Top Banner

of 26

1163-1408351673.pdf

Jul 06, 2018

Download

Documents

Mus Liem Omj
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    1/26

     

    MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN

    BERBASIS SEKOLAH

    Hamzah

    STAIN Datokarama, Jl. Diponegoro No. 23 Palue-mail:  [email protected]

    Abstrak Harapan masyarakat akan pendidikan yang bermutusejalan dengan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenagakerja yang berkualitas. Dengan demikian penyelenggarapendidikan, harus mampu merespon dan mengakomodir harapandan tuntutan tersebut dalam proses pengambilan keputusan

    untuk peningkatan mutu pendidikan. Ini memberi keyakinanbahwa dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatanmutu pendidikan, dapat dipergunakan berbagai teori, perspektifdan kerangka acuan (framework ) berbasis sekolah. Asumsi inimemberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagianutama dalam proses pembuatan keputusan dalam peningkatanmutu pendidikan. Sementara masyarakat dituntut partisipasinyaagar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintahberperan dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakanpendidikan.

    Abstract Popular expectations of quality education in line withthe demands of the business world to obtain quality workers.Thus education providers, must be able to respond to andaccommodate the expectations and demands of the decision-making process to improve the quality of education. This givesconfidence that the decision-making process can be used avariety of theories, perspectives and frames of reference(framework)-based school. This assumption gives theconsequence that a school should be a major part in the decision-making process in improving the quality of education. Whilepublic participation is required in order to better understandeducation, while government has a role in determining the basicframework of education policy.

    Kata Kunci: Manajemen, Mutu Pendidikan, Berbasis Sekolah

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    2/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    152 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    PENDAHULUAN

    Ide menempatkan sekolah menjadi bagian utama dalamproses pembuatan keputusan dalam peningkatan mutupendidikan, berbeda dengan konsep mengenai pengelolaansekolah yang selama ini dipahami oleh masyarakat luas.1 Selamaini pengelolaan sekolah, lebih bayak diintervensi birokrasi pusatdan mendominasi proses pengambilan atau pembuatankeputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifatmakro saja tetapi juga kepada hal-hal yang bersifat mikro.

    Selama ini, sekolah cenderung hanya melaksanakankebijakan-kebijakan birokrasi pusat yang belum tentu sesuaidengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan sekolah, harapanorang tua dan masyarakat serta dunia usaha. Pengalaman

    menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkankontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengankebijakan yang harus dilaksanakan dalam proses peningkatanmutu pendidikan.

    Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah akanmemperlihatkan suatu perubahan cara berpikir yang bersifatrasional, normatif dan menggunakan pendekatan perskriptifdalam pengambilan keputusan pandidikan.2  Hal ini tentuberimplikasi kepada suatu kesadaran akan kompleksnyapengambilan keputusan dalam sistem pendidikan dan organisasi

     yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh olehkebijakan-kebijakan birokrat pusat.

    Hal inilah yang kemudian mendorong munculnyapemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatanmutu pendidikan berbasis sekolah sebagai pendekatan baru diIndonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan

     yang tengah dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu

    1Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah , (Jakarta:Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000), h. 37.

    2

    Ibid ., h. 33.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    3/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 153

    pendidikan berbasis sekolah (MPMBS) merupakan alternatif barudalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepadakemandirian dan kreatifitas sekolah.

    Konsep ini mengacu pada teori effective school  yang lebihmemfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan. Beberapaindikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen iniantara lain lingkungan sekolah yang aman dan tertib, sekolahmemilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, sekolahmemiliki kepemimpinan yang kuat, adanya harapan yang tinggidari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan siswa) untukberprestasi.

    Pengembangan konsep MPMBS didesain untukmeningkatkan kemampuan sekolah dalam mengelola perubahan

    pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan,strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukanoleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan inimenuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruhkomponen sekolah; kepala sekolah, guru dan staf administrasitermasuk orang tua dan masyarakat.

    Seluruh komponen sekolah harus pro aktif dan terlibatlangsung dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadapsegenap kebijakan pengelolaan sekolah yang bersangkutandengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang

    representatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepadakeberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yangberkualitas/bermutu bagi masyarakat dan dapat memenuhiharapan dunia kerja.

    Dalam implementasi konsep MPMBS, sekolah memilikitanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan denganpermasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personilsekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telahdirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang tuadan masyarakat (para aktor-aktor/stakeholders ) yang terkait,

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    4/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    154 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebihprofesional.

    Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator darisejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbedadalam masyarakat untuk memberikan masukan dan saran-saranperbaikan. Sementara sekolah secara profesional harus terlibatdalam setiap proses perubahan melalui penerapan prinsip-prinsippengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi danpenghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain.

    Sistem kompetisi tersebut mendorong sekolah untuk terusmeningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapatmemberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap

    personil sekolah, khususnya siswa.3

       Jadi sekolah harusmengontrol semua sember daya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebihefisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagipeningkatan mutu pendidikan.

    Dipilihnya konsep MPMBS sebagai model desentralisasipendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah karenadiyakini model ini akan mempermudah pencapaian tujuanpendidikan. Ciri-ciri MPMBS adalah adanya otonomi yang kuatpada tingkat sekolah, peran aktif masyarakat dan menjunjung

    tinggi akuntabilitas dan trasnparansi dalam setiap keagiatanpendidikan.4 

    Program MPMBS bertujuan untuk memandirikan ataumemberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan,keluwesan dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu kinerjasekolah dan pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar

    3Salfen Hasri, Kepemimpinan Kepala Sekolah dari KerangkaDesentralisasi dan Otonomi Sekolah , (Edisi Khusus-HUT-FE-UM. Oktober, 2002),h. 19.

    4

    Depdiknas, Manajemen Peningkatan..., h. 29.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    5/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 155

    siswa Model MPMBS dapat dikatakan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah,memberikan fleksibilitas keluwesan-keluwesan kepada sekolahdan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah sebagai

    aktor-aktor atau stakeholders   yang sangat berperan dalampelaksanaan kebijakan MPMBS di suatu sekolah.

    Koalisi dan keterlibatan aktor-aktor/stakeholders   yangterkait, sangat menentukan tercapai atau tidak tercapainyapeningkatan mutu pendidikan di sekolah, khususnya dalampelaksanaan (implementasi) kebijakan MPMBS.5  Bahwapendidikan dasar merupakan pendidikan umum ( generaleducation ), artinya pendidikan dasar merupakan pendidikanminimum yang berlaku untuk semua negara, tanpa kecuali.

    PANDANGAN STAKEHOLDERS TERHADAP KEBIJAKAN MPMBS 

    Penyelenggaraan pendidikan yang sangat sentralistik,menempatkan sekolah sebagai pendidikan sangat tergantungpada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur sangat panjangdan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuaikondisi sekolah setempat. Sekolah kehilangan kemandirian,motivasi dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukanlembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagaisalah satu tujuan pendidikan nasional.

    Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebihbanyak bersifat dukungan input , bukan pada proses pendidikan

     yakni pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi danakuntabilitas. Berkaitan dengan akuntabilitas, sekolah tidakmempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasilpelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tuasiswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingandengan pendidikan (stakeholders ).

    5

    Salfen Hasri, Kepemimpinan..., h. 39.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    6/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    156 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut di atas, makaperlu dilakukan upaya-upaya perbaikan yaitu melakukanreorientasi penyelenggaraan pendidikan, dari manajemenpeningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen

    peningkatan mutu berbasis sekolah. MPMBS dapat diartikansebagai pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yangdilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semuakelompok kepentingan yang terkait (stakeholders ).

    Keterlibatan actor/stakeholders   secara langsung dalamproses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutusekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalamkerangka kebijakan pendidikan nasional.6  Sekolah memilikikewenangan (otonomi) atau kemandirian lebih besar darisebelumnya untuk mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran

    peningkatan mutu, menyusun rencana utama pengelolaan prosespendidikan, peningkatan mutu)

    Sedangkan unit-unit di atasnya (Kandep, Kanwil, Depdiknas)merupakan pendukung-pelaksanaan peningkatan mutupendidikan), khususnya dalam pengelolaan pengambilankeputusan partisipatif dan merupakan ciri peningkatan mutukhas MPMBS. Dipilihnya MPMBS sebagai model desentralisasipendidikan untuk pendidikan dasar karena diyakini model iniakan mempermudah pencapaian tujuan pendidikan.

    Ciri-ciri MPMBS adalah adanya otonomi yang kuat padatingkat sekolah, peran serta aktif masyarakat dalam pendidikan,proses pengambilan keputusan yang demokratis dan berkeadilan,serta menjunjung tinggi akuntabilitas dan trasnparansi dalamsetiap keagiatan pendidikan.7  Program MPMBS bertujuan untukmemandirikan, memberdayakan sekolah melalui pemberian

    6Rumtini dan Jiyono, “Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep dan StrategiPelaksanaannya di Indonesia” dalam  Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan , JuniTahun Ke 5 No. 017, (2008), h. 77.

    7Nurkolis, “Manajemen Berbasis Sekolah: Hakekat Desentralisasi Model

    MBS” dalam Article Pendidikan Network (English) , (Juni, 2001), h. 28.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    7/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 157

    kewenangan, keluwesan dan sumberdaya untuk meningkatkanmutu kinerja sekolah.

    Selain itu, konsep MPMBS diperkenalkan oleh teori“effective school ” yang memfokuskan diri pada perbaikan prosespendidikan. Mengingat sekolah sebagai unit pelaksanapendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi

     yang memerlukan layanan pendidikan, kondisi lingkungan yangberbeda satu dengan lainnya,  maka sekolah harus dinamis dankreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakanpeningkatan mutu pendidikan.

    Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsepmanajemen ini antara lain sebagai berkut:

    (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (2) sekolah memiliki misi

    dan target mutu yang ingin dicapai; (3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat; (4) adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepalasekolah, guru dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi; (5)adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutanIPTEK; (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadapberbagai aspek akademik dan administratif; (7) adanya komunikasi dandukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat.8 

    Stakeholders   melihat bahwa konsep MPMBS dapatdilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya,diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinyasendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak

    didiknya. Artinya perlu diberikan otonomi yang luas kepadasekolah melalui desentralisasi pendidikan di mana pada saat iniwacana desentralisasi pendidikan oleh pemerintah mulai ramaidikaji.

    Dalam konsep MPMBS upaya peningkatan mutu pendidikandilakukan melalui desentralisasi pendidikan kepada pemerintahkota/kabupaten. Melalui desentralisasi pendidikan diharapkanpermasalahan pokok pendidikan yaitu masalah mutu,

    8Umaedi Parakasi, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah , (Cet.

    VIII; Malang: UMM Press, 2005), h.20.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    8/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    158 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    pemerataan, relevansi, efisiensi dan manajemen, dapatterpecahkan cukuplah desentralisasi pendidikan pada tingkatpemerintah kota/kabupaten.

    Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwadesentralisasi pendidikan tidak cukup hanya pada tingkatkota/kabupaten.9  Desentralisasi pendidikan untuk mencapaiotonomi pendidikan oleh para aktor/stakeholders  sesungguhnyaharus sampai pada tingkat sekolah secara individual. Sementaraitu melalui kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kotaimpelementasi konsep MPMBS, diharapkan mutu pendidikandapat ditingkatkan.

    Namun dalam pencapainnya tidaklah mudah, daerah akanmengalami masalah dan hambatan yang tidak sedikit, beberapa

    permasalahan pokok yang secara potensial menghambatpencapaian kualitas pendidikan terutama pendidikan dasar.Permasalahan-permasalahan menjadi kendala dalammeningkatkan mutu pendidikan pada era otonomi daerah. 

    Pendidikan dasar merupakan pendidikan umum ( generaleducation ), artinya pendidikan dasar merupakan pendidikanminimum yang berlaku untuk semua negara, tanpa kecuali. Dalampasal 11 ayat (2) UUSPN dikemukakan bahwa pendidikan umummerupakan pendidikan yang mengutamakan perluasanpengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan

    pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhirpendidikan.

    Khusus mengenai sekolah dasar, hal ini mengingat peranpendidikan dasar sebagai bentuk satuan pendidikan dasar yangmenyelenggarakan program sembilan tahun dan pada tahapinilah keberhasilan murid ditentukan, anak memperoleh dasar-dasar pendidikan yang penting untuk pendidikan selanjutnya,dan diharapkan tahap ini akan membantu mengarahkan

    9

    Nurkholis, Manajemen Berbasis ..., h. 33.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    9/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 159

    pendidikan lebih lanjut termasuk keberhasilan pendidikan ditingkat pendidikan berikutnya.

    Menurut pandangan para aktor/stakeholders   bahwaimplementasi  konsep MPMBS kaitannya dengan peningkatanmutu pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasidengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itusendiri. Pendidikan adalah esensial bahkan merupakan salah satuelemen terpenting dari kehidupan seseorang. Harus diakui bahwatingkat pendidikan dapat menjadi ukuran tingkat kemampuanberfikir seseorang.

    Para aktor/stakeholders   melihat masalah pendidikanbukanlah hal mudah dan sederhana, karena selain sifatnya yangkompleks, dinamis dan kontekstual, pendidikan merupakan

    wahana untuk pembentukan diri seseorang secara keseluruhan.Peranan pendidikan dalam pembentukan diri dibahas secara rincisebagai tujuan pendidikan yang meliputi aspek kognitif berupaketerampilan akademik dan keterampilan berfikir yang lebihtinggi.

    Pendidikan dalam prosesnya juga mencakup tujuanpengembangan aspek pribadi dan sosial yang memungkinkanorang bekerja dan hidup dalam kelompok secara kreatif, inisiatif,empati dan yang memiliki keterampilan interpersonal yangmemadai sebagai bekal bermasyarakat. Sedangkan tugas

    pendidikan adalah memberikan bekal kepada peserta didik agarpotensinya berkembang, wajar, optimal dan bersifat adaptifdalam menghadapi berbagai permasalahan yang akan dihadapipada masa-masa kehidupan berikutnya.

    Melalui implementasi konsep MPMBS, sifat dasar manusia yang skeptis, eksploratif, dan juga kreatif, bisa berkembang danmenemukan artikulasinya dalam proses belajar mengajar sewaktumengikuti suatu program pendidikan. Lulusan yang skeptis,inovatif, dedikatif, eksploratif, kreatif dan berkemampuan dayasaing menjadi bahan antisipasi sistem dan perencanaan

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    10/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    160 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    pendidikan terutama di era otonomi daerah di mana kondisiekonomi akan tumbuh dengan cepat.

    Dengan demikian, pandangan aktor/stakeholders   tentangimplementasi konsep MPMBS searah dan sejalan dengan tujuanpendidikan nasional yakni mengembangkan manusia Indonesiasesuai fitrahnya menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwaterhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, menguasai ilmurohani, memiliki keterampilan hidup yang berharkat danbermartabat, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiriserta memiliki tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

    KETERLIBATAN AKTOR/

    ST KEHOL ERS

     DALAM IMPLEMENTASI

    KEBIJAKAN MPMBS

    Bidang pendidikan memang menjadi tumpuan harapan bagipeningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesiauntuk menghadapi proses globalisasi di hampir semua aspekkehidupan.10 Kualitas SDM kita masih rendah, data UNDP tentangHuman Development Index (HDI) menunjukkan dari 174 negara,Indonesia berada pada posisi yang sangat memprihatinkan hanyaberada satu tingkat lebih baik dari Vietnam yaitu pada posisi 109.

    Selain itu International Association of Education Evaluationin Achievement   (IEA) menerbitkan hasil survei prestasi belajarmatematika dan IPA bagi siswa sekolah usia 13 tahun pada 42

    negara, berdasarkan hasil survei tersebut Indonesia berada padaposisi 39 untuk kemampuan IPA, dan urutan ke 40 untuk prestasibelajar matematika. Ini menunjukkan bahwa mutu pendidikankita memang sangat rendah dan menghawatirkan.

    Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumberdaya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta(aktor/stakeholders ) sama-sama telah dan berupaya mewujudkanamanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan

    10Salladien, Alternatif Model Pendidikan Berorientasi Dunia Kerja , (Edisi

    Khusus-HUT-FE-UM. Oktober, 2002), h. 10.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    11/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 161

    pendidikan yang lebih berkualitas melalui pengembangankurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan,pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagiguru dan tenaga kependidikan lainnya yang dilakukan secara

    terencana dan kotinyu.

    Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebutbelum cukup berarti dalam meningkatkan mutu pendidikan.Salah satu indikator kekurangberhasilan ini ditunjukkan antaralain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjangSLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berartibahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecualipada beberapa sekolah dengan jumah yang relatif sangat kecil.

    Dalam kajian MPMBS, ada dua faktor yang dapat

    menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selamaini kurang berhasil. Pertama , strategi pembangunan pendidikanselama ini lebih bersifat input oriented . Strategi yang demikianlebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input  pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materiajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan,pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secaraotomatis lembaga pendidikan akan dapat menghasilkan output(keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan.

    Ternyata dalam implementasi kebijakan MPMBS, strategi

    input-output   yang diperkenalkan teori education productionfunction   tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan(sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi danindustri. Kedua , pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifatmacro-oriented , diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat.Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan pada tingkat makro(pusat) tidak berjalan sebagaimana mestinya pada tingkat mikro(sekolah).

    Keterlibatan aktor/stakeholders   dalam implementasikebijakan MPMBS menunjukkan bukti kuat ada permasalahan

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    12/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    162 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    serius pada mutu pendidikan. Dapat dikatakan bahwakompleksitas permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapatterpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Bahwapembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan

    faktor input   pendidikan saja tetapi juga harus lebihmemperhatikan faktor proses pendidikan.

    Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus adadalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapatsecara otomatis meningkatkan mutu pendidikan, school resourcesare necessary but not sufficient condition to improve studentachievement . Dengan memperhatikan beberapa penjelasanimplementasi yang telah dijelaskan di atas, maka kajianimplementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atauprogram menjadi tindakan, dan bagaimana kemungkinan cara

    menjalankan perubahan tersebut.

    Untuk menganalisis keterlibatan aktor/stakeholders   dalamimplementasi kebijakan MPMBS, maka dapat dilihat dari berbagaimodel-model implementasi kebijakan. Pandangan mengenaimodel (teori) implementasi kebijakan banyak kita temukan dalamberbagai literatur, misalnya Parsons, 1997 membagi garis besarmodel implementasi kebijakan menjadi empat yaitu:

    (1) The analysis of failure  (model analisis kegagalan). (2) Model rasional(top down ) untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang membuatimplementasi sukses. (3) Model pendekatan bottom-up   kritikan

    terhadap model pendekatan top-down   dalam kaitannya denganpentingnya faktor-faktor lain dan interaksi organisasi. (4) Teori-teorihasil sintesis (hybrid theories ).11 

    Berikut ini akan diambil beberapa pandangan mengenaiimplementasi, masing-masing pandangan mewakili tiga dariempat perkembangan model yang dikemukakan Parsons dan

    11Wayne Parsons, Public Policy: An Introduction to the Theory andPractise of Policy Analysis , (Edward Elgar, Cheltenham, UK Lyme. US, 1997), h.

    41.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    13/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 163

    menurut Penulis sesuai dengan tema penelitian model tersebut diantaranya yaitu:

    ·  Model Pendekatan Top-Down  

    Van Meter dan Van Horn 1975 sebagaimana dikutip AbdulWahab, memandang implementasi kebijakan sebagai thoseactions by public or provide individual  or group that are directedat the achievement of objectives set forth in prior policydecision .12  Yakni tindakan-tindakan yang dilakukan dan ataudimplementasikan oleh individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan padapencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusankebijakan.

    Keterlibatan aktor/stakeholders   dalam implementasi

    kebijakan MPMBS, jika dilihat dari sudut pandang teori VanMeter dan Van Horn ini, maka keduanya beranjak dari suatuargumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam prosesimplementasi kebijakan akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan

     yang akan dilaksanakan. Selanjutnya keduanya menawarkansuatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antaraisu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual

     yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja( performance ) yang berhasil dan dapat dibanggakan.

    Kedua tokoh tersebut sepertinya menegaskan pendiriannyabahwa perubahan, kontrol, dan kepatuhan bertindak merupakankonsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi.Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, makapermasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalahhambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkankonsep kebijakan yang ditawarkan.

    12Abdul Wahab S., Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi  

    Kebijaksanaan Negara , (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 31.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    14/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    164 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    Dalam kaitan ini keterlibatan aktor/stakeholders   dalamimplementasi kebijakan MPMBS perlu dilihat dan dievaluasi.Seberapa jauhkah tingkat efektivitas mekanisme-mekanismekontrol pada setiap posisi dan kewenangan serta jenjang struktur

    pelaksana pendidikan yakni menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam struktur organisasilembaga pendidikan sekolah yang bersangkutan.

    Dalam implementasi kebijakan MPMBS, keterlibatanaktor/stakeholders   penting menjadi pertimbangan dalampengambilan keputusan. Keterkaitan masing-masing pihak dalammanajemen peningkatan mutu organisasi lembaga pendidikansekolah menyangkut masalah kepatuhan tidak bisa diabaikan.Atas dasar pandangan tersebut di atas, Van Meter dan Van Hornkemudian berusaha untuk membuat tipologi kebijakan strategis.

    Kebijakan strategis menyangkut peningkatan mutukemudian didasarkan pada jumlah masing-masing perubahan

     yang akan dihasilkan dan jangkauan atau lingkup kesepakatanterhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam prosesimplementasi. Alasan dikemukakannya pandangan ini ialahbahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu. Dalam artian bahwaimplementasi kebijakan MPMBS, kebanyakan akan berhasilapabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, sementara

    kesepakatan terhadap tujuan, terutama dari mereka (pelaksana) yang mengoperasikan program di lapangan relatif tinggi.

    Ini berarti keterlibatan aktor/stakeholders   dalamimplementasi kebijakan MPMBS memang tidak dapat diabaikan.Hal lain yang dikemukakan kedua ahli di atas ialah bahwa jalan

     yang menghubungkan antara kebijakan dan prestasi kerjadipisahkan oleh sejumlah variabel bebas (independent variable )

     yang saling berkaitan. Variabel-variabel tersebut adalah ukurandan tujuan kebijakan, sumber-sumber kebijakan, ciri-ciri atau

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    15/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 165

    sifat badan/instansi pelaksana, komunikasi antar organisasiterkait, kegiatan-kegiatan pelaksanaan dan sikap para pelaksana.

    ·  Model Pendekatan Bottom-Up  

    Parsons memandang implementasi sebagai proses atau alur,melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial danpolitik, di mana kebijakan yang dibuat pemerintah bertujuanuntuk mengadakan perbaikan atau perubahan.13  Ia  mengatakanbahwa ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam prosesimplementasi kebijakan yaitu:

    -  Idealized policy   adalah suatu pola interaksi yangdiidealisasikan perumus kebijakan dengan tujuan untukmemotivasi, mendorong, mempengaruhi, dan merangsangtarget group untuk kemudian melaksanakannya sehingga

    dapat berjalan cepat dan tepat sasaran.

    -  Target group, yaitu bagian dari  policy stakeholders   yangdiharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana

     yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena target groupini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, makadiharapkan dapat menyesuaikan pola-pola prilakunya dengankebijakan yang dirumuskan.

    -  Implementing organization , yaitu badan-badan pelaksana atauunit-unit lembaga dan birokrasi pemerintah yang berwenang

    dan bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan-  Environmental faktors , yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan

     yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspekbudaya, sosial, ekonomi, dan politik).

    Sehubungan dengan implementasi kebijakan MPMBS, modelpendekatan bottom-Up , melatarbelakangi keinginan untukmencermati dan mengkaji secara lebih mendalam mengenaiketerlibatan atau partisipasi masyarakat sebagai salah satu

    13

    Wayne Parsons, Public Policy..., h. 47.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    16/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    166 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    aktor/stakeholders penting dalam implementasi kebijakanMPMBS, serta faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalamimplementasi kebijakan MPMBS, ini masih perlu dikaji dan ditelitisecara seksama.

    · 

    Model Pendekatan Sintesis (Hybrid theories )

    Sabatier14  mengkaji implementasi menuju suatu sintesismengatakan bahwa tahap-tahap kebijakan ( policy-stages )tidaklah membantu memahami proses pengambilan kebijakan,karena memilah-milahnya menjadi serangkaian bagian (section )

     yang sifatnya tidak realistis dan artifisial. Karena itu dari sudutpandang ini, implementasi dan  policy-making  menjadi kesatuanproses yang sama yang bersifat mutualisme.

    Kontribusi awalnya terhadap studi implementasi muncul

    bersamaan dengan pertimbangan model top-down   yang ditulisbersama Mazmanian. Frameworknya kemudian dimodifikasisesuai dengan riset yang dilakukan Sabatier terhadap evaluasikasus model bottom-up   seperti yang dikembangkan oleh Hjerndan Porter yang mengatakan bahwa implementasi sebagaihubungan inter-organisasi.

    Sehubungan dengan hal ini, Sabatier mengemukakan bahwasintesis dari dua posisi (model top-down  dan bottom-up ) tersebutdimungkinkan dengan mengambil wawasan dari Hjern dan Porteruntuk dipakai pada dinamika implementasi inter-organisasidalam bentuk network , model top-down   memfokuskanperhatiannya pada institusi dan kondisi sosial ekonomi yangmenekankan perilaku.

    Sintesis ini disempurnakan melalui pemakaian konteks policy subsystem , yaitu semua aktor terlibat secara interaktif satu

    14Lihat selengkapnya Paul A. Sabatier, “Top Down and Bottom-upApproaches to Implementation Research: a Critical Analyis and SuggestedSyinthesis” dalam  Journal of Public Policy , (1986), h. 197-209. 

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    17/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 167

    sama lain dalam proses politik dan kebijakan. Dan dibatasi olehparameter yang relatif stabil serta kejadian di luar subsystem .Secara lebih jelas bahwa  policy subsystem   adalah aktor-aktorkebijakan yang berasal dari organisasi baik organisasi publik

    maupun privat secara aktif mengkaji dan mengkritisi suatumasalah kebijakan tertentu.

    Hal penting dari model implementasi kebijakan ini dalamkaitan ini keterlibatan aktor/stakeholders   dalam implementasikebijakan MPMBS adalah kedudukannya sebagai bagianberkesinambungan dari pengambil kebijakan (engonging part of

     policy making ) dalam advocacy coalitions   atau pendampinganpara aktor/stakeholders  kebijakan dengan berbagai elemen yangada dalam masyarakat.

    KENDALA DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MPMBS

    Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak pernah berhentidilakukan oleh pemerintah maupun para aktor/stakeholders .Bahwa dalam implementasi kebijakan MPMBS yang bermututerlibat berbagai input seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, ataupsikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru),sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dansumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif.

    Implementasi kebijakan MPMBS berfungsi mensinkronkan

    berbagai input   tersebut atau mensinergikan semua komponendalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswadan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas, baik kontekskurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi

     yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yangmendukung proses pembelajaran.

    Mutu dalam konteks hasil pendidikan mengacu padaprestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    18/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    168 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    tertentu.15 Mutu atau prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan(student achievement ) dapat berupa hasil test kemampuanakademis (misalnya ulangan umum, US atau UN). Dapat pulaberupa prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang

    olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya:komputer, beragam jenis teknik, jasa.

    Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidakdapat dipegang (intangible ) seperti suasana disiplin, keakraban,saling menghormati, kebersihan, dsb. Antara proses dan hasilpendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agarproses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artianhasil (ouput ) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, danharus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun ataukurun waktu lainnya.

    Meskipun demikian, kendala dalam implementasi kebijakanMPMBS terkadang tidak bisa dihindari. Berbagai input  dan prosesharus selalu mengacu pada mutu-hasil (output ) yang ingindicapai. Dengan kata lain implementasi kebijakan MPMBS dalamschool based quality improvement   bukan hanya pada proses,tetapi adalah pada hasil akhir yang dicapai, terutama aspekkemampuan akademik benchmarking   (menggunakan titik acuanstandar).

    Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap

    sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking ) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individusekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untukmemperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahunberikutnya. Dalam hal ini, implementasi kebijakan MPMBS harusmerupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai danskenario bagaimana mencapainya.

    15Widjajati, Anak Jalanan : Studi Kasus tentang Fenomena PengamenLampu Merah dan Kebijakan Penanggulangannya di Kota Malang . (Tesis

    Pascasarjana Universitas Brawijaya, Malang, 2002), h. 44.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    19/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 169

    Meskipun demikian, kendala-kendala yang menghambatimplementasi kebijakan MPMBS tetap saja ada. Kebijakan apapunbentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. JohnPortz, membagi pengertian kegagalan kebijakan ( policy failure )

    ke dalam dua kategori yaitu non implementation   (tidakterimplementasikan) dan unsuccesful implementation  (implementasi kebijakan yang tidak berhasil).16 

    Tidak terimplementasikannya kebijakan MPMBSmengandung arti bahwa kebijakan tidak dilaksanakan sesuaidengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat didalam pelaksanaannya tidak mau berkerjasama, atau merekatelah bekerja secara tidak efisien, bekerja setengah hati ataukarena mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan,sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan

     yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi.

    Implementasi yang tidak berhasil terjadi manakala suatukebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana,namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidakmenguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi peristiwa penggantiankekuasaan, bencana alam, dan sebagainya), kebijaksanaantersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak/hasil akhir

     yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untukgagal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

    pelaksanaannya jelek (bad execution ), kebijakannya sendiri jelek(bad policy ) atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck ).

    Berkaitan dengan faktor-faktor kendala yang menghambatimplementasi kebijakan MPMBS, manajemenmenuntut/mengedepankan adanya transparansi, dengan katalain transparansi merupakan kunci pelaksanaan kebijakanMPMBS. Fakta di lapangan bahwa pelaksana (aktor/stakeholders)

     yang terlibat belum melaksanakan tugasnya dengan baik, sesuaidengan ketentuan yang telah digariskan dan disepakati bersama.

    16

     John Portz, Problem Definitions..., h. 369.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    20/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    170 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    Dalam hal sosialisasi misalnya, belum dilakukan secarakontinyu dan menyeluruh (bersifat temporer) sehingga konsepdan tujuan kebijakan MPMBS belum dipahami oleh target groupatau aktor/stakeholders  secara baik, bahkan yang tidak mengerti

    sama sekali apa itu MPMBS. Di samping itu masih ada ditemukansekolah yang belum memiliki visi dan misi sekolah dan bahkankurang mengerti tentang konsep MPMBS.

    Fenomena-fenomena ini, sejalan dengan pendapat dari Longsebagaimana dikutip Abdul Wahab, yang mengatakan bahwadalam banyak kasus, proses implementasi kebijakan akan selaluterbuka peluang adanya “re orientasi” atau transformasikebijakan.17 Praktis tidak ada garis lurus yang membentang sertamenghubungkan antara kebijakan dan hasil akhir kebijakan.Pendapat Long ini benar-benar terbukti/terjadi pada

    implementasi kebijakan MPMBS.

    Kendala dalam implementasi kebijakan MPMBS di Sekolahdisebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

    -  Kesiapan sumber daya masih rendah, misalnya: (a) Kurangnyabuku-buku bacaan penunjang di pustaka sekolah. (b) Tingginyatingkat ketergantungan sekolah terhadap bantuan (seperti:dana, dan lain-lain) dari pemerintah, sehingga mengakibatkanpihak sekolah kurang kreatif/inisiatif, menggali potensi disekolah bersangkutan. (c) Rendah/kurang profesionalnya

    Kepala Sekolah dan guru serta tenaga kependidikan dalammengelola dan melaksanakan pendidikan di sekolah.

    -  Sosialisasi kebijakan MPMBS intensitasnya masih kurang,temporer, dan dilakukan tidak secara menyeluruh atau total(komprehensif), sehingga tidak dipahaminya konsep dantujuan MPMBS tersebut secara baik oleh aktor/ stakeholders .

    -  Kemandirian (otonomi) Kepala Sekolah dalam mengelola ataumanajemen sekolah masih rendah. Terkesan ragu-ragu, takut

    17

    Abdul Wahab, S. , Analisis Kebijakan..., h. 33.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    21/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 171

    salah, dan ketergantungan terhadap petunjuk pelaksanaan danbantuan pemerintah masih tinggi, sehingga Kepala Sekolahdan jajarannya terkesan statis serta kurang kreatif.

    -  Adanya kebijakan MPMBS dengan pengimplementasiannya,dipandang oleh sebagian pihak sekolah sebagai suatu beban(meliputi waktu, administrasi dan persyaratan tertentulainnya) karena semua ini tidak diimbangi oleh kontribusi yangmemadai, yang mereka terima sebagai dampak dari programMPMBS ini.

    Faktor-faktor yang dikemukakan di atas, perlu menjadibahan evaluasi untuk menghindari kegagalan dalamimplementasi kebijakan MPMBS. Kegagalan implementasi suatukebijakan cenderung karena faktor ulah manusia, di mana

    pengambilan keputusan terkadang gagal memperhitungkankenyataan adanya persoalan manusia (human error ) yang sangatkomplek dan bervariasi, baik pemerintah sebagai pembuatkebijakan maupun sekolah beserta warganya sebagai pelakukebijakan dan target group.

    Merujuk kepada berbagai kendala atau hambatan yang telahdiidentifikasi dari hasil penelitian, dan dikaitkan denganpandangan atau pendapat ahli mengenai faktor-faktor yangmenyebabkan kegagalan implementasi suatu kebijakan, makaPenulis berpendapat bahwa kegagalan implementasi suatu

    kebijakan, belum tentu sepenuhnya dikarenakanketidakmampuan pelaksana (aktor/stakeholders ), tetapi jugadisebabkan karena pembentukan kebijakan.

    Disinilah dituntut kepiawaian dari para pelaksana kebijakan(aktor/ stakeholderss ) supaya mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian atau adaptasi, sehingga proses implementasi dapatberjalan efektif dan tujuan/pokok kebijakan dapat direalisasikan.Dalam hal ini sosialisasi implementasi kebijakan MPMBS harusterus dilakukan untuk memberikan pemahaman dan pencerahan

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    22/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    172 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    kepada semua pihak untuk sama-sama merespon kebijakantersebut.

    Berkenaan juga dengan faktor penyebab kegagalanimplementasi kebijakan MPMBS, Wohlstetter dan Mohrmanndalam hasil penelitian mengungkapkan empat macam kegagalanimplementasi, yaitu Pertama , sekedar mengadopsi model apaadanya atau tidak ada upaya kreatif. Kedua , Kepala Sekolahbekerja berdasarkan agenda kerja sendiri tanpa memperhatikanaspirasi warga sekolah. Ketiga , kekuasaan pengambilan keputusanterpusat pada satu pihak. Keempat , menganggap MPMBS adalahhal yang biasa dengan tanpa usaha yang serius akan berhasildengan sendirinya, padahal pada kenyataannya implementasiMPMBS memakan waktu, tenaga, pikiran secara besar-besaran.

    Keempat indikator yang telah dipaparkan di atas,mengisyaratkan bahwa guna menghindari kegagalanimplementasi kebijakan MPMBS tersebut, maka diperlukanketerlibatan atau partisipasi aktif semua pelaku kebijakan (koalisiaktor/stakeholderss) untuk mengkaji, memahami dan melakukanpenyesuaian atau adaptasi (reformulasi) yang dilandasi azaskerjasama, keterkaitan, kebersamaan dan akuntabilitas sertatransparan.

    Implementasi kebijakan MPMBS perlu didukung olehsemangat demokrasi dan transparansi menuju suatu komitmen/

    konsensus agar implementasi kebijakan MPMBS berjalan denganbaik, dan tujuan kebijakan (meningkatkan mutu pendidikan)tercapai. Koalisi aktor/stakeholderss  yakni Kepala Sekolah, guru,siswa, orang tua siswa, masyarakat, Komite Sekolah/BP3, pejabatpemerintah terkait, peduli terhadap kegiatan pendidikan disekolah.

    PENUTUP

    Dari ulasan yang dikemukakan di atas, Penulis menarikbeberapa kesimpulan sebagai berikut:

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    23/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 173

    -  Dilihat dari jumlah personil sekolah, rasio jumlah guru danmurid, kualifikasi pendidikan dan kepangkatan(ruang/golongan) yang dimiliki, maka Kepala Sekolah dan gurusebagai aktor/stakeholders   utama kebijakan MPMBS, dapat

    dikatakan telah siap dalam mengemban tugas untukmengimplementasikan kebijakan MPMBS ini. Sebab, merekamemenuhi syarat/standar kelayakan untuk mengajar(melaksanakan tugas dalam proses belajar mengajar) disekolah. Akan tetapi dilihat secara kualitas, meliputi sikap dankemampuan profesionalisme, kepemimpinantransformasional, kreatifitas yang dimiliki Kepala Sekolah danguru, maka dapat dikatakan bahwa Kepala Sekolah dan guru,belum siap untuk mengimplementasikan kebijakan MPMBStersebut.

    Dilihat dari aspek kelembagaan, yakni organisasi sekolahseperti: Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja MPMBS,dan Komite Sekolah/BP3 dan organisasi masyarakat pemerhatipendidikan lainnya cukup tersedia. Yang menjadi persoalanadalah pemberdayaan organisasi-organisasi tersebut masihkurang. Hal ini disebabkan kurang informasi yang didapatkanatau diberikan kepada organisasi tersebut sehingga konsep dantujuan kebijakan MPMBS tidak dipahami secara baik olehsemua aktor/stakeholders   yang terlibat dalam organisasisekolah. Dengan kata lain masih kurangnya komunikasi dan

    koordinasi diantara pelaku kebijakan, dikarenakan intensitassosialisasi kebijakan masih bersifat temporer, dan tidakmenyeluruh serta tidak kontinyu.

    -  Untuk mengelola dan menerapkan kebijakan MPMBS makakepada Kepala Sekolah, sebagai aktor/stakeholders   utamakebijakan ini membentuk jaringan kerja dengan organisasimasyarakat lainnya yang peduli pendidikan. Begitu pulaketerlibatan atau partisipasi masyarakat dalam implementasikebijakan MPMBS masih bersifat eksentif yakni partisipasi

     yang masih berorientasi pada pembiayaan dan pembangunan

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    24/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    174 Hunafa: Jurnal Studia Islamika  

    fisik. Secara umum inisiatif masih datang dari pihak sekolah.Akan tetapi walaupun bersifat ekstensif, tapi kontribusinyacukup signifikan.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Wahab S., Analisis Kebijakan dari Formulasi keImplementasi   Kebijakan Negara , Cet.IV; Jakarta: BumiAksara, 2003.

    Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah , Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000.

    Hasri, Salfen, Kepemimpinan Kepala Sekolah dari KerangkaDesentralisasi dan Otonomi Sekolah . Edisi Khusus-HUT-FE-UM. Oktober, 2002.

    Nurkolis, “ Manajemen Berbasis Sekolah: Strategi SuksesImplementasi MBS” dalam Article Pendidikan Network(English) , Juni, 2001.

    Parakasi, Umaedi, Manajemen Peningkatan Mutu BerbasisSekolah , Cet. VIII; Malang: UMM Press, 2005.

    Parsons, Wayne, Public Policy: An Introduction to the Theory andPractise of Policy Analysis . Edward Elgar, Cheltenham, UKLyme. US, 1997.

    Portz, John, “Problem Definitions and Policy Agendas: Shaping theEducational Agenda in Boston” dalam Journal Policy Studies ,Vol. 24, 2009.

    Rumtini dan Jiyono, “Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep danKemungkinan Strategi Pelaksanaannya di Indonesia” dalam

     Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan , Juni Tahun Ke 5 No. 017.2008.

    Salladien, Alternatif Model Pendidikan Berorientasi Dunia Kerja ,Edisi Khusus-HUT-FE-UM. Oktober, 2002.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    25/26

    Hamzah, Manajemen Peningkatan... 

    Hunafa: Jurnal Studia Islamika 175

    Sabatier, Paul A., “Top Down and Bottom-up Approaches toImplementation Research: a Critical Analyis and SuggestedSyinthesis” dalam  Journal of Public Policy , 1986.

    Widjajati, H. Anak Jalanan: Studi Kasus tentang FenomenaPengamen Lampu Merah dan Kebijakan Penanggulangannyadi Kota Malang . Tesis. Pascasarjana Universitas Brawijaya,Malang, 2002.

  • 8/17/2019 1163-1408351673.pdf

    26/26

    Vol. 10, No. 1, Juni 2013: 151-175

    176 Hunafa: Jurnal Studia Islamika