7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
1/52
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN TENTANG BIOAVAILABILITAS
Bioavailabilitas merupakan persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu
produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk
utuh atau aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya
dalam darah terhadap waktu dari ekskresinya dalam urin (BPOM, 2004). Sirkulasi
sistemik disini mencakup vena (kecuali vena porta) dan arteri selama fase absorpsi
setelah rute per oral (Abdou, 1989). Banyak proses dilalui oleh obat sebelum obat
mencapai sirkulasi sistemik seperti disolusi, difusi, proses pengosongan pada
lambung, waktu transit di usus dan absorpsi intrinsik obat di tempatnya yang
berbeda setelah obat melarut (Swarbrick, 1970).
2.1.1 Bioavailabilitas Relatif
Menurut Abdou, bioavailabilitas relatif adalah bioavailabilitas dari suatu obat
dibandingkan dengan obat lain yang memiliki bahan aktif yang sama atau
dibandingkan pada suatu standar tertentu.
Bioavailabilitas relatif adalah ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat
dibandingkan terhadap suatu standart yang diketahui. Bioavailabilitas relatif dari
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
2/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
3/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
4/52
12
Bioavailabilitas absolut =IVIV
poPO
dosisDu
dosisDu
/][
/][
.......................................................2.5
Bioavailabilitas absolut juga sama dengan F, fraksi dosis yang dapat tersedian
dalam sistemik. Untuk obat-obat yang diberikan secara vaskular seperti IV bolus,
F=1 oleh karena seluruh obat secara sempurna tersedia dalam sistemik. Untuk
semua rute pemberian ekstravaskular, F 1 (Shargel et.al, 2005).
2.1.3 Pengukuran Bioavailabilitas
Tujuan utama penentuan bioavailabilitas suatu obat adalah untuk mengetahui
bioavailabilitas suatu obat pada manusia. Bioavailabilitas memerankan peranan
penting dalam mempelajari berbagai efek terapetik antar pasien setelah
pemberian suatu obat yang dianggap ekivalen dimana mengandung bahan aktif
yang sama tetapi berbeda pabrik. Pada studi bioavailabilitas, pengujian terutama
ditujukan pada fraksi dosis yang dilepaskan secara iv vivo dan kemampuannya
dalam mencapai sirkulasi sistemik, dimana hal ini menggambarkan dosis efektif
(available dose) yang nantinya dibandingkan dengan label dose yang tertera pada
kemasan.
Studi ini terutama bermanfaat bagi formulator obat, ahli farmakologi, dan
mengarahkan farmasis dan dokter agar selalu memperhatikan karakteristik
bioavailabilitas obat sebelum menggunakannya pada pasien (Abdou, 1989).
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapetik yang belum disetujui oleh
FDA (Food and Drugs Administration) untuk dipasarkan. Formula baru dari
bahan obat aktif atau bahan terapetik sebelum dipasarkan harus disetujui oleh
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
5/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
6/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
7/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
8/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
9/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
10/52
18
d. Eksipien dan proses pembuatannya diketahui mempengaruhibioekivalensi.
2. Produk obat non oral dan non parenteral yang didesain untuk bekerja sistemik,misal : sediaan transdermal, suppositoria, permen karet nikotin, gel testoteron
dan kontraseptif bawah kulit.
3. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik.4. Produk kombinasi tetap untuk bekerja sistemik, yang paling sedikit salah satu
zat aktifnya memerlukan studi iv vivo.
5. Produk obat bukan larutan untuk penggunaan non sistemik (oral, nasal,dermal, rektal, vaginal, dsb) dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk
diabsorpsi sistemik). Untuk produk demikian, bioekivalensi harus ditujukan
dengan studi klinik atau farmakodinamik, dermatofarmakokinetik komparatif
dan atau studi in vitro. Pada kasus-kasus tertentu, pengukuran kadar obat
dalam darah masih dapat diperlukan dengan alasan keamanan untuk melihat
adanya absorpsi yang tidak diinginkan.
Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolusi
terbanding):
1. Produk obat yang tidak memerlukan studi iv vivo.2. Produk obat copy yang hanya berbeda kekuatan uji disolusi terbanding
dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan perbandingan
profil disolusi.
a. Tablet lepas cepat
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
11/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
12/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
13/52
21
Kelarutan dalam air tinggi (dari zat aktif) : jika dosis tertingi yang
direkomendasi WHO (jika terdapat dalam Daftar Obat Esensial WHO) atau
kekuatan dosis tertinggi (yang ada di pasar) dari produk obat larut dalam 250 ml
media air pada kisaran pH 1,2 sampai dengan 6,8 pada suhu 37 1oC. Penentuan
kelarutan pada setiap pH harus dilakukan minimal triplo.
Kelarutan dalam usus tinggi (dari zat aktif): jika absorpsi pada manusia 85%
dibandingkan dosis intravena dari pembandingnya.
**karakteristik disolusi (dari produk lepas cepat) yaitu disolusi sangat cepat :
jika 85% dari jumlah zat aktif yang tertera di label melarut dalam waktu 15
menit dengan menggunakan alat basketpada 100 rpm atau alat paddle pada 50
rpm (atau 75 rpm jika terjadi coning) dalam volume 900 ml masing-masing
media berikut : (i) larutan HCl pH 1,2; (ii) bufer sitrat pH 4,5; dan (iii) bufer
fosfat ph 6,8. Disolusi cepat : sama dengan disolusi sangat cepat tetapi dalam
waktu 30 menit.
***profil disolusi (dari produk obat) diketahui dari uji disolusi terbanding
dilakukan dengan menggunakan metode basketpada 100 rpm atau metodepaddle
pada 50 rpm dalam media pH 1,2 (larutan HCl), pH 4,5 (bufer sitrat) dan pH 6,8
(bufer fosfat); waktu-waktu pengambilan sampel untuk produk obat lepas cepat :
10, 15, 30, 45 dan 60 menit; digunakan produk obat minimal 12 unit dosis; Profil
disolusi dibandingkan dengan menggunakan faktor kemiripan f2 yang dihitung
dengan persamaan berikut :
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
14/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
15/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
16/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
17/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
18/52
26
memberikan onset yang lebih cepat, intensitas efek yang lebih tinggi, dan durasi
kerja obat yang lebih lama (Shargel , Yu, 2005; Banakar, 1992; Swarbrick, 1970).
Sebagai catatan penting bahwa absorpsi obat pada saluran cerna dapat
berkurang ketika obat dalam bentuk padat dilepaskan secara lambat. Jika obat-
obat tersebut tidak diabsorpsi dengan kecepatan yang seharusnya, sebagian fraksi
obat dapat diabsorpsi oleh dinding saluran pencernaan sehingga fraksi obat ini
tidak dapat masuk ke sistemik untuk memberikan efek yang semestinya. Contoh,
pada obat-obat seperti tetrasiklin, griseofulvin dan riboflavin (Swarbrick, 1970).
2.3.1 Mekanisme Disolusi
Agar suatu proses pelarutan dapat terjadi, molekul solut pertama-tama harus
keluar dari permukaan partikel padatnya dan kemudian terdistibusi ke molekul
pelarutnya. Model yang paling sederhana menggambarkan proses disolusi ini
yaituDiffusion Layer Model. Model ini mengasumsikan adanya suatu lapisan tipis
cairan statis yang berada disekitar partikel padat. Terjadi reaksi yang sangat cepat
antara lapisan partikel solid dan permukaan lapisan cairan sehingga secara
keseluruhan disolusi terjadi kerena adanya difusi molekul solut melewati lapisan
cairan tadi. Ketika molekul solut melewati permukaan lapisan cairan tadi, terjadi
pencampuran yang cepat karena adanya perbedaan gradien konsentrasi
(Swarbrick, 1970).
Model lainnya yaitu, interfacial barrier model. Model ini mengasumsikan
reaksi pada permukaan solid tidaklah secara instan karena diperlukannya energi
bebas yang tinggi untuk mengaktifasi reaksi tersebut.
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
19/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
20/52
28
Keseluruhan laju pelarutan obat dapat digambarkan oleh persamaan Noyes-
Whitney, yang mirip hukum difusi dari Fick :
)( CCsh
DAK
dt
dc= ...........................................................................................2.7
dc/dt = laju pelarutan obat; D = koefisien laju difusi; A = luas permukaan
partikel; Cs= kadar obat dalam Stagnant layer; C = konsentrasi obat dalam
bagian terbesar pelarut; K = koefisien partisi minyak/air; h = tebal stagnant
layer (Shargel et.al, 2005).
2.3.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Laju Disolusi
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya
diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu faktor yang berkaitan dengan sifat
fisikokimia obat, faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan dan faktor yang
berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji (Syukri, 2002).
2.3.2.1 Faktor yang Berkaitan Dengan Sifat Fisikokimia Obat
Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi
kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran
partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan
berperanan pada permasalahan yang umum dalam disolusi dalam hal terbentuknya
flokulasi, flotasi dan aglomerasi (Syukri, 2002).
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
21/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
22/52
30
Bila ukuran partikel lebih kecil, luas permukaan akan besar, sehingga obat
akan cepat melarut dan diabsorpsi. Misalnya pada griseofulvin, bentuk
mikrokristal dapat meninggikan khasiat obat. Dari penelitian-penelitian yang
pernah dilaporkan Chiou dan Riegelman (1971), pembentukan dispersi padat
akan memberikan profil ketersediaan hayati yang lebih baik dibandingkan dengan
sediaan yang dimikronisasi atau serbuk dalam bentuk mikrokristalin dari obat
murni (Syukri, 2002).
2.3.2.1.3 Bentuk hidrat dan Solvat
Selama penyimpanan, beberapa obat dapat berinteraksi dengan pelarut
membentuk suatu kristal yang disebut dengan solvat. Air dapat membentuk suatu
kristal tertentu dengan obat yang disebut hidrat (Shargel et.al, 2005). Sifat fisik
senyawa hidrat tersebut dapat sangat berbeda dengan bentuk anhidratnya,
terutama bila berkaitan dengan pelarutnya. Umumnya senyawa anhidrat
menunjukan laju pelarutan dalam air yang lebih cepat dibandingkan bentuk
hidratnya. Ampisilin anhidrat lebih mudah larut daripada ampisilin trihidrat,
sehingga pemakaian peroral akan memberikan blood level yang lebih tinggi
(Syukuri, 2002; Aiache, 1993).
Hidrat dan solvat senyawa dapat terbentuk tidak hanya saat sintesa senyawa
tersebut namun juga selama pembuatan obat atau penyimpanan sediaan (Aiache,
1993).
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
23/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
24/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
25/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
26/52
34
pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Dengan beranggapan bahwa
laju disolusi sebagai tahap penentu kecepatan, maka obat-obat yang diberikan
peroral dengan bentuk sediaan cair (Sirup, elixir, dan larutan) akan paling cepat
diabsorpsi karena tidak ada proses disolusi. Jadi untuk mendapatkan absorpsi
yang paling cepat dari suatu obat maka dipilih bentuk sediaan larutan. Secara
umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai berikut : suspensi,
kapsul, tablet, dan tablet salut (Syukri, 2002; banakar 1992).
2.3.2.2.2 Bahan Pembantu
Beberapa bahan tambahan dalam poduk obat dapat mempengaruhi kinetika
pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan
obat itu sendiri . Pada umumnya suatu tablet diformulasi dengan beberapa
komponen inaktif seperti pengisi, disintegran, lubrikan misal magnesium stearat
dan komponen-komponen lain seperti bahan pengikat dan bahan penstabil. Suatu
lubrikan (pada Mg stearat suatu lubrikan hidrofobik) dapat menyebabkan
menurunnya laju pelarutan apabila digunakan berlebihan. Oleh karena itu dapat
diatasi dengan penambahan disintegran. Penambahan surfaktan dalam konsentrasi
rendah dapat menaikan pembasahan dan kelarutan suatu obat dengan aksinya
yaitu menurunkan tegangan permukaan. Sedangkan pada konsentrasi yang tinggi
surfaktan cenderung membentukmicelles dengan obat, sehingga menurunkan laju
pelarutan obat. Contoh lain yaitu bahan pensuspensi menaikan viskositas
pembawa obat dan oleh karena itu menurunkan laju pelarutan obat dari suspensi.
Beberapa bahan tambahan, seperti natrium bikarbonat, dapat mengubah pH
media. Pada suatu obat asam dalam bentuk padat seperti aspirin suatu media alkali
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
27/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
28/52
36
tersebut dapat berpengaruh atau tidak berpengaruh pada pelepasan zat aktif dari
sediaan. Pengadukan harus cukup untuk memudahkan penembusan zat aktif ke
dalam cairan, tetapi jangan terlalu keras agar tidak merusak sediaan dan untuk
menjaga integritasnya. (Aiache, 1993; Banakar, 1992; Shargel et.al, 2005).
Walaupun begitu, agitasi yang terlalu kuat dapat menyebabkan aliran media
disolusi yang turbulen sehingga kondisi disolusi menjadi terganggu. Selain itu
dapat muncul gelembung udara dari media disolusi karena agitasi yang terlalu
kuat. Oleh karena itu, agitasi saat proses disolusi terjadi hendaknya dibuat konstan
dan sesuai dengan kondisi iv vivo. (Swarbrick, 1970).
Pada setiap bahan aktif, terdapat perbedaan kecepatan agitasi yang dianjurkan.
Perlunya menentukan kecepatan agitasi berhubungan dengan tercapainya korelasi
antara kondisi iv vivo dan in vitro. Dimana berdasarkan penelitian didapat bahwa
gerakan peristaltik pada saluran cerna merupakan suatu gerakan yang ringan.
Sehingga untuk kondisi in vitro, diperlukan kecepatan agitasi tertentu untuk
menghasilkan kecepatan disolusi yang mirip dengan iv vivo (Swarbrick,1970).
2.3.2.3.2 Ukuran dan bentuk wadah
Ukuran dan bentuk wadah dapat mempengaruhi laju dan tingkat pelarutan.
Sebagai contoh, wadah dapat mempunyai rentang ukuran dari beberapa mililiter
sampai beberapa liter. Bentuk wadah dapat mempunyai alas bulat atau datar
sehingga dalam percobaan yang berbeda tablet dapat berada dalam posisi yang
berbeda. Untuk mengamati kemaknaan pelarutan dari obat-obat yang sangat tidak
larut dalam air mungkin perlu menggunakan suatu wadah yang berkapasitas
sangat besar (Shargel et.al, 2005).
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
29/52
37
2.3.2.3.3 Temperatur
Suhu media pelarutan juga harus dikendalikan dan variasi suhu harus
dihindarkan, sebab suhu berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Sebagian besar
uji pelarutan dilakukan pada 370
C yang menggambarkan suhu tubuh normal.
(Shargel et.al, 2005; Aiache, 1993). Molekul obat akan mengabsorpsi panas
selama proses disolusi dan kelarutannya dapat meningkat dengan meningkatnya
temperatur. Peningkatan temperatur akan memperbesar energi kinetik molekul
dan difusi obat terlarut dari lapisan difusi ke bagian terbesar pelarut. Kelarutan
obat yang semakin besar akan mengkatkan gradien konsentrasi yang akhirnya
akan meningkatkan laju disolusi obat (Parrot, 1970; Shargel et.al, 2005). Stokes
dan Einstein menggambarkan hubungan antara temperatur dan koefisien difusi
pada persamaan 2.8 (Banakar, 1992):
r
TKD
= 6 ...........................................................................................2.8
Keterangan: D = koefisien difusi = viskositas
K = Tetapan Boltzmann r = jari-jari
T = Temperatur
2.3.2.3.4 Sifat Media
Pemilihan media disolusi tergantung dari sifat fisikokimia bahan obat . Media
pelarutan hendaknya tidak jenuh dengan obat. Untuk suasana seperti itu biasanya
digunakan volume media yang lebih besar daripada jumlah pelarut yang
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
30/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
31/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
32/52
40
pH media disolusi juga dapat mempengaruhi degradasi dari obat-obat tertentu.
Jika dekomposisi obat dapat dikatalisis dengan adanya suasana asam atau basa,
maka seorang formulator harus mengetahui adanya kemungkinan degradasi obat
pada saluran pencernaan. Contoh pada erythromycin, dekomposisi terjadi secara
cepat pada suasana asam, sedangkan pada suasana netral atau basa erythromycin
relatif stabil. Konsekuensinya erythromycin harus dibuat dalam bentuk selaput
enterik agar terlindung dari degradasi asam lambung (Shargel et.al, 2005)
2.3.3 Pentingnya UjiIn vitro (Disolusi)
Menyadari bahwa formulasi dapat secara signifikan mempengaruhi
bioavailabilitas suatu sediaan dan dengan ada banyaknya sediaan oral dalam
bentuk liquid dan dispersi solid-liquid, maka banyak peneliti memberi perhatian
pada proses disolusi dan absorpsi yang dialami molekul obat sebelum masuk
sirkulasi sistemik dan memberikan efek farmakologis.
Penggunaan dan pengembangan model in vitro untuk menggambarkan
disolusi dan absorpsi secara iv vivo memiliki 3 manfaat. Pertama, dapat lebih
memahami gambaran situasi iv vivo. Kedua, setelah tahu situasi iv vivo, maka
dapat dipelajari lebih lanjut mengenai formulasi obat yang lebih baik berkaitan
dengan proses disolusi dan absorpsinya. Jika korelasi iv vivo- in vitro telah
tergambarkan, walaupun data iv vivo tidak tersedia, peneliti dapat
memprediksikan perilaku sediaan obat dalam tubuh sehingga menghasilkan
disolusi dan absorpsi yang diinginkan. Untuk tujuan pengembangan formula ini
maka suatu metode uji disolusi yang cocok sebaiknya mampu menentukan
perubahan pada formulasi, proses manufaktur, karakter fisika kimia obat seperti
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
33/52
41
ukuran partikel, polimorf dan luas permukaan yang dapat mempengaruhi
bioavailabilitas obat (Gray et al, 2001). Ketiga, khusus berkaitan dengan proses
disolusi maka akan dapat berguna dalam prosedur kontrol kualitas dari suatu obat
dan formulasinya, sehingga layak diedarkan. Dimana hal ini berkaitan dengan
monitor stabilitas obat dan kontrol proses manufakturnya (Swarbrick, 1970).
2.3.4 Uji Disolusi Terbanding
Uji disolusi terbanding dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk mengetahui
pengaruh dari proses formulasi dan fabrikasi terhadap profil disolusi dalam
memperkirakan bioavailabilitas dan bioekivalensi antara produk uji dan
pembanding (Shargel et.al, 2005). Uji disolusi terbanding juga dapat dilakukan
sebagai uji pengganti uji iv vivo pada obat-obat tertentu yang memenuhi
persyaratan, dimana uji ini sering disebut sebagai uji biowaiver(BPOM, 2004).
Uji disolusi terbanding dilakukan setelah melakukan uji keseragaman bobot dan
keseragaman kadar agar dapat dipastikan bahwa tidak ada pengaruh konsentrasi
terhadap uji disolusi terbanding. Uji disolusi terbanding juga dapat digunakan
untuk memastikan kemiripan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan
perubahan minor dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasaran obat.
2.3.5 Desain Aparatus Disolusi
Desain aparatus mempengaruhi hasil dari suatu uji disolusi dilihat dari
beberapa faktor. Hal ini meliputi bentuk dan struktur wadah, tipe dan kekuatan
agitasi dan juga komposisi dan volume media disolusi. Faktor inilah yang
akhirnya dapat mempengaruhi laju abrasi dari sediaan padat menjadi partikel-
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
34/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
35/52
43
Metodepaddle atau alat ke 2 ini terdiri atas suatu dayung yang dilapis khusus,
yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan.
Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu
kecepatan terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang
beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media
pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti
pada metode rotating basket dipertahankan pada suhu 370C. Posisi dan
kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode paddle sangat peka dengan
kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat kesejajaran dayung yang tidak
tepat secara drastis dapat mempengaruhi laju pelarutan. Kecepatan yang biasa
digunakan yaitu 50 rpm untuk bentuk sediaan oral padat dan 25 rpm untuk bentuk
suspensi. Alat ini lebih sering digunakan untuk tablet. Sinker yang terbuat dari
kawat platinum berfungsi untuk mencegah kapsul atau tablet mengapung. Sinker
tersebut juga dapat digunakan untuk tablet coated film yang menempel pada
dinding bejana atau membantu posisi tablet atau kapsul dibawah paddle. Sinker
hendaklah tidak mengganggu proses disolusi sediaan.
3.Reciprocating Cylinder Method
Alat ini terdiri dari seperangkat alat berbentuk silinder, bejana gelas dengan
alas datar dengan reciprocating silinder untuk uji disolusi obat-obat extended
release. Kadang-kadang digunakan untuk bentuk sediaan pelepasan termodifikasi.
6 tablet diuji pada media dengan suhu 370C.
4. Flow-Through Cell Method
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
36/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
37/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
38/52
46
Pada dasarnya, cuplikan ditahan dalam suatu posisi yang tetap sedangkan
media pelarutan dipompa melewati penahan cuplikan obat melarut. Aliran laminar
dicapai dengan menggunakan suatu pompa tanpa getaran. Laju aliran biasdanya
dipertahankan antara 10 dan 100 ml/menit. Media pelarutan dapat diperbaharui
atau diresirkulasi. Suatu volume media yang besar juga dapat dipergunakan dan
cara kerjanya dengan mudah disesuaikan ke peralatan otomatik.
3. Metode Pelarutan Intrinsik
Sebagian besar pelarutan berkaitan dengan produk obat. Kadang-kadang suatu
bahan baru dapat diuji untuk pelarutan tanpa pengaruh dari bahan tambahan atau
dari proses fabrikasi. Pelarutan dari suatu serbuk obat dengan mempertahankan
suatu luas permukaan yang tetap disebut pelarutan intrinsik. Pelarutan intrinsik
biasanya dinyatakan dalam mg/cm2menit.
4. Metode peristaltik
Metode ini mencoba meniru kondisi hidrodinamik dari saluran cerna dalam
suatu alat pelarutan in vitro. Alat terdiri atas suatu tabung plastik silindrik yang
kaku yang dipasang suatu sekat dan tutup karet pada kedua ujung. Bak pelarutan
terdiri atas suatu ruangan antara sekat dan tutup bagian bawah. Alat diletakan
dalam suatu beaker yang berisi media pelarutan yang dipompa dengan aksi
peristaltik melewati bentuk sediaan obat.
2.3.6 Parameter laju disolusi
Data dari hasil uji disolusi dapat dievaluasi dengan beberapa parameter terdiri
dari (Banakar, 1992):
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
39/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
40/52
48
2.4 TINJAUAN TENTANG RANITIDIN
Ranitidin merupakan antagonis reseptor histamin tipe 2 yang menghambat
produksi asam lambung. Ranitidin HCl biasa digunakan pada terapi peptic ulcer
(PUD) dan gastroesophageal reflux (GERD) selain itu juga dapat digunakan pada
kasus-kasus lainnya yang dapat membaik dengan penghambatan sekresi asam
lambung. Sebagian besar sediaan ranitidin mengandung Ranitidin HCl dalam
sediaannya (Sweetman,2005). Ranitidin termasuk dalam BCS kelas 3 yaitu
memiliki kelarutan dalam air tinggi dan permeabilitas pada dinding usus rendah
(Barends DM et.al, 2005).
Gambar 2.3 Struktur Kimia Ranitidin, (Acta Pharm,2008)
2.4.1 Sifat Fisika Kimia Ranitidin
Ranitidin dengan nama kimia NN-Dimethyl-5-[2-91-methylamino-2-
nitrovinylamino)ethylthiomethyl]furfurylamine, berupa serbuk kristal berwarna
putih kekuningan, praktis tidak berbau. Dalam sediaanya Ranitidin diformulasikan
dalam bentuk Ranitidin HCl. Ranitidin HCl peka terhadap cahaya dan
kelembapan. Melebur pada suhu 1400, disertai peruraian. Ranitidin HCl sangat
larut dalam air, 1 gram ranitidin HCl dapat larut dalam 1,5 mL air dan 6 mL
alkohol.. cukup larut dalam etanol dan sukar larut dalam kloroform. 1% larutan
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
41/52
49
ranitidin HCl dalam air memiliki pH 4,5 sampai 6,0. Ranitidin HCl memiliki pKa
8,2 dan 2,7. susut pengeringan, tidak lebih dari 0,75% setelah pengeringan pada
suhu 60oC selama 3 jam.
Simpan pada wadah kedap udara, lindungi dari cahaya
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995; USP 28;
www.elephantcare.com,2006).
2.4.2 Mekanisme Kerja Ranitidin
Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2 yang mempunyai struktur serupa
dengan histamin, yaitu mengandung cincin imidazol atau bioisosteriknya, tetapi
berbeda pada panjang gugus rantai samping, yang meskipun polar tapi tidak
bermuatan. Hipotesis sederhana mekanisme kerja senyawa antagonis H2
dijelaskan sebagai berikut; sekresi asam lambung dipengaruhi oleh histamin,
gastrin, dan asetilkolin. Antagonis H2 menghambat secara langsung kerja
histamin pada sekresi asam (efikasi intrinsik) dan menghambat kerja potensiasi
histamin pada sekresi asam, yang dirangsang oleh gastrin atau asetilkolin (efikasi
potensiasi). Secara singkat ranitidin dapat memperlambat proses pengosongan
lambung dengan cara mencegah sekresi asam lambung. Ranitidin tidak seperti
simetidin yang mempengaruhi kadar serum prolaktin dan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap metabolisme obat-obat di hati. Antasid dapat mengurangi
absorpsi ranitidin, oleh karena itu lebih baik diberikan setelah 2 jam pemberian
ranitidin. (Kimia Medisinal 2; elephantcare,2006).
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
42/52
50
2.4.3 Farmakokinetika Ranitidin
Ranitidin diabsorpsi pada saluran cerna dengan konsentrasi puncak plasma
dicapai kira-kira 2-3 jam setelah pemberian peroral. Makanan tidak secara
signifikan mempengaruhi absorpsi ranitidin. Bioavailabilitas ranitidin setelah
pemberian peroral mencapai 50%.Ranitidin secara cepat diabsorpsi pada rute iv
dengan waktu puncak setelah 15 menit. Ranitidin diikat lemah oleh protein sekitar
15%.
Waktu paruh eleminasi ranitidin sekitar 2-3 jam dan meningkat pada kasus
kerusakan ginjal. Sebagian kecil ranitidin dimetabolisme di hepar membentuk N-
oksida, S-oksida, dan desmetilranitidin, dimana N-oksida adalah metabolit
terbesarnya (4-6% dari dosis yang diberikan). Sekitar 30% secara oral dan 70%
apabila secara iv ranitidin diekskresi dalam bentuk tidak berubah pada urin selama
24 jam , dimana sebagian besar melalui sekresi tubular. Ekskresi melalui feses ada
sebagian. Ranitidin dapat menembus dinding plasenta dan didistribusikan ke air
susu (Sweetman, 2005).
2.4.4 Efek Samping Penggunaan Ranitidin
Penggunaan Ranitidin sebaiknya dihentikan dan segeralah meminta bantuan
medis jika mengalami tanda-tanda reaksi alergi: rasa gatal dengan bintik-bintik
merah (hives), susah bernapas, pembengkakan pada wajah, bibir, lidah,
tenggorokan. Bila perlu hubungi dokter jika mengalami efek samping yang serius,
seperti: nyeri dada,fever, napas menjadi pendek, mengeluarkan mukus hijau atau
kuning saat batuk, mudah mengalami perdarahan, lemas, detak jantung cepat atau
lambat, gangguan pengelihatan, sakit tenggorokan, sakit kepala, pucat, kulit
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
43/52
51
kemerahan atau; mual, sakit perut, demam, kehilangan nafsu makan, urin yang
pekat, jaundice (warna kulit dan mata kuning) (Cerner Multum, 2007).
2.5 TINJAUAN TENTANG PENYAKIT
2.5.1 Tinjauan Tentang Gastroesophageal Reflux
Refluks gastroesofagus atau gastroesophageal reflux (GER) adalah kondisi
kembalinya isi lambung (terutama asam) melalui gastroesophageal junction ke
dalam esofagus, menyebabkan gejala dan atau perubahan struktural esofagus
(Harding, 1999a). GER merupakan keadaan fisiologis pada subyek normal
terutama terjadi sesudah makan (Farrell, 1993; Choy, 1997). Refluks patologis
bila waktu paparan asam (pH < 4) melebihi 5% selama periode 24 jam yang
diukur dengan pemantauan pH intraesofagus (Choy, 1997). GER patologis yang
tidak diterapi akan mengganggu kualitas hidup dan menimbulkan komplikasi pada
esofagus seperti esofagitis, ulserasi, striktur, pendarahan, dan Barretoesophagusdengan kecenderungan menjadi maligna (Harding, 1997).
Dalam kesepakatan Genval, istilah gastro-esophageal reflux disease(GERD)juga dapat digunakan untuk setiap penderita yang mempunyai resiko komplikasi
akibat refluks ini. Komplikasi fisik lain dapat berupa asma, aspirasi pneumonitis
akibat refluks (Hernomo,2003).
2.5.1.1 Patofisiologi Gastroesophageal Reflux
Mekanisme antirefluks normal terdiri dari sfingter esofagus bagian bawah atau
lower esophageal spinchter(LES) dan konfigurasi anatomi dari gastroesophageal
junction. Refluks terjadi bila perbedaan tekanan antara LES dan abdomen
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
44/52
52
menghilang. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan intragastik atau
penurunan tonus LES yang bersifat sesaat maupun terus menerus. Penurunan
tonus LES dapat terjadi karena kelemahan otot atau relaksasi LES yang tidak tepat
diperantarai oleh saraf-saraf bersifat inhibisi (Goyal, 1998). Selain faktor motorik,
juga terdapat faktor penting lain yang berpengaruh pada GER, yaitu faktor asam
meliputi konsentrasi asam bahan refluks, frekuensi, dan lamanya paparan asam
pada mukosa esofagus, faktor defensif epitel esofagus, faktorclearance esofagus
terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi, dan
pembentukan bikarbonat intrinsik dari esofagus (Djajapranata, 2002).
2.5.2 Tinjauan TentangPeptic Ulcer
Peptic ulcer merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan rasa perih pada
dinding lambung atau duodenum. Salah satu penyebabnya adalah infeksi bakteri,
namun ada juga beberapa yang disebabkan oleh pemakaian NSAID dalam waktu
lama seperti aspirin dan ibuprofen. Pada beberapa kasus, tumor atau kanker pada
lambung atau pancreas dapat menyebabkan ulcer. Peptic ulcer tidak disebabkan
oleh stress ataupun konsumsi makanan dengan bumbu tertentu namun hal ini bisa
saja memperparah keadaan peptic ulcer. (The National Digestive Diseases
Information Clearinghouse (NDDIC), 2004).
2.5.2.1 PatofisiologiPeptic Ulcer
Bakteri penyebab peptic ulcer disebutHelicobacter pylori (H.pylori).H.pylori
melemahkan lapisan pelindung atau mucus pada lambung dan duodenum,
sehingga menyebabkan asam lambung dapat masuk hingga dinding paling dalam
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
45/52
53
lambung dan duodenum. Adanya bakteri dan asam lambung inilah yang
mengiritasi dinding dan menyebabkan rasa pedih dan ulcer. Bakteri H.pylori dapat
bertahan pada asam lambung sebab H.pylori mampu mengeluarkan sekret atau
enzim yang mampu menetralkan asam lambung. Dengan bentuknya yang spiral ia
mampu menembus hingga ke tepi dinding lambung. (The National Digestive
Diseases Information Clearinghouse (NDDIC), oktober 2004).
Penyebab yang lain yaitu, NSAIDs. Dinding lambung sendiri melakukan
proteksi terhadap asam lambung dengan adanya lapisan mukus, dimana
sekresinya diatur oleh prostaglandin. NSAIDs memblok kerja siklooksigenase 1
(cox 1), yang penting pada produksi prostaglandin (Wikipedia, 2007).
Gambar 2.4 Lambung yang Mengalami Ulcer (Adam, 2007)
2.5.3 Tinjauan TentangZollinger Ellison Syndrom
Gastrinomas (Zollinger Ellison Symdrom) merupakan suatu kondisi yang
disebabkan oleh produksi hormon gastrin yang abnormal, dimana adanya tumor
pada pankreas atau usus halus sehingga kadar gastrin menjadi sangat tinggi
(Jenifer et.al,2006).
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
46/52
54
2.5.3.1 PatofisiologiZollinger Ellison Syndrom
Sindrom ini disebabkan oleh tumor yang biasanya ditemukan pada kepala
pankreas dan bagian atas usus besar. Tumor ini memproduksi hormon gastrin
yang sering disebut sebagai gastrinomas. Tingginya kadar gastrin menyebabkan
kelebihan produksi asam lambung. Tingginya kadar asam lambung menyebabkan
timbulnya peradangan pada lambung dan usus. Pasien biasanya mengalami sakit
pada bagian abdominalnya dan mengalami diare. Tumornya bisa tunggal ataupun
multiple tumor. Kira-kira seperempat hingga dua per tiga dari tumor ini adalah
tumor ganas yang dapat menyebar ke liver dan nodus limfe. Untuk terapinya
pilihan untama yang digunakan adalah proton pump inhibitors (omeprasol,
lansoprasol) dimana kelompok obat ini mampu mengurangi produksi asam
lambung serta menghilangkan peradangan pada lambung dan usus. Selain itu juga
dapat menghilangkan abdominal pain dan diare (Jennifer et.al, 2006).
2.6 Tinjauan Tentang Produk Obat Uji Dan Pembanding
Produk obat uji merupakan produk obat yang diuji profil disolusinya serta
dibandingkan dengan produk pembanding yang nantinya akan dilihat kemiripan
data yang didapat. Produk uji yang digunakan adalah obat generik berlogo dan
produk bermerek yang beredar dipasaran, sedangkan sebagai obat pembanding
adalah obat inovator (BPOM, 2004).
2.6.1 Tinjauan Tentang Obat Inovator
Untuk produk obat yang mengandung zat aktif berupa zat kimia baru (new
chemical entity = NCE) dibutuhkan penilaian mengenai efikasi, keamanan dan
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
47/52
55
mutu secara lengkap. NCE ini yang dipatenkan oleh pabrik penemunya disebut
juga obat inovator. Jadi produk inovator merupakan produk obat yang
mengandung bahan aktif yang pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh
pabrik yang memproduksinya sebagai obat setelah mengalami serangkaian
pengujian, termasuk pengujian bioavailabilitas. Sedangkan untuk produk obat
yang merupakan produkcopy hanya dibutuhkan Standar mutu yang antara lain
berupa bioekivalensi dengan produk obat inovator sebagai produk pembanding
(referecte product) yang merupakan baku mutu (BPOM,2004;
www.medicastore.com, 2007)
Produk obat inovator yang telah diberi izin pemasaran di Indonesia
berdasarkan penilaian dossierlengkap yang membuktikan efikasi, keamanan dan
mutu. Hanya jika produk obat inovator tidak dipasarkan di Indonesia atau tidak
lagi dikenali yang mana karena sudah terlalu lama beredar di pasar , maka dapat
digunakan produk obat inovator dariprimary market(negara dimana produsennya
menganggap bahwa efikasi, keamanan, dan kualitas produknya terdokumentasi
paling baik) atau produk yang merupakan market leader yang telah diberi izin
pemasaran di Indonesia dan telah lolos penilaian efikasi, keamanan dan mutu.
Produk obat pembanding yang akan digunakan harus disetujui oleh Badan POM
(BPOM, 2004).
2.6.2 Tinjauan Tentang Produk Generik berlogo dan Produk Bermerek
Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia(IDI) periode 2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi
menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.Obat paten adalah obat yang baru
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
48/52
56
ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis
obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah
20 tahun.
Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di
Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak
diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika
memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.
Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut
sebagai obat generik. Obat generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik
berlogo dan generik bermerek (branded generic). Tidak ada perbedaan zat
berkhasiat antara obat generik bermerek dengan generik berlogo. Hanya berbeda
yang satu diberi logo dan satu lagi diberi merek.
Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah obat
yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan
farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik
bermerek yang lebih umum disebut obat bermerek adalah obat yang diberi merk
dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya. Dr. Marius Widjajarta,
SE, Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI)
mengungkapkan bahwa di Indonesia lebih banyak obat bermerek dibandingkan
obat generik.
Setelah habis masa patennya, obat yang dulunya paten dengan merk
dagangnya pun kemudian masuk ke dalam kelompok obat generik bermerek atau
obat bermerek. Meskipun masa patennya sudah selesai, merek dagang dari obat
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
49/52
57
yang dipasarkan selama 20 tahun pertama tersebut tetap menjadi milik perusahaan
yang dulunya memiliki paten atas obat tersebut.
Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan obat paten yang ditulis oleh media
massa untuk membandingkan dengan obat generik sebenarnya lebih tepat jika
disebut sebagai obat bermerek. Penggunaan istilah obat paten adalah salah
karena patennya sendiri sudah selesai dan tidak berlaku lagi.
Obat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah
yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah
akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu (www.medicastore.com,
2007).
Karena formulasi dan metode manufaktur dari setiap produk obat dapat
mempengaruhi bioavailabilitas serta stabilitasnya, produk generik harus diuji
untuk meyakinkan bahwa produk generik tersebut bioekivalen dan nantinya
memiliki efek terapetik yang sama dengan produk patennya (Shargel et.al, 2005).
2.7 Persyaratan Mutu Tablet
Suatu tablet dikatakan memenuhi persyaratan mutu, apabila telah lulus
beberapa uji tablet yang telah ditentukan, baik itu yang resmi (dari farmakope)
ataupun yang tidak resmi (non farmakope) (DepKesRI,1999).
2.7.1 Persyaratan Resmi
1. Keseragaman Bobot
Diterapkan pada produk yang mengandung zat aktif 50 mg atau lebih yang
merupakan 50% atau lebih dari bobot sediaan. Dilakukan pada 20 tablet dengan
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
50/52
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
51/52
59
6. Friabilitas
Merupakan cara lain untuk mengukur kekuatan tablet. Menggunakan dua
macam alat, yaitu Rolling and Impact Durability Tester, untuk menentukan daya
tahan lama tablet dan Abrasion Tablet Tester untuk menentukan daya tahan gores
tablet.
2.7.2 Persyaratan Uji Tidak Resmi
1. Dimensi
Keseragaman ukuran digunakan untuk tujuan estetika. Dilakukan terhadap 20
tablet dan ditentukan ukuran tebal dan diameter tablet. Syaratnya yaitu diameter
tablet tidak boleh lebih dari 3 kali dan tidak boleh kurang dari 1/3 tebal tablet.
2. Crushing Strength/Hardness
Tablet harus mempunyai kekuatan atau kekerasan tertentu agar dapat bertahan
terhadap berbagai guncangan mekanik pada saat manufacturing, packaging,
shipping. Alat yang digunakan adalahHardness Tester.
7/22/2019 111819600-tinjauan-avaibilitas.pdf
52/52
60