Top Banner
1 BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA TERAPAN Semester Gasal 2009 Pengampu: Neera anggraeni (2 SKS)
122

1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Feb 18, 2015

Download

Documents

Mammy Nya Allya
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

1

BIOFARMASETIKA DAN FARMAKOKINETIKA TERAPAN

Semester Gasal 2009

Pengampu:Neera anggraeni

(2 SKS)

Page 2: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Kontrak Belajar:

• Jumlah pertemuan dalam 1 semester: 14 kali pertemuan (minimal 12 kali)

• Syarat mengikuti ujian akhir: kehadiran minimal 75% dari jumlah pertemuan

• Komponen penilaian:UTSUAS

Tugas/kuis (mungkin)

2

Page 3: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Sistem Penilaian

• Penilaian Acuan Patokan

A: >= 75

B: 60 – 74,99

C: 45 – 59,99

D: 25 – 44,99

E: < 25

3

Page 4: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

4

Course Outline:

Upaya peningkatan

absorbsi

Biofarmasetika

Ketersediaan hayati obat

Kecepatan pembatas absorbsi

Pasien anak

Pengaturan Dosis

Kondisi patofisiologi

tertentu

faktor

Bioavailabilitas/Bioekivalensi

Dapat dilakukan

pada

Pertimbangan untuk

mempengaruhi

mempengaruhi

parameter

Pasien geriatri

Page 5: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

5

Tujuan Pembelajaran:

1.mampu memahami definisi dan ruang lingkup biofarmasetika serta kedudukan ilmu ini

terhadap ilmu lain yang mendukung.

2.mampu memperhitungkan beberapa faktor yang mempengaruhi biofarmasetika sediaan

obat

3. mampu memahami parameter pembatas kecepatan absorbsi dan perhitungannya.

4. mampu memahami upaya peningkatan absorbsi dan perhitungannya

5. dapat menghitung disolusi intrinsic dan parameter-parameternya.

6.dapat mengkorelasikan percobaan in vitro ke in vivo dan implikasi korelasinya pada

penggunaan ke manusia

7 mampu memahami bioavailabilitas dan bioekivalensi obat dan parameter-parameternya

8 mampu menentukan strategi penentuan rute pemberian dan bentuk sediaan obat.

9. mampu menghitung dosis pada pasien geriatri, pediatri dengan parameter tertentu.

10.mampu menghitung dosis pada pasien tertentu dengan menggunakan grafik dan

nomogram pengaturan dosis

Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan:

Page 6: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

6

Time Line:Pertemuan

keMateri Pengampu

1 Definisi & ruang lingkup dan arti penting biofarmasetika

Gunawan S

2 Absorpsi Obat

3 Kecepatan Pembatas absorbsi dan Upaya peningkatan absorbsi

4 Disolusi intrinsik

5 Korelasi Invitro-invivo

6 Sediaan lepas lambat

7 Sediaan lepas lambat

8 Sediaan Lepas lambat

UTS

9 Bioavailabilitas & Bioekivalensi

Arifah SW

10 Fase farmakokinetik pada pemberian obat

11 Dosage regimen di klinik : pasien Anak

12 Dosage regimen di klinik : pasien Lanjut usia

13 Dosage regimen pd penyakit ginjal

14 Dosage regimen pd penyakit hati

UAS

Page 7: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Pustaka

• Shargel, L., Yu, Andrew, B.C., 2005, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 5th Ed., McGraw Hill, New York.

• H. van de Waterbeemd, H. Lennerna¨s and P. Artursson (Eds.), Drug Bioavailability Estimation of Solubility, Permeability, Absorption and Bioavailability

Page 8: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Pengertian dan Ruang Lingkup Ilmu Biofarmasetika

Page 9: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• Obat umumnya tdk diberikan kepd pasien dlm btk zat kimia murni, melainkan dlm btk sediaan, spt:– Tablet – Kapsul– Salep, dll

Page 10: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• Sediaan obat:– Zat aktif– Zat tambahan/eksipien

• Sediaan obat didesain u/ menghantarkan obat:– Lokal– Sistemik

• Perlu pemahaman tentang prinsip-prinsip biofarmasetika penghantaran obat (drug delivery)

Page 11: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

11

Page 12: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Biofarmasetika:

Ilmu yang mempelajari hubungan:• Sifat fiskokimia obat• Bentuk sediaan• Rute pemberian obat,Dengan jumlah dan kecepatan obat yang dapat

diabsorpsi

12

Page 13: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Biofarmasetika

• = dampak dari sifat fisikokimia obat dan sediaan obat thd penghantaran obat dlm tubuh pada kondisi normal maupun patologis.

• Perhatian utama dlm biofarmasetika adalah BIOAVAILABILITAS (KETERSEDIAAN HAYATI)

Page 14: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

14

Page 15: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

15

Obat

[D][D] + [P] [D - P]

Target

Kompartemen Jaringan Metabolit

Urine, Paru, dll

Absorpsi

Urine

Eksresi

Eksresi

Biotra

nsfo

rmas

i

Biofarmasetika

Page 16: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor-faktor yang terlibat dalam biofarmasetika:

• Stabilitas obat dalam sediaan• Pelepasan obat dari sediaan• Kecepatan pelepasan obat dari tempat absorpsi• Absorpsi sistemik obat

16

Page 17: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Fase Biofarmasetika:

• Liberasi• Disolusi• Absorpsi

17

Obat Dispersi padatanZat aktif

Dispersi Molekular zat aktif

Darah

Pelepasan(Liberasi)

Pelarutan(Disolusi)

Penyerapan

(Absorpsi)

Page 18: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Tujuan Biofarmasetika

• Mengatur penghantaran obat dari bentuk sediaan sedemikian rupa shg didapatkan aktivitas terapetik (efficacy) dan keamanan (safety) yang optimal bagi pasien.

Page 19: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Pertimbangan biofarmasetika dalam desain sediaan obat

Page 20: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

20

Page 21: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Studi biofarmasetika memungkinkan desain rasional sediaan obat berdasarkan:

1. Sifat fisikokimia obat2. Rute pemakaian:

– Sifat anatomis dan fisiologis tempat pemakaian (misal: oral, topikal, suntikan, implan, transdermal dll.)

3. Efek farmakologis yg diinginkan (segera, lambat/tertunda, target organ/sel ttt.)

4. Sifat toksikologis obat5. Keamanan eksipien6. Efek eksipien dan sediaan terhadap penghantaran

obat

Page 22: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Evaluasi biofarmasetika dalam suatu bentuk sediaan obat meliputi:

• Sifat fisikokimia bahan obat (zat aktif)• Anatomi dan fisiologi tempat absorpsi• Sifat produk obat (formulasi)

22

PENTING, DALAM MERANCANG BENTUK SEDIAAN OBAT!!!

Page 23: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Obat topikal• Obat yg dikehendaki bekerja pd tempat pemberian

(site of administration)• Misal: kulit, hidung, mata, membran mukosa, rongga

bukal, tenggorokan, rektum• Intravaginal, pd saluran uretra, intranasal, di dlm

mata, pd mata atau oral • Antiinfeksi, antijamur, anestetik lokal, antasid,

astringen, vasokonstriktor, antihistamin, kortikoseteroid

• Aksi farmakodinamik langsung pd lokasi tanpa mempengaruhi bagian tubuh yg lain

• Absorpsi sistemik tidak dikehendaki

Page 24: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Obat Topikal

• Tablet vaginal– Ingredien cocok dg anatomi dan fisiologi vagina

• Obat mata– pH, isotonisitas, sterilitas, iritasi kornea, air mata,

kemungkinan absorpsi sistemik• Dosis biasanya dinyatakan dlm besaran

konsentrasi (misal: salep hidrokortison 0,5%)

Page 25: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Ketersediaan hayati obat topikal

• Obat tidak dikehendaki tersedia sistemik, melainkan lokal

• Liberasi dan disolusi (tanpa absorpsi)

Page 26: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Pemberian Sistemik

• Ketersediaan hayati (bioavailabilitas): laju (rate) dan jumlah (extent) obat/zat aktif utuh yang mencapai sirkulasi sistemik

Page 27: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

27

Depend on:

1. Physical chemistry of Drug substance

2. Anatomy and physiology of absorption site

3. Nature of drug dosage form (formulation)

Page 28: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Kenapa obat tidak dapat diabsorpsi secara sempurna dalam tubuh?

• Permeabilitas obat yang rendah• Kelarutan obat yang kecil• Kerusakan obat akibat enzym atau non enzym

28

Page 29: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Regulatori :Komponen Persyaratan Obat

Innovator Multisource Generic

• Chemistry• Manufacturing• Controls• Labeling• Testing• Preclinical/Clinical

Studies• Bioavailability• GMP/Other

• Chemistry• Manufacturing• Controls• Labeling• Testing• Bioequivalence• GMP/Other

Page 30: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Bioavailabilitas

• = ukuran yg menunjukkan kecepatan (rate) dan intensitas/jumlah (extent) zat aktif yang mencapai tempat aksinya.

• = ukuran yang menunjukkan kecepatan (rate) dan intensitas/jumlah (extent) zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik.

Page 31: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Changes in bioavailability affect changes in the pharmacodynamics and toxicity of the drug

Page 32: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Desain dan komposisi btk sediaan obat berpengaruh pd efek obat:

• Efek disengaja– Perubahan laju absorpsi pd sediaan modified-

release– Meningkatnya bioavailabilitas obat pd sediaan yg

menggunakan teknik yg meningkatkan absorpsi• Efek tak dikehendaki

– Turunnya jml obat yg m’capai sirkulasi sistemik krn desain sediaan yg jelek

So, bioavailabilitas jg mencerminkan kualitas produk dan kinerja in vivo-nya

Page 33: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor-faktor yg mempengaruhi absorpsi obat (bioavailabilitas)

1. Sifat fisikokimia obat (zat aktif): pKa, kelarutan, permeabilitas, bentuk kristal, laju disolusi

2. Faktor biofarmasetika sediaan obat: eksipien, tekanan kompresi pd tablet, penyalut, matriks

3. Faktor patofisiologis: GI transit, pH lingkungan, metabolisme atau efflux presistemik, mekanisme transport, “absorption window”, penyakit, demografi meliputi: gender, usia, etnisitas, dll.

4. Faktor lain: interaksi dg makanan, interaksi dg obat lain

Page 34: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Sediaan ObatObat/API* Formulasi

Ketersediaan Hayati

(Bioavailabilitas)

*API=Active pharmaceutical

ingredient

Page 35: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor-faktor farmasetik yg mempengaruhi ketersediaan hayati

• Tipe produk obat/sediaan obat (misal, larutan, suspensi, suppositoria)

• Sifat eksipien dalam sediaan obat• Sifat fisikokimia molekul obat• Rute pemberian

Page 36: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Tablet atau

kapsul

Partikel halus

Obat dlm darah,

cairan atau jaringan

lain

Granul atau agregat

Obat dlm larutan/in vitro atau

in vivo

Disintegrasi Deagregasi

DisolusiDisolusi

Absorpsi

Disolusi

Ketersediaan hayati

(Bioavailabilitas)

Page 37: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Fase Biofarmasetika:

• Liberasi• Disolusi• Absorpsi

37

Page 38: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Liberasi

- Disintegrasi- Deagregasi

Page 39: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Disintegrasi

• FI IV: “sediaan dinyatakan hancur sempurna bila sisa sediaan yg tertinggal pd kasa alat uji merupakan massa lunak yg tdk mpy inti yg jelas, kecuali bagian penyalut atau cangkang kapsul yg tdk larut”.

• Proses disintegrasi tdk menunjukkan pelarutan sempurna tablet/obat.

Page 40: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Disintegrasi

• Data uji disintegrasi bisa digunakan tanpa data uji disolusi untuk obat yang – sangat mudah larut dan – permeabilitasnya tinggi

menurut sistem klasifikasi biofarmasetika (Biopharmaceutical Classification System, BSC)

Page 41: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Sediaan obat padat yg tdk memerlukan uji disintegrasi

• Troches• Tablet kunyah• Sediaan sustained-release atau prolonged-

atau repeat-action

Page 42: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Disolusi

Page 43: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Only compound that is in solution is available to permeate across the gastrointestinal

membrane.

Page 44: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Disolusi

• Proses zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan

• Proses zat padat melarut• Kecepatan suatu zat melarut• Pelarutan (bedakan dengan kelarutan)

DinamisKinetika

Page 45: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Kelarutan

• Jumlah zat yang dapat terlarut • Konsentrasi solut dalam suatu larutan jenuh

pada temperatur tertentu• Merupakan besaran konsentrasi

StatisTermodinamika

Kelarutan (solubilitas) ≠ Pelarutan (disolusi)Tapi, high solubility ~ high dissolution rate

Page 46: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• Disolusi obat dari bentuk sediaan seringkali menentukan absorpsi sistemik obat tsb

• Shg, disolusi bisa digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas dan meneliti faktor-faktor formulasi untuk mempengaruhi bioavailabilitas obat.

Page 47: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Rate limiting step ketersediaan hayati

• Untuk obat dengan kelarutan rendah dalam sediaan padat, penentu kecepatan (rate limiting/rate controlling/rate determining step) bioabsorpsi biasanya adalah tahap disolusi karena tahap ini adalah tahap yang paling lambat ketimbang tahap-tahap lainnya.

Page 48: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Tablet atau

kapsul

Partikel halus

Obat dlm darah,

cairan atau jaringan

lain

Granul atau agregat

Obat dlm larutan/in vitro atau

in vivo

Disintegrasi Deagregasi

DisolusiDisolusi

Absorpsi

Disolusi

Ketersediaan hayati

(Bioavailabilitas)

Page 49: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Rate limiting step menurut Kaplan (1973)

• Laju disolusi intrinsik (intrinsic dissolution rate/IDR)

• Dengan metode rotating disk alat disolusi yg dirancangnya dg menggunakan 500 ml medium disolusi pH 1-8, suhu 37oC, kecepatan putar 50 putaran permenit, maka: …..

Page 50: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Rate limiting rate menurut Kaplan (1973)

• Bila kec disolusi intrinsik < 0,1 mg menit-1 cm-2, absorpsi obat dibatasi oleh kecepatan disolusi

• Bila kec disolusi intrinsik antara 0,1 – 1, 0 mg menit-1 cm-2, absorpsi obat berada dalam batas more information is needed before making any prediction

• Bila kec disolusi intrinsik obat >1,0 mg menit-1 cm-2, tidak ada masalah tentang kec disolusi terhadap absorpsi obat

Page 51: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Rate limiting step menurut Kaplan (1973)

• Obat-obat dg kelarutan <1% pada suhu 37oC dan pH 1 – 7 sering muncul masalah absorpsi obat tersebut

• Obat-obat yg kelarutannya >= 1% maka kecepatan disolusi bukan sebagai langkah penentu pd proses absorpsinya

Page 52: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Cs

C

Partikel padat

Stagnant layer (h)

Larutan bulk

Tahapan Disolusi1. Lepasnya molekul dr

permukaan padatan membentuk molekul terhidrasi pd antarmuka padatan-cairan.

2. Transport massa dari antarmuka ke larutan bulk

Kebanyakan proses disolusi dikendalikan oleh proses kedua, yg merupakan proses yg dikendalikan oleh difusi.

Page 53: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Transport difusional dipengaruhi oleh:– Tingkat pengadukan– Viskositas medium– Suhu medium– Ukuran partikel obat

Cs

C

Partikel padat

Stagnant layer (h)

Larutan bulk

Page 54: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Persamaan Disolusi(Noyes-Whitney)

dC----- = K.S(Cs – C) dt

dC----- : Kecepatan disolusi bahan obat dt K : Tetapan kecepatan disolusi D : Koefisien difusi h : Tebal lapisan stagnan S : Luas permukaan bahan obat yang terdisolusi Cs : Kelarutan bahan obat (jenuh) C : Kadar bahan obat yang terlarut dalam cairan medium

dC D.S(Cs – C)----- = -------------- dt h

Cs

C

Partikel padat

Stagnant layer (h)

Larutan bulk

Page 55: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro

1. S, luas permukaan padatan2. Cs, kelarutan padatan dalam medium

disolusi3. C, konsentrasi solut dalam larutan pada

waktu t4. K, konstanta kecepatan disolusi

Page 56: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro

1. S, luas permukaan padatan dipengaruhi oleh -ukuran partikel padatan -dispersibilitas serbuk padatan dalam medium -Porositas partikel padatan

Page 57: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Ukuran partikel padatan

• S ~ 1/ukuran partikel• Ukuran partikel berubah selama proses

disolusi.• Massa kompak biasanya terdisintegrasi

menjadi partikel yg lebih kecil.• Particle size was practically irrelevant for

drugs at a solubility of 1 mg/ml. The greatest effect of particle size was for low-solubility low dose drugs.

Page 58: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• So, there was little effect of particle size on a low-solubility drug at high dose or on high-solubility drug at low dose.

Page 59: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Wetting• It is the effective surface area that is

important (i.e. the surface area available to the dissolution fluid) rather than the actual particle size.

• Consequently, if the drug is hydrophobic and if the dissolution medium has poor wetting properties, a decrease in particle size may retard dissolution rate.

Page 60: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Dispersibilitas serbuk padatan dalam medium disolusi

• Jika partikel membentuk massa koheren (agregasi) maka luas permukaan yang tersedia untuk proses pelarutan menjadi berkurang

Page 61: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Porositas partikel padatan

• Pori2 harus cukup besar untuk memberi akses kepada medium disolusi dan memberi jalan difusi molekul solut keluar dari padatan

Page 62: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro

2. Cs, kelarutan padatan dalam medium disolusiDipengaruhi oleh - temperatur - sifat medium disolusi (pH, kosolven) - struktur molekul solut (garam asam lemah, esterifikasi) - Bentuk kristal padatan (polimorfi, solvasi) - Keberadaan senyawa lain (efek ion, pembentukan kompleks, solubilizing agents)

Page 63: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro

3. C, konsentrasi solut dalam larutan pd waktu t (konsentrasi bulk)

dipengaruhi oleh - volume medium disolusi - proses yg menghilangkan (memindah) zat

terlarut dari medium disolusi)

Page 64: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Volume medium disolusi

• Jika volume kecil maka C akan mendekati harga Cs

• Jika volume besar maka C dpt diabaikan (kondisi sink) (Cs - C) ~ Cs

dC----- = K.S(Cs – C) dt

dC----- = K.S.Cs dt

Page 65: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Proses yg menghilangkan zat terlarut dari medium disolusi

• Adsorpsi oleh adsorben tak-larut• Partisi ke cairan lain yg tak-campur

(immiscible) dg medium disolusi• Pengambilan solut dg dialisis• Penggantian terus-menerus larutan dengan

medium disolusi baru

Page 66: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor2 yg mempengaruhi kec disolusi in vitro

4. K, konstanta kecepatan disolusiDipengaruhi oleh- Ketebalan lapisan stagnan- Koefisien difusi solut dalam medium disolusi

dC----- = K.S(Cs – C) dt

dC D.S(Cs – C)----- = -------------- dt h

Page 67: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Ketebalan lapisan stagnan

• Dipengaruhi oleh- Tingkat pengadukan (laju pengadukan atau

penggojogan)- Bentuk, ukuran dan posisi stirer - Bentuk dan ukuran wadah- Volume medium disolusi- Viskositas medium disolusi

Hidrodinamik

Page 68: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Koefisien difusi solut dalam medium disolusi (D)

• Dipengaruhi oleh- Viskositas medium- Ukuran molekul yang

berdifusi

r

TkD

6

molekuljarijarir

suhuT

kekentalan

Boltzmantetapank

difusiKoefisienD

Page 69: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Laju Disolusi Intrinsik• Ditetapkan dg metode

rotating-disk (Wood et al.)• Serbuk obat ditekan dlm die

dg punch --> pellet.• Punch dibiarkan tinggal di die

dg posisi tetap. Kmd rangkaian tsb. dipasang pd tangkai stirer.

• Disolusi terjadi dari permukaan yang luasnya konstan.

Page 70: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat
Page 71: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Sistem Klasifikasi Biofarmasetika (Amidon, 1995)

Kelas Kelarutan Permeabilitas

I Tinggi Tinggi

II Rendah Tinggi

III Tinggi Rendah

IV Rendah Rendah

Page 72: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat
Page 73: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat
Page 74: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Klasifikasi Biofarmasetik (Amidon, 1995)

Kriteria:• Kelarutan tinggi: dosis tertinggi larut dlm ≤

250 ml media air pd rentang pH 1-8• Permeabilitas tinggi: tingkat absorpsi pd

manusia lebih besar dari 90% dosis pemberian

Page 75: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Klasifikasi Biofarmasetik (Amidon, 1995)

• Contoh Obat- Kelas I : propranolol, metoprolol- Kelas II : ketoprofen, carbamazepin- Kelas III : ranitidin, atenolol- Kelas IV : hidroklorotiazid, frusemid

Page 76: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• BCS Class I: Obat dg kelarutan tinggi, permeabilitas tinggi. Senyawa2 ini umumnya sgt baik absorpsinya. – Utk senyawa2 kelas I yg diformulasi sbg produk lepas-

segera (immediate release), laju disolusi biasanya melebihi laju pengosongan lambung.

– Sehingga, jika paling tidak 85% dr suatu produk melarut dlm 30 menit pd uji disolusi in vitro pd seluruh rentang pH, maka bisa diharapkan hampir 100% absorpsi dpt diharapkan

– Dengan demikian kemudian, uji data bioekivalensi in vivo tidak lagi diperlukan untuk memastikan kesebandingan (comparability) produk.

Page 77: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• BCS Class II: Obat dg kelarutan rendah, permeabilitas tinggi.– Bioavailabilitas produk yg mengandung senyawa

ini kemungkinan besar terbatasi oleh laju disolusinya.

– Oleh sebab itu, akan teramati adanya korelasi antara bioavailabiltas in vivo dg laju disolusi in vitro (in vitro-in vivo correlation/IVIVC)

Page 78: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• BCS Class III: Obat dg kelarutan tinggi, permeabilitas rendah. – Absorpsi obat ini terbatasi oleh laju absorpsinya,

sedangkan disolusi kemungkinan besar akan terjadi dg sgt cepat.

– Untuk itu, ada saran bhw selama formulasi uji dan referens tdk mengandung bahan yg bisa mengubah permeabilitas obat atau waktu transit GI, kriteria waiver seperti utk senyawa kelasi I bisa diberlakukan.

Page 79: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• BCS Class IV: Obat dg kelarutan rendah, permeabilitas rendah– Senyawa2 ini mempy bioavailabilitas oral yg These

compounds have very poor oral bioavailability. – They are not only difficult to dissolve but often

exhibit limited permeability across the GI mucosa. – These drugs tend to be very difficult to formulate

and can exhibit very large intersubject and intrasubject variability.

Page 80: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Strategi Formulasi

• Kelas I : tidak perlu strategi formulasi khusus• Kelas II : meningkatkan jml obat terlarut• Kelas III : manipulasi uptake transporter • Kelas IV : kombinasi strategi kelas II dan III dengan penekanan pada strategi kelas II

Page 81: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Manipulasi sediaan untuk meningkatkan kecepatan disolusi

1. Upaya meningkatkan S

2. Upaya meningkatkan Cs

dC----- = K.S.Cs dt

Page 82: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

1. Upaya meningkatkan S

a. Pemberian wetting agent/pembasah Tujuan: mengurangi tegangan permukaan dan sudut

kontak (θ)

Yg menyebabkan susahnya pembasahan: - Udara yang terperangkap pd pori2 tablet - Zat hidrofob (talk, Mg stearat)

Contoh wetting agent: surfaktan

Page 83: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

1. Upaya meningkatkan S

b. Pengecilan ukuran partikel (mikronisasi) luas permukaan spesifik berbanding terbalik dengan diameter partikelc. Dispersi padat obat hidrofilik diinkorporasi / didispersikan

ke dlm matriks hidrofilik(1) Metode fusi(2) Metode solven/kopresipitasi

Page 84: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

1. Upaya meningkatkan S

(1) Metode fusi- Pemanasan hingga carrier dan obat bercampur- Pendinginan cepat obat terperangkap dlm

dispersi dg ukuran sekecil mungkin

Kerugian:- Ketercampuran terbatas pd pemanasan- Degradasi oleh panas- Pemisahan fase ketika pendinginan

Page 85: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

1. Upaya meningkatkan S

(2) Kopresipitasi- Obat dan bahan tambahan dilarutkan dalam 1 pelarut- diuapkan dg cepat (jika lambat akan terbentuk kristal

dg ukuran partikel besar), mis: vacuum drying, spray drying

Kerugian:- Mudah terjadi pemisahan fase- Pilihan solven terbatas (biasanya kloroform)- Pilihan matriks terbatas (polivinilpirolidon dan

polietilen glikol)

Page 86: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

1. Upaya meningkatkan S

(3) Sugar glass

H2O + gula

t-butil alkohol + obat

(spray) freeze drying

Page 87: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

1. Upaya meningkatkan S

(3) Sugar glass (lanjutan) Pembentuk ‘glass’: - Gula (sukrosa, dekstrosa, galaktosa) - As. Sitrat, as. Suksinat - PVP

Page 88: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

1. Upaya meningkatkan S

(3) Sugar glass (lanjutan) Contoh obat: - Furosemid (PVP) - Griseovulfin (as suksinat) - Flubiprofen (fosfolipid)

Page 89: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

2. Upaya meningkatkan Cs

a. Membuat dalam bentuk garamb. Kompleksasic. Solvat dan Hidratd. dll (lih. Yalkowsky)

Page 90: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

2. Upaya meningkatkan Cs

a. Membuat dalam bentuk garam- Disolusi obat asam lemah dlm cairan GI

relatif rendah- Meningkatkan pH lapisan difusi stagnan

akan menaikkan kelarutan (Cs) dan kec pelarutan (disolusi) obat tsb

Page 91: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Dengan membuat obat dalam bentuk garam maka pH di dalam lapisan stagnan akan naik, sehingga meningkatkan kelarutan dan, dengan demikian juga, disolusi obat tersebut.

Setelah terdisolusi, obat (HA) keluar dari lapisan stagnan dan masuk ke bulk cairan lambung yang ber-pH lebih asam, sehingga kelarutannya akan turun dan terjadi presipitasi.

Karena presipitat yang terjadi sangat halus maka akan segera terlarut (terdisolusi) kembali dengan cepat (HA-terlarut) dan siap diabsorpsi.

Page 92: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Contoh:• Luminal Luminal Na• Tolbutamid Tolbutamid Na• Naproksen Naproksen Na• Teofilin Teofilin etilendiamin• Klorpromazin Klorpromazin HCL

Page 93: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

2. Upaya meningkatkan Cs

b. Kompleksasi= asosiasi reversibel antara m molekul substrat

dan n molekul ligand membentuk spesies baru SmLn

Km:n

mS + nL SmLn

Page 94: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Tipe kompleks Contoh

Inorganik I3-

Koordinasi Cis-dichlorodiamineplatinum

Khelat Kalsium EDTA

Metal-olefin Ferrocene

Inklusi Digitonin-kolesterol

Kompleks molekuler Fenol-PEG, asam benzoat-kafein

(Yalkowsky)

Page 95: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

2. Upaya meningkatkan Cs

c. Solvat dan HidratAdanya solven (hidrat air) dalam struktur

kristal molekul obatBentuk anhidrat ---> seringkali (tidak selalu)

lebih besar kelarutannya dp bentuk hidratEritromisin dihidrat ---> Kelarutan >>Ampisilin anhidrat ---> Kelarutan>>

Page 96: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Uji Disolusi

• Kegunaan uji disolusi• Alat disolusi• Media disolusi• Faktor2 yg mempengaruhi uji disolusi• Penyajian data disolusi

Page 97: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Kegunaan Uji Disolusi• Pengembangan produk (drug development

stages) – To guide development of new formulation

• To evaluate the rate of drug release from formulations and assess their stability and formulation changes

• Is employed to establish IVIVC in order to predict BA/BE of drug products

Page 98: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Kegunaan Uji Disolusi• Proses produksi (manufacturing process/release of

drug products)– Pemastian keseragaman produk (batch to batch

consistency)– Pemastian terjaganya kualitas dan kinerja produk setelah

dilakukan perubahan ttt, spt: formulasi, proses pembuatan, scale up

– To signal potential problems with in vivo bioavailability– To grant biowaver for:

• Low strength• Post approval changes

Page 99: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Kegunaan Uji disolusi

• New Drug Application (NDA)– Data CMC (Chemical,

Manufacturing, Control)– Data bioavailabilitas– Data disolusi in vitro

• Abbreviated New Drug Application (ANDA)– Data CMC– Bioequivalence– Data disolusi in vitro

Page 100: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Alat disolusi

• Alat 1 USP-NF(Rotating basket method/pengaduk keranjang)

• Alat 2 USP-NF (Paddle method/pengaduk dayung)

• Alat 3, 4, 5, 6, 7 USP-NF• Alternatives (rotating bottle, alat disolusi

intrinsik, metode peristaltik, sel difusi)

Page 101: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• Alat 1 dan 2 paling banyak digunakan– Alat 1 100 rpm– Alat 2 50 rpm

• Volume medium biasanya 900 ml

Page 102: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Alat 1 (Rotating basket)

Page 103: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat
Page 104: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat
Page 105: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat
Page 106: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Alat Nama Produk obat/bentuk sediaan

Alat 1 Rotating basket Tablets

Alat 2 Paddle Tablets, capsules, modified drug product, suspensions

Alat 3 Reciprocating cylinder

Extended-release drug product

Alat 4 Flow cell Drug product containing low-water-soluble drugs

Alat 5 Paddle over disk

Transdermal drug products

Alat 6 Cylinder Transdermal drug products

Alat 7 Reciprocating disk

Extended-release drug products

Page 107: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Rotating bottle Non-USP-NF

Extended release drug products (beads)

Diffusion cell (Franz)

Non-USP-NF

Ointments, cream, transdermal drug products

Pemilihan metode biasanya disebutkan dalam monografi kompendia

Page 108: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Media disolusi• Idealnya diformulasi semirip mungkin dengan

pH cairan in vivo; misal: 0,1 N HCl digunakan untuk meniru pH lambung.

• Penambahan surfaktan dan enzim bisa dilakukan untuk mendekati kondisi usus– Simulated gastric fluid (SGF) with/without enzyme– Simulated intestinal fluid (SIF) with/without

enzyme• Kondisi sink dpt dibuat dg penggunaan dua

fase media (partisi),

Page 109: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Faktor2 yg mempengaruhi uji disolusi

Vibrasi alat Wadah (bentuk)Prosedur sampling

- Flow through (continuous)- Filtering

TemperaturDeaerasi medium (agitasi oleh gelembung,

penyumbatan pori oleh udara)

Page 110: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Penyajian data disolusi

• Profil disolusi: jumlah obat terdisolusi pada beberapa titik waktu (kurva fungsi waktu)

• Single-time specification: jumlah obat terdisolusi pada satu waktu tertentu

• Two-point specification

Umumnya farmakope tidak mensyaratkan profil disolusi tapi mensyaratkan agar sejumlah ttt hrs larut pd selang waktu ttt

Page 111: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• Single-point specification– As a routine quality control test (for highly soluble and

rapidly dissolving drug products)• Two-point specification

– For characterizing quality of the drug product– As a routine quality control for certain types of drug

products (e.g. slow dissolving or poorly water soluble drug product lik carbamazepine)

• Dissolution profile comparison– For accepting product sameness under SUPAC-related

changes– To waive bioequivalence requirements for lower strengths

of a dosage form– To support waivers for other bioequivalence requirements

Page 112: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Persyaratan USP

• Jumlah obat terlarut pd selang waktu tertentu (Q) dinyatakan dalam persen thd kadar pd label

• Harga Q biasanya tercantum dlm monografi• Tiga tahap uji disolusi dilakukan (S1, S2, S3): Mula2,

enam tablet/kapsul diuji disolusi. Jika tidak memenuhi syarat S1, enam unit berikutnya diuji. Uji dilanjutkan sampai kriteria uji terpenuhi atau sampai ketiga tahap selesai dilakukan.

Page 113: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Tahap Jumlah yg diuji

Kriteria penerimaan

S1 6 Tiap unit tidak boleh kurang dari Q + 5%

S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1+S2) sama dengan atau lebih besar dari Q, dan tidak ada unit yang kurang dari Q – 15%

S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3) sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit yang kurang dari Q – 15%, dan tidak ada unit yg kurang dari Q – 25%

Page 114: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Angka lulus Q

• 75% dalam 45 menit• 85% dalam 30 menit• 75% dalam 60 menit

Page 115: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Perbandingan Profil Disolusi

Misal:• Pada perubahan formulasi produk yang telah

disetujui• Pembuatan oleh produsen lain (generik, me-

too product)

Page 116: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Perbandingan Profil Disolusi

• Pada perubahan formulasi minor, uji disolusi single-point cukup memadai.

• Pada perubahan formulasi yg lebih besar (major changes) perbandingan profil disolusi– Uji disolusi dilakukan pd kondisi yg sama antara

produk sebelum dan sesudah perubahan

Page 117: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Profil disolusi bisa dianggap serupa dari segi:1. Kemiripan profil keseluruhan2. Kemiripan pada setiap titik waktu sampel

disolusi

Page 118: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Perbandingan Profil Disolusi

• Model independent approach– Difference factor (f1)– Similarity factor (f2)

• Model independent multivariate confidence region procedure

• Model dependent approach

Page 119: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

100 1

1log 505,0

1

22 xTR

nxf

n

t tt

100 x 1

11

n

t t

n

t tt

R

TRf

n = jumlah titik waktu samplingRt dan Tt = jumlah kumulatif obat terlarut pd waktu t untuk

formulasi referens dan formulasi uji

Page 120: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

Prosedur:1. Tentukan profil disolusi dari dua produk

/formulasi (produk uji/pasca perubahan dan referens/sblm perubahan), masing2 12 unit

2. Menggunakan harga rata-rata disolusi dari kedua kurva pada tiap interval waktu, hitung difference factor (f1) dan similarity factor (f2)

3. Kurva dianggap ‘mirip’ jika f1 mendekati 0 dan f2 mendekati 100

Page 121: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• Umumnya f1 0-15 dan f2 50-100 memastikan kesamaan (sameness) atau kesetaraan (equivalence) dari dua kurva.

Page 122: 1.2.Pertimbangan Biofarmasetika Dalam Desain Sediaan Obat

• Hal-hal yg perlu diperhatikan:– Pengukuran disolusi dari formula uji dan referens

harus dilakukan pd kondisi yang sama.– Titik-titik waktu sampling untuk kedua profil harus

sama (misal: 15, 30, 45, 60 menit)– Batch referens yg digunakan adalah batch

sebelum perubahan yg paling baru diproduksi• Hanya satu pengukuran setelah 85%

pelepasan yang diikutkan dalam perhitungan agar bisa dihitung rata-ratanya,