Page 1
1 Universitas Kristen Petra
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Bangunan merupakan simbol dari adanya suatu semangat jaman dalam
kurun waktu tertentu. Keberadaan bangunan membuktikan kemajuan dan
eksistensi sebuah negara, daerah, kota dan atau wilayah terhadap kebudayaan
yang berkembang pada saat itu. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa
keberadaan sebuah bangunan merupakan salah satu bentuk manifestasi terhadap
kebudayaan yang berkembang pada saat itu, sekaligus dapat membuktikan
tingginya nilai sejarah dan budaya suatu bangsa. (Sumalyo, 1995 : 1).
Di dalam sejarah kota Surabaya, kita mengetahui bahwa sejak tahun
1748 Surabaya sudah ada dalam kekuasaan Belanda (V.O.C. pada waktu itu).
Kekuasaan Belanda di Surabaya sejak dulu terkonsentrasi di daerah sebelah barat
Jembatan Merah, seperti di daerah Jl. Rajawali, Jl. Garuda, Jl. Veteran, Jl. Merak
dan sekitarnya. Kekuasaan Pemerintahan kolonial Belanda pada saat itu
mempengaruhi sebagian besar aspek kehidupan masyarakat Surabaya, diantaranya
aspek seni dan filsafat, aspek religi, aspek ekonomi, hingga aspek arsitektur dan
interior bangunan yang berkembang pada saat itu.
Salah satu perwujudan peranan kekuasaan pemerintahan Kolonial
Belanda dalam bidang arsitektur dan interior adalah adanya bangunan-bangunan
kuno berarsitektur dan interior kolonial Belanda di beberapa daerah di Surabaya.
Sebelum tahun 1920an bangunan-bangunan berarsitektur dan interior Kolonial
Belanda terpusat di daerah sebelah barat Jembatan Merah, baru setelah kurun
waktu tahun 1920an pembangunan di daerah Jembatan Merah dikembangkan ke
daerah Jembatan Wonokromo sepanjang 13 Km, sehingga terbentuklah sebuah
kota kecil yang membentang sepanjang daerah Jembatan Merah hingga Jembatan
Wonokromo.
Bentuk arsitektur dan interior yang dijumpai pada bangunan-bangunan
kuno peninggalan jaman penjajahan Belanda ini mempunyai karakteristik yang
berbeda satu dengan lainnya, sesuai dengan jaman pembangunan gedung tersebut.
Page 2
Universitas Kristen Petra
2
Perkembangan arsitektur dan interior Kolonial Belanda di Surabaya dimulai sejak
Daendels memperkenalkan sebuah bentuk arsitektur yang dikenal dengan sebutan
“The Empire Style”. Gaya ini sebenarnya merupakan gaya Neo-Klasik yang
berkembang di Perancis pada saat itu, hal ini dimungkinkan karena Daendels
merupakan bekas Jendral Angkatan Darat Perancis. Puncak kejayaan arsitektur
dan interior Kolonial Belanda di Surabaya berlangsung dalam kurun waktu tahun
1900an-1920-an. Perkembangan ini berlangsung hingga tahun 1930-an dan
berhenti total pada tahun 1940-an, seiring dengan krisis ekonomi yang melanda
dunia pada saat itu. (Handinoto, 1996: 257-260).
Gereja Kristen Indonesia yang mempunyai nama asli De Gereformeerd
kerk merupakan salah satu bangunan yang didirikan pada masa kejayaan
perkembangan arsitektur dan interior Kolonial Belanda di Surabaya. Didirikannya
gereja Gereformeerd ini merupakan perwujudan dari rasa tidak puas beberapa
golongan penganut agama Kristen, karena pada saat itu gereja yang ada berada
dibawah pengaruh pemerintah. Dalam hal ini mereka berpendirian bahwa agama
adalah agama, dan agama tidak dapat diperintah atau dibawah perintah penguasa
yang ada pada saat itu (Goverment). Pendirian tersebut menyebabkan beberapa
golongan agama Kristen tadi memisahkan diri untuk kemudian berusaha
mendirikan tempat peribadahan atau gereja sendiri yang merupakan pecahan dari
gereja-gereja Hervormmd yang berada di bawah pengaruh pemerintah (penguasa
pada saat itu). Jadi pendirian bangunan gereja disebabkan oleh pertentangan
paham yang ingin mengubah atau mengadakan perubahan (formeer), dan
kemudian gereja tersebut mereka namakan Gereformeerd.
Gereja ini mulai dibangun pada tahun 1918 dan selesai dalam kurun
waktu 3 tahun, tepatnya pada bulan Juni 1921. Berdasarkan buku katalog Gereja
GKI: Ut Omnus Unum Sjnt tahun 1987 dapat diketahui bahwa personil yang
terlibat dalam pembangunan gereja ini adalah sebagai berikut:
- Bouher (Pemberi tugas) : golongan agama yang mempunyai paham sendiri
(Protestan).
- Arsitek (Perencana) : BR. Rijksen.
- Annemer (Pemborong) : Lighthelm.
- Konsultan (Penasehat) : Pdt. D.Bakker.
Page 3
Universitas Kristen Petra
3
Keterlambatan penyelesaian pembangunan hingga 3 tahun ini
disebabkan karena adanya kendala pembiaayaan, sehingga pembangunan harus
ditunda selama beberapa bulan. Usaha dari kekurangan dana pembiayaan
pembangunan gereja ini menyebabkan penekanan pembiayaan, sehuingga terjadi
beberapa perubahan pada pembangunan fisik gereja.
Kendatipun mengalami keterlambatan dalam penyelesaian
pembangunan, dapat dikatakan bahwa pembangunan gereja ini dilaksanakan pada
masa dimana arsitektur dan interior Kolonial Belanda di Surabaya mengalami
puncak kejayaannya. Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa
pada kurun waktu setelah tahun 1900-an merupakan saat dimana perkembangan
arsitektur dan interior Kolonial Belanda di Surabaya berada pada puncak
kejayaannya. Banyak arsitek yang mempunyai latar belakang pendidikan
akademis didatangkan dari Belanda ke Surabaya, selain itu bentuk arsitektur dan
interior Kolonial Belanda yang dikembangkan pada saat itu juga merupakan
sebuah bentuk yang spesifik. Bentuk-bentuk yang dikembangkan pada saat itu
merupakan bentuk arsitektur dan interior modern yang berkembang pada saat itu
di Eropa dan Amerika, yang telah disesuaikan dengan iklim tropis basah di
Indonesia pada umumnya dan di Surabaya pada khususnya serta dengan
kebudayaan masyarakat setempat.
Dari bentuk peyesuaian tersebut lahirlah sebuah fenomena unik
bangunan berarsitektur dan interior Kolonial Belanda di Surabaya, dimana terjadi
penyesuaian antara bentuk arsitektur dan interior modern yang berkembang pada
saat itu di Belanda dengan kondisi iklim tropis basah Indonesia dengan kondisi
budaya masyarakat setempat. Fenomena ini tidak dijumpai pada negara Belanda
sendiri, maupun pada negara-negara bekas jajahan Koloni yang lain (Handinoto,
1996: 163).
Bangunan Gereja Kristen Indonesia cabang Pregolan Bunder Surabaya
juga mengalami bentuk penyesuaian tersebut. Beberapa bentuk penyesuaian
diterapkan pada bangunan gereja, antara lain sebagai berikut:
1. Adanya galeri di bagian depan, kiri, dan kanan bangunan gereja. Galeri ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi bangunan dari hujan dan sinar matahari.
Jika jendela-jendela pada ruang dibuka maka galeri tersebut akan melindungi
Page 4
Universitas Kristen Petra
4
bangunan bagian dalam dari pengaruh sinar matahari secara langsung maupun
pengaruh tempias air hujan,
2. Adanya penggunaan ventilasi silang pada sisi kiri dan kanan bangunan gereja
yang berupa deretan pintu krepyak untuk memperlancar sirkulasi udara pada
ruang,
3. Banyak bukaan kecil berbentuk persegi pada bagian atas dinding sebagai
ventilasi masuk dan keluarnya udara (Handinoto, 1996: 259).
Disamping bentuk-bentuk penyesuaian yang telah disebutkan di atas
masih ada beberapa bentuk penyesuaian lain yang menjadi dasar pertimbangan
peneliti dalam menyusun laporan penelitian ini. Permasalahan peran langgam
Kolonial Belanda pada bangunan gereja nantinya akan dibahas pada penelitian ini,
di samping masalah bentuk-bentuk penyesuaian bangunan gereja terhadap kondisi
iklim tropis basah di Indonesia.
1.2. Judul
1.2.1. Judul Karya Tulis
Judul dari karya tulis ini adalah: “Pengaruh Langgam Kolonial Belanda Pada
Desain Interior Gereja Kristen Indonesia Cabang Pregolan Bunder di Surabaya”.
1.2.2. Pengertian Judul Karya Tulis
Pengaruh
Daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut
membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1989: 664).
Langgam
Cara; ragam; model; gaya; adat kebiasaan. (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1982: 560).
Kolonial
Berkenaan atau bertalian dengan sifat-sifat jajahan. (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1982: 516).
Page 5
Universitas Kristen Petra
5
Belanda
Negara kerajaan (negeri) di Eropa Barat yang berbatasan dengan Belgia
dan Jerman Barat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Anton, et al., 1990: 94).
Pada
Merupakan kata perangkai yang searti dengan di (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Anton, et al., 1990: 633).
Interior
Bagian dalam dari gedung (ruang dan sebagainya). (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1989:336).
Bagian dalam dari gedung, tatanan perabot di dalam ruang suatu gedung.
(Depdikbud,1997).
Gereja
Gedung atau rumah tempat berdoa dan melakukan upacara agama
Kristen yang sama kepercayaan, ajaran, dan tata caranya. (Kamus Besar Bahasa
Indonesia edisi 2, Balai Pustaka, 1991).
Bangunan suci yang diperuntukkan bagi ibadat Ilahi dimana kaum
beriman berhak untuk masuk dan melaksanakan ibadat Ilahi, terutama ibadat yang
dilangsungkan secara publik. (Kitab Hukum Kanonik Kar 1214).
Mengandung arti dan fungsi sebagai tempat ibadah dimana umat
beriman berkumpul untuk merayakan misteri keselamatan. (Pastoral Liturgi
Karangan Bosco Cunha O. Carm).
Kristen
Nama agama yang disampaikan oleh Kristus (Nabi Isa). (Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi 2, Balai Pustaka, 1991).
Indonesia
Suatu Negara kepulauan yang terletak antara Benua Asia dan Benua
Australia. (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2, Balai Pustaka, 1991).
Pregolan Bunder
Mengacu pada sebuah daerah di Surabaya Pusat yang berbatasan
langsung dengan daerah jalan Kombes Pol. M. Duryat dan daerah jalan
Kedungsari.
Page 6
Universitas Kristen Petra
6
Surabaya
Ibukota Propinsi Jawa Timur, kota terbesar setelah Jakarta, juga
merupakan pusat pengembangan sentra industri perdagangan, maritim untuk
bagian Indonesia Timur. (Surabaya City Map, 1999:3).
Ibukota sekaligus pusat pemerintahan Propinsi Jawa Timur, merupakan
kota dan pelabuhan terbesar kedua di Indonesia. Kota tua ini terletak di tepian
sungai Brantas (sekarang bernama sungai Kalimas). Di sebelah utara berbatasan
dengan Selat Madura, sebelah utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik, sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Sidoarjo, dan sebelah timur berbatasan dengan Selat Madura. Kota ini
terkenal dengan sebutan kota Pahlawan. Luasnya 2.900.440 km², terbagi dalam
tiga wilayah pembantu walikota dan 19 kecamatan yang mencakup 163 kelurahan
(Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 15, 1991:2).
Jadi berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat ditarik suatu
pengertian bahwa penelitian ini mengkaji tentang adanya dampak atau daya yang
ditimbulkan oleh sebuah cara; ragam; atau karakter spesifik suatu gaya yang
berasal dari negeri di Eropa bernama Belanda, pada bagian dalam sebuah gedung
yang digunakan oleh umat kristiani untuk beribadah dan bertempat di jalan
Pregolan Bunder di Surabaya. Pregolan Bunder sendiri mengacu pada sebuah
nama daerah, yang terdapat di pusat kota ibukota Propinsi Jawa Timur, dimana
daerah tersebut berbatasan langsung dengan daerah Kombes Pol. M. Duryat dan
daerah Kedungsari.
1.3. Rumusan Permasalahan
Masalah yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah
masalah bagaimana pengaruh langgam Kolonial Belanda pada desain interior
bangunan Gereja Kristen Indonesia cabang Pregolan Bunder Surabaya pada saat
ini?
1.4. Ruang Lingkup Permasalahan
Penelitian ini mengambil objek studi bangunan Gereja Kristen Indonesia
yang bertempat di jalan Pregolan Bunder 36, Surabaya. Dalam kompleks
Page 7
Universitas Kristen Petra
7
bangunan Gereja Kristen Indonesia terdapat 3 bangunan utama; yaitu bangunan
gereja itu sendiri, bangunan kantor pengelola dan poliklinik, dan terakhir
bangunan serba guna yang biasanya digunakan untuk kegiatan sekolah minggu
dan pada acara-acara penting seperti acara pernikahan.
Dalam penelitian ini ruang lingkup penelitian dibatasi hanya pada ruang-
ruang yang terdapat pada bangunan gereja saja dan kajian penelitiannya meliputi:
• Tipologi (bentuk dasar) bangunan.
• Organisasi ruang.
• Elemen pembentuk ruang (lantai, dinding, plafon, kolom).
• Elemen transisi (pintu, jendela, ventilasi).
• Elemen pendukung ruang (perabot).
• Elemen estetis.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan antara lain:
• Mengetahui dan memahami pengaruh langgam Kolonial Belanda yang
diterapkan pada desain interior bangunan Gereja Kristen Indonesia cabang
Pregolan Bunder Surabaya.
• Mengetahui bentuk-bentuk penyesuaian arsitektur dan interior Kolonial
Belanda pada interior bangunan Gereja Kristen Indonesia cabang Pregolan
Bunder Surabaya terhadap iklim tropis basah di Surabaya.
1.5.2. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, studi ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan
pemahaman secara mendalam tentang konsep filosofis langgam Kolonial Belanda
yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang interior yang
menggunakan langgam Kolonial Belanda.
Sedangkan secara praktis, studi ini dapat memberikan dokumentasi
gambaran bentuk langgam Kolonial Belanda, dan dengan adanya data serta
dokumentasi tersebut diharapkan dapat memperkaya kajian dalam bidang
keilmuwan desain interior.
Page 8
Universitas Kristen Petra
8
1.6. Kajian Pustaka
1.6.1. Menurut Buku “A History of Interior Design” (Pile, 2000: 154)
Gaya desain Kolonial Belanda adalah gaya desain yang berkembang di
beberapa negara di Eropa dan Amerika. Setelah benua Amerika ditemukan,
motivasi orang-orang Eropa semakin bertambah untuk menemukan daerah-daerah
baru, yang nantinya akan dijadikan daerah jajahan. Motivasi mereka menjelajah
samudra bermacam-macam; ada yang bertujuan untuk berdagang, menyebarkan
ajaran agama, selain untuk berlayar dan sekedar mencari pengalaman.
Gaya desain Kolonial tumbuh dari rasa kerinduan para penguasa, yang
mayoritas adalah orang Eropa akan kampung halamannya. Kerinduan ini
membuat mereka menjajah daerah temuannya untuk mendapatkan harta yang
banyak, dan dengan harta tersebut mereka membangun tempat tinggal sesuai
dengan gaya desain yang berkembang di negara asal mereka. Mereka ingin
menciptakan suatu suasana yang mirip dengan negara asal mereka. Akan tetapi
pada prakteknya, desain yang mereka hasilkan tidak bisa sama persis dengan yang
ada di negara asal mereka, hal ini dikarenakan adanya penyesuaian bangunan
terhadap iklim, material, serta teknik yang ada pada daerah jajahan mereka.
Hasilnya diperoleh suatu gaya bangunan yang telah mengalami modifikasi namun
menyerupai gaya desain di negara mereka (Eropa), yang kemudian dikenal dengan
sebutan Gaya Desain Kolonial.
1.6.2. Menurut buku “Indonesian Heritage: Arsitektur” (2002: 106-125)
Puncak perkembangan arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia ditandai
dengan adanya percampuran antara unsur Indonesia dengan Belanda. Hal ini
disebabkan karena Belanda kurang perhatian untuk memaksakan kebudayaan dan
agamanya kepada penduduk pribumi. Portugis merupakan salah satu contoh
negara yang melakukan pemaksaan budaya dan agama mereka kepada daerah
jajahan timur mereka. Pada prinsipnya perkembangan arsitektur Kolonial Belanda
di Indonesia dibagi menjadi 3 periode, yaitu:
1. Periode tahun 1700-an
Page 9
Universitas Kristen Petra
9
Susunan bentuk dan jenis rumah pada masa ini menunjukkan tata olah
akulturasi dan penyesuaian bertahap dari gaya Kolonial Belanda terhadap iklim
tropis. Ciri arsitektur pada masa ini adalah sebagai berikut:
• Berlantai dua.
• Bagian depan bangunan tertutup, dan didominasi oleh jendela-jendela yang
tinggi dengan daun berkisi.
• Atap yang berpinggul dan lebar.
• Penggunaan kolom-kolom bergaya tuscan.
• Profil atap sangat mirip dengan joglo, yang umumnya dijumpai pada rumah
tradisional bangsawan Jawa.
• Material tradisional yang sering digunakan adalah anyaman bambu.
2. Periode tahun 1800-an
Pada masa ini telah terjadi proses asimilasi antara unsur tradisional
Indonesia dengan unsur budaya Belanda. Bila pada masa sebelumnya masih
terlihat ragu-ragu, maka pada kurun waktu ini gaya desainnya sudah memiliki
konsep yang jelas dan hampir seluruhnya berdasarkan rumah tradisional
bangsawan Jawa. Ciri-ciri arsitektur pada masa ini adalah sebagai berikut:
• Berlantai satu dengan beranda depan dan belakang
• Beratap tinggi dan bersudut meluas sampai menutupi beranda.
• Banyak ditemukan antar beranda yang dihubungkan dengan serambi samping
sebagai penahan sinar matahari dari semua sisi.
• Banyak terdapat lubang-lubang udara.
3. Tahun 1900-an
Rumah perkotaan Kolonial mengalami kedewasaannya pada kurun
waktu ini dengan timbulnya gaya Hindia yang memasukkan kembali unsur tradisi
arsitektur setempat dalam suasana Eropa. Arsitektur gaya Neo-klasik merupakan
gaya arsitektur yang berkembang pesat pada saat itu. Ciri-ciri arsitektur pada masa
ini adalah:
• Plafon dalam skala yang tinggi.
Page 10
Universitas Kristen Petra
10
• Terdapat beranda depan dan beranda belakang yang berhadapan langsung
dengan taman yang luas.
• Unsur tradisional tampak pada penggunaan atap limasan khas tradisional
Jawa.
Setelah Perang Dunia I, banyak arsitek Belanda yang datang ke
Indonesia untuk melakukan pembangunan. Mereka membawa pengaruh arsitektur
Eropa seperti Art Noveau, De Stijl, Art Deco, Ekspresionis, dan sebagainya.
Setelah dasawarsa tahun 1920-an-1930-an berkembang 2 bentuk arsitektur, yang
pertama mengacu pada sebuah bentuk rumah yang kemudian dikenal dengan
istilah Landhuis dan yang kedua mengacu pada bentuk-bentuk geometris, yang
kemudian dikenal dengan arsitektur Modern.
Landhuis mempunyai ciri-ciri satu lantai sederhana, atap genting,
dinding plester, berjendela tinggi yang dibuat dari material kayu jati, plafon dalam
skala yang tinggi, dan dibangun diatas landasan batu. Sedangkan aliran Modern
mempunyai ciri-ciri beratap datar, adanya menara, dan bentuk-bentuk kubus.
1.6.3. Menurut buku “Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda
di Surabaya 1870-1940” (Handinoto, 1996: 131-249)
Dalam bukunya, Handinoto mengungkapkan bahwa kota Surabaya
tumbuh dengan pesat setelah terbentuknya gemeente Surabaya sebagai hasil dari
Undang-Undang Desentralisasi pada tanggal 1 April 1906. Arsitektur di
Surabayapun berkembang pesat setelah tahun 1900 bersamaan dengan kedatangan
arsitek-arsitek berlatar belakang pendidikan akademis dari Belanda. Periodisasi
perkembangan arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya menurut Helen Jessup
(1984) adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1870 – 1900
Bentuk-bentuk arsitektur di Surabaya pada tahun 1870-an dikenal dengan
sebutan The Empire Style atau biasa pula disebut dengan istilah The Dutch
Colonial. Gaya ini dipopulerkan oleh Daendels (1808-1811) yang merupakan
bekas jenderal angkatan darat Perancis. Ciri-ciri dari gaya The Empire Style
adalah sebagai berikut:
• Berdenah simetris.
Page 11
Universitas Kristen Petra
11
• Lebar sempit, tetapi memanjang ke belakang.
• Bangunan terdiri dari 2 lantai, dan ditutup dengan atap perisai.
• Material yang digunakan untuk lantai biasanya marmer.
• Berdinding tebal dan plafon tinggi, sebagai bentuk penyesuaian terhadap
iklim tropis Indonesia.
• Memiliki pintu masuk yang tinggi, yang diapit oleh sepasang atau lebih
jendela krepyak yang besar, yang biasanya terbuat dari kayu jati.
• Memiliki beranda atau serambi depan dan belakang yang terbuka dan luas,
yang di ujungnya terdapat barisan kolom bergaya Yunani, dan pada tengah
ruang biasanya juga terdapat serambi tengah yang menghubungkan ruang
satu dengan ruang lainnya.
2. Sesudah tahun 1900 (1900-1920)
Setelah tahun 1900-an mulai banyak arsitek yang berpendidikan akademis
yang berpraktek di Surabaya, sehingga dunia arsitektur dan interior Kolonial
Belanda di Surabaya mengalami masa kejayaannya. Perkembangan bentuk
arsitektur Kolonial Belanda ini telah diusahakan menyesuaikan dengan
kondisi lingkungan dan iklim Surabaya. Bentuk penyesuaian arsitektur
Kolonial Belanda dengan keadaan iklim tropis basah di Indonesia antara lain
berupa:
• Bentuk bangunan dibuat ramping dan disertai dengan adanya ventilasi-
ventilasi dalam jumlah banyak, yang memungkinkan pertukaran udara
secara maksimal.
• Adanya galeri / koridor keliling sepanjang bangunan. Selain menjadi
penghubung untuk sirkulasi antar ruang-ruang yang ada dalam bangunan,
koridor ini juga berfungsi sebagai pelindung ruang-ruang tersebut dari
sengatan matahari langsung dan tempiasan air hujan pada waktu jendela
dibuka.
• Denah bangunan diusahakan menghadap arah utara-selatan untuk
menghindari sengatan sinar matahari langsung.
• Memiliki galeri keliling atau oversteak.
Page 12
Universitas Kristen Petra
12
• Penggunaan dormer pada bangunan. Dormer adalah sebuah jendela yang
terletak di atap.
• Penggunaan gevel (gable) pada tampak depan bangunan.
• Penggunaan tower pada bangunan.
Selama periode ini, berkembang pula beberapa gaya-gaya lain yang turut
mempengaruhi arsitektur bangunan Kolonial Belanda. Antara lain sebagai
berikut:
a) Art Noveau (1888-1905)
Merupakan gaya yang poluler di Eropa dan pada bangunan di Indonesia
telah diadaptasikan sesuai dengan gaya Belanda dan keadaan iklim tropis
basah di Indonesia. Ciri-ciri Art Noveau antara lain sebagai berikut:
• Anti historis.
• Layout mempunyai bentukan yang simetris.
• Elemen hias yang sering diaplikasikan menggunakan motif tumbuhan,
terinspirasi alam.
• Unsur dekoratif melekat pada elemen struktural bangunan seperti kolom,
railing, tangga, dan lain-lain.
• Penggunaan material kaca warna-warni juga banyak diaplikasikan pada
pintu dan jendela. Kaca warna-warni ini kemudian dikenal dengan nama
stained glass.
• Kolom berbentuk geometris, dengan aplikasi dengan bentukan garis kurva.
• Penggunaan warna-warna pastel.
• Menambahkan elemen tradisional sehingga memberi kesan lokal.
b) Art and Craft (tahun 1900-an)
• Adanya detail-detail interior yang teliti dan di ekspos.
c) Amsterdam school (1915-1930)
Mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut:
• Unsur dekoratif berupa garis-garis vertikal dan bentuk gelombang
(scluptural ornament).
Page 13
Universitas Kristen Petra
13
• Terdapat unsur-unsur pahatan pada kolom, pintu, dan jendela.
• Material yang paling banyak digunakan adalah batu bata, keramik, dan
kayu.
d) De Stijl (1917-1932)
De stijl muncul di Belanda pada tahun 1920-an. Gaya ini sering dikaitkan
dengan aliran kubisme, Ciri-ciri dari gaya ini adalah sebagai berikut:
• Penggunaan bentuk-bentuk yang geometris, seperti kubus.
• Anti naturalis.
3. Sesudah tahun 1920-an
Perkembangan arsitektur dan interior Kolonial Belanda pada masa ini dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu bentuk arsitektur Indisch dengan mengambil dasar
arsitektur tradisional setempat sebagai sumbernya. Yang kedua adalah
arsitektur modern yang mengacu pada perkembangan gaya yang sedang
berkembang pesat di Eropa dan Amerika, akan tetapi disesuaikan dengan
kondisi, teknologi, bahan, dan iklim setempat.
A. Gaya Indo-Eropa (Indo European Style / Indisch)
Bentuk arsitektur dan interior gaya ini merupakan perpaduan antara gaya
serta elemen-elemen tradisional Indonesia dengan arsitektur Kolonial
Belanda. Bentuk arsitektur ini mengambil dasar arsitektur tradisional
setempat sebagai sumbernya. Ciri-ciri dari gaya ini adalah sebagai berikut:
• Elemen dekoratif banyak mengambil dari uliran tradisional setempat,
khususnya ukiran Jawa.
• Terdapat penyesuaian dengan iklim setempat, contohnya terdapatnya
galeri keliling, ventilasi silang, jalusi pada bangunan.
• Berskala tinggi sebagai wujud penyesuaian diri terhadap iklim.
• Menggunakan pilar atau kolom dalam skala yang besar.
B. Gaya Arsitektur Modern
Gaya ini mengacu pada arsitektur modern yang sedang berkembang di
Eropa, tetapi disesuaikan dengan teknologi, bahan dan iklim setempat .
Page 14
Universitas Kristen Petra
14
Gaya arsitektur modern yang mempengaruhi perkembangan pembangunan
di surabaya pada waktu itu adalah gaya Niewe Bouwen. Ciri-cirinya adalah
sebagai berikut:
• Volume bangunan berbentuk kubus.
• Lebih berkesan masif dan kokoh.
• Bentuk bangunan sederhana, karena keterbatasan lahan dan adaptasi
dengan lingkungan setempat.
• Skala yang digunakan lebih manusiawi, tidak terlalu tinggi.
• Detail bangunan diperhatikan, namun anti elemen ornamen.
• Dominan dengan dekorasi prismatic geometric.
• Atap datar, dan penggunaan gevel horizontal.
• Penggunaan warna putih dan warna-warna pastel yang lembut sangat
dominan.
• Penggunaan bahan-bahan hasil industri, antara lain seperti stainless
steel, kaca,beton bertulang, baja, marmer, dan sebagainya.
1.6.4. Menurut sumber elektronik: www.wikipedia.com
1.6.4.1. Art Noveau
Art Noveau secara harafiah berarti “seni yang baru”. Konsep Art Noveau
memang ingin menciptakan gaya yang benar-benar baru pada saat itu, yang belum
ada di era sebelumnya. ciri khas gaya ini adalah pemutusannya dengan segala
referensi historis. Pada gaya ini kualitas benda/fisik diutamakan. Ciri-ciri Art
Noveau antara lain sebagai berikut:
• Anti historis dan cenderung menampilkan gaya-gaya baru yang belum pernah
ada sebelumnya.
• Pemakaian elemen sulur/lekukan garis-garis yang panjang dan melingkar-
lingkar.
• Pemakaian elemen garis vertikal.
• Elemen hias yang sering diaplikasikan pada dinding, pintu, bahkan tekstil
yang digunakan seringkali menggunakan motif tumbuhan, terinspirasi alam.
Bentuk-bentuk organik seperti struktur tulang daun, bentuk kupu-kupu,
capung, floral seperti bunga matahari, bunga lili dan sebagainya. Motif yang
Page 15
Universitas Kristen Petra
15
paling sering digunakan pada saat itu adalah stilasi bunga, bulu merak dan
bentuk hati.
• Railing tangga berbentuk kurva dengan motif akar-akaran, tanaman air dan
lecutan cambuk (sweepslag).
• Penggunaan stained glass.
• Kolom berbentuk geometris, sehingga mudah diaplikasikan dengan bentukan
garis kurva.
• Material yang banyak digunakan adalah besi tempa, kayu, keramik, kaca,
marmer, dan wallpaper.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Nouveau
1.6.4.2. Art Deco (1920-1930)
Art Deco berkembang di Indonesia sekitar tahun 1920-an, yaitu satu
dasawarsa sebelum berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia. Tidak
seperti Art Noveau yang anti historis gaya ini bersifat ekletik. Berikut ini adalah
ciri-ciri gaya Art Deco:
• Pro historis (ekletik).
• Perpaduan antara gaya Art Noveau dan industri, sehingga dihasilkan gaya
yang mirip dengan Art Noveau tetapi lebih sederhana, lebih geometris dan
dipengaruhi oleh kubisme.
• Penggunaan bentuk yang bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis (stepped form).
• Penggunaan bentuk lengkung pada sudut-sudut ruang dan perabotnya.
• Penggunaan material kayu yang di-vernish atau dicat glossy-lacquer.
• Ornamen berupa garis-garis yang sederhana dan simetris. Bentukannya natural
seperti motif zig zag dan segitiga. Elemen yang paling sering digunakan
adalah tiga garis horizontal memanjang.
• Penggunaan kaca-kaca yang digrafir dengan motif-motif geometris ataupun
kaca yang dilapisi enamel. Jarang menggunakan kaca yang diwarna.
• Material yang paling banyak digunakan adalah logam, kaca, cermin, dan kayu.
• Elemen dekoratif yang digunakan kebanyakan berupa sepuhan warna krom.
• Penutup lantai berbahan terrasso.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Deco
Page 16
Universitas Kristen Petra
16
1.6.4.3. Amsterdam school (1915-1930)
Mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut:
• Bentuk bangunan tidak mengikuti karakter bahan.
• Unsur dekoratif berupa garis-garis vertikal dan bentuk gelombang.
• Penggunaan plesteran dekoratif.
• Terdapat unsur-unsur pahatan pada kolom, pintu, dan jendela.
• Material yang paling banyak digunakan adalah batu bata.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Amsterdam School
1.6.4.4. De Stijl (1917-1932)
De stijl mempunyai keunikan berupa kaitannya yang sangat erat dengan
perkembangan seni rupa dan seni grafis (media) di Belanda. Gaya ini sering
dikaitkan dengan aliran kubisme, juga dengan karya dari tokoh pelukis Belanda
bernama Piet Mondrian dan seniman patung bernama Theo Van Doesburg. Dalam
bidang desain interior sendiri desainernya yang terkenal adalah Gerrit Rietveld.
Ciri-ciri dari gaya ini adalah sebagai berikut:
• Penggunaan bentuk-bentuk yang geometris berupa kubus (cubic shape), dan
bentuk-bentuk yang dinamakan constructivist-scluptural form.
• Reduksi elementaris dengan mengekspos elemen dan detail konstruksi.
• Anti naturalis dan bentukan-bentukan yang abstrak.
• Permukaan dinding mulus, tanpa tekstur.
• Penggunaan warna-warna primer seperti merah, kuning, biru, putih, dan
hitam.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/De_Stijl
1.6.5. Menurut buku “Art and Craft” (Turgeon, 1997: 35-37)
Gaya Art and Craft memandang hakikat rumah sebagai tempat orang
berkumpul dan beristirahat dengan keluarga, diluar pekerjaan mereka masing-
masing. Hal ini tampak pada pengaplikasian tungku api perapian pada bagian
ruang keluarga, meskipun pada kenyataannya perapian itu tidak diperlukan.
Perapian ini ditambahkan hanya untuk menimbulkan kesan akrab pada rumah.
Ciri-ciri dari gaya ini adalah sebagai berikut:
Page 17
Universitas Kristen Petra
17
• Banyak memanfaatkan kerajinan / pertukangan kayu dengan finishing warna-
warna yang hangat.
• Cat dinding ataupun wallpaper yang digunakan cenderung berwarna gelap,
mengambil warna-warna alami tanah.
• Pemberian perapian pada rumah untuk memberikan suasana akrab.
• Penggunaan perabot, rak, almari yang built-in.
• Pintu kayu menggunakan engsel besi. Letak pintu biasanya agak masuk dari
batas teras.
1.6.6. Menurut buku “Art Noveau” (Fitzgerald, 1997: 15-85)
Art Noveau sangat sulit didefinisikan karena gaya ini tersusun dari
banyak gaya lain yang berbeda-beda. Art Noveau mencerminkan sebuah
kepribadian dan ekspresi seseorang, oleh karena itu ada banyak versi mengenai
gaya ini sesuai dengan pandangan dan kepribadian penciptanya. Pada intinya gaya
ini menghadirkan hal yang lama dan mencobanya untuk menampilkan hal tersebut
secara baru. Adapun ciri dari gaya ini adalah sebagai berikut:
• Biasanya menggambarkan keadaan lingkungan sekitarnya lewat permainan
garis dan motif.
• Bentukan yang dihasilkan kebanyakan merupakan pola dinamis tumbuhan
seperti pola cambukan dan spiral, bentukan lurus juga dikomposisikan
bersamaan dan saling melengkapi.
• Pola yang biasanya digunakan sebagai acuan bentuk adalah pola bunga,
tumbuhan, burung, dan pola tubuh wanita. Selain itu musik dan tarian juga
menjadi inspirasi dalam pengolahan bentuk dalam gaya ini, hal ini diwujudkan
dengan hadirnya bentukan alat-alat musik dan dinamisme tarian dalam
pengolahan motif. Pola-pola inilah yang menjadi inspirasi dalam gaya Art
Noveau, akan tetapi kebanyakan pola-pola tersebut dibuat menjadi lebih
abstrak.
• Kaya tekstur, dan tekstur ini membentuk pola yang simetris. Contoh, tekstur
yang dibentuk dari batu bata.
• Material yang sering dijumpai dalam arsitektur dan interior bergaya Art
Noveau adalah batu bata, besi, kaca patri, emas, perunggu, wall paper.
Page 18
Universitas Kristen Petra
18
• Material lantai yang sering diaplikasikan adalah marmer dan karpet.
• Material untuk perabot yang paling sering digunakan adalah kayu yang
difinishing transparan untuk menampilkan struktur organik kayu. Kebanyakan
perabot bergaya Art Noveau terlihat bersih dan baru.
• Elemen dekoratif yang paling banyak dijumpai dalam gaya art noveau adalah
lampu hias dari bahan besi yang difinishing emas atau silver, yang
dikombinasikan dengan material kaca. Selain itu juga dijumpai elemen
dekoratif lain seperti vas bunga, mangkuk, tempat lilin, dan patung-patung
kecil.
1.6.7. Menurut buku “Art Deco” (Kim, 1997: 17-80)
Art Deco adalah sebuah langgam gaya yag unik, yang menggabungkan
berbagai roh dan energi dalam kurun waktu permulaan abad ke-20. Bangunan
bergaya Art Deco menekankan unsur geometris, kestabilan, kecepatan dan
kesempurnaan. Gaya ini berkembang pada kurun waktu tahun 1920-an dan 1930-
an. Ciri dari gaya desain ini adalah sebagai berikut:
• Mengkombinasikan material tradisional dengan teknologi.
• Material yang umumnya digunakan adalah stainless steel, alumunium, glass
block, batu gamping, teraso, marmer, dan terakota.
• Patra yang sering muncul adalah perulangan bentuk garis lurus dan zig zag.
• Motif matahari, bunga, bentuk orang dan hewan dari jaman mesir kuno sering
diaplikasikan. Bentuk awan dan motif hewan seperti rusa, kambing, kuda,
harimau juga sering muncul. Bentukan hewan tersebut melambangkan gaya
Art Deco yang eksotis, cepat, namun halus dan rapi (Kim 1997:67).
• Penggunaan warna-warna pastel yang lembut, dan warna khas dari gaya
desain ini adalah ivory.
• Ciri khas lain yang sering muncul pada gaya ini penggunaan warna-warna
kontras, seperti hitam-putih baik pada elemen ruang, maupun pada perabot
dan elemen dekoratifnya,.
• Material interior yang sering diaplikasikan adalah kayu, khususnya lantai
parket.
Page 19
Universitas Kristen Petra
19
• Ruang yang bergaya Art Deco kebanyakan bernuansa hangat, baik dari warna
ruang dan perabotnya, maupun pemilihan sarana pencahayaan ruangnya.
• Detail ruang kebanyakan berupa bentuk yang dibulatkan, penekanan pada
bentukan geometris, desain yang gagah dan kokoh.
• Finishing perabot yang sering diaplikasikan adalah vernish, cat deco, silver,
krom, dan gold.
1.6.8. Menurut buku “De Stijl” (Overy, 1991: 8-200)
Merupakan sebuah gaya desain yang berkembang di Belanda pada kurun
waktu tahun 1917-an. Gaya ini melakukan perubahan bentuk-bentuk tradisional
ke dalam pola bentuk dasar yang lebih sederhana. De Stijl memadukan beberapa
elemen terpisah menjadi suatu bentuk yang tidak umum (tidak lazim). Seringkali
gaya desain ini memadukan bentuk-bentuk geometris menjadi sebuah komposisi
asimetris yang ekstrim, unik, namun menyatu. Ciri-ciri dari gaya desain ini
adalah:
• Memadukan unsur-unsur geometris secara vertikal dan horisontal, termasuk
unsur zig-zag, sehingga tercipta sebuah komposisi yang menyatu.
• Mempunyai banyak jendela pada bangunannya. De Stijl memandang jendela
sebagai unsur pembatas sekaligus penyatu antara unsur eksterior dan interior,
unsur privat dan unsur umum.
• Menggambarkan bentuk-bentuk interior yang akan datang (future).
• Produksi perabot dan elemen-elemen interior secara masal, dalam jumlah
banyak, sehingga bentukan yang dihasilkan lebih sederhana dan fungsional.
• Konstruksi yang diterapkan pada sambungan perabot sangat sederhana,
biasanya hanya menggunakan sekrup atau steel nuts; praktis, ekonomis, kuat,
dan sangat memungkinkan untuk dilakukan secara masal.
• Kolaborasi warna untuk eksterior dan interior bangunan biasanya didominasi
oleh warna-warna netral seperti hitam, putih, abu-abu muda, dan diberi aksen
warna-warna primer seperti merah, kuning, dan biru. Sering pula diaplikasikan
penggunaan warna-warna komplementer kedua seperti hijau, orange, dan
ungu.
Page 20
Universitas Kristen Petra
20
• Dalam bidang arsitektur bangunan dengan gaya ini lazimnya berbentuk
geometris, namun asimetris dengan atap yang rata dan umumnya bertingkat.
• Material yang biasa diaplikasikan adalah kayu, batu bata dan kaca, utamnya
kaca grafir (stained glass). Stained Glass mempunyai komposisi dari bentuk-
bentuk geometris yang didominasi oleh warna-warna primer seperti merah,
biru dan kuning.
Gaya De Stijl merupakan dasar perkembangan gaya Internasional, yang
dikenal dunia pada pertengahan yahun 1920-an. Setiap negara mengenal gaya
Internasional ini, dan mereka mempunyai istilah masing-masing untuk menyebut
gaya ini. Di Belanda aliran gaya desain ini dikenal dengan sebutan “Nieuwe
Bouwen” (New Building) (Overy, 1991: 135).
1.6.9. Menurut sumber elektronik : www.arsitekturindis.com
Pada mulanya bangunan orang-orang Belanda di Indonesia khususnya di
Jawa, bertolak dari arsitektur kolonial yang dikembangkan di Eropa. Setelah tahun
1920-an dikembangkan suatu bentuk gaya desain yang disebut dengan gaya
desain indhis, tepatnya Indische Woonhuizen atau “rumah tinggal gaya Indis atau
Hindia Timur". Sebutan Indhis berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia
Belanda dalam bahasa Indonesia. Arsitektur indhis merupakan hasil percampuran
atau asimilasi dari unsur-unsur budaya Barat, terutama Belanda dengan budaya
tradisional setempat, khususnya budaya Jawa. Ciri-ciri dari arsitektur ini adalah
sebagai berikut:
• Bangunan berdinding bata dan berdiri langsung di atas tanah, tidak seperti
rumah-rumah di Indonesia pada saat itu yang umumnya didirikan dengan
konstruksi panggung. Gaya mendirikan bangunan ini lazim dipraktekkan di
Eropa yang mempunyai empat musim.
• Bangunan dibagi-bagi menjadi beberapa ruangan tanpa selasar, dan umumnya
berlantai dua.
• Terdapat serambi depan dan serambi belakang untuk melindungi bangunan
dari sengatan panas matahari, sekaligus sebagai tempat angin dapat mengalir
dengan bebas.
Page 21
Universitas Kristen Petra
21
Bentuk rumah bergaya Indhis sepintas tampak seperti bangunan
tradisional dengan atap berbentuk joglo limasan, pengaruh budaya Barat terlihat
pada pilar-pilar besar besar ala Yunani dan Romawi. Lampu-lampu gantung
dipasang pada serambi depan dan pintu terletak tepat di tengah diapit dengan
jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanannya. Arsitektur Indis sebagai
manifestasi dari nilai-nilai budaya yang berlaku pada zaman itu ditampilkan lewat
kualitas bahan, dimensi ruang yang besar, gemerlapnya cahaya, pemilihan
perabot, dan seni ukir kualitas tinggi sebagai penghias gedung
Dari segi politis, pengertian arsitektur Indhis juga dimaksud untuk
membedakan dengan bangunan tradisional yang lebih dahulu telah eksis, bahkan
oleh Pemerintah Belanda bentuk bangunan Indhis dikukuhkan sebagai gaya yang
harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran penguasa saat
itu
Pemerintah kolonial Belanda menjadikan arsitektur Indhis sebagai
standar dalam pembangunan gedung-gedung baik milik pemerintah maupun
swasta. Bentuk tersebut ditiru oleh mereka yang berkecukupan terutama para
pedagang dari etnis tertentu dengan harapan agar memperoleh kesan pada status
sosial yang sama dengan para penguasa dan priayi.
1.6.10. Menurut Buku “Kompendium Sejarah Arsitektur” (Sumintardja,
1978: 113-148)
Ciri-ciri dari landhuizen adalah sebagai berikut:
• Adanya serambi depan yang cukup luas, seakan-akan seperti pendapa, dengan
tiang-tiang Eropa di bagian depannya.
• Bangunan tidak terlalu lebar, tetapi sangat panjang.
• Adanya sebuah gang yang samping kanan dan kirinya adalah kamar tidur.
• Pada mulanya selalu dibangun dengan 2 tingkat, tetapi karena pertimbangan
adanya gempa kemudian dibangun hanya satu tingkat. Setelah persoalan
keterbatasan lahan dan harga tanah yang semakin mahal kemudian kembali
dibangun dengan 2 tingkat.
• Bentuk yang khas adalah bagian pintu depan rumah yang selalu terbagi
menjadi dua bagian; terpotong di bagian tengah.
Page 22
Universitas Kristen Petra
22
• Adanya imitasi cerobong asap yang menonjol di bagian pinggir atap.
• Tanpa halaman, berjejer padat seperti di negri Belanda sendiri. Dikemudian
hari rumah-rumah tipe ini menjadi ciri rumah dan toko orang Cina di
Indonesia.
1.6.11. Menurut buku “Java Style” (Sosrowardoyo, 1997: 72-95)
Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia dapat dikatakan sebagai aliran
Hybrid, dimana terjadi proses penyesuaian di antara dua budaya yaitu budaya
Belanda dan budaya tradisional Indonesia. Ciri arsitektur kolonial di Indonesia
adalah sebagai berikut:
• Adanya beranda yang ditopang oleh pilar bergaya klasik.
• Lantai yang dilapisi bahan marmer dan terakota.
• Plafon berukuran tinggi.
• Dinding beton plesteran yang biasa pula dilapisi dengan anyaman bambu.
• Atap yang lebar menutupi hingga ke bagian beranda.
• Dimensi bangunan dalam ukuran yang tinggi, sehingga bangunan dalam
berkesan kokoh dan terang.
• Pintu masuk berukuran besar dan tinggi yang diapit oleh jendela pada sisi kiri
dan kanannya, yang juga berukuran tinggi.
• Terdapat galeri tengah yang merupakan pusat bangunan.
• Perabot terbuat dari kayu dan rotan, bergaya Neo-klasik dan mayoritas terbuat
dari bahan kayu ebony.
• Dalam pembangunan rumah mengutamakan orientasi arah utara-selatan
sehingga terhindar dari pengaruh matahari pagi dan sore.
• Terdapat banyak lubang pada dinding sebagai ventilasi pada ruang.
• Penggunaan kaca grafir dan ukiran bermotif gaya Art Noveau.
1.6.12. Ringkasan Kajian Pustaka
Ringkasan kajian pustaka ini berisi tentang inti mengenai sejarah
perkembangan langgam desain Kolonial Belanda di Indonesia pada umumnya dan
di Surabaya pada khususnya. Untuk mempermudah dalam mempersepsikan
langgam desain tersebut, kesimpulan kajian pustaka akan disajikan dalam bentuk
Page 23
Universitas Kristen Petra
23
tabel. Tabel-tabel ini berisi tentang pernyataan mengenai karakteristik langgam
desain Kolonial Belanda yang berkembang di Indonesia pada umumnya dan di
Surabaya pada khususnya, disertai dengan gambar-gambar yang mendukung
pernyataan tersebut sehingga dapat diharapkan dapat mempermudah pembaca
dalam mempersepsikannya.
Page 24
Universitas Kristen Petra
24
Tabel 1.1. Ringkasan Kajian Pustaka 1. Periode Tahun 1870-1900
Gaya yang berkembang pada kurun waktu ini dikenal
dengan sebutan The Dutch Colonial. Merupakan arsitektur
yang mengadopsi bentukan Neo-Klasik. Ciri-ciri dari langgam
Kolonial Belanda pada masa ini adalah sebagai berikut:
• Berdenah simetris.
• Lebar sempit, tetapi memanjang ke belakang.
• Bangunan terdiri dari 2 lantai, dan ditutup dengan atap
perisai atau limasan bergaya Jawa.
• Lantai biasanya terbuat dari bahan marmer.
• Berdinding tebal dan plafon tinggi, sebagai bentuk
penyesuaian terhadap iklim tropis Indonesia.
• Memiliki pintu masuk yang tinggi, yang diapit oleh
sepasang atau lebih jendela krepyak yang besar, terbuat
dari kayu jati.
Gambar 1.1. Bangunan Bergaya Neo Klasik yang
dikembangkan di Indonesia Pada Pertengahan Abad ke 18. (Sumber: Tim Penyusun, 2002: 110)
Page 25
Universitas Kristen Petra
25
2. Periode Setelah Tahun 1900 (1900-1920)
Pada Periode ini, langgam Kolonial Belanda di
Surabaya mengalami puncak kejayaannya, dimana banyak
arsitek berpendidikan akademis yang didatangkan ke Surabaya,
selain itu bentuk arsitektur dan interior yang dikembangkan
juga sudah spesifik, disesuaikan dengan kondisi iklim dan
budaya setempat. Ciri-ciri dari langgam Kolonial Belanda pada
masa ini adalah sebagai berikut:
• Layout simetris dan diusahakan menghadap arah utara-
selatan untuk menghindari sengatan sinar matahari
langsung.
• Bentuk bangunan dibuat ramping dan memiliki galeri /
koridor keliling sepanjang bangunan yang selain menjadi
penghubung untuk sirkulasi antar ruang-ruang yang ada
dalam bangunan, juga berfungsi sebagai pelindung ruang-
ruang tersebut dari sengatan matahari langsung dan
tempiasan air hujan pada waktu jendela dibuka.
Gambar 1.2. Berbagai Macam Bentuk Dormer
(Sumber: Handinoto, 1996: 176)
Gambar 1.3. Berbagai Macam Bentuk Gavel
(Sumber: Handinoto, 1996: 167)
Page 26
Universitas Kristen Petra
26
Selain itu sering pula dijumpai galeri tengah yang
merupakan pusat bangunan.
• Ventilasi dalam jumlah banyak yang memungkinkan
pertukaran udara secara maksimal.
• Penggunaan dormer pada bangunan. Dormer adalah sebuah
jendela yang terletak di atap.
• Penggunaan gevel (gable) pada tampak depan bangunan.
• Penggunaan tower pada bangunan.
• Perabot terbuat dari kayu dan rotan, bergaya Neo-klasik
dan mayoritas terbuat dari bahan kayu eboni.
Gambar 1.4. Serambi dan Pilar Bergaya Eropa Pada Bangunan
Kolonial di Indonesia (Sumber: Sosrowardoyo, 1997: 90)
Gambar 1.5. Plengkung Bergaya Yunani dan Galeri Tengah
Bangunan Kolonial di Indonesia. (Sumber: Sosrowardoyo, 1997: 90)
Page 27
Universitas Kristen Petra
27
Selama periode ini, berkembang pula beberapa gaya-
gaya lain yang turut mempengaruhi arsitektur bangunan
Kolonial Belanda. Antara lain sebagai berikut:
a. Art Noveau
Ciri-ciri Art Noveau antara lain sebagai berikut:
• Anti Historis dan cenderung menampilkan gaya-gaya
baru yang belum pernah ada sebelumnya.
• Kolom berbentuk geometris, dengan aplikasi dengan
bentukan garis kurva
• Unsur dekoratif melekat pada elemen struktural
bangunan seperti kolom, railing tangga, dan lain-lain.
• Penggunaan stained glass.
• Material lantai yang sering diaplikasikan adalah
marmer dan karpet.
• Material untuk perabot yang paling sering digunakan
adalah kayu yang di-finishing transparan untuk
menampilkan struktur organik kayu.
Gambar 1.6. Kursi Dari Bahan Rotan dan Kayu
Khas Kolonial Belanda. (Sumber: Sosrowardoyo, 1997: 90)
Gambar 1.7. Interior Ruang Dengan Gaya Desain Art Noveau.
(Sumber: Fitzgerald, 1997: 13)
Page 28
Universitas Kristen Petra
28
• Material lain yang juga banyak digunakan adalah besi
tempa, keramik, kaca, batu bata, finishing emas,
perunggu, dan wall paper.
• Elemen hias yang sering diaplikasikan menggunakan
motif tumbuhan, terinspirasi alam. Bentuk-bentuk
organik seperti struktur tulang daun, bentuk kupu-kupu,
capung, floral seperti bunga matahari, bunga lili dan
sebagainya. Motif yang paling sering digunakan pada
saat itu adalah stilasi bunga, bulu merak dan bentuk
hati. Selain itu pola tubuh wanita, musik, dan tarian
juga sering diaplikasikan.
• Penggunaan warna-warna pastel.
• Menambahkan elemen tradisional sehingga memberi
kesan lokal.
• Kaya tekstur, dan tekstur ini membentuk pola yang
simetris. Contoh, tekstur yang dibentuk dari batu bata.
• Elemen dekoratif yang paling banyak dijumpai dalam
gaya art noveau adalah lampu hias dari bahan besi yang
Gambar 1.8. Kaca Patri Motif Floral Khas Art Noveau.
(Sumber: Fitzgerald, 1997: 38)
Gambar 1.9. Detail Bangunan Motif Floral Khas Art Noveau.
(Sumber: Fitzgerald, 1997: 31)
Page 29
Universitas Kristen Petra
29
di-finishing emas atau silver, yang dikombinasikan
dengan material kaca.
b. Art Deco
Tidak seperti Art Noveau yang anti historis gaya ini
bersifat ekletik. Berikut ini adalah ciri-ciri gaya Art Deco:
• Pro historis (ekletik).
• Mengkombinasikan material tradisional dengan
teknologi, sehingga dihasilkan suatu bentukan yang
menyerupai art noveau tetapi lebih terlihat geometris.
• Detail ruang kebanyakan berupa bentuk yang
dibulatkan, penekanan pada bentukan geometris, desain
yang gagah dan kokoh.
• Penggunaan bentuk yang bertingkat-tingkat atau
berlapis-lapis (stepped form).
• Material lantai yang umumnya digunakan adalah parket
dan karpet, selain itu juga digunakan material teraso,
marmer, dan terakota.
Gambar 1.10. Interior Bergaya Art Deco.
(Sumber: Kim, 1997: 58)
Gambar 1.11. Motif Ukiran Bernuansa Mesir Khas Art Deco.
(Sumber: Kim, 1997: 26)
Page 30
Universitas Kristen Petra
30
• Material yang paling banyak digunakan adalah logam,
kaca, kayu, cermin, stainless steel, alumunium, glass
block, dan batu gamping.
• Finishing perabot yang sering diaplikasikan adalah
vernish, cat deco, silver, krom, dan gold.
• Patra yang sering muncul adalah perulangan bentuk
garis lurus dan zig zag. Selain itu motif matahari,
bunga, bentuk orang dan hewan dari jaman mesir kuno
sering diaplikasikan.
• Penggunaan warna-warna pastel yang lembut, dan
warna khas dari gaya desain ini adalah ivory.
• Penggunaan kaca-kaca yang digrafir dengan motif-
motif geometris ataupun kaca yang dilapisi enamel.
Jarang menggunakan kaca yang diwarna.
Gambar 1.12. Motif Matahari Bergaya Desain Art Deco.
(Sumber: Kim, 1997: 21)
Page 31
Universitas Kristen Petra
31
c. De Stijl
De stijl muncul di Belanda pada tahun 1920-an. Gaya ini
sering dikaitkan dengan aliran kubisme, memadukan
bentuk-bentuk geometris menjadi sebuah komposisi
asimetris yang ekstrim, unik, namun menyatu. Gaya De
Stijl merupakan dasar perkembangan gaya Internasional,
yang dikenal dunia pada pertengahan tahun 1920-an. Ciri-
ciri dari gaya ini adalah sebagai berikut:
• Penggunaan bentuk-bentuk yang geometris berupa
kubus (cubic shape), dan bentuk-bentuk yang
dinamakan constructivist-scluptural form.
• Reduksi elementaris dengan mengekspos elemen dan
detail konstruksi.
• Anti naturalis dan bentukan-bentukan yang abstrak.
• Permukaan dinding mulus, tanpa tekstur.
• Dalam bidang arsitektur bangunan dengan gaya ini
lazimnya berbentuk geometris, namun asimetris dengan
atap yang rata dan umumnya bertingkat.
Gambar 1.13. Bangunan Bergaya Desain De Stijl.
(Sumber: Overy, 1991: 91)
Gambar 1.14. Interior Bergaya Desain De Stijl.
(Sumber: Overy, 1991: 122)
Page 32
Universitas Kristen Petra
32
• Mempunyai banyak jendela pada bangunannya
• Produksi perabot dan elemen-elemen interior secara
masal, dalam jumlah banyak, sehingga bentukan yang
dihasilkan lebih sederhana dan fungsional.
• Konstruksi perabot sangat sederhana, biasanya hanya
menggunakan sekrup atau steel nuts.
• Warna untuk eksterior dan interior bangunan biasanya
didominasi oleh warna-warna netral seperti hitam,
putih, abu-abu muda, dan diberi aksen warna-warna
primer seperti merah, kuning, dan biru. Sering pula
diaplikasikan penggunaan warna-warna komplementer
kedua seperti hijau, orange, dan ungu.
• Material yang biasa diaplikasikan adalah kayu, batu
bata dan kaca, utamnya kaca grafir (stained glass).
Stained Glass mempunyai komposisi dari bentuk-
bentuk geometris yang didominasi oleh warna-warna
primer seperti merah, biru dan kuning.
Gambar 1.15. Kaca Grafir Geometris Bergaya De Stijl.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/De_Stijl
Page 33
Universitas Kristen Petra
33
d. Art and Craft
Gaya Art and Craft memandang hakikat rumah sebagai
tempat orang berkumpul dan beristirahat dengan keluarga,
diluar pekerjaan mereka masing-masing, oleh karena itulah
dalam desain sebuah ruang keluarga gaya ini seringkali
mengaplikasikan penggunaan tungku perapian, meskipun
tidak diperlukan.
Ciri-ciri dari gaya ini adalah sebagai berikut:
• Banyak memanfaatkan kerajinan / pertukangan kayu
dengan finishing warna-warna yang hangat.
• Cat dinding ataupun wallpaper yang digunakan
cenderung berwarna gelap, mengambil warna-warna
alami tanah.
• Pemberian perapian pada rumah untuk memberikan
suasana akrab.
• Penggunaan perabot, rak, almari yang built-in.
• Pintu kayu menggunakan engsel besi. Letak pintu
biasanya agak masuk dari batas teras.
Gambar 1.16. Bangunan Rumah Bergaya Desain Art & Craft.
(Sumber: Turgeon, 1997: 17)
Gambar 1.17. Interior Ruang Bergaya Desain Art & Craft.
(Sumber: Turgeon, 1997: 58)
Page 34
Universitas Kristen Petra
34
• Diperhatikannya detail-detail interior dan di ekspos.
e. Amsterdam School
Mempunyai ciri-ciri antara lain sebagai berikut:
• Unsur dekoratif berupa garis-garis vertikal dan bentuk
gelombang (scluptural ornament).
• Terdapat unsur-unsur pahatan pada kolom, pintu, dan
jendela.
• Material yang paling banyak digunakan adalah batu
bata, keramik, dan kayu.
• Bentuk bangunan tidak mengikuti karakter bahan.
• Penggunaan plesteran dekoratif.
Gambar 1.18. Bangunan Bergaya The Amsterdam School
(Sumber: Handinoto, 1996: 160.
3. Periode setelah tahun 1920-an
Perkembangan arsitektur dan interior Kolonial Belanda
pada masa ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bentuk
arsitektur Indisch dengan mengambil dasar arsitektur
Page 35
Universitas Kristen Petra
35
tradisional setempat sebagai sumbernya. Yang kedua
adalah arsitektur modern yang mengacu pada
perkembangan gaya yang sedang berkembang pesat di
Eropa dan Amerika, akan tetapi disesuaikan dengan
kondisi, teknologi, bahan, dan iklim setempat.
Gaya Indisch atau Landhuis.
Ciri-ciri dari gaya ini adalah sebagai berikut:
• Bangunan berdinding bata dan berdiri langsung di atas
tanah, beratap genting, dinding plester, berjendela
tinggi yang dibuat dari material kayu jati, plafon dalam
skala yang tinggi, dan dibangun diatas landasan batu.
• Bangunan tidak terlalu lebar, tetapi sangat panjang.
• Bangunan dibagi-bagi menjadi beberapa ruangan tanpa
selasar, dan dibangun dengan 2 tingkat.
• Plafon berukuran tinggi.
• Elemen dekoratif banyak mengambil dari ukiran
tradisional setempat, khususnya ukiran Jawa.
Gambar 1.19. Rumah Landhuis Yang Berkembang di
Indonesia Tahun 1920-an (Sumber: Tim Penyusun, 2002: 111)
Gambar 1.20. Bentuk Main Entrance Rumah Landhuis
(Sumber: Sosrowardoyo, 1997: 112)
Page 36
Universitas Kristen Petra
36
• Terdapat penyesuaian dengan iklim setempat,
contohnya terdapatnya galeri keliling (serambi),
berskala tinggi , adanya ventilasi silang, dan jalusi
(jendela krepyak) pada bangunan.
• Bentuk yang khas adalah bagian pintu depan rumah
yang selalu terbagi menjadi dua bagian; terpotong di
bagian tengah.
Bentuk rumah bergaya Landhuis sepintas tampak seperti
bangunan tradisional dengan atap berbentuk joglo limasan,
pengaruh budaya Barat terlihat pada pilar-pilar besar besar
ala Yunani dan Romawi. Lampu-lampu gantung dipasang
pada serambi depan dan pintu terletak tepat di tengah diapit
dengan jendela-jendela besar pada sisi kiri dan kanannya
Gaya Arsitektur Modern
Gaya ini mengacu pada arsitektur modern yang sedang
berkembang di Eropa, tetapi disesuaikan dengan teknologi,
bahan dan iklim setempat.
Gambar 1.21. Deretan Jendela Krepyak Pada Rumah Landhuis.
(Sumber: Sosrowardoyo, 1997: 128)
Gambar 1.22. Bangunan Modern Yang Berkembang di
Surabaya Tahun 1920-an. (Sumber: Handinoto, 1996: 220)
Page 37
Universitas Kristen Petra
37
Setiap negara mengenal gaya Internasional ini, mereka
mempunyai istilah masing-masing untuk menyebut gaya
ini. Di Belanda aliran gaya desain ini dikenal dengan
sebutan “Nieuwe Bouwen” (New Building) (Overy, 1991:
135). Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
• Volume bangunan berbentuk kubus, Lebih berkesan
masif dan kokoh.
• Bentuk bangunan sederhana, karena keterbatasan lahan
dan adaptasi dengan lingkungan setempat.
• Skala bangunan lebih manusiawi, tidak terlalu tinggi.
• Detail bangunan diperhatikan, namun anti ornamen.
• Dominan dengan dekorasi prismatic geometric.
• Atap datar, dan penggunaan gevel horizontal.
• Penggunaan warna putih dan warna-warna pastel yang
lembut sangat dominan.
• Penggunaan bahan-bahan hasil industri, seperti
stainless steel, kaca, beton bertulang, baja, marmer, dan
sebagainya.
Gambar 1.23. Bangunan Modern Yang Berkembang di Surabaya Tahun 1920-an.
(Sumber: Sosrowardoyo, 1997: 134)
Page 38
Universitas Kristen Petra
38
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan
untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena tertentu, yaitu menjabarkan
fenomena gaya desain Kolonial Belanda yang terdapat pada bangunan Gereja
Kristen Indonesia cabang Pregolan Bunder Surabaya. Dilihat dari jenis
penelitiannya, penelitian ini berupa penelitian studi kasus. Penelitian ini
mempelajari secara khusus karakter gaya desain Kolonial Belanda pada interior
bangunan Gereja Kristen Indonesia cabang Pregolan Bunder Surabaya. Tujuan
dari studi kasus ini adalah untuk memberikan gambaran secara detail mengenai
gaya desain Kolonial Belanda pada interior bangunan Gereja Kristen Indonesia
cabang Pregolan Bunder Surabaya, kemudian karakter-karakter tersebut
dirangkum menjadi suatu hal yang bersifat umum.
Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penyusunan karya
tulis ini adalah metode pendekatan kualitatif, yaitu suatu metode pendekatan yang
biasanya digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan tentang ciri-ciri
fenomena dengan tujuan mendeskripsikan dan memahami fenomena dari sudut
yang relevan dengan objek yang diteliti (Leedy, 1997: 104). Penelitian kualitatif
bersifat holistik artinya memandang berbagai masalah selalu dalam kesatuannya,
tidak terlepas dari kondisi yang lain yang menyatu dalam suatu konteks sehingga
suatu bagian memiliki arti secara lengkap bilamana kondisi dan posisinya
dikaitkan dengan kesatuannya (Sutopo, 2002: 41). Proses analisis pada penelitian
kualitatif dilakukan di lapangan bersamaan dengan proses pengumpulan data.
1.7.1. Teknik Sampling
Populasi adalah kumpulan orang, benda, ataupun tempat atau dengan
kata lain populasi adalah kumpulan pengukuran atau data pengamatan yang
dilakukan terhadap orang atau benda atau tempat (Wahana Computer, 2003: 9).
Populasi berkenaan dengan data, bukan dengan orangnya atau bendanya (Nazir,
1988: 327). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh aspek interior Gereja
Kristen Indonesia Cabang Pregolan Bunder Surabaya. Aspek-aspek tersebut
meliputi aspek tipologi (bentuk dasar) bangunan, organisasi ruang, elemen
Page 39
Universitas Kristen Petra
39
pembentuk ruang (lantai, dinding, plafon, kolom), elemen transisi (pintu, jendela,
ventilasi), elemen pendukung ruang (perabot), dan elemen estetis interior gereja.
Keterangan mengenai populasi dapat dikumpulkan dengan dua cara.
Cara pertama menghitung dan menjabarkan setiap unit yang terdapat dalam
populasi tersebut. Cara ini disebut sensus atau somplete enumeration. Cara kedua
menghitung dan menjabarkan sebagian unit dari populasi saja, unit tersebut
merupakan wakil dari populasi secara keseluruhan. Teknik ini dinamakan survey
sample atau sample enumeration (Nazir, 1988: 325).
Dalam penelitian ini yang menjadi populasinya adalah seluruh unit yang
terdapat dalam interior bangunan gereja, sehingga dapat dikatakan bahwa
penelitian ini menggunakan metode sensus atau somplete enumeration.
1.7.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data pada karya tulis ini dilakukan dengan beberapa
metode seperti berikut:
• Survey data-data literatur yang relevan dengan objek penelitian untuk dipakai
sebagai acuan dan perbandingan dalam pembahasan/analisis objek yang
diteliti. Data-data literatur dapat diperoleh dari berbagai sumber media yang
ada, baik media cetak maupun media elektronik.
• Survey dan observasi objek secara langsung di lapangan untuk mendapatkan
data-data faktual dan detail objek untuk dianalisa lebih lanjut.
• Mendokumentasi objek yang diteliti untuk mendapatkan gambaran mengenai
kondisi fisik objek penelitian yang ada sekarang ini.
• Wawancara secara tidak terstruktur dan tidak terfokus pada objek dengan
pihak-pihak yang terkait langsung dengan objek penelitian, misalnya pemilik
atau pemakai bangunan.
1.7.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah Teknik atau
metode deskriptif secara induktif. Teknik atau metode deskriptif adalah suatu
metode dalam pencarian fakta-fakta dengan interpretasi yang tepat, dengan
Page 40
Universitas Kristen Petra
40
mempelajari masalah dalam masyarakat, serta situasi tertentu, termasuk tentang
hubungan, kegiatan, sikap serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruhnya
pada suatu fenomena. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat
deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir,
1988: 63-64).
Hal yang dideskriptifkan dalam penelitian ini adalah konsep filosofis
serta elemen-elemen arsitektur dan interior Kolonial Belanda yang terdapat pada
interior bangunan Gereja Kristen Indonesia, sehingga diperoleh kajian yang jelas,
lengkap dan rinci mengenai bangunan Gereja Kristen indonesia di Pregolan Buder
Surabaya.
Penelitian kualitatif menekankan pada analisis induktif, bukan analisis
deduktif. Data yang dikumpulkan bukan dimaksudkan untuk mendukung atau
menolak hipotesis yang telah disusun sebelum penelitian dimulai, tetapi abstraksi
disusun sebagai kekhususan yang telah terkumpul dan dikelompokkan bersama
lewat proses pengumpulan data yang dilaksanakan secara teliti (Sutopo, 2002:
39). Metode analisis data secara induktif berarti membandingkan data lapangan
yang sudah terkumpul, yang sifatnya khusus dengan data pustaka, sehingga
nantinya akan diperoleh sebuah kesimpulan yang bersifat umum. Analisis data
secara induktif bertolak dari hal-hal yang bersifat khusus pada sebuah objek
penelitian, untuk memperoleh sebuah kesimpulan yang bersifat umum (Wasito,
1995: 99).