Bab I-IPB
BAB I
PENDAHULUANA. Latar BelakangIndonesia merupakan negara yang
memiliki sumberdaya alam yang sangat membanggakan, baik di darat
maupun laut. Hanya saja masyarakat dan generasinya belum memiliki
kemampuan berpikir (thinking skill) yang memadai untuk unggul
secara kompetitif (Mulyasa, 2007).
Laut merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia dengan
kedaulatan perairan nusantara dan territorial seluas 3,1 juta km2
dan 2,7 juta km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), (Kusuma
Atmaja,1995; Monintja, 1996). ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia) adalah bentangan perairan yang berada di luar laut
Indonesia, yang diukur ke arah luar dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia dengan batas terluar 200 mil laut. Lahan perairan yang
sangat luas ini, jelas merupakan sumberdaya yang sangat menantang
untuk dimanfaatkan oleh rakyat dalam usaha peningkatan
kesejahteraan bangsa, Dalam ZEE Indonesia mempunyai hak berdaulat
atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya, serta
mempunyai kewenangan (jurisdiction) untuk mengatur penyelidikan
ilmu kelautan, serta melindungi dan melestarikan lingkungan laut
(Monintja, 1996). Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah
perairan laut lebih dari 75% yang mencapai 5,8 juta kilometer
persegi, terdapat lebih dari 18.110 pulau dengan panjang garis
pantai terpanjang ke- 2 di dunia setelah Kanada, yaitu sekitar
81.000 km (Soesilo & Budiman, 2009, Murdianto, 2004). Dengan
demikian laut Indonesia memiliki potensi yang dapat memberikan
konstribusi tidak sedikit pada peningkatan ekonomi bangsa.
Keunggulan komparatif ataupun kompetitif Indonesia dengan luas
wilayah laut mengantungi potensi sumberdaya yang melimpah, antara
lain sumberdaya ikan (Sondita dan Solihin, 2006).
Pengertian laut dapat dibagi ke dalam area pesisir (harbour
line), pantai (shore), lepas pantai (off shore), lautan atau
samudera (ocean). Potensi kelautan mencakup bidang yang cukup luas,
yang mengandung kekayaan alam potensial untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Pemenuhan kebutuhan tersebut diantaranya adalah sumberdaya
perikanan, sumberdaya mineral dan tambang, sumberdaya bahan
obat-obatan, sumberdaya energi alternatif dari arus dan gelombang,
serta sumberdaya alami untuk media transportasi, pertahanan,
keamanan, dan pariwisata (Dahuri, et al., 1996; DKP, 2001; Bengen,
2004). Kebutuhan penduduk dunia yang meningkat disertai
perkembangan teknologi mutakhir memungkinkan manusia memanfaatkan
laut dalam skala yang lebih besar dan intensitas yang lebih tinggi
(Mukhtasor, 2007). Menurut Hardin (1968), lautan dianggap sebagai
milik umum sehingga aksesnya bebas dan terbuka, karena itu berbagai
sumberdaya alam yang terkandung di dalam lautan seperti ikan,
udang, dugong, kura-kura, dan jenis-jenis molusca dapat diambil
secara bebas oleh setiap orang. Akibat dari pengambilan itu
kerusakan lingkungan tak dapat dihindari karena eksploitasinya
dapat berlebihan (Iskandar, 2001).
Secara geofisik, laut memainkan peranan penting dalam siklus
hidrologi, struktur kimia atmosfir, serta keseimbangan iklim dan
cuaca. Di sisi lain, ekosistem pesisir dan laut sebagai himpunan
integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan nirhayati
(fisik) yang saling berinteraksi secara fungsional, merupakan
ekosistem yang unik, saling terkait, dinamis, dan produktif.
Ekosistem tersebut antara lain estuari, hutan mangrove, padang
lamun, terumbu karang, dan pulau-pulau kecil (Bengen, 2004b).
Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut mensyaratkan
implementasi prinsip-prinsip pengelolaan terpadu dan berbasis
eko-ekosistem dalam rangka memelihara fungsi geofisik dan ekologis
tersebut (Dahuri, et al. 1996; DKP, 2001; Bengen, 2004). Dengan
demikian dari sudut pandang geoekonomi, pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut secara berkelanjutan merupakan bagian penting
dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan daya saing nasional
dan internasional. Belum lagi letak Indonesia pada posisi
geopolitis yang strategis, yakni Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia, merupakan kawasan paling dinamis dalam arus perputaran
politik pertahanan serta keamanan. Menurut Rokhmin Dahuri (Soesilo
dan Budiman, 2006), gagasan membangun bangsa berbasis kelautan itu
sangat relevan bahkan menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa
Indonesia, dan dengan alasan geoekonomi dan geopolitis, seharusnya
sudah cukup kuat apabila pembangunan kelautan selayaknya menjadi
basis utama pembangunan nasional.Lebih dari setengah abad Indonesia
merdeka, wilayah pesisir dan laut nasional mengalami kerusakan
fisik dalam skala yang parah. Kerusakan itu termasuk diantaranya
adalah abrasi dan sedimentasi pantai, berkurangnya produksi ikan
akibat overfishing (penangkapan ikan berlebihan) di beberapa lokasi
perairan, kerusakan ekosistem terumbu karang dan hutan bakau, serta
kerusakan kualitas air laut akibat pencemaran pesisir dan laut.
Hasil-hasil studi kasus mengenai pencemaran pesisir dan laut di
Indonesia telah diungkapkan dalam The Fourth Preparatory Committee
Meeting (PrepCom 4) untuk Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan
Berkelanjutan di Bali atau The Summit Sustainable World Development
(SSWD) tahun 2002. Bahkan hasil riset Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) dan Pusat Penelitian Oceanologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), tahun 2001, menyimpulkan bahwa 65%
sumberdaya ikan laut Indonesia telah berada pada kategori
eksplotasi penuh (fully exploited). Riset terbaru menunjukkan, stok
ikan dunia merosot dengan volume sumberdaya perikanan dunia yang
cenderung menurun, karena perburuan ikan terus meningkat seiring
dengan kian tingginya konsumsi masyarakat dunia. Ironisnya,
ekosistem laut seperti terumbu karang semakin rusak, sehingga
suplai pakan untuk aneka biota laut seperti klorofil atau plankton
juga cenderung menurun (Soesilo dan Budiman, 2006).
Tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat pesisir yang rendah
secara rata-rata nasional dan kontribusi sektor perikanan dan
kelautan yang belum proporsional dalam menyumbang pendapatan
ekonomi nasional merupakan contoh-contoh persoalan sosial ekonomi
yang penting. Keliru jika ada yang beranggapan bahwa nelayan sulit
menerapkan teknologi baru. Justru sebaliknya, setiap teknologi yang
bisa meningkatkan nilai tambahnya maka secepat itu pula nelayan
mengaplikasikan temuan baru tersebut. Justru yang terjadi selama
ini, nelayan seringkali tidak mendapat akses teknologi (Soesilo dan
Budiman, 2006). Usaha ke arah perbaikan kesejahteraan masyarakat
kelautan menghadapi persoalan kelembagaan, misalnya konflik
kewenangan dan kepemilikan wilayah pesisir dan laut serta ketidak
pastian atau tumpang tindih di bidang hukum.
Media Indonesia juga sering mengangkat berita tentang kejadian
kecelakaan kapal, tumpahnya minyak, kebocoran pipa, penangkapan
ikan dengan racun atau pemboman, dan aneka jenis kegiatan yang
berkaitan dengan pencemaran pesisir dan laut. Salah satu contoh isu
yang mendapat perhatian besar masyarakat di tahun 2004 adalah kasus
penyakit yang berkembang di masyarakat dan kontroversi pencemaran
teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara, yang dihubungkan dengan
kegiatan pembuangan limbah tailing penambangan emas (yang biasanya
mengandung logam beracun seperti Hg dan Cd) ke perairan teluk
tersebut (Mukhtasor, 2007). Selain itu data informasi yang didapat
dari artikel media massa (Nikijuluw, 2006 a, 2006 b, 2006 c, 2006
d) adalah beberapa hal yang menggambarkan fenomena yang ironis
dalam sektor kelautan dan perikanan.
Dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sejak masa
pemerintahan era reformasi, yang sekarang adalah Kementrian
Kelautan dan Perikanan (KKP) menggambarkan semakin tingginya
kesadaran semua pihak, khususnya pemerintah, tentang besarnya
potensi sumberdaya laut yang selama ini belum dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal. Hasrat untuk memanfaatkan sumberdaya
hayati laut secara optimal semakin menguat dengan terjadinya krisis
ekonomi yang berkepanjangan yang menimbulkan dampak yang cukup
berarti terhadap kondisi perekonomian di Indonesia. Data statistik
tahun 1997 dan 1999 menunjukkan bahwa secara nasional persentase
penduduk miskin mengalami kenaikan dari 11,34% menjadi 23,43%.
Persentase penduduk miskin paling parah justru terjadi di Kawasan
Timur Indonesia (KTI) seperti: Irian Jaya, dari 21,17% menjadi
54,75%, Nusa Tenggara Timur, dari 20,57% menjadi 46,73%, dan
Maluku, dari 19,47% menjadi 46,14%. Paparan data statistik tersebut
cukup memprihatinkan, karena KTI ini memiliki potensi kekayaan
sumberdaya laut. DKP mengidentifikasikan tiga persoalan pokok
pemicu kemiskinan, yaitu: (1) persoalan sosial ekonomi, (2)
persoalan kelembagaan, (3) persoalan kerusakan fisik.
Pemerintah kini juga menggantungkan harapan pada keberhasilan
pembangunan sektor kelautan dan perikanan sebagai salah satu sektor
yang dapat mendatangkan devisa yang cukup besar dalam rangka
mengatasi keterpurukan ekonomi. Untuk dapat mewujudkan harapan itu
pemerintah harus mampu mengatasi kendala dan tantangan yang
dihadapi dalam pembangunan sektor tersebut. Kendala dan
permasalahan dimaksud pada dasarnya meliputi kendala yang bersifat
teknik, kelemahan kebijakan ekonomi, sistem hukum dan struktur
kelembagaan, kerusakan fisik ekosistem pesisir dan pencemaran,
konflik penggunaan ruang serta kendala-kendala lainnya.
Sebagai negara maritim yang aktif dalam kesepakatan-kesepakatan
internasional tentang perlindungan sumberdaya kelautan dan
perikanan, seperti Code of Conduct for Responsible Fisheries dan
upaya-upaya untuk memerangi praktek-praktek perikanan yang tidak
bertanggungjawab (Illegal, unreported, Unregulated Fishing, IUU
Fishing), Indonesia dituntut untuk dapat melakukan upaya-upaya
nyata dalam mengantisipasi dampak kepunahan sumberdaya hayati laut
dan kerusakan lingkungan laut yang ditimbulkan oleh
aktifitas-aktifitas perikanan yang tidak bertanggungjawab.
Selama ini Indonesia merupakan salah satu negara penghasil
minyak dan anggota negara OPEC, sebagaimana diketahui minyak bumi
merupakan salah satu kebutuhan penting bagi manusia baik dalam
kebutuhan sehari-hari seperti memasak, transport, bahkan di bidang
industri sebagai sumber energi pada pabrik-pabrik, tetapi tahun
2008 Indonesia menjadi pengimpor minyak sepenuhnya (net oil
importer) dan keluar dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak
(OPEC). Secara geologis, menurut Kurtubi (pakar energi di FE-UI),
anjloknya produksi minyak mentah karena langkanya penemuan cadangan
atau lapangan minyak baru dan produksi hanya mengandalkan lapangan
tua yang secara alamiah mengalami penurunan, sementara potensi
sumber daya migas Indonesia sebagian besar terjebak di sekitar 128
cekungan yang relatif masih sangat besar terutama di kawasan lepas
pantai (kawasan laut dalam) yang belum tersentuh. Hal ini
disebabkan sarana dan prasarana teknologi engineering pencarian
ladang dan pengeboran minyak kita (struktur bangunan laut,
perkapalan, pelabuhan, dan lainnya) tidak mendukung (Kompas, Rabu,
23 Sept., 2009).
Terdapat sekitar 100 struktur anjungan lepas pantai di Indonesia
yang dibangun sejak tahun 1970an dengan umur rencana selama 25
tahun sehingga saat ini struktur anjungan tersebut telah melampaui
umur rencana-nya (pasca design). Oleh karena cadangan minyak yang
masih cukup, sebagian besar struktur anjungan lepas pantai yang
telah melampaui umur rencana tersebut masih terus dioperasikan.
Peraturan pemerintah (SK Dirjen MIGAS) mensyaratkan semua struktur
anjungan lepas pantai yang telah melampaui umur rencana dan akan
terus digunakan harus dievaluasi ulang. Analisis/perhitungan
sambungan pada struktur anjungan yang dibangun pada tahun 1970an
dengan menggunakan standard yang berlaku saat ini selalu
menunjukkan umur kelelahan (fatigue life) yang jauh lebih pendek
dari umur rencana. Hasil inspeksi di lapangan menunjukkan bahwa
sebagian besar dari struktur anjungan yang telah melampaui umur
rencana tersebut tidak mengalami kegagalan karena kelelahan
(HTTP-ITB, 2005), seperti retak dan sebagainya. Perbedaan antara
hasil analisis/perhitungan dengan kenyataan di lapangan bisa
terjadi karena model dan standard perhitungan yang digunakan tidak
sesuai dengan struktur dan beban sebenarnya (Tawekal, 2005).
Potensi wisata bahari juga merupakan komoditas kelautan yang
dapat menarik wisatawan lokal dan mancanegara untuk berkunjung
melihat dan menikmati keindahan alam laut Indonesia seperti pulau,
pantai, taman laut, yang melibatkan teknologi sarana dan prasarana
transportasi laut seperti kapal, pelabuhan, bahkan wisata kuliner
yang juga menyajikan masakan khas daerah setempat yang diolah dari
hasil laut seperti ikan, udang, dan rumput laut. Semua hal yang
telah dipaparkan di atas sudah dapat menggambarkan cakupan bidang
kelautan yang luas dan merupakan potensi yang sangat berarti bila
dapat dikelola oleh bangsa dan rakyat Indonesia sebagai negara
maritim.
Dalam upaya reorientasi dari visi kontinental ke visi maritim,
diperlukan gagasan-gagasan yang dapat direalisasikan dalam bentuk
tindakan. Sejalan dengan hal tersebut dibutuhkan sumber daya
manusia (SDM) yang berkompeten dan tangguh di bidang ilmu dan
teknologi kelautan (Lubis, 2006). Sementara segenap kebijakan dan
program pembangunan kelautan dan perikanan menuju Indonesia yang
maju, adil-makmur, berdaulat mesti diorientasikan untuk: 1.
Pro-Poor, 2. Pro-Job, 3. Pro-Growth, dan 4. Pro-Environment
(Dahuri, 2010). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pendidikan
dan pengetahuan mengenai sains bidang kelautan harus ditingkatkan.
Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan
lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi
Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia (Permen Diknas no. 22 tahun
2006).
Untuk mencapai harapan agar lulusan SDM Kelautan lebih
berkualitas atau berkompeten dan tangguh sesuai dengan tuntutan
kebututuhan SDA, maka upaya pendidikan & pelatihan sangat
diperlukan. Pendidikan dengan berbagai programnya mempunyai peranan
penting dalam proses memperoleh dan meningkatkan kualitas kemampuan
profesional individu. Melalui pendidikan, seseorang disiapkan untuk
memiliki kemampuan mengetahui, mengenal dan mengembangkan metode
berpikir secara sistematik agar dapat memecahkan masalah yang akan
dihadapi dalam kehidupan di kemudian hari (Sedarmayanti, 1995). Hal
tersebut akan nampak pada kinerjanya, yang pada akhirnya akan
menjamin produktivitas kerja yang semakin meningkat.
Pendidikan mencakup interaksi dari berbagai faktor, khususnya
interaksi guru dan peserta didik dalam kaitannya dengan penyajian
pengalaman pembelajaran, dalam hal tersebut kurikulum memiliki
posisi sentral. Kurikulum menggambarkan tujuan yang akan dicapai
dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Artinya, kurikulum
menjelaskan kemampuan yang harus dimiliki peserta didik setelah
mengikuti proses pembelajaran, pengalaman pembelajaran yang harus
dikuasai serta bagaimana pengalaman pembelajaran tersebut dikemas
dan dibekalkan kepada para peserta didik. Ibarat tubuh, maka
kurikulum adalah jantungnya. Oleh karena itu, maka kualitas hasil
pendidikan erat kaitannya dengan kualitas kurikulum (Zamroni,
2004).
Kurikulum adalah suatu desain atau rencana yang menggambarkan:
tujuan utama (aims), tujuan-tujuan umum (goals), dan tujuan-tujuan
khusus (objectives) dari suatu aktivitas pendidikan menyangkut
tatacara, alat, dan aktivitas yang digunakan untuk mencapai hasil
yang ingin dicapai, instrumen dan prosedur yang diperlukan untuk
mengevaluasi tindakan. Definisi pengembangan kurikulum adalah
bagian dari desain tindakan untuk menghasilkan satu kelompok
pengalaman belajar.
Milenium Development Goals pada era pasar bebas atau era
globalisasi merupakan era persaingan mutu atau kualitas, siapa yang
berkualitas dialah yang akan maju dan mampu mempertahankan
eksistensinya (Mulyasa, 2007). Agar mampu ikut serta dalam
memenangkan persaingan bebas diantara bangsa-bangsa, maka posisi
yang sangat strategis untuk membentuk karakter bangsa yang mandiri
dan dapat diperhitungkan adalah membangun kemampuan berpikir
manusia Indonesia. Secara umum berpikir merupakan suatu proses
kognitif, suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan.
Keterampilan proses sebagai suatu keterampilan berpikir dapat
dikatakan merupakan penjabaran dari metode ilmiah (Dahar, 1985).
Seseorang yang melakukan kegiatan ilmiah atau menggunakan metode
ilmiah mesti memiliki dahulu keterampilan-keterampilan dasar.
Keterampilan-keterampilan dasar tersebut dalam IPA adalah
keterampilan proses sains, yang merupakan hal-hal yang biasa
dilakukan setiap orang apabila ia melakukan IPA atau ber-ipa
(Rustaman, 1996).
Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan sekumpulan
ilmu-ilmu serumpun yang terdiri atas Biologi, Fisika, Kimia,
Geologi, dan Astronomi yang berupaya menjelaskan setiap fenomena
yang terjadi di alam (Liliasari, 2005). Disiplin ilmu ini
masing-masing merupakan cabang-cabang sains yang berkembang dengan
bidang kajian dan terminologi yang khas.
Cara berpikir Sains berbeda dengan cara berpikir sehari-hari
(common sense). Cara sains memandang fenomena alam hanya dapat
dipahami berlandaskan falsafah, teori-teori, dan terminologi
tertentu yang disebut konsep. Belajar sains memerlukan kemampuan
untuk dapat membangun konsep. Sains diperkenalkan pada setiap orang
melalui pendidikan sains. Pendidikan sains bertujuan mempersiapkan
manusia yang berkepribadian dan bertanggung jawab dalam kehidupan
sebagaimana yang diungkapkan oleh Rutherford dan Ahlgren
(1990):
science education should help students to develop the
understandings and habits of mind they need to become compassionate
human beings able to think for themselves and face life head on. It
should equip them also to participate thoughtfully with fellow
citizens in building and protecting a society that is open, decent,
and vital.Masyarakat Indonesia yang bersifat kesatuan (unity) dalam
kebinekaan (diversity) memiliki keserupaan dengan sifat Sains yang
tampaknya pluralistik namun sesungguhnya dalam konsep pendidikan
merupakan suatu kesatuan ini sangat cocok sebagai wahana untuk
membangun pola berpikir manusia Indonesia (Liliasari, 2005). Dalam
memperkenalkan Sains melalui pendidikan diperlukan kurikulum
pendidikan Sains.
Rentetan peristiwa alam atau lingkungan seperti : Global
warming, efek rumah kaca, dan pencemaran atau polusi, membutuhkan
kesadaran masyarakat terhadap persoalan-persoalan lingkungan,
sosial dan budaya (Mulyanto, 2007). Masyarakat yang sadar terhadap
fenomena alam secara umum dan kelautan secara khusus, perlu
dibentuk melalui proses pendidikan. Pendidikan kelautan ini perlu
dikembangkan secara masal, dan dimulai seawal mungkin, yakni sejak
usia dini dalam masyarakat, atau pada anak-anak. Menurut Piaget
(1970), anak-anak adalah ilmuwan kecil yang sibuk dengan eksplorasi
aktif, mencari-cari pemahaman dan pengetahuan, kemudian akan
mengalami perkembangan sebagai proses yang berangsur-angsur
(gradual) dan terus-menerus (continual), lalu kemampuan anak dalam
penalaran masalah-masalah fisik dapat tercermin dalam penalarannya
terhadap masalah-masalah sosial (Setiono, 1983).
Anak usia sekolah dasar memiliki kecenderungan belajarnya berada
pada tahapan operasi konkret, integratif, hierarkis (Depdiknas,
2003). Anak pada tahap ini membutuhkan proses pendidikan sains yang
relevan untuk mempersiapkan mereka mampu (able) dan unggul (excel)
untuk hidup wajar dan mengantisipasi tuntutan kehidupan dalam suatu
masyarakat tempat mereka hidup (Heriawan, 2004). Konsep-konsep
IPTEKS-Kelautan (Marine Science,Technology, society and Arts
Concepts) adalah suatu mekanisme dan potensi yang dapat mewakili
dan memberikan pendidikan sains IPA, yaitu: Fisika, Kimia, Biologi,
Geologi, Astronomi, dan Teknologi, Kemasyarakatan dan Seni
(Lambert, 2006). Pendidikan IPTEKS-Kelautan perlu bagi seluruh
masyarakat Indonesia karena di masa yang akan datang ekonomi
Indonesia akan bergantung pada sumberdaya kelautan yang degadrasi
sumberdaya terrestrialnya makin nyata. Selain itu pengetahuan
tentang IPTEKS-Kelautan sangat menentukan keberlanjutan Negara
Kesatuan Republk Indonesia (NKRI).B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas dan berkenaan dengan
kualitas sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan maka masalah
utama yang menjadi fokus dari penelitian yang dilakukan adalah:
Bagaimanakah Kurikulum Sains berwawasan IPTEKS-Kelautan pada
tingkat Pendidikan Dasar yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
berbasis Potensi Sumber Daya Alam Indonesia? Mengacu pada rumusan
masalah, untuk mempermudah pelaksanaannya dijabarkan beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut.1. Bagaimana karakteristik
kurikulum pada jenjang pendidikan dasar yang ada sekarang?
2. Apa kendala atau tantangan yang dihadapi dalam
mengimplementasikan kurikulum tersebut?
3. Konsep-konsep IPTEKS-Kelautan apa saja yang perlu dipelajari
oleh siswa?
4. Bagaimanakah model kurikulum sains berwawasan IPTEKS-Kelautan
yang sesuai dengan potensi sumberdaya alam Indonesia untuk jenjang
pendidikan dasar?
5. Bagaimanakah pendekatan dalam pengembangan kurikulum sains
berwawasan IPTEKS-Kelautan pada jenjang pendidikan dasar?
6. Bagaimanakah strategi penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar yang berwawasan IPTEKS-Kelautan?C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang ditinjau dan dikaji dapat lebih fokus
dalam penelitian maka ruang lingkup atau batasan cakupan penelitian
dibatasi sebagai berikut.
1. Pendidikan dasar, yaitu di tingkat Sekolah Dasar (SD).
2. Fokus penelitian untuk siswa kelas 4, 5, dan 6. dan untuk
kategori usia anak antara delapan tahun sampai dua belas tahun.3.
Penekanan penelitian diarahkan pada pengembangan konten kurikulum,
yaitu konsep-konsep Ilmu Pengetahuan (Science dan Society),
Teknologi dan Seni di bidang Kelautan (IPTEKS-Kelautan)
terintegrasi yang akan dipilih sebagai mata pelajaran
IPTEKS-Kelautan untuk pendidikan dasar khususnya untuk Sekolah
Dasar kelas 4, 5 dan 6.D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah: Membuat suatu pola/model Kurikulum
(UU-RI SPN, pasal 1 ayat 1) yaitu mengembangkan kompetensi
IPTEKS-Kelautan bagi siswa pada jenjang Pendidikan Dasar, yang
sejalan dan sesuai dengan potensi sumberdaya alam wilayah NKRI dan
kearifan IPTEKS-Kelautan. Kurikulum tersebut diharapkan kelak dapat
meningkatkan kualitas ocean literacy Sumber Daya Manusia (SDM) di
bidang kelautan.
E. Manfaat Penelitian
Diharapkan Rancangan Pengembangan Model Kurikulum Sains
Berwawasan IPTEKS-Kelautan ini dapat bermanfaat secara praktis dan
teoretik.1. Secara praktis:
a. Memperkenalkan siswa tentang IPTEKS-Kelautan dan
mengidentifikasi profesi-profesi di bidang tersebut.b. Membuka
ruang cakrawala pengetahuan dan minat siswa pada tingkat pendidikan
dasar terhadap IPTEKS-Kelautan. c. Merangkum secara optimal
konsep-konsep aspek sosial, sains dan teknologi kelautan secara
menyeluruh (universal).
d. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa pada tingkat
pendidikan dasar mengenai persepsi dan konsepsi serta ruang lingkup
IPTEKS-Kelautan bagi yang melanjutkan studi pada jenjang berikutnya
dan kontribusi bekal hidup untuk peningkatan kesejahteraan bagi
siswa yang tidak dapat melanjutkan studi di kemudian hari. e.
Menarik minat siswa dan optimal dalam pencapaian ke arah kompetensi
SDM menuju profesionalisasi bidang kelautan sebagai salah satu
pilihan profesi di kemudian hari.
2. Secara teoretik:1. Meningkatkan kualitas pendidikan nasional
secara umum dan secara khusus kompetensi untuk profesionalisasi dan
kualitas SDM dengan fokus spesialisasi masing-masing pada bidang
kelautan pada perguruan tinggi yang diminati siswa di kemudian
hari. b. Merangkum secara optimal konsep-konsep aspek sosial, sains
dan teknologi kelautan secara menyeluruh (universal). Membuat
pemetaan konsep-konsep IPTEKS-Kelautan dalam bentuk matriks
kompetensi mata pelajaran sains kelautan untuk pendidikan dasar
sebagai masukan bagi penyusun dan pengembang kurikulum.c.
Menyetarakan mata pelajaran IPTEKS-Kelautan dengan tingkat (level)
kognitif dan afektif siswa pada tingkat pendidikan dasar, sehingga
cocok dan sejalan (match) pada jenjang/ grade selanjutnya.F.
Definisi Operasional
Pengembangan model kurikulum: Mengacu pada bagaimana membuat
program pendidikan yaitu pembelajaran yang efektif dari mata
pelajaran sains, yang modelnya mengacu pada mata pelajaran
IPTEKS-Kelautan. Sehubungan dengan hal tersebut maka langkah
pertama yang dilakukan adalah merekonsruksi konsep-konsep dari
IPTEKS-Kelautan.
Sains Kelautan: Ilmu Pengetahuan tentang fenomena alam yang,
penjabaran, pengkajian, dan aplikasi ditinjau melalui bidang
kelautan, yaitu: Oseanografi geologi, Oseanografi biologi,
Oseanografi fisika, Oseanografi Meteorologi, dan Oseanografi
kimia.
IPTEKS-Kelautan: Ilmu Pengetahuan mengenai Sains, Teknologi dan
Seni di bidang kelautan, dengan konsep-konsep yang ditinjau dari
aspek sains kelautan yang unity dan diversity, dan terintegrasi
(integrated) dengan Teknologi dan Masyarakat (society) dengan
terminologi yang relevan pada masing-masing bidang kajiannya.
Pendidikan Dasar: Upaya mendidik pada tingkat minimum atau
terendah yang diwajibkan bagi semua warga negara yang dikenal
sebagai Sekolah Dasar (SD) dan ditinjau berdasarkan kelas, yaitu
kelas 4,5 dan 6 SD.
BAB II
KONSEP IPTEKS-KELAUTAN DALAM KURIKULUM SAINS UNTUK SD
A. Hakikat Sains
1. Pengetahuan Apabila membaca tentang sejarah peradaban dan
perkembangan kehidupan manusia, maka dapat dikatakan semua itu
menggambarkan atau mencerminkan tingkat pengetahuan (kecerdasan,
kemampuan, yang diketahui) manusia dari masa ke masa. Identifikasi
isi dan arti pengetahuan dapat dibahas dalam empat aspek ilmiah
berikut (Poedjiadi, 2006).
a. Aspek OntologiPengetahuan kata dasar,tahu, mendapat awalan
dan akhiran pe dan an, yang menunjukkan adanya proses (Depdikbud.,
1989). Jadi menurut susunan perkataannya, pengetahuan berarti
proses mengetahui dan menghasilkan sesuatu yang disebut
pengetahuan. Keberadaan pengetahuan diawali dari kecenderungan
psikis manusia, yakni ingin tahu, yang bersumber dari kehendak atau
kemauan yang merupakan salah satu unsur kejiwaan. Unsur lainnya
adalah akal pikiran (ratio) dan perasaan (emotion), sehingga
konsekuensinya ada pengetahuan akal (logika), pengetahuan perasaan
(estetika) dan pengetahuan pengalaman (etika). Jadi idealnya,
pengetahuan seharusnya mengandung kebenaran sesuai dengan prinsip
akal, perasaan dan keinginan manusia.Pada mulanya, manusia berada
dalam kondisi tidak tahu apa-apa. Ketika masih bayi atau
kanak-kanak, seolah-olah hanya bisa mempercayai dan menerima apa
saja. Setelah potensi psikis seseorang berkembang pada titik
kesadaran tertentu, barulah dia berada dalam keadaan kagum dan
heran. Dengan perasaan ini berarti ada sesuatu yang lebih dapat
dipercaya, sehingga timbul perkiraan. Dari perkiraan yang telah
teruji, keluarlah pendapat. Pendapat yang telah teruji berulang
kali melahirkan kebenaran. Kebenaran yang telah teruji secara terus
menerus menghasilkan kepastian. Pada akhirnya, kepastian menjadi
sebuah keyakinan jika secara mutlak telah teruji kebenarannya,
sehingga dapat disimpulkan bahwa hakikat pengetahuan dimulai dari
tingkat ketidak kepercayaan, keraguan sampai dengan tingkat
kepastian dan keyakinan mengenai masalah objek pengetahuan
(alam).
b. Aspek Aksiologi
Dalam diri manusia terdapat sifat kodrat yaitu kecenderungan
ingin tahu mengenai segala hal dalam taraf yang bagaimana pun,
secara benar dan berlangsung terus-menerus sampai mendapatkan
kepuasan yang ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal berasal dari dalam diri manusia sedangkan faktor
eksternal sebagai dorongan dari luar berupa tuntutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan kehidupan, yang merupakan konsekuensi adanya
tujuan hidup. c. Aspek Epistemologi
Keinginan tahu berkaitan erat dengan sifat-sifat pengetahuan
yaitu pengetahuan langsung, artinya pengetahuan yang biasa atau
langsung diterima tanpa kritik dan bisa dimanfaatkan dalam
kehidupan sehari-hari bagi kebanyakan orang dan pengetahuan tak
langsung, yang bersumber dari akar pikiran yang diperoleh melalui
objek yang ditangkap oleh indra, lalu di olah oleh akal pikiran
secara analitis, selanjutnya objek dipilah menurut kesamaan dan
perbedaan jenis, bentuk dan sifatnya. Akal pikiran bekerja secara
sintetik menghubungkan secara sistemik, yang akhirnya menarik
benang merah dari pluralitas objek, sehingga pengetahuan langsung
diperoleh melalui pendekatan-pendekatan (approaches), dengan sudut
pandang (point of vieuw) yang mungkin serta metode atau sistem yang
cocok. Sebagai contoh, bagaimana membantu anak mengamati alam
semesta secara sains dan teknologi, terutama kehidupan dan kegiatan
pada lingkungan laut misalnya hewan-hewan laut, angin laut, atau
kapal sebagai salah satu hasil teknologi, memikirkan, membayangkan
dan merasakan kemudian diekspresikan dalam berbagai kegiatan yang
menyenangkan yang terkait dengan konsep pendidikan anak seutuhnya
secara layak.d. Nilai manfaatNilai manfaat pengetahuan dapat
diartikan sebagai pencapaian tujuan hidup. Hal-hal tersebut
meliputi: (1). Mengetahui secara benar batas-batas pengetahuan (2).
Makna pengetahuan bahwa hampir tidak ada yang dapat dipastikan
dalam kehidupan ini. (3). Memperoleh pengetahuan dan menentukan
sifat kebenaran pengetahuan: metode empiris (empirisme), metode
rasional (rasionalisme), metode phenomenologic (fenomenoligisme),
metode ilmiah (validitas pengetahuan). 4. Berdasarkan uraian metode
di atas pengetahuan itu bersifat subjektif dan objektif. 5. Teori
mengenai kebenaran sifat pengetahuan, yaitu teori koherensi, teori
korespondensi, dan teori pragmatik. Sebagai contoh, mata pelajaran
IPA, Fisika (Hk. Archimedes) dan Matematika, sebagai salah satu
bagian dari bidang perkapalan, yang dapat menjawab pertanyaan:
Mengapa kapal bisa mengapung di air, Apakah yang akan terjadi bila
hujan badai di laut menerjang kapal, Apakah yang harus dilakukan
agar kapal tangguh dan aman dalam melakukan perjalanan/
pelayaran.2. Ilmu PengetahuanDalam Websters New Collegiate
Dictionary (1979), tertulis dua istilah: knowledge dan science,
Knowledge diartikan sebagai: (1). the fact or condition of knowing
something with familiarity gained
through experience or association, (2) the fact or condition of
being aware of something,(3) the fact or condition of having
information or being learned,(4) the sum of what is know: the body
of truth, information, and principles acquired by mankind. Dari
penjelasan Webster tersebut, dapat dipahami bahwa knowledge
menjelaskan tentang adanya suatu hal (pengetahuan) yang diperoleh
manusia secara: 1. Biasa atau sehari-hari (regularly) melalui
pengalaman-pengalaman, 2. Fakta atau kondisi melalui sesuatu 3.
Fakta atau kondisi melalui kesadaran mempelajari, 4. Menyimpulkan
apa yang diketahui: seluruh kebenaran informasi dan prinsip-prinsip
dasar penalaran manusia. Dari etimologinya kata Ilmu (science)
mengandung pengertian tahu (knowing), tetapi mengetahui bukanlah
prerogrative ilmuwan saja. Setiap orang mengetahui sesuatu dengan
derajat atau tingkat, aspek dan cara yang berbeda. Sesuatu yang
diketahui adalah pengetahuan, dan pengetahuan dapat disebut ilmu
(pengetahuan ilmiah) bila: 1) Merupakan suatu temuan (discovered
things), 2) Dapat dijelaskan/ diterangkan (explanatory), 3) mampu
meramal kedepan (predictive), 4) selalu berbasiskan temuan
sebelumnya (appositely recollective), 5) dapat dipertunjukkan
kebenarannya (demonstrable and verifiable), 6) sistematis dan
teratur (systematic and organized). Semua syarat-syarat ini harus
dipenuhi oleh pengetahuan untuk dikategorikan sebagai ilmu.
(Kesteven, 1973). Jadi knowledge dapat di pahami sebagai
pengetahuan yang cakupannya lebih luas dan umum, sedangkan science
dapat dipahami sebagai ilmu yang cakupannya lebih sempit dan khusus
dalam arti metode, sistematis, dan ilmiah.3. Objek Ilmu
PengetahuanDi dalam Websters New Collegiate Dictionary (1979),
dijelaskan istilah objek, yaitu:
1) something that is or is capable of being seen, touched, or
otherwise sensed: something physical or mental of which a subject
is cognitively aware, 2) an end toward which effort or action or
emotion is directed (GOAL), 3) a thing that forms an element of or
constitutes the subject matter of an investigation or science.
Menurut penjelasan Webster tersebut, ada beberapa penekanan
mengenai objek, seperti sesuatu yang dapat dilihat, disentuh atau
dengan cara penginderaan lain; sesuatu yang dapat disadari secara
fisis atau mental; suatu tujuan akhir dari kegiatan atau usaha; dan
suatu hal yang menjadi masalah pokok suatu penyelidikan. Jadi dapat
dipahami bahwa objek adalah sasaran pokok atau tujuan penyelidikan
keilmuan. 4. Metode Ilmu Pengetahuan
Metode adalah cara-cara penyelidikan yang bersifat keilmuan,
yang sering disebut metode ilmiah (scientific methods) diperlukan
agar tujuan keilmuan yakni kebenaran, objektif dan dapat
dibuktikan, bisa tercapai. Dengan metode ilmiah, kedudukan
pengetahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan yaitu menjadi lebih
khusus dan terbatas lingkup studinya. Metode berasal dari bahasa
Yunani methodos yang berarti jalan, dalam bahasa Latin methodus
berarti cara, dan dalam bahasa Ingris methodartinya: procedure or
process for attaining an object; a systematic procedure, technique,
or mode of inquiry by or proper to a particular discipline or art.
2) a discipline that deals with the principles and techniques of
inquiryscientific (Websters, 1979). Namun sering pengertian metode
dicampuradukkan dengan metodologi. Webster menjelaskan metode
sebagai a body of methods, rules, and postulates employed by a
discipline: a particular procedure or set of procedures. Juga
diartikan sebagai the analysis of the principles or procedures of
inquiry in a particular field. Dari hal tersebut, dapat dipahami
bahwa metode adalah suatu proses atau prosedur yang sistematik
berdasarkan prinsip-prinsip dan teknik-teknik ilmiah yang dipakai
oleh suatu disiplin (bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan.
Jadi metode dapat dikatakan sebagai cara kerja ilmiah, sedangkan
metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk
metode-metode, aturan-aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu
pengetahuan. Jika dibandingkan antara metode dan metodologi maka
metodologi bersifat umum dan metode lebih bersifat khusus
(Sukmadinata, 2007).
Metode dapat dibedakan menjadi jenis-jenis metode seperti:
metode observasi, metode trial and error, metode statistik, metode
sampling. Ada enam langkah cara kerja ilmiah atau metode untuk
memperoleh pengetahuan, yaitu: (1) kesadaran problema., (2)
pengumpulan data yang relevan., (3) penertiban data. (kemampuan
analisis dan pengelompokan)., (4) pembentukan hipotesis., (5)
deduksi atau penarikan kesimpulan dari hipotesis., (6) verifikasi
(pengujian kebenaran dalam ilmu pengetahuan) dengan meletakkan
keputusan akhirnya pada fakta (Suriasumantri, 1987).
5. Sistem Ilmu Pengetahuan
Fungsi sistem bagi ilmu pengetahuan bersifat mutlak, fungsinya
aktif yaitu: menggerakkan dan mengarahkan langkah-langkah yang
telah ditentukan dalam metode agar daya kerja metode itu kontinu
dan konsisten sehingga pencapaian tujuan kebenaran ilmiah lebih
terjamin. Terdapat enam sistem yang dipakai dalam Ilmu pengetahuan
yaitu: (1) sistem tertutup (2) sistem terbuka (3) sistem alami (4)
sistem buatan (5) sistem lingkaran (6) sistem linear (Suhartono,
2005).6. Objektivitas (Kebenaran Ilmiah)Objektivitas adalah suatu
pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma
keilmuan. Kebenaran yang pasti mengenai suatu objek, materi yang
diperoleh menurut objek forma, metode, dan sistem tertentu.
Kebenaran ilmiah cenderung bersifat objektif tidak subjektif,
artinya terkandung dalam sejumlah pengetahuan menurut sudut pandang
yang berbeda-beda tetapi saling bersesuaian, tahan terhadap
verifikasi baik empirik maupun rasional, karena sudut pandang,
metode dan sistem yang dipakai juga bersumber dari pengalaman atau
akal pikiran.
7. Hakikat Ilmu Pengetahuan
Hakikat dalam bahasa Inggeris disebut substance dan essence,
dimana keduanya menunjukkan suatu essential nature atau ultimate
nature of a thing (Websters New Collegiate Dictionary, 1979); The
quality of being based on facts or the truth: ..., The most
important or main part of truth: ..., The most important quality or
feature of truth, that make it was is...(Oxford Dictionary, 2010).
Hal tersebut bisa dipahami sebagai inti dasar atau yang tertinggi
dari sesuatu. Menurut Aristoteles (Hawasi, 2003) bahwa setiap yang
ada berada dalam suatu cara yang dijabarkan dalam 10 kategori,
yaitu: 1. substance, 2. quality, 3. quantity, 4. relation, 5.
action, 6. passion, 7. space, 8. tempo, 9. situs, dan 10. habitus.
Jadi Hakikat adalah keseluruhan unsur yang secara mutlak
bersama-sama menentukan adanya sesuatu (benda atau hal).8. Hakikat
Ilmu Pengetahuan Alam (Hakikat Sains)
Pada hakikatnya science adalah Ilmu tentang (gejala dan proses)
alam yang timbul karena adanya akal yang dimiliki manusia. Dalam
perkembangannya kata sains juga berarti ilmu-ilmu sosial atau
humaniora. Sains berawal dari rasa ingin tahu manusia terhadap
lingkungannya, yang kemudian mengalami perkembangan dengan
dikemukakannya teori berdasarkan hukum-hukum yang telah dibuktikan
kebenarannya oleh sebagian besar ilmuwan. Suatu teori dalam sains
dapat berubah bila hukum yang mendukungnya ternyata tidak lagi
dinyatakan benar, karena ada bukti-bukti lain yang mengingkarinya
(bersifat tentatif). Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1989):
Hakikat adalah: 1. intisari atau dasar, 2. kenyataan yang
sebenarnya, Jika Ilmu adalah: 1. Pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun dengan sistem menurut metode-metode tertentu, yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala gejala tertentu di bidang
(pengetahuan) itu, 2. Pengetahuan atau kepandaian (duniawi,
akhirat, lahir, batin), Pengetahuan adalah: (1). Segala sesuatu
yang diketahui, kepandaian. (2). Segala sesuatu yang diketahui
berkenaan dengan hal (mata pelajaran), Alam adalah: (1). dunia,
(2). kerajaan, daerah, negeri, misalnya Minangkabau, (3). Segala
yang ada di langit dan di bumi, misalnya bumi, bintang-bintang,
kekuatan-kekuatan, (4). Lingkungan kehidupan, misalnya alam
akhirat, (5). Segala sesuatu yang termasuk di dalam suatu
lingkungan (golongan dsb.) dan dianggap sebagai satu keutuhan,
misalnya alam tumbuh-tumbuhan, (6). Segala daya (kekuatan dsb.)
yang menyebabkan terjadinya dan seakan-akan mengatur segala sesuatu
yang ada di dunia, misalnya hukum alam, ilmu alam, (7). Sesuatu
yang bukan buatan manusia, misalnya karet alam.Dari defenisi
masing-masing kata di atas, apabila disatukan sebagai satu kesatuan
arti atau makna, maka Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam atau hakikat
sains adalah intisari sebenarnya dari pengetahuan tentang suatu
bidang yang disusun secara sistematis menurut metode-metode
tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu yang diketahui berkenaan dengan alam (dunia: langit dan
bumi; mahluk hidup: yaitu manusia, hewan, dan tumbuhan; dan mahluk
tak hidup).
Pada awalnya sains tidak ada kaitannya dengan teknologi. Kata
teknologi berasal dari kata Yunani techne yang berarti seni
kerajinan (Leahy, 2006). Pada hakikatnya teknologi mengandung dua
pengertian pokok yakni kegiatan dan produknya. Mula-mula teknologi
adalah upaya manusia untuk mempermudah kegiatan yang dilakukan.
Saat ini teknologi sudah menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan manusia. Teknologi bahkan telah menguasai berbagai
aspek kehidupan manusia. Berbagai produk teknologi telah membantu
manusia dalam mencapai kesejahteraan hidupnya. Produk teknologi
bukan lagi sekedar menjadi alat untuk mempermudah kegiatan manusia,
tetapi sudah menjadi tujuan hidup kebanyakan orang. Teknologi sudah
menjadi kenyataan yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
manusia. Sains dan teknologi dapat diartikan sebagai satu-kesatuan
yang saling mendukung. Sains berkembang menjadi berbagai jenis
disiplin ilmu sedangkan teknologi juga berkembang menghasilkan
berbagai produk yang makin canggih. Perkembangan sains dan
teknologi telah berlangsung pesat sejak abad ke-20 hingga sekarang.
Produk teknologi telah merambah ke berbagai segi kehidupan manusia,
namun kita tidak dapat menghentikan atau membiarkan saja tanpa
terkendali karena kita perlu memahami sains dan teknologi dengan
menyadari dampak positif dan negatif yang mungkin timbul dari
kehadiran sains dan teknologi.
Masyarakat umum ataupun pelajar yang memanfaatkan produk
teknologi perlu memiliki pengalaman tentang sains yang dapat
dijadikan bekal dalam memelihara produk teknologi itu agar
senantiasa dapat berfungsi secara optimal dan apabila perlu dapat
dijadikan modal mengatasi kesulitan yang tidak terlalu besar. B.
Paradigma SainsSejarah telah menunjukkan pengaruh perkembangan
sains terhadap perkembangan budaya. Sains merupakan usaha manusia
untuk memahami dan memanfaatkan alam dalam memenuhi kebutuhan
hidup. Sains berkembang pesat yang berawal dari pengenalan metode
eksperimen oleh Roger Bacon pada abad ke-13 yang dimantapkan
sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon pada abad ke-16
(Suriasumantri, 1999). Paradigma sains modern lahir melalui
perjuangan yang tidak mudah dan harus mengatasi hambatan-hambatan
pandangan manusia sebelumnya tentang alam dan eksistensi manusia.
Perkembangan sains yang sangat cepat pada abad 18 dan 19 telah
memunculkan revolusi industri dan memunculkan perubahan budaya yang
sangat besar, terutama dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup,
seiring dengan perkembangan sains dan teknologi. Paradigma Sains
menurut Poedjiadi (2006) didefinisikan sebagai cara pandang ide
seperti yang dicontohkan:1. Daftar semua bentukan dari sebuah kata
memperlihatkan konjugasi dan
deklinasi kata tersebut; model dalam teori ilmu pengetahuan;
kerangka
berpikir.
2. Merupakan cara pandang tertentu dalam menghadapi suatu
masalah.
Dengan paradigma yang sama sekelompok ilmuwan dalam bidang
kajian
yang sama sepakat menerima praktek-praktek ilmiah,
hukum-hukum,
teori-teori dengan aplikasinya, instrumen-instrumen yang
dipilih, sehingga
melahirkan tradisi penelitian ilmiah tertentu. Perlu diketahui
bahwa istilah
paragdima dapat mencakup bidang yang luas, tetapi dapat pula
digunakan
dalam arti yang lebih sempit.
3. Ide-ide yang muncul dari semacam antisipasi terhadap
pengalaman,
dimana ide-ide itu bersumber dari imajinasi/intuisi para ahli
sains,
kemudian ide-ide tersebut dibenarkan oleh fakta-fakta observasi.
Kuhn (2002) memakai istilah paradigma untuk mengungkapkan
ide-ide
semacam itu, memainkan peranan sebagai landasan intelektual
untuk
imajinasi para ahli Sains. Perubahan paradigma bisa
mengakibatkan suatu
revolusi saintifik, seperti yang terjadi waktu Einstein tahun
1905.
menggunakan paradigma relativitas, Paradigma itulah
yangmemungkinkan
Sains untuk memandang dengan cara yang sangat barutentang relasi
antara
ruang dan waktu.
Selanjutnya Kuhn (2002) mengemukakan pandangannya tentang
perkembangan sains. Dengan menggunakan pengertian paradigma, Kuhn
menyatakan bahwa sains berkembang dari satu paradigma ke paradigma
lain secara revolusioner. Apabila kemudian ada hal-hal yang tidak
sesuai lagi dengan paradigma yang disepakati oleh para ilmuwan dan
masih dalam skala kecil, maka ketidaksesuaian itu merupakan suatu
anomaly, seperti sifat air. Namun apabila makin banyak terjadi
ketidak sesuaian dengan paradigma yang ada, hal ini merupakan suatu
krisis yang kemudian akan mengubah paradigma yang ada secara
radikal menjadi paradigma baru. Perubahan ini disebut sebagai
revolusi (Poedjiadi, 2005). Jadi secara singkat paradigma
perkembangan sains tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Paradigma I Anomali Krisis Revolusi Paradigma II
Beberapa paradigma dalam mencari kebenaran, yaitu Paradigma
Logika, Kegiatan yang dilakukan adalah analisis yang memandang
bahwa kebenaran dapat ditunjukkan apabila ada konsistensi dengan
aksioma-aksioma dan definisi yang berlaku. Termasuk dalam kelompok
ini antara lain matematika, ilmu komputer dan Filsafat. Dalam
Paradigma Positivistik atau paradigma sains, kegiatan dasar yang
dilakukan adalah eksperimen, yang memperoleh kebenaran setelah
hipotesis diverifikasi melalui eksperimen. Contoh bidang yang
memperoleh kebenaran seperti ini antara lain adalah ilmu-ilmu
fisika, kimia, biologi, geologi. Dalam Paradigma Naturalistik, yang
dilakukan adalah studi lapangan. Dengan pengalaman yang cukup dalam
meneliti fenomena di lapangan akan diperoleh kesimpulan yang memang
tidak dapat dielakkan atau tidak dapat dihindari. Contoh penggunaan
cara ini antara lain sejarah, ilmu politik, konseling. Dalam
Paradigma Modus Operandi, pandangan tentang kebenaran diperoleh
dengan melaksanakan pengujian atau penelitian secara periodik,
sehingga didapatkan garis penyebab yang khas dari suatu peristiwa
atau keadaan. Contoh bidang yang menggunakan metode seperti ini
adalah diagnosis medik.C. Science: Unity in Diversity
Sains berasal dari natural science atau science saja, biasanya
disebut Ilmu Pengetahuan Alam dan sering dianggap sebagai
integrated science. Pandangan ini sesungguhnya keliru. Sains
merupakan sekumpulan ilmu-ilmu serumpun yang terdiri dari Biologi,
Fisika, Kimia, Geologi dan Astronomi yang berupaya menjelaskan
setiap fenomena yang terjadi di alam (Liliasari, 2005). Lima
disiplin ilmu tersebut dikenal sebagai cabang-cabang sains,
masing-masing berkembang dengan bidang kajian dan terminologinya
yang khas, yaitu:
1. Biologi, mendalami makhluk hidup dan lingkungannya.
2. Fisika, mempelajari zat dan energi, serta hubungan antara ke
dua hal tersebut.
3. Kimia, memfokuskan pada struktur dan komposisi zat, serta
perubahan struktur dan mekanismenya dengan energi yang menyertai
perubahan tersebut.
4. Geologi, membahas kerak bumi dan perubahannya, serta
faktor-faktor yang menyebabkan perubahan tersebut.
5. Astronomi, mengarahkan kajiannya pada antariksa dan
benda-benda langit, serta energi yang menyebabkan terjadinya
berbagai peristiwa antariksa.
Mengingat bidang kajiannya berbeda, maka tentu terminologi yang
digunakan oleh setiap disiplin ilmu tersebut juga berbeda.
Perbedaan inilah yang biasanya lebih ditonjolkan oleh para ahli
yang mendalami masing-masing disiplin ilmu tersebut secara arogan.
Arogansi ilmiah antar sesama rumpun Sains seharusnya tidak perlu
terjadi, karena ada suatu pemikiran yang dapat menembus antar
disiplin Sains yang disebut tema umum (Rutherford and Ahlgren,
1990), yaitu :
1. Sistem
Apabila ada sekumpulan benda yang berhubungan satu dengan yang
lain, dan dalam hubungannya setiap komponen mempunyai fungsinya
masing-masing serta berupaya membentuk satu kesatuan, akan
terbentuk suatu sistem. Setiap bagian dari sistem (sub sistem)
hanya dapat dipahami sepenuhnya, apabila berhubungan dengan bagian
lain dari sistem.2. ModelModel merupakan tiruan yang lebih
sederhana dari fenomena yang sesungguhnya dipelajari, dan
diharapkan dapat menolong kita untuk memahaminya secara lebih baik.
Model ini dapat berupa model fisis, model matematis, atau model
konseptual. Kelemahan mempelajari sesuatu dengan menggunakan model,
yaitu bahwa suatu model tidak dapat meniru benda atau gejala yang
dipelajari, terutama proses yang berlangsung dalam suatu fenomena,
sehingga hal ini sering menyebabkan miskonsepsi
3. Kekekalan
Dalam mempelajari segala sesuatu yang berubah, maka dari semua
perubahan itu selalu ada sesuatu yang tidak berubah, yang disebut
kekekalan. Misalnya dari akhir banyak sistem fisis yang melibatkan
energi, selalu akan menuju kondisi kesetimbangan. Pada bagian
reaksi kimia ada bagian yang tidak berubah yaitu massa zat.4. Pola
perubahan
Setiap perubahan mempunyai pola tertentu. Di alam ada tiga jenis
perubahan, yaitu: (1). Perubahan yang cenderung berpola tetap:
peluruhan radio aktif, (2). Perubahan yang berlangsung dalam
siklus: terjadinya hujan dari uap air yang berasal dari laut,
sungai, danau dan sumber-sumber air lain di bumi yang diuapkan oleh
panas matahari. (3). Perubahan yang tidak teratur: mengembangnya
alam semesta menggambarkan perubahan yang tak teratur
5. Skala
Skala besaran yang dipelajari dalam sains bervariasi dalam alam
semesta, misalnya ukuran, tenggang waktu, kecepatan. Banyaknya
ukuran-ukuran dalam alam yang besarnya tidak sesuai dengan
pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari, seperti kecepatan
cahaya, jarak bintang terdekat, jumlah bintang di galaksi, umur
matahari, yang ukurannya jauh lebih besar daripada yang dapat
dijelaskan secara intuisi. Sebaliknya ukuran atom, jumlahnya yang
sangat banyak dalam materi, cepatnya interaksi antar atom juga jauh
dari jangkauan pengetahuan sehari-hari siswa. Melalui ukuran-ukuran
yang tidak biasa ini sains menitipkan kemampuan untuk memperkirakan
ukuran (sense of scale) bagi siswa yang mempelajarinya sehingga
dapat membayangkan perkiraan ukuran benda, jarak, kecepatan yang
dipelajarinya itu secara tepat. Hal ini penting karena sains bukan
hanya mempelajari ukuran yang dapat diamati langsung oleh panca
indera, melainkan juga yang sangat besar seperti jagad raya dan
yang sangat kecil seperti organisme bersel tunggal dan bahkan non
sel. Partikel yang berukuran sangat kecil seperti atom dan bahkan
partikel sub atom seperti elektron, proton, neutron perlu pula
dibayangkan oleh siswa.
6. Evolusi
Evolusi dikenal sebagai perubahan yang sangat lambat. Segala
sesuatu di bumi selalu berubah setiap saat secara perlahan-lahan.
Segala sesuatu yang sekarang ada dianggap berasal dari yang ada
pada masa lalu dan telah mengalami perubahan secara perlahan-lahan.
Suatu evolusi tidak dapat berlangsung dalam keadaan terisolasi,
karena segala sesuatu akan mempengaruhi keadaan sekelilingnya untuk
berubah pula, seleksi alam akan menyebabkan mahluk hidup
berevolusi. Disiplin-disiplin sains yang masing-masing seolah-olah
berbeda dan tidak berhubungan satu dengan yang lain dapat
dipersatukan oleh ke enam tema utama ini, karena pada hakekatnya ke
enam tema utama inilah yang dipelajari olah sains. Selain itu objek
yang dipelajari olah sains juga satu yaitu alam semesta. Jadi
inilah hakekat sains sebagai kesatuan (unity) yang dipelajari
melalui beragam cara (diversity). Selain itu yang perlu diketahui
dalam mempelajari sains adalah bahwa: (1). Di alam ada pola yang
konsisten dan berlaku universal; (2). Sains merupakan proses
memperoleh pengetahuan untuk menjelaskan fenomena.; (3). Sains
selalu berubah dan bukan kebenaran akhir.; (4). Sains hanyalah
pendekatan terhadap yang mutlak.; (5). Sains bersifat terbatas,
sehingga tidak dapat menentukan baik atau buruk.
Tidak semua fenomena alam dapat dipahami dengan bahasa
sehari-hari, karena itu diperlukan bahasa khusus dengan terminologi
khusus. Penjelasan dengan bahasa khusus ini yang disebut konsep
(Rutherford dan Ahlgren, 1990). Jadi belajar Sains memerlukan
kemampuan untuk membangun konsep, agar bila ditelaah lebih lanjut
untuk memperoleh pemahaman yang lebih lanjut, konsep-konsep inilah
yang diuji keterterapannya. Dengan demikian belajar sains pada
hakekatnya adalah belajar berpikir, karena keterampilan berpikir
itulah yang dapat menjadikan Sains berkembang (Liliasari,
2005).
D. Berpikir SainsBerpikir merupakan suatu proses kognitif, suatu
aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Proses berpikir
dihubungkan dengan pola perilaku yang lain dan memerlukan
keterlibatan aktif pemikir melalui hubungan kompleks yang
dikembangkan melalui kegiatan berpikir (Liliasari, 2005).
Berdasarkan prosesnya, berpikir dapat dikelompokkan atas:
1. Proses berpikir dasar, gambaran dari proses berpikir rasional
yang mengandung sejumlah langkah dari yang sederhana menuju yang
kompleks. Aktivitas berpikir rasional meliputi mengingat,
membayangkan, mengelompokkan, menggeneralisasi, membandingkan,
mengevaluasi, menganalisis, mensintesis, mendeduksi dan
menyimpulkan (Lawson, 1995).
2. Proses berpikir kompleks, biasa juga disebut proses berpikir
tingkat tinggi, terdiri dari empat macam, yaitu pemecahan masalah,
pengambilan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif
(Costa, 1985).
Keterampilan berpikir tingkat tinggi meliputi berpikir evaluatif
kritis, pembuatan keputusan, dan pemecahan masalah. Tsapartis dan
Zoller (2003) menyatakan bahwa item-item keterampilan berpikir
tingkat rendah adalah pertanyaan, latihan, atau masalah pengetahuan
yang memerlukan kemampuan untuk mengingat informasi sederhana atau
aplikasi sederhana dari teori atau pengetahuan pada situasi atau
konteks yang mirip. Sementara item-item keterampilan berpikir
tingkat tinggi adalah pertanyaan, latihan, atau masalah
ill-defined/structured, di mana pertanyaan, latihan, atau masalah
ini masih asing bagi siswa dan memerlukan solusi lebih dari sekedar
aplikasi pengetahuan. Keterampilan berpikir dapat dikembangkan
melalui penguasaan 8 macam keterampilan generik sains
(Brotosiswoyo, 2000), yaitu: (1). Pengamatan langsung dan tidak
langsung; (2) Kesadaran tentang skala besaran (sense of scale); (3)
Bahasa simbolik; (4) Kerangka logika taat- azas (logical
self-consitency) dari hukum alam; (5) Inferensi logika; (6) Hukum
sebab akibat (causality); (7) Pemodelan matematik dan (8) Membangun
konsep.
Cara sains memandang fenomena alam hanya dapat dipahami dengan
berlandaskan falsafah, teori-teori dan terminologi tertentu, yang
harus dipelajari terlebih dahulu oleh mereka yang ingin
berkecimpung dalam sains. Hal ini menyebabkan sains dianggap ilmu
yang cukup sulit dan banyak orang mengalami kendala dalam mendekati
sains. Namun bagaimanapun juga sains sangat diperlukan semua orang
dan seorang pun tak boleh menghindari sains.Untuk menghadapi
kehidupan pada era informasi dan globalisasi, semua orang perlu
melek sains (science literate), karena sains berada dekat dengan
kehidupan sehari-hari setiap insan di muka bumi ini. Sains
diperkenalkan kepada setiap orang melalui pendidikan sains.
Pendidikan sains bertujuan mempersiapkan manusia mengisi
kepribadian dan kehidupan yang bertanggung jawab dalam kehidupan
sebagaimana yang diungkapkan oleh Rutherford dan Ahlgren
(1990):
science education should help students to develop the
understandings and habits of mind they need to become compassionate
human beings able to think for themselves and face life head on. It
should equip them also to participate thoughtfully with fellow
citizens in building and protecting a society that is open, decent,
and vital.E. Sains untuk Semua (Science for All)Science for All
(SFA) merupakan paradigma baru pendidikan sains mulai akhir abad
ke-20. SFA dimaksudkan untuk pembekalan kemampuan dasar sains agar
setiap warga masyarakat melek sains. Orang yang melek sains adalah
orang yang sadar bahwa sains, matematika, dan teknologi adalah
usaha manusia yang saling bergantung dengan kekuatan dan
kelemahannya; mengerti konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains,
akrab dengan dunia alam dan mengenali keanekaragaman dan keutuhan
alam; menggunakan pengetahuan dan cara berpikir sains untuk tujuan
pribadi dan sosial (Rutherford dan Ahlgren, 1990; AAAS, 1993).
Premis dasar SFA adalah sekolah tidak perlu mengajarkan isi yang
banyak, tetapi lebih berfokus pada apa yang esensial untuk melek
sains dan mengajarkannya secara lebih efektif (Ruterford dan
Ahlgren, 1990). Rekomendasi SFA, inti belajar adalah ide-ide dan
keterampilan-keterampilan yang memiliki signifikansi ilmiah dan
pendidikan penting untuk melek sains. Kriteria pemilihan isi SFA
(Rutherford dan Ahlgren, 1990), yaitu:
1. Merupakan pengetahuan atau keterampilan yang secara
signifikan meningkatkan prospek kemampuan kerja jangka panjang dari
lulusan yang akan berguna dalam pembuatan keputusan personal.
2. Membantu warga negara turut berpartisipasi secara cerdas
dalam membuat keputusan sosial dan politik pada masalah-masalah
yang melibatkan sains dan teknologi.
3. Menyajikan aspek-aspek sains, matematika, dan teknologi yang
terbukti begitu penting dalam sejarah manusia atau berkontribusi
dalam budaya yang mana sebuah pendidikan umum tidak akan lengkap
tanpanya.
4. Berkontribusi pada kemampuan orang untuk peduli pada
pertanyaan-pertanyan arti kemanusian yang selalu muncul seperti
kehidupan dan kematian, tanggapan dan realitas, kepentingan pribadi
lawan kepentingan umum, kepastian dan keraguan.
5. Memperkaya kehidupan masa anak-anak (childhood) sebagai
sebuah waktu kehidupan yang penting dalam hal hak yang dimilik anak
itu sendiri dan tidak semata untuk kemampuan masa depan.
American Association for the Advancement of Science atau AAAS
(Rutherford dan Ahlgren, 1990) mengembangkan SFA meliputi 12 topik.
AAAS (1993) kemudian merumuskan kelompok-kelompok benchmarks for
science literacy sesuai dengan masing-masing topik tersebut.
Benchmarks menspesifikasi bagaimana siswa berkembang kearah science
literacy, merekomendasikan apa yang semestinya siswa ketahui dan
dapat kerjakan ketika mereka sudah mencapai jenjang kelas tertentu
dalam masa sekolah, hingga kelas XII. Benchmarks for Science
Literacy ditawarkan sebagai butir-butir rujukan untuk menganalisis
kurikulum yang ada atau yang dirancang ke arah sasaran melek sains
(AAAS, 1993). Benchmarks merupakan set outcomes pendidikan sains
(bukan set kurikulum).
Benchmarks dan standar isi sains mengasumsikan pencakupan semua
siswa dalam tantangan kesempatan belajar sains dan mendefinisikan
tingkat-tingkat pemahaman dan kemampuan yang semestinya
dikembangkan. Siswa diberi kesempatan yang sama dalam belajar
sains, tetapi akan mencapai pemahaman dalam cara dan pendalaman
yang berbeda-beda ketika mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang dunia alami (NRC, 1996).
Apresiasi terhadap temuan-temuan dan para penemu ditekankan
dalam Benchmark for Science Literacy (AAAS, 1993). Pemahaman
tentang sejarah perkembangan sains yang relevan dapat menumbuhkan
apresiasi terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan untuk membangun
sains dan menguatkan kegiatan inkuiri anak dalam membangun sains
pada dirinya (pandangan konstruktivis). Hal ini secara potensial
berkontribusi pada pembentukan kebiasaan mental sains (berpikir
terbuka) yang dituntut dalam membangun dunia yang lebih baik.
Benchmarks melek sains tersebut, masih dapat berkembang
mengikuti temuan-temuan penelitian dan masukan-masukan dari
pengalaman pengguna. Acuan-acuan dasar melek sains dari Science for
All fleksibel terhadap variasi konteks rancangan pengembangan
Science for All. Inti umum (common core) dari belajar sains bukan
pada pemahaman dari masing-masing disiplin yang terpisah (AAAS,
1993). Walaupun demikian karakteristik belajar sesuai dengan
masing-masing bidang masih diperlukan, terutama dalam membangun
konsepsi dasar dalam bidang yang bersangkutan.
Benchmarks tentang perkembangan sains yang terkait dengan
belajar aspek kelautan adalah seperti pemahaman tentang bumi
memiliki sebuah lautan besar dengan banyak fitur; Lautan dan
kehidupan laut membentuk fitur bumi; Lautan memberi pengaruh utama
atas cuaca dan iklim; Lautan menjadikan bumi dapat dihuni
(habitable); Lautan mendukung keanekaragaman hayati dan ekosistem
besar; Lautan dan manusia saling berhubungan yang cukup kompleks
untuk dijelaskan; Lautan sebagian besar belum dieksplorasi (Cava et
al., 2005).
Science for All (AAAS, 1993) menekankan sains sebagai produk,
proses, dan sikap. Poedjiadi (2005) menyoroti kemungkinan
optimalisasi pendidikan sains dalam pembangunan moral bangsa
melalui pemahaman gejala alam seperti keteraturan, sistem
kesetimbangan, dan anomali-anomali gejala alam yang berguna bagi
kelangsungan sistem alam (termasuk mahluk hidup di dalamnya).
Dengan demikian kebutuhan sains hendaknya terdiri dari pengetahuan
(konsep) dan keterampilan sains, serta kebiasaan mental (berpikir
dan bersikap) yang mencerminkan penguasaan sains untuk membangun
masa depan yang lebih baik.
Sains sebagai produk dalam Science for All ditekankan pada
konsep-konsep dasar sains yang esensial. Sementara sains sebagai
proses menuntut bahwa materi pelajaran juga harus mengandung
keterampilan sains seperti optimalisasi pemilikan keterampilan
inkuiri sains sebagai cara untuk membangun konsepsi-konsepsi sains,
dan menumbuhkan kebiasaan mental (sains) pada anak. Rancangan
proses atau strategi pembelajaran (pendekatan dan metode
pembelajaran) yang dipilih hendaknya dapat secara efektif mencapai
tujuan yang dirumuskan. Strategi pembelajaran hendaknya efektif
membangun konsepsi, keterampilan, dan kebiasaan mental sains pada
siswa. Science for All membatasi pada pengetahuan dan keterampilan
dasar sains yang esensial, serta sikap sains bagi semua warga
masyarakat.Pengetahuan dan keterampilan sains di atas untuk hal-hal
menyangkut bidang kelautan yang ada dalam kehidupan sehari-hari
(masyarakat) kiranya dapat diajarkan pada siswa SD dan
berkontribusi besar dalam menumbuhkan sikap sains pada siswa dan
masyarakat dalam rangka Science for All. F. Acuan Literasi Sains
Literasi sains menurut Organization for Economic Cooperation and
Development (2003) adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains
untuk mengindentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan
berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami dan membuat keputusan
tentang alam dan perubahannya melalui aktivitas manusia. Literasi
menurut National Research Council (1996) adalah pengetahuan dan
pemahaman tentang konsep-konsep dan proses-proses sains yang
diperlukan untuk membuat keputusan secara personal, berpartisipasi
dalam masyarakat dan produktivitas ekonomi. Orang yang mempunyai
literasi sains adalah orang yang dapat mengajukan pertanyaan,
menemukan, atau menentukan jawaban terhadap pertanyaan yang
diturunkan dari keingintahuan tentang pengalaman sehari-hari. Masih
menurut National Research Council (1996), penduduk yang mempunyai
literasi seharusnya dapat mengevaluasi kualitas informasi
berdasarkan sumbernya dan metode yang digunakan untuk menghasilkan
informasi tersebut. Siswa yang mempunyai sikap ilmiah adalah siswa
yang menunjukkan keinginan untuk mengubah opininya berdasarkan
bukti-bukti, mencari kebenaran tanpa prasangka, memahami hubungan
sebab akibat, membuat keputusan berdasarkan fakta, dan mampu
membedakan antara fakta dan teori Davis (Gallagher et al, 1995).
Keberhasilan perumusan kerangka konseptual Science for All oleh
AAAS (1989) juga telah diikuti dengan keberhasilan perumusan
kelompok-kelompok acuan (benchmarks) melek sains (science literacy)
sesuai dengan dua belas topik isi atau kebutuhan dalam SFA untuk
Amerika Serikat (AAAS, 1993). Ke duabelas kelompok benchmarks itu
adalah: (1) hakikat sains, (2) hakikat matematika, (3) hakikat
teknologi, (4) tatanan fisik (5) lingkungan hidup, (6) organisme
manusia, (7) masyarakat manusia, (8) dunia yang direncanakan
(rekayasa), (9) dunia matematika, (10) perspektif sejarah, (11)
tema-tema umum, dan (12) kebiasaan mental (habits of mind).
Masing-masing kelompok benchmarks dirinci berdasarkan jenjang
kelompok tingkat kelas atau kelompok umur sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa yaitu kelompok siswa dari Taman Kanak
(TK) hingga Kelas 2, Kelas 3-5, Kelas 6-8, dan Kelas 9-12.
Pengembangan dan pengorganisasian benchmarks untuk suatu kelompok
tingkat perkembangan dapat disesuaikan dengan sistem
penyelenggaraan pendidikan di daerah atau negara yang bersangkutan
(NRC, 1996). Di suatu negara dengan sistem pendidikan blok, aspek
mata pelajaran untuk kelompok Kelas 6-8 mungkin diprogramkan
sekaligus di Kelas 7. Sementara dalam sistem pendidikan di
Indonesia setiap bidang sains diprogramkan secara berkelanjutan
dalam setiap tingkat kelas dan bahkan setiap semester (Mulyasa,
2007). Dalam sistem berkelanjutan, urutan pemrograman konsep-konsep
untuk bidang sains tertentu pada setiap tingkatan kelas perlu
menyesuaikan dengan jadwal kelas yang berlaku dan mensinergikan
dengan pembelajaran aspek-aspek sains yang lain pada setiap jenjang
kelas. Secara lebih ringkas, acuan kebutuhan melek sains dapat
dikelompokkan : (1) Kebiasaan mental, (2) Sains sebagai inkuiri,
(3) Topik-topik dalam bidang sains, (4) Sains-teknologi-masyarakat
(Poedjiadi, 2006). 1. Kebiasaan Mental
Acuan kebiasaan mental pada Science for All Americans meliputi
perhitungan dan estimasi, manipulasi dan pengamatan, keterampilan
berkomunikasi dan keterampilan merespon secara kritis, serta nilai
dan sikap (AAAS, 1993). Kebiasaan mental tidak lepas dari berpikir.
Pengkajian kebiasaan mental sains dibedakan menjadi keterampilan
berpikir dan keterampilan dasar sains lainnya. Keterampilan
Berpikir merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki manusia di
antara mahluk hidup di bumi. Pikiran merupakan segala sesuatu yang
datang pada mind dan secara aktif membentuk pengetahuan manusia.
Berpikir melibatkan proses refleksi dalam upaya mempercayai
sesuatu. Menurut Dewey (1910), refleksi mengimplikasikan bahwa
sesuatu dapat dipercaya atau tidak, melalui suatu yang berfungsi
sebagai saksi, bukti, dan jaminan sebagai dasar kepercayaan.
Kemajuan manusia cenderung identik dengan kemajuan tingkat
berpikirnya. Keterampilan dasar sains lainnya meliputi berhitung
dan estimasi, manipulasi dan observasi, keterampilan berkomunikasi,
keterampilan memberi tanggapan kritis, nilai dan sikap sains (AAAS,
1993). Sains merupakan media yang baik untuk mengembangkan
keterampilan berpikir dan merangsang sikap kritis (terbuka).
Kemampuan siswa dalam mengembangkan teknik tertentu atau menemukan
ide-ide baru, dan bidang lain dapat ditingkatkan oleh berbagai
aktivitas sains (Raper dan Stringer, 1987). Kejadian-kejadian alam
dapat diintepretasikan melalui berpikir (Dewey, 1910). Berpikir
ilmiah atau mengintepretasi alam dekat dengan kehidupan alami siswa
merupakan aspek kognitif yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 2.
Fase-fase Perkembangan Kognitif Latihan kebiasaan berpikir sangat
efektif melalui pengkajian kejadian-kejadian alam dan teknologi
secara ilmiah. Piaget (Good, 1977) menggolongkan fase perkembangan
kognitif anak berdasarkan tahapan perkembangan aspek mentalnya
terutama kemampuan operasi berpikirnya dari berpikir konkrit sampai
dengan berpikir abstrak. Menurut Piaget (Lawson, 1995), fase-fase
perkembangan anak dan kisaran usia pemunculannya masing-masing
adalah: a. sensory-motor (usia sekitar 0-2 tahun), b.
pre-operational (sekitar 2-7 tahun), c. concrete-operational
(sekitar 7-11 tahun) dan d. formal operational (usia sekitar 11-15
tahun).
Selama masa anak-anak (fase operasional konkrit), perkembangan
berpikir dibatasi pada ketersediaan peralatan mental untuk operasi
konkrit. Siswa pada fase operasional konkrit dapat mengerti bahwa
gejala-gejala fisik dan sosial dapat dinyatakan ke dalam berbagai
bentuk, ukuran, warna, atau ide-ide konkrit yang lain (operasi
logik urutan dan klasifikasi konkrit). Kemampuan untuk memberi
alasan secara sistematis sebagai ciri-ciri penting inteligensi,
secara signifikan baru muncul pada akhir fase operasional konkrit.
Kemampuan memberi alasan (berpikir) yang lebih lengkap dan lebih
kompleks baru tampak akan berhasil ketika anak sudah memasuki fase
operasional formal (Adam and Gullota, 1983).Fase perkembangan
berpikir yang sangat potensial, terjadi dalam fase operasional
formal (remaja), Piaget (dalam Lawson, 1995). Operasional formal
merupakan sine qua non dari kemampuan kognitif remaja (Adam dan
Gullota, 1983). Penanganan secara optimal peralihan fase
perkembangan kognitif pada remaja semestinya mewarnai program
pendidikan dasar untuk peralihan akhir SD menuju SMP, yaitu Kelas 4
6 SD. Pada fase ini (rata-rata usia 8-12 tahun ) merupakan selang
antara fase concrete-operational (7-11 tahun) dan formal
operational (11-15 tahun) atau fase terjadinya penumbuhan dan
pengembangan belajar abstraksi pada siswa, perubahan dari
keterbatasan pada belajar gejala-gejala konkrit pada fase
perkembangan kognitif sebelumnya (fase operasional konkrit) menuju
perkembangan kognitif selanjutnya (fase operasi formal). Kesiapan
belajar abstraksi biasanya dianggap sudah matang pada akhir fase
operasi formal (memasuki masa orang dewasa) sekitar usia 15 tahun.
Konstruksi pengetahuan ilmiah sebagai abstraksi gejala-gejala yang
diamati manusia (konsepsi ilmiah) yang bersifat dasar sangat
penting dibangun pada fase ini, yaitu selang antara fase
concrete-operation dan fase formal operation. Pembangunan konsepsi
ilmiah dasar awal yang tepat pada fase ini sangat berkontribusi
pada keberhasilan belajar lebih lanjut (orang dewasa). Menurut
pandangan konstruktivis, belajar merupakan proses dimana siswa
aktif membangun konsepsinya melalui asimilasi dan/atau akomodasi
informasi baru pada konsepsi awal terkait yang telah dimilikinya
(Piaget, 1970 dan Suparno, 1997; Adam dan Gullota, 1983).
Perkembangan berpikir abstraksi dalam fase operasional formal
memungkinkan siswa terlibat (engage) dalam berpikir kombinatorial,
menyelesaikan masalah-masalah verbal dan hipotetis (proporsional),
dan mengerti proporsionalitas (Adam dan Gullota, 1983). Seorang
yang telah memasuki fase berpikir formal adalah individu yang mampu
berpikir beyond the present dan membentuk teori-teori tentang
sesuatu, menikmati secara khusus dalam membuat pertimbangan pada
sesuatu yang sebenarnya salah atau tidak tepat (Piaget dalam
Lawson, 1995). Kemungkinan bahwa kombinasi fakta dapat digunakan
untuk menghasilkan hasil-hasil spesifik baru bisa dipahami pada
fase ini. Fakta lain diungkap oleh Cometa and Eson (Adam dan
Gullota,1983) bahwa siswa belum bisa bertransaksi (deal) dengan
interpretasi simbol (metaphors) sampai dengan mereka telah
mengembangkan kemampuan klasifikasi dalam fase operasional konkrit.
Keating (Adam dan Gullota 1983) merangkum lima outcomes utama
berkaitan dengan perkembangan logika operasi formal selama masa
remaja sebagai berikut.
a). Dengan peningkatan kemampuan menggunakan abstraksi, remaja
dapat membedakan gejala nyata (konkrit) dan abstrak (kemungkinan).
Kedua gejala ini kemungkinan merupakan masalah-masalah menarik.b).
Melalui kemampuan menguji hipotesis, remaja mampu mengakui
kemungkinan terjadi kesalahan. c). Remaja dapat berpikir tentang
masa depan dengan perencanaan dan
perhitungan kemungkinan-kemungkinan penyebab.d). Berpikir
tentang pemikiran (thought) sudah mungkin dilakukan oleh
remaja yakni sadar akan aktivitas kognitif dan mekanisme
yang
membuat proses kognitif efisien (self-examination).e). Elegansi
dari operasi formal membuka pintu terhadap topik baru dan perluasan
pikiran (berpikir kritis dan kreatif), yang juga melingkupi
perluasaan wawasan terhadap keadilan, moral, dan identitas. 3.
LOCS ( Lower Order Cognitive Skills) dan HOC ( High Order
Cognitive
Skills)
Esensi dari reformasi pendidikan sains saat ini adalah
pergeseran dari pengajaran tradisional, keterampilan berpikir
tingkat rendah algoritmik (lower-order cognitive skills,) ke
pembelajaran yang memacu keterampilan berpikir tingkat tinggi
(higher-order cognitive skills) (Tsapartis dan Zoller, 2003;
Lubezky, et al., 2004). HOCS meliputi berpikir evaluatif kritis,
pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Tsapartis dan Zoller
(2003) menyatakan bahwa item-item LOCS adalah pertanyaan, latihan,
atau masalah pengetahuan yang memerlukan mengingat informasi
sederhana atau aplikasi sederhana dari teori atau pengetahuan pada
situasi atau konteks yang mirip. Di lain pihak, item-item HOCS
adalah pertanyaan, latihan, atau masalah ill-defined/structured
atau open-ended, yang masih asing bagi siswa dan memerlukan solusi
lebih dari sekedar aplikasi pengetahuan. Solusi memerlukan
analisis, sintesis, berpikir sistem, pembuatan keputusan, kemampuan
pemecahan masalah, membuat hubungan, dan berpikir evaluatif kritis,
yang meliputi aplikasi teori atau pengetahuan pada situasi yang
tidak mirip. Dengan demikian, apabila LOCS dan HOCS dihubungkan
dengan Taksonomi Domain Kognitif Bloom yang sudah direvisi, dimensi
kognitif pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi termasuk LOCS,
sedangkan dimensi kognitif analisis, sintesis (create), dan
evaluasi termasuk HOCS.
Rendahnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dapat
dilihat dari prestasi siswa-siswa Indonesia dalam bidang matematik
dan sains pada TIMSS (Trends International Mathematics and Science
Study). Dalam bidang Matematika, Indonesia menduduki peringkat 34
di bawah Iran dan di atas Chili dari 38 negara yang berpartisipasi.
Sementara dalam bidang IPA, Indonesia menduduki peringkat 32 di
bawah Iran dan di atas Turki dari 38 negara yang berpartisipasi
(Jalal, 2006). Urutan pertama untuk matematika dan IPA
masing-masing adalah Singapura dan Taiwan. Secara signifikan
Indonesia berada di bawah rerata Internasional. Prestasi literasi
IPA pada PISA (Programme for International Student Assessment)
tahun 2003, Indonesia menempati urutan 38 dari 41 negara, di bawah
Argentina dan di atas Albania (Jalal, 2006). Sementara ranking
Indonesia berdasarkan Human Development Index (HDI) pada tahun 2005
berada pada posisi 110, di bawah Vietnam (Jalal, 2005).
Kalau kita cermati, soal-soal dalam TIMSS dan PISA merupakan
soal-soal yang menuntut jawaban keterampilan berpikir tingkat
tinggi. Kenyataannya, guru-guru kurang melatih siswa untuk
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi selama
pembelajaran. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan siswa
bernalar. Dengan kualitas pembelajaran seperti itu, sudah
sewajarnya prestasi siswa-siswa Indonesia dalam lomba ajang
internasional, seperti TIMSS dan PISA, memperoleh hasil yang
rendah. Berdasarkan kenyataan di atas, sudah saatnya para guru
melatih siswa dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Berpikir kritis sebagai bagian dari berpikir tingkat tinggi
merupakan salah satu dari keterampilan hidup yang harus dimiliki
oleh siswa untuk menghadapi kehidupannya, baik di lingkungan
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Siswa yang berpikir kritis akan
terampil menyusun rencana secara sistematis dan terampil memecahkan
masalah. Berpikir kritis sangat diperlukan dalam zaman perkembangan
IPTEK sekarang ini, karena selain hasil-hasil IPTEK dapat
dinikmati, ternyata hasil-hasil IPTEK juga menimbulkan beberapa
masalah bagi manusia dan lingkungan (Winocur dalam Costa,
1985).
Mengingat pentingnya peranan penalaran dalam kehidupan,
guru-guru sudah semestinya melatih keterampilan berpikir siswa
dalam pembelajaran agar siswa menjadi seorang pemikir yang kritis
(critical thinker) dan pemecah masalah (problem solver) yang
efektif yang mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari sehingga dapat menolong dirinya dan orang
lain dalam menghadapi kehidupan.4. Taksonomi Domain Kognitif
Bloom
Selama beberapa dekade, hampir semua asesmen berpikir tingkat
tinggi berpusat pada Taksonomi Domain Kognitif Bloom (Bloom, 1956;
Stiggins, 1994). Taksonomi Domain Kognitif Bloom ini terdiri dari
enam operasi kognitif, yaitu pengetahuan, pemahaman, analisis,
sintesis, dan evaluasi, masing-masing menunjukkan level berpikir.
Makin ke menuju ke arah level domain kognitif evaluasi, makin
tinggi level berpikir yang ditunjukkan. Sebagai contoh, mengingat
lebih mudah dari pada memahami, dan memahami lebih mudah dari pada
menerapkan. Tingkatan kesulitan ini merefleksikan pada kesulitan
dalam proses belajar mengajar. Domain pengetahuan, pemahaman, dan
aplikasi termasuk dalam keterampilan berpikir tingkat rendah,
sedangkan domain analisis, sintesis, dan evaluasi termasuk dalam
keterampilan berpikir tingkat tinggi. Level-level domain kognitif
Bloom pada Tabel 2.1. Untuk menilai dimensi berpikir siswa,
guru-guru dapat mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan level
berpikir dari Domain Kognitif Bloom. Revisi terhadap Taksonomi
Domain Kognitif Bloom diedit oleh Anderson dan Krathwohl (2001).
Hasil revisi adalah penggantian sintesis dengan create (mencipta)
dan posisinya berada setelah evaluasi dan hubungan antara proses
kognitif dari Bloom revisi dan Keterampilan Proses Sains (KPS)
selengkapnya disajikan pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.
Tabel 2.1 Taksonomi Bloom Domain KognitifLevel
(Tingkatan)DefinisiKata-kata pemanduContoh Persoalan
Pengetahuan (Knowledge)C1Dapat mengingat istilah, fakta,
prosedur, hubungan, konsep (level paling rendah)Mendaftarkan,
memberi nama, menggambar sketsa, memperbanyak, mendefinisikan,
menguraikan Apa lambang atom dari Natrium?
Menyebutkan nama-nama lautan
Apa yang dimaksud dengan angin?
Pemahaman
(Comprehension)
Memahami makna materi yang dipelajari, dapat menginterpretasikan
dan menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri Menjelaskan,
menginterpretasi, menyatakan kembali, menerjemahkan, memparafrase,
meringkas Nyatakan dengan kata-kata sendiri bagaimana bunyi hukum
Archimedes Dapat menjelaskan karakteristik angin laut dan angin
darat.
Level (Tingkatan)DefinisiKata-kata pemanduContoh Persoalan
Aplikasi (Application)
C3
Dapat menggunakan materi yang dipelajari pada konteks baru,
dunia nyata Menunjukkan, memanipulasi, mengoperasikan,
memodifikasi, menggunakan, menghasilkan Mengapa Kapal dapat
terapung? Dapat menggunakan hukun Archimedes dalam memecahkan
persoalan terapung, melayang dan tenggelam.
Analisis (Analysis)C4Memahami bagian komponen dari sesuatu dan
dapat mengkatagorikan unsur-unsur secara bijaksanaMenguraikan,
mengkatagorikan, mengklasifikasikan, membedakan, menguraikan Apa
perbedaan antara viskositas dan densitas?
Membedakan transmisi energi cahaya dan energi suara
Sintesis (Synthesis)C5Dapat menggabungkan pengetahuan, konsep,
dan pemahaman yang terpisah menjadi suatu yang
utuh/kesatuanMenggabungkan, menghubungkan, mengkatagorikan,
merakit, mereorganisasi Dapat membuat rangkain listrik dengan
susunan hambatan seri-paralel.
Evaluasi (Evaluation)C6Dapat mempertimbangkan nilai dan
kesesuaian sesuatu dengan menerapkan kriteria yang sesuai dengan
cara yang logisMengevaluasi, menilai, mempertimbangkan, memutuskan,
mempertahankan Dapat memilih metode yang lebih baik dalam merancang
suatu eksperimen
Sumber : Adaptasi (Bloom, 1956; Stiggins, 1994)
dan penelusuran pustaka yang dikembangkanTabel 2.2 Dimensi
Proses Kognitif Bloom, Revisi
Kategori & Proses KognitifIstilah LainDefinisiContoh
1. Mengingat (Remember)- Memanggil kembali pengetahuan yang
relevan dari memori jangka panjang (long term memory)
1.1 Mengenal (Recognizing)Mengidentifikasi (Identifying)Tempat
pengetahuan di long memory sesuai dg materi yg disajikanMengenal
simbol besaran dalam fisika (Contoh: percepatan benda simbol a ,
dsb)
1.2 Mengungkap/ mengingat kembali/menghafal
(Recalling)Menelusuri (Retrieving)Menelusuri pegetahuan yg relevan
dari long memoryMengingat kembali
(Contoh: 7x3 = ....)
Kategori & Proses KognitifIstilah LainDefinisiContoh
2. Mengerti (Understanding)Membangun makna dari pesan
pembelajaran, lisan, tulisan, dan komunikasi grafik
2.1 Interpretasi (Interpreting)Menjelaskan (Clarifying),
menafsirkan(paraphrasing), menyajikan (represnting), tranlasi
(translating)Mengubah bentuk penyajian.Mengubah kalimat dalam
kata-kata ke dalam persamaan dan simbol
(Contoh: Massa suatu benda merupakan perkalian volume benda dg
massa jenis benda tsb-M=Vx()
2.2 Menerangkan dengan contoh
( Exemplifying)Menggambarkan (Illustrating) &
mencotohkan(Instantiating)Menemukan contoh spesifik atau
menggambarkan konsep atau prinsipMenggambarkan bagaimana segi tiga
siku-siku.
2.3 Mengklasifikasi (Classifying)Mengkategorikan (Categorizing),
mengelompokkan (subsuming)Menetapkan dalam kelompoknyaMengelompokan
benda logam dan bukan logam
2.4 Merangkum (Summarizing)Mengabstraksi (Abstracting),
menggeneralisasi (generalizing)Mengabtraksi tema umumSiswa setelah
membaca sejarah penemuan listrik lalu diminta untuk membuat
rangkuman
2.5 Inferensi (Inferring)Menyimpulkan (concluding), ekstrapolasi
(extrapolating), interpolasi (interpolating), prediksi
(predicting)Membuat kesimpulan yg masuk akal dari informasi yg
disajikanMenyimpulkan hubungan dua variabel V=IR (R konstanta,
V=tegangan, I=kuat arus listrk)
2.6 Komparasi (Comparing)Mengkontraskan (Constrating),
memetakan(mapping), mencocokan(matching)Mendeteksi kesesuaian
antara dua atau lebih; benda, ide, peristiwa,dsbApa perbedaan dan
persamaan antara arus listrik yg melewati penghantar dg air yg
mengalir dlm pipa?
2.7 Eksplansi (Explaning)Membangun model (Constructing
model)Membangun hubungan sebab akibat dari suatu sistem Bagaimana
efek penyinaran pada suatu benda
3. Penerapan/Aplikasi (Apply) Menggunakan prosedur pada situasi
yang diberikan (tertentu)
3.1 Melaksanakan (Executing)Melaksanakan (Carrying
out)Menerapkan prosedur untuk tugas yg sudah biasa
(familiar)Menerapkan okum Newton kedua utk situasi yg tepat
3.2 Implementasi (Implementing)Menggunakan ( Using)Menerapkan
prosedur untuk tugas yg tidak biasa (unfamiliar)Menjawab pertanyaan
penelitian
( bagaimana meningkatkan kinerja suatu alat)
4. Analisis ( Analyze)- Menguraikan materi ke dalam
bagian-bagiannya dan menentukan bagaimana bagian-bagian berhubungan
satu dg yang lain.
4.1 Deferensiasi
(Differentiating)Membedakan
( Discriminating, distinguishing), memfokuskan (focusing),
menyeleksi (selecting)Membedakan bagian yg relevan dari yg tidak
relevan atau bagian yg penting dari yg tidak penting-Membedakan
bilangan prima dan bukan prima -Membedakan buah apel dg jeruk
Kategori & Proses KognitifIstilah LainDefinisiContoh
4.2 Mengorganisasi
( Organizing)Menemukan (Finding), koherensi (coherence),
perpaduan (intergrating), membuat garis besar (outlining),
menguraikan (parsing), membentuk (structuring)Metapkan bagaimana
bagian-bagian atau fungsi di dalam strukturBagaimana prosedur
menyusun suatu laporan penelitian
4.3 Mengetahui maksud (Attributing)Dekonstruksi
(Deconstructing)Menetapkan pandangan, bias, nilai atau
maksudMenentukan maksud penulis dari paparannya
5. Evaluasi ( Evaluate)- Membuat pertimbangan berdasarkan
kriteria dan standar
5.1 Mengecek (Checking)Koordinasi ( Coordinating), mendeteksi
(detecting), memonitor(monitoring), menguji (testing)Mendeteksi
ketidakkonsistenan atau alasan yang tdk masuk akal pada suatu
proses atau produk; menemukan apakah suatu proses atau produk
mempunyai konsistensi internal; medeteksi efektivitas prosedur yang
diterapkanMemeriksa apakah kesimpulan dari sebuah penelitian
ditarik dari data hasil observasi
5.2 Mengkritisi (Critiquing)Mempertimbangkan
( Judging)Mendeteksi ketidakkonsistenan antara produk dengan
kritria luar; menemukan apakah suatu proses atau produk mempunyai
konsistensi luar; mendeteksi ketepatan prosedur dengan masalah yg
diberikanMempertimbangkan dua metode yang paling baik untuk
memecahkan masalah
6. Mencipta ( Create)- Menggabungkan unsur-unsur secara bersama
untuk membentuk suatau hubungan yang fungsional; mengorganisasi
kembali bagian-bagian ke dalam pola atau struktur yang baru
6.1 Membangun (Generating)Berhipotesis
(Hypothesizing)Mengusulkan hipotesis berdasarkan kriteriaMembangun
hipotesis
6.2 Merencanakan (Planning)Merancang ( Designing)Memikirkan
suatu prosedur untuk menyelesaikan tugasMenguji hipotesis
6.3 Mengahasilkan (Producing)Menyusun (Constructing)Menemukan
suatu produkMembuat bel listrik dengan frekuensi tertentu
Sumber: Anderson dan Krathwohl (2001).Tabel 2.3 Hubungan antara
proses kognitif dari Bloom revisi dan
Keterampilan Proses Sains (KPS)
Level KognitifProses KognitifUraian KemampuanJenis KPS
C2Memahami
InterpretasiMengubah informasi yang diberikan ke dalam bentuk
yang lain.( dari kata-kata ke bilangan atau
sebaliknya)Interpretasi
Komunikasi
Level KognitifProses KognitifUraian KemampuanJenis KPS
KlasisifkasiMengkategorikan berdasarkan konsepsi umum atau
prinsipKlasifikasi
InferensiMenyimpulkan secara induksi suatu pola yang didasarkan
pada informasiInferensi
Prediksi
KomparasiMendeteksi persamaan dan perbedaan dua atau lebih objek
(termasuk mencari hubungan diantara
bagian-bagiannya)Klasifikasi
EksplanasiMembangun hubungan sebab akibat dari statu
sistem/modelMenerapkan konsep
C3Menerapkan
MelaksanakanMenerapkan prosedur untuk menyelesaikan masalah pada
situasi yang biasaMenerapkan konsep
Menggunakan
Menerapkan prosedur untuk menyelesaikan masalah pada situasi
yang tidak biasaMenerapkan konsep
C6Mencipta
BerhipotesisMenyusun hipotesisBerhipotesis
MerancangMengembangkan perencanaan/metode untuk pemecahan
masalahMerencanakan percobaan/penyelidikan
MenghasilkanMelaksanakan rencana untuk mendapatkan
hasilMelaksanakan percobaan
Sumber: Puskur. Balitbang (2001) dan penelusuran pustaka yang
dikembangkanPendidikan meliputi perkembangan domain psikomotor,
afektif, dan kognitif. Ketajaman perkembangan aspek kognitif yang
sangat berperan ketika siswa dewasa terjadi seiring dengan
pertumbuhan fisiologi siswa pada usia fase operasional formal (masa
transisi atau remaja). Perkembangan aspek psikomotor cenderung
melanjutkan perkembangan yang sudah secara baik dapat berkembang
sejak SD, dan cenderung lebih cepat seiring dengan pertumbuhan
fisik siswa yang sangat cepat pada masa remaja. Perkembangan
afektif seperti self-realization, tanggapan estetik, dan tanggung
jawab sosial, sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif. Aspek
mental yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran aspek
IPTEKS-Kelautan di SD mencakup semua aspek berpikir (berpikir
dasar, kritis, dan kreatif) baik terkait dengan gejala-gejala yang
konkrit maupun abstrak, kebiasaan menggunakan hal-hal yang
diperlukan untuk memperoleh informasi atau fakta yang sahih, dan
sikap sains. Proporsi aspek-aspek yang dikembangkan disesuaikan
dengan keberadaan atau keterbatasan pengalaman siswa SD.
Pembelajaran konsep-konsep IPTEKS-Kelautan di SD hendaknya dimulai
dengan mengkaji contoh-contoh materi dan proses yang sederhana, dan
merancang pembentukan konsepsi dengan tingkat kompleksitas secara
bertahap. Pemrograman pembentukan konsepsi IPTEKS-Kelautan secara
bertahap sesuai dengan hirarki kekomplesan konsepsi (mulai dari
yang sederhana) sangat penting dalam permulaan belajar Sains
berwawasan IPTEKS-Kelautan.Sesuai dengan keadaan transisi
perkembangan kognitif dari operasi konkrit menuju operasi formal
pada masa remaja, pembelajaran aspek sains kelautan di Kelas 4 - 6
SD, hendaknya lebih banyak memberdayakan gejala-gejala dan
keterampilan-keterampilan sains pada tingkat makroskopis (dapat
diamati/ konkrit) seperti mengenal ciri-ciri dan keterampilan
membedakan biota laut serta teknologi pengelolaan dan pemanfaatan
secara sederhana yang terkait dengan konsep yang melibatkan
sifat-sifat karakteristik ekosistem bahari dan pengelolaan dan
pemanfaatan, serta pemeliharaan dan pelestarian sumberdaya alam.
Pemahaman bidang kelautan terapan atau bidang kelautan dalam
masyarakat juga dilakukan secara bertahap yang cocok dan sesuai
dengan keseharian dan lingkungan. Aspek bidang kelautan dalam
masyarakat yang dikaji di Kelas 4-6 bisa membuka wawasan dan
interest siswa mengenai bidang kelautan yang dapat menjelaskan
dengan sederhana dan dapat dipahami siswa sesuai tingkat berpikir
mereka tentang hubungan kehidupan manusia, hewan, tumbuhan dalam
skop kelautan, termasuk bekal hidup, bidang-bidang kajian terapan
atau rekayasa, dan lapangan kerja di kemudian hari. 2. Sains
sebagai Inkuiri Keterlibatan siswa dalam inkuiri membantu siswa
dalam mengembangkan pemahaman konsep-konsep ilmiah dan apresiasi
terhadap cara kita mengetahui sesuatu dalam sains, memahami
ciri-ciri sains, mengembangkan keterampilan-keterampilan menjadi
investigator terhadap dunia alam, dan mengembangkan
disposisi-disposisi untuk menggunakan kemampuan, dan sikap terkait
dengan sains (NAS, 1996). Inkuiri sains sebagai upaya ilmiah
semestinya dilakukan oleh setiap orang, kelompok dalam semua
rentang umur siswa tanpa peduli laki, perempuan, dan latar
belakang. AAAS (1993) merumuskan benchmark (acuan) inkuiri ilmiah
untuk berbagai jenjang atau kelompok usia.Kelas 3-5 (SD), mempunyai
pengetahuan dan keterampilan terkait dengan: (1) Pengamatan dan
alat bantu pengamatan atau pengukuran; (2) Penjelasan sains sedapat
mungkin akurat atau berdasarkan hasil pengamatan dan hasil
pengamatan kembali (baru) dapat menyelesaikan perdebatan; (3)
Investigasi ilmiah dapat berupa berbagai bentuk; (4) Hasil
investigasi ilmiah semestinya sama dan jika berbeda perlu dicari
penyebabnya; (5) Penjelasan ilmuwan biasanya memuat sebagian dari
yang diamati dan dipikirkan, dan sering memerlukan pengamatan lebih
lanjut untuk penyempurnaan atau menyelesaikan perbedaan, dan (6)
Ilmuwan mengutamakan fakta yang dapat dikonfirmasi dengan argumen
logis (AAAS, 1993). Kelas 6-8 (setara SMP), pengetahuan dan
keterampilan terkait dengan:
(1) Pengumpulan fakta yang relevan, menggunakan alasan logis,
dan menggunakan imajinasi dalam merumuskan hipotesa dan penjelasan
untuk menjelaskan fakta yang dikumpulkan; (2) Eksperimen memerlukan
pengontrolan variabel-variabel penelitian dan informasi dari
peneliti-peneliti lain untuk membantu mengontrol variabel luar; (3)
I