Top Banner
144

14

Jan 19, 2016

Download

Documents

acheh library
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 14

i

Page 2: 14

ii

Page 3: 14

iii

M. Yusuf Zulkifli

PENYELENGGARAAN

PENDIDIKAN ANAK

DALAM KELUARGA POLIGAMI

DI KOTA BANDA ACEH

Page 4: 14

iv

Penyelenggaraan Pendidikan Anak

Dalam Keluarga Poligami di Kota Banda Aceh

Copyright © 2013 M. Yusuf Zulkifli, All right reserved.

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Penulis: M. Yusuf Zulkifli

Layout: Tim Citra Kreasi Utama

Desain Cover: Alwahidi Ilyas

Penerbit BukuLaela

Perum Banguntapan Asri No. E-9.

Jambidan, Banguntapan, Bantul

Telp. 0274-7477068

E-mail: [email protected]

Cetakan I, Mei 2013

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

M. Yusuf Zulkifli, Penyelenggaraan Pendidikan Anak

Dalam Keluarga Poligami di Kota Banda Aceh.

--- Yogyakarta: Penerbit BukuLaela, 2013.

ISBN: 978-979-96590-7-1

Page 5: 14

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

DAN SINGKATAN

A. TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan Tesis

ini, secara umum berpedoman kepada transliterasi ‘Ali ‘Audah

dengan keterangan sebagai berikut:

Arab Transliterasi Arab Transliterasi t (dengan titik di bawah) ط Tidak disimbolkan ا

Z (dengan titik di ظ b ب

bawah) ‘ ع t ت gh غ th ث f ف j ج H (dengan titik di ح

bawah)

q ق

k ك kh خ l ل d د m م dh ذ n ن r ر w و z ز h ه s س ’ ء sy ش s (dengan titik di ص

bawah)

y ي

d (dengan titik di ض

bawah)

Page 6: 14

vi

Catatan:

1. Vokal Tunggal

(fathah) = a misalnya, حدث ditulis hadatha

(kasrah) = i misalnya, وقف ditulis

wuqifa

(dammah) = u misalnya, روي ditulis

ruwiya

2. Vokal Rangkap

(ي) (fathah dan ya) = ay, misalnya, بين ditulis

bayna

(و) (fathah dan waw) = aw, misalnya, يوم ditulis yawm

3. Vokal Panjang (maddah)

(ا) (fathah dan alif) = ā, (a dengan garis di atas)

(ي) (kasrah dan ya) = ī, (i dengan garis di atas)

(و) dammah dan waw) = ū, (u dengan garis di atas)

misalnya: ( معلول, تصديق, برهان ) ditulis burhān, tasdiq, ma‘lūl.

4. Ta’ Marbutah(ة )

Ta’ Marbutah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah

dan dammah, transiliterasinya adalah (t), misalnya الفلسفة

(االولى )= al-falsafat al-ūlā. Sementara ta’ marbūthah mati atau

mendapat harakat sukun, transiliterasinya adalah (h),

misalnya: (مناهج االدلة, دليل االناية, تهافت الفالسفة) ditulis Tahāfut al-

Falāsifah, dalīl al-’ināyah, Manāhij al-Adillah

5. Syaddah (tasydid)

Syaddah yang dalam tulis Arab dilambangkan dengan

lambang ( ), dalam transiliterasi ini dilambangkan

dengan huruf, yakni yang sama dengan huruf yang

mendapat syaddah, misalnya (ابيةخط) ditulis khattabiyyah.

Page 7: 14

vii

6. Kata sandang dalam sistem tulisan arab dilambangkan

dengan huruf ال transiliterasinya adalah al, misalnya:

النفس, الكشف ditulis al-kasyf, al-nafs.

7. Hamzah (ء)

Untuk hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata

ditransliterasikan dengan (’), misalnya: مالئكة ditulis

mala’ikah, جزئ ditulis juz’i. Adapun hamzah yang terletak

di awal kata, tidak dilambangkan karena dalam bahasa

Arab ia menjadi alif, misalnya: اختراع ditulis ikhtirā‘

B. SINGKATAN

Cet. = Cetakan

Dkk. = Dan Kawan-Kawan

Ed. = Edisi

ed. = Editor

H.R. = Hadith Riwayat

hal. = Halaman

IAIN = Institut Agama Islam Negeri

saw. = Shallallahu ’Alaihi Wasallam

swt . = Subhanahu Wata’ala

Terj. = Terjemahan

t.p. = Tanpa Penerbit

t.tp. = Tanpa Tempat Penerbit

t.th. = Tanpa Tahun

Q.S. = Qur’an Surat

PPs = Program Pascasarjana

PWKP = Pedoman Wawancara dengan Keluarga

PWTM = Pedoman Wawancara dengan Tokoh

Masyarakat/Kepala Desa

LOPPA = Lembar Observasi Penyelenggaraan

Pendidikan Anak

Page 8: 14

viii

Page 9: 14

ix

KATA PENGANTAR

تبارك الذي بيده امللك و هو على كل : احلمد هلل رب العاملني القائل

الذي خلق املوت واحلياة ليبلوكم أيكم أحسن عمال و . شئ قدير

والصالة والسالم على سيدنا حممد وعلى اله و . هو العزيز الغفور

...و بعد ,صحبه أمجعني

uji syukur ke hadirat Allah swt, Atas karunia dan

petunjuk-Nya pula, atas bantuan semua pihak maka

tesis ini dengan judul Penyelenggaraan Pendidikan Anak

Dalam Keluarga Poligami akhirnya terselesaikan. Selawat

dan salam kepada Nabi Muhammad saw yang telah

mengangkat derajat kaum perempuan dari kehinaan

kepada kemuliaan.

Rasa hormat dan ucapan terima kasih penulis

sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. M. Nasir Budiman,

M.A dan Bapak Dr. Fakhri M. Yacob, M. Ed yang telah

membimbing, mengarahkan dan memperbaiki tesis ini

dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Terima kasih

kepada Kepala dan Karyawan Perpustakaan IAIN Ar-

Raniry dan Pascasarjana yang telah memberikan pelayanan

dengan baik. Ucapan terima kasih juga kepada kawan-

kawan konsentrasi Dirasah Islamiyah yang telah

P

Page 10: 14

x

mendukung penulis selama perkuliahan dan penulisan tesis

ini, penulis sampaikan penghargaan sedalam-dalamnya.

Ucapan terima kasih juga kepada Bapak Camat

Meraxa, Jaya Baru dan Ule Kareng dalam Kota Banda Aceh,

serta Bapak kepala desa/tokoh masyarakat juga orang tua

baik laki-laki maupun perempuan dalam keluarga poligami

yang telah memberikan banyak informasi dalam rangka

menyelesaikan penulisan tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini sangat

jauh dari kesempurnaan, untuk itu diharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan di

masa yang akan datang. Semoga Allah yang Maha Rahman

dan Maha Rahim meridhai semua amal baik kita, dan

semoga karya tulis bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Banda Aceh, 2013

Penulis

M. Yusuf Zulkifli

Page 11: 14

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ---------| ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

DAN SINGKATAN ---------| v

DAFTAR ISI ---------| xi

BAB I : PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah ---------|1

B. Rumusan Masalah ---------|10

C. Tujuan Penelitian ---------|10

D. Manfaat Penelitian ---------|11

E. Defenisi Oprasional ---------|12

BAB II : KAJIAN PUSTAKA ---------|15

A. Pengertian Poligami, Dasar Hukum dan

Syarat-syaratnya ---------|15

B. Tanggung Jawab Orang Tua terhadap

Pendidikan Anak ---------|35

C. Dampak Negatif Poligami dan terhadap

Penyelenggaraan Pendidikan Anak ---------|48

D. Dampak positif poligami menurut dan

Pendidikan Anak ---------|61

BAB III : METODE PENELITIAN ---------|73

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ---------|73

B. Lokasi Penelitian ---------|75

C. Sumber Data Penelitian ---------|75

Page 12: 14

xii

D. Instrumen Penelitian Data (IPD) ---------|76

E. Teknik Pengumpulan Data ---------|77

F. Teknik Analisis Data ---------|78

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN ---------|81

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian --------|81

B. Penyelenggaraan Pendidikan Anak dalam

Keluarga Poligami ---------|88

C. Pembinaan Akhlak dan Mengantarkan ke

Lembaga Pendidikan ---------|91

D. Penyediaan Fasilitas dan Dana Pendidikan

Anak pada Keluarga Poligami di Kota Banda

Aceh ---------|96

E. Keteladanan Orang Tua dan Komunikasi

Aktif Keluarga Poligami di Kota Banda

Aceh ---------|103

F. Dampak nagatif dan positif terhadap

Penyelenggaran Pendidikan Anak dalam

Keluarga Poligami ---------|109

G. Pembahasan ---------|115

BAB V : PENUTUP ---------|121

A. Kesimpulan ---------|121

B. Saran-Saran ---------|122

DAFTAR PUSTAKA ---------|125

DAFTAR RIWAYAT HIDUP---------|129

Page 13: 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

elakukan perkawinan dengan beberapa orang

perempuan yang dibatasi dengan empat orang

perempuan, hal ini sering disebut dengan istilah poligami

dalam konsep ajaran Islam. Mahdi Fuad A.Gani (1999 : 42)

menyatakan bahwa poligami adalah perkawinan antara

seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam

waktu yang sama. Melaksanakan perkawinan dengan sebagai

tersebut di atas dalam Islam diperbolehkan dengan

pembatasannya paling banyak (maksimum) empat orang.

Praktek poligami sudah ada sebelum kadatangan

Islam, sebagaimana pendapat dari Asghar Ali Engineer

(2003: 11) yang mengatakan bahwa di jazirah Arab poligami

merupakan sesuatu yang mentradisi bagi masyarakat pada

saat itu dan tidak terbatas, suatu hal yang sangat ironisnya

lagi pihak istri harus menerima takdir mereka tanpa ada

usaha untuk memperoleh keadilan.

Abdur Rahman (2002: 193) mengatakan bahwa

kadatangan Islam melalui aturan hukum yang mengatur

masalah poligami, dapat dipahami bahwa poligami masih

dibenarkan, namun dengan membatasi batas maksimal

hanya sampai dengan jumlah empat orang istri dengan

memperhatikan terhadap syarat-syaratnya, seperti

keharusan berlaku adil di antara para istri.

M

Page 14: 14

2

Dengan demikian poligami adalah salah satu

permasalahan yang di bahas dalam ajaran Islam khususnya

terhadap kajian munakahat yang merupakan sunnah

Rasulallah saw, tentunya dengan syarat suami memiliki

kemampuan untuk adil di antara para istri. Untuk dapat

berlaku adil terhadap perempuan yang akan dinikahi

sebagai istri ke dua, tiga atau empat merupakan sebagai

salah satu alasan utama, agar dapat meminimalisir

permasalahan rumah tangga di kemudian hari. Ketegasan

terhadap keadilan menjadi sebuah syarat utama bagi

seorang laki-laki untuk melakukan praktek poligami,

Sebagaimana firman Allah swt dalam Al-Qur`an Surat An-

Nisa :

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku

adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu

mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang

kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)

seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat

anianya” (QS An-Nisa : 3).

Page 15: 14

3

Dalam suasana ketidak-adilan, bagaimana bisa tercapai

tujuan perkawinan tersebut, yaitu kesejahteraan spiritual dan

material, atau terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin dalam

perkawinan itu. Kemungkinan alasan lain, Rasulullah s.a.w.

tidak mengizinkan mantunya berpoligami adalah karena ketika

itu anak-anaknya masih kecil, masih membutuhkan kasih

sayang dan perhatian yang besar dari kedua orangtuanya.

Dengan berpoligami perhatian seorang ayah kepada anak-

anaknya akan terbelah. Setelah menikah lagi, seorang suami

biasanya mengabaikan isteri lama dan anak-anaknya. Perhatian

dan kasih sayang akan lebih tercurah pada isterinya yang baru.

Suami yang berpoligami akhirnya akan terjebak dalam perilaku

dzalim dan tidak adil. Oleh karena itu, perkawinan monogami

adalah pilihan yang menjanjikan tercapainya tujuan perkawinan

yang hakiki (Musdah, 1999:26).

Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istri,

yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-

haknya sesuai dengan konsep keadilan. Adil di sini adalah

menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-

perkara yang memungkinkan untuk disamakan di dalamnya.

Jika tidak mampu berlaku adil, maka Allah swt

menganjurkan kawini wanita satu saja, sebagaimana firman

Allah swt:

Page 16: 14

4

Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil

di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat

ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu

terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai),

sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan

memelihara diri dari kecurangan, maka

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang” (An-Nisa : 129).

Bagi seorang laki-laki yang hendak berpoligami harus

memenuhi suatu persyaratan tertentu yang telah ditetapkan,

baik menurut hukum Islam maupun hukum negara.

Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan

poligami, menurut Abdur Rahman (2002: 192), setelah

merangkum pendapat fuqaha, beliau mengatakan setidaknya

ada delapan keadaan yang dibenarkan bagi suami untuk

melakukan poligami, apabila istri:

1. Mengidap penyakit berbahaya dan sulit untuk

disembuhkan.

2. Terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat

melahirkan.

3. Sakit ingatan/gila.

4. Lanjut usia, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban

sebagai istri.

5. Memiliki sifat buruk.

6. Minggat dari rumah.

7. Banyak perempuan dan laki-laki sangat sedikit, misalnya

akibat dari peperangan.

Page 17: 14

5

8. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak

menimbulkan kemudhratan di dalam kehidupan dan

pekerjaannya.

Apabila praktek poligami yang dilakukan tidak sesuai

dengan yang dianjurkan dalam agama dapat melahirkan

banyak persoalan dalam kehidupan rumah tangga. Selanjut-

nya, faktor-faktor yang membolehkan poligami seperti dapat

berlaku adil, tidak boleh lebih dari empat orang isteri, ingin

mempunyai keturunan, di utamakan wanita yang dikawini

mempunyai anak yatim, kecenderungan lebih banyak wanita

dari pada kaum pria, dan wanita yang hendak dikawini tidak

boleh ada hubungan saudara, baik saudara kandung maupun

saudara sesusuan.

Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa syarat-syarat berpoligami

itu harus adanya persetujuan isteri serta adanya kepastian

bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri dan

anak-anak mereka. Lebih lanjut lagi, dalam pasal 4 ayat 2

Undang-undang No.1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa

seorang suami yang hendak berpoligami wajib mengajukan

permohonan kepada pengadilan tempat tinggalnya. Namun,

pengadilan belum tentu mengabulkan permohonan

dimaksud, hal ini dikarenakan pengadilan hanya memberikan

izin kepada seorang suami yang akan berpoligami apabila :

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. Isteri mendapat eacat badan atau penyakit yang tidak

dapat disembuhkan;

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Page 18: 14

6

Dengan demikian jelaslah bahwa berpoligami harus

melalui berbagai macam persyaratan yang telah diatur

sedemikian rupa, sehingga untuk berpoligami tidaklah dapat

dilakukan oleh setiap orang tanpa adanya kriteria atau

peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, poligami

dibenarkan apabila adanya persetujuan dari pihak isteri

pertama. Di samping itu juga dengan memperhatikan

kewajiban yang mengikatnya, antara lain berkaitan dengan

tanggung jawab terhadap anak. Orang tua berkewajiban

terhadap anak-anaknya, sebagaimana Al-Ghazali menjelaskan

dalam Abubakar Mahmud (1998: 258), bahwa kewajiban

orang tua terhadap anaknya adalah harus mendidik,

memupuk dan meperbaiki akhlaknya serta memelihara dari

lingkungan yang tercela, tidak boleh membiasakannya

dengan kemewahan, agar terhindar dari sifat sombong,

angkuh serta malas.

Masih mengenai tanggung jawab orang tua terhadap

anak, menurut M.Arifin dan Amiruddin Rasyad (1991: 257-

258) mengatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud

antara lain:

1. Memelihara dan membesarkannya.

2. Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik dalam

bentuk jasmaniah maupun rohaniahnya.

3. Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan

kentrampilan yang berguna bagi kehidupannya kelak.

4. Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan

memberinya pendidikan agama sesuai dengan ketentuan

Allah swt dan tujuan akhir hidup bagi seorang muslim.

Page 19: 14

7

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami

bahwa orang tua memiliki tanggungjawab yang besar

terhadap anak mereka, baik terhadap perkembangan jasmani

maupun rohaniahnya. Begitu juga dengan pendidikan, baik

penyelenggaraan pendidikan dalam keluarga maupun

menggantarkannya ke lembaga pendidikan formal. Pada

dasarnya pendidikan pertama yang dirasakan anak adalah

melalui orang tua. Keluarga merupakan basis pertama dan

utama dalam berbagai rangkaian proses interaksi sosial yang

ideal dialami setiap individu selama dalam hidupnya, dalam

hal ini dimungkinkan karena kedudukan keluarga sebagai

komponen terkecil dari suatu struktur masyarakat,

merupakan tempat pertama bagi individu mengenal manusia

lain di luar dirinya dan memberikan peran positif untuk

lingkungannya.

Peranan keluarga yang dimaksudkan dalam hal ini tidak

hanya menyangkut pemenuhan segala kebutuhan anak yang

berwujud materi, akan tetapi juga menyangkut kebutuhan

psikologis dan sosiologis, bahkan kedua kebutuhan inilah

yang seharusnya mendapat porsi yang lebih besar pada

perkembangan selanjutnya yang dialami anak pada masa

mendatang. Sebagaimana diketahui bahwa biasanya poligami

banyak permasalahan yang terjadi di dalam keluarga, hal itu

terlepas dari permasalahan negatif atau positif.

Di samping itu interaksi orang tua dengan anak

tentunya dapat mempengaruhi perkembangan mental anak

itu sendiri dalam menjalani kehidupannya, begitu juga ketika

berpoligami, tentu membawa dampak negatif terhadap anak

seperti disampaikan John A. Schindler, M.D (1992: 147), yaitu:

Page 20: 14

8

a. Anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang

dari orang tua.

b. Figur orang tua yang tidak bisa memberikan rasa aman

pada anak.

c. Sosial ekonomi keluarga yang kurang atau sebaliknya

tidak bisa menunjang biaya.

d. Sikap bermusuhan baik langsung atau tidak langsung

yang ditujukan kepada anak, maupun yang tidak

disengaja dialami oleh seorang anak.

Dampak negatif lainnya dari poligami itu sendiri

antara lain dalam bidang pendidikan seperti tidak

terpenuhinya kebutuhan dalam bidang pendidikan seperti

tidak mampunya orang tua membeli buku, SPP, pakaian dan

keperluan pendidikan lainnya, karena orang tua (ayah) harus

membagi dua penghasilan yang diperoleh, terbaginya

perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan oleh seorang

anak dalam masa pendidikan dan pertumbuhan, dan lain-

lain.

Dampak negatif lainnya juga timbul terhadap isteri

seperti timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri

merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari

ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis

suaminya. Sehingga hal tersebut juga mem-pengaruhi orang

tua dalam mengungkapkan kasih sayang yang dibutuhkan si

anak. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah

sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak-

anak, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun

psikologis. Hal ini juga dapat membawa pengaruh yang

signifikan terhadap pendidikan anak.

Page 21: 14

9

Di samping dampak negatif sebagaimana paparan

sekilas di atas, juga tidak dapat dipungkiri poligami ini juga

dapat saja berdampak positif bagi mereka dalam keluarganya,

adapun dampak positif yang akan muncul antara lain

kebalikan dari dampak negatif itu sendiri artinya jika suami

dapat berlaku adil terhadap istri dan keluarga mereka yang

dipoligami artinya secara materil dapat ia penuhi dengan baik

dan moril juga demikan. Begitu juga halnya dengan kesiapan

istri dalam menerima dan kerelaan hati terhadap suaminya

memiliki beberapa istri selain dirinya. Efek-efek negatif

tersebut di atas juga timbul terhadap keluarga yang

melakukan poligami pada umumnya dan tidak tertutup

kemungkinan di alami oleh masyarakat di Kota Banda Aceh.

Dalam observasi awal di Kota Banda Aceh dapat

diketahui bahwa gambaran praktek poligami yang

berlangsung dalam masyarakat saat ini dilakukan sesuai

dengan ketuan hukum Islam dan hukum Negara yang

berlaku, namun sejauh mana terhadap perkembangan

pendidikan anak dalam keluarga poligami itu sendiri ada

yang berjalan dengan baik artinya tidak ada suatu kendala

yang mereka hadapi, namun tidak sedikit juga yang

menyebabkan mundurnya dalam perkembangan pendidikan

baik dari segi prestasi, motivasi belajar bahkan sikap pesimis

terhadap psikologis anak untuk melanjutkan pendidikan ke

jenjang selanjutnya.

Dengan demikian, tugas orang tua atau kewajiban

terhadap anaknya di awali dalam mendidik, memupuk dan

memperbaiki akhlaknya serta memeliharanya dari

lingkungan yang tercela, dan tidak membiasakannya dengan

Page 22: 14

10

kemewahan, agar terhindar dari sifat jahat dan keras hatinya,

sehingga sulit untuk diperbaiki. Untuk itu kontrol orang tua

terhadap anaknya sangat diperlukan. Hal ini bisa diwujudkan

dengan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga

khususnya keluarga dalam keadaan poligami. Dalam hal

itulah penulis berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut dalam

bentuk karya tulis ilmiah tesis dengan judul “Penyelenggaraan

Pendidikan Anak dalam Keluarga Poligami di Kota Banda Aceh”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah proses pembinaan akhlak anak dalam

keluarga poligami dan perhatian mengantarkannya ke

sekolah?

2. Bagaimanakah keteladanan yang dapat dicontoh oleh anak

dalam keluarga poligami?

3. Bagaimanakah penyediaan fasilitas dan dana bagi

pendidikan anak keluarga poligami?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari tesis ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengetahui proses pembinaan akhlak anak dalam

keluarga poligami dan perhatian mengantar-kannya ke

sekolah.

2. Untuk mengetahui keteladanan yang dapat dicontoh oleh

anak dalam keluarga poligami.

Page 23: 14

11

3. Untuk mengetahui penyediaan fasilitas dan dana bagi

pendidikan anak keluarga poligami.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat

memberikan keterangan ilmiah dalam memperoleh data yang

akurat dan bermanfaat bagi penulis khususnya juga bagi

pembaca pada umumnya. Dengan adanya penelitian yang

demikian sehingga mengetahui segi negatif dan positifnya

berkiatan dengan penyeleng-garaan pendidikan bagi anak.

Dengan selesainya penelitian ini mudah-mudahan

banyak masyarakat Kota Banda Aceh akan dapat mengetahui

tentang hal tersebut terutama bagi orang tua atau keluarga

poligami. Karena masih banyak rahasia-rahasia poligami

yang belum terungkap di dalam masyarakat, khususnya di

Kota Banda Aceh. Di samping itu untuk memberikan sedikit

masukan atau sumbangan pikiran terhadap orang tua dalam

pendidikan anak.

Mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang

terjadi saat sekarang dimana peneliti berusaha memotret

peristiwa dan kejadian yang timbul di lapangan untuk

kemudian digambarkan sebagaimana mestinya. Penelitian ini

dilaksanakan di Kota Banda Aceh.

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat

memberikan keterangan ilmiah dalam memperoleh data yang

akurat dan bermanfaat bagi penulis khususnya juga bagi

pembaca pada umumnya. Dengan adanya penelitian yang

demikian sehingga mengetahui segi negatif dan positifnya

berkiatan dengan penyeleng-garaan pendidikan bagi anak.

Page 24: 14

12

Dengan selesainya penelitian ini mudah-mudahan

banyak masyarakat Kota Banda Aceh akan dapat mengetahui

tentang hal tersebut terutama bagi orang tua atau keluarga

poligami. Karena masih banyak rahasia-rahasia poligami

yang belum terungkap di dalam masyarakat, khususnya di

Kota Banda Aceh. Di samping itu untuk memberikan sedikit

masukan atau sumbangan pikiran terhadap orang tua dalam

pendidikan anak.

Mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang

terjadi saat sekarang dimana peneliti berusaha memotret

peristiwa dan kejadian yang timbul di lapangan untuk

kemudian digambarkan sebagaimana mestinya. Penelitian ini

dilaksanakan di Kota Banda Aceh.

E. Defenisi Oprasional

Penyelenggaraan pendidikan anak yang dimaksud dalam

pembahasan tesis ini adalah kegiatan pembinaan dan bimbingan

yang dilakukan orang tua dalam keluarga terhadap perubahan

pada anak baik jasmani maupun rohani. Secara teoretis menurut

M. Arifin (2003: 22) dalam buku ilmu pendidikan islam bahwa

pendidikan secara umum mengandung pengertian memberi

makna kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan

rohaniah. Dalam Islam, orang tua wajib mendidik anaknya, agar

kelak mempunyai sikap dan prilaku yang baik sesuai dengan

tuntunan ajaran Islam. Membina anak agar hidup secara Islami

adalah tugas dan tanggung jawab orang tua, termasuk bagi

keluarga poligami.

Orang tua menjadi contoh teladan dan mempunyai

pengaruh bagi perkembangan pribadi anak, baik dalam cara

befikir maupun berbuat, antara lain dalam membangun

Page 25: 14

13

keharmonisan dalam rumah tangga. Zakiah Daradjat (1994: 58)

mengatakan bahwa pen-didikan yang diterima anak dari orang

tuanya, baik dalam pergaulan hidup maupun dalam tata bicara,

bertindak, bersikap dan sebagainya menjadi teladan atau

pedoman yang ditiru oleh anak-anaknya.

Keserasian yang harus terbina adalah keserasian antara ibu

dan ayah, yang merupakan komponen pokok dalam setiap

keluarga. Seorang ibu dengan sifatnya yang lemah lembut dan

perasa itu merupakan imbangan terhadap sifat seorang ayah,

yang keduanya merupakan unsur yang saling melengkapi dan

isi mengisi yang membentuk suatu keserasian dan

keseimbangan dalam keluarga.

Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan terhadap

anak dalam keluarga dapat didefenisikan sebagai kegiatan orang

tua dalam rangka khususnya terhadap pendidikan anak, antara

lain yang dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Bimbangan dan nasehat dalam keluarga

2. Mengantarkan anak ke lembaga pendidikan

3. Memenuhi fasilitas pendidikan anak

4. Melakukan pengontrolan terhadap perilaku anak

5. Memberikan ketaladanan yang baik bagi anak

6. Membangun komunikasi aktif dengan anak dalam

keluarga

Untuk itu kegiatan orang tua khususnya terhadap

keluarga poligami dalam beberapa hal sebagaimana tersebut

di atas, maka akan menjadi lingkup kajian bagi penulis

sekaligus peneliti untuk memberikan kejelasan terhadap

penyelenggaraan pendidikan anak dalam keluarga poligami.

Page 26: 14

14

Page 27: 14

15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Poligami, Dasar Hukum dan Syarat-

syaratnya

1. Pengertian Poligami

bd. Rahman Ghazali (2006: 129) mengatakan bahwa

Istilah poligami terdiri dari dua suku kata yaitu poli dan

gamy. Secara etimologis, poli artinya “banyak” dan gami

artinya “istri”. Jadi poligami artinya beristri banyak. Secara

terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai

lebih dari satu istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari

satu orang, tetapi dibatasi sampai empat orang.

Depdiknas (2006: 285) dalam kamus bahasa Indonesia

mengatakan poligami diartikan sebagai salah satu pihak

memiliki atau mengawini beberapa perempuan diwaktu

bersamaan. Arij Abdurrahman As-Sanan (2003: 25)

mengartikan poligami atau ta’addud az-zaujat yang berarti

perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam

tanggungannya dua sampai empat orang istri, tidak boleh

lebih darinya. Muhammad Syahrur (1995: 185) mengartikan

poligami sebagai suatu hak istimewa yang diberikan Tuhan

kepada kaum pria dengan mengawini wanita lebih dari satu,

sampai empat. Namun ada beberapa syarat yang harus

dipenuhi oleh pria tersebut supaya poligami tersebut sah

yaitu; suami berlaku adil baik materi atau immateri,

perempuan yang dinikahi haruslah mereka yang janda dan

A

Page 28: 14

16

mempunyai anak yatim, karena menurutnya inilah kehendak

dari pada nash.

Dari beberapa pengertian yang telah dikemuka-kan di

atas, dapat disimpulkan bahwa poligami adalah perkawinan

seorang laki-laki dengan perempuan lebih dari satu orang

dalam waktu yang bersamaan, dengan batas maksimal empat

orang istri serta memenuhi syarat yang ditentukan oleh nash.

2. Dasar Hukum Poligami

Legalisasi poligami secara yuridis telah diatur dalam

ayat al-Quran yang membicarakan soal poligami dan

sekaligus menjadi dasar keabsahan poligami. Izin

mempraktekkan poligami tersebut merupakan tatanan

pembatas istri sampai empat orang, hal ini sebagaimana

terdapat pada surah an-Nisa’: 2-3, yang secara lengkap

berbunyi:

(۳ -۲: النسآء)

Page 29: 14

17

Artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah

balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang

buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.

Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu,

adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat

berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana

kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang

kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut

tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau

budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat

kepada tidak berbuat aniaya (Q.S. An-Nisa’ : 2-3).

Selain ayat di atas juga dikuatkan pada surat yang

sama ayat 129, yaitu:

)۹۲۱ : النسآء ) Artinya:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara

isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat

demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung

(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain

terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan

memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya

Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-

Nisa’ : 129)

Page 30: 14

18

Menurut M. Quraish Shihab, (2005: 199-200)

menafsirkan bahwa ayat di atas sebagai pembatas jumlah istri,

sekaligus menjadi dasar bolehnya poligami. Sayang ayat ini

sering disalah pahami. Ayat tersebut turun sebagaimana

diuraikan oleh istri Nabi Aisyah r.a. menyangkut sikap wali

yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik,

yang berada dalam pemeliharaannya, tetapi tidak ingin

memberinya maskawin yang sesuai serta tidak

memperlakukannya secara adil. Ayat ini melarang hal

tersebut dengan susunan kalimat yang sangat tegas “maka

kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau

empat ” dalam rangka berlaku adil kepada mereka.

Lebih lanjut M. Quraish Shihab (2005: 199-200)

menjelaskan ayat tersebut tidak membuat suatu peraturan

tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan

dilaksanakan oleh syariat dan adat istiadat sebelum ini. Ayat

ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjur-kannya,

dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun

merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat

diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.

Lanjutan ayat tersebut, “ jika kamu tidak dapat berlaku

adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (bila kamu menikahinya)…”,

Menurut Sayyid Quthb (2002: 274-276) dalam kitabnya, Tafsir

Fi Zhilalil Quran, ini adalah keprihatinan, ketaqwaan, dan

takut kepada Allah yang menggetarkan hati si wali apabila

tidak dapat berlaku adil terhadap wanita yatim yang ada

dalam pemeliharaannya. Maka dalam kondisi seperti ini si

wali diberikan rukhsah atau kemudahan untuk melakukan

poligami disertai dengan sikap kehati-hatian seperti itu bila

Page 31: 14

19

dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil. Dan dicukupkan

dengan monogami dalam kondisi seperti itu, atau budak

belian yang mereka miliki. At-Thabari, sebagaimana yang

dikutip oleh Asghar Ali Engineer (2003: 112-113) mengatakan

inti ayat diatas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami,

tetapi intinya bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim

terlebih lagi ketika mengawini mereka.

Berdasarkan penafsiran di atas, dapat kita lihat

sebenarnya ayat 3 dari surat an-Nisa’ dan ditegaskan oleh

ayat 129 di atas menjelaskan betapa ayat Al-Quran begitu

berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak

untuk diterima dalam situasi yang ada, maka al-Quran

membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri,

dengan syarat harus adil. Berlaku adil dalam bermuamalah

dengan istri-istri, yaitu dengan memberikan kepada masing-

masing istri hak-haknya sesuai dengan konsep keadilan. Adil

di sini adalah menyamakan hak yang ada pada para istri

dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk

disamakan di dalamnya. Jika tidak mampu berlaku adil, maka

Allah menganjurkan kawini wanita satu saja.

Dengan demikian maka jalan yang paling aman untuk

seorang laki-laki adalah beristeri cukup dengan satu orang

wanita saja, niscaya tidak akan terjerumus ke dalam perilaku

tidak berlaku adil.

Berdasarkan landasan tersebut di atas, maka dapat kita

simpulkan bahwa poligami adalah seorang laki-laki yang

menikahi beberapa orang wanita dengan batasannya empat

orang. Poligami dibolehkan baik di dalam agama Islam

maupun dalam kehidupan bernegara, asal mem-punyai

Page 32: 14

20

kesanggupan dalam memenuhi syarat-syarat yang telah

ditetapkan baik dalam hukum Islam maupun negara

Landasan hukum poligami juga terdapat dalam

Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang

ada di Indonesia mengenai perkawinan adalah UU Nomor 1

Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975, PP Nomor 10 Tahun

1983 dan PP Nomor 45 Tahun 1990 (Budiarti, 2006: 20). UU

Nomor 1 Tahun 1974 memper-bolehkan poligami asalkan

syarat-syarat tertentu dipenuhi. Seorang suami yang ingin

berpoligami harus mengajukan permohonan kepada

Pengadilan (Pasal 4:1). Dia dapat diberikan ijin untuk

menikah lagi jika salah satu dari syarat alternatif dipenuhi

(Pasal 4:2):

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain memenuhi salah satu syarat tersebut, semua

syarat kumulatif di bawah harus dipenuhi (Pasal 5:1):

a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak

mereka;

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap

istri-istri dan anak anak mereka.

PP Nomor 10 Tahun 1983 mempersulit Pegawai Negeri

Sipil (PNS) untuk terlibat dalam perkawinan poligami. PNS

laki-laki yang mau berpoligami dan PNS perempuan yang

mau menjadi istri kedua/ketiga/keempat seorang yang bukan

Page 33: 14

21

PNS harus memperoleh ijin dari pejabat (Pasal 4:1 & 3). PNS

perempuan tidak boleh menjadi istri kedua/ketiga/keempat

seorang PNS (Pasal 4:2). PP Nomor 45 Tahun 1990 merupakan

revisi PP Nomor 10 Tahun 1983. Pada bulan Desember 2006,

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta PP tersebut

direvisi kembali supaya peraturan yang ada tentang poligami

mencakup bukan hanya PNS tetapi juga pejabat negara,

pejabat pemerintah dan masyarakat umum. Presiden

Republik Indonesia juga berencana memperketat sanksi

kepada pelanggar PP, hal ini sebagaimana disampaikan

Setiati E (2007:61-62).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa poligami

yang tidak sesuai dengan hukum syar’i akan menciptakan

hubungan yang tidak sehat dalam keluarga, hal tersebut akan

menjadi faktor rusaknya lembaga perkawinan yang

merupakan pukulan dan dapat menghancurkan mental anak

yang tidak berdosa, sebab poligami akan merampas

perlindungan dan ketentraman anak yang masih berjiwa

bersih.

3. Syarat - syarat Poligami

Dalam Islam poligami dibolehkan jika memenuhi

syarat-syarat yang telah ditentukan dalam rangka memberi-

kan alternatif kepada suami dalam persoalan rumah tangga

untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.

Dalam pandangan normatif al-Quran yang selanjutnya

diadopsi oleh ulama-ulama fiqh, jika disederhanakan

setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki

oleh suami yang hendak melakukan poligami. Pertama,

seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki

Page 34: 14

22

kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai

keperluan dengan bertambahnya istri-istri yang dinikahi.

Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istri

dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam

memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lainnya.

Arij Abdurrahman As-Sanan, (2003:193-195) dalam

bukunya “Memahami Keadilan Dalam Poligami” menyebut-

kan ada tiga syarat dalam poligami, yaitu: (1) Maksimal

empat orang, (2) Adil terhadap semua istri dan (3) Mampu

memberi nafkah

a. Maksimal Empat Orang

Di zaman sebelum Islam tidak ada batasan jumlah istri.

Seorang pria boleh memiliki ratusan istri. Namun

Islam menetapkan batas maksimum jumlahnya yaitu

sampai empat orang istri.

…. ( ۳ :النسآء ) Artinya: … “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana

kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita

(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat..”(Q.S.

An-Nisa’:3).

Menurut Imam Syafi’I, berdasarkan sunnah

Rasulullah, seseorang tidaklah diperbolehkan beristri lebih

dari empat orang. Pendapat ini menjadi ijma’ (kesepakatan

bulat) oleh para ulama ahli sunnah wal jama’ah. Pendapat ini

Page 35: 14

23

berpedoman pada riwayat yang menjelaskan tentang keadaan

orang-orang yang masuk islam memiliki istri lebih dari empat

orang. Salah satunya adalah:

أسلمت و عندى ثمان نسوة فأتت النيب : عن قيس ا بن الحرث قال

رواه ابو )صلى اهلل عليه وسلم فذكرت ذالك له فقال اختر منهن أربعا

(داود و إبن ماجه

Artinya: “ Dari Qais bin Al-Harits, dia berkata: “ ketika aku masuk

islam, aku memiliki delapan orang istri, maka aku datang

menemui Rasulullah s.a.w lalu aku ceritakan keadaanku

itu kepada beliau. Kemudian Nabi SAW bersabda “

Pilihlah empat orang diantara mereka” (H.R. Abu Daud

dan Ibnu Majah).

b. Adil Terhadap Semua Istri

Keadilan merupakan syarat utama dalam poligami.

Keadilan terhadap istri merupakan sebab kestabilan hidup

berumah tangga dan jalan terwujudnya pergaulan dan

perlakuan baik yang diperintahkan oleh Allah swt dalam

firman-Nya:

( ۳ :النسآء )

Page 36: 14

24

Artinya: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu

mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang

kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang

saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu

adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. . (Q.S. An-

Nisa’ 3)

Kemudian Rasulullah SAW mempertegas dengan

nada ancaman dalam sabdanya:

من كانت : عن ابى هريرة عن النبى صلى اهلل عليه وسلم قال

له امرأتان مييل مع إأحدمها على اخرى جاء يوم القيامة واحد

رواه ابن ماجه)شقيه ساقط Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: “

Barangsiapa yang memiliki dua orang istri lalu dia

cendrung salah satunya atas yang lain, maka pada hari

kiamat kelak dia akan datang sambil menyeret sebelah

pundaknya dalam keadaan runtuh ”. (H.R. Ibnu Majah).

Keadilan yang diwajibkan di sini, kebanyakan penegak

hukum atau hakim percaya adalah perlakuan adil dalam

aspek-aspek yang terkendali atau dapat dikontrol suami dan

menjadi kesanggupannya, seperti perumahan, memberi

pakaian, makanan hiburan, pengurusan para istri dan

keadilan dalam perlakuan terhadap anak. Sedangkan

keadilan dalam hal cinta kasih itu tidak termasuk karena hal

Page 37: 14

25

itu tidak dapat dikendali atau diluar kesanggupannya.

Begitu juga kalimat condong kepada salah satunya atas yang

lain dalam hadis di atas, adalah haramnya berlaku condong

kepada salah satu istri bukan yang lain dalam hal-hal yang

dalam kekuasaannya, sama seperti yang telah disebutkan.

Oleh sebab itu ulama telah sepakat berdasarkan dalil-

dalil yang amat kuat itu bahwa berlaku adil terhadap semua

istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus syarat

dihalalkannya poligami. Dengan demikian, seorang suami

yang takut tidak mampu mem-perlakukan istri-istrinya

dengan adil maka Islam tidak mengizinkan untuk

berpoligami. Keadilan adalah kebajikan manusia yang paling

luhur. Menetapkan keadilan sebagai syarat berarti menuntut

manusia untuk mencapai kekuatan moral yang paling tinggi.

Jika kita memperhatikan kenyataan bahwa pada

umumnya emosi dan kesukaan seorang tidaklah sama maka

kita akan mengerti bahwa perlakuan yang sama secara

seragam terhadap istri, melaksanakan keadilan dan

berpantang dari diskriminasi adalah tugas yang paling sulit

bagi seorang suami. Karena itu Islam menetapkan keadilan

sebagai syarat utama dalam poligami, tidak boleh adanya

perlakuan diskriminasi, dalam keadaan bagaimanapun juga

terhadap para istri dan anak-anak.

c. Mampu Memberi Nafkah

Para suami berkewajiban menafkahi istrinya. Nafkah

adalah uang yang dibelanjakan, atau bekal, atau apa yang

diberikan seseorang untuk keluarganya, atau harta yang wajib

diberikan kepada istri untuk makannya, pakaiannya, tempat

tinggalnya dan pengasuhan anaknya dan lain-lain Kewajiban

Page 38: 14

26

memberikan nafkah terhadap istri berdasarkan firman Allah

SWT, diantaranya: QS Al Baqarah: 233:

...

(... ۲۳۳ :البقرة )

Artinya: ...“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama

dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin

menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah

memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan

cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan

menurut kadar esanggupannya “... (QS.Al-Baqarah:

233)

Sabda Rasulullah saw:

قال رسول اهلل صلى : ن عمر و بن العاص رضي اهلل عنهما قالبعن عبد اهلل

بو داود و حديث صحيح رواه ا)اهلل عليه وسلم كفى با ملرء إمثا ان يضيع من يقوت

(غريه

Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash r.a., ia berkata

Rasulullah SAW bersabda: “seseorang cukup dianggap

berdosa apabila ia menyiakan orang yang harus diberi belanja

(H.R. Abu Daud)”.

Demikianlah kewajiban memberi nafkah kepada istri

yang diwajibkan Allah SWT kepada suami sebagai kewajiban

dalam bentuk materi disamping kewajiban dalam bentul

moral (keadilan). Dengan demikian apabila dua kewajiban ini

dapat dipenuhi maka kehidupan rumah tangga akan berjalan

Page 39: 14

27

harmonis, penuh kedamaian dan terhormat. Namun bila itu

tidak dapat dipenuhi maka sebaliknya yang akan terjadi.

Ketika seorang lelaki telah memberanikan diri

mengambil wanita sebagai istri, dia akan memiliki kewajiban

baru yaitu memberi nafkah keluarga. Ini merupakan

kewajuban utama seorang suami yagn tidak boleh tidak harus

dipenuhi dan berdosa jika melalaikannya. Sebagaimana sabda

Rasulullah saw:

Artinya: "Berdosalah orang (suami) yang mengabaikan nafkah

keluarga yang menjadi tanggungannya." (HR. Muslim dan Abu

Dawud)

Nafkah keluarga merupakan amal wajib yang paling

afdhal karena dengan nafkah itu, keluarganya dapat beramal.

Di samping itu, enafkahi keluarga termasuk amal kebajikan

dan juga sedekah, Bahkan tidak hanya sedekah biasa,

melainkan sedekah yang paling utama karena mengutama-

kannya berarti telah memenuhi kewajibannya sebagai

penanggung jawab nafkah keluarga dan memperoleh pahala

yang besar.

Memberi nafkah bagi seorang suami merupakan

kewajiban yang paling pokok. Sementara bagi istri, pemberian

nafkah ini adalah hak yang mesti harus diterimanya.

Keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga suami-

istri tersebut akan dapat dicapai jika dalam pemberian nafkah

tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan tidak

dikurang-kurangi atau juga diiringi dengan adanya rasa

bakhil atau pelit.

Memberikan nafkah bagi keluarga yang di ridhai Allah

tentu tidaklah hanya sekedar memberikan kebutuhan secara

Page 40: 14

28

umum saja, tetapi harus memperhati-kan hal-hal penting

seperti:

1. Memberi nafkah harus didasari rasa tulus ikhlas.

Memberi nafkah yang didasari tulus ikhlas dapat

mendatangkan kebahagiaan keluarga dan suami

mendapat pahala. Sebaliknya, akan muncul beban

yang terasa kian hari semakin berat dan keadaan yang

semakin menyebalkan jika memberi nafkah tidak

didasari dengan ketulusan. Sehingga memungkinkan

terjadi ketidaktenteraman hidup dalam rumah tangga.

2. Menafkahi keluarga harus dengan yang halal. Sebuah

hadits menerangkan:

"Amal yang paling utama ialah mencara nafkah yang halal".

(HR. Ibnul 'Ali).

Dengan nafkah yang halal, semua organ tubuh

termasuk hati dan pikiran akan terbentuk dari sari pati

makanan yang halal, sehingga keabsahan dan ke-

khusyu'an ibadah kita lebih terjamin. Ini berarti akan

mewujudkan ke-afdhal-an amal kita. Seorang suami

yang hanya berprinsip bagaimana caranya mencari

serta memperoleh makanan untuk istri dan keluarga

lainnya dan tidak memperdulikan masalah halal atau

haram makanan tersebut, sesungguhnya telah

melakukan suatu hal yang sangat berbahaya di dalam

kehidupan rumah tangganya. Jika ternyata makanan

yang diberikan tersebut adalah haram atau haram

dalam cara mendapatkannya, maka tindakan tersebut

adalah tercela dan sangat membahayakan kehidupan

keluarganya.

Page 41: 14

29

3. Memberikan nafkah yang cukup untuk beribadah.

4. Memenuhi dalam ukuran yang wajar atau tidak

berlebihan, tidak memperkaya keluarga dengan

menumpuk harta. Sebalinya tetap memperhatikan

kepentingan orang lain. Seorang suami yang

membiasakan royal atau berlebih-lebihan dalam

memberikan nafkah kepada istrinya secara langsung

dapat menjerumuskan istri pada tindak pemborosan

serta ke-mubadzir-an.

5. Sesuai kemampuan suami. Nafkah keluarga diberikan

sesuai kemampuan suami yaitu kemampuan yang

paling maksimal, bukan disesuaikan dengan tuntutan

istri dan segenap anggota keluarga. Allah berfirman:

Artinya: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah

menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan

rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang

diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban

kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah

berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan

sesudah kesempitan. " (AQ. At-Thalaq: 7).

6. Tidak kikir.

Kekiran dalam menafkahi keluarga, tentu akan

menyengsarakan anak-istri dan segenap anggota

keluarga. Kecuali jika memang benar-benar tidak ada

yang dinafkahkan atau memang tidak mampu.

Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits dari

'Aisyah ra. bahwasanya Hindu binti 'Utbah istri Abu

Sufyan pada suatu hari menghadap Rasulullah saw,

seraya bertanya:

Page 42: 14

30

Artinya: "Yaa Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu

suami yang sangat kikir. Ia tidak memberiku nafkah yang

cukup bagiku dan anak-anakku kecuali jika aku mengambil

nafkah itu tanpa sepengetahuannya. Maka apakah

tindakanku yang demikian itu berdosa?Rasulullah

menjawab: Ambillah nafkah dari suami-mu secara baik-baik,

sekedar cukup untuk kepentinganmu dan anak-anakmu!"

(HR. Muttafaq 'Alaih).

Bakhil dan kikir adalah sifat tercela yang dilarang Allah

Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla telah memberikan

ancaman berupa kebinasaan dan dosa bagi suami yang tidak

mau memenuhi nafkah keluarganya, padahal ia mampu

untuk memberinya. Hal ini bisa kita fahami, karena memberi

nafkah keluarga adalah perintah syari’at yang wajib

ditunaikan suami. Apabila seorang suami bakhil dan tidak

mau memenuhi nafkah anak serta isterinya, berarti ia telah

bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban

yang Allah bebankan kepadanya, sehingga ia berhak

mendapat ancaman siksa dari Allah.

Adapun jenis nafkah yang wajib, yaitu segala sesuatu

yang dibutuhkan oleh sang isteri serta keluarganya,

sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah. Termasuk

kategori nafkah wajib ini -tanpa ada perselisihan ulama-

meliputi kebutuhan primer, seperti makanan, minuman,

pakaian dan tempat tinggal, perhiasan serta sarana-sarana

dan peralatan yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi

kebutuhan primernya, juga pemenuhan kebutuhan

biologisnya. Semua itu wajib dipenuhi oleh suami.

Page 43: 14

31

Adapun kebutuhan selain itu, seperti biaya pengobatan

dan pengadaan pembantu rumah tangga, terdapat silang

pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ahli fiqh

berpendapat, biaya pengobatan isteri tidak wajib bagi suami.

Demikian juga dengan pengadaan pembantu rumah tangga,

tidak wajib bagi suami, kecuali jika hal itu (memberikan

pembantu rumah tangga) sudah menjadi satu hal yang

lumrah dalam keluarga sang isteri, ataupun di kalangan

keluarga-keluarga lain di kaumnya.

Namun yang penting harus diperhatikan, pengadaan

pembantu rumah tangga ini juga tidak terlepas dari

kesanggupan suami untuk memenuhinya. Jika tidak mampu

memberikan pembantu rumah tangga untuk isterinya, maka

tidak wajib bagi suami untuk mengadakannya, karena Allah

tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka nafkah keluarga

yang menjadi tanggung jawab suami diantaranya adalah:

1. Kebutuhan sandang pangan.

Kebutuhan ini harus diberikan dengan sebaik-baiknya

sesuai dengan kemampuan suami dalam mengupaya-

kannya. Memberi nafkah sandang-pangan ditegaskan

secara langsung oleh Allah swt dalam firman-NYA:

Artinya: ".............dan bagi (para) suami berkewajiban

menanggung (kecukupan) pangan dan sandang mereka (anak-

istri) dengan sebaik-baiknya........". (AQ. Al-Baqarah: 233)

2. Kebutuhan papan. Allah berfirman:

Artinya: "Papankanlah istri-istri kalian dimana kalian bertempat

tinggal sesuai dengan kemampuan kalian dan jangan kaliang

Page 44: 14

32

menyusahkan mereka dengan mengabaikan kebutuhan papan

hunian mereka!......" (AQ. Ath-Thalaq: 6)

3. Pendidikan anak.

Zaman sekarang tidak ada sesuatu yang gratis. Demikian

juga dengan pedidikan. Penyerahan anak ke lembaga-lembaga

pendidikan harus di imbangi dengan biaya yang cukup dan dari

siapa lagi biaya itu kalau bukan dari orang tua, khususnya sang

Ayah yang berkewajiban memberi nafkah keluarga.

Mengutamakan dalam pemberian nafkah keluarga berati

telah menjalankan sebagian kewajiban baik terhadap keluarga

maupun terhadap Allah swt. Dengan nafkah itu seorang suami

bisa membahagiakan keluarganya sesuai dengan kemampuan

yang dimilikinya. Jika kebahagiaan dunia tercapai maka

kebahagaan akhirat dapat tercapai pula.

Suami yang shalih pasti tidak akan merasa keberatan atau

berkeluh kesah ketika berupaya keras untuk memenuhi

kewajiban pokoknya tersebut. Seorang suami shalih pasti tidak

akan menyia-nyiakan istri dan keluarganya. Karena tindakan

buruk tersebut hanyalah berbuah dosa semata baginya.

Hal yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu

maupun sekarang, bahwa suami wajib memberi nafkah untuk

dirinya dan keluarganya, menyediakan segala hal yang

dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya. Kebiasaan

manusia pada umumnya tidak mengharuskan suami

memberikan nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun

makanan, pakaian dan yang sejenisnya (artinya pemenuhan

tersebut bersifat fleksibel, sesuai dengan tuntutan kebutuhan

keluarga,).

Demikian juga teknis pemenuhan ini, tidak disandarkan

kepada kadar nafkah serta (tidak pula) mewajib-kan suami

Page 45: 14

33

memberikan nafkah secara taradhin (saling ridha), ataupun

berdasarkan keputusan hakim; kecuali jika terjadi perselisihan

di antara suami-isteri yang disebabkan suami tidak

memberikan nafkah kepada keluarga karena kekikiran-nya,

atau karena kepergiannya atau pun karena ketidak-

sanggupannya memberi nafkah. Maka pada kondisi seperti

ini, pemenuhan nafkah keluarga disandarkan kepada hukum

secara suka sama suka (taradhin) atau berdasarkan keputusan

hakim.

Berapa banyak kalangan yang harus tersakiti hatinya

ketika seorang suami atau bapak mencintai perempuan lain

bukan istrinya. Ada anak-anak, ada istri dan keluarganya.

Pelaku poligami pun sering dalam kondisi tidak gampang,

bisa sakit kepala karena ditarik ke sana ke mari oleh istri-

istrinya. “Namun, poligami adalah masalah privacy seseorang,

tergantung yang melakukan poligami maupun yang dimadu.

Berbagai macam alasan seseorang melakukan praktek

poligami dalam kehidupannya. Poligami yang dipraktekkan

dalam kehidupan masyarakat bukanlah hanya sekedar untuk

memenuhi kebutuhan nafsunya, akan tetapi banyak hal lain

yang menyebabkan terjadi poligami dimaksud.

Hubungan yang harmonis, tentram, dan sejahtera

merupakan salah satu hal yang didambakan dari suatu

perkawinan. Dalam perkawinan, terpenuhinya nafkah dapat

mempererat hubungan suami isteri, namun tidak semua

pasangan dapat memenuhi nafkah secara penuh setelah

menikah. Untuk itu, kewajiban nafkah atas suami untuk istri

dan anak-anaknya sangat diperlukan agar tujuan perkawinan

dapat tercapai.

Page 46: 14

34

Kewajiban memberi nafkah tersebut, menunjuk

ketentuan adanya kewajiban nafkah atas seseorang karena

mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan orang yang

diberi nafkah. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa

nafkah yang diberikan suami atas istri dalam ikatan

perkawinan menjadi suatu hal yang penting untuk menentu-

kan harta yang diperoleh selama perkawinan apabila terjadi

perceraian, kecuali harta yang diperoleh dari hibah, hadiah

dan warisan, sepanjang tidak ditentukan oleh para pihak lain.

Dalam Kompilasi Hukum Islam harta bersama diartikan

sebagai harta yang diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-

sama suami istri selama perkawinan tanpa mem-persoalkan

terdaftar atas nama siapa pun, namun pada dasarnya tidak

ada percampuran harta bersama karena perkawinan.

Kemudian dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

dijelaskan bahwa harta benda yang diperoleh selama

perkawinan otomatis menjadi harta bersama. Berangkat dari

dua pengertian tersebut, penyusun tertarik untuk mengkaji

lebih mendalam mengenai bentuk pengaturan harta bersama

terhadap pelaksanaan kewajiban suami memberi nafkah.

Beradasarkan uraian penjelasan di atas terhadap

kewajiban dalam memberikan nafkah oleh suami kepada istri

dalam sebuah perkawinan merupakan kewajiban yang tidak

dapat dielakkan oleh mereka (suami), namun terhadap kadar

atau ukuran mengenai kebutuhan kecukupan dalam usaha

memberikan pemenuhan nafkah tersebut, hal itu tidak ada

satu ketentuan dalam agama, karena yang terpenting rumah

tangga yang dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang serta

dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Page 47: 14

35

B. Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Pendidikan Anak

Salah satu firman Allah swt berkenaan dengan

kewajiban orang tua dalam membina anak-anaknya,

sebagaimana terdapat dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia

dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang

tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya

kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”

(QS.At-Tahrim:6).

Dengan ayat ini Allah Swt mengingatkan orang-orang

yang beriman, bahwa semata mata beriman saja belumlah

cukup. Iman harus dipelihara, dirawat dan dipupuk dengan

cara menjaga keselamatan diri dan seisi rumah tangga dari api

neraka.

Ahmad Tafsir (1995: 7) mengemukakan bahwa orang

tua adalah orang yang pertama yang menjadi panutan bagi

anaknya, karena semua tingkah laku orang tuanya akan

ditiru. Oleh karena itu peneladanan orang tua terhadap anak

sangat diperlukan, dan orang tua merupakan pendidik utama

dan pertama bagi anaknya, serta mempunyai pengaruh yang

Page 48: 14

36

sangat besar terhadap perkembangan kepribadian anak,

karena merekalah yang pertama sekali mendidik anaknya.

Sementara anak merupakan unsur ketiga setelah ayah

dan ibunya dalam keluarga. Dalam teori tabulah rasa,

dikatakan bahwa anak adalah laksana kertas putih dan bersih

yang diatasnya boleh dilukis apa saja menurut keinginan

orang tua dan para pendidik, atau laksana lilin lembut yang

bisa dibentuk menjadi apa saja menurut keinginan para

pembentuknya.

John Locke dalam Ahmad Tafsir (1995: 13) selaku tokoh

teori tabularasa, mengatakan bahwa anak adalah laksana

kertas putih dan bersih yang di atasnya boleh dilukis apa saja

menurut keinginan orang tua dan para pendidik, atau laksana

lilin lembut yang bisa dibentuk menjadi apa saja menurut

keinginan para pembentuknya.

Mengenai teori tabularasa di atas, pada dasarnya dalam

ajaran Islam jauh sebelum munculnya teori tabularasa ada,

Rasulullah saw sudah bersabda :

(رواه لبخارى)جمسا نه أ وينصرا نه يطرة فأ بواه يهودانه أوكل مولود يولدعلى الف

Artinya : Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci),

maka orang tuanyalah yang meyahudikannya dan yang

memajusikannya serta menasranikannya (H.R. Bukhari).

Di samping itu bahwa keluarga mempunyai peranan

penting untuk menolong pertumbuhan anak-anaknya dari

segi jasmani baik segi aspek perkembangan atau aspek

perfungsian, serta dalam memperoleh pengetahuan

keterampilan. Selanjutnya orang tualah yang akan mem-

perkenalkan mereka kepada dunia luar, kepada orang lain,

Page 49: 14

37

dan kepada diri sendiri, di samping menanamkan rasa cinta

kasih dalam keluarga dan kepada sesama.

Rumah tangga atau keluarga mempunyai tanggung

jawab yang sangat besar sekali dalam pendidikan anak,

begitu juga dengan lingkungan alam sekitarnya. Rumah

tangga yang dipimpin oleh orang tua yang cerdas (pandai)

dalam mendidik akan menghasil-kan anak-anak terdidik.

Kebalikannya rumah tangga yang dikepalai oleh orang tua

yang tidak mampu mendidik akan menghasilkan anak-

anak nakal dan bodoh.

Hafiz Ibrahim sebagaimana dikutip oleh Mahmud

Yunus (1981: 27) mengatakan, “ibu itu sebagai sekolah

pertama dan utama yang mengeluarkan anak yang berbudi

pekerti, ibu itu laksana taman yang menghasil-kan buah

lezat rasanya dan ibu itu guru dari segala guru yang

berpengaruh sampai ke ufuk langit”. Oleh karena itu, untuk

mengeluarkan anak-anak terdidik harus menjadi tanggung

jawab orang tua murid dalam mendukung proses belajar

mengajar yang terjadi di sekolah.

Imam Al-Ghazali dalam Abubakar Mahmud (tth: 258)

menjelaskan, “tugas orang tua atau kewajiban terhadap

anaknya adalah harus mendidik, memupuk dan memperbaiki

akhlaknya serta memeliharanya dari lingkungan yang tercela,

dan tidak boleh membiasa-kannya dengan kemewahan, agar

terhindar dari sifat ria, angkuh, dan sombong serta malas,

sehingga sulit untuk memperbaikinya, dan hendaknya di

sadari bahwa sifat-sifat yang paling menonjol pada anak

adalah sifat rakus pada makanan dan malas dalam

melakukan aktivitas tidak terkecuali belajar”. Maka dalam hal

Page 50: 14

38

ini, sangat tergantung kepada bimbingan dan didikan dari

orang tuanya di rumah.

Ikatan kekeluargaan membantu anak mengem-bangkan

sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerja

sama, disipin tingkah laku yang baik, serta pergaulan akan

kewibawaan. Selanjutnya sumbangan keluarga bagi

pendidikan anak adalah:

1. Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara

mengurus diri, seperti ; cara-cara makan, buang air,

berbicara, berjalan, berdo`a, karena berkaitan erat

dengan perkembangan dirinya sebagai pribadi.

2. Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan

anak. Sikap menerima atau menolak, sikap kasih sayang

atau acuh tak acuh, sikap sabar atau tergesa-gesa, sikap

melindungi atau membiarkan secara langsung

mempengaruhi reaksi emosional anak.

Sangat wajar dan logis jika penanggung jawab utama

pendidikan anak adalah ditangan orang tua dan tidak bisa

dipikulkan kepada orang lain. Terkecuali bagi orang tua yang

mempunyai keterbatasan, maka sebagai tanggung jawab

tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain selaku wali.

Namun dari itu bukan berarti tanggung jawabnya tidak

ada lagi, sekalipun anaknya sudah dilimpahkan ke sekolah,

maka tanpa ada tanggung jawabnya keberhasilan anaknya

tidak mungkin tercapai, untuk itu tanggung jawab orang tua

tidak terbebas dikarenakan ada sekolah. Bahkan ketika anak

sudah duduk di bangku sekolahpun, orang tua tidak bisa

lepas tangan begitu saja, karena dalam pendidikan anak

sangat diperlukan kerja sama yang baik antara guru dan

Page 51: 14

39

orang tua sehingga terwujudlah proses belajar mengajar

dengan baik. M. Arifin (2003: 23) dan Aminuddin Rasyad

(1991: 19) Selanjutnya tanggung jawab orang tua terhadap

anak adalah:

1. Memelihara dan membesarkannya, tanggung jawab ini

merupakan dorongan alami untuk dilaksanakan, karena

sianak memerlukan makan, minum dan perawatan, agar

ia dapat hidup secara berkelanjutan.

2. Melindungi dan menjamin kesehatannya, baik secara

jasmaniah maupun rohaniah dari berbagai gangguan

penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat

mengganggu dan membahayakan dirinya dalam proses

belajar mengajar.

3. Mendidiknya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan

keterampilan yang barguna bagi kehidupannya kelak,

sehingga bila ia telah dewasa mampu berdiri sendiri dan

membantu orang lain.

4. Membahagiakan anak untuk dunia dan akhirat dengan

memberinya pendidikan agama sesuai dengan ketentuan

Allah Swt, sebagai tujuan akhir hidup muslim.

Adanya kesadaran dan tanggung jawab mendidik dan

membina anak secara kontinu perlu dikembangkan kepada

setiap orang tua, sehingga pendidikan yang dilakukan tidak

lagi berdasarkan kebiasaan yang dilihat dari orang tua, tapi

didasari oleh teori-teori pendidikan modern, sesuai dengan

perkembangan zaman yang cenderung selalu berubah. Dalam

hal inilah proses belajar mengajar disuatu sekolah akan

berjalan lancar dan efektif serta efesien, apabila ada perhatian

Page 52: 14

40

penuh dari orang tua murid terhadap keberlangsungan

pendidikan anak-anaknya.

Oleh karena itu, sekali lagi disini perlu ditegaskan

bahwa, perlunya dorongan orang tua murid terhadap

aktivitas belajar anak. Hal ini dilakukan oleh orang tua anak

sebagai respon stabilitas terhadap anaknya, agar anaknya

mau dan ingin mengikuti pelajaran disekolah serta mau

mengulang pelajaran di rumah, lebih-lebih lagi apabila ada

pelajaran yang harus diselesaikan di rumah. Untuk itulah,

dorongan orang tua murid terhadap kegiatan belajar anak

dapat membantu proses belajar mengajar di sekolah.

Dalam pada itu, ada tiga kemungkinan keterlibatan

orang tua dalam proses belajar mengajar, yaitu:

a. Orientasi pada tugas.

Orientasi ini paling sering dilakukan oleh pihak

sekolah, yaitu harapan keterlibatan orang tua dalam

membantu program sekolah, yang berkaiatan sebagai staf

pengajar, staf administrasi,sebagai tutor, melakukan

monitoring, membantu mengumpulkan dana, membantu

mengawasi anak apabila anak-anak melakukan kunjungan

luar. Bentuk partisipasi para orang tua yang tersebut adalah

yang biasanya diharap-kan para guru. Bentuk partisipasi

lain yang masih termasuk orientasi pada tugas adalah,

orang tua membantu anak dalam tugas-tugas sekolah.

b. Orientasi pada proses.

Partisipasi orang tua didorong untuk mau

berpartisipasi dalam kegiatan yang berhubungan dengan

proses pendidikan, antara lain perencanaan kurikulum,

memilih buku yang diperlukan sekolah, seleksi guru dan

Page 53: 14

41

membantu menentukan standar tingkah laku yang

diharapkan. Orientasi proses ini jarang dilaksanakan,

karena sekolah sering kali menganggap bahwa umumnya

orang tua tidak memiliki keterampilan untuk

melaksanakannya.

c. Orientasi pada perkembangan.

Soemiarti Padmono Dewo (2000: 125) menjelaskan

bawah orientasi ini membantu para orang tua untuk

mengembangkan keterampilan yang berguna bagi mereka

sendiri, anak-anaknya, guru, keluarga, dan pada waktu yang

bersamaan meningkat-kan tanggung jawab orang tua itu

sendiri.

Dengan demikian apabila orang tua terlibat dalam

program seperti yang tersebut, mereka akan mendapat

kesempatan belajar cara meningkatkan pertumbuhan dan

perkembangan anak, para orang tua akan merasa lebih

mampu dan dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar

anak di sekolah. Pada kenyataannya tidak muda untuk

meminta orang tua terlibat dalam pendidikan anak mereka.

Para orang tua umumnya telah tersita waktunya, karena

umumnya suami isteri muda usia bekerja diluar rumah.

Seakan-akan tidak mungkin lagi orang tua melakukan

pekerjaan “tambahan” sekalipun kegiatan tersebut akan

menimbulkan kepuasan baik bagi anak maupun orang tua.

Untuk itu, para orang tua dalam melakukan pekerjaan

bersama anak, dapat diminta untuk:

1. Membantu anak-anak dalam kelompok kecil yang sedang

melakukan aktivitas bermain untuk mengembangkan

bahasa, ilmu pengetahuan, kesenian atau musik.

Page 54: 14

42

2. Membaca cerita.

3. Selalu mengajak anak bicara dan mendengarkan yang apa

dibicarakan anak serta mengarahkan atau memperbaiki

kesalahan-kesalahan darai pembicaraan anak-anaknya.

4. Membantu anak bila mereka sedang dalam pergantian

kegiatan dengan membantu membersihkan diri anak atau

membantu menyiapkan kegiatan lain, serta orang tua

berperan sebagai pengarah dalam penyiapan kegiatan

dimaksud agar tidak menyimpang menurut ajaran agama

dan melanggar hukum negara.

5. Membantu anak bila anak-anak sedang mengikuti

kegiatan menggunting, mengelompokkan atau serasi.

6. Mengajak kelompok kecil (2 atau 3 orang anak) untuk

melakukan kunjungan kesuatu tempat yang dekat

dengan sekolah.

7. Membantu mempersiapkan saat anak baru datang atau

bila anak akan pulang.

8. Membantu anak apabila sangat membutuhkan misalnya

buang air kecil tergesa-gesa, anak mengalami luka ringan

dan sebagainya.

9. Memberitahu guru apabila anak membutuhkan perhatian

guru.

Oleh itu, jelaslah bahwa betapa pentingnya tanggung

jawab orang tua murid dalam proses belajar mengajar. Hal ini

dikarenakan apabila seorang anak terlepas dari orang tuanya,

maka anak tersebut kemungkinan sekali untuk malas belajar

baik di rumah maupun di sekolah. Dengan adanya kontrol

yang rutin oleh orang tua terhadap kegiatan belajar anak,

Page 55: 14

43

dapat mengakibatkan kepada keberhasilan belajar anak itu

sendiri dalam proses pembelajaran di sekolah.

Dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui

pembinaan profesional guru atas keyakinan bahwa mutu

pembelajaran dapat diperbaiki pembinaan langsung dari

orang-orang yang bekerja sama dengan guru-guru di sekolah.

Dalam pada itu, Burhanuddin Tala, dkk (2003: 13)

menciptakan kondisi yang layak bagi pertumbuhan

profesionalisme guru melalui kepemimpinan partisifatif di

mana guru merasa dihargai dan diperlukan, sehingga akan

lebih saling kepercayaan antara para pembina (pengawas,

kepala sekolah) dengan guru-guru, antara guru denga guru,

dan yang lebih penting lagi adalah antara guru dengan orang

tua murid. Interaksi antara guru dengan orang tua murid

serta masyarakat pada umumnya dapat mempengaruhi

terhadap prestasi belajar anak itu sendiri.

Interaksi antara guru dengan orang tua murid

menunjukkan bahwa ada kerja sama antara keduanya dalam

upaya meningkatkan kemampuan anak dalam proses

pembelajaran. Tanpa adanya kerja sama antara keduanya,

maka sungguh sangat sulit untuk mencapainya tujuan

pendidikan yang sebenarnya. Untuk itulah, barang kali

sekarang sering terjadi anak yang malas ke sekolah, atau ada

anak yang dari rumah pergi kesekolah tapi padahal anak

tersebut tidak sampai ke sekolah, hal ini disebabkan

kurangnya kontrol dari sang orang tua murid, atau ada juga,

anak-anak yang sampai ke sekolah belum mengyelesaikan

tugas rumah yang diberikan oleh guru, hal ini juga akibat dari

tidak adanya kepedulian dari orang tua murid. Sehingga

Page 56: 14

44

sampai disekolah anak-anak tersebut mengganggu anak lain

yang sedang menyiapkan atau menyelesaikan pekerjaan

rumah yang pernah diberikan oleh guru sekolah. Hal-hal

seperti ini, dapat mengganggu aktifitas proses belajar

mengajar di sekolah.

Untuk itulah, perlunya orang tua memahami

karakteristik sianak itu sendiri, sehingga perkembangan

emosional anak dapat terkendali. Karena harus disadari

bahwa perkembangan emosional anak sangat besar

pengaruhnya terhadap keberlangsungan proses belajar

mengajar di sekolah. Dan juga kebiasaan anak dengan orang

tua di rumah sangat berpengaruh terhadap kegiatan anak

dalam mengikuti pelajaran di sekolah. Oleh karena itulah

perlunya perhatian khusus para orang tua terhadap

perkembangan anak di sekolah, demi meningkatkan prestasi

belajar anak. Dan di rumah orang tua harus selalu menasehati

dan menanyakan kepada anak tentang apa-apa tugas sekolah

yang belum diselesaikan, sekaligus membantu anak dalam

menyelesaikannya, sehingga anak tidak terbentur pada soal

pelajaran yang akan dikerjakan.

Bersamaan dengan hal tersebut Zakiah Daradjat

(1997:78) mengemukakan pendapatnya bahwa ”tidak

rukunnya ibu dan bapak menyebabkan gelisahnya anak-anak,

mereka menjadi takut dan cemas serta tidak tahan berada

ditengah-tengah orang tua yang tidak rukun”. Maka anak-

anak cemas dan gelisah itu mudah terdorong kepada

perbuatan-perbuatan yang merupakan dari rasa hatinya yang

biasanya mengganggu ketentraman orang lain.

Page 57: 14

45

Dan ada pula orang tua secara bebas memimpin

anaknya, dia menyerahkan penentuan tujuan kepada

anaknya. Anak dibiarkan berkembang menurut kesanggupan

sendiri. Membiarkan anak belajar di lingkungan, menemukan

sendiri masa yang baik dan yang tidak baik, mana yang boleh

dilakukan dan mana yang tidak. Artinya bahwa orang

keluarga (orang tua) merupakan sebagai pengarah atau

pembimbing anak-anaknya baik dalam pergaulan sehari-hari

maupun dalam pendidikannya.

Adapun pendidikan yang harus diberikan oleh orangtua

sebagai wujud tanggung jawab terhadap keluarga adalah:

1. Pendidikan agama

Pendidikan agama dan spiritual adalah pondasi utama

bagi pendidikan keluarga. Pendidikan agama ini meliputi

pendidikan aqidah, mengenalkan hukum halal-haram

memerintahkan anak beribadah (shalat) sejak umur tujuh

tahun, mendidik anak untuk mencintai Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam, keluarganya, orang-orang yang shalih dan

mengajar anak membaca Al-Qur’an. Al-Ghazali berkata,

“Hendaklah anak kecil diajari Al-Qur’an, hadits dan sejarah

orang-orang shalih kemudian hukum Islam”.

2. Pendidikan akhlak

Para ahli pendidikan Islam menyatakan bahwa

pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab

tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa

dan akhlak.

3. Pendidikan jasmani

Islam memberi petunjuk kepada kita tentang

pendidikan jasmani agar anak tumbuh dan berkembang

Page 58: 14

46

secara sehat dan bersemangat. Allah Ta’ala berfirman:

“Makanlah dan minumlah kamu tetapi jangan berlebih-

lebihan, sesungguhnya Allah tidak senang kepada orang

yang berlebih-lebihan” (QS.Al-A’raf:31). Ayat ini sesuai

dengan hasil penelitian para ahli kesehatan bahwa agar

tubuh sehat dan kuat, dianjurkan untuk tidak makan dan

minum secara berlebih-lebihan.

4. Pendidikan akal

Yang dimaksud dengan pendidikan akal adalah

meningkatkan kemampuan intelektual anak, ilmu alam,

teknologi dan sains modern sehingga anak mampu

menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dalam

rangka menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan

khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan

konsep yang ditetapkan Allah. Hal inilah yang diisyaratkan

oleh Allah dengan proses penciptaan nabi Adam AS dimana

sebelum ia diturunkan ke bumi, Allah mengajarkan nama-

nama (asma) yang tidak diajarkan kepada para malaikat (QS.

Al-Baqarah : 31).

5. Pendidikan sosial

Yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah

pendidikan anak sejak dini agar bergaul di tengah-tengah

masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip syari’at

Islam. Di antara prinsip syari’at Islam yang sangat erat

berkaiatan dengan pendidikan sosial ini adalah prinsip

ukhuwwah Islamiyah. Rasa ukhuwwah yang benar akan

melahirkan perasaan luhur dan sikap positif untuk saling

menolong dan tidak mementingkan diri sendiri. Islam telah

Page 59: 14

47

menjadikan ukhuwwah Islamiyah sebagai kewajiban yang

sangat fundamental dan mengibaratkan kasih sayang

sesama muslim dengan sebatang tubuh, apabila salah satu

anggota badannya sakit, maka yang lain ikut

merasakannya.

Untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah ini Islam

telah menggariskan syari’at Al-Jama’ah (QS.Ali Imran: 103).

Oleh karena itu setiap orang tua harus mengajarkan

kehidupan berjama’ah kepada anak-anaknya sejak dini.

Seluruh aspek pendidikan ini akan berjalan maksimal

apabila orangtua dapat dijadikan teladan bagi anak-

anaknya di samping harus berusaha secara maksimal agar

setiap dia melakukan pekerjaan yang baik bagi keluarganya

dapat melakukan seperti yang dia lakukan. Hal inilah yang

telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa

sallam di tengah-tengah keluarganya.

Diriwayatkan oleh Muslim bahwa apabila Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengajarkan shalat witir

(tahajud yang diakhiri dengan witir) beliau membangunkan

isterinya (Aisyah). “Bangunlah dan berwitirlah hai Aisyah”.

Dalam riwayat lain beliau bersabda: “Allah merahmati

seorang laki-laki yang bangun pada sebagian malam lalu

dibangunkannya keluarganya. Kala dia tidak mau bangun

dipercikkannya air di mukanya.

Dengan demikian, tugas orang tua atau kewajiban

terhadap anaknya adalah harus mendidik, memupuk dan

memperbaiki akhlaknya serta memeliharanya dari

lingkungan yang tercela, dan tidak boleh membiasa-kannya

dengan kemewahan, agar terhindar dari sifat ria, angkuh

Page 60: 14

48

dan sombong, sehingga sulit untuk diperbaiki. Dengan

demikian jelaslah, bahwa kontrol orang tua terhadap

anaknya di sekolah sangat diperlukan, karena kebiasaan

siswa atau pelajar adalah sering bolos dari sekolah. Dengan

kerja sama dan komunikasi yang harmonis antara guru

dengan orang tua murid, problema seperti itu dapat diatasi

secara baik, yang pada gilirannya nanti mampu

menciptakan prestasi belajar siswa yang memuaskan

dengan mencapai hasil belajar yang tinggi.

C. Dampak Negatif Poligami Menurut Islam dan

Terhadap Pendidikan Anak

Tanggungjawab terhadap anak adalah tugas bersama

suami dan istri, dan tidak dapat diabaikan. Begitu juga

pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua kepada

Allah. Orang tua tidak boleh menyepelekan pendidikan

anak, karena dengan pendidikanlah mereka dapat hidup

layak di masa depan.

Dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban tersebut

orang tua dengan perasaan yang senang serta ikhlas,

sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara orang

tua dan anak-anak. Di samping itu interaksi orang tua

dengan anak tentunya dapat mempengaruhi perkembangan

mental anak itu sendiri dalam menjalani kehidupannya,

begitu juga ketika berpoligami, tentu membawa dampak

negatif terhadap anak seperti:

a. Anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang

dari orang tua.

Page 61: 14

49

b. Figur orang tua yang tidak bisa memberikan rasa aman

pada anak.

c. Sosial ekonomi keluarga yang kurang.

d. Sikap bermusuhan baik langsung atau tidak langsung

yang ditujukan kepada anak, maupun yang tidak

disengaja dialami oleh seorang anak.

Masalah tersebut juga dapat menimbulkan suasana

kebencian dalam kehidupan keluarga karena terbaginya

kasih sayang, perhatian dan kebutuhan anak lainnya.

Dampak poligami lainnya adalah anak hidup dalam

depresi dan kehilangan perlindungan dari keluarga.

Mereka dengan mudah terseret ke dalam pergaulan sesat

dan tidak jarang terjatuh dalam kegiatan kriminal.

Para ulama fikih selalu mencoba melakukan

rasionalisasi agar poligami bisa diterima dengan baik.

Begitu banyak hikmah yang dapat digali dari syariat

poligami, sama juga banyaknya kelemahan yang terdapat

di dalam poligami. Sebagaimana penjelasan Al-Athar

dalam buku karangan Kahiruddin Nasution (1996: 100)

tercatat bahwa ada empat dampak negatif dari poligami

yaitu:

Pertama, poligami dapat menimbulkan kecemburuan

di antara para isteri pertama poligami, Kedua, menimbulkan

rasa kekhawatiran isteri kalau-kalau suami tidak bisa

bersikap adil dan bijaksana, Ketiga, anak-anak yang

dilahirkan dari ibu yang ber-lainan sangat rawan untuk

terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu,

Keempat, kekacauan dalam bidang ekonomi.

Page 62: 14

50

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarig (2004: 181)

menambahkan bahwa bisa saja pada awalnya suami

memiliki kemampuan untuk berpoligami, namun bukan

mustahil suatu saat akan mengalami kebangkrutan, maka

yang akan menjadi korban akan lebih banyak, terutama

bagi istri dan anak-anaknya termasuk pendidikan.

Beranjak dari penjelasan tersebut, maka dapat kita

simpulkan bahwa di antara poligami berdampak di

antaranya adalah timbulnya perkelahian, permusuhan dan

saling cemburu antara anak-anak lahir dari ibu yang

berbeda serta timbulnya kekacauan dalam bidang ekonomi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kedua hal tersebut dapat

mempengaruhi pendidikan serta kepribadian anak.

Sesungguhnya izin untuk mengawini lebih dari

seorang istri telah disalahgunakan dengan kasar oleh

sebagian muslim sekarang ini yang tidak menghargai

sebagai izin yang bersyarat. Karena itu tidak berlebihan bila

dikatakan poligami terkenal secara negatif, bukan karena

syariatnya tetapi karena dalam prakteknya tidak

menghargai bahkan mengabaikan syarat-syarat keadilan

yang telap ditetapkan, sehingga poligami berdampak

negatif dimata masyarakat. Murtadha Muthahhari (2007:

117) di sinilah nampak hubungan perkawinan tidak hanya

terbatas pada soal material dan fisik saja, artinya tidak

hanya terbatas pada urusan kebendaan dan keuangan

semata, tetapi yang paling utama dan mendasar adalah

aspek spiritual dan emosional, yaitu cinta dan perasaan

terhadap istri dan anak dan mewujudkan kebahagiaan

dalam rumah tangga.

Page 63: 14

51

Kebahagiaan dan kesejahteraan dalam rumah tangga

terletak dalam kesucian, kesetiaan, kesabaran,

pengorbanan, kesatuan, dan persatuan sesama orang tua

dan orang tua dengan anak, sedang semua ini terancam

dalam poligami. Disamping itu kondisi istri yang tidak

biasa, dan juga anak-anak dengan dua ibu yang berbeda

akan semakin kacau keadaan dalam rumah tangga. Timbul

pertengkaran dan persaingan antara dua istri dan dalam

kasus-kasus tertentu dengan si suami pula yang kemudian

disalurkan kepada anak mereka masing-masing.

Lingkungan rumah tangga yang seharusnya menjadi

lingkungan kedamaian, keakraban, tempat mencurahkan

perhatian dan kasing sayang, berubah menjadi medan laga

dan permusuhan. Lingkungan rumah tangga yang

merupakan sekolah pertama dan perawatan rohani bagi

anak-anak yang seharusnya memberi inspiriasi untuk

memotivasi anak untuk belajar, berubah menjadi lembaga

perseteruan dan permainan kotor.

Tidak diragukan lagi, bahwa poligami membuka jalan

bagi perangai-perangai tersebut, karena manusia itu

menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak

cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut

akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam

kehidupan poligami. Akibatnya, keutuhan keluarga yang

telah terbina menjadi hancur, hubungan baik antara istri

dengan suami, anak dengan orang tua menjadi tidak baik,

serta pendidikan terhadap anak menjadi kurang

terperhatikan.

Page 64: 14

52

Al-Athar dalam bukunya ta’addut al zawjat yang

dikutip oleh Khairuddin Nasution (1996: 100)

mengemukakan bahwa ada empat dampak negatif dalam

poligami. Pertama poligami dapat menimbulkan

kecemburuan diantara para isteri. Kedua menimbulkan rasa

kekhawatiran isteri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap

bijaksana dan adil. Ketiga, anak-anak yang dilahirkan dari

ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya

perkelahian, permusuhan dan saling cemburu. Keempat,

kekacauan dalam bidang ekonomi.

Dampak-dampak negatif yang timbul dari poligami

tersebut selanjutnya menjadi faktor peng-hambat bagi

orang tua dalam upaya menyelenggarakan pendidikan bagi

anak dan meningkatkan prestasi belajar mereka, yaitu

dalam hal menjaga kedisiplinan dalam rumah tangga,

memberi bimbingan, pemenuhan kebutuhan pokok dalam

rumah tangga, perhatian dan kasih sayang terhadap anak.

Disamping itu kemampuan ekonomi orang tua sangat

mempengaruhi prestasi belajar anak. Bisa saja pada

awalnya suami memiliki kemampuan ekonomi untuk

menafkahi istri dan membiayai pendidikan anak, namun

bukan mustahil suatu saat mengalami kebangkrutan, maka

yang akan terjadi korban terhadap pendidikan anak.

Dengan demikian, orang tua yang berpoligami perlu

memperhatikan kedisiplinannya terhadapa anak,

bimbingan, perhatian dan kasih sayang kepada anak serta

menyediakan fasilitas-fasilitas belajar untuk anak, agar

poligami tidak berdampak negatif terhadap prestasi belajar

anak.

Page 65: 14

53

1. Kedisiplinan Terhadap anak

Disiplin membawa pengaruh yang besar terhadap

prestasi belajar anak, dimana ia akan hidup dengan

peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Dengan disiplin

anak akan selalu menghargai waktu, hidup lebih tertatur

dan pendidikan pun berjalan sesuai dengan yang

diharapkan, maka anak-anak perlu mengaktifkan diri

dengan nilai-nilai moral untuk memiliki dan mengembang-

kan dasar-dasar disiplin diri. Dengan demikian upaya

tersebut menunjuk perlu adanya posisi dan tanggung jawab

orang tua, karena orang tua berkewajiban untuk

meletakkan dasar-dasar disiplin pada anak.

Orang tua berkewajiban menjaga kedisiplinan dalam

rumah tangga serta menanamkan nilai-nilai disiplin pada

anak. Menurut Charles Schaefer (1989: 11) “orang tua secara

terus menerus wajib menanamkan kedisiplinan kepada

anak, karena menanamkan kedisiplinan merupakan tujuan

pokok dalam membina anak”.

Orang tua yang mampu menciptakan dan menjaga

kedisiplinan dalam keluarga akan sangat membantu anak

dalam belajar, karena dengan adanya kedisiplinan berarti

anak belajar secara terjadwal dan terkontrol dari orang

tuanya. Disiplin yang dimaksud disini mempunyai arti

luas, yaitu mendidik, menuntun dan mengarahkan anak

dalam hidupnya dan dalam masa pertumbuhan dan masa

perkembangannya. Disiplin yang seperti ini yang sangat

mempengaruhi peningkatan prestasi belajar anak.

Page 66: 14

54

Ada tiga kriteria yang ditawarkan oleh Charles

Schaefer (1989: 12) yang harus dipenuhi untuk

menanamkan kedisiplinan secara efektif yaitu:

1. Membuat perubahan dan pertumbuhan anak

2. Memelihara harga diri anak

3. Menjaga hubungan erat antara orang tua dan anak.

Ketiga kriteria tersebut menuntut orang tua untuk

memposisikan anak secara proporsional. Anak sebagai

manusia yang berpotensi perlu menanamkan nilai-nilai

moral, memberikan dasar-dasar pengetahuan islam dan

pengetahuan umum agar anak berubah menjadi dewasa

yang diwarnai dengan nilai-nilai moral dan pengetahuan

tersebut. Dan orang tua tidak menganggap anaknya sebagai

manusia asing dirumah dengan tetap menjaga dan

memelihara harga diri anak dan menjaga hubungan erat

antara orang tua dan anak.

2. Bimbingan

Sebagaimana halnya kedisiplinan, bimbingan juga

sangat perlu bagi anak-anak usia sekolah, karena didalam

belajar anak membutuhkan bimbingan. Untuk membantu

anak dalam belajar orang tua harus bertindak sebagai

fasilitator dalam memberikan bimbingan kepada anak guna

untuk mencegah usaha-usaha yang membabi buta.

Mustaqim dan Abdul Wahib (2003: 65) menambah-kan

bahwa anak itu tidak mengalami kegagalan melainkan

dapat membawa kesuksesan dan bimbingan juga dapat

menghindari kesalahan serta memper-baikinya.

Page 67: 14

55

Untuk terlaksananya kegiatan bimbingan, orang tua

harus mengatur waktu khusus untuk membimbing anak

serta meluangkan waktu yang cukup untuk mencapai hasil

yang optimal. Ada anggapan bahwa kualitas kebersamaan

dengan anak lebih baik dibandingkan kuantitas waktunya.

Namun kualitas kebersamaan tidak dapat terwujud kalau

orang tua kurang meluangkan waktu dengan anak-

anaknya. Ukuran kualitas dan kuantitas yang cukup adalah

anak merasa orang tuanya sayang kepadanya dan sangat

peduli terhadap belajar anak.

Ada beberapa langkah proses bimbingan anak yang

perlu dilakukan oleh orang tua dalam membimbing anak

belajar, yaitu:

1. Menyediakan kesempatan sebaik-baiknya kepada anak

untuk menemukan minat, bakat serta kecakapan-

kecakapan serta mendorong agar mereka meminta

bimbingan dan nasihat dari guru-guru agama.

2. Menyediakan informasi-informasi yang penting dan

relevan sesuai dengan bakat dan minat anak

3. Menyediakan fasilitas dan sarana belajar serta

membantu kesulitan belajarnya.

Langkah-langkah bimbingan diatas menuntut orang

tua untuk meluangkan waktu atau menyediakan

kesempatan yang baik kepada anak, komunikasi yang baik

dengan anak untuk menyampaikan informasi penting

kepada anak dan ekonomi yang cukup untuk menyediakan

fasilitas belajar yang diperlukan anak.

Kegiatan bimbingan ini akan terwujud dalam keluarga

poligami jika ada perhatian orang tua terhadap pendidikan

Page 68: 14

56

anak dan menjadikan rumah tangga sebagai tempat

pendidikan informal bagi anak dengan tetap menjaga

keserasian, keharmonisan dan keakraban antara sesama

orang tua dan dengan anak. Tetapi apabila orang tua tidak

peduli terhadap pendidikan anak, sering konflik dalam

rumah tangga (bapak dengan ibu) maka usaha untuk

membimbing anak belajar mustashil akan terwujud.

Dalam keluarga poligami menciptakan keharmonisan

dan kerukunan dalam rumah tangga merupakan fondasi awal

untuk menciptakan proses belajar mengajar. Kegiatan belajar,

bimbingan pada anak akan terwujud bila sausana rumah

tangga harmonis. Namun apabila dalam keluarga terjadi

percekcokan antara suami dengan istri, suasana rumah tangga

diwarnai dengan konflik dan dendam kesumat maka aktifitas

bimbingan belajar terhadap anak menjadi lumpuh bahkan

mati total. Karena dalam kehidupan rumah tangga poligamis

membuka peluang besar akan terjadinya keadaan seperti ini.

Oleh karena itu menciptakan kerukunan dalam rumah tangga

merupakan sesuatu yang sangat penting bagi orang tua agar

proses belajar-mengajar anak dapat terbina dengan baik.

4. Perhatian dan Kasih Sayang

Pendidikan anak dalam lingukungan keluarga

merupakan awal dan sentral bagi pertumbuhan dan

perkembangan anak yang akan menjadi individu dewasa.

Anak adalah manusia kecil yang masih banyak mendapat

perhatian dan merasakan cinta dan kasih sayang kedua

orang tuanya karena ia merupakan pusat perhatian,

pemeliharaan dan kesayangan. Kasih sayang orang tua

terhadap anak termasuk salah satu naluri yang difitrahkan

Page 69: 14

57

Allah swt kepada manusia dan hewan, serta merupakan

salah satu asas biologis, psikologis, sosial serta alami bagi

kebanyakan makhluk hidup.

Kasih sayang orang tua menunjukkan kehangatan dan

senang kepada anak, dan biasanya berwujud ungkapan

atau tindakan. Tanda kasih sayang antara lain, membelai,

memegang, mencium anak dan lain-lain. Tanda kasih

sayang tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap anak,

apalagi disertai ekspresi wajah yang menyenangkan atau

penghormatan secara kasih sayang.

Kasih sayang terhadap anak merupakan kecintaan

orang tua kepada anak. Kecintaan biasanya akan

melahirkan sikap perhatian terhadap setiap tingkah laku

anak. Kasih sayang dan perhatian orang tua sangat

bermakna dan membekas pada diri anak hingga anak

dewasa. Menurut Charles Schaefer (1989: 99) “ mencinta

anak dapat dibedakan menjadi tiga, mencintai begitu saja,

menghormati, dan memperhatikan”.

Dalam konteks pendidikan, mencintai anak dengan

cara menghormati dan memperhatikan jauh lebih berhasil

dari pada mencintai bagitu saja. Menghormati anak berarti

menghargai setiap sikap anak, seperti mendengarkan

pendapatnya, tidak memarahi anak didepan orang lain, dan

sebagainya. Adapun maksud memperhatikan adalah

memberikan sesuatu yang dibutuhkannya. Misalnya, untuk

membantu anak belajar dengan memotivasi anak,

menyediakan fasilitas-fasilitas belajar yang lengkap

sehingga anak lebih giat dan terdorong untuk belajar dan

merasakan terper-hatikan belajarnya.

Page 70: 14

58

Ironisnya, kebiasaan seperti ini biasanya akan berubah

apabila terjadi krisis antara orang tua dalam rumah tangga,

sehingga menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan

pendidikan anak. Anak tidak berkesempatan memperoleh

dan menikmati kasih sayang orang tua. Kartini Kartono

(1985: 20) mengatakan bahwa kebanyakan anak-anak yang

mengalami suatu tingkah laku adalah mereka yang berasal

dari keluarga yang tidak harmonis atau dari broken home.

Anak yang hidup dalam keluarga poligamis biasanya

kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari

orang tuanya dibandingkan dengan anak yang hidup

dalam keluarga biasa. Hal ini bisa jadi karena orang tuanya

(bapak) tidak selalu bisa menemaninya, disebabkan

kewajiban membagi-bagikan waktu terhadap istri-istrinya,

sehingga anak merasa kurang kehadiran bapak

bersamanya. Keadaan seperti akan lebih parah apabila

terjadi ketidakharmonisan keluarganya, sehingga anak

menjadi korban poligami bapaknya.

3. Kemampuan Ekonomi

Ekonomi orang tua mempunyai peran penting bagi

pendidikan anak, karena pendidikan membutuhkan biaya

untuk memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak secara

memadai. Keadaan ekonomi orang tua yang kurang

mendukung untuk menyediakan kebutuhan fasilitas belajar

anak dapat mengakibatkan proses belajar anak terganggu. Hal

ini dapat berimplikasi pada menurunnya prestasi belajar anak

akibat fasilitas-fasilitas belajar tidak memadai.

Kondisi sosial ekonomi keluarga sangat berpengaruh

pada pendidikan anak untuk mencapai prestasi belajar yang

Page 71: 14

59

bagus. Dalam hal ini, orang tua yang memiliki banyak

tanggungan seperti mempunyai banyak istri/poligami dan

banyak anak harus betul-betul ekonominya mapan untuk

membiayai kebutuhan pendidikan anak. Apabila dalam

keadaan seperti ini ekonomi orang tua rendah atau tidak

mendukung untuk membiayai kebutuhan pendidikan anak,

maka proses belajar anak dapat terganggu. Hal ini sesuai

dengan pendapat Ahmad Badawi (1984: 145) yang

mengatakan bahwa faktor penghambat proses belajar

mengajar yang bersumber dari lingkugan keluarga antara lain

“ masalah kemampuan ekonomi orang tua, masalah broken

home, dan kurang kontrol dari orang tua. Ketiga faktor yang

tersebut diatas sangat perlu diperhatikan oleh keluarga

poligami, karena faktor tersebut dalam keadaan tertentu

sering dialami oleh orang tua poligami.

Sementara orang tua yang berpoligami yang

ekonominya rendah dan tanggungannya banyak sangat sulit

untuk meningkatkan prestasi belajar anaknya, karena tidak

mampu menyediakan fasilitas-fasilitas belajar anak. Tanpa

adanya fasilitas belajar yang cukup anak menjadi tidak

berminat untuk belajar. Penelitian yang dilakukan Vebrito

sebagaimana yang dikutip oleh Jamaluddin Idris (2006: 79)

tentang anak-anak putus sekolah yang hasilnya dilapor

UNESCO, antara lain menyimpulkan, bahwa anak putus

sekolah lebih banyak terjadi pada sekolah di desa dari pada di

kota. Faktor utama penyebab putus sekolah adalah

kemiskinan atau ketidakmampuan orang tua membiayai

anak-anaknya.

Page 72: 14

60

Gambaran di atas menunjukkan bahwa sebagian besar

anak putus sekolah terjadi di daerah pedesaan karena

kemiskinan orang tua. Namun apabila diteliti lebih jauh

praktek poligami yang terjadi dalam masyarakat juga sering

mengakibatkan anak putus sekolah ataupun prestasi belajar

anak mereka rendah akibat kemiskinan atau ketidak-

mampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

belajar anak. Karena itu orang tua yang berpoligami harus

benar-benar memperhatikan aspek ekonomi ini agar segala

kebutuhan yang menyangkut dengan pendidikan anak dapat

tercukupi.

Dari empat faktor yang telah dikemukakan di atas,

kedisiplinan orang tua, bimbingan, perhatian dan kasih

sayang serta kemampuan ekonomi orang tua untuk

membiayai kebututuhan pendidikan anak dipandang

berhubungan erat dengan prestasi belajar anak. Apabila

orang tua yang berpoligami tidak mampu memberikan ini

semua kepada anak, maka prestasi belajar anak akan

menurun. Maka dengan demikian, poligami berdampak

negatif dipandang dari segi pendidikan anak.

Dampak negatif yang timbul dari poligami tersebut

selanjutnya menjadi faktor penghambat bagi orang tua dalam

upaya menyenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya.

Dengan demikian bagi orang tua yang berpoligami perlu

memperhatikan kedisiplinannya terhadap anak, bimbingan,

perhatian dan kasih sayang kepada anak serta menyediakan

fasilitas-fasilitas belajar untuk anak, aga poligami yang

dipraktekkan tidak berdampak kepada negatif.

Page 73: 14

61

Dari uraian yang penulis kemukakan seperti di atas

maka dapatlah disimpulkan bahwa sudah menjadi keharusan

bagi orang tua untuk membimbing dan mendidik anak-

anaknya, karena anak-anak yang tidak mendapatkan

bimbingan dan pendidikan yang wajar dari orang tuanya

akan menimbulkan kelemahan pada diri anak dalam

perkembangan dan pertumbuhan psikologisnya.

D. Dampak Positif Poligami Menurut dan Pendidikan

Anak

Bibit Suprapto (1990: 174-175) menyebutkan secara

umum laki–laki yang berpoligami mempunyai beberapa

motivasi di bawah ini:

1) Motivasi seksual

Motivasi yang dipergunakan oleh laki–laki itu dalam

hal berpoligami hanyalah untuk memberi kepuasan seksual

(kepuasan syahwati) bagi dirinya. Kemungkinan terjadi

karena isterinya bersifat frigit, bersikap dingin terhadapnya,

kurang bergairah dalam permainan seksual, dalam bermain

seksual isterinya hanya bersifat mmenerima tidak mau

memberi dan menerima, kurang aktif, hanya bersifat

monoton atau mono model kegiatan seksual. Sehingga

suami merasa kurang puas bermain dengan isterinya dan

berusaha kawin lagi.

2) Motivasi ekonomi

Motivasi yang menyangkut kebutuhanmateri atau

kebutuhan jasmaniah, kebutuhan makan minum kebutuhan

sandang pangan dan papan serta kebutuhan hidup lainnya

yang bersifat materiil. Kaum laki–laki berpoligami karena

Page 74: 14

62

dengan mempunyai isteri lagi dapat diberi modal untuk

berusaha sehingga dapat mem-perbesar usahanya dalam

perdagangan, pertanian dan usaha lain–lain dari perempuan

itu. Bisa juga karena isteri lamanya tidak pintar berusaha

sehingga suami kalang kabut membiayai hidupnya, lantas

kawin lagi dengan wanita yang sudah bekerja atau sudah

cukup kaya walaupun janda–janda, asalkan kaya sehingga dia

bisa menopang hidup, bisa dimintai uang dan dapat

memasok sebagian penghasilan isteri muda yang sudah

berhasil itu kepada isteri tuanya, gampangnya isteri tua

disuapi terus menerus dari penghasilan isteri muda.

3) Motivasi Politik

Motivasi yang tidak secara langsung tetapi sulit

diketahui oleh orang awam, kecuali oleh orang– orang

tertentu. Untuk zaman sekarang motivasi model ini

memang jarang terjadi di Indonesia, tetapi di Negara –

negara lain masih terjadi terutama di daerah kerajaan dan

juga pada masa lalu. Seorang laki–laki yang telah beristeri,

kemudian melaksanakan poligami dengan seorang wanita,

sebenarnya bukan wanita itu secara ansich yang dia tuju,

wanita itu hanya sebagai sasaran sela, sedangkan sasaran

pokok adalah kekuasaan politik atau masalah lain yang

tidak lepas dari pertimbangan politis seperti perkawinan

seorang putra mahkota dengan puteri negara lain,

kemudian dia kawin lagi dengan putri dari negara lain,

begitu pula yang ketiga dengan putri dari negara yang lain

lagi. Sehingga Sang Pangeran itu dapat menguasai minimal

mempunyai pengaruh terhadap negara–negara di mana

isterinya berasal dan kelak puteranya nanti akan akan

Page 75: 14

63

bercokol sehingga penguasa di negara–negara dari mana

ibunya berasal, sehingga dinasti Sang Pangeran itu akan

terus eksis dan lebih luas lagi pengaruhnya.

4) Motivasi Perjuangan

Motivasi perjuangan politik, perjuangan keagamaan,

perjuangan ideologi dan sebagainya. Sebagai contoh poligami

yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw bukan hanya

bermotivasi seksual atau ekonomi semata, tetapi yang paling

penting adalah didorong oleh perjuangan untuk menyiarkan

agama Allah, yakni Islam. Dengan poligami tersebut, banyak

kepala suku dan tokoh– tokoh masyarakat Quraisy yang

asalnya memusuhi Nabi Saw, tetapi dengan adanya wanita

dari kalangan mereka atau wanita yang masih saudara

mereka, maka kepala suku atau tokoh itu tidak lagi

memusuhi Nabi Saw minimal mereka diam atau bahkan

sebaliknya mereka berbalik membela Nabi Saw, membela

perjuangan Islam.

5) Motivasi regenerasi

Motivasi untuk mendapatkan keturunan. Laki–laki

yang poligami ada pula karena si isteri tidak dapat

melahirkan keturunan alias mandul, sedangkan si suami

ingin mendapatkan anak, bisa juga mereka berdua berusaha

untuk mengangkat anak, bisa juga mereka berdua berusaha

untuk dari pihak suami maupun pihak lain mengangkat

anak saudara–saudaranya, namun belum puas apabila

tidak mempunyai anak sendiri, sehingga dia melaksanakan

poligami dengan harapan isteri mudanya nanti berhasil

menurunkan keturunan baginya.

Page 76: 14

64

6) Motivasi kebanggaan diri

Seorang laki–laki berkeinginan untuk kawin lagi

karena dia merasa bangga mempunyai isteri lebih dari

seorang karena orang lain jarang bisa melaksanakannya, ia

merasa puas dengan berhasil poligami, ia mempunyai

kepuasan tersendiri dengan poligami itu.

7) Motivasi keagamaan dan menalurikan sosial budaya tertentu

Misalnya ada laki- laki yang berpoligami bukan karena

dorongan dan pertimbangan macam–macam, tanpa melihat

isterinya cantik atau jelek, tanpa memandang calon isteri

mudanya kaya atau tidak, keturunan ningrat atau rakyat

jelata, tanpa melihat pertimbangan politik ataupun tujuan

tertentu dan lain–lain tetapi semata–mata pertimbangan

keagamaan seperti orang muslim yang taat, benar– benar taat

bukan taat–taatan atau sok taat, melaksanakan poligami

hanya karena melaksanakan sunnaturrasul atau meniru

kehidupan perkawinan Nabi dan pembinaan keluarganyapun

meniru Nabi, bertujuan untuk menjalankan hal–hal yang

diperintah agama, dianjurkan agama, diperbolehkan agama

dengan penuh hati– hati dan meninggalkan apa yang dicela

ataupun diharamkan oleh agama, meninggalkan apa yang

berbau dosa dan maksiat, pokoknya tulus karena motivasi

agama. Di samping motivasi-motivasi tersebut diatas

berpoligami bagi laki- laki merupakan kodrat yang diberikan

oleh Allah swt.

Poligami dalam Islam bukanlah didasarkan pelepas

syahwat tetapi sesuai dengan maksud surat ali Imran Ayat 4

hanyalah untuk kestabilan hidup anak yatim dan ibunya yang

janda, maka menikahnya suami dengan perempuan lain

Page 77: 14

65

menyebabkan istri mempunyai madu. Tentang ini hendaklah

masing-masing istri tidak merasa kecil hati tetapi harus

berlapang dada dalam imam mematuhi hukum Allah untuk

membantu keselamatan hidup masyarakat setempat. Selaku

orang beriman, si istri hendaklah menjalankan dan mematuhi

hukum agama untuk mendapatkan keredhaan Allah, karena

hukum itu sendiri adalah untuk keberuntungan hidup

bersama di antara manusia di mana kepentingan sendiri tidak

boleh menonjol.

Keizinan poligami bermaksud agar terdapat susunan

sosial yang normal hingga dalam masyarakat tidak berlaku

kepincangan menyolok di mana segolongan orang hidup

mewah berlebihan sementara yang lain hidup melarat dan

dengan tekanan batin. Islam sangat mencela sikap hidup yang

hanya mementingkan diri sendiri tanpa mengindahkan

keadaan orang lain. Kematian seorang bapak menyebabkan

adanya anak yatim dan seorang ibu yang kekurangan biaya

hidup serta penderitaan batin, maka seorang lelaki yang

berkesanggupan hendaklah menikahi janda itu dengan

maksud membantu mengurangi penderitaannya dan anaknya

Berpoligami bagi yang sanggup adalah keshalehan yang

menguntungkan masyarakat, dan tidak begitu merugikan istri

pertama dalam hubungan lahir batin. Tentang inilah dia

diharapkan bertabah hati dan sedikit mengalah untuk

kepentingan sosial ekonomi dan kestabilan masyarakat

lingkungan di mana dia juga ikut bertanggung jawab. Dengan

begitu dia tidak membiarkan janda beranak yatim hidup

dalam kemelaratan.

Page 78: 14

66

Menurut Eva Susanti (2007: 43) ada beberapa alasan

yang dapat dikemukakan, sehingga poligami ini dapat

berdampak positif, yaitu:

a. Ada manusia yang kuat keinginannya untuk

mendapatkan keturunan, akan tetapi ia dikaruniai rizki

oleh Allah swt istri yang tidak beranak (mandul) karena

sakit atau sebab lainnya, sehingga lebih mulai bagi

seorang istri dan lebih utama bagi suami untuk menikah

lagi untuk memperoleh keinginan tersebut dengan tetap

menjaga dan memelihara istri pertama dengan

memenuhi hak-haknya.

b. Seorang suami yang memiliki keinginan syahwatnya

yang kuat, namun istri tidak melayaninya karena sakit

kepanjangan dan masa haidnya terlalu lama, ataupun

alasan-alasan lainnya, sementara suami tersebut tidak

dapat menahan diri dalam waktu lama tanpa wanita,

dengan demikian lebih mulai dia mendatangi wanita

lain yang nikahi dari pada melampiaskan nafsunya pada

wanita-wanita pelacuran.

c. Jumlah wanita lebih besar sedangkan laki-laki sedikit

sekali, baik kerena peperangan maupun bencana alam

atau alasan lainnya.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dampak

positif bagi suami untuk berpoligami dengan memperhatikan

dan mempertimbangkan kemudhratan dalam rumah tangga

yang dibangun bersama istri yang pertamanya, sehingga lbih

utama jika ia melangsungkan poligami dengan tetap menjaga

dan merawat istri yang pertama dengan memberikan hak-

Page 79: 14

67

haknya. Alasan lain bahwa poligami dapat berdampak positif,

menurut penulis adalah:

a. Poligami dapat menekan merajalelanya prostitusi

b. Poligami akan memungkinkan banyak wanita yang

dapat melaksanakan haknya akan kecintaan dan

keibuan karena pernikahan, mengingat jumlah wanita

lebih banyak dari laki-laki.

c. Poligami dapat mengurangi perceraian dan

perselingkuhan dalam masyarakat

d. Poligami sebagai salah satu upaya dalam

menambahkan keturunan, bagi umat Islam akan

semakin banyak jumlahnya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa poligami pada

dasarnya dapat berdampak positif, meskipun kebanyakan

wanita menolak terhadap poligami, karena realita yang terjadi

di dalam masyarakat dianggap sebagai permasalahan sosial

yang sangat serius, namun dilain pihak poligami dapat

menjadi solusi yang paling baik bagi keluarga, di samping itu

juga poligami memiliki efek yang sangat baik dalam

penyelenggaraan pendidikan anak dalam keluarga.

Berbicara tentang keluarga, tentu kita tidak bisa

melupakan sosok anak.

Dalam Islam, anak dipandang sebagai amanat dari Allah

swt. Ahmad Tafsir (1995: 160) mengatakan bahwa Amanat

yang wajib dipertanggung jawabkan. Jelas sekali tanggung

jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil, secara umum

inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan

bagi anak-anak dalam rumah tangga

Page 80: 14

68

Sudah jamak dipahami bahwa suami adalah kepala

rumah tangga, dan istri adalah ibu rumah tangga. Di sini,

yang berlaku umum dalam masyarakat kita adalah bahwa

kepala rumah tangga mengurusi urusan-urusan “besar”

dalam rumah tangga, yakni yang menyangkut pencarian

nafkah, penjagaan hubungan rumah tangga dengan

masyarakat, dan urusan-urusan lain yang melibatkan rumah

tangga dengan kehidupan sosial. Sementara, defenisi ibu

rumah tangga adalah bahwa seorang ibu mempunyai tugas-

tugas pengaturan rumah tangga berskala “kecil,” seperti

pengaturan rumah dan perabotan, pengaturan urusan dapur,

pengaturan urusan keuangan rumah tangga, pengaturan

kesejahteraan anggota-anggota rumah tangga dan pengaturan

anak (Majid Sulaiman Daudin, 1996: 276).

Jadi, kalau para suami mau jujur terhadap dirinya

sendiri, maka suami akan menyadari bahwa tugas-tugas

konkrit seorang istri lebih berat daripada tugas- tugas seorang

suami. Maka, kerelaan seorang istri untuk menjadi ibu rumah

tangga dan keikhlasannya menganggap suami menjadi kepala

rumah tangga, adalah penghormatan yang setinggi-tingginya

yang dapat diberikan oleh seorang istri kepada suaminya

Keluarga bisa dianggap sebagai miniatur dari sebuah sistem

pemerintahan, yang memerlukan seseorang pemimpin,

bertujuan untuk menciptakan negara yang maju, aman dan

sejahtera. Begitu juga dengan keluarga, yang memerlukan

seorang pemimpin yang biasa disebut dengan kepala rumah

tangga untuk menciptakan keluarga yang diimpikan yaitu

keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Page 81: 14

69

Majid Sulaiman Daudin (1996: 276) mengatakan bahwa

yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki yang membuatnya

layak menjadi pemimpin di dalam rumah tangga:

a. Berpengetahuan agama dan mengamalkannya secara

sempurna.

Yang akan dipercayai sebagai kepala rumah tangga ialah

suami, oleh karena itu ia harus mempersiapkan dirinya dengan

memperbanyak pengetahuan agama. Disamping mengerjakan

perintah agama yang mendasar seperti, shalat, puasa, zakat dan

lain-lain, kemudian harus memahami pula bidang yang lain,

karena Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek

kehidupan dan sesuai untuk seluruh zaman.

b. Sempurna akal dan pemikiran.

Jika seorang itu ingin menjadi suami maka hendaklah ia

berpikiran positif. Karena apabila telah berumah tangga,

seorang suami harus memikirkan cara yang terbaik dalam

memenuhi segala keperluan rumah tangganya, baik secara

lahiriah maupun batiniah.

c. Sehat lahir dan batin

Bagi seorang laki-laki yang ingin berumah tangga,

haruslah terlebih dahulu memperhatikan kemampuan fisiknya,

karena lemahnya kemampuan tenaga batin akan membawa

rumah tangga menjadi tidak bahagia. Begitu juga jika sekiranya

tidak mampu untuk bekerja karena penyakit dan sebagainya

akan menjadikan laki-laki tersebut tidak dapat memberikan

nafkah dan tanggung jawab lainnya kepada keluarganya.

d. Memberikan nafkah sesuai dengan kesanggupan

Dalam kehidupan berumah tangga, Islam tidak

membebankan kaum wanita supaya mencari nafkah, akan

Page 82: 14

70

tetapi kewajiban ini harus dilaksanakan oleh kaum laki-laki

untuk menyediakan sesuai kesanggupannya.

Pada dasarnya, kehidupan rumah tangga adalah sebuah

kerajaan iman. Dalam artian, suami adalah rajanya, istri

adalah ratunya dan anak-anak adalah raknyatnya. Suami

adalah raja yang memimpin kerajaan dan mengendalikan

semua urusannya, karena dialah yang menerima beban

tanggung jawab serta amanat

Orang tua yang bijak menginginkan anaknya mampu

memperoleh prestasi yang baik di sekolah. Namun jalan

menuju cita-cita itu tidaklah mudah. Harus ada usaha yang

sistematis yang perlu dilakukan oleh semua pihak yang

terlibat, terutama orang tua. Dalam hal ini peran orang tua

jelas tak dapat diabaikan keberadaannya. Mengingat anak

usia sekolah lebih banyak menghabiskan waktu di luar

sekolah. Oleh karena itu orang tua perlu memberikan

rangsangan dan dorongan pada anak untuk memanfaatkan

potensinya secara optimal, dan yang terpenting upaya dalam

membina akhlak mereka.

Islam menjadikan akhlak mulia sebagai satu di antara

cabang-cabang iman atau merupakan salah satu buahnya

yang masak. Menurut pandangan Islam, iman tidak hanya

tercermin dalam keselamatan akidah dan keikhlasan

beribadah, tetapi juga tercermin dalam ketangguhan akhlak.

Kata akhlak merupakan kata yang luas pula, sehingga Nabi

Muhammad saw diutus dalam rangka menyempurnakan

akhlak. Allah sendiri memuji akan akhlak yang dimiliki oleh

Rasulullah Saw, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur`an

surat Al-Qalam ayat 4, yaitu :

Page 83: 14

71

Artinya : Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar berbudi

pekerti yang agung (QS. Al-Qalam : 4).

Dengan demikian, akhlak itu bukan semata-mata

terbatas pada sopan santun dan pergaulan yang baik,

sebagaimana dipahami oleh kebanyakan orang awam,

sekalipun masalah sopan santun dan pergaulan menurut

prinsip yang sangat penting bagi kepribadian seorang

muslim. Dan juga akhlak itu tidak terbatas pada

pengendalian diri untuk tidak menyukai atau meminum-

minuman keras, sebagaimana yang dipahami oleh orang

lain, tetapi lebih dari itu akhlak mencakup semua lapisan

kehidupan manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-

hari.

Dalyono (2005: 59) mengatakan bahwa faktor keluarga

sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam

belajar. Tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar

kecilnya penghasilan orang tua, besar kecilnya jumlah

anggota keluarga, cukup atau tidaknya perhatian, kasih

sayang, bimbingan orang tua, rukun atau tidaknya kedua

orang tua, akrab atau tidaknya hubungan dengan anak-anak,

tenang atau tidaknya situasi dalam rumah, tersedia atau

tidaknya fasilitas-fasilitas belajar di rumah, semuanya itu mau

tidak mau turut menentukan dan sampai dimana prestasi

belajar yang dicapai oleh anak-anak.

Orang tua sebagai figur yang dihormati anak-anak

mempunyai pengaruh dalam meningkatkan prestasi belajar

anak. Orang tua bisa mendidik anaknya berupa pembentukan

Page 84: 14

72

pembiasaan-pembiasaan seperti tidur siang, tata krama, sopan

santun, religi dan lain-lain sebagainya. Pendidikan pembiasaan

dalam keluarga akan banyak membantu anak dalam pencapaian

prestasi belajar. Misalnya sikap religius, disiplin, rapi, rajin dan

sebagainya dapat tumbuh, bersemi dan berkembang senada dan

seirama dengan kebiasaan di rumah. Menurut A.H. Harahap

(1981: 143) bahwa situasi kehidupan keluarga seperti kebiasaan,

norma-norma yang berlaku, cara mendidik kasih sayang dan

lain-lain sangat membekas pada anak.

Menurut penulis orang tua yang berpoligami atau suami

sekali-kali juga dapat mempertemukan anak-anak mereka dari

isteri yang berbeda, hal ini selain silaturahim sesama mereka

juga dapat menjadi komunikasi bagi mereka dalam persoalan

pendidikan mereka selama ini. Atau setidaknya mereka akan

menceritakan pengalaman-nya masing-masing berkaitan dengan

keadaan masing-masing sekolah mereka, hal ini sebelumnya

harus diarahkan terlebih dulu oleh orang tua.

Berdasarkan pikiran-pikiran tersebut, kiranya keadaan

seperti di atas akan mampu juga diwujudkan oleh orang tua

yang berpoligami, dalam perkawinan poligami, suami dituntut

bersikap jujur, setia, memberikan keadilan, memikul tanggung

jawab sosio ekonomis dan memberikan jaminan kehidupan

kepada semua isteri-isteri dan anak-anak yang lahir dari mereka.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa suami yang

melakukan praktek poligami di wajibkan untuk dapat berlaku

adil untuk masing-masing istri serta memberikan kasih sayang

dan perhatian yang sama kepada masing-masing anaknya tanpa

perlu membedakan salah satu diantara mereka.

Page 85: 14

73

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

enelitian ini mengunakan metode deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Melalui metode deskriptif

peneliti mengkaji secara menyeluruh terhadap gejala yang

terjadi dilokasi penelitian sesuai dengan fokus

permasalahan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Sudjana

(1999:64) bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian

yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa,

kejadian yang terjadi saat sekarang dimana peneliti

berusaha memotrek peristiwa dan kejadian yang yang

timbul di lapangan untuk kemudian digambarkan

sebagaimana mestinya.

Pendekatan kualitatif menurut S. Nasution (1998: 5)

pada hakekatnya adalah mengamati orang dalam lingkungan

hidupnya, berinteraksi dengan mareka, berusaha memahami

bahasa dan tafsiran mareka tentang lingkungan sekitarnya.

Metode deskriptif kualitatif digunakan dalam penelitian

ini dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Peneliti bermaksud mengembangkan konsep pemikiran,

pemahaman pola yang terkandung dalam data, melihat

secara keseluruhan suatu keadaan, proses individu dan

kelompok tanpa mengurangi variabel, tetapi variabel

digambarkan secara keseluruhan, sensitif terhadap orang

P

Page 86: 14

74

yang diteliti, mendeskripsikan dan menganalisanya

secara induktif.

2. Peneliti bermaksud menganalisis dan menafsirkan suatu

fakta, gejala dan peristiwa yang berkaitan dengan peran

guru dalam meningkatkan minat dan motivasi belajar

siswa.

3. Bidang kajian peneliti merupakan kajian proses dan

kegiatan kegiatan pendidikan di dalamnya terdapat

interaksi dengan berbagai pihak yang berkepentingan

khususnya bagi keluarga poligami di Kota Banda Aceh.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang

permasalahan yang dapat diteliti sehubungan dengan tema

yang dipilih, peneliti lebih dahulu mengadakan pendekatan

lokasi penelitian. Pendekatan dilakukan untuk mengetahui

lebih jauh hal-hal yang ada hubungannya dengan kegiatan

penelitian, mengenali konsep dasar masalah yang mungkin

dapat dikembangkan dan dilakukan penelitian lebih lanjut.

Dalam penelitian kualitatif ini tidak sekedar

pengumpulan data, tetapi merupakan cara pendekatan

terhadap dunia emperis. Taylor dan Bogdan (Lexy, J

Moleong, 2001: 5) mengemukakan bahwa “pendekatan

kualitatif merujuk kepada pengertian yang luas terhadap

penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yang berupa

kata-kata dan prilaku orang yang dapat diobservasi baik lisan

maupun tulisan”.

Beradasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dalam

penelitian ini, peneliti berfungsi sebagai instrumen penelitian

dan mengkonsentrasikan perhatian untuk memahami

perilaku, sikap, pendapat dan persepsi berdasarkan

Page 87: 14

75

pandangan subjek yang diteliti. Oleh karena itu,

pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui kontak

langsung dengan subjek di lapangan.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada keluarga poligami di Kota

Banda Aceh, dalam hal ini peneliti menetapkan tiga

Kecamatan dari sembilan Kecamatan yang ada dalam Kota

Banda Aceh, yaitu Meraxa, Jaya Baru dan Ulee Kareng.

Pertimbangan dilakukan penelitian ini di wilayah tersebut

karena dari hasil pengamatan dan informasi yang didapatkan

menunjukkan bahwa praktek poligami dalam masyarakat

saat ini didapati sudah banyak di Kota Banda Aceh.

Pertimbangan lainnya adalah lokasi penelitian merupakan

tempat tinggal peneliti, sehingga secara praktis dilihat dari

segi pelaksanaan dan waktu dapat memungkinkan untuk

dilakukan.

C. Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data

primer dan sumber data sekunder. Adapun sumber data

primer berasal dari orang tua (suami dan istri) dari keluarga

poligami sebanyak 9 (sembilan) keluarga dan tokoh

masyarakat setempat seperti Kepala Desa sebanyak 3 (tiga)

orang, yaitu Desa yang berada dalam tiga Kecamatan

sebagaimana penulis tetapkan pada lokasi penelitian di atas,

yaitu Meraxa, Jaya Baru dan Ulee Kareng yang selanjutnya

disebut sebagai informan, sedangkan sumber data skunder

Page 88: 14

76

berasal dari data-data kepustakaan dan sumber data lainnya

yang terkait dengan pembahasan karya tulis ilmiah ini.

D. Instrumen Pengumpulan Data (IPD)

Adapun instrumen penelitian data (IPD) yang

digunakam dalam penelitian ini adalah:

1. PWKP (Pedoman Wawancara dengan Keluarga

Poligami).

PWKP digunakan untuk mendapatkan data berkaitan

dengan peran orang tua laki-laki dan perempuan dari

keluarga poligami terhadap penyelenggaran pendidikan

terhadap anak-anak mereka dan untuk mendapatkan

data berkaiatan dengan pengaruh dampak positif dan

negatif khususnya terhadap pendidikan anak-anak dalam

keluarga yang mem praktekkan poligami, hal ini penulis

lakukan dengan cara mengajukan pertanyaan langsung

kepada keluarga poligami baik orang tua laki-laki

maupun dari orang tua perempuan, terhadap informasi

yang disampaikan oleh orang tua, maka penulis

mencatatnya yang selanjutnya menyimpulkan terhadap

data-data hasil wawancara tersebut.

2. PWTM (Pedoman Wawancara dengan Tokoh

Masyarakat/Kepala Desa)

PWTM digunakan untuk mendapatkan informasi tentang

kegiatan orang tua laki-laki dan perempuan dalam

melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka

khususnya terhadap pendidikan anak serta keterlibatan

orang tua dalam sosial kemasyarakatan yang ikut

mendukung terhadap perkembangan anak dengan

Page 89: 14

77

lingkungan masyarakat setempat. Wawancara dengan

tokoh masyarakat dengan cara mendatangi langsung baik

ke kantor desa maupun ketempat tinggal para tokoh desa

agar dapat menemuinya, yang selanjutnya penulis

mewawancarai setiap kepala desa masing-masing satu

desa dalam kecamatan tersebut.

3. LOPPA (Lembar Observasi Penyelenggaraan Pendidikan

Anak)

LOPPA digunakan untuk mendapatkan data tentang

aktivitas anak-anak khususnya dalam keluarga serta

dalam lingkungan masyarakat sebagai tempat bagi anak

melakukan adaptasi dan bersosialisasi dengan teman-

temannya yang sebaya, juga dengan mereka yang lebih

tua usia dari mereka.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

ditempuh dengan mengunakan 3 IPD, sebagai berikut:

1. PWKP (Pedoman Wawancara dengan Keluarga

Poligami).

PWKP digunakan untuk mendapatkan data dengan cara

melakukan wawancara langsung.

2. PWTM (Pedoman Wawancara dengan Tokoh

Masyarakat/Kepala Desa)

PWTM digunakan untuk mendapatkan informasi dengan

cara melakukan wawancara langsung.

3. LOPPA (Lembar Observasi Penyelenggaraan Pendidikan

Anak)

Page 90: 14

78

LOPPA digunakan untuk mendapatkan data dengan cara

melihat secara langsung terhadap aktifitas anak melalui

penyelenggaraan pendidikan bagi anak dalam keluarga.

Pengamatan lapangan dan pencatatan secara sistematik

terhadap suatu gejala yang tampak pada objek penelitian,

dengan tujuan untuk mendapatkan data awal sebelum

dilakukan wawancara. Dalam hal ini pengamatan

langsung pada keluarga poligami dalam Kota Banda

Aceh.

F. Teknik Analisis Data

Prosedur analisis data atas dasar tiga tahapan sesuai

yang disarankan Nasution (1992:54), adalah reduksi data,

display dan verivikasi. Terhadap ketiga hal ini penulis akan

menjelaskannya sebagai berikut:

1. Reduksi data, pada tahap yang sudah terkumpul di olah

dengan tujuan untuk mengetahui penyelenggaraan

pendidikan terhadap anak yang dipraktekkan dalam

keluarga poligami di Kota Banda Aceh

2. Display data, pada tahap ini penulis menyajikan data

secara sistematis terhadap penyelenggaraan pendidikan

bagi anak yang dipraktekkan dalam keluarga poligami di

Kota Banda Aceh

3. Verifikasi data, dalam kegiatan ini penulis melakukan

pengujian atau kesimpulan yang telah diambil dan

membandingkan dengan teori-teori yang relevan serta

petunjuk pelaksanaan.

Dengan demikian dalam proses analisis data kualitatif

memerlukan daya kreatif dan kemampuan intelektual yang

Page 91: 14

79

tinggi dari peneliti untuk mengelola data tersebut sehingga

mengetahui maknanya. Dalam hal ini peneliti dibekali konsep

dan teori-teori, dengan adanya konsep yang telah dipahami

sebelumnya sehingga nantinya peneliti dapat memperoleh

sebanyak mungkin informasi serta dapat menginterpretasikan

kegiatan penyelengaraan pendidikan anak dalam keluarga

poligami. Penelitian ini mencoba memahami fakta-fakta

pendidikan dan sosial antara kegiatan orang tua dalam

keluarga poligami kaitanya dengan pendidikan anak yang

sedang berjalan selama ini.

Dengan kata lain analisis data ini dilakukan dengan

mengunakan teknik analisis data kualitatif dengan menelaah

semua data yang telah dikumpulkan selama penelitian,

dengan cara menganalisa, menerangkan dan menyimpulkan.

Page 92: 14

80

Page 93: 14

81

BAB IV

PAPARAN HASIL PENELITIAN

emaparan hasil penelitian bab IV terdiri atas tiga sub bab,

yaitu: (1) Penyelengaraan Pendidikan Anak dalam

Keluarga Poligami meliputi: Pembinaan dan mengantarkan

ke lembaga pendidikan; Dukungan fasilitas dan pengontrolan

akhlak dan ; Keteladan orang tua dan komunikasi aktif

keluarga. (2) Dampak negatif dan positif terhadap

penyelenggaraan pendidikan anak dalam keluarga poligami.

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Banda Aceh sebagai Ibu Kota Propinsi Aceh yang telah

berusia 805 tahun (tahun 2010 M) merupakan salah satu Kota

Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota Banda Aceh merupakan

salah satu Kota yang berada dalam wilayah Provinsi Aceh,

sebagai pusat ibu kota Provinsi Aceh tentunya memiliki

masyarakat yang beragam (majemuk) baik dari segi agama,

bahasa dan budaya, namun demikian nuansa religion

keIslaman merupakan perioritas dari Pemerintah Kota

(PEMKOT) setempat, hal ini berdasarkan pengamatan peneliti

pada tanggal 28 Mei 2010 di Taman Sari sebagaimana

disampaikan pada salah satu acara oleh Wali Kota Banda

Aceh dalam sambutan pembukaan acara Banda Aceh Ekspo

2010 pada salah satu poin pokok beliau mengatakan ”Banda

Aceh sebagai Bandar Wisata Islam”.

Wilayah Kota Banda Aceh terletak di ujung Pulau

Sumatera yang mana salah satu dari 5 Kota/Kotamadya yang

P

Page 94: 14

82

terdapat dalam Provinsi Aceh dan merupakan Ibu Kota

Provinsi, memiliki tinggi daratan rata-rata 0,80 meter dari

permukaan laut terletak antara 05° 16’ 15’ - 05° 36’ 16” Lintang

Utara dan 95° 16’ 15”- 95° 22’ 35” Bujur Timur . Letak wilayah

yang strategis yang berhadapan dengan Selat Malaka

merupakan potensi besar sebagai sumber daya alam baik

flaura-fauna, pariwisata, pelabuhan penyeberangan dan

perikanan untuk peningkatan perekonomian masyarakat

Kota Banda Aceh yang dulu bernama Kutaraja selaku

masyarakat beragama.

Manusia pada dasarnya cenderung untuk meng-

abdikan dirinya kepada Allah Swt, hal ini dikarenakan Allah

Swt telah menganugerahkan manusia berupa fitrah yang

cenderung untuk mengakui eksistensi-Nya, sebagaimana

termaktub dalam al-Qur’an yang mencerita-kan adanya

persetujuan dialog antara Allah Swt dan manusia ketika

dalam kandungan:

… …

Artinya : Bukankah Aku ini tuhanmu, mereka

menjawab, benar Engkau tuhan kami ( Q.S Al-

A’raf : 172 )

Masyarakat di Propinsi Aceh pada umumnya menganut

Agama Islam. Hal ini dapat di lihat dari segi pengalaman

dalam kehidupan sehari-hari, adanya pemanfaatan masjid-

masjid atau meunasah-meunasah seperti untuk shalat

berjamaah, pengajian Al-qur’an, musyawarah dan peringatan

hari-hari besar Islam. Begitu juga halnya dengan masyarakat

di Kota Banda Aceh juga didominasi oleh umat yang

Page 95: 14

83

beragama Islam, namun tidak dapat dipungkiri juga terdapat

berbagai macam pemeluk agama lain, sehingga tidak

mengherankan jika tempat-tempat ibadah umat Islam sering

di jumpai di setiap Kecamatan dan Desa, baik Mesjid maupun

Meunasah atau Mushalla, begitu juga halnya dengan keadaan

lembaga pendidikan yang ada di Kota Banda Aceh, mulai dari

Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai

pendidikan tinggi. Adapun mengenai jumlah tempat ibadah

yang ada di Kota Banda Aceh, hal ini sebagaimana terlihat

pada tabel berikut ini tentang jumlah tempat ibadah Umat

Islam menurut Kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh.

Tabel 4.1 Jumlah Tempat Ibadah Umat Islam Menurut

Kecamatan di Kota Banda Aceh Tahun 2010

No Kecamatan Masjid Meunasah Mushalla Jumlah

1 Meuraxa 11 11 3 25

2 Jaya Baru 17 6 1 24

3 Banda Raya 15 5 2 22

4 Baiturrahman 18 17 8 43

5 Lueng Bata 9 3 15 27

6 Kuta Alam 4 21 11 36

7 Kuta Raja 4 7 - 11

8 Syiah Kuala 16 16 2 34

9 Ulee Kareng 7 7 8 22

Jumlah 101 93 50 244

Berdasarkan data tabel di atas dapat dipahami bahwa

ketersediaan tempat ibadah, baik mesjid maupun

meunasah/mushalla di tiap-tiap kecamatan dalam Kota Banda

Aceh dapat dikatakan sudah mencukupi, namun berdasarkan

Page 96: 14

84

observasi penulis bahwa masih banyak tempat-tempat ibadah

ini yang masih sepi dari jama’ah shalat dan kegiatan-kegiatan

keagamaan lainnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa

masyarakat di Kota Banda Aceh dapat dengan laluasa dalam

menjalankan aktivitas keagamaan khususnya secara kolektif

serta dengan mengajak anggota keluarganya ke tempat-

tempat ibadah.

Meskipun masyarakat Kota Banda Aceh yang dominan

adalah pemeluk agama Islam, namun kita juga dapat

menjumpai beberapa tempat ibadah bagi agama-agama non

Muslim seperti Gereja dan Klenteng. Berikut ini data tabel

tentang jumlah tempat ibadah umat non muslim menurut

Kecamatan di Kota Banda Aceh. Tabel 4.2 Jumlah Tempat Ibadah Umat Non Muslim Menurut

Kecamatan di Kota Banda Aceh Tahun 2010

No Kecamatan Gereja

Kuil Klenteng Jumlah Protestan Katolik

1 Meuraxa - - - - -

2 Jaya Baru - - - - -

3 Banda Raya - - - - -

4 Baiturrahman - - - - -

5 Lueng Bata - - - - -

6 Kuta Alam 3 1 - 1 5

7 Kuta Raja - - - - -

8 Syiah Kuala - - - - -

9 Ulee Kareng - - - - -

Jumlah 3 1 0 1 5

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tempat

ibadah non muslim hanya berada di satu Kecamatan dalam

Page 97: 14

85

Kota Banda Aceh tepatnya di Kuta Alam dengan rincianya 3

buah gereja protestan, 1 buah gereja katolik dan 1 buah

klenteng. Kecamatan Kuta Alam sebagai salah satu kecamatan

yang letaknya di pusat ibu kota Banda Aceh, dan pada

umumnya dibeberapa kawasan didiami oleh masyarakat

Tionghoa (masyarakat keturunan Cina), seperti di

Peunanyong, yaitu kawasan yang letaknya dan beberapa

daerah lainnya.

Mayoritas penduduk Kota Banda Aceh merupakan

penganut agama Islam. Sekitar 98 persen penduduk Kota

Banda Aceh memeluk agama Islam dan 2 persen agama

lainnya. Bahkan di Kecamatan Meuraxa, dan Ulee Kareng 100

persen penduduknya beragama Islam. Penduduk Non

Muslim paling banyak bertempat tinggal di Kecamatan Kuta

Alam. Untuk melihat jumlah penganut agama masyarakat di

Kota Banda Aceh sebagaimana pada tabel di bawah ini. Tabel 4.3 Jumlah Penganut Agama Menurut Kecamatan di Kota

Banda Aceh Tahun 2010

No Kecamatan Islam Protestan Katolik Hindu Budha Lainnya Jml

1 Meuraxa 3.719 - - - - - 3.719

2 Jaya Baru 15.309 8 - - - - 15.317

3 Banda Raya 29.326 23 - - 14 - 29.363

4 Baiturrahman 40.643 75 58 5 208 - 40.989

5 Lueng Bata 23.057 15 2 2 7 - 23.083

6 Kuta Alam 41.101 428 161 4 2.052 - 43.746

7 Kuta Raja 4.558 20 - 26 35 - 4.639

8 Syiah Kuala 30.691 50 126 - - - 30.867

9 Ulee Kareng 27.936 - - - - - 27.936

Jumlah 196.340 619 90 37 2316 0 199402

Berdasarkan data tabel di atas dapat dipahami bahwa

jumlah penganut agama menurut kecamatan di Kota Banda

Page 98: 14

86

Aceh pada umumnya lebih di dominasi oleh masyarakat yang

menganut agama Islam, bahkan ada dua kecamatan sebanyak

100 % masyarakat beragama Islam. Dengan demikian bahwa

benar lebih kurang sekitar 98 % masyarakat kota Banda Aceh

menganut agama Islam, untuk itu sangat memungkinkan

setiap waktu dilaksanakannya dakwah untuk syari’at bagi

masyarakat di Kota Banda Aceh.

Kota Banda Aceh akan diarahkan menjadi kota

bertamaddun, yaitu suatu kota pusat peradaban Islam di Asia

Tenggara yang memiliki keunggulan pada sektor

perdagangan dan jasa, pengembangan ilmu pengetahuan dan

agama. Pusat pengembangan seni budaya, arsitektur, hukum

dan ketatanegaraan, pusat pengembangan bahasa dan

kesusasteraan Islam. Jejak kejayaan Kota Banda Aceh masa

lalu yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh sekarang,

dengan berpegang pada kaidah/norma kehidupan

masyarakat.

Dalam bidang Agama, sebagian masyarakat Kota Banda

Aceh mengadakan pengajian-pengajian keagamaan baik di

mushalla, menasah dan mesjid juga di dayah sesuai dengan

kapasitas masyarakat dalam menambah wawasan keagamaan

Islam bagi mereka masing-masing, seperti mereka yang

dewasa dengan mengundang seorang Teungku atau Ustazd

untuk mengisi pengajian tersebut akan tetapi bagi anak-anak

setiap sore hari rutin dilaksanakan disetiap menasah atau

mesjid ditempat sekitar mereka khususnya dalam rangka

pegajaran baca al-Qur’an dan pendidikan agama Islam.

Masyarakat di Kota Banda Aceh mengadakan kegiatan

keagamaan, seperti dakwah atau ceramah Agama pada setiap

Page 99: 14

87

Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), seperti Isra’ Mi’raj,

Nuzulul Qur’an, Tahun Baru Islam (1 Muharram) dan Maulid

Nabi Muhammad Saw, serta hari-hari kegiatan lainnya

dengan mengadakan perlombaan-perlombaan kegiatan

keagamaan seperti MTQ, Dalail Khairat dan sebagainya.

Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga di Kota Banda

Aceh secara umum berlangsung oleh kegiatan-kegiatan

keagamaan yang ada dalam masyarakat, begitu juga melalui

program-program lembaga dakwah serta melalui lembaga-

lembaga pendidikan non formal, khususnya melalui

pesantren-pesantren. Dalam pendekatan ini penyampaian

pesan juga termasuk dalam memberi nasehat. Pendidikan

yang yang diberikan kepada anak dalam keluarga tentunya

diawali dengan memberikan nasehat dan pembinaan yang

lebih baik. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Lukmanul

Hakim ketika memberi nasehat kepada anaknya. Ini

berdasarkan firman Allah Swt dalam surat Lukman ayat 17-18

yang bunyinya adalah sebagai berikut :

Artinya : “Lukman berkata ; Hai anakku dirikanlah shalat dan

suruhkanlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka

Page 100: 14

88

dari perbuatan munkar dan bersabarlah terhadap apa yang

diwajibkan oleh Allah kepadamu. Dan janganlah kamu

memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan

janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong

lagi membanggakan diri”. (Q.S. Lukman : 17-18).

Berdasarkan firman Allah Swt di atas, dapat kita pahami

bahwa nasehat sangat cocok sebagai salah satu pendekatan

dalam pendidikan untuk tercapainya tujuan sebagaimana

diharapkan dengan efektif dan efesien. Pendekatan ini

penting untuk pembentukan keimanan, moral, spiritual dan

sosial umat manusia pada tingkat dasar. Sebab, nasehat ini

dapat membukakan kesadaran manusia pada hakikatnya, dan

mendorongnya menuju situasi luhur, juga menghiasinya

dengan akhlak mulia, serta membekalinya dengan prinsip-

prinsip Islam dalam keluarga secara umum dan juga dalam

keluarga pelaku poligami.

Pesan pendidikan dalam keluarga yang akan

disampaikan kepada anak-anak kiranya dapat berjalan

dengan aktif dan efektif serta efisien, artinya harus

disesuaikan dengan perkembangan kepribadian anak, apalagi

dalam keadaan keluarga yang orang tuanya poligami.

B. Penyelengaraan Pendidikan Anak dalam Keluarga

Poligami

Sebagaimana dipahami bahwa penyelenggaraan

pendidikan bagi anak dalam keluarga sangat ditentukan oleh

keharmonisan rumah tangga, baik suami – istri selaku ayah

dan ibu dalam upaya mendidik anak-anaknya. Bersamaan

Page 101: 14

89

dengan hal tersebut Zakiah Darajat (1997: 17) mengemukakan

pendapatnya bahwa ”tidak rukunnya ibu dan bapak

menyebabkan gelisahnya anak-anak, mereka menjadi takut

dan cemas serta tidak tahan berada ditengah-tengah orang tua

yang tidak rukun”. Maka anak-anak cemas dan gelisah itu

mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yang

merupakan dari rasa hatinya yang biasanya mengganggu

ketentraman orang lain.

Dan ada pula orang tua secara bebas memimpin

anaknya, dia menyerahkan penentuan tujuan kepada

anaknya. Anak dibiarkan berkembang menurut kesanggupan

sendiri. Membiarkan anak belajar di lingkungan, menemukan

sendiri masa yang baik dan yang tidak baik, mana yang boleh

dilakukan dan mana yang tidak. Artinya bahwa orang

keluarga (orang tua) merupakan sebagai pengarah atau

pembimbing anak-anaknya baik dalam pergaulan sehari-hari

maupun dalam pendidikannya. Namun demikian bukan pula

dapat dibenarkan jika orang tua melakukan pemaksaan

kehendak kepada anak-anak, apalagi dengan melakukan

berbagai tindak kekerasan dan ancaman dalam memaksakan

keinginan orang tua kepada anak-anaknya.

Berdasarkan uraian di atas jelas bagi kita bahwa,

membiarkan anak tanpa ada kepedulian yang berarti

terhadap masa depan anak merupakan tindakan yang keliru

dan harus dihindari oleh orang tua, begitu dengan pola

pendidikan kekerasan atau kekejaman maupun dalam bentuk

ancaman lainnya adalah bentuk pendidikan yang sama sekali

tidak dibutuhkan, karena untuk cerahnya masa depan anak

sulit untuk dapat dicapainya.

Page 102: 14

90

Dengan demikian, tugas orang tua atau kewajiban

terhadap anaknya adalah harus mendidik, memupuk dan

memperbaiki akhlaknya serta memeliharanya dari

lingkungan yang tercela, dan tidak boleh membiasakannya

dengan kemewahan, agar terhindar dari sifat ria, angkuh dan

sombong, sehingga sulit untuk diperbaiki, dan yang

terpenting adalah memberikan pendidikan kepada mereka

baik dalam keluarga maupun dengan mengantarkannya ke

lembaga pendidikan baik forman maupun non formal.

Pendidikan merupakan suatu proses untuk

mendewasakan manusia yang belum dewasa menjadi dewasa

yaitu memberikan bimbingan yang baik agar dapat bisa

hidup mandiri sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan

oleh agama maupun negara. Pengaruh poligami terhadap

pendidikan adalah seperti kurang terpenuhinya kebutuhan-

kebutuhan pendidikan anak, sehingga anak menjadi malas

belajar, sekolah, serta hal-hal lain yang dapat menurunkan

prestasi belajar mereka di sekolah.

Namun demikian orang tua sudah menjadi

kewajibannya untuk mendidik dan membina anaknya

menjadi bermanfaat untuk dirinya dan juga dapat

memberikan manfaat untuk orang lain, minimal untuk

mereka kedua orang tua. Untuk itu orang tua dapat

melaksanakan perannya dalam menyelenggarakan

pendidikan kepada anak-anak-nya antara lain dengan

mengantarkannya ke lembaga pendidikan, memberi

dukungan fasilitas dan mengawasi perkembangan sikap dan

perilaku anak baik dalam keluarga maupun dalam

Page 103: 14

91

masyarakat serta dapat menjadikan dirinya sebagai teladan

bagi anak-anak mereka.

Misalnya salah seorang ibu rumah tangga di Kecamatan

Ule Kareng yang merupakan isteri kedua dari suaminya,

berdasarkan wawancara penulis pada tanggal 4 Maret 2011

mengemukakan bahwa “ia dan suaminya selalu berusaha

menjalankan setiap kewajiban dan hak kami masing-masing

dalam keluarga, karena untuk menghindari sikap saling

mengharapkan satu sama lain”. Dengan terwujudnya suasana

yang harmonis, maka anak-anak pun akan dapat belajar

dengan baik, dan hal ini juga sangat berpengaruh terhadap

prilakunya.

Dengan demikian, keluarga yang telah melaksana-kan

kewajibannya dan hak sebagai suami istri, diharapkan

terciptanya keluarga yang harmonis. Dalam keluarga yang

harmonis prilaku anak akan baik. Untuk mengetahui lebih

jelasnya terhadap penyelenggaraan pendidikan terhadap

anak dalam keluarga poligami di Kota Banda Aceh

khususnya terhadap tiga Kecamatan yang ada dalam wilayah

tersebut dan menjadi lokasi penelitian bagi penulis dalam

rangka penyelesaian tesis, hal ini sebagaimana terlihat pada

uraian berikut ini.

C. Pembinaan Akhlak dan mengantarkan ke lembaga

pendidikan di Keluarga Poligami pada Kecamatan Jaya

Baru, Meraxa dan Ulee Kareng

Orang tua baik laki-laki maupun perempuan

berkewajiban mendidik dan membina anak-anaknya agar

menjadi generasi yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa,

salah bentuk pembinaan yang dilakukan oleh orang tua

Page 104: 14

92

adalah dengan mengantarkannya ke lembaga pendidikan.

Berdasarkan hasil penelitian khususnya terhadap keluarga

poligami berkaitan dengan upaya pembinaan orang tua

dalam mengantarkan ke lembaga pendidikan dengan

indikator menyekolahkannya ke lembaga pendidikan,

beberapa pertanyaan yang penulis menanyakan kepada

keluarga poligami dalam hal ini ditujukan kepada suami dan

istri serta informasi yang disampaikan oleh tokoh masyarakat

desa atau kepala desa, yaitu:

Berdasarkan hasil wawancara pada tiga keluarga di

Kecamatan Jaya Baru melaporkan bahwa terdapat dua orang

tua laki-laki yang mendaftarkan anak masuk ke sekolah,

sedangkan keluarga yang ketiga mengatakan bahwa istri

sendiri yang mendaftarkan langsung anak-anaknya. (PWKP

A.1: Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25-28

Maret 2011) Sedangkan hasil wawancara dengan masyarakat

di Kecamatan Meraxa antara, bahwa dua keluarga

mengatakan didaftarkan sendiri oleh istri atau orang tua

perempuan, sedangkan keluarga yang yang ketiga mengata-

kan bahwa istri sendiri yang mendaftarkan langsung anak-

anaknya sedangkan kedua keluarga yang lainnya sudah

didaftarkan langsung oleh suaminya. (PWKP A.1: Wawancara

dengan suami dan istri pada tanggal 2 – 5 April 2011))

Di Kecatamatan Ule Kareng bahwa umumnya keluarga

yang diwawancarai mengatakan didaftarkan sendiri oleh

suami, akan tetapi ada juga keluarga yang ke di wakil-kan

kepada yang lain untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah.

(PWKP A.1: Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal

25-27 April 2011)

Page 105: 14

93

Berdasarkan data hasil wawancara di atas yang diteliti

dari tanggal 25 Maret hingga 27 April 2011 dapat dipahami

bahwa pada umumnya suami atau orang tua laki-laki

mendaftarkan langsung anaknya ke lembaga pendidikan dan

dua responden mengatakan didaftarkan oleh istri serta hanya

satu responden yang diwakili kepada yang lain dalam rangka

mendaftarkan anaknya ke lembaga pendidikan.

Dengan demikian pertanyan penelitian pada wawancara

berikutnya dengan sendirinya dapat dipahami bahwa hanya

dua responden yang mewakilkan kepada yang lain untuk

medaftarkan anaknya ke lembaga pendidikan.

Berdasarkan hasil wawancara pada pertanyaan

wawancara sebelumnya di atas, maka dapat di lihat bahwa

ada satu responden yang mewakilkan kepada yang lain untuk

mendaftarkan anaknya ke lembaga pendidikan.

Dengan demikian peneliti tidak melanjutkan pertanyan

pada poin berikutnya tentang apakah anak sendiri yang

mendaftarkanya ke sekolah?, dikarenakan pada pertanyaan

sebelumnya bahwa telah didapatkan gambaran bahwa tidak

ada satupun keluarga poligami yang membiarkan anaknya

mendaftar sendiri ke lembaga pendidikan. (PWKP A.2 dan 3:

Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret

hingga 27 April 2011).

Untuk mengetahui perhatian orang tua dalam

mengantarkan anak ke sekolah setelah sebelumnya di

daftarkan, hal ini sebagaimana paparan hasil wawancara

penulis sebagai berikut:

Pada kecamatan Jaya Baru bahwa salah satu keluarga

mengatakan yang mengantarkan anak-anaknya ke sekolah

Page 106: 14

94

diantar oleh orang tua perempuan dari anak, sedangkan yang

lain ada yang diwakili sama tetangganya, namun di

Kecamatan Meraxa bahwa salah satu keluarga mengatakan

diantar oleh orang tua perempuan, hal ini juga sama dengan

apa yang disampaikan oleh orang tua laki-laki keluarga yang

lain di Meuraxa.

Adapun di Kecamatan Ule Kareng mengatakan bahwa

salah satu keluarga mengatakan bahwa orang tua perempuan

yang mendaftarkannya, sama halnya dengan keluarga yang

lainnya, akan tetapi ada juga kelurga yang ke di wakilkan

kepada yang lain untuk mengantarkan anaknya ke sekolah.

(PWKP A. 4: Wawancara dengan suami dan istri pada

tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).

Beradasarkan hasil wawancara dapat dipahami bahwa

pada umumnya Istri atau orang tua perempuan yang

mengantarkan anak-anaknya ke sekolah dan hanya dua

responden yang mengatakan di antar oleh suaminya serta

satu responden mengatakan diwakilkan kepada yang lain.

Dengan demikian pada umumnya anak di antar dan dijemput

ketika mereka ke sekolah.

Untuk melihat keseimbangan data hasil penelitian

sebagaimana disampaikan oleh tokoh masyarakat/kepala desa

setempat terhadap penyelenggaran pendidikan dalam

keluarga poligami khususnya berkaitan dengan

keharmonisan rumah tangga mereka hal ini sebagaimana

disampaikan oleh ketiga tokoh masyarakat/kepala desa dalam

wilayah penelitian adalah sebagai berikut:

Berbicara mengenai tingkat keharmonisan rumah

tangga menurut asumsi banyak orang terhadap keluarga

Page 107: 14

95

yang mempraktekkan poligami akan mengalami beragam

macam kendala, namun untuk melihat hasil data wawancara

dengan tokoh masyarakat/kepala desa terhadap penyeleng-

garaan pendidikan bagi anak dalam keluarga poligami serta

dampak positif maupun negatif terhadap perkembangan

pendidikan anak.

Berdasarkan data hasil penelitian dengan salah satu

kepala desa dalam kecamatan ulee kareng melaporkan bahwa

keharmonisan rumah tangga poligami pada umumnya dalam

wilayah kepemimpinannya jarang muncul kepermukaan, jika

pun ada mereka dapat menyelesaikan pada tataran tingkat

keluarga. (PWTM A.1: Wawancara dengan kepala

Desa/Tokoh Masyarakat pada tanggal 25 maret hingga 27

April 2011).

Kepala desa dalam kecamatan jaya baru mengatakan

bahwa keharmonisan rumah tangga poligami pada umumnya

dalam wilayah desanya kadang-kadang ada terjadi keributan

kecil, pada umumnya faktor kecemburuan dari istri sebagai

alasan utama. (PWTM A.1: Wawancara dengan kepala

Desa/Tokoh Masyarakat pada tanggal 25 maret hingga 27

April 2011).

Pada kecamatan Meuraxa, sebagaimana dilaporkan

oleh kepala desa bahwa keharmonisan rumah tangga

poligami pada umumnya sangat harmonis dan berjalan

sebagaimana keluarga lain yang normal. (PWTM A.1:

Wawancara dengan kepala Desa/Tokoh Masyarakat pada

tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).

Berdasarkan data di atas dapat dipahami bahwa pada

umumnya suami-istri dalam keluarga yang berpoligami pada

Page 108: 14

96

umumnya berjalan dengan harmonis, namun sebagian yang

lain ada juga permasalahan yang muncul, sehingga sampai

kepada tingkat kepala desa dan tokoh masyarakat sebagai

jalan penengah untuk penyelesaian masalah.

Adapun terkait dengan pendidikan terhadap anak-

anaknya pada umumnya kepala desa dan tokoh masyarakat

dalam ketiga wilayah tersebut menyampaikan bahwa berjalan

dengan normal-normal saja, artinya tidak ada anak dari

keluarga poligami yang sampai terlantar tidak dipedulikan

pendidikan oleh orang tuanya, hal ini khususnya untuk

pendidikan dasar hingga menengah atas.

(PWTM A.1-4: Wawancara dengan kepala Desa/Tokoh

Masyarakat pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011)

D. Kecukupan Fasilitas dan Dana bagi anak dalam

Keluarga Poligami pada Kecamatan Jaya Baru, Meraxa

dan Ulee Kareng

Dalam penelitian ini, penulis sekaligus peneliti juga

perlu mengetahui apakah dukungan fasilitas dan

pengontrolan akhlak di kalangan keluarga pelaku poligami di

Kota Banda Aceh berjalan dengan baik ataupun sebaliknya.

Karena dukungan terhadap fasilitas khususnya terhadap

pendidikan anak dan pengontrolan terhadap akhlak mereka

merupakan bagian yang terpenting dalam menciptakan

generasi masa depan yang sukses dalam menggapai

kebahagian dunia dan akhirat.

Humadi Tatapangarsa (1991: 147) mengatakan bahwa

akhlak merupakan budi pekerti, kelakuan, watak, tabi`at.

Page 109: 14

97

Akhlak (أ خال ق ) terbagi ke dalam dua bagian, yaitu, pertama

akhlak yang baik (أ خال ق محمد ه ) seperti jujur, lurus, berkata

benar, menempati janji dan sebagainya, dan yang kedua :

akhlak jahat atau tidak baik (زم مو مه ,seperti khianat (أ خال ق

berdusta, melanggar janji dan sebagainya.

Sedangkan M. Nasir Budiman (2001: 142) mengatakan

akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk

perilaku.

Untuk membentuk akhlak yang baik adalah dengan cara

mendidik dan membiasakan akhlak yang baik tersebut, sejak

dari kecil sampai dewasa, bahkan sampai di hari tua, dan

sampai menjelang meninggal. Sebagaimana kita disuruh

menuntut ilmu dari sejak ayunan sampai ke liang lahat.

Berdasarkan hasil wawancara melalui penelitian

lapangan dari tanggal 25 Maret hingga 27 April 2011

mengenai dukungan fasilitas dan pengontrolan akhlak dari

kalangan keluarga poligami terhadap anak-anaknya, hal ini

sebagaimana hasil penelitian berikut:

Di Kecamatan Jaya Baru bahwa salah satu keluarga dan

yang lainnya juga mengatakan pada umumnya mereka

mendapat dukungan yang sangat berarti dari suami,

sehingga permasalahan seragam sekolah pada umumnya oleh

anak-anak sudah memilikinya. (PWKP A. 6: Wawancara

dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April

2011). Pada Kecamatan Meraxa bahwa satu keluarga

mengatakan memiliki seragam sekolah, hal ini juga sama

Page 110: 14

98

dengan bapak keluarga-keluarga lainnya dan sangat kecil

sekali mereka yang tidak memenuhi sarana dan prasarana

pendidikan tersebut. (PWKP A. 6: Wawancara dengan suami

dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).

Berikutnya keluarga di Kecamatan Ule Kareng

mengatakan bahwa salah satu keluarga poligami mengatakan

bahwa istri pada umumnya mengatakan bahwa anak-anak

mereka sudah memiliki kelengkapan dan sarana dalam

mengikuti pendidikan khususnya sekolah. (PWKP A. 6:

Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret

hingga 27 April 2011).

Berdasarkan data hasil wawancara di atas dapat

dipahami bahwa pada umumnya orang tua (suami) yang

berpoligami menyediakan sarana yang memadai berkaitan

dengan seragam sekolah dan olah raga, baik berupa sepatu

dan tas yang digunakan anak untuk pergi ke sekolah, hal ini

sebagaimana diakui juga oleh masing-masing istri mereka

dalam wawancara dengan penulis. (PWKP A. 6-7:

Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret

hingga 27 April 2011).

Untuk mengetahui apakah terhadap pemenuhan

sarana lainnya seperti buku bacaan, buku tulis hal ini

sebagaimana hasil wawancara berikut ini:

Ketiga keluarga yang diwawancarai di Kecamatan Jaya

Baru mengatakan pada umumnya mereka memiliki sarana-

sarana pendidikan tersebut, namun ada satu keluarga yang

mengatakan kadang-kadang ada kadang tidak. (PWKP A. 8:

Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret

hingga 27 April 2011).

Page 111: 14

99

Sedangkan di Kecamatan Ule Kareng ada dua keluarga yang

mengatakan bahwa kadang-kadang memiliki kelengkapan

sarana pendidikan secara lengkap.

(PWKP A. 8: Wawancara dengan suami dan istri pada

tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).

Apakah Bapak/Ibu membeli buku-buku bacaan pelajaran dan

buku tulis?

Hasil data di atas menunjukkan bahwa perhatian

keluarga terhadap penyediaan sarana dan prasarna belajar

untuk sekolah khususnya dalam memenuhi membeli buku

bacaan bagi anak-anak mereka sangat baik, artinya setiap

orang tua khususnya dalam keluarga poligami ada membeli

buku-buku bacaan sebagai sarana pendukung untuk

pendidikan anak-anaknya di sekolah, namun sebagian kecil

dari keluarga poligami kadang-kadang juga memiliki kendala

dalam memenuhi terhadap kebutuhan pendidikan anak

khususnya dalam kesediaan dalam membeli buku-buku

bacaan. (PWKP A. 9: Wawancara dengan suami dan istri

pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011)

Selain mengantarkan ke lembaga pendidikan dan

menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana, hal

terpenting lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan

terhadap anak dalam keluarga poligami adalah perhatian

khusus dalam mengikuti perkembangan pendidikan anak

dalam rumah tangga. Untuk itu sebagaimana hasil data

penelitian terhadap ada tidaknya orang tua menanyakan

kembali terhadap hasil belajar anak ketika mereka berada di

rumah, adalah sebagai berikut:

Page 112: 14

100

Apakah Bapak/Ibu menanyakan perkembangan hasil

belajar ketika di rumah?

Bahwa ke tiga keluarga di Kecamatan Jaya Baru

mengatakan pada umumnya mereka kadang-kadang

menanyakan perkembangan belajar anak-anaknya, bahkan

sangat menyedihkan ada salah satu keluarga dalam

kecamatan tersebut mengatakan tidak pernah sama sekali

telah menanyakannya. Adapun keluarga yang lainnya di

Meraxa mengatakan mengatakan bahwa pada umumnya

mereka kadang-kadang menanyakan perkembangan belajar

anak-anaknya, bahkan sangat mengherankan ada keluarga

dalam kecamatan tersebut mengatakan tidak pernah sama

sekali telah menanyakannya.

Di Kecamatan Ule Kareng Keluarga satu dan yang ke

tiga juga mengatakan mengatakan yang pada umumnya

mereka kadang-kadang menanyakan perkembangan belajar

anak-anaknya, bahkan sangat menyedihkan ada keluarga

yang ketiga dalam kecamatan tersebut mengatakan tidak

pernah sama sekali telah menanyakan perkembangan

pendidikan anak-anaknya. (PWKP A. 10-11: Wawancara

dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April

2011).

Berdasarkan hasil data tersebut di atas, maka dapat

dipahami bahwa perhatian keluarga (suami-istri) dalam hal

menyakan terhadap perkembangan hasil belajar anak ketika

berada di rumah, pada umumnya hal seperti ini sering

dilakukan oleh Istri/ Ibu si anak dan jarang sekali kesempatan

seperti itu ditanyakan oleh suami/Bapak si anak, bahkan ada

Page 113: 14

101

sebagaian keluarga poligami lainnya yang jarang sekali

menanyakan terhadap hasil belajar anak di sekolah.

Hal ini dapat dipahami bahwa mungkin kesempatan

yang dimiliki oleh Suami/Bapak yang sangat sempit dalam

membagi waktu untuk keluarganya yang lain, sehingga

dalam hal memeriksa buku catatan anak dan kelengkapan

buku catatanya juga sama halnya lebih banyak perannya oleh

Istri/Ibu si anak.

Dengan demikian dapat dipahami juga bahwa yang

mengetahui terhadap perkembangan kemampuan anak di

sekolah pada umumnya lebih banyak diketahui oleh Istri/Ibu

si anak. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan

kemampuan anak di sekolah, hal ini sebagaimana terlihat

pada hasil jawaban wawancara berikut:

Ketiga keluarga di Kecamatan Jaya Baru mengatakan yang

pada umumnya mereka kadang-kadang menanyakan

perkembangan belajar anak-anaknya, bahkan sangat

menyedihkan ada keluarga yang ketiga dalam kecamatan

tersebut mengatakan tidak pernah sama sekali telah

menayakannya.Hal yang sama pada keluarga di Kecamatan

Meraxa juga mengatakan bahwa per-kembangan belajar anak-

anaknya berjalan secara normal-normal saja, akan tetapi anak

dari keluarga satu poligami dia sering mendapatkan rangkin

lima besar artinya masuk kedalam lima besar.

Di Kecamatan Ule Kareng keluarga ada dua keluarga yang

mengatakan bahwa pada umumnya anak-anak mereka biasa-

biasa saja, akan tetapi anak dari satu keluarga yang lain

mendapatkan rangking 3 pada saat bagi raport semester

kemaren. (PWKP A. 13-15: Wawancara dengan suami dan istri

pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).

Page 114: 14

102

Berdasarkan hasil wawancara di atas disampaikan

bahwa kemampuan anak-anak dari keluarga poligami di

sekolah pada umumnya biasa-biasa saja, namun demikian

ada sebagian dari keluarga poligami yang anaknya memiliki

rangking kelas baik rangking 3 besar maupun 5 besar.

Disamping itu orang tua juga diharapkan agar dapat

melakukan pengontrolan terhadap anak-anaknya di sekolah

melalui kerjasama dengan guru, hal ini tidak saja bagi

keluarga (orang tua) poligami akan tetapi terhadap semua

orang tua berkewajiban untuk mengupayakannya, hal ini

sebagai salah bentuk dari trilogi pendidikan salah satunya

adanya kerjasama antara pihak pelaksana pendidikan dengan

orang tua dalam upaya meningkatkan belajar bagi anak,

karena belajar merupakan proses yang berlangsung terus-

menerus sepanjang hidup.

Bahwa dukungan fasilitas dan pengontrolan terhadap

akhlak anak dalam keluarga pelaku poligami khususnya di

Kota Banda Aceh dalam tiga Kecamatan sebagai lokasi

penelitian penulis, maka dapat dipahami bahwa orang tua

khususnya suami sudah melaksanakan dengan baik terhadap

kewajibannya dalam memenuhi nafkah lahir khususnya

berkaitan dengan dukungan terhadap fasilitas pendidikan

bagi anak dalam mengikuti pendidikannya di sekolah, seperti

dengan menyediakan seragam sekolah dan atributnya,

seragam olah raga, sepatu dan memenuhi terhadap

kebutuhan buku bacaan yang diperlukan oleh anak, akan

tetapi perhatian pendidikan anak keluarga lebih banyak

dilakukan oleh Istrinya/Ibu si anak.

Page 115: 14

103

E. Keteladan orang tua dan komunikasi aktif keluarga

Pada dasarnya bentuk keteladanan yang dapat

diperankan oleh orang tua terhadap anak-anaknya bermacam

ragam bentuknya baik melalui sikap orang tua dalam

bersosialisai dengan sesama anggota keluarga khususnya

suami istri dan juga anak-anak mereka, akan tetapi dapat juga

dalam bentuk lain seperti halnya dengan melakukan

komunikasi terhadap perkembangan anak ketika berada di

luar rumah, misalnya orang tua mengetahui terhadap

perkembangan anaknya di sekolah melalui dari guru di

sekolah, memberikan teguran kalau terlambat pulang ke

rumah serta memberinya sanksi jika kesalahan yang

dilakukan oleh anak sudah berulang-ulang kali. Hal ini

sebagai salah satu bagian terpenting kaitannya dengan

komunikasi aktif orang tua dengan anak-anaknya.

Berdasarkan data penelitian khususnya terhadap

keluarga poligami berkaitan dengan ada tidaknya menanya-

kan kepada guru tentang perkembangan pendidikan anak

khususnya berkaitan dengan kedisiplinan anak ketika berada

di sekolah, hal ini sebagaimana terlihat dalam hasil

wawancara berikut ini:

Apakah Bapak/Ibu menanyakan kepada guru tentang

kedisiplinan anak di sekolah?

Hasil penelitian pada keluarga di Kecamatan Jaya Baru

menunjukkan bahwa pada umumnya mereka jarang sekali

menanyakan perkembangan pendidikan anaknya di sekolah

kepada para guru. (PWKP A. 14: Wawancara dengan suami

dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011) Di

Kecamatan Meraxa hasil penelitian juga menujukkan sama

Page 116: 14

104

perhatian mereka terhadap kasih sayang dengan sesama yang

lain, kasih sayang terhadap anak-anak dalam kehidupannya

masih belum maksimal. (PWKP A. 14: Wawancara dengan

suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011)

Sedangkan di Kecamatan Ule Kareng bahwa hasil penelitian

juga menunjukkan bahwa pada umumnya tidak ada kendala,

akan tetapi nilai-nilai kasih sayang masih jauh jika

dibandingkan dengan rumah tangga yang normal. (PWKP A.

14: Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret

hingga 27 April 2011)

Beradasarkan data di atas dapat dipahami bahwa pada

umumnya orang tua dalam keluarga poligami jarang sekali

menanyakan terhadap perkembangan pendidikan anak di

sekolah khususnya kepada guru seperti halnya mengenai

kedisiplinan, namun hanya sebagian kecil saja yang ada

menanyakan bahkan ada dari orang tua keluarga poligami

yang tidak pernah sama sekali menanyakan kepada guru

terhadap perkembangan pendidikan anak khususnya

mengenai kedisiplinan mereka ketika berada di sekolah.

Akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh bahwa bagi orang

tua/keluarga selain pelaku poligami menurut asumsi penulis

juga demikian adanya (sama saja), artinya sikap orang tua

dalam melakukan pemantauan terhadap anak-anaknya

sampai ke sekolah saat ini sudah sangat jarang dilakukan

apalagi sampai menanyakan kepada guru terhadap

perkembangan anaknya dalam belajar, karena pada dasarnya

belajar itu memiliki karateristiknya tersendiri. Adapun ciri-ciri

belajar tersebut adalah sebagai berikut:

Page 117: 14

105

1. Belajar dilakukan dengan sadar dan mempunyai tujuan.

Tujuan dipakai sebagai arah kegiatan dan sekaligus

sebagai tolok ukur keberhasilan belajar.

2. Belajar merupakan pengalaman sendiri, tidak dapat

diwakilkan pada orang lain. Jadi belajar bersifat

individual.

3. Belajar merupakan proses interaksi antara individu dan

lingkungan.

4. Berarti individu harus aktif bila dihadapkan pada suatu

lingkungan tertentu. Keaktifan ini dapat terwujud

karena individu memiiki berbagai potensi untuk

belajar. Misalnya perhatian, minat, pikiran, emosi, dll.

5. Belajar mengakibatkan terjadinya perubahan pada diri

seseorang yang belajar. Perubahan tersebut bersifat

integral, artinya perubahan dalam aspek kognitif,

afektif dan psikomotorik yang terpisahkan satu sama

lain.

Unsur-unsur dinamis dalam belajar mempunyai arti

yaitu faktor- faktor yang keberadaanya berubah-ubah

dalam diri individu yang belajar.

Padahal jika hal itu diupayakan oleh orang tua maka

dengan sendirinya mereka dapat mengetahui terhadap

perkembangan motivasi belajar anak, sehingga dapat

diupayakan perbaikan jika anak kurang memiliki motivasi

belajar dan memberi dukungan sepenuhnya bagi anak yang

sudah memiliki motivasi dalam belajar untuk dapat

ditingkatkan di masa yang akan datang.

Untuk mengetahui terhadap pengontrolan oleh orang

tua/keluarga pelaku poligami berkaitan dengan perilaku

Page 118: 14

106

anak seperti memberikan teguran kalau terlambat pulang

ke rumah, hal ini sebagaimana terlihat pada hasil data

wawancara berikut ini:

Hasil penelitian di Kecamatan Jaya Baru menunjukkan

bahwa pada umumnya bervariasi permasalahannya, seperti

permasalahan jarang diadakannya shalat jama’ah dalam

keluarga. Pada Kecamatan Meraxa hasil penelitian juga

menujukkan sama perhatian mereka terhadap kasih sayang

dengan sesama yang lain, Pada kecamatan Ule Kareng

bahwa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada

umumnya tidak ada kendala , akan tetapi nilai-nilai kasih

sayang masih jauh jika dibandingkan dengan rumah tangga

yang normal. Untuk melihat hasil penelitian ada tidaknya

diberikan teguran jika anak telat pulang ke rumah. (PWKP.

15: Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25

maret hingga 27 April 2011)

Hasil penelitian di Kecamatan Jaya Baru menunjuk-

kan bahwa pada umumnya di kecamatan ini, bahwa ketiga

keluarga yang dijadikan sebagai sampel penelitian

mengatakan kadang-kadang ada ada kadang tidak. Di

Kecamatan Meraxa Hasil penelitian juga menunjukkan

bahwa salah satu orang tua mengatakan sering menayakan

jika anak terlambat sampai ke rumah, akan tetapi umumnya

mereka sama perhatian mereka terhadap kasih sayang

dengan sesama yang lain. Adapun di Kecamatan Ule

Kareng bahwa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

pada umumnya tidak ada kendala, akan tetapi nilai-nilai

kasih sayang masih jauh jika dibandingkan dengan rumah

tangga yang normal. (PWKP A. 16 Wawancara dengan

Page 119: 14

107

suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April

2011)

Berdasarkan hasil data wawancara di atas, dapat

dipahami bahwa pada umumnya jika anak terlambat

pulang ke rumah, maka orang tua tetap menegurnya. Hal

tersebut perlu mendapat perhatian dari semua orang tua

agar anak-anak dalam kesehariannya memiliki

pengontrolan dan pengawasan khususnya dalam hal

tingkah lakunya, dan apabila dilakukan secara berulang-

ulang setelah diberikan teguran maka orang tua tidak salah

jika sekali-kali memberikan sanksi atau hukuman yang

sesuai dengan kapasitas anak itu sendiri artinya disesuai-

kan dengan tingkat perkembangannya. Untuk mengetahui

ada tidaknya orang tua memberikan sanksi terhadap anak

jika mereka terlambat pulang ke rumah, hal ini

sebagaimana terlihat pada hasil wawancara penulis dengan

responden berikut ini:

Apakah Bapak/Ibu memberikan sanksi apabila

terlambat pulang ke rumah?

Bahwa pada umumnya baik keluarga poligami yang

ditinggal di kecamatan Jaya baru, Ule kareng dan Meraxa

pada umumnya meraka sangat peduli dengan tingkah laku

anak, bagi anak yang berbuat salah tetap mereka tegur jika

berulang kali maka akan diberikan sangsi yang sesuai bagi

mereka. (PWKP A. 17: Wawancara dengan suami dan istri

pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).

Berdasarkan hasil data di atas dapat dipahami bahwa

bagi orang tua pelaku poligami juga sangat antusias

terhadap pengontrolan anak-anaknya ketika berada di luar

Page 120: 14

108

pekarangan khususnya jika mereka bermain di luar rumah

atau bersosialisasi dengan lingkungannya, sehingga orang

tua baik suami atau istri tetap memberikan sanksi setelah

sebelumnya mereka telah menegurnya.

Bahwa keteladanan orang tua dan komunikasi aktif

dengan keluarga bagi mereka pelaku poligami belum

berjalan dengan baik sebagaimana diharapkan antara lain

kurangnya kepedulian orang tua dalam melakukan

komunikasi dengan guru terhadap perkembangan anak

khususnya berkaitan dengan kedisiplinan mereka ketika

berada di sekolah, namun dalam hal pengontrolan terhadap

perilaku anak di luar rumah dan mematuhi penyampaian

orang tua, seperti berkenaan dengan keberadaan anak di

rumah tidak boleh terlambat, hal ini dapat dipahami bahwa

orang tua pelaku poligami pada khususnya sudah

memberikan perhatian yang sangat baik terhadap anak-

anak mereka, bahkan anak akan diberikan sanksi jika sudah

beberapa kali diberikan teguran.

Untuk melihat keseimbangan data hasil penelitian

sebagaimana disampaikan oleh tokoh masyarakat/kepala

desa setempat terhadap pemenuhan kebutuhan dan

pengontrolan terhadap anak dalam keluarga poligami

khususnya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hak

istri dan anak serta ada tidaknya laporan miring baik dari

anak maupun dari istri terhadap mereka (suami) hal ini

sebagaimana disampaikan oleh ketiga kepala desa/tokoh

masyarakat dalam wilayah penelitian adalah sebagai

berikut:

Page 121: 14

109

Bahwa kepala desa dan tokoh masyarakat mengatakan

bahwa pada umumnya terpenuhi dengan baik dan jarang

mendapat laporan miring dari rumah tangga mereka. (PWTM

A. 1-4: Wawancara dengan kepala desa/tokoh masyarakat

pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011).

Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat dipahami

bahwa pada umumnya suami dalam keluarga berpoligami

dapat memenuhi kebutuhan baik terhadap istri dan juga

anak-anaknya, namun sebagian yang lain ada juga yang

menyampaikan laporan miring, seperti keberadaannya pada

salah satu rumah mereka yang belum terpenuhi secara adil,

sehingga sampai juga kepada tingkat kepala desa dan tokoh

masyarakat untuk memberikan penyelesaian masalah

terhadap masalah yang dilaporkan tersebut. Untuk lebih

jelasnya mengenai masalah-masalah seperti itu, hal ini penulis

rangkum dalam nampak negatif dan positifnya bagi keluarga

yang melakukan poligami.

F. Dampak Negatif dan Positif terhadap Penyelenggaran

Pendidikan Anak dalam Keluarga Poligami pada

Kecamatan Jaya Baru, Meraxa dan Ulee Kareng

Dalam upaya mewujudkan suatu harapan tentunya

akan menghadapi kesulitan atau hambatan. Begitu juga

halnya dalam menciptakan keluarga yang harmonis,

tentunya sebagai seorang suami ataupun istri akan

menghadapi hambatan-hambatan dalam keluarga termasuk

dalam mewujudkan pendidikan yang baik bagi anak-

anaknya, khususnya pendidikan agama.

Page 122: 14

110

Untuk itu sebagaimana data hasil wawancara dengan

responden terhadap dampak negatif dan positif dalam

prakteknya berkaitan dengan poligami sebagaimana uraian

berikut ini. Memahami dampak positif poligami bisa saja

karena berkaitan antara salah satu keduanya ataupun

karena keduanya, sebagai alasan dari awal melakukan

poligami.

Berdasarkan data hasil wawancara dengan responden

dapat dipahami bahwa bagi suami yang melakukan

poligami memiliki banyak alasan-alasan tertentu sehingga

mereka melakukan poligami atau menikah dengan

perempuan lain setelah sebelumnya sudah memiliki isteri,

beradasarkan hasil wawancara sebagian dikarenakan ingin

memperoleh keturunan karena dari istri sebelumnya belum

memperolehnya atau anak dari perempuan lain dan sudah

diizinkan oleh istri sebelumnya, sebagaian yang lain

mengangap memiliki kemampuan dan dibenarkan dalam

agama, namun banyak juga dari mereka tidak mau

memberikan komentar apa-apa, sehingga penulis sekaligus

peneliti tidak dapat memaksakan untuk diberikan jawaban,

karena hal itu mengingat hak pribadi seseorang atau hak

privasi seseorang, namun perlu dipahami bahwa pada

umumnya mereka berpoligami memiliki kemapanan secara

ekonomi. (PWKP B. 1-6: Wawancara dengan suami dan

istri pada tanggal 25 maret hingga 27 April 2011). Terhadap

dampak positif bagi suami, hal yang sama juga

sebagaimana disampaikan oleh pihak istri yang menerima

dipoligami. Hal ini sebagaimana terlihat dalam data hasil

wawancara berikut:

Page 123: 14

111

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pihak istri

juga merasakan dampak yang positif bagi mereka dalam

melakukan poligami khususnya bagi istri muda, namun

istri tua juga dapat menerimanya karena mengingat dirinya

memiliki kekurangan yang dirasakannya. (PWKP B. 1-6:

Wawancara dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret

hingga 27 April 2011).

Untuk melihat keseimbangan data hasil penelitian

sebagaimana disampaikan oleh tokoh masyarakat/kepala

desa setempat terhadap dampak positif tersebut khususnya

bagi suami berkaitan dengan alasan mereka melakukan

poligami dalam tiga kecamatan dalam Kota Banda Aceh

sebagai wilayah penelitian adalah sebagai berikut:

Hasil penelitian pada Kecamatan Jaya Baru

menunjukkan bahwa kepala desa mengatakan pada

umumnya belum memiliki keturunan sebelumnya, namun

sebagian ada juga yang sudah memiliki, dan mereka

umumnya peduli dengan sosial kemasyarakatan, Di

Kecamatan Meraxa hasil penelitian menunjukkan bahwa

kepala desa mengatakan bahwa pada umumnya mereka

belum memiliki keturunan sebelumnya, dan mereka

umumnya jarang berada dalam kegiatan keagamaan di

masyarakat. Sedangkan di Kecamatan Ule Kareng hasil

penelitian menunjukkan bahwa kepala desa mengatakan

pada umumnya belum memiliki keturunan sebelumnya,

namun ada juga yang sudah sebelumnya dan mereka

umumnya peduli dengan sosial kemasyarakatan dan juga

sering hadir dalam shalat jama’ah di mushalla.

Page 124: 14

112

Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat

dipahami bahwa pada umumnya suami berpoligami dalam

wilayah desa mereka umumnya karena belum memiliki

keturunan, namun sebagian kecil ada yang sudah memiliki

juga. (LOPPA: tanggal 26 April 2011)

Kepala Desa dan tokoh masyarakat juga

menambahkan bahwa mereka dalam bersosialisasi dengan

masyarakat pada umumnya memiliki kepedulian yang

tinggi khususnya terhadap sosial kemasyarakatan, namun

ada juga sebagian dari mereka yang tidak terlibat dalam

kegiatan keagamaan dalam desa (PWTM B. 1-4:

Wawancara dengan kepala desa/tokoh masyarakat pada

tanggal 25 maret hingga 27 April 2011)

Selain dampak positif itu sendiri, namun tidak dapat

dipungkiri praktek poligami juga memiliki dampak negatif

khususnya bagi pihak suami itu sendiri jika secara

kebutuhan ekonominya kurang memadai, karena

mengingat tanggungan yang harus dipenuhi sebagai

kewajibannya akan bertambah.

Berdasarkan hasil wawancara mengingat pada

umumnya suami yang berpoligami memiliki pendapatan

yang memadai, sehingga tidak ada kendala bagi mereka

dalam memenuhi kewajiban terhadap istri-istrinya serta

kebutuhan terhadap anak-anaknya, akan tetapi dampak

negatif itu sendiri lebih banyak diterima oleh istri maupun

anak-anaknya. Hal ini sebagaimana paparan hasil

penelitian berikut:

Pada Kecamatan Jaya Baru hasil penelitian

menunjukkan bahwa keluarga satu kadang-kadang ada

Page 125: 14

113

juga ejekan temannya, biasanya dari anak yang paling kecil,

dalam hal belajar tidak terganggu belum memiliki

keturunan sebelumnya, dan mereka umumnya peduli

dengan sosial kemasyarakatan. Selanjutnya di Kecamatan

Meraxa hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai saat

ini belum ada laporan dari anak-anak, dan dalam hal

belajar tidak terganggu, selanjutnya keluarga ada juga

keluarga yang tidak memberikan komentar apa-apa dan

terakhir dari keluarga poligami yang lain mengatakan

bahwa sampai saat ini belum ada laporan dari anak-anak,

dan dalam hal belajar tidak terganggu. Adapun di

Kecamatan Ule Kareng hasil penelitian menunjukkan

berpoligami bagi mereka bahwa aman-aman saja dalam

keluarganya dan ada sebahagian juga yang tidak

memberikan komentar apapun. (PWKP C. 1-8: Wawancara

dengan suami dan istri pada tanggal 25 maret hingga 27

April 2011).

Berdasarkan data hasil penelitian di atas dapat dipahami

bahwa pada umumnya istri yang menerima dipoligami dalam

wilayah desa di tiga Kecamatan dalam Kota Banda Aceh

sejauh ini belum memiliki dampak negatif terhadap mereka,

namun sebagian dari mereka ada menerima laporan dari

anak-anaknya yang kecil atas ejekan teman ketika bermain,

secara kebutuhan tidak mengalami kendala akan tetapi kasih

sayang dan perhatian yang lebih dari suami/Bapak si anak

pada umumnya yang menjadi permasalahan utama, sehingga

kadang-kadang suami lebih banyak menghabiskan waktunya

pada istri muda ketimbang pada istrinya yang pertama, serta

anak tumbuh dan berkembang kurang mendapatkan

Page 126: 14

114

perhatian dari Bapak/Ayahnya. Suami sebagai kepala

keluarga tidak membagi waktu yang jelas untuk masing-

masing isteri dan anak-anaknya, keberadaan suami dalam

rumah tangga mereka dapat dikatakan sangat tidak maksimal

diantara salah satu isteri dalam keluarga, artinya kehadiran

suami di tengah-tengah keluarga kapan ia sukai. Dengan

sendirinya anak jarang dapat berkumpul dengan ayahnya.

(LOPPA: tanggal 26 April 2011).

Hal tersebut di atas sebagaimana diakui juga oleh Kepala

Desa dan tokoh masyarakat dengan menambahkan bahwa pada

umumnya suami yang berpoligami tidak memiliki hambatan

secara ekonomi karena mereka dapat memenuhi kebutuhan

semua anak dan istri-istrinya akan tetapi permasalahan keadilan

dalam hal batin yang berkaitan dengan perhatian dan kasih

sayang tidak bisa diberikan secara maksimal untuk istri-istri dan

anak-anak mereka, walaupun pada umumnya lebih banyak

waktu yang dihabiskan dengan istri mudanya. Perhatian suami

ternyata lebih bayak dicurahkan pada isteri kedua dan anak-

anaknya, suami lebih sering berada pada isteri kedua,

keberadaan suami di tengah-tengah isteri pertama dan anak-

anaknya rata-rata di bawah 10 hari dalam sebulan. Hal ini

disebabkan adanya kejenuhan dan kebosanan berada pada isteri

pertama, hal ini disebabkan adanya sifat isteri pertama yang

membosankan, sehingga suami enggan berada pada isteri

pertamanya. (PWTM C. 1-8: Wawancara dengan kepala

desa/tokoh masyarakat pada tanggal 25 maret hingga 27 April

2011)

Dengan demikian berdasarkan penjelasan di atas terhadap

dampak positif dan negatif dalam praktek poligami dapat

dijelaskan bahwa khususnya bagi pihak suami secara umum

Page 127: 14

115

berdampak positif dan sangat jarang sekali memiliki dampak

negatif apalagi secara ekonomi mereka dapat memenuhi semua

kebutuhan bagi masing-masing istri dan anak-anaknya, akan

tetapi bagi pihak istri dan anak merasakan kekurangan dari sisi

kebutuhan batin yang kurang maksimal didapatkan oleh

mereka, khususnya bagi anak perhatian dan kasih sayang yang

sempurna sulit untuk didapatkan, disamping itu juga sebagian

kecil anak khususnya yang masih berada di sekolah

dasar/ibtidaiyah kadangkala mendapat ejekan dari teman-

temannya bahwa Bapak/Ayah jarang pulang karena lebih sayang

salah satu pihak dan berbagai macam ocehan lainnya yang

memberikan indikasi terhadap kesedihan yang mereka rasakan.

G. Pembahasan

Sebelum melaksanakan penelitian untuk memperoleh

data yang sebenarnya mengenai penyelenggaraan pendidikan

anak dalam keluarga poligami di Kota Banda Aceh

khususnya terhadap tiga kecamatan sebagai lokasi penelitian.

Setelah diperoleh hasil penelitian perlu ditinjau kembali

mengenai pembahasan terhadap hasil penelitian.

1. Proses Pembinaan Akhlak dan Mengantarkannya ke

Sekolah.

Abdul Razak Husein (1992: 19) mengatakan bahwa

hak asasi anak dalam pandangan Islam dikelompokkan

secara umum ke dalam bentuk hak asasi anak yang

meliputi subsistem berikut ini:

a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan.

b. Hak anak dalam kesucian keturunannya.

c. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik.

d. Hak anak dalam menerima susuan.

Page 128: 14

116

e. Hak anak dalam mendapat asuhan, perawatan dan

pemeliharaan.

f. Hak anak dalam memiliki harta benda atau hak

warisan; demi kelangsungan hidup anak yang

bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas mengenai hak anak, salah

satunya kaitannya dengan pendidikan. Secara umum anak-

anak yang mendapatkan pendidikan lebih baik masa

depannya akan cemerlang dan lebih berhasil dibandingkan

dengan yang pendidikannya kurang mendapatkan perhatian

dari orang tuanya. Sebagian informan mengatakan bahwa

anak-anak yang dalam keadaan kekurangan pendidikannya

akan kurang berhasil, tetapi anak-anak dari keluarga poligami

yang berkecukupan pendidikannya akan lebih berhasil.

Pendapat ini tidak sepenuhnya benar walaupun tidak

sepenuhnya salah, karena masih banyak faktor lain yang

mempengaruhinya dan bagaimana sikap, pendirian,

kemampuan dan keuletan dari anak dan orang tuanya. Belajar

adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan

tingkah laku. Winkel dalam Darsono (2000:4) mengatakan belajar

adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam

interaktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan

dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap.

Ciri-ciri belajar sebagai sifat atau keadaan yang khas dimiliki

oleh perbuatan belajar, dengan demikian ciri-ciri belajar ini

akan membedakannya dengan perbuatan yang bukan belajar

(Darsono, 2000:30).

Berdasarkan hasil data penelitian melalui wawancara

dengan para responden bahwa proses pembinaan akhlak dan

ikut mengantarkan ke sekolah terhadap anak dalam keluarga

Page 129: 14

117

pelaku poligami berjalan dengan baik sebagaimana keadaan

keluarga-keluarga monogami lainnya, artinya pada

umumnya anak-anak mereka juga di antar ke lembaga

pendidikan khususnya sekolah, ketika pagi diantar dan

siangnya dijemput kembali, selanjutnya menyediakan setiap

sarana dan prasana pendidikan bagi anak untuk sekolah.

(PWKP. 1-17, PWKD.1-4).

Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa bahwa

proses pembinaan akhlak dan ikut mengantarkan ke sekolah

dalam keluarga poligami tidak mengalami suatu kendala

khususnya jika ditinjau dari segi sarana dan prasarana serta

dalam penyediaan fasilitas lainnya, namun demikian dari segi

perhatian terhadap mereka masih belum maksimal

sebagaimana diharapkan.

2. Keteladanan yang dapat dicontoh oleh anak dalam

keluarga poligami.

Suami selaku kepala keluarga mempunyai tanggung

jawab yang besar dalam perkawinan poligami untuk

kelangsungan hidup anakanaknya, ia mempunyai peranan

yang besar dalam memberikan arahan dan petunjuk serta

pendidikan kepada anak-anak agar diantara anak yang lahir

dari masing-masing isteri dapat membina hubungan yang

harmonis dan tidak saling mencurigai antara satu dengan

yang lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan

responden bahwa baik bagi suami yang berpoligami dan istri

yang dipoligami serta anak-anak mereka sebelumnya

memiliki dampak positif yang sangat berarti. Bagi suami

Page 130: 14

118

sesuai dengan alasannya berpoligami untuk mendapat

keturunan maka ia akan mendapatkan keturunan dari istri

yang dipolagami, begitu juga bagi istri mudanya itu akan ada

memberikan nafkah baik untuk dirinya serta anak-anaknya,

seperti dalam membiayai pendidikan anak serta kebutuhan

pendukung lainnya dalam pendidikannya di sekolah (PWKP.

1-5, PWTM.1-3).

Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa

dampak positif bagi keluarga poligami dapat dirasakan oleh

semua komponen yang ada di dalamnya, bagitu juga halnya

terhadap pendidikan anak, bahwa anak yang sebelumnya

sudah yatim mereka masih dapat melanjutkan pendidikan

dan dapat memenuhi sarana dan prasarana pendukung

lainnya dalam kebutuhan pendidikan anak di sekolah.

3. Penyediaan fasilitas dan dana bagi anak dalam

keluarga poligami.

Sebagaimana yang disebutkan oleh H.M Basballah

Thaib dalam Majid Kadhuri (1999: 123), bahwa seorang

muslim menikahi lebih dari seorang isteri, maka dia

berkewajiban untuk memperlakukan mereka secara sama

dalam hal. Makan, kediaman, pakaian, dan bahkan hubungan

seksual sejauh yang memungkinkan. Keadilan di sini hanya

berhubungan dengan usaha yang dimungkinkan secara

manusiawi. Dalam hal cinta kasih, sekalipun andaikan

seorang benar–benar ingin berbuat adil dengan tujuan yang

tulus dia tetap tak akan mampu melakukannya mengingat

keterbatasannya sebagai manusia.

Page 131: 14

119

Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan

responden bahwa baik bagi suami yang berpoligami tidak

ditemukan dampak negatif yang berarti baginya karena pada

umumnya mereka yang mempraktekkan poligami memiliki

kemampanan secara ekonomi, namun tantangan dalam

memberikan pemahaman kepada masing-masing istrinya dan

anak-anaknya dalam upaya membagikan waktu yang seadil-

adilnya sebagai kendala umum yang didapati serta meredam

kecemburuan dari salah istri.

Adapun dari segi pendidikan bagi anak dampak negatif

yang dirasakannya adalah perhatian dan kasih sayang yang

kurang ia dapatkan khususnya dari Bapak/Ayahnya serta

pemantauan terhadap per-kembangan akhlak anak baik di

sekolah, keluarga maupun dalam masyarakat, sehingga lebih

didominasi oleh masing-masing istri mereka. (PWKP. 1-7,

PWTM.1-6).

Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa

dampak negatif terhadap pendidikan anak dalam keluarga

poligami, bahwa pada umumnya anak-anak sangat kurang

maksimal dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang

dari Bapak/Ayahnya, bagitu juga halnya dengan perhatiannya

di lembaga pendidikan khususnya di sekolah, orang tua

belum maksimal dalam melakukan kerjasama dengan guru,

serta lemahnya pemantauan terhadap perkembangan akhlak

anak baik dalam keluarga, sekolah dan ketika anak

bersosialisasi dalam masyarakat.

Page 132: 14

120

Page 133: 14

121

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

etelah melakukan kajian lebih mendalam dan penelitian

lapangan tentang pendidikan anak dalam keluarga

poligami di Kota Banda Aceh dan pada tiga Kecamatan

sebagai lokasi penelitian pada khususnya, maka penulis

mengambil beberapa kesimpulan dan saran-saran yang

konstruktif di akhir tulisan ini.

Bahwa pembinaan akhlak dan mengentarkannya

kelembaga pendidikan dalam keluarga poligami di Kota

Banda Aceh tidak mengalami suatu kendala khususnya jika

ditinjau dari segi sarana dan prasarana serta dalam

penyediaan fasilitas lainnya, namun demikian dari segi

perhatian dan kasih sayang terhadap mereka masih belum

maksimal sebagaimana yang diharapkan.

Bahwa penyediaan fasilitas dan pemenuhan dana bagi

keluarga poligami di Kota Banda Aceh tidak menjadi kendala

bagi istri dan oleh semua komponen yang ada di dalamnya,

bagitu juga halnya terhadap pendidikan anak, bahwa anak

yang sebelumnya sudah yatim mereka masih dapat

melanjutkan pendidikan dan dapat memenuhi sarana dan

prasarana pendukung lainnya dalam kebutuhan pendidikan

anak di sekolah.

Bahwa keteladanan dari sisi keadilan materi akan tetapi

dampak negatif terhadap pendidikan anak dalam keluarga

poligami di Kota Banda Aceh, bahwa pada umumnya anak-

S

Page 134: 14

122

anak sangat kurang maksimal dalam mendapatkan perhatian

dan kasih sayang dari Bapak/Ayahnya, bagitu juga halnya

dengan perhatiannya di lembaga pendidikan khususnya di

sekolah, orang tua belum maksimal dalam melakukan

kerjasama dengan guru, serta lemahnya pemantauan

terhadap perkembangan akhlak anak baik dalam keluarga,

sekolah dan ketika anak bersosialisasi dalam masyarakat.

A. Saran-Saran

Hasil penelitian ini belumlah final, perlu dikaji lebih

lanjut demi tercapainya hasil yang maksimal, oleh karena itu

penulis menyarankan agar para pembaca meneliti ulang hasil

penelitian ini, dan mencari sisi lain yang bisa dijadikan bahan

penelitian selanjutnya. Agar pelaksanaan pendidikan bagi

anak khususnya dalam keluarga poligami dapat berjalan

dengan lancar dan dapat memberikan pengaruh dan

dorongan positif, maka sangat diharapkan kepada pelaku

poligami untuk mempersiapkan segala sesuatu urusan yang

berkaitan dengan masalah tanggung jawabnya terhadap istri

dan anak, khususnya terhadap masalah pendidikan bagi

anak.

Agar keluarga poligami dapat membangun keluarga

yang sakinah, mawaddah dan warahmah, maka diharap-kan

baik kepada suami dan istri untuk dapat memahami

tanggung jawab dan haknya masing-masing sesuai dengan

konsep dalam pernikahan itu sendiri. Jika adanya

permasalahan maka dapat disikapi dengan bijak karena

memang pada dasarnya poligami itu sulit untuk memberikan

Page 135: 14

123

keadilan yang sama bagi masing-masing istri dan keluarga

mereka.

Poligami tidak dilarang dalam agama apabila orang

yang hendak berpoligami dapat memenuhi persyaratan

sebagaimana yang telah di tetapkan, baik dalam beragama

maupun dalam bernegara.

Di antara persyaratan yang paling berat untuk dapat

dipenuhi oleh orang-orang yang mempraktekkan poligami

adalah berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya. Maka

untuk itu jika bagi suami tidak mampu berlaku adil, baik

secara material maupun secara batin kiranya cukup memiliki

satu istri saja.

Bagi pemuda dan pemudi yang ingin melangkah ke

jenjang perkawinan, agar berhati-hati dalam memilih dan

menentukan pasangan hidupnya. Kenalilah benar-benar

wataknya, kepribadian dan sifat pasangan masing-masing

agar terciptanya keserasian hidup dalam berumah tangga,

supaya terwujud perkawinan yang abadi yaitu hanya ada

sekali perkawinan dalam kehidupan, juga agar tercipta

generasi yang betul-betul dapat diharapkan dari sisi jasmani

dan rohani. Orang tua selaku pendidik dalam rumah tangga

hendaknya mencoba memahami anak sehingga apabila

terdapat konflik pada anak akan mudah mencari solusinya.

Pihak pemerintah seharusnya mensosialisasikan

mengenai poligami yang bagaimana yang dianjurkan dalam

Islam, sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa poligami itu

penindasan terhadap wanita. Dan dengan adanya sosialisasi

ini Insyaallah dapat mengurangi dampak negatif terhadap

isteri serta pendidikan anak-anak dimasa yang akan datang.

Page 136: 14

124

Page 137: 14

125

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abubakar Mahmud, Membangun Manusia Seutuhnya Menurut

Al-Qur`an, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th.

Abdurrahaman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana,

2006.

Abdurrachman Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:

Akademika Presindo, 1995.

Abdurrahman, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah

(syariah), Jakarta: Rajawali Press, 2002.

Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Dalam Keluarga, Bandung:

Remaja Rosda Karya, 1995.

Ahmad Badawi, Pengantar Kurikulum, Jakarta: Bina Ilmu, 1984.

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata

Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.

Amir Syarifuddin Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara

Fiqh Munakahat dan Undang Undang Perkawinan,

Jakarta: Prenada Media, 2006.

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata

Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004.

Ashghar Ali Engineer Pembebasan Perempuan, (The Quran,

Women and Modern Society, terjemahan Agus

Nuryanto), Yogyakarta: LKiS. 2003.

A. H. Harahap, Bina Remaja, Medan: YBPI, 1981.

Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam

Poligami, Cet. I, Jakarta: Globalmedia, 2003.

Humadi Tatapangarsa, Akhlak Yang Mulia, Surabaya: Bina

Ilmu, 1991.

Page 138: 14

126

Burhanuddin Tala, dkk, Standar Supervesi dan Evaluasi

Pendidikan, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.

Budiarti R T, Mohammad H & Bahaweres R A, ‘Provokasi

gunung es poligami’, Gatra, 20 Desember 2006.

Bibit Suprapto, Liku – liku Poligami, Yogyakarta: Al Kautsar,

1990.

Charles Schaefer, Bagaimana Mempengaruhi Anak: Pegangan

Praktis Bagi Orang Tua, Cet. III Semarang: Dahara

Prize, 1989.

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 2002.

Eva Susanti, Menguak Sisi Gelap Poligami, Jakarta : http://

[email protected], 19-01-2007.

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2001.

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz. V, Kairo: Dar al Kutub al

Islamiyyah, 1993.

Imam Ahmad bin Hanbal, Sunan Ahmad Bin Hanbal, Bab

Nikah, Juz. V Kairo: Dar al Kutub al Islamiyyah,

1992.

Jamaluddin Iddris, Analisis Kritis Mutu Pendidikan, Banda

Aceh: Suluh Press, 2006.

John A. Schindler, M.D, Bagaimana Menikmati Hidup 365 Hari

Dalam Setahun, Jakarta : Bumi Aksara, 1992.

Kartini katono, Peranan Keluarga Memandu Anak, Jakarta:

Rajawali, 1985.

Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas

Pemikiran Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka

Belajar, 1996.

Koentjaraningrat, Metodologi Penelitian, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2004.

Page 139: 14

127

Mahdi Fuad A. Gani, Hukum Islam, Banda Aceh : Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah

Kuala, 1992.

M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al Qur’an, Cet.

I, (Jakarta: Madani Press, 2001.

Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran,

Jakarta: Pustaka Muhammadiyah, 1961.

Majid Sulaiman Daudin, Hanya untuk Suami, Jakarta: Gema

Insani, 1996.

Muhammad Syahrur, Nahwa Usul Al jadidah, Damaskus: Dar

Al Ahali, 1995.

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo: Dâr Al-Fikr,

t.th.

M. Arifin - Aminuddin Rasyad, Dasar-dasar Kependidikan,

Jakarta: Dirjen Bimbingan Islam dan Universitas

Terbuka, 1991.

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Tafsir Maudhu’I

atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. XVI, Bandung:

Mizan, 2005.

M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.

________, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Bimbingan dan

Penyuluhan Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami, Cet. I, Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Musdah Mulia Pandangan Islam tenang Poligami, Jakarta:

Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999.

Mustaqim dan Abdul Wahib, Psikologi Pendidikan, Cet. II,

Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2001.

Page 140: 14

128

Nasaruddin Umar Argumentasi Kesetaraan Gender, Jakarta:

Paramadina, 2001.

Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung:

Rosdakarya, 1999.

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran di Bawah Naungan Al-

Quran, Terj. As’ad Yasin, dkk, Cet. I, Jakarta: GIP,

2002.

Setiati, E, Hitam putih poligami: menelaah Perkawinan poligami

sebagai sebuah fenomena, Cisera Publishing, Jakarta,

2007.

Soemiarti Padmono Dewo, Pendidikan Anak Prasekolah, Jakarta:

Rineka Cipta, 2000.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Syarifah Habibah, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan

Tinggi Umum, Banda Aceh : Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, 2006.

S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara,

1995.

Zakiah Dardjat Kesehatan Mental, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.

____________, , Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang 1994.

Page 141: 14

129

RIWAYAT HIDUP

enulis bernama M. Yusuf Zulkifli, dilahirkan di Bireuen

pada tanggal 04 Oktober 1984, penulis merupakan anak

kedua dari pasangan Zulkifli Saleh dan Zainabon, penulis

mengawali pendidikan dasar Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1

Blangme Bireun, selesai pada tahun 1996. Setelah

menyelesaukan bangku Sekolah Dasar kemudian

melanjutkan pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri

2 Gandapura selesai pada tahun 1999, kemudian melanjutkan

kembali kejenjang berikutnya yaitu Sekolah Menengah Atas

(SMA) pada saat itu namanya Sekolah Menengah Umum

(SMU) Negeri 2 Gandapura selesai pada tahun 2002.

Kemudian penulis melajutkan ke jenjang Pendidikan Strata 1

(S-1) Fakultas Ushuluddin Akidah Filsafat pada IAIN Ar-

Raniry masuk pada tahun 2002 dan dapat menyelesaikan

pada tahun 2006.

Setelah menyelesaikan jenjang S-1 pada awal tahun

2006 penulis bekerja pada beberapa NGO lokal lebih kurang

selama satu tahun, setelah itu bergabung dengan waratawan

harian aceh lebih kurang enam bulan ke mudian berkerja di

aceh TV sampai dengan sampai dengan saat sekarang. Pada

tahun 2008 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan

strata 2 (S2) pada program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry. Saat

ini penulis berdomisili di Jalan Panglima Abu lorong Buntu

Desa Emperoom Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh.

P

Page 142: 14

130

Page 143: 14

131

Page 144: 14

132