BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Definisi HIV/AIDS AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS dapat dikatakan suatu kumpulan tanda/gejala atau sindrom yang terjadi akibat adanya penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi, bukan dibawa sejak lahir. Penderita AIDS mudah diserang infeksi oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan sistem kekebalan tubuh normal tidak terjadi) dan kanker dan biasanya berakhir dengan kematian. Penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yakni sejenis virus RNA yang tergolong retrovirus. Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih (Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi kebanyakan fungsi- fungsi kekebalan, sehingga kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat diperoleh dari lifosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag dan cairan otak penderita AIDS (Wikipedia, 2011). 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Definisi HIV/AIDS
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan gejala
menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS dapat dikatakan suatu kumpulan tanda/gejala
atau sindrom yang terjadi akibat adanya penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau
tertular/terinfeksi, bukan dibawa sejak lahir. Penderita AIDS mudah diserang infeksi
oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan sistem kekebalan tubuh
normal tidak terjadi) dan kanker dan biasanya berakhir dengan kematian. Penyebab AIDS
adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yakni sejenis virus RNA yang tergolong
retrovirus. Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih
(Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai pusat
dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi
kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan
menimbulkan tanda-tanda gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh
seseorang, HIV dapat diperoleh dari lifosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag
dan cairan otak penderita AIDS (Wikipedia, 2011).
Gambar 1 Virus HIV (Wikipedia, 2011)
1
2.1.2 Manifestasi Klinis HIV/AIDS
Lebih dari 80% infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif terutama laki-laki,
tetapi proporsi penderita HIV perempuan cenderung meningkat. Infeksi pada bayi dan anak,
90 % terjadi dari Ibu pengidap HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak
menunjukkan gejala-gejala klinis tertular HIV, namun demikian orang tersebut dapat
menularkan kepada orang lain. Setelah itu, AIDS mulai berkembang dan menunjukkan tanda-
tanda atau gejala-gejala. Gejala-gejala AIDS baru bisa dilihat pada seseorang yang tertular
HIV sesudah masa inkubasi, yang biasanya berlangsung antara 5-7 tahun setelah terinfeksi.
Selama masa inkubasi jumlah HIV dalam darah terus bertambah sedangkan jumlah sel T
semakin berkurang, kekebalan tubuhpun semakin rusak jika jumlah sel T makin sedikit
(Wikipedia, 2011).
Perjalanan klinik infeksi HIV dibagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu : (CDC, 2001)
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, arthralgia, anoreksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikaria), gejala syaraf (sakit kepala,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif dan afektif), gangguan gastrointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya virus
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya
sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar limfe menyeluruh, disebut limfadenopati (LEP),
meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostik dan tidak terpengaruh bagi
hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai
petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat
500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat
imunitas penderita.
1). Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500
2
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau
hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang
lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian
juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2). Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa
penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase
yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh
sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Gambar 2 Stadium Klinis Infeksi HIV/AIDS (Wikipedia, 2011)
Tanda dan Gejala AIDS meliputi : (Carpenter, 2011)
1. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu
gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
a. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
b. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
3
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
Gambar 3 Klasifikasi Manifestasi Klinis Infeksi HIV/AIDS (CDC, 2001)
2.1.4 Epidemiologi HIV/AIDS
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu epidemik
paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan antiretrovirus
bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa diperkirakan 2,8
juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih dari setengah juta (570.000)
merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta orang kini hidup dengan HIV.
Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang
dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981
(UNAIDS, 2006).
Afrika Sub-Sahara tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan
perkiraan 21,6 sampai 27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari
Gambar 6 Grafik Jumlah Penderita HIV/AIDS, Penderita Yang Baru Terinfeksi dan Kematian Akibat HIV/AIDS di Seluruh Dunia Pada Tahun 1990-2008 Menurut The
Millenium Development Goals Report (Wikipedia, 2011)
Di Indonesia dari tahun ke tahun kasus HIV maupun kasus AIDS semakin bertambah
jumlahnya, bahkan hingga Mei 2011 saja telah menembus angka 24.482 kasus di 300
kabupaten atau kota dan 32 provinsi di Indonesia (Tabel 2). Jumlah penderita laki-laki lebih
banyak dibanding penderita perempuan (Tabel 2). Namun meskipun perempuan yang
menderita AIDS lebih sedikit dibanding laki-laki, hal ini sangat berbahaya dan besar
dampaknya bagi perempuan dan remaja putri terutama yang akan menikah dan produktif
karena ini akan berpengaruh juga kepada janin yang dikandungnya. Departemen Kesehatan
juga mencatat beberapa faktor penyebab AIDS yaitu: Heteroseksual, Homo- Biseksual, IDU
(Injecting Drug User), dan Transmisi Perinatal. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa penularan
utama HIV/AIDS di Indonesia adalah melalui hubungan seksual (heteroseksual). Bila dilihat
berdasarkan umur (Tabel 4), dapat dilihat bahwa penderita terbanyak adalah pada usia
produktif (20-29 tahun). Dari tabel 5 menunjukkan bahwa persebaran kasus AIDS lima (5)
provinsi tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua dan Bali. Kelima
wilayah ini selain daerah transit dan sekaligus daerah tujuan wisata , seperti Bali adalah
tujuan wisata baik domestik maupun internasional. Sedangkan berdasarkan prevalensi kasus
AIDS secara nasional di Indonesia sebesar 7,12 artinya setiap 100.000 penduduk sebesar 7,12
6
persen diantaranya menderita AIDS. Sementara provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah
Provinsi Papua (129,35 persen) , disusul Bali (33,75 persen) , DKI Jakarta (30,52 persen),
Kepulauan Riau (23,11 persen) dan Kalimantan Barat (17,9 persen) (Depkes, 2011).
Tabel 2 Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia Menurut Jenis Kelamin Tahun 1987-Maret 2011 (Depkes, 2011)
Tabel 3 Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia Menurut Faktor Resiko Tahun 1987-Maret 2011 (Depkes, 2011)
Tabel 4 Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia Menurut Umur Tahun 1987-Maret 2011 (Depkes, 2011)
7
Tabel 5 Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia berdasarkan Provinsi Tahun 1987-Maret 2011 (Depkes, 2011)
2.1.3 Penularan HIV/AIDS
Ada empat cara penularan HIV yaitu pertama, melalui hubungan seksual dengan
seorang pengidap HIV tanpa perlindungan atau menggunakan kontrasepsi (kondom). Cara
kedua, HIV dapat menular melalui transfusi dengan darah yang sudah tercemar HIV. Cara
ketiga, seorang ibu yang mengidap HIV bisa pula menularkannya kepada bayi yang
dikandung, itu tidak berarti HIV /AIDS merupakan penyakit turunan, karena penyakit
turunan berada di gen-gen manusia sedangkan HIV menular saat darah atau cairan vagina ibu
membuat kontak dengan cairan atau darah anaknya. Dan cara keempat adalah melalui
pemakaian jarum suntik, jarum tindik dan peralatan lainnya yang sudah dipakai oleh
pengidap HIV (Wikipedia, 2011).
8
Gambar 4 Diagram Cara Penularan Infeksi HIV (CDC, 2009)
Tabel 1 Cairan Tubuh yang Dapat Menjadi Media Penularan HIV
Media penularan HIV pada pasien hidup hampir sama dengan pada pasien yang telah
meninggal. Dalam hal ini yang memiliki resiko besar untuk mendapat paparan HIV adalah
ahli patologi, dokter yang melakukan otopsi dan asisten otopsi. (Gan´czak, 2003)
Suka atau tidak, ada diantara patolog yang terpapar infeksi HIV karena pekerjaan
mereka. Pertama, mereka secara etika wajib untuk mendiagnosis pasien yang hidup dengan
virus tersebut. Peran biopsi tersebut dalam kedokteran adalah untuk membatasi mortalitas dan
tingkat morbiditas AIDS. Dengan 40 juta kasus infeksi HIV di seluruh dunia, patolog,seperti
tenaga medis lainnya, beresiko terekspos darah dan jaringan yang terinfeksi retroviral dalam
pekerjaannya sehari-hari. Kedua, meskipun penelitian AIDS sedah berjalan dua dekade, ada
begitu banyak yang harus dipelajari dari moralitas yang terkait. Mereka yang memiliki
kesempatan untuk mempelajari penyakit ini selama otopsi mengakui banyak faktor tak
9
terduga. Banyak infeksi dan komplikasi neoplastik yang mungkin tidak diketahui selama
rentang kehidupan almarhum. Otopsi memungkinkan kita untuk melihat berbagai macam lesi
yang disebabkan oleh respon host yang lemah. Selanjutnya,penting untuk membangun
argumen untuk kebutuhan dari otopsi kasus AIDS. Dalam hal ini nilai informasi yang
cenderung diturunkan oleh otopsi harus dipertimbangkan kecuali ada bahaya nyata yang
terlibat (analisis risiko-manfaat). Dari tiga ratusan, atau lebih, kasus infeksi HIV okupasional
petugas kesehatan sebagian besar terjadi pada perawat dan petugas laboratorium. (Gan´czak,
2003)
HIV yang menular ditemukan pada 5% dari sampel darah yang diperoleh dari pasien
AIDS pada 24 jam post mortem. Retrovirus yang infeksius juga ditemukan dari jaringan,
tulang dan darah enam hari post mortem, sedangkan dari limpa dua minggu post mortem.
Tingkat virulensi postmortem dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk potensi mematikan
dari virus, strain virus, terapi antivirus premortem dan suhu kamar mayat. (Gan´czak, 2003)
Bahaya terbesar untuk patolog dan staf teknis dalam melaksanakan otopsi HIV-positif
berasal dari luka kulit akibat instrumen tajam dan spikula tulang, dan dari menghirup patogen
virulen seperti Mycobacterium tuberculosis. Infeksi oral dan konjungtiva juga mungkin
terjadi tapi dapat dicegah dengan cara sederhana. Secara umum dilaporkan bahwa patolog
mempertahankan tusukan sarung tangan selama 10% dari otopsi. Bahkan pengetahuan
sebelumnya tentang status HIV pasien belum terbukti mengurangi tingkat paparan perkutan.
(Gan´czak, 2003)
Penelitian menunjukkan bahwa infektivitas HIV dalam sampel berkurang perlahan-
lahan seiring waktu. Infektivitas ini bervariasi tergantung pada faktor lingkungan dan virus.
HIV dapat tetap menular selama tiga minggu dan terdeteksi pada 51% dari plasma dan / atau
fraksi dari mononuklear sel darah yang terinfeksi HIV. HIV terdeteksi di tulang tengkorak
pada enam hari pasca-mortem, di spesimen limpa disimpan sampai 14 hari dan dalam darah
kadaver 16,5 hari setelah kematian. Oleh karena itu mayat HIV-positif harus dianggap
mengandung HIV menular. Kenyataannya, telah didokumentasikan bahwa teknisi kamar
otopsi mempunyai kemungkinan infeksi HIV karena pekerjaannya. Ada juga risiko pekerjaan
tertular infeksi lain dari mayat dengan HIV positif. (Gan´czak, 2003)
Spektrum infeksi pada AIDS merupakan refleksi dari patogen yang lebih sering
terlihat di daerah geografis tertentu dan populasi penduduknya. Dalam keadaan
immunocompromised, organisme ini berkembang dan akibatnya spektrum infeksi pada
10
individu tersebut besar. Paparan terhadap sejumlah besar patogen dalam ruang otopsi yang
tertutup meningkatkan risiko untuk tertular penyakit yang sama antara staf ruang otopsi.
(Krishan, 2003)
Otopsi meningkatkan kemungkinan tertular infeksi melalui udara pada personel
laboratorium. Pemotongan dari paru-paru terinfeksi dengan pisau menghasilkan aerosol
partikel kecil. Sudah umum diketahui bahwa di antara para dokter, patolog memiliki kejadian
TB tertinggi. Karena otopsi terbuka lengkap memiliki risiko lebih besar terkena HIV dan juga
aerosolisasi dan penyebaran patogen oportunistik, sebuah otopsi lengkap tidak wajib
dipertimbangkan ketika diagnosis ante-mortem AIDS ditegakkan. Namun, jika prasarana
yang memadai dan fasilitas yang ada pemeriksaan dapat dipertimbangkan untuk tujuan
akademis. (Gan´czak, 2003)
Karena ada kekurangan baik vaksin yang efektif dan obat untuk menghilangkan virus
dari tubuh, pencegahan adalah satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran HIV pada
petugas kesehatan. Sebuah "paparan" yang mungkin menempatkan petugas kesehatan di
risiko Infeksi HIV didefinisikan sebagai :
• cedera perkutan (misalnya, tertusuk jarum atau terpotong dengan benda tajam)
• kontak mukosa atau kulit yang tidak utuh
• kontak dengan kulit utuh dengan durasi kontak yang berkepanjangan (yaitu beberapa
menit atau lebih) atau melibatkan wilayah yang luas, dengan darah, jaringan, atau cairan
tubuh lainnya . (Gan´czak, 2003)
Studi telah memperkirakan rata-rata risiko penularan HIV setelah pajanan
percutaneous sebesar 0,3%. Rata-rata 99,7% dari petugas kesehatan, yang terpapar HIV, tidak
akan terinfeksi. Untuk paparan mukosa risiko adalah 0,09% dan untuk kulit yang tidak utuh
bahkan kurang. Ini meningkat ketika kulit yang terkena pecah-pecah, terkelupas, atau
menderita dermatitis. Dalam konteks otopsi itu layak menyebutkan bahwa, kecuali darah,