-
san121212. Ref No: A.2.5
1
Menelusuri Genius Loci Pasar Tradisional sebagai Ruang Sosial
Urban di Nusantara
[Blank 14] Agus S. Ekomadyo 1
[Blank 10] 1 Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan
Kebijakan, Institut Teknologi Bandung
[Cambria 8, italic] [email protected];
[email protected]
[Blank 10] ABSTRAK [Blank 9]
Budaya Nusantara kaya akan kecerdasan lokal yang terbangun di
masyarakat dan tersimpan dalam ruang-ruang sosial. Ruang sosial
urban menyimpan kecerdasan lokal dari masyarakat Nusantara dalam
membangun relasi sosial antarbudaya yang beragam. Pasar tradisional
merupakan ruang sosial urban yang dapat mewakili karakter budaya
Nusantara. Dengan pendekatan fenomenologi arsitektur, “genius loci”
dari pasar tradisional ditelusuri dengan melihat ekspresi visual,
ruang-ruang yang terbentuk, dan karakter yang tercipta. Genius loci
ini akan menjelaskan konsep “place” pada pasar tradisional:
maknanya bagi warga kota, identitas yang disematkan padanya, dan
perannya dalam sejarah dan perkembangan kota. Dengan melakukan
penelitian pada Pasar Legi di Solo dan Pasar Balubur di Bandung,
ditemukan bahwa “genius loci” yang membentuk “place” pada pasar
tradisional adalah keberadaannya sebagai ruang ekonomi sosial yang
terbentuk selaras dengan sejarah dan perkembangan kota. Namun
demikian, pendekatan fenomenologi arsitektur mempunyai keterbatasan
untuk menangkap “genius loci” pasar tradisional yang terbentuk
akibat posisinya sebagai simpul jejaring ekonomi sosial dengan
tempat-tempat lain.
[Blank 9] Kata kunci: ruang sosial urban, genius loci, pasar
tradisional
[Blank 10] [Blank 10] [ 1 Pendahuluan Pasar tradisional
mempunyai peran signifikan dalam perkotaan. Pasar tumbuh dan
berkembang sebagai simpul dari pertukaran barang dan jasa secara
regional yang kemudian membangkitkan berbagai aktivitas di dalam
kota. Di sini, saat orang melakukan jual dan beli bukan sekadar
barang dan jasa yang dipertukarkan, tetapi juga informasi dan
pengetahuan. Pasar tradisional telah menjadi ruang publik
perkotaan, tempat di mana masyarakat kota berkumpul dan membangun
relasi sosial di antara mereka. Meski secara esensial pasar
memegang peran penting bagi masyarakat kota, namun saat ini kondisi
pasar tradisional di Indonesia menunjukkan penurunan peran secara
tajam. Secara fisik, kemunduran ini dicitrakan oleh kondisi pasar
tradisional yang kumuh dan kotor, dan menjadi tempat yang tidak
aman dan nyaman untuk aktivitas. Secara ekonomi, penurunan ini juga
ditunjukkan dengan semakin enggannya masyarakat kota memilih pasar
tradisional sebagai tempat belanja. Jika kemunduran pasar
tradisional ini terus berlanjut, diperkirakan fungsi pasar sebagai
ruang sosial perkotaan akan segera menjadi masa lalu (Cahyono,
2006). Merespon permasalahan pasar tradisional tersebut, sejak
tahun 2000-an Pemerintah Indonesia mulai mengeluarkan berbagai
kebijakan untuk meningkatkan kembali peran pasar tradisional.
Kebijakan ini bisa dikategorikan ke dalam 2 pendekatan: proteksi
dan revitalisasi. Pendekatan proteksi antara lain terlihat pada
Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2007 tentang Pengaturan dan
Pengembangan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko
Modern, yang mencoba melindungi pasar tradisional dari penetrasi
tak terkendali dari pasar modern (Santosa and Indroyono, 2011,
Sulistyowati, 1999). Sementara pendekatan revitalisasi merujuk pada
berbagai upaya untuk memperbaiki pasar-pasar yang ada secara fisik
dan ekonomi, dalam rangka meningkatkan daya saing pasar tradisional
dalam kompetisi bisnis modern. Dari beberapa penelitian ditemukan
bahwa yang membuat pasar tradisional terus bertahan hidup adalah
keunikannya yang khas, yang terbangun secara historis dengan
komunitas yang menghidupkan pasar tersebut. Di beberapa kota,
ditemukan beberapa pasar tradisional yang masih menjadi pembangkit
utama aktivitas kota, seperti Pasar Beringharjo di Yogyakarta,
Pasar Gede di Solo, dan Pasar Baru di Bandung. Keterkaitan ini
menjadikan pasar ini menjadi komponen yang menjadi jiwa kota-kota
yang dilayaninya. Dalam arsitektur, kajian yang meneliti tentang
jiwa dari suatu tempat berada dalam ranah fenomenologi arsitektur.
Istilah yang digunakan adalah genius loci, yang merujuk pada
kecerdasan lokal yang dibangun antara masyarakat pada lingkungan
fisik yang mewadahi kegiatannya. Dengan pendekatan genius loci,
maka setiap tempat akan dinilai maknanya bagi komunitas yang
memanfaatkannya.
-
san121212. Ref No: A.2.5
2
Tulisan ini mencoba menggunakan kerangka fenomenologi arsitektur
untuk mencari genius loci pasar tradisional. Pasar Legi di
Surakarta dan Pasar Balubur di Bandung menjadi kasus yang ditelaah.
Pasar Legi adalah pasar induk bagi kota Surakarta dan wilayah
sekitarnya, sedangkan Pasar Balubur adalah pasar tradisional yang
direvitalisasi dengan kapital modern, dan kini menjadi salah satu
pembangkit aktivitas di pusat kota Bandung. Dengan telaah
fenomenologi arsitektur, akan dilihat bagaimana pasar-pasar ini
menjadi ruang sosial bagi warga kota, dan secara lebih luas
memberikan kontribusi terhadap jiwa kedua kota tersebut. 2 Tinjauan
Singkat Fenomenologi Arsitektur Fenomenologi adalah cabang dari
filsafat yang memfokuskan diri pada pengalaman manusia sebagai
suatu fakta empiris. Dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938),
fenomenologi dilihat sebagai sebuah pemikiran yang ingin
mengembalikan manusia sebagai subjek kehidupan. Pengaruh kuat
saintifisme dan objektifisme telah mengakibatkan banyak
dinegasikannya aspek-aspek manusiawi dalam pengambilan keputusan.
Fenomenologi hadir sebagai sebuah langkah radikal berfilsafat
secara praktis daripada secara sistemis (Moran, 2000: 1-3). Saat
ini Fenomenologi dikenal sebagai cara berpikir yang mempelajari
fenomena manusia, bukan sekadar tampilan fisik tetapi lebih dalam
kepada makna-maka transendental. Fenomenologi mencoba memahami
bagaimana manusia membangun makna dan konsep terhadap sesuatu
secara intersubjektif (Kuswarno, 2009:2). Dengan pendekatan
fenomenologi, fenomena dijelaskan dalam pemahaman konsep-kondep
esensial dari struktur kesadaran manusia (Moran, 2000:1). Dalam
disiplin arsitektur, perhatian terhadap aspek manusiawi juga
menjadi perhatian ketika saintifisme memberikan dampak mekanisasi
terhadap arsitektur. Pendidikan formal dalam arsitektur sangat
dipengaruhi oleh ideologi Cartesian dan sistem metrik, sehingga
hubungan spasial cenderung dilihat aspek presisinya, dan tidak
memperhatikan kualitas pengalaman ruang dan emosional yang
manusiawi. Secara esensial, pusat perhatian humanisme arsitektur
adalah memahami arsitektur secara pengalaman tubuh manusia secara 3
dimensional (Bloomer and Moore, 1977: ix, 1,5, 15, 21 37).. Filsuf
fenomenologi yang banyak mempengaruhi disiplin arsitektur adalah
Martin Heidegger (1889-1976) (Sharr, 2007:1). Pemikiran Heidegger
terfokus pada pertanyaan tentang “being”: bagaimana sebuah subjek
dimaknai dari yang terlihat (atau tersembunyi) melalui pengalaman
manusia. Sebuah interpretasi terhadap eksistensi manusiawi tidaklah
netral, tetapi pasti ada keterlibatan secara personal (Moran,
hlm.195-197). Heidegger menyebutkan ruang untuk manusia merupakan
konteks dari eksistensi pengalaman manusia sehari-hari
(Wiryomartono, 2010:7). Pengaruh Heidegger pada arsitektur dimulai
dengan pernyataan dia terhadap “thing” (Das Ding – Jerman-, 1950),
yang dalam bahasa Indonesia secara harfiah dapat diterjemahkan
“sesuatu”. Dia memberikan analogi bejana sebagai sebuah “thing”
yang menyambungkan antara kehadiran dan kehampaan. Dia
berargumentasi, bahwa fungsi bejana ditentukan oleh ruang kosong
yang ada di dalamnya. Di sini, dia menegaskan pentingnya kekosongan
dalam sebuah “being” (Sharr, hlm.25-29). Dengan konsep “thing”.
Heidegger memperkenalkan konsep “place” dalam arsitektur. Place
dipahami sebagai ruang kosong yang terkait dengan objek-objek
arsitektural di mana orang bisa menikmati bangunan. Dalam
tulisannya “Building Dwelling Thinking” (1951), Heidegger
mempertimbangkan bangunan dan hunian sebagai satu kesatuan. Bagi
dia, aktivitas ini saling berkaitan dan melibatkan orang dalam
membangun makna terhadap ruang-ruang yang dimanfaatkannya (sense of
place) (Moran, hlm.36-37). Arsitek yang kuat dipengaruhi oleh
Heidegger Christian Norberg-Schultz, yang secara khusus
menuliskannya dalam konsep “spirit of the place” dan genius loci
(Sharr, hlm.1, Norberg-Schultz, 1991:5). Menurut Norberg-Schultz,
manusia bermukim jika ia dapat berorientasi dan membangun
jatidirinya terhadap lingkungannya (Norberg-Schultz, hlm.5). Dengan
konsep bermukim, Norberg-Schultz menyebutkan “place” sebagai sebuah
ruang dengan karakter khusus. “Place” tidak dapat dijelaskan dengan
pendekatan analitik atau saintifik, melainkan dengan pendekatan
kualitatif sebagai sebuah fenomena (hlm.8). Pemikiran
Norberg-Schultz bertujuan untuk menelusuri kecerdasan lokal (Genius
Loci) dari suatu tempat. Istilah “Genius Loci” berasal kepercayaan
bangsa Romawi tentang adanya ruh yang menjaga suatu tempat (a
guardian spirit). Ruh inilah yang memberikan hidup bagi masyarakat
untuk hidup dan bermukim, mendampingi mereka dari mulai kelahiran
hingga akhir hayat. Genius loci bersifat lokal, dan unik dari satu
tempat ke tempat lain. Secara diagramatis, konsep untuk mengungkap
genius loci suatu tempat tersaji dalam gambar 1 di bawah.
-
san121212. Ref No: A.2.5
3
Phenomena of Place
Structure of place
Spirit of the place
Natural Place
Man Made Place
Cases:Prague
KhartoumRome
Place: Place today
Image
Space
Character
Genius Loci
Meaning
Identity
History
The lost of place
Recovery of place
Gambar 1 Kerangka penelusuran genius loci (sumber:
Norberg-Schultz, 1991) 3 Deskripsi Kasus 3.1 Deskripsi Pasar Legi
Solo
Pasar Legi merupakan salah satu pasar terbesar di Surakarta
selain Pasar Gede dan Pasar Klewer. Pasar ini terletak di bagian
utara kota, masih merupakan elemen dalam sumbu kota Solo pada
Kraton Mangkunegaran. Jika dilihat dari morfologi kota, Pasar Legi
merupakan elemen arsitektur terpenting yang membangkitkan
fungsi-fungsi perniagaan di bagian utara kota ini (gambar 2).
Gambar 2 Posisi Pasar Legi terhadap Morfologi Kota Surakarta
(sumber: analisis penulis) Secara historis, Pasar Legi merupakan
pasar yang dibangun oleh pihak Kraton Mangkunegaran di Surakarta,
sedangkan Kraton Kasunanan membangun Pasar Gede dan Pasar Klewer.
Pasar ini awalnya merupakan pasar mingguan, dan hanya hidup pada
hari pasaran Legi dalam kalender Jawa. Sejak awal didirian, pasar
ini sudah menjadi tempat berkumpul pedagang dari sekitar kota
Surakarta. Pada tahun 1936, Pasar Legi dibangun kembali oleh KG
Mangkunegara VII, dengan mengadopsi gaya arsitektur modern (Sajid,
1984:72). Sekitar tahun 1980-an pasar ini direnovasi kembali, dan
bangunan hasil renovasi ini masih bertahan hingga masa sekarang
(gambar 3). Hingga kini Pasar Legi Surakarta masih berperan sebagai
tempat pertukaran barang dan jasa bagi warga sekitar kota
Surakarta. Pasar Legi saat ini dikenal sebagai pasar induk kota
Surakarta. Komoditas yang dijual sebagian besar hasil bumi yang
berasal dari wilayah di sekitar kota Surakarta, seperti daerah
Boyolali atau Tawangmangu (gambar 4).
-
san121212. Ref No: A.2.5
4
Gambar 3 Pasar Legi Surakarta tahun 1930-an (kiri atas), tahun
1939 (kanan atas), 1992 (kiri bawah), dan masa sekarang (kanan
bawah). (Sumber: Dinas Pasar Kota Surakarta).
Gambar 4 Komoditas utama Pasar Legi Surakarta (sumber:
dokumentasi penulis 2012) 3.2 Deskripsi pasar Balubur Bandung
Pasar Balubur terletak di kawasan pusat kota Bandung, dan berada
dekat dengan beberapa perguruan tinggi di Bandung, yaitu Institut
Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad),
Universitas Islam Bandung (Unisba), dan Universitas Pasundan
(Unpas). Kedekatannnya dengan perguruan tinggi menjadikan pasar ini
dikenal sebagai pasar yang banyak menyediakan peralatan tulis
menulis. Pembangunan Jalan Layang Pasupati sekitar tahun 2000-an
menjadikan pasar Balubur berada di salah satu simpul penting di
pusat kota Bandung (gambar 5). Pada awalnya, pasar Balubur
merupakan pasar lingkungan yang melayani kebutuhan harian
lingkungan sekitar. Keberadaan perguruan tinggi yang ada di
dekatnya mendorong beberapa penjual membuka toko alat-alat tulis.
Karena konsumennya kebanyakan mahasiswa, hingga akhir 1990-an pasar
Balubur dikenal oleh warga Bandung sebagai pasar yang menyediakan
alat tulis dengan harga yang murah. Pada akhir tahun 2000-an, pasar
Balubur direvitalisasi menjadi pasar modern dengan melibatkan
investasi pihak swasta. Pasar Balubur pun diberikan nama baru yaitu
“Balubur Town Square (Baltos)” (gambar 6). Pedagang lama tetap
dipertahankan dan menempati lantai-lantai dasar bangunan pasar yang
baru (gambar 7). Pada area tambahan, banyak pedagang baru menempati
area-area yang dijual. Kebanyakan komoditas baru di pasar ini
merupakan komoditas khas kota Bandung, seperti fashion dan kuliner
(gambar 8).
-
san121212. Ref No: A.2.5
5
Gambar 5Posisi Pasar Balubur dalam Morfologi Kota Bandung
(sumber: analisis penulis) ‘
Gambar 6 Pasar Balubur setelah direvitalisasi (sumber:
dokumentasi penulis 2012)
Gambar 7 Pedagang lama yang ada di pasar Balubur (sumber:
dokumentasi penulis 2012)
Gambar 8 Komoditas khas Bandung di Pasar Balubur, yaitu kuliner
(kiri) dan fashion (kanan) (sumber: dokumentasi penulis 2012).
-
san121212. Ref No: A.2.5
6
4 Fenomena Ruang Sosial Perkotaan pada Pasar Tradisional Sebagai
ruang sosial, pasar tradisional dilihat sebagai ruang bagi
masyarakat kota untuk saling berinteraksi. Fenomena sosial yang
berlangsung pada pasar tradisional dijelajahi untuk mengungkap
“genius loci” dari pasar tradisional. Dengan kerangka dari
Norberg-Schultz, fenomena ruang sosial pada Pasar Legi Surakarta
dan Pasar Balubur Bandung ditelusuri melalui citra, ruang, dan
karakternya, guna mendapatkan “genius loci” yang menjadi ruh
pasar-pasar tersebut. 4.1 Citra: interaksi sosial.
Interaksi sosial di pasar tradisional terutama terjadi di antara
para penjual dan para pembeli. Diawali dengan transaksi, interaksi
dapat meluas menjadi beraneka macam hubungan. Interaksi ini dapat
dipetakan menjadi 3, yaitu antara penjual dan pembeli,antar
pembeli, dan antar penjual. Dalam interakasi antara penjual dan
pembeli, realsi sosial digerakkan oleh motif transaksi. Informasi
dipertukarkan di sini: jenis, kualitas, dan harga barang. Jika hal
ini berlangsung secara berkesinambungan dan menghasilkan transaksi
yang adil, maka hubungan transaksional ini dapat berkembang menjadi
hubungan antara pedagang dan pelanggan. Hubungan sosial seperti ini
berlangsung dengan dasar saling kepercayaan (gambar 9).
Gambar 9 Interaksi antara pedagang dan pembeli di Pasar Legi
Solo (kiri), dan Pasar Balubur Bandung (kanan). (sumber:
dokumentasi penulis 2012)
Interaksi sosial di antara pembeli terjadi dengan penjual (atau
barang) sebagai sebuah titik triangiulasi. Interaksi antar pembeli
dipicu oleh motif mencari informasi mengenai barang yang akan
dijual. Informasi ini terutama tentang kualitas dan harga barang,
Pada pasar tradisional, barang tidak dijual dengan harga yang
pasti, tetapi dengan cara tawar menawar. Informasi dari sesama
pembeli menjadi penting bagi daya tawar pembeli terrhadap penjual
(gambar 10)
Gambar 10 Interaksi sosial di antara pembeli di Pasar Legi
Surakarta (kiri) dan Pasar Balubur Bandung (kanan) (sumber:
dokumentasi penulis 2012)
Interaksi sosial di antara pedagang terjadi sebagai konsekuensi
dari pekerjaan berniaga. Para pedagang berinteraksi terutama
didorong oleh motivasi saling membantu. Ini yang menarik dari aspek
informalitas pasar tradisional: di satu sisi para pedagang
berkompetisi selayaknya makhluk ekonomi, namun di sisi lain mereka
juga saling membantu selayaknya makhluk sosial. Dengan demikian
komunitas pedagang pasar tradisional merupakan masyarakat komunal.
Informalitas yang terbangun di sini menjadi penyeimbang antara
kompetisi dan komunalitas (gambar 11).
-
san121212. Ref No: A.2.5
7
Gambar 11 Interaksi sosial di antara penjual di Pasar Legi
Surakarta (kiri) dan Pasar Balubur Bandung (kanan) (sumber:
dokumentasi penulis 2012)
4.2 Ruang: Setting Spasial bagi Interaksi Sosial
Sebagai wadah aktivitas interaksi sosial, ruang di sini dipahami
dalam pengertian fisik dan non-fisik. Dalam diskursus arsitektural,
dikenal istilah “ruang-ruang temporal (spatio temporal)”,
ruang-ruang informal yang lebih dibentuk oleh elemen-elemen
non-fisik. Pasar tradisional kaya akan ruang-ruang informal yang
membentuk spatio temporal. Interaksi antara penjual dan pembeli
berlangsung pada ruang yang didefinisikan oleh lapak barang
dagangan. Jika tidaka ada transaksi antara penjual dan pembeli,
lapak menjadi elemen massa yang mendefinisikan ruang sirkulasi.
Peran lapak berubah dari massa menjadi ruang saat ada transaksi
antara penjual dan pembeli: sebuah spatio temporal (gambar 12).
Gambar 12 Spatio temporal yang terbentuk akibat transaksi antara
penjual dan pembeli, di Pasar Legi Surakarta (kiri) dan Pasar
Balubur Bandung (kanan) (sumber: dokumentasi penulis 2012)
Interaksi sosial di antara pembeli terutama dipicu karena
keberadaan pedagang (atau barang), sehingga ruang yang terbentuk
didefinisikan oleh triangulasi antara para para pembeli , padagang
(atau barang), dan pedagang lain. Ini merupakan bentuk lain dari
spatio temporal di dalam pasar. Jika pedagang (atau barang) tidak
ada, tidak akan terbentuk ruang yang menjadi wadah bagi interaksi
di antara pembeli (gambar 13).
Gambar 13 Spatio temporal triangulasi antara para pembeli dan
penjual (kiri) di Pasar Legi Surakarta (tengah) dan Pasar Balubur
Bandung (kanan) (sumber: dokumentasi penulis 2012)
Spatio temporal
-
san121212. Ref No: A.2.5
8
seller seller seller
Interconnecting space
Common space
Hubungan spasial di antara para pedagang awalnya adalah
bersebelahan. Tetapi di dalam pasat tradisional, relasi spasial ini
menjadi fleksibel. Rasa komunalitas di antara pedagang mendorong
pedagang untuk menciptakan relasi spasial dengan membangun koneksi
ruang temporal untuk bisa saling berinteraksi (gambar 14).
Gambar 14 Spatio temporal di antara para penjual (kiri) di Pasar
Legi Surakarta (tengah) dan Pasar Balubur Bandung (kanan) (sumber:
dokumentasi penulis 2012)
4.3 Karakter: Keunikan Sosio-kultural
Dari berbagai penelitian, keunikan sosio-kultural dari pasar
tradisional adalah faktor utama yang menjadikan pasar tradisional
dapat bertahan hidup dalam dunia bisnis modern. Kekhasan –yang
tidak dimiliki oleh pasar modern yang cenderung seragam- yang
mendorong orang untuk tetap loyal sebagai konsumen pasar
tradisional. Suasana informal pada pasar tradisional menyediakan
berkembangnya suasana sosio-kultural khas yang dinikmati orang saat
beraktivitas di pasar tradisional Pasar legi mempunyai karakter
sebagai pasar induk bagi masyarakat kota Surakarta dan sekitarnya.
Karakter ini terlihat dalam berbagai perwujudan ruang yang
tercipta. Ruang-ruang tersedia untuk barang-barang dalam jumlah
besar (gambar 15).
Gambar 15 Karakter Pasar Legi Surakarta sebagai pasar induk
(sumber: dokumentasi penulis 2012) Pasar Balubur mempunyai karakter
yang khas sebagai pasar yang menyediakan alat-alat tulis dengan
harga yang murah, terutama bagi mahasiswa. Karakter ini bertahan
hingga akhir tahun 1990-an. Sejak tahun 2000-an, Bandung berkembang
sebagai kota wisata, dengan kuliner sebagai salah satu daya tarik
wisata. Ketika direvitalisasi di pertengahan tahun 2000-an,
fasilitas kuliner menjadi fasilitas yang ditambahkan. Saat ini
beberapa fasilitas kuliner di Pasar Balubur menjadi salah satu
tempat untuk berkumpul, juga oleh kalangan mahasiswa (gambar
16).
Gambar 16 Karakter Pasar Balubur sebagai pusat alat tulis
bercampur dengan fasilitas kuliner (sumber: dokumentasi penulis
2012)
-
san121212. Ref No: A.2.5
9
4.4 Genius Loci: Peran dalam Kehidupan Sosial Perkotaan
Genius loci secara harfiah berarti ruh penjaga tempat. Ruh dalam
pasar tradisional tercipta dari perannya sebagai ruang ekonomi dan
sosial warga kota. Suasana pasar tradisional adalah informalita
yang digerakkan oleh pengalaman pertukaran dan kesepakatan
perniagaan berdasarkan kepercayaan. Pasar menjadi wadah orang dari
berbagai latar belakang sosio-kultural untuk bertukar informasi dan
pengetahuan. Dengan pendekatan fenomenologi arsitektur, setiap
fenomena sosial di pasar tradisional dapat dilacak maka
transendentalnya yang terkait dengan aspek sosio-kultural
perkotaan. Genius Loci dari pasar tradisional mempunyai akar
tentang daya hidup masyarakat kota tempat pasar itu berada. Di
Pasar Legi Solo, melalui penelusuran fenomenologi arsitektur,
ditemukan ternyata ruh pasar ini adalah para wanita pelaku ekonomi
di pasar ini. Mereka ini adalah pedagang, juragan, bahkan sampai
penyedia jasa pendukung. Melihat peran mereka di semua lini dalam
sistem pasar, bisa dilacak bahwa wanita memegang peran penting
terhadap pasar Legi. Dan bila dilacak dari akar sejarah dan
perkembangan kota Surakarta, kota ini dikenal sebagai kota yang
berkembang dengan basis perniagaan, dan banyak kisah yang menyebut
peran para wanita dalam kehidupan niaga di kota ini (gambar
17).
Gambar 17 Keberadaan wanita pelaku ekonomi di Pasar Legi Genius
Loci pasar Balubur tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kota
Bandung yang dinamis. Awalnya pasar ini adalah pasar lingkungan
yang melayani kawasan permukiman di sekitarnya. Berkembangnya
beberapa kampus mendorong pasar Balubur menjadi penyedia alat tulis
untuk komunitas kampus. Dan setelah direvitalisasi tahun 2000-an,
pasar ini pun merespon perkembangan kota Bandung sebagai kawasan
wisata kuliner. Fasilitas kuliner ini juga banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat kampus di sekitarnya Genius Loci pasar Balubur adalah
gaya hidup dari komunitas yang ada di sekitarnya.
Gambar 18 Fasilitas gaya hidup yang muncul setelah revitalisasi
Pasar Balubur 5 Kesimpulan Untuk menyimpulkan eksplorasi
fenomenologis terhadap “place”, Norberg-Schultz menggunakan tiga
kata kunci: makna, identitas, dan kesejarahan. Makna-makna dalam
“place” pasar tradisional terbentuk terutama karena perannya
sebagai tempat pertukaran barang dan jasa, yang membangkitkan
pertukaran informasi dan pengetahuan pula. Pasar tradisional
menyimpan memori kolektif dari komunitas yang menghidupinya. Para
pedagang merupakan pelaku kunci, karena merekalah yang menjaga
memori kolektif pasar dalam proses pembangunan kota.
-
san121212. Ref No: A.2.5
10
Pasar tradisional menjadi identitas dari suatu masyarakat
tergantung dari pengalaman interpersonal di dalam pasar tersebut.
Pasar Legi menjadi identitas kota Surakarta terutama karena
skalanya sebagai pasar induk kota ini. Ia menjadi identitas bukan
hanya bagi warga di dalam kota Surakarta, tetapi juga wilayah lain
yang terkait sebagai wilayah pemasok bahan makanan. Pasar Balubur
menjadi identitas kota Bandung terkait dengan perannya sebagai
pasar lingkungan sekitar, pemasok alat tulis terutama bagi
mahasiswa, dan setelah revitalisasi berkembang sebagai penyedia
komoditas fashion dan kuliner bagi masyarakat Bandung. Pasar
tradisional merupakan saksi dari sejarah dan perkembangan sebuah
kota, khususnya sebagai tempat masyarakat bertukar barang dan jasa,
informasi, serta pengetahuan. Pasar tradisional menyimpan memori
kolektif tentang proses pembangunan suatu kota. Pasar Legi
menyimpan pesan-pesan historis bagaimana kota Surakarta tumbuh dan
berkembang sebagai kota perniagaan, dan menjadi simpul dari
daerah-daerah pertanian di sekitarnya. Di pasar ini kita juga
melihat bagaimana perempuan Surakarta menjadi ruh yang menggerakkan
aktivitas ekonomi kota ini. Sedangkan Pasar Balubur menjadi saksi
sejarah perkembangan kota ini, sebuah dialog antara penduduk
setempat dengan para mahasiswa, dan kemudian berkembang dengan
budaya gaya hidup yang menjadi karakter masyarakat kota ini. Setiap
pasar tradisional mempunyai makna, identitas, dan sejarahnya
masing-masing, yang menjadikannya mempunyai karakter yang khas yang
membedakannya dengan pasar-pasar lainnya. Karakter khas ini yang
menjadi “ruh” dari pasar ini untuk terus bertahan hidup dalam
konstelasi perekonomian suatu kota. Fenomenologi arsitektur
menyediakan metode yang memadai untuk menangkan keunikan dan genius
loci pasar tradisional. Dengan menangkap genius loci dari suatu
pasar, dari sinilah seharusnya program revitalisasi ini dimulai,
agar pasar yang terbangun menjadi ramai dan berhasil. Ucapan Terima
Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Institut Teknologi
Bandung atas pendanaan melalui program Riset dan Inovasi Kelompok
Keahlian tahun 2012 dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI atas pendanaan dalam skema
Riset Strategis Nasional 2012 Daftar Pustaka Bloomer, Kent C. and
Moore, Charles W. (1977). Body, Memory, and Soul. New Haven: Yale
University Press Cahyono, Imam (2006). “Pasar Tradisional: Ruang
Sosial itu Segera Menjadi Masa Lalu” Artikel dalam Harian Kompas, 4
Agustus 2006. Ekomadyo, Agus S., Zahra, Atya, Najmi, Isan (2012a).
“Public Market as Urban Social Nodes: an Architectural
Phenomenology Approach”.
Makalah dipresentasikan pada Artepolis 4 International
Conference on Creative Connectivity and the Making of Place: Living
Smart by Design. School of Architecture Planning and Policy
Development ITB, July 2012.
Ekomadyo, Agus S., Zahra, Atya, Najmi, Isan (2012b). “Tracing
Social-Economic Forces In Construction Of Urban Place; Case: Pasar
Pamoyanan Bandung”. Makalah dipresentasikan pada International
Seminar on Place Making and Identity: Rethinking Urban Approaches
to Built Environment. Department of Architecture, Universitas
Pembangunan Jaya, September 2012
Ekomadyo, Agus S., Hidayatsyah, Sutan, dan Siswanto, Joko
(2012). Model Revitalisasi Pasar Tradisional dengan Konsep “Pasar
Pintar” untuk Meningkatkan Peran Pasar Tradisional Dalam
Perekonomian Kota. Laporan Kemajuan Program Penelitian Strategis
Nasional, Institut Teknologi Bandung 2012.
Ekomadyo, Agus S. (2009). “Kajian Beberapa Pasar Tradisional di
Negara Maju”. Makalah tidak dipublikasikan. Kuswarno, Engkus
(2009). Metode Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi,
Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya
Padjadjaran. Moran, Dermot (2000). Introduction to
Phenomenology. London: Routledge Norberg schultz, Christian (1991).
Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York:
Rizzoli, Prihandana, Ramalis Subandi (2002). Redefining the Pasar:
Trading Enterprise, Livelihood, Networks, and Urban Governance.
Academisch
Proefschrift. Vrije Universiteit, Amsterdam. Sajid, R.M. (1984).
Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko Perpustakaan Mangkunegaran
Santosa, Awan, and indroyono, Puthut (2011). “Pedagang Pasar
Tradisional Terancam”. Artikel dalam Harian Jurnal Ekonomi Rakyat,
No.
108/13 - 2011-03-11. www.ekonomirakyat.org Sharr, Adam (2007).
Heidegger for Architect. London: Routledge Sulistiawati, Agnes Rita
(2010). “Mengembalikan Kejayaan Pasar Tradisional di Jakarta”.
Artikel dalam Harian Kompas, 11 April 2010. Sulistyowati, Dwi
Yulita (1999). Kajian Persaingan antara Pasar Tradisional dan
Supermarket di Bandung Berdasarkan Perilaku
Berbelanjar. Proyek Akhir. Program Sarjana Perencanaan Wilayah
dan Kota Institut Teknologi Bandung. Tangires, Helen (2008). Public
Markets. Library of Congress and W.W. Norton and Company Inc., New
York. Wiryomartono, Bagoes P. (2010) Aspects of Urbanism: An
Exploration of the Concepts, Functions, and Institutions of Urban
Settlement in
Democratic Societies. Lap Lambert Academic Publishing