-
B IOTEKNOLOGI & IOSAINS VOLUME 01 NOMOR 01 DESEMBER 2014
KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN VITRO
YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA
Karyanti, Juanda dan Teuku Tajuddin
UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK
Rofiq Sunaryanto, Efrida Martius, Bambang Marwoto
TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA
Dudi Hardianto
ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN SAMBILOTO
(Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI JAWA
Juwartina Ida Royani, Dudi Hardianto, Sri Wahyuni
A REVISED METHOD FOR SUCKER STERILIZATION TO SUPPORT THE IN
VITRO PROPAGATION OF SAGO PALM (Metroxylon sagu Rottb.)
Teuku Tajuddin, Karyanti, Tati Sukarnih, and Nadirman Haska
PERTUMBUHAN ISOLAT BAL ASAL BEKATUL DAN PROBIOTIK KOMERSIAL (L.
acidophilus DAN L. casei) PADA MEDIA BEKATUL DAN SUSU SKIM
Elok Zubaidah, Erryana Martati dan Ampu M. Resmanto
Balai Pengkajian Bioteknologi - BPPT
B
-
VOLUME 01, NOMOR 01, DESEMBER 2014
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA
Homepage Jurnal: www.jbbi.weebly.com
Diterbitkan oleh : Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT
Gd.630 Kawasan PUSPIPTEK Serpong Tangerang Selatan Banten
Indonesia 15314
Penanggung Jawab : Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi
Ketua Editor : Dr. Rofiq Sunaryanto
Dewan Editor :
Drs. Tarwadi, M.Si
Dr. Anis H Mahsunah, M.Sc
Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc
Juwartina Ida Royani, M.Si
Mitra Bestari
Dr. Pudjono (Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada)
Dr. Elok Zubaidah (Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya)
Editor Pelaksana
Endah Dwi Hartuti, S.Si, Apt
Diana Dewi, M.Si
Design Grafis & internet publisher
Dr. rer.nat. Catur Sriherwanto
Sekretariat & Distribusi
Siti Zulaeha, S.Si
Imron Rosidi, M.Si
Nuryanah, S.E.
ISSN: 2442 - 2606
-
1
VOLUME 01, NOMOR 01, DESEMBER 2014
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA
Homepage Jurnal: www.jbbi.weebly.com
KEMAMPUAN TUMBUH EKSPLAN Jatropha curcas L. PADA MEDIA IN VITRO
YANG MENGANDUNG HORMON IBA DAN BA
Growth Ability of Jatropha Curcas L. Explants on the In Vitro
Media Containing
IBA and BA
Karyanti, Juanda danTeuku Tajuddin Balai Pengkajian
Bioteknologi, BPPT, Gedung 630 Kawasan Puspiptek
Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Research on the growth ability of Jatropha curcas L.
shoots and callus in solid and liquid media have been conducted.
Explants were planted in the initiation media of MS medium. After
ten weeks, the explants were subcultured into solid and liquid
media containing combination of IBA and BA treatments. The number
of combinations was 12 treatments, which has 6 replications each.
Observation was conducted from the first week after subculturing
upto the fourth week. Parameters of observation were the percentage
of explant forming shoots, the number of shoots, height, number of
leaves, weight, color, and form of callus. The results showed that
the explant which was subcultured in liquid media had higher growth
rate than explant in solid media. Treatment of IBA 1 ppm + BA 0.5
ppm gave a good result on the growth of shoots on solid and liquid
media. For callus formation, treatment of IBA 2 ppm + BA 1 ppm gave
the best result.
Keywords: Callus, Jatropha, IBA and BA, solid and liquid
media.
ABSTRAK Penelitian terhadap kemampuan tumbuh kalus dan tunas
tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) telah dilakukan pada media
padat dan cair. Eksplan diinisiasi pada media MS dan setelah 10
minggu dipindahkan ke media padat dan cair yang mengandung
perlakuan kombinasi hormon IBA dan BA. Jumlah kombinasi sebanyak 12
perlakuan dan setiap perlakuan dibuat 6 ulangan. Pengamatan
dilakukan dari minggu pertama subkultur hingga minggu keempat.
Peubah yang diamati adalah persentase eksplan yang membentuk tunas,
jumlah dan tinggi tunas, terbentuknya daun pada tunas, perbedaan
berat, bentuk, dan warna kalus. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa eksplan yang disubkultur pada media cair memiliki laju
pertumbuhan yang lebih tinggi daripada media padat. Perlakuan IBA 1
ppm + BA 0.5 ppm menghasilkan pertumbuhan tunas yang paling tinggi
pada media padat dan cair. Pembentukan kalus yang terbaik diperoleh
pada perlakuan IBA 2 ppm + BA 1 ppm.
Kata Kunci: Kalus, Jatropha, IBA dan BA, media padat dan
cair.
PENDAHULUAN Tanaman jarak pagar (Jatropha
curcas L.) termasuk ke dalam famili
Euphorbiaceae, satu famili dengan karet (Hevea brasiliensis) dan
ubi kayu (Manihot esculenta). Di Indonesia terdapat berbagai
ISSN: 2442 - 2606
-
2
jenis tanaman jarak antara lain jarak kepyar (Ricinus communis
L.), jarak Bali (Jatropha podagrica L.), jarak ulung (Jatropha
gossypifolia L.), dan jarak pagar (Jatropha curcas L.) (Van der
Putten 2010). Diantara berbagai jenis tanaman jarak tersebut yang
potensial menghasilkan minyak bakar (biofuel) adalah jarak
pagar.
Jarak pagar merupakan tumbuhan semak berkayu yang banyak
ditemukan di daerah tropis. Tanaman perdu ini memiliki tinggi
berkisar antara 1 7 m dengan cabang kuat dan tidak teratur. Tanaman
jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai iklim dan jenis tanah,
seperti gurun, pasir pantai hingga tanah gambut. Menurut Hambali
(2006), jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran rendah
sampai dataran tinggi, curah hujan yang rendah maupun tinggi (300
2.380 ml/tahun), dengan rentang suhu antara 20 26oC. Sifat tersebut
menyebabkan tanaman jarak pagar mampu tumbuh pada tanah berpasir,
berbatu, lempung ataupun tanah liat, hingga lahan kritis.
Jarak pagar menjadi sangat populer ketika dikaitkan dengan
energi alternatif ramah lingkungan. Biodiesel merupakan salah satu
diantara berbagai macam sumber energi alternatif terbarukan yang
ramah lingkungan dan prospektif untuk dikembangkan. Tumbuhan
penghasil minyak nabati di Indonesia yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku biodiesel cukup banyak, antara lain: kelapa
sawit (Elaeis guineensis), kelapa (Cocos nucifera) dan jarak pagar.
Minyak kelapa sawit dan minyak kelapa banyak dimanfaatkan sebagai
minyak makan, sedangkan minyak jarak pagar agar dapat digunakan
untuk tujuan pangan harus didetoksifikasi terlebih dahulu. Untuk
itu peluang pemanfaatan minyak jarak pagar sebagai bahan baku
biodiesel lebih besar karena tidak akan mengganggu stok minyak
makan nasional (Hambali 2006).
Jarak pagar dapat diperbanyak secara generatif dan vegetatif.
Perbanyakan secara generatif melalui biji memiliki keunggulan dan
kelemahan. Bibit yang berasal dari biji memiliki perakaran yang
kuat dan dalam karena memiliki akar tunggang serta lebih tahan
kering dan mampu berumur panjang. Akan tetapi perbanyakan secara
generatif hampir selalu
memberikan keturunan yang berbeda dengan induknya karena ada
segregasi sifat tetuanya. Perbanyakan jarak pagar secara vegetatif
yang dilakukan dengan cara stek menunjukkan tingkat keberhasilan
yang masih rendah. Bibit hasil stek memiliki sistem perakaran yang
lemah atau dangkal karena tidak memiliki akar tunggang sehingga
mudah roboh dan percabangan awal yang tidak teratur sehingga harus
segera dipangkas (Prihardana dan Hendroko 2006).
Mikropropagasi tanaman dengan kultur jaringan merupakan suatu
cara perbanyakan tanaman yang memiliki keuntungan antara lain,
penghematan tenaga, waktu, biaya, dan hasil yang lebih berkualitas
(Nugroho dan Sugito 2005). Syarat utama keberhasilan dari teknik
ini berawal dari kondisi yang aseptik, yaitu kondisi tanaman,
lingkungan kerja, alat, dan bahan yang digunakan bebas dari jamur,
bakteri dan virus serta mikroorganisme kontaminan lainnya. Tanpa
kondisi yang aseptik maka tujuan yang akan dicapai dalam
menumbuhkan tanaman in vitro jelas tidak akan terwujud. Hal ini
perlu mengingat bagian dari tanaman yang dikultur dapat tumbuh
dengan baik jika media dan lingkungan dalam kondisi steril sehingga
nutrisi yang diperlukan oleh tanaman yang terdapat dalam media
dapat digunakan sepenuhnya oleh tanaman tanpa gangguan dari
kontaminan (Royani 2003).
Kultur jaringan biasanya dimulai dengan menanam satu iris
jaringan steril pada media buatan, berupa media padat ataupun cair,
dalam waktu 2 3 minggu dan membentuk kalus. Kalus adalah jaringan
yang terdiri dari sejumlah sel yang tidak terorganisasi, merupakan
bentuk awal calon tunas yang kemudian mengalami proses pelengkapan
bagian tanaman seperti daun, batang, dan akar. Dalam kultur
jaringan, kalus terbentuk karena luka atau irisan eksplan sebagai
respon terhadap auksin dan sitokinin yang tinggi (Katuuk 1989;
Nugroho dan Sugito 2005).
Percobaan ini bertujuan untuk: 1) mengetahui perbedaan
pertumbuhan tunas dan kalus jarak pagar pada media padat maupun
cair. 2) mengetahui pengaruh hormon tumbuh IBA dan BA terhadap
perkembangan kultur jarak pagar.
-
3
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Balai Pengkajian
Bioteknologi, BPPT di Kawasan Puspiptek, Serpong. Eksplan yang
digunakan pada penelitian ini adalah kotiledon tanaman jarak pagar
yang diambil dari hasil perkecambahan in vitro yang berumur 4
minggu dan berjenis Improved Population generation 2 (IP 2) yang
berasal dari Pakuwon, Sukabumi.
Eksplan yang digunakan disterilisasi dengan metode sebagai
berikut: biji direndam dalam larutan alkohol 70% selama 5 menit,
sambil diguncang-guncangkan agar seluruh biji terendam alkohol.
Alkohol selanjutnya dibuang dan biji dipanaskan di atas Bunsen
untuk menghilangkan sisa kandungan alkoholnya. Biji yang sudah
steril diambil satu per satu dan diletakkan di atas cawan petri
steril. Biji dibuka menggunakan alat pembuka biji, scalpel, dan
pinset. Embrio dari dalam biji diambil dan diletakkan di atas cawan
petri lainnya, kemudian ditanam pada media MS tanpa zat pengatur
tumbuh (MS 0). Setelah 4 minggu kecambah yang tumbuh dipotong
bagian kotiledonnya. Potongan kotiledon masing-masing ditanam pada
media inisiasi awal hingga terbentuk kalus. Setelah sepuluh minggu,
kalus yang telah menginisiasi tunas kecil disubkultur ke media
perlakuan.
Media dasar yang digunakan adalah media MS (Murashige dan Skoog
1962) dan dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh IBA (Indole
Butyric Acid) dan BA (Benzyl Adenin), serta mengandung adenin
sulfat 25 ppm, glutamin 50 ppm, L arginine 15 ppm, dan vitamin C 25
ppm. Perlakuan kombinasi zat pengatur tumbuh IBA dengan konsentrasi
0 ppm, 1 ppm, 1,5 ppm, dan 2 ppm, serta BA dengan konsentrasi 0
ppm, 0,5 ppm, dan 1 ppm.
Dalam percobaan ini, media merupakan perlakuan berupa media
padat dan cair, dengan jumlah kombinasi sebanyak 12 perlakuan dan
setiap perlakuan dibuat 6 ulangan. Peubah yang diamati adalah
persentase eksplan yang membentuk tunas, jumlah tunas, tinggi
tunas, terbentuknya daun pada tunas, perbedaan berat kalus, bentuk
kalus, dan warna kalus.
Sebelum disubkultur, terlebih dahulu dilakukan penimbangan berat
awal kalus, penghitungan jumlah kalus yang sudah membentuk tunas,
jumlah tunas, dan jumlah daun yang terbentuk.
Ruang kultur untuk inkubasi eksplan dijaga agar temperatur tetap
stabil pada suhu 25 27oC dengan intensitas cahaya 100 200 lux
selama 12 jam. Eksplan yang telah terkontaminasi oleh
mikroorganisme segera dipisahkan dan dikeluarkan dari ruang kultur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon awal yang terlihat setelah penanaman pada media inisiasi
adalah pembentukan kalus pada sayatan jaringannya. Setelah sepuluh
minggu, dilakukan subkultur ke dalam media padat dan cair yang
mengandung kombinasi perlakuan IBA dan BA. Tujuan dari subkultur
ini adalah untuk memperpanjang tunas (elongasi) hasil dari
penanaman pada media inisiasi.
Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa tidak semua kalus
membentuk tunas. Hanya 58 kalus (40,3%) saja yang dapat membentuk
tunas, dengan rata-rata tinggi tunas antara 1 2 mm. Subkultur
dilakukan dengan cara mengambil kalus secara acak dari media
inisiasi awal kemudian ditanam ke dalam media perlakuan. Dari hasil
pengambilan acak ini, diperoleh 39 kalus (54,2%) yang telah
membentuk tunas disubkultur ke dalam media padat, sedangkan sisa
kalus yang membentuk tunas, sebanyak 19 kalus (26,4%) disubkultur
ke media cair.
1. Persentase Pembentukan Tunas
Setelah seminggu pada media padat, jumlah kalus yang membentuk
tunas meningkat dari 39 menjadi 58 kalus (80,5%). Pada minggu ke-2,
kembali terjadi peningkatan jumlah kalus yang membentuk tunas yaitu
sebanyak 65 kalus (90,3%). Pada minggu ke-3, sebanyak 69 kalus
membentuk tunas. Hasil pengamatan minggu ke-4 seluruh kalus telah
membentuk tunas dengan sempurna (Gambar 1).
Sedangkan pada media cair setelah satu minggu, jumlah kalus yang
membentuk tunas meningkat menjadi 53 kalus (73,6%). Hal ini berarti
terjadi peningkatan sekitar
-
4
47,2%. Pada minggu ke-2, jumlah kalus yang membentuk tunas
sebanyak 66 kalus (91,7%), sedang minggu ke-3, sebanyak 67 kalus.
Hasil pengamatan minggu ke-4 menunjukkan bahwa 71 kalus telah
membentuk tunas dengan sempurna. Hasil ini setara dengan 98,6%
(Gambar 1).
Gambar 1 Persentase pertambahan jumlah kalus
yang membentuk tunas pada media padat dan cair
Berdasarkan hasil di atas terlihat
bahwa laju pembentukan tunas pada media cair lebih tinggi
daripada media padat. Hal ini tampak dari peningkatan persentase
pembentukan tunas pada 4 minggu setelah subkultur.
Kecepatan laju pembentukan tunas pada media cair, karena luas
permukaan kalus yang kontak langsung lebih besar dibandingkan
dengan media padat. Hal ini menyebabkan penyerapan hara maupun
hormon akan lebih efektif. Pertumbuhan sel terjadi dengan cepat
karena kalus dapat menyerap nutrisi dari dalam medium dengan sangat
baik, apalagi jika diimbangi dengan suplai zat hara secara teratur
sehingga media tidak kehabisan nutrisi. Untuk mempercepat
pertumbuhan sel dilakukan subkultur, yaitu penggantian media lama
dengan yang baru dalam interval waktu selama dua atau empat minggu.
Apabila subkultur terlambat, maka terjadi perubahan warna kalus
menjadi kecoklatan dan pertumbuhannya terhenti.
2. Jumlah Tunas
Media dengan penambahan IBA 0 ppm + BA 1 ppm memberikan jumlah
tunas yang paling besar, dengan rata-rata jumlah
tunas 8,50. Jumlah tunas ini berbeda secara nyata dengan
perlakuan lainnya. Tampak terjadinya penurunan rata-rata jumlah
tunas seiring dengan peningkatan konsentrasi IBA. Sebaliknya,
semakin tinggi konsentrasi BA, maka semakin besar pula rata-rata
jumlah tunasnya (Tabel 1). Kondisi ini sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Herawati (2006), bahwa
perlakuan dengan BA 1 ppm memberikan jumlah tunas yang banyak.
Pada media tanpa zat pengatur tumbuh (IBA 0 ppm + BA 0 ppm)
jumlah tunas yang dihasilkan paling sedikit (2,17 dan 3,83,
masing-masing pada media padat dan cair) dibandingkan dengan
kombinasi media lain yang mengandung IBA, BA, ataupun kedua-duanya.
Hal ini berarti zat pengatur tumbuh mutlak dibutuhkan untuk
pembentukan tunas.
Pada media cair hingga minggu keempat pengamatan, media dengan
penambahan zat pengatur tumbuh IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm memberikan
jumlah tunas yang paling tinggi dengan rata-rata tunas sebesar
9,67. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan IBA 2 ppm + BA
0 ppm yang memiliki rata-rata jumlah tunas sebesar 9,17 namun
berbeda secara nyata dengan perlakuan IBA + BA lainnya (Tabel
1).
Jumlah tunas pada media cair menunjukkan rata-rata yang lebih
tinggi dibandingkan dengan jumlah tunas pada media padat. Hal ini
juga membuktikan bahwa laju pertumbuhan tunas pada media cair lebih
cepat dibandingkan media padat.
Pertumbuhan dan perkembangan tunas dikendalikan oleh substansi
kimia yang konsentrasinya sangat rendah, yang disebut substansi
pertumbuhan tanaman, hormon tumbuhan, fitohormon, atau zat pengatur
tumbuh. Zat pengatur tumbuh endogen (yang diproduksi oleh tanaman)
diartikan sebagai hormon tanaman atau fitohormon. George dan
Sherrington (1984) mengatakan bahwa untuk proses morfogenesis akar
dan tunas dari kultur kalus biasanya dibutuhkan imbangan taraf zat
pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Dalam perkembangan teknik
kultur jaringan dengan adanya zat pengatur tumbuh perlu dicari
konsentrasi dan imbangan atau interaksi antara dua zat pengatur
tumbuh yang diberikan dalam media perlakuan dan
-
5
yang diproduksi oleh sel atau jaringan secara endogen akan
menentukan arah perkembangan kultur. Penambahan auksin atau
sitokinin eksogen mengubah level atau taraf zat pengatur tumbuh
endogen sel.
Taraf zat pengatur tumbuh ini kemudian merupakan faktor pemicu
atau penggerak untuk prosesproses pertumbuhan dan
morfogenesisnya.
Tabel 1 Rata-rata jumlah tunas pada minggu ke 4 pada media padat
dan cair
Konsentrasi BA (ppm)
Konsentrasi IBA (ppm)
0 1 1,5 2
Padat Cair Padat Cair Padat Cair Padat Cair
0 2,17 a 3,83p 4,83ab 5pqr 4,00ab 7pqrs 3,50 ab 9,17s
0,5 6,17bc 6pqrs 5,67bc 9,67s 5,67bc 7,5pqrs 5,17ab 8,5qrs
1 8,50 c 8,67rs 6,33bc 4,17p 6,50bc 4,17p 5,00 ab 4,67pq
BNT 5% Padat: 3,17 / Cair: 3,89
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan bahwa nilai tidak
berbeda nyata menurut uji BNT 5%
Tabel 2 Rata-rata tinggi tunas (mm) pada minggu ke 4 pada media
padat dan cair
Konsentrasi BA (ppm)
Konsentrasi IBA (ppm)
0 1 1,5 2
Padat Cair Padat Cair Padat Cair Padat Cair
0 6,17ab 5,67p 13bc 13,2qrst 8,5ab 7,3pqr 4,5ab 8,5abcd
0,5 10,3ab 14,83t 20,5c 15,0t 6,5ab 13,5rst 4,33a 7,0ab
1 10,0ab 14,67st 7,83ab 11pqrst 7,17ab 8,17pqr 7,0ab 8,0abc
BNT 5% Padat: 8,5 / Cair: 6,3
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan bahwa nilai tidak
berbeda nyata menurut uji BNT 5%
3. Tinggi tunas Pada media padat, perlakuan IBA 1
ppm + BA 0,5 ppm memberikan hasil pertumbuhan tinggi tunas yang
paling tinggi dengan nilai rata-rata 20,50 mm. Kemudian diikuti
oleh media IBA 1 ppm + BA 0 ppm dengan rata-rata tinggi tunas 13,00
mm (Tabel 2). Perlakuan dengan konsentrasi IBA 1 ppm menghasilkan
rata-rata tinggi tunas tertinggi. Nilai rata-rata tinggi tunas
berkurang jika konsentrasi IBA dinaikkan.
Respon awal yang terlihat dari perlakuan dengan konsentrasi IBA
lebih dari 1 ppm (1,5 ppm dan 2 ppm) adalah kecepatan pertumbuhan
kalus yang luar biasa. Kecepatan pertumbuhan kalus yang tinggi ini
kemungkinan menyebabkan proses pemanjangan tunas menjadi terhambat,
dan nampak terlihat kerdil dibandingkan dengan
tunas hasil perlakuan dengan konsentrasi rendah. IBA 0 ppm dan 1
ppm menghasilkan percepatan pertumbuhan kalus yang rendah dengan
panjang tunas yang tinggi.
Rata-rata tinggi tunas pada media cair lebih besar dibandingkan
media padat. Hal ini sama dengan parameter jumlah tunas di atas.
Perlakuan IBA 1 ppm + BA 0,5 ppm menunjukkan hasil terbaik dengan
rata-rata 15,00 mm (Tabel 2). Hasil yang sama juga ditunjukkan pada
media padat. Hasil ini membuktikan bahwa perlakuan IBA 1 ppm + BA
0,5 ppm merupakan perlakuan terbaik dalam memperpanjang tunas
(elongasi). 4. Jumlah daun Pada media padat, rata-rata jumlah daun
terbanyak dihasilkan pada perlakuan IBA 0 ppm + BA 1 ppm dengan
rata-rata jumlah
-
6
daun sebesar 5,50 (Tabel 3). Banyaknya jumlah daun pada
perlakuan ini berkorelasi positif dengan jumlah tunas yang
terbentuk. Perlakuan IBA 0 ppm + BA 1 ppm juga memiliki rata-rata
jumlah tunas yang terbanyak yaitu sebesar 8,50 (Tabel 1).
Semakin cepat terbentuknya tunas maka pertambahan jumlah daun
akan semakin banyak pula. Pada media cair, terlihat bahwa perlakuan
IBA 2 ppm + BA 0,5 ppm memiliki rata-rata jumlah daun tertinggi
sebesar 5,67 (Tabel 3).
Tabel 3 Rata-rata jumlah daun pada minggu ke 4 pada media padat
dan cair
Konsentrasi BA (ppm)
Konsentrasi IBA (ppm)
0 1 1,5 2
Padat Cair Padat Cair Padat Cair Padat Cair
0 6,17ab 1,17p 13,0bc 1,67p 8,5ab 3,5pqrs 4,5ab 2,83pqr
0,5 10,3ab 2,0pq 20,5c 3,8pqrs 6,5ab 4,5qrs 4,33a 5,67s
1 10,0ab 5,0rs 7,83ab 2,0pq 7,17ab 2,3pqr 7,0ab 1,67p
BNT 5% Padat: 8,5 / Cair: 2,67
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan bahwa nilai tidak
berbeda nyata menurut uji BNT 5%
Tabel 4 Rata-rata berat kalus (mg) pada minggu ke 4 pada media
padat dan cair
Konsentrasi BA (ppm)
Konsentrasi IBA (ppm)
0 1 1,5 2
Padat Cair Padat Cair Padat Cair Padat Cair
0 9,33a 4,17p 12,5ab 9,17pq 12,5ab 10,3pqr 12,17ab 11,8pqr
0,5 17,3bc 16,3qrs 20,3cd 17,5rs 16,8abc 19,83s 27,5de
21,5st
1 29,0e 29,5u 16,8abc 28,17tu 26,0de 30,3u 41,0f 41,4v
BNT 5% Padat: 7,78 / Cair: -
Keterangan : huruf yang sama menunjukkan bahwa nilai tidak
berbeda nyata menurut uji BNT 5%
5. Berat kalus
Kalus terbentuk pada semua perlakuan dan tampak dominan.
Pertumbuhan kalus yang dominan ini dipengaruhi oleh jaringan asal
yang digunakan untuk menginisiasi kalus, yaitu kotiledon. Kotiledon
merupakan tempat penimbunan makanan yang disiapkan bagi pertumbuhan
awal suatu embrio tanaman dan sebagai alat untuk melakukan
asimilasi.
Pada media padat, perlakuan IBA 0 ppm + BA 0 ppm menghasilkan
kalus yang terkecil dengan berat rata-rata 9,33 mg. Hal ini diduga
karena kalus mengalami stagnasi dan menjadi keras, sehingga kalus
tersebut tidak dapat berkembang. Perlakuan IBA 2 ppm + BA 1 ppm
menghasilkan kalus terbesar dengan berat rata-rata 41,00 mg
(Tabel 4). Nilai ini berbeda sangat nyata dengan perlakuan yang
lain. Kalus yang terbentuk tetap berwarna hijau dari awal minggu
pertama hingga minggu keempat. Hasil yang sama juga diperoleh pada
perlakuan konsentrasi IBA 2 ppm + BA 1 ppm dalam media cair. Hasil
analisis sidik ragam (analysis of variance) menunjukkan bahwa
perlakuan ini berbeda secara sangat nyata dengan perlakuan yang
lain. Terlihat bahwa perlakuan IBA dan BA yang tinggi terbukti
dapat menginduksi kalus dengan hasil tertinggi, baik pada media
cair maupun padat.
Dari pengamatan tampak bahwa kalus tumbuh pada sisi luar
jaringan
-
7
kotiledon, sedangkan bagian tengah tidak terjadi pertumbuhan
kalus. Jadi pembelahan sel tidak terjadi pada semua jaringan asal,
tetapi hanya pada sel-sel yang berada pada jaringan perifer.
6. Warna kalus
Pada media padat, semua perlakuan memiliki warna kalus yang
relatif stabil dari minggu pertama hingga minggu keempat. Perlakuan
IBA 2 ppm + BA 0,5 ppm, IBA 1ppm + BA 0 ppm, IBA 1,5 ppm + BA 1 ppm
dan IBA 2 ppm + BA 1 ppm memiliki warna kalus yang tetap hijau.
Warna kalus pada perlakuan-perlakuan tersebut berkorelasi positif
dengan berat kalusnya. Keempat perlakuan tersebut memiliki berat
kalus yang tertinggi.
Hasil pengamatan pada minggu ke-1, terdapat 4 kalus yang
berwarna hijau kecoklatan. Proses ini disebut browning, yang
ditandai dengan perubahan warna kalus menjadi kecoklatan dan
penurunan daya tumbuh. Browning merupakan proses oksidasi asam-asam
fenolik yang biasa terjadi bila ada pelukaan pada jaringan tanaman
yang menyebabkan jaringan tersebut menjadi coklat dan mati. Senyawa
fenolik tersebut beroksidasi dengan oksigen (O2) membentuk senyawa
kinon atau Quinon. Asam kuinon adalah merupakan racun yang dapat
mematikan jaringan eksplan.
Browning terjadinya karena adanya tindakan proteksi dari tanaman
tersebut ketika dilukai. Proses oksidasi yang dilakukan asam-asam
fenolik ini menyebabkan kesukaran dalam pembiakan mikro terutama
bagi tanaman yang mengandung asam-asam fenolik seperti jarak
pagar.
Pemotongan atau pengirisan pada kultur jaringan yang menimbulkan
pelukaan atau pecahnya vakuola dapat menyebabkan terjadinya
fenolase. Salah satu bagian sel tanaman yaitu vakuola adalah
sebagai tempat penyimpanan air dan produk-produk sel khususnya
metabolit sekunder termasuk fenol. Dalam pemotongan jaringan,
vacuola terpotong dan mengeluarkan fenol yang bereaksi dengan ensim
fenol oksidase di dalam sitosol sehingga terbentuk kuinon yang
menyebabkan warna coklat dan beracun.
Proses oksidasi yang terjadi pada tanaman dilakukan oleh enzim
lacase atau p-diphenol oksidase dan o-diphenol oksidase. Untuk
menghindari terjadinya proses oksidasi yang menyebabkan browning
ini, dapat dilakukan beberapa cara seperti pemberian
senyawa-senyawa anti oksidan (asam askorbik, cystein, PVP, dan
NaHSO3), pemberian Cu-reagent (thiourea, phenyl thiourea, dan
sodium diethyl dithio carbamate), serta pemberian ion-ion klor
(NaCl) (Wattimena,1988). Selain itu, browning juga dapat dicegah
atau dikurangi dengan cara pencucian dengan air mengalir hingga
bersih, penambahan arang aktif pada media, penyimpanan di ruang
gelap pada awal inisiasi, hindari penggunaan sukrosa dan kalium
yang berlebihan, dan melakukan subkultur secara berulang.
Pada media cair, kalus yang berwarna hijau jumlahnya lebih
sedikit daripada di media padat. Bahkan, jumlahnya semakin menurun
pada minggu ke-4. Hal ini disebabkan permukaan kalus yang kontak
langsung dengan media cair lebih luas dibandingkan dengan media
padat, sehingga lebih rentan terjadi proses browning.
7. Bentuk kalus
Kalus yang tumbuh pada awal inisiasi, mempunyai bentuk tidak
bulat dan bertekstur padat. Hal ini disebabkan konsentrasi BA yang
tinggi pada media inisiasi awal yaitu sebesar 3,4 ppm. Setelah
dilakukan subkultur, pada minggu pertama terjadi perubahan bentuk
kalus. Kalus-kalus yang disubkultur ke dalam media tanpa BA
menunjukkan tekstur yang lembut dan remah. Bentuk kalus tidak
mengalami perubahan hingga minggu ke-4. Secara umum, bentuk kalus
dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu:(1) padat, tidak
bulat, (2) lunak, mudah rusak, tidak bulat, (3) padat, bulat,
saling menempel, dan (4) lunak, bulat, saling menempel.
Pada media padat, 47,2% kalus mempunyai bentuk bergerumul padat.
Hal ini diduga karena di dalam media terdapat zat pengatur tumbuh
golongan sitokinin yaitu BA. Sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Royani (2003), bahwa penambahan BA ke dalam media
membuat
-
8
kalus yang tadinya lunak menjadi bertekstur lebih padat. Bentuk
kalus yang padat ini terutama terjadi pada perlakuan dengan
konsentrasi BA 1 ppm.
Setelah dilakukan subkultur, terlihat bahwa terdapat kalus yang
bertekstur lembut dan remah. Kalus yang remah dapat diperoleh
dengan cara melakukan subkultur berulang-ulang, sebab dengan cara
demikian cukup tersedia nutrien bagi perkembangan kalus tersebut.
Pembentukan kalus juga dipengaruhi oleh zat-zat tertentu dalam
medium dan cara sterilisasi medium. Sterilisasi dengan pemanasan
sering menyebabkan kerusakan pada vitamin dan gula yang ada pada
medium. Dengan proses pemanasan, fruktosa akan mengadakan interaksi
dengan senyawa-senyawa lain dalam medium, misalnya MgSO4 yang dapat
membentuk senyawa yang bersifat toksik. Tidak jauh berbeda dengan
media padat, bentuk kalus pada media cair juga tidak mengalami
perubahan yang berarti sejak minggu ke-1 setelah subkultur hingga
minggu ke-4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa
persentase pembentukan tunas pada media cair lebih tinggi daripada
media padat. Jumlah dan tinggi tunas pada media cair menunjukkan
rata-rata yang lebih besar dibandingkan dengan pada media padat.
Perlakuan IBA 1 ppm + BA 0.5 ppm menghasilkan pertumbuhan tunas
yang paling tinggi pada media padat dan cair. Semakin cepat
terbentuknya tunas maka pertambahan jumlah daun akan semakin banyak
pula. Terlihat bahwa perlakuan IBA dan BA tinggi terbukti dapat
menginduksi kalus dengan hasil tertinggi, baik pada media cair
maupun padat. Pembentukan kalus yang terbaik diperoleh pada
perlakuan IBA 2 ppm + BA 1 ppm. Untuk warna kalus, pada media cair
kalus yang berwarna hijau jumlahnya lebih sedikit daripada di media
padat. Berdasarkan persamaan hasil bentuk kalus, baik pada media
padat maupun cair, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jenis media
tidak berpengaruh terhadap bentuk kalus. Perbedaan bentuk kalus
hanya dipengaruhi
oleh jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang ada di dalam
media. DAFTAR PUSTAKA George, E.F. dan P.D. Sherrington (1984).
Plant Propagation by Tissue Culture. Handbook. Directory of
Commercial Laboratories. Exegetics Ltd. England. 709p.
Hambali, E. (2006). Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Herawati, L. (2006). Pengaruh zat pengatur tumbuh sitokinin
terhadap embrio somatic Jatropha curcas L. Fakultas MIPA
Universitas Nusa Bangsa, Bogor p.1-23.
Katuuk, J.R.P. (1989). Panduan mengajar tekhnik kultur jaringan
dalam mikropropagasi tanaman. Departemen Pendidikan &
Kebudayaan, Jakarta p.1-5.
Murashige, T. dan F. Skoog (1962). A revised medium for rapid
growth and bioassay with tobacco tissue cultures. Physiol Plant.15:
473-497.
Nugroho, A. dan H. Sugito (1996). Pedoman Pelaksanaan Teknik
Kultur Jaringan. Penebar Swadaya, Jakarta p.12-48.
Prihardana, R. dan R. Hendroko (2006). Petunjuk Budi Daya Jarak
Pagar. Agro Medika Pustaka, Depok p.43-56.
Royani, J. I. (2003). Teknik sterilisasi dan subkultur tanaman.
Balai Pengkajian Bioteknologi, Puspiptek. Serpong, p.8-13.
Van der Putten, E. 2010. The Jatropha Handbook from Cultivation
to Application. 174p. FACT Foundation. The Netherlands.
Wattimena, G.A. (1988). Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
-
9
VOLUME 01, NOMOR 01, DESEMBER 2014
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA
Homepage Jurnal: www.jbbi.weebly.com
UJI KEMAMPUAN Lactobacillus casei SEBAGAI AGENSIA PROBIOTIK
Ability Test of Lactobacillus Casei as A Probiotic Agents
Rofiq Sunaryanto, Efrida Martius, Bambang Marwoto
Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT Gd. 630 Kawasan PUSPIPTEK
Serpong Tangerang Selatan Banten 15314
e-mail : [email protected]
ABSTRACT Probiotic products is one of the applications of
biotechnology that utilize the lactic acid bacteria, especially
Lactobacilli. Some of the main requirements of microbes that can be
used as a probiotic microbes including resistant to low pH, can
grow on bile salts and colonize, and has antimicrobial activity.
Each species of the genus Lactobacillus has different
characteristics. This characteristic is strongly influenced by the
environment in which the bacteria belong. This study carried out
characterization of Lactobacillus casei which was isolated from
dadih.The result of experiment showed that the isolated
Lactobacillus casei was able to grow up to a 15% concentration of
bile salts, resistant to acid media until pH 2, have antimicrobial
activity (significantly inhibited the growth of Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, and Enterococcus faecalis). Lactobacillus
casei has a potential application for use as probiotic microbe.
Keywords: Lactobacillus casei, probiotic, lactic acid bacteria,
characterization
ABSTRAK Produk probiotik merupakan salah satu aplikasi
bioteknologi yang memanfaatkan bakteri asam laktat terutama jenis
Lactobacilli. Beberapa syarat utama mikroba yang dapat difungsikan
sebagai mikroba probiotik antara lain tahan terhadap pH rendah,
mampu tumbuh pada garam empedu, mampu berkoloni, memiliki aktivitas
antimikroba. Masing-masing spesies dari Genus Lactobacillus
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik ini sangat
dipengaruhi oleh lingkungan dimana bakteri tersebut hidup. Pada
penelitian ini telah dilakukan karakterisasi Lactobacillus casei
yang merupakan hasil isolasi dari susu kerbau fermentasi. Dari
hasil percobaan menunjukkan bahwa Lactobacillus casei hasil isolasi
mampu hidup sampai dengan konsentrasi garam empedu 15%, tahan
terhadap media asam sampai dengan pH 2, memiliki aktivitas
antimikroba (positif menghambat Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, dan Enterococcus faecalis). Lactobacillus casei yang
merupakan isolat lokal memiliki karakteristik yang berpotensi untuk
digunakan sebagai mikroba probiotik.
Kata Kunci : Lactobacillus casei, probiotik, bakteri asam
laktat, karakterisasi
PENDAHULUAN Istilah probiotik berasal dari bahasa
Yunani yang berarti untuk hidup. Istilah ini digunakan pertama
kali oleh Lilley dan Stillwell pada tahun 1965 yang diartikan
ISSN: 2442 - 2606
-
10
sebagai substansi yang dihasilkan oleh satu mikrobia yang dapat
menstimulasi pertumbuhan mikroba lain. Selanjutnya digunakan oleh
Parker (1974) untuk menjelaskan organisme atau substansi yang
memiliki kontribusi terhadap keseimbangan mikrobia intestin.
Definisi probiotik selanjutnya di perbaiki oleh Fuller (1989) yang
berarti suplemen makanan berupa mikrobia hidup yang memiliki efek
menguntungkan bagi inang yang mengkonsumsi melalui keseimbangan
mikrobia intestin.
Syarat utama strain yang dapat digunakan sebagai agensia
probiotik adalah memiliki resistensi terhadap asam dan empedu
sehingga dapat mencapai intestin dan memiliki kemampuan menempel
pada mukosa intestin (Allen et al. 2011). Syarat lain yang perlu
dimiliki oleh bakteri probiotik adalah kemampuannya menghasilkan
substansi antimikrobia sehingga mampu menekan pertumbuhan bakteri
patogen enterik. Berbagai jenis substansi antimikrobia yang
dihasilkan oleh bakteri probiotik adalah asam organik, hidrogen
peroksida, diasetil dan diperkirakan juga bakteriosin yaitu protein
atau polipeptida yang memiliki sifat anti bakteri (Ahmed et al.,
2010). Syarat lain mikrobia probiotik adalah tumbuh baik secara in
vitro, memiliki stabilitas dan viabilitas yang tinggi dan aman bagi
manusia. Dari berbagai persyaratan yang diperlukan laktobacillus
dan bifidobakteria yang merupakan penghuni alami jalur intestin
merupakan bakteri yang banyak digunakan sebagai agensia probiotik.
Bakteri ini ditemukan pada membran mukosa. Dari uji secara in vitro
diketahui bahwa laktobacillus mampu menghambat berbagai jenis
bakteri patogen seperti Salmonella, Vibrio, Listeria, Shigella dan
Staphylococcus. Kecuali asam laktat yang memiliki sifat antagonis,
sejumlah laktobacillus mampu menghasilkan komponen anti mikroba
yang disebut bakteriosin misalnya acidolin, acidophilin maupun
laktocidin yang diperkirakan memiliki spektrum luas baik terhadap
bakteri gram positif maupun negatif (Ahmed et al., 2010).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bakteri probiotik dapat
memberikan berbagai efek positif terhadap kesehatan melalui
berbagai mekanisme. Dari berbagai
efek yang muncul, efek yang paling utama adalah menjaga
keseimbangan mikroflora pada intestin dan memiliki efek anti diare
akibat patogen enterik. Mekanisme probiotik di dalam mikroflora
yang seimbang adalah melalui kompetisi nutrisi, kompetisi reseptor
untuk penempelan pada sel epitel, produksi anti mikrobia, dan
stimulasi imunitas pada ekosistem endogenus (Lamprecht et al.,
2012). Probiotik dapat pula digunakan untuk mengatasi penderita
laktosa intolerans (tidak mampu mencerna laktosa) apabila digunakan
strain yang mampu
menghasilkan -galaktosidase di dalam proses fermentasi susu.
Enzim ini akan
memecah laktosa oleh enzim -galaktosidase, laktosa yang
dikonsumsi dan tidak tercerna tidak dapat diserap oleh tubuh dan
langsung masuk ke intestin besar sehingga berakibat munculnya diare
(Syukur et al. 2013). Probiotik juga diketahui mempunyai efek anti
kanker. Dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Daniluk (2012)
bahwa Lactobacillus acidophilus yang berasal dari manusia yang
resisten terhadap garam empedu dapat menurunkan 3 enzim yang
memiliki peranan penting untuk pembentukan senyawa karsinogen.
Tiga
enzim ini adalah -glucuronidase, azoreductase dan
nitroreductase. Ketiga enzim ini dapat mengkatalisa prokarsinogen
menjadi senyawa karsinogen didalam usus besar. Mekanisme bekerjanya
kedua bakteri ini diperkirakan karena kemampuannya menghasilkan
berbagai komponen antimikroba. Dari uji secara invitro diketahui
bahwa laktobacilli mampu menghambat berbagai jenis bakteri patogen
seperti Salmonela, Vibro, Listeria, Shigella, Staphylococcus.
Sejumlah lactobacilli mampu menghasilkan komponen antimikroba yang
disebut bakteriosin misalnya acidolin, acidophilin, lactocidin.
Bifidobakterium adalah bakteri yang mampu menghasilkan asam asetat,
format, laktat dari fermentasi gula. Asam asetat yang dihasilkan
yang dihasilkan memiliki aktivitas daya hambat terhadap bakteri
Gram- negatif. Sifat inilah yang menguntungkan penggunaan
Bifidobacterium dibandingkan dengan Lactobacillus dalam menekan
pertumbuhan bakteri Gram-negatif. Bayi
-
11
yang minum asi ternyata di dalam fesesnya memiliki kandungan
asam asetat yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang tidak
minum asi. Salah satu penyebabnya adalah karena adanya
Bifidobacteria yang lebih tinggi pada bayi yang minum asi. Bayi
yang minum asi terbukti memiliki daya tahan yang lebih baik
dibandingkan dengan bayi yang tidak minum asi. Sehingga ada usaha
untuk menambahkan Bifidobacteria ke dalam susu formula dengan
tujuan untuk meningkatkan populasi Bifidobacteria di dalam intestin
(Gillilland, 1989).
Genus Lactobacillus mempunyai beberapa kelebihan yang berpotensi
untuk digunakan sebagai agen probiotik, diantaranya adalah mampu
bertahan pada pH rendah, tahan terhadap garam empedu, memproduksi
antimikrobia dan daya antagonistik terhadap patogen enterik, mampu
mengasimilasi serum kolesterol dan mendekonjugasi garam empedu
serta dapat tumbuh baik pada medium sederhana (Rahayu 2001).
Beberapa penelitian telah berhasil mendapatkan beberapa strain
Laktobacillus dari berbagai bahan minuman fermentasi misalnya
yoghurt, makanan fermentasi tradisional seperti tape, growol dan
gatot (Ngatirah et al. 2000). Berdasarkan produk fermentasinya
Lactobacillus dibagi menjadi dua yaitu homofermentatif jika
memfermentasikan gula menjadi asam laktat sebagai produk utama dan
sebagian kecil asam asetat serta karbondioksida, dan
heterofermentatif jika produk fermentasinya berupa alkohol dan asam
laktat (Frazier 1981). Bakteri asam laktat homofermentatif meliputi
beberapa spesies yang dapat tumbuh pada suhu optimal 37oC atau
diatasnya yaitu Lactobacillus bulgaricus, L.helveticus, L.
acidophilus, L. thermophilus dan L. delbrueckii. Sedangkan
laktobacillus heterofermentatif yang bersifat thermofilik yaitu L.
fermentum. Laktobacillus homofermentatif yang tumbuh pada suhu
bawah suhu optimal adalah L. casei, L. plantarum dan L. leichmanii.
Sedangkan laktobacillus heterofermentatif meliputi L. brevis,
L.buchneri, L. pastorianus (Frazier, 1981).
Karakteristik Lactobacillus yang sangat penting untuk makanan
yaitu kemampuannya dalam mengkonversi gula menjadi beberapa produk
termasuk asam
laktat yang berguna pada pembuatan industri makanan (Sofjan et
al., 2003). Lactobacillus ditemukan pada substrat yang kaya akan
karbohidrat dengan berbagai habitat, seperti membran mukosa manusia
dan binatang (rongga mulut, intestin, vagina) atau makanan hasil
fermentasi dan makanan yang membusuk. Dari berbagai hasil
penelitian diketahui bahwa fermentasi makanan yang terdapat di
Indonesia, Laos dan Thailand didominasi oleh Lactobacillus
plantarum (Sofjan et al., 2003). BAHAN DAN METODE Isolat
Lactobacillus casei Isolat yang dikarakterisasi adalah
Lactobacillus casei dari kultur koleksi Balai Pengkajian
Bioteknologi BPPT PUSPIPTEK Serpong Tangerang Banten, yang
merupakan hasil isolasi dari dadih susu kerbau yang diambil dari
Payakumbuh Sumatera Barat. Isolat ini telah diidentifikasi baik
secara morfologi maupun fisiologi yang meliputi uji motilitas,
pembentukan dekstran dari sukrosa, pembentukan asam dari berbagai
sumber karbon seperti arabinosa, selobiosa, fruktosa, galaktosa,
glukosa, glukonat, laktosa, maltosa, manitol, manosa, melibiosa,
melezitosa, rafinosa, rhamnosa, ribosa, salisin, sorbitol, pati,
sukrosa, trehalosa, xilosa, dengan konsentrasi masing-masing sumber
karbon 1%. Uji Ketahanan Terhadap pH Rendah
Pengujian dilakukan dengan menumbuhkan 1% kultur berumur 24 jam
ke dalam media MRS broth yang sebelumnya telah dilakukan pengaturan
pH masing-masing pH 7,0; 3,0; 2,5; 2,0. Selanjutnya diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 37oC. Pada akhir inkubasi dilakukan
perhitungan jumlah bakteri dengan metode angka lempeng total (plate
count) pada media MRS agar. Uji Kemampuan Tumbuh Pada Garam
Empedu
Pengujian dilakukan dengan menginokulasikan 1% kultur berumur 24
jam ke dalam 5 mL media MRS broth dengan penambahan garam empedu
pada konsentrasi 0,5%; 1,0%; 5,0%; 10% dan 15%. Kemudian diinkubasi
pada suhu 37oC
-
12
selama 24 jam. Pada awal dan akhir inkubasi dilakukan
perhitungan jumlah bakteri dengan metode angka lempeng total (plate
count) pada MRS agar.
Uji Aktivitas Antimikroba Aktivitas antimikroba secara
kualitatif diuji menggunakan metode difusi sumur. Mikroba uji yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, dan Enterococcus
faecalis. Sebanyak 0,1 L mikroba uji dipipet ke dalam petridisk
yang telah disterilisasi dan dituangkan medium (NA) nutrient agar
yang telah disterillisasi dan telah didinginkan sampai dengan
suhu
kurang lebih 40C. Selanjutnya ditunggu sampai nutrient agar
benar-benar memadat. Setelah dingin dibuat sumur dengan diameter
0,5 cm dan dimasukkan ke ruang dingin selama 4 jam. Selanjutnya
ditempatkan dalam suhu kamar dan
diinokulasikan 0,1 L Lactobacillus casei ke dalam sumur agar dan
diinkubasi pada
suhu 37C selama 2 hari dan didinginkan
kembali pada suhu 4C selama 12 jam. Aktivitas antimikroba
ditunjukkan adanya daerah bening diseputaran sumur agar. Untuk
mengetahui aktivitas antimikroba secara kuantitatif maka dilakukan
uji kontak antara mikroba uji dengan Lactobacillus casei dalam
medium susu yang telah difermentasikan dengan Lactobacillus casei.
Dalam medium susu fermetasi diinokulasikan mikroba uji beberapa
tetes, selanjutnya dihitung jumlah mikroba uji dalam medium susu
fermentasi (sebagai jam ke-0). Selanjutnya pada jam ke-7 dihitung
kembali jumlah penurunan mikroba uji. Prosentase kematian bakteri
uji dihitung sebagai jumlah sel awal(jam ke-0) dikurangi jumlah sel
hidup sisa pada jam ke-6 dibagi dengan jumlah sel awal (jam ke-0).
HASIL DAN PEMBAHASAN Lactobacillus termasuk salah satu bakteri asam
laktat. Penampakan koloni yang dibentuk oleh bakteri asam laktat
berupa koloni bundar berwarna putih kekuningan dengan bentuk elips
dan bersifat anaerob fakultatif dengan zona bening yang terbentuk
disekeliling koloni.
Gambar 1. Koloni Lactobacillus casei yang
terbentuk pada media MRS agar.
Salah satu syarat strain bakteri
probiotik adalah strain yang mempunyai kemampuan yang sesuai
dengan kondisi saluran pencernaan yaitu strain harus tahan terhadap
garam empedu dan kondisi pH lambung (pH 2,0) apabila dikonsumsi
(Walker dan Gillian 1993 dalam Ngatirah et al. 2000). Hasil uji
ketahanan terhadap pH rendah dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel
1 dapat diketahui bahwa Lactobacillus casei mempunyai ketahanan
terhadap pH rendah yang cukup besar meskipun penurunan jumlah
koloni sangat tajam. Penurunan yang tajam terjadi setelah pH
larutan dibawah pH 3. Pada rentang pH 3 sampai dengan pH 2,5
terjadi penurunan jumlah sel mencapai 106 sel. Namun demikian pada
pH 2 masih terdapat enam koloni yang mampu bertahan dan tumbuh pada
pH 2. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Kashket (1998) dalam
Meutia (2000) yang mengatakan bahwa bahwa bakteri asam laktat
terutama Lactobacillus termasuk bakteri yang paling tahan pada
kondisi asam (Kashket, 1987 dalam Meutia,2003). Ngatirah et al.
(2000) juga mendapatkan 3 isolat Lactobacillus yang tahan asam
hingga pH 2,0 yang diisolasi dari berbagai makanan tradisional yang
diduga berpotensi sebagai agensia probiotik.
Tabel 1 Hasil Pengamatan untuk Uji Ketahanan terhadap pH
Rendah
Jenis Bakteri pH 7
(CFU/mL) pH 3
(CFU/mL) pH 2,5
(CFU/mL) pH 2
(CFU/mL)
Lactobacillus casei
2,0 1010
2,4 108 9,0 10
2 6
Sebagian besar mikroorganisme hanya mampu bertahan hidup sampai
dengan pH 4. Rata-rata bakteri asam laktat
-
13
hanya mampu bertahan pada pH 2,5-3. Hanya ada beberapa bakteri
asam laktat yang mampu bertahan sampai dengan pH 2. Hal ini
merupakan sifat keunggulan dari mikroba asam laktat. Sehingga ada
beberapa teknik pengawetan makanan memanfaatkan mikroba asam
laktat. Salah satu parameter yang harus dimiliki oleh mikroba
probiotik adalah tahan terhadap kondisi adanya garam empedu (bile
salt). Pada Tabel 2 disajikan hasil pengamatan terhadap uji
ketahanan Lactobacillus casei terhadap garam empedu pada berbagai
konsentrasi. Lactobacillus casei hasil isolasi ini memiliki daya
tahan terhadap garam empedu yang cukup tinggi, terbukti sampai
dengan konsentrasi garam empedu 15% masih ada sekitar 1000 koloni
yang mampu bertahan hidup.
Tabel 2 Hasil Pengamatan Uji ketahanan terhadap Garam Empedu
Jenis Bakteri
Konsentrasi garam empedu (CFU mL
-1)
0% 0,5% 1% 5% 10% 15%
Lactobacillus casei
7,7 10
8
7,5 10
5
9,4 10
3
5,3 10
3
1,5 10
3
1,0 10
3
Keterangan :
K= konsentrasi garam empedu
Garam empedu bersifat sebagai
senyawa aktif permukaan sehingga dapat menembus dan bereaksi
dengan sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik, menyebabkan
perubahan dan kerusakan membran. Kombinasi tersebut bersifat
bakterisidal bagi mikroorganisme komensal dalam tubuh manusia
kecuali beberapa genus penghuni usus yang tahan terhadap empedu
(Meutia,2003). Kemampuan tumbuh pada garam empedu yang dimiliki
Lactobacillus dikarenakan Lactobacillus juga merupakan salah satu
genus penghuni saluran pencernaan manusia. Penelitian yang
dilakukan oleh Purwandhani et al., (2000) telah berhasil
mengisolasi Lactobacillus dari feses bayi. Kemampuan isolat
Lactobacillus casei hasil isolasi dari susu kerbau yang telah
terfermentasi untuk tumbuh pada
garam empedu dengan konsentrasi yang dikondisikan seperti pada
saluran pencernaan manusia membuktikan bahwa isolat ini juga
mempunyai kemampuan yang sama dengan Lactobacillus yang diisolasi
dari pencernaan manusia. Kemampuan ini memenuhi salah satu syarat
untuk menjadi strain probiotik yaitu mampu bertahan dalam saluran
pencernaan manusia (Purwandhani et al., 2000). Uji kemampuan
sifat-sifat yang harus dimiliki oleh mikroba probiotik adalah
kemampuan menghambat bakteri lain khususnya bakteri patogen. Uji
ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif
dilakukan dengan menggunakan metode difusi sumur, dan secara
kuantitatif digunakan uji kontak. Hasil percobaan uji aktivitas
antimikroba Lactobacillus terhadap mikroba uji disajikan dalam
Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji aktivitas antimikroba
Lactobacillus casei terhadap mikroba uji dengan metode difusi
sumur.
No Mikroba uji Diameter zona bening (mm)
1 Escherichia coli 13,75
2 Staphylococcus aureus 16,75
3 Enterococcus faecalis 15,4
Tabel 3 menunjukkan bahwa Lactobacillus casei positif menghambat
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis.
Namun demikian kemampuan daya hambat Lactobacillus casei terhadap
ketiga bakteri uji terlihat berbeda-beda. Terlihat Lactobacillus
casei paling kuat menghambat Staphylococcus aureus dengan diameter
hambatan sebesar 16,75 mm, selanjutnya Enterococcus faecalis dengan
diameter hambatan 15,4mm dan Escherichia coli dengan diameter
hambatan 13,75 mm. Untuk mengetahui daya hambat Lactobacillus casei
secara kuantitatif terhadap ketiga bakteri uji maka dilakukan uji
kontak antara bakteri uji dengan Lactobacillus casei setelah 7 jam.
Hasil percobaan uji kontak antara bakteri uji dengan Lactobacillus
casei disajikan dalam Tabel 4.
-
14
Tabel 4 Hasil uji kontak antara Lactobacillus casei dengan
bakteri uji setelah 7 jam
Bakteri uji
Jumlah koloni
pada jam ke-0
(koloni/mL)
Jumlah koloni
setelah kontak selama 7 jam
Prosentase kematian
Escherichia coli 1,3 108
1,0 108
23,1%
Staphylococcus aureus
1,5 108
1,0 108
33,3%
Enterococcus faecalis
1,1 108
8,0 107
27,3%
Dari Tabel 4 tersebut diatas terlihat bahwa Lactobacillus casei
lebih efektif menghambat Staphylococcus aureus dibandingkan dengan
Enterococcus faecalis dan Escherichia coli, dengan adanya
Lactobacillus casei terjadi penurunan jumlah koloni sampai dengan
33,3%. Selanjutnya pada bakteri uji Enterococcus faecalis terjadi
penurunan jumlah koloni sebanyak 27,3% dan pada bakteri uji
Escherichia coli terjadi penurunan jumlah koloni sebanyak 23,1%.
KESIMPULAN Dari percobaan yang telah dilakukan dapat diambil
kesimpulan bahwa Lactobacillus casei hasil isolasi dari susu kerbau
fermentasi memiliki potensi sebagai agensia probiotik. Isolat
Lactobacillus casei mampu bertahan hidup sampai dengan pH 2 dan
mampu bertahan hidup dalam media dengan kandungan garam empedu
sampai dengan 15%. Disamping itu Lactobacillus casei hasil isolasi
dari susu kerbau positif menghambat Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis. Daya hambat
Lactobacillus casei terhadap Staphylococcus aureus lebih kuat
dibandingkan Enterococcus faecalis dan Escherichia coli. DAFTAR
PUSTAKA
1. Ahmed Z, Wang Y, Cheng Q, Imran M. 2010. Lactobacillus
acidophillus bacteriocin, from production to their application: an
overview. African Journal of Biotechnology 9(20):2843-2850.
2. Allen, SJ, Martinez EG, Gregorio GV, Dans LF.2011. Probiotics
for treating acute infectious diarrhoea. John Wiley & Sons Ltd.
UK.
3. Daniluk U. 2012. Probiotics, the New Approch for Cancer
Prevention and/or Potentialization of Anti-Cancer Treatment. J Clin
Exp Oncol. 1(2)
4. Fardiaz, S. 1987. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut.
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor.
5. Frazier, W.C dan Westhoff, D.C 1981. Food Microbiologyy. Tata
McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi
6. Gilliland, S.E. dan Walker D.K. 1990. Factor to Consider When
Selecting a Culture of L. acidophilus as a Dietary Adjunt to
Produce a Hypocholesterolemia Effect in Human. Journal Dairy
Science 73: 905-911
7. Lamprecth, M, Bogner S, Schippinger G, Steinbauer K,
Fankhauser F, Hallstroem S, Schuetz B, Greilberger G. 2012.
Probiotic supplementation affects markers of intestinal barrier,
oxidation, and inflammation in traied men; a randomized,
double-blinded, placebo-controlled trial. Journal of the
international society of sports nutrition. 9:45
8. Meutia, Y.R. 2003. Evaluasi potensi Probiotik Isolat Klinis
Lactobacillus sp secara in vitro dan in vivo. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanis Bogor. Bogor
9. Ngatirah, Harmayani E., Rahayu E.S dan Utami T. 2000. Seleksi
Bakteri Asam Laktat Sebagai Agensia Probiotik yang Berpotensi
Menurunkan Kolesterol. Seminar Nasional Industri Pangan.
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia. Surabaya
10. Purwandhani, S.N., Rahayu E.S dan Harmayani E. 2001. Isolasi
Lactobacillus yang Berpotensi sebagai Kandidat Probiotik. Seminar
Nasional Industri Pangan.
-
15
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan. Surabaya
11. Rahayu, E.S. 2001. Potensi dan Peranan Prebiotik dan
Probiotik Dalam Makanan Sehat. Seminar Prebiotik, Probiotik dan
Makanan Sehat. Fakultas Biologi Universitas Atmajaya.
Yogyakarta
12. Sofjan, O., Aulaniam, Surisdiarta, Rosdiana A. dan
Supiyati.. Isolasi dan identifikasi Bacillus sp Dari Usus Ayam
Petelur Sebagai Sumber Probiotik. Jurnal Ilmu Hayati Volume 15 no.2
Hal 153-166. Lembaga Penelitian Unibraw. Malang
13. Syukur S, Bisping B, Noli ZA, Purwati E. 2013. Antimicrobial
Properties and Lactase Activity from Selected Probiotic
Lactobacillus brevis Associated with Green Cacao Fermentation in
West Sumatera Indonesia. J Prob Health 2013.1(4):1-4.
-
16
VOLUME 01, NOMOR 01, DESEMBER 2014
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA
Homepage Jurnal: www.jbbi.weebly.com
TINJAUAN LOVASTATIN DAN APLIKASINYA
A REVIEW: LOVASTATIN AND ITS APPLICATION
Dudi Hardianto
Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT Gd. 630 Kawasan Puspiptek,
Serpong Tangerang Selatan
Email:[email protected]
ABSTRACT
Lovastatin is a drug of the statins group that used to decrease
cholesterol levels in
blood. Mechanism of statins is inhibition of HMG-CoA reductase
enzyme activity
that reduces cholesterol production in the liver. Some
filamentous fungi produce
lovastatin and Aspergillus terreus is the highest of
lovastatin-producing
filamentous fungi therefore it is used for production of
lovastatin. Commercial
production of lovastatin is based on submerged fermentation, but
now solid-state
fermentation is becoming an alternative for production of
lovastatin. Lovastatin is
used mainly for antihypercholeterolemia. Other potential of
lovastatin may include
the therapy of alzheimers disease, cancer, osteoporosis,
parkinsons disease, multiple sclerosis, and rheumatoid
arthritis.
Keywords: Lovastatin, Aspergillus terreus, fermentation
ABSTRAK Lovastatin merupakan obat golongan statin yang digunakan
untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Mekanisme kerja
lovastatin adalah menghambat enzim HMG-CoA reduktase sehingga
produksi kolesterol di dalam hati berkurang. Beberapa kapang
berfilamen memproduksi lovastatin dan Aspergillus terreus merupakan
kapang penghasil lovastatin tertinggi sehingga digunakan dalam
produksi lovastatin. Produksi lovastatin secara komersial
menggunakan fermentasi cair tetapi sekarang ini fermentasi padat
menjadi alternatif lain untuk memproduksi lovastatin. Lovastatin
digunakan terutama untuk antihiperkolesterolemia. Lovastatin juga
potensial digunakan untuk pengobatan penyakit alzheimer, kanker,
osteoporosis, parkinson, multiple sclerosis, dan rheumatoid
arthritis.
Kata kunci: Lovastatin, HMG-CoA reductase, Aspergillus terreus,
fermentasi
PENDAHULUAN Berdasarkan laporan WHO tahun
2005, penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab utama kematian, yaitu sekitar 17.500.000 orang atau 30%
dari penyakit penyebab kematian di dunia (Barrios-
ISSN: 2442 - 2606
-
17
Gonzalez & Miranda, 2010). Salah satu penyebab utama
penyakit kardiovaskular adalah tingginya konsentrasi kolesterol
dalam darah. Penyakit kelebihan kolesterol dalam darah
(hiperkolesterolemia) mengakibatkan penyempitan pembuluh darah
(arterosklerosis). Arteroskerosis berhubungan dengan penyakit
jantung koroner dan penyakit pembuluh darah perifer. Penyebab utama
hiperkolesterolemia adalah faktor genetik atau bawaan dan gaya
hidup (pola makanan berlebihan; kurang aktivitas fisik; akibat
kelainan metabolisme pada diabetes militus dan hipotiroidisme).
Lovastatin merupakan obat golongan statin yang digunakan untuk
menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Lovastatin menghambat
HMG-CoA reduktase (enzim yang berperan dalam biosintesis
kolesterol) (Atalla et al 2008, Shindia 2001, Seenivasan et al
2008, Szakacs et al 1998). Statin menurunkan kadar kolesterol,
terutama LDL (low density lipoprotein) atau kolesterol jahat dan
meningkatkan HDL (high density lipoprotein) atau kolesterol baik
sehingga mencegah terjadinya penyempitan pembuluh darah arteri.
Statin mencegah terjadinya aterosklerosis penyebab terjadinya
kerusakan jaringan dan penyumbatan pembuluh darah, dan juga
mencegah penyakit kardiovaskular karena berdasarkan data klinis
menunjukkan bahwa statin mengurangi resiko kematian akibat penyakit
jantung koroner.
Golongan statin merupakan obat yang banyak digunakan untuk
mengatasi hiperkolesterolemia. Pada tahun 2005, penjualan golongan
statin mencapai 15,1 milyar dolar di Amerika Serikat (Emerton,
2006). Dan tahun 2006, dua jenis obat golongan statin memimpin
penjualan obat di Amerika Serikat berdasarkan majalah Fobes, yaitu
$ 8,4 milyar dan $ 4,4 milyar (Barrios-Gonzalez & Miranda,
2010).
MEKANISME KERJA LOVASTATIN
Lovastatin dan simvastatin merupakan prodrug lakton yang
dihidrolisis dalam saluran cerna menjadi turunan -hidroksil yang
aktif, sedangkan atorvastatin dan fluvastatin merupakan senyawa
aktif.
Gambar 1. Mekanisme kerja obat golongan statin dalam menghambat
biosintesis kolesterol (Manzani & Rollini, 2002)
Fluvastatin (Lescol XL) dan lovastatin (Altocor) tersedia dalam
bentuk lepas lambat dan bentuk biasa. Lovastatin dan pravastatin
diperoleh dari hasil biosintesis oleh mikroorganisme; sedangkan
simvastatin merupakan hasil semisintesis dengan bahan dasar
lovastatin; dan atorvastatin, fluvastatin, serta rosuvastatin
merupakan hasil sintesis. Bentuk aktif statin merupakan analog dari
HMG-CoA (3-hidroksi-3-metilglutaril-koenzim A) dalam sintesis
kolesterol. Analog ini menginhibisi aktivitas enzim HMG-CoA
redukase sehingga produksi kolesterol dalam hati akan berkurang.
Afinitas inhibitor statin lebih tinggi beberapa kali dibandingkan
dengan substrat. Konstanta Michaelis (Km) untuk substrat reaksi
HMG-CoA 4X10-6 M sedangkan Ki lovastatin (konstanta inhibisi)
sebesar 6,4X10-10 M. Analisis kinetik menunjukkan bahwa gugus metil
pada lovastatin menyebabkan aktivitas inhibisi enzim HMG-CoA
reduktase meningkat 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan dengan
mevastatin (yang tidak mempunyai gugus metil pada posisi 6)
(Barrios-Gonzalez & Miranda 2010, Manzani & Rollini 2002,
Seenivasan et al 2008).
Struktur kristal HMG-CoA reduktase pada situs katalitik
membentuk kompleks dengan substrat dan produk (HMG-CoA, HMG, CoA,
NADPH) sehingga memberikan gambaran rinci mengenai situs aktif
enzim. Situs aktif HMG-CoA reduktase membentuk kompleks dengan enam
statin yang berbeda mevastatin, simvastatin, fluvastatin,
atorvastatin, cerivastatin, dan rosuvastatin. Bentuk kompleks
antara situs
-
18
aktif HMG-CoA reduktase dengan golongan statin ini menghalangi
terbentuknya kompleks antara substrat dengan enzim. Ikatan yang
terjadi antara obat golongan statin dan enzim HMG-CoA reduktase
adalah ikatan van der Waals yang bersifat ikatan kuat)
(Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010, Manzani & Rollini 2002,
Seenivasan et al 2008).
Gambar 2. Struktur kimia beberapa obat golongan statin
PRODUKSI LOVASTATIN Teknologi fermentasi merupakan
cara yang paling tepat digunakan untuk memproduksi lovastatin.
Metode fermentasi lovastatin dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu: fermentasi cair atau fermentasi secara submerge culture dan
fermentasi padat. Dalam skala industri, teknologi fermentasi secara
fermentasi cair masih digunakan sampai saat ini. Teknologi ini
lebih mudah penangannya dibandingkan dengan fermentasi padat
sehingga fermentasi cair lebih banyak dipilih untuk produksi
lovastatin. Kondisi fermentasi dilakukan pada suhu 28oC dan pH
antara 5,8 sampai 6,3; kondisi oksigen terlarut lebih dari 40%
selama 10 hari (Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010; Lopez et al
2005).
Produksi lovastatin dipengaruhi oleh homogenitas kultur A.
terreus, pengaruh sumber karbon, pengaruh sumber nitrogen, pengaruh
vitamin, pH, aerasi, dan rancangan agitator. Studi yang
dilakukan
Lopez et al (2003) menunjukkan bahwa produksi lovastatin
dipengaruhi oleh sumber karbon (laktosa, gliserol, dan fruktosa)
dan sumber nitrogen (yeast extract, corn steep liquor, dan soybean
meal), serta rasio antara sumber karbon dan sumber nitrogen.
Penggunaan laktosa yang dikombinasi dengan soybean meal atau yeast
extract memberikan hasil produksi lovastatin tertinggi. Sumber
karbon berperan penting dalam biosintesis lovastatin. Penggunaan
sumber karbon yang lambat dimetabolisme seperti laktosa, pati, atau
gliserol meningkatkan produksi lovastatin oleh Aspergillus terreus.
Hasil penelitian Lai et al (2007) menunjukkan bahwa produksi
lovastatin dengan sumber karbon laktosa lebih baik dibandingkan
glukosa. Menurut Hajjaj et al (2001) sumber nitrogen sodium
glutamat dan histidin menghasilkan lovastatin lebih baik
dibandingkan dengan sumber nitrogen amonium nitrat, amonium asetat,
sodium nitrat, atau urea.
Untuk mengidentifikasi pengaruh komposisi medium terhadap
produksi lovastatin digunakan Response Surface Methodology.
Optimalisasi komposisi media baik media kompleks maupun media kimia
terdefinisi telah banyak dilakukan. Fermentasi fed-batch mampu
meningkatkan produksi lovastatin (Barrios-Gonzalez & Miranda,
2010). Porcel et al (2007) menyarankan untuk melakukan 2 tahap
feeding pada fermentasi fed-batch. Penambahan vitamin B
meningkatkan produksi lovastatin. Tidak hanya pada prekursor NADP
(nikotinamid) dan CoA (kalsium pantotenat), tetapi tiamin,
riboflavin, dan piridoksin diketahui mampu meningkatkan produksi
lovastatin (Bizukojc et al, 2007).
Lovastatin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan melalui
jalur ketida. Selain lovastatin, geodin juga melalui jalur ketida.
Teknik rekayasa genetik digunakan untuk merusak gen yang berperan
dalam biosintesis geodin dilakukan untuk meningkatkan lovastatin
(Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010).
Walaupun saat ini produksi lovastatin dilakukan dengan
fermentasi cair, fermentasi padat lovastatin masih dikembangkan
sebagai alternatif produksi lovastatin. PerusahaanBiocon dari India
telah mengembangkan fermentasi padat
Lovastatin Simvastatin Pravastatin
Rosuvastatin Fluvastatin Atorvastatin
-
19
untuk produksi lovastatin pada skala industri. Secara umum,
fermentasi padat dibagi menjadi dua, yaitu: fermentasi padat
menggunakan substrat padat alami (fermentasi padat yang umum
digunakan) dan fermentasi padat menggunakan bahan inert. Biocon
memproduksi lovastatin menggunakan fermentasi padat substrat padat
alami dengan dedak gandum (Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010).
Fermentasi padat dengan bahan inert dilakukan Banos et al (2009).
Bahan inert yang digunakan adalah poliuretan menghasilkan
lovastatin 20 mg per kultur kering.
MIKROBA PENGHASIL LOVASTATIN
Pada awalnya lovastatin diproduksi oleh Aspergillus terreus dari
CIBE Laboratories di Madrid (Albert et al., 1980). Beberapa tahun
kemudian, lovastatin diketahui dihasilkan oleh 17 spesies kapang
yang berbeda dari genus Monascus (M. ruber, M. Purpureus, M.
Pilosus, M. Vitreus, M. Anka dan M. Pubigerus), Penicillium (P.
citricum), Doratomyces, Eupenicillium, Gymnoascus, Hypomyces,
Paecilomyces, Phoma, Trichoderma, Pleurotus (Barrios-Gonzalez &
Miranda, 2010; Hajjaj et al., 2001; Porcel et al, 2006; Seenivasan,
et al 2008).
Berikut ini beberapa hasil penelitian
kapang penghasil lovastatin. Pada tahun
1979, Endo mengisolasi lovastatin dari hasil
fermentasi Monascus purpureus (Borrios-
Gonzalez & Miranda, 2010). Hasil seleksi
110 kapang dari kultur koleksi Persian Type
Culture Collection Iran menunjukkan bahwa
terdapat beberapa kapang penghasil
lovastatin dengan produktiviatsnya, seperti:
A. terreus (55 mg per L), A. parasiticus (4,5
mg per L), A. fischeri (2,0 mg per L), A.
flavus (9,0 mg per L), A. umbrosus (14, 1
mg per L), Penicillium funiculosom (19,3 mg
per L), Trichoderma viridae (9,0 mg per
L),Tricoderma longibrachiatum (1,0 mg per
L), dan Acremonium chrysogenum (2,5 mg
per L) (Samiee et al, 2003). Penelitian lain
menunjukkan bahwa hasil isolasi dan
seleksi kapang tanah di India menemukan
beberapa kapang penghasil lovastatin,
seperti: A. terreus (116,8 mg per L),
Monascus sp. (105,7 mg per L), A. niger
(4,3 mg per L), A. flavus (5,9 mg per L),
Penicillium purpurogenum (16,9 mg per L),
Pleurotus sp. (18,6 mg per L), dan
Trichoderma viridae (8,6 mg per L) (Jaivel
dan Marimuthu, 2010) menghasilkan
lovastatin. Pada tahun 2011, peneliti dari
Mesir mengisolasi dan menyeleksi kapang
tanah di Mesir menunjukkan bahwa A.
flavus (48,4 mg per L), A. niger (29,9 mg
per L), A. oryzae (37,6 mg per L), A. terreus
(52,9 mg per L), Biospora sp. (13,0 mg per
L), Cylindrocarpon radicicola (7,1 mg per L),
Penicillium expansum (6,6 mg per L),
Penicillium janthinellum (10,6 mg per L),
Penicillium spinulosum (15,8 mg per L),
Trichoderma viridae (26,0 mg per L), dan
Mycelia sterilia (15,3 mg per L)
memproduksi lovastatin (Osman et al,
2011). Isolasi dan seleksi kapang tanah A.
terreus menunjukkan bahwa terdapat 5
isolat kapang A. terreus yang memproduksi
lovastatin. Isolat A. terreus memproduksi
lovastatin bervariasi dari antara 94 mg per L
sampai 360 mg per L (Devi et al, 2011).
Sampai saat ini, A. terreus merupakan
kapang penghasil lovastatin tertinggi,
sehingga kapang ini digunakan untuk
produksi lovastatin skala industri.
APLIKASI LOVASTATIN Sebagai analog substrat lovastatin
berikatan dengan enzim HMG-CoA sehingga menghambat sintesis
kolesterol. Lovastatin terbukti menurunkan kadar kolesterol dalam
darah sehingga mencegah terjadinya penyempitan pembuluh darah
arteri, mengurangi terjadinya penyakit jantung koroner,
meningkatkan fungsi endotel, mencegah terbentuknya thrombus, dan
mempengaruhi proses inflamasi.
Aplikasi lovastatin, diantaranya untuk:
1. Antihiperkolesterolemia. Statin menghambat biosintesis
kolesterol, mengurangi terjadinya penyakit jantung koroner
berdasarkan uji klinis, epidemiologis, dan patologis. Selain itu,
statin mencegah stroke dan
-
20
mengurangi penyakit vaskular lainnya. Statin dapat menurunkan
kadar LDL antara 25 sampai 35%, meningkatkan kadar HDL, mengurangi
kadar trigliserida, dan mengurangi resiko terserang jantung antara
25 sampai 30%. Terapi statin berefek mengurangi kadar LDL, plaque,
meningkatkan fungsi endotel, dan mencegah terbentuknya trombus.
Statin juga menghambat sintesis isoprenoid (fernisilpirofosfat dan
geranilgeranilpirofosfat) molekul yang berperan dalam interaksi
lemak untuk signal molekul intraselular. Selain itu, statin
menghambat langsung protein pengikat-GTP (Ras, Rho, Rac, dan Rap).
Data terbaru menunjukkan bahwa statin berpengaruh langsung terhadap
keseimbangan proliferasi atau apoptosis, menurunkan sitokinin, dan
mempengaruhi protein G (Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010).
2. Pengobatan kanker. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
statin mengurangi laju penginduksi kanker. Uji AFCAPS/TexCAPS
menunjukkan bahwa terjadi pengurangan melanoma baru saat penggunaan
lovastatin. Observasi terbaru (2008) menunjukkan bahwa penggunaan
statin mengurangi terjadi kanker antara 20-55% (Barrios-Gonzalez
& Miranda, 2010). Aktivitas lovastatin menurunkan produksi
geranil geranil pirofosfat sehingga produksi protein Rho berkurang.
Protein Rho A dan atau Rho C berperan dalam terjadinya kanker. Rho
C berperan penting untuk terjadinya stimulasi invasi sel kanker dan
Rho A berperan dalam perkembangan sel kanker (Demierre et al.,
2005).
Gambar 3. Pengaruh statin (Barrios-Gonzalez & Miranda,
2010)
3. Alzheimer. Studi epidemiologis menunjukkan bahwa statin
mengurangi terjadinya penyakit Alzheimer. Penggunaan lovastatin
atau pravastatin diperkirakan menurunkan resiko terkena penyakit
Alzheimer sampai 70%. Penyakit Alzheimer ditandai dengan terjadinya
akumulasi -amiloid pada ektraselular dan vaskular otak. -amiloid
bersifat racun untuk saraf. Lovastatin menurunkan kadar -amiloid
dalam darah sampai 40% (Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010).
4. Osteoporosis. Statin berpengaruh pada gangguan tulang seperti
osteoporosis. Statin dapat membantu penyembuhan patah tulang dengan
mempengaruhi pembentukkan tulang dan densitas mineral tulang.
Simvastatin, mevastatin, fluxastatin, dan lovastatin menstimulasi
pembentukan tulang (Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010).
5. Parkinson. Deregulasi metabolisme lemak dapat mempengaruhi
sistem saraf karena komponen utama organ ini adalah jaringan
adipose. Kadar LDL yang rendah berhubungan langsung dengan penyakit
Parkinson. Statin potensial untuk mempengaruhi penyakit
neurogeneratif atau penyakit inflamasi karena menurunkan kadar LDL
(Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010).
6. Rheumatoid arthritis. Statin mempengaruhi imunomodulator dan
bersifat antiinflamasi pada penderita rheumatoid arthritis. Hasil
uji in vitro menunjukkan bahwa statin memodifikasi fungsi endotel.
Data in vivo pada beberapa kejadian inflamasi, penggunaan statin
berpengaruh pada imun-modulator dan menghambat perkembangan
rheumatoid arthritis (Barrios-Gonzalez & Miranda, 2010).
7. Multiple sclerosis. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa statin
dapat mengurangi kematian pada penderita multiple sclerosis.
Penggunaan simvastatin mengurangi jumlah dan volume kerusakan sel
pada penderita Multiple sclerosis, karena statin
-
21
mempengaruhi imunomodulator (Barrios-Gonzalez & Miranda,
2010).
KESIMPULAN
Lovastatin merupakan obat untuk menurunkan kadar kolesterol
dalam darah dan juga potensial untuk pengobatan penyakit alzheimer,
kanker, osteoporosis, parkinson, multiple sclerosis, dan rheumatoid
arthritis.
Produksi lovastatin dilakukan dengan cara fermentasi cair dan
sebagai alternatif dapat digunakan fermentasi padat.
DAFTAR PUSTAKA
Atalla MM, ER Hamed, AR El-Shami (2008) Optimization of a
culture medium for increased mevinolin production by Aspergillus
terreus strain. Mal. J.Microbiol. 4 (2), 6-10.
Barrios-Gonzalez J, RU Miranda (2010) Biotechnology production
and application of statins. Appl. Microbiol. Biotechnol. 85,
869-883.
Bizukojc M, B Pawlowska, L Stanislaw (2007) Supplementation of
the cultivation media with B-group vitamins enhances lovastatin
biosynthesis by Aspergillus terreus. J. Biotechnol. 127,
258-268.
Demierre M, PDR Higgins, SB Gruber, E Hawk, SM Lippman (2005)
Statins and cancer prevention. Nat. Rev. 5, 930 - 942.
Devi SK, JV Rao, LM Narasu, K Saikrishna (2011) Isolation and
screening of lovastatin producing Aspergillus terreus fungal
strains from soil samples. Inter. J. Pharm. & Technol. 3(2),
2772-2782.
Emerton D (2006) Patent expiries in the US statin market:
generics to slash market size by 80 per cent over the next ten
years. J. Generic medi. 4 (1), 73-78.
Hajjaj H, P Niederberger, P Duboc (2001) Lovastatin biosynthesis
by Aspergillus terreus in a chemically defined medium. Appl. &
Environ. Microbiol. 2596-2602.
Jaivel N, P.Marimuthu (2010) Isolation and screening of
lovastatin producing microorganisms. Inter. J. Eng. Sci. &
Technol. 2 (7), 2607-2611.
Lai LT, C Hung, C Lo (2007) Effect of lactose and glucose on
production of itaconic acid and lovastatin by Aspergillus terreus
ATCC 20542. J. Biosci. & Bioeng. 104(1), 9-13.
Lopez,JLC, JAS Perez, JMF Sevilla, FGA Fernandez, EM Grima, Y
Chisti (2003) Production of lovastatin by Aspergillus terreus :
effect of the C : N ratio and the principal nutrients on growth and
metabolite production. Enzyme & Microbiol. Tehnol. 33, 270
-277.
Lopez JLC, JAS Perez, JMF Sevilla, FGA Fernandez, EM Grima, Y
Chisti (2004) Fermentation optimization for the production of
lovastatin by Aspergillus terreus: use of response surface
methodology. J. Chem. & Biotechnol. 79, 1119-1126.
Lopez JLC, JAS Perez, JMF Sevilla, FGA Fernandez, EM Grima, Y
Chisti (2005) Pellet morphology, culture rheology and lovastatin
production in cultures of Aspergillus terreus. J. Biotechnol. 116 ,
61-77.
Manzoni M, M Rollini (2002) Biosynthesis and biotechnological
production of statins by filamentous fungi and application of these
cholesterol-lowering drugs. Appl. Microbiol. & Biotechnol. 58,
555-564.
Osman ME, OH Khattab, GM Zaghlol, RM Abd El-Hameed (2011)
Screening for the production of cholesterol lowering drugs
(lovastatin) by some fungi. Aust. J. Basic & Appl. Sci. 5(6),
698 - 703.
-
22
Porcel EMR, JLC Lopez, MAV Ferron, JAS Perez, JLG Sanchez, Y
Chisti (2006) Effects of the sporulation conditions on the
lovastatin production by Aspergillus terreus. Bioprocess Biosynt.
Eng. 29, 1-5.
Porcel EMR, JLC Lopez, JAS Perez, Y Chisti (2008) Lovastatin
production by Aspergillus terreus in atwo-staged feeding operation.
J. Chem. Technol. & Biotechnol. 83, 1236-1243.
Samiee SM, N Moazami, S Haghighi, FA Mohseni, S Mirdamadi, MR
Bakhtiari (2003) Screening of lovastatin production by filamentous
fungi. Iraian Biom. J. 7(1), 29-33.
Seenivasan A, S Subhagar, R Aravindan, T Viruthagiri (2008)
Microbial production and biomedical applications of Lovastatin.
Indian J. Pharm. Sci. 701-709.
Shindia AA (2001) Some nutritional factors influencing mevinolin
production by Aspergillus terreuss strain. Folia Microbiol. 46(5),
413-416.
Szakacs G, G Morovjan, RP Tengerdy (1998) Production of
lovastatin by a wild starin of Aspergillus terreus. Biotechnol.
Lett. 20(4), 411-415.
Tobert JA (2003) Lovastatin and beyond: the history of the
HMG-CoA reductase inhibitors. Nat. Rev. Drug Discovery 2,
517-526.
-
23
VOLUME 01, NOMOR 01, DESEMBER 2014
JURNAL BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA
Homepage Jurnal: www.jbbi.weebly.com
ANALISA KANDUNGAN ANDROGRAPHOLIDE PADA TANAMAN SAMBILOTO
(Andrographis paniculata) DARI 12 LOKASI DI JAWA
Analysis of andrographolide contents on sambiloto plants
(Andrographis paniculata) from 12 locations in Java
Juwartina Ida Royani1, Dudi Hardianto1, Sri Wahyuni
1Balai Pengkajian Bioteknologi, BPPT, Gd. 630, Kawasan PUSPITEK
Serpong Tangerang 2Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Jl.
Taman Kencana Cimanggu Bogor
E-mail: [email protected]/ [email protected]
ABSTRACT The concentration of the active compounds contained in
medicinal plants is influenced by factors other than genetic
factors, are also influenced by the growth environment. In
sambiloto plants both factors have a major impact on the formation
of diterpene lactones, andrographolide. Variation of time of
sampling, cultivation and processing methods produce different
content of active compound in the same plant. The purpose of this
study was to determine the existing concentration of
andrographolide from sambiloto plants where it is grown from 12
different locations in Java by HPLC method. Sampling was conducted
from 12 locations in Java with a variety of planting conditions.
Sambiloto was extracted by methanol followed by detection of
andrographolide content using HPLC. The results showed that the
concentrations of andrographolide were varied ranging from
0.29-4.44% with an average number 2.19% of dry weight. The highest
existing concentrations found on the accession of the Ds. Wonokaton
Kec. Nguling Kab. Pasuruan with 4.44% whiles the lowest
concentration on the accession of the Ds. Conggeang Kulon, Kec.
Conggeang Kab. Sumedang. Based on the data content of existing
andrographolide in each accession obtained three accessions of
sambiloto that potential to be developed, with concentrations of
andrographolide above 3%. Keywords: Andrographis paniculata,
andrographolide, active coumpound
ABSTRAK Kadar senyawa aktif yang terkandung pada tanaman obat
selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor
lingkungan tumbuhnya. Pada tanaman sambiloto kedua faktor tersebut
berpengaruh sangat besar pada pembentukan diterpen lakton. Adanya
variasi pada waktu pengambilan sampel, tempat penanaman, metode
pengolahan dan lain sebagainya berakibat pada perbedaan dalam
kandungan senyawa aktif pada tanaman yang sama. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar andrographolide dari
tanaman sambiloto yang diambil dari beberapa lokasi tempat tumbuh
di 12 lokasi yang berbeda di Indonesia dengan menggunakan HPLC.
Sampling dilakukan di 12 daerah di Jawa dengan kondisi penanaman
yang berbeda. Daun tanaman sambiloto di ekstrak dengan menggunakan
methanol kemudian dideteksi kandungan andrographolide menggunakan
HPLC. Kadar andrographolide yang dihasilkan bervariasi berkisar
antara 0.29-4.44% dengan kadar rata-rata adalah 2.19% berat kering.
Kadar tertinggi didapatkan
ISSN: 2442 - 2606
-
24
pada aksesi dari Desa Wonokaton Kec. Nguling Kabupaten Pasuruan
dengan kadar andrographolide adalah 4.44% sedangkan kadar yang
terendah didapatkan pada aksesi dari Desa Conggeang Kulon, Kec.
Conggeang Kab. Sumedang. Berdasarkan data kandungan andrographolide
pada masing-masing aksesi diperoleh 3 aksesi sambiloto yang
potensial untuk dikembangkan menjadi aksesi unggulan karena kadar
andrographolidenya diatas 3%. Kata Kunci: Andrographis paniculata,
andrographolide, kandungan senyawa aktif
PENDAHULUAN
Sambiloto (Andrographis paniculata L.
Ness) merupakan salah satu tanaman obat
yang menjadi prioritas utama untuk
dikembangkan di Indonesia dan dinyatakan
sebagai bahan obat fitofarmaka yang aman
(Nugroho et al. 2000). Badan POM
memasukkan tanaman ini sebagai tanaman
unggulan untuk dikembangkan dalam
industri obat fitofarmaka (Yusron 2000).
Kebutuhan sambiloto untuk industri obat
tradisional di Indonesia mencapai 33,47 ton
simplisia kering atau setara dengan 709,60
ton terna basah per tahun (Kemala et al.
2004).
Sambiloto mengandung diterpen
lakton yang banyak kegunaannya bagi
kesehatan. Ada beberapa komponen utama
dari diterpen lakton pada sambiloto yang
teridentifikasi pada daun yaitu
andrographolide, neoandrographolide,
deoxyandrographolide (Kumoro dan Hasan
2006), deoxyandrographolide-19--D-Glukosa dan
dehydroandrographolide
(Patarapanich et al. 2007). Selain
komponen utama tersebut terdapat juga
senyawa lain yaitu saponin, flavonoid,
alkaloid dan tanin. Kandungan kimia lain
yang terdapat pada daun dan batang
adalah lakton, panikulin, kalmegin dan
hablur kuning yang memiliki rasa pahit
(Yusron dan Januwati 2004).
Gambar 1. Molekul senyawa dari sambiloto (a)
Andrographolide, (b) Dehydro-andrographolide
Secara klinis andrographolide terbukti
aktivitasnya dapat berpengaruh pada
hepatoprotective, cardiovascular,
hypoglycemic, psycho-phaemacological,
anti-fertilitas, antibakteri, immunostimulan,
antipiretik, antidiarrhoeal, anti-inflammatory,
antimalaria, antivenom, antihepatotoxic
(Zang et al. 2005; Rajagopal et al. 2003;
Mishra et al. 2007; Jarukamjorn dan
Nemoto 2008; Mishra et al. 2009).
Pemakaian sambiloto menjadi metode baru
yang menjanjikan untuk pengobatan
beberapa penyakit yang disebabkan oleh
gangguan kekebalan tubuh seperti HIV dan
AIDS (Otake et al. 1995; Kumar et al. 2004).
Pada tanaman sambiloto kandungan
andrographolide terakumulasi paling tinggi
pada bagian daun (2,39%) sedangkan
paling rendah ditemukan di biji (Sharma et
al. 1992; Sharma et al. 2009). Sedangkan
Patarapanich et al. (2007) menyatakan
bahwa kandungan lakton diterpen yang
diisolasi dari daun sambiloto berkisar antara
0.1-2%. Andrographolide mudah larut dalam
methanol, etanol, piridin, asam asetat dan
aseton, dan sulit larut dalam eter dan air.
Titik leleh dari senyawa andrographolide
adalah 228o-230oC dan maksimal adalah 223 nm (Wongittipong et
al. 2000). Ada
beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk analisis andrographolide, yaitu
dengan kromatografi lapis tipis (TLC), High
Performance Liquid Chromatography
(HPLC) dan teknik kristalisasi (4). Analisa
senyawa andrographolide secara kualitatif
dan kuantitatif juga dapat dilakukan
menggunakan metode spektrofotometri
(Aromdee et al. 2005), ultraviolet
spektrofotometer, teknik volumetri dan
kolorimetri (Mishra et al. 2007).
Kadar senyawa aktif yang terkandung
pada tanaman obat selain dipengaruhi oleh
faktor genetik juga dipengaruhi oleh faktor
-
25
lingkungan tumbuhnya. Pada tanaman
sambiloto kedua faktor tersebut
berpengaruh sangat besar pada
pembentukan diterpen lakton. Yusron dan
Januwati (2004) mengemukakan bahwa
faktor agroekologi sangat menentukan
pertumbuhan, hasil, dan mutu simplisia
sambiloto. Ditambahkan oleh Cui et al.
(2009) bahwa faktor yang paling penting
dari kualitas sambiloto dan saling
berhubungan adalah lokasi pada saat
dikumpulkan, waktu panen dan bagian dari
tanaman yang digunakan. Adanya variasi
pada waktu pengambilan sampel, tempat
penanaman, metode pengolahan dan lain
sebagainya berakibat pada perbedaan
dalam kandungan senyawa aktif pada
tanaman yang sama. Rajagopal et al.
(2003) menyatakan bahwa selain distribusi
geografi, kondisi cuaca pada saat budidaya
juga turut menentukan mutu simplisia
tanaman obat. Secara umum kualits dari
tanaman obat diakibatkan oleh beberapa
faktor, termasuk perubahan cuaca, waktu
panen, budidaya, proses paska panen, dan
prosedur ekstraksi serta preparasi simplisia
(Li et al. 2007).
Telah banyak penelitian yang
dilakukan untuk melihat variasi kandungan
senyawa aktif pada tanaman obat dari
berbagai lokasi penanaman. Analisa
fitokimia untuk membandingkan kandungan
senyawa aktif pada aksesi tanaman obat
dari berbagai lokasi juga telah dilaporkan
pada Asterachanta longifolia Ness (Sunita
dan Abhishek 2008), Ocimum selloi Benth
(Moraes et al. 2002), dan juga pada
Andrographis paniculata (Patarapanich et
al. 2007; Sharma et al. 2009; Cui et al.
2009).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kadar andrographolide dari
tanaman sambiloto yang diambil dari
beberapa lokasi tempat tumbuh di 12 lokasi
yang berbeda di Indonesia dengan
menggunakan HPLC.
BAHAN DAN METODE
Bahan.
Bahan yang digunakan adalah daun
tanaman sambiloto (A. paniculata) yang
berasal dari 12 daerah di Jawa dengan
kondisi tanaman belum berbunga atau
masih dalam fase vegetatif. Alat yang
digunakan adalah High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) dengan alat
Hitachi-D7000 dan colom C18 carbowax
lichrocart 250-4.
Metode.
Sampling Tanaman Sambiloto.
Sampling dilakukan di 12 daerah di Propinsi
Banten, Propinsi Jawa Barat dan Propinsi
Jawa Timur (Table 1) dari bulan Juni
sampai bulan September 2010. Tanaman
sambiloto diambil dari beberapa tempat
yang meliputi pekarangan masyarakat,
kebun dan lahan yang tak terawat serta
koleksi herbalis.
Ekstraksi Daun Sambiloto. Ekstraksi
daun sambiloto dilakukan dengan cara daun
sambiloto dikeringkan dalam ruang bersuhu
25oC-28oC selama 14 hari sampai
didapatkan simplisia kering. Simplisia kering
dihaluskan dengan grinder dan diayak
menggunakan ayakan dengan ukuran 60
mesh. Serbuk halus sambiloto tersebut
kemudian diekstraksi dengan menggunakan
pelarut metanol pro-analisis dalam labu
ukur 50 ml. Ekstraksi dilakukan dua tahap
yaitu pada tahap pertama dilakukan dengan
menggunakan etanol dengan perbandingan
serbuk sambiloto : etanol adalah 1:5 dan
pada tahap kedua dilakukan ekstraksi
dengan perbandingan serbuk sambiloto :
etanol adalah 1:2. Lama ekstraksi
(pengocokan) berlangsung lebih kurang
selama 2 jam. Hasil ekstraksi kemudian
disaring dengan kertas saring whatman 41.
Ekstrak hasil saringan dari kertas saring
Whatman kemudian disaring kembali
dengan kertas Milipore berukuran 0.2.
Deteksi kadar andrographolide
dengan HPLC. Ekstrak yang sudah
didapatkan selanjutnya dilakukan preparasi
untuk deteksi kadar andrographolide
menggunakan alat HPLC. Larutan ekstrak
yang dihasilkan dari saringan terakhir
diinjeksikan ke kolom HPLC sebanyak 10
l. Eluen yang digunakan berupa metanol: asetonitril: asam asetat
dengan
perbandingan 70 : 30 : 0.6% dan ekstrak
hasil saringan Milipore diinjeksikan pada
colom C18 carbowax lichrocart 250-4
-
26
dengan menggunakan absorban 254 uv.
Proses pada alat berlangsung selama 30
menit. Hasil proses berupa kromatogram
dibandingkan dengan standar
andrographolide 200 ppm untuk mengetahui
kandungan andrographolide. Peak
kromatografi diidentifikasi dengan cara
membandingkan retention time dari standar
tersebut. Injeksi tunggal dari solven (blanko)
digunakan sebagai standar retention time
dari solven. Untuk mengetahui variasi
kandungan andrographolide antar nomor
aksesi dilakukan analisa rataan dan standar
deviasi.
Tabel 1. Lokasi 12 aksesi sambiloto yang dikoleksi dari Jawa
No Tempat Pengambilan Propinsi Ketinggian Lokasi
Keterangan E S
1. Ds. Ciharelang Cijeungjing Kab. Ciamis. Jawa Barat 300 - -
Kelompok tani 2. Ds. Kalianget Barat Kec. Kalianget Kabupaten
Sumenep Madura
Jawa Timur - 113o5527 07o231 Koleksi tukang jamu
3. Ds. Wonokaton Kec. Nguling Kabupaten
Pasuruan
Jawa Timur - 113o111 07o4233 Kawasan hutan
4. Dsn Sempangan Kalianget Barat Kecamatan Kalianget Sumenep
Madura
Jawa Timur - 113o564 07o221 Kebun
5. Desa Nanggung Kec. Kopo - Serang Banten 65 106o23'20''
06o19'21'' Pekarangan masyarakat
6. Ds Cimemah Kec. Tanjung Siang Kabupaten.
Subang
Jawa Barat 523 107o82'428'' 06o75.613'' Rumah
Penduduk
7. Ds Tarogong Kidul, Kec. Tarogong Kidul, Kabupaten Garut
Jawa Barat 723 108o00'722'' 06o73'547'' Pinggir jalan
8. Dsn Cipongkor, Ds. Cibunar, Kec. Rancakalong
Kabupaten Sumedang
Jawa Barat 821 107o83'885'' 06o83'241'' Pinggir jalan
9. Kp Warung Caringin, ds. Cijambe, Kec. Cijambe
Kabupaten Subang
Jawa Barat 422 107o72'382'' 06o64'626'' Koleksi
Herbalis
10. Ds. Conggeang Kulon, Kec. Conggeang Kab. Sumedang
Jawa Barat 398 108o00'887'' 06o75'314'' Koleksi Puskesmas
11. Ds Cigendel Kmp Cihaniwung, Kec. Pamulihan
Kabupaten Subang
Jawa Barat 908 107o83'271'' 06o86'516'' Tanaman Obat
Keluarga 12. Ds Tugu Jaya, Kec. Cihideng Kabupaten
Tasikmalaya
Jawa Barat 416 108o20'628'' 07o34'367'' Pekarangan
Pesantren
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini aksesi dikoleksi
dari beberapa tempat dengan berbagai
sumber aksesi diantaranya dari kebun tak
terurus, pekarangan masyarakat, pinggir
jalan, herbalis/tukang jamu dan di kawasan
hutan (Tabel 1) dengan kondisi sesuai
dengan tempat tumbuhnya (existing). Pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Sabu et
al. (2011), Raina et al. (2007) dan Sharma
et al. (2009), aksesi sambiloto yang
digunakan berasal dari agroklimat yang
berbeda yang diperoleh dari petani, industri,
nursery pemerintah dan kebun tak terurus
yang kemudian bijinya ditumbuhkan pada
kondisi yang sama untuk kemudian
dilakukan analisa kadar andrographolide.
Hasil analisa kadar andrographolide
yang didapatkan pada ke 12 aksesi hasil
sampling (existing), dapat dilihat pada
gambar 2. Kadar andrographolide yang
dihasilkan bervariasi berkisar antara 0.29-
4.44% dengan kadar rata-rata adalah
2.19% berat kering. Pada penelitian ini
kadar tertinggi didapatkan pada aksesi dari
Desa Wonokaton Kec. Nguling Kabupaten
Pasuruan dengan kadar andrographolide
adalah 4.44% sedangkan kadar yang
terendah didapatkan pada aksesi dari Desa
Conggeang Kulon, Kec. Conggeang Kab.
Sumedang. Dari data ini diketahui bahwa
kadar andrographolide bervariasi pada
sampel yang diambil dari 12 lokasi tersebut.
Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
tempat tumbuh yang berbeda dengan
kondisi iklim dan edaphik yang bervariasi
(22) dan kemungkinan juga dipengaruhi
oleh faktor genetik dari aksesi tersebut.
Dari data tersebut terlihat bahwa rata-
rata hasil andrographolide masih berada
pada kondisi standar sesuai dengan
penelitian Sharma et al. (1992) yaitu 2,39%.
Hasil penelitian pada 12 aksesi dari
be