku anak
5. Memberikan ketaladanan yang baik bagi anak
6. Membangun komunikasi aktif dengan anak dalam
keluarga
Untuk itu kegiatan orang tua khususnya terhadap
keluarga poligami dalam beberapa hal sebagaimana tersebut
di atas, maka akan menjadi lingkup kajian bagi penulis
sekaligus peneliti untuk memberikan kejelasan terhadap
penyelenggaraan pendidikan anak dalam keluarga poligami.
14
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Poligami, Dasar Hukum dan Syarat-
syaratnya
1. Pengertian Poligami
bd. Rahman Ghazali (2006: 129) mengatakan bahwa
Istilah poligami terdiri dari dua suku kata yaitu poli dan
gamy. Secara etimologis, poli artinya “banyak” dan gami
artinya “istri”. Jadi poligami artinya beristri banyak. Secara
terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai
lebih dari satu istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari
satu orang, tetapi dibatasi sampai empat orang.
Depdiknas (2006: 285) dalam kamus bahasa Indonesia
mengatakan poligami diartikan sebagai salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa perempuan diwaktu
bersamaan. Arij Abdurrahman As-Sanan (2003: 25)
mengartikan poligami atau ta’addud az-zaujat yang berarti
perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam
tanggungannya dua sampai empat orang istri, tidak boleh
lebih darinya. Muhammad Syahrur (1995: 185) mengartikan
poligami sebagai suatu hak istimewa yang diberikan Tuhan
kepada kaum pria dengan mengawini wanita lebih dari satu,
sampai empat. Namun ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh pria tersebut supaya poligami tersebut sah
yaitu; suami berlaku adil baik materi atau immateri,
perempuan yang dinikahi haruslah mereka yang janda dan
A
16
mempunyai anak yatim, karena menurutnya inilah kehendak
dari pada nash.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemuka-kan di
atas, dapat disimpulkan bahwa poligami adalah perkawinan
seorang laki-laki dengan perempuan lebih dari satu orang
dalam waktu yang bersamaan, dengan batas maksimal empat
orang istri serta memenuhi syarat yang ditentukan oleh nash.
2. Dasar Hukum Poligami
Legalisasi poligami secara yuridis telah diatur dalam
ayat al-Quran yang membicarakan soal poligami dan
sekaligus menjadi dasar keabsahan poligami. Izin
mempraktekkan poligami tersebut merupakan tatanan
pembatas istri sampai empat orang, hal ini sebagaimana
terdapat pada surah an-Nisa’: 2-3, yang secara lengkap
berbunyi:
(۳ -۲: النسآء)
17
Artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu,
adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. An-Nisa’ : 2-3).
Selain ayat di atas juga dikuatkan pada surat yang
sama ayat 129, yaitu:
)۹۲۱ : النسآء ) Artinya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-
Nisa’ : 129)
18
Menurut M. Quraish Shihab, (2005: 199-200)
menafsirkan bahwa ayat di atas sebagai pembatas jumlah istri,
sekaligus menjadi dasar bolehnya poligami. Sayang ayat ini
sering disalah pahami. Ayat tersebut turun sebagaimana
diuraikan oleh istri Nabi Aisyah r.a. menyangkut sikap wali
yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik,
yang berada dalam pemeliharaannya, tetapi tidak ingin
memberinya maskawin yang sesuai serta tidak
memperlakukannya secara adil. Ayat ini melarang hal
tersebut dengan susunan kalimat yang sangat tegas “maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau
empat ” dalam rangka berlaku adil kepada mereka.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab (2005: 199-200)
menjelaskan ayat tersebut tidak membuat suatu peraturan
tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan
dilaksanakan oleh syariat dan adat istiadat sebelum ini. Ayat
ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjur-kannya,
dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun
merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat
diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Lanjutan ayat tersebut, “ jika kamu tidak dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kamu menikahinya)…”,
Menurut Sayyid Quthb (2002: 274-276) dalam kitabnya, Tafsir
Fi Zhilalil Quran, ini adalah keprihatinan, ketaqwaan, dan
takut kepada Allah yang menggetarkan hati si wali apabila
tidak dapat berlaku adil terhadap wanita yatim yang ada
dalam pemeliharaannya. Maka dalam kondisi seperti ini si
wali diberikan rukhsah atau kemudahan untuk melakukan
poligami disertai dengan sikap kehati-hatian seperti itu bila
19
dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil. Dan dicukupkan
dengan monogami dalam kondisi seperti itu, atau budak
belian yang mereka miliki. At-Thabari, sebagaimana yang
dikutip oleh Asghar Ali Engineer (2003: 112-113) mengatakan
inti ayat diatas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami,
tetapi intinya bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim
terlebih lagi ketika mengawini mereka.
Berdasarkan penafsiran di atas, dapat kita lihat
sebenarnya ayat 3 dari surat an-Nisa’ dan ditegaskan oleh
ayat 129 di atas menjelaskan betapa ayat Al-Quran begitu
berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak
untuk diterima dalam situasi yang ada, maka al-Quran
membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri,
dengan syarat harus adil. Berlaku adil dalam bermuamalah
dengan istri-istri, yaitu dengan memberikan kepada masing-
masing istri hak-haknya sesuai dengan konsep keadilan. Adil
di sini adalah menyamakan hak yang ada pada para istri
dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk
disamakan di dalamnya. Jika tidak mampu berlaku adil, maka
Allah menganjurkan kawini wanita satu saja.
Dengan demikian maka jalan yang paling aman untuk
seorang laki-laki adalah beristeri cukup dengan satu orang
wanita saja, niscaya tidak akan terjerumus ke dalam perilaku
tidak berlaku adil.
Berdasarkan landasan tersebut di atas, maka dapat kita
simpulkan bahwa poligami adalah seorang laki-laki yang
menikahi beberapa orang wanita dengan batasannya empat
orang. Poligami dibolehkan baik di dalam agama Islam
maupun dalam kehidupan bernegara, asal mem-punyai
20
kesanggupan dalam memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan baik dalam hukum Islam maupun negara
Landasan hukum poligami juga terdapat dalam
Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang
ada di Indonesia mengenai perkawinan adalah UU Nomor 1
Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975, PP Nomor 10 Tahun
1983 dan PP Nomor 45 Tahun 1990 (Budiarti, 2006: 20). UU
Nomor 1 Tahun 1974 memper-bolehkan poligami asalkan
syarat-syarat tertentu dipenuhi. Seorang suami yang ingin
berpoligami harus mengajukan permohonan kepada
Pengadilan (Pasal 4:1). Dia dapat diberikan ijin untuk
menikah lagi jika salah satu dari syarat alternatif dipenuhi
(Pasal 4:2):
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain memenuhi salah satu syarat tersebut, semua
syarat kumulatif di bawah harus dipenuhi (Pasal 5:1):
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak anak mereka.
PP Nomor 10 Tahun 1983 mempersulit Pegawai Negeri
Sipil (PNS) untuk terlibat dalam perkawinan poligami. PNS
laki-laki yang mau berpoligami dan PNS perempuan yang
mau menjadi istri kedua/ketiga/keempat seorang yang bukan
21
PNS harus memperoleh ijin dari pejabat (Pasal 4:1 & 3). PNS
perempuan tidak boleh menjadi istri kedua/ketiga/keempat
seorang PNS (Pasal 4:2). PP Nomor 45 Tahun 1990 merupakan
revisi PP Nomor 10 Tahun 1983. Pada bulan Desember 2006,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta PP tersebut
direvisi kembali supaya peraturan yang ada tentang poligami
mencakup bukan hanya PNS tetapi juga pejabat negara,
pejabat pemerintah dan masyarakat umum. Presiden
Republik Indonesia juga berencana memperketat sanksi
kepada pelanggar PP, hal ini sebagaimana disampaikan
Setiati E (2007:61-62).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa poligami
yang tidak sesuai dengan hukum syar’i akan menciptakan
hubungan yang tidak sehat dalam keluarga, hal tersebut akan
menjadi faktor rusaknya lembaga perkawinan yang
merupakan pukulan dan dapat menghancurkan mental anak
yang tidak berdosa, sebab poligami akan merampas
perlindungan dan ketentraman anak yang masih berjiwa
bersih.
3. Syarat - syarat Poligami
Dalam Islam poligami dibolehkan jika memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan dalam rangka memberi-
kan alternatif kepada suami dalam persoalan rumah tangga
untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
Dalam pandangan normatif al-Quran yang selanjutnya
diadopsi oleh ulama-ulama fiqh, jika disederhanakan
setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki
oleh suami yang hendak melakukan poligami. Pertama,
seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki
22
kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai
keperluan dengan bertambahnya istri-istri yang dinikahi.
Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istri
dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam
memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lainnya.
Arij Abdurrahman As-Sanan, (2003:193-195) dalam
bukunya “Memahami Keadilan Dalam Poligami” menyebut-
kan ada tiga syarat dalam poligami, yaitu: (1) Maksimal
empat orang, (2) Adil terhadap semua istri dan (3) Mampu
memberi nafkah
a. Maksimal Empat Orang
Di zaman sebelum Islam tidak ada batasan jumlah istri.
Seorang pria boleh memiliki ratusan istri. Namun
Islam menetapkan batas maksimum jumlahnya yaitu
sampai empat orang istri.
…. ( ۳ :النسآء ) Artinya: … “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat..”(Q.S.
An-Nisa’:3).
Menurut Imam Syafi’I, berdasarkan sunnah
Rasulullah, seseorang tidaklah diperbolehkan beristri lebih
dari empat orang. Pendapat ini menjadi ijma’ (kesepakatan
bulat) oleh para ulama ahli sunnah wal jama’ah. Pendapat ini
23
berpedoman pada riwayat yang menjelaskan tentang keadaan
orang-orang yang masuk islam memiliki istri lebih dari empat
orang. Salah satunya adalah:
أسلمت و عندى ثمان نسوة فأتت النيب : عن قيس ا بن الحرث قال
رواه ابو )صلى اهلل عليه وسلم فذكرت ذالك له فقال اختر منهن أربعا
(داود و إبن ماجه
Artinya: “ Dari Qais bin Al-Harits, dia berkata: “ ketika aku masuk
islam, aku memiliki delapan orang istri, maka aku datang
menemui Rasulullah s.a.w lalu aku ceritakan keadaanku
itu kepada beliau. Kemudian Nabi SAW bersabda “
Pilihlah empat orang diantara mereka” (H.R. Abu Daud
dan Ibnu Majah).
b. Adil Terhadap Semua Istri
Keadilan merupakan syarat utama dalam poligami.
Keadilan terhadap istri merupakan sebab kestabilan hidup
berumah tangga dan jalan terwujudnya pergaulan dan
perlakuan baik yang diperintahkan oleh Allah swt dalam
firman-Nya:
( ۳ :النسآء )
24
Artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. . (Q.S. An-
Nisa’ 3)
Kemudian Rasulullah SAW mempertegas dengan
nada ancaman dalam sabdanya:
من كانت : عن ابى هريرة عن النبى صلى اهلل عليه وسلم قال
له امرأتان مييل مع إأحدمها على اخرى جاء يوم القيامة واحد
رواه ابن ماجه)شقيه ساقط Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: “
Barangsiapa yang memiliki dua orang istri lalu dia
cendrung salah satunya atas yang lain, maka pada hari
kiamat kelak dia akan datang sambil menyeret sebelah
pundaknya dalam keadaan runtuh ”. (H.R. Ibnu Majah).
Keadilan yang diwajibkan di sini, kebanyakan penegak
hukum atau hakim percaya adalah perlakuan adil dalam
aspek-aspek yang terkendali atau dapat dikontrol suami dan
menjadi kesanggupannya, seperti perumahan, memberi
pakaian, makanan hiburan, pengurusan para istri dan
keadilan dalam perlakuan terhadap anak. Sedangkan
keadilan dalam hal cinta kasih itu tidak termasuk karena hal
25
itu tidak dapat dikendali atau diluar kesanggupannya.
Begitu juga kalimat condong kepada salah satunya atas yang
lain dalam hadis di atas, adalah haramnya berlaku condong
kepada salah satu istri bukan yang lain dalam hal-hal yang
dalam kekuasaannya, sama seperti yang telah disebutkan.
Oleh sebab itu ulama telah sepakat berdasarkan dalil-
dalil yang amat kuat itu bahwa berlaku adil terhadap semua
istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus syarat
dihalalkannya poligami. Dengan demikian, seorang suami
yang takut tidak mampu mem-perlakukan istri-istrinya
dengan adil maka Islam tidak mengizinkan untuk
berpoligami. Keadilan adalah kebajikan manusia yang paling
luhur. Menetapkan keadilan sebagai syarat berarti menuntut
manusia untuk mencapai kekuatan moral yang paling tinggi.
Jika kita memperhatikan kenyataan bahwa pada
umumnya emosi dan kesukaan seorang tidaklah sama maka
kita akan mengerti bahwa perlakuan yang sama secara
seragam terhadap istri, melaksanakan keadilan dan
berpantang dari diskriminasi adalah tugas yang paling sulit
bagi seorang suami. Karena itu Islam menetapkan keadilan
sebagai syarat utama dalam poligami, tidak boleh adanya
perlakuan diskriminasi, dalam keadaan bagaimanapun juga
terhadap para istri dan anak-anak.
c. Mampu Memberi Nafkah
Para suami berkewajiban menafkahi istrinya. Nafkah
adalah uang yang dibelanjakan, atau bekal, atau apa yang
diberikan seseorang untuk keluarganya, atau harta yang wajib
diberikan kepada istri untuk makannya, pakaiannya, tempat
tinggalnya dan pengasuhan anaknya dan lain-lain Kewajiban
26
memberikan nafkah terhadap istri berdasarkan firman Allah
SWT, diantaranya: QS Al Baqarah: 233:
...
(... ۲۳۳ :البقرة )
Artinya: ...“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama
dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar esanggupannya “... (QS.Al-Baqarah:
233)
Sabda Rasulullah saw:
قال رسول اهلل صلى : ن عمر و بن العاص رضي اهلل عنهما قالبعن عبد اهلل
بو داود و حديث صحيح رواه ا)اهلل عليه وسلم كفى با ملرء إمثا ان يضيع من يقوت
(غريه
Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash r.a., ia berkata
Rasulullah SAW bersabda: “seseorang cukup dianggap
berdosa apabila ia menyiakan orang yang harus diberi belanja
(H.R. Abu Daud)”.
Demikianlah kewajiban memberi nafkah kepada istri
yang diwajibkan Allah SWT kepada suami sebagai kewajiban
dalam bentuk materi disamping kewajiban dalam bentul
moral (keadilan). Dengan demikian apabila dua kewajiban ini
dapat dipenuhi maka kehidupan rumah tangga akan berjalan
27
harmonis, penuh kedamaian dan terhormat. Namun bila itu
tidak dapat dipenuhi maka sebaliknya yang akan terjadi.
Ketika seorang lelaki telah memberanikan diri
mengambil wanita sebagai istri, dia akan memiliki kewajiban
baru yaitu memberi nafkah keluarga. Ini merupakan
kewajuban utama seorang suami yagn tidak boleh tidak harus
dipenuhi dan berdosa jika melalaikannya. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw:
Artinya: "Berdosalah orang (suami) yang mengabaikan nafkah
keluarga yang menjadi tanggungannya." (HR. Muslim dan Abu
Dawud)
Nafkah keluarga merupakan amal wajib yang paling
afdhal karena dengan nafkah itu, keluarganya dapat beramal.
Di samping itu, enafkahi keluarga termasuk amal kebajikan
dan juga sedekah, Bahkan tidak hanya sedekah biasa,
melainkan sedekah yang paling utama karena mengutama-
kannya berarti telah memenuhi kewajibannya sebagai
penanggung jawab nafkah keluarga dan memperoleh pahala
yang besar.
Memberi nafkah bagi seorang suami merupakan
kewajiban yang paling pokok. Sementara bagi istri, pemberian
nafkah ini adalah hak yang mesti harus diterimanya.
Keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga suami-
istri tersebut akan dapat dicapai jika dalam pemberian nafkah
tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan tidak
dikurang-kurangi atau juga diiringi dengan adanya rasa
bakhil atau pelit.
Memberikan nafkah bagi keluarga yang di ridhai Allah
tentu tidaklah hanya sekedar memberikan kebutuhan secara
28
umum saja, tetapi harus memperhati-kan hal-hal penting
seperti:
1. Memberi nafkah harus didasari rasa tulus ikhlas.
Memberi nafkah yang didasari tulus ikhlas dapat
mendatangkan kebahagiaan keluarga dan suami
mendapat pahala. Sebaliknya, akan muncul beban
yang terasa kian hari semakin berat dan keadaan yang
semakin menyebalkan jika memberi nafkah tidak
didasari dengan ketulusan. Sehingga memungkinkan
terjadi ketidaktenteraman hidup dalam rumah tangga.
2. Menafkahi keluarga harus dengan yang halal. Sebuah
hadits menerangkan:
"Amal yang paling utama ialah mencara nafkah yang halal".
(HR. Ibnul 'Ali).
Dengan nafkah yang halal, semua organ tubuh
termasuk hati dan pikiran akan terbentuk dari sari pati
makanan yang halal, sehingga keabsahan dan ke-
khusyu'an ibadah kita lebih terjamin. Ini berarti akan
mewujudkan ke-afdhal-an amal kita. Seorang suami
yang hanya berprinsip bagaimana caranya mencari
serta memperoleh makanan untuk istri dan keluarga
lainnya dan tidak memperdulikan masalah halal atau
haram makanan tersebut, sesungguhnya telah
melakukan suatu hal yang sangat berbahaya di dalam
kehidupan rumah tangganya. Jika ternyata makanan
yang diberikan tersebut adalah haram atau haram
dalam cara mendapatkannya, maka tindakan tersebut
adalah tercela dan sangat membahayakan kehidupan
keluarganya.
29
3. Memberikan nafkah yang cukup untuk beribadah.
4. Memenuhi dalam ukuran yang wajar atau tidak
berlebihan, tidak memperkaya keluarga dengan
menumpuk harta. Sebalinya tetap memperhatikan
kepentingan orang lain. Seorang suami yang
membiasakan royal atau berlebih-lebihan dalam
memberikan nafkah kepada istrinya secara langsung
dapat menjerumuskan istri pada tindak pemborosan
serta ke-mubadzir-an.
5. Sesuai kemampuan suami. Nafkah keluarga diberikan
sesuai kemampuan suami yaitu kemampuan yang
paling maksimal, bukan disesuaikan dengan tuntutan
istri dan segenap anggota keluarga. Allah berfirman:
Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan
sesudah kesempitan. " (AQ. At-Thalaq: 7).
6. Tidak kikir.
Kekiran dalam menafkahi keluarga, tentu akan
menyengsarakan anak-istri dan segenap anggota
keluarga. Kecuali jika memang benar-benar tidak ada
yang dinafkahkan atau memang tidak mampu.
Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari
'Aisyah ra. bahwasanya Hindu binti 'Utbah istri Abu
Sufyan pada suatu hari menghadap Rasulullah saw,
seraya bertanya:
30
Artinya: "Yaa Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu
suami yang sangat kikir. Ia tidak memberiku nafkah yang
cukup bagiku dan anak-anakku kecuali jika aku mengambil
nafkah itu tanpa sepengetahuannya. Maka apakah
tindakanku yang demikian itu berdosa?Rasulullah
menjawab: Ambillah nafkah dari suami-mu secara baik-baik,
sekedar cukup untuk kepentinganmu dan anak-anakmu!"
(HR. Muttafaq 'Alaih).
Bakhil dan kikir adalah sifat tercela yang dilarang Allah
Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla telah memberikan
ancaman berupa kebinasaan dan dosa bagi suami yang tidak
mau memenuhi nafkah keluarganya, padahal ia mampu
untuk memberinya. Hal ini bisa kita fahami, karena memberi
nafkah keluarga adalah perintah syari’at yang wajib
ditunaikan suami. Apabila seorang suami bakhil dan tidak
mau memenuhi nafkah anak serta isterinya, berarti ia telah
bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban
yang Allah bebankan kepadanya, sehingga ia berhak
mendapat ancaman siksa dari Allah.
Adapun jenis nafkah yang wajib, yaitu segala sesuatu
yang dibutuhkan oleh sang isteri serta keluarganya,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah. Termasuk
kategori nafkah wajib ini -tanpa ada perselisihan ulama-
meliputi kebutuhan primer, seperti makanan, minuman,
pakaian dan tempat tinggal, perhiasan serta sarana-sarana
dan peralatan yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi
kebutuhan primernya, juga pemenuhan kebutuhan
biologisnya. Semua itu wajib dipenuhi oleh suami.
31
Adapun kebutuhan selain itu, seperti biaya pengobatan
dan pengadaan pembantu rumah tangga, terdapat silang
pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ahli fiqh
berpendapat, biaya pengobatan isteri tidak wajib bagi suami.
Demikian juga dengan pengadaan pembantu rumah tangga,
tidak wajib bagi suami, kecuali jika hal itu (memberikan
pembantu rumah tangga) sudah menjadi satu hal yang
lumrah dalam keluarga sang isteri, ataupun di kalangan
keluarga-keluarga lain di kaumnya.
Namun yang penting harus diperhatikan, pengadaan
pembantu rumah tangga ini juga tidak terlepas dari
kesanggupan suami untuk memenuhinya. Jika tidak mampu
memberikan pembantu rumah tangga untuk isterinya, maka
tidak wajib bagi suami untuk mengadakannya, karena Allah
tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka nafkah keluarga
yang menjadi tanggung jawab suami diantaranya adalah:
1. Kebutuhan sandang pangan.
Kebutuhan ini harus diberikan dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan kemampuan suami dalam mengupaya-
kannya. Memberi nafkah sandang-pangan ditegaskan
secara langsung oleh Allah swt dalam firman-NYA:
Artinya: ".............dan bagi (para) suami berkewajiban
menanggung (kecukupan) pangan dan sandang mereka (anak-
istri) dengan sebaik-baiknya........". (AQ. Al-Baqarah: 233)
2. Kebutuhan papan. Allah berfirman:
Artinya: "Papankanlah istri-istri kalian dimana kalian bertempat
tinggal sesuai dengan kemampuan kalian dan jangan kaliang
32
menyusahkan mereka dengan mengabaikan kebutuhan papan
hunian mereka!......" (AQ. Ath-Thalaq: 6)
3. Pendidikan anak.
Zaman sekarang tidak ada sesuatu yang gratis. Demikian
juga dengan pedidikan. Penyerahan anak ke lembaga-lembaga
pendidikan harus di imbangi dengan biaya yang cukup dan dari
siapa lagi biaya itu kalau bukan dari orang tua, khususnya sang
Ayah yang berkewajiban memberi nafkah keluarga.
Mengutamakan dalam pemberian nafkah keluarga berati
telah menjalankan sebagian kewajiban baik terhadap keluarga
maupun terhadap Allah swt. Dengan nafkah itu seorang suami
bisa membahagiakan keluarganya sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya. Jika kebahagiaan dunia tercapai maka
kebahagaan akhirat dapat tercapai pula.
Suami yang shalih pasti tidak akan merasa keberatan atau
berkeluh kesah ketika berupaya keras untuk memenuhi
kewajiban pokoknya tersebut. Seorang suami shalih pasti tidak
akan menyia-nyiakan istri dan keluarganya. Karena tindakan
buruk tersebut hanyalah berbuah dosa semata baginya.
Hal yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu
maupun sekarang, bahwa suami wajib memberi nafkah untuk
dirinya dan keluarganya, menyediakan segala hal yang
dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya. Kebiasaan
manusia pada umumnya tidak mengharuskan suami
memberikan nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun
makanan, pakaian dan yang sejenisnya (artinya pemenuhan
tersebut bersifat fleksibel, sesuai dengan tuntutan kebutuhan
keluarga,).
Demikian juga teknis pemenuhan ini, tidak disandarkan
kepada kadar nafkah serta (tidak pula) mewajib-kan suami
33
memberikan nafkah secara taradhin (saling ridha), ataupun
berdasarkan keputusan hakim; kecuali jika terjadi perselisihan
di antara suami-isteri yang disebabkan suami tidak
memberikan nafkah kepada keluarga karena kekikiran-nya,
atau karena kepergiannya atau pun karena ketidak-
sanggupannya memberi nafkah. Maka pada kondisi seperti
ini, pemenuhan nafkah keluarga disandarkan kepada hukum
secara suka sama suka (taradhin) atau berdasarkan keputusan
hakim.
Berapa banyak kalangan yang harus tersakiti hatinya
ketika seorang suami atau bapak mencintai perempuan lain
bukan istrinya. Ada anak-anak, ada istri dan keluarganya.
Pelaku poligami pun sering dalam kondisi tidak gampang,
bisa sakit kepala karena ditarik ke sana ke mari oleh istri-
istrinya. “Namun, poligami adalah masalah privacy seseorang,
tergantung yang melakukan poligami maupun yang dimadu.
Berbagai macam alasan seseorang melakukan praktek
poligami dalam kehidupannya. Poligami yang dipraktekkan
dalam kehidupan masyarakat bukanlah hanya sekedar untuk
memenuhi kebutuhan nafsunya, akan tetapi banyak hal lain
yang menyebabkan terjadi poligami dimaksud.
Hubungan yang harmonis, tentram, dan sejahtera
merupakan salah satu hal yang didambakan dari suatu
perkawinan. Dalam perkawinan, terpenuhinya nafkah dapat
mempererat hubungan suami isteri, namun tidak semua
pasangan dapat memenuhi nafkah secara penuh setelah
menikah. Untuk itu, kewajiban nafkah atas suami untuk istri
dan anak-anaknya sangat diperlukan agar tujuan perkawinan
dapat tercapai.
34
Kewajiban memberi nafkah tersebut, menunjuk
ketentuan adanya kewajiban nafkah atas seseorang karena
mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan orang yang
diberi nafkah. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa
nafkah yang diberikan suami atas istri dalam ikatan
perkawinan menjadi suatu hal yang penting untuk menentu-
kan harta yang diperoleh selama perkawinan apabila terjadi
perceraian, kecuali harta yang diperoleh dari hibah, hadiah
dan warisan, sepanjang tidak ditentukan oleh para pihak lain.
Dalam Kompilasi Hukum Islam harta bersama diartikan
sebagai harta yang diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-
sama suami istri selama perkawinan tanpa mem-persoalkan
terdaftar atas nama siapa pun, namun pada dasarnya tidak
ada percampuran harta bersama karena perkawinan.
Kemudian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
dijelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan otomatis menjadi harta bersama. Berangkat dari
dua pengertian tersebut, penyusun tertarik untuk mengkaji
lebih mendalam mengenai bentuk pengaturan harta bersama
terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah.
Beradasarkan uraian penjelasan di atas terhadap
kewajiban dalam memberikan nafkah oleh suami kepada istri
dalam sebuah perkawinan merupakan kewajiban yang tidak
dapat dielakkan oleh mereka (suami), namun terhadap kadar
atau ukuran mengenai kebutuhan kecukupan dalam usaha
memberikan pemenuhan nafkah tersebut, hal itu tidak ada
satu ketentuan dalam agama, karena yang terpenting rumah
tangga yang dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang serta
dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
35
B. Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Pendidikan Anak
Salah satu firman Allah swt berkenaan dengan
kewajiban orang tua dalam membina anak-anaknya,
sebagaimana terdapat dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”
(QS.At-Tahrim:6).
Dengan ayat ini Allah Swt mengingatkan orang-orang
yang beriman, bahwa semata mata beriman saja belumlah
cukup. Iman harus dipelihara, dirawat dan dipupuk dengan
cara menjaga keselamatan diri dan seisi rumah tangga dari api
neraka.
Ahmad Tafsir (1995: 7) mengemukakan bahwa orang
tua adalah orang yang pertama yang menjadi panutan bagi
anaknya, karena semua tingkah laku orang tuanya akan
ditiru. Oleh karena itu peneladanan orang tua terhadap anak
sangat diperlukan, dan orang tua merupakan pendidik utama
dan pertama bagi anaknya, serta mempunyai pengaruh yang
36
sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anak,
karena merekalah yang pertama sekali mendidik anaknya.
Sementara anak merupakan unsur ketiga setelah ayah
dan ibunya dalam keluarga. Dalam teori tabulah rasa,
dikatakan bahwa anak adalah laksana kertas putih dan bersih
yang diatasnya boleh dilukis apa saja menurut keinginan
orang tua dan para pendidik, atau laksana lilin lembut yang
bisa dibentuk menjadi apa saja menurut keinginan para
pembentuknya.
John Locke dalam Ahmad Tafsir (1995: 13) selaku tokoh
teori tabularasa, mengatakan bahwa anak adalah laksana
kertas putih dan bersih yang di atasnya boleh dilukis apa saja
menurut keinginan orang tua dan para pendidik, atau laksana
lilin lembut yang bisa dibentuk menjadi apa saja menurut
keinginan para pembentuknya.
Mengenai teori tabularasa di atas, pada dasarnya dalam
ajaran Islam jauh sebelum munculnya teori tabularasa ada,
Rasulullah saw sudah bersabda :
(رواه لبخارى)جمسا نه أ وينصرا نه يطرة فأ بواه يهودانه أوكل مولود يولدعلى الف
Artinya : Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci),
maka orang tuanyalah yang meyahudikannya dan yang
memajusikannya serta menasranikannya (H.R. Bukhari).
Di samping itu bahwa keluarga mempunyai peranan
penting untuk menolong pertumbuhan anak-anaknya dari
segi jasmani baik segi aspek perkembangan atau aspek
perfungsian, serta dalam memperoleh pengetahuan
keterampilan. Selanjutnya orang tualah yang akan mem-
perkenalkan mereka kepada dunia luar, kepada orang lain,
37
dan kepada diri sendiri, di samping menanamkan rasa cinta
kasih dalam keluarga dan kepada sesama.
Rumah tangga atau keluarga mempunyai tanggung
jawab yang sangat besar sekali dalam pendidikan anak,
begitu juga dengan lingkungan alam sekitarnya. Rumah
tangga yang dipimpin oleh orang tua yang cerdas (pandai)
dalam mendidik akan menghasil-kan anak-anak terdidik.
Kebalikannya rumah tangga yang dikepalai oleh orang tua
yang tidak mampu mendidik akan menghasilkan anak-
anak nakal dan bodoh.
Hafiz Ibrahim sebagaimana dikutip oleh Mahmud
Yunus (1981: 27) mengatakan, “ibu itu sebagai sekolah
pertama dan utama yang mengeluarkan anak yang berbudi
pekerti, ibu itu laksana taman yang menghasil-kan buah
lezat rasanya dan ibu itu guru dari segala guru yang
berpengaruh sampai ke ufuk langit”. Oleh karena itu, untuk
mengeluarkan anak-anak terdidik harus menjadi tanggung
jawab orang tua murid dalam mendukung proses belajar
mengajar yang terjadi di sekolah.
Imam Al-Ghazali dalam Abubakar Mahmud (tth: 258)
menjelaskan, “tugas orang tua atau kewajiban terhadap
anaknya adalah harus mendidik, memupuk dan memperbaiki
akhlaknya serta memeliharanya dari lingkungan yang tercela,
dan tidak boleh membiasa-kannya dengan kemewahan, agar
terhindar dari sifat ria, angkuh, dan sombong serta malas,
sehingga sulit untuk memperbaikinya, dan hendaknya di
sadari bahwa sifat-sifat yang paling menonjol pada anak
adalah sifat rakus pada makanan dan malas dalam
melakukan aktivitas tidak terkecuali belajar”. Maka dalam hal
38
ini, sangat tergantung kepada bimbingan dan didikan dari
orang tuanya di rumah.
Ikatan kekeluargaan membantu anak mengem-bangkan
sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerja
sama, disipin tingkah laku yang baik, serta pergaulan akan
kewibawaan. Selanjutnya sumbangan keluarga bagi
pendidikan anak adalah:
1. Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara
mengurus diri, seperti ; cara-cara makan, buang air,
berbicara, berjalan, berdo`a, karena berkaitan erat
dengan perkembangan dirinya sebagai pribadi.
2. Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan
anak. Sikap menerima atau menolak, sikap kasih sayang
atau acuh tak acuh, sikap sabar atau tergesa-gesa, sikap
melindungi atau membiarkan secara langsung
mempengaruhi reaksi emosional anak.
Sangat wajar dan logis jika penanggung jawab utama
pendidikan anak adalah ditangan orang tua dan tidak bisa
dipikulkan kepada orang lain. Terkecuali bagi orang tua yang
mempunyai keterbatasan, maka sebagai tanggung jawab
tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain selaku wali.
Namun dari itu bukan berarti tanggung jawabnya tidak
ada lagi, sekalipun anaknya sudah dilimpahkan ke sekolah,
maka tanpa ada tanggung jawabnya keberhasilan anaknya
tidak mungkin tercapai, untuk itu tanggung jawab orang tua
tidak terbebas dikarenakan ada sekolah. Bahkan ketika anak
sudah duduk di bangku sekolahpun, orang tua tidak bisa
lepas tangan begitu saja, karena dalam pendidikan anak
sangat diperlukan kerja sama yang baik antara guru dan
39
orang tua sehingga terwujudlah proses belajar mengajar
dengan baik. M. Arifin (2003: 23) dan Aminuddin Rasyad
(1991: 19) Selanjutnya tanggung jawab orang tua terhadap
anak adalah:
1. Memelihara dan membesarkannya, tanggung jawab ini
merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan, karena
sianak memerlukan makan, minum dan perawatan, agar
ia dapat hidup secara berkelanjutan.
2. Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara
jasmaniah maupun rohaniah dari berbagai gangguan
penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat
mengganggu dan membahayakan dirinya dalam proses
belajar mengajar.
3. Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang barguna bagi kehidupannya kelak,
sehingga bila ia telah dewasa mampu berdiri sendiri dan
membantu orang lain.
4. Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan
memberinya pendidikan agama sesuai dengan ketentuan
Allah Swt, sebagai tujuan akhir hidup muslim.
Adanya kesadaran dan tanggung jawab mendidik dan
membina anak secara kontinu perlu dikembangkan kepada
setiap orang tua, sehingga pendidikan yang dilakukan tidak
lagi berdasarkan kebiasaan yang dilihat dari orang tua, tapi
didasari oleh teori-teori pendidikan modern, sesuai dengan
perkembangan zaman yang cenderung selalu berubah. Dalam
hal inilah proses belajar mengajar disuatu sekolah akan
berjalan lancar dan efektif serta efesien, apabila ada perhatian
40
penuh dari orang tua murid terhadap keberlangsungan
pendidikan anak-anaknya.
Oleh karena itu, sekali lagi disini perlu ditegaskan
bahwa, perlunya dorongan orang tua murid terhadap
aktivitas belajar anak. Hal ini dilakukan oleh orang tua anak
sebagai respon stabilitas terhadap anaknya, agar anaknya
mau dan ingin mengikuti pelajaran disekolah serta mau
mengulang pelajaran di rumah, lebih-lebih lagi apabila ada
pelajaran yang harus diselesaikan di rumah. Untuk itulah,
dorongan orang tua murid terhadap kegiatan belajar anak
dapat membantu proses belajar mengajar di sekolah.
Dalam pada itu, ada tiga kemungkinan keterlibatan
orang tua dalam proses belajar mengajar, yaitu:
a. Orientasi pada tugas.
Orientasi ini paling sering dilakukan oleh pihak
sekolah, yaitu harapan keterlibatan orang tua dalam
membantu program sekolah, yang berkaiatan sebagai staf
pengajar, staf administrasi,sebagai tutor, melakukan
monitoring, membantu mengumpulkan dana, membantu
mengawasi anak apabila anak-anak melakukan kunjungan
luar. Bentuk partisipasi para orang tua yang tersebut adalah
yang biasanya diharap-kan para guru. Bentuk partisipasi
lain yang masih termasuk orientasi pada tugas adalah,
orang tua membantu anak dalam tugas-tugas sekolah.
b. Orientasi pada proses.
Partisipasi orang tua didorong untuk mau
berpartisipasi dalam kegiatan yang berhubungan dengan
proses pendidikan, antara lain perencanaan kurikulum,
memilih buku yang diperlukan sekolah, seleksi guru dan
41
membantu menentukan standar tingkah laku yang
diharapkan. Orientasi proses ini jarang dilaksanakan,
karena sekolah sering kali menganggap bahwa umumnya
orang tua tidak memiliki keterampilan untuk
melaksanakannya.
c. Orientasi pada perkembangan.
Soemiarti Padmono Dewo (2000: 125) menjelaskan
bawah orientasi ini membantu para orang tua untuk
mengembangkan keterampilan yang berguna bagi mereka
sendiri, anak-anaknya, guru, keluarga, dan pada waktu yang
bersamaan meningkat-kan tanggung jawab orang tua itu
sendiri.
Dengan demikian apabila orang tua terlibat dalam
program seperti yang tersebut, mereka akan mendapat
kesempatan belajar cara meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan anak, para orang tua akan merasa lebih
mampu dan dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar
anak di sekolah. Pada kenyataannya tidak muda untuk
meminta orang tua terlibat dalam pendidikan anak mereka.
Para orang tua umumnya telah tersita waktunya, karena
umumnya suami isteri muda usia bekerja diluar rumah.
Seakan-akan tidak mungkin lagi orang tua melakukan
pekerjaan “tambahan” sekalipun kegiatan tersebut akan
menimbulkan kepuasan baik bagi anak maupun orang tua.
Untuk itu, para orang tua dalam melakukan pekerjaan
bersama anak, dapat diminta untuk:
1. Membantu anak-anak dalam kelompok kecil yang sedang
melakukan aktivitas bermain untuk mengembangkan
bahasa, ilmu pengetahuan, kesenian atau musik.
42
2. Membaca cerita.
3. Selalu mengajak anak bicara dan mendengarkan yang apa
dibicarakan anak serta mengarahkan atau memperbaiki
kesalahan-kesalahan darai pembicaraan anak-anaknya.
4. Membantu anak bila mereka sedang dalam pergantian
kegiatan dengan membantu membersihkan diri anak atau
membantu menyiapkan kegiatan lain, serta orang tua
berperan sebagai pengarah dalam penyiapan kegiatan
dimaksud agar tidak menyimpang menurut ajaran agama
dan melanggar hukum negara.
5. Membantu anak bila anak-anak sedang mengikuti
kegiatan menggunting, mengelompokkan atau serasi.
6. Mengajak kelompok kecil (2 atau 3 orang anak) untuk
melakukan kunjungan kesuatu tempat yang dekat
dengan sekolah.
7. Membantu mempersiapkan saat anak baru datang atau
bila anak akan pulang.
8. Membantu anak apabila sangat membutuhkan misalnya
buang air kecil tergesa-gesa, anak mengalami luka ringan
dan sebagainya.
9. Memberitahu guru apabila anak membutuhkan perhatian
guru.
Oleh itu, jelaslah bahwa betapa pentingnya tanggung
jawab orang tua murid dalam proses belajar mengajar. Hal ini
dikarenakan apabila seorang anak terlepas dari orang tuanya,
maka anak tersebut kemungkinan sekali untuk malas belajar
baik di rumah maupun di sekolah. Dengan adanya kontrol
yang rutin oleh orang tua terhadap kegiatan belajar anak,
43
dapat mengakibatkan kepada keberhasilan belajar anak itu
sendiri dalam proses pembelajaran di sekolah.
Dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui
pembinaan profesional guru atas keyakinan bahwa mutu
pembelajaran dapat diperbaiki pembinaan langsung dari
orang-orang yang bekerja sama dengan guru-guru di sekolah.
Dalam pada itu, Burhanuddin Tala, dkk (2003: 13)
menciptakan kondisi yang layak bagi pertumbuhan
profesionalisme guru melalui kepemimpinan partisifatif di
mana guru merasa dihargai dan diperlukan, sehingga akan
lebih saling kepercayaan antara para pembina (pengawas,
kepala sekolah) dengan guru-guru, antara guru denga guru,
dan yang lebih penting lagi adalah antara guru dengan orang
tua murid. Interaksi antara guru dengan orang tua murid
serta masyarakat pada umumnya dapat mempengaruhi
terhadap prestasi belajar anak itu sendiri.
Interaksi antara guru dengan orang tua murid
menunjukkan bahwa ada kerja sama antara keduanya dalam
upaya meningkatkan kemampuan anak dalam proses
pembelajaran. Tanpa adanya kerja sama antara keduanya,
maka sungguh sangat sulit untuk mencapainya tujuan
pendidikan yang sebenarnya. Untuk itulah, barang kali
sekarang sering terjadi anak yang malas ke sekolah, atau ada
anak yang dari rumah pergi kesekolah tapi padahal anak
tersebut tidak sampai ke sekolah, hal ini disebabkan
kurangnya kontrol dari sang orang tua murid, atau ada juga,
anak-anak yang sampai ke sekolah belum mengyelesaikan
tugas rumah yang diberikan oleh guru, hal ini juga akibat dari
tidak adanya kepedulian dari orang tua murid. Sehingga
44
sampai disekolah anak-anak tersebut mengganggu anak lain
yang sedang menyiapkan atau menyelesaikan pekerjaan
rumah yang pernah diberikan oleh guru sekolah. Hal-hal
seperti ini, dapat mengganggu aktifitas proses belajar
mengajar di sekolah.
Untuk itulah, perlunya orang tua memahami
karakteristik sianak itu sendiri, sehingga perkembangan
emosional anak dapat terkendali. Karena harus disadari
bahwa perkembangan emosional anak sangat besar
pengaruhnya terhadap keberlangsungan proses belajar
mengajar di sekolah. Dan juga kebiasaan anak dengan orang
tua di rumah sangat berpengaruh terhadap kegiatan anak
dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Oleh karena itulah
perlunya perhatian khusus para orang tua terhadap
perkembangan anak di sekolah, demi meningkatkan prestasi
belajar anak. Dan di rumah orang tua harus selalu menasehati
dan menanyakan kepada anak tentang apa-apa tugas sekolah
yang belum diselesaikan, sekaligus membantu anak dalam
menyelesaikannya, sehingga anak tidak terbentur pada soal
pelajaran yang akan dikerjakan.
Bersamaan dengan hal tersebut Zakiah Daradjat
(1997:78) mengemukakan pendapatnya bahwa ”tidak
rukunnya ibu dan bapak menyebabkan gelisahnya anak-anak,
mereka menjadi takut dan cemas serta tidak tahan berada
ditengah-tengah orang tua yang tidak rukun”. Maka anak-
anak cemas dan gelisah itu mudah terdorong kepada
perbuatan-perbuatan yang merupakan dari rasa hatinya yang
biasanya mengganggu ketentraman orang lain.
45
Dan ada pula orang tua secara bebas memimpin
anaknya, dia menyerahkan penentuan tujuan kepada
anaknya. Anak dibiarkan berkembang menurut kesanggupan
sendiri. Membiarkan anak belajar di lingkungan, menemukan
sendiri masa yang baik dan yang tidak baik, mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak. Artinya bahwa orang
keluarga (orang tua) merupakan sebagai pengarah atau
pembimbing anak-anaknya baik dalam pergaulan sehari-hari
maupun dalam pendidikannya.
Adapun pendidikan yang harus diberikan oleh orangtua
sebagai wujud tanggung jawab terhadap keluarga adalah:
1. Pendidikan agama
Pendidikan agama dan spiritual adalah pondasi utama
bagi pendidikan keluarga. Pendidikan agama ini meliputi
pendidikan aqidah, mengenalkan hukum halal-haram
memerintahkan anak beribadah (shalat) sejak umur tujuh
tahun, mendidik anak untuk mencintai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, keluarganya, orang-orang yang shalih dan
mengajar anak membaca Al-Qur’an. Al-Ghazali berkata,
“Hendaklah anak kecil diajari Al-Qur’an, hadits dan sejarah
orang-orang shalih kemudian hukum Islam”.
2. Pendidikan akhlak
Para ahli pendidikan Islam menyatakan bahwa
pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab
tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa
dan akhlak.
3. Pendidikan jasmani
Islam memberi petunjuk kepada kita tentang
pendidikan jasmani agar anak tumbuh dan berkembang
46
secara sehat dan bersemangat. Allah Ta’ala berfirman:
“Makanlah dan minumlah kamu tetapi jangan berlebih-
lebihan, sesungguhnya Allah tidak senang kepada orang
yang berlebih-lebihan” (QS.Al-A’raf:31). Ayat ini sesuai
dengan hasil penelitian para ahli kesehatan bahwa agar
tubuh sehat dan kuat, dianjurkan untuk tidak makan dan
minum secara berlebih-lebihan.
4. Pendidikan akal
Yang dimaksud dengan pendidikan akal adalah
meningkatkan kemampuan intelektual anak, ilmu alam,
teknologi dan sains modern sehingga anak mampu
menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dalam
rangka menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan
khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan
konsep yang ditetapkan Allah. Hal inilah yang diisyaratkan
oleh Allah dengan proses penciptaan nabi Adam AS dimana
sebelum ia diturunkan ke bumi, Allah mengajarkan nama-
nama (asma) yang tidak diajarkan kepada para malaikat (QS.
Al-Baqarah : 31).
5. Pendidikan sosial
Yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah
pendidikan anak sejak dini agar bergaul di tengah-tengah
masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip syari’at
Islam. Di antara prinsip syari’at Islam yang sangat erat
berkaiatan dengan pendidikan sosial ini adalah prinsip
ukhuwwah Islamiyah. Rasa ukhuwwah yang benar akan
melahirkan perasaan luhur dan sikap positif untuk saling
menolong dan tidak mementingkan diri sendiri. Islam telah
47
menjadikan ukhuwwah Islamiyah sebagai kewajiban yang
sangat fundamental dan mengibaratkan kasih sayang
sesama muslim dengan sebatang tubuh, apabila salah satu
anggota badannya sakit, maka yang lain ikut
merasakannya.
Untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah ini Islam
telah menggariskan syari’at Al-Jama’ah (QS.Ali Imran: 103).
Oleh karena itu setiap orang tua harus mengajarkan
kehidupan berjama’ah kepada anak-anaknya sejak dini.
Seluruh aspek pendidikan ini akan berjalan maksimal
apabila orangtua dapat dijadikan teladan bagi anak-
anaknya di samping harus berusaha secara maksimal agar
setiap dia melakukan pekerjaan yang baik bagi keluarganya
dapat melakukan seperti yang dia lakukan. Hal inilah yang
telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di tengah-tengah keluarganya.
Diriwayatkan oleh Muslim bahwa apabila Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengajarkan shalat witir
(tahajud yang diakhiri dengan witir) beliau membangunkan
isterinya (Aisyah). “Bangunlah dan berwitirlah hai Aisyah”.
Dalam riwayat lain beliau bersabda: “Allah merahmati
seorang laki-laki yang bangun pada sebagian malam lalu
dibangunkannya keluarganya. Kala dia tidak mau bangun
dipercikkannya air di mukanya.
Dengan demikian, tugas orang tua atau kewajiban
terhadap anaknya adalah harus mendidik, memupuk dan
memperbaiki akhlaknya serta memeliharanya dari
lingkungan yang tercela, dan tidak boleh membiasa-kannya
dengan kemewahan, agar terhindar dari sifat ria, angkuh
48
dan sombong, sehingga sulit untuk diperbaiki. Dengan
demikian jelaslah, bahwa kontrol orang tua terhadap
anaknya di sekolah sangat diperlukan, karena kebiasaan
siswa atau pelajar adalah sering bolos dari sekolah. Dengan
kerja sama dan komunikasi yang harmonis antara guru
dengan orang tua murid, problema seperti itu dapat diatasi
secara baik, yang pada gilirannya nanti mampu
menciptakan prestasi belajar siswa yang memuaskan
dengan mencapai hasil belajar yang tinggi.
C. Dampak Negatif Poligami Menurut Islam dan
Terhadap Pendidikan Anak
Tanggungjawab terhadap anak adalah tugas bersama
suami dan istri, dan tidak dapat diabaikan. Begitu juga
pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua kepada
Allah. Orang tua tidak boleh menyepelekan pendidikan
anak, karena dengan pendidikanlah mereka dapat hidup
layak di masa depan.
Dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban tersebut
orang tua dengan perasaan yang senang serta ikhlas,
sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara orang
tua dan anak-anak. Di samping itu interaksi orang tua
dengan anak tentunya dapat mempengaruhi perkembangan
mental anak itu sendiri dalam menjalani kehidupannya,
begitu juga ketika berpoligami, tentu membawa dampak
negatif terhadap anak seperti:
a. Anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang
dari orang tua.
49
b. Figur orang tua yang tidak bisa memberikan rasa aman
pada anak.
c. Sosial ekonomi keluarga yang kurang.
d. Sikap bermusuhan baik langsung atau tidak langsung
yang ditujukan kepada anak, maupun yang tidak
disengaja dialami oleh seorang anak.
Masalah tersebut juga dapat menimbulkan suasana
kebencian dalam kehidupan keluarga karena terbaginya
kasih sayang, perhatian dan kebutuhan anak lainnya.
Dampak poligami lainnya adalah anak hidup dalam
depresi dan kehilangan perlindungan dari keluarga.
Mereka dengan mudah terseret ke dalam pergaulan sesat
dan tidak jarang terjatuh dalam kegiatan kriminal.
Para ulama fikih selalu mencoba melakukan
rasionalisasi agar poligami bisa diterima dengan baik.
Begitu banyak hikmah yang dapat digali dari syariat
poligami, sama juga banyaknya kelemahan yang terdapat
di dalam poligami. Sebagaimana penjelasan Al-Athar
dalam buku karangan Kahiruddin Nasution (1996: 100)
tercatat bahwa ada empat dampak negatif dari poligami
yaitu:
Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan
di antara para isteri pertama poligami, Kedua, menimbulkan
rasa kekhawatiran isteri kalau-kalau suami tidak bisa
bersikap adil dan bijaksana, Ketiga, anak-anak yang
dilahirkan dari ibu yang ber-lainan sangat rawan untuk
terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu,
Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi.
50
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarig (2004: 181)
menambahkan bahwa bisa saja pada awalnya suami
memiliki kemampuan untuk berpoligami, namun bukan
mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan, maka
yang akan menjadi korban akan lebih banyak, terutama
bagi istri dan anak-anaknya termasuk pendidikan.
Beranjak dari penjelasan tersebut, maka dapat kita
simpulkan bahwa di antara poligami berdampak di
antaranya adalah timbulnya perkelahian, permusuhan dan
saling cemburu antara anak-anak lahir dari ibu yang
berbeda serta timbulnya kekacauan dalam bidang ekonomi.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kedua hal tersebut dapat
mempengaruhi pendidikan serta kepribadian anak.
Sesungguhnya izin untuk mengawini lebih dari
seorang istri telah disalahgunakan dengan kasar oleh
sebagian muslim sekarang ini yang tidak menghargai
sebagai izin yang bersyarat. Karena itu tidak berlebihan bila
dikatakan poligami terkenal secara negatif, bukan karena
syariatnya tetapi karena dalam prakteknya tidak
menghargai bahkan mengabaikan syarat-syarat keadilan
yang telap ditetapkan, sehingga poligami berdampak
negatif dimata masyarakat. Murtadha Muthahhari (2007:
117) di sinilah nampak hubungan perkawinan tidak hanya
terbatas pada soal material dan fisik saja, artinya tidak
hanya terbatas pada urusan kebendaan dan keuangan
semata, tetapi yang paling utama dan mendasar adalah
aspek spiritual dan emosional, yaitu cinta dan perasaan
terhadap istri dan anak dan mewujudkan kebahagiaan
dalam rumah tangga.
51
Kebahagiaan dan kesejahteraan dalam rumah tangga
terletak dalam kesucian, kesetiaan, kesabaran,
pengorbanan, kesatuan, dan persatuan sesama orang tua
dan orang tua dengan anak, sedang semua ini terancam
dalam poligami. Disamping itu kondisi istri yang tidak
biasa, dan juga anak-anak dengan dua ibu yang berbeda
akan semakin kacau keadaan dalam rumah tangga. Timbul
pertengkaran dan persaingan antara dua istri dan dalam
kasus-kasus tertentu dengan si suami pula yang kemudian
disalurkan kepada anak mereka masing-masing.
Lingkungan rumah tangga yang seharusnya menjadi
lingkungan kedamaian, keakraban, tempat mencurahkan
perhatian dan kasing sayang, berubah menjadi medan laga
dan permusuhan. Lingkungan rumah tangga yang
merupakan sekolah pertama dan perawatan rohani bagi
anak-anak yang seharusnya memberi inspiriasi untuk
memotivasi anak untuk belajar, berubah menjadi lembaga
perseteruan dan permainan kotor.
Tidak diragukan lagi, bahwa poligami membuka jalan
bagi perangai-perangai tersebut, karena manusia itu
menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak
cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut
akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam
kehidupan poligami. Akibatnya, keutuhan keluarga yang
telah terbina menjadi hancur, hubungan baik antara istri
dengan suami, anak dengan orang tua menjadi tidak baik,
serta pendidikan terhadap anak menjadi kurang
terperhatikan.
52
Al-Athar dalam bukunya ta’addut al zawjat yang
dikutip oleh Khairuddin Nasution (1996: 100)
mengemukakan bahwa ada empat dampak negatif dalam
poligami. Pertama poligami dapat menimbulkan
kecemburuan diantara para isteri. Kedua menimbulkan rasa
kekhawatiran isteri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap
bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari
ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya
perkelahian, permusuhan dan saling cemburu. Keempat,
kekacauan dalam bidang ekonomi.
Dampak-dampak negatif yang timbul dari poligami
tersebut selanjutnya menjadi faktor peng-hambat bagi
orang tua dalam upaya menyelenggarakan pendidikan bagi
anak dan meningkatkan prestasi belajar mereka, yaitu
dalam hal menjaga kedisiplinan dalam rumah tangga,
memberi bimbingan, pemenuhan kebutuhan pokok dalam
rumah tangga, perhatian dan kasih sayang terhadap anak.
Disamping itu kemampuan ekonomi orang tua sangat
mempengaruhi prestasi belajar anak. Bisa saja pada
awalnya suami memiliki kemampuan ekonomi untuk
menafkahi istri dan membiayai pendidikan anak, namun
bukan mustahil suatu saat mengalami kebangkrutan, maka
yang akan terjadi korban terhadap pendidikan anak.
Dengan demikian, orang tua yang berpoligami perlu
memperhatikan kedisiplinannya terhadapa anak,
bimbingan, perhatian dan kasih sayang kepada anak serta
menyediakan fasilitas-fasilitas belajar untuk anak, agar
poligami tidak berdampak negatif terhadap prestasi belajar
anak.
53
1. Kedisiplinan Terhadap anak
Disiplin membawa pengaruh yang besar terhadap
prestasi belajar anak, dimana ia akan hidup dengan
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Dengan disiplin
anak akan selalu menghargai waktu, hidup lebih tertatur
dan pendidikan pun berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, maka anak-anak perlu mengaktifkan diri
dengan nilai-nilai moral untuk memiliki dan mengembang-
kan dasar-dasar disiplin diri. Dengan demikian upaya
tersebut menunjuk perlu adanya posisi dan tanggung jawab
orang tua, karena orang tua berkewajiban untuk
meletakkan dasar-dasar disiplin pada anak.
Orang tua berkewajiban menjaga kedisiplinan dalam
rumah tangga serta menanamkan nilai-nilai disiplin pada
anak. Menurut Charles Schaefer (1989: 11) “orang tua secara
terus menerus wajib menanamkan kedisiplinan kepada
anak, karena menanamkan kedisiplinan merupakan tujuan
pokok dalam membina anak”.
Orang tua yang mampu menciptakan dan menjaga
kedisiplinan dalam keluarga akan sangat membantu anak
dalam belajar, karena dengan adanya kedisiplinan berarti
anak belajar secara terjadwal dan terkontrol dari orang
tuanya. Disiplin yang dimaksud disini mempunyai arti
luas, yaitu mendidik, menuntun dan mengarahkan anak
dalam hidupnya dan dalam masa pertumbuhan dan masa
perkembangannya. Disiplin yang seperti ini yang sangat
mempengaruhi peningkatan prestasi belajar anak.
54
Ada tiga kriteria yang ditawarkan oleh Charles
Schaefer (1989: 12) yang harus dipenuhi untuk
menanamkan kedisiplinan secara efektif yaitu:
1. Membuat perubahan dan pertumbuhan anak
2. Memelihara harga diri anak
3. Menjaga hubungan erat antara orang tua dan anak.
Ketiga kriteria tersebut menuntut orang tua untuk
memposisikan anak secara proporsional. Anak sebagai
manusia yang berpotensi perlu menanamkan nilai-nilai
moral, memberikan dasar-dasar pengetahuan islam dan
pengetahuan umum agar anak berubah menjadi dewasa
yang diwarnai dengan nilai-nilai moral dan pengetahuan
tersebut. Dan orang tua tidak menganggap anaknya sebagai
manusia asing dirumah dengan tetap menjaga dan
memelihara harga diri anak dan menjaga hubungan erat
antara orang tua dan anak.
2. Bimbingan
Sebagaimana halnya kedisiplinan, bimbingan juga
sangat perlu bagi anak-anak usia sekolah, karena didalam
belajar anak membutuhkan bimbingan. Untuk membantu
anak dalam belajar orang tua harus bertindak sebagai
fasilitator dalam memberikan bimbingan kepada anak guna
untuk mencegah usaha-usaha yang membabi buta.
Mustaqim dan Abdul Wahib (2003: 65) menambah-kan
bahwa anak itu tidak mengalami kegagalan melainkan
dapat membawa kesuksesan dan bimbingan juga dapat
menghindari kesalahan serta memper-baikinya.
55
Untuk terlaksananya kegiatan bimbingan, orang tua
harus mengatur waktu khusus untuk membimbing anak
serta meluangkan waktu yang cukup untuk mencapai hasil
yang optimal. Ada anggapan bahwa kualitas kebersamaan
dengan anak lebih baik dibandingkan kuantitas waktunya.
Namun kualitas kebersamaan tidak dapat terwujud kalau
orang tua kurang meluangkan waktu dengan anak-
anaknya. Ukuran kualitas dan kuantitas yang cukup adalah
anak merasa orang tuanya sayang kepadanya dan sangat
peduli terhadap belajar anak.
Ada beberapa langkah proses bimbingan anak yang
perlu dilakukan oleh orang tua dalam membimbing anak
belajar, yaitu:
1. Menyediakan kesempatan sebaik-baiknya kepada anak
untuk menemukan minat, bakat serta kecakapan-
kecakapan serta mendorong agar mereka meminta
bimbingan dan nasihat dari guru-guru agama.
2. Menyediakan informasi-informasi yang penting dan
relevan sesuai dengan bakat dan minat anak
3. Menyediakan fasilitas dan sarana belajar serta
membantu kesulitan belajarnya.
Langkah-langkah bimbingan diatas menuntut orang
tua untuk meluangkan waktu atau menyediakan
kesempatan yang baik kepada anak, komunikasi yang baik
dengan anak untuk menyampaikan informasi penting
kepada anak dan ekonomi yang cukup untuk menyediakan
fasilitas belajar yang diperlukan anak.
Kegiatan bimbingan ini akan terwujud dalam keluarga
poligami jika ada perhatian orang tua terhadap pendidikan
56
anak dan menjadikan rumah tangga sebagai tempat
pendidikan informal bagi anak dengan tetap menjaga
keserasian, keharmonisan dan keakraban antara sesama
orang tua dan dengan anak. Tetapi apabila orang tua tidak
peduli terhadap pendidikan anak, sering konflik dalam
rumah tangga (bapak dengan ibu) maka usaha untuk
membimbing anak belajar mustashil akan terwujud.
Dalam keluarga poligami menciptakan keharmonisan
dan kerukunan dalam rumah tangga merupakan fondasi awal
untuk menciptakan proses belajar mengajar. Kegiatan belajar,
bimbingan pada anak akan terwujud bila sausana rumah
tangga harmonis. Namun apabila dalam keluarga terjadi
percekcokan antara suami dengan istri, suasana rumah tangga
diwarnai dengan konflik dan dendam kesumat maka aktifitas
bimbingan belajar terhadap anak menjadi lumpuh bahkan
mati total. Karena dalam kehidupan rumah tangga poligamis
membuka peluang besar akan terjadinya keadaan seperti ini.
Oleh karena itu menciptakan kerukunan dalam rumah tangga
merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang tua agar
proses belajar-mengajar anak dapat terbina dengan baik.
4. Perhatian dan Kasih Sayang
Pendidikan anak dalam lingukungan keluarga
merupakan awal dan sentral bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak yang akan menjadi individu dewasa.
Anak adalah manusia kecil yang masih banyak mendapat
perhatian dan merasakan cinta dan kasih sayang kedua
orang tuanya karena ia merupakan pusat perhatian,
pemeliharaan dan kesayangan. Kasih sayang orang tua
terhadap anak termasuk salah satu naluri yang difitrahkan
57
Allah swt kepada manusia dan hewan, serta merupakan
salah satu asas biologis, psikologis, sosial serta alami bagi
kebanyakan makhluk hidup.
Kasih sayang orang tua menunjukkan kehangatan dan
senang kepada anak, dan biasanya berwujud ungkapan
atau tindakan. Tanda kasih sayang antara lain, membelai,
memegang, mencium anak dan lain-lain. Tanda kasih
sayang tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap anak,
apalagi disertai ekspresi wajah yang menyenangkan atau
penghormatan secara kasih sayang.
Kasih sayang terhadap anak merupakan kecintaan
orang tua kepada anak. Kecintaan biasanya akan
melahirkan sikap perhatian terhadap setiap tingkah laku
anak. Kasih sayang dan perhatian orang tua sangat
bermakna dan membekas pada diri anak hingga anak
dewasa. Menurut Charles Schaefer (1989: 99) “ mencinta
anak dapat dibedakan menjadi tiga, mencintai begitu saja,
menghormati, dan memperhatikan”.
Dalam konteks pendidikan, mencintai anak dengan
cara menghormati dan memperhatikan jauh lebih berhasil
dari pada mencintai bagitu saja. Menghormati anak berarti
menghargai setiap sikap anak, seperti mendengarkan
pendapatnya, tidak memarahi anak didepan orang lain, dan
sebagainya. Adapun maksud memperhatikan adalah
memberikan sesuatu yang dibutuhkannya. Misalnya, untuk
membantu anak belajar dengan memotivasi anak,
menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang lengkap
sehingga anak lebih giat dan terdorong untuk belajar dan
merasakan terper-hatikan belajarnya.
58
Ironisnya, kebiasaan seperti ini biasanya akan berubah
apabila terjadi krisis antara orang tua dalam rumah tangga,
sehingga menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan
pendidikan anak. Anak tidak berkesempatan memperoleh
dan menikmati kasih sayang orang tua. Kartini Kartono
(1985: 20) mengatakan bahwa kebanyakan anak-anak yang
mengalami suatu tingkah laku adalah mereka yang berasal
dari keluarga yang tidak harmonis atau dari broken home.
Anak yang hidup dalam keluarga poligamis biasanya
kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari
orang tuanya dibandingkan dengan anak yang hidup
dalam keluarga biasa. Hal ini bisa jadi karena orang tuanya
(bapak) tidak selalu bisa menemaninya, disebabkan
kewajiban membagi-bagikan waktu terhadap istri-istrinya,
sehingga anak merasa kurang kehadiran bapak
bersamanya. Keadaan seperti akan lebih parah apabila
terjadi ketidakharmonisan keluarganya, sehingga anak
menjadi korban poligami bapaknya.
3. Kemampuan Ekonomi
Ekonomi orang tua mempunyai peran penting bagi
pendidikan anak, karena pendidikan membutuhkan biaya
untuk memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak secara
memadai. Keadaan ekonomi orang tua yang kurang
mendukung untuk menyediakan kebutuhan fasilitas belajar
anak dapat mengakibatkan proses belajar anak terganggu. Hal
ini dapat berimplikasi pada menurunnya prestasi belajar anak
akibat fasilitas-fasilitas belajar tidak memadai.
Kondisi sosial ekonomi keluarga sangat berpengaruh
pada pendidikan anak untuk mencapai prestasi belajar yang
59
bagus. Dalam hal ini, orang tua yang memiliki banyak
tanggungan seperti mempunyai banyak istri/poligami dan
banyak anak harus betul-betul ekonominya mapan untuk
membiayai kebutuhan pendidikan anak. Apabila dalam
keadaan seperti ini ekonomi orang tua rendah atau tidak
mendukung untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak,
maka proses belajar anak dapat terganggu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ahmad Badawi (1984: 145) yang
mengatakan bahwa faktor penghambat proses belajar
mengajar yang bersumber dari lingkugan keluarga antara lain
“ masalah kemampuan ekonomi orang tua, masalah broken
home, dan kurang kontrol dari orang tua. Ketiga faktor yang
tersebut diatas sangat perlu diperhatikan oleh keluarga
poligami, karena faktor tersebut dalam keadaan tertentu
sering dialami oleh orang tua poligami.
Sementara orang tua yang berpoligami yang
ekonominya rendah dan tanggungannya banyak sangat sulit
untuk meningkatkan prestasi belajar anaknya, karena tidak
mampu menyediakan fasilitas-fasilitas belajar anak. Tanpa
adanya fasilitas belajar yang cukup anak menjadi tidak
berminat untuk belajar. Penelitian yang dilakukan Vebrito
sebagaimana yang dikutip oleh Jamaluddin Idris (2006: 79)
tentang anak-anak putus sekolah yang hasilnya dilapor
UNESCO, antara lain menyimpulkan, bahwa anak putus
sekolah lebih banyak terjadi pada sekolah di desa dari pada di
kota. Faktor utama penyebab putus sekolah adalah
kemiskinan atau ketidakmampuan orang tua membiayai
anak-anaknya.
60
Gambaran di atas menunjukkan bahwa sebagian besar
anak putus sekolah terjadi di daerah pedesaan karena
kemiskinan orang tua. Namun apabila diteliti lebih jauh
praktek poligami yang terjadi dalam masyarakat juga sering
mengakibatkan anak putus sekolah ataupun prestasi belajar
anak mereka rendah akibat kemiskinan atau ketidak-
mampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
belajar anak. Karena itu orang tua yang berpoligami harus
benar-benar memperhatikan aspek ekonomi ini agar segala
kebutuhan yang menyangkut dengan pendidikan anak dapat
tercukupi.
Dari empat faktor yang telah dikemukakan di atas,
kedisiplinan orang tua, bimbingan, perhatian dan kasih
sayang serta kemampuan ekonomi orang tua untuk
membiayai kebututuhan pendidikan anak dipandang
berhubungan erat dengan prestasi belajar anak. Apabila
orang tua yang berpoligami tidak mampu memberikan ini
semua kepada anak, maka prestasi belajar anak akan
menurun. Maka dengan demikian, poligami berdampak
negatif dipandang dari segi pendidikan anak.
Dampak negatif yang timbul dari poligami tersebut
selanjutnya menjadi faktor penghambat bagi orang tua dalam
upaya menyenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya.
Dengan demikian bagi orang tua yang berpoligami perlu
memperhatikan kedisiplinannya terhadap anak, bimbingan,
perhatian dan kasih sayang kepada anak serta menyediakan
fasilitas-fasilitas belajar untuk anak, aga poligami yang
dipraktekkan tidak berdampak kepada negatif.
61
Dari uraian yang penulis kemukakan seperti di atas
maka dapatlah disimpulkan bahwa sudah menjadi keharusan
bagi orang tua untuk membimbing dan mendidik anak-
anaknya, karena anak-anak yang tidak mendapatkan
bimbingan dan pendidikan yang wajar dari orang tuanya
akan menimbulkan kelemahan pada diri anak dalam
perkembangan dan pertumbuhan psikologisnya.
D. Dampak Positif Poligami Menurut dan Pendidikan
Anak
Bibit Suprapto (1990: 174-175) menyebutkan secara
umum laki–laki yang berpoligami mempunyai beberapa
motivasi di bawah ini:
1) Motivasi seksual
Motivasi yang dipergunakan oleh laki–laki itu dalam
hal berpoligami hanyalah untuk memberi kepuasan seksual
(kepuasan syahwati) bagi dirinya. Kemungkinan terjadi
karena isterinya bersifat frigit, bersikap dingin terhadapnya,
kurang bergairah dalam permainan seksual, dalam bermain
seksual isterinya hanya bersifat mmenerima tidak mau
memberi dan menerima, kurang aktif, hanya bersifat
monoton atau mono model kegiatan seksual. Sehingga
suami merasa kurang puas bermain dengan isterinya dan
berusaha kawin lagi.
2) Motivasi ekonomi
Motivasi yang menyangkut kebutuhanmateri atau
kebutuhan jasmaniah, kebutuhan makan minum kebutuhan
sandang pangan dan papan serta kebutuhan hidup lainnya
yang bersifat materiil. Kaum laki–laki berpoligami karena
62
dengan mempunyai isteri lagi dapat diberi modal untuk
berusaha sehingga dapat mem-perbesar usahanya dalam
perdagangan, pertanian dan usaha lain–lain dari perempuan
itu. Bisa juga karena isteri lamanya tidak pintar berusaha
sehingga suami kalang kabut membiayai hidupnya, lantas
kawin lagi dengan wanita yang sudah bekerja atau sudah
cukup kaya walaupun janda–janda, asalkan kaya sehingga dia
bisa menopang hidup, bisa dimintai uang dan dapat
memasok sebagian penghasilan isteri muda yang sudah
berhasil itu kepada isteri tuanya, gampangnya isteri tua
disuapi terus menerus dari penghasilan isteri muda.
3) Motivasi Politik
Motivasi yang tidak secara langsung tetapi sulit
diketahui oleh orang awam, kecuali oleh orang– orang
tertentu. Untuk zaman sekarang motivasi model ini
memang jarang terjadi di Indonesia, tetapi di Negara –
negara lain masih terjadi terutama di daerah kerajaan dan
juga pada masa lalu. Seorang laki–laki yang telah beristeri,
kemudian melaksanakan poligami dengan seorang wanita,
sebenarnya bukan wanita itu secara ansich yang dia tuju,
wanita itu hanya sebagai sasaran sela, sedangkan sasaran
pokok adalah kekuasaan politik atau masalah lain yang
tidak lepas dari pertimbangan politis seperti perkawinan
seorang putra mahkota dengan puteri negara lain,
kemudian dia kawin lagi dengan putri dari negara lain,
begitu pula yang ketiga dengan putri dari negara yang lain
lagi. Sehingga Sang Pangeran itu dapat menguasai minimal
mempunyai pengaruh terhadap negara–negara di mana
isterinya berasal dan kelak puteranya nanti akan akan
63
bercokol sehingga penguasa di negara–negara dari mana
ibunya berasal, sehingga dinasti Sang Pangeran itu akan
terus eksis dan lebih luas lagi pengaruhnya.
4) Motivasi Perjuangan
Motivasi perjuangan politik, perjuangan keagamaan,
perjuangan ideologi dan sebagainya. Sebagai contoh poligami
yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw bukan hanya
bermotivasi seksual atau ekonomi semata, tetapi yang paling
penting adalah didorong oleh perjuangan untuk menyiarkan
agama Allah, yakni Islam. Dengan poligami tersebut, banyak
kepala suku dan tokoh– tokoh masyarakat Quraisy yang
asalnya memusuhi Nabi Saw, tetapi dengan adanya wanita
dari kalangan mereka atau wanita yang masih saudara
mereka, maka kepala suku atau tokoh itu tidak lagi
memusuhi Nabi Saw minimal mereka diam atau bahkan
sebaliknya mereka berbalik membela Nabi Saw, membela
perjuangan Islam.
5) Motivasi regenerasi
Motivasi untuk mendapatkan keturunan. Laki–laki
yang poligami ada pula karena si isteri tidak dapat
melahirkan keturunan alias mandul, sedangkan si suami
ingin mendapatkan anak, bisa juga mereka berdua berusaha
untuk mengangkat anak, bisa juga mereka berdua berusaha
untuk dari pihak suami maupun pihak lain mengangkat
anak saudara–saudaranya, namun belum puas apabila
tidak mempunyai anak sendiri, sehingga dia melaksanakan
poligami dengan harapan isteri mudanya nanti berhasil
menurunkan keturunan baginya.
64
6) Motivasi kebanggaan diri
Seorang laki–laki berkeinginan untuk kawin lagi
karena dia merasa bangga mempunyai isteri lebih dari
seorang karena orang lain jarang bisa melaksanakannya, ia
merasa puas dengan berhasil poligami, ia mempunyai
kepuasan tersendiri dengan poligami itu.
7) Motivasi keagamaan dan menalurikan sosial budaya tertentu
Misalnya ada laki- laki yang berpoligami bukan karena
dorongan dan pertimbangan macam–macam, tanpa melihat
isterinya cantik atau jelek, tanpa memandang calon isteri
mudanya kaya atau tidak, keturunan ningrat atau rakyat
jelata, tanpa melihat pertimbangan politik ataupun tujuan
tertentu dan lain–lain tetapi semata–mata pertimbangan
keagamaan seperti orang muslim yang taat, benar– benar taat
bukan taat–taatan atau sok taat, melaksanakan poligami
hanya karena melaksanakan sunnaturrasul atau meniru
kehidupan perkawinan Nabi dan pembinaan keluarganyapun
meniru Nabi, bertujuan untuk menjalankan hal–hal yang
diperintah agama, dianjurkan agama, diperbolehkan agama
dengan penuh hati– hati dan meninggalkan apa yang dicela
ataupun diharamkan oleh agama, meninggalkan apa yang
berbau dosa dan maksiat, pokoknya tulus karena motivasi
agama. Di samping motivasi-motivasi tersebut diatas
berpoligami bagi laki- laki merupakan kodrat yang diberikan
oleh Allah swt.
Poligami dalam Islam bukanlah didasarkan pelepas
syahwat tetapi sesuai dengan maksud surat ali Imran Ayat 4
hanyalah untuk kestabilan hidup anak yatim dan ibunya yang
janda, maka menikahnya suami dengan perempuan lain
65
menyebabkan istri mempunyai madu. Tentang ini hendaklah
masing-masing istri tidak merasa kecil hati tetapi harus
berlapang dada dalam imam mematuhi hukum Allah untuk
membantu keselamatan hidup masyarakat setempat. Selaku
orang beriman, si istri hendaklah menjalankan dan mematuhi
hukum agama untuk mendapatkan keredhaan Allah, karena
hukum itu sendiri adalah untuk keberuntungan hidup
bersama di antara manusia di mana kepentingan sendiri tidak
boleh menonjol.
Keizinan poligami bermaksud agar terdapat susunan
sosial yang normal hingga dalam masyarakat tidak berlaku
kepincangan menyolok di mana segolongan orang hidup
mewah berlebihan sementara yang lain hidup melarat dan
dengan tekanan batin. Islam sangat mencela sikap hidup yang
hanya mementingkan diri sendiri tanpa mengindahkan
keadaan orang lain. Kematian seorang bapak menyebabkan
adanya anak yatim dan seorang ibu yang kekurangan biaya
hidup serta penderitaan batin, maka seorang lelaki yang
berkesanggupan hendaklah menikahi janda itu dengan
maksud membantu mengurangi penderitaannya dan anaknya
Berpoligami bagi yang sanggup adalah keshalehan yang
menguntungkan masyarakat, dan tidak begitu merugikan istri
pertama dalam hubungan lahir batin. Tentang inilah dia
diharapkan bertabah hati dan sedikit mengalah untuk
kepentingan sosial ekonomi dan kestabilan masyarakat
lingkungan di mana dia juga ikut bertanggung jawab. Dengan
begitu dia tidak membiarkan janda beranak yatim hidup
dalam kemelaratan.
66
Menurut Eva Susanti (2007: 43) ada beberapa alasan
yang dapat dikemukakan, sehingga poligami ini dapat
berdampak positif, yaitu:
a. Ada manusia yang kuat keinginannya untuk
mendapatkan keturunan, akan tetapi ia dikaruniai rizki
oleh Allah swt istri yang tidak beranak (mandul) karena
sakit atau sebab lainnya, sehingga lebih mulai bagi
seorang istri dan lebih utama bagi suami untuk menikah
lagi untuk memperoleh keinginan tersebut dengan tetap
menjaga dan memelihara istri pertama dengan
memenuhi hak-haknya.
b. Seorang suami yang memiliki keinginan syahwatnya
yang kuat, namun istri tidak melayaninya karena sakit
kepanjangan dan masa haidnya terlalu lama, ataupun
alasan-alasan lainnya, sementara suami tersebut tidak
dapat menahan diri dalam waktu lama tanpa wanita,
dengan demikian lebih mulai dia mendatangi wanita
lain yang nikahi dari pada melampiaskan nafsunya pada
wanita-wanita pelacuran.
c. Jumlah wanita lebih besar sedangkan laki-laki sedikit
sekali, baik kerena peperangan maupun bencana alam
atau alasan lainnya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dampak
positif bagi suami untuk berpoligami dengan memperhatikan
dan mempertimbangkan kemudhratan dalam rumah tangga
yang dibangun bersama istri yang pertamanya, sehingga lbih
utama jika ia melangsungkan poligami dengan tetap menjaga
dan merawat istri yang pertama dengan memberikan hak-
67
haknya. Alasan lain bahwa poligami dapat berdampak positif,
menurut penulis adalah:
a. Poligami dapat menekan merajalelanya prostitusi
b. Poligami akan memungkinkan banyak wanita yang
dapat melaksanakan haknya akan kecintaan dan
keibuan karena pernikahan, mengingat jumlah wanita
lebih banyak dari laki-laki.
c. Poligami dapat mengurangi perceraian dan
perselingkuhan dalam masyarakat
d. Poligami sebagai salah satu upaya dalam
menambahkan keturunan, bagi umat Islam akan
semakin banyak jumlahnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa poligami pada
dasarnya dapat berdampak positif, meskipun kebanyakan
wanita menolak terhadap poligami, karena realita yang terjadi
di dalam masyarakat dianggap sebagai permasalahan sosial
yang sangat serius, namun dilain pihak poligami dapat
menjadi solusi yang paling baik bagi keluarga, di samping itu
juga poligami memiliki efek yang sangat baik dalam
penyelenggaraan pendidikan anak dalam keluarga.
Berbicara tentang keluarga, tentu kita tidak bisa
melupakan sosok anak.
Dalam Islam, anak dipandang sebagai amanat dari Allah
swt. Ahmad Tafsir (1995: 160) mengatakan bahwa Amanat
yang wajib dipertanggung jawabkan. Jelas sekali tanggung
jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil, secara umum
inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan
bagi anak-anak dalam rumah tangga
68
Sudah jamak dipahami bahwa suami adalah kepala
rumah tangga, dan istri adalah ibu rumah tangga. Di sini,
yang berlaku umum dalam masyarakat kita adalah bahwa
kepala rumah tangga mengurusi urusan-urusan “besar”
dalam rumah tangga, yakni yang menyangkut pencarian
nafkah, penjagaan hubungan rumah tangga dengan
masyarakat, dan urusan-urusan lain yang melibatkan rumah
tangga dengan kehidupan sosial. Sementara, defenisi ibu
rumah tangga adalah bahwa seorang ibu mempunyai tugas-
tugas pengaturan rumah tangga berskala “kecil,” seperti
pengaturan rumah dan perabotan, pengaturan urusan dapur,
pengaturan urusan keuangan rumah tangga, pengaturan
kesejahteraan anggota-anggota rumah tangga dan pengaturan
anak (Majid Sulaiman Daudin, 1996: 276).
Jadi, kalau para suami mau jujur terhadap dirinya
sendiri, maka suami akan menyadari bahwa tugas-tugas
konkrit seorang istri lebih berat daripada tugas- tugas seorang
suami. Maka, kerelaan seorang istri untuk menjadi ibu rumah
tangga dan keikhlasannya menganggap suami menjadi kepala
rumah tangga, adalah penghormatan yang setinggi-tingginya
yang dapat diberikan oleh seorang istri kepada suaminya
Keluarga bisa dianggap sebagai miniatur dari sebuah sistem
pemerintahan, yang memerlukan seseorang pemimpin,
bertujuan untuk menciptakan negara yang maju, aman dan
sejahtera. Begitu juga dengan keluarga, yang memerlukan
seorang pemimpin yang biasa disebut dengan kepala rumah
tangga untuk menciptakan keluarga yang diimpikan yaitu
keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
69
Majid Sulaiman Daudin (1996: 276) mengatakan bahwa
yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki yang membuatnya
layak menjadi pemimpin di dalam rumah tangga:
a. Berpengetahuan agama dan mengamalkannya secara
sempurna.
Yang akan dipercayai sebagai kepala rumah tangga ialah
suami, oleh karena itu ia harus mempersiapkan dirinya dengan
memperbanyak pengetahuan agama. Disamping mengerjakan
perintah agama yang mendasar seperti, shalat, puasa, zakat dan
lain-lain, kemudian harus memahami pula bidang yang lain,
karena Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek
kehidupan dan sesuai untuk seluruh zaman.
b. Sempurna akal dan pemikiran.
Jika seorang itu ingin menjadi suami maka hendaklah ia
berpikiran positif. Karena apabila telah berumah tangga,
seorang suami harus memikirkan cara yang terbaik dalam
memenuhi segala keperluan rumah tangganya, baik secara
lahiriah maupun batiniah.
c. Sehat lahir dan batin
Bagi seorang laki-laki yang ingin berumah tangga,
haruslah terlebih dahulu memperhatikan kemampuan fisiknya,
karena lemahnya kemampuan tenaga batin akan membawa
rumah tangga menjadi tidak bahagia. Begitu juga jika sekiranya
tidak mampu untuk bekerja karena penyakit dan sebagainya
akan menjadikan laki-laki tersebut tidak dapat memberikan
nafkah dan tanggung jawab lainnya kepada keluarganya.
d. Memberikan nafkah sesuai dengan kesanggupan
Dalam kehidupan berumah tangga, Islam tidak
membebankan kaum wanita supaya mencari nafkah, akan
70
tetapi kewajiban ini harus dilaksanakan oleh kaum laki-laki
untuk menyediakan sesuai kesanggupannya.
Pada dasarnya, kehidupan rumah tangga adalah sebuah
kerajaan iman. Dalam artian, suami adalah rajanya, istri
adalah ratunya dan anak-anak adalah raknyatnya. Suami
adalah raja yang memimpin kerajaan dan mengendalikan
semua urusannya, karena dialah yang menerima beban
tanggung jawab serta amanat
Orang tua yang bijak menginginkan anaknya mampu
memperoleh prestasi yang baik di sekolah. Namun jalan
menuju cita-cita itu tidaklah mudah. Harus ada usaha yang
sistematis yang perlu dilakukan oleh semua pihak yang
terlibat, terutama orang tua. Dalam hal ini peran orang tua
jelas tak dapat diabaikan keberadaannya. Mengingat anak
usia sekolah lebih banyak menghabiskan waktu di luar
sekolah. Oleh karena itu orang tua perlu memberikan
rangsangan dan dorongan pada anak untuk memanfaatkan
potensinya secara optimal, dan yang terpenting upaya dalam
membina akhlak mereka.
Islam menjadikan akhlak mulia sebagai satu di antara
cabang-cabang iman atau merupakan salah satu buahnya
yang masak. Menurut pandangan Islam, iman tidak hanya
tercermin dalam keselamatan akidah dan keikhlasan
beribadah, tetapi juga tercermin dalam ketangguhan akhlak.
Kata akhlak merupakan kata yang luas pula, sehingga Nabi
Muhammad saw diutus dalam rangka menyempurnakan
akhlak. Allah sendiri memuji akan akhlak yang dimiliki oleh
Rasulullah Saw, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur`an
surat Al-Qalam ayat 4, yaitu :
71
Artinya : Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung (QS. Al-Qalam : 4).
Dengan demikian, akhlak itu bukan semata-mata
terbatas pada sopan santun dan pergaulan yang baik,
sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang awam,
sekalipun masalah sopan santun dan pergaulan menurut
prinsip yang sangat penting bagi kepribadian seorang
muslim. Dan juga akhlak itu tidak terbatas pada
pengendalian diri untuk tidak menyukai atau meminum-
minuman keras, sebagaimana yang dipahami oleh orang
lain, tetapi lebih dari itu akhlak mencakup semua lapisan
kehidupan manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-
hari.
Dalyono (2005: 59) mengatakan bahwa faktor keluarga
sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam
belajar. Tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar
kecilnya penghasilan orang tua, besar kecilnya jumlah
anggota keluarga, cukup atau tidaknya perhatian, kasih
sayang, bimbingan orang tua, rukun atau tidaknya kedua
orang tua, akrab atau tidaknya hubungan dengan anak-anak,
tenang atau tidaknya situasi dalam rumah, tersedia atau
tidaknya fasilitas-fasilitas belajar di rumah, semuanya itu mau
tidak mau turut menentukan dan sampai dimana prestasi
belajar yang dicapai oleh anak-anak.
Orang tua sebagai figur yang dihormati anak-anak
mempunyai pengaruh dalam meningkatkan prestasi belajar
anak. Orang tua bisa mendidik anaknya berupa pembentukan
72
pembiasaan-pembiasaan seperti tidur siang, tata krama, sopan
santun, religi dan lain-lain sebagainya. Pendidikan pembiasaan
dalam keluarga akan banyak membantu anak dalam pencapaian
prestasi belajar. Misalnya sikap religius, disiplin, rapi, rajin dan
sebagainya dapat tumbuh, bersemi dan berkembang senada dan
seirama dengan kebiasaan di rumah. Menurut A.H. Harahap
(1981: 143) bahwa situasi kehidupan keluarga seperti kebiasaan,
norma-norma yang berlaku, cara mendidik kasih sayang dan
lain-lain sangat membekas pada anak.
Menurut penulis orang tua yang berpoligami atau suami
sekali-kali juga dapat mempertemukan anak-anak mereka dari
isteri yang berbeda, hal ini selain silaturahim sesama mereka
juga dapat menjadi komunikasi bagi mereka dalam persoalan
pendidikan mereka selama ini. Atau setidaknya mereka akan
menceritakan pengalaman-nya masing-masing berkaitan dengan
keadaan masing-masing sekolah mereka, hal ini sebelumnya
harus diarahkan terlebih dulu oleh orang tua.
Berdasarkan pikiran-pikiran tersebut, kiranya keadaan
seperti di atas akan mampu juga diwujudkan oleh orang tua
yang berpoligami, dalam perkawinan poligami, suami dituntut
bersikap jujur, setia, memberikan keadilan, memikul tanggung
jawab sosio ekonomis dan memberikan jaminan kehidupan
kepada semua isteri-isteri dan anak-anak yang lahir dari mereka.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa suami yang
melakukan praktek poligami di wajibkan untuk dapat berlaku
adil untuk masing-masing istri serta memberikan kasih sayang
dan perhatian yang sama kepada masing-masing anaknya tanpa
perlu membedakan salah satu diantara mereka.
73
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
enelitian ini mengunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Melalui metode deskriptif
peneliti mengkaji secara menyeluruh terhadap gejala yang
terjadi dilokasi penelitian sesuai dengan fokus
permasalahan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sudjana
(1999:64) bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian
yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa,
kejadian yang terjadi saat sekarang dimana peneliti
berusaha memotrek peristiwa dan kejadian yang yang
timbul di lapangan untuk kemudian digambarkan
sebagaimana mestinya.
Pendekatan kualitatif menurut S. Nasution (1998: 5)
pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan
hidupnya, berinteraksi dengan mareka, berusaha memahami
bahasa dan tafsiran mareka tentang lingkungan sekitarnya.
Metode deskriptif kualitatif digunakan dalam penelitian
ini dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Peneliti bermaksud mengembangkan konsep pemikiran,
pemahaman pola yang terkandung dalam data, melihat
secara keseluruhan suatu keadaan, proses individu dan
kelompok tanpa mengurangi variabel, tetapi variabel
digambarkan secara keseluruhan, sensitif terhadap orang
P
74
yang diteliti, mendeskripsikan dan menganalisanya
secara induktif.
2. Peneliti bermaksud menganalisis dan menafsirkan suatu
fakta, gejala dan peristiwa yang berkaitan dengan peran
guru dalam meningkatkan minat dan motivasi belajar
siswa.
3. Bidang kajian peneliti merupakan kajian proses dan
kegiatan kegiatan pendidikan di dalamnya terdapat
interaksi dengan berbagai pihak yang berkepentingan
khususnya bagi keluarga poligami di Kota Banda Aceh.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang
permasalahan yang dapat diteliti sehubungan dengan tema
yang dipilih, peneliti lebih dahulu mengadakan pendekatan
lokasi penelitian. Pendekatan dilakukan untuk mengetahui
lebih jauh hal-hal yang ada hubungannya dengan kegiatan
penelitian, mengenali konsep dasar masalah yang mungkin
dapat dikembangkan dan dilakukan penelitian lebih lanjut.
Dalam penelitian kualitatif ini tidak sekedar
pengumpulan data, tetapi merupakan cara pendekatan
terhadap dunia emperis. Taylor dan Bogdan (Lexy, J
Moleong, 2001: 5) mengemukakan bahwa “pendekatan
kualitatif merujuk kepada pengertian yang luas terhadap
penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yang berupa
kata-kata dan prilaku orang yang dapat diobservasi baik lisan
maupun tulisan”.
Beradasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dalam
penelitian ini, peneliti berfungsi sebagai instrumen penelitian
dan mengkonsentrasikan perhatian untuk memahami
perilaku, sikap, pendapat dan persepsi berdasarkan
75
pandangan subjek yang diteliti. Oleh karena itu,
pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui kontak
langsung dengan subjek di lapangan.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada keluarga poligami di Kota
Banda Aceh, dalam hal ini peneliti menetapkan tiga
Kecamatan dari sembilan Kecamatan yang ada dalam Kota
Banda Aceh, yaitu Meraxa, Jaya Baru dan Ulee Kareng.
Pertimbangan dilakukan penelitian ini di wilayah tersebut
karena dari hasil pengamatan dan informasi yang didapatkan
menunjukkan bahwa praktek poligami dalam masyarakat
saat ini didapati sudah banyak di Kota Banda Aceh.
Pertimbangan lainnya adalah lokasi penelitian merupakan
tempat tinggal peneliti, sehingga secara praktis dilihat dari
segi pelaksanaan dan waktu dapat memungkinkan untuk
dilakukan.
C. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data
primer dan sumber data sekunder. Adapun sumber data
primer berasal dari orang tua (suami dan istri) dari keluarga
poligami sebanyak 9 (sembilan) keluarga dan tokoh
masyarakat setempat seperti Kepala Desa sebanyak 3 (tiga)
orang, yaitu Desa yang berada dalam tiga Kecamatan
sebagaimana penulis tetapkan pada lokasi penelitian di atas,
yaitu Meraxa, Jaya Baru dan Ulee Kareng yang selanjutnya
disebut sebagai informan, sedangkan sumber data skunder
76
berasal dari data-data kepustakaan dan sumber data lainnya
yang terkait dengan pembahasan karya tulis ilmiah ini.
D. Instrumen Pengumpulan Data (IPD)
Adapun instrumen penelitian data (IPD) yang
digunakam dalam penelitian ini adalah:
1. PWKP (Pedoman Wawancara dengan Keluarga
Poligami).
PWKP digunakan untuk mendapatkan data berkaitan
dengan peran orang tua laki-laki dan perempuan dari
keluarga poligami terhadap penyelenggaran pendidikan
terhadap anak-anak mereka dan untuk mendapatkan
data berkaiatan dengan pengaruh dampak positif dan
negatif khususnya terhadap pendidikan anak-anak dalam
keluarga yang mem praktekkan poligami, hal ini penulis
lakukan dengan cara mengajukan pertanyaan langsung
kepada keluarga poligami baik orang tua laki-laki
maupun dari orang tua perempuan, terhadap informasi
yang disampaikan oleh orang tua, maka penulis
mencatatnya yang selanjutnya menyimpulkan terhadap
data-data hasil wawancara tersebut.
2. PWTM (Pedoman Wawancara dengan Tokoh
Masyarakat/Kepala Desa)
PWTM digunakan untuk mendapatkan informasi tentang
kegiatan orang tua laki-laki dan perempuan dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka
khususnya terhadap pendidikan anak serta keterlibatan
orang tua dalam sosial kemasyarakatan yang ikut
mendukung terhadap perkembangan anak dengan
77
lingkungan masyarakat setempat. Wawancara dengan
tokoh masyarakat dengan cara mendatangi langsung baik
ke kantor desa maupun ketempat tinggal para tokoh desa
agar dapat menemuinya, yang selanjutnya penulis
mewawancarai setiap kepala desa masing-masing satu
desa dalam kecamatan tersebut.
3. LOPPA (Lembar Observasi Penyelenggaraan Pendidikan
Anak)
LOPPA digunakan untuk mendapatkan data tentang
aktivitas anak-anak khususnya dalam keluarga serta
dalam lingkungan masyarakat sebagai tempat bagi anak
melakukan adaptasi dan bersosialisasi dengan teman-
temannya yang sebaya, juga dengan mereka yang lebih
tua usia dari mereka.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
ditempuh dengan mengunakan 3 IPD, sebagai berikut:
1. PWKP (Pedoman Wawancara dengan Keluarga
Poligami).
PWKP digunakan untuk mendapatkan data dengan cara
melakukan wawancara langsung.
2. PWTM (Pedoman Wawancara dengan Tokoh
Masyarakat/Kepala Desa)
PWTM digunakan untuk mendapatkan informasi dengan
cara melakukan wawancara langsung.
3. LOPPA (Lembar Observasi Penyelenggaraan Pendidikan
Anak)
78
LOPPA digunakan untuk mendapatkan data dengan cara
melihat secara langsung terhadap aktifitas anak melalui
penyelenggaraan pendidikan bagi anak dalam keluarga.
Pengamatan lapangan dan pencatatan secara sistematik
terhadap suatu gejala yang tampak pada objek penelitian,
dengan tujuan untuk mendapatkan data awal sebelum
dilakukan wawancara. Dalam hal ini pengamatan
langsung pada keluarga poligami dalam Kota Banda
Aceh.
F. Teknik Analisis Data
Prosedur analisis data atas dasar tiga tahapan sesuai
yang disarankan Nasution (1992:54), adalah reduksi data,
display dan verivikasi. Terhadap ketiga hal ini penulis akan
menjelaskannya sebagai berikut:
1. Reduksi data, pada tahap yang sudah terkumpul di olah
dengan tujuan untuk mengetahui penyelenggaraan
pendidikan terhadap anak yang dipraktekkan dalam
keluarga poligami di Kota Banda Aceh
2. Display data, pada tahap ini penulis menyajikan data
secara sistematis terhadap penyelenggaraan pendidikan
bagi anak yang dipraktekkan dalam keluarga poligami di
Kota Banda Aceh
3. Verifikasi data, dalam kegiatan ini penulis melakukan
pengujian atau kesimpulan yang telah diambil dan
membandingkan dengan teori-teori yang relevan serta
petunjuk pelaksanaan.
Dengan demikian dalam proses analisis data kualitatif
memerlukan daya kreatif dan kemampuan intelektual yang
79
tinggi dari peneliti untuk mengelola data tersebut sehingga
mengetahui maknanya. Dalam hal ini peneliti dibekali konsep
dan teori-teori, dengan adanya konsep yang telah dipahami
sebelumnya sehingga nantinya peneliti dapat memperoleh
sebanyak mungkin informasi serta dapat menginterpretasikan
kegiatan penyelengaraan pendidikan anak dalam keluarga
poligami. Penelitian ini mencoba memahami fakta-fakta
pendidikan dan sosial antara kegiatan orang tua dalam
keluarga poligami kaitanya dengan pendidikan anak yang
sedang berjalan selama ini.
Dengan kata lain analisis data ini dilakukan dengan
mengunakan teknik analisis data kualitatif dengan menelaah
semua data yang telah dikumpulkan selama penelitian,
dengan cara menganalisa, menerangkan dan menyimpulkan.
80
81
BAB IV
PAPARAN HASIL PENELITIAN
emaparan hasil penelitian bab IV terdiri atas tiga sub bab,
yaitu: (1) Penyelengaraan Pendidikan Anak dalam
Keluarga Poligami meliputi: Pembinaan dan mengantarkan
ke lembaga pendidikan; Dukungan fasilitas dan pengontrolan
akhlak dan ; Keteladan orang tua dan komunikasi aktif
keluarga. (2) Dampak negatif dan positif terhadap
penyelenggaraan pendidikan anak dalam keluarga poligami.
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Banda Aceh sebagai Ibu Kota Propinsi Aceh yang telah
berusia 805 tahun (tahun 2010 M) merupakan salah satu Kota
Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota Banda Aceh merupakan
salah satu Kota yang berada dalam wilayah Provinsi Aceh,
sebagai pusat ibu kota Provinsi Aceh tentunya memiliki
masyarakat yang beragam (majemuk) baik dari segi agama,
bahasa dan budaya, namun demikian nuansa religion
keIslaman merupakan perioritas dari Pemerintah Kota
(PEMKOT) setempat, hal ini berdasarkan pengamatan peneliti
pada tanggal 28 Mei 2010 di Taman Sari sebagaimana
disampaikan pada salah satu acara oleh Wali Kota Banda
Aceh dalam sambutan pembukaan acara Banda Aceh Ekspo
2010 pada salah satu poin pokok beliau mengatakan ”Banda
Aceh sebagai Bandar Wisata Islam”.
Wilayah Kota Banda Aceh terletak di ujung Pulau
Sumatera yang mana salah satu dari 5 Kota/Kotamadya yang
P
82
terdapat dalam Provinsi Aceh dan merupakan Ibu Kota
Provinsi, memiliki tinggi daratan rata-rata 0,80 meter dari
permukaan laut terletak antara 05° 16’ 15’ - 05° 36’ 16” Lintang
Utara dan 95° 16’ 15”- 95° 22’ 35” Bujur Timur . Letak wilayah
yang strategis yang berhadapan dengan Selat Malaka
merupakan potensi besar sebagai sumber daya alam baik
flaura-fauna, pariwisata, pelabuhan penyeberangan dan
perikanan untuk peningkatan perekonomian masyarakat
Kota Banda Aceh yang dulu bernama Kutaraja selaku
masyarakat beragama.
Manusia pada dasarnya cenderung untuk meng-
abdikan dirinya kepada Allah Swt, hal ini dikarenakan Allah
Swt telah menganugerahkan manusia berupa fitrah yang
cenderung untuk mengakui eksistensi-Nya, sebagaimana
termaktub dalam al-Qur’an yang mencerita-kan adanya
persetujuan dialog antara Allah Swt dan manusia ketika
dalam kandungan:
… …
Artinya : Bukankah Aku ini tuhanmu, mereka
menjawab, benar Engkau tuhan kami ( Q.S Al-
A’raf : 172 )
Masyarakat di Propinsi Aceh pada umumnya menganut
Agama Islam. Hal ini dapat di lihat dari segi pengalaman
dalam kehidupan sehari-hari, adanya pemanfaatan masjid-
masjid atau meunasah-meunasah seperti untuk shalat
berjamaah, pengajian Al-qur’an, musyawarah dan peringatan
hari-hari besar Islam. Begitu juga halnya dengan masyarakat
di Kota Banda Aceh juga didominasi oleh umat yang
83
beragama Islam, namun tidak dapat dipungkiri juga terdapat
berbagai macam pemeluk agama lain, sehingga tidak
mengherankan jika tempat-tempat ibadah umat Islam sering
di jumpai di setiap Kecamatan dan Desa, baik Mesjid maupun
Meunasah atau Mushalla, begitu juga halnya dengan keadaan
lembaga pendidikan yang ada di Kota Banda Aceh, mulai dari
Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai
pendidikan tinggi. Adapun mengenai jumlah tempat ibadah
yang ada di Kota Banda Aceh, hal ini sebagaimana terlihat
pada tabel berikut ini tentang jumlah tempat ibadah Umat
Islam menurut Kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh.
Tabel 4.1 Jumlah Tempat Ibadah Umat Islam Menurut
Kecamatan di Kota Banda Aceh Tahun 2010
No Kecamatan Masjid Meunasah Mushalla Jumlah
1 Meuraxa 11 11 3 25
2 Jaya Baru 17 6 1 24
3 Banda Raya 15 5 2 22
4 Baiturrahman 18 17 8 43
5 Lueng Bata 9 3 15 27
6 Kuta Alam 4 21 11 36
7 Kuta Raja 4 7 - 11
8 Syiah Kuala 16 16 2 34
9 Ulee Kareng 7 7 8 22
Jumlah 101 93 50 244
Berdasarkan data tabel di atas dapat dipahami bahwa
ketersediaan tempat ibadah, baik mesjid maupun
meunasah/mushalla di tiap-tiap kecamatan dalam Kota Banda
Aceh dapat dikatakan sudah mencukupi, namun berdasarkan
84
observasi penulis bahwa masih banyak tempat-tempat ibadah
ini yang masih sepi dari jama’ah shalat dan kegiatan-kegiatan
keagamaan lainnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
masyarakat di Kota Banda Aceh dapat dengan laluasa dalam
menjalankan aktivitas keagamaan khususnya secara kolektif
serta dengan mengajak anggota keluarganya ke tempat-
tempat ibadah.
Meskipun masyarakat Kota Banda Aceh yang dominan
adalah pemeluk agama Islam, namun kita juga dapat
menjumpai beberapa tempat ibadah bagi agama-agama non
Muslim seperti Gereja dan Klenteng. Berikut ini data tabel
tentang jumlah tempat ibadah umat non muslim menurut
Kecamatan di Kota Banda Aceh. Tabel 4.2 Jumlah Tempat Ibadah Umat Non Muslim Menurut
Kecamatan di Kota Banda Aceh Tahun 2010
No Kecamatan Gereja
Kuil Klenteng Jumlah Protestan Katolik
1 Meuraxa - - - - -
2 Jaya Baru - - - - -
3 Banda Raya - - - - -
4 Baiturrahman - - - - -
5 Lueng Bata - - - - -
6 Kuta Alam 3 1 - 1 5
7 Kuta Raja - - - - -
8 Syiah Kuala - - - - -
9 Ulee Kareng - - - - -
Jumlah 3 1 0 1 5
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tempat
ibadah non muslim hanya berada di satu Kecamatan dalam
85
Kota Banda Aceh tepatnya di Kuta Alam dengan rincianya 3
buah gereja protestan, 1 buah gereja katolik dan 1 buah
klenteng. Kecamatan Kuta Alam sebagai salah satu kecamatan
yang letaknya di pusat ibu kota Banda Aceh, dan pada
umumnya dibeberapa kawasan didiami oleh masyarakat
Tionghoa (masyarakat keturunan Cina), seperti di
Peunanyong, yaitu kawasan yang letaknya dan beberapa
daerah lainnya.
Mayoritas penduduk Kota Banda Aceh merupakan
penganut agama Islam. Sekitar 98 persen penduduk Kota
Banda Aceh memeluk agama Islam dan 2 persen agama
lainnya. Bahkan di Kecamatan Meuraxa, dan Ulee Kareng 100
persen penduduknya beragama Islam. Penduduk Non
Muslim paling banyak bertempat tinggal di Kecamatan Kuta
Alam. Untuk melihat jumlah penganut agama masyarakat di
Kota Banda Aceh sebagaimana pada tabel di bawah ini. Tabel 4.3 Jumlah Penganut Agama Menurut Kecamatan di Kota
Banda Aceh Tahun 2010
No Kecamatan Islam Protestan Katolik Hindu Budha Lainnya Jml
1 Meuraxa 3.719 - - - - - 3.719
2 Jaya Baru 15.309 8 - - - - 15.317
3 Banda Raya 29.326 23 - - 14 - 29.363
4 Baiturrahman 40.643 75 58 5 208 - 40.989
5 Lueng Bata 23.057 15 2 2 7 - 23.083
6 Kuta Alam 41.101 428 161 4 2.052 - 43.746
7 Kuta Raja 4.558 20 - 26 35 - 4.639
8 Syiah Kuala 30.691 50 126 - - - 30.867
9 Ulee Kareng 27.936 - - - - - 27.936
Jumlah 196.340 619 90 37 2316 0 199402
Berdasarkan data tabel di atas dapat dipahami bahwa
jumlah penganut agama menurut kecamatan di Kota Banda
86
Aceh pada umumnya lebih di dominasi oleh masyarakat yang
menganut agama Islam, bahkan ada dua kecamatan sebanyak
100 % masyarakat beragama Islam. Dengan demikian bahwa
benar lebih kurang sekitar 98 % masyarakat kota Banda Aceh
menganut agama Islam, untuk itu sangat memungkinkan
setiap waktu dilaksanakannya dakwah untuk syari’at bagi
masyarakat di Kota Banda Aceh.
Kota Banda Aceh akan diarahkan menjadi kota
bertamaddun, yaitu suatu kota pusat peradaban Islam di Asia
Tenggara yang memiliki keunggulan pada sektor
perdagangan dan jasa, pengembangan ilmu pengetahuan dan
agama. Pusat pengembangan seni budaya, arsitektur, hukum
dan ketatanegaraan, pusat pengembangan bahasa dan
kesusasteraan Islam. Jejak kejayaan Kota Banda Aceh masa
lalu yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh sekarang,
dengan berpegang pada kaidah/norma kehidupan
masyarakat.
Dalam bidang Agama, sebagian masyarakat Kota Banda
Aceh mengadakan pengajian-pengajian keagamaan baik di
mushalla, menasah dan mesjid juga di dayah sesuai dengan
kapasitas masyarakat dalam menambah wawasan keagamaan
Islam bagi mereka masing-masing, seperti mereka yang
dewasa dengan mengundang seorang Teungku atau Ustazd
untuk mengisi pengajian tersebut akan tetapi bagi anak-anak
setiap sore hari rutin dilaksanakan disetiap menasah atau
mesjid ditempat sekitar mereka khususnya dalam rangka
pegajaran baca al-Qur’an dan pendidikan agama Islam.
Masyarakat di Kota Banda Aceh mengadakan kegiatan
keagamaan, seperti dakwah atau ceramah Agama pada setiap
87
Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), seperti Isra’ Mi’raj,
Nuzulul Qur’an, Tahun Baru Islam (1 Muharram) dan Maulid
Nabi Muhammad Saw, serta hari-hari kegiatan lainnya
dengan mengadakan perlombaan-perlombaan kegiatan
keagamaan seperti MTQ, Dalail Khairat dan sebagainya.
Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga di Kota Banda
Aceh secara umum berlangsung oleh kegiatan-kegiatan
keagamaan yang ada dalam masyarakat, begitu juga melalui
program-program lembaga dakwah serta melalui lembaga-
lembaga pendidikan non formal, khususnya melalui
pesantren-pesantren. Dalam pendekatan ini penyampaian
pesan juga termasuk dalam memberi nasehat. Pendidikan
yang yang diberikan kepada anak dalam keluarga tentunya
diawali dengan memberikan nasehat dan pembinaan yang
lebih baik. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Lukmanul
Hakim ketika memberi nasehat kepada anaknya. Ini
berdasarkan firman Allah Swt dalam surat Lukman ayat 17-18
yang bunyinya adalah sebagai berikut :
Artinya : “Lukman berkata ; Hai anakku dirikanlah shalat dan
suruhkanlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka
88
dari perbuatan munkar dan bersabarlah terhadap apa yang
diwajibkan oleh Allah kepadamu. Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
lagi membanggakan diri”. (Q.S. Lukman : 17-18).
Berdasarkan firman Allah Swt di atas, dapat kita pahami
bahwa nasehat sangat cocok sebagai salah satu pendekatan
dalam pendidikan untuk tercapainya tujuan sebagaimana
diharapkan dengan efektif dan efesien. Pendekatan ini
penting untuk pembentukan keimanan, moral, spiritual dan
sosial umat manusia pada tingkat dasar. Sebab, nasehat ini
dapat membukakan kesadaran manusia pada hakikatnya, dan
mendorongnya menuju situasi luhur, juga menghiasinya
dengan akhlak mulia, serta membekalinya dengan prinsip-
prinsip Islam dalam keluarga secara umum dan juga dalam
keluarga pelaku poligami.
Pesan pendidikan dalam keluarga yang akan
disampaikan kepada anak-anak kiranya dapat berjalan
dengan aktif dan efektif serta efisien, artinya harus
disesuaikan dengan perkembangan kepribadian anak, apalagi
dalam keadaan keluarga yang orang tuanya poligami.
B. Penyelengaraan Pendidikan Anak dalam Keluarga
Poligami
Sebagaimana dipahami bahwa penyelenggaraan
pendidikan bagi anak dalam keluarga sangat ditentukan oleh
keharmonisan rumah tangga, baik suami – istri selaku ayah
dan ibu dalam upaya mendidik anak-anaknya. Bersamaan
89
dengan hal tersebut Zakiah Darajat (1997: 17) mengemukakan
pendapatnya bahwa ”tidak rukunnya ibu dan bapak
menyebabkan gelisahnya anak-anak, mereka menjadi takut
dan cemas serta tidak tahan berada ditengah-tengah orang tua
yang tidak rukun”. Maka anak-anak cemas dan gelisah itu
mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang
merupakan dari rasa hatinya yang biasanya mengganggu
ketentraman orang lain.
Dan ada pula orang tua secara bebas memimpin
anaknya, dia menyerahkan penentuan tujuan kepada
anaknya. Anak dibiarkan berkembang menurut kesanggupan
sendiri. Membiarkan anak belajar di lingkungan, menemukan
sendiri masa yang baik dan yang tidak baik, mana yang boleh
dilakukan dan mana yang tidak. Artinya bahwa orang
keluarga (orang tua) merupakan sebagai pengarah atau
pembimbing anak-anaknya baik dalam pergaulan sehari-hari
maupun dalam pendidikannya. Namun demikian bukan pula
dapat dibenarkan jika orang tua melakukan pemaksaan
kehendak kepada anak-anak, apalagi dengan melakukan
berbagai tindak kekerasan dan ancaman dalam memaksakan
keinginan orang tua kepada anak-anaknya.
Berdasarkan uraian di atas jelas bagi kita bahwa,
membiarkan anak tanpa ada kepedulian yang berarti
terhadap masa depan anak merupakan tindakan yang keliru
dan harus dihindari oleh orang tua, begitu dengan pola
pendidikan kekerasan atau kekejaman maupun dalam bentuk
ancaman lainnya adalah bentuk pendidikan yang sama sekali
tidak dibutuhkan, karena untuk cerahnya masa depan anak
sulit untuk dapat dicapainya.
90
Dengan demikian, tugas orang tua atau kewajiban
terhadap anaknya adalah harus mendidik, memupuk dan
memperbaiki akhlaknya serta memeliharanya dari
lingkungan yang tercela, dan tidak boleh membiasakannya
dengan kemewahan, agar terhindar dari sifat ria, angkuh dan
sombong, sehingga sulit untuk diperbaiki, dan yang
terpenting adalah memberikan pendidikan kepada mereka
baik dalam keluarga maupun dengan mengantarkannya ke
lembaga pendidikan baik forman maupun non formal.
Pendidikan merupakan suatu proses untuk
mendewasakan manusia yang belum dewasa menjadi dewasa
yaitu memberikan bimbingan yang baik agar dapat bisa
hidup mandiri sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan
oleh agama maupun negara. Pengaruh poligami terhadap
pendidikan adalah seperti kurang terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan pendidikan anak, sehingga anak menjadi malas
belajar, sekolah, serta hal-hal lain yang dapat menurunkan
prestasi belajar mereka di sekolah.
Namun demikian orang tua sudah menjadi
kewajibannya untuk mendidik dan membina anaknya
menjadi bermanfaat untuk dirinya dan juga dapat
memberikan manfaat untuk orang lain, minimal untuk
mereka kedua orang tua. Untuk itu orang tua dapat
melaksanakan perannya dalam menyelenggarakan
pendidikan kepada anak-anak-nya antara lain dengan
mengantarkannya ke lembaga pendidikan, memberi
dukungan fasilitas dan mengawasi perkembangan sikap dan
perilaku anak baik dalam keluarga maupun dalam
91
masyarakat serta dapat menjadikan dirinya sebagai teladan
bagi anak-anak mereka.
Misalnya salah seorang ibu rumah tangga di Kecamatan
Ule Kareng yang merupakan isteri kedua dari suaminya,
berdasarkan wawancara penulis pada tanggal 4 Maret 2011
mengemukakan bahwa “ia dan suaminya selalu berusaha
menjalankan setiap kewajiban dan hak kami masing-masing
dalam keluarga, karena untuk menghindari sikap saling
mengharapkan satu sama lain”. Dengan terwujudnya suasana
yang harmonis, maka anak-anak pun akan dapat belajar
dengan baik, dan hal ini juga sangat berpengaruh terhadap
prilakunya.
Dengan demikian, keluarga yang telah melaksana-kan
kewajibannya dan hak sebagai suami istri, diharapkan
terciptanya keluarga yang harmonis. Dalam keluarga yang
harmonis prilaku anak akan baik. Untuk mengetahui lebih
jelasnya terhadap penyelenggaraan pendidikan terhadap
anak dalam keluarga poligami di Kota Banda Aceh
khususnya terhadap tiga Kecamatan yang ada dalam wilayah
tersebut dan menjadi lokasi penelitian bagi penulis dalam
rangka penyelesaian tesis, hal ini sebagaimana terlihat pada
uraian berikut ini.
C. Pembinaan Akhlak dan mengantarkan ke lembaga
pendidikan di Keluarga Poligami pada Kecamatan Jaya
Baru, Meraxa dan Ulee Kareng
Orang tua baik laki-laki maupun perempuan
berkewajiban mendidik dan membina anak-anaknya agar
menjadi generasi yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa,
salah bentuk pembinaan yang dilakukan oleh orang tua
92
adalah dengan mengantarkannya ke lembaga pendidikan.
Berdasarkan hasil penelitian khususnya terhadap keluarga
poligami berkaitan dengan upaya pembinaan orang tua
dalam mengantarkan ke lembaga pendidikan dengan
indikator menyekolahkannya ke lembaga pendidikan,
beberapa pertanyaan yang penulis menanyakan kepada
keluarga poligami dalam hal ini ditujukan kepada suami dan
istri serta informasi yang disampaikan oleh tokoh masyarakat
desa atau kepala desa, yaitu:
Berdasarkan hasil wawancara pada tiga keluarga di
Kecamatan Jaya Baru melaporkan bahwa terdapat dua orang
tua laki-laki yang mendaftarkan anak masuk ke sekolah,
sedangkan keluarga yang ketiga mengatakan bahwa istri
sendiri yang mendaftarkan langsung anak-anaknya. (PWKP
A.1: Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25-28
Maret 2011) Sedangkan hasil wawancara dengan masyarakat
di Kecamatan Meraxa antara, bahwa dua keluarga
mengatakan didaftarkan sendiri oleh istri atau orang tua
perempuan, sedangkan keluarga yang yang ketiga mengata-
kan bahwa istri sendiri yang mendaftarkan langsung anak-
anaknya sedangkan kedua keluarga yang lainnya sudah
didaftarkan langsung oleh suaminya. (PWKP A.1: Wawancara
dengan suami dan istri pada tanggal 2 – 5 April 2011))
Di Kecatamatan Ule Kareng bahwa umumnya keluarga
yang diwawancarai mengatakan didaftarkan sendiri oleh
suami, akan tetapi ada juga keluarga yang ke di wakil-kan
kepada yang lain untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah.
(PWKP A.1: Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal
25-27 April 2011)
93
Berdasarkan data hasil wawancara di atas yang diteliti
dari tanggal 25 Maret hingga 27 April 2011 dapat dipahami
bahwa pada umumnya suami atau orang tua laki-laki
mendaftarkan langsung anaknya ke lembaga pendidikan dan
dua responden mengatakan didaftarkan oleh istri serta hanya
satu responden yang diwakili kepada yang lain dalam rangka
mendaftarkan anaknya ke lembaga pendidikan.
Dengan demikian pertanyan penelitian pada wawancara
berikutnya dengan sendirinya dapat dipahami bahwa hanya
dua responden yang mewakilkan kepada yang lain untuk
medaftarkan anaknya ke lembaga pendidikan.
Berdasarkan hasil wawancara pada pertanyaan
wawancara sebelumnya di atas, maka dapat di lihat bahwa
ada satu responden yang mewakilkan kepada yang lain untuk
mendaftarkan anaknya ke lembaga pendidikan.
Dengan demikian peneliti tidak melanjutkan pertanyan
pada poin berikutnya tentang apakah anak sendiri yang
mendaftarkanya ke sekolah?, dikarenakan pada pertanyaan
sebelumnya bahwa telah didapatkan gambaran bahwa tidak
ada satupun keluarga poligami yang membiarkan anaknya
mendaftar sendiri ke lembaga pendidikan. (PWKP A.2 dan 3:
Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret
hingga 27 April 2011).
Untuk mengetahui perhatian orang tua dalam
mengantarkan anak ke sekolah setelah sebelumnya di
daftarkan, hal ini sebagaimana paparan hasil wawancara
penulis sebagai berikut:
Pada kecamatan Jaya Baru bahwa salah satu keluarga
mengatakan yang mengantarkan anak-anaknya ke sekolah
94
diantar oleh orang tua perempuan dari anak, sedangkan yang
lain ada yang diwakili sama tetangganya, namun di
Kecamatan Meraxa bahwa salah satu keluarga mengatakan
diantar oleh orang tua perempuan, hal ini juga sama dengan
apa yang disampaikan oleh orang tua laki-laki keluarga yang
lain di Meuraxa.
Adapun di Kecamatan Ule Kareng mengatakan bahwa
salah satu keluarga mengatakan bahwa orang tua perempuan
yang mendaftarkannya, sama halnya dengan keluarga yang
lainnya, akan tetapi ada juga kelurga yang ke di wakilkan
kepada yang lain untuk mengantarkan anaknya ke sekolah.
(PWKP A. 4: Wawancara dengan suami dan istri pada
tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).
Beradasarkan hasil wawancara dapat dipahami bahwa
pada umumnya Istri atau orang tua perempuan yang
mengantarkan anak-anaknya ke sekolah dan hanya dua
responden yang mengatakan di antar oleh suaminya serta
satu responden mengatakan diwakilkan kepada yang lain.
Dengan demikian pada umumnya anak di antar dan dijemput
ketika mereka ke sekolah.
Untuk melihat keseimbangan data hasil penelitian
sebagaimana disampaikan oleh tokoh masyarakat/kepala desa
setempat terhadap penyelenggaran pendidikan dalam
keluarga poligami khususnya berkaitan dengan
keharmonisan rumah tangga mereka hal ini sebagaimana
disampaikan oleh ketiga tokoh masyarakat/kepala desa dalam
wilayah penelitian adalah sebagai berikut:
Berbicara mengenai tingkat keharmonisan rumah
tangga menurut asumsi banyak orang terhadap keluarga
95
yang mempraktekkan poligami akan mengalami beragam
macam kendala, namun untuk melihat hasil data wawancara
dengan tokoh masyarakat/kepala desa terhadap penyeleng-
garaan pendidikan bagi anak dalam keluarga poligami serta
dampak positif maupun negatif terhadap perkembangan
pendidikan anak.
Berdasarkan data hasil penelitian dengan salah satu
kepala desa dalam kecamatan ulee kareng melaporkan bahwa
keharmonisan rumah tangga poligami pada umumnya dalam
wilayah kepemimpinannya jarang muncul kepermukaan, jika
pun ada mereka dapat menyelesaikan pada tataran tingkat
keluarga. (PWTM A.1: Wawancara dengan kepala
Desa/Tokoh Masyarakat pada tanggal 25 maret hingga 27
April 2011).
Kepala desa dalam kecamatan jaya baru mengatakan
bahwa keharmonisan rumah tangga poligami pada umumnya
dalam wilayah desanya kadang-kadang ada terjadi keributan
kecil, pada umumnya faktor kecemburuan dari istri sebagai
alasan utama. (PWTM A.1: Wawancara dengan kepala
Desa/Tokoh Masyarakat pada tanggal 25 maret hingga 27
April 2011).
Pada kecamatan Meuraxa, sebagaimana dilaporkan
oleh kepala desa bahwa keharmonisan rumah tangga
poligami pada umumnya sangat harmonis dan berjalan
sebagaimana keluarga lain yang normal. (PWTM A.1:
Wawancara dengan kepala Desa/Tokoh Masyarakat pada
tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).
Berdasarkan data di atas dapat dipahami bahwa pada
umumnya suami-istri dalam keluarga yang berpoligami pada
96
umumnya berjalan dengan harmonis, namun sebagian yang
lain ada juga permasalahan yang muncul, sehingga sampai
kepada tingkat kepala desa dan tokoh masyarakat sebagai
jalan penengah untuk penyelesaian masalah.
Adapun terkait dengan pendidikan terhadap anak-
anaknya pada umumnya kepala desa dan tokoh masyarakat
dalam ketiga wilayah tersebut menyampaikan bahwa berjalan
dengan normal-normal saja, artinya tidak ada anak dari
keluarga poligami yang sampai terlantar tidak dipedulikan
pendidikan oleh orang tuanya, hal ini khususnya untuk
pendidikan dasar hingga menengah atas.
(PWTM A.1-4: Wawancara dengan kepala Desa/Tokoh
Masyarakat pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011)
D. Kecukupan Fasilitas dan Dana bagi anak dalam
Keluarga Poligami pada Kecamatan Jaya Baru, Meraxa
dan Ulee Kareng
Dalam penelitian ini, penulis sekaligus peneliti juga
perlu mengetahui apakah dukungan fasilitas dan
pengontrolan akhlak di kalangan keluarga pelaku poligami di
Kota Banda Aceh berjalan dengan baik ataupun sebaliknya.
Karena dukungan terhadap fasilitas khususnya terhadap
pendidikan anak dan pengontrolan terhadap akhlak mereka
merupakan bagian yang terpenting dalam menciptakan
generasi masa depan yang sukses dalam menggapai
kebahagian dunia dan akhirat.
Humadi Tatapangarsa (1991: 147) mengatakan bahwa
akhlak merupakan budi pekerti, kelakuan, watak, tabi`at.
97
Akhlak (أ خال ق ) terbagi ke dalam dua bagian, yaitu, pertama
akhlak yang baik (أ خال ق محمد ه ) seperti jujur, lurus, berkata
benar, menempati janji dan sebagainya, dan yang kedua :
akhlak jahat atau tidak baik (زم مو مه ,seperti khianat (أ خال ق
berdusta, melanggar janji dan sebagainya.
Sedangkan M. Nasir Budiman (2001: 142) mengatakan
akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk
perilaku.
Untuk membentuk akhlak yang baik adalah dengan cara
mendidik dan membiasakan akhlak yang baik tersebut, sejak
dari kecil sampai dewasa, bahkan sampai di hari tua, dan
sampai menjelang meninggal. Sebagaimana kita disuruh
menuntut ilmu dari sejak ayunan sampai ke liang lahat.
Berdasarkan hasil wawancara melalui penelitian
lapangan dari tanggal 25 Maret hingga 27 April 2011
mengenai dukungan fasilitas dan pengontrolan akhlak dari
kalangan keluarga poligami terhadap anak-anaknya, hal ini
sebagaimana hasil penelitian berikut:
Di Kecamatan Jaya Baru bahwa salah satu keluarga dan
yang lainnya juga mengatakan pada umumnya mereka
mendapat dukungan yang sangat berarti dari suami,
sehingga permasalahan seragam sekolah pada umumnya oleh
anak-anak sudah memilikinya. (PWKP A. 6: Wawancara
dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April
2011). Pada Kecamatan Meraxa bahwa satu keluarga
mengatakan memiliki seragam sekolah, hal ini juga sama
98
dengan bapak keluarga-keluarga lainnya dan sangat kecil
sekali mereka yang tidak memenuhi sarana dan prasarana
pendidikan tersebut. (PWKP A. 6: Wawancara dengan suami
dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).
Berikutnya keluarga di Kecamatan Ule Kareng
mengatakan bahwa salah satu keluarga poligami mengatakan
bahwa istri pada umumnya mengatakan bahwa anak-anak
mereka sudah memiliki kelengkapan dan sarana dalam
mengikuti pendidikan khususnya sekolah. (PWKP A. 6:
Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret
hingga 27 April 2011).
Berdasarkan data hasil wawancara di atas dapat
dipahami bahwa pada umumnya orang tua (suami) yang
berpoligami menyediakan sarana yang memadai berkaitan
dengan seragam sekolah dan olah raga, baik berupa sepatu
dan tas yang digunakan anak untuk pergi ke sekolah, hal ini
sebagaimana diakui juga oleh masing-masing istri mereka
dalam wawancara dengan penulis. (PWKP A. 6-7:
Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret
hingga 27 April 2011).
Untuk mengetahui apakah terhadap pemenuhan
sarana lainnya seperti buku bacaan, buku tulis hal ini
sebagaimana hasil wawancara berikut ini:
Ketiga keluarga yang diwawancarai di Kecamatan Jaya
Baru mengatakan pada umumnya mereka memiliki sarana-
sarana pendidikan tersebut, namun ada satu keluarga yang
mengatakan kadang-kadang ada kadang tidak. (PWKP A. 8:
Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret
hingga 27 April 2011).
99
Sedangkan di Kecamatan Ule Kareng ada dua keluarga yang
mengatakan bahwa kadang-kadang memiliki kelengkapan
sarana pendidikan secara lengkap.
(PWKP A. 8: Wawancara dengan suami dan istri pada
tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).
Apakah Bapak/Ibu membeli buku-buku bacaan pelajaran dan
buku tulis?
Hasil data di atas menunjukkan bahwa perhatian
keluarga terhadap penyediaan sarana dan prasarna belajar
untuk sekolah khususnya dalam memenuhi membeli buku
bacaan bagi anak-anak mereka sangat baik, artinya setiap
orang tua khususnya dalam keluarga poligami ada membeli
buku-buku bacaan sebagai sarana pendukung untuk
pendidikan anak-anaknya di sekolah, namun sebagian kecil
dari keluarga poligami kadang-kadang juga memiliki kendala
dalam memenuhi terhadap kebutuhan pendidikan anak
khususnya dalam kesediaan dalam membeli buku-buku
bacaan. (PWKP A. 9: Wawancara dengan suami dan istri
pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011)
Selain mengantarkan ke lembaga pendidikan dan
menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana, hal
terpenting lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan
terhadap anak dalam keluarga poligami adalah perhatian
khusus dalam mengikuti perkembangan pendidikan anak
dalam rumah tangga. Untuk itu sebagaimana hasil data
penelitian terhadap ada tidaknya orang tua menanyakan
kembali terhadap hasil belajar anak ketika mereka berada di
rumah, adalah sebagai berikut:
100
Apakah Bapak/Ibu menanyakan perkembangan hasil
belajar ketika di rumah?
Bahwa ke tiga keluarga di Kecamatan Jaya Baru
mengatakan pada umumnya mereka kadang-kadang
menanyakan perkembangan belajar anak-anaknya, bahkan
sangat menyedihkan ada salah satu keluarga dalam
kecamatan tersebut mengatakan tidak pernah sama sekali
telah menanyakannya. Adapun keluarga yang lainnya di
Meraxa mengatakan mengatakan bahwa pada umumnya
mereka kadang-kadang menanyakan perkembangan belajar
anak-anaknya, bahkan sangat mengherankan ada keluarga
dalam kecamatan tersebut mengatakan tidak pernah sama
sekali telah menanyakannya.
Di Kecamatan Ule Kareng Keluarga satu dan yang ke
tiga juga mengatakan mengatakan yang pada umumnya
mereka kadang-kadang menanyakan perkembangan belajar
anak-anaknya, bahkan sangat menyedihkan ada keluarga
yang ketiga dalam kecamatan tersebut mengatakan tidak
pernah sama sekali telah menanyakan perkembangan
pendidikan anak-anaknya. (PWKP A. 10-11: Wawancara
dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April
2011).
Berdasarkan hasil data tersebut di atas, maka dapat
dipahami bahwa perhatian keluarga (suami-istri) dalam hal
menyakan terhadap perkembangan hasil belajar anak ketika
berada di rumah, pada umumnya hal seperti ini sering
dilakukan oleh Istri/ Ibu si anak dan jarang sekali kesempatan
seperti itu ditanyakan oleh suami/Bapak si anak, bahkan ada
101
sebagaian keluarga poligami lainnya yang jarang sekali
menanyakan terhadap hasil belajar anak di sekolah.
Hal ini dapat dipahami bahwa mungkin kesempatan
yang dimiliki oleh Suami/Bapak yang sangat sempit dalam
membagi waktu untuk keluarganya yang lain, sehingga
dalam hal memeriksa buku catatan anak dan kelengkapan
buku catatanya juga sama halnya lebih banyak perannya oleh
Istri/Ibu si anak.
Dengan demikian dapat dipahami juga bahwa yang
mengetahui terhadap perkembangan kemampuan anak di
sekolah pada umumnya lebih banyak diketahui oleh Istri/Ibu
si anak. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan
kemampuan anak di sekolah, hal ini sebagaimana terlihat
pada hasil jawaban wawancara berikut:
Ketiga keluarga di Kecamatan Jaya Baru mengatakan yang
pada umumnya mereka kadang-kadang menanyakan
perkembangan belajar anak-anaknya, bahkan sangat
menyedihkan ada keluarga yang ketiga dalam kecamatan
tersebut mengatakan tidak pernah sama sekali telah
menayakannya.Hal yang sama pada keluarga di Kecamatan
Meraxa juga mengatakan bahwa per-kembangan belajar anak-
anaknya berjalan secara normal-normal saja, akan tetapi anak
dari keluarga satu poligami dia sering mendapatkan rangkin
lima besar artinya masuk kedalam lima besar.
Di Kecamatan Ule Kareng keluarga ada dua keluarga yang
mengatakan bahwa pada umumnya anak-anak mereka biasa-
biasa saja, akan tetapi anak dari satu keluarga yang lain
mendapatkan rangking 3 pada saat bagi raport semester
kemaren. (PWKP A. 13-15: Wawancara dengan suami dan istri
pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).
102
Berdasarkan hasil wawancara di atas disampaikan
bahwa kemampuan anak-anak dari keluarga poligami di
sekolah pada umumnya biasa-biasa saja, namun demikian
ada sebagian dari keluarga poligami yang anaknya memiliki
rangking kelas baik rangking 3 besar maupun 5 besar.
Disamping itu orang tua juga diharapkan agar dapat
melakukan pengontrolan terhadap anak-anaknya di sekolah
melalui kerjasama dengan guru, hal ini tidak saja bagi
keluarga (orang tua) poligami akan tetapi terhadap semua
orang tua berkewajiban untuk mengupayakannya, hal ini
sebagai salah bentuk dari trilogi pendidikan salah satunya
adanya kerjasama antara pihak pelaksana pendidikan dengan
orang tua dalam upaya meningkatkan belajar bagi anak,
karena belajar merupakan proses yang berlangsung terus-
menerus sepanjang hidup.
Bahwa dukungan fasilitas dan pengontrolan terhadap
akhlak anak dalam keluarga pelaku poligami khususnya di
Kota Banda Aceh dalam tiga Kecamatan sebagai lokasi
penelitian penulis, maka dapat dipahami bahwa orang tua
khususnya suami sudah melaksanakan dengan baik terhadap
kewajibannya dalam memenuhi nafkah lahir khususnya
berkaitan dengan dukungan terhadap fasilitas pendidikan
bagi anak dalam mengikuti pendidikannya di sekolah, seperti
dengan menyediakan seragam sekolah dan atributnya,
seragam olah raga, sepatu dan memenuhi terhadap
kebutuhan buku bacaan yang diperlukan oleh anak, akan
tetapi perhatian pendidikan anak keluarga lebih banyak
dilakukan oleh Istrinya/Ibu si anak.
103
E. Keteladan orang tua dan komunikasi aktif keluarga
Pada dasarnya bentuk keteladanan yang dapat
diperankan oleh orang tua terhadap anak-anaknya bermacam
ragam bentuknya baik melalui sikap orang tua dalam
bersosialisai dengan sesama anggota keluarga khususnya
suami istri dan juga anak-anak mereka, akan tetapi dapat juga
dalam bentuk lain seperti halnya dengan melakukan
komunikasi terhadap perkembangan anak ketika berada di
luar rumah, misalnya orang tua mengetahui terhadap
perkembangan anaknya di sekolah melalui dari guru di
sekolah, memberikan teguran kalau terlambat pulang ke
rumah serta memberinya sanksi jika kesalahan yang
dilakukan oleh anak sudah berulang-ulang kali. Hal ini
sebagai salah satu bagian terpenting kaitannya dengan
komunikasi aktif orang tua dengan anak-anaknya.
Berdasarkan data penelitian khususnya terhadap
keluarga poligami berkaitan dengan ada tidaknya menanya-
kan kepada guru tentang perkembangan pendidikan anak
khususnya berkaitan dengan kedisiplinan anak ketika berada
di sekolah, hal ini sebagaimana terlihat dalam hasil
wawancara berikut ini:
Apakah Bapak/Ibu menanyakan kepada guru tentang
kedisiplinan anak di sekolah?
Hasil penelitian pada keluarga di Kecamatan Jaya Baru
menunjukkan bahwa pada umumnya mereka jarang sekali
menanyakan perkembangan pendidikan anaknya di sekolah
kepada para guru. (PWKP A. 14: Wawancara dengan suami
dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011) Di
Kecamatan Meraxa hasil penelitian juga menujukkan sama
104
perhatian mereka terhadap kasih sayang dengan sesama yang
lain, kasih sayang terhadap anak-anak dalam kehidupannya
masih belum maksimal. (PWKP A. 14: Wawancara dengan
suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011)
Sedangkan di Kecamatan Ule Kareng bahwa hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa pada umumnya tidak ada kendala,
akan tetapi nilai-nilai kasih sayang masih jauh jika
dibandingkan dengan rumah tangga yang normal. (PWKP A.
14: Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret
hingga 27 April 2011)
Beradasarkan data di atas dapat dipahami bahwa pada
umumnya orang tua dalam keluarga poligami jarang sekali
menanyakan terhadap perkembangan pendidikan anak di
sekolah khususnya kepada guru seperti halnya mengenai
kedisiplinan, namun hanya sebagian kecil saja yang ada
menanyakan bahkan ada dari orang tua keluarga poligami
yang tidak pernah sama sekali menanyakan kepada guru
terhadap perkembangan pendidikan anak khususnya
mengenai kedisiplinan mereka ketika berada di sekolah.
Akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh bahwa bagi orang
tua/keluarga selain pelaku poligami menurut asumsi penulis
juga demikian adanya (sama saja), artinya sikap orang tua
dalam melakukan pemantauan terhadap anak-anaknya
sampai ke sekolah saat ini sudah sangat jarang dilakukan
apalagi sampai menanyakan kepada guru terhadap
perkembangan anaknya dalam belajar, karena pada dasarnya
belajar itu memiliki karateristiknya tersendiri. Adapun ciri-ciri
belajar tersebut adalah sebagai berikut:
105
1. Belajar dilakukan dengan sadar dan mempunyai tujuan.
Tujuan dipakai sebagai arah kegiatan dan sekaligus
sebagai tolok ukur keberhasilan belajar.
2. Belajar merupakan pengalaman sendiri, tidak dapat
diwakilkan pada orang lain. Jadi belajar bersifat
individual.
3. Belajar merupakan proses interaksi antara individu dan
lingkungan.
4. Berarti individu harus aktif bila dihadapkan pada suatu
lingkungan tertentu. Keaktifan ini dapat terwujud
karena individu memiiki berbagai potensi untuk
belajar. Misalnya perhatian, minat, pikiran, emosi, dll.
5. Belajar mengakibatkan terjadinya perubahan pada diri
seseorang yang belajar. Perubahan tersebut bersifat
integral, artinya perubahan dalam aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik yang terpisahkan satu sama
lain.
Unsur-unsur dinamis dalam belajar mempunyai arti
yaitu faktor- faktor yang keberadaanya berubah-ubah
dalam diri individu yang belajar.
Padahal jika hal itu diupayakan oleh orang tua maka
dengan sendirinya mereka dapat mengetahui terhadap
perkembangan motivasi belajar anak, sehingga dapat
diupayakan perbaikan jika anak kurang memiliki motivasi
belajar dan memberi dukungan sepenuhnya bagi anak yang
sudah memiliki motivasi dalam belajar untuk dapat
ditingkatkan di masa yang akan datang.
Untuk mengetahui terhadap pengontrolan oleh orang
tua/keluarga pelaku poligami berkaitan dengan perilaku
106
anak seperti memberikan teguran kalau terlambat pulang
ke rumah, hal ini sebagaimana terlihat pada hasil data
wawancara berikut ini:
Hasil penelitian di Kecamatan Jaya Baru menunjukkan
bahwa pada umumnya bervariasi permasalahannya, seperti
permasalahan jarang diadakannya shalat jama’ah dalam
keluarga. Pada Kecamatan Meraxa hasil penelitian juga
menujukkan sama perhatian mereka terhadap kasih sayang
dengan sesama yang lain, Pada kecamatan Ule Kareng
bahwa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada
umumnya tidak ada kendala , akan tetapi nilai-nilai kasih
sayang masih jauh jika dibandingkan dengan rumah tangga
yang normal. Untuk melihat hasil penelitian ada tidaknya
diberikan teguran jika anak telat pulang ke rumah. (PWKP.
15: Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25
maret hingga 27 April 2011)
Hasil penelitian di Kecamatan Jaya Baru menunjuk-
kan bahwa pada umumnya di kecamatan ini, bahwa ketiga
keluarga yang dijadikan sebagai sampel penelitian
mengatakan kadang-kadang ada ada kadang tidak. Di
Kecamatan Meraxa Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa salah satu orang tua mengatakan sering menayakan
jika anak terlambat sampai ke rumah, akan tetapi umumnya
mereka sama perhatian mereka terhadap kasih sayang
dengan sesama yang lain. Adapun di Kecamatan Ule
Kareng bahwa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
pada umumnya tidak ada kendala, akan tetapi nilai-nilai
kasih sayang masih jauh jika dibandingkan dengan rumah
tangga yang normal. (PWKP A. 16 Wawancara dengan
107
suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April
2011)
Berdasarkan hasil data wawancara di atas, dapat
dipahami bahwa pada umumnya jika anak terlambat
pulang ke rumah, maka orang tua tetap menegurnya. Hal
tersebut perlu mendapat perhatian dari semua orang tua
agar anak-anak dalam kesehariannya memiliki
pengontrolan dan pengawasan khususnya dalam hal
tingkah lakunya, dan apabila dilakukan secara berulang-
ulang setelah diberikan teguran maka orang tua tidak salah
jika sekali-kali memberikan sanksi atau hukuman yang
sesuai dengan kapasitas anak itu sendiri artinya disesuai-
kan dengan tingkat perkembangannya. Untuk mengetahui
ada tidaknya orang tua memberikan sanksi terhadap anak
jika mereka terlambat pulang ke rumah, hal ini
sebagaimana terlihat pada hasil wawancara penulis dengan
responden berikut ini:
Apakah Bapak/Ibu memberikan sanksi apabila
terlambat pulang ke rumah?
Bahwa pada umumnya baik keluarga poligami yang
ditinggal di kecamatan Jaya baru, Ule kareng dan Meraxa
pada umumnya meraka sangat peduli dengan tingkah laku
anak, bagi anak yang berbuat salah tetap mereka tegur jika
berulang kali maka akan diberikan sangsi yang sesuai bagi
mereka. (PWKP A. 17: Wawancara dengan suami dan istri
pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).
Berdasarkan hasil data di atas dapat dipahami bahwa
bagi orang tua pelaku poligami juga sangat antusias
terhadap pengontrolan anak-anaknya ketika berada di luar
108
pekarangan khususnya jika mereka bermain di luar rumah
atau bersosialisasi dengan lingkungannya, sehingga orang
tua baik suami atau istri tetap memberikan sanksi setelah
sebelumnya mereka telah menegurnya.
Bahwa keteladanan orang tua dan komunikasi aktif
dengan keluarga bagi mereka pelaku poligami belum
berjalan dengan baik sebagaimana diharapkan antara lain
kurangnya kepedulian orang tua dalam melakukan
komunikasi dengan guru terhadap perkembangan anak
khususnya berkaitan dengan kedisiplinan mereka ketika
berada di sekolah, namun dalam hal pengontrolan terhadap
perilaku anak di luar rumah dan mematuhi penyampaian
orang tua, seperti berkenaan dengan keberadaan anak di
rumah tidak boleh terlambat, hal ini dapat dipahami bahwa
orang tua pelaku poligami pada khususnya sudah
memberikan perhatian yang sangat baik terhadap anak-
anak mereka, bahkan anak akan diberikan sanksi jika sudah
beberapa kali diberikan teguran.
Untuk melihat keseimbangan data hasil penelitian
sebagaimana disampaikan oleh tokoh masyarakat/kepala
desa setempat terhadap pemenuhan kebutuhan dan
pengontrolan terhadap anak dalam keluarga poligami
khususnya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hak
istri dan anak serta ada tidaknya laporan miring baik dari
anak maupun dari istri terhadap mereka (suami) hal ini
sebagaimana disampaikan oleh ketiga kepala desa/tokoh
masyarakat dalam wilayah penelitian adalah sebagai
berikut:
109
Bahwa kepala desa dan tokoh masyarakat mengatakan
bahwa pada umumnya terpenuhi dengan baik dan jarang
mendapat laporan miring dari rumah tangga mereka. (PWTM
A. 1-4: Wawancara dengan kepala desa/tokoh masyarakat
pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).
Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat dipahami
bahwa pada umumnya suami dalam keluarga berpoligami
dapat memenuhi kebutuhan baik terhadap istri dan juga
anak-anaknya, namun sebagian yang lain ada juga yang
menyampaikan laporan miring, seperti keberadaannya pada
salah satu rumah mereka yang belum terpenuhi secara adil,
sehingga sampai juga kepada tingkat kepala desa dan tokoh
masyarakat untuk memberikan penyelesaian masalah
terhadap masalah yang dilaporkan tersebut. Untuk lebih
jelasnya mengenai masalah-masalah seperti itu, hal ini penulis
rangkum dalam nampak negatif dan positifnya bagi keluarga
yang melakukan poligami.
F. Dampak Negatif dan Positif terhadap Penyelenggaran
Pendidikan Anak dalam Keluarga Poligami pada
Kecamatan Jaya Baru, Meraxa dan Ulee Kareng
Dalam upaya mewujudkan suatu harapan tentunya
akan menghadapi kesulitan atau hambatan. Begitu juga
halnya dalam menciptakan keluarga yang harmonis,
tentunya sebagai seorang suami ataupun istri akan
menghadapi hambatan-hambatan dalam keluarga termasuk
dalam mewujudkan pendidikan yang baik bagi anak-
anaknya, khususnya pendidikan agama.
110
Untuk itu sebagaimana data hasil wawancara dengan
responden terhadap dampak negatif dan positif dalam
prakteknya berkaitan dengan poligami sebagaimana uraian
berikut ini. Memahami dampak positif poligami bisa saja
karena berkaitan antara salah satu keduanya ataupun
karena keduanya, sebagai alasan dari awal melakukan
poligami.
Berdasarkan data hasil wawancara dengan responden
dapat dipahami bahwa bagi suami yang melakukan
poligami memiliki banyak alasan-alasan tertentu sehingga
mereka melakukan poligami atau menikah dengan
perempuan lain setelah sebelumnya sudah memiliki isteri,
beradasarkan hasil wawancara sebagian dikarenakan ingin
memperoleh keturunan karena dari istri sebelumnya belum
memperolehnya atau anak dari perempuan lain dan sudah
diizinkan oleh istri sebelumnya, sebagaian yang lain
mengangap memiliki kemampuan dan dibenarkan dalam
agama, namun banyak juga dari mereka tidak mau
memberikan komentar apa-apa, sehingga penulis sekaligus
peneliti tidak dapat memaksakan untuk diberikan jawaban,
karena hal itu mengingat hak pribadi seseorang atau hak
privasi seseorang, namun perlu dipahami bahwa pada
umumnya mereka berpoligami memiliki kemapanan secara
ekonomi. (PWKP B. 1-6: Wawancara dengan suami dan
istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011). Terhadap
dampak positif bagi suami, hal yang sama juga
sebagaimana disampaikan oleh pihak istri yang menerima
dipoligami. Hal ini sebagaimana terlihat dalam data hasil
wawancara berikut:
111
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pihak istri
juga merasakan dampak yang positif bagi mereka dalam
melakukan poligami khususnya bagi istri muda, namun
istri tua juga dapat menerimanya karena mengingat dirinya
memiliki kekurangan yang dirasakannya. (PWKP B. 1-6:
Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret
hingga 27 April 2011).
Untuk melihat keseimbangan data hasil penelitian
sebagaimana disampaikan oleh tokoh masyarakat/kepala
desa setempat terhadap dampak positif tersebut khususnya
bagi suami berkaitan dengan alasan mereka melakukan
poligami dalam tiga kecamatan dalam Kota Banda Aceh
sebagai wilayah penelitian adalah sebagai berikut:
Hasil penelitian pada Kecamatan Jaya Baru
menunjukkan bahwa kepala desa mengatakan pada
umumnya belum memiliki keturunan sebelumnya, namun
sebagian ada juga yang sudah memiliki, dan mereka
umumnya peduli dengan sosial kemasyarakatan, Di
Kecamatan Meraxa hasil penelitian menunjukkan bahwa
kepala desa mengatakan bahwa pada umumnya mereka
belum memiliki keturunan sebelumnya, dan mereka
umumnya jarang berada dalam kegiatan keagamaan di
masyarakat. Sedangkan di Kecamatan Ule Kareng hasil
penelitian menunjukkan bahwa kepala desa mengatakan
pada umumnya belum memiliki keturunan sebelumnya,
namun ada juga yang sudah sebelumnya dan mereka
umumnya peduli dengan sosial kemasyarakatan dan juga
sering hadir dalam shalat jama’ah di mushalla.
112
Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat
dipahami bahwa pada umumnya suami berpoligami dalam
wilayah desa mereka umumnya karena belum memiliki
keturunan, namun sebagian kecil ada yang sudah memiliki
juga. (LOPPA: tanggal 26 April 2011)
Kepala Desa dan tokoh masyarakat juga
menambahkan bahwa mereka dalam bersosialisasi dengan
masyarakat pada umumnya memiliki kepedulian yang
tinggi khususnya terhadap sosial kemasyarakatan, namun
ada juga sebagian dari mereka yang tidak terlibat dalam
kegiatan keagamaan dalam desa (PWTM B. 1-4:
Wawancara dengan kepala desa/tokoh masyarakat pada
tanggal 25 maret hingga 27 April 2011)
Selain dampak positif itu sendiri, namun tidak dapat
dipungkiri praktek poligami juga memiliki dampak negatif
khususnya bagi pihak suami itu sendiri jika secara
kebutuhan ekonominya kurang memadai, karena
mengingat tanggungan yang harus dipenuhi sebagai
kewajibannya akan bertambah.
Berdasarkan hasil wawancara mengingat pada
umumnya suami yang berpoligami memiliki pendapatan
yang memadai, sehingga tidak ada kendala bagi mereka
dalam memenuhi kewajiban terhadap istri-istrinya serta
kebutuhan terhadap anak-anaknya, akan tetapi dampak
negatif itu sendiri lebih banyak diterima oleh istri maupun
anak-anaknya. Hal ini sebagaimana paparan hasil
penelitian berikut:
Pada Kecamatan Jaya Baru hasil penelitian
menunjukkan bahwa keluarga satu kadang-kadang ada
113
juga ejekan temannya, biasanya dari anak yang paling kecil,
dalam hal belajar tidak terganggu belum memiliki
keturunan sebelumnya, dan mereka umumnya peduli
dengan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya di Kecamatan
Meraxa hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai saat
ini belum ada laporan dari anak-anak, dan dalam hal
belajar tidak terganggu, selanjutnya keluarga ada juga
keluarga yang tidak memberikan komentar apa-apa dan
terakhir dari keluarga poligami yang lain mengatakan
bahwa sampai saat ini belum ada laporan dari anak-anak,
dan dalam hal belajar tidak terganggu. Adapun di
Kecamatan Ule Kareng hasil penelitian menunjukkan
berpoligami bagi mereka bahwa aman-aman saja dalam
keluarganya dan ada sebahagian juga yang tidak
memberikan komentar apapun. (PWKP C. 1-8: Wawancara
dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27
April 2011).
Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat dipahami
bahwa pada umumnya istri yang menerima dipoligami dalam
wilayah desa di tiga Kecamatan dalam Kota Banda Aceh
sejauh ini belum memiliki dampak negatif terhadap mereka,
namun sebagian dari mereka ada menerima laporan dari
anak-anaknya yang kecil atas ejekan teman ketika bermain,
secara kebutuhan tidak mengalami kendala akan tetapi kasih
sayang dan perhatian yang lebih dari suami/Bapak si anak
pada umumnya yang menjadi permasalahan utama, sehingga
kadang-kadang suami lebih banyak menghabiskan waktunya
pada istri muda ketimbang pada istrinya yang pertama, serta
anak tumbuh dan berkembang kurang mendapatkan
114
perhatian dari Bapak/Ayahnya. Suami sebagai kepala
keluarga tidak membagi waktu yang jelas untuk masing-
masing isteri dan anak-anaknya, keberadaan suami dalam
rumah tangga mereka dapat dikatakan sangat tidak maksimal
diantara salah satu isteri dalam keluarga, artinya kehadiran
suami di tengah-tengah keluarga kapan ia sukai. Dengan
sendirinya anak jarang dapat berkumpul dengan ayahnya.
(LOPPA: tanggal 26 April 2011).
Hal tersebut di atas sebagaimana diakui juga oleh Kepala
Desa dan tokoh masyarakat dengan menambahkan bahwa pada
umumnya suami yang berpoligami tidak memiliki hambatan
secara ekonomi karena mereka dapat memenuhi kebutuhan
semua anak dan istri-istrinya akan tetapi permasalahan keadilan
dalam hal batin yang berkaitan dengan perhatian dan kasih
sayang tidak bisa diberikan secara maksimal untuk istri-istri dan
anak-anak mereka, walaupun pada umumnya lebih banyak
waktu yang dihabiskan dengan istri mudanya. Perhatian suami
ternyata lebih bayak dicurahkan pada isteri kedua dan anak-
anaknya, suami lebih sering berada pada isteri kedua,
keberadaan suami di tengah-tengah isteri pertama dan anak-
anaknya rata-rata di bawah 10 hari dalam sebulan. Hal ini
disebabkan adanya kejenuhan dan kebosanan berada pada isteri
pertama, hal ini disebabkan adanya sifat isteri pertama yang
membosankan, sehingga suami enggan berada pada isteri
pertamanya. (PWTM C. 1-8: Wawancara dengan kepala
desa/tokoh masyarakat pada tanggal 25 maret hingga 27 April
2011)
Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas terhadap
dampak positif dan negatif dalam praktek poligami dapat
dijelaskan bahwa khususnya bagi pihak suami secara umum
115
berdampak positif dan sangat jarang sekali memiliki dampak
negatif apalagi secara ekonomi mereka dapat memenuhi semua
kebutuhan bagi masing-masing istri dan anak-anaknya, akan
tetapi bagi pihak istri dan anak merasakan kekurangan dari sisi
kebutuhan batin yang kurang maksimal didapatkan oleh
mereka, khususnya bagi anak perhatian dan kasih sayang yang
sempurna sulit untuk didapatkan, disamping itu juga sebagian
kecil anak khususnya yang masih berada di sekolah
dasar/ibtidaiyah kadangkala mendapat ejekan dari teman-
temannya bahwa Bapak/Ayah jarang pulang karena lebih sayang
salah satu pihak dan berbagai macam ocehan lainnya yang
memberikan indikasi terhadap kesedihan yang mereka rasakan.
G. Pembahasan
Sebelum melaksanakan penelitian untuk memperoleh
data yang sebenarnya mengenai penyelenggaraan pendidikan
anak dalam keluarga poligami di Kota Banda Aceh
khususnya terhadap tiga kecamatan sebagai lokasi penelitian.
Setelah diperoleh hasil penelitian perlu ditinjau kembali
mengenai pembahasan terhadap hasil penelitian.
1. Proses Pembinaan Akhlak dan Mengantarkannya ke
Sekolah.
Abdul Razak Husein (1992: 19) mengatakan bahwa
hak asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokkan
secara umum ke dalam bentuk hak asasi anak yang
meliputi subsistem berikut ini:
a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.
b. Hak anak dalam kesucian keturunannya.
c. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik.
d. Hak anak dalam menerima susuan.
116
e. Hak anak dalam mendapat asuhan, perawatan dan
pemeliharaan.
f. Hak anak dalam memiliki harta benda atau hak
warisan; demi kelangsungan hidup anak yang
bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas mengenai hak anak, salah
satunya kaitannya dengan pendidikan. Secara umum anak-
anak yang mendapatkan pendidikan lebih baik masa
depannya akan cemerlang dan lebih berhasil dibandingkan
dengan yang pendidikannya kurang mendapatkan perhatian
dari orang tuanya. Sebagian informan mengatakan bahwa
anak-anak yang dalam keadaan kekurangan pendidikannya
akan kurang berhasil, tetapi anak-anak dari keluarga poligami
yang berkecukupan pendidikannya akan lebih berhasil.
Pendapat ini tidak sepenuhnya benar walaupun tidak
sepenuhnya salah, karena masih banyak faktor lain yang
mempengaruhinya dan bagaimana sikap, pendirian,
kemampuan dan keuletan dari anak dan orang tuanya. Belajar
adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan
tingkah laku. Winkel dalam Darsono (2000:4) mengatakan belajar
adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam
interaktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan
dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap.
Ciri-ciri belajar sebagai sifat atau keadaan yang khas dimiliki
oleh perbuatan belajar, dengan demikian ciri-ciri belajar ini
akan membedakannya dengan perbuatan yang bukan belajar
(Darsono, 2000:30).
Berdasarkan hasil data penelitian melalui wawancara
dengan para responden bahwa proses pembinaan akhlak dan
ikut mengantarkan ke sekolah terhadap anak dalam keluarga
117
pelaku poligami berjalan dengan baik sebagaimana keadaan
keluarga-keluarga monogami lainnya, artinya pada
umumnya anak-anak mereka juga di antar ke lembaga
pendidikan khususnya sekolah, ketika pagi diantar dan
siangnya dijemput kembali, selanjutnya menyediakan setiap
sarana dan prasana pendidikan bagi anak untuk sekolah.
(PWKP. 1-17, PWKD.1-4).
Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa bahwa
proses pembinaan akhlak dan ikut mengantarkan ke sekolah
dalam keluarga poligami tidak mengalami suatu kendala
khususnya jika ditinjau dari segi sarana dan prasarana serta
dalam penyediaan fasilitas lainnya, namun demikian dari segi
perhatian terhadap mereka masih belum maksimal
sebagaimana diharapkan.
2. Keteladanan yang dapat dicontoh oleh anak dalam
keluarga poligami.
Suami selaku kepala keluarga mempunyai tanggung
jawab yang besar dalam perkawinan poligami untuk
kelangsungan hidup anakanaknya, ia mempunyai peranan
yang besar dalam memberikan arahan dan petunjuk serta
pendidikan kepada anak-anak agar diantara anak yang lahir
dari masing-masing isteri dapat membina hubungan yang
harmonis dan tidak saling mencurigai antara satu dengan
yang lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan
responden bahwa baik bagi suami yang berpoligami dan istri
yang dipoligami serta anak-anak mereka sebelumnya
memiliki dampak positif yang sangat berarti. Bagi suami
118
sesuai dengan alasannya berpoligami untuk mendapat
keturunan maka ia akan mendapatkan keturunan dari istri
yang dipolagami, begitu juga bagi istri mudanya itu akan ada
memberikan nafkah baik untuk dirinya serta anak-anaknya,
seperti dalam membiayai pendidikan anak serta kebutuhan
pendukung lainnya dalam pendidikannya di sekolah (PWKP.
1-5, PWTM.1-3).
Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa
dampak positif bagi keluarga poligami dapat dirasakan oleh
semua komponen yang ada di dalamnya, bagitu juga halnya
terhadap pendidikan anak, bahwa anak yang sebelumnya
sudah yatim mereka masih dapat melanjutkan pendidikan
dan dapat memenuhi sarana dan prasarana pendukung
lainnya dalam kebutuhan pendidikan anak di sekolah.
3. Penyediaan fasilitas dan dana bagi anak dalam
keluarga poligami.
Sebagaimana yang disebutkan oleh H.M Basballah
Thaib dalam Majid Kadhuri (1999: 123), bahwa seorang
muslim menikahi lebih dari seorang isteri, maka dia
berkewajiban untuk memperlakukan mereka secara sama
dalam hal. Makan, kediaman, pakaian, dan bahkan hubungan
seksual sejauh yang memungkinkan. Keadilan di sini hanya
berhubungan dengan usaha yang dimungkinkan secara
manusiawi. Dalam hal cinta kasih, sekalipun andaikan
seorang benar–benar ingin berbuat adil dengan tujuan yang
tulus dia tetap tak akan mampu melakukannya mengingat
keterbatasannya sebagai manusia.
119
Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan
responden bahwa baik bagi suami yang berpoligami tidak
ditemukan dampak negatif yang berarti baginya karena pada
umumnya mereka yang mempraktekkan poligami memiliki
kemampanan secara ekonomi, namun tantangan dalam
memberikan pemahaman kepada masing-masing istrinya dan
anak-anaknya dalam upaya membagikan waktu yang seadil-
adilnya sebagai kendala umum yang didapati serta meredam
kecemburuan dari salah istri.
Adapun dari segi pendidikan bagi anak dampak negatif
yang dirasakannya adalah perhatian dan kasih sayang yang
kurang ia dapatkan khususnya dari Bapak/Ayahnya serta
pemantauan terhadap per-kembangan akhlak anak baik di
sekolah, keluarga maupun dalam masyarakat, sehingga lebih
didominasi oleh masing-masing istri mereka. (PWKP. 1-7,
PWTM.1-6).
Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa
dampak negatif terhadap pendidikan anak dalam keluarga
poligami, bahwa pada umumnya anak-anak sangat kurang
maksimal dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang
dari Bapak/Ayahnya, bagitu juga halnya dengan perhatiannya
di lembaga pendidikan khususnya di sekolah, orang tua
belum maksimal dalam melakukan kerjasama dengan guru,
serta lemahnya pemantauan terhadap perkembangan akhlak
anak baik dalam keluarga, sekolah dan ketika anak
bersosialisasi dalam masyarakat.
120
121
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
etelah melakukan kajian lebih mendalam dan penelitian
lapangan tentang pendidikan anak dalam keluarga
poligami di Kota Banda Aceh dan pada tiga Kecamatan
sebagai lokasi penelitian pada khususnya, maka penulis
mengambil beberapa kesimpulan dan saran-saran yang
konstruktif di akhir tulisan ini.
Bahwa pembinaan akhlak dan mengentarkannya
kelembaga pendidikan dalam keluarga poligami di Kota
Banda Aceh tidak mengalami suatu kendala khususnya jika
ditinjau dari segi sarana dan prasarana serta dalam
penyediaan fasilitas lainnya, namun demikian dari segi
perhatian dan kasih sayang terhadap mereka masih belum
maksimal sebagaimana yang diharapkan.
Bahwa penyediaan fasilitas dan pemenuhan dana bagi
keluarga poligami di Kota Banda Aceh tidak menjadi kendala
bagi istri dan oleh semua komponen yang ada di dalamnya,
bagitu juga halnya terhadap pendidikan anak, bahwa anak
yang sebelumnya sudah yatim mereka masih dapat
melanjutkan pendidikan dan dapat memenuhi sarana dan
prasarana pendukung lainnya dalam kebutuhan pendidikan
anak di sekolah.
Bahwa keteladanan dari sisi keadilan materi akan tetapi
dampak negatif terhadap pendidikan anak dalam keluarga
poligami di Kota Banda Aceh, bahwa pada umumnya anak-
S
122
anak sangat kurang maksimal dalam mendapatkan perhatian
dan kasih sayang dari Bapak/Ayahnya, bagitu juga halnya
dengan perhatiannya di lembaga pendidikan khususnya di
sekolah, orang tua belum maksimal dalam melakukan
kerjasama dengan guru, serta lemahnya pemantauan
terhadap perkembangan akhlak anak baik dalam keluarga,
sekolah dan ketika anak bersosialisasi dalam masyarakat.
A. Saran-Saran
Hasil penelitian ini belumlah final, perlu dikaji lebih
lanjut demi tercapainya hasil yang maksimal, oleh karena itu
penulis menyarankan agar para pembaca meneliti ulang hasil
penelitian ini, dan mencari sisi lain yang bisa dijadikan bahan
penelitian selanjutnya. Agar pelaksanaan pendidikan bagi
anak khususnya dalam keluarga poligami dapat berjalan
dengan lancar dan dapat memberikan pengaruh dan
dorongan positif, maka sangat diharapkan kepada pelaku
poligami untuk mempersiapkan segala sesuatu urusan yang
berkaitan dengan masalah tanggung jawabnya terhadap istri
dan anak, khususnya terhadap masalah pendidikan bagi
anak.
Agar keluarga poligami dapat membangun keluarga
yang sakinah, mawaddah dan warahmah, maka diharap-kan
baik kepada suami dan istri untuk dapat memahami
tanggung jawab dan haknya masing-masing sesuai dengan
konsep dalam pernikahan itu sendiri. Jika adanya
permasalahan maka dapat disikapi dengan bijak karena
memang pada dasarnya poligami itu sulit untuk memberikan
123
keadilan yang sama bagi masing-masing istri dan keluarga
mereka.
Poligami tidak dilarang dalam agama apabila orang
yang hendak berpoligami dapat memenuhi persyaratan
sebagaimana yang telah di tetapkan, baik dalam beragama
maupun dalam bernegara.
Di antara persyaratan yang paling berat untuk dapat
dipenuhi oleh orang-orang yang mempraktekkan poligami
adalah berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya. Maka
untuk itu jika bagi suami tidak mampu berlaku adil, baik
secara material maupun secara batin kiranya cukup memiliki
satu istri saja.
Bagi pemuda dan pemudi yang ingin melangkah ke
jenjang perkawinan, agar berhati-hati dalam memilih dan
menentukan pasangan hidupnya. Kenalilah benar-benar
wataknya, kepribadian dan sifat pasangan masing-masing
agar terciptanya keserasian hidup dalam berumah tangga,
supaya terwujud perkawinan yang abadi yaitu hanya ada
sekali perkawinan dalam kehidupan, juga agar tercipta
generasi yang betul-betul dapat diharapkan dari sisi jasmani
dan rohani. Orang tua selaku pendidik dalam rumah tangga
hendaknya mencoba memahami anak sehingga apabila
terdapat konflik pada anak akan mudah mencari solusinya.
Pihak pemerintah seharusnya mensosialisasikan
mengenai poligami yang bagaimana yang dianjurkan dalam
Islam, sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa poligami itu
penindasan terhadap wanita. Dan dengan adanya sosialisasi
ini Insyaallah dapat mengurangi dampak negatif terhadap
isteri serta pendidikan anak-anak dimasa yang akan datang.
124
125
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abubakar Mahmud, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut
Al-Qur`an, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.
Abdurrahaman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana,
2006.
Abdurrachman Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Akademika Presindo, 1995.
Abdurrahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah
(syariah), Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Dalam Keluarga, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1995.
Ahmad Badawi, Pengantar Kurikulum, Jakarta: Bina Ilmu, 1984.
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Amir Syarifuddin Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara
Fiqh Munakahat dan Undang Undang Perkawinan,
Jakarta: Prenada Media, 2006.
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.
Ashghar Ali Engineer Pembebasan Perempuan, (The Quran,
Women and Modern Society, terjemahan Agus
Nuryanto), Yogyakarta: LKiS. 2003.
A. H. Harahap, Bina Remaja, Medan: YBPI, 1981.
Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam
Poligami, Cet. I, Jakarta: Globalmedia, 2003.
Humadi Tatapangarsa, Akhlak Yang Mulia, Surabaya: Bina
Ilmu, 1991.
126
Burhanuddin Tala, dkk, Standar Supervesi dan Evaluasi
Pendidikan, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.
Budiarti R T, Mohammad H & Bahaweres R A, ‘Provokasi
gunung es poligami’, Gatra, 20 Desember 2006.
Bibit Suprapto, Liku – liku Poligami, Yogyakarta: Al Kautsar,
1990.
Charles Schaefer, Bagaimana Mempengaruhi Anak: Pegangan
Praktis Bagi Orang Tua, Cet. III Semarang: Dahara
Prize, 1989.
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2002.
Eva Susanti, Menguak Sisi Gelap Poligami, Jakarta : http://
[email protected], 19-01-2007.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz. V, Kairo: Dar al Kutub al
Islamiyyah, 1993.
Imam Ahmad bin Hanbal, Sunan Ahmad Bin Hanbal, Bab
Nikah, Juz. V Kairo: Dar al Kutub al Islamiyyah,
1992.
Jamaluddin Iddris, Analisis Kritis Mutu Pendidikan, Banda
Aceh: Suluh Press, 2006.
John A. Schindler, M.D, Bagaimana Menikmati Hidup 365 Hari
Dalam Setahun, Jakarta : Bumi Aksara, 1992.
Kartini katono, Peranan Keluarga Memandu Anak, Jakarta:
Rajawali, 1985.
Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas
Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 1996.
Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.
127
Mahdi Fuad A. Gani, Hukum Islam, Banda Aceh : Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah
Kuala, 1992.
M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al Qur’an, Cet.
I, (Jakarta: Madani Press, 2001.
Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran,
Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1961.
Majid Sulaiman Daudin, Hanya untuk Suami, Jakarta: Gema
Insani, 1996.
Muhammad Syahrur, Nahwa Usul Al jadidah, Damaskus: Dar
Al Ahali, 1995.
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo: Dâr Al-Fikr,
t.th.
M. Arifin - Aminuddin Rasyad, Dasar-dasar Kependidikan,
Jakarta: Dirjen Bimbingan Islam dan Universitas
Terbuka, 1991.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Tafsir Maudhu’I
atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. XVI, Bandung:
Mizan, 2005.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
________, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan
Penyuluhan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, Cet. I, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2007.
Musdah Mulia Pandangan Islam tenang Poligami, Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999.
Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, Cet. II,
Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001.
128
Nasaruddin Umar Argumentasi Kesetaraan Gender, Jakarta:
Paramadina, 2001.
Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung:
Rosdakarya, 1999.
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran di Bawah Naungan Al-
Quran, Terj. As’ad Yasin, dkk, Cet. I, Jakarta: GIP,
2002.
Setiati, E, Hitam putih poligami: menelaah Perkawinan poligami
sebagai sebuah fenomena, Cisera Publishing, Jakarta,
2007.
Soemiarti Padmono Dewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta:
Rineka Cipta, 2000.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Syarifah Habibah, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan
Tinggi Umum, Banda Aceh : Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, 2006.
S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara,
1995.
Zakiah Dardjat Kesehatan Mental, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
____________, , Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang 1994.
129
RIWAYAT HIDUP
enulis bernama M. Yusuf Zulkifli, dilahirkan di Bireuen
pada tanggal 04 Oktober 1984, penulis merupakan anak
kedua dari pasangan Zulkifli Saleh dan Zainabon, penulis
mengawali pendidikan dasar Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1
Blangme Bireun, selesai pada tahun 1996. Setelah
menyelesaukan bangku Sekolah Dasar kemudian
melanjutkan pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri
2 Gandapura selesai pada tahun 1999, kemudian melanjutkan
kembali kejenjang berikutnya yaitu Sekolah Menengah Atas
(SMA) pada saat itu namanya Sekolah Menengah Umum
(SMU) Negeri 2 Gandapura selesai pada tahun 2002.
Kemudian penulis melajutkan ke jenjang Pendidikan Strata 1
(S-1) Fakultas Ushuluddin Akidah Filsafat pada IAIN Ar-
Raniry masuk pada tahun 2002 dan dapat menyelesaikan
pada tahun 2006.
Setelah menyelesaikan jenjang S-1 pada awal tahun
2006 penulis bekerja pada beberapa NGO lokal lebih kurang
selama satu tahun, setelah itu bergabung dengan waratawan
harian aceh lebih kurang enam bulan ke mudian berkerja di
aceh TV sampai dengan sampai dengan saat sekarang. Pada
tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan
strata 2 (S2) pada program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry. Saat
ini penulis berdomisili di Jalan Panglima Abu lorong Buntu
Desa Emperoom Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh.
P
130
131
132