I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan atau kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara yang bercorak agraris seperti Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam, yang memiliki luas lahan dan agroklimat yang potensial untuk dikembangkan sebagai usaha pertanian. Indonesia negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dan penompang pembangunan nasional (Mardikanto, 2007). Sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terus mengalami peningkatan setiap tahun. Secara nominal, Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian, kehutanan dan perikanan atas dasar harga konstan (ADHK) pada kuartal II 2016 mencapai Rp 322 triliun, naik 11,90 persen dibandingkan kuartal I 2016 yang sebesar Rp 287,7 triliun. Pertumbuhan tinggi ini disebabkan pergeseran masa panen akibat El Nino yang harusnya panen raya jatuh pada kuartal I menjadi di kuartal II. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartalan untuk lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 10,33 persen (Badan Pusat
72
Embed
1 I. PENDAHULUAN - eprints.stiperdharmawacana.ac.ideprints.stiperdharmawacana.ac.id/169/6/9. BAB 1,2,3,4,dan 5.pdfyang sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional, untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peranan atau kontribusi yang sangat besar dalam
pembangunan ekonomi suatu negara yang bercorak agraris seperti Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam, yang
memiliki luas lahan dan agroklimat yang potensial untuk dikembangkan sebagai
usaha pertanian. Indonesia negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian
sebagai sumber mata pencaharian dan penompang pembangunan nasional
(Mardikanto, 2007).
Sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terus
mengalami peningkatan setiap tahun. Secara nominal, Produk Domestik Bruto
(PDB) pertanian, kehutanan dan perikanan atas dasar harga konstan (ADHK) pada
kuartal II 2016 mencapai Rp 322 triliun, naik 11,90 persen dibandingkan kuartal I
2016 yang sebesar Rp 287,7 triliun. Pertumbuhan tinggi ini disebabkan pergeseran
masa panen akibat El Nino yang harusnya panen raya jatuh pada kuartal I
menjadi di kuartal II. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartalan untuk
lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan tercatat lebih tinggi
dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 10,33 persen (Badan Pusat
2
Statistik, 2016). Hal ini mengindikasikan besarnya peranan pertanian dalam
memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Peranan sektor pertanian sebagai menyumbang pembentukan produk domestik
bruto (PBD) penyedia sumber devisa melalui ekspor, penyedia pangan dan bahan
baku industri, pengentasan kemiskinan, penyedia lapangan kerja dan perbaikan
pendapatan masyarakat. Sektor pertanian sendiri terdiri dari beberapa sub sektor,
yaitu sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor peternakan,
sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan.
Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan
yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional, untuk
mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pengentasan kemiskinan,
penyerapan tenaga kerja, penerimaan devisa, dan menjadi penarik bagi
pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir yang
memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Peranan tanaman pangan telah terbukti secara empiris, baik dikala kondisi
ekonomi normal maupun saat menghadapi krisis, begitu juga dengan sub sektor
hortikultura yang sama pentingnya dalam pembangunan ekonomi nasional.
Sub sektor hortikultura merupakan komoditas yang cukup potensial
dikembangkan secara agribisnis, karena punya nilai ekonomis dan nilai tambah
cukup tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Selain fungsi ekonomi
tersebut tanaman hortikultura mempunyai nilai kalori cukup tinggi, merupakan
sumber vitamin, mineral, serat alami dan anti-oksidan, sehingga selalu diperlukan
oleh tubuh sebagai sumber pangan maupun nutrisi serta berpengaruh terhadap
3
pendapatan dan kesejahteraan petani. Melihat manfaat dan fungsinya dapat
dikatakan hortikultura dapat diandalkan untuk memajukan perekonomian
Indonesia. Hortikultura memegang peran penting yang strategis karena perannya
sebagai komponen utama pada pola pangan harapan.
Komoditas hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan memegang bagian
terpenting dari keseimbangan pangan, sehingga harus tersedia setiap saat dalam
jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman konsumsi, harga yang terjangkau, serta
dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia yang
besar sebagai konsumen produk hortikultura yang dihasilkan petani, merupakan
pasar yang sangat potensial dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan
semakin meningkat dalam jumlah dan persyaratan mutu yang diinginkan. Hal ini
dapat dilihat dari tabel konsumsi per kapita komoditas jagung dan cabai di
Indonesia Tahun 2010-2014.
Tabel 1. Konsumsi jagung dan cabai perkapita di Indonesia tahun 2010-2014
TahunKonsumsi (Kg/kapita/tahun) Pertumbuhan (%)
Jagung Cabai Jagung Cabai
2010 1763 1528
2011 1365 1497 -22,60 -3,72
2012 1677 1653 22,92 10,19
2013 1469 1424 -12,43 -11,48
2014 1553 1460 5,71 1,40
Rata-rata pertumbuhan (%/ tahun)-0,26% 1,29%
2010-2014Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah pusdatin. 2014
Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa konsumsi per kapita jagung lima tahun
terakhir menunjukkan kecenderungan menurun. Selama kurun waktu tersebut
terjadi penurunan cukup signifikan pada tahun 2011 sebesar - 22,60%. Pada tahun
4
2012 konsumsi per kapita jagung kembali meningkat 23%, tahun 2013 kembali
menurun sebesar -12,43% dan tahun 2014 kembali meningkat 5,71%. Penurunan
konsumsi ini terjadi karena semakin sedikit masyarakat mengkonsumsi jagung
sebagai subtitusi bahan pangan pokok, sedangkan permintaan jagung untuk
industri terutama industri pakan cenderung semakin meningkat.
Program penganekaragaman pangan pengganti beras sampai saat ini belum
berhasil, sehingga perlu upaya yang lebih keras agar konsumsi beras menurun dan
konsumsi sumber karbohidrat lainnya termasuk jagung meningkat begitu juga
dengan konsumsi perkapita cabai lima tahun terakhir menunjukan kecenderungan
menurun. Selama kurun waktu tersebut terjadi penurunan cukup signifikan pada
tahun 2011 sebesar -3,72%. Pada tahun 2012 konsumsi per kapita cabai kembali
meningkat 10,19%, tahun 2013 kembali menurun sebesar -11,48% dan tahun
2014 kembali meningkat 1,4%. Semakin bervariasinya jumlah konsumsi baik itu
komoditas jagung atau pun cabai dapat mempengaruhi produksi, luas penen dan
produktifitas setiap komoditas hal ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Produksi, Luas Panen, Dan Produkivitas Komoditas Jagung Dan Cabai diIndonesia Tahun 2010-2014
Berdasarkan tabel 4 menyatakan bahwa harga untuk setiap komoditas tanaman
pertanian jagung dan cabai dari tahun 2011-2015 mengalami fluktuasi harga pada
harga komoditi hortikultura cabai dan untuk harga jagung sendiri cukup konstan.
Hal ini yang menyebabkan petani mengalami risiko harga disetiap musim.
Kemudian yang paling tidak diinginkan oleh petani jagung dan cabai yaitu
turunya harga setiap komoditas di pasaran, hal ini biasanya terjadi akibat panen
raya yang dapat mengakibatkan harga menjadi turun karena pasokan tiap
komoditas yang melimpah baik itu dipasaran atau pun di gudang. Karena pada
kenyataanya pasarlah yang menguasai harga dimana petani tidak mampu
mengubahnya sehingga mengalami fluktuasi harga yang dapat merugikan pihak
petani. Di Provinsi Lampung terdapat sentra produksi jagung dan cabai di setiap
kabupaten. Hal ini dapat terlihat dari tabel 5.
8
Tabel 5. Produksi jagung dan cabai di Provinsi Lampung tahun 2014
Kabupaten/KotaKomoditas
Cabai Jagung
01 Lampung Barat 13.841 96202 Tanggamus 2.592 17.65103 Lampung Selatan 8.397 632.13704 Lampung Timur 390 516.41205 Lampung Tengah 3.610 268.94906 Lampung Utara 2.252 103.24307 Way Kanan 390 49.41808 Tulang Bawang 710 6.44809 Pesawaran 4.899 71.64510 Pringsewu 583 31.40311 Mesuji 84 44712 Tulang Bawang Barat 769 2.49213 Pesisir Barat 2.330 13.48814 Bandar Lampung 43 23115 Metro 33 4.460
Lampung 40.923 1719386Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2015.
Berdasarkan tabel 5 menyatakan bahwa pada tahun 2014 untuk produksi cabai
tertinggi adalah di Kabupaten Lampung Barat dimana keadaan wilayah yang
sesuai karena kabupaten tersebut merupakan daerah pegunungan yang sesuai
untuk pertumbuhan cabai. Namun untuk produksi jagung terhitung rendah. Hal ini
karena setiap komoditas memiliki habitatnya masing-masing.
Sedangkan produksi untuk komoditas cabai di Kabupaten Lampung Timur yang
terhitung cukup rendah namun untuk komoditas jagung produksinya tertinggi ke 2
setelah Kabupaten Lampung Selatan. Terlihat bahwa salah satu kabupaten yang
memproduksi jagung yang cukup tinggi dan cabai yang cukup menjanjikan bagi
petaninya. Bahkan tidak hanya pada tahun 2014 saja, produksi jagung dan cabai
9
pada tahun sebelumnya juga cukup tinggi, mengingat sudah banyak alih fungsi
lahan yang dilakuhkan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Luas panen, produksi, dan produktivitas komoditas jagung dan cabai diKabupaten Lampung Timur tahun 2011-2015
Populasi tanaman (berbeda) dapatdiatur sesuai yang dikehendaki
Dalam satu areal diproduksi lebihdari satu komoditas
Tetap mempunyai peluangmendapatkan hasil manakal satujenis tanaman yang diusahakan gagal
Tidak terjadi peningkatan efisiensi
Tidak dapat mengatur populasi,karena hanya terdapat satu jenis
Hanya memproduksi satu komoditas
Tidak ada peluang bial hanya satujenis tanaman yang diusahakangagal
2.1.4 Risiko Usahatani
Analisis risiko dengan pendekatan kuantitatif dilakuhkan dengan menggunakan
konsep simpangan baku dan ragam serta koefisien variasi. Simpangan baku
merupakan akar dari variance (ragam). Secara matematis dapat dinyatakan:
V=√ ................................
Dimana : V adalah simpangan baku
V2 adalah variance (ragam)
Nilai V menunjukan besarnya fluktuasi keuntungan yang mungkin diperoleh atau
besarnya risiko yang harus ditanggung pengusaha (Hernanto, 1989). Secara
statistik nilai V ini diketahui setelah dihitung terlebih dahulu ukuran ragamnya
(V2)darikeuntungan yang diharapkan. Ukuran variance (ragam) dapat dihitung
sebagai berikut:
V2 =∑ ( ) ....................................
Dimana : E adalah nilai rata-rata
Ei adalah hasil bersih pada tahun ke i
N adalah jumlah pengamatan
21
Rata-rata hasil bersih yang diperoleh oleh pengusaha dalam setiap periode
menggambarkan besarnya nilai keuntungan harapan pengusaha dimasa-masa akan
datang.
Menurut Hermanto (1989), produsen harus selalu mempertimbangkan besarnya
risiko yang ditanggung dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dalam
setiap proses produksi. Hubungan antara risiko dan keuntungan dalam suatu usaha
biasanya diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan.
Nilai koefisien variasi ditentukan dengan cara membagi risiko yang harus
ditanggung pengusaha dengan jumlah keuntungan yang akan diperoleh sebagai
hasil dari sejumlah modal yang ditanamkan dalam usaha. Secara sistematis risiko
produksi, harga dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut:
a. Risiko produksi : CV =
b. Risiko harga : CV =
c. Risiko pendapatan : CV =
Keterangan:
CV : Koevisien variasi
: Standar deviasi
C : Rata-rata produksi (kg)
Y : Rata-rata pendapatan (Rp)
Q : Rata-rata harga (Rp)
Jika nilai koefisien variasi (CV) diketahui, maka kita akan dapat mengetahui
besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam usahatani tumpang gilir
jagung dan cabai. Nilai CV berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi petani
22
tumpang gilir jagung dan cabai, artinya semakin besar nilai CV yang didapat
maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung petani. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah nilai CV yang diperoleh maka risiko yang harus
ditanggung petani akan semakin kecil.
Kegiatan pada sektor pertanian yang menyangkut proses produksi selalu
dihadapkan dengan situasi risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty). Risiko
adalah peluang terjadinya kemungkinan merugi yang dapat diketahui terlebih
dahulu. Ketidakpastian adalah sesuatu yang tidak bisa diramalkan sebelumnya,
dan karenanya peluang terjadinya merugi belum diketahui sebelumnya. Sumber
ketidakpastian yang penting di sektor pertanian adalah fluktuasi hasil pertanian
dan fluktuasi harga. Ketidakpastian hasil pertanian disebabkan oleh faktor alam
seperti iklim, hama dan penyakit serta kekeringan. Jadi produksi menjadi gagal
dan berpengaruh terhadap keputusan petani untuk berusahatani berikutnya. Selain
itu, ketidakpastian harga meyebabkan fluktuasi harga dimana keinginan pedagang
memperoleh keuntungan besar dan rantai pemasaran yang panjang sehingga
terjadi turun naiknya harga (Soekartawi dkk, 1993).
Adanya risiko menyebabkan petani yang pada hakekatnya bersifat rasional enggan
menanggung risiko terlebih petani kecil. Dengan kata lain, petani sebagai subjek
mengambil keputusan enggan meningkatkan dan memperluas usahataninya. Pada
kenyataannya, petani dalam berusahatani ada yang berani terhadap risiko (risk
lover), ada yang enggan terhadap risiko (risk averter), dan ada yang netral
terhadap risiko (risk neutral) (Darmawi, 1996).
23
Penilaian risiko didasarkan pada pengukuran penyimpangan (deviation) terhadap
return dari suatu aset. Menurut Elton dan Gruber (1995) terdapat beberapa ukuran
risiko diantaranya adalah nilai varian (variance), standar deviasi (standard
deviation) dan koefisien variasi (coefficient variation).
Penilaian risiko dengan menggunakan nilai variance dan standard deviation
merupakan ukuran yang absolut dan tidak mempertimbangkan risiko dalam
hubungannya dengan hasil yang diharapkan (expected return). Hasil keputusan
yang tepat dalam menganalisis risiko suatu kegiatan usaha harus menggunakan
perbandingan dengan satuan yang sama. Coefficient variation merupakan ukuran
risiko yang dapat membandingkan dengan satuan yang sama dengan
mempertimbangkan risiko yang dihadapi untuk setiap return yang diperoleh baik
berupa pendapatan, produksi atau harga.
Menurut Kadarsan (1992) ada beberapa hal penyebab risiko, yaitu ketidakpastian
produksi, tingkat produksi, tingkat harga, dan perkembangan teknologi sebagai
berikut:
a. Risiko produksi
Risiko produksi pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor non pertanian
karena pertanian sangat berpangaruh oleh alam seperti cuaca, hama penyakit,
suhu, kekeringan, dan banjir. Risiko berubah secara regional dan tergantung pada
jenis dan kualitas tanah, iklim dan penggunaan irigasi.
b. Risiko biaya
Risiko biaya terjadi akibat fluktuasi harga sarana-sarana produksi seperti benih,
pupuk dan pestisida.
24
c. Risiko teknologi
Risiko teknologi terjadi pada inovasi teknologi baru disektor pertanian karena
petani belum paham, belum cukup terampil atau gagal dalam menerapkan
teknologi baru.
d. Risiko harga atau risiko pasar
Output merupakan sumber penting dari risiko pasar dibidang pertanian. Harga
pertanian cenderung berubah dan tidak memiliki kestabilan serta tidak adanya
kepastian.
e. Risiko institusi atau risiko kelembagaan
risiko kelembagaan dihasilkan oleh hal yang tidak terduga seperti perubahan
peraturan yang mempengaruhi aktivitas petani. Perubahan peraturan, jasa
keuangan, tingkat pembayaran dukungan harga atau pendapatan dan subsidi
secara signifikan dapat merubah profitabilitas kegiatan pertanian.
Risiko dan ketidakpastian tidak dianggap berbeda karena keduanya dapat dihitung
probabilitasnya, hanya dibedakan jika risiko dihubungkan dengan peluang
objektif, sedangkan ketidakpastian berhubungan dengan peluang subjektif.
Peluang subjektif tergantung pada subjektifitas orang yang mengetahui
berlangsungnya peristiwa yang terjadi pada suatu saat tertentu (Imelda, 2008).
2.1.5 Risiko Portofolio (Diversifikasi)
Portofolio adalah gabungan atau kombinasi dari berbagai instrumen atau aset
investasi yang disusun untuk mencapai tujuan investasi investor (Tandelilin,
2001). Selain itu, kombinasi berbagai instrumen itu juga menentukan tinggi risiko
dan potensi keuntungan yang diperoleh portofolio tersebut. Risiko portofolio tidak
25
merupakan rata-rata tertimbang dari seluruh risiko sekuritas tunggal. Risiko
portofolio mungkin dapat lebih kecil dari risiko rata-rata tertimbang masing-
masing sekuritas tunggal.
Risiko portofolio terdiri dari risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Risiko
sistematis adalah risiko yang disebabkan oleh perubahan dalam pengembalian
pasar secara keseluruhan. Risiko sistematis adalah faktor-faktor risiko yang
mempengaruhi pasar (sekuritas) secara keseluruhan sehingga risiko ini tidak dapat
didiversifikasi (dihilangkan). Diantaranya yaitu perubahan ekonomi suatu negara,
kebijakan pajak, bencana alam, situasi politik, perubahan iklim. Risiko tidak
sistematis adalah risiko dari petani atau pesaing tertentu. Risiko ini tidak terikat
pada faktor ekonomi, politik dan faktor lainnya yang mempengaruhi semua
sekuritas. Contoh pemogokan suatu perusahaan, pesaing baru, teknologi baru,
melalui diversifikasi yang risiko ini dapat dihilangkan atau dikurangi.
2.1.6 Pendapatan Usahatani
Menurut Saparinto (2008), analisis usahatani dilakukan karena setiap kegiatan
usahatani membutuhkan input, input tersebut diantaranya sumberdaya alam,
sumber modal, keahlian, tanah/lokasi, dan input lain yang ketersediaanya sangat
terbatas. Untuk mendapatkan output yang optimal dari input yang dimiliki,
diperlukan adanya perhitungan yang matang agar kegiatan tersebut menghasilkan
manfaat (benefit).
Besarnya pendapatan yang diperoleh dari suatu kegiatan usahatani tergantung dari
beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti luas lahan, tingkat produksi,
26
identitas pengusaha, pertanaman, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam
melakukan kegiatan usahatani, petani berharap dapat meningkatkan pendapatanya
sehingga kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi (Hernanto, 1994).
Pendapatan usahatani diartikan sebagai pendapatan yang diperoleh petani dalam
usahataninya selama satu kali produksi atau satu tahun yang diperhitungkan dari
hasil penjualan atau perolehan produksi dalam usahataninya. Pendapatan bersih
adalah hasil pendapatan keseluruhan atau pendapatan kotor yang dikurangi
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi (Sudarsono, 1994).
Menurut Soekartawi (1993) biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang
dipergunakan dalam usahatani. Biaya usahatani dibedakan menjadi dua yaitu
biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak
tergantung pada besar kecilnya produksi yang akan dihasilkan, sedangkan biaya
tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh volume produksi.
Secara matematis rumus pendapatan yaitu (Soekaratawi, 1995):
π = Y. Py – ΣXi.Pxi - BTT
Keterangan :
π = Pendapatan (Rp)
Y = Hasil produksi (Kg)
Py = Harga hasil produksi (Rp)
Xi = Faktor produksi variabel (i = 1,2,3,….,n)
Pxi = Harga faktor produksi variabel ke-i (Rp)
BTT = Biaya tetap total (Rp)
27
Pendapatan juga dapat dihitung menggunakan rumus (Soekartawi, 1995):
π = TR-TC
Keterangan :
π = keuntungan/pendapatan
TR = Total Revenue (total penerimaan)
TC = Total Cost (total biaya)
2.1.7 Penelitian Terdahulu
Yamin (2012) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Tomat Cherry Pada
Pd. Pacet Segar Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.
Dengan menggunakan metode data deskriptif yang diperoleh dengan cara
observasi, wawancara, diskusi, dan kuisioner dengan pihak perusahaan. Teknik
Analisis Data menggunakan Analisis Kemungkinan Terjadinya Risiko dengan
rumus s = ∑ ( − ): − 1dan Analisis Dampak Risiko dengan rumus
= + (√ ) dan Analisis. Hasil penelitian kajian analisis risiko produksi budidaya
tomat cherry pada PD Pacet Segar adalah sebagai berikut : 1) Berdasarkan
pengamatan di lapangan terdapat lima sumber risiko produksi pada budidaya
tomat cherry yaitu perubahan cuaca, serangan hama, penyakit, kualitas bibit, dan
sumber daya manusia. 2) Sumber risiko yang disebabkan perubahan cuaca
memiliki probabilitas dan dampak yang paling besar, yaitu 44 persen dan Rp
9.722.492 dan sumber risiko sumber daya manusia memiliki probabilitas dan
dampak paling kecil, yaitu 6,8 persen dan Rp 198.339.
Dewiana (2011) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Tanaman Hias
Bromelia Pada Ciapus Bromel Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten
28
Bogor Jawa Barat. Dengan menggunakan metode Analisis Deskriptif, metode ini
dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan diskusi dengan pihak
perusahaan serta pengisian kuisioner dan metode aproksimasi. Hasil penelitian
yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik demi
menjawab tujuan penilitian adalah : 1) Sumber-sumber risiko dalam
pembudidayaan tanaman hias bromelia yang terdapat di Ciapus Bromel adalah
risiko serangan hama, risiko serangan penyakit, risiko serangan penyakit, risiko
kesalahan mekanis dan risiko intensitas cahaya matahari. 2) Berdasarkan hasil
analisis risiko, risiko yang memiliki dampak dan probabilitas besar adalah risiko
serangan hama. Sementara itu, risiko yang memiliki dampak besar dan
probabilitas kecil adalah risiko serangan penyakit dan risiko intensitas cahaya
matahari. Sedangkan risiko kesalahan mekanis memiliki dampak kecil dan
probabilitas kecil. 3) Penanganan risiko yang telah dilakukan oleh Ciapus Bromel
dalam menghadapi risiko produksi bromelia diantaranya melalui penghindaran
dan pengalihan risiko. Tindakan pengalihan risiko diantaranya dilakukan dengan
pemeliharaan dan penyediaan media tanam, serta pemberian vitamin dan obat-
obatan. Penanganan risiko lainnya melalui strategi mitigasi risiko yang dapat
dilakukan dengan cara pengendalian penyakit, pengendalian hama, penggunaan
dan perawatan nethouse serta sistem diversifikasi tanaman. Selain itu perusahaan
pun menerapkan pelatihan bagi karyawan baru sebagai bentuk strategi untuk
mengatasi risiko kesalahan mekanis.
David (2013) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Pada Peternakan
Ayam Broiler Di Kampung Kandang Desa Tegal Kecamatan Kemang Kabupaten
29
Bogor Jawa Barat. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif, metode ini
dilakukan dengan cara berupa observasi, wawancara dan diskusi dengan pihak
perusahaan. Metode yang digunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
risiko adalah metode nilai standar atau z-score. Mengukur dampak risiko adalah
VaR (Value at Risk). Hasil penulisan kajian analisis risiko produksi pada
peternakan ayam broiler di Kampung Kandang, Desa Tegal, Kecamatan Kemang,
Kecamatan Kemang adalah sebagai berikut: 1) Terdapat 3 jenis sumber risiko
produksi pada peternakan ayam broiler di Desa Tegal yaitu perubahan cuaca,
predator dan penyakit. 2) Sumber risiko penyakit memiliki tingkat probablitas
terbesar yaitu 91.62 dan yang terkecil adalah predator sebesar 69.14 persen.
Sumber risiko produksi yang memberikan dampak terbesar adalah sumber risiko
penyakit. 3) Terdapat dua alternatif strategi yang diusulkan adalah strategi
preventif dan strategi mitigasi.
2.2 Kerangka Pemikiran
Areal dan agroekologi pertanaman jagung dan cabai sangat bervariasi, dari
dataran rendah sampai dataran tinggi, dan dengan bermacam pola tanam.
Tanaman jagung dan cabai dapat ditanam pada lahan kering beriklim basah dan
beriklim kering, sawah irigasi dan sawah tadah hujan, toleran terhadap kompetisi
pada pola tanam tumpang gilir, sesuai untuk pertanian subsistem, pertanian
komersial skala kecil, menengah, hingga skala sangat besar. Mengingat semakin
sempitnya areal lahan yang dimiliki petani dan keinginan petani terhadap hasil
yang tinggi serta tingginya tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian.
30
Menjadikan tanaman jagung dan cabai dikembangkan dengan sistem tanam
tumpang gilir. Tumpang gilir merupakan adalah teknik budidaya tanaman dengan
menanam lebih dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan
menanam lebih dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan yang
sama dalam waktu satu tahun. Tumpang gilir adalah penanaman yang dilakukan
secara berurutan dan lebih dari satu periode tanam dengan mempertimbangkan
faktor-faktor lain untuk mendapat keuntungan maksimum. Usahatani tumpang
gilir jagung dan cabai tidak lepas dari masalah atau risiko yang dihadapi oleh para
petani tumpang gilir jagung dan cabai. Menurut Kadarsan (1992) ada beberapa hal
penyebab risiko, yaitu ketidakpastian produksi, tingkat produksi, tingkat harga,
dan perkembangan teknologi.
Usahatani tumpang gilir jagung dan cabai akan menghasilkan output berupa fisik
dan ekonomi. Output fisik berupa produk jagung ataupun cabai, sedangkan output
ekonominya berupa pendapatan. Besarnya input akan berpengaruh terhadap hasil
output ekonominya. Dan suatu usahatani memerlukan proses analisis financial
agar dapat mengetahui berhasil atau tidaknya usahatani dalam menjalankan
usahanya. Unsur-unsur biaya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya
tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi seperti
penyusutan peralatan. Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya selalu berubah
sesuai dengan jumlah produksi.
Produk yang dihasilkan dari korbanan biaya tetap dan biaya variabel kemudian
dijual. Hasil dari penjualan disebut penerimaan. Penerimaan adalah hasil
perkalian antara jumlah produk yang terjual dengan harga jual produk. Setelah
31
diperoleh penerimaaan, dapat diketahui pendapatan yang diperoleh petani yaitu
dari selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total. Pengeluaran total
diperoleh dari hasil penjumlahan antara total biaya tetap dan biaya variabel.
32
Gambar 2. Kerangka Pikir Analisis Risiko Usahatani Tumpang Gilir TanamanJagung dan Cabai di Desa Buanasakti Kecamatan BatanghariKabupaten Lampung Timur.
AnalisisRisiko
Usahatani Tumpanggilir Jagung dan
Cabai
Harga
Produksi
Biaya
Harga
Pendapatanπ = TR – TC
&R/C Ratio
Risiko pendapatan CV =
Risiko produksi CV =
Penerimaan
Input
33
2.3 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat
praduga karena masih harus dibuktikan kebenaranya.
Hipotesis yang diajukan :
1. Diduga terdapat risiko usahatani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa
Buanasakti Kabupaten Lampung Timur.
2. Diduga pendapatan petani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa
Buanasakti Kabupaten Lampung Timur menguntungkan setiap musimnya.
34
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Definisi Operasional
Maka secara operasional akan mendefinisikan variabel-variabel yang akan
digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input
atau faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja, modal, tekhnologi, pupuk,
benih, dan pestisida) dengan efektif, efisien dan kontinyu untuk menghasilkan
produksi yang tinggi sehingga pendapatan usaha taninya meningkat.
2. Tumpang gilir ( Multiple Cropping ), adalah teknik budidaya tanaman dengan
menanam lebih dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan
menanam lebih dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan
yang sama dalam waktu satu tahun.
3. Modal adalah segala sumberdaya hasil produksi yang tahan lama, yang dapat
digunakan sebagai input produktif dalam proses produksi berikutnya.
4. Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani yang
diukur dalam satuan Harian Orang Kerja (HOK)
35
5. Biaya adalah korbanan yang sesungguhnya dikeluarkan petani selama
produksi jagung dan cabai untuk mendapatkan produksi hasil yang maksimal,
dinyatakan dengan rupiah per hektar per periode (Rp/ha/periode)
6. Pestisida adalah jumlah penggunaan pestisida untuk mengurangi serangan
hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai ataupun jagung yang
digunakan untuk memproduksi cabai ataupun jagung yang diukur dengan
satuan rupiah per mililiter per hektar per periode tanam (Rp/liter/ha/periode)
7. Pupuk adalah jumlah pupuk yang digunakan untuk menanam cabai dan
jagung yang diukur dengan satuan kilogram per hektar per periode
(kg/ha/periode)
8. Benih adalah jumlah benih yang digunakan untuk memproduksi cabai
ataupun jagung yang diukur dengan satuan kilogram per hektar per periode
(kg/ha/periode)
9. Pendapatan usahatani adalah selisih total penerimaan dengan total
pengeluaran, yakni diukur dengan satuan rupiah per hektar (Rp/Ha)
10. Penerimaan adalah seluruh pemasukan yang diterima dari kegiatan ekonomi
yang menghasilkan uang tanpa dikurangi dengan total biaya produksi yang
dikeluarkan yang dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar (Rp/Ha)
11. Risiko adalah besarnya penyimpangan biaya, produksi, dan pendapatan dari
biaya, produksi, dan pendapatan yang diharapkan pada usahatani tumpang
gilir jagung dan cabai. Risiko diukur dengan nilai koefisien variasi (CV)
12. Produksi merupakan suatu proses produksi dari tanam tumpang gilir jagung
dan cabai dalam satuan rupiah per ton per periode (Rp/ton/periode).
36
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi pelaksanaan kegiatan penelitian dilakuhkan di Desa Buanasakti
Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur. Pemilihan lokasi tersebut
dilakuhkan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa
Buanasakti memiliki luas tanam palawija terkecil kedua di Kecamatan Batanghari.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016.
3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling
3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh unit individu pada suatu area penelitian yang akan
dijadikan objek penelitian, dalam hal ini adalah seluruh petani cabai dan jagung
dengan sistem tumpang gilir di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari
Kabupaten Lampung Timur, yang berjumlah 251.
3.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti, dipandang sebagai
suatu pendugaan terhadap populasi, namun bukan populasi itu sendiri. Sampel
dianggap sebagai perwakilan dari populasi yang hasilnya mewakili keseluruhan
gejala yang diamati. Ukuran dan keragaman sampel menjadi penentu baik
tidaknya sampel yang diambil. Pengambilan sampel ini dilakuhkan dengan
menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan
pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2006). Dengan jumlah sampel yang diambil
sebanyak 38 orang.
37
3.4Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan data primer dan sekunder. Data primer
merupakan data diperoleh dan dikumpulkan sendiri secara langsung dengan
melakukan wawancara kepada beberapa petani di Desa Buanasakti Kecamatan
Batanghari Kabupaten Lampung Timur. Hal ini untuk mendapatkan informasi
mengenai Data yang diperlukan dari petani/produsen meliputi biaya usahatani,
produktivitas usahatani, sistem dan struktur produksi, kendala yang dihadapi
produsen dalam berproduksi, sistem penjualan produk, biaya-biaya pasca panen
yang dikeluarkan, risiko usahatani, dan perilaku petani terhadap risiko. Data
diperoleh dari responden yang dikumpulkan dengan cara memberi kuisioner
(daftar pertanyaan) yang akan dijawab oleh responden/petani/produsen atas
pertanyaan yang berkaitan dengan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai.
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti bukan dari cara peneliti sendiri
tetapi dikumpulkan oleh orang lain, seperti dari dokumen perusahaan, pemerintah,
brosur, internet, dan dari riset kepustakaan yang dimaksud untuk mendapatkan
informasi penting lainya, dasar pengaturan, serta dasar teoritis terhadap apa yang
diteliti.
Adapun tekhnik pengumpulan data yang dilakuhkan dengan cara:
1. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab kepada
responden dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan.
2. Dokumentasi yaitu mencatat data yang diperoleh dari beberapa instansi yang
berhubungan dengan penelitian.
38
3. Study kepustakaan yaitu dengan mencatat dari beberapa literatur yang berkaitan
dengan penelitian.
3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kuantitatif. Analisis
kuantitatif digunakan untuk mengetahui hasil produksi, harga hasil produksi,
jumlah faktor produksi, dan harga faktor produksi. Analisis data menggunakan
alat analisis koefisien variasi dan analisis pendapatan R/C ratio. Analisis risiko
digunakan untuk mengukur besarnya risiko usahatani tumpang gilir. Analisis
pendapatan R/C rasio digunakan untuk melihat pendapatan usahatani tumpang
gilir efisien dan menguntungkan atau tidak.
3.5.1 Analisis risiko
Analisis risiko dengan pendekatan kuantitatif dilakuhkan dengan menggunakan
konsep simpangan baku dan ragam serta koefisien variasi. Simpangan baku
merupakan akar dari variance (ragam). Secara matematis dapat dinyatakan:
V=√ ................................
Dimana : V adalah simpangan baku
V2 adalah variance (ragam)
Nilai V menunjukan besarnya fluktuasi keuntungan yang mungkin diperoleh atau
besarnya risiko yang harus ditanggung pengusaha (hermanto,1989). Secara
statistik nilai V ini diketahui setelah dihitung terlebih dahulu ukuran ragamnya
39
( V2 ) darikeuntungan yang diharapkan. Ukuran varian (ragam) dapat dihitung
sebagai berikut:
V2 =∑ ( )
Dimana : E adalah nilai rata-rata
Ei adalah hasil bersih pada tahun ke i
N adalah jumlah pengamatan
Rata-rata hasil bersih yang diperoleh oleh pengusaha dalam setiap periode
menggambarkan besarnya nilai keuntungan harapan pengusaha dimasa-masa akan
datang.
Menurut Hermanto (1989), produsen harus selalu mempertimbangkan besarnya
risiko yang ditanggung dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dalam
setiap proses produksi. Hubungan antara risiko dan keuntungan dalam suatu usaha
biasanya diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan.
Nilai koefisien variasi ditentukan dengan cara membagi risiko yang harus
ditanggung pengusaha dengan jumlah keuntungan yang akan diperoleh sebagai
hasil dari sejumlah modal yang ditanamkan dalam usaha. Secara sistematis risiko
produksi, harga dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut:
a. Risiko produksi : CV =
b. Risiko harga : CV =
c. Risiko pendapatan : CV =
40
Keterangan:CV : Koevisien variasi
: Standar deviasi
C : Rata-rata produksi (kg)
Y : Rata-rata pendapatan (Rp)
Q : Rata-rata harga (Rp)
Jika nilai koefisien variasi (CV) diketahui, maka kita akan dapat mengetahui
besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam usahatani tumpang gilir
jagung dan cabai. Nilai CV berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi petani
tumpang gilir jagung dan cabai, artinya semakin besar nilai CV yang didapat
maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung petani. Begitu pula
sebaliknya, semakin rendah nilai CV yang diperoleh maka risiko yang harus
ditanggung petani akan semakin kecil.
Hal yang penting dalam pengambilan keputusan adalah perhitungan batas bawah
hasil tertinggi. Penentuan batas bawah (L) untuk mengetahui jumlah hasil
terbawah di bawah tingkat hasil yang diharapkan. Hal ini, dapat menjadi
pertimbangan petani dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan usahatani
tumpang gilir atau tidak yang mempunyai tingkat risiko. Batas bawah (L)
menunjukkan nilai nominal keuntungan terendah yang mungkin diterima oleh
petani dan menunjukkan aman tidaknya modal/investasi yang ditanam dari
kemungkinan kerugian. Rumus batas bawah (L) menurut Kadarsan (1995) adalah:
L= E – 2V
41
Keterangan:
L : Batas bawah produksi
V : Standar Deviasi
E : Rata-rata produksi, harga, pendapatan yang diperoleh
Nilai batas bawah (L) tertinggi dapat diartikan bahwa usahatani dengan komoditi
tersebut memberikan hasil terendah yang paling tinggi untuk diusahakan. Apabila
nilai L>0, maka petani mengalami keuntungan, sebaliknya jika nilai L<0, maka
petani akan mengalami kerugian, setiap proses produksi ada peluang kerugian
yang diderita petani. Nilai batas bawah (L) digunakan dalam hal pengambilan
keputusan investasi dan menunjukan nominal keuntungan terendah yang mungkin
diterima petani.
3.5.2 Analisis pendapatan
Metode untuk pengolahan data dengan menghitung pendapatan usahatani
tumpang gilir jagung dan cabai. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan
menggunakan rumus π = TR – TC
π = Y.Py – (xi.Pxi)
dimana:
π = adalah pendapatan petani
Y = hasil produksi (kg)
Py = harga hasil produksi (Rp)
Xi = faktor produksi variabel ke-i
Pxi = harga faktor produksi variabel ke-i (Rp/Kg)
42
Menurut Soekartawi (1995), R/C Ratio (Return Cost Ratio) merupakan
perbandingan antara penerimaan dan biaya, yang secara matematik dapat
dinyatakan sebagai berikut;
R/C = PQ . Q / (TFC + TVC)
Keterangan:
R = Penerimaan
C = Biaya
PQ = Harga output
TFC = Biaya tetap (fixed cost)
TVC = Biaya variabel (variable cost)
Ada tiga kriteria pengambilan keputusan dalam R/C ratio, yaitu:
R/C ratio > 1, maka usahatani tersebut efisien dan menguntungkan
R/C ratio = 1, maka usahatani tersebut BEP
R/C ratio < 1, maka tidak efisien atau merugi.
43
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Wilayan Penelitian
4.1.1 Letak Geografis
Letak dan Luas Desa Buanasakti berdiri pada tahun 1972 berdasarkan peraturan
daerah Nomor 01 tahun 2001 dan Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 13
Tahun 2001 tentang pembentukan 11 Kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung
Timur yang terdiri dari 24 kecamatan definitif dan 246 desa. Desa Buanasakti
memiliki luas wilayah kurang lebih 959,18 km. Secara administratif batas Desa
Buanasakti adalah :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Way Sekampung
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Purwodadi Mekar atau Way Kandis
c. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Margototo (Kecamatan Metro Kibang)
d. Sebelah timur berbatasan dengan Way Sekampung.
Desa Buanasakti mempunyai jarak tempuh (orbitasi) dengan wilayah lain adalah
sebagai berikut:
a. Jarak dari pusat Pemerintah Kecamatan : 7,0 Km
b. Jarak dari pusat Pemerintah Kota : 12 Km
c. Jarak dari pusat Pemerintah Kabupaten : 30 Km
d. Jarak dari pusat Pemerintah Propinsi : 45 Km
44
4.1.2. Kondisi Geografis
Dari segi topografi, Desa Buanasakti termasuk kedalam dataran rendah dengan
tipe daerah aliran Sungai, yaitu Way Seputih, Way Sekampung, dan Way Jepara,
dengan ketinggian tempat 750 meter dpl. Sedangkan suhu udara maksimum rata–
rata 30 ̊C, jumlah bulan basah dalam setahun dengan curah hujan yang tinggi
kurang lebih 150mm/tahun.
4.1.3. Potensi Sumber Daya Alam
Area Desa Buanasakati Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur seluas
949,18 Ha, yang secara rinci disajikan pada tabel 7 dibawah ini:
Tabel 7. Luas Wilayah Desa Buanasakati dan Peruntukanya Tahun 2015
No UraianLuas wilayah
Persentase(%)(ha)
1 Pemukiman 116,08 12,232 Pertanian Sawah 171,02 18,023 Pertanian Ladang 653,08 68,804 Tanah Fasilitas Umum 9 0,95
Jumlah 949,18 100Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015
Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa luas keseluruhan Desa Buanasakti adalah
949,18 ha, yang diperuntukan untuk pemukiman 116,08 ha atau (12,23%), lahan
pertanian sawah 171,02 ha atau (18,02%), lahan pertanian ladang 653,08 ha atau
(68,80%), dan tanah fasilitas umum 9 ha atau (0,95%). Pada data yang ada
menunjukan bahwa lahan pertanian ladang memiliki luasan yang tertinggi dimana
sebagian petani Desa Buanasakti memperuntukan lahanya untuk tanam tumpang
gilir jagung dan cabai.
45
4.2 Demografi
Jumlah penduduk Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung
Timur pada tahun 2015 adalah 2.595 jiwa, yang terdiri dari 1321 pria dan 1274
wanita dengan jumlah kepala keluarga 767 KK.
4.2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur
Jumlah penduduk berdasarkan umur di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari
Kabupaten Lampung Timur secara rinci dapat dilihat pada tabel 8 dibawah ini:
Tabel 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur di Desa Buanasakti Tahun 2015
No Umur Jumlah (orang) Persentase (%)1 0-<12 Bulan 27 1,042 >1-<5 Tahun 104 4,013 >6-<7 Tahun 217 8,364 >8-<15 Tahun 150 5,785 >15-<56 Tahun 1535 59,156 >56 Tahun 562 21,66
Jumlah 2595 100Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015
Berdasarkan tabel 8 menunjukan bahwa tingginya jumlah masyarakat Desa
Buanasakti pada umur 15-56 tahun atau (59,15%) adalah 1535 jiwa, diikuti umur
>56 tahun atau (21,66%) adalah 562 jiwa, 6-7 tahun atau (8,36%) adalah 217
jiwa, 8-15 tahun atau (5,78%) adalah jiwa, 1-5 tahun atau (4,01%) adalah 104
jiwa, dan 0-12 bulan atau (1,04%) adalah 27 jiwa. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar (59,15%) masyarakat Desa Buanasakti berada
pada tingkat umur 15-56 tahun atau termasuk dalam klasifikasi umur produktif
untuk angkatan kerja (Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015).
46
4.2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan
Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di Desa Buanasakti Kecamatan
Batanghari Kabupaten Lampung Timur secara rinci dapat dilihat pada tabel 9
dibawah ini:
Tabel 9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan di Tahun 2015
No Tingkat PendidikanJumlah(orang)
Persentase (%)
1 TK 27 1,3892 Sekolah Dasar 1690 86,933 SMP/SLTP 217 11,164 SMA/SLTA 21 0,055 Akademi/D1-D3 9 0,466 Sarjana (S1-S3)
1964 100Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015
Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di
Desa Buanasakti adalah TK ada 27 jiwa atau (1,389%), Sekolah Dasar 1690 jiwa
atau (86,93%), SMP/SLTP ada 217 jiwa atau (11,16%), SMA/SLTA ada 21 jiwa
atau (0,05%), Akademi/D1-D3 ada 9 atau (0,46%). Data yang ada menunjukan
sebagian besar masyarakat di Desa Buanasakti berpendidikan Sekolah Dasar,
walau demikian antusias petani dalam pemahaman tentang teknologi pertanian
terus berkembang pesat. Hal ini tampak dengan kegiatan pertanian usahatani yang
dikembangkan didaerah tersebut yang rata-rata petani menggunakan sistem tanam
tumpang gilir.
47
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Identitas Responden
Sebagai gambaran yang nyata tentang responden yang disajikan pada penelitian
ini, maka berikut ini akan disajikan data mengenai identitas responden yang
meliputi, umur responden, pendidikan responden, mata pencaharian responden,
pengalaman usahatani, luas lahan, produksi jagung, dan produksi cabai.
5.1.2 Umur Responden
Sebaran umur responden berkisar antara 25-65 tahun yang secara terperinci dapat
dilihat pada tabel 10 berikut ini:
Tabel 10. Sebaran Umur Responden
No Umur (th) Jumlah responden Persentase (%)1 26-39 15 39,52 >39-52 17 44,73 >52-65 6 15,8
Jumlah 38 100Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2015
Berdasarkan data pada tabel 10 diketahui bahwa umur responden antara 26-39
tahun terdapat 15 responden atau (39,5%), umur >39-52 tahun terdapat 17
responden atau (44,7%), umur >52-65 tahun terdapat 6 responden atau (15,8%).
Pada tabel ini tingkat umur responden yang paling banyak berumur >39-52 tahun
48
mencapai 44,7% yang artimya petani tumpang gilir jagung dan cabai berada pada
usia produktif dan sudah mempunyai pengalaman yang cukup sebagai petani
tumpangsari jagung dan cabai.
5.1.2 Pendidikan Responden
Sebaran tingkat pendidikan responden berkisar antara Sekolah Dasar sampai
dengan SLTA/SMA. Dengan perincian seperti disajikan pada tabel 11 berikut ini:
Tabel 11. Tingkat Pendidikan Responden
No Pendidikan Jumlah Responden Persentase (%)1 SD 16 42,12 SLTP/MTS 14 36,83 SLTA/SMA 8 21,1
Jumlah 38 100Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
Dari tabel 11 dapat diketahui bahwa sebaran pendidikan responden pada tingkat
SD sebanyak 16 atau (42,1%), SLTP sebanyak 14 responden atau (36,8%). SLTA
sebanyak 8 responden atau (21,1%). Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat
bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada kemampuan petani dalam
mengadopsi teknologi dalam usahatani terkait dengan pola penanaman untuk
meningkatkan pendapatan dan mensejahterakan keluarga petani itu sendiri.
5.1.3 Pengalaman Usahatani
Sebaran usahatani tumpang gilir jagung dan cabai berkisar antara 1-7 tahun, yang
secara rinci disajikan pada tabel 12 berikut ini:
49
Tabel 12. Sebaran Pengalaman Usahatani Tumpang Gilir Jagung dan Cabai
NoPengalam UTTumpang Gilir
Jumlah Responden Persentase (%)
1 1-<3 Tahun 11 28,92 >3-5 Tahun 25 65,83 >5-7 Tahun 2 5,3
Jumlah 38 100Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
Dari tabel 12 diketahui bahwa petani yang memiliki pengalaman usahatani
tumpang gilir1<3 tahun sebanyak 11 responden atau (28,9%), >3-5 tahun
sebanyak 25 responden atau (65,8%), >5-7 tahun sebanyak 2 responden atau
(5,3%). Melihat belum lamanya pengalaman usahatani tumpang gilir jagung dan
cabai di Desa Buanasakti yang mencapai 65,8% dari pengalaman yang ada dinilai
petani walau belum berpengalaman namun mampu memperoleh pengetahuan dari
seringnya mengadakan perkumpulan guna bertukar pengalaman sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan petani tumpang gilir itu sendiri.
5.1.4 Luas Lahan Penanaman
Luas lahan penanaman petani yang ditanami tumpang gilir berkisara antara 0,25-
0,75 hektar, lahan penanaman tersebut berupa lahan ladang. Secara rinci dapat
dilihat pada tabel 13 berikut ini:
Tabel 13. Luas Lahan Penanaman Tumpang GilirJagung dan Cabai
NoKlasifikasi Luas
LahanJumlah Responden Persentase (%)
1 0,25 18 50,02 0,5 17 47,23 0,75 1 2,8
Jumlah 36 100Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
50
Dari tabel 13 menunjukan bahwa sebagian (50,0%) responden memiliki luas lahan
tanam kurang dari 0,5 ha, hal ini dikarenakan tingginya modal yang dikeluarkan
untuk penanaman sistem tumpang gilir jagung dan cabai.
5.2 Hasil Penelitian
5.2.1 Keragaman Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai
1. Pola Tanam
Penanaman jagung dan cabai yang dilakuhkan petani responden di daerah
penelitian dilakuhkan secara polikultur. Petani responden jagung dan cabai
umumnya menanam jagung dan cabai 1 kali dalam satu tahun. Jadwal penanaman
jagung dan cabai di daerah penelitian sangat tergantung pada musim penghujan
yang ada. Pola tanam yang dilakuhkan petani tumpang gilir jagung dan cabai
adalah jagung-cabai-singkong atau jagung-cabai-palawija.
2. Budidaya Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai di Desa
Buanasakti
A. Budidaya Jagung
Budidaya jagung oleh petani responden didahului dengan kegiatan pengolahan
lahan yang dilakuhkan dengan tujuan untuk mengubah struktur tanah yang tadinya
padat atau keras menjadi gembur. Tanaman jagung juga memerlukan aerasi dan
drainase yang baik sehingga perlu penggemburan tanah. Pada umumnya persiapan
lahan untuk tanaman jagung dilakukan dengan cara dibajak sedalam 15-20 cm,
diikuti dengan pemupukan dengan pupuk kandang guna meningkatkan sumber
hara yang ada di dalam tanah sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan, dosis
51
pupuk yang di gunakan berkisar antara 80-100 sak per ½ ha. Ketika
mempersiapkan lahan, sebaiknya tanah jangan terlampau basah tetapi cukup
lembab sehingga mudah dikerjakan dan tidak lengket. Untuk jenis tanah berat
dengan kelebihan, perlu dibuatkan saluran drainase. Untuk masa tunggu biasa
dilakuhkan setelah 7-14 hari setelah pemupukan. Sebelum melakukan pengajiran,
lahan harus di lubangi atau digejik dengan menggunakan kayu yang berdiameter 5
cm guna memberikan ruang untuk peletakaan bibit jagung nantinya. Dalam ajiran
pada umunya berkisar antara 3-5 cm.
Sebelum benih jagung ditanam ada perlakuan yang harus dilakukan yaitu
mencapur benih dengan insektisida atau fungisida, supaya terhindar dari serangan
jamur, ulat agrotis, dan lalat bibit. Obat yang biasa digunakan adalah furadan dan
benlate. Pola tanam yang digunakan oleh petani responden didaerah penelitian
yaitu jajar legowo dan tegel. Dengan jarak tanam yang digunakan yaitu 80 x 50 x
100 cm dan 80 x 50 cm baik untuk tanaman jagung.
Pemeliharaan yang dilakukan pada petani jagung yaitu berupa penyulaman,
pengendalian gulma, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit serta
pengairan pada tanaman yang biasa dilakukan dengan bantuan curah hujan. Pada
penyulaman dilakukan apabila terdapat bibit yang tumbuh dengan tidak baik atau
mati, terserang hama seperti tikus, semut, ulat dan terserang penyakit tanaman.
Umumnya petani responden melakukan pemupukan dalam 2-3 tahap. Pemupukan
pertama dilakuhkan pada saat umur 15 hari dan 40 hari setelah bibit ditanam.
Pemberian pupuk dilakukan dengan tujuan untuk melengkapi unsur hara yang
tidak dapat diserap oleh akar. Pupuk yang digunakan di daerah penelitian adalah
pupuk Kandang, UREA, SP 36, dan PONSKA.
52
Penyiangan jagung bertujuan untuk memberikan ruang agar cahaya matahari
dapat langsung mengenai tanaman dibawahnya yaitu cabai. Penyiangan jagung
dilakukan kisaran umur 80 – 90 hari sedangkan pada tanaman cabai kisaran umur
35 – 45 hari. Kegiatan penyiangan dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan
memotong bagian atas yang berbatasan dengan buah jagung. Dimana penyiangan
ini buah jagung dibiarkan dipohon sementara menunggu masa panen tiba.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Rata-
rata petani responden menggunakan pestisida sesuai dengan kondisi lahan
masing-masing. Pemberantasan hama dilakuhkan ketika tanaman jagung atau pun
cabai terindikasi oleh serangan hama penyakit menggunakan alat penyemprot
(sprayer). Hama penyakit yang sering menyerang tanaman jagung petani
responden adalah wereng, ulat, dan tikus.
Pemanenan dilakukan saat umur tanaman jagung berusia 120-125 hari untuk
panen yang disetor ke gudang dan 95-100 hari untuk panen yang disetor ke
agen.Pemanenan jagung dilakukan dengan manual yaitu dengan memetik jagung
dengan tangan petani langsung yang kemudian dilakukan pemisahan antara klobot
jagung dengan jagung. Pada umunya hasil panen jagung berupa bonggolan yang
belum digiling yang kemudian di jual langsung ke agen.
B. Budidaya Cabai
Budidaya cabai didahului dengan penyemaian terlebih dahulu yang biasa
dilakukan di halaman atau pekarangan petani responden. Luas lahan yang
digunakan untuk persemaian diukur dengan bedeng, untuk penyemaian lebar yaitu
120 cm x 10 m dengan jumlah 4 bedeng per 1/2ha. Penyemaian dilakukan dengan
53
cara benih disebar dipersemaian. Jarak semaian antar biji berkisar 7cm x 1cm. Hal
ini dilakukan agar daya tumbuh benih cabai mencapai 94%. Benih cabai akan siap
ditanam apabila umur benih cabai mencapai20-25 hari.
Sedangkan pengolahan lahan untuk tanaman cabai dilakukan dengan cara
pembuatan gulutan pada tiap barisan tanaman jagung, disertai dengan pemberian
pupuk kandang. Dengan cara pupuk diletakan pada lubang yang telah siap untuk
penanaman cabai dengan jarak penanaman 15 -20 hari setelah pemupukan.
Pola tanam yang dilakukan pada tanaman cabai yaitu legowo. Dengan jarak tanam
yang digunakan yaitu 80 x 50x 100 cm dan 80 x 50 x 160 cm. Tujuan dari
penggunaan dari jajar legowo dan tegel agar sinar matahari dapat masuk secara
merata pada tanaman, mempermudah dalam pemeliharaan, juga dapat
meningkatkan produksi.
Pemeliharaan yang dilakukan pada petani cabai yaitu berupa penyulaman,
pengendalian gulma, pemupukan, dan pemberantasan hama dan penyakit serta
untuk lebih ditekankan dalam pengairan. Penyulaman dilakukan apabila terdapat
bibit yang tumbuh dengan tidak baik atau mati, terserang hama seperti semut, ulat
dan terserang penyakit tanaman. Pemupukan susulanpun harus dilakukan petani
secara rutin atau sesuai kebutuhan tanaman. Sedangkan umumnya pemupukan
susulan petani cabai dilakukan pemupukan dalam 10-14 kali dimana pemupukan
dilakukan dengan 2 cara yaitu pengocoran 8-10kali dan pemupukan tabur
sebanyak 2-4 kali. Pupuk yang yang digunakan adalah pupuk Kandang,
MUTIARA, SP-36, PONSKA, KCL, dan GROWER.
54
Pengairan pada tanaman cabai dilakukan dengan air hujan yang telah ditampung
oleh petani itu sendiri yang kemudian digunakan untuk pengairan dan pemupukan
tanaman cabai. Dalam hal ini peran pengairan sangat berpengaruh terhadap
produksi panen cabai. Ketidakadaanya sumber air atau pun aliran irigasi
menyebabkan curah hujan menjadi faktor utama dalam penentu pertumbuhan dan
produksi tanaman.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Rata-
rata petani responden menggunakan pestisida sesuai dengan kondisi lahan
masing-masing. Pemberantasan hama dilakukan ketika tanaman jagung atau pun
cabai terindikasi oleh serangan hama penyakit menggunakan alat penyemprot
(sprayer). Hama penyakit yang sering menyerang tanaman cabai yaitu hama trip,
kutu kebul, tungau, ulat, jamur dan krapyak.
Pemanenan cabai dilakukan saat umur 90-120 hari untuk petik merah dan 80-85
hari untuk petik hijau. Pada umunya hasil panen cabai di jual kepada agen.
5.2.2 Penggunaan Sarana Produksi
Sarana produksi yang digunakan oelh petani repsonden yaitu lahan, benih, pupuk,
pupuk Kandang, UREA, SP-36, PONSKA, KCL, MUTIARA, dan GROWER.
Sebagan besar sarana produksi tersebut didapat petani dengan cara membeli dan
penggunaanya disesuaikan dengan luasan lahan jagung dan cabai dengan sistem
tumpang gilir yang diusahakan oleh petani.
55
1. Pengunaan Benih
Benih merupakan salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan produksi
jagung ataupun cabai. Usaha peningkatan produksi akan berhasil apabila
tersedianya benih yang bermutu baik dan dalam jumlah yang cukup. Penggunaan
benih yang dianjurkan yaitu 16-20 kg/ha untuk jagung dan 18-22bungkus/ha.
Benih yang bermutu yaitu benih yang asli, murni, bersih, memiliki viabilitas
tinggi dan sehat. Petani responden tanaman jagung menggunakan benih jenis DK
85, NK Jumbo, BISI-18, Pioner Gajah. Sedangkan pada benih cabai biasanya
menggunakan benih jenis Yosi, Kio, Lado, Belinda, dan Universal.
2. Pengunaan Pupuk
Pupuk merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan produksi jagung dan
cabai. Kegiatan pemupukan yang dilakukan oleh petani responden dan dosis
pupuk yang diberikan sangat bergantung pada faktor keuangandan tingkat
kesuburan tanaman, dan lahan yang dimiliki. Petani jagung rata-rata
menggunakan empat jenis pupuk sebagai upaya meningkatkan produksi yaitu
pupuk Kandang, Urea, SP-36, dan PONSKA. Harga pupuk kandang berkisar
antara Rp400-Rp520/kg, SP-36 Rp2700/kg, pupuk UREA Rp2.100/kg, dan pupuk
Ponska Rp3.000/kg.
Petani responden tanaman cabai rata-rata menggunakan lima jenis pupuk sebagai
upaya untuk meningkatkan produksi, yaitu pupuk Kandang, MUTIARA, SP-36,
PONSKA, KCL, dan GROWER. Harga pupuk kandang berkisar antara Rp460-
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa peralatan yang digunakan oleh petani
responden pada jagung dan cabai di Dea Buanasakti berupa mesin dan alat
sederhana seperti sprayer, cangkul, sabit, benang, rafia, ember, terpal, waring,
plastik, alat kocor, dan karung.
Rata-rata peralatan dimiliki sendiri oleh petani responden karena mereka dalam
melakukan usahatani memiliki peralatan tersendiri walaupun terbatas dan
sederhana. Tenaga kerja luar keluarga misalnya mereka membawa
peralatansendiri. Rata-rata umur ekonomis yang paling lama dari peralatan
usahatani jagung dan cabai yang digunakan petani responden adalah sprayer
dengan umur ekonomis 5 tahun dan cangkul dengan umur ekonomis 5 tahun.
Nilai total penyusutan per usahatani sebesar Rp 49.970.
63
6. Produksi Usahatani Jagung Dan Cabai
Produksi yang dihasilkan oleh petani didaerah penelitian sangat bervariasi, karena
produksi yang dihasilkan tergantung pada luas lahan yang ditanam, modal yang
dimiliki petani, dan cuaca. Produksi jagung dan cabai dapat dilihat pada tabel 18.
Tabel 18. Rata-rata produksi usahatani jagung dan cabai di Desa Buanasakti tahun2015
UraianKomoditas
Jagung Cabai
Luas lahan (ha) 0,375 0,375
Produksi (kg) 3.031 2.143
Harga (Rp) 2.682 12.171Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
Berdasarkan tabel 18 dapat diketahui bahwa rata-rata produksi usahatani jagung
sebesar 3.031kg/0,375ha dan rata-rata produksi cabai 2.143 kg./0,375ha. Hal ini
terlihat bahwa produksi usahatani jagung lebih besar. Harga jagung yang
cenderung standar, namun tetap memberikan keuntungan bagi petani responden.
Tingginya produksi setiap usahatani dipengaruhi oleh ketersediaan input produksi
dan tingkat adopsi petani terhadap teknologi. Upaya petani dalam meningkatkan
produksi pada usahatani jagung dan cabai juga perlu menyesuaikan dengan isu
global yang lain, seperti upaya menyiapkan petani dalam mengatasi persoalan
iklim global. Petani perlu dikenalkan dengan penggunaan sarana produksi yang
efisien serta sarana produksi yang memiliki adaptasi tinggi terhadap goncangan
iklim karena akan berpengaruh kepada rawan pangan dan pengurangan
produktifitas. Sebagai bagian dari peran penyuluh pertanian.
64
Di Desa Buanasakti peran penyuluh pertanian masih sangat minim, terlihat pada
setiap kegiatan perkumpulan kelompok tani atau pun perkumpulan gapoktan tanpa
didampingi penyuluh. Kurangnya peran penyuluh dalam usahatani tumpang gilir
ini menyebabkan tingginya tingkat penggunaan faktor produksi sehingga biaya
produksi yang dikeluarkan cukup tinggi serta dalam pemilihan tanaman lanjutan
yang diambil berdasarkan pengalaman berusahatani para petani karna kurangnya
inovasi yang seharusnya diperoleh dari penyuluh setempat. Semakin efisien
penggunaan faktor produksi dan semakin sesuai tanaman lanjutan yang ditanam
maka semakin tinggi produksi yang didapat petani sehingga mempengaruhi
pendapatan petani itu sendiri.
5.3 Risiko Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai
Risiko yang dihadapi petani dalam usahatani tumpang gilir pada tanaman jagung
dan cabai di daerah penelitian sebagian besar disebabkan oleh cuaca dan hama
penyakit tanaman. Hama penyakit tanaman yang mengganggu tanaman jagung
seperti wereng, ulat, tikus, dan penyakit bule. Sedangkan hama dan penyakit yang
menyerang tanaman cabai seperti hama trip, kutu kebul, tungau, ulat, krapayak,
dan jamur yang akan mengurangi produksi jagung atau pun cabai. Selain itu cuaca
yang ekstrim seperti hujan yang terus menerus akan menyebabkan lahan pertanian
menjadi lembab sehingga dapat menjadikan tempat yang baik bagi pertumbuhan
jamur serta mempercepat pertumbuhan gulma, serta kemarau panjang akan
mengurangi ketersediaan air untuk pengairan jagung dan cabai. Cuaca sebagai
salah satu penyebab risiko paling tinggi dikemukakan oleh Soekartawi,dkk (1993)
yang menyatakan bahwa risiko dalam produksi pertanian diakibatkan oleh
ketergantungan pada iklim dan alam, dimana pengaruh buruk alam telah banyak
65
mempengaruhi total hasil panen pertanian. Risiko usahatani jagung dan cabai
dapat dianalisisdengan menggunakan analisis koefisien variasi (CV). Dimana jika
nilai koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh produksi kecil,
maka menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani juga rendah, sebaliknya
jika nilai koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi maka
menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani besar.
5.3.1 Risiko Usahatani Tumpang Gilir pada Komoditas Jagung
Pada usahatani tumpang gilirtanaman jagung terdapat risiko yang dialami oleh
petani, risiko tersebut dianalisis menggunakan koefisien variasi (CV). Jika nilai
koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh produksi kecil,
menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih kecil sebaliknya jika nilai
koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi maka menggambarkan
risiko yang dihadapi oleh petani lebih besar. Risiko yang terjadi pada usahatani
tumpang gilir tanaman jagung dapat dilihat pada tabel 19.
Tabel 19. Risiko produksi dan risiko harga usahatani tumpang gilir pada tanamanjagung di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten LampungTimur tahun 2015.
UraianRisiko Produksi
(kg)Risiko Harga(Rp)
RisikoPendapatan
Per UsahataniNilai tengah (E) 3.031 2.682 4.483.653Satndar deviasi (V) 1.391 125 2.547.478L 249 2.432 (611.304)CV 0,5 0,05 0,6
Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
Berdasarkan tabel 19 terlihat bahwa nilai tengah dari produksi jagung per
usahatani yaitu sebesar 3.031kg/0,375 ha, dengan rata-rata produksi per usahatani
66
yang dihasilkan oleh petani selama satu musim tanam dengan standar deviasi (V)
sebesar 1.391/0,375ha, dan CV sebesar 0,5 yang artinya bahwa risiko produksi
yang dihadapi petani jagung selama satu musim sebesar 0,5kg. Dengan batas
bawah (L) produksi sebesar 249 yang artinya kemungkinan risiko produksi
terendah atau kerugian terendah yang dihadapi petani jagung pada masa akan
datang sebesar 249kg/0,375 ha.
Harga jagung (tabel 19) dapat dilihat bahwa petani jagung memiliki nilai tengah
(E) sebesar Rp 2.682 per usahatani yang artinya bahwa rata-rata besarnya harga
yang diperoleh petani jagung selama satu musim per usahatani, dengan standar
deviasi (V) sebesar Rp 125. Sedangkan nilai untuk CV yaitu sebesar 0,05yang
artinya bahwa risiko harga yang dihadapi petani jagung selama satu musim
sebesar Rp0,05. Nilai batas bawah (L) harga yang diperoleh petani sebesar Rp
2.432 yang berarti kemungkinan risiko harga terendah atau kerugian terendah
yang dihadapi petani jagung setiap musim pada masa yang akan datang sebesar
Rp 2.432 per usahatani.
Pendapatan jagung (tabel 19) dapat dilihat bahwa petani jagung memiliki nilai
tengah (E) sebesar Rp 4.483.653 yang artinya bahwa rata-rata besarnya
pendapatan yang diperoleh oleh petani jagung selama satu musim, dengan standar
deviasi (V) sebesar Rp 2.547.478. Sedangkan untuk nilai CV yaitu sebesar Rp 0,6
yang artinya bahwa risiko pendapatanyang dihadapi petani jagung selama satu
musim sebesar Rp 0,6. Nilai batas bawah (L) pendapatan yang diperoleh petani
sebesar Rp611.304 yang berarti kemungkinan risiko pendapatan atau kerugian
yang dihadapi petani jagung setiap musim pada masa yang akan datang sebesar
Rp611.304 /0,375 ha
67
5.3.2 Risiko Usahatani Tumpang Gilir Pada Komoditas Cabai
Pada usahatani tumpang gilir pada komoditas cabai juga terdapat risiko yang
dialami oleh petani, risiko tersebut dianalisis menggunakan koefisien variasi
(CV). Jika nilai koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh
produksi kecil, menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih kecil
sebaliknya jika nilai koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi
maka menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih besar. Risiko yang
terjadi pada usahatani tumpang gilir tanaman jagung dapat dilihat pada tabel 20.
Tabel 20. Risiko produksi, risiko harga, dan risiko pendapatanpada usahatanitumpang gilirtanaman cabai di Desa Buanasakti Kecamatan BatanghariKabupaten Lampung Timur tahun 2015.