HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanis, termasuk memfotocopy, merekam
dan dengan sistem penyimpanan lainnya tanpa izin tertulis dari penulis.
14 BEKAL DASAR DOKTER PUSKESMAS
Nurfadly – Hervina– Riri Arisanty Syafrin Lubis – Nita Andrini – Febrina Dewi Pratiwi – Rahmanita Sinaga –
Dona Wirniaty – Muhammad Edy Syahputra Nasution – Ery Suhaymi – Nurcahaya Sinaga – Shahrul Rahman - Muhammad Hatta – Humairah Medina Liza Lubis –
Hendra Sutysna
Editor : Nurfadly|Annisa|Hikmawah Syahputra
v
Judul 14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas Penulis Nurfadly – Hervina– Riri Arisanty Syafrin Lubis – Nita Andrini – Febrina Dewi Pratiwi – Rahmanita Sinaga – Dona Wirniaty – Muhammad Edy Syahputra Nasution – Ery Suhaymi – Nurcahaya Sinaga – Shahrul Rahman - Muhammad Hatta – Humairah Medina Liza Lubis – Hendra Sutysna Editor Nurfadly, Annisa, Hikmawan Syahputra Desain Sampul Fimanda Arlita, S.Pd. Cetakan Pertama; Oktober 2021 (xx + 314 hlm); 15 x 23 cm
ISBN : 978-623-6402-95-5 E-ISBN : 978-623-6402-96-2 (PDF) Penerbit
Redaksi Jalan Kapten Muktar Basri No 3 Medan, 20238 Telepon, 061-6626296, Fax. 061-6638296 Email; [email protected] Website; http://umsupress.umsu.ac.id/ Anggota IKAPI Sumut, No: 38/Anggota Luar Biasa/SUT/2020 Anggota APPTI (Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia) Anggota APPTIMA (Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah)
v
DAFTAR ISI DAFTAR ISI _____________________________________ v SEKAPUR SIRIH _________________________________ ix PENGANTAR PENERBIT ___________________________ xi KATA PENGANTAR _______________________________ xiii DAFTAR GAMBAR ________________________________ xv DAFTAR TABEL _________________________________ xix BAB I _________________________________________ 1 PROLOG: Bekal Dasar Dokter dalam Mencari Penyebab 1
Nurfadly, Annisa __________________________ 1 BAB II _________________________________________ 11 TATALAKSANA DAN PENCEGAHAN SOIL TRANSMITTED HELMINTHIASIS _________________________________ 11
Nurfadly ________________________________ 11 BAB III ________________________________________ 25 MENGENALI BEBERAPA PENYAKIT ERITROSKUAMOSA PADA PRAKTEK SEHARI-HARI ___________________________ 25
Hervina _________________________________ 25 BAB IV ________________________________________ 97 MENGENAL IMPETIGO PADA ANAK DAN PENATALAKSANAANNYA __________________________ 97
dr. Riri Arisanty Syafrin Lubis, Sp.KK __________ 97 BAB V _________________________________________ 109 INFEKSI JAMUR SUPERFISIAL DI KULIT, MANIFESTASI KLINIS DAN TATALAKSANANYA __________________________ 109
dr. Nita Andrini, M.Ked (DV),Sp.DV ___________ 109
14 Bekal Dasar Dokter Puskesmasvi vii
vi
BAB VI ________________________________________ 127 MENGENAL ALERGI OBAT DAN PENATALAKSAANNYA __ 127
dr. Febrina Dewi Pratiwi, SpKK ______________ 127 BAB VII _______________________________________ 139 MENGENALI KEPUTIHAN PADA ANAK USIA PREMENARS 139
Rahmanita Sinaga _________________________ 139 BAB VIII _______________________________________ 147 TATALAKSANA ABORTUS DI PUSKESMAS ____________ 147
Dona Wirniaty ____________________________ 147 BAB IX ________________________________________ 157 DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA IMPAKSI SERUMEN BAGI DOKTER DI FASILITAS LAYANAN KESEHATAN PRIMER __ 157
Muhammad Edy Syahputra Nasution ___________ 157 BAB X ________________________________________ 173 TEKNIK SIRKUMSISI KONVENSIONAL ________________ 173
Ery Suhaymi______________________________ 173 BAB XI ________________________________________ 199 KEJANG PADA ANAK PERTAMA KALI, EVALUASI DAN TATALAKSANA _________________________________ 199
Nurcahaya Sinaga _________________________ 199 BAB XII _______________________________________ 215 DEMAM TIFOID PERKEMBANGAN TERKINI ____________ 215
Shahrul Rahman __________________________ 215 BAB XIII _______________________________________ 225 KAPAN HARUS MEMBERIKAN ANTIBIOTIK PASIEN PADA PUSKESMAS? ___________________________________ 225
Muhammad Hatta _________________________ 225
vii
BAB XIV _______________________________________ 249 PENTINGNYA BIOPSI ASPIRASI JARUM HALUS DALAM DIAGNOSIS LIMFADENOPATI TUBERKULOSIS PADA ANAK: SATU USULAN PEMERIKSAAN DI TINGKAT PUSKESMAS __ 249
Humairah Medina Liza Lubis _________________ 249 BAB XV ________________________________________ 263 PERAN BEKAM (COUPING THERAPY) SEBAGAI UPAYA KESEHATAN KOMPLEMENTER DALAM PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL (YANKESTRAD) DI PUSKESMAS ______________________________________________ 263
dr. Hendra Sutysna, M.Biomed, Sp.KKLP, AIFO-K 263 BAB XVI _______________________________________ 279 Epilog _________________________________________ 279
Hikmawan Syahputra ______________________ 279 GLOSARIUM ____________________________________ 285 INDEKS ________________________________________ 299 TENTANG PENULIS ______________________________ 301 TENTANG EDITOR _______________________________ 313
14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas214 215Demam Tifoid Perkembangan Terkini
214
215
BAB XII
DEMAM TIFOID PERKEMBANGAN TERKINI
Shahrul Rahman Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara email : [email protected]
Pendahuluan
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella enterica subspesies enterica serovar Typhi (Salmonella Typhi). Bersamaan dengan Salmonella Typhi adalah Salmonella serovar Paratyphi A adalah penyebab penting demam tifoid. Sebagai vektor demam tifoid, peran air telah dikenal sejak akhir tahun 1800-an dan diikuti dengna peran dari makanan sebagai vektor (Crump, 2019). Demam tifoid saat ini didiagnosis berdasarkan tanda klinis, gejala, dan berbagai tes laboratorium. Diagnosis demam tifoid berdasarkan tanda dan gejala klinis seringkali tidak memadai. Gejala biasanya tidak spesifik dan mungkin memiliki kemiripan dengan penyakit demam akut lainnya. Akibatnya, gejala klinis spesifik demam tifoid seringkali tidak dapat dideteksi, terutama dal;am pekan pertama penyakit (Bundalian, Valenzuela, & Tiongco. 2019) 1. Defenisi
Demam tifoid adalah infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Sedangkan mikroba
14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas216 217Demam Tifoid Perkembangan Terkini
216
penyebab demam paratifoid adalah Salmonella enterica serovar paratyphi A, B dan C (S. paratyphi). 17 juta kasus global demam tifoid dan paratifoid secara kolektif telah dicatat pada tahun 2015. Dari jumlah tersebut, rentang antara Asia Tenggara dan Afrika sub-Sahara, kejadian terbesar berada di Asia Selatan. Kasus demam tifoid dan paratifoid yang tidak diobati menyebabkan 178.000 kematian secara global pada tahun 2015 (Akram, Khan, & Khan, et al. 2020). Gambar di bawah ini menunjukkan insidens dari demam tifoid dan umur rata–rata pasien penderita demam tifoid pada 5 negara di Asia, yang salah satunya adalah Indonesia (Ochiai, Acosta, & Holliday, et al. 2008).
Gambar.12.1
Rentang insidens demam tifoid dan usia pasien di lima negara Asia Penemuan antibiotik baru untuk melawan demam tifoid
telah menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia. Pada tahun 1948, kloramfenikol muncul sebagai obat antimikroba untuk
217
melawan demam tifoid. Untuk dekade berikutnya, ampisilin dan trimetoprim-sulfametoksazol, meskipun kemanjurannya mungkin lebih rendah dibandingkan dengan agen terapeutik sebelumnya (juga dikenal sebagai kotrimoksazol), menjadi obat antimikroba yang banyak digunakan untuk mengobati demam tifoid. Selama 2 dekade berikutnya, fluoroquinolones, terutama ciprofloxacin, digunakan di seluruh dunia sebagai pengobatan pilihan untuk demam tifoid. Namun, beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan infeksi resisten fluoroquinolon. Akibatnya, dokter telah beralih ke penggunaan azitromisin dan sefalosporin sebagai pengobatan terakhir yang mendukung bukti uji klinis. Sayangnya, penggunaan antibiotik selama beberapa dekade telah mendorong evolusi jenis demam tifoid yang resistan terhadap banyak obat (multidrug-resistant) dan ekstensif resisten obat (extensively drug-resistant) (Akram, Khan, & Khan, et al. 2020)
Gambar.12.2 Sejarah efikasi antibiotik dan munculnya resistensi antimikroba
14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas218 219Demam Tifoid Perkembangan Terkini
218
2. Gejala Klinis
Demam tifoid adalah salah satu penyakit demam paling sering dijumpai di negara berkembang. Setelah menjalani masa inkubasi selama 7 sampai 14 hari, maka akan timbul demam dan malaise. Demam kemudian disertai dengan menggigil, sakit kepala, anoreksia, mual, rasa tidak nyaman pada perut yang tidak spesifik, batuk kering, dan mialgia. Selanjutnya akan diikuti oleh lidah dilapisi (coated tongue), nyeri perut, hepatomegali, dan splenomegali. Namun, kemajuan pengobatan antibiotik telah mengubah presentasi klinis yang klasik, seperti jenis demam yang naik secara bertahap (stepladder) dan ciri-ciri toksisitas yang jarang terlihat akhir-akhir ini. Di daerah di mana malaria endemik dan Schistosomiasis sering dijumpai, presentasi tifus mungkin lebih bersifat atipikal. Bahkan, pada beberapa kasus, poliartritis dan monoartritis dilaporkan dapat dijumpai. Orang dewasa sering mengalami konstipasi, tetapi diare, toksisitas, dan komplikasi seperti koagulasi intravaskular diseminata lebih sering terlihat pada bayi. Penularan intrauterin vertikal dari ibu yang terinfeksi dapat menyebabkan tifus neonatal, suatu kondisi yang jarang tetapi berat dan mengancam jiwa. Kekambuhan dan infeksi ulang sering terjadi pada tifus dan terjadi pada kurang dari 10 persen kasus. Infeksi ulang hanya dapat dibedakan dari kekambuhan dengan pemeriksaan molekuler (Paul, Bandyopadhyay, 2017).
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 pekan. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen (Nelwan, 2012).
219
Tabel.12.1 Skala penilaian klinis demam tifoid menurut Nelwan RHH
No Gejala Klinis Skor 1 Demam < 1 minggu 1 2 Sakit kepala 1 3 Lemah 1 4 Mual 1 5 Nyeri perut 1 6 Anoreksia 1 7 Muntah 1 8 Gangguan motilitas 1 9 Imsomnia 1 10 Hepatomegali 1 11 Splenomegali 1 12 Demam > 1 minggu 2 13 Bradikardi relative 2 14 Lidah tifoid 2 15 Melena 2 16 Gangguan kesadaran 2
Interpretasi: Suspek demam tifoid bila skor ≥ 8. Semakin
tinggi skor semakin mendukung demam tifoid
3. Diagnosis Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang
tepat sangat bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi. Diagnosis definitif adalah isolasi S. typhi atau S. paratyphi dari darah, sumsum tulang, rose spot, feses. Pemeriksaan gold standard untuk demam tifoid adalah kultur darah. Organisme paling sering ditemukan pada 7 – 10 hari pertama (Nelwan, 2012; Hartanto, 2021)
Meskipun kultur adalah metode standar emas untuk mendeteksi S. Typhi dalam darah, tetapi waktu yang dibutuhkan
14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas220 221Demam Tifoid Perkembangan Terkini
220
untuk mendapat hasil yang lama memiliki implikasi penting dalam tatalaksana. Tes aglutinasi WIDAL adalah tes kedua yang paling sering dilakukan. Namun, sensitivitas dan spesifisitas yang buruk merupakan suatu batasan. Oleh karena itu, tes diagnostik cepat (RDT) sangat diminati, namun karena sensitivitas dan spesifisitas yang buruk, deteksi pasti masih terbatas. Typhidot-M, TUBEX-TM dan Test-it adalah tiga tes berbasis serologi yang telah dievaluasi. Kinerja tes ini telah terbukti buruk dan bervariasi karena tingginya tingkat morbiditas di Asia, yang merupakan endemik demam tifoid. Sebaliknya, evaluasi yang dilakukan di Filipina menunjukkan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Di antara ketiga tes diatas, kinerja TUBEX ditemukan lebih baik dengan 78% sensitivitas dan 87% spesifisitas. Karena keterbatasan ini, WHO tidak mengeluarkan rekomendasi tentang penggunaan rapid diagnostic test (RDT) komersial (Veeraraghavan, Pragasam, Bakthavatchalam, & Ralph, 2018)
4. Terapi
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapaikeadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalaheradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhandan keadaan carrier. Pilihan utama antibiotik tergantung pola kerentanan kuman S.typhi dan S.paratyphi di area tertentu. Terapi first-line original adalah kloramfenikol, ampisilin, dan trimethropim-sulfametoksazol (Nelwan, 2012; Hartanto, 2021).
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak
221
diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi (Nelwan, 2012).
Efikasi, ketersediaan, dan biaya merupakan kriteria penting dalam pemilihan antibiotik lini pertama yang akan digunakan di negara berkembang. Kloramfenikol, terlepas dari risiko agranulositosis pada 1 per 10.000 pasien, masih banyak diresepkan di negara berkembang untuk pengobatan demam tifoid. Strain S. typhi dari banyak wilayah di dunia, misalnya sebagian besar negara di Afrika dan Asia, tetap sensitif terhadap obat ini dan tersedia secara luas di sebagian besar fasilitas kesehatan primer di negara berkembang untuk pengobatan demam tifoid. Ampisilin dan amoksisilin diberikan pada dosis 50 sampai 100 mg per kg berat badan per hari secara oral, i.m. atau i.v., dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Tidak ada manfaat yang dilaporkan dengan penambahan asam klavulanat ke amoksisilin. Sefalosporin generasi ketiga, sefiksim oral (15 20 mg per kg berat badan per hari untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah banyak digunakan pada baik pada dewasa maupun anak-anak dan terbukti memuaskan. Azitromisin dalam dosis 500 mg (10 mg / kg) yang diberikan sekali sehari selama tujuh hari telah terbukti efektif dalam pengobatan demam tifoid pada orang dewasa dan anak-anak dengan waktu penurunan suhu badan sampai yg normal serupa dengan yang dilaporkan untuk kloramfenikol. Dosis 1 g per hari selama lima hari juga efektif pada orang dewasa (World Health Organization. 2003).
14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas222 223Demam Tifoid Perkembangan Terkini
222
Tabel.12.2 Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid pada dewasa (Dikutip dari Pegues,
& Miller, 2015)
5. Pencegahan Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu
menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini
223
menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi (Nelwan, 2012). Selain itu, dikembangkan juga vaksin untuk tindakan pencegahan tehadap demam tifoid.
Ada tiga jenis vaksin tifoid yang telah beredar luas dan dapat digunakan : • vaksin konjugat tifoid generasi terbaru (TCV), dengan
produk berlisensi saat ini yang terdiri dari antigen polisakarida Vi yang terkait dengan protein tetanus toksoid
• vaksin Vi polisakarida (ViPS) tak terkonjugasi • vaksin Ty21a hidup yang dilemahkan
Pada tahun 2018, WHO merekomendasikan TCV untuk pemberian intramuskular dosis tunggal (0,5 mL) pada anak-anak usia ≥ 6 bulan dan pada orang dewasa hingga usia 45 tahun. Vaksin ViPS direkomendasikan untuk pemberian intramuskular atau subkutan pada individu berusia 2 tahun ke atas. Vaksin Ty21a tersedia dalam kapsul berlapis enterik yang direkomendasikan untuk pemberian oral pada hari-hari alternatif dalam rejimen tiga dosis pada orang di atas usia 6 tahun. Vaksinasi berulang direkomendasikan untuk ViPS setiap tiga tahun, dan untuk Ty21a setiap tiga hingga tujuh tahun di sebagian besar daerah endemik atau setiap satu hingga tujuh tahun untuk pelancong dari daerah non-endemik ke daerah endemik (World Health Organization. 2018).
Penutup
Diagnosis Demam tifoid saat ini berdasarkan tanda klinis, gejala, dan berbagai tes laboratorium. Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat sangat bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.
14 Bekal Dasar Dokter Puskesmas224 225Kapan Harus Memberikan Antibiotik Pasien pada Puskesmas?
224
DAFTAR PUSTAKA
Akram; J; Khan, AS; Khan, HA; et al. (2020). Extensively Drug-Resistant (XDR) Typhoid: Evolution, Prevention, and Its Management. BioMed Research International, 1-7
Bundalian, R; Valenzuela, M; Tiongco, RE. (2019). Achieving accurate laboratory diagnosis of typhoid fever: a review and metaanalysis of TUBEX® TF clinical performance. Pathogens and Global Health, 113 (7), 297–308
Crump, JA. (2019). Progress in Typhoid Fever Epidemiology. Clinical Infectious Diseases; 68 (S1) :S4–9
Hartanto, D. (2021). Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid pada Dewasa. CDK-292; 48 (1), 5-7
Nelwan, RHH. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK-192; 39 (4), 247-250
Ochiai, RL; Acosta, CJ; Holliday, MCD; et al. (2008). A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls. Bulletin of the World Health Organization; 86:260–268
Paul, UK; Bandyopadhyay, A. (2017). Typhoid fever: a review. Int J Adv Med,. Apr;4(2):300-306
Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Kasper DL, et al. (2015). Harrison principles of internal medicine 19th ed. USA: Mc Graw Hill; p. 1049-53.
Veeraraghavan, B; Pragasam, AK; Bakthavatchalam, YD; Ralph, R. (2018). Typhoid fever: issues in laboratory detection, treatment options & concerns in management in developing countries. Future Sci. OA 04(06)
World Health Organization. (2003). Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever
World Health Organization. (2018). Typhoid and other invasive salmonellosis
225
BAB XIII
KAPAN HARUS MEMBERIKAN ANTIBIOTIK PASIEN PADA PUSKESMAS?
Muhammad Hatta Pendahuluan
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia memiliki peran yang sangat penting bagi suksesnya pelayanan kesehatan di tanah air, keberadaanya yang tersebar di seluruh pelosok memudahkan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama ini.
Berdasarkan data Profil Kesehatan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan jumlah Puskesmas di Indonesia adalah sebanyak 10.134 unit, dari jumlah tersebut sebanyak 6.086 unit merupakan Puskesmas rawat inap. (Kementerian Kesehatan RI, 2020) Dalam pelaksanaannya Puskesmas memiliki tiga fungsi upaya kesehatan wajib, salah satunya adalah program Kesehatan ibu dan anak (KIA), program KIA mempunyai tujuan agar tercapainya kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat kesehatan yang optimal, bagi ibu dan keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, 2004).