10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia Lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur hidup manusia (Maryam, 2008). Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang sudah mencapai usia 60 tahun ke atas. Secara umum proses menjadi lansia didefinisikan sebagai perubahan yang terkait dengan waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menimbulkan menurunnya kemampuan lansia dalam beradaptasi dengan lingkungannya (Nugroho, 2008). 2.1.2 Batasan Umur Lansia Lansia dapat dibedakan berdasarkan batasan umurnya masing-masing. Menurut WHO, ada empat tahap batasan umur lansia yaitu usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut usia (old) antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008). Menurut Depkes RI, batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini
21
Embed
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur hidup manusia (Maryam,
2008). Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lansia, dikatakan bahwa lansia adalah seseorang yang sudah
mencapai usia 60 tahun ke atas. Secara umum proses menjadi lansia didefinisikan
sebagai perubahan yang terkait dengan waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif
dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menimbulkan menurunnya kemampuan
lansia dalam beradaptasi dengan lingkungannya (Nugroho, 2008).
2.1.2 Batasan Umur Lansia
Lansia dapat dibedakan berdasarkan batasan umurnya masing-masing. Menurut
WHO, ada empat tahap batasan umur lansia yaitu usia pertengahan (middle age)
antara 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, dan usia lanjut usia (old)
antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (Nugroho, 2008).
Menurut Depkes RI, batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan
umur usia lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
keperkasaan fisik dan kematangan jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini
11
(prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut antara 55-64 tahun,
kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun ke atas dan usia lanjut dengan resiko
tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut
yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat
(Maryam, 2008).
2.1.3 Perubahan pada Lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia terdiri dari perubahan mental, psikososial dan
perubahan fisik (Hutapea, 2005).
1) Perubahan mental
Perubahan mental pada lansia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan
fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan.
Perubahan mental yang terjadi pada lansia berupa munculnya sifat egosentrik
dan tamak apabila memiliki sesuatu. Lansia cenderung tetap ingin mendapat
peran di masyarakat dan apabila nanti meninggal, lansia ingin mencapai sorga
(Nugroho, 2008).
2) Perubahan sosial
Menurut Nugroho (2008), perubahan sosial yang terjadi pada lansia terjadi
karena perubahan pekerjaan seperti masa pensiun. Bila mengalami pensiun,
seseorang akan mengalami kehilangan yaitu kehilangan finansial, kehilangan
status, dan kehilangan teman untuk bersosialisasi. Sedangkan menurut Azizah
(2011), perubahan sosial yang terjadi pada lansia juga disebabkan oleh
12
perubahan aspek kepribadian, perubahan dalam peran sosial di masyarakat dan
perubahan minat dan penurunan fungsi.
3) Perubahan fisik
a. Terjadinya perubahan pada sistem indera, dimana lensa mata lansia mulai
kehilangan elastisitas dan menjadi kaku, ketajaman penglihatan dan daya
akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang. Pada sistem pendengaran,
mulai terjadi gangguan pada pendengaran (Nugroho, 2008).
b. Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas paru-
paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan munculnya
rasa sesak dan tekanan darah meningkat (Hutapea, 2005).
c. Perubahan pada sistem kardiovaskuler masa jantung mulai bertambah, ventrikel
kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang
karena perubahan pada jaringan ikat, konsumsi oksigen pada tingkat maksimal
berkurang sehingga kapasitas paru menurun (Azizah, 2011).
d. Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh lansia menjadi
rentan terhadap alergi dan penyakit (Hutapea, 2005).
e. Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya ovary dan
uterus serta terjadinya atrofi payudara pada wanita. Pada laki-laki testis masih
dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur (Azizah, 2011).
f. Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat, kepekaan
bau dan rasa mulai berkurang, kepekaan sentuhan berkurang dan pendengaran
13
berkurang, reaksi menjadi lambat, fungsi mental menurun serta ingatan visual
berkurang (Hutapea, 2005).
g. Perubahan pada sistem perkemihan, pola berkemih menjadi tidak normal seperti
banyak berkemih di malam hari sehingga mengharuskan lansia pergi ke toilet
sepanjang malam. Hal ini menunjukkan kejadian inkontinensia urine meningkat
pada lansia (Azizah, 2011).
h. Terjadi perubahan pada sistem metabolik, yang mengakibatkan gangguan
metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun (Hutapea, 2005).
Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, hampir 80% lansia
mengalami perubahan fisik yang bersifat kronis dan mengganggu mobilitas serta
kemandirian lansia (Potter & Perry, 2005). Perubahan fisik yang paling sering terjadi
pada lansia adalah pada sistem muskuloskeletal, dimana terjadi perubahan pada
kolagen yang merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia dan
menimbulkan dampak berupa nyeri dan penurunan kemampuan otot sehingga lansia
mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Azizah, 2011).
Penyakit yang paling sering menyebabkan disabilitas pada lansia adalah golongan
penyakit atritis (Depkes RI, 2008).
14
2.2 Rheumatoid Athritis
2.2.1 Definisi Rheumatoid Athritis
Rheumatoid Athritis (RA) adalah penyakit multisistem kronik yang ditandai oleh
beragam manifestasi klinis dengan awitan penyakit umumnya pada usia antara 35 dan
40 tahun. Gambaran utama adalah sinovitis inflamatorik yang biasanya mengenai
sendi (Leveno, 2009). RA adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan
degenerasi jaringan penyambung dimana membran sinovial mengalami kerusakan
(Corwin, 2009).
2.2.2 Penyebab Rheumatoid Athritis
Menurut John & Johnson (2007), penyebab pasti dari RA masih belum diketahui
meskipun terdapat banyak faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang
mengalami penyakit ini. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut ;
1. Genetik
RA dapat terjadi karena memiliki keturunan penyakit ini dalam keluarga. Namun
adanya keturunan RA dalam keluarga tidak akan meningkatkan resiko pada anak-
anak.
2. Infeksi
Beberapa tipe dari atritis terjadi akibat infeksi. Beberapa penelitian mengatakan
bahwa infeksi yang disebabkan oleh bakteri ataupun virus dapat memicu respon
imun yang abnormal akan menyebabkan RA.
15
3. Lingkungan
Beberapa studi menemukan bahwa perokok berat dan orang yang terpapar asap
rokok lebih mudah terkena RA daripada orang yang bukan perokok. RA juga
diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi yang bereaksi terhadap
kolagen tipe 11 dari tulang rawan sendi pasien (Sudoyo, 2007).
2.2.3 Manifestasi Klinis Rheumatoid Athritis
RA merupakan suatu penyakit yang memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh RA adalah perasaan lelah, anoreksia, berat
badan menurun, demam, poliatritis simetris yang terjadi biasanya pada sendi perifer,
kekakuan sendi pada pagi hari, peradangan sendi kronik yang menyebabkan
terjadinya erosi di tepi tulang, deformitas sendi, terdapatnya nodul-nodul rematoid
yang sering berlokasi di sendi siku dan terjadinya manifestasi ekstra-artikular dimana
RA tidak hanya menyerang sendi namun dapat menyerang organ lainnya seperti
jantung yang akan mengakibatkan terjadinya perikarditis (Price & Wilson, 2005).
Berdasarkan penelitian, 90% lansia mengeluhkan nyeri di sendi-sendi bagian jari,
pergelangan tangan, bahu, lutut, dan kaki (Turana, 2005). Pasien RA umumnya
merasakan nyeri paling berat terjadi pada pagi hari membaik pada siang hari dan
sedikit lebih berat pada malam hari (Yatim, 2006).
2.2.4 Patofisiologi Rheumatoid Athritis
RA merupakan penyakit autoimun yang terjadi pada individu rentan setelah respon
imun terhadap agen pemicunya yaitu bakteri, mikoplasma atau virus yang
16
menginfeksi sendi. Meskipun IgG yang memperantarai respon imun awal berhasil
menghancurkan mikroorganisme, namun tubuh cenderung membentuk antibodi lain
yaitu IgM atau IgG. Antibodi tersebut menetap di kapsul sendi sehingga akan
menyebabkan inflamasi kronis dan kerusakan jaringan pada sendi (Corwin, 2009).
Inflamasi awal mengenai sendi sinovial dan kemudian menjadi menebal pada sendi
atrikular kartilago. Penebalan tersebut akan menyebabkan granulasi pada persendian
yang disebut dengan pannus yang apabila panus ini menyebar akan menyebabkan
terjadinya nekrotik pada sendi. Proses inilah yang akan menyebabkan kerusakan pada
sendi dan akan menimbulkan nyeri yang hebat serta deformitas (Suratun, Heryati,
Manurung, Raenah, 2008).
2.2.5 Penatalaksanaan Rheumatoid Athritis
Tujuan dari pengobatan RA adalah untuk menghilangkan nyeri dan peradangan,
mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien, serta mencegah
dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi (Price & Wilson, 2005).
Menurut American Collage Rheumatology, penanganan RA dapat meliputi terapi
farmakologis (obat-obatan), non farmakologis (kompres panas/dingin, masase,
relaksasi dan distraksi) serta tindakan operasi (Purwoastuti, 2009). Penggunaan terapi
farmakologis yang sering diresepkan dokter pada pasien RA adalah DMARD
(Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan
Leflunomid dengan kombinasi obat anti-inflamasi atau NSAID dan kortikosteroid
dosis rendah (Arthritis Foundation, 2014).
17
Selain dapat menurunkan nyeri RA, terapi farmakologis ini juga dapat menimbulkan
berbagai macam keluhan lain seperti peradangan pada daerah abdomen, perdarahan
dan kerusakan ginjal yang disebabkan oleh efek samping dari NSAID yang memblok
prostaglandin secara keseluruhan (WebMD, 2014). Menurut hasil penelitian
penggunaan terapi non farmakologis pada pasien RA dapat memblok dan
menurunkan impuls nyeri dan digunakan sebagai pertolongan pertama ketika nyeri
RA menyerang serta terapi non farmakologis seperti kompres panas/ dingin dan
masase dapat meningkatkan aliran darah dan mampu meredakan sensasi nyeri
(Tamsuri, 2006).
2.3 Nyeri Pada Rheumatoid Athritis
2.3.1 Definisi Nyeri Rheumatoid Athritis
Nyeri merupakan suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial
(Potter & Perry, 2005). Nyeri RA adalah nyeri yang dirasakan di daerah sendi dan
merupakan permasalahan utama yang paling sering terjadi dan hal yang sangat
penting untuk ditangani (Jenkins, 2011). Nyeri RA akan memberat apabila perjalanan
penyakit tidak diatasi serta akan meningkat seiring dengan ambang nyeri pasien
sendiri (Isbagio, 2006). Nyeri RA akan menimbulkan rasa tidak nyaman, keletihan
dan disabilitas pada pasien (Clair, Pisetsky, Haynes, 2004).
18
2.3.2 Etiologi Nyeri Rheumatoid Athritis
Menurut Berman, Snyder, Kozier, Erb (2009), penyebab terjadinya nyeri secara
umum adalah adanya trauma mekanik, trauma termal, trauma kimiawi, trauma
elektrik, neoplasma, peradangan dan faktor psikologis. Nyeri pada RA disebabkan
oleh proses peradangan (inflamasi) pada membran sinovial yang terjadi akibat
proses fagositosis yang menghasilkan enzim-enzim dalam sendi dan akan
memecahkan kolagen sehingga menyebabkan edema, proliferasi membran sinovial
dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang
akan menganggu gerak sendi dan menimbulkan nyeri (Jenkins, 2011).
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Rheumatoid Athritis
Menurut Potter & Perry (2005), secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
meliputi usia, jenis kelamin, kebudayaan, perhatian, ansietas, pengalaman
sebelumnya, efek plasebo, dukungan keluarga dan sosial, keletihan dan pola koping.
Menurut Ari (2009), terdapat dua faktor yang berperan dalam beratnya rasa nyeri
pada pasien RA yaitu beratnya penyakit dan ambang nyeri pasien. Makin berat
penyakit, maka makin bertambah pula rasa nyeri yang dirasakan pasien RA dan
apabila perjalanan penyakit dapat dihentikan (remisi), maka rasa nyeri akan
berkurang. Pasien dengan ambang nyeri yang tinggi akan merasakan nyeri ringan dan
tidak akan mengganggu aktivitasnya. Faktor lainnya yang mempengaruhi nyeri pada
19
pasien RA adalah usia dan jenis kelamin. Insiden RA meningkat pada usia 40 tahun
dan lebih sering terjadi pada wanita (Price & Wilson, 2005).
2.3.4. Fisiologi Nyeri Rheumatoid Athritis
Fisiologi dari setiap nyeri yang dirasakan pasien adalah sama. Reseptor nyeri adalah
organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang
berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon
hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien
dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer (Corwin, 2009).
Menurut Potter & Perry (2005), berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat
dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatik
dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya yang berbeda-beda
inilah nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor cutaneus
berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah
untuk dialokasi dan didefinisikan.
a. Reseptor A-δ (A-δ fiber)
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan.
20
b. Serabut C (C fiber)
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat
pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada
tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena
struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul
dan sulit dilokalisasi.
c. Reseptor visceral
Reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap
pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan
inflamasi.
2.3.5 Karakteristik Nyeri Rheumatoid Athritis
Menurut Mutaqqin (2008), karakteristik nyeri RA dapat dikaji menggunakan PQRST
yang terdiri dari :
1. Provoking Incident (faktor penyebab nyeri).
Nyeri RA dirasakan ketika sendi yang mengalami peradangan digerakkan atau
sering disebut Joint Tenderness on Moving (Mutaqqin, 2008).
21
2. Quality and Quantity of Pain (kualitas dan kuantitas nyeri).
Nyeri yang dirasakan oleh pasien RA adalah nyeri dengan rasa terbakar di bagian
sendi yang mengalami pembengkakan, nyeri akan berkurang ketika sendi yang
mengalami pembengkakan diistirahatkan (Dewi, 2009).
3. Region
Nyeri RA biasanya terjadi di daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki,
jari-jari tangan dan kaki (Buffer, 2010).
4. Severuty (Scale) of Pain
Nyeri yang dialami oleh pasien RA didapatkan skala nyeri rata-rata enam
mengindikasikan nyeri sedang (Dewi, 2009).
5. Time
Nyeri pada pasien RA digolongkan menjadi nyeri kronis non malignant yang
mengindikasikan nyeri tidak bersifat responsif terhadap metode-metode
pembebasan nyeri (Prasetyo, 2010). Pada umumnya, pasien dengan RA akan
merasakan nyeri paling berat terjadi pada pagi hari, membaik pada siang hari dan
sedikit lebih berat pada malam hari (Yatim, 2006). Nyeri RA juga akan dirasakan
lebih berat saat pasien dalam posisi duduk atau berbaring dalam jangka waktu
yang lama (Jenkins, 2011).
2.3.6 Pengukuran Skala Nyeri Rheumatoid Athritis
Nyeri secara umum dapat diukur dengan berbagai metode yaitu dengan menggunakan
alat pengukuran skala nyeri seperti skala nyeri numerik, deskriptif dan analog visual
22
(Potter & Perry, 2005). Menurut Datak (2008), pengukuran skala nyeri dengan
menggunakan skala nyeri numerik (Numeric Rating Sace/NRS) merupakan skala
yang paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah
intervensi terapeutik.
NRS lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini,
pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. NRS merupakan skala nyeri
yang paling sering dan lebih banyak digunakan di klinik. NRS digunakan untuk
mengukur intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik. NRS mudah
digunakan dan didokumentasikan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gambar 1. Skala Nyeri Numerik
(Sumber : http://www.painedu.org)
2.3.7 Penatalaksanaan Nyeri Rheumatoid Athritis
Menurut Jenkins (2011), penatalaksanaan nyeri pada pasien RA adalah sebagai